Anda di halaman 1dari 14

2.1.

Penyebab Brucellosis pada Sapi Perah

Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang sapi,

kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi

penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan pada

manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disebut Demam Malta. Jasad

renik penyebab è Micrococcus melitensis yang selanjutnya disebut pula Brucella

melitensis.

Bakteri Brucella untuk pertama kalinya ditemukan oleh Bruce (1887) pada manusia

dan dikenal sebagai Micrococcus miletensi. Kemudian Bang dan Stribolt (1897)

mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang menderita kluron menular. Jasad renik

tersebut diberi nama Bacillus abortus bovis. Bakteri Brucella bersifat gram negatif,

berbentuk batang halus, mempunyai ukuran 0,2 - 0,5 mikron dan lebar 0,4 - 0,8 mikron,

tidak bergerak, tidak berspora dan aerobik. Brucella merupakan parasit intraseluler dan

dapat diwarnai dengan metode Stamp atau Koster. Brucellosis yang menimbulkan

masalah pada ternak terutama disebabkan oleh 3 spesies, yaitu Brucella melitensis, yang

menyerang pada kambing, Brucella abortus, yang menyerang pada sapi dan Brucella

suis, yang menyerang pada babi dan sapi.

Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan antigen a. Brucella melitensis


memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A, sedangkan Brucella abortus

dan Brucella suis sebaliknya. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah

karena antibodi tidak begitu berperan. Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh

brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil, kerugian tersebut antara lain:

- anak ternak yang dilahirkan lemah, kemudian mati

- terjadi gangguan alat-alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporee atau

permanen.

- turunnya produksi air susu.


Brucellosis merupakan penyakit beresiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat

yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan

manusia. Sebab penyakit ini dapat menular dari ternak ke manusia dan sulit diobati,

sehingga brucellosis merupakan zoonosis yang penting. Tetapi manusia dapat

mengkonsumsi daging dari ternak-ternak yang tertular sebab tidak berbahaya apabila

tindakan sanitasi minimum dipatuhi dan dagingnya dimasak. Demikian pula dengan air

susu dapat pula dikonsumsi tetapi harus dimasak atau dipasteurisasi terlebih dahulu.

Kuman Brucella di luar tubuh induk semang dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi

lingkungan dalam waktu tertentu. Kemampuan daya tahan hidup kuman Brucella pada

tanah kering adalah selama 4 hari di luar suhu kamar, pada tanah yang lembab dapat

bertahan hidup selama 66 hari dan pada tanah becek bertahan hidup selama 151-185 hari.

Kuman Brucella juga dapat bertahan hidup selama 2 hari dalam kotoran atau limbah

kandang bagian bawah dengan suhu yang relative tinggi . Pada air minum ternak, kuman

dapat bertahan selama 5 - 114 hari dan pada air limbah selama 30 - 150 hari.

Klasifikasi kuman Brucella :

· Kingdom : Bacteria

· Filum : Proteobacteria

· Class : Alphaproteobacteria
· Ordo : Rhizobiales

· Famili : Brucellaceae

· Genus : Brucella

· Spesies : Brucella Abortus, brucella melitensis, brucella canis

2.2. Pencegahan Brucellosis pada Sapi Perah


Pencegahan brucellosis dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memperhatikan lalu

lintas ternak untuk daerah yang bebas. Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada

vaksinasi dan tindakan sanitasi yang bisa dilakukan yaitu:

1. Sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapushamakan. Fetus dan plasenta harus

dibakar dan vagina apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu

2. Bahanbahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol,

amonium kwarterner, biocid dan lisol

3. Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila

seekor ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis dan preputium

dicuci dengan cairan pencuci hama

4. Anak-anak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu

dari ternak lain yang bebas brucellosis

5. Kandang-kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicuci dan dihapushamakan

serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.

6. Ternak pengganti yang tidak punya sertifikat bebas brucellosis dapat dimasukkan bila

setelah diuji serologis negatif. Sedangkan yang mempunyai sertifikat bebas brucellosis

dilakukan uji serologis dalam selang waktu 60 sampai 120 hari setelah dimasukkan dalam

kelompok ternak.

2.3. Penanggulangan Brucellosis pada Sapi Perah

Pengobatan brucellosis harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi

dan relapsis. Pada hewan penyakit brucellosis sampai saat ini belum ada obat yang cukup

efektif. Namun pada pengobatan kasus brucellosis penggunaan lebih dari satu antibiotik

yang diperlukan selama beberapa minggu, hal ini dikarenakan bakteri berada di dalam sel.

Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti doksisiklin, streptomisin dan

rifampisin setiap hari selama minimal 6 minggu. Pada orang dewasa dan anak di atas umur 8
tahun, antibiotika yang diberikan adalah doksisiklin dan rifampisin selama 6 - 8 minggu,
sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun sebaiknya diberikan rifampisin dan trimethoprim-

sulfamethoxazole (TMP-SMX) selama 6 minggu. Penderita brucellosis dengan spondilitis

direkomendasikan antibiotika doksisiklin dan rifampisin dikombinasikan dengan

aminoglikosida (gentamisin) selama 2 - 3 minggu kemudian diikuti dengan rifampisin dan

doksisiklin selama 6 minggu.

Brucellosis dengan komplikasi endocarditis atau meningoenchepalitis memerlukan

pengobatan dengan kombinasi antibiotika rifampisin, tetrasiklin dan aminoglikosida serta

penambahan corticosteroid untuk mengurangi proses peradangan. Sedangkan, brucellosis

dengan komplikasi endocarditis memerlukan pengobatan yang lebih agresif yaitu dengan

kombinasi aminoglikosida dengan doksisiklin, rifampisin dan TMP-SMX selama 4 minggu

diikuti sekurang-kuranganya kombinasi 2 - 3 jenis antibiotika selama 8 - 12 minggu. Pada

wanita hamil penderita brucellosis, antibiotika pilihan yang harus diberikan adalah kombinasi

TMP-SMX. Percobaan telah menunjukan bahwa cotrimoxazol dan rifampisin adalah obat

yang aman untuk digunakan dalam pengobatan terhadap wanita hamil yang menderita

brucellosis.
mastitis

Mastitis adalah penyakit radang pada ambing bagian dalam yang disebabkan oleh
mikroorganisme pada ternak sapi perah (Hidayat, dkk. 2002). Mastitis dapat menurunkan
produksi susu baik kuantitas dan kulalitas susu (Bath, Dickinson, Tucker, Appleman. 1985)

Sebagian besar mastitis disebabkan oleh masuknya bakteri patogen melalui lubang puting
susu ke dalam ambing dan berkembang di dalamnya sehingga menimbulkan reaksi radang. Hasil
metabolisme mikroba akan merusak dan mengganggu fungsi sel-sel alveuli (Hidayat, dkk. 2002).
Jadi dengan adanya mikroorganisme pathogen atau bakteri penyebab mastitis di dalam kelenjar
susu serta adanya reaksi peradangan pada jaringan ambing menunjukkan adanya infeksi yang
disebut mastitis.

Menurut Sudono, Rosdiana, Setiawan (2003) mastitis yang sering menyerang sapi perah
ada 2 macam yaitu mastitis klinis dan subklinis. Mastitis klinis tanda-tandanya dapat dilihat
secara kasat mata seperti susu yang abnormal adanya lendir dan penggumpalan pada susu, puting
yang terinfeksi terasa panas, bengkak dan sensitive bila disentuh saat pemerahan. Sedangkan
mastitis subklinis tanda-tanda yang menunjukkan keabnormalan susu tidak kelihatan kecuali
dengan alat bantu atau metode deteksi mastitis. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
melakukan diagnosa terhadap mastitis subklinis adalah Whiteside test. Uji ini adalah suatu
metode untuk mendeteksi mastitis dengan cara menampakkan banyaknya sel darah putih akibat
penggumpalan dari penembahan NaOH 4%. Tingginya tingkat penggumpalan ini tergantung dari
keabnormalan kelenjar susu atau infeksi dari sapi perah tersebut, sebab semakin tinggi tingkat
infeksi maka semakin tinggi pula sel darah putih yang diproduksinya.

Disebabkan oleh mikroorganisme pada ternak sapi perah seperti bakteri (Streptococcus
sp, Staphylococcus sp, Coliform, Corynebacterium, Pseudomonas sp), kapang atau khamir, virus
(Hidayat, dkk. 2002). Mastitis dapat terjadi karena adanya reaksi dari kelenjar susu terhadap
suatu infeksi yang terjadi pada kelenjar susu tersebut. Reaksi ini ditandai dengan adanya
peradangan pada ambing. Hal ini merupakan usaha dari ambing untuk menetralisir rangsangan
yang ditimbulkan oleh luka serta untuk melawan kuman yang masuk dalam kelenjar susu agar
dapat kembali berfungsi normal (Surjowardojo, 1990).
Menurut Hidayat, dkk (2002) bahwa mastitis berdasarkan gejalanya dapat dibedakan
antara mastitis klinis dan mastitis sub klinis :
A. Mastitis Klinis
1) Mastitis klinis bentuk akut : terlihat tanda-tanda klinis (dapat dilihat atau diraba oleh panca
indera)
a. Kondisi umum : sapi tidak mau makan
b. Tanda-tanda peradangan pada ambing : ambing membengkak, panas, kemerahan,
nyeri bila diraba dan perubahan fungsi
c. Perubahan pada susu :
• Susu memancar tidak normal, bening atau encer
• Kental, menggumpal atau berbentuk seperti mie
• Warna berubah menjadi semu kuning, kecoklatan, kehijauan, kemerahan
atau ada bercak-bercak merah
2) Mastitis klinis yang kronis
a. Ternak terlihat seperti sehat
b. Ambing teraba keras, peot, mengeriput
c. Puting peot
B. Mastitis Sub Klinis
merupakan peradangan pada ambing tanpa ditemukan gejala klinis pada ambing dan air
susu :
a. Ternak terlihat seperti sehat : nafsu makan biasa dan suhu tubuh normal
b. Ambing normal
c. Susu tidak menggumpal dan warna tidak berubah

Tetapi melalui pemeriksaan akan didapatkan :


a) Jumlah sel radang meningkat
b) Ditemukan kuman-kuman penyebab penyakit

Mastitis sub klinis hanya diketahui setelah dilakukan pengujian. Jumlah mastitis sub
klinis dapat mencapai 60-70% bahkan lebih dari jumlah sapi laktasi. Kerugian akibat mastitis sub
klinis lebih besar daripada mastitis klinis (Hidayat, dkk. 2002)
Terjadinya masititis ini sering sebagai akibat dari adanya luka pada puting atau jaringan
ambing, yang kemudian diikuti oleh kontaminasi mikroorganisme melalui puting yang luka
tersebut. Hal ini dipercepat dan dipermudah apabila sphincter muscle puting sudah mulai
melemah (Surjowardojo, 1990).
Penyakit mastitis akan menimbulkan kerugian berupa penurunan jumlah dan mutu susu,
sehingga tidak dapat dipasarkan. Mastitis dalam keadaan parah dapat mematikan puting susu
sehingga puting tidak berfungsi lagi (Siregar, 1989).
Proses radang ambing hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam
kelenjar melalui lubang puting. Kemudian mikroorganisme akan membentuk koloni yang dalam
waktu singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme sampai dimukosa
kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit (Subronto, 1995)
Mastitis pada sapi perah dapat disebabkan oleh beberapa sebab, tetapi infeksi bakteri merupakan
penyebab utama terjadinya mastitis dan kurang lebih 95% oleh mikroorganisme yang berasal
dari species Streptococci dan Staphylococci misalnya seperti Streptococcus Agalactiae,
Streptococcus Dysagalactiae, Staphylococcus Aureus, Streptococcus Aberis (Surjowardojo,
1990).
Menurut Hidayat dkk (2002) ada 3 faktor yang mempermudah terjadinya mastitis :
1) Kondisi hewan atau ternak
a) Bentuk aming : bentuk ambing yang menggantung sangat rendah akan mudah kontak
dengan lantai kandang sehingga beresiko terserang mastitis.
b) Umur : makin tua ternak makin peka karena mekanisme penutupan lubang puting susu
semakin menurun, penyembuhan semakin lambat.
c) Luka atau lecet pada ambing atau puting susu yang diakibatkan oleh lantai kandang yang
kasar, kuku pemerah yang panjang atau tajam, sikat yang keras, memerah dengan cara
yang kasar, memerah dengan cara menarik puting.
2) Kondisi lingkungan yang buruk
a) Kandang dan ternak yang basah dan kotor
b) Urutan pemerahan yang salah
c) Peralatan pemerahan yang kotor
d) Pemerah atau pekerja yang memiliki tangan kotor, kuku tajam, pakaian kotor.
2.3 Uji mastitis Dengan Metode Whiteside Test
Menurut Hadiwiyoto (1994) bahwa ada beberapa cara untuk mendeteksi penyakit mastitis pada
sapi perah, yaitu :
1) Uji mastitis dengan Mikroskop
2) Uji mastitis dengan Whiteside Test
3) Uji mastitis dengan California Mastitis Test
4) Uji mastitis dengan uji Klorida
5) Uji Hostis
6) Uji dengan Biru Bromo Timol
Banyaknya puting yang terinfeksi mastitis sub klinis disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain :
1. Kondisi kandang dan ternak yang kotor dan basah.
Pada kandang masih terlihat sisa pakan yang tercecer dan kotoran sapi yang
menempel pada dinding dan lantai kandang. Kandang yang basah akan menyebabkan
lantai licin sehingga ternak malas untuk bangun, hal ini menyebabkan ambing kontak
langsung dengan mikroorganisme pathogen yang ada di lantai kandang. Subronto (1995)
berpendapat bahwa kandang yang lembab ataupun tidak bersih memudahkan terjadinya
infeksi ambing.
Hidayat, dkk (2002) juga berpendapat bahwa lantai kandang yang kotor penuh
dengan mikroba akan mencemari ambing dan puting sehingga memudahkan terjadinya
penyakit radang ambing (mastitis). Selain itu kotoran sapi juga masih menempel pada
tubuh ternak karena sapi tidak dimandikan. Kondisi seperti ini akan memudahkan ambing
dan puting terkontaminasi mikroorganisme pathogen sehingga terjadi peradangan.

2. Kondisi pemerah atau pekerja kandang yang kurang bersih.


Pemerah kurang memperhatikan kebersihan tubuhnya yaitu tidak mencuci tangan
sebelum dan sesudah melaksanakan pemerahan sehingga sangat memungkinkan infeksi
mastitis terjadi akibat tangan pemerah yang tidak bersih dan terkontaminasi dengan
bakteri penyebab mastitis. Menurut Sudono dkk (2003) bahwa kebersihan pemerah harus
diutamakan karena melalui pemerah dapat terjadi penularan mastitis akibat kontak bakteri
antara pemerah dan sapi yang diperah. Oleh karena itu tangan pemerah sebaiknya dicuci
sebelum dan sesudah melaksanakan pemerahan karena kontaminasi bakteri penyebab
mastitis dari ambing yang sakit ke ambing yang sehat dapat terjadi melalui tangan
pemerah yang kotor.
Hidayat, dkk (2002) juga berpendapat bahwa mempersiapkan diri pemerah
sebelum memerah meliputi : pemerah dalam keadaan sehat, kuku pemerah harus pendek
karena dapat melukai puting, pakaian harus bersih, mencuci tangan sebelum memerah,
tangan dalam keadaan kering dan bersih pada saat akan memerah.

3. Tidak membedakan pemerahan antara puting yang terinfeksi dan puting yang tidak
terinfeksi mastitis.
Puting yang terinfeksi terkadang dilakukan pemerahan terlebih dahulu kemudian
puting yang tidak terinferksi sehingga dapat menyebabkan penularan penyakit mastitis
dari sapi yang sakit ke sapi yang sehat melalui tangan pemerah. Hidayat dkk (2002)
menyatakan bahwa penularan dari ambing mastitis ke ambing sehat dapat terjadi karena
urutan pemerahan yang salah. Pemeraahan yang benar dimulai dari ambing yang sehat,
ambing yang terinfeksi mastitis diperah terakhir.

4. Tidak dilakukan Teat Dipping, yaitu pencelupan puting ke dalam larutan desinfektan
setelah pemerahan selesai.
Menurut Surjowardojo dkk (1985) setelah pemerahan selesai sebaiknya dilakukan
pencucian ambing dengan air hangat dan dilakukan pencelupan puting ke dalam larutan
desinfektan. Hidayat, dkk (2002) juga berpendapat bahwa setelah selesai memerah,
puting harus langsung disucihamakan (desinfeksi, disterilkan) dengan menggunakan
larutan desinfektan

5. Tidak dilakukan pemeriksaan terhadap mastitis sub klinis dengan teratur sehingga
penanganan penyakit terlambat.

Menurut Hidayat dkk (2002) berpendapat bahwa pencegahan mastitis dapat dilakukan dengan 5
cara, yaitu :
1. Selalu menjaga kebersihan kandang dan lingkungannya.
2. Melaksanakan prosedur sebelum, pada saat dan setelah pemerahan dengan baik dan
lancar.
Sarwiyono, Sujowardojo, Susilorini (1990) menyatakan bahwa usaha untuk
melakukan pencegahan mastitis adalah dengan cara melaksanakan manajemen
pemerahan yang terdiri dari 3 tahap :
a) Fase persiapan pemerahan, meliputi pembersihan kandang, pembersihan ambing
dan puting, menenangkan sapi, persiapan tukang perah dan alat-alat pemerahan.

b) Fase pelaksanaan pemerahan, meliputi pemberian rangsangan pada ambing,


teknik pemerahan (apabila menggunakan tangan dikenal 3 cara : whole hand,
knevelen, strippen) dan yang terakhir pemeriksaan terhadap mastitis.

c) Fase pengakhiran pemerahan, meliputi pembersihan ambing dan puting,


penanganan susu, pembersihan alat-alat pemerahan, memandikan sapi dan
exercise.
3. Melaksanakan pemeriksaan mastitis.
a) Dilaksanakan secara teratur setiap bulan
b) Dilakukan terhadap sapi laktasi yang akan dibeli
4. Masa kering kandang selama 6 sampai 7 minggu dilaksanakan dengan baik, caranya
a) Hari ke- 1-3 diperah satu kali
b) Hari ke- 4 boleh diperah sekali lagi lalu hentikan atau tidak diperah lagi
c) Hari ke- 5-8 ambing mulai mengecil dan pembentukan susu terhanti
5. Pemberian antibiotik ke dalam puting pada masa kering kandang
a) Dilaksanakan setelah minggu pertama masa kering kandang
b) Diulang 2-3 minggu sebelum beranak
(Hidayat, dkk. 2002)

Bath, D. L, Dickinson, F. M, Tucker, H. A and Appleman, R. D. 1985. Dairy Cattle :


Principles, Practices, Problem, Profits. Third Edition. Lea and Febiger. Philadelphia.
USA
Hidayat. A. drh, dkk. 2002. Buku Petunjuk Teknologi Sapi Perah Si Indonesia : Kesehatan
Pemerahan. Dairy Technologi Improvement Project. PT. Sonysugema Presindo.
Bandung
Sarwiyono, Surjowardojo, P dan Susilorini, T, E. 1990. Manajemen Produksi Ternak Perah.
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang
Siregar, S. 1989. Sapi Perah Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. Penebar
Swadaya. Jakarta
Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Sudono, A. Rosdiana, F. R, Setiawan, R. S. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
AgroMedia Pustaka. Jakarta
Bath, D. L, Dickinson, F. M, Tucker, H. A and Appleman, R. D. 1985. Dairy Cattle :
Principles, Practices, Problem, Profits. Third Edition. Lea and Febiger. Philadelphia.
USA
Dajan, A. 1986. Pengentar Metode Statistik. LP3ES. Jakarta
Dwidjoseputro, D. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Cetakan ke-9. Djambatan. Malang
Fardiaz, S. 1993. Analisa Mikrobiologi Pangan. Raja Gratindo. Jakarta
Gibbons, J. M. 1963. Diseas Of Cattle. Secound Edition. American Veterinary Publication Inc.
Drawor KK
Hadiwiyoto, S. 1984. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya.
Liberty. Jakarta
Hidayat. A. drh, dkk. 2002. Buku Petunjuk Teknologi Sapi Perah Si Indonesia : Kesehatan
Pemerahan. Dairy Technologi Improvement Project. PT. Sonysugema Presindo.
Bandung
Prajitno, D. 1985. Analisa Regresi dan korelasi Untuk Penelitian pertanian. Liberty.
Yogyakarta
Riyadh, S. 2003. Menyingkapi Tabir Susu Kuda ”Liar” Sumbawa (Studi Kasusu di
Kabupaten Sumbawa NTB). Makalah Pribadi program Pasca Sarjana S3 Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Sarwiyono, Surjowardojo, P dan Susilorini, T, E. 1990. Manajemen Produksi Ternak Perah.
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang
Siregar, S. 1989. Sapi Perah Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. Penebar
Swadaya. Jakarta
Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Sudarwanto, M. 1997. Milkchecker, Suatu Alat Alternatif Untuk Mendeteksi Mastitis
Subklinik. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sudono, A. Rosdiana, F. R, Setiawan, R. S. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
AgroMedia Pustaka. Jakarta
Surjowardojo, P, Sarwiyono, Soejosepoetro, B dan Setyowati, E. 1985. Manajemen Sapi
Perah. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang
Surjowardojo, P. 1990. Problematik Pemeliharaan dan Penanganan Sapi Perah. Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya. Malang
Syarief, Z. M dan Sumoprastomo, R. M. 1985. Ternak Perah. CV Yasaguna. Jakarta
Trihendrokesowo, J, Wibowo, R, Koesnijo, M, Ramos, S, Haksohusodo, S, Ristanto, M,
Mustofa, N, Rintiswati, T, Apandi dan Praseno. 1989. Bakteri Didalam Susu, Kursus Singkat
Fisiologi Bakteri. PAU Bioteknologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai