Anda di halaman 1dari 6

TUGAS REVIEW BUKU

“PERKEMBANGAN ILMU DAN PANCASILA SEBAGAI DASAR


PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri


Mata Kuliah : Pancasila
Dosen : Kamarudin

Disusun Oleh :

Nama : Asti Shelia Budihaningrum

NIM : 185070201111010

Prodi/Semester : PSIK/1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
BAB I
IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Perkembangan Ilmu dan Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan.
Judul Asli : Pancasila Dalma Diskursus Sejarah, Jalan Tengah, dan Filosofi Bangsa.
Penulis : Tim Dosen Pancasila Pusat MPK Universitas Brawijaya
- Mohamad Anas
- Muchamad Ali Safa’at
- M Nur Prabowo S
- Surya Desismansyah Eka Putera
- Destriana Saraswati
- Albar Adetary Hasibuan
Penerbit : Ifada Publishing (Anggota IKAPI)
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal : x + 262 halaman, 23 cm

Tentang Pengarang

1. Mohamad Anas
Lahir di Gresik tahun 1980, merupakan dosen Pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Brawijaya. Penulis melanjutkan
pendidikan di S2 dan S3 di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Penulis juga
banyak menulis buku yang bertema filsafat serta aktif menulis jurnal di berbagai
universitas di Indonesia. Saat ini penulis diserahi tanggung jawab sebagai koordinator
matakuliah pengembangan kepribadian, khususnya matakuliah Pendidikan Pancasila.
2. Muchamad Ali Safa’at
Lahir di Lamongan tahun 1976, merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya yang menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas
Indonesia. Sebagai akademisi muda, penulis ini tergolong mempunyai karir akademik
yag cemerlang. Banyak karya dan riset yang telah ia kembangkan telah
dipublikasikan. Penulis juga sangat aktif mengikuti seminar, FGD, loka karya dan
kegiatan-kegiatan akademik lainnya, baik sebagai peserta maupun sebagai pembicara
untuk level daerah dan nasional.
3. M Nur Prabowo S
Merupakan Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Menyelesaikan
studi sarjana di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada dengan spesilisasi kajian
filsafat hukum, dan studi pascasarjana di Fakultas yang sama dengan spesilisasi kajian
etika. Kini menjadi staf pengajar di Pusat MPK Universitas Brawijaya bidang
Pancasila dan Kewarganegaraan. Foku kajian dan penelitiannya seputar agama dan
filsafat. Sejak 2013 menjadi penulis, peneliti, penerjemah, dan editor.
4. Surya Desismansyah Eka Putra
Lahir di kota Pekanbaru Propinsi Riau pada tanggal 25 Desember 1991, merupakan
dosen MPK Universitas Brawijaya dna juga pernah mengajar di Universitas
Wisnuwardhana. Mengenyam pendidikan dasar hingga menengah di kota Kediri, dna
melanjutkan S1 di Univeristas Negeri Malang prodi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, lalu S2 prodi Filsafat Universitas Gajah Mada. Ia juga aktif
menulis pada majalah kampus, jurnal, dan blog. Selain itu juga aktif dalam komunitas
kebangsaan yang berbasis di Yogyakarta, serta aktif sebagai redaksi di Buletin
Macapat Pusat MPK Universitas Brawijaya.
5. Destriana Saraswati
Lahir di Batang, Jawa Tengah tahun 1980 menyelesaikan S1 Ilmu Filsafat di
Universitas Gajah Mada, serta Program Magister Universitas Gajah Mada. Ia pernah
aktif sebagai sekretaris dan asisten peneliti di IMPULSE (Institute of Multiculturalism
and Pluralism Studies), Yogyakarta. Kini penulis mendapat mandate sebagai
koordinator diskusi bulananan Serial Pemikiran dan Politik Guru Bangsa.
6. Albar Adetary Hasibuan
Lahir di Sibuhuan, Sumatera Utara pada 11 Februari 1985. Ia juga merupakan
lulusan dari Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo. Selama nyatri ia aktif
dalam menulis sajak-sajak bernuansa religius dan saat S1 di Institut Studi Islam
Darussalam (ISDI) ia juga aktif dalam tulis menulis di majalah “lentera” dan beberapa
karya yang dipublikasikan skala nasional. Ia melanjutkan S2 di Universitas Gajah
Mada di Fakultas Filsafat. Ia juga aktif dalam mengikuti seminar nasional maupun
internasional. Sekarang ia menjabat sebagai dosen MPK Universitas Brawijaya.
Tentang Buku

Pancasila merupakan suatu pandangan dunia bagi bangsa Indonesia dan sekaligus
sebagai dasar pemikiran Indonesia Merdeka. Fungsi fundamental sekaligus visioner
seperti digambarkan Soekarno tersebut mengandaikan dual hal sekaligus, yakni
pijakan berpikir melalui kebudayaan sekaligus angan-angan sosial kolektif sebuah
bangsa. Sementara Hatta menyebutkan Pnacasila bukanlah wahana tetapi ruh yang
harus tetap hidup sebagai dasar negara. Hal ini berarti mengandaikan Pancasila selain
menjadi jiwa bangsa juga sekaligus menjadi pengikat batin bangsa yang pada
akhirnya juga menjadi karakter suatu bangsa.
Dalam perjalanan kehidupan berbnagsa dna bernegara, Pancasila mengalami
dilema yang cukup kritis dalam menempatkan posisinya, yaitu baik dalam kerangka
sejarah, ideoloi bangsa, dasar negara, maupun sekaligus dlam tafsir Pancasila atau
bahkan dalam praktik pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Buku ini memberikan
penjelasan kesejarahan dari proses perumusan hingga pengesahan Pancasila. Di
samping itu, diskursus yang berkembang di dunia akademik mengenai posisi ideologi
Pancasila juga dipersoalkan, utamanya pada ranah praxis-historis, dimana ideologi
Pancasila dijalankan dalam kerangka tafsir rezim tertentu sesuai dengan
kepentingannya. Oleh karena itu, sebagai jalan tengah Pancasila menjadi tesis yang
mengatasi dua titik ekstrim, baik wilayah ideologi politik, agama, ekonomi, maupun
sosial budaya.
Buku ini juga menghadirkan pemaknaan yang cukup mendalam dan komprehensif
tentang teks Pancasila melalui perangkat metodologi baru, sekaligus penggalian nila-
nilai Pancasila yang terkait dengan konteks kekinian. Upaya ini menjadi keharusan
agar Pancasila tidak berada dalam diskursus makna dan pemaknaan tunggal sekaligus
statis. Pada aspek lain yang tidak kalah penting adalah upaya terus menerus
mendialogkan Pancasila dengan persoalan-persoalan kontemporer, misalnya berkaitan
dengan agama, terorisme, fundamentalisme, keberagaman, pop-culture, globalisasi,
disintegrasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seterusnya.
BAB II
ISI BUKU

A. Menelisik Sejarah Ilmu


Dari sudut epistemologi, manusia zaman pra-peencerahan memiliki dimensi
akal subjektof dan objektif. Namun kedua hal tersebut belum berkembang secara
seimbang dan terpilah. Dapat dilihat dari istilah ‘logos’ atau ‘rasio’ yang berasal
dari bahasa Yunani yang dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir diri subjek.
Kemampuan berpikir subjektif ini melahirkan konsep-konsep objektif.
Setelah terjadi gerakan demiologisasi yang dipelopori para filsuf, sejak itulah
filsafat yang semula bercorak mitologik berkembang menjadi ilmu yang meliputi
berbagai macam bidang. Aristoteles merupakan orang pertama yang membuat
bagan klasifikasi keilmuan yang secara garis besar ilmu dibagi menjadi dua yakni
ilmu terapan atau ilmu praktis dan ilmu teoritis. Tetapi setelah Aristoteles
meninggal, tradisi keilmuan dan pengembaraan filsafat Yunani Kuno berubah
menjadi ajaran praksis bahkan mistis. Di abad kegelapan ini, muncullah Agustinus
dan Thomas Aquinas yang telah memberi ciri khas filsafat pada abad tengah.
Filsafat Yunani Kuno yang dianggap sekuler dicarikan persesuaian dan
antinominya dengan doktrin gereja. Filsafat kemudian bercorak teologik.
Berbeda dengan kondisi yang ada di kawasan Timur Tengah yang justru telah
melakukan kajian intelektual-filosofis secara rasional dan menyebarkan filsafat
Aristoteles. Pada wilayah keilmuan inilah banyak sekali tercipta ilmuwan-
ilmuwan islam yang secara bersemangat menghidupi tradisi ilmiah intelektual
Arab secara umum serta aktif berperan memperbaharui kategori-kategori ilmiah
Yunani, meneliti aksioma-aksioma dan asumsi-asumsi ilmu Aristoteles secara
khusus sehingga era kultural Arab bergerak secara dinamis.
Dalam perkembangannya, tradisi ilmiah dan filsafat kritis masyarakat islam ini
menyebar ke Cordova (Spanyol), seiring penyebaran wilayah kekuasaan islam.
Lambat laun tradisi ilmiah terus menyebar dan s=diambil alih oleh Eropa yang
dimatangkan dengan gerakan Aufklarung dan menciptakan ilmuwan besar seperti
galileo galilei, dll. Kegiatan ini memberikan dampak dan implikasi yang amat luas
dan mendalam bagi peradaban Eropa khususnya pada bidang perkembanga ilmu.
Bersamaan dengan ini, agama kristen secara bertahap berpisah dengan filsafat,
lalu berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikirannya
sendiri-sendiri. Dalam perkembangan selanjutnyalah, filsafat yang kemudian
ditinggalkan oleh ilmu modern, dan inilah awal dari pemisahan antara filsfat dan
agama.
Secara lebih detail dan berbeda dengan pandangan para ahli filsafat lain,
Habermas melihat secara lain posisi hubungan agama dan filsafat. Menurutnya,
dari sudut pandang psiko-historis, transisi dari mitos ke logos muncul sebagai
perkembangan paralel terkait kemunculan agama-agama besar dunia. Setelah
terbebas dari mitos, agama-agama tersebut mencapai dimensi eksistensial dan
penalaran moral, sementara filsafat mencapai dimensi kognitifnya. Dari sudut
pandang teoritis dan moral, agama dan filsafat mempelajari bagaimana
membedakan antara yang abadi dan yang tak terbatas, ataupun yang berubah dan
yang terbatas serta mempelajari wujud, substansi, dan ide-ide yang tidak bergerak
maupun yang hadir melalui penampakan-penampakan dunia yang mengalir terus
tiada henti.
Dapat disimpulkan bahwa filsafat dan agama mengganti kekuatan mitos dengan
pengetahuan dan pandangan universal. Namun begitu, karena berangkat dari
pengandaian yang sama, dimana agama berdasarkan pada wahyu sementara
filsafat berdasarkan rasio, maka ini menjadi awal biang perselisihan. Perbedaan
yang mendasar menyebabkan filsafat memisahkan diri dari agama dan
menganggap diri mempunyai kemampuan dan kewenangan untuk memutuskan
kebenaran yang objektif. Sejarah kemenangan telah dimulai dan mencapai masa
kejayaannya hingga sekarang ini, yakni melalui positivisme sebagai jalannya.

B. Paradigma Positivisme bagi Ilmu Pengetahuan Modern


Penggolongan ilmu secara lebih tajam dan dikotomik terjadi pada zaman
pencerahan. Menurut Auguste Comte si bapak Sosiologi, kebudayaan manusia
dalam kerangka positivistikdikotomik didolongkan menajdi tiga tahap :
Tahap pertama adalah tahap Teologis. Karakteristik dari tahap ini adalah
kebenaran berawal dari Fetysme, Politeisme, dan Monoteisme serta peran agama
pada tahap ini begitu dominan. Objek wacananya yaitu berusaha mencari sebab
pertama dan tujuan akhir segala sesuatu.
Tahap kedua adalah tahap metafisik. Karakteristik dari tahap ini yaitu bersifat
akaliah, kebenaran bersifat abstrak, peran filsafat sangat dominan, serta objek
wacananya bersifat universal, abadi, dan adi kodrati.
Tahap ketiga adalah tahap positif. Karakteristik tahap ini yaitu didasari oleh
akal pengetahuan, ilmu kealaman begitu dominan, ilmuwan sangat berperan pada
tahap ini, kebenaran bersifat real, serta objek wacananya bersifat positif,akurat,
dan bermanfaat.
Menurut Prof.Koento, klasifikasi dari bapak Sosiologi Auguste Comte hingga
saat kini dianggap sangat aktual dan relevan dalam rangka mendukung cara
pandang masyarakat yang meyakini bahwa masyarakat industri merupakan tolak
ukur bagi tercapainya modernisasi, yng memang membutuhkan penguasaan basic
science seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi dalam skema penyediaan
dana dan fasilitas sebagai skala prioritas utamanya.

Anda mungkin juga menyukai