Disfoniaa

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 25

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN REFERAT

TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER SEPTEMBER 2015


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

DISFAGIA

Oleh:
Surahmayanti Tahir
110 206 031

Supervisor:
Dr. dr. M. Amsyar Akil, Sp.THT-KL(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa:

Nama : Surahmayanti Tahir


NIM :110 206 031

Telah menyelesaikan tugas referat dengan judul “Disfagia” dalam rangka


kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, September 2015

Mengetahui,

Supervisor

Dr. dr. M. Amsyar Akil, Sp.THT-KL(K)

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................ 3

1. ANATOMI FARING ............................................................ 3

2. FISIOLOGI MENELAN ............................................................ 4

3. TANDA DAN GEJALA KLINIS ............................................................ 6

4. DIAGNOSIS ............................................................ 7

6. PEMERIKSAAN FISIK ............................................................ 8

7. PENATALAKSANAAN ............................................................ 8

BAB III KESIMPULAN ............................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang

disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat

organik maupun fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi

merupakan gejala penyakit atau kelainan pada laring.1

Keluhan gangguan suara tidak jarangkita temukan dalam klinik. Gangguan

suara atau disfonia ini dapat berupa suara parau yaitu suara terdengar kasar

(roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara lemah (hipofonia),

hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spastik), suara terdiri dari

beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan

mencapai nada atau intensitas tertentu.1

Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan

dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri

dan kanan akan menimbulkan disfonia.1

Penelitian tentang prevalensi dan penyebab disfonia di Amerika Serikat

yang dilakukan pada 1 Januari 2004 sampai 31 Desember 2008 menemukan dari

hampir 55 juta individu dalam database, 536.943 pasien (usia 0 sampai >65 tahun)

memberikan diagnosis disfonia (point prevalence rate 0,98%). Prevalence rate

lebih tinggi di antara perempuan dibandingkan laki-laki (1,2% banding 0,7%) dan

di antaranya usia > 70 tahun (2,5%). Secara keseluruhan diagnosis yang paling

1
sering adalah laringitis akut, disfonia tidak spesifik, lesi plika vokalis benigna, dan

laringitis kronik. Dokter layanan primer lebih sering mendiagnosis laringitis akut,

sedangkan otolaringologis lebih sering mendiagnosis disfonia tidak spesifik dan

patologi laring. Refluks grastroesofageal lebih sering didiagnosis sebagai kondisi

komorbid oleh otolaringologis daripada oleh dokter layanan primer. Secara

keseluruhan prevalensi kanker laring pada populasi diobati-dicari adalah 2,2% dan

merupakan yang terbesar di antara laki-laki usia >70 tahun.2

Pada tahun 2007 penelitian di salah satu perusahaan di Jakarta mengenai

kemungkinan terdapatnya gangguan suara pada pekerja call center dan back

office. Penelitian tersebut mendapatkan dari 82 responden, gangguan suara pada

pekerja call center sebesar 78% dan back office sebesar 51%.3

Walaupun disfonia hanya merupakan gejala, tetapi bila prosesnya

berlangsung lama (kronik) keadaan ini dapat merupakan tanda awal dari penyakit

yang serius di daerah tenggorok, khususnya laring.1

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1. ANATOMI LARING

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.

Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar

daripada bagian bawah.1

Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas

kaudal kartilago krikoid.1

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid, dan

beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U, yang

permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh

tendo dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan

laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja

untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.1

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago

tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago

kuneiformis.1

Tulang Rawan Laring1

a. Kartilago krikoid

Dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk

kartilago krikoid berupa lingkaran.

3
b. Kartilago aritenoid

Terdapat 2 buah (sepasang) yang terletak dekat permukaan belakang laring,

dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi

krikoaritenoid.

c. Kartilago kornikulata (kiri dan kanan)

Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada kartilago

aritenoid di daerah apeks.

d. Kartilago kuneiformis

Sepasang dan terdapat didalam lipatan ariepiglotik.

e. Kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.

f. Kartilago tiroid

Berbentuk seperti perisai yang bagian depannya menonjol disebut Laryngeal

prominence, Adam’s apple. Dibalik Adam’s apple ini terletak korda vokalis.

g. Kartilago epiglotis

Di dorsal radix lingua / corpus ossis hyoidei ,menonjol ke cranio-dorsal,

ujung caudal lancip , diliputi mucosa membentuk epiglottis.

Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi

krikoaritenoid.1

Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum

seratokrikoid (anterior, lateral dan posterior), ligamentum krikotiroid medial,

ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal, ligamentum

hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika,

4
ligamentum ventrikularis, ligamentum vokalis yang menghubungkan kartilago

aritenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.1

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-

otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara

keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian

laring sendiri.1

Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hioid

(suprahioid), dan ada yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid).1

Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid ialah M.digastrikus, M.geniohioid,

M.stilohioid dan M.milohioid. Otot yang infrahioid ialah M.sternohioid,

M.omohioid dan M.tirohioid.1

Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring ke

bawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke atas.1

Otot-otot intrinsik laring ialah M.krikoaritenoid lateral, M.tiroepiglotika,

M.vokalis, M.tiroaritenoid, M.ariepiglotika dan M.krikotiroid. Otot-otot ini

terletak di bagian lateral laring.1

Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah M.aritenoid

transversum, M.aritenoid oblik dan M.krikoaritenoid posterior.1

5
Gambar 1. a. Tampak anterior laring pada leher. b dan c. Anatomi rangka laring4

Gambar 2. Otot-otot laring4

Rongga Laring

Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas

bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas

depannya ialah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum

tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago

krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus

6
elastikus dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah

M.aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid.1

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokalis dan ligamentum

ventrikularis, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika

ventrikularis (pita suara palsu).1

Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut rima glotis, sedangkan

antara kedua plika ventrikularis, disebut rima vestibuli.1

Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian,

yaitu vestibulum laring, glotik dan subglotik.1

Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat di atas plika

ventrikularis. Daerah ini disebut supraglotik.1

Antara plika vokalis dan plika ventrikularis, pada tiap sisinya disebut

ventrikulus laring Morgagni.1

Rima glotis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian

interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika vokalis, dan

terletak di bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua

puncak kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterior. Daerah subglotik

adalah rongga laring yang terletak di bawah pita suara (plika vokalis).1

Persarafan laring

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu N.laringis

superior dan N.laringis inferior yang merupakan cabang N. X ( Vagus). Inervasi

7
muskulus laring sangat kompleks baik ditinjau dari segi anatomi maupun

fisiologi. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik.1

Dari sudut anatomi, N. laringis inferior sinistra lebih panjang karena harus

membelok diaorta dahulu sebelum naik keatas. Akibatnya saraf ini mudah

mengalami gangguan.1

Nervus laringis superior mempersarafi M.krikotiroid, sehingga memberikan

sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak di

atas M.konstriktor faring medial, di sebelah medial A.karotis interna dan eksterna,

kemudian menuju ke kornu mayor tulang hioid, dan setelah menerima hubungan

dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus

eksternus dan ramus internus.1

Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar M.konstriktor faring inferior

dan menuju ke M.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh M.tirohioid

terletak di sebelah medial A.tiroid superior, menembus membran hiotitiroid, dan

bersama-sama dengan A.laringis superior menuju ke mukosa laring.1

Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari N.rekuren setelah saraf itu

memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan

cabang dari N.vagus.1

Nervus rekuren kanan akan menyilang A.subklavia kanan di bawahnya,

sedangkan N.rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior

berjalan di antara cabang-cabang A.tiroid inferior, dan melalui permukaan

mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan medial M.krikofaring.

Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang 2 menjadi

8
ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot

intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-otot

intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan N.laringis

superior ramus internus.2

Gambar 3. Persarafan laring3

Pendarahan

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu A.laringis superior dan

A.laringis inferior.2

Arteri laringis superior merupakan cabang dari A.tiroid superior. Arteri

laringis superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran

tirohioid bersama-sama dengan cabang internus dari n.laringis superior kemudian

menembus membran ini untuk berjalan ke bawah di submukosa dari dinding

lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk mempendarahi mukosa dan otot-otot

laring.1

9
Arteri laringis inferior merupakan cabang. dari A.tiroid inferior dan

bersama-sama dengan N.laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid,

masuk laring melalui daerah pinggir bawah dari M.konstriktor faring inferior. Di

dalam laring arteri itu bercabang-cabang, mempendarahi mukosa dan otot serta

beranastomosis dengan A.laringis superior.1

Pada daerah setinggi membran krikotiroid A.tiroid superior juga

memberikan cabang yang berjalan mendatari sepanjang membran itu sampai

mendekati tiroid. Kadang-kadang arteri ini mengirimkan cabang yang kecil

melalui membran krikotiroid untuk mengadakan anastomosis dengan A.laringis

superior.1

Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan

A.laringis superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid

superior dan inferior.1

10
Gambar 4. Suplai darah laring4

Pembuluh Limfa

Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vokal. Disini

mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokalis. Di daerah lipatan

vokal pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior.1

Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus

piriformis dan A.laringis superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan

kelenjar dari bagian superior rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari

golongan inferior berjalan ke bawah dengan A.laringis inferior dan bergabung

11
dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa di antaranya menjalar sampai sejauh

kelenjar supraklavikular.1

Gambar 5. Aliran limfa laring4

2. FISIOLOGI LARING

Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi

serta fonasi.1

Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda

asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis

secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan

laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago

aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi M. tiroaritenoid dan M. aritenoid.

Selanjutnya M. ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter.1

Penutupan rima glotis terjadi karena aduksi plika vokalis. Kartilago

aritenoid kiri dan kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik.1

12
Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam

trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang

berasal dari paru dapat dikeluarkan.1

Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima

glotis. Bila M. krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus

vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka

(abduksi).1

Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeobronkial

akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi

sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat

pengatur sirkulasi darah.1

Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme,

yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan

mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke

dalam laring.1

Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti

berteriak, mengeluh, menangis, dan lain-lain.1

Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta

menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh

ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi maka M. krikotiroid

akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago

aritenoid. Pada saat yang bersamaan M. krikoaritenoid posterior akan menahan

atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan

13
yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi M. krikoaritenoid akan

mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor.

Kontrkasi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya

nada.1

3. TANDA DAN GEJALA KLINIS

Gejala klinis disfonia seperti suara serak, kasar atau rasa gatal, suara

mendesah yang membutuhkan peningkatan usaha, kelelahan vokal terutama

setelah penggunaan suara yang berkepanjangan, perubahan nada suara, merasa

kering atau ada benjolan di tenggorokan. 5 Namun, ada pula gejala yang menyertai

berdasarkan penyebabnya.

Penyebab disfonia dapat bermacam-macam yang prinsipnya menimpa laring

dan sekitarnya. Penyebab (etiologi) ini dapat berupa radang, tumor (neoplasma),

paralisis otot-otot laring, kelainan seperti sikatriks akibat operasi, fiksasi pada

sendi krikoaritenoid dan lain-lain. Ada satu keadaan yang disebut sebagai disfonia

ventrikular, yaitu keadaan plika ventrikular yang mengambil alih fungsi fonasi

dari pita suara, misalnya sebagai akibat pemakaian suara yang terus menerus pada

pasien dengan laringitis akut. Inilah pentingnya istirahat berbicara (vocal rest)

pada pasien dengan laringitis akut, disamping pemberian obat – obatan.1

Radang laring dapat akut atau kronik. Radang akut biasanya disertai gejala

lain seperti demam, malaise, nyeri menelan atau berbicara, batuk, disamping

gangguan suara. Kadang – kadang dapat terjadi sumbatan laring dengan gejala

stridor serta cekungan di suprasternal, epigastrium dan sela iga.1

14
Radang kronik nonspesifik, dapat disebabkan oleh sinusitis kronis,

bronkitis kronis atau karena penggunaan suara yang salah dan berlebihan (vocal

abuse) seperti sering berteriak – teriak atau berbicara keras. Vocal abuse juga

sering terjadi pada penyanyi, penceramah, aktor, dosen, guru dan lain – lain.1

Radang kronik spesifik misalnya tuberkulosis. Selain gejala gangguan

suara, terdapat juga gejala penyakit lain yang menyertainya.1

Tumor laring dapat jinak atau ganas. Gejala tergantung dari lokasi tumor,

misalnya tumor pada pita suara, gejala gangguan suara akan segera timbul dan

bila tumor tumbuh menjadi besar dapat menimbulkan sumbatan jalan napas.

Tumor jinak laring seperti papiloma sering ditemukan pada anak dimana disfonia

merupakan gejala dini yang harus diwaspadai. Begitu pula padatumor ganas pita

suara (karsinoma laring) sering didapatkan pada orangtua, perokok dengan

gangguan suara yang menetap. Tumor ganas sering disertai gejala lain, misalnya

batuk (kadang – kadang batuk darah), berat badan menurun, keadaan umum

memburuk.1

Tumor pita suara non neoplastik dapat berupa nodul, kista, polip atau

edema submukosa (Reinke’s edema). Lesi jinak yang lain dapat berupa sikatriks,

keratosis, fisura, mixedem, amilodosis, sarkoidosis dan lain – lain.1

Paralisis otot laring dapat disebabkan oleh gangguan persarafan, baik

sentral maupun perifer, dan biasanya paralisis motorik bersama dengan paralisis

sensorik. Kejadiaannya dapat unilateral atau bilateral. Lesi intrakranial biasanya

mempunyai gejala lain dan muncul sebagai kelaianan neurologik selain dari

gangguan suaranya. Penyebab sentral misalnya ; paralisis bulbar, siringomielia,

15
tabes dorsalis, multipel sklerosis. Penyebab perifer misalnya ; tumor tiroid,

struma, pasca strumektomi, trauma leher, tumor esofagus dan mediastinum,

penyakit jantung dengan hipertensi pulmonal, kardiomegali, atelektasis paru,

aneurisma aorta dan arteria subklavia kanan.1

Paralisis pita suara merupakan kelainan otot intrinsik laring yang sering

ditemukan dalam klinik. Dalam penilaian pembukaan rimaglotis dibedakan dalam

5 posisi pita suara, posisi median, paramedian, intermedian, abduksi ringan dan

abduksi penuh. Pada posisi median kedua pita suara berada di garis tengah, pada

posisi paramedian pembukaan pita suara berkisar 3 – 5 mm dan pada posisi

intermedian 7 mm. Pada posisi abduksi ringan pembukaan pita suara 14 mm dan

pada posisi abduksi penuh posisi pita suara 18 – 19 mm.1

Gambaran posisi pita suara dapat bermacam – macam tergantung dari otot

mana yang terkena. Saraf laring superior dan inferior bersifat motorik dan

sensorik, maka biasanya paralisis motorik terdapat bersamaan dengan paralisis

sensorik pada laring.1

Paralisis motorik otot laring dapat digolongkan menurut lokasi jenis otot

yang terkena atau jumlah otot yang terkena. Penggolongan menurut lokasi,

misalnya dikenal paralisis unilateral atau bilateral. Menurut jenis otot yang

terkena dikenal paralisis aduktor atau paralisis abduktor atau paralisis tensor.

Sedangkan menurut jumlah otot yang terkena, paralisis sempurna atau tidak

sempurna.1

16
4. PATOMEKANISME

Perubahan elastisitas jaringan ikat, tegangan otot-otot vokalis, dan sifat-

sifat epitel dapat secara signifikan membatasi dan mengubah gerakan gelombang

perjalanan normal pita suara. Perubahan ini jelas terdengar, bahkan untuk orang

awam, sebagai gangguan suara.6

Jika pita suara menutup bersama terlalu kuat karena keadaan patologi,

siklus getaran menjadi tersentak dan suara terdengar keras dan terpotong-potong.

Jika pita saling mendekat terlalu lemah atau tidak dapat bertemu, suara terdengar

lemah dan mendesah dan kenyaringan tidak dapat ditingkatkan. Dalam hal ini,

getaran pita suara dapat menjadi tidak sesuai sementara, disebabkan sisi kanan

dan kiri bergetar pada frekuensi dasar yang berbeda.6

5. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinik dan

pemeriksaan penunjang.1

Anamnesis

Anamnesis harus lengkap dan terarah meliputi jenis keluhan gangguan

suara, lama keluhan, progresifitas, hal yang meringankan atau memberatkan,

keluhan yang menyertai, pekerjaan, keluarga, kebiasaan merokok, minum kopi

atau alkohol, hobi atau aktivitas di luar pekerjaan, penyakit yang pernah atau

sedang diderita, alergi, lingkungan tempat tinggal dan bekerja, dan lain-lain.1,7

17
Sangat penting untuk menanyakan riwayat pembedahan yang memerlukan

anestesi umum. Apakah pasien pernah mengalami cedera leher atau tidak. Pada

anestesi umum dipakai pipa endotrakeal yang dapat merusak pita suara dan

menyebabkan serak.7

Pemeriksaan Klinik dan Penunjang

Pemeriksaan klinik meliputi pemeriksaan umum (status generalis),

pemeriksaan pemeriksaan THT termasuk pemeriksaan laringoskopi tak langsung

untuk melihat laring melalui kaca laring atau dengan menggunakan teleskop

laring baik yang kaku (rigid telescope) atau serat optik (fiberoptic telescope).

Penggunaan teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video (video

laringoskopi) sehingga akan memberikan visualisasi laring (pita suara) yang lebih

jelas baik dalam keadaan diam (statis) maupun pada saat bergerak (dinamis).

Selain itu dapat juga dilakukan dokumentasi hasil pemeriksaan untuk tindak lanjut

hasil pengobatan. Visualisasi laring dan pita suara secara dinamis akan lebih jelas

dengan menggunakan stroboskop (video stroboskopi) di mana gerakan pita suara

dapat diperlambat (slowmotion) sehingga dapat terlihat getaran (vibrasi) pita suara

dan gelombang mukosanya (mucosal wave). Dengan bantuan alat canggih ini

diagnosis anatomis dan fungsional menjadi lebih akurat.1

Selain secara anatomis fungsi laring dan pita suara juga dapat dinilai

dengan menganalisa produk yang dihasilkannya yaitu suara. Analisa suara dapat

dilakukan secara perseptual yaitu dengan mendengarkan suara dan menilai derajat

(grade), kekasaran (roughness), keterengahan (breathyness), kelemahan

18
(astenisitas) dan kekakuan (strain). Saat ini juga telah berkembang analisis akustik

dengan menggunakan program komputer seperti CSL (Computerized Speech

Laboratory), Multyspeech, ISA (Intelegence Speech Analysis) dan MDVP (Multy

Dimensional Voice Programme). Hasil pemeriksaan analisis akustik ini berupa

nilai parameter-parameter akustik dan spektogram dari gelombang suara yang

dianalisis. Parameter akustik dan spektogram ini dapat dibandingkan antara suara

normal dan suara yang mengalami gangguan. Alat ini juga dapat digunakan untuk

menilai tindak lanjut (follow up) hasil terapi.1

Terkadang diperlukan pemeriksaan laring secara langsung (direct

laringoscopy) untuk biopsi tumor dan menentukan perluasannya (staging) atau

bila diperlukan tindakan (manipulasi) bagian-bagian tertentu laring seperti

aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, daerah komisura anterior atau

subepiglotik. Laringoskopi langsung dapat menggunakan teleskop atau mikroskop

(mikrolaringoskopi).1

Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan meliputi pemeriksaan

laboratorium, radiologi, elektromiografi (EMG), mikrobiologi dan patologi

anatomi.1

6. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan disfonia sesuai dengan kelainan atau penyakit yang

menjadi etiologinya. Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygeane, terapi

suara dan bicara (Voice-speech therapy), terapi psikogenik, dan tindakan operatif.

19
Tindakan operatif untuk mengatasi gangguan suara atau disfonia disebut

Phonosurgery.1

Terapi bicara tidak sebaiknya dilakukan pada anak-anak karena tidak

cukup kooperatif untuk mengikuti prosedur. Sebaiknya lebih memperhatikan

optimalisasi fungsi motorik sementara dalam proses penyesuaian konsentrasi dan

perilaku bermain.5

20
BAB III

KESIMPULAN

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang

disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat

organik maupun fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi

merupakan gejala penyakit atau kelainan pada laring.

Walaupun disfonia hanya merupakan gejala, tetapi bila prosesnya

berlangsung lama (kronik) keadaan ini dapat merupakan tanda awal dari penyakit

yang serius di daerah tenggorok, khususnya laring.

Gejala klinis disfonia seperti suara serak, kasar atau rasa gatal, suara

mendesah yang membutuhkan peningkatan usaha, kelelahan vokal terutama

setelah penggunaan suara yang berkepanjangan, perubahan nada suara, merasa

kering atau ada benjolan di tenggorokan. Disertai dengan gejala lain yang sesuai

dengan penyebab disfonia.

Penatalaksanaan disfonia sesuai dengan kelainan atau penyakit yang

menjadi etiologinya.Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygeane, terapi

suara dan bicara (Voice-speech therapy), terapi psikogenik, dan tindakan operatif.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Ed. Ke-7. Badan Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2012. Hal. 209-214.

2. Cohen SM, Kim J, Roy N, et al. Prevalence and Causes of Dysphonia in a

Large Treatment-Seeking Population. In: The Laryngoscope, 122. The

American Laryngological, Rhinological and Otological, Inc: USA. 2012. P.

343-348.

3. Andresya D, Amri Z, Hutahuruk S. Gangguan Suara dan Faktor-Faktor yang

Berhubungan pada Karyawan Call Center dan Back Office di Perusahaan X

Jakarta. Dalam: Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 59, No. 5. Jakarta. 2009.

Hal. 203-207.

4. Probst R, Grevers G, Iro H. Embryology, Anatomy, and Physiology of the

Larynx and Trachea. In: Basic Otorhinolaryngology A Step-By-Step Learning

Guide. Thieme: Stuttgart. 2006. P. 338-345.

5. Clarke R. Voice Disorders. In: Disease of The Ear, Nose and Throat Lecture

Notes 11th Ed. Wiley-Blackwell: USA. 2014. P. 148.

6. Probst R, Grevers G, Iro H. Voice Disorders. In: Basic Otorhinolaryngology

A Step-By-Step Learning Guide. Thieme: Stuttgart. 2006. P. 386-395.

7. Swartz MH. Rongga Mulut dan Faring. Dalam: Buku Ajar Diagnostik Fisik.

Terj. Petrus L, R.F. Maulani, Jan T. EGC: Jakarta. 1995. Hal. 139-153.

22

Anda mungkin juga menyukai