Anda di halaman 1dari 40

PERBANDINGAN PENGARUH PEMBERIAN EPIDURAL BUPIVACAINE

0.125% DAN KETOROLAC 30 mg DENGAN EPIDURAL BUPIVACAINE


0.125% DAN PARACETAMOL 1000 mg TERHADAP KADAR IL1β PADA
PASIEN PASCA LOWER LIMB ORTHOPEDIC SURGERY

USULAN PENELITIAN

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Program Pendidikan Dokter


Spesialis-1 (PPDS-1) Anestesiologi dan Terapi Intensif

TATUK HIMAWAN
NIM 22130115320011

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1

HALAMAN PENGESAHAN 2

DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN 5

1.1 Latar Belakang 6

1.2 Rumusan Masalah 7

1.3 Tujuan Penelitian 7

1.4 Manfaat Penelitian 7

1.5 Keaslian Penelitian 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12

2.1 Lower Limb Orthopaedic Surgery 12

2.2 Inflamasi Pasca Bedah 16

2.3 Epidural analgesic 18

2.4 Bupivacaine 19

2.5 Ketorolac 22

2.6 Paracetamol 26

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 29

3.1 Kerangka Teori 29

3.2 Kerangka Konsep 29

3.3 Hipotesis 29

BAB IV METODE PENELITIAN 31

4.1 Rancangan Penelitian 31

4.2 Ruang Lingkup Penelitian 32

3
4.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 34

4.4 Randomisasi 35

4.5 Variabel Penelitian 35

4.6 Kerangka Kerja Penelitian 35

4.7 Definisi Operasional 36

4.8 Bahan, Alat, dan Cara Kerja 36

4.9 Pelaksanaan Penelitian 37

4.10 Prosedur Pemeriksaan 38

4.11 Cara Pengambilan Data 38

4.12 Analisis Data 39

4.13 Etika Penelitian 39

DAFTAR PUSTAKA 40

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lower Limb Orthopedic Surgery merupakan tindakan bedah ortopedik

pada ekstremitas inferior yang meliputi tulang, sendi, dan vascular. Tindakan

bedah pada tulang meliputi osteotomi dan fiksasi tulang pada kasus fraktur,

tindakan pada sendi meliputi arthroplasty seperti pada Total Knee Replacement

(TKR) dan Total Hip Replacement (THR) yang merupakan suatu prosedur

operatif yang dilakukan untuk mengganti permukaan weight-bearing dari sendi

lutut atau pinggul amputasi dengan sendi baru untuk meredakan nyeri dan

disabilitas pada lutut yang diakibatkan oleh berbagai kondisi arthritis, tindakan

bedah ortopedi lainnya seperti microsurgery replantation, dan amputasi.

Analgesia pasca operasi ortopedi anggota gerak bawah yang optimal adalah

kunci untuk pemulihan dan mendapatkan hasil fungsional yang lebih cepat.

Nyeri pasca operasi yang tidak diatasi dengan baik akan memperpanjang

proses rehabilitasi dan peningkatan risiko komplikasi lain dan nyeri akan

berkembang sebagai nyeri pasca operasi persisten yang akan meningkatkan

keseluruhan waktu rawat inap dan biaya.1-3

Epidural anesthesia merupakan salah satu metode regional anesthesia

dengan memasukkan obat anti nyeri ke dalam cavum epidural medulla

spinalis. Regional anesthesia memiliki kelebihan dibandingkan general

anesthesia karena efek kardiopulmoner yang lebih rendah, menurunkan

perdarahan intra-operatif dan frekuensi mual muntah post operatif dan

memiliki efek anti nyeri yang memuaskan terhadap pasien, sehingga

5
penggunaannya banyak digunakan dalam operasi ekstremitas bawah. Epidural

anesthesia memiliki kelebihan karenadapat memasukkan obat secara infus

yang kontiniu maupun secara Patient Controlled Analgesia ( PCA ). Pilihan

penggunaan obat dalam epidural anesthesia didasarkan pada durasi operasi,

pada Lower Limb Orthopedic Surgerydengan durasi operasi yang lebih

panjang. Bupivacaine menjadi pilihan karena durasi kerjanya yang panjang.4

Interleukin 1B merupakan salah satu sitokin pro-inflamasi yang

diekspresikan tubuh setelah trauma. Pada trauma operasi menyebabkan

permasalahan homeostasis ,hemodinamik,metabolik, dan reaksi

imunologis.trauma operasi berkorelasi dengan gangguan respons imunologi

pasca operasi, yang terjadi karena disregulasi dari sitokin proinflamasi atau

dengan inhibisi respons seluler.Inflamasi terhadap trauma pasca bedah dapat

menginduksi respon stres neuroendokrin, yang pertama pada jaringan inflamasi

perifer yang dapat di hambat oleh anestesi lokal dan cyclooxygenase (COX-2)

inhibitor. Jalur yang kedua adalah sinyal humoral yang berasal dari jaringan

inflamasi perifer menyebabkan produksi sitokin seperti Interleukin-1β (IL-β),

IL-2, IL-6 dantumor necrosing factor (TNF) yang akan menginduksi

penyebaran dan peningkatan COX-2 dan sintesa prostaglandin yang berada di

centralnervous system (CNS). Hal ini tidak dapat dihambat dengan efektif oleh

anestesi regional, namun pemberian COX-2 inhibitor yang bekerja sentral akan

menekan produksi ini.5,6

American Pain Society merekomendasikan pemberian paracetamol dan

Non-steroid anti inflammatory Drugs ( NSAID ) pada pasien.NSAID seperti

ketorolac mampu secara efektif mengontrol rasa sakit pasca operasi ringan dan

6
sedang, tetapi pemberian jangka panjang dapat menyebabkan pendarahan pada

bagian trauma pasca operasi, perdarahan gastrointestinal, dan insufisiensi

ginjal. Oleh karena itu, Penelitian ini untuk bertujuan untuk membandingkan

pengaruh pemberian epidural bupivacaine 0.125% dan ketorolac 30 mg dengan

epidural bupivacaine 0.125% dan paracetamol 1000 mg terhadap kadar IL1β

pada pasien pasca Lower Limb Orthopedic Surgery.7,8

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbandingan pengaruh pemberian epidural

bupivacaine 0.125% dan ketorolac 30 mg dengan epidural bupivacaine 0.125%

dan paracetamol 1000 mg terhadap kadar IL1β pada pasien pasca Lower Limb

Orthopedic Surgery?

1.3 Tujuan Penelitian

Membandingkan pengaruh pemberian epidural bupivacaine 0.125% dan

ketorolac 30 mg dengan epidural bupivacaine 0.125% dan paracetamol 1000

mg terhadap kadar IL1β pada pasien pasca Lower Limb Orthopedic Surgery.

1.4 Manfaat Penelitian

a) Manfaat untuk bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dalam bidang ilmu anestesi mengenai pengaruh obat antinyeri

pasca Lower Limb Orthopedic Surgeryterhadap kadar IL1β.

b) Manfaat untuk pelayanan kesehatan

7
Hasil penelitian ini apabila terdapat hubungan pemberian epidural

bupivacaine 0.125% dan ketorolac 30 mg dengan epidural bupivacaine

0.125% dan paracetamol 1000 mg terhadap kadar IL1β pada pengelolaan

pasien dapat diberikan edukasi mengenai efektifitas kombinasi antinyeri pada

pasien pasca Lower Limb Orthopedic Surgery.

c) Manfaat untuk masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai pemberian epidural bupivacaine 0.125% dan ketorolac

30 mg dengan epidural bupivacaine 0.125% dan paracetamol 1000 mg

terhadap kadar IL1β pada pasien pasca Lower Limb Orthopedic Surgery.

1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, belum pernah ada penelitian

mengenai perbandingan pengaruh pemberian epidural bupivacaine 0.125%

dan ketorolac 30 mg dengan epidural bupivacaine 0.125% dan paracetamol

1000 mg terhadap kadar IL1β pada pasien pasca Lower Limb Orthopedic

Surgery

Tabel 1. Daftar Penelitian Sebelumnya

No. Judul dan Penulis Penelitian


Metode Penelitian Hasil Penelitian

1. A Comparative Subjek penelitian dibagi menjadi


Ada penurunan yang
Efficacy of dua kelompok, masing- signifikan dalam skor
Propacetamol and masing dengan n = 46.Pasien VAS di kedua
Ketorolac in dalam setiap kelompok kelompok (P <
Postoperative Patient diberi 60 mg ketorolak atau 2 0,05).Namun, tidak ada
Controlled Analgesia9 g propacetamol (dicampur perbedaan yang
dengan fentanyl) selama 10 signifikan dalam skor
Penulis :Bong Ha Heo et al.
menit. Para pasien kemudian VAS antara kelompok

8
Tahun : 2015 diberi 180 mg ketorolak atau pada setiap titik
8 g propacetamol (dicampur waktu.Skor kepuasan
dengan fentanyl dan antar kelompok tidak
ramosetron) melalui PCA. menunjukkan
Peneliti menilai skala nyeri perbedaan yang
analog visual (VAS) pada signifikan.
waktu sebelum pemberian
(baseline) dan pada 15, 30,
dan 60 menit, dan 24 jam
setelah pemberian. Juga, efek
samping dari masing-masing
rejimen dan setiap tingkat
kepuasan pasien dinilai.
2. Pengaruh Preventif Penelitian eksperimental Rerata kadar IL-1β
Multimodal Analgesia dilakukan secara acak pada prabedah pada
Terhadap Dinamika 50 pasien dengan kelompok parecoxib
Kadar Il - status fisik (ASA PS) II 1,05±1,25 pg/ml, 1,24
1β, Intensitas Nyeri Pada yang akan menjalani ± 1,54 pg/ml untuk 2
Pascabedah Laparotomi prosedur laparotomi jam pascabedah dan
Ginekologi10 ginekologi dengan 1,82 ± 2,16 pg/ml pada
anestesi epidural. Subyek 24 jam pascabedah.
Penulis : Muhammad Hisyam
penelitian dibagi dalam dua Kelompok kontrol,
et al
kelompok perlakuan, yakni kadar IL-1β prabedah
kelompok pertama dengan 1,65±1,69 pg/ml,

Tahun : 2013 kombinasi parecoxib 40 mg 2,55±2,77 pg/ml untuk


(n=25) dan kelompok kedua 2
dengan kombinasi plasebo jam pasca bedah
NaCl 0,9% (n=25). Kedua pg/ml, dan 1,96±1,97
kelompok tersebut pg/ml pada 24 jam
mendapatkan pascabedah. Tidak ada
anestesi epidural selama perbedaan bermakna
operasi dan sebagai rerata skor NRS diam

9
analgesia pascabedah. dan bergerak 2 jam, 12
Pengambilan jam, dan 24 jam
sampel darah pasien pascabedah diantara kedua
dilakukan 35 menit sebelum kelompok sampel
pembedahan untuk (p>0,05).
pengukuran
kadar IL-1 β, selanjutnya
dilakukan pada 2 jam dan 24
jam pascabedah. Analisis
statistik menggunakan uji Mann-
Whitney U dan Levane test.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Bong Ha Heo et al dalam hal

variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian tersebut telah dilakukan dengan

menggunakan variabel bebas Propacetamol dan Ketorolac, dan variable terikatnya

ada Visual Analogue Scale. Subjek penelitian yakni pasien pasca operasi dengan

patient controlled analgesic.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian oleh Muhammad Hisyam et

aladalah terdapat pada variabel bebas, subjek penelitian, lokasi penelitian, dan waktu

penelitian yaitu menggunakan variabel bebas multimodal analgesia, subjek

penelitian pasien pascabedah laparotomi ginekologi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lower Limb Orthopedic Surgery

2.1.1 Definisi

10
Lower Limb Orthopedic Surgery merupakan tindakan bedah ortopedik pada

ekstremitas inferior yang meliputi tulang, sendi, dan vascular.1,11

2.1.2 Operasi pada Tulang

2.1.2.1 Osteotomi

Osteotomi digunakan untuk memperbaiki deformitas, rekonstruksi tulang,

atau untuk mengarahkan tumpuan beban dalam tungkai sehingga memperbaiki

fungsi sendi. Pengetahuan tentang sumbu ekstremitas dan hubungannya dengan

sendi adalah dasar untuk menganalisis deformitas tulang. Operasi korektif yang

dilakukan harus memperhatikan anatomis dan fungsional dari tulang yang

dioperasi, . Koreksi anatomi meskipun diinginkan mencapai hasil yang maksimal

namun pada beberapa kasus tidak selalu diperlukan sebagai contoh deformitas

tulang karena kelainan neuromuskuler di mana koreksi untuk mencapai fungsional

maksimal harus lebih besar daripada koreksi anatomi yang akurat.1,11

2.1.2.2 Fiksasi Tulang

Fiksasi tulang merupakan tindakan menstabilkan dua segmen atau fragmen

tulang biasanya dengan metode fiksasi internal atau eksternal.Dalam fiksasi

internal, ini mungkin melibatkan sekrup, wire, plate atau intramedullary rod.Pada

Fiksasi eksternal menggunakan wire atau pin yang dimasukkan ke dalam tulang

dimana batang atau cincin terpasang dan saling berhubungan. Fiksator berfungsi

sebagai eksoskeleton di mana tulang pasien sendiri dapat difiksasi dan

disesuaikan.Fiksasi eksternal digunakan pada kasus fraktur terbuka dan untuk

rekonstruksi anggota gerak menggunakan metode Ilizarov. Metode ini juga dapat

digunakan sebagai perangkat stabilisasi fraktur sementara, ketika kondisi jaringan

11
lunak lokal perlu adanya perbaikan sebelum operasi terbuka, atau pada kasus

darurat yang memer;ukan fiksasi beberapa fraktur tulang panjang.1,11

2.1.3 Operasi pada Sendi

2.1.3.1 Arthrotomi

Arthrotomy merupakan tindakan membuka sendi yang diindikasikan untuk

memeriksa bagian dalam atau melakukan biopsi sinovial, drainase hematoma atau

abses, mengangkat struktur yang rusak misal pada kasus Meniskus yang robek,

untuk mengeluarkan sinovium yang meradang. Jaringan intra-artikular harus

ditangani dengan sangat hati-hati, dan jika terjadi perdarahan pasca operasi misal

pada kasus sinovektomi, drainase harus dimasukkan, hemarthrosis pascabedah

merupakan predisposisi infeksi.1,11

2.1.3.2 Arthroplasty

Artroplasty merupakan suatu tindakan mengganti atau merubah struktur dari

sendi dengan tujuan meredakan nyeri atau mengembalikan fungsi gerakan dari

sendi. Artroplasti terdiri atas beberapa jenis yaitu eksisi artroplasti, partial

replacement, dan total replacement.1,11

Eksisi artroplasti yaitu beberapa bagian tulang yang cukup dikeluarkan dari

bagian artikulasi sendi untuk membuat celah yang memungkinkan terjadinya

gerakan misalnya pada Artroplasti pinggul Girdlestone. Partial replacement yaitu

dimana sebagian artikulasi saja yang diganti misalnya pada prostesis femoralis

untuk colum femur yang fraktur, tanpa komponen asetabular, atau satu

kompartemen sendi yang diganti misalnya setengah medial atau lateral sendi

tibiofemoral. Total Replacement yaitu seluruh bagian artikulasi digantikan oleh

implan prostetik seperti pada kasus Total Knee Replacement atau Total Hip

12
Replacement.Total Knee Replacement (TKR) merupakan suatu prosedur operatif

yang dilakukan untuk mengganti permukaan weight-bearing dari sendi lutut

dengan sendi baru untuk meredakan nyeri dan disabilitas pada lutut yang

diakibatkan oleh berbagai kondisi arthritis.TKR paling sering digunakan pada

osteoartritis lanjut pada satu atau lebih dari tiga kompartemen lutut.TKR dapat

dipertimbangkan ketika perawatan non-bedah gagal dan nyeri lutut pasien secara

signifikan mengganggu aktivitas hidup sehari-hari (ADL).TKR juga dapat

digunakan pada pasien dengan rheumatoid arthritis atau osteoarthritis traumatis

yang disebabkan oleh trauma ekstremitas bawah.1,11

2.1.3 Microsurgery dan Replantation

Teknik bedah mikro digunakan untuk memperbaiki saraf dan pembuluh,

transplantasi tulang, atau jaringan lunak dengan pedikel pembuluh darah,

memindahkan bagian tubuh yang kurang fungsional (misal pada jari kaki) untuk

mengganti bagian tubuh yang lebih fungsional yang hilang (misalnya jari tangan),

dan untuk menyambungkan kembali anggota tubuh yang putus.1,11

2.1.4 Amputasi

Amputasi merupakan tindakan memotong atau menghilangkan bagian

anggota tubuh.Indikasi untuk dilakukanya amputasi yaitu apabila bagian tubuh

tersebut sudah mati, berbahaya, dan menyebabkan gangguan anatomis dan

fungsional yang lebih buruk dibandingkan bagian tubuh tersebut diamputasi.

Penyakit vaskuler perifer menyebabkan hampir 90 persen dari semua amputasi.

Penyebab lain kematian anggota tubuh adalah trauma, luka bakar yang parah, dan

frostbite.Indikasi 'Berbahaya' adalah pada tumor ganas, berpotensi sepsis yang

mematikan dan crush injury. gangguan anatomis dan fungsional yang buruk

13
seperti: rasa sakit; malformasi parah, sepsis berulang atau kehilangan fungsi yang

parah. Kombinasi dari deformitas dan kehilangan sensasi terutama pada

ekstremitas bawah kemungkinan mengakibatkan ulserasi tekanan.1,11

2.1.2 Manajemen nyeri pada Lower Limb Orthopedic Surgery

Analgesia pasca operasi ekstremitas inferior yang optimal adalah kunci

untuk pemulihan dan mendapatkan hasil fungsional yang lebih cepat. Operasi

penggantian sendi adalah salah satu prosedur ortopedi yang paling menyakitkan.

Nyeri pasca operasi yang tidak diatasi dengan baik akan memperpanjang proses

rehabilitasi dan peningkatan risiko komplikasi lain dan nyeri akan berkembang

sebagai nyeri pasca operasi persisten yang akan meningkatkan keseluruhan

waktu rawat inap dan biaya. 2,3,7

Nyeri persisten pasca operasi ekstremitas inferior merupakan permasalahan

yang masih banyak ditemui pada pasien. Modalitas yang dapat digunakan pada

analgesia pasca operasi ekstremitas inferior antara lain pre-emptive analgesia,

infiltrasi lokal, analgesic sistemik opioid dan non-opioid, patient controlled

analgesia, neuraxial analgesia, regional nerve block, dan kombinasi multi modal

analgesia.Analgesia epidural yang berkelanjutan merupakan metode yang

paling efektif untuk analgesia pasca operasi ekstremitas inferior, namun metode

ini memiliki beberapa efek samping yang perlu diperhatikan seperti

ketidakstabilan hemodinamik, disfungsi kandung kemih dan peristaltic usus,

kelemahan motorik yang membuat aktivitas pasien terbatas pada tempat tidur,

pruritus dan risikodepresi pernapasan. 3,12

Multimodal analgesia akan menimbulkan efek aditif atau sinergisanalgesia

serta meminimalkan efek samping dari masing-masing obat . Hal ini merupakan

14
pendekatan holistik untuk nyeri pasca operasi dengan tujuan untuk

memaksimalkan efek analgesik dan meminimalkan efek samping obat .

Multimodal analgesia terdiri dari edukasi pasien preoperatif, preemptive

analgesik, preferensi untuk anestesi regional dan block saraf, infiltrasi

periarticular dengan anestesi lokal, dan program standar untuk pasca operasi

rehabilitasi dan pemulihan fungsional. Rejimen analgesia multimodal yang

sering digunakan adalah asetaminofen, cox-inhibitor atau NSAID , opioid dan

turunannya, gabapentinoid, deksametason, dan ketamine.3,7

2.2 Inflamasi pasca bedah

Peradangan akibat cedera bedah menyebabkan peningkatan aliran darah

dan permeabilitas pembuluh darah, akumulasi leukosit,dan peningkatan

regulasi mediator inflamasi. Sitokin adalah mediator sebagai bentuk

komunikasi antar sel yang memiliki peran inflamasi dan anti-inflamasi. Pada

kondisi fisiologis sitokin proinflamasi dan antiinflamasi berfungsi sebagai

elemen imunomodulator yang membatasi potensi cedera atau kelebihan reaksi

peradangan. Dalam kondisi patologis, disregulasi dari sitokin dapat

memberikan respons inflamasi sistemik ataupun imunosupresi.5,6

Pasien dengan trauma pasca bedah menginduksi mediator endogen yang

mengubah respons hemodinamik, metabolik, dan imun. Respon imun-

inflamasi ini dimulai segera setelah cedera traumatis. Setelah cedera bedah,

leukosit polimorfonuklear(PMN), sel endotel, makrofag, dan limfosit

diaktifkan oleh sekresi berbagai mediator termasuk sitokin dan molekul lain

seperti reaktif oksigen species,nitric oxide, faktor platelet activating factor,

growth factor , dan eikosanoid. Selanjutnya, beberapa peristiwa fisiologis

15
terjadi untuk mempertahankancedera: pelepasan adrenalin menekan sekresi

insulintetapi merangsang sekresi hormon pertumbuhan dan renin,

proteolisisdan glikogenolisis yang meningkatkan glukoneogenesis yang

dimediasi hepar.Glukagon dilepaskan oleh sel islet pankreas yang meningkat

produksi glukosa hepatik dari substrat yang berasal dari katabolisme jaringan.

Hati mensintesis fase akut reaktan seperti protein C-reaktif (CRP), protease

inhibitor, dan fibrinogen. Komplemen juga diaktifkan, sehingga membatasi

perdarahan dan peningkatan kekebalan5,6

Respon inflamasi terhadap cedera bedah melibatkan komunikasi yang

kompleks antara beberapa hormon seperti katekolamin, hormon

adrenokortikotropik (ACTH), kortisol, glukagon, , eikosanoid, dan sitokin.

Paparan terhadap anestesi dan pembedahan mempengaruhi banyak fungsi

sistem imun-inflamasi, dan mengganggu regulasi respons imun. Pembedahan

adalah elemen traumatis utama yang menyebabkan imunodepresi pasca operasi

pada orang normal. Kerusakan respon imun dapat meningkatkan morbiditas

dan mortalitas perioperatif akibat infeksi pada pasien. Tingkat trauma bedah

yang lebih tinggi menentukan lebih besar imunodepresi.5,6

Sitokin memiliki peran penting dalam pertahanan dan perbaikan saat

terjadi trauma, tetapi dapat terjadi disregulasi pada kondisi trauma yang berat

pada host. Penerapan sitokin rekombinan seperti TNF-a pada uji hewan dapat

membangkitkan sindrom respons inflamasi sistemik(SIRS). TNFa,IL-1b, IL-6,

IL-8, IL-12, dan IFN-g merupakan sitokin pro inflamasi yang paling berperan

penting setelah terjadi trauma.5,6

2.3 Epidural analgesic

16
Epidural anesthesiaadalah salah satu metode regional anesthesia dengan

memasukkan obat anti nyeri ke dalam cavum epidural medulla spinalis yang

merupakan ruangan potensial terluar dari kanalis spinalis yang bersepta-septa

dilapisi oleh jaringan lemak.Ruang epidural memanjang dari dasar tengorak

hingga ke hiatus sakralis. Batas lateral adalah pedikel vertebra , sedangkan batas

anterior dan posterior masing-masing adalah dura mater dan ligamentum flavum,

di dalamnya terdapat jaringan lemak, limfatik, dan vena, dengan radiks saraf yang

melintasinya. Jumlah lemak yang ada pada cavum epidural adalah salah satu

faktor yang menentukan volume yang diperlukan untuk anestesi atau analgesia

yang memadai. Pada orang dewasa, medulla spinalis berakhir di batas bawah

vertebra L1, sedangkan pada anak-anak berada di batas bawah dari L3. Pada

usia 8 tahun, penempatan epidural dapat dilakukan dengan aman seperti yang

dilakukan pada orang dewasa ,sementara di bawah usia 7 tahun, pendekatan ke

ruang epidural caudal yang paling aman, secara umum untuk menentukan tingkat

lumbal terbaik adalah aspek superior dari krista iliaka. Garis horizontal imajiner

yang ditarik di antara batas superior dari kedua krista iliaka sesuai dengan

vertebra L4t ruang intervertebra L4-5. Untuk epidural di segmen torakal , batas

inferior skapula sejajar dengan vertebra T7, jarak dari kulit ke ruang epidural

pada 80% individu adalah 4-6 cm , namun pada pasien kurus atau obesitas dapat

bervariasi di luar kisaran ini.4,13

Anestesi lokal adalah terapi utama untuk mendapatkan analgesia atau

anestesi dengan epidural. Memahami farmakologi anestesi lokal adalah yang

terpenting.Secara khusus, faktor-faktor seperti lokasi dan durasi operasi,

keinginan untuk melakukan blok sensorik atau motorik, atau yang diharapkan

17
potensi dan durasi agen anestesi lokal tertentu. Obat anestesi local berdasarkan

durasi kerjanya dapat dibagi menjadi kerja pendek, menengah, atau akting

panjang. Agen anestesi lokal yang bekerja paling pendek adalah chloroprocaine.

Lidocaine menjadi pilihan untuk prosedur bedah sedikit lebih lama yang

memerlukan anestesi lokal yang bekerja menengah. Durasi aksi dari salah satu

agen anestesi dapat diperpanjang dengan penambahan epinefrin, namun hal ini

memiliki potensi untuk peningkatan kejadian hipotensi karena venous pooling

akibat efek beta dari epinefrin. Anestesi lokal yang bekerja lebih lama digunakan

untuk blokade epidural adalah bupivacaine dan ropivacaine di berbagai

konsentrasi. Konsentrasi yang lebih tinggi akan menghasilkan blok motorik dans

sensorik yang lebih besar. Ropivacaine, analog dari mepivacaine, durasi

kerjanya lebih pendek, efek blok motoric yang lebih rendah, dan profil toksisitas

yang lebih rendah daripada dosis bupivacaine yang ekuipoten . Toksisitas

terhadap jantung pada bupivacaine adalah yang tertinggi di antara semua pilihan

anestesi lokal. Ini karena tingkat pengikatan protein yang tinggi dan efek blok

yang lebih besar pada saluran natrium jantung.4,13

2.4 Bupivacaine

Bupivacaine merupakan anestesi local golongan amida kerja panjang

dengan klasifikasi agen penstabil membrane.14

2.4.2 Farmakodinamik

Bupivacaine menyebabkan blokade propagasi impuls yang reversibel

sepanjang serabut saraf dengan mencegah pergerakan ion natrium ke dalam

membran saraf. Anestesi lokal dari tipe amida diduga bekerja di dalam saluran

18
natrium dari membran saraf, memiliki efek yang sama pada membran di otak

dan miokardium. Jika jumlah obat yang berlebihan mencapai sirkulasi sistemik

dengan cepat, gejala dan tanda toksisitas akan muncul, yang sebagian besar

menganggu kerja sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskular. Toksisitas

sistem saraf pusat biasanya mendahului efek kardiovaskular karena terjadi pada

konsentrasi plasma yang lebih rendah. Efek langsung anestesi lokal pada

jantung termasuk konduksi lambat, inotropisme negatif dan serangan jantung.

Efek kardiovaskular tidak langsung, misalnya hipotensi dan bradikardia, dapat

terjadi setelah pemberian epidural atau spinal tergantung pada sejauh mana

blok simpatis bersamaan.14

2.4.3 Farmakokinetik

Bupivacaine memiliki aksi kerja yang panjang, dalam konsentrasi 5 mg

/ mL memiliki durasi aksi 2 hingga 5 jam setelah injeksi epidural tunggal dan

hingga 12 jam setelah blok saraf tepi. Permulaan blokade lebih lambat

dibandingkan dengan lignocaine, terutama ketika membius saraf besar. Ketika

digunakan dalam konsentrasi rendah (2,5 mg / mL atau kurang) ada sedikit efek

pada serabut saraf motorik dan durasi kerjanya lebih pendek. Namun,

konsentrasi rendah memiliki keuntungan untuk menghilangkan rasa sakit yang

berkepanjangan pasca operasi. Konsentrasi plasma bupivacaine tergantung

pada dosis, rute pemberian dan vaskularisasi tempat injeksi. Penambahan

vasokonstriktor seperti adrenalin dapat menurunkan laju absorpsi dan

memperpanjang durasi aksi.14

Bupivacaine memiliki total plasma clearance 0,58 L / mnt, , waktu paruh

eliminasi 2,7 jam (kisaran 1,5 hingga 5,5 jam) dan rasio ekstraksi hepatik antara

19
0,40 pada eksperimental IV administrasi pada orang dewasa. Waktu paruh

eliminasi terminal lebih panjang pada bayi baru lahir yaitu sekitar 8 jam

(kisaran 8,1 hingga 14,0 jam). Pada anak-anak berusia di atas 3 bulan, waktu

paruh eliminasi seperti orang dewasa. Bupivacaine terutama terikat dengan α1-

asam glikoprotein dalam plasma dengan pengikatan plasma 96%. Penyerapan

bupivacaine dari ruang epidural terjadi dalam 2 fase; fase pertama pada 7 menit

dan yang kedua dalam 6 jam. Absorpsi lambat membatasi laju eliminasi

bupivacaine, hal ini menjelaskan bahwa waktu paruh setelah pemberian

epidural lebih lama daripada setelah pemberian intravena. Peningkatan

glikoprotein asam α1, yang terjadi pasca operasi setelah operasi besar, dapat

menyebabkan peningkatan konsentrasi total plasma bupivacaine. Tingkat obat

bebas akan tetap sama, ini menjelaskan mengapa konsentrasi total plasma di

atas tingkat ambang toksik yang jelas yaitu 2,6 hingga 3,0 mg / L tampaknya

ditoleransi dengan baik dalam situasi ini. Bupivacaine diekskresikan dalam

urin terutama sebagai metabolit dengan sekitar 6% sebagai obat tidak berubah.

Berbagai parameter farmakokinetik dapat secara signifikan diubah oleh

sejumlah faktor termasuk adanya penyakit hati dan ginjal, rute pemberian, usia

pasien, ada atau tidak adanya adrenalin dalam larutan dan obat yang digunakan

bersamaan.14

2.5 Ketorolac

Ketorolac Thromethamine merupakan obat non steroid yang bersifat anti

inflamasi. Obat ini termasuk dalam kelompok pyrrole-pyrrole dari NSAIDs.

Obat ini diindikasikan untuk penggunaan jangka pendek, managemen nyeri

akut sedang sampai berat yang memerlukan analgesik pada level opium dan

20
hanya sebagai terapi lanjutan setelah pemberian dosis ketorolac tromethamine

IV atau IM, jika diperlukan. Efek analgesik terjadi dalam 30 menit, dengan

efek maksimum antara 1 dan 2 jam dan durasi 4 hingga 6 jam. Ketorolac

menunjukkan efek analgesik jauh lebih tinggi dibandingka efek anti-

inflamasinya, ketorolak dapat memberikan analgesia 50 kali lipat dari

naproxen. Ketorolac memiliki efek antipiretik 20 kali lipat dari aspirin

sehingga dapat digunakan sebagai anti piretik ketika diberikan selama periode

pasca operasi. Studi klinis telah menunjukkan kemampuan analgesik ketorolak

30 hingga 90 mg yang sebanding dengan morfin 6 hingga 12 mg, meperidin 50

hingga 100 mg, dan propasetamol 2 g untuk pengobatan nyeri sedang pasca

operasi. Efek analgesik dari dosis oral 10 mg dilaporkan tidak dapat dibedakan

dari 10mg im morfin sulfat.8,15

Ada banyak laporan yang membandingkan efek analgesik asetaminofen

dan ketorolak. McQuay et al. melaporkan bahwa 1 gram asetaminofen oral

sama dengan 10-20 mg ketorolak yang diminum secara oral untuk

menghilangkan rasa sakit setelah operasi ortopedi. Laporan lain menunjukkan

bahwa kombinasi 2 g propacetamol dan 30 mg ketorolak memiliki efek

sebanding dengan PCA intravena setelah operasi ginekologis. Bong Ha Heo et

al melaporkan efikasi propacetamol sebanding dengan ketorolak pada PCA

pasca operasi dengan fentanyl.8,15

2.4.1 Farmakodinamik

Ketorolac tromethamine merupakan obat non steroid anti-inflammatory

drug (NSAID) yang memperlihatkan aktivitas analgesik pada binatang

percobaan. Mekanisme aksi dari ketorolac, sama seperti obat NSAID lainnya,

21
tidak dapat dimengerti sepenuhnya tetapi dapat dikaitkan dengan

penghambatan sintesis prostaglandin. Ketorolac tromethamine tidak memiliki

sifat sedatif atau ansiolitik (cemas).8,15

Puncak dari efek analgesik obat ini terjadi dalam 2 hingga 3 jam dan secara

statistic tidak jauh berbeda dari rentang dosis ketorolac yang

direkomendasikan. Perbedaan signifikan antara dosis besar dan kecil dari obat

ini ada pada durasi efek analgesiknya.8,15

2.4.2 Farmakokinetik

Ketorolac tromethamine adalah campuran rasemat dari bentuk [-]S- dan

[+]R-enansiomerik, dengan bentuk S yang memiliki aktivitas analgesik.

Perbandingan Farmakokinetik dari Pemberian Secara IV, IM, dan Oraldari

ketorolac tromethamine, dengan dosis IV dan IM serta dosis oral, dibandingkan

dalam tabel 2. Pada dewasa, tingkat bioavailabilitas setelah pemberian bentuk

obat oral dan IM adalah sama dengan obat yang diberikan secara IV.8,15

Tabel 2. Parameter Farmakokinetik Rata-Rata (Mean  SD) Setelah Dosis


Ketorolac Oral, Intramuskuler dan Intravena

22
2.4.2.1Kinetik Linear

Pada dewasa, pemberian dosis tunggal baik secara oral atau IM

maupun IV dalam dosis yang direkomendasikan, clearance dari racemat tidak

berubah. Hal ini menandakan bahwa farmakokinetik dari ketorolac

tromethamine pada orang dewasa, baik dosis tunggal atau ganda secara IM atau

IV maupun oral, adalah linear. Pada dosis lebih tinggi yang direkomendasikan,

ada peningkatan proporsional dalam konsentrasi racemat bebas dan terikat.8,15

2.4.2.2 Absorbsi

23
Ketorolac tromethamine 100% diabsorbsi setelah administrasi secara

oral. Pemberian obat ini secara oral setelah mengkonsumsi makanan yang

tinggi lemak akan menyebabkan penurunan puncak dan waktu konsentrasi

ketorolac tromethamine tertunda sekitar 1 jam. Antasida tidak mempengaruhi

tingkat penyerapan dari obat.8,15

2.4.2.3 Distribusi

Volume rata-rata dari ketorolac tromethamine setelah distribusi

lengkap adalah sekitar 13 liter. Parameter ini ditentukan dari data tunggal.

Rasemat ketorolac tromethamine telah terbukti sangat terikat protein (99%).

Namun demikian, konsentrasi plasma setinggi 10 g/ml hanya akan menempati

sekitar 5% dari situs pengikatan albumin. Dengan demikian, fraksi yang tidak

terikat untuk setiap enansiomer akan konstan pada rentang terapeutik.

Penurunan albumin serum, bagaimanapun juga, akan menyebabkan

peningkatan konsentrasi obat bebas. Ketorolac tromethamine diekskresikan

dalam ASI.8,15

2.4.2.4 Metabolisme

Ketorolac tromethamine sebagian besar dimetabolisme dalam liver.

Produk-produk metabolic adalahh bentuk obat yang terhidroksilasi dan

terkonjugasi. Produk metabolism, dan beberapa obat yang tidak berubah,

diekskresikan dalma urin.8,15

2.4.2.5 Ekskresi

24
Rute utama eliminasi ketorolac dan metabolitnya adalah ginjal.

Sekitar 92% dari dosis yang diberikan dapat ditemukan dalam urin, sekitar 40%

sebagai metabolit dan 60% sebagai ketorolac yang tidak berubah. Sekitar 6%

dari dosis diekskresikan dalam tinja. Sebuah studi dosis tunggal dengan 10 mg

obat ini menunjukan bahwa S-enansiomer dibersihkan sekitar dua kali lebih

cepat daripada R-enansiomer dan juga clearance tidak tergantung pada rute

pemberian. Ini berarti rasio konsentrasi plasma S/R menurun dengan waktu.

Ada sedikit atau tidak ada inversi bentuk R- ke S pada manusia. Pembersihan

rasemat pada subjek normal, orang lanjut usia, dan pasien dengan gangguan

hari dan ginjal diuraikann pada Tabel 2.8,15

Waktu paruh dari ketorolac tromethamine S-enansiomer sekitar 2,5

jam lebih cepat jika dibandingkan dengan waktu paruh R-enansiomer yaitu 5

jam. Pada studi lain, waktu paruh untuk rasemat dikatakan antara 5 sampai 6

jam.8,15

Tabel 3. Pengaruh Usia, fungsi hati, dan fungsi ginjal pada clearance dan Waktu
Paruh Terminal Ketorolac Tromethamine (IM 1 dan ORAL 2) pada Populasi Dewasa

2.6 Paracetamol

25
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik

dengan cara kerja enghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf

Pusat (SSP). Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak

memounyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta

peradangan lambung Paracetamol telah menunjukkan efek analgesik untuk

nyeri pasca operasi akut. Sebuah meta-analisis dari 47 uji klinis acak, double

blind,placebo-cpntrolled mendaftarkan 4186 pasien menyimpulkan bahwa

asetaminofen adalah analgesic yang efektif untuk nyeri pasca operasi akut dan

menimbulkan sedikitdampak buruk. Tinjauan kualitatif terbaru

acetaminophen, NSAID, dan kombinasinya menyimpulkan bahwa

acetaminophen dapat memberikan efek analgesik yang serupa dengan NSAID

lain setelah pembedahan ortopedi besar sehingga paracetamol dapat menjadi

alternatif untuk NSAID pada pasien berisiko tinggi karenai insidensi efek

samping yang lebih rendah.16,17

Farmakokinetik

Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar

serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam.

Metabolisme di hati, sekitar 3% diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui

urin dan 80-90% dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfuric

kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian

dihidroksilasi menjadi N-asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi

menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus

sulfhidril dari protein hati.16,17

Farmakodinamik

26
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu

menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya

menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasrkan efek

sentral seperti salisilat.Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung rendah pada

obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.16,17

Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan

siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga

konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Parasetamol

menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang

menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek

pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan

pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya

menghilankann atau menguranngi rasa nyeri ringan sampai sedang.

Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung

prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa

prostaglandin dan bukan blockade langsung prostaglandin. Obat ini menekan

efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin.16,17

27
BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Epidural Bupivcaine Epidural Bupivcaine


+Ketorolac +Paracetamol

PROSTAGLANDIN

INTERLEUKIN 1B

Inflamasi Pasca Inferior Limb


Orthopedic Surgery

3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas, kerangka konsep yang diajukan adalah

sebagai berikut:

Bupivacaine 0.125% +
Ketorolac 30 mg
Kadar IL1β
Bupivacaine 0.125% +
Paracetamol 1000mg

28
Gambar 3. Kerangka konsep

3.3 Hipotesis

Terdapat perbedaan bermakna antara pemberian epidural bupivacaine 0.125%

dan ketorolac 30 mg dengan epidural bupivacaine 0.125% dan paracetamol 1000 mg

terhadap kadar interleukin 1β pada pasien pasca Lower Limb Orthopedic Surgery.

29
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian eksperimental dengan desain randomized controlled trial. Pada

penelitian ini dilakukan randomisasi agar setiap sampel mendapatkan kesempatan

yang sama dalam menerima jenis intervensi untuk membandingkan pengaruh

pemberian anestesi pasca lower limb orthopedic surgery menggunakan bupivacaine

epidural 0.125% + ketorolac 30 mg dibandingkan dengan pemberian bupivacaine

epidural 0,125% + paracetamol 1000 mg. Setiap sampel dilakukan pemeriksaan

kadar IL1β melalui sampel plasma darah. Sampel dibagi menjadi tiga kelompok yaitu

K (control), P1 (perlakuan 1) dan P2 (perlakuan 2).

K : Pasien pasca lower limb orthopedic surgery yang mendapat bupivacaine

epidural 0.125%

P1 : Pasien pasca lower limb orthopedic surgery yang mendapat bupivacaine

epidural 0.125% dan ketorolac 30 mg.

P2 : Pasien pasca lower limb orthopedic surgery yang mendapat bupivacaine

epidural 0.125% dan paracetamol 1000 mg.

4.1.1Skema Alur Penelitian

Pasien pasca lower limb orthopedic surgery

Kriteria Inklusi dan Eksklusi


4.2 Ruang Lingkup Penelitian

Randomisasi
30

Perlakuan 1 Perlakuan 2
4.2.1 Subjek Penelitian

● Populasi

Pasien yang menjalani prosedur Lower Limb Orthopedic Surgerydi Rumah Sakit

Umum Pusat dr. Kariadi Semarang

● Sampel

Pasien yang menjalani prosedur Lower Limb Orthopedic Surgerydi Rumah Sakit

Umum Pusat dr. Kariadi Semarang yang telah menjalani prosedur anestesi

epidural dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

● Jumlah Sampel

Besarnya subyek penelitian ditentukan secara consecutive sampling

yaitu semua pasien yang telah diseleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

Dasar penentuan besar sampel dihitung berdasarkan rumus untuk uji

hubungan sebagai berikut :

Keterangan:

n : besar sampel

Zα : derivat baku alfa (α = 5%, Zα = 1,65)

Zβ : derivat baku beta (β = 20%, Zβ =0,84)

P : proporsi total = (P1 + P2 / 2)

Q :1–P

P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement

peneliti

Q : 1 – P1

31
P2 : Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya

Q2 : 1 – P2

P1 – P2: beda proporsi minimal yang dianggap bermakna

Penelitian ini menggunakan IK: 95%, berarti nilai α : 0,05; power

80%, Zα: 1,96, Zβ : 0,84. Pada penelitian oleh Adegboye dkk tahun 2018 di

dapatkan pasien dengan lower limb orthopaedic surgery adalah sebanyak

81%18 sehinggaP2: 0,81→Q2: 0,19 P1: 0,50→ Q1: 0,50; nilai P:

0,655→Q=0,345 maka didapatkan:

nK=nP1=nP2: [ 1,96 . 2x0.655x0.345 + 0,84 ( 0,5x0,5)+(0.81x0.19]2

(-0.31)2

Nilai nK= nP1 = nP2 17, total sampel 51. Untuk mengantisipasi subyek drop out

sebanyak 10% , maka didapatkan jumlah sampel total 54 subyek.

4.2.2 Waktu dan Tempat Penelitian

● Waktu Penelitian : 30 hari

● Tempat Penelitian : RSUP dr. Kariadi Semarang

4.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.3.1 Kriteria Inklusi

● Skor ASA I-II

● Usia 18-60 tahun

● IMT 18-25 kg/m2

● Menyetujui penelitian dan menandatangani informed consent

4.3.2 Kriteria Eksklusi

32
● Memiliki riwayat alergi obat sakit jantung, gangguan ginjal gangguan hati

dan gastritis

● Osteoartritis

● Riwayat penyakit autoimun

● Sedang menderita penyakit infeksi

● Sedang menggunakan obat-obatan penekan imun seperti kortikosteroid dan

dalam kemoterapi

4.4 Randomisasi

Besar sampel sebanyak 54 pasien menggunakan rumus besar sampel. Sampel

kemudian dikelompokkan secara acak menggunakan teknik simple random

sampling dan dikelompokkan menjadi 3 kelompok.

Kelompok K : 18 pasien

Kelompok P1 : 18 pasien

Kelompok P2 : 18 pasien

4.5 Variabel Penelitian

4.5.1 Variabel Bebas

Pemberian kombinasi anti nyeri pasca Lower Limb Orthopedic Surgery

● EpiduralBupivacaine 0.125% + Ketorolac 30 mg

● Epidural Bupivacaine 0.125% + Paracetamol 1000mg

4.5.2 Variabel Tergantung

Kadar IL1β

33
4.6 Kerangka Kerja Penelitian

Bupivacaine
0.125% +
Ketorolac 30
mg Bupivacaine
Bupivacaine 0.125% +
0.125% Paracetamol
1000 mg

Kadar
IL1β
4.7 Definisi Operasional

Tabel 4. Definisi Operasional Penelitian

Definisi Operasional
NO Variabel Unit Skala
dan Cara Pengukuran

1 Bebas Pemberian obat antinyeri ● EpiduralBupivaca

pasca operasi Lower ine 0.125%

Limb Orthopedic ● EpiduralBupivaca

Surgery ine 0.125% +


Nominal
Ketorolac 30 mg

● Epidural

Bupivacaine 0.125% +

Paracetamol 1000mg

2 Terikat Kadar IL1β

Merupakan sitokin
pg/ml Rasio
proinflamasi yang dapat

diukur dengan mentode

34
Enzyme Linked

Immunosorbant Assay

(ELISA)

4.8 Bahan, Alat Penelitian dan Cara Kerja

Alat

1) Tabung reaksi

2) Sentrifuge

3) Inkubator panas

4) ELISA reader

5) ELISA washer

6) Well plate

7) Mikropipet

8) Pipet

9) Spektrofotometer

Bahan

1) Plasma darah

2) EDTA

3) IL1βELISA Kit

4.9 Pelaksanaan Penelitian

35
Sebanyak 54 sample yang telah menjalani operasi Lower Limb Orthopedic

Surgerydiperoleh setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel

kemudian dilakukan randomisasi dengan cara simple random sampling. Sampel

kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok masing-masing 18 sampel.

Kelompok pertama K merupakan pasien pasca Lower Limb Orthopedic

Surgeryyang mendapatkan bupivacaine epidural 0.125%. Kelompok kedua P1

merupakan pasien pasca Lower Limb Orthopedic Surgeryyang mendapatkan

bupivacaine epidural 0.125% + ketorolac 30 mg. Kelompok P2 merupakan

kelompok pasien pasca Lower Limb Orthopedic Surgeryyang mendapatkan

bupivacaine epidural 0.125% + paracetamol 1000 mg. Seluruh sampel kemudian

dilakukan pengambilan sampel darah untuk diperiksa kadar IL1β pada jam ke-

2. Pemeriksaan kadar IL1β dilakukan dengan mmenggunakan metode Enzyme

Linked Immunosorbant Assay (ELISA).

4.10Prosedur Pemeriksaan

Pemeriksaan Kadar IL1β

1) Alat dan bahan yang diperlukan dipersiapkan.

2) Standar dan sampel masing-masing 50uL standar dan sampel ditambahkan

pada setiap sumur.

3) Biotinylated Detection Absebanyak 50uL ditambahkan pada setiap sumur.

4) Inkubasi selama 45 menit pada suhu 370C.

5) Dilakukan aspirasi dan dicuci selama 3 kali.

6) HRP conjugate 100uL ditambahkan disetiap sumur dan dilakukan inkubasi

selama 30 menit dengan suhu 370C.

7) Dilakukan aspirasi dan dicuci 5 kali.

36
8) Substrate reagent sebanyak 90uL ditambahkan dan dilakukan inkubasi

selama 15 menit pada suhu 370C.

9) Stop Solutionsebanyak 50uL ditambahkan

10) Dilakukan pembacaan segera pada panjang gelombang 450nm dan

didapatkan hasil kadar IL1β plasma melalui konversi kurva standar.

4.11 Cara pengumpulan data

Pasien yang telah menjalani operasi Lower Limb Orthopedic Surgery dan

mendapatkan bupivacaine epidural 0.125%,perlakuan bupivacaine epidural 0.125%

+ ketorolac 30 mg dan bupivacaine epidural + paracetamol 1000 mg dilakukan

pengambilan sampel darah untuk diuji ukur kadar IL1β menggunakan metode

Enzyme Linked Immunosorbant Assay (ELISA).

4.12 Analisis Data

Data primer yang didapatkan dilakukan uji normalitas data dengan uji

Saphiro-Wilk untuk melihat sebaran distribusi data. Apabila data terdistribusi normal

dilakukan uji T berpasangan untuk menganalisis perbedaan antar kelompok. Apabila

data tidak terdistribusi normal dilakukan uji Kruskal Wallis dengan nilai derajat

kemaknaan adalah apabila p<0,05 pada interval kepercayaan 95%.

4.13 Etika Penelitian

Ethical Clearance akan diusulkan kepadai Komisi Etik Penelitian kesehatan

(KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, RSUP Dr. Kariadi

sebelum penelitian dilakukan.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Louis Solomon, David Warwick SN.Apley. (2010) System of Orthopaedics

and Fractures 9th edition.p303-336

2. Korean Knee Society. (2012). Guidelines for the Management of

Postoperative Pain after Total Knee Arthroplasty. Knee Surgery & Related

Research, 24(4), 201–207.

3. Song, S. J. (2017). Pain Management and Anesthesia in Total Knee

Arthroplasty. Knee Surgery & Related Research, 29(2), 77–79.

4. Bauer, M., George, J. E., Seif, J., & Farag, E. (2012). Recent advances in

epidural analgesia. Anesthesiology Research and Practice, 2012.

5. Hsing, C. H., & Wang, J. J. (2015). Clinical implication of perioperative

inflammatory cytokine alteration. Acta Anaesthesiologica Taiwanica, 53(1),

23–28.

6. Chamberlain, C. S., Leiferman, E. M., Frisch, K. E., Brickson, S. L., Murphy,

W. L., Baer, G. S., & Vanderby, R. (2013). Interleukin Expression after Injury

and the Effects of Interleukin-1 Receptor Antagonist. PLoS ONE, 8(8),

38
7. Chou, R., Gordon, D. B., De Leon-Casasola, O. A., Rosenberg, J. M., Bickler,

S., Brennan, T., … Wu, C. L. (2016). Management of postoperative pain: A

clinical practice guideline from the American pain society, the American

society of regional anesthesia and pain medicine, and the American society

of anesthesiologists’ committee on regional anesthesia, executive committee,

and administrative council. Journal of Pain, 17(2), 131–157.

8. Lee, S. Y., Lee, W. H., Lee, E. H., Han, K. C., & Ko, Y. K. (2010). The

Effects of Paracetamol, Ketorolac, and Paracetamol Plus Morphine on Pain

Control after Thyroidectomy. The Korean Journal of Pain, 23(2), 124.

9. Heo, B. H., Park, J. H., Choi, J. Il, Kim, W. M., Lee, H. G., Cho, S. Y., &

Yoon, M. H. (2015). A comparative efficacy of propacetamol and ketorolac

in postoperative patient controlled analgesia. Korean Journal of Pain, 28(3),

203–209. https://doi.org/10.3344/kjp.2015.28.3.203

10. Hasyim, D., Samodro, R., Sasongko, H., & Leksana, E. (2012).Pengaruh

Preventif Multimodal Analgesia Terhadap Dinamika Kadar Il -1β,

Intensitas Nyeri Pada Pascabedah Laparotomi Ginekologi Jurnal

Anestesiologi Indonesia. Jurnal Anestesi, 5(2), 22–33.

11. M.Azar, F., Beaty, J. H., & Canale, T. (2017). Campbell’s Operative

Orthopaedics 13th Edition.ELSEVIER. p34-91

12. Aumiller, W. D., & Dollahite, H. A. (2016). Advances in total knee

arthroplasty. Journal of the American Academy of Physician Assistants,

29(3), 27–31.

39
13. Upadhyay, S. P. (2017). Postoperative Analgesia in Total Knee Arthroplasty

(Tka)-The Changing Trends. Biomedical Journal of Scientific & Technical

Research, 1(3).

14. Bowdle, T. A., Knutsen, L. J. S., & Williams, M. (2007). Local and Adjunct

Anesthesia. Comprehensive Medicinal Chemistry II, 351–367.

15. White, P. F., Raeder, J., & Kehlet, H. (2012). Ketorolac: Its role as part of a

multimodal analgesic regimen. Anesthesia and Analgesia, 114(2), 250–254.

16. Sharma, C. V., & Mehta, V. (2014). Paracetamol: Mechanisms and updates.

Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care and Pain, 14(4), 153–

158.

17. Smith, H. (2009). Current Therapy in Pain. Expert Consult. SAUNDERS EL

SEVIER. p62-65

18. Adegboye M Baradjie, Kadir Dotun dan Joshiah Chikamnario. Anesthesia for

orthopaedic surgeries in two tertiary institution in North Central Nigeria. The

Journal of orthopaedic trauma surgery and related research. 13(3)2018.

40

Anda mungkin juga menyukai