Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kelumpuhan (parese) nervus fasialis merupakan kelumpuhan yang meliputi


otot-otot wajah. Kelumpuhan nervus fasialis ini juga disebut bell’s palsy, bell’s
palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di
dunia,insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendahditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s
palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000orang, 63% mengenai wajah sisi
kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Bell’s
palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandinganyang sama. Akan tetapi,
wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkenadaripada laki-laki
pada kelompok umur yang sama.Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun
lebih sering terjadi pada umur 15-50tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan
2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .Berdasarkan
angka kesakitan diatas, maka kelompok tertarik membahas tentangpembahasan
makalah dengan judul“ Asuhan Keperawatan pada Klien Bell’s Palsy”

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Bell Palsy?


2. Bagaimana Anatomi Fisiologinya?
3. Etiologi
4. Manifestasi Klinik
5. Bagaimana Patofisiologinya?
6. Komplikasi
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Penatalaksanaan baik secara medis maupun keperawatan
9. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan
C. Tujuan

1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan
pada klien Bell’s palsy dengan menggunakan metode proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit Bell’s palsy
b. Mampu membuat pengkajian keperawatan pada klien dengan Bell’s
palsy
c. Mampu membuat diagnosa keperawatan berdasarkan anamnesa
d. Mampu membuat rencana keperawatan berdasakan teori keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

KONSEP MEDIS

A. DEFINISI
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor
neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa
disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell,
dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau
setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes
serta penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes
simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini,
paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan
mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes
simpleks atau paralisis fasial herpetik.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer
nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat
penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan
matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat
jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).
B. ANATOMI FISIOLOGI

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator


palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg
yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari
dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama
melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke
korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke
nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar
lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta
kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens,
dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian
ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus
kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai
ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi
vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus
bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di
dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak
ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.
Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion
genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu
nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi
persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis
keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar
parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m.
stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus
nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya
berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan
disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang
terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan
mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika
lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis
fasial (wajah).

C. ETIOLOGI

Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa
tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya
kasus Bell’s palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes
Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu,
masuk angin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela
terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi,
sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy. Tahun 1972,
McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial
idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin
(panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap
laten dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi
memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien Bell’s palsy.
Murakami at.all melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan
endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga
dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan
ganglion genikulatum. Varicella Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada
penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan pada penderita Ramsay Hunt syndrome.

D. MANIFESTASI KLINIK

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun
tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan
adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya
lebih cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul
atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut
yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi.
1. Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut tertarik ke arah sisi mulut yang
sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata
yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus
menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)Gejala dan tanda klinik
seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3
bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)Gejala
dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.
4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala
dan tanda klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan
konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan
herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani,
kanalis auditorius eksterna dan pina.
5. Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2),
(3), (4), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik sama
dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus
akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan
nervus hipoglosus.
7. Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa
Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata
bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais
menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis.
Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya
terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.

E. PATOFISIOLOGI

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak
waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat
berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut
pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang
temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang
menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis
yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh
nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan
dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya
suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris
“cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s
palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias
terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons
yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak
dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan
platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
F. KOMPLIKASI

Kira-ki ra 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti
fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf
parasimpatik.
Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme
nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan
kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada
kornea.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Fisis
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan
fisik tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain
yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear,
dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN.
Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua
pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang
lain dalam batas normal.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan
CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke
tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada
pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement)
pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
H. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah


dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan
bahwa keadaan yang tejadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5
minggu pada kebanyakan klien.
Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan
radang dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan
memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal
terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semain berat,
mengurangi nyeri dan membantu mencegah atau meminimalkan denervasi.
Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi wajah
yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah
sampai ke otot tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi
atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun
eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang
cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui
pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.
Pendidikan klien, Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat
menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan
sempurna dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang
binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah
komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini
mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena karatitis
yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip.
Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata.
Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari
cahaya silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea,
meskipun hal ini juga disebabkan beberapa kerusakan dalam memperthankan
mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat digunbakan
pada mata pada saat tidur dapat diletakkan diatas mata agar kelopak mata
menempel satu dengan yang lainnya dan tetap menutup selama tidur.
Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis
secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam
untuk menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitf,
wajah dapat di masase beberapa kali sehari untuk mempertahankaan tonus
otot.tekhnikj untuk masae wajah adalah dengan gerakan lembut keatas.
Latihan wajah seperti mengherutkan dahi, mengembungkan pipi keluar, dan
bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur
untuk mencegah atropi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.
KONSEP ASUHAN KEPERAWTAN

A. PENGKAJIAN

Pengkajian keperawatan klien dengan Belll’s palsy meliputi anamnesis


riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian
psikososial.
1. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu
sisi.
2. Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang
keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang
timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada
pengkajian klien Bell;s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot
wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi
dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila
klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat,
kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata
keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.
3. Riwayat penyakti dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor
intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster),
penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian
obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah
meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
4. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kogniti dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik
dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping
yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi
kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah
diketahui dan perubahan perilaku akibat stres. Karena klien harus menjalani
rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi
klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup
individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah,
yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam
hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan
mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan
individu.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan
bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
b. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan
kesehatan.
c. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan
dengan informasi yang tidak edekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.

C. INTERVENSI DAN RASIONAL

DX 1 : Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan bentuk wajah


karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.

Data penunjang ;

 Ds: merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada
satu sisi lain
 Do: dahi di kerutkan,lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang
sehat saja.

Tujuan : konsep diri klein meningkat


Criteria hasil : klien mampu menggunakan koping yang positif
Intervensi :
a) Kaji dan jelaskan kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya
R/ intervensi awal bisa mencegah disstres psikologi pada klien
b) Bantu klien menggunakan mekanisme koping yang positif.
R/ mekanisme koping yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri,
lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan dan mencegah
tetjadinya kecemasan tambahan.
c) Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
R/ orientasi dapat menurunkan kecemasan.
d) libatkan system pendukung dalam perawatan klien
R/ kehadiran system pendukung meningkatkan citra diri klien.

DX 2 : Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan


kesehatan.
Tujuan : kecemasan hilang atau berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannnya, dapat mengidentifikasi penyebab atau
factor yang mempengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang/hilang.
Intervensi :
a) Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingin klien dan lakukan
tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
R/ reaksi verbal/non verbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan
gelisah.
b) Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan
yang tenang dan suasana penuh istirahat.R/ mengurangi rangsangan eksternal
yang tidak perlu.
c) Tingkatkan control sensasi klien.
R/ control sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara
memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan
terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif, membantu
latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons balik
yang positif.
d) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.
R/ dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak
dieksperesikan.
e) Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat.
R/ memberi waktu untuk mengeksperesikan perasaan, menghilangkan cemas
dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan tewman-teman yang dipilih klien
yang melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan
menurunkan perasaan terisolasi.

DX 3 : Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan


dengan informasi yasng tidak adekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.
Tujuan : Dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihatkan
kemampuan pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya.
Criteria hasil : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara
sederhana terhadap apa yang telah didiskusikan.
Intervensi :
a) Kaji kemampuan belajar, tingkatkan kecemasan, partisipasi, media yang
sesuai untuk belajar.
R/ indikasi progresif atau reaktivasi penyakit atau efek samping pengobatan
serta untuk evaluasi lebih lanjut.
b) Identifikasi tanda dan gejala yang perlu dilaporkan keperawat.
R/ meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang perawatan diri untuk
meminimalkan kelemahan.
c) Jelaskan instruksi dan informasi misalnya penjadwalan pengobatan.
R/ mening
d) Katkan kerja sama/ partisipasi terapeutik dan mencegah putus obat.Kaji
ulang resiko efek samping pengobatan.
R/ dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari pengobatan untuk perbaikan
kondisi klien.
e) Dorong klien mengeksperesikan ketidaktahuan/kecemasan dan beri
informasi yang dibutuhkan.
R/ memberikan kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah dan
mengurangi kecemasan.

D. IMPLEMENTASI
Tindakan di lakukan sesuai intervensi keperawatan.

E. EVALUASI
Berdasarkan tujuan dan criteria hasil.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor
neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa
disertai adanya penyakit neurologis lainnya.

B. SARAN

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah


ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi
makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan
pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta


neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003.
Doengues.1999.rencana asuhan keperawatan pasien,edisi 3;EGC.jakarta
Muttaqin ,arif .2008.buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan system
persarafan.salemba medika:jakarta
http://www.irwanashari.com/2009/04/bells-palsy.html.(DI AKSES TANGGAL
28 -11-2010)

Anda mungkin juga menyukai