net/publication/265534957
CITATIONS READS
2 3,481
3 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Feris Firdaus on 26 January 2016.
1
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
ABTRAK
Penelitian tentang sintesis film kemasan ramah lingkungan dari komposit pati, khitosan dan
asam polilaktat dengan pemlastik gliserol: studi morfologi dan karakteristik mekanik telah
dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 5 formula film kemasan yang dirancang
dengan komposisi beragam, formula IV yang disintesis dari komposit pati-gliserol-APL-khitosan
yang mengandung gliserol 10 mL (1 % dari total aquades) memiliki karakteristik morfologi dan
mekanik yang relatif lebih baik dari formula lainnya. Morfologi film kemasan (formula IV)
menunjukkan permukaan film yang halus, tidak terdapat retak maupun gelembung udara secara
morfologis dan stabil di suhu ruang/tidak higroskopis. Film kemasan (formula IV) memiliki
karakteristik mekanik lebih tinggi dibanding formula lainnya yang dapat dilihat pada nilai kuat tarik,
elongasi dan modulusnya. Formula IV memiliki kuat tarik: 104,42 N/m2, elongasi: 33,80 %, dan
modulus: 309,54 N/m2.
Keywords: film kemasan, ramah lingkungan, pati, khitosan, asam polilaktat, morfologi, karakteristik
mekanik
I. PENDAHULUAN
Setiap tahun sekitar 100 juta ton plastik kemasan sintetik diproduksi dunia untuk digunakan
di berbagai sektor industri, dan kira-kira sebesar itulah sampah plastik yang dihasilkan setiap
tahun. Sesuai perkiraan Industri plastik dan Olefin Indonesia (INAAPLs), kebutuhan plastik
masyarakat Indonesia di tahun 2002 sekitar 1,9 juta ton kemudian meningkat menjadi 2,1 juta ton
di tahun 2003. Sementara kebutuhan plastik dalam negeri di tahun 2004 diperkirakan mencapai
2,3 juta ton (Martaningtyas, 2004). Plastik telah menjadi kebutuhan hidup yang terus meningkat
jumLahnya. Plastik yang digunakan saat ini merupakan polimer sintetik, terbuat dari minyak bumi
(non-renewable) yang tidak dapat terdegradasi mikroorganisme di lingkungan. Kondisi demikian ini
menyebabkan kemasan plastik sintetik tersebut tidak dapat dipertahankan penggunaannya secara
meluas karena akan menambah persoalan lingkungan dan kesehatan diwaktu mendatang.
Berdasarkan fakta dan kajian ilmiah yang ada serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan dan lingkungan lestari, perlu dilakukannya penelitian dan pengembangan
teknologi bahan kemasan yang bersifat biodegradable (Latief, 2001).
Proyeksi kebutuhan plastik biodegradable hingga tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Japan
Biodegradable Plastic Society; di tahun 1999, produksi plastik biodegradable hanya sebesar 2500
2
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
ton, yang merupakan 1/10.000 dari total produksi bahan plastik sintetik. Pada tahun 2010,
diproyeksikan produksi plastik biodegradable akan mencapai 1.200.000 ton atau menjadi 1/10 dari
total produksi bahan plastik dunia. Industri plastik biodegradable akan berkembang menjadi
industri besar di masa yang akan datang (Pranamuda, 2003).
Perkembangan terakhir di bidang teknologi pengemasan adalah suatu kemasan yang
bersifat antimikroba dan antioksidan. Keuntungan utama kemasan tersebut adalah dapat bersifat
seperti halnya bahan-bahan yang mengandung antiseptik seperti sabun, cairan pencuci tangan
yaitu berfungsi untuk mematikan kontaminan mikroorganisme (kapang, jamur, bakteri) secara
langsung pada saat mikroba kontak dengan bahan kemasan, sebelum mencapai bahan/produk
pangan di dalamnya sehingga produk pangan tersebut menjadi lebih awet.
Potensi khitosan yang dapat diisolasi dari limbah cangkang udang, rajungan, kepiting dan
crustaceae lainnya sangat besar di Indonesia. Contoh, udang, selama ini potensi udang Indonesia
rata-rata meningkat sebesar 7,4 % per tahun. Data tahun 2001; potensi udang nasional mencapai
633.681 ton. Apabila asumsi laju peningkatan tersebut tetap maka pada tahun 2004 potensi udang
diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60 - 70 % dari
berat total udang menjadi limbah (bagian kulit, kepala dan ekor) sehingga diperkirakan akan
dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton. Cangkang udang mengandung zat khitin dan jika
diproses lebih lanjut dengan melalui beberapa tahap, akan dihasilkan khitosan. Khitosan memiliki
sifat larut dalam suatu larutan asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya seperti
dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5. Sedangkan pelarut khitosan yang baik adalah
asam asetat (Prasetyo, 2004; Marganof, 2003). Di lain pihak khitosan bersifat tahan air, sangat
tidak beracun dan terbukti dapat menghambat pertumbuhan jamur, bakteri dan kapang (Prasetyo,
2004; Okawa et al., 2003; El Grauth, 1991; Allan dan Hadwiger, 1979) sehingga dapat berfungsi
sebagai pengawet.
Salah satu proses yang memegang peranan penting dalam produksi bahan kemasan
bersifat antimikroba adalah proses penambahan bahan aktif pada bahan kemasan tersebut.
Bahan aktif antimikroba yang telah dipakai antara lain zeolit yang tersubstitusi oleh logam perak,
triklosan, klorin dioksida, glukosa oksidase, karbondioksida (Rismana, 2004). Untuk
perkembangan di masa mendatang akan dikembangkan kemasan bersifat antimikroba dengan
bahan kemasan yang mempunyai permukaan aktif seperti khitosan, khitosan oligosakarida atau
derivatif khitosan lainnya. Di samping itu karakteristik antioksidan dapat dihasilkan dengan
menambahkan asam askorbat dan asam sitrat yang berfungsi sebagai bahan antioksidan
(Mawarwati et al., 2001).
Di Indonesia penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegradable
masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya manusia dalam
penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian yang terbatas. Sebenarnya
3
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
II. METODOLOGI
Bahan baku utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah pati standard yang berasal
dari singkong (Manihot esculenta) diperoleh dari Bratachem Yogyakarta. Bahan utama yang kedua
adalah khitosan yang diisolasi dari limbah kulit udang yang diperoleh dari petani tambak udang di
Cirebon, Jawa Barat. Bahan utama yang ketiga adalah L (+) asam laktat 98 % (pa) yang
dipolimerisasi menjadi asam polilaktat (APL). Bahan pendukung lainnya yang diperlukan dalam
proses produksi adalah katalis SnCl2 (pa), gliserol 87 % (pa) sebagai bahan pemlastik, HCl (pa),
NaOH (pa) dan asam asetat (pa) digunakan dalam proses isolasi dan sampling khitosan,
semuanya diperoleh dari Sigma-Aldrich.
Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fourier Transform Infra-Red
(FTIR/Awatar-Nicolet) untuk uji dan analisis derajat deasetilasi khitosan yang terkait dengan
tingkat aktivitasnya, Electric Microscope-Integrated Colour Printout (Nikon Labophot-Nikon HFX-
DX) untuk uji dan analisis morfologi produk film kemasan yang dihasilkan, Tenso Lab-MEY
(Shimadzhu) digunakan untuk uji dan analisis karakteristik mekanik film kemasan, RH-meter
(Bollmann) digunakan untuk mengukur higroskopisitas film kemasan, cetakan plastik (PE)
digunakan untuk mencetak film kemasan, oven dan desikator digunakan untuk finishing dan
conditioning, bejana gelas, termometer dan kompor elektrik digunakan dalam proses blending
komposit (sintesis), thermal magnetic stirrer diperlukan dalam proses polimerisasi asam laktat
menjadi APL.
4
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Metode isolasi khitosan dari kulit udang melalui proses demineralisasi, deproteinisasi dan
deasetilasi, dan uji derajat deasetilasinya dilakukan menggunakan metodenya Sabnis dan Block
(1997). Metode sintesis film kemasan dari komposit pati-gliserol-APL-khitosan dilakukan
menggunakan metodenya Firdaus dan Mulyaningsih (2008). Analisis morfologi dilakukan dengan
mengamati secara fisik film kemasan yang dihasilkan menggunakan mikroskop (EM-ICP) dengan
cara meletakkan sampel ujinya (3x3 cm) di bawah lensa microskop tersebut, gambar yang
ditampilkan dalam monitornya difoto dan dicetak. Analisis karakteristik mekanik (kuat tarik,
elongasi, modulus) dilakukan dengan cara menyiapkan sampel uji berupa film kemasan yang
dihasilkan dengan ukuran 2x30 cm kemudian dikaitkan pada penampang atas dan bawah Tenso
lab-MEY kemudian dilakukan peregangan sampai putus, dan hasil pengukurannya dapat diamati
di monitor Tenso lab. Kekuatan maksimal film kemasan diukur pada saat film menjelang putus,
yakni kuat tariknya dan persen mulurnya.
5
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
A. Formula I
Formula I terbuat dari campuran 50 mL cairan kental APL (5 % dari total aquades) dan
pemlastik gliserol sebanyak 25 mL (2,5 % dari total aquades);
6
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
C. Formula III
Formula III dibuat dengan penambahan gliserol 15 mL (1,5 % dari total aquades) dan
penambahan 10 mL cairan kental APL (1 % dari total aquades) serta 10 mL larutan khitosan 1 %
(DD: 75,19 %). Pengurangan komposisi APL dimaksudkan untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap distribusi APL dalam komposit atau morfologi film kemasan yang dihasilkan dan faktor
higroskopisitas film kemasan yang dihasilkan. Adapun pengurangan komposisi bahan gliserol
dimaksudkan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik mekanik film kemasan yang
dihasilkan. Film kemasan (formula III) yang dihasilkan dapat diamati dalam Gambar III.4 berikut:
7
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
8
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
III.2 Pengaruh komposisi bahan gliserol dan APL yang ditambahkan terhadap morfologi dan
karakteristik mekanik film kemasan yang dihasilkan
Morfologi, higroskopisitas dan karakteristik mekanik film kemasan yang dihasilkan
berkaitan erat dengan komposisi bahan gliserol dan APL yang ditambahkan dalam komposit.
Dalam pembahasan sebelumnya disampaikan bahwa secara visual dapat diamati perbedaan
performa film kemasan yang dihasilkan dari beragam komposisi bahan gliserol dan APL yang
ditambahkan.
A. Morfologi film kemasan yang dihasilkan
Hasil analisis morfologi dan higroskopisitas film kemasan yang dihasilkan dari komposit
pati-gliserol-APL, komposit pati-gliserol-khitosan, dan komposit pati-gliserol-APL-khitosan yang
dinotasikan dengan formula I, II, III, IV dan V dapat diamati dalam Gambar III.7, 8, 9, 10, 11
berikut:
9
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
10
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
11
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
kaitannya dengan penentuan formula optimal dalam mensintesis film kemasan dari komposit pati-
gliserolAPL-khitosan sangat diperlukan.
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian Latief (2001) yang menyatakan
bahwa pemilihan metode/teknologi produksi didasarkan pada evaluasi terhadap karaktersitik fisik
dan mekanik film yang dihasilkan. Semakin banyak bahan pemlastik yang ditambahakan maka
karakteristik mekaniknya akan semakin rendah dan semakin higroskopis, tetapi jika bahan
pemlastik yang ditambahakan terlalu sedikit maka film kemasan yang dihasilkan akan mudah
mengalami keretakan/kurang elastis. Penambahan bahan pemlastik harus disesuaikan dengan
karakteristik fisikokimia bahan utama lainnya yang terlibat dalam pembentukan film kemasan.
Tampak dalam Tabel III.1 tersebut bahwa karakteristik mekanik film kemasan yang
dihasilkan dari komposit pati-gliserol-APL-khitosan bervariasi sesuai dengan karakteristik material
yang terlibat. Setiap formula memiliki karakteristik mekanik yang beragam sesuai dengan
komposisi bahan penyusunnya. Terbukti pada film kemasan (formula I) memiliki karakteristik
mekanik paling rendah dibanding formula lainnya yang dapat dilihat pada nilai kuat tarik, elongasi
dan modulusnya. Adapun film kemasan (formula IV) memiliki karakteristik mekanik lebih tinggi
dibanding formula lainnya yang dapat dilihat pada nilai kuat tarik, elongasi dan modulusnya.
Tampak pada film kemasan (formula I, II, IV, V) secara berurutan menunjukkan kuat tarik dan
elongasi (mulur) yang meningkat sampai pada level tertinggi pada formula IV dan pada formula V
telah mengalami penurunan. Adapun untuk modulus yang menggambarkan tingkat kekakuan
secara berurutan meningkat dan mencapai level tertinggi pada formula V. Untuk formula II
menunjukkan karakteristik mekanik yang lebih rendah dibanding formula IV, sedangkan film
12
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
kemasan pembanding (polietilena) memiliki kuat tarik dan modulus lebih tinggi dibanding semua
formula walaupun elongasinya lebih rendah dibanding formula IV.
Latief (2001) menyatakan bahwa pemilihan metode/teknologi produksi didasarkan pada
evaluasi terhadap karaktersitik fisik dan mekanik film yang dihasilkan. Semakin banyak bahan
pemlastik yang ditambahakan maka karakteristik mekaniknya akan semakin rendah dan semakin
higroskopis, tetapi jika bahan pemlastik yang ditambahakan terlalu sedikit maka film kemasan
yang dihasilkan akan mudah mengalami keretakan/kurang elastis. Penambahan bahan pemlastik
harus disesuaikan dengan karakteristik fisikokimia bahan utama lainnya yang terlibat dalam
pembentukan film kemasan.
Sifat mekanik dari plastik biodegradabel yang dihasilkan tergantung dari keadaan
penyebaran pati dalam fase plastik, dimana bila pati tersebar merata dalam ukuran mikron dalam
fase plastik, maka produk plastik biodegradabel yang didapat akan mempunyai sifat mekanik yang
baik (Pranamuda, 2003). Karakteristik mekanik suatu film kemasan dapat disesuaikan dengan nilai
fungsi di tingkat aplikasinya karena tidak semua aplikasi kemasan diperuntukkan untuk kemasan
yang memiliki karakteristik mekanik tinggi. Berdasarkan data karakteristik mekanik film kemasan
dalam Tabel III.1 tersebut tampak bahwa karakteristik mekanik film kemasan yang berhasil
disintesis dari komposit pati tropis-pemlastik-PLA-khitosan yang mengandung bahan pemlastik
gliserol 10 ml (1 % dari total aquades) menunjukkan karakteristik mekanik yang memuaskan dan
lebih tinggi dibanding film kemasan yang dihasilkan dari komposit lainnya. Karakteristik mekanik
film kemasan yang dihasilkan tersebut masih membutuhkan upaya optimasi lebih lanjut dan
komprehensif agar diperoleh karakteristik mekanik yang lebih tinggi dan dapat bersaing dengan
film kemasan konvensional.
IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 5 formula film kemasan yang dirancang dengan
komposisi beragam, formula IV yang disintesis dari komposit pati-gliserol-APL-khitosan yang
mengandung gliserol 10 mL (1 % dari total aquades) memiliki karakteristik morfologi dan mekanik
yang relatif lebih baik dari formula lainnya. Morfologi film kemasan (formula IV) menunjukkan
permukaan film yang halus, tidak terdapat retak maupun gelembung udara secara morfologis dan
stabil di suhu ruang/tidak higroskopis. Film kemasan (formula IV) memiliki karakteristik mekanik
lebih tinggi dibanding formula lainnya yang dapat dilihat pada nilai kuat tarik, elongasi dan
modulusnya. Formula IV memiliki kuat tarik: 104,42 N/m2, elongasi: 33,80 %, dan modulus: 309,54
N/m2.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak terimakasih pada Kementerian Negara Riset dan Teknologi
(Menristek) yang telah membiayai riset ini dalam Program Insentif Riset Terapan 2007-2008.
13
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Allan dan Hadwiger, (1979) dalam Prasetyo, K.W. (2004). Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang
sebagai Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan. S Hut UPT Balitbang Biomaterial
LIPI Cibinong, Bogor.
El Grauth (1991) dalam Prasetyo, K.W. (2004). Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang sebagai
Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan. S Hut UPT Balitbang Biomaterial LIPI
Cibinong, Bogor.
Fahmi, R. (1997). Isolasi dan Transformasi Khitin Menjadi Khitosan. Jurnal Kimia Andalas. 3 (1) :
61 – 68.
Ferrer, J., G. Paez, Z. Marmol, E. Ramons, H. Garcia and C.F. Forster. (1996). Acid hydrolysis of
Shrimp Shell Wastes and The Production of Single Chell Protein from The Hydrolysate.
Journal Bioresource Technology. 57(1):55– 60.
Firdaus F dan Mulyaningsih S. (2008), Morfologi Film Plastik Biodegradable dari Komposit Pati
Tropis-PLA, Pati Tropis-Khitosan, dan Pati Tropis-PLA-Khitosan, Jurnal TEKNOIN ISSN
0853-8697 (Terakreditasi) Edisi Juni 2008.
Habibie, S. 2000. Polimer Khitosan dan Penggunaannya. Majalah Ilmiah Pengkajian Industri
(Topik : Material), Edidi No. : 11/Agustus/2000 ISSN : 1410-3680 Penerbit: Deputi
Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa, BPPT.
Latief, R. (2001). Teknologi Kemasan Kemasan Biodegradable, Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pascasarjana/S3 IPB, Bandung, http://www.hayati-
ipb.com/users/rudyct/indiv2001/rindam_latief.htm
Marganof, (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (timbal, kadmium dan
tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca
Sarjana / S3, ITB.
Martaningtyas, D. (2004). Potensi Plastik Biodegradable, 02 September 2004. http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/0904/02/cakrawala/lainnya06.htm
Mawarwati S., Widjanarko SB., dan Susanto T. (2001). Mempelajari Karakteristik Edible Film
Berantioksidan Dari Germ Gandum (Triticum Aestivum L.) Dan Pengaruhnya Dalam
Pengendalian Pencoklatan Pada Irisan Apel (Malus Sylvestris). Jurnal Biosain Vol.1, No.1
2001.
Pranamuda, H. (2003). Pengembangan Bahan Plastik Biodegradabel Berbahanbaku
PatiTropis,http://wwwstd.ryu.titech.ac.jp/~indonesia/zoa/paper/htmL/paperHardaningPran
amuda.htmL
Prasetyo, K.W. (2004). Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang
sebagai Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan. S Hut UPT Balitbang Biomaterial
LIPI Cibinong, Bogor.
Okawa Y., Kobayashi M., Suzuki S. and Suzuki M. (2003). Comparative Study of Protective Effects
of Chitin, Chitosan, and N-Acetyl Chitohexaose against Pseudomonas aeruginosa and
Listeria monocytogenes Infections in Mice, Biol. Pharm. Bull. Vol. 26 No. 6 P. 902—904
(2003).
Rismana, E. (2004). Kemasan Antimikroba, 18 Maret 2004. P3TFM, BPPT Jakarta. http://pikiran-
akyat.com/cetak/0304/18/cakrawala/lainnya04.htm
Sabnis S dan Block LH. (1997). Improved Infrared Spectroscopic Method for The Analysis of
Degree of N-deacetylation of Chitosan. Polymer Bulletin, 39: 67-71, 1997.
14