Anda di halaman 1dari 8

A.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara


mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan
lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Beberapa hal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang membedakannya
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 adalah sebagai berikut:
1. Penguasaan bahan galian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menyatakan bahwa penguasaan bahan galian
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Untuk kepentingan strategis
nasional, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR menetapkan Wilayah Pencadangan
Negara (WPN) untuk mineral dan batubara. Undang-Undang ini juga mengutamakan
kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri. Data dan informasi adalah milik Pemerintah
Daerah serta pengelolaan dilaksanakan oleh Pemerintah dan daerah.
Sedangkan Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur bahwa penguasaan bahan galian
diselenggarakan oleh Pemerintah.
2. Kewenangan Pengelolaan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
mengatur bahwa Pemerintah Pusat memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan
nasional, Pemerintah Provinsi memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan regional
sedangkan Kabupaten/Kota memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan lokal.
Sedangkan Undang-Undang sebelumnya mengatur bahwa kebijakan dan kepentingan
pengelolaan bersifat nasional.
3. Pengusahaan dan Penggolongan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Penggolongan mineral dan batubara dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara terdiri dari mineral radioaktif, mineral logam, mineral
bukan logam dan batuan, dan batubara, sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya bahan
galian digolongkan ke dalam, bahan galian strategis, vital, non strategis dan non vital.
4. Perizinan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Perijinan terdiri dari Izin Usaha pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya,
perizinan dan perjanjian berupa penugasan, Kuasa Pertambangan, Surat Ijin Pertambangan
Daerah, Surat Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya (KK)/ Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
5. Tata cara Perizinan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
perizinan dilakukan dengan lelang untuk mineral logam dan batubara, sedangkan untuk
mineral bukan logam dan batuan perijinan dilakukan dengan permohonan wilayah. Dalam
Undang-Undang sebelumnya tata cara perizinan dilakukan dengan permohonan.
6. Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Pelaku usaha memiliki kewajiban dalam bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-udangan, pajak, PNBP, dan bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi
untuk IUPK, dari sisi lingkungan harus memiliki syarat reklamasi/pasca tambang, kewajiban
pengembangan masyarakat, kewajiban penggunaan teknik pertambangan, kewajiban untuk
memberikan nilai tambah, kewajiban untuk membuat data dan pelaporan, dan kewajiban
untuk melaksanakan kemitraan dan bagi hasil.
Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya kewajiban pelaku usaha perizinan terkait
dengan keuangan dimana untuk Kuasa Pertambangan (KP) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan KK/PKP2B tetap pada saat kontrak ditandatangani, lingkungan,
kemitraan, nilai, tambah, data dan pelaporan.
7. Penggunaan Lahan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
memberikan pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan sebelum memasuki tahap operasi
produksi pemegang IUP/IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak.
Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya dalam penggunaan lahan dilakukan
pembatasan tanah yang dapat diusahakan.
8. Pelaku Usaha
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara adalah pemerintah (untuk bahan
radioaktif), badan usaha, koperasi, dan perorangan, sedangkan dalam Undang-
Undangsebelumnya pelaku usaha merupakan investor domestik (KP, Surat Izin
Pertambangan daerah (SIPD), PKP2B) dan investor asing (KK, PKP2B).
B. PERATURAN PEMERINTAH

PP NO. 23 TAHUN 2010


Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Setidaknya, ada dua alasan diterbitkannya PP tersebut.
Pertama, sebagai pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui
kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor
4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pemerintah terus berupaya mendorong
terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian didalam negeri.
Kedua, untuk memberikan manfaat yang optimal bagi negara serta memberikan
kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK
Operasi Produksi, Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.

PP NOMOR 24 TAHUN 2012

Tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2010 tentang


pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara

Dalam rangka pembangunan nasional khususnya pembangunan industri dalam negeri,


perlu ditunjang ketersediaan mineral bukan logam dan batuan melalui penataan kembali
dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan. Selain itu dalam rangka keberpihakan kepada
peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi di bidang pengusahaan pertambangan dan
batubara, perlu mewajibkan modal asing untuk mengalihkan sebagian sahamnya kepada
peserta Indonesia dan mengatur lebih jelas ketentuan mengenai pengalihan
saham.Selanjutnya dalam rangka memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi
pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara untuk
memperoleh perpanjangan pertama dan/atau kedua, perlu diatur secara khusus pemberian
perpanjangan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dalam
bentuk Izin Usaha Pertambangan perpanjangan, dengan mengatur tata cara permohonan Izin
Usaha Pertambangan perpanjangan dimaksud yang meliputi pejabat yang berwenang
menerbitkan Izin Usaha Pertambangan perpanjangan, batas jangka waktu pengajuan
permohonan Izin Usaha Pertambangan perpanjangan, dan persyaratan permohonan Izin
Usaha Pertambangan perpanjangan.Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu mengubah
beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

c. PERATURAN MENTERI

PERMEN ESDM NO.22 TAHUN 2018


Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 11 Tahun 2018
tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara

PERMEN ESDM NO.11 TAHUN 2018


Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara

PERMEN ESDM NO. 7 TAHUN 2017


Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara

PERMEN ESDM NO. 10 TAHUN 2014


Tata Cara Penyediaan dan Penetapan Harga Batubara untuk Pembangkit Listrik Mulut
Tambang

PERMEN ESDM NO.6 TAHUN 2017

1. Mineral ke luar negeri merupakan persyaratan untuk mendapatkan persetujuan ekspor.


2. Permohonan Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pemegang IUPK
Operasi Produksi Mineral Logam, IUP Operasi Produksi Mineral Logam, dan IUP Operasi
Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian harus dilengkapi persyaratan, antara
lain: a. Pakta integritas untuk melakukan pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ESDM No.6/2017; b. Salinan sertifikat Clear and Clean (CnC) bagi
pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam; c. Report of Analysis (RoA) atau
Certificate of Analysis (CoA) produk Mineral Logam yang telah memenuhi batasan
minimum Pengolahan yang diterbitkan 1 (satu) bulan terakhir dari surveyor independen yang
ditunjuk oleh Menteri; d. Surat keterangan pelunasan kewajiban pembayaran Penerimaan
Negara Bukan Pajak selama 1 (satu) tahun terakhir yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara; e. Rencana pembangunan fasilitas Pemurnian di dalam negeri yang
telah diverifikasi oleh Verifikator Independen, antara lain jadwal pembangunan fasilitas
pemurnian, nilai investasi, dan kapasitas input per tahun; f. Rencana kerja dan anggaran biaya
tahun berjalan yang telah disetujui oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya; g. Laporan hasil verifikasi kemajuan fisik dari Verifikator Independen bagi
pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral Logam, IUP Operasi Produksi Mineral Logam,
dan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian yang telah atau
sedang melaksanakan pembangunan fasilitas Pemurnian; h. Rencana penjualan ke luar negeri
yang memuat, antara lain jenis dan jumlah Mineral Logam yang telah memenuhi batasan
minimum Pengolahan/nikel dengan kadar <1,7%, bauksit yang telah dilakukan pencucian
(washed bauxite) dengan kadar Al2O3 >42%, nomor Pos Tarif/HS (Harmonized System),
pelabuhan muat, pelabuhan bongkar, dan negara tujuan.

3. Rekomendasi ekspor diberikan untuk menentukan; a. Jenis dan mutu produk sesuai batasan
minimum pengolahan. b. Jumlah tertentu yang dapat diekspor berdasarkan: estimasi
cadangan atau jaminan pasokan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pemurnian;
jumlah penjualan ke luar negeri dalam persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya tahun
berjalan; kapasitas input fasilitas pemurnian; dan kemajuan fisik pembangunan fasilitas
pemurnian, persetujuan dan penolakan rekomendasi ekspor diberikan paling lambat 14 hari
kerja.

TARIF BEA/ ROYALTY IURAN BARANG TAMBANG

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro mengatakan, penetapan bea keluar
ini diberikan kepada 65 jenis barang hasil tambang untuk membenahi data ekspor yang
selama ini dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). “Sejauh ini pemerintah menilai
data ekspor mineral mentah di BPS masih jauh dari angka yang sebenarnya,”. Bambang
menjelaskan, hingga saat ini data ekspor yang tercatat di BPS tidak sesuai dengan data impor
yang tercatat di negara tetangga penerima ekspor mineral. Dia mengatakan, tak menutup
kemungkinan telah terjadi kebocoran eskpor mineral yang luput dari pengawasan pihak bea
dan cukai. Hal ini menjadi persoalan tersendiri yang harus diperbaiki.

Untuk itu, penetapan bea keluar dinilai tepat untuk menertibkan kegiatan ekspor di Indonesia
serta mengoptimalkan dan menjaga penerimaan negara. Penetapan bea keluar ini hanya
berlaku bagi 65 jenis hasil tambang berupa 21 logam, 10 non logam dan 34 batu-batuan.
“Bea keluar ini sifatnya flat bagi 65 jenis hasil tambang, yaitu 20 persen dari Harga Patokan
Ekspor (HPE) yang akan ditetapkan secara berkala,” ujarnya. Sementara itu, bagi eksportir
yang ingin melakukan aktivitas ekspor tambang mineral mentah, setiap eksportir harus
terdaftar di Kemendag dan mendapatkan rekomendasi dari Kementerian ESDM terlebih
dahulu. Isi rekomendasi itu berupa ketentuan yang telah ditentukan oleh Kementerian ESDM
beberapa saat lalu, salah satunya adalah bukti clean and clear. Tujuannya, lanjut Bambang,
agar tidak terjadi tumpang tindih dengan eksportir lain. Masing-masing eksportir yang sudah
tedaftar, sambungnya, wajib melunasi royalty yang akan dikutip oleh Kementerian ESDM.
Namun, Bambang menegaskan penetapan bea cukai ini sebagai disinsentif ekspor bukan
sebagai penerimaan pajak. Penetapan bea cukai ini juga untuk menunjang pelaksanaan UU
No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

BAB XVII PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH

Pasal 128

(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan
pendapatan daerah.

(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.

(3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
dan

b. bea masuk dan cukai.

(4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas:

a. iuran tetap;

b. iuran eksplorasi;

c. iuran produksi; dan

d. kompensasi data informasi.

(5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. pajak daerah;

b. retribusi daerah; dan

c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan.

Pasal 129

(1) Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral


logam dan batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen)
kepada Pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah
dari keuntungan bersih sejak berproduksi.

(2) Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sebagai berikut:

a. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen);

b. pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar


2,5% (dua koma lima persen); dan

c. pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama


mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen).
Pasal 131

Besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang dipungut dari
pemegang IUP, MR, atau IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 132

(1) Besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan tingkat


pengusahaan, produksi, dan harga komoditas tambang.

(2) Besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 133

(1) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal


128 ayat (4) merupakan pendapatan negara dan daerah yang
pembagiannya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(2) Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian daerah


dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga) bulan setelah disetor ke
kas negara.

Anda mungkin juga menyukai