Anda di halaman 1dari 5

BAB 3

TEORI - TEORI PEMUNGUTAN PAJAK

ASAS-ASAS PEMUNGUTAN PAJAK


Dalam buku An Inguiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations yang ditulis
oleh Adam Smith pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-asas pemungutan pajak yang
dikenal dengan nama four cannons atau the four maxims dengan uraian sebagai berikut.
1. Equality
Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah
perlindungan pemerintah. Jika Equality ini tidak diperbolehkan suatu negara
mengadakan diskriminasi di antara sesame Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama,
Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda, Wajib Pajak harus
diperlakukan berbeda.

2. Certainty
Pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi
kompromis (not arbitrary). Dalam asas ini, kepastian hokum yang diutamakan adalah
mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak dan ketentuan-ketentuan mengenai
pembayarannya.

3. Convenience of payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu saat
sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan
pajak.

4. Economic of collections
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai
biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Tidak akan ada
artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan
pajak yang akan diperoleh.

TEORI-TEORI PEMBENARAN PEMUNGUT PAJAK


Beberapa teori yang memberikan dasar pembenaran (justification) untuk menjawab
berbagai perdebatan yang ada di kalangan para sarjana dan pemikir masalah
pemungut pajak mengenai apakah negara dibenarkan memungut pajak.
1) Teori Asuransi
Negara dalam melaksanakan tugasnya mencakup pula tugas melindungi jiwa
raga dan harta benda perseorangan. Oleh karena itu, negara disamakan dengan
perusahaan asuransi, untuk mendapat perlindungan warga negara membayar
pajak sebagai premi. Teori ini sudah lama ditinggalkan dan sekarang praktis
tidak ada pembelanya lagi karena perbandingan ini tidak cocok dengan
kenyataan, yakni jika seseorang, misalnya : meninggal dunia, kecelakaan atau
kehilangan , Negara tidak akan mengganti kerugian seperti halnya dalam
asuransi. Di samping itu, tidak ada hubungan langsung antara pembayaran
pajak dengan nilai perlindungannya terhadap pembayar pajak.

2) Teori Kepentingan
Menurut teori ini, pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan
kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Semakin banyak
individu mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, semakin
besar juga pajaknya.
Teori ini meskipun masih berlaku pada retribusi sukar pula dipertahankan
karena seorang miskin dan pengangguran yang memperoleh bantuan dari
pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan negara, tetapi mereka
justru tidak membayar pajak

3) Teori Daya Pikul/ Teori Gaya Pikul


Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan
kekuatan membayar dari si Wajib Pajak (individu) sehingga tekanan semua
pajak harus sesuai dengan daya pikul si Wajib Pajak dengan memperhatikan
pada besarnya penghasilan, kekayaan dan pengeluaran belanja si Wajib Pajak
tersebut.

Menurut Prof W.J. de Langen


Daya Pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai
pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya setelah dikurangi dengan yang mutlak
pada kebutuhan primer (biaya hidup yang sangat mendasar). Kekuatan untuk
menyerahkan uang kepada negara (pajak) barulah ada jika kebutuhan primer
untuk hidup telah tersedia. Hak manusia pertama adalah hak untuk hidup,
maka sebagai analisis yang pertama adalah minimum kehidupan (bestaan
minimum).

Menurut Mr. A.J Cohen Stuart


Daya Pikul, diumpamakan sebuah jembatan, pertama-tama harus dapat
memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebani dengan beban yang
lain. Beliau menyarankan bahwa yang sangat diperlakukan dalam kehidupan
tidak dimasukkan ke dalam daya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan uang
kepada negara barulah ada jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup
sudah tersedia.
Kelemahan Teori ini adalah sulitnya menentukan secara tepat daya pikul
seseorang karena akan berbeda dan selalu berubah-ubah.

4) Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti


Teori ini didasari paham organisasi negara (organische staatsleer) yang
mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan
atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan di bidang pajak. Dengan
sifat seperti itu, negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan
rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori ini, dasar
hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dan negara, di mana negara
berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban membayar pajak.
Kelemahan teori ini adalah negara bisa menjadi otoriter sehingga
mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak.

5) Teori Daya Beli


Teori ini adalah teori modern. Teori ini tidak mempersoalkan asal mulanya
negara memungut pajak, melainkan banyak melihat kepada “efeknya” dan
memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya.

Menurut teori ini , fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala
dalam masyarakat yang dapat disamakan dengan “pompa”, yaitu mengambil
daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan
kemudian memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya kea rah
tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa menyelenggarakan kepentingan
masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan
pajak, bukan kepentingan individu, maupun kepentingan negara, melainkan
kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
Teori ini menitikberatkan ajarannya pada fungsi kedua dari pemungutan pajak,
yaitu fungsi mengatur. Menurut para penganutnya, termasuk Prof. Adriani,
teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam ekonomi bebas maupun ekonomi
perencanaan yang terpimpin.

SYARAT-SYARAT PEMBUATAN UNDANG-UNDANG PAJAK


Agar suatu undang-undang pajak dipandang adil, maka syarat harus dipenuhi dalam
pembuatan peraturan pajak. Berikut adalah syarat-syarat tersebut :
1. Syarat Keadilan
Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu dikenakan
kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar
(ability to pay) pajak tersebut, dan sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Keadilan
disini baik keadilan dalam prinsip mengenai peraturan perundang-undangan maupun
dalam praktik sehari-hari. Syarat keadilan dapat dibagi menjadi dua, yaitu keadilan
horizontal dan keadilan vertikal. Berikut penjelasannya :
a. Keadilan Horizontal
Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama harus
dikenakan pajak yang sama.

b. Keadilan Vertikal
Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama
haru dikenakan pajak yang tidak sama.
2. Syarat Yuridis
Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang karena bersifat dapat memaksa
hak dan kewajiabn Wajib Pajak maupun petugas pajak harus diatur di dalamnya.
Pembayaran pajak harus seimbang dengan kekuatan/ kemampuan membayar Wajib
Pajak. Memang kelihatannya hal ini mudah karena membayar pajak sesuai dengan
kemampuannya. Namun, sebenarnya dalam praktiknya mengalami kesulitan-kesulitan
dalam memperhitungkan pajak. Bagi orang yang berpenghasilan tetap tidak menjadi
persoalan. Namun, bagi mereka yang berpenghasilan tidak menentu, sulit sekali untuk
menentukan kemampuannya atau daya pikulnya.

3. Syarat Ekonomis
Pungutan Pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan janganlah
mengganggu kehidupan ekonomis dari si Wajib Pajak. Jangan sampai pemungutan
pajak terhadap seseorang berakibat ia jatuh melarat. Pemungutan pajak tidak boleh
mengganggu atau menghalangi kelancaran produksi maupunperdagangan/
perindustrian. Jangan sampai terjadi dengan adanya pemungutan pajak, perusahaan-
perusahaan akan gulung tikar atau pailit. Sebaliknya, pemungutan pajak diharapkan
bisa membantu menciptakan pemerataan pendapatan atau redistribusi pendapatan.

4. Syarat Finansial
Sesuai dengan fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara, maka biaya
pemungutan pajak tidak boleh terlalu besar. Dalam hal ini diartikan bahwa biaya yang
dikeluarkan untuk pemungutan/ penetapan pajak hendaknya lebih kecil dari
penerimaan pajak agar ada penerimaan yang masuk ke kas negara/daerah.

STELSEL PEMUNGUTAN PAJAK


Dalam pemungutan pajak, khususnya pajak penghasilan, dikenal tiga macam stelsel pajak,
yaitu :
1. Stelsel nyata (riel stelsel)
2. Stelsel fiktif (fictive stelsel)
3. Stelsel campuran
Stelsel Nyata
Menurat stelsel nyata, pengenaan pajak didasarkan pada objek atau penghasilan yang
sunggah-sungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak atau periode pajak. Oleh karena itu,
besarnya pajak baru dapat dihitung pada akhir tahun atau periode pajak karena penghasilan
riil baru dapat diketahui setelah tahun pajak atau periode pajak berakhir.
Kelemahan dari stelsel nyata adalah pemungutan pajak baru dapat dilakukan pada
akhir tahun pajak/periode pajak, padahal pemerintah membutuhkan penerimaan pajak ini
untak membiayai pengeluaran sepanjang tahun dan tidak hanya pada akhir tahun saja.
Kelebihan dari stelsel nyata adalah besarnya pajak yang dipungut sesuai dengan
besarnya pajak yang harus dibayar karena pemungutan pajak yang dilakukan setelah tutup
buku yang dibuat benar-benar telah diketahui.
Stelsel Fiktif
Menurut stelsel fiktif yang juga disebut stelsel anggapan, pengenaan pajak didasarkan pada
suatu anggapan (fiksi). Anggapan yang dimaksud di sini dapat bermacam-macam jalan
pikirannya tergantung peraturan perpajakan yang berlaku. Anggapan tersebut dapat berupa
anggaran pendapatan tahun berjalan atau diasumsikan penghasilan tahun pajak berjalan sama
dengan penghasilan tahun pajak yang lalu.
Kelemahan dari stelsel fiktif adalah besarnya pajak yang dipungut belum tentu sesa
dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang karena pemungutan pajak dilakukan
berdasarkan suatu anggapan bukan penghasilan yang sesungguhnya.
Kelebihan dari stelsel fiktif adalah pemungutan pajak sudah dapat dilakukan pada
awal tahun pajak/periode pajak karena berdasarkan pada suatu anggapan sehingga
penerimaan pajak oleh pemerintah ini untuk membiayai pengeluaran sepanjang tahun dan
tidak hanya pada akhir tahun saja.
Stelsel Campuran
Stelsel campuran merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel fiktif. Pada awal tahun
pajak atau periode pajak, penghitungan pajak menggunakan stelsel fiktif dan pada akhir tahun
atau akhir periode dihitung kembali berdasarkan stelsel nyata.
Kelemahan dari stelsel campuran adalah adanya tambahan pekerjaan administrasi
karena penghitungan pajak dilakukan dua kali. yaitu pada awal dan akhir tahun pajak atau
periode pajak.
Kelebihan dari stelsel campuran adalah pemungutan pajak sudah dapat dilakukan
pada awal tahun pajak/periode pajak dan besarnya pajak yang dipungut sesuai dengan
besarnya pajak yang sesungguhnya terutang karena dilakukan penghitungan kembali pada
akhir tahun pajak atau akhir periode pajak setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut stelsel campuran, di mana pada
awal tahun pajak angsuran pajak (PPh Pasal 25) berdasarkan besarnya pajak yang terutang
pada Surat Pemberitahuan tahun sebelumnya. Kemudian, pada alkhir tahun dihitung kembali
berdasarkan penghasilan yang sesungguhnya diperoleh pada tahun yang bersangkutan. Jika
terdapat kekurangan maka Wajib Pajak harus melunasi kekurangan pembayaran pajak (PPh
Pasal 29) dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Jangka waktu yang berlaku saat ini
adalah tanggal 25 Maret setelah berakhirnya tahun pajak.

Anda mungkin juga menyukai