Anda di halaman 1dari 5

Sebagai karya sastra, drama adalah karya yang mempunyai dua dimensi khusus,

yang pertama adalah dimensi sastra dan yang ke dua adalah dimensi seni
pertunjukan (Damono, 1983:114). Drama sebagai genre sastra tentunya
mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan prosa dan puisi.
Keistimewaan drama terletak pada tujuan kepenulisannya tidak berhenti pada
pembeberan peristiwanya yang dapat dinikmati secara artistik dan imajinatif oleh
pembaca teks drama, akan tetapi dilanjutkan pada bentuk konkret berupa
pertunjukan drama yang lengkap dengan aktor dan segala kelengapan
pendukungnya (Hasanuddin, 1996:1). Luxemburg, dan kawan-kawan (1984:158)
menambahkan, apabila teks drama dinikmati sebagai karya sastra dengan tidak
melihat pertunjukannya. Pembaca akan tetap bisa membayangkan peristiwa yang
terjadi di atas pentas. Dalam teks drama, pengarang selalu memberikan petunjuk
laku dalam setiap penulisannya, petunjuk tersebut dinamakan teks samping. Teks
samping berfungsi sebagai gambaran pembaca dalam mengetahui bagaimana
pendukung pementasan bekerja. Waluyo (2002:29) juga menjelaskan, teks
samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu suasana, pentas,
suara, musik, keluar masuknya aktor dan aktris, keras lemahnya dialog, warna
suara, dan perasaan yang mendasari dialog. Dalam kepenulisan teks drama, teks
samping biasanya di tulis menggunakan gaya penulisan yang berbeda dengan
dialaog (misalnya dengan huruf miring atau huruf besar semuanya). Dalam hal
ini, penelitian akan difokuskan pada drama sebagai teks sastra. Khususnya teks
drama surrealis yang menggunakan gibberish dalam penggunaan dialognya,
bukan drama yang melibatkan pemain, sutradara, tata artistik dan pendukung
pentas lainnya.
Drama
Istilah drama dan teater berasal dari kebudayaan Barat (Oemarjati, 1971:14).
Semula di Yunani istilah “drama” muncul sebagai upacara agama, yakni
pemujaan terhadap para dewaa. Pada zaman

Etimologi drama
Drama dua dimensi
Drama sebagi teks sastra
teksamping

Secara etimologi, drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti
‘berbuat’, ‘berlaku’, ‘bertindak’, atau ‘beraksi’. Soemanto (dalam Dewojati
2010:7), berpendapat bahwa istilah tersebut mengacu pada drame, sebuah kata
dari bahasa Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beumarchaid untuk
menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Oleh karena
itu drama dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan.
Haerkötter berpendapat dalam bukunya Deutsche Literaturgeschichte
menjelaskan bahwan drama sebagai berikut.
Dramatische ist „handelnde“, Bühnendichtung, bei der zum Wort und Gebärde
gehört. Sie ist Bühnendichtung mit spannungsgelandenem Dialog. Ein weiteres
Element ist der Kampf, der ein Äusserer sein kann und dann zwischen den
Menschen ausgetragen wird oder ein innerer, zwischen einander

1
2

wiederstrebenden Neigungen im Seelenleben eines Menschen (Haerkötter,


1971:166).
Dramatis adalah "akting", segel panggung yang termasuk kata dan gerak tubuh.
Dia adalah segel panggung dengan dialog yang dipenuhi ketegangan. Unsur lain
adalah perjuangan, yang dapat menjadi eksternal dan kemudian terjadi antara
orang-orang atau internal, kecenderungan yang saling berulang dalam kehidupan
psikis seseorang (Haerkötter, 1971: 166).

Drama merupakan topik berbagai semotik. Barthes mendeskripsikan


drama sebagai “Polifoni Informasi” dan membuat karakterisasi secara teatrikal
dengan “densitas tanda-tandanya” yang tertentu (Barthes dalam Noth, 2006:367).
Sebagai penyajian, drama memiliki karakter tanda, yang memperlihatkan satu hal
sebagai pengganti hal yang lain (Eco dalam Nort, 2006:367).
Sebagai tanda, drama berpartisipasi dalam proses komunikasi estetis.
Sebagai sandiwara dan pertunjukan drama menampilkan tanda-tanda ikonis dan
indeksikal; sebagai drama itu sendiri, drama memiliki struktur aktansial
(actantial) khusus; sebagai teks tertulis dan penampilan visual dan nonverbal,
drama merupakan sebuah kode yang berpartisipasi masih dalam mode semiosis
lainnya. Karena berbagai macam hubungan dengan berbagai topik dan kode yang
dibahasa dalam bagian-bagian bab tentang estetika dan komunikasi visual dan
nonverbal, semiotika drama melampaui bidang semiotik teks dalam pegertian
yang lebih sempit (Nort, 2006: 367).

Secara etimologi, drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti ‘berbuat’,
‘berlaku’, ‘bertindak’, atau ‘beraksi’. Soemanto (dalam Dewojati 2010:7),
berpendapat bahwa istilah tersebut mengacu pada drame, sebuah kata dari bahasa
Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon
mereka tentang kehidupan kelas menengah. Oleh karena itu drama dapat diartikan
sebagai perbuatan atau tindakan.
Selain itu Harrymawan (1988:1) mengartikan drama sebagai cerita konflik manusia
dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan
percakapan dan action di depan penonton. Sejalan dengan pendapat itu, Ferdinand
dan Balthaza Verhagen (dalam Hasanuddin 1996:3) mengemukakan bahwa drama
merupakan kesenian yang melukistan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan
kehendak manusia dengan action dan 22
3

perilaku. Pengertian lain dikemukakan oleh Moulto (dalam Dewojati 2010:7) yang
mengartikan drama sebagai hidup yang dilukiskan dengan gerak. Jadi, drama adalah
menyaksikan kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung.
Lain halnya dengan yang disampaikan oleh Clay Hemilton dan Koning (dalam
Kanzunnudin 1995:20). yang menyebut drama sebagai karya sastra yang ditulis
dalam bentuk percakapan dengan maksud untuk dipertunjukkan oleh aktor Sejalan
dengan Hemilton (dalam Hassanuddin 1996:7) membatasi drama sebagai satu genre
sastra yang ditulis dalam bentuk dialog-dialog dengan tujuan untuk dipentaskan
sebagai seni pertunjukan.
Adapun Hassanddin (1996: 7) mengunkapkan bahwa drama adalah karya yang
memiliki dua dimensi, yaitu dimensi sastra dan dimensi seni pertunjukan. Drama
sebagai pertunjukan suatu lakon merupakan pertemuan dari beberapa cabang
kesenian lain seperti seni sastra, seni peran, seni tari, seni deklamasi, dan seni suara.
Sedangkan drama sebagai genre sastra lebih berfokus sebagai suatu karya yang lebih
berorientasi kepada seni pertunjukan dibandingkan sebagai genre sastra. Ibrahim
(dalam Dewojati 2010:8).
Drama sebagai naskah memiliki kedudukan sendiri sebagai genre sastra yang dapat
disejajarkan dengan puisi dan prosa. Kedudukan teks drama dalam teks sastra cukup
menarik. Ia merupakan bagian integral dari pertunjukan drama dan teater yang
tercakup ke dalam seni pertunjukan (performance art). Oleh karena itu teks drama
baru dapat dinikmati secara utuh dalam kesatuan dengan pertunjukannya. Dengan
demikian, usaha analisis drama harus dilandasi kesadaran bahwa sebuah karya drama
memang ditulis untuk dipentaskan. 23
4

Pengarang menulis drama itu dengan membayangkan action dan ucapan para aktor di
atas panggung. Jadi, dialog dan action itu adalah bagian yang sangat penting dalam
drama.
Harymawan (1988:23) mengemukakan naskah drama adalah bentuk atau rencana
tertulis dari cerita drama. Selanjutnya menurut Waluyo (2002:2) naskah drama adalah
salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Berbeda dengan
prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk sendiri yaitu ditulis dalam bentuk
dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan,
sedangkan menurut Luxemburg dkk. (1984:158) menyebutkan bahwa naskah drama
ialah semua naskah yang besifat dialog-dialog yang isinya membentangkan sebuah
alur.
Teks drama sebagai sastra lakon memang baru mempunyai makna penuh apabila
karya tersebut dipentaskan. Hal ini terjadi kerena sebuah teks lakon tidak hanya
berhenti pada konsep atau simbol-simbol verbal yang berupa jagat kata (a verbal
world) seperti pada pisi atau novel, tetapi juga berisi jagat yang seolah-olah bias
terlihat (visual), terdengar (audible), bahkan terasakan (tangible) Soemanto (dalam
Dewojati 2010:3). Dengan kata lain, teks tersebut hanya dapat dinikmati secara
sempurna apabila dipanggungkan. Oleh karena itu analisis teks drama harus
memperhatikan pula pentingnya kehadiran teks samping yang terdapat dalam drama
tersebut. Kekuatan dialog akan didukung oleh teks samping yang jelas. Teks samping
atau petunjuk lakon biasanya memberikan petunjuk mengenai gerak-gerik, situasi,
tokoh (karakter tokoh, keluar masuk tokoh, mimik wajah, ekspresi, keras lemah suara,
dan sebagainya) (Luxemburg 1984:166). 24
5

Dialog dan teks samping merupakan struktur fisik teks drama. Sebagai sebuah genre
sastra, teks drama mengikuti konvensi sastra yang berlaku, yakni terdiri atas struktur
fisik dan struktur batin (Teeuw 1984:2). Berangkat dari struktur fisiknya, teks sastra
terikat oleh konvensi kebahasaan, hukum-hukum, dan aturan-aturan kebahasaan. Teks
drama bukan hanya terikat oleh bentuk bahasanya, melainkan juga sistem
pemaknaanya. Melalui teks samping atau petunjuk lakon itulah, seorang pembaca
dapat sekaligus dapat membayangkan pementasannya.
Keistimewaan drama dibandingkan dengan karya sastra lain memang terletak pada
tujuan pengarang yang tidak hanya ingin berhenti berkomunikasi dengan pembacanya
pada tahap pembeberan imajinasi tokoh dan berbagai peristiwa. Pengarang biasanya
sekaligus ingin melanjutkan komunikasi dengan audiensnya itu dengan
menghidupkan tokoh dan peristiwa tersebut di atas panggung Soemanto dan
Hasanuddin (dalam Dewojati 2010:3).
Pementasan drama di atas panggung tidak bisa lepas dari naskah drama yang
berfungsi menjadi peggerak cerita bagi pemain yang berperan di atas panggung.
Menurut Endraswara (2011:37) naskah atau teks drama dapat digolongkan menjadi
dua, yaitu (1) part text, adalah naskah yang ditulis dalam teks hanya sebagian saja,
berupa garis besar cerita. Naskah semacam ini biasanya diperuntukkan bagi pemain
yang sudah mahir, (2) full text, adalah naslah drama dengan penggarapan komplit,
meliputi dialog, monolog, karakter, iringan, dll.

Oleh karena itu, analisis sebuah teks drama harus memperhatikan pula
pentingnya sebuah kehadiran teks samping yang terdapat dalam drama tersebut.
Melalui analisis teks samping atau petunjuk laku itulah, seorang pembaca dapat
sekaligus membayangkan pementasannya (Dewojati, 2010:3). Hal ini dipertegas
oleh Luxemburg dan kawan-kawan (1984:158) yang menyatakan bahwa jika teks
drama dinikmati sebagai genre sastra tanpa menyaksikan pementasannya,
pembaca akan tetap membayangkan alur peristiwa di atas pentas.

Dalam perspektif semiotika drama, drama sebagai objek kajian bisa dibagi
menjadi dua, yakni pendekatan semiotika terhadap teks drama (lakon atau naskah
drama), dan pendekatan semiotika terhadap pertunjukan drama itu sendiri
(semiotics of performance) (Sahid, 2016:30)

Anda mungkin juga menyukai