Anda di halaman 1dari 10

Definisi Campak

Campak atau morbili atau measles merupakan salah satu penyakit yang disebabkan
oleh virus morbilivirus famili paramyxoviridae yang ditandai dengan munculnya ruam di
seluruh tubuh dan sangat menular bahkan sebelum keluarnya ruam (Halim, Ricky Gustian.
2016). Campak bisa sangat mengganggu dan mengarah pada komplikasi yang lebih serius
(NSW, 2019).

Epidemiologi

Setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspek
campak, dan hasil konfirmasi laboratorium menunjukkan 12–39% di antaranya adalah
campak pasti (lab confirmed) sedangkan 16–43% adalah rubella pasti. Dari tahun 2010
sampai 2015, diperkirakan terdapat 23.164.kasus campak dan 30.463 kasus rubella. Jumlah
kasus ini diperkirakan masih lebih rendah dibanding angka sebenarnya di lapangan,
mengingat masih banyaknya kasus yang tidak terlaporkan, terutama dari pelayanan kesehatan
swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah (Kemenkes, 2018).
Peningkatan jumlah kasus campak di dunia terjadi setiap tahunnya mencapai lebih
dari 20 juta orang. Kematian akibat campak juga demikian, mengalami peningkatan sebesar
75 persen dari tahun 2000 jumlah kematian sebanyak 544.000 menjadi 146.000 pada tahun
2013. Sebagian besar kematian terjadi pada anak balita. Negara di Asia Tenggara merupakan
penyumbang kematian setengah dari total jumlah kematian seluruhnya (Andriani, 2017)
Jumlah kasus campak di 33 negara Eropa pada 18 April hingga 21 April 2011 telah
dilaporkan terdapat lebih dari 6500 kasus. Begitu pula kejadian luar biasa (KLB) diketahui
terjadi di wilayah Sevilla yang tercatat 350 kasus sejak Januari 2011 kemudian di Granada
juga terjadi KLB dengan jumlah 250 kasus yang dilaporkan sejak Oktober 2010 (Andriani,
2017).
Indonesia termasuk negara di kawasan Asia Tenggara dengan jumlah kasus campak
tertinggi kedua setelah India. Menurut Kemenkes (2018), di Indonesia terdapat 14.640 kasus
campak selama tahun 2017. Insiden tertinggi terjadi pada anak kelompok 5-9 tahun yaitu
sebanyak 4.252 kasus. Dilanjut oleh kelompok usia 1-4 tahun yaitu 3.624 kasus dan insiden
terkecil yaitu pada kelompok usia 10-14 tahun sebanyak 2.310 kasus.
Dilihat dari persebarannya, insiden tertinggi yaitu pada provinsi Jawa Timur yaitu
3.547 kasus dan disusul oleh provinsi DI Yogyakarta sebanyak 2.186 kasus dan insiden
terendah terjadi pada provinsi Sulawesi Barat sebanyak 13 kasus (Kemenkes, 2018).
Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya campak adalah sebagai berikut :


1. Status vaksin yang belum dilakukan atau tidak diketahui (Arianto, 2018)
Vaksinasi campak rutin untuk anak-anak, dikombinasikan dengan kampanye
imunisasi massal di negara-negara dengan cakupan rutin yang rendah, adalah strategi
kesehatan masyarakat utama untuk mengurangi kematian akibat campak global (WHO, 2018).
Vaksin campak telah digunakan sejak tahun 1960-an. Ini aman, efektif, dan murah.
WHO merekomendasikan imunisasi untuk semua anak dan orang dewasa yang rentan yang
vaksinasi campak tidak dikontraindikasikan. Menjangkau semua anak dengan 2 dosis vaksin
campak, baik sendiri, atau dalam campak-rubella (MR), campak-gondong-rubella (MMR),
atau kombinasi campak-gondong-rubella-variella (MMRV), harus menjadi standar untuk
semua program imunisasi nasional (WHO, 2018).
2. Pengetahuan ibu kurang (Arianto, 2018)
Teori Lawrence Green pada predisposing factors, bahwa pengetahuan merupakan
peran kunci dalam pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit serta peningkatan
keamanan karena pengetahuan tentang anjuran untuk praktek kesehatan penting dalam
menentukan pilihan terbaik seperti mengimunisasi bayi dan balita secara lengkap (Green et al,
2000).
Secara umum masyarakat memiliki pengetahuan yang kurang tentang campak,
penyebab dan cara penularannya. Pemahaman masyarakat bahwa campak merupakan
penyakit demam biasa, selain itu seseorang wajib terkena campak satu kali seumur hidup,
sehingga lebih baik terkena campak pada saat anak-anak supaya tidak parah. Pengobatan
yang dilakukan dengan memberikan air kelapa muda supaya ruam merahnya cepat keluar
dengan asumsi bila ruam merah tidak cepat keluar akan membahayakan, selain itu anak tidak
diperbolehkan mandi (Green et al, 2000).
3. Rumah tidak sehat (Arianto, 2018)
Kepadatan hunian merupakan persemaian subur bagi virus, sekaligus sarana
eksperimen rekayasa genetik secara ilmiah. Virus campak sangat mudah menular, lingkungan
merupakan salah satu faktor penyebab penularan penyakit campak, faktor-faktor lingkungan
tersebut adalah kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan dan keterjangkauan pelayanan
kesehatan, desa terpencil, pedalaman, daerah sulit, daerah yang tidak terjangkau pelayanan
kesehatan khususnya imunisasi, adalah merupakan daerah yang rawan terhadap penularan
penyakit campak (Mujiati et al, 2015).
4. Kontak dengan penderita (Ardiyanto, 2016)
WHO (2018) menyebutkan bahwa penyakit campak dapat ditularkan melalui kontak
langsung atau dengan droplet penderita yang berasal dari hidung, mulut, atau tenggorokan
yang menyebar diudara.
5. Kondisi sosial ekonomi yang rendah (Mujiati et al, 2015)
Kemampuan ekonomi seseorang dihubungkan dengan pelayanan kesehatan yang
dipilih. Keluarga yang berpenghasilan cukup dapat memilih pelayanan kesehatan yang lebih
baik dibandingkan dengan keluarga yang berpenghasilan rendah (Mujiati et al, 2015).

Etiologi Campak

Virus morbili yang berasal dari secret saluran pernafasan, darah, dan urine dari orang
yang terinfeksi. Penyebaran infeksi melalui kontak langsung dengan droplet dari orang yang
terinfeksi. Masa inkubasi selama 10-20 hari, dimana periode yang sangat menular adalah hari
pertama hingga hari ke 4setelah timbulnya rash (pada umumnya pada stadium kataral)
(Suriati & Rita, 2010).
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus
Morbilivirus, family Paramyxoviridae. Virus ini dari family yang sama dengan virus
parainfluenza, virus human metapneumovirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus)
(Suriati & Rita, 2010).
Virus campak berukuran 100-250 nm dan mengandung inti untai RNA tunggal yang
diselubungi dengan lapisan pelindung lipid. Virus campak memiliki 6 struktur protein utama.
Protein H (Hemagglutinin) berperan penting dalam perlekatan virus ke sel penderita. Protein
F (Fusion) meningkatkan penyebaran virus dari sel ke sel. Protein M (Matrix) di permukaan
dalam lapisan pelindung virus berperan penting dalam penyatuan virus. Di bagian dalam virus
terdapat protein L (Large), NP (Nucleoprotein), dan P (Polymerase phosphoprotein). Protein
L dan P berperan dalam aktivitas polimerasi RNA virus, sedangkan protein NP berperan
sebagai struktur protein nucleocapsid. Karena virus campak dikelilingi lapisan pelindung
lipid, maka mudah diinaktivasi oleh cairan yang melarutkan lipid seperti eter dan kloroform.
Selain itu, virus juga dapat diinaktivasi dengan suhu panas (>37oC), suhu dingin (<20oC),
sinar ultraviolet serta kadar (pH) ekstrim (pH <5 dan >10). Virus ini jangka hidupnya pendek
(short survival time), yaitu kurang dari 2 jam (Soegijanto, 2011).
Patofisiologi Campak

Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara,
sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Di tempat awal
infeksi, penggandaan virus sangat minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya. Virus
masuk ke dalam limfatik local, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuclear,
kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Di sini virus memperbanyak diri dengan
sangat perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel
mononuclear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel
Warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk T-supressor dan T-helper) yang rentan terhadap
infeksi, turut aktif membelah (Sumarmo, 2015).
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara lengkap,
tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah focus infeksi yaitu ketika virus masuk ke
dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran
nafas, kulit, kandung kemih dan usus (Sumarmo, 2015).
Pada hari ke 9-10, focus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva,
akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus
dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis
dari system saluran nafas diikuti dengan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak
merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada system saluran
pernapasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat
dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang dapat tanda
pasti untuk menegakkan diagnosis (Sumarmo, 2015).
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respon delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah
awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini
tampak pada kasus yang mengalami deficit sel-T (Sumarmo, 2015).
Focus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara
mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit. Penelitian dengan
imunofluoresens dan histologik menunjukkan adanya antigen campak dan diduga terjadi
suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan
lain-lain. Dalam keadaan tertentu pneumonia juga dapat terjadi, selain itu campak dapat
menyebabkan gizi kurang (Sumarmo, 2015).
Tabel 1. Patogenesis infeksi campak
Hari Patogenesis
0 Virus campak dalam droplet terhirup dan melekat pada
permukaan konjungtiva. Infeksi terjadi di sel epitel dan virus
bermultiplikasi.
1-2 Infeksi menyebar ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Virus bermultiplikasi di epitel saluran napas, virus melekat
pertama kali, juga di sistem retikuloendotelial regional dan
kemudian menyebar
5-7 Viremia sekunder
7-11 Timbul gejala infeksi di kulit dan saluran napas
11-14 Virus terdapat di darah, saluran napas, kulit, dan organ-organ
tubuh lain
15-17 Viremia berkurang dan menghilang
(Sumber: Halim (2016). Jurnal Campak pada Anak vol.43 no.3)

Kriteria Diagnosis (IDI, 2014)

Anamnesis (Subjective)
1. Gejala prodromal berupa demam, malaise, gejala respirasi atas (pilek, batuk) dan
konjungtivitis.
2. Pada demam hari keempat, biasanya muncul lesi makula dan papula eritem, yang
dimulai pada kepala daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara
sentrifugal ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki pada hari ketiga.
3. Masa inkubasi 10-15 hari.
4. Belum mendapat imunisasi campak

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati general.
2. Pada orofaring ditemukan koplik spot sebelum munculnya eksantem.
3. Gejala eksantem berupa lesi makula dan papula eritem, dimulai pada kepala pada
daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara sentrifugal dan ke
bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki
4. Pada hari ketiga, lesi ini perlahan-lahan menghilang dengan urutan sesuai urutan
muncul, dengan warna sisa coklat kekuningan atau deskuamasi ringan. Eksantem hilang
dalam 4-6 hari.

Gambar X. Morbili
Sumber : IDI (2014)

Pemeriksaan Penunjang

Pada umumnya tidak diperlukan. Pada pemeriksaan sitologi dapat ditemukan sel datia
berinti banyak pada sekret. Pada kasus tertentu, mungkin diperlukan pemeriksaan serologi
IgM anti-Rubella untuk mengkonfirmasi diagnosis (IDI, 2014).

Tatalaksana

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), anak harus diberikan cukup cairan
dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian antipiretik, antitusif,
ekspektoran dan antikonvulsan bila diperlukan. Pasien morbili diupayakan untuk
memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Pemberian
antibiotik dapat dilakukan jika ada indikasi infeksi sekunder (Soedarmo, et al, 2010). Selain
itu pemberian antibiotik sebagai profilaksis dari infeksi sekunder tidak bermanfaat dan tidak
dianjurkan. Pemberian antibiotik golongan cephalosporin berupa ceftriaxone dapat digunakan
pada infeksi saluran nafas dan dengan dosis 50-75mg/kgBB/kali sehari atau dibagi mejadi 2
dosis. Dosis paracetamol pada anak yaitu 10-15 mg/kgBB/dosis (Naniche D, 2009).
Terapi Vitamin A terbukti menurunkan angka morbiditas dan mortalitas sehingga
World Health Organization (WHO) menganjurkan pemberian vitamin A kepada semua anak
dengan campak, dimana elemen nutrisi utama yang menyebabkan kegawatan morbili
bukanlah protein dan kalori melainkan vitamin A. Ketika terjadi defisiensi vitamin A pada
kasus morbili maka akan menyebabkan kebutaan dan kematian. Oleh karena itu vitamin A
diberikan dalam dosis yang tinggi (Soedarmo, et al, 2010).
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian dosis tunggal
vitamin A dengan dosis 200.000 IU untuk anak usia >12 bulan dan 100.000 IU untuk usia
<12 bulan. Delapan penelitian meliputi 2.574 pasien morbili menemukan bahwa vitamin A
megadosis 200.000 IU per hari selama dua hari dapat menurunkan jumlah kematian akibat
morbili pada anak usia di bawah dua tahun. Pemberian vitamin A pada anak dengan morbili
adalah 100.000 IU per oral satu kali dan apabila terdapat malnutrisi maka dilanjutkan 1500 IU
tiap hari. Morbili tanpa komplikasi umumnya akan sembuh sendiri dalam waktu sepuluh hari
(Kimberlin DW, Long SS, Brady MT, Jackson MA, 2015).
Pada campak tanpa komplikasi tatalaksana bersifat suportif, berupa tirah baring,
antipiretik (parasetamol 10-15 mg/kgBB/dosis dapat diberikan sampai setiap 4 jam), cairan
yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A. Vitamin A dapat berfungsi sebagai
imunomodulator yang meningkatkan respons antibodi terhadap virus campak. Pemberian
vitamin A dapat menurunkan angka kejadian komplikasi seperti diare dan pneumonia.
Vitamin A diberikan satu kali per hari selama 2 hari dengan dosis sebagai berikut:
 200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih
 100.000 IU pada anak umur 6 - 11 bulan
 50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan
 Pemberian vitamin A tambahan satu kali dosis tunggal dengan dosis sesuai umur
penderita diberikan antara minggu ke-2 sampai ke-4 pada anak dengan gejala defisiensi
vitamin A.
Pada campak dengan komplikasi otitis media dan / atau pneumonia bakterial dapat
diberi antibiotik. Komplikasi diare diatasi dehidrasinya sesuai dengan derajat dehidrasinya
(WHO, 2004).

Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan vaksinasi campak ataupun MMR (Measles, Mumps,


Rubella). Sesuai jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 2014 , vaksin campak diberikan pada
usia 9 bulan. Selanjutnya, vaksin penguat dapat diberikan pada usia 2 tahun. Apabila vaksin
MMR diberikan pada usia 15 bulan, tidak perlu vaksinasi campak pada usia 2 tahun.
Selanjutnya, MMR ulangan diberikan pada usia 5-6 tahun (IDAI, 2014). Dosis vaksin MMR
0,5 mL subkutan (Ranuh et al, 2011).
Imunisasi ini tidak dianjurkan pada ibu hamil dengan anak imunodefisiensi primer,
pasien tuberculosis yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, pengobatan
imunosupresif jangka panjang atau anak immunocompromised yang terinfeksi HIV. Anak
terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bias
mendapat imunisasi campak (Parthasarathy et al, 2013).
Reaksi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) yang dapat terjadi pasca-vaksinasi
campak berupa demam pada 5-15% kasus, yang dimulai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi,
dan berlangsung selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, yang timbul pada hari
ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari (Ranuh et al, 2011).
Reaksi KIPI dianggap berat jika ditemukan gangguan system saraf pusat, seperti
ensefalitis dan ensefalopati pasca-imunisasi. Risiko kedua efek samping tersebut efek
samping tersebut dalam 30 hari sesudah imunisasi diperkirakan 1 di antara 1.000.000 dosis
vaksin (The American Academy of Pediatrics, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Andriani, Linda. 2017. Hubungan Karakteristik Balita, Umur Saat Imunisasi Campak,
Riwayat ASI Ekslusif Terhadap Campak Klinis. Surabaya: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga
Ardiyanto, Bayu Septian. (2016). Analisis Faktor Risiko dengan Kejadian Campak di
Kabupaten Boyolali. Skripsi. Program Studi Strata I pada Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu KesehatanUniversitas Muhammadiyah Surakarta.
Arianto et al. (2018). Beberapa Faktor Risiko Kejadian Campak Pada Balita di Kabupaten
Sarolangun. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas 3 (1): 41-47.
Green, Lawrence., Kreuter, Marshal., Deeds, Sigrid. (2000). Perencanaan Pendidikan
Kesehatan Sebuah Pendekatan Diagnostik. Jakarta.
Halim, Ricky Gustian. 2016. Jurnal Campak Pada Anak Vol.43 no.3. RS Hosana Medica
Lippo Cikarang
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2014. Jadwal Imunisasi. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
Ikatan Dokter Indonesia. 2014, Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi Tahun 2014.
Kemenkes RI. 2018. Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI
Kimberlin DW, Long SS, Brady MT, Jackson MA. 2015. Red book 2015: report of the
committee on infectious diseases. Edisi ke-30. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics.
Mujiati, E., Mutahar, R., Rahmiwati, A. (2015). Faktor Risiko Kejadian Campak pada
Anak Usia 1-14 Tahun di Kecamatan Metro Pusat Provinsi Lampung Tahun 2013-
2014. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat 6(2): 100-12.
Naniche D. 2009. Human immunology of measles virus infection. Current Topics in
Microbiology And Immunology.
NSW. 2019. Measles Fact Sheet. New South Wales : NSW Health Government
Parthasarathy, A., Menon, P.S.N., Gupta, P., Nair, M.K.C., Agrawal, R., Sukumaran, T.U.
2013. IAP Textbook of Pediatrics 5th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publisher.
Ranuh et al. 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Soedarmo, et al. 2010. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Soegijanto S, Salimo H. 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. 4th ed. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI
Sumarmo S. 2015. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Suriadi & Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta: CV. Sagung
Setyo
The American Academy of Pediatrics. 2015. Measles. Available from:
http://redbook.solutions.aap.org/DocumemntLibrary/2015RedBookMeasles.pdf.
World Health Organization. 2004. Treating measles in children. Di akses 15 Maret 2019.
Available from:http://www.who.int/immunization/documents/EPI_TRAM_97.02/en.
World Health Organization. (2018). Immunization,Vaccines and Biologicals: Measles. In
World Health Organization. Retrieved March, 15, 2019, from
https://www.who.int/immunization/diseases/measles/en/.

Anda mungkin juga menyukai