Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MANAJEMEN KEUANGAN


2.1.1 Pengertian Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan merupakan salah satu bagian dari ilmu manajemen
yang terluas , dan yang paling banyak memiliki peluang pekerjaan. Manajemen
keuangan memiliki arti penting di semua jenis bisnis, termasuk perbankan dan
institusi-institusi keuangan lainnya, sekaligus juga perusahaan-perusahaan
industry dan ritel. Peluang pekerjaan di bidang manajemen keuangan juga dapat
dimulai dari mengambil keputusan sehubungan dengan ekspansi pabrik hingga
memilih jenis sekuritas apa yang diterb itkan ketika melakukan ekspansi
pendanaan. Seiring dengan perkembangannya, manajemen keuangan tidak hanya
mencatat, membuat laporan, mengendalikan posisi kas, membayar tagihan –
tagihan, dan mencari dana. Akan tetapi, manajemen keuangan juga mengatur
penginvestasian dana, mengatur kombinasi dana yang optimal, serta mengatur
pendistribusian keuntungan (pembagian dividen).
Definisi manajemen keuangan menurut Van Horne dan M.Wachowicz (2005 :2)
adalah sebagai berikut :
“Financial management is concerned acqusition, financing, and
management of asset with some over all goal in mind.”
Artinya bahwa manajemen keuangan berhubungan dengan akuisisi, pembiayaan,
dan pengelolaan aktiva-aktiva dengan keseluruhan tujuan perusahaan.
Sedangkan dalam bukunya, Darsono (2006 : 1) menerangkan bahwa :
“Manajemen keuangan adalah aktivitas pemilik dan manajemen
perusahaan untuk memperoleh sumber modal yang semurah-
murahnya dan menggunakannya seefektif, seefisien, dan seproduktif
mungkin untuk memperoleh laba.”
Berdasarkan pengertian – pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian dari manajemen keuangan adalah adalah usaha- usaha yang
dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatkan dana dan mengalokasikan dana
tersebut secara efektif dan efisien dengan keuntungan yang optimal.
2.1.2 Fungsi Manajemen Keuangan
Fungsi manajemen keuangan menurut Irawati (2006:3) terdiri dari 3
keputusan yang harus dilakukan oleh suatu perusahaan, yaitu:
1. Keputusan Investasi
Keputusan investasi adalah keputusan yang diambil oleh manajer
keuangan dalam allocation of fund ataau pengalokasian dana ke dalam
bentuk investasi yang dapat menghasilkan laba di masa yang akan datang.
keputusan investasi ini akan tergambar dari aktiva perusahaan, dan
mempengaruhi struktur kekkayaan perusahaan yaitu perbandingan antara
current assets dengan fixed assets.
2. Keputusan Pendanaan
Keputusan pendanaan adalah keputusan manajemen keuangan dalam
melakukan pertimbangan dan analisis perpaduan antara sumber-sumber
dana yang paling ekonomis bagi perusahaan untuk mendanai kebutuhan-
kebutuhan investasi serta kegiatan operasional perusahaannya. keputusan
pendanaan akan tercermin dalam sisi pasiva perusahaan, dengan melihat
baik jangka pendek atau jangka panjang, sedang perbandingan yang terjadi
disebut dengan struktur finansial.
3. Keputusan Dividen
Dividen merupakan bagian dari keuntungan suatu perusahaan yang
dibayarkan kepada para pemegang saham. Keputusan dividen adalah
keputusan manajemen keuangan dalam menentukan besarnya proporsi
laba yang akan dibagikan kepada para pemegang saham dan proporsi dana
yang akan disimpan di perusahaan sebagai laba ditahan untuk
pertumbuhan perusahaan.

2.1.3 Tujuan Manajemen Keuangan


Manajemen keuangan yang efisien membutuhkan tujuan dan sasaran yang
digunakan sebagai standar dalam memberikan penilaian keefisienan keputusan
keuangan. Untuk dapat mengambil keputusan – keputusan keuangan yang benar,
manajer keuangan perlu menentukan tujuan yang harus dicapai. Tujuan manajemen
keuangan menurut Irawati (2006 : 4) adalah untuk memaksimalkan profit atau
keuntungan dan meminimalkan biaya (expense atau cost) guna mendapatkan suatu
pengambilan keputusan yang maksimum, dalam menjalankan perusahaan kearah
perkembangan dan perusahaan yang berjalan atau survive dan expantion.
Sedangkan menurut Ross (2006 : 11) tujuan menajemen keuangan adalah sebagai
berikut :
“The goal of financial managementis to maximize the current value per
share of the existing stock.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan manajemen keuangan yang
dilakukan oleh manajer keuangan adalah merencanakan untuk memperoleh dan
menggunakan dana guna memaksimalkan nilai perusahaan.

2.2 Laporan Keuangan


2.2.1 Pengertian Laporan Keuangan
Membahas manajemen keuangan tidak bisa lepas dari laporan keuangan.
Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi yang meliputi dua
laporan utama, yaitu : (1) neraca dan (2) laporan rugi-laba. Laporan keuangan
disusun dengan tujuan untuk menyediakan informasi keuangan perusahaan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
keputusan.
Pengertian laporan keuangan menurut Ridwan S. Sundjaja dan Inge
Barlian (2002:68) adalah sebagai berikut:
”Laporan keuangan adalah suatu laporan yang menggambarkan
hasil dari proses akuntansi yang digunakan sebagai alat komunikasi antar
data keuangan/aktivitas perusahaan dengan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan data-data/ aktivitas tersebut”.

Sedangkan menurut Sofyan Syafri Harahap (2004:105) adalah sebagai berikut:


”laporan keuangan menggambarkan kondisi keuangan dan hasil
usaha suatu perusahaan pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu”.
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan
merupakan suatu hasil dari aktivitas suatu perusahaan yang dibuat oleh
manajemen dan diproses melalui siklus akuntansi yang akan digunakan oleh
pemilik perusahaan, calon investor,kreditur, pemerintah dan pihak-pihak
berkepentingan lainnya untuk menggambarkan hasil usaha suatu perusahaan pada
saat tertentu atau jangka waktu tertentu.

2.3 Keputusan investasi


2.3.1 Pengertian Investasi
Investasi adalah suatu kegiatan menanamkan modal untuk satu atau lebih
aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan
mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang. Beberapa pakar
mengemukakan pendapat tentang investasi. Menurut Jogiyanto (2007:5) bahwa:
” Investasi adalah penundaan konsumsi sekarang untuk digunakan di
dalam produksi yang efisien selama periode waktu yang ditentukan”.
Sedangkan menurut Kamaruddin Ahmad (2004:3) bahwa :
“Investasi adalah menempatkan uang atau dana dengan harapan
untuk memperoleh tambahan keuntungan tertentu atas uang atau
dana tersebut”.
Kemudian dalam jurnalnya Tendi Harruman. (2008), dikatakan bahwa
keputusan investasi mencakup pengalokasian dana, baik dana yang berasal dari
dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan pada berbagai bentuk investasi.
Gitman (2000) dan Brealy & Myers (2000) menyatakan bahwa keputusan
investasi sangat penting karena akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian
tujuan perusahaan dan merupakan inti dari seluruh analisis keuangan. Sedangkan
menurut Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa keputusan investasi
dapat berperan sebagai mekanisme transmisi antara kepemilikan dan nilai
perusahaan.
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa konsep
keputusan investasi merupakan suatu konsep yang membicarakan tentang
pengalokasian dana dan penentuan sumber-sumber dana di masa yang akan
datang. Perusahaan dalam mengalokasi dananya dapat menggunakan investasi
dalam bentuk aktiva riil yaitu dalam bentuk aktiva berwujud seperti emas, perak,
intan dan real estate atau dalam bentuk surat-surat berharga atau sekuritas.
2.3.2 Pentingnya Keputusan Investasi
Keputusan Investasi sendiri tercermin dari pertumbuhan Total Asset
perusahaan yang bersangkutan dari tahun ke tahun. Implementasi keputusan
investasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dana dalam perusahaan yang
berasal dari sumber pendanaan internal (internal financing) dan sumber
pendanaan eksternal (external financing). Dengan memperhatikan sumber-sumber
pembiayaan, perusahaan memiliki beberapa alternatif pembiayaan untuk
menentukan struktur modal yang tepat bagi perusahaan.
Menurut Kamaruddin Ahmad (2004:118) perencanaan terhadap
keputusan investasi ini sangat penting karena beberapa hal sebagai berikut :
1. Dana yang dikeluarkan untuk investasi sangat besar, dan jumlah dana yang
besar tersebut tidak bisa diperoleh kembali dalam jangka pendek atau
diperoleh sekaligus.
2. Dana yang dikeluarkan akan terikat dalam jangka panjang, sehingga
perusahaan harus menunggu selama jangka waktu cukup lama untuk bisa
memperoleh kembali dana tersebut.
3. Keputusan investasi menyangkut harapan terhadap hasil keuntungan di masa
yang akan datang. Kesalahan dalam mengadakan peramalan akan dapat
mengakibatkan terjadinya over atau under investment, yang akhirnya akan
merugikan perusahaan.

2.3.3 Jenis-jenis Investasi Keuangan


Investasi ke dalam aktiva keuangan dapat berupa investasi langsung dan
investasi tidak langsung. Investasi langsung dilakukan dengan membeli langsung
aktiva keuangan dari suatu perusahaan baik melalui perantara atau dengan cara
yang lain. Sebaliknya investasi tidak langsung dilakukan dengan membeli saham
dari perusahaan investasi yang mempunyai portofolio aktiva-aktiva keuangan dari
perusahaan-perusahaan lain. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut:
Gambar 2.1
Tipe-tipe investasi
Investasi tidak Investasi
langsung langsung Aktiva-
Perusahaan
Investor aktiva
investasi
keuangan

Investasi langsung
Sumber : Jogiyanto (2003:7)

2.3.3.1 Investasi Keuangan


Investasi keuangan dalam hal ini adalah berhubungan dengan masalah
pengalokasian dana yang akan dilaksanaakan oleh perusahaan di dalam pembelian
surat-surat berharga. Berikut ini adalah beberapa jenis investasi keuangan, menurut
Jogiyanto (2003:7) investasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Investasi Langsung
Investasi langsung dapat dilakukan dengan membeli aktiva keuangan yang
dapat diperjualbelikan di pasar uang (money market), pasar modal (capital
market), atau pasar turunan (derivative market). Investasi langsung juga dapat
dilakukan dengan membeli aktiva keuangan yang tidak dapat diperjualbelikan.
Aktiva keuangan yang tidak dapat diperjualbelikan biasanya diperoleh melalui
bank komersial. Aktiva-aktiva ini dapatberupa tabungan di bank atau sertifikat
deposito.
Menurut Jogiyanto (2003:7), macam-macam investasi langsung dapat
disarikan sebagai berikut :
1. Investasi langsung yang tidak dapat diperjualbelikan .
‐ Tabungan
‐ Deposito
2. Investasi langsung dapat diperjualbelikan.
A. Investasi langsung di pasar uang
1) T-bill
2) deposito yang dapat dinegoisasi
B. Investasi langsung di pasar modal
1) surat-surat berharga pendapatan tetap ( fixed-income securities).
a. T-bond
b. Federal agency securities
c. Municipal bond
d. Corporate bond
e. Convertible bond
2) Saham-saham ( equity securities)
a. Saham preferen ( preffered stock)
b. Saham biasa (common stock)
C. Investasi langsung di pasar turunan
a. Opsi
‐ Waran (warrant)
‐ Opsi put ( put option)
‐ Opsi call ( call option)
b. Futures contract

2. Investasi tidak langsung


investasi tidak langsung dilakukan dengan membeli surat-surat
berharga dari perusahaan investasi. Perusahaan investasi adalah
perusahaan yang menyediakan jasa keuangan dengan cara menjual
sahamnya ke publik dan menggunakan dana yang diperoleh untuk
diinvestasikan ke dalam portofolionya. Investasi tidak langsung lewat
perusahaan investasi ini menarik bagi investor paling tidak karena dua
alasan utama, yaitu :
1. Investor dengan modal kecil dapat menikmati keuntungan karena
pembentukan portofolio. Jika investor ini harus membuat portofolio
sendiri, maka dia harus membeli beberapa saham dalam jumlah yang
cukup besar nilainya. Investor yang tidak mempunyai dana cukup
untuk membentuk portofolio sendiri dapat membeli saham yang
ditawarkan oleh perusahaan investasi ini.
2. Membentuk portofolio membutuhkan pengetahuan dan pengalaman
yang mendalam. Investor awam yang kurang mempunyai pengetahuan
dan pengalaman tidak akan dapat membentuk portofolio yang optimal,
tetapi dapat membeli saham yang ditawarkan oleh perusahaan
investasi yang telah membentuk portofolio optimal.

2.3.4 Klasifikasi Investasi


Menurut Kamaruddin Ahmad (2004:10) perusahaan investasi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Investment Trust
Merupakan trust yang menerbitkan portofolio yang dibentuk dari surat-surat
berharga berpenghasilan tetap (misalnya bond) dan ditangani oleh orang
kepercayaan yang independen. Sertifikat portofolio ini dijual kepada investor
sebesar nilai bersih total aktiva yang tergabung di dalam portofolio ditambah
dengan komisi. Investor dapat menjual balik sertifikat ini kepada trust sebesar
nilai bersih sertifikat tersebut (net asset value atau NAV). Besarnya NAV per
sertifikat adalah total nilai pasar dari sekuritas-sekuritas yang tergabung di
portofolio dikurangi dengan biaya-biaya yang terjadi dan dibagi dengan
jumlah sertifikat yang diedarkan.
2. Close-end investment companies
Merupakan perusahaan investasi yang hanya menjual sahamnya pada saat
penawaran perdana (Initial Public Offering) saja dan selanjutnya tidak
menawarkan lagi tambahan lembar saham. Lembar saham yang sudah beredar
dari penawaran perdana diperdagangkan di pasar sekunder (stock exchange)
dengan harga pasar yang terjadi di pasar bursa.
3. Open-end investnent companies
Dikenal dengan nama perusahaan reksadana (mutual funds). Perusahaan
investasi ini masih menjual saham baru kepada investor setelah penjualan
saham perdananya. Juga pemegang saham dapat menjual kembali sahamnya
ke perusahaan reksadana yang bersangkutan. Dengan demikian, perusahaan
reksa dana ini mempunyai besarnya portofolio yang berubah-ubah di pasar
modal. Nilai total portofolio yang dibentuk disebut dengan Nilai Aktiva
Bersih atau NAB (Net Asset Value atau NAV).

2.3.5 Metode Penilaian Investasi


Suatu investasi dikatakan menguntungkan kalau investasi tersebut bisa
membuat pemodal menjadi lebih kaya. Pengertian ini konsisten dengan tujuan
memaksimumkan nilai perusahaan. Ada beberapa alat analisa atau metode dalam
menilai keputusan investasi. Menurut M.Manulang (2005:122) metode-metode
penilaian investasi tersebut antara lain adalah :
1. Payback period
Payback period adalah untuk mengukur lamanya dana investasi yang ditanamkan
kembali seperti semula. Karena itu hasil perhitungannya dinyatakan dalam satuan
waktu (yaitu tahun atau bulan). Untuk mengetahui kelayakan investasi dengan
membandingkan masa payback period dengan target lamanya kembalinya
investasi. Bila payback period lebih kecil dibanding dengan target kembalinya
investasi, maka proyek investasi layak, sedangkan bila lebih besar proyek tidak
layak. Dan untuk menghitung besarnya payback period bila cash flownya sama
tiap tahun adalah :

Kelemahan dari metode payback adalah :


a. Tidak memperhatikan nilai waktu uang, dan
b. Mengabaikan arus kas setelah periode payback.
Untuk mengatasi kelemahan karena mengabaikan nilai waktu uang,
metode perhitungan payback period dicoba diperbaiki dengan mem-present
value-kan arus kas, dan dihitung periode payback-nya. Cara ini disebut sebagai
discounted payback period.
2. Accounting rate of return
Metode accounting rate of return adalah metode penilaian investasi yang
mengukur seberapa besar tingkat keuntungan dari investasi.

Apabila angka accounting rate of return lebih besar dibandingkan dengan


keuntungan yang disyaratkan, maka proyek investasi ini menguntungkan, apabila
lebih kecil daripada tingkat keuntungan yang disyaratkan proyek ini tidak layak.
Kebaikan metode ini adalah sederhana dan mudah, perhitungan metode ini
menggunakan data accounting yang tersedia, sehingga tak memerlukan
penghitungan tambahan. Sedangkan kelemahan metode ini mengabaikan nilai
waktu uang dan tidak memperhitungkan aliran kas, metode ini dianggap kurang
memuaskan atau kurang baik untuk digunakan dalam menilai proyek-proyek
investasi.
3. Net Present Value
Pada metode di depan keduanya mengabaikan adanya nilai waktu dari uang,
padahal cash flow yang digunakan untuk menutup investasi tersebut diterima di
masa yang akan datang, sementara dana untuk investasi dikeluarkan pada saat
sekarang. Oleh karena itu perlu metode yang memperhatikan konsep time value of
money. Salah satu metode untuk menilai investasi yang memperhatikan time value
of money adalah net present value (NPV). NPV adalah merupakan selisih antara
nilai sekarang dari cash flow dengan nilai sekarang dari investasi. Bila selisih
antara present value dari cash flow lebih besar berarti terdapat NPV positif,
artinya proyek investasi layak, sebaliknya bila present value dari cash flow lebih
kecil dibanding present value investasi maka NPV negative dan investasi
dipandang tidak layak. Dengan demikian dalam perhitungan NPV memerlukan
dua kegiatan penting yaitu :
a. Menaksir arus kas
b. Menentukan tingkat bunga yang dipandang relevan
4. Internal Rate of Return
Bila pada metode net present value mencari nilai sekarang bersih dengan
tingkat discount rate tertentu, maka metode internal rate of return mencari
discount rate yang dapat menyamakan antara present value dari aliran kas dengan
present value dari investasi. Dengan demikian internal rate of return (IRR) adalah
tingkat discount rate yang dapat menyamakan present value of cash flow dengan
present value of investment.
Kelemahan metode IRR antara lain :
a. Bahwa i yang dihitung akan merupakan angka yang sama untuk setiap tahun
usia ekonomis. Metode IRR tidak memungkinkan menghitung IRR yang
berbeda setiap tahunnya. Padahal secara teoritis dimungkinkan terjadi tingkat
bunga yang berbeda-beda.
b. Bisa diperoleh i yang lebih dari satu angka (multiple IRR). Bila demikian,
maka akan timbul masalah, yakni i mana yang akan kita pergunakan.
Untuk mencari besarnya IRR diperlukan data NPV yang mempunyai dua
kutub, positif dan negative. Setelah didapatkan NPV tersebut, selanjutnya
dibuat interpolasi atau dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Dimana :
rr : tingkat discount rate (r) lebih rendah
rt : tingkat discount rate (r) lebih tinggi
TPV : Total Present Value
NPV : Net Present Value
Bila IRR lebih besar dibanding keuntungan yang disyaratkan berarti layak,
demikian sebaliknya bila IRR lebih kecil dibanding keuntungan yang disyaratkan
berarti proyek investasi kurang layak.
5. Profitability Index
Metode profitability index (PI) ini menghitung perbandingan antara
present value dari penerimaan dengan present value dari investasi. Bila PI ini
lebih besar dari 1, maka proyek investasi dianggap layak untuk dijalankan. Rumus
yang digunakan untuk mencari PI sebagai berikut :

2.4 Struktur Kepemilikan (ownership structure)


2.4.1 Pengertian Strukur Kepemilikan (ownership structure).
Struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu
pendekatan keagenan dan pendekatan informasi asimetri. Menurut pendekatan
keagenan, struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi
konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Pendekatan
ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan
sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insiders
dan outsiders melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal.
(www.kesimpulan.com).
Para peneliti berpendapat bahwa struktur kepemilikan perusahaan
memiliki pengaruh terhadap perusahaan. Tujuan perusahaan sangat ditentukan
oleh struktur kepemilikan, motivasi pemilik dan kreditur corporate governance
dalam proses insentif yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha
membuat berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan, setelah strategi
ditentukan maka langkah selanjutnya akan mengimplementasi strategi dan
mengalokasikan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan
perusahaan. Kesemua tahapan tersebut tidak terlepas dari peran pemilik dapat
dikatakan bahwa peran pemilik sangat penting dalam menentukan
keberlangsungan perusahaan. Struktur kepemilikan dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Kepemilikan Manajerial
Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen
perusahaan baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris disebut
sebagai kepemilikan manajerial (managerial ownership). Adanya kepemilikan
saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan
manajerial juga dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh
manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode
pengamatan.
Masalah teknis tidak akan timbul jika kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan tidak dijalankan secara terpisah. Pemilik (pemegang saham) bertujuan
untuk memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai sekarang dari arus kas
yang dihasilkan oleh investasi perusahaan sedangkan manajer bertujuan pada
peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Tujuan manajer ini dilandasi
oleh dua alasan, yaitu :
1). Pertumbuhan yang meningkat akan memberikan peluang bagi manajer
bawah dan menengah untuk dipromosikan. Selain itu, manajer dapat
membuktikan diri sebagai karyawan yang produktif sehingga dapat diperoleh
penghargaan lebih dari wewenang untuk menentukan pengeluaran (biaya-biaya)
2). Ukuran perusahaan yang semakin besar memberikan keamanan
pekerjaan atau mengurangi kemungkinan lay-off dan kompensasi yang semakin
besar. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka
manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham
yang tidak lain adalah dirinya sendiri.
Kepemilikan saham manajerial akan membantu penyatuan kepentingan
antar manajer dengan pemegang saham. Kepemilikan manajerial akan
mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham, sehingga
manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan
ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan
yang salah. Argumen tersebut mengindikasikan mengenai pentingnya kepemilikan
manajerial dalam struktur kepemilikan perusahaan.
Namun, tingkat kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga dapat
berdampak buruk terhadap perusahaan. Dengan kepemilikan manajerial yang
tinggi, manajer mempunyai hak voting yang tinggi sehingga manajer mempunyai
posisi yang kuat untuk mengendalikan perusahaan, hal ini dapat menimbulkan
masalah pertahanan, dalam artian, adanya kesulitan bagi para pemegang saham
eksternal untuk mengendalikan tindakan manajer.
Agency problem bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan
saham dalam perusahaan, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham
manajerial maka akan baik kinerja perusahaan. Kepemilikan saham yang besar
dari segi ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika
kepemilikan manajerial rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya
oportunistik manajemen akan meningkat. Kepemilikan manajerial terhadap saham
perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara
pemegang saham luar dengan manajemen. Sehingga permasalahan keagenan
diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai
seorang pemilik.
Kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme corporate
governance yang dapat mengurangi konflik kepentingan antara manajer dan
berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Semakin besar
kepemilikan saham manajerial dapat mencegah tindakan opportunistik manajer.
Hubungan antara kepemilikan manajerial dengan discretionary accruals. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara kepemilikan
manajerial dengan discretionary accruals.
Penelitian yang menguji hubungan kepemilikan manajerial dengan
discretionary accrual dan kandungan informasi laba menemukan bukti bahwa
kepemilikan manajerial berhubungan secara negatif dengan discretionary accrual.
Hasil penelitian tersebut juga manyatakan bahwa kualitas laba meningkat karena
kepemilikan manajerial tinggi.
2. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan suatu perusahaan dapat terdiri atas kepemilikan institusional
maupun kepemilikan individual. Atau campuran keduanya dengan proporsi
tertentu. Investor institusional memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan
investor individual, diantaranya yaitu:
a. Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor
individual untuk mendapatkan informasi.
b. Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa informasi,
sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi.
c. Investor institusional, secara umum, memiliki realisasi bisnis yang lebih kuat
dengan manajemen.
d. Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan
pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
e. Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham sehingga
dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang tercermin di tingkat
harga.
Adanya pemegang saham seperti institusional ownership memiliki arti
penting dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional
seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan-perusahaan investasi dan
kepemilikan oleh institusi-institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan
yang lebih optimal. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan
kemakmuran pemegang saham. Signifikasi institusional ownership sebagai agen
pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar
modal. Apabila institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka
mereka akan menjual sahamnya ke pasar.
Perubahan perilaku institusional ownership dari pasif menjadi aktif dapat
meningkatkan akuntabilitas manajerial sehingga manajer akan bertindak lebih
hati-hati dalam pengambilan keputusan. Meningkatnya aktivitas institusional
ownership dalam melakukan monitoring disebabkan oleh kenyataan bahwa
adanya kepemilikan saham yang signifikan oleh institusional ownership telah
meningkatkan kemampuan mereka untuk bertindak secara kolektif. Dalam waktu
yang sama, biaya untuk keluar dari investasi yang mereka lakukan menjadi
semakin mahal karena adanya resiko saham akan terjual pada harga diskon.
Kondisi ini akan memotivasi institusional ownership untuk lebih serius dalam
mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku manajer dan memperpanjang
jangka waktu investasi.
Mekanisme pengawasan dapat dilakukan dengan menempatkan dewan ahli
yang tidak dibiayai perusahaan sehingga posisinya tidak berada dibawah
pengawasan manajer. Dengan demikian, dewan ahli dapat menjalankan fungsinya
secara efektif untuk mengontrol semua tindakan manajer.
Pengawasan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara memberikan
masukan-masukan sebagai bahan pertimbangan bagi manajer dalam menjalankan
usaha dan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Semakin besar
prosentase saham yang dimiliki oleh institusional ownership akan menyebabkan
pengawasan yang dilakukan menjadi lebih efektif karena dapat mengendalikan
perilaku oportunistik manajer dan mengurangi agency cost.
Dengan adanya beberapa kelebihan yang dimiliki, investor institusional
diduga lebih mampu untuk mencegah terjadinya manajemen laba, dibanding
dengan investor individual. Investor institusional dianggap lebih professional
dalam mengendalikan portofolio investasinya, sehingga lebih kecil kemungkinan
mendapatkan informasi keuangan yang terdistorsi, karena mereka memiliki
tingkat pengawasan yang tinggi untuk menghindari terjadinya tindakan
manajemen laba. Secara singkat dapat dikatakan institusional dengan manajemen
laba mempunyai hubungan negatif dimana semakin besar persentase saham yang
dimiliki oleh korporasi maka semakin kecil kemungkinan terjadi manajemen laba.
(www.kesimpulan.com).

3. Kepemilikan Publik
Struktur Kepemilikan (Ownership Structure) adalah komposisi
kepemilikan dalam perusahaan yang mempengaruhi kinerja perusahaan.
Kemudian salah satu kepemilikan di perusahaan adalah kepemilikan publik
dimana merupakan porsi saham beredar (outstanding share) yang dimiliki
masyarakat atau publik domestik (degree of public ownership).
Perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga mempunyai struktur yang
menyebabkan berkurangnya konflik agensi antara pemegang saham dan kreditur,
dimana kreditur menganggap kepemilikan keluarga lebih melindungi kepentingan
kreditur. Pemegang saham minoritas justru diuntungkan dari adanya kepemilikan
keluarga, menunjukkan bahwa perusahaan publik di Indonesia yang dikendalikan
keluarga atau negara atau institusi keuangan masalah agensinya lebih baik jika
dibandingkan perusahaan yang dikontrol oleh publik atau tanpa pengendali utama.
Menurutnya dalam perusahaan yang dikendalikan keluarga masalah agensinya
lebih kecil karena berkurangnya konflik antara principal dan agent. Jika
kepemilikan keluarga lebih efisien, maka pada perusahaan dengan kepemilikan
keluarga yang tinggi pengelolaan laba yang oportunis dapat dibatasi. Tetapi
pengendalian yang lebih efisien dalam kepemilikan keluarga tersebut besar
kemungkinan tidak berlaku di perusahaan konglomerasi seperti yang banyak
terdapat di Indonesia.
Struktur Kepemilikan akan mempengaruhi perilaku dan performansi
perusahaan (Pierce, 2003). Menurut Villalonga dan Amit (2004), kepemilikan
keluarga akan menciptakan nilai serta memperbaiki kinerja perusahaannya jika
disertai beberapa bentuk kontrol dan manajemen keluarga tersebut.
Struktur Kepemilikan ini juga akan mempengaruhi perilaku perusahaan
karena adanya pergantian kepemimpinan sehingga akan merubah performansi
perusahaan. Lemmon dan Lins (2003), meneliti 800 perusahaan di negara-negara
Asia Timur. Mereka meneliti pengaruh struktur kepemilikan terhadap performansi
perusahaan. Kesimpulannya ialah bahwa perusahaan yang melakukan pemisahan
antara pemilik dan manajer lalu melakukan kontrol yang kuat cenderung memiliki
performansi perusahaan yang lebih jelek. Dengan demikian, struktur kepemilikan
perusahaan akan mempengaruhi keputusan keuangan yang terdiri dari keputusan
investasi, pendanaan dan kebijakan dividen.
2.4.2 Jenis-jenis Struktur Kepemilikan
Adanya agency problem dapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan
(kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional). Struktur kepemilikan oleh
beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang
pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan
perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh karena
adanya kontrol yang mereka miliki.
Struktur kepemilikan terbagi dalam beberapa kategori. Struktur
kepemilikan terkonsentrasi dan menyebar. Secara spesifik kategori struktur
kepemilikan meliputi kepemilikan oleh institusi domestik, institusi asing,
pemerintah, karyawan, dan individual domestik. Struktur kepemilikan yang
dibahas dalam penelitian ini adalah struktur kepemilikan perusahaan yang
menyebar dan terkonsentrasi. Proporsi kepemilikan diwakili oleh variabel
dummy, dimana nilai 1 untuk kepemilikan terkonsentrasi ( mayoritas) dan 0 untuk
kepemilikan menyebar.
Adanya agency problem dapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan
(kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional). Struktur kepemilikan oleh
beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang
pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan
perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh karena
adanya kontrol yang mereka miliki. Dukungan empiris perihal faktor -faktor yang
mempengaruhi kinerja antara lain penelitian yang dilakukan oleh Suad Husnan
(2000) bahwa perusahaan yang kepemilikannya lebih menyebar memberikan
imbalan yang lebih besar kepada manajemen dibanding dengan perusahaan yang
kepemilikannya lebih terkonsentrasi.

2.4.3 Agency Theory


Pendekatan teori keagenan (agency theory) yang menyatakan bahwa
praktek manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen
(agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk
mencapai atau mempertahankan kemakmuran yang dikehendakinya. Dimana
prinsipal itu sendiri adalah pihak yang memberi mandate kepada agen (pemegang
saham). Sedangkan agen adalah pihak yang mengerjakan mandate dari prinsipal
(pemegang saham) yaitu manajemen yang mengelola perusahaan. Menurut
Eisenhardt (1989) sebagaimana dikutip (Khomsiyah, 2005) teori keagenan
(agency theory) digunakan untuk mengatasi dua masalah yang terjadi dalam
hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan yang timbul pada saat keinginan-
keinginan prinsipal dan agen saling berlawanan dan merupakan hal yang sulit bagi
prinsipal untuk melakukan verifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara
tepat. Kedua, masalah pembagian dalam menanggung risiko yang timbul dimana
prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko. Dalam hubungan
keagenan tersebut terdapat adanya pemisahan antara kepemilikan (pihak prinsipal)
dengan pengendalian (pihak agen). Dimana perusahaan yang memisahkan fungsi
pengelolaan dan fungsi kepemilikan akan mengakibatkan munculnya perbedaan
kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Hal ini dapat terjadi karena
para manajer tidak ikut serta menanggung risiko sebagai akibat dari pengambilan
keputusan yang salah serta tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Sebagai pengelola perusahaan, manajer perusahaan tentu akan lebih
banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan
datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu manajer sudah
seharusnya selalu memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik. Sinyal yang dapat diberikan oleh manajer yakni melalui pengungkapan
informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan hal
yang sangat penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena
kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya Ali
(2002). Adanya ketidakseimbangan penguasaan informasi ini akan memicu
munculnya kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information
asymmetry).
Manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaan
seperti investor dan kreditor. Asimetri informasi terjadi ketika manajer memiliki
informasi internal perusahaan yang relatif lebih banyak dan mengetahui informasi
tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Kondisi ini memberikan
kesempatan kepada manajer untuk menggunakan informasi yang diketahuinya
untuk memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan
kemakmurannya. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di
dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau
mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki Ali ( 2002).
Menurut William R Scott (1967) informasi asimetri mempunyai dua tipe.
Tipe pertama, adverse selection. Pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki
informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan
perjanjian dengan pihak lain tersebut apapun bentuknya, dan jika tetap melakukan
perjanjian, dia akan membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang
sangat tinggi. Contohnya, adalah kemungkinan konflik yang terjadi antara orang
dalam (manajer) dengan orang luar (investor potensial). Berbagai cara dapat
dilakukan oleh manajer untuk memperoleh informasi lebih dibandingkan investor,
misalnya dengan menyembunyikan, menyamarkan, memanipulasi informasi yang
diberikan kepada investor. Akibatnya, investor tidak yakin terhadap kualitas
perusahaan, atau membeli saham perusahaan dengan harga sangat rendah. Contoh
lain dari informasi asimetri adalah ketika kreditor dan pemegang saham
minoritas memiliki informasi yang lebih sedikit dibandingkan manajer dan
pemegang saham mayoritas.
Tipe kedua dari informasi asimetri adalah moral hazard. Moral hazard
terjadi ketika manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik untuk
keuntungan pribadinya dan menurunkan kesejahteraan pemilik. Contohnya, pada
perusahaan yang relatif besar, dengan terpisahnya kepemilikan dan pengendalian
manajemen, maka sulit bagi pemegang saham dan kreditur untuk melihat sejauh
mana kinerja manajer sejalan dengan tujuan yang diinginkan pemegang saham,
manajer mungkin cenderung bekerja kurang optimal. Moral hazard juga
menghambat operasi perusahaan secara efisien.
Teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri
(self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk
averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai
manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, yaitu
mengutamakan kepentingan pribadinya Haris (2004).
Berdasarkan teori keagenan, laporan keuangan dipersiapkan oleh
manajemen sebagai pertanggung-jawaban stewardship mereka kepada prinsipal.
Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang menyediakan informasi keuangan dan
secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, manajemen memiliki insentif
untuk melaporkan segala sesuatu yang dapat memaksimumkan utilitas dirinya.
Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan merekayasa laba (earnings)
yang menjadi fokus utama perhatian pihak eksternal sesuai dengan motivasi yang
melatarbelakanginya.

2.5 Kebijakan Dividen


2.5.1 Pengertian Dividen
Dividen adalah distribusi yang bisa berbentuk kas, aktiva lain, surat atau
bukti lain yang menyatakan utang perusahaan, dan saham, kepada pemegang
saham suatu perusahaan sebagai proporsi dari jumlah saham yang dimiliki oleh
pemilik. Pengertian dividen menurut Hassel Nogi (2003 ; 20) :
“Dividen adalah bagian dari laba bersih yang dibagikan kepada
pemegang saham (pemilik modal sendiri, equity).”
Sedangkan menurut Brealy, Myers dan Marcus (2004 ; 143) adalah :
“Periodic cash distribution from the firm to its shareholders.”
Artinya bahwa distribusi laba tunai berkala dari perusahaan kepada para
pemegang sahamnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dividen merupakan
bagian dari laba bersih yang dibagikan kepada pemegang saham secara
berkala.
Setiap perusahaan selalu menginginkan adanya pertumbuhan pendapatan
bagi kinerja perusahaannya dan dapat membayarkan dividen kepada para
pemegang saham, kedua tujuan ini selalu bertentangan, sebab makin tinggi tingkat
dividen yang dibayarkan, semakin sedikit laba yang akan ditahan, sehingga
menghambat pertumbuhan dan pendapatan harga sahamnya. Jika perusahaan ingin
menahan sebagian besar pendapatannya untuk tetap didalam perusahaan berarti
bahwa sebagian dari pendapatan yang tersedia untuk pembayaran dividen adalah
semakin kecil. Pembagian dividen dipengaruhi oleh banyak variabel, sebagai
contoh kebutuhan arus kas dan investasi perusahaan mungkin berubah-rubah
dengan cepat sehingga untuk menentukan jumlah dividen tetap yang tinggi. Dilain
pihak, perusahaan mungkin menginginkan pembayaran dividen yang tinggi untuk
menyalurkan dana yang dibutuhkan dalam investasi. Dalam kasus seperti ini
pimpinan perusahaan dapat menetapkan dividen yang tetap rendah sehingga
perusahaan akan dapat membayarkannya pada tahun-tahun dimana laba yang
diperoleh perusahaan rendah atau pada tahun-tahun diperlukannya dana yang
cukup besar untuk investasi.
Pengertian kebijakan dividen menurut Martono dan Agus Harjito
(2003:253):
“Kebijakan dividen (dividen policy) merupakan keputusan apakah
laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada
pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah
modal guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang.”

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan dividen


adalah merupakan kebijakan yang mengatur sebagian laba bersih yang diberikan
kepada pemegang saham dan berapa bagian laba bersih yang akan digunakan
untuk membiayai investasi perusahaan.

2.5.2 Beberapa Jenis Kebijakan Dividen


Kebijakan dividen adalah berhubungan dengan keputusan apakah laba
yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai
dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi
dimasa datang. Atas dasar teori tentang kebijakan dividen di atas, menurut
Sutrisno (2003:305-307) bentuk kebijakan dividen diantaranya:
1. Kebijakan Pemberian Dividen Stabil
Merupakan kebijakan dividen yang akan diberikan secara tetap per
lembarnya untuk jangka waktu tertentu walaupun laba yang diperoleh
perusahaan berfluktuasi.
2. Kebijakan Dividen yang Meningkat
Dengan kebijakan ini, perusahaan akan membayarkan dividen kepada
pemegang saham dengan jumlah yang selalu meningkat dengan
pertumbuhan yang stabil.
3. Kebijakan Dividen dengan Rasio yang Konstan
Kebujakan ini memberikan dividen yang besarnya mengikuti besarnya
laba yang diperoleh oleh perusahaan. Semakin besar laba yang
diperoleh, semakin besar dividen yang dibayarkan, demikian pula
sebaliknya bila laba kecil dividen yang dibayarkan juga kecil. Dasar
yang digunakan sering disebut Dividen Payout Ratio.
4. Kebijakan Pemberian Dividen Reguler yang Rendah Ditambah Ekstra
Merupakan kebijakan dividend yang didasarkan pembayaran dividend
rendah yang teratur, penambahan dividen jika pendapatan lebih tinggi
dari normal pada periode pembayaran dividen.

2.5.3 Teori Kebijakan Dividen


Kebijakan dividen (dividend policy) adalah suatu keputusan untuk
menentukan berapa besar bagian dari pendapatan perusahaan akan dibagikan
kepada para pemegang saham dan akan diinvestasikan kembali (reinvesment)
atau ditahan (retained) didalam perusahaan.
Pengertian kebijakan dividen menurut R. Agus Sartono (2001 ; 281)
“Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh
perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen
atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan
investasi dimasa datang.”
Menurut Bambang Riyanto (2001 ; 265) :
“Kebijakan dividen adalah bersangkutan dengan penentuan
pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan
untuk dibayarkan kepada pemegang saham sebagai dividen atau
digunakan didalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut
harus ditahan di dalam perusahaan.”

Kedua alasan tersebut merupakan dua sisi kepentingan yang agak


kontroversial. Sehingga manajemen perusahaan harus memutuskan secara hati-
hati dan teliti terhadap kebijakan dividen yang akan dipilih.
Ada beberapa teori yang digunakan sebagai landasan dalam menentukan
kebijakan dividen untuk perusahaan. Sehingga dapat dijadikan pemahaman
mengapa suatu perusahaan mengambil kebijakan dividen tertentu. Menurut
R. Agus Sartono (2001; 282) teori –teori tersebut sebagai berikut:
1. Dividend irrelevance theory
Teori yang dianjurkan oleh Modigliani-Miller (MM) ini menyatakan bahwa
kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh, baik terhadap harga saham
maupun biaya modalnya atau dapat dikatakan bahwa kebijakan dividen
sebenarya tidak relevan.
2. Bird-in-the-hand theory
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan John Linther yang
menyatakan bahwa biaya modal sendiri akan naik jika Dividend Payout Ratio
(DPR) rendah. Hal ini dikarenakan investor lebih suka menerima dividen
daripada capital gain.
3. Tax preference theory
Adalah suatu teori yang menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap
keuntungan dividen dan capital gains maka para investor lebih menyukai
capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak.
Myers (1984) berpendapat bahwa kerangka urutan tradisional kekuasaan,
di mana perusahaan lebih suka internal untuk pembiayaan eksternal dan hutang
terhadap ekuitas jika isu sekuritas, juga dapat menjelaskan struktur modal
perusahaan adalah pilihan. Karena informasi asimetris, pembiayaan eksternal jauh
lebih mahal dari arus kas internal gratis untuk investasi.Meskipun teori urutan
kekuasaan pada awalnya diperkenalkan untuk menjelaskan teka-teki struktur
modal, dapat dengan mudah diterapkan pada teka-teki dividen, karena dividen
bisa saja internal arus kas bebas jika mereka belum diterbitkan. Jika kebudayaan
nasional informatif tentang definisi orang sukses, dan pada gilirannya tentang kas
internal perusahaan, kami berharap dapat mengamati perbedaan lintas-budaya
dalam kebijakan dividen perusahaan.
Rasio pembayaran dividen secara positif terkait dengan tingkat
perlindungan investor. Faccio et al. (2001) menemukan bahwa perusahaan yang
berafiliasi dengan kelompok dan mereka dengan beberapa pemegang saham besar
membayar dividen lebih tinggi di Eropa daripada di Asia Timur. Di sisi lain,
berpendapat bahwa kemampuan kebijakan dividen untuk sinyal di masa depan
prospek perusahaan atau mengurangi biaya agen tergantung pada aspek
kelembagaan lingkungan negara selain lembaga-lembaga hukum, seperti sifat dari
sistem keuangan dan struktur kepemilikan. Mereka menemukan bahwa
perusahaan dari pasar negara berkembang, yang mengandalkan kurang pada
lengan panjang kontrak, pembayaran dividen telah kurang stabil daripada rekan-
rekan mereka di AS.
Dalam studi ini, kami menjelajahi sisi lain dari cerita dividen. Premis
utama adalah bahwa budaya nasional dapat menjelaskan kebijakan dividen
perusahaan dengan mempengaruhi persepsi orang tentang masalah dividen yang
terkait (misalnya, lembaga masalah dan informasi asimetris). Selanjutnya, kami
menjajarkan perlindungan hukum, yang meringankan keparahan masalah tata
kelola perusahaan, dan budaya, yang mempengaruhi masalah psikologis
masyarakat tentang tata kelola, untuk menghindari hasil tersebar dari berfokus
pada hanya salah satu faktor.
Dalam keputusan pembagian dividen, perusahaan harus
mempertimbangkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaannya. Laba
yang diperoleh perusahaan pada umumnya tidak dibagikan seluruhnya sebagai
dividen karena sebagian disisihkan untuk diinvestasikan kembali atau sebagian
ditahan dalam retained earning. Besar kecilnya dividen yang di bayarkan kepada
pemegang saham tergantung pada kebijakan dividen masing-masing perusahaan
sehingga pertimbangan manajemen sangat diperlukan.

2.5.4 Mengukur Tingkat Pembayaran Dividen/ Dividen Payout Ratio


Dividend Payout Ratio adalah perbandingan antara dividen yang
dibayarkan dengan laba bersih yang didapat dan biasanya disajikan dalam bentuk
persentase. Semakin tinggi Dividen Payout Ratio akan menguntungkan para
investor tetapi dari pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena
memperkecil laba ditahan, tetapi sebaliknya Dividen Payout Ratio semakin kecil
akan merugikan para pemegang saham (investor) tetapi internal financial
perusahaan semakin kuat.
Dividend Payout Ratio menurut R. Agus Sartono (2001 ; 73) adalah :
“Persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio
antara laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba
yang tersedia bagi pemegang saham.”

Sedangkan menurut Ross, Westerfield, Jordan (2000 ; 94) bahwa


Dividend Payout Ratio adalah :
“The amount of cash paid out to shareholders divided by net income.”
Artinya bahwa jumlah dari pendapatan tunai yang sampai kepada pemegang
saham yang dibagi oleh pendapatan netto.
Dan menurut Gibson (2001 ; 321) adalah :
“The Dividend Payout Ratio measures the proportion of current earning
per common share being paid out in dividends.”
Artinya bahwa Dividend Payout Ratio mengukur proporsi pendapatan per lembar
saham biasa yang sedang dikeluarkan di dalam dividen-dividen.
Dari pengertian tersebut Dividend Payout Ratio dapat diformulasikan menjadi
DPS
Dividend Payout Ratio   100 %
EPS
Dimana : DPS = Dividend Per Share
EPS = Earning Per Share
2.5.5 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kebijakan Dividen.
Dalam menentukan kebijakan dividen, perusahaan harus
mempertimbangkan sejumlah hal atau faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan dividen. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen menurut
Ridwan S Sundjaja dan Inge barlian (2003:387-390) :
1. Peraturan hukum
a. Peraturan mengenai laba bersih menentukan bahwa dividen dapat
dibayar dari laba tahun-tahun yang lalu dan laba tahun berjalan.
b. Peraturan mengenai tindakan yang merugikan modal. Melindungi para
direktur, dengan melarang pembayaran dividen yang berasal dari modal
(membagikan investasinya dan bukan membagikan dividen).
c. Peraturan mengenai tak mampu bayar. Perusahaan boleh tidak
membayar dividen jika tidak mampu (bangkrut).
2. Posisi likuiditas
Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang diperlukan
untuk menjalankan usaha. Laba ditahan dari tahun-tahun terdahulu sudah
diinvestasikan dalam bentuk mesin dan peralatan, persediaan, dan barang-
barang lainnya, bukan disimpan dalam bentuk uang tunai, Oleh karena itu
sesuatu perusahaan yang keuntungannya luar biasa mungkin saja tidak dapat
membayar dividen karena keadaan likuiditasnya. Memang perusahaan yang
sedang tumbuh biasanya betul-betul kekurangan dana. Dalam situasi seperti
ini mungkin perusahaan memutuskan untuk tidak membayar dividen dalam
bentuk tunai.
3. Membayar Pinjaman
Jika perusahaan telah membuat pinjaman untuk memperluas usahanya atau
untuk pembiayaan lainnya maka ia dapat melunasi pinjamannya pada saat
jatuh tempo atau ia dapat menyisihkan cadangan-cadangan untuk melunasi
pinjaman itu nantinya. Jika diputuskan bahwa pinjaman itu akan dilunasi ,
maka biasanya harus ada laba ditahan
4. Kontrak Pinjaman
Kontrak pinjaman apabila jika menyangkut pinjaman jangka panjang,
seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar dividen
tunai. Pembatasan-pembatasan yang dimaksudkan untuk melindungi para
kreditur yaitu :
a Dividen yang akan datang hanya boleh dibayar dari keuntungan yang
diperoleh sesudah ditandatanganinya kontrak pinjaman (artinya tidak
boleh dibayarkan dari laba tahun lalu yang ditahan).
b Dividen tidak boleh dibayarkan jika modal kerja bersih jumlahnya lebih
kecil dari suatu jumlah tertentu. Begitu pula persetujuan mengenai
saham preferen biasanya menyatakan bahwa dividen atas saham
preferen selesai dibayar.
5. Pengembaliaan Aktiva
Semakin cepat pertumbuhan perusahaan, semakin besar kebutuhannya untuk
membiayai pengembangan aktiva perusahaan. Semakin banyak dana yang
dibutuhkan di kemudiaan hari, semakin banyak laba yang harus ditahan dan
tidak dibayarkan. Apabila ingin menambah modal dari luar maka sumber
alami yang tersedia adalah para pemegang saham sekarang yang sudah
mengenal perusahaan. Jika keuntungannya dibayarkan kepada mereka
sebagai dividen dan terkena tarif pajak perorangan yang tinggi, maka hanya
sebagian saja yang dapat ditanam kembali.
6. Tingkat Pengembalian
Tingkat pengembaliaan atas asset menentukan pembagiaan laba dalam
bentuk dividen yang dapat digunakan oleh pemegang saham baik ditanamkan
kembali di dalam perusahaan maupun di tempat lain.
7. Stabilitas Keuntungan
Perusahaan yang keuntungannya relatif teratur seringkali dapat
memperkirakan bagaimana keuntungan di kemudiaan hari. Maka perusahaan
seperti itu kemungkinan besar akan membagikan keuntungannya dalam
bentuk dividen dengan persentasi yang lebih besar dibandingkan dengan
perusahaan yang keuntungannya berfluktuasi.
8. Pasar modal
Perusahaan besar yang sudah mantap, dengan profitabilitas yang tinggi dan
keuntungan yang teratur, dengan mudah dapat masuk ke pasar modal atau
memperoleh macam-macam dana dari luar untuk pembiayaannya.
Perusahaan yang sudah mantap akan mempunyai tingkat dividen yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil atau yang masih baru.
9. Kendali Perusahaan
Jika perusahaan hanya memperkuat usahanya dari pembiayaan intern maka
pembayaran dividen akan berkurang. Kebijakan ini dijalankan atas
pertimbangan bahwa menambah modal dengan menjual saham biasa akan
mengurangi pengendalian atas perusahaan itu oleh golongan pemegang
saham yang kini sedang berkuasa. Selain itu penjualan saham tambahan akan
memperbesar resiko berfluktuasinya keuntungan bagi para pemegang saham.
10. Keputusan kebijakan dividen
Hampir semua perusahaan ingin mempertahankan dividen per saham pada
tingkat yang konstan. Tetapi naiknya dividen selalu terlambat dibandingkan
dengan naiknya keuntungan. Artinya dividen itu baru akan dinaikkan jika
sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan itu benar-benar mantap dan
nampak cukup permanen. Sekali dividen sudah naik, maka segala daya dan
upaya akan dikerahkan. Jika keuntungannya kemudian menurun.
Menurut Sutrisno (2001 ; 304 – 305), faktor-faktor yang mempengaruhi
besar kecilnya dividen yang akan dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang
saham antara lain adalah :
1. Posisi Solvabilitas Perusahaan
Apabila perusahaan dalam kondisi insolvensi atau solvabilitasnya kurang
menguntungkan, biasanya perusahaan tidak membagikan laba. Hal ini
disebabkan laba yang diperoleh lebih banyak digunakan untuk memperbaiki
posisi struktur modalnya.
2. Posisi Likuiditas Perusahaan
Bagi perusahaan yang kondisi likuiditasnya kurang baik, biasanya dividend
payout rationya kecil, sebab sebagian besar laba yang digunakan untuk
menambah likuiditas. Namun perusahaan yang sudah mapan dengan likuiditas
yang baik cenderung memberikan dividen yang lebih besar.
3. Kebutuhan untuk melunasi hutang
Salah satu sumber dana perusahaan adalah dari kreditor berupa hutang baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Semakin banyak hutang yang harus
dibayar semakin besar dana yang harus disediakan sehingga mengurangi
jumlah dividen yang akan dibayarkan kepada pemegang saham. Disamping itu
dengan jatuh temponya hutang, berarti dana hutang tersebut harus diganti.
Alternatif mengganti dan hutang bisa dengan mencari hutang baru, dan juga
bisa dengan sumber dana intern dengan cara memperbesar laba ditahan. Hal
ini tentunya akan memperkecil dividend payout ratio.
4. Rencana perluasan
Perusahaan yang berkembang ditandai dengan semakin pesatnya pertumbuhan
perusahaan, dan hal ini bisa dilihat dari perluasan yang dilakukan oleh
perusahaan. Semakin pesat pertumbuhan perusahaan, juga semakin pesat
perluasan yang dilakukan. Konsekuensinya semakin besar dana yang
dibutuhkan untuk membiayai perluasan tersebut. Kebutuhan dana dalam
rangka ekspansi tersebut bisa dipenuhi baik dari hutang, menambah modal
sendiri yang berasal dari pemilik, dan salah satunya juga bisa diperoleh dari
internal resources berupa memperbesar laba ditahan. Dengan demikian
semakin pesat perluasan yang dilakukan perusahaan semakin kecil dividend
payout rationya.
5. Kesempatan investasi
Kesempatan investasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya
dividen yang akan dibagikan. Semakin terbuka kesempatan investasi semakin
kecil dividen yang dibayarkan sebab dananya digunakan untuk memperoleh
kesempatan investasi. Namun bila kesempatan investasi kurang baik, maka
dananya lebih banyak akan digunakan untuk membayar dividen.
6. Stabilitas pendapatan
Bagi perusahaan yang pendapatannya kurang stabil, dividen yang akan
dibayarkan kepada pemegang saham lebih besar dibanding dengan perusahaan
yang pendapatannya tidak stabil. Perusahaan yang pendapatannya stabil tidak
perlu menyediakan kas yang banyak untuk berjaga-jaga, sedangkan
perusahaan yang pendapatannya tidak stabil harus menyediakan uang kas yang
cukup besar untuk berjaga-jaga.
7. Pengawasan terhadap perusahaan
Kadang-kadang pemilik tidak mau kehilangan kendali terhadap perusahaan.
Apabila perusahaan mencari sumber dana dari modal sendiri, kemungkinan
akan masuk investor baru dan tentunya akan mengurangi kekuasaan pemilik
lama dalam mengendalikan perusahaan. Jika dibelanjai dari hutang risikonya
cukup besar. Oleh karena itu perusahaan cenderung tidak membagi dividennya
agar pengendalian tetap berada ditangannya

2.6 Hubungan Keputusan Investasi. Struktur Kepemilikan dan


Kebijakan Dividen terhadap Nilai Perusahaan
2.6.1 Hubungan Keputusan Investasi dengan Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan terbagi menjadi tiga, yaitu : (1) Kepemilikan
Institusional, (2) Kepemilikan Manajerial, (3) Kepemilikan Publik. Ketiga
pihak yang sama-sama memiliki kepentingan terhadap perusahaan ini tentunya
akan memiliki perbedaan pandangan dalam mengambil keputusan untuk
mencapai tujuannya untuk sama-sama meningkatkan kesejahteraan para
pemegang saham.Dalam jurnalnya, Tendi Haruman (2008:11) menemukan
bahwa variabel investasi berpengaruh terhadap managerial ownership dan
institutional ownership dengan arah hubungan positif.

2.6.2 Hubungan Keputusan Investasi dengan Kebijakan Dividen


Salah satu persamaan antara kebijakan dividen dan keputusan investasi
adalah bahwa keduanya sama-sama bersumber dari laba perusahaan. Laba
perusahaan akan dipergunakan untuk membayar dividen kepada para pemegang
saham dan sisanya akan ditahan sebagai laba ditahan (retained earnings) yang
akan digunakan untuk investasi perusahaan guna pertumbuhan di masa yang akan
datang. Sehingga, semakin tinggi dana perusahaan dipakai untuk investasi, maka
akan semakin kecil pendapatan yang akan diterima para pemegang saham sebagai
dividen, begitupun sebaliknya. Hal ini sesuai dengan penelitian Smith and Watts
(1992), yang menyatakan hubungan kebijakan investasi dan kebijakan dividen
dapat diidentifikasi melalui arus kas perusahaan. Semakin besar jumlah investasi
dalam satu periode tertentu, semakin kecil dividen yang diberikan, karena
perusahaan yang tumbuh diidentifikasi sebagai perusahaan yang free cash flow-
nya rendah. (Jensen 1986 dalam Smith and Watts 1992). Perusahaan yang
memiliki peluang investasi akan lebih memilih pendanaan internal daripada
eksternal, karena pendanaan internal lebih murah. Akibatnya, kebijakan dividen
lebih menekankan pada pembayaran dividen yang kecil.
Berbeda dengan teori di atas, signaling theory yang dikemukakan oleh
Bhattaccharya (1979) menyatakan bahwa peningkatan dividen merupakan sebuah
sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang, karena
meningkatnya dividen diartikan sebagai adanya keuntungan yang akan diperoleh
di masa yang akan datang sebagai hasil yang diperoleh dari keputusan investasi
yang diambil perusahan dengan NPV positif. Oleh sebab itu, adanya kesempatan
investasi yang memberikan keuntungan yang tinggi bagi perusahaan tidak selalu
diartikan dividen yang dibayarkan akan kecil atau tidak dibayarkan, tetapi dapat
diartikan adanya prospek yang menjanjikan di masa yang akan datang untuk dapat
membayar dividen yang lebih tinggi.’

2.6.3 Hubungan Struktur Kepemilikan dengan Kebijakan Dividen


Kebijakan dividen Perusahaan telah dilihat sebagai mekanisme kontrol
yang meringankan badan konflik antara pemegang saham dan manajer. Jensen
dan Meckling (1976) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mengurangi
biaya agen dari ekuitas adalah untuk membayar proporsi yang lebih besar dari
penghasilan sebagai dividen kepada para stockholders. pemegang
saham.“discretionary” cash flows Sebuah rasio pembayaran dividen yang
tinggi akan menghasilkan lebih rendah "" discretionary arus kas tersedia untuk
disia-siakan pergi oleh manajer. Rozeff (1982) berpendapat bahwa pembayaran
dividen adalah bagian dari pengawasan yang optimal perusahaan ikatan paket
dan berguna untuk mengurangi biaya agen. Easterbrook (1984) daftar
beberapa mekanisme dimana dividen dan peningkatan akibat modal dapat
mengendalikan biaya agen. Badan biaya "kurang serius jika perusahaan terus-
menerus dalampasar modal baru. Ketika penerbitan efek baru, perusahaan
urusan akan ditinjau oleh bankir investasi atau beberapa perantara yang sama
bertindak sebagai monitor untuk kepentingan kolektif shareholders, pemegang
saham, dan oleh pembeli instrumen baru ".
Ada beberapa argumen tentang peran kepemilikan manajerial. argumen
menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial yang lebih baik dapat
menyelaraskan kepentingan manajemen dan pemegang saham dan membantu
mengurangi masalah arus kas bebas. Oleh karena itu hasil yang lebih tinggi
tingkat pembayaran total ketika manajer memiliki saham lebih. Insider
argumen kepemilikan saham memberikan insentif langsung keselarasan antara
manajer dan pemegang saham sementara dividen berfungsi sebagai mekanisme
ikatan yang mengurangi ruang lingkup manajemen untuk membuat investasi
tidak menguntungkan dari dana internal. Dengan demikian, saham kepemilikan
dan kebijakan dividen yang dipandang sebagai pengganti cara menangani
potensi lembaga masalah.

2.6.4 Hubungan Keputusan Investasi dengan Nilai Perusahaan


Setelah perusahaan mencoba untuk medapatkan dana, maka dana
tersebut akan dipergunakan sebaik-baiknya untuk mendapatkan kentungan di
masa yang akan datang. Kegiatan investasi yang dilakukan perusahaan akan
menentukan keuntungan yang akan diperoleh perusahaan dan kinerja
perusahaan di masa yang akan datang. Apabila perusahaan salah di dalam
pemilihan investasi, maka kelangsungan hidup perusahaan akan terganggu dan
hal ini tentunya akan mempengaruhi penilaian investor terhadap
perusahaan.Untuk itu, seyogianya maanjer (keuangan) hendaknya menjaga
pertumbuhan investasi agar dapat mencapai tujuan perusashaan melalui
kesejahteraan pemegang saham sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Fama (1978), Modigliani & Miller (1958).
2.6.5 Hubungan Kebijakan Dividen dengan Nilai Perusahaan
Kebijakan dividen ini merupakan corporate action yang penting yang
harus dilakukan perusahaan kebijakan tersebut dapat menentukan berapa
banyak keuntungan yang akan diperoleh pemegang saham. Keuntungan yang
akan diperoleh pemegang saham ini akan menentukan kesejahteraan para
pemegang saham yang merupakan tujuan utama perusahaan. Semakin besar
dividen yang dibagikan kepada pemegang saham, maka kinerja emiten atau
perusahaan akan dianggap semakin baik pula dan pada akhirnya perusahaan
yang memiliki kinerja yang baik dianggap menguntungkan dan tentunya
penilaian terhadap perusahaan tersebut akan semakin baik pula, yang biasanya
tercermin melalui tingkat harga saham perusahaan. Dividen nampaknya
memiliki atau mengandung informasi (informational content of dividend) atau
sebagai isyarat prospek perusahaan.Apabila perusahaan meningkatkan
pembayaran dividen, mungkin diartikan oleh pemodal sebagai sinyal harapan
manajemen tentang akan membaiknya kinerja perusahaan di masa yang akan
datang. Sehingga kebijakan dividen memiliki pengaruh terhadap nilai
perusahaan. Hal ini sesuai dengan penelitian Bhattacharya (1979), Myers &
Majluf (1984).

Anda mungkin juga menyukai