I.PENDAHULUAN.
Persoalan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan masalah yang paling ramai dibicarakan di
negeri ini, disamping integrasi nasional, korupsi, partai politik, dan kohesi nasional. Dilihat dari kacamata
kebijakan dan administrasi, desentralisasi dapat diartikan sebagai transfer perencanaan, pengambilan
keputusan atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit
administratif lokal, organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal atau organisasi
non-pemerintah. Pengertian tersebut adalah pengertian yang diberikan oleh Rondinelli dan Cheema.
Pengertian yang diberikan oleh Rondinelli dan Cheema tersebut, sejalan dengan pengertian
mengenai desentralisasi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara otonomi daerah adalah kewenangan
Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari sudut pandang yang lain, Hendratno mengemukakan bahwa istilah otonomi daerah dan
desentralisasi memiliki perbedaan kecenderungan. Istilah otonomi daerah cenderung bermain dalam aspek
politik kekuasaan negara sedangkan istilah deseentralisasi cenderung berada dalam wilayah administrasi
negara. Namun kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan. Oleh karena otonomi daerah di Indonesia
dapat terselenggara karena adanya kebijakan desentralisaasi dan konsep otonomi daerah itu sendiri
merupakan aktualisasi dari adanya kebijakan desentralissi tersebut atau dapat di katakana bahwa otonomi
daerah, yang mengubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Otonomi daerah lahir karena
keberadaan desentralisasi.
Untuk itu disini penulis akan mencoba memaparkan tentang Desentralisasi dan Implikasinya
terhadap penyelenggaraan otonomi daerah sebagai makalah untuk tugas mata kuliah Isu dan Masalah
Desentralisasi Pembahasan ini dibuat berdasarkan study kepustakaan yang penulis lakukan dan
diharapkan makalah ini dapat memberikan sumbangsih pengetahuan bagi pembacanya.
II.KONSEP DASAR.
A. KONSEP DASAR DESENTRALISASI.
1. Pengertian Desentralisasi.
Secara etimologis, istilah Desentralisasi berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan
“centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat.
Secara formal, berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan pemerintah oleh Pemerintah
kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian Desentralisasi menurut Mustari adalah : Pelimpahan atau penyerahan kekuasaan
atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi
kepada institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi / dilimpahi kekuasaan
wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu pula.
2. Macam-macam Desentralisasi.
Muslimin (dalam Mustari, 1999) menyatakan ada tiga macam Desentralisasi yaitu :
Desentralisasi politik, pengakuan adanya hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri
pada badan-badan politik di Daerah-Daerah yang dipilih oleh rakyat dalam Daerah-Daerah
tertentu.
Desentralisasi fungsional sebagai pengakuan adanya hak pada golongan-golongan mengurus
satu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik serikat atau tidak pada suatu
Daerah tertentu. Umpama subak di bali.
Desentralisasi kebudayaan, yaitu mengakui adanya hak pada golongan kecil,masyarakat
menyelenggarakan kebudayaan sendiri ( mengatur pendidikan, agama dan lain-lain)
Lebih lanjut Mustari, (1999) menambahkan bahwa “ Desentralisasi menurut kepustakaan
dikenal dua macam yaitu Desentralisasi jabatan (ambtelijke desentralisatie ) dan Desentralisasi
kenegaraan ( staatskundige desentralisatie).
3. Tujuan Desentralisasi.
Terdapat 3 (tiga) tujuan desentralisasi , yaitu (i) tujuan politik, untuk menciptakan
suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik berbasis pada kedaulatan rakyat.
Diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, dan legislatif secara langsung oleh rakyat; (ii)
tujuan administrasi, agar pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah dan bermitra
dengan DPRD dapat menjalankan fungsinya untuk memaksimalkan nilai 4E yakni efektifitas,
efisiensi, equity (kesetaraan), dan ekonomi; (iii) tujuan sosial ekonomi, mewujudkan pendayagunaan
modal sosial, modal intelektual dan modal finansial masyarakat agar tercipta kesejahteraan
masyarakat secara luas (Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2010).
III.PEMBAHASAN
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Otonomi Daerah menjadi salah satu isu paling
mengemuka dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Sudah cukup banyak Undang-undang yang
dibuat Pemerintah yang bertujuan untuk mengatur tentang Pemerintahan Daerah, sampai dengan
Undang-undang No mor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, namun ternyata kontroversi
tentang Otonomi Daerah masih tetap hangat dan menjadi perdebatan menarik dari berbagai kalangan.
Permasalahan baru bermunculan, sementara tujuan mulia desentralisasi seolah sulit diwujudkan.
Seperti suatu kebijakan pada umumnya, praktek desentralisasi ini memiliki sisi positif dan sisi
negatif. Hal baik yang dapat diambil dari keberadaan desentralisasi ini adalah semakin meningkatnya
kemampuan pemerintah daerah dalam mengatur wilayahnya sendiri tanpa harus didekte oleh pusat.
Kemungkinan kesalahan perencanaan pembangunan dapat dikurangi karena pemerintah daerah lebih
mengetahui dan memahami karakter wilayahnya sendiri sehingga pembangunan dapat terlaksana sesuai
dengan potensi yang ada dengan mengarah kepada tujuan. Pejabat pemerintahan di daerah juga lebih
dapat bertanggung jawab karena melakukannya secara mandiri atas apa yang dilakukan pada
wilayahnya sendiri. Dengan keleluasaan tersebut, diharapkan kreativitas daerah dalam mengatasi
berbagai permasalahan domestik akan terpacu dan mampu meningkatkan kapabilitasnya sebagai
wilayah yang tidak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam saja, namun juga sumber daya
manusianya. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat di daerah dapat tercapai dan kesenjangan
sosial atas tidak meratanya pembangunan dengan wilayah pusat dapat dikurangi.
Sementara itu, tugas pemerintah pusat lebih dapat terorganisir dengan berkurangnya wewenang
atas pembangunan di daerah. Pemerintah pusat dapat lebih berkonsentrasi terhadap permasalahan
makro yang harus dihadapi negara. Pemerintah juga dapat mengatur pembangunan secara nasional dan
mengawasi jalannya pembangunan agar pemerataan daerah dapat tercapai. Selain itu, pemerintah pusat
juga dapat lebih fokus memajukan dan melindungi negara dari ancaman baik dari dalam maupun dari
luar negeri.
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 32 Tahun 2004
merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini.
Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi
dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya
pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi
berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat
diperkirakan implikasi ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui implikasi tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan
disini adalah aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum.
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek politik, ekonomi, sosial budaya
dan hukum, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah mempunyai
prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak
akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik.
Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi
yang kondusif diantaranya yaitu :
Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga
perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi
Daerah.
Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam
mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Namun Tujuan perubahan sistem dari sentralistik top-down menjadi desentralistik bottom-up
tidak selamanya berdampak baik. Permasalahan yang muncul diakibatkan karena:
1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap.
2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan penyesuaian aturan
perundang-undangan yang masih sangat terbatas.
3. Sosialisasi undang-undang dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan meluas.
4. Managemen penyelenggaraan otonomi daerah yang masih sangat lemah.
5. Pengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh globalisasi
yang tidak mudah di kelola.
6. Kondisi Sumber daya masyarakat aparatur daerah yang belum menunjang sepenuhnya
Pelaksanaan otonomi daerah.
7. Belum jelasnya kebijakan pelaksanaan perwujudan konsep otonomi yang porposional kedalam
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
Masalah Pokok tersebut terefleksi pada 7 elemen pembentuk pemerintahan daerah yaitu :
1. Kewenangan.
Permasalahan yang muncul dalam kewenangan daerah adalah terjadinya friksi antara pemerintah
pusat dan daerah provinsi, provinsi dan kabupaten serta internal kabupaten.
Untuk itu diperlukan penyesuaian terhadap pengaturan-pengaturan yang tumpang tindih dan
bertentangan tentang suatu kewenangan serta perlu adanya penataan ulang kewenangan antara
pusat, provinsi dan kabupaten dengan memperhatikan aspek economies of scale, akuntabilitas
dan externalitas.
2. Kelembagaan
Dalam elemen kelembagaan permasalahan yang muncul adalah dengan adanya batas maksimum
jumlah dinas akan terjadi pengurangan beberapa pejabat eselon II, III dan IV yang akan
berpotensi mengganggu iklim politik daerah.
Maka untuk mengatasi kekecewaan atau konflik kepegawaian dan organisasi yang diakibatkan
oleh para pejabat yang di rasionalisasi, dapat dikembangkan jabatan fungsional bagi mereka
yang memenuhi persyaratan.Diperlukan adanya pengaturan secara tegas mengenai kemungkinan
optimalisasi kelembagaan pemda serta memilih lembaga-lembaga publik dalam pembentukan
unit-unit organisasi otonom, atau menyerahkan urusan kepada pihak swasta ( partisipasi ) atau
kemitraan antara pemda dengan swasta ( Publik private Partnership ) selain itu juga diperlukan
adanya standart kelembagaan baik besaran ataupun nomenklatur.
3. Kepegawaian Daerah
Pegawai daerah cenderung di kooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di daerah. Status
para pegawai daerah menjadi sangat statis, kemudian munculnya isu “putra daerah” karena
penafsiran otonomi yang sempit. Tidak adanya Tour of area akan membayakan kedaulatan
NKRI. Selain itu daerah akan sangat berkepentingan dalam mengangkat pengawai baru yang
terkadang dengan kulitas dan kuantitas yang tidak rasional.Akan adanya kerancuan antara
jabatan politis (Political Appointee ) dan jabatan karir ( Career Appointee ).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut sebaiknya pegawai pada tingkatan tertentu ( misalnya
Sekda ) sebaiknya menjadi kewenangan Pusat. Dilakukan penyesuaian antara undang-undang
dengan peraturan pemerintah pelaksananya dan pemisahan antara pejabat politik dengan pejabat
karir. Diperlukannya standart kompetensi yang jelas.
4. Keuangan Daerah
Akan terjadi konflik penguasaan kewenangan yang akan menghasilkan penerimaan pada orang
atau instansi dengan tidak merata, keuangan daerah yang kurang mencukupi kebutuhan (
Financial insufficiency ). Kurangnya kepatuhan pada peraturan dan lemahnya penegakan hokum.
Overhead cost pemerintah daerah yang tinggi, kurangnya transparency dan akuntabilitas dalam
penyesuaian APBD. Kurangnya kejelasan system pembiayaan melalui dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Terbatasnya pemanfaatan DAK dan kurangnya management asset dan mekanisme
pinjaman dan kebijakan investasi yang belum jelas serta terjadi pemisahan keuangan eksekutif
dengan legislative.
Untuk sebaiknya keuangan pemerintah daerah harus dikaitkan dengan pembiayaan pelayanan
yang dilakukan. Sumber-sumber perekonomian nasional yang ada di daerah dikelola oleh pusat
atau kemitraan antara pusat dan daerah kemudian system subsidi yang ada didasarkan pada fiscal
gap yang muncul atas dasar perbandingan antara Fiscal capacity dengan fiscal need. Pembiayaan
pelayanan khususnya untuk pelayanan kebutuhan dasar disusun berdasarkan atas standart
pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dilakukan pemisahan biaya gaji pegawai dari dana
alokasi umum (DAU ) dan untuk dapat meningkatkan dana DAU maka diperlukan rasionalisasi
dana sektorat yang masih besar dalam alokasi APBN. Untuk mengoptimalkan control fasilitas
pusat dalam otonomi daerah, maka perlu adanya revitalisasi peran gubernur sebagai wakil pusat
di daerah. Dan untuk membantu daerah dalam memperbaiki prasarana daerah maka perlu adanya
alokasi DAK.
5. Perwakilan Rakyat di daerah
Dalam hal ini akan timbul masalah kemitraan yang tidak jelas, ekses dari kewenangan DPRD,
kerancuan LPJ dan kuatnya pengaruh parpol dalam proses pemilihan kepala daerah kemudian
kurang terserapnya aspirasi masyarakat oleh DPRD. Kemudian adanya campur tangan DPRD
dalam penunjukan pejabat karir. Masih kurangnya pemahaman DPRD terhadap peraturan
perundang-undangan. Kurangnya kompetensi anggota DPRD dan lemahnya networking.
Untuk itu DPRD perlu meningkatkan hubungannya dengan masyarakat, akuntabilitasnya denga
kepala daerah. LPJ juga harus di dasarkan pada kinerja.
6. Managemen Pelayanan Publik
Semakin rendah kualitas pelayanan dan kaburnya pemahaman konsep-konsep perencanaan
daerah.Masih besarnya peranan pemda dalam menyediakan pelayanan, lalu tidak jelasnya
standart pelayanan dan rendahnya akun tabilitas pelayanan.
Maka diperlukan Identifikasi dan standarisasi pelayanan yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif di iringi dengan peningkatan kinerja pelayanan oleh pemerintah daerah.
7. Pengawasan
Kurangnya pengawasan dari gubernur kepada kepala daerah, kurangnya sanksi terhadap
pelanggaran peraturan. Kurangnya supervise dan sosialisasi ke daerah.
Maka di perlukan unit dekonsentrasi sebagai perangkat gubernur.revitalisasi peran gubernur
sebagai wakil pusat di daerah dan penegakan hokum yang tegas.
Sedangkan kriteria keberhasilan Daerah Otonom untuk mengurus rumah tangganya sendiri
menurut Samsi (dalam Daminazar, 2000), yaitu :
a. Kemampuan Struktur organisasinya, yaitu Pemerintah Daerah menampung segala aktifitas dan tugas-
tugas yang menjadi beban dan tanggungjawabnya. Jumlah unit-unit beserta macamnya cukup
mencerminkan kebutuhan pembagian tugas, wewenang dan tanggungjawab yang cukup jelas;
b. Kemampuan aparatur Pemerintah, yaitu aparatur Pemerintah Daerah mampu menjalankan tugasnya
dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah, keahlian, moral disiplin dan kejujuran serta
saling menunjang tercapainya tujuan;
c. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat, dengan struktur organisasi dan kelincahan aparatur
Pemerintah tetap dituntut agar rakyat mau berperan serta dalam kegiatan pembangunan;
IV.KESIMPULAN
Istilah otonomi daerah cenderung bermain dalam aspek politik kekuasaan negara sedangkan istilah
deseentralisasi cenderung berada dalam wilayah administrasi negara. Namun kedua konsep tersebut tidak
dapat dipisahkan. Oleh karena otonomi daerah di Indonesia dapat terselenggara karena adanya kebijakan
desentralisaasi dan konsep otonomi daerah itu sendiri merupakan aktualisasi dari adanya kebijakan
desentralissi tersebut atau dapat di katakana bahwa otonomi daerah, yang mengubah sistem sentralistik
menjadi desentralistik. Otonomi daerah lahir karena keberadaan desentralisasi.
Berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi
diartikan sebagai penyerahan kewenangan pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Muslimin (dalam Mustari, 1999) menyatakan ada tiga macam
Desentralisasi yaitu : Desentralisasi politik, Desentralisasi fungsional dan Desentralisasi kebudayaan. Lebih
lanjut Mustari, (1999) menambahkan bahwa “ Desentralisasi menurut kepustakaan dikenal dua macam
yaitu Desentralisasi jabatan (ambtelijke desentralisatie ) dan Desentralisasi kenegaraan ( staatskundige
desentralisatie). Terdapat 3 (tiga) tujuan desentralisasi , yaitu (i) tujuan politik (ii) tujuan administrasi (iii)
tujuan sosial ekonomi.
otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan mengandung filosifi (i) eksistensi pemerintah daerah adalah untuk menciptakan
kesejahteraan secara demokratis; (ii) setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu
menciptakan kesejahteraan dan demokrasi; (iii) kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik; (iv)
pelayanan pubik dapat bersifat pelayanan dasar maupun bersifat pengembangan sektor unggulan. Otonomi
daerah mempunyai 7 (tujuh) elemen dasar, yaitu kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah,
perwakilan, pelayanan publik dan pengawasan dengan prinsip : Otonomi seluas‐luasnya, nyata dan
bertanggung jawab dan memiliki Keserasian hubungan serta pembinaan dan fasilitasi.
Kontroversi tentang Otonomi Daerah masih tetap hangat dan menjadi perdebatan menarik dari
berbagai kalangan. Permasalahan baru bermunculan, sementara tujuan mulia desentralisasi seolah sulit
diwujudkan. Seperti suatu kebijakan pada umumnya, praktek desentralisasi ini memiliki sisi positif dan sisi
negatif. Hal positif dari desentralisasi bagi pemerintah daerah adalah meningkatnya kemampuan pemerintah
daerah dalam mengatur wilayahnya sendiri Meminimalisasi kesalahan perencanaan pembangunan dan
menjadikan tepat guna dan tepat sasaran. Meningkatkan tanggung pemerintah daerah atas kebijakan yang
dilakukan. Meningkatkan kreativitas daerah, kapabilitasnya dalam pengelolaan sumberdaya yang ada
didaerah sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan.Sementara itu,
tugas pemerintah pusat lebih dapat terorganisir Pemerintah pusat dapat lebih berkonsentrasi terhadap
permasalahan makro yang harus dihadapi Negara, mengatur pembangunan mengawasi jalannya
pembangunan nasional agar pemerataan daerah dapat tercapai dan fokus memajukan dan melindungi negara
dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan
pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam
konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah dan berimplikasi
positif pada:
1. Aspek politik sebagai sarana pendidikan politik; otonomi daerah menjadi wujud dari pengakuan
dan kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas sehingga menciptakan hubungan
yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Maka akan menumbuhkan dukungan Daerah terhadap
Pusat sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
2. aspek ekonomi bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan
bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya sehingga membawa
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat dengan meningkatkan
perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. diharapkan dapat memberikan
pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi .Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia.. Dengan adanya
otonomi, maka otomatis daerah akan lebih kreatif dalam menggali penerimaan daerahnya.
3. Dari aspek sosial budaya, kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap
keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi
lainnya yang terkandung di daerah yang merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah.
sehingga akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa .Pelestarian dan pengembangan
nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal
akan memperkaya khasanah budaya nasional.
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek politik, ekonomi, sosial
budaya, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang
dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan
suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu : Komitmen politik, konsistensi kebijakan
penyelenggara serta kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah
dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Namun Tujuan perubahan sistem dari sentralistik top-down menjadi desentralistik bottom-up
tidak selamanya berdampak baik. Permasalahan yang muncul diakibatkan karena belum mantap dan
memadainya Pemahaman terhadap konsep, penyediaan aturan pelaksanaan, sosialisasi undang-undang
dan pedoman serta Managemen penyelenggaraan . selain itu terdapat juga Pengaruh perkembangan
dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh globalisasi dan Kondisi Sumber daya
masyarakat aparatur daerah lalu Belum jelasnya kebijakan pelaksanaan perwujudan konsep otonomi
yang porposional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Keseluruhan masalah tersebut terefleksi pada 7
(tujuh) elemen dasar otonomi daerah, yaitu kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah,
perwakilan, pelayanan publik dan pengawasan.
Adapun indikator pengukuran efektifitas pelaksanaan otonomi daerah yang dipergunakan
adalah :Angka Kemiskinan, Kualitas SDM,Pemenuhan hak dasar,Lapangan kerja dan angka
pengangguran, Pengembangan,Pemberdayaan ekonomi, Kualitas pengelolaan pemerintahan berdasar
prinsip Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) dan Penegakan Supremasi Hukum Dengan
criteria keberhasilan yaitu : Kemampuan Struktur organisasinya menampung segala aktifitas dan
tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggungjawabnya dan Kemampuan aparatur Pemerintah
menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah dengan keahlian, moral
disiplin dan kejujuran serta saling menunjang tercapainya tujuan; Kemampuan mendorong partisipasi
masyarakat rakyat mau berperan serta dalam kegiatan pembangunan
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, Suahasil Nazara, David Jackson, Tauhid Ahmad, Danley Adi Purwanto. 2008.
Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. (online)
(http://www.undp.or.id/pubs/docs/pemekaran_ID.pdf diakses 14 november 2014 )
Dwipayana, Ari. Menata Desain Desentralisasi Indonesia. Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011.
Hardjosoekarto, Sudarsono. Hubungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Kebijakan
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta, 2008.
Harmantyo, Djoko. Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah dan Pola Perkembangan
Wilayah di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional dan PIT-IGI tanggal 21-23 Oktober 2011
di Bali.
Hoessein, Bhenyamin. Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Disampaikan pada Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Jangka Panjang.
Jakarta, 2002.
Jatmiko, Agung. Perencanaan dan Analisis Pembangunan Daerah. Format Baru Otonomi
Daerah:Menuju Daerah Membangun?. Magister Ekonomika Pembangunan, Fakultas Ekonomika dan
Bisnis, Universitas Gajah Mada, 2010.
Kausar. Perjalanan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Jakarta, 2008.
Mochtar, M. Akil. Permasalahan Aktual Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah. Disampaikan
pada Seminar “Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Kabupaten Tana Tidung Tahun
2011 pada tanggal 14 Januari 2012.
Ragawino, Bewa. Desentralisasi dalam Kerangka Otonomi Daerah di Indonesia. Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pajajaran, Bandung, 2003.
Mardiasmo, 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian
Daerah. http://www.ekono mi rakyat.org/edisi_4/artikel_3.htm
Solly Lubis, 2003. Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, unpublished.
KATA PENGANTAR
Puji sukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya
jualah akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul : DESENTRALISASI DAN
kuliah ISU DAN MASALAH DESENTRALISASI Program Pasca Sarjana Magister ILmu Administrasi di
Dengan Pepatah ‘ Tak ada Gading yang tak Retak namun janganlah Retak membawa Belah” Penulis
menyadari akan keterbatasannya baik dalam pengetahuan, pemahaman dan pengalaman sehingga kritik dan
saran sangatlah penulis harapkan untuk perbaikan dimasa mendatang. Penulis juga mengharapkan kiranya
makalah ini dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangsing pengetahuan bagi kita semua.
Dalam menyelesaikan Makalah ini penulis banyak mendapat bantuan baik materil maupun moril dari
berbagai fihak akhir kata penulis sekali mengucapkan terima kasih kepada semua fihak yang telah membantu
penuli.
Wassalam
EKO SUJARWADI