disorder jelas berkaitan dengan masalah kejiwaan, tentang adanya gangguan atau kekacauan dalam aspek kejiwaan yang dialami seseorang. Sebetulnya tidak mudah untuk mengetahui adanya keadaan jiwa seperti itu. Namun karena perilaku manusia umumnya merupakan ekspresi dari yang terjadi dalam jiwanya, maka adanya psychological disorder ini ditentukan berdasarkan perilaku menyimpang (abnormal behavior) yang kelihatan, bisa diamati, dirasakan, dan dialami. Dengan mudah kita bisa menyaksikan perilaku yang jelas-jelas berbeda dengan perilaku yang umumnya dianggap sebagai perilaku biasa, yang umum dilakukan oleh banyak orang, yang dianggap sebagai perilaku normal. Perilaku berbeda tersebut dianggap sebagai perilaku menyimpang, dengan tingkat penyimpangan yang berbeda-beda. Selain yang bisa disaksikan dengan kasat mata, sebenarnya ada banyak gangguan kejiwaan yang tidak mudah kelihatan dengan jelas, sehingga tidak mudah menyimpulkannya juga, dan dengan demikian tidak banyak mendapat perhatian. Sepertinya orang mudah saja dalam menentukan suatu perilaku sebagai tidak normal, khususnya jika perilaku itu sungguh sangat kentara keanehannya dibandingkan dengan perilaku biasa pada umumya. Penilaian itu semakin diperkuat lagi apabila suatu tindakan yang kelihatan aneh itu, tidak dimengerti maksud dia bertindak demikian. Akan tetapi, di lain pihak, gejala- gejala perilaku yang tidak kasat mata keanehannya tidak mudah untuk dinilai normal atau tidak normal. Maka pertanyaan penting adalah bagaimana menentukan suatu perilaku itu normal atau tidak normal. Dan pertanyaan lain yang juga penting adalah siapa yang berhak melakukan penilaian itu dan menetapkan hasil-hasilnya. Pertanyaan- pertanyaan penting seperti itu tidak mudah untuk dijawab. Namun, tidak berarti tertutup jalan untuk mencoba mencari jawabannya. kesehatan mental, Mental Healt Professionals, telah membuat diagnosis formal tentang psychological disorder. Dalam melakukan diagnosis atas gejala yang kelihatan melalui perilaku-perilaku yang tidak biasa, para ahli psikologi klinis tersebut menggunakan beberapa kriteria yang berbeda satu dengan lainnya. Ada tiga kriteria yang umum digunakan untuk menentukan seseorang menderita psychological disorder. Ketiga kriteria tersebut terdiri atas: deviance, personal distress, dan maladaptive behavior. Berikut penjelasan masing- masing kriteria. a. Deviance Perilaku yang dianggap menyimpang karena berbeda dengan yang dianggap masyarakat sebagai perilaku yang dapat diterima. Yang disebut normal itu memang ada perbedaan antara satu budaya dengan budaya yang lain. Namun demikian, semua budaya memiliki norma bersama. Dan ketika seseorang melanggar standar norma bersama ini, dia akan dicap sebagai orang yang sakit mental. Contohnya adalah yang disebut transvestic feticism, yaitu suatu perilaku seorang laki-laki akan terangsang secara seksual dengan mengenakan pakaian perempuan. Perilaku ini dianggap sebagai perilaku menyimpang (disorder) secara seksual, sebab perilaku laki-laki yang mengenakan baju perempuan tadi dianggap bertentangan dengan norma dari berbagai aturan budaya. b. Maladaptive Sesuatu yang dianggap sebagai psychological disorder karena perilaku adaptif harian terganggu/rusak. Artinya, seseorang mengalami masalah dalam hal penyesuaian diri dengan lingkungan sosial mereka. Kriteria ini dianggap sebagai kriteria kunci dalam melakukan diagnosis penyimpangan perilaku para pengguna narkoba. Sebenarnya alkohol atau drugs, dalam diri sendiri bukanlah hal buruk atau penyimpangan. Akan tetapi, ketika penggunaan obat-obat terlarang ini mulai mengganggu kehidupan sosial atau fungsi kerja seseorang, perilaku menyimpang itu menjadi nyata. Dalam hal ini, kualitas maladaptive perilaku tersebut, terutama ketika sudah mulai menjadi ancaman bagi kehidupan sosial di sekitarnya, telah membuat hal itu menjadi peyimpangan. c. Personal Distress Suatu diagnosis atas psychological disorder yang didasarkan pada laporan seseorang tentang besarnya penderitaan yang dialaminya. Ini adalah kriteria yang tidak biasa, yang dikenakan pada seseorang yang terancam oleh depresi atau kecemasan. Orang yang mengalami depresi, umpamanya, iya atau tidak, mengalami penyimpangan atau perilaku maladaptive. Orang seperti ini biasanya dicap sebagai yang memiliki penyakit (disorder) ketika mereka melukiskan penyakit dan penderitaan subjektif mereka kepada teman-temannya, kepada keluarga, atau kepada siapa saja yang dia temui. Penderitaan subjektif maksudnya penyakit yang lebih merupakan kenyataan dalam tingkat kejiwaan, dan bukan dalam kenyataan faktual fisik mereka. 2. Kepribadian yang cenderung melakukan kejahatan adalah Tipe psikotik Seperti ekstraversi dan neurotisme, P adalah factor yang bersifat biporal, dengan psikotik dalam satu kutub dan superego dalam kutub yang lainnya. Orang yang skor P tinggi biasanya egosentris, dingin, tidak mudah menyesuaikan diri, impulsive, kejam, agresif, curiga, psikopatik, dan antisocial. Orang yang skor P rendah (mengarah pada fungsi superego) cenderung bersifat altruis, mudah bersosialisasi, empati, peduli, kooperatif, mudah menyesuaikan diri, dan konvensional (S.Eysenck dalan Feist & Feist, 2010). Eysenck memiliki hipotesis bahwa orang-orang yang memiliki skor psikotik yang tinggi mempunyai predisposisi untuk menyerah pada stress dan mempunyai penyakit psikotik yang tinggi. Model diatesis-stres ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang mempunyai skor P yang tinggi, secara genetis lebih rentan terhadap stress dari pada yang mempunyai skor P yang rendah. Pada periode stres yang rendah, orang dengan skor P tinggi masih dapat berfungsi dengan normal, tetapi pada saat tingkat psikotik yang tinggi berinteraksi dengan kadar stress yang juga tinggi, orang tersebut menjadi lebih rentan terhadap gangguan psikotik. Sebaliknya, orang dengan skor P rendah tidak selalu rentan pada psikosis yang berhubungan dengan stress, dan mungkin tidak akan mengalami kehancuran secara psikotik pada periode stress yang ekstrem. Menurut Eysenck, semakin tinggi skor psikotik, semakin rendah kadar stress yang dibutuhkan untuk menimbulkan reaksi psikotik. Saya setuju dengan teori ini karena Di dalam merumuskan pendapatnya mengenai tingkah laku manusia, Eysenck memilih konsepsi- konsepsi yang sederhana dan bercorak operasional. Dia yakin, bahwa dimasa yang akan datang teori dan eksperimen harus bergandengan tangan, dan dengan demikian banyak kelemahan akan dapat diatasi. Hal ini pada pendapatnya dapat ditempuh dengan membuat perumusan yang sederhana dan bercorak operasional itu. Eysenck berpendapat dasar umum sifar-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait. Dia juga berpendapat bahwa semua tingkahlaku dipelajari dari lingkungan. Menurutnya kepribadian adalah seluruh pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Eysenck dalam teorinya menggunakan pendekatan Behaviorisme dalam melihat kepribadian manusia. Teori Eysenck sebagian besar didasarkan pada fisiologi dan genetika. Meskipun dia seorang behavioris, namun Eysenck melihat perbedaan kepribadian lebih disebabkan oleh faktor keturunan atau genetika. Eysenck berpendapat dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait. Namun dia juga berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari dari lingkungan. Menurutnya, kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkahlaku; sektor kognitif (intelligence), sektor konatif (character), sektor afektif (temperament), sektor somatik (constitution). 3. Karena kejahatan bukanlah hal yang mudah karena akan selalu ada sisi bias dari pembuat definisi. Namun demikian untuk membuat agar supaya kejahatan dapat dipahami secara komprehensif, perlu dilakukan pengukuran gejala kejahatan sebagai gejala sosial secara lebih baik. Dalam usaha mendefinisikan kejahatan, Hagan membuat alat ukur kejahatan yang disebutnya sebagai piramida kejahatan. Melalui piramida tersebut akan dapat dipahami kejahatan yang dilihat melalui alat tersebut. Perbedaan keseriusan kejahatan tergantung pada tiga dimensi yang masing-masing mempunyai rentang dari peringkat rendah/ringan hingga peringkat tinggi/berat. Pertama adalah agreement about the norm atau derajat konsensus atau persetujuan, yaitu derajat tindakan yang oleh masyarakat akan diterima sebagai benar atau salah. Hagan membuat kategori peringkat konsensus atau persetujuan tersebut mulai dari yang terrendah “tidak jelas atau tidak peduli”, tidak sepakat, hingga sangat setuju sebagai salah” (Lanier, Henry, 2004: 28-29). Dimensi kedua adalah severity of societal response yaitu keseriusan respon masyarakat yang tercantum dalam hukum. Respon sosial ini mulai dari pengabaian, pemberian peringatan, hingga denda, penghukuman penjara, bahkan hukuman mati. Menurut Hagan, semakin serius ancaman hukuman yang dirumuskan, semakin luas dukungan terhadap sanksi tersebut, dan semakin serius penilaian masyarakat terhadap tindakan tersebut (Lanier, Henry, 2004: 29). Dimensi ketiga adalah evaluation of social harm yang dirumuskan Hagan sebagai keseriusan relatif dari kejahatan berdasarkan akibat yang dihasilkannya. Ada pelanggaran hukum yang dampaknya hanya diderita pelanggar, seperti penyalahgunaan narokita, berjudi, pelacuran dan lain-lain perilaku menyimpang. Ada pula pelanggaran hukum yang merugikan orang lain baik dalam jumlah sedikit atau hanya satu dua orang, hingga pelanggaran hukum yang merugikan banyak orang seperti kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi yang menjual produk yang membahayakan kesehatan orang atau bahkan mematikan orang. Hagan kemudian meragakan tiga dimensi tersebut menjadi “piramida kejahatan” (Lanier, Henry, 2004: 32). Lenier dan Henry mengkritik bahwa piramida Hagan mempunyai beberapa kelemahan yaitu menganggap tiga dimensi pengukuran kejahatan yang dibuat Hagan belum memadai atau tidak lengkap. Kelemahan piramida Hagan menurut Lanier dan Henry karena mengabaikan kesadaran publik tentang masalah realisasi kejahatan, yaitu adanya korban. Untuk menambal kelemahan piramida Hagan, maka Lanier dan Henry mendisain ulang piramida tersebut menjadi piramida ganda, yang kemudian disebut sebagai prisma. Lanier dan Henry menambahkan piramida terbalik di bawah piramida Hagan. Puncak piramida mencerminkan kejahatan yang sangat tampak yang biasanya dilakukan oleh kelompok yang lemah di muka publik. Misalnya perampokan, pencurian, pencurian ranmor, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, pembakaran. Pada bagian bawah, pada piramida yang ditambahkan, mencerminkan kejahatan yang relatif tersembunyi. Ini meliputi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kelompok yang punya kuasa, misal pelanggaran yang dilakukan oleh birokrat, korporasi, dan organisasi, maupun kejahatan-kejahatan dalam rangka pekerjaannya, seperti penipuan, penggelapan, date rape, pelecehan seksual, KDRT, seksisme, rasisme, ageisme, kejahatan kebencian. Kejahatan yang dilakukan oleh kelompok yang lemah maupun yang kuasa hanya tampak setengah melalui prisma kejahatan. Disebut prisma bukan hanya karena bentuknya tetapi juga dapat dipergunakan untuk menganalisa spektrum dimensi yang membentuk kejahatan. Penjelasan prisma tersebut meliputi kesepakatan sosial, rentang kesepakatan sosial dimulai dari puncak prisma. Posisi a, mencerminkan kesepakatan umum; c. sedang; e. apatis atau tidak peduli pada bagian prisma yang terlebar. Separoh prisma bagian bawah mencerminkan rentang ketidaksepakatan sedang (i) hingga sangat tidak sepakat atau konflik ekstrim (l) pada dasar prisma.