Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang kesehatan jiwa No.18 tahun 2014 menyatakan bahwa

kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang

secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan

mampu memberikan kontribusi untuk lingkungannya. Kesehatan jiwa dipengaruhi

oleh berbagai faktor diantaranya : otonomi dan kemandirian, kemaksimalan,

potensi diri, harga diri, penguasaan lingkungan, orientasi lingkungan serta

manajemen stress (Ahr, Houde, and Borst, 2016).

Kondisi sehat jiwa dapat tercapai melalui tahap pertumbuhan dan

perkembangan yang optimal. Menurut Depkes (2014), pertumbuhan ditandai

dengan adanya perubahan ukuran dan bentuk tubuh atau anggota tubuh, sedangkan

perkembangan biasanya ditandai dengan adanya perkembangan mental, emosional,

psikososial, psikoseksual, nilai moral dan spiritual. Pertumbuhan terjadi secara

simultan dengan perkembangan. Pada saat pertumbuhan berlangsung cepat,

perkembangan pun juga terjadi peningkatan mental, memori dan daya nalar.

Tahap pertumbuhan dan perkembangan psikososial pada individu menurut

Erickson (1950 dalam Wong 2009) terdiri atas delapan tahapan dan salah satu

1
2

diantaranya adalah anak usia sekolah. Anak usia sekolah dikenal dengan fase

berkarya versus rasa rendah diri. Masa ini berada diantara usia 6 sampai 12 tahun,

dimana anak mulai memasuki dunia sekolah yang lebih formal, tumbuh rasa

kemandirian anak, anak ingin terlibat dalam tugas yang dapat dilakukan sampai

selesai.

Usia sekolah disebut sebagai masa intelektual atau masa penyesuaian dalam

pencapaian perkembangan industri. Ciri-ciri anak usia sekolah diantaranya

mempunyai rasa bersaing, senang berkelompok dengan teman sebaya, ikut serta

dalam kegiatan kelompok, mampu menyelesaikan tugas sekolah atau rumah yang

diberikan (Keliat, Daulima & Farida, 2011). Aspek perkembangan psikososial pada

anak usia sekolah meliputi 1) motorik, 2) kognitif, 3) bahasa, 4) emosi, 5)

kepribadian, 6)moral, 7) spiritual, dan 8) psikososial. Aspek-aspek perkembangan

ini saling mendukung dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya dalam

meningkatkan kemampuan anak dalam produktifitas (Hockenberry dan Wilson,

2009).

Pada perkembangan motorik, menurut Yusuf (2002) anak usia sekolah senang

bermain dengan kekuatan fisik seperti berlari, melompat dan keterampilan

manipulasinya seperti menggambar dan menulis. Berdasarkan hasil penelitian

Petterson (2016), perkembangan motorik berkaitan dengan keterampilan gerak

pada usia sekolah dasar, motorik anak sudah lebih halus dan lebih terkoordinasi

dari masa sebelumnya. Pada usia 8 – 11 tahun, anak-anak lazimnya sudah mampu

melakukan berbagai jenis kegiatan olahraga seperti; lari, lompat tali, berenang dan
3

mengendarai sepeda. Bagi anak penguasaan keterampilan-keterampilan fisik dapat

merupakan sumber kesenangan dan prestasi.

Selanjutnya pada aspek kognitif anak usia sekolah dapat dilihat dari

kemampuan anak untuk bisa berkonsentrasi, mampu menggabungkan serangkaian

kejadian dan dapat menceritakannya kembali secara verbal maupun simbol-simbol

(Hockenberry & Wilson, 2009). Selain itu, anak usia sekolah seharusnya sudah

memiliki kemampuan untuk memahami suatu objek serta mampu mengenal sebab

akibat dari suatu permasalahan. Dengan adanya kemampuan aspek kognitif ini,

anak dapat bangga dengan prestasi yang dimilkinya serta menyesuaikan dirinya

dengan lingkungan disekolah. Namun jika terjadi hambatan dalam aspek ini, anak

akan mengalami hambatan dalam bergaul dengan temannya bahkan terkucilkan

(Hurlock,2008).

Pada aspek bahasa, Lenneeberg (2016) mengatakan bahwa perkembangan

bahasa anak tergantung pada pematangan otak secara biologis. Dengan bahasa anak

dapat mengkomunikasikan maksud, tujuan maupun perasaanya pada orang lain.

Hasil penelitian Widarni (2012) mengatakan bahwa usia 6 - 12 tahun merupakan

perkembangan bahasa yang terjadi dimasa awal cenderung permanen dan

mempengaruhi sikap dan prilaku anak sepanjang hidupnya. Sehingga jika aspek

bahasa mengalami masalah, anak akan beresiko mengalami penyimpangan

nantinya dalam hidupnya.

Aspek emosi pada anak usia sekolah merupakan perasaan senang mengenai

sesuatu, marah kepada seseorang ataupun takut terhadap sesuatu. Menurut hasil
4

penelitian yang dilakukan Retno (2013), faktor yang mempengaruhi perkembangan

emosi anak bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar. Sehingga untuk

mencapai kematangan emosi, anak harus belajar memperoleh gambaran tentang

situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.

Menurut Sudianto (2017), aspek kepribadian pada anak usia sekolah

melakukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan secara unik. Hal penting

dalam perkembangan kepribadian adalah ketetapan dalam pola kepribadian dimana

terdapat kecendrungan ciri sifat kepribadian anak yang menetap dan relatif tidak

berubah. Sehingga kepribadian anak saat ini akan berpengaruh secara langsung

ketika sudah menjadi dewasa (Berry, 2012).

Pada aspek moral berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa

seharusnya yang dilakukan anak dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock,

2007). Berdasarkan hasil penelitian Murply (2007), perkembangan moral anak

ditinjau dari psikoanalisa seperti mengenal norma-norma yang ada dikeluarga dan

masyarakat, dan ditinjau dari behavioristik seperti menepati janji, mendapat

hukuman, dan pujian yang sering dialami anak. Disamping itu anak juga sudah

dapat mengasosiasikan setiap bentuk prilaku dengan konsep benar-salah,

baik-buruk.

Selanjutnya aspek spiritual, Wilcox (2013) mengemukakan kecerdasan

spiritual adalah kepercayaan terhadap kekuatan yang bersifat ketuhanan, ekspresi

dari kepercayaan ini, sistem kepercayaan yang khusus, jalan hidup dalam

merasakan rasa cinta dan kepercayaan terhadap Tuhan, dan masih banyak lagi.
5

Pendapat tersebut juga didukung oleh Suyadi (2010) menuliskan bahwa kecerdasan

spiritual adalah kemampuan untuk merasakan keberagamaan seseorang. Jadi

kecerdasan spiritual dapat diasah ketika seseorang memeluk agama percaya

terhadap keberadaan Tuhan. Maka dari itu orang tua sangat penting untuk

memberikan pendidikan spirtual pada anaknya untuk melakukan ibadah sesuai

dengan ajarannya.

Erikson (1968 dalam Wong, 2008) mengatakan anak usia sekolah (6 - 12

tahun) berada dalam industry vs inferiority dimana perkembangan psikososial anak

usia sekolah ini adalah kemampuan menghasilkan karya, berinteraksi dan

bersosialisasi dengan teman-temannya dan berperan dalam permainan kelompok.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sitorus (2014) mengatakan bahwa

perkembangan psikososial anak usia sekolah menunjukkan hasil yang cukup karena

lebih banyak dipengaruhi oleh teman sebaya terlihat bahwa anak tidak ingin ikut

serta dalam kegiatan kelompoknya.

Menurut Wong (2009), anak usia 8 - 9 tahun lebih senang berada di dalam

rumah, menyukai sistem penghargaan, mendramatisasi, lebih dapat bersosialisasi

dan lebih sopan, menyukai kompetisi dalam permainan, menunjukkan kesukaan

dalam berteman dan berkelompok, mengembangkan kerendahan hati,

membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Sehingga dari keseluruhan aspek

tumbuh kembang ini dapat berjalan dengan baik jika anak mempunyai kesadaran

diri mengenai dirinya dalam proses berkembang.


6

Untuk mendapatkan perkembangan anak usia sekolah yang sesuai, maka harus

melakukan persiapan ketahanan dan kesehatan yang optimal agar anak dapat

menjadi produktif dengan memberikan suatu rangsangan atau stimulus. Menurut

penelitian yang dilakukan Jansen (2012), dampak jika stimulasi tidak dilakukan

pada anak usia sekolah maka akan beresiko pada tahap perkembangan mental anak

sekolah yang menjadi terhambat, resiko terjadinya bullying, depresi dan resiko

terjadinya percobaan bunuh diri. Hambatan atau kegagalan dalam mencapai

perkembangan anak usia sekolah yang sesuai dapat menyebabkan anak menjadi

rendah diri sehingga pada saat masa dewasa anak dapat mengalami hambatan

dalam bersosialisasi (Keliat, Daulima & Farida, 2011).

Presentasi keterlambatan perkembangan pada anak, berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Imelda (2017), terdapat 65% anak yang mengalami

keterlambatan perkembangan dikarenakan kurangnya pemahaman orangtua dalam

menstimulasi. Data Riskesdas (2013) juga memunjukkan prevalensi ganggunan

mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan

untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah

penduduk Indonesia. Menurut hasil penelitian Tjandra (2007), banyak

permasalahan yang dihadapi dalam respon proses tumbuh kembang anak jika tidak

sesuai dengan tumbuh kembang anak diantaranya pada perkembangan kognitif

(anak menilai negatif dirinya), perkembangan bahasa (anak memberikan komentar

hinaan yang berdampak terjadi prilaku kekerasan atau perkelahian), perkembangan

motorik (rendah diri dan mengucilkan diri dari kegiatan karena kekakuan), dan

perkembangan sosial (rasa penolakan dari teman sebaya).


7

Selain itu dalam perkembangan anak usia sekolah menurut Keliat (2007),

peran orang tua adalah memberikan stimulasi agar anak berkembang sesuai

perkembangan umurnya. Dimana peran orang tua yang baik dapat dilatar belakangi

oleh waktu yang dimiliki orang tua. Orang tua yang tidak bekerja memiliki waktu

yang banyak atau maksimal dengan anak, sehingga memiliki waktu untuk

menstimulus perannya (Suliha, 2002). Anak yang diasuh oleh orangtua yang

berpendidikan rendah memiliki risiko tiga kali mengalami keterlambatan

perkembangan dibandingkan orang tua yang berpendidikan tinggi (Ariani &

Yosoprawoto, 2012). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariyana (2009)

di mana terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan

perkembangan anaknya.

Selanjutnya penelitian Briawan dan Herawati (2012) menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara peran stimulasi orang tua terhadap

perkembangan anaknya. Sesuai dengan penelitian Tuegeh, Rompas dan Ransun

(2011) menyatakan peran keluarga yang baik dapat menentukan kemandirian pada

anak, sedangkan peran keluarga yang kurang akan memperlambat tumbuh

kembang anak, ini menunjukan adanya hubungan peran dan pola asuh keluarga

dalam memandirikan anak. Penelitian ini didukung oleh Permono (2013)

menyatakan adanya peran orang tua dalam mengoptimalkan tumbuh kembang anak

dengan memberikan stimulasi untuk membangun karakter pribadi yang baik anak.

Stimulasi adalah upaya orang tua atau keluarga untuk mengajak anak bermain

dalam suasana penuh gembira dan kasih sayang (Saifah, 2011). Anak yang

mendapatkan stimulasi terarah akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan


8

anak yang kurang mendapatkan stimulus (Marmi & Rahardjo, 2015). Namun pada

keluarga yang kurang akan informasi mengenai tumbuh kembang dan cara

melakukan stimulasi pada anak, menjadi suatu indikator untuk terjadinya

keterlambatan perkembangan yang bisa terjadi pada anak. Hasil penelitian Saadah

(2014) melaporkan bahwa adanya pengaruh faktor ibu terhadap perkembangan

anak diantaranya pendidikan, umur, dan pengetahuan. Maka dari itu, perawat

memiliki peran penting sebagai pendidik dan pemberi asuhan dengan menjadikan

keluarga sebagai partner dalam memberikan asuhan. Sehingga terjadi peningkatan

yang bermakna pada pengetahuan, sikap dan keterampilan ibu (Yurika, 2009).

Asuhan pelayanan kesehatan yang diberikan perawat kepada anak usia sekolah

menggunakan pendekatan interpersonal yang menyatakan bahwa keperawatan

merupakan sebuah hubungan terapeutik yang dipandang sebagai proses

interpersonal yang melibatkan interaksi antara klien dan perawat yang memiliki

tujuan bersama-sama mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang muncul.

Perawat menggunakan diri sendiri sebagai alat dalam membangun dan

mempertahankan hubungan dengan klien. Dengan hubungan ini, diharapkan anak

usia sekolah dapat mengungkapkan apa yang dirasa atau dialaminya. Hal ini dapat

membantu perawat dalam melakukan asuhan keperawatan untuk mendapatkan

hasil yang optimal.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mendukung pemenuhan tahap tumbuh

kembang anak, khususnya anak usia sekolah di masyarakat adalah dengan

pelayanan kesehatan jiwa komunitas atau dikenal dengan Community Mental

Health Nursing (CMHN). Pelayanan kesehatan komunitas, khususnya perawat


9

Community Mental Health Nursing (CMHN) bertanggung jawab memberikan

asuhan keperawatan jiwa komunitas pada kelompok keluarga yang sehat jiwa,

kelompok keluarga yang beresiko mengalami gangguan jiwa serta kelompok

keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Keliat,

Panjaitan & Riasmini, 2010).

Salah satu peran perawat komunitas meliputi pengkajian, perencanaan,

implementasi, dan evaluasi keperawatan yang dapat dilakukan di rumah, sekolah

maupun dilingkungan masyarakat. Bentuk implementasi di komunitas dapat

dilakukan pada tiga tingkat pencegahan yaitu primer, sekunder, dan tersier. Jenis

tindakan pencegahan itu meliputi promosi kesehatan bagi anak usia sekolah tentang

pertumbuhan dan perkembangan psikososial pada anak usia sekolah, melakukan

stimulasi tumbuh kembang dan pemberian konseling pada keluarga agar berprilaku

adaptif dalam penerapan stimulasi tumbuh kembang pada anak usia sekolah.

Pelayanan kesehatan keperawatan komunitas ini dapat berupa asuhan keperawatan

dalam berbagai bentuk upaya seperti promotif dan preventif, baik bagi individu,

keluarga maupun kelompok (Smith & Maurer, 2009).

Salah satu upaya promotif untuk anak usia sekolah adalah dengan stimulasi

konsep pengenalan dan motorik tumbuh kembang pada kelompok anak usia

sekolah dengan memberi kesempatan kepada anggotanya untuk saling berbagi

pengalaman, saling membantu satu dengan lainnya, menggunakan kekuatan fisik

untuk melatih aspek motoriknya serta untuk menemukan cara menyelesaikan

masalah dan mengantisipasi masalah yang akan dihadapi dengan mengajarkan cara

yang efektif (Watson et al, 2013).


10

Dengan adanya stimulasi yang dilakukan secara kelompok ini diharapkan

membantu anak usia sekolah secara kelompok untuk mencegah masalah kesehatan

jiwa, mendidik dan mengembangkan potensi anggota kelompok dan meningkatkan

kualitas antar anggota kelompok (Rosenberg, 2011). Penelitian tentang stimulasi

kelompok ini telah dilakukan oleh Walter, Keliat dan Hastono (2010),

menunjukkan adanya peningkatan secara bermakna terhadap perkembangan

industri anak sekolah setelah mendapat stimulasi kelompok. Peningkatan tersebut

terjadi pada kemampuan motorik, perubahan pengetahuan dan perkembangan

industri anak usia sekolah.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Kelurahan Parak Gadang Timur,

didapatkan data jumlah penduduk adalah 9.152 jiwa. Dengan jumlah usia anak -

anak adalah 808 jiwa. Selain hasil tersebut, dilakukan wawancara kepada ketua RW

06 bahwa penduduk yang dominan didaerah RW 06 adalah usia dewasa dan usia

anak-anak. Hasil wawancara juga dilakukan kepada 10 orang ibu yang memiliki

anak sekolah, dimana 7 diantaranya tidak mengetahui tumbuh kembang anak

sekolah yang normal dan 10 diantaranya tidak mengetahui bagaimana cara

menstimulasi tumbuh kembang anak sekolah. Hampir seluruh ibu mengatakan

membiarkan anaknya bermain tanpa mengetahui tujuan permainan tersebut dan

tidak mengetahui dampak dari kurangnya stimulasi yang diberikan terhadap

tumbuh kembang anak.

Selain itu, wawancara juga dilakukan kepada kader kesehatan yang ada di RW

06, didapatkan bahwa anak-anak RW 06 ini banyak yang nakal seperti suka

membully temannya, suka bolos sekolah, tidak mau mengerjakan tugas yang
11

diberikan, serta pembangkak kepada orang tua maupun orang dewasa lainnya. Dari

hasil wawancara 7 dari 10 anak mengatakan bahwa mereka kebanyakan bermain

sendiri dengan gadget yang mereka miliki, jarang bermain bersama teman

kelompoknya karena terkadang mereka tidak dibolehkan keluar rumah oleh orang

tua mereka. Selain itu 3 dari 10 orang anak usia sekolah mengatakan bahwa mereka

malas bermain dengan kelompok temannya karena mereka jahat dan sering

mencemooh.

Berdasarkan data diatas, karya ilmiah akhir ini merupakan hasil asuhan yang

telah dilaksanakan selama praktek peminatan profesi di RW 06 Kelurahan Parak

Gadang Timur. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan manajemen asuhan

keperawatan pada usia sekolah dan manajemen asuhan : stimulasi tumbuh kembang

pada kelompok anak usia sekolah sesi 1-2 tentang konsep industri dan aspek

motorik pada anak usia sekolah di RW 06 Kelurahan Parak Gadang Timur.

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan Karya Ilmiah Akhir ini adalah:

1. Tujuan Umum

Mampu memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada anak

usia sekolah dan mampu menerapkan manajemen asuhan : stimulasi

kelompok tumbuh kembang pada kelompok anak usia sekolah.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pengkajian pada anak usia sekolah


12

b. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada anak usia sekolah

c. Mampu merumuskan intervensi keperawatan pada anak usia sekolah.

d. Mampu melaksanakan implementasi pada anak usia sekolah

e. Mampu melaksanakan evaluasi pada anak usia sekolah

f. Mampu menganalisa kasus berdasarkan teori pada anak usia sekolah

g. Melaksanakan manajemen pelayanan kesehatan asuhan keperawatan

jiwa masyarakat dengan pendekatan Community Mental Health

Nursing (CMHN) di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Padang

h. Mengevaluasi pelaksanaan manajemen pelayanan asuhan keperawatan

jiwa masyarakat dengan pendekatan Community Mental Health

Nursing (CMHN) di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Padang

C. Manfaat Penelitian

1. Puskesmas Andalas

Diharapkan hasil laporan ini dapat memberikan informasi bagi petugas

kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan khsususnya pelayanan

keperawatan jiwa dimasyarakat yang bersifat promotif dan preventif ke arah

yang lebih baik.

2. Pendidikan
13

Hasil laporan ini hendaknya digunakan sebagai sumber informasi dan

pengetahuan bagi institusi pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan

mutu pendidikan, khususnya pada mata ajar keperawatan jiwa komunitas

tentang manajemen asuhan keperawatan pada usia sekolah.

3. Penulis

Penulis mendapatkan pengetahuan terkait tentang pentingnya stimulasi

dini oleh orang tua dan cara memberikan stimulasi perkembangan pada usia

sekolah serta mendapatkan pengetahuan dalam melakukan manajemen asuhan

pelayanan keperawatan jiwa : stimulasi kelompok pada anak usia sekolah.

Anda mungkin juga menyukai