Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PEDAHULUAN

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi


menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah
pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai dengan
perkembangan ilmu kedokteran.1 Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh
dokter Oliver Wendell Holmes (1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan
dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi
nyeri. Secara harfiah anestesi berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti
yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu
rangsangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan
rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi
dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan.
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa
nyeri yang reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa
sakit seluruh tubuh secara sentral . Perbedaan dengan anestesi regional adalah
anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.
Anestesi regional terbagi atas anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid),
anestesi epidural dan blok perifer. Anestesi spinal dan anestesi epidural telah
digunakan secara luas di bidang ortopedi, obstetri dan ginekologi, operasi anggota
tubuh bagian bawah dan operasi abdomen bagian bawah.
Anestesi spinal diindikasikan untuk bedah ekstremitas inferior, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah
urologi, bedah abdomen bawah, dan semakin banyak penggunaannya untuk
operasi ortopedi ekstremitas inferior. Anestesi spinal mudah dan murah untuk
dilakukan, tetapi resiko yang mungkin dapat ditimbulkan juga tidak sedikit, antara
lain hipotensi, blok tinggi (spinal), radiokulopati, abses, hematom, malformasi
arterivenosa, sindrom arteri spinal anterior, sindrom hornes, nyeri punggung,
pusing, serta defisit neurologis.

1
Sekarang ini anestesi regional semakin berkembang dan meluas
pemakaiannya dibandingkan anestesi umum. Karena anestesi umum bekerja
hanya menekan aksis hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional
bekerja menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke
adrenal. Hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai keuntungan yang ada di antaranya
relatif murah, pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan
kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna. Salah satu teknik
anestesi regional yang pada umumnya dianggap sebagai salah satu teknik yang
paling dapat diandalkan adalah anestesi spinal.2 Berikut akan dilaporkan sebuah
kasus anestesi regional yaitu anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid) pada tindakan
laparatomi kista ovarium terpelintir.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anestesi Blok Subaraknoid (Anestesi Spinal)


1. Definisi3
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
Anestesi spinal atau blok subaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau
blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Jarum spinal hanya
dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas
atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah
dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan
dilakukan insersi.
2. Anatomi Tulang Belakang4
Untuk mempelajari kelainan Tulang Belakang atau Tulang
Punggung seperti scoliosis terlebih dahulu kita harus mengenal
anatominya.

3
Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan, terdapat 33 tulang
punggung pada manusia, 5 diantaranya bergabung membentuk bagian
sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di
atasnya terdiri dari 24 tulang yang dibagi menjadi 7 tulang cervical
(leher), 12 tulang thorax (thoraks atau dada) dan, 5 tulang lumbal.
Banyaknya tulang belakang dapat saja terjadi ketidaknormalan. Bagian
terjarang terjadi ketidaknormalan adalah bagian punggung.
Struktur umum
Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian
anterior yang terdiri dari badan dan tulang atau corpus vertebrae dan
bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae
dibentuk oleh dua “kaki” atau pediculus dan dua lamina, serta didukung
oleh penonjolan atau procesus yakni procesus articularis, procesus
transversus, dan procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang
yang disebut foramen vertebrale. Ketika tulang punggung disusun,
foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat sumsum tulang
belakang atau medulla spinalis. Di antara dua tulang punggung dapat
ditemui celah yang disebut foramen intervertebrale.

4
Tulang punggung cervical
Secara umum memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau
procesus spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang
pendek, kecuali tulang ke-2 dan 7 yang procesus spinosusnya pendek.
Diberi nomor sesuai dengan urutannya dari C1-C7 (C dari cervical),
namun beberapa memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas, C2 atau
aksis.
Tulang punggung thorax
Procesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk.
Beberapa gerakan memutar dapat terjadi. Bagian ini dikenal juga sebagai
”tulang punggung dorsal”. Bagian ini diberi nomor T1 hingga T12.
Tulang punggung lumbal
Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya
dan menanggung beban terberat dari yang lainnya. Bagian ini
memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan
rotasi dengan derajat yang kecil.
Tulang punggung sacral
Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung
dan tidak memiliki celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.
Tulang punggung coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan tanpa
celah.

3. Indikasi dan Kontraindikasi1:


Indikasi :
 Bedah ekstremitas bawah
 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rektum perineum
 Bedah obstetrik-ginekologi
 Bedah urologi
 Bedah abdomen bawah

5
 Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan.

Kontraindikasi absolut:
 Pasien menolak
 Infeksi pada tempat suntikan
 Hipovolemia berat, syok
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
 Tekanan intrakranial meningkat
 Fasilitas resusitasi minim
 Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif1:


 Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
 Infeksi sekitar tempat suntikan
 Kelainan neurologis
 Kelainan psikis
 Bedah lama
 Penyakit jantung
 Hipovolemia ringan
 Nyeri punggung kronis

4. Persiapan dan peralatan analgesia spinal :


Persiapan analgesia spinal1:
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti
persiapan pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti
apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis
tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba
tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di
bawah ini:

6
1. Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia
spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT
(activated partial thromboplastine time)

Peralatan analgesia spinal1:


1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/anestesi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil
(pencil point whitecare).

5. Teknik analgesia spinal1:


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan
pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya
obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

7
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain
1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-
kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya
bedah hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

8
6. Anestesi Lokal untuk Anastesi Spinal1:
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius
adalah 1.003-1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan
CSS disebut isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar
dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih
kecil dari CSS disebut hipobarik.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan:


- Lidokain (xylobain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat
isobarik, dosis 20-100 mg (2-5ml).
- Lidokain (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat
jenis 1.003, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2 ml).
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat
isobarik, dosis 5-20 mg
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis
1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)

Bupivakain
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain,
tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada
anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS
(hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area
penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat
yang sama di tempat penyuntikan.
Bupivakain adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam
golongan amino amida. Bupivakain diindikasi pada penggunaan
anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi
epidura dan anestesi intratekal. Bupivakain kadang diberikan pada
injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat

9
tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk
mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah
operasi.
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk
memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa,
dan fentanil untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk pemberian
bupivakain adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko
untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat
tersebut.
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular
dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel
sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf
yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis
dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi
dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan
serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung
mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.

7. Komplikasi Anastesi Spinal :


Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan
dan komplikasi pasca tindakan.
Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat4
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya
adalah terjadinya hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan
anestesi spinal merupakan manifestasi fisiologis yang biasa terjadi.
Hal ini terjadi karena : (1) Penurunan darah balik, penurunan
secara fungsional volume sirkulasi efektif karena venodilatasi, dan
penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh darah
sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung
karena penurunan kontraktilitas dan denyut jantung.

10
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi
spinal adalah blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan
vena. Dilatasi arteri menyebabkan penurunan tahanan perifer total
dan tekanan darah sistolik sampai 30%. Dilatasi vena dapat
menyebabkan hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran
balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini tidak boleh
terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak
adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat
berbahaya pada pasien dengan kelainan pembuluh coroner
(misalnya pada geriatri). Dikatakan hipotensi jika terjadi
penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100 mmhg,
atau penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan
lamanya perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit.Oleh karena
itu kejadian hipotensi harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi
hipotensi akibat spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan
prabeban yaitu Ringer Laktat (RL) dan atau obat vasopressor salah
satunya dengan pemberian efedrin. Efedrin merupakan vasopresor
pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric sebagai obat yang
diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin
adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi
langsung yang menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi
tak langsung dengan melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output,
denyut jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Menurunkan aliran darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan
aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin dapat secara
subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan
pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV 5-10
mg bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal.

11
2. Bradikardia5
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan
bradikardi adalah perubahan fisiologis yang paling penting dan
sering pada anestesi spinal. Pemahaman tentang mekanisme
homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan
denyut jantung penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler
terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu
tanda vital pada anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak
stabil dapat menyebabkan bradikardi apabila terdapat penurunan
frekuensi denyut nadi yang berlebihan. Karena itu pemilihan obat
anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat adanya
efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan tekanan
darah dan frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan
efedrin yang berfungsi berdasarkan reseptor adrenergik yang
menghasilkan respon simpatis. Oleh karena efedrin dapat
menyebabkan vasokonstriksi perifer, sehingga pada penggunaan
klinis efedrin meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut
nadi.
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total3
Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:
 Volume obat analgetik lokal makin besar makin tinggi daerah
analgesia
 Konsentrasi obat makin pekat makin tinggi batas daerah
analgesia

12
 Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang
meninggikan batas daerah analgetik
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas
analgesia yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan
: 3 detik untuk 1 ml larutan.
 Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor
serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik
cenderung berkumpul kekaudal (saddle block) pungsi L2-3
atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.
 Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama
didapat batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna
vertebralis makin besar dosis yang diperlukan (berat badan
tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
 Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya
larutan analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak
dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,
motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin
mungkin terjadi.

Komplikasi pasca tindakan1:


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan
karena adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum
spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan
semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal

13
anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan
serebrospina l sampai 1-2 minggu. Kehilangan CSS sebanyak 20
ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal
headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari
postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari.
Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan
pencegahan dengan :
 Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no.
25,27,29).
 Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal
duramater sehingga jarum tidak merobek dura tetapi
menyisihkan duramater.
 Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari
selama 3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai
pengganti yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :
 Memakai abdominal binder
 Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu
sendiri di ruang epidural tempat kebocoran.
 Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun;
>10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai
jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit
kepala daripada laki-laki.
4. Retensio urine
5. Meningitis.
8. Persiapan dan Penilaian Pra Anastesia
Persiapan Tindakan Anestesi1
 Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan
memperkenalkan dirinya.

14
 Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan
lokasi operasi
(misalnya, lutut kanan).
 Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali
 Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
 Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur
tekanan tekanandarah arteri.
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan.
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien
sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat
kunjungan, dilakukan wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan
apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya, adakah penyakit-
penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada
pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka
mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan juga hasil
pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang
sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa
pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan
dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society Of
Anesthesiologist (ASA).
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
Melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupan setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

15
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat huruf E (E = EMERGENCY).

2.2. Kista Ovarium6


1. Definisi
Kista adalah suatu jenis tumor, penyebab pastinya sendiri belum
diketahui. Kista adalah suatu jenis tumor berupa kantong abnormal yang
berisi cairan. Pada wanita organ yang paling sering terjadi adalah kista
ovarium.

Gambar 1.1 Kista Ovarium


2. Anatomi Ovarium
Ovarium terletak antara rahim dan dinding panggul, dan digantung ke
rahim oleh ligamentum ovari propium dan ke dinding panggul oleh
ligamentum infudibulo-pelvikum.Fungsinya sebagai tempat folikel,
menghasilkan dan mensekresi estrogen dan progesteron.

Gambar 1.2 Anatomi Ovarium

16
3. Etiologi
Penyebab terjadinya kista ovarium yaitu terjadinya gangguan
pembentukan hormon pada hipotalamus, hipofise, atau ovarium itu sendiri.
Kista ovarium timbul dari folikel yang tidak berfungsi selama siklus
menstruasi.
Faktor resiko terjadinya kista ovarium.
a. Riwayat kista ovarium sebelumnya
b. Siklus menstruasi yang tidak teratur
c. Meningkatnya distribusi lemak tubuh bagian atas
d. Menstruasi dini
e. Tingkat kesuburan
f. Hipotiroid atau hormon yang tidak seimbang
g. Terapi tamosifen pada kanker mamma

4. Patofisiologi
Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil
yang disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan
dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel
yang ruptur akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki
struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi
fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan
pengerutan secara progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum
mula-mula akan membesar kemudian secara gradual akan mengecil
selama kehamilan. Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal
disebut kista fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan
luteal yang kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat
distimulasi oleh gonadotropin, termasuk FSH dan HCG.
Kista fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi
gonadotropin atau sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Pada
neoplasia tropoblastik gestasional (hydatidiform mole dan
choriocarcinoma) dan kadang-kadang pada kehamilan multiple dengan

17
diabetes, HCG menyebabkan kondisi yang disebut hiperreaktif lutein.
Pasien dalam terapi infertilitas, induksi ovulasi dengan menggunakan
gonadotropin (FSH dan LH) atau terkadang clomiphene citrate, dapat
menyebabkan sindrom hiperstimulasi ovari, terutama bila disertai dengan
pemberian HCG.
Kista neoplasia dapat tumbuh dari proliferasi sel yang berlebih dan
tidak terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat ganas atau jinak.
Neoplasia yang ganas dapat berasal dari semua jenis sel dan jaringan
ovarium. Sejauh ini, keganasan paling sering berasal dari epitel permukaan
(mesotelium) dan sebagian besar lesi kistik parsial. Jenis kista jinak yang
serupa dengan keganasan ini adalah kistadenoma serosa dan mucinous.
Tumor ovari ganas yang lain dapat terdiri dari area kistik, termasuk jenis
ini adalah tumor sel granulosa dari sex cord sel dan germ cel tumor dari
germ sel primordial. Teratoma berasal dari tumor germ sel yang berisi
elemen dari 3 lapisan germinal embrional; ektodermal, endodermal, dan
mesodermal. Endometrioma adalah kista berisi darah dari endometrium
ektopik. Pada sindroma ovari pilokistik, ovarium biasanya terdiri folikel-
folikel dengan multipel kistik berdiameter 2-5 mm, seperti terlihat dalam
sonogram.

5. Tanda dan gejala


Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki
gejala. Namun kadang-kadang kista dapat menyebabkan beberapa masalah
seperti:
1. Bermasalah dalam pengeluaran urin secara komplit
2. Nyeri selama hubungan seksual
3. Masa di perut bagian bawah dan biasanya bagian-bagian organ tubuh
lainnya sudah terkena.
4. Nyeri hebat saat menstruasi dan gangguan siklus menstruasi
5. Wanita post monopouse: nyeri pada daerah pelvik, disuria,
konstipasi atau diare, obstruksi usus dan ansietas.

18
6. Pemeriksaan penunjang
a. Ultrasonografi (USG)
Alat peraba (transducer) digunakan untuk memastikan keberadaan
kista, membantu mengenali lokasinya dan menentukan apakah isi
kista cairan atau padat. Kista berisi cairan cenderung lebih jinak, kista
berisi material padat memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
b. Laparoskopi
Dengan laparoskopi (alat teropong ringan dan tipis dimasukkan
melalui pembedahan kecil di bawah pusar) dapat melihat ovarium,
menghisap cairan dari kista atau mengambil bahan untuk biopsi.

7. Penatalaksanaan
a. Observasi
Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor (dipantau)
selama 1-2 bulan, karena kista fungsional akan menghilang dengan
sendirinya setelah satu atau dua siklus haid. Tindakan ini diambil jika
tidak curiga ganas4
b. Operasi
Jika kista membesar, dengan ukuran >5 cm maka dilakukan tindakan
pembedahan, yakni dilakukan pengambilan kista dengan tindakan
laparoskopi atau laparotomi. Biasanya kista yang ganas tumbuh
dengan cepat dan pasien mengalami penurunan berat badan yang
signifikan. Akan tetapi kepastian suatu kista itu bersifat jinak atau
ganas jika telah dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi setelah
dilakukan pengangkatan kista itu sendiri melalui operasi.

19
2.3. Hipertensi7
1. Diagnosis dan klasifikasi hipertensi
Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan
adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang
diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas
tekanan darah normal yang diijinkan adalah sebagai berikut :
Dewasa 140/90 mmHg
Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg
Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention,
detection, evaluation, and treatment of high blood pressure tahun 2003,
klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2.

Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran


TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu
pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik
pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih
pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan
TD darah sebelumnya.
Di samping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya,
dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:
a. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:
Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.

20
b. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:
 Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis,
polikistik ginjal, stenosis arteri renalis.
 Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal
congenital, sindroma Conn (hiperaldosteronisme primer),
phaeochromacytoma, hipotiroidisme.
 Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat
Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda keracunan.
 Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa,
hiperkalsemia, peningkatan volume intravaskuler
(overload).

2. Patogenesis hipertensi
Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yangdiketahui penyebabnya
secara spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena
beberapa dari kasus- kasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan
terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri renalis,
coarctation dari aorta, pheochromocytoma, cushing disease, akromegali,
dan hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial.
Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi.
Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan
peningkatan aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari
curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme atau
terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-
duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada
mayoritas penderita hipertensi.1,3 Pola perkembangan terjadinya
hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal.
Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR
meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang meningkat
secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy) dan

21
merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral
sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi
dipertahankan pada tekanan yang tinggi. Tekanan darah berbanding lurus
dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan
dengan menggunakan hukum Law, yaitu:

BP = CO x SVR

Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun


hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik
ada 3 tempat yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post
kapiler (venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan
faktor keempat lewat pengaturan volume cairan intravaskuler. Hal lain
yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas
saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk
sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari
keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal
yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan
SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan
endotelin-1 berefek vasokonstriksi.

3. Farmakologi dasar obat- obat antihipertensi


Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam
tubuh. Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atau
prinsip kerjanya, yaitu:
a. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh
dan volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan
thiazide, loop diuretics.
b. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan
cara menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan
resistensi pembuluh darah perifer, menghambat fungsi kardiak,
meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO.

22
Contohnya: beta dan alpha blocker, methyldopa dan clonidine,
ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic blocker
(reserpine, guanethidine).
c. Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-
otot polos vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium
channel blocker.
d. Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin,
penghambatan ini menurunkan resistensi perifer dan volume darah,
yaitu dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan
menghambat metabolisme dari bradikinin.

23
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. F.K
Umur : 61 tahun
Alamat : Merauke
BB : 67 Kg
TB : 170 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Petani
Suku bangsa : Papua
Ruangan : Orthopedi
Tanggal masuk rumah sakit : 28 Agustus 2014
Tanggal operasi : 3 September 2014

3.2. Anamnesis
Keluhan utama:
Nyeri pada kaki kanan disertai kesulitan dalam berjalan.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang berobat dengan keluhan nyeri pada kaki kanan bekas operasi
sebelumnya. Nyeri pada kaki kanan bawah dirasakan terus-menerus seperti
menusuk sehingga pasien tidak dapat beraktivitas. Sebelumnya pasien
mengaku susah dalam perbajaln dan pasien merasakan timbul benjolan keras
di kaki kanan pasien. ± 2 tahun yang lalu pasien perna terlibat kecelakaan lalu
lintas di Merauke. Setelah beberapa saat kemudian pasien dibawah ke RSUD
merauke, dan pasien dirujuk ke RSU dok 2 jayapura. Setelah dirawat di RSU
dok 2 pasien diambil tindakan operasi. ± 8 bln yang lalu pasien mengaku kaki
kanan bekas operasinya terasa sakit setelah sebelumnya pasien melompat-

24
lompat karena sedang menjalani terapi rohani. Seminggu kemudian pasien
merasakan nyeri di daerah bekas operasi dan mulai tidak dapat berjalan
dengan baik. Pasien mencari pengobatan di RSUD merauke dan pasien
dirujuk kembali ke RSU dok 2. Pada tanggal 3 september pasien dilakukan
tindakan operatif.
Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
dan penyakit kardiovaskular
- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal
(Asma, TBC)
- Riwayat Alergi Obat : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya : 2 tahun yang lalu pasien perna
operasi tulang pada kaki kanannya.
3.3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Rontgen tanggal 18 Agustus 2014

Tampak fraktur pada tulang tibia dan fibula, tampak deformitas pada
tulang tibia.

25
Hasil Foro Rontgen tanggal 4 September 2014 post operasi.

Hasil laboratorium tanggal 3 September 2014


Pemeriksaan Hasil
Hb 11,8 g/d
Trombosit 151.000 /ult

Hasil laboratorium 2 September 2014


Pemeriksaan Hasil
CT 10’00’’
BT 3’00’’

Hasil laboratorium tanggal 23 Agustus 2014


Pemeriksaan Hasil
Gula darah sewaktu 78 mg%
Ureum 27 mg%
Kreatinin 1,4 mg%
SGOT 16 U/L

26
SGPT 9 U/L

3.4. Status Anestesi


PS. ASA : I
Hari/Tanggal : 03/09/2014
Ahli Anestesiologi : dr. D. S. Sp.An KIC
Ahli Bedah : dr. R. T. Sp.OT
Diagnosa Pra Bedah : - Malunion fr. Tibia dekstra post ORIF

Diagnosa Pasca Bedah : - Malunion fr. Tibia dekstra post ORIF

Makan terakhir : 7 jam yang lalu


BB : 67 Kg
TTV : TD :120/80 mmHg, N: 87 x/m, SB: 36,3
SpO2 : 100 %
B1 : Airway bebas, thorax simetris, ikut gerak napas,
RR: 18 x/m, palpasi: Vocal Fremitus D=S,
perkusi: sonor, suara napas vesikuler +/+,
ronkhi-/-, wheezing -/-, malampati score : I
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, BJ: I-II murni regular,
konjungtiva anemis -/-
B3 : Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15 (E4V5M6),
riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC, produksi urin durante op 50 cc,
warna kuning jernih.
B5 : Perut tampak cembung, palpasi: nyeri tekan (-),
perkusi: tympani,BU (+) normal
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (+),

27
Medikasi Pra Bedah : -
Jenis Pembedahan : Rekonstruksi Tibia
Lama Operasi : (09.00 –11.55 WIT)
Jenis Anestesi : Blok subaraknoid (blok spinal)

Anestesi Dengan : Decain 0,5% 20 mg


Teknik Anestesi : Pasien duduk di meja operasi dan kepala
menunduk, dilakukan aseptic di sekitar daerah
tusukan yaitu di regio vertebra lumbal 3-4,
dilakukan blok subaraknoid (injeksi Decain 0,5 %
20 mg) dengan jarum spinal pada regio vertebra
antara lumbal 3-4, Cairan serebro spinal keluar (+)
jernih, dilakukan blok.
Pernafasan : Spontan
Posisi : Tidur terlentang
Infus : Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL
Penyulit pembedahan : -

Tanda vital pada akhir : TD: 135/60 mmHg, N:88 x/m, SB: 36,6°C RR:
pembedahan 24 x/m
Medikasi : Durante operasi:
- Decain 0,5% (20 mg)
- Sulfat atropin
- Ranitidin 25 mg
- Ondansentrom 4 mg
- Efedrin 10 mg
3.5. Observasi selama operasi
waktu sistole diastole
08.50 120 70
09.05 110 68
09.20 104 56
09.35 85 55

28
09.50 115 58
10.05 98 56
10.20 120 58
10.35 115 62
10.50 140 70
11.05 130 65
11.20 135 70
11.35 142 70
11.50 145 65
12.00 135 60

Diagram 1. Observasi tekanan darah

3.6. BALANCE CAIRAN


Waktu Input Output

Pre operasi RL : 500 cc IWL : 670 cc


Urin : 100 cc

Durante operasi RL : 800cc Urin : 1100 cc


Gelofusal : 500 cc Perdarahan : 600 cc
NaCl : 100cc
WB : 300cc

Total 2200 cc 2470

3.7. Follow Up Post-Operasi


1. Hari/Tanggal : Kamis, 04-09-2014
Jam : 16.30 WIT
S : Pasien dapat beraktifitas di tempat tidur, merasakan nyeri
pada kaki kirinya saat berbaring. Pasien juga sudah dapat makan dan
minum. Demam (-).

29
O :
Keadaan Umum = Tampak sakit ringan,
Kesadaran = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm.
Nadi = 78 x/m ,
Respirasi = 20 x/m, Suhu Badan =
36,8oC

B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara


napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR:
20 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, Nadi 78x/m, kuat angkat,
regular. BJ: I-II murni regular, murmur (-),
galop (-).
B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, riwayat pingsan (-
), riwayat kejang (-).
B4 : DC (+), BAK (+) spontan, warna kuning
jernih.
B5 : Abdomen supel, cembung,nyeri tekan (-),
timpani, BU (+) normal
B6 : Fraktur (+), edema (-), motorik aktif

A : Malunion Fr.Tibia dekstra post screwing (pemeriksaan hari 1)


P:
 IVFD RL
 Meropenem 3 x 1 gr (H.1)
 Ketorolac 3 x 1 amp
 Ranitidin 2 x 1 amp
 Amikacin 2 x 500 mg
 GV/2 hari
 Awasi tanda-tanda compartemen sindrom.

30
2. Hari/Tanggal : Jumat, 05-09-2014
Jam : 17.45 WIT
S : Pasien dapat beraktifitas di tempat tidur, merasakan nyeri
pada kaki kirinya saat berbaring.
O :
Keadaan Umum = Tampak sakit ringan,
Kesadaran = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm.
Nadi = 89 x/m ,
Respirasi = 22 x/m, Suhu Badan =
35,8oC

B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara


napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR:
22 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, Nadi 89x/m, kuat angkat,
regular. BJ: I-II murni regular, murmur (-),
galop (-).
B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm, riwayat pingsan (-
), riwayat kejang (-).
B4 : DC (+), BAK (+) spontan, warna kuning
jernih.
B5 : Abdomen supel, cembung,nyeri tekan (-),
timpani, BU (+) normal
B6 : Fraktur (+), edema (-), motorik aktif

A : Malunion Fr.Tibia dekstra post screwing (pemeriksaan hari 2)


P:
 IVFD RL
 Meropenem 3 x 1 gr (H.1)
 Ketorolac 3 x 1 amp
 Ranitidin 2 x 1 amp

31
 Amikacin 2 x 500 mg
 GV/2 hari
 Awasi tanda-tanda compartemen sindrom.

3.8. RESUME
Seorang pasien, pria, 61 tahun, datang berobat ke rumah sakit tanggal 28
Agustus 2014 dengan keluhan Nyeri pada kaki kanan disertai kesulitan dalam
berjalan. Setelah diperiksa dengan pemeriksaan fisik dan foto radiologi,
ditemukan adanya deformitas pada tulang tibia, tampak malunion pada tibia
dekstra. Pasien didiagnosis Malunion fr. Tibia dekstra post screwing. Pasien
tidak memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus. Klasifikasi status fisik
penderita digolongkan dalam ASA I sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan
biokimia. Saat pertama kali pasien datang tensi pasien 120/80 mmHg, N :
87x/menit. Pasien dioperasi Rekonstruksi Tibia pada tanggal 3 September
2014 dengan anestesi blok subaraknoid. Saat dioperasi tampak deformitas
pada tulang tibia dekstra. Salah satu efek samping anestesi blok subaraknoid
adalah hipotensi. Untuk mencegah hipotensi pasien diberi cairan prabeban
yaitu Ringer Laktat sebanyak 800 ml dan diberi obat vasopresor Efedrin
sebanyak 10 mg. Selain itu pasien juga diberi Sulfat atropine yang dapat
mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi
efek bronchial dan kardial yang berasal dariperangsangan saraf parasimpatis.
Selain itu juga, selama operasi diberikan obat injeksi ranitidine dan
ondansentron.

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien seorang Pria, 61 tahun, datang berobat ke rumah sakit tanggal 28


Agustus 2014 dengan keluhan keluhan nyeri pada kaki kanan disertai kesulitan
dalam berjalan. Setelah diperiksa dengan pemeriksaan fisik dan foto radiologi,
ditemukan adanya deformitas pada tulang tibia, tampak malunion pada tibia
dekstra. Pasien didiagnosis Malunion fr. Tibia dekstra post screwing.. Klasifikasi
status penderita digolongkan dalam PS ASA I karena sehat organik, fisiologik,
psikiatrik, dan biokimia .
Pasien dioperasi tanggal 3 September 2014. Pada kasus ini dilakukan
tindakan Rekonstruksi Tibia dengan anestesi spinal (blok subaraknoid). Anestesi
blok subaraknoid banyak digunakan karena relatif murah, pengaruh sistemik
minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
lebih sempurna.
Pasien dianestesi spinal dengan Decain 0,5% 20 mg pada posisi duduk antara
vertebra L3–L4. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik
lokal ke dalam ruang sub araknoid di daerah antara vertebra L2 - L3 atau L3 - L4
atau L4 - L5. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas
vertebra sakralis. Batas atas ini dikarenakan pada batas atas adanya ujung medula
spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak
memungkinkan dilakukan insersi.
Isi dari obat Decain 0,5% adalah Bupivakain HCl. Bupivakain merupakan
anestesi lokal isobarik. Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara
intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga
mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan
rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung
mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf
nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.

33
Salah satu efek samping anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi. Untuk
mencegah hipotensi pasien diberi cairan prabeban yaitu Ringer Laktat sebanyak
1000 ml dan diberi obat vasopresor Efedrin sebanyak 10 mg. Pada beberapa
penelitian menganjurkan cairan kristaloid untuk digunakan sebagai preload pada
tindakan anestesi spinal. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini mudah didapat,
komposisi menyerupai plasma (acetated ringer, lactated ringer), bebas reaksi
anafilaksis, dan dari segi biayanya lebih ekonomis.
Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi
obstetrik-ginekologi sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat
anestesi spinal. Efedrin adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai
aksi langsung yang menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak
langsung dengan melepaskan nor-epinefrin endogen. Efedrin akan menyebabkan
peningkatan cardiac output, denyut jantung dan tekanan darah sistolik maupun
diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan
aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra
muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan pada praktek sehari-hari,
efedrin diberikan secara bolus IV dengan dosis 5-10 mg.
Selama dioperasi pasien juga diberi sulafas atropin mg dengan tujuan untuk
mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi efek
bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik akibat
obat atau anestesikum maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek
lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis
terapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena
itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untukanestesi regional atau lokal.

34
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien
didiagnosis menderita Malunion fr. Tibia dekstra post screw. Berdasarkan pemeriksaan
foto Rontgen terdapat gambaran malunian pada tulang tibia dan fibula sehingga
dilakukan tindakan rekonstruksi tibia. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam
PS ASA I karena pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia .
Kemudian pasien dioperasi tanggal 3 September 2014. Pada kasus ini
dilakukan tindakan rekonstruksi tibi dengan anestesi spinal (blok subaraknoid).
Anestesi blok subaraknoid banyak digunakan karena relatif murah, pengaruh
sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah
respon stres lebih sempurna.
Salah satu efek samping anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi. Untuk
mencegah hipotensi pasien diberi cairan prabeban yaitu Ringer Laktat sebanyak
1000 ml dan diberi vasopresor Efedrin sebanyak 10 mg. Selain itu pasien juga
diberi sulfas atropinselama operasi dengan tujuan tujuan untuk mengurangi
sekresi bronchial.

35

Anda mungkin juga menyukai