Anda di halaman 1dari 5

1.

Perilaku Dimas Kanjeng tergolong perilaku abnormal, ungkapan psychological


disorder jelas berkaitan dengan masalah kejiwaan, tentang adanya gangguan atau
kekacauan dalam aspek kejiwaan yang dialami seseorang. Sebetulnya tidak mudah
untuk mengetahui adanya keadaan jiwa seperti itu. Namun karena perilaku manusia
umumnya merupakan ekspresi dari yang terjadi dalam jiwanya, maka adanya
psychological disorder ini ditentukan berdasarkan perilaku menyimpang (abnormal
behavior) yang kelihatan, bisa diamati, dirasakan, dan dialami. Dengan mudah kita bisa
menyaksikan perilaku yang jelas-jelas berbeda dengan perilaku yang umumnya
dianggap sebagai perilaku biasa, yang umum dilakukan oleh banyak orang, yang
dianggap sebagai perilaku normal. Perilaku berbeda tersebut dianggap sebagai perilaku
menyimpang, dengan tingkat penyimpangan yang berbeda-beda. Selain yang bisa
disaksikan dengan kasat mata, sebenarnya ada banyak gangguan kejiwaan yang tidak
mudah kelihatan dengan jelas, sehingga tidak mudah menyimpulkannya juga, dan
dengan demikian tidak banyak mendapat perhatian. Sepertinya orang mudah saja dalam
menentukan suatu perilaku sebagai tidak normal, khususnya jika perilaku itu sungguh
sangat kentara keanehannya dibandingkan dengan perilaku biasa pada umumya.
Penilaian itu semakin diperkuat lagi apabila suatu tindakan yang kelihatan aneh itu,
tidak dimengerti maksud dia bertindak demikian. Akan tetapi, di lain pihak, gejala-
gejala perilaku yang tidak kasat mata keanehannya tidak mudah untuk dinilai normal
atau tidak normal. Maka pertanyaan penting adalah bagaimana menentukan suatu
perilaku itu normal atau tidak normal. Dan pertanyaan lain yang juga penting adalah
siapa yang berhak melakukan penilaian itu dan menetapkan hasil-hasilnya. Pertanyaan-
pertanyaan penting seperti itu tidak mudah untuk dijawab. Namun, tidak berarti tertutup
jalan untuk mencoba mencari jawabannya. kesehatan mental, Mental Healt
Professionals, telah membuat diagnosis formal tentang psychological disorder. Dalam
melakukan diagnosis atas gejala yang kelihatan melalui perilaku-perilaku yang tidak
biasa, para ahli psikologi klinis tersebut menggunakan beberapa kriteria yang berbeda
satu dengan lainnya. Ada tiga kriteria yang umum digunakan untuk menentukan
seseorang menderita psychological disorder. Ketiga kriteria tersebut terdiri atas:
deviance, personal distress, dan maladaptive behavior. Berikut penjelasan masing-
masing kriteria.
a. Deviance
Perilaku yang dianggap menyimpang karena berbeda dengan yang dianggap
masyarakat sebagai perilaku yang dapat diterima. Yang disebut normal itu memang ada
perbedaan antara satu budaya dengan budaya yang lain. Namun demikian, semua
budaya memiliki norma bersama. Dan ketika seseorang melanggar standar norma
bersama ini, dia akan dicap sebagai orang yang sakit mental. Contohnya adalah yang
disebut transvestic feticism, yaitu suatu perilaku seorang laki-laki akan terangsang
secara seksual dengan mengenakan pakaian perempuan. Perilaku ini dianggap sebagai
perilaku menyimpang (disorder) secara seksual, sebab perilaku laki-laki yang
mengenakan baju perempuan tadi dianggap bertentangan dengan norma dari berbagai
aturan budaya.
b. Maladaptive
Sesuatu yang dianggap sebagai psychological disorder karena perilaku adaptif
harian terganggu/rusak. Artinya, seseorang mengalami masalah dalam hal penyesuaian
diri dengan lingkungan sosial mereka. Kriteria ini dianggap sebagai kriteria kunci
dalam melakukan diagnosis penyimpangan perilaku para pengguna narkoba.
Sebenarnya alkohol atau drugs, dalam diri sendiri bukanlah hal buruk atau
penyimpangan. Akan tetapi, ketika penggunaan obat-obat terlarang ini mulai
mengganggu kehidupan sosial atau fungsi kerja seseorang, perilaku menyimpang itu
menjadi nyata. Dalam hal ini, kualitas maladaptive perilaku tersebut, terutama ketika
sudah mulai menjadi ancaman bagi kehidupan sosial di sekitarnya, telah membuat hal
itu menjadi peyimpangan.
c. Personal Distress
Suatu diagnosis atas psychological disorder yang didasarkan pada laporan
seseorang tentang besarnya penderitaan yang dialaminya. Ini adalah kriteria yang tidak
biasa, yang dikenakan pada seseorang yang terancam oleh depresi atau kecemasan.
Orang yang mengalami depresi, umpamanya, iya atau tidak, mengalami penyimpangan
atau perilaku maladaptive. Orang seperti ini biasanya dicap sebagai yang memiliki
penyakit (disorder) ketika mereka melukiskan penyakit dan penderitaan subjektif
mereka kepada teman-temannya, kepada keluarga, atau kepada siapa saja yang dia
temui. Penderitaan subjektif maksudnya penyakit yang lebih merupakan kenyataan
dalam tingkat kejiwaan, dan bukan dalam kenyataan faktual fisik mereka.
2. Kepribadian yang cenderung melakukan kejahatan adalah Tipe psikotik Seperti
ekstraversi dan neurotisme, P adalah factor yang bersifat biporal, dengan psikotik dalam
satu kutub dan superego dalam kutub yang lainnya. Orang yang skor P tinggi biasanya
egosentris, dingin, tidak mudah menyesuaikan diri, impulsive, kejam, agresif, curiga,
psikopatik, dan antisocial. Orang yang skor P rendah (mengarah pada fungsi superego)
cenderung bersifat altruis, mudah bersosialisasi, empati, peduli, kooperatif, mudah
menyesuaikan diri, dan konvensional (S.Eysenck dalan Feist & Feist, 2010). Eysenck
memiliki hipotesis bahwa orang-orang yang memiliki skor psikotik yang tinggi
mempunyai predisposisi untuk menyerah pada stress dan mempunyai penyakit psikotik
yang tinggi. Model diatesis-stres ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang
mempunyai skor P yang tinggi, secara genetis lebih rentan terhadap stress dari pada
yang mempunyai skor P yang rendah. Pada periode stres yang rendah, orang dengan
skor P tinggi masih dapat berfungsi dengan normal, tetapi pada saat tingkat psikotik
yang tinggi berinteraksi dengan kadar stress yang juga tinggi, orang tersebut menjadi
lebih rentan terhadap gangguan psikotik. Sebaliknya, orang dengan skor P rendah tidak
selalu rentan pada psikosis yang berhubungan dengan stress, dan mungkin tidak akan
mengalami kehancuran secara psikotik pada periode stress yang ekstrem. Menurut
Eysenck, semakin tinggi skor psikotik, semakin rendah kadar stress yang dibutuhkan
untuk menimbulkan reaksi psikotik. Saya setuju dengan teori ini karena Di dalam
merumuskan pendapatnya mengenai tingkah laku manusia, Eysenck memilih konsepsi-
konsepsi yang sederhana dan bercorak operasional. Dia yakin, bahwa dimasa yang akan
datang teori dan eksperimen harus bergandengan tangan, dan dengan demikian banyak
kelemahan akan dapat diatasi. Hal ini pada pendapatnya dapat ditempuh dengan
membuat perumusan yang sederhana dan bercorak operasional itu. Eysenck
berpendapat dasar umum sifar-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk
tipe dan trait. Dia juga berpendapat bahwa semua tingkahlaku dipelajari dari
lingkungan. Menurutnya kepribadian adalah seluruh pola tingkah laku aktual maupun
potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan.
Eysenck dalam teorinya menggunakan pendekatan Behaviorisme dalam melihat
kepribadian manusia. Teori Eysenck sebagian besar didasarkan pada fisiologi dan
genetika. Meskipun dia seorang behavioris, namun Eysenck melihat perbedaan
kepribadian lebih disebabkan oleh faktor keturunan atau genetika. Eysenck berpendapat
dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait.
Namun dia juga berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari dari lingkungan.
Menurutnya, kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun
potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola
tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari empat
sektor utama yang mengorganisir tingkahlaku; sektor kognitif (intelligence), sektor
konatif (character), sektor afektif (temperament), sektor somatik (constitution).
3. Karena kejahatan bukanlah hal yang mudah karena akan selalu ada sisi bias dari
pembuat definisi. Namun demikian untuk membuat agar supaya kejahatan dapat
dipahami secara komprehensif, perlu dilakukan pengukuran gejala kejahatan sebagai
gejala sosial secara lebih baik. Dalam usaha mendefinisikan kejahatan, Hagan membuat
alat ukur kejahatan yang disebutnya sebagai piramida kejahatan. Melalui piramida
tersebut akan dapat dipahami kejahatan yang dilihat melalui alat tersebut. Perbedaan
keseriusan kejahatan tergantung pada tiga dimensi yang masing-masing mempunyai
rentang dari peringkat rendah/ringan hingga peringkat tinggi/berat. Pertama adalah
agreement about the norm atau derajat konsensus atau persetujuan, yaitu derajat
tindakan yang oleh masyarakat akan diterima sebagai benar atau salah. Hagan
membuat kategori peringkat konsensus atau persetujuan tersebut mulai dari yang
terrendah “tidak jelas atau tidak peduli”, tidak sepakat, hingga sangat setuju sebagai
salah” (Lanier, Henry, 2004: 28-29). Dimensi kedua adalah severity of societal
response yaitu keseriusan respon masyarakat yang tercantum dalam hukum. Respon
sosial ini mulai dari pengabaian, pemberian peringatan, hingga denda, penghukuman
penjara, bahkan hukuman mati. Menurut Hagan, semakin serius ancaman hukuman
yang dirumuskan, semakin luas dukungan terhadap sanksi tersebut, dan semakin serius
penilaian masyarakat terhadap tindakan tersebut (Lanier, Henry, 2004: 29). Dimensi
ketiga adalah evaluation of social harm yang dirumuskan Hagan sebagai keseriusan
relatif dari kejahatan berdasarkan akibat yang dihasilkannya. Ada pelanggaran hukum
yang dampaknya hanya diderita pelanggar, seperti penyalahgunaan narokita, berjudi,
pelacuran dan lain-lain perilaku menyimpang. Ada pula pelanggaran hukum yang
merugikan orang lain baik dalam jumlah sedikit atau hanya satu dua orang, hingga
pelanggaran hukum yang merugikan banyak orang seperti kerugian yang diakibatkan
oleh kejahatan korporasi yang menjual produk yang membahayakan kesehatan orang
atau bahkan mematikan orang. Hagan kemudian meragakan tiga dimensi tersebut
menjadi “piramida kejahatan” (Lanier, Henry, 2004: 32).
Lenier dan Henry mengkritik bahwa piramida Hagan mempunyai beberapa kelemahan
yaitu menganggap tiga dimensi pengukuran kejahatan yang dibuat Hagan belum
memadai atau tidak lengkap. Kelemahan piramida Hagan menurut Lanier dan Henry
karena mengabaikan kesadaran publik tentang masalah realisasi kejahatan, yaitu
adanya korban. Untuk menambal kelemahan piramida Hagan, maka Lanier dan Henry
mendisain ulang piramida tersebut menjadi piramida ganda, yang kemudian disebut
sebagai prisma. Lanier dan Henry menambahkan piramida terbalik di bawah piramida
Hagan. Puncak piramida mencerminkan kejahatan yang sangat tampak yang biasanya
dilakukan oleh kelompok yang lemah di muka publik. Misalnya perampokan,
pencurian, pencurian ranmor, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, pembakaran.
Pada bagian bawah, pada piramida yang ditambahkan, mencerminkan kejahatan yang
relatif tersembunyi. Ini meliputi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kelompok
yang punya kuasa, misal pelanggaran yang dilakukan oleh birokrat, korporasi, dan
organisasi, maupun kejahatan-kejahatan dalam rangka pekerjaannya, seperti penipuan,
penggelapan, date rape, pelecehan seksual, KDRT, seksisme, rasisme, ageisme,
kejahatan kebencian. Kejahatan yang dilakukan oleh kelompok yang lemah maupun
yang kuasa hanya tampak setengah melalui prisma kejahatan. Disebut prisma bukan
hanya karena bentuknya tetapi juga dapat dipergunakan untuk menganalisa spektrum
dimensi yang membentuk kejahatan.
Penjelasan prisma tersebut meliputi kesepakatan sosial, rentang kesepakatan sosial
dimulai dari puncak prisma. Posisi a, mencerminkan kesepakatan umum; c. sedang; e.
apatis atau tidak peduli pada bagian prisma yang terlebar. Separoh prisma bagian bawah
mencerminkan rentang ketidaksepakatan sedang (i) hingga sangat tidak sepakat atau
konflik ekstrim (l) pada dasar prisma.

Anda mungkin juga menyukai