Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Tinea pedis merupakan infeksi jamur superfisial pada kaki yang


disebabkan oleh dermatofit. Tinea pedis paling sering disebabkan oleh
Trichphyton rubrum dan T.interdigitale. Diperkirakan bahwa 10 sampai 15% dari
populasi dunia memiliki tinea pedis. Prevalensinya lebih tinggi pada orang
dewasa dibandingkan pada anak-anak. Insiden terbanyak terjadi pada rentang usia
antara 16 dan 45 tahun. Tinea pedis lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Manusia dapat terinfeksi jamur ini melalui
kontak langsung dengan orang yang terinfeksi, hewan, fomites, atau tanah.1
Transmisi tinea pedis difasilitasi oleh suhu hangat, lingkungan lembab dan
dapat juga akibat mengenakan sepatu oklusif. Tiga bentuk klinis dari tinea pedis
yaitu: interdigital, moccasin, dan vesiculobullous. Diagnosis dapat di tegakkan,
terutama jika ditemukan lesi yang khas. Jika perlu, diagnosis dapat pastikan
dengan pemeriksaan kalium hidroksida basah-mount, yaitu pemeriksaan kerokan
kulit perbatasan aktif lesi. pengobatan sistemik untuk tinea pedis diindikasikan
jika lesi luas, kronis, berulang atau resisten terhadap pengobatan anti jamur
topikal atau jika pasien immunocompromised.1

Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur,


sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS,
insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di
Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak
menggambarkan populasi umum.
Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita
penduduk negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya
insiden dermatomikosis belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini
menempati urutan kedua setelah dermatitis. Angka insiden tersebut diperkirakan
kurang lebih sama dengan di kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah
pedalaman angka ini mungkin akan meningkat dengan variasi penyakit yang
berbeda. Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan pada penderita
dermatomikosis yang dirawat di IRNA Penyakit Kulit Dan Kelamin RSU Dr.
Soetomo Surabaya dalam kurun waktu antara 2 Januari 1998 sampai dengan 31
Desember 2002. Dari pengamatan selama 5 tahun didapatkan 19 penderita
dermatomikosis. Kasus terbanyak terjadi pada usia antara 15-24 tahun (26,3%),
penderita wanita hampir sebanding dengan laki-laki(10:9). Dermatomikosis
terbanyak ialah Tinea kapitis, Aktinomisetoma, Tinea kruris et korporis,
Kandidiasis oral, dan Kandidiasis vulvovaginalis.2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi

Tinea pedis adalah infeksi pada kulit dari jamur superfisial pada kaki.
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari
dan telapak kaki. Tinea pedis merupakan golongan dermatofitosis pada kaki.3

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis.


Dermatomikosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau
stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut, dan kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Dermatomikosis merupakan arti
umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit.3

B. Epidemiologi

Tinea pedis adalah infeksi yang relatif baru di dunia Barat, T. rubrum,
yang merupakan penyebab paling umum dari tinea pedis, adalah jamur endemik
Asia Tenggara, Afrika Barat, dan bagian dari Australia (Dismukes WE, et al,.
2003).4

Hampir semua orang dalam populasi umumnya terkena jamur yang


menyebabkan Tinea pedis. Sistem kekebalan tubuh masing-masing orang
menentukan apakah hasil infeksi dari eksposur tersebut. Sebagai orang usia
dewasa, retak kecil berkembang di kulit kaki, meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi tinea.5 Prevalensi Tinea pedis sekitar 10%, terutama disebabkan oleh
oklusif alas kaki.6

Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,
di mana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari
wanita. Namun demikian tinea kapitis karena T. tonsurans lebih sering pada
wanita dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering terjadi pada anak-
anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan
perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam
penyebaran infeksinya. Jamur penyebab tinea kapitis ditemukan pada sisir, topi,
sarung bantal, mainan anak-anak atau bahkan kursi di gedung teater.7

Perpindahan manusia dapat dengan cepat memengaruhi penyebaran


endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif,
adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan kelembaban
kulit meningkatkan kejadian infeksi tinea. Alas kaki yang tertutup, berjalan,
adanya tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang
berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan onikomikosis.7

Penelitian yang dilakukan Drakensjo & Chyrssanthou tahun 2011 dan


Szepietowski, et al tahun 2006 menunjukkan bahwa prevalensi tinea pedis
meningkat berdasarkan usia dan lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan
usia 31-60 tahun, diikuti dengan orang dewasa dengan usia >60 tahun, dan jarang
terjadi pada anak-anak. Resio terkena tinea pedis lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan dan lebih sering terjadi pada negara berkembang.8

C. Etiopatogenesis

Pathogenesis dermatofita memiliki 3 langkah :

1. Adherence (pengikatan), fungi selalu mempunyai hambatan dalam proses


infeksinya, fungi harus resisten terhadap sinar UV, tahan terhadap
berbagai temperature dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal
kulit, spingosine yang dihasilkan olej keratinosit, asam lemak yang
diproduksi oleh glandula sebasea bersifat fungistatik (menghambat
pertumbuhan jamur). Mulainya diproduksi asam lemak pada anak-anak
post-pubertas mungkin menerangkan menurunnya kejadian tinea kapitis
secara drastis.9
2. Penetrasi setelah fase pengikatan, spora akan tumbuh dan memasuki
stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dari waktu
deskuamasi epidermis. Penetrasi juga didukung dengan keluarnya enzim
proteinase, lipase, dan musinolitik yang juga membantu dalam pembuatan
nutrisi fungi. Trauma dan maserasi merupakan factor penting dalam
memudahkan penetrasi fungi terutama pada kasus tinea pedis. Fungal
mannans yang ada di dinding sel dermatofita juga dapat menurunkan
proliferasi sel keratinosit. Pertahanan terbaru pada lapisan epidermis yang
lebih dapat tercapai diantaranya berkompetisi dengan besi dan juga
penghambatan pertumbuhan jamur oleh progesteron.9
3. Development at host response atau respon host. Proses inflamasi yang
terjadi sangat bergantung dari system imun host dan juga oleh jenis
organisme. Beberapa fungi dapat menghasilkan factor kemotkatik dengan
berat molekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri. Antibody tidak
terlihat pada infeksi dermatofita, tetapi hanya menggunakan jalur reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Infeksi yang sangat ringan sering hanya
menimbulkan inflamasi yang ringan, pertama muncul berupa eritema dan
skuama yang menandakan terjadinya peningkatan pergantian keratinosit.
Antigen dermatofit diproses oleh sel Langerhans epidermis dan
dipresentasikan di nodus limpa local menuju ke limfosit T. Kemudian
limfosit T mengalami proliferasi dan bermigrasi ke lokasi untuk
membunuh jamur dan pada waktu ini lesi mendadak menjadi inflamasi.
Oleh karena sebab barrier epidermal menjadi permeable terhadap
transferrin dan migrasi sel.9

D. Gejala Klinis

Tinea pedis ialah dermatofitosis pada kaki terutama pada sela-sela jari dan
telapak kaki. Ada empat jenis perbedaan klinis pada tinea pedis, yaitu interdigital,
hiperkeratosis, vesikel dan ulseratif :

1. Interdigital Tinea pedis: Di antara jari IV dan V terlihat fisura yang


dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari
(subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena derah ini lembab,
maka sering dilihat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih da
rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan erlihat kulit
baru, yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur. Bentuk klinis
ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit
keluhan atau tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini
dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis,
imfangitis, limfadenitis, dan dapat pula terjadi erisipelas, yang disertai
gejala-gejala umum.10

Gambar 1. Tinea pedis tipe interdigitalis

2. Hiperkeratosis atau Moccasin jenis Tinea pedis: Pada seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik;
eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi.
Bersifat kronik dan sering resisten pada pengobatan. Di bagian tepi lesi
dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. 10

Gambar 2. Tinea pedis tipe moccasin


3. Vesicobullous Tinea pedis: Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-
pustul dan kadang-kadang bula. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela
jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Isi vesikel
berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut
meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Infeksi
sekuder oleh bakteri dapat terjadi juga pada bentuk ini. Jamur terdapat
pada bagian atap vesikel. 10

Gambar 3. Tinea pedis tipe vesikobullosa, dengan hiperpigmentasi dari lesi yang
inflamasi.

4. Ulseratif Tinea pedis: Tinea pedis ulseratif, dimana biasanya disebabkan


oleh anthropophilic T. Interdigital, ditandai dengan penyebaran yang cepat
dari lesi vesikopustular, ulserasi dan erosi dan sering disertai dengan
infeksi bakteri sekunder.8

Gambar 4. Tinea pedis tipe ulseratif.


E. Diagnosis

Tinea pedis biasanya didiagnosis berdasarkan gejala dan riwayat pasien


secara rinci:

a. Anamnesis

Biasanya pasien akan menggambarkan gejala dari tinea pedis


berupa rasa gatal, kaki yang bersisik, dan seringkali terdapat fisura yang
nyeri di antara jari kaki. Beberapa pasien mendeskripsikan lesi ulseratif
atau vesikular. Kebanyakan pasien usia tua mungkin menyebutkan kondisi
kaki yang bersisik sebagai kulit kering.15

Gejala yang ditimbulkan dari tinea pedis dapat berbeda-beda


berdasarkan tipe dari tinea pedis itu sendiri.15

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik tinea pedis bergantung dari tipenya.15

Namun, kondisi ini dapat didiagnosa sebagai kondisi lain dengan


manifestasi sisik dan pustul seperti psoriasis, infeksi herpes, selulitis, dermatitis
kontak, eksim, erythrasma, impetigo, infeksi bakteri jaringan kaki, kandidiasis dan
pemfigus. Oleh karena itu, untuk mendapatkan diagnosis definitif, laboratorium
tes mungkin diperlukan. Tes ini termasuk mikroskopis langsung (direct).4
Pemeriksaan preparat dengan kalium hidroksida (KOH) dan kultur jamur dari
kerokan kulit (Mak, et al,. 2015):

a. Preparat kalium hidroksida

Tes ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi unsur jamur.


Spesimen bersisik diperlukan dari lokasi infeksi. Untuk lesi tanpa cairan,
sisik dapat diperoleh dari perbatasan atau tepi lesi. Sedangkan untuk lesi
vesikel, spesimen dapat diperoleh dari atap vesikel. Adapun pustular lesi,
yang purulen dapat digunakan.interpretasi KOH positif akan menunjukkan
banyak terdapat hifa jamur.4
Gambar 5 : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)

b. Kultur jamur

Kultur jamur dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis


tinea pedis dan untuk memastikan jenis patogennya. Media agar glukosa
Sabouraud adalah media kultur jamur yang biasa digunakan. Antibiotik
mungkin ditambahkan ke media untuk mencegah bakteri dari pertumbuhan
dermatofit patogen. Menambahkan cycloheximide di media ini berguna
untuk memastikan spesies patogen.4

c. Penelitian untuk diagnosis banding

Penegakan diagnosis tinea pedis, mungkin harus dilakukan


penelitian untuk menyingkirkan diagnosis banding termasuk dengan
melakukan kultur bakteri dan jamur untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder. Pemeriksaan menggunakan lampu wood untuk menyingkirkan
diagnosis dengan adanya erythrasma. Dan biopsi kulit untuk membedakan
dermatofita sebuah infeksi dari penyakit kulit lainnya.4

Kerokan kulit untuk mikroskopi jamur harus dilakukan. Ketika pengobatan


topikal awal tidak efektif, setiap kali mempertimbangkan pengobatan oral, atau
pada pasien dengan presentasi atipikal. Kerokan kulit harus diambil dari
permukaan tepi lesi menggunakan pisau bedah tumpul atau kuret. Potongan kuku
harus dikumpulkan dari kuku kaki tidak normal. Jika terdapat bukti klinis infeksi
bakteri sekunder, misalnya malodour atau maserasi, penyeka untuk mikroskopi
bakteri dan budaya juga harus dikumpulkan.4

Infeksi bakteri potensial termasuk erythrasma yang fluoresensi merah


muda karang di bawah lampu Wood (ini dapat dilakukan saat operasi) dan tidak
responsif terhadap obat-obatan anti jamur.4

F. Diagnosis Banding

Tinea pedis et manum harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya


batasnya tidak jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Adanya
vesikel-vesikel steril pada jari-jari kaki dan tangan (pomfoliks) dapat merupakan
reaksi id, yaitu akibat setempat hasil reaksi hipersensitivitas terhadap antigen yang
berada di lokasi lain. Efek samping obat topikal juga dapat memberikan gambaran
serupa yang menyerupai eksim atau dermatitis, sehingga perlu dipikirkan
dermatitis kontak. Pada hiperhidrosis terlihat kulit mengelupas atau maserasi.
Kalau hanya terlihat vesikel-vesikel, biasanya terletak sangat dalam dan terbatas
pada telapak kaki dan tangan. Kelainan tidak meluas sampai di sela-sela jari.10

Penyakit lain yang harus mendapat perhatian adalah kandidosis (erosio


interdigitalis blastomisetika), membedakannya dengan tinea pedis murni kadang-
kadang agak sulit. Infeksi sekunder dengan spesies Candida atau bakteri lain juga
sering menyertai tinea pedis, sehingga pemeriksaan laboratorium dan interpretasi
yang bijaksana dierlukan untuk membedakan satu dengan yang lain. 10

Gambar 5. Dermatitis pada jari kaki


b. Kandidosis Interdigitalis Pedis
Kandidiasis Interdigitalis Pedis adalah infeksi jamur pada sela-
sela jari kaki yang disebabkan spesies Candida albicans dan jamur
jenis lain dari spesies Candida. Penyebab tersering kandidiasis adalah
Candida albicans tapi ada beberapa yang spesies candida yang
menjadi penyebab kandidiasis yaitu C. parapsilosis, C. guillermondii,
C. Kruzei. Gejala klinis dapat muncul berupa bercak yang berbatas
tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh
satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang
bila dipecah meninggalkan daerah yang erosif, dengan pinggir yang
kasar dan berkembang seperti lesi primer.16

Gambar 6. Kandidosis Interdigitalis

G. Penatalaksanaan
Sebelum memulai pengobatan untuk tinea pedis, penting untuk
menegakkan diagnosis penyakit sehingga modalitas terapi tertentu dapat diadopsi
dan dipantau selama pengobatan tersebut.11
Terapi antijamur topikal umumnya bisa digunakan pada infeksi tinea
pedis. Obat fungisida sering disukai daripada obat fungistatik untuk pengobatan
pada infeksi tinea pedis karena jalurnya sederhana sebagai salah satu aplikasi
pengobatan sehari-hari dalam satu minggu dengan tingkat kesembuhan yang
tinggi.11
Tabel : terapi topikal pada pengobatan tinea pedis11
Agen Formulasi Fungisida atau Frekuensi dalam
fungistatik aplikasi
Allylamine 1% krim, gel Fungisida Sekali atau dua
Naftifine kali sehari
Terbinafine
Benzylamine 1% krim Fungisida Sekali atau dua
Butenafine kali sehari
Imidazole 1% krim Fungistatik Sekali atau dua
Ekonazole kali sehari
Ketokonazole
Mikonazole 2% krim Fungistatik Sekali atau dua
Sertaconazole kali sehari
Miscellaneous 1% krim Fungistatik Dua kali sehari
Siklopirox
Tolnaftate

Pada kasus yang parah, obat antijamur oral lebih disukai untuk pengobatan
infeksi tinea pedis. Agen baru triazole, flukonazole, itrakonazole dan allylamine
memiliki aktivitas spektrum luas terhadap tinea pedis.11
Tinea pedis superfisialis atau terlokalisir biasanya merespon terapi
antijamur yang topikal dua kali sehari selama 2 sampai 4 minggu. Umumnya agen
antijamur topikal yang digunakan yaitu siclopirox, ekonazol, klotrimazol,
ketokonazol, butenafine, naftifine dan terbinafine. Pada perbandingan terapi
campuran yang melibatkan perawatan antijamur topikal, tidak ada perbedaan yang
signifikan antara penggunaan antijamur tersebut. Terbinafine mungkin menjadi
strategi terbaik untuk mempertahankan kesembuhan pada tinea pedis. Nistatin
tidak efektif untuk pengobatan tinea pedis. Agen antijamur topikal ditoleransi
dengan baik dan jarang terjadi efek samping, kecuali misalnya langka pada
dermatitis kontak. Kekambuhan sebagian besar akibat dari kurang kepatuhan
dalam penggunaan antijamur topikal. Dalam hal ini, antijamur topikal seperti
terbinafine, sertaconazole, dan ekonazole dapat digunakan sekali sehari untuk
meningkatkan kesembuhan. Karena jamur berkembang sangat baik di lingkungan
yang lembab, hangat, pasien harus disarankan untuk memakai bersih, kaos kaki
dan sepatu yang berserat alami dan mengeringkan kaki setelah mandi. Antijamur
bubuk mungkin bisa ditaburkan kedalam sepatu yang dipakai sehari-hari. Sepatu
juga dapat disterilkan dengan ultraviolet-C (UVC) yang berbasis.12
Pengobatan sistemik diindikasikan jika terdapat lesi yang luas, kronis,
berulang, resisten, atau tidak berefek pada pengobatan antijamur topikal, pasien
yang imunokompromise. Agen antijamur oral yang digunakan untuk pengobatan
tinea pedis termasuk itrakonazol, flukonazol, ketokonazol, terbinafine dan
butenafine. Terbinafine ditemukan lebih efektif daripada griseofulvin yang jarang
digunakan sekarang. Terapi kombinasi dengan antijamur topikal dan oral dapat
meningkatkan angka kesembuhan.12

H. Prognosis
Pengobatan yang diterapkan dalam beberapa minggu pada kaki biasanya
dapat menyembuhkan Tinea pedis (Athlete’s Foot) pada penderita dengan gejala
yang baru. Infeksi Tinea pedis kronis atau berulang juga bisa disembuhkan
dengan cara ini, tetapi mungkin memerlukan perubahan signifikan dalam
perawatan kaki dan beberapa minggu pengobatan. Kasus yang lebih parah
mungkin memerlukan obat oral. Bahkan setelah pengobatan berhasil, penderita
tetap berisiko terhadap infeksi ulang jika mereka tidak mengikuti pedoman
pencegahan. 13

Sebagian besar kasus Athlete’s foot sembuh dalam waktu dua minggu.
Kasus yang lebih parah dapat mencapai waktu satu bulan atau bahkan lebih lama
dengan asumsi penyebabnya adalah infeksi jamur.14

Prognosis baik dengan pengobatan yang tepat. Jika pengobatan tidak tepat
akan terjadi lesi yang permanen dan kemajuan kesembuhan yang tidak baik. 12
BAB III
KESIMPULAN

Tinea pedis merupakan infeksi jamur superfisial pada kaki yang


disebabkan oleh dermatofit. Tinea pedis paling sering disebabkan oleh
Trichphyton rubrum dan T.interdigitale. Diperkirakan bahwa 10 sampai 15% dari
populasi dunia memiliki tinea pedis. Prevalensinya lebih tinggi pada orang
dewasa dibandingkan pada anak-anak. Insiden terbanyak terjadi pada rentang usia
antara 16 dan 45 tahun. Tinea pedis lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Manusia dapat terinfeksi jamur ini melalui
kontak langsung dengan orang yang terinfeksi, hewan, fomites, atau tanah.
Hampir semua orang dalam populasi umumnya terkena jamur yang
menyebabkan Tinea pedis. Sistem kekebalan tubuh masing-masing orang
menentukan apakah hasil infeksi dari eksposur tersebut. Sebagai orang usia
dewasa, retak kecil berkembang di kulit kaki, meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi tinea.
Penelitian yang dilakukan Drakensjo & Chyrssanthou tahun 2011 dan
Szepietowski, et al tahun 2006 menunjukkan bahwa prevalensi tinea pedis
meningkat berdasarkan usia dan lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan
usia 31-60 tahun, diikuti dengan orang dewasa dengan usia >60 tahun, dan jarang
terjadi pada anak-anak. Resio terkena tinea pedis lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan dan lebih sering terjadi pada negara berkembang.
Tinea pedis biasanya didiagnosis berdasarkan gejala dan riwayat pasien
secara rinci. Namun, kondisi ini dapat didiagnosa sebagai kondisi lain dengan
manifestasi sisik dan pustul seperti psoriasis, infeksi herpes, selulitis, dermatitis
kontak, eksim, erythrasma, impetigo, infeksi bakteri jaringan kaki, kandidiasis dan
pemfigus. Oleh karena itu, untuk mendapatkan diagnosis definitif, laboratorium
tes mungkin diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ely John W, Rosenfeld S, Stone MS. Diagnosis and Management of Tinea


Infections. University of Iowa Carver College of Medicine. Vol 90, 10. 2014.
2. Penyakit Dermatofitosis in kuliah itu keren.blogspot.com/2011/03/pengakit
dermatofitosis.html.
3. Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI;2007.
Hal. 89-104
4. Tinea Pedis. http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/17271/.
Diakses pada tanggal: 14 Juli 2018.
5. Claire J. Carlo, MD. Et all. Tinea pedis(Athlete’s Foot). The Health Care of
Homeless Persons Part I.
6. Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003. P
7. Kurniati, Cita Rosita SP. 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
8. Macit Ilkit, Murat Durdu. 2014. Tinea pedis: The etiology and global
epidemiology of a common fungal infection. USA: Informa Healthcare.
9. Tinea Pedis.
www.library.upnvj.ac.id/pdf/4sIkedokteran/207311032/bab%202.pdf.
Diakses pada tanggal: 14 Juli 2018.
10. Widaty, Sandra. 2015. Dermatofitosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Ketuju. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2015. H. 109-116
11. Kumar Vikas, Tilak Ragini, et al. Tinea Pedis- an Update. Department of
Microbiology, Banaras Hindu University, Varanasi-221005, India. 2011
12. Leung Alexander KC, Barankin B. Tinea Pedis. University of Calgary. Vol 2.
Issue 1.109. 2015
13. Http://www.sparkpeople.prognosis tinea pedis.com. Diakses tanggal: 16 Juli
2014.
14. http://www.emedicinehealth.com/athletes_foot/page9_em.htm. Diakses
tanggal: 16 Juli 2014.
15. https://www.alomedika.com/penyakit/dermatovenerologi/tinea-
pedis/diagnosis. Diakses tanggal: 17 Juli 2018
16. Candida.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/64309/Chapter%20II.
pdf?sequence=4&isAllowed=y. Diakses pada tanggal: 23 Juli 2018.

Anda mungkin juga menyukai