ia diam, sehening-heningnya
sebab ia tak pernah benar-benar memiliki jawaban
Bandung, 2015
Sepucuk Surat
; Amaliah Fitriani Noor
2015
di thessaly, aku lebih memilih berdiri di atas enam utuh tubuh yang
menjaga perasaan-perasaan sunyi kalambaka. selepas hujan sore,
bagiku, adalah cara yang tepat untuk mengingatmu. jalan pulang dari
tebing-tebing curam.
tiba-tiba, kesedihan jatuh satu per satu, seperti awan yang lupa
menjadi jalan pulang bagi rasa sakit. kau yang memilih menjadi kuil di
enam bukit tak pernah menyalahkan matahari terbenam, mengapa ia
meninggalkan begitu saja tanpa pamit. atau tangan kita yang tak
pernah cukup menampung kesedihan?
teraskecil, 2014
Abid
tiba-tiba saja, pagi muncul dari kedua bola matamu
seperti pagi sebelumnya, aku tak pernah bertanya,
kenapa? dan kau buru-buru menutup matamu, ah
di sanalah, di pagi di matamu, aku lekatkan dalam
dalam tanganku. satu per satu, pagi meluncur deras
dari sela - rapat - jari-jariku. kaupun diam
teraskecil, 2011
Menyimpan Rindu
Dan aku tetap menyimpan rindu
dari sekian lama persembunyian
yang aku sendiri tak mampu membaca diri
Katup masih enggan membuka jendela hati
Indralaya-Kediri, 2013-2015
Dalam Angkot
dalam angkot pagi
tinggi-rendah melukai
Palembang-Kediri, 2011-2015
Syirvieh
Ribuan kunang-kunang biru
Hinggap di matamu.
Kutujah keluh
Kesepianmu.
2014
Nur
Tatap matamu begitu damai
Seperti tarian Huriah Adam
Yang meliukkan benci
Jadi tetes hujan.
Nur
Semisal tarian Huriah Adam
Semisal patung telanjang
Atau lukisan abstrak
Matamu membuat
Hatiku retak.
2014
Diskon
Mesjid dan gereja sepi
Mall ramai pembeli.
Domba-domba Ibrahim
Menjingjing sekantung
Belanjaan fana.
2014
Melihat Daun-daun
Kau suka menyaring tubuh rinduku, menjadi bongkahan yang
membeku. Yang membeku mengajarkanku bagaimana caranya
bertanya dengan benar. Perihal tibanya musim panas atau musim
gugur
Kau suka memilah-milah sendiri musimmu. Jantungku kau cetak
menjadi musim panas, menjadi daun yang tak tahu dimana ia akan
jatuh. Daun-daun itu terbakar, jatuh dan kehilangan ruh
Daun-daun yang tidak bekerja sebagaimana mestinya
Akan meninggalkan yang beku pada musimmu yang sudah wafat
Di sebuah jembatan yang licin dan tak bisa ambruk, aku membangun
musimku sendiri dengan daun-daun yang ikhlas dan tak bisa jatuh.
Ia yang pertama kali memberitahuku
Perihal yang paling hakiki adalah yang rela melepaskan
Surakarta, 2015
2015
“Rizka, punya stok cerpen? Bisa kirim ke alamat redaksi?” Begitu bunyi
pesan yang nangkring di kotak masuk ponselku. Mas Yudhi, nomor sang
pengirim terdeteksi demikian.
“Yang belum dipublikasikan? Tidak punya,” balasku sembari
menggigit bagian bawah bibirku hingga menimbulkan dera di sana.
Tercetak ketika aku memeriksanya melalui kaca mobilmu. Ya, aku sedang
bersamamu dalam sebuah perjalanan yang belum kutahu hendak
berhenti di mana. Kau menculikku ketika aku dalam perjalanan pulang
dari kampus menuju kost. “Aku pinjam kamu sehari saja. Kita jalan. Aku
kangen,” katamu ketika kita sudah berada dalam mobil. Kau tak
memandangku sama sekali. Melainkan tenggelam dalam pekat hitam
jalanan.
Sepanjang perjalanan, kamu tetap acuh. Aku memaki-maki
tindakanmu, lebih-lebih karena merahasiakan hendak membawaku ke
***
***
***
***
“Dengarkan aku, aku ingin kau lebih narsis dalam tulisan dibanding
dalam instagram. Atau paling tidak, kamu bisa menyeimbangkan
keduanya. Ah, tapi aku lebih suka kau banyak menulis. Bukan banyak
berfoto lalu mengunggahnya untuk lelaki-lelaki di luar sana.” Aku terdiam.
Hatiku seperti ladang bunga anggrek yang siap dipanen. Kau lelaki sialan.
Aku tak pernah sedalam ini berperasaan. Aku tak pernah sekeras ini
memikirkan perkataan orang lain. Kau sialan. Lelakiku bukan? Jangan-
jangan bukan.
***
***
***
Imajinasi Tentara
Tentara tak melulu dikisahkan berlatar peperangan. Tema-tema
yang reda dari peperangan pun turut menyisipkan kontribusi tentara
bagi negara. Secuil kisah tentara hadir dalam Cintailah Bumi di Negerimu
garapan Manto (1983). Pengarang menyajikan puisi berisi pujian kepada
tentara. Puisi digubah untuk memperingati hari jadi tentara yang jatuh
pada 5 Oktober. Puisi berjudul Harapan di Hari Jadimu semacam kado
ulang tahun untuk keluarga besar militer. Kita simak puisinya: Di Hari
jadimu,/ Wahai ABRI nan jaya/ Aku rakyat penghuni persada
Indonesia/ Bangga, gembira, kau tetap sentosa/ Siap siaga… rela.
Penyebutan “ABRI” menandakan masa Orde Baru. Kekaguman kepada
tentara terus mengalir dari masyarakat pelbagai profesi. Penyisipan kata
“siap siaga” dalam puisi mengesankan kata yang melekat pada militer.
Pengenalan kata-kata yang melekat pada militer seperti, “lapor”,
“perintah”, “komando”, dan “siap” telah merasuk dalam kehidupan anak-
anak. Jangan heran jika bahasa anak-anak sering bernada militeristik.
Kita sering mendengar anak-anak berucap “Siap, Pak!” Lewat bahasa
anak sudah mengakrabi dunia militer. Dalih menggunakan bahasa-
bahasa militer untuk menggambarkan kegagahan dan kepatuhan.
Kegagahan tentara ditiru lewat seragam, tingkah laku fisik, dan bahasa
pergaulan.
Bacaan anak telah menanamkan imajinasi kegagahan, kepatuhan,
perjuangan, pengabdian. Anak-anak mulai mengimajinasikan menjadi
tentara bermisi menjaga negara. Kehendak menjadi tentara dipicu
imajinasi-imijinasi kegagahan tentara yang hadir dalam bacaan anak.
***
***
***