Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang sapi,
kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi
penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan pada
manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disebut Demam Malta. Jasad
melitensis.
Bakteri Brucella untuk pertama kalinya ditemukan oleh Bruce (1887) pada manusia
dan dikenal sebagai Micrococcus miletensi. Kemudian Bang dan Stribolt (1897)
mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang menderita kluron menular. Jasad renik
tersebut diberi nama Bacillus abortus bovis. Bakteri Brucella bersifat gram negatif,
berbentuk batang halus, mempunyai ukuran 0,2 - 0,5 mikron dan lebar 0,4 - 0,8 mikron,
tidak bergerak, tidak berspora dan aerobik. Brucella merupakan parasit intraseluler dan
dapat diwarnai dengan metode Stamp atau Koster. Brucellosis yang menimbulkan
masalah pada ternak terutama disebabkan oleh 3 spesies, yaitu Brucella melitensis, yang
menyerang pada kambing, Brucella abortus, yang menyerang pada sapi dan Brucella
dan Brucella suis sebaliknya. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah
karena antibodi tidak begitu berperan. Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh
brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil, kerugian tersebut antara lain:
permanen.
yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan
manusia. Sebab penyakit ini dapat menular dari ternak ke manusia dan sulit diobati,
mengkonsumsi daging dari ternak-ternak yang tertular sebab tidak berbahaya apabila
tindakan sanitasi minimum dipatuhi dan dagingnya dimasak. Demikian pula dengan air
susu dapat pula dikonsumsi tetapi harus dimasak atau dipasteurisasi terlebih dahulu.
Kuman Brucella di luar tubuh induk semang dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi
lingkungan dalam waktu tertentu. Kemampuan daya tahan hidup kuman Brucella pada
tanah kering adalah selama 4 hari di luar suhu kamar, pada tanah yang lembab dapat
bertahan hidup selama 66 hari dan pada tanah becek bertahan hidup selama 151-185 hari.
Kuman Brucella juga dapat bertahan hidup selama 2 hari dalam kotoran atau limbah
kandang bagian bawah dengan suhu yang relative tinggi . Pada air minum ternak, kuman
dapat bertahan selama 5 - 114 hari dan pada air limbah selama 30 - 150 hari.
· Kingdom : Bacteria
· Filum : Proteobacteria
· Class : Alphaproteobacteria
· Ordo : Rhizobiales
· Famili : Brucellaceae
· Genus : Brucella
lintas ternak untuk daerah yang bebas. Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada
1. Sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapushamakan. Fetus dan plasenta harus
dibakar dan vagina apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu
2. Bahanbahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol,
3. Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila
seekor ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis dan preputium
4. Anak-anak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu
6. Ternak pengganti yang tidak punya sertifikat bebas brucellosis dapat dimasukkan bila
setelah diuji serologis negatif. Sedangkan yang mempunyai sertifikat bebas brucellosis
dilakukan uji serologis dalam selang waktu 60 sampai 120 hari setelah dimasukkan dalam
kelompok ternak.
dan relapsis. Pada hewan penyakit brucellosis sampai saat ini belum ada obat yang cukup
efektif. Namun pada pengobatan kasus brucellosis penggunaan lebih dari satu antibiotik
yang diperlukan selama beberapa minggu, hal ini dikarenakan bakteri berada di dalam sel.
rifampisin setiap hari selama minimal 6 minggu. Pada orang dewasa dan anak di atas umur 8
tahun, antibiotika yang diberikan adalah doksisiklin dan rifampisin selama 6 - 8 minggu,
sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun sebaiknya diberikan rifampisin dan trimethoprim-
dengan komplikasi endocarditis memerlukan pengobatan yang lebih agresif yaitu dengan
wanita hamil penderita brucellosis, antibiotika pilihan yang harus diberikan adalah kombinasi
TMP-SMX. Percobaan telah menunjukan bahwa cotrimoxazol dan rifampisin adalah obat
yang aman untuk digunakan dalam pengobatan terhadap wanita hamil yang menderita
brucellosis.
mastitis
Mastitis adalah penyakit radang pada ambing bagian dalam yang disebabkan oleh
mikroorganisme pada ternak sapi perah (Hidayat, dkk. 2002). Mastitis dapat menurunkan
produksi susu baik kuantitas dan kulalitas susu (Bath, Dickinson, Tucker, Appleman. 1985)
Sebagian besar mastitis disebabkan oleh masuknya bakteri patogen melalui lubang puting
susu ke dalam ambing dan berkembang di dalamnya sehingga menimbulkan reaksi radang. Hasil
metabolisme mikroba akan merusak dan mengganggu fungsi sel-sel alveuli (Hidayat, dkk. 2002).
Jadi dengan adanya mikroorganisme pathogen atau bakteri penyebab mastitis di dalam kelenjar
susu serta adanya reaksi peradangan pada jaringan ambing menunjukkan adanya infeksi yang
disebut mastitis.
Menurut Sudono, Rosdiana, Setiawan (2003) mastitis yang sering menyerang sapi perah
ada 2 macam yaitu mastitis klinis dan subklinis. Mastitis klinis tanda-tandanya dapat dilihat
secara kasat mata seperti susu yang abnormal adanya lendir dan penggumpalan pada susu, puting
yang terinfeksi terasa panas, bengkak dan sensitive bila disentuh saat pemerahan. Sedangkan
mastitis subklinis tanda-tanda yang menunjukkan keabnormalan susu tidak kelihatan kecuali
dengan alat bantu atau metode deteksi mastitis. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
melakukan diagnosa terhadap mastitis subklinis adalah Whiteside test. Uji ini adalah suatu
metode untuk mendeteksi mastitis dengan cara menampakkan banyaknya sel darah putih akibat
penggumpalan dari penembahan NaOH 4%. Tingginya tingkat penggumpalan ini tergantung dari
keabnormalan kelenjar susu atau infeksi dari sapi perah tersebut, sebab semakin tinggi tingkat
infeksi maka semakin tinggi pula sel darah putih yang diproduksinya.
Disebabkan oleh mikroorganisme pada ternak sapi perah seperti bakteri (Streptococcus
sp, Staphylococcus sp, Coliform, Corynebacterium, Pseudomonas sp), kapang atau khamir, virus
(Hidayat, dkk. 2002). Mastitis dapat terjadi karena adanya reaksi dari kelenjar susu terhadap
suatu infeksi yang terjadi pada kelenjar susu tersebut. Reaksi ini ditandai dengan adanya
peradangan pada ambing. Hal ini merupakan usaha dari ambing untuk menetralisir rangsangan
yang ditimbulkan oleh luka serta untuk melawan kuman yang masuk dalam kelenjar susu agar
dapat kembali berfungsi normal (Surjowardojo, 1990).
Menurut Hidayat, dkk (2002) bahwa mastitis berdasarkan gejalanya dapat dibedakan
antara mastitis klinis dan mastitis sub klinis :
A. Mastitis Klinis
1) Mastitis klinis bentuk akut : terlihat tanda-tanda klinis (dapat dilihat atau diraba oleh panca
indera)
a. Kondisi umum : sapi tidak mau makan
b. Tanda-tanda peradangan pada ambing : ambing membengkak, panas, kemerahan,
nyeri bila diraba dan perubahan fungsi
c. Perubahan pada susu :
• Susu memancar tidak normal, bening atau encer
• Kental, menggumpal atau berbentuk seperti mie
• Warna berubah menjadi semu kuning, kecoklatan, kehijauan, kemerahan
atau ada bercak-bercak merah
2) Mastitis klinis yang kronis
a. Ternak terlihat seperti sehat
b. Ambing teraba keras, peot, mengeriput
c. Puting peot
B. Mastitis Sub Klinis
merupakan peradangan pada ambing tanpa ditemukan gejala klinis pada ambing dan air
susu :
a. Ternak terlihat seperti sehat : nafsu makan biasa dan suhu tubuh normal
b. Ambing normal
c. Susu tidak menggumpal dan warna tidak berubah
Mastitis sub klinis hanya diketahui setelah dilakukan pengujian. Jumlah mastitis sub
klinis dapat mencapai 60-70% bahkan lebih dari jumlah sapi laktasi. Kerugian akibat mastitis sub
klinis lebih besar daripada mastitis klinis (Hidayat, dkk. 2002)
Terjadinya masititis ini sering sebagai akibat dari adanya luka pada puting atau jaringan
ambing, yang kemudian diikuti oleh kontaminasi mikroorganisme melalui puting yang luka
tersebut. Hal ini dipercepat dan dipermudah apabila sphincter muscle puting sudah mulai
melemah (Surjowardojo, 1990).
Penyakit mastitis akan menimbulkan kerugian berupa penurunan jumlah dan mutu susu,
sehingga tidak dapat dipasarkan. Mastitis dalam keadaan parah dapat mematikan puting susu
sehingga puting tidak berfungsi lagi (Siregar, 1989).
Proses radang ambing hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam
kelenjar melalui lubang puting. Kemudian mikroorganisme akan membentuk koloni yang dalam
waktu singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme sampai dimukosa
kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit (Subronto, 1995)
Mastitis pada sapi perah dapat disebabkan oleh beberapa sebab, tetapi infeksi bakteri merupakan
penyebab utama terjadinya mastitis dan kurang lebih 95% oleh mikroorganisme yang berasal
dari species Streptococci dan Staphylococci misalnya seperti Streptococcus Agalactiae,
Streptococcus Dysagalactiae, Staphylococcus Aureus, Streptococcus Aberis (Surjowardojo,
1990).
Menurut Hidayat dkk (2002) ada 3 faktor yang mempermudah terjadinya mastitis :
1) Kondisi hewan atau ternak
a) Bentuk aming : bentuk ambing yang menggantung sangat rendah akan mudah kontak
dengan lantai kandang sehingga beresiko terserang mastitis.
b) Umur : makin tua ternak makin peka karena mekanisme penutupan lubang puting susu
semakin menurun, penyembuhan semakin lambat.
c) Luka atau lecet pada ambing atau puting susu yang diakibatkan oleh lantai kandang yang
kasar, kuku pemerah yang panjang atau tajam, sikat yang keras, memerah dengan cara
yang kasar, memerah dengan cara menarik puting.
2) Kondisi lingkungan yang buruk
a) Kandang dan ternak yang basah dan kotor
b) Urutan pemerahan yang salah
c) Peralatan pemerahan yang kotor
d) Pemerah atau pekerja yang memiliki tangan kotor, kuku tajam, pakaian kotor.
2.3 Uji mastitis Dengan Metode Whiteside Test
Menurut Hadiwiyoto (1994) bahwa ada beberapa cara untuk mendeteksi penyakit mastitis pada
sapi perah, yaitu :
1) Uji mastitis dengan Mikroskop
2) Uji mastitis dengan Whiteside Test
3) Uji mastitis dengan California Mastitis Test
4) Uji mastitis dengan uji Klorida
5) Uji Hostis
6) Uji dengan Biru Bromo Timol
Banyaknya puting yang terinfeksi mastitis sub klinis disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain :
1. Kondisi kandang dan ternak yang kotor dan basah.
Pada kandang masih terlihat sisa pakan yang tercecer dan kotoran sapi yang
menempel pada dinding dan lantai kandang. Kandang yang basah akan menyebabkan
lantai licin sehingga ternak malas untuk bangun, hal ini menyebabkan ambing kontak
langsung dengan mikroorganisme pathogen yang ada di lantai kandang. Subronto (1995)
berpendapat bahwa kandang yang lembab ataupun tidak bersih memudahkan terjadinya
infeksi ambing.
Hidayat, dkk (2002) juga berpendapat bahwa lantai kandang yang kotor penuh
dengan mikroba akan mencemari ambing dan puting sehingga memudahkan terjadinya
penyakit radang ambing (mastitis). Selain itu kotoran sapi juga masih menempel pada
tubuh ternak karena sapi tidak dimandikan. Kondisi seperti ini akan memudahkan ambing
dan puting terkontaminasi mikroorganisme pathogen sehingga terjadi peradangan.
3. Tidak membedakan pemerahan antara puting yang terinfeksi dan puting yang tidak
terinfeksi mastitis.
Puting yang terinfeksi terkadang dilakukan pemerahan terlebih dahulu kemudian
puting yang tidak terinferksi sehingga dapat menyebabkan penularan penyakit mastitis
dari sapi yang sakit ke sapi yang sehat melalui tangan pemerah. Hidayat dkk (2002)
menyatakan bahwa penularan dari ambing mastitis ke ambing sehat dapat terjadi karena
urutan pemerahan yang salah. Pemeraahan yang benar dimulai dari ambing yang sehat,
ambing yang terinfeksi mastitis diperah terakhir.
4. Tidak dilakukan Teat Dipping, yaitu pencelupan puting ke dalam larutan desinfektan
setelah pemerahan selesai.
Menurut Surjowardojo dkk (1985) setelah pemerahan selesai sebaiknya dilakukan
pencucian ambing dengan air hangat dan dilakukan pencelupan puting ke dalam larutan
desinfektan. Hidayat, dkk (2002) juga berpendapat bahwa setelah selesai memerah,
puting harus langsung disucihamakan (desinfeksi, disterilkan) dengan menggunakan
larutan desinfektan
5. Tidak dilakukan pemeriksaan terhadap mastitis sub klinis dengan teratur sehingga
penanganan penyakit terlambat.
Menurut Hidayat dkk (2002) berpendapat bahwa pencegahan mastitis dapat dilakukan dengan 5
cara, yaitu :
1. Selalu menjaga kebersihan kandang dan lingkungannya.
2. Melaksanakan prosedur sebelum, pada saat dan setelah pemerahan dengan baik dan
lancar.
Sarwiyono, Sujowardojo, Susilorini (1990) menyatakan bahwa usaha untuk
melakukan pencegahan mastitis adalah dengan cara melaksanakan manajemen
pemerahan yang terdiri dari 3 tahap :
a) Fase persiapan pemerahan, meliputi pembersihan kandang, pembersihan ambing
dan puting, menenangkan sapi, persiapan tukang perah dan alat-alat pemerahan.