Anda di halaman 1dari 162

Dr.Ir.

ARPAH,MSi
Dr.Ir. ARPAH,MSi
Dr. Ir. Arpah, Msi
Departement of Food Sciences and Technology
Bogor Agricultural University
PO. Box 220
Bogor, Indonesia
Daftar Isi

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI……………………………………………………………. I
DAFTAR TABEL………………………………………………………. Iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. iv
I. PENDAHULUAN………………………………………………… 1

A. Latar Belakang Pencantuman Tanggal Kadaluwarsa…… 1


B. Regulasi Dan Cara Penulisan Waktu Kadaluwarsa……… 3
1. Format Tulisan yang Bersifat Sukarela....................... 3
2. Open Date dan Closed Date…………………………... 5
3. Regulasi dan Penulisan.............................................. 5
3.1. Format Tulisan Baku yang Bersifat Wajib........... 5
3.2. Regulasi di Tingkat Nasional…………………….. 6
3.3. Regulasi Internasional Berdasarkan CAC……… 8
3.4. Regulasi Berdasarkan MEE……………………… 10
3.5. Regulasi Lainnya: Uniform Open Dating 11
Regulation………………………………………….

II. PENGERTIAN UMUR SIMPAN DAN WAKTU 13


KADALUWARSA…………………………………………………

A.Pengertian Umur Simpan dan Waktu Kadaluwarsa………. 13


B.Pengertian Kriteria Kadaluwarsa dan Batas Kadaluwarsa. 15

III. REAKSI-REAKSI PENURUNAN MUTU................................. 20

A.Reaksi Deteriorasi.............................................................. 20
B.Mekanisme Perubahan Mutu.............................................. 23
1. Perubahan Sifat tekstur............................................... 23

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan i


Daftar Isi

Halaman

2. Perubahan Flavor........................................................ 26
2.1. Reaksi Oksidasi.................................................... 26
2.2. Autooksidasi Pada Minyak………………………... 27
2.3. Reaksi Hidrolisis Pada Minyak…………………… 32
2.4. Kinetika Reaksi Autooksidasi……………………. 34
3. Reaksi Deteriorasi Perubahan Warna....................... 37
3.1. Reaksi Pencoklatan Non Enzimatis..................... 37

3. 2. Mekanisme Reaksi Maillard…………………….. 40


3.2.1. Tahap kesatu……………………………………. 42
3.2.2. Tahap kedua…………………………………….. 46
3.2.3. Tahap ketiga…………………………………….. 50
4. Kinetika Reaksi Maillard………………………………...
4.1 Pengaruh Konsentrasi Gula pereduksi dan 53
Asam Amino.........................................................
4.2. Pengaruh pH………………………………………. 54
4.3. Pengaruh Temperatur…………………………….. 55
5. Perubahan Mikrobiologis............................................ 56

IV. PEMODELAN WAKTU KADALUWARSA.............................. 64

A. Konsep Dasar................................................................... 64
B. Pemodelan Penentuan Kadaluwarsa Pangan.................. 67
1. Konsepsi Model........................................................... 67
2. Kondisi Penyimpanan Percobaan Penentuan Waktu 68
Kadaluwarsa................................................................
3. Jenis-Jenis Model Pendugaan Waktu Kadaluwarsa... 70
3.1. Permodelan Berdasarkan Perubahan Fisik.......... 71
3.1.1. Model Heiss Dan Eichner (1971)..................... 73
3.1.2. Model Rudolp (1986)......................................... 75

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan ii


Daftar Isi

Halaman

3.1.3. Model Labuza (1982)........................................ 78


3.1.4. Model Waktu Paruh (Syarief 1986)................. 81
3.1.5. Pemodelan Berdasarkan Perubahan Oksigen.
3.2. Pemodelan Berdasarkan Proses Kimia, 63
Mikrobiologis dan Enzimatis................................
3.2.1. Reaksi Ordo Nol................................................ 86
3.2.2. Reaksi Ordo Satu.............................................. 88
3.2.3. Reaksi Ordo Dua............................................... 89
3.3. Pemodelan Berdasarkan Perubahan 90
Organoleptik.........................................................
3.3.1.High Quality Life (HQL)………………………... 91
3.3.2.Practical Shelf Life (PSL)……………………….. 93
3.3.3.Weibull Hazard Analysis (WHA)………………… 93
C. Parameter Kinetik Kadaluwarsa Pangan.......................... 97
1. Energi Aktivasi (Ea)................................................... 100
2. Nilai Q10……………………………………………………………………………. 105
D. Percobaan Ross et al. (1985)........................................... 106

V. PERMEABILITAS KEMASAN................................................ 110

A. Karakteristik Kemasan....................................................... 110


B. Permeansi Uap Air............................................................ 112
C. Metode Pengukuran Permeabilitas (Moyls, 1998)............. 115

VI. ISOTERMI SORPSI AIR........................................................ 120


A. Aktifitas Air....................................................................... 120
B. Kadar Air Kesetimbangan…………………………………. 123
1. Isotermi Sorpsi A........................................................ 124
2. Model Persamaan Sorpsi Isothermis………………… 127

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan iii


Daftar Isi

Halaman

3. Percobaan Sorpsi Isothermis..................................... 134


DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 140

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan iv


Daftar Isi

DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 1. Pengaruh faktor intrinsik dan ekstrinsik tehadap


reaksi deteriorasi pada produk pangan……………... 21
Tabel 2. Data browning non-enzimatis (reaksi Maillard) susu
bubuk aw = 0.4………………………………………….. 39
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi glukosa terhadap intensitas
pencoklatan……………………………………………… 53
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi glisin terhadap intensitas
pencoklatan……………………………………………… 53
Tabel 5. Perkembangan jumlah mikroba Rendang dan Kalio
pada penyimpanan suhu ruang………………………. 58
Tabel 6. Kriteria kadaluwarsa yang digunakan pada beberapa
jenis produk……………………………………………… 65
Tabel 7. Ordo reaksi pada reaksi deteriorasi………………….. 85
Tabel 8. Beberapa energi aktivasi dari reaksi/proses yang
berhubungan dengan penurunan mutu...................... 102
Tabel 9. Penggolongan jenis-jenis reaksi berdasarkan
besaran energi aktivasinya (Ea)……………………... 102
Tabel 10. Suhu dan interval sampling yang diterapkan Ross et
al. (1985)…………………………………………………. 106
Tabel 11. Pembagian wilayah kurva sorpsi air bahan pangan.. . 126
Tabel 12. Preparasi larutan jenuh untuk penetapan kurva
sorpsi isothermis………………………………………… 135
Tabel 13. Kadar air dan waktu pencapaian kesetimbangan rice
puff............................................................................... 137
Tabel 14. Aktifitas air larutan asam sulfat pada berbagai
konsentrasi................................................................... 138
Tabel 15. Aktifitas air larutan asam sulfat pada berbagai
konsentrasi................................................................... 138
.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan v


Daftar Isi

DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1. Perubahan rasa, warna, bau, kekentalan produk 22


pangan terjadi selama penyimpanan dan distrbusi
sehingga memerlukan waktu kadaluwarsa………....
Gambar 2. Produk pangan yang diproduksi untuk dikonsumai 22
saat itu juga, tidak memerlukan waktu
kadaluwarsa…………………………………………….
Gambar 3. Pengaruh aw terhadap intensitas kerenyahan 24
makanan kering (Rockland, 1987)………………….
Gambar 4. Sifat tekstur (kekerasan) cookies pada beberapa 25
nilai aw (Rockland, 1987)……………………………..
Gambar 5. Kecapatan Konsumsi oksigen dan produksi 34
peroksida pada peroksidasi minyak (Labuza, 2000)
Gambar 6. Skema tradisional rangkaian reaksi Maillard 41
(Hodge, 1953)………………………………………….
Gambar 7. Kinetika reaksi Maillard (Labuza, 1994).................... 52
Gambar 8. Reaksi Maillard mengikuti kinetika reaksi ordo nol... 56
Gambar 9. Kurva pertumbuhan mikroba terdiri dari 6 fase......... 59
Gambar 10. Penurunan usable quality pada produk pangan…… 64
Gambar 11. Parameter untuk menentukan umur simpan model 74
Heiss dan Eichner....................................................
Gambar 12. Grafik pembantu dalam prosedur Rudolph 76
Gambar 13. Plot {J.A.t/Ws} dengan Mi dan M……………………. 77
Gambar 14. Grafik ordo nol.......................................................... 87
Gambar 15. Plot Arrhenius………………………………………….. 104
Gambar 16. Plastik film untuk pengemasan pangan
Gambar 17. Plastik film melindungi produk dari lingkungan 114
pencemar..................................................................
Gambar 18. Kurva hubungan bobot sample dengan waktu......... 116
Gambar 19. Kurva klasifikasi pangan berdasarkan aktivitas 121
airnya.. .....................................................................
Gambar 20. Peta stabilitas pangan.............................................. 122
Gambar 21. Klasifikasi sorpsi isothermis air : A = tipe I, B = tipe 125
II, C = tipe III (Bell dan Labuza, 2000)......................
Gambar 22. Pembagian wilayah kurva sorpsi air bahan pangan. 127
Gambar 23. Desikator dengan clamp pengunci, serta water bath 136
pengatur suhu...........................................................
Gambar 24. Desikator kedap udara untuk produk Rice puff yang 136
sangat sensitif terhadap uap air................................
Gambar 25. aw meter.................................................................... 137

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan vi


Pendahuluan

BAB I:
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pencantuman Tanggal Kadaluwarsa

Penemuan kemasan-kemasan pangan yang terbuat dari tanah liat (gerabah)


yang digunakan sebagai wadah penyimpanan bawah tanah memberikan
indikasi bahwa kebiasaan mencantumkan tulisan pada kemasan pangan
dimulai sejak tahun 1000 SM. Gerabah-gerabah tersebut yang dipenuhi
ornamen lukisan dan tulisan pada permukaannya, merupakan wadah biji-
bijian dan minyak yang diawetkan dan dipendam dibawah istana Cnossus di
Yunani bersama-sama dengan tablet-tablet dari tanah liat (Morey dan
Countryman, 1933). Kebiasaan ini kemudian berlanjut di dalam rumah-
rumah tangga di Eropah dimana kemasan toples dan gelas jar sebagai
wadah penyimpanan makanan yang diawetkan seperti: selai, asinan dan
mayonnaise, ditandai dengan cara menuliskan tanggal pembuatannya pada
tutup atau badan kemasan.

Tanggal produksi yang dicantumkan pada kemasan pangan menjadi


informasi yang penting ketika proses pengawetan dengan pemanasan di
dalam kaleng hermitis ditemukan oleh Nicolas Appert pada tahun 1810 di
Prancis karena proses itu memungkinkan makanan yang mudah rusak untuk
disimpan lebih lama dari sebelumnya. Meski demikian, menurut laporan
Minneapolis Tribune (1979) diacu di dalam Labuza dan Szybist (1999),
barulah pada tahun 1917 tulisan seperti sold by dan used by dituliskan pada
botol kemasan susu pasteurisasi.

Menurut Labuza dan Szybist (1999), perubahan keterangan waktu yang


dituliskan pada kamasan dari tanggal produksi (seperti pada masa Nicolas
Appert) menjadi tanggal kadaluwarsa atau shelf life (yang dikenal kemudian),

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 1


Pendahuluan

sebenarnya terjadi pada sekitar tahun 1900. Ini karena meningkatnya


permintaan makanan kemasan akibat urbanisasi. Pengaruh revolusi industri
pada ketika itu menyebabkan penduduk berpindah dari daerah agraria ke
kota - tempat dimana industri didirikan dan tersedia kesempatan kerja – untuk
mengisi lapangan kerja. Kondisi ini disatu pihak menuntut makanan yang
awet, murah, mudah disajikan dan aman. Sedangkan di pihak lain produsen
makanan berusaha menangkap peluang pasar yang tersedia dengan
menawarkan produk yang diawetkan dalam kemasan berbagai wadah
(khususnya botol, kaleng dan gelas jar). Produsen kemudian mencantumkan
tulisan semata-mata sebagai alat promosi akan keamanan dan kesegaran
produknya dengan cara merubah tanggal produksi menjadi tanggal terakhir
dimana produk masih layak diperdagangkan.

Hal ini sangat dirasakan manfaatnya oleh konsumen produk susu. Menurut
Seligsohn (1979), suatu laporan survey konsumen di AS pada tahun 1930
menunjukkan bahwa mereka menginginkan keterangan kadaluwarsa pada
produk pangan, meski demikian barulah pada tahun 1970 ditemukan
beragam bentuk keterangan kadaluwarsa yang diterapkan pada berbagai
jenis produk pangan. Nyatalah bahwa konsumen menyadari pentingnya
keterangan kadaluwarsa yang bukan hanya merupakan sekadar petunjuk
kesegaran dan keamanan, melainkan juga petunjuk akan perubahan lainnya
seperti cita rasa, penampakan dan kandungan gizi.

Terlebih pada produk bahan baku industri, seperti berbagai jenis tepung,
isolat protein dan ragi roti, keterangan kadaluwarsa menunjukkan batas
waktu dimana sifat-sifat fungsional dari bahan masih dapat dipertahankan,
seperti kemampuan mengemulsi, daya serap air, kapasitas pengembangan
volume, homogenitas warna, daya buih, aktivitas enzimatik serta berbagai
sifat fungsional lainnya yang penting dalam pengolahan (Labuza, 1983).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 2


Pendahuluan

B. Regulasi Dan Cara Penulisan Waktu Kadaluwarsa

1. Format Tulisan yang Bersifat Sukarela


Hingga usai perang dunia kedua, otoritas nasional maupun internasional
yang mengharuskan penulisan tanggal kadaluwarsa belum ada, semua
bentuk penulisan yang berkembang adalah murni bersifat anjuran suka rela
(voluntary) (Labuza dan Szybist, 1999). Selain itu label kadaluwarsa
sebelum sampai pada formatnya yang baku sekarang di tingkat nasional
maupun internasional memiliki juga berbagai ragam bentuk (format) dan
makna yang dicantumkan secara sukarela pula.

Bentuk-bentuk ini antara lain: keterangan tentang saat diproduksi dan


dikemas (manufacturing date dan pack date), keterangan tentang waktu
terakhir masih layak diperdagangkan (sell by date, best when purchased by
date dan pull date), keterangan tentang tenggang waktu dimana produk
masih dapat mempertahankan mutu yang sesuai dengan yang diharapkan
konsumen sehingga dengan demikian menunjukkan bahwa produk tersebut
sangat baik digunakan sebelum tanggal yang tertera akan tetapi masih cukup
memuaskan setelah masa tersebut (best before dan best if used by date)
serta keterangan tentang waktu yang memberikan makna bahwa jika produk
dikonsumsi setelah waktu yang tertera dapat mengakibatkan konsekuensi
yang serius (use by date dan expired date). Manufacturing date masih dapat
dibagi lagi sesuai dengan cara pengolahan yang diterapkan seperti misalnya
keterangan tentang saat dibekukan atau freeze by (OTA-report, 1979;
Labuza, 1983; Labuza dan Szybist, 1990).

Bentuk penulisan yang lebih kompleks diterapkan juga pada kemasan


produk-produk tertentu seperti: daging segar, daging yang telah diolah
(sosis) dan ikan segar, dimana dituliskan kombinasi suhu penyimpanan dan
tenggang waktu produk dapat mempertahankan mutu dan kesegarannya.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 3


Pendahuluan

Tulisan ini mempunyai makna bahwa jika produk disimpan pada suhu T1
(misal: suhu ruang) maka akan kadaluwarsa setelah tenggang waktu W1,
sedangkan jika disimpan pada T2 (misal: lemari pendingin) maka akan
kadaluwarsa setelah tenggang waktu W2 (Council Directive: 97/4/EEC,
1997). Bentuk ini disebut juga star system.

Pada produk olahan daging, star system mengkombinasikan suhu


penyimpanan dan saat kadaluwarsa menggunakan paling sedikit 4
kombinasi, yaitu waktu kadaluwarsa jika disimpan pada suhu ruang (sekitar
25oC), suhu lemari pendingin (5oC dan 10oC) serta suhu pembekuan (–18oC
atau lebih rendah).

Bentuk penulisan yang mengkombinasikan sekaligus beberapa format


penulisan diatas ditemukan juga pada kemasan pangan di beberapa negara
di Eropah, Timur Tengah, Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin.
Jenis ini dianggap berbeda dengan yang sebelumnya terutama karena
disertai juga dengan keterangan tambahan, misalnya keterangan tentang
perbedaan kadaluwarsa produk sebelum dan sesudah dibuka atau
dikeluarkan dari kemasannya serta informasi lainnya yang dianggap perlu.

Perhatian suatu otoritas pemerintahan terhadap regulasi waktu kadaluwarsa


pangan untuk pertama kalinya disuarakan oleh pemerintah Amerika Serikat
pada tahun 1979, setelah USDA (U.S. Department of Agriculture, 1973) dan
Nielson (1973) melaporkan bahwa masyarakat menemukan 20% hingga 50
% tanggal kadaluwarsa pangan yang tertulis pada label kemasan tidak
sesuai dan palsu. Dengan kata lain, pada label dinyatakan belum
kadaluwarsa sedangkan produk didalam kemasan sudah tidak layak
dikonsumsi. (OTA-report, 1979).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 4


Pendahuluan

2. Open Date dan Closed Date


Sebuah kantor Pengkajian dan Penerapan Teknologi pemerintah Amerika
Serikat (Office of Technology Assessment - OTA) melaporkan pada tahun
1979 bahwa penulisan tanggal kadaluwarsa (shelf life) hendaknya digali
dasar-dasar ilmiahnya dan diregulasi karena menjadi hak konsumen untuk
mengetahui kondisi makanan yang dikonsumsinya. Di dalam laporan ini
dimuat juga rumusan-rumusan dasar kadaluwarsa pangan yang meliputi:
pengertian, tujuan (baca: alasan penulisan), metodologi penetapan, bentuk
(format) serta makna (baca: arti) tulisan. Selanjutnya dibedakan juga
pengertian penanggalan terbuka (open date) dan penanggalan tertutup
(closed date) (OTA-report, 1979).

Penanggalan terbuka (open date) adalah penulisan secara langsung tanggal,


bulan dan tahun kadaluwarsa pada kemasan pangan, sedangkan
penanggalan tertutup adalah semua informasi yang ada hubungannya
dengan waktu produksi lainnya seperti tanggal produksi, kode produksi
(nomor lot dan batch) dan jenis kaleng (OTA-report, 1979). Bagaimanapun
penanggalan tertutup hanya dimengerti maknanya oleh produsen.
Penanggalan terbuka dan tertutup digunakan secara bersama-sama oleh
industri.

3. Regulasi dan Penulisan


3.1. Format Tulisan Baku yang Bersifat Wajib (Mandatory)
Format penulisan yang penting di tingkat nasional dan internasional karena
bersifat mandatory (wajib) terdiri atas tiga regulasi yaitu: pertama,
berdasarkan UU Pangan tahun 1996 dan PP No. 69 tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan. Kedua, berdasarkan mandatory labelling of
prepacked foods seperti tercantum di dalam codex general standard for the
labelling of prepacked foods dari Codex Alimentarius Commision (CAC).
Ketiga berdasarkan regulasi Mayarakat Ekonomi Eropah (MEE) seperti

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 5


Pendahuluan

tercantum di dalam Council Directive (79/112/EEC) on the approximation of


the law of the member of states relating to the labelling, presentation and
advertising of foodstuffs, amandemen (97/4/EEC).

Tambahan pula, ketiga aturan ini dianggap penting karena sekaligus


melarang keras perdagangan produk pangan setelah tanggal yang tertera.
Pelanggaran terhadap aturan ini diganjar dengan sanksi denda yang cukup
berat.

3.2. Regulasi di Tingkat Nasional


Di Indonesia terdapat dua aturan perundangan yang mengatur tentang
waktu kadaluwarsa, yaitu: SK DirJen POM N0.02240/B/SK/VII/91: tanggal 2
Juli 1991 yang kemudian diperbaharui di dalam UU Pangan tahun 1996
serta PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Regulasi pencantuman waktu kadaluwarsa nasional pada awalnya berlaku


terbatas pada produk tertentu. Di dalam Surat Keputusan DirJen POM
N0.02240/B/SK/VII/91, tanggal 2 Juli 1991, disebutkan bahwa: tanggal
kadaluwarsa harus dicantumkan pada makanan tertentu seperti susu
pasteurisasi, susu bubuk, makanan atau minuman yang mengandung susu,
makanan bayi dan makanan kalengan yang steril komersial. Tanggal
kadaluwarsa tersebut dapat dicantumkan pada tutup botol, bagian bawah
kaleng atau bagian atas dos dan tempat lain yang sesuai, jelas dan mudah
dibaca disertai peringatan sebagai berikut: sebaiknya digunakan sebelum
tanggal (isikan tanggal kadaluwarsa) atau dapat juga terpisah seperti:
sebaiknya digunakan sebelum tanggal yang tercantum pada bawah kaleng
atau tutup botol.

Pengaturan yang lebih luas mulai dilakukan dengan berlakunya UU Pangan


Tahun 1996. Di dalam UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, pasal 21(e)

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 6


Pendahuluan

tentang pangan tercemar dijelaskan bahwa: setiap orang dilarang


mengedarkan pangan yang sudah kadaluwarsa. Kemudian Bab IV; Pasal 30
ayat (1) mengatur bahwa: setiap orang yang memproduksi atau
memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam dan atau
dikemasan pangan. Selanjutnya, ayat (2) yang berbunyi: Label sebagai yang
dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai:
(point a sampai dengan g), f). tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa. Selain
itu, di dalam Pasal 32 UU tersebut tercantum juga aturan lain mengenai
kadaluwarsa pangan yang berbunyi: setiap orang dilarang mengganti,
melabel kembali, atau menukar tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
pangan yang diedarkan.

Bentuk format penulisan kadaluwarsa pangan yang lebih rinci di tingkat


nasional diatur lebih lanjut di dalam PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan. Di dalam pasal 31 disebutkan: 1). tanggal, bulan dan
tahun kadaluwarsa wajib dicantumkan secara jelas pada label; 2).
pencantuman tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa dilakukan setelah
tulisan: Baik digunakan sebelum, sesuai dengan jenis dan daya tahan
pangan yang bersangkutan. 3). dalam hal produk pangan yang
kadaluwarsanya lebih dari 3 (tiga) bulan, diperbolehkan untuk hanya
mencantumkan bulan dan tahun kadaluwarsa saja. Demikian juga di dalam
pasal 28 yang berbunyi: dilarang memperdagangkan pangan yang sudah
melampaui tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa sebagaimana dicantumkan
pada label, serta pasal 29 yang menyebutkan bahwa: setiap orang dilarang:
b). menukar tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa pangan yang diedarkan.

Dengan demikian terlihat bahwa regulasi ditingkat nasional mengharuskan


semua produk pangan yang diperdagangkan memiliki tanggal, bulan dan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 7


Pendahuluan

tahun kadaluwarsa karena regulasi itu tidak mencantumkan prihal produk


pangan yang dikecualikan.

3.3. Regulasi Internasional Berdasarkan CAC


Pencantuman waktu kadaluwarsa di tingkat perdagangan internasional
mengikuti codex general standard for the labelling of prepacked foods, tahun
1985 (CODEX STAN 1-1985) mengenai food labelling regulation yang
dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC), regulasi ini bersifat
anjuran (voluntary) pada saat itu. Pada tahun 1999 aturan tersebut
diamandemen sehingga pencantuman tanggal, bulan dan tahun
kadaluwarsa menjadi kewajiban (mandatory) yang bersifat mengikat dan
mempunyai sangsi.

Pada amandemen tahun 1999 point 4 mengenai: mandatory labelling of


prepacked foods disebutkan: pada kemasan produk pangan wajib
dicantumkan date of minimum durability yang dituliskan mengikuti tulisan :
Best before atau Best before end.

Menurut CAC, date of minimum durability mempunyai makna yang sama


dengan best before, yang didefenisikan lebih lanjut di dalam regulasi
tersebut sebagai berikut: the date which signifies the end of the period under
any stated storage conditions during which the product will remain fully
marketable and will retain any specific qualities for which tacit or express
claims have been made. However, beyond the date the food may still be
perfectly satisfactory (Tanggal yang menunjukkan akhir dari periode produk
yang dimaksud dapat dipasarkan –sesuai kondisi penyimpanan yang
dianjurkan- dengan mutu prima seperti yang dijanjikan. Meski setelah
tanggal tersebut terdapat kemungkinan bahwa produk tersebut masih
memuaskan).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 8


Pendahuluan

Di dalam amandemen tahun 1999 ini dicantumkan juga beberapa hal


penting yang menyangkut bentuk penulisan, yaitu:
1). Pada label wajib dicantumkan tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang dari 3 (tiga)
bulan.
2). Pada label wajib dicantumkan bulan dan tahun kadaluwarsa untuk produk
yang mempunyai waktu kadaluwarsa lebih dari 3 (tiga) bulan, jika bulan
yang dimaksudkan adalah bulan Desember, maka dapat dicantumkan
hanya tahun kadaluwarsa, tanpa bulan yang dimaksud.
3). Tanggal kadaluwarsa dicantumkan setelah tulisan: Best before diikuti
tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa, bilamana waktu kadaluwarsa
kurang dari 3 (tiga) bulan.
4). Bulan dan tahun kadaluwarsa dicantumkan setelah kata Best before end
bilamana waktu kadaluwarsa lebih dari 3 (tiga) bulan diikuti bulan dan atau
tahun kadaluwarsa (jika bulan yang dimaksud adalah bulan Desember,
maka dapat dituliskan hanya tahun kadaluwarsa).

Selanjutnya disebutkan juga 7 (tujuh) jenis produk pangan yang dikecualikan


pencantuman date of minimum durability-nya, yaitu:
1). Buah dan sayuran segar, termasuk kentang yang belum dikupas.
2). Minuman yang mengandung alkohol lebih besar atau sama dengan 10%
(v/v).
3). Makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi saat itu juga atau dikonsumsi
tidak lebih 24 jam setelah diproduksi.
4). Vinegar.
5). Garam meja.
6). Gula pasir.
7). Produk kategori permen (convensionary) yang bahan bakunya hanya
berupa gula yang dibubuhi penambah cita rasa (flavor) atau gula yang
diberi pewarna.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 9


Pendahuluan

3.4. Regulasi Berdasarkan MEE


Didalam lingkungan anggota MEE, regulasi kadaluwarsa pangan diatur di
dalam Council Directive (79/112/EEC) on the approximation of the law of the
member of states relating to the labelling, presentation and advertising of
foodstuffs, amandemen (97/4/EEC), khususnya di dalam article 9 dan 9a
yang mencantumkan antara lain:
1). Date of minimum durability dituliskan setelah kata: Best before, jika
keterangan tersebut menunjukkan hari dan Best before end pada kasus
lainnya
2). Keterangan tersebut diatas haruslah berupa tanggal disertai keterangan
lainnya mengenai referensi penulisan tanggal tersebut
3). Jika kadaluwarsa kurang dari 3 bulan, maka dapat dituliskan hanya
tanggal dan bulan. Jika kadaluwarsa antara 3 hingga 18 bulan, maka
dapat dituliskan hanya bulan dan tahun sedangkan jika lebih dari 18 bulan
dapat dituliskan hanya tahun kadaluwarsa.
4). Jika dianggap perlu, dapat dicantumkan pula tentang kondisi dan cara
penyimpanan yang dianjurkan
5). Untuk produk yang sangat perishable ditinjau dari segi bahaya
mikrobiologis maka Date of minimum durability-nya dicantumkan setelah
tulisan: Use by date (Inggris) atau sinonimnya sebagai berikut: fecha de
cadusidad (Spanyol), sisdte andvendelscsdato (Denmark), verbrauchen
bis (Jerman), a consommer jusqu’au (Prancis), da consumare entro
(Italia), te gebruiken tot (Belanda), a consumir ate (Portugis), viimeinen
kayttoajankohta (Finlandia), sista forbrukningsdag (Swedia)
6). Tipe produk yang menggunakan tulisan Use by date harus disertai
keterangan tentang kondisi dan cara penyimpanan yang dianjurkan.

Di dalam regulasi ini dicantumkan juga pengecualian pencantuman date of


minimum durability terhadap 7 (tujuh) jenis produk pangan seperti halnya
pada regulasi CAC.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 10


Pendahuluan

3.5. Regulasi Lainnya: Uniform Open Dating Regulation


Menarik untuk disimak bahwa hingga tahun 1999, Pemerintah federal
Amerika Serikat hanya mewajibkan penulisan kadaluwarsa pada produk
infant formula (bersifat mandatory di semua negara bagian). Hal ini
disebutkan di dalam Code of Federal Regulation: 21.CFR 107.20(c), sebagai
berikut: A use by___” date, the blank to be filled in with the month and year
selected by the manufacturer, packer, or distributor of the infant formula on
the basis of tests or other information showing that infant formula until that
date, under the conditions of handling, storage, preparation and use
prescribed by the label direction, will: 1). when consumed, contain not less
than the quantity of each nutrient, as set forth on its label.

Meskipun demikian sekitar 41 % negara bagian mempunyai regulasi tentang


kadaluwarsa pangan yang bersifat spesifik untuk tiap-tiap negara bagian
(Labuza dan Szybist, 1999). Tambahan lagi banyak jenis produk yang secara
spesifik wewenang regulasinya berada pada lembaga tertentu seperti FDA
dan USDA.

Meski demikian usaha untuk menyeragamkan regulasi kadaluwarsa di


negara ini telah dilakukan oleh National Institute of Standards and
Technology (NIST) dengan menerbitkan Uniform Open Dating Regulation
(UODR) pada tahun 1985 (NIST, 1985). Akan tetapi mengingat banyaknya
variasi bentuk (format) dan spesifitas khusus (pada produk tertentu) yang
diberlakukan di dalam yurisdiksi masing-masing negara bagian, kecil
kemungkinan UODR tahun 1985 tersebut dapat mengakomodasinya.

Beberapa hal yang penting dicatat dari UODR tahun 1985 ini antara lain
bahwa produk pangan terlebih dahulu dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:
1). perishable foods. 2). semi perishable foods dan 3). long shelf-life foods.
Ketiganya lebih lanjut didefenisikan sebagai berikut: termasuk kategori

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 11


Pendahuluan

perishable foods jika mempunyai resiko mengalami kerusakan, penurunan


nilai gizi dan organoleptik dalam tenggang waktu 60 hari sejak dikemas, semi
perishable foods dalam tenggang waktu 6 bulan dan long shelf-life foods jika
lebih dari 6 bulan. Termasuk dalam kategori yang terakhir ini adalah produk
yang dibekukan, yang dikeringkan serta yang dikalengkan secara hermitis
(NIST, 1985).

UODR menganjurkan penggunaan tulisan sell by date pada produk


perishable foods, dimana nilai sell by date haruslah diambil sebanyak 2/3 dari
waktu kadaluwarsa yang sesungguhnya. Sedangkan untuk kedua kategori
lainnya dianjurkan menggunakan tulisan: best if used by date. Di dalamnya
juga dijelaskan bahwa UODR tidak berlaku atas produk yang
kadaluwarsanya berada dibawah wewenang pemerintah federal (NIST,
1985), seperti misalnya infant formula.

Semua regulasi ini memberikan indikasi bahwa tujuan penulisan label


kadaluwarsa pada kemasan pangan lebih dari hanya sekadar batas
keamanan pangan itu melainkan juga suatu usaha untuk memberikan dan
menawarkan mutu yang prima pada konsumen.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 12


Pengertian Umur Simpan dan Waktu Kadaluwarsa

BAB II:
PENGERTIAN UMUR SIMPAN DAN WAKTU KADALUWARSA

A. Pengertian Umur Simpan dan Waktu Kadaluwarsa

Umur simpan adalah selang waktu yang menunjukkan antara saat produksi
hingga saat akhir dari produk masih dapat dipasarkan, dengan mutu prima
seperti yang dijanjikan. Meski setelah tanggal tersebut terdapat kemungkinan
bahwa mutu produk tersebut masih memuaskan.

Menurut Institute of Food Technology (IFT, 1974), umur simpan (shelf life)
produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat
konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-
sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. National Food
Processor Association (1978), mendefenisikan umur simpan sebagai
berikut: suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya
bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti
yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki
integritas serta memproteksi isi kemasan. Floros (1993), menyatakan bahwa
umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam
suatu kondisi penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkatan
degradasi mutu tertentu.

Oleh karena degradasi mutu akibat reaksi deteriorasi (kerusakan) pada


produk pangan bersifat dinamik dan berlangsung hampir setiap saat, diawali
segera sejak produk selesai diproduksi hingga kadaluwasa, maka umur
simpan dapat juga didefenisikan sebagai: waktu hingga produk mengalami
suatu tingkat degradasi mutu tertentu akibat reaksi deteriorasi yang
menyebabkan produk tersebut tidak layak dikonsumsi atau tidak lagi sesuai

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 13


Pengertian Umur Simpan dan Waktu Kadaluwarsa

dengan kriteria yang tertera pada kemasannya (mutu tidak sesuai lagi
dengan tingkatan mutu yang dijanjikan).

Hasil analisa menggunakan metoda-metoda pendugaan umur simpan


pangan dan diikuti dengan penentuan umur simpan pangan (shelf-life
testing) yang dilakukan secara laboratoris dan mengikuti prosedur dan
standar tertentu menghasilkan : Tanggal, Bulan dan Tahun Kadaluwarsa
atau date of minimum durability. Secara umum perbedaan pengertian antara
umur simpan dan waktu kadaluwarsa adalah sebagai berikut: umur simpan
mengandung pengertian bahwa penyimpanan dilakukan hanya pada suatu
kondisi yang tetap. Sedangkan waktu kadaluwarsa adalah hasil
penggabung-gabungan nilai umur simpan pada berbagai kondisi
penyimpanan. Waktu kadaluwarsa yang tercantum pada label produk
biasanya tidak disertai kondisi penyimpanan, karena nilai tersebut dianggap
sudah mencakup semua kondisi penyimpanan. Sedangkan dalam
menuliskan nilai umur simpan selalu dicantumkan kondisinya, utamanya suhu
penyimpanan.

Namun, perlu diingat pula bahwa dalam mengintegrasikan berbagai nilai


umur simpan pada kondisi tertentu menjadi waktu kadaluwarsa, dapat terjadi
terlalu banyak penyerdehanaan perhitungan yang dilakukan sehingga dapat
berbahaya pada produk yang kriteria kadaluwarsanya sensitif terhadap
kesehatan manusia. Oleh karena itu, pada produk tertentu tetap dianjurkan
untuk mencatumkan kondisi penyimpanan. Meskipun yang dicantumkan
adalah hasil integrasi berbagai nilai-nilai umur simpan dan telah
memperhitungkan faktor penyimpanan dan distribusi produk selama produk
tersebut diperdagangkan.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 14


Pengertian Umur Simpan dan Waktu Kadaluwarsa

B. Pengertian Kriteria Kadaluwarsa dan Batas Kadaluwarsa

Sejumlah kategori informasi dan data yang umumnya diperlukan untuk


tujuan menetapkan umur simpan maupun tanggal, bulan dan tahun
kadaluwarsa (OTA-Report 1979; Arpah, 2003), adalah:

1. Ukuran Faktor Mutu Relevan Awal: adalah ukuran mula-mula dari


faktor mutu yang digunakan sebagai kriteria utama untuk menduga
penurunan penerimaan konsumen (a measure of some initial relevant
quality factor that can be used to estimate a decrease in consumer
acceptance)
2. metoda pengukuran faktor mutu tersebut yang handal berdasarkan
kaidah-kaidah ilmiah dan statistik (a reliable method to measure that
quality factor on a statistically sound basis)
3. sistem dan kondisi distribusi produk setelah selesai diproduksi (the
distribution system times and conditions)
4. rata-rata waktu distribusi, penyimpanan dan display di tempat
penjualan sebelum dikonsumsi (the average time the product is held
during distribution and in the consumer’s home before use)
5. jumlah (batas) penurunan faktor mutu yang dianggap batas
kadaluwarsa atau batas minimum ukuran faktor mutu yang dianggap
tidak layak digunakan maupun diperdagangkan (the amount of quality
loss allowed before the product is considered unacceptable for sale at
full price or for use).

Faktor mutu relevan adalah salah satu dari kriteria mutu penting produk yang
biasanya dipilih dari sifat kimia, fisik atau mikrobiologi sebagai kriteria utama
penentuan waktu kadaluwarsa (kriteria kadaluwarsa). Faktor mutu relevan
dapat berupa kadar air pada biskuit, jumlah mikroba pada daging, kandungan
asam lemak bebas pada minyak dan sebagainya.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 15


Pengertian Umur Simpan dan Waktu Kadaluwarsa

Sifat kimia, fisik atau mikrobiologi sudah sangat umum digunakan sebagai
kriteria atau initial relevant quality factor dalam penentuan waktu
kadaluwarsa pangan (Labuza 1982). Sebagai contoh, Sheard et al. (2000)
mengukur ketengikan melalui peningkatan bilangan TBA (thiobarbirturic acid)
dalam menentukan waktu kadaluwarsa sosis dan daging babi, dimana ukuran
mula-mula (ukuran faktor mutu relevan awal) adalah bilangan TBA= 0.0 atau
mendekati nol. Sedangkan batas waktu kadaluwarsa ditetapkan pada nilai
bilangan TBA ekivalen dengan kandungan 0.5 mg malonaldehida/kg.

Gélinas et al. (1999) mengukur perubahan tekstur menggunakan TA-TX2


texture analysis untuk menetapkan waktu kadaluwarsa kue bolu (cake)
dalam kondisi yang diakselerasi (ASLT). Ku dan Wills (1999) mengukur
perubahan warna hijau menggunakan Kromameter untuk mengukur waktu
kadaluwarsa brokoli. Chew dan Hsieh (1998) mengukur evolusi CO2
menggunakan CO2 analyzer di dalam kemasan untuk menentukan waktu
kadaluwarsa ikan segar dan beku.

Dalam contoh-contoh yang diberikan diatas Peningkatan bilangan TBA


(ketengikan) , perubahan tekstur, perubahan warna hijau, merupakan faktor-
faktor mutu relevan yang diterapkan sebagai krirteria kadaluwarsa.
Sedangkan metoda pengukurannya atau tipe informasi yang ke 2 adalah
metoda analisanya seperti analisa bilangan TBA, TA-TX2 texture analysis
dan CO2 analyzer.

Selanjutnya, pada contoh produk sosis diatas disebutkan bahwa waktu


kadaluwarsa ditetapkan pada saat nilai bilangan TBA ekivalen dengan
kandungan 0.5 mg malonaldehida/kg. Batas nilai sebesar 0.5 mg
malonaldehida/kg tersebut adalah batas kadaluwarsa. Dengan kata lain
apabila nilai bilangan TBA dari sosis telah mencapai batas tersebut, maka

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 16


Pengertian Umur Simpan dan Waktu Kadaluwarsa

dianggap telah kadaluwarsa. Tipe informasi ke 3 dan ke 4 akan dibicarakan


pada bab-bab selanjutnya pada saat pembahasan contoh-contoh perhitungan
waktu kadaluwarsa.

Faktor mutu relevan yang digunakan sebagai kriteria kadaluwarsa umumnya


dihubungkan dengan sifat organoleptik produk yang dapat dipersepsi
konsumen secara langsung seperti rasa, bau, warna, tekstur dan flavor.
Sebagai contoh peningkatan bilangan TBA mengukur peningkatan bau
tengik, peningkatan jumlah mikroba mengukur peningkatan rasa dan bau
busuk.

Bagaimanapun, pada produk-produk tertentu dimana penetapan waktu


kadaluwarsa hanya dapat dilakukan dengan menggunakan faktor mutu
organoleptik, penggunaan sifat kimia, fisik dan mikrobiologi hampir tidak
dapat diterapkan. Sebagai contoh, Schaller-Povolny dan Smith (1999)
menetapkan waktu kadaluwarsa es krim yang disimpan pada –18oC
menggunakan faktor mutu organoleptik seperti: iciness, chewiness,
sweetness dan flavor intensity dan melaporkan waktu kadaluwarsa sebesar 6
minggu.

Penggunaan analisa organoleptik juga diterapkan oleh Daryl et al. (1999)


dalam menentukan waktu kadaluwarsa pisang secara langsung dimana
waktu kadaluwarsa ditentukan ekivalen dengan skor perubahan warna
sebesar 6 pada suatu skala hedonik antara 1 sampai 7.

Pada produk pangan yang mempunyai sifat-sifat kimia, fisik dan mikrobiologi
tidak berkorelasi cukup besar dengan sifat organoleptik, penentuan waktu
kadaluwarsa dengan penilaian organoleptik dapat memberikan hasil yang
lebih baik dibanding penggunaan analisa yang bersifat instrumentatif. Peter
et al. (1998) menentukan waktu kadaluwarsa daging giling tanpa iradiasi dan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 17


Pengertian Umur Simpan dan Waktu Kadaluwarsa

yang diiradiasi menggunakan sifat organoleptik tekstur, juiciness , after


taste dan flavor yang dikombinasikan dengan total mikroba aerobik,
mampu menunjukkan pengaruh iradiasi terhadap peningkatan waktu
kadaluwarsa sebesar 55 hari pada suhu penyimpanan 4oC dengan baik.

Kompleksitas penggunaan sifat kimia, fisik dan mikrobiologi dalam


penentapan waktu kadaluwarsa kadang bertambah jika pengolahan produk
ditujukan untuk penyimpanan dalam rentang waktu yang lama, misalnya
dengan bantuan pengemasan. Pemilihan faktor mutu pada produk seperti
ini disamping harus dipilih yang paling relevan dengan perubahan sifat
organoleptik, juga yang paling cepat berubah diantara berbagai sifat kimia,
fisik dan mikrobiologi yang mungkin digunakan (Labuza 1982). Bahkan
dengan bantuan kondisi yang diakselerasipun, dimana perubahan sifat fisik,
kimia dan mikrobiologi dapat dipercepat (Alice, 1999), masih dijumpai
kesukaran dalam menentukan satu jenis faktor mutu yang paling relevan
yang dapat digunakan sebagai penentu dalam penetapan waktu
kadaluwarsa.

Anderson dan Jones (1999), yang mengukur perubahan sifat kimia dan fisik
biskuit wafer kacang yang meliputi: perubahan tekstur (Kramer shear texture),
Warna (CIE L*a*b*), aktifitas air, bilangan peroksida, bilangan TBA, available
lysine dan analisa proksimat dalam kondisi yang diakselerasi pada
temperatur 60oC selama 4 minggu, menemukan intensitas perubahan yang
berbeda-beda dan dengan proporsi yang berbeda-beda pula. Sehingga
sangat sukar memilih salah satu sifat tersebut untuk digunakan sebagai
faktor mutu penentu waktu kadaluwarsa.

Robertson (1993) menyarankan penggunaan peningkatan kadar air untuk


biskuit wafer, karena peningkatan kadar air menyebabkan perubahan tekstur
pada biskuit yang merupakan faktor mutu yang dicari konsumen pada produk

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 18


Pengertian Umur Simpan dan Waktu Kadaluwarsa

tersebut, sedangkan Bili dan Taoukis (1998) menggunakan analisa


organoleptik dengan bantuan prosedur Weibull Hazard Analysis pada
dehydrated flavored product (DFP), akan tetapi pada produk DFP ini
terdapat sifat organoleptik yang spesifik yaitu rasa manis yang ditimbulkan
oleh pemanis aspartam berkurang intensitasnya selama penyimpanan.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 19


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

BAB III:
REAKSI-REAKSI PENURUNAN MUTU

A. Reaksi Deteriorasi

Stabilitas produk pangan dihubungkan dengan mudah tidaknya produk


mengalami perubahan kimia. Kesegaran utamanya dihubungkan dengan
rasa, bau dan aroma produk sedangkan penerimaan mencakup keseluruhan
aspek dari mutu produk mencakup stabilitas, kesegaran dan termasuk pula
bentuk, tekstur dan harga. Reaksi deteriorasi adalah perubahan fisik, kimia,
mikrobiologis, enzimatis maupun organoleptik yang berlangsung pada
produk pangan yang berpotensi menurunkan mutu dan penerimaan
konsumen.

Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi


deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap
air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat pula diawali oleh
hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi dan abrasi. Reaksi deteriorasi
menyebabkan penurunan mutu dan mengantarkan produk ke suatu kondisi
mutu yang rendah sehingga tidak layak dikonsumsi.

Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan,


sedangkan laju atau kecepatan deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan penyimpanan, seperti suhu, intensitas cahaya, konsentrasi O2 dan
CO2, kelembaban relatif dan tekanan. Umur simpan adalah waktu hingga
produk mengalami suatu tingkat degradasi mutu tertentu sehingga tidak layak
dikonsumsi atau tidak lagi sesuai dengan kriteria yang tertera pada
kemasannya (mutu tidak sesuai lagi dengan tingkatan mutu yang dijanjikan),
akibat reaksi deteriorasi yang berlangsung.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 20


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik
maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk
berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam
bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan
perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan tekstur,
flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi, mikrobiologis maupun
makrobiologis. Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi
diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh faktor intrinsik dan ekstrinsik tehadap reaksi deteriorasi


pada produk pangan *).

Faktor Intrinsik dan Ekstrinsk Efek Deterioratif

Oksigen - oksidasi lipida


- kerusakan vitamin
- kerusakan protein
- oksidasi pigmen
Uap Air - kehilangan/kerusakan vitamin
- perubahan organoleptik
- reaksi pecoklatan (browning)
- oksidasi lipida
Cahaya - oksidasi
- pembentukan bau /perubahan flavor
- kerusakan vitamin
- kerusakan pigmen/perubahan warna
Mikroorganisme - pembentukan racun
- kehilangan nutrisi
- keracunan/allergi
Kompressi/Bantingan,
Vibrasi,Abrasi,Penanganan - perubahan organoleptik
Secara Kasar - kebocoran pada pengemas
Bahan Kimia Toksik/ - off- flavor
Bahan Kimia Off-Flavor - perubahan organoleptik
- perubahan kimia
- pembentukan racun
*). Floros (1993).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 21


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Gambar 1. Perubahan rasa, warna, bau, kekentalan produk


pangan terjadi selama penyimpanan dan distrbusi
sehingga memerlukan waktu kadaluwarsa

Gambar 2. Produk pangan yang diproduksi untuk dikonsumai


saat itu juga, tidak memerlukan waktu kadaluwarsa

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 22


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

B. Mekanisme Perubahan Mutu

1.Perubahan Sifat tekstur


Perubahan pada tekstur akibat reaksi deteriorasi dapat berupa: a).
pengempukan; b). retrogradasi; c) stalling; d). perubahan kekentalan. e).
pengendapan f). perubahan stabilitas dan pecahnya emulsi g). pemasiran
dan masih banyak lagi penyimpangan lainnya. Penyimpangan-
penyimpangan ini menyebabkan produk pangan tidak menyerupai tekstur
aslinya, seperti pada awal produksi. Tergantung pada tingkat deteriorasi
yang berlangsung, perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan
tidak dapat digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya, atau bahkan
tidak dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai pangan kadaluwarsa.

Sebagai contoh, beberapa jenis produk pangan olahan sangat sensitif


terhadap perubahan kadar air. Peningkatan kadar air dapat meningkatkan
laju reaksi deteriorasi dengan cepat . Robertson (1992), mengelompokkan
produk pangan ke dalam dua kelompok dalam hubungannya dengan
perubahan kadar air selama penyimpanan yaitu: pertama, produk pangan
yang menyerap uap air dan kedua adalah produk pangan yang mengalami
kehilangan kandungan air. Makanan kering mengalami kerusakan apabila
menyerap uap air yang berlebihan. Kerusakan ini cukup kompleks karena
dapat melibatkan atau memicu berbagai jenis reaksi deteriorasi lain yang
sensitif terhadap perubahan aw. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara
spontan seperti: reaksi pencoklatan non-enzymatis, reaksi oksidasi dan
reaksi pembentukan off-flavor.

Perubahan sifat fisik sangat nyata mempengaruhi produk bumbu-bumbu


kering apabila kadar airnya meningkat selama penyimpanan. Bumbu-bumbu
instan akan mengalami aglomerasi apabila mengalami peningkatan kadar

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 23


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

air. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya daya kohesi (cohesiveness) dan
kompresibilitas serta menurunnya densitas kamba.

Pada produk makanan jenis biskuit, kerusakannya lebih sering dihubungkan


dengan kerusakan tekstur. Katz dan Labuza (1981) di dalam Rockland
(1987) yang melakukan pengamatan terhadap kerenyahan makanan
kudapan (snack food) dengan uji organoleptik melaporkan bahwa
kerenyahan makanan kudapan menurun dengan meningkatnya aw produk.
Apabila aw mencapai 0.35 - 0.50 maka kerenyahannya, yang merupakkan
ciri khas produk pangan ringan, menjadi hilang (Gambar 3 dan Gambar 4).

Gambar 3. Pengaruh aw terhadap intensitas kerenyahan makanan


kering (Rockland, 1987)

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 24


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Gambar 4. Sifat tekstur (kekerasan) cookies pada


beberapa nilai aw (Rockland, 1987).

Lebih lanjut Zabik (1979) di dalam Rockland (1987), melakukan penelitian


dengan jalan mengekuilibriumkan cookies yang dibuat dari dua jenis gandum
pada kisaran RH 11 % hingga 93 %. Setelah ekuilibrium, produk cookies lalu
diukur teksturnya dengan alat Allo-Kramer Shear Press. Kedua jenis cookies
menunjukkan penurunan sifat tekstur dengan meningkatnya aw (Gambar 4).
Dengan nilai koefisien korelasi untuk cookies jenis A, r = -0.94 dan cookies
jenis B, r = -0.89. Gambar 4 menunjukkan bahwa grafik penurunan sifat
tekstur ini dapat dibagi menjadi dua daerah dengan laju penurunan yang
berbeda yaitu, pertama: pada kisaran aw = 11% hingga 33% dan kedua pada
kisaran aw 33 % - 93 % (Zabik, 1979).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 25


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

2. Perubahan Flavor
Perubahan flavor adalah masalah yang sensitif di dalam produk pangan, hal
ini disebabkan oleh karena daya deteksi oleh sel-sel pembau di dalam hidung
yang mampu mencium bau yang terbentuk meskipun pada konsentrasi yang
sangat rendah. Terbentuknya beberapa molekul off-flavor pada produk akan
dapat dengan segera merusak flavor secara keseluruhan. Salah satu yang
paling umum adalah tejadinya ketengikan baik akibat hidrolisa maupun
oksidasi.

Reaksi deteriorasi yang banyak menyebabkan penurunan mutu produk


pangan, khususnya perubahan flavor pasca produksi adalah reaksi oksidasi
dan hidrolisa lemak lemak yang menyebabkan terbentuknya komponen volatil
yang bertanggung jawab terhadap timbulnya off-flavor. Penyebab reaksi
oksidasi adalah oksigen yang terdapat pada udara, perokdsida, logam dan
oksidator lainnya. Pada reaksi hidrolisa, uap air mempunyai peranan yang
penting dan pengaruh yang besar terhadap reaksi.

2.1. Reaksi Oksidasi


Reaksi deteriorasi minyak dan lemak oleh oksigen telah dikenal sejak
pertengahan abad 15 sebagai masalah utama dalam penyimpanan minyak
dan produk-produk berbahan baku minyak. Meskipun demikian baru pada
awal abad ke 19 dilaporkan secara ilmiah terjadinya absorpsi oksigen pada
minyak nabati selama penyimpanan dan menyebabkan meningkatnya
viskositas minyak serta terbentuknya flavor tengik.

Minyak yang bereaksi dengan oksigen akan membentuk produk primer dan
sekunder. Produk primer oksidasi minyak dan lemak adalah hidroperoksida,
sedangkan produk sekundarnya antara lain aldehida, asam keto dan asam

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 26


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

hidroksi (Davidek, 1990) Oleh karena itu oksidasi minyak disebut juga
hidroperoksidasi minyak. Terdapat 3 jenis reaksi oksidasi minyak yaitu:
1. auto-oksidasi
2. foto-oksigenasi
3. oksidasi enzymatik atau lipoksigenasi

Autooksidasi yang menyebabkan terbentuknya hidroperoksida diketahui


berlangsung dalam tiga tahap yaitu: inisiasi, propagasi dan terminasi
(Fennema, 1976). Pada Foto-oksigenasi, singlet osigen (1O2) yang
diproduksi dari O2 dengan bantuan cahaya dapat dengan segera bereaksi
dengan asam lemak tak jenuh dengan adanya sensitizer seperti: myoglobin
dan erythrosine (pada daging dan ikan) membentuk hidroperosida.
Sedangkan lipoksigenasi berlangsung jika terdapat enzym lipoksigenase
yang mengkatalisis reaksi pembentukan hidroperoksida dari asam lemak dan
oksigen. Dalam bagian ini hanya autooksidasi yang akan dibahas lebih
lanjut.

2.2. Autooksidasi Pada Minyak


Autooksidasi adalah rangkaian reaksi radikal yang terbagi kedalam tiga tahap
yaitu: inisiasi, propagasi dan terminasi.

Tahap Inisiasi
Tahap inisiasi adalah tahap dimana suatu senyawaan minyak yang tidak
(atau belum) mengandung radikal peroksida dan hidroperoksida mengalami
serangan senyawaan oksigen reaktif yang mampu melepaskan satu atom
hydrogen dari asam lemak membentuk radikal, melalui mekanisme berikut:

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 27


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

H H
RH R C C R' + H

asam lemak radikal


tak jenuh

Adanya ikatan karbon tidak jenuh seperti yang terdapat pada asam lemak
tak jenuh menyebabkan ikatan C-H cukup lemah, sehingga oksigen dengan
mudah melepaskan satu atom hydrogen dari rantai tersebut. Radikal rantai
karbon yang terbentuk cenderung melakukan stabilisasi dengan melakukan
rearrangement membentuk diene konyugasi.

Dalam kondisi aerobik, diene konyugasi kemudian bergabung dengan


oksigen membentuk radikal peroksil (ROO*).

serta biradikal,

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 28


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

H H H H
R C C R' + O2 R C C R'

O O*

Tahap Propagasi
Radikal peroksil diketahui mempunyai kemampuan untuk menarik atom H
dari molekul asam lemak pada molekul minyak didekatnya, sehingga
mengakibatkan berlangsungnya auto-katalitik berantai. Sistem auto-reaksi
ini, menjadi ciri utama tahap reaksi propagasi. Radikal peroksil akan
bergabung dengan atom H membentuk hidroksiperoksida,

Arternatif lainnya dapat juga terjadi, dimana molekul O2 bereaksi langsung


dengan asam lemak tak jenuh membentuk hydroperoksida secara langsung:
H H
RH + O2 R C C R'

O OH
propagasi dapat pula berlangsung pada radikal hasil isinisiasi lainnya :
R' + O2 ROO*

ROO* + RH ROOR + R'

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 29


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Tahap Terminasi
Jika 2 radikal berinteraksi, maka berlangsung tahap terminasi:
R' + R' RH

ROO* + ROO* ROOH + O2

RO* + R' ROR

ROO* + R' ROOR

2RO' + 2ROO*' 2ROOR + O2

Hidroperoksida yang terbentuk selama proses hidroperoksidasi cenderung


berasosiasi melalui ikatan hydrogen.

H H

R C C R'

O
H
O
O
H O

R C C R'

H H

Jika terdapat logam prooksidan, maka komponen ini berperan dalam


produksi radikal dengan jalan mendekomposisi hidroperoksida melalui reaksi,

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 30


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

M+ + ROOH RO* + -OH + M2+ logam teroksidasi

M2 + + ROOH +
ROO* R' + M+ logam tereduksi

2ROOH RO* + ROO* + H2O

Setelah hidroperoksida terdekomposisi membentuk radikal RO*,


selanjutnya akan mengalami suatu seri reaksi yang mengantarkan pada
pembentukan komponen produk sekunder seperti, aldehida, asam hidroksi
dan asam keto. Aldehida yang terbentuk adalah komponen yang
bertanggung jawab terhadap flavor tengik.
H H

R C R R C R + *OH

OOH O*
R'H
H
R' R'O*
R C R + R'

O H

R' + R
R C O R C R + R'H R C R + R'OH

H O O

Malonaldehide adalah produk sekunder (akhir) dari rangkaian hasil reaksi


oksidasi minyak dan merupakan indikator ketengikan, khususnya pada
produk pangan. Kuantitasnya selama proses oksidasi biasanya diukur
dengan menentukan nilai bilangan TBA (Thiobarbituric acid). Pembentukan
malonaldehide diduga melalui beberapa jenis alur reaksi, diantaranya
melalui dekomposisi peroksida bentuk siklik.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 31


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

2.3. Reaksi Hidrolisis Pada Minyak


Reaksi hidrolisis pada minyak dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: hidrolisis
oleh air dan hidrolisis enzymatik. Hidrolisis oleh air akan menyebabkan
hilangnya satu rantai asam lemak pada triasilgliserol. Reaksi ini hanya
berlangsung pada suhu yang relatif tinggi. Pada suhu ruang hidrolisa dapat
terjadi jika dikatalisis oleh enzym lipase. Reaksi hidrolisis oleh air
menghasilkan hasil akhir gliserol (Fennema, 1976) dengan mekanisme reaksi
sebagai berikut:

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 32


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

CH2O CO R

CHO CO R triacylglycerol

CH2O CO R

+ H20 RCOOH

CH2OH CH2O CO R

CHO CO R CHOH

CH2O CO R CH2O CO R
1,2-diacylglycerol 1,3-diacylglycerol

+ H20 + H20 RCOOH


RCOOH

CH2OH CH2OH

CHO CO R CHOH

CH2O CO R
CH2OH
2-monoacylglycerol 1-monoacylglycerol

+ H20
+ H20 RCOOH
RCOOH CH2OH

CHOH

CH2OH
Glycerol

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 33


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

2.4. Kinetika Reaksi Autooksidasi.


Mekanisme reaksi oksidasi minyak, akhir-kahir ini telah banyak dilaporkan,
sehingga kinetika (kecepatan reaksi) pembentukan komponen maupun
hilangnya substrat pun telah cukup bervariasi dan banyak ditemukan dalam
literatur. Pemilihan jenis kinetika yang dipakai sangat tergantung pada tujuan
yang akan dicapai. Untuk penentuan energi aktivasi (Ea), banyak digunakan
kinetika reaksi ordo nol dan ordo satu.

K
O OKSIGEN
N BEREAKSI
S
E
N
T
R
A
S
I KONSENTRASI
PEROKSIDA

PRODUK
SEKUNDER

WAKTU

Gambar 5. Kecapatan Konsumsi oksigen dan produksi peroksida


pada peroksidasi minyak (Labuza, 2000)

Gambar 5 menunjukkan bahwa pada awal reaksi, konsumsi oksigen


meningkat seiring dengan pembentukan peroksida. Kemudian setelah
mencapai puncak kurva, peroksida mengalami dekomposisi dan kurva
menurun hingga titik nol. Titik dimana kenaikan jumlah peroksida mulai

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 34


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

terhenti, kemungkinan adalah awal terbentuknya produk sekunder seperti


malonaldehida.

Komposisi minyak, terutama kandungan asam lemak tak jenuh sangat


mempengaruhi kecepatan oksidasi. Jika digunakan asam oleat (satu ikatan
rangkap ) sebagai standar dengan laju reaksi ditetapkan = 1, maka
perbandingan relatif kecepatan reaksi adalah sebagai berikut: linoleat (2
ikatan rangkap) 20; linolenat (3 ikatan rangkap) 40-50; arachidonat (4 ikatan
rangkap) > 100 (Labuza, 2000).

Beberapa bentuk kinetika hidroperoksidasi minyak diberikan berikut ini,


(selain penggunaan kinetika reaksi ordo nol dan ordo satu).
a. Asumsi: Semua trigliserida yang bereaksi dengan oksigen membentuk
peroksida, atau:
Minyak + oksigen → produk (ROOH = peroksida)
A + B → C
[A] = RH = trigliserida
[B] = [O2]
maka laju konsumsi oksigen adalah:

b. Asumsi: Laju konsumsi oksigen = laju produksi peroksida:

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 35


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Dimana :

c. Laju reaksi inisiasi autooksidasi:


Asumsi: [RH] = [RH]o, pada saat reaksi baru mulai berlangsung,
maka laju pembentukan peroksida akan mengikuti:

d. Laju perubahan tekanan parsial oksigen sebanding dengan laju


pembentukan peroksida, maka:

e. Modifikasi reaksi kinetika ordo 1, untuk pembentukan malonaldehida


Asumsi: reaksi mengikuti kinetika ordo 1.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 36


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Berbagai faktor dapat mepengaruhi kecerapan reaksi, baik intrinsik maupun


ekstrinsik. Sebagai contoh pengaruh aw terhadap oksidasi dilaporkan oleh
Labuza (1975) dan Karel (1980). Pada aw rendah (dibawah nilai aw
monolayer) laju oksidasi menurun dengan meningkatnya aw . Laju reaksi
oksidasi ini mendekati minimum sekitar nilai aw monolayer, Kemudian laju
oksidasi kembali meningkat dengan meningkatnya aw. Effek pro-oksidasi
yang ditunjukkan pada aw rendah (di bawah aw monolayer) dihubungkan
dengan adanya peningkatan hydroperoksida serta terjadinya hydrasi pada
katalis metal. Sedangkan effek pro-oksidan pada aw yang tinggi (di atas aw
monolayer) ditimbulkan oleh meningkatnya mobilitas air.

Karel (1980) di dalam Rockland (1986), menyatakan bahwa pengaruh aw


terhadap oksidasi lipida utamanya dengan mempengaruhi konsentrasi dari
radikal bebas yang menginisiasi reaksi, Jumlah air yang tersedia juga
mempengaruhi derajat kontak dan mobilisasi reaktan.

Lebih lanjut Karel (1980), menyatakan bahwa laju konsumsi oksigen (oksigen
up-take) dari suatu campuran emulsi dapat menunjukkan secara langsung
tingkah laku oksidasi dari lemak yang menyusun emulsi. Oksigen up-take,
yang dapat menunjukkan laju oksidasi, meningkat dengan meningkatnya aw
pada suatu campuran emulsi yang mengandung asam linoleat dan maltosa,
akan tetapi hanya meningkat setelah aw mencapai 0.93 apabila campuran
adalah maltodekstrin.

3. Reaksi Deteriorasi Perubahan Warna


3.1. Reaksi Pencoklatan Non Enzimatis

Tingkat penerimaan produk pangan dapat juga dipengaruhi oleh perubahan


warna. Pada beberapa jenis produk, perubahan warna akan menunjukkan
juga perubahan nilai gizi, sehingga perubahan warna dijadikan indikator

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 37


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

untuk menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang dapat diterima. Pada
susu bubuk meningkatnya warna pencoklatan dapat menunjukkan
banyaknya senyawa-senyawa baru yang terbentuk.

Perubahan susu bubuk dari warna putih krim ke warna kecoklatan


disebabkan oleh terjadinya reaksi pencoklatan non-enzimatis seperti
misalnya reaksi Maillard. Reaksi Maillard dikenal sebagai reaksi kompleks
yang menghasilkan pigmen coklat melanoidin pada akhir reaksi. Hasil
penelitian Labuza (1983) terhadap susu bubuk pada 3 tingkat temperatur
menunjukkan bahwa perubahan temperatur menyebabkan perubahan tingkat
kecoklatan (Browning value) seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.

Pada tahap pertama dari reaksi Maillard adalah kondensasi gula terhadap
asam amino membentuk glikosamin melalui reaksi basa Schiff’s. Glikosamin
selanjutnya mengalami Amadori rearrangement sehingga menghasilkan
turunan amadori seperti 1-amino-1-deoxy-2-ketose. Pembentukan
komponen amadori menyebabkan turunnnya kandungan asam amino produk
sehingga menyebabkan perubahan nilai gizi.

Reaksi pencoklatan non enzimatis adalah sekelompok reaksi deteriorasi yang


memberikan hasil akhir produk senyawaan berwarna kecoklatan. Dalam
proses pengolahan pangan dikenal 4 jenis reaksi pencoklatan non-
enzyamatis, yaitu:

1. reaksi Maillard
2. reaksi karamelisasi
3. reaksi peroksidasi minyak
4. reaksi degradasi asam askorbat.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 38


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Tabel 2. Data browning non-enzimatis (reaksi Maillard) susu


bubuk aw = 0.4
Penyimpanan Berat Optical Browning value
(Hari) Sampel (g) Density (OD) (OD/g solid) x 102
Suhu: 25oC Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2
0 Hari 3.0412 5.5 5.5 1.8 1.9
3.0426 5.5 5.5 1.8 1.8
3.0418 5.5 5.8 1.8 1.9
30 Hari 3.0424 12.0 12.2 4.3 4.1
60 Hari 3.0431 18.6 18.0 6.3 6.1
90 Hari 3.0431 21.9 22.5 7.4 7.6
120 Hari 3.0446 28.3 28.9 9.6 9.8
150 Hari 3.0472 35.3 34.7 12.0 11.8
180 Hari 3.0427 36.8 37.4 12.5 12.7
210 Hari 3.0410 42.6 43.5 14.6 14.8
o
Suhu: 35 C Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2
0 Hari 3.0424 5.2 4.9 1.7 1.6
3.0412 5.5 4.9 1.8 1.6
3.0463 4.9 4.7 1.6 1.5
10 Hari 3.0497 15.2 17.9 5.2 5.0
20 Hari 3.0402 23.1 23.1 7.9 7.9
30 Hari 3.0424 31.0 30.7 10.6 10.5
40 Hari 3.0436 40.2 40.5 13.7 13.8
50 Hari 3.0431 47.8 48.4 16.3 16.5
60 Hari 3.0412 59.3 59.0 20.2 20.1
70 Hari 3.0421 68.1 68.8 23.2 23.4
95 Hari 3.0428 81.5 81.2 27.8 27.7
o
Suhu: 45 C Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2
0 Hari 3.0432 5.2 5.2 1.7 1.7
3.0412 5.6 5.5 1.9 1.8
3.0444 5.2 4.9 1.7 1.6
2 Hari 3.0496 15.2 15.2 5.2 5.2
4 Hari 3.0455 21.0 20.7 7.1 7.0
7 Hari 3.0413 65.7 65.8 22.4 22.4
11 Hari 3.0422 73.9 74.2 25.4 25.3
18 Hari 3.0463 93.2 92.9 31.7 31.7
28 Hari 3.0486 130.4 129.9 44.4 44.2
35 Hari 3.0473 148.7 149.3 50.7 50.9
Sumber: Labuza (1983).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 39


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Reaksi peroksidasi minyak (seperti telah diuraikan sebelumnya)


menghasilkan aldehida dan keton yang dapat bereaksi dengan asam amino
membentuk pigmen berwarna coklat. Reaksi karamelisasi hanya terjadi pada
temperatur > 80oC akibat interaksi molekul-molekul gula menghasilkan
senyawaan yang hampir sama dengan produk reaksi Maillard. Reaksi
degradasi asam askorbat akan menghasilkan dikarbonil dengan mekanisme
yang hampir sama dengan reaksi Maillard, kecuali bahwa dalam degradasi
vitamin C, tidak dilibatkan asam amino.

3. 2. Mekanisme Reaksi Maillard


Reaksi Maillard adalah reaksi yang terpenting dari reaksi pencoklatan non-
enzymatis, karena dapat berlangsung pada disebagian besar produk pangan
olahan baik yang diolah dengan suhu tinggi maupun suhu rendah. Reaksi ini
adalah suatu reaksi kompleks yang melibatkan gula pereduksi dengan
asam amino memberikan hasil akhir melanoidin, suatu polimer heterosiklis
berwarna coklat yang tidak larut dalam air (Venin, dkk. 1983). Skema umum
reaksi Maillard diperlihatkan pada Gambar 6. Sebagian besar tahap-tahap
reaksi yang digambarkan secara tradisional seperti pada skema tersebut,
dewasa ini telah dielusidasi.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 40


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Gambar 6. Skema tradisional rangkaian reaksi Maillard (Hodge, 1953)

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 41


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Rangkaian reaksi Maillard dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap


pertama adalah proses kondensasi gula dengan asam amino dan amadori
rearrangement, pada tahap ini belum ada produk berwarna coklat. Tahap
kedua, meliputi degradasi hasil produk amadori rearrangement dan
degradasi Stecker yang ditandai dengan berlangsungnya beberapa pathway
antara lain:
a. perubahan bentuk 1-2 enol atau 2-3 enol dari komponen amadori menjadi
komponen flavor.
b. degradasi oksidatif asam amino oleh dikarbonil yang terbentuk akibat
pathway yang pertama, reaksi ini disebut juga Strecker degradation.
c. transaminasi basa Schiff’s
d. subtitusi tahap kedua pada komponen amino-deoksi-ketosa.
Tahap ketiga atau terakhir dari reaksi browning non-enzimatis ini kemudian
dicirikan oleh pembentukan komponen-komponen heterosiklik seperti
pyrazines dan pyrroles serta polimerisasi beberapa produk reaksi
membentuk pigmen coklat melanoidin (Venin, dkk. 1983).

3.2.1. Tahap kesatu.


Reaksi Maillard diinisiasi oleh reaksi kondensasi antara gugus fungsional
karbonil dengan gugus fungsional pada amino, menghasilkan aldosilamin
yang tersubtitusi nitrogen. Reaksi kondensasi terjadi akibat serangan
nukleofilik NH2 dari asam amino terhadap gugus elektrofilik karbonil pada
gula pereduksi. Reaksi ini melepaskan satu molekul air.

Selanjutnya terjadi amadori rearrangement (jika gula pereduksinya glukosa)


atau Heyns rearrangement (jika gula pereduksinya fruktosa). Jika gula
pereduksinya adalah glukosa dan asam aminonya glysin, maka
hasil dari amadori rearrangement adalah 1-amino-1-deoxy-2-fructose
(Monofructoseglycin, MFG).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 42


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Reaksi kondensasi antara gugus karbonil dengan asam amino

Reaksi yang sama dapat diterapkan pada molekul bentuk siklis:

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 43


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Amadori Rearrangement:

Dalam proyeksi bentuk cincin,

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 44


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Kondensasi dua aminoketone menghasilkan pyrazine.

Baik glukosamin maupun aminoketone atau monofruktosamin dapat


mengalami serangkaian dehidrasi, deaminasi membentuk glukosulosen yang
dengan mudah membentuk siklik dan membentuk hydroksimetilfurfural
(HMF). Produk HMF ini adalah indikator produk intermediat pada reaksi
Maillard yang sangat lasim digunakan untuk melihat intensitas reaksi yang
berlangsung. Peningkatan jumlah HMF yang terbentuk sering digunakan
sebagai kriteria kadaluwarsa pada produk seperti susu bubuk, mayonnaise,
telur bubuk dan sebagainya.

NH R
HC O
C H2
C O
C O
CH
HOCH
CH HOCH2 O CH O
HCOH
HCOH HMF
HCOH
CH2OH (hydroksymethylfurfural)
CH2OH

fruktosamin glukosulosen

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 45


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

3.2.2. Tahap kedua


Produk hasil amadori rearrangement mengalami degradasi: Pertama-tama
hydrogen bebas dari gugus amino dari ketosamin berikatan dengan molekul
aldosa yang baru membentuk diketosamin.

Komponen ini kurang stabil dibandingkan dengan monoketosamin dan akan


terdekomposisi memberikan monofruktosamin dan sebuah molekul karbonil
seperti: 3-deoxyosuloses

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 46


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 47


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

2,3 Enol deoxyhexosone fructose glycine

Degradasi stecker adalah degradasi oksidatif dari molekul karbonil (hasil


degradasi ketosamin). Pertama-tama asam amino akan membentuk basa
shchiff, kemudian akan mengalami katalisis yaitu dekarboksilasi membentuk
amin dan aldehida. Ciri utama reaksi ini adalah terbentuknya CO2. Aldehida
yang terbentuknya berperan dalam polimerisasi melanoidin.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 48


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Sejumlah senyawaan berflavor tertentu dapat diturunkan dari


deoxyhexosones hasil degradasi Stecker atau dari hasil kondensasi aldol,
seperti pada pembentukan 2-hydroxyacetyl furan dibawah ini.
Pembentukan komponen berikut ini dapat terjadi dengan atau tanpa asam
amino. Jika berlangsung tanpa asam amino, maka diperlukan temperatur
yang tinggi. Gula yang dipanaskan (tanpa asam amino) akan membentuk
deoksiheksosone, pemanasan lebih lanjut akan mendehidrasinya, kemudian

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 49


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

terjadi kondensasi aldol dan seterusnya seperti halnya pasa reaksi Maillard
membentuk pigmen coklat. Reaksi ini disebut karamelisasi (Vernin, 1983).

3.2.3. Tahap ketiga


Tahap ketiga dari reaksi Maillard ditandai dengan terbentuknya pigmen coklat
yang disebut melanoidin, hasil polimerasi dari komponen-komponen yang
sangat reaktif dari reaksi tahap sebelumnya.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 50


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Polimerisasi

MELANOIDIN

4. Kinetika Reaksi Maillard


Pola perubahan substrat dan produk terhadap waktu reaksi selama
berlangsungnya reaksi Mailard dapat diikuti di dalam medium yang hanya
mengandung gula pereduksi dengan asam amino. Pola umum perubahan
substrat amin, produksi pigmen coklat dan komponen intermediat ini
diperlihatkan pada Gambar 7. Kurva menunjukkan bahwa pertama-tama
terjadi penurunan konsentrasi gula pereduksi dengan cepat diikuti dengan
penurunan konsentrasi asam amino. Kemudian setelah beberapa saat,
produksi komponen intermediat mulai meningkat yang disusul dengan
produksi pigmen coklat.

Pada tahap berikutnya terlihat bahwa gula pereduksi terus menurun sampai
kemudian mencapai titik nol. Konsentrasi komponen intermediat sebaliknya

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 51


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

akan mencapai puncaknya pada suatu titik tertentu dan setelah itu menurun
dan cenderung berkurang terus. Pada kurva Gambar 7. juga dapat terlihat
dengan jelas peningkatan secara terus menerus jumlah komponen pigmen
coklat setelah puncak kurva produk intermediat. Komponen yang dapat
menjadi sumber asam amino seperti protein, terutama yang mengandung
asam amino lisin, aspartam, disodium guanilat dan MSG (monosodium
glutamat) dapat berperan pada reaksi ini dan akan terkondensasi pada
komponen pereduksi seperti: gula pereduksi, asam askorbat , keton,
aldehida, ortofenol serta gula invert lainnya.

Faktor yang mempengaruhi reaksi Maillard antara lain: jenis asam amino,
jenis gula pereduksi, ratio gula pereduksi dengan asam amino dalam
substrat, pH dan temperatur (Baisier, dkk. 1992).

K
O KOMPONEN
N BERFLUORESENSI
S
A M IN
E
N
T
R
P IG M E N
A
S C O K LAT
I
KOMPONEN
IN T E R M E D IA T

GULA
PEREDUKSI

W AK T U

Gambar 7. Kinetika reaksi Maillard (Labuza, 1994).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 52


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

4.1 Pengaruh Konsentrasi Gula pereduksi dan Asam Amino


Pengaruh konsentrasi glukosa terhadap laju pencoklatan yang diukur
dengan absorbansi pada panjang gelombang 420 nm, diperlihatkan pada
Tabel 3 dan Tabel 4. Pada Tabel 3, terlihat bahwa konsentrasi glukosa
berbanding langsung dengan intensitas pencoklatan dengan hubungan yang
hampir linear. Keadaan yang sama juga terjadi jika konsentrasi asam amino
glisin yang divariasikan (Baisier, dkk. 1992).

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi glukosa terhadap intensitas


pencoklatan
Glukosa (M) Laju Pencoklatan Rasio Glukosa Ratio Pencoklatan
OD/h x 104
0.5 625 5 11
0.3 324 3 6
0.2 196 2 3.2
0.1 55 1 1.0
0.06 24 0.6 0.4
0.04 11 0.4 0.2
Sumber: Baisier, dkk. (1992).
Tabel 4. Pengaruh konsentrasi glisin terhadap intensitas
pencoklatan
Glukosa (M) Laju Pencoklatan Rasio Glukosa Ratio Pencoklatan
OD/h x 104
0.4 68 10 23
0.3 62 7.7 21
0.2 49 5 16
0.1 26 9 15
0.04 3 1 1
Sumber: Baisier, dkk. (1992).

Hasil yang hampir sama juga diperoleh terhadap beberapa jenis bahan
pangan yang mengandung glisin. Labuza (1994), memperlihatkan bahwa
intensitas pencoklatan di dalam bahan pangan tersebut sebanding dengan
kandungan glisin dari masing-masing bahan pangan itu sendiri. Reaksi
Maillard di dalam bahan pangan memperlihatkan kecepatan pencoklatran
berbeda-beda diukur berdasarkan ratio kecepatan pencoklatan per gram

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 53


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

kandungan glisin. Laju pencoklatan dalam OD (optical density).mg-lisin-1.hari-


1
untuk bahan pangan: putih telur, kasein, whey, gluten yang diperkaya glisin
dan produk kedelai masing-masing adalah: 1.4; 0.7; 1.0; 1.1 dan 1.0.
(Labuza, 1994). Dari data ini terlihat bahwa putih telur adalah produk yang
paling sensitif terhadap pencoklatan.

4.2. Pengaruh pH
Pengaruh pH terhadap kecepatan pencoklatan terutama disebabkan oleh
pKa asam amino yang berbeda-beda. Secara defenisi pada titik pKa suatu
asam amino terdapat konsentrasi yang sama antara asam amino yang
terprotonasi dengan yang tidak terprotonasi. Hal ini berpengaruh langsung
terhadap konsentrasi asam amino yang dapat mengambil bagian dalam
reaksi. Pada saat ekuilibrium:

Sehingga:

Asam amino yang terprotonasi NH3+ pada pH < pKa akan mencegah transfer
elektron, sedingga memperlambat laju kecepatan pencoklatan. Secara
teoritis, perubahan 1 unit pH akan menyebabkan perubahan laju reaksi
sebesar 10 kali pada sistem yang murni, pada sistem reaksi yang
berlangsung dalam bahan pangan perubahan ini kemungkinan kurang dari
10 kali.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 54


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

4.3. Pengaruh Temperatur


Penelitian terhadap model makanan yang berisi asam amino dan gula
pereduksi yang dilakukan Bozkurt dkk (1999) pada temperatur: 55oC, 65oC
dan 75oC menunjukkan bahwa ordo reaksi Maillard pada ketiga temperatur
adalah ordo nol. Menurut Bozkurt dkk. (1999), pengaruh temperatur
terhadap kinetika reaksi Maillard mengikuti persamaan Arrhenius. Nilai k
pada ketiga temperatur terhadap model adalah sebagai berikut:
Pangan Suhu Reaksi Ea
o
Model 55 C. 65oC 75oC k kal
mol-1
Model 1 0.03 0.15 0.38 27.6
Model 2 0.19 0.57 2.49 29.0

Dengan energi aktivasi Ea = 27.6 k kal mol-1 untuk model 1 dan Ea= 29.0 k
kal mol-1 untuk model 2. Bozkurt, dkk. (1999), juga melaporkan kinetika
reaksi Maillard berdasarkan kandungan HMF (hidroksimetilfurfural) yang
terbentuk. Nilai k terhadap pembentukan HMF pada tiga temperatur yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Pangan Suhu Reaksi Ea
o
Model 55 C. 65oC 75oC k kal
mol-1
Model 1 1.21 1.59 3.47 11.5
Model 2 1.55 2.75. 5.43 12.7

Dengan energi aktivasi Ea = 11.5 k kal mol-1 untuk model 1 dan Ea= 12.7 k
kal mol-1 untuk model 2. Ordo reaksi ini antara 0 dan 1. Nilai Ea reaksi
Maillard pada kol kering (T=25 C – 40 C) adalah 40. k kal mol-1, sistem
o o

glukosa-kasein (T= 25 oC–45 oC) adalah 33 k kal mol-1, keju (T=5 oC –40 oC )
adalah 24 k kal mol-1 dan sistem glukosa-lisin (T= 60 oC – 100 oC) adalah 20
k kal mol-1 (Labuza, 1994).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 55


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Gambar 8. Reaksi Maillard mengikuti kinetika reaksi ordo nol

5. Perubahan Mikrobiologis
Pertumbuhan mikroba dapat menyebabkan pembentukan lendir pada daging
segar, ikan, ayam dan tahu, yang kemudian disusul dengan munculnya bau
busuk Pertumbuhan mikroba pada produk tidak hanya menyebabkan
perubahan organoleptik dan penurunan nilai gizi tapi bahkan dapat
menyebabkan penyakit, keracunan dan bahkan kematian.

Untuk dapat membentuk lendir yang dapat teramati pada permukaan produk
pangan seperti yang disebutkan diatas diperlukan sejumlah 106 Sel/g produk.
Sedangkan untuk menimbulkan bau busuk yang sangat tajam diperlukan
sejumlah 107 – 109 Sel/g. Banyak di antara makanan yang kita konsumsi
tidak dalam keadaan steril, karena itu selalu mengandung bakteri-bakteri
dalam jumlah tertentu. Bila jumlah bakterinya sedikit, tidak akan dapat
menghasilkan kesulitan. Untuk dapat menghasilkan gangguan atau sakit
pada orang dewasa, sangat bervarlasi tergantung jenis mikroba serta orang
yang terserang. Diperkirakan paling sedikit sejuta bakteri (106 Sel/g) harus
ada dalam makanan yang dikonsumsi. Bila hanya ada sepersepuluh saja

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 56


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

(100.000) maka makanan tersebut ternyata dapat menyebabkan sakit pada


bayi, orang tua atau orang yang sedang sakit.

Makanan segar yang telah dimasak di rumah-rumah kemudian didinginkan


sampai suhu kamar secara umum mempunyai kandungan mikroba antara
103 -104 Sel/g. Jika dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar maka jumlah
mikrobanya biasanya akan mencapai 105 -106 Sel/g. Tabel 5
memperlihatkan peningkatan kandungan berbagai jenis mikroba pada
makanan selama penyimpanan pada sekitar suhu kamar.

Penyakit pada manusia oleh makanan (foodborne disease) adalah masalah


utama keamanan pangan. WHO mendefenisikan foodborne disease sebagai
penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun, yang disebabkan oleh
agent yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna dan dapat
dikelompokkan menjadi 2 grup yaitu: foodborne infection dan foodborne
intoksikasi (keracunan makanan), meski demikian dalam konteks keamanan
pangan keduanya biasa diterjemahkan sebagai keracunan pangan (Winarno,
1996).

Sudut perhatian utama konsumen atas keamanan pangan sebenarnya cukup


luas dan meliputi penyakit yang terkandung dalam makanan (infeksi atau
racun), kontaminasi pestisida, kontaminasi lingkungan (logam berat) dan
residu obat ternak dalam makanan, termasuk keraguan pada keamanan aditif
pangan atau bahan tambahan pangan. Namun lebih dari 90% terjadinya
penyakit pada manusia oleh makanan (foodborne diseases) disebabkan
kontaminasi mikrobiologi, yaitu meliputi penyakit tipus, disentri bakteri/amuba,
botulism dan intoksikasi bakteri, serta hepatitis A dan trichinellosis (Winarno,
1996). Oleh karena itu perhatian lebih banyak dicurahkan pada keracunan
pangan, baik keracunan karena foodborne infection maupun foodborne
intoksikasi (Winarno, 1996)

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 57


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Tabel 5. Perkembangan jumlah mikroba Rendang dan Kalio pada


penyimpanan suhu ruang (25 – 30oC)
Jenis Makanan Lama Jumlah mikroba (koloni/gram)
Simpan Total Total Total Total
Mikroba Kapang/Khamir Koliform Staphylococcuss.
Rendang 1 hari 7.0 x 3.0 x 103 1.1 x 1.0 x 103
(dari rumah 104 10 4

makan 2 hari 3.5 x 1.0 x 104 1.9 x 5.6 x 104


besar/katering) 105 10 4
4
3 hari 7.5 x 1.9 x 10 4.4 x 1.4 x 105
106 103
2
Rendang 1 hari 3.5 x 6.0 x 10 4.0 x 4.0 x 102
(dari rumah 103 10 2
5
makan sedang) 2 hari 9.5 x 2.6 x 10 9.7 x 3.3 x 104
105 10 4

3 hari 1.5 x 1.0 x 104 9.4 x 1.7 x 105


107 10 4
2
Kalio 1 hari 3.5 x 3.0 x 10 1.5 x 4.3 x 104
(dari rumah 108 10 7

makan 2 hari 1.1 x 3.3 x 103 3.0 x 3.1 x 105


besar/katering) 109 10 7

3 hari 1.2 x 7.5 x 105 4.1 x 5.2 x 105


109 10 8
4
Kalio 1 hari 3.7 x 5.1 x 10 1.0 x 1.1 x 104
(dari warung 109 107
5
kaki lima) 2 hari 2.5 x 1.8 x 10 7.3 x 8.2 x 105
109 10 7
6
3 hari 1.9 x 4.2 x 10 2.7 x 7.8 x 106
109 10 7

Sumber: Murhadi, dkk. (1994).

Dalam proses intoksikasi (foodborne intoksikasi) bakterinya tumbuh dan


berkembang biak di dalam makanan sebelum dikonsumsi. Bakteri-bakteri
tersebut waktu tumbuh, memproduksi toksin di luar tubuhnya yang disebut
eksotoksin. Toksik ini membaur dengan bagian-bagian makanan. Pada
umumnya toksin yang diproduksi tersebut lebih tahan panas dari bakterinya
(vegetatif) sendiri. Sel bakterinya biasanya sudah mati pada pemanasan 2
menit pada air mendidih, sedang eksotoksinnya baru rusak dan menjadi non
aktif setelah pemanasan 30 menit pada air mendidih. Dalam proses infeksi
(foodborne infection), bakterinya juga tumbuh dan berkembang biak dalam
makanan. Bedanya di sini racun diproduksi di dalam sel (endotoksin) tidak di

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 58


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

luar sel. Toksin tersebut tidak bisa aktif kecuali selnya mati. Bila makanan
terkontaminasi berat dengan jenis bakteri tersebut dikonsumsi, tidak segera
menimbulkan keracunan, sampai jumlah bakterinya cukup jumiahnya yang
mati, sehingga toksinnya cukup banyak untuk merangsang lambung dan
usus besar

Jumlah mikroba yang dikandung oleh produk pangan, khususnya pada


produk tertentu dapat dikuantifikasi menggunakan model-model pridiktif.
Penggunaan model-model prediktif juga sangat membantu dalam
penentukan waktu kadaluwarsa beberapa jenis produk pangan seperti
misalnya makanan beku. Hal ini memungkinkan karena pertumbuhan
mikroba menunjukkan karakteristik khusus yaitu bahwa kurva
pertumbuhannya dapat dibagi menjadi 6 fase pertumbuhan dimana tiap-tiap
fase dapat diidentifikasi dan di karakterisasi. Hasil identifikasi dan
karakterisasi fase-fase pertumbuhan ini tidak saja dapat dibandingkan antara
satu mikroba dengan mikroba lainnya, tetapi juga dapat digunakan untuk
menunjukkan pengaruh lingkungan pertumbuhan terhadap kecepatan
pertumbuhannya.

Gambar 9. Kurva pertumbuhan mikroba terdiri dari 6 fase


Meskipun kemungkinan terdapat ratusan jenis model matematik (model-
model prediktif) yang mengekspresikan pertumbuhan mikroba dapat

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 59


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

ditemukan di dalam literatur, namun sebenarnya mereka dapat


dikelompokkan ke dalam dua jenis saja yaitu model primer dan model
sekunder. Model primer adalah model pertumbuhan yang diperoleh dari
suatu kultur pertumbuhan optimum, atau diasumsikan optimum, dimana
jumlah mikroba yang diinokulasikan diketahui dengan pasti (Ratkowsky et al,
1982; Baranyi dan Roberts 1995;Han dan Floros, 1998). Pertambahan
jumlah populasi kemudian diamati setiap saat dan dihitung jumlah sel atau
koloninya. Persamaan yang dapat memberikan nilai populasi pada suatu
waktu tertentu (t) kemudian diturunkan dari data pertumbuhan itu dan disebut
sebagai model primer. Umumnya model primer digunakan untuk
mendapatkan laju pertumbuhan maksimum (µmax). Salah satu contoh model
primer adalah model logistik yang dapat dituliskan dalam bentuk:


log N (t ) = log  N min +
(N max − N min )
1 + exp (− µ max × (t − t i ))
…….pers 1.

Dimana N(t) adalah jumlah (populasi) mikroba pada waktu t, Nmin adalah
jumlah mikroba awal, Nmax adalah jumlah maksimum pertumbuhan mikroba, ti
adalah waktu inokulasi.

Penggunaan persamaan logistik cukup sederhana apabila diketahui jumlah


mikroba awal, jumlah mikroba pada pertumbuhan maksimum dan masing-
masing waktu t dan ti. Dengan memasukkan nilai-nilai ini maka nilai µmax
dapat diperoleh. Hal ini karena persamaan logistik adalah persamaan umum
yang telah berkembang cukup lama dan relatif memiliki bentuk dasar yang
sederhana, yaitu pertama kali diformulasikan oleh Malthus pada tahun 1798
(Monod. 1942), dalam bentuk persamaan kinetika ordo 1:
 dN 
  = µN …………pers 2.
 dt 
Persamaan ini telah mengalami perkembangan yang cukup panjang dari
waktu ke waktu dan telah menghasilkan banyak bentuk persamaan aplikasi

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 60


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

yang semuanya diturunkan dari persamaan dasar (pers 1) tersebut diatas,


diantaranya yang terkenal adalah persamaan Gompertz yang diformulasikan
pada tahun 1825, persamaan diskret logistik dari Pierre Francois Verhulst
pada tahun 1925 dan lain sebagainya (McMeekin et al, 1993), meskipun
demikian penerapannya secara komprehensif pada pertumbuhan mikroba
pertama kali dilakukan oleh Monod pada tahun 1942, dengan
memperhitungkan bentuk persamaan lainnya yaitu persamaan kinetika
enzymatis dari Michaelis-Menten yang diformulasikan pada tahun 1913.
Dengan menerapkan persamaannya itu Monod berhasil mengidentifikasi
fase-fase pertumbuhan mikroba (Monod, 1942) yang terdiri dari:
1. fase lag (growth rate (µ = 0)
2. fase akselerasi (µ positive and increases)
3. fase eksponensial (µ constant)
4. fase retardasi (µ decreases)
5. fase stasioner (µ = 0)
6. fase lisis (µ negative)

Gambar 9, memperlihatkan kurva pertumbuhan mikrobe beserta fase-


fasenya. Dewasa ini, pengembangan persamaan logistik (model primer)
cenderung mempertimbangkan perubahan-perubahan fase pertumbuhan
mikroba tersebut diatas. Model primer seperti ini cukup kompleks dan tidak
praktis dan biasanya hanya digunakan untuk keperluan terbatas (teoritik),
salah contoh dari model primer (tipe logistik) yang menginkorporasikan fase-
fase pertumbuhan di dalamnya adalah model dari Rosso (1995) yang dapat
dituliskan sebagai berikut:
log( N 0 ) ; t<λ

log(N ) =

  N  
log( N max ) − ln 1 +  max − 1 × exp[− µ max ∗ (t − λ )] t > λ….pers 3.
  N 0  

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 61


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

Dimana λ adalah fase lag, sedangkan keterangan tentang parameter lainnya


sama seperti pada persamaan sebelumnya.

Model sekunder adalah persamaan matematik yang menerangkan pengaruh


lingkungan pertumbuhan, seperti misalnya pengaruh suhu, pH, aktifitas air,
anti mikroba dan lain sebagainya terhadap µmax. Karena cukup banyak
pendekatan yang dapat diterapkan dalam memformulasikan persamaan ini
maka jenis model sekunder untuk pertumbuhan mikroba sangat banyak
jumlahnya dan beragam bentuknya dapat di temukan dalam literatur. Sebagai
contoh model sekunder dapat didekati dengan pendekatan polinomial,
response surfase, neural network, regresi linear dan non-linear dan
sebagainya.

Akan tetapi model yang praktis yang sering digunakan untuk keperluan
analisis adalah persamaan yang hanya menunjukkan perubahan laju
pertumbuhan maksimum µmax akibat pengaruh parameter lingkungannya,
contohnya adalah persamaan Belehradek yang memperlihatkan pengaruh
temperatur dan konsentrasi CO2 terhadap µmax, persamaannya adalah
sebagai berikut:

µmax = a × (T − Tmin) × (CO2max − CO2 ) ………pers.4

Pengembangan model Belehradek untuk berbagai faktor lingkungan


pertumbuhan cukup banyak dikembangkan dewasa ini. Jika hanya pengaruh
temperatur yang diperhitungkan maka dapat pula digunakan persamaan
seperti persamaan Arrhenius atau modifikasi dari persamaan Belehradek
yang dituliskan sebagai berikut:

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 62


Reaksi-Reaksi Penurunan Mutu

EGR = a × (T − T0 ) ……pers 5
Dimana yang dimaksud dengan EGR adalah exponential growth rate atau
µmax. Contoh penggunaan persamaan ini adalah sebagai berikut, misalkan
ingin diperoleh nilai EGR Listeria monocytogenes pada suhu 5oC, sedangkan
data yang diketahui terdiri dari: pertama, nilai EGR pada suatu suhu tertentu
(baik yang diperoleh dari literatur maupun hasil percobaan) dan data kedua
yang menunjukkan bahwa Listeria monocytogenes tidak tumbuh yaitu pada
suhu 1.18oC (suhu dimana EGR=0). Maka dalam menentukan jumlah
mikroba pada suhu penyimpanan lain, misalnya 5oC, maka dapat langsung
mengekstrapolasinya dengan menggunakan persamaan mengenai dua titik
pada satu garis lurus, yaitu:

  a(T5 + 1.18) 
2 2
 EGR5  6.18 
  =   =  
  a(TLit + 1.18)   (TLit + 1.18)
………..pers 6
 EGRLit

Dimana EGRLit adalah nilai exponential growth rate yang diperoleh dari
literatur pada suhu TLit dan EGR5 adalah adalah nilai exponential growth rate
pada suhu penyimpanan 5oC. Setelah nilai EGR pada 5oC diperoleh, maka
dengan bantuan persamaan logistik (model primer) dapat dihitung jumlah
Listeria monocytogenes setelah penyimpanan selama waktu tertentu
(misalnya setelah 5 hari; 7 hari dan seterusnya) pada kondisi suhu 5oC
tersebut.

Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik


maupun faktor ekstrinsik. Faktor pertumbuhan intrinsic antara lain seperti:
a). pH; b). aw; c). Eh; d). kandungan nutrisi; e). struktur biologis; f).
kandungan antimikroba. Sedangkan faktor ekstrinsik antara lain adalah: a).
temperatur penyimpanan; b). kelembaban relatif (RH); c). jenis dan jumlah
gas pada lingkungan tersebut.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 63


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

BAB IV:
PEMODELAN WAKTU KADALUWARSA

A. Konsep Dasar

Konsep dasar pemodelan waktu kadaluwarsa cukup sederhana yaitu bahwa


semua produk segera setelah diperoduksi memiliki mutu yang prima.
Kemudian, selama penyimpanan dan distribusi, produk yang pada mulanya
memiliki mutu yang prima itu tentunya akan mengalami perubahan dan
penurunan mutu. Untuk memberikan ilustrasi, mutu produk yang masih prima
dikatakan memiliki manfaat 100% bagi konsumen (usable quality =100%).
Kemudian setelah waktu tertentu usable quality tersebut akan berkurang
seperti yang digambarkan pada kurva Gambar 10.

Gambar 10. Penurunan usable quality pada produk pangan

Oleh karena usable quality akan menurun selama penyimpanan maka pada
suatu saat nilainya akan mendekati titik tertentu dimana kualitas yang
diharapkan tersebut tidak dimiliki lagi oleh produk pangan itu.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 64


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Tabel 6. Kriteria kadaluwarsa yang digunakan pada beberapa jenis produk

Produk/Komoditi Mekanisme Kriteria Sumber


deteriorasi kadaluwarsa
Teh kering Penyerapan uap Peningkatan kadar Labuza (1972)
air air
Susu bubuk Penyerapan uap Pencoklatan Labuza (1972)
air
Susu bubuk Oksidasi Laju konsumsi O2 Quast (1971_
Sea food kering Oksidasi dan Aktifitas ais Howsmon (1986)
beku fotodegradasi
Makanan bayi Penyerapan uap Konsentrasi asam Singh (1976)
air askorbat
Makanan kering Penyerapan uap - Oswin (1946)
air
Sayuran kering Penyerapan uap Off-flavor Villota (1980)
air Perubahan warna
Kol kering Penyerapan uap Pencoklatan Mizrahi (1970a)
air Mizrahi (1970b)
Tepung biji kapas Penyerapan uap Pencoklatan Mizrahi (1977)
air
Tepung tomat Penyerapan uap Konsentrasi asam Mizrahi (1977)
air askorbat
Biji-bijian Penyerapan uap Peningkatan kadar Felt (1945)
air air
Keju Penyerapan uap Tekstur Lazarides (1988)
air
Bawang kering Penyerapan uap Pencoklatan Samaniego-
air Esquerra (1991)
Buncis hijau Penyerapan uap Konsentrasi klorofil Samaniego-
air Esquerra (1991)
Keripik kentang Penyerapan uap Laju Oksidasi Quast (1974)
air dan Oksidasi
Keripik kentang Oksidasi Laju konsumsi O2 Quast (1974)
Udang kering beku Oksidasi Konsentrasi Simon (1971)
karotenoid & laju
kons.O2
Tepung gandum Penyerapan uap Konsentrasi asam Wanniger (1972)
air dan Oksidasi askorbat
Minuman ringan Pelepasan CO2 Perubahan Fenelon (1973) &
tekanan Alger (1989)
Sumber: Floros (1993)

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 65


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Telah dibahas secara panjang lebar pada bab-bab sebelumnya bahwa


Usable quality dari produk pangan dapat berupa atribut seperti tekstur, flavor,
warna, penampakan khusus, nilai gizi atau berupa standar mikrobiologis,
seperti jumlah dan jenis mikroba tertentu yang dikandung produk pangan
tersebut. Atribut tersebut disebut kriteria kadaluwarsa Pada Tabel 6
diperlihatkan kriteria kadaluwarsa beberapa produk kering Penurunan nilai
usable quality dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.

Penetuan batas waktu kadaluwarsa tidak selalu diputuskan berdasarkan


usable quality = 0% seperti yang diilustrasikan dalam grafik Gambar 10,
tetapi umumnya jauh lebih besar dari itu. Beberapa jenis produk tertentu
seperti produk-produk food supplement menggunakan batas kadaluwarsa
pada titik pengurangan usable quality sejumlah 15%. Dengan kata lain pada
titik usable quality = 85 % produk sudah dianggap kadaluwarsa. Demikian
juga dengan produk-produk yang penggunaannya sangat terbatas dan
bersifat spesifik seperti ragi (yeast) dan enzim-enzim komersial.

Berdasarkan konsep yang sederhana diatas kemudian dibuat model-model


persamaan matematik yang dapat digunakan sebagai alat bantu menghitung
umur simpan dan waktu kadaluwarsa. Menghitung umur simpan – yang
dapat dikatakan secara sederhana sebagai waktu kadaluwarsa pada satu
suhu/kondisi tertentu – biasanya dengan mudah dapat diiukuti penalarannya.
Namun hal ini kadang-kadang tidaklah demikian halnya pada perhitungan
mengenai waktu kadaluwarsa.

Kesulitan dalam menentukan waktu kadaluwarsa adalah karena pada


penetapan waktu kadaluwarsa terdapat unsur ”pendugaan” tentang kondisi
yang akan dialami produk selama distribusi dan pemasaran. Hal ini berbeda
dengan umur simpan, yang meskipun kadang-kadang dilakukan ekstrapolasi
melebihi waktu yang digunakan selama percobaan penyimpanan produk di

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 66


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

laboratorium, namun ekstrapolasi tersebut masih dengan sangat mudah


dapat diikuti penalarannya. Meskipun dalam hal ini ada unsur ”pendugaan”,
namun ketepatan dan kepastiannya sangat tinggi apabila diformulasikan
dengan baik. Sebagai contoh dapat diberikan analogi dalam menghitung
ketepatan terjadinya gerhana bulan dan gerhana matahari. Peristiwa gerhana
bulan dan gerhana matahari dapat dihitung sedemikian tepatnya sehingga
ketepatan dan kepastian terjadinya hanya berselisih dalam hitungan detik
dengan ”pendugaan” (perhitungan) yang telah dilakukan sebelumnya. Hal
yang sama berlaku pada penetapan waktu kadaluwarsa.

B. Pemodelan Penentuan Kadaluwarsa Pangan

1. Konsepsi Model
Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan (shelf-
life) adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi
penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu
tertentu. Menurut Labuza (1982), lingkungan produk pangan seperti
temperatur, kelembaban relatif (RH), konsentrasi oksigen di dalam kemasan,
intensitas cahaya, aktifitas air maupun permeabilitas kemasan menyebabkan
degradasi faktor mutu seperti perubahan sifat fisik (tekstur, staling,
retrogradasi), perubahan sifat kimia (ketengikan, perubahan zat gizi),
perubahan sifat mikrobiologi (pertumbuhan patogen, pembentukan lendir)
maupun perubahan sifat organoleptik (rasa, bau, warna dan flavor).
Perubahan ini terjadi segera setelah diproduksi hingga mencapai batas mutu
terendah dan kadaluwarsa (OTA-Report, 1979).

Penentuan umur simpan dilakukan dengan mengevaluasi suatu perubahan


faktor mutu selama periode tertentu (Singh, 1994). Menurut Floros dan
Gnanasekharan (1993), perumusan model persamaan penentuan umur
simpan dilakukan untuk menduga waktu yang diperlukan oleh produk hingga

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 67


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

batas mutu kadaluwarsa pada suatu kondisi tertentu. Hubungan antara


faktor mutu dengan pengaruh lingkungan dirumuskan kemudian diterapkan
untuk menghitung waktu kadaluwarsa (Floros dan Gnanasekharan, 1993).

Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993), perumusan model penentuan


waktu kadaluwarsa umumnya dilakukan dengan membuat hubungan
kuantitatif degradasi mutu terhadap waktu. Dalam bentuk persamaan umum
Robertson (1993) merumuskan persamaan mutu suatu produk pangan
sebagai berikut:
dC
= f {I , E} ...........Pers.7
dt
Dimana dC/dt = laju perubahan degradasi mutu. I = faktor intrinsik
(komposisi) dan E= faktor ekstrinsik (lingkungan) sedangkan Floros dan
Gnanasekharan (1993) menjabarkan faktor ekstrinsik (lingkungan) tersebut
sebagai kelembaban relatif (RH), temperatur (T) dan konsentrasi oksigen
(pO2) serta faktor intrinsik adalah K (kompoisi) dan merumuskan persamaan
dalam bentuk:
dC
= f {RH , T , pO2 , K } .......Pers.8.
dt
Dimana dC/dt= laju penurunan mutu persatuan waktu, RH= kelembaban
relatif, T=temperatur lingkungan penyimpanan/pengemas, pO2= tekanan
oksigen lingkungan penyimpanan/pengemas dan K adalah faktor komposisi.
Kedua bentuk persamaan umum ini telah banyak diterapkan terhadap faktor
mutu yang didasarkan pada sifat fisik, kimia dan mikrobiologi (Labuza, 1982).

2. Kondisi Penyimpanan Percobaan Penentuan Waktu Kadaluwarsa


Metodologi studi yang diterapkan dalam memperoleh respon data untuk
dimasukkan ke dalam model-model yang disebutkan diatas dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu: pertama Accelerated Storage Studies atau
Accelerated Shelf Life Testing –ASLT, bila kondisi penyimpanan terkontrol.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 68


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Kedua, Extended Storage Studies – ESS, jika respon diamati tanpa


pengaturan dan pengontrolan kondisi lingkungan penyimpanan (Floros dan
Gnanasekharan, 1993).

Accelerated Shelf Life Test dilakukan dengan menyimpan contoh (sample)


produk pangan dalam kondisi lingkungan yang terkontrol. Parameter
lingkungan yang paling umum dikontrol adalah suhu dan kelembaban relatif.
Pada percobaan yang ditujukan untuk mengukur perubahan faktor mutu
kimia, mikrobiologi atau enzimatis, maka pengontrolan diterapkan terhadap
parameter suhu. Produk biasanya disimpan pada suatu inkubator
penyimpanan dengan suhu penyimpanan kosntan. Percobaan dilakukan
menggunakan paling sedikit tiga kondisi suhu tetap yang berbeda misalnya
penyimpanan pada suhu 10oC, pada suhu 20oC dan 30oC. Selama
penyimpanan pada suhu tetap tersebut, dilakukan sampling terhadap produk
pada interval waktu tertentu. Sampel yang diambil kemudian dianalisis
secara laboratoris tingkat kerusakan/degradasinya. Hasil analisa dimasukkan
ke dalam persamaan (model) untuk mendapatkan umur simpan maupun
waktu kadaluwarsa produk. Pada Tabel 2 diperlihatkan data tentang
browning non enzimatis yang memperlihatkan ciri khas percobaan ini, yaitu
percobaan penyimpanan dilakukan pada 3 suhu yaitu: 25 oC; 35 oC dan 45
o
C. Hal lain yang harus diperhatikan dalam percobaan tipe ini, yaitu interval
waktu pengambilan contoh. Makin tinggi suhu penyimpanan makin singkat
waktu interval pengambilan contoh. Pada Tabel 2 tersebut diperlihatkan total
interval waktu pengambilan contoh pada suhu penyimpanan 25 oC adalah
210 hari, suhu penyimpanan 35 oC adalah 95 hari dan suhu penyimpanan
45 oC adalah 35 hari.

Sedangkan untuk percobaan yang ditujukan untuk mengukur perubahan


faktor mutu fisik, maka pengontrolan diterapkan terhadap parameter
kelembaban. Produk biasanya disimpan didalam suatu Humidity chamber

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 69


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

ataupun peralatan pengatur RH lainnya (Lihat Bab VI). Percobaan biasanya


dilakukan menggunakan cukup banyak variasi/perlakuan kondisi RH yang
berbeda, yaitu mulai dari kisaran RH sekitar 10% sampai dengan nilai RH 98
%. Utamanya pada kondisi penyimpanan dengan RH yang rendah, misalnya
RH 10 %, RH 15 % dan RH 20% dapat ditemuan kesukaran dalam
pengaturan ketepatan RH dari Humidity chamber yang digunakan untuk
menyimpan produk. Untuk mengatasi hal ini maka umumnya diterapkan
desikator yang berisi garam jenuh. Dalam kondisi setimbang (ekuilibrium)
garam jenuh dapat memberikan suatu nilai kelembaban yang akurat selama
penyimpanan. Setelah waktu tertentu, produk yang disimpan kemudian
dianalisis secara laboratoris untuk mengetahui tingkat
kerusakan/degradasinya akibat penyimpan di dalam berbagai kondisi RH
diatas. Hasil analisa dimasukkan ke dalam persamaan (model) untuk
mendapatkan umur simpan maupun waktu kadaluwarsa produk.

3. Jenis-Jenis Model Pendugaan Waktu Kadaluwarsa


Pengembangan model penentuan kadaluwarsa umumnya di dasarkan pada
tiga kategori perubahan faktor mutu yaitu: 1). berdasarkan perubahan mutu
fisik, 2), berdasarkan perubahan mutu kimia, mikrobiologis atau enzimatis
dan 3). berdasarkan perubahan mutu organoleptik.

Model-model yang dikembangkan dari perubahan mutu fisik dan kimia


(termasuk perubahan mikrobiologis dan enzimatis) mempunyai kesamaan
yaitu bahwa model atau persamaannya didasarkan pada mekanisme
kerusakan/perubahan yang terjadi (model non-probabilistik). Hal ini sangat
berbeda dengan perubahan organoleptik menggunakan konsep statitika
(model probebilistik)

Heiss dan Eichner (1971) , Rudolph (1986), Labuza (1982), Syarief (1986),
Taoukis et al (1988) dan Mathlouthi (1994), secara terpisah menerapkan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 70


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

model perubahan faktor mutu fisik akibat proses difusi gas uap air ke dalam
produk pangan serta Arpah dan Syarief membandingkan penerapannya pada
biskuit berdasarkan jumlah dan jenis parameter yang digunakan. Sadler
(1978), Robertson (1993) dan Singh (1994) mereview model-model yang
didasarkan pada perubahan faktor mutu kimia, mikrobiologis atau enzimatis
yang biasanya berupa kinetika reaksi kimia, sedangkan penerapannya
dibahas secara detil di dalam Labuza (1983).

Menurut Ross (1985), perumusan penentuan waktu kadaluwarsa


berdasarkan perubahan faktor atau sifat mutu organoleptik belum banyak
dilakukan. Gacula (1975) dan Gacula dan Kubala (1975) mengusulkan
penetapan waktu kadaluwarsa berdasarkan faktor mutu organoleptik dengan
menerapkan Weibull Hazard Analysis.

3.1. Permodelan Berdasarkan Perubahan Fisik


Menurut Taoukis et al. (1988), model ini untuk memperhitungkan pengaruh
kelembaban relatif kondisi penyimpanan. Produk pangan kering yang
disimpan dengan demikian akan mengalami penurunan mutu akibat
penyerapan uap air. Difusi unidireksional uap air dalam keadaan steady
state berdasarkan hukum Fick adalah sebagai berikut (Robertson, 1993)
dq 1 dC
J= x = −D .......pers.9
dt A dt
Dimana dq adalah laju aliran dari gas permean (dalam hal ini adalah uap air),
dC/dt adalah gradien konsentrasi. A = unit luasan pengemas dan J adalah
kuantitas gas atau uap air yang berpenetrasi melalui luasan pengemas A
per satuan waktu tegak lurus bidang pengemas. Apabila difusi berlangsung
dalam keadaan unsteady state dan konsentrasi penetran merupakan fungsi
dari waktu maka berlaku hukum Fick II.

dC d 2C
= −D ..........pers.10
dt dX 2

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 71


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Dimana X = jarak yang ditempuh permean. Robertson (1993) serta Floros


dan Gnanasekharan (1993) menjabarkan alur penurunan persamaan 9 dan
persamaan 10 hingga diperoleh persamaan yang aplikatif yaitu persamaan
17.

Jika pengemas pangan dengan ketebalan l diterapkan pada produk pangan


dan dengan mengasumsikan nilai D tidak dipengaruhi oleh konsentrasi gas
maka persamaan 9 dapat diintegrasi dan diperoleh:

J = −D
(C2 − C1 )
........pers.11
l
Dalam hal ini C1 dan C2 adalah konsentrasi gas pada pengemas sedemikian
sehingga C1 > C2. Menurut hukum Henry konsentrasi gas sama dengan hasil
perkalian koefisien difusi dengan perbedaan tekanan difusi. Oleh karena uap
air mengikuti hukum Henry, maka persamaan 11 dapat dituliskan dalam
bentuk,

J = −D × S
(P2 − P1 )
...........pers.12.
l
Dimana P1 adalah tekanan uap air di dalam pengemas dan P2 = tekanan uap
air diluar pengemas. Dengan mesubtitusikan persamaan 9 ke dalam
persamaan 12 maka kuantitas penetran (q) yang melalui suatu luasan
pengemas (A) setelah waktu (t) dapat diperoleh:

 dt 
( )
A

 
P −P
J =  dq  × 1 = − D × S  2 1
l

 ........pers.13


( A)∫ dq = − D × S P − P l  × dt ..........pers.14.


q2
1 2 1

q1

 P −P 
q = − D.S . A.t. 2 1  ........pers.15.
  l 

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 72


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Pada perssamaan 15 diperoleh besaran baru hasil perkalian koefisien difusi


(D) dengan solubilitas (S) yang disebut koefisien permeabilitas (Robertson,
1993), yaitu:

P = D × S .........pers.16
Dengan mensubtitusikan persamaan 16 ke dalam persamaan 15 diperoleh
persamaan 17 (Robertson, 1993):

 P −P 
q =  P. A.t. 2 1  .........pers.17.
  l 

3.1.1. Model Heiss Dan Eichner (1971)


Model Heiss Dan Eichner adalah salah satu pendekatan yang mula-mula
dikembangkan dari persamaan 17 untuk diterapkan pada produk pangan
kering, dengan bentuk persamaan:
 RH in − RH out   Ws   M − Mi 
t gain = (tan α )×   ×   × 2.203 × log e  pers.18.
 J H 2O   100 × A   Me − Mt 
Asumsi dari persamaan 17 adalah:
1. difusi uap air melalui kemasan berlangsung dalam keadaan steady state
2. pengemas yang digunakan merupakan faktor resistensi utama dari
proses transfer masa uap air
3. kurva sorpsi isothermik produk diketahui
4. laju transfer uap air melalui kemasan sebanding dengan perbedaan
tekanan parsial di dalam dan di luar pengemas

Persamaan 18 memerlukan beberapa parameter (Gambar 11) untuk


menentukan umur simpan (t), yaitu: Mi= kadar air awal produk (basis
kering), Me= adalah kadar air kesetimbangan produk dengan lingkungan, Mt
= kadar air pada waktu (t). JH2O = total penetran uap air pada waktu t, Ws =
berat kering produk, RHin= kelembaban di dalam pengemas dan RH out =
kelembaban di luar pengemas (Floros dan Gnanasekharan, 1993).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 73


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Gambar 11. Parameter untuk menentukan umur simpan model


Heiss Dan Eichner

Persamaan Heiss - Eichner berasal dari persamaan 17:


 P −P 
q =  P. A.t. 2 1 
  l 
Jika permeannya adalah uap air maka kuantitas q dapat diukur dengan
mengukur peningkatan kadar air produk M, dimana:
dM dq 100
= × ......pers.19
dt dt Ws

dM (P − P ) 100
= (P × A) × 2 1 ×
dt l Ws
Oleh karena (P/l) sama dengan JH2O, maka :

dM 100
= ( A)× ( J H 2O )× (P2 − P1 )× .....pers.20.
dt Ws
Dari grafik Gambar 11 ditunjukkan bahwa:

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 74


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

1
(P2 − P1 ) =
(tan α )(RH in − RH out ) .................pers.21.
Subtitusi persamaan 21 ke dalam persamaan 20 diperoleh:

( RH in − RH out )  Ws 
Mt
dM
dt = tan α × × ∫
(J H 2O )  100 × A  Mi (M e − M t )
...pers.21

Integrasi persamaan 21 menghasilkan:


 RH in − RH out   Ws   M − Mi 
t gain = (tan α )×   ×   × 2.203 × log e  ..pers.22
 J H 2O   100 × A   Me − Mt 

Dengan demikian diperoleh persamaan 22 yang sama dengan persamaan


18.

3.1.2. Model Rudolp (1986)


Dengan menggunakan dasar persamaan yang sama dengan Heiss-Eichner
(persamaan 17), Rudolph menurunkan suatu model yang dianggapnya lebih
praktis dan memudahkan pelaksanaan perhitungan umur simpan. Prosedur
Rudolph (1986) diawali dengan membuat grafik (Gambar 12 dan Gambar
13), dengan urutan-urutan pelaksanaan sebagai berikut:

1. mengukur kadar air produk (basis kering) di dalam pengemas dengan


menvariasikan luas permukaannya, pada suartu kondisi lingkungan yang
konstan.
2. membuat grafik dengan memplot data hubungan {(J.A.t/Ws} dengan
kandungan air produk (Gambar 12).
3. membuat grafik berikutnya (Gambar 13) dengan memplotkan nilai kadar
air awal (Mi) dengan kadar air kritis (Mc) pada grafik.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 75


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

4. menghitung umur simpan produk, yaitu waktu hingga produk mencapai


kadar air kritis (Mc), menggunakan persamaan 23.

 Ws 
t gain =   .......pers.23.
 J H 2O × A 
Dimana JH2O adalah total penertran uap air pada waktu (t), Ws= berta kering
produk, A= luas pengemas (Floros, 1993). Persamaan 23 diperoleh dari
persamaan 17, seperti pada persamaan Heiss-Eichner, yaitu sebagai berikut:

 P −P 
q =  P. A.t. 2 1 
  l 
dM dq 100
= ×
dt dt Ws
dM (P − P ) 100
= (P × A) × 2 1 ×
dt l Ws

Gambar 12. Grafik pembantu dalam prosedur Rudolph

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 76


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Gambar 13. Plot {J.A.t/Ws} dengan Mi dan M

Oleh karena (P/l) sama dengan JH2O, maka :

dM 100
= ( A)× ( J H 2O )× (P2 − P1 )×
dt Ws
Jika percobaan dilakukan pada RH konstan, maka:
dM ( A)× (J H 2O )
= ……pers.24.
dt Ws
Ws
dt = × (dM ) …pers.25
( A) × ( J H 2 O )
Ws
t= × (M t ) ….pers.26
( A) × ( J H 2 O )

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 77


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Dengan membuat grafik hubungan t dengan M, seperti diperlihatkan pada


Gambar 12 dan Gambar 13, maka diperoleh:

 Ws 
t gain =  
 J H 2O × A 

persamaan 23 atau persamaan dari Rudolph. Asumsi dari persamaan 23


adalah:
1. difusi uap air melalui kemasan berlangsung dalam keadaan steady state
2. pengemas yang digunakan merupakan faktor resistensi utama dari
proses transfer masa uap air
3. laju transfer uap air melalui kemasan sebanding dengan perbedaan
tekanan parsial di dalam dan di luar pengemas.
4. transfer uap air homogen pada keseluruhan permukaan kemasan

5. kemasan yang digunakan utuh dan tidak memiliki kebocoran.

3.1.3. Model Labuza (1982)


Dari persamaan 17 Labuza (1982) mengkorelasikan total jumlah penetran
uap air (q) dengan berat produk, sehingga diperoleh persamaan dalam
bentuk pers. 27:

 P −P 
q =  P. A.t. 2 1  .....pers.17.
  l 

dWH 2O  k  
=   × A × (P2 − P1 ) ........pers.27.
dt  l  
Persamaan Labuza ini (pers.27) identik dengan persamaan 20 berikut:
dM 100
= ( A)× ( J H 2O )× (P2 − P1 )×
dt Ws
Hanya saja Labuza menggunakan parameter perubahan berat air (dWH2O)
secara langsung, bukan perubahan berat produk (dM). Sehingga WH2O
adalah perubahan berat berdasarkan peningkatan kadar air, k=koefisien

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 78


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

permeabilitas, l = ketebalan pengemas, dan P1 dan P2 adalah tekanan uap air


di dalam dan di luar pengemas (Floros dan Gnanasekharan, 1993;
Mathlouthi, 1994). Dalam persamaan Labuza (k/l) adalah permeabilitas uap
air atau flux uap air yang identik dengan JH2O.
dWH 2O  k  
=   × A × (P2 − P1 )
dt  l  
Tekanan uap air di dalam dan diluar pengemas dapat digantikan dengan:
RH = (P1 P2 )× (100% ) ........pers.28.
Sehingga,
dWH 2O dq   H −H  
= = P × A ×  e  × Po 
dt dt   l ×100  
Jika : (P/l) = (P/X), dimana X adalah ketebalan pengemas, maka:

dq  P   H −H  
=   × A ×  e  × Po atau:
dt  X   100  

dq  P   A × (H e− H )  
=   ×   × Po
dt  X   100  
Oleh karena,
dM dq 100
= ×
dt dt Ws
Maka,

dM  P   A × (H e− H )   100 
=   ×  × 
dt  X   100   Ws 
dM  P   A 
=  ×  × Po × (H e− H ) ....pers.29
dt  X   Ws 
Oleh karena kurva sorpsi isothermis produk kering dapat diasumsikan linear
pada suatu selang RH, maka:

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 79


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

M e = b.H e + a
M t = b.H + a dengan mengurangkan diperoleh:
M e − M t = b × (H e − H )
Atau

(H e − H ) = (M e − M t ) b .....pers.30.

Subtitusikan persamaan 30 ke dalam persamaan 29, diperoleh:


dM  P   A   Po 
=  × ×  × (M e− M t ) .....pers.31.
dt  X   Ws   b 
Dengan mengintegrasikan persamaan 31, diperoleh persamaan umur
simpan Labuza berikut:

  (M e− M i )  
 ln 
  (M − M )  
t gain =  e t 
 ......pers.32
 P 
  ×  A   Po 
× 
  X   Ws   b  
 
Dimana: Po = tekanan parsial uap air jenuh pada temperatur percobaan.
b=slope kurva moisture sorption isothermis pada daerah linear.
(P/X)=karakteristik permeabilitas pengemas. A= luas pengemas dan
Ws=berat kering produk. Persamaan 32 memiliki beberapa asumsi dasar,
yaitu:

1. laju penetrasi uap air berlangsung dalam keadaan steady-state

2. pengemas dengan permeabilitas (P) merupakan faktor resistensi utama


penyerapan uap air pada produk.

3. moisture sorption isothermis dari produk linear pada kisaran tertentu.

4. laju penetrasi uap air sebanding dengan perbedaan tekanan uap air
parsial

5. laju transfer uap air berlangsung homogen

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 80


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

6. pengemas sempurna dan tidak memiliki kebocoran.

3.1.4. Model Waktu Paruh (Syarief 1986)


Metoda waktu paruh memiliki kesamaan dengan metoda Rudolph (1986)
dalam prosedur penentuan umur simpan yang dilakukan yaitu menggunakan
bantuan grafik. Dalam prosedur ini terlebih dahulu didefenisikan waktu paruh
(half value periode) atau HVP, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh kadar air
makanan untuk bergerak separuh jalan antara kadar air awal (Mi) dengan
kadar air yang akan diperoleh bila kesetimbangan dengan kondisi
penyimpanan telah dicapai (Me), atau:

M − Me 
M = i  ..........pers.33
 2 

Dengan menggunakan persamaan 17 yang telah dimodifikasi oleh Labuza


(1982) menjadi persamaan 27, selanjutnya dapat ditunjukkan bahwa:
dWH 2O  k  
=   × A × (PH 2O − in − PH 2O −Out ) )
dt  l  

Selanjutnya, RH = (P1 P2 )× (100% )


dq  P   H −H  
=   × A ×  e  × Po
dt  X   100  
dM dq 100
dan = ×
dt dt Ws
dM  P   A × (H e− H )   100 
=   ×  × 
dt  X   100   Ws 
dM  P   A 
=  ×  × Po × (H e− H )
dt  X   Ws 
subtitusikan persamaan berikut ke dalam persamaan diatas,

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 81


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

(H e − H ) = (M e − M t ) b
dM  P   A   Po 
=  × ×  × (M e− M t )
dt  X   Ws   b 
Mt t
dM  P × A × Po 
∫Mi (M e− M t ) = X × Ws × b .∫ti dt
 (M e− M i )   P × A × Po 
ln  =  . × t
 (M e− M t )   X × Ws × b 
Meskipun dalam hal ini diperoleh persamaan yang sama dengan persamaan
Labuza (persamaan 32) namun cara mengaplikasikannya sedikit berbeda,
dengan kata lain desain percobaan yang diterapkan untuk memperoleh
parameter persamaan seperti nilai b, Me dan Mc dilakukan dengan cara
berbeda. Dengan membuat grafik hubungan ln{(Me–Mi)/(Me–Mt)} dengan
waktu penyimpanan (t) dapat ditunjukkan bahwa:

log 2
HVP = ........pers.34
slope
Oleh karena waktu paruh M adalah:
Mi + Me
M= , maka
2
 
 (Me − Mi ) 
 X × Ws × b   
HPV =  . log
 P × A × Po  (
M − iM − M ) 
 e  e
2 
  

 
 X × Ws × b 
HPV = 
 (M e − M i ) 
. log 
 P × A × Po   2(M e − M i − M e ) 
 2 

 X × Ws × b   (M − M i ) 
HPV =  . log 2 ×  e 
 P × A × Po   (M e − M i ) 

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 82


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

 X × Ws × b 
HPV =  . log 2
 P × A × Po 
Besaran {(P.A.Po)/(Ws.X.b)} merupakan slope dari kurva hubungan
kadar air log {(Me-Mi)/{Me – Mt)} dengan waktu t, dengan demikian akan
diperoleh kembali

log 2
HVP =
slope

Selanjutnya dengan bantuan grafik dapat dikonversikan nilai HVP menjadi


umur simpan (Arpah dan Syarief, 2000).

3.1.5. Pemodelan Berdasarkan Perubahan Oksigen


Transfer oksigen melalui kemasan dapat berpengaruh terhadap berbagai
sifat fisik-kimia pangan dan menyebabkan perubahan mutu. Penyerapan
oksigen atau gas lainnya dapat didekati dengan cara yang sama seperti
penyerapan uap air menggunakan analog dari persamaan 17 dalam bentuk:

 P −P 
q =  P. A.t. 2 1 
  l 
Dimana q = jumlah oksigen yang berdifusi melalui kemasan A setelah waktu
t, P= permeabilitas pengemas terhadap oksigen dan (P2-P1) adalah gradien
tekanan parsial oksigen.

3.2. Pemodelan Berdasarkan Proses Kimia, Mikrobiologis dan Enzimatis


(Labuza, 1982; Robertson, 1993; Singh, 1994).

Menurut Labuza (1982), pemodelan perubahan mutu berdasarkan sifat kimia


(termasuk pertumbuhan mikrobe dan proses enzimatis ) dapat didekati
dengan dua cara, yaitu: pertama dengan pendekatan mekanistik dan kedua
adalah dengan pendekatan semi empirik. Pendekatan mekanistik adalah
pendekatan yang ditekankan kepada mekanisme reaksi, tahap-tahap reaksi

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 83


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

serta pengaruh berbagai komponen terhadap reaksi sedangkan pada


pendekatan semi empirik mekanisme reaksi yang sesungguhnya maupun
tahap-tahapnya tidak menjadi fokus perhatian namun yang ingin diketahui
adalah laju reaksi yang berlangsung atau kinetika reaksi.

Penurunan atau degradasi mutu dalam hal ini dipandang sebagai suatu
reaksi kimia (reaksi deteriorasi) yang dapat dikuantifikasikan mengikuti
kinetika reaksi. Sebagai contoh (Labuza, 1982) menyimpulkan bahwa
oksidasi lipida pada biskuit merupakan suatu reaksi kinetika berordo nol.
Lebih lanjut Labuza (1983) menyatakan bahwa sebagian besar reaksi
deteriorasi pada produk pangan termasuk reaksi kinetika ordo nol dan reaksi
ordo satu. Reaksi degradasi enzimatik pada sayur-sayuran segar, buah-
buahan, makanan beku, adonan dingin dan beku mengikuti ordo nol,
demikian juga dengan reaksi pencoklatan non enzimatik pada produk cereal,
susu bubuk dan makanan bayi. Pertumbuhan mikroba, pembentukan lendir
pada daging segar, ikan dan ayam adalah reaksi ordo satu, demikian juga
kerusakan vitamin pada makanan kaleng dan makanan kering. Kerusakan
protein (protein loss) serta kerusakan zat gizi pada makanan kering juga
berordo satu (Labuza, 1983). Pada Tabel 7 diperlihatkan ordo reaksi
beberapa jenis reaksi deteriorasi.

Pendekatan semi empiris dimulai dengan menganggap bahwa perubahan


kimia produk pangan akan mengikuti pola reaksi (Labuza, 1983; Singh,
1994).

Substrat A Æ Produk intermediat Æ Produk B

Dalam keadaan ini konsetrasi mutlak A maupun B tidak dianalisa akan tetapi
yang diukur adalah perubahan konsentrasi produk intermediate terhadap
waktu. Perubahan konsentrasi ini dianggap proporsional terhadap

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 84


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

penurunan konsentrasi produk A maupun peningkatan konsentrasi produk B


(Singh, 1994).

Tabel 7. Ordo reaksi pada reaksi deteriorasi*)

Jenis Reaksi Ordo Reaksi


Ordo nol Ordo Satu
Degradasi Enzimatik:
Pada:
- sayuran segar Nol
- buah-buahan Nol
- makanan beku Nol
- adonan dingin/beku Nol
Browning Non-
Enzimatis,
Pada Nol
- produk cereal Nol
- susu bubuk
Oksidasi Lipida,
Pada:
- biskuit (snack food) Nol
- makanan kering Nol
- makanan beku Nol
- pada minyak dan Satu
sayuran kering
Pertumbuhan Mikroba,
Pada:
- produk pangan olahan Satu
Off-flavor Karena Mik-
roba/Pembentukan
Lendir Pada:
- daging segar Satu
- ikan Satu
- ayam Satu
Kerusakan Vitamin
Pada:
- makanan kaleng Satu
- makanan kering Satu
Kerusakan Protein (Pro-
tein-Loss)/Kerusakan
Nutritif Pada:
- makanan kering Satu
*).Labuza (1982).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 85


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Perubahan konsentrasi A maupun B tersebut dapat diamati menggunakan


persamaan kinetika reaksi:
dA
= k [A] .......pers. 35
n

dt
dB
= k [B ] .......pers. 36
n

dt
Dimana [A] adalah penurunan konsentrasi A, [B] = peningkatan konsentrasi
B, t= waktu, k= laju reaksi dan n = ordo reaksi.

Persamaan 35 dan 36 diterapkan pada suatu kondisi dimana temperatur, aw


dan intensitas cahaya dibuat konstan (Labuza, 1982). Penerapan
persamaan ini untuk penentuan umur simpan dilakukan dengan menentukan
konsentrasi kritis A atau B sampai dengan titik dimana pengaruhnya terhadap
mutu mencapai tingkat kerusakan yang tidak dapat diterima konsumen
(Singh, 1994).

3.2.1. Reaksi Ordo Nol


Faktor n dalam persamaan 35 dan 36 menunjukkan ordo reaksi. Jika n=0
maka reaksi berlangsung mengikuti ordo nol (pseudo zero order) terhadap
konsentrasi [A] dan persamaan menjadi pengurangan konsentrasi komponen
A konstan terhadap waktu serta tidak dipengaruhi oleh konsetrasi komponen
A itu sendiri. Dengan mengintegrasi terhadap komponen A = Ao hingga A =
A serta t = to sampai t = t maka diperoleh (Labuza, 1982):

dA
− =k
dt
dA = − k .dt
At t

∫ dA = −k ∫ dt
Ao to

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 86


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

A − Ao = −k × t
A = Ao − (k × t )
Apabila konsentrasi Ac adalah batas waktu kadaluwarsa dan Ao adalah
konsentrasi mula-mula, maka persamaan umur simpan untuk reaksi yang
mengikuti ordo nol tersebut adalah:

t=
( Ao − Ac )
......pers.37
k

Plot antara perubahan konsentrasi [A] dengan waktu t untuk reaksi ordo nol
memberikan garis lurus dengan nilai kemiringan (slope)=k (Singh, 1994).
Gambar 14 memperlihatkan grafik reaksi ordo nol yang dicirikan oleh grafik
linear dari hubungan perubahan konsentrasi [A] terhadap waktu, dengan
demikian memiliki nilai slope k yang konstan selama reaksi berlangsung.

Gambar 14. Grafik ordo nol

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 87


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

3.2.2. Reaksi Ordo Satu


Pada proses dteriorasi selama penyimpanan, reaksi-reaksi deteriorasi yang
tidak mengikuti reaksi ordo nol umumnya termasuk reaksi berordo satu
(Labuza, 1983). Untuk n=1 maka:

dA
− = k[ A]
dt
dA
= − k .dt
[ A]
Dengan mengintegrasi terhadap komponen A = Ao hingga A=A serta t = to
sampai t = t maka diperoleh:
At t
dA
∫Ao[ A] = −k to∫ dt
ln( A − Ao ) = −k .t

ln( A) = ln( Ao ) − k .t atau A = Ao × e k ×ts ....pers.38


Persamaan 38 adalah persamaan umur simpajn untuk reaski yang mengikuti
reaksi ordo satu, dimana ts adalah umur simpan produk. Plot antara
perubahan logaritma konsentrasi [A] dengan waktu t untuk reaksi ordo satu
memberikan garis lurus dengan slope = -k (Singh, 1994).

Menurut Labuza (1982) penentuan ordo persamaan dilakukan dengan


melihat kesesuaian data terhadap persamaan tersebut (ordo 0 atau ordo 1).
Lebih lanjut Labuza (1983) mengemukakan kesukaran mungkin terjadi dalam
penentuan ordo reaksi jika penurunan konsentrasi [A] atau [B] berlangsung
lambat sehingga akhir reaksi sukar untuk diperoleh. Sebagai contoh untuk
produk pangan yang dikemas di dalam kaleng dengan umur simpan 2 tahun
pada suhu kamar, maka diperkukan waktu 6 bulan untuk dapat mendeteksi
adanya perubahan mutu yang signifikan (OTA-report, 1979). Perubahan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 88


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

mutu yang cukup besar diperlukan untuk dapat menggolongkan reaksi


tersebut ke dalam ordo nol atau ordo satu. Labuza (1963) menyatakan
apabila penurunan mutu belum mencapai 50% yang ditunjukkan oleh
perubahan salah satu dari konsentrasi reaktan [A] atau [B], maka sedikit
sekali perbedaan yang diperoleh jika digunakan ordo reaksi nol atau ordo
reaksi satu terhadap umur simpan. Pada produk pangan perishable dengan
waktu kadaluwarsa kurang dari 60 hari dan semi perishable dengan waktu
kadaluwarsa 6 bulan, pengamatan dapat dilanjutkan hingga perubahan yang
terjadi cukup besar sehingga reaksi memungkinkan untuk dikelompokkan ke
dalam ordo nol atau ordo satu. Menurut Labuza (1982) untuk mempercepat
terjadinya perubahan konsentrasi reaktan [A] atau [B], maka diterapkan
Accelerated Shelf Life Testing (ASTL).

3.2.3. Reaksi Ordo Dua


Terdapat dua tipe reaksi untuk jenis reaksi ordo dua:
reaksi tipe I:

A + A → Produk
dA
− = k[ A]2 .......pers.39
dt
reaksi type II:

A + B → Produk

dA
− = k[ A] × [ B] ......pers.40
dt
Dimana: [A] = konsentrasi A dan [B] = konsentrasi B. Integrasi untuk type
reaksi I pada konsentrasi A = 0 hingga A = At dan t = 0 sampai t = t
memberikan,

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 89


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

1 1 
 −  = k .t ........pers.41
 A Ao 
Sedangkan integrasi untuk type reaksi II pada konsentrasi A = 0 hingga A =
At serta B = 0 hingga B = Bt dan t = to sampai dengan t = t akan
menghasilkan:

1  (Bo × A) 
ln  = k .t ........pers.42
( A − Bo )  ( Ao − B )

3.3. Pemodelan Berdasarkan Perubahan Organoleptik


Pemodelan yang berdasarkan perubahan fisik dan pemodelan yang
berdasarkan perubahan kimia, seperti telah dibahas sebelumnya, umumnya
menggunakan model matematik yang dirumuskan melalui pendekatan
mekanistik maupun pendekatan semi empirik. Hal ini berbeda dengan
pemodelan berdasarkan perubahan organoleptik yang umumnya
menggunakan uji-uji organoleptik yang didasarkan pada teori-teori statistika.
Oleh karena itu sering dijumpai metoda-metoda yang tidak dapat dijelaskan
landasan teorinya dengan baik. Khususnya dalam hal kesesuaian distribusi
frekuensi yang melandasi uji organoleptik tersebut dengan desain percobaan.

Menurut Van Arsdel (1969) di dalam Robertson (1993), penggunaan uji


organleptik untuk menentukan waktu kadaluwarsa pangan pertama kali
dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) di
California pada periode tahun 1950-an untuk menghitung umur simpan
makanan beku. Metode pendekatan yang digunakan disebut Time-
Temperature-Tolerance Approach, sedangkan hasil penentuan umur
simpannya (shelf-life) disebut High Quality Life (HQL). Dalam
pengembangannya HQL dianggap kurang praktis bagi tujuan pengolahan
dan pemasaran dan diperkenalkan metoda lain yang disebut Practical

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 90


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Shelf Life (PSL) (Robertson, 1993). Selain itu juga dikenal Time of
Minimum Durability (TMD), yang dapat ditetapkan menggunakan uji sensori
(Bili dan Taoukis, 1998). Perlu juga diingat kiranya bahwa sebenarnya TMD
adalah istilah yang digunakan CAC (codex alimentarius commission) yang
menunjuk pada pengertian waktu kadaluwarsa, hal ini telah di bahas pada
bagian pendahuluan atau bab I.

Menurut Bili dan Taoukis (1998), High Quality Life adalah waktu dari sejak
selesai diproduksi hingga dirasakan (dideteksi secara sensori) adanya
perubahan-perubahan yang menyimpang. Practical Shelf-Life adalah
lamanya suatu produk dapat disimpan dimana mutu organoleptiknya tetap
dapat dipertahankan untuk dapat dikonsumsi atau digunakan sebagaimana
yang seharusnya. Sedangkan Time of Minimum Durabiliy adalah waktu
yang diperlukan oleh bahan pangan untuk dapat mempertahankan sifat
khasnya (specific properties) di dalam suatu kondisi penyimpanan tertentu.

Menurut Robertson (1993), Nilai PSL selalu lebih besar dari HQL. Oleh
karena itu ratio dari PSL: HQL digunakan sebagai ukuran akseptabilitas
dan daya awet produk pangan. Ratio PSL : HQL disebut acceptability
factor dan mempunyai kisaran nilai sekitar 2 : 1 hingga 6 : 1 (Robertson
1993). Nilai PSL selalu lebih besar dari HQL karena batas akhir kadaluwarsa
yang menjadi lebih rendah atau lebih besar toleransinya, sehingga ratio PSL :
HQL memberikan gambaran seberapa rendah atau panjang batas akhir yang
dari PSL. Namun perlu diingat bahwa batas akhir kadaluwarsa pada uji
seperti ini sangat tergantung pada panel yang digunakan, karena para panel
tersebut yang memutuskan apakah produk telah kadaluwarsa atau belum.

3.3.1. High Quality Life (HQL)


Penentuan HQL dilakukan menggunakan uji duo-trio atau segi tiga, melalui
penentuan titik Just Noticeable Difference (JND) atau biasa juga disebut

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 91


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

First Noticeable Difference (dikenal juga dengan uji JND). Dalam


pelaksanaannya diperlukan 70% hingga 80% jawaban benar dari panelis
terlatih yang mampu membedakan antara sampel standar (disimpan pada
temperatur - 29oC ) dengan sampel yang disimpan pada temperatur lebih
tinggi lainnya.

Dari deskripsi diatas terlihat bahwa HQL menggunakan pendekatan statistika


berdasarkan uji duo-trio atau segi tiga untuk melihat penurunan mutu produk
beku selama penyimpanan. Hasil studi pustaka menujukkan bahwa
terdapat variasi yang sangat besar terhadap nilai HQL yang telah
dilaporkan. Sebagai contoh nilai HQL untuk ikan beku (disimpan pada
o
suhu - 18 C) berada pada kisaran antara 15 minggu hingga 45 minggu
(Learson, 1986 di dalam Robertson, 1993). Demikian juga terhadap daging,
dilaporkan oleh Bengtsson dkk (1972) bahwa selang kepercayaan 95%
atas nilai HQL daging beku adalah 8 bulan sampai dengan 36 bulan. Namun
demikian nilai HQL dapat menunjukkan pengaruh temperatur terhadap
perubahan mutu produk. Hubungan antara nilai HQL dengan temperatur
menunjukkan suatu hubungan eksponensial, logaritmik dan semi logaritmik.

Variasi yang sangat besar ini disebabkan oleh ketergantungan nilai HQL
pada keputusan individu-individu yang digunakan sebagai panelis. Panelis
yang tinggal di suatu daerah (negara) dapat sangat berbeda dengan panelis
di daerah (negara) lain. Sehingga hasil uji HQL yang dilaporkan sangat
berbeda-berbeda untuk produk yang hampir sama. Meski demikian para
panelis yang berasal dari kelompok yang sama masih cukup konsisten
penilaiannya. Hal ini terbukti dengan kemampuan mereka menunjukkan
pengaruh suhu terhadap umur simpan.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 92


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

3.3.2. Practical Shelf Life (PSL)


PSL ditentukan menggunakan panel konsumen (panel tak terlatih), oleh
karena itu nilainya selalu lebih besar beberapa kali dibandingkan dengan
nilai HQL. Menurut Meilgaard (1991) di dalam Cardelli dan Labuza
(2001), umur simpan secara sensori (PSL) dapat ditentukan berdasarkan
penerimaan konsumen.

Dalam mengukur penerimaan konsumen terhadap sampel yang telah


kadaluwarsa diperlukan sejumlah besar sampel yang sebagian diantaranya
telah disimpan pada berbagai temperatur penyimpanan kemudian secara
serentak bersama-sama dipresentasikan kepada panel konsumen. Dalam
hal ini dapat juga dipergunakan sampel yang diproduksi berdasarkan suatu
deret interval waktu tertentu, namun hal ini akan menyebabkan variasi yang
lebih besar dari respon panelis (Cardelli dan Labuza, 2001).

Dengan demikian HQL maupun PSL adalah dua pendekatan yang dianggap
kurang praktis dan kurang kompatibel dengan masalah pengolahan,
perdagangan produk pangan, teknis pelaksanaan uji dan regulasi penulisan
waktu kadaluwarsa.

3.3.2. Weibull Hazard Analysis (WHA)


Pemodelan perubahan mutu organoleptik menggunakan Weibull Hazard
Analysis (WHA) pada prinsipnya merupakan solusi terhadap berbagai
masalah yang dijumpai dalam penggunaan uji sensori guna penentuan waktu
kadaluwarsa utamanya masalah kesuaian distribusi frekuensi, jumlah sampel
dan panelis. Konsep ideal penetapan waktu kadaluwarsa, mengharuskan
penggunaan sejumlah besar contoh pada awal penelitian, kemudian
mengevaluasi kriteria kadaluwarsanya pada interval waktu tertentu selama
penyimpanan oleh sejumlah besar konsumen/panelis pengguna. Oleh
karena idealisasi ini membutuhkan jumlah sampel dan konsumen yang

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 93


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

sangat besar maka disusun rancangan yang memungkinkan dilakukannya


rasionalisasi pada jumlah sampel dan konsumen, pendekatan ini disebut
staggered sampling (Johnson, 1964).

Konsepsi penerapan Weibull Hazard Analysis pada produk pangan pertama


kali diulas dengan detil oleh Gacula dan Kubala pada 2 paper secara
bersamaan di dalam Journal of Food Science (1975). Sebelumnya, metoda
ini telah diterapkan guna menentukan umur keterandalan material biologis
maupun non-bioloigs. Pada produk non-biologis, misalnya digunakan untuk
menetukan umur suatu mesin atau produk seperti bola lampu dan sekaligus
dapat menentukan peluang untuk tetap berfungsi/menyala dengan baik
setelah mencapai umur tertentu. Sedangkan pada material biologis
digunakan untuk menghitung peluang seorang pasien dapat bertahan hidup
setelah melewati suatu masa krisis, seperti operasi. Metode analisa ini juga
dapat digunakan untuk menghitung umur suatu jaringan kabel listrik, jaringan
komputer, sistem industri dan atau produknya. Gacula dan Kubala (1975)
menyusun suatu teori melalui pendekatan statistik berdasarkan konsep
staggered design yang dapat digunakan untuk menentukan waktu
kadaluwarsa pangan dan mengusulkan tiga bentuk rancangan percobaan
yaitu:
1. partially staggered design
2. staggered design
3. completely staggered design.

Menurut Gacula dan Kubala (1975), ketiga jenis desain tersebut sesuai jika
menggunakan data subyektif (hasil penilaian dengan indra). Lebih lanjut
dikatakan oleh Gacula dan Kubala (1975) pada penerapan partially
staggered design dapat dilakukan pengolahan data menggunakan regresi
sederhana. Sedangkan pengolahan data staggered design dan completely
staggered design dilakukan menggunakan Weibull Hazard Analysis.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 94


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Bagaimanapun, usulan Gacula dan Kubala (1975) yang disertai beberapa


contoh tabel-tabel staggered design tersebut adalah suatu konsepsi teoritis
(ulasan ilmiah) dan bukan merupakan suatu hasil penelitian, kecuali untuk
partially staggered design yang menggunakan data penelitian dengan
jumlah panel konsumen terbatas. Dibandingkan dengan metoda terdahulu,
maka partially staggered design dapat disamakan dengan PSL, kecuali
bahwa panelis konsumen yang digunakan lebih sedikit.

Labuza dan Scmidl (1988) mengembangkan penerapan Weibull Hazard


Analysis dan menyusun prosedur penetapan umur simpan (menggunakan
Weibull Hazard Analysis) berupa tahapan-tahapan yang dapat digunakan
untuk tujuan menganalisis umur simpan produk pangan kemasan.
Pengembangan yang paling prinsipil dalam hal ini adalah dilakukan
penetapan umur simpan produk dengan metode ASLT sebelum dilakukan
analisis data dengan Weibull Hazard Analysis. Tahapan-tahapan yang
disarankan oleh Labuza dan Scmidl (1988) adalah sebagai berikut:
1. waktu studi (yang merupakan waktu kadaluwarsa produk yang akan
diuji) terlebih dahulu ditentukan dengan menggunakan ASLT.
2. waktu kadaluwarsa tersebut dibagi menjadi interval-interval waktu
tertentu yang ditetapkan sebagai waktu pengambilan contoh
(sampling).
3. sampel yang ditarik pada waktu yang telah ditentukan tersebut
kemudian dianalisa baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologi,
dalam hal analisanya menggunakan uji penilaian indra , maka
(sebaiknya) digunakan panelis berjumlah 3 hingga 8 orang ( jumlah
panelis bagaimanapun tidak boleh kurang dari 3 panelis). Jumlah
sampel diberi symbol n.
4. dalam hal dimana digunakan uji penilaian indra, maka digunakan 3
cara pencatatan data:

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 95


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

a. sampel dianalisa secara indrawi dan dinilai dengan memberi tanda (D)
pada form uji berupa : sampel dapat diterima (acceptable) atau tidak
dapat diterima (unacceptable), dalam situasi ini panelis tidak diberikan
standar atau kontrol.
b. pengujian sama dengan diatas, akan tetapi panelis diberikan kontrol
sebagai standar.
c. melakukan skoring pada atribut sampel.
5. bilamana sampel telah terkumpul, suatu konstanta C ditentukan, yang
akan menentukan peningkatan jumlah sampel yang akan ditarik pada
periode penarikan sampel berikutnya. Oleh karena itu, jika n(i) adalah
jumlah sampel yang ditarik pada saat (i), maka sampel yang akan
ditarik pada saat n(i)+1 adalah n(i) + C. Nilai C biasanya secara
arbitrary ditentukan sebesar 1 atau 0.
6. penarikan sampel mengalami percepatan bilamana yang diperoleh
menunjukkan hasil bahwa 50% dari sampel yang dianalisa pada
periode tertentu telah mencapai kriteria tidak dapat diterima.
7. penarikan sampel pada periode berikutnya kemudian dipersingkat
jarak waktu samplingnya, sebagai akibat dari waktu kadaluarsa yang
diuji makin mendekati titik akhir.
8. setelah selesai dianalisa kemudian produk diranking dan ditentukan
nilai hazard dan cumulative hazard serta diplot pada kertas grafik
Weibull.

Dalam aplikasi selanjutnya dijumpai beberapa variasi dalam penggunaan


Weibull Hazard Analysis (Bili dan Taoukis, 1998; Cardeli dan Labuza, 2001;
Duyvesteyn-Shimoni-Labuza, 2001), hal ini utamanya pada:
a. dengan atau tanpa menggunakan uji ASLT untuk menentukan interval
sampling. Jika tidak diterapkan uji ASLT, maka interval sampling
diduga menggunakan parameter kinetik.
b. variasi terhadap jumlah dan jenis panelis (terlatih atau tidak terlatih)

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 96


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

c. variasi terhadap jenis uji organoleptik (serta bentuk form) yang


digunakan: misalnya dengan menggunakan atau tanpa standar, uji
ranking, uji scoring dan sebagainya.
d. pengembangan interpretasi hasil penggunaan Weibull Hazard Analysis
untuk menghasilkan parameter kinetik.

Ciri khas metoda WHA terletak pada pentahapan (staggered) pengembilan


contoh, dimulai dengan sejumlah kecil contoh yang ditarik pada awal analisa
kemudian meningkat pada setiap tahap penarikan berikutnya menyerupai
deret. Pada staggered design dan completely staggered design,
pentahapan sampel memungkinkan keadaan ideal dapat didekati dan
tambahan pula, belakangan ini, dengan dilakukannya variasi dan
perbaikan-perbaikan oleh beberapa peneliti yang telah menerapkannya
pada produk pangan (Labuza dan Schmidl, 1988; Bili dan Taoukis, 1998;
Cardeli dan Labuza, 2001; Duyvesteyn-Shimoni-Labuza, 2001) hasil yang
diperoleh menjadi semakin akurat.

C. Parameter Kinetik Kadaluwarsa Pangan

Proses kinetik adalah ukuran laju perubahan mutu suatu produk pangan
yang dinyatakan dalam jumlah perubahan mutu per satuan waktu (Singh
1994). Pada Gambar 3 dan gambar 5 telah diperlihatkan kurva yang
memberikan gambaran umum tentang parameter kinetik reaksi.
Kegunaannya yang terutama dalam penentuan waktu kadaluwarsa pangan
adalah untuk memperhitungkan jumlah perubahan mutu akibat fluktuasi
temperatur serta untuk mendapatkan parameter kinetika seperti Ea dan Q10
(Labuza 1983)..

Menurut Singh (1994) penggunaan pendekatan kinetik terhadap perubahan


mutu pangan pertama-tama dilakukan oleh Kwolek dan Bookwalter pada

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 97


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

tahun 1971. Penggunaan reaksi kinetika untuk melihat perubahan mutu


pangan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Saguy dan Karel (1980)
dengan bantuan persamaan Arrhenius. Lay dan Heldman (1982) menghitung
energi aktivasi dari perubahan mutu pangan berdasarkan umur simpan
produk pada penyimpanan dengan temperatur yang berbeda. Kemudian,
Labuza (1983) menghubungkan kinetika reaksi dengan ASLT, serta prosedur
untuk menghitung energi aktivasi (Ea) dan Q10. Labuza (1983) juga
melaporkan bahwa sebagian besar produk pangan mengikuti kinetika reaksi
ordo 0 dan ordo 1.

Banyak para peneliti mengungkapkan bahwa parameter kinetik hanya dapat


diturunkan dari persamaan mekanistik dan semi empiris sehingga tidak layak
atau tidak pantas diturunkan dari hasil pengujian umur simpan yang
didasarkan pada uji organoleptik (yang berdasarkan konsep dan teori
statistika). Sebagai contoh, pada penetapan HQL dan PSL (penetapan
waktu kadaluwarsa menggunakan uji organoleptik) meskipun nilai HQL dan
PSL dapat menunjukkan pengaruh temperatur terhadap perubahan mutu
produk seperti yang dilaporkan antara lain oleh Robertson (1993) namun
Singh (1994) mengatakan bahwa hasil pengukuran PSL tidak dapat
digunakan untuk menerangkan laju perubahan mutu, dengan demikian tidak
dapat digunakan untuk mendapatkan parameter kinetik. Meski demikian
sebagian besar peneliti yang melakukan penetapan waktu kadaluwarsa
menggunakan uji sensori dengan metoda WHA melakukan perhitungan dan
melaporkan nilai parameter kinetiknya.

Parameter kinetik mempostulasi bahwa semua perubahan tergantung


temperatur (Bosset 1994), sehingga akan mempunyai nilai Q10 positif (yang
berarti bahwa waktu kadaluwarsa pada temperatur yang lebih rendah akan
selalu lebih lama dibanding pada temperatur yang tinggi). Kenyataan
menunjukkan bahwa pada produk salami yang ditentukan waktu

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 98


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

kadaluwarsanya berdasarkan uji organoleptik memberikan nilai Q10= 1 (yang


berarti bahwa waktu kadaluwarsanya tidak tergantung temperatur
penyimpanan) dan juga pada kasus yang jarang terjadi dimana Q10 bernilai
negatif (yang berarti sebaliknya yaitu makin tinggi temperatur maka waktu
kadaluwarsa lebih lama) ditemukan pada smoked streaky bacon yang
mempunyai waktu kadaluwarsa lebih lama pada temperatur –5oC dibanding
pada temperatur –25 oC (Bosset 1994). Menurut Booset (1985), penentuan
waktu kadaluwarsa berdasarkan uji organoleptik pada produk tersebut tidak
mempertimbangkan pengaruh konsentrasi pengawet (garam, nitrat dan nitrit)
terhadap proses ketengikan yang dapat mengimbangi pengaruh perubahan
temperatur.

Penerapan WHA dan ASLT dengan demikian memerlukan produk yang


memiliki Q10 yang positif dan energi aktivasi hasil pengukuran uji organoleptik
seharusnya sama dengan energi aktivasi hasil pengukuran instrumentatif.
Bili dan Taoukis (1998) menerapkan prosedur WHA dengan uji organoleptik
dan secara paralel melakukan penetapan waktu kadaluwarsa berdasarkan
reaksi kinetika dengan data perubahan sifat kimia pada produk DFP, dari
kedua hasil penetapan waktu kadaluwarsa tersebut diperoleh energi aktivasi
yang sama. Duyvesteyn dan Shimoni (2001) juga membandingkan Ea hasil
penetapan waktu kadaluwarsa berdasarkan prosedur WHA dengan kinetika
reaksi berdasarkan pertumbuhan mikroba pada susu pasteurisasi dan
memperoleh nilai Q10 yang positif.

Pada produk mayonnaise dari minyak jagung, perubahan bilangan TBA


dilaporkan meningkat selama penyimpanan pada 5oC (Khalil dan Mansour
1998). Taoukis et al. (1999) yang menetapkan waktu kadaluwarsa salad
tradisional Yunani yang terbuat dari campuran sayuran dan mayonnaise
dengan prosedur WHA menggunakan uji organoleptik melaporkan waktu

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 99


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

kadaluwarsa sebesar 58 hari pada temperatur 7oC dan 44 hari pada 15oC,
yang berarti bahwa nilai Q10 dari produk tersebut positif.

Duyvensteyn et al. (2001) menghitung Ea susu pasteurisasi dengan prosedur


WHA dan ASLT dan melaporkan nilai sebesar 20.2 kkal/mol (Ea perubahan
mutu organoleptik), Ea berdasarkan lag-times total aerobic count sebesar
14.4 kkal/mol dan Ea berdasarkan lag-times psychrotrophic bacteria sebesar
33.2 kkal/mol. Menurut Duyvensteyn et al. (2001) bagaimanapun Ea mutu
organoleptik (=20.2 kkal/mol) tersebut tidak berbeda secara nyata pada
p<0.01 dengan Ea lag-times total aerobic count (=14.4 kkal/mol) dan
menyimpulkan bahwa perubahan mutu organoleptik sama dengan perubahan
yang disebabkan oleh total aerobic count.

1. Energi Aktivasi (Ea)


Dalam mengkuantifikasi pengaruh temperatur terhadap kinetika proses
kadaluwarsa guna mendapatkan energi aktivasi reaksi dapat dilakukan 2
jenis pendekatan, pertama pendekatan model Arrhenius dan kedua
pendekatan model Liniar (Labuza 1986). Pendekatan Arrhenius dilakukan
dengan jalan menunjukkan ketergantungan konstanta laju reaksi terhadap
temperatur dalam kisaran temperatur yang cukup lebar. Pendekatan model
liniar dilakukan bilamana tidak tersedia cukup data untuk kisaran temperatur
yang besar atau bilamana pengaruh temperatur hanya akan dilihat pada
suatu kisaran yang sempit (yaitu sekitar 20oC). Pendekatan linear juga
digunakan untuk menghitung energi aktivasi hasil perhitungan umur simpan
yang menerapkan metoda organoleptik.

Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi


terhadap temperatur yang dirumuskan sebagai berikut (Labuza 1983),

[(
ln k = ln ko − Ea
RT
)• (1 RT )]….pers.43

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 100


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Dimana: ko= konstanta pre-eksponensial atau konstanta laju absolut, k=


konstanta laju reaksi pada temperatur T, Ea = Energi aktivasi (J/mol), R=
konstanta gas ideal (1.987 kal.K-1 mol –1) dan T= suhu absolut (oK).

Energi aktivasi dari beberapa reaksi kimia dapat dikelompokkan ke dalam 3


golongan yaitu golongan reaksi yang energi aktivasinya rendah (2 – 15
kkal/mol), diantaranya reaksi-reaksi kerusakan pigmen karotenoid, klorofil
dan reaksi oksidasi asam lemak. Kedua, golongan reaksi dengan energi
aktivasi sedang (15 – 30 kkal/mol) meliputi: kerusakan vitamin, kerusakan
pigmen larut air pada umumnya serta reaksi Maillard, ketiga golongan reaksi
dengan Ea tinggi (50 – 100 kkal/mol) meliputi reaksi denaturasi enzim,
inaktivasi mikroorganisme dan inaktivasi spora mikroba (Sadler 1987).

Reaksi-reaksi yang melibatkan lemak mempunyai energi aktivasi yang


rendah, hal ini disebabkan oleh karena adanya radikal bebas yang reaktif
dalam mekanisme oksidasi lipid. Disamping itu oksidasi lipida juga dapat
dikatalisis oleh logam, bagaimanapun reaksi-reaksi ini tidak dapat
berlangsung pada suhu yang sangat rendah (Sadler 1987). Ea beberapa
jenis reaksi deteriorasi yang biasanya digunakan sebagai indikator
kadaluwarsa pangan diperlihatkan pada Tabel 8.

Menurut Rosenfeld (1984) persamaan Arrhenius, dalam penggunaannya


untuk menetapkan parameter kinetika umur simpan, menggunakan asumsi:
1. hanya ada satu jenis reaksi yang dihubungkan dengan penurunan mutu
produk, asumsi pertama ini berkepentingan dalam hal melihat pengaruh
temperatur karena bilamana temperatur meningkat, maka reaksi-reaksi
yang memiliki energi aktivasi lebih tinggi dari reaksi yang diamati dapat
mulai berlangsung dan mempengaruhi mutu produk
2. tidak terjadi perubahan fase selama reaksi berlangsung sehingga tidak
mempengaruhi konsentrasi reaktan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 101


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

Tabel 8. Beberapa energi aktivasi dari reaksi/proses yang


berhubungan dengan penurunan mutu

Jenis Reaksi Ea (Energi Aktivasi)


(kkal/mol)
Proses difusi 12.0
Kerusakan tiamin 27.0
Kerusakan riboflavin 23.0
Kerusakan asam pantotenat 21.0
Kerusakan asam askorbat 23.1
Kerusakan asam nikotinat 26.0
Kerusakan vitamin B12 23.1
Kerusakan asam folat 14.6
Kerusakan vitamin A 14.6
Reaksi Maillard 27.0
Kerusakan lisin 30.0
*) Sadler (1987).

Tabel 9. Penggolongan jenis-jenis reaksi berdasarkan


besaran energi aktivasinya (Ea)*

Golongan Jenis Reaksi

-proses difusi
Energi Aktivasi Rendah -reaksi-reaksi enzymatic
( 2 – 15 K.kalori/mol) -kerusakan pigmen karotenoid
-kerusakan pigmen klorofil
-reaksi oksidasi lemak

Energi Aktivasi Sedang -kerusakan vitamin


(15 – 30 K.kalori/mol) -kerusakan pigmen-pigmen larut air
-reaksi Maillard

Energi Aktivasi Tinggi -inaktivasi enzym


(50 – 100 K.kalori/mol) -inaktivasi mikroba dan spora
*).Sadler (1987).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 102


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

3. pengaruh fase lain, misalnya jika terjadi proses partisi dari komponen
reaktan ke dalam fase minyak atau lemak tidak dipengaruhi temperatur.
4. tidak ada pengaruh pengolahan dan penanganan terhadap reaksi, dalam
hal ini, bagaimanapun proses pengolahan apabila produk disimpan pada
temperatur yang memungkinkan untuk terjadinya reaksi, maka reaksi akan
berlangsung.

Energi aktivasi yang menunjukkan perubahan mutu organoleptik belum


banyak dilaporkan, beberapa diantaranya yang dapat ditemukan dalam
literatur antara lain: energi aktivasi perubahan mutu organoleptik susu
pasteurisasi sebesar 14.4 kkal/mol (Duyvestein et al. 2001), energi aktivasi
perubahan mutu organoleptik kopi instan sebesar 13 kkal/mol (Cardelli dan
Labuza 2001), energi aktivasi perubahan mutu organoleptik salad tradisonal
Yunani (campuran sayuran dengan mayonnaise) sebesar 21 kJ/mol (Bili et al.
1999) dan energi aktivasi perubahan mutu organoleptik DFP sebesar 15.1
kkal/mol (Bili dan Taoukis 1998).

Semua penelitian ini dilakukan menggunakan prosedur WHA dengan uji


organoleptik untuk penetapan waktu kadaluwarsa akan tetapi tidak ada
keterangan cara memperoleh nilai Ea misalnya tidak dijelaskan apakah
menggunakan pendekatan model liniar atau dengan perhitungan Q10. Plot
Arrhenius untuk mendapatkan nilai Ea diperlihatkan pada Gambar 15.

Pendekatan yang kedua terhadap pengaruh temperatur dilakukan dengan


menggunakan model liniar. Pendekatan ini khususnya sangat penting jika
hanya tersedia data yang jumlahnya terbatas (Labuza 1983; Rosenfield 1984;
Robertson 1993). Persamaan pendekatan model liniar adalah:

ts = to.e− bt . …..pers.44

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 103


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

0
0,0031 0,0032 0,0033 0,0034 0,0035 0,0036
-2
-4
ln k -6
-8
-10
1
/T ( oK)

Gambar 15. Plot Arrhenius

T= temperatur(oC atau oK); ts= umur simpan pada T (oC atau oK), tergantung
pada skala yang digunakan; b= slope dari hubungan ln ts dengan T.

Menurut Rosenfield (1984), pendekatan model liniar diterapkan dengan


menggunakan asumsi-asumsi:
1. hanya satu jenis reaksi yang dihubungkan dengan penurunan mutu
produk dan tidak ada perubahan fisik yang berlangsung pada produk
dalam kisaran temperatur yang digunakan.
2. urutan paparan pada temperatur tidak berpengaruh terhadap reaksi.yaitu
reaksi akan berlangsung pada semua temperatur yang digunakan secara
proporsional.
3. tidak ada akses lain akibat fluktuasi temperatur kecuali perubahan nilai
konstanta laju reaksi yaitu tidak ada reaksi lain yang mungkin terjadi
akibat perubahan temperatur yang dapat memberikan dampak lebih besar
dari pada reaksi yang diukur.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 104


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

2. Nilai Q10
Pendekatan liniar menghasilkan nilai slope b dari hubungan antara umur
simpan ts dengan temperatur T. Nilai b adalah (Sadler 1987):
ln Q
b= 10

10
Dimana Q10 adalah besaran yang digunakan untuk menunjukkan pengaruh
temperatur. Nilai Q10 didefenisikan sebagai petunjuk besarnya pengaruh
perubahan suatu reaksi pada temperatur T2 dibanding dengan reaksi pada
temperatur T1, dimana T2- T1=10oC (Singh 1994).

Dengan demikian, hubungan antara umur simpan dengan nilai k berbanding


terbalik (Robertson 1993), yaitu:
kT + 10 tsT
Q10 = =
kT tsT + 10
Dimana: ts T = umur simpan pada temperatur ToC; ts T + 10 = umur simpan
o
pada temperatur (T + 10) C. Menururt Robertson (1993), jika digunakan
model Arrhenius, nilai Q10 dapat dicari menggunakan persamaan:

ln Q10 = (10 Ea RT2 )

Sedangkan jika digunakan model liniar,

ln Q10 = 10b
atau

Q10 = e10b

Dengan demikian, nilai Q10 tidak konstan akan tetapi tergantung pada nilai Ea
(Energi aktivasi) dan temperatur. Sedangkan nilai Ea berdasarkan defenisi
bersifat konstan terhadap temperatur.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 105


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

D. Percobaan Ross et al. (1985)

Percobaan Ross et al. (1985) patut dicatat dan dipelajari pengalamannya


dalam rangka pengembangan penggunaan model penentuan waktu
kadaluwarsa berdasarkan penilaian organoleptik. Menurut Ross et al. (1985)
penentuan waktu kadaluwarsa menggunakan uji organoleptik belum banyak
dikembangkan (pada saat itu), khususnya terhadap produk yang tidak
dibekukan namun diproduksi untuk tujuan penyimpanan yang lama. Ross
(1985) melakukan analisis waktu kadaluwarsa terhadap 52 jenis ransum
militer AS, yang meliputi snack, berbagai jenis minuman, makanan utama,
daging, berbagai jenis desert, buah-buahan maupun sayuran. Penelitian
dilakukan di Army Nattick Research and Development Center,
Massachusets.

Produk ransum militer disimpan pada suhu 4oC, 21 oC, 30 oC dan 38 oC,
kemudian dilakukan sampling berdasarkan interval waktu seperti pada Tabel
10.
Tabel 10. Suhu dan interval sampling yang diterapkan Ross et al. (1985)
Suhu Waktu pengambilan contoh (bulan)
4oC 0 - 12 - - 30 36 48 60 108 - -
21 oC 0 - 12 18 24 30 36 48 60 - - 120
30 oC 0 6 12 18 24 30 36 - - - - -
o
38 C 0 6 12 18 24 - - - - 115 -

Pengujian dilakukan pada suhu kamar oleh 36 panelis tidak terlatih yang
dipilih secara acak dari sukarelawan militer maupun sipil. Panelis diminta
memberi skor hedonik antara 1 (tidak suka) sampai 9 (sangat suka).
Pengujian dilakukan 2 kali sehari yaitu makan pagi dan makan siang, setiap
panelis diberi 1 porsi makanan lengkap (terdiri dari 4 sampai 6 jenis) dan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 106


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

tidak ada panelis yang digunakan 2 kali sehari. Pada setiap sesi pengujian
panelis diminta mengevaluasi keseluruhan jenis yang disajikan dalam satu
porsi. Pada setiap periode penarikan sampel dengan demikian dilaksanakan
sebanyak 48 sesi atau 12 sesi untuk tiap-tiap temperatur dan pengujian
berlangsung selama 5 minggu atau 1.25 bulan. Oleh karena interval
penarikan sampel yang terkecil adalah 6 bulan, maka periode analisis yang
hanya 5 minggu dapat diabaikan. Analisis dilakukan dengan
membandingkan hasil analisis pada masing-masing periode pengambilan
contoh menggunakan empat alat bantu statistik yaitu regresi liniar sederhana,
regresi non-liniar, prosedur logit dan tabel kontingensi (contingency table).
Penyajian data juga disertai dengan rata-rata skor.

Menurut Ross (1985) beberapa hal yang perlu didiskusikan dari hasil
penelitian ini antara lain: penggunaan skala hedonik, penetapan batas
kadaluwarsa yang ekivalen dengan skor 5 serta alat analisa statistik yang
diterapkan, selain itu skala hedonik diterapkan karena tidak mungkin
menggunakan standar atau mempertahankan kestabilan standar akibat
lamanya interval pengambilan contoh, penetapan nilai skor 5 karena pada
skala hedonik hal itu berarti neither like nor dislike sedangkan penggunaan
keempat prosedur analisa disebabkan landasan asumsinya yang berbeda-
beda.

Dalam paper ini (Ross 1985) tidak ada penjelasan mengenai cara penetapan
interval pengambilan sampel seperti yang diperlihatkan pada tabulasi diatas,
demikian juga mengenai tidak dilakukannya penarikan sampel pada
perlakuan temperatur tertentu pada semua periode kecuali pada bulan ke
12.

Interval waktu yang diterapkan pada tiap-tiap periode pengambilan contoh


yaitu : 0 , 6, 12, 18, 24, 30, 36, 48, 60 , 108, 114 dan 120 bulan pada

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 107


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

masing-masing temperatur 4oC, 21 oC, 30 oC, 38 oC, adalah sama. Pada


kenyataannya kecepatan perubahan mutu pada masing-masing produk
berbeda akibat perbedaan temperatur penyimpanan, sehingga interval
pengambilan contoh harus disesuaikan dengan kecepatan penurunan mutu
pada tiap-tiap temperatur yang digunakan. Menurut Labuza (1983) makin
tinggi temperatur makin kecil interval pengembilan contoh, karena kecepatan
perubahan mutu semakin besar. Bahkan pada percobaan Accelerated Shelf-
life testing yang diterapkan pada produk beku dimana temperatur produk
disimpan pada temperatur antara –30oC hingga –20 oC dan dibandingkan
dengan standar yang disimpan pada temperatur –40 oC masih dapat teramati
perbedaan kecepatan perubahan mutu pada masing-masing temperatur
(Symons 1994).

Laporan mengenai pengaruh temperatur terhadap perubahan mutu produk


cukup banyak tersedia (Singh 1994). Sebelum konsep Accelerated shelf-life
testing dianjurkan secara luas penerapannya untuk penetapan waktu
kadaluwarsa pada tahun 1979 (OTA-Report 1979), Hicks (1944) diacu dalam
Singh (1994) telah melaporkan bahwa perubahan mutu produk pangan
terhadap temperatur penyimpanan mempunyai hubungan eksponensial.
Hicks (1944) juga membuat tetapan untuk dapat mengkonversi faktor
perubahan mutu dari suatu produk yang mengalami fluktuasi temperatur
diurnal dan sinusoidal sehingga dapat dikonversikan jumlah ekuivalen
perubahannya dengan penyimpanan pada temperatur konstan.

Dalam hal jumlah penarikan sampel, Gacula (1975) serta Gacula dan
Kubala (1975) telah mendeskripsikan prosedur Weibull Hazard Analysis yang
memberikan beberapa alternatif desain dan tehnik pengambilan contoh
beserta jumlah contoh yang ditarik. Kelemahan yang dijumpai dalam
penelitian Ross (1985) kemudian diperbaiki oleh Labuza (1988) dengan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 108


Pemodelan Waktu Kadaluwarsa

merealisasikan penggunaan WHA dalam penentuan waktu kadaluwarsa


menggunakan uji organoleptik.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 109


Permeabilitas Kemasan

BAB V:
PERMEABILITAS KEMASAN

A. Karakteristik Kemasan

Kemasan memegang peranan penting dalam pengawetan suatu produk


pangan. Adanya wadah atau pembungkus dapat mencegah atau mengurangi
kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melindungi dari
bahaya pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran).
Menurut Buckle et al. (1987), bahan kemas baik bahan logam, maupun
bahan lain seperti bermacam-macam plastik, gelas, kertas dan karton
seharusnya mempunyai enam fungsi utama yaitu: (a) menjaga produk
pangan tetap bersih, (b) melindungi makanan terhadap kerusakan fisik,
perubahan kadar air dan penyinaran, (c) mempunyai fungsi yang baik, efisien
dan ekonomis, (d) memberikan kemudahan dalam membuka, menutup,
mencetak serta menangani distribusi, (e) mempunyai ukuran, bentuk dan
bobot yang sesuai dengan standar yang ada dan (f) menampakan
identifikasi, informasi dan penampilan yang jelas.

Dalam menentukan fungsi kemasan sebagai pelindung, maka perlu


dipertimbangkan faktor-faktor utama yang mempengaruhi daya awet bahan
pangan yang telah dikemas meliputi : (1) sifat alamiah dari bahan pangan
dan mekanisme dimana bahan ini mengalami kerusakan, misalnya
kepekaannya terhadap kelembaban dan oksigen, dan kemungkinan
terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik di dalam bahan pangan, (2)
ukuran bahan pengemas sehubungan dengan volumenya, (3) kondisi
atmosfer (terutama suhu dan kelembaban udara), dan (4) ketahanan bahan
pengemas secara keseluruhan terhadap air, gas, penutupan dan lipatan
(Buckle et al. , 1987).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 110


Permeabilitas Kemasan

Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya


terhadap lingkungan. Untuk bahan pangan yang bersifat higroskopis, faktor
suhu dan kelembaban sangat penting. Dengan demikian, produk pangan
kering yang bersifat higroskopis harus dilindungi terhadap masuknya uap air.
Umumnya produk pangan kering mempunyai kadar air rendah sehingga
harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai daya tembus atau
permeabilitas uap air yang rendah untuk menghambat penurunan mutu
produk seperti menjadi tidak renyah (Buckle et al., 1987).

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan, maka diperlukan adanya


peningkatan dari nilai guna suatu kemasan sehingga dengan bantuan
teknologi manusia berhasil membuat suatu kemasan sintetik, salah satunya
berbasis bahan plastik. Kelebihan plastik tipis yang fleksibel dari kemasan
lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk dalam
berbagai rupa, dan mengurangi biaya transportasi (Eskin dan Robinson,
2001).

Sebagai bahan pembungkus kemasan, plastik dapat digunakan dalam bentuk


tunggal, komposit atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain (kertas
atau alufo). Kombinasi antara berbagai kemasan plastik berbeda atau plastik
dengan kemasan non plastik (kertas, aluminium foil dan sellulosa) yang
diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi maupun laiminasi adhesif
disebut sebagai kemasan laminasi (Robertson, 1993). Kemasan laiminasi
yang digunakan di industri-ndustri pangan saat ini tidak hanya kombinasi
antara berbagai macam plastik saja melainkan kombinasi antara berbagai
plastik dengan aluminium yang disebut dengan metallized plastic.
Penggunaan kemasan ini sesuai untuk mengemas kopi, makanan kering,
keju dan roti panggang ketahanan terhadap uap air dan gas meningkat serta
tidak meneruskan cahaya dan menghambat masuknya oksigen (Brown,
1992).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 111


Permeabilitas Kemasan

B. Permeansi Uap Air

Permeabilitas merupakan transfer molekul melalui kemasan baik dari produk


ke lingkungan maupun dari lingkungan ke produk. Untuk menghambat
kerusakan mutu produk pangan kering, permeabilitas kemasan fleksibel
ditekankan pada permeabilitas uap air karena penyerapan uap air dapat
menurunkan mutu produk pangan kering seperti menurunnya tingkat
kerenyahan (Eskin dan Robinson, 2001).

Tansfer uap air melalui material polimer kemasan dilakukan dengan dua
mekanisme yaitu difusi kapiler dan difusi aktif. Pada difusi kapiler, transfer
uap air dilakukan melalui pori-pori kemasan atau pori-pori mikroskopik yang
berbentuk kristal dan amorphous yang menyebabkan terjadinya difusi gas.
Sedangkan difusi aktif adalah proses solubilitas dan difusi dimana uap air
terlarut atau melebur pada permukaan polimer, lalu dengan adanya
perbedaan tekanan maka terjadi difusi melalui polimer, selanjutnya uap air
akan mengalir dan mengalami evaporasi ke sisi yang berlawanan (Eskin dan
Robinson, 2001).

Difusi aktif merupakan mekanisme tansfer uap air utama untuk kemasan
multi-layer. Transfer massanya berdasarkan tiga langkah proses yaitu
adsorpsi, difusi dan desorpsi. Adsorpsi dan desorpsi ditentukan oleh
kelarutan dari molekul uap air dalam molekul polimer. Sedangkan proses
difusi merupakan tranfer massa berupa pergerakan acak molekul sebagai
akibat perbedaan tekanan atau konsentrasi (Eskin dan Robinson, 2001).

Salah satu sifat perlindungan kemasan terhadap uap air yang diperlukan
dalam penentuan umur simpan Labuza adalah permeansi. Menurut Krochta,
Baldwin, dan Carriedo (1994), permeansi uap air menunjukkan permeabilitas

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 112


Permeabilitas Kemasan

uap air sederhana yang mengabaikan ketebalan keamasan. Permeansi uap


air tepat sebagai pelindung terhadap transfer massa (uap air) yang sering
digunakan pada kemasan laminasi heterogen yang mengabaikan faktor
ketebalan kemasan.

Menurut Krotcha, Baldwin, dan Carriedo (1994), permeansi (k/x) uap air
diperoleh dari nilai WVTR (Water Vapor Tranmission Rate) dibagi dengan
perbedaan tekanan uap air yang melintasi kemasan (P1-P2) seperti pada
persamaan 1.

k WVTR
Permeansi ( ) = .........pers.45
x P1 − P 2

Sementara itu, WVTR merupakan kemiringan kurva hubungan jumlah uap air
terserap terhadap waktu dibagi dengan luas permukaan sehingga dengan
memasukan persamaan WVTR, maka dapat diperoleh persamaan permeansi
uap air seperti terlihat pada persamaan 46.

n
k t
Permeansi ( ) = ...............46
x A( P1 − P 2 )
Keterangan :
k/x = permeansi (gram/hari/m2/ mmHg )
n/t = jumlah uap air terserap per hari (gram H20/hari)
A = luas permukaan (m2)
P1 = tekanan dalam kemasan (mmHg)
P2 = tekanan luar pengemas (mmHg)

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 113


Permeabilitas Kemasan

Gambar 16. Plastik film untuk pengemasan pangan

Gambar 17. Plastik film melindungi produk dari


lingkungan pencemar

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 114


Permeabilitas Kemasan

1. Metode Pengukuran Permeabilitas (Moyls, 1998)


Berdasarkan ASTM D895-79 (whole bag desiccant method), desikan (silika
gel) pertama-tama dikeringkan dalam oven 105 °C selama tiga jam,
kemudian didinginkan dalam desikator. Silika gel kemudian dimasukkan ke
dalam kemasan plastik yang telah diketahui luasnya lalu di-seal
menggunakan foot sealer. Selanjutnya disimpan dalam inkubator bersuhu 38
°C dan mempunyai RH 90%. Kemudian ditimbang setiap hari selama 14 hari
sehingga dapat diperoleh slope yang merupakan jumlah air terserap per hari
dari kurva hubungan bobot dangan waktu (hari). Selanjutnya nilai permeansi
uap air kemasan (k/x) dapat dihitung menggunakan persamaan 46.

Contoh:
Pengukuran permeansi (k/x) uap air pada kemasan tipe OPP20/VMOPP20
dilakukan pada perlakuan luas permukaan sebesar 0,05 m2, suhu 37 °C
dengan RH 87%. Selama 14 hari dilakukan penimbangan bobot sampel
desikan (silika gel) sehingga bisa diperoleh hubungan bobot sampel dengan
hari pengamatan, seperti terlihat sebagai berikut:

Waktu Bobot (gram)


(hari)
a b
0 22,7156 22,7281
3 22,734 22,7471
4 22,7376 22,7508
5 22,744 22,7564
10 22,7702 22,7839
11 22,7763 22,7917
12 22,7809 22,7972
13 22,7878 22,8033
14 22,7943 22,8098

Dengan meregresikan data tersebut, maka diperoleh persamaan garis


hubungan anatara hari pengamatan dengan bobot. Dari slope persamaan
tersebut diperoleh nilai n/t.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 115


Permeabilitas Kemasan

22.82
y = 0.0058x + 22.728
22.8 2
R = 0.9988
22.78
Bobot
22.76
22.74 y = 0.0055x + 22.716
R2 = 0.999
22.72
22.7
0 2 4 6 8 10 12 14 16

Hari Pengamatan
a b Linear (a) Linear (b)

Gambar 18. Kurva hubungan bobot sample dengan waktu

Berdasarkan Gambar 18 (hasil regresi data hasil pengukuran) maka dapat


diketahui bahwa jumlah uap air terserap per hari untuk sampel a dan b
yaitu 0,0055 dan 0,0058 gram hari. Sementara itu, persamaan permeansi
uap air dapat dilihat di bawah ini :

k n t
=
x A ( RH out − RH in ) Po
Dengan menggunakan data yang tersedia yaitu n/t (jumlah uap air terserap
per hari) untuk sampel a dan b 0,0055 dan 0,0058 gram/hari, luas
permukaan (0,05 m2),RH luar kemasan sebesar 87% dan RH dalam
kemasan (silika gel) sebesar 0% dan tekanan uap air jenuh pada suhu 37 °C
maka dapat ditentukan permeansi uap air dengan menggunakan persamaan
permeansi uap air sehingga dihasilkan rata-rata untuk kedua sampel sebesar
0,003 gram/hari/m2/mmHg. Perhatikan perbedaan satuan antara WVTR atau
n/t (gram/hari/m2) dengan permeansi atau permeabilitas (k/x) yang
satuannya adalah gram/hari/m2/mmHg

Perlakuan variasi bobot desikan dengan luas pengemas yang tetap (konstan
=0.04 m2) dapat dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap jumlah air

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 116


Permeabilitas Kemasan

terserap dan nilai permeansi yang diperoleh seperti contoh hasil perhitungan
berikut ini:

Bobot
Desikan Σ.air/hari A Σ.air/hari B Rata-rata permeansi
(gram) (g/hari) (g/hari) (g/hari) (g/h/m2/mmHg)
5 0,0031 0,003 0,00305 0,00202
10 0,0032 0,0033 0,00325 0,00216
15 0,0034 0,0039 0,0034 0,00226
40 0,0033 0,0037 0,0035 0,00232
60 0,0033 0,0038 0,00355 0,00236
80 0,0035 0,0037 0,0036 0,00239
100 0,0039 0,0036 0,00375 0,00249

Perlakuan variasi suhu lingkungan pengemas dilakukan masing-masing pada


suhu 31°C, 37°C dan 49°C untuk melihat pengaruh suhu terhadap
permeansi memberikan hasil sebagai berikut:
Suhu Σ.air/hari A Σ.air/hari B Rata-rata
(°K(°C)) (g/hari) (g/hari) (Σ.air/hari)
322(49) 0,0079 0,006 0,00695
310(37) 0,0026 0,0021 0,00235
304(31) 0,0016 0,0015 0,00155
Suhu Ulangan 1 k/x Ulangan 2 k/x Rata-rata
K(°C) g/H/m2/mmHG g/H/m2/mmHG permeansi
322(49) 0,0051 0,0039 0,0045
310(37) 0,0031 0,0026 0,0029
304(31) 0,0026 0,0025 0,0026

Perlakuan variasi RH luar lingkungan pengemas dilakukan masing-masing


pada RH yaitu 13, 46, 67, 81, dan 93% untuk melihat pengaruhnya terhadap
permeansi memberikan hasil sebagai berikut:
Kelembaban udara Permeansi
(%) (g/h/m2/mmHg)
13 0,0021
46 0,0034
67 0,0045
81 0,0048
93 0,0095

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 117


Permeabilitas Kemasan

Pengaruh jenis pengemas diperlihatkan berikut ini:


Jenis kemasan permeansi uap air (gr/hari/m2 /mmHg)
Aluminium foil 0,0000293
OPP20/VMOPP20 0,0029
OPP20/PP20 0,084

Menurut Syarief, Santausa, dan Isyana (1988), kemasan aluminium tersusun


dari bahan logam yang hermetis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya
sehingga memiliki sifat proteksi yang tinggi terhadap uap air, cahaya, lemak
dan gas. Semetara itu, bahan penyusun dari kemasan OPP20/VMOPP20
yang diuji adalah oriented polypropilen 20 mikron yang dilaminasi dengan
vaccum metallized oriented polypropilen 20 mikron sedangkan kemasan
OPP20/PP20 terdiri dari oriented polypropilen 20 mikron yang diekstrusi
dengan polypropilen 20 mikron. Menurut Manley (1998), plastik polipropilen
(PP) merupakan plastik yang baik sebagai barrier terhadap uap air pada
produk biskuit karena lebih kaku, ringan, permeabilitas uap air yang rendah
dan tahan terhadap suhu tinggi. Untuk memperbaiki sifat dari polipropilen
maka dimodifikasi menjadi menjadi OPP jika dalam proses pembuatannya
ditarik dalam satu arah. Menurut Brown (1992), plastik OPP mempunyai daya
resistensi tiga kali lipat dibandingkan plastik PP terhadap transmisi uap air.
Untuk meningkatkan fungsinya, plastik OPP dapat dilaminasi dengan
kemasan lain salah satunya dengan bahan logam yang disebut kemasan
metalized dimana kemasan metalized dapat dibuat secara vakum yaitu
pembentukan lembaran tipis aluminium pada kondisi yang sangat vakum,
seperti pada VMOPP20 (Syarief, Santausa, dan Isyana ,1988). Tujuanya
adalah agar ketahanan terhadap uap air dan gas meningkat, sehingga dari
hasil pengujian terlihat bahwa kemasan metalized (OPP20/VMOPP20) lebih
rendah nilai permeansi uap airnya dibandingkan dengan kemasan laminasi
non logam seperti OPP20/PP20.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 118


Permeabilitas Kemasan

Pada pengaruh luas permukaan terhadap permeansi uap air, dilakukan lima
perlakuan luas pemukaan yang berbeda yaitu 0,02, 0,04, 0,05, 0,07, dan 0,08
m2 yang disimpan pada suhu 37 °C dan RH 80% serta dikemas dengan
kemasan OPP20/VMOPP20 dengan bobot silika gel yang tetap yaitu 20
gram. Selama 14 hari pengamatan dilakukan penimbangan sampel untuk
melihat hubungan bobot produk dengan waktu.
Area (m2) Jumlah uap air terserap (g/hari)
0,02 0,0022
0,04 0,0046
0,05 0,0057
0,07 0,0075
0,08 0,0090

Selanjutnya, nilai jumlah uap air terserap per hari dibagi dengan perbedaan
tekanan antara dalam dan luar pengemas yang diperoleh dari perbedaan RH
silka gel (0%) dan RH diluar (80%) yang dikali dengan tekanan uap jenuh uap
air pada suhu 37 °C, menghasilkan permeansi:
Luas (m2) Permeansi (g/h/m2/mmHg)
0,02 0,0029
0,04 0,0030
0,05 0,0030
0,07 0,0028
0,08 0,0030

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 119


Isotermi Sorpsi Air

BAB VI:
ISOTERMI SORPSI AIR

A. Aktifitas Air

Istilah aktivitas air (aw) digunakan untuk menggambarkan keadaan air dalam
produk. aw adalah perbandingan antara tekanan uap air dalam larutan atau
makanan (pw) dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama (p0w).
Persamaannya adalah sebagai berikut :
pw
aw =
p° w
Dalam keadaan setimbang, aw sering dihubungkan dengan kelembaban
udara setimbang di sekelilingnya. ERH (equilibrium relative humidity) yaitu
kelembaban udara saat terjadinya kadar air kesetimbangan (Eskin dan
Robinson, 2001). Persamaannya adalah sebagai berikut :
ERH = aw x 100%
Aktivitas air menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH
menggambarkan sifat lingkungan di sekitar bahan yang dalam keadaan
setimbang. Dengan demikian, peranan air dalam pangan dapat dinyatakan
dengan kadar air dan aktivitas air, sedangkan peranan air di udara dapat
dinyatakan dengan kelembaban relatif dan kelembaban mutlak.

Bahan dan produk pangan umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan


kadar air dan aktifitas airnya. Produk pangan yang aktifitas air dan kadar
airnya rendah disebut produk pangan kering, jika aktifitas airnya berada
dalam kisaran 0.55 sampai dengan 0.75 disebut pangan semi basah dan
diatas aw=0.75 disebut pangan basah. Pada Gambar 19, diperlihatkan
klasifikasi produk pangan berdasarkan nilai aktifitas air(Mujumdar dan
Devahasti, 2000).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 120


Isotermi Sorpsi Air

Gambar 19. Kurva klasifikasi pangan berdasarkan aktivitas airnya

Kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam penentuan dan
penetapan masa simpan makanan, karena variabel-variabel ini akan
mempengarui sifat fisik, fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, dan
perubahan enzimatis termasuk juga perubahan mikrobiologis, baik pada
pangan yang tidak diolah maupun pangan olahan (Winarno dan Jenie, 1983).

Labuza (1982) mengemukakan hubungan antara aktivitas air dan mutu


makanan yang dikemas sebagai berikut :
1. produk dikatakan tidak aman pada selang aw sekitar 0.7-0.75 dan di
atas selang tersebut karena mikroorganisme berbahaya dapat mulai
tumbuh dan produk menjadi beracun
2. jamur dapat mulai tumbuh pada produk dengan aktivitas air 0.6-0.7
3. aktivitas air 0.35-0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang
kerenyahannya
4. pada selang aktivitas air 0.4-0.5, produk pasta yang terlalu kering
selama pengeringan atau kehilangan air selama distribusi atau

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 121


Isotermi Sorpsi Air

penyimpanan, akan menjadi mudah hancur dan rapuh selama


dimasak atau akibat goncangan mekanis.

Hampir semua jenis perubahan dalam pangan dipengaruhi oleh aktifitas air
bahan pangan tersebut. Oleh karena itu dikenal suatu peta stabilitas pangan
yang menggambarkan hubungan antara aktifitas air dengan perubahan-
perubahan fisik, fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, dan perubahan
enzimatis termasuk juga perubahan mikrobiologis (Labuza, 1970 di dalam
Arpah, 2001). Peta stabilitas pangan diperlihatkan pada Gambar 20.

Gambar 20. Peta stabilitas pangan

Peta stabilitas pangan menginformasikan bahwa pertumbuhan bakteri mulai


terjadi pada aw ≥ 0.8, pertumbuhan khamir mulai berlangsung pada aw
sedikit lebih rendah yaitu aw ≥ 0.75, sedangkan perumbuhan kapang dimulai
pada aw ≥ 0.7. Dalam hal perubahan kimia, peta ini menginformasikan
bahwa reaksi enzimatis mulai berlangsung di sekitar nilai aw = 0.3 dan
meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya aktifitas air. Pengaruh
aw terhadap laju reaksi oksidasi lipida dan pencoklatan non enzimatis juga
dijelaskan dalam peta stabilitas pangan.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 122


Isotermi Sorpsi Air

B. Kadar Air Kesetimbangan

Menurut Fellows (1990), kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan


adalah kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut
dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak
mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk. Sedangkan
menurut Brooker et al. Seperti yang dikutip oleh Jia, Yang, dan Wu (2002),
kadar air setimbang merupakan kadar air dari suatu produk pangan yang
berkesetimbangan pada suhu dan kelembaban tertentu dalam periode waktu
tertentu. Kelembaban relatif pada saat terjadinya kadar air kesetimbangan
tersebut dinamakan kelembaban relatif kesetimbangan (Heldman dan Singh,
1981).

Kadar air kesetimbangan pada produk pangan digunakan untuk


menggambarkan kurva isothermis sehingga dapat diketahui bertambahnya
dan berkurangnya kadar air bahan pada kondisi suhu dan kelembaban
tertentu. Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dibandingkan kelembaban
relatif bahan maka bahan akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya jika
kelembaban relatif udara lebih rendah dibandingkan kelembaban relatif
bahan, maka bahan akan menguapkan airnya (desorpsi) (Brooker et al.,
1982).

Menurut Duckworth (1975), ada dua cara menentukan kadar air


kesetimbangan, yaitu dengan metode statis dan metode dinamis. Metode
statis dilakukan dengan cara meletakkan bahan pada kondisi RH dan suhu
terkontrol. Kadar air kesetimbangan bahan diperoleh pada keadaan udara
diam. Metode ini biasanya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena
pada umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak. Pada metode
statis, kadar air kesetimbangan ditentukan ketika perbedaan penimbangan
bobot bahan kurang dari 0.001 gram (Krotcha et al., 1994). Pada metode

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 123


Isotermi Sorpsi Air

dinamis, kadar air kesetimbangan diperoleh ketika bahan diletakkan pada


kondisi udara bergerak. Metode ini biasanya digunakan pada proses
pengeringan, dimana pergerakan udara untuk mempercepat proses
pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan.

1. Isotermi Sorpsi Air


Bahan makanan sebelum maupun sesudah diolah bersifat higroskopis, yaitu
dapat menyerap air dari udara sekelilingnya (adsorpsi), dan sebaliknya dapat
melepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara (desorpsi). Istilah
sorpsi air dipakai untuk menunjukkan semua proses saat padatan bergabung
dengan molekul air secara reversible (Adawiyah, 2006). Perilaku produk
makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya dapat digambarkan
oleh kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan
dengan kelembaban relatif setimbang ruang penyimpanan (ERH) atau
aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Troller dan Christian, 1978). Kurva yang
menggambarkan hubungan tersebut disebut kurva isotermi sorpsi air atau
kurva sorpsi isothermis, sering disingkat sorpsi isothermis (Syarief dan Halid,
1993).

Sorpsi isothermis suatu bahan pangan dapat digunakan dalam menentuan


jenis pengemas yang dibutuhkan, memprediksikan karakteristik kondisi
penyimpanan yang sesuai dan menentuan masa simpannya (Mir dan Nath,
1995), kemudian untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan
kondisi keseimbangan dalam suatu campuran produk pangan dengan nilai aw
yang berbeda, dan meminimalkan kerusakan bahan pangan akibat
pertumbuhan mikroba, maupun reaksi kimia (Boente et al., 1996).

Kurva isothermis dari makanan biasanya diperoleh pada suhu yang konstan
menggunakan salah satu dari dua metode dasar. Pada metode yang
pertama, suatu makanan dengan kadar air yang telah diketahui dibiarkan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 124


Isotermi Sorpsi Air

mencapai kesetimbangan dalam suatu wadah dengan ruang bebas kecil dan
tertutup rapat lalu tekanan uap air parsial diukur secara manometris atau RH
diukur dengan higrometer listrik, sel titik embun, psikometer rambut, atau
kertas penunjuk. Sedangkan, metode dasar yang kedua melibatkan
penempatan sejumlah kecil contoh makanan pada berbagai tingkat
kelembaban yang konstan. Setelah kesetimbangan tercapai, maka dapat
diperoleh kadar air yang dihitung dengan metode penimbangan atau metode
lainnya sedangkan nilai aktivitas airnya diperoleh dari nilai kelembaban udara
kesetimbang (ERH) dari larutan garam (Buckle et al., 1987).

Gambar 21. Klasifikasi sorpsi isothermis air : A = tipe I, B = tipe II,


C = tipe III (Bell dan Labuza, 2000)

Bentuk kurva isothermis khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno,
1994). Menurut Bell dan Labuza (2000), ada tiga tipe bentuk kurva. (Gambar
21). Tipe I adalah bentuk kurva sorpsi yang khas untuk bahan antikempal.
Bahan ini menyerap air pada sisi spesifik dengan energi pengikatan yang
tinggi dan mampu menahan sejumlah besar air pada aw yang rendah. Tipe II
adalah bentuk kurva sorpsi yang paling banyak ditemui pada produk pangan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 125


Isotermi Sorpsi Air

yaitu sigmoid. Bentuk kurva pada tipe ini disebabkan oleh kombinasi dari efek
koligatif, kapiler dan interaksi air-permukaan. Tipe III mewakili kurva sorpsi
untuk bahan kristal seperti sukrosa. Sebagian literatur membaginya menjadi
5 tipe, dua tipe lainnya yaitu tipe IV dan tipe V merupakan variasi dari II. Tipe
IV memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dengan tipe III,
sedangkan tipe V memiliki kurva yang menyerupai kurva gabungan tipe II dan
tipe I.

Menurut Arslan dan Togrul (2005), kurva sorpsi isothermis terbagi ke dalam
tiga derah menurut keadaan air dalam bahan pangan (Gambar 22). Daerah
pertama merupakan daerah yang mempunyai aktivitas air sampai 0.3 dimana
air diikat pada posisi polar yang memiliki energi yang relatif tinggi, sehingga
adsorpsi air hanya bersifat satu lapis molekul air (monolayer). Kadar air
monolayer penting untuk stabilitas kimia dan fisik produk pangan kering.
Daerah kedua merupakan daerah yang mempunyai kisaran aw dari 0.3-0.7
yang disebut dengan air multilayer, yaitu terjadi penambahan lapisan-lapisan
di atas satu lapis molekul. Pada daerah ini beberapa lapis air yang terikat
pada lapis pertama dengan ikatan hidrogen. Selanjutnya daerah ketiga,
meupakan daerah aw yang mempunyai nilai di atas 0.7 dan air relatif bebas.
Daerah ini terjadi kondensasi air pada pori-pori bahan. Hubungan antara
keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air dapat dilihat pada Tabel
11.

Tabel 11. Pembagian wilayah kurva sorpsi air bahan pangan


(Labuza, 1984).
aw Keadaan air di dalam bahan pangan
0.00-0.20 Adsorpsi air pada lapisan tunggal (monolayer)
0.20-0.60 Adsorpsi air pada lapisan tambahan (multilayer)
0.60-1.00 Air terkondensasi pada kapiler/pori-pori bahan

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 126


Isotermi Sorpsi Air

Gambar 22. Pembagian wilayah kurva sorpsi air bahan pangan

2. Model Persamaan Sorpsi Isothermis


Kurva isothermis suatu produk pangan dapat didekati dengan menggunakan
persamaan matematika. Model matematika mengenai kadar air
keseimbangan atau sorpsi isothermis telah banyak dikemukakan oleh para
ahli (Chirife danIglesias, 1978; Van den Berg dan Bruin, 1981). Namun
model-model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat
mencakup keseluruhan kurva sorpsi isothermis dan hanya dapat
memprediksi kurva sorpsi isothermis pada salah satu dari ketiga daerah
sorpsi isothemis. Kesesuaian setiap model isotermis terhadap isothermis
produk pangan bergantung kepada kisaran aw dan jenis bahan penyusun
produk pangan tersebut. Labuza (1968) menyatakan bahwa kegunaan suatu
model sorpsi isothermis tergantung pada tujuan pemakai. Model yang lebih
sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapan yang dievaluasi akan lebih mudah
penggunaannya dan dapat menghasilkan kemulusan kurva yang tinggi .

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 127


Isotermi Sorpsi Air

Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal (monolayer) yang


merupakan dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan
pertama kali oleh Langmuir (1918). Hasil percobaan menghasilkan bentuk
persamaan (Labuza, 1968) sebagai berikut :
 ba 
V =Vm 
 K + ba 
Dimana : V = jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu
Vm = jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal
a = sifat termodinamika gas
b = konstanta yang tergantung dari suhu dan jenis bahan
pangan
Model sorpsi isothermis Langmuir tidak cocok diterapkan pada bahan pangan
karena adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan
seperti adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapis molekul air, permukaan
bahan tidak rata dan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing
mempunyai ikatan yang berbeda terhadap air dan interaksi antara molekul-
molekul uap air yang diadsorpsi dapat terjadi (Labuza, 1968).

Secara empiris Henderson (1952) mengemukakan persamaan yang


menggambarkan hubungan antara kadar air keseimbangan bahan pangan
dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini merupakan salah
satu persamaan yang paling banyak digunakan (Chirife dan Iglesias, 1978).
Persamaan Henderson juga dapat berlaku pada kebanyakan bahan pangan
terutama biji-bijian pada seluruh nilai aw. Bentuk persamaan tersebut (Chirife
dan Iglesias, 1978) adalah :
1-aw = exp (-KMen)
Dimana : Me = kadar air keseimbangan (%bk)
K dan n = konstanta

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 128


Isotermi Sorpsi Air

Sedangkan, Caurie (1970) dari hasil percobaannya mendapatkan sebuah


model yang dapat berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw
0.0-0.85. Persamaan tersebut (Chirife dan Iglesias, 1978) adalah :
Ln Me = ln P(1) – P(2) aw
Dimana : P(1) dan P(2) = konstanta
Persamaan Oswin (1946) dapat berlaku untuk bahan pangan pada RH 0-
85% dan sesuai bagi kurva sorpsi isothermis yang berbentuk sigmoid (Chirife
dan Iglesias, 1978). Model persamaan Oswin tersebut adalah :
P ( 2)
 a 
Me = P(1)  w 
1 − a w 
Dimana : P(1) dan P(2) = konstanta

Chen Clayton juga telah membuat model matematik yang berlaku untuk
bahan pangan pada semua nilai aktivitas air. Persamaan tersebut (Chirife
dan Iglesias, 1978) adalah :

aw = exp  − P (1) 

 exp( P (2) Me) 
Dimana : P(1) dan P(2) = konstanta

Hasley (1948) mengembangkan sutau persamaan yang dapat


menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer (Chirife dan
Iglesias, 1978). Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan
dengan kelembaban relative antara 10-81%. Persamaan ini adalah (Isse et
al., 1983) :

aw = exp  − P(1) 
P (2)
 ( Me) 
Dimana : P(1) dan P(2) = konstanta
Model lain yang diakui secara internasional adalah model isothermis GAB
(Guggenheim, Andersen dan de Boer) yang direkomendasikan oleh
European Project Group COST 90 untuk menggambarkan sorpsi isothermis
produk pangan yang bisa digunakan pada kisaran aw yang luas yaitu

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 129


Isotermi Sorpsi Air

0.05<aw<0.9 (Spiess dan Wolf, 1987; Timmermann, 2003). Menurut Kapsalis


(1987), persamaan isothermis GAB merupakan persamaan yang tepat untuk
menggambarkan sorpsi isothermis pada sebagian besar produk makanan.
Adapun model sorpsi isothermis GAB adalah :
MmCKa w
M=
(1 − Ka w )(1 − Ka w + CKa w )
Keterangan :
M = kadar air (basis kering, %)
aw = aktivitas air
Mm= kadar air monolayer (%)
K = konstanta
C = konstanta energi

2. Bentuk Linear Persamaan Sorpsi Isothermis


Persamaan-persamaan tersebut diatas diaplikasikan menggunakan bentuk
linearnya, bentuk-bentuk linear dari persamaan sorpsi isothermis adalah:
a) Hasley
 − P(1) 
aw = exp  P(2) 
 ( Me) 
Persamaan dilinierkan dengan bentuk umum y = a + bx, menjadi :
Log[ln(1/aw)] = log P(1) – P(2) log Me
Dimana ; y = log[ln(1/aw)]
a = log P(1)
x = log Me
b = -P(2)

b) Chen Clayton
 − P(1) 
aw = exp  
 exp{P(2) Me} 
Persamaan dilinierkan menjadi :

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 130


Isotermi Sorpsi Air

Ln[ln(1/aw)] = ln P(1) – P(2) Me


Dimana; y = ln[ln(1/aw)]
a = ln P(1)
x = Me
b = -P(2)

c) Henderson
1-aw = exp [-K(Me)n]
Persamaan dilinierkan menjadi :
Log[ln(1/(1-aw))] = log K + n log Me
Dimana; y = log [ln(1/(1-aw))]
a = log K
x = log Me
b=n

d) Caurie
Ln Me = ln P(1) – P(2) aw
Dimana ; y = ln Me
a = ln P(1)
x = aw
b = -P(2)
e) Oswin
P(2)
 aw 
Me = P(1)  
1 − aw 
Persamaan dilinierkan menjadi :
Ln Me = ln P(1) + P(2) ln[aw/(1-aw)]
Dimana; y = ln Me
a = ln P(1)
x = ln[aw/(1-aw)]
b = P(2)

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 131


Isotermi Sorpsi Air

f). Persamaan GAB (Guggenheim, Andersen and de Boer)


X m CKa w
M =
(1 − Ka w )(. 1 − Ka w + CKaw )
Dengan mensubtitusikan parameter: α=(K/Xm)[(1/C)-1], β=(1/Xm)[1-(2/C)],
and γ =1/(XmCk), persamaan menjadi persamaan kuadrat
aw
= αaw 2 + β aw + γ
M
Dimana: y = aw/M
x = aw

Sedangkan, konstanta persamaan menjadi:

K=
(β 2
)
− 4(α .γ ) − β
C=
β
+2 mo =
β
2.γ γ .K γ .K .C

Data aw dan kadar air kesetimbangan hasil percobaan digunakan untuk


mendapatkan nilai α, β, dan γ bedasarkan persamaan non linier dengan
metode regresi. Persamaan non linier tersebut adalah persamaan kuadratik
antara aw dengan aw/M. Nilai α, β, dan γ kemudian digunakan untuk
mendapatkan nilai K, C dan Wm. Contoh data hubungan aw dengan kadar air
kesetimbangan beberapa tepung rempah diperlihatkan dibawah ini.
aw Me (% db)
Black White Cloves Nutmeg Cinnamon
pepper pepper
0.06 2.59 5.39 3.31 4.68 5.50
0.32 6.48 9.17 5.82 6.16 9.42
0.44 8.01 10.13 6.79 7.42 11.14
0.69 11.17 13.44 9.64 11.14 14.05
0.75 13.00 14.73 10.98 13.06 15.14
0.84 15.38 16.96 12.52 16.27 17.23
0.90 18.62 18.00 14.27 19.26 19.38
0.97 20.64 20.22 16.74 26.39 21.99
Sumber: Arpah, dkk (2004).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 132


Isotermi Sorpsi Air

Dari data tesebut dapat diperoleh nilai-nilai α, β, dan γ berikut ini:


Spices Parameters
α β γ r2
Black pepper -0.1175 0.1460 0.0146 0.98
White pepper -0.0818 0.1243 0.0039 0.99
Cloves -0.1465 0.1937 0.0074 0.99
Nutmeg -0.1819 0.2133 0.0011 0.99
Cinnamon -0.0802 0.1203 0.0036 0.99
Sumber: Arpah, dkk (2004)
Nilai-nilai α, β, dan γ selanjutnya digunakan untuk mendapatkan nilai-nilai
dari parameter persamaan GAB
Spices Xm K C
Black pepper 5.96 0.749 15.35
White pepper 7.73 0.645 51.41
Cloves 4.89 0.736 37.57
Nutmeg 4.65 0.849 230.40
Cinnamon 7.99 0.654 53.10

g. Persamaan BET (Brunauer, Emmett and Teller)

X mC.aw
M =
(1 − aw )(. 1 − aw + C.aw )
Dengan mensubtitusikan parameter: α =(1/Xm.C) and β =(C-1)/Xm.C),
persamaan menjadi bentuk linear berikut,

aw
= α + β .aw
(1 − aw )M atau:

aw
=
1
+
(C − 1) .a
(1 − aw )M Xm.C Xm, C w

Regresi menggunakan data sorpsi rempah-rempah diatas menghasilkan


parameter persamaan BET sebagai berikut:

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 133


Isotermi Sorpsi Air

aw 1 (C − 1) Xm C r2
Xm .C Xm .C
Black pepper - 0.0044 0.2731 3.72 61.14 0.95
White pepper - 0.015 0.2431 4.39 15.20 0.95
Cloves - 0.0144 0.3343 3.13 22.22 0.97
Nutmeg - 0.0117 0.2932 3.55 24.10 0.98
Cinnamon - 0.0137 0.2291 4.65 15.69 0.94

3. Percobaan Sorpsi Isothermis


Cukup banyak altrernatif yang dapat diterapkan untuk mendapatkan atau
menciptakan kondisi aw lingkungan penyimpanan yang memiliki nilai aw
konstan pada suhu tertentu. Diantaranya adalah: larutan asam sulfat pada
berbagai konsentrasi, larutan gliserol, larutan garam dan humidity chamber
(ruangan penyimpanan yang disertai pangatur kelembaban relatif atau RH).

Larutan asam sulfat memiliki kekurangan yaitu sangat korosif dan dapat
merusak peralatan, kekurangan larutan gliserol adalah karena sifatnya yang
volatil sehingga dapat menguap dan terserap ke dalam produk. Sedangkan
humidity chamber mudah berfluktuasi nilai RH ruangannya dengan variasi
nilai RH yang relatif besar. Oleh karena itu yang terbaik adalah penggunaan
larutan garam jenuh. Kekurangan penggunaan larutan garam jenuh adalah
harganya yang relatif mahal (analytical grade).

Jika digunakan garam jenuh, maka prosedur umumnya adalah sebagai


berikut: Pertama-tama dilakukan preparasi larutan garam jenuh. Sejumlah
garam ditimbang dan dimasukan ke dalam wadah gelas (desikator). Lalu
sambil diaduk ditambahkan sejumlah air sampai jenuh dan berlebih untuk
menjaga kejenuhan larutan sehingga kelembaban udara yang dihasilkan
tetap dan tidak mempengaruhi sorpsi. Kemudian wadah gelas tersebut
ditutup dan dibiarkan selama 24 jam pada kondisi suhu 30 °C.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 134


Isotermi Sorpsi Air

Kemudian sampel yang diketahui kadar air awalnya, dimasukan ke dalam


wadah yang mempunyai cawan penyanggah sebagai tempat sampel, dan
ditutup rapat. Untuk menghidandari bocornya uap air biasanya dioleskan
vaselin pada tutup desikator, kemudian disimpan pada kondisi suhu 30 °C

Sampel di dalam cawan kemudian ditimbang secara periodik sampai


diperoleh bobot konstan yang berarti kadar air kesetimbangan tercapai.
Menurut Bisquet dan Labuza seperti yang dikutip oleh Krotcha, Baldwin, dan
Carriedo (1994), penentuan kadar air setimbang ditentukan ketika perbedaan
bobot bahan kurang dari 0,001 gram diantara 2 interval waktu penimbangan.

Untuk menjaga agar suhu di dalam desikator konstan, desikator dapat


ditempatkan ke dalam alat pengetur suhu. Apabila penutup desikator di
desain khusus sehingga kedap gas, maka dapat digunakan water bath
sebagai pengatur suhu. Peralatan untuk penetapan kurva sorpsi
diperlihatkan pada Gambar 23. sedangkan perbandingan jumlah garam
dan air yang ditambahkan untuk mendapatkan kondisi aw yang diinginkan
diperlihatkan pada Tabel 12.
Tabel 12. Preparasi larutan jenuh untuk penetapan kurva sorpsi isothermis
No. Jenis Garam aw Kuantitas
Garam (gram) Air (ml)
1 NaOH 0.06 150. 85.0
2 LiCl 0.11 150 85.0
3 CH3COOK 0.23 200 65.0
4 MgCl2 0.32 200 25.0
5 K2CO3 0.44 200 90.0
6 Mg(NO3)2 0.53 200 30.0
7 NaBr 0.58 200 80.0
8 KI 0.69 200 50.0
9 SrCl2 0.71 200 50.0
10 NaCl 0.75 200 60.0
11 KCl 0.84 200 80.0
12 BaCl2 0.90 250 70.0
13 K2Cr2O7 0.98 250 50.0
Sumber: Spiess & Wolf (1987).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 135


Isotermi Sorpsi Air

Gambar 23. Desikator dengan clamp pengunci, serta water bath


pengatur suhu

Gambar 24. Desikator kedap udara untuk produk Rice puff


yang sangat sensitif terhadap uap air

Kurva sorpsi isothermis dibuat dengan cara memplotkan kadar air


kesetimbangan sebagai ordinat (y) dan kelembaban relatif (RH) atau aktivitas
air (aw) sebagai absis (x) pada suhu konstan.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 136


Isotermi Sorpsi Air

Tipikal data hasil pengukuran kadar air kesetimbangan beserta waktu yang
diperlakukan untuk mencapai kondisi setimbang tersebut diperlihatkan pada
Tabel 13.

Tabel 13. Kadar air dan waktu pencapaian kesetimbangan rice puff
Larutan Kadar air
aw aw Waktu
garam kesetimbangan
garam pengukuran (hari)
jenuh (%bk)
NaOH 0.069 0.14 1.96 3
MgCl2.6H2O 0.324 0.37 6.1 5
K2CO3 0.43 0.48 7.57 5
KI 0.69 0.69 11.91 7
KCl 0.84 0.84 17.97 10
BaCl2.2H2O 0.903 0.87 21.54 11

Pada tabel diatas terdapat kolom nilai aw pengukuran yang diperoleh dari
hasil pengukuran aw produk (menggunakan aw meter) setelah setimbang
dengan lingkungan penyimpanan. Selisih antara nilai hasil pengukuran aw
produk dengan nilai aw larutan garam, disebabkan oleh keterbatasan alat
pengukur mekanis untuk mengukur nilai aw ekstrim, seperti nilai yang
mendekati 0 dan 1.

Gambar 25. aw meter

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 137


Isotermi Sorpsi Air

Aktifitas air larutan asam sulfat diperlihatkan pada tabel 14 berikut:

Tabel 14. Aktifitas air larutan asam sulfat pada berbagai konsentrasi
H2SO4 Densitas Temperatur (oC)
(%) (25oC) 5 10 20 25 30 40 50
(g/cm3)
5 1.0300 0.9803 0.9804 0.9806 0.9807 0.9808 0.9811 0.9814
10 1.0640 0.9554 0.9555 0.9558 0.9560 0.9562 0.9565 0.9570
15 1.0994 0.9227 0.9230 0.9237 0.9241 0.9245 0.9253 0.9261
20 1.1365 0.8771 0.8779 0.8796 0.8805 0.8814 0.8831 0.8848
25 1.1750 0.8165 0.8183 0.8218 0.8235 0.8252 0.8285 0.8317
30 1.2150 0.7396 0.7429 0.7491 0.7521 0.7549 0.7604 0.7655
35 1.2563 0.6464 0.6514 0.6607 0.6651 0.6693 0.6773 0.6846
40 1.2991 0.5417 0.5480 0.5599 0.5656 0.5711 0.5816 0.5914
45 1.3437 0.4319 0.4389 0.4524 0.4589 0.4653 0.4775 0.4891
50 1.3911 0.3238 0.3307 0.3442 0.3509 0.3574 0.3702 0.3827
55 1.4412 0.2255 0.2317 0.2440 0.2502 0.2563 0.2685 0.2807
60 1.4940 0.1420 0.1471 0.1573 0.1625 0.1677 0.1781 0.1887
65 1.5490 0.0785 0.0821 0.0895 0.0933 0.0972 0.1052 0.1135
70 1.6059 0.0355 0.0377 0.0422 0.0445 0.0470 0.0521 0.0575
75 1.6644 0.0131 0.0142 0.0165 0.0177 0.0190 0.0218 0.0249
80 1.7221 0.0035 0.0039 0.0048 0.0053 0.0059 0.0071 0.0085

Aktifitas air larutan gliserol pada suhu 20oC diperlihatkan pada Tabel 15
berikut:

Tabel 15. Aktifitas air larutan asam sulfat pada berbagai konsentrasi
Konsentrasi (kg/L) Index Refraksi Aktifitas Air
0.2315 1.3602 0.95
0.3789 1.3773 0.90
0.4973 1.3905 0.85
0.5923 1.4015 0.80
0.6751 1.4109 0.75
0.7474 1.4191 0.70
0.8139 1.4264 0.65
0.8739 1.4329 0.60
0.9285 1.4387 0.55
0.9760 1.4440 0.50

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 138


Isotermi Sorpsi Air

Untuk mendapatkan kurva sorpsi isothermis. plot data hasil percobaan


terhadap nilai aktifitas air kemudian bandingkan dengan kurva sorpsi
isothermis yang diperoleh dari model.

Kurva Sorpsi Isothermis

25,0
Gram H2O/100 gr BK

20,0

15,0

10,0

5,0

0,0
0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
Aktivitas air (aw)

Gambar 26. Kurva sorpsi isothermis

Untuk keperluan penetapan waktu kadaluwarsa, diperlukan nilai slope dari


kurva sorpsi isothermis. Slope yang digunakan biasanya diekstrak dari
persamaan model-model sorpsi isothermis setelah membandingkan
ketepatannya dengan data percobaan.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 139


Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Ahvenainen, R. 1996 New approaches in improving the shelf life of minimally


processed fruit and vegetables. Trends in Food Science and Technology
7: {179-187).

Ahvenainen,R.T.;Hurme,E.U.;Hägg,M.;Skyttä,E.H.;Laurila, E. K. 1998 Shelf-


life of pre-peeled potato cultivated, stored and processed by various
methods. Journal of Food Protection 61:(591-600)

Apriyantono, A. D. Fardiaz, N. Puspitasari, S. Yasni. 1988. Analisis Pangan.


IPB Press, Bogor.

Alice. P. Shelf-life. 1999. Nutrition & Food Science. Volume 99 · Number 3 ·


1999 · pp. 131–135

Anderson, J.C., B.D. Jones.1999. Principal factor analysis of extruded


sorghum and peanut bar changes during accelerated shelf-life studies.
Food Eng. and Physic. Properties. (64)6: 1063.

Arafa, A.A., and T.C. Chen. 1976. Quality characteristics of convenience


chicken products as related to packaging and storage. J. Food Sci. 41:18-
22.

Arpah dan Syarief, 2000. Evaluasi model-model pendugaan umur simpan


pangan dari hukum difusi Fick unidireksional. Bull. Tek & Ind. Pangan,
Agustus. 2000.

Arpah, R. Syarief, J. Hermanianto dan P. Hariyadi 1998. Perbandingan


beberapa model ASS (accelerated storage studies) dari hukum difusi Fick
unidireksional: Penerapan pada penetapan umur simpan biskuit.
Proceeding Seminar Nasional Tek. Pangan dan Gizi. 15 Desember 1998.
Yogyakarta.

Arpah, J. Hermanianto dan W.K. Jati. 1999. Penentuan umur simpan produk
ekstrusi dari hasil samping penggilingan padi (menir dan bekatul) dengan
menggunakan metoda konvensional , kinetika Arhenius dan sorpsi
isotermis. Proceeding Seminar Nasional Tek. Pangan dan Gizi. 12-13
Oktobert 1999. Jakarta.

Arpah, P. Setiawan dan A.B. Ahza. 1999. Pembuatan dan penetapan waktu
kadaluwarsa kacang garing tradisional berlemak rendah dari bahan
dasar kacang tanah hasil penekanan hidraulik. Proceeding Seminar
Nasional Makanan tradisional. 16 Maret 1999. Yogyakarta.

Arpah. 2001. Pendugaan umur simpan produk makanan. Makalah


disampaikan pada pelatihan teknis penentuan waktu kadaluwarsa

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 140


Daftar Pustaka

makanan, Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia-Badan


Pengembangan Ekspor Nasional. 13-15 Maret, 2001. Jakarta.

Arpah, 2001. Pendugaan umur simpan makanan dengan simulasi komputer.


Makalah disampaikan pada pelatihan teknis penentuan waktu
kadaluwarsa makanan, Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia-
Badan Pengembangan Ekspor Nasional. 13-15 Maret, 2001. Jakarta.

Arpah, 2002. Dasar-dasar penetapan waktu kadaluwarsa pangan. Makalah


disampaikan pada pelatihan teknis penentuan waktu kadaluwarsa
makanan, Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia-Badan
Pengembangan Ekspor Nasional. 29-30 Mei, 2002. Jakarta.

Arpah, 2002. Penerapan program aplikasi spread-sheet Excell untuk


penetapan waktu kadaluwarsa pangan. Makalah disampaikan pada
pelatihan teknis penentuan waktu kadaluwarsa makanan, Pendidikan dan
Pelatihan Ekspor Indonesia-Badan Pengembangan Ekspor Nasional. 29-
30 Mei, 2002. Jakarta.

Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Pangan. Diktat


kuliah Program Pasca Sarjana, IPB.

Arpah, 1998. Perbandingan beberapa model ASS (accelerated storage


studies) dari hukum difusi Fick unidireksional: Penerapan pada
penetapan umur simpan biskuit. Thesis MS. Program Pascasarjana-IPB.

Baisier, W.M ,Labuza, T.P. (1992) Kinetics of non-enzymatic browning. Di


dalam: Physical Chemistry of Foods. (H. Schwartzberg, ed). Marcel
Dekker, New York.

Bili, M. Taoukis, P.S. 1998. Evaluation of shelf-life of flavored dehydrated


products using accelerated shelf-life and the weibull hazard sensory
analysis. Di dalam Food Flavors: Formation, Analysis and Packaging
Influences. Contis . E.T et al. ed.). Proceedings of the 9th International
Flavor Conference, Limnos-Greece: 1-4 July. 1997.

Bengtsson. N., Liljemark, A., Olsson, P., Nilsson, B. 1972. An attemp to


systemize time temperature tolerance (TTT) data as a basis for
development of time-temperature indivators.Bull. Int. Inst. Refrig (Annexe
1972-2):303-311

Bosset, J.O. P.U. Gallmann. R. Sieber. 1994. Influence of packaging


materials on the shelf-life of milk and dairy products. di dalam: Food
Packaging and Preservation (M. Mathlouthi, ed). Blackie Academic and
Professional, UK.

Barry-Ryan, C. D. O’Beirne. 1998. Quality and shelf-life of fresh cut carrot


slices as affected by slicing method. J. Food Sci.. 63(5): 851-856.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 141


Daftar Pustaka

Brul .S., P. Coote. 1999. Preservative agents in foods: Mode of action and
microbial resistance mechanisms Intern. J. of Food Microb. (50): 1–17.

Bozkurt , H., F. Gogus S. Eren . 1999. .Nonenzymic browning reactions in


boiled grape juice and its models during storage. Food Chem. 64: (89-93)

CODEX STAN 1-1985 ,Rev. 1-1991, Amandemen 1999 The Codex


Alimentarius Commission and the Joint FAO/WHO Food Standards
Programme.

Cardelli. C., T. P. Labuza. 2001. Application of Weibull Hazard Analysis to


the determination of the Shelf Life of roasted and ground coffee.
Lebensm.-Wiss. u.-Technol., Vol : 34 (5) : 273-278.

Che Man, Y.B. , G. Setiowaty. 1999. Application of fourier transform infrared


spectroscopy to determine free fatty acid contents in palm olein. Food
Chem. 66: (109-114).

Che Man, Y.B. G. Setiowaty. 1999. Multivariate calibration of Fourier


transform infrared spectra in determining iodine value of palm oil products.
Food Chem. 67: (193-198).

Collins, M.A. 1985. Effects of pH and acidulate type on the survival of some
food poisoning bacteria in mayonnaise. Microbiologie - Aliments -
Nutrition (3): 215- 221.

Chew. S.Y., Y-H. P. Hsieh. 1998. Rapid CO 2 evolution method for


determining shelf life of refrigerated catfish. J. Food Sci. 63 (5):768-771

Cornell, J.A., Schreckengost, J.F. 1975. Measuring panelists consistency


using composite complete-incomplete block designs. J. Food Sci. (40):
1130-1133.

Clark, W. L., & Serbia, G. W. (1991). Safety aspects of frying fats and oils.
Food Technol. , 45(2), 84-86, 88, 89, 94.

Carillo, A.R., Kokini, J.L. 1988. Effects of egg yolk and egg yolk+salt on
rheological properties and particle size distribution of model oil-in-water
salad dressing emulsions. J. Food Sci.. 53(5): 1352-1366.

Cherry, J. H.; Singh, S. S. 1990. Discoloration preventing food preservative


and method, Finland Patent number: 4,937,085.

Duyvesteyn. W.S., E. Shimoni. , T.P. Labuza. 2001. Determination of


end of shelf-life for milk using Weybull Hazard Analysis. Lebensm.-Wiss.
u.-Technol., Vol : 34 (3) : 143-148;

Devlieghere , F. B. Van Belle, J. Debevere. 1999. Shelf life of modified


atmosphere packed cooked meat products: a predictive model. Int. J. of
Food Microb. 46: (57–70).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 142


Daftar Pustaka

Daryl C.J , A.J. Macnish., Y. Jiang. 1999. Extension of the shelf life of
banana fruit by 1-methylcyclopropene in combination with polyethylene
bags. Postharvest Biol. and Techn. (16):187–193

Drosinosa, E.H., C. Tassoub, K. Kakiomenoub, G-J.E. Nychas. 2000.


Microbiological, physico-chemical and organoleptic attributes of a country
tomato salad and fate of Salmonella enteritidis during storageunder
aerobic or modi®ed atmosphere packagingconditions at 4°Cand 10°C.
Food Control 11 (2000) 131-135.

Delamarre, S.,C. A. Batt. 1999. The microbiology and historical safety of


margarine. Food Microb. (16):327-333.

Dalhoff, E., Jul, M. 1965.Factors affecting the keeping qualuty of frozen


foods. di dalam Progress in Refrigeration Sciences and Technology Vol
I. Pergamon Press, NY.p 57-66.

Egan, H. 1981. Pearson’s Chemical Analysis of Foods. Churchill


Livingstone, London.

Fields, S. C. and Prusik, T. 1986. Shelf life estimation of beverage and food
products using bar coded time-temperature indicator labels, in The Shelf
Life of Foods and Beverage,s, G. Charalambous, ed., Elsevier Science
Publishers, Amsterdam, pp. 85 – 96.

Fu, B. and Labuza, T. P. 1992. Considerations for the application of time-


temperature integrators in food distribution, J. Food Distr. Res., 23(1):9 –
17.

Fu, B., Taoukis, P. S. and Labuza, T. P. 1991. Predictive microbiology for


monitoring spoilage of dairy products with time-temperature integrators, J.
Food Sci., 56(5): 1209 – 1215.

Fu, B., Taoukis, P. S. and Labuza, T. P. 1992. Theoretical design of a


variable activation energy time-temperature integrator for prediction of
food or drug shelf life, Drug Dev. Indu. Pharm., 18(8):829 – 850.

Floros.J.D. ,V. Gnanasekharan, V.. 1993. Shelf Life Prediction Of Packaged


Foods. Chemical, Biological, Physical And Nutrisional Aspects, (G.
Charalambous, ed.). Elsevier Publ. London

Fogliano, V. S. M. Monti, T.Musella, G. Randazzo, A. Ritieni 1999.


Formation of coloured Maillard reaction products in a gluten- glucose
model system Food Chem. 66: (293-299).

Fritsch, C. W. 1981. Measurements of frying fat deterioration: (A brief


review). Journal of the American Oil Chemists Society. (58): 272-274.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 143


Daftar Pustaka

Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures For Agricultural


Research.2nd edition. IRRI-John Wiley & Sons. Singapore.

Giese. J. 2001. Color measurement in foods. Food Technol. Vol 55, no.3.

Giese. J. 2001. Color measurement in foods as a quality parameter. Food


Technol. Vol 54, no.2.

Gonnet, J.F. 1999. Colour effects of co-pigmentation of anthocyanins :A


colorimetric look at the solutions of cyanin co-pigmented by rutin using the
CIE-LAB scale Food Chem. 66: (387-394).

Gacula, M.C.Jr. Kubala, J.J. 1975. Statistical model for shelf-life failure. J.
Food Sci. 40 (404-409).

Gacula, M.C. 1975. The design of experiments for shelf life study. J. FoodSci.
40:399.

García-Viguera, C., P. Z, F. Romero, P. Abellán, F. Artés, and F.A . Tomás-


Barberán. 1999. Color stability of strawberry jam as affected by cultivar
and storage temperature . J. Food Sci. (64):2 .

Gélinas, P. G. Roy, and M. Guillet.1999. Relative effects of ingredients on


cake staling based on an accelerated shelf-life test. . J. Food Sci. (64):5.

Guadagni, D. 1960. Calculation of quality change from time-temperature


record.. Conference on Frozen Food Quality. November 4, 1960. USDA,
Agri. Res. Serv., Albany, CA.

Gills, L.A. ,A.V.A. Resurreccion. 2000. Sensory and physical properties of


peanut butter treated with palm oil and hydrogenated vegetable oil to
prevent oil separation. J. Food Sci.. 65(1): 173-180.

Gahan, C G.M., Hill, C.1999. The relationship between acid stress


responses and virulence in Salmonella typhimurium and Listeria
monocytogenes Intern.J. of Food Microb. (50): 93–100

Guerrero. L., P. Gou, J., Arnau. 1999. The influence of meat pH on


mechanical and sensory textural properties of dry-cured ham. Meat
Science. (52): 267-273.

Heldman ,D.R., D.B. Lund . 1992. Handbook Of Food Engineering. Marcek


Dekker, Inc. NY.

Hardman, T.M. 1989. Water And Food Quality. Elsevier Applied Science.
NY.

Heiss, R., E. Eichner, 1971. Moisture content and shelf-life. Food


Manufacture 46(6): 37-42.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 144


Daftar Pustaka

Heiss, R. 1958. Shelf life determinations. Mod. Pack. 31(8):119.

Heiss, R. 1980. Zur problematik der Datum skennzei chnung von


lebensmitteln.
Ernahrungs-Umschau. 27(7):212.

Hsiao, C.P , Siebert, K. J. 1999. Modeling the inhibitory effects of organic


acids on bacteria. Intern. J of Food Microb. (47) :189–201

Hyytia ,E. S. Hielm , M. Mokkila , A. Kinnunen , H. Korkeala 1999.


Predicted and observed growth and toxigenesis by Clostridium botulinum
type E in vacuum-packaged fishery product challenge tests. Int. J. of
Food Microb. 47 (161–169).

Hinton, A. 1999. . Inhibition of the growth of Salmonella typhimurium ST-10


by propionic acid and chloride salts. Food Microb. (16):401-407.

IFT, 1974. Shelf-life of Food, Report by The Institute of Food Technologiest


Expert Panel on Food Safety and Nutrition and The Commitee on Public
Information, IFT, Chicago, Illinois, August 1974. J.Food Sci. 39:861
(1974).

Jacobeen, C. , K. Schwarz, H. Stockmann, A.S. Meyer.J Adler-Nissen.


1999. Partisioning of selected antioxidants in mayonnaise. J Agric. Food
Chem. 47: (3601-3610).

Jeon, B. S. ,C. Y. Lee. 1999. Shelf-life extension of american fresh ginseng


by controlled atmosphere storage and modified atmosphere packaging. J.
Food Sci. 64 (2):328-331.

Keller, C. B.L. Wedzicha, L.P. Leong, J. Berger. 1999. Effect of


glyceraldehyde on the kinetics of Maillard browning and inhibition by
sulphite species. Food Chem. 66: 495-501.

Khalil. A. H., E. H. Mansour. 1998. Alginate encapsulatedbBifidobacteria


survival in mayonnaise. J. of Food Sci. Volume 63, No. 4.

Kaya, A., Tekin, A. R., & Oner, M. D. 1993. Oxidative stability of sun flower
and olive oils: comparison between a modified active oxygen. method and
long term storage. Lebensm. Wiss. Technol., (26): 464-468.

Kiritsakis, A. K. (1984). Effect of selected storage conditions and packaging


materials on olive oil quality. Journal of American Oil Chemistry Society.
(61):1868-1870.

Ku, V.V.V. ,R.B.H. Wills. 1999. Effect of 1-methylcyclopropene on the storage


life of broccoli. Postharvest Biol. and Techn. (17):127–132.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 145


Daftar Pustaka

Laurila, E. R. Kervinen and R. Ahvenainen. 1998. The inhibition of


enzymatic browning in minimally processed vegetables and fruits
Postharvest News and Information.( 9) 4: 53N – 66N.

Labuza, T.P. 1994. The Maillard Reaction of Sugars with Proteins. Paper
presented at: Colorado Protein Stability Conference, Colorado University.

Labuza, T.P. 1983. Reaction kinetics and accelerated test simulation as a


function of Temperature didalam Computer-aided Techniques in Food
Technology (I.Saguy Ed.) Marcel-Dekker,NY.

Labuza, T. P. Schmidl. M.K. 1988. Use of sensory data in the shelf-life


testing of foods: Principles and graphical methods for evaluation. Cereal
Food World, 33(2):193-194; 196-198; 200-106.

Labuza, T.P. 1968. Sorption Isotherm in Foods. Food Tech 22(3): 263

Labuza, T.P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press.,
Inc., Westport, Connecticut.

Labuza, T.P. and M.K. Schmidl. 1988. Philosophy of and graphical


methods for evaluation of sensory data useful in the shelf life testing of
foods. Cereal FoodsÊWorld. 33:(193-206).

Labuza, T. P, and Fu, B. 1992. Microbial growth kinetics for shelf life
prediction: Theory and practice, in Proceedings of the International
Conference on the Application of Predictive Microbiology and Computer
Modeling Techniques to the Food Industry, R. L. Buchanan and S.
Pdumbo, eds., April 12 – 15, 1992, Tampa, FL.

Labuza, T. P., Fu, B. and Taoukis, P. S. 1992. "Prediction for shelf life and
safety of minimally processed CAP/MAP chilled foods," J. Food Prot.,
55(10):741 – 750.

Labuza T.P. C.G.A. Davies. 2000. The Maillard Reaction. Paper of The
Department of Food Science and Nutrition University of Minnesota, St.
Paul, Minnesota 55108.

Labuza, T. P. and Schmidl, M.K. 1985. Accelerated shelf-life testing of foods.


Food Technology, 39(9): 57-62, 64.

Labuza, T. P. 1971. Kinetics of lipid oxidation in foods. CRC Critical Reviews


in Food Technology (2): 355-404.

Leung,H.K. 1987. Influencs of water activity on chemical reactivity. Di dalam


Water Activity: Theory and Application to Food. Macell Dekker, Inc.NY.

Larmond, E. 1973. Methods For Sensory Evaluation Of Food. Canada


Department of Agriculture, Ottawa. Canada.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 146


Daftar Pustaka

Leong, L.P. , B.L. Wedzicha. 2000. A critical appraisal of the kinetic model
for the Maillard browning of glucose with glycine. Food Chem. 68: (21-28)

Lubis, Z. and K.A. Buckle. 1990. Rancidity and lipid oxidation of dried-salted
sardines. Int'l J. Food Sci. Tech. 25:295-303.

Lund, D.B. 1975. Effect of heat processing on nutrients. Di dalam Nutritional


Evaluation of Food Processing (R.S. Harris, ed.) AVI Publishing Co.
Westport, Connecticut

Li Hsieh, Y.T. and Regenstein, J.M. 1991. Factors affecting quality of fish oil
mayonnaise. J. Food Sci. 56(5): 1298-1301.

Li Hsieh, Y.T., Regenstein, J.M. 1991. Factors affecting quality of fish oil
mayonnaise. J. Food Sci.. 56(5): 1298-1301.

Leong, L.P., B.L. Wedzicha. 2000. A critical appraisal of the kinetic model for
the Maillard browning of glucose with glycine Food Chem. (68): 21-28.

Lai. D., Heldman, D.R. (1982). Analysis of kinetics of quality changes in


frozen foods.J.Food Proc. Eng.(6):179-200.

Martin, S.L. 1973. Selection and training of sensory judges. Food Technol.
Nov. 1973: 25-26.

Maca. J.V. , R.K. Miller , M.E. Bigner , L.M. Lucia , G.R. Acu. 1999. Sodium
lactate and storage temperature e•ects on shelf life of vacuum packaged
beef top rounds. Meat Science (53): 23-29.

Mathlouthi, M. 1994. Food Packaging and Preservation. Blackie Academic


and Professional, UK.

Martin, W.G. ,Tartie W.G., Cook, W.H. 1963. Lipid extraction and
distribution studies of egg yolk lipoproteins. Can. J. Biochem. Physiol.
(41):666-675.

Mine, Y., Bergougnoux, M. 1998. Adsorption properties of cholesterol


reduced egg yolk low-density lipoprotein at oil-in-water emulsion. J. Agric.
Food Chem. (46):2153-2158.

Marth. E.H. 1998. Extended Shelf Life Refrigerated Foods:: Microbiological


Quality and Safety. IFT-scientific status summary. Food Technol. Vol.. 52
No.2

Mettas ,A. 2000a. Modeling & Analysis for Multiple Stress-Type Accelerated
Life Data. The 46th Annual International Symposium on Product Quality
and Integrity - the Reliability and Maintainability Symposium. Los
Angeles, California, USA, January 24-27, 2000.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 147


Daftar Pustaka

Mettas ,A. 2000a. Modeling & Analysis for Multiple Stress-Type Accelerated
Life Data. The 46th Annual International Symposium on Product Quality
and Integrity - the Reliability and Maintainability Symposium. Los
Angeles, California, USA, January 24-27, 2000.

Mettas ,A. 2000b. Reliability Allocation and Optimization for Complex


Systems The 46th Annual International Symposium on Product Quality
and Integrity - the Reliability and Maintainability Symposium. Los
Angeles, California, USA, January 24-27, 2000.

Man, C.M.D. Jones. A.A. 1994. Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie
Academic & Professional, London.

Nelson, P.E., J.V. Chambers., J.H. Rodriquez. 1987. Principles Of Aseptic


Processing And Packaging. Food Processor Institute, NY.

Nkpa, N. N., Arowolo, T. A., & Osanu, F. C. 1992. Effect of various


packaging materials on storage stability of refined, bleached, deo- dorized
palm oil. Journal of American Oil Chemistry Society. (69):854-857.

Otremba, M.. M.,M.. E. Dikeman, E.A.E. Boyle. 1999. Refrigerated shelf life
of vacuum-packaged, previously frozen ostrich meat. Meat Science (52):
279-283.

Olson, R.L. 1960 Objective tests for frozen food quality. Conference on
Frozen Food Quality. November 4, 1960. USDA, Agri. Res. Serv., Albany,
CA.

OTA-The Office of Technology Assessment. 1979. Open Shelf-Life Dating of


Food. OTA Contract Report.. OTA-C-78-001. Washington, DC.

Paul, S., & Mittal, G. S. 1996. Dynamics of fat/oil degradation during frying
based on physical properties. J. of Food Proc. Eng. (19): 201-221.

Paul, S., & Mittal, G. S. 1997. Regulating the use of degraded oil/fat in deep-
fat/oil food frying. (Critical Reviews). Food Sci. and Nutr. (37):635-662.

Patel, A.A., Ghandi, H., Singh,S., Patil, G.R. 1996. Shelf-life modeling of
sweetened condensed milk based on kinetics of maillard browning. J.of
Food Proc. Preserv. (20):431-451.

Perales, I.,Garcia, M. I. 1990. The influence of pH and temperature on the


behaviour of Salmonella enteritidis phage type 4 in home-made
mayonnaise. Letters in Appl. Microb., (10): 19-22..

Peter S. M., , E. A. Murano.,D.G. Olson. 1998. Irradiated ground beef:


sensory and quality changes during storage under various packaging
conditions. J. Food Sci.. 63(3): 548-551.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 148


Daftar Pustaka

Qazumi, M. 1993. Proses Pembentukan Bau pada Minyak Kelapa Lombok.


Liberty. Yogyakarta.

Radford, S. A., Tassou, C. C., Nychas, G. J. E., Board, R. G. 1991. The


influence of different oils on the death rate of Salmonella enteritidis in
homemade mayonnaise. Letters in Appl. Microb., (12):125-128.

Radford, S. A.,Board, R. G. 1993. Fate of pathogens in home-made


mayonnaise and related products. Food Microb. (10): 269-278.

Riva, M. L. Piergiovanni and A. Schiraldi. 2001. Performances of time-


temperature indicators in the study of temperature exposure of packaged
fresh foods. Packag Tech Sci. 14:(1-9).

Ross, E.W., M.V. Klicka, J. Kalick and M.T. Branagan. 1987. A Time-
Temperature Model for Sensory Acceptance of a Military Ration. J. Food
Sci. 52(6):1712-1717.

Roller. S. Physiology of food spoilage organisms. Intern. J of Food Microb.


(50) : 151–153.

Ranganna, S. 1979. Manual of Analysis of Fruit and Vegatables Products.


Tata McGraw Hill Publ. Co. New-Delhi.

Rosenfeld, P.E. 1984. Shelf-life testing utilizing the Arrhenius model to


characterize a distribution system. di dalam: Engineering and Food
Processing Application. (B.M. Mc. Kenna, ed.). Elsevier Applied Science
Publisher. England.

Robertson, G.L. 1993. Food Packaging Principle and Practices. Marcel


Dekker, Inc. NY.

Rudolph, F.B. 1986. Prediction of shelf-life of package water sensitive foods.


Lebenm Wiss. u technol. 20(1):19-21

ReliaSoft Corporation. Copyright 1999. A Blueprint for Implementing A


Comprehensive Reliability Engineering Program. Datevisited:18/9/00.
http://www.weibull.com/Articles/RelIntro/Brining_It_All_Together.htm

Syarief.. R. 1986. Teknologi Pengemasan Pangan (Penuntun Praktikum).


Jurusan Teknologi Pangan Dan Gizi, Fateta-IPB, Bogor.

Syarief, R. 1992. Teknologi Pengemasan Pangan . Monograf. PAU


Pangan Dan Gizi IPB, Bogor.

Smittle, R.B.. Flowers, R.S. 1982. Acid tolerant microorganisms involved in


the spoilage of salad dressings. J. Food Protect. (45): 977-983.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 149


Daftar Pustaka

Saklar, S. ,S. Ungan,S. Katnas. 1999. Instrumental crispness and


crunchiness of roasted hazelnuts and correlations with sensory
assessment. J. Food Sci.. 64(6): 1015-1019.

Saguy, I., Karel, M. 1980. Modeling of quality deterioration during food


processing and storege. Food Technol., 34(2):75-85.

Symons, H. 1994.. Fozen Food. Di dalam.. Shelf Life Evaluation of Foods.


(C.M.D. Man, ed. ). Blackie Academic & Professional, London.

Singh, R.P. 1994. Scientific principles of shelf-life evaluation. Di dalam..


Shelf Life Evaluation of Foods. (C.M.D. Man, ed. ). Blackie Academic &
Professional, London.

Schaller-Povolny, L.A. ,D.E. Smith. 1999. Sensory attributes and storage life
of reduced fat ice cream as related to inulin content. 1999. J. Food Sci..
64(3): 555-559.

Sheard, P.R. ,M. Enser, J.D. Wood , G.R. Nute, B.P. Gill, R.I. Richardson.
2000. Shelf life and quality of pork and pork products with raised n-3
PUFA. Meat Science (55): 213-221.

Smittle, R. B. (1977). Microbiology of mayonnaise and salad dressing: (a


review). Journal of Food Protection, (40): 415-422.

Sidel, J.L. Stone, H. 19. Experimental design and analysis of sensory tests:
Use without abuse of sensory measurement. 36th Annual Meeting of the
IFT. June 6-9, 1976. Anaheim. California.

Schebor , C., , M. P. Buera , M. Karel ,J. Chirife. 1999. Color formation


due to non-enzymatic browning in amorphous, glassy, anhydrous, model
systems. Food Chem. 65 (:427- 432).

Surat Keputusan DirJen POM N0.02240/B/SK/VII/91, Tanggal 2 Juli 1991.

Sadler, G.D. 1987.Aseptic chemistry di dalam Principle of Aseptic Processing


and Packaging (P.E.Nelson, ed.). The Food Processor Institute,

Spiess, W.E.L., W. Wolf, 1987. Critical evaluation of methods to determine


moisture Sorption isotherm di dalam Water Activity: Theory and
Application to Food. Marcell Dekker, Inc. NY.

Shepherd, A.D. 1960 Relative stabilities of various frozen foods. Conference


on Frozen Food Quality. November 4, 1960. USDA, Agri. Res. Serv.,
Albany, CA.

Tawfik, M.S., A. Huyghebaert. 1999. Interaction of packaging materials and


vegetable oils: oil stability. Food Chem. 64: 451-459

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 150


Daftar Pustaka

Tan, C.P. Y.B. Che Man. 1999. Differential scanning calorimetric analysis for
monitoring the oxidation of heated oils. Food Chem. 67: 177-184.

Taoukis, P.S., K. Koutsoumanis, G.J.E. Nychas.1999. Use of time-


temperature integrators and predictive modeling for shelf life control of
chilled fish under dynamic storage conditions. Int. J. Food Microbiol. 53,
21-31,

Taoukis, P. S. and Labuza, T. P. 1989a. Applicability of time-temperature


indicators as food quality monitors under non-isothermal conditions. J.
Food Sci., 54(4):783 – 788.

Taoukis, P. S. and Labuza, T. P. 1989b. Reliability of time-temperature


indicators as food quality monitors under non-isothermal conditions. J.
Food Sci,. 54(4):789 – 792.

Taoukis, P., A. El Meskine and T. P. Labuza. 1988. Moisture Transfer and


Shelf Life of Packaged Foods (pp. 243-261). ACS Symposium Series 365,
Chapter 19, Food and Packaging Interactions. J. Hotchkiss, ed. ACS
Press.

Taoukis, P. S. and Labuza, T. P. 1992. Assessing the food quality monitoring


abiiity of a time-temperature indicator - reference to be added

Taoukis, P. S., Fu., B. and Labuza, T. P. 1991. Time-temperature indicators,


Food Technol., 45(10):70 – 82.

Taoukis P.S., Bili M. and Giannakourou M. 1999. Application of shelf-life


modeling of chilled salad products to a TTI based distribution and stock
rotation system. Commission of the European Communities, Agriculture
and Fisheries specific RTD programme, FAIR-CT95-1090

UU No.7 Tahun 1996. Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1996.

Vassiliou, P. 2000. Field Data is Reliability Information: Implementing an


Automated Data Acquisition and Analysis System. The 46th Annual
International Symposium on Product Quality and Integrity - the Reliability
and Maintainability Symposium. Los Angeles, California, USA, January
24-27, 2000.

Van Arsdel, W.B. 1957. The time-temperature-tolerance of frozen foods. I.


Introduction - the problem and the attack. Food Technol. 11:28.

Van Arsdel, W.B., and D.G. Guadagni. 1959. Time-temperature-tolerance of


frozen foods. XV. Methods of using temperature histories to estimate
changes in frozen food quality. Food Technol. 13:14.

Vernin, G. J. Metzger., T.Obretenov. 1983. La Reaction de Maillard.


L’Actualite Chimique, (3): 7-12.

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 151


Daftar Pustaka

Weibull, W. 1951. A statistical distribution function of wide applicability. J.


Applied Mechanics, Sept.1951, p. 293-297.

Weibull ReliaSoft Corporation. Copyright 2000. http://www. Weibull.com.


Date visited: 18/9/2000

Xiong . R. G. Xie, A.S. Edmondson. 2000. Modelling the pH of mayonnaise


by the ratio of egg to vinegar. Food Control (11) 49-56.

Yang, Y.M. K. Y. Han and B. S. Noh. 2000. Analysis of lipid oxidation of


soybean oil using the portable electronic nose. Food Sci. Biotechnol. (9):
3. (146-150).

Penetapan Waktu Kadaluwarsa Pangan 152


DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Anda mungkin juga menyukai