Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN WAHAM

Disusun oleh :

VINDY ADESTYA PUTRI

P.1337420919046

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG

2019
A. PENGERTIAN
Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak sesuai
dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Direja, 2011).
Waham curiga adalah keyakinan seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan
atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan
(Kelliat, 2009).
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus internal dan
eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa waham yaitu keyakinan individu yang
tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan realitas. Keyakinan individu tersebut tidak
sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya, serta tidak dapat diubah
dengan alasan yang logis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan berulang kali
(Kusumawati, 2010).
Gangguan orientasi realitas adalah ketidakmampuan menilai dan berespons pada realitas.
Klien tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan sehingga muncul perilaku yang
sukar untuk dimengerti dan menakutkan. Gangguan ini biasanya ditemukan pada pasien
skizofrenia dan psikotik lain. Waham merupakan bagian dari gangguan orientasi realita pada
isi pikir dan pasien skizofrenia menggunakan waham untuk memenuhi kebutuhan
psikologisnya yang tidak terpenuhi oleh kenyataan dalam hidupnya. Misalnya : harga diri,
rasa aman, hukuman yang terkait dengan perasaan bersalah atau perasaan takut mereka tidak
dapat mengoreksi dengan alasan atau logika (Kusumawati, 2010).
B. JENIS WAHAM
1. Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, serta diucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini direktur sebuah bank swasta lho
atau Saya punya beberapa perusahaan multinasional”.
2. Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha merugikan/mencederai
dirinya, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya tahu
kalian semua memasukkan racun ke dalam makanan saya”.
3. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, serta diucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Kalau saya mau masuk surga saya harus
membagikan uang kepada semua orang”.
4. Waham somatic
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang penyakit, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya sakit menderita
penyakit menular ganas”, setelah pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda
kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia terserang kanker.
5. Waham nihilistic
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, serta diucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan alam kubur ya, semua yang ada di
sini adalah roh-roh”.
C. PENYEBAB ATAU ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
a. Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
b. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
c. Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
d. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
2. Faktor Presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
c. Adanya gejala pemicu
Gangguan orientasi realitas menyebar dalam lima kategori utama fungsi otak Menurut
Kusumawati, (2010) yaitu :
1. Gangguan fungsi kognitif dan persepsi menyebabkan kemampuan menilai dan menilik
terganggu.
2. Gangguan fungsi emosi, motorik, dan sosial mengakibatkan kemampuan berespons
terganggu, tampak dari perilaku nonverbal (ekspresi dan gerakan tubuh) dan perilaku
verbal (penampilan hubungan sosial).
3. Gangguan realitas umumnya ditemukan pada skizofrenia.
4. Gejala primer skizofrenia (bluer) : 4a + 2a yaitu gangguan asosiasi, efek, ambivalen,
autistik, serta gangguan atensi dan aktivitas.
5. Gejala sekunder: halusinasi, waham, dan gangguan daya ingat.
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakinninya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan
2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
3. Curiga kepada orang lain
4. Bermusuhan
5. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
6. Takut dan sangat waspada
7. Tidak tepat menilai lingkungan/realitas
8. Ekspresi wajah tegang
9. Mudah tersingung
Tanda dan Gejala Menurut Direja, (2011) yaitu :
Terbiasa menolak makan, tidak ada perhatian pada perawatan diri, Ekspresi wajah sedih dan
ketakutan, gerakan tidak terkontrol, mudah tersinggung, isi pembicaraan tidak sesuai dengan
kenyataan dan bukan kenyataan, menghindar dari orang lain, mendominasi pembicaraan,
berbicara kasar, menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan.
E. AKIBAT
Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berfikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan pengorganisasian bicara
(tangensial, neologisme, sirkumtansial)
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi.
3. Fungsi emosi
Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek tidak sesuai, reaksi berlebihan,
ambivalen.
4. Fungsi motoric
Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik gerakan yang diulang-
ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas, katatonia.
5. Fungsi sosial kesepian
Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.6. Dalam tatanan keperawatan jiwa
respons neurobiologis yang sering muncul adalah gangguan isi pikir: waham dan PSP:
halusinasi.
F. PENATALAKSANAAN
a. Farmakoterapi
Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan skizofrenia
secara umum menurut Townsend (1998), Kaplan dan Sadock (1998) antara lain :
1. Anti Psikotik
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi gangguan waham. Pada
kondisi gawat darurat, klien yang teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik
secara intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon dengan obat pada dosis
yang cukup dalam waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain harus diberikan.
Penyebab kegagalan pengobatan yang paling sering adalah ketidakpatuhan klien
minum obat. Kondisi ini harus diperhitungkan oleh dokter dan perawat. Sedangkan
terapi yang berhasil dapat ditandai adanya suatu penyesuaian sosial, dan bukan
hilangnya waham pada klien.
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :
 Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi gejala
emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal : 3×25 mg, kemudian dapat
ditingkatkan supaya optimal, dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
 Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri. Dosis
awal : 3×1 mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50 mg/hari.
 Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania. Dosis
awal : 3×0,5 mg sampai 3 mg.
2. Anti Parkinson
 Triheksipenydil (Artane)
Untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal akibat obat. Dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari
 Difehidamin
Dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari
3. Anti Depresan
 Amitriptylin
Untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatik. Dosis :
75-300 mg/hari.
 Imipramin
Untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotik. Dosis
awal : 25 mg/hari, dosis pemeliharaan : 50-75 mg/hari.
4. Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengotrol ansietas, kelainan somatroform, kelainan
disosiatif, kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-gejala insomnia
dan ansietas. Obat- obat yang termasuk anti ansietas antara lain:
 Fenobarbital : 16-320 mg/hari
 Meprobamat : 200-2400 mg/hari
 Klordiazepoksida : 15-100 mg/hari
b. Psikoterapi
Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling percaya.
Terapi individu lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung
ataupun menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan tentang
wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan membuat perjanjian seteratur mungkin.
Tujuan yang dikembangkan adalah hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien.
Kepuasan yang berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien,
karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu menyatakan
pada klien bahwa keasyikan dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri
dan mengganggu kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan wahamnya,
terapis dapat meningkatkan tes realitas.
Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal klien, dan
harus mampu menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya dengan berkata :
“Anda pasti merasa sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, tanpa menyetujui setiap
mis persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya ketegangan klien”. Dalam hal ini
tujuannya adalah membantu klien memiliki keraguan terhadap persepsinya. Saat klien
menjadi kurang kaku, perasaan kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi,
dapat timbul. Pada saat klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi, suatu
hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas terpeutik dapat dilakukan.
c. Terapi Keluarga
Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga klien, sebagai sekutu
dalam proses pengobatan. Keluarga akan memperoleh manfaat dalam membantu ahli
terapi dan membantu perawatan klien.
G. MEKANISME KOPING
Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman berhubungan dengan respon neurobioligi :
1. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang tertinggal untuk
aktivitas hidup sehari-hari
2. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
3. Menarik diri
H. RENTANG RESPON

I. PROSES TERJADINYA
1. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need)
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik secara fisik maupun
psikis. Secara fisik, pasien dengan waham dapat terjadi pada orang dengan status sosial
dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya pasien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang
salah. Hal itu terjadi karena adanya kesenjangan antara kenyataan (reality), yaitu tidak
memiliki finansial yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin memiliki
berbagai kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
2. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan kebutuhan yang tidak
terpenuhi menyebabkan pasien mengalami perasaan menderita, malu, dan tidak
berharga.
3. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan, dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Namun, menghadapi kenyataan bagi pasien adalah sesuatu yang sangat berat,
karena kebutuhannya untuk diakui, dianggap penting, dan diterima lingkungan menjadi
prioritas dalam hidupnya, sebab kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara
optimal. Lingkungan sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang
dikatakan pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjadi perasaan. Lingkungan hanya menjadi
pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan
pasien tidak merugikan orang lain.
4. Fase dukungan lingkungan (environment support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien dalam
lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama-kelamaan pasien
menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Oleh karenanya, mulai terjadi kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma (superego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat
berbohong.
5. Fase nyaman (comforting)
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa
semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering
disertai halusinasi pada saat pasien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien
lebih sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi, keyakinan yang salah
pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering berkaitan dengan kejadian traumatik
masa lalu atau berbagai kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham
bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri
dan orang lain.
J. POHON MASALAH

K. ASKEP WAHAM
PENGKAJIAN
1. Faktor predisposisi
a. Biologi
Waham dari bagian dari manifestasi psikologi dimana abnormalitas otak yang
menyebabkan respon neurologis yang maladaptif yang baru mulai dipahami, ini
termasuk hal-hal berikut :
 Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak yang luas dan
dalam perkermbangan skizofrenia. Lesi pada area frontal, temporal dan limbik paling
berhubungan dengan perilaku psikotik.
 Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia. Hasil penelitian sangat
menunjukkan hal-hal berikut ini :
a) Dopamin neurotransmitter yang berlebihan
b) Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain
c) Masalah-masalah pada sistem respon dopamine
Penelitian pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang diadopsi telah
diupayakan untuk mengidentifikasikan penyebab genetik pada skizofrenia. Sudah
ditemukan bahwa kembar identik yang dibesarkan secara terpisah mempunyai angka
kejadian yang tinggi pada skizofrenia dari pada pasangan saudara kandung yang tidak
identik penelitian genetik terakhir memfokuskan pada pemotongan gen dalam keluarga
dimana terdapat angka kejadian skizofrenia yang tinggi.
b. Psikologi
Teori psikodinamika untuk terjadinya respon neurobiologik yang maladaptif belum
didukung oleh penelitian. Sayangnya teori psikologik terdahulu menyalahkan keluarga
sebagai penyebab gangguan ini sehingga menimbulkan kurangnya rasa percaya
(keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa profesional).
c. Sosial budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan gangguan
psikotik tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan.Seseorang yang merasa
diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya waham (Direja, 2011).
2. Faktor Presipitasi
a. Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang maladaptif termasuk:
1) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi
2) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.
b. Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi dengan
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Pemicu gejala
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering menunjukkan episode baru
suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada respon neurobiologik yang maladaptif
berhubungan dengan kesehatan. Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2011).
Menurut Kaplan dan Sadock (2010) beberapa hal yang harus dikaji antara lain sebagai
berikut :
a. Status mental
 Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat normal, kecuali
bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
 Suasana hati (mood) pasien konsisten dengan isi wahamnya.
 Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga.
 Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas diri
dan mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.
 Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas
depresi ringan.
 Pasien dengan waham tidak memiliki halusinasi yang menonjol/menetap kecuali
pada pasien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa pasien kemungkinan
ditemukan halusinasi dengar.
b. Sensorium dan kognisi
 Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki
waham spesifik tentang waktu, tempat, dan situasi.
 Daya ingat dan proses kognitif pasien dengan utuh (intact).
 Pasien waham hampir seluruh memiliki daya tilik diri (insight) yang jelek.
 Pasien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya, keputusan
yang terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi pasien adalah dengan
menilai perilaku masa lalu, masa sekarang, dan yang direncanakan.
3. Tanda Dan Gejala Khas Waham
a. Kognitif
 Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
 Individu sangat percaya pada keyakinannya.
 Sulit berpikir realita.
 Tidak mampu mengambil keputusan.
b. Afektif
 Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
 Afek tumpul.
c. Perilaku dan hubungan sosial
 Hipersensitif
 Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
 Depresif
 Ragu-ragu
 Mengancam secara verbal
 Aktivitas tidak tepat
 Streotif
 Impulsif
 Curiga / paranoid
d. Fisik
 Kebersihan kurang
 Muka pucat
 Sering menguap
 Berat badan menurun
 Nafsu makan menurun
MASALAH YANG SERING MUNCUL
1. Risiko Perilaku Kekerasan
2. Risiko kerusakan komunikasi
3. Perubahan proses pikir : waham

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham.
2. Perubahan proses pikir: waham berhubungan dengan harga diri rendah.

FOKUS INTERVENSI
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap.
b. Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
c. Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
d. Pasien menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
2. Tindakan keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya
 Mengucapkan salam terapeutik.
 Berjabat tangan.
 Menjelaskan tujuan interaksi.
 Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Bantu orientasi realitas (SP 1 PASIEN)
 Tidak mendukung atau membantah waham pasien.
 Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman.
 Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari.
 Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa memberikan
dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti membicarakannya.
 Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan realitas.
c. Diskusikan kebutuhan psikologis atau emosional yang tidak terpenuhi sehingga
menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah ( SP 2 PASIEN)
 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional pasien.
 Berdiskusi tentang kemampuan positif yang dimiliki.
 Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki.
 Berdiskusi tentang obat yang diminum.
 Melatih minum obat yang benar (SP 3 PASIEN)
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga mampu mengidentifikasi waham pasien.
b. Keluarga mampu memfasilitasi pasien untuk memenuhi kebutuhan yang dipenuhi oleh
wahamnya.
c. Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan pasien secara optimal.
2. Tindakan keperawatan
a. Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien (SP 1 KELUARGA)
 Masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
 Pengertian, tnada gejala, jenis dan proses terjadinya waham
b. Diskusikan dengan keluarga tentang hal berikut
 Cara merawat pasien waham di rumah
 Follow up dan keteraturan pengobatan.
 Lingkungan yang tepat untuk pasien.
 Melatih dan mempraktikan cara merawat pasien dengan waham (SP 2 KELUARGA)
c. Diskusikan dengan keluarga tentang obat pasien (nama obat, dosis, frekuensi, efek
samping, akibat penghentian obat) serta tindak lanjut pasien setelah pulang (SP 3
KELUARGA)
d. Diskusikan dengan keluarga kondisi pasien yang memerlukan konsultasi segera.

EVALUASI
1. Pasien mampu melakukan hal berikut
a. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
b. Berkomunikasi sesuai kenyataan.
c. Menggunakan obat dengan benar dan patuh.
2. Keluarga mampu melakukan hal berikut
a. Membantu pasien untuk mengungkapkan keyakinannya sesuai kenyataan.
b. Membantu pasien melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan pasien.
c. Membantu pasien menggunakan obat dengan benar dan patuh.
DAFTAR PUSTAKA
Direja, Ade Herman Surya. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika
Keliat, Budi Anna. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: ECG.
Sadock, Benjamin J., Virginia A. Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis: Kaplan dan
Sandock (Edisi 2). Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai