Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Kodifikasi Al-Qur’ân dan Penyempurnaannya

A. Pendahuluan
Al-Qur’ân sebagaimana yang dikenal oleh umat Islam saat ini ternyata memiliki
sejarah yang cukup panjang dalam upaya penulisan dan kodifikasinya. Pada zaman
Nabi Muhammad Saw, Al-Qur’ân belum ditulis dan dikodifikasi ke dalam satu mushaf
resmi seperti yang kita kenal saat ini, bahkan ia masih terpisah-pisah penulisannya.
Ayat-ayat Al-Qur’an ada yang ditulis di atas kepingan-kepingan tulang unta, pelepah-
pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan benda-benda lain yang sesuai dengan
kondisi peradaban masyarakat pada masa itu.
Berbagai keterbatasan dan kesederhanaan teknologi alat tulis pada masa itu
sesungguhnya sama sekali tidak mengurangi keotentikan Al-Qur’an, karena pada hak
Allah Swt menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an selamat dari usaha-usaha
pemalsuan, penambahan atau pengurangan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Allah dalam surat Al-Qiyâmah: 17-181. Sejarah pun mencatat bahwa proses kodifikasi
dan penulisan Al-Qur’an terjamin kesuciannya secara meyakinkan. Untuk mengetahui
hal itu, maka makalah ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana sejarah
kodifikasi Al-Qur’ân tersebut.

B. Sejarah Penulisan dan Kodifikasi Al-Qur’ân


1. Penulisan Al-Qur’ân Periode Pertama
Usaha penulisan dan kodifikasi Al-Qur’ân sudah dimulai sejak masa Nabi
Muhammad Saw. Beliau mengangkat sahabat-sahabat yang agung menjadi dewan
penulis wahyu seperti Ali, Mu’âwiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsâbit untuk
membantu penulisan wahyu. Pada masa ini, setiap kali turun ayat Al-Qur’ân kepada
Nabi Muhammad Saw, beliau kemudian membacakan ayat tersebut didepan para
sahabat-sahabatnya dengan jelas kemudian menginstruksikan dewan penulis
wahyu untuk menuliskan ayat tersebut. Ada pula sahabat-sahabat yang menuliskan

     


1
   

1
Al-Qur’ân atas inisiatif mereka sendiri meski mereka tidak termasuk golongan yang
diperintahkan untuk menuliskannya2.
Maka pada masa itu Al-Qur’ân terhimpun dalam tulisan-tulisan sederhana pada
benda-benda seperti: ‘usub (pelepah kurma), likhâf (batu halus berwarna
putih), riqâ’ (kulit), aktâf (tulang unta), dan aqtâb (bantalan dari kayu yang biasa
dipasang di atas punggung unta). Keterbatasan alat tulis pada masa ini dapat
menggambarkan betapa sulitnya tugas yang harus dilaksanakan oleh dewan penulis
wahyu, karena itu mereka juga menghafal Al-Qur’ân dalam ingatan masing-masing
untuk mempermudah tugas mereka, kemudian menyetorkan hafalan serta tulisan
mereka kepada Nabi Muhammad Saw.3

Para sahabat Nabi Muhammad Saw kemudian mengajarkan Al-Qur’ân yang


telah mereka hafal kepada keluarga mereka dengan teliti dan sungguh-sungguh
sehingga ketika ada yang melewati rumah mereka pada malam hari, ia akan
mendengar alunan Al-Qur’ân. Kemudian tradisi belajar mengajar Al-Qur’ân tetap
dilanjutkan sampai generasi tabi’în (hingga saat ini) melalui tatap muka kepada guru
(talaqi) untuk menjaga kebenaran bacaannya sesuai dengan yang didengar dari
Nabi Muhammad Saw, dengan metode inilah Al-Qur’ân diajarkan secara turun
temurun sehingga terjaga keasliannya tanpa ada pengurangan huruf-huruf, kalimat-
kalimat bahkan sampai dalam teknis membacanya.4
Baru diketahui dikemudian hari bahwa menurut Az-Zarkasyi, ketiadaan mushaf
resmi pada masa Nabi Muhammad Saw hikmahnya adalah agar tidak terjadi
perubahan yang terus menerus dalam penulisannya karena pada masa ini wahyu
masih diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. 5 Maka tatkala wahyu terputus
dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw, Allah mengilhamkan kepada Abu Bakar
Ash-Shiddîq untuk menuliskannya atas usulan sahabat Umar. Awal penulisan Al-
Qur’ân ini sesungguhnya merupakan bukti kebenaran janji Allah yang difirmankan
dalam Al-Qur’ân surat 15, Al-Hijr: 9 untuk menjaga keaslian Al-Qur’ân bagi umat
Islam. Ini adalah periode pertama dalam sejarah penulisan Al-Qur’ân.
2
Lihat Mannâ’ Al-Qatthân, Mabâhits fi ‘Ûlumil Qur’ân, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1995), hal. 118.
3
Ibid, hal. 119.
4
Abdul Azîz, Pedoman Daurah Al-Qur’ân, (Jakarta: Markaz Al-Qur’ân, 2008), hal. 10.
5
Mannâ’ Al-Qatthân, Mabâhits fi ‘Ûlumil Qur’ân, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1995), hal. 120.

2
2. Penulisan Al-Quran Periode Kedua
Setelah suksesi Abu Bakar6 sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Awal masa
jabatannya diwarnai masalah gerakan pemurtadan besar-besaran yang dilakukan
kebanyakan masayarakat Arab. Oleh karena itu ia segera menyiapkan pasukan
yang terdiri dari banyak penghafal Al-Qur’ân untuk memerangi mereka. Sejarah
mencatat dalam perang Yamamah (12 H) antara tentara Islam dan golongan murtad
menelan 70 orang korban jiwa dari golongan ahli Al-Qur’ân (qâri).7
Sahabat Umar takut akan dampak kejadian besar ini, oleh karena itu Ia
menyarankan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan menuliskan Al-Qurân
agar tidak hilang. Memang pada masa itu peperangan sedang berkecamuk di
berbagai tempat-tempat lain, jika sampai tragedi perang Yamamah terulang, niscaya
Al-Qur’ân akan hilang dan dilupakan bersamaan dengan wafatnya para qari.
Awalnya Khalifah Abu-Bakar tidak sepakat untuk melakukan usulan ini, bahkan
ia benci mendengar usul ini karena menurut Abu Bakar hal tersebut belum pernah
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Namun atas desakan Umar yang terus
menerus, akhirnya Abu Bakar setuju untuk mulai menulisankan Al-Qur’ân.
Kemudian Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsâbit sebagai penulis Al-Qur’ân karena
menurut Abu Bakar, Zaid adalah pemuda yang memiliki kemampuan hafalan,
tulisan, serta pemahaman yang mendalam tentang Al-Qur’ân.

Mulailah Zaid mengumpulkan tulisan Al-Quran dari tulang-tulang unta, pelepah-


pelepah kurma dan benda-benda lain serta hafalan kaum muslim, kemudian
menuliskannya dalam satu mushaf. Tugas ini sangat berat baginya hingga ia pernah
berkomentar “andaikan ia diperintahkan untuk memindahkan batu gunung ke
gunung yang lain, sesungguhnya tugas ini lebih berat dari itu”. Menurut riwayat yang
dituturkan oleh Zaid, ia mendapatkan akhir surat At-Taubah8 dibacakan oleh

6
Berkuasa pada tahun 632-634 M/11-13 H. Lihat: Wikipedia.org, diakses pada 11/10/2015.
7
Qari adalah orang (laki-laki) yang mahir dalam seni baca Al-Qur’an. Lihat: KBBI daring
Q.S 9 At-Taubah ayat 128-129:8
     
    
    
        
     
 

3
sahabat Khuzaimah Al-Anshari sebagai ayat yang terakhir disetorkan kepadanya,
setelah sebelumnya tak ada seorang pun yang memiliki bukti (Syâhid) atas ayat
tersebut9.

Setelah penulisan pertama selesai Abu Bakar menyimpan mushaf ini di


rumahnya hingga ia wafat (634 M/13 H), lalu mushaf ini pindah ke tangan Umar bin
Khattab10 sebagai Khalifah penggantinya hingga ia wafat, kemudian akhirnya
sampai ke tangan Hafshah anak perempuan Umar. Periode Abu Bakar dan Umar ini
dikenal sebagai periode kedua dalam sejarah penulisan Al-Qur’ân.

3. Penulisan Al-Qur’ân Periode Ketiga


Kekuasaan Islam telah bertambah luas ke berbagai penjuru pada masa Khalifah
‘Usmân bin Affân11. Perbedaan cara baca Al-Qur’ân mulai muncul di berbagai
daerah, khususnya daerah yang baru dikuasai Islam; mereka mengikuti bacaan
sesuai utusan (qari) yang diutus ke kota-kota mereka. Penduduk Syam mengikuti
bacaan Ubay bin Ka’ab. Penduduk Kuffah mengikuti bacaan Abdullah bin Mas’ud
dan sebagian lain mengikuti bacaan Abu Mûsâ Al-Asy’ari
Perbedaan pendapat mereka diantaranya adalah soal bunyi huruf dan bentuk
bacaan. Banyaknya perbedaan ini mulai meresahkan ulama sahabat karena kaum
muslim pada masa itu mulai saling menyalahkan bacaan satu sama lain. Akhirnya
kadang mereka hanya berpuas diri dengan anggapan bahwa semua perbedaan
bacaan ini disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Khalifah Usman akhirnya mengambil keputusan yang bijaksana, ia menugaskan
kepada Zaid bin Tsâbit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-Ash dan Abdurrahman bin
Hisyam untuk memperbarui mushaf Abu Bakar dan berpesan kepada mereka bila
mereka berselisih pendapat tentang bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa

9
Karena ketelitian Zaid, Ia hanya menerima ayat yang disetorkan dalam hafalan dan tulisan. Oleh karena itu
meskipun Zaid menghafal dua ayat terakhir surat At-Taubah tsb, Ia tidak berani menuliskannya hingga datang
Khuzaimah Al-Anshari sebagai satu-satunya orang yang memiliki bukti tertulis ayat tersebut. Lihat Manna’
Qatthan, Mabâhits fî Ulumil Qur’ân, hal. 122.
10
Berkuasa pada 634-644 M/ 13-23 H. Lihat: Wikipedia.org, diakses pada 11/10/2015.
11
Ia adalah khalifah ke tiga yang memerintah pada 644-

4
Quraisy, karena Al-Qur’ân diturunkan dalam bahasa quraisy12. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 25 H dan dikenal sebagai periode ketiga dalam sejarah penulisan Al-
Qur’ân

Beberapa perbedaan antara mushaf Abu Bakar dan Usman adalah:

Faktor Pendorong Teknis Penulisan


Mushaf Abu Bakar Mushaf Usman ditulis Mushaf Abu Bakar disalin Mushaf Usman disalin
ditulis karena karena timbul banyak dari hafalan sahabat dan dari mushaf Abu Bakar
banyaknya ahli Al- perbedaan bacaan berbagai benda yang menggunakan satu
Qur’ân yang gugur huruf di berbagai terpisah-pisah dengan bentuk penulisan dari
karena perang daerah penulisan yang berbeda saja (bahasa quraisy).
(Ahruf As-sab’ah13)

4. Penyempurnaan Rasm Usmani

Bentuk mushaf-mushaf usmani yang direvisi pada periode ketiga masih kosong
dari titik dan harakat, karena keadaan masyarakat pada masa itu masih memiliki
intuisi bahasa arab yang kental sehingga tanda baca berupa titik dan harakat belum
dibutuhan. Namun seiring waktu, intuisi bahasa arab masyarakat mulai memudar
karena banyaknya percampuran arab dengan non arab, hal ini membuat ûlil amri
(pemerintah) resah dan mendorong para cendikiawan agar membuat tanda baca
yang membantu kaum muslim untuk membaca Al-Qur’ân dengan benar.14

Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang siapakah orang pertama yang
melakukan penyempurnaan tersebut. Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa
orang yang pertama melakukan penyempurnaan rasm usmani adalah Abul Aswad
Adduali. Menurut riwayat Abul Aswad memberi tanda pada rasm usmani atas
perintah Ziyad gubernur Bashrah (masa pemerintahan Khalifah Ali) karena

12
Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qur’ân Dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani Pres), hal. 45.
13
Pembahasan “Tujuh huruf” Al-Quran menimbulkan perbedaan pendapat ulama hingga menurut Jalaluddin Al-
Suyuthi dalam Al-Itqân ada empat puluh pendapat.
14
Mannâ’ Al-Qatthân, Mabâhits fi ‘Ûlumil Qur’ân, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1995), hal. 143.

5
mendengar seorang laki-laki keliru dalam membaca ayat 3 surat At-Taubah15,
sebelunya ia sudah pernah mendapat tugas ini namun belum melaksanakannya,
setelah mendengar banyaknya kekeliruan masyarakat dalam membaca rasm
usmani maka mulailah ia membuat tanda titik di atas huruf untuk fathah, titik di
bawah huruf untuk kasrah, titik diantara bagian huruf untuk dhommah. Dan dua titik
untuk tanda sukun.

As-Suyûthi dalam kitabnya Al-Itqân menyebutkan bahwa yang pertama membuat


tanda baca pada rasm usmani adalah Abul Aswad atas perintah Abdul Malik bin
Marwan, bukan atas perintah Ziyad, sebelumnya mushaf usmani tetap dibaca dalam
keadaan aslinya selama kurang lebih 40 tahun hingga masa pemerintahan Abdul
Malik yang ketika itu gencar memperbanyak mushaf, sehingga pemerintah merasa
perlu adanya revisi dalam penulisan rasm usmani.

Ada banyak riwayat lain yang menyebutkan nama-nama seperti Al-Hasan Al-
Bashri, Yahya bin Ya’mar, Nasr bin ‘Âshim Al-Laitsi, namun Abul Aswad adalah
yang paling masyhur diantara mereka. Barangkali masing-masing tokoh ini
mempunyai peran-peran tersendiri dalam penyempurnaan rasm usmani.

Penyempurnaan rasm usmani bertahap dari semula hanya titik-titik pada huruf-
huruf pada masa Abul Aswad berganti menjadi tanda yang diambil dari huruf pada
masa Khalîl bin Ahmad Al-Farahidy (w. 170 H). Tanda baca kreasi Al-Khalil berupa
garis panjang di atas huruf berbentuk seperti alif kecil sebagai tanda fathah dan di
ya kecil bawah huruf untuk kasrah. Wawu kecil untuk tanda dhummah dan dua
wawu kecil untuk tanda tanwin tanda-tanda tersebut ditulis dua kali. Ad-Daly
mengatakan dengan “metode ini sangat memungkinkan untuk menulis huruf I’jam
(bertitik) yang dikembangkan oleh kaum cendikiawan lain sehingga menjadi tanda
yang kita kenal saat ini”.

      15


 … 
Laki-laki tersebut membaca kalimat “rasûluhu” menjadi “rasâlihi”.

6
Untuk tanda titik dalam huruf (nuqath al-‘ijam) pada mulanya berbentuk
lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang
pada baian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf
(hitam) agar dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-‘irab) yang umumnya
ditulis dengan warna merah.

Sejak abad ketiga tahun hijriah, rasm usmani semakin berkembang karena
masyarakat berlomba-lomba untuk membuat tanda yang indah pada mushaf. Pada
masa ini masyarakat membubuhi tanda seperti busur untuk huruf ber-tasydid.
kemudian berkembang pula penulisan nama-nama sûrah dan jumlah ayatnya, tanda
awal ayat, tanda waqaf lazim, tanda dilarang waqaf, tanda boleh waqaf, tanda boleh
waqaf namun lebih baik wahsal, mu’ânaqah dan tanda-tanda yang lain.

Pada mulanya para ulama tidak begitu menyukai (makruh) revisi tanda baca ini
karena takut ada penambahan dalam Al-Qur’ân. menurut Al-Halimi mereka memilih
untuk hanya menggunakan tanda titik dan harakat dan meninggalkan penulisan
tanda awal surat dan ayat karena mengikuti pendapat Ibnu Mas’ud: “Kosongkanlah
Al-Qur’an dan jangan campurkan dengan apapun”. Kemudian hukum tersebut
berubah menjadi boleh (mubah) bahkan disukai seperti komentar An-Nawawi yang
dikutip oleh As-Suyûthi “Tanda titik dan harakat pada mushaf itu dibolehkan karena
dapat menjaga Al-Qur’ân dari kesalahan (lahn) dan perubahan”.16

C. Kesimpulan

Pengodifikasian dan penyempurnaan Al-Qur’ân memiliki sejarah yang cukup


panjang. Periode pertama dimulai sejak masa hidupnya Nabi Muhammad Saw,
pada masa ini penulisan wahyu dilakukan di atas alat tulis sederhana oleh dewan
penulis wahyu yang diangkat oleh Nabi Muhammad Saw, namun para sahabat lain
juga ikut menulis atas inisiatif sendiri. Kemudian dengan banyaknya ahli Al-Qur’ân
yang meninggal pada perang Yamamah, Abu Bakar sebagai pengganti Nabi
Muhammad mulai mengumpulkan Al-Qur’ân atas usulan Umar bin Khattab. Pada
masa ini teks Al-Qur’ân dikumpulkan dari berbagai alat tulis sederhana pada masa

16
Lihat Nawawi, Al-Itqan hal.182. J.2.

7
itu sebagai bukti atas hafalan para sahabat. Keadaan mushaf ini menggunakan
rasm yang berbeda-beda (sab’atu ahruf). Kemudian direvisi pada periode ketiga
yaitu masa pemerintahan Usman bin Affan dengan memperbaiki tulisan tersebut
menjadi satu rasm formal (bahasa quraisy) namun masih kosong dari tanda baca
karena keadaan masyarakat yang masih memiliki intuisi bahasa arab yang baik.

Selanjutnya penyempurnaan penulisan Al-Qur’ân terus dilakukan hingga


puncaknya pada sekitar abad ketiga hijriah masyarakat menambahkan tanda-tanda
fathah, kasrah, dhummah, titik-titik pada huruf, awal ayat, nama surat, dan tanda
waqaf serta tanda-tanda lainnya seperti yang kita kenal saat ini.

Anda mungkin juga menyukai