Anda di halaman 1dari 26

Referat

SUPPORT SYSTEM

PELAYANAN PSIKIATRI PALIATIF

Oleh:

Dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALISAS-I


BAGIAN/SMF PSIKIATRI FK UNUD/RSUP SANGLAH
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya monograf

ini bisa diselesaikan yang berjudul “SUPPORT SYSTEM PELAYANAN PSIKIATRI

PALIATIF”. Penyusunan monograf ini adalah suatu upaya untuk memperluas dan

memperdalam ilmu pengetahuan di bidang psikiatri paliatif yang diharapkan dapat

memberi manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna

sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari seluruh pembaca. Atas

masukannya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Hormat saya,

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1
BAB II TERAPI PALIATIF ..................................................................... 3
2.1 Definisi Terapi Paliatif........................................................ 3
2.2 Indikasi Pelayanan Paliatif ................................................ 5
2.3 Langkah-langkah Pelayanan Paliatif.................................... 6
BAB III SUPPORT SYSTEM PASIEN PALIATIF..................................... 9
3.1 Medikolegal Support System Pelayanan Paliatif .................... 9
3.2 Tim Pelayanan Paliatif ....................................................... 10
3.3. Tempat Dan Organisasi Pelayanan Paliatif ........................ 14
3.4. Pembinaan dan Pengawasan .............................................. 15
3.5 Pelayanan Psikiatri Paliatif ................................................. 15
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN …………………………………….. 19
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN

Kita masih ingat nama Hippocrates, seorang Yunani yang hidup pada abad ke
lima sebelum Masehi (460-360BC). Beliau dikenal sebagai penyembuh yang pandai
pada zamannya. Beliau pula yang menganjurkan pengobatan empiema dengan
menusukkan sebilah pisau diantara dua tulang rusuk. Beliau telah diakui sebagai model
dokter yang ideal dan sebagai “Father of Medicine”. Sumpah Hipocrates masih
menjadi dasar dari lafal sumpah/janji jabatan dokter di Indonesia (AAFP, 2011).
Upaya manusia untuk mencari cara pengobatan penyakit ini terus menerus
dilanjutkan, bahkan makin hari makin dipergunakan metode-metode penelitian yang
lebih sahih dengan mempergunakan teknologi yang makin maju. Banyak sekali
penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan tidak sedikit penemuan-penemuan yang
diperoleh, sehingga terjadilah kemajuan-kemajuan di bidang diagnostik maupun terapi.
Akhirnya terjadilah perkembangan ilmu kedokteran sedemikian rupa sehingga tidak
mungkin lagi dapat dikuasai oleh seseorang. Maka lahirlah spesialisasi-spesialisasi
bahkan subspesialisasi yang mendalami ilmu kedokteran dalam bidang yang lebih
sempit tetapi lebih mendalam (Nur, 2010)
Namun demikian sampai sekarang kita masih dihadapkan kepada suatu
kenyataan bahwa masih belum semua penyakit dapat disembuhkan. Karena itu
benarlah kiranya dalam penanganan suatu penyakit dikatakan “To cure sometimes, to
relief often, to comfort always”. Sebagai dokter psikiater, berkewajiban
menjaga quality of care selama akhir hidup pasien dengan harapan pasien bisa
mendapatkan quality of dead (Kematian yang indah). Dimana harapan pasien setelah
kematian dia bisa tenang dan tidak meninggalkan masalah-masalah baru. Dalam
sebuah peneliatian di US disebutkan bahwa berdiskusi dengan pasien tentang end of
live care merupakan tanggung jawab profesional dokter. Dengan diskusi ini mereka
menganggap mereka bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk pasien (Booth,
2010).
Di Indonesia, sebagian besar penyakit kanker ditemukan pada stadium lanjut,
ditambah dengan ditemukannya kasus-kasus yang tidak mendapatkan pengobatan
kanker menyebabkan angka harapan hidup yang lebih pendek. Pasien-pasien dengan
kondisi tersebut mengalami penderitaan yang memerlukan pendekatan terintegrasi
berbagai disiplin agar pasien memiliki kualitas hidup yang baik dan pada akhirnya
meninggal secara bermartabat. Integrasi psikiatri paliatif ke dalam tata laksana kanker
terpadu telah lama dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, seiring dengan
terus meningkatnya jumlah pasien kanker dan angka kematian akibat kanker.
Penatalaksanaan kanker telah berkembang dengan pesat. Walaupun demikian, angka
kesembuhan dan angka harapan hidup pasien kanker belum seperti yang diharapkan.
Sebagian besar pasien kanker akhirnya akan meninggal karena penyakitnya. Pada saat
pengobatan kuratif belum mampu memberikan kesembuhan yang diharapakan dan
usaha preventif baik primer maupun sekunder belum terlaksana dengan baik sehingga
sebagian besar pasien ditemukan dalam stadium lanjut, pelayanan paliatif sudah
semestinya menjadi satu satunya layanan fragmatis dan jawaban yang manusiawi bagi
mereka yang menderita akibat penyakit- penyakit tersebut di atas (Kemenkes RI,
2013).
BAB II
TERAPI PALIATIF

2.1 Definisi Terapi Paliatif


Definisi terapi paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan
meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lain,
memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai
akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan/berduka (Abraham,
2008)
Fase paliatif terminal biasanya dimulai dengan berita buruk, jika tidak ada lagi
kemungkinan untuk pemberian terapi lain. Seringkali berita buruk ini sulit untuk
diterima oleh keluarga dibandingkan pemberitahuan sebelumnya tentang penyakit
kanker yag diderita pasien. Saat itu masih ada gambaran untuk menjalani berbagai
terapi tetapi saat ini sudah tidak ada lagi dan yang dihadapi adalah kematian
(AAFP,2011)
Tujuan terapi paliatif (AAHPM,2010) adalah :
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian adalah proses yang
normal
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian
3. Menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain yang mengganggu
4. Menjaga keseimbangan dalam aspek psikologis dan aspek spiritual
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya
6. Berusaha memberikan dukungan kepada keluarga yang berduka
Bantuan rohani (dukungan moril) dapat memberikan arti kepada kehidupan
sehari-hari. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu, rasa keterasingan dari
lingkungannya, kecemasan, rasa berdosa atau kehilangan harapan (Doyle, 2003).
Inti dari perawatan paliatif difokuskan pada perawatan dan rasa solidaritas. Ada
beberapa titik perhatian dalam melaksanakan terapi. Dalam hal ini harus dinilai
seberapa penting dialog memenuhi kebutuhan hidup penderita dan dilaksanakan secara
dua arah. Perawatan paliatif dapat dilangsungkan di rumah penderita sendiri, di rumah
penampungan atau di rumah sakit tergantung pada kemauan penderita dan keluarganya.
Biasanya yang terbaik adalah perawatan dirumah karena pada umumnya penderita
merasa tenang di dekat keluarganya. Dalam fase akhir kehidupan ini harus diberikan
kesempatan kepada penderita untuk bersama dengan keluarga sampai akhir hayatnya
(Foley, 2008).
Secara garis besar perawatan paliatif dibagi menjadi beberapa komponen (Lynn
J, 2008) yaitu:
1. Perawatan Paliatif : pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien
dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi
dini dan penilaian yang tertib terkait penyakit fisik, psikososial dan spiritual
2. Kualitas Hidup Pasien : keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan
pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan
hidup, harapan dan niatnya. Adapun dimensi dari kualitas hidup dijabarkan oleh J.
Clinch, Deborah dan Harvey tahun 1999 adalah gejala fisik, kemampuan
fungsional (aktivitas), kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi sosial, kepuasan
terhadap pengobatan (termasuk keuangan), orientasi masa depan, kehidupan
seksual, dan fungsi kerja
3. Paliatif Home Care : pelayanan paliatif yang dilakuakn di rumah pasien oleh
tenaga paliatif dan atau keluarga atas bimbingan tenaga paliatif
4. Hospis : tempat dimana pasien dengan penyakit stadium terminal yang tidak dapat
dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di Rumah
Sakit. Pelayanan yang diberikan tidak seperti di Rumah Sakit tetapi dapat
memberikan pelayanan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan
keadaan seperti di rumah pasien sendiri
5. Sarana (fasilitas) kesehatan : tempat yang menyediakan layanan kesehatan secara
medis bagi masyarakat atau pasien paliatif
6. Kompeten : keadaan kesehatan mental pasien sedemikian rupa sehingga mampu
menerima dan memahami informasi yang diperlukan dan mampu membuat
keputusan secara rasional berdasarkan informasi tersebut.
Rumah Sakit yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif di
Indonesia masih terbatas di 5 (lima) ibu kota propinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta,
Surabaya, Denpasar dan Makassar. Ditinjau dari besarnya kebutuhan dari pasien,
jumlah dokter yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif juga masih
terbatas. Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih belum
merata sedangkan pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu,
komprehensif dan holistik, maka diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia
yang memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan
pelayanan perawatan paliatif (Witjaksono, 2013).

2.2 Indikasi Pelayanan Paliatif


Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami
berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan
aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi
kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut
suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya
dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukandengan
pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif. Masyarakat
menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan
segera meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif menekankan pentingnya
integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat
diatasi dengan baik. Perawatan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat
holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah
bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya
(Meier, 2010).
Pelayanan paliatif dimulai sejak diagnosis kanker ditegakkan bila didapatkan
satu atau lebih kondisi di bawah ini :
1. Nyeri atau keluhan fisik lainnya yang tidak dapat diatasi
2. Stres berat sehubungan dengan diagnosis atau terapi kanker
3. Penyakit penyerta yang berat dan kondisi sosial yang diakibatkannya
4. Permasalahan dalam pengambilan keputusann tentang terapi yang akan atau
sedang dilakukan
5. Pasien/keluarga meminta untuk dirujuk ke perawatan paliatif
6. Angka harapan hidup < 12 bulan (ECOG > 3 atau kanofsky < 50%, metastasis
otak, dan leptomeningeal, metastasis di cairan interstisial, vena cava superior
sindrom, kaheksia, serta kondisi berikut bila tidak dilakukan tindakan atau tidak
respon terhadap tindakan yaitu: kompresi tulang belakang, bilirubin ≥2,5 mg/dl,
kreatinin ≥3 mg/dl ). *tidak berlaku pada pasien kanker anak
7. Pada pasien kanker stadium lanjut yang tidak respon dengan terapi yang
diberikan (Kepmenkes, 2007).

2.3 Langkah-langkah Pelayanan Paliatif


Perawatan paliatif mengutamakan pendekatan yang bertujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan
dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan
melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (Danasari, 2008).
Tujuan umum kebijakan paliatif sebagai payung hukum dan arahan bagi
perawatan paliatif di Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya adalah terlaksananya
perawatan paliatif yang bermutu sesuai standar yang berlaku di seluruh Indonesia,
tersusunnya pedoman-pedoman pelaksanaan/juklak perawatan paliatif, tersedianya
tenaga medis dan non medis yang terlatih, tersedianya sarana dan prasarana yang
diperlukan. Sasaran kebijakan pelayanan paliatif adalah seluruh pasien (dewasa dan
anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang memerlukan perawatan paliatif di mana
pun pasien berada di seluruh Indonesia. Untuk pelaksana perawatan paliatif : dokter,
perawat, tenaga kesehatan lainnya dan tenaga terkait lainnya. Sedangkan Institusi-
institusi terkait, misalnya: Dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan
kabupaten/kota, Rumah Sakit pemerintah dan swasta, Puskesmas, Rumah
perawatan/hospis, Fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta lain (Kemenkes, 2013).
Pelayanan paliatif yang dilaksanakan memiliki langkah-langkah umum yang
menjadi dasar dalam melakukan pelayanan. Adapun langkah-langkah dari pelayanan
paliatif adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien
2. Membantu pasien dalam membuat Advanced Care Planning (wasiat atau
keingingan terakhir)
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek sosial yang muncul
4. Tata laksana gejala ( sesuai panduan dibawah )
5. Informasi dan edukasi perawatan pasien
6. Dukungan psikologis, kultural dan social
7. Respon pada fase terminal: memberikan tindakan sesuai wasiat atau keputusan
keluarga bila wasiat belum dibuat, misalnya: penghentian atau tidak
memberikan pengobatan yang memperpanjang proses menuju kematian
(resusitasi, ventilator, cairan, dll)
8. Pelayanan terhadap pasien dengan fase terminal
Evaluasi apakah :
a. Nyeri dan gejala lain teratasi dengan baik
b. Stress pasien dan keluarga berkurang
c. Merasa memiliki kemampuan untuk mengontrol kondisi yang ada
d. Beban keluarga berkurang
e. Hubungan dengan orang lain lebih baik
f. Kualitas hidup meningkat
g. Pasien merasakan arti hidup dan bertumbuh secara spiritual
h. Jika Pasien MENINGGAL dilakukan Perawatan jenazah, kelengkapan
surat dan keperluan pemakaman, dukungan masa duka cita (berkabung)
(Kemenkes,2013).
BAB III
SUPPORT SYSTEM PASIEN PALIATIF

3.1 Medikolegal Support System Pelayanan Paliatif


Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif merupakan
hal penting sebelum merencanakan pembuatan support system paliatif. Pasien harus
memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif melalui, komunikasi
yang intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan paliatif dengan pasien dan
keluarganya. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada
dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan
informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang
berisiko dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi
persetujuan diutamakan pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi
anggota keluarga terdekatnya (Ferrell, 2007).
Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan
keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka keluarga
terdekatnya melakukannya atas nama pasien. Tim perawatan paliatif sebaiknya
mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pernyataan pasien pada saat ia sedang
kompeten tentang apa yang harus atau boleh atau tidak boleh dilakukan terhadapnya
apabila kompetensinya kemudian menurun (advanced directive). Pesan dapat memuat
secara eksplisit tindakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula
hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat
keputusan pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan
dijadikan panduan utama bagi tim perawatan paliatif (Doyle, 2003).
Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif
dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan
pada kesempatan pertama. Resusitasi/ Tidak resusitasi pada pasien paliatif. Keputusan
dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh pasien yang
kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah
diinformasikan pada saat pasien memasuki atau memulai perawatan paliatif
(Kemenkes, 2013).
Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi,
sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah
dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced
directive) atau dalam informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya.
Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi,
kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun demikian, dalam
keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaan
tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan pengadilan
untuk pengesahannya (Kepmenkes, 2007).
Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan
resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada
dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau
memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut (Ferrell,
2007).

3.2 Tim Pelayanan Paliatif


Dalam mencapai tujuan pelayanan paliatif pasien, yaitu mengurangi
penderitaan pasien, beban keluarga, serta mencapai kualitas hidup yang lebih baik,
diperlukan sebuah tim yang bekerja secara terpadu. Pelayanan paliatif pasien juga
membutuhkan keterlibatan keluarga dan tenaga relawan (Foley, 2008).
Dengan prinsip interdisipliner (koordinasi antar bidang ilmu dalam menentukan
tujuan yang akan dicapai dan tindakan yang akan dilakukan guna mencapai tujuan ),
tim paliatif secara berkala melakukan diskusi untuk melakukan penilaian dan
diagnosis, untuk bersama pasien dan keluarga membuat tujuan dan rencana pelayanan
paliatif pasien kanker, serta melakukan monitoring dan follow up (Lubis, 2008).
Kepemimpinan yang kuat dan manajemen program secara keseluruhan harus
memastikan bahwa manajer lokal dan penyedia layanan kesehatan bekerja sebagai tim
multidisiplin dalam sistem kesehatan, dan mengkoordinasikan erat dengan tokoh
masyarakat dan organisasi yang terlibat dalam program ini, untuk mencapai tujuan
bersama. Komposisi tim perawatan paliatif terdiri :
1. Psikiater
Psikiater memainkan peran penting dalam pelayanan paliatif
interdisipliner, harus kompeten di kedokteran umum, kompeten dalam
pengendalian rasa sakit dan gejala lain, dan juga harus akrab dengan prinsip-
prinsip pengelolaan penyakit pasien terutama gangguan psikiatri. Dokter yang
bekerja di pelayanan paliatif mungkin bertanggung jawab untuk penilaian,
pengawasan dan pengelolaan dari banyak dilema pengobatan sulit. Kurang lebih
sepertiga pasien dengan kanker dilaporkan menderita anxietas atau depresi yang
membutuhkan penatalaksanaan psikiatrik (AAHPM, 2010).
Depresi jelas merupakan gejala psikiatri yang paling sering pada pasien
kanker. Depresi pada pasien kanker disebabkan oleh :
1. Stres yang berhubungan dengan diagnosis dan penatalaksanaan.
2. Pengobatan
3. Keadaan umum pasien
4. Berulangnya depresi.
Obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi dalam hal ini adalah
glukokortikoid, narkotik, barbiturat dan antikonvulsan lain, beberapa zat
kemoterapi seperti vincristine, vinblastine, procabazine dan L-Asparaginase.
Terapi yang sering digunakan untuk depresi dapat berupa antidepresan, anti
psikotik, mood stabilizer, terapi elektrokonvulsif.
Anxietas atau kecemasan merupakan suatu reaksi normal terhadap stres
secara emosional menghadapi kanker yang diderita seseorang. Kanker dapat
memaksa seseorang berubah dalam peran sosial, mengganggu hubungan
interpersonal, gangguan tubuh dan perubahan penampilan selain itu seseorang
dihadapkan pada kematian atau umur yang terkesan kian memendek.
Benzodiazepin (lorazepam, alprazolam dan clonazepam) merupakan obat pilihan
utuk status anxietas akut (Doyle, 2003).
Delirium biasa diakibatkan oleh keterlibatan tumor pada sistem saraf pusat,
dan efek tidak langsung dari sekuele toksik metabolik dari penyakit dan
pengobatan. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, seringkali disertai oleh
gangguan kognitif global, abnormalitas mood, tingkah laku dan persepsi.
Prevalensi delirium pada pasien kanker sekitar 5% sampai 25% pada berbagai
penelitian. Beberapa zat antineoplastik dan imunoterapi dapat menyebabkan
delirium dan perubahan pada status mental. Penatalaksanaan delirium termasuk
identifikasi dan koreksi penyebabnya sambil mengobati gejala dan pemberian
terapi suportif.
Haloperidol dapat digunakan, dosis yang relatif rendah (1 - 3 mg/hari)
seringkali efektif untuk mengobati agitasi, halusinasi, paranoia, ketakutan dan
kebanyakan pasien kanker merespon terhadap kurang dari 20 mg dalam dosis
terbagi selama 24 jam (Meier, 2010).
2. Perawat
Merupakan anggota tim yang biasanya akan memiliki kontak terlama
dengan pasien sehingga memberikan kesempatan unik untuk mengetahui pasien
dan pengasuh, menilai secara mendalam apa yang terjadi dan apa yang penting
bagi pasien, dan untuk membantu pasien mengatasi dampak kemajuan penyakit.
Perawat dapat bekerja sama dengan pasien dan keluarganya dalam membuat
rujukan sesuai dengan disiplin ilmu lain dan pelayanan kesehatan (Ferrell, 2007),
peran perawat dalam :
a. Konsultasi layanan paliatif
b. Penanggulangan nyeri
c. Penanggulangan keluhan lain penyerta penyakit primer
d. Bimbingan psikologis, social dan spiritual
e. Persiapan kemampuan keluarga untuk perawatan pasien dirumah
f. Kunjungan rumah berkala, sesuai kebutuhan pasien dan keluarga
g. Bimbingan perawatan untuk pasien dan keluarga
h. Membantu penyediaan tenaga perawat homecare
i. Membantu penyediaan pelaku perawat (caregiver)
j. Membantu kesiapan akhir hayat dengan tenang dalam iman
k. Membantu dukungan masa duka cita
l. Konsultasi melalui telepon.
3. Pekerja sosial dan psikolog
Perannya membantu pasien dan keluarganya dalam mengatasi masalah
pribadi dan sosial, penyakit dan kecacatan, serta memberikan dukungan
emosional/konseling selama perkembangan penyakit dan proses berkabung.
Masalah pribadi biasanya akibat disfungsi keuangan, terutama karena keluarga
mulai merencanakan masa depan (Ferrell, 2007).
4. Konselor spiritual
Konselor spiritual harus menjadi pendengar yang terampil dan tidak
menghakimi, mampu menangani pertanyaan yang berkaitan dengan makna
kehidupan. Sering juga berfungsi sebagai orang yang dipercaya sekaligus sebagai
sumber dukungan terkait tradisi keagamaan, pengorganisasian ritual keagamaan
dan sakramen yang berarti bagi pasien paliatif. Sehingga konselor spiritual perlu
dilatih dalam perawatan akhir kehidupan (AAFP, 2011).
Beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dramatis dalam agama
dan keyakinan spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan dalam penyakit
fisik yang serius Profesional kesehatan memberikan perawatan medis menyadari
pentingnya pasien dalam memenuhi 'kebutuhan spiritual dan keagamaan. Studi
pasien dengan penyakit kronis atau terminal telah menunjukkan insiden tinggi
depresi dan gangguan mental lainnya. Dimensi lain adalah bahwa tingkat depresi
adalah sebanding dengan tingkat keparahan penyakit dan hilangnya fungsi agunan.
Sumber depresi seperti sering berbaring dalam isu-isu yang berkaitan dengan
spiritualitas dan agama. Pasien di bawah perawatan paliatif dan dalam keadaan
seperti itu sering mempunyai keprihatinan rohani yang berkaitan dengan kondisi
mereka dan mendekati kematian (Ferrell, 2007).
Spiritual dan keprihatinan keagamaan dengan pasien biasa bergumul
dengan isu-isu sehari-hari penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan orang
tua dan mereka yang menghadapi kematian yang akan datang. Kekhawatiran
semacam itu telah diamati bahkan pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit
untuk serius tetapi non-terminal penyakit. Studi lain telah menunjukkan bahwa
persentase yang tinggi dari pasien di atas usia 60 menemukan hiburan dalam
agama yang memberi mereka kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi, sampai
batas tertentu, dengan kehidupan. Kekhawatiran di sakit parah mengasumsikan
berbagai bentuk seperti hubungan seseorang dengan Allah, takut akan neraka dan
perasaan ditinggalkan oleh komunitas keagamaan mereka. Sering menghormati
dan memvalidasi individu dorongan agama dan keyakinan adalah setengah
pertempuran ke arah menyiapkan mereka untuk suatu 'baik' kematian (Booth,
2010).

3.3. Tempat Dan Organisasi Pelayanan Paliatif


Tempat perawatan paliatif yaitu Rumah sakit , Untuk pasien yang harus
mendapatkan perawatan yang memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus atau
peralatan khusus. Puskesmas : Untuk pasien yang memerlukan pelayanan rawat jalan.
Rumah singgah/panti (hospis) : Untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan
ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus, tetapi belum dapat dirawat di rumah
karena masih memerlukan pengawasan tenaga kesehatan. Rumah pasien : Untuk pasien
yang tidak memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khusus atau
ketrampilan perawatan yang tidak mungkin dilakukan oleh keluarga (Booth, 2010).
Organisasi perawatan paliatif, menurut tempat pelayanan/sarana kesehatannya
adalah : Kelompok Perawatan Paliatif dibentuk di tingkat puskesmas. Unit Perawatan
Paliatif dibentuk di rumah sakit kelas D, kelas C dan kelas B non pendidikan. Instalasi
Perawatan Paliatif dibentuk di Rumah sakit kelas B Pendidikan dan kelas A. Tata kerja
organisasi perawatan paliatif bersifat koordinatif dan melibatkan semua unsur terkait
(Booth, 2010).

3.4. Pembinaan dan Pengawasan


Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang dengan
melibatkan perhimpunan profesi/keseminatan terkait. Pembinaan dan pengawasan
tertinggi dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Untuk pengembangan dan
peningkatan mutu perawatan paliatif diperlukan pemenuhan sarana, prasarana dan
peralatan kesehatan dan non kesehatan., pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan/Continuing Professional Development untuk perawatan paliatif (SDM)
untuk jumlah, jenis dan kualitas pelayanan, menjalankan program keselamatan
pasien/patient safety. Pendanaan yang diperlukan untuk perawatan Paliatif adalah
Pengembangan sarana dan prasarana, Peningkatan kualitas SDM/pelatihan, Pembinaan
dan pengawasan, Peningkatan mutu pelayanan. Sumber pendanaan dapat dibebankan
pada APBN/APBD dan sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Untuk perawatan
pasien yang sudah memiliki asuransi dapat terlayani oleh BPJS. (Kemenkes, 2013).

3.5 Pelayanan Psikiatri Paliatif


Mayoritas pasien dengan end live care merasa mereka ingin berdiskusi tentang
akhir kehidupan mereka dan mereka juga menginginkan diskusi yang lebih awal
sebelum jatuh ke dalam kondisi yang kurang baik sehingga sudah tidak bisa berpikir
dengan logis. Namun, tenaga kesehatan kadang masih merasa enggan untuk berdiskusi
dalam waktu yang masih dini takut merusak harapan mereka. Di US pasien berhak
menentukan nasibnya sendiri dan diatur dengan Undang-Undang, dimana professional
kesehatan wajib memberikan informasi mengenai penyakitnya sehingga pasien bisa
mengambil keputusan (Lynn, 2008).
Tantangan psikiater adalah bagaimana mulai melakukan diskusi end of live
care. Kita harus bisa menentukan waktu yang tepat untuk itu. Diskusi end of live care
merupakan hak dari pasien namun demikian kita juga harus menghormati jika pasien
enggan untuk berdiskusi. Kita harus bisa menjelaskan kondisi pasien tetap memberikan
dorongan hidup tapi tidak memberikan harapan palsu (Meier, 2010).
Tantangan kadang kala datang dari keluarga pasien menolak diskusi yang
beralasan untuk menghindarkan orang yang dicintainya dari percakapan yang kurang
menyenangkan. Bahkan di masyarakat seringkali penyakit yang diderita pasien
disembunyikan oleh keluarganya padahal dengan demikian sama saja merenggut hak
pasien untuk melakukan hal-hal yang ingin dia lakukan di akhir kehidupannya ataupun
mengutarakan harapan-harapannya diamana waktu yang tersisa akan sangat berharga.
Komunikasi end of live care pada bulan-bulan terakhir pasien sangatlah penting dan
berharga (Nur, 2010).
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan kanker membahas pilihan
terapi mereka sejak dini ternyata bisa mengurangi tingkat stress mereka. Beberapa
study menunjukkan bahwa mereka lebih memilih jujur dan terbuka dan mendiskusikan
end of live care. Dalam diskusi ini sangatlah penting pasien mengambil keputusan dan
hendaknya bisa didokumentasikan misalnya seperti menunjuk wali siapa yang berhak
mengambil keputusan akan dirinya apabila sudah jatuh dalam kondisi koma ini yang
biasanya kita sebut advance directive (WHO, 1996).
Sebagai psikiater tentunya sudah tau posisi kita ada dimana, dimana kita
diharapkan memandang individu sebagai suatu kesatuan bio-psiko- sosial – kultural,
bahkan dalam kondisi ini sudut pandang secara spiritual juga menjadi sangatlah
penting. Keluarga bisa menangani keluhan-keluhan secara fisik yang mungkin muncul
pasien hendaknya dibuat merasa nyaman walaupun dia sakit. Secara psikologis pasien
dalam kondisi seperti ini sangat membutuhkan dukungan salah satunya dengan cara
berdiskusi dan bersedia mendengarkan. Cobalah untuk memberikan kesempatan pasien
untuk bisa mengespresikan ketakutan dan kekawatiran tentang kematian, bagaimana
dia akan meninggalkan keluarga yang dicintanya jadi bersikaplah untuk mendengar.
Begitu pula dengan dukungan sosial dan spiritual misalnya dorong pasien untuk berdoa
sesuai dengan keyakinannya dan tanyakan apakah ada sesuatu yang bisa anda lakukan
(WHO,1998).
Dukungan sosial pada keluarga juga sangatlah penting karena merawat orang
sakit menyebabkan kelelahan secara fisik dan emosional menyebabkan stess, depresi
dan kecemasan. Setelah melihat fakta-fakta tersebut diatas kita bisa melihat peran
psikiater dalam perawatan akhir pasien ini. Tentunya peran aktif dalam proses ini
sangatlah diperlukan sebagai wujud tanggung jawab professional kita khusunya
sebagai Psikiater yang diharapkan sebagai ujung tombak dalam pelayanan paliatif
(Sukardja, 2004).
Dalam pembentukan support system paliatif perlu diperhatikan adalah sikap
Psikiater dalam melakukan pelayanan. Hal tersebut antara lain :
1. Kemampuan untuk penuh kasih dan empati menyampaikan berita buruk
2. Pemahaman tentang masalah psikososial dan dinamika keluarga yang
mempengaruhi pasien yang sakit parah
3. Pemahaman tentang isu-isu spiritual dan agama mempengaruhi pasien sakit
parah serta anggota keluarga
4. Sebuah sehubungan dengan kepercayaan budaya dan kebiasaan pasien dan
keluarga dalam konteks kematian dan sekarat
5. Pemahaman tentang kebutuhan pasien sekarat untuk perawatan paliatif, nyeri,
kontrol, dan martabat
6. Pemahaman tentang isu-isu khusus yang terkait dengan anak-anak, baik sebagai
tersembuhkan pasien sakit atau sebagai anggota keluarga dari pasien yang sakit
parah
7. Pemahaman tentang proses berkabung untuk pasien sekarat dan anggota
keluarga selama kontinum penyakit dan setelah kematian.
(White, 2010).

BAB IV
KESIMPULAN
Perawatan Paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual. Penyakit terminal merupakan
penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju ke arah kematian. Contohnya
seperti penyakit jantung,dan kanker atau penyakit terminal ini dapat dikatakan
harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis sudah menyerah
dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah kearah
kematian. Agama dan keyakinan spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan
dalam penyakit fisik yang serius Profesional kesehatan memberikan perawatan
medis menyadari pentingnya pasien dalam memenuhi 'kebutuhan spiritual dan
keagamaan.
Obat paliatif dapat dikombinasikan dengan perawatan atau modalitas lain
dengan tujuan terapi, atau mungkin menjadi fokus lengkap seperti dalam
perawatan rumah sakit. Seorang dokter menyediakan dan mengkoordinasikan
rumah sakit atau perawatan tim lain untuk pasien sekarat dan dapat meringankan
gejala fisik dan memberikan dukungan sosial, emosional, dan spiritual. Waktu dan
perawatan seputar kematian orang yang dicintai dapat memiliki dampak yang
berlangsung seumur hidup. Edukasi yang sesuai dan pengalaman dalam perawatan
paliatif tidak hanya akan memberikan pengetahuan yang diperlukan untuk
membantu rasa sakit dan penderitaan kemudahan, tetapi juga akan menginspirasi
dokter untuk berpartisipasi dalam kelangsungan akhir perawatan.

DAFTAR PUSTAKA
Abrahm JL. Speciallized care of the terminally ill. in De Vita V.T. Jr. Hellman S,
Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th ed,
Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008

American Academy of Family Physicians (AAFP), the Association of Departments of


Family Medicine (ADFM), the Association of Family Medicine Residency
Directors (AFMRD), and the Society of Teachers of Family Medicine
(STFM).Palliative and End-of-Life Care.; 2011

American Academy of Hospice and Palliative Medicine. Primer of Palliative Care. 5th
ed. Glenview, Il: AAHPM; 2010

Booth S, Edmonds P, Kendall M. Palliative Care in the Acute Hospital Setting. New
York, NY: Oxford University Press; 2010

Danasari. 2008. Standar Kompetensi Dokter Keluarga. PDKI : Jakarta

Doyle, Hanks and Macdonald, 2003. Oxford Textbook of Palliative Medicine. Oxford
Medical Publications (OUP) 3 rd edn 2003

Ferrell, B.R. & Coyle, N. (Eds.) (2007). Textbook of palliative nursing, 2nd ed. New
York, NY: Oxford University Press

Foley KM, Abernathy A. Management of cancer pain, in De Vita V.T. Jr. Hellman S,
Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th ed,
Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008

http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20140820154451-255-1505/dokter-
keluarga-dan-bpjs-bisa-ringankan-pasien-kanker/ diakses pada tanggal 8 Mei
2017

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman teknis pelayanan paliatif kanker.


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Jakarta

KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan


Perawatan Palliative Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Laviano A, Meguid RA, Meguid MM. Nutrition support. in De Vita V.T. Jr. Hellman
S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology. vol 1. 8th ed,
Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
Lubis, Firman. Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung dalam Sistem Pelayanan
Kesehatan. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas. Maj Kedokteran
Indonesia, Volume: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008

Lynn J, Schuster JL, Wilkinson AM, et al. Improving Care for the End-Of-Life: A
Sourcebook for Health Care Managers and Clinicians. 2nd ed. New York,
NY: Oxford University Press; 2008

Meier D, Isaacs SL, Hughes RG, eds. Palliative Care: Transforming the Care of
Serious Illness. San Francisco, Ca: Jossey-Bass; 2010

Nur ,Cemy. Palliative Care pada Penderita Penyakit Terminal. GASTER, Vol. 7 No.
1; 2010

Qomariah. 2000. Sekilas Kedokteran Keluarga. FK-Yarsi : Jakarta

Sukardja IDG. Onkologi klinik. Edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya.2004.


hal. 267 – 277

White, PG, 2002, Word Hospice Palliative Care The Loss of Child Day, Pediatric Heart
Network, www.hospiceinternational.com, diambil pada tanggal 12 januari
2010

WHO. Cancer Pain Relief. 2nd Edition. Penerbit ITB 1996. p17 – 34

WHO-WONCA. Making medical practice and education more relevant to people’s


needs: the contribution of the family doctor, 1998

Witjaksono, Maria. Hospis: Rumah bagi Pasien Stadium Terminal. CDK-210/ vol. 40
no. 11 ; 2013

Anda mungkin juga menyukai