Anda di halaman 1dari 13

TUGAS TOKSIKOLOGI

RESUME ANTIDOTUM DAN STUDI KASUS

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
MEILIZA HANDAYANI (18330729)

PROGRAM STUDI FARMASI


INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
RESUME ANTIDOTUM

A. Defenisi Terapi Antidotum


Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang efek toksik atau efek berbahaya dari
suatu zat kimia terhadap jaringan biologi. Zat kimia yang potensial toksik sangat banyak
terdapat dilingkungan manusia, menyebabkan pembahasan toksikologi menjadi sangat luas.
Ada beberapa bidang toksikologi berkaitan dengan zat kimia penyebab toksisk. Toksikologi
lingkungan (polusi udar dan air), toksikologi ekonomi (zat tambahan makanan, pestisida),
toksikoligi medio-legal (forensik, regulasi zat tambahan makanan, zat berbahaya), toksikologi
bio-medika (obat dan zat diognostik) dan toksikologi laboraturiun (analisa kimiawi zat toksik.
Banyaknya zat kimia yang dapat menimbulkan efek toksik, namun sebagian besar tidak
tersedia antidotumnya, sehingga kalau terjadi keracunan olehnya hanya dilakukan tindakan
simtomatik untuk meminimalkan resiko. Secara umum, terapi antidotum didefinikan sebagai
tata cara yang ditunjukkan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau
menyembuhkannya sehingga bermanfaat dalam mencegahnya timbulnya bahaya selanjutnya.
Efek toksik suatu zat kimia dapat terjadi jika kadar zat toksik melampaui kadak toksik
minimal (KTM)nya dalam sel sasaran. Untuk mencapai KTMnya, untuk zat yang masuk
melalui oral atau topikal harus melalui bebrapa tahap. Tahapan tersebut adalah absorbsi
masuk ke sirkulasi sistematik lalu mengalami distribusi menuju tempat kerjanya. Kedua
proses diatas (absorpsi dan distribusi) menyebabkan meningkatnya kadar obat dalam sel
sasaran. Proses berikutnya yang dapat mengurangi kadar obat dalam sel sasaran adalah
metabolisme dan ekskresi atau sering disebut eliminasi. Sehingga efek toksik suatu zat kimia
sangat dipengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabilisme, dan ekskresi (ADME) karena
akan menentukan jumlah zat di sel sasarannay.
Dengan demikian untuk mengurangi jumlah zat kimia dalam sel sasarannya dapat
dilakukan dengan cara : menghambat absorpsi dan distribusi serta mempercepat metabolisme
dan ekskresi (eliminasi). Meningkatkan nilai ambang toksik (KTM, kadar toksik minimal)
juga merupakan cara untuk mencegahan efek toksik. Kesemua hal di atas sering merupakan
strategi terapi antidotum.
1. Terapi Non Spesifik
Terapi non spesifik adalah suatu terapi keracunan yang bermanfaat hampir pada semua
kasus, melalui cara-cara seperti memasu muntah, bilas lambung, dan memberikan zat

2
absorben. Cara lain adalah mempercepat eliminasi dengan pengasaman dan pembasaan urin
atau hemodialisis.

a. Menghambat absorpsi zat racun


Menghambat absorpsi zat racun dapat dilaksanakan dengan beberapa cara antara lain
dengan membersihkan atau mencuci kulit yang terkontaminasi zat toksik,
mengeluarkan racun dalam lambung, mencegah absorpsi, dan memberikan pencahar.
Mencuci kulit dilakukan dengan air mengalirkan dan jika zat mengenai pakaian,
pakaiannya ditanggalkan. Zat toksik yang sudah masuk ke dalam lambung dapat
dilakukan dengan pembarian norit (arang aktif), memuntahkan atau memberi
pencahar atau bilas lambung.
1) Pemberian arang aktif (norit)
Arang aktif diberikan pada kasus keracunan karena dapat mengabsorpsi zat racun
atau toksin dalam saluran pencernaan. Lenih dini norit diberikan akan lebih efektif
hasilnya. Norit masih efektif hingga 2 jam drai racun tertelan dan lebih lama lagi
pada keracunan obat sediaan lepas lambat atau keracunan obat-obat yang bersifat
kolinergik. Karbon aktif relatif aman dan dosisnya sangat tergantung dari jumlah
zat toksik yang tertelan. Dosis minimumnya adalah 30 gram. Dosis pada orang
dewasa adalah 50 g dapat diulang setiap 4-6 jam. Pemerian dosis berulang juga
bermanfaat mempercepat eleminasi zat toksik yang sudah terabsorpsi.
Karbon aktif dapat menyerang zat zat seperti salisilat, acataminophen,
karbamazepin, dapson, teofilin, quinin, dan obat-obat anti depresan. Pemebrian
karbon aktif dapat dikombinasikan dengan bilas lambung atau katartik, tetapi
tidak dengan sirup ipekak atau susu karena akan mengurangi efektifitasnya.
2) Mengeluarkan racun dari lambung
Pengeluaran zat racun dari lambung harus mempertimbangkan yang tertelan,
tingkat keracunan dan berapa lama zat racun tertelan. Pengosongan lambung tidak
berguna jika resiko dari keracunan kecil atau pasien sudah datang terlambat.
Pengosongan dengan bilas lambung diragukan kegunaannya bila dilakukan lebih
dari 1-2 jam setelah racun tertelan. Bahaya dari bilas lambung adalah
teraspirasinya isi lambung, karena itu tidak boleh dilakukan pada pasien yang
mengantuk atau koma kecuali jika reflek batuk sangat baik atau saluran napas

3
dapat dilindungi dengan pipa endotrakea. Pipa lambung tidak boleh dimasukkan
pada keracunan zat korosif.
Produk petroleum lebih berbahaya di dalam paru-paru dibandingkan di lambung,
karena itu pencucian lambung tidak dianjurkan karena ada resiko terhirup. Dengan
berbagai pertimbangan, bilas lambung umumnya tidak praktis dan jarang
diperlukan, kecuali di rumah sakit.
Memuntahkan isi perut dengan pemberian ipecacuanha telah dipakai baik pada
orang dewasa atau anak-anak, tetapi sangat terbatas kegunaannya. Tidak terbukti
bahwa ipecacuanha megurangi penyerapan secara bermakna (walaupun digunakan
1-2 jam) dan efek sampingnya dapat menyulitkan penegakan diagnosa terutam
pda keracunan zat besi. Pemberian ipecacuanha hanya boleh dipertimbangkan bila
pasien sadar sepenuhnya, atau bila zat racun yang tertelan tidaj korosif dan produk
petroleum atau tidak dijerap dangan arang aktif.
3) Pemberian katartik/pencahar
Pencahar digunakan untuk mempercepat pengeluaran zat racun dari saluran
gastrointestinal (GI) terutama untuk racun yang sudah mencapai usus halus.
Pemberian sorbitol direkomendasikan pada penderita yang tidak ada gangguan
jantung. Magnesium sulfat dapat digunakan pada penderita yang tidak ada
gangguan ginjal.
Pemberian magnesium sulfat sering kali diberiakan setelah pemberian arang aktif
sebagiamana dijelaskan sebelumnya. Dosis oral yang sering dipakai adalah 5-15 g
yang diberikan dengan segelas air. Efek katartiknya dimulai dari 0,5-2 jam setelah
pemerian. Magnesium sulfat dikontraindikasikan pada pasien obstruksi usus,
mual, muntah dan gangguan ginjal. Jika pemberian obat ini diperpanjang, kondisi
pasien harus dipantau kemungkinannya terjadi dehidrasi dan ketidak seimbangan
elektolit.
b. Mempercepat eliminasi
Kecepatan eliminasi akan mempengaruhi jumlah obat yang berada di sel sasaran
dalam melampaui nilai KTMnya. Percepatan eleminasi dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan ekskresi melalui pengasaman atau pembasaan urin dan diuresis paksa.
Pengasaman urin (menurunkan Ph urin) dengan memberikan zat seperti ammonium
klorida atau vitamin C akan mengurangi reabsorpsi zat atau obat yang bersifat basa
lemah seperti amfetamin. Sebaliknya pembasaan urin melalui pemberian natrium
bikarbonat akan mengurangi reabsorpsi pada obat / zat yang bersifat asam lemah

4
seperti aspirin dan fenobarbital. Pengurangan reabsorpsi tubulus terjadi karena
pengasaman / pembasaan urin tersebut di atas akan meningkatkan derajat ionisasi di
tubulus sehingga akan mengurangi reabsorpsi.
Hemodialisis adalah salah satu cara untuk mempercepat eleminasi suatu zat dan
mengembalikan keseimbangan elektrolit. Cara ini efektif jika zatnya sudah terabsorpsi
dan berada pada cairan sistemik dan tidak mempunyai volume distribusi terlalu beras
atau obat tidak terdistribusi secara ekstentif pada jaringan. Salisilat, methanol, etilen
glikol, paraquat dan litiumeleminasinya dapat efektif ditingkatkan dengan cara
hemodialisis.
2. Terapi Spesifik
Terapi antidotum spesifik adalah terapi antidotum yang hanya efektif untuk zat-zat
tertentu. Cukup banyak antidotum spesifik telah digunakan dalam klinik. Untuk memudahkan
mempelajarinya, antidotum yang spesifik dikelompokan menjadi : antidotum yang bekerja
secara kimiawi, bekerja secara farmakologi dan yang bekerja secara fungsional.
a. Antidotum yang bekerja secara kimiawi
Contoh paling sederhana dari antidotum jenis ini adalah penggunaan zat pembentuk
kelat. Penggunaan antidotum jenis ini akan menyebabkan terjadinya reaksi antara
abtidotum dengan zat toksik membentuk suatu produk yang kurang toksik dan mudah
dieksresikan. Ada banyak contoh zat pembentuk kelat yang sering digunakan seperti
untuk keracunan logam-logam berat ; cobalt-containing cyanide untuk keracunan
cyanide dan fab-fragment untuk keracunan digoksin.
1) Zat-zat pembentukan kelat
Zat pembentuk kelat biasanya mengandung dua atau lebih gugus elektronegatif
yanf membentuk ikatan kovalen komplek stabil dengan logam-logam atau kation
menghasilkan zat komplek yang kurang toksik daripada logam berat bebas atau
membatasi logam-logam berat untuk berikatan dengan tempat kerjanya sehingga
mudah tereleminasi. Dalam semua keadaan semua proses diatas akan memberikan
kontribusi dari effektifitas antidotum. Semakin banyak ikatan ligan terbentuk,
semakin stabil ikatan komplek yang terjadi dan semakin efisien proses
chelatornya. Zat-zat kelat umunya mempunyai gugus-gugus fungional seperti –
OH, -SH dan –NH yang akan berkompetisi logam-logam pada tempat ikatannya
pada protein sel. Contoh zat-zat chelator adalah :
a) Dimercaprol (British anti-lewisite, atau BAL)

5
 Zat mirip minyak, tidak berwarna, bau tidak enak (busuk).
Pemerian umumnya melalui injeksi im 10% dalam minyak kacang
 Bereaksi dengan logam-logam berat sehingga mencegah inaktivasi
enzim-enzim yang mengandung gugus SH. Dimercaprol paling
efektif jika deberikan segera setelah terpapar logam berat
 Berguna untuk keracunan arsen, merkuri dam timbal
 Efek samping takijardia, hipertensi, mual dan iritasi lambung
 Sekarang tersedia 2 macam obat yang mirip dengan dimercaprol
yaitu dimercaptosuccinic acid (DMSA) dan dimercaptopropane
sulphonic acid (DMSP). Kedua zat chelat tersebut juga mempunyai
2 gugus thiol (-SH) tetapi lebih hirofilik. Tidak seperti dimercaprol,
DMSA dam DMPS dapat diberikan secara oral dan mempunyai
indek terapi yang lebih besar
b) EDTA (etilendiamin tetra asetat)
 Efektif untuk logam-logam transisi, oleh karena itu EDTA juga
membentuk kelat dengan Ca tubuh
 EDTA diberikan dalam bentuk injeksi im atau iv dalam bentuk
garamnya, Na atau Ca
 Dieksresi melalui filtrasi glomelurus
 Digunakan terutama pada keracunan Pb
 Pada dosis tinggi bersifat neprotoksik terutama pada tubulus renal
c) Penisilamin (Cuprin)
 Enyawa mirip dengan pinisilamin
 Sangat baik diabsorpsi pada saluran pencernaan
 Toksik pada sumsum tulang belakang dan ginjal adalah efek yang
paling merugikan
 Biasanya digunakan untuk keracunan Cu pada individu yang
menderita penyakit Wilson’s. Kelebihan Cu akan toksik pada herpa
dan CNS
 Penisilamin juga digunakan pada keracunan Cu juga Hg serta
sebagai tambhan untuk terapi keracunan Pb dan arsen
d) Deferoksamin

6
 Spesifik membentuk kelat dengan logam besi, dengan ion feri
membentuk feroxamin. Defaroxamin dapat mingikat zat besi dari
feritin dan homosiderin, tetapi tidak dapat menarik zat besi dari
hemoglobin, sitokrom dan mioglobin.
 Pemerian infus secara cepat dapat menimbulkan shok hipotensi
karena memacu pelepasan histamin. Deferoksamin dapat juga
diberikan melalui injeksi im
 Deferoksamin dimetabolisme dan diekskresi melalui ginjsl dan
menyebabkan urin berwarna merah
 Dapat menyebebkan neurotoksik atau toksik pada ginjal.
Dikonraindikasikkan pada pasien dengan gangguan ginjal
e) Trientin (cuprid)
 Membentuk chelat dengan Cu
 Terapi terbatas untuk penyakit Wilson’s pada individu yang tidak
dapat mentolerir penisilamin
2) Fab Fragment
Antiserum telah lama digunakan untuk pengobatan keracunan toksin yang berasal
dari botulimus atau ular. Secara teoritis pendekatan seperti ini diadopsi untuk
pengobatan keracunan. Fab fragment adalah suatu antibodi monoklonal dapat
mengikat digoksin dan mempercepat ekskresinya melalui filtrasi glomelurus
3) Dikobaltedet dan Hidrokobalamin
Telah lama diketahui bahwa logam-logam transisi dapat membentuk dengan
sianida yang stabil dan bersifat non toksik. Disamping logam-logam transisi,
hidrokobalamin (vitamin B12a) juga telah terbukti efektif untuk dikobalt edetat,
digunakan hanya menjelang pasien kehilangan kesadaran atau sudah kehilangan
kesadarn, bukan untuk tindakan pencegahan. Cobalt edetat diberikan melalui
injeksi iv 300 mg (20 ml) dalam 1 menit (5 menit jika kondisi tidak berat) disusul
dengan 50 ml infus glukosa 50% jika tidak menunjukkkan perbaikan yang
memadai. Jika ada perbaikan setelah 5 menit boleh diberikan dosis ke 2.
Pemberian Na-nitrit yang diikuti dengan pemberian Na-tiosulfat juga dapat
digunakan untuk keracunan sianida
4) Detoksifikasi enzimatik

7
Detoksifikasi enzimatik dapat delakukan dengan dua jalur, dengan memberikan
kosubtrat pada reaksi yang terjadi dan memberikan enzim dari luar nmempercepat
metabolisme zat racun
a) Etanol
Etanol dapat digunakan untuk keracunan methanol atau etilen glikol. Metanol
dan etilenglikol dalam tubuh akan mengalami oksidasi olehg enzim
alkoholdehidrogenase menghasilkan formaldehid dan asam format. Pemberian
etanol akan menyebabkan kompetisi dengan methanol atau etilenglikol dalam
memperebutkan enzim alkohol dehidrogenase. Hasil reaksi antara etanol
dengan enzim alkohol dehidrogenase adalah asam asetat yang relatif tidak
toksik dan mudah dieksresikan dibandingkan dengan formaldehid dan asam
format
b) Atropin dan Pralidoksin
Keracunan pestisida organofosfat dan carbamat dapat menyebabkan timbulnya
perangsangan kolinergik yang berlebihan. Gejala yang timbul seperti cemas,
gelisah, pusing, sakit kepala miosis, mual, hipersaliva, muntah kolik andomen,
diare, brandikardi, dan berkeringat, lemah otot menyebabkan paralisis umum
(lemas) termasuk otot mata atu pernapasan
Gejala diatas dapat terjadi karena pestisida dapat mengikar enzim asetil
kolinesterasa yang berfungsi untuk menguraikan asetilkolin menjadi aseil Co
A dan kolin. Menyebabkan jumlah asetil kolin berlebih sehingga timbul
perangsangan parasimpatik (kolinergik) yang berlebih pula (ingat asetilkolin
adalah neorotransmiter sistem saraf parasimpatik). Atropin adalah suatu
antikolinergik yang bekerja berlawanan dengan asetilkolin. Atropin diberikan
dalam bentuk garamnya (atropin sulfat) dengan dosis 2 mg melalui injeksi (iv,
im), pemberian dapat diulang tergantung pada tingkat keparahan, setiap 20-30
menit hingga kulit kelihatan memerah dan kering, pupil dilatasi dan timbul
takikardia.
Pralidoksim adalah suatu reaktivator kolinesterase yang biasanya ditambahkan
pada atropin sulfat pada keracunan pestisida sedang hingga berat. Dosis
umumnya sebesar 30 mg / Kg BB dilarutkan dalam 10-50 ml air, diberikan
melalui injeksi iv perlahan-lahan. Pada kasus keracunan yang berat, pemberian
dapat di ulang.

8
Dengan cara yang sama, fisotigmin dapat digunsksn untuk keracunan atropin.
Sifat fisostigmin sebagai antikolinesterase dapat menyebabkan akumulasi
asetilkolin sehingga akan melawan efek antikolinergik yang berlebihan dari
atropin.
c) N-asetilsistein dan Metionin
Pada keracunan parasetamol (asetaminofen), toksisitas terjadi karena
parasetamol dimetabolisme menjadi N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NABQI).
Pada dosis normal, parasetamol tidak berbahaya karena tidak dimetabolisme
menjadi NABQI, dan hanya pada over dosis terbentuk NAQBI. NAQBI dapat
menyebabkan kerusakan sel terutama sel herpa, sehingga akan meningkatkan
enzin intraseluler SGPT dan SGOT. Asetilsistein suatu obat dapt diberikan
dengan NABQI membentuk senyawa non toksik.
Metionin dalam tubuh akan mengelami metabolisme homosistein berfungsi
sebagai donor sulfur untuk diikat oleh NABQI sehingga dapat sebagai alternatif
asetil siistein.
b. Antidotum yang bekerja secara farmakologi
Antidotum farmokologi adalah suatu antidotum yang bekerja mirip dengan zat toksik,
bekerja pada reseptor yang sama atau berbeda.
1) Nalokson hidroklorida
Keracunan opioid dapat menyebabkan koma, depresi pernapasan, brandikardi,
depresi pernapasan dan pupil mengecil (pint point). Nalokson adalh antagonis
opioid yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga berkompetisi dalam
memperebutkan reseptor opioid. Karena kerja dari naloksaon sangat singkat, maka
diperlukan pemberian berulang sesuai dengan frukuensi nafas dan kedalaman
koma. Alternatif lain, nalokson dapat diberikan melalui infus yang kecepatannya
dapat diatur sesuai respon yang diinginkan. Dosis pemberian inj iv adalaj 0,8-2
mg dapat diulang setiap 2-3 mnit sampai dosis maksimal 10 mg.
2) Flumazamil
Flumazamil adalah suatu antagonis benzodiazepin. Benzodiazepin sebagai obat
tunggal (besar) dapat menyababkan mengantuk, ataksia, disatria dan kadang-
kadang depresi. Obat-obat golongan benzodiazepin bersifat sinergis dengan obat
depresan lain jika diminum bersamaan. Flumazamil juga dapat digunakan untuk
diagnosa dalam memastikan adanya keracunan yang penyebabnya tidak jelas.
Analisa atau nasehat ahli sangat penting dalam pemberian obat ini karena dapat

9
manyebabkan konvulsi pada pasien yang ketergantungan obat-obat benzodiazepin
seperti diazepam, nitrazepam atau lorazepam.

3) Oksigen
Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan keracunan karena kemampuannya
dalam mengikat homoglobin (Hb) dan membentuk zat kompek yang tidak dapat
berfungsi mengikat oksigen lagi. Afinitas ikatan Hb dengan CO 200 kali lebih
kuat dibandngkan ikatan Hb dengan oksigen. Namun dengan pemberian oksigen
dalam jumlah banyak dan murni dapat mendesak ikatan Hb-CO dan menggantikan
posisi CO kembali ke oksigen.
c. Antidotum yang bekerja sebagai antagonis fungsional
Antidotum antagonis fungsional dapat juga digolongkan sebagai antidotum non
spesifik karena berguna sebagai terapi simtomatik dan mengantagonis beberapa jenis
zat toksik. Sebagai contoh penggunaan diazepam untuk mengahambat konvulsi
(kejang) dan fasciculasi yang disebabkan zat seperti organofosfat, karbamat dan
stimulan

Tabel. Daftar zat toksik beserta antidotum spesifiknya


No. Zat toksik Antidotum
1 Parasetamol N-asetil sistein
2 Arsen, Hg, Pb, Au BAL (dimercaprol)
3 Beta-bloker Glukakon
4 Benzodiazepin Flumazemil
5 CO Oksigen, hiperbaik oksigen
6 Koumarin Vit K
7 Sianida Nitrit dan nitrat
8 Digoksin Digoksin-fab fragment
9 Methanol dan eilen glikol Etanol
10 Heparin Promatin
11 Zat besi Deferoksiman
12 INH Piridoksin
13 Narkotika (opioid) Nalokson

10
14 Nitrit Metilen blue
15 Organofosfat dan karbamat Atropin, pralidoksim

B. Mekanisme Kerja Antidotum


 Membentuk senyawa kompleks dengan racun : dimerkaprol, EDTA, penisilamin,
dikobal edetat, pralidoksin.
 Mempercepat detoksifikasi racun : natrium tiosulfat,dll.
 Berkompetisi dengan racun dalam interaksi dengan reseptor : oksigen, nalokson.
 Memblokade reseptor esensial : atropine.
 Efek antidot melampaui efek racun : oksigen, glukagon.
 Mempercepat pengeliaran racun : NaCl untuk meningkatkan pengeluaran urin pada
keracunan bromid
 Mengabsorpsi racun : karbon
 Menghambat absorpsi racun : MgSO4.
 Perangsang muntah : sir. Ipeca.
 Menginaktifkan racun : natrium tiosulfat, antibisa, antitoksin botulinus.
 Pengendap racun : natrium sulfat, kalsium laktat.
 Antidot universal (campuran karbon, asam tanat, MgO (1:1:2): asam , alkali, logam
berat, glikosida.
 Antidot multiple (campuran besi sulfat, Mg S04, air, karbon) : As, opium, Zn,
digitalis, Hg, strihnin.
 Serum anti bisa ular : neurotoksis, hemotoksis.

C. Penanganan Keracunan
Penanganan keracunan adalah menjaga fungsi organ dan menghindari absorpsi lebih
lanjut, mempercepat eliminasi, dan menormalkan fungsi tubuh.
1. Melalui mulut :
 mengurangi absorbsi dengan merangsang muntah (sirup ipeca).
 menguras lambung (air hangat dengan tube nasogantrik)
 karbon aktif, membersihkan usus ( laksan)
 pemberian antidotum.
 meningkatkan eliminasi ( diuretic asam atau basa).

11
 transfuse penukar.
 Dialysis.
 hemodialisis.
 hemoperfusi.
2. Melalui hidung : memindahkan penderita dari ruangan yang tercemar racun,
trakeotomi, resuscitator.
3. Kontaminasi kulit : siram dengan air.
4. Kontaminasi mata : dibilas dengan air/laritam Na Cl fisiologis.
5. Sengatan/gigitan binatang berbisa : diikat didaerah luka gigitan, beri antidotum,
pendinginan local, mengisap dari luka.

12
STUDI KASUS

Pasien laki-laki 25 tahun datang ke IGD karena overdosis paracetamol. Dari


anamnesis didapatkan, 2 jam sebelum datang ke IGD pasien mengonsumsi paracetamol
sebanyak 30 tablet dengan dosis per tablet 500 mg. Berat badan pasien 70 kg. Dari data
tersebut, didapatkan bahwa paracetamol yang dikonsumsi adalah sebanyak 30 x 500 = 15.000
mg. Berdasarkan berat pasien, maka dosis paracetamol yang dikonsumsi adalah 15.000/70 =
214,29 mg/kg. Konsumsi ini sudah melebihi dosis toksik sebesar 150 mg/kg.

Pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan serum paracetamol
atau membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil pemeriksaan (lebih dari 8 jam
dari waktu awal konsumsi paracetamol), terapi n-acetylcysteine dapat langsung diberikan
secara empiris pada pasien.

Pada fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas pemeriksaan serum paracetamol yang dapat
dilakukan dalam waktu singkat, lakukan pemeriksaan serum paracetamol 2 jam kemudian (4
jam setelah konsumsi) dan plot hasil pada nomogram Rumack-Matthew untuk menentukan
apakah pasien memerlukan terapi berupa pemberian n-acetylcysteine atau tidak.

13

Anda mungkin juga menyukai