Disusun oleh :
1. Fajaruddin (162121xxx)
2. Amin Rais (162121009)
3. Ema Latifa (1621210xx)
4. Devina Kusuma Sari (1621210xx)
5. Ulfa Lailiyatul Mubarokah (1621210xx)
FAKULTAS SYARIAH
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Suku Baduy?
2. Apa saja jenis-jenis hukum di Suku Baduy?
3. Bagaimana sruktur penegak hukum di Suku Baduy?
4. Bagaimana proses peradilan dalam Suku Baduy?
5. Bagaimana kontribusi hukum adat Baduy terhadap Hukum Nasional?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengerti tentang Suku Baduy.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis hukum di Suku Baduy.
3. Untuk mengetahui sruktur penegak hukum di Suku Baduy.
4. Untuk memahami proses peradilan dalam Suku Baduy.
5. Untuk memahami kontribusi hukum adat Baduy terhadap Hukum Nasional.
Sebagaimana halnya adat Baduy, hukum pidana adat Baduy juga berfilosofi pada
keseimbangan alam. Filosofi yang dipakai pun sama, “lojor teu meunang di-potong,
pondok teu meunang disambung”. Artinya, “panjang tak boleh dipotong, pendek tak
boleh disambung”. Jadi, apapun bentuk, aturan hingga sanksi harus ditegakkan tidak
boleh dikurangi atau dilebihkan dikarenakan suatu alasan. Maka, falsafah hidup
tersebut kemudian dijabarkan melalui hukum pidana adat Baduy.
Contoh lain dalam adat Baduy ialah mengenal dengan adanya Ngabokoran dan
Serah Pati.2 Dikarenakan mayoritas Hukum Adat lebih banyak bertumpu pada
penyelesaian atau dalam proses perkara bukan dari hasil putusannya. Maka, kepada
Jaro Tangtu dapat melihat dengan teliti sebab-sebab dan didasarkan rasa kemanusiaan
dapat berperan adil. Sejalan dengan adanya asas nebis in idem yaitu
Sama, di kami semua yang turut serta dalam kejahatan juga ada, misalnya
si pelaku ada yang nitah (menyuruh), titahan saha (suruhan siapa)?
sakabehna hatena geus teu endah
Dikarenakan perbuatan pelaku bersifat tindak pidana ringan3 maka, oleh Jaro
Tangtu diusahakannya jalur perdamaian sehingga keharmonisan kembali terjaga. Hal
ini senada dengan konsep musyawarah yang dikenal dengan istilah Restorative Justice.4
1
Silih Ngahampura yaitu permintaan maaf yang diajukan oleh pelaku kepada korban atau selesainya
permasalahan antar dua pihak secara damai atau kekeluargaan.
2
Ngabokoran adalah upacara pembersihan batiniah atas tindak pidana yang tidak terlalu berat. Serah
Pati adalah upacara pembersihan batiniah atas tindak pidana berat.
3
Dalam menyelesaikan permasalahan, Suku Baduy lebih menekankan kepada kemudahan yaitu jalur
perdamaian dengan pergantian kerugian (jika diperlukan). Dengan maksud tidak membesarkan perkara yang
kecil / ringan. Tindak pidana ringan meliputi semua bentuk larangan yang ada dalam Baduy Dalam dan Luar.
Seperti: Larangan Minum Alkohol, Merokok, Menggunakan Pakaian Modern, Emas, Kendaraan, dan
sebagainya.
Hal ini sesuai dengan keinginan masyarakat yang menginginkan adanya proses
yang tidak berbelit-belit dalam berperkara. Sedangkan mengenai sanksi bagi
pelanggaran bentuk-bentuk tindak pidana dalam Suku Baduy, seperti penipuan. Dalam
tindak pidana penipuan, pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana lebih diarahkan
pada ganti rugi. Biasanya pelaku diminta membuat perjanjian untuk mengganti rugi,
jika pelaku tak punya uang maka harus menjual hartanya (misalnya menjual
huma/padi). Jika pelaku tak punya harta, maka pertanggungjawaban dibebankan pada
keluarga si pelaku.
Perzinaan atau zina, dalam adat Suku Baduy merupakan suatu aib yang
memalukan semua pihak. Maka dalam menyikapi hal tersebut pelaku segera dikirim ke
“rutan” rumah tahanan selama 40 hari. Dan selama dikarantina disana pelaku zina
(pezina) diajari hidup dan diawasi dengan baik seperti halya aktivitas keseharian serta
mendapatkan siramah rohani.
4
Restorative Justice merupakan suatu cara yang lebih produktif dalam menangani delik dibandingkan
menambah orang dalam perkara. Bermediator dan duduk bersama dengan tujuan kepuasan pihak terkait.
5
Ferry Fathurokhman, Jurnal Law Reform: “Hukum Pidana Adat Baduy Dan Relevansinya Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana”, (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, April 2010) Vol. 5 Nomor 1. Hlm. 9.
Hal diatas tidak menutup kemungkinan akan adanya dendam dikarenakan bukan
rasa jera yang akan didapat oleh narapidana atau warga binaan di dalam penjara
melainkan rasa penyesalan yang berlebih kemudian berubah menjadi kemarahan
terhadap diri sendiri apalagi kepada orang yang mengakibatkannya masuk jeruji besi.
Suku Baduy sangat memperhatikan hak yang ada pada kepentingan pelaku
(offender oriented) juga kepentingan korban (victim oriented). Hal ini perlu ditiru oleh
sistem nasional saat ini agar dalam mempidanakan tidak hanya melihat satu sisi saja
melainkan juga mempertimbangkan kemanfaatan yang dapat diupayakan bagi semua
pihak yang terlibat. Contohnya di dalam rutan tidak hanya berdiam saja, melainkan
juga diberikan bekal atau kursus beberapa keahlian kepada warga binaan jika telah
sampai pada kurungan penjara.
Maka dengan cara seperti itu akan timbul rasa keadilan yang dirasakan pula oleh
korban dan atau pihak korban. Terapan penyelesaian kasus dari Suku Baduy ini patut
untuk diakomodir dan di pertimbangkan dalam pembaharuan hukum nasional yang ada
di dalam KUHP Indonesia.