Anda di halaman 1dari 10

Karakteritik PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia)

Oleh
Y. Marpaung

Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia belajar memaki;


Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, dia belajar berkelahi;
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, dia belajar rendah diri;
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, dia belajar menyesali diri;

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, dia belajar menahan diri;


Jika anak dibesarkan dengan dorongan, dia belajar percaya diri;
Jika anak dibesarkan dengan pujian, dia belajar menghargai;
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-
sebaik-baiknya perlakuan,
dia belajar keadilan;
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
dia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
(Saduran dari Drothy Law Nolte: Children Learn What They Live, di Internet)

I. Pendahuluan
Berbagai indikator menunjukkan bahwa kualitas pendidikan matematika di Indonesia masih
rendah. Indikator-indikator itu antara lain:
a. Prestasi yang dicapai oleh wakil-wakil Indonesia dalam olimpiade matematika
internasional. Dari tahun 1995 s.d tahun 2007 prestasi yang dicapai Indonesia selalu
dibawah median bahkan sering kali jauh di bawah median. Namun pada tahun 2003
mencapai urutan ke 37 dari 82 peserta. (Lih. Marpaung, 2005).
b. Prestasi yang dicapai oleh wakil-wakil Indonesia dalam TIMSS 1999 (ranking 34 dari 38
perserta) (Lih. Marpaung, 2005).
c. Prestasi siswa dalam ujian nasional (EBTANAS). Selama kurang lebih dua puluh tahun
terakhir, rata-rata untuk tingkat SD kurang dari 6, SMP sekitar 4,7 dan SMA sekitar 4,6
(Lih. Marpaung, 2005)
d. Penjajagan melalui kuliah di semester I setiap tahun ajaran baru. Pada setiap tahuan
ajaran baru penulis selalu melakukan penjajagan kompetensi mahasiswa baru. Ternyata
mahasiswa baru (semester I) yang masuk pada program Studi Pendidikan Matematika di
USD pada umumnya tidak menguasai materi pelajaran SMP, apalagi materi SMA.
Pemerintah, sebenarnya sudah melakukan banyak usaha untuk memperbaiki mutu itu, bahkan
menghabiskan banyak biaya, misalnya untuk penataran-penataran guru, pengadaan buku, dan
sarana-sarana lainnya, tetapi belum menghasilkan perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan
matematika sampai tingkat yang memuaskan.
Bertolak dari pengalaman itu, beberapa orang dari 4 LPTK di 4 Universitas di Jawa yaitu UNESA
Surabaya, UNY Yogyakarta, USD Yogyakarta dan UPI Bandung di bawah koordinasi TIM Basic Science
ITB, bersepakat melakukan pembaharuan dengan mengadakan perubahan paradigma dalam
pembelajaran matematika di sekolah. Ujicoba mulai dilakukan tahun 2001 di 12 SD/MIN di Bandung,
Yogyakarta dan Surabaya. Usaha itu didukung oleh Ditjen Dikti dan kemudian diberi nama PMRI
(Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) (lihat Sembiring, et al., 2010)

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page 1
II. Karakteristik PMRI
Pembelajaran matematika (lama), yang sampai sekarang pada umumnya masih berlangsung di
sekolah (kecuali sekolah mitra PMRI), didominasi paradigma lama yaitu paradigma mengajar dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
a. guru aktif mentransfer pengetahuan kepikiran siswa (guru mengajari siswa),
b. siswa menerima pengetahuan secara pasif (murid berusaha menghafalkan pengetahuan
yang diterima),
c. pembelajaran dimulai oleh guru dengan menjelaskan konsep atau prosedur
menyelesaikan soal, memberi soal-soal latihan pada siswa;
d. memeriksa dan memberi skor pada pekerjaan siswa,
e. memberi penjelasan lagi atau memberi tugas pekerjaan rumah pada siswa.
Karena PMRI merupakan adaptasi dari RME maka prinsip PMRI sama dengan prinsip RME tetapi
dalam beberapa hal berbeda dengan RME karena konteks, budaya, sistem sosial dan alamnya
berbeda. Gravemeijer (1994) merumuskan tiga prinsip RME yaitu: (a) Reinvensi terbimbing dan
matematisasi berkelanjutan (guided reinvention and progressive mathematization), (b) fenomenologi
didaktis (didactical phenomenology) dan (c) dari informal ke formal (from informal to formal
mathematics; model plays in bridging the gap between informal knowledge and formal mathematics)
(Gravemeijer 1994, dalam Armanto, 2002, h. 30 – 33). Sedangkan van den Heuvel-Panhuizen (1996)
merumuskannya sebagai berikut:

a. Prinsip aktivitas, yaitu bahwa matematika adalah aktivitas manusia. Si pebelajar harus aktif baik
secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika. Si pebelajar bukan insan
yang pasif menerima apa yang disampaikan oleh guru, tetapi aktif baik secara fisik,
teristimewa secara mental mengolah dan menganalisis informasi, mengkonstruksi
pengetahuan matematika.
b. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik
bagi siswa, yaitu dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah yang realistik lebih menarik
bagi siswa dari masalah-masalah matematis formal tanpa makna. Jika pembelajaran
dimulai dengan masalah yang bermakna bagi mereka, siswa akan tertarik untuk
belajar. Secara gradual siswa kemudian dibimbing ke masalah-masalah matematis
formal.

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page 2
c. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematia siswa melewati berbagai jenjang
pemahaman,yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau
realistik secara informal, melalui skematisasi memperoleh insight tentang hal-hal yang
mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal.
Model bertindak sebagai jembatan antara yang informal dan yang formal. Model yang
semula merupakan model suatu situasi berubah melalui abtraksi dan generalisasi
menjadi model untuk semua masalah lain yang ekuivalen.
d. Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan
dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga
siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secaa lebih baik. Konsep
matematika adalah relasi-relasi. Secara psikologis, hal-hal yang berkaitan akan lebih
mudah dipahami dan dipanggil kembali dari ingatan jangka panjang daripada hal-hal
yang terpisah tanpa kaitan satu sama lain.
e. Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagi aktifitas sosial. Kepada siswa perlu dan
harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya menyelesai-kan suatu
masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang
lain dan strateginya menemukan hal itu serta menanggapinya. Melalui diskusi,
pemahaman siswa tentang suatu masalah atau konsep menjadi lebih mendalam dan
siswa terdorong untuk melakukan refleksi yang memungkinkan dia menemukan
insight untuk memperbaiki strateginya atau menemukan solusi suatu masalah.
f. Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberikan kesempatan untuk “menemukan kembali (re-invent)
” pengetahuan matematika‘terbimbing’. Guru menciptakan kondisi belajar yang
memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan matematika mereka.

Kami, khususnya tim PMRI USD, menginterpretasinya, mengembangkannya dalam kondisi


sosial dan budaya Indonesia, menjabarkannya dan mencoba mempraktekkannya di kelas. Berikut
adalah karakteristik PMRI:

1. Murid aktif, guru aktif ( Matematika sbg aktivitas manusia).


2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/ realistik.
3. Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri.
4. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar).
6. Pembelajaran tidak selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi ke luar sekolah
untuk mengamati atau mengumpulkan data).
7. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga antara
siswa dan guru.
8. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur kognitifnya sewaktu
menyelesaikan suatu masalah (Menggunakan model).
9. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tutwuri Handayani).
10. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahi tetapi
dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan dan usaha mereka hendaknya dihargai. (Gunakan
pendekatan Sani, praktekkan tepa selira dan ngewongké wong)..

Mulai Masalah yang realistik Akhiri

Matematisasi Matematisasi
dalam aplikasi dan refleksi

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page 3
Abstraksi dan
Formalisasi

(de Lange, 1996)

1. Murid aktif, guru aktif


Menurut Freudenthal, penggagas pembelajaran realistik, matematika itu adalah aktivitas
manusia (human activity). Itu berarti, bahwa ide-ide matematika ditemukan orang (pebelajar) melalui
kegiatan/ aktivitas. Aktif di sini berarti aktif berbuat (kegiatan tubuh) dan aktif berpikir (kegiatan
mental). Jadi konsep-konsep matematika ditemukan lewat sinergi antara pikiran (fungsi otak, abstrak)
dan tubuh (jasmani, konkrit atau real). Indera kita menerima informasi (dari lingkungan: luar diri atau
dalam diri kita sendiri), diteruskan ke otak, di sana diolah (refleksi) dan disimpan dalam memori
jangka panjang kita (internalisasi), pada suatu saat di ambil lagi (dibawa ke ingatan jangka pendek, di
recall) untuk diolah bersama informasi baru yang masuk (transformasi) , lalu disimpan lagi (retained)
dalam bentuk baru (retrukturisasi). Demikian gambaran, bagaimana pengetahuan kita berkembang.
Dalam pembelajaran matematika, salah satu tugas guru ialah mendorong siswa aktif berbuat dan
berpikir.

Siswalah yang bertanggung jawab tentang hasil belajarnya, guru bertanggung jawab pada
penciptaan kondisi belajar yang memungkinkan siswa belajar dengan baik (Perhatikan skema
di bawah ini, Meddley,1979)

Kar. Komp. Perform. Pengal. Hasil


Guru Guru Guru Belajar Belajar
Siswa Siswa

Pelat. Faktor Faktor Karakt.


Guru Eksternal Internal Siswa
2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah
kontekstual/realistik
Siswa akan memiliki motivasi untuk mempelajari matematika bila dia melihat dengan jelas
bahwa matematika bermakna atau melihat manfaat matematika bagi dirinya (dapat memenuhi
kebutuhannya sekarang dan kelak). Salah satu manfaat itu ialah dapat me-mecahkan masalah yang
dihadapi (khususnya masalah dalam kehidupan sehari-hari).
Bermakna dapat juga berarti dia melihat hubungan antara informasi baru yang dia terima
dengan pengetahuan /pengalaman yang sudah dia miliki. Jadi masalah kontekstual atau realistik
adalah masalah yang berkaitan dengan situasi dunia nyata (real) atau dapat dibayangkan oleh siswa.

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page 4
Pada dasarnya masalah kontekstual atau realistik adalah suatu masalah yang kompleks, yang
menuntut level kognitif dari yang rendah sampai tinggi.

3 Berikan Kesempatan Pada Siswa Menyelesaikan Masalah Dengan Cara Sendiri (Siswa
mengembangkan strategi sendiri).

Tidak hanya satu cara menyelesaikan masalah. Ada banyak cara, itu sangat tergantung pada
struktur kognitif siswa (pengalamannya). Guru tidak perlu mengajari siswa bagaimana cara
menyelesaikan masalah. Mereka harus berlatih menemukan cara sendiri untuk menyelesaikannya.
Soal yang diberikan pada siswa hendaknya tidak jauh dari skema yang sudah mereka miliki dalam
pikirannya. Dalam keadaan tertentu guru dapat membantu siswa dengan memberikan sedikit
informasi sebagai petunjuk arah yang dapat dipilih siswa untuk dilalui. Itu dapat dilakukan dengan
bertanya atau memberi komentar. Itupun sedapat mungkin dilakukan jika semua siswa tidak
mempunyai ide bagaimana menyelesaikan masalah. Jika satu siswa mempunyai ide, hendaklah guru
mendorong siswa tadi mensharingkan idenya kepada teman-temannya (interaksi).
Soal-soal yang diberikan kepada siswa berkaitan dengan dunia real atau bisa dibayangkan
siswa, merupakan soal terbuka atau soal yang cara menyelesaikannya tidak tunggal.

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page 5
4. Guru Berusaha Menciptakan Suasana Pembelajaran Yang Menyenangkan
Menurut hasil penelitian modern dalam bidang psikologi dan neuroscience, bukan hanya
tubuh kita yang mengikuti perintah dari otak kita, tetapi otak kita juga akan bekerja sesuai
keinginan/ kemauan kita sendiri. . Itu berarti, otak kita dapat juga diperintah oleh kemauan kita. Jadi,
kemampuan manusia tidak hanya ditentukan oleh IQ nya tetapi juga oleh kemauannya (sikap,
motivasi, ketekunan). Orang yang selalu menganggap dirinya bodoh atau merasa tidak bisa
melakukan sesuatu memang akan menjadi bodoh atau tidak bisa melakukan sesuatu, sebaliknya
orang yang mengatakan kepada dirinya bahwa dia bisa maka dia akan bisa, artinya otaknya akan
berusaha bekerja sesuai keinginan orang tersebut. Intinya, ialah orang perlu berusaha untuk selalu
berpikir positip.
Ada tiga kelompok manusia, yaitu Quitters, Campers dan Climbers. Kelompok pertama
(Quitters) adalah kelompok orang yang mudah menyerah terhadap tantangan, sangat takut terhadap
risiko; kelompok kedua (Campers) yang mudah merasa puas, jadi berhenti ditengah jalan (memasang
kemah dan menikmati hasil pekerjaannya yang setengah-setengah jalan itu), sedangkan kelompok
ketiga (Climbers, pendaki) adalah kelompok orang yang pantang menyerah, melakukan sesuatu
sampai tuntas, berani mengambil risiko dan menikmati kebahagiaan sejati atas hasil yang
diperolehnya karena dia mencapai puncak ( Stoltz, 2000). Dengan perkataan lain, kelompok pertama
memiliki sikap dan motivasi yang kurang kuat, sedangkan kelompok kedua memiliki sikap dan
motivasi sedang dan kelompok ketiga memiliki sikap dan motivasi tinggi. Sikap dan motivasi itu
menimbulkan dorongan-dorongan (drive) yang sesuai dalam diri setiap orang. Ternyata, sikap dan
motivasi ini dapat diubah. Inilah salah satu tugas pendidikan yang sangat penting. Untuk itu, guru
perlu belajar menumbuhkan sikap dan motivasi siswa dalam belajar. Hal itu sukar ditumbuhkan
dengan menghukum.

Dengan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menghargai anak-anak sebagai


manusia (nguwongke wong) maka perlahan-lahan sikap dan motivasi siswa dapat dikembangkan dan
hal ini akan memberikan dampak meningkatkan prestasi belajar mereka. Kami menyebut pendekatan
ini pendekatan SANI (santun, terbuka dan komunikatif), yang pada dasarnya mempraktekkan

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page 6
“nguwongke wong”. Cara-cara lain untuk menciptakan kondisi yang menyenangkan perlu dipikirkan
guru. Belajar sambil bermain, belajar dengan duduk di lantai, belajar dalam kelompok, belajar di
luar kelas atau di luar sekolah, membuat ruangan menarik, dan sebagainya adalah beberapa cara lain
untuk membuat suasana belajar yang menyenangkan.

5. Siswa dapat menyelesaikan masalah secara individu atau dalam kelompok (kecil atau
besar)
Belajar dengan bekerja sama (sinergi) lebih efektif dari pada belajar secara individual. Memang
harus diakui bahwa ada banyak tipe belajar: ada yang lebih senang belajar individual, ada yang lebih
senang belajar dalam kelompok; ada yang cenderung visual, ada yang auditif, ada yang kinestetik
(enaktif); Saling tukar informasi penting untuk memahami sesuatu. Informasi yang bertentangan pun
(konflik kognitif) dengan yang dimiliki seseroang dapat membuat pemahaman orang itu terhadap
suatu masalah menjadi lebih baik. Informasi yang baru dapat menyebabkan infrormasi lama
ditransformasi (diperkuat/diperbaiki atau diperlemah/diperburuk atau dirubah bentuk atau polanya).
Tugas guru membantu siswa agar informasi baru dapat memperkuat atau memperbaiki pengetahuan
seseorang. Maka interaksi dan negosiasi perlu sekali dalam pembelajaran matematika.

Selain itu interaksi dan negosiasi antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru
merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang baik dan efektif. Siswa lebih terbuka dan lebih
berani berdiskusi dengan sesama dari pada dengan orang yang lebih dewasa dari mereka. Maka
tugas guru dalam rangka menciptakan kondisi belajar yang memberi pengalaman belajar yang baik
untuk siswa harus kreatif memenij kelas yang diajarnya sehingga interaksi dan negosiasi antara siswa
dan siswa, antara siswa dan guru dapat terjadi. Ini memerlukan kesabaran, kemampuan menguasai
emosi, dan keyakinan diri.
Salah satu bentuk interaksi ialah, siswa-siswa diminta menceritakan pengalamannya
dihadapan kawan-kawannya di kelas atau siswa-siswa menjelaskan cara mereka menyelesaikan
masalah. Untuk itu guru perlu melakukan observasi/pengamatan atau pendekatan pada siswa untuk
mengetahui strategi atau cara-cara siswa menyelesaikan masalah. Siswa-siswa yang menggunakan
strategi yang berbeda dipilih untuk maju menjelaskan ide mereka kepada kawan-kawannya. Siswa
memerlukan waktu untuk melakukan refleksi. Jadi, guru perlu memberi waktu pada dan mendorong
siswa melakukannya.
Kemampuan mendengarkan orang, berbicara dengan orang lain secara empatik tidak muncul
dengan sendirinya tetapi perlu dilatih dan dikembangkan. Diharapkan guru mampu melakukan hal ini
sejak dini sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Guru jangan bersikap a priori. Guru
perlu memupuk sikap bahwa semua orang (khususnya anak-anak) pada dasarnya baik.

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page 7
6. Pembelajaran Tidak Perlu Selalu Di Kelas (Bisa Di Luar Kelas, Duduk Di Lantai, Pergi
Ke Luar Sekolah Untuk Mengamati Atau Mengumpulkan Data)
Rasa bosan mengurangi ketertarikan untuk mendengarkan atau berbuat sesuatu, termasuk
untuk berpikir. Orang memerlukan variasi untuk merangsang organ-organ tubuh melakukan
fungsinya dengan baik. Variasi ini juga dapat membuat suasana yang menyenangkan dalam belajar.
Susunan tempat duduk yang sama terus menerus, suasana ruang yang sama terus menerus, cara
belajar di kelas yang sama terus menerus dan penampilan guru yang sama terus menerus
menimbulkan rasa bosan pada siswa. Oleh karena itu guru perlu berpikir untuk selalu melakukan
variasi pembelajaran: variasi susunan tempat duduk, variasi dekorasi kelas, variasi penampilan guru,
variasi metode pembelajaran, dsb.nya.

Ini tidak berarti bahwa setiap jam pertemuan harus berbeda situasinya. Perlu ada perencanaan
yang dilakukan oleh guru, kalau perlu dengan meminta usul dan saran dari siswa. Guru perlu
menanamkan dalam diri sendiri sikap positip terhadap perubahan, terhadap variasi. Mulailah dengan
melatih diri Anda untuk berkata (dalam hati) ‘’inilah saatnya saya harus berubah” dan lakukanlah.
Mengajar adalah belajar. Kita harus terus menerus belajar dari cara mengajar kita. Jangan
pernah bersikap “sudah baik tak perlu diperbaiki lagi”, tetapi bersikaplah ”sudah baik tetapi masih
bisa ditingkatkan”.

7. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi


Salah satu ciri penting PMRI ialah interaksi dan negosiasi. Siswa perlu belajar untuk
mengemukakan idenya kepada orang lain (kawan-kawannya atau gurunya), supaya mendapat
masukan berupa informasi yang melalui refleksi dapat dipakai memperbaiki atau meningkatkan
kualitas pemahamannya. Untuk itu perlu diciptakan suasana yang mendukung. Misalnya, jangan
menghukum siswa jika membuat kesalahan dalam menjawab pertanyaan atau memecahkan
masalah, jangan mentertawakan, tetapi menghargai pendapatnya.
Berbagai model pembelajaran perlu diciptakan guru (misalnya belajar dalam kelompok, diskusi
kelas, menceritakan pengalaman, menjelaskan caranya menyelesaikan masalah). Murid diberi tugas
atau proyek (kelompok atau individu), penyelesaiannya dipamerkan atau didiskusikan dalam ruang
kelas.

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page 8
8. Siswa Bebas Memilih Modus Representasi Yang Sesuai Dengan Struktur Kognitifnya
Sewaktu Menyelesaikan Suatu Masalah (Menggunakan Model)
Pemahaman siswa dapat diamati dari kemampuannya menggunakan berbagai modus
reperesentasi (enaktif, ikonik atau simbolik) untuk membantunya menyelesaikan suatu masalah.
Dalam pembelajaran matematika di SD hendaknya siswa tidak cepat-cepat dibawa ke level formal,
tetapi diberi banyak waktu bermain atau berbuat dengan menggunakan benda-benda konkrit ,
manipulatif atau model-model.

9. Guru Bertindak Sebagai Fasilitator(Tutwuri Handayani)


Dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya tidak mengajari siswa atau
mengantarkannya ke tujuan, tetapi memfasilitasi siswa dalam belajar. Guru dapat membimbing
siswa jika mereka melakukan kesalahan atau tidak mempunyai ide dengan memberi motivasi atau
sedikit arahan agar mereka dapat melanjutkan bekerja mencari strateginya menyelesaikan masalah.
Pembelajaran hendaknya dimulai dengan menyodorkan masalah kontekstual atau realistik
yang tidak jauh dari skema kognitif siswa. Siswa diberi waktu menyelesaikannya dengan cara masing-
masing, kemudian guru memberi siswa waktu menjelaskan strateginya kepada kawan-kawannya dan
secara gradual membimbing siswa mencapai tujuan pembelajaran.

10. Kalau Siswa Membuat Kesalahan Dalam Menyelesaikan Masalah Jangan Dimarahi
Tetapi Dibantu Melalui Pertanyaan- Pertanyaan. (Menghargai pendapat siswa,
mempraktekkan tepa-selira dan ngewongké wong serta memberi motivasi 
Pendekatan SANI)

Hukuman hanya menimbulkan efek negatif dalam diri siswa, tetapi motivasi, khususnya
motivasi internal dan sikap siswa yang positif dapat membantu siswa belajar efektif. Perasaan
senang dalam melakukan sesuatu membuat otak bekerja optimal untuk memenuhi keinginan
sipebelajar.
Perasaan senang jelas tidak dapat dikembangkan lewat ancaman atau hukuman, tetapi
dapat lewat sikap empatik, penghargaan atau pujian.

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page 9
Mendidik anak bersikap santun adalah dengan memperlakukannya secara santun,
mendidik anak bersikap terbuka adalah dengan menunjukkan kepadanya sikap keterbukaan
dan mengajak anak berkomunikasi dengan cara yang komunikatif atau dengan bahasa yang
dapat dimengertinya.

III. Daftar Pustaka


Armanto, D. (2002). Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesian
Primary Schools: A Prototype of Local Instructional Theory (Diss.). Enschede:
PrintPartners Ipskamp.
De Lange, J. (1996). Using and Applying Mathematics in Education. In International Handbook
of Mathematics Education, A.J. Bishop, et. al. (eds.). The Netherlands: Kluwer Academic
Publishers
Freudenthal Institute. (1999). Freudenthal Institute. Utrecht: Universiteit Utrecht.
Gravemeijer, K. (1994): Developing Realistic Mathematics Education, Utrecht: Freudenthal
Institute.
Marpaung, Y. (2005). Filosofi dan Harapan di Balik Penulisan Buku Pelajaran Matematika SMA
Kelas III, pada Sosialisasi Buku Pelajaran Untuk SMA kelas III oleh YABM, 20 November di
Yogyakarta.
Meddley, M. (1979). “Teacher Effectiveness” dalam Research on Teaching: Concepts, Findings,
and Implications, P.L.Peterson & H.J. Wahlberg (eds.) Berkeley, Cal.: Mc.Cutchan Publ.
Corp.
Sembiring, R.K., et al. (2010): A Decade od PMRI in Indonesia. Utrecht: APS
Stoltz, P.G. (2000). Adversity Quotient. Turning Obstacles into Opportunities. Mengubah
Hambatan Menjadi Peluang, Alih bahasa: T. Hermaya. Jakarta: Grasindo.
Van den Heuvel-Panhuizen, M. (1996): Assessment and Realistic Mathematics Education,
Utrecht: Freudental Institute.

|| www.p4mriusd.blogspot.com || Page
10

Anda mungkin juga menyukai