Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FIQIH MUAMALAH KONTEMPORER

“MULTI LEVEL MARKETING SYARIAH”

Dosen Pengampu :

Muh. Baehaqi, M.SI.

Disusun oleh kelompok 1:

1. Maskanah (180502039)
2. Khairunnisa Asfarini (180502045)
3. Ikhwanul Muslimin (180502055)
4. Esy Aulia (180502061)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PERBANKAN SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2019

MULTI LEVEL MARKETING SYARIAH

A. PENDAHULUAN
Bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi dan memiliki peranan yang
sangat vital untuk memenuhi kebutuhan manusia. Berbagai motif berbisnis dapat menjadi
pendorong yang kuat dalam mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Bisnis selalu
berkaitan dengan membangun relasi dan kontrak antar individu ataupun golongan yang
bermuara pada adanya kesepakatan antara kedua belah pihak. Rasulullah sangat
memotivasi umatnya untuk berbisnis, karena berbisnis adalah cara yang paling cepat
mendatangkan rezeki.1
Akhir-akhir ini di tengah-tengah masyarakat Indonesia muncul sistem
perdagangan baru yang dikenal dengan istilah MLM. Sistem perdagangan ini
dipraktekkan oleh berbagai perusahaan, baik yang berskala lokal, nasional, regional,
maupun internasional. Sistem perdagangan ini sangat menggiurkan sebagian anggota
masyarakat karena menjanjikan keuntungan besar dalam waktu yang relatif singkat.
Semua bisnis termasuk yang menggunakan sistem MLM dalam literatur syariah Islam
pada dasarnya termasuk kategori mu’amalat yang dibahas dalam bab Al-Buyu’ (jual-beli)
yang hukum asalnya dari aspek hukum jualbelinya secara prinsip boleh berdasarkan
kaidah fiqh sebagaimana dikemukakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah “Pada dasarnya
semua ibadah hukumnya haram kecuali kalau ada dalil yang memerintahkannya,
sedangkan asal dari hukum transaksi dan mu’amalah adalah halal kecuali kalau ada dalil
yang melarangnya”.
Salah satu karakteristik trend marketing dalam Era Globalisasi adalah munculnya
apa yang disebut dengan MLM. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan yang
memakai sistem ini untuk memasarkan produk-produknya. Konsep MLM yang lahir
1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing, sebagai solusi untuk melibatkan
masyarakat konsumen dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tapi juga manfaat
finansial dalam bentuk insentif, hadiah dan bahkan kepemilikan saham perusahaan.2

1
Anita Rahmawaty. “Bisnis Multilevel Marketing Dalam Perspektif Islam”. Equilibrum. Vol. 2, No. 1, Juni
2014. Hlm. 69.
2
Agus Marimin, dkk, “Bisnis Multi Level Marketing (MLM) Dalam Pandangan Islam”, Ekonomi Islam, Vol. 02,
No.02, Juli 2016, hlm. 105-106.
Berdasarkan uraian di atas penting juga kita mengetahui dalam berbisnis harus
berpedoman pada ajaran agama. Oleh karena itu kami menyusun makalah ini dengan
judul “Multi Level Perusahaan”.

B. PEMBAHASAN
 PENGERTIAN, SEJARAH & SISTEM KERJA MULTI LEVEL MARKETING
1. Pengertian Multi Level Marketing
Secara etimologi Multi Level Marketing (MLM) berasal dari bahasa Inggris, Multi
berarti banyak sedangkan Level berarti jenjang atau tingkat. Adapun marketing berarti
pemasaran. Jadi dari kata tersebut dapat dipahami bahwa MLM adalah pemasaran
yang berjenjang banyak.3 MLM merupakan sebuah sistem pemasaran modern melalui
jaringan distribusi yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan
perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Singkatnya, bahwa MLM adalah
suatu konsep penyaluran (distribusi) barang berupa produk dan jasa tertentu, yang
memberi kesempatan kepada para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan
memperoleh keuntungan di dalam garis kemitraannya.
Menurut Peter J. Cloither, Multilevel Marketing atau yang terkadang juga disebut
dengan Networking Selling (jaringan penjualan) atau direct selling (penjualan
langsung) adalah bentuk pemasaran suatu produk atau jasa dari suatu perusahaan yang
dilakukan secara perorangan atau berkelompok yang membentuk jaringan secara
berjenjang, lalu dari hasil penjualan pribadi dan jaringan tersebut, setiap bulannya
perusahaan akan memperhitungkan bonus atau komisi sebagai hasil usahanya.
Sedang menurut Ahmad Teguh Wibowo Yusuf, MLM merupakan sistem “Getok
Tular” (informasi) yang berjalan dari mulut ke mulut dan konsep ini sebenarnya sudah
diterapkan oleh Rasulullah SAW dalam mengembangkan misi dakwahnya, dimana
Rasulullah menyampaikan risalah Islam kepada isteri, keluarga dan sahabatnya baru
kemudian kepada masyarakat luas. Sama halnya dengan sistem MLM yang merupakan
sistem levelisasi atau sponsorisasi.
Bisnis ini dinamakan multilevel karena berbentuk suatu organisasi distributor
yang melaksanakan pemasaran dengan menggunakan sistem distribusi berjenjang atau
bertingkat-tingkat. Distributor pelaksana pemasaran berjenjang tersebut terdiri dari
Upline (tingkat atas) dan Downline (tingkat bawah). Distributor akan disebut Upline

3
Firman Wahyudi. “Multi Level Marketing Dalam Kajian Fiqh Muamalah”. Al- Banjari. Vol 13, No. 2, Juli-
Desember 2014. Hal. 163-177.
jika telah memiliki Downline. Jaringan Upline dan Downline inilah yang
menggerakkan bisnis ini, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal ataupun
gabung dari keduanya.4
Secara sederhana, yang dimaksud dengan multilevel marketing adalah suatu
konsep penyaluran barang (produk/jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada
para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan menikmati keuntungan di
dalam garis kemitraannya/sponsorisasi (Pedoman Mitra Niaga, 1997: 25). Dalam
pengertian yang lebih luas, multilevel marketing adalah salah satu bentuk kerja sama
dibidang perdagangan/pemasaran suatu produk/jasa yang dengan sistem ini diberikan
kepada setiap orang kesempatan untuk mempunyai dan menjalankan usaha sendiri.
Kepada setiap orang yang bergabung dapat mengkonsumsi produk dengan potongan
harga, serta sekaligus dapat menjalankan kegiatan usaha secara sendiri dengan cara
menjual produk/jasa dan mengajak orang lain untuk ikut bergabung dalam
kelompoknya. Setiap orang yang berhasil diajak dan bergabung dalam kelompoknya
akan memberikan manfaat dan keuntungan kepada yang mengajaknya, lazimnya
dengan memakai sistem presentase atau bonus.5

2. Sejarah Multi Level Marketing


Dalam sejarah industri ini, sistem penjualan langsung (direct selling) sudah
dikenal sejak abad ke-18 di Amerika Serikat. Sistem ini dianggap pertama kali muncul
dengan beroperasinya The California Perfume Campany di New York 1886 yang
didirikan oleh Dave McConnel. Beliau kemudian yang menelurkan ide untuk
mempekerjakan Albee sebagai California Perfume lady yang pertama dengan cara
menjual langsung kepada konsumen dari rumah ke rumah. Perusahaan ini kemudian
berganti nama menjadi Avon The Company For Women pada tahun 1939. Sejarah
mencatat Albee ini dianggap sebagai pionir metode penjualan direct selling yang
dilakukan secara konsisten. Perusahaan ini pun terus bertumbuh hingga mampu
membangun armada bisnisnya mencapai 10.000 tenaga penjual untuk memasarkan
117 jenis produk hingga ke mancanegara. Tak lama kemudian, banyak perusahaan-
perusahaan di Amerika juga turut menerapkan sistem penjualan langsung. Perusahaan
umumnya secara langsung kepada konsumen dari rumah ke rumah karena belum

4
Muh. Baihaqi. “Fiqih Muamalah Kontemporer”. (Mataram: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram).
2016. Hal. 1-2
5
Suhrawardi K Lubis. “Hukum Ekonomi Islam”. (Jakarta Timur: Sinar Grafika). 2014. Hlm. 182-183.
tersedia sarana seperti televisi, radio bahkan internet untuk memperkenalkan suatu
produk.
Sistem MLM mulai dibicarakan secara ilmiah sejak 1945 oleh dua profesor
pemasaran dari Universitas Chicago yaitu Karl Ramburg & Robert Metcalt. Sejak saat
itulah, mulai bermunculan perusahaan yang menerapkan sistem MLM. Beberapa
perusahaan MLM yang cukup dikenal pada masa itu adalah Nutrilite, Shaklee,
Corporation, dan lain-lain.
Perusahaan berbasis MLM di Indonesia sendiri diawali dengan berdirinya
Creative Network International (CNI) pada tahun 1986 di Bandung. CNI menjual
produk tunggal berupa makanan kesehatan Sun Chlorela buatan Jepang. Seiring
dengan perkembangan usaha dan semakin banyaknya produk yang dipasarkan, CNI
berhasil mengembangkan bisnisnya hingga ke mancanegara seperti Malaysia,
Singapura, India, dan Amerika Serikat. Kesuksesan CNI sebagai perusahaan berbasis
MLM inilah yang menjadi kunci lahirnya perusahaan-perusahaan lain di Indonesia
yang menggunakan sistem MLM sebagai basisnya.
Pasca era moneter hingga saat ini, perusahaan berbasis MLM ini semakin
bertumbuh pesat. Para pelaku usaha menggunakan momentum dan situasi krisis untuk
menawarkan solusi bisnis bagi pemain asing maupun lokal seperti Amway, Avon,
Tupperware, Sophie Martin, Oriflame, Herbalife, dan lain-lain. Hingga Mei 2014,
tercatat lebih diperkirakan ada lebih dari 300 perusahaan yang bergerak dalam industri
penjualan langsung. Sekitar 200 perusahaan di antaranya sudah memiliki surat izin
usaha penjualan langsung (SIUPL). Sebanyak 86 perusahaan penjualan langsung
merupakan anggota APLI. Peraturan yang berlaku di Indonesia pun mewajibkan
sebuah perusahaan berbasis MLM harus menjadi anggota APLI. APLI sendiri menjadi
satu-satunya organisasi yang dipercaya oleh World Federation of Direct Selling
Associations (WFDSA) sebagai lembaga yang bertugas untuk mengawasi kinerja
perusahaan berbasis MLM di Indonesia.6

3. Sistem Kerja Multi Level Marketing


Mekanisme operasional pada MLM ini adalah seorang member dapat mengajak
orang lain untuk ikut juga sebagai distributor. Kemudian orang lain itu dapat mengajak
pula orang lain lagi untuk ikut bergabung. Begitu seterusnya, semua yang diajak dan

6
Ibid. Hal. 3-6
ikut merupakan suatu kelompok distributor yang bebas mengajak orang lain lagi
sampai level yang tanpa batas.
Dalam MLM ini terdapat unsur jasa. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya
seorang distributor yang menjualkan barang yang bukan miliknya dan ia mendapatkan
upah dari persentase harga barang. Selain itu jika ia dapat menjual barang tersebut
sesuai dengan target yang telah ditetapkan perusahaan.
Promotor adalah anggota yang sudah lebih dahulu mendapatkan hak keanggotaan.
Sedangkan bawahan adalah anggota yang direkrut oleh promotor. Akan tetapi, pada
beberapa sistem tertentu, jenjang keanggotaan ini bisa berubah-ubah sesuai dengan
syarat pembayaran atau pembelian tertentu. Komisi yang diberikan dalam pemasaran
berjenjang dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi yang otomatis terjadi jika
bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan mendapatkan bagian komisi
tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan bawahan.7

 MULTI LEVEL MARKETING SYARIAH


Multi Level Marketing Syariah adalah sebuah usaha MLM yang mendasarkan
sistem operasionalnya pada prinsip-prinsip syariah. Tidak mengherankan jika visi dan
misi MLM konvensional akan berbeda total dengan MLM syariah. Visi MLM syariah
tentunya tidak hanya fokus pada keuntungan materi semata, tapi keuntungan untuk
dunia dan akhirat orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pelaku MLM syariah juga
berbeda dalam hal motivasi, niat, orientasi, produk, sistem pengelolaan, pengawasan
dan sebagainya.
Dalam MLM syariah, misalnya ada yang disebut Dewan Pengawas Syariah
sebuah lembaga yang memungkinkan untuk mengawasi pengelolaan suatu usaha
syariah. Lembaga ini secara tidak langsung berfungsi sebagai internal audit and
surveillance system untuk memfilter bila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan
agama Islam pada suatu usaha syariah. Mengenai hal tersebut Ustadz Hilman Rosyad
Syihab, Lc dalam tulisannya di Majalah Network Business edisi perdana dengan judul
“Multi Level Marketing” menjelaskan bahwa:
Bisnis MLM yang sesuai syariah adalam MLM untuk produk yang halal dan
bermanfaat, dan proses perdagangannya tidak ada pelanggaran syariat, tidak ada
pemaksaan, penipuan, riba, sumpah yang berlebihan, pengurangan timbangan, dan

7
Ibid. Hal. 9-10
lain-lain. Pandangan syariat tentang MLM ini sangat bervariasi karena ternyata ketika
dibedah ada sekian banyak sistem dan aturan main dalam MLM ini yang berbeda-beda
secara prinsip. Di mana masing-masing perusahaan menerapkan kebijakan yang
berbeda-beda sesuai dengan selera mereka masing-masing. Karena itu kita tidak bisa
mengeneralisir hukum MLM dewasa ini, diperlukan kajian yang bersifat kasuistik,
mendalam dan terpadu atas masing-masing perusahaan itu dan bagaimana cara mereka
melaksanakan sistem kerjanya.
Mlm dalam literatur Fiqh Islam masuk dalam pembahasan Fiqh Muamalah atau
bab Buyu’ (perdagangan). MLM adalah menjual atau memasarkan langsung suatu
produk baik berupa barang atau jasa kepada konsumen. Sehingga biaya distribusi
barang sangat minim atau sampai ke titik nol. MLM juga menghilangkan biaya
berpromosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh distrributor dengan
sistem berjenjang. Oleh karena itu kami akan memberi jawaban yang bersifat batasan-
batasan umum sebagai panduan bagi umat islam yang akan terlibat dalam bidang
MLM.
Allah SWT berfirman:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
“Tolong menolonglah atas kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong atas dosa
dan permusuhan” (QS. Al-Maidah:2).
Rasulullah SAW bersabda:
“Perdagangan itu atas dasar sama-sama ridha” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).
“Umat Islam terikat dengan persyaratan mereka” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan
Hakim).8
Secara garis besar, ada dua pendapat pakar hukum Islam mengenai MLM, ada
yang memandang bisnis ini hukumnya adalah halal dan sebagian lagi memandangnya
haram.
 Pendapat yang Mengharamkan
Pandangan yang menyatakan bahwa bisnis MLM ini hukumnya haram karena
berbagai alasan, di antaranya adalah:
1. Di dalam transaksi dengan metode MLM, seseorang anggota mempunyai dua
kedudukan. Kedudukan pertama, sebagai pembeli produk, karena dia membeli produk
secara langsung dari perusahaan atau distributor. Pada setiap pembelian, biasanya dia

8
Kuswara. “Mengenal MLM Syariah dari Halal Haram, Kiat Berwirausaha, sampai dengan Pengelolaannya”.
(Tangerang: QultumMedia). 2005. Hal. 86-88.
akan mendapatkan bonus berupa potongan harga. Kedudukan kedua, sebagai makelar,
karena selain membeli produk tersebut, dia harus berusaha merekrut anggota baru.
Setiap perekrutan dia mendapatkan bonus juga. Pertanyaannya adalah bagaimana
hukum melakukan suatu akad dengan menghasilkan dua akad sekaligus, yaitu sebagai
pembeli dan makelar?
Dalam Islam hal itu dilarang, ini berdasarkan hadis-hadis di bawah ini:
a. Hadis abu Hurairah RA:
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah melarang dua pembelian dalam satu akad
pembelian”.(HR Tirmidzi, Nasai dan Ahmad)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang hadis ini sebagaimana dinukil Imam
Tirmidzi, bahwa jika seseorang mengatakan aku menjual rumahku kepadamu
dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual budakmu kepadaku
dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi milikku berarti rumahku juga
menjadi milikmu. Kesimpulannya bahwa melakukan dua macam akad dalam satu
transaksi yang mengikat satu dengan yang lainnya adalah haraam berdasarkan
hadist di atas.
b. Hadis Abdullah bin Amr, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat
dalam transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta
menjual sesuatu yang bukan milikmu”. (HR Abu Daud)
Hadis di atas juga menerangkan tentang keharaman melakukan dua transaksi
dalam satu akad, seperti melakukan akad utang piutang dan jual beli, satu dengan
yang lainnya saling mengikat. Contohnya, seseorang berkata kepada temannya,
“Saya akan jual rumah ini kepadamu dengan syarat kamu meminjamkan mobilmu
kepada saya selama satu bulan”. Alasan diharamkan transaksi seperti ini adalah
tidak jelasnya harga barang dan menggantungkan suatu transaksi kepada syarat
yang elum tentu terjadi.
2. Di dalam MLM terdapat makelar berantai. Sebenarnya makelar dibolehkan di dalam
Islam, yaitu transaksi dimana pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya
memasarkan produk dan pertemukannya dengan pembelinya. Adapun makelar di
dalam MLM bukanlah memasarkan produk, tetapi memasarkan komisi. Maka, kita
dapatkan setiap anggota MLM memasarkan produk kepada orang yang akan
memasarkan dan seterusnya, sehingga terjadilah pemasaran berantai dan ini tidak
dibolehkan karena akadnya mengandung gharar dan spekulatif.
3. Di dalam MLM terdapat unsur perjudian, karena seseorang ketika membeli salah satu
produk yang ditawarkan, sebenarnya niatnya bukan karena ingin memanfaatkan atau
memakai produk tersebut, tetapi dia membelinya sekedar sebagai sarana untuk
mendapatkan point yang nilainya jauh lebih besar dari harga barang tersebut.
Sedangkan nilai yang diharapkan tersebut belum tentu ia dapatkan. Perjudian juga
seperti itu, seorang menaruh uang dimeja perjudian dengan harapan untuk meraup
keuntungan yang lebih banyak, padahal keuntungan tersebut belum tentu ia dapatkan.
4. Di dalam MLM banyak terdapat unsur gharar (spekulatif) atau sesuatu yang tidak ada
kejelasan yang diharamkan syariat karena anggota yang sudah membeli produk tadi,
mengharapkan keuntungan yang lebih banyak. Tetapi dia sendiri tidak mengetahui
apakah berhasil mendapatkan keuntungan tersebut atau malah rugi dan Nabi
Muhammad SAW sendiri melarang setiap transaksi yang mengandung gharar,
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwasanya ia berkata:
“Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara al-hasnah (yaitu: jual beli dengan
melempar kerikil) dan cara yang mengandung unsur gharar (spekulatif)”. HR. Muslim
5. Di dalam MLM terdapat hal-hal yang bertentangan dengan kaidah umum jual beli,
seperti kaidah Al Ghunmu bi al Ghurmi, yang artinya bahwa keuntungan itu sesuai
dengan tenaga yang dikeluarkan atau risiko yang dihadapinya. Di dalam MLM ada
pihak-pihak yang paling dirugikan yaitu mereka yang berada di level-level paling
bawah, karena merekalah yang sebenarnya bekerja keras untuk merekrut anggota baru,
tetaapi keuntungannya yang menikmati adalah orang-orang yang berada pada level
atas. Merekalah yang terus-menerus mendapatkan keuntungan tanpa bekerja, dan
mereka bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Apalagi jika mereka
kesulitan untuk melakukan perekrutan, dikarenakan jumlah anggota sudah sangat
banyak.
6. Sebagian ulama mengatakan bahwa transaksi dengan sistem MLM mengandung riba
fadhl, karena anggotanya membayar sejumlah kecil dari hartaanya untuk mendapatkan
jumlah yang lebih besar darinya, seakan-akan ia menukar uang dengan uang dengan
jumlah yang berbeda. Inilah yang disebut dengan riba fadhl (ada selisih nilai). Begitu
juga termasuk dalam kategori riba nasi’ah, karena anggotanya mendapatkan uang
penggantinya tidak secara cash. Sementara produk yang dijual oleh perusahaan kepada
konsumen tiada lain hanya sebagai saraana untuk barter uang tersebut dan bukan
menjadi tujuan anggota, sehingga keberadaannya tidak berpengaruh dalam hukum
transaksi ini.
Keharaman jual beli dengan sistem MLM ini sebenarnya sudah difatwakan oleh
sejumlah ulama di Timur Tengah, di antaranya adalah Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-
Islamy Sudan yang dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan
dengan 17 Juni 2003 M, pada majelis no 3/24. Kemudian dikuatkan dengan Fatwa
Lajnah Daimah Arab Saudi pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor 22935.

 Pendapat yang Menghalalkan


Sebagai sebuah bisnis yang telah dikenal dan dipraktikan oleh ummat muslim,
MLM menjadi perhatian ijtihad ulama Indonesia. Oleh karena itu, Majelis Ulama
Indonesia melalui Dewan Syari’ah-Nya menghalalkan Bisnis Multi Level Marketing.
Berdasarkan fatwa DSN-MUI mengenai MLM Syariah yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional pada tahun 2009. Praktik PLBS (Penjualan Langsung Berjenjang
Syari’ah) wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Adanya obyek transaksi riil yang diperjual belikan berupa barang atau berupa jasa;
2. Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan
atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram;
3. Transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung gharar, maysir, riba, dharar,
dzulm, maksiat;
4. Tidak ada kenaikan harga/biaya yang berlebihan (excessive mark up), sehingga
merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat yang diperoleh;
5. Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun
bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan
volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi
pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS;
6. Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) harus jelas
jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai dengan target penjualan barang
dan jasa yang ditetapkan oleh perusahaan;
7. Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara regular tanpa
melakukan pembinaan dan atau penjualan barang atau jasa.
8. Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak
menimbulkan ighra’.
9. Tidak ada eksploitasi dan ketidak adilan dalam pembagian bonus antara anggota
pertama dengan anggota berikutnya;
10. Sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang
dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan
akhlak mulia, seperti syirik, kultus, maksiat, dll.
11. Setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan berkewajiban melakukan
pembinaan dan pengawasan kepada anggota yang direkrutnya tersebut;
12. Tidak melakukan kegiatan money game.

 PERBEDAAN MLM SYARIAH DENGANG MLM KONVENSIONAL


Secara kasat mata multilevel marketing syariah tidk berbeda dengan praktik-
praktik bisnis multi level marketing lainnya, akan tetapi jika diperhatikan lebih jauh
dalam proses operasionalnya, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara kedua varian
Multi level marketing tersebut, di antaranya adalah :
1. Konsep halal haram, maka penjual harus benar-benar mengerti perbedaan antara
halal dan haram, yang bukan hanya terletak pada pencapaian hasil semata tetapi juga
proses atau cara mendapatkannya.
2. Mengingat dasar utama aktifitas bisnis MLM adalah marketing atau pemasaran maka
penawaran produk atau promosi adalah merupakan inti dari aktifitas bisnis tersebut.
Metode promosi yang baik adalah yang memenuhi unsur-unsur ta;aruf, silaturahim,
dakwah dan tarbiyah. Dalam hal ini Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan dan
teladan baik tentang promosi dalam bisnis perdagangan, yaitu:
a. Tidak ada manipulasi dan tipu daya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra, beliau berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Yang
dinamakan bisnis dagang dengan sumpah palsu adalah usaha bisnis untuk
melariskan barang dagangannya dengan cara yang tercela (curang).”
b. Tidak ada keterangan dan pengakuan fiktif, yang biasanya dilakukan dengan
cara menyebar kebohongan bahwa barang dagangannya telah ditawar oleh
banyak pembeli padahal tidak demikian kenyataannya;
c. Tidak ada iklan yang menyesatkan, yakni dengan memberikan keterangan atau
keadaan yang tidak sebenarnya tentang produk barang yang dijual;
d. Tidak melanggar akhlakul karimah;
e. Tidak mendatangkan sesal di kemudian hari bagi konsumen.
3. Dari segi insentif, pengharagaan, hadiah dan sejenisnya yang diperuntukkan bagi
anggota mitra harus berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan, artinya jauh dari praktek
konsumerisme, materialisme dan hedonisme;
4. Dalam hal transaksi atau ikatan kerjasama bisnis perdagangan dengan pihak lain
maka hal yang diutamakan adalah asas kebebasan berkehendak yang memenuhi
prinsip-prinsip syariat, sebagaimana dalam kaidah “setiap muslim terikat pada
syarat-syarat yang telah mereka setujui bersama kecuali persyaratan yang
menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal;”
5. Adanya kewajaran dalam perolehan keuntungan dengan besaran nominal yang sesuai
dengan prestasi yang dicapai dan dilakukan secara fair, saling rela dan
menguntungkan (QS. An-Nisa : 29), selain itu, hal yang harus dipertimbangan juga
adalah bahwa besarnya upah tergantung pada tingkat kesulitan atau kesungguhan
dalam berusaha;
6. Perluasan jaringan atau peningkatan jumlah level yang dilakukan oleh para up line,
pada orang-orang dibawahnya, yaitu para down line, harus senantiasa berorientasi
pada pembinaan, pengawasan dan keteladanan yang selaras dengan jiwa agama
sehingga applause atau gathering party atas prestasi mereka tidak melampaui batas,
yaitu jauh dari kultus individu dan sikap berlebihan lainnya karena dikhawatirkan
akan mengarah pada perialku ujub, takabur, dan kufur;
7. Bisnis MLM yang baik adalah yang menjunjung dan mengedepankan empat hal,
yaitu;
a. Jalinan ukhuwah islamiyyah;
b. Pembentukan jaringan ekonomi umat, baik berupa jaringan produksi, distribusi
dan konsumen sehingga tercipta kemandirian dan kejayaan ekonomi umat;
c. Memperkokoh ketahanan akidah dari serbuah ideologi, budaya dan produk yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam;
8. Mengantisipasi dan mempersiapkan strategi dan daya maksimal dalam menghadapi
era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi.
Secara lebih rinci, perbedaan Multi Level Marketing Konvensional dengan Multi
Level Marketing Syariah sebagaimana dalam tabel berikut:9

No. Unsur MLM Konvensional MLM Syariah

selain bisnis juga


bertujuan untuk
1 Sifat Murni Bisnis memberdayakan
ekonomi umat dan
dakwah

2 Orientasi Duniawi semata Dunia-akhirat

Dijamin halal, karena


Produknya belum tentu halal, tidak ada
Kehalalan ada Dewan Pengawas
3 yang berkompeten dalam penentuan
produk Syariah dalam struktur
halal
organisasi
Murah dan bersaing
4 Harga produk Relatif sangat mahal dan ekslusif dengan harga karena
tidak di mark-up
Konsumsi yang wajar,
karena menjadi
Setengah dipaksakan, karena kebutuhan orang dan
Konsumsi
5 kebanyakan hanya menjadi kebutuhan keluarganya sehari-
produk
sekunder hari yang tetap harus
dipenuhi dan harganya
sesuai dengan pasaran
Akhlakul karimah dan
6 Strategi Bebas memenuhi rukun jual-
beli
Dewan Pengawas
Struktur
7 Dewan Komisaris Syariah dan Dewan
pengawasan
Komisaris

9
Muh. Baihaqi. “Fiqih Muamalah Kontemporer”. (Mataram: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram).
2016. Hal. 16-19.
Pada tahap tertentu mendapat bonus Bonusnya untuk hal-
8 Bonus/Insentif wisata ke luar negeri yang berorientasi hal yang bermanfaat
hedonisme dan bernilai ibadah
Pertemuan hanya
menjadi semacam
katalisator dan sifatnya
Pertemuan menjadi media yang sangat
hanya pendukung serta
vital untuk pengembangan jaringan
Frekuensi insidental serta dapat
9 dan dilakukan secara intensif dan
pertemuan diadakan dengan
formal karena melibatkan middle to
sangat informal karena
high-class
sifatnya yang
menjangkau seluruh
kalangan
Kebanyakan berasal
Produsen Kebanyakan berasal dari luar negeri
10 dari dalam negeri dan
produk dan belum tentu muslim
pasti muslim
Sangat besar, di
Indonesia saja yang
mayoritas muslim
11 Prospek Masih cukup besar adalah merupakan
pangsa pasar potensial
bagi bisnis MLM
Syariah
Tidak ada, umat muslim hanya sekedar
Ada kontribusi yang
menjadi konsumen, sedang sumber
sangat positif, karena
daya dan finansial umat muslim hanya
dilakukan oleh umat
12 Kontribusi menjadi alat untuk mem-perkaya orang
muslim dan untuk
lain dan hanya sedikit yang tertinggal
kesejahteraan umat
pada distributor-distributornya yang
muslim
muslim
C. PENUTUP
1. SIMPULAN
Secara sederhana, yang dimaksud dengan multilevel marketing adalah suatu
konsep penyaluran barang (produk/jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada
para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan menikmati keuntungan di
dalam garis kemitraannya/sponsorisasi (Pedoman Mitra Niaga, 1997: 25). Sistem
MLM mulai dibicarakan secara ilmiah sejak 1945 oleh dua profesor pemasaran dari
Universitas Chicago yaitu Karl Ramburg & Robert Metcalt. Sejak saat itulah, mulai
bermunculan perusahaan yang menerapkan sistem MLM. Beberapa perusahaan MLM
yang cukup dikenal pada masa itu adalah Nutrilite, Shaklee, Corporation, dan lain-
lain.
Secara garis besar, ada dua pendapat pakar hukum Islam mengenai MLM, ada
yang memandang bisnis ini hukumnya adalah halal dan sebagian lagi memandangnya
haram. Secara kasat mata multilevel marketing syariah tidk berbeda dengan praktik-
praktik bisnis multi level marketing lainnya, akan tetapi jika diperhatikan lebih jauh
dalam proses operasionalnya, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara kedua
varian Multi level marketing salah satunya yaitu 1. Konsep halal haram, maka
penjual harus benar-benar mengerti perbedaan antara halal dan haram, yang bukan
hanya terletak pada pencapaian hasil semata tetapi juga proses atau cara
mendapatkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Muh. Baihaqi. 2016. Fiqih Muamalah Kontemporer. (Mataram: Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Mataram).

Kuswara. 2005. Mengenal MLM Syariah dari Halal Haram, Kiat Berwirausaha, sampai
dengan Pengelolaannya. (Tangerang: QultumMedia).

Lubis, Suhrawardi K. 2014. Hukum Ekonomi Islam. (Jakarta Timur: Sinar Grafika).

Marimin, Agus dkk, “Bisnis Multi Level Marketing (MLM) Dalam Pandangan Islam”,
Ekonomi Islam, Vol. 02, No.02, Juli 2016.

Wahyudi, Firman. “Multi Level Marketing Dalam Kajian Fiqh Muamalah”. Al- Banjari. Vol
13, No. 2, Juli-Desember 2014.

Rahmawaty, Anita. “Bisnis Multilevel Marketing Dalam Perspektif Islam”. Equilibrum. Vol.
2, No. 1, Juni 2014.

Anda mungkin juga menyukai