A. Stunting
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi
badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan
panjang atau tinggi badan yang lebih dari -2 standar deviasi median standar
pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang
disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil,
kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa
yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik
dan kognitif yang optimal. Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting
merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada
tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun
angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada
tahun 2000 yaitu 32,6%.Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia
berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika.
Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan
(58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).Data prevalensi balita
stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk
ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-
East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun
2005-2017 adalah 36,4% (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2018)
B. Stunting dan Nutrisi
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang
dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga
tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah
gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek
mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun
2017(Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2018)
2
untuk meningkatkan pendapatan keluarga, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu dan
pemberian ASI eksklusif untuk mengurangi kejadian stunting (Ni’mah & Nadhiroh,
2015). Kekurangan nutrisi bayi berkaitan erat dengan keterlambatan pertumbuhan
dan kondisi kesehatan. Malnutrisi selama 2 tahun pertama kehidupan akan
menyebabkan stunting dan tinggi badan saat dewasa menjadi lebih pendek daripada
tinggi badan yang seharusnya. Pada 2 tahun pertama kehidupan merupakan periode
kritis untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi (World Health
Organization, 2009). Selain fator utrisi, kondisi sosial ekonomi dan sanitasi tempat
tinggal juga berkaitan dengan terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat kaitannya
dengan kemampuan dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan
untuk ibu hamil dan balita. Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan dapat
meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi.
Sehubungan dengan hal itu, ibu harus mempunyai status gizi yang baik sebelum
hamil dan mengonsumsi makanan yang beranekaragam baik proporsi maupun
jumlahnya. Kenyataannya di Indonesia masih banyak ibu-ibu yang saat hamil
mempunyai status gizi kurang, misalnya kurus dan menderita Anemia. Hal ini
dapat disebabkan karena asupan makanannyaselama kehamilan tidak mencukupi
untuk kebutuhan dirinya sendiri dan bayinya. Selain itu kondisi ini dapat
diperburuk oleh beban kerja ibu hamil yang biasanya sama atau lebih berat
dibandingakan dengan saat sebelum hamil. Akibatnya, bayi tidak mendapatkan
zat gizi yang dibutuhkan, sehingga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangannya. Demikian pula dengan konsumsi pangan ibu menyusui harus
bergizi seimbang agar memenuhi kebutuhan zat gizi bayi maupun untuk
mengganti zat gizi ibu yang dikeluarkan melalui ASI. Tidak semua zat gizi yang
diperlukan bayi dapat dipenuhi dari simpanan zat gizi ibu, seperti vitamin C dan
vitamin B, oleh karena itu harus didapat dari konsumsi pangan ibu setiap hari
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
2. ASI Eksklusif
a. Strategi Global dalam pemberian makan pada bayi dan anak
Strategi global WHO dan UNICEF untuk pemberian makanan bayi
yang optimal adalah sebagai berikut (World Health Organization, 2009)
1) ASI eksklusif selama 6 bulan (180 hari)
Pemberian ASI eksklusif berarti bahwa bayi hanya menerima ASI dari
ibunya atau dari orang lain melalui ASI Perah (ASIP) tanpa mendapatkan
cairan dan zat padat lainnya. Larutan dehidrasi oral, sirup, vitamin,
suplemen mineral dan obat-obatan dapat diberikan pada bayi pada masa
ini sesuai rekomendasi dokter.
2) Pemberian makanan bergizi yang cukup dan aman mulai dari usia 6 bulan
dengan terus menyusui hingga usia 2 tahun atau lebih.
Pemberian makanan komplementer didefinisikan sebagai proses mulai
saat ASI tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi
sehingga makanan dan cairan lain sangat dibutuhkan, bersama dengan air
susu ibu. Rentang target untuk makanan pelengkap umumnya dianggap
berumur 6 sampai 23 bulan namun menyusui bisa berlanjut lebih dari dua
tahun.
b. Pola menyusui dibagi menjadi 3 kategori yaitu:
1) Menyusui efektif yaitu tidak memberi bayi makanan atau minuman lain
termasuk air putih selain menyusui (kecuali obat-obatan dan vitamin atau
mineral tetes; ASIP juga diperbolehkan)
2) Menyusui predominan yaitu menyusui bayi tetapi pernah memberikan
sedikit air atau minuman berbasis air misalnya teh sebagai makanan atau
minuman prelakteal sebelum ASI keluar
3) Menyusui parsial yaitu menyusui bayi serta diberikan makanan buatan
selain ASI baik susu formula, bubur atau makanan lainnya sebelum bayi
berusia 6 bulan. Baik diberikan secara kontinyu maupun diberikan sebagai
makanan prelakteal.
c. Beberapa peraturan hukum terkait pemberian ASI Eksklusif:
1) UU nomor 36/2009 tentang kesehatan
Pasal 28 ayat 2 dan 3 disebutkan bahawa selama pemberian ASI pihak
keluarga, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu secara
penuh dengan menyediakan waktu dan fasilitas khusus. Penyediaan
fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan ditempat
kerja dan tempat sarana umum.
Pasal 200 sanksi pidana dikenakan bagi setiap orang yang dengan sengaja
menghalangi program pemberian ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud
dalam pasal 128 ayat (2). Ancaman pidana yang diberikan adalah pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah).
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang
Pemberian Air SUSU Ibu Eksklusif
Pasal 6 berbunyi ‘Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI
eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya”.
3) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/MENKES/SK/VI/2004 tentang
Pemberian ASI secara Eksklusif di Indonesia:
bayi di perut, sampai kulitnya dan kulit ibu saling bersentuhan. Biarkan
tubuhnya menghadap ke arah dan letakkan kepalanya pada siku ibu .
2) The cross cradle hold. Satu lengan mendukung tubuh bayi dan yang lain
mendukung kepala, mirip dengan posisi dudukan tetapi ibu akan memiliki
kontrol lebih besar atas kepala bayi. Posisi menyusui ini bagus untuk bayi
prematur atau ibu dengan puting payudara kecil.
3) Posisi sepak bola. Caranya, pegang bayi di samping ibu dengan kaki di
belakang dan bayi terselip di bawah lengan ibu, seolah-olah ibu sedang
memegang bola kaki. Ini adalah posisi terbaik untuk ibu yang melahirkan
dengan operasi caesar atau untuk ibu-ibu dengan payudara besar. Tapi, ibu
butuh bantal untuk menopang bayi.
4) Duduk. Ini merupakan cara yang menyenangkan untuk menyusui dalam
posisi duduk. Ini juga bekerja dengan baik jika bayi memiliki pilek atau sakit
telinga. Caranya, bayi duduk tegak dengan kaki mengangkangi kita sendiri.
5) Tidur miring. Menyusui dengan berbaring akan memberi lebih banyak
kesempatan untuk bersantai dan juga untuk tidur lebih banyak pada malam
hari. Ibu bisa tidur saat bayi menyusu. Dukung punggung dan kepala bayi
dengan bantal. Pastikan bahwa perut bayi menyentuh kita.
f. Pelekatan Yang Benar
1) Angkat dan pegang bayi. Baringkan sisinya sehingga perut bayi berhadapan
dengan perut ibu dengan tangan kiri. Berat bayi disandang dengan siku
(bukan tangan atau jari).
2) Dorong pantat bayi menuju tubuh ibu, dengan kakinya berada di bawah
lengan Anda, menggunakan sisi depan lengan (telapak tangan ibu
menghadap langit-langit)
3) Tangan kanan ibu berada di bawah muka bayi, telapak tengan ke atas
memegang kepala bayi. Jempol dan jari-jari berada di tengkuk leher bayi
serta di bawah telinga bayi.
4) Angkat payudara ibu dengan tangan kiri kemudian letakkan ibu jari di atas
payudara dan seluruh sisa jari dibawahnya. Perlahan, sapukan bibir atas bayi
pada puting.
5) Mulai memberikan MP-ASI pada usia 6 bulan dengan porsi sedikit dan
meningkatkan kuantitas makanan saat anak bertambah usia, dan teruskan
pemberian ASI.
6) Meningkatkan konsistensi dan variasi makanan
bayi secara bertahap sesuai pertambahan usia. Konsistensi dan variasi
makanan ditingkatkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan bayi.
7) Tingkatkan frekeunsi pemberian makan anak seiring dengan
bertambahnya usia.
8) Berikan berbagai makanan yang kaya nutrisi untuk memastikan
kebutuhan gizi terpenuhi.
9) Gunakan makanan yang mengandung vitamin dan mineral sesuai
kebutuhan bayi.
10) Tingkatkan asupan cairan saat bayi sakit, lebih sering menyusui,
mendorong anak untuk makan makanan yang disukai dengan tekstur
yang lembut. Setelah sakit, berikan makanan lebih sering dari biasanya
dan dorong anak untuk makan dengan porsi yang lebih banyak.
c. Prinsip MP-ASI sesuai standar WHO
1) Age
MP-ASI diberikan saat bayi berusia 180 hari berdasarkan kesiapan
pencernaan bayi. Resiko pemberian MP-ASIsebelum usia 180 hari
beresiko terhadap infeksi pencernaan bayi dan penurunan produksi ASI.
Pemberian MP-ASItelat bulan dapat menyebabkan bayi tidak mendapat
cukup nutrisi, sehingga mengalami defisiensi zat besi dan terhambatnya
tumbuh kembang anak.
2) Frequency
Di awal MP-ASI diberikan 1-2 kali dalam sehari; seterusnya usia 6-9 bulan
diberikan 2-3 kali makan utama menu 4 bintang dalam sehari ditambah 1-
2 x cemilan; usia 9-12 bulan 3 x makan utama menu 4 bintang dan 2x
cemilan.
3) Amount
a) Di awal MP-ASI berikan sebanyak 2-3 sdm untuk tiap makan;
b) Usia 6-9 bulan bertahap mulai dari 3 sdm hingga 125 ml untuk tiap
makan;
c) Usia 9-12 bulan bertahap mulai dari 125 ml hingga 250 ml untuk tiap
makan.
4) Texture
Berdasarkan panduan WHO terbaru ini bayi langsung diberi puree/bubur
lembut semi kental. Patokan kekentalan dilihat dari makanan yang tidak
langsung tumpah mengucur ketika sendok dimiringkan, tapi jatuh
perlahan. Kekentalan berbanding lurus dengan banyaknya asupan kalori
dan nutrisi. Setelah mulai makan beberapa minggu sampai usia 9 bulan,
tekstur lebih kental berupa bubur saring yang lebih bertekstur agak kasar
dan akhirnya kasar. Mulai usia 9 bulan sudah diberikan makanan yang
dicincang halus, tidak keras dan mudah dijumput oleh anak, bukan berupa
bubur lagi. Diharapkan mulai usia 1 tahun anak sudah bisa makan
makanan keluarga.
Bayi belajar mengunyah dengan gusi, jadi pemberian makanan bertekstur
sesuai tahapan usia sesuai anjuran WHO tidak harus menunggu tumbuh
gigi. Pemberian makanan dengan tahapan tekstur justru akan membantu
merangsang pertumbuhan gigi.
Di usia 9 bulan inilah saat yang tepat untuk menstimulasi anak belajar
makan sendiri (belajar memegang dan memasukkan makanan ke dalam
mulut dengan tangan) melalui pemberian finger food (buah potong,
homemade cookies, sayuran kukus, dll).
5) Variety
Variasi keberagaman makanan diberikan sejak awal pemberian MP-ASI6
bulan yang terdiri dari aneka sumber karbohidrat; aneka sumber protein
nabati (kacang-kacangan) termasuk aneka jamur; aneka sumber protein
hewani seperti daging merah, termasuk telur, aneka ikan laut, aneka ikan
tawar; aneka sayuran dan aneka buah-buahan; serta sumber lemak
tambahan (mentega, santan, aneka minyak, margarin).
Untuk perkenalan awal MP-ASI, maksimal 2 minggu pertama (10-14 hari)
disarankan dikenalkan menu tunggal untuk tiap makan dari aneka sumber
Disampaikan pada Seminar Nasional “Intervensi Holistik Integratif Penanganan Anak Stunting” 30 Maret 2019
14
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, R. A., Muniroh, L., & Farapti. (2016). Perbedaan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dan
Riwayat Pemberian ASI Eksklusif pada Balita Stunting dan Non Stunting. Media Gizi
Indonesia, 11(1), 61–69.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman gizi seimbang. Jakarta: Bina Gizi dan KIA
Kementrian Kesehatan RI.
Kementrian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2018). Hasil Utama
RISKESDAS 2018.
Ni’mah, K., & Nadhiroh, S. R. (2015). Faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting pada
Balita. Media Gizi Indonesia, 10(1), 13–19.
Nurlaila, Utami, W., & Cahyani, T. . (2018). Buku Ajar Keperawatan Anak (1st ed.). Yogyakarta:
Leutikaprio.
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2018). Topik Utama: Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indonesia. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan.
Rachmi, C. N., Agho, K. E., Li, M., & Baur, L. A. (2016). Stunting , Underweight and Overweight
in Children Aged 2 . 0 – 4 . 9 Years in Indonesia : Prevalence Trends and Associated Risk