Anda di halaman 1dari 22

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Stroke
1. Definisi Stroke
Stroke adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan hilangnya
fungsi otak secara akut dan dapat menimbulkan kematian (World
Health Organization [WHO], 2014).
Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perubahan neurologis yang disebabkan adanya gangguan suplai darah
ke bagian otak. Stroke menurut World Health Organization (WHO)
adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya
penyebab lain selain vaskuler (Rumantir, 2007 dalam Hidayat, 2015).
Stroke terjadi akibat pembuluh darah yang membawa darah dan
oksigen ke otak mengalami penyumbatan dan ruptur, kekurangan
oksigen menyebabkan fungsi control gerakan tubuh yang dikendalikan
oleh otak tidak berfungsi (American Heart Association [AHA], 2015)
2. Klasifikasi Stroke
Berdasarkan mekanisme terjadinya stroke digolongkan menjadi dua
kelompok, yaitu stroke penyumbatan (iskemik) dan stroke perdarahan
(hemoragik).
a. Stroke Iskemik
Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke otak sebagian besar atau keseluruhan
terhenti. Stroke iskemik terjadi karena aliran darah ke otak
berkurang karena sumbatan sehingga oksigen yang sampai ke otak
juga berkurang. Iskemik otak terjadi bila aliran darah ke otak
kurang dari 20 ml per 1000 gram otak per menit (Junaidi, 2011).
Stroke iskemik secara umum diakibatkan oleh aterosklerosis
pembuluh darah serebral, baik yang besar maupun yang kecil.

7
8

Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi sepanjang jalur


pembuluh darah arteri yang menuju ke otak.
Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk dalam pembuluh
darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran
darah. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan
mengalir dalam darah kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil
(Yueniwati, 2016). Hampir sebagian besar pasien sekitar 83 persen
mengalami stroke iskemik. Kerusakan saraf yang diakibatkan oleh
gangguan stroke dapat menimbulkan berbagai masalah, termasuk
gangguan fungsi (Pudiastuti, 2011). Menurut Irfan (2010), stroke
iskemik berdasarkan perjalanan defisit neurologisnya
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Transisten Ischemic Attack (TIA) Gangguan pembuluh darah
otak yang menyebabkan defisit neurologis akut yang
berlangsung kurang dari 24 jam. TIA merupakan peringatan
akan serangan stroke selanjutnya.
2) Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) Kondisi
RIND hampir sama dengan TIA, hanya saja berlangsung lebih
lama, maksimal satu minggu. RIND tidak meninggalkan gejala
sisa.
3) Complete Stroke Gangguan pembuluh darah otak yang
menyebabkan defisit neurologis akut yang berlangsung lebih
dari 24 jam. Stroke ini meninggalkan gejala sisa.
4) Stroke in Evolution (Progressive Stroke) Stroke ini merupakan
jenis yang terberat dan sulit ditentukan prognosanya. Hal ini
disebabkan kondisi pasien cenderung labil, berubah – ubah,
dan mengarah ke kondisi yang lebih buruk.
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan dalam jaringan
otak atau dalam ruang subaraknoid. Ini adalah jenis stroke yang
mematikan, tetapi relatif hanya menyusun sebagian kecil dari
9

stroke total 10 – 15 persen untuk perdarahan intraserebrum dan


lima persen untuk pedarahan subarahnoid ( Yueniwati, 2016).
Menurut Junaidi (2011) stroke hemoragik (perdarahan) dibagi lagi
sebagai berikut :
1) Perdarahan subaraknoid (PSA), terdapat darah yang masuk ke
selaput otak.
2) Perdarahan intraserebral (PIS) biasa dikenal dengan
intraparenkim atau intraventrikel, terdapat darah yang masuk
dalam struktur atau jaringan otak.
3. Etiologi Stroke
Menurut Smeltzer dan Bare (2012) stroke biasanya diakibatkan oleh
salah satu dari empat kejadian dibawah ini, yaitu :
a. Trombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau
leher. Arteriosklerosis serebral adalah penyebab utama trombosis,
yang adalah penyebab paling umumdari stroke. Secara umum,
thrombosis tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara
sementara, hemiplegia, atau paresthesia pada setengah tubuh dapat
mendahului paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang
dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain. Embolus biasanya 12
menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya yang
merusak sirkulasi serebral (Valante et al, 2015).
c. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak. Iskemia
terutama karena konstriksi atheroma pada arteri yang menyuplai
darah ke otak (Valante et al, 2015).
d. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Pasien
dengan perdarahan dan hemoragi mengalami penurunan nyata pada
tingkat kesadaran dan dapat menjadi stupor atau tidak responsif.
Akibat dari keempat kejadian di atas maka terjadi penghentian
suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau
10

permanen fungsi otak dalam gerakan, berfikir, memori, bicara,


atausensasi.
4. Gejala Stroke Non Hemmorhagic
Gejala Stroke non hemmorhagic yang timbul akibat gangguan
peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan
pembuluh darahdan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi,
maka gejala-gejala tersebut adalah:
a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
1) Buta mendadak (amaurosis fugaks).
2) Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan
(disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan.
3) Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan(hemiparesis
kontralateral)dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi
sumbatan.
4) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
a) Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai
lebih menonjol.
b) Gangguan mental.
c) Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
d) Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
e) Bisa terjadi kejang-kejang.
5) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.
a) Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang
lebih ringan. Bila tidak di pangkal maka lengan lebih
menonjol.
b) Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.
c) Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).
6) Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.
a) Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.
b) Meningkatnya refleks tendon.
c) Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
11

d) Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan


(tremor), kepala berputar (vertigo). Ketidakmampuan untuk
menelan (disfagia).
e) Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara
sehingga pasien sulit bicara (disatria).
f) Kehilangan kesadaran sepintas (syncope), penurunan
kesadaran secara lengkap (strupor), koma, pusing,
gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap
lingkungan (disoriented).
g) Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia),
gerakan arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus),
penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak
mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan
kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).
h) Gangguan pendengaran.
i) Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
j) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
k) Koma
l) Hemiparesis kontra lateral
m) Ketidakmampuan membaca (aleksia).
n) Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.
7) Gejala akibat gangguan fungsi luhur
a) Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa.
Aphasia dibagi dua yaitu, Aphasia motorik adalah
ketidakmampuan untuk berbicara,mengeluarkan isi pikiran
melalui perkataannya sendiri,sementara kemampuannya
untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia
sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti
pembicaraan orang lain,namun masih mampu mengeluarkan
perkataandengan lancar,walau sebagian diantaranya tidak
memiliki arti,tergantung dari luasnya kerusakan otak.
12

b) Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena


kerusakan otak. Dibedakan dari Dyslexia (yang memangada
secara kongenital), yaitu verbal alexia adalah
ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca
huruf. Lateral alexia adalahketidakmampuan membaca
huruf,tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi
ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia.
c) Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat
adanya kerusakan otak.
d) Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan
mengenal angka setelah terjadinya kerusakan otak.
e) Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image)
adalah sejumlah tingkat kemampuan yang sangat
kompleks,seperti penamaan,melakukan gerakan yang sesuai
dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan
tertentu.Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari
(dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari yang
disentuh sementara penderita tidak boleh melihat jarinya).
f) Hemispatial neglect (Viso spatial agnosia)adalah hilangnya
kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang
berhubungan dengan ruang.
g) Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah
laku akibat kerusakan pada kortex motor dan premotor dari
hemisphere dominan yang menyebabkan terjadinya
gangguan bicara.
h) Amnesia adalahgangguan mengingat yangdapat terjadi pada
trauma capitis, infeksi virus,Stroke,anoxia dan pasca
operasi pengangkatan massa di otak.
i) Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang
mencakup sejumlah kemampuan.
13

5. Diagnosis Stroke Non Hemorrhagic


a. Diagnosis didasarkan atas hasil:
1) Penemuan Klinis
a) Anamnesa
Terutama terjadinya keluhan/gejala deficit neurologic
mendadak. Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor resiko
Stroke.
b) Pemeriksaan Fisik
Adanya defisit neurologic fokal, ditemukan faktor
resiko seperti hipertensi, kelainan jantung dan kelainan
pembuluh darah lainya.
2) Pemeriksaan tambahan/Laboratorium
a) Pemeriksaan tambahan/Laboratorium
b) Pemeriksaan Neuro-Radiologik (CT-Scan)
Computerized Tomography Scanning, sangat
membantu diagnosis dan membedakannya dengan
perdarahan terutama pada fase akut. Angiografi serebral
(carotis atau vertebral) untuk mendapatkan gambaran yang
jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila scan
tak jelas. Pemeriksaan likuor serebrospinalis, sering kali
dapat membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik
perdarahan infarkintraserebral (PIS) maupun perdararahan
subarachnoid.
c) Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti:
pemeriksaan darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit,
eritrosit), hitung jenis dan bila perlu gambaran darah.
Komponen kimia darah, gas, elektrolit, droppler,
Elektrocardiograf (ECG).
14

6. Faktor Resiko Yang Dapat Dirubah:


a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya Stroke.
Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya Stroke sebanyak 4 sampai
6 kali. Makin tinggi tekanan darah kemungkinan Stroke makin besar
karena terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga
memudahkan terjadinya penyumbatan/perdarahan otak Sebanyak
70% dari orang yang terserang Stroke mempunyai tekanan darah
tinggi(AHA, 2015).
b. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan
diabetes melitus.Obesitas meningkatkan risiko Stroke sebesar 15%.
Obesitas dapat meningkatkan hipertensi, jantung, diabetes dan
Atherosclerosis yang semuanya akan meningkatkan kemungkinan
terkena serangan Stroke.(AHA,2015).
c. Hiperlimidemia
kondisi di mana kadar lipid atau lemak dalam darah meningkat
tinggi atau tidak normal. Kondisi ini secara langsung dan tidak
langsung meningkatkan faktor risiko, tingginya kolesterol dapat
merusak dinding pembuluh darah dan juga menyebabkan penyakit
jantung koroner. Kolesterol yang tinggi terutama Low Density
Lipoprotein (LDL) akan membentuk plak di dalam pembuluh darah
dan dapat menyumbat pembuluh darah baik di jantung maupun di
otak. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl meningkatkan risiko Stroke
1,31-2,9 kali.(AHA,2015)
d. Merokok
Pembuluh darah di otak menjadi lebih cenderung untuk mengalami
penyumbatan dan peningkatan pembekuan darah setelah berulang
kali terkena paparan bahan kimia yang dihirup melalui rokok(AHA,
2015).
15

7. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dirubah/Dikendalikan


Dikatakan tidak dapat dikendalikan karena faktor tersebut terjadi
secara alami, yang tidak mungkin dikendalikan dan dicegah oleh siapa
pun, seperti yang di jelaskan dibawah ini :
a. Usia
Semakin bertambah tua usia Anda, semakin berisiko untuk
terserang penyakit ini. Setelah berusia 55 tahun, risiko berlipat
ganda setiap kurun waktu sepuluh tahun. Dua pertiga dari semua
serangan Stroke terjadi pada orang yang berusia diatas 65
tahun(AHA, 2015).
b. Jenis kelamin
Pada jenis kelamin pria lebih berisiko terkena Stroke dari
pada wanita. Tetapi, penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih
banyak wanita yang meninggal karena Stroke. Risiko Stroke 1,25
lebih tinggi dari pada wanita, tetapi serangan Stroke pada pria
terjadi di usia lebih muda, sehingga tingkat kelangsungan hidup
juga lebih tinggi. Dengan perkataan lain, walau lebih jarang terkena
Stroke, pada umumnya wanita terserang pada usia lebih tua,
sehingga kemungkinan meninggal lebih besar (AHA, 2015).
c. Genetik (Keturunan)
Resiko Stroke meningkat jika ada orang tua atau saudara
kandung yang mengalami Stroke maupun TIA(Transient Ischemic
Attack) (AHA, 2015).
8. Komplikasi Stroke
a. Otot mengerut dan kaku sendi
Pada tubuh tertentu pada pasien Stroke sering kali
mengecil, misalnya tungkai atau lengan yang lumpuh menjadi lebih
kecil dibandingkan dengan yang tidak lumpuh. Kelumpuhan pada
salah satu sisi tubuh menyebabkan pasien malas menggerakan
tubuhnya yang sehat sehingga persendian akhirnya menjadi kaku.
16

Untuk mencegah hal tersebut, pasien perlu melakukan latihan fisik


secara rutin (Lingga, 2013).
b. Darah beku
Akibat sumbatan darah pada sisi tubuh yang mengalami
kelumpuhan, maka bagian tersebut akan membengkak. Pembekuan
darah bukan hal yang pantas untuk diremehkan, jika terjadi pada
arteri yang mengalir ke paru-paru akan menyebabkan pasien sulit
bernapas (Lingga, 2013).
c. Memar
Ketidakmampuan untuk menggerakkan tubuh menyebabkan
pasien Stroke akhirnya berbaring pada posisi tetap sepanjang hari,
bagian tubuh yang tidak digerakan/bergeser sepanjang hari
mengalami tekanan hingga menyebabkan memar atau lecet
sehingga peka terhadap infeksi, seperti ruam pada punggung dan
lipatan tubuh, kulitnya melepuh, atau menderita gangguan
dermatitis lain karena sepanjang hari selama berbulan-bulan
terbaring diatas ranjang. Untuk mencegah haltersebut, posisi tidur
pasien harus sering digeser, selain itu tubuh pasien juga harus
dirawat dengan menjaga kebersihannya (Lingga, 2013).
d. Nyeri dibagian pundak
Kelumpuhan menyebabkan pasien mengalami nyeri
dibagian pundaknya, tangan yang lemas terkulai tidak mampu
mengontrol otot dan sendi disekitar pundak sehingga terasa nyeri
ketika digerakkan. Untuk mengatasi nyeri pundak ada baiknya jika
tangan pasien yang mengalami kelumpuhan digendong agar
bertahan pada posisi yang benar (Lingga, 2013).
e. Radang paru-paru (Pneumonia)
Kesulitan menelan yang dialami pasien menyebabkan
terjadinya penumpukan cairan di dalam paru-paru, batuk-batuk
kecil yang sering mereka alami setelah minum dan makan
menandakan adanya tumpukan cairan atau lendir yang menyumbat
17

saluran napas. Jika cairan tersebut terkumpul di paru-paru maka


menyebabkan pneumonia (Lingga, 2013).
f. Fatigue
Kelelahan kronis merupakan masalah umum yang dihadapi
setiap pasien paska Stroke, sekitar 30-70% pasien paska Stroke
mengalami fatigue. Faktor yang menyebabkan cukup beragam,
antara lain penyakit jantung yang dideritanya, penurunan nafsu
makan, gangguan berkemih, infeksi paru-paru (pneumonia), dan
depresi. Ada beberapa solusi untuk mengatasi fatigue, yaitu dengan
pengaturan diet tepat agar nafsu makan terjaga, pemilihan makanan
padat gizi berguna untuk memelihara stamina tubuh, mengatur
jadwal tidur dengan baik, relaksasi, dan berolahraga jika pasien
mampu melakukannya (Lingga, 2013).
9. Penatalaksanaan Pasien Stroke
Penanganan pasien Stroke merupakan tanggung jawab dari semua
pihak, baik dari tenaga kesehatan, pasien dan juga keluaraga. Adapun
saat pasien dirawat di rumah sakit pemegang peranan terbesar dalam
penanganan pasien Stroke adalah pemberi pelayanan medis dan
keperawatan, selain tim kesehatan lain yang peranannya tidak bisa
dianggap sedikit, misalnya bagian rehabilitasi, gizi dan farmasi.
a. Penatalaksanaan medis
b. Terapi Stroke hemmorhagic pada serangan akut
c. Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan
d. Masukan klien ke unit perawatan saraf untuk di rawat di bagian
bedah saraf
e. Penatalaksanaan umum di bagian saraf
1) Neurologis
a) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya
b) Kontrol yang dapat mengakibatkan kematian
2) Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah
a) Perawatan umum klien dengan serangan Stroke akut
18

b) Pengaturan suhu, atur suhu ruangan menjadi 18-20oC


c) Pemantauan (monitoring) keadaan umum klien (EKG, nadi,
saturasi 02 P02 ,PCO2)
d) Pengukuran suhu tubuh tiap dua jam
3) Penanganan dan perawatan Stroke di rumah
a) Berobat secara teratur ke dokter
b) Jangan menghentikan atau mengubah dan menambah dosis
obat tanpa petunjuk dokter
c) Minta bantuan petugas kesehatan atau fisioterapi untuk
memulihkan kondisi fisik yang lemah atau lumpuh
d) Perbaiki kondisi fisik dengan latihan teratur di rumah
e) Bantu kebutuhan pasien
f) Motivasi pasien agar tetap bersemangat dalam latihan fisik
g) Periksa tekanan darah secara teratur
h) Segera bawa klien ke dokter atau rumah sakit jika timbul
tanda dan gejala Stroke
i) Perubahan gaya hidup dalam melakukan pengendalian faktor
resiko.

B. Konsep ROM (Range Of Motion)


1. Definisi ROM (Range Of Motion)
Range Of Motion (ROM) adalah suatu latihan yang menggerakkan
persendian serta memungkinkan terjadinya kontraksi serta pergerakan
pada otot, dimana latihan ini dilakukan pada masing-masing bagian
persendian sesuai dengan gerakan gerakan normal baik secara pasif
ataupun aktif (Potter & Perry 2010). ROM sendiri merupakan suatu
istilah baku untuk mengambarkan batasan/ besarnya gerakan pada bagian
sendi (Helmi, 2012). Latihan ROM sendiri terbukti dapat menstimulus
dalam meningkatkan kekuatan otot (Into & Omes, 2012)
Latihan ROM sendiri terbukti dapat meningkatkan kekuatan fleksi
pada sendi, persepsi nyeri, serta gejala-gejala depresi. Pada dasarnya
19

gerakan ROM terdapat pada 6 sendi utama yaitu siku, bahu, pinggul,
pergelangan tangan, pergelangan kaki dan lutut, gerakan ini meliputi
fleksi, ekstensi, adduction, internal, dan eksternalrotasi, dorsal serta
plantar fleksi (Ellis & Bentz, 2007) Pemulihan fungsi ektremitas atas
biasanya terjadi dalam rentang waktu 4 minggu, latihan yang dapat
dilakukan dalam meningkatkan fungsi ekstremitas atas yaitu
menggenggam, mencengkram, bergerak, dan melepaskan beban
(Ghaziani et al., 2017).
2. Fungsi ROM(Range Of Motion)
Melakukan mobilisasi persendian dengan latihan ROM (Range Of
Motion) dapat mencegah berbagai komplikasi seperti infeksi saluran
perkemihan, pneumonia aspirasi, nyeri karena tekanan, kontraktur,
tromboplebitis, dekubitas sehingga mobilisasi dini penting dilakukan
secara rutin dan berlanjut.Memberikan latihan ROM (Range Of Motion)
secara dini dapat meningkatkan kekuatan otot karena dapat menstimulasi
motor unit sehingga semakin banyak motor unit yang terlibat maka akan
terjadi peningkatan kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian,
merangsang sirkulasi darah (Suratun, Heryati, Manurung, & Raenah,
2008.).
3. Prinsip Dasar Latihan ROM(Range Of Motion)
a) ROM(Range Of Motion) harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan
minimal 2 kali sehari.
b) ROM(Range Of Motion) dilakukan perlahan dan hati-hati agar tidak
melelahkan pasien.
c) Dalam merencanakan program latihan ROM(Range Of Motion),
perhatikan umur pasien, diagnosis, tanda-tanda vital, dan lamanya
tirah baring.
d) ROM (Range Of Motion) sering diprogramkan oleh dokter dan
dikerjakan oleh fisioterapi atau perawat.
20

e) Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM (Range Of Motion)


adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan
kaki
f) ROM(Range Of Motion) dapat dilakukan pada semua persendian atau
hanya pada bagian-bagian yang dicurigai mengalami proses penyakit
g) Melakukan ROM(Range Of Motion) harus sesuai dengan waktunya,
misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah dilakukan.
4. Latihan gerak sendi ROM (Range Of Motion)
Latihan gerak sendi aktif adalah klien menggunakan ototnya untuk
melakukan gerakan (Hoeman, 2010) dan intinya tidak ada
ketidaknyamanan. Menggambarkan gerakan sistematis, dengan rangkaian
urutan selama atau setiap tahap. Menampilkan setiap latihan 3x dan
rangkaian latihan 2x sehari (Kozier, 2009)
Latihan gerak sendi pasif adalah perawat menggerakkan anggota
gerak dan memerintahkan keikutsertaan klien agar terjadi gerakan penuh
(Hoeman, 2010).
Latihan gerak sendi pada anggota gerak atas menurut Hoeman
(2010) adalah :
a) Fleksi/Ekstensi
Dukungan lengan dengan pergelangan tangan dan siku, angkat
dengan lurus melewati kepala kalian diistirahatkan lengan terlentang
diatas kepala di tempat tidur.

b) Abduksi/Adduksi
Dukungan lengan di pergelangan dengan telapak tangan dan siku
dari tubuhnya klien, geser lengan menjauh menyamping dari badan,
21

biarkan lengan berputar dan berbalik sehingga mencapai 90° dari


bahu.

c) Siku Fleksi/Ekstensi
Dukungan siku dan pergelangan tangan, tekuk lengan klien
sehingga lengan menyentuh ke bahu, luruskan lengan ke depan

d) Dukungan pergelangan tangan dan tangan klien dan jari-jari dengan


jari yang lain: tekuk pergelangan tangan ke depan dan
menggemggam, tekuk pergelangan tangan ke belakangan tangan ke
lateral.
5. Klasifikasi Latihan ROM
a) Latihan ROM(Range Of Motion)pasif adalah latihan ROM(Range Of
Motion)yang dilakukan pasien dengan bantuan fisioterapis dan
perawat setiap gerakan
b) Latihan ROM(Range Of Motion)aktif adalah latihan ROM(Range Of
Motion)yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa bantuan perawat di
setiap gerakan yang dilakukan. Cara untuk meminimalkan kecacatan
setelah serangan Stroke adalah dengan rehabilitasi. Rehabilitasi pasien
22

Stroke salah satunya adalah dengan latihan gerak sendi atau ROM
(Range Of Motion)(Wina, 2009).
6. Proses Pelaksanaan MMT (Manual Muscle Test)
a) Pasien diposisikan sedemikian rupa sehingga otot mudah
berkontraksi sesuai dengan kekuatannya. Posisi yang dipilih harus
memungkinkan kontraksi otot dan gerakan mudah diobservasi
b) Bagian tubuh dites harus terbebas dari pakaian yang menghambat
c) Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan
d) Pasien mengontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada
segmen proksimal
e) Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi diobservasi baik
palpasi pada tendon atau otot perut
f) Memberikan tahanan pada otot yang dapat bergerak dengan gerakan
sendi penuh dan dengan melawan gravitasi
g) Melakukan pencatatan hasil MMT (Manual Muscle Test)
7. Kriteria hasil pemeriksaan MMT(Manual Muscle Test)
a) Normal (5) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh melawan
gravitasi, dan melawan tahanan maksimal
b) Good (4) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh melawan
gravitasi dan menahan tahanan sedang (moderate)
c) Fair (3) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh melawan
gravitasi tanpa tahanan
d) Poor (2) mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa
melawan gravitasi
e) Trace (1) tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi
f) Zero (0) kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi
8. Frekuensi Latihan
Latihan ROM dilakukan 5 kali dalam seminggu selama 6 minggu.
Pada minggu pertama latihan dilakukan sebanyak 5 kali untuk setiap
gerakan dan selanjutnya pada minggu kedua dilakukan 6 kali setiap
gerakan hingga pada minggu keenam gerakan dilakukan sebanyak 10
23

kali. Latihan ROM dilakukan pada bidang sagital dengan posisi duduk
atau berdiri. Untuk melihat adanya perbedaan peningkatan yang
bermakna antara pengukuran pertama dan kedua, kedua dan ketiga,
pertama dan ketiga dilakukan uji analisis Wilcoxon Signed Rank Test.
ROM (Range Of Motion) merupakan salah satu indikator fisik yang
berhubungan dengan fungsi pergerakan (Easton,2010).
Pelaksanaan ROM (Range Of Motion) harus disesuaikan dengan
kondisi pasien, untuk pasien Stroke akibat trombus dan emboli jika tidak
ada komplikasi lain dapat dimulai setelah 2-3 hari setelah serangan dan
bila terjadi perdarahan subarachnoid dimulai setelah 2 minggu, pada
trombosis atau emboli yang ada infark miocard tanpa komplikasi yang
lain dimulai setelah minggu ke 3 dan apabila tidak terdapat aritmia mulai
hari ke 10. Pelaksanaan dilakukan secara rutin dengan waktu latihan
antara 45 menit yang terbagi dalam tiga sesi dan tiap sesi diberikan
istirahat 5 menit namun apabila pasien terlihat lelah, ada perubahan
wajah dan ada peningkatan menonjol tiap latihan pada vital sign, maka
dengan segera harus dihentikan (Sodik, 2012)
Menurut Bandy &Bringgle(2009), latihan untuk meningkatkan
ROM(Range Of Motion) dapat dilakukan 5 hari dalam setiap minggu
selama 6 minggu yang dilakukan sebanyak 1 atau 3kali dalam sehari
dengan latihan peregangan pasif dan statik. Menurut Nelson dan Bandy
(2004), Terdapat peningkatan ROM (Range Of Motion)fleksi sendi lutut
setelah dilakukan latihan peregangan statik atau latihan eksentrik selama
6 minggu. ROM(Range Of Motion) sendi lutut juga meningkat setelah
protokol peregangan selesai (Spernoga et al,2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lukas (2008) yang meneliti
tentang efektifitas mobilisasi persendian dengan latihan ROM (Range Of
Motion) aktif dan pasif terhadap kekuatan otot lengan pada pasien paska
Stroke di ruang Wijaya Kusuma RSU Dr. Soedono. Pelaksanaan
mobilisasi persendian dengan latihan ROM(Range Of Motion)aktif dan
pasif pada penelitian ini dimulai pada hari ke 2 dan dilaksanakan selama
24

2 minggu, dimulai dengan pelaksanaan ROM(Range Of Motion)pasif


selama 6 hari sebanyak 2 kali pagi dan sore hari setelah pelaksanan ROM
(Range Of Motion) pasif dilanjutkan dengan pelaksanaan ROM (Range
Of Motion) aktif selama 6 hari sebanyak 2 kali yaitu pagi dan sore hari.
Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata
selisih kekuatan otot lengan sebelum dan setelah terapi pada kelompok
intervensi (p = 0,020). Kelompok intervensi memiliki rerata kekuatan
otot lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
Latihan ROM(Range Of Motion) dilakukan 5 kali dalam seminggu
selama 6 minggu. Pada minggu pertama latihan dilakukan sebanyak 5
kali untuk setiap gerakan dan selanjutnya pada minggu kedua dilakukan
6 kali setiap gerakan hingga pada minggu keenam gerakan dilakukan
sebanyak 10 kali.
Latihan ROM (Range Of Motion) dilakukan pada bidang sagital
dengan posisi duduk atau berdiri. Untuk melihat adanya perbedaan
peningkatan yang bermakna antara pengukuran pertama dan kedua ;
kedua dan ketiga ; pertama dan ketiga dilakukan uji analisis Wilcoxon
Signed Rank TestROM (Range Of Motion) merupakan salah satu
indikator fisik yang berhubungan dengan fungsi pergerakan (Easton,
2010). Menurut Kozier (2009), ROM (Range Of Motion) dapat diartikan
sebagai pergerakan maksimal yang dimungkinkan pada sebuah
persendian tanpa menyebabkan rasa nyeri. Latihan ROM (Range Of
Motion) merupakan salah satu alternatif latihan yang dapat dilakukan
oleh lansia dengan keterbatasan gerak sendi. Latihan ROM dapat
dilakukan dengan posisi duduk dan berdiri serta pada posisi terlentang di
tempat tidur (Wold, 2009).Menurut Durstine et al, (2008) dalam Brown
(2010), ada tiga tujuan utama latihan, khususnya bagi wanita yang
mengalami ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik,
yaitu memulihkan kondisi dari bedrest atau keterbatasan aktivitas,
mengoptimalkan fungsi fisik dan meningkatkan kesehatan dan dari
peneltian sebelumnya oleh (Surono, 2013) dengan judulPengaruh Latihan
25

ROM (Range of Motion)Pasif Terhadap Peningkatan Kemampuan


Motorik Pada Pasien CVA Infark Di Ruang Pajajaran RSUD
Prof.Dr.Soekandar Mojosari Mojokerto
a) Kemampuan Motorik Pasien CVA Infark Sebelum Diberikan
ROM(Range of Motion)Pasif

0% 0%
kekuatan
otot 0
53,3% 46,7%
(8) (7)
kekuatan
otot 1

Gambar 2.1
Kemampuan Motorik Pasien CVA Infark Sebelum Diberikan
ROM (Range Of Motion) Pasif
Hasil penelitian diatas pada gambar menunjukkan dari 15 orang,
sebelum diberi latihan ROM pasif sebanyak 8 orang (53,3%)
mempunyai skala kekuatan otot 1, dan sisanya sebanyak 7 orang
(46,7%) mempunyai skala kekuatan otot 0
b) Kemampuan Motorik Pasien CVA Infark Sesudah Diberikan ROM
(Range of Motion)Pasif
26,7% 0% 13,3%
(4) (2) kekuatan
otot 0
60% (9)
kekuatan
otot 1
kekuatan
otot 2

Gambar 2.2

Kemampuan Motorik Pasien CVA Infark Sesudah Diberikan


ROM (Range of Motion)Pasif
Hasil penelitian pada gambar 2.2 menunjukkan bahwa setelah
diberi latihan ROM(Range of Motion) pasif selama 6 hari yang
26

dimulai 2 hari setelah pasien masuk rumah sakit sebanyak 9 orang


(60%) mempunyai skala kekuatan otot 1, 4 orang (26,7%) mempunyai
skala kekuatan otot 2 dan sisanya 2 orang (13,3%) mempunyai skala
kekuatan otot 0.

C. Efektivitas Range Of Motion (ROM) padapemulihanototpasien stroke


non haemoragic
Menurut Heny dengan judul “Pengaruh Range Of Motion(ROM)Pasif
Pada Ekestremitas Bawah Terhadap Keseimbangan Berjalan Pada Pasien
Pasca Stroke di Rs. Stella Maris Makasar”menyatakan adanya pengaruh yang
signifikan setelah dilakukan latihan Range Of Motion(ROM)Pasif selama 7
hari.
Menurut Nurul dengan judul “Hubungan Fisioterapi Dengan
Peningkatan Kemampuan Fungsi Motorik Pada Pasien StrokeIschemic Di RS
PKU Muhammadiyah Surakarta ” menyatakan ada hubungan yang bermakna
antara fisioterapi dengan peningkatan kemampuan fungsi motorik pada pasien
stroke iskemik.
Menurut Suronodengan judul “Hubungan Antara Dukungan Keluarga
Dengan Motivasi Dengan Melakukan ROM (Range Of Motion) Pada Pasien
Pasca Stroke Di Wilayah Kerja Puskesmas Karanganyar Kabupaten
Pekalongan” yang menyatakan bahwa ROM (Range Of Motion) sangat
membantu mobilisasi pasien Stroke dengan nilai p 0,000 (p< 0,05).
Menurut Fitria dengan judul Keefektifan Range Of Motion (ROM)
Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Pasien Stroke Terdapat perbedaan
(peningkatan) derajat kekuatan otot pasien sebelum dan sesudah terapi ROM
dengan nilai p = 0,003 < 0,05. Terapi ROM dinyatakan efektif dalam
meningkatkan kekuatan otot ekstremitas penderita stroke.
Menurut Kin Rahayu derngan judul “PengaruhPemberianLatihanRange
Of Motion (ROM) Terhadap Kemampuan Motorik Pada Pasien Post Stroke
Di RSUD Gambiran” Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pemberian
latihan Range Of Motion (ROM) terhadap kemampuan motorik pada pasien
27

post stroke di RSUD Gambiran Kediri tahun 2014. Mengingat bahaya dari
penyakit Stroke maka hal yang lebih penting adalah dengan melakukan
pencegahan dengan pengurangan berbagai faktor risiko, seperti hipertensi,
penyakit jantung, diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok, dan obesitas
saat serangan stroke pertama dapat mencegah serangan stroke berulang
demikian diharapkan Rumah Sakit bisa memberikan layanan keperawatan
yang lebih prima dengan meningkatkan pelaksanaan edukasi secara teratur
dengan struktur yang lebih baik terutama dengan menggunakan media yang
bervariasi seperti penggunaan booklet tentang pelaksanaan ROM dengan
demikian kesadaran pasien dan keluarga untuk mau dan mampu melakukan
latihan Range Of Motion (ROM) akan meningkat.
28

D. Kerangka Teori
Faktor Ireversible:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Ras/bangsa
4. Hereditas

Kebiasaan Hidup: Tanda–Tanda


1. Merokok Pasca Stroke
2. Peminum 1. Ototmengerut
Alkohol Kejadian dan kaku
sendi
3. Penyalahgunaan Stroke 2. Darah beku
obat-obat 3. Memar
terlarang 4. Nyeri
dibagian
pundak

Tindakan ROM (Range Of


Motion) Pasif

Menurut (Potter dan Perry, 2008)


Tujuan diberikan ROM (Range Of
Motion)Pasif untuk memperbaiki
kekuatan otot yang mempunyai
kelemahan (hemiparese)
A. Latihan gerak sendi pada
anggota gerak atas :
1. Fleksi/Ekstensi
2. Abduksi/Adduksi
3. Siku Fleksi/Ekstensi
4. Pergelangan tangan
5. Jari Fleksi/Ekstensi

Sumber Tilong (2012)& Potter dan Perry (2008)


Bagan 2.3Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai