Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia

dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang dihubungkan dengan

kekurangan secara absolut atau relative dari kerja dan atau sekresi insulin. Diabetes Melitus

(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia

kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau

kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.

Gejala yang dikeluhkan pada penderita DM yaitu polidipsi, poliuria, polifagia, penurunan

berat badan dan kesemutan.

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus

tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO

memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita

diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita

diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di

Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia

menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan

pemeriksaan secara teratur.Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3%-

6% dari jumlah penduduk dewasanya. Di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara

1,4%-1,6%, kecuali dibeberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.

1
Bronkopneumonia adalah suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang

biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya yang umumnya

disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri,virus, jamur dan benda asing.

WHO memperkirakan bahwa hingga 1 juta kematian disebabkan oleh bakteri

Streptococcus pneumoniae, dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara

berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya menurun dengan usia sampai dewasa

akhir. Lansia juga berada pada risiko tertentu untuk pneumonia dan kematian terkait penyakit

lainnya.

The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and treatment of

High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan duniaWHO dengan International

Society of Hypertension membuat definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang

tekanan sistoliknya 140mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau

sedangmemakai obat anti hipertensi.

1.2. Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Case report ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dibagian ilmu penyakit dalam

RSUD Solok dan di harapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan

informasi bagi para pembaca.

2
1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesa, diagnosa

dan penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2.

2. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, diagnosa, dan penatalaksanaan

hipertensi.

3. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi, diagnosa dan

penatalaksanaan bronkopneumoni.

4. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi, diagnosa dan

penatalaksanaan neuropati diabetik.

1.3.Manfaat Penulisan

1. Sebagai sumber media informasi mengenai diabetes melitus, hipertensi, bronkopneumoni dan

neuropati diabetik.

2.Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus tentang diabetes melitus, hipertensi,

bronkopneumoni dan neuropati diabetiki.

3. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit

Dalam RSUD Solok 2018.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-

duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,

disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan

pembuluh darah.

2.1.2 Epidemiologi

Secara epidemieologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai

terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan

mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyetakan bahwa

dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi

perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara

epidemiologi diperkirakan adalah:bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya

obesitas,distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia.

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus

tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO

memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes

setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai

8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah

21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka

4
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.

Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3%-6% dari jumlah penduduk

dewasanya.Di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali dibeberapa

tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.

2.1.3 Etiologi dan Klasifikasi

Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut American Diabetes Association 2010

(ADA 2010), dibagi dalam 4 jenisyaitu:

1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada

DM tipeini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan

level proteinc-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi

klinik pertama daripenyakit ini adalah ketoasidosis.

2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa

glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya

kemampuan insulinuntuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk

menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor

insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan

mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya

sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta

pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.Onset DM tipe ini terjadi

perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yangterjadi perlahan-

5
lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipeini sering

terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.

3. Diabetes Melitus Tipe Lain. DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek

genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit

metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus,penyakit autoimun dan kelainan genetik

lain.

4. Diabetes Melitus Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama

kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional

berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional

memiliki risiko lebih besar untukmenderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10

tahun setelah melahirkan.

Tabel 5. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus

Sumber :Ndraha Suzanna, Leading Article Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini,

Departemen Penyakit Dalam FK Univ.Krida Wacana Jakarta, Medicinus 2014

6
2.1.4 Diagnosis

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur diagnosis DM menjadi

dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria,

polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak

khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, dan mata kabur, disfungsi

ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan

glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila

tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah

abnormal.

Tabel 6. Kriteria Diagnosis DM

No. Kriteria Diagnosis DM

1 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1

mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

2 Atau

Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8

jam

3 Glukosa plasma 2 jam pada TTGO sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1

mmol/L)

7
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa

yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam

air.

Sumber :Sudoyo, W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edsi V, hal.1881 tahun

2010

Cara pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) (WHO 1994) :

1. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air

putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

3. Diperiksa konsetrasi glukosa darah puasa.

4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),

dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.

5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai.

6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.

7. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3, yaitu:

a. < 140 mg/dL normal

b. 140 - < 200 mg/dL toleransi glukosa terganggu

c. ≥ 200 mg/dLdiabetes

8
Gambar 4.Langkah-langkah Diagnostik Diabetes Melitus &Toleransi Glukosa Terganggu

Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di

Indonesia 2011

2.1.5 Penatalaksanaan

Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa

pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan

berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah

pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka

dilanjutkan dengan penggunaan perlu panambahan terapi medikamentosa atau intervensi

farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai.Terapi

farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan atihan jasmani (gaya hidup

sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan suntikan.

1.Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

9
1) Pemicu Sekresi Insulin

a. Sulfonilurea

Obat golongan ini memounyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan

kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.

Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti

orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular,

tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

b. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan

penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2

macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat

fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan

diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post

prandial.

2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin

a. Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) beriatan pada Peroxisome Proliferator Activated

Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan

ini memiliki efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah

protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.

Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV

karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga gangguan faal hati. Pada

10
pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati

secara berkala.

3) Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama

dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraiindikasikan pada

penyandang dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta

pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular,

sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.

4) Penghambat Glukosidase Alfa (Aarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose

tidak meimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering

ditemukan ialah kembung dan flatulens.

5) DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang

dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus

bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan

perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi

glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl

peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.

11
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk

meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasiona dalam pengobatan DM

tip 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang

menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberian

hormon asli atau analognya (analog incretin= GLP-1 agonis).

Cara pemberian OHO, terdiri dari :

a) OHO dimuli dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar

glukosa darah, dapat diberikan sampapi dosis optimal.

b) Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan.

c) Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.

d) Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.

e) Penghambat glukosidase (acarbose) : bersama makan suapan pertama.

f) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

g) DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

12
Tabel 7. Perbandingan Golongan OHO

13
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di

Indonesia 2011

14
2.Obat Suntikan

A. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :

1) Penurunan berat badan yang cepat

2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

3) Ketoasidosis diabetik

4) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik

5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat

6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

7) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

8) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan

9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

1) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

2) Insulin kerja pendek (short acting insulin)

3) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)

4) Insulin kerja panjang (long acting insulin)

5) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

15
Agonis GLP-1/incretin mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk

pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang

tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada

pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan

berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang

diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti

memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini

antara lain rasa sebah dan muntah.

16
Sumber :

PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia

2011

17
Algoritma Pengelolaan Diabetes Melitus Tanpa Dekompensasi

Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di

Indonesia 2011

18
Target Pengendalian Penderita Diabetes Melitus

Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di

Indonesia 2011

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi Akut

Komplikasi akut mencakup :

A. Ketoasidosis diabetik (KAD)

Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai denganpeningkatan kadar glukosa

darah yang tinggi (300-600 mg/dL),disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan

plasmaketon(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi

peningkatan anion gap.

19
B. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangattinggi (600-1200 mg/dL),

tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritasplasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL),

plasmaketon (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.

C. Hipoglikemia

Hipoglikemia dan cara mengatasinya

1) Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosadarah < 60 mg/dL

2) Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandangdiabetes harus selalu

dipikirkan kemungkinan terjadinyahipoglikemia. Hipoglikemia paling sering

disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia

akibatsulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasisampai

seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obattelah habis. Terkadang diperlukan

waktu yang cukup lamauntuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama

padapasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkanterapi dengan

OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usialanjut merupakan suatu hal yang

harus dihindari, mengingatdampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran

mentalbermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usialanjut sering

lebih lambat dan memerlukan pengawasanyang lebih lama.

3) Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak

keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejalaneuro-glikopenik (pusing, gelisah,

kesadaran menurun sampaikoma).

4) Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yangmemadai. Bagi

pasien dengan kesadaran yang masih baik,diberikan makanan yang

20
mengandung karbohidrat atau minumanyang mengandung gula berkalori atau

glukosa 15-20gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan

ulangglukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagondiberikan

pada pasien dengan hipoglikemia berat.

5) Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementaradapat diberikan

glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum

dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

Komplikasi Menahun

Komplikasi menahunmencakup :

A. Makroangiopati

- Pembuluh darah jantung

- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadipada penyandang diabetes.

Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa

gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainanyang pertama muncul.

- Pembuluh darah otak

B. Mikroangiopati

- Retinopati diabetik

- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangirisiko dan

memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati

- Nefropati diabetik

- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati

- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) jugaakan mengurangi risiko

terjadinya nefropati.

21
C. Neuropati

- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropatiperifer, berupa

hilangnya sensasi distal. Berisikotinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.

- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar danbergetar sendiri, dan lebih terasa

sakit di malam hari.

- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perludilakukan skrining untuk

mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana,

dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.

- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatankaki yang memadai akan

menurunkan risiko amputasi.

- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine,antidepresan trisiklik, atau

gabapentin.

- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati periferharus diberikan edukasi

perawatan kaki untuk mengurangirisiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit

iniseringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplinilmu lain.

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi

The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and treatment of


High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan duniaWHO dengan International Society
of Hypertension membuat definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang tekanan
sistoliknya 140mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau
sedangmemakai obat anti hipertensi.

22
The sixth Report of The joint national Committee on Prevention,detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Presure (JNC VI) mengklasifikasikan tekanan darah untuk orang
dewasa menjadi enam kelompok yang terlihat seperti pada tabel 1 dibawah.

Tabel.9 Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Normal < 120 < 80

Pre hipertensi 120 – 139 80 – 89

Stage 1 Hipertensi 140 – 159 90 – 99

Stage 2 Hipertensi > 160 > 100

2.2.2 Epidemiologi

Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4%


yang merupakan hipertensi terkontrol.Prevalensi 6-15% pada orang dewasa, 50% diantaranya
tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi
hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui factor risikonya, dan 90%
merupakan hipertensi esensial.Saat ini penyakit degeneratif dan kardiovaskuler sudah merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Dari faktor resiko di atas yang sangat erat
kaitannya dengan gizi adalah hipertensi, obesitas, displidemia, dan diabetes melitus.

2.2.3 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi


esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.

1) Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga
hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti

23
genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek
dalamekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan
resiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul
pada usia 30 – 50 tahun.

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi
yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain – lain.

2.2.4 Patofisiologi

Tekanan darah terutama dikontrol oleh sistem saraf simpatik (control jangka pendek) dan
ginjal (kontrol jangka panjang).Mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi
melibatkan perubahan – perubahan pada curah jantung dan resistensi vaskular perifer.Pada tahap
awal hipertensi primer curah jantung meninggi sedangkan tahanan perifer normal.Keadaan ini
disebabkan peningkatan aktivitas simpatik.Saraf simpatik mengeluarkan norepinefrin, sebuah
vasokonstriktor yang mempengaruhi pembuluh arteri dan arteriol sehingga resistensi perifer
meningkat.

Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali ke normal sedangkan tahanan perifer
meningkat yang disebabkan oleh refleks autoregulasi. Yang dimaksud dengan reflex autoregulasi
adalah mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal. Oleh
karena curah jantung yang meningkat terjadi konstriksi sfingter pre-kapiler yang mengakibatkan
penurunan curah jantung dan peninggian tahanan perifer.Pada stadium awal sebagian besar
pasien hipertensi menunjukkan curah jantung yang meningkat dan kemudian diikuti dengan
kenaikan tahanan perifer yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah yang menetap.

2.2.5 Gejala Klinis

Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi


esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda-
beda.Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah

24
terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung.Perjalanan
penyakit hipertensi sangat berlahan.

Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa
laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna.
Terdapat gejala biasanya hanya bersifat spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing.Gejala lain
yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di
tungkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang.Apabila hipertensi tidak diketahui dan dirawat
dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau gagal
ginjal.Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan
mortalitas.

a. Kerusakan Target Organ

1. Jantung

- Hipertrofi Ventrikel Kiri


- Angina atau infark miokardium
- Gagal jantung
2. Otak

- Stroke
- Transient ischemic attack (TIA)
1. Penyakit Ginjal Kronik
2. Penyakit arteri perifer
3. Retinopati
b.Faktor resiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi antara lain adalah

 Merokok
 Obesitas
 Kurangnya aktivitas fisik
 Dislipidemia
 Diabetes militus
 Keluarga penyakit Kardiovaskular dini

25
 Wanita>65 Tahun
 Laki-laki>55 Tahun

c.Evaluasi Pasien Hipertensi

Evaluasi bertujuan untuk

• Menilai pola hidup dan faktor risiko Kardiovaskular dan adanya penyakit penyerta
• Mencari penyebab kenaikan tekanan darah
• Mencari kerusakan target organ
2.2.6 Diagnosa

A. Anamnesis

1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah


2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
 Adanya penyakit ginjal infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat/bahan
lain
 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
 Episode lemah otot dan tetani
3. Faktor faktor resiko
 Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien
 Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
 Riwayat Diabetes Militus pada pasien atau keluarganya
 Kebiasaan merokok
 Pola makan
 Kegemukan, intesitas olahraga
 Kepribadian
4. Gejala kerusakan Organ
 Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, TIA, deficit
sensoris dan motoris
 Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki

26
 Ginjal : Haus poliuri, Nocturia, Hematuria
 Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermitten
5. Pengobatan antihiopertensi sebelumnya
6. Faktor faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
A. Pemeriksaan Fisik
• Pengukuran TD rutin setelah 5 Menit istirahat
• Konfirmasi tekanan darah di lengan kiri
• Pengukuran TD berdiri pd geriatri
• Pengukuran 24 jam
• Pengukuran oleh pasien
B. Pemeriksaan Penunjang
• Darah rutin
• Gula Darah ( sebaiknya Puasa
• Profil lipid
• Asam urat
• Faal ginjal
• Kalium serum
• Urinalisis
• EKG
• Funduskopi
C. Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan pasien Hipertensi adalah

 Target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal
ginjal proteinuria) <130/80 mmHg
 Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
 Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
 Pengobatan faktor resiko

27
2.2.7 PENATALAKSANAAN

A. Non farmakologi

 Menghentikan Rokok
 Menurunkan berat badan berlebih
 Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
 Menurunkan asupan garam
 Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak

A. Farmakoterapi
 Diuretik, terutama jenis Thiazide (Thiaz ) atau Aldosterone Antagonist
 Beta Blocker (BB)
 Calcium Channel Blocker(CCB)
 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
 Angiotensin II Receptor Blocke

28
2.3 Bronkopneumonia

2.3.1 Definisi

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada parenkim

paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak

(patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan

multifocal dan biasanya bilateral. Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya

mengikuti suatu bronchitis atau bronkiolitis.

2.3.2 Etiologi

Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru yang

disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. Bakteri seperti Diplococcus pneumonia, pneumococcus sp,

streptococcus sp, hemoliticus aureus, haemophilus influenza, basilus friendlander (klebsiella

pneumonia), dan mycobacterium tuberculosis. Virus seperti virus influenza dan virus

sitomegalik. Jamur seperti citoplasma capsulatum, criptococcus nepromas, blastomices

dermatides, cocedirides immitis, aspergillus sp, candida albicans, dan mycoplasma pneumonia.

Meskipun hampir semua organism dapat menyebabkan bronkopneumonia, penyebab yang sering

adalah stafilococcus, streptococcus, H. influenza, proteus sp dan pseudomonas aeruginosa.

Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda dengan patogenitas

yang bervariasi. Virus, tuberculosis dan organism dengan patogenisitas yang rendah dapat juga

menyebabkan bronkopneumonia, namun gambarnya bervariasi sesuai agen etiologinya.

29
2.3.3 Patofisiologi

Proses terjadinya bronkopneumonia dimulai dari berhasilnya kuman pathogen masuk ke

mucus jalan nafas. Kuman tersebut berkembang biak di saluran nafas atau sampai di paru-paru.

Bila mekanisme pertahanan seperti system transport mukosilia tidak adekuat, maka kuman

berkembang biak secara cepat sehingga terjadi peradangan di saluran nafas atas, sebagai respon

peradangan akan terjadi hipersekresi mucus dan merangsang batuk. Mikroorganisme berpindah

karena adanya gaya tarik bumi dan alveoli menebal. Pengisian cairan alveoli akan melindungi

mikroorganisme dari fagosit dan membantu penyebaran organism ke alveoli lain. Keadaan ini

menyebabkan infeksi meluas, aliran darah di paru sebagian meningkat yang diikuti peradangan

vascular dan penurunan darah kapiler.

Edema karena inflamasi akan mengeraskan paru dan akan mengurangi kapasitas paru,

penurunan produksi cairan surfaktan lebih lanjut, menurunkan compliance dan menimbulkan

atelektasis serta kolaps alveoli. Sebagai tambahan proses bronkopneumonia menyebabkan

gangguan ventilasi okulasi partial pada bronkhi dan alveoli, menurunkan tekanan oksigen arteri,

akibatnya darah vena yang menuju atrium kiri banyak yang tidak mengandung oksigen sehingga

terjadi hipoksemia arteri.

Efek sistemik akibat infeksi, fagosit melepaskan bahan kimia yang disebut endogenus

pirogen. Bila zat ini terbawa aliran darah hingga sampai hipotalamus, maka suhu tubuh akan

meningkat dan meningkatkan kecepatan metabolisme. Pengaruh dari meningkatnya metabolisme

adalah penyebab takhipnea dan takhikardia, tekanan darah menurun sebagai akibat dari

vasodilatasi perifer dan penurunan sirkulasi volume darah karena dehidrasi, panas dan takhipnea

meningkatkan kehilangan cairan melalui kulit (keringat) dan saluran pernafasan sehingga

menyebabkan dehidrasi

30
Patofisiologi Bronkopneumonia

2.3.4 Diagnosis

 Gambaran Klinik

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa

hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40oC dan mungkin disertai kejang karena

demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue, pernafasan cepat dan dangkal disertai

pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak

31
dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya

berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.

 Pemeriksaan Fisik

Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal sebagai berikut :

a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan

cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding

dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan

pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi

melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah

terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae

supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat

terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada

bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak

yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae

supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya

sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat

diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area

suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”,

adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

32
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress pernapasan

dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri

dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi

jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan

mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.

b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus

selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps

paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan

d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang

dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah

(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari

amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar

(tergantung dari mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan

napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat

membantu membedakan pneumoni viral dan bacterial. Infeksi virus leukosit normal atau

meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit

33
meningkat 15.000 – 40.000/ mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit

terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.

Analisa gas darah menunjukan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat

terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat

invasive sehingga tidak rutin dilakukan.

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan

bronkovaskular dan infiltrate kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan

bercak ini sering terlihat pada lobus bawah.

Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :

a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada

b. panas badan

c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)

d. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan

bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

2.3.5 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan umum

 Pemberian oksigen 2-4 L/menit : sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas

darah ≥60 torr.

 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit

 Asidosis dilatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

34
b. Penatalaksanaan khusus

 Mukolitik, ekspektoran dan obat penurunan panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam

pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotic awal.

 Obat penurunan panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau

penderita kelainan jantung.

Terapi definitive dapat dilakukan menggunakan antibiotic sebagai berikut:

1. Penisilin sensitive streptococcus pneumonia (PSSP), yaitu:

a. Golongan penisilin: penisilin V, 4 x 250 – 500 mg/hari (anak 25-50mg/kgbb dalam 4

dosis), amoksisilin 3x 250-500mg/hari (anak 20-40 mg/kgbb dalam 3 dosis) atau

sefalosforin golongan 1 (sefadroksil 500-1000 mg dalam 2 dosis, pada anak

30mg/kgbb/hari dalam 2 dosis).

b. TMP-SMZ

c. Makrolid

2. Penisilin resisten streptococcus pneumonia (PRSP), yaitu:

a. Betalaktan oral dosis tinggi (untuk rawat jalan), sefotaksim, seftriakson dosis tinggi.

b. Makrolid: azitromisin 1x 500mg selama 3 hari (anak 10mg/kgbb/hari dosis tunggal)

c. Fluorokuinolon respirasi: ciprofloksasin 2x500mg/hari.

2.3.6 Komplikasi

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga thorax

(seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakterimia dan hematologi.

Meningitis, arthritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran

infeksi hematologi.

35
2.4. Neuropati Diabetik

2.4.1. Definisi

Neuropati diabetik adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan, baik

klinik maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer

yang lain. Gangguan neuropati ini termasuk manifestasi somatik dan atau otonom dari sistem

saraf perifer.

2.4.2. Prevalensi

Prevalensi neuropati diabetik berkisar antara 12-50%. Angka kejadian dan derajat

keparahan neuropati diabetik juga bervariasi sesuai dengan usia, lama menderita DM, kendali

glikemik dan juga fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui DM.

2.4.3. Patogenesis

Patogenesis kejadian ND berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat pada

terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol. Sintesis advance glycosilation end product (AGEs),

pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C. aktivasi berbagai jalur tersebut

berujung pada kurangnya vasodilatasi sehingga aliran darah kesaraf menurun dan bersama

rendahnya mioniositol dalam sel dan terjadilah ND. Berbagai penelitian membuktikan bahwa

kejadian ND berhubungan sangat kuat dengan lama dan beratnya DM.

2.2.4. Klasifikasi

Neuropati diabetik merupakan kelainan yang heterogen, sehingga bditemukan berbagai

ragam klasifikasi. Secara umum neuropati DM di temukan bergantung pada 2 hal, seperti :

1. Menurut perjanan penyakitnya

a) Neuropati fungsional, gejala yang muncul sebagai akibat dari perubahan biokimiawi.

Pada fase ini belum ada kelainan patologi.

36
b) Neuropati struktural, gejala timbul akibat kerusakan struktural serabut saraf. Pada fase ini

masih ada komponen yang reversible.

c) Kematian neuron, terjadi penurunan kepadatan serabut saraf akibat kematian neuron.

d) Kerusakan serabut saraf umumnya dimulai dari distal dan mengarah ke proksimal,

sedangkan proses perbaikan di mulai dari proksimal lalu ke distal.

2. Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi :

A. Neuropati difus :

- Polineuropati sensori-motor simetris distal

- Neuropati otonom

- Neuropati lower limb motor simetris proksimal (amiotropi)

B. Neuropati vokal :

- Neuropati kranial

- Radikulopati

- Entrapment neuropahty

2.2.5. Diagnosis

Diagnosis neuropati diabetik dalam praktek sehari-hari sangat bergantung pada

ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya dengan jawaban tidak

ada keluhan neuropati saja tidak cukup untuk mengeluarkan kemungkinan adanya

neuropati.

Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap :

1. Refleks motorik

2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantitatif sensasi kulit seperti tes rasa getar dan

rasa tekan.

37
3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu

4. Untuk mengetahui lebih awal dengan adanya gangguan hantar saraf dapat dikerjakan

elektromiografi.

2.2.6. Pengelolaan

Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetik dibagi menjadi 3

bagian. Strategi pertama adalah diagnosis neuropati diabetik sedini mungkin, diikuti

kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik mungkin serta pengendalian keluhan

neuropati/nyeri neuropati diabetik.

1. Perawatan umum kaki :

jagalah kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit dan cegah

trauma berulang.

2. Pengendalian glukosa darah :

Pengendalian glukosa darah dan monito HbA1c secara berkala merupakan langkah

pertama yang harus dilakukan. Selain itu pengendalian faktor lain seperti hemoglobin,

albumin dan lipid juga tidak bisa dikesampingkan.

Terapi medikamentosa :

• Golongan aldose reductase inhibitor

• Penghambat ACE

• Neurotropin

• Alpha lioic acid

• Penghambat protein kinase C

• Gangliodeses

• Gamma linoleic acid

38
• Human intravenous immunoglobulin

Pedoman pengelolahan neuropati diabetik dengan nyeri :

• NSAID

• Antidepresan trisiklik

• Antikonvulsan

• Antiaritmia

• Topikal

2.2.7. Edukasi

Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi. Target pengobatan dibuat serealistik

mungkin sejak awal dan hindari memberi pengharapan yang berlebihan. Perlu penjelasan

tentang kurang atau hilangnya sesansi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki setiap

pertemuan dengan dokter.

39
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Y
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 45 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Selayo
Suku Bangsa : Minang
Tanggal Masuk : 19 April 2018
Pekerjaan : IRT

3.2 Anamnesis

1. Keluhan Utama
Badan terasa letih sejak 1 minggu yang lalu.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


1. Badan terasa letih sejak 1 minggu yang lalu, dan meningkat sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Mengganggu aktifitas pasien.
2. Pasien mengatakan sering BAK sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan sering BAK
dirasakan pasien terutama saat tidur dimalam hari. Setiap malam pasien bisa
terbangun lebih dari 2-3 kali untuk BAK. BAK tidak disertai nyeri dan perubahan
warna urin.
3. BAB normal tidak ada keluhan, tidak berdarah dan tidak berlendir.
4. Pasien juga sering merasa haus dan banyak minum sejak 5 tahun yang lalu. Dalam
sehari pasien bisa minum hingga lebih dari 2 liter air.
5. Nafsu makan pasien meningkat sejak 5 tahun yang lalu. Pasien sering merasa lapar
hingga harus memakan nasi lebih dari 3x/hari dengan porsi yang cukup banyak.

40
6. Badan sering terasa kesemutan sejak 5 tahun yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
awalnya rasa kesemutan dirasakan ditelapak kaki namun makin lama rasa
kesemutan menyebar kebagian tubuh lainnya hingga ke jari dan tangan. Keluhan
muncul saat pasien sedang beristirahat, dan dapat juga muncul saat pasien
beraktifitas.
7. Pasien juga mengeluhkan matanya kabur sejak 5 tahun yang lalu.
8. Pasien sering merasakan keram pada kaki dan tungkai bawah serta rasa tertusuk-
tusuk di jari kaki sejak 5 tahun yang lalu.
9. Sakit kepala sejak 1 minggu yang lalu dan meningkat 2 hari yang lalu sebelum
masuk rumah sakit, rasa sakitnya berdenyut-denyut, disertai kuduk terasa kaku.
10. Pusing sejak 1 minggu yang lalu dan meningkat 2 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit, pusing dirasakan seperti hendak jatuh/sempoyongan.
11. Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, demam disertai dengan
menggigil, terus-menerus. Mengganggu aktivitas pasien. Untuk menghilangkan
demam pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan dan hanya beristirahat.
12. Batuk meningkat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, berdahak. Dahak
berwarna kekuningan kental sulit dikeluarkan, batuk tidak berdarah. Awalnya batuk
berdahak sudah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan untuk menghilangkan batuknya. Pasien
meminum air putih untuk mengurangi rasa batuknya dan beristirahat.
13. Sesak nafas bertambah berat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak sudah
dirasakan sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, tidak menciut, tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, emosi dan makanan. Pasien beristirahat untuk
mengurangi rasa sesak, pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan penghilang sesak
nafas.
14. Nyeri dada disangkal
15. Penurunan berat badan disangkal
16. Keringat malam disangkal

3. Riwayat Penyakit Dahulu

41
 Pasien pernah didiagnosa TB pada 1 tahun yang lalu. Pasien pernah mengkonsumsi
OAT (obat anti tuberkulosis) selama 9 bulan berturut-turut hingga dinyatakan bebas
TB.
 Pasien menderita DM sejak 5 tahun yang lalu. Pasien pernah berobat di RSUD
Solok tapi tidak rutin kontrol gula darah di poli penyakit dalam. Pasien
mendapatkan terapi obat metformin dan glibenklamid.
 Pasien juga menderita hipertensi sejak 1 tahun yang lalu. Pasien pernah berobat di
RSUD Solok tapi tidak rutin kontrol di poli penyakit dalam. Pasien mendapatkan
terapi obat amlodipin.
 Penyakit asma di sangkal pernah di derita oleh pasien.
 Penyakit jantung disangkal pernah diderita pasien.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluarga menderita hipertensi positif pada ayah pasien.
 Riwayat keluarga (ayah, ibu dan saudara) menderita DM di sangkal
 Riwayat keluarga (ayah, ibu, suami, anak dan saudara) menderita TB di sangkal
 Riwayat keluarga menderita penyakit jantung positif pada saudara laki-laki.

PEDIGREE

42
Faktor resiko Diabetes Melitus
 Aktifitas fisik kurang
 Riwayat keluarga mengidap Diabetes Melitus pada turunan pertama (first degree
relative)
 Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000 gram atau riwayat Diabetes
Melitus Gestasional (DMG)
 Hipertensi (tekanan darah >140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi).
 Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
 Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu
(GDPT)
 Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans)
 Riwayat penyakit kardiovaskuler
 Apabila orang tua menderita Diabetes Melitus tipe 2 sebelum usia 50 tahun maka resiko
anak menderita diabetes sebesar 0,14%, dan bila terdiagnosis pada usia lebih dari 50
tahun maka resiko anak menjadi 0,08%

5. Riwayat Psikososial
Pasien seorang laki-laki umur 80 tahun. Bekerja sebagai seorang pedagang.
Pasien sebelumnya mempunyai kebiasaan merokok sejak umur 25 tahun dan berhenti

43
merokok sejak tahun 2008. Pasien merokok ± 2 bungkus rokok perhari. Indeks
Brinkman : 47 tahun x 24 batang/hari = 1.128 (perokok berat). Pasien tidak memiliki
kebiasaan minum kopi. Pasien juga jarang berolahraga.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sakit sedang

1. Vital Signs :
a. Kesadaran : Composmentis cooperatif
b. Tekanan Darah : 140/80 mmHg
c. Frekuensi Nadi : 92x /menit, Reguler
d. Frekuensi Napas : 22x /menit
e. Suhu : 37,7ºC
f. Berat Badan : 73 kg
g. Tinggi Badan : 166 cm
h. IMT : 26,54( Overweight)
2. Status Generalisata
a. Kulit : Ikterik (-), sianosis (-)
b. Kepala
Bentuk : Normochepal, rambut tidak mudah dicabut
Wajah : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal

c. Leher : JVP 5- 2 cmH2O, tidak ada benjolan/massa, tidak ada pembesaran


(KGB) submandibula, sepanjang M.sternocleidomastoideus, supra/infraclavikula
kiri dan kanan. Tidak ada deviasi trakea dan pembesaran tiroid.

d. Jantung

44
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di RIC V linea midclavicularis
sinistra
 Perkusi :
 Batas kiri : 2 jari di RIC V linea midclavicularis sinistra
 Batas kanan : RIC IV linea sternalis dextra
 Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : Irama murni, P1<A2, M1<M2, bising jantung (-)

e. Paru-paru
 Inspeksi : Dinding dada simetris kiri dan kanan
 Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
 Perkusi : Redup
 Auskultasi : Suara nafas bronkovesikular, rhonki basah halus nyaring
(+/+), wheezing (-/-)

f. Abdomen
 Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit, venektasi (-), sikatrik (-)
 Palpasi :
 Hepar : Tidak teraba
 Lien : Tidak teraba
 Ginjal : Bimanual (-), ballottement (-), nyeri ketok CVA (-)
 Dinding perut supel (lemas), nyeri tekan (+) di hipogastrium, nyeri lepas (-
)
 Perkusi : Tympani
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

g. Ekstremitas
Superior
 Inspeksi : Edema (-/-), sianosis (-/-), palmer eritem (-/-)
 Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi arteri radialis kuat angkat

45
 Tes sensibilitas : Sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Refleks Biceps + +

Refleks Triceps + +

Refleks Brachioradialis + +

Refleks Patologis Kanan Kiri

Refleks Hoffman-
- -
Tromer

Inferior
 Inspeksi : Edema (-/-) minimal, sianosis (-/-)
 Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi A.Femoralis, A.Dorsalis pedis, A.Tibialis
posterior, dan A. Poplitea kuat angkat
 Tes sensibilitas : Sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Refleks Patella + +

46
Refleks Achilles + +

Refleks Patologis Kanan Kiri

Refleks Babinski - -

Refleks Gordon - -

Refleks Oppenheim - -

Refleks Chaddoks - -

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan lab 20 april 2018
Hb : 13,4 g/dl
Ht : 39,8%
Leukosit : 8.350/mm3
Trombosit : 221.000/mm3
Ureum : 23 mg/dL
Creatinin : 0,52 mg/dL
GDR : 230 mg/dl

3.5 Diagnosa Kerja


Diagnosis Kerja

47
DM Tipe 2 Tidak Terkontrol Overweight
Hipertensi stage I ec Esensial
Bronkopneumoni
Neuropati DM

3.6 Diagnosa Banding


DM tipe 1
Diabetes Insipidus
Hipertensi sekunder
Hipertensi Emergensi
Bronkitis
Bronkiolitis
Asma Bronkial
Aspirasi Pneumonia
TB Paru
Atelektasis
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
Abses Paru
Vaskulitis Neuropati
Toksisitas Alkohol

3.7 Penatalaksanaan
Nonfarmakologi
 Istirahat
 Diet DM 1700 kalori, Diet RG II, Diet RP 40 g

Jumlah kebutuhan kalori per hari :


Berat Badan Ideal (BBI) = (TB-100) – 10% (TB-100)
= (163-100) – 10% (163-100)
= 56,7 kg

48
Kebutuhan kalori basal = BBI X 25 kkal
= 56,7 X 25 kkal
= 1.417 kkal

Kebutuhan aktivitas ditambah 20% = 20% x 1.417kalori = 283,4 kalori


Total kebutuhan kalori : 1.417 + 283,5 = 1.700,4 kalori
Distribusi makanan
Karbohidrat = 60% x 1.700,4 kalori : 4 = 255,06 gr
Protein = 20% x 1.700,4 kalori : 4 = 340,08 gr
Lemak = 20% x 1.700,4 kalori : 9 = 37,7 gr

 Diet rendah garam


RG II : 600-800mg Na, boleh ditambah 1/2 sdt garam dapur
 Diet rendah protein 40g

Farmakologi
IVFD Nacl 0,9 % 12 jam/kolf
Inj. Ranitidine 2x50 mg (IV)
Inj. Ondansentron 2x4 mg (IV)
Paracetamol 4x500 mg (po)
Amlodipin tab 1x10 mg (po)
Candesartan tab 1x16 mg (po)
Meloxicam 2x7,5 mg (po)
Ambroxol syr 15mg/5ml 3x1 C (po)
Levemir 1x12 IU (subkutan)
Novarapid 3x12 IU (subkutan)
 Cara pemberian levemir :
karja panjang (long-acting), mulai bekerja 1 jam setelah pemberian dan
bertahan hingga 24 jam, diberikan 1 kali sehari, baik pagi atau malam hari.
 Cara pemberian novorapid :
kerja cepat (rapid acting), mulai bekerja 15 menit setelah pemberian dan

49
dapat bertahan hingga 4-5 jam, diberikan sebelum makan.
3.8 Pemeriksaan Anjuran

a. Pemeriksaan HbA1c
b. Kultur dan uji sensitifitas sputum
c. Rontgen Foto thorax PA
d. EKG
e. Funduskopi
f. Analisa gas darah
g. Spirometri
h. Bronkoskopi

3.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

FOLLOW UP
Hari/tanggal : Jumat /20 April 2018
 Subject : Batuk berdahak, pusing, sakit perut, sakit pinggang, kaki lemas,
tubuh terasa lemah, perut kembung, susah BAB.
 Object : TD : 140/90 mmHg
Nadi : 80x/menit, reguler
Nafas : 20x/menit
Suhu : 37,7oC
 Assessment
DM Tipe 2 tidak terkontrol overweight
Hipertensi stage 1
Bronkopneumonia
Neuropati DM
 Plan dan Anjuran

50
Nacl 0,9% 12 jam per kolf
Inj Ranitidine 2x5 mg (IV)
Inj. Ondansentron 2x4 mg (IV)
Paracetamol 4x500mg (po)
Amlodipin tab 1x10 mg (po)
Candesartan tab 1x16 mg (po)
Meloxicam 2x7,5 mg (po)
Ambroxol syr 15mg/5ml 3x1 C (po)
Levemir 1x12 IU (subkutan)
Novarapid 3x12 IU (subkutan)
Rontgen thorax PA
EKG
Gula Darah Puasa, Gula Darah 2 jam Post Prandial

Hari/tanggal : Sabtu /21 April 2018


 Subject : sakit perut, punggung sakit, kaki lemas, nafsu makan menurun, batuk berdahak,
pandangan sedikit kabur
 Object : TD : 140/80 mmHg
Nadi : 82x/menit, reguler
Nafas : 24x/menit
Suhu : 34,6oC
 Assessment
DM Tipe 2 tidak terkontrol overweight
Hipertensi stage I ec Esensial
Bronkopneumonia
Neuropati DM
 Hasil rontgen thorax PA
Infiltrat apeks lapangan atas paru kiri sebagian superposisi costae
Hemidiafragma licin
Sinus costofremikus kiri dan kanan sulit dinilai.

51
 Hasil EKG :
Kalibrasi 1 mV, irama sinus rythme, HR 89x/menit, axis normal Lead I (+) lead aVF (+),
gelombang P lebar 0,08 detik, tinggi 0,2 mV, interval PR 0,16 detik, kompleks QRS 0,04 detik,
interval QT 0,36 detik. Kesimpulan EKG: normal sinus rythme.

 Gula Darah Puasa : 208 mg/dl


 Gula Darah 2 jam Post Prandial : 245 mg/dl

 Plan dan Anjuran


IVFD Nacl 0,9% 12 jam per kolf
Inj Ranitidine 2x5 mg (IV)
Inj. Ondansentron 2x4 mg (IV)
Paracetamol 4x500mg (po)
Amlodipin tab 1x10 mg (po)
Candesartan tab 1x16 mg (po)
Meloxicam 2x7,5 mg (po)
Ambroxol syr 15mg/5ml 3x1 C (po)
Levemir 1x12 IU (subkutan)
Novarapid 3x12 IU (subkutan)

Hari/tanggal : Senin /23 April 2018


 Subject : sakit perut, sakit pinggang, nafsu makan menurun, batuk berdahak, pandangan
kabur, kaki kram
 Object : TD : 120/70 mmHg
Nadi : 84x/menit, reguler
Nafas : 28x/menit
Suhu : 36,2oC
 Assessment
DM Tipe 2 tidak terkontrol overweight
Hipertensi stage I ec Esensial
Bronkopneumonia

52
Neuropati DM

 Plan dan Anjuran


IVFD Nacl 0,9% 12 jam per kolf
Inj Ranitidine 2x5 mg (IV)
Inj. Ondansentron 2x4 mg (IV)
Paracetamol 4x500mg (po)
Amlodipin tab 1x10 mg (po)
Candesartan tab 1x16 mg (po)
Meloxicam 2x7,5 mg (po)
Ambroxol syr 15mg/5ml 3x1 C (po)
Levemir 1x12 IU (subkutan)
Novarapid 3x12 IU (subkutan)

 Pasien pulang hari Selasa, 24 April 2018 dan mendapatkan obat pulang lantus 1x12 IU dan
avidra 3x12 IU

53
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Telah dirawat seorang pasien perempuan berusia 45 tahun dibangsal RSUD Solok pada
tanggal 19 April 2018, dengan diagnosa akhir DM Tipe 2 tidak terkontrol overweight +
Hipertensi stage I ec Esensial + Bronkopneumonia + Neuropati DM .
Pada anamnesis didapatkan pasien mengalami badan terasa letih sejak 1 minggu yang
lalu, dan meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Mengganggu aktifitas pasien.
Pasien mengatakan sering BAK sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan sering BAK dirasakan pasien
terutama saat tidur dimalam hari. Setiap malam pasien bisa terbangun lebih dari 2-3 kali untuk
BAK. BAK tidak disertai nyeri dan perubahan warna urin. BAB normal, tidak berdarah dan
berlendir.
Pasien juga sering merasa haus dan banyak minum sejak 5 tahun yang lalu. Dalam sehari
pasien bisa minum hingga 2 liter air. Nafsu makan pasien meningkat sejak 5 tahun yang lalu.
Pasien sering merasa lapar hingga harus memakan nasi lebih dari 3x/hari dengan porsi yang
cukup banyak. Badan sering terasa kesemutan sejak 5 tahun yang lalu sebelum masuk rumah
sakit. awalnya rasa kesemutan dirasakan ditelapak kaki namun makin lama rasa kesemutan
menyebar kebagian tubuh lainnya hingga ke jari dan tangan. Keluhan muncul saat pasien sedang
beristirahat, dan dapat juga muncul saat pasien beraktifitas. Pasien juga mengeluhkan matanya
kabur sejak 5 tahun yang lalu. Pasien sering merasakan keram pada kaki dan tungkai bawah serta
rasa tertusuk-tusuk di jari kaki sejak 5 tahun yang lalu.
Sakit kepala sejak 1 minggu yang lalu dan meningkat 2 hari yang lalu sebelum masuk
rumah sakit, rasa sakitnya berdenyut-denyut, disertai kuduk terasa kaku.

54
Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, demam disertai dengan menggigil,
terus-menerus. Mengganggu aktivitas pasien. Untuk menghilangkan demam pasien tidak
mengkonsumsi obat-obatan dan hanya beristirahat.
Batuk meningkat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, berdahak. Dahak berwarna
kekuningan kental sulit dikeluarkan, batuk tidak berdarah. Awalnya batuk berdahak sudah
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak mengkonsumsi
obat-obatan untuk menghilangkan batuknya. Pasien meminum air putih untuk mengurangi rasa
batuknya dan beristirahat.
Sesak nafas bertambah berat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak sudah
dirasakan sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, tidak menciut, tidak dipengaruhi
oleh aktivitas, cuaca, emosi dan makanan. Pasien beristirahat untuk mengurangi rasa sesak,
pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan penghilang sesak nafas.
Sebelumnya pasien pernah didiagnosa TB pada 1 tahun yang lalu. Pasien pernah
mengkonsumsi OAT selama 9 bulan berturut-turut hingga dinyatakan bebas TB. Pasien
menderita DM sejak 5 tahun yang lalu. Pasien pernah berobat di RSUD Solok tapi tidak rutin
kontrol gula darah di poli penyakit dalam. Pasien mendapatkan terapi obat metformin dan
glibenklamid. Pasien juga menderita hipertensi sejak 1 tahun yang lalu. Pasien pernah berobat di
RSUD Solok tapi tidak rutin kontrol di poli penyakit dalam. Pasien mendapatkan terapi obat
amlodipin. Riwayat keluarga menderita hipertensi positif, pada ayah pasien. Riwayat keluarga
menderita penyakit jantung (+) pada saudara laki-laki.
Pada pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 92 x/menit
reguler, napas 22 x/menit, suhu 37,7C. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan pada perkusi
redup dan auskultasi napas bronkovesikuler, ronki basah halus nyaring ( +/+ ).
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil
Hb : 13,4 g/dl.
Ht : 39,8%
Leukosit : 8.350/mm3
Trombosit : 221.000/mm3
Ureum : 23 mg/dL
Creatinin : 0,52 mg/dL
GDR : 230 mg/dl

55
Pada pemeriksaan penunjang rontgen thorak PA didapatkan hasil
Infiltrat apex lapangan atas paru kiri sebagian superposisi costae. hemidiaphragma licin. Sinus
costofrenikus kiri dan kanan sulit dinilai.
Hasil EKG : Kalibrasi 1 mV, irama sinus rythme, HR 89x/menit, axis normal Lead I (+)
lead aVF (+), gelombang P lebar 0,08 detik, tinggi 0,2 mV, interval PR 0,16 detik, kompleks
QRS 0,04 detik, interval QT 0,36 detik. Kesimpulan EKG: normal sinus rythme. Gula Darah
Puasa : 208 mg/dl. Gula Darah 2 jam Post Prandial : 245 mg/dl
Pasien mendapatkan terapi non farmakologi berupa istirahat dan diet DM IV (1700 kal),
RG II : 600-800mg, boleh ditambah 1/2 sdt garam dapur an RP 40g. Terapi farmakologi berupa
IVFD Nacl 0,9% 12 jam per kolf. Inj Ranitidine 2x5 mg (IV). Inj. Ondansentron 2x4 mg (IV).
Paracetamol 4x500mg (po). Amlodipin tab 1x10 mg (po). Candesartan tab 1x16 mg (po).
Meloxicam 2x7,5 mg (po). Ambroxol syr 15mg/5ml 3x1 C (po). Levemir 1x12 IU(subkutan).
Novarapid 3x12 IU(subkutan).
Pemeriksaan anjuran yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan HbA1c dengan sensitivitas
86% dan spesifisitas 92%, rontgen thorax PA dengan sensitifitas 22% spesifisitas 68%, EKG
dengan sensitifitas 98%, spesitifitas 88%, analisa gas darah dengan sensitifitas 98,7 %
spesifisitas 99 %, spirometri dengan sensitifitas 68 % spesifisitas 98 %,
Pasien pulang pada tanggal 24 April dan mendapatkan obat pulang lantus 1x12 IU dan
avidra 3x12 IU

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, W.Aru dkk.2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam III edisi V. Jakarta : Interna
Publishing.
2. Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V.Jakarta: Internal Publishing. 2009:1008-1014.
3. Sudoyo, W.Aru dkk.2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam I edisi V. Jakarta : Interna
Publishing.
4. Sudoyo, W.Aru dkk.2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam II edisi V. Jakarta : Interna
Publishing.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2013
6. Masyikura, Ira. 2011. Brinkopneumonia. Padang : Bagian Ilmu Kesehatan RSUP dr. M.
Djamil Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2013
8. Sylvia Price. 2005. Edisi 6 Volume 1 Patofisiologi :Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta :EGC
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Ed ke-4. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta. 2007. h. 25-68,
1596-601, 1725-7 , 1842-4.
10. Houghton RA, Gray D, editor. Chamberlain’s gejala dan tanda dalam kedokteran klinis. Ed
ke-13. Jakarta:PT Indeks; 2010.h.3-45.
11. Davey P. At a glance medicine. Ed ke-1. Erlangga: Jakarta. 2006. h. 4-6,10-8, 138-68.
12. Aaronson PI, Ward JPT. The cardiovascular system at a glance. 3rd ed. Massachusetts:
Blackwell Science; 2007. P. 68-9, 100-2.

57

Anda mungkin juga menyukai