PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan
pada klien Bell’s palsy dengan menggunakan metode proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit Bell’s palsy
b. Mampu membuat pengkajian keperawatan pada klien dengan Bell’s
palsy
c. Mampu membuat diagnosa keperawatan berdasarkan anamnesa
d. Mampu membuat rencana keperawatan berdasakan teori keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor
neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa
disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell,
dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau
setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes
serta penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes
simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini,
paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan
mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes
simpleks atau paralisis fasial herpetik.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer
nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat
penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan
matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat
jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).
B. ANATOMI FISIOLOGI
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg
yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari
dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama
melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke
korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke
nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar
lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta
kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens,
dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian
ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus
kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai
ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi
vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus
bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di
dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak
ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.
Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion
genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu
nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi
persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis
keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar
parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m.
stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus
nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya
berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan
disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang
terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan
mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika
lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis
fasial (wajah).
C. ETIOLOGI
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa
tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya
kasus Bell’s palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes
Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu,
masuk angin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela
terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi,
sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy. Tahun 1972,
McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial
idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin
(panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap
laten dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi
memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien Bell’s palsy.
Murakami at.all melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan
endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga
dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan
ganglion genikulatum. Varicella Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada
penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan pada penderita Ramsay Hunt syndrome.
D. MANIFESTASI KLINIK
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun
tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan
adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya
lebih cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul
atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut
yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi.
1. Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut tertarik ke arah sisi mulut yang
sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata
yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus
menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)Gejala dan tanda klinik
seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3
bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)Gejala
dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.
4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala
dan tanda klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan
konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan
herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani,
kanalis auditorius eksterna dan pina.
5. Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2),
(3), (4), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik sama
dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus
akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan
nervus hipoglosus.
7. Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa
Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata
bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais
menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis.
Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya
terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
E. PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak
waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat
berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut
pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang
temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang
menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis
yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh
nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan
dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya
suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris
“cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s
palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias
terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons
yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak
dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan
platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
F. KOMPLIKASI
Kira-ki ra 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti
fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf
parasimpatik.
Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme
nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan
kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada
kornea.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Fisis
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan
fisik tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain
yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear,
dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN.
Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua
pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang
lain dalam batas normal.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan
CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke
tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada
pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement)
pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
H. PENATALAKSANAAN
A. PENGKAJIAN
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan
bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
b. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan
kesehatan.
c. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan
dengan informasi yang tidak edekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.
Data penunjang ;
Ds: merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada
satu sisi lain
Do: dahi di kerutkan,lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang
sehat saja.
D. IMPLEMENTASI
Tindakan di lakukan sesuai intervensi keperawatan.
E. EVALUASI
Berdasarkan tujuan dan criteria hasil.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor
neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa
disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
B. SARAN