Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/325284392

MANAJEMEN PENGELOLAAN SAMPAH BERKELANJUTAN MELALUI INOVASI


“ECOBRICK” OLEH PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

Article  in  Ecology · May 2018

CITATIONS READS

0 6,739

1 author:

Muhammad Taufiq Fatchurrahman Bengkulah


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

MANAJEMEN PENGELOLAAN SAMPAH BERKELANJUTAN MELALUI INOVASI “ECOBRICK” OLEH PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Taufiq Fatchurrahman Bengkulah on 22 May 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


EKOLOGI PEMERINTAHAN

MANAJEMEN PENGELOLAAN SAMPAH BERKELANJUTAN MELALUI


INOVASI “ECOBRICK” OLEH PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

Dosen Pengampu:

Eko Priyo, P, S.IP., M. Res., Ph.D.

Oleh:

M. Taufiq Fatchurrahman

(20150520214)

ILMU PEMERINTAHAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2018
MANAJEMEN PENGELOLAAN SAMPAH BERKELANJUTAN MELALUI
INOVASI “ECOBRICK” OLEH PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

Oleh Muhammad Taufiq Fatchurrahman (20150520214)

Email: Muhammad.taufiq.2015@fisipol.umy.ac.id

PENDAHULUAN

Permasalahan global sehubungan dengan masa depan perkotaan beberapa di


antaranya adalah permasalahan lingkungan. Wati dalam (Haris & Purnomo, 2017)
menyebutkan ada dua jenis faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup,
dua jenis tersebut, yaitu: 1. Kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh
faktor alam, bentuk bencana alam yang menimbulkan dampak rusaknya lingkungan
hidup. 2. Kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh faktor manusia.
Manusia sebagai mahluk hidup yang menguasai lingkungan hidup di bumi memiliki
peran besar dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Beberapa
permasalahan lingkungan yang di hadapi oleh Kota Yogyakarta adalah jumlah
penduduk miskin dan jumlah sampah perkotaan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta
(BPS DIY), Kota Yogyakarta termasuk kota yang sukses dalam menurunkan
jumlah kemiskinan dan jumlah sampah perkotaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa
tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun semakin
membaik. Sedangkan untuk berkurangnya jumlah sampah, dapat dikatakan bahwa
kebijakan pemerintah selama ini telah berhasil dalam mengatasi permasalahan
sampah di Kota Yogyakarta sesuai dengan hasil temuan Mulasari dkk (Mulasari,
Husodo, & Muhadjir, 2016)

1
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin, Produksi dan Volume Sampah per Hari

di Kota Yogkarta dari Tahun 2012-2015

Tahun Jumlah
No. Indikator
2012 2013 2014 2015 (Total)
1 Jumlah Penduduk Miskin (000) 37,43 35,62 35,60 35,98 144,63
2 Sampah Organik (m3) 535,50 523,22 513,34 512,82 3.120,50
3 Sampah Anorganik (m3) 367,00 371,00 366,66 384,18 2.084,88
3
4 Jumlah Sampah (m ) 902,50 746 742 730 1.488,84

(Sumber: https://yogyakarta.bps.go.id/)
Masyarakat perkotaan identik dengan gaya hidup seperti tingginya kesadaran
terhadap isu kesehatan dan kebugaran, bertambahnya kesadaran diri terkait
pentingnya perilaku ramah lingkungan, harusnya berimplikasi terhadap perilakunya
dalam membeli produk-produk ramah lingkungan atau produk hijau, yang nantinya
akan menyebabkan berkurangnya jumlah sampah di perkotaan. Namun lain halnya
di Kota Yogyakarta, berdasarkan tabel di atas, jumlah sampah organik memang
berkurang, tetapi sampah anorganik semakin bertambah. Hal ini mengindikasi
bahwa perilaku ramah lingkungan masyaraka Kota Yogyakarta masih rendah, yaitu
dalam hal membeli produk hijau. Fenomena ini memperjelas kembali hasil
penelitian terdahulu yang menjelaskan bahwa tingginya kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan tidak cukup berpengaruh terhadap perilaku membeli produk
hijau, dengan alasan harga produk hijau relatif mahal dibandingkan dengan produk-
produk konvensional. (Junaedi, 2005)
Dalam kondisi tingkat kesejahteraan yang semakin membaik, didukung
tingginya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya perilaku ramah lingkngan,
harusnya bukan menjadi penghambat bagi masyarakat untuk dapat berperilaku
ramah lingkungan, terutama dalam hal membeli produk hijau. Hal ini sesuai dengan
hasil temuan (Ali, 2013), yang menyatakan bahwa nilai dan gaya hidup memiliki
pengaruh positif pada perilaku ramah lingkungan, salah satunya yaitu berkemauan
membayar lebih untuk produk ramah lingkungan. Akan tetapi, realita di Kota
Yogyakarta seperti yang disebutkan sebelumnya tidaklah demikian. Produksi
sampah anorganik atau plastik terus mengalami peningkatan (lihat tabel 1).

2
Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta,
menyebutkan bahwa pada tahun 2016, angka pembuangan sampah yang dihasilkan
rumah tangga mencapai 6.600 ton atau 220 ton per hari. Jumlah sampah ini juga
bisa mencapai 240 ton per hari terutama pada masa-masa liburan dan dibanjiri oleh
wisatawan (dalam http://jogja.tribunnews.com/2016/12/14/kota-yogyakarta-
hasilkan-220-ton-sampah-per-hari, diakses 2 Mei 2018). Penurunan jumlah sampah
yang sangat drastis jika dibandingkan dengan data-data seperti yang telah
disebutkan sebelumnya (lihat tabel 2).

Tabel 2. Data Volume Sampah Per Hari Per Kecamatan Tahun 2013-2015 di
Kota Yogyakarta

Volume TPSS (m3/hari)


No. Kecamatan
2013 2014 2015
1 Umbulharjo 100 67 70
2 Kotagede 70 70 70
3 Gondokusuman 151 172 169
4 Jetis 28,5 34 32
5 Tegalrejo 92 96 96
6 Gedongtengen 44 46 46
7 Gondomanan 15 29 29
8 Pakualaman 12 12 12
9 Kraton 49 30 20
10 Mergangsan 54 54 54
11 Wirobrajan 38 38 38
12 Mantrijeron 22 62 26
13 Ngampilan 22 20 20
14 Danurejan 48 48 48
Jumlah Total 746 742 730

(sumber: http://lingkungan hidup.jogjakota.go.id/page/index/basis-data)

Tabel di atas sangat jelas menunjukkan terjadinya penurunan jumlah sampah


di Kota Yogyakarta. Akan tetapi, terlihat juga bahwa penurunan jumlah sampah
secara`signifikan hanya terjadi di Kecamatan Kraton. Sementara, untuk lima
kecamatan seperti Kecamatan Kotagede, Pakualam, Mergangsan, Wirobrajan, dan
Danurejan tidak mengalami perubahan jumlah sampah atau konstan. Sedangkan
sisanya, di sembilan kecamatan jumlah sampah naik turun dan bahkan mengalami
peningkatan pada tahun terakhir. Hemat penulis, kebijakan pemerintah dalam

3
mengatasi permasalahan sampah selama ini, masih setengah hati dan belum merata.
Hal ini sesuai dengan penelitian Mulasari (Mulasari et al., 2016), yang menyatakan
bahwa cakupan pelayanan persampahan yang dilakukan BLH Kota Yogyakarta
baru mencapai 85% disebabkan karena keterbatasan sumber daya dan anggaran.

Kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengatasi permasalahan


sampah yang belum merata ini berimplikasi terhadap prestasi yang diraihnya.
Selama empat tahun berturut-turut Kota Yogyakarta tidak memperoleh Adipura
lagi. Selain itu, Pemkot Yogyakarta juga terlihat masih sangat bergantung pada
TPA Piyungan. Hal ini terbukti dengan diadakannya perpanjangan kontrak terhadap
TPA Piyungan yang harusnya sudah berhenti beroperasi dan adanya rencana
perluasan TPA hingga 2,5 hektare, karena TPA telah over kapasitas sejak 2013 lalu.
Dan berdasarkan data terbaru juga menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta masih
menjadi penyumbang sampah terbesar di TPA Piyungan (lihat tabel 3).

Tabel 3. Data Timbangan TPA Piyungan Tahun 2016

(sumber: http://lingkungan hidup.jogjakota.go.id/page/index/basis-data)

Selain itu, Kota Yogyakarta kini kembali dihadapkan dengan permasalahan


sampah plastik. Hal ini disebabkan karena di beberapa tempat atau sumber produksi
sampah, seperti di Pasar Bringharjo dan Pasar Gedongkuning, para petugas
pengangkut sampah sudah lebih dulu menyingkirkan sampah organik (buah, sayur,
maupun bonggol pisang) untuk dimanfaatkan sebagai pakan sapi mereka (dalam

4
http://jogja.tribunnews.com/2017/09/07/petugas-kebersihan-pemkot-yogyakarta-i
ni-angkuti-sampah-sambil-berburu-pakan-sapi, diakses 2 Mei 2018). Semen-tara,
sisanya yang dominan berupa sampah anorganik diangkut ke TPA Piyungan.
Peningkatan jumlah sampah plastik tersebut menjadi permasalahan urgent dan
membutuhkan perhatian yang serius dari berbagai kalangan atas berbagai macam
pertimbangan. Beberapa di antaranya, pertama berdasarkan sifatnya yang sulit
terurai di tanah hingga ratusan tahun lamanya, sampah plastik juga mengindikasi
pencemaran air dan munculnya zat kimia yang dapat mencemari tanah sehingga
berkurang tingkat manfaat dan kesuburannya. Selain itu, dominasi sampah plastik
yang disetor ke TPA Piyungan telah menyebabkan sampah plastik menjadi pakan
sapi, sehingga sapi-sapi kini berada pada status waspada karena sudah tercemar
logam berat dan menimbulkan bahaya pada kesehatan manusia yang mengonsumsi
dagingnya.

Hingga pada akhirnya, Pemerintah Kota (DLH Kota Yogyakarta) pun


mencoba untuk menerapkan konsep ecobrick sebagai suatu sistem pengelolaan
sampah plastik berkelanjutan. Dengan memanfaatkan botol ukuran 600 mililiter
yang mampu diisi dengan 250 sampah plastik, sampah plastik ini bisa disulap
menjadi kursi, meja, bangku, bahkan menjadi bahan konstruksi seperti rumah.
Adapun berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan DLH Kota Yogyakarta, hasil
botol-botol ecobriks yang telah jadi sebanyak 6 ribu botol ecobriks dengan volume
sampah 1,5 ton akhirnya tidak dibuang ke TPA Piyungan (dalam www.
ecobricks.org/wp-content/uploads/2016/06/JogjaPressReleasecopy.pdf, diakses 3
Mei 2018). Selain itu, harapannya konsep ecobrick ini dapat menjadi peluang usaha
sanitasi baru bagi masyarakat. Meskipun dalam realitanya terbilang program yang
baru dan masih banyak kendala dalam penerapannya, dengan konsep yang sangat
sederhana dan hasil yang fantastik, mendorong pemerintah untuk tetap optimmis
dan terus berupaya untuk menggalakkan program ecobrick ini.

Kompleksitas permasalahan sampah mulai dari permasalahan di hilir,


permasalahan proses, hingga permasalahan di hulu tampak sangat jelas. Sebagus

5
apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah, tidak akan dapat berjalan optimal
jika tidak didukung dengan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Kebijakan
yang pernah diterapkan oleh pemerintah Kota Yogyakarta (Badan Lingkungan
Hidup) dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 dan Perda
Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2002 sesuai dengan temuan Mulasari (Mulasari
et al., 2016), kebijakan pengelolaan sampah yang diberlakukan meliputi
pengumpulan dan pengangkutan sampah. Dapat dilihat bahwa saat itu, kebijakan
pengelolaan sampah oleh pemerintah belum sampai pada tahap upaya pengurangan
sampah sesuai dengan asas-asas pengelolaan sampah yang termuat dalam Peraturan
Daerah Pengelolaan Sampah Kota Yogyakarta terbaru, yaitu Perda Kota
Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah. Dari penjelasan
diatas maka penulis akan membahas terkait manajemen dan strategi pengelolaan
sampah berkelanjutan melalui inovasi “ecobrick” oleh pemerintah Kota Yogyakarta
serta mencari tahu kendala yang dihadapi dalam menerapkan program “ecobrick”
di Kota Yogyakarta.

PEMBAHASAN

1. Manajemen Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Melalui Inovasi Ecobrick

Kebijakan yang pernah diterapkan oleh pemerintah Kota Yogyakarta (Badan


Lingkungan Hidup) dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
dan Perda Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2002. Sesuai dengan temuan
(Mulasari et al., 2016), kebijakan pengelolaan sampah yang diberlakukan meliputi
pengumpulan dan pengangkutan sampah. Dapat dilihat bahwa saat itu, kebijakan
pengelolaan sampah oleh pemerintah belum pada sampai pada tahap upaya
pengurangan sampah sesuai dengan asas-asas pengelolaan sampah yang termuat
dalam Peraturan Daerah Pengelolaan Sampah Kota Yogyakarta terbaru, yaitu Perda
Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah.

6
Dalam permasalahan sampah, selain berfokus pada perilaku masyarakat dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya, pemerintah juga memiliki kewajiban dalam
upaya pengelolaan sampah. Adapun peran pemerintah tersebut bisa berupa kebijkan
atau program pengelolaan sampah seperti penelitian yang dilakukan oleh (Mulasari
et al., 2016) Namun, hasil temuan ini juga mengungkapkan bahwa, sejauh ini
khususnya pemerintah Kota Yogyakarta, kebijakan pengelolaan sampah plastik
masih sebatas kebijakan pengumpulan dan pengangkutan sampah, sama halnya
juga dengan kebijakan pemerintah di seluruh Kabupaten di Daerah Istimewa
Yogyakarta seperti Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Belum ada
upaya pengelolaan sampah yang arahnya pada usaha untuk mengurangi produksi
sampah atau mengelola sampah menjadi barang yang bermanfaat dan bernilai tinggi
sesuai dengan tujuan yang termuat dalam Perda Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun
2012 Tentang Pengelolaan Sampah.
Dalam Peraturan Daerah Pengelolaan Sampah tersebut telah disebutkan
bahwa pengelolaan sampah mandiri adalah pengelolaan sampah yang dilakukan
oleh masyarakat baik secara individu maupun berkelompok di tingkat sumber.
Sumber sampah yang dimaksudkan di sini ialah asal timbulan sampah itu sendiri.
Jika diamati lebih jauh, sebenarnya Perda Pengelolaan Sampah ini memperlihatkan
adanya perubahan paradigma dalam cara pandang dan pengelolaan terhadap
sampah. Sampah yang dulunya dianggap sebagai sesuatu yang harus dibuang atau
tidak berguna lagi. Kini dengan perubahan paradigma yang ada, sampah ini
dipandang sebagai potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan bernilai jual
tinggi apabila dapat dikelola dengan baik.
Perubahan paradigma ini diharapkan menjadi suatu langkah yang efektif
dalam mengurangi biaya pengumpulan, pengangkutan, dan pengolahan limbah. Hal
ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan Apinhapath dalam penelitian (Gusti,
Isyandi, Bahri, & Afandi, 2015) pada siswa sekolah dasar yang mana sikap atau
perilaku pengelolaan sampah secara berkelanjutan didefinisikan sebagai upaya-
upaya untuk;
1. Mengurangi sampah (reduce).

7
2. Menggunakan kembali barang yang masih layak pakai (reuse).
3. Mendaur ulang sampah (recycle), dan
4. Mengubah sampah menjadi sumber energy (waste to energi).

Perubahan paradigma ini juga diperjelas dalam tujuan pengelolaan sampah


sesuai dengan tujuan yang diamanatkan Perda Pengelolaan Sampah, yaitu untuk:

1. Membudayakan kebersihan dan keindahan di seluruh wilayah Kota


Yogyakarta.
2. Meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan.
3. Menjadikan sampah sebagai sumber daya.
4. Memberikan nilai tambah untuk kegiatan ekonomi produktif, kreatif dan
mandiri berorientasi pasar.
5. Memberdayakan masyarakat untuk pengelolaan sampah mandiri.
6. Memberikan daya Tarik wisata di daerah, dan
7. Mengurangi kuantitas sampah dan dampak yang ditimbulkan oleh sampah.

Dengan demikian, baik itu pemerintah daerah, masyarakat, maupun pelaku


usaha memiliki tanggung jawab untuk mengelola sampah yang timbul dari
aktivitasnya sehari-hari. Dalam hal ini, khususnya pemerintah daerah Kota
Yogyakarta memiliki tugas untuk menjamin terselenggaranya dan tercapainya
tujuan dalam pengelolaan sampah atau limbah yang baik serta berwawasan
lingkungan sesuai dengan tujuan yang termuat dalam Peraturan Daerah Pengelolaan
Sampah Kota Yogyakarta. Dan dalam rangka mencapai tujuan ini, pemerintah
mulai tahun 2015 telah mengupayakan penerapan ecobrick sebagai suatu sistem
pengelolaan sampah berkelanjutan.

Dalam rangka mencapai tujuan seperti yang termuat dalam Perda Pengelolaan
Sampah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pemerintah Kota Yogyakarta
telah mengupayakan berbagai macam bentuk program kebijakan dalan mengatasi
permasalahan sampah. Adapun salah satu bentuk kebijakannya yang terbaru sejak
tahun 2015 lalu ialah melalui program ecobrick yang diadopsi dari hasil pemikiran

8
Russel Maier, seorang pemerhati lingkungan asal Kanada. Program ecobrick ini
merupakan wujud komitmen Pemerintah khususnya Dinas Lingkungan Hidup Kota
Yogyakarta dalam mengatasi permasalahan sampah plastik di Kota Yogyakarta.

Dalam sejarahnya, Yogyakarta menjadi Kota pertama di dunia yang secara


formal mengadopsi ecobricking sebagai strategi pemerintah untuk mengatasi
persoalan sampah plastik di kota. Hala ini seperti yang disampaikan oleh salah satu
pemimpin utama gerakan ecobrick dunia yaitu Russel Maier. Russel yang
merupakan seorang desainer regeneratif dari Kanada ini telah mengembangkan
teknologi ecobrick sejak tahun 2012 di Philippines dan Bali. Keahliannya adalah
memicu ecobricking menjadi gerakan komunitas, kota dan Negara. Ecobrick adalah
suatu sistem untuk mengelola dan menggunakan ulang sampah plastik.

Ecobrick berasal dari dua kata dalam bahasa inggris, yaitu “ecology” dan
“brick”. Di mana ecology menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan
(kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Sedangkan brick berarti bata, batu, batu
merah/tembok, dan bisa juga berarti orang yang baik atau menembok. Dua kata ini
jika digabungkan menjadi “ecobrick” yang berarti bata ramah lingkungan.
Ecobrick adalah teknik pengelolaan sampah plastik yang terbuat dari botol-botol
plastik bekas yang di dalamnya telah diisi berbagai sampah plastik hingga penuh
kemudian dipadatkan sampai menjadi keras. Setelah botol penuh dan keras, botol-
botol tersebut bisa dirangkai dengan lem dan dirangkai menjadi meja, kursi
sederhana, bahan bangunan dinding, menara, panggung kecil, bahkan berpotensi
untuk dirangkai menjadi pagar dan fondasi taman bermain sederhana bahkan rumah
(dalam www.ecobricks.org/wp-content/uploads/2016/06/JogjaPressReleasec
opy.pdf, diakses 3 Mei 2018).

Program ecobrick sebagai suatu sistem pengelolaan sampah berkelanjutan,


dengan cara yang sederhana dan bahan yang terjangkau diharapakan dapat
meningkatkan partisipasi maysarakat dalam pengelolaan sampah berkelanjutan.

9
Tidak hanya itu, program ecobrick ini jika dilakukan secara konsisten dan serius,
program ini berpotensi menghasilkan daya tarik tersendiri khususnya di bidang
pariwisata.

2. Strategi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam Mengoptimalkan Penerapan


Program Ecobrick
Dalam rangka mengoptimalkan penerapan program ecobrick di Kota
Yogyakarta, ada beberapa upaya strategis yang dilakukan oleh pemerintah melalui
Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta
(http://lingkunganhidup.jogjakota.go.id), yaitu:
a. Bekerjasama dengan Bank Sampah dalam pembuatan program ecobrick
dengan memanfaatkan sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang.
b. Pembuatan program ecobrick dalam ratusan workshop telah menghasilkan
2.385 ecobrick.
c. Memperkenalkan program ecobrick ke sekolah-sekolah.
d. Memperkenalkan hasil ecobrick dengan membawanya ke ruang-ruang
publik.
e. Kegiatan pelatihan kepada 18 trainer yang selanjutnya beberapa kali putaran
melakukan workshop di seluruh kelurahan dan menjangkau 405 Bank
Sampah di Kota Yogyakarta.
Dari strategi yang ada, pada tahun 2016 lalu, sebanyak 1,5 ton plastik sudah
masuk ecobrick. Jumlah ini diperkirakan sama dengan jumlah plastik yang
menumpuk di area sepanjang 100 meter dan lebar 100 meter dengan tinggi 30 cm.

3. Kendala dalam Penerapan Program Ecobrick di Kota Yogayakarta


Program ecobrick merupakan sebuah kebijakan baru yang dalam
implementasinya sudah pasti memiliki banyak hambatan atau kendala selama tiga
tahun berjalan sejak diluncurkan pertama kalinya. Beberapa kendala dalam
pengimplementasian program ecobrick ini, yaitu:

10
a. Sosialisasi program ecobrick belum dilakukan secara merata di seluruh
daerah Kota Yogyakarta. Sosialisasi ini masih berkisar di tempat-tempat
tertentu seperti sekolah dan tempat-tempat publik lainnya. Sementara, untuk
tempat-tempat yang berpotensi mengasilkan sampah plastik seperti Kali
Code, TPS legal dan TPS ilegal Kota Yogyakarta belum terlihat upaya yang
serius dari pemerintah.
b. Sasaran sosialisasi program ecobrick belum menjangkau masyarakat secara
merata. Sosialisasi yang dilakukan hingga kini terlihat hanya berfokus pada
kelompok berpendidikan yang pada dasarnya memiliki tingkat kesadaran
tinggi dalam mengelola lingkungan.
c. Budaya lingkungan yang berkembang di masyarakat masih rendah. Hal ini
terbukti dari hasil wawancara dengan beberapa warga Kota Yogyakarta
tentang perilaku ramah lingkungan terutama dalam hal niat dan minat
membeli produk hijau. Dari hasil wawancara langsung tersebut, pak Supari
sebagai salah satu warga Kota Yogyakarta menyatakan bahwa dia kurang
berminat dalam membeli produk hijau, seperti botol minuman (tupperware)
yang harganya rata-rata di atas Rp 50.000,-. Selain itu, untuk pembelian
produk hijau lainnya seperti sepeda, beberapa siswa bahkan mahasiswa lebih
memilih untuk membeli dan menggunakan sepeda motor dengan alasan demi
efisiensi waktu, meskipun harganya terbilang lebih mahal dari sepeda.

KESIMPULAN

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2012 Tentang


Pengelolaan Sampah telah mengamanahkan adanya perubahan paradigma dalam
cara pandang dan pengelolaan terhadap sampah. Di mana manajemen pengelolaan
sampah berkelanjutan ini terdiri dari upaya-upaya untuk mengurangi sampah
(reduce), menggunakan kembali barang yang masih layak pakai (reuse), mendaur
ulang sampah (recycle), dan mengubah sampah menjadi sumber energy (waste to
energi). Adapun kebijakan pengelolaan sampah berkelanjutan yang baru-baru ini

11
diterapkan oleh pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup
adalah program ecobrick. Ecobrick adalah teknik pengelolaan sampah plastik yang
terbuat dari botol-botol plastik bekas yang di dalamnya telah diisi berbagai sampah
plastik hingga terisi penuh dan padat. Setelah botol penuh dan keras, botol-botol
tersebut akan dirangkai mengunakan lem menjadi beberapa peralatan seperti meja,
kursi sederhana, bahan bangunan dinding, menara, panggung kecil, bahkan
berpotensi untuk dirangkai menjadi pagar dan fondasi taman bermain sederhana
bahkan rumah.

Upaya strategis pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka optimalisasi


penerapan program ecobrick ini ditempuh dengan cara seperti dengan bekerjasama
dengan Bank Sampah dalam pembuatan program ecobrick, pembuatan program
ecobrick dalam ratusan workshop, memperkenalkan program ecobrick ke sekolah-
sekolah, memperkenalkan dan membawa hasil ecobrick ke ruang public, dan
kegiatan pelatihan pembuatan ecobrick. sementara, kendala dalam penerapan
ecobrick ialah belum dilakukannya sosialisasi secara merata dan sasaran sosialisasi
yang belum menjangkau masyarakat secara merata, serta budaya lingkungan
masyarakat yang masih rendah.

RREFERENSI

Buku

Flick, U. d. (2017). Buku Induk Penelitian Kualitatif: Pradigma, Teori, Metode,


Prosedur, dan Praktik. Diterjemahkan oleh: Achmad Fawaid. Yogyakarta:
Cantrik Pustaka.
Tanjung, B. N., & Ardial. (2005). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta:
Prenadamedia Group.

Jurnal

Ali, S. (2013). Prediksi Perilaku Ramah Lingkungan yang Dipengaruhi oleh Nilai
dan Gaya Hidup Konsumen. Jurnal Administratio. Vol. 1. No. 1.

12
Arifian, I. S., & Fauzie, M. M. (2017). PEMANFAATAN MODEL TEMPAT
SAMPAH BERVIDEO SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, 8(4), 151–157.
Dirgantara, I. M. B. (2013). Pengetahuan Mendaur Ulang Sampah Rumah
Tangga. Jurnal Studi Manajemen & Organisasi, 10(1), 1–12.
Gusti, A., Isyandi, B., Bahri, S., & Afandi, D. (2015). Faktor Determinan Intensi
Perilaku Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Pada Siswa Sekolah Dasar.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 9(2), 65.
https://doi.org/10.24893/jkma.9.2.65-72.2015
Haris, A. M., & Purnomo, E. P. (2017). Implementasi CRS (Corporate Social
Responsibility) PT. Agung Perdana Dalam Mengurangi Dampak Kerusakan
Lingkungan (Study Kasus Desa Padang Loang, Seppang dan Desa
BijawangKec. Ujung LoeKab. Bulukumba). Journal of Governance and
Public Policy, 3(2), 203–225.
Junaedi, M. F. S. (2005). Pengaruh Kesadaran Lingkungan Pada Niat Beli Produk
Hijau : Studi Perilaku Konsumen Berwawasan Lingkungan. Benefit, 9(2),
189–201.
Mulasari, A., Husodo, A. H., & Muhadjir, N. (2016). Analisis Situasi
Permasalahan Sampah Kota Yogyakarta Dan Kebijakan Penanggulangannya.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(2), 97–106.
Posmaningsih, A. D. A. (2016). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH
PADAT DI DENPASAR TIMUR Dewa. Jurnal Skala Husada, 13(1), 59–
71.
Purnama, H., & Yuriandala, Y. (2010). Studi Pemanfaatan Sampah Plastik
Menjadi Produk dan Jasa Kreatif. Jurnal Sains & Teknologi Lingkungan,
2(1), 21–31.
Yuanjaya, P. (2015). Modal Sosial dalam Gerakan Lingkungan: Studi Kasus di
Kampung Gambiran dan Gondolayu Lor, Kota Yogyakarta. Natapraja, 3(1),
57–72. Retrieved from
http://journal.uny.ac.id/index.php/natapraja/article/view/11958

Undang-Undang
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan
Sampah.
Internet
Http://jogja.tribunnews.com/2016/12/14/kota-yogyakarta-hasilkan-220-ton-s
ampah-per-hari, pada 2 Mei 2018,pukul 15.06 WIB.
Https://Yogyakarta.Bps.Go.Id/, pada 2 Mei 2018, pukul 15.33 WIB.
Http://LingkunganHidup.Jogjakota.Go.Id/Page/Index/Basis-Data, pada 2 Mei
2018, pukul 15.13 WIB.

13
Http://jogja.tribunnews.com/2017/09/07/petugas-kebersihan-pemkot-yogyak arta-
ini-angkuti-sampah-sambil-berburu-pakan-sapi. pada 3 Mei 2018, pukul
15.13 WIB.
Www.Ecobricks.Org/Wp-Content/Uploads/2016/06/Jogjapressreleasecopy.Pdf,
pada 3 Mei 2018, pukul 20.44 WIB.

14

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai