Anda di halaman 1dari 13

Tentang Demokrasi Ekonomi

Oleh: Revrisond Baswir


Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

Para politisi dan pemerhati politik akhir-akhir ini sering mengklaim bahwa
penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia telah berhasil mengantarkan negeri ini
menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Alasannya sangat sederhana.
Seperti mereka kemukakan, penyelenggaraan pemilu dengan menggunakan metode
pemilihan langsung sebagaimana berlangsung di Indonesia, benar-benar telah meletakkan
kedaulatan di tangan rakyat, bukan ditangan partai politik atau ditangan wakil rakyat.
Dengan demikian, melalui penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung tersebut,
rakyat Indonesia kini benar-benar telah berdaulat dalam arti yang sebenarnya.
Dengan klaim seperti itu, disengaja atau tidak, sebagian politisi dan pemerhati
politik tersebut sesungguhnya sedang berkampanye menyebarluaskan ajaran demokrasi
liberal di Indonesia. Saya katakan demikian, sebab dalam ajaran demokrasi liberal,
demokratis atau tidaknya pemilu terutama dilihat dari segi metode atau prosedur
penyelenggaraannya. Struktur sosial dan ekonomi yang menjadi konteks
penyelenggaraan pemilu tersebut cenderung diabaikan. Dengan demikian, dalam ajaran
demokrasi liberal, tingkat kesenjangan sosial-ekonomi atau struktur penguasaan faktor-
faktor produksi dalam masyarakat, sama sekali tidak dipandang sebagai salah satu
variabel penting dalam menilai demokratis atau tidaknya penyelenggaraan pemilu.
Pandangan ajaran demokrasi liberal tersebut jelas sangat bertentangan dengan
ajaran demokrasi sosial (social democracy) sebagaimana diamanatkan oleh Undang
Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana dikemukakan oleh Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 33
UUD 1945, dalam mekanisme demokrasi di Indonesia, kita tidak hanya wajib
menyelenggarakan demokrasi politik. Pada saat bersamaan kita juga wajib
menyelenggarakan demokrasi ekonomi. Dengan amanat seperti itu, maka para pendiri
bangsa sesungguhnya secara jelas mengamanatkan agar bangsa Indonesia menolak
demokrasi liberal dan, sebaliknya, menganjurkan pengamalan demokrasi sosial.
Sebagaimana diketahui, dalam ajaran demokrasi sosial, demokratis atau tidaknya
pemilu tidak dapat hanya dilihat berdasarkan metode pemilihannya, melainkan harus
dilihat pula berdasarkan konteks strukturalnya. Artinya, dalam ajaran demokrasi sosial,
penyelenggaraan pemilu dengan metode seperti apa pun, tidak mungkin demokratis jika

1
tidak dilatarbelakangi oleh struktur sosial dan ekonomi yang demokratis pula.
Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, demokrasi liberal sama sekali tidak dapat
diandalkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Sebab itu, sebagaimana dikemukakan
Bung Hatta, mekanisme demokrasi sebagaimana diselenggarakan oleh demokrasi liberal
lebih tepat disebut sebagai pseudo-demokrasi atau demokrasi pura-pura.
Para pendiri bangsa tentu tidak sembarangan memilih demokrasi sosial sebagai
ajaran demokrasi Indonesia. Penyelenggaraan demokrasi yang berat sebelah ke sisi
demokrasi politik, diyakini hanya akan menjadi ajang bagi kelas sosial-ekonomi dominan
untuk melanggengkan struktur dominasi mereka. Penjelasannya sangat sederhana. Proses
politik, mulai dari pembentukan partai, penyelenggaraan kampanye, sampai pada
penyelenggaraan pemerintahan, memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap
dukungan pendanaan.
Dengan demikian, penyelenggaraan demokrasi politik, termasuk penyelenggaraan
pemilu dengan metode pemilihan langsung, di tengah-tengah struktur sosial-ekonomi
yang timpang, hanya akan menjadi ajang bagi para bandar dan partai-partai politik yang
memiliki dana besar, untuk memamerkan kesaktian politik uang. Ujung-ujungnya, pemilu
sama sekali tidak dapat dilihat sebagai mekanisme untuk menegakkan kedaulatan rakyat,
tetapi berubah menjadi mekanisme untuk melanggengkan kedaulatan para bandar.
Bahaya penyelenggaraan demokrasi politik yang bernuansa liberal di tengah-
tengah struktur sosial-ekonomi yang tidak demokratis tersebut, sesungguhnya sudah
menjadi pengetahuan umum dalam beberapa tahun belakangan ini. Indikasi paling
mencolok yang menandai berubahnya demokrasi politik dari mekanisme untuk
menyelenggerakan kedaulatan rakyat menjadi mekanisme untuk melanggengkan
kedaulatan para bandar itu sudah berlangsung dengan cukup seru dalam proses pemilihan
kepala daerah.
Dalam beberapa kasus pemilihan kepala daerah, para bandarnya bahkan sempat
tertangkap tangan. Akibatnya, seperti banyak terjadi pada proses pemilihan kepala daerah
tingkat I dan II lainnya, komposisi jumlah anggota partai politik di parlemen seringkali
tidak berkorelasi dengan asal partai kepala daerah terpilih. Bahkan, sebagaimana
berlangsung dalam pemilihan Gubernur, kepala daerah terpilih justru sama sekali tidak
memiliki latar belakang sebagai anggota partai politik.
Dengan maraknya politik uang dan tegaknya kedaulatan para bandar dalam
mekanisme politik di Indonesia, klaim para politisi dan pemerhati politik liberal bahwa
penyelenggaraan pemilu di Indonesia telah mengantarkan negeri ini menjadi salah satu

2
negara yang paling demokratis di dunia, harus ditolak dengan tegas. Pemilu yang
berlangsung di Indonesia harus dilihat sebagai ajang pseudo demokrasi atau demokrasi
pura-pura yang diselenggarakan oleh kaum borjuasi nasional untuk melanggengkan
dominasi mereka.
Dengan latar belakang seperti, maka pemilu yang berlangsung di Indonesia sama
sekali tidak dapat diandalkan oleh mayoritas rakyat sebagai titik tolak untuk memperbaiki
kondisi sosial-ekonomi mereka. Alih-alih sebagai titik tolak untuk memperbaiki kondisi
sosial-ekonomi masyarakat, di tengah-tengah himpitan beban utang dalam dan luar negeri
yang sangat besar dan dominasi korporasi asing, pemilu yang berlangsung di Indonesia
patut diwaspadai sekedar sebagai sarana legitimasi korporasi-korporasi multinasional dan
para kompradornya untuk melanjutkan penyengsaraan rakyat.

Pengertian Demokrasi Ekonomi


Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi? Sebelum
menjawab pertanyaan itu mungkin ada baiknya kita mengulas secara singkat latar
belakang sejarah lahirnya demokrasi ekonomi. Sebagai anak kandung demokrasi sosial
(social democracy), sejarah kelahiran demokrasi ekonomi tidak dapat dipisahkan dari
sejarah kelahiran ajaran demokrasi sosial di Eropa. Karena ajaran demokrasi sosial pada
dasarnya adalah refisi terhadap ajaran sosialisme ortodoks sebagaimana diperkenalkan
oleh Marx dan Engels, maka secara tidak langsung sejarah demokrasi ekonomi hampir
tidak mungkin dapat dipisahkan dari sejarah kelahiran sosialisme.
Tokoh penting dibalik lahirnya ajaran demokrasi sosial adalah seorang filsuf
Jerman yang bernama Ferdinand Lasalle (1825 – 1864). Kelahiran ajaran demokrasi
sosial ini terutama dipicu oleh berlangsungnya konflik antara Marx dan Engels dengan
Bukanin mengenai peranan negara dalam sosialisme. Menurut Marx dan Engels,
walaupun hanya selama periode transisi, peranan negara dalam sosialisme tetap
diperlukan. Sedangkan Bukanin, seorang pemuka kaum anarkis, menolak sama sekali
peranan negara dalam sosialisme. Berbeda dari Marx, Engels dan Bukanin, Lassalle
berpendapat bahwa peranan negara dalam sosialisme justru sangat diperlukan oleh kaum
pekerja, yaitu sebagai sarana untuk mentransformasikan masyarakat dalam mewujudkan
sebuah perekonomian yang didasarkan atas koperasi-koperasi para pekerja. Berdasarkan
penjelasan itu dapat disaksikan bahwa bagi Lassalle negara terutama diperlukan sebagai
penyelenggara pemilu untuk partai politik yang akan dibentuknya.

3
Sebagaimana diketahui, perbedaan pandangan mengenai peranan negara dalam
sosialisme itu akhirnya bermuara pada terjadinya perpecahan antara kelompok reformis
dengan kelompok sosialisme revolusioner dalam lingkungan sosialisme. Selain Lassalle,
tokoh-tokoh lain yang mendukung ajaran sosialisme evolusioner ini adalah Bernard
Shaw, Edward Bernstein, Karl Kautsky, dan Rosa Luxemburg. Jika dilihat berdasarkan
inti ajarannya, demokrasi sosial pada dasarnya adalah sebuah ideologi politik yang
menganjurkan pelembagaan sosialisme demokratis (democratic socialism) melalui
metode reformasi yang bersifat gradual. Demokrasi sosial menganjurkan agar proses
pengambilan keputusan secara demokratis tidak hanya dibatasi dalam bentuk demokrasi
politik, tetapi harus mencakup penyelenggaraan demokrasi ekonomi
(http://en.wikipedia.org/wiki/Social_democracy).
Perlu ditambahkan, anjuran ajaran demokrasi sosial untuk mengembangkan
demokrasi ekonomi itu secara tidak langsung dipengaruhi pula oleh ide-ide kaum
sosialisme Fabian yang dimotori oleh Robert Owen. Sebagaimana diketahui, Owen
adalah pencetus gerakan koperasi yang terkenal dengan konsep koperasi Rochdale-nya.
Para pengikut Owen, sebagai penggagas sosialisme awal, sangat menekankan pentingnya
demokrasi partisipatif dan sosialisasi perekonomian dalam bentuk koperasi-koperasi
konsumen, credit union dan usaha bersama. Hal yang terakhir inilah antara lain yang
menjelaskan sangat dekatnya hubungan antara demokrasi sosial dengan gerakan koperasi.
Sejalan dengan latar belakang kelahiran ajaran demokrasi sosial tersebut, maka
pengertian demokrasi ekonomi sebagai anak kandung demokrasi sosial menjadi tidak
terlalu sulit untuk dipahami. Sehubungan dengan itu, terdapat beragam sumber bacaan
yang dapat dirujuk mengenai pengertian dan metode penyelenggaraan demokrasi
ekonomi. Selain dapat dirujuk pada karya-karya para penganjur ajaran demokrasi sosial
sebagaimana disinggung di atas, pengertian demokrasi ekonomi dapat dirujuk pada
karya-karya yang secara khusus membahas tentang hal itu.
Karya-karya yang secara khusus membahas tentang demokrasi ekonomi ini
meliputi baik karya-karya klasik maupun karya-karya yang muncul belakangan. Jika
ditilik berdasarkan judul bukunya, buku pertama yang secara tegas berjudul Demokrasi
Ekonomi adalah buku C.H. Douglas yang diterbitkan di London pada 1920. Menyusul
buku pertama tersebut, terdapat banyak buku lain yang terbit belakangan dengan judul
mengandung ungkapan demokrasi ekonomi, diantaranya adalah karya Brookings (1929),
Dahl (1986), Archer (1995), dan Smith (2000).

4
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai pengertian demokrasi
ekonomi, berikut ini akan saya kutipkan beberapa definisi yang bersumber dari beberapa
karya mutakhir mengenai hal tersebut:
“Economic democracy is a socioeconomic philosophy that proposes to shift
decision-making power from corporate shareholders to a larger group of public
shareholders that includes workers, customers, suppliers, neighbors and the
broader public. “ (http://en.wikipedia.org/wiki/Economic_democracy )

“Economic democracy, conceptualized in the wake of Rancière as a permanent


struggle against the oligarchy of owners, lies in the coordination of economic
action (through cooperation), workers’ demands (through trade unions) and
political action, since, more than ever, the social power of wealth relies on state
power.” (Rousselière, 2004).

“Economic democracy is an economic structure and process by which, through


direct citizen participation in the economic decision-taking and decision-
implementing process, secures an equal distribution of economic power among
citizens. This means that, ultimately, the demos controls the economic process,
within an institutional framework of demotic ownership of the means of
production .” (Fotopoulos, 2005).

Berdasarkan ketiga definisi demokrasi ekonomi sebagaimana di atas, rasanya


tidak terlalu sulit untuk disimpulkan bahwa demokrasi ekonomi pada dasarnya adalah
sebuah paham yang menganjurkan dilakukannya sosialisasi kepemilikan alat-alat
produksi kepada seluruh anggota masyarakat. Artinya, melalui penyelenggaraan
demokrasi ekonomi, para pekerja dan anggota masyarakat lainnya, didorong untuk turut
memiliki (co-ownership), turut menentukan (co-determination), dan turut
bertanggungjawab (co-responsibility) terhadap jalannya perusahaan dan perekonomian.
Selain melalui pembentukan koperasi, beberapa strategi alternatif yang dapat
ditempuh untuk mewujudkan agenda triple-co tersebut pada tingkat perusahaan adalah
sebagai berikut:
a. inisiatif para pekerja (misalnya dalam bentuk pengendalian proses
produksi di pabrik);
b. partisipasi berbasis serikat pekerja (dimana pengaruh dilakukan melalui
proses tawar menawar dan negosiasi mengenai ketentuan dan kondisi
kerja);
c. inisiatif negara (didukung oleh parlemen) yang ditekankan pada hak para
pekerja atau perwakilannya untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan di tempat mereka bekerja; dan
d. inisiatif manajerial menyangkut keterlibatan para pekerja yang dirancang
untuk meningkatkan komitmen para pekerja terhadap perusahaan (Poole,
Lansbury, dan Wailes, 2001)

5
Demokrasi Ekonomi di Indonesia
Perbincangan mengenai demokrasi ekonomi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
Bung Hatta. Sebagai proklamator dan sekaligus sebagai ekonom pejuang, Bung Hatta
tidak hanya turut meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan sebuah negara merdeka dan
berdaulat berdasarkan konstitusi. Beliau juga memainkan peranan yang sangat besar
dalam meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan
demokrasi ekonomi. Bahkan, sebagai Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta lah yang
secara konsisten memperjuangkan tegaknya kedaulatan ekonomi rakyat dalam
penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Bila ditelusuri ke belakang, persinggungan Bung Hatta dengan demokrasi
ekonomi sekurang-kurangnya dapat dilacak sejak berlangsungnya percakapan antara
Bung Hatta dan Tan Malaka di Berlin, pada bulan Juli 1922. Bung Hatta ketika itu belum
genap setahun berada di negeri Belanda. Dalam percakapan tersebut, yaitu ketika Tan
Malaka mengungkapkan kekecewaannya terhadap model pemerintahan diktatur yang
diselenggarakan oleh Stalin di Uni Soviet, Bung Hatta serta merta menyela dengan
sebuah pertanyaan yang cukup tajam, “Bukankah kediktaturan memang inheren dalam
paham komunisme?”
Pertanyaan Bung Hatta tersebut ditanggapi oleh Tan Malaka dengan menjelaskan
teori diktatur proletariat yang diperkenalkan oleh Karl Marx. Menurut Tan Malaka,
diktatur proletariat sebagaimana dikemukakan oleh Marx hanya berlangsung selama
periode transisi, yaitu selama berlangsungnya pemindahan penguasaan alat-alat produksi
dari tangan kaum kapitalis ke tangan rakyat banyak.
Selanjutnya, kaum pekerja yang sebelumnya telah tercerahkan di bawah panduan
perjuangan kelas, akan mengambil peran sebagai penunjuk jalan dalam
membangun keadilan ..... Hal itu akan dicapai dengan cara menyelenggarakan
produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam
masyarakat. Hal tersebut jelas sangat bertolak belakang dengan diktatur personal”
(Hatta, 1981).

Penggalan kalimat Tan Malaka yang berbunyi “produksi oleh semua, untuk
semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat” itu, tentu mengingatkan
kita pada penggalan kalimat yang terdapat dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945
sebagaimana dikemukakan tadi. Kemiripan kedua kalimat tersebut secara jelas
mengungkapkan bahwa persinggungan Bung Hatta dengan demokrasi ekonomi setidak-
tidaknya telah berlangsung sejak 1922, tahun pertama ia berada di negeri Belanda.

6
Perkenalan pertama dengan demokrasi ekonomi itu tampaknya sangat berkesan
bagi Bung Hatta, sehingga mendorongnya untuk melakukan pengkajian secara lebih
mendalam. Selain berusaha membaca buku-buku sosialisme, Bung Hatta juga berusaha
memperluas pergaulannya dengan kalangan Partai Buruh Sosial Demokrat (SDAP) di
Belanda. Bahkan, tahun 1925, sebagai aktivis Perhimpunan Indonesia, Bung Hatta
dengan sengaja menyempatkan diri untuk melakukan kunjungan ke beberapa negara
Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia. Tujuannya adalah untuk
mempelajari gerakan koperasi dari dekat (Hatta, 1981).
Selepas menyelesaikan studi di Belanda, komitmen Bung Hatta terhadap
demokrasi ekonomi terus berlanjut. Salah satu tulisan yang mengungkapkan konsistensi
komitmen Bung Hatta terhadap demokrasi ekonomi itu adalah pamphlet yang disusunnya
untuk Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) pada 1932. Dalam pamphlet yang
berjudul “Menuju Indonesia Merdeka” tersebut, Bung Hatta secara panjang lebar
menjelaskan pengertian kerakyatan, demokrasi, dan arti penting demokrasi ekonomi
sebagai salah satu pilar model demokrasi sosial yang cocok bagi Indonesia merdeka.
Mengenai pengertian kerakyatan Bung Hatta antara lain menulis sebagai berikut:
“Asas kerakyatan mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala
hukum (recht, peraturan perundang-undangan) haruslah bersandar pada perasaan
Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat banyak, dan aturan
penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan
kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan
oleh segala jenis manusia yang beradab bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak
untuk menentukan nasib sendiri,” (Hatta, 1932).

Mengenai sendi dasar kerakyatan Bung Hatta menjelaskannya sebagai berikut:


“Ada pun demokrasi asli yang ada di desa-desa di Indonesia mempunyai tiga sifat
yang utama, yang harus dipakai sebagai sendi perumahan Indonesia Merdeka!
Pertama, cita-cita Rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia dari zaman
dahulu sampai sekarang. .... Kedua, cita-cita massa-protes, yaitu hak rakyat untuk
membantah secara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil. .....
Ketiga, cita-cita tolong menolong! Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa
bersama, kolektiviteit. .... Inilah tiga sendi dari demokrasi Indonesia! Jika
lingkungannya diluaskan dan disesuaikan dengan kemajuan zaman, ia menjadi
dasar kerakyatan yang seluas-luasnya, yaitu Kedaulatan Rakyat seperti paham
Pendidikan Nasional Indonesia,” (Hatta, ibid.)

Sedangkan mengenai hubungan antara azas kerakyatan dengan demokrasi


ekonomi Bung Hatta antara lain mengungkapkan sebagai berikut,
“Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong—pen.) dapat didirikan
tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil

7
yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan
keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan
dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai
penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah
penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya,” (Hatta, ibid.).

Dengan latar belakang pemikiran seperti itu, mudah dimengerti bila dalam
kedudukannya sebagai seseorang yang turut mempersiapkan dan menyusun UUD 1945,
Bung Hatta berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan gagasan besar demokrasi
ekonomi sebagai dasar penyelenggaran perekonomian Indonesia. Sejalan dengan
semangat tersebut, hal itu pula, saya kira, yang menjelaskan alasan Bung Hatta dalam
kedudukannya sebagai wakil presiden, terus mendorong pengembangan koperasi di
Indonesia. Berkat konsistensi komitmen tersebut, sangat wajar bila tahun 1947, Bung
Hatta secara resmi dikukuhkan oleh Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia
(SOKRI) sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Bila ditelusuri lebih lanjut, konsistensi komitmen Bung Hatta terhadap demokrasi
ekonomi itu bahkan terus berlanjut setelah beliau melepaskan jabatannya sebagai wakil
presiden pada 1956. Sebagaimana terungkap dalam buku kecil Demokrasi Kita yang
ditulisnya pada 1960, Bung Hatta sekali lagi mempertegas pentingnya penyelenggaraan
demokrasi ekonomi sebagai jalan untuk melembagakan kedaulatan ekonomi rakyat dan
untuk mengutamakan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang.
Sebagaimana ditulisnya,
“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan.
Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak,
manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-
cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan
hidup yang menentukan nasib manusia,” (Hatta, 1960).

Menyimak perjalanan panjang Bung Hatta dalam memperjuangkan


penyelenggaraan demokrasi ekonomi tersebut, dapat disaksikan betapa Bung Hatta tidak
memandang demokrasi ekonomi hanya sebagai amanat konstitusi. Bagi Bung Hatta,
demokrasi ekonomi adalah pandangan hidup dan garis perjuangan. Bung Hatta telah
menghayatinya jauh sebelum ia kembali ke Indonesia. Ia terus menerus meletakkan
dasar-dasar penyelenggaraannya selama masa perjuangan kemerdekaan. Bahkan ia terus
mendorong penyelenggarannya selama menjadi penguasa, dan tetap meyakini kebenaran
hal itu setelah ia melepaskan jabatannya.

8
Yang perlu digarisbawahi adalah, dengan ditetapkannya demokrasi ekonomi
sebagai dasar perekonomian Indonesia, berarti Bung Hatta dan para penyusun UUD 1945
yang lain, telah secara resmi menggeser perbincangan mengenai ekonomi rakyat dan
ekonomi pro rakyat menjadi demokrasi ekonomi. Artinya, berangkat dari keprihatinan
yang sangat mendalam terhadap kesengsaraan rakyat, Bung Hatta dan para pendiri
bangsa yang lain akhirnya sepakat untuk menyelenggarakan demokrasi ekonomi, yaitu
untuk melembagakan kedaulatan rakyat dalam perekonomian Indonesia.
Tujuan jangka pendeknya adalah untuk menghapuskan penggolong-golongan
status sosial-ekonomi dalam masyarakat, baik berdasarkan ras maupun berdasarkan
penguasaan alat-alat produksi. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk
mengoreksi struktur ekonomi kolonial secara mendasar, yaitu untuk melembagakan
kedaulatan ekonomi rakyat dan memuliakan kemakmuran masyarakat di atas
kemakmuran orang seorang dalam perekonomian Indonesia.
Namun demikian, karena penyelenggaraan demokrasi ekonomi harus dilakukan
secara demokratis pula, maka hal itu secara tidak langsung mengungkapkan pandangan
dialektik para pendiri bangsa mengenai hubungan antara transformasi politik dengan
transformasi ekonomi. Secara politik, penjajahan harus segera dihentikan, tetapi secara
ekonomi, transformasi perekonomian Indonesia harus dilakukan secara bertahap sesuai
dengan perangkat hukum yang ada. Sebab itu, sesuai dengan amanat konstitusi, adalah
tugas setiap pemerintah Indonesia untuk secara bertahap memperbaharui perangkat
hukum yang mendasari penyelenggaraan perekonomian Indonesia.

Pasal 33 UUD 1945


Secara konstitusional, pengertian demokrasi ekonomi sebagaimana dipahami di
Indonesia dapat ditemukan dalam pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan oleh
bagian penjelasannya, demokrasi ekonomi adalah suatu situasi perekonomian dimana,
“produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat.“ Yang diutamakan dalam demokrasi ekonomi adalah
perwujudan kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran orang seorang.
Secara terinci, pengertian demokrasi ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh
penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu dapat dijabarkan menjadi sebagai berikut:
Pertama, demokrasi ekonomi menghendaki keikutsertaan seluruh anggota
masyarakat dalam proses produksi. Artinya, dalam rangka demokrasi ekonomi, setiap
tenaga kerja Indonesia harus memiliki pekerjaan. Menganggur adalah kegiatan terlarang

9
dalam perekonomian Indonesia yang demokratis. Hal ini sejalan dengan amanat pasal 27
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Kedua, demokrasi ekonomi menghendaki keikutsertaan seluruh anggota
masyarakat dalam menikmati hasil-hasil produksi. Artinya, dalam rangka demokrasi
ekonomi, setiap warga negara Indonesia harus mendapat bagian dari kegiatan produksi
yang berlangsung di Indonesia. Mengemis merupakan perbuatan terlarang di Indonesia.
Hal itu sejalan dengan amanat pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi, “Fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
Ketiga, merupakan inti dari pengertian demokrasi ekonomi, penyelenggaraan
produksi dan pembagian hasil-hasilnya itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau
penilikan (pengawasan) anggota-anggota masyarakat. Artinya, lepas dari siapa yang
melakukan produksi, perusahaan negara, koperasi, atau perusahaan swasta, usaha besar,
usaha menengah, atau usaha kecil, anggota masyarakat harus menjadi subjek dalam
perekonomian Indonesia. Anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi penonton,
apalagi sekedar menjadi objek.
Kedudukan anggota masyarakat sebagai subjek itu memiliki konsekuensi yang
sangat luas terhadap penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Sejalan dengan prinsip
triple-co sebagaimana telah disinggung sebelumnya, maka setiap anggota masyarakat
harus turut memiliki (co-ownership), turut menentukan (co-determination), dan turut
bertanggungjawab (co-responsibility) terhadap jalannya perusahaan dan perekonomian.
Secara nasional, pelembagaan demokrasi ekonomi bermuara pada adanya
kebutuhan untuk melaksanakan desentralisasi ekonomi dalam arti seluas-luasnya.
Artinya, desentralisasi yang harus dilakukan dalam rangka demokrasi ekonomi tidak
hanya menyangkut tata hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
tetapi harus berlanjut hingga ke tingkat desa (Hatta, 1932).
Sedangkan pada tingkat perusahaan, pilihan dengan sendirinya jatuh pada
koperasi, yaitu suatu bentuk perusahaan yang diselenggarakan secara demokratis pula.
Sebab itu mudah dimengerti bila dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 ditemukan
kalimat yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan (sistem perekonomian
yang demokratis) itu ialah koperasi.”
Sebagai titik tolak untuk menyelenggarakan agenda-agenda demokrasi ekonomi
tersebut, pasal 33 UUD 1945 meletakkan dasarnya melalui perumusan tiga ayat berikut:
Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

10
Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketiga, bumi, air, dan segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Sehubungan dengan ayat pertama, sebagaimana dikemukakan secara berulang-
ulang oleh Bung Hatta, “Yang dimaksud dengan usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan ialah koperasi.” Artinya, dalam pandangan Bung Hatta, para pelaku
ekonomi Indonesia harus melihat diri mereka saling bersaudara satu sama lain. Sebab itu,
dalam rangka mencapai kemakmuran bersama, mereka harus berusaha untuk bekerja
sama dan saling bantu membantu (Hatta, 1970). Dengan pedoman seperti itu, tentu tidak
berarti bahwa persaingan sama sekali dilarang dalam perekonomian Indonesia. Tetapi
sesuai dengan panduan ayat pertama tersebut, persaingan dalam perekonomian Indonesia
harus dilakukan secara berkeadilan dan dihindarkan dari tindakan yang saling
mematikan.
Sehubungan dengan ayat kedua, Bung Hatta berulang kali pula mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan “dikuasai oleh negara” dalam ayat tersebut, tidak berarti
harus diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah, melainkan dapat diserahkan
kepada badan-badan lain yang dikelola secara otonom—perusahaan negara atau
perusahaan swasta, yang pekerjaannya dikendalikan oleh dan bertanggungjawab kepada
pemerintah. Adapun mengenai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
(strategic industries), Bung Hatta antara lain menyebut cabang-cabang produksi seperti
industri dasar dan pertambangan. Sedangkan mengenai cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak (public utilities), Bung Hatta antara lain menyebut
cabang-cabang produksi seperti air, listrik, gas, dan termasuk pula gula, semen, kopra,
dan minyak nabati (Hatta, 1963; Deliar Noer, 1991).
Akhirnya, sehubungan dengan ayat ketiga, lagi-lagi Bung Hatta menekankan
pentingnya kedudukan negara sebagai pihak yang harus mengatur pemanfaatan kekayaan
alam Indonesia bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedudukan negara sebagai
penguasa bumi, air, dan segala kekayan yang terkandung di dalamnya, sebagaimana
dikemukakan oleh ayat tersebut, sama sekali tidak dimaksudkan untuk memberi
kekuasaan kepada negara untuk bertindak sewenang-wenang. Melainkan semata-mata
untuk menjamin agar pemanfaatan kekayaan alam Indonesia benar-benar dipergunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk tujuan-tujuan yang lain.

11
Amanat UUD dan penjelasan Bung Hatta sebagaimana di atas tentu tidak cukup
bagi penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia. Sehubungan dengan itu, agar
ketiga ayat dalam pasal 33 UD 1945 yang menjadi dasar penyelenggaraan demokrasi
ekonomi itu benar-benar dapat diselenggarakan, perlu disusun seperangkat undang-
undang untuk menjabarkannya secara terinci. UU yang berkaitan secara langsung dengan
ketiga ayat tersebut antara meliputi: UU Sistem Perekonomian Nasional, UU
Perkoperasian, UU Badan Usaha Milik Negara, UU Perseroan Terbatas, UU
Ketenagakerjaan, UU Pertanahan, UU Sumberdaya Air, UU Minyak dan Gas, UU
Pertambangan, UU Kelistrikan, UU Kelautan, UU Penanaman Modal dan lain
sebagainya.

Daftar Bacaan

Archer, Robin (1995), Economic Democracy: The Politics of Feasible Socialism, Oxford
University Press

Brookings, Robert S. (1929), Economic Democracy: America's Answer to Socialism and


Communism; a Collection of Articles, Addresses and Papers. The Macmillan Company,
New York

Dahl, Robert A. (1986), Preface to Economic Democracy, University of California Press

Douglas, C.H (1920), Economic Democracy, Cecil Palmer, London

Hatta, Mohammad (1928), Indonesia Merdeka, diterbitkan kembali tahun 1976, Bulan
Bintang, Jakarta

_______________ (1932), Ke Arah Indonesia Merdeka, diterbitkan kembali dalam


bentuk edisi khusus tahun 1994, Dekopin, Jakarta

_______________ (1960), Demokrasi Kita, disunting dalam Swasono dan Ridjal (1992),
UI Press, Jakarta

_______________ (1980), Berpartisipasi Dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional


Indonesia, Yayasan Idayu, Jakarta

_______________ (1981), Indonesian Patriot (memoirs), disunting oleh CLM Penders,


MA, PhD., Gunung Agung, Singapura

Legge, J.D. (1993), Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan kelompok
Sjahrir, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta

Mrazek, Rudolf (1996), Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta

12
Noer, Deliar (1991), Mohammad Hatta: Biografi Politik, LP3ES, Jakarta
Poole, M., Lansbury, R., and Wailes, N. (2001), “A Comparative Analysis of
Developments in Industrial Democracy,” Industrial Relations 40/3, pp. 490–525.

Rose, Mavis (1991), Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta, Gramedia,
Jakarta

Smith, J.W. (2005), Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First
Century, 4th Edition, Institute for Economic Democracy, New York

Rousselière, Damien (2004), What is Economic Democracy? An Inquiry Into French


Cooperatives. https://jps.library.utoronto.ca/index.php/spe/article/view/11185. Diakses
pada tanggal 27 Desember 2014

Fotopoulos, Takis (2005). The Multidimensional Crisis and Inclusive Democracy.


http://www.inclusivedemocracy.org/journal/ss/ch14.htm. Diakses pada tanggal 31 Januari
2013

http://en.wikipedia.org/wiki/Social_democracy. Diakses pada tanggal 27 Desember 2014

http://en.wikipedia.org/wiki/Economic_democracy. Diakses pada tanggal 27 Desember


2014

13

Anda mungkin juga menyukai