Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis adalah penyakit menular yang langsung disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobakterium tuberculosis). Pada penyakit tuberkulosis jaringan yang paling
sering diserang adalah paru - paru (95,9 %), tetapi dapat juga mengenai tubuh lainnya.
Gejala yang biasanya muncul adalah demam, batuk darah, batuk yang biasanya
berlangsung lama dan produktif yang berdurasi lebih dari 3 minggu.Penyakit TB
biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mycobakterium
tuberculosisyang dilepaskan pada saat penderita TB batuk, sedangkan pada anak-anak
sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini sering masuk
dan berkumpul di dalam paru-paru dan berkembang biak menjadi banyak (terutama
pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melaui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening (Price,dkk., 2006).
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.
Organisasi Kesehatan Duniamemperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih merupakan salah satu
masalah kesehatan yang utama di dunia. Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan
kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Semua negara telah terdapat
penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk
China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis (WHO,
2011).
Laporan World Health Organization (WHO) TB adalah penyakit kedua setelah HIV
dan AIDS sebagai pembunuh terbesar di seluruh dunia karena agen menular
tunggal.Pada tahun 2007 bahwa Indonesia penderita TB Paru yaitu sekitar 528 ribu.
Pada tahun 2009 terdapat sekitar 9,4 juta penderita kasus TB Paru secara global. Di
lihat secara prevalensinya TB Paru di dunia mencapai 14 juta kasus atau sama dengan
200 kasus per 100.000 penduduk. Pada tahun 2011 terdapat 8,7 juta orang jatuh sakit
karena TB dan 1,4 juta meninggal karena TB. Lebih dari 95% kematian akibat TB Paru
terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, sedangkan laporan WHO pada
tahun 2009 dan 2010, mencatat peringkat Indonesia menurun dibawah India, Cina,
Afrika Selatan, dan Nigeria(WHO, 2010).
Dilihat lagi pada tahun 2011 kasus TB Paru semakin menurun yang masih
terdapat 450.000 kasus danitulah yang menyebabkan masih tingginya jumlah kasus
baru TB di negara kita yaitu menempati tiga besar negara dengan penderita TB
terbanyak. Penyakit TB di Indonesia masih bersaing dengan penyakit tidak menular
yang masih memunyai masalah penyebab kematian seperti penyakit jantung koroner.

1
Kajian medis tentang TB terus menerus dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan
dan kematian, bahkan sampai pada efek pemakaian obat sampai resisten obat(Syafar,
2011).Setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 450.000 kasus
TB paru. Tiga per empat dari kasus TB ini terdiri dari usia produktif 15 - 49
tahun(Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diketahui penyakit tuberkulosis
merupakan penyakit yang sangat berbahaya, dan untuk mendapatkan gambaran
epidemiologis penyakit tuberkulosis serta informasi mengenai pelaksanaan program
surveilans di puskesmas maka diadakanlah praktikum surveilans di puskesmas masohi

1.1.1 Tujuan Umum


Secara umum praktikum ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
epidemiologis penyakit tuberkulosis di Puskesmas Masohi. serta informasi
mengenai pelaksanaan program surveilans di puskesmas tersebut.
1.1.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi penyakit Tuberkulosis menurut waktu
(time),tempat (place), danorang (person), di Puskesmas Masohi tahun 2019.
b. Untuk mengetahui gambaran proses pelaksanaan surveilans penyakit
tuberkulosis yaitu pengamatan, pencatatan, pengolahan dan analisis data,
serta diseminasi penyakit di Puskesmas Masohi.
c. Untuk mengetahui gambaran atribut surveilans yaitu Kesederhanaan
(simplicity), fleksibilitas (flexibility), dan ketepatan waktu (timeliness)dalam
sistem surveilans penyakit tuberkulosis di Puskesmas Masohi.
1.3 Manfaat
1.3.2 Ilmiah
Praktik ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah dan memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan serta merupakan bahan acuan bagi peneliti
selanjutnya.
1.3.3 Mahasiswa
Aplikasi ilmu dan pengalaman berharga serta dapat menambah wawasan
ilmiah dan pengetahuan penulis tentang penyakit tuberkulosis. Menambah ilmu
pengetahuan dan pengalaman khususnya dalam mengadakan praktik surveilans
yang selanjutnya mengaplikasikan teori yang diperoleh di ruang kuliah dengan
melihat keadaan yang sebenarnya di lapangan.

2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori Mengenai Penyakit Tuberkulosis (TB)


2.1.1 Definisi TB
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (MycrobacteriumTuberculosis) temasuk dalam family
Mycrobacteriaceae dan temasuk dalam ordo Actinomycetales.
MycrobacteriumTuberculosismasih keluarga besar genus Mycrobacterium.
Berdasarkan beberapa kompleks tersebut, Mycrobacterium Tuberculosis
merupakan jenis yang terpenting dan paling sering di jumpai
(Kemenkes,2011).Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya, namun yang paling sering terkena adalah organ
paru (90%) (Suarni,2009). Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe,
kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru (Depkes, 2002).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang menular melalui udara. Bakteri
penyebab infeksi tersebut adalah MycrobacteriumTuberculosis yaitu suatu
bakteri yang tahan terhadap asam, sehingga sangat sulit untuk diobati.

2.1.2 KlasifikasiTB
a. Tuberkulosis Paru
TB paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil 3 kali pemeriksaan dahak,
radiologis atau kultus Mycobacterium tuberculosis. TB ini dibagi atas:
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu)
hasilnya BTA positif.Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan
foto rontgen dada menunjukkan gambaran TB aktif.
2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto
rontgen dada menunjukkan gambaran TB aktif. TB paru BTA negatif
rontgen positif di bagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu
bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas dan keadaan
umum penderita buruk.

4
b. Tuberkulosis Ekstra Paru
TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain). TB ekstra Paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
1) TB Ekstra Paru Ringan
Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatuva unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar adrenal.
2) TB Ekstra Paru Berat
Misalnya: Meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleoritis eksudativa
duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin(Zulkarnain, 2005).

2.1.3 EtiologiTB
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadapasam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
tahan Asam(BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung,
tetapi dapat hidupbeberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman inidapat dormant, tertidur lama selama beberapa hari
(Depkes,2002).

2.1.4 PatofisiologiTB
Tempat masuknya kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran
pernapasan, saluran pencernaan, dan luka tebuka pada kulit. Kebanyakan
infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung
kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi TB. Infeksi
TB dikendalikan oleh respon imunitas sel. Sel efektornya adalah limfosit
(biasanya sel T) dan makrofag (Price,dkk., 2006).
Individu yang rentan dan menghirup basil tuberkulosis serta terinfeksi. Bakteri
dapat berpindah melalui jalan napas ke alveoli, tempat berkumpulnya bakteri
tersebut dan berkembang biak. Basil tersebut juga dapat berpindah melalui
sistem limfe dan aliran darah kebagian tubuh lainnya seperti ginjal, tulang, kortek
serebri dan area paru-paru lainnya seperti lobus atas.Sistem imun tubuh hospis
berespon dengan melakukan reaksi inflasmasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag)
memakan banyak bakteri, lomfosit spesifik teberkulosis melisis basil dan jaringan

5
normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli,
menyebabkan bronkopenomonia, infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu
setelah pemajanan(Smeltzer,dkk., 2002).
Patogenesis tuberkulosis pada individu imunokompoten yang belum pernah
terpajan berfokus pada pembentukan imunitas selular yang menimbulkan
resistensi terhadap organisme dan menyababkan terjadinya hipersensitivitas
jaringan tehadap antigen tuberkular (Robbins, 2007). Masa jaringan baru yang
disebut dengan granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup
dan sudah mati. Dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektif,
Granulomas tersebut diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari
massa fibrosa ini disebut tuberken Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi
nekrotik dan membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami
klasifikasi dan membentuk skar kolagenosa.

2.1.5 SimptompatologiTB
Gejala pada penyakit tuberkulosis adalah:
a. Demam tidak terlalu tinggi disertai keringat malam hari
b. Demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul
c. Penurunan nafsu makan dan berat badan
d. Batuk-batuk selama 3 minggu dapat disertai dengan darah
e. Perasaan tidak enak, lemah.
f. Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus, yakni saluran yang menuju paru-
paru, maka akan menimbulkan suara “mengi” suara nafas yang melemah
disertai sesak.
g. Bila ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru), maka penderita
akan mengalami keluhan sakit dada.
h. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
ada pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
diatasnya. Pada muara ini akan keluar nanah.
i. Muncul benjolan didaerah leher, ketiak, dan lipatan paha (Sandina, 2011).

2.1.6 PencegahanTB
Pencegahan penularan di lakukan oleh pasien TB paru sendiri dan dibantu
oleh petugas pelayanan kesehtan, pencegahan tuberkulosis paru menurut Zain
dalam Ardiansyah (2012) yaitu dengan:
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita TB paru BTA positif

6
b. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal tehadap kelompok-kelompok
populasi tertentu, misalnya karyawan rumah sakit, atau puskesmas atau balai
pengobatan dan lain-lain.
c. Vaksinasi BCG; reaksi positif terjadi jika setelah mendapat vaksinasi langsung
terdapat lesi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 haru setelah
penyuntikan.
d. Kemoprofilaksis, dengan menggunakan INH mg/kg BB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit.
e. Komunikasi, informasi, dan edukasi, tentang penyakit tuberkulosis kepada
masyarakat di tingkat puskesmas maupun rumah sakit oleh petugas
kesehatan.
Pada setiap pelayanan kesehatan, Arias (2010) menyebutkan tindakan
pengendalian yang paling penting dalam mencegah penularan tuberkulosis
meliputi:
a. Pengenalan segera orang-orang (pasien dan petugas) yang menderita TB
paru
b. Isolasi segera pasien yang diketahui atau diduga menderita TB paru dalam
sebuah ruangan khusus yang tidak bertukar udara
c. Membuat diagnosis yang tepat dengan cepat untuk orang-orang dengan
tanda dan gejala tuberkulosis paru (misalnya riwayat medis dan fisik,
radiografi dada, uji kulit tuberkulin, dan pulasan serta biakan sputum untuk uji
bakteri tahan asam (BTA).
d. Penggunaan alat pelindung pernapasan (masker) untuk petugas yang
merawat pasien yang diketahui atau diduga TB
e. Perawatan segera pasien dengan pengobatan anti tuberkulosis
f. Anjurkan pasien rawat jalan untuk menggunakan masker

2.1.7 PengobatanTB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah
terjadinya resistensi kuman tehadap OAT. Terdapat 5 jenis antibiotik yang dapat
digunakan bagi penderita TB. Infeksi tuberkulosis pulmoner aktif seringkali
mengandung 1 miliar atau lebih bakteri, sehingga jika hanya diberikan satu
macam obat, maka akan menyisakan ribuan bakteru yang resisten terhadap
obat terseut, oleh karena itu, paling tidak diberikan 2 macam obat yang memiliki
mekanisme kerja yang berlainan. Antibiotik yangsering digunakan adalah

7
isoniazid, rifampicin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Isoniazid,
rifampicin dan pirazinamid dapat digabungkan dalam satu kapsul. Ketiga obat
tersebut dapat meyebabkan mual dan muntah sebgai akibat dari efeknya
terhadap hati (Mahdiana, 2010).
Dalam rangka program pemberantasan tuberkulosis paru, Departemen
Kesehtan RI menggunakan pedoman terapi jangka pendek dengan pengobatan
TB paru, yaitu: HRE/5 HaRa = isoniazid+rifampisin+etambutol setiap hari selama
1 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan isoniazid+rifampisin 2 kali seminggu
selama 5 bulan. Pengobatan ini dilakukan dengan pengawasan ketat, disebut
dengan DOTs (Directly Observed Treatment Short Course) atau disebut juga
pengawas menelan obat (PMO). Tujuan dari program TB paru ini adalah untuk
memutus rantai penularan sehingga penyakit tuberkulosis paru tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.Atau dengan cara lain yaitu:
a. Penderita yang dalam dahaknya mengandung kuman dianjurkan untuk
menjalani pengobatandi puskesmas.
b. Petugas dapat memberikan pengobatan jangka pendek di rumah bagi
penderita secaradarurat atau karean jarak tempat tinggal penderita dengan
puskesmas cukup jauh untuk bisaberobat secara teratur.
c. Melaporkan adanya gejala sampingan yang terjadi, bila perlu penderita
dibawa kepuskesmas.

8
2.2 Tinjauan Teori tentang Surveilans
2.2.1 Pengertian Surveilans
Menurut Center for Disease Control tahun 1996 surveilans merupakan
pengumpulan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara sistematis dan
terus menerus, yang diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi
upaya kesehatan masyarakat, dipadukan dengan diseminasi data secara tepat
waktu kepada pihak-pihak yang perlu mengetahuinya.Sedangkan menurut WHO
(2004), surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan
interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi
kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Sejalan dengan pengertian surveilans diatas, menurut Depkes RI tahun 2011
surveilans adalah proses pengamatan berbagai masalah yang berkaitan dengan
suatu program secara terus menerus melalui kegiatan pengumpulan, pengolahan,
analisis, dan interpretasi data secara sistematis serta penyebarluasan informasi
kepada unit terkait yang membutuhkan dalam rangka pengambilan
tindakan.Surveilans dapatmemantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan
penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan
biologis pada agen, vektor, dan reservoir.Selanjutnya surveilans menghubungkan
informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-
langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001).
Surveilans dapat didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang sistematis
dan berkesinambungan dalam pengumpulan, analisis, interpretasi data dan
penyampaian informasi dalam upaya menguraikan dan memantau suatu penyakit
atau peristiwa kesehatan. Sedangkan surveilans epidemiologi penyakit tidak
menular merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit
tidak menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit
tidak menular (Amirudin, 2013).
Berdasarkan Permenkes RI No. 45 Tahun 2014 surveilans kesehatan adalah
kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan
informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah
kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.

9
2.2.2 Tujuan dan Manfaat Surveilans
a. Tujuan Surveilans
Pelaksanaaan sistem surveilans epidemiologi memiliki beberapa tujuan
diantaranya sebagai berikut (WHO, 2002) :
1) Memprediksi dan mendeteksisecara dini terjadinya epidemi/wabah
(outbreak).
2) Memonitor, mengevaluasi, dan memperbaiki program pencegahan,
pengendalian penyakit, dan masalah kesehatan.
3) Menyediakan informasi untuk menentukan prioritas program intervensi,
pengambilan kebijakan, perencanaan, implementasi, dan alokasi sumber
daya kesehatan.
4) Menitoring kecenderungan (trend) penyakit endemis dan mengestimasi
dampak penyakit di masa datang.
5) Mengidentifikasi kebutuhan riset dan investigasi lebih lanjut.

b. Manfaat Surveilans
Mempelajari pola kejadian penyakit potensial pada populasi sehingga
dapat efektif dalam investigasi, controling dan pencegahan penyakit di
populasi.
1) Identifikasi dan perhitungan tren dan pola penyakit.

a) Identifikasi kelompok resiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat.


b) Identifikasi faktor resiko dan penyebab lainnya.
c) Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi.
d) Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis.
e) Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologisnya.
f) Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan
pelayanan kesehatan.
g) Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas
sasaran program pada tahap perencanaan.

2.2.3 Sumber Data Surveilans


Beberapa sumber data yang tersedia dapat digunakan untuk
surveilans kesehatan masyarakat.World Health Organization (WHO)
menyusunnya sebagai kunci dari sumber data surveilans sebagai berikut:

10
a. Laporan kematian.
b. Laporan kesakitan.
c. Laporan epidemik.
d. Laporan penggunaan laboratorium (termasuk hasil tes laboratorium).
e. Laporan penyelidikan kasus individu.
Survei khusus (misalnya: pengunjung masuk ke rumah sakit, daftar
penyakit dan survei serologi).
a. Informasi hewan reservoir
b. Data demografi
c. Data lingkungan
Macam-macam sumber data dalam surveilans epidemiologi menurut
(Kepmenkes RI No.1116/Menkes/SK/VIII/2003) :
a. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
dan masyarakat.
b. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
serta laporan kantor pemerintah dan masyarakat.
c. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan
dan masyarakat.
d. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan
geofisika.
e. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
dan masyarakat.
f. Data kondisi lingkungan.
g. Laporan wabah.
h. Laporan penyelidikan wabah/KLB.
i. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
j. Studi epidemiologi dan hasil penelitian lainnya.
k. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh
dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
l. Laporan kondisi pangan.

2.2.4 Atribut Surveilans


Atribut surveilans terbagi menjadi tujuh adalah sebagai berikut:
a. Simplicity (kesederhanaan)

11
Kesederhanaan surveilans berarti struktur yang sederhana dan
mudah dioperasikan. Sistem surveilans sebaiknya sesederhana
mungkin, tetapi dapat mencapai objektif. Metode yang digunakan
dalam atribut simplicity (kesederhanaan) adalah kerangka yang
menggambarkan alur informasi dan hubungannya dengan sistem
surveilans dapat menolong untuk menilai kesederhanaan atau
kemajemukan suatu surveilans. Ukuran-ukuran yang dapat
dipertimbangkan dalam menilai kesederhanaan sistem yaitu:
1) Banyaknya jenis sumber informasi untuk menegakkan diagnose
2) Cara penyaluran data informasi kasus
3) Banyaknya organisasi yang terlibat dalam penerimaan laporan
kasus.
4) Latihan staf yang dibutuhkan.
5) Bentuk analisis data.
6) Banyak dan jenis pemakai informasi.
7) Cara penyebaran laporan kepada pemakai data.
8) Waktu yg dipakai dalam kegiatan.
9) Kesinambungan sistem;
a) Pengumpulan informasi kasus
b) Penelurusan informasi kasus
c) Analisis informasi kasus
d) Penyiapan dan penyebaran laporan surveilans
b. Fleksibility (fleksibilitas)
Suatu sistem surveilans yang fleksibel dapatmenyesuaikan diri
dengan perubahan informasi yang dibutuhkanatau situasi
pelaksanaan tanpa disertai peningkatan yang berartiakan kebutuhan
biaya, tenaga dan waktu. Sistem yang fleksibeldapat menerima,
misalnya penyakit dan masalah kesehatan yangbaru diidentifikasikan,
perubahan definisi kasus, dan variasi–variasidari sumber
pelaporan.Fleksibilitas ditentukan secara retrospektifdengan
mengamati bagaimana suatu sistem dapat memenuhikebutuhan–
kebutuhan baru. Fleksibilitas sulit dinilai apabilasebelumnya tidak ada
upaya untuk menyesuaikan sistem tersebutdengan masalah
kesehatan lain.
12
c. Acceptability (kemampuan untuk diterima)
Acceptabilitydimaksudkan dengan keinginan individu atau
organisasi untuk ikut serta dalam melaksanakansistem surveilans.
Dalam hal evaluasi sistem surveilans, acceptabilitymenunjukkan
keinginan untuk digunakan sistem oleh:
1) Orang-orang diluar kedinasan, misalnya mereka yang diminta
melakukan sesuatu sistem.
2) Orang dalam kedinasan yang melaksanakan sistem untuk menilai
acceptability, seseorang mesti mempertimbangkan titik-titik
interaksi antara sistem dan partisipasinya, termasuk orang-orang
pelaksana dan kasus yang dilaporkan. Indikator kuantitatif
acceptabilitymeliputi:
a) Angka partisipasi subjek dan dinas;
b) Jika partisipasi tinggi, bagaimana agar cepat tercapai;
c) Angka kelengkapan interviewdan angka penolakan pertanyaan (jika
sistem melakukan interviewpada subjek);
d) Angka pelaporan dokter, laboratorium, atau rumah sakit/fasilitas
lainnya;
e) Ketepatan waktu pelaporan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aksepabilitas dari suatu
sistem adalah :
a) Pentingnya suatu masalah kesehatan.
b) Pengakuan dari sistem terhadap kontribusi individual
c) Tingkat responsif dari sistem terhadap saran–saran dan komentar.
d) Waktu yang diperlukan dibandingkan dengan waktu yang tersedia.
e) Keterbatasan yang diakibatkan oleh adanya peraturan–peraturan baikdi
tingkat pusat maupun daerah dalam hal pengumpulan data danjaminan
kerahasian data.
f) Kewajiban untuk melaporkan suatu peristiwa kesehatan sesuaidengan
peraturan di daerah maupun pusat.
d. Sensitivity (Sensitivitas)
Sensitivitas sistem surveilans dapat dinilai dari dua
tingkat.Pertama pada tingkat pelaporan kasus, kedua proporsi kasus
atau masalah kesehatan yang dideteksi oleh sistem surveilans.

13
Sensitivitas sistem surveilans dipengaruhi oleh kemungkinan
kemungkinan seperti:
1) Orang-orang dengan penyakit tertentu atau masalah kesehatan
yang mencari pengobatan medis;
2) Penyakit atau keadaan yang akan didiagnosis, keterampilan
petugas kesehatan, dan sensitivitas tes diagnostik; dan
3) Kasus yang akan dilaporkan kepada sistem dan pemberian
diagnosisnya.
Ketiga keadaan ini dapat dikembangkan terhadap sistem
surveilans yang tidak sama dengan model petugas kesehatan
tradisional. Misalnya, sensitivitas sistem surveilans untuk morbiditi
atau faktor risiko berdasarkan telepon dipengaruhi oleh :
1) Banyak yang mempengaruhi telepon, berada di rumahketika ditelepon,
dan setuju untuk ikut serta.
2) Kemampuan orang untuk mengerti pertanyaan dan menentukan status
mereka secara tepat;
3) Keinginan responden untuk melaporkan keadaan mereka.

e. Predictive value positive (positif prediktif value)


Nilai prediksi positif adalah proporsi dari populasi yang diidentifikasikan
sebagai kasus oleh suatu sistem surveilans dan kenyataannya memang
kasus. Nilai prediktif positif (NPP) sangat penting karena nilai NPP yang
rendah berarti :
1) Kasus yang telah dilacak sebenarnya bukan kasus.
2) Telah terjadi kesalahan dalam mengidentifikasikan KLB.
f. Representativeness (kerepresentatifan)
Sistem surveilans yang representative adalah dapat menguraikan
dengan tepat kejadian terhadap peristiwa kesehatan sepanjang waktu
dan distribusinya dalam populasi menrut tempat dan waktu.
Sistem yang representative akan menggambarkan secara akurat:
1)Kejadian peristiwa kesehatan dalam periode waktu tertentu.
2)Distribusi kejadian menurut tempat dan orang.

14
Dinilai dengan membandingkan karakteristik dari kejadian dengan
semua kejadian yang ada dalam hal: karakteristik populasi, riwayat, upaya
kesehatan yang tersedia dan sumber data yang ada.
g. Timeliness (ketepatan waktu)
Ketepatan waktu berarti kecepatan atau keterlambatan diantara
langkah-langkah dalam sistem surveilans.Aspek lain dari ketepatan waktu
adalah waktu yang diperlukan untuk mengidentifikasi trend, KLB, atau hasil
dari tindakan penanggulangan. Untuk penyakit akut biasanya dipakai waktu
timbulnya gejala.
Ketepatan waktu hendaknya dinilai dalam arti adanya informasi
mengenai upaya penanggulangan atau pencegahan penyakit, baik dalam
hal tindakan penanggulangan maupun rencanajangka panjang dari upaya
yang direncanakan.
h. Data quality (kualitas data)
Kualitas data mencerminkan kelengkapan dan validitas data yang
tercatat dalam system surveilans kesehatan masyarakat.Data yang
berkualitas tinggi dapat diterima oleh mereka yang berpartisipasi di
dalamnya.Namun, penilaian penuh kelengkapan dan validitas data
surveilans memerlukan studi khusus.Kualitas data dipengaruhi oleh kinerja
tes skrining dan diagnostik (misalnya definisi kasus) yang berhubungan
dengan kesehatan dan kejelasan bentuk pengawasan pada pengelolaan
data.

i. Stability (stabilitas)
Stabilitas mengacu pada dua hal antara lain:
1) Reliability yaitu kemampuan untuk pengumpulan, manajemen dan
menyediakan data secara benar
2) Availability yaitu kemampuan untuk melaksanakan surveilans jika
dibutuhkan, dengan metode:
a) Jumlah kejadian tak terjadwal
b) Jumlah kejadian kerusakan sistem/computer
c) Biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan sistem
(hardware, software, service dan waktu yang dibutuhkan)
d) Persentase waktu sistem dapat berjalan secara penuh

15
e) Waktu yang direncanakan dan waktu dibutuhkan dalam
mengumpulkan, menerima, manajemen (transfer, entry, editing,
penyimpanan &backup), dan mengeluarkan data.

2.2.5 Evaluasi Sistem Surveilans


Evaluasi adalah upaya yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui
efektifitas program. Secara umum tujuannya untuk menjelaskan kegunaan dari
sumber kesehatn masyarakat (public health resource) melalui pengembangan
sistem surveilans yang efektif dan efisien. Pedoman ini dapat dipakai sebagai
pedoman perorangan dalam melakukan evalaluasi dan sebagai bahan acuan
untuk mereka yang sudah biasa dengan proses evaluasi.
Garis besar kegiatan Evaluasi Sistem Surveilans adalah sebagai berikut:
a. Uraian pentingnya suatu peristiwa kesehatan dilihat dari segi kesmas.
b. Uraian sistem yang akan dievaluasi.
c. Tingkat pemanfaatan data.
d. Evaluasi sistem menurut atribut.
e. Uraian kesimpulan dan saran atau rekomendasi.
Adapun tujuan evaluasi sistem surveilans adalah sebagai berikut:
a) Menjamin bahwa permasalahan kesehatan dan dipantau secara efektif dan
efisien.
b) Mengetahui kualitas informasi yang dihasilkan oleh sistem surveilans.
c) Mengetahui peran dan dampak surveilans dalam menunjang tujuan program
kesehatan dan pembuatan kebijakan.
d) Mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem surveilans yang sedang
berjalan.
e) Mengetahui manfaat surveilans bagi stakeholder.
2.3 Tinjauan tentang Surveilans Epidemiologi PenyakitTuberkulosis
2.3.1 Indikator Program Pengendalian TB

Pencapaian Target Pengendalian TB dalam Tujuan Pembangunan


Millenium di Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas 2010).
Tabel.1

Indikator Program Pengendalian TB

Status
Saat
INDIKATOR ACUAN Target Ini
MDGs Sumber
Dasar
2015
Tujuan 6 : Memerangi HIV/AIDS,Malaria dan Penyakit menular lainnya

16
Tujuan 6c: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru malaria
dan penyakit utama lainnya hingga Tahun 2015
Angka kejadian,
prevalensi dan
6.9
tingkat kematian
akibat Tuberkulosis
Angka kejadian
Tuberkulosis 238 Diberhentikan, Laporan
343 Sudah
6.9.a (semua (2009 mulai TB Global
(1990) tercapai
kasus/100,000 ) berkurang WHO,2009
penduduk/Tahun)
Tingkat prevalensi 244
443 Sudah
6.9.b. Tuberkulosisi (per (2009
(1990) tercapai
100,000 penduduk) )
Tingkat kematian
39
karena tuberkulosis 92 Sudah
6.9.c. (2009
(per 100,000 (1990) tercapai
)
penduduk)
Proporsi jumlah
kasus Tuberkulosis
6.10 yang terdeteksi dan
diobati dalam
program DOTS
Proporsi jumlah
kasus Tuberkulosis 73,1% Laporan
6.10. 20,0% Sudah
yang terdeteksi (2009 70,0% TB Global
a (2000) Tercapai
dalam program ) WHO,2009
DOTS
Proporsi kasus
tuberkulosis yang 91,0% Laporan
6.10. 87,0%
diobati dan sembuh (2009 85,0% Kemenkes
b (2000)
dalam program ) 2009
DOTS

2.3.2 Pengumpulan/ Pencatatan Kejadian Tuberkulosis


Secara umum pencatatan dan pelaporan di puskesmas berupa hasil
kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan luar gedung.Mekanisme pencatatan di
Puskesmas, pada prinsipnya pasien yang berkunjung pertama kali atau
kunjungan ulang ke puskesmas harus melalui loket untuk mendapatkan Kartu
Tanda Pengenal atau mengambil berkasnya dari pertugas loket. Formulir
pencatatan terdiri dari:
1. Kartu rawat jalan untuk mencatat identitas dan status pasien yang
berkunjung kePuskesmas / sarana pelayanan kesehatan lainnya untuk
memperoleh layanan rawat jalan.
2. Kartu rawat tinggal sama kegunaanya dengan kartu rawat jalan namun
diperuntukan bagi pasien rawat inap di Puskesmas.

17
3. Kartu Penderita Tuberkulosis yang berisikan identitas penderita TB yang
dilayanidi puskesmas dan diberikan kepada penderitanya.
4. Formulir Laporan Bulanan penyakit TB (sesuai format laporan surveilans
yangsudah ada).
5. Buku Register seperti Buku Register Tatalaksana dan Buku Register
Rujukan.

2.3.3 Sumber Data Surveilans Tuberkulosis


Penatalaksanaan surveilans Tuberkulosisberbasis pada kesehatan
masyarakat (public health) didahului oleh pengumpulan data dan informasi.
Merujuk pada kebijakan yang ada, data dan informasi yang dibutuhkan adalah
yang berhubungan dengan kesakitan, kematian serta faktor risiko. Beberapa
sumber data dan informasi yang dapat menjadi acuan antara lain adalah dari
Recording and Reporting (RR) puskesmas.

BAB III
METODE PRAKTIK

3.1 Teknik Pengumpulan Data


3.1.1 Jenis Pengamatan
Pengamatan yang dipakai dalam praktik surveilans ini adalah
deskriptif.Pengamatan deskriptif merupakan pengamatan yang bertujuan untuk

18
menggambarkan distribusi dan frekuensi kejadian penyakit menurut
waktu,tempat dan orang.
3.1.2 Metode Pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui wawancara terhadap petugas surveilans
penyakitTuberkulosis di Puskesmas Masohi tahun 2019 dan informasi dari profil
Puskesmas yang selanjutnya dikompilasi. Adapun teknik pengumpulan data yang
dilakukan yaitu:
1) Pertama-tama, pengamat meminta buku register TB tahun 2019.
2) Kemudian, pengamat mencatat variabel nama pasien, alamat, umur, jenis
kelamin dan jenis kasus.
3) Setelah itu, pengamat menginput data yang telah dicatat .
4) Terakhir, pengamat melakukan wawancara dengan petugas surveilans
Puskesmas Masohi tentang kegiatan dan surveilans epidemiologi tuberkulosis
paru untuk mengetahui gambaran pelaksananan surveilans di Puskesmas
Masohi .

3.1.3 Jenis dan Sumber Data


a. Jenis Data
Data yang dikumpulkan untuk mengetahui pelaksanaan praktikum
sistem surveilans penyakit tuberkulosis:

1. Data Primer
Data yang dikumpulkan dan diolah sendiri, yang dapat diperoleh dari
wawancara terhadap petugas surveilans untuk mendapatkan informasi
mengenai pelaksanaan surveilans penyakit tuberkulosis di Puskesmas
Masohi.
2. Data Sekunder
Data sekunder, yakni sebagai data penunjang untuk mengetahui
gambaran distribusi penyakit Tuberkulosis menurut karakteristik
waktu,tempat dan orangyang diperoleh dari instansi terkait dengan obyek
penelitian yakni laporan STP, dan buku register TB (TB 03) pada tahun
2019 yang bersumber dari Puskesmas Masohi bagian unit pelaksanaan
sistem surveilans. Selain itu, data sekunder lainnya diperoleh dengan
membaca berbagai literatur dari media cetak dan internet yang berkaitan
dengan penelitian penyakit Tuberkulosis.Data-data yang diperoleh dari
puskesmas kemudian ditabulasi sehingga menjadi lebih informatif.
b. Sumber Data

19
Sumber data yang akan digunakan antara lain dari Sistem Pencatatan
dan Pelaporan Terpadu Puskesams (SP2TP) mengenai angka kejadian
tuberkulosisserta data yang berasal dari pencatatan khusus buku register
khusus TB (TB 03) dan laporan bulanan data kesakitan (LB1) di Puskesmas
Masohi.

3.1.4 Sampel & Informan


a. Sampel

Sampel pada kegiatan ini adalah seluruh data surveilans penyakit


Tuberkulosis di Puskesmas Masohi tahun 2019.
b. Informan
Informan responden dalam kegiatan penelitian ini adalah petugas
surveilans, dan petugaspuskesmas yang diberi wewenang untuk manangani
penyakitTuberkulosis Puskesmas Masohi.

3.2 Pengolahan Data


Pengolahan data akan dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan word.
Hasil pengolahan data akan disajikan dalam bentuk narasi yang menjelaskan kejadian
penyakit Tuberkulosis yang dihubungkan dengan waktu, tempat, dan orang .

3.3 Analisis Data


Analisis data akan dilakukan dalam proposal ini adalah dengan analisis statistik
deskriptif (univariat) dengan menggunakan distribusi frekuensi dan persentase pada
variabel yang diteliti dalam penelitian seperti untuk mengetahui gambaran karakteristik
responden menurut waktu, tempat, dan orangpenyakit Tuberkulosis di Puskesmas
Masohi Tahun 2019.

3.4 Waktu dan Lokasi Pengamatan


3.4.1 Waktu
Pelaksanaan pengamatan surveilans dilakukan pada tanggal 22 Oktober
2019..
3.4.2 Lokasi pengamatan
Praktik survailans akan dilaksanakan di Puskesmas Masohi .bagian unit
surveilans khususnya pada Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu

20
Puskesmas (SP2TP) dan pencatatan khusus lainnya, yang berlokasi di
puskesmas masohi.

21

Anda mungkin juga menyukai