Oleh :
Cinthya Permata Anisa 1410070100039
Desri Sevti Eka Putri 1410070100105
Pembimbing :
dr. Didi Yuda Putra, Sp. PD
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah
dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyeelesaikan laporan kasus
tepat pada waktunya. Tak lupa shalawat beriring salam penulis kirimkan kepada
junjungan alam yakni Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang
buta akan pengetahuan alam ke alam yang penuh dengan beribu ilmu seperti yang kita
rasakan sekarang ini.
Laporan kasus yang berjudul “Abses Pedis Dextra ec DM Tipe II Tidak Terkontrol
Normoweight + Hipoglikemia ec DM Tipe II Tidak Terkontrol Normoweight + Chronic
Kidney Disease Stage II ec Nefropati Diabetik + Hipertensi stage I ec Esensial” ini
penulis buat sebagai tugas saat menjalani kepaniteraan klinik ilmu penyakit dalam.
Rasa terima kasih saya sampaikan kepada pembimbing saya dr. Didi Yuda
Putra, Sp.PD yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing saya dalam
penulisan laporan kasus ini sehingga menjadi baik dan terarah.
Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini.
Untuk itu, penulis memohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan. Dan tidak lupa
juga penulis memohon saran serta kritik yang bersifat membangun agar tujuan
menjadikan laporan kasus ini sempurna dapat tercapai.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 2
BAB II ............................................................................................................................... 4
2.2.6 Diagnosa......................................................................................................... 17
2.2.7 Penatalaksanaan ............................................................................................. 19
iv
2.5.7 Penatalaksanaan ............................................................................................. 41
PENUTUP ....................................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Tabel 7 Gejala dan Tanda yang Muncul Pada Keadaan Hipoglikemia .......................... 25
Tabel 8 Keluhan dan gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien
diabetes............................................................................................................................ 25
Tabel 9 Keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak di sadari (Heller,
2003) ............................................................................................................................... 26
Tabel 12 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialis di Indonesia Tahun 2000
......................................................................................................................................... 31
Tabel 13 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit ..................... 32
Tabel 14 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi ................ 32
Tabel 15 Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya ....... 37
vi
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2 Pengaruh metabolik respon kontra regulator terhadap hipoglikemia akut. .... 23
BAB I
1
PENDAHULUAN
2
turut mengalami peningkatatan. Diperkirakan satu dari sembilan orang Amerika Serikat
mengidap CKD dan sebagian besar tidak menyadari hal ini.
The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and
treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan duniaWHO dengan
International Society of Hypertension membuat definisi hipertensi yaitu apabila tekanan
darah seseorang tekanan sistoliknya 140mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90
mmHg atau lebih atau sedangmemakai obat anti hipertensi.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Case report ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dibagian ilmu
penyakit dalam RSUD Solok dan di harapkan agar dapat menambah pengetahuan
penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca.
1.3.2 Tujuan Khusus
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipeini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin
dapat ditentukan dengan level proteinc-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak
terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama daripenyakit ini adalah
ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa
membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang
merupakan turunnya kemampuan insulinuntuk merangsang pengambilan glukosa
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh
karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas
akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.Onset DM tipe ini terjadi
perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yangterjadi
perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang.
DM tipeini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain. DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada
defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus,penyakit
autoimun dan kelainan genetik lain.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati
pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM
gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita
DM gestasional memiliki risiko lebih besar untukmenderita DM yang menetap
dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.
5
Tabel 1 Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus
Sumber :Ndraha Suzanna, Leading Article Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini,
Departemen Penyakit Dalam FK Univ.Krida Wacana Jakarta, Medicinus 2014
6
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam
3 Glukosa plasma 2 jam pada TTGO sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1
mmol/L)
7
Gambar 1 Langkah Langkah Diagnostik DM & Toleransi Gula Terganggu
2.1.5 Penatalaksanaan
Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa
pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan
penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan
langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran
pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan penggunaan perlu panambahan terapi
medikamentosa atau intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan
makan dan aktivitas fisik yang sesuai.Terapi farmakologis diberikan bersama dengan
pengaturan makan dan atihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri
dari obat oral dan suntikan.
1.Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
9
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak meimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
5) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian,
secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4),
menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal
rasiona dalam pengobatan DM tip 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1
dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim
DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberian hormon asli atau
analognya (analog incretin= GLP-1 agonis).
Cara pemberian OHO, terdiri dari :
a) OHO dimuli dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampapi dosis optimal.
b) Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan.
c) Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.
d) Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.
e) Penghambat glukosidase (acarbose) : bersama makan suapan pertama.
f) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
g) DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
10
Tabel 3 Perbandingan Golongan OHO
11
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2
di Indonesia 2011
2.Obat Suntikan
A. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat
12
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3) Ketoasidosis diabetik
4) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
7) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
8) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis,
yakni:
1) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2) Insulin kerja pendek (short acting insulin)
3) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
4) Insulin kerja panjang (long acting insulin)
5) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Agonis GLP-1/incretin mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin
yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1
bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan
sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah.
13
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2
di Indonesia 2011
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi
The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation
and treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan duniaWHO
dengan International Society of Hypertension membuat definisi hipertensi yaitu apabila
tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140mmHg atau lebih atau tekanan
diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedangmemakai obat anti hipertensi.
14
The sixth Report of The joint national Committee on Prevention,detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Presure (JNC VI) mengklasifikasikan tekanan
darah untuk orang dewasa menjadi enam kelompok yang terlihat seperti pada tabel 1
dibawah.
Tabel 4 Klasifikasi Tekanan Darah
2.2.2 Epidemiologi
Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi
hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol.Prevalensi 6-15% pada orang dewasa,
50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga
mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak
mengetahui factor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial.Saat ini penyakit
degeneratif dan kardiovaskuler sudah merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Dari faktor resiko di atas yang sangat erat kaitannya dengan
gizi adalah hipertensi, obesitas, displidemia, dan diabetes melitus.
2.2.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.
1) Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis,
sistem renin angiotensin, defek dalamekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler
dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada usia 30 – 50 tahun.
2) Hipertensi sekunder
15
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab
spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular
renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio
aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain – lain.
2.2.4 Patofisiologi
Tekanan darah terutama dikontrol oleh sistem saraf simpatik (control jangka
pendek) dan ginjal (kontrol jangka panjang).Mekanisme yang berhubungan dengan
penyebab hipertensi melibatkan perubahan – perubahan pada curah jantung dan
resistensi vaskular perifer.Pada tahap awal hipertensi primer curah jantung meninggi
sedangkan tahanan perifer normal.Keadaan ini disebabkan peningkatan aktivitas
simpatik.Saraf simpatik mengeluarkan norepinefrin, sebuah vasokonstriktor yang
mempengaruhi pembuluh arteri dan arteriol sehingga resistensi perifer meningkat.
Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali ke normal sedangkan tahanan
perifer meningkat yang disebabkan oleh refleks autoregulasi. Yang dimaksud dengan
reflex autoregulasi adalah mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan
hemodinamik yang normal. Oleh karena curah jantung yang meningkat terjadi
konstriksi sfingter pre-kapiler yang mengakibatkan penurunan curah jantung dan
peninggian tahanan perifer.Pada stadium awal sebagian besar pasien hipertensi
menunjukkan curah jantung yang meningkat dan kemudian diikuti dengan kenaikan
tahanan perifer yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah yang menetap.
2.2.5 Gejala Klinis
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada
hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang
timbul dapat berbeda-beda.Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan
baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata,
otak dan jantung.Perjalanan penyakit hipertensi sangat berlahan.
Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun –
tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan
organ yang bermakna. Terdapat gejala biasanya hanya bersifat spesifik, misalnya sakit
kepala atau pusing.Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah,
telinga berdengung, rasa berat di tungkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-
kunang.Apabila hipertensi tidak diketahui dan dirawat dapat mengakibatkan kematian
karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal.Namun deteksi dini
dan parawatan hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas.
16
a. Kerusakan Target Organ
1. Jantung
- Hipertrofi Ventrikel Kiri
- Angina atau infark miokardium
- Gagal jantung
2. Otak
- Stroke
- Transient ischemic attack (TIA)
1. Penyakit Ginjal Kronik
2. Penyakit arteri perifer
3. Retinopati
b.Faktor resiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi antara lain adalah
Merokok
Obesitas
Kurangnya aktivitas fisik
Dislipidemia
Diabetes militus
Keluarga penyakit Kardiovaskular dini
Wanita>65 Tahun
Laki-laki>55 Tahun
18
• Funduskopi
C. Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan pasien Hipertensi adalah
Target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi (diabetes,
gagal ginjal proteinuria) <130/80 mmHg
Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Pengobatan faktor resiko
2.2.7 Penatalaksanaan
A. Non farmakologi
Menghentikan Rokok
Menurunkan berat badan berlebih
Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
Menurunkan asupan garam
Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak
B. Farmakoterapi
Diuretik, terutama jenis Thiazide (Thiaz ) atau Aldosterone Antagonist
Beta Blocker (BB)
Calcium Channel Blocker(CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin II Receptor Blocker
19
2.3 Hipoglikemia
2.3.1 Definisi
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui
panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku
seseorang.29
2.3.2 Etiologi
Pada pasien DM:
1. Defisiensi insulin endogen, yang sekaligus menandakan bahwa telah terjadi
penurunan respon glukagon
2. Terapi DM secara agresif, yang terlihat dari rendahnya target terapi baik
glukosa, HbA1C, atau keduanya
3. Riwayat hipoglikemia
4. Latihan jasmani dengan intensitas menengah hingga berat
5. Gagal ginjal
6. Gagal hati
7. Pasca persalinan pada ibu yg menggunakan terapi insulin saat hamil
8. Asupan makanan yang tidak adekuat
Pada pasien Non-DM:
1. Penyakit kritis: gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, sepsis (termasuk malaria)
2. Low intake
3. Malnutrisi
4. Tumor non- sel islet
5. Hiperinsulinisme endogen
- Insulinoma
- Gangguan sel β fungsional
- Hipoglikemia akibat insulin autoimun
- Insulin secret
Obat hipoglikemik oral yang berisiko menyebabkan hipoglikemia.
Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan
sekresi insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Obat – obat
20
tersebut antara lain dipeptydil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like peptide-1, golongan
glinide, golongan sulfonylurea: glibenclamide, glimepiride
Sulfonylurea
Sulfonylurea bekerja dengan memacu pelepasan insulin dari sel beta pankreas
dengan cara berikatan dengan reseptor sulfonylurea pada sel beta pankreas yang
menyebabkan inhibisi efluksion kalium dan menyebabkan depolarisasi dan pelepasan
insulin. Pemakaian sulfonylurea jangka panjang pada pasien DM tipe 2 dapat
menurunkan kadar serum glukagon yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
hipoglikemia. Mekanisme inhibisi glukagon ini terjadi karena stimulasi pelepasan
insulin dan somatostatin menghambat sekresi sel alfa pankreas. Obat golongan
sulfonylurea yang saat ini cukup banyak digunakan merupakan sulfonylurea generasi
ke-2 yaitu glibenclamide dan glimepiride.
Glibenclamide (glyburide)
Dimetabolisme di hepar menjadi produk dengan aktivitas hipoglikemik yang
sangat rendah. Dosis awal pemberian Glibenclamide yaitu 2,5 mg per hari dan dapat
ditingkatkan hinga mencapai 5-10 mg dosis tunggal per hari dan diberikan pada pagi
hari.Pemberian dosis lebih dari 20 mg per hari tidak direkomendasikan. Glibenclamide
berisiko menyebabkan hipoglikemia. Efek samping glibenclamide yang lain adalah
dapat menyebabkan flushing apabila berinteraksi dengan alkohol. Insufisiensi ginjal dan
hepar merupakan kontraindikasi penggunaan glibenclamide.
Glimepiride
Digunakan dengan dosis sekali sehari, sebagai terapi tunggal ataupun sebagai
kombinasi dengan terapi insulin. Glimepiride mencapai pengendalian gula darah pada
dosis yang paling rendah bila dibandingkan dengan sulfonylurea yang lain. Dosis
tunggal 1 mg tiap hari dapat menunjukkan kerja yang efektif dan dapat digunakan dosis
hingga 8 mg per hari. Glimepiride memiliki waktu paruh selama 5 jam sehingga dapat
diberikan dalam dosis 15 tunggal sekali sehari. Glimepiride dimetabolisme di hepar
menjadi bentuk yag inaktif.
Meglitinide
Meglitinide bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin sel beta pankreas
dengan mengatur efluks kanal kalsium. Meglitinide memiliki tempat perlekatan
(binding sites) yang sama dengan yang dimiliki oleh golongan sulfonylurea. Obat yang
termasuk dalam golongan meglitinide yaitu repaglinide.
Repaglinide
21
Memiliki onset kerja sangat cepat, dengan konsentrasi puncak dan efek puncak
kurang dari satu jam setelah obat ditelan, sedangkan durasi kerja repaglinide selama 5–
8 jam. Repaglinide dimetabolisme di hepar oleh enzim CYP3A4 dengan waktu paruh
plasma selama 1 jam. Sifat kerja yang cepat ini membuat Repaglinide diindikasikan
untuk mengatasi peningkatan glukosa setelah makan (post-prandial). Repaglinide
diminum tepat sebelum makan, dengan dosis 0.25–4 mg (maksimum 16 mg per hari)
Repaglinide berisiko menimbulkan hipoglikemia bila pasien tidak segera makan setelah
mengkonsumsi obat, atau makan dengan jumlah karbohidrat yang tidak adekuat.
Repaglinide perlu mendapat perhatian khusus pada pasien dengan gangguan hepar dan
ginjal. Repaglinide dapat digunakan sebagai terapi tungal ataupun dikombinasikan
dengan biguanide (metformin). Repaglinide dapat diberikan pada pasien diabetes yang
alergi dengan sulfonylureakarena repaglinide tidak mengandung unsur sulfur.
2.3.3 Faktor Predisposisi
1. Kadar insulin berlebihan
a. Dosis berlebihan : kesalahan dokter, farmasi, pasien, ketidak sesuaian
kebutuhan pasien
b. Peningkatan bioavailibilitas insulin: absorbsi yang lebih cepat (aktivitas
jasmani, antibodi insulin, gagal ginjal)
2. Peningkatan sensitivitas insulin
a. Defisiensi hormon counter regulatory :penyakit addison, hipopituitarisme
b. Penurunan berat badan
c. Latihan jasmani, post partum: variasi siklus menstruasi
3. Asupan karbohidrat kurang
a. Makan yang tertunda atau lupa, porsi makan kurang
b. Diet slimming, anorexia nervosa
c. Muntah, gastroparesis
d. Menyusui
4. Lain-lain
a. Absorbsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
b. Alkohol, obat : salisilat, sulfonamid meningkatkan kerja sulfonilurea;
penyekat β non-selektif; pentamidin
2.3.4 Patofisiologi
Glukoagon dan epinefrin merupakan 2 hormon yang disekresi pada kejadian
hipoglikemia akut. Glukoagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula
22
meningkatkan glikogeneolisis dan kamudian glukoneogenesis. Epinefrin selain
meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di
jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot. Glierol, hasil lipolisis serta
asam amino (alamin dan aspartat) merupakan bahan baku glukoneogenesis di hati.
Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal. Yang pada keadaan
tertentu merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan hipoglikemia yang
berat, walapun kecil, hati juga menunjukkan kemampuan otoregulasi.
Kortisol dan growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia yang
berlangsung lama, dengan cara melawan kerja insulin di jaringan perifer (lemak dan
otot) serta meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi growth hormone
(panhipopitutarisme) dan kortisol (penyakit addison) pada individu menimbulkan
hipoglikemia yang umumnya ringan.
Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar glukosa setelah
hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar 40%. Bila sekresi glukagon dan
epinefrin dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak terjadi.
23
2.3.5 Klasifikasi
Tabel 5 Klasifikasi Klinis Hipoglikemi Akut
24
2.3.6 Gejala Klinis
Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasi sistem saraf
otonom dan neuroglikopenia. Pada pasien dengan usia lajut dan pasien yang
mengalami hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat berkurang
sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau kadar gula
darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat memperberat akibat
dari hipoglikemia karena penderita terlambat untuk mengkonsumsi glukosa untuk
meningkatkan kadar gula darahnya.
Tabel 7 Gejala dan Tanda yang Muncul Pada Keadaan Hipoglikemia
Tabel 8 Keluhan dan gejala hipoglikemia akut yang sering dijumpai pada pasien
diabetes
25
Berkeringat Bingung Mual
Jantung berdebar Mengantuk Sakit kepala
Tremor Inkoordinasi
lapar Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
parestesi
Tabel 9 Keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak di sadari
(Heller, 2003)
26
2.3.7 Diagnosis
a. Gejala dan tanda klinis
- Stadium parasimpatik: lapar, mual, hipotensi
- Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sementara
- Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
- Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
b. Anamnesa
- Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral terakhir, waktu
pemakaian terakhir, jumlah asupan gizi
- Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
- Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
- Lama menderita DM, komplikasi DM
- Penyakit penyerta: ginjal, hati,dll
- Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik β
c. Pemeriksaan fisik
- Pucat, diaphrosesis, tekanan darah, frekuensi denyut nadi, penurunan
kesadaran, defisit neurologik fokal transien
Trias whipple untuk hipoglikemia secara umum:
1. Keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah
2. Kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes)
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
2.3.8 Diagnosis Banding
Hipoglikemia karena:
1. Obat :
- Sering: insulin, sulfonilurea
- Kadang: kinin, pentamidine
- Jarang: salisilat, sulfonamid
2. Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, kelainan sel β jenis lain, sekretagog
(sulfonilurea), autoimun, sekresi insulin ektopik
3. Penyakit kritis: gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung, sepsis
4. Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin
5. Tumor non-sel β: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma,
melanoma
27
Pasca-prandial: reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alcohol
2.3.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Cek darah rutin: Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit
2. Pemeriksaan gula darah
3. Tes fungsi ginjal
4. Tes fungsi hati
2.3.10 Penatalaksanaan
1. Mencari penyebab
Penyabab hipoglikemia pada umumnya reversible, sesuai dengan etiologinya.
Oleh karena itu, penting untuk menemukan etiologi hipoglikemia. Etiologi
hipoglikemia pada pasien DM biasanya akibat ketidaksesuaian antara asupan dan
dosis obat, sedangkan pada pasien nonDM dapat dilihat pada keterangan tentang
etiologi hipoglikemia diatas. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam
penatalaksanaan hipoglikemia adalah menentukan derajat hipoglikemia.
2. Koreksi hipoglikemia
a. Pada pasien sadar
Berikan larutan gula murni 20-30 gram (2 sendok makan), permen, sirup, atau
bahan makanan lain yang mengandung gula murni (bukan pemanis buatan,
rendah kalori, atau gula diabetes/gula diet) dan makanan yang mengandung
karbohidrat.
Hentikan obat antidiabetik oral (ADO) yang dicurigai sebagai penyebab.
Interval pemantauan glukosa darah sewaktu tiap lamanya disesuaikan dengan
kemungkinan penyebab.
Monitor glukosa darah dalam rentan waktu yang disesuaikan dengan
pemantauan bisa lebih lama 1-3x/24jam
Apabila pasien menjadi tidak sadar, segera rujuk ke RS terdekat.
b. Pada pasien tidak sadar
Injeksi dekstrosa 40% (D40%) secara bolus intravena
Infuse dekstrosa 10% (D10%), 6 jam per kolf untuk rumatan.
Periksa glukosa darah sewaktu (GDS), dengan glukometer secara berkala tiap
jam bila memungkinkan. Bolus D40% diberikan bila GD masih dibawah 100
mg/dl. Sesuai rendahnya GD
Contoh:
28
-GDS <60 mg/dl = + bolus D40% 3 flacon IV
-GDS 60-80 mg/dl = + bolus D40% 2 flacon IV
-GDS 80-100 mg/dl = + bolus D40% 1 flacon IV
Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 berturut –turut ,pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protocol sesuai diatas, bila GDs >200 mg/dL – pertimbangkan
mengganti infuse dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %
Bila GDS >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut ,pemantauan GDs setiap
4 jam, dengan protocol sesuai diatas .bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangkan
mengganti infuse dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0.9 %
Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut ,slinding scale setiap 6jam
GD (mg/dL) RI (unit, subkutan)
<200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20
bila hipoglikemia belum teratasi ,dipertimbangkan pemberian antagonis insulin
seperti ; adrenalin ,kortison dosis tinggi ,atau glikagon 0,5-1 mg IV / IM ( bila
penyebabnya insulin )
bila pasien belum sadar ,GDs sekitar 200 mg / dL .hidrokortison 100 mg per 4
jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6
jam dan manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam ,cari penyebab lain
penurunan kesadaran
2.3.11 Komplikasi
- Kerusakan otak
- Koma
- Kematian
2.4 Chronic Kidney Disease
2.4.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
29
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Tabel 10 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama
atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
2.4.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat
1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara berkembang lainnya,
insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.
2.4.3 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara dengan
Negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik
di Amerika Serikat.Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000
mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada
Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.
30
Tabel 11 Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (1995-1999)
Penyebab Insiden
Diabetes Melitus 44%
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstitialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%
31
2.4.4 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut :
32
- Penyakit tubulointertitial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
- Penyakit kistik (ginjal polikistik)
- Rejeksi Kronik
Penyakit pada - Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
transplantasi - Penyakit recurrent (glomerular)
- Transplant glomerulopathy
2.4.5 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
rennin-agiotensin-aldosteron-intravenal, ikut memeberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.Aktivasi jangka panjang
aksis rennin-agiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF- β).Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminaria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia.Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada pasien
seperti : nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
33
Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.Pasien juga mudah terkena infeksi
seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga
akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi dengan
fungsi ginjal dibangdingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini termasuk inflamasi,
proliferasi fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel tubular yang
mengalami kerusakan berperan sebagai antigen presenting cell yang mengekspresikan
cell adhesion molecules dan melepaskan sel mediator inflamasi seperti sitokin,
kemokin, dan growth factor, serta meningkatkan produksi ECM dan menginvasi ruang
periglomerular dan peritubular. Resolusi deposisi ECM tergantung pada dua jalur yaitu
aktivasi matriks metalloproteinase dan aktivasi enzim proteolitik plasmin oleh aktivator
plasminogen.Parut ginjal terjadi akibat gangguan kedua jalur kolagenolitik tersebut,
sehingga teradi gangguan keseimbangan produksi ECM dan pemecahan ECM yang
mengakibatkan fibrosis yang irreversibel.
Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh berbagai sebab
(misalnya diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan terjadinya
34
eksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan sel
tubulus dan fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi aktivitas kolagenolitik.
Kapiler peritubular yang rusak akan menurunkan produksi proangiogenic vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami parut akan
mengekspresikan thrombospondin yang bersifat antiangiogenic sehingga terjadi delesi
mikrovaskular dan iskemi.
2.4.6 Diagnosis
1. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya
Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihanvolume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampaikoma.
Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistorfi renal,
payah jantung, asidosismetabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida)
2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
Sesuai dengan penyakit yang mendasari
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunanLFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-
Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk
memperkirakan fungsi ginjal.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat,hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia,hipokalsemia, asidosis metabolik.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria
35
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
Foto Polos Abdomen, bisa tampak batu radio-opak
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yangsudah mengalami kerusakan.
Pielografi antegrad dan retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanyahidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi
36
Tabel 15 Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
LFG
Derajat (ml/mnt/1,73 Rencana Tatalaksana
m2)
-Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasipemburukan (
1 >90
progression ) fungsi ginjal,
memperkecilrisiko kardiovaskuler
- Menghambat pemburukan (progression)
2 60 – 89
fungsi ginjal
3 30 – 59 - Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 -Terapi pengganti ginjal
37
tipe 2 sebesar 36,3%. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah pengendalian
konsentrasi glukosa darah, tekanan darah, kolesterol, dan lamanya menyandang DM.
2.5.3 Etiologi
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit
DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati
Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk
mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).
2.5.4 Patofisiologi
Pada patofisiologi terjadinya kerusakan ginjal, hiperfiltrasi masih dianggap
sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang
terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan skleriosis dari nefron
tersebut. Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati
diabetik kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung
glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin dan
glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis
matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein
kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada
vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino
dan protein atau reaksi Mallard dan Browning. Pada awalnya, glukosa akan mengikat
residu amino serta non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan
ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut
sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advenced
Glycation End-Product (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara
bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam
penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks
ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai
terjadi ekspansi mesangium dan pementukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis
sesuai dengan tahap 1-5.
2.5.5 Gejala Klinis
Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat
dibedakan dalam 5 tahap:
1. Tahap I Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal
yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah
38
biasanya normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal
diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat,
biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.
2. Tahap II Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubaan
struktur ginjal berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan
meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang
memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke
tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali
metabolik. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (silent stage).
3. Tahap III Ini adalah tahap awal nefropati (insipient diabetic nephropathy),
saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM
tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus.
LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat.
Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah
dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4. Tahap IV Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik
bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa,
tekanan darah sering meningkat secara LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini
terjadi setelah 15 – 20 tahun DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat
dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular
umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian
glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah.
5. Tahap V Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah
sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan
tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.
Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara
diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM). Mikroalbuminuria seringkali
dijumpai pada NIDDM saat diagnosis ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel
dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II
merupakan prognosis yang buruk.
2.5.6 Diagnosis
Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti
di bawah ini:
1. DM
39
2. Retinopati Diabetika
3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa
penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar
kreatinin serum >2,5mg/dl.
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari gejala
penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagi, penurunan berat
badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada
kulit, ginekomastia, impotens.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina
yang merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi,
berupa :
1) Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam
kapiler retina.
2) Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah
kapiler vena.
3) Eksudat berupa :
a) Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang
lama.
b) Cotton wool patches. Berwarna putih, tak berbatas tegas,
dihubungkan dengan iskhemia retina.
4) Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena
obstruksi kapiler.
5) Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas
mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.
6) Neovaskularisasi
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF
end stage, didapatkan perubahan pada :
Cor cardiomegali
Pulmo oedem pulmo
3. Pemeriksaan Laboratorium
40
Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2 minggu tanpa
ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu kali pemeriksaan plus
kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
4.
2.5.7 Penatalaksanaan
Setelah ditegakkan diagnosis mikro atau makroalbuminuria, pasien harus
menjalani evaluasi lengkap termasuk pemeriksaan faktor penyebab lain, penilaian
fungsi ginjal, dan ada/ tidaknya hubungan dengan faktor kormobid lainnya.
Tabel 16 Strategi dan Target Terapi
Terapi Target
Mikroalbuminuria Makroalbuminuria
Ace inhibitor dan/atau Penurunan albuminuria atau Proteinuria seminimal
ARB dan diet rendah kembali menjadi mungkin atau <0.5 g/
protein (0,6 – 0,8 normoalbuminuria 24jam
g/kgbb/hari) Stabilisasi GFR Penurunan GFR < 2
ml/menit/tahun
Obat obatan anti Tekanan darah <130/80 atau
hipertensi 125/75 mmHg
Statin Kolesterol LDL ≤ 100 mg/dl
Asam asetil salisilat Pencegahan trombosis
Hindari merokok Pencegahan perkembangan
aterosklerosis
Kadar glukosa ketat A1c < 7%
2.5.8 Pencegahan
Pencegahan Onset
Suatu konsensus dari American Diabetes Association (ADA) telah dibuat
sebagai rekomendasi untuk pencegahan progresivitas nefropati DM.
Tabel 17 Pencegahan Onset Nefropati DM
41
Restriksi garam (<6 g/hari), intake protein direkomendasikan sebesar 0.8
– 1.0 g/ KgBB
Kontrol hiperglikemia (Target HbA1c < 7.0)
Berhenti merokok
Penggunaan statin
Penurunan BB (jika gemuk), olahraga aerobic ringan secara teratur
Hindari penggunaan analgesik minor
Hindari penggunaan obat-obatan nefrotoksik (media kontras, antibiotik,
nonsteroid)
Pencegahan Progresivitas
Untuk mencegah progresivitas mikroalbuminuria atau proteinuria, perlu
dilakukan usaha yang terintegrasi meliputi kontrol tekanan darah melalui terapi
farmakologi dengan blockade RAS oleh ACE-inhibitor atau ARB, kontrol
glikemik yang intensif, berhenti merokok, penurunan BB jika diperlukan, dan
restriksi protein. Penurunan GFR secara signifikan berkurang pada pasien DM
tipe 2 yang mendapat terapi seperti yang telah disebutkan diatas.
2.6 Abses Pedis
2.6.1 Definisi
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi
bakteri.
2.6.2 Patofisiologi
Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi.
Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel
yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan
infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih
akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi
rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan
terdorong. Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding
pembatas abses; hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran
infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam, maka infeksi bisa menyebar di
dalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.
42
2.6.3 Etiologi
Suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara:
a) Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang diantaranya berasal dari tusukan
jarum yang tidak steril
b) Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain
c) Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya abses.
2.6.4 Gejala
Gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi
suatu organ atau saraf.
Gejalanya bisa berupa:
nyeri tekan
teraba hangat
pembengkakan
kemerahan
demam.
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai suatu benjolan.
Jika abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit
diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala seringkali
terlebih dahulu tumbuh menjadi lebih besar. Abses dalam lebih mungkin menyebarkan
infeksi ke seluruh tubuh.
43
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Y
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 50 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Tanjung Paku
Suku Bangsa : Minang
Tanggal Masuk : 11 Juli 2018
Pekerjaan : Pedagang
3.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 6 jam yang lalu.
44
5. Pasien juga sering merasa haus dan banyak minum sejak 6 tahun yang lalu.
Dalam sehari pasien bisa minum hingga lebih dari 2 liter air.
6. Nafsu makan pasien meningkat sejak 6 tahun yang lalu. Pasien sering
merasa lapar hingga harus memakan nasi lebih dari 3x/hari dengan porsi
yang cukup banyak.
7. Badan sering terasa kesemutan sejak 6 tahun yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. awalnya rasa kesemutan dirasakan ditelapak kaki namun
makin lama rasa kesemutan menyebar kebagian tubuh lainnya hingga ke
jari dan tangan. Keluhan muncul saat pasien sedang beristirahat, dan dapat
juga muncul saat pasien beraktifitas.
8. Pasien juga mengeluhkan matanya kabur sejak 2 tahun yang lalu.
9. Pasien sering merasakan keram pada kaki dan tungkai bawah serta rasa
tertusuk-tusuk di jari kaki sejak 6 tahun yang lalu.
10. Pusing sejak 1 minggu yang lalu dan meningkat 2 hari yang lalu sebelum
masuk rumah sakit, pusing dirasakan seperti hendak jatuh/sempoyongan.
11. Nyeri dada disangkal
12. Penurunan berat badan dari 78 kg menjadi 50 kg dalam 6 tahun terakhir
ini.
13. Keringat malam sejak 1 minggu yang lalu
14. Luka pada kaki kanan pasien sejak 2 minggu yang lalu, terdapat nanah
dan nyeri tekan disekitar luka.
45
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga menderita tensi tinggi positif pada ibu pasien.
Riwayat keluarga (ayah, ibu dan saudara) menderita DM di sangkal
Riwayat keluarga (ayah, ibu, suami, anak dan saudara) menderita sakit jantung
di sangkal
PEDIGREE
46
Hipertensi (tekanan darah >140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi).
Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT)
Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis
nigrikans)
Riwayat penyakit kardiovaskuler
Apabila orang tua menderita Diabetes Melitus tipe 2 sebelum usia 50 tahun
maka resiko anak menderita diabetes sebesar 0,14%, dan bila terdiagnosis pada
usia lebih dari 50 tahun maka resiko anak menjadi 0,08%
5. Riwayat Psikososial
Pasien seorang laki-laki umur 50 tahun. Bekerja sebagai seorang pedagang.
Pasien sebelumnya mempunyai kebiasaan merokok sejak umur 15 tahun dan
sampai sekarang masih merokok. Pasien merokok ± 3 bungkus rokok perhari.
Indeks Brinkman : 50 tahun x 36 batang/hari = 1.800 (perokok berat). Pasien
memiliki kebiasaan minum kopi, alkohol sejak umur 14 tahun dan Pasien suka
makan yang manis-manis dan suka makanan yang di goreng. Pasien juga jarang
berolahraga.
d. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di RIC V linea
midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas kiri : 2 jari di RIC V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : RIC IV linea sternalis dextra
Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Irama murni, P1<A2, M1<M2, bising jantung (-)
e. Paru-paru
Inspeksi : Dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Taktil Fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikular, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
f. Abdomen
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit, venektasi (-), sikatrik (-)
Palpasi :
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
48
Ginjal : Bimanual (-), ballottement (-), nyeri ketok CVA (-)
Dinding perut supel (lemas), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
g. Ekstremitas
Superior
Inspeksi : Edema (-/-), sianosis (-/-), palmer eritem (-/-)
Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi arteri radialis kuat angkat
Tes sensibilitas : Sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)
Refleks Biceps + +
Refleks Triceps + +
Refleks Brachioradialis + +
Refleks Hoffman-
- -
Tromer
Inferior
Inspeksi : Edema (-/-) , sianosis (-/-), abses (+/+)
Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi A.Femoralis, A.Dorsalis pedis,
A.Tibialis posterior, dan A. Poplitea kuat angkat
Tes sensibilitas : Sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)
49
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Refleks Patella + +
Refleks Achilles + +
Refleks Babinski - -
Refleks Gordon - -
Refleks Oppenheim - -
Refleks Chaddoks - -
50
3.5 Diagnosa Kerja
Diagnosis Kerja
Abses pedis dextra e.c DM tipe 2 tidak terkontrol normoweight
Hipoglikemia e.c DM
CKD e.c nefropati DM
Hipertensi stage 1 e.c essensial
DM tipe 1
Diabetes Insipidus
Hipertensi sekunder
Hipertensi Emergensi
Toksisitas Alkohol
Acute Kidney Injury (AKI)
Pielonefritis
Glomerulonefritis
Penyakit ginjal polikistik
Batu ginjal
3.7 Penatalaksanaan
Nonfarmakologi
51
Bed rest
Diet rendah protein rendah karbohidrat
Farmakologi
IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
IVFD Detrose 10% 12 jam/kolf
Inj. Cefriaxone 2x2gr (IV)
Inj. Ranitidine 2x50 mg (IV)
Amlodipin tab 1x10 mg (po)
Inj. Ondansentron 2x4 mg (IV)
Valsartan 1x80 mg (po)
Asam folat 3x400 mg (po)
Domperidon 3x10 mg (po)
FOLLOW UP
Hari/tanggal : Kamis/12 Juli 2018
Subjective : sakit kepala, mual, badan terasa letih, demam.
Objective : TD : 140/70 mmHg
52
Nadi : 92x/menit, reguler
Nafas : 24x/menit
Suhu : 37,9oC
Assessment
Abses pedis dextra e.c DM tipe 2 tidak terkontrol normoweight
Hipoglikemia e.c DM
CKD e.c nefropati DM
Hipertensi stage 1 e.c essensial
Assessment
Abses pedis dextra e.c DM tipe 2 tidak terkontrol normoweight
53
Hipoglikemia e.c DM
CKD e.c nefropati DM
Hipertensi stage 1 e.c essensial
55
Hepar : kesan tidak tampak membesar ekostruktural parenkin kesan
homogen.Tidak tampak dilatasi duktus bilier intrahepatik
Kandung empedu : dinding tidak menebal, tampak multipel lesi hiperekoik dengan \
posterior acoustic shadow, sebagian berkonglomerasi. Tidak
tampak dilatasi duktus bilier ekstrahepatik
Pankreas : kesan baik, tidak tampak lesi
Limpa : ukuran dan bentuk kesan baik, tidak tampak lesi
Ginjal bilateral : ukuran kesan baik.. diferensiasi korteks medulla masih dapat .
ginjal kiri mulai suram. Tidak tampak dilatasi sistem
pelviokalises. Tidak tampak batu maupun kista
Buli : dinding tidak menebal. Tidak tampak batu
Kesan : Cholelithiasis multipel
Assessment
Abses pedis dextra e.c DM tipe 2 tidak terkontrol normoweight
Hipoglikemia e.c DM
CKD e.c nefropati DM
Hipertensi stage 1 e.c essensial
Cholelithiasis multipel
Plan dan Anjuran
IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
IVFD Detrose 10% 12 jam/kolf
Inj. Cefriaxone 2x2gr (IV)
Inj. Ranitidine 2x50 mg (IV)
Amlodipin tab 1x10 mg (po)
Inj. Ondansentron 2x4 mg (IV)
Valsartan 1x80 mg (po)
Asam folat 3x400 mg (po)
Domperidon 3x10 mg (po)
56
Pasien pulang hari selasa, 17 juli 2018 dan mendapatkan obat pulang :
Glibenklamid 2x3 mg (po)
Asam folat 3x5 mg (po)
Amlodipine 1x10mg (po)
Valsartan 1x80 mg (po)
57
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 50 tahun dibangsal RSUD Solok pada
tanggal 11 juli 2018, dengan diagnosa akhir Abses pedis dextra e.c DM tipe 2 tidak
terkontrol normoweight + Hipoglikemia e.c DM + CKD e.c nefropati DM + Hipertensi
stage 1 e.c essensial
Pada anamnesis didapatkan pasien mengalami Penurunan kesadaran sejak 6 jam yang
lalu. Awalnya pasien diketahui meminum obat DM lalu tiba-tiba setelah minum obat
merasakan sakit kepala yang meningkat 6 jam yang lalu, rasa sakitnya berdenyut-
denyut, disertai kuduk terasa kaku, kemudian pasien pergi tidur untuk meringankan rasa
sakit kepalanya, setelah itu pasien ditemukan tidak sadar dan di bawa ke IGD RSUD
Solok.
Badan terasa letih sejak 1 minggu yang lalu, dan meningkat sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Mengganggu aktifitas pasien. Pasien mengatakan sering BAK sejak 6
tahun yang lalu.
Keluhan sering BAK dirasakan pasien terutama saat tidur dimalam hari. Setiap malam
pasien bisa terbangun lebih dari 3 kali untuk BAK. BAK tidak disertai nyeri dan
perubahan warna urin. BAB normal tidak ada keluhan, tidak berdarah dan tidak
berlendir.
Pasien juga sering merasa haus dan banyak minum sejak 6 tahun yang lalu. Dalam
sehari pasien bisa minum hingga lebih dari 2 liter air. Nafsu makan pasien meningkat
sejak 6 tahun yang lalu.
Pasien sering merasa lapar hingga harus memakan nasi lebih dari 3x/hari dengan porsi
yang cukup banyak. Badan sering terasa kesemutan sejak 6 tahun yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. awalnya rasa kesemutan dirasakan ditelapak kaki namun makin
lama rasa kesemutan menyebar kebagian tubuh lainnya hingga ke jari dan tangan.
Keluhan muncul saat pasien sedang beristirahat, dan dapat juga muncul saat pasien
beraktifitas.
Pasien juga mengeluhkan matanya kabur sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien sering merasakan keram pada kaki dan tungkai bawah serta rasa tertusuk-tusuk
di jari kaki sejak 6 tahun yang lalu.
Pusing sejak 1 minggu yang lalu dan meningkat 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit, pusing dirasakan seperti hendak jatuh/sempoyongan.
58
Nyeri dada disangkal.
Penurunan berat badan dari 78 kg menjadi 50 kg dalam 6 tahun terakhir ini.
Keringat malam sejak 1 minggu yang lalu.
Luka pada kaki kanan pasien sejak 2 minggu yang lalu, terdapat nanah dan nyeri tekan
disekitar luka.
Pasien menderita DM sejak tahun 2012. Pasien pernah berobat di RSUD Solok tapi
tidak rutin kontrol gula darah di poli penyakit dalam serta tidak pernah menjalankan
aturan makan dan olahraga yang dianjurkan. Pasien mendapatkan terapi obat metformin
dan glibenklamid.
Pasien juga menderita tensi tinggi sejak 20 tahun yang lalu. Pasien pernah berobat di
RSUD Solok tapi tidak rutin kontrol di poli penyakit dalam. Pasien mendapatkan terapi
obat amlodipine
Riwayat keluarga menderita tensi tinggi positif pada ibu pasien.
59
tampak dilatasi duktus bilier ekstrahepatik
Pankreas : kesan baik, tidak tampak lesi
Limpa : ukuran dan bentuk kesan baik, tidak tampak lesi
Ginjal bilateral : ukuran kesan baik.. diferensiasi korteks medulla masih dapat .
ginjal kiri mulai suram. Tidak tampak dilatasi sistem
pelviokalises. Tidak tampak batu maupun kista
Buli : dinding tidak menebal. Tidak tampak batu
Kesan : Cholelithiasis multipel
Penatalaksanaan
Nonfarmakologi
Bed rest
Diet rendah protein rendah karbohidrat
Farmakologi
IVFD Nacl 3 % 12 jam/kolf
IVFD Detrose 10% 12 jam/kolf
Inj. Cefriaxone 2x2gr (IV)
Inj. Ranitidine 2x50 mg (IV)
Amlodipin tab 1x10 mg (po)
Inj. Ondansentron 2x4 mg (IV)
Valsartan 1x80 mg (po)
Asam folat 3x400 mg (po)
Domperidon 3x10 mg (po)
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, W.Aru dkk.2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam III edisi V. Jakarta :
Interna Publishing.
2. Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.Jakarta: Internal Publishing. 2009:1008-1014.
3. Sudoyo, W.Aru dkk.2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam I edisi V. Jakarta :
Interna Publishing.
4. Sudoyo, W.Aru dkk.2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam II edisi V. Jakarta :
Interna Publishing.
5. Sylvia Price. 2005. Edisi 6 Volume 1 Patofisiologi :Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta :EGC
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Ed ke-4. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI:
Jakarta. 2007. h. 25-68, 1596-601, 1725-7 , 1842-4.
7. Houghton RA, Gray D, editor. Chamberlain’s gejala dan tanda dalam kedokteran
klinis. Ed ke-13. Jakarta:PT Indeks; 2010.h.3-45.
8. Davey P. At a glance medicine. Ed ke-1. Erlangga: Jakarta. 2006. h. 4-6,10-8, 138-
68.
9. Aaronson PI, Ward JPT. The cardiovascular system at a glance. 3rd ed.
Massachusetts: Blackwell Science; 2007. P. 68-9, 100-2.
10. Michael, S., “Diabetic Nephropathy: Clinical Evidence Concise”, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20051201/bmj.html, (Accessed 8 Januari 2010).
11. Micahl, T. “Diabetic Nephropathy: Common Questions”, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 8 Januari 2010).
61