Anda di halaman 1dari 15

1.

Andi Mappanyukki

Andi Mappanyukki (lahir 1885 – meninggal 18 April


1967)[1] adalah salah tokoh pejuang dan seorang
bangsawan tertinggi di Sulawesi Selatan. Ia adalah Putra
dari Raja Gowa ke XXXIV yaitu I’Makkulau Daeng
Serang Karaengta Lembang Parang Sultan Husain Tu
Ilang ri Bundu’na (Somba Ilang) dan I Cella
We’tenripadang Arung Alita, putri tertua dari La
Parenrengi Paduka Sri Sultan Ahmad, Arumpone Bone
(Raja Bone).
Andi Mappanyukki memiliki seorang istri yang bernama I
Mane’ne Karaengta Ballasari.

Ia pulalah yang memimpin raja raja di Sulawesi Selatan untuk bersatu dan bergabung
dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1950.

Pada tahun 1931 Kamis tanggal 12 April, atau 13 Syawal 1349H. atas usulan dewan
adat ia diangkat menjadi Raja Bone ke-32 dengan gelar Sultan Ibrahim, sehingga ia
bernama lengkap Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim. Gelar Sultan Ibrahim sendiri
merupakan gelar yang diberikan kepadanya manakala menjabat Raja Bone kala itu
(mangkauE Ri Bone). Pada masanyalah Kompeni Belanda di Celebes Selatan bernama
Tuan L.J.J. Karon serta Raja Belanda di Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de
Graff.

Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan


melibatkan seluruh negara-negara besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman,
Ratu Belanda Wilhelmina melarikan diri bersama seluruh keluarganya ke Inggris untuk
minta perlindungan.

La Mappanyukki (Penyebutan La merupakan gelar bangsawan Bugis, sedangkan I


Mappanyukki merupakan gelar dari bangsawan Gowa) diangkat menjadi Arung
MangkauE’ (Untuk istilah raja di Kerajaan Bone bernama Arung MangkauE’) di
Kerajaan Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena jelas
bahwa dia adalah cucu dari MappajungE. Dia merupakan turunan La Tenri Tappu
MatinroE ri Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah
pilih dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau’ di
Kerajaan Bone.
Karena menolak bersekutu dengan Belanda Ia pun “di turunkan” dari sebagai raja Bone
oleh kekuatan dan kekuasaan Belanda, kemudian di asingkan bersama Istri (permaisuri) nya
I’ Mane’ne Karaengta Ballasari” dan Putra Putrinya selama 3,5 tahun di Rantepao, Tana
Toraja. Ia pernah diangkat memimpin kerajaan suppa tahun 1902 s/d 1906.

Saat berusia 16 tahun, Andi Mappanyukki diangkat menjadi Datu Suppa. Pada usia 20
tahun, yakni sekitar 1905, dia dipercaya menjadi perwira Kerajaan Gowa yang bertugas
mempertahankan terpenting kerajaan yang terletak di Gunung Sari. Dia memimpin
pasukan Gowa dalam peperangan yang tidak seimbang di medan perang yang dikuasainya.
Untuk menyiasati kelemahan tersebut, Andi Mappanyuki melakukan taktik gerilya.

Dalam satu pertempuran, pasukan Gubernur Jenderal Belanda Kroesen menggempur


pasukan pimpinan Andi Mappanyukki yang mengakibatkan 23 orang pasukannya
gugur. Pada 25 Desember 1905, pasukan Andi Mappanyukki melakukan serangan balik
dan berhasil menangkap pimpinan pasukan Belanda Vande Kroll yang kemudian ditembak
mati. Pasukan Belanda mengejar Raja Gowa I Makkulau. Saat dalam keadaan terdesak,
I Makkulau terjatuh ke jurang dan menemui ajalnya. Kematian ayahnya membuat Andi
Mappanyukki masuk hutan untuk melakukan perlawanan. Belanda melakukan segala upaya
untuk menangkap Andi Mappanyuki. Tapi, usaha itu selalu gagal. Pemerintah Hindia
Belanda lalu mengirim utusan La Parenrengi Karaeng Tinggimae. Dia diberi tugas
membujuk Andi Mappanyukki agar bersedia melakukan perundingan dan mengakhiri
perang. Tawaran yang diberikan Belanda, Gowa akan dijadikan sekutu
terhormat. Tawaran tersebut tidak mengubah pendirian Andi Mappanyukki. Dia pun
ditawan dan dimasukkan penjara bersama beberapa orang pasukannya. Pemerintah Hindia
Belanda tidak berhasil meredam perlawanan yang dilakukan rakyat Gowa. Bahkan,
pengikut Andi banyak yang masuk hutan dan melakukan perlawanan.

Kecintaan rakyat terhadap Andi Mappanyukki membuat Pemerintah Belanda gagal


memikat hati rakyat. Pada tahun 1909, Gubernur Jenderal Sulawesi AJ. Baron De
Quarles membebaskan Andi Mappanyuki dan pada tahun 1910 beliau dibujuk menerima
tawaran untuk jabatan Regent (Bupati) Gowa Barat dengan gaji 400 gulden. Namun,
tawaran tersebut ditolak karena dianggap penghinaan bagi diri dan rakyatnya. Pada 2
April 1931, melalui Sidang Ade Pitue dilakukan musyawarah dan mufakat dan memilih
Andi Mappanyukki sebagai Raja Bone XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim. Ketika
dilantik, beliau bernama La Mappanyukki (Bugis) atau I Mappanyukki (Makassar) dan
diberi gelar Datue Ri Silaja, karena pernah dibuang Belanda ke Pulau Selayar pada
tahun 1907 saat berperang bersama ayah, paman, dan saudaranya melawan Belanda
(1905-1907). Namun, karena menolak bekerja sama dengan Belanda, dia dicopot sebagai
Raja Bone, kemudian diasingkan selama 3,5 tahun di Rantepao, Tana Toraja.

Saat nasionalisme merebak di Sulsel, di mana-mana muncul perlawanan untuk


membebaskan diri dari kekuasaan Belanda. Pada 1942, dia harus menyerahkan
kekuasaannya ke penjajahan Jepang. Awalnya, propaganda Jepang berhasil menarik
simpatik penduduk untuk mendukung kehadiran mereka. Tahun 1943 terjadi peristiwa
Unra di Desa Unra, Kecamatan Awangpone Distrik Jeling. Peristiwa ini dikenal dengan
pemberontakan rakyat Unra karena akumulasi ketidakpuasan rakyat atas kewajiban
mengumpulkan padi secara paksa. Rakyat kemudian melakukan perlawanan di bawah
pimpinan Haji Temmale. Saat Jepang ingin mengambil tindakan yang lebih keras untuk
mengatasi amukan rakyat Unra, Raja Bone turun tangan. Wibawa dan karisma Andi
Mappanyuki meredakan amukan rakyat. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
mendapat dukungan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Raja-raja pada wilayah itu
seperti di Jongaya menyatakan mendukung proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 1 Desember 1945 diadakan pertemuan di Watampone yang dihadiri oleh
raja-raja Sulawesi Selatan, di antaranya Andi Mappanyukki, Raja Gowa Andi Manggin
Manggi, Andi Djemma, Andi Mangkona, Andi Wana, dan lain-lain.

Pihak Sekutu diwakili Mayor J. Herman, Mayor Dr. Liom Cachief dan Kapten LA.
Emmanuel. Andi Mappayukki beserta seluruh raja yang hadir berikrar berada di belakang
Republik Indonesia hasil proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 . Sekutu dengan
NICA mengeluarkan pengumuman untuk mengintimidasi rakyat Bone, namun
pengumuman itu tidak menjadikan rakyat Bone takut. Belanda memainkan berbagai tipu
daya untuk mewujudkan keinginannya. NICA mendekati kelompok bangsawan tinggi
Kerajaan Bone yaitu Andi Pabenteng dengan dijadikan sebagai Komisaris Polisi Tingkat
I. Keadaan ini membuat kekuatan Bone terpecah. Upaya mengajak Andi Mappanyukki
bergabung bersama Belanda gagal. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan menangkap
Andi Mappanyuki.

Sikap tegas dan pendirian yang kokoh Andi Mappanyukki ternyata berpengaruh
terhadap masyarakat. Pada November 1946, Andi Mappanyukki ditangkap oleh Polisi
Militer Belanda di rumahnya di Jongaya.
Pada perang kemerdekaan 1945-1950, Andi Mappanyukki memberikan pengorbanan jiwa
raga dan harta benda dengan memimpin organisasi perjuangan kemerdekaan nasional
Sumber Daya Rakyat, ada juga yang menulis Sumber Darah Rakyat, untuk menentang
Belanda yang kembali menjajah. Dengan kegigihannya itu, akhirnya Andi Mappanyukki
berhasil membuka lembaran baru bagi bangsa Indonesia, khususnya rakyat Sulsel.

Andi Mappanyukki wafat pada tanggal 18 April 1967 di Jongaya, tempat kelahirannya.
Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) di Panaikang, dengan upacara
kenegaraan. Dia mendapat gelar lengkap Haji Andi Mappanyukki Sultan Matinrowe ri
Jongaya.

Berkat perjuangan dan jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, Andi Mappanyukki
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 2004. Hal ini berdasarkan
Keputusan Presiden RI Nomor 089/TK/TH 2004 tanggal 5 November 2004.

2. Andi Sultan Daeng Radja

Tokoh kemerdekaan Indonesia dan pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan ini pernah
mendekam di penjara dan dibuang ke Menado karena dianggap berbahaya oleh penjajah
Belanda. Sejumlah jabatan penting pernah diembannya sebagai birokrat di kantor
pemerintah mulai dari kepala pajak, jaksa hingga bupati.

Haji Andi Sultan Daeng Radja (lahir di Matekko,


Gantarang, 20 Mei 1894 – meninggal di Rumah Sakit
Pelamonia Makassar, Sulawesi Selatan, 17 Mei 1963
pada umur 68 tahun) adalah seorang tokoh kemerdekaan
Indonesia dan pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan. Ia
adalah putra pertama pasangan Passari Petta Tanra
Karaeng Gantarang dan Andi Ninong. Semasa muda,
Sultan Daeng Radja dikenal taat beribadah dan aktif
dalam kegiatan Muhamamadiyah. Ia merupakan pendiri
Masjid Tua di Ponre yang pada jamannya terbesar di
Sulawesi Selatan.

Tahun 1902, Sultan Daeng Radja masuk sekolah Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga
tahun di Bulukumba. Tamat dari Volksschool, beliau melanjutkan pendidikannya ke
Europeesche Lagere School (ELS) di Bantaeng. Selesai mengenyam pendidikan di
ELS, Sultan Daeng Radja melanjutkan pendidikannya di Opleiding School Voor
Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di OSVIA pada tahun 1913, Sultan Daeng


Radja yang saat itu, masih berusia 20 tahun diangkat menjadi juru tulis kantor pemerintahan
Onder Afdeeling Makassar. Bebeberapa bulan kemudian, beliau diangkat menjadi calon
jaksa dan diperbantukan di Inl of Justitie Makassar. Tanggal 7 Januari 1915 diangkat
menjadi Eurp Klerk pada Kantor Asisten Residen Bone di Pompanua.

Selanjutnya, beliau dipindahkan lagi ke Kantor Controleur Sinjai sebagai Klerk. Dari
Sinjai ditugaskan ke Takalar dan mendapat jabatan wakil kepala pajak. Selanjutnya
ditugaskan ke Enrekang dengan jabatan kepala pajak. Tahun 1918, beliau ditugaskan
sebagai Inlandsche Besteur Asistant di Campalagian, Mandar. Tanggal 2 April 1921,
pemerintah mengeluarkan surat keputusan mengangkat Sultan Daeng Radja menjadi
pejabat sementara Distrik Hadat Gantarang menggantikan Andi Mappamadeng Daeng
Malette yang mengundurkan diri karena tidak bisa bekerjasama lagi dengan pemerintah
kolonial Belanda. Pengunduran diri Andi Mappamadeng tersebut hingga kini masih
menjadi kontroversi, sebab Andi Mappamadeng Daeng Malette merupakan sepupu satu
kali dari Sultan Daeng Radja. Pada waktu itu pula, Sultan Daeng Radja mendapat
kepercayaan menjadi pegawai pada kantor Pengadilan Negeri (Landraad) Bulukumba.

Kembalinya Andi Sultan Daeng Radja ke Bulukumba, mendorong Dewan Hadat


Gantarang (Adat Duapulua) mengadakan rapat memilih calon kepala adat. Rapat
tersebut kemudian memutuskan Andi Sultan Daeng Radja menjadi Regen (Kepala Adat)
Gantarang. Jabatan ini diembannya hingga pemerintahan Belanda menyatakan
pengakuannya atas kedaulatan Republik Indonesia.

Tahun 1930, Andi Sultan Daeng Radja mendapat kehormatan menjadi Jaksa pada
Landraad Bulukumba. Setelah proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945,
pemerintah NICA menuduh Andi Sultan Daeng Radja terlibat dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI sehingga ia tidak lagi digunakan sebagai pemerintah.
NICA kemudian menahan dan mengasingkan Sultan Daeng Radja ke Menado, Sulawesi
Utara. Tanggal 8 Januari 1950, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) dan
pengakuan kedaulatan RI oleh Pemeritah Belanda, Sultan Daeng Radja kemudian
dibebaskan oleh Belanda dan kembali ke Bulukumba. Pada 1 Juli 1950 Andi Sultan
Daeng Radja mundur dari jabatannya sebagai Kepala Adat Gantarang dan digantikan
oleh putranya Andi Sappewali Andi Sultan.
Setelah mundur dari jabatannya selaku Kepala Adat Gantarang, Menteri Dalam Negeri
berdasarkan Surat Keputusan tertanggal 11 Juni 1951 mengangkatnya menjadi bupati
pada kantor Gubernur Sulsel. Tanggal 4 April 1955, beliau ditugaskan sebagai Bupati
Daerah Bantaeng dan diangkat menjadi pegawai negeri tetap.
Tahun 1956, Sultan Daeng Radja diangkat menjadi residen diperbantukan pada
Gubernur Sulsel sesuai keputusan presiden. Setahun kemudian beliau diangkat menjadi
Anggota Konstituante. Andi Sultan Daeng Radja wafat pada 17 Mei 1963 di Rumah
Sakit Pelamonia Makassar dalam usia 70 tahun. Semasa hidupnya, Andi Sultan Daeng
Radja memiliki empat istri dan 13 anak.

Andi Sultan Daeng Radja berjuang menentang penjajahan kolonial Belanda dimulai sejak
masih menjadi siswa di Opdeling School Voor Indlandsche Ambtenar (OSVIA) di
Makassar. Ketidak-sukaan Sultan Daeng Radja terhadap pemerintah kolonial dipicu oleh
kesewenangan dan penindasan yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap rakyat
Bulukumba.

Semangat untuk membela rakyat dan bangsa Indonesia yang terpateri dalam jiwa Sultan
Daeng Radja, semakin berkobar saat beliau aktif mengikuti perkembangan dan
pertumbuhan organisasi kebangsaan yang muncul di Pulau Jawa. Seperti Budi Utomo
dan Serikat Dagang Islam yang didirikan sebagai wadah perjuangan melawan penjajahan
kolonial Belanda.

Semangat Sultan Daeng Radja untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan,


membuat dia secara diam-diam mengikuti kongres pemuda Indonesia 28 Oktober 1928,
yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Sepulang mengikuti kongres ini, tekad
Sultan Daeng Radja semakin berkobar untuk mengusir kolonial Belanda dari Indonesia.

Bersama Dr Ratulangi dan Andi Pangerang Pettarani, Andi Sultan Daeng Radja diutus
sebagai wakil Sulsel mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di
Jakarta. PPKI adalah badan yang bekerja mempersiapkan kemerdekaan Republik
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Usai mengikuti rapat PPKI, Sultan Daeng Radja,
langsung pulang ke Bulukumba untuk memberi penjelasan kepada rakyatnya mengenai hasil
rapat PPKI dan menyusun rencana dalam rangka menindaklanjuti persitiwa bersejarah
kemerdekaan RI. Kabar kemerdekaan RI yang disampaikan Sultan Daeng Radja,
disambut rasa haru dan gembira oleh seluruh rakyat Bulukumba.
Akhir Agustus 1945, Sultan Daeng Radja mengusulkan pembentukan organisasi
Persatuan Pergerakan Nasional Indonesia (PPNI). Organisasi ini, dipimpin Andi
Panamun dan Abdul Karim. PPNI dibentuk sebagai wadah menghimpun pemuda dalam
rangka mengamankan dan membela Negara Indonesia. Beberapa hari setelah
kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, tentara sekutu mendarat di Indonesia termasuk di
Bulukumba. Kehadiran tentara sekutu, diboncengi tentara Belanda lengkap dengan
pemerintahan sipil yang disebut Nederlands Indisch Civil Administration (NICA).
Kehadiran NICA sama halnya kehadiran tentara Jepang, ingin menjajah Indonesia.

Sepak terjang Andi Sultan Daeng Radja sebelum kemerdekaan RI dan sesudah
kemerdekaan dalam memperjuangkan kemerdekaan RI, ternyata membuat khawatir NICA.
Apalagi, Sultan Daeng Radja menyatakan tidak bersedia bekerjasama dengan NICA.
Tanggal 2 Desember 1945 NICA menangkap Andi Sultan Daeng Radja di
kediamannya, Kampung Kasuara, Gantarang.

Andi Sultan Daeng Radja kemudian dibawa ke Makassar untuk ditahan. Pemerintah
kolonial berharap, penangkapan Sultan Daeng Radja akan mematikan perlawanan rakyat
Bulukumba. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Penangkapan beliau semakin
membangkitkan perlawanan rakyat Bulukumba terhadap NICA Para pejuang
Bulukumba, kemudian membentuk organisasi perlawanan bersenjata yang dinamakan
Laskar Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) yang dipimpin Andi
Syamsuddin. Dalam organisasi PBAR, Andi Sultan Daeng Radja didudukkan sebagai
Bapak Agung. Meski dipenjara, seluruh kegiatan PBAR dipantau oleh Sultan Daeng
Radja. Melalui keluarga yang menjenguknya, Sultan Daeng Radja memberi perintah
kepada Laskar PBAR.

Setelah lima tahun di penjara di Makassar, pada tanggal 17 Maret 1949, pengadilan
kolonial kemudian mengadili dan memvonis Sultan Daeng Radja dengan hukuman
pengasingan ke Menado, Sulawesi Utara hingga 8 Januari 1950.

Perjuangan Andi Sultan Daeng Radja dalam melawan penjajahan di Indonesia, akhirnya
mendapat penghargaan tinggi dari Pemerintah Indonesia. Berdasarkan Keputusan
Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 Nopember 2006, Presiden SBY
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang
Mahaputera Adipradana kepada Andi Sultan Daeng Radja, di Istana Negara pada
tanggal 9 November 2006.
3. Andi Abdullah Bau Massepe

Andi Abdullah Bau Massepe yang terlahir pada tahun


1929 adalah pejuang heroik dari daerah
SulawesiSelatan. Ia merupakan Panglima pertama TRI
Divisi Hasanuddin dengan pangkat Letnan Jendral.
Iadianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia oleh
presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November
2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10
November 2005.

Andi Abdullah Bau Massepe adalah putra dari Andi


Mappanyukki (salah satu pahlawan Nasional dariSulawesi Selatan) dan ibunya Besse
Bulo (putri Raja Sidenreng) di daerah Massepe, KabupatenSidenreng Rappang.
(Massepe dahulunya merupakan salah satu pusat kerajan Addatuang
(kerajaan)Sidenreng.Beliau adalah pewaris tahta dari dua kerajaan besar di Sulawesi
Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Gowa.Ia juga merupakan pewaris tahta dari lima
kerajaan di sebelah barat Danau Sidenreng yaitu Suppa, Allita,Sidenreng Rappang dan
Sawito.

Bau Massepe merupakan anak Raja dari Kerajaan Bone yakni Andi Mappanyukki yang
juga seorangpejuang dari Sulawesi Selatan pada tanggal 10 November 2004 oleh
Presiden Susilo BambangYudhoyono mendapat penghargaan sebagai Pahlawan
Nasional.

Semasa hidupnya Bau Massepe tiga kali beristri.Istri yang pertama bernama Andi
Maccaya melahirkan putri bernama Andi Habibah,Istri yang kedua bernama Linge Daeng
Singara melahirkan seorang putra yang bernama Andi Ibrahimdan seorang putri bernama
Bau te ne.Pada tahun 1933 menikah dengan Andi Soji Petta Kanje ne yang kemudian
dianugerahi putra-putri yangmasing-masing bernama:Bau Kuneng,Bau
Amessangeng,Bau Dala Uleng danBau Fatimah. Semasa hidupnya pernah mengecap
pendidikan formal pada Sekolah Rakyat selama 1 tahun (1924), HIS(Hollands Inslander
School (selesai 1932)

Jabatan/Keorganisasian yang pernah dilakoni oleh Beliau anatara lain; Datu Suppa
tahun 1940, BunkenKanrekan Pare-Pare, Ketua Organisasi SUDARA Pare-Pare,
Ketua Pusat Keselamatan Rakyat PenasehatPemuda/Pandu Nasional Indonesia, Ketua
Umum BPRI (Badan Penunjang Republik Indonesia),Kordinator perjuangan bersenjata
bagi pemuda di daerah sekitar Pare-Pare.

Andi Abdullah Bau Massepe wafat ditembak oleh pasukan Westeling pada tanggal 2
Februari 1947setelah ditahan selama 160 hari. Wafat 10 hari sesudah konferensi Pacekke
(tanggal 20 Januari 1947).Makam beliau dapat ditemukan di Taman Makam Pahlawan
kota Pare-Pare (110 kilometer utara KotaMakassar).

Beliau diakui sebagai pejuang yang teguh pendirian dan berani berkorban demi tegaknya
NKRI. Hal inidiakui oleh Westerling yang disampaikan kepada istrinya, A. Soji Petta
Kanjenne, dia berkata; suamimuadalah jantan dan laki-laki pemberani. Ia bertanggung
jawab atas semua tindakannya, tidak maumengorbankan orang lain demi kepentingan
sendiri, sikap jantan ini sangat saya hormati.

Andi Abdullah Bau Massepe, adalah seorang Asisten Residen (Ken Kanrikan) yang
dibentuk oleh Jepangketika itu. Asisten Residen ini membawahi lima wilayah Onder
Afdeling, Parepare, Sulawesi Selatan,sebagai Kantor Pusat, Pinrang, Barru, Sidrap,
dan Enrekang.

Ketika mendengar Jepang telah menyerah kepada sekutu. Andi Abdullah Bau Masepe
yakin Indonesiapasti merdeka. Tiga bulan setelah Jepang menyerah, beberapa tentara
Jepang (Heiho) melarikan diri keSuppa meminta perlindungan Andi Andullah Bau
Masepe. Tentara Heiho ini diterima baik oleh AndiAbdullah Bau Masepe dan
menganggap mereka adalah Duta Suppa untuk dipergunakan tenaganya dalam kesatuan
bersenjata.Dr. Ratulangi mendatangi Andi Abdullah Bau Masepe untuk mengadakan
dan membentuk PartaiNasional Indonesia (PNI). Perintah Dr. Ratulangi itu, disampaikan
ke seluruh anggota Onder Afdeling,agar mereka membentuk PNI. Saat itu semua rakyat
yang berumur 15 tahun keatas masuk PNI yangjuga merupakan orang-orang rebuliken.

Pada tanggal 21 Agustus 1945 diadakan rapat raksasa dan upacara penaikan Bendera
Merah Putih dilapangan La Sinrang dengan maksud memasyarakatkan Sang Merah
Putih.Pada saat itu, Andi Abdullah Bau Massepe berpidato menyerukan agar semua
rakyat mempertahankankemerdekaan samai tetes darah penghabisan. Pada rapat-rapat
selanjutnya, Andi Bau Massepe selalumenekankan perlunya persatuan dan kesatuan
untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan.Selain itu, Andi Bau Massepe juga
menyusun satu kesatuan bersenjata untuk mem pertahankan Indonesia.
Kalau perlu kita harus berkorban harta dan jiwa. Kalau kita tak dapat menikmati
kemerdekaan, nantianak cucuku kita yang menikmatinya, di Indonesia pasti mereka. Begitu
ucapan Andi Abdullah BauMassepe ketika mengadakan pertemuan rahasia yang
berlangsung di rumahnya di Majennang, yangdihadiri para pegawai swapraja Suppa dan
pemuka-pemuka masyarakat Suppa. Pada rapat rahasia itudisepakati menyetujui dan
mengangkat sumpah mengatakan “Polopa polopanni narekko naposiriipomateni idi
atae”.Pada saat itu juga oleh Andi Abdullah Bau Massepe memerintahkan Andi Arsyad,
AndiSelle, LabanggoSiradja untuk menyusun laskar BPRI guna persiapan tempur
melawan NICA (Belanda) dan dibantu olehbekas Heihodari Jepang yang melarikan diri
dan berjuang untuk kemerdekaan RI. Kemudian dibentukjuga Persatuan Merah Putih.
Para komandan laskar tersebutm, masing-masing Andi Cammi di Sidrapdengan gelar
Ganggawa, Andi Abu Bakar Masenrengpulu di Enrekang gelarnya BPRI Andi
Prenrengi diMajene dengan gelar Kris Muda, Di Barru diberi gelar BPRI.

Tanggal 30 Agustus 1945, Andi Abdullah Bau Massepe bersama Andi Makkasau
mengadakandemonstrasi barisan keliling kota Parepare dengan membawa bendera Merah
Putih, sekitar 400 orangdari Suppa dengan menggunakan Kopiah berlambang merah
putih, bergabung dengan PNI Parepareyang dipimin Usman Isa yang juga Ketua PNI
Parepare. Gerakan itu dilakukan untuk menunjukkan bahwamereka siap mempertahankan
kemerdekaan RI. Ketika Tentara NICA berkuasa, Andi Abdullah BauMassepe
bersama pasukannya terus melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.Pasukan
dibawah Komando Andi Abdullah Bau Masepe itu melakukan gerakan gerilla dan
beberapa kaliterjadi kontak senjata dengan tentara NICA. Untuk kebutuhan
persenjataan, Andi Bau Massepemelakukan kontak dengan Juli, seorang Komandan
Polisi NICA di Balik Papan (Kaltim). Juli yang jugaseorang pejuang sejati itu, mensuplai
ratusan senjata dan amunisidan diselundupkan masuk melaluipelabuhan Suppa.

Rupanya gerakan perjuangan Andi Abdullah Bau Massepe membuat pusing tentara
NICA. KomandanTentara NICA kemudian menemui Andi Abdullah Bau Massepe ke
Kantor Swapraja di Suppa. NICAmenyodorkan selembar kertas agar ditandatangani.
Isi surat itu, agar Andi Abdullah Bau Massepe maumenyetujui keberadaan Belanda di
wilayahnya. Tawaran itu ditolak mentah-mentah. Permintaan tuan tidak dapat dipenuhi.
Indonesia pasti merdeka, tidak ditawar-tawar kalau perlu sayakorban bersama-sama
dengan rakyat di Suppa, kalau perlu korban darah dan jiwa pun saya rela dan sayatidak
bisa berbicara dua kali, hanya sekali dilahirkan oleh ibu saya, tidak cukup dua kali dan
berpesanlebih baik mati berkalang tanah daripada dijajah kembali oleh Belanda. tegas
Andi Abdullah BauMassepe ketika itu. Perkataan itu membuat Komandan Tentara
NICA marah. Beberapa hari kemudian, tentara Belanda menngkap Andi Abdullah Bau
Masepe bersama Andi BasoDaeng Erang Sulawatang Suppa, Andi Mojong
Pabbicara Suppa dan Syamsuddin Juru tulis Suppa.Kelimanya ditahan Belanda di
barak tentara NICA di kampung Kariango. Bulan Desember, Andi AbdullahBau
Massepe dan Andi Baso Daeng Erang dibunuh di Palia, yang lainnya ditembak mati di
Suppa.

Dariperjuangan Andi Abdullah Bau Massepe, lahirlah Resimen I Paccekke Brigade


16.Penganugerahan kepada pejuang sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah adalah
merupakan suatubentuk penghargaan pemerintah kepada jasa para pahlawan yang telah
berkorban jiwa dan raga demidan semata-mata untuk membebaskan bangsa ini dari
belenggu penjajahan dimasa yang silam adalahmanifestasi bahwa bangsa kita dewasa ini
meski di ronrong berbagai masalah dan polemik tetap dan takakan lekang menghargai
pengorbanan para pahlawan bangsa ini, sebab Bangsa yang besar adalahbangsa yang
selalu menghormati dan menghargai jasa pahlawannya.Begitu pun sejarah heroik yang telah
dilakoni oleh sosok Andi Abdullah Bau Massepe pejuang yangdengan begitu gigih
berjuang bersama masyarakat Sulawesi Selatan dalam mengusir penjajahan daribumi
Sulawesi, yang dalam rangkaian perjalanan yang begitu panjang dan berliku dan tanpa
mengenallelah serta pengorbanan harta dan nyawa telah membawa bangsa ini ke zaman
yang kita nikmati saatini, kemerdekaan dan kebebasan.
Olehnya pemerintah pusat berkenan menganugerahkan Letnan Jenderal TNI Andi
Abdullah BauMassepe sebagai pahlawan nasional pada momen Hari Pahlawan tanggal
10 November 2005 bertempat di Istana Negara Jakarta oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, yang dihadiri segenap pejabat tingginegara serta ahli waris, keluarga dan
kerabat Andi Abdullah Bau Massepe serta masyarakat SulawesiSelatan sendiri.Rasa
bangga dan terhormat tentu saja dirasakan oleh bukan saja keluarga dan kerabat Bau
Massepeakan tetapi kebanggaan dan penghormatan tersebut juga dirasakan oleh seluruh
masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya.
4. Andi Burhanuddin

Sebelum Andi Burhanuddin menjabat sebagai Karaeng / residen Pangkajene (1942-


1946), beliau telah dibekali dengan pendidikan dan pengalaman yang cukup oleh ayahnya,
Andi Mauraga Dg Malliungang. Beliau menamatkan pendidikan di sekolah peninggalan
Belanda, MULO dan AMS di Jawa sebelum diamanahi kedudukan sebagai pejabat
diperbantukan pada Kantor Controleur Pangkajene (1935 – 1937), Wakil Karaeng
adatgemeenschap Pangkajene (1937) dan Sullewatang (Raja Muda) pada Kantor
Karaeng Agatgemeenschap Pangkajene (1938), Klerk pada Kantor Landschapskassen
Makassar (1939-1942).
Paman dari Andi Burhanuddin, Andi Mattotorangpage Daeng Mamangung, (Bestuur
Assisten Klas I) naik menggantikan kemenakannya Andi Burhanuddin sebagai Residen
(Karaeng Pangkajene). Andi Burhanuddin meletakkan jabatannya sendiri pada Hari
Minggu tanggal 6 April 1946 karena tidak mau konpromi dan bekerjasama dengan
Belanda.

5. Andi Djemma

Andi Djemma adalah Raja (Datu) Luwu seorang tokoh


Indonesia dan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh
Presiden Republik Indonesia tanggal 8 November
2002. Beliau lahir di Palopo, Sulawesi Selatan pada 15
Januari 1901 dan meninggal di Makassar, Sulawesi
Selatan pada 23 Februari 1965 pada umur 64 tahun.

Sebelum menjadi datu, pada tahun 1919 dia memegang


jabatan setingkat wedana di Kolaka. Amanah itu
diembannya hingga tahun 1923. Setelah itu dia kembali ke
kota kelahirannya, Palopo dan mempersiapkan untuk menjadi datu. Sejak saat itu dia mulai
mengenal paham nasionalisme. Dia dipercaya memimpin sebuah organisasi yang merupakan
cabang dari sebuah politik di Jawa. Karena kepemimpinannya itulah, segala kegiatannya
diawasi oleh Belanda.

Pada tahun 1935, ketika Andi Kombo ibu dari Andi Djemma meninggal dunia, golongan
yang pro Belanda berusaha menghalangi pengangkatan Andi Djemma sebagai datu
kerajaan Luwu. Namun banyak rakyat Luwu yang mendukungnya, usaha itupun berhasil
digagalkan. Karena, mereka mengancam akan mengadakan kerusuhan jika Andi Djemma
tidak diangkat menjadi datu.

Selama menjadi datu, organisasi kebangsaan dan agama seperti Partai Serikat Islam
Indonesia (PSII) dan Muhammadiyah diberinya lebih banyak ruang untuk menjalankan
kegiatannya di Kerajaan Luwu. Meskipun kebijakannya itu kurang disukai oleh para
pemangku adat kerajaan.

Kedatuan Luwu adalah kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menyatakan


bergabung ke dalam pangkuan republik dan dengan mengusulkan kepada presiden RI satu
permintaan yaitu Daerah Istimewa Luwu. Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 15
Agustus 1945, Andi Djemma bahkan memimpin ‘Gerakan Soekarno Muda’ dan
memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu pada 23 Januari 1946. Tanggal itu
sekarang diperingati sebagai Hari Perlawanan Rakyat Semesta. Beliau memimpin rakyat
luwu (palopo) untuk berperang angkat senjata melawan tentara sekutu yang di boncengi
oleh tentara NICA ( Nedelans Indiscehe Company Administration ).

Pada 5 Oktober 1945, Andi Djemma sempat mengultimatum pihak Sekutu agar segera
melucuti tentaranya dan kembali ke tangsinya di Palopo. Ultimatum itu dibalas Gubernur
Jenderal Belanda, Van Mook, dengan mengirim puluhan bom kedalam kota Palopo.

Datu Luwu Andi Djemma bersama rakyatnya tidak gentar dengan serangan dari laut itu,
Persembahan jiwa dan raga dari Bumi Sawerigading (julukan tanah Luwu) yang tidak rela
di jajah oleh pihak sekutu terus berkobar sehingga Perang pun pecah di hampir semua
wilayah Luwu raya. Kota Palopo di kuasi pemuda. Untuk beberapa jam sekutu mundur ke
selatan. Sebelum bantuan yang besar datang dan menguasi kembali pusat kota Palopo.

Perlawanan semesta rakyat Luwu punya nilai historis sendiri, karena perlawanan itu
termasuk paling luas. Perang meletus sepanjang tidak kurang 200 km. Perang dengan lokasi
yang panjang itu menyulitkan sekutu. Efek dari perang tersebut, Belanda sangat murka
dan mengirim Raymond Wasterling. Merasa dipermalukan, Wasterling mengamuk dengan
membantai kurang lebih 40.000 jiwa rakyat tak berdosa sepanjang Sulawesi Selatan.
Walau angka korban 40.000 jiwa itu masih diperdebatkan mengingat angka 40.000 jiwa
terlalu besar.

Karena tekanan yang disebabkan oleh kekuatan yang tidak seimbang, hingga beliau
terpaksa meninggalkan istana bersama permaisurinya, memimpin rakyatnya bergerilya di
dalam wilayah kerajaannya, yang mengakibatkan tertangkapnya Andi Djemma oleh tentara
NICA. Andi Djemma yang mempunyai lima putera itu baru tertangkap pada 3 Juli 1946
dan diasingkan ke Ternate.

Setelah kemerdekaan RI diproklamirkan, dia mengeluarkan pernyataan bahwa kerajaan


Luwu merupakan bagian dari negara RI. Untuk menyatukan sikap dan menentang
kembalinya kekuasaan Belanda. Pada Septeber 1945, dia memprakarsai pertemuan raja-
raja Sulawesi Selatan di Watampone. Tidak hanya itu, dia juga merestui pembentukan
badan-badan perjuangan Palopo khususnya dan daerah Luwu pada umumnya. Badan-
badan tersebut antara lain Pemuda Nasional Indonesia (PNI) dan Pemuda Republik
Indonesia.

Atas jasa-jasanya, Andi djemma di anugrahi bintang kehormatan lencana “ Bintang


Gerilya “ pada tanggal 10 november 1958 dengan nomor 36.822 yang di tanda tangani
langsung oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno. Sebagai daerah paling sebentar
dijajah Belanda sekitar 30 tahun, Inilah persembahan wija to Luwu (rakyat Luwu) untuk
republik ini.

Andi Djemma meninggal di Makassar pada 23 Februari 1965. Beliau diangkat menjadi
Pahlawan Nasional pada 6 November 2002 dengan dikeluarkannya Keppres No.
73/TK/2002.

Sampai Andi djemma wafat, permintaan beliau kepada Soekarno untuk membentuk
Daerah Istimewa Luwu yang telah di setujui tidak pernah terwujud nyata sebagaimana yang
di harapkan Andi djemma dan masyarakat luwu. Salah satu penyebabnya adalah karena
pada saat itu di wilayah luwu sedang bergejolak pemberontakan DI/TII yang di pimpin oleh
Abdul Kahhar Mudzakkar.
TUGAS SEJARAH

“Peran tokoh dari Sulawesi Selatan dalam melawan penjajah”

OLEH :

SULFADRIANI

XII . JOSEPH JOHN THOMPSON

SMAN 11 PANGKEP

TAHUN AJARAN 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai