Anda di halaman 1dari 6

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan ada empat alasan, mengapa Hak

Kekayaan Intelektual (HAKI) itu penting dan harus dijunjung tinggi.


"Pemerintah akan memberikan intensif yang adil dan kemudian diberikan perlindungan," kata
SBY, di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (26/4/2011).
Pertama, menyangkut sesuatu yang berdimensi jangka panjang, long term goal bagi bangsa
Indonesia yang berkaitan dengan peradaban sebuah bangsa.
"Konon peradaban bangsa yang maju dan unggul itu memiliki sejumlah karakteristik. Tiga di
antaranya berkaitan dengan tema besar hari ini yakni bangsa dikatakan memiliki peradaban
yang maju dan unggul manakala bangsa itu menunjung tinggi, menguasai dan terus
mengembangkan science, knowledge, dan teknologi," katanya.
Kedua, bangsa yang unggul, berperadaban maju. Manakala bangsa itu memiliki
penghormatan terhadap rule of law dan juga mengakui serta menghormati yang disebut
dengan property rights. Hak milik yang ingin dilengkapi karena juga berkaitan dengan dunia
inovasi, R & D invention, discovery, yaitu bangsa akan maju manakala memiliki etos kerja
yang tinggi, bangsa yang mau berkeringat dan bekerja keras.
"Tentu mereka yang bekerja keras itulah yang patut mendapatkan pengakuan atas kerja
kerasnya, di antaranya adalah HAKI yang dimilikinya. Itu alasan pertama mengapa HAKI itu
penting," tuturnya.
Ditambahkannya, manakala menghormati, menjunjung tinggi, dan memproteksi HAKI, maka
Indonesia bisa mendorong daya inovasi dan kreativitas yang lebih pesat lagi. "Mengapa?
Putra putri bangsa itu termotivasi dan ingin melakukan inovasi dan penemuan besar-besaran
karena karyanya diakui dan dihormati. Sangat wajar," ucapnya.
Ketiga, HAKI juga mesti dilihat siapa yang berkeringat harus mendapatkan intensif, kalau
berkaitan dengan kesejahteraan maka ada intensif ekonomi bagi kesejahteraan.
Dia mencontohkan, orang menemukan sesuatu produk tertentu hampir pasti itu melalui kerja
keras penelitian dan pengembangan yang menghabiskan waktu energi dan biaya. Patut kalau
karyanya ciptaannya hasilnya mendapatkan imbalan yang pantas.
"Intellectual power yang diwujudkan jadi satu produk itu mesti mendapatkan penghargaan
dan intensif yang tepat, sama dengan insentif yang dihargakan, yang dinilaikan, diberikan
pada property non intelektual. Sama ini intellectual property dan non intellectual property,"
tandasnya.
Keempat, Menko Polhukam juga menjadi tim untuk menegakkan HAKI dalam memberantas
kejahatan terhadap HAKI, pembajakan atas hak cipta, dan sebagainya.
"Empat hal itulah yang mesti kita lihat utuh manakala bangsa ingin dihormati, diakui,
mengembangkan dan memberikan perlindungan pada HAKI di masa depan," tutupnya.

@@@@@@@@@@

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (DJKI


Kemenkumham) menilai, perlunya penghargaan terhadap hak kekayaan intelektual. Direktur
Hak Cipta dan Desain Industri, Erni Widhyastari mengatakan, salah satunya adalah hak cipta
maupun hak terkait.
“Intinya dari semua itu adalah faktor ekonomi, demikian juga hak cipta, merek, paten,
nantinya semua itu ujung-ujungnya ekonomi nasional dan akhirnya ke internasional,” ujar
Erni dalam siaran persnya yang diterima Hukumonline, Kamis (18/10).
Hal tersebut disampaikan dalam acara konsultasi teknis Lembaga Manajemen Kolektif
(LMK) bidang musik dan lagu dengan mendatangkan artis dan produser rekaman lokal di
Ruang Lumbung, Hotel Lombok Astoni. Erni mengatakan, hak cipta menjadi salah satu isu
penting di Indonesia terkait pelindungan dan pengaturan royalti.
Di mana, pemilik hak cipta perlu mendapatkan hak-haknya, baik hak moral maupun
ekonominya. Untuk itu, lanjut Erni, dalam hak cipta terdapat dua hak, yaitu hak moral dan
hak ekonomi. “Hak moral adalah hak untuk seumur hidupnya pencipta dan setelah beliau
meninggal, maka karyanya tetap dicantumkan nama penciptanya,” ujarnya menjelaskan.
Terkait hak ekonomi, berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
pemerintah telah menetapkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai
institusi badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan
pemilik hak. LMKN mengelola hak ekonomi untuk menghimpun dan mendistribusikan
royalti.
Menurut Yessi Kurniawan, Manager Lisensi dari Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI),
saat ini penarikan royalti dikoordinir oleh Koordinator Pelaksana, Penarikan, Penghimpun,
dan Pendistribusian Royalti (KP3R). “Kami (SELMI) adalah salah satu LMK yang mendapat
izin operasional dari Kemenkumham dan saat ini kami ditunjuk sebagai koordinator
pelaksana, penarikan, penghimpun, dan pendistribusian royalti bagi hak cipta dan hak terkait
oleh LMKN,” ujar Yessi.
Yessi menjelaskan, untuk mendapatkan royalti tersebut, para pelaku seni musik dan lagu
wajib terdaftar sebagai anggota LMK. Ia juga menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 91 UU
Hak Cipta, LMK hanya dapat menggunakan dana operasional sebesar 20 persen dari jumlah
keseluruhan royalti yang dikumpulkan setiap tahunnya.

@@@@@@@

 Sistem First to File


Adalah suatu sistem pemberian Paten yang menganut mekanisme bahwa seseorang yang
pertamakali mengajukan permohonan dianggap sebagai pemegang Paten, bila semua
persyaratannya dipenuhi. Suatu permohonan Paten sebaiknya diajukan secepat mungkin,
mengingat sistem Paten Indonesia menganut sistem First to File.
Berbeda dengan sistem first-to-file dimana paten akan diberikan kepada pihak yang pertama
kali mengajukan permohonan paten terhadap suatu invensi yang ditemukannya, dalam sistem
first-to-invent paten seseorang dapat memperoleh paten atas suatu invensi yang permohonan
patennya diajukan terlebih dahulu oleh pihak lain apabila ia dapat membuktikan di
pengadilan bahwa dialah orang yang pertama kali menemukan invensi tersebut.
Perbedaan First to file dan first to invent.
First to File : system pemberian Paten yang menganut mekanisme bahwa sesorang yang
pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai pemegang paten.(Dianut oleh negara
Indonesia)
First to Invent : sistem pemberian Paten yang menganut mekanisme bahwa sesorang yang
pertama kali menemukan dianggap sebagai pemegang paten. (dianut oleh beberpa negara
maju seperti Amerika)
adapun asas first to file, siapa yang mendaftarkan merek pertama kali, maka ia adalah
pemegang merek, sepanjang belum bisa dibuktikan sebaliknya dalam tenggat waktu tertentu.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek
Peusahaan dan Merek Perniagaan. Pasal itu berbunyi:
Hak khusus untuk memakai suatu merek guna memperbedakan barang-barang hasil
perusahaan atau barang barang peniagaan seseorang atau sesuatu badan dari barang-
barang orang lain atau badan lain diberikan kepada barangsiapa yang untuk pertama kali
memakai merek itu untuk keperluan tersebut di atas di Indonesia. Hak khusus untuk memakai
merek itu berlaku hanya untuk barang-barang yang sejenis dengan barang-barang yang
dibubuhi merek itu dan berlaku hingga tiga tahun setelah pemakaian terakhir merek itu.
Prinsip di atas kemudian dikuatkan dalam UU terkait setelahnya yaitu UU Nomor 19 Tahun
1992, UU Nomor 14 Tahun 1997 dan terakhir UU Nomor 2001.
Namun asas first to file itu mempunyai kelemahan dan diakui oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) Kemenkum HAM.
"Pendaftaran merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file) lebih menjamin
adanya kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek, namun sampai saat ini sistem
pendaftaran first to file di Indonesia belum efektif menciptakan keselarasan jaminan keadilan
dan kemanfaatan, karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan bukan oleh pemilik
merek yang sebenarnya," ujar BPHN.
Hal itu dituangkan dalam Penyusunan Naskah Akademik RUU yentang Hak Kekayaan
Industri (Paket Perubahan UU 14/2001 tentang Paten, UU 15/2001 tentang Merek, dan UU
31/2000 tentang Desain Industri). Tidak hanya di bidang merek, BPHN juga mencatat di
desain industri masih kurang pemahaman para pendesain tentang keberadaan UU 31/2000
tentang Desain Industri dan bahkan banyak di antara mereka yang tidak mengetahui bahwa
sistem perlindungannya menganut sistem pendaftaran first to file.

@@@@@@@@@

KPPU: Perjanjian Eksklusif HKI Tidak Mutlak


Perjanjian ekslusif hak kekayaan intelektual tidak mutlak menyimpang dari aturan anti
monopoli dan persaingan tidak sehat. KPPU menelurkan Peraturan Komisi No. 2/2009 yang
intinya mengatur perjanjian eksklusif HKI yang dilarang.
Bagi pemegang hak eksklusif atas hak kekayaan intelektual (HKI), sebaiknya Anda
perhatikan aturan baru dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Aturan itu adalah
Peraturan Komisi (Perkom) No. 2 Tahun 2009. Perkom itu mengatur tentang perjanjian HKI
yang tidak mendapat pengecualian menurut Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Perjanjian HKI itu antara lain lisensi, paten, merek dagang dan hak cipta. Bagi pihak yang
akan membuat perjanjian hendaknya memperhatikan Perkom No. 2/2009. Bagi yang sudah
membuat agar menyesuaikan dengan aturan itu, ujar Direktur Komunikasi KPPU A. Junaidi
di gedung KPPU, Kamis (07/6) kemarin.
Junaidi menerangkan pedoman itu diperlukan agar eksklusifitas HKI tidak bersifat mutlak,
sehingga tidak menyimpangi prinsip persaingan sehat. Menurut dia, hak eksklusif HKI dan
hukum persaingan bersifat saling melengkapi. Kedua rezim hukum itu sama-sama bertujuan
untuk memajukan sistem perekonomian di era perdagangan bebas dan globalisasi. Hal itu
sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Pasal itu mengatur
perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha
tidak sehat. Senada, Pasal 71 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Paten juga melarang
perjanjian lisensi memuat pembatasan yang menghambat kemampuan penerima lisensi untuk
menguasai dan mengembangkan teknologi.
Kasubdit Pranata Hukum KPPU, Helena Wulandari menerangkan enam bentuk perjanjian
eksklusif yang dilarang KPPU yakni pooling and cross licensing, tying agreement, grant
back, pembatasan bahan baku, pembatasan produksi dan penjualan serta pembatasan
penjualan dan harga jual kembali.
Helena menyatakan, pooling and cross licensing dapat mengakibatkan penguasaan dominan
sehingga pelaku usaha tidak bersaing secara efektif. Tying agreement juga dilarang bila
penggabungan produk disertai dengan keharusan penerima lisensi menjual produk sebagai
satu kesatuan pada konsumen. tying agreement adalah perjanjian yang dibuat di antara pelaku
usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
Perjanjian yang membatasi penggunaan bahan baku tidak dapat dikecualikan bila ada
kewajiban untuk menggunakan bahan baku dari sumber yang ditentukan oleh lisensor secara
eksklusif. Hal itu bisa membatasi kesempatan pelaku usaha yang mempunyai bahan baku
yang kualitasnya sama untuk bersaing.
Selain itu, KPPU melarang perjanjian yang mensyaratkan pembatasan produksi dan
penjualan. Menurut Helena, hal itu akan menghambat penerima lisensi menggunakan
teknologi secara efektif. Kecuali bila pembatasan itu bertujuan untuk menjaga rahasia dagang
dan penggunaan teknologi secara tidak sah.
Larangan yang sama juga berlaku pada perjanjian yang membatasi penjualan dan harga jual
kembali. Sebab dikhawatirkan pembatasan itu akan menghambat penerima lisensi untuk
melakukan inovasi teknologi dan pengembangan produk. Sementara, perjanjian grant back
tidak dapat dibenarkan karena akan menghambat pengembangan teknologi oleh pemegang
lisensi. Grant black adalah perjanjian lisensi yang diserahkan kembali kepada
licensor�pemberi lisensi.
Pengecualian terhadap hak eksklusif HKI hanya berlaku jika tidak secara otomatis
melahirkan praktik monopoli dan persaingan sehat. Sebaliknya, apabila perjanjiannya
eksklusif bertentangan dengan Perkom No. 2/2009, maka pemegang HKI bisa dijerat dengan
Pasal 15 UU No. 5/1999 mengenai perjanjian tertutup.

@@@@@@@@@@

Hak Cipta sifatnya adalah Automatic Protection, apa artinya Jelaskan ?


Adalah ketentuan yang melindungi secara otomatis terhadap karya Hak Cipta. Apabila
pendaftran Hak Cipta ditolak maka tidak ada pengaruh hukumnya karena Hak Cipta tersebut
secara otamatis telah dilindungi setelah karya cipta tersebut selesai dibuat.

Apabila seseorang mendaftarkan ciptaan program computer ke Ditjen HKI dan ditolak
permohonan pendaftarannya, Apakah akibat Hukumnya ?
Jawab :
Tidak berakibat atau berpengaruh hukum terhadap karya cipta Program computer tersebut,
karena adanya ketentuan Automatic Protection jika karya cipta tersebut memang benar-benar
telahselesai dibuatnya. Disamping itu karena Pendaftaran terhadap Karya Hak Cipta sifatnya
hanya pengesahan Administratif saja, Karya Cipta tidak wajib untuk didaftarkan di Ditjen
HKI.

automatically Protection artinya pemberian perlindungan hak cipta dapat dilakukan tanpa
adanya pendaftaran secara formal;
Dengan konsep perlindungan otomatis (automatically protection) yang dianut Konvensi
Berne, maka perlindungan hukum terhadap karya cipta tidak membutuhkan persyaratan
formal seperti misalnya pendaftaran, melainkan begitu karya tersebut lahir (expression work),
pada saat itu juga secara hukum mendapat perlindungan hukum hak cipta.

@@@@@@@@@@@@

Sebenarnya tidak ada kewjiban bagi seseorang untuk mendaftarkan merek yang dimiliki.
Akan tetapi jika akan mendapat perlindungan hukum, maka merek yang bersangkutan harus
terdaftar terlebih dahulu. Suatu permohonan pendaftaran merek akan diterima pendaftarannya
apabila telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang Undang Merek.
Syarat utama yang sekaligus menjadi ciri utama suatu merek adalah adanya daya pembeda.

Anda mungkin juga menyukai