Anda di halaman 1dari 18

DARI ‘NEGARA ISLAM’ KE POLITIK DEMOKRATIS: WACANA

DAN ARTIKULASI GERAKAN ISLAM DI MESIR DAN INDONESIA*

FROM ‘ISLAMIC STATE’ TO DEMOCRATIC POLITICS: DISCOURSES AND


ARTICULATIONS OF ISLAMIST MOVEMENT IN EGYPT AND
INDONESIA
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Department of Politics, University of Sheffield
armumar1@sheffield.ac.uk

Abstract
This article aims to explain discourses and articulations of Islamist movements in Egypt and
Indonesia. In Egypt, the Muslim Brotherhood has emerged as one of the most important political
force following the regime change in 2011. They have succeeded in installing Mohammad Morsy
and Freedom and Justice Party in power after winning the 2012 General Elections. In
Indonesia, the Prosperous and Justice Party (PKS) has also emerged as one of strong political
parties following 1998 Reformasi, even though their success was not as visible as the Muslim
Brotherhood. By using post-foundationalist approach, this article attempts to provide an
explanation of discourses and articulations of both movements in the political arena. Having
traced the historical-political trajectory of Islamist movements in Egypt and Indonesia, this
article argues that both Islamist movements have departed from a universalist conception of
‘Islam’ that aims to politically articulates Islam as a basis of the state. This article also finds
that there have been different achievements of these attempts in Egypt and Indonesia, due to
strategies, articulations, and negotiation with other political forces in each states.
Keywords: Islamism, Egypt, Indonesia, discourses, articulations, Post-foundationalism

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan wacana dan artikulasi gerakan Islam di Mesir dan
Indonesia. Di Mesir, Al-Ikhwan al-Muslimun telah menjelma menjadi sebuah kekuatan politik
terpenting setelah pergantian rezim pada tahun 2011. Mereka telah berhasil menempatkan
Mohammad Morsy dan Partai Keadilan Pembangunan dalam kekuasaan setelah memenangi
Pemilu 2012. Di Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera juga menjelma sebagai kekuatan politik
setelah Reformasi 1998, walaupun kesuksesan mereka tak sebesar Ikhwan. Dengan
menggunakan pendekatan post-fondasionalis, artikel ini berupaya untuk menyediakan
penjelasan tentang bagaimana wacana dan artikulasi Gerakan Islam di kedua negara tersebut
diproduksi setelah pergantian rezim. Dengan melacak perjalanan politik dan sejarah Gerakan
Islam di Mesir dan Indonesia, artikel ini berargumen bahwa kedua Gerakan Islam di Mesir dan
Indonesia berangkat dari konsepsi universalis tentang Islam yang bertujuan untuk menjadikan
Islam sebagai dasar negara. Secara garis besar, artikel ini menemukan bahwa ada perbedaan
hasil yang diperoleh Gerakan Islam di dua negara tersebut, yang antara lain dipengaruhi oleh
perbedaan strategi, artikulasi, dan negosiasi dengan kekuatan politik lain di negara tersebut.
Kata kunci: Islamisme, Mesir, Indonesia, wacana, artikulasi, Post-fondasionalisme

Pendahuluan dari 80 tahun, Al-Ikhwan Al-Muslimun (Ikhwan).


Menyusul kejatuhan Mubarak, Ikhwan segera
Gelombang perubahan politik di Timur
mendeklarasikan diri sebagai kekuatan politik,
Tengah yang bermula di Tunisia pada akhir
mendaftarkan partai politik, dan (melalui
tahun 2011, ‘Arab Spring’, menjadi fenomena
kekuatan basis massanya) bertransformasi
paling menarik dalam studi Timur Tengah
menjadi kekuatan politik yang besar. Hal ini
selama beberapa tahun terakhir. Di Mesir,
menandai kebangkitan kembali Islamisme dalam
revolusi tersebut tidak hanya menumbangkan
pentas politik di negara tersebut.
Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa
selama 30 tahun, tetapi juga membangkitkan Artikel ini mengulas, secara komparatif,
sebuah kekuatan “tua” yang sudah berusia lebih perjuangan gerakan Islam dalam membangun

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016 1


wacana gerakan dan mengontestasikannya di Pertama, kejatuhan Khilafah Turki di tahun
Mesir dan Indonesia. Konsep ‘hegemoni’ yang 1924; dan (2) kolonialisme yang melanda dunia
ditawarkan oleh pendekatan post-fondasionalisme Islam, yang terinstitusionalisasi di Mesir melalui
menjadi instrumen penting untuk membedah kolaborasi dengan Kerajaan. Sayyid (1997)
gerakan Islam di dua negara ini (lihat Laclau dan mencatat bahwa kejatuhan Khilafah Utsmaniyah
Mouffe, 1986; Sayyid, 1997). Dengan menggunakan di Turki membawa luka yang mendalam bagi
perspektif post-fondasionalis, artikel ini akan umat Islam karena mencabut diskursus
mengupas dua elemen penting dalam gerakan hegemonik -Khilafah- yang digantikan oleh versi
Islam, yaitu (1) diskursus/wacana yang sekuler dari modernisme, yaitu Kemalisme. Hal ini
dikonstruksi sebagai pijakan dalam bergerak; kemudian diperkuat oleh fenomena yang lain,
serta (2) artikulasinya dalam praktik politik yaitu kolonialisme di dunia Muslim (terutama
(lihat Laclau dan Mouffe, 1986: 110). Kedua Mesir). Atas dua dasar ini, di tahun 1928, Hassan
elemen ini dianalisis untuk melihat sejauh mana al-Banna membentuk Ikhwanul Muslimin yang di
gerakan Islam mampu merebut di dua negara kemudian hari menjadi salah satu gerakan
tersebut.1 Islamis terkemuka di dunia (lihat Soage &
Franganillo, 2004; Munson, 2005).
Argumen yang ingin dibangun dalam
artikel ini adalah bahwa artikulasi gerakan Islam Sejak awal, Ikhwan mengartikulasikan
pada dasarnya merupakan upaya untuk diskursus yang sangat kental dengan Islam
menundukkan dan mengatur artikulasi wacana sebagai ideologi. Dokumen-dokumen ideologis
lain sehingga Islam bisa menjadi penanda utama Ikhwan ditulis terutama oleh Hasan Al-Banna
dari konteks politik yang ada (lihat Sayyid, yang mendirikan organisasi ini di tahun 1928.
1997). Untuk keperluan tersebut, artikel ini Bagi Hasan Al-Banna, Islam adalah sesuatu
dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama yang bersifat universal dan komprehensif. Tidak
mengulas wacana dan artikulasi gerakan Islam ada yang tidak diatur oleh Islam. Menurut Hasan
di Mesir (waktu 1953-2011) dengan berfokus Al-Banna (2005), nasionalisme yang berbasis
pada Gerakan Ikhwan. Bagian kedua membedah kesukuan adalah nasionalisme yang sempit,
wacana dan artikulasi gerakan Islam di termasuk juga nasionalisme Arab. Al-Banna
Indonesia (1945-2014) dengan mengambil memahami konsep nasionalisme secara global di
refleksi pada kasus Mesir. mana setiap jengkal tanah dan di sana terdapat
umat Islam, maka itu adalah tanah air (nation)
Islamisme dalam Politik Mesir (1953-2013) bagi umat Islam. Konsekuensinya, setiap umat
Islam di berbagai belahan dunia adalah ‘saudara’
 Diskursus Islamisme Awal: Hasan al-
dan harus diperhatikan urusannya, termasuk
Banna dan ‘Universalisme Islam’ dibela jika ia ditindas. Bagi Al-Banna,
Kemunculan Ikhwanul Muslimin tidak nasionalisme yang berbasis kesukuan (termasuk
bisa dilepaskan dari dua fenomena penting. dalam hal ini Pan-Arabisme) tidak dapat
diterima karena memecah-belah persaudaraan
1
Pendekatan post-fondasionalisme mengacu Islam (Al-Banna, 2005).2
pada satu tradisi pemikiran yang menganggap Selain itu, bagi Al-Banna, Islam tidak
karakter ‘ontologis’ suatu peristiwa pada dasarnya bisa ditafsirkan hanya dalam satu dimensi saja.
bersifat kontingen, dalam arti ia tidak pernah berada
Islam adalah seluruh artikulasi dari seorang
dalam kondisi final. Ia secara terus-menerus
direproduksi oleh satu ‘diskursus’ tertentu, yang
muslim. Inilah yang mendasari adanya
diartikulasikan oleh ‘subjek’ yang secara ontologies pandangannya bahwa Islam juga mencakup
bersifat kontingen (lihat Marchart, 2007). Pendekatan
2
ini banyak bersumber dari perdebatan-perdebatan Menurut Hasan Al-Banna tentang “nasionalisme
tentang ‘subjek’ dalam tulisan-tulisan Ernesto Laclau, Pan-Arabisme, “Sebaliknya, bagi kaum nasionalis
Chantal Mouffe, Slavoj Zizek, atau Simon Critchley (fanatik), semua orang yang ada di luar batas tanah
dan Bobby S Sayyid. Dalam konteks Gerakan Islam, tumpah darahnya sama sekali tidak dipedulikan.
pendekatan post-fondasionalisme melihat bahwa Mereka hanya mengurus semua kepentingan yang
Gerakan Islam pada dasarnya tidak pernah terkait langsung dengan apa yang ada di dalam batas
menawarkan satu tawaran politik yang final dan wilayahnya.... Kami sama sekali tidak -membenarkan
tunggal. Artikulasinya selalu berada pada ruang itu untuk diterapkan di atas sejengkal pun dari tanah
kontingensi, sejauh ia diartikulasikan dalam ranah air Islam... Sementara itu, kaum Nasionalis
politik. Lihat Sayyid (1997); lihat juga Laclau and menganggap yang demikian itu (fanatisme kebangsaan)
Mouffe (1986). sebagai suatu kewajaran. (Al-Banna, 2005).

2 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016


politik dan pengelolaan negara harus Artikulasi Ikhwan, sejak masuknya Ikhwan ke
berlandaskan syariat Islam. Konsekuensinya, politik di era Hasan Al-Banna, telah
Islamisme mengharuskan adanya negara Islam menunjukkan upaya-upaya ini. Diskursus yang
yang bersifat supranasional (melintasi negara- ditampilkan oleh Ikhwan mencoba untuk
bangsa) dan mengikat masyarakatnya dalam mensubversi Nasserisme sebagai diskursus
kesatuan konsep Ummah (Al-Banna, 2005; hegemonik melalui berbagai cara, salah satunya
Munson, 2001; Sayyid, 1997). Islamisme. yang paling kentara adalah dengan
Gagasan “negara Islam” tersebut, dalam tradisi menegosiasikan legislasi dan aturan hukum
Ikhwan, kemudian dikenal menjadi istilah formal di Mesir. Ketika Gamal Abdel Nasser
syumuliatul Islam yang mengimplikasikan Islam baru saja memegang tampuk kepemimpinan
di semua ranah, tak terkecuali politik dan Mesir di tahun 1953. Ikhwan segera menyambutnya
kenegaraan. dengan sebuah permintaan, diterapkannya
syariah Islam dalam konstitusi Mesir (Soange &
Persoalannya, untuk mengartikulasikan
Franganillo, 2005). Akan tetapi, Nasser
Islam di semua ranah, Ikhwan harus berhadapan
menolak. Ia justru merespons dengan merevisi
dengan rezim politik yang ada. Mesir telah
konstitusi dan memasukkan ‘nasionalisme
mengalami perjalanan politik panjang setelah
Nasserian’ didalamnya serta menerbitkan The
Kemerdekaan dan “Revolusi Juli 1952” yang
Philosophy of Revolution pada tahun 1954 yang
menaikkan Gamal Abdel Nasser di pentas
mencerminkan haluan sosialis-nasionalis
politik. Naiknya Nasser juga diikuti oleh
sebagai cara dan aturan bernegara (Nasser,
munculnya wacana politik “Nasserisme” yang
1956; Podeh & Winckler, 2005).
bertumpu pada nasionalisme Arab, sosialisme,
dan gerakan pembebasan negeri-negeri muslim Penolakan tersebut berimplikasi pada
(lihat Hatina, 2005; Podeh & Winckler, 2005; ketegangan antara Ikhwan dengan Nasser. Pada
Hayashi, 1964). Dengan demikian, diskursus tahun 1954, terjadi insiden percobaan
Ikhwan tentang “Pan-Islamisme” berlawanan, pembunuhan Gamal Abdel Nasser oleh aktivis
dan pada titik tertentu, mengalami konflik Ikhwan. Nasser selamat dan memberikan sinyal
dengan diskursus Pan-Arabisme ofisial untuk merepresi pihak yang mencoba untuk
sebagaimana diartikulasikan rezim politik mengambil kekuasaan secara sah. Setahun
Nasser. kemudian, represi terhadap Ikhwan segera
menjadi kenyataan dengan ditangkapnya aktivis
Pertentangan antara Islamis dan
serta para petinggi Ikhwan atas tuduhan subversi
Nasseris pada dasarnya adalah ketegangan
terhadap keamanan negara. Masa ini (antara
antara pandangan Universalisme Islam
1955-1970) merupakan masa yang kelam bagi
sebagaimana diartikulasikan oleh Islamis dan
Ikhwan karena hampir seluruh tokoh kuncinya
‘sosialisme-nasionalisme Arab’ yang ditampilkan
ditangkap atau berdiaspora ke luar negeri.
oleh Nasser. Bagi Nasser, Islam bersifat
Dengan represi ini, diskursus Pan-Islamisme
partikular, hanya sebagai fondasi kultural-
mengalami pelemahan. Ikhwan dilarang setelah
historis yang membuat semangat revolusioner
peristiwa 1954 itu dan, dengan demikian,
dan sosialisme Arab menjadi penting. Islam
mendisartikulasi Islamisme di ranah politik.
bersifat nasionalistik dan menyerukan keadilan
Pelarangan Ikhwan itu juga disertai dengan
sosial. Semangat apapun untuk menampilkan
penanaman diskursus Nasserisme secara besar-
Islam di ranah negara, harus selaras dengan hal
besaran, antara lain melalui nasionalisasi Al-
tersebut (lihat Hayashi, 1964; Podel dan
Azhar (dari segi finansial dan fatwa) dan
Winckler, 2005). Namun, diskursus ‘Pan-
penumbuhan Nasserisme sebagai ideologi
Islamisme’ yang diartikulasikan oleh Ikhwan
negara (Binder, 2003; Scott, 2003).
sejak Hasan Al-Banna mengimplikasikan adanya
pandangan bahwa Islam harus ditampilkan utuh,
sebagai sesuatu yang universal. Pandangan ini  Du’at Lasna Qudhat: Diskursus Ikhwan
berarti adanya proyek politik untuk mengambil Pasca-Nasser
alih negara. Diskursus yang ditampilkan sangat Upaya modifikasi kemudian muncul
berorientasi pada tegaknya daulah Islamiyah pada pertengahan tahun 1960-an dari balik jeruji
yang menetapkan makna tentang Islam. penjara Nasser. Pada tahun 1968, terbit buku
Pada titik inilah terjadi benturan antara Nahnu Du’at Lasna Qudhat dari Hasan Al-
diskursus Nasserisme dengan Islamisme Hudaiby, pemimpin tertinggi Ikhwan yang
menggantikan Hasan Al-Banna setelah kematiannya

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016 3


pada 1948. Ia menjadi terkenal dengan zaman yang membuat ijtihad menjadi mungkin
pernyataan itu (Nahnu Du’at wa Lasna (Zollner, 2009: 104). Pemahaman tentang
Qudhaat) dan mencerminkan adanya pergeseran tsawabit dan mutaghayyirat dalam Islam ini
diskursus dalam tubuh Ikhwan menjadi berpengaruh pada pandangan Hudhaiby tentang
Islamisme moderat (Zollner, 2009). Buku pemerintahan Islam. Menurut Hudhaiby, menegakkan
tersebut mengkritik buku Sayyid Qutb (1967) syariat/pemerintahan Islam adalah sebuah
dengan berargumen bahwa mendirikan ‘negara keharusan, tetapi keharusan itu tidak personal,
Islam’ harus melalui jalan kedamaian yang melainkan kolektif (fardu kifayah) dan mesti
dilakukan untuk mengubah masyarakat (dakwah) ditegakkan dalam sebuah konstruk jama’ah atau
bukan dengan jihad/kekerasan (Zollner, 2009). kelompok. Pada konteks itulah dakwah tidak
Argumen utama Al-Hudhaiby dalam Du’at Laa hanya dipandang sebagai seruan di masjid,
Qudhaat adalah bahwa “iman” (belief/faith) melainkan juga masuk ke semua lini yang ada di
pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak bisa masyarakat dan menyampaikan pesan Tuhan
dipaksakan dan harus didekati dengan secara terorganisir (Masyhur, 1986).
pendekatan dakwah atau seruan. Untuk itu,
Pada titik ini, penting untuk
‘hukum Islam’, bukanlah sesuatu yang harus
menghubungkan konsep dakwah yang dipahami
diterapkan degan paksa, melainkan melalui
oleh Ikhwanul Muslimin dengan konsep Al-
strategi dan pendekatan yang komprehensif.
Qiyadah wal-Jundiyah (lihat Masyhur, 1986).
Hudhaiby (mengikuti pendapat Hasan Al-
Konsep ini kemudian menjadi sentral dalam
Banna), percaya bahwa Islam bersifat universal,
artikulasi politik Ikhwan karena memberikan
tetapi (berbeda dengan Qutb), tidak berpendapat
sandaran ideologis bagi artikulasi “dakwah
bahwa universalisme Islam itu harus dipaksakan.
sebagai politik” di kemudian hari. Menurut
Menurutnya, penerapan hukum Islam sebagai
kosenp ini, Jamaah harus punya manhaj
konsekuensi universalitas Islam tersebut harus
(metodologi), pimpinan, dan anggota, yang
dibedakan antara yang tetap (tsawabit) dan
bergerak pada perannya masing-masing (Masyhur,
fleksibel (mutaghayyirat), sehingga ada wilayah
1986: 398). Anggota taat kepada pimpinan yang
yang dipegang secara prinsip dan ada yang bisa
memutuskan kebijakan organisasi melalui syura
dinegosiasikan di ranah-ranah sosial (Zollner,
dan tanzim (Masyhur, 1986: 420; Al-Awadi,
2009: 103).3
2004).
Dalam konteks ini, maka Hudhaiby
Dengan konsep ini, dakwah kemudian
memahami ‘universalisme Islam’ (syumuliaatul
diartikulasikan dalam bentuk organisasi yang
Islam) bukan pada konteks penerapan syariah
bersifat hierarkis dan komando. Di sini, dakwah
secara keseluruhan, melainkan sebuah proses.
dipahami sebagai sesuatu yang bersifat kolektif
Menurut Hudhaiby, konsep-konsep tentang
dengan visi “amar ma’ruf nahyi munkar”.
‘ibadah’ atau ‘aqidah’ pada dasarnya adalah
Diskursus yang bertitik tekan pada dakwah ini,
sesuatu yang bersifat tsawabit. Namun,
dapat kita lihat sebagai upaya untuk menuju
penerapan dari moralitas dan hukum Islam
Islam yang universal melalui penyatuan elemen-
tersebut harus beradaptasi dengan perkembangan
elemen yang partikular. Islam yang Universal
3
diartikulasikan melalui gerakan oposisi (amar
Konsep tsawabit dan mutaghayyirat mengacu ma’ruf nahyi munkar) yang terorganisir (Al-
pada pembagian dasar-dasar dalam agama Islam yang
Awadi, 2004). Dengan kata lain, strategi yang
bersifat ‘tetap’ (tsawabit) dan ‘fleksibel’ (mutaghayyirat) –
sejauh ia tidak melanggar prinsip-prinsip dasar Islam
dirumuskan oleh Al-Hudaiby adalah strategi
yang bersifat ‘asasi’. Konsep ini penting dalam hegemoni. Artikulasi Ikhwan di tahun 1970-an
jamaah Ikhwanul Muslimin, terutama di kalangan hingga 2000-an menyiratkan bahwa gagasan
penafsir-penafsir Hasan al-Banna, karena bersifat tentang dakwah tumbuh sebagai alternatif atas
mengikat kualitas keberagamaan kader-kader Ikhwan kekuasaan negara, dengan menjadikan negara
yang diartikulasikan dalam jamaah. Menurut Jum’ah sebagai kekuatan yang harus diimbangi melalui
Amin, ada sepuluh hal yang bersifat tsawabit dalam artikulasi dakwah sehingga Ikhwan bisa merebut
Ikhwan, seperti prinsip kesempurnaan dan ‘makna’ tentang masyarakat (Wickham, 2002).
keuniversalan Islam, disiplin dalam jamaah, serta
aqidah. Sementara itu, hal yang mutaghayyirat adalah Sebagai contoh, sejak 1987, aktivis-
sesuatu yang bisa dinegosiasikan dalam doktrin aktivis Ikhwan mulai menyebar ke ikatan-ikatan
Ikhwanul Muslimin, seperti soal muamalah dan professional, ikatan bisnis, organisasi-organisasi
pandangan teknis tentang negara. Lihat Amin masyarakat sipil, serta gerakan mahasiswa dan
(1997).

4 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016


mulai mengartikulasikan Islam di organisasi seperti Yusuf Al-Qaradhawy. 4 Di pertengahan
tersebut (Fahmy, 1998). Dalam beberapa isu dekade 1990-an, mulai muncul suara-suara kritis
seperti Perang Teluk (dimana Mubarak dari beberapa ulama al-Azhar yang
mendukung AS dan memberikan fasilitas di mempertanyakan posisi sekularisme Mesir yang
dalamnya), aktivis-aktivis ikatan profesional dianut oleh Mubarak. Di saat yang bersamaan,
merespons dengan membentuk “Komite Perhimpunan mereka juga mulai mempertanyakan legitimasi
untuk Aksi” yang menolak dukungan pemerintah rezim yang merepresi gerakan-gerakan Islam
terhadap invasi Amerika Serikat tersebut. Di (lihat Zeghal, 1999). Pada perkembangannya,
wilayah ekonomi, munculnya lembaga-lembaga Al-Azhar juga mulai terlibat untuk mendukung
keuangan syariah menjadi alternatif di tengah gerakan-gerakan kritik, terutama dari kalangan
liberalisasi ekonomi yang dibawa oleh Sadat dan anak muda terhadap rezim Mubarak. Keberpihakan
Mubarak (Zahid, 2010; Al-Awadi, 2004). tersebut terutama terjadi ketika Al-Azhar
Artikulasi-artikulasi Ikhwan tersebut memungkinkan mendukung oposisi menjelang demonstrasi 25
Ikhwan untuk tetap dapat melakukan proyek Januari 2011 (Brown, 2011). Klimaksnya, pada
“hegemoni tandingan” –atau counter-hegemony tanggal 11 Februari 2011, Husni Mubarak
dalam bahasa Kandil (2007)– dan menyaingi mundur dari jabatannya.
diskursus hegemonik yang ditanamkan oleh
Sadat dan Mubarak.  Bereksperimen dalam Politik Demokratis:
Hasil dari pertarungan hegemonik yang Ikhwan Pasca-Mubarak
terbangun sejak 1980-an tersebut adalah Pengunduran diri Mubarak membawa
melemahnya Nasserisme. Di pertengahan dekade implikasi panjang bagi political order di Mesir.
2000-an, hegemoni Nasserisme mulai melemah. Mundurnya Mubarak sekaligus juga menandai
Diskursus tentang ‘pembangunan ekonomi’ krisis hegemoni dari tatanan politik yang ada.
yang berbasis pada infitah dan pembangunan Secara garis besar, ada beberapa diskursus yang
mulai mengalami kontradiksi pada tahun 2000- saling berkontestasi untuk membentuk kembali
an, seiring dengan mulai datangnya badai krisis identitas politik Mesir setelah kejatuhan Hosni
ekonomi Di masa itu, fundamental ekonomi Mubarak. Pertama, diskursus “Islamisme
Mesir mengalami pelemahan karena tren konservatif” yang menginginkan untuk meletakkan
ekonomi global yang juga mengalami krisis syariah secara total dalam hukum dan politik
(Zahid, 2010). Pelemahan-pelemahan ini mulai Mesir. Diskursus ini menekankan pada
menunjukkan tanda-tanda krisis ketika pada superioritas Islam, penekanan pada moralitas
dekade 2000-an, gerakan-gerakan oposisi mulai publik, dan menyatakan secularism sebagai the-
marak di Mesir. Pada tahun 2004, 300 other yang asing (alien) (Ismail, 2006a). Kedua,
intelektual dan aktivis politik Mesir menginisiasi diskursus “Islamisme Moderat” yang percaya
sebuah gerakan yang diberi judul Egyptian bahwa Islam bisa menjadi sumber nilai dalam
Movement for Change dan terkenal dengan kehidupan politik bernegara, tetapi harus
slogan Kifaya! (Cukup!) (Bayat, 2005; Owaidat dikompromikan dengan gagasan “negara modern”
et. Al, 2008). Gerakan ini menjadi gerakan (Wickham, 2011). Proponen diskursus ini
pertama yang membawa tuntutan pengunduran menginginkan adanya negara sipil tetapi dengan
diri Presiden Husni Mubarak, beserta beberapa
tuntutan lain. Gerakan ini kemudian menginspirasi
4
lahirnya gerakan-gerakan lain secara simultan Konservatisme merujuk pada wacana
hingga tahun 2011 (Bayat, 2005: 343). keagamaan yang ingin mempertahankan pola lama,
dalam hal ini ‘literalisme’ dalam Al-Qur’an dan
Di sisi lain, pelemahan Diskursus keinginan mempertahankan tradisi Islam di masa
hegemonik ini terlihat dari semakin melemahnya lampau, termasuk dalam konteks sosial dan politik.
posisi Al-Azhar sebagai penjaga tafsir resmi Lihat Ismail (2006a). Front Ulama al-Azhar menjadi
negara mengenai ‘Islam’. Di akhir 1990-an dan representasi konservatisme di kalangan ulama Al-
menginjak permulaan dekade 2000-an, Al-Azhar Azhar ketika di tahun 1990-an mereka mulai tampil
yang biasanya bersikap akomodatif terhadap menolak hak-hak aborsi di Konferensi Populasi dan
kebijakan pemerintah, memberi fondasi religius Pembangunan tahun 1994. Secara lebih luas, mereka
memosisikan diri membela Islam di hadapan
pada kebijakan-kebijakannya untuk menghadapi
serangan sekularisme dan globalisasi. Lihat Zeghal
fenomena munculnya gejala ‘konservatisme’ (1999). Belakangan, posisi ini juga disuarakan oleh
yang dimotori oleh Front Ulama Al-Azhar dan ulama-ulama pendukung Mohammad Morsy sebelum
ulama-ulama yang simpati terhadap Ikhwan ia dijatuhkan melalui kudeta pada tahun 2013.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016 5


referensi ajaran Islam (daulah madaniyyah bil daulah madaniyyah bil marja’iyyah Islamiyyah
marja’iyyah Islamiyyah) (Lacroix, 2012). (Scott, 2013; Tadroz, 2012). Namun demikian,
Morsy juga menarik batas yang tegas dengan
Pada pertengahan tahun 2012,
aktivis-aktivis sosialis liberal dan membatasi
menjelang Pemilihan Presiden Mesir, terlihat
ruang gerak mereka di pemerintahan, terutama
bahwa gagasan Islamisme moderat telah
setelah dekrit Presiden yang membuat
menjadi konsensus bersama di kalangan aktivis-
kekuasaan Morsy menjadi besar dalam
aktivis Ikhwan. Secara resmi, Freedom and
memutuskan kebijakan publik (Mabrouk, 2013).
Justice Party (FJP) yang berafiliasi dengan
Ikhwan mengusung Mohammad Morsy, Ketua Arena pertarungan yang lebih keras
Umum Partai, sebagai Calon Presiden. Ia maju terjadi pada pembuatan Konstitusi. Pada bulan
sebagai calon presiden dengan mengajukan visi November 2012, Morsy dan koalisi politiknya
yang ia beri nama Nahdha (kebangkitan) dan mengajukan satu draft Konstitusi. Namun,
dijabarkan dalam program-program spesifik Konstitusi tersebut menimbulkan polemik
terkait pembangunan Mesir. Ikhwan berkesempatan karena muncul beberapa pasal yang muncul
untuk mengartikulasikan diskursus baru tentang dengan substansi Islam. 6 Di luar pasal-pasal
Islam dalam struktur politik ketika pada tahun tersebut, konsep yang digunakan tetap
2012, mereka memenangi Pemilu Legislatif dan menggunakan konsepsi negara modern. 7 Pada
Pemilihan Presiden Mesir. Partai FJP yang mulanya, draft Konstitusi ini memunculkan
berafiliasi dengan Ikhwan memenangi 235 kursi polemik di kalangan aktivis-aktivis Islamis non-
dan menjadi partai mayoritas di parlemen. Ikhwan. Salafi dan Jamaah Islamiyah
Mereka juga berhasil memenangkan Mohammad menyatakan bahwa mereka akan memperjuangkan
Morsy, kader Ikhwan yang dicalonkan oleh FJP, keberadaan Syariah sebagai sumber hukum
sebagai Presiden. Kemenangan Ikhwan ini walaupun dengan pertumpahan darah (Al-
memberinya kesempatan untuk mengartikulasikan Jazeera, 2012). Kelompok Salafi yang bergerak
sebuah diskursus baru dalam pemerintahan baru secara lebih independen menolak draft konstitusi
Mesir. ini karena dianggap tidak mengaplikasikan syariah
secara penuh.
Menariknya, program-program tersebut
tidak didesain secara langsung untuk melakukan Di sisi lain, kelompok liberal yang
Islamisasi negara, melainkan meng-install berada di bawah payung Front Penyelamat
program-program yang bersifat umum. Kecuali Nasional (National Salvation Front) menyatakan
hal-hal yang berkaitan dengan Al-Azhar, penolakannya terhadap draft Konstitusi Mesir
program-program yang dibawa oleh Morsy dan
Ikhwan bersifat lebih teknokratik dan 6
Ada beberapa pasal yang menggariskan
developmentalis.5 Program-program politik Ikhwan posisi ini, antara lain klausul “Masyarakat Mesir
tersebut mencerminkan sebuah diskursus yang adalah bagian dari bangsa Islam dan Arab” (Pasal 1),
khas: ia ingin membangun sebuah negara “Islam adalah agama resmi negara dan bahasa Arab
modern yang dalam beberapa hal, memasukkan adalah bahasa resmi negara. Prinsip Syariah adalah
nuansa Islam di dalamnya. Artikulasi yang sumber hukum utama negara” (Pasal 2), “Al-Azhar
ditampilkan oleh Morsy dan Ikhwan adalah adalah lembaga independen yang memiliki fungsi
dakwah dan pengajaran Islam, dengan keeksklusifan
dan independensi dalam hubungan-hubungannya ke
5
Sebagai contoh, di bidang ekonomi, Morsy luar” (Pasal 4), dan “prinsip-prinsip Syariah Islam
ingin membangun “developmental economy” dan meliputi fiqh (yurispundensi Islam), ushul fiqh
meng-install kolaborasi antara sektor swasta dengan (aturan dasar yurispundensi), dan sumber-sumber
pemerintah sebagai rekonstruksi ekonomi Mesir yang bisa diterima dalam doktrin sunni” (Pasal 219).
melalui berbagai proyek industrialisasi. Di bidang Terjemahan dari Draft Konstitusi yang ada, lihat
sosial, Morsy berencana mengembalikan kepemilikan http://www.acus.org/egyptsource/unofficial-english-
wakaf pada yayasan-yayasan (setelah sebelumnya translation-egypts-draft-constitution.
7
dikuasai negara), termasuk juga memulihkan posisi Diskursus negara modern dapat dilihat
Al-Azhar. Di wilayah keagamaan, Morsy Dalam seperti bentuk negara yang tetap berlandas pada
agenda politik luar negeri, Morsy mendorong konsep “negara demokratis berbasis prinsip
hubungan kerjasama Arab-Islam untuk memenuhi kesamaan hak dan derajat” (Pasal 1), “kedaulatan di
kepentingan nasional Mesir. Program-program tangan rakyat” (Pasal 5), “sistem politik adalah
politik Mohammad Morsy tersebut dapat dilihat di demokratis dengan berbasis pada syura” (Pasal 6),
situs resmi Ikhwan, http://www.ikhwanweb.com/ “kebebasan berkepercayaan yang absolut” (Pasal 43),
article.php?id=29932. dan berbagai pasal lain.

6 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016


2012. Bagi kaum liberal, pembuatan Konstitusi mereka dari proses politik, namun pada
sangat terkait dengan pertarungan identitas, gilirannya justru melahirkan pertarungan baru di
karena akan mempertaruhkan kebebasan mereka luar parlemen. Setelah Konstitusi disahkan pada
dalam ranah-ranah sosial dan politik Mesir. awal tahun 2013, sentimen demonstran beralih
Kaum liberal juga menganggap draft Konstitusi dari anti-Konstitusi menjadi anti-Islamis.
ini akan membentuk fondasi yang solid bagi Setelah melakukan berbagai demonstrasi,
reproduksi rezim baru, serta bersifat kontra- oposisi mengonsolidasi diri dalam payung Front
revolusioner, yang akan menetralisir dimensi Penyelamat Nasional, mengonsolidasikan
revolusioner dari 25 Januari 2011.8 kekuatan di dalam dan luar parlemen, dan
melahirkan gerakan Tamarrud (pemberontakan).
Seiring dengan konstelasi di parlemen,
Gerakan ini mengajukan tuntutan yang
Ikhwan bisa menegosiasikan jalan tengah
sederhana namun tegas: pengunduran diri
dengan menempatkan Syariah sebagai rujukan
Muhammad Morsy sebagai Presiden Mesir,
utama pembuatan hukum di Mesir pada artikel 2
serta menuntut institusi-institusi pemerintahan
Konstitusi (Scott, 2013). Artikel 2 tersebut
dikembalikan mandatnya kepada rakyat (Singh,
kemudian disepakati oleh faksi-faksi Islamis di
2013). Diskursus Tamarrud dan Front
parlemen dan keluar sebagai draft pada bulan
Penyelamat Nasional secara tegas menginginkan
Agustus 2012. Al-Azhar yang menjadi lembaga
subversi atas narasi Islam sebagai dasar hokum
penafsir ajaran Islam terbesar di Mesir kemudian
yang sedang dibangun oleh kaum Islamis.
turut mendukung draft tersebut pada bulan
Agustus 2012 melalui sebuah pernyataan.9 Dari Di sisi lain, respons pemerintah Morsy
sini, diskursus tentang negara sipil yang tak kalah kerasnya. Dalam menanggapi
menggunakan referensi Islam sebagaimana demonstrasi dari oposisi, terjadi beberapa kali
diartikulasikan oleh Ikhwan bisa diterima oleh bentrokan antara aparat keamanan dengan para
kelompok-kelompok Islamis yang lain dan demonstran. Kegagalan kaum Islamis dalam
diperjuangkan dalam tatanan politik di Mesir. mendisiplinkan upaya-upaya subversi ini
melahirkan krisis baru, yang benar-benar terjadi
Akan tetapi, rupanya kemenangan kaum
melalui kudeta militer tahun 2013. Eksperimen
Islamis dalam referendum Konstitusi tidak serta-
Ikhwan untuk membangun Islam sebagai
merta melahirkan “stabilitas hegemonik”.
penanda utama dalam tatanan politik Mesir ini
Pertarungan dalam pembuatan Konstitusi kemudian
akhirnya berakhir setelah kudeta 2013
membelah Mesir menjadi dua kekuatan politik
menjatuhkan Morsy dari kursi kepresidenan
besar: Islamis dan Front Penyelamat Nasional.
Mesir.
Hegemoni Islamis di parlemen berhasil
mengeksklusi aktivis liberal dan penentang
Islamisme dalam Politik Indonesia (1945-2014)
8
“In the public letter, Manal El-Tibbi said  Diskursus Islamisme Awal: Dari Anti-
that “we are approaching the drafting of a Kolonialisme ke Formalisasi Syariah
constitution that is worse than all previous Egypt
constitution” adding that this constitution “would Berbeda dengan Mesir, “Islamisme” di
form the solid foundation not just for reproducing the Indonesia pada dasarnya muncul bukan sebagai
former regime, but to create the state for the counter- upaya membangun negara Islam, melainkan
revolution, whose direct job would be to neutralize sebagai alat melawan penjajahan Belanda. Hal
the political, popular and glorious revolution of 25 ini bisa dibaca dari tiga latar belakang historis
January, 2011.” http://www.aawsat.net/2012/10/ Islam di Indonesia: (1) tidak adanya kekuasaan
article55240354. Kerajaan Islam yang tunggal sejak abad ke-15,
9
Dari 11 poin pernyataan yang yang membuat Belanda mampu membangun
disampaikan, terlihat beberapa poin seperti, “Al-
kekuatan teritorial-administratif’ yang hegemonik
Azhar supports establishing a modern and
democratic state according to a constitution…. in
pada abad ke-19; (2) kemunculan gerakan
accordance with the true Islamic aspects”. Selain itu, modernisasi keagamaan yang dimungkinkan
Al-Azhar juga menyatakan bahwa, “Al-Azhar oleh pertukaran-pertukaran pengetahuan dengan
embraces on democracy… to achieve the Islamic gerakan serupa di Timur Tengah; serta (3)
precepts of "Shura" (Al-Azhar, 2011).Dokumen pluralnya wacana-wacana keagamaan Islam di
tersebut dinamai “Statement on The Future of Egypt” Indonesia yang pada abad ke-20 bisa dilihat dari
dan berisi 11 pernyataan sikap ulama Azhar tentang kontestasi wacana antara tradisionalisme dan
Mesir. Lihat http://www.sis.gov.eg/En/Templates/ modernisme Islam.
Articles/tmpArticles.aspx?ArtID=56424.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016 7


Diskursus Islamisme di Indonesia, bisa kolonialisme. Selain itu, di Surakarta dan
dilacak pada kebangkitan Kaum Paderi di abad Yogyakarta, muncul gerakan ‘Komunisme
ke-19. Bermula sebagai gerakan ‘pembaharuan Putihan’ yang justru diinisiasi oleh para ulama
keagamaan’ yang dirintis oleh murid-murid dan pemuka agama Islam sebagai bentuk
Tuanku Ulakan di Sumatera Barat, gerakan ini perlawanan terhadap kapitalisme kolonial (lihat
kemudian menjelma menjadi gerakan politik Bakri, 2015). Namun demikian, di tahun 1920-
yang berlandaskan pada jihad fi sabilillah untuk an, sikap ini mulai ditinggalkan seiring dengan
melawan kolonialisme Belanda (lihat Keddie, menguatnya pertarungan antara kelompok Islam
1987; Hadler, 2008). Walaupun kemudian dan Komunis di Sarekat Islam, yang
gerakan ini berhasil dipadamkan Belanda setelah menciptakan friksi sendiri di antara dua
Benteng Bonjol jatuh, gagasan tentang kekuatan ini hingga bertahun-tahun kemudian
pemurnian keagamaan yang dibawa oleh kaum (lihat Alfian, 1989; Madinier, 2014).
Paderi memberi jalan bagi munculnya gagasan
Di sisi lain, nasionalisme menunjukkan
baru tentang negara Islam dan aktivisme
respons yang kritis terhadap gagasan Islamisme.
keagamaan yang lahir setelah proses
Surat-menyurat antara Soekarno yang nasionalis
modernisasi kolonial pada abad ke-19 (Laffan,
dengan Mohammad Natsier yang sempat menjadi
2003).
polemik pada dekade 1940-an, merefleksikan
Dari pemurnian keagamaan Paderi, dinamika gagasan ini. Soekarno misalnya,
gagasan Islamisme tersebut terutama berevolusi menolak gagasan kembalinya Khilafah karena
menjadi dua bentuk diskursus utama: (1) dianggap tidak sesuai dengan perkembangan
penerapan syariah dalam kehidupan sehari-hari; zaman (Soekarno, 1941). Dengan demikian,
dan (2) penolakan terhadap segala sesuatu yang Soekarno menolak konsepsi negara Islam di
berbau ‘Barat’ (lihat Laffan, 2003). Diskursus Indonesia. Natsier kemudian merespons dengan
pertama banyak diadopsi oleh proponent menyatakan bahwa agama tak dapat dipisahkan
gagasan ‘Pan-Islamisme’ yang terhubung dari negara. Integralitas antara negara dan
dengan gerakan pimpinan Muhammad Rasyid agama, menurut argumen Natsier, secara historis
Ridha di Timur Tengah, seperti Jamil Jambek, telah terbangun di Indonesia dengan berbagai
Ahmad Hassan (yang kemudian mendirikan perangkat hukumnya yang berbasis pada syariah
Persis) serta Ahmad Soorkaty as-Sudani (yang (Suhelmi, 2012; lihat juga review dari Utama,
kemudian mendirikan Al-Irsyad). Diskursus ini 2013).
kemudian secara politik diartikulasikan dalam
Namun demikian, pertentangan gagasan
Partai Sarekat Islam Indonesia di bawah
antara Islamisme, Nasionalisme, dan Komunisme
pimpinan Agus Salim hingga kemudian
ini baru terasa secara politik setelah
memunculkan gagasan ‘Pan-Islamisme’ di
kemerdekaan. Gagasan Islamisme kemudian
bawah pengaruh intelektual Kartosuwiryo
bertransformasi menjadi diskursus negara Islam
(Formichi, 2010). Di sisi lain, gagasan tentang
di era Kemerdekaan. Hal ini bisa dilacak dari
Islamisme ini juga mendapatkan momentum kuat
persiapan kemerdekaan 1945, ketika tokoh-
oleh kolonialisme Belanda yang memarjinalkan
tokoh Islam yang terlibat dalam badan persiapan
gerakan Islam, sehingga memberi kesempatan
kemerdekaan menawarkan tujuh kata (dan
bersemainya artikulasi wacana Islamisme
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
sebagai alternatif atas kolonialisme Belanda.
pemeluknya) dalam Piagam Jakarta.10 Kata-kata
Islamisme di masa kolonial mendapatkan tersebut ditawarkan untuk masuk ke dalam poin
respons beragam, terutama dari dua kekuatan pertama dari lima poin draft dasar negara RI
politik utama pada masa itu: komunisme dan (Pancasila) namun menuai penolakan dari
nasionalisme. Meskipun pada dasarnya komunisme
berangkat dari asumsi yang tidak mengakomodasi
10
agama, persinggungan antara Islamisme dan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) adalah
Komunisme pada dekade 1920-an memperlihatkan dokumen yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan,
bahwa diskursus ini menerima kehadiran yang beranggotakan sembilan tokoh anggota Badan
Islamisme sejauh ia menjadi kekuatan oposisi Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) pada tanggal 22 Juni 1945. Salah satu
yang efektif terhadap kolonialisme. Pidato Tan
isinya adalah merumuskan “dasar” negara Indonesia
Malaka (1921) menunjukkan bahwa komunisme yang salah satunya berisi usulan “Ketoehanan,
pada dasarnya bisa menerima Pan-Islamisme dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi
karena sikap mereka yang kritis terhadap pemeloek2-nja”. Lihat Anshari (1987).

8 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016


tokoh-tokoh Indonesia Timur (Salim, 2008; Islamisme di Tim Sembilan: menjadikan Islam
Butt, 2010). Dalam proses perdebatan yang sebagai dasar negara (Maarif, 1985; Salim,
cukup panjang, akhirnya Panitia Persiapan 2008).
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyepakati
Akan tetapi, tentu saja untuk
untuk menghilangkan tujuh kata yang
menempatkan Islamisme dalam tatanan politik
ditawarkan oleh kelompok Islam dan
yang ada, Masyumi harus bertarung dengan
menggantinya dengan frase “Ketuhanan yang
kekuatan-kekuatan lain. Di era demokrasi
Maha Esa”.
liberal, pertarungan tersebut terjadi dengan PKI,
Dinamika politik di sekitar perumusan dan dalam beberapa sisi, kelompok nasionalis di
dasar negara RI tersebut menjadi sebuah latar PNI (Boland, 1971; Feith, 1962). Di era Natsir
belakang awal pertarungan hegemonik antara dan Sukiman, PKI menjadi oposisi utama atas
kelompok “Islamis” yang berorientasi untuk kebijakan-kebijakan pemerintah. PKI mengkritik
memformalisasi Islam sebagai dasar negara RI, keras Razia Agustus dan mengecam kebijakan
melawan diskursus-diskursus lain seperti luar negeri Sukiman yang pro-AS, yang
nasionalisme dan komunisme yang memiliki menyebabkan kabinet Sukiman jatuh. Begitu
kepentingan untuk mendefinisikan Indonesia. 11 juga ketika Ali Sostroamidjojo yang didukung
Era pasca-revolusi kemerdekaan ini (1950-1959) oleh PKI menjadi Perdana Menteri, Masyumi
diwarnai oleh pertarungan yang sengit antara menjadi oposisi utama dari kabinet tersebut
beberapa ideologi penting dalam menentukan (Feith, 1962).
dasar negara Indonesia. Dalam setting
Namun, pertarungan yang lebih sengit,
demokrasi liberal, partai-partai politik saling
sebagaimana Mesir, berlangsung di Konstituante.
mengartikulasikan ideologinya dalam parlemen
Di Majelis yang dibentuk untuk membuat dasar
dan Majelis Konstituante. Di era tersebut,
negara RI ini, Masyumi memiliki posisi yang
kelompok Islamis terbesar adalah Majelis Syura
sangat jelas, yaitu memasukkan Islam sebagai
Muslimin Indonesia (Masyumi) yang terbentuk
dasar negara sesuai dengan semangat Piagam
sejak 1945 dan awalnya didesain sebagai partai
Jakarta. Masyumi menyatakan posisinya dengan
politik bersama umat Islam.12 Tuntutan Masyumi
tegas dalam perdebatan di Konstituante ini.
dalam Majelis Konstituante pada dasarnya
Masyumi berpendapat, Islam harus menjadi
hampir sama dengan tuntutan para proponent
dasar negara karena watak holistik Islam,
11 keunggulan Islam atas semua ideologi dunia
Salah satu contoh terbaik kontestasi
lain, dan yang paling penting, kenyataan bahwa
diskursus antara kaum Islamis yang pro-formalisasi
Islam sebagai dasar negara RI dan diskursus Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara
nasionalis sebelum kemerdekaan dapat dilihat pada Indonesia (Maarif, 1985; Samsuri, 2004; Salim,
perdebatan antara Natsier dan Soekarno di majalah 2008). Perdebatan antara Islamis yang
Panji Islam tahun 1940. Soekarno menulis bahwa, menginginkan Islam sebagai dasar negara dan
seperti Turki, Islam harus dipisahkan dari negara kaum nasionalis-komunis yang menolak tersebut
karena menurutnya tidak ada konsep negara Islam. berakhir pada jalan buntu. Pada perkembangannya,
Islam harus menjadi urusan individual. Namun, di tahun 1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit
baginya, Islam tetap penting dalam domain Presiden yang membubarkan Konstituante,
kehidupan bukan kenegaraan karena dengan cara meng-install presidensialisme, membubarkan
itulah Islam akan menjadi tetap kuat. Komentar
parlemen, serta mengembalikan UUD 1945
Soekarno disanggah oleh Natsier dan beberapa Kyai
NU yang menyatakan bahwa negara pada dasarnya
(Salim, 2008).
adalah cara untuk mewujudkan nilai-nilai Islam, Di sini, dapat kita lihat bahwa
sehingga “agama” dan “negara” adalah integral dan perjuangan hegemoni Masyumi di era 1950-
tak bisa dipisahkan. Lihat Utama (2013) dan Feillard 1959, sebagaimana Ikhwan di Mesir pada tahun
(1996).
12 2012-2013, mengalami keterbatasan. Secara
Islamisme yang diyakini oleh Masyumi
tercermin dalam tujuan yang digariskan di AD/ART- teoretik, Islam memang menjadi “master
nya, yaitu “menegakkan kedaulatan RI dan Agama signifier” bagi artikulasi politik kaum Islamis di
Islam serta melaksanakan cita-cita Islam dalam Masyumi. Akan tetapi, kapasitas hegemoni
urusan ketatanegaraan”. Sementara itu, di bagian lain, Masyumi di parlemen dapat dikatakan lemah.
tujuan tersebut dijabarkan sebagai “menginsafkan dan Hal ini terlihat dari kegagalan Masyumi dalam
memperluaskan pengetahuan dan kecakapan umat memenangkan dukungan kaum nasionalis dan
Islam Indonesia dalam perjuangan politik (Pasal III). partai-partai kecil untuk memenangkan Islam
Lihat Samsuri (2004: 17).

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016 9


sebagai dasar negara RI. Penyebabnya, baru dengan memproliferasikan identitas
sebagaimana diulas dengan baik oleh BJ Boland persatuan dalam struktur politik yang ia bangun-
dan Andree Feillard, adalah beragamnya , Sukarno juga harus menghadapi tantangan dari
pandangan kaum Islamis dalam isu ini. kaum Islamis di Masyumi dan TNI. Sejak lama,
Sehingga, kapasitas hegemoni Masyumi menjadi TNI (terutama Angkatan Darat) memiliki sikap
terbatas dan memberikan ruang bagi Sukarno curiga dan tidak menyukai keberadaan Partai
untuk mengambil alih kepemimpinan di tengah Komunis Indonesia (PKI) yang mendukung
krisis politik 1957-1959. Sukarno (Crouch, 1971). Rivalitas antara PKI
dan TNI ini membelah kekuatan yang ada di
 Mendisiplinkan Islamisme: Dari sekitar Sukarno, terutama NU, sehingga
‘Nasakom’ hingga ‘Asas Tunggal’ membuat hegemoni yang dibangunnya sangat
rapuh dan bergantung pada kemampuan Sukarno
Dekrit 1959 yang disertai dengan
untuk menjaga stabilitas. Ketegangan ini
kembalinya kekuasaan Presiden Sukarno
kemudian berujung pada tragedi G30S, yang
menandai sebuah episode baru dalam politik
secara telak menghantam PKI dan memicu
Indonesia: tersingkirnya kaum Islamis dalam
demonstrasi besar-besaran yang melemahkan
pergumulan politik Indonesia. Munculnya
rezim Sukarno hingga benar-benar jatuh melalui
Nasakom sebagai proyek hegemoni Sukarno ini
Supersemar 1966 dan Sidang MPRS 1967.
memiliki beberapa implikasi terhadap politik
Islamis di masa ini. Pertama, Nasakom Jatuhnya Sukarno memberikan ruang
membelah wacana tentang Islam menjadi pro- bagi kelompok Islamis untuk kembali bangkit.
Nasakom, yang berarti menerima nasionalisme Eksponen-eksponen Masyumi seperti Hamka,
dan komunisme berdampingan dengan Islam, Natsir, Prawoto, Isa Anshary, dan Sjafruddin
dengan kelompok anti-Nasakom, yang menolak Prawiranegara dibebaskan di tengah kemelut
tatanan tersebut. Kaum tradisionalis, terutama politik 1965-1966, dan mulai mengonsolidasikan
NU, menerima gagasan Sukarno ini dan bahkan kekuatan baru. Mereka membentuk Partai
menjadi mitra strategis dari pemerintahan Muslimin Indonesia (Parmusi) dan memilih
Nasakom (Latif, 2008; Feillard, 1999). Di sisi Muhammad Roem, seorang politisi Masyumi
lain, posisi kaum nasionalis dan komunis yang moderat, sebagai ketua umum partai.
tersebut menyebabkan Masyumi, terutama faksi Mereka berpartisipasi dalam Pemilihan Umum
anti-Komunis, menolak keras diskursus tersebut. 1971. Akan tetapi, tidak seperti Masyumi di
Hal ini menyebabkan Masyumi mengalami arena politik 1950-an, Parmusi harus
disensus dengan NU, dan kemudian harus menghadapi satu kekuatan baru yang juga tak
menghadapi pendisiplinan dari rezim Sukarno di kalah hegemoninya dari Sukarno: Golongan
awal dekade 1960-an. Karya. Organisasi ini dibentuk oleh para
proponent Orde Baru sebagai alat mobilisasi
Kedua, Nasakom juga memungkinkan
melawan Komunisme dan ditransformasikan
Sukarno untuk bisa mengosongkan makna
menjadi partai politik menjelang Pemilu 1971.
Islam, yang pada awalnya diperebutkan dalam
Sebagai kekuatan electoral dan juga korporatisme
proses-proses di Konstituante, dengan meletakkannya
rezim, Golkar tidak saja mendulang sukses dalam
berdampingan dengan nasionalisme dan
memobilisasi dukungan di Pemilu 1971, tetapi
komunisme. Diskursus Nasakom memproliferasikan
juga mendisiplinkan kekuatan-kekuatan politik
makna Islam menjadi bermakna “persatuan” dan
lain melalui kedekatannya dengan Soeharto
mengharuskan semua diskursus lain tentang
(Reeve, 1985; MacIntyre, 1994).
Islam untuk menjaga persatuan tersebut (Kroef,
1962). Dengan demikian, Nasakom menjadi Setelah kalah di Pemilu 1971, Parmusi
sebuah proyek hegemoni atas Islam yang harus menghadapi kenyataan lain, yaitu tekanan
menyingkirkan pemaknaan Islam sebagai dasar dari Presiden Soeharto kepada semua partai
negara yang diajukan oleh Masyumi. Islam untuk melakukan fusi (penyatuan).
Dengan cara ini, Parmusi harus bersedia difusi
Namun, tidak seperti Nasserisme,
dengan NU, Perti, dan PSII dalam satu wadah
Nasakom sebagai proyek hegemoni baru juga
besar: PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
memiliki keterbatasan. Kendati merangkul kaum
Fusi partai-partai Islam ini tidak hanya
nasionalis, Islam tradisionalis, dan Komunis
melemahkan Parmusi karena mereka harus
sebagai basis legitimasi politiknya -yang
berhadapan, di internal PPP, dengan partai yang
memberinya ruang untuk membangun hegemoni
tidak sepenuhnya sependapat dengan gagasan

10 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016


“formalisasi Islam” seperti NU atau Perti, tetapi satu isinya adalah menjadikan Pancasila sebagai
juga membuat gagasan Islamis Parmusi asas tunggal yang harus dicantumkan oleh
terbenam karena proses pendisiplinan yang semua organisasi masyarakat di Indonesia.
dilakukan oleh Soeharto melalui Pancasila Pencantuman asas tunggal ini memiliki kekuatan
sebagai ideologi negara. disiplin yang sangat kuat pada kelompok-
kelompok Islamis. Himpunan Mahasiswa Islam
Sejak naik di kursi kekuasaan di tahun
(HMI), organisasi mahasiswa yang sejak lama
1967, Soeharto segera membangun proyek
memiliki kedekatan ideologis dengan Masyumi,
hegemoni baru untuk menggantikan Nasakom
harus rela terpecah dan Pelajar Islam Indonesia
yang telah dihancurkan oleh Orde Baru. Ia
(PII), organisasi pelajar Islam, bergerak secara
membangun sebuah rezim pembangunan
bawah tanah (Latif, 2008). Di sisi lain,
berbasis perencanaan yang diikat dalam satu
organisasi Islam besar seperti NU dan
ideologi negara yaitu Pancasila. Soeharto mula-
Muhammadiyah menerima asas ini sebelumnya
mula mengikat semua pemaknaan melalui tafsir
dan dengan demikian memperkuat hegemoni
resmi Pancasila yang ia sebut Pedoman
Orde Baru atas Islam (Ismail, 1995; Feillard,
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
1995). Beberapa gerakan yang ditindas oleh
Dokumen tersebut memuat 45 poin penjabaran
Orde Baru mulai menggunakan kekerasan untuk
Pancasila yang dikampanyekan ke sekolah,
melawan, seperti Komando Jihad atau Tanjung
Pegawai Negeri, pemuda, dan semua elemen
Priok, yang tentu saja langsung direspons
masyarakat. Dalam soal agama, yang termuat di
dengan keras oleh Orde Baru (Umar, 2010).
sila pertama, P4 mengartikulasikan diskursus
Pada titik ini, gagasan Islamisme di Indonesia
yang menempatkan agama sebagai sesuatu yang
mulai kehilangan relevansinya dan gagal
pribadi, dan harus dipraktikkan atas dasar
diartikulasikan di ranah politik Orde Baru yang
toleransi, saling menghormati, dan membina
otoritarian.
kerukunan. 13 Melalui dokumen tersebut, Orde
Baru secara tegas menutup pemaknaan Islam
yang merujuk pada formalisasi Islam atas dasar  Dua Respons terhadap Orde Baru: Santri
negara, dan secara korporatis mendudukkan Baru dan Modernisme Islam
Islam hanya pada wilayah individual. Tahun 1980-an dan 1990-an, secara
Pancasila sebagai ideologi negara ini simultan mulai muncul dua respons terhadap
pada gilirannya mendisiplinkan semua kekuatan hegemoni Soeharto, yang kemudian menjadi
politik, terutama Islamis, yang menolak wajah baru dari Islamisme di Indonesia. Dua
menjadikan Pancasila sebagai asas organisasinya. respons tersebut antara lain (1) respons
Pada bulan Maret 1983, MPR-RI menetapkan modernis, yang diartikulasikan melalui ICMI
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang salah dan (2) respons Santri Baru, yang kemudian
bertransformasi menjadi “Jamaah Tarbiyah”
13 (lihat Hefner, 2000; Machmudi, 2008). Respons
Tujuh poin tafsir sila pertama tersebut
antara lain: (1) Bangsa Indonesia menyatakan pertama berasal dari kelompok modernis yang
kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan mencoba untuk melakukan negosiasi dengan
Yang Maha Esa. (2) Manusia Indonesia percaya dan rezim Orde Baru melalui cendekiawan muslim.
takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai Proses negosiasi ini disetujui dengan munculnya
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; yang didukung oleh negara (Latif, 2008).
(3) mengembangkan sikap hormat menghormati dan Munculnya ICMI sekaligus menandai rekonsolidasi
bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kelompok Islam Modernis melalui jalur yang
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan sangat berbeda dengan Masyumi atau Parmusi,
Yang Maha Esa; (4) Membina kerukunan hidup di
yaitu Civil Society, yang kemudianmelahirkan
antara sesama umat beragama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (5) Agama dan “Islam Sipil” (civil Islam) sebagai diskursus
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah baru dalam Islam Politik di Indonesia. Diskursus
masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia ini mengambil referensi dari gerakan-gerakan
dengan Tuhan Yang Maha Esa; (6) Mengembangkan masyarakat sipil yang tumbuh di Eropa, dan
sikap saling menghormati kebebasan menjalankan mengartikulasikannya sebagai alternatif dari
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya lemahnya partai politik Islam satu-satunya (PPP)
masing-masing; (7) Tidak memaksakan suatu agama pada masa tersebut (Latif, 2008; Hefner, 2000).
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kepada orang lain.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016 11


ICMI dan kelompok Islam modernis mula-mula berkembang di Bandung melalui
mencoba mereartikulasi Islam dalam kerangka Latihan Mujahid Dakwah di Masjid Salman
etik dan menjadi alternatif atas hegemoni Orde yang kemudian menjadi inspirasi bagi
Baru. Dalam beberapa momentum, beberapa mahasiswa di kampus lain, terutama Universitas
eksponen ICMI berada dalam posisi Indonesia dan Universitas Gadjah Mada
berseberangan dengan negara, seperti Amien (Rosyad, 1995: 33). Kemunculan dua gerakan
Rais dan Nurcholish Madjid. Namun demikian, ini menandai perubahan diskursus Islamisme di
ICMI juga melakukan manuver dengan tahun 1990-an, yang kemudian berpengaruh
mengirimkan beberapa tokohnya ke pemerintahan, terhadap gerakan Islam pasca-Orde Baru.
seperti BJ Habibie yang didaulat menjadi Wakil
Presiden pada tahun 1997 (Hefner, 2000). Posisi Mengartikulasikan Islam via Politik
ini, di satu sisi menjadikan posisi ICMI Demokratis? Islamisme Pasca-Orde Baru
ambivalen, karena bersikap kritis yang pada saat
Krisis ekonomi tahun 1997-1998
bersamaan didukung oleh negara, namun, di sisi
memaksa Soeharto untuk turun dari kekuasaannya
lain juga memberikan kesempatan pada generasi
setelah 32 tahun berkuasa, sekaligus melahirkan
baru Masyumi untuk mereartikulasi Islam dalam
krisis hegemoni di Indonesia. Dengan jatuhnya
ruang politik yang disediakan oleh Orde Baru.
Orde Baru, Pancasila dan UUD 1945 tidak lagi
Ambivalensi ICMI ini melahirkan semacam
menjadi asas tunggal dan sesuatu yang sakral,
“moderasi” Islamisme di tahun 1990-an yang
kendati masih dipertahankan sebagai dasar
mencoba untuk bernegosiasi dengan negara
negara. Jatuhnya Orde Baru kemudian melahirkan
sebagai cara untuk mengartikulasikan Islam di
kontestasi hegemonik baru atas makna Islam.
ranah politik.
Dengan tidak ada lagi asas tunggal Pancasila,
Di saat yang bersamaan, formasi baru Islamisme kembali mampu menampilkan
Islamisme yang sama sekali baru juga muncul di dirinya di pentas politik nasional. Mereka
kalangan generasi muda Islam, –Yon Machmudi berkontestasi dengan kelompok nasionalis yang
menyebutnya “santri baru” – yang mengambil memenangi Pemilu 1999 melalui PDI-Perjuangan,
referensi gerakan Islam di Timur Tengah untuk serta kelompok-kelompok nasionalis religius yang
membangun basis gerakan Islamis baru. Ini mulai muncul setelah tahun 2004.
adalah bentuk respons kedua terhadap hegemoni
Eksponen-eksponen Masyumi, generasi
Soeharto. Formasi baru ini berbentuk jejaring
baru yang lahir sebagai murid dari generasi
aktivis dakwah kampus yang mengartikulasikan
Masyumi 1960-an, mulai berkonsolidasi
diskursus Islamisme global dengan mengambil
membentuk Partai Bulan Bintang (PBB).
referensi pada doktrin-doktrin Al-Ikhwan al-
Gerakan ini mencoba untuk membangkitkan
Muslimin. Kelompok ini membangun basis di
kembali semangat “kembali ke Syariah”
masjid-masjid dan menyasar anak-anak muda di
sebagaimana kampanye Masyumi di tahun
universitas yang belum mengenal politik secara
1950-an. Di pihak yang lain, aktivis-aktivis
utuh. Kelompok inilah yang kemudian
dakwah kampus yang mulai berkembang di
bertransformasi menjadi Jamaah Tarbiyah dan
kota-kota besar juga mulai mengonsolidasikan
Partai Keadilan Sejahtera, yang akhirnya
dirinya di dalam Partai Keadilan (kemudian
membesar setelah Reformasi 1998 (Damanik,
berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera/PKS)
2003; Machmudi, 2008; Muhtadi, 2012).
(Sidiq, 2003).
Munculnya gerakan ini diawali dengan
Kedua gerakan ini, meskipun
gelombang pengiriman mahasiswa Indonesia ke
mengartikulasikan diskursus yang sama, yaitu
Arab Saudi dan penerjemahan buku-buku
Islam, pada dasarnya punya perbedaan
Ikhwan di tahun 1980-an, terutama buku-buku
fundamental dalam strategi. PBB dan eksponen
Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, dan Said
formalisasi Islam mengusulkan di parlemen
Hawwa, Islamisme yang diartikulasikan oleh
untuk menjadikah syariah Islam sebagai dasar
Ikhwan mulai berkembang di dalam diskursus
dalam kehidupan bernegara. Usulan yang paling
keagamaan generasi muda Muslim di Bandung,
terkenal adalah mengembalikan 7 kata dalam
Jakarta, dan Yogyakarta (Machmudi, 2008;
piagam Jakarta sebagai dasar negara RI (Salim,
Rosyad, 1995). Mereka menggunakan mesjid
2008). Namun, usulan ini tidak diterima secara
dan pengajian untuk mentransmisikan pemikiran
luas, bukan hanya karena posisi PBB yang
Ikhwan, serta membentuk sel-sel halaqah
sangat lemah di parlemen (hanya 2% dari total
sebagai basis utama pergerakan. Gerakan ini

12 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016


kursi keseluruhan), tetapi juga karena minimnya pemerintahan SBY (periode I & II), peran PKS
dukungan dari partai Islam lain. PKB dan PAN, di dalam kabinet terbatas hanya pada tiga
dua partai politik yang didukung oleh basis menteri yang dikuasai oleh kader PKS. Di
massa Muhammadiyah dan NU, justru menolak samping itu, beberapa tahun terakhir, citra
gagasan kembalinya syariah Islam ini. Tuntutan mereka sebagai partai yang mengedepankan
mereka pada dasarnya lebih pragmatis dan moralitas publik juga meredup akibat tuduhan
berbasis etik (Baswedan, 2004). Tuntutan korupsi. Oleh sebab itu, perjuangan gerakan
mereka tidak direspons, baik pada pemerintahan Islam di jalur politik formal parlementer tidak
Gus Dur (yang didukung koalisi partai Islam di banyak menemui hasil yang signifikan.
Poros Tengah), Megawati, hingga Yudhoyono.
Kedua, di wilayah masyarakat, PKS
PBB gagal mengartikulasikan Islamisme di
juga harus berhadapan dengan organisasi-
ranah politik Indonesia pasca-reformasi.
organisasi massa Islam yang sudah terlebih dulu
Di sisi lain, Jamaah Tarbiyah mencoba besar, seperti Persis, Muhammadiyah, dan NU.14
mengartikulasikan Islamisme tidak melalui Persoalan paling mendasar yang dihadapi oleh
formalisasi syariah, melainkan melalui isu-isu PKS adalah bahwa desain counter-
antikorupsi, moralitas publik, hingga dukungan governmentality yang mereka artikulasikan di
terhadap negara-negara muslim yang sedang ranah public pada dasarnya sudah diinisiasi oleh
tertindas seperti Palestina, Iraq, atau Mesir. gerakan Islam lain sehingga gagal menarik
Artinya, ada karakter yang ditampilkan PKS simpati masyarakat yang lebih luas. Penyebabnya,
dalam artikulasi-artikulasi politiknya (Tomsa, sebagaimana dijelaskan oleh Vedi R Hadiz, PKS
2011; Muhtadi, 2012). Strategi yang dipakai tidak memiliki basis massa yang kuat dan
Tarbiyah, meminjam istilah Salwa Ismail mengakar di Indonesia, selain juga secara
(2006b), adalah dengan membangun counter- finansial mereka juga tidak punya basis modal
governmentality terhadap pemerintahan yang yang kuat (Hadiz, 2012). Sehingga, dengan dua
korup, elitis, dan neoliberal melalui okupasi hal tersebut, artikulasi Tarbiyah baik di ranah
pada ruang-ruang publik. Melalui strategi ini, politik maupun sosial mengalami sedikit
Tarbiyah mengartikulasikan Islam di dua arena, hambatan. Konsekuensinya, di setiap arena
yaitu arena negara melalui PKS dan masyarakat pertarungan yang ada, chain of equivalences
melalui sayap-sayap dakwahnya, seperti yang dibangun PKS tidak hanya lemah, tetapi
mahasiswa (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim juga mudah dihancurkan oleh lawan-lawan
Indonesia (KAMMI) dan Lembaga Dakwah politiknya. Dengan demikian, sebagai kekuatan
Kampus (LDK)), pelajar (Iqro’ Club, Rohis), counter-hegemony, kapasitas hegemoni Tarbiyah
filantrofis (Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)), terbukti lemah, sehingga membuat mereka gagal
ikatan professional (Masyarakat Ilmuwan dan mendapatkan dukungan dari kelompok Islam
Teknolog Indonesia (MITI)), hingga solidaritas yang lain serta menyulitkan artikulasi mereka
internasional (Komite Nasional untuk Rakyat ketika harus bertarung di ranah politik
Palestina (KNRP)) (Muhtadi, 2012). Melalui parlementer. Hingga saat ini, PKS terbukti
strategi dua arah ini, Tarbiyah mencoba untuk belum mampu merebut kekuasaan atau
tidak hanya menantang rezim “non-Islamis” membangun basis sosial yang kuat untuk mampu
secara formal di parlemen, namun juga mengartikulasikan diskursusnya tentang Islam di
membangun basis sosial di akar rumput ranah politik nasional atau lokal.
sehingga hegemoni rezim Yudhoyono bisa
diimbangi di ranah lokal. Kesimpulan: Batas-Batas Politik Gerakan
Islam
Akan tetapi, pada dasarnya, strategi ini
juga memiliki keterbatasan. Ada dua hal yang Kajian ini telah mengulas, secara
bisa diinventarisasi dari strategi Tarbiyah ini. komparatif, perjuangan hegemonik gerakan
Pertama, hingga saat ini, kapasitas elektoral Islam di Mesir dan Indonesia. Dari ulasan
PKS di ranah politik formal terbatas sebagai
“partai menengah” (Waluyo, 2014). Dengan
bermodal 6%-8%, PKS hanya bisa menempati 14
PKS mengalami konflik dengan Muhammadiyah
posisi tertinggi di posisi keempat pada Pemilu
terkait dengan penguasaan mesjid, asset amal usaha,
2009. Kapasitas elektoral ini membuat PKS dan perebutan kader. Hal yang mirip juga terjadi
tidak punya banyak peran dalam menentukan dengan massa NU di Jawa Timur. Untuk kasus
jalannya pemerintahan. Kendati PKS masuk ke Muhammadiyah lihat Nashir (2007).

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016 13


tersebut, ada enam temuan yang bisa tertentu dan mempertahankannya di arena
dipaparkan, antara lain: pertarungan politik.
(1) Baik gerakan Islam di Mesir dan Indonesia, Kajian ini menunjukkan bahwa dalam
keduanya mencoba untuk mengartikulasikan kasus Mesir dan Indonesia, gerakan Islam
Islam sebagai pusat dari tatanan politik di mampu menjadi kekuatan alternatif dalam
masing-masing negara. membangun counter-hegemony terhadap diskursus
hegemonik yang ada dalam tatanan politik di
(2) Meskipun memiliki proyek politik yang
negara masing-masing namun terbatas ketika
besar, gerakan Islam di Mesir dan Indonesia
Islamisme harus bertarung dengan diskursus
harus berhadapan dengan diskursus hegemonik
politik yang lain setelah diskursus hegemonic
yang ditanamkan di masing-masing negara
tersebut mengalami krisis.
melalui rezim otoritarian. Diskursus
hegemonik yang beroperasi di Mesir dan Pengalaman Mesir menunjukkan bahwa
Indonesia meminggirkan kelompok Islamis kegagalan untuk membangun stabilitas hegemonik
sehingga menggagalkan upaya untuk ini, pada titik tertentu, sangat rentan
mengartikulasikan Islam di tatanan politik. mengembalikan otoritarianisme ketika proses
demokratisasi tidak berjalan matang. Gerakan-
(3) Ada dua strategi yang digunakan baik oleh
gerakan Islam di Indonesia yang sedang
gerakan Islam di Mesir maupun Indonesia,
berpartisipasi dalam politik demokratis bisa jadi
untuk memperjuangkan Islam sebagai
perlu belajar dari pengalaman tersebut.
tatanan politik di kedua negara. Strategi
pertama adalah strategi parlementer, yaitu
Daftar Pustaka
dengan berpartispasi dalam mekanisme
demokratis yang tersedia. Strategi kedua Alfian. (1989). Muhammadiyah: The Political
adalah strategi counter-hegemony yaitu Behavior of a Muslim Modernist
dengan membangun wacana tandingan atas Organisation Under Dutch Colonialism.
diskursus hegemonik yang diartikulasikan Yogyakarta: Gadjah Mada University
oleh negara dengan berbasis pada Press.
masyarakat.
Al-Jazeera. (2012). “Political Clash over Egypt’s
(4) Kedua strategi tersebut memiliki tingkat New Constitution” Features, 20 October
capaian dan keterbatasan masing-masing. 2012. Diunduh online dari http://www.
Strategi parlementer hanya berhasil jika ia aljazeera.com/indepth/features/2012/10/
digunakan untuk menarik dukungan sesama 20121019620186523.html.
Islamis dan dalam konteks politik dimana
Amin, Jum’ah. (1997). Fiqh Dakwah. Solo: Era
Islamis kuat secara politik di parlemen.
Intermedia.
Namun, strategi ini akan sangat terbatas jika
kelompok Islamis tidak memiliki kekuatan Anshari, Endang S. (1987). Piagam Jakarta 22
politik kuat di parlemen yang mengharuskannya Juni 1945 dan Sejarah Konsensus
mendapatkan persetujuan kelompok lain. Nasional antara Nasionalis Islam dan
Nasionalis Sekuler tentang Dasar
(5) Strategi counter-hegemony efektif digunakan
Negara RI 1945-1959. Jakarta: Rajawali
oleh gerakan Islam untuk membangun
Press.
oposisi terhadap rezim yang ada, sehingga
diskursus hegemoniknya bisa disubversi. al-Awadi, Hisham. (2004). In Pursuit of
Meski demikian, strategi counter-hegemony Legitimacy: The Muslim Brothers and
juga terbatas dalam membangun stabilitas Mubarak, 1981-2000. London and New
politik. York: IB Tauris
(6) Kegagalan gerakan Islam dalam membangun al-Banna, Hasan. (2005). Risalah Pergerakan
hegemoni baru di Mesir dan Indonesia, Ikhwan (penerjemah Anis Matta, Rofi’
berkaca dari pengalaman yang ada, sangat Munawar, dan Wahid Ahmadi). Solo:
terkait dengan kapasitas hegemoni, yang Era Intermedia.
tidak dimiliki baik gerakan Islam di Bakri, Syamsul. (2015). Gerakan Komunisme
Indonesia dan Mesir, yaitu kemampuan Islam di Surakarta 1914-1942. Yogyakarta:
untuk memenangkan persetujuan dari LKiS.
kelompok lain atas suatu makna Islam

14 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016


Baswedan, Anies. (2004). Political Islam in Kartosuwiryo and Negara Islam Indonesia.
Indonesia: Present and Future Trajectory. Indonesia, (90), 125-146.
Asian Survey 44 (5), 660-690.
Hadiz, Vedi. R. (2012). Political Islam in Post-
Bayat, Asif. (2005). Making Islam Democratic: Authoritarian Indonesia. CRISE Working
Social Movements and The Post-Islamist Paper No. 74. Oxford: CRISE.
Turn. Stanford: Stanford University
Hadler, Jeff. (2008). A Historiography of
Press.
Violence and the Secular State in
___________. (2010). Life as Politics: How Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and
Ordinary People Change the Middle the Uses of History. Journal of Asian
East. Amsterdam: ISIM. Studies, 67 (3), 971-1010.
Binder, Leonard. (2003). Gamal Abd al-Nasser: Hayashi, Takeshi. (1964). On Arab Socialism.
Iconology, Ideology, and Demonology in The Developing Economies, Vol. 2 (1),
Elie Podeh and Onn Winckler (eds). 78-90.
Rethinking Nasserisme: Revolution and
Hatina, Meir. (2005). History, Politics, and
Historical Memory in Modern Egypt.
Collective Memory: The Nasserist
Florida: The University Press of Florida.
Legacy in Mubarak’s Egypt, in Elie
Boland, BJ. (1971). The Struggle of Islam in Podeh and Onn Winckler (eds).
Modern Indonesia. Leiden: KITLV Rethinking Nasserism: Revolution and
Historical Memory in Modern Egypt.
Brown, Nathan. (2011). Post-Revolutionary Al-
Florida: The University Press of Florida.
Azhar. The Carnegie Papers, Middle
East, September. Washington, DC: Hefner, Robert. (2000). Civil Islam: Muslims
Carnegie Endowment for International and Democratization in Indonesia.
Peace. Princeton: Princeton University Press.
Butt, Simon. (2010). Islam, the State and the Ismail, Salwa. (2006a). Rethinking Islamist
Constitutional Court in Indonesia Politics: Culture, The State, and
Pacific Rim Law & Policy Journal 19 Islamism. London: IB Tauris.
(2): 279-301.
___________. (2006b). Political Life in Cairo's
Crouch, Harold. (1971).The Army and Politics New Quarters: Encountering the
in Indonesia. Ithaca, CA: Cornell Everyday State. Minnesota: University
University Press. of Minnesota Press.
Damanik, Ali Said.(2003). Fenomena Partai Ismail, Faisal. (1995). Islam, Politics, and
Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Ideology in Indonesia: A Study of the
Tarbiyah di Indonesia. Jakarta: Teraju. Process of Muslim Acceptance of the
Pancasila, PhD Dissertation, Montreal:
Fahmy, Ninette S. (1998). The Performance of
McGill University
the Muslim Brotherhood in the Egyptian
Syndicates: An Alternative Formula for Kandil, Hazem. (2007). Islamizing Egypt?
Reform?. The Middle East Journal 52 Testing the Limits of Gramscian
(4): 551-562. Counterhegemonic Strategies. Theory
and Society 40 (1), 37-62.
Feillard, Andree. (1996). NU vis-a-vis Negara:
Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Keddie, Nikkie R. (1987). Islam and Society in
Yogyakarta: LKiS dan The Asia Minangkabau and in the Middle East:
Foundation. Comparative Reflections. Sojourn: Journal
of Social Issues in Southeast Asia, 2 (1),
Feith, Herbert. (1962). The Decline of
1-30.
Constitutional Democracy in Indonesia.
Ithaca: Cornell University Press. Van der Kroef, Justus. (1962). An Indonesian
Reprinted by Equinox in 2006. Ideological Lexicon. Asian Survey, 2
(5), 24-30
Formichi, Chiara. (2010). Pan-Islam and
Religious Nationalism: The Case of

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016 15


Laffan, Michael F. (2003). Islamic Nationhood Nashir, Haedar. (2007). Manifesto Gerakan
and Colonial Indonesia: the Umma Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah?.
below the Winds. London: Routledge. Malang: UMM Press.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. (1985). Al-Owaidat, Nadia, et. al. (2008). The Kefaya
Hegemony and Socialist Strategy: Movement: A Case Study of Grassroot
Towards a Radical and Democratic Reform Initiative. Santa Monica,
Politics. London: Verso. Arlington, dan Pittsburgh: RAND.
Lacroix, Stephen. (2012). Sheikhs and Podeh, Elie and Onn Winckler. (2005).
Politicians: Inside The New Egyptian Introduction: Nasserism as a Form of
Salafism. Policy Briefing. Doha: Brookings Populism, in Elie Podeh and Onn
Center. Winckler (eds). Rethinking Nasserism:
Revolution and Historical Memory in
Latif, Yudi. (2008). Inteligensia Muslim dan
Modern Egypt. Florida: The University
Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Press of Florida.
Indonesia Abad Ke-20. Bandung:
Mizan. Qutb, Sayyid. (1967). Ma’alim fi ath-Thariq:
Petunjuk Jalan yang Menggetarkan
Maarif, Syafi’i. (1985). Islam dan Masalah
Iman. Translated by Muhammad Harun
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
Muhtarom dan Yusuf Maulana. Yogyakarta:
dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Pro-U Media.
Mabrouk, Mirette. (2013). The Views from A
Reeve, David. (1985). Golkar of Indonesia: An
Distance: Egypt’s Contentious New
Alternative to the Party System.
Constitution. Middle East Memo,
Singapore: Oxford University Press.
Washington, D.C: Saban Center for
Middle East Policy at the Brookings Rosyad, Rifky. (1995). A Quest for True Islam:
Institute. A Study of the Islamic Resurgence
Movement among the Youth in Bandung.
MacIntyre, Andrew. (1994). Organising Interests:
Canberra: ANU E-Press.
Corporatism in Indonesian Politics.
Working Paper No. 43, Perth: Asia Salim, Arskal. (2008). Challenging the Secular
Research Centre Murdoch University. State: The Islamization of Law in
Modern Indonesia. University of
Machmudi, Yon. (2008). Islamising Indonesia:
Hawai‘i Press
The Rise of Jemaah Tarbiyah and
Prosperous Justice Party (PKS). Samsuri. (2004). Politik Islam Anti-Komunis:
Canberra: ANU E-Press. Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena
Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Safiria
Madinier, Remy. (2014). Partai Masyumi:
Insania Press-Universitas Islam Indonesia.
Antara Godaan Demokrasi dan Islam
Integral. Bandung: Mizan. Sayyid, Bobby. (1997). A Fundamental Fear:
Eurocentrism and Emergence of Islamism.
Marchart, Oliver. (2007). Post-foundational
London: Zed Books.
Political Thought: Political Difference
in Nancy, Lefort, Badiou and Laclau. Scott, Rachel. (2003). An ‘Official’ Islamic
Edinburgh: Edinburgh University Press. Response to the Egyptian Al-Jihād
Movement. Journal of Political Ideologies
Masyhur, Mustafa. (1986). Fiqh Dakwah.
8 (1): 39-61.
Translated by Abu Ridho, et. al. Kairo:
Darut Tauzi’. _______ (2013). Managing Religion and
Renegotiating the Secular: The Muslim
Muhtadi, Burhanuddin. (2012). Dilema PKS:
Brotherhood and Defining the Religious
Suara dan Syariah. Jakarta: Gramedia.
Sphere, Politics & Religion, 7 (1), 51-78
Munson, Ziyad. (2005). Islamic Mobilization:
Sidiq, Mahfudz. (2003). KAMMI dan Pergulatan
Social Movement Theory and the
Reformasi. Solo: Era Intemedia.
Egyptian Muslim Brotherhood. The
Sociological Quarterly. Vol. 42 (4), 487- Singh, Roop. (2013 June 29). “Egyptian
510. Tamarod Movement Challenges the

16 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016


Muslim Brotherhood”. Indian Review of Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. (2010).
Global Affairs Online. http://www. Melacak Akar Radikalisme Islam di
irgamag.com/analysis/dance-of- Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
democracy/item/3475-egypts-tamarod- Politik, 14(2), 169-186.
movement-challenges-the-muslim-
Waluyo, Sapto. (2015). “PKS dan Jebakan Partai
brotherhood.
Menengah” Detik, 22 April 2014.
Soage, Ana Belen, & Franganillo, Juan F. (2004). Diunduh online dari http://news.detik.
The Muslim Brothers in Egypt, In Rubin, com/kolom/2561660/pks-dan-jebakan-
Barry (ed). The Muslim Brotherhood: partai-menengah/1.
The Organization and Policies of a
Wickham, Carrie Rosefsky. (2002). Mobilizing
Global Islamist Movement. Basingstoke:
Islam: Religion, Activism, and Political
Palgrave.
Change in Egypt. New York: Columbia
Soekarno. (1941). Masyarakat Onta dan University Press.
Masyarakat Kapal Udara. Pandji Islam,
_______________________. (2011). The Muslim
April 22.
Brotherhood After Mubarak: What the
Suhelmi, Ahmad. (2012). Polemik Negara Islam: Brotherhood Is and How it Will Shape
Soekarno vs Natsir. Depok: UI Press. the Future. Foreign Affairs, February 3.
Tadroz, Maris. (2012). The Muslim Brotherhood Zahid, Muhammad. (2010). The Muslim
in Contemporary Egypt: Democracy Brotherhood and Egypt’s Succession
Confined or Redefined?. New York and Crisis. London: IB Tauris.
London: Routledge.
Zeghal, Malika. (1999). Religion and Politics in
Tomsa, Dirk. (2011). Moderating Islamisme in Egypt: The Ulema of Al-Azhar, Radical
Indonesia: Tracing Patterns of Party Islam, and The State (1952-1994).
Change in the Prosperous Justice Party. International Journal of Middle East,
Political Research Quarterly 65 (3): 31, 371-399
486–498.
Zollner, Barbara. (2009). The Muslim Brotherhood:
Utama, Wildan Sena. (2013). Negara (dan) Hasan Al-Hudhaiby and Ideology.
Islam: Sekitar Polemik Soekarno dan London: Routledge.
Natsir. Prisma 32, 2&3.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016 17


18 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 1 Tahun 2016

Anda mungkin juga menyukai