Anda di halaman 1dari 7

Praktek tambang di Indonesia, secara objektif bisa dibilang mengenaskan.

Jika
melihat data yang dihimpun oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, per Maret
2017, izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan pemerintah di masing-masing daerah
mencapai angka 8710. Tidak hanya tambang batu bara, tetapi juga berbagai jenis mineral.
Rentan penguasaannya pun tidak dalam jangka waktu yang pendek, tetapi bisa hingga
belasan hingga puluhan tahun.

Jika ditarik dari IUP per 2016, 83 persen dari 10.388 perusahan yang memperoleh
izin, tidak menempatkan dana jaminan reklamasi (Jamrek) dan pasca tambang. Dengan
jumlah sebanyak itu, ada sekitar 18.000 lubang tambang yang akan ditinggalkan. Dengan
menjamurnya area tambang beserta berbagai pelanggaran tersebut maka di masa depan, akan
beresiko terhadap produksi pangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak ada upaya
peremajaan tanah kembali, lubang bekas tambang tersebar, dan tidak produktif untuk
kegiatan pertanian.

Tanah yang dialokasikan untuk pertambangan batu bara mencakup hampir 10 persen
dari wilayah Indonesia, yang mana 80 persen dari jumlah tersebut adalah untuk eksplorasi
yang merupakan risiko terbesar bagi ketahanan pangan Indonesia di masa depan. Bukti-bukti
yang ditemukan dalam laporan ini mengindikasikan bahwa pertambangan batu bara
merupakan risiko potensial yang lebih besar bagi produksi pangan Indonesia di masa depan
daripada jenis pemanfaatan tanah lainnya.1 Namun, nyatanya praktek ini justru ingin
dilanggengkan jika pembaca melihat RUU Minerba yang sedang digodok oleh DPR. RUU
Minerba yang sedang dibahas oleg Legislatif, menurut Jaringan Advokasi Tambang, lebih
mementingkan kepentingan perluasan investasi.2
Pada, RUU ini, pengendalian produksi tambang dapat berpotensi menjadi mainan
akuntansi produksi yang mengabaikan kerentanan dan daya dukung masing-masing daerah.
Jika dianalisa kita akan menemui potensi masalah dalam berbagai pasal. Misal, Domestic
Market Obligation (DMO) dalam RUU ini cenderung dianggap sebagai persoalan teknis yang
sepenuhnya berada di bawah wewenang Pemerintah Pusat, sehingga tidak berkonsultasi lagi
pada DPR (Pasal 5 ayat 1). Kedua, daerah tidak punya ruang untuk ikut camput masalah
target produksi yang ditentukan oleh pemerintah pusat (Pasal 5 ayat 2). Ketiga, ketentuan
penetapan jumlah produksi komoditas setiap provinsi per-tahunnya dirubah menjadi
penetapan jumlah produksi secara nasional. Inilah yang akhirnya akan berpotensi
mengesampingkan analisa ketahanan suatu daerah untuk dieksploitasi. Maka, kewenangan
pemerintah pusat dan daerah jika dilihat dari beberapa pasal tersebut menjadi tidak relevan
jika kita melihat dari sudut pandang daya rusak pertambangan. Sebaliknya, seharusnya suatu
negara, entah itu pemerintah pusat atau daerah, memiliki kontrol untuk membatasi atau
menghalangi perluasan produksi pertambangan guna keberlangsungan alam.

Selain pro terhadap investor, dalam naskah RUU Minerba tersebut juga
menghilangkan pasal pidana yang dapat menjerat para pejabat negara pemberi IUP, UPR,
atau IUPK terhadap perusahaan pertambangan. Hal ini dapat dilihat jelas, Pasal 165 yang
berbunyi, “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan
dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana
paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).” Penghilangan pasal ini dapat meningkatkan praktek-praktek politik meja
makan antara pengusaha dengan pejabat yang mempunyai kewenangan memberikan izin
secara leluasa.

RUU ini dapat dibilang sebagai instrument untuk mempermudah para pengusaha
tambang untuk mengeruk SDA Indonesia secara massif. Pembaca dapat melihat hal tersebut
dalam pasal 8A dari ayat 1 hingga 4. Di dalam pasal-pasal tersebut, memperlihatkan seluruh
instrument HAM lingkingan di ayat sebelumnya akan gugur akibat ayat selanjutnya. Karena,
watak dari RUU ini berorientasi untuk mendukung pembangunan nasionbal yang mengejar
pertumbuhan ekonomi makro dengan perluasan kawanasan-kawasan industri. Lalu,
perubahan kosa kata dari pasal 8 A huruf f yang menyatakan “komoditas tambang”
menggantikan “jenis izin tambang”, menunjukkan bahwa pemerintah masih meletakkan
paradigma bahan tambang sebagai komoditas saja.

Ditambah, penambahan kosa kata atau kalimat dari pasal 8 A huruf I yang
sebelumnya hanya menuliskan “jumlah cadangan mineral dan batu bara” menjadi “jumlah
sumber daya/cadangan mineral dan batu bara” menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya
fokus membongkar cadangan yang sudah terpetakan, tapi juga akan menyasar wilayah lain
yang masih memiliki sumber daya.

Unsur ini diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf i yang menyatakan, “Pemerintah pusat
dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, berwenang dalam memberikan izin
pengolahan mineral tanah jarang dan mineral yang mengandung unsur radioaktif.” Pasal ini
jelas berorientasi untuk menambahkan komoditas baru untuk diekploitasi yang artinya akan
membuka ruang bisnis baru dengan melibatkan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional)
dan Bapetan (Badan Pengawan Tenaga Nuklir). Kedua unsur ini akhirnya akan dilibatkan
dalam pengelolaan mineral tanan jarang dan mineral radioaktif.

Orientasi ini jelas sekali diperlihatkan dalam RUU Minerba. Pembaca dapat melihat
dua pasal berikut;

1. Pasal 40 ayat 1a: “Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memiliki lebih dari 1 (satu) IUP
2. Pasal 40 ayat 3: “Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan komoditas tambang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUPbaru
kepada Menteri atau PemerintahDaerah sesuai dengan kewenangannya.

Kedua pasal tersebut akhirnya membuat adanya batas luasan IUP menjadi tidak
relevan karena pemegang IUP bisa memiliki lebih dari satu ketika usaha tambang yang
sebelumnyu sudah memenuhi batas luasan. Hal lain, berpotensi membuka ruang untuk
memformalkan mineral ikutan yang sebelumnya dikenal sebagai DMP (dan mineral
pengikut), maknanya adalah mempermudah dan melegalkan penjualan seluruh komoditas
yang ditemukan dalam tambang, dengan cara mendapatkan rentenya melalui penggunaan
kosa kata baru yaitu “komoditas tambang lain” (KTL).

Semangat kriminalisasi yang dilakukan negara ini dapat dilihat dalam pasal 162 yang
berbunyi, “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan
dari pemegang IUP, IPR, IUPK atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Selain itu, aturan
tersebut juga diperkuat dengan adanya pasal 164 yang berbunyi, “Selain ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 161A, dan
Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. perampasan
barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b. perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana; dan/atau c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat
tindak pidana.

RUU ini menambahkan ketentuan baru selain IUP, IUPK, dan IPR. Hal ini dapat
dilihat dalam pasal 1 ayat 13 a. Pasal ini berbunyi sebagai berikut; “Surat Izin Penambangan
Batuan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah izin yang diberikan untuk melaksanakan
kegiatan usaha pertambangan batuan untuk keperluan tertentu dan jenis tertentu”. Akhirnya,
pasal ini akan melebarkan lubang kran beroprasinya rente-rente baru.

Orientasi ini jelas terlihat dari adanya perubahan dalam bagian penjelasan ayat 2 pasal
99 di dalam naskah RUU Minerba per 28 Maret 2018. Perubahan itu berbunyi, “Peruntukkan
lahan pascatambang antara lain dapat digunakan untuk bangunan irigasi dan objek wisata”.
Pasal ini selain memberikan celah untuk praktek-praktek korupsi, juga meminimalisir
perusahaan untuk melakukan rehabilitasi.

Praktek rente akan semakin massif dan berlanjut ketika RUU ini disahkan. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 104 A-B. Dalam kedua pasal tersebut akan membuat BUMN
menjadi rente baru. Selain itu, dalam pasal tersebut akan membuka adanya bisnis baru berupa
riset-riset yang akan dikerjakan BUMN, BUMD, dan juga lembaga-lembaga riset daerah.
Salah satunya terlihat dalam riset yang disebut Underground Coal Gasification, yang
menunjukkan bahwa arah orientasi energi nasional kembali pada batu bara.

Kecenderungan ini yang nyatanya prakteknya sudah banyak terjadi sebelum RUU ini
disahkan, akan semakin mempertegas tidak adanya hak rakyat untuk mengambil sikap
mengenai tambang. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 55, 58, 61, dan 68 yang lebih condong
untuk mengabaikan HAM dalam pemberian IUP dan IPR.
Daftar Pustaka:

1. Alwiya Shahbanu, Merah Johansyah, “RUU Minerba: Melanjutkan Eksploitasi dan


Membuka Keran Rente Oligarki di Masa Transisi Politik”, JATAM, September, 2019
2. JATAM, “Hungry Coal: Coal Mining and Food Security in Indonesia”, 2017.

Anda mungkin juga menyukai