Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang


disebabkan oleh Mycobaterium leprae yang menyerang saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa saluran pernapasan bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis(1). Diagnosis penyakit kusta
ditegakkan dengan ditemukannya satu di antara tiga tanda utama, yaitu: adanya
lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi dengan disertai gangguan fungsi
saraf, serta ditemukannya bakteri tahan asam (BTA)(2).
Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yang merupakan
suatu reaksi imunologi yang dapat terjadi sebelum, selama atau sesudah
pengobatan dengan obat kusta. Reaksi kusta terdiri dari reaksi hipersensitivitas
seluler (tipe 1/reversal) dan reaksi hipersensitivitas humoral (tipe 2/eritema
nodusum leprosum/ENL)(3). Reaksi kusta tipe II merupakan reaksi humoral, yang
ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan fungsi saraf tepi,
gangguan konstitusi dan adanya komplikasi pada organ tubuh lainnya. Hasil studi
lapangan dilaporkan frekuensi ENL lebih tinggi terjadi pada penderita kusta tipe
LL (11,1-26%) dibandingkan tipe BL (2,7-5,1%)(4).
Reaksi kusta tipe 2 dapat dicetus karena pemakaian obat kombinasi untuk
kusta kecuali Klofazimin (Lampren), Bakterial Index >4+, kehamilan awal,
infeksi penyerta, stres fisik dan mental, trauma, operasi, dan imunisasi protektif(5).
Apabila penanganan penderita reaksi kusta terlambat atau tidak adekuat, maka
dapat menimbulkan kecacatan. Kecacatan tersebut akibat dari kerusakan saraf
perifer saat terjadinya reaksi kusta, seperti gangguan saraf sensorik, motorik
maupun otonom(3). Kecacatan akibat reaksi akan berdampak luas baik sosial,
ekonomi, dan psikologis penderita. Akibat kecacatan kusta, penderita akan
menjadi penyandang masalah sosial karena kehilangan produktivitas dan masa
depannya(6).
Melihat pentingnya pengobatan dan perawatan bagi penderita kusta
dengan reaksi, maka diperlukan terapi yang adekuat untuk menurunkan
morbiditas, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup penderita reaksi kusta.

1
LAPORAN KASUS

 Identitas Pasien

Nama : LA
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pekerjaan : Siswi
Status Pernikahan : Belum menikah
Berat Badan : 34,4 kg
Tinggi Badan : 144 cm
Alamat : Lamno
Tanggal Pemeriksaan : 11 mare 2019
Jaminan : JAMKESMAS
Nomor CM : 1-16-50-65

 Anamnesis

Keluhan Utama
Gatal di kepala.

Keluhan Tambahan
Perih di kepala karena bekas garukan.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik dengan keluhan gatal pada daerah kepala. Gatal
dirasakan pada seluruh daerah kepala. Gatal semakin dirasakan jika berkeringat.
Gatal dikeluhkan sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan ini sempat mengalami
perbaikan selama beberapa saat, namun tidak sembuh. Keluhan gatal yang
dirasakan saat ini semakin parah. Pasien sering mengaruk kepalanya yang
mengakibatkan terdapat beberapa luka pada bagian kepala pasien. Pasien jarang
menyisir rambut dan mencuci rambutnya karena luka bekas garukan.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya pernah didiagnosa oleh dokter menderita penyakit
skabies.

Riwayat Penyakit Keluarga


Seluruh anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
Kakak pasien juga mengeluhkan hal yang sama serta saat ini juga menderita
skabies.

Riwayat Pemakaian Obat


Pasien memiliki riwayat penggunaan obat scabimate cream 10 gram,
tyamisin 2% + desoksi methason 0,25%, prirotop 10 gram cream, dan cetirizin
tablet 5 mg pada tanggal 30 januari 2019.

Riwayat Kebiasaan Sosial yang Terkait


Pasien adalah seorang siswi sekolah dasar. Pasien sangat aktif bermain dengan
temannya dalam seminggu hanya sekali keramas. Pasien saat ini jarang menyisir
rambut karena nyeri akibat bekas garukan.

 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan vital sign


Kesadaran : Kompos mentis
TD : 100/70 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,7 0C

3
Pemeriksaan Fisik Kulit
Tanggal Pemeriksaan : 20 April 2018

Gambar 1. Lesi pada regio ekstremitas inferior dextra Gambar 2. Lesi pada regio ekstremitas superior
et sinistra dextra

Gambar 4. Lesi pada regio thorakalis Gambar 5. Lesi pada regio thorakalis
anterior posterior

Gambar 6. Lesi pada regio fascialis

4
Regio : fascialis, ekstremitas superior dextra et sinistra, ekstremitas
inferior dextra et sinistra, dan thorakalis anterior et
posterior.
Deskripsi lesi :Tampak nodul eritematous berbatas tegas,
tepi reguler, jumlah multipel, ukuran numular, distribusi
generalisata.

Tanggal Pemeriksaan : 30 April 2018

Gambar 6. Lesi pada regio ekstremitas inferior dextra Gambar 7. Lesi pada regio ekstremitas superior
et sinistra dextra

Gambar 8. Lesi pada regio thorakalis Gambar 9. Lesi pada regio thorakalis
anterior posterior

5
Gambar 10. Lesi pada regio fascialis

 Diagnosis Banding
1. Reaksi Kusta tipe 2 (Eritema Nodusum Leprosum)
2. Selulitis
3. Sarkoidosis kutis
4. Lupus vulgaris

 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus ini yaitu:
- Pemeriksaan BTA
Hasil pemeriksaan BTA negatif (-)

 Resume
Telah diperiksa seorang laki-laki dengan inisial Tn. MZ berumur 22 tahun
datang dengan keluhan terdapat benjolan kemerahan hampir di seluruh tubuh.
Pada status dermatologis didapatkan lesi primer pada regio ekstremitas superior
dextra et sinistra, regio ekstremitas inferior dextra et sinistra dan regio thorakalis
yaitu nodul dengan dasar eritematus ukuran gutata sampai numular, jumlah
multipel, dan distribusi generalisata.

 Diagnosis Klinis
Eritema Nodusum Leprosum derajat berat.

 Tatalaksana
Terapi Sistemik :
1. Injeksi Metil Prednisolon 62,5 mg/24 jam
2. Ofloxacim 2x200 mg

6
3. Paracetamol 500 mg bila demam
Terapi Topikal :
1. Tyamfenikol 2% + desoximetason 0,25% oint (pagi)
2. Tyamfenikol 2% + Clobetasol propionate 0,05% oint (malam)

Tabel 1. Follow up terapi pasien ENL


Tanggal Hari Terapi
Rawatan
20-23 April 2018 1-4  IVFD NaCL 0,9% 20 tpm/8 jam
 Injeksi Metil prednisolon 62,5 mg/24 jam
 Ofloxacim 2x200mg
 Drip paracetamol 500mg bila demam
 Tyamfenikol 2% + desoximetason 0,25% oint
(pagi)
 Tyamfenikol 2% + Clobetasol propionate
0,05% oint (malam)

24 April 2018 5  IVFD NaCL 0,9% 20 tpm/8 jam


 Injeksi Metil prednisolon 31,25 mg/24 jam
 Ofloxacim 2x200mg
 Tyamfenikol 2% + desoximetason 0,25% oint
(pagi)
 Tyamfenikol 2% + Clobetasol propionate
0,05% oint (malam)
 Kompres NaCl 0,9% 15 menit setiap 4 jam
pada kaki kanan dan kiri

25-28 April 2018 6-9  IVFD NaCL 0,9% 20 tpm/8 jam


 Injeksi Metil prednisolon 31,25 mg/24 jam
 Paracetamol 3x500 mg
 Nomika tablet 100 mg 3x/minggu
 Mecobalamin 2x500 mg
 Curcuma tablet 2x1
 Carbonil diamida
 Diet TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein)
 Bedrest
 Immobilisasi anggota gerak

29-30 April 2018 10-11  IVFD NaCL 0,9% 20 tpm/8 jam


 Bedrest
 Injeksi Metil prednisolon 31,25 mg/24 jam
 Paracetamol 3x500 mg jika demam
 Soft u derm
 Mecobalamin 2x500 mg

7
 Curcuma 2x1 tab
 Nomika tab 100 mg 3x/minggu
 MST 2x10 mg
 Diet TKTP
 Imobilisasi anggota gerak

 Edukasi
1. Edukasi mengenai perjalanan penyakit dan komplikasi.
2. Perbaikan nutrisi.
3. Istirahat yang cukup.

 Prognosis

- Quo ad vitam : Dubia ad Bonam


- Quo ad fungtionam : Dubia ad Malam
- Quo ad sanactionam : Dubia ad Bonam

ANALISA KASUS

Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan terhadap seorang pasien laki-laki


berusia 22 tahun yang datang berobat ke RSUDZA dengan keluhan demam, lemas
dan menggigil sehingga dilakukan perawatan oleh bagian penyakit dalam.
Beberapa hari setelah demam turun, pasien mengalami keluhan pada kulitnya dan
mengharusnya pasien dikonsultasikan ke bagian kulit dan kelamin pada tanggal
20 April 2018. Dari hasil anamnesis didapatkan adanya benjolan kemerahan pada
tubuh pasien. Pada awalnya benjolan muncul di tangan dan kaki, kemudian
menyebar ke seluruh tubuh kecuali wajah. Keluhan juga disertai dengan rasa

8
nyeri yang dirasakan pada daerah benjolan dan bertambah berat dengan sentuhan.
Pasien juga mengeluhkan adanya gatal pada daerah benjolan. Pasien adalah
penderita kusta tipe multibasiler yang telah melakukan pengobatan selama 2 tahun
namun belum dinyatakan selesai pengobatan (Release from treatment/RFT) oleh
dokter.
Keluhan adanya benjol kemerahan menunjukkan adanya lesi primer nodul.
Lesi berupa nodul eritem dapat muncul pada kelainan kulit seperti eritema
nodusum leprosum, selulitis, sarkoidosis kutis, dan lupus vulgaris. Karakteristik
lesi yang terlihat pada pasien menunjukkan gambaran eritema nodusum leprosum
yaitu lesi berupa nodul yang eritem, mengkilap, lesi berdistribusi di hampir
seluruh bagian tubuh, lesi simetris pada daerah tungkai bawah. Diagnosis banding
pada kasus ini dijabarkan pada tabel 2.

9
Tabel 2. Diagnosis Banding
No. Diagnosis Alasan Diagnosis Defenisi Deskripsi Lesi Gambar
1. Eritema Tampak nodul dengan ENL atau reaksi kusta tipe 2 Terdapat perubahan
Nodusum dasar eritematous merupakan komplikasi imunologi lesi kulit berupa nodul
Leprosum berbatas tegas, BL dan LL yang sulit diatasi. kemerahan yang
Sebagian besar pasien dengan multipel, mengkilap,
tepi reguler, jumlah
reaksi tipe 2 mengalami beberapa tampak beruapa nodul
multipel, ukuran episode dalam beberapa tahun, baik atau plak, nodul
numular, distribusi sebagai episode akut yang multipel berukuran kecil,
generalisata. Pasien maupun ENL kronis. Manifestasi distribusi bilateral,
pernah menderita kusta kulit ENL berupa lesi eritema luas, terutama didaerah
dan telah selesai nodul inflamasi, dan papul tungkai bawah, wajah,
pengobatan. superfisial atau dalam. Neuritis lengan dan paha serta
pada ENL tidak seberat reaksi tipe dapat pula muncul di
1. ENL dapat diikuti gejala sistemik hampir seluruh bagian
seperti demam tinggi, edema tubuh kecuali daerah
perifer, dan proteinuria transien. kepala yang berambut,
aksila, lipatan paha
dan daerah perineum.
Selulitis Pada regio ekstremitas Selulitis merupakan peradangan Plak dan nodul eritem
inferior dextra tampak akut jaringan subkutis yang dapat dengan batas tidak
edema dengan disebabkan oleh bakteri jelas dan nyeri tekan.
perubahan warna Streptococcus beta hemolitikus. Predileksi di wajah,
kemerahan. Pasien juga Selulitis dapat menimbulkan lesi di badan, genital dan
mengeluhkan nyeri pada wajah, badan, genital dan ekstremitas atas dan
tungkai bawah kanan. sktremitas. Sebanyak 85% kasus bawah
selulitis terjadi pada daerah kaki
permulaannya seperti demam,
malaise, dan diikuti tanda-tanda
peradangan seperti nyeri, bengkak

10
dan kemerahan.
Sarkoidosis Tampak nodul dengan Sarkoidosis adalah penyakit Lesi dapat berupa
kutis dasar eritematous granulomatosa yang menyerang eritema nodusum,
berbatas tegas, berbagai sistem organ. Lesi kulit lupus pernio, plak,
tepi reguler, jumlah sarkoidosis terdiri atas proses nodul, papula, dan
multipel, ukuran spesifik dan non spesifik. Proses jaringan parut serta
numular, distribusi spesifik ditandai dengan granuloma granulomata.
generalisata. non kaekosa pada pemeriksaan
histopatologik. Lesi pada proses
spesifik terdiri atas makulopapula,
nodus, plak, jaringan parut dan
lupus pernio. Lesi nonspesifik
menandakan adanya proses reaktif
dan tidak terdapat granuloma.
Eritema nodusum merupakan
bentuk lesi tersering pada proses
nonspesifik.
2. Lupus Tampak nodul Lupus vulgaris adalah tuberculosis Tampak nodul
Vulgaris kemerahan berbatas kutis pausibasiler kronis dan eritematus atau coklat
tegas tepi reguler pada progresif. Lesi biasanya soliter kemerahan,
kulit eritematus berupa nodul atau plak eritema penyebaran diskret
penyebaran diskret. dengan gambaran ‘apple jelly’ pada atau diseminata,
pemeriksaan diaskopi. Jarang predileksi di wajah,
ditemukan lesi multipel. badan, dan ekstremitas
.

11
Eritema nodusum leprosum adalah reaksi humoral, dimana bakteri kusta
baik yang utuh ataupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk
antibodi sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara
antigen dan antibodi sehingga mengaktivasi komplemen. Reaksi antigen-antibodi
atau kompleks imun ini terjadi antara lain di kulit berbentuk nodul, di saraf
(neuritis), disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise serta komplikasi
pada organ lain(7).
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak
sakit sedang, kesadaran compos mentis, tanda vital tekanan darah 120/70 mmHg,
nadi 89x/menit, frekuensi napas 20x/menit, dan suhu tubuh 38,7 derajat celsius.
Pemeriksaan status dermatologis terdapat adanya lesi primer pada regio fascialis,
thoraks anterior et posterior, abdomen, ekstremitas superior dextra et sinistra,
ekstremitas inferior dextra et sinistra berupa nodul eritematous yang mengkilap,
ukuran lentikular sampai numular, jumlah multiple, susunan diskret, dan distribusi
generalisata. Hasil pemeriksaan ini didapatkan sesuai dengan klinis dari reaksi
kusta tipe 2 (Eritema Nodusum Leprosum/ ENL).
Diagnosis ENL dapat ditegakkan dari anamnesis penyakit kusta atau
penderita yang telah terdiagnosis kusta dan mendapatkan penatalaksanaan kusta
sebelumnya dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan malaise, ditambah
dengan pemeriksaan fisik berupa lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritem
atau timbul nodul jumlah lesi banyak, disertai nyeri tekan, pembesaran saraf
hingga kehilangan fungsi saraf(8). Klasifikasi derajat reaksi ENL yang ditemukan
adalah reaksi ENL derajat berat, dengan karakteristik sebagai berikut:
Tabel 3. Klasifikasi derajat Reaksi Kusta Tipe 2 (Eritema Nodusum
Leprosum/ENL)
No. Reaksi Ringan Reaksi Berat
1. Deskripsi Lesi Nodus, merah, panas Nodus merah, tebal,
dan nyeri, dapat panas dan nyeri, sering
menjadi ulkus, jumlah menjadi ulkus, jumlah
lesi sedikit lesi banyak
2. Saraf tepi Membesar, tidak Membesar, nyeri, fungsi
nyeri, fungsi saraf saraf terganggu

12
tidak terganggu
3. Gejala konstitusi Demam (±) Demam (+)
4 Gangguan pada organ Tidak ada Iridocyclitis, arthritis,
lain nephritis, lymphadenitis,
dsb.
Catatan : Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan
sebagai reaksi berat.
Tujuan klasifikasi derajat reaksi adalah untuk membedakan tatalaksana, supaya
mendapatkan terapi yang adekuat sehingga tercegah dari terjadinya kecacatan.
a. Tatalaksana reaksi ringan
prinsip pengobatan reaksi ringan sebagai berikut:
1. Berobat jalan, istirahat di rumah
2. Pemberian analgesik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. MDT diberikan terus dengan dosis rendah
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
b. Tatalaksana reaksi berat
prinsip pengobatan reaksi berat sebagai berikut:
1. Imobilisasi lokal/istirahat di rumah
2. Pemberian analgesik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. MDT diberikan terus dengan dosis rendah
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
5. Memberikan obat anti reaksi (Steroid, klofazimin)
6. Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit
7. Reaksi tipe 2 (Eritema Nodusum Leprosum/ENL) berat yang berulang
diberikan steroid dan klofazimin.
Pemeriksaan penunjuang berupa pemeriksaan BTA pada kasus ini
dilakukan untuk memastikan berhasil tidaknya pengobatan kusta pada pasien
selama 2 tahun, dikarenakan pasien tidak kontrol ulang setelah menyelesaikan
pengobatan terakhir kali. Hasil pemeriksaan BTA pada pasien ini adalah negatif,
yang berarti bahwa pasien dinyatakan RFT. ENL pada pasien timbul setelah
menyelesaikan pengobatan kombinasi penyakit kusta.

13
Pada kasus ini pasien merupakan laki-laki berusia 22 tahun dengan
riwayat sakit kusta selama 2 tahun. Usia di atas 15 tahun, jenis kelamin laki-laki
dan lama sakit kusta lebih dari 1 tahun merupakan faktor risiko Eritema nodusum
leprosum. Kejadian reaksi kusta jarang terjadi pada bayi, mungkin ini terjadi
karena respon imun yang diperoleh dari ibunya saat masih dalam kandungan.
Pada usia produktif reaksi kusta lebih sering terjadi, hal ini dimungkinkan karena
pada usia ini respon imun lebih aktif dan lebih sering terpapar faktor eksternal(3).
Suatu penelitian menunjukkan bahwa umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15
tahun merupakan faktor risiko terjadinya reaksi kusta(9). Pada kasus ini, pasien
didiagnosis menderita kusta pada usia 17 tahun pada tahun 2013, hal ini menjadi
salah satu faktor timbulnya ENL.
Jenis kelamin laki-laki menjadi salah satu faktor risiko terjadinya reaksi
kusta. Seperti hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar laki-laki
lebih sering mengalami kelelahan fisik atau pun stres mental karena ia menjadi
tulang punggung keluarganya(9). Pasien pada kasus ini adalah seorang
mahasiswa, dimana sebagai seorang mahasiswa maka pasien akan berinteraksi
dengan lingkungan di perkuliahannya. Perasaan kurang percaya diri dan stigma
masyarakat memungkinkan untuk menjadi beban pikiran bagi pasien. Pada
keadaan stres kekebalan tubuh akan menurun, hal ini akan memicu timbul nya
ENL(3).
Lama penderita menderita sakit kusta mulai dari sebelum didiagnosa,
sesudah didiagnosa dan diobati sampai RFT, diduga berhubungan dengan
terjadinya reaksi kusta. Semakin lama menderita sakit memungkinkan banyak
Mycobacterium leprae yang mati atau pecah dan menjadi antigen sehingga
memicu terjadinya ENL(3).
Tujuan pengobatan ENL adalah mengendalikan inflamasi, rasa nyeri, dan
pencegahan kecacatan(8). Kasus ringan dapat diobati tanpa steroid. Pedoman
WHO untuk penatalaksanaan ENL yang berat sebagai berikut:(10)
1. Penatalaksanaan dengan krtikosteroid
 Jika masih mengkonsumsi MDT maka dilanjutkan hingga selesai
 Gunakan dosis analgesik yang adekuat untuk mengontrol demam dan
nyeri

14
 Gunakan dosis prednisolon sesuai standar, dosis per hari tidak boleh
melebihi 1mg/kgBB dan total durasi 12 minggu.
2. Penatalaksanaan dengan Klofazimin dan kortikosteroid
 Jika masih mengkonsumsi MDT maka dilanjutkan hingga selesai
 Gunakan dosis analgesik yang adekuat untuk mengontrol demam dan
nyeri
 Gunakan dosis prednisolon sesuai standar, dosis per hari tidak boleh
melebihi 1mg/kgBB
 Mulai klofazimin 100 mg 3x1 selama maksimal 12 minggu
 Selesaikan standar terapi untuk prednisolon
 Kurangi dosis klofazimin menjadi 100 mg 2x1 selama 12-24 minggu
3. Penatalaksanaan hanya dengan klofaimin, jika kontraindikasi dengan
kortikosteroid
 Jika masih mengkonsumsi MDT maka dilanjutkan hingga selesai
 Gunakan dosis analgesik yang adekuat untuk mengontrol demam dan
nyeri
 Mulai klofazimin 100 mg 3x1 selama maksimal 12 minggu
 Kurangi dosis klofazimin menjadi 100 mg 2x1 selama 12-24 minggu
Pada pasien ini, terapi MDT sudah selesai dilakukan, maka tidak perlu
mengulang MDT dan total durasi penggunaan kortikosteroid (prednisolon)
maksimal adalah 12 minggu.(10)
Obat anti reaksi lainnya adalah thalidomide yang sangat efektif untuk ENL
berat. Thalidomide memiliki onset kerja cepat. Thalidomide bekerja melalui TNF
dan juga beberapa mekanisme lain. Penggunaan thalidomide dapat mengurangi
dosis kortikosteroid pada pasien ENL berat. Dosis awal thalidomide 400 mg,
dikurangi menjadi 300 mg secepat mungkin, dosis dapat dikurangi 100 mg per
bulan. Di Indonesia, thalidomide tidak tersedia(11).
Pada rawatan hari ke 6 pasien diterapi dengan Nomika yang mengandung
Mynocycline HCl golongan tetrasiklin. Meskipun Minocycline terutama
digunakan untuk mengobati jerawat (Acne vulgaris), namun Minocycline juga
bersifat bakteriostatik terhadap Mycobacterium leprae. Sebuah literatur
menyebutkan bahwa Minocycline digunakan sebagai terapi lini kedua pada ENL,

15
bukan pemicu terjadinya ENL(11-12). Hari rawatan ke 10 pasien menerima terapi
MST continus dengan kandungan Morphine sulfate yang merupakan analgesik
opioid, digunakan untuk meredakan nyeri persisten yang hebat(13-14).

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Ramadhian MR. Laki-laki 35 Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan


Reaksi Lepra Tipe II ( Erythema Nodosum Leprosum ). 2016;(January).
2. Thappa DM. Essentials in Dermatology (with Multiple Choice Questions).
2nd ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher; 2009. 331-350 p.
3. Prawoto. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
kusta. Univeristas Diponegoro Semarang; 2008.
4. Gobena E. The Immunopathology of Erythema Nodusum Leprosum.
University of London; 2016.
5. Putu N, Yayas A. Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum
Leprosum pada Penyakit Kusta. 2015;42(9):654–7.
6. Miller RA. Harison : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. 2nd ed. Jakarta:
EGC; 2014. 808-813 p.
7. Putri DU. Reaksi Morbus Hansen. 2015;3–13.
8. Ditjen PPM & PL P2 Kusta. Buku Pedoman Nasional Program
Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2012.
9. Irsan Q. Kejadian Reaksi Kusta di Puskesmas Kota Pontianak. Universitas
Tanjungpura; 2014.
10. WHO. WHO Guidelines for the management of severe erythema nodosum
leprosum ( ENL ) reactions. Available from: www.who.int
11. Vionni, Arifputra J, Arifputra Y. Reaksi Kusna. 2016;43.
12. Travassos AR, Antunes J, Pacheco D, Almeida LS, Filipe P, Marques MS.
Erythema Nodosum leprosum associated with minocycline.
2012;(September):12–4.
13. NDA. Minocin (Minocycline Hydrocloride) Oral Suspension. :3–20.
14. MoH. Malawi Standard Treatment Guidelines (MSTG). 4th ed. Ministry of
Health; 2009.
15. MoH. Zambia National Formulary. Ministry of Health; 2013.

17
Penggunaan Steroid dan Thalidomide Pada Tatalaksana
Eritema Nodusum Leprosum (ENL); 17 tahun
di Rumah Sakit untuk Penyakit Tropis, London
Laura E.B. Nabarro, Dinesh Aggarwal, Margaret Armstrong & Diana N.J Lockwood

Tujuan: Prednisolone dan Thalidomide umumnya digunakan dalam pengelolaan


eritema nodusum leprosum (ENL) dan memberikan bantuan kepada pasien
dengan kondisi ini di seluruh dunia. Namun, baik ENL dan perawatannya dapat
menyebabkan morbiditas yang signifikan. Penelitian ini menggambarkan
spektrum ENL yang terlihat di The Hospital for Tropical Diseases, London
(HTD), penggunaan steroid dan thalidomide dalam penatalaksanaannya dan
komplikasi penggunaannya.
Metode: Kami melakukan audit restrospektif pasien yang didiagnosis dengan
ENL diantara tahun 1996 dan 2013. Data didapatkan dari catatan rumah sakit
termasuk tingkat keparahan dan lamanya penyakit, bersamaan dengan perawatan
yang diterima dan efek sampingnya.
Hasil: Diantara tahun 1996 dan 2013, 30 pasien telah didiagnosis ENL. Rata-rata
bacillary index (BI) saat diagnosis adalah 4·65, lebih tinggi dari penelitian
sebelumnya. Kebanyakan pasien mengalami ENL saat terapi lepra (67%) dan
mengalami kronik ENL (57%). Rata-rata lamanya ENL adalah 60 bulan (kisaran
9-192); pasien dengan BI > 4·5secara signifikan memiliki durasi penyakit yang
lebih lama. 87% pasien menerima prednisolone untuk median 9 bulan; 35%
mengembangkan efek samping termasuk diabetes dan hipertensi. 87% pasien
menerima thalidomide rata-rata 16 bulan; 65% mengeluhkan efek samping. Tidak
ada kehamilan dan tromboemboli vena. 77% pasien berhenti prednisolone dalam
waktu 2 bulan setelah memulai terapi thalidomide. Dalam penelitian kohort ini
tidak ada yang meninggal.
Kesimpulan: Kami menggambarkan perjalanan klinis ENL di negara non-
endemik dengan akses ke thalidomide dan prednisolone. ENL mungkin akan
berlangsung lama dari yang sebelumnya digambarkan dan memiliki dampak yang
signifikan pada kesehatan pasein. Di UK, thalidomide sangat penting sebagai agen

18
steroid-sparing, untuk mencegah efek samping dan mortalitas jangka panjang
penggunaan steroid yang telah didokumentasikan di tempat lain.

19
RESUME
Eritema Nodulus Leprosum (ENL) merupakan multisistem dan gangguan
remisi yang terjadi pada pasien dengan lepromatus dan borderline lepromatus
leprosy. Meskipun patogenesisnya belum diketahui dengan pasti, namun ini
ditandai dengan deposisi kompleks imun dan aktivasi sel T dengan nilai TNFα
dan IL6 yang tinggi. Manifestasi klinisnya berupa lesi eritematus dengan atau
tanpa gejala sistemik seperti demam, neuritis, orkitis dan nyeri tulang. Di seluruh
dunia kejadian ENL bervariasi, dari 5% hingga 49% dalam studi kohort. Faktor
risikonya adalah yang memiliki lepromatous leprosy atau bacillary index (BI)
lebih dari 4.
Pengelolaan ENL masih sulit, dimana agen anti-inflamasi masih kurang
cukup untuk kontrol simtomatik penyakit ini. Prednisolone dengan cepat dapat
mengontrol gejala, tetapi terdapat risiko komplikasi pada pengobatan steroid
jangka panjang. Sementera itu thalidomide dinilai cukup efektif tetapi memiliki
efek samping seperti kelelahan, sembelit dan neuropati. Namun thalidomide ini
tidak tersedia di beberapa negara karena kekhawatiran dari risiko teratogeniknya.
Klofazimine dinilai efektif sebagai agen anti-inflamasi dengan dosis 300mg/hari.
Namun diperlukan waktu empat minggu untuk bekerja dan kulit yang terkait
pigmentasi dapat menjadi stigmatisasi bagi pasien di daerah endemik kusta.
Penelitian ini melakukan audit retrospektif dari manajemen pasien dengan
ENL yang terlihat di The Hospital for Tropical Diseases, London, antara Januari
tahun 1996 dan Desember 2013. Data diperoleh dari catatan rumah sakit termasuk
catatan kasus dari konsultasi, rawat inap, dan catatan laboratorium. Data yang
dikumpulkan termasuk usia, jenis kelamin, negara asal, negara tempat kusta,
klasifikasi Ridley-Jopling, BI pada diagnosis, rejimen pengobatan, lama
pengobatan dan terjadinya ENL. Data selanjutnya mengumpulkan tentang ENL
termasuk waktu, pola, tingkat keparahan dan lama waktunya penyakit ini
dibarengi dengan terapi yang digunakan.Efek samping dari steroid dicatat seperti
kenaikan berat badan, diabetes, hipertensi, osteoporosis, katarak dan terjadinya
infeksi. Efek samping dari thalidomide juga dicatat, seperti kelelahan, sembelit,
pusing, sakit perut, kehamilan yang tidak direncanakan dan tromboemboli vena.

20
Hasil penelitian yang dilakukan diantara tahun 1996 dan 2014, didapatkan
18 pasien dengan BL dan 46 pasien dengan LL di The Hospital for Tropical
Diseases. 4 pasien (22%) dengan BL dan 26 pasien (56%) dengan LL berkembang
menjadi ENL. Dari 30 pasien dengan ENL, 20 pasien (67%) adalah laki-laki.
Rata-rata BI saat diagnosis adalah 4·65, 22 pasien (73%) memiliki BI lebih dari 4.
9 pasien (30%) berkembang menjadi ENL sebelum memulai pengobatan lepra, 20
pasien (67%) selama pengobatan dan 1 pasien (3%) setelah pengobatan. 13 pasien
(43%) mengalami ENL berulang dan 17 pasien (57%) mengalami ENL kronik.
Rata-rata lamanya ENL adalah 60 bulan (kisaran 9-192 bulan), namun didapatkan
4 pasien (13%) menderita ENL selama lebih dari 10 tahun.
Pasien yang BI awal lebih dari 4·5 memiliki lamanya ENL dengan rata-
rata 76 bulan dibandingkan dengan 40 bulan pada pasien dengan 4·5 atau kurang
(Mann Whitney u test, P 0.043). 16 pasien (53%) dengan tingkat keparahan
sedang dan 4 pasien (13%) dengan tingkat keparahan berat dan tidak terdapat
kematian pada penelitian kohort ini.
Prednisolone diberikan rata-rata selama 9 bulan (rentang 1 minggu
hingga 74 bulan) dengan dosis berkisar 5 mg hingga 80 mg/hari. Rata-rata dosis
maksimalnya adalah 40 mg/hari; dan dosis dikurangi ketika ENL terkontrol.
Thalidomide diberikan rata-rata selama 16 bulan (rentang 2 minggu hingga 175
bulan) dengan kisaran dosis 12,5 mg hingga 500 mg per hari. Rata-rata dosis
maksimum adalah 400 mg/hari.
Ini adalah penelitian pertama yang menggambarkan perjalanan klinis
ENL di klinik dimana pasien dapat diobati dengan thalidomide dan prednisolone
di wlayah non-endemik. Dibandingkan dengan penelitian kohort lainnya, tingkat
ENL di penelitian ini tinggi: 56% dengan tipe LL berkembang menjadi ENL
dibandingkan dengan 49% dengan tipe LL dalam penelitian di Hyderabad, India
dengan criteria inklusi dan definisi yang sama.
Keterlambatan dalam mendiagnosis dapat mengakibatkan BI yang lebih
tinggi, BI yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya ENL dan pada studi
kohort ini didapatkan nilai yang tinggi. Hal ini terjadi dikarenakan Inggris
merupakan daerah non-endemik sehingga kesadaran akan penyakit kusta masi
kurang dan menyebabkan terlambatnya didiagnosis.

21
Seperti penelitian sebelumnya, pada penelitian ini juga pasien-pasien
yang mengalami ENL terjadi selama masa pengobatan kusta. Namun pada
penelitian ini durasinya terjadi ENL lebih lama (rata-rata 60 bulan, rentang 9-192
bulan), sementara di Nepal kisarannya adalah 1 hingga 62 bulan.
Sugurmaran menyelidiki komplikasi terapi steroid dalam reaksi kusta
dan menemukan bahwa 23% pasien menjadi katarak dan 3% berkembang menjadi
TB. Pada penelitin ini efek samping steroid terlihat kecil. Tidak ada kematian
dalam penelitian ini. Walker dkk menemukan tingkat kematian sebesar 7-9%
pasien ENL di Ethiopia, dimana thalidomide tidak tersedia. Dalam 50% kematian,
steroid diidentifikasi sebagai faktor penyebab yang pasti, karena pasien meninggal
akibat TB atau syok septic. Peneliti menduga angka kematian nol pada penelitian
ini dikarenakan ketersediaan thalidomide.
Thalidomide memungkinkan 75% pasien dihentikan penggunaan steroid
dalam waktu rata-rata 2 bulan. Namun beberapa pasien mengeluhkan efek
sampingnya seperti kelelahan, karena mempengaruhi kualitas hidupnya.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah keterbatasan sampel dan tidak
diambil secara acak sehingga membatasi untuk menggeneralisasi data. Selain itu,
dikarenakan ini penelitian retrospektif, maka terdapat keterbatasan dalam catatan
medis pasien.

22
TELAAH KRITIS JURNAL TERAPI
Penggunaan Steroid dan Thalidomide Pada Tatalaksana
Eritema Nodusum Leprosum (ENL); 17 tahun
di Rumah Sakit untuk Penyakit Tropis, London
Laura E.B. Nabarro, Dinesh Aggarwal, Margaret Armstrong & Diana N.J Lockwood

1. Apakah alokasi subjek penelitian ke  Pada penelitian ini, subyek


kelompok terapi atau kontrol betul- penelitian tidak diambil secara
betul secara acak atau tidak? acak. Dikarenakan keterbatasan
sampel pada tempat penelitian,
- Tidak
sehingga tidak dapat dilakukan
pengambil sampel secara acak.

2. Apakah semua keluaran (outcome)  Pada jurnal semua hasil yang


dilaporkan? didapatkan dari subjek penelitian
dilaporkan yaitu mencakup
- Ya
outcome treatment, seperti
keberhasilan terapi serta efek
samping yang muncul.
3. Apakah lokasi studi menyerupai  Pada Penelitian ini, penelitian
lokasi anda bekerja atau tidak? dilakukan di The Hospital for
Tropical Disease, London, namun
- Tidak diketahui
tidak dijelaskan secara detail
kondisi dari rumah sakit tersebut.

4. Apakah kemaknaan statistik  Kemaknaan klinik dikategorikan


maupun klinik dipertimbangkan dalam perbaikan klinik, sedangkan
atau dilaporkan? kemaknaan statistik yang
signifikan (P = 0.043) tidak
- Ya
dilaporkan secara jelas pada
penelitian ini.

23
5. Apakah tindakan terapi yang  Belum tersedia thalidomide di
dilakukan dapat dilakukan di RSUDZA.
tempat anda bekerja?

- Tidak

6. Apakah semua subjek penelitian  Semua subjek masuk dalam


diperhitungkan dalam kesimpulan? perhitungan data.

- Ya

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kritisi jurnal, didapatkan 4 jawaban “Iya”, 1 jawaban


“Tidak”, dan 1 jawaban “Tidak diketahui” dari total 6 pertanyaan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa jurnal dengan judul “Penggunaan Steroid dan Thalidomide
Pada Tatalaksana Eritema Nodusum Leprosum (ENL); 17 tahun di The Hospital
for Tropical Diseases, London” ini layak dibaca dan layak untuk diadaptasikan
sebagai penelitian lanjutan di RSUDZA.

24

Anda mungkin juga menyukai