Anda di halaman 1dari 77

MAKALAH KEPERAWATAN PEMERIKSAAN FISIK MOTORIK,

MENINGEN, BRUDZINSKI I & II

Dosen pembimbing :Hafna Ilmy Muhalla

Nama Anggota

1. Rizky Arika Rahmadhani 201701035


2. Selvy Quthrotun Nada 201701036
3 .Suwandanu 201701037
4. Vila Vidia Lestari 201701025
5. Wa Uci Lauda 201701037
6. Dwi Anggraeni 201701040
7. Nur Laily 201701042
8. Yuninda Anggun S. 201701043
9. Ngatianingrum R.S 201701159
10. Marlina Batmomolin 201601197

STIKES BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO


S1 KEPERAWATAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan penyertaan-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “PEMERIKSAAN FISIK MOTORIK, MENINGEN,
BRUDZINSKI I &II ”

Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, dari semua
pihak demi kesempurnaan penyusunan makalah ini di masa yang akan datang.
Akhirnya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita
semua mengenai perilaku manusia.

Mojokerto, 22 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 80

1.1 Latar belakang ............................................................................. 80

1.2 Rumusan masalah ........................................................................ 80

1.3 Tujuan .......................................................................................... 81

BAB II LAPORAN PENDAHULUAN .................................................... 82

2.1 PEMERIKSAAN MOTORIK ..................................................... 82

2.1.1 PENILAIAN STATUS OTOT .............................................. 84

2.1.2 TONUS OTOT ...................................................................... 85

2.1.3 TENAGA OTOT ................................................................... 92

2.1.4 REFLEKS DALAM DAN REFLEKS SUPERFISIAL ...... 109

2.1.5 PEMERIKSAAN REFLEKS SUPERFISIAL .................... 119

2.1.6 REFLEKSI PATOLOGIK .................................................. 123

2.1.7 GERAKAN SEKUTU ......................................................... 131

2.1.8 GERAKAN SEKUTU PATOLOGIKDAN CARA

PEMERIKSAANYA .................................................................................. 132

2.1.9 GERAKAN DISKOORDINATIF DAN CARA

PEMERIKSAANNYA ................................................................................ 139

iii
2.2 PEMERIKSAAN FISIK MENINGEN ..................................... 146

2.2.1 TANDAMENINGEAL ....................................................... 146

2.2.2 PROSEDURPEMERIKSAAN ............................................ 147

BAB III PENUTUP ................................................................................ 151

3.1 KESIMPULAN ......................................................................... 151

3.2 SARAN ..................................................................................... 151

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ iv

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Segala aktifitas susunan saraf pusat yang dilihat, didengar dan direkamdan yang
diperiksa adalah berwujud gerak otot. Otot-otot skeletal dan neuron-neuron yang
menyusun susunan neuromuskular voluntar adalah sistem yangmengurus dan
sekaligus melaksanakan gerakan yang dikendalikan oleh kemauan. Sebagian besar
manifestasi kelainan saraf bermanifestasi dalam gangguan gerakotot. Manifestasi
obyektif inilah yang merupakan bukti nyata adanya suatu kelainan atau penyakit.

Secara anatomi sistem yang menyusun pergerakan neuromuskulartersebut terdiri


atas unsur saraf yang terdiri dari (1) Neuron tingkat atas atau‘upper motor neuron
(UMN)’ (2) Neuron tingkat bawah atau ‘lower motorneuron (LMN)’ dan unsur
muskul/otot yang merupakan pelaksana corag geraka yang terdiri dari (3) Alat
penghubung antara saraf dan unsur otot ‘motor endplate’ dan (4) Otot.
Gaya saraf yang disalurkan melalui lintasan-lintasan neuronal adalahpotensial
aksi, yang sejak dulu dijuluki impuls dan tidak lain berarti pesan.Danimpuls yang
disampaikan tersebut menghasilkan gerak otot yang kita sebutimpuls motorik.
Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik ke LMNtergolong ke dalam
kelompok UMN. Berdasarkan perbedaan anatomik danfisiologik, kelompok UMN
dibagi ke dalam susunan saraf pyramidal dan susunansaraf ekstrapyramidal.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana urutan pemeriksaan fisik motorik?

2. Bagaimana pemeriksaan tonus otot?

3. Bagaimana cara pemeriksaan fisik motorik, meningen dan

brudzkinski?

0
1.3 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana urutan pemeriksaan fisik motorik.

2. Mengetahui bagaimana cara pemeriksaan tonus otot.

3. Mengetahui bagaimana cara pemeriksaan fisik motorik, meningen

dan brudzkinski.

1
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 PEMERIKSAAN MOTORIK


Sindrom upper motor neuron dijumpai jika terdapat kerusakan padasistem
saraf pyramidal dan memiliki gejala berupa lumpuh, hipertoni,hiperrefleks, dan
klonus serta dapat ditemukan adanya refleks patologis.

Sementara sindrom lower motor neuron didapatkan jika terdapat


kerusakanpada neuron motorik, neuraksis neuron motorik (misalnya saraf spinal,
pleksus,saraf perifer, myoneural junction dan otot. Gejalanya berupa lumpuh,
atoni,atrofi dan arefleksia.Kelumpuhan bukanlah merupakan suatu gejala yang
harus ada pada tiapgangguan gerak. Pada gangguan gerak oleh kelainan di sistem
ekstrapiramidal dan serebellar, kita tidak mendapatkan kelumpuhan. Pada
gangguan sistemekstrapiramidal didapatkan gangguan pada tonus otot, gerakan
otot abnormalyang tidak dapat dikendalikan, gangguan pada kelancaran otot
volunteer dangangguan gerak otot asosiatif. Gangguan pada serebelum
mengakibatkan gangguan gerak berupa gangguan sikap dan tonus. Selain itu juga
terjadi ataksia,dismetria, dan tremor intensi. Tiga fungsi penting dari serebelum
ialahkeseimbangan, pengatur tonus otot, dan pengelolaserta pengkoordinasi
gerakanvolunteer.

Adapun urutan dalam tindakan pemeriksaan motorik ialah sebagai berikut


:

1.Observasi

Bila mungkin, dokter melakukan observasi terhadap pasien dengan


gangguan motorik pada waktu ia masuk ke dalam kama! praktek (pemeriksaan).
Apakah ia berjalan sendiri? Apakah ia didi papah? Bagaimana gaya berjalannya?
Hal ini sudah dibahas dalam bab ll. Bila mungkin juga, dokter melakukan
observasi pada waktu pasien berjalan menuju ke cantelan pakaian, pada waktu
pasien melepaskan sepatu/sandalnya dan pada waktu pasien naik tempat periksa.
8

2
Setiap gangguan somatomotorik yang ringan dapat diketahui dari observasi
terhadap gerakan menutup/membuka kancing baju, menggantungkan pakaian,
melepaskan sandal, menaiki tempat periksa, merebahkan diri dan sebagainya.

Bilamana pasien sudah berbaring di atas tempat periksa, simetri tubuh


pasien harus diperhatikan.Aaimetri tubuh dapat disebahkan oleh karena adanya
ke|umpuhan pada otot wajah sesisi, kelumpuhan salah satu anggota gerak atau
kelumpuhan badan sesisi.Posisi anggota gerak yang lumpuh, kedipan kelopak
mata, mendatarnya lipatan nasolabial pada paresis hemifasialis, adanya sindroma
Homer pada penderita dengan hemiparesis atau monoparesis lengan dan
sebagainya, harus dapat dicerap oleh mata dokter sewaktu observasi dan langsung
diintegrasikan dalam analisa medik.

2.Penilaian terhadap ketangkasan gerakan voluntar.

Gerakan voluntar yang dimaksud di sini ialah gerakan pasien atas


Permintaan dokter yang memeriksanya.Penilaian ini bersifatumum, yaitu untuk
mengetahui apakah pasien masih dapat menekukkan lengannya di sendi Siku,
mangangkat lengan di Sendi bahu, mengepal dan meluruskan jari-Jan tangan.Dan
dalam hal tungkai, apakah pasien dapat menekukkan tungkainya dis endi lutut dan
panggul serta menggerak-gerakkan jari-jari kakinya Baik hilangnya ketangkasan
karena kelumpuhan UMN Iingm atau karena gangguan serbelar atau
ekstrapiramidd dapa diperkirakan untuk diteliti dengan tindakan pemeriksaan
berikutnya.

Setelah kedua tindakan pemeriksaan tersebut di atas dilakukan, maka


secara berturut-turut dilakukan :

3. Penilaian status otot skeletal.

4. Penelitian tonus otot skeletal.

5. Penelitian tenaga otot skeletal.

3
6. Pemeriksaan refleks tendon dan refleks kulit.

7. Pemeriksaan refleks patologik.

8. Penilaian gerakan sekutu abnormal.

9. Pemeriksaan koordinasi gerakan voluntah

10. Observasi gerakan involuntar.

2.1.1 PENILAIAN STATUS OTOT


Keadaan otot dapat dipelajari dengan melakukan inspeksi, pang.'kuran,
palpasi dan perkusi.

1. Inspeksi.

Perhatikan bentuk dan ukuran otot, baik masing-masing, maupun


kelompok, adanya gerakan abnormal, adanya kontraktur dan deformitas.
Perkembangan otot ditentukan oleh faktor keturunan, profesi, cara hidup, gizi dan
latihan/gerak badan/olah raga. Dalam inspeksi, keadaan otot tiap belahan tubuh
harus dibanding.kan satu dengan yang lain.

2. Pengukuran.

Bila asimetri dijumpai, maka pengukuran kelompok otot yang sepadan


harus dilakukan.Pengukuran ini harus dilakukan secara tepat. Patokan untuk
mengukur lingkaran anggota gerak kedua sisi harus diambil menurut bangunan
anggota gerak yang mantap, misalnya 10 cm di atas'atau dibawah olekranon atau
15 cm di atas os patela dan 10 cm di bawah kapitulum fibulae. Adakalanya
pengukuran panjang anggota gerak kedua sisi harus dilakukan.Karena
poliomielitis, fraktur kolum femoris, penyakit Perthes, koksitis tuberkulosa dan
faktor keturunan salah satu anggota gerak menjadi pendek.

3, Palpasi.

4
Otot yang normal terasa kenyal pada palpasi.Sebaliknya otot yang lumpuh
LMN adalah Iembik dan kendor.Lagi pula konturnya hilang. Bila Otot Oumpuh
UMN, maka konsistensinyacukup kenyal, bahkan dalam perbandingan adakalanya
teras lebih tegang. Otot yang distrofik tampak hipertrofik, reliefnya hilang dan
konsistensinya empuk.Bila fibrosis otot terjadi, maka konsistensinya keras dan
ototnya sukar digesarkan.Nyeri tekan otot harus ditentukan dengan memencet
otot.Karena otot mempunyai jaringan saraf dan jaringan pengikat yang peka nyeri
juga.maka janganlah keliru menafsirkan hasil pemencetan itu. Dalam palpasi
janganlah dilupakan bahwa tindakan pemeriksaan harus dilakukan terhadap otot
masing-masing dan secara banding, dimana kelompok otot yang sepadan harus
dibandingkan.

4. Perkusi.

Pada perkusi otot yang normal akan berkontraksi. Kontraksi ini bersifat
setempat yang berarti bahwa ketukan pada sebuah otot akan meninggalkan
cekungan setempat yang berlangsung hanya 1 atau 2 detik saia.

2.1.2 TONUS OTOT


Pada waktu lengan bawah digerak-gerakkan pada sma smu secara Pasif,
otot-otot ekstensor dan fleksor lengan membiarkan dirinya ditacik dengan sedikit
tahanan yang wajar. Apabila semua mam sarafifiSingkirkan dari otot (denervasi),
maka tahanan tersebut sama saka“ b“ “Van. Tahanan itu dikenal sebagai tonus
otot, yang merupakan manifestasi dari resultante gaya sarafi (baik motorik
maupun sensorik) yang berada pada otot dalam keadaan rehat. Faktor poko dalam
pemeliharaan tonus itu ialah busur refleks spinal yang terdiri dari serabut aferen
kerucut otot, interneuron di substansia grisea medula spinalis dan motoneuron
serta aksonnya yang mensarafi otot ekstrafusal.

Kerucut otot merupakan alat penjaga panjang/pendeknya serabut otot


ekstrafusal.Kerucut otot tidak membiarkan serabut otot ekstrafusa| teregang
terlampau panjang. Bila keadaan itu akan terjadi, maka kerucm otot mengirimkan
8

5
impuls melalui serabut aferennya. Impuls itu disampat kan kepada interneuron
yang akan merangsang motoneuron sehingga otot yang bersangkutan memendek
(kontraksi). Sebagaimana sudah di perbincangkan terlebih dahulu, impuls yang
melintasi gama motoneuron, kerucut otot, serabut aferen kerucut otot untuk
mengakibatkan kontraksi otot ekstrafusal adalah impuls yang melintasi 'gama
loop' dan melaksanakan tugas untuk mengatur pembagian tonus otot. 'Gama
loop'itu menerima impuls supraspinalis dari susunan ekstrapiramidal melalui
pusat eksitasi di batang otak.Dalam bentuk bagan susunan 'gamma/oop' ini dapat
dipelajari lagi pada gambar 86.

Tonus otot dapat meningkat secara fisiologik karena ketegangan


mental.Otot-otot yang hipertonik dalam hal itu ialah otot-otot leher/bahu dan
Iumbosakral. Dalam penghidupan sehari-hari otot-otot lengan/tangan dan otot-
otot tungkai/kaki dapat juga menjadi hipertonik secara fisiologik karena
ketegangan mental sehingga lenggang lengan tidak dapat terlaksana secara luwes
dan gaya berjalan tampak sangat kaku dan janggal. Karena ketegangan mental
tangan sukar digerakkan untuk menulis dan tungkai sukar dilangkahkan.

Dalam keadaan sakit tonus otot dapat meningkat atau menurun.Cara


penilaian tonus ialah sebagai terurai di bawah ini.

PENILAIAN TONUS OTOT

Dalam penilaian tersebut syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk


mendapat hasil yang dapat dipercaya ialah :

a. Pasien harus tenag dan bersikap santai.

b. Ruang periksa harus tenang, tidak terlalu dingin namun juga tidak
boleh panas.

Sikap pasien waktu berbaring di atas tempat periksa harus benabenar


telentang.Apabila pasien berbaring secara canggung, tonus otototot tertentu

6
meningkat dan karena itu hasil pemeriksaan dikacaukan.Iklim yang dingin
meningkatkan tonus.

Untuk menenangkan pasien, dokter sebaiknya mengobrol dengan pasien


sewaktu ia me|akukan tindakan pemeriksaan tonus otot. Percakapan ini harus
benar-benar bersifat obrolan, agar pasien tidak merasakan keresmian suasana
pemeriksaan. Sambil mengobroi dokter melakukan ina 5p8k5i dan palpasi otot.
Hasil penelitian ini adalah sangat informatif untuk penilaian tonus
nanti.Kemudian pasien diberitahu supaya berelaksasi “penuhnya. Adakalanya,
pasien justru menegangkan otot-ototnya se[elah dipesan untuk bersantai. Hal ini
dijumpai pada penderita hemiparesis UMN.seorang neurotik atau seorang yang
berintelegensi rendah. Dalam melakukan pemeriksaan tonus otot si pemeriksa
menggerakkan |engan dan tungkai di sendi lutut dan siku.Si pemeriksa harus
menggunakan kedua tangannya, seperti terlihat pada gambar 95.Secara pasif
gerakan lengan bawah sendi siku dan tungkai bawah di sendi lutut dilaksanakan
oleh pemeriksa berulang kali secara pelahan dan kemudian secara cepat.Tahanan
yang terasa oleh di pemeriksa sewaktu menekukkan dan meluruskan bagian-
bagian anggota tersebut harus dini|ai sebagai normal, meningkat atau
menurun.Tonus yang sangat meningkat berarti bahwa si pemeriksa mendapat
kesulitan untuk menekukkan dan meluruskan lengan dan tungkai di sendi siku dan
lutut.Jika tonus otot hilang, maka dalam menekukkan dan meluruskan lengan dan
tungkai pasien tidak dirasakan sedikit tahananpun.

Apabila terdapat tahanan yang terasa secara sinambung, maka tonus otot
yang meningkat itu dikenal sebagai spastisitas. Bila tahanan itu hi'anq timbul
secara berselingan sewaktu bagian anggota gerak ditekukkan

7
dan diluruskan. maka hipertonia itu dinarhakan rigiditas. Adakalanya

rigiditas atau spastisitas ringan sekali, sehingga sukar untuk menentukan.Dalam

hal ini spastisitas atau rigiditas dapat diperjelas apabila penilaian tonus otot

anggota gerak sepadan dilakukan secara simultan tapi secara

berselingan.Misalnya sewaktu lengan kiri difleksikan lengan kanan diluruskan

dan seterusnya.

Tindakan Pemeriksaan tonus otot khusus Iainnva ialah :

(a) Test 'kepala jatuh'

Dalam pemeriksaan ini, kepala pasien yang berbaring terlentang diangkat

dengan tangan kanan pemeriksa. Kemudian kepala dilepaskan dan ditangkap oleh

tangan kiri si pemeriksa yang sudah disiapkan untuk menangkap kepala yang akan

jatuh itu .Pada adanya spastisitas dan rigiditas kepala tidak Iangsung jatuh. Jika

tonus otot rendah, kepala langsung jatuh di tangan kiri si pemeriksa.

8
(b). Test'Ienggang lengan'

Dalam melakukan test tersebut pasien diperiksa sambil berdiriberdiri.

Kedua tangan pemeriksa ditempatkan di kedua bahu pasien atau kedua samping

pinggang pasien.Kemudian badan pasien di.gelengkan ke kiri dan ke kanan secara

berselingan berulang kali. Jika terdapat hipotonia kedua lengan pasien akan

berlenggang secara pasif dan mudah. Karena hipertonia lenggang lengan tidak

akan timbul, lengan lengan tampak kaku dan sudut ayunan lengan kecil.

(c). Test menggoyang goyangkan tangan.

Lengan pasien dipegang oleh tangan pemeriksa di pertengahan lengan

bawah.Kemudian tangan berikut jari-jari pasien digo yang-goyangkan secara pasif

oleh pemeriksa dengan menggerak-gerakan lengan bawah pasien.Jika terdapat

hipotonia.tangan pasien akan jatuh lunglai secara pasif searah dengan arah

gerakan lengan bawah. Bilamana terdapat hipertonia gerakan tangan di

sendipergelangan tidak berjalan secara lancar, lagi pula jari-jari tidak

mengikutigerakan tangan, melainkan akan tetap bersikap lurus.

9
(d). Test'Iengan jatuh '.

Lengan pasien diangkat secara pasif oleh pemeriksa.Kemudian dilepaskan

secara tiba-tiba. Pada adanya hipotonia,' lengan pasien akan jatuh lunglai, tetapi

jika tonus otot meningkat lengan tidak langaung jatuh.

0
(e). Test tungkai bergoyang-goyang menurut Wartenberg.

Pasien diperiksa sambil duduk dengan kedua tungkainya digantung

Kemudian sipemeriksa meluruskan salah Satu tungkai pasien dan secara tiba-tiba

tungkai itu dilepaskan. TUng. kai bawah pasien akan bergoyang-goyang kian

kemari bagaikan bandul lonceng jika ada hipotonia. Apabila terdapat Hipertonia,

maka tungkai bawah hanya bergoyang-goyang dua tiga kali saja untuk kemudian

berhenti bergoyang. Lagi pula jangkauan gera. kan pendularanya tidak jauh.

(f). Test 'tungkai jatuh '.

Dalam melakukan test ini, pasien diperiksa dalam sikap telentang. Salah

satu tungkai pasien dalam sikap lurus diangkat secara pasif oleh pemeriksa

dengan tangan'kanannya.Kemudian tungkai itu dilepaskan dan tangan kiri

pemeriksa 'siap untuk menangkap jatuhnya tungkai itu secara pasif.Pada adanya

hipotonia tungkai langsung jatuh dengan tungkai bawahnya di sendi lutut yang

langsung disusul oleh jatuhnya tungkai atas. Tangan kiri yang akan menangkap

tungkai yang jatuh itu disiapsiagakan dengan maksud untuk menangkap tungkai

yang jatuh itu di lipatan lutut. Jika terdapat hipertonia, maka jatuhnya tungkai

secara pasif itu berlangsung agak lambat, lagi pula sewaktu jatuh, tungkainya

akan tetap dalam posisi lurus.

Jika terdapat hipotonia, maka bagian anggota gerak dapat diekstensikan

secara berlebihan.Penilaiannya ditentukan oleh derajat peregangan otot secara

pasif.Hiperekstensibilitas ini bervariasi secara individual.Oleh karena itu patokan

1
untuk menentukannya ialah membandingkan hiperekstensibilitas bagian anggota

gerak kedua sisi pasien.

2.1.3 TENAGA OTOT


PENILAIAN TENAGA OTOT SKELETAL

Di dalam innik penilaian tenaga otot masing-masing dimulai terlebih


dahulu dengan penelitian gerakan voluntar serta kekuatannya secara menyeiuruh
dan umum.Dengan menahan gerakangerakan tersebut dapat diperoleh kesan
mengenai paresis atau para Iisasi yang bersifat menyeluruh, seperti ha|nya dalam
hemiparesis atau paraparesis.Setelah itu barulah penilaian tenaga otot
masingmasing dapat dilakukan, terutama apabila terdapat paresis atau paralisasi
yang bersifat fokal segmenta|, seperti pada berbagai kelumpuhan LMN akibat lesi
di saraf tepi. Adapun gerakan-gerakan voluntar yang harus dinilai secara umum
adalah sebagai berikut:

A. Anterofleksl dan dorsotleksl kepala. Penggerakan ialah otot-otot rektus


kapitis anterior, posterior mayorlminor dan trapezius.

B. Elevasi dan adduksi dari skapula. Penggerak utamanya otot-otot trapezius,


deltoid, supras kapular dan seratus interior.

2
C. Ekstensi di sendi siku. Penggerak utamanya ialah otot trisep

D. Fleksi di sendi siku. Penggerak utamanya ialah otot bisep, brakial dan
brakioradial.

E. Depresi dan aduksi dari pada Skapula. Penggerak utamanya ialah


otototot pektoral dan latisimus dorsi.
9

3
F.Fleksi di send: pergelangan. Penggerak utamanya ialah otot-otot fleksor
karpi radialis dan ulnaris.

G. Ekstensor (dorsofleksi) di sendi pergelangan. Penggerak'utamanya ialah


otot-otot ekstensor karpi radial Iongus/brevis, ekstensor karpi ulnar dan
ekstensor digitorum komunis (gambar 1.03).

H. mengepal aan mengembangkan jari-jari tangan.Penggerak utamanya


ialah otot-otot tangan fleksor digitorum dan ekstensor digitomm dan
dibantu oleh otot-otot interosei dorsal dan valor.

I. Fleksi sendi panggul. Penggerak utamanya ialah otot iliopsoas.

4
J. Ekstensi di sendi panggul. Penggerak utamanya ialah otot gluteus
maksimus.

K. Ekstensi di sendi lutut. Penggerak utamanya ialah m.kwadriseps


femoris.

L. Fleksi di sendi lutut. Penggerak utamanya ialah otot biseps femoris.

M. Dorsofleksi di sendi pergelangan kaki dan dorsofleksi jari-jari kati


Penggerak utamanya ialah otot tibialis anterior dan otot-otot ekstensor jari-
jari kaki.

N. Plantarfleksi kaki dan jari-jari kaki. Penggerak utamanya ialah mm.


gastroknemius, soleus, peroneus dan fleksor haluksis longus.

5
Kekuatan gerak otot masing-masing harus dinilai apabila dijumpai
kelemahan gerakan akibat lesi pada ototnya sendiri atau akibat lesi di saraf tepi,
pleksus, radiks anterior ataupun di medula spinalis yang melibatkan beberapa
segmen. Cara penilaian ini akan dipertunjukan melalui gambar-gambar. Di situ
terlihat bahwa si pemeriksa menilai

Tenaga gerak otot pasien dari tenaga sendiri yang menahan tertaksananya
gerakan voluntar yang dilaksanakan pasien. Panah putih Menunjukkan kepada
arah gerakan yang dilakukan pasien, panah hitam menunjuk kepada arah penahan
yang dikerjakan pemeriksa.

6
9

7
9

8
9

9
1

00
1

01
1

02
1

03
KELUMPUHAN YANG RINGAN DAN PEMERIKSAANNYA

Kelumpuhan yang jelas mudah dikenal.Kelumpuhan yang ringan sekali


harus dapat dikenal pula.Justru mengenal kelumpuhan pada tahap sedini-dininya
ada|ah penting, o|eh karena di daiam praktek seorang klinikus mengetahui bahwa
kelumpuhan yang sudah menjadi kenyataan yang jelas selalu meninggalkan
cacat.Akan tetapi kelumpuhan yang ringan dapat disembuhkan tanpa cacat.

Pada umumnya kelumpuhan yang ringan sekali disajikan pasien sebagai


gangguan ketangkasan, misalnya, kesukaran untuk memakai atau melepas sandal,
kesukaran untuk membuka dan menutup kancing baju, ketepatan untuk
mengarahkan gerakan voluntar sering terganggu, kalau berjalan sering menggaruk
tanah dan sering 'kesandung', dst. Bilamana orang-orang yang menyajikan
keluhan motorik semacam itu diperiksa tanpa inspeksi sewaktu mereka
melepaskan sanda|nya, membuka kancing bajunya dsb.Niscaya kelumpuhan
sering luput dikenal, oleh karena tenaga otot tidak banyak berkurang.Tetapi
bilamana anamnesa disusun secara seksama dan observasi terhadap gerakan
tangkas pasien dilakukan, maka setelah pemeriksaan motorik umum dilakukan.si
pemeriksa tidak lupa untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang khusus.
Adapun tindakan pemeriksaan tambahan itu ialah sebagai berikut.

04
1 . Test pronasi tangan

Lengan yang paretik UMN cenderung selalu berpronasi, baik secara tepat
dan sesuai, maupun secara tidak tepat dan tidak sesuai dengan sikap anggota
gerak atau tubuh secara keseluruhan.Kecenderungan in' tampak dengan jelas pada
para penderita khoreaatetosis dan hemiparesis akibat lesi di traktus
piramidalis.Bila hemiparesis itu sangat ringan, maka kecenderungan yang khas itu
kurang kentara dan dengan test-test dibawah ini dapat diperjelas.

a. Tanda pronasi menurut Strumpell: Gerakan fleksi lengan bawah di sendi siku
secara voluntar akan disusul dengan berpronasinya lengan bawah, apabila
terdapat paresis UMN pada lengan itu(gambar145)

Dalam hal itu, telapak tangan tidak menghadap ke bahu, Melanin.kan


dorsum manuslah yang menghadap ke bahu. Orangforang sehat yang menekukkan
lengannya disiku sehingga tangan tiba di bahu, melakukannya sedemikian rupa
sehingga telapak tangan atau jari-jari tangan yang mengepal berhadapan dengan
bahu,

b. Test 'Sikap tangan sembahyang ': Dengan kedua tangan dalam sikap
sembahyang cara lsIam sebagai posisi awal test ini, pasien disuruh untuk
mengangkat kedua lengannya dengan sikap tangan yang tidak berubah. Baru
setelah kedua tangan berada'di atas kepala, jari-jan' kedua tangannya harus
menyentuh satu dengan yang lain. Orang-orang yang sehat dapat melaksanakan
1

05
gerak tersebut, sehingga jari-jari kedua tangan dapat bersentuhan dengan jari
sepadan. Tetapi seorang hemiparetik UMN tidak dapat berbuat demikian oleh
karena tangan yang paretik UMN akan berpronasi sehingga jari-jari kedua tangan
tidak dapat bersentuhan secara sepadan.

c. Test 'Iengan jatuh’: Pada adanya paresis UMN ringan, lengan bawah
yang diangkat secara pasif ke atas bahu dan kemudian dijatuhkan, akan jatuh
dalam sikap pronasi. Lengan yang sehat akan jatuh dalam posisi antara pronasi
dan supinasi.

d. Test 'menggoyang-goyang lengan ': Pada orang-orang yang sehat, kedua


lengan yang diluruskan ke depan telapak tangan terbuka ke atas, dapat
mempertahankan sikap itu walaupun kedua lengan digoyang-goyangkan ke atas.
Pada orang dengan hemiparesis UMN yang ringan sudah dapat terlihat bahwa
setelah beberapa kali kedua lengan digoyang-goyangkan ke atas, lengan yang
paretik akan merubah posisi dari sikap-sikap lengan lurus kedepan menjadi
pronasi.

2. Test deviasi lengan

Lengan yang paretik UMN ringan akan berdeviasi jika memelihara suatu
sikap. Apabila paresis itu sudah jelas, test ini tidak perlu dilakukan. Test ini
adalah sebagai berikut. Pasien diminta untuk meluruskan kedua lengannya secara
horisontal ke depan. Dengan kedua matanya tertutup ia harus mempertahankan
sikap tersebut. Lengan yang paretik UMN ringan akan menurun dan menyimpang
dalam mempertahankan sikap tersebut.

Jika sipemeriksa mencoba untuk menurunkan kedua lengan pasien yang


diluruskan horisontal ke depan itu dan pasien disuruh untuk menahannya, tenaga
pasien itu terasa cukup kuat dan sama antara kedua Iengan, apabila ia
melakukannya dengan mata terbuka. Akan tetapi bilamana pasien menutup
matanya sambil menahan usaha si pemeriksa untuk menurunkan lengannya,

06
tenaga lengan yang paretik UMN akan terasa berkurang dibanding dengan tenaga
lengan yang sehatnya.

3. Posisi kaki miring ke samping

Orang-orang sehat yang berbaring telentang dengan kedua tungkainya


lurus, dalam keadaan awas-waspada, kedua kakinya bersikap simetrik tegak di
atas landasan atau sedikit miring. Pada seorang dengan hemiparesis ringan sudah
terlihat asimetri sikap kedua kaki.Pada sisi Yang hemiparetik, kaki bersikap jauh
lebih miring ke samping dari pada sisi belahan tubuh yang sehat. Apabila
sipemeriksa memperbaiki sikapsikap eksorotasi kaki, sehingga kedua kaki
bersikap simetrik kembali, maka kaki yang himeparektii akan kembali ke posisi
yang diperlihatkan semula (gambar 146)

4. tanda tungkai menurut barre

Pada paresis UMN tungkai, otot-otot ekstensor dari lutut lebih hipertonik
daripada otot-otot fleksornya, tetapi otot-otot fleksor ini lebih lemah dari otot-otot
ekstensornya.Oleh karena itu, maka ujung kaki yang kena tampak lebih menjulai
daripada kaki yang sehat.Pada tahap dini kecen- derungan kaki yang hemiparetik
UMN ringan itu dapat diperjelas dengan tindakan pemeriksaan yang dikenal
sebagai tanda tungkai menurut Barre.Adapun tindakan pemeriksaan itu ialah
sebagai berikut.Pasien disuruh berbaring terlungkup, lalu kedua tungkai
bawahnya harus ditekuk di sendi lutut sehingga kedua tungkai bawah berjungkir
hampir tegak di sendi lu- tut. Dalam posisi ini, tungkai yang paretik akan jatuh
1

07
dengan segera, tetapi jika paresis itu ringan sekali, maka menurunnya tungkai
bawah dari posisi tersebut di atas akan berlangsung secara berangsur- angsur
(gambar 147). Tanda ini dapat diperjelas lagi apabila kedua tungkai bawah
ditekuk sehingga tungkai bawah bersudut 45° terhadap bidang landasan- nya pada
pasien yang berbaring telentang.Posisi kedua tungkai bawah pasien itu
dipertahankan dengan bantuan kedua tangan si pemeriksa.Pada suatu saat bantuan
itu dilepaskan. Pada saat itu tungkai yang paretik ringan akan segera jatuh.

5. Test 'lutut jatuh' menurut Wartenberg

Pada hakekatnya test tersebut di atas adalah sejenis dengan 'tanda tungkai'
menurut barre, yaitu karena adanya kelemahan otot-otot fleksor lutut yang lebih
parah daripada otot-otot ekstensornya, sedangkan otot- otot ekstensor lutut lebih
hipertonik daripada otot-otot fleksornya.De- ngan test menurut Wartenberg ini
tidak diperlukan kooperasi pasien dan ia tidak usah baring telungkup. Pasien
disuruh baring telentang dengan kedua tungkainya diluruskan.Sehelai kertas
ditempatkan di bawah kedua kaki (tumit) pasien sebagai landasan yang
licin.kemudian pasien diminta untuk menekukkan lututnya. Dalam melakukan
gerakan tersebut tungkai yang sehat dapat ditekukkan, tetapi tungkai yang paretik
UMN tidak da- pat mempertahankan tertekuknya lutut itu, sehingga 'lutut jatuh'
dan kaki meluncur di atas kertas landasan itu (gambar 148).

08
2.1.4 REFLEKS DALAM DAN REFLEKS SUPERFISIAL

(Refleks tendon dan kulit)

Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan.Gerakan yang timbul


dinamakan geralfan reflektorik.Semua gerakan reflektorik menr pakan gerakan
yang bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk meniamin ketangkasan gerakan
voluntar, maupun untuk membela diri. Gerakan reflektorik tidak saja dilaksanakan
oleh anggota gerak akan tetapi setiap otot lurik dapat melakukan gerakan
reflektorik. Iagi pula petangsangnya tidak saja terdapat di permukaan tubuh, akan
tetapi semua impuls pemptif dapat merangsang gerakan reflektorik, tetmasuk
impuls pancaindera.

Bahwasannya suatu perangsangan dijawab dengan bangkitnya watu


gerakan, menandakan bahwa daerah yang dirangsang dan otot yang bergerak
secara reflektorik itu tardapat hubungan.Lintasan yang menghubungkan reseptor
dan efektor itu dikenaI sebagai busm refleks.Mekanismenya dapat dipercontohkan
serta dijelaskan dengan bagan pada gambar 149.

09
Reseptor di kulit mendapat perangsangan.Suatu impuls dicetuskan dan
dikirim melalui radiks dorsalis ke sebuah neuron di substansia grisea medula
spinalis.Atas kedatangan impuls tersebut neuron merangsang motoneuron di
kornu anterior, yang pada gilirannya menggalakkan serabut otot untuk
berkontraksi.Reseptor, serabut aferen, interneuron disubstansia grisea,
motoneuron serta aksonnya berikut otot yang disarafinya merupakan busur refleks
yang segmental.Sebagian besar reflek spinal ialah refleks segmental.Refleks-
refleks yang melibatkan kegiat pancaindera dan kebanyakan refleks superfisial
terjadi dengan perantaraan busur refleks segmental yang dilengkapi juga dengan
Iintasanm prasegmental.

Refleks-refleks yang dibangkitkan dalam rangka pemeriksaan klinis dapat


bersifat refleks dalam dan refleks superfisial.Refleks dalam berani refleks yang
bangkit sebagai jawaban atas perangsangan terhadap otot, sedangkan refleks
superfisial adalah refleks yang bangkit akibat perangsang permukaan kulit atau
mukosa.

10
PEMERIKSAAN REFLEKSI DALAM

Gerakan reflektorik yang timbul akibat perangsangan terhadap otot dapat


dilakukan dengan pengerukan pada tendon, ligamentum atau pariosteum. Karena
itu, maka refleks dalam dinamakan juga reflex tendon dan refleks periosteum.

Hasil pemeriksaan refleks tersebut merupakan informasi penting yang


sangat menentukan.Maka dari itu, pembangkitan dan penilaiannya harus
tepat.Penilaian ini selalu berarti penilaian secara banding antarasisi kiri dan sisi
kanan.Respon terhadap suatu perangsangan sudah barang tentu tergantung pada
intensitas. Oteh karena itu, refleks tendon atau periosteum kedua belah tubuh yang
dapat dibandingkan harus merupakan hasil perangsangan yang berintensitas sama.
Di samping itu, posisi ang gota gerak yang sepadan pada waktu perangsangan
dilakukan harus sama juga. Maka dari itu tehnik untuk membangkitkan refleks
tendon harus sempurna. Pokok-pokok yang harus diperlihatkan ialah sebagai
berikut:

(a) Tehnik pangetukan :

Palu refleksi tidak boIeh dipegang secara keras.Gagang palu fleks


dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk sedemikian rupa sehingga palu dapat
diayun secara bebas.Pengetukan tidak boleh dilakukan seolah-olah memotong
atau menebas kayu.melainkan menjatuhkan secara terarah kepala palu refleks
kotak dan atau pariosteum (gambar 150). Dalam hal itu, gerakan pengerukan
berpangkal pada sendi pergelangan tangan.Tangan dan bukannya lengan yang
mengangkat palu refleks. Kemudian tangan menjatuhkan kepala palu ketika
reflex secara luwe ke tendon atau periosteum.

11
(b) Sikap anggota gerak yang simentrik:

Anggota gerak yang akan diperiksa refleks tendon/periosteumnya harus


bersikap santai dan tidak boleh tegang. Simetri anggota gerak sepadan harus
dijamin.Untuk menempatkan kedua lutut pada posisi yang simetrik dalam
membangkitkan refleks tendon lutut, adakalanya tenaga dokter (wanita) kurang
mampu untuk menyangga kedua tungkai dengan lengan kiri sambil |engan
kanannya digunakan untuk mengetuk tendon.Maka dalam hal ini, posisi kedua
lutut tidak simetrik dan hasil pembangkitan refleks tendon lutut kurang dapat
dipercaya.Maka hendaknya dicari akal untuk dapat menempatkan anggota gerak
dalam posisi simetrik. Salah satu cara ialah menempatkan kedua lutut diatas
guling seperti yang dipercontohkan oleh gambar 151.

12
(c) Pengetukan tepat pada tendon:
Refleks tendon harus benar-benar berarti bahwa yang diketuk ialah
tendon.Untuk menjamin itu, maka pengetukan hendaknya dilakukan secara tak-
langsung yanng berarti bahwa yang diketuk oleh palu refleks ialah jari si
pemeriksa yang ditempatkan di tendon yang bersangkutan.Metode perkusi indirek
ini diterapkan apabila tendon yang bersangkutan tidak berlandasan pada bangunan
yang cukup keras.Dalam hal itu respon terhadap pengetukan pada tendon yang
tidak berlandasan pada bangunan yang keras adalah lemah atau kurang
nyata.Maka metode tersebut dipakai pada membangkitkan refleks tendon biseps
brakhialis dan biseps femoris.

(d) Pengatukan dengan intensitas yang berbeda-beda :

Penilaian secara banding antara refleks tendon yang sepadan dilakukan


dengan pengetukan yang dilakukan berkali-kali dengan intensitas 'yang berbeda-
beda. Setiap respon yang dihasilkan oleh pengetukan yang berintensitas rendah
atau tinggi adalah selalu sebanding apabila setiap perbandingan dihasilkan oleh
stimuIus yang sama.

(e) Penderajatan refleks tendon periosteum :

Nilai respon atas pengetukan tendon yang didasarkan atas kecepatan


gerakan reflektorik yang bangkit, amplitudonya dan Iamanya suatu kontraksi
berlangsung. Penderajatan hasil penilaian tersebut ialah sebagai berikut :

0 ialah jika tidak terdapat gerakan reflektorik apa pun.

+ ada gerakan reflektorik yang lemah.

+ + gerakan reflektorik yang cukup cepat, beramplitudo cukup dan


berlangsung cukup lama. Derajat + + ini sering dijumpai pada orang-orang yang
sehat.

13
+ + + gerakan reflektorik yang melebihi respons umum, tetapi tidak selalu
bersifat patologik.

+ + + + gerakan reflektorik yang jelas meningkat dan patologik. Dalam


perbandingan, derajat + + atau + + + sesisi dapat dinilai sebagai patoiogik apabila
pada sisi lain didapat refleks sepadan yang lebih rendah.

Adapun refleks-refleks tendon dan periosteum yang dibangkitkan dalam


rangka pemeriksaan neurologik klinis ialah :

1. Refleks maseter. Tehnik dan arti klinisnya sudah dibahas pada haiaman
294.Gambar 57.

2. Reileks tendon biseps brakhialis.(C.S-G, N. muskulokutaneusi. Sikap


lengan: setengah ditekuk di sendi siku.

Stimulasi : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon


otot biseps .

Respon : fleksi lengan di siku (gambar 152)

3. reflex periosteum radialis (C. 5-6, N . radialis )

Sikap : lengan bawah setengah difleksikan di sendi siku dan tangan sedikit
dipronasikan.

14
Stimulus : ketukan pada periosteum ujung distal os radi.

Respons : fleksi lengan bawah di siku dan supinasi lengan / tangan.

4. reflex triseps ( C. 6-7-8, N . Radialis )

Sikap : lengan bawah di fleksikan di sendi siku dan sedikit dipronasikan

Stimulasi : ketukan pada tendon otot triseps

Respons : ekstensi lengan bawah di sendi siku (gambar 153)

5. reflex periosteum ulnaris (C. 8, T. 1, N. ulnaris )

Sikap : lengan bawah setengah ditekukan di sendi siku dan sikap tangan
antara pronasi dan supinasi.

Stimulasi : ketukan pada periosteum prosesus stilodeus.

Respon : pronasi tangan karena kontraksi otot pronator kwadratus.

6. reflex pektoralis (C. 5, T. 1, N. Pektoralis medialis et lateralis)

Sikap : pasien berbaring terlentang dengan kedua lengan lurus disamping


badan.

Stimulasi : ketukan pada jari si pemeriksa yang ditempatkan pada tepi


lateral otot pektoralis.
1

15
Respons : kontraksi m.pektoralis (gambar 154)

7. rekfleks otot dinding perut (bagian atas T. 8-9, bagian tengah T.9-
10, Bagian bawah T.11-12)

Sikap : pasien berbaring terlentang dengan kedua lengan lurus di samping


badan

Stimulasi : ketukan pada jari atau kayu penekam lidah yang ditempatkan
pada bagian atas, tengah dan bawah dinding perut.

Respons : otot dinding perut yang bersangkutan mengganjal.

8. Refleks tendon lutut. (L.2-3-4, N.femoralis)


Sikap :
a. Pasien duduk dengan kedua kakinya digantung.
b. Pasien duduk dengan kedua kakinya ditapakkan di atas lantai.

16
c. Pasien berbaring telentang dengan tungkainya difleksikan di sendi
lutut.

Stimulasi : ketukan pada tendon patela.

Respon : tungkai bawah berekstensi.

9. Refleks biseps femoris. (L.4-5,S.1-2, N. Iskhiadikus)


Sikap : pasien berbaring telentang dengan tungkai sedikit
ditekukkan di sendi lutut.
Stimulus : ketukan pada jari si pemeriksa yang ditempatkan pada
tendon m.biseps femoralis.
Respon : kontraksi m.biseps femoralis.
1

17
10. Refleks tendon achilles. (L.5,S,1-2, N.tibialis )
Sikap :
a. Tungkai ditekukan di sendi lutut dan kaki didorsofleksikan.
b. Pasien berlutut di atas tempat periksa dengan kedua kaki bebas.

Stimulus : ketukan pada tendon achilles.

Respons : plantarfleksi kaki.

Hiper-refleksia seringkali diiringi dengan klonus. Dibawah ini


diberikan lukisan cara membangkitkan klonus lutut dan klonus kaki :

a. Klonus lutut : dengan memegang dan mendorong pada os patela ke


arah distal, maka m.kwadriseps femoris terengang dan secara

18
reflektorik otot tersebut berkontraksi secara berulang-ulang selama
pendorongan terhadap os patela masih tetap diadakan (gambar 159)

b. Klonus kaki : dengan melakukan dorsofleksi secara berlebihan,maka


otot-otot betis teregang dan karena itu bereaksi dengan memendekkan
dirinya ; kontraksi ini berlangsung secara berulang-ulang selama
peregangan terhadap otot-otot betis itu masih dilakukan.

2.1.5 PEMERIKSAAN REFLEKS SUPERFISIAL

Refleksi superfisial ialah gerakan reflektorik yang timbul sebagai respon


atas stimulasi terhadap kulit atau mukosa.Berbeda dengan refleks dalam, refleks
superfisial tidak saja mempunyai busur refleks yang segmental, melainkan
mempunyai komponen supraspinal juga.Oleh karena itu refleks superfisial dapat
menurunkan atau hilang bila terdapat lesi di busur refleks segmentalnya atau bila
komponen supraspinal mengalami kerusakan.Untuk lengkapnya superfisial
berikut dengan komponen-komponen busur refleksnya.

Refleks Neuron Pusat Neuron eferen

Kornea..... N.V......... Pons....... N.VII

Bangkis..... N.V......... Medula oblongata....


N.V.,N.VII,N.IX,N.X

19
Medula spinalis atas.. dan saraf
spinal

Uvula..... N.IX Medula oblongata.. N.X

Kulit dinding perut :

Bag.epigastrik... Saraf intercostal... Saraf


interkostal

Bag.supra umbilik... Saraf interkostal... T.5-7..... Saraf


interkostal

Bag.umbilik...... Saraf interkostal... T.7-9..... Saraf


interkostal

Bag.infra umbilik... Saraf interkostal... T.9-11..... Saraf


interkostal

N.ilionguinal.... T.11-L1... N.ilionguinal

N.iliohipogastrikus.. N.iliohipogastrikus

Kremaster.... N.ilioinguinal....
N.genitofemoralis

Anal eksterna.... N.pudendus.... L.1-2.... N.pudendus

Gluteal..... N.lumbalis posterior.. S.4-5... N.gluteus


inferior

Plantar..... N.tibialis...... L.4,S.1..... N.tibialis

L.4,S.2.....

20
Refleks kornea, refleks bersin dan refleks uvula sudah dibahas, dibawah
ini akan diberikan gambaran cara membangkitkan refleks-refleks superfisial
lainnya serta respon yang didapat.

Refleks kulit dinding perut

Kulit dinding perut digores dengan pendil, ujung gagang palu refleks atau
ujung kunci.Bilamana dinding perut terlalu kendor (multipara).

Orang yang berusia lanjut dan sebagainya.)atau terlalu tegang ( kehamilan,


asites, defense musculaira dan sebagainya.) otot dinding perut tidak berkontraksi
secara reflektorik. Penggoresan itu dilakukan dari samping menuju ke garis
tengah perut pada setiap segmen, yaitu segmen epigastrik, supra umbilik, umbilik
dan imfraumbilik ( gambar 160 ).

Reflek kulit dinding perut menghilang pada lesi piramidalis.Hilangnya


refleksi ini yang berkombinasi dengan meningkatnya refleks otot dinding perut
adalah khas bagi lesi di susunan piramidal.Pada keadaan – kedaan perut tersebut
diatas dan lesi – lesi di segmen – segmen medula spinalis yang dilantasi busur
refleks kulit dinding perut, sudah barang tentu refleks kulit dinding perut tidak
dapat.

21
Refleksi kremaster dan reflek skrotal

Penggoresan dengan peaznsil, ujung gagang palu refleks atau


ujung kunci terhadap kulit paha bagian medial akan dijawab dengan elevasi testis
ipsilateral ( gambar 161 ). Refleks ini tidak boleh disamakan dengan refleks
skrotal yang merupakan refleks viseral. Gerakan reflektorik pada refleks skrotal
terdiri dari gerakan yang tidak menentu di dalam skrotum yang dapat terlihat dari
luar atas penggoresan kulit paha disekitar daerah skrotum.

Refleks kremaster menghilang pada lesi di segmen L. 1-2, juga


pada orang usia lanjut, jika ada hidrosel atau varikosel, atau jika ada arkhitis dan
epididimis.

Refleks gluteal

Refleks ini terdiri dari gerakan reflektorik otot gluteus ipsilateral


bilamana bokong digores atau ditusuk dengan jarum atau ujung gagang palu
refleks.Refleks gluteal menghilang jika terdapat lesi segmen L.4-S. 1.

Refleks anal eksterna

Reflek ini dibangkitkan dengan jalan penggoresan atau ketukan terhadap


kulit atau mukosa daerah perianal.Gerakan reflektorikyang bangkit terdiri dari
kontraksi otot fringter ani eksterna.

22
Refleks planter

Penggoresan terhadap kulit telapak kaki ( gambar 162 ) akan


menimbulkan plantarfleksi kaki dan fleksi semua jari kaki pada kebanyakan orang
yang sehat. Respons yang abnormal terdiri dari ekstensi serta pengembangan jari
– jari kaki dan elevasi ibu jari kaki.Respons ini dinamakan extensor plantar
respons yang dikalangan kita dan Belanda lebih dikenal dengan refleks Babinski
yang positif.Respons patologik ini merupakan salah satu tanda yang mencirikan
lesi disusun piramidal.

2.1.6 REFLEKSI PATOLOGIK

Reflek patologik adalah refleks – refleks yang tidak dapat dibangkitkan


pada orang – orang yang sehat.Kecuali pada bayi dan anak kecil.Kebanyakan
merupakan gerakan reflektorik defendif atau postural yang pada orang dewasa
yang sehat terkelola dan ditekan oleh aktivitas susunan piramidal.Anak kecil umur
antara 4 – 6 tahun masih belum memiliki susunan piramidal yang sudah
bermielinisasi penuh, sehingga aktivitas susunan piramidalnya masih belum
sempurna.Maka dari itu gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologik
pada orang dewasa, tidak selamanya patologik jika dijumpai pada anak – anak
1

23
kecil.Tetapi pada orang dewasa refleks patologik selalu merupakan tanda lesi
UMN.

Refleks – refleks patologik itu sebagian bersifat refleks dalam dan


sebagian lainnya bersifat refleks superfisialis. Reaksi yang diperlihatkan oleh
reflek patologik itu sebagian besar adalah sama, akan tetapi mendapat julukan
yang bermacam – macam, karena cara membangkitkanya berbeda – beda. Adapun
refleks – refleks patologik yang sering diperiksa di dalam klinik ialah :

1. Extensor plantar response atau tanda Babinski.


Reaksi yang terdiri dari pengembangan dan ekstensi jari – jari kaki
serta elevasi ibu jari kaki atas penggoresan telapak kaki bagian lateral (
gambar 163 ) ini sebenarnya dikenal sebagai tanda Babinski, tetapi lama
– kelamaan dijuluki refleks menurut Babinski. Dinegara – negara yang
berbahasa Inggris masih dipertahankan peristilahan

Aslinya. Jarang dijumpai dalam literatur Inggris kalimat yang


berbunyi “the reflex of Babinski is positive” atau “the Babinski reflex is
positive”. Hampir selamanya disebut “the plantar response is extensor”
atau “the Babinski sign is found on the right side”. Respons yang
dilukiskan di atas tidak selamanya lengkap, misalnya adanya ibu jari kaki
tanpa pengembangan dan eksistensi jari – jari kaki lainnya atau
1

24
sebaliknya.Adakalanya sukar sekali untuk menentukan apakah ‘extensor
plantar response’ itu ada atau tidak, oleh karena sekali – sekali ditemukan
elevansi sejenak dari ibu jari kaki. Di negara – negara berbahasa Inggris
digunakan istilah ‘equivocal Babinski sign’ yang kira – kira berarti sama
dengan peristilahan sering disunakan disini, ialah ‘refleks Babinski’.
Gerakan reflektorik yang terlukis diatas tadi dapat dibangkitkan dengan
cara – cara lain. Metode – metode perangsangan yang berbeda – beda itu
dikenal sebagai :
a. Refleks Chaddock.
Cara memberikan perangsangan ialah sebagai berikut :
penggoresan terhadap kulit dersum pedis bagian lateralnya atau
penggoresan terhadap kulit disekitar moleolus eksterna ( gambar 164
).

b. Refleks Oppenheim.
Pengerukan dari proksimal ke distal secara keras dengan jari
telunjuk dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi os tibia atau
pengurutan itu dilakukan dengan menggunakan sendi interfalangeal
jari telunjuk dan jari tengah dari tangan yang mengepal ( gambar 165
).

25
c. Refleks Gordon.
Cara membangkitkan ‘extensor plantar response’ itu ialah
dengan memencet betis secara keras ( gambar 166 ).

d. Refleks Scaeffer.
Cara membangkitkan respons tersebut ialah dengan memencet
tendon Achilles secara keras ( gambar 167 ).

e. Refleks Gonda.
Respons patologik tersebut diatas timbul pada penekukan (
plantar fleksi ) maksimal jari kaki keempat ( gambar 168 ).

26
f. Refleks Bing
Dibangkitkan dengan memberikan rangsang tusuk pada kulit
yang menutupi metatarsal kelima ( gambar 169 ).

Mekanisma berbagai refleks patologik tersebut di atas masih belum


jelas.Namun demikian beberapa infromasi telah diperoleh dari neurofisi ologi
eksperimental pada primata. Pada lesi yang khusus merusak area 4 Broadmann
dan lintasan desendensnys, gerakan reflektorik yang dapat ditimbulkan dengan
cara Chaddock terdiri dari dorsofleksi kaki Tetapi apabila lesi berada di daerah
premotorik, vaitu arean 6 Broadmann atau di lintasan desendensnya, gerakan
reflektorik patologik yang dapat ditim bulkan di kaki terdiri dari pengembangan
dan ekstensi jari-jari kaki berikut dengan tanda Hoffmann, refleks memegang dan
tanda Rossolimo. Pada esi yang merusak kedua daerah tersebut di atas, yaitu area
4 dan area 6 respons patologik pada kaki terdiri dari elevansi ibu jani kaki,
dorsofleksi kaki serta pengembangan dan ekstensi jari-jari kaki lainnya.

27
Di samping respons patologik di kaki yang terdiri dari elevansi ibu jari
kaki dengan engembangan serta ekstensi jari-jari kaki lainnya, terdapat ga gerakan
jari-jari kaki yang berfleksi ssejenak di sendi-sendi inter falangealnya setiap kali
telapak kaki bagian terdepan diketuk-ketuk (refleks Rossolimo, gambar 1 70) atau
setiap kulit dorsun pedis yang menutupi oa kuboid diketuk-ketuk (refleks Mendel-
Bechterew, gambar 171)

2. Refleks patologik di tangan Lesi di susunan piramidal menimulkan


refleks patologik di kaki dan juga di tangan.

Adapun refleks patologik di tangan/lengan ialah: .

Gambar 172 Tromner

a. Refleks Tromner Sikap tangan pasien dan tangan si pemeriksa sepert


t pada gambar 172

Stimulus: mencolek-colek ujung jari tengah Respons: jari telunjuk,


terutama ibu jari dan jari-jari lainnys fleksi setiap kali ujung jan tengah itu
tercolek

b. Refleks Hoffmann.
Sikap: tangan pasien dan tangan si pemeriksa sepeti ten pada gambar 173
Stimulus: goresan pada kuku jari tengah pasien dengan ujung kuku
ibu jari si pemeriksa. Respons: Ibu jari, jari telunjuk, serta jari-jari lainnya
berfleks se jenak setiap kali kuku jari tengah pasien digores.
c. Refleks Wartenberg.
Sikap tangan pasien dan tangan si pemeriksa seperti tenu pada gambar 174

Stimulus: ketukan pada jari si pemeriksa yang ditempatan pads falangs


kedua dan distal jari-jari pasien Respons: fleksi jari-jari pasien dapat
dilihat/dirasakan oleh si pe meriksa

.
1

28
d. Refleks Mayer.
Sikap : lengan pasien dipegang oleh sipemeriksa menekukkan jan
tengah pasien secara maksimal ke arah telapak tangan
Respons: pada orang sehat ibu jari akan beroposisi; kalau ada
kerusakan di susunan piramidal ibu jari tidak beroposisi.
e. Refleks Leri.
Sikap : lengan diluruskan dengan bagian ventralnya
menghadap ke atas.
Stimulus : tangan pasien ditekuk secara maksimal di
pergelangan tangan oleh si pemeriksa.
Respons : pada orang sehat lengan bawah akan menekuk di
sendi siku; jika susunan piramidal mengalami kerusakan gerakan fleksi di
siku itu tidak bangkit.
f. Refleks Grewel pronasi-abduksi.
Sikap : lengan pasien setengah difleksikan di siku dengan
lengan hawahnya dalam posisi antáa pronasi dan supinasi.
Stimulus : tangan pasien secara maskimal dan mendadak di
pronasikan oleh si pemeriksa. Respons : pada orang sehat timbul
gerakan reflektorik yang terdiri dari abduksi lengan atas; jika terdapat lesi
di susunan piramidal gerakan reflektorik itu tidak timbul.
3. Refleks patologik petanda regresi.

Gerakan reflektorik yang bangkit secara fisiologik pada bayi tidak lagi
dijumpai pada anak-anak yang sudah besar.Bilamana pada orang dewasa dapat
ditimbulkan kembali gerakan reflektorik tersebut maka fenomen itu menandakan
kemunduran fungsi susunan saraf pusat. Adapun refleks-refleks yang menandakan
proses regresi itu ialah:

a. Refleks menetek
Stimulus: sentuhan pada bibir

29
Respons: gerakan bibir, lidah dan rahang bawah seolah-olah
menetek
b. ‘snout reflek
Stimulus: perkusi pada bibir atas.
netek Respons: bibir atas dan bawah menjungur atau kontraksi otot
di sekitar bibir atau di bawah hidung.
c. Refleks memegang
Stimulus: penekanan atau penempatan jari si pemeriksa pada
telapan tangan pasien.
Respons: tangan pasien mengepal.
d. Refleks palmometal
Stimulus: goresan dengan ujung pensil atau ujung gagang palu refleks
terhadap kulit telapak tangan bagian tenar.
Respons: kontraksi m. mentalis dan orbikularis oris ipsilateral.

Reflek leher tonik


stimulus : kepala diputar kesamping
respons : lengan dan tungkai yang dihadapi menjadi hipertonik dan
bersikap dalam ekstensi, sedangkan lengan dan tungkai dibalik wajah menjadi
hipertonik dalam sikap fleksi.

30
Refleks patologik yang tersebut diatas dapat dijumpai pada orang-orang
dengan demensia, proses desak ruang intrakranial, paralisis pseudobulbaris dan
sebagian penderita dengan droma ‘post stroke’.

2.1.7 GERAKAN SEKUTU

(‘Associated Movemente’)
Gerakan sekutu adalah gerakan onvoluntar dan reflektorik yang
selalu timbul pada setiap gerakan voluntar.Gerakan-gerakan tersebut mengatur
sikap dan mengiringi gerakan voluntar agar ketangkasan dan efektifitas
gerakan voluntar lebih terjamin. Sebagai contoh dibawah ini diberikan
beberapa jenis gerakan sekutu :
a) Lenggang lengan sewaktu berjalan
b) Gerakan otot wajah yang dikenal sebagai ekspresi sewaktu berbicara.
c) Gerakan otot leher dan otot-otot tulang belakang pada waktu melirikan
mata.
d) Gerakan tangan dan badan sewaktu berjalan diatas bambu yang
menjembatani kecil.
e) Gerakan lengan, tungkai dan badan sewaktu menendang bola dengan
tungkai kiri atau kanan.
Dalam keadaan-keadaan patologik, gerakan sekutu tersebut diatas bisa
hilang atau bangkit secara berlebihan.Gerakan sekutu lenyap pada penyakit-
penyakit ektrapiramidal. Karena proses patologik disusunan piramidal justru
timbul gerakan sekutu yang pada orang-orang sehat tidak dijumpai. Oleh
karena itu, maka gerakan sekutu tersebut dinamakan gerakan sekutu abnormal
atau patologik.
Bilamana serebelum mengalami kerusakan, gerakan sekutu fisiologik tidak
hilang, akan tetapi sinkronisasinya dengan gerakan voluntar hilang, sehingga
gerakan voluntar memperlihatkan kejanggalan. Gerakan voluntar yang
terganggu ini dikenal sebagai gerakan diskoordinatif.

31
Dibawah ini akan diuraikan gerakan sekutu patologik dan cara
pemeriksaanya. Setelah itu akan dibahas gerakan diskoordinatif dan cara
pemeriksaanya.

2.1.8 GERAKAN SEKUTU PATOLOGIKDAN CARA

PEMERIKSAANYA

Gerakan sekutu patologik dapat timbul pada anggota gerak yang paretik
pada waktu gerakan voluntar tertentu dilakukan.Dengan demikian gerakan
sekutu patologik dapat dianggap sebagai gerakan reflektorik pada anggota
gerak yang paretik yang timbul akibat stimulasi otot-otot tertentu yang normal
secara voluntar.Fenomena ini merupakan ciri khas bagi paresis karena lesi
disusunan piramidal, terutama jika kelumpuhan UMN ringan sekali. Adapun
gerakan sekutu abnormal itu ialah :
1. Gerakan sekutu pada jari-jari disisi kontralateralnya yang bersifat
identik.
Pasien diminta untuk meremas jari-jari si pemeriksa dengan
tangan yang sehatnya.

Pada waktu pasien melaksanakan perintah itu, jari-jari lengan yang


paretik UMN ikut melakukan gerakan meremas (gambar 108A 180B).
2. Tanda Sterling. Tanda ini dapat disaksikan pada hemiparesis ringan
akibat lesi disusunan piramidal. Pasien disuruh mengaduksikasikan
lengan yang sehat melawan tahanan yang dilakukan oleh sipemeriksa. 1

32
Tanda Sterling berupa ikut beraduksinya lengan yang paretik pada
waktu pasien melaksanakan perintah tersebut diatas.
3. Tanda tungkai Raimiste. Tanda ini adalah homolog dengan tanda
sterling. Cara membangkitkanya ialah sebagai berikut. Pasien
diperiksa dalam posisi berbaring dengan kedua tungkainya berabduksi.
Kemudian pasien disuruh mengaduksikan tungkai yang sehatnya
melawan tahanan yang dilakukan oleh si pemeriksa. Tanda Reimiste
adalah positif kalau tungkai lainya ikut beraduksi pada waktu pasien
melaksanakan perintah tersebut diatas.
Tanda Reimiste yang positif berarti bahwa pada tungkainya
yang beraduksi itu adalah paretik UMN ringan.

Apabila kelumpuhan UMN ringan sekali dan tanda-tanda kelumpuhan


piramidal lainya tidak didapat, maka adanya gerakan sekutu abnormal
tersebut diatas merupakan pegangan yang cukup kuat untuk tokh
menetapkan adanya kelumpuhan UMN ringan. Kemantapan akan lebih
besar lagi apabila disamping gerakan sekutu abnormal tersebut diatas bisa
dilengkapi oleh gerakan sekutu abnormal lain-lainya yaitu :
4. Tanda ibu jari menurut Wartenberg
Bila tidak ada paresis UMN, maka ibu jari akan ikut menekuk
apabila jari-jari tangan lainya melakukan penarikan sekuat-kuatnya
1

33
(gambar 182). Bilamana ibu jari itu tidak ikut menekuk, melainkan
tinggal pasif lurus saja. Maka tangan yang bersangkutan harus di
anggap sudah memperlihatkan tanda gangguan di susunan

Piramidal kontralateralnya.
5. Tanda pronator menurut Strumpell
Lengan yang sehat dapat melakukan fleksi maksimal di sendi
siku sehingga tangan tiba di bahu dengan telapak tangan menghadap
ke bahu.Tetapi lengan yang paretik UMN ringan sekali tidak dapat
melakukan gerakan tersebut, melainkan memfleksikan lengan di sendi
siku secara maksimal dengan mempronasikan lengan bawahnya,
sehingga tangan menghadap ke bahu tidak dengan telapak tangannya
tetapi dengan dorsum manusnya (gambar 145).
6. Tanda radialis menurut Strumpell
Tangan yang sehat dapat mengepal tanpa melakukan
dorsofleksi di sendi pergelangan.Tetapi dengan adanya lesi disusunan
piramidal, tangan pada sisi kontraletaral dapat mengepal hanya dengan
melakukan dorsofleksi secara refletorik (gambar 183).Tanda ini harus
diungkapkan dengan pemeriksaan kedua tangan secara simultan dan
banding, sehingga perbedaanya menonjol.

34
7. Respons flesksi lengan.
Jika orang sehat melakukan gerakan untuk berjongkok, maka
kedua lengannya bersikap lurus. Pasien dengan hemiparesis UMN
yang ringan sekali akanmemfleksikan lengan yang paretiknya sewaktu
ia melakukan gerakan untuk berjongkok
8. Reflek Ekstensor

Orang sehat yang disuruh membungkuk akan melaksanakan


perintah itu dengan gerakan sekutu pada lengan berupa fleksi ringan 1

35
disendi siku. Tetapi pasien dengan hemiparesis UMN ringan,
melakukan gerakan yang diperintahkan itu dengan meluruskan lengan
yang paretik (gambar 185).

9. Reflek jari menurut Souques.

Jika lengan yang paretik UMN ringan berelevasi dalam sikap


lurus, maka jari - jari tangan itu akan melakukan abduksi dan
hiperekstensi secara reflektorik (gambar 186).

10. Tanda fleksi paha-badan menurut Babisnski.

Orang sehat yang berbaring terlentang dengan kedua tangan


ditempatkan di atas perutnya dengan mengangkat badannya untuk duduk
tanpa mengangkat tungkainya.Tetapi orang hemiparetik ringan melakukan
gerakan tersebut selalu dengan mengangkat tungkai yang paretik juga
(gambar 187).

36
11. Tanda ekstensi
paha- badan.
Orang sehat yang
duduk di tepi
tempat tidur dengan
kedua tungkainya
tetap

digantung.Tetapi orang hemiparetik UNM ringan dapat melaksanakan


gerakan tersebut hanya dengan mengangkat tungkai yang paretiknya.

37
Sehingga tungkai yang paretik dan badan menjadi lebih kurus (gambar
188).

12. Tanda fleksi tungkai


paretik di sendi lutut.

Orang yang sehat dapat


membungkukkan badannya dengan kedua tungkainya lurus. Tetapi seorang
hemiparetik UMN ringan melaksanakan gerakan tersebut dengan memfleksikan
tungkai yang paretik itu di sendi lutut (gambar 189

13. Tanda tibialis menurut Strumpell.

Orang sehat yang berbaring terlentang dapat memfleksikan tungkai


kakinya di sendi pinggul dan lutut tanpa mendorsofleksikan kakinya.Tetapi
seseorang hemiparetik UMN ringan melakukan gerakan tersebut dengan
mendorsofleksikan kaki yang terkena.

14. Tanda Marie-Foix.

38
Jika ibu jari kaki yang paretik UMN ringan di fleksikan secara maksimal,
maka kaki itu akan berdorsofleksi, tungkai bawah berfleksi di lutut dan tungkai
atas berfleksi di panggul

2.1.9 GERAKAN DISKOORDINATIF DAN CARA

PEMERIKSAANNYA

Gerakan yang kehilangan sifat koordinasinya tampak pada sikap duduk


atau berdiri, pada waktu berjalan dan pada waktu melakukan gerakan dengan
tangan. Adapun gerakan - gerarakan diskoordinatif itu ialah :

1. Pada waktu berdiri.


a) Sikap serebelarnd.
Karena lesi diserebelum maka pasien akan mudah jatuh di sisi
lesi. Sikap kepalanya sedikit menengadah dan dagu berputar kesisi
yang sehat dan dengan bahu disisi yang sakit bersikap sedikit ke depan
dan terangkat. Cara berdirinya dengan kedua kaki yang jauh satu
dengan yang lain (= 'broad base stance').
1

39
b) Test Romberg
Tes ini khas bagi gangguan perasa propioseptik kedua tungkai
karena lesi di funikulus dorsalis (tabes dorsalis).Cara melakukan tes
tersebut ialah seperti berikut. Pasien disuruh berdiri dengan kedua
kakinya berdekatan satu dengan yang lain. Seorang dengan lesi
diserebelum tidak dapat berdiri dengan sikap yang terlukis itu, ia akan
bergoyang - goyang dan jatuh disalah satu sisi. Tetapi seorang dengan
degeneratif funikulus dorsalis (tabes dorsalis) dapat berdiri dalam
sikap tersebut di atas, asalkan kedua matanya terbuka. Bilamana kedua
matanya ditutup ia akan jatuh kearah tidak menentu. Tes Romberg
adalah positif apabila masih mampu berdiri dengan kedua terbuka,
tetapi jatuh kesalah satu sisi apabila mata ditutup.
c) Dekomposisi sikap.
Orang yang sehat berdiri dari sikap duduk, membungkukkan
badannya dahulu lalu menekukkan tungkai di lutut dan akhirnya
mengangkat dan menegakkan badannya.Seorang dengan lesi di
serebelum tidak mampu melakukan urutan gerakan tersebut di
atas.Iaakan langsung mengangkat badannya karena itu kehilangan
keseimbangan, sehingga jatuh kembali di atas kursi. Orang sehat yang
berdiri dapat membungkukkan badannya jauh ke depan tanpa jatuh,
tetapi seorang dengan lesi diserebelum tidak mampu membungkukkan
ke depan tanpa jatuh ke salah satu sisi. Orang sehat dapat berdiri satu
kaki dengan mudah, tetapi seorang dengan lesi diserebelum tidak
mampu bebrbuat demikian, oleh karena itu ia akan jatuh ke salah satu
sisi.
2. Pada waktu berjalan.
Gaya berjalan padien dengan gangguan serebelar khas.Di dalam
klinik dilakukan pemeriksaan dimana pasien berjalan dengan mata tertutup
dan mata terbuka.
Pasien disuruh :
1

40
a. Berjalan menuruti garis yang lurus,
b. Berjalan memutari kursi dan meja,

“lari ditempat”

Berjalan maju mundur

Dengan test-test tersebut akan terlihat kesimpang siuran gerakan berjalan,


dimana kecenderungan untuk menyimpang garis atau jatuh kesalah satu sisi dapat
disaksikan. Pada lsi unilateral di serebelum kecenderungan untuk jatuh ialah
kesisilesijikalesi terletak di vermis, badan bergoyang-goyang dan beranggul-
anggulsewatu berdiri dian dan juga sewaktu berjalan.

Kesimpang siuran dan hilangnya kemantapan gerakan volunter pada


pnyakit serebral dap disaksikan dengan pemeriksaan dimana gerakan volunteer
oleh tangan/lngan dan kaki/tungkai dilakukan.

3. pada wakt melakukan gerakan volunteer dengan tangan/lengan


gerakan diskoordinatif yang dapat disaksikan pada waktu tangan/lengan
melakukan gerakan volunteer dikenal sebagi asinergia, dismetria,
disdiadokhokinesia dan gangguan fiksasi postural.

(a) test untuk mengungkap asinergia

Disenergia atau asinergia ialah gangguan kemampuan pasien untk


mengola otot-otot dan gerakan yang biasanya dilaksanakan secra harmonis,
sinkron, menuruti urutan yang tepat dan dengan tenaga yang sesuai. Dengan sifat-
sifat gerakan volunteer tersebut itu, maka gerakan volunteer akan memperlihatkan
ketangkasan, keluwesan dan kecepatan yang tepat dan sesuai. Dengan test-test
dibawah ini gangguan dalam hal ketagkasan, keluwesan dan kecepatan yang tepat
dapat disaksikan :

 Test menggambar bunderan

41
Pasien dengan gangguan sereral tidak mampu menggambar
bunderan
 Test mengambil gelas air dari meja untuk diminumnya
Orang yang sehat dapat mengambl segelas air dari meja dan
dengan mudah ia mengangkat glas itu utnuk disapaikan kepada mulutnya.
Tetapi orag dengan gangguan serebelar menerjang gelas air dalam usaha
untuk mengambilnya dan akan menyampaikan gelas itu tidak tepat pada
bibirnya. Melainkan pada gigi tau hidungnya.
 Test-test yang dilakukan untuk mengungkap dismetria dapat juga
dipakai untuk meneliti disinrgia

(b) test untu mengungkap dismetria

Dismetria ialah gangguan kemampuan untuk mengelola kecepatan


gerakan, kekuatan dan jangkaunnya adapun test-test yang

a. Test telunjuk hidung


b. Test hidung telunjuk
c. Test telunjuk telunjuk

42
1

43
Tahanan dihilangkan lengan bawah pasien terlanjur berfleksi,
sehingga tagannya dapat memukul pipinya sendiri. Pada orang sehat
lengan bawah tidak terlanjur memukul pipi atau wajah, melainkan akan
berhenti bergerak sebelum tangannya menerjang pipi atau wajahnya.
Fenomen ini dikenal sebagai fenomen ‘rebound’
Dalam melakukan ktiga dismetria tersebut diatas pasien boleh
duduk atau baring dengan mata terbuka dan ditutup secara bergiliran.
Dengan adanya dismetria, maka jari telunjuk tidak mendarat secara luwesa
di ujung hidung atau ujung jari telunjuk lainnya. Melainkan ‘jatuh
menarak atau menerjang’ tujuannya.
Dismetria pada kaki dapat diteliti dengan :
1. Test tumit-lutut-ibu jari kaki
Pasien disuruh menempatkan salah satu tumitnya diatas lutut
tungkai lainnya, keudia tumit itu harus meluncur dari lutut k
pergelangan kaki melalui tulang tibia dan akhirnya memenjat dorsum
pedis untuk menyentuh ibu jari kaki. Test ini dilakukan oleh
keduatungkai secara bergiliran pada penyakit serebelar tumit tidak
didaratkan secara luwes diatas lutut, melainkan ‘jatuh’ dipaha atau
samping lutut. Kemudian tumit meluncur secara terhuyung-huyung
hendak jatuh ke samping odtibia dan akhirya tumit dijatuhkan diatas
jari-jari kaki, dan bukannya didaratkan secara rapi diatas ibu jari kaki.
2. Test ibu jari kaki-jari telunjuk
Pasien disuruh menyentuh jari telunjuk si pemeriksa dengan
ibu jari kakinya secara berulang-ulang

(c) test untuk mengungkapkan disdiaokhokinesia

Kemampuan untuk melakukan gerakan cepat secara berselingan


dinamakan diadokhokinedia. Gerakan tersebut ialah msalnya mempronasi-

44
supinasikan tangan,melakukan dorongan sofleksi dan volarfleksi di pergelangan
tangan secara berselingan seperti kalau menepuk-nepuk paha atau membolak-

Balikkan tangan diatas pada secara berulang-ulang atapun menyentuh


ujung jari telunjuk dari ujung ibu jari secara berulang-ulang

Kecanggungan daam melakukan gerakan diadokhotikinetik itu dikenal


sebagai disdiakhokinesia

d. test sewaktu memelihara sikap

Dalam memelihara suatu sikap orang ehat tidak memerlukan bantuan


visual.Tetapi pasien dengan lessi seleberal unilateral memerlukan bantuan mata,
olh karena kalau matanya ditutupakan timbul deviasi sikap anggota gerak disisi
lesi.Gejala ini dapat diungkaplan kalau kedualengan diluruskan kedepa dengan
mata tertutup selama beberapa dektik.Lengan pada sisi lesi ajan menyimpang
1

45
kearah lesi.Dalam posisi satu lengan diturunkan oleh pemeriksa dan pasien
diminta nemepatkan lengan itu ada posisinya yang semula lengan sisi lesi tidak
mampu untuk mengambil kembali posisi yang semula.

Lain test yang memperlihatkan disfungsi serebelar dalam pemeliharaan


susatu sikap ialah sebagai berikut. Pasien disuruh untuk menekkukan lengan di
sendi siku, sedangkan si pemeriksan menahan gerakan yang dilakukan oasien
itupada waktu Digunakan didalam

2.2 PEMERIKSAAN FISIK MENINGEN

2.2.1 TANDAMENINGEAL

Tanda-tanda meningeal timbul karena tertariknya radiks-radiks


saraf tepi yang hipersensitif karena adanya perangsangan atau peradangan
pada selaput otak meninges (meningitis) akibat infeksi, kimiawi maupun
karsinomatosis.Perangsangan meningeal bisa terjadi juga akibat
perdarahan subarachnoid.
Test-test untuk menguji ada tidaknya tanda meningeal banyak
sekali, namun pada dasarnya adalah variasi test pertama yang dikenalkan
oleh Vladimir Kernig pada tahun 1884. Dokter ahli penyakit dalam dari
Rusia ini memperhatikan adanya keterbatasan ekstensi pasif sendi lutut
pada pasien meningitis dalam posisi duduk maupun berbaring. Sampai
sekarang masih sering digunakan untuk memeriksa tandameningeal.
Selanjutnya Josep Brudzinski seorang ilmuwan Polandia pada
1

46
tahun 1909 mengenalkan tanda laindalam mendeteksi adanya tanda
meningeal. Tanda yang diperkenalkan adalah gerakan fleksi bilateral di
sendi lutut dan panggul yang timbul secara reflektorik akibat
difleksikannya kepala pasien ke depan sampai menyentuh dada. Tanda ini
dikenal sebagai tanda BrudzinskiI.
Sebelumnya Brudzinski juga telah memperkenalkan adanya tanda
tungkai kontralateral sebagai tanda perangsangan meningeal, yaitu
gerakan fleksi di sendi panggul dengan tungkai pada posisi lurus disendi
lutut akan membangkitkan secara reflektorik gerakan fleksi sendi lutut
dan panggul kontralateral. Tanda ini dikenal sebagai Tanda Brudzinski
II.Urutan I dan II hanya menunjukkan urutan pemeriksaannnya saja,
bukan urutanpenemuannya.
Selain tanda-tanda yang sudah dideskripsikan di atas masih ada
beberapa tanda meningeal yang lain namun ada satu tanda lagi yang
cukup penting yaitu kaku kuduk. Pada pasien meningitis akan didapatkan
kekakuan atau tahanan pada kuduk bila difleksikan dan diekstensikan.

2.2.2 PROSEDURPEMERIKSAAN

Untuk memudahkan pemeriksaan, pada keterampilan medik ini


berturut-turut akan dipelajari tanda-tanda meningeal sebagai berikut :

1. Kaku Kuduk (RigiditasNuchae)

2. Tanda BrudzinskiI

3. TandaKernig

4. Tanda BrudzinskiII

1. KakuKuduk

- Penderita berbaring terlentang di atas tempattidur.

- Secara pasif kepala penderita dilakukan fleksi danekstensi.

47
- Kaku kuduk positif jika sewaktu dilakukan gerakan, dagu
penderita tidak dapat
menyentuhduajariyangdiletakkandiincisurajugularis,terdapatsu
atutahanan.

2. Tanda BrudzinskiI

- Pasien berbaringterlentang.

- Tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepalapasien.

- Kemudian dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan


cepat, gerakan fleksi ini dilakukan semaksimalmungkin.
- Tanda Brudzinski positif jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi
kepala pasien timbul fleksi involunter pada keduatungkai.

3. TandaKernig

- Pasien berbaringterlentang.

- Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut


daripasien.

- Kemudian dilakukan ekstensi pada sendilutut.

- Tanda Kernig positif jika pada waktu dilakukan ekstensi pada


sendi lutut < 135o, timbul rasa nyeri, sehingga ekstensi sendi lutut
tidak bisamaksimal.
1

48
4. Tanda BrudzinskiII

- Pasien berbaringterlentang.

- Tungkai bawah pasien dilakukan fleksi secara pasif pada sendi


panggul dan sendi lutut (seperti TandaKernig).
- Tanda Brudzinski II positif jika sewaktu dilakukan gerakan di atas
tadi, tungkai yang kontralateral secara involunter ikut fleksi.

49
1

50
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Segala aktifitas susunan saraf pusat yang dilihat, didengar dan direkam dan yang

diperiksa adalah berwujud gerak otot. Sebagian besar manifestasi kelainan saraf

bermanifestasi dalam gangguan gerak otot. Manifestasi obyektif inilah yang

merupakan buktinyataa dan suatu kelainan atau penyakit. Gangguan pada serebelum

mengakibatkan gangguan gerak berupa gangguan sikap dan tonus. Selain itu juga

terjadi ataksia, dismetria, dan tremorintensi. Tiga fungsi penting dari serebelum ialah

keseimbangan, pengatur tonus otot, dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan

volunteer.

3.2 SARAN

Setiap mahasiswa yang disuruh melakukan pemeriksaan motorik selalu memeriksa

tenaga otot sebagai tindakan permulaan dalam urutan tindakan pemeriksaan motorik.

Memang banyak buku pelajaran tidak memberikan tuntunan mengenai cara tindakan

pemeriksaan motorik. Pengalaman pribadi penulis menjadi dorongan besar untuk

menekankan pada urutan suatu tindakan pemeriksaan, oleh karena sistematik yang

tercakup dalam urutan itu menjamin kelengkapan dan ketelitian suatu pemeriksaan.

151
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, William W. 2005. DeJong's The Neurologic Examination, 6th

Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.

sidharta, P. (2006). Tata pemeriksaan klinis dalam neurologis . Jakarta: Dian

rakyat .

iv

Anda mungkin juga menyukai