Anda di halaman 1dari 25

A.

Pengertian
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut beberapa
ahli adalah :
1. BPH merupakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan
tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi
uretra dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih
dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan
Wilson, 2006).
2. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih
yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi
dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan
obstruksi urine (Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
merupakan penyakit pembesaran prostat yangdisebabkan oleh proses penuaan, yang biasa
dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung
kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan
perkemihan.

B. Tahapan Perkembangan Penyakit BPH


Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan Dejong (2005) secara
klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan
prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas dapat
dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-100 ml.
Derajat 3: Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba
dan sisa volum urin lebih dari100ml.
Derajat 4: Apabila sudah terjadi retensi urine total
C. Anatomi dan Fisiologi Prostat
1. Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih,
mengelilingi uretra posterior dan di sebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli,
sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital
yang sering disebut sebagai otot dasar panggul.
Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos. Prostat dibentuk
oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh capsula fibrosa
dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara fascia prostatica dan
capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi anyaman vena yang disebut plexus
prostaticus. Fascia prostatica berasal dari fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia
superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh
ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan lebar
dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari fascia rectalis di
belakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat ( Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30-50 kelenjar yang terbagi
atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus medial. Lobus
posterior yang terletak di belakang uretra dan di bawah duktus ejakulatorius, lobus lateral
yang terletak di kanan uretra, lobus anterior atau isthmus yang terletak di depan uretra
dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus sinistra, bagian ini tidak mengandung
kelenjar dan hanya berisi otot polos, selanjutnya lobus medial yang terletak diantara
uretra dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian
yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol ke dalam vesica urinaria
bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin
pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah kenari
besar. Ukuran panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3
cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan
kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma (penyangga) dan kapsul/ muskuler (Hidayat,
2009).
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus
atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis
dan simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi
kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran
cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik
memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Di
tempat itu terdapat banyak reseptor adrenergik. Rangsangan simpatik menyebabkan
dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami
pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat menyumbat uretra
posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
2. Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung
kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti.
Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka
terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami
hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah.
Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja
pada pH 5.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat alkalis.
Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase serta
fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi
bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar bercampur dengan
semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume cairan ejakulat dan berfungsi
memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar spermatozon tidak cepat mati di
dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan
melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan
bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih
25% dari seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan
dapat melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma
tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5
akibatnya mungkin bahwa cairan prostat menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut
setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo
dan Paryana, 2009 ).

D. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/ penyebab terjadinya BPH,
namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang,
akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadiannya sekitar 80%, dan usia 90
tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011).
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi
penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi,
Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel
(apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisistestis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat merupakan faktor terjadinya penetrasi DHT
ke dalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5 alfa –
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar
estrogen relatif tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosteron
relatif meningkat. Hormon estrogen di dalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen,
dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron meningkat, tetapi sel-sel prostat
telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-
sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth faktor. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
faktor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin,
serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien
dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma
karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis
oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan
normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat
terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel
prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa
prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Di dalam kelenjar
prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
hormon androgen, sehingga jika hormon androgen kadarnya menurun, akan terjadi
apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

E. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam
prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik
terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-
beda. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor
disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/ terjadi dekompensasi
sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan
sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak
deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus
(intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai
berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya
mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa
vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval di
setiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih/disuria
( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau
hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan di
dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan
mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

F. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih. Menurut Purnomo (2011), tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada
saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar
saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan di kandung kemih sehingga
urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah,
Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan di pinggang (merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada
pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri
tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan
gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

G. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk
mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk
menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Anjurkan
pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama)
untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik
pasien dianjurkan untuk melakukan kontrol keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa
kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan
mengukur residual urin dan pancaran urin :
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara
melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah
miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi
dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH
adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi
tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker
(penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormon testosteron/
dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
diantaranya: penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase,
fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau
yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/ hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/ hari. Penggunaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena
secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot
polos ditrigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi
di daerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju
pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga
gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat.
Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah.
Ada obat-obat yang menyebabkan eksaserbasi retensi urin maka perlu dihindari
seperti anti kolinergenik, anti depresan, transquilizer, dekongestan, obat-obat ini
mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2) Penghambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pembentukan DHTsehingga prostat yang membesar
akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan
manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan
karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit atau 28 % dari keluhan pasien
setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus-menerus, hal ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini
diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/ Fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya
misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoarepeus dll. Afeknya diharapkan
terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan
pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan
fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu
penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi :
pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa
digunakan adalah :
1) Prostatektomi Suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi
dibuat di dalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Teknik
demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi
yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak
dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi
abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
2) Prostatektomi Perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam
perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguna untuk biopsy terbuka. Pada
periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan
dekat dengan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah
inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi Retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah
mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkuspubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang
terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat
dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat
terjadi di ruang retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan
dengan memakai tenaga elektrik diantaranya :
1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar
prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar
daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-
gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr. Tindakan ini
dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang
langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.
Irigasi kandung kemih secara terus-menerus dilaksanakan untuk mencegah
pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan
atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal di rumah sakit lebih
singkat. Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme
kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas
(Baradero dkk, 2007).
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila
volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan
TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/ kecil (30
gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukkan instrumen
ke dalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral.
Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%)
(Smeltzer dan Bare, 2002).
3) Terapi invasif minimal
Menurut Purnomo (2011) terapi invasif minimal dilakukan pada pasien dengan
resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan.Terapi invasif minimal diantaranya
Transurethral MicrovaweThermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation
(TUBD), Transuretral Needle Ablation/ Ablasi jarum Transuretra (TUNA),
Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini
hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara
pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra parsprostatika,
yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara
lain prostat.
b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi
(pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon
yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan
prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan
gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementara, sehingga cara ini sekarang
jarang digunakan.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari
frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani
TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi
retensi urine (Purnomo, 2011).
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra prostatika
untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu supaya uretra
prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra
prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin
menjalani operasi karena resiko pembedahanyang cukup tinggi.

H. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi.
2. Infeksi saluran kemih.
3. Involusi kontraksi kandung kemih.
4. Refluk kandung kemih.
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan
tekanan intra vesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi.
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan
dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula
menimbulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi pasien
harus mengejan.
I. Pengkajian Fokus
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH merujuk pada
teori menurut) Tucker dan Canobbio (2008) ada berbagai macam, meliputi :
a. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki
resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status sosial ekonomi memiliki
peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki
pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaannya mengangkat barang-barang
berat memiliki resiko lebih tinggi.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien BPH keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi, nokturia, urgensi, disuria,
pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit memulai miksi),
intermiten (kencing terputus-putus),dan waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi
retensi urine.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji apakah memiliki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat mengalami
kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat/ hernia sebelumnya.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH.
e. Pola Kesehatan Fungsional
1) Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu,
menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia),
kekuatan sistem perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengejan untuk mulai
atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang defekasi, apakah ada
kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat ke dalam rectum.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Kaji frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap hari,
jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti
anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
3) Pola Tidur dan Istirahat
Kaji lama tidur pasien, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi
yang sering pada malam hari (nokturia).
4) Nyeri/ kenyamanan
Nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah
5) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pasien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, penggunaan
alkohol.
6) Pola Aktifitas
Tanyakan pada pasien aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu
senggang, kebiasaan berolahraga. Pekerjaan mengangkat beban berat. Apakah ada
perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi
tidak mengalami gangguan, dimana pasien masih mampu memenuhi kebutuhan
sehari–hari sendiri.
7) Seksualitas
Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksual akibat
adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan
pada prostat.
8) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan pasien
sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan pasien biasa cemas karena kurangnya
pengetahuan terhadap perawatan luka operasi.

f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada penderita BPH meliputi :
1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk
mengetahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa
anti mikroba.
b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4mg/ml
tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 mg/ml, hitunglah
prostates pecific antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15 maka
sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.
2) Radiologis/ Pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan
volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urin serta
untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak
berhubungan dengan BPH.
a) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu/ kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh
dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis akibat
kegagalan ginjal.
b) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya
kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis.
Dan memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya
indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter di bagian
distal yang berbentuk seperti mata kail (hookedfish) atau gambaran ureter
berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya
trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli-buli.
c) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa
masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli,
mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan
mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.
J. Pathway
Terlampir

K. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), Tucker dan Canobbio
(2008) adalah :
1. Pre Operasi
a. Retensi urin akut/ kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat
dan obstruksi uretra.
c. Ansietas/ cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi.
2. Post Operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik : bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan.
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (tindakan
pembedahan), reseksi bladder, kelainan profil darah.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari
pembedahan.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

L. Fokus Intervensi dan Rasional


Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), danTucker dan
Canobbio (2008) adalah:
1. Pre operasi
a. Retensi urin akut/ kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan: Tidak terjadi retensi urine
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengan
tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.
Intervensi:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 - 4 jam atau bila tiba-tiba dirasakan
Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih.
2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih, perhatikan
penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.
Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas,
yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya defisit aliran darah ke ginjal
menganggu kemampuannya untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
4) Lakukan perkusi/ palpasi suprapubik
Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik
5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari
Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan pemasukan dan
pengeluaran yang akurat
Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan
dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan ginjal total
7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.
8) Kolaborasi pemberian obat :
a) Supositorial rectal
Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui mukosa ke
dalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan relaksasi otot/
menghilangkan spasme.
b) Antibiotic dan anti bakteri
Rasional : digunakan untuk melawan infeksi
c) Fenoksibenzamin (Dibenzyline)
Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan merelaksasi otot
polos prostat dan menurunkan tahanan terhadap aliran urine.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat
dan obstruksi uretra.
Tujuan: nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien tampak rileks,
mampu untuk tidur dan istirahat dengan tepat
Intervensi:
1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/
keefektifan intervensi.

2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan


Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut.
Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan
menghilangkan nyeri kolik.
3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti, pijatan
punggung : membantu pasien melakukan posisiyang nyaman: mendorong
penggunaan relaksasi/ latihan nafas dalam: aktivitas terapeutik
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot
5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri ( analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian untuk
mengetahui keefektifitasnya.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi prosedur bedah.
Tujuan: pasien tampak rileks.
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan
rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi:
1) Damping pasien dan bina hubungan saling percaya.
Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.
2) Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
3) Dorong pasien/ orang terdekat untuk menyatakan masalah/ perasaan.
Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan
masalah.
4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan.
Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan
kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program
pengobatan.
Intervensi:
1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.

2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien.


Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
terapi.
3) Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit yang dideritanya.
4) Berikan penjelasan tentang tindakan/ pengobatan yang akan dilakukan.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk
menyembuhkan penyakitnya.
2. Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
Tujuan: Pasien berkemih dengan jumlah normal tanparetensi
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung kemih/
urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan : asupan sebanding dengan
haluaran.
Intervensi:
1) Kaji haluaran urine dan sistem drainase, khususnya selama irigasi berlangsung
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah,bekuan darah dan spasme
kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat
berlanjut sehingga menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral
dan kehilangan tonus.
4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam hari
setelah kateter dilepas.
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine
“penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/ gangguan tidur
selama malam hari.
5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder irrigation) atau
CBI sesuai indikasi pada periode pasca operasi.
Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan patensi kateter.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan, dan pemasangan kateter.
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil:
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang.
2) Ekspresi wajah pasien tenang.
3) Pasien akan menunjukkan keterampilan relaksasi.
4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10).
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih sekitar kateter
menunjukkan spasme kandung kemih.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
Rasional : Klien dapat mendeteksi gejala dini spasmus kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari
lekukan dan bekuan.
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem. Menurunkan
resiko distensi/ spasme kandung kemih.
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan spasme kandung
kemih.
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.
5) Kolaborasi pemberian antispasmodik contoh :
a) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan spasme dan
nyeri.
b) Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja anti kolinergik.
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (tindakan
pembedahan), reseksi bladder, kelainan profil darah.
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan.
2) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
3) Urine lancar lewat kateter.
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan
tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui tanda – tanda
perdarahan.
2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalam saluran kateter.
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan
perdarahan kandung kemih.

3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan
defekasi.
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan.
4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk
sekurang– kurangnya satu minggu.
Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan prostat.
5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi dipasang dan kapan traksi dilepas.
Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa
prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan.
6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan haluaran warna urine.
Rasional :Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat
mencegah kerusakan jaringan yang permanen.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi.
Kriteria Hasil:
1) Pasien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda syok.
Intervensi:
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2) Anjurkan intake cairan yang cukup (2500 – 3000) sehingga dapat menurunkan
potensial infeksi.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal.
3) Pertahankan posisi urine bag di bawah.
Rasional : Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke
kandung kemih.
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten akibat dari
pembedahan.
Tujuan: Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria Hasil: Menyatakan pemahaman situasional individu, menunjukan pemecahan
masalah dan menunjukkan rentang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi:
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya.
Rasional : Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur
radikal.
3) Diskusikan ejakulasi retro grade bila pendekatan transurethral/ suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan disekresikan melalui
urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan
dan menyebabkan urine keruh.
4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan interupsi/ continue aliran urin.
Rasional : meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urin dan fungsi
seksual.
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan.
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
1) Pasien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
2) Pasien mengungkapan sudah bisa tidur.
3) Pasien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Intervensi:
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara
untuk menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien sehingga mau kooperatif dalam
tindakan perawatan.
2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan.
Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat.
3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri/
analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa istirahat dengan cukup.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. H., (2009). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba Medika


Baradero, D. & Siswadi. 2007. Seri Asuhan keperawatan Klien GangguanSistem Reproduksi dan
Seksualitas. Jakarta: EGC.
Daniel S. W & Widjaya P.. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Singapura:Elsevier. Hal 445-451.
NANDA. (2012), Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi
Price, A. S & Wilson M. L., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit. Alih
Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC
Purnomo B. B. 2011, Dasar-Dasar Urologi, Edisi 3. 123-128. Jakarta : SagungSeto
Sjamsuhidajat R, de Jong W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Tucker, S. M., Canobbio, M. M., Paguette, Ev, Wells, MF, 2008, Standart Perawatan Pasien,
Edisi 5, Volume 4. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai