Anda di halaman 1dari 9

Makalah Ilmiah

ANALISA PENDAPAT SITI MUSDAH MULIA TENTANG POLIGAMI

Dosen Pengampu :
Ustadz Muhammad Isa Anshari M.PI

Disusun Oleh :

Andini Prima Roswati


NIM: 017.012.0259

PROGRAM DIROSAH ISLAMIYAH JURUSAN FIQIH DAN USHUL FIQIH


MA’HAD ‘ALY HIDAYATURRAHMAN

SRAGEN

2019

1
1. Mengenal Siti Musdah Mulia

Pada tanggal 3 Maret 1958 Siti Musdah Mulia lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Ia
terlahir dari keluarga yang sangat kental dengan kehidupan agama. Ayah beliau, H.
Mustamin Abdul Fatah pernah menjadi Komandan Batalyon dalam negara Islam yang
dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar yang kemudian hari dikenal sebagai gerakan DI/TII
di Sulawesi Selatan. Sedangkan ibunya, Hj. Buaidah Achmad merupakan gadis pertama
di desanya yang menamatkan pendidikannya di Pesantren Darud Dakwah wal Irsyad
(DII), Pare-Pare. Demikian pula kakek beliau, H. Abdul Fatah merupakan Mursyid
ternama di jamaah Tarekat Khalwatiyah.

Musdah merupakan wanita pertama yang meraih gelar Doktor dalam bidang
pemikiran politik Islam di IAIN Jakarta (1997), dengan disertasi berjudul: Negara Islam :
Pemikiran Husain Haikal. Kemudian disertasi tersebut diterbitkan menjadi sebuah buku
oleh Paramadina tahun 2000. Beliau juga wanita pertama yang dikukuhkan oleh LIPI
sebagai Professor Riset bidang Lktur Keagamaan di Departemen Agama (1999) dengan
pidato pengukuhan: Potret Perempuan Dalam Lektur Agama (Rekonstruksi Pemikiran
Islam Menuju Masyarakat Egaliter dan Demokratis). Atas upayanya mempromosikan
demokrasi dan HAM pada tahun 2007 dalam peringatan International Women Day di
Gedung Putih US, beliau menerima penghargaan International Women of Courage
mewakili Asia Pasifik dari Menlu Amerika Serikat, Condoleeza Rice. Pada akhir tahun
2009 beliau juga menerima penghargaan internasional dari Italy, Women of The Year
2009.

Pendidikan formal beliau dimulai dari Sekolah Dasar di Surabaya , lulus tahun 1969
yaitu ketika beliau berumur 11 tahun; Pesantren As’adiyah, Sulawesi Selatan, lulus
tahun 1973; Fakultas Syari’ahAs’adiyah, lulus tahun 1977 yaitu ketika beliau berumur 19
tahun. Menyelesaikan Sarjana Muda Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah, Universitas
Muslim Indonesia (UMI), Makassar pada tahun 1980; Program s1 Jurusan Bahasa dan
Sastra Arab di Fakultas Adab, IAIN Alaudin, Makasar pada tahun 1982; Program s2
Bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Syahid, Jakarta pada tahun 1992; dan Program s3

2
Bidang Pemikiran Politik Islam di IAIN Syahid, Jakarta pada tahun 1997. Sebelumnya
melakukan penelitian dan penulisan disertasi di Kairo, Mesir.

Pendidikan non-formal beliau antara lain: Kursus Singkat mengenai Islam dan Civil
Society di Universitas Melbourne, Australia pada tahun 1998; Kursus Singkat Pendidikan
HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand pada tahun 2000; Kursus Singkat Advokasi
Penegakkan HAM dan Demokrasi (International Visitor Program) di Amerika Serikat
pada tahun 2000; Kursus Singkat Manajemen Pendidikan dn Kepemimpinan di
Universitas GeorgeMason, Virgina, Amerika Serikat pada tahun 2001; Kursus Singkat
Pelatihan HAM di Universitas Lund, Swedia pada tahun 2001; Kursus Singkat
Manajemen Pendidikan dan kepemimpinan Perempuan di Bangladesh Institute of
Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh pada tahun 2002; Visiting
Professor di EHESS, Paris, Prancis pada tahun 2006; International Leadership Visitor
Program, US Departement of State, Wahington pada tahun 2007.

Pengalaman kerja beliau mulai pada tahun 1982-1989 sebagai dosen tidak tetap di
IAIN Alaudin Makassar dan UMI; Peneliti pada balai Penelitian Lektur Agama, Makasar
pada tahun 1985-1989; Peneliti pada Balitbang Departemen Agama Pusat, Jakarta pada
tahun 1990-1999; Dosen Institut Ilmu-Ilmu al-Qur’an (IIQ), Jakarta pada tahun 1997-
1999; Direktur Perguruan Al-Wathaniyah Pusat, Jakarta ; Dosen Pascasarjana UIN,
Jakarta; Kepala Balai Penelitian Agama Jakarta pada tahun 1999-2000; Staf Ahli Mentri
Negara Urusan Hak Asasi Manusia Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan
Minoritas pada tahun 2000-2001; Tim Ahli Mentri Tenaga Kerja R.I pada tahun 2000-
2001; Staf Ahli Mentri Agama R.I Bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional.
Selain sebagai dosen dan peneliti, beliau juga aktif menjadi trainer di berbagai pelatihan,
khususnya dalam isu demikrasi, HAM, pluralism, perempuan dan Civil Society.

Disamping menjadi PNS, sejak mahasisa beliau telah aktif dalam organisasi pemuda
dan ormas atau LSM Perempuan; pengurus KNPI wilayah Sulawesi Selatan; Ketua
Wilayah Ikatan Puteri NU Sulawesi Selatan; Ketua Wilayah Fatayat NU Sulawesi Selatan;
Sekjen PP Fatayat NU; Wakil Ketua WPI; Ketua Dewan Pakar KP-MDI; Wakil Sekjen PP.
Muslimat NU; Dewan ahli koalisi Perempuan Indonesia; Ketua Panah Gender PKBI.

3
Karya tulis beliau antara lain: Mufradat Bahasa Arab Populer (1980); Pangkal
Penguasaan Bahasa Arab (1989); Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits ( 1995); Sejarah dan
Pengantar Ilmu Tafsir (1995); Negara Islam: Pemikiran Politik Haikal, Paramadina,
Jakarta (1997); Lektur Agama Dalam Media Massa, Dep. Agama 1999); Anotasi Buku
Islam Kontemporer, Dep. Agama (2000); Analisis Kebijakan Publik, Muslimat NU (2002);
Meretas Jalan Awal Hidup Manusia: Modul Pelatihan Konselor Hak-Hak Reproduksi, LKAJ
(2002); Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, AsSakinah, Jakarta (2002); Muslimah Reformis:
Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung (2005); dan Perempuan dalam Politik
Gramedia, Jakarta (2005). Islam and Violence Against Women, LKAJ, Jakarta, 2006, Islam
dan Inspirasi Kesetaraan Jender, Kibar Press, Yogyakarta (2007); Poligami: Budaya Bisu
yang Merendahkan Martabat Perempuan, Kibar, Yogyakarta (2007); Menuju
Kemandirian Politik Perempuan, Kibar, Yogyakarta (2008). Islam dan HAM, Naufan,
Yogyakarta, 2010.

Menulis puluhan entri dalam Ensiklopedi Islam (1993), Ensiklopedi Hukum Islam
(1997), Ensiklopedi AL-Qur’an (2000), serta sejumlah artikel yang disampakan dalam
sejumlah forum ilmiyah dalam maupun luar negeri.

Akhir 2004 publik dihentakkan dengan munculnya Counter Legal Draft (LCD) untuk
menandingi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang konon hendak disorongkan supaya
segera menjadi undang-undang oleh pihak tertentu. Sekedar membuka kembali ingatan,
KHI disahkan melaui inpres tahun 1991 secara resmi menjadi refeensi para hakim agama
di Peradilan Agama, terutama dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan
perkawinan. Konon, berdasarkan informasi inilah sebuah tim Pengurus Utamaan Gender
(PUG) Depeartemen Agama RI membuat rumusan tandingan bagi KHI.

Siti Musdah Mulia merupakan coordinator dalam tim ini dan bekerja bersama 11
orang ditambah 16 orang contributor. Tim ini membuat trobosan baru terhadap isi KHI
terutama tertuju pada sisi-sisi bangunan perkawinan yang telah dianggap mapan selama
ini. Konten LCD KHI ini menjadi kontroversi di kalangan pakar Islam mainstream, yang
keberatan dan bahkan ramai-ramai menolak gagasan LCD KHI tersebut. MUI menyebut

4
draft ini sebagai penyimpangan dan perubahan dari hukum Islam. MUI juga menyebut
CLD KHI sebagai upaya memanipulasi nash-nash al-Qur’an. Tak urung, kasus ini
membuat Mentri Agama saat itu, Prof. DR. H Said Agiel Al-Munawar menyampaikan
teguran keras kepada Tim Penulis Pembaharuan Hukum Islam untuk tidak lagi
mengulangi mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan mengatasnamakan tim
Departemen Agama dan semua Draft CLD KHI agar diserahkan kepada Mentri Agama RI.
Bahkan Mentri Agama RI yang baru, Maftuh Basyuni angsung membatalkan CLD KHI
pada tanggal 14 Februari 2005.

2. Pandangan Musdah Mulia Mengenai Poligami

Siti musdah mulia merupakan sosok yang penuh kontroversi. Salah satu
pemikirannya adalah asas perkawinan adalah monogamy (pasal 3 ayat 1) dan
perkawinan di luar ayat 1 adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum.

Menurut Musdah Mulia banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka
mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamah yang
membawa ajaran poligami, bahkan ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika
bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian
menurut Mulia sungguh keliru dan menyesatkan. Memperkuat pendapatnya, Mulia
mengutip penegasan Mahmud Syaltut, ulama besar Mesir yang secara tegas menolak
poligami sebagai bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan
oleh Syari’ah.

Menurut Mulia, berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat manusia di


berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Poligami
dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat Yunani, Persia dan Mesir Kuno. Di
Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami,
malahan poligami yang tak terbatas.

Sejumlah riwayat menurut Musdah Mulia menjelaskan bahwa setelah turun ayat
yang membatasi jumlah istri hanya empat orang, yakni Q.S. An-Nisaa’ : 3. Nabi segera
memerintahkan semua laki-laki yang memiliki istri lebih dari empat untuk menceraikan

5
istri-istrinya sehingga setiap seorang laki-laki hanya memiliki empat istri. Mulia
mengutip Al-Aqqad, ulama asal Mesir yang menyimpulkan bahwa Islam tidak
mengajarkan poligami, tidak juga memandang positif apalagi mewajibkan. Islam hanya
membolehkan dengan syarat yang ketat. Sangat disesalkan bahwa dalam praktiknya di
Indonesia, masyarakat hanya memperhatikan kebolehannya saja namun mengabaikan
sama sekali perihal persyaratan-persyaratannya.

Ketika Islam datang Nabi melakukan perubahan yang mendasar berkaitan dengan
dua hal; pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Kedua,
menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus berlaku adil. Persyaratan itu
sangat berat, bahkan hampir-hampir dapat dipastikan tidak ada yang mampu
memenuhinya. Artinya, Islam membentuk persyaratan sedemikian rupa agarlaki-laki
tidak berbuat semena-mena terhadap istri mereka seperti sedia kala.

Alasan pertama dan yang sangat mendasar bagi maraknya praktek poligami di
masyarakat menurut Mulia adalah bahwa poligami merupakan Sunnah Nabi dan
memiliki landasan teologis yang jelas yakni ayat 3 surah an-Nisa. Karena itu melarang
poligami berarti melarang hal yang mubah berarti menentang ketetapan Allah.
Menentang ketetapan Allah berarti berdosa besar.

Menurut Musdah Mulia perlu diluruskan pengertian masyarakat yang keliru


mengenai Sunnah. Sunnah adalah keseluruhan perilaku Nabi, dalam bentuk ketetapan,
ucapan, tindakan yang mencakup seluruh aspek kehidupan beliau sebagai Nabi dan
Rasul. Akan tetapi, di masyarakat pengertian Sunnah Nabi selalu dikaitkan dengan
poligami. Ini sugguh mereduksi makna Sunnah itu sendiri. Sunnah Nabi yang paling
terkemuka adalah komitmennya yang begitu kuat untuk menegakkan keadilan dan
kedamaian di masyarakat. Jika ummat Islam sungguh-sungguh ingin mengikuti Sunnah
Nabi, maka seharusnya ummat Islam lebih serius memperjuangkan tegaknya keadilan
dan kedamaian. Namun dalam realitasnya ummat Islam mempraktikkan poligami tetapi
lupa pesan moral Islam untuk menegakkan keadilan. Hal itu berarti jauh dari Sunnah
Nabi, malah sebaliknya yaitu melanggar Sunnah.

6
3. Kritik Terahadap Pandangan Musdah Mulia

Menurut Muhammad Syahrur pemikir liberal asal Syria:


Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapatkan perhatian khusus
takkannya pada awal surat an-Nisaa dalam kitab-Nya yang mulia. Seperti yang terlihat,
poligami terdapat dalam ayatketiga yang satu-satunya ayat dalam at-Tanzil yang
membicarakan masalah ini. Akan tetapi, para mufasir dan para ahli fikih seperti biasanya
telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di
antara masalah poligami dengan para janda yang memiliki anak yatim.

Selanjutnya menurut Muhammad Syahrur:


Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi
Dia sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi; pertama,
bahwa istri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim;
kedua,harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim.
Sehingga perintah poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat diatas.

Jika poligami tidak diperbolehkan, maka masa depan anak yatim tersebut suram
karena tidak ada yang memberikan kasih sayang dan perhatian yang sempurna.
Demikian juga tidak ada yang memberi dan membiayai kehidupan anak yatim tersebut.
Dengan kata lain akan terjadi pengangguran yang lebih besar lagi dan generasi anak itu
hanya akan menjadi beban.

Menurut Abdul Aziz al-‘Arusi:


Ketetapan hukum Ilahi dalam kehidupan biasa menghendaki laki-laki beristrikan
satu. Adapun setelah usai peperangan, maka laki-laki yang berkemampuan
diperintahkan agar beristrikan lebih dari satu, guna mencegah terjadinya penzaliman
terhadap segolongan wanita dan mencegah meluasnya kerusakan dalam masyarakat.
Sekarang tinggal kita mengetahui siapa laki-laki yang mampu mengawini lebih dari satu
istri. Ia tentunya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dan kesehatan jasmani.
Sebab perkawinan itu memerukan harta, waktu dan tenaga. Oleh karena itu, maka
jumlah laki-laki yang mampu itu kecil, artiny jauh lebih sedikit dari jumlah wanita yang
tak berjodoh. Oleh karena itu wajib bagi orang mampu untuk mengawini dua atau lebih
dari mereka. Dan mengingat poligami merupakan beban bukan kesenangan, maka Allah
telah menetapkan batasan jumlah terbanyak istri itu pada empat saja. berdasarkan ini,
maka poligami adalah kewajiban manusiawi guna memenuhi pelayan sosial insani. Dan

7
itu adalah suatu penyelesaian terpaksa dalam menghadapi kondisi khusus, dan bukan
sebagai hak yang dibolehkan untuk setiap laki-laki, dalam setiap waktu dan kondisi
sebagaimana dikira orang dan yang dianggap benar oleh Undang-Undang.

Sejalan dengan itu Mushthafa as-Siba’I berpendapat:


Sesungguhnya poligami, khususnya poligami yang diatur oleh Islam adalah teori
yang bermoral dan humanis. Ia disebut bermoral karena ia tidak mengizinkan suami
berhubungan dengan sembarang perempuan yang disukai, kapanpun dia mau. Suami
dilarang mempunyai istri lebih dari empat. Suami dilarang berhubungan dengan salah
satu di antara mereka secara rahasia. Tetapi harus berlandaskan akad dan harus
diumumkan, meski hanya diketahui oleh orang dalam jumlah yang terbatas. Wali dan
wanita harus mengetahui dan menyetujui ikatan ini, atau dalam artian tidak
mengajukan penolakan. Sesuai dengan peraturan modern, hubungan ini harus tercatat
dalam Kantor Urusan Agama. Selain itu, disunnahkan bagi pihak laki-laki untuk
mengadakan pesta pernikahan dengan mengundang para kolega, disertai alunan
kendang sebagai tanda kebahagiaan dan penghormatan.

Selanjutnya menurut Mushthafa as-Sibai, poligami disebut humanis karena ia


meringankan beban laki-laki yang harus memikul tanggung jawab menafkahi
perempuan yang tidak bersuami. Dengan menjadikan perempuan tersebut sebagai istri,
laki-laki ini membawa sang perempuan ke dalam kehidupan rumah tanggga yang terjaga
kehormatannya. Disamping itu, laki-laki membayar harga hubungan biologis dengan
mahar, perabot rumah tangga dan nafkah yang bermanfaat bagi masyarakat dalam
menciptakan keturunan yang berkualitas.

Dengan poligami, masih menurut Mushthafa as-Sibai, suami tidak melempar beban
tanggung jawab hanya kepada istri. Tetapi dia berbuat adil pada sang istri dengan
meberinya nafkah ketika hamil dan melahirkan. Alasan lain yang menjadikanpoligami
humanis adalah karena suami mengakuianak-anak yang lahir dari istrinya. Dia
mengatakan pada masyarakat bahwa anak-anaknya adalah buah dari rasa cinta yang
mulia dan terohrmat. Dia merasa bangga dengan mereka. Demikian pula dengan
bangsa, mereka bangga dengan anak-anak yang akan menjadi pemimpin masa depan.

8
Dalam kerangka prinsip poligami, sesungguhnya manusia membatasi nafsunya hingga
batas-batas tertentu, namun dia elipatkan beban dan tanggung jawabnya sampai batas
yang tak terhingga. Tak dapat disangkal lagi, bahwa poligami adalah prinsip bermoral
yang tetap mengedepankan akhlaq. Ia juga bernilai humanis karena ia menjunjung nilai
kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai