Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

VITILIGO

Disusun oleh :
Siti Khodijah Mulya Sari Rifki
1102015226

Pembimbing :
Dr. Evy Aryanti, Sp.KK

\
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
PERIODE 2 SEPTEMBER – 5 OKTOBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KABUPATEN BEKASI
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan referat yang berjudul Vitiligo dengan baik.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Dermatologi & Venerologi RSUD
Kabupaten Bekasi. Dalam keesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Evy Aryanti, Sp. KK. , selaku dokter pembimbing
2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Dermatologi & Venerologi RSUD
Kab. Bekasi
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Kabupaten Bekasi

Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik
dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir
penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar
dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam
menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Cibitung, 17 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1. DEFINISI ..........................................................................................................2
2.2. EPIDEMIOLOGI ..............................................................................................2
2.3. PATOGENESIS ................................................................................................3
2.4. GEJALA KLINIS .............................................................................................4
2.5. DIAGNOSIS .....................................................................................................7
2.6. DIAGNOSIS BANDING..................................................................................8
2.7. TATALAKSANA ...........................................................................................10
2.8. PROGNOSIS ..................................................................................................15
2.9. PENCEGAHAN .............................................................................................16
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................18

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Vitiligo vulgaris pada dewasa .................................................................6


Gambar 2.Vitiligo akrofasial....................................................................................6
Gambar 3.Vitiligo universalis ..................................................................................7
Gambar 4.Vitiligo segmental pada wajah dan leher ................................................7
Gambar 5.Vitiligo fokal ...........................................................................................7
Gambar 6.Fenomena Koebner .................................................................................7
Gambar 7.Algoritme terapi pada vitiligo ............................................................... 14

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.Diagnosis banding vitiligo generalisata ......................................................8


Tabel 2.Diagnosis banding vitiligo lokalisata ........................................................10
Tabel 3.Pengobatan untuk vitiligo .........................................................................10

v
Tugas Referat Divisi Dermatologi & Venerologi
Nama/NPM : Siti Khodijah Mulya Sari Rifki
Judul : Vitiligo
Tempat/Waktu : RSUD Kab Bekasi/ 17 September 2019
Pembimbing : dr Evy Aryanti, SpKK

BAB I
PENDAHULUAN

Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit. Kata vitiligo
sendiri berasal dan bahasa latin, yakni vitellus yang berarti anak sapi, disebabkan
karena kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih.
Istilah vitiligo mulai diperkenalkan oleh Celsus, ia adalah seorang dokter Romawi pada
abad kedua1,2.
Prevalensi vitiligo cukup tinggi yaitu kisaran 1% pada populasi di dunia.
Prevalensi vitiligo diantara populasi berbeda adalah ~0,38% pada Caucasians,
0,34% pada Afro Caribbeans, 0,46% pada Indians dan 0,093% pada Han Chinese3.
Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan kedua jenis kelamin. Pernah dilaporkan
bahwa vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi
perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh
karena masalah kosmetik. Penyakit juga dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut
dengan frekuensi tertinggi (50% dari kasus) pada usia 10–30 tahun4,5, 6.
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun, diduga
ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenik atau secara
autosomal dominan. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari 30% dari penderita
vitiligo mempunyai penyakit yang sama pada orangtua, saudara, atau anak mereka7.
Vitiligo bukanlah penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi
prognosisnya masih meragukan dan tergantung pada kesabaran dan kepatuhan
penderita terhadap pengobatan yang diberikan7. Oleh karena itu cara
mengidentifikasi hingga cara penatalaksanaan kelainan kulit yang dapat muncul
pada penderita vitiligo penting untuk diketahui dan menjadi latar belakang
penulisan referat ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit,
disebabkan faktor genetik dan non genetik yang berinteraksi dengan
kehilangan atau ketahanan fungsi melanosit dan pada kenyataannya
merupakan peristiwa autoimun. Keterangan lainnya mencakup kejadian
kerusakan adesi melanosit, neurogenik, biokimiawi, autotoksisitas3.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi vitiligo cukup tinggi yaitu kisaran 1% pada populasi di
dunia8. Prevalensi vitiligo diantara populasi berbeda adalah ~0,38% pada
Caucasians, 0,34% pada Afro-Caribbeans, 0,46% pada Indians dan 0,093%
pada Han Chinese3. Vitiligo secara umum berawal pada masa anak atau
dewasa muda namun dapat terjadi di semua usia dengan onset puncak usia
10 – 30 tahun. Pasien dengan riwayat keluarga vitiligo mempunyai rerata
onset lebih dini menderita vitiligo. Penyakit kulit ini tidak dipengaruhi ras
tertentu atau jenis kelamin, tetapi perempuan lebih banyak mencari
pengobatan dengan alasan kosmetik8.
Menurut beberapa penelitian, penderita vitiligo memiliki penyakit
yang sama pada orang tua, saudara, dan anak mereka. Vitiligo juga pernah
ditemukan pada kembar identik7. Angka kejadian vitiligo di bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Pusat Moehammad Hoesin
tahun 2011 adalah 29 kasus9. Berdasarkan catatan register di Poliklinik Kulit
dan Kelamin sub bagian Eritroskuamosa dan Autoimun RSUP Dr. Sardjiyo
Yogyakarta, jumlah kasus baru vitiligo selama periode Oktober 2008 –
Agustus 2011 sebanyak 136 kasus baru10.

2
2.3 PATOGENESIS
A. Genetik pada Vitiligo
Hampir seluruh studi genetika terfokus pada vitiligo generalisata, telah
diidentifikasi sedikitnya 10 lokus yang berbeda. Tujuh dari 10 yang
dijumpai terkait dengan penyakit autoimun lainnya (antara lain: HLA kelas
I dan II, PTPN22, LPP, NALP1, TYR yang mengkode tirosinase yang
merupakan enzim penting dalam sintesis melanin). Pada tipe segmental
diduga adanya mutasigen mosaik denovo bersifat sporadis11.

B. Hipotesis Autoimun
Ditemukannya aktivitas imunitas humoral berupa antibodi anti melanosit
yang mampu membunuh melanosit secara in vitro maupun in vivo.
Sekarang aktivitas humora ini lebih diduga sebagai respons sekunder
terhadap melanosit yang rusak dibandingkan dengan respons primer
penyebab vitiligo generalisaata. Pada tepi lesi vitiligo generalisata. Pada
tepi lesi vitiligo generalisata ditemukan adanya sel T sitotoksik yang
mengekspresikan profil sitokin tipe 111.

C. Hipotesis Neural
Hipotesis ini menunjukkan adanya mediator neurokimia yang bersifat
sitotoksik terhadap sel pigmen dan dikeluarkan oleh ujung saraf di
dekatnya. Teori ini didukung oleh kenyataan11:
1. Vitiligo lokalisata yang terbatas secara segmental tidak dermatomal
melainkan menyerang beberapa dermatom
2. Vitiligo segmental tidak berefek dengan obat-obat vitiligo
konvensional tetapi membaik terhadap obat-obat yang memodulasi
fungsi saraf
3. Terjadinya vitiligo dilaporkan setelah mengalami tekanan
emosional berat atau setelah kejadian neurologikal, misalnyaa
ensefalitis, multipel sklerosis, dan jejas saraf perifer

3
D. Hipotesis Biokimia
Kerusakan mitokondria mempengaruhi terbentuknya melanocyte growth
factors dan sitokin perulgasi ketahanan melanosit. Kadar antioksidan
biologik pada vitiligo: katalasse dan glutation peroksidase berkurang,
disebabakana kadar H2O2 epidermis meningkat. Bukti histopatologis
menunjukkan adanya kerusaakan yang diperantarai stress oxidative berupa
degenerasi vakuol. Beberapa penulis menekankan adanya sensitivitas
melanosit terhadao agen peroksidatif. Walaupun melemahnya sifat
scavenging radikal bebaas pada masa biosintesis melanin belum jelaas,
namun dua teori yang paling menjanjikan adalah : akumulasi H2O2 di
epidermis dan ekspresi abnormal tyrosin related protein (TRP-1)11.

2.4 GEJALA KLINIS


Pada pasien vitiligo tampak beberapa manifestasi klink berupa makula
amelanotik berwarna putih susu atau seperti kapur, biasanya berbatas tegas dan
tepi dapat berlekuk. Lesi dapat dilihat dengan pemeriksaan menggunakan
lampu Wood. Lesi meluas secara sentrifugal dan dapat timbul di semua area
tubuh, termasuk membran mukosa. Lesi awal sering timbul di area kulit yang
terpajan sinar matahari, tangan, lengan bawah, kaki, dan wajah, serta kulit yang
sering terjadi gesekan dan trauma12. Vitiligo pada wajah sering timbul di
daerah perioral dan periocular. Pada ekstremitas, lesi sering terdapat pada siku,
lutut, jari, dan pergelangan tangan fleksor3.
Vitiligo dengan onset masa anak mempunyai predileksi lesi awal yang
berbeda dengan onset vitiligo lambat. Predileksi lesi vitiligo onset masa anak
antara lain kelopak mata dan ekstremitas bawah, sedangkan daerah utama
vitiligo onset lambat antara lain adalah ekstremitas atas, khususnya tangan.
Vitiligo onset masa anak mempunyai prevalensi yang lebih tinggu juga
menderita penyakit alergi dan prevalensi yang lebih rendah dalam hal
menderita penyakit tiroid juga. Lesi vitiligo dapat didahului sunburn berat,
kehamilan, trauma pada kulit, dan/atau stress emosi8.

4
Atas dasar distribusi polimorfik, ekstensi, dan jumlah bercak putih,
vitiligo diklasifikasikan menjadi generalisata (vulgaris, akrofasial, campuran),
tipe universalis, dan lokalisata (fokal, segmental, dan mukosa). Vitiligo juga
diklasifikasikan sebagai segmental dan non-segmental, berdasarkan fitur klinis
yang khas fitur dan riwayat. Menurut klasifikasi ini, vitiligo non-segmental
mencakup semua kasus yang tidak diklasifikasikan sebagai vitiligo segmental,
termasuk lokalisata, generalisata, dan akrofasial3.
a. Vitiligo vulgaris — lesi tersebar dalam pola yang kurang lebih
simetris; presentasi paling umum dari vitiligo generalisata
b. Vitiligo akrofasial — memengaruhi ujung jari bagian distal dan
lubang pada wajah dengan pola melingkar; merupakan subtipe dari
dari vitiligo generalisata
c. Vitiligo campuran — kombinasi antara vitiligo vulgaris dan vitiligo
akrofasial, atau antara vitiligo segemental dan vitiligo akrofasial.
d. Vitiligo universalis — terdapat depigmentasi yang lengkap atau
hampir lengkap pada seluruh tubuh; merupakan bentuk vitiligo
generalisata paling parah
e. Vitiligo fokal — ditandai dengan adanya beberapa makula di satu
wilayah tetapi tidak didistribusikan dengan pola segmental; dianggap
sebagai bentuk prekursor dari vitiligo generalisata
f. Vitiligo mukosa — istilah untuk depigmentasi yang terjadi hanya pada
mukosa
g. Vitiligo segmental — dicirikan dengan makula yang memiliki
distribusi dermatomal unilateral yang tidak melewati garis tengah;
umumnya mempengaruhi anak-anak muda dan biasanya tetap
terlokalisasi, lesi depigmentasi menetap serta tidak berubah selama
bertahun-tahun

Vitiligo sering menunjukkan predileksi pada daerah yang terpapar


sinar matahari, lipatan tubuh, dan daerah periorifisial, meskipun bagian
tubuh manapun bisa terkena. Berbagai faktor pencetus telah diusulkan,

5
termasuk trauma fisik pada kulit, sunburn, stress psikologik, peradangan,
kehamilan, kontrasepsi, kekurangan vitamin, dan banyak lainnya. Namun,
saat ini tidak ada pemicu lingkungan spesifik yang terbukti. Vitiligo dapat
muncul di lokasi trauma kulit (fenomena Koebner)3.
Leukotrichia (depigmentasi rambut pada makula vitiligo), bisa sangat
bervariasi (10% -60%), dan dianggap mengindikasikan hancurnya reservoir
melanosit di dalam folikel rambut, oleh karena itu, dapat memprediksikan
respons terapeutik yang buruk. Premature graying of the hair telah
dideskripsikan pada 37% pasien dengan vitiligo, meskipun definisi dan
kuantitas fitur ini buruk, membuat hubungan klinis yang seharusnya tidak
pasti3.

Gambar 1.Vitiligo vulgaris pada dewasa Gambar 2.Vitiligo akrofasial

6
Gambar 3.Vitiligo universalis Gambar 4.Vitiligo segmental pada wajah dan leher

Gambar 5.Vitiligo fokal Gambar 6.Fenomena Koebner

2.5 DIAGNOSIS
Diagnosis vitiligo ditetapkan terutama berdasarkan pada dasar klinis,
termasuk distribusi dan luasnya lesi, serta riwayat alami penyakit3.

LABORATORIUM. Mengingat adanya hubungan antara vitiligo dan penyakit


autoimun lainnya, beberapa tes skrining laboratorium sangat membantu,
termasuk T4 dan kadar hormon TSH, antibodi antinuklear, dan complete blood
count. Dokter juga harus mempertimbangkan tes serum antithyroglobulin dan

7
antithyroid peroxidase antibodies, terutama bila pasien memiliki tanda dan
gejala sugestif dari penyakit tiroid3.

HISTOLOGI. Biopsi kulit jarang diperlukan untuk mengkonfirmasi


diagnosis vitiligo. Secara umum, histologi menunjukkan ketiadaan
melanosit pada epidermis di lesi area, dan terkadang sparse dermal,
perivaskular, dan infiltrasi limfosit perifollicular pada batas lesi vitiligo awal
dan aktif, proses ini sesuai dengan proses imun yang dimediasi sel untuk
menghancurkan melanosit in situ. Beberapa laporan telah melaporkan
bahwa melanosit mungkin tidak pernah hilang sama sekali dari depigmented
epidermis dan residu melanosit itu menjaga kemampuan pemulihan
fungsionalitas. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengklarifikasi masalah
yang sangat diperdebatkan ini dengan implikasi terapeutik yang jelas3.

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Tabel 1.Diagnosis Banding Vitiligo Generalisata3
Kondisi Fitur yang Membedakan
Inherited Hypomelanoses
Piebaldism Bercak putih yang stabil dan berbatas tegas
(tanpa adanya melanosit) yang
mempengaruhi tubuh dan tungkai bagian
depan; jambul putih; autosom dominan.
Waardenburg’s syndrome Jambul putih, makula berwarna putih,
hipertelorisme, tuli, ±Hirschsprung disease;
multiple genes-autosom dominan atau resesif
Tuberous sclerosis Makula hipopigmentasi berwarna ash leaf,
angiofibroma wajah / periungual, shagreen
patches; autosom dominan.
Ito’s hypomelanosis Distribusi linier, pola hipopigmentasi
unilateral atau bilateral makula; sporadis;
mosaikisme kromosom atau genetik
Infectious Disorders
Tinea versicolor Lesi hipopigmentasi, dimulai dari makula
kemerahan dengan sisik halus pada
pengikisan dan distribusi seborheik. Pada
pemeriksaan mikologi: terdapat hifa dan
spora
Secondary syphilis Patch bulat/oval yang depigmentasi
(depigmentasi pascainflamasi), di sekitar

8
leher (kalung Venus), badan, atau
depigmentasi patch dengan hiperpigmentasi
retikular perifer (lesi primer). Tes serologis
untuk infeksi treponemal adalah positif.
Leprosy (tuberculoid/ Patch yang mengalami depigmentasi dengan
borderline forms) presentasi polimorfik, biasanya disertai
dengan anestesi lokal; secara histologi: kulit
kompak granuloma.
Postinflammatory
Hypopigmentation
Discoid lupus erythematosus, Pasien memiliki riwayat dermatosis
scleroderma, lichen sclerosis sebelumnya
et atrophicus, psoriasis
Paramalignant
Hypomelanoses
Mycosis fungoides Makula hipomelanotik atau depigmentasi
difus terutama pada fototipe kulit yang lebih
gelap. Patch kulit datar, plak, dan tumor.
Histologi: infiltrat epidermis dengan sel
mononuklear.
Cutaneous melanoma Depigmentasi halo di sekitar atau di dalam
tumor.
Autoimmune reactions to Depigmentasi jauh dari tumor; adanya tumor
advanced melanoma mengecualikan vitiligo yang khas
Idiopathic Disorders
Idiopathic guttate Makula hipopigmentasi berbatas tegas,
hypomelanosis berbatastajam dan kecil dalam ukuran.
Mereka progresif lambat dan tidak konfluen.
Histologi menunjukkan atrofi epidermis dan
pengurangan kadar melanin.
Postinflammatory pigment Lesi hipopigmentasi postburn, dalam bentuk
loss luka bakar. Reaksi inflamasi hipopigmentasi
meninggalkan ill-defined, lesi yang berbatas
kurang tegas. Riwayat erupsi/cedera
sebelumnya mengecualikan vitiligo
Toxin-Induced
Depigmentation
Drug-induced depigmentation Depigmentasi mirip vitiligo umumnya
disebabkan oleh pekerjaan dengan paparan
topikal dari derivatif phenolic-catecholic,
sering mempengaruhi tangan dan lengan
bawah. Disebabkan oleh penggunaan obat
sistemik (klorokuin, fluphenazine,
physostigmine, imatinib, atau imiquimod
topikal)

9
Tabel 2.Diagnosis Banding Vitiligo Lokalisata3
Kondisi Fitur yang Membedakan
Nevus Depigmentosus Makula hipopigmentasi soliter berbatas tegas
dengan pinggiran irreguler, ukuran stabil,
soliter, paling sering muncul saat baru lahir.
Nevus Anemicus Lesi pucat hipokromik dengan batas yang
jelas dan margin irreguler; biasanya soliter,
terletak di badan. Pemeriksaan histologi dan
mikroskopis elektron menunjukkan tidak
ada kelainan pada melanosit atau
melanisasi.

2.7 TATALAKSANA
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012,
kompetensi dokter pelayanan primer dalam menangani vitiligo hanya sampai
level 3A, yatu mampu mendiagnosis dan memberikan tatalaksana awal serta
merujuk pada pelayanan sekunder. Tatalaksana yang dapat diberikan dalam
pelayanan primer, yaitu 7:
1) Edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien
2) Memberi informasi untuk menghindari pemicu yang dapat memperparah
keadaan seperti terpapar cahaya matahari dan trauma
3) Memberikan kortikosteroid topikal yang berguna untuk usaha mengadakan
repigmentasi
4) Merujuk ke pelayanan sekunder dalam hal ini adalah dokter spesialis kulit
dan kelamin

Tabel 3.Pengobatan untuk vitiligo


Topikal Physical Sistemik Pembedahan
Lini Kortikosteroid Ultravioler
Pertama (narrowband)
Inhibitor Psoralen
Calcineurin Sistemik dan
PUVA
Lini Calcipotriol PUVA Topikal Kortikosteroid Grafting
Kedua Laser Excimer (pulse therapy) Transplantasi
melanosit

10
Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir
surya dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan
mudah, serta dapat digunakan oleh pasien sendiri disbanding dengan terapi
lainnya. Kortikosteroid topikal juga dapat menjadi terapi inisial untuk
vitiligo. Seluruh pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-
masing, tidak semua terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita.
Berikut terapi yang dapat diberikan pada pasien vitiligo antara lain7:
1. Tabir surya yaitu sunscreen atau tabir surya mencegah paparan sinar
matahari berlebih pada kulit. Hal ini dapat mengurangi kerusakan
akibat sinar matahari dan dapat mencegah terjadinya fenomena
Koebner.
2. Kosmetik yaitu banyak penderita vitiligo, terutama jenis vitiligo fokal,
menggunakan covermask kosmetik sebagai pilihan terapi
3. Repigmentasi yaitu berbagi cara yang dapat dilakukan untuk proses
repigmentasi adalah sebagai berikut :
a. Glukokortikoid Topikal
Sebagai awal pengobatan, terapi diberikan secara intermiten (4
minggu pemakaian, 2 minggu tidak). Glukokortikoid topical
kelas I cukup praktis, sederhana, dan aman untuk pemberian
pada makula tunggal atau multiple. Jika dalam 2 bulan tidak ada
respon, mungkin saja terapi tidak berjalan efektif. Perlu
dilakukan pemantauan tanda-tanda awal atrofi akibat
penggunaan kortikosteroid.
b. Topikal inhibitor kalsineurin
Topikal inhibitor kalsineurin seperti tacrolimus dan
pimecrolimus efektif untuk repigmentasi vitiligo tetapi hanya di
daerah yang terpapar sinar matahari.
c. Topikal fotokemoterapi
Topikal fotokemoterapi menggunakan topical 8-
methisypsoralen (8-MOP) dan UVA. Prosedur ini diindikasikan
untuk makula berukuran kecil. Hampur sama dengan psoralen

11
oral, mungkin diperlukan minimal 15 kali terapi untuk inisiasi
respon dan minimal 100 kali terapi untuk menyelesaikannya.
d. Fotokemoterapi sistemik/ PUVA
Sampai saat ini, PUVA dianggap sebagai terapi andalan untuk
pasien dengan vitiligo luas. PUVA merupakan kombinasi dari
topikal atau oral 8-methoxypsoralen dengan iradiasi UVA (320
– 400nm). Psoralen pilihan yaitu methoxsalen diberikan oral
dengan dosis 0,4mg/kgBB dalam 1 – 2 jam sebelum paparan
UVA. Untuk terapi topikal PUVA, methoxsalen 0,1% dapat
diaplikasikan pada daerah vitiligo dalam 30 – 60 menit sebelum
paparan radiasi UV. Topikal PUVA diindikasikan pada pasien
dengan vitiligo yang melibatkan < 20% area permukaan tubuh
namun painful burns (phototoxicity reactions) sayangnya tidak
dapat dihindarkan. Psoralen oral dapat digunakan pada pasien
dengan keterlibatan yang lebih luas ata pada pasien yang tidak
berespons dengan PUVA topikal. Setelah terapi oral, pasien
diharuskan memakai UVA-blocking glasses dan
direkomendasikan menggunakan broad-spectrum sunscreens
serta pakaian yang melindungi. Pasien yang memiliki kulit yang
lebih gelap cenderung merespons lebih baik terhadap PUVA,
mungkin karena mereka dapat mentoleransi paparan PUVA yang
lebih tinggi. PUVA tidak direkomendasikan untuk penggunaan
pada anak-anak dibawah usia 12 tahun karena terdapat resiko
jangka panjang terbentuknya katarak dan kanker kulit.3
e. UVB Narrow-band (311 nm)
Efektivitas terapi ini hampir sama dengan PUVA, namun tidak
memerlukan psoralen. UVB adalah terapi pilihan untuk anak
kurang dari 6 tahun.3 Narrowband UV (NB-UVB) light dengan
emisi puncak pada 311nm, dianggap terapi yang paling efektif dan
aman saat ini, oleh karena itu dianggap sebagai terapi pilihan untuk
vitiligo generalisata sedaang – parah. Studi terbaru yang

12
mengevaluasi psolaren dan PUVA versus NB-UVB menunjukkan
bahwa NB-UVB menghasilkan tingkat repigmentasi yang lebih
tinggi dan warna yang lebih cocok. NB-UVB memiliki efek
samping reaksi jangka pendek seperti reaksi eritema yang
menyakitkan serta efek samping jangka panjang seperti penebalan
epidermal, atrofi dan fotokarsinogenesis yang lebih sedikit
dibandingkan PUVA.3
Protokol NB-UVB yang paling umum digunakan adalah
melibatkan pemberian dosis awal 0,21 J/cm2 selama 2 kali
seminggu, kemudian menaikkan dosisnya sebanyak 20% setiap sesi
sampai tercapai dosis eritema minimal (dosis terendah yang akan
menghasilkan visible erythema pada depigmented skin selama 24
jam). Diperlukan kurang lebih 9 bulan tercapai untuk mencapai
reigmentasi maksimal; setidaknya diperlukan 3 bulan pengobatan
sebelum kondisi dapat dikatakan sebagai nonresponsif. Bagian
yang paing responsif adalah wajah, badan dan anggota tubuh serta
yang paling tidak responsif adalah tangan dan kaki3
f. Laser Excimer (308 nm)
Terapi ini cukup efektif. Namun, sama seperti pada PUVA,
proses repigmentasi tergolong lambat. Terapi jenis ini sangat
efektif untuk vitiligo yang terdapat di wajah.
g. Immunomodulator sistemik
Tingkat keberhasilannya pada lebih dari 90% orang dewasa dan
lebih dari 65% anak-anak dengan vitiligo adalah dari tingkatan
baik sampai sangat baik.
h. Topikal analog Vitamin D
Analog vitamin D, khususnya calcipotriol, telah digunakan
untuk terapi tunggal atau dikombinasikan dengan topical steroid
pada manajemen vitiligo.

13
i. Topikal 5-Fluorouracil
Topikal 5-Fluorouracil digunakan untuk menginduksi
repigmentasi pada lesi vitiligo dengan cara memperbesar
stimulasi migrasi dari melanoit folikuler ke epidermis selama
proses epitelisasi.
j. Minigrafting
Teknik pembedahan dengan metode minigrafting cukup efektif
untuk mengatasi vitiligo dengan makula segmental yang stabil
dan sulit diatasi.
k. Depigmentasi
Tujuan dari depigmentasi adalah kesatuan warna kulit pada
pasien dengan vitiligo yang luas atau pasien dengan terapi PUVA
yang gagal, yan tidak dapat menggunakan PUVA, atau pasien
yang menolak pilihan terapi PUVA. Terapi biasanya dianggap
selesai setelah 10 bulan pemberian. Efek samping termasuk
dermatitis kontak, okronosis eksogen dan leukomelanoderma en
confetti. Biasanya dibutuhkan waktu 9 – 12 bulan agar terjadi
depigmentasi.

Gambar 7.Algoritme Terapi pada Vitiligo3

14
2.8 PROGNOSIS
Perjalanan penyakit vitiligo pada seseorang tidak dapat diduga, dapat
stabil selama beberapa tahun, tetapi dapat pula membesar, sementara lesi
lain muncul atau menghilang. Repigmentasi spontan dapat terjadi terutama
pada anak-anak, tetapi juga tidak menghilang sempurna, terutama pada
daerah terpajan matahari.5
Pada kenyataan repigementasi berlangsung lambat, tidak sempurna
dam tidak permanen, keadaan ini terutama bila menggunakan fototerapi.
Ketiadaan rambut sebagai sumber pigmen diperkirakan terjadi kegagalan
terapi, misalnya pada jari-jari tangan dan kaki.11
Anjuran:11
1. Klinisi harus menilai efek psikologis dan kualitas hidup pasien.
2. Pada pemakaian kortikosteroid perhatikan efek samping.
3. Pada anak-anak terapi kortikosteroid topikal harus lengkap, lebih
aman bila memakai pimekrolimus atau takrolimus.
4. Nb-UVB ataupun PUVA hanya diperuntukan bagi pasien anak
maupun dewasa yang tidak efektif dengan terapi konsevatif.
5. Nb-UVB ataupun PUVA hanya dipakai untuk pengobatan vitiligo
generalisata atau terlokalisir yang menglami gangguan pada kualitas
hidupnya. Terapi in dipakai oleh pasien kulit berwarna (gelap).
6. Sebelum terapi degan Nb-UVB ataupun PUVA sebaiknya dijelaskan
kepada pasien, pengobatan in tidak mengubah riwayat alami vitiligo,
tidak semua pasien memberi respons yang baik dengan modalitas ini,
dan respons pada tangan dan kaki tidak baik dan pengobatan dibatasi
mengingat efek samping. Disarankan pemakaian pada kulit putih (I-
III) tidak lebih dari 200 kali untuk Nb-UVB dan 150 kali untuk PUVA
sedangkan untuk kulit yang lebih gelap dapat lebih banyak. Sebaiknya
lesi dimonitor dengan fotografi setiap 2 – 3 bulan.
7. Terapi Nb-UVB lebih baik daripada PUVA.

15
8. Pemakaian deksametason oral untuk menghambat perkembangan
penyakit tidak dapat dianjurkan kareba risiko efek samping yang
tidak dapat diterima.
9. Pengobatan bedah hanya untuk daerah kosmetis, yang sudah tidak
berkembang atau membanyak lagi dalam satu tahun dan tidak ada
mekanisme Koebner. Pilihan terbaik adalah dengan split skin graft
sedangkan minigraft tidak dianjurkan karena menghasilkan tampilan
cobblestone dan polka dot.
10. Depigmentasi dengan p-(benzoil)fenol hanya boleh untuk pasien
dengan luas di atas 50% atau mengenai wajah atau tangan yang tidak
berhasil dengan berbagai terapi dan yang dapat menerima untuk tidak
pernah tanning lagi.

2.9 PENCEGAHAN
Pasien, patient support group dan purveyors of alternative medicines
telah berkembang luas dan telah terdapat beragam hipotesis mengenai
penyebab vitiligo, pendekatan hingga pencegahannya. Saat ini, tidak ada
bukti bahwa pencegahan vitiligo efektif. Apalagi saat ini tidak ada
pendekatan yang berguna untuk mengidentifikasi individual yang berisiko
tinggi terkena vitiligo.3

16
BAB III
KESIMPULAN

Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit dengan


manifestasi klink berupa makula amelanotik berwarna putih susu atau seperti
kapur, biasanya berbatas tegas dan tepi dapat berlekuk. Lesi dapat dilihat
dengan pemeriksaan menggunakan lampu Wood. Vitiligo diklasifikasikan
menjadi generalisata (vulgaris, akrofasial, campuran), tipe universalis, dan
lokalisata (fokal, segmental, dan mukosa). Vitiligo juga diklasifikasikan
sebagai segmental dan non-segmental.
Diagnosis vitiligo ditetapkan terutama berdasarkan pada dasar klinis,
termasuk distribusi dan luasnya lesi, serta riwayat alami penyakit. Tes skrining
laboratorium yang dapat membantu diagnosis adalah T4 dan kadar hormon
TSH, antibodi antinuklear, dan complete blood count. Secara umum, histologi
menunjukkan ketiadaan melanosit pada epidermis di lesi area, dan terkadang
sparse dermal, perivaskular, dan infiltrasi limfosit perifollicular pada batas lesi
vitiligo awal dan aktif.
Tatalaksana lini pertama yang dapat diberikan adalah dengan
kortikosteroid topikal dan inhibitor calcineurin topikal serta Nb-UVB dan
PUVA. Sedangkan lini kedua yang dapat diberikan adalah calcipotriol,
PUVA topikal, laser excimer, kortikosteroid sistemik, grafting dan
transplantasi melanosit.
Perjalanan penyakit vitiligo pada seseorang tidak dapat diduga, dapat
stabil selama beberapa tahun, tetapi dapat pula membesar, sementara lesi
lain muncul atau menghilang. Saat ini, tidak ada bukti bahwa pencegahan
vitiligo efektif. Apalagi saat ini tidak ada pendekatan yang berguna untuk
mengidentifikasi individual yang berisiko tinggi terkena vitiligo.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamazazh M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta; Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.
2. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks’color atlas and synopsis of clinical
dermatology. Edisi ke-6. New York: McGraw Hill; 2009.
3. Birle AS, Spritz RA, Norris D. Dalam: Gold Smith LG, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editor. Fitz Patrick’s Dermatology in
General Medicine. New York: McGrawHill Medical; 2012.
4. Rook A, Wilkinson DS, Ebling FGJ, editor. Textbook of dermatology.
Edisi ke-6. Malden: Blackwell Science; 1998.
5. Boissy RE, Manga P. On the etiology of contact/occupational vitiligo.
Pigment Cell Res. 2004.
6. Moretti S. Vitiligo. USA: Orphanet Encyclopedia; 2003.
7. Herperian. Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer. J Medula Unila,
2016.
8. Nicolaidou, et. al. Childhood-and later-onset Vitiligo Have Diverse
Epidemiologic and Clinical Characteristics. J Am Acad Dematol; 2011.
9. Lukas R dan Sibero HT. Vitiligo. Juke Unila; 2015.
10. Hananti RES, Anik Murwaningsih dan Arief Budiyanto. Terapi
Kombinasi Fototerapi Narrow Band Ultraviole B (NBUVB), Takrolimus
0,1% dan Alfaa Tokoferol pada Vitiligo Segmental. Berkala Ilmu
Kesehatan Kuilt dan Kelamin; 2011.
11. Jacoeb TNA. Dalam Menaldi SL, Bramono K, Indiatmi W, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2015.
12. Anstey AV. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editor.
Rook’s Textbook of Dermatology. Chichester: Blackwel Publishing Ltd;
2010.

18

Anda mungkin juga menyukai