Anda di halaman 1dari 3

PIMPINAN KOMISARIAT

IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH


Muhammadiyah Students Association
FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
Islamic Center jl.Delima II/IV,Perumnas Klender, Jakarta Timur : 087883556172
immffsuhamka8@gmail.com : @pkimmffsuhamka, : pkimmffsuhamka18.blogspot.com.

PERNYATAAN SIKAP
“Revisi UU KPK”

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

17 September 2019 DPR resmi mengesahkan Revisi UU Nomor 30/2002 tentang


Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan adanya revisi UU KPK ini seharusnya dapat
memperbaiki dan memperkuat kinerja KPK tetapi, malah sebaliknya. revisi UU KPK ini
seperti menjadi upaya dalam melemahkan dan membatasi kinerja KPK.
Melalui laman resminya, Komisi Pemberantasan Korupsi merilis 10 masalah terkait
Revisi UU KPK, sebagai berikut (KPK,2019)
1. Independensi KPK terancam
2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi
3. Pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR
4. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi
5. Penentuan perkara korupsi harus berkordinasi dengan Kejaksaan Agung
6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
7. Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas
8. Kewenangan – kewenang strategis pada proses penuntutan dihilangkan
9. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan
10. Kewenangan KPK untuk mengelolah pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Dalam prosesnya, pelaksanaan Revisi UU KPK ini melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Semisal, revisi UU dilakukan tanpa
memasukkan terlebih dahulu dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2019. Padahal
Pasal 16 UU Nomor 12 Tahun 2011 telah menyebutkan wajib masuk prolegnas, kecuali hal-
hal yang dikecualikan dalam Pasal 23 ayat 2. Yang dikecualikan itu seperti dalam keadaan
bencana atau krisis, atau pun urgensi nasional. Keduanya tidak terpenuhi sehingga ada
pelanggaran prosedur. Hingga saat ini DPR sendiri tidak bisa menjelaskan dengan pasti
Urgensi dari dilaksankannya revisi UU KPK ini. Selain itu, DPR tidak membuka ruang
partisipasi publik serta proses penyusunannya tertutup sehingga ini melanggar asas
keterbukaan.
Pasal 1 UU KPK terbaru menyatakan KPK adalah lembaga negara dalam
rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang dan dalam
pelaksanannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Artinya KPK dijadikan
lembaga pemerintah pusat dimana KPK akan berada dibawah naungan Presiden, hal ini dapat
mempengaruhi independensi KPK karna KPK dapat di intervensi oleh Presiden, ditambah
dengan adanya pasal 37A dan 37E dalam pasal tersebut dibentuk adanya Dewan Pengawas
yang ketua dan anggotanya dipilih oleh Presiden. Lalu dalam pasal 24 menyatakan bahwa
pegawai KPK merupakan anggota Korps Profesi pegawai ASN seusai dengan
ketentuan perundang-undangan. Artinya, mereka akan tunduk kepada UU Aparatur Sipil,
sehingga mereka tidak akan menjadi independen seperti yang dilakukan oleh KPK selama ini.
Pada pasal 37B menyatakan tugas Dewan Pengawas mengawasi pelaksanaan
tugas dan wewenang KPK, memberi atau tidak memberi izin atas kerja penyadapan,
penggeledahan dan atau penyitaan oleh KPK termasuk mengevaluasi kinerja pimpinan
KPK setiap satu tahun. Adanya dewan pengawas sebetulnya tidak diperlukan karena KPK
selama ini telah memiliki sistem pengawasan baik dari internal maupun eksternal.
pengawasan dari internal dilakukan oleh deputi pengawas internal dan pengaduan
masyarakat, yang merupakan salah satu deputi yang ada di KPK. Dan seputi tersebut telah
melaksanakan tugasnya dengan baik hingga saat ini. Sementara untuk pengawasan eksternal,
telah dijalankan oleh tiga institusi, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengawasi
keuangan, DPR yang mengawasi kinerja, serta DPR yang secara berkala menerima laporan
mengenai kinerja KPK. Selanjutnya mengenai penyadapan, tindakan penyadapan yang
dilakukan KPK selama ini sah secara hukum, sebagaimana hasil putusan Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2010. Selain itu, penyadapan yang dilakukan oleh KPK selama ini
terbukti sukses menjaring koruptor, lewat operasi tangkap tangan. Menurut ICW KPK sudah
melakukan tangkap tangan 123 kali, dengan menetapkan tersangka 432 orang. 432 orang
yang masuk persidangan semuanya terbukti bersalah. Jika dalam penyadapan, penggeledahan
dan penyitaan memerlukan izin dewan pengawas. Maka kinerja KPK akan terhambat.
Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup. Sehingga bukti –
bukti penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi.
Berdasarkan penjambaran diatas Maka dengan ini kami selaku Pimpinan Komisariat
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Farmasi dan Sains menyatakan sikap :
1. MENOLAK DENGAN TEGAS UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
telah direvisi dan disahkan pada 17 September 2019 oleh DPR, serta menyatakan
secara terbuka bahwa PK IMM FFS UHAMKA bersama KPK.
2. Menolak segala bentuk upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
3. Menagih janji kampanye Bapak Joko Widodo untuk memperkuat Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga tertuang dalam Program Nawacita, karena
Revisi UU KPK yang telah disahkan pada 17 September 2019 ini merupakan upaya
pelemahan kinerja KPK.
4. Menuntut kepada DPR untuk melibatkan pihak terkait atau yang bersangkutan dengan
UU tersebut, dosen atau akademisi, serta masyarakat sipil untuk hadir dan berbicara
dalam setiap perancanaan dan pembahasan disetiap UU selanjutnya yang belum
disahkan.
5. Menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk terus mengawal proses uji materi hasil
revisi UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang akan digelar
di Mahkamah Konstitusi.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan atas perhatiannya kami mengucapkan
terimakasih.
Billahi Fii Sabilillhaq Fastabiqul Khairaat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Jakarta, 23 September 2019


24 Muharam 1441 H
Ketua Umum
PK IMM FFS UHAMKA
Periode 2019 - 2020

M. Rizky Firmansyah

Anda mungkin juga menyukai