Anda di halaman 1dari 19

BAB II

Tinjauan Teori

A. Definisi
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh yang biasanya
terjadi akibat perdarahan yang masif (Sudoyo,2009).

B. Etiologi
Beberapa penyebab tersering pada syok hemoragik (Guiterrez, 2004):
 Terapi antitrombosis
 Koagulopati
 Perdarahan saluran pencernaan
o Varises esofagus
o Ulkus peptikum dan duodenum
o Ca gaster dan esofagus
 Obstetrik/ginekologi
Penyebab umum terjadinya syok hemoragik pada kasus obstetric
adalah:
 Jumlah besar volume darah yang terkumpul dalam rongga perut
atau pleura.
 Perdarahan pada kasus obsterik (KET dan Perdarahan post
partum).
 Perdarahan yang disebabkan patah tulang paha (femur shaft) dan
patah tulang panggul (pelvis) dengan volume darahyang hilang
melebihi 2 liter.
Terjadinya perdarahan postpartum disebabkan oleh 4T yaitu:
atonia uterus (tonus), retensio plasenta(tissue), robekan jalan lahir
(trauma), dan gangguan pembekuan darah (thrombin)
a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan keadaan dimana otot uterus (miometrium)
gagal berkontraksi pada tahap ke-3 persalinan, yaitu setelah bayi
dilahirkan, sehingga perdarahan dari tempat perlekatan arteri dan
vena spiral plasenta terus terbuka. Kondisi bahwa 1/5 dari curah
jantung ibu hamil yaitu sekitar 1000ml/menit memasuki sirkulasi
uteroplasenta saat persalinan membuat perdarahan postpartum
karena atonia uteri ini dapat menghilangkan banyak darah ibu
dalam waktu singkat. Penyebab pasti disfungsi kontraksi pada
uterus ini masih belum diketahui secara pasti.
b. Retensio Plasenta
Pada kala tiga persalinan, miometrium berkontraksi mengikuti
penyusutan rongga uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan
ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan
plasenta. Karena tempat perlekatan menjadi semakinkecil,
sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka plasenta akan
terlipat, menebal, dan kemudian terlepas dari dinding uterus.
Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus atau
ke dalam vagina.
c. Robekan Jalan Lahir
Proses persalinan selalu terkait dengan trauma jalan lahir
termasuk uterus, serviks, vagina, dan perineum. Cedera yang
didapat saat persalinan dapat berkisar dari robekan mukosa minor
hingga laserasi yang menyebabkan perdarahan yang mengancam
jiwa. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka
episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampai
ruptur perinei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding
vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra
serta bahkan yang paling berat yaitu ruptur uteri.
d. Gangguan Pembekuan Darah
Kelainan pembekuan darah kongenital dan didapat berperan
signifikan pada kejadian perdarahan postpartum primer tetapi
jarang terjadi hanya sekitar 3%. Penyakit von Willebrand
merupakan contoh penyakit koagulopati yang penting yang dapat
meningkatkan risiko perdarahan postpartum. Gangguan
pembekuan darah baru dicurigai sebagai kausal apabila penyebab
yang lain telah disingkirkan dan disertai adanya riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya.
 Paru
o Emboli pulmonal
o Ca paru
o Penyakit paru yang berkavitas: TB, aspergillosis
 Ruptur aneurisma
 Perdarahan retroperitoneal
 Trauma
o Laserasi
o Luka tembus pada abdomen dan toraks
o Ruptur pembuluh darah besar
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai akibatnya
akan menurunkan aliran balik vena. Sebagai hasilnya, curah jantung menurun di
bawah normal dan timbul syok.

C. Klasifikasi
Sistem klasifikasi syok hemoragik berdasarkan dari American College of
Surgeon Committee on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem ini berguna untuk
memastikan tanda-tanda dini syok hemoragik.

Tabel 2.1. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi


Penderita Semula
Parameter Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan <750 750 – 700 700 – 1100 >1100
darah (ml)
Kehilangan <7% 7% – 30% 30% - 40% >40%
darah (%)
Nadi (x/menit) <100 >100 >50 >30
Tekanan Normal Menurun Menurun Menurun
darah
Frekuensi 3 – 11 11 – 30 30 – 40 >35
pernapasan
(x/menit)
Produksi urin >30 11 – 30 5–7 Tidak berarti
(ml/jam)
Gejala pada Normal Cemas Cemas, Bingung, lesu
saraf pusat / bingung
status mental
Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
cairan (hukum darah darah
3:1)

Gambar 2.1 Perubahan konsumsi O2


D. Patofisiologi
Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan nadi.
Perubahan ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium. Dengan
berkurangnya volume darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis.
Reaksi ini menimbulkan peningkatan frekuensi nadi, vasokonstriksi, dan penurunan
distribusi aliran darah pada organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran pencernaan,
dan ginjal (Udeani, 2018)
Pada perdaharan, terjadi respon-respon hormonal. Corticotropin-releasing
hormone terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan pelepasan
glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitari posterior akan melepas
vasopressin, menyebabkan retensi air pada tubulus distal. Renin dilepaskan oleh
kompleks juxtamedularis sebagai respon dari penurunan MAP (Mean Arerial
Pressure), sehingga meningkatkan aldosteron dan berujung resoprsi natrium dan air.
Hiperglikemia sering didapatkan pada perdarahan akut karena glukagon dan growth
hormone meningkat pada gluconeogenesis dan glikogenosis. Peredaran katekolamin
menghambat pelepasan dan aktivitas insulin secara relative sehingga terjadi
peningkatan kadar gula darah (Udeani, 2018).
Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi
peningkatan ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis
metabolik dari karbon dioksida yang diproduksi (Guiterez, 2004)
Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan
spesifik mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di
otak dimana pasokan aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP.
Ginjal juga mentoleransi penuruunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang
cepat dan pasokan aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme
vasokonstriksi dari splanknik. Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi
awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan organ tubuh tertentu akibat
kompensasinya dalam pertahanan tubuh (Udeani, 2018).

E. Tanda dan Gejala


Menurut Udeani (2018) Gejala klinis tunggal jarang ditemukan saat diagnosis
syok ditegakkan. Pasien bisa mengeluh lelah, kelemahan umum, atau nyeri
punggung belakang (gejala pecahnya aneurisma aorta abdominal). Penting diperoleh
data rinci tentang tipe, jumlah, dan lama perdarahan, karena pengambilan keputusan
untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah darah yang
hilang dan lamanya perdarahan.
Untuk perdarahan pada saluran cerna sangatlah penting dicari asal darah dari
rectum atau dari mulut. Karena cukup sulit menduga jumlah darah yang hilang dari
saluran cerna bagian bawah. Semua darah segar yang keluar dari rectum harus
diduga adanya perdarahan hebat sampai dibuktikan sebaliknya.
Syok umumnya memberi gejala klinis seperti turunnya tanda vital tubuh:
hipotensi, takikardi, penurunan urin output, dan penurunan kesadaran. Kumpulan
gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh. Gejala umum lainnya
yang bisa timbul adalah kulit kering, pucat, dan dengan diaphoresis. Pasien menjadi
bingung, agitasi, dan tidak sadar. Pada fase awal nadi cepat dan dalam dibandingkan
denyutnya, tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam batas normal karena
kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia kronik.
Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya
darah. Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah
terdapat gejala hemotoraks, suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di
area dekat perdarahan (Udeani, 2018). Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-
abdominal. Periksa panggul apakah ada ekimosis yang mengarah ke perdarahan
retroperitoneal. Lakukan pemeriksaan rectum untuk mengetahui asal darah yang
keluar dari rectum.
Pasien dengan riwayat perdarahan vagina dilakukan pemeriksaan pelvis
lengkap dan lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan
ektopik.

Sedangkan gejala klinis untuk kasus pendarahan post partum sendiri adalah sebagai
berikut :

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak


10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik yang nyata. Gejala
klinik baru tampak apabila kehilangan darah telah mencapai 20%.

Perdarahan tidak hanya terjadi pada mereka yang memiliki faktor risiko
tapi pada setiap persalinan kemungkinan terjadi perdarahan selalu ada. Jika
perdarahan terus berlanjut akan menimbulkan tanda-tanda syok dengan
gambaran klinisnya berupa perdarahan terus-menerus dan keadaan pasien
secara berangsur-angsur menjadi jelek. Denyut nadi menjadi cepat dan
lemah, tekanan darah menurun, pasien berubah pucat dan ekstrimita dingin,
serta nafas menjadi sesak dan terengah-engah.
F. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diganostik yang dapat dilakukan untuk melihat sejauh mana syok
hemoragik terjadi adalah sebagai berikut :
1. Pemerikaan hemoglobin atau hematokrit
 Untuk menilai berapa jumlah kehilangan darah yang sudah terjadi.
 Berapa jam perkiraan darah sudah hilang
 Sebagai data dasar untuk melakukan transfuse darah.
2. Pemeriksaan darah arteri (BGA)
 Untuk menilai jumlah asidosis serum darah, PH <7,25
 Sebagai penanda terjadinya proses kehilangan darah yang parah.
3. Pemeriksaan laktat
 Untuk mengukur kadar tidak langsung dari jumlah oksigen
 Nilai normal = 1,0 mEq / L
 Nilai> 1,0 berkorelasi dengan terajadinya shock
 Level Laktat> 5 = ↑ mortalitas
 Kemampuan membersihkan laktat dalam 24 jam: sebagai kemampuan
untuk bertahan hidup
 Ketidakmampuan untuk menghapus laktat dalam waktu 12 jam: sebagai
tanda terjadinya kegagalan organ multisystem
4. Penurunan nilai basis
 Ukuran sensitif dari perfusi yang tidak adekuat
 Kisaran normal -3 hingga +3
 Sejalan dengan BGA
 Penerimaan nilai basis berkorelasi dengan kehilangan darah
 Memburuknya nilai basis : perdarahan yang masih berlangsung,
penggantian nilai volume yang tidak
5. Thromboelastogram (TEG)
 Memprediksi akan jumlah kebutuhan transfuse
 Menggunakan target komponen darah
 Identifikasi pasien hiperfibrinolitik
 Kaji dampak penghambat trombosit (aspirin dan Plavix) dengan Pemetaan
Trombosit
 Mungkin satu-satunya metode untuk mendeteksi tingkat antikoagulasi oleh
Dabigatran (Pradaxa)
6. Memperkirakan jumlah kehilangan darah
Berdasarkan definisi dari perdarahan postpartum yaitu perdarahan yang
terjadi segera setelah partus (persalinan)1, sebanyak 500 ml pada
persalinan per vaginam atau lebih dari 1000 ml pada seksio sesarea.2,3
Cara yang paling tepat untuk menentukan apakah seseorang mengalami
perdarahan postpartum adalah dengan menghitung kehilangan darah yang
terjadi. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara mengukur atau
memperkirakan jumlah darah yang hilang saat persalinan.

G. Penatalaksanaan

Prinsip pengelolaan dasar syok hemoragik ialah menghentikan perdarahan dan


menggantikan kehilangan volume darah.
1. Pemeriksaan jasmani
Hal penting yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin,
dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan pasien yang lebih rinci akan menyusul
bila keadaan penderita memungkinkan.
 Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan
oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
 Circulation – kontrol perdarahan
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang
jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai
perfusi jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal)
biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat
perdarahan.
 Disability –pemeriksaan neurologi
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat
kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motoric dan
sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti
perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.
 Exposure – pemeriksaan lengkap
Setelah mengurus prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita
harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki
sebagai bagian dari mencari cedera. Pemakaian penghangat cairan,
maupun cara-cara penghangatan internal maupun eksternal sangat
bermanfaat dalam mencegah hipotermia.
 Dilatasi lambung – dekompresi
Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya
pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia
jantung yang tak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardia dari
stimulasi nervus vagus yang berlebihan. Distensi lambung
menyebabkan terapi syok menjadi sulit. Pada pasien tidak sadar,
distensi lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung dan dapat
menjadi suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung
dilakukan dengan memasukkan NGT.
 Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan
adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau
produksi urin. Darah pada uretra atau prostat dengan letak tinggi,
mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki merupakan
kontraindikasi mutlak bagi pemasangan kateter uretra sebelum ada
konfirmasi radiografis tentang uretra yang utuh (American College of
Surgeons Committee on Trauma. 1997).
 Pengobatan dengan posisi kepala di bawah. Dengan menempatkan
penderita dengan kepala 5 inci lebih rendah daripada kaki akan sangat
membantu dalam meningkatkan alir balik vena dan dengan demikian
menaikkan curah jantung. Posisi kepala di bawah ini adalah tindakan
pertama dalam pengobatan berbagai macam syok (Muhiman, dkk.
2002).

2. Akses pembuluh darah


Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling baik
dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar sebelum
dipertimbangkan jalur vena sentral.
Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah
lengan bawah atau pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak
memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer, maka digunakan akses
pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis, atau subklavia dengan
kateter besar) dengan menggunakan teknik seldinger atau melakukan vena
seksi pada vena safena di kaki. Pada anak di bawah 6 tahun, teknik
penempatan jarum intra oseus harus dicoba sebelum menggunakan jalur
vena sentral.
Foto toraks harus diambil setelah pemasangan CVP pada vena
subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisinya dan
penilaian kemungkinan terjadinya pneumotoraks atau hematotoraks
(American College of Surgeons Committee on Trauma. 1997).

3. Terapi awal cairan


Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya
digunakan patokan berat badan.Volume darah rata-rata pada orang dewasa
kira-kira 7% dari berat badan.Bila penderita gemuk maka volume darahnya
diperkirakan berdasarkan berat badan ideal. Volume darah anak-anak
dihitung 8% - 9% dari berat badan (80-90 ml/kg) (Steven, 2004).
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume)
penderita.Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan
baik.Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih
cepat.Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk
sementara dengan cairan sampai darah transfusi tersedia. Total volume
cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara
2-4 x volume yang hilang (Wiroadmojo)
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan
ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume
vaskular dengan cara menggantikan kehilangan cairan ke dalam ruang
interstitial dan intraseluler. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama.
NaCl fisiologis adalah pilihan kedua karena berpotensi menyebabkan
terjadinya asidosis hiperkhloremik. Kemungkinan ini bertambah besar jika
fungsi ginjal kurang baik.
Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat
sebagai bolus. Dosis awal adalah 1-2 liter pada dewasa dan 11 ml/kg pada
anak, diberikan dalam 30-60 menit pertama. Jumlah cairan yang diperlukan
untuk resusitasi sukar diramalkan pada awal evaluasi penderita. Perhitungan
kasar untuk jumlah total volulme kristaloid yang secara akut diperlukan adalah
mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid,
sehingga memungkinkan restitusi volume plasma yang hilang ke dalam ruang
interstitial dan intraseluler. Ini dikenal sebagai “hukum 3 untuk 1” (“3 for 1
rule”). Namun lebih penting untuk menilai respon penderia kepada resusitasi
cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya
keluar urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer (Muhimin, 2002).

Table 2.2 Respon terhadap pemberian cairan awal


Respon cepat Respon Tanpa respon
sementara
Tanda vital Kembali ke Perbaikan Tetap
normal sementara, abnormal
tekanan darah
dan nadi
kembali turun
Dugaan Minimal (10% - Sedang, masih Berat (>40%)
kehilangan 11%) ada (11% -
darah 40%)
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
kristaloid
Kebutuhan Sedikit Sedang- Segera
darah banyak
Persiapan Tipe spesifik Tipe spesifik Emergensi
darah dan
crossmatch
Operasi Mungkin Sangat Hampir pasti
mungkin
Kehadiran dini Perlu Perlu Perlu
ahli bedah

Jumlah produksi urin merupakan indicator yang cukup sensitive untuk


perfusi ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran
darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi dengan pemberian obat
diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah satu pemantau utama
resusitasi dan respon penderita.
Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan
keluaran urin sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada
anakm dan 2 ml/kg/jam pada bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang atau
makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini
menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambah
penggantian volume dan usaha diagnostik American College of Surgeons
Committee on Trauma. 1997).
Berdasarkan wiroatmojo bila telah jelas ada perbaikan hemodinamik
(tekanan sistolik ≥100, nadi ≤100, perfusi hangat, urin 0,5 ml/kg/jam), infus
harus dilambatkan dan biasanya transfuse tidak diperlukan. Bahaya infus
yang cepat adalah oedem paru, terutama pasien geriatri.Perhatian harus
ditunjukkan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.Namun jika
hemodinamik memburuk, teruskan cairan (2-4x estimated blood loss), jika
membaik tetapi Hb < 8 gr, Ht < 25%, beri transfusi darah dan koloid. Bila
hemodinamik tetap buruk, segera diberikan transfusi.

4. Transfusi darah
Indikasi transfusi darah antara lain:
- Perdarahan akut sampai Hb <8 gr/dL atau Ht <30% pada orang tua,
kelainan paru, kelainan jantung, Hb <10 gr/dL.
- Bedah mayor kehilangan darah >11% volume darah (Latief, 2009).
Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap cairan. Tujuan
utama transfuse darah adalah memperbaiki oxygen-carrying capacity.
Perbaikan volume dapat dicapai dengan pemberian larutan kristaloid,
yang sekaligus akan memperbaiki volume interstitial dan intraseluler.
Darah yang baik digunakan adalah yang sepenuhnya crossmatched.
Namun proses crossmatching lengkap memerlukan sekitar 1 jam.
Pengobatan mencakup transfusi darah lengkap, apabila darah lengkap
tidak tersedia, plasma biasanya dapat menggantikan darah lengkap.
Plasma tidak dapat memulihkan hematokrit normal, tetapi manusia
biasanya dapat bertahan pada penurunan hematokrit sampai kira-kira
sepertiga normal sebelum menimbulkan akibat serius jika curah jantung
mencukupi. Karena itu pada keadaan akut cukup beralasan untuk
menggunakan plasma dalam menggantikan darah lengkap guna
mengobati syok hemoragik.
Kadang-kadang plasma juga tidak tersedia. Dalam hal ini, berbagai
pengganti plasma sudah dikembangkan, yang sama melaksanakan fungsi
hemodinamika hampir tepat dengan sasaran. Salah satunya adalah
larutan dekstran. Syarat utama suatu pengganti plasma yang benar-benar
efektif adalah yang tetap tinggal di sistem sirkulasi yaitu tidak tersaring
melalui pori-pori kapiler ke dalam ruang jaringan. Selain itu larutan tidak
boleh toksik dan mengandung bahan yang mempunyai ukuran molekul
cukup besar untuk mendesak tekanan osmotik koloid.
Sejauh ini bahan yang paling memuaskan untuk tujuan tersebut
adalah dekstran, suatu polimer posakarida glukosa yang besar. Dekstran
dengan besar molekul yang sesuai tidak dapat melewati pori kapiler dank
arena itu dapat menggantikan protein plasma sebagai bahan osmotik
koloid.3

5. Evaluasi resusitasi cairan dan perfusi organ


a. Umum
Tanda dan gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk
diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon
penderita.Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi, dan denyut
nadi merupakan tanda positif yang menandakan perfusi sedang kembali
ke normal.Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberi
informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada sistem saraf pusat dan
peredarah darah kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi,
tetapi kuantitas sukar ditentukan (Steven, 2004).
b. Khusus
- Capillary refill time <2 detik
- MAP 65-70 mmHg
- Saturasi O2 >95%
- Urine output ?0,5 ml/kg/jam (dewasa); >1 ml/kg/jam (anak)
- Syok indeks = HR/SBP (normal 0,5-0,7)

6. Jenis cairan intravena


Ada 4 pilihan pokok yang selama bertahun-tahun menjadi perbantahan
sengit, yaitu:
a. Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok.Hemodilusi
dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi
mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah
donor tetap perlu ditransfusikan dalam memberikan koreksi deficit cairan
ekstraseluler (ECF). Bila darah golongan yang sesuai tidak tersedia, dapat
digunakan universal donor yaitu golongan O dengan titer anti A rendah
(Rh negatif) atau packed red cell-O (Wiroatmojo).
b. Plasma Expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin,
HES) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal elbih lama
di intravaskular.Namun deficit ECF tidak dapat dikoreksi oleh pasma
expander.Dari segi harga juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan
Ringer Laktat. Reaksi anafilaktik dapat terjadi pada pemberian dextran
atau gelatin ((Wiroatmojo).
c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang
baik dari segi volume effect. Tetapi harganya sangat mahal dibandingkan
dengan Ringer Laktat untuk mendapatkan volume effect yang sama
(Wiroatmojo).
d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%
Cairan ini mirip komposisinya dengan ECF.Meskipun pemberian infus
diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah
cairan interstitial penuh. Cairan lain seperti dextrose dan NaCl 0,45% tidak
dapat digunakan.
Cairan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrose,
tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat
sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang
diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang.
Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 11-30 menit. Ekspansi
cairan dari ruang intravaskular ke interstitial berlangsung selama 30-60
menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urin.
Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel
dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel (Mulyono).
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok
hipovolemik.Keuntungannya yaitu mudah tersedia, murah, mudah dipakai,
tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping.Kelebihan
cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh
tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok
hipovolemik dengan hiponatremia, hipokhloremia, atau alkalosis
metabolik.Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan
cairan eksraseluler.RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besasr
kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis
metabolik, kombusio, dan sindrom syok. NaCl 0,45% dalam larutan
Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti
kehilangan cairan insensible (Wiroatmojo).
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat.Tempat
metabolism laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal,
sedangkan asetat dimetabolisme pada hamper seluruh jaringan tubuh
dengan otot sebagai tempat terpenting.Penggunaan Ringer Asetat
sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan
fugsi hati berat seperti sirosis hepatis dan asidosis laktat. Adanya laktat
dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat (Udeani, 2018).
BAB III
MANAGEMEN SYOK

A. Case Study
Seorang pasien wanita umur 31 tahun dengan diagnosa Syok Hemoragik
teratasi ec Late HPP ec susp sisa plasenta + Anemia sedang. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaa fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Keluhan utama pasien berupa keluar darah yang banyak dari vagina sejak
3 jam sebelum masuk rumah sakit. Kondisi pasien saat di IGD, dalam keadaan
syok hemoragik akibat perdarahan yang dialami oleh pasien, dimana terjadi
penurunan tekanan darah hingga 80/40 mmHg, takikardi, takipneu, dan akral
pasien yang teraba dingin.
Diketahui pasien berada dalam masa nifas dimana sebelumnya pasien
melahirkan seorang bayi laki-laki 10 hari yang lalu di rumah ditolong oleh bidan.
Hal ini mengindikasikan bahwa perdarahan yang dialami ibu erat kaitannya
dengan proses persalinan yang ia jalani.

B. Penatalaksanaan
Pada tahap awal dilakukan resusitasi cairan menggunakan cairan
kristaloid RL 500 cc, diguyur.Dilakukan pemantauan dalam 30 menit kemudian,
terjadi perbaikan dari keadaan pasien, tekanan darah pasien naik menjadi 100/70
mmHg.
Berdasarkan keluhan, pasien mengeluh nyeri perut dan badan terasa
lemah. Daripemeriksaan fisik tekanan darah pasien 100/70 mmHg dan suhu
39,3oC. Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis +/+. Dari palpasi
abdomen didapatkan tinggi fundus uteri masih 1 jari dibawah pusat dan nyeri
tekan (+), mengindikasikan masih adanya jaringan dalam uterus yang
menyebabkan uterus tidak mengecil menjadi ukuran normal. Dari inspeksi
genitalia tampak darah mengalir dari vagina, kemudian dilakukan inspekulo dan
tampak darah mengalir dari portio dan tumpukan darah di forniks posterior.
Keadaan ini menunjukkan bahwa perdarahan aktif berasal dari dalam rongga
uterus melalui kanalis servikalis. Dari hasil USG tampak sisa plasenta masih ada
dalam uterus yang menunjukkan bahwa sumber perdarahan yang terjadi berasal
dari sisa plasenta tersebut.
Pada kasus ini, telah dilakukan perbaikan keadaan umum dengan
melakukan transfusi darah 4 unit dan tidak ditemukan keadaan syok pada pasien,
kemudian dilakukan pemeriksaan USG untuk melihat sisa plasenta dan
selanjutnya pasien direncanakan untuk kuretase. Setelah dilakukan kuretase
pada pasien, maka berhasil dikeluarkan jaringan ± 150 ccdengan perdarahan
selama tindakan ±100cc.Jumlah perdarahan pervaginam minimal dan telah
dilakukan pemeriksaan Hb post transfuse, dengan hasil Hb 11,4g/dl, maka pasien
diperbolehkan pulang dengan pengobatan yang diberikan untuk pasien berupa
Cefixime, Asam mefenamat, Metyl ergometrin, Vitamin C, dan SF.

C. Pembahasan
Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa syok hemoragik
dalam konsisi syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak. Dimana syok
disebabkan gangguan sirkulasi darah ke jaringan sehingga tidak dapat memenuhi
kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan serta tidak mampu mengeluarkan hasil
metabolism. Gejala yang muncul pada pasien syok berupa hipotensi, nadi cepat
dan halus, pucat, keringat dingin, sianosis jari-jari, sesak nafas, gelisah, dan
oliguria.
Perdarahan pasca persalinan atau perdarahan postpartum berdasarkan
onset terjadinya terbagi menjadi 2, yaitu early hemorrhagic postpartum dan late
hemorrhagic postpartum. Kasus ini sesuai dengan definisi late hemorrhagic
postpartum atau perdarahan postpartum sekunder, dimana perdarahan terjadi
lebih dari 24 jam hingga 12 minggu postpartum.

Fegita, P., & Satria, P. H. (2018). HEMORRHAGIC POST PARTUM: SYOK


HEMORRHAGIC ec LATE HEMORRHAGIC POST PARTUM. Jurnal Kesehatan
Andalas, 7, 71-75.
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh yang biasanya
terjadi akibat perdarahan yang masif (Sudoyo,2009).
Perdarahan pasca persalinan atau perdarahan postpartum
berdasarkan onset terjadinya terbagi menjadi 2, yaitu early hemorrhagic
postpartum dan late hemorrhagic postpartum. Kasus ini sesuai dengan definisi
late hemorrhagic postpartum atau perdarahan postpartum sekunder, dimana
perdarahan terjadi lebih dari 24 jam hingga 12 minggu postpartum.

B. Saran
Makalah ini hanyalah sedikit dari sekian banyak materi tentang syok
hemoragik, terlebih dengan kondisi kasus pendarahan pasca persalinan. Oleh karena
itu makalah ini masih sangat jauh dari kata sempur, sehingga untuk kedepannya
memerlukan saran yang membangun untuk menambah isi di dalam makala ini.
Daftar Pustaka

1. Price S, Wilson L. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6th


ed. Vol. 1. Jakarta: EGC
2. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R. 2002. Anestesiologi. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : FKUI
3. American College of Surgeons Committee on Trauma. 1997. Advanced Trauma
Life Supports for Doctors. United States of America
4. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M. 2009. Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. 4th ed. Jakarta: interna Publishing
5. Ganong W. 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
6. Gutierrez G, Reines HD, Wulf-Gutierrez ME. Clinical review: Hemorrhagic shock.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1065003/.
Published online 2nd April 1104. Accessed on 1st January
7. Udeani J. Hemorrhagic shock. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview#a0104. Last updated 6th
December 115. Accessed on 1st January
8. Steven, Parks N. 2004. Advanced trauma life support (ATLS) for doctors. Jakarta:
Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI)
9. Wirjoatmodjo, Karjadi. Anestesiologi dan reanimasi modul dasar untuk pendidikan
S1 kedokteran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional
10. Latief, Said A. 2009. Petunjuk praktis anestesiologi. 2nd ed. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
11. Mulyono I. jenis-jenis cairan. In: Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in
Traumatic Patients. Jakarta: Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM.

Anda mungkin juga menyukai