Anda di halaman 1dari 56

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 1

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 2


Penundaan
Jeda yang paling lama, adalah kali ini.
Terlalu banyak rencana, namun kejenuhan malah menerbitkan
penundaan. Sejak Pawon Edisi Baca Buku, nyaris tak ada lagi buletin
Pawon yang beredar. Beberapa agenda membuatnya terpaksa
ditunda.
Walau akhirnya Pawon bisa kembali terbit. Namun kali ini, tak banyak
yang terasa berubah. Jeda yang lama, bukan berarti benar-benar
vakum. Tetap banyak agenda yang dijalankan. Setidaknya,
Workshop Menulis Cerpen Sehari dan Workshop Menulis Puisi
Sehari yang digagas bersama Balai Soedjatmoko, menerbitkan
harapan baru. Penulis-penulis baru. Beberapanya bisa dilihat di
edisi ini.
Dalam penundaan itu pula, ada yang terus bergerak, tanpa tertunda.
#bincangsastra, yang bekerja sama dengan Solopos FM ternyata
sudah menginjak tahun pertama. Ini kerja yang seperti tak terasa
Bagaimana waktu benar-benar bagai keparat yang terus bergerak
sendirian. Di satu sisi memunculkan perayaan-perayaan baru, di
sisi yang lain menimbulkan keheningannya sendiri.
Penundaan jelas bukan sebuah kesalahan. Di antara beberapa kawan
lama yang tak lagi terlihat sosoknya, baik tulisan maupun tubuhnya
di setiap acara sastra, kami masih selalu berkumpul di Wedangan
Pendhapa. wedangan yang selalu menjadi pilihan kembali tempat
berkumpul., walau beberapa wedangan lain sempat disinggahi.
Penundaan tak membuat kami lupa mengabarkan diri, menjalin cerita,
atau -minimal- berkirim kabar tentang buku baru. Penundaan
merupakan satu cerita tersendiri. Walau kami paham, jeda yang
paling lama itu, adalah kali ini... (yh)

Koordinator Redaksi Yudhi Herwibowo


Redaksi Indah Darmastuti, Bandung Mawardi, Puitri Hati Ningsih, Fanny Chotimah,
Yunanto Sutyastomo, Ngadiyo, Serunie Unie, Impian Nopitasari
Desain Cover & Layout Yudhi Herwibowo
Alamat Vila Bukit Cemara No. 1 Mojosongo Solo 57127
Kontak 08122640769
E-mail pawonsastra@yahoo.co.id | Blog pawonsastra.blogspot.com

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 3


Imam Budiman

Pertanyaan tentang Puisi


; Sebuah perbincangan dinihari di saung lembang

mestikah puisi hariba tercipta dari lubuk luka?


pada sebuah bilik di mana kau dapat menangis semena-mena
sependar cahaya bersitatap pada penyair –yang sebenarnya
bukanlah siapa-siapa dalam kepura-puraannya itu

ia tak punya jawaban


selain dimainkan kembali asap dari lintingan tembakaunya

di sela aroma kopi yang dibuat pukul 4 pagi tersebut


sejarak embun menelusup antara dedaun teh ikut bertanya:
ataukah kau baru akan dapat bersajak dengan
melaui semacam semedi kata?

ia diam, sehening-heningnya
sebab ia tak pernah benar-benar memiliki jawaban

Bandung, 2015

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 4


Imam Budiman

Sepucuk Surat
; Amaliah Fitriani Noor

suguhkan kepada hujan kedua belah telapak tanganmu


akan diciptakannya lagu maupun sajak bernuansa gerimis

dan suatu ketika dibawakannya kita pada kenangan di masa


lampau
sekadar mengiringi liuk angin yang membuyarkan susunan
kertas-kertas
lalu kita saling kejar di antara kunang serta bulan yang
mengandung

masih kusimpan surat-surat itu


untuk jadi semacam hadiah di kelahiran anak pertamamu
kelak di saat tiba waktunya

2015

Imam Budiman, lahir di Samarinda, Kalimantan Timur. Puisi-


puisinya dimuat di beberapa media lokal dan nasional. Buku
kumpulan puisinya; Teriakan Bisu (2012), Perjalanan Seribu
Warna (2014). Kini berdomisili di Ciputat, Tangerang Selatan.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 5


Dony P. Herwanto

Matahari Tenggelam di Meteora


: Milana Zilnik

di thessaly, aku lebih memilih berdiri di atas enam utuh tubuh yang
menjaga perasaan-perasaan sunyi kalambaka. selepas hujan sore,
bagiku, adalah cara yang tepat untuk mengingatmu. jalan pulang dari
tebing-tebing curam.

entah di kuil sebelah mana, luka dari matahari tenggelam menyelinap


dan bertapa. barangkali, ia ingin menjadi anak kecil di pelataran-
pelataran yang menghadap sepi kota ini. barangkali, ia ingin menjadi
kesedihan yang ceroboh. atau barangkali, ia ingin bermain petak
umpet. sebab, itu cara yang tak asing untuk bersembunyi.

tiba-tiba, kesedihan jatuh satu per satu, seperti awan yang lupa
menjadi jalan pulang bagi rasa sakit. kau yang memilih menjadi kuil di
enam bukit tak pernah menyalahkan matahari terbenam, mengapa ia
meninggalkan begitu saja tanpa pamit. atau tangan kita yang tak
pernah cukup menampung kesedihan?

di thessaly, kita akan bersepakat menjelma ekliptika. kelak, jika


matahari tenggelam, kita akan saling berpelukan dan mencium ujung
hidung, sesekali saling mencubit lengan yang mulai kelelahan
menghitung kesedihan pada pendoa atau pendosa.

teraskecil, 2014

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 6


Dony P. Herwanto

Abid
tiba-tiba saja, pagi muncul dari kedua bola matamu
seperti pagi sebelumnya, aku tak pernah bertanya,
kenapa? dan kau buru-buru menutup matamu, ah
di sanalah, di pagi di matamu, aku lekatkan dalam
dalam tanganku. satu per satu, pagi meluncur deras
dari sela - rapat - jari-jariku. kaupun diam

berhari-hari, aku mencari pagi-pagi yang hilang


dari matamu. entah mengapa, kau tak lagi
mencintainya. aku mengejarnya hingga ke lipatan
detak pedih luka waktu. di kejauhan, dengan sekuat
tenaga, kau paksakan menutup matamu
dan aku tahu, kau begitu kehilangan

teraskecil, 2011

Dony P. Herwanto, Ngawi 24 April 1983. Sejumlah puisinya


pernah dimuat di Kompas.com, Jurnal Nasional, Jambi
Independent, Majalah Sagang, Majalah Hysteria, Radar
Tasikmalaya, Bali Post, Pabelan Pos, Solo Pos, LPM Psyche, Ibn
Sina, fordisastra.com. Juga masuk dalam sejumlah Antologi Puisi
Borgol #1 (2004), Antologi Borgol #2 (2005), Antologi Puisi 9
Penyair Jawa Tengah (Diterbitkan Taman Budaya Surakarta,
2007), Pernah ikut Tarung Penyair Panggung se-Asia Tenggara
2011 (Tanjungpinang). Kini bekerja sebagai wartawan di
Jakarta.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 7


Wahyu Wibowo

Menyimpan Rindu
Dan aku tetap menyimpan rindu
dari sekian lama persembunyian
yang aku sendiri tak mampu membaca diri
Katup masih enggan membuka jendela hati

Sebagian suara-suara yang terdengar


mengoarkan kebahagiaan. Tak perduli
apalagi memerhati sisi lain yang tak
hentinya mengais dan mengemis kasih
lantas, ruang-ruang pengap
adalah luka yang tak tergarap
apalagi terlihat untuk dilenyap

O, satu dua tiga tak memulai suara


dan rindu adalah nyawa yang
barangkali tepat untuk dihinggapi

Indralaya-Kediri, 2013-2015

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 8


Wahyu Wibowo

Dalam Angkot
dalam angkot pagi
tinggi-rendah melukai

Palembang-Kediri, 2011-2015

Wahyu Wibowo, penulis muda yang lahir dari rahim Sri


Mulyani di Muara Kelingi, 27 Juli 1993 lalu. Penulis belajar di
Bilik Literasi Solo ini merupakan peraih Anugerah Cerpen
Silampari 2013 dan Peraih FLP Sumsel Award Kategori Penulis
Favorit 2013. Penulis dapat dihubungi via Facebook dengan
nama: Wahyu Wibowo.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 9


Rifki Syarani Fachry

Syirvieh
Ribuan kunang-kunang biru
Hinggap di matamu.

Bulan ruby, sempurna mengekalkan sepi.


Belati yang kuayunkan ke jantung lelaki
Yang berbaring di sampingmu
Adalah amsal, laksana tungku api
Ahura Mazda.

Akan ada beribu haru


Di matamu membatu.

Tanah makam, mayat tangis


Gaun sutra menemanimu nanti menari.
Aku laksana belati
Khusrau kuhunus di jantungnya.
Sedang kau dengan selempang padang
Lebih tajam dari bilah Zulfikar.

Kutujah keluh
Kesepianmu.

2014

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 10


RifkiSyaraniFachry

Nur
Tatap matamu begitu damai
Seperti tarian Huriah Adam
Yang meliukkan benci
Jadi tetes hujan.

Bahkan kedip matamu


Meretas sunyi
Malam yang menghantui Polykleitos
Pada tiap patung telanjang.
Atau kegilaan Salvador Dali
Yang melukis fantasi
Pada kanvas mati.

Alis matamu menyulap


Warna hilang arti.

Nur
Semisal tarian Huriah Adam
Semisal patung telanjang
Atau lukisan abstrak
Matamu membuat
Hatiku retak.

2014

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 11


Rifki Syarani Fachry

Diskon
Mesjid dan gereja sepi
Mall ramai pembeli.

Tuhan lelap pada lembar brosur.


Mendengkur di setiap angka
Dengan potongan harga.

Domba-domba Ibrahim
Menjingjing sekantung
Belanjaan fana.

2014

Rifki Syarani Fachry, lahir di Ciamis, 29 Desember 1994.


Tinggal di Perum Kertasari blok V No. 58/59 RT 01/13 Kec.
Baregbeg Kab. Ciamis. Merupakan Mahasiswa tingkat 3
Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Unpad. Dapat
dihubungi melalui email di rifkisyaranifachry@yahoo.com atau
rifkisyarani@gmail.com

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 12


Lenang Manggala

Gadis Kecil dengan Payung Hitam


Berdiri di Bahu Jalan
Gadis kecil dengan payung hitam, berdiri di bahu jalan
Matanya raut sedih
Ada duka yang coba ditanak hingga mendidih

Gerimis sudah reda


Payung hitam sudah menjulang ditangannya
Badannya kuyup
Terdengar orkestra kelengangan sayup-sayup

Ditengoknya kancing bajunya yang terbuka


Ada luka nganga di tanah kelahirannya

Lenang Manggala, lahir 13 maret 1993. Buku kumpulan


puisigrafinya yang berjudul “Perempuan Dalam Hujan” (Kaifa,
2015) hasil kolaborasi dengan penulis spanyol, Marien Gadea.
Karya-karyanya juga tergabung dalam berbagai antologi
bersama. Sering menjuarai lomba cerpen, puisi dalam
berbagai ajang. Pun lolos dalam seleksi Workshop Cerpen
Kompas 2015 di Bali. Yang tertarik ingin berdiskusi sembari
menikmati secangkir kopi, bisa contak di email :
rumahkekata@gmail.com

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 13


F. Diannafi Abdillah

Melihat Daun-daun
Kau suka menyaring tubuh rinduku, menjadi bongkahan yang
membeku. Yang membeku mengajarkanku bagaimana caranya
bertanya dengan benar. Perihal tibanya musim panas atau musim
gugur
Kau suka memilah-milah sendiri musimmu. Jantungku kau cetak
menjadi musim panas, menjadi daun yang tak tahu dimana ia akan
jatuh. Daun-daun itu terbakar, jatuh dan kehilangan ruh
Daun-daun yang tidak bekerja sebagaimana mestinya
Akan meninggalkan yang beku pada musimmu yang sudah wafat
Di sebuah jembatan yang licin dan tak bisa ambruk, aku membangun
musimku sendiri dengan daun-daun yang ikhlas dan tak bisa jatuh.
Ia yang pertama kali memberitahuku
Perihal yang paling hakiki adalah yang rela melepaskan

Surakarta, 2015

F. Diannafi Abdillah, lahir 02 Oktober 1993. Study di UNS,


jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di
komunitas Senjanara dan Forum MSP. Bisa dihubungi di :
diannafiabdillah@gmail.com atau @DiannafiA

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 14


Aqib Wisnu Priatmojo

Pagi yang Terbit di Matamu


Matamu adalah langit timur
Dan dadaku adalah kota
Yang bersiap menerima cahaya pertama

2015

Aqib Wisnu Priatmojo, lahir di Bekasi 23 April 1993.


Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNS.
Aktif di komunitas Senjanara dan forum MSP. Karyanya telah
dimuat dalam beberapa antologi bersama dan media massa.
Bisa ditemui : aqib.wisnu@yahoo.co.id

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 15


Izzat Abidi

Disekap dalam Graha


Di akhir pekan ketika harusnya libur kurasa
Namun ada yang merenggut liburku
Merenggut masa aku untuk tenang dari urusan sepekan
Aku disekap dalam ruang dingin bersama mata orang-orang layu
Bersama tawa yang mereka paksa agar hidup
Bersama sekotak makanan ringan yang apalah isinya
Tak cukup untuk membungkam mulut, menahan gejolak perut

Ada temanku yang berkoar membakar semangat


Ia lupa membakar akan menghasilkan abu dan asap
Maka jadilah semangat itu seonggok abu dan asap yang membumbung
bebas

Bapak dan wakil presiden bisu melihat kami


Sayang, beliau berdua juga disekap dalam bingkai figura
Tersenyum dingin bersama kami
jadilah kami, orang-orangan dalam figura yang disekap dalam graha!

Izzat Abidi, lahir 5 Juni di Kota Magelang. Mahasiswa IAIN


Surakarta yang juga aktif di Tariqat Sastra Sapu Jagad.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 16


Instagram
Cerpen Rizka Nur Laily Muallifa

“Rizka, punya stok cerpen? Bisa kirim ke alamat redaksi?” Begitu bunyi
pesan yang nangkring di kotak masuk ponselku. Mas Yudhi, nomor sang
pengirim terdeteksi demikian.
“Yang belum dipublikasikan? Tidak punya,” balasku sembari
menggigit bagian bawah bibirku hingga menimbulkan dera di sana.
Tercetak ketika aku memeriksanya melalui kaca mobilmu. Ya, aku sedang
bersamamu dalam sebuah perjalanan yang belum kutahu hendak
berhenti di mana. Kau menculikku ketika aku dalam perjalanan pulang
dari kampus menuju kost. “Aku pinjam kamu sehari saja. Kita jalan. Aku
kangen,” katamu ketika kita sudah berada dalam mobil. Kau tak
memandangku sama sekali. Melainkan tenggelam dalam pekat hitam
jalanan.
Sepanjang perjalanan, kamu tetap acuh. Aku memaki-maki
tindakanmu, lebih-lebih karena merahasiakan hendak membawaku ke

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 17


mana. Mulutku sampai penuh busa menceritakan ulang perihal bapak,
yang tidak akan merestui tindakanmu memperlakukanku demikian.
Kamu tidak mengajakku ke diskusi buku, padahal bapak hanya
mengizinkanku keluar hingga larut bila itu berkaitan dengan buku.
Bertualang ke rimba yang hanya ada di balik gelap malam pun, bila itu
menyoal buku, bapak tidak akan keberatan. Tapi ini tidak. Bapak pasti
keberatan.
Aku makin kesetanan. Tidak bisa berhenti bicara.
“Kita akan ke pantai. Kau masih keberatan?” tanyamu
mengambang. Terdengar seperti rengekan yang butuh gelengan. Aku
memilih mengangguk.
“Kenapa mesti malam-malam? Kamu nggak ngerti-ngerti ya. Aku
perempuan. Aku satu-satunya anak perempuan bapak.” Nadaku tinggi
dan menggantung. Menunggu jawaban. Tepatnya menunggumu
memutar kendali mobil. Kembali ke Solo.

***

Kupikir kamu sedang butuh bercumbu dengan


debur ombak, dan bercerita pada Neptunus.
Sebelum kamu menulis cerita untuk buletin
komunitasmu, komunitas yang selalu kau bangga-
banggakan sebab menemukanmu dengan banyak
penulis kelas kakap. Aku menculikmu untuk itu.
Juga untuk memuaskan hasratku memotretmu.
Aku membayangkan, sepulang dari sini, kameraku
penuh dengan pose-posemu yang tak fotogenik. Di
situ, kau nampak bahagia berlebihan, sebab
menggandeng kekasihmu.
Pawon #45 tahun VIII/2015 - 18
Esok harinya, ketika kita dalam perjalanan pulang, sepanjang jalan
kita tak berbincang. Kau akan tenggelam dalam gadget-mu. Memilih foto-
foto yang akan kau unggah di akun instagram-mu. Lalu, yang selalu
kusuka darimu, airmukamu jadi nampak begitu serius. Memikirkan
caption apa yang cocok untuk foto pilihanmu. Meskipun bermaksud
diam-diam, akhirnya kau mafhum, aku selalu suka membaca captionmu.
Sekalipun tak pernah meninggalkan jejak, sebab aku tak pernah merasa
perlu memencet gambar hati di bawah postinganmu. Kau tahu aku tak
pernah absen membaca postinganmu.
Aku membaca dengan berlebihan. Mungkin itu yang belum kau
tahu. Hingga aku menjadi manusia paling peka terhadapmu. Kerapkali
aku menawarkan bantuan. Namun kau, lebih sering menolaknya. Seperti
malam ini. Aku tahu, sudah lama kau ingin menulis cerita. Tapi kau tak
kunjung mendapat inspirasi. Sebab kau tak banyak membaca. Sebab
kau tak percaya masih bisa menulis. Sebab kau begitu yakin tak akan
pernah jadi penulis. Kau bahkan merasa tidak akan pernah jadi siapa-
siapa, tandasmu dengan nada lirih pada sebuah malam yang sudah lama
berlalu.
“Balik kemudimu, pulangkan aku! Kalau kamu masih mau
kukenal.” Kamu menghardikku.
“Oke, kita balik ke Solo,” jawabku pendek. Aku enggan melihat
ekspresimu mendengar perkataanku.

***

“Sudah kau khatamkan Saman? Aku bawa Larung untukmu. Kamu


di mana? Larung yang bertanda tangan Ayu Utami. Asli.” Pesanmu bertubi
di whatsapp-ku. Setelah kejadian malam itu, seminggu aku tak mendengar
kabarmu. Kupikir kau pergi, seperti laki-lakiku sebelumnya.
“Aku di sekre pers mahasiswa. Mau antar Larung ke sini atau aku
ke tempatmu? Aku ke tempatmu ya? Kamu di mana? Apa kamu mau kita
makan? Bagaimana?”

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 19


“Aku di wedangan biasa. Kamu ke sini ya. Sendiri saja. Aku kangen
kita bicara berdua.” Sampai di sana, kau sudah memesankan nasi sayur
plus tempe tahu bacem kesukaanku. Ditambah es teh yang tetap
kuminum sekalipun aku sudah lama batuk-batuk. Kau menyerah
menasihatiku. Katamu aku makin keras kepala. Lalu kita makan dalam
diam. Kau selalu tak bisa diajak ngobrol ketika makan. Makan dulu, baru
bicara. Begitu katamu selalu. Angin malam menyisir rambutmu yang
nampak mulai gondrong. Beberapa helainya mulai menjulur ke bagian
wajahmu. Aku geli melihatnya. Rasanya ingin kusibakkan, tapi aku ingat
bahwa aku perempuan, kamu laki-laki, dan kita bukan siapa-siapa bagi
masing-masing. Maksudku, kita tak punya status apa-apa. Bukan pacar,
apalagi tunangan. Padahal jika ditimbang-timbang umur kita sudah pantas
untuk menikah. Atau minimal tunangan. Ah, yang kutahu, kita tak pernah
membicarakan hal itu. Bagiku, ada kamu setiap hari itu lebih dari cukup.
Setidaknya tidak pernah ada cerita yang menumpuk di ubun-ubun. Aku
perempuan. Aku tidak pernah bisa tidak bercerita. Bagimu, keberadaanku
beserta ribuan ceritaku setiap hari cukup menjadikan harimu warna-
warni. Kau merasa tak lagi ada gunanya hidup, ketika seminggu lalu
menyengaja menghilang dariku. Kemudian kau bilang, kau lelaki yang
tak bisa hidup tanpa cerita. “Sumpah, seminggu itu aku nggak ngapa-
ngapain. Aku cuma memutar ulang cerita-ceritamu. Bahkan aku
mengingat dengan keras detil cerita ketika kau memaksaku memutar
kemudi. Memulangkanmu ke Solo. Mirip ftv. Mirip cerita dalam novel
teenlit. Hahahaha…”
“Pernah mikir nggak, kita tak jarang mencaci maki sinetron-
sinetron sabun, mencibir ftv, lalu nyinyir terhadap novel-novel teenlit, e
lha kok hidup kita ternyata nggak ada bedanya sama itu semua?” kamu
membuka diskusi yang bisa dipastikan sulit menemui ujung.
“Hahaha… Baru mikir sekarang. Tapi tetap salah sinetron-sinetron
sabun itu. Mbok kalau bikin skrip itu dipikir-pikir. Jangan asal bapak
pemilik stasiun tv seneng aja. Kasihan yang nonton. Itu keterlaluan. Bikin
bodoh.”

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 20


“Kok mrembet sampai pemilik stasiun tv sih? Emang baliau
ngurusin begituan juga? Apa masih punya waktu, lha wong ngatur
jadwal dan rapat dengan pekerja tv supaya bendera partainya punya
porsi di setiap acara saja sering kekurangan waktu lho.”
“Ya nggak tahu. Barangkali.”
“Kamu ngawur. Eh bicara yang lain dong. Aku mau bicara serius
nih sama kamu. Tapi kamu jangan marah. Nanti ngilang lagi dari aku.”

***

Kamu bicara panjang sekali malam ini. Katamu, aku keranjingan


gadget. Kau menanyaiku tentang buku-bukuku yang sudah terbaca. Kau
kecewa sebab aku tak banyak membaca yang tertumpuk di salah satu
sudut kamarku. Kau bilang, kini kau tak begitu bergairah pada pribadiku.
Karena aku kebanyakan bermain gagdet. Bukan membaca seperti dulu.
Katamu, seandainya kita menikah, aku pasti jadi istri yang memilukan.
Sebab sudah pasti aku tak asyik lagi kau ajak diskusi.
“Aku tahu kau tak suka diatur-atur. Tapi kali ini aku harus
mengaturmu. Kamu tidak akan pernah jadi penulis kalau cuma mesra-
mesraan dengan gadget-mu. Kamu lupa kalau foto-fotomu di berbagai
kota yang kau unggah di instagram itu ialah berkat tulisanmu. Kecuali
kamu sudah puas. Sudah tidak bernafsu keliling Indonesia dan bertemu
para sastrawan di seluruh penjuru negeri. Apa begitu? Sudah puas? Coba,
sudah berapa lama kamu tidak menulis?”
“Lama sekali. Kamu begitu marah ya?”
“Kamu menulis lagi ya. Kita akan ke pantai kalau malam ini kamu
bisa menyelesaikan satu cerita. Bagaimana?”
“Jawab aku dulu. Kamu marah ya? Kamu marah ya, kalau aku
mengunggah foto setiap hari di instagram? Aku tahu, kamu cerita soal
ini ke Rendra kan? Kamu benci aku jadi perempuan yang suka jual
tampang di media social? Rendra bilang begitu ke aku.”

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 21


“Aku marah karena semua itu bikin kamu tidak menulis lagi.
Persetan dengan foto-foto yang kau unggah. Aku yakin, tetap tak ada
lelaki yang berani mendekatimu. Kecuali aku. Hahaha...” Lalu kau
menelusupkan matamu tepat di hitam mataku. Mata kita beradu.

***

“Dengarkan aku, aku ingin kau lebih narsis dalam tulisan dibanding
dalam instagram. Atau paling tidak, kamu bisa menyeimbangkan
keduanya. Ah, tapi aku lebih suka kau banyak menulis. Bukan banyak
berfoto lalu mengunggahnya untuk lelaki-lelaki di luar sana.” Aku terdiam.
Hatiku seperti ladang bunga anggrek yang siap dipanen. Kau lelaki sialan.
Aku tak pernah sedalam ini berperasaan. Aku tak pernah sekeras ini
memikirkan perkataan orang lain. Kau sialan. Lelakiku bukan? Jangan-
jangan bukan.

***

“Buka instagram. Itu paragraf penutup ceritaku. Sudak kukirim ke


redaksi. Heuheu… Jadi, kita ke pantai ya besok?” Kutekan tombol send
pada kontak bbmmu.

Surakarta, 22 Oktober 2015

Rizka Nur Laily Muallifa, mahasiswa UNS asal Bojonegoro.


Masih tersuruk-suruk membaca buku-buku dan sesekali
menulis cerpen.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 22


Kedai Datang dan Pergi
Cerpen Udiarti

Semua ruang yang didatangi, semua udara yang mengambang di atas


lantai ruang, dan semua debu yang menempel pada dinding tanpa denyut
nadi. Belum cukup puas untuk datang, kemudian perlahan akan pergi.
Begitulah siklus pada ruang ini, tak elak mereka selalu meninggalkan
bekas. Pedulikah setiap mata yang menatap kedatangan dan kepergian?
Kesunyian barangkali menjadi teman termengerti sejak patah hati
melanda keping-keping yang tersisa pada tubuhmu. Seseorang pernah
mengatakan itu padaku. Sialnya ia akan segera pergi, meninggalkan ruang
yang memang didesain untuk datang dan pergi. Boleh kembali atau boleh
juga lupa dan tak pernah kembali. Ia hanya meninggalkan dengan sengaja,
ampas kopi pekat yang ternganga di dalam cangkirnya.
Aku datang bukan untuk menyeduh kopi. Ini sebuah ritual,
mengerjakan hal-hal ambisius dalam ruang yang cuma didatangi ketika
bosan menyapa. Barangkali memang begitu, kadang rasa bosanlah yang

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 23


mendesak untuk segera merapatkan kaki dan duduk tenang menatap
atap kedai dengan dinding batu bata merah. Kusebut kedai, walau di depan
bertuliskan kafe. Kedai selalu terdengar lebih bangsawan katimbang
menyebut-nyebut nama kafe sedangkan kita hanya berbaju kaos oblong
dan celana jeans longgar yang cukup kumal. Nyaris lebih pantas dijadikan
lap pel lantai kayu kedai ini.
Kudengar sebuah lagu lama tengah diputar didalam ruang kedai.
Terdengar biasa, hanya saja makin sesak ketika di bagian lirik tertentu
mengumandang hingga ke sudut ruang kedai.
How i wish, how i wish you were here
We’re just two lost souls.....
Keadaannya malah makin menusuk ketika kuingat seseorang yang
duduk didepanku sudah enyah sejak setengah jam yang lalu. Ia
menganggap jiwanya tengah hilang karena sibuk mengembara sendiri.
Dan ia merasa bagai zombie yang hidup tanpa tujuan. Aku tak begitu.
Aku hanya sedang merasa benar-benar sendiri di dalam kedai. Tak lebih,
hanya itu.
Sudah hadir sedari tadi dua buah muffin chocolate dengan keju
parut di atasnya dan segelas minuman chocolate panas yang lagi-lagi
dikerumuni keju parut pada permukaannya yang sedikit berbuih. Hanya
itu yang bisa kupesan, karena hanya itu yang bisa kubayangkan
bagaimana bentuknya saat memesan dari pelayan kedai. Bisakah kau
bayangkan bagaimana nanti aku akan menghabiskannya sendiri?
Sedangkan muffin ini berukuran genggaman tanganku. Pelayan
mengambil cangkir bekas di depanku yang tadi disuguhkan pada
seseorang yang bersamaku.
Aku mulai lagi, mengeja-ngeja huruf dengan bantuan gadget.
Sejenak tak ada yang bisa meraih perhatianku dari layar, dan jari-jariku
yang sibuk merangkai huruf-huruf. Kemudian kedai ini memang penuh
orang yang berdatangan dan duduk dengan segala kegelisahan. Seorang
perempuan dengan kerudung hijau menutupi semua rambut, mencari

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 24


tempat duduk. Tapi tak ada tempat duduk yang kosong. Pelayan sudah
memberi tahu kalau kedai telah penuh, namun perempuan berkerudung
itu tak berlalu. Tanpa komando, ia justru duduk di depanku. Tempat duduk
bekas seseorang yang barusan meninggalkanku dan membuatku merasa
benar-benar sendirian.
Kupandang ia dengan raut penuh tanya. Ia hanya memaksa
senyumnya. Gerakanku terhenti. Dengan anggun, kucoba menyeruput
chocolate di depanku. Ia menatapku. Dan tentu aku tak ingin
membaginya. Ia tahu dan memanggil pelayan.
“Sama dengan mbak ini ya,” katanya. Ia meminta pesanan yang
sama dengan yang kunikmati. “Sudah lama di sini?” tanyanya setelah
pelayan memasuki dapur.
“Lumayan,” jawabku singkat, mencoba mengikuti gaya bicara cuek
milik seseorang yang - lagi-lagi kukatakan- baru saja meninggalkanku.
“Sendirian saja?”
“Iya.”
“Mengerjakan apa?”
“Tugas akhir.”
“Oh, kau anak kuliahan? Aku juga, tugas akhir juga membawaku
ke sini.”
Tidak salah lagi, ia juga akan mengeluarkan laptop-nya dan
mengetik seperti yang sedang aku kerjakan. Kulihat ia bertahi lalat di
bagian atas bibir kanannya. Bibirku juga seperti itu, tapi tak sehitam
milik perempuan itu. Tahi lalatku lebih terlihat cokelat muda.
“Tempat ini memang nyaman untuk menulis sesuatu. Lantai
kayunya yang bersih, dinding batu bata merah yang mengkilat dan
aksesoris terbuat dari jerami dan bambu. Membuatku teringat pada
rumah, kampung halaman.” Ucapannya, seperti ingin kujawab, “Siapa
yang tanya?” Tapi kuurungkan, karena wajahnya seperti terlihat begitu
mudah sakit hati.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 25


“Aku sudah beberapa kali ke sini, tapi baru kali ini kulihat dirimu.
Tubuhmu kecil, berkaos oblong bertuliskan ‘I am the sea’ dan celanamu…
lihat celanamu! Terlalu longgar, tidak pantas dengan rambutmu yang
keriting sebahu.” Ia berkomentar seakan-akan tak pernah ada yang
berniat menyobek bibirnya.
“Ini ritual,” jawabku lagi-lagi singkat.
Pelayan kemudian datang membawakan pesanannya. Bibirnya
tersenyum lebar, bersiap menyeruput minuman di gelasnya. Kulihat
terlalu lucu, karena ia tak lebih dulu meniup uap panasnya yang akan
menghantarkan aroma chocolate wangi ke segala penjuru kedai.
“Kau gila, siang-siang begini pesan minuman panas. Apakah
bibirmu tak terbakar?” gerutunya seolah peduli.
“Kau gila, kenapa mengikuti orang gila?” Kali ini kesabaranku
hampir selesai. Hampir, namun kemudian kutahan lagi.
Ia diam, mengerjakan tugasnya. Aku pun juga kembali sibuk
menulis. Perempuan ini sebenarnya cukup menggangguku. Ia merusak
pemandangan kosong pada kursi di depanku. Bagaimana bisa kuingat
lagi wajah laki-laki yang meminum kopinya tadi? Padahal aku baru saja
akan berbicara sendiri seolah-olah laki-laki tadi masih di sini. Barulah
kurindukan sesuatu yang bernama kedatangan. Barulah kucaci huruf-
huruf yang terbaca pergi. Sedari tadi memang sunyi, namun tak
kuinginkan keramaian yang penuh dengan kalimat-kalimat perempuan
tak dikenal di depanku. Lebih baik sunyi dengan yang ada hanya aku
sendiri. Barangkali kesunyian akan memanggil laki-laki itu untuk datang
dan kembali menyeruput kopinya di depanku.
Betapa aku tak ingin melupakan desah dari setiap suara yang ia
kalimatkan. Desah yang diiringi gemeretak gigi-gigi tak rata jika tertawa.
Betapa tak ingin kubiarkan ia pergi berulang-ulang dari penglihatanku.
Namun salah satu kegemarannya memang itu, datang untuk
meninggalkanku.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 26


Pernahkah ia mengingat pada suatu pantai
yang ombaknya mendesah syahdu, kemudian
membuat basah butiran pasir di ujung sana dan
meninggalkannya untuk kering? Pernahkah ia
sadar, pada suatu pantai bayangannya akan selalu
hadir di permukaan pasir, entah basah ataupun
kering? Ia tak pernah mendengar cerita dari butiran
pasir itu. Ia juga tak pernah mau tahu soal apakah
akan basah atau kapan mulai kering. Hatiku
terlukis bagai pasir yang diam bergumul dengan
sampah tepian laut.
“Kau tak sedang menunggui seseorang kan?” suara perempuan
berkerudung hijau mendobrak lamunan yang kudewakan sedari tadi.
“Entahlah, untuk apa di sini terlalu lama?” Jawabku, sambil
mengempaskan punggungku pada kursi kedai. Kini, semua terasa lebih
ringan. Kuputuskan meninggalkan kedai, kututup laptop lalu beranjak
berdiri. Perempuan itu mendongak, menatap wajahku.
“Kau benar-benar akan pergi? Kau tak merasa lebih baik di sini
saja dan menghabiskan muffin-mu?” tanyanya. Kulihat kedua matanya
nampak kecewa melihatku beranjak. Padahal tak sekalipun aku
menanggapi ocehannya. Kukira aku akan jadi membosankan ketika di
depannya.
“Tak perlu, aku akan pulang saja. Satu muffin itu untukmu saja.
Kau nampak kelaparan.” Kulihat muffin chocolate-nya sudah tinggal
setengah buah saja.
“Padahal temanku akan datang, dia pasti menyukai berkenalan
denganmu. Temanku itu laki-laki bertubuh tinggi yang menggilai
perempuan keriting sepertimu,” katanya. Aku bahkan tak perduli tentang
temannya yang akan datang.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 27


“Kursinya hanya ada dua,” elakku. “Sudahlah, aku sudah cukup
lelah. Selamat tinggal.” Kutinggalkan ia dan benar-benar menuju kasir.
Kubayar semua yang kupesan. Namun sepertinya terlambat, seseorang
sudah membayarkannya semua. Kutebak laki-laki yang kudewakan tadi
itulah sudah membayar membayarnya. Aku bahkan tak sempat
mengucapkan terimakasih.
Kulupakan tentang kedai ini. Kubawa motorku keluar dari
parkiran. Mencoba menghapus jejak seolah aku tak pernah ke sini, tak
pernah menghabiskan waktu dari pagi bersama seorang lelaki bertubuh
tinggi, dan kemudian baru pulang di siang hari, hampir menjelang pukul
satu siang.
Ah, kesunyian benar-benar adalah teman sejati.

***

Pada sebuah kedai, tempat datang dan perginya seseorang. Perempuan


berkerudung hijau menanti dengan sabar. Ia menahan tak akan memakan
muffin chocolate yang tadi dipesan seorang gadis berambut keriting,
meskipun sebenarnya ia sudah lapar sekali. Seorang laki-laki bertubuh
tinggi, datang ke kursinya.
“Kupukir tadi pagi aku sudah datang ke sini. Sialnya kau mengajak
lagi,” kata si lelaki.
“Kau terlambat, baru saja seorang gadis berambut keriting dengan
kaos ‘I am the sea’ terlihat manis dengan muffin di tangannya. Kupikir
kau akan menyukainya dan mengakhiri kesunyian ini.”
“Tak perlu, aku sudah cukup mengenal kesunyian dengan baik.”
Mata laki-laki itu menerawang sambil duduk di depan perempuan
berkerudung itu. Merasa bersalah adalah ungkapan yang ia simpan siang
itu. Mengingat kembali. Pukul sembilan pagi ia datang bersama seorang
gadis, namun di pukul 11 ia memutuskan untuk pergi, meninggalkan

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 28


gadis itu demi bersiap-siap bertemu dengan gadis lain. Tak pernah ia
kira, datang dan pergi hanyalah sebuah cara untuk saling meninggalkan.

***

Udiarti, alumni Seni Tari ISI Surakarta. Lahir di Gunung Kidul


27 Juli 1993. Tinggal dan mengajar sekolah dasar di
Kabupaten Karanganyar. Seorang perempuan biasa yang
menyukai dunia seni dan sastra.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 29


Militerisme dalam Bacaan Anak
Esai Muhammad Yunan Setiawan

Bacaan-bacaan anak berkontribusi memberi penghormatan kepada


peran tentara. Kisah perjuangan tentara bertaburan dalam bacaan anak.
Kesengajaan menghadirkan kisah perjuangan demi menanamkan
kecintaan pada Indonesia. Tentara ditampilkan sebagai sosok
bergelimang teladan. Pengisahan tentara dalam bacaan anak
memengaruhi anak dalam mengimajinasikan masa depan dan Indonesia.
Kita dapat melacak alur pengisahan tentara dalam bacaan anak dari
tahun ke tahun. Kita bisa mulai dari buku berjudul Untuk Negeri Tercinta
garapan Slamet Mashuri (1985). Buku mengisahkan seorang cucu yang
kagum kepada masa lalu kakeknya yang pernah berprofesi menjadi
tentara. Kekaguman bermula ketika melihat foto sang kakek
mengenakan seragam militer. Kekaguman diungkapkan sang cucu dalam
deskripsi detail seragam militer: “Kakek mengenakan topi berbentuk
sampan kecil. Ujung topi itu mencuat di depan dahinya… ada lencana

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 30


merah putih di sisi kanan topi itu. Tidak ada tanda pangkatnya. Tidak ada
pula tanda-tanda ketentaraan lainnya. Hanya bajunya berpotongan
seperti pakaian tempur masa kini.” Seragam mengisahkan profesi. Sosok
tentara dikenal lewati topi, seragam, lencana.
Memasang foto tentara anggota keluarga berpamrih untuk
menunjukkan kehormatan pada peran militerisme. Secarik foto
bergambar tentara di rumah mampu mengisahkan kehormatan dan
kekuasaan keluarga. Memasang foto anggota keluarga yang menjadi
tentara adalah keharusan. Kita tentu tidak asing dengan rumah-rumah
yang ditempeli foto bergambar serupa.
Penggambaran tokoh tentara mendominasi dalam bacaan anak
bertema perjuangan sejak zaman kerajaan sampai masa republik
Indonesia. Suguhan cerita-cerita perjuangan berpamrih untuk
menyalurkan nasionalisme. Produksi cerita perang semakin membesar
pascakemerdekaan. Bacaan anak mengekalkan kegentingan Indonesia
pada periode 1940-an. Cerita disuguhkan bermaksud mengenalkan
makna peran tentara. Kehadiran tentara dalam menjaga Indonesia perlu
mandapat sanjungan sejak anak-anak masih bocah ingusan berlanjut
sampai dewasa. Kekaguman masyarakat pada tentara terekam dalam
buku Kelelawar Hitam Bercakar Macan (1993). Simaklah: “Di luar desa,
iring-iringan itu tampak indah dan mengagumkan. Prajurit-prajurit yang
gagah satu per satu berbaris ke belakang mengiringi Tarman, memanjang
seperti iring-iringan semut berjalan.” Kehadiran tentara di pedesaan
memanen pujian. Masyarakat desa menaruh hormat dan puji pada
tentara. Kegagahan mengesankan kewibawaan. Desa tak luput dalam
kisah tentara dalam menjalani hidup atau tugas kerja. Desa pun sering
hadir dalam biografi tentara, seperti kisah Jenderal Soeharto.
Kita mesti ingat biografi Soeharto berjudul Anak Desa: Biografi
Presiden Soeharto karya O.G. Roeder. Desa menjadi ruang memasuki
masa kecil bagi bocah-bocah Indonesia pada awal kemerdekaan. Desa
sulit terlupa meski akhirnya sang jenderal bertahun-tahun hidup di kota.
Kita bisa menyimak pengisahan O.G. Roeder (1990) dalam mengisahkan

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 31


situasi pedesaan Soeharto: “Ia dilahirkan di sebuah dusun kecil di tengah-
tengah sawah, salah satu di antara ratusan kampung yang terdapat di
Jawa Tengah.” Desa menjelaskan kesederhanaan hidup masa kecil
Soeharto, sekaligus sebagai anak yang penuh perjuangan. Desa
menempati lakon penting bagi jenderal-jenderal di Indonesia. Desa tak
pernah menepi dalam lembaran kisah sang jenderal.

Imajinasi Tentara
Tentara tak melulu dikisahkan berlatar peperangan. Tema-tema
yang reda dari peperangan pun turut menyisipkan kontribusi tentara
bagi negara. Secuil kisah tentara hadir dalam Cintailah Bumi di Negerimu
garapan Manto (1983). Pengarang menyajikan puisi berisi pujian kepada
tentara. Puisi digubah untuk memperingati hari jadi tentara yang jatuh
pada 5 Oktober. Puisi berjudul Harapan di Hari Jadimu semacam kado
ulang tahun untuk keluarga besar militer. Kita simak puisinya: Di Hari
jadimu,/ Wahai ABRI nan jaya/ Aku rakyat penghuni persada
Indonesia/ Bangga, gembira, kau tetap sentosa/ Siap siaga… rela.
Penyebutan “ABRI” menandakan masa Orde Baru. Kekaguman kepada
tentara terus mengalir dari masyarakat pelbagai profesi. Penyisipan kata
“siap siaga” dalam puisi mengesankan kata yang melekat pada militer.
Pengenalan kata-kata yang melekat pada militer seperti, “lapor”,
“perintah”, “komando”, dan “siap” telah merasuk dalam kehidupan anak-
anak. Jangan heran jika bahasa anak-anak sering bernada militeristik.
Kita sering mendengar anak-anak berucap “Siap, Pak!” Lewat bahasa
anak sudah mengakrabi dunia militer. Dalih menggunakan bahasa-
bahasa militer untuk menggambarkan kegagahan dan kepatuhan.
Kegagahan tentara ditiru lewat seragam, tingkah laku fisik, dan bahasa
pergaulan.
Bacaan anak telah menanamkan imajinasi kegagahan, kepatuhan,
perjuangan, pengabdian. Anak-anak mulai mengimajinasikan menjadi
tentara bermisi menjaga negara. Kehendak menjadi tentara dipicu
imajinasi-imijinasi kegagahan tentara yang hadir dalam bacaan anak.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 32


Sering, kegandrungan anak atau orang tua memilih tokoh militer dalam
acara karnaval membuktikan bahwa profesi militer masih menjadi
dambaan. Namun, karena penggunaan militer yang sering di luar batas-
batas kewajaran dan penyelewenangan koruptif di tubuh institusi militer
pada masa Orde Baru, termasuk di daerah yang terkena daerah operasi
militer, imajinasi-imajinasi tentara berubah menjadi buruk dan jelek
seiring runtuhnya Orde Baru. Militer itu penting dalam tata kenegaraan
Indonesia, tapi kita belum tahu cara memulihkan imajinasi tentara pasca-
Orde Baru bagi anak-anak Indonesia.

Muhammad Yunan Setiawan, merupakan mahasiswa


Hukum Universitas Semarang

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 33


Takdir di Pulau Komodo
Kisah Buku Danang Febriansyah

Bagaimana kalau kita dihadapkan


pada suatu daerah yang belum
pernah kita kunjungi atau daerah
yang asing? Atau wilayah yang
kondisinya sama sekali berbeda
dengan apa yang kita perkirakan
sebelumnya? Mungkin jawaban-
nya, kita akan segera pergi dari
daerah itu. Tapi jika pergi ternyata
tidak menyelesaikan masalah,
maka jawab lain adalah: kita
akhirnya memilih untuk tetap
berada di sana. Namun bertahan di sanapun ada dua dampak yang
mungkin terjadi. Kita bisa saja terancam akan keganasan yang ada di
sana dan kita habis ditelan jaman. Namun jika berhasil, kita akan menjadi
legenda dan semua orang membicarakannya.
Novel Komodo Inside ini salah satu jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan itu. Merupakan novel dengan kearifan lokal Pulau Komodo.
Berdasar setting tempat dan budaya di Pulau Komodo itulah, novel ini
ditulis.
Berawal dari janji bertemunya Hapsa seorang pemuda yang
dimintai tolong temannya, Tunas dan kawan-kawan Tunas, sebuah

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 34


kelompok yang berisi mahasiswa dan mahasiswi dari UGM, Yogya. Hapsa
bertugas untuk menjadi guide bagi kelompok mahasiswa tersebut dalam
misi meneliti tentang komodo. Kabarnya, penurunan habitat komodo
belum pernah diteliti secara serius, hingga kepunahan komodo yang
mengancam belum diketahui secara pasti peyebabnya. Penelitian
tersebut untuk survei mencari data tugas akhir kuliah mereka.
Penerbangan mereka sampai di Bandara Ngurah Rai, Bali. Di sana
mereka mendapat kabar bahwa Pulau Komodo ditutup total, tak boleh
ada yang datang, apapun alasannya. Hal itu malah membuat para
mahasiswa itu tertantang untuk mengetahui alasannya.
Dengan dibantu Aida, seorang teman Hapsa yang asli dari daerah
Pulau Komodo, kelompok itu berhasil masuk ke Pulau Komodo dengan
sebuah rekayasa. Di sana akhirnya berkenalan dengan Labirin Leka yang
betugas menjadi ranger atau semacam polisi hutan.
Pertemuan meraka juga berlanjut ke pertemuan dengan kelompok
peneliti Kell Fraser yang membuka banyak kisah, salah satunya
penemuan serendipity di tengah musim kemarau basah yang bisa
mengancam habitat komodo.
Bahkan pertemuan-pertemuan yang terjadi dengan banyak orang
seakan menuntun mereka pada perjumpaan dengan takdir. Masing-
masing kelompok mahasiswa dan kelompok peneliti mendapatkan
semacam nasib setelah pergulatan dengan masalah-masalah yang timbul,
bahkan kadang mengancam nyawa mereka selama di Pulau Komodo.
Sampai pada takdir Hapsa yang mengalami perjumpaan misterius
dengan seorang gadis yang bernama Eleanor, perempuan yang
mengingatkannya pada kisah tentang legenda Pulau Komodo.
Penulis novel Komodo Inside ini, Yuditeha yang bertempat tinggal
di Karanganyar, Jawa Tengah mampu menuliskan secara gamblang
tentang keadaan Pulau Komodo, sehingga kita sebagai pembaca seakan
terbawa ke sana dan merasakan keadaan dan budaya di sana. Dengan
dialog yang mampu mengalir sehingga alur yang ada tak ada yang tak
berguna, semua saling berkaitan. Apalagi bahasa yang digunakan mudah
dicerna sehingga kejenuhan saat membaca itu tak pernah ada.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 35


Komodo Inside mampu membuat pembaca selalu terbawa tentang
kisahnya meski novel telah selesai dibaca. Penulis mampu mengobrak-
abrik pikiran dengan memunculkan misteri untuk menemukan
jawabannya.
Ini novel yang keluar dari tren teenlit yang ada belakangan ini,
namun ini bisa memberi inspirasi bahwa kita yang belum begitu
mengenal komodo pun bisa merasakan bahwa Indonesia itu istimewa.

| Judul Buku Komodo Inside | Penulis Yuditeha | Penerbit Grasindo |


| Tahun Terbit 2014 | Jumlah Halaman I-VI + 106 Halaman |

Danang Febriasyah, tinggal di Bendo RT. 02/02, Ds. Ngaglik,


Kec. Bulukerto, Wonogiri, 57697. Aktif di komunitas Sastra
Alit Solo dan Forum Lingkar Pena Solo. Tulisannya pernah
dimuat di berbagai media, di antaranya: Solopos, antologi Joglo
- TBJT, Majalah Hadila, Majalah Serambi Al-Muayyad,
nulisbuku.com dan di beberapa buku Antologi Cerpen Temukan
Warna Hijau, Luka-luka Bangsa, Lot & Purple Hole. Bisa
dihubungi di danankfeb@gmail.com. Atau di akun Facebook:
Danang Febriansyah dan Blog: danangfeb.blogspot.com

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 36


Flipped Upside Down
Layar Kata Fanny Chotimah

Flipped (2010) film cinta-cintaan


ABG puppies love mengisahkan
Julie Baker (Madeline Carroll)
menjadi girl next door Bryce Loski
(Callan McAuliffe) yang baru
pindah rumah. Saat itu umur
mereka 7 tahun, Julie sudah jatuh
cinta saat pandangan pertama pada
Bryce. Bagi Julie ada sesuatu dari
kedua mata biru Bryce yang
seolah-olah bersinar, lalu senyum-
nya menggetarkan hati membuat
rona merah di pipi. Mitos bahwa
lelaki malu-malu menunjukkan
perasaannya, dipercayai Julie. Karena itu Julie menjadi agresif dalam
menunjukkan rasa sukanya pada Bryce. Saat hari pertama Bryce masuk
sekolah dan kebetulan satu kelas dengan Julie, tak segan-segan Julie
memeluk erat Bryce. Hal ini membuat Bryce risih, wajarlah apalagi harus
menghadapi ejekan teman-temannya.
Waktu berlalu, keduanya tumbuh remaja dan selama itu Bryce
berusaha menghindari Julie dengan melakukan apapun agar Julie
menjauhi dirinya. Hingga di titik tertentu, Julie benar-benar benci dan
kecewa pada Bryce. Namun pada saat itulah, keadaan berbalik. Kini
giliran Bryce yang tersadarkan bahwa Julie adalah gadis yang spesial.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 37


Film ini diaptasi dari sebuah novel remaja berjudul Flipped (2001)
karya Wendellin Van Draaner seorang penulis anak. Cerita dan film ini
bersetting sekitar tahun 60-an, jaman kejayaan kemeja kotak-kotak dan
rambut dikepang dua. Yang menarik kisah ini dinarasikan melalui dua
perspektif: perspektif Bryce dan perspektif Julie.
Perspektif perempuan dan laki-laki sehingga kadangkala ada hal
lucu bagaimana satu kejadian dimaknai berbeda. Kisah mereka tak hanya
berpusat pada hubungan asmara dan kejar-kejaran Tom & Jerry belaka.
Baik Julie dan Bryce tumbuh mengenali diri, keluarga, dan lingkungan
mereka. Bagi Bryce, Julie anak perempuan aneh yang suka memanjat
pohon besar di tempat perhentian bus sekolah. Julie memanjat hingga
ranting paling tinggi, lalu akan berteriak menginformasikan posisi bus
sekolah, Bryce benci sekali saat Julie melakukan hal itu. Sedang bagi
Julie saat dia berada di puncak pohon dia bisa melihat landscape kota
yang indah saat matahari terbit dan terbenam. Itulah sebabnya dia suka
berada di sana dan berlama-lama menikmati pemandangan itu.
Sayangnya pohon tinggi tersebut harus ditebang. Terang saja Julie
berusaha mempertahankan pohon itu. Pagi itu Julie mogok tak mau
turun. Ia menangis putus asa meminta dukungan teman-temannya
termasuk Bryce. Kejadian ini menggegerkan seluruh kota. Sehingga Julie
menjadi headline di koran. Chat -kakek Bryce- yang selama ini jarang
sekali berbicara dengan Bryce menanyakan siapa Julie dan memuji
keberaniannya. Hal ini membuat Bryce semakin sebal. Hingga suatu
malam Bryce membaca artikel koran yang memuat berita Julie.
“And the way she talked about what it felt like to be up in that
tree.. to be held above the earth, brushed by the wind..” Tidak ada seorang
pun gadis SMP seumurnya yang bisa berkata-kata seperti Julie. Pada
momen itu Bryce merasakan perutnya diserbu seribu kupu-kupu.
Hal menarik lainnya dari kisah Flipped, bahwa di sekolah mereka
ada satu tradisi charity ‘Basketboys’. Sepuluh pria terpilih karena
memenuhi salah satu kategori dari populer, tampan, pintar, atau
mempunyai prestasi. Mereka akan berdandan rapih dengan
menggunakan jas berdasi kupu-kupu, membawa sekeranjang bekal

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 38


untuk piknik makan siang. Kesepuluhnya kemudian akan dilelang sebagai
teman kencan para anak perempuan. Bryce diperebutkan oleh dua anak
perempuan sehingga mencapai rekor lelang tertinggi 50$!
Bagi saya tradisi semacam ini penting sebagai dekonstruksi budaya
patriarki, Basketboys menempatkan laki-laki sebagai objek dan
perempuan memiliki kekuasaan untuk memilih teman kencan pilihan
hatinya.
Selalu ada yang bisa dipelajari dari cinta, dari patah hati, dari rasa
kecewa, dan dari kenangan. Seperti wejangan Richard Baker (ayah Julie)
sebagai seorang pelukis landscape, bahwa sebuah keindahan tak bisa
dilihat dari satu bagian melainkan secara keseluruhan.
So, Have you look the whole landscape?

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 39


Pawon #45 tahun VIII/2015 - 40
Tentu menarik ketika kita bisa mengetahui pemikiran atau pendapat
tentang Sastra dan nilai-nilai subtil menyoal dunia membaca dan menulis
dari sastrawan, siapa pun dia. Baik itu senior yang artinya telah lama
berkelindan dengan dunia baca-tulis sastra, atau yunior yang belum lama
menggeluti sastra. Pawon tak memersoalkan itu. Bagi kami, setiap orang
adalah guru.
Dan pada kesempatan kali ini, Pawon mengajak pembaca untuk
menyimak lebih dekat bagiamana asyik dan menariknya dunia sastra
Damhuri Muhamad. Pawon telah memersilakan Indah Darmastuti
untuk bebincang.

Menurut Mas Damhuri, apa yang terpenting dari kehadiran


sebuah karya sastra?
Yang tak dapat disangkal, karya sastra adalah produk dari kerja artistik,
atau kita sebut saja karya seni. Tapi bagi saya, karya sastra adalah
semacam jalan lain yang dapat mengantarkan para pembaca atau
penikmatnya pada kejernihan dalam melihat peristiwa-peristiwa
kemanusiaan. Filsafat dan segala bentuk disiplin keilmuan sosial-
humaniora turunannya tentu berpretensi menyingkap kejernihan dari
berbagai persoalan kemanusiaan, dengan segala macam pencapaian
meta-teoritiknya, namun ada tanjakan, turunan, atau medan-medan
terjal-berliku tertentu yang hanya bisa ditempuh-diterabas oleh karya
sastra. Itu sebabnya ketika eksistensialis Jerman, Martin Heidegger,
kewalahan membahasakan gagasan-gagasan kefilsafatannya, ia tunjuk
saja salah satu puisi karya Friedrich Hölderlin. “Nah, itu maksud saya,”
kata Heidegger. Dengan begitu, saya ingin mengatakan, kehadiran karya
sastra adalah kehadiran karya kreatif yang sedapat-dapatnya berupaya
menggilas,menghancur-luluhkan ide-ide metateoritik yang rigid itu, di
dalam dunia imaji. Produk akhirnya bisa berupa kisah, cerita, dongeng
atau bahkan mitos yang secara terang-terangan hendak dimusnah-
lenyapkan oleh kedigdayaan filsafat. Kehadiran karya sastra, bagi saya,
mesti dipandang sebagai kehadiran pikiran dalam wujud yang ganjil,

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 41


tanpa pretensi, tanpa arogansi untuk meniscayakan, bahkan seolah-olah
tanpa tujuan (telos) sama sekali. Sifat “rendah hati” itulah yang membuat
karya sastra menjadi istimewa dan senantiasa dihormati hingga kini.
Jika melihat kondisi sekarang, meluapnya buku-buku
yang diterbitkan tidak berbanding lurus dengan minat
baca. Bahkan Indonesia tergolong Negara yang rendah
minat baca, menurut Mas Damhuri, apa yang harus
dilakukan untuk mengikis prosentase itu?
Di dunia literasi, tugas kita tidak bisa berhenti setelah buku-buku
diproduksi dan ter-display di toko atau perpustakaan. Menurut hemat
saya, dalam revolusi teknologi informasi yang terus bergulir hingga
kelisanan merajalela dalam cara dan metoda yang paling mutakhir, minat
baca mesti dirangsang dan dibangkitkan. Bila tidak, masyarakat kita akan
semakin terkepung dalam “imperium kelisanan” yang berbahaya.
Semestinya negara hadir dalam persoalan minat baca ini. Tapi celakanya,
pemerintah malah membubarkan Dewan Buku, yang sebenarnya dapat
diharapkan bekerja dalam membangun dunia literasi di Indonesia. Begitu
juga dengan asosiasi penerbit seperti IKAPI. Alih-alih berkomitmen
membangun iklim literasi, malah sibuk dengan pekerjaan Event
Organizer (EO) pameran-pameran buku, baik dalam maupun luar negeri.
Tidak ada itikad, apalagi political will, untuk membangun iklim literasi,
baik di lingkungan produsen buku itu sendiri, apalagi di lingkungan
pemerintah. Komunitas-komunitas penggerak dunia literasi semacam
Pawon inilah yang akhirnya mengambil tugas besar itu. Dengan segala
keterbatasan mereka membangun kantong-kantong perayaan dunia
membaca. Jumlahnya mungkin tidak banyak, hasilnya mungkin tidak
bisa massif, tapi apa boleh buat. Hanya itu yang bisa dilakukan di republik
yang terus-menerus mendambakan sebuah social-capital guna
menggerakkan roda perubahan. Tapi social-capital apa yang bisa
diharapkan dari masyarakat yang “buta-huruf”?
Akhir-akhir ini, kita sering mendapati buku-buku yang
tergolong baru, sudah masuk ke dalam daftar buku obral.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 42


Menurut Mas Damhuri, apa penyebab paling berat dalam
kasus itu?
Itu faktor bisnis saja. Industri tentu tidak boleh berjalan lambat. Break
Even Point (BEP) alias balik modal harus segera tercapai. Cara paling
cepat, ya ngobral. Itu karena para produsen tidak berupaya membangun
iklim literasi. Kalau minat baca tinggi, buku-buku tidak harus banting
harga untuk dapat terjual. Begitulah akibat dari kurangnya perhatian
kita pada dunia membaca. Sepanjang iklim membaca tidak kita bangun,
buku akan senantiasa diobral. Bahkan setelah dijual-murah pun tetap
saja tidak laku. Apalagi buku sastra.
Apa enaknya menjadi penulis bagi Mas Damhuri?
Yang pasti, jumlah enaknya lebih sedikit dari jumlah tidak-enaknya.
Dengan profesi sebagai penulis saya merasa punya perkakas untuk
menyuarakan kemarahan, kekecewaan, termasuk kegembiraan. Tapi,
tentu tidak bisa berhenti sampai di situ. Kebahagiaan yang tak terhingga
bagi seorang penulis bukan hanya saat karyanya sekadar dibaca, tapi
justru bilamana karya-karyanya ditimbang pantas menjadi rujukan
dalam riset dan kajian-kajian yang relevan. Di titik itu, seorang penulis
merasa kerja kreatifnya bermanfaat bagi orang banyak. Tak sekadar
dipuji, atau diberi penghargaan, yang manfaatnya hanya untuk penulis
itu saja.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 43


Seorang penulis yang matang bisa dipastikan mempunyai
biografi membaca, bahkan daftar penulis favorit. Buku
apa saja dan siapa penulis yang kepadanya Mas Damhuri
belajar? Apa kehebatan buku itu menurut Mas Damhuri?
Tentu. Sebagai penulis fiksi, saya berangkat dari diskursus filsafat. Saya
membaca karya-karya Edmund Husserl, Kant, Martin Heidegger, Marleau
Ponty, Derrida, Althusser, Lacan, Rorty, Zizek, Ranciere, Badiou, dan lain-
lain. Mereka adalah penulis-penulis favorit saya. Perihal estetika,
belakangan saya menggemari gagasan-gagasan Jacques Ranciere,
terutama tentang Aesthetics and Politics. Keistimewaan dari buku-buku
babon para filsuf yang saya baca itu adalah, penyingkapan
ketakberdayaan bahasa dalam menampung gagasan-gagasan kefilsafatan.
Buku-buku itulah yang “menyuruh” saya untuk menempuh jalan lain
menuju kejernihan, yakni jalan sastra.
Sejak 1901 sudah tercatat nama-nama peraih Nobel
Sastra. Adakah karya mereka yang sangat disukai oleh
Mas Damhuri? Menurut Mas Damhuri, apakah Indonesia
punya potensi mendapatkan Nobel?
Pemenang nobel yang lumayan saya sukai adalah Naguib Mahfouz,
novelis mesir. Saya takjub membaca permainan satirnya dalam Aulad
Haratina. Meski saya juga membaca karya pemenang nobel yang lain
seperti Marquez, Orhan Pamuk, dan belakangan saya cukup intens
membaca Mo Yan. Soal potensi sastrawan Indonesia dapat Nobel? Tentu
saja, tapi bagi saya nobel sastra bukan satu-satunya ukuran pencapaian
dalam kepengarangan. Isabel Allende belum dapat nobel, tapi novel-
novelnya dahsyat menurut saya. Begitu juga dengan Khanif Khureisy,
Milan Kundera, Adonis, dan lain-lain.
Apa pandangan Mas Damhuri terhadap penghargaan
sastra dalam dan luar negeri?
Namanya saja perhargaan. Berarti memang ada yang pantas dihargai.
Kriterianya macam-macam. Sah-sah saja untuk mengapresiasi karya
kreatif. Tapi bagi saya, sastrawan sejati tidak kasak-kusuk mencari piala.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 44


Untuk apa memanggul piala dan karya-karyanya dirayakan di luar negeri,
sementara bangsa sendiri (yang notabene adalah mata air penciptaan
karya hebat itu) dibiarkan terpuruk dalam kerabunan lantaran tidak
membaca.
Tahun ini Indonesia terpilih menjadi tamu kehormatan
dalam Frankfurt Book Fair. Apa pendapat Mas Dam
tentang itu?
Kehadiran Indonesia di FBF tidak akan menyelesaikan silang-sengkarut
dunia perbukuan di Indonesia. Kita berpromosi di sana, menunjukkan
pada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang masyarakatnya adalah
masyarakat pembaca. Tapi seberapa besar akses yang terbuka bagi
rakyat Indonesia untuk membaca buku? Seberapa besar minat baca itu?
Seberapa kuat daya beli terhadap buku? Bagaimana pemerataan
distribusi buku di perpustakaan-perpustakaan yang 80% masih berada
di pulau Jawa? Dan berbagai persoalan lain di republik yang penduduknya
250 juta jiwa, sementara tiras produksi buku per judul per edisi hanya
berkisar 1000-5000 eksemplar. Seberapa banyak sebenarnya orang
yang membaca buku di Indonesia? Sementara untuk menjadi tamu
kehormatan di bazar buku akbar Eropa itu, negara mengeluarkan
anggaran ratusan milyar untuk penerjemahan buku-buku kita ke bahasa
asing. Padahal di FBF, semua orang tahu, tidak akan ada transaksi retail.
Penerbit sebenarnya cukup membawa katalog berisi review-review
singkat tentang buku-buku yang terpajang. Urusan menerjemahkan,
biasanya urusan yang akan dikerjakan publisher setelah terjadi transaksi
copyright. Selain itu, menerjemahkan buku-buku kita ke dalam bahasa
asing, berarti menyediakan bacaan bagi kepentingan selera orang asing,
sementara bangsa sendiri dibiarkan terpuruk dalam lumpur “buta-
huruf”...
Apa harapan Mas Damhuri terhadap sastra khususnya
Sastra Indonesia dan para penulisnya?
Saya membayangkan faedah sosial dari sastra itu meluas dan melebar
terus-menerus. Karya sastra hendaknya dibaca oleh sebanyak-banyak

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 45


orang di seluruh belahan Indonesia. Oleh orang-orang yang tidak terlalu
menghitung dan menimbang siapa penulisnya, tapi menyukai substansi
gagasan yang terkandung dalam teksnya. Tidak seperti hari ini, buku-
buku sastra hanya dibaca oleh kalangan penyuka sastra, atau bahkan
kalangan seniman sastra sahaja. Acara-acara apresiasi sastra melulu
dihadiri oleh orang yang itu-itu juga, sampai bosan kita melihat mukanya.
Sementara itu para sastrawan sudah merasa tersohor bagai artis
terkemuka, merasa sudah menjadi selebritas yang saban hari muncul di
layar kaca, padahal mereka tak lebih kawanan katak yang girang-
gemirang, berjingkrak-jingkrak, dalam tempurung cara berpikir yang
sempit...
***
Sebuah pernyataan dan iktiar yang bagus dan sangat pantas untuk
dipikirkan dan sebaiknya juga diamalkan. Bahwa akan jauh lebih
bersahaja ketika karya sastra kita dibaca oleh masyarakat segala belahan
Indonesia seluas-luasnya sebelum dibaca lintas benua. Setiap penulis
memiliki tanggungjawab untuk mengenalkan keindahan pada
masyarakat di sekitarnya, yang pada gilirannya, akan mencerdaskan
kehidupan masyarakat dalam berbangsa. Semoga apa yang disudah
dibagikan oleh Mas Damhuri pada kesempatan ini bermanfaat bagi
pembaca tercinta. Salam hangat, salam pembelajar.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 46


Mata JokPin yang Berkantung dan
Sipit Itu Begitu Puitis
Peristiwa Rizka Nur Laily Muallifa
(http://merakitalinea.tumblr.com)

“Jika ada pertemuan yang kutunggu-tunggu selain pertemuan denganmu,


duhai lelakiku, yang tak henti-hentinya kurapal dalam setiap
percumbuanku dengan Tuhan dan tulisan, itu adalah pertemuan dengan
para penulis dari berbagai belahan dunia. Seperti sekarang ini, yang
sedang kuharapkan adalah pertemuanku dengan Joko Pinurbo yang
hendak mewujud pada akhir bulan depan. Semoga aku termasuk salah
satu peserta terpilih workshop menulis puisi yang diadakan Pawon
bersama Balai Soedjatmoko.” Begitu tulisku. Kukirim ia kepada panitia
penyelenggara sekaligus penyeleksi, sekitar sebulan silam, sebelum
workhshop menulis puisi bersama Joko Pinurbo digelar.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 47


***

“Bagaimana, jadi bertemu Joko Pinurbo?” usik Mas Tohir -salah


satu senior menulis di Bojonegoro- suatu ketika.
“Selamat menunaikan ibadah puisi,” seloroh Olip -teman semasa
SMA yang begitu gila terhadap sastra- di kemudian hari. Menunaikan
ibadah puisi? Tiba-tiba aku jatuh cinta terhadap kalimat tersebut. Ah,
Olip memang paling bisa, pekikku saat itu. Aku tidak tahu bahwa
“menunaikan ibadah puisi” adalah kalimat ajimat yang terpampang begitu
gamblang ketika kau pertama kali mengunjungi blog Joko Pinurbo
(jokopinurbo.blogspot.co.id). Hal itu saya lakukan malam hari menjelang
pertemuan esok pagi dengan Joko Pinurbo (JokPin). Betapa malunya
diri saya, sebab begitu ndeso. Ndeso akan pengetahuan. Ndeso akan
bacaan-bacaan. Ndeso terhadap segala hal yang menjadi simbol kekayaan
pikiran.
Harus kukatakan bahwa saya adalah seorang yang begitu sedikit
membaca. Termasuk karya-karya JokPin. Beberapa kali saya
menemukannya dalam sebuah halaman koran nasional ternama. Sebatas
itu pembacaan saya terhadap puisi-puisi JokPin. Saya tidak pernah
memaksakan diri mencari JokPin di kemudian hari. Baru, menjelang
perjumpaan agung dengan beliau, saya memaksakan diri untuk
menggumuli puisi-puisinya. Surat Malam. Surat Kabar. Surat Cukur.
Hingga Surat Kopi. Kuseruput hingga tengah malam dan terasa begitu
nikmat.

***

Nanar sinar matahari pagi-pagi sekali sudah menghantam tubuhku.


Menjadikan sekujur tubuhku menghangat. Hingga kehangatan yang
berlebih menghunus. Kulajukan motor dengan tergesa. Sebab aku tidak
ingin waktuku sia-sia. Yang ada di sepanjang jalan ialah JokPin. Ialah
puisi-puisi JokPin yang begitu jalanan.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 48


Sebagai pemanasan awal, peserta workshop diajak menyelami
kedalaman makna diri dalam puisi oleh Mbak Puitri Hati Ningsih -salah
seorang penulis puisi yang kaffah milik Pawon Sastra. Bagaimana
bersama-sama dengan peserta, beliau melucuti diri di hadapan puisi.
Terhadap puisi yang kerap kali dilahirkan oleh ritual sang penyair yang
sedemikian panjang. Pun, dengan Mbak Seruni Unie, peserta workshop
digelandang kepada panggung pembacaan puisi. Mbak Seruni, yang juga
seorang kaffah menulis puisi, juga seorang pembaca yang ulung.
“Saya yakin, kalian semua bisa menulis puisi. Tapi di sini, saya cuma
menemukan tujuh belas yang bagus. Yang lain galau. Coba, orang galau,
misalnya melihat pintu, yang ada dalam bayangan mungkin adalah
mantannya yang pernah mengkhianati,” ujar Seruni Unie. Peserta juga
diberi tantangan untuk membuat puisi dan dikumpulkan saat itu juga.

***

Mata JokPin yang Berkantung dan Sipit Itu Begitu Puitis


“Wong semalam saya nggak tidur,” ungkap JokPin menanggapi
Mbak Puitri yang sangsi pada mata kalut JokPin yang nampak lelah dan
kurang tidur. Di sela-sela waktu ishoma siang itu. Usai percakapan itu,
giliranku menyeletuk pada JokPin. Meminta izin untuk mengabadikan
pertemuan hari itu melalui bidikan kamera ponsel. Seperti yang kau tahu,
aku selalu merasa ditimpa kebahagiaan yang berlebih setiap kali bertemu
penulis.
Bagiku pribadi, bertemu JokPin ialah anugerah yang tiada lagi dapat
ditafsirkan dengan nominal. Saya pribadi sontak menemukan diri saya
yang palsu setiap kali menulis puisi. Kepalsuan-kepalsuan yang kemudian
terberangus oleh pemaparan JokPin yang sederhana tapi cerdas. Cerkas.
Menulis puisi ialah aktivitas intelektual yang wajar. Biasa saja. Kalu kamu
menyiapkan bahannya dengan baik, hasilnya akan baik. Ungkap JokPin.

***

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 49


Berikut ialah skrip tanya-jawab para peserta dengan JokPin versi catatan
saya pribadi, yang sayang begitu singkat:

Bagaimanakah hendaknya belajar menulis puisi di era media


sosial seperti saat ini?
Banyaknya media sosial memfasilitasi semua orang untuk belajar
menulis. Tapi sekaligus begitu berbahaya. Ribuan karya yang muncul
setiap harinya di media sosial menjadi wakil dari simblo dunia saat ini:
instan. Kalau kamu ingin jadi penyair, juga harus melewati fase-fase
seperti ini (workshop, mengutak-atik kata-kata, red) yang menjemukan.
Godaan untuk berkarya secara instan itu besar. Tapi juga banyak penyair
bagus yang tidak dikenal media, tiba-tiba bukunya muncul. Bagus. Jadi
jawaban saya ini peringatan untuk semua. Saya lebih senang ada
pertemuan-pertemuan kecil seperti ini lalu bikin antologi. Dibanding
tiba-tiba muncul di media dan terkenal.

Bagaimana cara supaya kita bisa menang? Sebagai penyair yang


berproses lama?
Kita harus menang secara mental. Sabar untuk berproses. Tidak mudah
patah arang setiapkali gagal. Kamu juga harus akal-akalan. Menemukan
cara unik yang mampu membuatmu bertahan. Jangan nulis hujan, sebab
tidak akan melebihi Sapardi. Jangan nulis kulkas dan mikrofon, sebab
tidak akan melebihi Afrizal.

Menanggapi puisi-puisi di koran-koran prestise seperti Jawa Pos


dan Solopos. Tapi kok biasanya saya tidak mengerti apa
maksudnya ya?
Jangan terlalu memandang media massa itu yang menentukan. Kalau saya
sendiri lebih suka perkara rumit yang ditulis dengan gaya bahasa
sederhana. Tapi kebanyakan kan sebaliknya. Kompas juga kadang
memunculkan puisi-puisi sulit. Saya juga bingung, kok puisi saya yang
begitu dimuat ?Kompas.
Sebenarnya pertanyaan saya begini, berapa banyak buku puisi yang kamu

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 50


baca? Kalau mau jadi penulis puisi yang baik ya harus banyak baca buku
puisi yang baik. Tapi kalau tidak mau mengoleksi satu saja buku puisi,
lantas apa yang bisa dijadikan pedoman belajar? Twitter itu bagus untuk
sosialisasi karyamu. Tapi tidak untuk dijadikan belajar.
Tidak usah dijawab. Koleksi buku puisi kamu berapa? Media sosial itu
bagus untuk sosialisasi dan publikasi karyamu. Tapi tidak bagus jika
dijadikan sebagai sumber belajar. Kamu harus ettap baca banyak buku.
Twitter itu sarana bagus untuk belajar menulis puisi. 140 karakter bagus.
Kalau kamu membuat postingan lalu di-retweet, wah hati-hati.
Kadangkala itu bohong. Kan kamu seneng to kalau di-retweet?
Rata-rata per tahun saya hanya menulis sepuluh puisi. Satu puisi editnya
bisa sampai draft ke sepuluh. Goenawan Mohamad pernah mengedit
sampai 13 draft untuk Catatan Pinggir. Untuk naskah yang paling sering
saya baca ya naskah saya sendiri. Kan ngedit begitu lama. Chairil, Sapardi,
Calzoum, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Afrizal, saya banyak yang hafal
karya mereka. Saya heran kalau ada orang yang bercita-cita jadi penyair.
Zaman sekarang kok masih ada yang bercita-cita jadi penyair? Saran
saya, kalau kamu tidak kuat mental. Mundur saja. Penyair Indonesia itu
sedikit.

Surakarta di sela pergantian hari, 22 September 2015

Rizka Nur Laily Muallifa, mahasiswa UNS asal Bojonegoro.


Masih tersuruk-suruk membaca buku-buku dan sesekali
menulis cerpen.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 51


Pawon #45 tahun VIII/2015 - 52
Suparto Brata
Kolom Akhir Yunanto Sutyastomo

Hidup harus dicintai…


Saya mencoba memahami hal itu ketika bertemu Suparto Brata
menjelang senja hari di sebuah hotel di kawasan Ngapeman. Hari itu
Suparto Brata datang lebih awal dari Surabaya, sementara tidak ada
teman-teman dari Solo yang memiliki waktu luang untuk menemaninya.
Ini bukan pertama kalinya ketemu dengan Suparto Brata, beberapa kali
saya menemuinya dalam berbagai acara sastra di Solo.
Ketika kehidupan masih dinikmati dengan cara-cara yang
menyenangkan waktu itu, di antara tahun 1940-an sampai 1950-an,
Suparto Brata sudah memutuskan untuk mengabdikan hidupnya dalam
sastra, di tengah hidupnya antara sekolah dan bekerja demi rumah
tangganya, Suparto Brata tekun menulis dalam dua bahasa, Jawa, dan
Indonesia. Naskah-naskahnya banyak yang diterbitkan, tapi ada pula
yang ditolak penerbit seperti Tak Ada Nasi Lain yang baru terbit, setelah
lima puluh tahun ditulis.
Di Hotel itu, saya mendengarkan cerita di belakang penulisan novel
Tak Ada Nasi Lain, tentang tokoh-tokoh yang dia karang, tentang ibunya
yang sangat dia cintai. Sambil menatap keluar suasana Solo dari jendela
hotel, saya mendengarkan Suparto Brata bercerita panjang lebar, dan
begitu bergembiranya dia melihat saya tertegun mendengar ceritanya.
Saat itu sebenarnya saya ingin bercerita kalau tempat-tempat yang
dia tulis dalam novelnya menjadi bahan diskusi antara saya dengan ibu.
Novel Tak Ada Nasi Lain saya obrolkan dengan ibu. Kami berdiskusi
tentang tempat-tempat di Sragen dalam novel itu yang ternyata tidak
pernah berubah sampai sekarang, hanya berganti fungsinya saja, kecuali

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 53


pasar di sebelah utara kota yang tidak ada bedanya dengan tulisan di
novel itu. Ketika saya mendengar Suparto Brata bercerita dan membaca
novelnya, seperti ada tangan yang mengajak saya jalan-jalan ke masa
lalu, mencari persinggahan yang akhirnya menjadi bagian dalam catatan
hidup.
Beberapa hari kemudian setelah pertemuan di hotel, dan diskusi
novelnya, saya mengantarnya ke terminal, saya menawarkan untuk naik
kereta api, tapi Suparto Brata menolaknya. Saat dirinya menaiki bus
Mira yang akan menuju Surabaya tidak ada lambaian tangan, atau ucapan
perpisahan, hanya satu kata yang dia sampaikan “wis yo” sambil
membawa intip goreng untuk cucunya.

Pawon #45 tahun VIII/2015 - 54


Pawon #45 tahun VIII/2015 - 55
Pawon #45 tahun VIII/2015 - 56

Anda mungkin juga menyukai