Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

PEMBAHASAN

Hasil Kebudayaan Suku Batak

a) Pakaian Adat Suku Batak

Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu,
kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos
pangihot ni holong", yang artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah
pengikat kasih sayang antara sesama.

Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan
udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada
manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling
nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.

Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian sebutan yang
disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka tinggal dan berladang di
kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti mereka harus siap berperang melawan
dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah sejarah ulos bermula.

Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng
melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak bisa
diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung sering kali bersikap
tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan
kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul
ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras
mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.

Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai dengan
hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu cukup lama,
sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti sekarang. Berbeda dengan ulos
yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang
suku Batak. Tetapi ulos yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan
dengan motif yang sangat artistik.

Setelah mulai dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari yang terkadang
menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa menimbulkan bencana, ulos
bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan
bahan pakaian yang indah dengan motif-motif yang menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika
ia mulai dipakai oleh tetua-tetua adat dan para pemimpin kampung dalam pertemuan-pertemuan adat
resmi. Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan
hadiah atau pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi.

Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak.
ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak.
Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi secara harfiah
berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini
mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang,
harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang
hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah, misalnya
orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya. Disamping itu,
jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna
tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana,
sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.

Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak". Pemberian ini bisa
diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya pemberian ulos
kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan
tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang
dipimpinnya.

Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai berikut:

- Ulos Ragidup

Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan demikian karena warna, lukisan
serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah yang
tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun
sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa
ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di daerah-daerah yang masih kental adat bataknya.
Karena dalam upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada
ibu pengantin lelaki.

- Ulos Ragihotang

Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara pembuatannya tidak
serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani jenazah atau untuk
membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya.

- Ulos Sibolang

Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mabolang-bolangi (menghormati)
orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan
adat batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos Bela yang
berarti ulos menantu kepada pengantin laki-laki.

Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman satu
marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada semua kerabat pihak istri dan
bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos ini juga diberikan kepada wanita yang
ditinggal mati suaminya sebagai tanda penghormatan atas jasanya selama menjadi istri almarhum.
Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian juga
dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang digunakan
dalam upacara adat adalah Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang menggambarkan burung atau
banyak bintang tersusun teratur. Motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama lahir akan
menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos tersebut.

Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:

Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos jenis kedua.
Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai sehari-hari.

Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara
adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima.

Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang kebaya, atau
diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon; dililitkan dikepala atau di
pinggang.

Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian,
penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara Tor-tor. Kain adat sesuai
dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.

b) Rumah Adat Suku Batak

Orang Batak memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan terdiri dari
kelompok-kelompok kecil. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga , clan atau kelompok yang
masih memiliki hubungan kekerabatan. Tipikal desa tertutup ini disebut huta (secara khusus bagi orang
Batak Toba).

Sebagai contoh desa tempat tinggal orang Batak Toba pada jaman dahulu dikelilingi oleh tembok batu
atau tanah (parik) yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat sehingga hampir mustahil
ditembus manusia. Saat ini masih ada beberapa sisa-sisanya yang bisa ditemukan di beberapa desa.
Jalan masuk atau access road ke huta tersebut hanya ada satu atau maksimal dua gerbang yang disebut
bahal, yaitu bahal jolo (gerbang depan) dan bahal pudi (gerbang belakang). Dekat dengan bahal biasanya
terdapat sebuah pohon beringin (baringin) atau hariara. Merupakan pohon kehidupan yang dipercaya
sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia atas. Kedua pohon ini selalu terlibat dalam ritual mistis
dan acara-acara adat orang Batak Toba.

Bagi orang Batak Toba terdapat dua jenis rumah adat yang ada di dalam suatu huta, yaitu ruma dan
sopo yang letaknya biasa saling berhadapan. Diantara kedua deret ruma dan sopo tersebut terdapat
halaman(alaman) yang luas dan digunakan sebagai pusat kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua
bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya sangat berbeda dari segi konstruksi
dan fungsi. Dari segi konstruksi, ciri-ciri yang bisa dilihat adalah bentuk tangga, besar dan jumlah tiang,
serta bentuk pintu. Konstruksi interior bangunan juga berbeda. Dari segi fungsi, ruma adalah tempat
tinggal orang Batak, sedangkan sopo berfungsi sebagai lumbung padi, sebagai tempat pertemuan,
tempat bertenun dan menganyam tikar, dan tempat untuk muda-mudi bertemu. Sopo orang Batak Toba
pada awalnya tidak berdinding, tetapi oleh karena biaya mendirikan ruma sangat mahal dan susah,
dikemudian hari sopo ini dialihkan fungsinya menjadi rumah tinggal dengan menambahkan dinding,
pintu dan jendela.

Demikian juga rumah adat orang Batak yang lainnya memiliki tipikal bentuk rumah dan fungsi yang
hampir sama. Namun masing-masing rumah adat tetap memiliki kekhasan masing-masing.

Rumah adat suku Batak Toba disebut juga ‘rumah bolon’. Rumah ini berbentuk panggung dengan bahan
utama bangunan berupa kayu. Hal yang paling menarik perhatian adalah bentuk atapnya yang
melengkung dan runcing di tiap ujungnya.

Di balik bentuknya yang sangat unik, ternyata rumah adat suku Batak ini memiliki makna dan arti
tersendiri.Filosofi rumah adat suku batak memang sangat menarik untuk dipelajari, mulai dari proses
pembangunan rumah sampai segala dekorasi, ternyata semuanya memiliki makna yang cukup dalam.

c) Pembangunan Rumah Bolon

Proses pembangunan rumah adat suku Batak selalu dilaksanakan secara gotong royong. Bahan yang
digunakan adalah bahan yang dengan kualitas baik, umumnya seorang pande (tukang) akan memilih
kayu-kayu dengan cara memukul kayu tersebut dengan suatu alat untuk mencari bunyi kayu yang
nyaring.

Pondasi rumah adalah hal yang terpenting, dibuat dengan formasi berbentuk segi empat, dipadu tiang
dan dinding yang kuat. Makna dari pondasi ini sendiri adalah saling bekerja sama demi memikul beban
yang berat.

Untuk bagian atas rumah, ditopang oleh sebuah tiang yang biasa disebut tiang “ninggor” dibantu oleh
kayu penopang yang lain. Tiang “ninggor” ini lurus dan tinggi, orang suku Batak memaknainya sebagai
simbol kejujuran. Untuk menjunjung tinggi kejujuran, perlu didukung oleh rasa keadilan (disimbolkan
oleh kayu penopang pada “ninggor”).

Di bagian depan atap terdapat “arop-arop” bermakna harapan untuk bisa hidup layak. Lalu ada
“songsong boltok” untuk menahan atap, yang punya arti bila ada pelayanan tuan rumah yang kurang
baik sebaiknya dipendam dalam hati saja.

d) Interior Rumah Adat Suku Batak

Orang suku Batak selalu membersihkan ruangan rumah dengan cara menyapu semua kotoran dan
mengeluarkannya lewat lubang “talaga” yang ada di dekat tungku masak. Hal ini juga bermakna untuk
membuang segala keburukan di dalam rumah, juga melupakan kelakuan-kelakuan yang tidak baik.

Di dalam rumah terdapat semacam rumah panggung kecil yang mirip balkon pada rumah biasa. Tempat
ini untuk menyimpan padi, bermakna pula sebagai pengharapan untuk kelancaran rezeki.

Di setiap rumah di bagian pintu masuk, selalu ada tangga. Bagi orang lain, bila ada tangga rumah rusak,
mungkin akan mengeluh. Tapi bagi orang Batak, bila tangga rumah ini cepat rusak atau aus, itu malah
membanggakan. Karena itu artinya sering dipakai orang atau dikunjungi orang karena tuan rumah
tersebut adalah orang yang baik dan ramah.

- Gorga

Gorga adalah pahatan/ukiran kayu yang ada pada rumah adat suku Batak. Hiasan ini sendiri memiliki
nama-nama tersendiri berdasarkan bentuk ukirannya :

Ø Gorga simataniari (matahari) : menggambarkan matahari yang merupakan sumber kehidupan

Bagian-bagian Rumah Adat Suku Batak

o Rumah adat suku Batak terdiri dari tiga bagian yang disebut tritunggal benua, yaitu

- Atap rumah atau benua atas yang dipercaya sebagai tempat dewa.

- Lantai dan dinding atau benua tengah yang ditempati manusia.

- Kolong rumah atau benua bawah yang dipercaya sebagai sebagai tempat kematian.

Pada zaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak mempunyai kamar. Untuk masuk ke dalam rumah
harus menaiki tangga dari kolong rumah. Anak tangganya berjumlah lima sampai tujuh buah.

o Bagian rumah adat Batak berupa tiang biasanya dekat dengan pintu. Tiang ini memepunyai bentuk
yang bulat panjang, yang dimaksudkan untuk menyangga bagian atas atau lantai dua.

o Balok digunakan untuk menghubungkan semua tiang yang disebut juga dengan rassang. Balok
bentuknya lebih tebal daripada papan Balok ini bisa menyatukan tiang-tiang depan, belakang, samping
kanan dan kiri rumah, dan dipegang oleh solong-solong (pengganti paku).

o Terdapat pintu di kolong rumah untuk jalan masuk kerbau supaya bisa masuk ke dalam kolong.

o Rumah adat suku Batak mempunyai atap rumah yang terbuat dari ijuk. Ijuk ini terdiri atas 3 lapisan.
Tuham-tuham merupakan lapisan pertama, sedangkan lapisan kedua disebut lalubak dan kemudian
dilanjutkan dengan lapisan ketiga.

o Tangga rumah adat suku Batak ada dua macam, yaitu:

- Pertama adalah tangga jantan (balatuk tunggal). Tangan jantan terbuat dari beberapa potongan
pohon. Jenis pohon yang bisa dijadikan tangga tidak sembarang. Pohon ini biasanya disebut sibagure,
merupakan jenis pohon yang mempunyai batang kuat.

- Kedua disebut tangga betina (balatuk boru-boru). Jenis tangga ini merupakan paduan beberapa
potong kayu yang keras dan biasanya terdiri atas anak tangga dengan hitungan yang ganjil.

e) Ciri Khas Rumah Adat Suku Batak

Ada beberapa ciri khas yang dapat dijumpai pada rumah adat suku Batak. Diantaranya adalah:

- Bentuk bangunan merupakan perpaduan dari tiga macam hasil seni, yaitu seni pahat, seni ukir,
serta hasil seni kerajinan.
- Bentuk rumah adat dari suku Batak pada umumnya melambangkan “Kerbau berdiri tegak

- Menghias bagian atap dengan tanduk kerbau.

- Bangunan dibuat berdasarkan musyawarah dan saran-saran dari para orang tua.

Macam - MacamBentuk Rumah Adat Suku Batak

- Batak Toba

Rumah Batak Toba memberikan kesan kokoh karena konstruksi tiang-tiangnya terbuat dari kayu
gelondongan. Dulu ketika sering terjadi pertikaian antarsuku, rumah-rumah selalu dikelompokkan
sebagai benteng di atas bukit. Lingkungannya dikelilingi pohon sebagai pagar yang cukup rapat.

d) Senjata Tradisional

Tunggal Panaluan adalah senjata tradisional bagi suku bangsa Batak Toba. Senjata ini sebenarnya
adalah wujud tongkat berukir dan pangkalnya berwujud kepala manusia lengkap dengan rambutnya
yang terbuat dari bulu kuda.

e) Upacara

Upacara dalam masyarakat Sumatra Utara, khususnya bagi masyarakat Batak adalah merupakan
upacara religius dan sakral.

Contoh upacara adat Suku Batak:

· Upacara Masa Kehamilan

· Upacara Kelahiran

· Upacara Martutuaek

· Upacara Mangebang

· Upacara Khitanan

· Upacara Kematian
· Upacara Mangokal Holi

D. Sistem IPTEK

Sistem teknologi dalam orang Batak Toba cukup unik dengan adanya rumah batak yang menjadi
arsitektur kebanggaan mereka. Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan alami seperti ijuk, kayu, dan
batu. Terdapat pengaturan hierarki ruang dalam ruma batak ini menurut kepentingan ruang dan
penamaannya berdasarkan jenis ruangan tersebut.

Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan sebuah kampung atau huta yang dimulai dari kelompok
terkecil yaitu klan keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang terbesar. Orang Batak memiliki
kegemaran dan keahlian mengukir sejak lama.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh bentuk peninggalan perhiasan yang ditemukan oleh para
ahli. Material yang diukir adalah kayu dan juga logam. Perhiasan tersebut biasanya digunakan oleh para
tetua atau keluarga pemimpin.

Peninggalan perhiasan seperti ini juga dapat menunjukkan tingginya kemampuan teknologi yang
telah berkembang pada masa itu. Selain perhiasan, masyarakat orang Batak juga menggunakan ukiran
dari kayu yang disebut sebagai Gorga. Masing-masing gorga memiliki nama dan makna tersendiri serta
bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang telah ada sejak lama.
Aturan tersebut menyangkut ketepatan pemaknaan dan penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Hingga sekarang orang Batak juga masih tetap menekuni kegemaran mengukir seperti ini
namun jumlah peminat dan yang memiliki keahlian untuk mengukir sudah sangat terbatas jumlahnya.

E. Organisasi Masyarakat

a. Falsafah Dan Sistem Kemasyarakatan

Ada falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi : jonok dongan partubu
jonokan do dongan parhundul, merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik
dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama
dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam
pelaksanaan adat.

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus struktur dan system dalam kemasyarakatannya
yakni yang dalam bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan na Tolu dalam
enam puak Batak.

- Dalihan Na Tolu (Toba) : somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboru.

- Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) : hormat Marmora, manat markahanggi dan elek
maranak boru.

- Tolu Sahundulan (Simalungun) : martondong ningon hormat sombah, marsanina ningon pakkei
manat dan marboru ningon elek pakkei.
- Rakut Sitelu (Karo) : nembah man kalimbubu, mehamat man sembuyak dan nami-nami man anak
beru.

- Daliken Sitelu (Pakpak) : sembah merkula-kula, manat merdengan tubuh dan elek marberru.

- Hula-hula atau mora : adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling
dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub suku Batak) sehingga kepada semua
orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hula-hula (Somba Marhula-hula).

- Dongan tubu atau hahanggi : disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga.
Arti harfiahnya lahir dari satu perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan,
saling menopang, walaupun karena terlalu dekatnya kadang-kadang saling bergesekan. Namun,
pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah
dengan pisau, kendati dibelah tetap bersatu. Namun kemudian kepada semua orang Batak (berbudaya
Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan Manat Mardongan Tubu.

- Boru atau anak boru : adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain).
Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-
hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan
berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk,
diistilahkan Elek Marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan Na
Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi
hula-hula, juga sebagai dongan tubu juga sebagai boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya
secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berprilaku raja. Raja dalam tata
kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berprilaku baik sesuai dengan
tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut raja ni
hula-hula, raja ni dongan tubu dohot raja ni boru.

b. Sistem politik

Secara umum, kepemimpinan pada masyarakat Batak terbagi dalam tiga bidang, yaitu kepemimpinan
adat, pemerintah, dan agama. Kepemimpinan dalam bidang adat meliputi persoalan perkawinan,
perceraian, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran anak, dan sebagainya.
Kepemimpinan di bidang adat tidak berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi merupakan suatu
musyawarah dari sangkep sitelu.

Kepemimpinan di bidang pemerintahan dipegang oleh salah satu dari turunan tertua merga
taneh. Kepala huta disebut penghulu, kepala urungdisebut raja urung dan sibayak untuk bagian
kerajaan. Kedudukan tersebut merupakan jabatan turun-temurun dan yang berhak adalah anak laki-laki
tertua (situa) atau si bungsu (sinuda). Anak-anak yang lain (sitengah) tidak mempunyai hak menjadi
pemimpin. Selain menjalankan pemerintaha, mereka juga menjalankan tugas peradilan, yaitu penghulu
mengetuai sidang di balehuta dan raja urung. Pengadilan teretinggi adalah bale raja berompat yang
merupakan sidang kelima sibayak yang ada di Karo.
Masyarakat Karo tidak mengenal pimpinan keagamaan asli karena konsepsi tentang kekuatan gaib
dan kepercayaan lain tidak seragam. Namun, pada suku bangsa Batak yang menganut agama islam,
tokoh dalam agam islam (para mualim) sangat besar peranan dan pengaruhnya dalam kehidupan
masyarakat. Jabatan ini tidak turun-temurun, seperti dukun guru sibaso yang menjadi dukun karena
pengalaman tertentu. Demikian pula pemilihan pendeta dan ulama, mereka dipilih karena pengetahuan
agama, pengabdian, dan keteladanannya.

F. Sistem mata pencaharian

Sebagian besar masyarakat Batak Toba saat ini bermatapencaharian sebagai petani, peladang,
nelayan, pegawai, wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang
banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos, ukiran
kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha
jasa. Masyarakat tradisional Batak Toba bercocok tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang secara
berpindah-pindah. Pengelolaan tanaman padi di sawah banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba.

Hal ini disebabkan oleh daerah tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga
memungkinkan untuk bercocok tanam padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah
utara (Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup serta berupa
dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan ini lebih memungkinkan untuk pengolahan
ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai peghasil sayuran dan buah yang potensial, ini adalah
salah satu dampak positif yang dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.

Sebelum teknologi pengolahan pangan mencapai daerah tano Batak, hasil pengolahan tanaman padi
di sawah hanya dapat menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan oleh
pengolahan tanah yang tidak begitu baik, irigasi yang terbatas dan juga tanpa penanganan tanaman
yang terampil. Demikian halnya dengan hasil pengolahan tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan
panen satu hingga dua kali saja lalu kemudaian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian ladang
tersebut akan ditinggalkan dan berpindah ke ladang yang baru. Dahulu kala,pembukaan ladang yang
baru dimulai dengan pemilihan lahan melalui ritual bersama seorang datu (dukun) yang disebut parma-
mang. Lahan yang biasanya dijadikan ladang adalah lahan yang tidak ditempati atau kawasan hutan
alami yang belum dijamah oleh manusia. Kemudian lahan tersebut dibersihkan dengan cara dibakar.
Upacara selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu lahan agar tidak mengganggu
pengolah ladang dan juga sekaligus sebagai upacara pemilihan hari baik untuk mulai menanam. Selama
musim pembukaan lahan ini, masyarakat kampung dilarang untuk keluar-masuk kampung. Hal ini
dilakukan untuk menghindari mala petaka dan bahaya yang mungkin terjadi karena penunggu lahan
yang merasa terusik. Sekarang keberadaan datu ini sudah tidak menjadi dominan lagi, akan tetapi
kebiasaan membuka lahan baru ini masih tetap ada. Tanaman yang sering ditanam di ladang ini adalah
tebu, tanaman obat, ubi, sayu-sayuran dan mentimun.

Demikian juga pohon aren yang sengaja ditanam di tengah ladang untuk menghasilkan tuak, sejenis
minuman beralkohol, yang menjadi kesukaan masyarakat Batak. Ada pula beberapa komoditi unggulan
yang menjadi kelebihan suatu daerah. Seperti hasil panen utama dari daerah Simalungun dan
Mandailing adalah jagung dan ubi kayu, serta beragam sayuran. Dari daerah Pakpak yang menjadi
komoditi unggulannya adalah kemenyan dan kapur barus. Bayangkan betapa kayanya tano Batak ini.
Saat ini masyarakat Batak sudah banyak yang mengolah padi hibrida di sawah mereka, tentunya
orang Batak tidak mau ketinggalan dari yang lainnya. Satu kemajuan ini bagi orang Batak. Beralih kepada
masa pengaruh perkembangan ekonomi terhadap pertanian di tanah Batak. Pengaruh perkembangan
perekonomian tersebut mulai terlihat ketika penjajah memasuki daerah Tano Toba. Produksi tanaman
padi dan hasil ladang meningkat pesat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pangan untuk
para pekerja kuli yang datang memasuki daerah Tano Toba. Pekerja kuli ini didatangkan dari
semenanjung Malasya (mayoritas china) dan juga daerah Jawa, karena masyarakat lokal tidak bersedia
menjadi pekerja untuk penjajah. Pada tahun-tahun pertama masa pendudukan penjajahan, pejabat
kolonial telah membangun sistem transportasi yang menggunakan tenaga para pekerja kuli tersebut.

Untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi di sawah, pejabat kolonial menyediakan
lahan yang akan diolah untuk menanam padi dan juga memperbaiki saluran irigasi. Beberapa tahun
kemudian dilaksanakan percobaan penanaman tanaman yang berasal dari Eropa seperti kentang dan kol
di daerah dataran tinggi Karo. Masyarakat menyambut baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada
dapat diekspor hingga ke luar negeri(Penang dan Singapura). Sejumlah besar petani kecil di daerah
bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Tapanuli kemudian juga turut mencoba mengelola jenis
tanaman yang sama. Selain tanaman sayuran, diadakan juga percobaan penanaman tanaman
perkebunan yang menjadi cikal bakal pengembangan kawasan perkebunan di Tano Toba. Pada
umumnya masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang
dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam
bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani.

Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap keluarga mendapat tanah tadi , tetapi
tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapaun tanah yang dimiliki perseorangan. Peternakan juga
salah satu mata pencaharian suku Batak antara lain peternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan
bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan yang
berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan
pariwisata.

G. Ilmu pengetahuan

Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Karo
aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok
orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota
secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya
berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Daerah Sumatra Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat
istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah. Masyarakatnya terdiri atas beberapa suku, seperti Melayu,
Nias, Batak Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan (meliputi Sipirok,
Angkola, Padang Bolak, dan Mandailing); serta penduduk pendatang seperti Minang, Jawa dan Aceh
yang membawa budaya serta adat-istiadatnya sendiri-sendiri. Daerah ini memiliki potensi yang cukup
baik dalam sektor pariwisata, baik wisata alam, budaya, maupun sejarah

Semua etnis memiliki nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat, tari daerah, jenis
makanan, budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa daerah masing-masing. Keragaman budaya ini
sangat mendukung dalam pasar pariwisata di Sumater Utara. Walaupun begitu banyak etnis budaya di
Sumatera Utara tidak membuat perbedaan antar etnis dalam bermasyarakat karena tiap etnis dapat
berbaur satu sama lain dengan memupuk kebersamaan yang baik. kalau di lihat dari berbagai daerah
bahwa hanya Sumatera Utara yang memiliki penduduk dengan berbagai etnis yang berbeda dan ini
tentunya sangat memiliki nilai positif terhadap daerah sumatera utara.

3.2. SARAN

Kebudayaan yang dimiliki suku Batak ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya.Dengan membuat makalah suku Batak ini diharapkan
dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan suku Batak tersebut dan dapat menambah
wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, RajaMalem . 2005. Budaya Batak Dalam Perubahan Multidimensi, Bandung : ITB Press. (Sebuah
Makalah).

Ningrat, Kountjara. 2004. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta :Djambatan.

Salomo, Mangaradja. 1938. Memilih dan Mengangkat Radja di Tanah Batak menurut Adat Asli.. Sibolga:
Rapatfonds Tapanuli.
Nn. 2012. kebudayaan suku batak (online).
file:///H:/KEBUDAYAAN%20SUKU%20BATAK%20DAN%20HALAMANNYA/HALAMAN%20BATAK/pendidik
an%20%20kebudayaan%20suku%20batak.html(diakses tgl 14 April 2014).

Anda mungkin juga menyukai