Teori Kadaluwasa
Teori Kadaluwasa
ARPAH,MSi
Dr.Ir. ARPAH,MSi
Dr. Ir. Arpah, Msi
Departement of Food Sciences and Technology
Bogor Agricultural University
PO. Box 220
Bogor, Indonesia
Daftar Isi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI……………………………………………………………. I
DAFTAR TABEL………………………………………………………. Iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. iv
I. PENDAHULUAN………………………………………………… 1
A.Reaksi Deteriorasi.............................................................. 20
B.Mekanisme Perubahan Mutu.............................................. 23
1. Perubahan Sifat tekstur............................................... 23
Halaman
2. Perubahan Flavor........................................................ 26
2.1. Reaksi Oksidasi.................................................... 26
2.2. Autooksidasi Pada Minyak………………………... 27
2.3. Reaksi Hidrolisis Pada Minyak…………………… 32
2.4. Kinetika Reaksi Autooksidasi……………………. 34
3. Reaksi Deteriorasi Perubahan Warna....................... 37
3.1. Reaksi Pencoklatan Non Enzimatis..................... 37
A. Konsep Dasar................................................................... 64
B. Pemodelan Penentuan Kadaluwarsa Pangan.................. 67
1. Konsepsi Model........................................................... 67
2. Kondisi Penyimpanan Percobaan Penentuan Waktu 68
Kadaluwarsa................................................................
3. Jenis-Jenis Model Pendugaan Waktu Kadaluwarsa... 70
3.1. Permodelan Berdasarkan Perubahan Fisik.......... 71
3.1.1. Model Heiss Dan Eichner (1971)..................... 73
3.1.2. Model Rudolp (1986)......................................... 75
Halaman
Halaman
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
BAB I:
PENDAHULUAN
Hal ini sangat dirasakan manfaatnya oleh konsumen produk susu. Menurut
Seligsohn (1979), suatu laporan survey konsumen di AS pada tahun 1930
menunjukkan bahwa mereka menginginkan keterangan kadaluwarsa pada
produk pangan, meski demikian barulah pada tahun 1970 ditemukan
beragam bentuk keterangan kadaluwarsa yang diterapkan pada berbagai
jenis produk pangan. Nyatalah bahwa konsumen menyadari pentingnya
keterangan kadaluwarsa yang bukan hanya merupakan sekadar petunjuk
kesegaran dan keamanan, melainkan juga petunjuk akan perubahan lainnya
seperti cita rasa, penampakan dan kandungan gizi.
Terlebih pada produk bahan baku industri, seperti berbagai jenis tepung,
isolat protein dan ragi roti, keterangan kadaluwarsa menunjukkan batas
waktu dimana sifat-sifat fungsional dari bahan masih dapat dipertahankan,
seperti kemampuan mengemulsi, daya serap air, kapasitas pengembangan
volume, homogenitas warna, daya buih, aktivitas enzimatik serta berbagai
sifat fungsional lainnya yang penting dalam pengolahan (Labuza, 1983).
Tulisan ini mempunyai makna bahwa jika produk disimpan pada suhu T1
(misal: suhu ruang) maka akan kadaluwarsa setelah tenggang waktu W1,
sedangkan jika disimpan pada T2 (misal: lemari pendingin) maka akan
kadaluwarsa setelah tenggang waktu W2 (Council Directive: 97/4/EEC,
1997). Bentuk ini disebut juga star system.
Beberapa hal yang penting dicatat dari UODR tahun 1985 ini antara lain
bahwa produk pangan terlebih dahulu dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:
1). perishable foods. 2). semi perishable foods dan 3). long shelf-life foods.
Ketiganya lebih lanjut didefenisikan sebagai berikut: termasuk kategori
BAB II:
PENGERTIAN UMUR SIMPAN DAN WAKTU KADALUWARSA
Umur simpan adalah selang waktu yang menunjukkan antara saat produksi
hingga saat akhir dari produk masih dapat dipasarkan, dengan mutu prima
seperti yang dijanjikan. Meski setelah tanggal tersebut terdapat kemungkinan
bahwa mutu produk tersebut masih memuaskan.
Menurut Institute of Food Technology (IFT, 1974), umur simpan (shelf life)
produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat
konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-
sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. National Food
Processor Association (1978), mendefenisikan umur simpan sebagai
berikut: suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya
bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti
yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki
integritas serta memproteksi isi kemasan. Floros (1993), menyatakan bahwa
umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam
suatu kondisi penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkatan
degradasi mutu tertentu.
dengan kriteria yang tertera pada kemasannya (mutu tidak sesuai lagi
dengan tingkatan mutu yang dijanjikan).
Faktor mutu relevan adalah salah satu dari kriteria mutu penting produk yang
biasanya dipilih dari sifat kimia, fisik atau mikrobiologi sebagai kriteria utama
penentuan waktu kadaluwarsa (kriteria kadaluwarsa). Faktor mutu relevan
dapat berupa kadar air pada biskuit, jumlah mikroba pada daging, kandungan
asam lemak bebas pada minyak dan sebagainya.
Sifat kimia, fisik atau mikrobiologi sudah sangat umum digunakan sebagai
kriteria atau initial relevant quality factor dalam penentuan waktu
kadaluwarsa pangan (Labuza 1982). Sebagai contoh, Sheard et al. (2000)
mengukur ketengikan melalui peningkatan bilangan TBA (thiobarbirturic acid)
dalam menentukan waktu kadaluwarsa sosis dan daging babi, dimana ukuran
mula-mula (ukuran faktor mutu relevan awal) adalah bilangan TBA= 0.0 atau
mendekati nol. Sedangkan batas waktu kadaluwarsa ditetapkan pada nilai
bilangan TBA ekivalen dengan kandungan 0.5 mg malonaldehida/kg.
Pada produk pangan yang mempunyai sifat-sifat kimia, fisik dan mikrobiologi
tidak berkorelasi cukup besar dengan sifat organoleptik, penentuan waktu
kadaluwarsa dengan penilaian organoleptik dapat memberikan hasil yang
lebih baik dibanding penggunaan analisa yang bersifat instrumentatif. Peter
et al. (1998) menentukan waktu kadaluwarsa daging giling tanpa iradiasi dan
Anderson dan Jones (1999), yang mengukur perubahan sifat kimia dan fisik
biskuit wafer kacang yang meliputi: perubahan tekstur (Kramer shear texture),
Warna (CIE L*a*b*), aktifitas air, bilangan peroksida, bilangan TBA, available
lysine dan analisa proksimat dalam kondisi yang diakselerasi pada
temperatur 60oC selama 4 minggu, menemukan intensitas perubahan yang
berbeda-beda dan dengan proporsi yang berbeda-beda pula. Sehingga
sangat sukar memilih salah satu sifat tersebut untuk digunakan sebagai
faktor mutu penentu waktu kadaluwarsa.
BAB III:
REAKSI-REAKSI PENURUNAN MUTU
A. Reaksi Deteriorasi
Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik
maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk
berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam
bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan
perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan tekstur,
flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi, mikrobiologis maupun
makrobiologis. Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi
diperlihatkan pada Tabel 1.
air. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya daya kohesi (cohesiveness) dan
kompresibilitas serta menurunnya densitas kamba.
2. Perubahan Flavor
Perubahan flavor adalah masalah yang sensitif di dalam produk pangan, hal
ini disebabkan oleh karena daya deteksi oleh sel-sel pembau di dalam hidung
yang mampu mencium bau yang terbentuk meskipun pada konsentrasi yang
sangat rendah. Terbentuknya beberapa molekul off-flavor pada produk akan
dapat dengan segera merusak flavor secara keseluruhan. Salah satu yang
paling umum adalah tejadinya ketengikan baik akibat hidrolisa maupun
oksidasi.
Minyak yang bereaksi dengan oksigen akan membentuk produk primer dan
sekunder. Produk primer oksidasi minyak dan lemak adalah hidroperoksida,
sedangkan produk sekundarnya antara lain aldehida, asam keto dan asam
hidroksi (Davidek, 1990) Oleh karena itu oksidasi minyak disebut juga
hidroperoksidasi minyak. Terdapat 3 jenis reaksi oksidasi minyak yaitu:
1. auto-oksidasi
2. foto-oksigenasi
3. oksidasi enzymatik atau lipoksigenasi
Tahap Inisiasi
Tahap inisiasi adalah tahap dimana suatu senyawaan minyak yang tidak
(atau belum) mengandung radikal peroksida dan hidroperoksida mengalami
serangan senyawaan oksigen reaktif yang mampu melepaskan satu atom
hydrogen dari asam lemak membentuk radikal, melalui mekanisme berikut:
H H
RH R C C R' + H
Adanya ikatan karbon tidak jenuh seperti yang terdapat pada asam lemak
tak jenuh menyebabkan ikatan C-H cukup lemah, sehingga oksigen dengan
mudah melepaskan satu atom hydrogen dari rantai tersebut. Radikal rantai
karbon yang terbentuk cenderung melakukan stabilisasi dengan melakukan
rearrangement membentuk diene konyugasi.
serta biradikal,
H H H H
R C C R' + O2 R C C R'
O O*
Tahap Propagasi
Radikal peroksil diketahui mempunyai kemampuan untuk menarik atom H
dari molekul asam lemak pada molekul minyak didekatnya, sehingga
mengakibatkan berlangsungnya auto-katalitik berantai. Sistem auto-reaksi
ini, menjadi ciri utama tahap reaksi propagasi. Radikal peroksil akan
bergabung dengan atom H membentuk hidroksiperoksida,
O OH
propagasi dapat pula berlangsung pada radikal hasil isinisiasi lainnya :
R' + O2 ROO*
Tahap Terminasi
Jika 2 radikal berinteraksi, maka berlangsung tahap terminasi:
R' + R' RH
H H
R C C R'
O
H
O
O
H O
R C C R'
H H
M2 + + ROOH +
ROO* R' + M+ logam tereduksi
R C R R C R + *OH
OOH O*
R'H
H
R' R'O*
R C R + R'
O H
R' + R
R C O R C R + R'H R C R + R'OH
H O O
CH2O CO R
CHO CO R triacylglycerol
CH2O CO R
+ H20 RCOOH
CH2OH CH2O CO R
CHO CO R CHOH
CH2O CO R CH2O CO R
1,2-diacylglycerol 1,3-diacylglycerol
CH2OH CH2OH
CHO CO R CHOH
CH2O CO R
CH2OH
2-monoacylglycerol 1-monoacylglycerol
+ H20
+ H20 RCOOH
RCOOH CH2OH
CHOH
CH2OH
Glycerol
K
O OKSIGEN
N BEREAKSI
S
E
N
T
R
A
S
I KONSENTRASI
PEROKSIDA
PRODUK
SEKUNDER
WAKTU
Dimana :
Lebih lanjut Karel (1980), menyatakan bahwa laju konsumsi oksigen (oksigen
up-take) dari suatu campuran emulsi dapat menunjukkan secara langsung
tingkah laku oksidasi dari lemak yang menyusun emulsi. Oksigen up-take,
yang dapat menunjukkan laju oksidasi, meningkat dengan meningkatnya aw
pada suatu campuran emulsi yang mengandung asam linoleat dan maltosa,
akan tetapi hanya meningkat setelah aw mencapai 0.93 apabila campuran
adalah maltodekstrin.
untuk menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang dapat diterima. Pada
susu bubuk meningkatnya warna pencoklatan dapat menunjukkan
banyaknya senyawa-senyawa baru yang terbentuk.
Pada tahap pertama dari reaksi Maillard adalah kondensasi gula terhadap
asam amino membentuk glikosamin melalui reaksi basa Schiff’s. Glikosamin
selanjutnya mengalami Amadori rearrangement sehingga menghasilkan
turunan amadori seperti 1-amino-1-deoxy-2-ketose. Pembentukan
komponen amadori menyebabkan turunnnya kandungan asam amino produk
sehingga menyebabkan perubahan nilai gizi.
1. reaksi Maillard
2. reaksi karamelisasi
3. reaksi peroksidasi minyak
4. reaksi degradasi asam askorbat.
Amadori Rearrangement:
NH R
HC O
C H2
C O
C O
CH
HOCH
CH HOCH2 O CH O
HCOH
HCOH HMF
HCOH
CH2OH (hydroksymethylfurfural)
CH2OH
fruktosamin glukosulosen
terjadi kondensasi aldol dan seterusnya seperti halnya pasa reaksi Maillard
membentuk pigmen coklat. Reaksi ini disebut karamelisasi (Vernin, 1983).
Polimerisasi
MELANOIDIN
Pada tahap berikutnya terlihat bahwa gula pereduksi terus menurun sampai
kemudian mencapai titik nol. Konsentrasi komponen intermediat sebaliknya
akan mencapai puncaknya pada suatu titik tertentu dan setelah itu menurun
dan cenderung berkurang terus. Pada kurva Gambar 7. juga dapat terlihat
dengan jelas peningkatan secara terus menerus jumlah komponen pigmen
coklat setelah puncak kurva produk intermediat. Komponen yang dapat
menjadi sumber asam amino seperti protein, terutama yang mengandung
asam amino lisin, aspartam, disodium guanilat dan MSG (monosodium
glutamat) dapat berperan pada reaksi ini dan akan terkondensasi pada
komponen pereduksi seperti: gula pereduksi, asam askorbat , keton,
aldehida, ortofenol serta gula invert lainnya.
Faktor yang mempengaruhi reaksi Maillard antara lain: jenis asam amino,
jenis gula pereduksi, ratio gula pereduksi dengan asam amino dalam
substrat, pH dan temperatur (Baisier, dkk. 1992).
K
O KOMPONEN
N BERFLUORESENSI
S
A M IN
E
N
T
R
P IG M E N
A
S C O K LAT
I
KOMPONEN
IN T E R M E D IA T
GULA
PEREDUKSI
W AK T U
Hasil yang hampir sama juga diperoleh terhadap beberapa jenis bahan
pangan yang mengandung glisin. Labuza (1994), memperlihatkan bahwa
intensitas pencoklatan di dalam bahan pangan tersebut sebanding dengan
kandungan glisin dari masing-masing bahan pangan itu sendiri. Reaksi
Maillard di dalam bahan pangan memperlihatkan kecepatan pencoklatran
berbeda-beda diukur berdasarkan ratio kecepatan pencoklatan per gram
4.2. Pengaruh pH
Pengaruh pH terhadap kecepatan pencoklatan terutama disebabkan oleh
pKa asam amino yang berbeda-beda. Secara defenisi pada titik pKa suatu
asam amino terdapat konsentrasi yang sama antara asam amino yang
terprotonasi dengan yang tidak terprotonasi. Hal ini berpengaruh langsung
terhadap konsentrasi asam amino yang dapat mengambil bagian dalam
reaksi. Pada saat ekuilibrium:
Sehingga:
Asam amino yang terprotonasi NH3+ pada pH < pKa akan mencegah transfer
elektron, sedingga memperlambat laju kecepatan pencoklatan. Secara
teoritis, perubahan 1 unit pH akan menyebabkan perubahan laju reaksi
sebesar 10 kali pada sistem yang murni, pada sistem reaksi yang
berlangsung dalam bahan pangan perubahan ini kemungkinan kurang dari
10 kali.
Dengan energi aktivasi Ea = 27.6 k kal mol-1 untuk model 1 dan Ea= 29.0 k
kal mol-1 untuk model 2. Bozkurt, dkk. (1999), juga melaporkan kinetika
reaksi Maillard berdasarkan kandungan HMF (hidroksimetilfurfural) yang
terbentuk. Nilai k terhadap pembentukan HMF pada tiga temperatur yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Pangan Suhu Reaksi Ea
o
Model 55 C. 65oC 75oC k kal
mol-1
Model 1 1.21 1.59 3.47 11.5
Model 2 1.55 2.75. 5.43 12.7
Dengan energi aktivasi Ea = 11.5 k kal mol-1 untuk model 1 dan Ea= 12.7 k
kal mol-1 untuk model 2. Ordo reaksi ini antara 0 dan 1. Nilai Ea reaksi
Maillard pada kol kering (T=25 C – 40 C) adalah 40. k kal mol-1, sistem
o o
glukosa-kasein (T= 25 oC–45 oC) adalah 33 k kal mol-1, keju (T=5 oC –40 oC )
adalah 24 k kal mol-1 dan sistem glukosa-lisin (T= 60 oC – 100 oC) adalah 20
k kal mol-1 (Labuza, 1994).
5. Perubahan Mikrobiologis
Pertumbuhan mikroba dapat menyebabkan pembentukan lendir pada daging
segar, ikan, ayam dan tahu, yang kemudian disusul dengan munculnya bau
busuk Pertumbuhan mikroba pada produk tidak hanya menyebabkan
perubahan organoleptik dan penurunan nilai gizi tapi bahkan dapat
menyebabkan penyakit, keracunan dan bahkan kematian.
Untuk dapat membentuk lendir yang dapat teramati pada permukaan produk
pangan seperti yang disebutkan diatas diperlukan sejumlah 106 Sel/g produk.
Sedangkan untuk menimbulkan bau busuk yang sangat tajam diperlukan
sejumlah 107 – 109 Sel/g. Banyak di antara makanan yang kita konsumsi
tidak dalam keadaan steril, karena itu selalu mengandung bakteri-bakteri
dalam jumlah tertentu. Bila jumlah bakterinya sedikit, tidak akan dapat
menghasilkan kesulitan. Untuk dapat menghasilkan gangguan atau sakit
pada orang dewasa, sangat bervarlasi tergantung jenis mikroba serta orang
yang terserang. Diperkirakan paling sedikit sejuta bakteri (106 Sel/g) harus
ada dalam makanan yang dikonsumsi. Bila hanya ada sepersepuluh saja
luar sel. Toksin tersebut tidak bisa aktif kecuali selnya mati. Bila makanan
terkontaminasi berat dengan jenis bakteri tersebut dikonsumsi, tidak segera
menimbulkan keracunan, sampai jumlah bakterinya cukup jumiahnya yang
mati, sehingga toksinnya cukup banyak untuk merangsang lambung dan
usus besar
log N (t ) = log N min +
(N max − N min )
1 + exp (− µ max × (t − t i ))
…….pers 1.
Dimana N(t) adalah jumlah (populasi) mikroba pada waktu t, Nmin adalah
jumlah mikroba awal, Nmax adalah jumlah maksimum pertumbuhan mikroba, ti
adalah waktu inokulasi.
log(N ) =
N
log( N max ) − ln 1 + max − 1 × exp[− µ max ∗ (t − λ )] t > λ….pers 3.
N 0
Akan tetapi model yang praktis yang sering digunakan untuk keperluan
analisis adalah persamaan yang hanya menunjukkan perubahan laju
pertumbuhan maksimum µmax akibat pengaruh parameter lingkungannya,
contohnya adalah persamaan Belehradek yang memperlihatkan pengaruh
temperatur dan konsentrasi CO2 terhadap µmax, persamaannya adalah
sebagai berikut:
EGR = a × (T − T0 ) ……pers 5
Dimana yang dimaksud dengan EGR adalah exponential growth rate atau
µmax. Contoh penggunaan persamaan ini adalah sebagai berikut, misalkan
ingin diperoleh nilai EGR Listeria monocytogenes pada suhu 5oC, sedangkan
data yang diketahui terdiri dari: pertama, nilai EGR pada suatu suhu tertentu
(baik yang diperoleh dari literatur maupun hasil percobaan) dan data kedua
yang menunjukkan bahwa Listeria monocytogenes tidak tumbuh yaitu pada
suhu 1.18oC (suhu dimana EGR=0). Maka dalam menentukan jumlah
mikroba pada suhu penyimpanan lain, misalnya 5oC, maka dapat langsung
mengekstrapolasinya dengan menggunakan persamaan mengenai dua titik
pada satu garis lurus, yaitu:
a(T5 + 1.18)
2 2
EGR5 6.18
= =
a(TLit + 1.18) (TLit + 1.18)
………..pers 6
EGRLit
Dimana EGRLit adalah nilai exponential growth rate yang diperoleh dari
literatur pada suhu TLit dan EGR5 adalah adalah nilai exponential growth rate
pada suhu penyimpanan 5oC. Setelah nilai EGR pada 5oC diperoleh, maka
dengan bantuan persamaan logistik (model primer) dapat dihitung jumlah
Listeria monocytogenes setelah penyimpanan selama waktu tertentu
(misalnya setelah 5 hari; 7 hari dan seterusnya) pada kondisi suhu 5oC
tersebut.
BAB IV:
PEMODELAN WAKTU KADALUWARSA
A. Konsep Dasar
Oleh karena usable quality akan menurun selama penyimpanan maka pada
suatu saat nilainya akan mendekati titik tertentu dimana kualitas yang
diharapkan tersebut tidak dimiliki lagi oleh produk pangan itu.
1. Konsepsi Model
Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan (shelf-
life) adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi
penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu
tertentu. Menurut Labuza (1982), lingkungan produk pangan seperti
temperatur, kelembaban relatif (RH), konsentrasi oksigen di dalam kemasan,
intensitas cahaya, aktifitas air maupun permeabilitas kemasan menyebabkan
degradasi faktor mutu seperti perubahan sifat fisik (tekstur, staling,
retrogradasi), perubahan sifat kimia (ketengikan, perubahan zat gizi),
perubahan sifat mikrobiologi (pertumbuhan patogen, pembentukan lendir)
maupun perubahan sifat organoleptik (rasa, bau, warna dan flavor).
Perubahan ini terjadi segera setelah diproduksi hingga mencapai batas mutu
terendah dan kadaluwarsa (OTA-Report, 1979).
Heiss dan Eichner (1971) , Rudolph (1986), Labuza (1982), Syarief (1986),
Taoukis et al (1988) dan Mathlouthi (1994), secara terpisah menerapkan
model perubahan faktor mutu fisik akibat proses difusi gas uap air ke dalam
produk pangan serta Arpah dan Syarief membandingkan penerapannya pada
biskuit berdasarkan jumlah dan jenis parameter yang digunakan. Sadler
(1978), Robertson (1993) dan Singh (1994) mereview model-model yang
didasarkan pada perubahan faktor mutu kimia, mikrobiologis atau enzimatis
yang biasanya berupa kinetika reaksi kimia, sedangkan penerapannya
dibahas secara detil di dalam Labuza (1983).
dC d 2C
= −D ..........pers.10
dt dX 2
J = −D
(C2 − C1 )
........pers.11
l
Dalam hal ini C1 dan C2 adalah konsentrasi gas pada pengemas sedemikian
sehingga C1 > C2. Menurut hukum Henry konsentrasi gas sama dengan hasil
perkalian koefisien difusi dengan perbedaan tekanan difusi. Oleh karena uap
air mengikuti hukum Henry, maka persamaan 11 dapat dituliskan dalam
bentuk,
J = −D × S
(P2 − P1 )
...........pers.12.
l
Dimana P1 adalah tekanan uap air di dalam pengemas dan P2 = tekanan uap
air diluar pengemas. Dengan mesubtitusikan persamaan 9 ke dalam
persamaan 12 maka kuantitas penetran (q) yang melalui suatu luasan
pengemas (A) setelah waktu (t) dapat diperoleh:
dt
( )
A
P −P
J = dq × 1 = − D × S 2 1
l
........pers.13
q1
P −P
q = − D.S . A.t. 2 1 ........pers.15.
l
P = D × S .........pers.16
Dengan mensubtitusikan persamaan 16 ke dalam persamaan 15 diperoleh
persamaan 17 (Robertson, 1993):
P −P
q = P. A.t. 2 1 .........pers.17.
l
dM (P − P ) 100
= (P × A) × 2 1 ×
dt l Ws
Oleh karena (P/l) sama dengan JH2O, maka :
dM 100
= ( A)× ( J H 2O )× (P2 − P1 )× .....pers.20.
dt Ws
Dari grafik Gambar 11 ditunjukkan bahwa:
1
(P2 − P1 ) =
(tan α )(RH in − RH out ) .................pers.21.
Subtitusi persamaan 21 ke dalam persamaan 20 diperoleh:
( RH in − RH out ) Ws
Mt
dM
dt = tan α × × ∫
(J H 2O ) 100 × A Mi (M e − M t )
...pers.21
Ws
t gain = .......pers.23.
J H 2O × A
Dimana JH2O adalah total penertran uap air pada waktu (t), Ws= berta kering
produk, A= luas pengemas (Floros, 1993). Persamaan 23 diperoleh dari
persamaan 17, seperti pada persamaan Heiss-Eichner, yaitu sebagai berikut:
P −P
q = P. A.t. 2 1
l
dM dq 100
= ×
dt dt Ws
dM (P − P ) 100
= (P × A) × 2 1 ×
dt l Ws
dM 100
= ( A)× ( J H 2O )× (P2 − P1 )×
dt Ws
Jika percobaan dilakukan pada RH konstan, maka:
dM ( A)× (J H 2O )
= ……pers.24.
dt Ws
Ws
dt = × (dM ) …pers.25
( A) × ( J H 2 O )
Ws
t= × (M t ) ….pers.26
( A) × ( J H 2 O )
Ws
t gain =
J H 2O × A
P −P
q = P. A.t. 2 1 .....pers.17.
l
dWH 2O k
= × A × (P2 − P1 ) ........pers.27.
dt l
Persamaan Labuza ini (pers.27) identik dengan persamaan 20 berikut:
dM 100
= ( A)× ( J H 2O )× (P2 − P1 )×
dt Ws
Hanya saja Labuza menggunakan parameter perubahan berat air (dWH2O)
secara langsung, bukan perubahan berat produk (dM). Sehingga WH2O
adalah perubahan berat berdasarkan peningkatan kadar air, k=koefisien
dq P H −H
= × A × e × Po atau:
dt X 100
dq P A × (H e− H )
= × × Po
dt X 100
Oleh karena,
dM dq 100
= ×
dt dt Ws
Maka,
dM P A × (H e− H ) 100
= × ×
dt X 100 Ws
dM P A
= × × Po × (H e− H ) ....pers.29
dt X Ws
Oleh karena kurva sorpsi isothermis produk kering dapat diasumsikan linear
pada suatu selang RH, maka:
M e = b.H e + a
M t = b.H + a dengan mengurangkan diperoleh:
M e − M t = b × (H e − H )
Atau
(H e − H ) = (M e − M t ) b .....pers.30.
(M e− M i )
ln
(M − M )
t gain = e t
......pers.32
P
× A Po
×
X Ws b
Dimana: Po = tekanan parsial uap air jenuh pada temperatur percobaan.
b=slope kurva moisture sorption isothermis pada daerah linear.
(P/X)=karakteristik permeabilitas pengemas. A= luas pengemas dan
Ws=berat kering produk. Persamaan 32 memiliki beberapa asumsi dasar,
yaitu:
4. laju penetrasi uap air sebanding dengan perbedaan tekanan uap air
parsial
M − Me
M = i ..........pers.33
2
(H e − H ) = (M e − M t ) b
dM P A Po
= × × × (M e− M t )
dt X Ws b
Mt t
dM P × A × Po
∫Mi (M e− M t ) = X × Ws × b .∫ti dt
(M e− M i ) P × A × Po
ln = . × t
(M e− M t ) X × Ws × b
Meskipun dalam hal ini diperoleh persamaan yang sama dengan persamaan
Labuza (persamaan 32) namun cara mengaplikasikannya sedikit berbeda,
dengan kata lain desain percobaan yang diterapkan untuk memperoleh
parameter persamaan seperti nilai b, Me dan Mc dilakukan dengan cara
berbeda. Dengan membuat grafik hubungan ln{(Me–Mi)/(Me–Mt)} dengan
waktu penyimpanan (t) dapat ditunjukkan bahwa:
log 2
HVP = ........pers.34
slope
Oleh karena waktu paruh M adalah:
Mi + Me
M= , maka
2
(Me − Mi )
X × Ws × b
HPV = . log
P × A × Po (
M − iM − M )
e e
2
X × Ws × b
HPV =
(M e − M i )
. log
P × A × Po 2(M e − M i − M e )
2
X × Ws × b (M − M i )
HPV = . log 2 × e
P × A × Po (M e − M i )
X × Ws × b
HPV = . log 2
P × A × Po
Besaran {(P.A.Po)/(Ws.X.b)} merupakan slope dari kurva hubungan
kadar air log {(Me-Mi)/{Me – Mt)} dengan waktu t, dengan demikian akan
diperoleh kembali
log 2
HVP =
slope
P −P
q = P. A.t. 2 1
l
Dimana q = jumlah oksigen yang berdifusi melalui kemasan A setelah waktu
t, P= permeabilitas pengemas terhadap oksigen dan (P2-P1) adalah gradien
tekanan parsial oksigen.
Penurunan atau degradasi mutu dalam hal ini dipandang sebagai suatu
reaksi kimia (reaksi deteriorasi) yang dapat dikuantifikasikan mengikuti
kinetika reaksi. Sebagai contoh (Labuza, 1982) menyimpulkan bahwa
oksidasi lipida pada biskuit merupakan suatu reaksi kinetika berordo nol.
Lebih lanjut Labuza (1983) menyatakan bahwa sebagian besar reaksi
deteriorasi pada produk pangan termasuk reaksi kinetika ordo nol dan reaksi
ordo satu. Reaksi degradasi enzimatik pada sayur-sayuran segar, buah-
buahan, makanan beku, adonan dingin dan beku mengikuti ordo nol,
demikian juga dengan reaksi pencoklatan non enzimatik pada produk cereal,
susu bubuk dan makanan bayi. Pertumbuhan mikroba, pembentukan lendir
pada daging segar, ikan dan ayam adalah reaksi ordo satu, demikian juga
kerusakan vitamin pada makanan kaleng dan makanan kering. Kerusakan
protein (protein loss) serta kerusakan zat gizi pada makanan kering juga
berordo satu (Labuza, 1983). Pada Tabel 7 diperlihatkan ordo reaksi
beberapa jenis reaksi deteriorasi.
Dalam keadaan ini konsetrasi mutlak A maupun B tidak dianalisa akan tetapi
yang diukur adalah perubahan konsentrasi produk intermediate terhadap
waktu. Perubahan konsentrasi ini dianggap proporsional terhadap
dA
− =k
dt
dA = − k .dt
At t
∫ dA = −k ∫ dt
Ao to
A − Ao = −k × t
A = Ao − (k × t )
Apabila konsentrasi Ac adalah batas waktu kadaluwarsa dan Ao adalah
konsentrasi mula-mula, maka persamaan umur simpan untuk reaksi yang
mengikuti ordo nol tersebut adalah:
t=
( Ao − Ac )
......pers.37
k
Plot antara perubahan konsentrasi [A] dengan waktu t untuk reaksi ordo nol
memberikan garis lurus dengan nilai kemiringan (slope)=k (Singh, 1994).
Gambar 14 memperlihatkan grafik reaksi ordo nol yang dicirikan oleh grafik
linear dari hubungan perubahan konsentrasi [A] terhadap waktu, dengan
demikian memiliki nilai slope k yang konstan selama reaksi berlangsung.
dA
− = k[ A]
dt
dA
= − k .dt
[ A]
Dengan mengintegrasi terhadap komponen A = Ao hingga A=A serta t = to
sampai t = t maka diperoleh:
At t
dA
∫Ao[ A] = −k to∫ dt
ln( A − Ao ) = −k .t
A + A → Produk
dA
− = k[ A]2 .......pers.39
dt
reaksi type II:
A + B → Produk
dA
− = k[ A] × [ B] ......pers.40
dt
Dimana: [A] = konsentrasi A dan [B] = konsentrasi B. Integrasi untuk type
reaksi I pada konsentrasi A = 0 hingga A = At dan t = 0 sampai t = t
memberikan,
1 1
− = k .t ........pers.41
A Ao
Sedangkan integrasi untuk type reaksi II pada konsentrasi A = 0 hingga A =
At serta B = 0 hingga B = Bt dan t = to sampai dengan t = t akan
menghasilkan:
1 (Bo × A)
ln = k .t ........pers.42
( A − Bo ) ( Ao − B )
Shelf Life (PSL) (Robertson, 1993). Selain itu juga dikenal Time of
Minimum Durability (TMD), yang dapat ditetapkan menggunakan uji sensori
(Bili dan Taoukis, 1998). Perlu juga diingat kiranya bahwa sebenarnya TMD
adalah istilah yang digunakan CAC (codex alimentarius commission) yang
menunjuk pada pengertian waktu kadaluwarsa, hal ini telah di bahas pada
bagian pendahuluan atau bab I.
Menurut Bili dan Taoukis (1998), High Quality Life adalah waktu dari sejak
selesai diproduksi hingga dirasakan (dideteksi secara sensori) adanya
perubahan-perubahan yang menyimpang. Practical Shelf-Life adalah
lamanya suatu produk dapat disimpan dimana mutu organoleptiknya tetap
dapat dipertahankan untuk dapat dikonsumsi atau digunakan sebagaimana
yang seharusnya. Sedangkan Time of Minimum Durabiliy adalah waktu
yang diperlukan oleh bahan pangan untuk dapat mempertahankan sifat
khasnya (specific properties) di dalam suatu kondisi penyimpanan tertentu.
Menurut Robertson (1993), Nilai PSL selalu lebih besar dari HQL. Oleh
karena itu ratio dari PSL: HQL digunakan sebagai ukuran akseptabilitas
dan daya awet produk pangan. Ratio PSL : HQL disebut acceptability
factor dan mempunyai kisaran nilai sekitar 2 : 1 hingga 6 : 1 (Robertson
1993). Nilai PSL selalu lebih besar dari HQL karena batas akhir kadaluwarsa
yang menjadi lebih rendah atau lebih besar toleransinya, sehingga ratio PSL :
HQL memberikan gambaran seberapa rendah atau panjang batas akhir yang
dari PSL. Namun perlu diingat bahwa batas akhir kadaluwarsa pada uji
seperti ini sangat tergantung pada panel yang digunakan, karena para panel
tersebut yang memutuskan apakah produk telah kadaluwarsa atau belum.
Variasi yang sangat besar ini disebabkan oleh ketergantungan nilai HQL
pada keputusan individu-individu yang digunakan sebagai panelis. Panelis
yang tinggal di suatu daerah (negara) dapat sangat berbeda dengan panelis
di daerah (negara) lain. Sehingga hasil uji HQL yang dilaporkan sangat
berbeda-berbeda untuk produk yang hampir sama. Meski demikian para
panelis yang berasal dari kelompok yang sama masih cukup konsisten
penilaiannya. Hal ini terbukti dengan kemampuan mereka menunjukkan
pengaruh suhu terhadap umur simpan.
Dengan demikian HQL maupun PSL adalah dua pendekatan yang dianggap
kurang praktis dan kurang kompatibel dengan masalah pengolahan,
perdagangan produk pangan, teknis pelaksanaan uji dan regulasi penulisan
waktu kadaluwarsa.
Menurut Gacula dan Kubala (1975), ketiga jenis desain tersebut sesuai jika
menggunakan data subyektif (hasil penilaian dengan indra). Lebih lanjut
dikatakan oleh Gacula dan Kubala (1975) pada penerapan partially
staggered design dapat dilakukan pengolahan data menggunakan regresi
sederhana. Sedangkan pengolahan data staggered design dan completely
staggered design dilakukan menggunakan Weibull Hazard Analysis.
a. sampel dianalisa secara indrawi dan dinilai dengan memberi tanda (D)
pada form uji berupa : sampel dapat diterima (acceptable) atau tidak
dapat diterima (unacceptable), dalam situasi ini panelis tidak diberikan
standar atau kontrol.
b. pengujian sama dengan diatas, akan tetapi panelis diberikan kontrol
sebagai standar.
c. melakukan skoring pada atribut sampel.
5. bilamana sampel telah terkumpul, suatu konstanta C ditentukan, yang
akan menentukan peningkatan jumlah sampel yang akan ditarik pada
periode penarikan sampel berikutnya. Oleh karena itu, jika n(i) adalah
jumlah sampel yang ditarik pada saat (i), maka sampel yang akan
ditarik pada saat n(i)+1 adalah n(i) + C. Nilai C biasanya secara
arbitrary ditentukan sebesar 1 atau 0.
6. penarikan sampel mengalami percepatan bilamana yang diperoleh
menunjukkan hasil bahwa 50% dari sampel yang dianalisa pada
periode tertentu telah mencapai kriteria tidak dapat diterima.
7. penarikan sampel pada periode berikutnya kemudian dipersingkat
jarak waktu samplingnya, sebagai akibat dari waktu kadaluarsa yang
diuji makin mendekati titik akhir.
8. setelah selesai dianalisa kemudian produk diranking dan ditentukan
nilai hazard dan cumulative hazard serta diplot pada kertas grafik
Weibull.
Proses kinetik adalah ukuran laju perubahan mutu suatu produk pangan
yang dinyatakan dalam jumlah perubahan mutu per satuan waktu (Singh
1994). Pada Gambar 3 dan gambar 5 telah diperlihatkan kurva yang
memberikan gambaran umum tentang parameter kinetik reaksi.
Kegunaannya yang terutama dalam penentuan waktu kadaluwarsa pangan
adalah untuk memperhitungkan jumlah perubahan mutu akibat fluktuasi
temperatur serta untuk mendapatkan parameter kinetika seperti Ea dan Q10
(Labuza 1983)..
kadaluwarsa sebesar 58 hari pada temperatur 7oC dan 44 hari pada 15oC,
yang berarti bahwa nilai Q10 dari produk tersebut positif.
[(
ln k = ln ko − Ea
RT
)• (1 RT )]….pers.43
-proses difusi
Energi Aktivasi Rendah -reaksi-reaksi enzymatic
( 2 – 15 K.kalori/mol) -kerusakan pigmen karotenoid
-kerusakan pigmen klorofil
-reaksi oksidasi lemak
3. pengaruh fase lain, misalnya jika terjadi proses partisi dari komponen
reaktan ke dalam fase minyak atau lemak tidak dipengaruhi temperatur.
4. tidak ada pengaruh pengolahan dan penanganan terhadap reaksi, dalam
hal ini, bagaimanapun proses pengolahan apabila produk disimpan pada
temperatur yang memungkinkan untuk terjadinya reaksi, maka reaksi akan
berlangsung.
ts = to.e− bt . …..pers.44
0
0,0031 0,0032 0,0033 0,0034 0,0035 0,0036
-2
-4
ln k -6
-8
-10
1
/T ( oK)
T= temperatur(oC atau oK); ts= umur simpan pada T (oC atau oK), tergantung
pada skala yang digunakan; b= slope dari hubungan ln ts dengan T.
2. Nilai Q10
Pendekatan liniar menghasilkan nilai slope b dari hubungan antara umur
simpan ts dengan temperatur T. Nilai b adalah (Sadler 1987):
ln Q
b= 10
10
Dimana Q10 adalah besaran yang digunakan untuk menunjukkan pengaruh
temperatur. Nilai Q10 didefenisikan sebagai petunjuk besarnya pengaruh
perubahan suatu reaksi pada temperatur T2 dibanding dengan reaksi pada
temperatur T1, dimana T2- T1=10oC (Singh 1994).
ln Q10 = 10b
atau
Q10 = e10b
Dengan demikian, nilai Q10 tidak konstan akan tetapi tergantung pada nilai Ea
(Energi aktivasi) dan temperatur. Sedangkan nilai Ea berdasarkan defenisi
bersifat konstan terhadap temperatur.
Produk ransum militer disimpan pada suhu 4oC, 21 oC, 30 oC dan 38 oC,
kemudian dilakukan sampling berdasarkan interval waktu seperti pada Tabel
10.
Tabel 10. Suhu dan interval sampling yang diterapkan Ross et al. (1985)
Suhu Waktu pengambilan contoh (bulan)
4oC 0 - 12 - - 30 36 48 60 108 - -
21 oC 0 - 12 18 24 30 36 48 60 - - 120
30 oC 0 6 12 18 24 30 36 - - - - -
o
38 C 0 6 12 18 24 - - - - 115 -
Pengujian dilakukan pada suhu kamar oleh 36 panelis tidak terlatih yang
dipilih secara acak dari sukarelawan militer maupun sipil. Panelis diminta
memberi skor hedonik antara 1 (tidak suka) sampai 9 (sangat suka).
Pengujian dilakukan 2 kali sehari yaitu makan pagi dan makan siang, setiap
panelis diberi 1 porsi makanan lengkap (terdiri dari 4 sampai 6 jenis) dan
tidak ada panelis yang digunakan 2 kali sehari. Pada setiap sesi pengujian
panelis diminta mengevaluasi keseluruhan jenis yang disajikan dalam satu
porsi. Pada setiap periode penarikan sampel dengan demikian dilaksanakan
sebanyak 48 sesi atau 12 sesi untuk tiap-tiap temperatur dan pengujian
berlangsung selama 5 minggu atau 1.25 bulan. Oleh karena interval
penarikan sampel yang terkecil adalah 6 bulan, maka periode analisis yang
hanya 5 minggu dapat diabaikan. Analisis dilakukan dengan
membandingkan hasil analisis pada masing-masing periode pengambilan
contoh menggunakan empat alat bantu statistik yaitu regresi liniar sederhana,
regresi non-liniar, prosedur logit dan tabel kontingensi (contingency table).
Penyajian data juga disertai dengan rata-rata skor.
Menurut Ross (1985) beberapa hal yang perlu didiskusikan dari hasil
penelitian ini antara lain: penggunaan skala hedonik, penetapan batas
kadaluwarsa yang ekivalen dengan skor 5 serta alat analisa statistik yang
diterapkan, selain itu skala hedonik diterapkan karena tidak mungkin
menggunakan standar atau mempertahankan kestabilan standar akibat
lamanya interval pengambilan contoh, penetapan nilai skor 5 karena pada
skala hedonik hal itu berarti neither like nor dislike sedangkan penggunaan
keempat prosedur analisa disebabkan landasan asumsinya yang berbeda-
beda.
Dalam paper ini (Ross 1985) tidak ada penjelasan mengenai cara penetapan
interval pengambilan sampel seperti yang diperlihatkan pada tabulasi diatas,
demikian juga mengenai tidak dilakukannya penarikan sampel pada
perlakuan temperatur tertentu pada semua periode kecuali pada bulan ke
12.
Dalam hal jumlah penarikan sampel, Gacula (1975) serta Gacula dan
Kubala (1975) telah mendeskripsikan prosedur Weibull Hazard Analysis yang
memberikan beberapa alternatif desain dan tehnik pengambilan contoh
beserta jumlah contoh yang ditarik. Kelemahan yang dijumpai dalam
penelitian Ross (1985) kemudian diperbaiki oleh Labuza (1988) dengan
BAB V:
PERMEABILITAS KEMASAN
A. Karakteristik Kemasan
Tansfer uap air melalui material polimer kemasan dilakukan dengan dua
mekanisme yaitu difusi kapiler dan difusi aktif. Pada difusi kapiler, transfer
uap air dilakukan melalui pori-pori kemasan atau pori-pori mikroskopik yang
berbentuk kristal dan amorphous yang menyebabkan terjadinya difusi gas.
Sedangkan difusi aktif adalah proses solubilitas dan difusi dimana uap air
terlarut atau melebur pada permukaan polimer, lalu dengan adanya
perbedaan tekanan maka terjadi difusi melalui polimer, selanjutnya uap air
akan mengalir dan mengalami evaporasi ke sisi yang berlawanan (Eskin dan
Robinson, 2001).
Difusi aktif merupakan mekanisme tansfer uap air utama untuk kemasan
multi-layer. Transfer massanya berdasarkan tiga langkah proses yaitu
adsorpsi, difusi dan desorpsi. Adsorpsi dan desorpsi ditentukan oleh
kelarutan dari molekul uap air dalam molekul polimer. Sedangkan proses
difusi merupakan tranfer massa berupa pergerakan acak molekul sebagai
akibat perbedaan tekanan atau konsentrasi (Eskin dan Robinson, 2001).
Salah satu sifat perlindungan kemasan terhadap uap air yang diperlukan
dalam penentuan umur simpan Labuza adalah permeansi. Menurut Krochta,
Baldwin, dan Carriedo (1994), permeansi uap air menunjukkan permeabilitas
Menurut Krotcha, Baldwin, dan Carriedo (1994), permeansi (k/x) uap air
diperoleh dari nilai WVTR (Water Vapor Tranmission Rate) dibagi dengan
perbedaan tekanan uap air yang melintasi kemasan (P1-P2) seperti pada
persamaan 1.
k WVTR
Permeansi ( ) = .........pers.45
x P1 − P 2
Sementara itu, WVTR merupakan kemiringan kurva hubungan jumlah uap air
terserap terhadap waktu dibagi dengan luas permukaan sehingga dengan
memasukan persamaan WVTR, maka dapat diperoleh persamaan permeansi
uap air seperti terlihat pada persamaan 46.
n
k t
Permeansi ( ) = ...............46
x A( P1 − P 2 )
Keterangan :
k/x = permeansi (gram/hari/m2/ mmHg )
n/t = jumlah uap air terserap per hari (gram H20/hari)
A = luas permukaan (m2)
P1 = tekanan dalam kemasan (mmHg)
P2 = tekanan luar pengemas (mmHg)
Contoh:
Pengukuran permeansi (k/x) uap air pada kemasan tipe OPP20/VMOPP20
dilakukan pada perlakuan luas permukaan sebesar 0,05 m2, suhu 37 °C
dengan RH 87%. Selama 14 hari dilakukan penimbangan bobot sampel
desikan (silika gel) sehingga bisa diperoleh hubungan bobot sampel dengan
hari pengamatan, seperti terlihat sebagai berikut:
22.82
y = 0.0058x + 22.728
22.8 2
R = 0.9988
22.78
Bobot
22.76
22.74 y = 0.0055x + 22.716
R2 = 0.999
22.72
22.7
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Hari Pengamatan
a b Linear (a) Linear (b)
k n t
=
x A ( RH out − RH in ) Po
Dengan menggunakan data yang tersedia yaitu n/t (jumlah uap air terserap
per hari) untuk sampel a dan b 0,0055 dan 0,0058 gram/hari, luas
permukaan (0,05 m2),RH luar kemasan sebesar 87% dan RH dalam
kemasan (silika gel) sebesar 0% dan tekanan uap air jenuh pada suhu 37 °C
maka dapat ditentukan permeansi uap air dengan menggunakan persamaan
permeansi uap air sehingga dihasilkan rata-rata untuk kedua sampel sebesar
0,003 gram/hari/m2/mmHg. Perhatikan perbedaan satuan antara WVTR atau
n/t (gram/hari/m2) dengan permeansi atau permeabilitas (k/x) yang
satuannya adalah gram/hari/m2/mmHg
Perlakuan variasi bobot desikan dengan luas pengemas yang tetap (konstan
=0.04 m2) dapat dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap jumlah air
terserap dan nilai permeansi yang diperoleh seperti contoh hasil perhitungan
berikut ini:
Bobot
Desikan Σ.air/hari A Σ.air/hari B Rata-rata permeansi
(gram) (g/hari) (g/hari) (g/hari) (g/h/m2/mmHg)
5 0,0031 0,003 0,00305 0,00202
10 0,0032 0,0033 0,00325 0,00216
15 0,0034 0,0039 0,0034 0,00226
40 0,0033 0,0037 0,0035 0,00232
60 0,0033 0,0038 0,00355 0,00236
80 0,0035 0,0037 0,0036 0,00239
100 0,0039 0,0036 0,00375 0,00249
Pada pengaruh luas permukaan terhadap permeansi uap air, dilakukan lima
perlakuan luas pemukaan yang berbeda yaitu 0,02, 0,04, 0,05, 0,07, dan 0,08
m2 yang disimpan pada suhu 37 °C dan RH 80% serta dikemas dengan
kemasan OPP20/VMOPP20 dengan bobot silika gel yang tetap yaitu 20
gram. Selama 14 hari pengamatan dilakukan penimbangan sampel untuk
melihat hubungan bobot produk dengan waktu.
Area (m2) Jumlah uap air terserap (g/hari)
0,02 0,0022
0,04 0,0046
0,05 0,0057
0,07 0,0075
0,08 0,0090
Selanjutnya, nilai jumlah uap air terserap per hari dibagi dengan perbedaan
tekanan antara dalam dan luar pengemas yang diperoleh dari perbedaan RH
silka gel (0%) dan RH diluar (80%) yang dikali dengan tekanan uap jenuh uap
air pada suhu 37 °C, menghasilkan permeansi:
Luas (m2) Permeansi (g/h/m2/mmHg)
0,02 0,0029
0,04 0,0030
0,05 0,0030
0,07 0,0028
0,08 0,0030
BAB VI:
ISOTERMI SORPSI AIR
A. Aktifitas Air
Istilah aktivitas air (aw) digunakan untuk menggambarkan keadaan air dalam
produk. aw adalah perbandingan antara tekanan uap air dalam larutan atau
makanan (pw) dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama (p0w).
Persamaannya adalah sebagai berikut :
pw
aw =
p° w
Dalam keadaan setimbang, aw sering dihubungkan dengan kelembaban
udara setimbang di sekelilingnya. ERH (equilibrium relative humidity) yaitu
kelembaban udara saat terjadinya kadar air kesetimbangan (Eskin dan
Robinson, 2001). Persamaannya adalah sebagai berikut :
ERH = aw x 100%
Aktivitas air menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH
menggambarkan sifat lingkungan di sekitar bahan yang dalam keadaan
setimbang. Dengan demikian, peranan air dalam pangan dapat dinyatakan
dengan kadar air dan aktivitas air, sedangkan peranan air di udara dapat
dinyatakan dengan kelembaban relatif dan kelembaban mutlak.
Kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam penentuan dan
penetapan masa simpan makanan, karena variabel-variabel ini akan
mempengarui sifat fisik, fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, dan
perubahan enzimatis termasuk juga perubahan mikrobiologis, baik pada
pangan yang tidak diolah maupun pangan olahan (Winarno dan Jenie, 1983).
Hampir semua jenis perubahan dalam pangan dipengaruhi oleh aktifitas air
bahan pangan tersebut. Oleh karena itu dikenal suatu peta stabilitas pangan
yang menggambarkan hubungan antara aktifitas air dengan perubahan-
perubahan fisik, fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, dan perubahan
enzimatis termasuk juga perubahan mikrobiologis (Labuza, 1970 di dalam
Arpah, 2001). Peta stabilitas pangan diperlihatkan pada Gambar 20.
Kurva isothermis dari makanan biasanya diperoleh pada suhu yang konstan
menggunakan salah satu dari dua metode dasar. Pada metode yang
pertama, suatu makanan dengan kadar air yang telah diketahui dibiarkan
mencapai kesetimbangan dalam suatu wadah dengan ruang bebas kecil dan
tertutup rapat lalu tekanan uap air parsial diukur secara manometris atau RH
diukur dengan higrometer listrik, sel titik embun, psikometer rambut, atau
kertas penunjuk. Sedangkan, metode dasar yang kedua melibatkan
penempatan sejumlah kecil contoh makanan pada berbagai tingkat
kelembaban yang konstan. Setelah kesetimbangan tercapai, maka dapat
diperoleh kadar air yang dihitung dengan metode penimbangan atau metode
lainnya sedangkan nilai aktivitas airnya diperoleh dari nilai kelembaban udara
kesetimbang (ERH) dari larutan garam (Buckle et al., 1987).
Bentuk kurva isothermis khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno,
1994). Menurut Bell dan Labuza (2000), ada tiga tipe bentuk kurva. (Gambar
21). Tipe I adalah bentuk kurva sorpsi yang khas untuk bahan antikempal.
Bahan ini menyerap air pada sisi spesifik dengan energi pengikatan yang
tinggi dan mampu menahan sejumlah besar air pada aw yang rendah. Tipe II
adalah bentuk kurva sorpsi yang paling banyak ditemui pada produk pangan
yaitu sigmoid. Bentuk kurva pada tipe ini disebabkan oleh kombinasi dari efek
koligatif, kapiler dan interaksi air-permukaan. Tipe III mewakili kurva sorpsi
untuk bahan kristal seperti sukrosa. Sebagian literatur membaginya menjadi
5 tipe, dua tipe lainnya yaitu tipe IV dan tipe V merupakan variasi dari II. Tipe
IV memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dengan tipe III,
sedangkan tipe V memiliki kurva yang menyerupai kurva gabungan tipe II dan
tipe I.
Menurut Arslan dan Togrul (2005), kurva sorpsi isothermis terbagi ke dalam
tiga derah menurut keadaan air dalam bahan pangan (Gambar 22). Daerah
pertama merupakan daerah yang mempunyai aktivitas air sampai 0.3 dimana
air diikat pada posisi polar yang memiliki energi yang relatif tinggi, sehingga
adsorpsi air hanya bersifat satu lapis molekul air (monolayer). Kadar air
monolayer penting untuk stabilitas kimia dan fisik produk pangan kering.
Daerah kedua merupakan daerah yang mempunyai kisaran aw dari 0.3-0.7
yang disebut dengan air multilayer, yaitu terjadi penambahan lapisan-lapisan
di atas satu lapis molekul. Pada daerah ini beberapa lapis air yang terikat
pada lapis pertama dengan ikatan hidrogen. Selanjutnya daerah ketiga,
meupakan daerah aw yang mempunyai nilai di atas 0.7 dan air relatif bebas.
Daerah ini terjadi kondensasi air pada pori-pori bahan. Hubungan antara
keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air dapat dilihat pada Tabel
11.
Chen Clayton juga telah membuat model matematik yang berlaku untuk
bahan pangan pada semua nilai aktivitas air. Persamaan tersebut (Chirife
dan Iglesias, 1978) adalah :
aw = exp − P (1)
exp( P (2) Me)
Dimana : P(1) dan P(2) = konstanta
aw = exp − P(1)
P (2)
( Me)
Dimana : P(1) dan P(2) = konstanta
Model lain yang diakui secara internasional adalah model isothermis GAB
(Guggenheim, Andersen dan de Boer) yang direkomendasikan oleh
European Project Group COST 90 untuk menggambarkan sorpsi isothermis
produk pangan yang bisa digunakan pada kisaran aw yang luas yaitu
b) Chen Clayton
− P(1)
aw = exp
exp{P(2) Me}
Persamaan dilinierkan menjadi :
c) Henderson
1-aw = exp [-K(Me)n]
Persamaan dilinierkan menjadi :
Log[ln(1/(1-aw))] = log K + n log Me
Dimana; y = log [ln(1/(1-aw))]
a = log K
x = log Me
b=n
d) Caurie
Ln Me = ln P(1) – P(2) aw
Dimana ; y = ln Me
a = ln P(1)
x = aw
b = -P(2)
e) Oswin
P(2)
aw
Me = P(1)
1 − aw
Persamaan dilinierkan menjadi :
Ln Me = ln P(1) + P(2) ln[aw/(1-aw)]
Dimana; y = ln Me
a = ln P(1)
x = ln[aw/(1-aw)]
b = P(2)
K=
(β 2
)
− 4(α .γ ) − β
C=
β
+2 mo =
β
2.γ γ .K γ .K .C
X mC.aw
M =
(1 − aw )(. 1 − aw + C.aw )
Dengan mensubtitusikan parameter: α =(1/Xm.C) and β =(C-1)/Xm.C),
persamaan menjadi bentuk linear berikut,
aw
= α + β .aw
(1 − aw )M atau:
aw
=
1
+
(C − 1) .a
(1 − aw )M Xm.C Xm, C w
aw 1 (C − 1) Xm C r2
Xm .C Xm .C
Black pepper - 0.0044 0.2731 3.72 61.14 0.95
White pepper - 0.015 0.2431 4.39 15.20 0.95
Cloves - 0.0144 0.3343 3.13 22.22 0.97
Nutmeg - 0.0117 0.2932 3.55 24.10 0.98
Cinnamon - 0.0137 0.2291 4.65 15.69 0.94
Larutan asam sulfat memiliki kekurangan yaitu sangat korosif dan dapat
merusak peralatan, kekurangan larutan gliserol adalah karena sifatnya yang
volatil sehingga dapat menguap dan terserap ke dalam produk. Sedangkan
humidity chamber mudah berfluktuasi nilai RH ruangannya dengan variasi
nilai RH yang relatif besar. Oleh karena itu yang terbaik adalah penggunaan
larutan garam jenuh. Kekurangan penggunaan larutan garam jenuh adalah
harganya yang relatif mahal (analytical grade).
Tipikal data hasil pengukuran kadar air kesetimbangan beserta waktu yang
diperlakukan untuk mencapai kondisi setimbang tersebut diperlihatkan pada
Tabel 13.
Tabel 13. Kadar air dan waktu pencapaian kesetimbangan rice puff
Larutan Kadar air
aw aw Waktu
garam kesetimbangan
garam pengukuran (hari)
jenuh (%bk)
NaOH 0.069 0.14 1.96 3
MgCl2.6H2O 0.324 0.37 6.1 5
K2CO3 0.43 0.48 7.57 5
KI 0.69 0.69 11.91 7
KCl 0.84 0.84 17.97 10
BaCl2.2H2O 0.903 0.87 21.54 11
Pada tabel diatas terdapat kolom nilai aw pengukuran yang diperoleh dari
hasil pengukuran aw produk (menggunakan aw meter) setelah setimbang
dengan lingkungan penyimpanan. Selisih antara nilai hasil pengukuran aw
produk dengan nilai aw larutan garam, disebabkan oleh keterbatasan alat
pengukur mekanis untuk mengukur nilai aw ekstrim, seperti nilai yang
mendekati 0 dan 1.
Tabel 14. Aktifitas air larutan asam sulfat pada berbagai konsentrasi
H2SO4 Densitas Temperatur (oC)
(%) (25oC) 5 10 20 25 30 40 50
(g/cm3)
5 1.0300 0.9803 0.9804 0.9806 0.9807 0.9808 0.9811 0.9814
10 1.0640 0.9554 0.9555 0.9558 0.9560 0.9562 0.9565 0.9570
15 1.0994 0.9227 0.9230 0.9237 0.9241 0.9245 0.9253 0.9261
20 1.1365 0.8771 0.8779 0.8796 0.8805 0.8814 0.8831 0.8848
25 1.1750 0.8165 0.8183 0.8218 0.8235 0.8252 0.8285 0.8317
30 1.2150 0.7396 0.7429 0.7491 0.7521 0.7549 0.7604 0.7655
35 1.2563 0.6464 0.6514 0.6607 0.6651 0.6693 0.6773 0.6846
40 1.2991 0.5417 0.5480 0.5599 0.5656 0.5711 0.5816 0.5914
45 1.3437 0.4319 0.4389 0.4524 0.4589 0.4653 0.4775 0.4891
50 1.3911 0.3238 0.3307 0.3442 0.3509 0.3574 0.3702 0.3827
55 1.4412 0.2255 0.2317 0.2440 0.2502 0.2563 0.2685 0.2807
60 1.4940 0.1420 0.1471 0.1573 0.1625 0.1677 0.1781 0.1887
65 1.5490 0.0785 0.0821 0.0895 0.0933 0.0972 0.1052 0.1135
70 1.6059 0.0355 0.0377 0.0422 0.0445 0.0470 0.0521 0.0575
75 1.6644 0.0131 0.0142 0.0165 0.0177 0.0190 0.0218 0.0249
80 1.7221 0.0035 0.0039 0.0048 0.0053 0.0059 0.0071 0.0085
Aktifitas air larutan gliserol pada suhu 20oC diperlihatkan pada Tabel 15
berikut:
Tabel 15. Aktifitas air larutan asam sulfat pada berbagai konsentrasi
Konsentrasi (kg/L) Index Refraksi Aktifitas Air
0.2315 1.3602 0.95
0.3789 1.3773 0.90
0.4973 1.3905 0.85
0.5923 1.4015 0.80
0.6751 1.4109 0.75
0.7474 1.4191 0.70
0.8139 1.4264 0.65
0.8739 1.4329 0.60
0.9285 1.4387 0.55
0.9760 1.4440 0.50
25,0
Gram H2O/100 gr BK
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
Aktivitas air (aw)
DAFTAR PUSTAKA
Arpah, J. Hermanianto dan W.K. Jati. 1999. Penentuan umur simpan produk
ekstrusi dari hasil samping penggilingan padi (menir dan bekatul) dengan
menggunakan metoda konvensional , kinetika Arhenius dan sorpsi
isotermis. Proceeding Seminar Nasional Tek. Pangan dan Gizi. 12-13
Oktobert 1999. Jakarta.
Arpah, P. Setiawan dan A.B. Ahza. 1999. Pembuatan dan penetapan waktu
kadaluwarsa kacang garing tradisional berlemak rendah dari bahan
dasar kacang tanah hasil penekanan hidraulik. Proceeding Seminar
Nasional Makanan tradisional. 16 Maret 1999. Yogyakarta.
Brul .S., P. Coote. 1999. Preservative agents in foods: Mode of action and
microbial resistance mechanisms Intern. J. of Food Microb. (50): 1–17.
Collins, M.A. 1985. Effects of pH and acidulate type on the survival of some
food poisoning bacteria in mayonnaise. Microbiologie - Aliments -
Nutrition (3): 215- 221.
Clark, W. L., & Serbia, G. W. (1991). Safety aspects of frying fats and oils.
Food Technol. , 45(2), 84-86, 88, 89, 94.
Carillo, A.R., Kokini, J.L. 1988. Effects of egg yolk and egg yolk+salt on
rheological properties and particle size distribution of model oil-in-water
salad dressing emulsions. J. Food Sci.. 53(5): 1352-1366.
Daryl C.J , A.J. Macnish., Y. Jiang. 1999. Extension of the shelf life of
banana fruit by 1-methylcyclopropene in combination with polyethylene
bags. Postharvest Biol. and Techn. (16):187–193
Fields, S. C. and Prusik, T. 1986. Shelf life estimation of beverage and food
products using bar coded time-temperature indicator labels, in The Shelf
Life of Foods and Beverage,s, G. Charalambous, ed., Elsevier Science
Publishers, Amsterdam, pp. 85 – 96.
Giese. J. 2001. Color measurement in foods. Food Technol. Vol 55, no.3.
Gacula, M.C.Jr. Kubala, J.J. 1975. Statistical model for shelf-life failure. J.
Food Sci. 40 (404-409).
Gacula, M.C. 1975. The design of experiments for shelf life study. J. FoodSci.
40:399.
Hardman, T.M. 1989. Water And Food Quality. Elsevier Applied Science.
NY.
Kaya, A., Tekin, A. R., & Oner, M. D. 1993. Oxidative stability of sun flower
and olive oils: comparison between a modified active oxygen. method and
long term storage. Lebensm. Wiss. Technol., (26): 464-468.
Labuza, T.P. 1994. The Maillard Reaction of Sugars with Proteins. Paper
presented at: Colorado Protein Stability Conference, Colorado University.
Labuza, T.P. 1968. Sorption Isotherm in Foods. Food Tech 22(3): 263
Labuza, T.P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press.,
Inc., Westport, Connecticut.
Labuza, T. P, and Fu, B. 1992. Microbial growth kinetics for shelf life
prediction: Theory and practice, in Proceedings of the International
Conference on the Application of Predictive Microbiology and Computer
Modeling Techniques to the Food Industry, R. L. Buchanan and S.
Pdumbo, eds., April 12 – 15, 1992, Tampa, FL.
Labuza, T. P., Fu, B. and Taoukis, P. S. 1992. "Prediction for shelf life and
safety of minimally processed CAP/MAP chilled foods," J. Food Prot.,
55(10):741 – 750.
Labuza T.P. C.G.A. Davies. 2000. The Maillard Reaction. Paper of The
Department of Food Science and Nutrition University of Minnesota, St.
Paul, Minnesota 55108.
Leong, L.P. , B.L. Wedzicha. 2000. A critical appraisal of the kinetic model
for the Maillard browning of glucose with glycine. Food Chem. 68: (21-28)
Lubis, Z. and K.A. Buckle. 1990. Rancidity and lipid oxidation of dried-salted
sardines. Int'l J. Food Sci. Tech. 25:295-303.
Li Hsieh, Y.T. and Regenstein, J.M. 1991. Factors affecting quality of fish oil
mayonnaise. J. Food Sci. 56(5): 1298-1301.
Li Hsieh, Y.T., Regenstein, J.M. 1991. Factors affecting quality of fish oil
mayonnaise. J. Food Sci.. 56(5): 1298-1301.
Leong, L.P., B.L. Wedzicha. 2000. A critical appraisal of the kinetic model for
the Maillard browning of glucose with glycine Food Chem. (68): 21-28.
Martin, S.L. 1973. Selection and training of sensory judges. Food Technol.
Nov. 1973: 25-26.
Maca. J.V. , R.K. Miller , M.E. Bigner , L.M. Lucia , G.R. Acu. 1999. Sodium
lactate and storage temperature e•ects on shelf life of vacuum packaged
beef top rounds. Meat Science (53): 23-29.
Martin, W.G. ,Tartie W.G., Cook, W.H. 1963. Lipid extraction and
distribution studies of egg yolk lipoproteins. Can. J. Biochem. Physiol.
(41):666-675.
Mettas ,A. 2000a. Modeling & Analysis for Multiple Stress-Type Accelerated
Life Data. The 46th Annual International Symposium on Product Quality
and Integrity - the Reliability and Maintainability Symposium. Los
Angeles, California, USA, January 24-27, 2000.
Mettas ,A. 2000a. Modeling & Analysis for Multiple Stress-Type Accelerated
Life Data. The 46th Annual International Symposium on Product Quality
and Integrity - the Reliability and Maintainability Symposium. Los
Angeles, California, USA, January 24-27, 2000.
Man, C.M.D. Jones. A.A. 1994. Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie
Academic & Professional, London.
Otremba, M.. M.,M.. E. Dikeman, E.A.E. Boyle. 1999. Refrigerated shelf life
of vacuum-packaged, previously frozen ostrich meat. Meat Science (52):
279-283.
Olson, R.L. 1960 Objective tests for frozen food quality. Conference on
Frozen Food Quality. November 4, 1960. USDA, Agri. Res. Serv., Albany,
CA.
Paul, S., & Mittal, G. S. 1996. Dynamics of fat/oil degradation during frying
based on physical properties. J. of Food Proc. Eng. (19): 201-221.
Paul, S., & Mittal, G. S. 1997. Regulating the use of degraded oil/fat in deep-
fat/oil food frying. (Critical Reviews). Food Sci. and Nutr. (37):635-662.
Patel, A.A., Ghandi, H., Singh,S., Patil, G.R. 1996. Shelf-life modeling of
sweetened condensed milk based on kinetics of maillard browning. J.of
Food Proc. Preserv. (20):431-451.
Ross, E.W., M.V. Klicka, J. Kalick and M.T. Branagan. 1987. A Time-
Temperature Model for Sensory Acceptance of a Military Ration. J. Food
Sci. 52(6):1712-1717.
Schaller-Povolny, L.A. ,D.E. Smith. 1999. Sensory attributes and storage life
of reduced fat ice cream as related to inulin content. 1999. J. Food Sci..
64(3): 555-559.
Sheard, P.R. ,M. Enser, J.D. Wood , G.R. Nute, B.P. Gill, R.I. Richardson.
2000. Shelf life and quality of pork and pork products with raised n-3
PUFA. Meat Science (55): 213-221.
Sidel, J.L. Stone, H. 19. Experimental design and analysis of sensory tests:
Use without abuse of sensory measurement. 36th Annual Meeting of the
IFT. June 6-9, 1976. Anaheim. California.
Tan, C.P. Y.B. Che Man. 1999. Differential scanning calorimetric analysis for
monitoring the oxidation of heated oils. Food Chem. 67: 177-184.