Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada
dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur
produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada
tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan
nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma
per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan
adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda
tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak
berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang
mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang
berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga
tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus
diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement)
untuk periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya
terhadap masa sebelum periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba
awal periode. Pengecualian dilakukan apabila dianggap tidak praktis atau secara
khusus diatur lain dalam ketentuan masa transisi penerapan standar akuntansi
keuangan baru”.
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:
1. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan
membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara,
karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31
Desember 2001.
2. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT
Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus
juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil
mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero)
Tbk. tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.
Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda karena dianggap telah gagal
menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan di SPAP SA Seksi 110 – Tanggung
Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan Profesional, dimana
disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen adalah
orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.
Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena
mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya
ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995
disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga
hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila
temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat dikenai pidana,
karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib
melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan pasar
modal. Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT. Kimia
Farma Tbk. dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi
kebanyakan auditor mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan
standar profesional akuntan publik. Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut
bersalah dalam manipulasi laporan keuangan, karena sebagai auditor independen
akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui
laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif atau tidak.
Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam
kasus dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan
perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta
agar kantor akuntan itu menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari
laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama yang
terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui, perusahaan
farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp
132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai,
pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi
penggelembungan. Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001
seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan
keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang
nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
Setelah hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta &
Mustafa, akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan Kimia Farma juga siap melakukan
revisi dan menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan
kesalahan dalam pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang
saham luar biasa sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik.
Meskipun nantinya laba bersih Kimia Farma hanya tercantum sebesar Rp 100 miliar,
investor akan tetap menilai bagus laporan keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma,
sudah jelas yang bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan pencatatan laporan
keuangan yang menyebabkan laba terlihat di-mark up ini, merupakan kesalahan
manajemen lama.
PEMBAHASAN
Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP
HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia
Farma Tbk.) dan pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stakeholder mana
ditinjau dari segi kepentingan stakeholder adalah:
2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan
dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM
semata yang tidak mampu melakukan review menyeluruh atas semua elemen
laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang
melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu
tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar
akan ada risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP
HTM adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi
HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi
konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan
kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah
kemungkinan di tutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada
kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam
manipulasi laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak
terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat
diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai
risiko etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan
strategis dengan stakeholder.
Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian
risiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM
dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara
untuk menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis
mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut.
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari segi
kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi
dengan stakeholder yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi,
yang dapat memenuhi harapan para stakeholder HTM.