Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sinusitis maksilaris merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter
sehari-hari, bahkan dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia
dan merupakan suatu peradangan membran mukosa yang dapat mengenai satu ataupun beberapa
sinus paranasal (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai
dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan
kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Sinus paranasal terdiri dari empat pasang rongga bertulang yang dilapisi
oleh mukosa hidung dan epitel kolumnar bertingkat semu yang bersilia. Rongga udara ini
dihubungkan oleh serangkaian duktus yang mengalir ke dalam rongga hidung (Mangunkusumo
E, Soetjipto D, 2011)
Sinus maksila atau antrum highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar, dan yang
pertama terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa
kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat
dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. Sinus maksila berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus merupakan permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina, dinding posteriornya merupakan permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya
merupakan dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding
inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus seminularis infundibulum etmoid
(Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).
Gejala-gejala sinusitis maksilaris ditandai dengan hidung tersumbat, nyeri tekanan pada
wajah, ingus purulent, gangguan penciuman, sakit kepala, demam dan gejala-gejala sistemik
lainnya. Komplikasi akibat sinusitis sangat bervariasi, baik lokal, intraorbital maupun
intrakranial. Komplikasi intrakranial berupa abses serebri, empiema subdural, meningitis dan

1
osteomielitis. Komplikasi pada orbita berupa edema, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses
orbital, dan thrombosis sinus kavernosus (Neto LM et all, 2017).
Komplikasi ke orbita merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan karena
keistimewaan anatominya. Komplikasi ke orbital terjadi disebabkan secara anatomi sinus
ethmoidalis, maksila, dan frontal berhubungan dengan rongga orbita mata. Gejalanya bervariasi
dari tanda-tanda inflamasi, proptosis, kehilangan motilitas okuler dan kebutaan. Sinusitis dengan
komplikasi intra orbita ini adalah penyakit yang berpotensi fatal yang telah dikenal sejak zaman
Hippocrates. Sebelum munculnya terapi antibiotik, prevalensi komplikasi orbita pasca
rinosinusitis cukup tinggi sekitar 17-19 % dan prevalensi kebutaan sekitar 20-33%. Saat ini
setelah terapi antibiotic diperkenalkan, sekuel tersebut mencapai sekitar 5 % dari kasus (Valera
FC. Et.al,2017).
Sejak dipublikasikan pertama kali oleh Hubert pada tahun 1973 hingga saat ini, banyak
perbedaan konsepsi dan kebingungan ditemukan mengenai manifestasi klinis dan korelasinya
dengan komplikasi. Salah satu perbedaan yang dimaksud adalah mengenai apakah trombosis
sinus kavernosus juga diklasifikasikan sebagai komplikasi orbital atau komplikasi intrakranial.
Dari sisi klinis juga sulit untuk membedakan abses dan phlegmon dari hasil Computerized
Tommography Scan (Voegels RL, 2007).
Dengan demikian banyak hal mengenai sinusitis maksilaris dengan komplikasi orbita
yang masih menjadi masalah saat ini. Ditambah lagi komplikasi sinusitis ke orbita menimbulkan
komplikasi yang mengancam jiwa karena diikuti secara kolektif oleh semua komplikasi
intracranial, maka harus diperlakukan sebagai darurat medis dan diobati secara agresif. Oleh
sebab itu, diagnosis dini dan intervensi bedah agresif dalam hubungannya dengan antibiotik
spektrum luas merupakan kunci keberhasilan pengelolaan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
maka penulis merasa perlu untuk menulis referat mengenai sinusitis dengan komplikasi orbita.

1.2 Batasan Penulisan


Penulisan referat ini dibatasi mengenai sinusitis maksilaris dengan komplikas orbita,
mencakup definisi, anatomi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan tata
laksana.

2
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah membahas sinusitis maksilaris dengan komplikasi
orbita mencakup definisi, anatomi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tata
laksana.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan referat ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan dari berbagai
literatur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sinus Maksilaris


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga
antrum Highmore. Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang
dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa
canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah
dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya
adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (Mangunkusumo
E, Soetjipto D, 2011).
Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2011) dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari
anatomi sinus maksila adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar
gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke
atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung
dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Sinusitis maksilaris dapat dibedakan menjadi dua yaitu sinusitis akut dan kronis. Penyebab
terjadinya sinusitis akut dan kronis pun berbeda. Untuk sinusitis akut itu biasanya terjadi karena
rhinitis akut, faringitis, tonsilitis akut dan lain-lain. Gangguan drainase, perubahan mukosa, dan
pengobatan merupakan penyebab terjadinya sinusitis kronis.

4
2.2 Anatomi Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung sinus
frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan
dan kiri (atrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh
mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga
hidung melalui ostium masing-masing (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).
Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah rongga-rongga udara yang berlapis mukosa di dalam
tulang wajah dan tengkorak. Pembentukannya dimulai sejak dalam kandungan. Sinus paranasal
terbentuk pada fetus usia bulan ketiga atau menjelang bulan keempat dan tetap berkembang
selama masa kanak-kanak, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus
maksila dan etmoid. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar
8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga

5
usia 25 tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter dan
tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8
hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau dua puluhan (Hilgher PA.
2007).
Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi. Pertumbuhan
pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan menjadi konkha inferior.
Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi konka media, superior dan
supreme dengan cara terbagi menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti
dengan pertumbuhan sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus
kemudian mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus yang dihasilkan
merupakan struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara detail dalam penanganan
sinusitis, terutama sebelum tindakan bedah(Hilgher PA. 2007). Tulang-tulang pembentuk dinding
lateral hidung dijelaskan dalam gambar 1.

Gambar .1. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung 8


(1. Nasal; 2. Frontal; 3. Etmoid; 4. Sfenoid; 5. Maksila; 6. Prosesus palatina horizontal;
7.Konka superior (etmoid); 8. Konka media (etmoid); 9. Konka inferior;10. Foramene sfenopalatina; 11. Lempeng
pterigoid media; 13.Hamulus pterigoid media)

Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh tulang-tulang nasal, frontal,
etmoid, sfenoid dan dasar kavum nasi dibentuk oleh maksila dan prosesus palatina, palatina dan
prosesus horizontal. Gambar 1 menunjukkan anatomi tulang-tulang pembentuk dinding nasal
bagian lateral. Tiga hingga empat konka menonjol dari tulang etmoid, konka supreme, superior,
dan media. Konka inferior dipertimbangkan sebagai struktur independen (Hilgher PA. 2007).
Masing-masing struktur ini melingkupi ruang di baliknya di bagian lateral yang disebut
meatus, seperti terlihat pada gambar 2.

6
Gambar 2. Meatus pada dinding lateral hidung8

Sebuah lapisan tulang kecil menonjol dari tulang etmoid yang menutupi muara sinus
maksila di sebelah lateral dan membentuk sebuah jalur di belakang konka media. Bagian tulang
kecil ini dikenal sebagai prosesus unsinatus. Jika konka media diangkat, maka akan tampak
hiatus semilunaris dan bulla etmoid seperti tampak pada gambar 3. Dinding lateral nasal bagian
superior terdiri dari sel-sel sinus etmoid yang ke arah lateral berbatasan dengan epitel olfaktori
dan lamina kribrosa yang halus. Superoanterior dari sel-sel etmoid terdapat sinus frontal. Aspek
postero-superior dari dinding lateral nasal merupakan dinding anterior dari sinus sfenoid yang
terletak di bawah sela tursika dan sinus kavernosa (Norman W.2012).

Gambar 3. Struktur di balik konka

Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke daerah yang
berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 4. Aliran sekresi sinus sfenoid menuju
resesus sfenoetmoid, sinus frontal menuju infundibulum meatus media, sinus etmoid anterior
menuju meatus media, sinus etmoid media menuju bulla etmoid dan sinus maksila menuju

7
meatus media. Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi adalah duktus
nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior (Norman W.2012).

Gambar 4. Aliran sekresi sinus

Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior
rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus
maksila, sinus frontalis dan etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).

Gambar 5. Anatomi Sinus Paranasal


a. Sinus Maksila : (Pletcher SD, 2013).
 Terbentuk pada usia fetus 3-4 bulan yang terbentuk dari prosesus maksilaris arkus I.
 Sinus maksila berbentuk piramid, dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina. Dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
ialah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.

8
 Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa, saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 cc.
Sinus maksilaris berhubungan dengan :
 Kavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika
dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.
 Gigi, dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring dan gigi molar (M3),
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus.
 Duktus nasolakrimalis, terdapat di dinding kavum nasi.

Fungsi sinus paranasal adalah : (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).


 Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga
bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak.
 Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning).
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban
udara.
 Penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
 Membantu keseimbangan kepala.
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
 Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.
 Membantu produksi mukus
 Resonansi suara.

Kompleks Osteo-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus ethmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
terdiri dari infundibulum ethmoid yang terdapat di belakang processus uncinatus, resesus
9
frontalis, bula ethmoid, dan sel-sel ethmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila
(Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).

Gambar 7. Kompleks Osteo-Meatal


2.3 Epidemiologi
Frekuensi komplikasi orbita dari infeksi sinus berkisar dari 0,5% sampai 3,9%, namun
kejadian abses orbital atau periorbital sangat bervariasi dari 0% sampai 25%. Sebuah studi yang
jauh lebih besar dari Hospital for Sick Children di Toronto (6770 pasien) melaporkan bahwa 159
diantaranya telah mengalami komplikasi pada orbita (2,3%); dan 17 (10,7%) diantaranya
mengalami pembentukan abses. Di antara 158 pasien yang dirawat di Children's Hospital
National Medical Center dengan preseptal atau orbital selulitis, 20,8% diantaranya telah
mengalami pembentukan abses orbital atau periorbital. Di antara kasus-kasus dengan komplikasi
orbital pada penyakit sinus lainnya, insiden pembentukan abses bervariasi dari 6,25% sampai
20% hingga 78,6% (Chaundry IA,2012).
Saat antibiotik sudah tersedia, 1,9% pasien dengan selulitis orbital dapat berkembang
menjadi meningitis, meskipun pengobatan yang tepat adalah dengan antibiotik sistemik.
Meskipun pengobatan agresif dilakukan dengan antibiotik dan pembedahan drainase, abses
orbital bisa dihancurkan. Dalam suatu kasus di mana hasil visualisasi akhir dilaporkan 7,1%
sampai 23,6% pasien menjadi buta (Chaundry IA,2012).
Selulitis orbita adalah penyakit yang terutama menyerang anak-anak dan remaja dengan
distribusi usia berkisar antara 0-15 tahun. Dalam suatu kasus dilaporkan, penyakit sinus menjadi
faktor predisposisi yang paling umum. Pada kelompok anak, 91% pasien dengan pemeriksaan
radiologis dikonfirmasi dengan penyakit sinus, umumnya pada sinus ethmoid dan sinus
maksilaris. Sinusitis ethmoidal telah dibuktikan sebagai sumber infeksi mulai dari 43% menjadi

10
75% pasien dalam berbagai kasus, tetapi biasanya datang dengan infeksi rahang atas pada sisi
yang sama.Infeksi sinus frontal juga telah sering diidentifikasi terutama di kasus dengan subjek
penelitian terdiri dari sejumlah besar remaja dan orang dewasa (Chaundry IA,2012).

2.4 Etiologi
Mikroorganisme pathogen yang paling sering menyebabkan selulitis dan abses sama
dengan yang terdapat pada sinusitis akut dan kronis, tergantung pada lamanya dan etiologi dari
sinusitis primernya. Mikroorganisme tersebut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, S. aureus dan bakteri anaerob (Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium dan
Peptostreptococcus spp) (Chavan SS,2010).

2.5 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar
(mucociliary clearance) didalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel
respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan
viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta 3 mengandungi zat- zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan
cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi
mukus yang kurang baik pada sinus (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya
rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa
sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium
menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses
periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses

11
alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa
sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan
akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila (Mangunkusumo E, Soetjipto
D, 2011).
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga
faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari
faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis (Mangunkusumo E,
Soetjipto D, 2011).
Orbita rentan terhadap perpindahan infeksi dari sinus yang bersebelahan, karena
dikelilingi oleh sinus-sinus pada ke tiga sisinya. Hal ini lebih ditekankan pada anak-anak, karena
anak-anak mempunyai tulang septa dan dinding sinus yang lebih tipis, porositas tulang yang
lebih besar, garis sutura yang terbuka dan pembuluh darah foramen yang lebar. Orbita dipisahkan
dari sinus ethmoid dan sinus maksila oleh lempeng tulang tipis ( lamina papiracea ) saja,
sehingga infeksi dapat menyebar langsung oleh penetrasi dari tuang tipis tersebut (Zinreich
Kennedy B.2014).
Infeksi juga dapat meluas secara langsung dengan melintasi foramen etmoidalis anterior
dan posterior, karena sistem pembuluh vena pada mata tidak mempunyai katup maka vena yang
melebar serta komunikasi limfatik antara sinus dan struktur sekitarnya memungkinkan aliran dua
arah yang dapat menyebabkan tromboflebitis dan penyebaran infeksi (Garryty James.2012).

Komplikasi orbita telah dikategorikan oleh Chandler menjadi lima tahap yang terpisah
menurut tingkat keparahannya, yaitu (Zinreich Kennedy B.2014).
1. Udem inflamasi dan selulitis preseptal
Udem terjadi karena adanya tekanan inflamasi pada pembuluh darah etmoid yang menyebabkan
infeksi sehingga terjadi obstruksi vena. Pasien umumnya datang dengan tanda dan gejala
sinusitis yang berhubungan dengan udem dan eritema pada kelopak mata.
2. Selulitis orbita
Terjadi peradangan dan selulitis dari isi orbita dengan berbagai tingkat proptosis, kemosis dan
atau gangguan visual yang tergantung dari beratnya komplikasi. Keterlibatan orbita
menyebabkan udem difus dan infiltrasi bakteri pada jaringan adipose tetapi belum terjadi abses
3. Abses subperiosteal

12
Terjadi abses yang dapat menyebabkan keterbatasan gerakan dari bola mata. Selama infeksi
hanya terbatas di subperiosteal, maka tidak ada gangguan penglihatan yang terjadi. Pernglihatan
umumnya normal pada stadium awal namun dapat menjadi terganggu.
4. Abses orbita
Terjadi akumulasi pus dalam jaringan lunak orbita di belakang bola mata. Abses berkembang
karena terjadi perluasan infeksi ke lemak orbita yang berhubungan dengan proses inflamasi,
purulensi dan nekrosis lemak. Gangguan visual dapat terjadi karena tingginya tekanan dalam
orbita yang menyebabkan okusi arteri retina atau neuritis optic.
5. Thrombosis sinus kavernosus
Terjadi akibat perluasan dari infeksi orbita yang kemungkinan terjadi karena tidak adanya katup
pada pembuluh darah orbita yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Tahap ini adalah tahap
komplikasi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan adanya ptosis, nyeri orbital, gangguan
berat ketajaman visual dan hilangnya penglihatan pada mata yang kontralateral. Persentase
terjadinya kebutaan dan kematian mencapai 20 persen.

Gambar 8 Klasifikasi Komplikasi Sinusitis pada Orbita

2.6 Manifestasi Klinis


Komplikasi Orbital yang disebabkan oleh sinusitis maksilaris Gejala yang paling
umum ditemukan pertama kali adalah edema dan eritema diikuti dengan proptosis , rinorea
purulent, kehilangan motilitas okuler dan diplopia serta gejala konstitusional seperti demam dan
sakit kepala.

13
Tabel 1. Manifestasi klinis yang terjadi sesuai dengan komplikasi

Grup 1
Karena drainase vena terbatas Pembengkakan kelopak mata tidak
Udem inflamasi dan selulitis
akibat edema inflamasi nyeri tekan
preseptal (periorbita)
Pembengkakan kelopak mata
Grup 2 Edema dan peradangan tanpa dengan tanda-tanda proptosis dan
Selulitis Orbita pembentukan abses mobilitas meta berkurang serta
chemosis
Grup 3 Pus terkumpul di ruang antara Ditandai edema dan proptosis yang
Abses Subperiosteal tulang dan periosteum lebih lanjut
Proptosis semakin memburuk,
Grup 4 Pus terkumpul di dalam ruang
opthalmoplegia dengan kehilangan
Abses Orbita orbita
penglihatan
Grup 5 Demam, sakit kepala,
Trombosis opthalmoplegia, kehilangan
Sinus Cavernosus penglihatan, kelumpuhan saraf
kranial

Gambar 9. Selulitis Periorbita Gambar 10. Selulitis Orbita

14
Gambar 11. Abses Periosteal

2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan utama, gejala-gejala, dan pemeriksaan fisik.
Tanda-tanda dan gejala terdiri dari kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi nyeri
wajah dan nyeri tekan wajah, hidung tersumbat dan terasa penuh, keluar cairan dari
hidung,drainase purulen dan berwarna dari hidung, hiposmia atau anosmia, dan demam (pada
sinusitisakut). Kriteria minor termasuk sakit kepala, demam, halitosis, kelelahan, sakit gigi,
batuk, dannyeri, rasa tekan, dan rasa penuh pada telinga. Beberapa gejala ditemukan spesifik
pada anak-anak seperti batuk dan iritasi. Diagnosis ditegakkan jika ditemukan dua kriteria mayor
atau satu mayor dan dua minor (Pletcher SD,2013).
Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan mempelajari riwayat penyakit pasien,
menanyakan tentang durasi dan faktor lain yang berhubungan dengan alergi lingkungan,
pengobatan (termasuk penggunaan alat semprot dekongestan hidung yang tidak sesuai), trauma
hidung, dan operasi hidung sebelumnya. Tindakan selanjutnya adalah pemeriksaan fisik dengan
seksama, termasuk endoskopi hidung. Melalui pemeriksaan fisik yang menyeluruh, meliputi
hidung eksternal dan internal (Pletcher SD,2013).
Untuk mendiagnosis sinusitis maksilaris dengan komplikas orbita juga dimulai
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan gejala-
gejala pada tiap tahapan komplikasi sinusitis ke orbita.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

2.8.1 Transiluminasi
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi akan menunjukkan
angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan).

15
2.8.2 Rontgen sinus paranasalis
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa
 Penebalan mukosa
 Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
 Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto
waters.

2.8.3 CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya
kelainan pada mukosa dan variasi anatominya yang relevan untuk mendiagnosis komplikasi
sinusitis ke orbita. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis radiasi
yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.

Gambar 12. Contoh Pemeriksaan CT Scan pada Sinusitis

2.8.4 Sinoscopy
Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang perubahan
mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan dari ostium sinus.
Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu keadaan yang tidak
menyenangkan buat pasien.

Gambar 13. Nasal Endoskopi

2.8.5 Pemeriksaan mikrobiologi


Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat
bila dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian,

16
pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis
dilakukan dengan mengaspirasi pus dari inus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik
yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini (Brook
Itzhak.2009).
Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri. Dengan
demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar jenis bakterinya
penyebab sinusitisnya. Penyebab sinusitis maksila kronis yang terbanyak adalah Stafilokokus
aureus, diikuti Hemofilus influenza, Streptokokus pneumonia. Sedangkan kuman Streptokokus
pneumonia sebagai penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus
aureus dan Hemofilus influenza, Moraksela kataralis dan Corynebacterium sp. (Brook
Itzhak.2009).

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Medikamentosa
Pengobatan medis harus kuat dan agresif dari tahap awal selulitis periorbital. Jika hal ini
tidak dilakukan, infeksi dapat berkembang menjadi selulitis orbital dan abses. Hasil dari
manajemen medis sebagian besar tergantung pada durasi dan tahap keterlibatan orbital. Jika
dicurigai adanya orbital selulitis atau abses, maka harus dikonsultasikan ke dokter mata.
Diagnosis harus cepat dan tindakan terapeutik harus dilakukan tanpa menunda (Brook
Itzhak.2009).
Pasien dengan edema inflamasi kelopak mata ringan atau preseptal selulitis (grup 1)
dapat diobati dengan antibiotik oral dan dekongestan. Yang paling efektif adalah Cefuroxime,
amoksisilin klavulanat. Antibiotik parenteral diberikan pada komplikasi yang melibatkan
postseptal (grup2-5). Antibiotik parenteral meliputi Ceftriaxone atau Cefotaxime ditambah
cakupan untuk bakteri anaerob (penambahan Metronidazole atau Klindamisin). Antibiotik
untuk methicillin-sensitif S. aureus serta bakteri aerob dan anaerob termasuk Cefoxitin,
Carbapenems, dan kombinasi dari Penisilin (misalnya Tikarsilin) dan inhibitor beta-laktamase
(misalnya Asam klavulanat). Metronidazol diberikan dalam kombinasi dengan agen efektif
melawan aerobik atau fakultatif Streptokokus dan S. aureus. Glycopeptide (Vankomisin
misalnya) harus diberikan dalam kasus dengan adanya atau dicurigai adanya Methicillin-
resistant S. aureus (MRSA)

17
2.9.2 Pembedahan
Pembedahan diindikasikan pada keadaan seperti dibawah ini, yaitu: (Bailey JB.2006)
 Pasien grup III, IV, dan V (Klasifikasi Chandler)
 Stadium I dan II jika kondisi pasien memburuk dalam 24-48 jam setelah pengobatan
antibiotik
 Ketajaman visual semakin memburuk
 Peningkatan level Proptosis dan oftalmoplegia
 Adanya abses yang tampak pada CT scan
Intervensi yang dilakukan berupa insisi atau drainase abses orbital, antrostomy intranasal,
operasi sinus frontal dengan menggunakan trephine, dan ethmoidectomy. Deteksi dini
komplikasi sinusitis dan penanganan yang segera dapat mencegah perburukan penyakit.

2.10 Prognosis
Diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat dapat menghasilkan angka survival rate
70-75%. Namun gejala sisa permanen seperti kebutaan dan kelumpuhan saraf kranial lainnya
umumnya terjadi pada penderita (Brook Itzhak.2009). Meskipun pengobatan agresif dilakukan
dengan antibiotik dan pembedahan drainase, abses orbital bisa dihancurkan. Dalam suatu kasus
di mana hasil visualisasi akhir dilaporkan 7,1% sampai 23,6% pasien menjadi buta (Chaundry
IA,2012).
Perlu diingat bahwa angka kematian setelah thrombosis sinus kavernosus bisa mencapai
80 %. Pada penderita yang berhasil sembuh, angka morbiditas biasanya berkisar antara 60-80 %,
dimana gejala sisa thrombosis sinus kavernosus seringkali berupa atrofi optik.
.

18
BAB III
PENUTUP

I.1 Kesimpulan
Sinusitis maksilaris merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada
praktik sehari-hari dokter umum maupun dokter spesialis THT. Gejala-gejala sinusitis maksilaris
ditandai dengan hidung tersumbat, nyeri tekanan pada wajah, ingus purulent, gangguan
penciuman, sakit kepala, demam dan gejala-gejala sistemik lainnya. Komplikasi ke orbita
merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan karena keistimewaan anatominya.
Mikroorganisme pathogen yang paling sering menyebabkan selulitis dan abses sama
dengan yang terdapat pada sinusitis akut dan kronis, tergantung pada lamanya dan etiologi dari

19
sinusitis primernya. Orbita rentan terhadap perpindahan infeksi dari sinus yang bersebelahan,
karena dikelilingi oleh sinus-sinus pada ke tiga sisinya. Komplikasi orbita telah dikategorikan
oleh Chandler menjadi lima tahap yang terpisah menurut tingkat keparahannya, yaitu udem
inflamasi dan selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan thrombosis
sinus kavernosus.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan utama, gejala-gejala, dan pemeriksaan fisik.
Tanda-tanda dan gejala terdiri dari kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi nyeri wajah
dan nyeri tekan wajah, hidung tersumbat dan terasa penuh, keluar cairan dari hidung, drainase
purulen dan berwarna dari hidung, hiposmia atau anosmia, dan demam (pada sinusitis akut).
Kriteria minor termasuk sakit kepala, demam, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan nyeri,
rasa tekan, dan rasa penuh pada telinga.
Pengobatan medis harus kuat dan agresif dari tahap awal komplikasi orbita. Hasil dari
manajemen medis sebagian besar tergantung pada durasi dan tahap keterlibatan orbita. Diagnosis
harus cepat dan tindakan terapeutik harus dilakukan tanpa menunda.

DAFTAR PUSTAKA
Bailey JB. Sinusitis: In TextBook of Head and Neck Surgery- Otolaryngology Volume I Ed
2.2006. p452

Brook Itzhak. Microbiology and anti Microba Treatment of Orbital and Intracranial
complications of Sinusitis in Children and their Management. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryology. 2009 (73).1183-6

Chaundry IA, Al-Rashed W, Arat Yo. The Hot Orbital : Orbital Cellulitis. Middle East Afr J
Ophthalmol. 2012. 19(1): 34–42.

Chavan SS. Et.al. Orbital Complication of Sinusitis-Case study. World Articles in Ear, Nose,
Throat. November 2010. Vol 3-1

Garryty James. Preceptal and Orbital Selullitis. Maret 2012. Diunduh dari
www.merckmanuals.com

20
Hilgher PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, Boies, Higler. Buku Ajar Penyakit
THT Edisi 6. Jakarta: EGC; 2007. hal 240-53

Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2011. Hal 150-3.

Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD [editor]. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2011 :
h.145-149.

Neto LM, Mitsuda AV, Fava AS. Et. al. Acute Sinusitis in Children - A Retrospective Study of
Orbital Complications. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2017; 73 (1) : 81-5

Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of Trigeminal Nerve. Maret
2012.Diunduh dari http://home.comcast.net/

Pletcher SD, Golderg AN. 2013. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

Valera FC. Et.al. Orbital Complication of Acute Rhinosinusitis- A new Classification.


Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2017; 73 (5) : 684-8

Voegels RL. Sinusitis Orbitary Complications Classification : Simple and Practical Answers.
Brazilian Journal Otorhinolaryngology 2007 : 73 (5) ; 578

Zinreich Kennedy B. Orbital Complication: In TextBook Diseases of the Sinuses: Diagnosis


and Management. 2014: p169-170

21
22

Anda mungkin juga menyukai