Anda di halaman 1dari 8

2.

2 Anatomi Sinus Paranasalis


Ada empat pasang sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung sinus fron-
talis kanan dan kiri, sinus etmoidalis kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksilaris kanan
dan kiri (atrium highmore) dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh
mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga
hidung melalui ostium masing-masing (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).
Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah rongga-rongga udara yang berlapis mukosa di dalam tu-
lang wajah dan tengkorak. Pembentukannya dimulai sejak dalam kandungan. Sinus paranasal ter-
bentuk pada fetus usia bulan ketiga atau menjelang bulan keempat dan tetap berkembang selama
masa kanak-kanak, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksilaris
dan etmoidalis. Sinus frontalis mulai berkembang dari sinus etmoidalis anterior pada usia sekitar 8
tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25
tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontalis tidak ditemukan atau rudimenter dan tidak mem-
iliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun
dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau dua puluhan (Hilgher PA. 2007).
Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi. Pertumbuhan per-
tama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan menjadi konkha inferior. Selanjut-
nya, pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi konka media, superior dan supreme dengan
cara terbagi menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti dengan pertum-
buhan sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoidalis. Sinus-sinus kemudian
mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus yang dihasilkan merupakan
struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara detail dalam penanganan sinusitis, terutama
sebelum tindakan bedah(Hilgher PA. 2007). Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung di-
jelaskan dalam gambar 1.
Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh tulang-tulang nasal, frontalis,
etmoidalis, sfenoidalis dan dasar kavum nasi dibentuk oleh maksila dan prosesus palatina, palatina
dan prosesus horizontal. Gambar 1 menunjukkan anatomi tulang-tulang pembentuk dinding nasal
bagian lateral. Tiga hingga empat konka menonjol dari tulang etmoid, konka supreme, superior,
dan media. Konka inferior dipertimbangkan sebagai struktur independen (Hilgher PA. 2007).
Masing-masing struktur ini melingkupi ruang di baliknya di bagian lateral yang disebut
meatus, seperti terlihat pada gambar 2

Gambar .2. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung 8


(1. Nasal; 2. Frontalis; 3. Etmoidalis; 4. Sfenoidalis; 5. Maksilaris; 6. Prosesus palatina horizontal;
7.Konka superior ; 8. Konka media ; 9. Konka inferior;10. Foramene sfenopalatina; 11. Lempeng pterigoid media;
13.Hamulus pterigoid media)

Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh tulang-tulang nasal, frontalis,
etmoidalis, sfenoidalis dan dasar kavum nasi dibentuk oleh maksilaris dan prosesus palatina, pa-
latina dan prosesus horizontal. Gambar 2 menunjukkan anatomi tulang-tulang pembentuk dinding
nasal bagian lateral. Tiga hingga empat konka menonjol dari tulang etmoidalis, konka supreme,
superior, dan media. Konka inferior dipertimbangkan sebagai struktur independen (Hilgher PA.
2007).
Masing-masing struktur ini melingkupi ruang di baliknya di bagian lateral yang disebut
meatus, seperti terlihat pada gambar 3.
Sebuah lapisan tulang kecil
menonjol dari tulang etmoidalis
yang menutupi muara sinus
maksilaris di sebelah lateral dan
membentuk sebuah jalur di
belakang konka media. Bagian
tulang kecil ini dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Jika konka
media diangkat, maka akan

Gambar 3. Meatus pada dinding lateral hidung

tampak hiatus semilunaris dan bulla etmoidalis seperti tampak pada gambar 4. Dinding lateral nasal
bagian superior terdiri dari sel-sel sinus etmoidalis yang ke arah lateral berbatasan dengan epitel
olfaktori dan lamina kribrosa yang halus. Superoanterior dari sel-sel etmoidalis terdapat sinus
frontalis. Aspek postero-superior dari dinding lateral nasal merupakan dinding anterior dari sinus
sfenoidalis yang terletak di bawah sela tursika dan sinus kavernosa (Norman W.2012).

Gambar 4. Struktur di balik konka

Sinus paranasalis dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke daerah yang
berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 5. Aliran sekresi sinus sfenoidalis menuju
resesus sfenoetmoidalis, sinus frontalis menuju infundibulum meatus media, sinus etmoidalis an-
terior menuju meatus media, sinus etmoidalis media menuju bulla etmoidalis dan sinus maksilaris
menuju meatus media. Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi adalah duktus nasola-
krimalis yang berada
kavum nasi bagian
anterior (Norman
W.2012).

Gambar 5. Aliran sekresi sinus

Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka media dan konka inferior
rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksi-
laris, sinus frontalis dan etmoidalis anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis
(Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).

Gambar 6. Anatomi Sinus Paranasal

a. Sinus Maksilaris : (Pletcher SD, 2013).


Terbentuk pada usia fetus 3-4 bulan yang terbentuk dari prosesus maksilaris arkus I.
Sinus maksilaris berbentuk piramid, dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina. Dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding
inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa, saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 cc.
Sinus maksilaris berhubungan dengan :
Kavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak
maka dapat menjalar ke mata.
Gigi, dasar sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1
dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring dan gigi molar (M3), bahkan akar-
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus.
Duktus nasolakrimalis, terdapat di dinding kavum nasi.

Fungsi sinus paranasalis adalah : (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).


Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa un-
tuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak.
Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning).
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara.
Penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari
suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
Membantu keseimbangan kepala.
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin atau membuang ingus.
Membantu produksi mukus
Resonansi suara.

Kompleks Osteo-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius ada muara-muara saluran
dari sinus maksilaris, sinus frontalis, dan sinus ethmoidalis anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
terdiri dari infundibulum ethmoidalis yang terdapat di belakang processus uncinatus, resesus
frontalis, bula ethmoidalis, dan sel-sel ethmoidalis anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksilaris (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).
Gambar 7. Kompleks Osteo-Meatal

2.3 Epidemiologi
Frekuensi komplikasi orbita dari infeksi sinus berkisar dari 0,5% sampai 3,9%, namun ke-
jadian abses orbital atau periorbital sangat bervariasi dari 0% sampai 25%. Sebuah studi yang jauh
lebih besar dari Hospital for Sick Children di Toronto (6770 pasien) melaporkan bahwa 159 dian-
taranya telah mengalami komplikasi pada orbita (2,3%); dan 17 (10,7%) diantaranya mengalami
pembentukan abses. Di antara 158 pasien yang dirawat di Children's Hospital National Medical
Center dengan preseptal atau orbital selulitis, 20,8% diantaranya telah mengalami pembentukan
abses orbital atau periorbital. Di antara kasus-kasus dengan komplikasi orbital pada penyakit sinus
lainnya, insiden pembentukan abses bervariasi dari 6,25% sampai 20% hingga 78,6% (Chaundry
IA,2012).
Saat antibiotik sudah tersedia, 1,9% pasien dengan selulitis orbital dapat berkembang men-
jadi meningitis, meskipun pengobatan yang tepat adalah dengan antibiotik sistemik. Meskipun pen-
gobatan agresif dilakukan dengan antibiotik dan pembedahan drainase, abses orbital bisa dihancur-
kan. Dalam suatu kasus di mana hasil visualisasi akhir dilaporkan 7,1% sampai 23,6% pasien men-
jadi buta (Chaundry IA,2012).
Selulitis orbita adalah penyakit yang terutama menyerang anak-anak dan remaja dengan
distribusi usia berkisar antara 0-15 tahun. Dalam suatu kasus dilaporkan, penyakit sinus menjadi
faktor predisposisi yang paling umum. Pada kelompok anak, 91% pasien dengan pemeriksaan ra-
diologis dikonfirmasi dengan penyakit sinus, umumnya pada sinus ethmoid dan sinus maksilaris.
Sinusitis ethmoidal telah dibuktikan sebagai sumber infeksi mulai dari 43% menjadi 75% pasien
dalam berbagai kasus, tetapi biasanya datang dengan infeksi rahang atas pada sisi yang sama.In-
feksi sinus frontal juga telah sering diidentifikasi terutama di kasus dengan subjek penelitian terdiri
dari sejumlah besar remaja dan orang dewasa (Chaundry IA,2012).

2.4 Etiologi
Mikroorganisme pathogen yang paling sering menyebabkan selulitis dan abses sama
dengan yang terdapat pada sinusitis akut dan kronis, tergantung pada lamanya dan etiologi dari
sinusitis primernya. Mikroorganisme tersebut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus in-
fluenzae, S. aureus dan bakteri anaerob (Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium dan Pepto-
streptococcus spp) (Chavan SS,2010).

2.5 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar
(mucociliary clearance) didalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius.
Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan
lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka
bersifat sebagai antimikroba serta mengandung zat- zat yang berfungsi sebagai mekanisme per-
tahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami
menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Mangunkusumo E, Soetjipto D,
2011).
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan ter-
jadinya hipooksigenasi yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan
cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi
mukus yang kurang baik pada sinus (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).
Kejadian sinusitis maksilaris akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya
rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa se-
hingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium me-
nyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses perio-
dontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tu-
lang alveolar membentuk dasar sinus maksilaris sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Dis-
fungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi
cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksilaris (Mangunkusumo E, Soetjipto D, 2011).
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga
faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari
faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis (Mangunkusumo E, Soetjipto
D, 2011).

KOMPLIKASI
Komplikasi Orbita rentan terhadap perpindahan infeksi dari sinus yang bersebelahan, ka-
rena dikelilingi oleh sinus-sinus pada ke tiga sisinya. Hal ini lebih ditekankan pada anak-anak,
karena anak-anak mempunyai tulang septa dan dinding sinus yang lebih tipis, porositas tulang yang
lebih besar, garis sutura yang terbuka dan pembuluh darah foramen yang lebar. Orbita dipisahkan
dari sinus ethmoid dan sinus maksila oleh lempeng tulang tipis ( lamina papiracea ) saja, sehingga
infeksi dapat menyebar langsung oleh penetrasi dari tuang tipis tersebut (Zinreich Kennedy
B.2014).
Infeksi juga dapat meluas secara langsung dengan melintasi foramen etmoidalis anterior dan pos-
terior, karena sistem pembuluh vena pada mata tidak mempunyai katup maka vena yang melebar
serta komunikasi limfatik antara sinus dan struktur sekitarnya memungkinkan aliran dua arah yang
dapat menyebabkan tromboflebitis dan penyebaran infeksi (Garryty James.2012).

Komplikasi orbita telah dikategorikan oleh Chandler menjadi lima tahap yang terpisah
menurut tingkat keparahannya, yaitu (Zinreich Kennedy B.2014).
1. Udem inflamasi dan selulitis preseptal
Udem terjadi karena adanya tekanan inflamasi pada pembuluh darah etmoid yang menyebabkan
infeksi sehingga terjadi obstruksi vena. Pasien umumnya datang dengan tanda dan gejala sinusitis
yang berhubungan dengan udem dan eritema pada kelopak mata.
2. Selulitis orbita
Terjadi peradangan dan selulitis dari isi orbita dengan berbagai tingkat proptosis, kemosis dan atau
gangguan visual yang tergantung dari beratnya komplikasi. Keterlibatan orbita menyebabkan udem
difus dan infiltrasi bakteri pada jaringan adipose tetapi belum terjadi abses
3. Abses subperiosteal
Terjadi abses yang dapat menyebabkan keterbatasan gerakan dari bola mata. Selama infeksi hanya
terbatas di subperiosteal, maka tidak ada gangguan penglihatan yang terjadi. Pernglihatan
umumnya normal pada stadium awal namun dapat menjadi terganggu.
4. Abses orbita
Terjadi akumulasi pus dalam jaringan lunak orbita di belakang bola mata. Abses berkembang ka-
rena terjadi perluasan infeksi ke lemak orbita yang berhubungan dengan proses inflamasi, purulensi
dan nekrosis lemak. Gangguan visual dapat terjadi karena tingginya tekanan dalam orbita yang
menyebabkan okusi arteri retina atau neuritis optic.
5. Thrombosis sinus kavernosus
Terjadi akibat perluasan dari infeksi orbita yang kemungkinan terjadi karena tidak adanya katup
pada pembuluh darah orbita yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Tahap ini adalah tahap
komplikasi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan adanya ptosis, nyeri orbital, gangguan
berat ketajaman visual dan hilangnya penglihatan pada mata yang kontralateral. Persentase ter-

jadinya kebutaan dan kematian mencapai 20 persen.

Gambar 8 Klasifikasi Komplikasi Sinusitis pada Orbita

2.6 Manifestasi Klinis


Komplikasi Orbital yang disebabkan oleh sinusitis maksilaris The most common symptoms, on the
day of admission, was lid edema and erythema in 20 (100%) patients followed by proptosis in 14
(70%), purulent rhinorrhea in 8 (40%), restricted extraocular mobility in 8 (40%) and diplopia in 5
(25%) along with constitutional symptoms like fever and headache. Gejala yang paling umum
ditemukan pertama kali adalah edema dan eritema diikuti dengan proptosis , rinorea purulent, ke-
hilangan motilitas okuler dan diplopia serta gejala konstitusional seperti demam dan sakit kepala.

Anda mungkin juga menyukai