Revisi Uu KPK Dari Aspek Hukum Tata Negara (Pusako 15 Okt 2019)
Revisi Uu KPK Dari Aspek Hukum Tata Negara (Pusako 15 Okt 2019)
Oleh
OTONG ROSADI
(Pengajar Hukum Tata Negara)
PENDAHULUAN
Perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi atau lebih mudah disebut dengan Revisi UU KPK, menyita
perhatian kita semua. Sejak disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 17
September 2019, Revisi UU KPK ini tak hanya menyita perhatian publik, namun juga
menyisakan ‘noda hitam’ diakhir masa jabatan DPR RI Periode 2014-2019 dan
dipenghujung Jabatan Presiden. Gelombang penolakan dari pengamat, akademisi
dan mahasiswa terjadi sesaat setelah kabar mengenai RUU Revisi UU KPK disahkan
oleh DPR sebagai RUU inisiatif DPR, pembahasannya harus menunggu respons dari
Presiden. Apakah Presiden akan meresponnya dengan mengeuarkan Surat Presiden
atau tidak. seluruh fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan
Badan Legislasi DPR. Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna
DPR yang digelar pada Kamis, 5 September 2019. Publik awalnya masih berharap
Presiden tidak mengeluarkan Surat Presiden mengenai pembahasan bersama DPR
dan Pemerintah. Namun, publik pun kecewa, saat DPR RI langsung mengirimkan
surat sekaligus Draf RUU Revisi KPK ini kepada Presiden. Rabu, 11 September 2019,
Jokowi menerbitkan surat presiden untuk memulai pembahasan RUU KPK pada
Rabu (11/9/2019).
Kepala negara mengutus dua menteri untuk mewakili pemerintah
menyampaikan sikap dan pandangan terkait substansi RUU. Mereka adalah Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin. Pemerintah menyetujui
beberapa poin dalam draf RUU KPK yang disusun oleh DPR RI. Poin-poin itu adalah
soal pembentukan dewan pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan menyetujui perubahan status pegawai,
termasuk penyelidik dan penyidik KPK, menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Sungguh gerakan luar biasa cepatnya dari pembentuk undang-undang (DPR dan
Pemerintah). Ketika Selasa, 17 September 2019, RUU ini disahkan dalam Rapat
Paripurna DPR menjadi undang-undang.
Kita semua kecewa, lantas asa pun disematkan di tangan ‘Presiden’ agar
dengan kewenangan konstitusionalnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Undang-
undang (PERPU) yang isinya membatalkan (Rancangan) UU Revisi UUKPK. Hingga,
Selasa 15 Oktober saat kita diskusi ini, Presiden nyaris belum ‘tergerak hati’ untuk
menerbitkan hak konstitusionalnya itu.
Menjadi interes (perhatian) kita kemudian, bagaimana kemudian hukum
tata negara memandang hal ini. Tulisan ini mencoba menjawab beberapa hal, tentu
saja dari aspek hukum tata negara. Bagi Penulis, paling tidak ada lima hal yang
dapat ditinjau dari perspektif hukum tata negara, sekaitan dengan ini, yakni:
Pertama, dari aspek formil pembentukan undang-undang revisi. Kedua, dari aspek
1
konstitusional RUU ini sejak persetujuan DPR dan Pemerintah hingga hari ini (15
Oktober 2019). Ketiga, dari aspek materi muatannya, dan keempat dari aspek
potensi judicial (constitutional) review ke Mahkamah Konstitusi.
PEMBAHASAN
2
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan
kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas
substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat.
Pada sisi lain ditemukan pula fakta bahwa UU ini disahkan “tidak melalui rapat
paripurna yang kuorum oleh DPR”, sedangkan menurut peraturan, sebuah undang-
undang itu bisa disahkan jika anggota DPR yang hadir lebih dari separuh. Tetapi,
dalam rapat paripurna 17 September 2019, anggota DPR yang hadir hanya 102 dari
560 orang. Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, mengatur
pimpinan DPR dalam memimpin Rapat Paripurna wajib memperhatikan kuorum
rapat. Rapat paripurna dinyatakan kuorum apabila dihadiri lebih dari separuh
jumlah total anggota DPR yang terdiri dari atas lebih dari separuh unsur fraksi.
Pasal 251 ayat (1) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib:
“Ketua rapat membuka rapat apabila pada waktu yang telah ditentukan untuk
membuka rapat telah hadir lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri
atas lebih dari separuh unsur Fraksi.” Menurut ayat (2) Apabila pada waktu yang
telah ditentukan belum dihadiri oleh separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas
lebih dari separuh unsur Fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua rapat
mengumumkan penundaan pembukaan rapat. Ayat (3) Penundaan rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 30 (tiga puluh) menit. Pasal 251
ayat (4) Ketua rapat dapat membuka rapat apabila pada akhir waktu penundaan
rapat, kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi. (5)
Rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil keputusan sesuai
dengan ketentuan kuorum sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai tata
cara pengambilan keputusan.
3
Pemerintah. Pasal 20 UUD 1945 hasil amandemen mengatur norma konstitusi
sebagai berikut:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika rancangan undangundang itu
tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh
dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(3) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang.
(4) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-
undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-
undang dan wajib diundangkan.
Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU yang telah disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi Undang-Undang. Penyampaian RUU dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal
72 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011). Kemudian, menurut Pasal 73 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2011, RUU itu disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan
tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam hal RUU tidak
ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan [Pasal 73 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011.
Merujuk pada tanggal sidang paripurna DPR yang mengesahkan revisi UU
KPK itu adalah tanggal 17 September 2019, maka UU KPK baru itu akan
diundangkan pada 17 Oktober 2019 seturut waktu 30 hari bilamana Presiden
Jokowi tidak menandatanganinya.
4
yang sedang berjalan, menanti pelantikan.Hal ini berkaitan dengan tidak adanya
aturan Peralihan mengenai hal ini dalam Perubahan UU KPK. Ini yang kerap saya
sebut sebagai “pagawean rusuh, hasilna pasti teu puguh” (pekerjaan yang dilakukan
tergesa-gesa, hasilnya tidak sempurna).
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka saya merekomendasikan: pertama, jika
Presiden hendak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu), sebaiknya dilakukan setelah Undang-undang ini diundangkan dengan
penempatan pada Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara. Kedua, jika
pun jalan yang ditempuh ‘constitutional review’, maka Uji Formil dan Uji Materil UU
Revisi UU KPK, juga dilaksanakan setelah Undang-undang ini diundangkan dengan
penempatan pada Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara. Meskipun
jalan ini tidak mudah, karena Pemohon haruslah dapat menjelaskan keterkaitan
yang kuat antara kedudukan hukum pemohon dengan kerugian yang ditimbulkan
akibat UU KPK hasil revisi. Lalu hubungan kausalitasnya antara kerugian-kerugian
itu dengan kerugian permohonan pengujian.
Padang, 15 Oktober 2019
Pemantik Diskusi
Otong Rosadi