Abstract PIN PAPDI 2019 PDF
Abstract PIN PAPDI 2019 PDF
Editor:
Rudy Hidayat, Edy Rizal Wachyudi, Evy Yunihastuti, Andhika Rachman,
Rudi Putranto, Erni Juwita Nelwan, Simon Salim,
Juferdy Kurniawan, Ni Made Hustrini, Dicky Levenus Tahapary,
Hasan Maulahela, Herikurniawan
Kumpulan Naskah
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI
Tahun 2019
Tema
Update in Diagnostic Procedures and Treatment in Internal Medicine:
Towards Evidence Based Competency
Editor
Rudy Hidayat
Edy Rizal Wachyudi
Evy Yunihastuti
Andhika Rachman
Rudi Putranto
Erni Juwita Nelwan
Simon Salim
Juferdy Kurniawan
Ni Made Hustrini
Dicky Levenus Tahapary
Hasan Maulahela
Herikurniawan
Pengurus Besar
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Kumpulan Naskah
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI Tahun 2019
Tema: Update in Diagnostic Procedures and Treatment in Internal Medicine:
Towards Evidence Based Competency
Susunan Panitia
Ketua Panitia : Dr. dr. Eka Ginanjar, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, FICA
Wakil Ketua 1 : Dr. dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, K-AI, FINASIM
Wakil Ketua 2 : dr. Hermawan Susanto, SpPD, FINASIM
Sekretaris : - dr. Adityo Susilo, SpPD, K-PTI, FINASIM
- dr. Novira Widajanti, SpPD, K-Ger, FINASIM
Bendahara : dr. Rahmah Safitri Meutia, SpPD, FINASIM
Seksi Ilmiah:
- Dr. dr. Rudy Hidayat, SpPD, K-R, FINASIM (Koordinator)
- dr. Edy Rizal Wachyudi, SpPD, K-Ger, FINASIM
- Dr. dr. Evy Yunihastuti, SpPD, K-AI, FINASIM
- Dr. dr. Andhika Rachman, SpPD, K-HOM, FINASIM
- dr. Rudi Putranto, SpPD, K-Psi, FINASIM, MPH
- dr. Erni Juwita Nelwan, PhD, SpPD, K-PTI, FINASIM, FACP
- dr. Simon Salim, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, FICA, AIFO, M.Kes
- Dr. dr. Juferdy Kurniawan, SpPD, K-GEH, FINASIM
- dr. Ni Made Hustrini, SpPD, K-GH
- dr. Dicky Levenus Tahapary, PhD, SpPD
- dr. Hasan Maulahela, SpPD
- dr. Herikurniawan, SpPD
- Dr. dr. Erwin Astha Triyono, SpPD, K-PTI, FINASIM
- dr. Imam Soewono, SpPD, FINASIM
- dr. Nunuk Mardiana, SpPD, K-GH, FINASIM
150 x 230 mm
Diterbitkan oleh:
Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Jl. Salemba I No. 22-D, Senen, Jakarta Pusat, Indonesia 10430
KONTRIBUTOR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya sehingga kita diberikan kekuatan untuk kembali
melaksanakan Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) PAPDI ke XVII serta kembali
menyelesaikan buku makalah lengkap PIN.
Kami menyadari buku ini akan banyak kekurangan, masukan dari saran
Sejawat akan sangat bermanfaat bagi kami. Kepada para penulis yang telah
meluangkan waktunya memberikan makalah lengkap PIN XVII PAPDI serta
semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan buku ini, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga buku ini dan seluruh materi PIN XVII PAPDI di Surabaya ini
bermanfaat bagi para Sejawat dalam menatalaksana pasien di tempat Sejawat
bekerja, karena pada akhirnya semua upaya kita ini adalah demi pasien yang
telah mempercayakan jiwa dan raganya pada kita. Selamat membaca.
Tim Editor
KULIAH UMUM
Peran Internis dalam Tatalaksana Gagal Jantung
Idrus Alwi................................................................................................................................. 1
SIMPOSIUM
WORKSHOP
Diagnosis Osteoporosis
Rudy Hidayat.......................................................................................................................... 470
Pendahuluan
Gagal jantung (GJ) merupakan suatu sindrom klinis pada sistem
kardiovaskular dengan prevalensi dan insiden yang terus meningkat.1
Tata laksana GJ terus berkembang dengan berbagai uji klinis dalam upaya
menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pedoman dari European Society of
Cardiology (ESC) tahun 2016 dan American College of Cardiology - American
Heart Association (ACC-AHA) tahun 2017 telah memasukkan obat baru
angiotensin II receptor blocker neprilysin inhibitor (ARNI) dalam tata laksana
terkini GJ.2, 3 Meskipun terdapat kemajuan yang bermakna pada bidang
farmakologi dan terapi, namun angka kesakitan (morbiditas) dan angka
kematian (mortalitas) pada pasien gagal jantung masih tetap tinggi.2
Gambar 1. Algoritme Terapi Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Rendah yang
Simtomatis.2 Hijau: rekomendasi kelas I, kuning: rekomendasi kelas IIa.
Gambar 1. Algoritme Terapi Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Rendah yang Simtomatis.2
Pertemuan
Hijau: rekomendasi Ilmiah
kelas I, Nasional
kuning:XVII PAPDI - Surabaya
rekomendasi 2019IIa.
kelas 3
Idrus Alwi
Diabetes
Disglikemia dan diabetes sering dijumpai pada pasien GJ dan diabetes
berhubungan dengan status fungsional dan prognosis yang lebih buruk.
Pada pasien GJFEB, intervensi yang menurunkan morbiditas dan mortalitas
menunjukkan manfaat yang sama pada pasien dengan diabetes atau tanpa
diabetes.5 Penyekat beta memperbaiki outcome serupa, baik pada pasien
dengan atau tanpa diabetes, meskipun penyekat beta yang berbeda dapat
bervariasi dalam efeknya terhadap indeks glikemik.6
Hipertensi
Hipertensi dikaitkan dengan peningkatan risiko terkena gagal jantung;
terapi antihipertensi secara nyata mengurangi kejadian gagal jantung
(dengan pengecualian penyekat α-adrenoceptor, yang kurang efektif
daripada antihipertensi lainnya dalam mencegah gagal jantung).17 Sebuah
studi kohort prospektif mendokumentasikan bahwa dalam populasi dengan
insiden GJ, tekanan darah sistolik awal, tekanan darah diastolik awal dan
tingkat tekanan nadi yang lebih tinggi dikaitkan dengan tingkat efek samping
yang lebih tinggi, yang selanjutnya mendukung pentingnya kontrol tekanan
darah optimal dalam populasi ini.18 Kontrol tekanan darah merupakan elemen
manajemen holistik pasien dengan gagal jantung.
terakumulasi jika diekskresi ginjal. Dalam GJ, WRF relatif umum, terutama
selama inisiasi dan peningkatan terapi inhibitor RAAS. Terlepas dari kenyataan
bahwa penghambat RAAS sering dapat menyebabkan penurunan GFR pada
pasien dengan gagal jantung, pengurangan ini biasanya kecil dan tidak
mengarah pada penghentian pengobatan kecuali ada penurunan yang nyata,
karena manfaat pengobatan pada pasien sebagian besar dipertahankan.27
Ketika peningkatan besar dalam kreatinin serum terjadi, penanganan harus
diambil untuk mengevaluasi pasien secara menyeluruh dan harus mencakup
penilaian kemungkinan stenosis arteri renalis, hiper atau hipovolemia yang
berlebihan, penggunaan obat bersamaan dan hiperkalemia, yang sering kali
bersamaan dengan WRF.
Obstruksi prostat sering terjadi pada pria yang lebih tua dan dapat
mengganggu fungsi ginjal; karena itu harus dikesampingkan pada pria
dengan gagal jantung dengan fungsi ginjal yang memburuk. penghambat
α-adrenoceptor menyebabkan hipotensi dan retensi natrium dan air, sehingga
mungkin tidak aman di GJFEB.17, 28, 29 Untuk alasan ini, inhibitor 5-α-reduktase
umumnya lebih disukai dalam perawatan medis obstruksi prostat pada pasien
dengan gagal jantung.
Zat besi intravena khusus dipelajari dalam dua RCT pada pasien gagal
jantung dengan defisiensi besi (serum ferritin 100 mg/L atau ferritin antara
100 dan 299 mg/L dan saturasi transferrin 20%)33, 34 baik dengan dan tanpa
anemia. Karboksimaltos ferat intravena (FCM) telah terbukti meningkatkan
penilaian global pasien yang dilaporkan sendiri, kualitas hidup dan kelas NYHA
(lebih dari 6 bulan) dalam penelitian FAIR-HF33 baik pada pasien anemia dan
non-anemia dengan GJ,35 dan dalam studi CONFIRM-HF34, kapasitas olahraga
meningkat selama 24 minggu. Dalam analisis titik akhir sekunder (secondary
endpoint) dalam studi CONFIRM-HF, zat besi intravena mengurangi risiko
rawat inap GJ pada pasien yang kekurangan zat besi dengan GJFEB.34
Sebuah meta-analisis dari terapi besi intravena pada pasien GJFEB dengan
defisiensi besi hingga 52 minggu menunjukkan penurunan tingkat rawat inap
dan peningkatan gejala gagal jantung, kapasitas olahraga dan kualitas hidup.36
Oleh karena itu, pengobatan dengan FCM dapat mengakibatkan perbaikan
berkelanjutan dalam kapasitas fungsional, gejala dan kualitas hidup.
Pengobatan juga dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam rawat
inap untuk perburukan gagal jantung. Jumlah kematian dan kejadian efek
samping serupa. Belum ada penelitian terhadap zat besi intravena dilakukan
untuk menguji efek pada hasil utama atau untuk mengevaluasi secara terpisah
efek pada pasien anemia dan non-anemia.
Efek dari mengobati kekurangan zat besi pada GJFET/ gagal jantung
dengan fraksi ejeksi rentang tengah (HFmrEF, Heart Failure with Mid-Range
Ejection Fraction) dan keamanan jangka panjang dari terapi besi baik pada
GJFEB, HFmrEF atau GJFET tidak diketahui. Keamanan zat besi intravena tidak
diketahui pada pasien dengan gagal jantung dan hemoglobin > 15 g/dL.33, 34
Pasien dengan defisiensi besi perlu diskrining untuk setiap penyebab yang
dapat diobati/ reversibel (misalnya sumber perdarahan gastrointestinal).
Spirometri harus dilakukan ketika pasien telah stabil dan euvolemia selama
minimal 3 bulan, untuk menghindari efek perancu dari obstruksi paru yang
menyebabkan obstruksi eksternal alveoli dan bronkiolus.46 Baik PPOK dengan
label yang benar dan salah dikaitkan dengan status fungsional yang lebih
buruk dan prognosis yang lebih buruk pada GJFEB.
Keamanan jangka panjang dari obat paru yang kardioaktif tidak pasti
dan kebutuhan penggunaannya harus dipertimbangkan kembali pada pasien
dengan GJFEB, terutama karena manfaatnya pada asma dan PPOK mungkin
hanya simtomatik tanpa efek yang jelas pada mortalitas. Kortikosteroid
oral dapat menyebabkan retensi natrium dan air, berpotensi menyebabkan
memburuknya gagal jantung, tetapi ini tidak diyakini sebagai masalah dengan
kortikosteroid inhalasi.
Kanker
Obat kemoterapi tertentu dapat menyebabkan (atau memperparah)
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan GJ. Agen yang paling dikenal memiliki
pengaruh ini adalah antrasiklin (misalnya doksorubisin), trastuzumab, dan
penghambat tirosin kinase.49, 50 Ulasan terbaru Cochrane menemukan bahwa
dexrazoxane menunjukkan efek kardioprotektif pada pasien yang menerima
antrasiklin.51 Fraksi ejeksi ventrikel prs- dan pasca-evaluasi, jika tersedia
dengan myocardial strain imaging, penting pada pasien yang menerima
kemoterapi kardiotoksik.49, 50
Obesitas
Obesitas adalah faktor risiko untuk GJ55 dan memperumit diagnosisnya,
karena dapat menyebabkan dispnu, intoleransi aktivitas, pembengkakan
pergelangan kaki, dan dapat menghasilkan gambar ekokardiografi berkualitas
rendah. Individu yang obesitas juga mengalami penurunan kadar NP.56
Obesitas lebih sering terjadi pada GJFET daripada di GJFEB, walaupun ada
kemungkinan bahwa kesalahan diagnosis dapat menjelaskan setidaknya
beberapa perbedaan dalam prevalensi ini. Meskipun obesitas adalah faktor
risiko independen untuk mengalami GJ, ketika GJ didiagnosis, sudah diketahui
bahwa obesitas dikaitkan dengan mortalitas yang lebih rendah di berbagai
indeks massa tubuh (IMT), yang dikenal sebagai obesitas paradoks juga
terlihat pada penyakit kronis lainnya.57, 58
Daftar Pustaka
1. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, Benjamin EJ, Berry JD, al. e. Heart Disease and
Stroke Statistics--2012 Update: A Report From the American Heart Association.
Circulation. 2012;125(1):e2-220.
2. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JG, Coats AJ, et al. 2016 ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure: The
Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the
European Society of Cardiology (ESC). Developed with the special contribution of
the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur J Heart Fail. 2016;18(8):891-
975.
3. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Colvin MM, et al. 2017 ACC/
AHA/HFSA Focused Update of the 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management
of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines and the Heart Failure Society
of America. Circulation. 2017.
4. Paulus WJ, Tschöpe C. A novel paradigm for heart failure with preserved
ejection fraction: comorbidities drive myocardial dysfunction and remodeling
through coronary microvascular endothelial inflammation. J Am Coll Cardiol.
2013;62(4):263-71.
5. Gilbert RE, Krum H. Heart failure in diabetes: effects of anti-hyperglycaemic drug
therapy. Lancet. 2015;385(9982):2107-17.
6. Bakris GL, Fonseca V, Katholi RE, McGill JB, Messerli FH, Phillips RA, et al. Metabolic
effects of carvedilol vs metoprolol in patients with type 2 diabetes mellitus and
hypertension: a randomized controlled trial. JAMA. 2004;292(18):2227-36.
19. Cohn JN, Pfeffer MA, Rouleau J, Sharpe N, Swedberg K, Straub M, et al. Adverse
mortality effect of central sympathetic inhibition with sustained‐release moxonidine
in patients with heart failure (MOXCON). Eur J Heart Fail. 2003;5(5):659-67.
20. Packer M, O’Connor C, Ghali J, Pressler M, Carson P, Belkin R, et al. for the
Prospective Randomized Amlodipine Survival Evaluation Study Group: Effect of
amlodipine on morbidity and mortality in severe chronic heart failure. N Engl J
Med. 1996;335(15):1107-14.
21. Cohn JN, Ziesche S, Smith R, Anand I, Dunkman WB, Loeb H, et al. Effect of the
calcium antagonist felodipine as supplementary vasodilator therapy in patients
with chronic heart failure treated with enalapril: V-HeFT III. Circulation.
1997;96(3):856-63.
22. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, Boehm M, et al. 2013 ESH/
ESC guidelines for the management of arterial hypertension: the Task Force for
the Management of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension
(ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Blood Pressure.
2013;22(4):193-278.
23. Damman K, Valente MA, Voors AA, O'Connor CM, van Veldhuisen DJ, Hillege HL.
Renal impairment, worsening renal function, and outcome in patients with heart
failure: an updated meta-analysis. Eur Heart J. 2013;35(7):455-69.
24. Filippatos G, Farmakis D, Parissis J. Renal dysfunction and heart failure: things are
seldom what they seem. Oxford University Press; 2013.
25. Chawla LS, Eggers PW, Star RA, Kimmel PL. Acute kidney injury and chronic kidney
disease as interconnected syndromes. N Engl J Med. 2014;371(1):58-66.
26. Damman K, Testani JM. The kidney in heart failure: an update. Eur Heart J.
2015;36(23):1437-44.
27. Clark H, Krum H, Hopper I. Worsening renal function during renin–angiotensin–
aldosterone system inhibitor initiation and long‐term outcomes in patients with
left ventricular systolic dysfunction. Eur J Heart Fail. 2014;16(1):41-8.
28. Dorszewski A, Gohmann E, Dorszewski B, Werner GS, Kreuzer H, Figulla HR.
Vasodilation by urapidil in the treatment of chronic congestive heart failure in
addition to angiotensinconverting enzyme inhibitors is not beneficial: Results of a
placebo-controlled, double-blind study. J Cardiac Fail. 1997;3(2):91-6.
29. Bayliss J, Norell MS, Canepa-Anson R, Reid C, Poole-Wilson P, Sutton G. Clinical
importance of the renin-angiotensin system in chronic heart failure: double blind
comparison of captopril and prazosin. Br Med J. 1985;290(6485):1861-5.
30. Jankowska EA, Von Haehling S, Anker SD, Macdougall IC, Ponikowski P. Iron
deficiency and heart failure: diagnostic dilemmas and therapeutic perspectives.
Eur Heart J. 2012;34(11):816-29.
31. Jankowska EA, Kasztura M, Sokolski M, Bronisz M, Nawrocka S, Oleśkowska-Florek
W, et al. Iron deficiency defined as depleted iron stores accompanied by unmet
cellular iron requirements identifies patients at the highest risk of death after an
episode of acute heart failure. Eur Heart J. 2014;35(36):2468-76.
32. Jankowska EA, Malyszko J, Ardehali H, Koc-Zorawska E, Banasiak W, Von
Haehling S, et al. Iron status in patients with chronic heart failure. Eur Heart J.
2012;34(11):827-34.
33. Anker SD, Comin Colet J, Filippatos G, Willenheimer R, Dickstein K, Drexler H, et al.
Ferric carboxymaltose in patients with heart failure and iron deficiency. N Engl J
Med. 2009;361(25):2436-48.
34. Ponikowski P, Van Veldhuisen DJ, Comin-Colet J, Ertl G, Komajda M, Mareev V, et al.
Beneficial effects of long-term intravenous iron therapy with ferric carboxymaltose
in patients with symptomatic heart failure and iron deficiency. Eur Heart J.
2014;36(11):657-68.
35. Filippatos G, Farmakis D, Colet JC, Dickstein K, Lüscher TF, Willenheimer R, et al.
Intravenous ferric carboxymaltose in iron‐deficient chronic heart failure patients
with and without anaemia: a subanalysis of the FAIR‐HF trial. Eur J Heart Fail.
2013;15(11):1267-76.
36. Jankowska EA, Tkaczyszyn M, Suchocki T, Drozd M, von Haehling S, Doehner W,
et al. Effects of intravenous iron therapy in iron‐deficient patients with systolic
heart failure: a meta‐analysis of randomized controlled trials. Eur J Heart Fail.
2016;18(7):786-95.
37. O’Meara E, Rouleau JL, White M, Roy K, Blondeau L, Ducharme A, et al. Heart failure
with anemia: novel findings on the roles of renal disease, interleukins, and specific
left ventricular remodeling processes. Circulation Heart Fail. 2014;7(5):773-81.
38. Swedberg K, Young JB, Anand IS, Cheng S, Desai AS, Diaz R, et al. Treatment of anemia
with darbepoetin alfa in systolic heart failure. N Engl J Med. 2013;368(13):1210-9.
39. Anker SD, Doehner W, Rauchhaus M, Sharma R, Francis D, Knosalla C, et al. Uric
acid and survival in chronic heart failure: validation and application in metabolic,
functional, and hemodynamic staging. Circulation. 2003;107(15):1991-7.
40. Zhang W, Doherty M, Bardin T, Pascual E, Barskova V, Conaghan P, et al. EULAR
evidence based recommendations for gout. Part II: Management. Report of a task
force of the EULAR Standing Committee for International Clinical Studies Including
Therapeutics (ESCISIT). Ann Rheum Dis. 2006;65(10):1312-24.
41. Doehner W, Jankowska EA, Springer J, Lainscak M, Anker SD. Uric acid and xanthine
oxidase in heart failure—Emerging data and therapeutic implications. Int J Cardiol.
2016;213:15-9.
42. Hawkins NM, Virani S, Ceconi C. Heart failure and chronic obstructive pulmonary
disease: the challenges facing physicians and health services. Eur Heart J.
2013;34(36):2795-807.
43. Rutten FH, Moons KG, Cramer M-JM, Grobbee DE, Zuithoff NP, Hoes AW. Recognising
heart failure in elderly patients with stable chronic obstructive pulmonary disease
in primary care: cross sectional diagnostic study. Br Med J. 2005;331(7529):1379.
44. Hawkins NM, Petrie MC, Jhund PS, Chalmers GW, Dunn FG, McMurray JJ. Heart
failure and chronic obstructive pulmonary disease: diagnostic pitfalls and
epidemiology. Eur J Heart Fail. 2009;11(2):130-9.
45. Brenner S, Güder G, Berliner D, Deubner N, Fröhlich K, Ertl G, et al. Airway obstruction
in systolic heart failure–COPD or congestion? Int J Cardiol. 2013;168(3):1910-6.
46. Güder G, Brenner S, Störk S, Hoes A, Rutten FH. Chronic obstructive pulmonary
disease in heart failure: accurate diagnosis and treatment. Eur J Heart Fail.
2014;16(12):1273-82.
47. Reddel HK, Bateman ED, Becker A, Boulet L-P, Cruz AA, Drazen JM, et al. A
summary of the new GINA strategy: a roadmap to asthma control. Eur Respir J.
2015;46(3):622-39.
48. Health NIo. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management
and prevention. 1995.
49. Eschenhagen T, Force T, Ewer MS, De Keulenaer GW, Suter TM, Anker SD, et al.
Cardiovascular side effects of cancer therapies: a position statement from the
Heart Failure Association of the European Society of Cardiology. Eur J Heart Fail.
2011;13(1):1-10.
50. Jones A, Barlow M, Barrett-Lee P, Canney PA, Gilmour I, Robb S, et al. Management of
cardiac health in trastuzumab-treated patients with breast cancer: updated United
Kingdom National Cancer Research Institute recommendations for monitoring. Br
J Cancer. 2009;100(5):684.
51. van Dalen EC, Caron HN, Dickinson HO, Kremer LC. Cardioprotective interventions
for cancer patients receiving anthracyclines. Cochrane Database Syst Rev. 2011(6).
52. Ezaz G, Long JB, Gross CP, Chen J. Risk prediction model for heart failure and
cardiomyopathy after adjuvant trastuzumab therapy for breast cancer. J Am Heart
Assoc. 2014;3(1):e000472.
53. Suter TM, Ewer MS. Cancer drugs and the heart: importance and management. Eur
Heart J. 2012;34(15):1102-11.
54. Zamorano JL, Lancellotti P, Rodriguez Muñoz D, Aboyans V, Asteggiano R, Galderisi
M, et al. 2016 ESC Position Paper on cancer treatments and cardiovascular toxicity
developed under the auspices of the ESC Committee for Practice Guidelines: The
Task Force for cancer treatments and cardiovascular toxicity of the European
Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2016;37(36):2768-801.
55. Kenchaiah S, Evans JC, Levy D, Wilson PW, Benjamin EJ, Larson MG, et al. Obesity
and the risk of heart failure. N Engl J Med. 2002;347(5):305-13.
56. Madamanchi C, Alhosaini H, Sumida A, Runge MS. Obesity and natriuretic peptides,
BNP and NT-proBNP: mechanisms and diagnostic implications for heart failure. Int
J Cardiol. 2014;176(3):611-7.
57. von Haehling S, Anker SD. Prevalence, incidence and clinical impact of cachexia:
facts and numbers—update 2014. J Cachexia Sarcopenia Muscle. 2014;5(4):261-3.
58. Evans WJ, Morley JE, Argilés J, Bales C, Baracos V, Guttridge D, et al. Cachexia: a new
definition. Clin Nutr. 2008;27(6):793-9.
59. Members: ATF, Perk J, De Backer G, Gohlke H, Graham I, Reiner Ž, et al. European
Guidelines on cardiovascular disease prevention in clinical practice (version
2012) The Fifth Joint Task Force of the European Society of Cardiology and Other
Societies on Cardiovascular Disease Prevention in Clinical Practice (constituted
by representatives of nine societies and by invited experts) Developed with the
special contribution of the European Association for Cardiovascular Prevention &
Rehabilitation (EACPR). Eur Heart J. 2012;33(13):1635-701.
Abstrak
Protein merupakan komponen seluler dan akstraseluler yang memegang
peranan penting dari sebagian besar proses biologis dalam tubuh. Beberapa
fungsi protein adalah sebagai struktur, transport, respon imun, hormone,
keseimbangan carian dan elektrolit dan penyembuhan luka. Protein
diproduksi dan dipecah terus menerus, masing-masing dengan laju spesifik
namun bervariasi berdasarkan kondisi seseorang seperti starvasi, stress,
dan kurang gizi. Ada beberapa kategori pembagian protein yaitu antara lain
berdasarkan sumbernya dan berdasarkan nilai biologisnya. Faktor yang
mempengaruhi efektifitas protein dalam memperbaiki luaran klinis pasien
adalah jenis dan jumlahnya. Dua faktor penyulit dalam penentuan kebutuhan
protein pada penyakit adalah karena tiap penyakit mempengaruhi kebutuhan
protein dengan mekanisme yang berbeda beda dan juga karena intensitas
proses tiap penyakit sangat bervariasi. Oleh karena itu ketentuan dalam
pemberian protein haruslah dilakukan kasus per kasus disesuaikan dengan
jenis penyakit dan kondisi metabolik pasien.
Pendahuluan
Protein merupakan komponen seluler dan ekstraseluler yang memegang
peranan penting dalam sebagian besar proses biologis dalam tubuh. Protein
berperan dalam penyusunan struktur (kolagen, aktin, miosin), reaksi
biokimia (enzim), transport (hemoglobin), respon imun (immunoglobulin,
CRP), hormon, keseimbangan cairan dan elektrolit (albumin), serta proses
inflamasi dan penyembuhan. Protein diproduksi dan dipecah terus menerus,
masing-masing dengan laju yang spesifik namun bervariasi berdasarkan
kondisi seseorang seperti starvasi, stress, dan kurang gizi. Protein tersusun
dari 20 asam amino, 9 diantaranya masuk dalam kategori asam amino esensial
karena tidak dapat disintesis dalam tubuh.1
ICU dengan gagal ginjal akut yang belum menjalani terapi pengganti ginjal
(RRT) diberikan 1.2-2 gr/kgBB/hari, sedangkan pada pasien yang menjalani
RRT baik dengan hemodialisis intermiten atau CRRT diberikan protein 1.5-
2.5 g/kgBB/hari untuk mencapai keseimbangan nitrogen positif. Pada pasien
gagal hati akut ataupun sirosis dekompensata, pemberian protein sebaiknya
tidak direstriksi. Pemberian protein pada pasien ini sama dengan pasien
ICU pada umumnya, namun BB yang digunakan adalah berat badan kering.
Penggunaan formula BCAA pada pasien ICU dengan sirosis dekompensata dan
ensefalopati hepatikum belum menunjukkan hasil yang signifikan sehingga
penggunaannya secara rutin belum direkomendasikan.7,8,9,10
Diet rendah protein juga memiliki efek negatif yaitu meningkatkan resiko
malnutrisi. Untuk mencegah malnutrisi dan Protein Energy Wasting (PEW)
maka direkomendasikan pemberian suplementasi EAA (essential amino-
acids) dan ketoanalog (KA) pada pasien dengan DRP. Asam amino esensial
harus diperoleh dari makanan karena tidak dapat disintesis tubuh, sedangkan
ketoanalog dapat berkonversi menjadi EAA tanpa menghasilkan produk
nitrogen. Manfaat EAA atau ketoanalog adalah mempertahankan status
protein tubuh tanpa meningkatkan produk buangan nitrogen, menurunkan
produksi asam dan fosfat, menurunkan degradasi protein dan metangsang
sintesis protein. Pasien PGK tahap akhir yang sudah menjalani dialisis
harus ditingkatkan pencapaian kebutuhan proteinnya. Proses dialisis dapat
meningkatkan inflamasi dan menstimulasi katabolisme protein. Selain itu
beberapa zat gizi juga hilang melalui proses dialisis. Diet rendah protein pasien
PGK dialisis berhubungan dengan peningkatan morbiditas, hospitalisasi dan
mortalitas.13,14,15
Rekomendasi dosis protein pada pasien PGK tahap akhir non dialisis
adalah 0.6-0.8 gr/kgBB/hari dengan > 50% protein bernilai biologis tinggi
umumnya terdapat pada protein hewani. Namunpun demikian pada penelitian
yang dilakukan dalam dua tahun terakhir terbukti bahwa protein nabati
juga dapat memberi pemenuhan kebutuan protein dengan tetap melakukan
pemantauan. Untuk PGK ringan-sedang direkomendasikan protein <1 gr/
kg/hari (pertimbangkan 0.6-0.8 jika eLFG < 45 ml/menit/1,73m2 atau
progresifitasnya cepat). Pada PGK tahap lanjut direkomendasikan protein
0.6-0.8 gr/kgBB/hari termasuk 50% protein bernilai biologis tinggi atau
< 0.6 gr/kg/hari dengan penambahan EAA atau KA. Pada masa transisi ke
proses dialisis, pemberian protein disarankan 0.6-0.8 gr/kgBB/hari pada
hari tidak menjalani dialisis (hemodialisis) dan > 1 gr/kgBB/hari pada hari
dialisis. Pengaturan protein pada pasien PGK dengan dialisis metode HD
dianjurkan protein 1.2-1.4 gr/kgBB/hari, pada pasein dialisis dengan metode
CAPD dapat diberikan 1.5 gr/kgBB/hari, pemberian > 1.5 jika ada kondisi
hiperkatabolik.14,16
Kesimpulan
Protein adalah salah satu komponen makronutrient yang memegang
banyak peranan penting dalam proses biologis tubuh. Protein diproduksi dan
dipecah terus menerus, masing-masing dengan laju spesifik namun bervariasi
berdasarkan kondisi seseorang seperti starvasi, stress, dan kurang gizi. Oleh
karena itu ketentuan pemberian protein harus dinilai kasus per kasus agar
dapat meningkatkan luaran klinis pasien.
Daftar Pustaka
1. Deutz NEP; Boirie Y, Roth E dan Soeters PB. 2011. Protein and Amino acids
Metabolism. In Basic in Clinical Nutrition 4th ed. ESPEN. hal 116-123 Galen : Prague.
2. Moore, DR dan Soeters, PB. 2015. The Biologic Value of Protein. Nestlé Nutr Inst
Workshop Ser, vol 82, pp 39–51
3. Furst P, Deutz NEP, Boirie Y, Roth E, Soeters PB. 2011. Protein and Amino Acids. In
Basic in Clinical Nutrition 4th ed. ESPEN. hal 262-265 Galen : Prague.
4. Makola, D. 2005. Elemental and Semi-Elemental Formulas: Are They Superior to
Polymeric Formulas?. Nutrition Issues In Gastroenterology, Series 34.
5. Gautier JBO, Martindale, RG, Rugeles SJ et al. 2017. How Much and What Type of
Protein Should a Critically Ill Patient Receive? ASPEN Nutrition in Clinical Practice
Volume 32 Supplement 1 6S–14S
6. Patel JJ, Martindale RG dan McClave SA. 2018. Controversies Surrounding Critical
Care Nutrition: An Appraisal of Permissive Underfeeding, Protein, and Outcomes.
Journal of Parenteral and Enteral Nutrition Volume 42 Number 3 508–515
7. Hurt RT, McClave SA, Martindale RG et al. 2017. Summary Points and Consensus
Recommendations From the International Protein Summit. Nutrition in Clinical
Practice Volume 32 Supplement 1 142S–151S
8. Singer P, Blaser AR, Berger MM et al. 2019. ESPEN guideline on clinical nutrition in
the intensive care unit. Clinical Nutrition 38 48-79
9. McClave SA, Taylor BE, Martindale RG et al. 2016. Guidelines for the Provision
and Assessment of Nutrition Support Therapy in the Adult Critically Ill Patient:
Society of Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and
Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.). Journal of Parenteral and Enteral Nutrition Volume
40 Number 2 159–211
10. Patel JJ, McClain CJ, Sarav M et al. 2017. Potein Requirements for Critically Ill
Patients with Renal and Liver Falure. Nutrition in Clinical Practice Volume 32
Supplement 1 101S–111S
11. Heyland DK, Weijs PJM, Coss-Bu JA et al. 2017. Protein Delivery in the Intensive Care
Unit: Optimal or Suboptimal? Nutrition in Clinical Practice Volume 32 Supplement
1 April 2017 58S– 71S
12. Zha Y dan Qian Q. 2017. Protein Nutrition and Malnutrition in CKD and ESRD.
Nutrients 2017, 9, 208
13. Ko GJ, Obi Y, Tortoricci AR dan Kalantar-Zadeh K. 2017. Dietary Protein Intake and
Chronic Kidney Disease. Curr Opin Clin Nutr Metab Care. January ; 20(1): 77–85
14. Zha Y dan Qian Q. 2017. Protein Nutrition and Malnutrition in CKD and ESRD.
Nutrients 2017, 9, 208
15. Rhee CM, Ahmadi SF, Kovesdy CP, Kalantar Zadeh K. 2018. LPD for Consevative
management of CKD : a systemic review and metaanalysis of controlled trial.
Journal of Cachexia, Sarcopenia and Muscle. 9 235-245
16. KAlantar-Zadeh K dan Fouque D. 2017. Nutritional Management of CKD. N Engl J
Med 2017;377:1765-76.
17. Plauth M, Bernal W, Dasarathy S et al. 2019. ESPEN guideline on clinical nutrition
in liver disease. Clinical Nutrition.
18. Montagnese S, Russo FP, Amodio P et al. 2018. Hepatic encephalopathy 2018:
A clinical practice guideline by the Italian Association for the Study of the Liver
(AISF). Digestive and Liver Disease.
Introduction
First of all, readers should know how to apply Class of Recommendation
(COR) and Level of Evidence (LOE) to clinical strategies, interventions,
treatments, or diagnostic testing in patient care (based on 2019 ACC/AHA
Guideline on the Primary Prevention of Cardiovascular Disease: Executive
Summary). Such COR and LOE are shortly summarized below (ACC/AHA
2019).
Moderate
• ≤ 2 risk factor and 10-Year ASCVD Risk < 10% <100 <130 <90
Risk
There are at least 8 types of hypolipidemic drugs to reach the lipid target according to
There are at least 8 types of hypolipidemic drugs to reach the lipid target
2019 Perkeni Guideline e.g. statin, bile acid sequestransts, fibrate acid, nicotinic acid,
ezetimibe,according
PCSK9 to 2019 Perkeni
(Proprotein GuidelineSubtilsin-Kexin
Convertase e.g. statin, bile acid
typesequestransts,
9) inhibitor, fibrate
omega-3, new
acid, nicotinic acid, ezetimibe, PCSK9 (Proprotein Convertase
hypolidemic drugs (microsomal transfer protein /MTP inhibitor, thyroid hormone Subtilsin-mimetic,
Apo B antisense oligonucleotide
Kexin type 9) inhibitor,such as Mipomersen,
omega-3, and LDL apheresis).
new hypolidemic drugs (microsomal
Ezetimibe is usually
transfer protein /MTPused if the use
inhibitor, of maximum
thyroid hormone dose of statin
mimetic, Apo Bdoes not reach the
antisense
therapeutic target for clinical ASCVD (Table 1, and statin
oligonucleotide such as Mipomersen, and LDL apheresis). indication in Guideline 2019).
The aim of this presentation is to advance the knowledge on how to reach the LDL-C
target by using combination of statin and ezetimibe for internists, endocrinologists/
Ezetimibe is usually used if the use of maximum dose of statin does not
diabetologists, and their associates.
reach the therapeutic target for clinical ASCVD (Table 1, and statin indication
inwill
This paper Guideline
consist2019).
of 5 topics:
I. Various Types of Vastatins
II. The
Effects of of
The aim Ezetimibe and Its Combination
this presentation is to advance the knowledge on how to reach
III. Statin – Assoiciated
the LDL-C target bySide Effects
using (SASE)of statin and ezetimibe for internists,
combination
IV. Summary About The Use of Ezetimibe
endocrinologists/diabetologists, and associates.
and their Its Combination
V. The Top 10 Take-home Messages of 2019 ACC/AHA Guideline
This paper will consist of 5 topics:
I. Various Types of Vastatins
II. The Effects of Ezetimibe and Its Combination
III. Statin – Assoiciated Side Effects (SASE)
I. Various Vastatins
Non-HDL includes all atherogenic lipoprotein classes consist of
atherogenic lipoproteins in Apo B100 containing VLDL, IDL, LDL, Lpa,
and atheroprotective lipoprotein in Apo A1 and Apo A2 containing HDL.
I. Various Vastatins
The examples of various types of vastatins are lovastatin, simvastatin,
Non-HDL includes
pravastatin, all atherogenic
fluvastatin, lipoprotein
atorvastatin, classes consist
cerivastatin of atherogenic
(withdrawn),
lipoproteins in Apo B100 containing
rosuvastatin, and pitavastatin. VLDL, IDL, LDL, Lpa, and atheroprotective lipoprotein
in Apo A1 and Apo A2 containing HDL.
The examples of various types of vastatins are lovastatin, simvastatin, pravastatin,
Tjokroprawiro
fluvastatin, et alsummarized
atorvastatin, cerivastatin the rosuvastatin,
(withdrawn), possible 26and vascular protective
pitavastatin.
Tjokroprawiro
effects ofet atorvastatin
alsummarizedforthelipid
possible 26 association
and its vascular protective effects(Figure
with ASCVD of atorvastatin
1). for
lipid and its association with ASCVD(Figure 1).
The paper described the clinical effects of atorvastatin and ezetimibe combination,
The paper
called atozet
whichdescribed
consists ofthe clinical
10 mg effects
ezetimibe withof10atorvastatin
mg atorvastatinand(atozet
ezetimibe
10/10), 10
mg ezetimibe with 20 called
combination, atorvastatin
atozet (atozet
which 10/20), and of
consists 10 10
mgmg ezetimibe with with
ezetimibe 40 atorvastatin
10
(atozetmg10/40).
atorvastatin (atozet 10/10), 10 mg ezetimibe with 20 atorvastatin
References
1 ACC/AHA (2019) Guideline on the Primary Prevention of Cardiovascular Disease:
Executive Summary
2 Cannon C, Blazing M, Giugliano R, et al. Ezetimibe Added to Statin Therapy after
Acute Coronary Syndromes. N Engl J Med 2015; 372:2387-23977
3 Conard S, Bays H, Leiter L, et al. Efficacy and Safety of Ezetimibe Added on
to Atorvastatin (20 mg) Versus Uptitration of Atorvastatin (to 40 mg) in
Pendahuluan
Sirosis hati dapat dijumpai di seluruh negara termasuk Indonesia dengan
kejadian yang berbeda-beda di tiap negara. Berdasarkan data dari Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2014 penyakit hati
kronis dan sirosis hati menyebabkan angka kematian sebanyak 38.170 orang
dengan prevalensi 12.0 per 100.000 populasi.1 Malnutrisi telah menjadi
semakin umum pada penyakit hati stadium akhir. Prevalensi kekurangan gizi
telah dilaporkan dalam proporsi yang signifikan dari pasien dengan sirosis
dengan kisaran dari 10% hingga 100%, bergantung pada tingkat keparahan
dekompensasi hati dalam pengaturan sirosis. Dalam kejadian tinggi ini,
malnutrisi masih kurang terdiagnosis dan tidak diobati secara efektif.
Malnutrisi adalah prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
sirosis. Malnutrisi yang terkait dengan penyakit hati telah dikaitkan dengan
risiko infeksi, komplikasi terkait dengan operasi, kandidat yang tidak bagus
untuk transplantasi hati, dan lama tinggal yang lama di rumah sakit atau unit
perawatan intensif.2
Gizi kurang adalah hal yang sering terjadi pada segala bentuk penyakit
hati; dari 20% penyakit hati kompensasi kejadian gizi buruk mencapai 20%
dan pada pasien dekompensasi mencapai lebih dari 80%. Pasien dengan
gizi kurang membutuhkan asupan zat gizi untuk mempertahankan atau
meningkatkan status gizinya, terdapat beberapa rute pemberian makanan
yang dapat digunakan yaitu, oral, enteral dan parenteral. Terapi gizi
memberikan manfaat yang berbeda pada setiap tahapan penyakit. Pemberian
terapi dalam jangka singkat dapat meningkatkan keseimbangan nitrogen,
menurunkan jangka waktu di rumah sakit, dan meningkatkan fungsi hati.
Penurunan insiden ensefalopati dan peningkatan kualitas hidup adalah
manfaat jangka panjang dari pemberian terapi tersebut.3
Dukungan Nutrisi
Intervensi terapeutik untuk mempertahankan status gizi yang memadai
pada pasien sirosis dapat dibagi menjadi bentuk enteral atau parenteral.
Secara umum, pedoman menunjukkan bahwa asupan energi yang dibutuhkan
untuk pasien sirosis adalah 35-40 kkal/ kg-BB per hari dan asupan protein
1,2-1,5 g/ kg-BW per hari.6
Pasien dengan asites harus menjalani diet rendah sodium (kurang dari
atau sama dengan 2 g/ hari) dan juga harus memiliki pembatasan air ketika
edema hadir atau jika terjadi hiponatremia.33 Memastikan pasien memenuhi
persyaratan ini, yang diatur dalam Tabel 1, adalah langkah pertama dalam
mengoptimalkan dukungan nutrisi pada pasien dengan penyakit hati
stadium akhir. Pada pasien dengan sirosis yang terkait dengan pembatasan
kalori steatohepatitis nonalkohol, tetapi bukan pembatasan protein, dapat
direkomendasikan. Selain itu, pasien dengan retensi cairan harus dididik
untuk membatasi asupan natrium kurang dari 2 g per hari dan asupan cairan
2 L per hari,
Kesimpulan
Malnutrisi adalah masalah yang berkembang, terutama pada pasien
sirosis dengan penyakit hati stadium akhir. Peningkatan metode untuk
menilai dan mengobati kekurangan gizi adalah kunci untuk mengoptimalkan
hasil pasien. Penilaian malnutrisi harus dilakukan dalam dua tahap, yang
pertama untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko malnutrisi berdasarkan
sirosis dan yang kedua untuk menjalankan evaluasi nutrisi multidisiplin
lengkap pada pasien ini. Perawatan untuk malnutrisi harus memastikan
pasien mencapai target kalori dan nutrisi harian yang direkomendasikan
dengan meningkatkan asupan oral atau dengan menggunakan tindakan lain,
seperti suplementasi oral, nutrisi enteral, atau nutrisi parenteral.
Daftar Pustaka
1. CDC. Centers For Disease Control And Prevention. National Center For Health
Statistics. 2016
2. Perumpail BJ, Li AA, Cholankeril G, Kumari R, Ahmed A. Optimizing the Nutritional
Support of Adult Patients in the Setting of Cirrhosis. Nutrients. 2017
3. Krenitsky J. Nutrition for Patients with Hepatic Failure. Practical Gastroenterology.
2003
4. Nasser M, Turse PE, Syed Ali, Dailey FE, Zatreh M, et al. Interventions to improve
sarcopenia in cirrhosis: A systematic review. World J Clin Cases 2019 January 26;
7(2): 156-170.
5. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines
on nutrition in chronic liver disease. Journal of hepatology. 2019.
6. Shergill R, Syed W, Rizvi SA, Singh I. Nutritional support in chronic liver disease and
cirrhotics. World J Hepatol 2018; 10(10): 685-694.
7. O’Brien A,Williams R. Nutrition in End-stage Liver Disease: Principles and Practice.
Gastroenterology. 2008
Abstrak
Pemeliharaan nutrisi yang optimal adalah penting di seluruh spektrum
penyakit ginjal kronis (PGK), termasuk dalam fase sebelum memulai
terapi pengganti ginjal, selama peritoneum dialisis (PD) dan hemodialisis,
dan setelah transplantasi. Tujuan dari manajemen nutrisi pada pasien
PGK di semua stadium adalah untuk mempertahankan badan yang sehat,
memastikan asupan nutrisi makro dan mikro yang memadai, dan menghindari
ketidakseimbangan metabolisme atau perkembangan penyakit tulang mineral
dan memperlambat progresifitas PGK. Tujuan jangka panjang adalah untuk
mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas pasien PGK.
Pendahuluan
Faktor nutrisi tidak dianggap terlibat langsung dalam kerusakan ginjal,
meskipun kebiasaan diet dapat secara signifikan mempengaruhi obesitas,
diabetes dan hipertensi, semuanya merupakan faktor risiko penyakit ginjal
kronis (PGK). Namun, meskipun telah diketahui bahwa prevalensi PGK tahap
awal jauh lebih besar daripada prevalensi PGK tahap akhir (stadium 5), dan
prevalensi PGK stadium 2 hingga 4 telah meningkat secara signifikan dalam
beberapa tahun terakhir, penelitian lebih banyak dilakukan tentang efek
modifikasi diet selama terapi pengganti ginjal (TPG) daripada memperlambat
perkembangan PGK melalui intervensi diet pada PGK mon dialisis.
Pendekatan nutrisi yang tepat pada pasien PGK stadium awal dapat secara
signifikan memperbaiki ganggu an metabolisme, seperti asidosis metabolik
dan hiperfosfatemia/ hiperparatiroidisme sekunder, juga secara positif
menangani beberapa risiko yang dapat dimodifikasi untuk perkembangan
PGK, termasuk hipertensi, proteinuria dan hiperglikemia. Memburuknya
fungsi ginjal dan progresifitas tahap PGK terkait dengan pengurangan
asupan nutrisi yang progresif sebagai akibat dari gangguan rasa, hilangnya
nafsu makan (anoreksia), akumulasi toksin uremik, disregulasi mekanisme
homeostatis gastrointestinal, perubahan konsetrasi di darah dari regulator
nafsu makan dan output hipotalamus.
Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi secara umum bervariasi antara 30 dan 40 kkal/kg per
hari. Sejumlah penelitian deskriptif melaporkan bahwa asupan energi aktual
biasanya rendah sebesar 22 – 24 kkal/kg/hari yang dapat menyebabkan
terjadinya PEW karena terjadi deplesi simpanan jaringan adiposa dalam
tubuh dan terjadinya keseimbangan nitrogen yang negatif. Asupan energi
harian yang direkomendasikan bervariasi tergantung dari usia, jenis kelamin
dan aktivitas fisik. Suplai kalori harus memperhitungkan abnormalitas
metabolisme glukosa dan clearance lemak. Lemak sebaiknya diberikan 30 –
40% dari jumlah energi.
Suplemen Enteral
Seperti telah dibicarakan sebelumnya PEW juga umum terjadi pada pasien
PGK non dialisis, di mana penurunan asupan protein dan kalori biasanya
terjadi ketika laju filtrasi glomerulus (GFR) turun menjadi <25-35 ml / menit
/ 1,73 m2. Meskipun perubahan tersebut data dimulai ketika GFR mencapai
55 ml / mnt / 1,73 m2. Meskipun pengaruh asupan protein dan energi aktual
terhadap outcome tidak diteliti dengan baik pada pasien PGK non dialisis,
berbagai penanda biokimia dari nutrisi dan inflamasi berkorelasi dengan
peningkatan mortalitas dan angka kejadian kardiovaskular. Asupan protein
enteral belum diteliti dengan baik sebagai strategi terapeutik pada populasi
pasien ini, terutama karena keyakinan bahwa asupan protein yang rendah
Untuk pasien PGK suplemen nutrisi oral dapat diberikan dua kali sehari
dengan penambahan sekitar 10 kkal/kg bb/hari dengan kandungan protein
yang minimum sampai tercapai asupan spontan sesuai dengan target nutrisi
yang ingin dicapai. Pada pasien dengan PEW berat dengan asupan spontan
kurang dari 20 Kkal/kg bb/hari, kondisi stress dan atau terutama dengan
kesulitan mengunyah, dapat diberikan nutrisi enteral sebagai suplemen di
malam hari atau sebagai dukungan nutrisi sehari-hari.
signifikan terkait dengan bentuk pemberian makanan ini. Penting juga untuk
mempertimbangkan komorbiditas pasien, kondisi umum dan kemungkinan
kelangsungan hidup sebelum memulai pemberian makanan enteral. Bukti
penelitian untuk mendukung pemberian secara enteral terbatas pada
beberapa studi observasional kecil. Sebuah ulasan dari 181.196 prosedur
insersi percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG) di AS menemukan
bahwa pasien dengan PGK memiliki peningkatan risiko kematian 1,6 kali
lipat. Malnutrisi meningkatkan risiko kematian menjadi 5,25 kali lipat jika
dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kepala dan leher yang mencegah
asupan oral. Penting untuk dicatat bahwa tinjauan tersebut tidak menyatakan
tahapan penyakit ginjal, jika pasien menerima terapi penggantian ginjal atau
bagaimana mereka mendefinisikan kekurangan gizi.
Kesimpulan
Nutrisi masih merupakan masalah pada pasien PGK baik pre dialisis
maupun yang menjalani dialisis. Namun, telah ada kemajuan dalam
memahami target pemberian nutrisi pada pasien PGK. Sebelum dialisis, ada
beberapa bukti penelitian bahwa rencana nutrisi jangka panjang, dengan
kontrol asupan protein, efisien untuk memperbaiki gangguan metabolisme,
termasuk proteinuria, dan hemat biaya. PEW adalah kondisi yang berbeda
pada pasien PGK dan sering terjadi serta dikaitkan dengan hasil luaran yang
merugikan. Intervensi diet dan dukungan nutrisi tampaknya efektif dalam
mengurangi atau mengoreksi PEW dan memperbaiki outcome pada pasien
PGK. Semua pasien dengan PGK harus dinilai secara berkala (bulanan atau
triwulanan) untuk keberadaan PEW dan harus ditawarkan dukungan nutrisi
oral kapan pun diperlukan. Menyediakan makanan atau suplemen nutrisi
oral dan intervensi nutrisi lainnya untuk pasien dengan PGK adalah cara yang
paling menjanjikan untuk meningkatkan konsentrasi albumin serum dan
memperbaiki kualitas hidup pserta memperpanjang usia ada populasi pasien
ini.
Daftar Pustaka
1. Sabatino A, Regolisti G, Gandolfini I, Delsante M, Fani F, Gregorini MC et al. Diet and
enteral nutrition in patients with chronic kidney disease not on dialisys : a review
focusing on fat, fiber ant protein intake. J Nephrol 2017 DOI 10.1007/s40620-017-
0435-5
2. Kalantar-Zadeh K, Cano NJ, Budde K, Chazot C, Kovesdy CP. Diet and enteral
supplements for improving outcomes in chronic kidney disease. Nat. Rev. Nephrol.
2011;7:369–384
3. Campbell K. Nutrition support in kidney disease. In: Advanced Nutrition and
Dietetics in Nutrition Support, First Edition. Edited by Mary Hickson and Sara
Smith. © 2018 John Wiley & Sons Ltd. Published 2018 by John Wiley & Sons Ltd.
4. Bellizi V, Carrero J, Chauveau, Cozzolino M, Cupisti A, D’Alessandro C etal. Retarding
chronic kidney disease (CKD) progression: a practical nutritional approach for
non-dialysis CKD. Nephrology @ Point of Care 2016; 2 (1): e56-e67
5. Kovesdy CP, Kopple JD, Kalantar-Zadeh K. Management of protein-energy wasting
in non-dialysis-dependent chronic kidney disease: reconciling low protein intake
with nutritional therapy Am J Clin Nutr 2013;97:1163–77
Pendahuluan
Keluhan - keluhan terkait dispepsia merupakan keluhan - keluhan
yang sangat sering dijumpai dan di masyarakat umum sering dianalogikan
dengan penyakit asam lambung naik dan terkadang juga dikaitkan sebagai
gejala penyakit jantung. Tantangan diagnostik dari dispepsia fungsional
adalah diferensial diagnosis terhadap keluhan-keluhan abdominal yang
sering diasosiasikan sebagai keluhan dispepsia meskipun sebenarnya tidak
sesuai definisinya, dan gejala dispepsia juga sering ditemukan pada penyakit
irritable bowel syndrome, sehingga ketidaktepatan dalam diagnosis berakibat
terapi yang tidak sesuai.
Gambar 1. Uji eksperimental rangsangan nyeri dengan forsep biopsi yang dialiri listrik lemah
Gambar 1. Uji eksperimental rangsangan nyeri dengan forsep biopsi yang
melalui gastroskopi menunjukkan sebaran nyeri jauh (reffered pain) berdasar lokasi yang
dialiri listrik lemah melalui gastroskopi menunjukkan sebaran nyeri jauh
diiritasi.
(reffered pain) berdasar lokasi yang diiritasi.
Pertemuan IlmiahDispepsia
NasionalFungsional
XVII PAPDIdan Irritable Bowel
- Surabaya 2019 Syndrome 57
Kriteria Diagnostik IBS menurut Kriteria ROME IV adalah adanya nyeri perut yang
rekuren, rata-rata setidaknya satu kali per minggu selama 3 bulan terakhir, berhubungan dengan
dua atau lebih kriteria berikut ini: (a) berkaitan dengan defekasi; (b)berhubungan dengan
Putut Bayupurnama
Tabel 1. Level of evidence dari mekanisme patofisiologi yang sering terdapat pada
dispepsia fungsional dan IBS.
Gejala-gejala
Tabel 2. saluran
Gejala-gejala cerna atasatasjuga
gastrointestinal sering dijumpai
pada pasien-pasien pada kasus-kasus
dengan IBS- constipation
predominant dan IBS-diarrhea predominant.
IBS, baik predominan diarea
(Cremonini F & Talley maupun predominan konstipasi (Tabel 2).
NJ, 2004)
Gejala-gejala saluran cerna atas juga sering dijumpai pada kasus-kasus IBS, baik
Tabel 2. predominan
Gejala-gejala gastrointestinal
diarea maupun atas
predominan konstipasi (Tabelpada
2). pasien-pasien dengan IBS-
constipation
Tabel predominant
2. Gejala-gejala danpada
gastrointestinal atas IBS-diarrhea predominant.
pasien-pasien dengan IBS- constipation
predominant dan IBS-diarrhea predominant.
Ringkasan
Ringkasan
Penegakan diagnosis dispepsia fungsional perlu ketelitian dimana lokasi
nyeri/ ketidaknyamanan yang berada di daerah epigastrium merupakan
batasan area yang dikategorikan sebagai keluhan-keluhan terkait dispepsia,
disamping itu perlu mendeferensiasi diagnosisnya dengan irritable bowel
syndrome.
Daftar Pustaka
1. Tack J, Masaoka T, janssen P. Functional Dyspepsia. Curr Opin Gastroenterol.
2011;27:549-557.
2. Stanghellini V, Chan FKL, Hasler WL, Malagelada JR,Suzuki H,Tack J, and Talley NJ.
Gastroduodenal Disorders. Gastroenterology 2016;150:1380–1392
3. Lacy BE,Mearin F,Chang L,Chey WD,Lembo AJ,Simren M,and Spiller R. Bowel
Disorders.Gastroenterology 2016;150:1393-1407
4. Yarandi SS and Christie J. Functional Dyspepsia in Review: Pathophysiology and
Challenges in the Diagnosis and Management due to Coexisting Gastroesophageal
Reflux Disease and Irritable Bowel Syndrome.Gastroenterol Res Pract 2013;http://
dx.doi.org/10.1155/2013/351086 .
5. Cremonini F & Talley NJ. Review article: the overlap between functional dsypepsia
and irritable bowel syndrome- a tale of one or two disorders. Aliment Pharmacol
Ther 2004;20 (Suppl. 7):40-49.
6. Hori K, Matsumoto T, and Miwa H. Analysis of the gastrointestinal symptoms of
uninvestigated dyspepsia and irritable bowel syndrome. Gut and Liver 2009;
3:192-196
Pendahuluan
Dispepsia Fungsional (DF) adalah salah satu dari berbagai Gangguan
Fungsional Saluran Cerna (Functional Gastro Intestinal Disorders/FGID).
Ditandai dengan gangguan di sepanjang gastrointestinal dengan gejala rasa
nyeri atau tidak nyaman di perut yang menetap dan berulang. Ggangguan ini
tidak bisa dijelaskan penyebabnya karena tidak ditemukan kelainan struktural
dan biokimiawi, oleh karena itu dikatakan sebagai gangguan fungsional.
Dispepsia Fungsional
Prevalensi DF di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
dari 1,9% pada tahun 1988, meningkat menjadi 3,3% pada tahun 2003 dan
5% pada tahun 2010 dari seluruh kunjungan di sarana pelayanan kesehatan
primer. Penelitian di RS Dr. M Djamil Padang tahun 2014 menemukan dari
197 penderita sindrom dispepsia yang diendoskopi didapatkan 111 orang
penderita dispepsia fungsional (56,35%), dengan kelompok usia terbanyak
lebih dari 45 tahun (37,1%), perempuan lebih banyak dari pada laki-laki
(54,3% vs 45,7%) serta 68,6% merupakan pekerja.
Pengobatan DF sampai saat ini belum berjalan maksimal dan hal ini
diduga karena belum diketahui etiologi pasti terjadinya DF. Stres psikologis
dipercaya memegang peranan terhadap munculnya keluhan dispepsia
dan paling banyak ditemukan pada penderita DF. Peran tersebut diduga
melalui hiperaktivitas sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis) dan
peningkatan kadar kortisol dalam plasma karena hiperaktivitas dari hormon
kortikotropin (CRH). Stres psikologis dapat merupakan kausal dari DF atau
bisa pula menjadi faktor pencetus atau pemberat munculnya DF. Stres secara
umum dipercaya mempengaruhi mekanisme gangguan fisiologis tubuh
berupa gangguan keseimbangan saraf otonom vegetatif, gangguan konduksi
impuls melalui neurotransmitter, hiperalgesia organ viseral, gangguan
sistem hormonal dan perubahan pada sistem imun (psycho-neuro-immune-
endokrine).
lambung. Regulasi yang dipengaruhi tidak saja motilitas, tetapi juga sekresi
cairan lambung, dan pelepasan berbagai neuropeptida dan hormone.
Hormon kortisol yang dilepas akibat paparan stresor psikologis ini akan
merangsang produksi asam lambung (faktor agresif) dan bisa menghambat
prostaglandin (faktor defensif) yang bersifat protektif pada lambung.
Berkurangnya prostaglandin untuk selanjutnya akan memudahkan terjadinya
kerusakan pada mukosa lambung. Penelitian Andreas (2005) membuktikan
terdapatnya peningkatan nilai kortisol secara bermakna pada DF dibandingkan
kelompok kontrol. Penelitian Murni (2006) juga mendapatkan peningkatan
kortisol pagi hari yang bermakna pada penderita DF yang mengalami depresi
(p = 0,019).
Kortisol adalah hormon yang dihasilkan oleh zona fasciculata dan zona
reticularis di korteks adrenal. Produksi kortisol dipicu oleh stimulasi dari
hormon ACTH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis. Hipofisis melepaskan
ACTH melalui aktivasi dari CRH yang merupakan regulator utama dari sekresi
kortisol. Dibutuhkan waktu yang singkat untuk terjadinya sekresi CRH, puncak
sekresinya dicapai pada saat menjelang waktu pagi hari (sebelum jam 8 pagi)
dan pada sore hari (sebelum jam 8 malam), siklus ini dikenal dengan istilah
fase diurnal. Kortisol dalam darah dapat diatur jumlahnya dalam sirkulasi
karena terdapat mekanisme umpan balik di mana kortisol yang dilepaskan
dalam sirkulasi dapat memberikan negative feedback pada hipotalamus dalam
melepaskan CRH kembali.
Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) saat ini masih menjadi polemik
perannya sebagai salah satu faktor yang berperan pada patofisiologi DF.
Faktor stres psikologis diduga berperan terhadap peningkatan aktivitas
koloni H. pylori yang selanjutnya akan memodulasi respon imun saluran
cerna. Respon imun teraktivasi dan akan menyebabkan peningkatan
mediator inflamasi pada daerah yang terinfeksi, sehingga memicu lepasnya
berbagai mediator inflamasi dan faktor kemotaksis seperti IL-6, IL 8, IL1β,
TNFα, IL-10 dan lain-lainnya. Lepasnya berbagai faktor tersebut selanjutnya
akan menimbulkan reaksi inflamasi di mukosa lambung, di samping itu akan
terjadi pula perubahan dalam ekspresi gen dari H. pylori tersebut yang bisa
terjadi bersamaan sehingga memicu peningkatan apoptosis dan berujung
pada kerusakan mukosa secara mikroskopis atau makroskopis.
infiltrasi inflamasi lebih luas, derajat metaplasia yang lebih berat dan bagian
mukosa atrofi yang lebih berat. Adanya infeksi H. pylori diduga memicu
terjadinya peningkatan penanda inflamasi seperti IL-6 dan IL-8 sehingga
dapat mempercepat dan memperburuk keluhan DF.
Terapi Integratif
Dalam menatalaksana gangguan psikosomatik / depresi seorang dokter
juga harus bisa mempelajari kemungkinan penyebab terjadinya gangguan
tersebut akibat trauma psikologis dari masa kecil dan trauma lainnya yang
mempengaruhi kemampuan adaptasi dan psikologis penderita secara umum.
Trauma psikologis dimasa lalu terbukti meningkatkan kerapuhan seseorang
terhadap masalah yang dihadapinya saat ini sehingga memudahkan seseorang
untuk mengalami gangguan psikosomatik/depresi. Penanganan yang
menyeluruh tersebut akan meningkatkan pemahaman penderita akan konsep
gangguan psikosomatik/depresi yang dialaminya dan akan menghasilkan
pengobatan yang lebih hemat biaya dan lebih efektif.
dengan keluhan yang disampaikan oleh penderita. Pada awal pemberian obat,
penderita harus diminta komitmennya untuk melaksanakan pengobatan
dengan 2 aspek yaitu, mind-body-spirit.
Psikofarmaka
Psikofarmaka pada gangguan psikosomatik bertujuan untuk
mempengaruhi perasaan (afek) dan emosi serta fungsi vegetatif yang
berkaitan. Sesuai dengan patofisiologinya dimana gangguan psikosomatik
mempengaruhi susunan syaraf otonom dan neurotransmitter, maka
psikofarmaka harus dipakai sesuai dengan gejala gangguan keseimbangan
otonom dan ekspresi neurotransmitter yang diperlihatkan secara klinis.
bagi usia lanjut. Golongan SSRI ini antara lain sertralin, paroksetin,
fluoksetin, dan fluvoksamin. Antidepresan SSRI akhir-akhir ini ternyata
juga efektif pada pasien yang mengalami gangguan ansietas. Pada
dasarnya pengobatan dengan psikofarmaka memang ditentukan dari
mekanisme kerja neurotransmitter yang dipengaruhinya. Oleh karena
itu penggunaan psikofarmaka hendaknya disesuaikan dengan penemuan
diagnosisnya yang tepat.
Antidepresan lain yang dipakai seperti golongan SSRE (selective
serotonin reuptake enhancer), SNRI (Serotonin Nor Epinephrine
Reuptake Inhibitor), RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oksidase
type A), NaSSA (Nor-adrenalin and serotonin Selective Anti Depressan)
dan golongan Atipik .
Fitofarmaka (Herbs)
Terdapat beberapa herbal yang bisa membantu gangguan depresi dan
rasa takut/ cemas seperti St John Wort sebagai anti depresan namun saat
ini sudah tidak beredar di Indonesia, Kava merupakan extract Rhizoma
dari Piper Methysticum, sebagai anti ansietas, Withania somnifera,
dikenal sebagai ashwaganda, sebagai anti-inflammatory, antioxidant, dan
anxiolytic, Kampo Medicine juga dipakai luas di Jepang dan Korea dalam
penanganan gangguan cemas dan depresi. Ginseng sebagai tumbuhan yang
dapat meningkatkan kemampuan kognitif, kewaspadaan dan berefek pada
aksis hipotalamopituitari (HPA axis) dan memicu lepasnya dopamine dan
serotonin, dan masih banyak herbal lain yang dikenal dapat memperbaiki
mood dan menimbulkan efek relaksasi dan penyemangat.
Supplement/ Vitamin/ Minerals
Omega -3 dan S-adenosylmethionone (SAM-e) ditenggarai dapat
membantu pemulihan karena memiliki efek sebagai antidepresan selain
sebagai anti infalamasi dan memberikan efek positif pada plastisitas jarinagn
syaraf. Dan ternyata lebih dapat ditoleransi dari pada diberikan trisiklik
antidepresan terutama dari efek gastrointestinal. Sakit kepala, keletihan dan
gangguan cemas.
Akupunktur
Pada penelitian dengan hewan coba memperlihatkan beberapa titik
tertentu di perut yang dapat meningkatkan tekanan sfingter esophagus yang
sebelumnya mengalami kelemahan atau nilainya rendah, mengembalikan
akomodasi lambung setelah vagotomi, meningkatkan frekuensi usus dan
kolon, meningkatkan aktifitas jalur parasimpatis sakral, dan mengurangi
hipersensitif viseral. Efek ini jelas akan dapat memperbaiki gejala yang dialami
penderita DF. Penelitian pada manusia memperlihatkan stimulasi akupunktur
pada titik ini ditemukan mempengaruhi system limbik –paralimbik dan
jaringan aferen dari pasien dengan DF dibandingkan dengan subjek yang
sehat, yang diukur dengan pencitraan resonansi magnetik fungsional.
Kesimpulan
Dispepsia fungsional sering ditemukan dalam praktek klinis. Pendekatan
Integratif menjadi pilihan saat ini untuk menangani penderita gangguan
ansietas dan depresi pada DF karena dapat memenuhi konsep pendekatan
psikosomatik yaitu pendekatan bio-psiko-sosio- religi. Seorang praktisi
selayaknya memahami aspek ini dalam menangani kasus yang diduga
Daftar Pustaka
1. Christaki M, Yfandopoulou P, 2014 Progressive Muscle Relaxation as treatment
option for Children/Adolescents with Functional Gastrointestinal Disorders.
Health Science Journal;8(2) : 187-191
2. Sander GB, Mazzoleni LE, Francensoni CFM, Balbinotto G, Mazzoleni F, Wortman
AC. Influence of Organic and Functional Dyspepsia on Work Productivity: The
HEROES-DIP Study. Value in Health-Elsevier Inc. 2011;14: S126-9
3. Muhammad EP, Murni AW, Sulastri D. Hubungan Derajat Keasaman Cairan
Lambung dengan derajat Dispepsia pada Pasien Dispepsia Fungsional. http://
jurnal.fk.unand.ac.id: 2014; 3(1)
4. Konturek PC, Brzozowski T, Konturek SJ, 2011. Stress and gut: Pathophysiology,
clinical consequences, Diagnostic Approach and treatment options; Journal of
Physiology and Pharmacology; 62(6):591-9
5. Barry S, Dinan TG, 2006. Functional dyspepsia: are psychosocial factors of
relevance? World J Gastroenterol; 12(17):2701-07
6. Drossman D, 2011. Abuse, trauma and GI illness: is there a link? Am J Gasteroenterol;
106:14-5
7. Jones MP, Dilley JB, Drossman D, 2006. Brain – gut connections in functional GI
disorder: anatomic and physiologisc relationship. Neurogastroenterol Motil;18:
91-103
8. Prins A, 2011. The Brain-gut Interaction: the Conversation and the Implications. S
Afr J Clin Nutr.; 24(3): S8-S14
9. Bohmelt AH, Nater Urs M, Franke S, 2005. Basal and stimulated HPA axis activity
in patient with functional gasterointestinal disorder and health controls. Psycho
medicine; 67 : 288-94
10. Murni AW, 2006. Kadar Kortisol Plasma Pada penderita Dispepsia Fungsional
dengan Depresi. Tesis Sp1 Penyakit Dalam, Padang. Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
11. Stern RM, Koch KL, Andrew PL, 2011. The electrifying stomach, nausea, mechanism
and treatment. Neurogasteroenterol motil, New York; 23: 815-18
12. Choung RS, Talley NJ,2006. Novel mechanism in Functional Dyspepsia. W o r l d
journal of Gasteroenterology 12(5):673-677
13. Tack J, Oenepeel P, Fischler B, 2001.Symptoms associated with hipersensitivity to
gastric distension in functional dyspepsia. Gasteroenterol 121: 526-35
14. Rosen JM, Cocjin JT, Schurman JV, Colombo JM, Friesen CA, 2014. Visceral
Hypersensitivity and Electromechanical Dysfunction as Therapeutic Targets in
Abstrak
Dislipidemia sering ditemukan pada keadaan resistensi insulin
seperti pada obesitas, prediabetes (preDM) dan diabetes melitus (DM).
Ciri dislipidemia pada mereka adalah peningkatan trigliserida (TG), kadar
kolesterol HDL (K-HDL) yang rendah, dan peningkatan partikel small-dense
LDL (sd-LDL), disamping lipemia postprandial. Dislipidemia aterogenik ini
merupakan faktor risiko penting pada diabetes terkait komplikasi penyakit
kardiovaskular aterosklerosis (PKVAS). Kolesterol LDL (K-LDL) tetap
menjadi fokus utama sasaran terapi dengan terapi statin untuk menekan
kejadian PKVAS. Usia, besarnya risiko PKVAS 10-tahun, dan ada tidaknya
PKVAS menjadi pertimbangan dalam pemberian terapi (statin atau kombinasi
dengan penurun LDL yang lain) bagi penderita DM.
Pendahuluan
Dislipidemia, suatu kelainan kadar lipid plasma, merupakan faktor risiko
utama penyakit kardiovaskular. Keadaan ini sering ditemukan pada orang
dengan resistensi insulin (obesitas, preDM, sindrom metabolik) dan DM tipe
2 (DMT2). Ciri dislipidemia pada penderita dengan resistensi insulin atau
DMT2, yang sering juga disebut “lipid triad” atau dislipidemia aterogenik, yaitu
peningkatan kadar TG, kadar K-HDL yang rendah, dan peningkatan sd-LDL,
disamping adanya lipemia postprandial. Dislipidemia diabetik sering terjadi
beberapa tahun mendahului DMT2, yang mengindikasikan bahwa kelainan
ini merupakan petanda dini dalam terjadinya komplikasi kardiovaskular pada
DMT2. Terapi dislipidemia pada DM sangat penting karena dapat menekan
kejadian dan kematian kardiovaskukler yang tinggi pada penderita DM.
terkendali (<100 mg/dL); lebih dari setengah laki-laki dan lebih dari dua-
pertiga perempuan mempunyai kadar K-HDL yang rendah (≤40 mg/dL pada
laki-laki atau ≤50 mg/dL pada perempuan), dan lebih dari setengahnya
mempunyai peningkatan kadar TG (≥150 mg/dL). Kolesterol HDL rendah
ditemukan lebih sering pada Kaukasian (70.1%) dibandingkan Hispanik
(58.8%) atau Amerikan-Afrikan (41.5%); 28.2% subjek dengan DM yang
sedang dalam pengobatan penurun lipid. Di India, prevalensi dislipidemia,
jika didefinisikan sebagai setiap kelainan lipid, ditemukan sebesar 97.2%.
Dislipidemia pada mereka dengan DM yang glukosanya terkendali dengan
baik, lebih baik dari pada yang terkendali buruk. Pada satu studi lain di India
(Gujarat) oleh Pandya et al. ditemukan bahwa dari 171 penderita DM, 36.3%
penderita mempunyai kadar kolesterol total (KT) tinggi, 35.7% mempunyai
K-HDL rendah, 56.1% mempunyai TG yang tinggi, 57.3% mempunyai K-LDL
tinggi, dan 49.7% mempunyai VLDL tinggi. Pada studi oleh Kansal dan Kamble
(2016) ditemukan bahwa KT, LDL, TG, VLDL, rasio TG/HDL dan rasio LDL/
HDL lebih tinggi pada preDM dibandingkan orang sehat, sedangkan HDL lebih
rendah pada preDM dari pada orang normal.
90 83.6 85.2
79 80
80 73.8
70
60.5 59.7
60 53.9
51.2
50 46.7
42.2
40 34.9
31.3 32.5 32.5
30 26.2
20.4 20.7
20
10
0
LDL-C Non-HDL-C ApoB HDL-C TG sdLDL
NGT IFG DM
Gambar1.1.Frekuensi
Gambar FrekuensiDislipidemia
Dislipidemia Berdasarkan
BerdasarkanToleransi
ToleransiGlukosa
Glukosa
NGT, NGT,
normal glucose
normal tolerance;
glucose IFG,
tolerance; IFG,impaired fastingglycemia;
impaired fasting glycemia; DM,
DM, diabetes
diabetes mellitus;
mellitus; LDL-C
LDL-C ( ≥100(mg/dl),
≥100 mg/dl),
Non-HDL-C (≥130
Non-HDL-C mg/dl),
(≥130 mg/dl),ApoB
ApoB(≥90
(≥90 mg/dl),
mg/dl), HDL-C (men
HDL-C (men <40<40 mg/dl,
mg/dl, women
women <50<50 mg/dl),
mg/dl), TG (≥150
TG (≥150 mg/dl),
mg/dl),
sd-LDL (LDL-C/apoB <1.2).
sd-LDL Suastika K<1.2).
(LDL-C/apoB et al.Suastika
Int J Gen Med
K et 2019;
al. Int J Gen12:
Med313–321.
2019; 12: 313–321.
Gambar
Gambar 2.
2.Patogenesis
PatogenesisPerubahan
PerubahanLipoprotein
Lipoproteinpada
padaResistensi
ResistensiInsulin
Insulin
Banyak studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara LDL dan
PKV. Pada DM, kadar LDL mungkin meningkat atau tidak menigkat, tetapi
ditemukan peningkatan kadar partikel sd-LDL. Pada studi United Kingdom
Prospective Diabetes Study (UKPDS), K-LDL merupakan prediktor nomor satu
risiko PKVAS pada DMT2, setelah disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin.
4. Periksa profil lipid pada saat memulai terapi statin atau obat penurun
lipid lainnya, 4-12 minggu setelah dimulai atau perubahan dosis, dan
setiap tahun setelahnya untuk melihat respon terapi dan informasi
kepatuhan berobat. E
5. Untuk semua usia penderita DM dan PKVAS atau risiko PKVAS 10-tahun
>20%, terapi statin intensitas tinggi harus diberikan disamping terapi
pola hidup. A
6. Untuk penderita DM berusia >40 tahun dengan faktor risiko PKVAS
lainnya, hendaknya dipertimbangkan pemberian statin intensitas sedang
disamping terapi pola hidup. C
7. Untuk penderita DM berusia 40-75 tahun A, dan >75 tahun B tanpa
PKVAS, diberikan statin intensitas sedang disamping terapi pola hidup.
8. Pada penderita DM disertai faktor risiko multipel, dipertimbangkan
terapi statin intensitas tinggi. C
9. Untuk penderita yang tidak toleran dengan intensitas yang dikehendaki,
gunakan statin tertoleransi maksimum. E
10. Untuk penderita DM dan PKVAS, jika K-LDL ≥70 mg/dL dengan dosis
statin tertoleransi maksimum, pertimbangkan penambahan terapi
penurun LDL lain (seperti ezitimibe atau penghambat proprotein
convertase subtilisin/kexin type 9 [PCSK9]). A Ezitimibe mungkin lebih
dipilih karena harganya lebih murah.
11. Terapi statin merupakan kontraindikasi pada kehamilan. B
12. Untuk penderita dengan kadar TG puasa ≥500 mg/dL, evaluasi penyebab
sekunder hipertrigliseridemia dan pertimbangkan terapi medis untuk
menurunkan risiko pankreatitis. C
13. Pada penderita dengan hipertrigliseridemia sedang (TG puasa atau
tidak puasa 175-499 mg/dL), klinisi hendaknya memperhatikan dan
mengobati faktor pola hidup (obesitas dan sindrom metabolik), faktor
sekunder (diabetes, penyakit hati dan ginjal kronik dan/atau sindrom
nefrotik, hipotiroidisme), dan obat-obatan yang memicu naiknya TG. C
14. Terapi kombinasi (statin/fibrat) tidak menunjukkan perbaikan luaran
PKVAS dan secara umum tidak direkomendasikan. A
15. Terapi kombinasi (statin/niasin) tidak menunjukkan keuntungan
kardiovaskular lebih dibandingkan terapi statin saja, bahkan mungkin
Tabel 1. Rekomendasi Terapi Statin dan Kombinasi pada Diabetes Orang Dewasa
PKVAS atau risiko PKVAS Rekomendasi terapi intensitas statin^ dan
Usia
10-tahun >20% kombinasi*
<40 tahun Tidak Tanpa†
Ya Tinggi
• Pada penderita dengan PKVAS, jika K-LDL ≥70 mg/
dL disamping dosis statin tertoleransi maksimum,
pertimbangkan ditambahkan terapi penurun LDL
lainnya (seperti ezitimibe atau penghamat PCSK9)#
≥ 40 tahun Tidak Sedang††
Ya Tinggi
• Pada penderita dengan PKVAS, jika K-LDL ≥70 mg/
dL disamping dosis statin tertoleransi maksimum,
pertimbangkan ditambahkan terapi penurun LDL
lainnya (seperti ezitimibe atau penghamat PCSK9)
*Sebagai tambahan terapi pola hidup. ^Untuk penderita tidak toleran dengan intensitas statin yang
diinginkan, berikan statin tertoleransi maksimum. †Statin intensitas sedang dipertimbangkan berdasarkan
profil risiko-keuntungan dan adanya risiko faktor PKVAS. Faktor risiko PKVAS termasuk K-LDL ≥100 mg/
dL, hipertensi, merokok, penyakit ginjal kronik, albuminuria, dan riwayat keluarga PKVAS prematur.
††Statin intensitas tinggi dipertimbangkan berdasarkan profil risiko-keuntungan dan adanya risiko faktor
PKVAS. #Dewasa usia <40 tahun dengan PKVAS tidak terwakili dengan baik dalam uji klinik penurunan
LDL berdasarkan non-statin. Sebelum mengawali terapi penurun lipid kombinasi, pertimbangkan potensi
penurunan risiko PKVAS lebih lanjut, efek samping spesifik obat, dan keinginan penderita. ADA. Diabetes Care
2019; 42(Suppl. 1): S103–S123.
Daftar Pustaka
1. Adiels M, Olofsson SO, Taskinen MR, Boren J. Overproduction of very low-density
lipoprotein is the hallmark of the dyslipidemia in metabolic syndrome. Arterioscler
Thromb Vasc Biol 2008; 28: 1225-1236.
2. American Diabetes Association (ADA). Cardiovascular Disease and Risk
Management: Standards of Medical Care in Diabetes-2019. Diabetes Care 2019;
42(Suppl. 1): S103–S123.
3. Berneis KK and Krauss RM. Metabolic origins and clinical significance of LDL
heterogeneity. J Lipid Res 2002; 43: 1363-1373.
4. Hirano T. Pathophysiology of Diabetic Dyslipidemia. J Atheroscler Thromb 2018;
25: 771-782.
5. Jacobs MJ, Kleisli T, Pio RJ, et al. Prevalence and control of dyslipidemia among
persons with diabetes in the United States. Diab Res Clin Pract. 2005; 70: 263–269.
doi:10.1016/j.diabres.2005.03.032.
6. Jialal I and Singh G. Management of diabetic dyslipidemia: An update. World J
Diabetes 2019; 10: 280-290.
7. Kaithala C, Namburi HK, Bandaru SS, Bandaru SBS, Adla N, Puchchakayala G.
Prevalence of dyslipidemia and its association with glycemic control in Indian Type
2 diabetes population. Rom J Diabetes Nutr Metab Dis. 2016; 23: 277–283.
8. Kansal S and Kamble TK. Lipid Profile in Prediabetes. J Assoc Physic Ind 2016; 64:
18-21.
9. Krauss RM. Lipids and lipoproteins in patients with type 2 diabetes. Diabetes Care
2004; 27: 1496-1504.
10. Mach F, Baigent C, Catapano AL, et al. 2019 ESC/EAS Guidelines for the management
of dyslipidaemias: lipid modification to reduce cardiovascular risk. The Task Force
for the management of dyslipidaemias of the European Society of Cardiology (ESC)
and European Atherosclerosis Society (EAS). European Heart Journal (2019) 00,
1-78 doi:10.1093/eurheartj/ehz455.
11. Pandya H, Lakhani JD, Dadhania J, Trivedi A. The prevalence and pattern of
Dyslipidemia among Type 2 diabetic patients at Rural Based Hospital in Gujarat,
India. Indian J Clin Pract. 2012;22:36–44.
12. Suastika K, Semadi IMS, Dwipayana IMP, Saraswati MR, Gotera W, KBudhiarta AAG,
Matsumoto K, Kajiwara N, Taniguchi H. Dyslipidemia in diabetes: a population-
based study in Bali. International Journal of General Medicine 2019:12: 313–321.
http://doi.org/10.2147/IJGM.S215548.
13. Taskinen MR. Diabetic dyslipidemia: from basic research to clinical practice.
Diabetologia 2003; 46: 733-749.
14. Tomkin GH. Target for intervention in dyslipidemia in diabetes. Diabetes Care
2008; 31 (Suppl. 2): S241-S248.
Pendahuluan
Drug-induced liver injury (DILI) adalah jejas/cedera hati yang diinduksi
oleh obat, baik yang diresepkan maupun yang tidak. Obat yang dimaksud
meliputi molekul kimia kecil, agen biologik, traditional Chinese medicine
(TCM), natural medicine (NM), produk kesehatan, dan suplemen. DILI
merupakan adverse drug reactions yang paling sering dan serius.1
Klasifikasi
Drug-induced liver injury bisa diklasifikasikan sebagai intrinsik atau direk dan
idiosinkratik. Pada Tabel 1 disajikan daftar obat-obatan yang berhubungan
dengan DILI intrinsik maupun idiosinkratik.6 DILI idiosinkratik dapat
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi cedera/jejas hati hepatoselular, cedera
hati kolestatik, atau cedera hati campuran.1
Tabel 1. Daftar Obat yang Berhubungan dengan DILI Intrinsik dan Idiosinkratik6
Patogenesis
Pada kedua jenis DILI, karakteristik kimia daripada suatu obat, yakni
lipofilisitas dan biotransformasi obat, memiliki peranan yang penting dalam
patogenesis (Gambar 1). Pada kedua jenis DILI, biotransformasi obat yang
lipofilik di hati akan menghasilkan metabolit reaktif obat. Metabolit reaktif
obat akan berikatan secara kovalen dengan protein dan menginduksi stres
oksidatif, mengaktivasi signal transduction pathways seperti mitogen-activated
protein kinases (MAPK), menyebabkan stres pada organel sel hepatosit,
mengganggu transportasi asam empedu, dan menyebabkan kematian sel.6,7
Pada DILI intrinsik, obat dan metabolit reaktif obat yang dikonsumsi
langsung menyebabkan cedera pada sel hepatosit (direct hepatotoxicity).1
Diagnosis DILI
Manifestasi klinis DILI bisa ringan sampai berat, yakni gagal hati akut
yang membutuhkan transplantasi hati sampai kematian. Presentasi klinis
pasien dengan DILI menyerupai hepatitis akibat virus (viral hepatitis-like
syndrome) sehingga tidak dicurigai DILI kecuali bila disertai kelainan pada
kulit.6
Tatalaksana DILI
Langkah terpenting dalam tatalaksana DILI adalah menghentikan obat
yang dicurigai menyebabkan kerusakan hati. Pada sebagian besar DILI,
perbaikan spontan terjadi tanpa perlu pemberian obat ataupun tatalaksana
spesifik lainnya. Perbaikan spontan setelah penghentian obat merupakan
kriteria yang penting untuk menentukan penyebab dari DILI. Perbaikan
spontan dari DILI biasanya komplit atau parsial dalam beberapa hari sampai
minggu (rata-rata 3.3 minggu untuk cedera hati hepatoselular dan 6.6 minggu
untuk cedera hati kolestatik).1,6 Namun, sebuah studi di Islandia melaporkan
bahwa durasi waktu rata-rata dari diagnosis hingga normalisasi fungsi hati
adalah 64 hari.10 Pemeriksaan fungsi hati berkala (monitoring) pada kasus DILI
penting untuk dilakukan.6 Selain ALT dan AST, perlu dilakukan pemeriksaan
bilirubin dan INR. Hal ini karena, pada kematian sel hepatosit yang luas, kadar
ALT dan AST dapat mengalami penurunan.11
Pasien dengan gagal hati akut yakni ensefalopati dan koagulopati (INR
meningkat) perlu di rawat inap dan dipantau fungsi hatinya secara ketat.
Pilihan tatalaksana pada pasien dengan gagal hati akut meliputi extracorporeal
Kesimpulan
DILI merupakan masalah kesehatan yang patut mendapat perhatian
seiring dengan meningkatnya ketersediaan obat. Pemahaman patogenesis
DILI telah berkembang dengan ditemukannya peran polimorfisme HLA dan
genetika dan kaitannya dengan sistem imun adaptif dalam menyebabkan
cedera sel hati. Diagnosis yang tepat dari DILI serta identifikasi obat penyebab
merupakan langkah awal dan penting dalam tatalaksana DILI. Penanganan
DILI yang utama adalah menghentikan obat yang menyebabkan DILI dan
monitoring fungsi hati. Randomized controlled trials masih diperlukan untuk
mengevaluasi efikasi obat.
Daftar Pustaka
1. Yu YC, Mao YM, Chen CW, Chen JJ, Chen J, Cong WM, et al. CSH guidelines for the
diagnosis and treatment of drug-induced liver injury. Hepatol Int 2017; 11: 221-41.
2. Suk KT, Kim DJ. Drug-induced liver injury: present and future. Clin Mol Hepatol
2012; 18: 249-57.
3. Shen T, Liu Y, Shang J, Xie Q, Li J, Yan M, et al. Incidence and Etiology of Drug-
Induced Liver Injury in Mainland China. Gastroenterol 2019; 156: 2230-41.
4. Suk KT, Kim DJ, Kim CH, Park SH, Yoon JH, Kim YS, et al. A prospective nationwide
study of drug-induced liver injury in Korea. Am J Gastroenterol 2012; 107(9):
1380-7.
5. Arrang ST, Widyati. The Incidence and Risk Factor Analysis of Drug Induced Liver
Injury in a Surabaya Hospital. Jurnal Farmasi Galenika 2018; 4(2): 79-86.
6. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines:
Drug-induced liver injury. J Hepatol 2019; 70(6): 1222-61.
7. Yuan L, Kaplowitz N. Mechanisms of Drug Induced Liver Injury. Clin Liver Dis 2013;
17(4): 507-18.
8. Kaliyaperumal K, Grove JI, Delahay RM, Griffiths WJH, Duckworth A, Aithal GP.
Pharmacogenomics of drug-induced liver injury: Molecular biology to clinical
applications. J Hepatol 2018; 69: 948-57.
9. Ye H, Nelson LJ, del Moral MG, Martinez-Naves E, Cubero FJ. Dissecting the molecular
pathophysiology of drug-induced liver injury. World J Gastroenterol 2018; 27(13):
1373-85.
10. Bjornsson ES, Bergmann OM, Bjornsson HK, Kvaran RB, Olafsson S. Incidence,
presentation, and outcomes in patients with drug-liver induced liver injury in the
general population of Iceland. Gastroentrol 2013; 144: 1419-25.
11. Giordano C, Rivas J, Zervos X. An Update on Treatment of Drug-Induced Liver
Injury. J Clin Translational Hepatol 2014; 2: 74-9.
Introduction
Fibrosis results from excessive accumulation of extra-cellular matrix
(ECM) molecules that make up excessive tissue scarring and occur in a
variety of physiological systems including lung, liver, kidney and heart.1
The pathogenesis of fibrosis among multiple organs has the core features
including epithelial injury and dysfunction, appearance of myofibroblasts,
ECM accumulation, immune cell recruitment, monocyte-derived cells, and the
resolution and regression of fibrosis, resulting in progressive scarring and
loss of organ functions.2
Liver Fibrosis
Liver fibrosis is a frequent, life-threatening complication of most chronic
liver diseases. It can result from persistent liver injuries, including alcohol
abuse, viral hepatitis, metabolic diseases, and cholestatic liver diseases.10 It
is the condition associated with portal hypertension and liver failure, and the
risk of hepatocellular carcinoma (HCC).11
Hepatic stellate cells (HSCs), which are located in the space of Disse
between hepatocytes and sinusoidal endothelium, are the primary effector
cells in the progression of liver fibrosis.12 Quiescent HSCs can be activated
into proliferative and fibrogenic myofibroblasts by a range of chronic injuries,
including viral hepatitis, (non-)alcoholic steatohepatitis, toxins (e.g. drug-
induced liver injury/DILI), and autoimmune disorders.10 Additionally, HSCs
play a pivotal role in activating the immune response through secretion of
cytokines and chemokines, and interacting with immune cells. HSCs also
contribute to angiogenesis and the regulation of oxidant stress.13
Figure 1. Structure and function of the HMGB1 protein. (A) HMGB1 is composed
of the A box, B box and C (acidic) tail domains. (B) In the nucleus, HMGB1 is
involved in in DNA replication, recombination, transcription and repair. It
interacts with and enhances the activities of several transcription factors,
including p53, p73, the retinoblastoma protein (RB), members of the Rel/
NF-κβ family, and estrogen receptor (ER). (C) Once released from the cell,
HMGB1 binds to various receptors to activate Damage-associated molecular
pattern (DAMP) signaling involved in many cellular processes. (D) Cytoplasmic
HMGB1 protein binds with beclin 1 to induce autophagy. (E) At the cell surface,
membrane HMGB1 promotes neurite outgrowth and platelet activation.
[Adapted from Chen et al4]
B. Function of HMGB1
HMGB1 participates in a broad range of immunological activities
such as induction of cytokine production, cell proliferation, chemotaxis
and differentiation as well as modulation of hematopoietic, epithelial
and neuronal cells.4,6 It controls multiple DNA signaling pathways by its
location-specific biological functions:
− In the nucleus (Figure 1B), HMGB1 acts as a DNA chaperone. It
participates in DNA replication, recombination, transcription
and repair. In particular, HMGB1 interacts with and enhances the
activities of a number of transcription factors, including p53, p73,
the retinoblastoma protein (RB), members of the Rel/NF-κβ family
and estrogen receptor (ER).
− Outside the cell (Figure 1C and Figure 2), HMGB1 acts as a damage-
associated molecular pattern (DAMP) molecule. It interacts with
several receptors and coordinates various cellular responses
such as immune system activation, cell migration, cell growth,
angiogenesis and tissue repair and regeneration This extracellular
HMGB1 may form heterocomplexes with other immune coactivators
such as interleukin (IL)-1, C-X-C motif chemokine 12 (CXCL12),
deoxyribonucleic acid (DNA), nucleosomes or lipopolysaccharide
(LPS) that generate synergistic responses in inflammation and
immunity (Figure 2).25,26
− In the cytosol (Figure 1D), HMGB1 performs autophagy by binding
beclin-1. In parallel, nuclear (1B) and extracellular (1C) HMGB1
have the ability to sustain autophagy by regulating the expression of
heat shock protein β1 and binding RAGE, respectively.22,27
− At the cell surface membrane (Figure 1E), HMGB1 promotes neurite
outgrowth and platelet activation.28
C. Receptors of HMGB1
Like other nuclear cofactors, HMGB1 has a role as an intercellular
messenger molecule, released from a variety of cells into the extracellular
environment to act on specific cell-surface receptors. The receptors used
by HMGB1 have not been entirely understood and may vary by context.
These receptors include RAGE, the TLRs, Mac-1, syndecan-1 (CD138),
phosphacan protein–tyrosine phosphatase (PPTP)-ξ/β, CD24, chemokine
(C-X-C motif) receptor 4 (CXCR4), T-cell immunoglobulin mucin-3 (TIM-
3) and others (Figure 1C).
Figure 3. Role of HMGB1 in hepatic pathology. (A) HBV and HCV infection confer a
risk of developing a chronic inflammation that can lead to liver fibrosis that evolves
into liver cirrhosis and HCC, and HMGB1 participates in this process. HCV or HBV
infection induces translocation and release of HMGB1. Extracellular HMGB1 causes
chronic inflammation by activation of NF-κβ pathways or results in TLR4-dependent
interferon antiviral response. (B) Serum HMGB1 level is increased in several chronic
liver diseases (e.g. NAFLD). HMGB1 induces HSC activation by TLR4-MyD88/MAPK-
NF-κβ pathways. HMGB1 promotes the expression of collagen and α-SMA in HSCs
and results in accumulation of excess extracellular matrix and liver fibrosis. (C)
Extracellular HMGB1 binds to its receptors (e.g. TLR4, TLR9, and RAGE) to induce
inflammasome activation and proinflammatory cytokine release, which is essential
for tumor growth, invasion and metastasis. [Adapted from Chen et al4]
Figure 4. Agents targeting HMGB1 or its receptors in the studies of tissue fibrosis.
In addition to the inhibition of HMGB1 or its receptors by neutralizing antibodies,
antagonistic HMGB1 treatment, based on HMGB1 silencing, RAGE or TLRs knockout,
small-molecule inhibitors (such as ethyl pyruvate), has proven successful in a wide
range of experiments, resulting in reduced severity of fibrotic models and decreased
lethality, all of which represent therapeutic measures for blocking HMGB1. Adapted
from Li et al1.
characterize HMGB1 function in liver fibrosis in the drug design and treatment
strategy to prevent and/or cure the refractory liver diseases.
References
1. Li LC, Gao J, Li J. Emerging role of HMGB1 in fibrotic diseases. J Cell Mol Med.
2014;18(12):2331-9.
2. Brenner C, Galluzzi L, Kepp O, Kroemer G. Decoding cell death signals in liver
inflammation. J Hepatol. 2013;59(3):583-94.
3. Gressner OA, Weiskirchen R, Gressner AM. Biomarkers of hepatic fibrosis,
fibrogenesis and genetic pre-disposition pending between fiction and reality. J Cell
Mol Med. 2007;11(5):1031-51.
4. Chen R, Hou W, Zhang Q, Kang R, Fan XG, Tang D. Emerging role of high-mobility
group box 1 (HMGB1) in liver diseases. Mol Med. 2013;19:357-66.
5. Javaherian K, Liu JF, Wang JC. Nonhistone proteins HMG1 and HMG2 change the
DNA helical structure. Science. 1978;199(4335):1345-6.
6. Harris HE, Andersson U, Pisetsky DS. HMGB1: a multifunctional alarmin driving
autoimmune and inflammatory disease. Nat Rev Rheumatol. 2012;8(4):195-202.
7. Yang H, Hreggvidsdottir HS, Palmblad K, Wang H, Ochani M, Li J, et al. A critical
cysteine is required for HMGB1 binding to Toll-like receptor 4 and activation of
macrophage cytokine release. Proc Natl Acad Sci U S A. 2010;107(26):11942-7.
8. Andersson U, Tracey KJ. HMGB1 is a therapeutic target for sterile inflammation and
infection. Annu Rev Immunol. 2011;29:139-62.
9. Yang H, Antoine DJ, Andersson U, Tracey KJ. The many faces of HMGB1: molecular
structure-functional activity in inflammation, apoptosis, and chemotaxis. J Leukoc
Biol. 2013;93(6):865-73.
10. Friedman SL, Sheppard D, Duffield JS, Violette S. Therapy for fibrotic diseases:
nearing the starting line. Sci Transl Med. 2013;5(167):167sr1.
11. Schuppan D, Ashfaq-Khan M, Yang AT, Kim YO. Liver fibrosis: Direct antifibrotic
agents and targeted therapies. Matrix Biol. 2018;68-69:435-51.
12. Weiskirchen R, Tacke F. Liver Fibrosis: From Pathogenesis to Novel Therapies. Dig
Dis. 2016;34(4):410-22.
13. Lee YA, Wallace MC, Friedman SL. Pathobiology of liver fibrosis: a translational
success story. Gut. 2015;64(5):830-41.
14. Friedman SL. Fibrogenic cell reversion underlies fibrosis regression in liver. Proc
Natl Acad Sci U S A. 2012;109(24):9230-1.
15. Lee UE, Friedman SL. Mechanisms of hepatic fibrogenesis. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2011;25(2):195-206.
16. Lee WM. Acetaminophen and the U.S. Acute Liver Failure Study Group: lowering
the risks of hepatic failure. Hepatology. 2004;40(1):6-9.
17. Albayrak A, Uyanik MH, Cerrah S, Altas S, Dursun H, Demir M, et al. Is HMGB1 a new
indirect marker for revealing fibrosis in chronic hepatitis and a new therapeutic
target in treatment? Viral Immunol. 2010;23(6):633-8.
18. Hardman CH, Broadhurst RW, Raine AR, Grasser KD, Thomas JO, Laue ED.
Structure of the A-domain of HMG1 and its interaction with DNA as studied by
heteronuclear three- and four-dimensional NMR spectroscopy. Biochemistry.
1995;34(51):16596-607.
19. Weir HM, Kraulis PJ, Hill CS, Raine AR, Laue ED, Thomas JO. Structure of the HMG
box motif in the B-domain of HMG1. EMBO J. 1993;12(4):1311-9.
20. Yang H, Ochani M, Li J, Qiang X, Tanovic M, Harris HE, et al. Reversing established
sepsis with antagonists of endogenous high-mobility group box 1. Proc Natl Acad
Sci U S A. 2004;101(1):296-301.
21. Li J, Kokkola R, Tabibzadeh S, Yang R, Ochani M, Qiang X, et al. Structural basis
for the proinflammatory cytokine activity of high mobility group box 1. Mol Med.
2003;9(1-2):37-45.
22. Huttunen HJ, Fages C, Kuja-Panula J, Ridley AJ, Rauvala H. Receptor for advanced
glycation end products-binding COOH-terminal motif of amphoterin inhibits
invasive migration and metastasis. Cancer Res. 2002;62(16):4805-11.
23. Yang H, Lundback P, Ottosson L, Erlandsson-Harris H, Venereau E, Bianchi ME, et
al. Redox modification of cysteine residues regulates the cytokine activity of high
mobility group box-1 (HMGB1). Mol Med. 2012;18:250-9.
24. Venereau E, Casalgrandi M, Schiraldi M, Antoine DJ, Cattaneo A, De Marchis F,
et al. Mutually exclusive redox forms of HMGB1 promote cell recruitment or
proinflammatory cytokine release. J Exp Med. 2012;209(9):1519-28.
25. Hreggvidsdottir HS, Ostberg T, Wahamaa H, Schierbeck H, Aveberger AC, Klevenvall
L, et al. The alarmin HMGB1 acts in synergy with endogenous and exogenous
danger signals to promote inflammation. J Leukoc Biol. 2009;86(3):655-62.
26.
Wahamaa H, Schierbeck H, Hreggvidsdottir HS, Palmblad K, Aveberger
AC, Andersson U, et al. High mobility group box protein 1 in complex with
lipopolysaccharide or IL-1 promotes an increased inflammatory phenotype in
synovial fibroblasts. Arthritis Res Ther. 2011;13(4):R136.
27. Tang D, Kang R, Livesey KM, Cheh CW, Farkas A, Loughran P, et al. Endogenous
HMGB1 regulates autophagy. J Cell Biol. 2010;190(5):881-92.
28. Tang D, Kang R, Livesey KM, Kroemer G, Billiar TR, Van Houten B, et al. High-
mobility group box 1 is essential for mitochondrial quality control. Cell Metab.
2011;13(6):701-11.
29. Taguchi A, Blood DC, del Toro G, Canet A, Lee DC, Qu W, et al. Blockade of RAGE-
amphoterin signalling suppresses tumour growth and metastases. Nature.
2000;405(6784):354-60.
45. Jung JH, Park JH, Jee MH, Keum SJ, Cho MS, Yoon SK, et al. Hepatitis C virus infection
is blocked by HMGB1 released from virus-infected cells. J Virol. 2011;85(18):9359-
68.
46. Cheng BQ, Jia CQ, Liu CT, Lu XF, Zhong N, Zhang ZL, et al. Serum high mobility
group box chromosomal protein 1 is associated with clinicopathologic features in
patients with hepatocellular carcinoma. Dig Liver Dis. 2008;40(6):446-52.
47. Wang LW, Chen H, Gong ZJ. High mobility group box-1 protein inhibits regulatory
T cell immune activity in liver failure in patients with chronic hepatitis B.
Hepatobiliary Pancreat Dis Int. 2010;9(5):499-507.
48. Day CP, James OF. Steatohepatitis: a tale of two “hits”? Gastroenterology.
1998;114(4):842-5.
49. Li L, Chen L, Hu L, Liu Y, Sun HY, Tang J, et al. Nuclear factor high-mobility group box1
mediating the activation of Toll-like receptor 4 signaling in hepatocytes in the early
stage of nonalcoholic fatty liver disease in mice. Hepatology. 2011;54(5):1620-30.
50. Antoine DJ, Williams DP, Kipar A, Laverty H, Park BK. Diet restriction inhibits
apoptosis and HMGB1 oxidation and promotes inflammatory cell recruitment
during acetaminophen hepatotoxicity. Mol Med. 2010;16(11-12):479-90.
51. Antoine DJ, Jenkins RE, Dear JW, Williams DP, McGill MR, Sharpe MR, et al.
Molecular forms of HMGB1 and keratin-18 as mechanistic biomarkers for mode of
cell death and prognosis during clinical acetaminophen hepatotoxicity. J Hepatol.
2012;56(5):1070-9.
52. Wang H, Li W, Goldstein R, Tracey KJ, Sama AE. HMGB1 as a potential therapeutic
target. Novartis Found Symp. 2007;280:73-85; discussion -91, 160-4.
53. Scaffidi P, Misteli T, Bianchi ME. Release of chromatin protein HMGB1 by necrotic
cells triggers inflammation. Nature. 2002;418(6894):191-5.
54. Yang R, Zhang S, Cotoia A, Oksala N, Zhu S, Tenhunen J. High mobility group
B1 impairs hepatocyte regeneration in acetaminophen hepatotoxicity. BMC
Gastroenterol. 2012;12:45.
55. Lynch J, Nolan S, Slattery C, Feighery R, Ryan MP, McMorrow T. High-mobility
group box protein 1: a novel mediator of inflammatory-induced renal epithelial-
mesenchymal transition. Am J Nephrol. 2010;32(6):590-602.
56. Entezari M, Weiss DJ, Sitapara R, Whittaker L, Wargo MJ, Li J, et al. Inhibition of
high-mobility group box 1 protein (HMGB1) enhances bacterial clearance and
protects against Pseudomonas Aeruginosa pneumonia in cystic fibrosis. Mol Med.
2012;18:477-85.
57. Wang FP, Li L, Li J, Wang JY, Wang LY, Jiang W. High mobility group box-1 promotes
the proliferation and migration of hepatic stellate cells via TLR4-dependent signal
pathways of PI3K/Akt and JNK. PLoS One. 2013;8(5):e64373.
58. Wang WK, Wang B, Lu QH, Zhang W, Qin WD, Liu XJ, et al. Inhibition of high-
mobility group box 1 improves myocardial fibrosis and dysfunction in diabetic
cardiomyopathy. Int J Cardiol. 2014;172(1):202-12.
59. Ge WS, Wu JX, Fan JG, Wang YJ, Chen YW. Inhibition of high-mobility group
box 1 expression by siRNA in rat hepatic stellate cells. World J Gastroenterol.
2011;17(36):4090-8.
60. He M, Kubo H, Ishizawa K, Hegab AE, Yamamoto Y, Yamamoto H, et al. The role
of the receptor for advanced glycation end-products in lung fibrosis. Am J Physiol
Lung Cell Mol Physiol. 2007;293(6):L1427-36.
61. van Rossum TG, Vulto AG, Hop WC, Schalm SW. Glycyrrhizin-induced reduction
of ALT in European patients with chronic hepatitis C. Am J Gastroenterol.
2001;96(8):2432-7.
62. Li JY, Cao HY, Liu P, Cheng GH, Sun MY. Glycyrrhizic acid in the treatment of liver
diseases: literature review. Biomed Res Int. 2014;2014:872139.
63. Manns MP, Wedemeyer H, Singer A, Khomutjanskaja N, Dienes HP, Roskams T, et
al. Glycyrrhizin in patients who failed previous interferon alpha-based therapies:
biochemical and histological effects after 52 weeks. J Viral Hepat. 2012;19(8):537-
46.
64. Mollica L, De Marchis F, Spitaleri A, Dallacosta C, Pennacchini D, Zamai M, et al.
Glycyrrhizin binds to high-mobility group box 1 protein and inhibits its cytokine
activities. Chem Biol. 2007;14(4):431-41.
65. Shiki Y, Shirai K, Saito Y, Yoshida S, Mori Y, Wakashin M. Effect of glycyrrhizin on
lysis of hepatocyte membranes induced by anti-liver cell membrane antibody. J
Gastroenterol Hepatol. 1992;7(1):12-6.
66. Kawakami F, Shimoyama Y, Ohtsuki K. Characterization of complement C3 as a
glycyrrhizin (GL)-binding protein and the phosphorylation of C3alpha by CK-
2, which is potently inhibited by GL and glycyrrhetinic acid in vitro. J Biochem.
2003;133(2):231-7.
67. Ashfaq UA, Masoud MS, Nawaz Z, Riazuddin S. Glycyrrhizin as antiviral agent
against Hepatitis C Virus. J Transl Med. 2011;9:112.
68. Soufy H, Yassein S, Ahmed AR, Khodier MH, Kutkat MA, Nasr SM, et al. Antiviral
and immune stimulant activities of glycyrrhizin against duck hepatitis virus. Afr J
Tradit Complement Altern Med. 2012;9(3):389-95.
69. Michaelis M, Geiler J, Naczk P, Sithisarn P, Leutz A, Doerr HW, et al. Glycyrrhizin exerts
antioxidative effects in H5N1 influenza A virus-infected cells and inhibits virus
replication and pro-inflammatory gene expression. PLoS One. 2011;6(5):e19705.
70. Zhang YH, Isobe K, Iwamoto T, Nakashima I. Bidirectional control by glycyrrhizin
of the growth response of lymphocytes stimulated through a receptor-bypassed
pathway. Immunol Lett. 1992;32(2):147-52.
71. Abe M, Akbar F, Hasebe A, Horiike N, Onji M. Glycyrrhizin enhances interleukin-10
production by liver dendritic cells in mice with hepatitis. J Gastroenterol.
2003;38(10):962-7.
72. Dai JH, Iwatani Y, Ishida T, Terunuma H, Kasai H, Iwakula Y, et al. Glycyrrhizin
enhances interleukin-12 production in peritoneal macrophages. Immunology.
2001;103(2):235-43.
73. Kimura M, Watanabe H, Abo T. Selective activation of extrathymic T cells in the
liver by glycyrrhizin. Biotherapy. 1992;5(3):167-76.
74. Roohbakhsh A, Iranshahy M, Iranshahi M. Glycyrrhetinic Acid and Its Derivatives:
Anti-Cancer and Cancer Chemopreventive Properties, Mechanisms of Action and
Structure- Cytotoxic Activity Relationship. Curr Med Chem. 2016;23(5):498-517.
75. Farooqui A, Khan F, Khan I, Ansari IA. Glycyrrhizin induces reactive oxygen species-
dependent apoptosis and cell cycle arrest at G0/G1 in HPV18(+) human cervical
cancer HeLa cell line. Biomed Pharmacother. 2018;97:752-64.
76. Kuang P, Zhao W, Su W, Zhang Z, Zhang L, Liu J, et al. 18beta-glycyrrhetinic acid
inhibits hepatocellular carcinoma development by reversing hepatic stellate cell-
mediated immunosuppression in mice. Int J Cancer. 2013;132(8):1831-41.
77. Kimura M, Inoue H, Hirabayashi K, Natsume H, Ogihara M. Glycyrrhizin and some
analogues induce growth of primary cultured adult rat hepatocytes via epidermal
growth factor receptors. Eur J Pharmacol. 2001;431(2):151-61.
78. Asl MN, Hosseinzadeh H. Review of pharmacological effects of Glycyrrhiza sp. and
its bioactive compounds. Phytother Res. 2008;22(6):709-24.
79. Smolarczyk R, Cichon T, Matuszczak S, Mitrus I, Lesiak M, Kobusinska M, et al. The
role of Glycyrrhizin, an inhibitor of HMGB1 protein, in anticancer therapy. Arch
Immunol Ther Exp (Warsz). 2012;60(5):391-9.
Pendahuluan
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kegawatdaruratan koroner
yang masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas baik di
negara maju maupun negara berkembang. Meskipun tatalaksana SKA terus
berkembang, baik dengan terapi medis maupun revaskularisasi yang optimal,
namun tetap terdapat risiko kejadian vaskular (cardiovascular event) yang
bermakna.1
Patofisiologi Trombogenesis
Adanya kerusakan vaskular yang diakibatkan oleh ruptur plak akan
memicu jalur kaskade koagulasi yang dirancang untuk mempertahankan
integritas sirkulasi koroner dan hemostasis. Dalam kondisi normal, terdapat
kendali dalam pengaturan jalur tersebut, sehingga tercapai keseimbangan
yang tepat antara aliran koroner yang adekuat dengan perbaikan pembuluh
darah. Gangguan pada hemostasis sirkulasi koroner dapat menyebabkan
trombosis yang mengancam nyawa.
menyebabkan oklusi vaskular total dan infark miokard dengan elevasi segmen
ST (STEMI, ST Elevation Myocardial infarction).5
Terapi Antikoagulan
Terapi Antikoagulan
Kombinasi obat antikoagulan dengan antiplatelet lebih efektif dalam
Kombinasi obat antikoagulan dengan antiplatelet lebih efektif dalam menurunkan
menurunkan kejadian
kejadian trombosis berulangtrombosis
pada SKA berulang
tanpa elevasipada SKAST
segmen tanpa elevasi segmen
(NSTE-ACS, Non-ST ST
Elevation AcuteNon-ST
(NSTE-ACS, Coronary dibandingkan
Syndrome)Acute
Elevation Coronary dengan penggunaandibandingkan
Syndrome) antiplatelet saja. dengan
Hal
ini diakibatkan oleh inhibisi produksi dan aktivasi trombin.16
penggunaan antiplatelet saja. Hal ini diakibatkan oleh inhibisi produksi dan
aktivasi trombin.16
Efektivitas UFH pada SKA telah divalidasi dalam berbagai uji klinis
acak.9, 18-20 Semua uji klinis tersebut secara konsisten menunjukkan
penurunan bermakna dari frekuensi kejadian iskemia. Uji Fondaparinux with
Unfractionated Heparin During Revascularization in Acute Coronary Syndromes
(FUTURA/OASIS-8) membandingkan UFH dosis rendah (50 IU/kg) dengan
dosis standar (85 IU/kg) pada pasien NSTE-ACS dan menunjukkan bahwa
penyesuaian dosis tidak memiliki efek bermakna terhadap laju perdarahan
peri-PCI atau komplikasi pada tempat akses vaskular.21
Pada pasien STE-ACS, studi Assessment of the Safety and Efficacy of a New
Thrombolytic 3 (ASSENT 3) membandingkan pemberian enoxaparin empiris
dengan UFH pada 6.095 pasien yang menerima tenecteplase.31 Meskipun
tingkat perdarahan meningkat, manfaat klinis pemberian enoxaparin
lebih baik karena tingkat kejadian iskemik berulang di rumah sakit lebih
rendah bermakna pada pasien yang menerima enoxaparin maksimal 7 hari.
Penggunaan dosis enoxaparin yang sama di luar rumah sakit dalam studi
ASSENT-3 PLUS dikaitkan dengan peningkatan bermakna dalam tingkat
perdarahan intrakranial pada pasien usia lanjut.32
Fondaparinux
Fondaparinux merupakan penghambat selektif Xa dengan waktu paruh
17 jam yang diberikan secara subkutan sekali sehari pada pasien NSTE-
ACS. Fondaparinux mencegah pembentukan trombin dengan mengikat
antitrombin secara reversibel. Serupa dengan enoxaparin, fondaparinux
jarang mengikat protein plasma yang menghasilkan efek antikoagulan yang
lebih mudah diprediksi, dan tidak diperlukan pemantauan karena sepenuhnya
bioavailable. Meskipun tidak ada risiko HIT, fondaparinux diekskresi melalui
ginjal dan tidak direkomendasikan jika eGFR < 20 ml/mnt/1,73 m2.
uji coba ini menunjukkan penurunan dalam tingkat kematian 30 hari dan
6 bulan. Tingkat perdarahan mayor di rumah sakit kurang lebih setengah
dari kelompok enoxaparin. Tingkat kejadian perdarahan mayor dalam 9
hari pada pasien PCI lebih rendah bermakna pada kelompok yang diobati
dengan fondaparinux dibandingkan dengan enoxaparin.45 Hal ini independen
terhadap waktu intervensi berkaitan dengan dosis antikoagulan terakhir yang
diberikan. Trombosis terkait kateter lebih sering terjadi pada pasien yang
diobati dengan fondaparinux sehingga direkomendasikan untuk memberikan
bolus UFH pada saat PCI.
Uji coba fase III dari obat anti-Xa intravena, otamixaban, tidak mengurangi
tingkat kejadian iskemia, tetapi secara bermakna meningkatkan tingkat
perdarahan bila dibandingkan dengan UFH ditambah eptifibatid.53 Temuan
tersebut tidak mendukung penggunaan otamixaban untuk pasien NSTE-ACS
yang direncanakan menjalani PCI dini.
Kesimpulan
– Terapi antikoagulan mepunyai peran penting dalam tatalaksana SKA.
– Penelitian menunjukkan fondaparinux bermanfaat dengan risiko
perdarahan yang lebih rendah dan merupakan antikoagulan pilihan pada
NSTE-ACS.
– Pendekatan yang berpusat pada pasien (individual) diperlukan dengan
mempertimbangkan risiko iskemia dan perdarahan.
Daftar Pustaka
1. Roffi M, Patrono C, Collet J-P, Mueller C, Valgimigli M, Andreotti F, et al. 2015 ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting
without persistent ST-segment elevation: Task Force for the Management of
Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting without Persistent ST-Segment
Elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2016;37(3):267-
315.
2. Fuster V, Badimon L, Badimon JJ, Chesebro JH. The pathogenesis of coronary artery
disease and the acute coronary syndromes. N Engl J Med. 1992;326(5):310-8.
3. De Caterina R, Goto S. Targeting thrombin long-term after an acute coronary
syndrome: opportunities and challenges. Vasc Pharmacol. 2016;81:1-14.
4. Arbustini E, Dal Bello B, Morbini P, Burke A, Bocciarelli M, Specchia G, et al.
Plaque erosion is a major substrate for coronary thrombosis in acute myocardial
infarction. Heart. 1999;82(3):269-72.
5. Davies MJ. The pathophysiology of acute coronary syndromes. Heart.
2000;83(3):361-6.
6. Cohen M, Demers C, Gurfinkel EP, Turpie AG, Fromell GJ, Goodman S, et al. A
comparison of low-molecular-weight heparin with unfractionated heparin for
unstable coronary artery disease. N Engl J Med. 1997;337(7):447-52.
7. Investigators CiUAtPRET. Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients
with acute coronary syndromes without ST-segment elevation. N Engl J Med.
2001;345(7):494-502.
8. Lewis Jr HD, Davis JW, Archibald DG, Steinke WE, Smitherman TC, Doherty III JE,
et al. Protective effects of aspirin against acute myocardial infarction and death in
men with unstable angina: results of a Veterans Administration Cooperative Study.
N Engl J Med. 1983;309(7):396-403.
9. Théroux P, Ouimet H, McCans J, Latour J-G, Joly P, Lévy G, et al. Aspirin, heparin, or
both to treat acute unstable angina. N Engl J Med. 1988;319(17):1105-11.
10. Cannon CP, Braunwald E. Time to reperfusion: the critical modulator in
thrombolysis and primary angioplasty. J Thromb Thrombolysis. 1996;3(2):117-25.
11. Cannon CP, Weintraub WS, Demopoulos LA, Vicari R, Frey MJ, Lakkis N, et al.
Comparison of early invasive and conservative strategies in patients with unstable
coronary syndromes treated with the glycoprotein IIb/IIIa inhibitor tirofiban. N
Engl J Med. 2001;344(25):1879-87.
12. Signs PRIiISMiPLbU, Investigators SS. Inhibition of the platelet glycoprotein IIb/IIIa
receptor with tirofiban in unstable angina and non–Q-wave myocardial infarction.
N Engl J Med. 1998;338(21):1488-97.
13. Ndrepepa G, Berger PB, Mehilli J, Seyfarth M, Neumann F-J, Schömig A, et al.
Periprocedural bleeding and 1-year outcome after percutaneous coronary
interventions: appropriateness of including bleeding as a component of a quadruple
end point. J Am Coll Cardiol. 2008;51(7):690-7.
14. Gailani D, Renné T. Intrinsic pathway of coagulation and arterial thrombosis.
Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2007;27(12):2507-13.
15. Pesarini G, Ariotti S, Ribichini F. Current antithrombotic therapy in patients with
acute coronary syndromes undergoing percutaneous coronary interventions.
Interv Cardiol Rev. 2014;9(2):94.
16. Eikelboom JW, Anand SS, Malmberg K, Weitz JI, Ginsberg JS, Yusuf S. Unfractionated
heparin and low-molecular-weight heparin in acute coronary syndrome without
ST elevation: a meta-analysis. Lancet. 2000;355(9219):1936-42.
17. Généreux P, Palmerini T, Caixeta A, Rosner G, Green P, Dressler O, et al.
Quantification and impact of untreated coronary artery disease after percutaneous
coronary intervention: the residual SYNTAX (Synergy Between PCI with Taxus and
Cardiac Surgery) score. J Am Coll Cardiol. 2012;59(24):2165-74.
18. Cohen M, Adams P, Parry G, Xiong J, Chamberlain D, Wieczorek I, et al. Combination
antithrombotic therapy in unstable rest angina and non-Q-wave infarction
in nonprior aspirin users. Primary end points analysis from the ATACS trial.
Antithrombotic Therapy in Acute Coronary Syndromes Research Group. Circulation.
1994;89(1):81-8.
19. Group R. Risk of myocardial infarction and death during treatment with low dose
aspirin and intravenous heparin in men with unstable coronary artery disease.
Lancet. 1990;336(8719):827-30.
20. Theroux P, Waters D, Qiu S, McCans J, de Guise P, Juneau M. Aspirin versus heparin
to prevent myocardial infarction during the acute phase of unstable angina.
Circulation. 1993;88(5):2045-8.
21. Steg PG, Mehta S, Jolly S, Xavier D, Rupprecht H-J, Lopez-Sendon JL, et al.
Fondaparinux with UnfracTionated heparin dUring Revascularization in Acute
coronary syndromes (FUTURA/OASIS 8): A randomized trial of intravenous
unfractionated heparin during percutaneous coronary intervention in patients
with non–ST-segment elevation acute coronary syndromes initially treated with
fondaparinux. Am Heart J. 2010;160(6):1029-34. e1.
22. (ESC) TTFotmoS-seamiotESoC, Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Lundqvist CB,
et al. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation: The Task Force on the management of
ST-segment elevation acute myocardial infarction of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2012;33(20):2569-619.
23. Silvain J, Beygui F, Barthélémy O, Pollack C, Cohen M, Zeymer U, et al. Efficacy and
safety of enoxaparin versus unfractionated heparin during percutaneous coronary
intervention: systematic review and meta-analysis. Br Med J. 2012;344:e553.
24.
Garcia DA, Baglin TP, Weitz JI, Samama MM. Parenteral anticoagulants:
antithrombotic therapy and prevention of thrombosis: American College of Chest
Physicians evidence-based clinical practice guidelines. Chest. 2012;141(2):e24S-
e43S.
25. Warkentin TE, Levine MN, Hirsh J, Horsewood P, Roberts RS, Gent M, et al. Heparin-
induced thrombocytopenia in patients treated with low-molecular-weight heparin
or unfractionated heparin. N Engl J Med. 1995;332(20):1330-6.
26. Weitz JI. Low-molecular-weight heparins. N Engl J Med. 1997;337(10):688-99.
27. de Lemos JA, Blazing MA, Wiviott SD, Brady WE, White HD, Fox KA, et al. Enoxaparin
versus unfractionated heparin in patients treated with tirofiban, aspirin and an
early conservative initial management strategy: results from the A phase of the
A-to-Z trial. Eur Heart J. 2004;25(19):1688-94.
28. Ferguson JJ, Califf RM, Antman EM, Cohen M, Grines CL, Goodman S, et al. Enoxaparin
vs unfractionated heparin in high-risk patients with non-ST-segment elevation
acute coronary syndromes managed with an intended early invasive strategy:
primary results of the SYNERGY randomized trial. JAMA. 2004;292(1):45-54.
29. Montalescot G, Zeymer U, Silvain J, Boulanger B, Cohen M, Goldstein P, et al.
Intravenous enoxaparin or unfractionated heparin in primary percutaneous
coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction: the international
randomised open-label ATOLL trial. Lancet. 2011;378(9792):693-703.
30. Murphy SA, Gibson CM, Morrow DA, Van de Werf F, Menown IB, Goodman SG, et
al. Efficacy and safety of the low-molecular weight heparin enoxaparin compared
with unfractionated heparin across the acute coronary syndrome spectrum: a
meta-analysis. Eur Heart J. 2007;28(17):2077-86.
41. Wallentin L, Becker RC, Budaj A, Cannon CP, Emanuelsson H, Held C, et al.
Ticagrelor versus clopidogrel in patients with acute coronary syndromes. N Engl J
Med. 2009;361(11):1045-57.
42. Simoons ML, Bobbink IW, Boland J, Gardien M, Klootwijk P, Lensing AW, et al. A
dose-finding study of fondaparinux in patients with non–ST-segment elevation
acute coronary syndromes: The Pentasaccharide in Unstable Angina (PENTUA)
study. J Am Coll Cardiol. 2004;43(12):2183-90.
43. Mehta SR, Steg PG, Granger CB, Bassand J-P, Faxon DP, Weitz JI, et al. Randomized,
blinded trial comparing fondaparinux with unfractionated heparin in patients
undergoing contemporary percutaneous coronary intervention: Arixtra Study in
Percutaneous Coronary Intervention: a Randomized Evaluation (ASPIRE) Pilot
Trial. Circulation. 2005;111(11):1390-7.
44. Yusuf S, Mehta S, Chrolavicius S, Afzal R, Pogue J, Granger C. Fifth Organization
to Assess Strategies in Acute Ischemic Syndromes Investigators. Comparison
of fondaparinux and enoxaparin in acute coronary syndromes. N Engl J Med.
2006;354(14):1464-76.
45. Jolly SS, Faxon DP, Fox KA, Afzal R, Boden WE, Widimsky P, et al. Efficacy and safety
of fondaparinux versus enoxaparin in patients with acute coronary syndromes
treated with glycoprotein IIb/IIIa inhibitors or thienopyridines: results from the
OASIS 5 (Fifth Organization to Assess Strategies in Ischemic Syndromes) trial. J Am
Coll Cardiol. 2009;54(5):468-76.
46. Szummer K, Oldgren J, Lindhagen L, Carrero JJ, Evans M, Spaak J, et al. ASsociation
between the use of fondaparinux vs low-molecular-weight heparin and clinical
outcomes in patients with non–st-segment elevation myocardial infarction. JAMA.
2015;313(7):707-16.
47. Yusuf S, Mehta SR, Chrolavicius S, Afzal R, Pogue J, Granger CB, et al. Effects
of fondaparinux on mortality and reinfarction in patients with acute ST-
segment elevation myocardial infarction: the OASIS-6 randomized trial. JAMA.
2006;295(13):1519-30.
48. Peters RJ, Joyner C, Bassand J-P, Afzal R, Chrolavicius S, Mehta SR, et al. The role of
fondaparinux as an adjunct to thrombolytic therapy in acute myocardial infarction:
a subgroup analysis of the OASIS-6 trial. Eur Heart J. 2008;29(3):324-31.
49. Lee KL, Woodlief LH, Topol EJ, Weaver WD, Betriu A, Col J, et al. Predictors of 30-
day mortality in the era of reperfusion for acute myocardial infarction: results from
an international trial of 41 021 patients. Circulation. 1995;91(6):1659-68.
50. Alexander JH, Lopes RD, James S, Kilaru R, He Y, Mohan P, et al. Apixaban with
antiplatelet therapy after acute coronary syndrome. N Engl J Med. 2011;365(8):699-
708.
51. Mega JL, Braunwald E, Wiviott SD, Bassand J-P, Bhatt DL, Bode C, et al. Rivaroxaban
in patients with a recent acute coronary syndrome. N Engl J Med. 2012;366(1):9-
19.
52. Oldgren J, Budaj A, Granger CB, Khder Y, Roberts J, Siegbahn A, et al. Dabigatran vs.
placebo in patients with acute coronary syndromes on dual antiplatelet therapy: a
randomized, double-blind, phase II trial. Eur Heart J. 2011;32(22):2781-9.
53. Steg PG, Mehta SR, Pollack CV, Bode C, Cohen M, French WJ, et al. Anticoagulation
with otamixaban and ischemic events in non–ST-segment elevation acute coronary
syndromes: the TAO randomized clinical trial. JAMA. 2013;310(11):1145-55.
Pendahuluan
Malnutrisi dalam segala bentuknya adalah kekurangan gizi (wasting,
stunting, under weight), vitamin atau meniral yang tidak mencukupi,
kelebihan berat badan, obesitas dan penyakit penyakit yang tidak menular
yang berhubugan dengan diet. WHO (2014) memperkirakan sekitar 462 juta
orang dewasa di seluruh dunia kekurangan berat badan, sementara 1,9 miliar
orang dewasa mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.
Dengan demikan status nutrisi pada pasien sakit baik rawat jalan maoun
rawat inap samngatlah penting. Pada setiap pasien evaluasi status nutrisi
(khususnya “under nutrition”) harus dilaksanakan, karena secara keseluruhan
akan berpengaruh pada perawatan pasien. Asesmen pasien haruslah secara
adekuat sehingga intervensi dapat dilaksanakan dengan tepat pula. Penting
untuk mengevaluasi etiologi malnutrsi tersebut, sehingga disamping dapat
dilakukan intervensi yang tepat pencegahan terjadinya “under nutrition”
ulangan.
Cara dan kapan evaluasi (praktis klinis) status nutrisi pasien dilakukan
seharusnya dengan pedoman yang tepat, memperhatikan berbagai faktor,
kondisi atau diagnosis penyakitnya.
Pada saat ini evaluasi nutrisi pasien dengan cara “konvensional” yaitu
dengan “body mass index = BMI”, mungkin secara rutin dilakukan terhadap
Tindak Lanjut
Setelah penetuan status nutrisi dari pasien – orang, maka paling penting
adalah prinsip mencegah terjadinya pengurangan masa otot atau terjadinya
malnutrisi adalah lebih baik di banding memperbaiki status nutrisi pasien.
Daftar Pustaka
1. Cenderholm T et all (2019) , GLIM criteria for the diagnosis of malnutrition – a
concencus report from the global clinical nutrition community Clin Nutr 38 : 1 – 9
2019
2. WHO (2018), Malnutrion
3. Zhu M , Wei J, Chen W et all (2017) , Nutrition risk and nutritional status at admission
chinese hospitalized patients : A prospective , nationwide and muticenter study . J
Am Coll of Nutrition 36 ; 357 – 363
Abstrak
Infeksi jamur invasif (Invasive fungal infections = IFI) mempunyai
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di unit perawatan intensif. Spesies
Candida adalah patogen jamur yang paling penting dan di antara penyebab
infeksi yang paling sering pada pasien yang sakit kritis. Studi telah mengevaluasi
korelasi antara timbulnya pengobatan antijamur dan kelangsungan hidup
tetapi diagnosis pasti IFI membutuhkan waktu lama dalam praktik klinis.
Profilaksis antijamur dan terapi preemptive atau empiris adalah beberapa
strategi terapi untuk mencegah atau mengobati infeksi jamur dini pada pasien
kritis.
Kata kunci: Infeksi Jamur Invasif, Candida spp., Terapi Antijamur, Sepsis
terkait Jamur
Pendahuluan
Infeksi jamur atau mikosis semakin dikenal sebagai penyebab morbiditas
dan mortalitas pada pasien yang rawat inap di rumah sakit terutama yang
imunokompromais. Infeksi jamur invasif (Invasive fungal infections = IFI)
adalah salah satu dari penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien
yang sakit kritis. Definisi umum IFI adalah adanya jamur di tempat tubuh yang
steril dengan tanda dan gejala infeksi. IFI juga merupakan salah satu infeksi
nosokomial yang paling umum. Spesies Candida adalah jamur paling umum
yang bertanggung jawab untuk IFI. Candida spp berada di peringkat keempat
penyebab paling umum dari infeksi aliran darah nosokomial dan patogen
terisolasi ketiga di unit perawatan intensif (ICU).
Manifestasi Klinis
Jenis IFI yang paling umum disebabkan oleh spesies Candida adalah
infeksi aliran darah dan kandidiasis intraabdominal. Kematian karena
spesies Candida tinggi di bangsal umum dan ICU, mulai dari 42% hingga
71%, tergantung pada karakteristik pasien dan kondisi klinis. Selain itu, IFI
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 123
Erwin Astha Triyono
menambah beban ekonomi yang besar, terutama karena rawat inap di ICU
berkepanjangan, mahalnya obat antijamur, dan penggunaan sumber daya
rumah sakit secara keseluruhan.
Diagnosis
Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi jamur, yaitu: 1).
Pemeriksaan mikroskopik langsung. 2). Biakan. 3). DNA probe test, dan 4).
Pemeriksaan serologi. Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan
bahan dari pemeriksaan mikroskopik adalah: 1) sphrelus pada C. immitis dan
2) kapsul Cryptococcus neoformans dengan pengecetan India ink. Pemeriksaan
dengan DNA probe mampu mendiagnosis lebih cepat. Dapat menentukan
infeksi Cocciodiodes, Histoplasma, Blastomyces, dan Cryptococcus.
Kebanyakan diagnosis definitive ditegakkan memakai berbagai pemeriksaan
yang berbeda – beda dari satu dengan daerah lain pada daerah endemic.
Untuk menegakkan diagnosis definitive dapat dilakukan biopsy, dilanjutkan
pemeriksaan histopatologi, serta biakan. Pemeriksaan serologis terutama
digunakan untuk pemeriksaan histoplasmosis dan koksidioidomikosis.
ELISA terutama untuk menentukan antigen guna membantu menentukan
keterlibatan histoplasmosis pada pasien AIDS.
Tata Laksana
Strategi antijamur yang paling umum dengan definisi masing-masing
meliputi:
1. Profilaksis, didefinisikan sebagai pemberian agen antijamur pada pasien
tanpa infeksi jamur yang diduga atau diduga infeksi, tetapi dengan faktor
risiko untuk pengembangannya;
2. Terapi empiris, didefinisikan sebagai pemberian antijamur untuk tanda
dan gejala infeksi pada pasien yang berisiko IFI;
3. Terapi preemptive, didefinisikan sebagai terapi yang dipilih berdasarkan
bukti jamur dari biomarker atau metode berbasis nonkultur, tanpa
identifikasi definitif melalui tes berbasis kultur standar (misalnya, 1-
3-beta-D-glukan, prokalsitonin, mannan dan antibodi antimannan, dan
reaksi berantai polimerase).
mutasi dan wabah genetik spesifik, seperti yang dijelaskan dalam literatur.
Akhirnya, infeksi karena spesies Candida yang resisten dikaitkan dengan hasil
yang buruk.
Kesimpulan
Menurut bukti yang tersedia dari RCT, pemberian terapi antijamur
sebelum diagnosis pasti IFI dapat menyebabkan penurunan insiden IFI, tanpa
keuntungan kelangsungan hidup pada pasien sakit kritis non-neutropenic.
Perlu mengevaluasi risiko per kasus dan manfaat dari pengobatan antijamur
setelah mempertimbangkan waktu perawatan, faktor risiko, epidemiologi
mikrobiologis lokal, biaya, biomarker yang tersedia, dan tes mikrobiologis
diagnostik di lembaga mereka. Penelitian di masa depan harus mengevaluasi
efektivitas dan penerapan strategi gabungan menggunakan beberapa metode
untuk memilih pasien dengan benar, yang mungkin mendapat manfaat dari
terapi antijamur yang tepat waktu dan memadai bagi pasien yang belum
definitif.
Daftar Pustaka
1. Alexander BD, Johnson MD, Pfeiffer CD, Jimenez-Ortigosa C, Catania J, Booker
R, et al. Increasing echinocandin resistance in Candida glabrata: clinical failure
correlates with presence of FKS mutations and elevated minimum inhibitory
concentrations. Clin Infect Dis. 2013;56(12):1724–32. doi: 10.1093/cid/cit136.
[PubMed: 23487382].
2. Arendrup MC, Perlin DS. Echinocandin resistance: an emerging clinical problem?.
Curr Opin Infect Dis. 2014;27(6):484–92. doi: 10.1097/QCO.0000000000000111.
[PubMed: 25304391].
3. Azoulay E, Dupont H, Tabah A, Lortholary O, Stahl JP, Francais A, et al. Systemic
antifungal therapy in critically ill patients with- out invasive fungal infection*. Crit
Care Med. 2012;40(3):813–22. doi: 10.1097/CCM.0b013e318236f297. [PubMed:
22297630].
4. Bassetti M, Garnacho Montero J, Calandra T, Kullberg B, Dimopoulos G, Azoulay
E, et al. Intensive care medicine research agenda on invasive fungal infection in
critically ill patients. Intensive Care Med. 2017;43(9):1225–38. doi: 10.1007/
s00134-017-4731-2. [PubMed: 28255613].
5. Clancy CJ, Nguyen MH. Finding the “missing 50%” of invasive candidiasis: how
nonculture diagnostics will improve understanding of disease spectrum and
transform patient care. Clin Infect Dis. 2013;56(9):1284–92. doi: 10.1093/cid/
cit006. [PubMed: 23315320].
6. Cornely OA, Bassetti M, Calandra T, Garbino J, Kullberg BJ, Lorthol- ary O, et al.
ESCMID* guideline for the diagnosis and management of Candida diseases 2012:
non-neutropenic adult patients. Clin Micro- biol Infect. 2012;18 Suppl 7:19–37.
doi: 10.1111/1469-0691.12039. [PubMed: 23137135].
7. Cortegiani A, Russotto V, Montalto F, Foresta G, Accurso G, Palmeri C, et al.
Procalcitonin as a marker of Candida species detection by blood culture and
polymerase chain reaction in septic patients. BMC Anesthesiol. 2014;14:9. doi:
10.1186/1471-2253-14-9. [PubMed: 24559080].
8. Cortegiani A, Russotto V, Raineri SM, Gregoretti C, De rosa FG, Giarratano A.
Untargeted Antifungal Treatment Strategies for Invasive Candidiasis in Non-
neutropenic Critically Ill Patients: Current Evidence and Insights. Curr fungal infect
rep. 2017;11(3):84–91. doi: 10.1007/s12281-017-0288-3.
9. Cortegiani A, Russotto V, Raineri SM, Gregoretti G, Giarratano A. Should we continue
to use prediction tools to identify patients at risk of Candida spp. infection? If yes,
why?. Crit Care. 2016;20(1):351. doi: 10.1186/s13054-016-1521-0. [PubMed:
27794360].
10. De Rosa FG, Corcione S, Filippini C, Raviolo S, Fossati L, Montrucchio C, et al. The
Effect on mortality of fluconazole or echinocandins treatment in candidemia in
internal medicine wards, (corrected). PLoS One. 2015;10(5):125149. doi: 10.1371/
journal.pone.0125149. [PubMed: 25938486].
11. De Rosa FG, Corcione S, Montrucchio G, Brazzi L, Di Perri G. Appropriate treatment
of invasive candidiasis in ICU, timing, colonization index, candida score and
biomarkers, towards de escalation?. Turk J Anaesthesiol Reanim. 2016;44(6):279–
82. doi: 10.5152/TJAR.2016.0011. [PubMed: 28058136]. Fernandez J, Erstad BL,
Petty W, Nix DE. Time to positive culture and identification for Candida blood
stream infections. Diagn Microbiol Infect Dis. 2009;64(4):402–7. doi: 10.1016/j.
diagmicrobio.2009.04.002. [PubMed: 19446982].
12. Kett DH, Azoulay E, Echeverria PM, Vincent JL, Extended Prevalence of Infection
in IGOI. Candida bloodstream infections in intensive care units: analysis of the
extended prevalence of infection in intensive care unit study. Crit Care Med.
2011;39(4):665–70. doi: 10.1097/CCM.0b013e318206c1ca. [PubMed: 21169817].
13. Kollef M, Micek S, Hampton N, Doherty JA, Kumar A. Septic shock attributed to
Candida infection: importance of empiric therapy and source control. Clin Infect
Dis. 2012;54(12):1739–46. doi: 10.1093/cid/cis305. [PubMed: 22423135].
14. Leroy O, Bailly S, Gangneux JP, Mira JP, Devos P, Dupont H, et al. Systemic antifungal
therapy for proven or suspected invasive candidiasis: the AmarCAND 2 study.
Ann Intensive Care. 2016;6(1):2. doi: 10.1186/s13613-015-0103-7. [PubMed:
26743881].
15. Morrell M, Fraser VJ, Kollef MH. Delaying the empiric treatment of candida
bloodstream infection until positive blood culture results are obtained: a potential
risk factor for hospital mortality. Antimi- crob Agents Chemother. 2005;49(9):3640–
5. doi: 10.1128/AAC.49.9.3640- 3645.2005. [PubMed: 16127033].
Pendahuluan
Tromboemboli Vena (Venous thromboembolism/VTE) terdiri dari
trombosis vena dalam (TVD) dan emboli paru (EP), adalah penyebab
penyakit kardiovaskular tersering ketiga setelah stroke dan myocardial
infarction (MCI). VTE merupakan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa
dan merupakan masalah mayor kesehatan masyarakat. Insiden VTE pada
populasi umum adalah sekitar 1 kasus per 1000 penduduk per tahun.1 Dari
seluruh penyakit medis akut yang memerlukan perawatan di rumah sakit,
sekitar 10%-20% akan mengalami VTE. Data autopsi menegaskan bahwa
lebih dari 10% kematian pasien-pasien dengan penyakit medis akut yang
memerlukan perawatan di rumah sakit penyebabnya adalah emboli paru.2
Estimasi angka perawatan penyakit medis akut di US dan Eropa adalah 8
juta dan 12 juta dalam setahun.3 Pasien-pasien penyakit medik akut yang
memerlukan perawatan memiliki risiko mengalami VTE sehingga klinisi
memerlukan stratifikasi untuk menilai manfaat tromboprofilaksis terhadap
VTE terhadap risiko perdarahan kepada semua pasien-pasien penyakit medik
akut yang dirawat di rumah sakit.4
Epidemiologi
Insiden VTE pada pasien rawat inap diestimasikan 100 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.5 VTE berhubungan dengan mortalitas dan
morbiditas yang signifikan. Hampir sepertiga pasien yang didiagnosis EP akan
meninggal dalam 3 bulan setelah presentasi.6 EP adalah penyebab mayor
terjadinya henti jantung.7,8
Patogenesis
Patogenesis VTE secara luas diketahui akibat adanya interaksi dari Trias
Virchow: hiperkoagulabilitas, stasis vena, dan kerusakan endotel. Mayoritas
DVT berasal dari vena distal pada tungkai bawah.9,10 Faktor jaringan (Tissue
Factor, TF) memiliki peranan penting pada hiperkoagulabilitas yang berperan
dalam inisiasi pembentukan klot vena. Endotel yang terluka tentunya
menyebabkan ekspor TF pada membran subendotel, namun, studi patologi
trombosis vena belum mengidentifikasi adanya luka pada pembuluh darah
di area terbentuknya klot.11 Peranan utama endotel dalam trombosis lebih
terkait dengan perubahan ekspresi protein antikoagulan dan rekrutmen dan
aktivasi trombosit dan leukosit.10,12 Neutrofil dan monosit dibawa ke tempat
pembentukan trombus oleh sel endotel, dimana mereka akan menyebabkan
trombosis dengan mengeluarkan TF dan perangkap neutrofil ekstraseluler
yang akan menjadi fondasi dalam inisiasi pembentukan klot.12
Jika VTE terbentuk di vena distal, VTE dapat mengalami progresi melalui
2 jalur yaitu resolusi atau ekstensi. Resolusi pada DVT distal asimptomatik
terjadi pada setengah pasien tanpa diberikan tromboprofilaksis.9 Ekstensi ke
vena tungkai bawah proksimal dapat muncul pada 25% pasien dengan DVT
distal yang tidak diterapi, dan hampir semua pasien yang menunjukkan DVT
proksimal simptomatis juga memiliki bukti adanya trombosis di distal.9 Sekitar
setengah pasien dengan DVT proksimal simptomatik memiliki bukti adanya
EP pada pemeriksaan pencitraan meskipun tidak ada gejala pulmonal. Oleh
karena itu, pasien yang didiagnosis dengan EP seringkali juga memilki DVT
di saat bersamaan.9 Data-data ini menunjukkan perlunya tromboprofilaksis
yang adekuat selama penyakit akut untuk mencegah ekstensi dari DVT distal
asimptomatik ke vena tungkai bawah profilaksis dan arteri pulmonal.
Faktor Risiko
Risiko terjadinya VTE adalah multifaktorial, terdiri dari faktor risiko
yang diwariskan dan didapat. Faktor risiko tunggal yang paling penting dan
tidak dapat di modifikasi untuk terjadinya VTE adalah meningkatnya usia.
VTE jarang terjadi sampai usia 45 tahun. Risiko VTE meningkat lebih dari
20 kali lipat pada usia 45 sampai 85 tahun.13 Faktor risiko penting lainnya
yang dapat dimodifikasi adalah obesitas. Pasien dengan indeks massa tubuh
(IMT) > 30kg/m2 memiliki risiko 2 sampai 3 kali lebih tinggi untuk terjadi
VTE dibandingkan pasien dengan berat badan normal.14,15 Diantara semua
pasien yang dirawat inap, pasien medik dan bedah memiliki risiko yang
sama terjadinya VTE, namun, prosedur operasi seperti operasi ortopedi,
bedah saraf, dan operasi pelvis memiliki insiden VTE tinggi. (3) Keganasan
juga merupakan faktor risiko signifikan untuk VTE baik yang diakibatkan
oleh tumor itu sendiri ataupun pengobatan kanker.16 Pasien kanker dengan
VTE memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandinkan yang tidak memiliki
VTE.16,17 Faktor risiko VTE lainnya adalah imobilisasi lama, perjalanan lebih
dari 4 jam, kehamilan, dan pemakaian kotrasepsi oral.18 Model penilaian
risiko (Risk Assessment Model atau RAM) tersedia untuk membantu dalam
memprediksi risiko VTE pada pasien yang dirawat inap.19, 20
Apabila pasien memiliki skor PADUA atau skor IMPROVE risiko tinggi
VTE dan memiliki skor risiko perdarahan rendah, maka pasien diberikan
profilaksis untuk VTE. Terdapat dua jenis profilaksis VTE, yaitu profilaksis
farmakologik (Tabel 4) dan profilaksis mekanik (non-farmakologik) (Tabel
5).
Profilaksis VTE
DVT dan EP merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi pada
pasien medik akut yang mengalami perawatan di rumah sakit. Profilaksis
VTE terdiri atas profilaksis farmakologik dan mekanik. Ada tiga studI
randomized controlled trial (RCT) yang mengikutsertakan pasien di ruang
rawat intensif, didapatkan insiden DVT secara signifikan lebih rendah pada
kelompok pasien yang mendpaatkan tromboprofilaksis tanpa memandang
jenis tromboprofilaksis yang diberikan.26,27,28
Tabel 4. Obat Profilaksis VTE pada Pasien yang Dirawat di Rumah Sakit
Karakteristik Dosis profilaksis
Obat-obatan
UFH 5.000 unit sc 2-3 kali/hari; pasien penyakit kritis 2 kali/hari
LMWH Enoxaparin 40 mg sc per hari atau Fondaparinux 2.5 mg sc perhari
CrCL < 30mL/min Heparin 5.000 IU sc setiap 8 jam atau 12 jam
Enoxaparin 30 mg sc/24 jam
Obesitas, IMT >40 kg/m2 Enoxaparin 40 mg sc/12 jam
Berat badan rendah <50 kg Heparin 5.000 IU sc setiap 8 atau 12 jam
Enoxaparin 30 mg sc/24 jam
Keterangan: CrCl = creatinine clearance; LMWH = low molecular weight heparin; IMT = indeks massa
tubuh; UFH = unfractionated heparin
b. Profilaksis Mekanik
Profilaksis mekanik digunakan bagi pasien-pasien yang mempunyai
kontraindikasi untuk pemberian antikoagulan seperti perdarahan aktif
dan trombositopenia berat. Pilihan berupa terapi kompresi: verban
elastis, graduated compression stockings (GCS), intermittent pneumatic
compression (IPC).29
Rekomendasi Profilaksis
Tabel 5. Profilaksis VTE pada Pasien Penyakit Medis yang Dirawat di Rumah Sakit30,31
Karakteristik Rekomendasi
Pasien penyakit medis akut
· Gagal jantung kongestif atau penyakit 1. LMWH (1A), atau
respirasi berat 2. LD UFH (1A), atau
· Terbatas di tempat tidur, ada ≥1 faktor risiko: 3. Fondaparinux (1A)
- Kanker aktif
- Riwayat VTE
- Sepsis
- Penyakit neurologi akut
- Inflammatory bowel disease
Faktor risiko VTE (+) dan ada kontraindikasi Tromboprofilaksis mekanik dengan GCS atau
antikoagulan IPD (1A)*
Risiko trombosis rendah Tanpa tromboprofilaksis (1B)
Perdarahan (+) atau risiko perdarahan tinggi Tanpa tromboprofilaksis farmakologik (1B)
Risiko trombosis tinggi dengan perdarahan 1. Tromboprofilaksis mekanik dengan GCS (1A)
atau risiko perdarahan tinggi 2. IPC (2C)
3. Tromboprofilaksis farmakologik (ketika risiko
perdarahan turun dan ketika risiko VTE masih
ada (2B)
Karakteristik Rekomendasi
· Pasien yang dirawat di CCU Menilai risiko VTE dan sebagian besar rutin
menggunakan tromboprofilaksis (1A)
· Risiko moderat VTE (contohnya penyakit LMWH atau UFH dosis rendah (1A)
medis atau post operasi bedah umum)
· Risiko tinggi perdarahan Tromboprofilaksis mekanik (GCS ±IPC) sampai
risiko perdarahan turun (1A)
· Ketika risiko tinggi perdarahan turun Tromboprofilaksis farmakologi
Imobilisasi Kronik
· Pasien stroke akut dengan mobilitas yang Heparin subkutan dosis rendah atau LMWH
terbatas (1A)
· Kontraindikasi antikoagulan (+) IPC atau stocking elastis (1B)
Keterangan: *untuk pasien yang menggunakan metode tromboprofilaksis mekanik, harus diedukasi untuk
memastikan penggunaan yang tepat, dan kepatuhan yang optimal terhadap metode ini (1A). LD UFH = low
dose unfractionated heparin; LMWH = low molecular weight heparin; CCU = cardiac care unit; GCS = graduated
compression shocking; IPC = intermittent pneumatic compression.
Kesimpulan
Pasien dengan penyakit medik akut yang dirawat di rumah sakit memiliki
faktor risiko multipel untuk berkembangnya VTE, dan profilaksis farmakologi
direkomendasikan untuk semua pasien yang tidak memiliki kontraindikasi.
Daftar Pustaka
1. Schuneman HJ, Cushman M, Burnett AE, et al. American society of hematology
2018 guidelines for management of venous thromboembolism: prophylaxis for
hospitalized and non-hospitalized medical patients. Blood 2018;2(22):3198-3225.
2. Dobromirski M, Cohen AT. How I manage venous thromboembolism risk in
hospitalized medical patients. Blood 2012;120(8):1562-1569.
3. Spyropoulos AC, Raskob GE. New paradigms in venous thromboprophylaxis of
medically ill patients. Thromb Haemost 2017;117:1-9.
4. Leizorovics A. Mismetti P. Preventing venous thromboembolism in medical
patients. Circulation 2004;110(supll IV):IV-13-IV-19.
5. Heit JA, Melton LJ III, Lohse CM, et al. Incidence of venous thromboembolism in
hospitalized patients vs community residents. Mayo Clin Proc. 2001;76(11):1102-
1110.
6. Heit JA, Silverstein MD, Mohr DN, Petterson TM, O’Fallon WM, Melton LJ III.
Predictors of survival after deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a
population-based, cohort study. Arch Intern Med. 1999;159(5):445-453.
7. Comess KA, DeRook FA, Russell ML, Tognazzi-Evans TA, Beach KW. The incidence
of pulmonary embolism in unexplained sudden cardiac arrest with pulseless
electrical activity. Am J Med. 2000;109(5):351-356.
8. Alikhan R, Peters F, Wilmott R, Cohen AT. Fatal pulmonary embolism in hospitalised
patients: a necropsy review. J Clin Pathol. 2004;57(12):1254-1257.
9. Kearon C. Natural history of venous thromboembolism. Circulation. 2003;107(23
suppl 1):I22-I30.
10. Esmon CT. Basic mechanisms and pathogenesis of venous thrombosis. Blood Rev.
2009;23(5):225-229.
11. Sevitt S. The structure and growth of valve-pocket thrombi in femoral veins. J Clin
Pathol. 1974;27(7):517-528.
12. Engelmann B, Massberg S. Thrombosis as an intravascular effector of innate
immunity. Nat Rev Immunol. 2013;13(1):34-45.
13. Silverstein MD, Heit JA, Mohr DN, Petterson TM, O’Fallon WM, Melton LJ III. Trends
in the incidence of deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a 25-year
population-based study. Arch Intern Med. 1998;158(6):585-593.
14. Tsai AW, Cushman M, Rosamond WD, Heckbert SR, Polak JF, Folsom AR.
Cardiovascular risk factors and venous thromboem- bolism incidence: the
longitudinal investigation of thromboembolism etiology. Arch Intern Med.
2002;162(10):1182-1189.
15. Surgeon General’s Call to Action Prevent Deep Vein Thrombosis and Pulmonary
Embolism 2008. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK44178/. Accessed
August 28, 2019.
16. Levitan N, Dowlati A, Remick SC, et al. Rates of initial and recurrent thromboembolic
disease among patients with malig- nancy versus those without malignancy. Risk
analysis using Med- icare claims data. Medicine. 1999;78(5):285-291.
17. Chew HK, Wun T, Harvey D, Zhou H, White RH. Incidence of venous thromboembolism
and its effect on survival among patients with common cancers. Arch Intern Med.
2006;166(4): 458-464.
18. Cushman M. Epidemiology and risk factors for venous thrombo- sis. Semin Hematol.
2007;44(2):62-69.
19. Barbar S, Noventa F, Rossetto V, et al. A risk assessment model for the identification
of hospitalized medical patients at risk for venous thromboembolism: the Padua
Prediction Score. J Thromb Haemost. 2010;8(11):2450-2457.
20. Obi AT, Pannucci CJ, Nackashi A, et al. Validation of the caprini venous
thromboembolism risk assessment model in critically ill surgical patients. JAMA
Surg. 2015;150(10):941-948.
21. Barbar S, Noventa F, Rossetto V, Ferrari A, Brandolin B, Perlati M, De Bon E,
Tormene D, Pagnan A, Prandoni P. A risk assessment model for the identification
of hospitalized medical patients at risk for venous thromboembolism: the Padua
Prediction Score. Journal of Thrombosis and Haemostasis. 2010 Nov;8(11):2450-7.
22. Mahan CE, Liu Y, Turpie AG, Vu JT, Heddle N, Cook RJ, Dairkee U, Spyropoulos AC.
External validation of a risk assessment model for venous thromboembolism in
the hospitalised acutely-ill medical patient (VTE-VALOURR). Thrombosis and
haemostasis. 2014;112(10):692-9.
23. Rosenberg D, Eichorn A, Alarcon M, Mc Cullagh L, Mc Ginn T, Spyropoulos AC.
External validation of the risk assessment model of the International Medical
Prevention Registry on Venous Thromboembolism (IMPROVE) for medical
patients in a tertiary health system. Journal of the American Heart Association.
2014 Nov 17;3(6):e001152.
24. Spyropoulos AC, Anderson Jr FA, FitzGerald G, Decousus H, Pini M, Chong BH, Zotz
RB, Bergmann JF, Tapson V, Froehlich JB, Monreal M. Predictive and associative
models to identify hospitalized medical patients at risk for VTE. Chest. 2011 Sep
1;140(3):706-14.
25. Hostler DC, Marx ES, Moores LK, Petteys SK, Hostler JM, Mitchell JD, Holley PR,
Collen JF, Foster BE, Holley AB. Validation of the International Medical Prevention
Registry on venous thromboembolism bleeding risk score. Chest. 2016 Feb
1;149(2):372-9.
26. Cade JF. High risk of the critically ill for venous thromboembolism. Critical care
medicine. 1982 Jul;10(7):448-50.
27. Minet C, Potton L, Bonadona A, Hamidfar-Roy R, Somohano CA, Lugosi M, Cartier
JC, Ferretti G, Schwebel C, Timsit JF. Venous thromboembolism in the ICU:
main characteristics, diagnosis and thromboprophylaxis. Critical Care. 2015
Dec;19(1):287.
28. Fraisse F, Holzapfel L, Couland Jm, Simonneau G, Bedock B, Feissel M, Herbecq
P, Pordes R, Poussel Jf, Roux L, Association of Non-University Affiliated Intensive
Care Specialist Physicians of France. Nadroparin in the prevention of deep vein
thrombosis in acute decompensated COPD. American journal of respiratory and
critical care medicine. 2000 Apr 1;161(4):1109-14.
29. Geerts WH, Heit JA, Clagett GP, Pineo GF, Colwell CW, Anderson FA, Wheeler HB.
Prevention of venous thromboembolism. Chest. 2001 Jan 1;119(1):132S-75S.
30. PROTECT Investigators for the Canadian Critical Care Trials Group and the
Australian and New Zealand Intensive Care Society Clinical Trials Group. Dalteparin
versus unfractionated heparin in critically ill patients. New England Journal of
Medicine. 2011 Apr 7;364(14):1305-14.
31. Cook D. PROTECT investigators for the Canadian critical care trials group and
the Australian and New Zealand Intensive Care Society Clinical Trials Group.
Dalteparin versus unfractionated heparin in critically ill patients. N Engl J Med.
2011;364:1305-14.
Pendahuluan
Tromboemboli vena merupakan masalah diseluruh dunia, walaupun
dibeberapa Negara tertentu jarang ditemukan terutama di Asia. Angka
kejadian setiap tahun dari tromboemboli vena sekitar 1 atau 2 kasus per
1000 orang dalam populasi. Emboli paru merupakan komplikasi serius dan
sangat menakutkan. Lebih dari 40%-50% penderita dengan trombosis vena
dalam asimptomatik akan mengalami komplikasi Silent emboli paru, dan
1% -8% penderita dengan emboli paru akan meninggal akibat komplikasi
ini. Mortalitas pada emboli paru yang tidak diobati kurang lebih 30%, tetapi
dengan pengobatan antikoagulan yang adekuat dapat diturunkan hingga
2-8%. Namun demikian banyak kasus yang tidak terdeteksi dan tidak terobati
sehingga menyebabkan komplikasi yang serius.
Sejak lebih dari 150 tahun yang lalu, R.Virchow sudah mengidentifikasi
tiga faktor utama untuk terjadinya trombosis yaitu: (1) gangguan aliran darah
(disebabkan oleh karena Polisitimia Vera dan Sindroma Hiperviskositas),
(2) kelainan dinding pembuluh darah (aterosklerosis), dan (3) kelainan
protein darah (kekurangan AT3, kekurangan protein C, kekurangan protein
S). Konsep ini telah berkembang dengan adanya pemahaman modern dari
fungsi endotel, karekteristik aliran, dan konstituen darah termasuk faktor
hemoreologi, faktor pembekuan, dan fisiologi trombosit. Terbentuknya
thrombus vena maupun arteri mencerminkan ketidak-seimbangan antara
faktor yang terdapat pada trias Virchow.
fatal tersebut, yaitu dengan pemberian antikoagulan yang efektif dan mudah
(secara oral).
Fase Inisiasi
Pada fase inisiasi koagulasi, sel endotel diaktifkan, mengakibatkan
ekspresi TF pada permukaan sel. TF merupakan reseptor untuk faktor VII,
membentuk kompleks TF-FVIIa. Kompleks TF-FVIIa mengaktifkan faktor X
maupun faktor IX dalam kondisi tidak adanya kofaktor dan mengawali fase
amplifikasi dari kaskade koagulasi dengan cara mengaktifkan faktor X menjadi
faktor Xa, dan faktor IX menjadi IXa, pada permukaan trombosit. Faktor Xa,
bersama faktor V (yang diaktifkan menjadi faktor Va), menyebabkan katalisasi
pembentukan sejumlah kecil trombin dari prekursornya (protrombin).
Fase Amplifikasi
Jalur inisiasi segera di non-aktifkan oleh TFPI (Tissue factor pathway
Inhibitor) yang membentuk kompleks terdiri atas VIIa, TF, Xa dan TFPI.
Pembentukan trombin sekarang tergantung dari jalur intrinsik. Faktor IXa yang
terikat pada membran trombosit membentuk kompleks dengan kofaktornya
faktor VIIIa dan kalsium. Kompleks ini merupakan aktivator utama untuk
faktor X, dan mempunyai sifat 50 kali lebih aktif dibanding kompleks faktor
TF-VIIa. Lebih dari 90% dari faktor Xa pada kaskade koagulasi diproduksi
oleh kompleks tenase intrinsik.
Fase Propagasi
Trombin mengawali fase propagasi dari beberapa reaksi balik (feedback)
positif yang menghasilkan generasi trombin dalam jumlah jauh lebih besar.
Salah satu dari reaksi balik yang penting dari trombin adalah pengaktifan
faktor XI menjadi XIa. Faktor XIa terikat pada GpIb trombosit dan mengaktifkan
faktor IX. Faktor IX aktif bersama faktor VIII sebagai kofaktor mengaktifkan
faktor X. Faktor Xa, yang bersama dengan kofaktornya faktor Va dan kalsium
(kompleks protrombinase), mengubah protrombin yang telah terikat pada
GpIIb/IIIa trombosit menjadi trombin. Ledakan pembentukan trombin lebih
lanjut mengubah sejumlah besar fibrinogen menjadi fibrin (lampiran gb.2)
Dari model koagulasi tersebut diatas menunjukkan dengan jelas bahwa
peran faktor Xa sangat strategis. Obat antikoagulan dengan target langsung
faktor Xa sangat efisien karena mencegah pembentukan fibrin, mencegah
reaksi balik (pengaktifan faktor V, VIII dan XI) yang mengakibatkan
terbentuknya ledakan trombin.
Antikoagulan
Heparin: Antikoagulan golongan heparin yang banyak dipakai saat in
adalah Unfractioned heparin (UFH), low molecular weight heparin (LMWH),
dan pentasacharide (Fondaparinux), serta obat oral antagonis vitamin K
(warfarin).
Mekanisme kerja:
UFH terdiri atas glikos-aminoglikan atau polisakarida yang mempunyai
berat molekul rata-rata 15.000 dalton (berkisar antara 5.000-30.000).
Sepertiga molekul UFH berisi kompleks pentasakarida yang mempunyai
afinitas tinggi terhadap antitrombin. Heparin tidak mempunyai efek langsung
sebagai antikoagulan, tetapi bekerja melalui peran antitrombin III (ATIII),
suatu inhibitor protease serin dalam plasma. AT III menghambat trombin
(faktor IIa), faktor Xa dan IXa dalam reaksi yang relatif lambat., tetapi
ditingkatkan menjadi 1.000 kali lipat dengan adanya heparin. Penetralan
trombin oleh UFH memerlukan pembentukan kompleks yang terdiri atas AT
III, UFH dan trombin.
LMWH berasal dari depolarisasi secara ensimatik maupun kimia dari UFH, sehi
terbentuk
LMWH berasalyang
fragment darilebih
depolarisasi secara
kecil dengan beratensimatik maupun
molekul antara kimia dari
4.000-8.000 dalton. Setiap
UFH, sehingga terbentuk fragment yang lebih kecil dengan
LMWH diproduksi dari UFH dengan proses yang berbeda sehingga menghasilkan berat molekul perbe
berat molekul
antara dan potensi
4.000-8.000 untuk
dalton. menetralkan
Setiap jenis LMWH faktordiproduksi
IIa dan Xa.dari UFH dengan
Kurang yang
proses dari 50% komposisi
berbeda LMWH
sehingga berisi rantai perbedaan
menghasilkan sakarida lebih darimolekul
berat 18 unit, yang
dan mengakiba
kurangnya kemampuan menghambat trombin, sebab tidak dapat membentuk kompleks
potensi untuk menetralkan faktor IIa dan Xa.
terdiri dari 3 komponen seperti pada UFH.
UFH mempunyai potensi yang seimbang untuk menetralkan faktor Xa dan IIa (ratio
faktor
Kurang
Xa:IIadari
1:1),50% komposisi
sedangkan LMWH LMWHlebihberisi rantai
banyak sakarida faktor
menghambat lebih dari 18 faktor X
Xa. (ratio
adalahyang
unit, 2:1 hingga 4:1), yangkurangnya
mengakibatkan menyebabkan kurang berefek
kemampuan terhadap testrombin,
menghambat koagulasi seperti aP
Selaintidak
sebab itu LMWH mempunyaikompleks
dapat membentuk efek yang yangkurang
terdiri(lebih
dari 3keil) terhadap
komponen penekanan agre
seperti
trombosit sehingga kurang menyebabkan perdarahan maupun trombositopenia.
pada UFH.
Farmakokinetik dan farmakodinamik
UFH UFH mempunyaipotensi
mempunyai respon yang
antikoagulan
seimbang yang tidak menetralkan
untuk bisa diprediksi, mempunyai va
faktor
dalam bioavaibilitas serta korelasi antara dosis dan respon
Xa dan IIa (ratio anti faktor Xa:IIa 1:1), sedangkan LMWH lebih banyak yang tidak dapat diramalkan. Se
pemberian injeksi, UFH terikat pada sel endotel dan makrofag
menghambat faktor Xa. (ratio faktor Xa:IIa adalah 2:1 hingga 4:1), yang yang mengakibatkan bers
cepat dari sebagian dosis maupun penurunan aktifitas antikoagulan. Rute eliminasi adalah h
menyebabkan kurang
dan ginjal. Faktor berefek
lain yang terhadap adalah
mempengaruhi tes koagulasi seperti aPTT.
ukuran besarnya Selain
molekul, fraksi molekul l
itu LMWH mempunyai efek yang kurang (lebih keil) terhadap penekanan
kecil akan dibersihkan lebih lambat. UFH juga terikat pada protein plasma, termasuk bebe
reaktan fase
agregasi akut (misal
trombosit sehingga glikoprotein kaya histidin, perdarahan
kurang menyebabkan faktor V.Willebrand,
maupun fibrinone
vitronectin),
trombositopenia.yang berfungsi menghambat UFH untuk dapat berinteraksi dengan anti trom
Adanya variabilitas dari respon antikoagulan akan mengakibatkan kesulitan mencapai
koagulasi terapeutik, sehingga monitoring dengan tes aPTT perlu dilakukan pada pembe
Farmakokinetik
dosis terapi. UFHdan farmakodinamik
maupun LMWH tidak dapat menghambat trombin yang terikat fibrin, ber
dengan
UFH antikoagulan
mempunyai generasi
responlebihantikoagulan
baru. yang tidak bisa diprediksi,
UFH dapat diberikan IV atau SC. Pada pemberian
mempunyai variasi dalam bioavaibilitas serta korelasi antara sc, dosis
respondan
biasanya
responlambat 1-2
oleh karena itu perlu pemberian IV bolus apabila diinginkan efek segera. Pemberian
yang tidak akan
intermitten dapatlebih
diramalkan. Setelah
sering disertai pemberian
komplikasi injeksi,oleh
perdarahan, UFHkarena
terikat
itu pada
dipilih pemberia
sel endotel dan makrofag yang mengakibatkan bersihan cepat dari sebagian
kontinyu.
LMWH mempunyai
dosis maupun penurunan keunggulan dibanding UFH
aktifitas antikoagulan. Rute dalam hal bioavaibilitas
eliminasi adalah yang l
superior, waktu paruh lebih panjang (ekskresi lewat ginjal),
hepar dan ginjal. Faktor lain yang mempengaruhi adalah ukuran besarnya respon antikoagulan bisa l
dipredeksi. Ikatan LMWH terhadap sel endotel, makrofag dan protein plasma lebih sedikit
molekul, fraksi molekul lebih kecil akan dibersihkan lebih lambat. UFH juga
terikat pada protein plasma, termasuk beberapa reaktan fase akut (misal
glikoprotein kaya histidin, faktor V.Willebrand, fibrinonectin, vitronectin),
yang berfungsi menghambat UFH untuk dapat berinteraksi dengan anti
trombin. Adanya variabilitas dari respon antikoagulan akan mengakibatkan
kesulitan mencapai anti koagulasi terapeutik, sehingga monitoring dengan tes
aPTT perlu dilakukan pada pemberian dosis terapi. UFH maupun LMWH tidak
dapat menghambat trombin yang terikat fibrin, berbeda dengan antikoagulan
generasi lebih baru.
UFH dapat diberikan IV atau SC. Pada pemberian sc, respon biasanya
lambat 1-2 jam, oleh karena itu perlu pemberian IV bolus apabila diinginkan
efek segera. Pemberian IV intermitten akan lebih sering disertai komplikasi
perdarahan, oleh karena itu dipilih pemberian IV kontinyu.
Warfarin
Warfarin mempunyaui aktifitas farmakologik mengganggu produksi
faktor pembekuan yang tergantung vitamin K di hati, terutama faktor II, VII,
IX dan X. Awal efek farmakokinitik ditandai dengan perpanjangan waktu
protrombin dan nilai INR (International Normalized Ratio) yang terlihat
dalam waktu 36 jam setelah pemberian dosis awal warfarin. Perpanjangan ini
mencerminkan hambatan terhadap faktor VII, suatu faktor pembekuan yang
tergantung vitamin K, yang mempunyai waktu paruh paling pendek. Warfarin
juga menghambat aktifitas protein antikoagulan yang tergantung vit K, yakni
protein C dan protein S. Kadar protein C dan S aktif menurun dalam waktu
24-48 jam setelah pemberian awal warfarin. Penurunan kadar protein C dan
S sebelum efek antikoagulan penuh tercapai, dapat mengakibatkan kondisi
hiperkoagulabilitas yang potensial dan mempunyai resiko terbentuknya
thrombus atau efek samping lain seperti warfarin-induced skin necrosis.
Oleh karenanya, UFH atau LMWH biasanya diberikan lima hari pertama dari
Tabel 1. Efek biologi dan farmakokinetik dari Heparin (unfractioned), LMWH dan
pentasaccharide
Karakteristik UFH LMWH Pentasaccharide
Anti Xa-IIa 1:1 2.1: 4.1 Anti Xa saja
Bioavaibilitas s.c 30% mendekati 100% mendekati 100%
Waktu paruh 90 menit 3-4 jam 13-21 jam
Eliminasi ginjal hepar ginjal ginjal
HIT 3% 1% tidak terjadi
UFH,unfractionated heparin; LMWH, low molecular weight heparin; HIT, heparin induced thrombocytopenia
(Heit JA.Arch Intern Med 2002;162:1806-8).
Rivaroxaban digunakan terutama untuk pencegahan tromboemboli vena.
Selain itu rivaroxaban sedang diteliti untuk berbagai indikasi, antara lain:
1).pengobatan dan pencegahan sekunder tromboemboli vena, 2) pencegahan
stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium, 3).pencegahan tromboemboli
vena pasien rawat inap karena penyakit medik akut, 4).pencegahan sekunder
kasus kardiovaskuler mayor pada pasien sindroma korener akut.
[7.1%]; perbandingan resiko, 0.18; 95% CI, 0.09 untuk 0.39; P<0.001). Hanya
empat pasien dari kelompok rivaroxaban mempunyai pendarahan non fatal
(0.7%) vs kelompok placebo (p= 0.11) (7).
Prinsip Pengobatan
Pada VTE akut, terapi inisial dengan LMWH atau UFH diberikan selama
5 hari. Dosis inisial UFH yang diberikan adalah 5000U dilanjutkan 25.000-
40.000 U iv kontinu selama 24 jam, dengan monitor nilai PTT 1.5-2 kali
diatas batas normal. Pada LMWH dosis yang diberikan 100U/kg sc/ dua
kali sehari, dan tidak diperlukan monitor PTT. LMWH sebagai terapi jangka
panjang diberikan dalam 3-6 bulan pertama. Resiko perdarahan pada periode
inisial pemberian UFH atau LMWH adalah kurang dari 5 %. Namun insiden
perdarahan sesungguhnya pada penderita keganasan dengan pemberian UFH
atau LMWH masih belum jelas.
Guideline ASH
Cushman adalah salah satu dari enam pembicara yang meninjau enam
bab pedoman, membahas profilaksis VTE untuk pasien, diagnosis, manajemen
Ringkasan
Tujuan pengobatan pada kasus tromboemboli vena lebih diutamakan
untuk mencegah terjadinya emboli paru yang bersifat fatal tersebut, yaitu
dengan pemberian antikoagulan yang efektif.
Daftar Pustaka
1. Ashariati A. The Used of Rivaroxaban in Clinical Practice. Naskah Lengkap Surabaya
HomUpdate X, 8-10 Juni 2012, hal.61-70.
2. Bergqvist D, Agnelli G, Cohen AT et al. Duration of prophylaxis against venous
thromboembolism with enoxaparin after surgery for cancer. N Engl J Med 2002;
346: 975-80.
3. Duoketis JD. Treatment of deep vein thrombosis. What factors determine
appropriate treatment? Can Fam Physician. 2005; 51: 217-223.
4. The EINSTEIN Investigators. Oral Rivaroxaban for Symptomatic Venous
Thromboembolism. N Engl J Med 2010;363:2499-510.
5. Eriksson BI, Borris LC, Friedman RJ, et al. Rivaroxaban versus Enoxaparin for
thromboprophylaxis after hip arthroplasty. N Engl J Med 2008; 358: 2765-75.
6. Lassen MR, Ageno W, Borris LC et al. Rivaroxaban versus Enoxaparin for
thromboprophylaxis after total knee arthroplasty. N Engl J Med 2008; 358: 2776-
86.
XIIa
XI
XIa
Tissue factor system
(-) IX
TFPI TF-VIIa
IXa + VIII
VIIIa
X Xa + V
Va
Prothrombin Thrombin AT
(-)
Fibrinogen Fibrin
Gambar 2: Model of the hypothetical coagulation cascade
Gambar 2. Model of the hypothetical coagulation cascade
PK, prekallikrein; HK, high molecular weight kininogen; AT, antithrombin
Van Gorp ECM,Suharti Cet al. Infectious diseases and coagulation disorders.JID1999;180:176-86
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sulit mulai dalam hal diagnostik,
pengobatan dan kepatuhan pasien untuk berobat. Hal ini dikaitkan dengan
berbagai pendapat dan pandangan dalam hal penegakan diagnostik TB itu
sendiri. Penegakan diagnostik menjadi masalah yang cukup besar pada
TB sensitif dibandingkan TB resistan. Diagnostik TB resistan mempunyai
panduan yang lebih ketat dan jelas baku pada semua pusat pengobatan TB
resistan. Pengendalian dan pengawasan diagnostik TB resistan lebih mudah
diawasi karena diagnostik dilakukan di pusat pengobatan yang biasanya
sudah terlatih. Perkembangan TB resistan cukup pesat dalam hal diagnostik
dan pengobatan.
Pemeriksaan lain yang tersedia adalah tes PPD 2TU dan IGRA.
Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk diagnostic TB aktif serta tidak
dapat membedakan antara TB sensitif dengan TB Resistan. Pemeriksaan ini
dipakai untuk diagnostik penyakit laten TB.
dipakai untuk tujuan diagnostik awal dan tidak dapat digunakan untuk
memantau respons terhadap pengobatan.
Resistensi terhadap rifampisin dapat dideteksi oleh Xpert MTB/ RIF atau
MTBDRplus. Resistensi terhadap isoniazid dapat dideteksi oleh MTBDRplus,
dan resistansi terhadap fluoroquinolon dan aminoglikosida dapat dideteksi
oleh MTBDRsl. WHO menyetujui uji Xpert MTB/ RIF dan uji line-probe
MTBDRplus untuk diagnosis TB paru dan ekstra paru pada tahun 2011.
Pada 2017, WHO merekomendasikan penggunaan Xpert Ultra (jika tersedia)
sebagai pengganti Xpert.
TERDUGA TB
Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada Pasien dengan riwayat pengobatan TB,
riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien pasien dengan riwayat kontak erat
dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya dengan pasien TB RO, pasien dengan
HIV (+)
Pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis dengan
mikroskop atau tes cepat molekuler
(TCM)
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis maupun klinis adalah pemeriksaan HIV
dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll.
Alur Diagnosis TB terbaru di Indonesia berdasarkan Permenkes no. 67 tahun 2016
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
1. TB CARE I. International standards for tuberculosis care, Edition 3. TB CARE I, The
1. TB CARE I. International standards for tuberculosis care, Edition 3. TB CARE I, The
Hague, 2014.
Hague, 2014.
2. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
2. Penyehatan Kesehatan
Kementerian Lingkungan. RI.Petunjuk teknisJenderal
Direktorat manajemen terpadu pengendalian
Pengendalian Penyakit dan
tuberkulosisLingkungan.
Penyehatan resistan obat. Jakarta:
PetunjukKementerian
teknis Kesehatan
manajemen RI. 2013.
terpadu pengendalian
3. World Health
tuberkulosis Organization.
resistan Companion
obat. Jakarta: handbookKesehatan
Kementerian to the WHO RI.guidelines
2013. for the
programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Geneva: WHO Document
Production Services, 2014.
4. Curry International Tuberculosis Center and California Department of Public Health,
2016:Ilmiah
Pertemuan Drug-Resistant Tuberculosis:
Nasional XVII A Survival
PAPDI - Surabaya 2019 Guide for Clinicians, Third Edition. 159
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan no 67 tahun
2016.
Prayudi Santoso
Abstrak
Sebelum mulai terapi perlu dilakukan evaluasi awal dan skrining
preterapi yang disesuaikan kondisi pasien. Pasien TB yang diketahui resistan
isoniazid tetapi sensitif rifampisin, disebut Tuberkulosis Resistan Isoniazid
(HrTB), diberikan terapi dengan rejimen rifampisin, etambutol, pirazinamid
dan levofloxacin dengan atau tanpa penambahan isoniazid selama 6 bulan.
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis. Secara umum menyerang paru tetapi bisa juga
organ eksta paru. Transmisi TB terjadi bila seorang sakit TB paru memproduksi
percik renik (airbone) ke udara. Percik renik tersebut bisa diproduksi saat
batuk, bersin, berbicara atau menyanyi. Kemudian terhirup oleh orang sehat.
Secara keseluruhan, proporsi TB relatif kecil 5-15% dari perkiraan 2-3 miliar
orang yang terinfeksi TB berkembang menjadi TB aktif. Tetapi probabilitas
menjadi TB aktif meningkat pada populasi HIV. Pada tahun 2020 diharapkan
terjadi penurunan jumlah kematian akibat TB sebesar 35% dan penurunan
angka insidensi TB sebesar 20% dibanding tahun 2015 (WHO, 2016).
(WHO, 2014)
Penyakit HrTB ekstra paru. Tidak ada data mengenai komposisi rejimen
HrTB ekstra paru. Pengobatan HrTB ekstra paru dirancang berdasar
konsultasi dengan dokter spesialis terkait yaitu komposisi rejimen, durasi
OAT dan perawatan suportif sesuai kebutuhan pasien.
Pertimbangan Implementasi
Rejimen (H)REZ-Lfx direkomendasikan pada pasien yang terkonfirmasi
resisten isoniazid dan tidak terbukti resisten rifampisin, dan dapat diterapkan
pada kondisi:
- HrTB terkonfirmasi sebelum terapi OAT diberikan. Rejimen (H)REZ-
Lfx segera diberikan jika kecenderungan diagnosis sangat mendukung
(misal, kontak erat pasien terkonfirmasi HrTB) tetapi hasil kultur belum
jadi atau tersedia. Jika hasil uji kepekaan lini (DST) menunjukkan hasil
sensitif isoniazid maka Lfx harus dihentikan dan dilanjutkan dengan
rejimen 2HREZ/ 4HR.
- HrTB terkonfirmasi setelah terapi menggunakan rejimen 2HREZ/4HR.
Kondisi ini termasuk pasien HrTB yang tidak terdiagnosis saat terapi
OAT lini 1 diberikan atau pasien yang berkembang menjadi resisten
dapat setelah menggunakan OAT lini 1. Pada kondisi tersebut tes cepat
molekuler rifampisin harus dilakukan atau diulang bila hasil pertama
menunjukkan sensitif rifampicin. Jika resistensi rifampicin tidak terbukti
maka diberikan regimen (H)REZ-Lfx selama 6 bulan. Durasi terapi
Secara global prevalensi Hr-TB lebih tinggi dibanding MDR TB. Sehingga
semua negara disarankan mulai melakukan uji resistensi terhadap isoniazid
dan rifampicin sebelum memulai pengobatan TB. Minimal melakukan uji
resitensi rifampisin sebelum memulai rejimen (H)REZ-Lfx, bila memungkinkan
uji resistensi FQs menggunakan Xpert MTB/ RIF dan LPA. Bila didapatkan
kecurigaan/ suspek atau bukti resistensi tambahan (misal FQs dan Z) maka
diberikan manajemen sesuai rejimen individual atau poliresisten TB.
Rejimen Hr-TB tidak mempunyai fase intensif dan fase lanjutan. Tetapi
untuk program monitor dan evaluasi sama seperti TB sensitif obat. Tanda
tidak respon terapi atau gagal terapi seharusnya diperiksa menggunakan uji
kepekaan rifampisin (DST R), dan jika memungkinkan dilakukan uji kepekaan
FQs dan Z. Tidak direkomendasikan melakukan penambahan satu agen OAT
pada kondisi pasien yang mempunyai hasil BTA (mikroskopis atau kultur)
positif setelah terapi 2 bulan, respon klinis tidak baik dan pasien yang tidak
mempunyai hasil DST.
Tabel 1. Grup Obat TB MDR yang Digunakan pada Regimen yang Diperpanjang
Tabel. Grup Obat TB MDR Yang Digunakan Pada Regimen Yang Diperpanjang.
2. Kanamisin (Km) dan capreomisin (Cm) tidak termasuk dalam terapi TB RR/ MDR pada
166 rejimen diperpanjang. Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
3. Levofloxacin (Lfx) dan Moxifloxacin (Mfx) seharusnya dimasukan dalam terapi TB RR/
MDR pada rejimen diperpanjang.
4. Bedaquilin (Bdq) seharusnya dimasukan dalam terapi TB RR/ MDR pada rejimen
diperpanjang, untuk pasien usia lebih atau sama dengan 18 tahun. Bdq juga digunakan
Manajemen Komprehensif Tuberkulosis Resisten Obat
TB RR
Pasien anak atau dewasa yang tidak terbukti resisten H perlu diobati
dengan rejimen MDR (rejimen yang diperpanjang dengan penambahan H
atau rejimen yang diperpendek sesuai kriteria). Isoniazid dosis tinggi tidak
termasuk dalam grup A, B dan C karena kelangkaan penggunaannya. Isoniazid
dosis tinggi masih mungkin digunakan pada kondisi adanya bukti sensitif atau
mutasi.
TB pada Kehamilan
Amk, S, Pto dan Eto biasanya merupakan kontraindikasi selama
kehamilan. Pengetahuan atau data mengenai keamanan Bdq dan Dlm masih
sangat jarang. Disarankan untuk pemberian rejimen yang diperpanjang dengan
komponen yang ditentukan secara individual, untuk menjamin keamanan
terapi terhadap efek samping. Semua hasil terapi dan kelainan kongenital
yang terjadi harus dicatat untuk membantu menyusun rekomendari terapi
TB MDR pada kehamilan di masa yang akan datang.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 169
Heni Retnowulan
TB MDR HIV
Komposisi rejimen biasanya tidak berbeda secara bermakna untuk
ODHA. Beberapa interaksi obat dihindari (misal Bdq dan efavirens).
Pertimbangan Implementasi
1. Rejimen peroral secara penuh harus diprioritaskan dan menjadi pilihan
yang lebih disukai pada mayoritas pasien. Dan obat suntik tidak lagi
menjadi obat yang diprioritaskan untuk merancang rejimen diperpanjang.
2. Semua pasien disarankan untuk pemeriksaan DST sebelum menerima
terapi.
3. Tes molekular cepat untuk menilai resistensi FQs dan Amk diperlukan
untuk menentukan jenis rejimen (rejimen diperpanjang atau rejimen
diperpendek). Geno Tip MTBDRsl LPA dapat digunakan untuk minilai
resitensi terhadap FQs (sampel ekstra paru). Uji MTBDRsl sangat
berkorelasi dengan resistensi fenotipik terhadap ofloxasin dan
levofloxasin, sementara kurang berkorelasi dengan moxifloxasin dan
gatifloxasin. Penggunaan moxifloxasin dalam regimen yang terbaik
adalah dengan panduan DST fenotipik. Tetapi pemberian rejimen harus
segera diberikan kepada pasien tanpa harus menunggu hasil DST.
4. Bila hasil DST membuktikan resisten terhadap salah satu agen maka agen
tersebut seharusnya diganti. Ada beberapa DST yang kurang reliabel yaitu
untuk agen (Cs, S, Etb). Efektivitas obat-obat tersebut ditentukan dari satu
atau lebih kriteria sebagai berikut, (1), terkonfirmasi sensitif pada pasien,
(2), berdasar riwayat resistensi index case (sumber penularan terduga),
(3), tidak terdapat resistensi silang terhadap obat, (4), penggunaan obat
tersebut jarang di area tertentu, (5), tidak ada riwayat penggunaan obat
tersebut pada rejimen gagal.
5. Diharapkan semua pasien bisa diterapi dengan 4 obat efektif saat
mulai terapi, salah satu Bdq yang akan dihentikan setelah 24 minggu (6
bulan) terapi. Sehingga minimal dibutuhkan 3 obat efektif setelah Bdq
dihentikan. Jika obat lainnya dipertimbangkan akan dihentikan karena
efek samping maka obat tersebut harus diganti dengan obat yang lain.
Peggantian obat bisa dipakai dari grup B . Bila semua obat grup B (Cs dan
Cfz) telah digunakan maka grup C sesuai urutan (ranking). Penggunaan
5 obat perlu dipertimbangkan bila (1), diperkirakan akan ada 2 obat
(Bdq-6 bulan terapi dan Lzd-efek samping) yang dihentikan karena efek
samping daripada menggati obat yang telah dimulai rejimennya, (2),
tidak terapat fasilitas DST yang reliabel dan diketahui prevalesi resitensi
diarea tersebut cukup tinggi, (3), obat yang digunakan (misal total hanya
2 obat dari grup A dan grup B) efektifitasnya rendah.
6. Bila pasien merupakan indikasi pemberian rejimen yang diperpendek
tetapi bisa dipertimabngkan diganti dengan rejimen yang diperpanjang
bila, (1), terdapat ketidakpastian hasil DST, (2), kesulitan mengakses
LPA, 93), kesulitan mengakses audiometri, (4), ketidaktersediaan obat
Cfz atau obat yang lain, (5), menghemat obat injeksi atau (6), pasien
memerlukan inisiasi OAT segera sebelum data pendukung tersedia.
7. Jika rejimen diperpendek tidak bisa digunakan maka pasien akan
diberikan rejimen yang diperpanjang. Pasien yang pada awalnya
mendapat rejimen diperpendek bisa ditransfer ke rejimen diperpanjang.
Tetapi pasien yang mendapat rejimen diperpanjang bisa ditransfer ke
rejimen yang diperpendek bila pemberiannya sebelum mencapai 4 bulan.
8. Dosis obat diberikan sesuai berat badan. Disarankan pemberian obat
sesuai jadwal yang direkomendasikan. Dan manipulasi tablet (membelah,
menghancurkan, melarutkan dalam air) harus dihindari atau setidaknya
sangat dikurangi.
Wanita Hamil
Obat injeksi merupakan kontraindikasi pada kehamilan, berhubungan
dengan efek teratogenik. Sehingga rekomendasi 3 kurang relevan pada
populasi ibu hamil.
Pertimbangan Implementasi
Pasien yang menerima Amk atau S dan terbukti kultur positif, maka ketiga
rekomendasi (3.1,3.2 dan 3.3) diterapkan. Pada pasien yang menerima OAT
peroral semua maka durasi terapi ditentukan berdasar durasi total dan waktu
setelah konversi kultur BTA (rekomendasi 3.1 dan 3.2). Pasien dengan hasil
bakteriologis negatif atau ekstraparu, maka durasi terapi hanya ditentukan
berdasar durasi total saja (rekomendasi 3.1).
TB RR tanpa MDR
Pasien TB RR yang tidak terbukti resisten isoniazid bisa diberikan
rejimen diperpendek, tergantung persyaratan lainnya
Wanita Hamil
Dua dari rejimen jangka pendek (SLI dan etionamid) merupakan
kontraindikasi pada kehamilan. Sehingga pasien hamil direkomendasikan
menggunakan rejimen diperpanjang/ individual dengan memilih empat atau
lebih obat efektif dan mempertimbangakan risiko efek teratogenik yang lebih
kecil.
TB Esktraparu
Disarankan rejimen jangka pendek dihindari pada TB diseminata, SSP
dan semua ODHA dengan TB ekstraparu.
Monitordan
Monitor danEvaluasi
evaluasi
Pasien yang menerima rejimen diperpendek membutuhkan monitor selama terap
Pasien yang menerima rejimen diperpendek membutuhkan monitor
jadwal pemeriksaan klinis dan uji laboratorium. Kultur dan mikroskopi sputum seh
selama terapi sesuai jadwal pemeriksaan klinis dan uji laboratorium.
dilakukan saat memulai terapi. Direkomendasikan untuk pemeriksaan EKG dan audio
Kultur dan mikroskopi sputum seharusnya dilakukan saat memulai terapi.
Direkomendasikan untuk pemeriksaan EKG dan audiometri.
Daftar Pustaka
WHO, 2014b, Companion Handbook-To the WHO Guidelines for The Program
Daftar1.Pustaka
Management
1. WHO, 2014 b
of Drug-Resistant
, Companion Handbook-To the Tuberculosis,
WHO Guidelines for The Programathic
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75146/1/9789241548441_eng.pdf
Management of Drug-Resistant Tuberculosis, http://apps.who.int/iris/bitstre
2. WHO, 2016a, Global Tuberculosis Report, http://www.who.int.
am/10665/75146/1/9789241548441_eng.pdf
b
3. 2016
2. WHO, WHO,
a
, Global , WHO Treatment
2016Tuberculosis Guidelines for Drug Resistant
Report, http://www.who.int. Tuberculosis-20
Update, www.who.int/tb/areas-of-work/drug-resistant-tb/treatment/resources/
3. WHO, 2016b, WHO Treatment Guidelines for Drug Resistant Tuberculosis-2016
4. WHO, 2019, WHO Consolidated Guidelines on Drug-Resistant Tuberculosis
Update, www.who.int/tb/areas-of-work/drug-resistant-tb/treatment/resources/
Treatment, WHO 2019.
4. WHO, 2019, WHO Consolidated Guidelines on Drug-Resistant Tuberculosis
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/311389/9789241550529-eng.p
Treatment, WHO 2019. https://apps.who.int/iris/bitstream/hand
le/10665/311389/9789241550529-eng.pdf
Adanya risiko efek teratogenik obat oral anti tiroid tersebut di atas, tidak
dapat menafikan penggunaan obat-obat tersebut pada ibu yang mengalami
tirotoksikosis dalam kehamilan. Hipertiroid klinis yang tidak terkendali akan
meningkatkan risiko perburukan baik pada ibu maupun bayi yang dikandung.
Risiko pada ibu berupa pre-eklampsia, gagal jantung kongestif dan krisis
tiroid. Janin/bayi yang dikandung oleh ibu dengan hipertiroid klinis yang
tidak terkendali berisiko untuk mengalami terjadinya abortus, intrauterine
growth restricition, bayi lahir mati, lahir prematur, maupun berat badan lahir
rendah. Disamping itu, sejumlah studi mengindikasikan bahwa fetus yang
terpapar hormon tiroid ibu secara eksesif berisiko mengalami pembentukan
program patologis pada sistim saraf yang terkait dengan gangguan kejang
dan neurobehavioral pada masa kanak-kanak atau usia selanjutnya.
A. Diagnosis
Proses diagnosis diawali dengan kecurigaan dokter akan adanya
hipertiroid pada ibu dalam kehamilan. Secara berurutan proses diagnosis
hipertiroid dalam kehamilan adalah evaluasi tanda dan gejala klinis
serta riwayat gangguan tiroid, konfirmasi keadaan hipertiroid melalui
pemeriksaan laboratorium serta evaluasi etiologi keadaan hipertiroid
tersebut. Etiologi terjadinya tirotoksikosis dalam kehamilan perlu
ditegakkan untuk menetapkan rencana terapi baik jangka pendek selama
kehamilan dan laktasi maupun jangka panjang yakni setelah selesai
proses kehamilan serta laktasi.
b. Kadar TT4/FT4
Sampai saat ini, interpretasi nilai kadar FT4 pada kehamilan
masih merupakan tantangan. Adaptasi aktifitas tiroid dalam
kehamilan yakni berupa aktifitas HCG sebagai stimulan sintesis
dan sekresi hormone tiroid di awal kehamilan, peningkatan
kadar TBG yang terutama dimulai pada trimester 2 kehamilan,
peningkatan produksi hormone tiroid, peningkatan volume
plasma serta peningkatan ekskresi Jodium melalui urin.
Adaptasi ini akan mempengaruhi rentang nilai normal TSH dan
FT4. Di samping itu, terdapat juga masalah mengenai metode
pemeriksaan kadar FT4, yang umum dikerjakan saat ini, yang
tidak memperhitungkan perubahan-perubahan fisiologis dalam
kehamilan seperti yang dipaparkan di atas. (Gambar 2)
Pada
Pada trimesterawal
trimester awalkehamilan,
kehamilan,kadar
kadar FT4FT4dapat
dapat meningkat.
meningkat. Akan tetapi
pada trimester selanjutnya, kadar FT4 dapat menurun. Fenomena ini
Akan tetapi pada
mengindikasikan trimester
perlunya selanjutnya,
penetapan rentang normalkadar kadar
FT4 dapat
FT4 berdasarkan
menurun.
trimester Fenomena Sejumlah
usia kehamilan. ini mengindikasikan
peneliti dari perlunya penetapan
berbagai negara telah melaporkan
rentang kadarnormal
rentang FT4 menurut
kadar trimester kehamilan dalam
FT4 berdasarkan populasi
trimester usiaibu hamil di
negara mereka masing-masing.
182 Hormon tiroid memiliki
Pertemuandeterminasi
Ilmiah Nasional terhadap regulasi2019
XVII PAPDI - Surabaya energi basal dan
keseimbangan energi. Regulasi energi basal tidaklah bersifat statis dan
merupakan salah satu mekanisme penting dalam adaptasi manusia dengan
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tirotoksikosis (Hipertiroid) dalam Kehamilan
B. Penatalaksanaan
1. Gestational transient thyrotoxicosis
Penatalaksanaan gestational transient thyrotoxicosis bersifat suportif
yakni mengatasi dehidrasi dan gangguan elektrolit. Pada keadaan
tertentu, dapat diberikan golongan beta bloker, dosis kecil dan
dalam waktu yang singkat. Obat anti tiroid tidak direkomendasikan.
2. Penyakit Graves
a. Obat golongan thionamide
Direkomendasikan untuk menghentikan obat-obat anti tiroid
pada awal kehamilan, sebelum periode utama teratogenik yakni
usia kehamilan 6-10 minggu. Penghentian obat umumnya aman
pada ibu yang eutiroid terkendali dengan obat anti tiroid dosis
rendah yakni MMI 5-10 mg/hari atau PTU 100-200 mg/hari.
susu ibu adalah sangat rendah. Dosis MMI pada ibu laktasi, sebaiknya tidak
melebihi 20 mg/ hari dan dosis PTU tidak melebihi 450 mg/ hari. Tindakan
ablasi menggunakan radioiodine merupakan kontra indikasi baik pada
kehamilan maupun menyusui.
Daftar Pustaka
1. Alexander EK, Pearce EN, Brent GA, Brown RS, Chen H, Dosiou C, Grobman WA,
Laurberg P, Lazarus JH, Mandel SJ, Peeters RP, Sullivan S. 2017 Guidelines of the
American Thyroid Association for the Diagnosis and Management of Thyroid
Disease During Pregnancy and the Postpartum. THYROID 2017; 27(3): 319-395.
2. Lazarus JH. Chapter 14 – Thyroid Regulation and Dysfunction in Pregnant Patient.
https://www.endotext.org/chapter/thyroid-regulation-and-dysfunction-in-the-
pregnant-patient/ Acceses 24 Agustus 2019, 10.16 pm.
3. Glinoer D, de Nayer P, Bourdoux P, Lemone M, Robyn C, Steirteghem AV, Kinthaert J,
Lejeune B. Regulation of Maternal Thyroid during Pregnancy. J Clin EndocrinolMetab
1990;71:276-287.
4. Medici M, Korevaar TIM, Visser WE, Visser TJ, Peeters RP1,2 Thyroid Function in
Pregnancy: What Is Normal? Clinical Chemistry 2015; 61(5): 704–713.
5. Lazarus JH. Thyroid function in pregnancy. British Medical Bulletin 2011; 97: 137–
148.
6. FIGO Working Group on Good Clinical Practice in Maternal–Fetal Medicine. Good
clinical practice advice: Thyroid and pregnancy. Int J Gynecol Obstet 2019; 144:
347–351.
Pendahuluan
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insidens yang terus meningkat, prognosis yang
buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya
jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta
hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium
tertentu. Hasil systematic review dan meta-analisis yang dilakukan oleh Hill et
al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil
Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian
peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-
18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal
merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah
penyakit jantung. Penyakit ginjal kronis mempengaruhi 47 juta orang di
Amerika Serikat dan berhubungan dengan biaya perawatan kesehatan yang
signifikan, morbiditas, dan kematian. Karena penyakit ini secara diam-diam
dapat berkembang ke tahap lanjut, deteksi dini sangat penting untuk memulai
intervensi yang tepat waktu. Beberapa pedoman merekomendasikan skrining
setidaknya tahunan dengan kreatinin serum, albumin urine/rasio kreatinin,
dan urinalisis untuk pasien dengan faktor risiko, terutama diabetes mellitus,
hipertensi, dan riwayat kardiovaskular.
Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit per 1.73 m2 ini setara dengan
kadar kreatinin serum >1.5 mg% pada pria dan > 1.3 mg% pada wanita.
Bila LFG menurun <50% maka akan terjadi kehilangan fungsi nefron yang
tersisa walaupun penyakit/kelainan yang menyebabkan PGK tersebut dapat
dikontrol. Perburukan fungsi ginjal ini ditandai oleh proteinuri, hipertensi
dan makin menurunnya LFG dan secara klinis keadaan umum penderita akan
semakin memburuk.
Bila LFG telah mencapai nilai <15 ml/menit per 1.73 m2, yang disebut
sebagai gagal ginjal (kidney failure) maka penderita harus diobati dengan
pengobatan pengganti ginjal (renal replacement therapy) berupa dialisis
(hemodialisis atau peritoneai dialisis) serta transplantasi (cangkok) ginjal
yang membutuhkan biaya yang sangat besar.
Dari berbagai sebab PGK, saat ini yang merupakan penyebab terbanyak
adalah diabetes melitus = DM (30-50% kasus), disusul oleh hipertensi (15-
25% kasus). Penyebab lainnya adalah obstruksi dan infeksi saluran kencing,
penyakit otoimun dan penyakit-penyakit infiltratif.
tahap awal umumnya tidak bergejala. Gejala mulai muncul bila penurunan
fungsi ginjal telah berada pada fase lanjut, sehingga upaya deteksi dini untuk
menemukan penderita PGK tahap awal harus dilakukan melalui skrining.
Pertanyaan yang timbul adalah siapa yang harus di skrining, pemeriksaan apa
saja yang harus dilakukan untuk skrining dan bagaimana metodenya, serta
bila dijumpai kelainan, apa yang harus dilakukan.
1. Populasi yang di-skrining.
Skrining terhadap populasi umum dianggap tidak efektif-biaya serta sulit
dilakukan. Sebagai alternatif, skrining dilakukan terhadap mereka yang
dianggap sebagai kelompok risiko tinggi untuk mengidap PGK, yaitu
penderita DM, penderita hipertensi, penderita yang mempunyai riwayat
penyakit ginjal, keluarga langsung dari penderita PGK serta individu
berusia lanjut.
2. Pemeriksaan untuk skrining
Berdasar kedokteran berbasis bukti (evidence based medicine),
pemeriksaan untuk skiring yang terbukti efektif-biaya dan bernilai
diagnostik maupun prognostik adalah pemeriksaan fungsi ginjal dan
menentukan adanya protein dalam urin (mikroalbuminuria/proteinuria)
serta adanya sel darah merah dalam urin (hematuri).
Formula
Formula MDRD
MDRD
Formula MDRD
LFG (ml/min/1.73 m2) + 170 (kreatinin serum)-0.999 (Umur)-0.176
-0.999 )-0.176
LFG (ml/min/1.73
x (urea m2) -0.170
nitrogen serum) + 170 (kreatinin
(albumin serum)
serum) +0.318 (Umur
(0.762 [Wanita
-0.170 +0.318
x(1.180[ras
(urea nitrogen serum)
Afro-Amerika]) (albumin serum) (0.762 [Wanita
(1.180[ras Afro-Amerika])
Pemeriksaan mikroabuminuria/proteinuria
Pemeriksaan mikroabuminuria/proteinuria sebaiknya
sebaiknya dilakukan
dilakukan dengan
ekskresi Pemeriksaan
albumin dari mikroabuminuria/proteinuria
urin 24 Jam, tetapi hal ini sebaiknya
dianggap tidak dilakukan
dengan mengukur ekskresi albumin dari urin 24 Jam, tetapi hal ini dianggappraktis dandengan
memp
ekskresi
kesalahan albumin
cukup
tidak praktis
dari
danbesar
urin 24 Jam,
oleh karena
mempunyai
tetapi hal ini dianggap
tidak akuratnya
risiko kesalahan
tidak
pengumpulan
cukup besar
praktis dan memp
urin. Untuk
oleh karena tidak itu
kesalahan cukup
menentukan besar oleh
ekskresi karenadengan
albumin tidak akuratnya
mengukur pengumpulan
rasio urin. Untuk itu
albumin/kreatinin
akuratnya pengumpulan urin. Untuk itu dianjurkan menentukan ekskresi
menentukan
pengambilan ekskresi
sesaatalbumin
urin mengukur dimana dengan
disebut mengukur rasio albumin/kreatinin
mikroalbuminuria bila didapatkan
albumin dengan rasio albumin/kreatinin urin dari pengambilan
pengambilan urin
albuInin/gram sesaaturin
kreatinin dimana
dan disebut mikroalbuminuria
proteinuria bila ekskesi bila >300
albumin didapatkan
mg alb
urin sesaat dimana disebut mikroalbuminuria bila didapatkan 30-300 mg
albuInin/gram
kreatinin kreatinin urin dan proteinuria bila ekskesi albumin
urin. kreatinin urin dan proteinuria bila ekskesi albumin >300 mg >300 mg alb
albuInin/gram
kreatinin urin.
Pada penderita
albumin/gram kreatinindengan
urin. riwayat penyakit ginjal sebelumnya, upaya skr
Padadengan
dilanjutkan penderita dengan riwayat
pemeriksaan sedimenpenyakit
urin untukginjal sebelumnya,
melihat upayaselskrd
ada-tidaknya
dilanjutkan
atau selPada dengan
darahpenderita pemeriksaan
putih dalam sedimen urin untuk melihat ada-tidaknya
urin serta pemeriksaan radiologis seperti ultrasonografi sel d
dengan riwayat penyakit ginjal sebelumnya, upaya
atau sel darah
diagnosis PGKputih dalam
terlihat padaurin serta 1.
gambar pemeriksaan radiologis seperti ultrasonografi
skrining harus dilanjutkan dengan pemeriksaan sedimen urin untuk
diagnosis PGK terlihat pada gambar 1.
melihat ada-tidaknya sel darah merah atau sel darah putih dalam urin serta
pemeriksaan radiologis seperti ultrasonografi. Algoritma diagnosis PGK
terlihat pada gambar 1.
Pencegahan PGK
Pendekatan Diagnostik Penyakit Ginjal Kronik: Pentingnya Deteksi Dini dan Pencegahan
Pencegahan PGK
Bila pada skiring ditemukan kelainan pada pemeriksaan laboratorium
maupun radiologis dan atau adanya gangguan fungsi ginjal maka sebaiknya
penderita harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, dengan meruiuk ke unit
perawatan ginjal atau dokter sub-spesialis ginjal (konsultan ginjal-hipertensi).
Rujukan ini bertujuan untuk konfirmasi PGK tersebut, baik derajat fungsi
ginjal maupun penyebab PGK. serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
dapat menyebabkan progresifitas PGK. Penderita yang dirujuk ini kemudian
harus dikirim kembali ke dokter yang merujuk disertai dengan pedoman
pengobatannya, berupa pengobatan terhadap penyakit dasar penyebab PGK
(bila memungkinkan), pengobatan terhadap penyakit-penyakit penyerta
serta pengendalian faktor-faktor yang menyebabkan progresi PGK.
Bila LFG menurun <50% maka akan terjadi kehilangan fungsi nefron
yang sisa walaupun penyakit/kelainan yang menyebabkan PGK tersebut
dapat dikontrol. Sebagai respons dari penurunan massa ginjal (nefron), maka
untuk meningkatkan kemampuan ekskresi. pada nefron yang sisa akan terjadi
adaptasi struktural dan fungsional. Adaptasi ini berupa peningkatan tekanan
dalam glome rulus (hipertensi intraglomeruler) yang utamanya disebabkan
oleh angiotensin II (Ang-II). Anglotensin II ini selain menyebabkan kelainan
hemodinamik tersebut diatas, juga menyebabkan perubahan-perubahan
non-hemodinamik, seperti proliferasi sel mesangial, stimulasi produksi
transforming growth factor-β (TGF- β ), peningkatan plasminogen activator
inhibitor-I (PAI-I), serta aktivasi dan infiltrasi dari sel makrofag. Adaptasi
hemodinamik dan perubahan-perubahan non-hemodinamik
Pada derajat awal, PGK belum menimbulkan gejala dan tanda, bahkan
hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih asimtomatik namun
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Kelainan secara
klinis dan laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4. Saat
laju filtrasi glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti badan lemah, mual,
nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien.
Pasien mulai merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi
glomelurus kurang dari 30%.
Ringkasan
Tingginya angka kejadian PGK khususnya gagal ginjal menyebabkan
perlu dilakukannya pendekatan diagnostik dan deteksi dini untuk mencegah
progresifitas dan komplikasi PGK. Deteksi dini PGK sangat penting untuk
memperlambat perkembangan penyakit, mencegah morbiditas dan mortalitas
jangka panjang, dan mengurangi pengeluaran biaya kesehatan. Dignostik
dilakukan dengan pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan dengan menghitung
LFG yang dapat diperiksa dengan pemeriksaan klirens, pemeriksaan
sedimen urin, pemeriksaan mikroabuminuria/proteinuria dan pemeriksaan
pencitraan. Usaha-usaha pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
progresifitas fungsi ginjal antara lain pengobatan penyakit dasar, perubahan
gaya hidup, kontrol gula darah, kontrol tekanan darah, penurunan proteinuria,
pembatasan asupan protein, kontrol dyslipidemia, menghindari pemakaian
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 195
Hasyim Kasim
Daftar Pustaka
1. Tomlinson LA, Wheeler DC. Clinical Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease in Comprehensive Clinical Nephrology 6th Ed. 2019. Elsevier.
2. United States Renal Data System. 2016 Annual data report, chapter 1: CKD in the
general population. https://www.usrds.org/2016/view/ v1_01.aspx. Accessed
January 20, 2017.
3. Honeycutt AA, Segel JE, Zhuo X, Hoerger TJ, Imai K, Williams D. Medical costs of
CKD in the Medicare population. J Am Soc Nephrol. 2013; 24(9):1478-1483.
4. Murphy D, McCulloch CE, Lin F, et al.; Centers for Disease Control and Prevention
Chronic Kidney Disease Surveillance Team. Trends in prevalence of chronic kidney
disease in the United States. Ann Intern Med. 2016;165(7):473-481.
5. United States Renal Data System. 2016 Annual Data Report. Vol 1, Ch 6: Medicare
expenditures for persons with CKD. https://www.usrds. org/2016/view/v1_06.
aspx. Accessed August 2019.
6. K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,
classification and stratification. Am J Kidney Dis 2002; 39:(Suppl 2):S1-S246.
7. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO
2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease. Kidney Int Suppl. 2013;3(1): 1-150.
8. Chau K, Hutton H, Levin A. Laboratory assessment of kidney disease: glomerular
filtration rate, urinalysis, and proteinuria. In: Skorecki K, et al., eds. Brenner &
Rector’s The Kidney. 10th ed. Philadelphia, Pa.: Elsevier; 2016:780-803.
9. Fan L, Inker LA, Rossert J, et al. Glomerular filtration rate estimation using cystatin C
alone or combined with creatinine as a confirmatory test. Nephrol Dial Transplant.
2014;29(6):1195-1203.
10. Tangri N, Grams ME, Levey AS, et al.; CKD Prognosis Consortium. Multinational
assessment of accuracy of equations for predicting risk of kidney failure: a meta-
analysis [published correction appears in JAMA. 2016;315(8):822].
Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik (PGK) didefinisikan sebagai terdapatnya kerusakan
ginjal atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1,73m2
untuk jangka waktu 3 bulan. Kerusakan ginjal adalah setiap kelainan patologis,
atau petanda kerusakan ginjal termasuk kelainan dalam darah, urin atau studi
pencitraan.1,2 Penyebab PGK yang paling umum dilaporkan adalah diabetes
mellitus (DM) dan hipertensi, dan penyebab yang lebih jarang adalah penyakit
glomerular primer, tubulointerstitial dan penyakit kistik. Patofisiologi PGK
terkait dengan penyakit yang mendasarinya, namun kerusakan tersebut
diakselerasi oleh hipertensi glomerular, hipertensi sistemik, inflamasi dan
fibrosis. Faktor risiko progresifitas PGK yaitu hipertensi, proteinuria dan
episode gangguan ginjal akut/acute kidney injury (AKI) berulang.3
Pasien PGK mempunyai risiko yang tinggi untuk penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA), penyakit kardiovaskular, infeksi, keganasan dan mortalitas
secara keseluruhan apabila tidak ditatalaksana dengan baik. Manajemen
PGK secara umum meliputi penatalaksanaan penyebab gangguan ginjal yang
bersifat reversibel dan mencegah atau memperlambat progresifitas penyakit
ginjal. Perhatian juga harus diberikan terhadap komplikasi dari kehilangan
fungsi ginjal berupa gangguan cairan dan elektrolit seperti overload cairan,
hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia dan abnormalitas terkait
disfungsi hormonal dan sistemik seperti anoreksia, mual, muntah, fatigue,
hipertensi, anemia, malnutrisi, hiperlipidemia, dan gangguan tulang.4,5
7. Disarankan penggunaan ARB atau ACE-I pada pasien PGK dewasa dengan
DM dengan ekskresi albumin 300 mg/24 jam (atau setaranya). (1B)
8. Belum terdapat bukti yang cukup untuk merekomendasikan
penggabungan ACE-I dan ARB untuk mencegah progresifitas PGK. (not
graded)
Asupan Protein
1. Disarankan menurunkan asupan protein menjadi 0,8 g/Kg/hari pada
orang dewasa dengan DM (2C) atau tanpa DM (2B) dan estimasi LFG<
30ml/min/1.73m2 (kategori LFG G4-G5) dengan edukasi yang cukup.
2. Disarankan menghindari asupan tinggi protein (>1.3 g/kg/hari) pada
pasien PGK dewasa yang berisiko mengalami progresifitas. (2C)
Asupan garam
Direkomendasikan menurunkan asupan garam <90mmol (<2 gram)
perhari natrium (setara 5 g natrium klorida) pada orang dewasa, kecuali ada
kontraindikasi. (1C)
Hiperurisemia
Belum ada bukti yang kuat untuk mendukung ataupun membantah
pengunaan obat penurun asam urat pada penderita PGK baik yang bergejala
ataupun tidak bergejala untuk memeperlambat progresifitas PGK. (not
graded)
Gaya Hidup
Direkomendasikan penderita PGK untuk melakukan aktifitas fisik yang
sesuai dengan toleransi kardiovaskular (minimal 30 menit per kali, 5 kali
perminggu) dengan pencapaian berat badan ideal (IMT 20-25, sesuai dengan
karakteristik demografi setempat) dan berhenti merokok. (1D)
1. Bila terdapat gejala klinis pada penderita dengan estimasi LFG ≥60 ml/
min/1,73 m2
2. Setidaknya satu kali per tahun pada penderita dengan LFG 30-69 ml/
min/1,73m2
3. Minimal 2 kali per tahun pada penderita dengan LFG <30 mL/min/1,73m2
Asidosis
Disarankan penderita dengan PGK dengan konsentrasi serum bikarbonat
<22 mmol/l diberikan suplementasi bikarbonat oral untuk mempertahankan
serum bikarbonat dalam kisaran normal, kecuali dikontraindikasikan. (2B)
Pedoman KDIGO 2012 untuk referal pasien PGK ke nefrolog dan pemilihan
model perawatan terdiri dari: referal ke layanan konsultan ginjal; perawatan
pasien PGK progresif; waktu inisiasi TPG; struktur dan proses manajemen
konservatif komprehensif.4
Daftar Pustaka
1. Obrador GT. Epidemiology of chronic kidney disease. Post TW, ed. UpToDate.
Waltham, MA: UpToDate inc. http://www.uptodate.com (Accessed on Aug 28,
2019)
2. Traynor C, Kovalik EC. Clinical management of chronic kidney disease. In: Lerma
EV, Sparks MA, Topf JM (editors). Nephrology secrets. 4th ed. Philadephia: Elsevier;
2019. p.162-8
3. Whittier WL, Lewis E. Development and progression of chronic kidney disease. In:
Gilbert SJ, Weiner DE (editors). Primer on kidney diseases. 7th ed. Philadephia:
Elsevier; 2018. p.466-75
4. Eknoyan G, Lameire N. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation
and management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl 2013;3(1):8
5. Rosenberg M. Overview of the management of chronic kidney disease in adults.
Post TW, ed. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate inc. http://www.uptodate.com
(Accessed on Aug 28, 2019)
Virus Hepatitis C
Virus hepatitis C merupakan virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Virus
ini memiliki partikel yang menyelimuti untaian RNA yang panjangnya 9.600
basa nukleotida. Genom HCV terdiri dari protein struktural (C, E1 dan E2) dan
protein non-struktural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A dan NS5B) yang
terletak di dalam poliprotein 5’NTR dan 3’NTR. Protein non-struktural dan
RNA virus hepatitis C telah terbukti ditemukan pada hati pasien yang terinfeksi
hepatitis C sehingga membuktikan bahwa hati adalah tempat replikasi virus
hepatitis C.1
kombinasi Peg-IFN dan RBV, SVR dalam genotipe 2 dan 3 berkisar antara 70
dan 80%. Namun, tingkat SVR pada genotipe 1 dan 4 kronis masih suboptimal.5
Dalam perjalanannya, ternyata, banyak terdapat efek samping pada
rejimen berbasis interferon, seperti kelelahan, flu-like symptoms, kecemasan,
ruam kulit, dan gejala gastrointestinal seperti mual dan diare. Pada penggunaan
ribavirin pun sering terjadi anemia hemolitik. Beberapa pasien yang diobati
dengan PEG-IFN dan RBV dapat mengalami aritmia jantung atau efek samping
neuropsikiatrik yang berat, depresi dan kecenderungan bunuh diri. Berbagai
efek samping, lama terapi dan kebutuhan untuk menyuntikkan interferon
mengurangi kepatuhan pengobatan. Sehingga dibutuhkan pengembangan
pengobatan baru yang lebih aman dan lebih efektif.5
Pada Mei 2018, Food and Drug Administration (FDA) atau European
Medicines Agency (EMA) telah menyetujui 13 DAA dan beberapa DAA
kombinasi dosis tetap/Fixed Dose Combination (FDC) untuk pengobatan orang
dengan infeksi HCV (Tabel 1).3 Beberapa obat yang sudah disetujui beredar di
Eropa dapat dilihat pada Tabel 2.6
Tabel 3. Daftar obat yang sudah disetujui dan yang masih menjalani evaluasi9
Sementara itu, walaupun sudah ditemukan obat DAA yang aman dan
memiliki efikasi yang tinggi, tetapi pengobatan yang terjangkau masih
terbatas di banyak negara berkembang. Sehingga dikembangkanlah obat baru
yaitu kombinasi Sofosbuvir/Ravidasvir pada tahun 2016. Pada tahun 2016,
DNDi (Drugs for Neglected Disease initiative) meluncurkan penelitian Fase
II/III di Malaysia dan Thailand untuk menilai efikasi, keamanan, tolerabilitas,
farmakokinetik, dan akseptibilitas rejimen selama 12 minggu pada pasien
tanpa sirosis dan 24 minggu pada pasien dengan sirosis.
Tatalaksana HCV-HIV
Pasien dengan ko-infeksi HCV-HIV memiliki resiko yang lebih tinggi
berkembang menjadi fibrosis sehingga termasuk dalam daftar pasien yang
diprioritaskan untuk diterapi sejak tahun 2014.3,6 Pilihan terapi pada pasien
ko-infeksi HCV-HIV dapat berupa kombinasi Peg-IFN/Ribavirin, Peg-IFN/
Ribavirin/DAA, dan free IFN regimen. Pada terapi Peg-IFN/RBV, parameter
yang perlu diperhatikan yaitu jumlah CD4 >350 sel/mm3, ada tidaknya infeksi
oportunistik, dan riwayat penggunaan obat antiretroviral untuk HIV. Rejimen
PEG-IFN/RBV dapat digunakan pada pasien ko-infeksi HCV-HIV seperti pada
pasien tanpa infeksi HIV dengan lama pengobatan selama 1 tahun untuk
semua genotipe.1
Berbeda dengan cut off dari PPHI, The Asia Pasific Association for the Study
of the Liver (APASL) merekomendasikan pasien dengan ko-infeksi HCV-HIV
dengan CD4 <100/µL sebaiknya menerima terapi Highly Active Anti-Retroviral
Therapy (HAART) terlebih dahulu. Terapi HCV sebaiknya ditunda hingga CD4
> 200/µL tercapai.15 Berdasarkan tatalaksana PPHI, terapi berbasis DAA pada
pasien ko-infeksi HCV-HIV sama dengan terapi pasien monoinfeksi HCV, yakni
diberikan terapi tanpa memandang jumlah CD4.1
Tingkat SVR pada pasien HCV-HIV yang diterapi dengan DAA dapat
mencapai lebih dari 95%, bahkan pada pasien yang sebelumnya pernah gagal
terapi atau pada fibrosis tingkat lanjut.3 Selain itu,efek samping serius hanya
ditemukan sebanyak 2%.16 Penelitian lain juga mengungkapkan hal serupa
yaitu SVR12 tercapai pada pasien yang menerima regimen PI (Protease
Inhibitor), NNRTI (Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor Regimen),
dan INSTI (Integrase Strand Transfer Inhibitor) (berturut-turut 97,1%, 100%,
dan 94,9%). Selain itu, SVR12 tercapai 100% pada pasien dengan HCV genotipe
1b dan non GT-1.17 Untuk durasi pemberian terapi pada pasien dengan ko-
infeksi HCV-HIV, WHO, EASL, dan AASLD, merekomendasikan penggunaan
sofosbuvir dan daclatasvir selama 12 minggu.3,6,18
Tatalaksana HCV-HBV
Terapi pada kasus koinfeksi HCV-HBV disesuaikan dengan virus yang
lebih dominan. Umumnya, infeksi HCV lebih dominan ditemukan sebagai
penyebab utama hepatitis kronik. Pada kondisi tersebut, kriteria serta pilihan
terapi pada koinfeksi HCV-HBV sama seperti terapi untuk pasien monoinfeksi
HCV. Tingkat SVR12 pada pasien koinfeksi HCV-HBV pun umumnya sebanding
dengan pasien monoinfeksi HCV. Terdapat risiko kemungkinan terjadinya
reaktivasi HBV selama atau setelah SVR12 tercapai pasca terapi HCV.1 Pada
penelitian yang dilakukan oleh Jiang dkk tahun 2018, didapatkan bahwa
terdapat kejadian reaktivasi HBV sebesar 15,7% pada pasien HbsAg positif
yang mendapatkan terapi anti HCV. Kejadian reaktivasi HBV lebih banyak
terjadi pada kelompok yang diterapi dengan DAA dibanding IFN (21,1% vs
11,9%).20 Pada kasus tersebut, analog nukleosida/nukleotida sebaiknya
langsung diberikan sambil menunggu pemeriksaan level HBV DNA. Antivirus
yang poten seperti tenofovir, entecavir atau telbuvidine dapat digunakan.1,21
Tatalaksana HCV-CKD
Skrining HCV dilakukan secara berkala pada pasien HD (Hemodialisa),
pada saat pertama kali HD atau berpindah ke unit HD yang baru, pada saat
evaluasi transplantasi ginjal, dan setiap 6 bulan sekali. Apabila anti-HCV
positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan Nucleic Acid Testing (NAT)
untuk mendeteksi HCV RNA.24 Peg IFN & RBV masih dapat digunakan pada
eGFR 15-59ml/min/1.73m2 dengan penyesuaian dosis Peg-IFNα2a (135 μg/
minggu) atau Peg-IFNα2b (1 μg/kg/minggu) dan ribavirin (200-800 mg/hari).
Ribavirin dapat digunakan tetapi dengan penyesuaian dosis dan dilakukan
pemantau secara hati-hati apakah timbul anemia dan efek samping lainnya.1
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Hepatitis C di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2017.
2. American Association for the Study of Liver Diseases. Epidemiology of Hepatitis C.
America: Clinical Liver Disease. 2018
3. World Health Organization. Guideline for the Care and Treatment of Persons
Diagnosed with Chronic Hepatitis C Virus Infection. Geneva. 2018.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
5. Kamal Sanaa M. Advances in Treatment of Hepatitis C. Intech.2017. doi: http://
dx.doi.org/10.5772/66719
6. European Association fot the study of the liver. EASL Reccomendations on
Treatment of Hepatitis C. 2018. J of Hepatology. Doi: https://doi.org/10.1016/j.
jhep.2018.03.026
7. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Cek Produk BPOM. [Internet]. BPOM. 2019
[cited 31 August 2019]. Available from: https://cekbpom.pom.go.id
8. Tamori Akihiro, Enomoto Masaru, Kawada Norifumi. Recent Advances in Antiviral
Therapy for Chronic Hepatitis C. Hindawi Publishing Corporation. 2016. Doi:
http://dx.doi.org/10.1155/2016/6841628
Gambaran Klinis
Sejalan dengan kemajuan jaman dan perubahan tata nilai yang cepat,
gangguan cemas (Ansietas) semakin banyak ditemukan. Prevalensi gangguan
ini berkisar antara 9-12%. Di Amerika dalam satu tahun ditemukan 4 juta
orang dengan gangguan cemas. Di Indonesia angkanya tidak jauh berbeda
walaupun angkanya bervariasi. Dari populasi yang datang ke tempat-tempat
pelayanan kesehatan umum dilaporkan angka lebih besar yaitu 17-27%
yang termasuk menderita gangguan ansietas. Banyak penderita mengalami
beberapa jenis gangguan ansietas. Masing-masing dari gangguan ansietas
tersebut memiliki prevalensi paling sedikit 1%.
Gangguan ini umumnya timbul dini pada remaja atau usia 20 tahunan
dan lebih banyak mengenai wanita kecuali pada kasus Obsessiive Compulsive
Disorder (OCD) dialami pria dan wanita sama banyaknya.
Menurut DSM V saat ini OCD tidak lagi dikelompokan dalam varian
Gaangguan Cemas, tetapi dipisahkan menjadi gangguan tersendiri, tetapi
pada tulisan ini masih dibahas untuk memberikan gambaran sekedarnya.
Panic Disorder ( PD )
Disebut juga gangguan panik atau ansietas panik. Onset penyakit ini
bersifat tiba-tiba atau mendadak. Serangan ansietas biasanya berat dan
Daftar Pustaka
1. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Text revision.
Washington, DC: American Psychiatric Association. 2000;429-430.
2. Management Mental Disorder. WHO. Collaborating Centre for mental health and
Substance Abuse (ed). Wild & Woolley Pty Ltd. Sydney. 1997
Pendahuluan
Depresi adalah gangguan multifaktorial yang mempengaruhi afektif,
perilaku, kognitif, dan psikosomatik. Depresi terdiri dari gangguan negatif
yang mempengaruhi tidur, berat badan, nafsu makan, kesenangan dan
kehilangan motivasi. Orang yang menderita penyakit kronik pun
berpotensi menderita depresi.
Depresi sangat lazim pada pasien dengan CKD (Chronic Kidney Disease)
dan ESRD (End Stage Renal Disease). Tinjauan sistematis dan meta-analisis
terbaru oleh Palmer et al. mengidentifikasi 216 studi dari 55.982 pasien
dengan CKD atau ESRD. Di antara pasien dengan ESRD yang menerima dialisis,
prevalensi depresi adalah 39,3% ketika dievaluasi dengan kuesioner skrining.
Pada pasien dengan CKD, prevalensi depresi adalah 26,5% ketika dievaluasi
dengan skrining kuesioner. (Shirazian S, et al 2017)
Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Satin, Linden & Philips (2009)
tentang efek depresi terhadap perkembangan penyakit dan ketahanan pasien
kanker terhadap 26 studi, dengan total 9.417 pasien, menyimpulkan bahwa
risiko kematian pasien kanker dengan gejala depresi lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien kanker yang tidak depresi. Pasien tanpa depresi kemungkinan
besar meninggalnya sebesar 25%, sementara pasien yang terdiagnosa depresi
minor atau mayor kemungkinan meninggal sebesar 40%. (Satin, Linden &
Philips, 2009).
Definisi Depresi
Depresi adalah gangguan alam perasaan hati (mood) yang ditandai
dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan
sampai hilangnya gairah hidup, perasaan putus asa, hilangnya minat dalam
kegiatan yang menyenangkan, berkurangnya perhatian terhadap diri sendiri
serta lingkungan yang dapat disertai penyakit somatik, namun kepribadian
tetap utuh (tidak ada splitting of personality). Pada penderita depresi, perilaku
dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Sadock, 2010). Depresi
dapat terjadi pada keadaan normal sebagai bagian dalam perjalanan proses
kematangan dari emosi sehingga definisi depresi adalah sebagai berikut: (1)
pada keadaan normal merupakan gangguan kemurungan (kesedihan, patah
semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan,
dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang, (2) pada kasus patologis,
merupakan ketidakmauan ekstrim untuk bereaksi terhadap rangsangan
disertai menurunnya nilai diri, delusi ketidakpuasan, tidak mampu, dan putus
asa (Radityo, 2010).
Epidemiologi
Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi di
dunia. Rata-rata usia awitan adalah akhir dekade kedua, meskipun sebenarnya
depresi dapat dijumpai pada semua kelompok usia. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa depresi mayor lebih sering diderita perempuan
dibanding laki-laki dengan rasio 2:1. Prevalensi selama kehidupan pada
perempuan 10%-25% dan pada laki- laki 5%-12%. Walaupun depresi lebih
sering terjadi pada perempuan, kejadian bunuh diri lebih sering terjadi pada
laki-laki terutama usia muda dan tua (Sadock, 2010).
Patofisiologi
Ada tiga faktor besar menyebabkan depresi antara lain (1) Faktor
biologi, (2) Faktor psikologi, serta (3) Faktor lingkungan atau sosiokultural.
Faktor biologi yang berperan antara lain penurunan kepekaan reseptor
neurotransmiter Serotonin 5-HT-2 di otak, dan faktor biologi lainnya seperti
faktor genetik yang berpengaruh pada regulasi neurotransmiter golongan
Mono Amin, sehingga kadar nerutotransmiter Serotonin menjadi turun.
Faktor keturunan juga disinyalir berperan terhadap kejadian depresi. Selain
itu, saudara kembar dari penderita depresi kemungkinan berpotensi 40-50%
menderita depresi pula. Dari segi stresor psikososial, anak yang ditinggalkan
orang tuanya berpotensi menderita depresi di kemudian hari. Orang yang
menderita penyakit kronik pun berpotensi menderita depresi. Sedangkan
dari segi sosiokultural antara lain (a) hubungan sosial yang buruk, (b) beban
pikiran, (c) kesendirian atau kesepian, (d) kehilangan sesuatu yang berharga,
dan (e) mengalami suatu peristiwa yang buruk.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 227
Wika Hanida
Diagnosis Depresi
Gejala depresi dapat dinilai menggunakan alat bantu penapisan seperti
menilai skor pada kuesioner depresi yang diberikan pada pasien, seperti Beck
Depression Inventory (BDI) dan diagnosis klinis penyakit depresi didefinisikan
dengan menggunakan standar kriteria Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Kriteria ini mendefinisikan sindrom
klinis yang berlangsung selama minimal 2 minggu, selama pasien mengalami
mood depresi atau anhedonia ditambah minimal 5 dari 9 gejala dari DSM-5,
setidaknya salah satu gejala (1) mood depresi, atau (2) kehilangan minat atau
kesenangan (Maslim, 2013)
a. Mood depresi hampir sepanjang hari, hamper setiap hari, seperti yang
ditunjukkan oleh salah satu laporan subjektif (misalnya, merasa sedih,
kosong, putus asa) atau dilihat oleh orang lain (misalnya, menangis).
(Catatan: Pada anak-anak dan remaja, terdapat suasana hati mudah
tersinggung)
b. Berkurangnya minat atau kesenangan pada semua hal, atau hampir
semua kegiatan hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.
c. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet (misalnya,
perubahan lebih dari 5% dari berat badan dalam satu bulan), atau
penurunan berat badan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap
hari. (Pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk mencapai berat
badan yang diharapkan)
d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
e. Psikomotor agitasi atau retardasi hampir setiap hari (diamati oleh
orang lain, tidak hanya perasaan subjektif dari kegelisahan atau sedang
melambat).
f. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
g. Perasaan tidak berharga atau berlebihan atau merasa bersalah hampir
setiap hari (bukan hanya menyalahkan diri sendiri atau rasa bersalah
karena menjadi sakit).
h. Berkurangnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau keraguan,
hampir setiap hari (baik secara subjektif atau seperti yang diamati oleh
orang lain). Pikiran berulang tentang kematian (bukan hanya takut mati),
keinginan bunuh diri berulang dengan sebuah rencana yang spesifik,
atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.
Catatan:
- Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan atau fungsi penting.
- Episode yang berlangsung bukan merupakan efek fisiologis dari suatu
zat atau kondisi medis lain.
- Kriteria (a) dan (c) merupakan episode depresi mayor.
- Tanggapan terhadap kehilangan yang berlebihan (misalnya, berkabung,
kehancuran finansial, kerugian dari bencana alam, penyakit medis
yang serius atau cacat) mungkin termasuk perasaan sedih yang terus
menerus, merenung tentang kehilangan, insomnia, kurang nafsu makan,
dan penurunan berat badan (APA,2013).
Penatalaksanaan Depresi
Penatalaksanaan gangguan depresi meliputi psikoterapi dan
psikofarmaka. Psikoterapi menggunakan psikoterapi interpersonal (IPT)
atau Cognitive Behavioral Therapy (CBT) disarankan pada terapi awal untuk
gejala depresi ringan sampai sedang yang tidak ada tendensi untuk bunuh
diri. Pasien dengan gejala depresi sedang sampai dengan berat, paling baik
diberikan psikofarmaka sebagai lini pertama dibarengi dengan psikoterapi.
Psikoterapi merupakan terapi ajuvan dan juga digunakan untuk menyelidiki
faktor psikososial.
Gambar 1. Ringkasan pengobatan lini pertama untuk depresi (Marwick K., 2013)
Tabel 2. Antidepresan
Generik Dosis awal Dosis Final Potensi Potensi Potensi Perhatian Keuntungan
(mg) (mg) Amnesia, Hipotensi Sedasi
Aritmia
Tricyclic (TCA)
Nortriptilin 10-25 25-100 Moderat Moderat Moderat Fatal bila Therapeutic
overdosis, window 80-120
glaucoma, ng/ml
prostat
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Fluoxetin 10 mg 20-40 Rendah Rendah Rendah Pemanjangan Efek samping
T interval, tidak
nausea tremor, mengancam
insomnia, nyawa
interaksi
Sertralin 25 mg 100-200 Rendah Rendah Rendah Nausea, Interaksi
tremor, sedikit,
insomnia disetujui FDA-
juga pada
kasus PD, OCD,
PTSD
Paroxetine 10 mg 20-40 Rendah Rendah Rendah Nausea, tremor Sedasi ringan,
disetujui FDA-
utk kasus PD,
OCD, sosial
fobia
Citalopram 10 mg 20-40 Rendah Rendah Rendah Nausea, Interaksi obat
tremor, minimal , T
insomnia ½ panjang
disbanding
sertralin
Selective Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)
Venlafaxine 37.5 mg 75-225 Rendah Rendah Rendah Hipertensi Ansiolitik,
x2 ringan, sefalgia, SSRI & SNRI,
nausea, interaksi
muntah minimal, FDA-
juga GAD.
Selective Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)
Bupropion 75 mg x 2 150-300 mg Rendah Rendah Rendah Dopaminergik, Ansiolitik,
noradrenergik, depresi, bila
agitasi, gagal dengan
insomnia, TCA/SSRI
kejang, dosis
harus terbagi
Nefazodone 50 mg x 2 200-400 mg Rendah Moderat Moderat Mulut kering, Sedatif,
interaksi obat ansiolitik,
analgesik
Trazodone 25-50 mg 100-400 mg Rendah Tinggi Tinggi sangat sedatif Utk gangguan
tidur
Mirtazapin 7.5 mg 15-30 mg Rendah Rendah Moderat Pemanjangan T Bila resisten
½, CCT rendah, dengan TCA/
mulut kering, SSRI, sedatif
menaikkan BB
Tabel 3. Pilihan Antidepresan lain (Kennedy GJ, Ann Intern Med 2001; 9)
rekurensi atau relaps yang lebih awal atau terjadinya depresi kronis. Terapi
harus dilanjutkan hingga gejala-gejala yang ada hilang. Episode depresi yang
berlangsung selama lebih dari 6 bulan dan depresi dengan gejala psikotik
membutuhkan masa terapi lanjutan yang lebih lama hingga 12 bulan.
Pengobatan dan dosis yang sama seperti pada terapi fase akut digunakan
selama terapi lanjutan. Terapi fase pemeliharan dilakukan selama 12-36
bulan untuk mengurangi resiko terjadinya rekurensi hingga 2/3. Pendekatan
ini diindikasikan bagi pasien yang tiap tahunnya mengalami episode depresi,
pasien yang mengalami kerusakan fisik akibat gejala residual yang ringan,
pasien yang menderita depresi mayor atau minor yang kronis, atau bagi
pasien depresi berat dengan resiko bunuh diri. Durasi terapi pemeliharaan ini
tergantung dari sejarah penyakit dan untuk kasus yang mengalami rekurensi,
terapi pemeliharaan ini dapat diperpanjang atau bahkan dilakukan dalam
waktu yang tak terbatas (Lukluiyyati, 2010).
Daftar Pustaka
1. Satin, J.R., Linden, W., & Phillips, M.J. (2009). Depression as a predictor of disease
progression and mortality in cancer patients: A meta-analysis. Cancer, 115, 5349–
5361. doi: 10.1002/cncr.24561
2. Shirazian S, et al 2017 Depression in Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal
Disease: Similarities and Differences in Diagnosis, Epidemiology, and Management
Kidney Int Rep. 2017 Jan; 2(1): 94–107.
3. Budihalim S, Sukatman D, Mudjaddid E 2015 Ketidakseimbangan vegetatif Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed (VI) pp 3576 – 3579
4. Mudjaddid E, Budihalim S, Sukatman D 2015 Psikofarmaka dan Psikosomatik Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed (VI) pp 3576 – 3579
Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang
menyebabkan gangguan struktural dan fungsi dari sendi sinovial, melibatkan
seluruh bagian sendi termasuk tulang subkondral, meniskus, ligamen, otot
periartikular, kapsul, dan sinovium. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan
rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula
subkhondral dan tepi tulang (osteofit). Nyeri pada osteoartritis terjadi
akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin
yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendon atau ligamentum serta
spasme otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada
sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan
radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena
intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling
pada trabekula dan subkondral.5
Anamnesis 6
Terdapat berbagai hal yang mesti digali untuk menegakkan diagnosis
osteoartritis. Hal tersebut meliputi:
− Usia tua
− Nyeri sendi: Khasnya diperberat dengan aktivitas dan berkurang dengan
istirahat. Pada penyakit lanjut nyeri muncul pada saat istirahat dan
malam hari. Osteoartritis lebih sering terjadi pada sendi tangan, lutut,
dan paha.
− Kaku sendi: Rasa kaku pada sendi berlangsung <30 menit dan dapat
timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak melakukan banyak
gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama
− Keterbatasan gerakan: Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat
secara perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri
− Krepitasi: atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala
ini umum dijumpai pada pasien OA lutut.
− Pembengkakan: Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi
efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (< 100 cc) atau karena
adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi berubah
Pemeriksaan fisik 6
− Krepitasi
− Hambatan gerak
− Pembengkakan sendi asimetris
− Tanda-tanda peradangan
− Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen
− Perubahan gaya berjalan
− Menilai berat badan
Pemeriksaan penunjang 6
− Laju Endap Darah (LED).
o Biasanya LED pada OA normal.
o Pada OA inflamatif, LED akan meningkat.
− Analisis cairan sendi.
o Umumnya tidak terdapat ciri khusus, kecuali peningkatan sel
leukosit yang tidak melebihi 1.000/mm3.
− Radiologi sendi yang terserang.
o Derajat OA dapat dinilai menggunakan kriteria dari Kellgren dan
Lawrence.
o Gambaran radiologik dapat berupa osteofit, penyempitan celah
sendi, peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista
subkhondral, dan perubahan struktur anatomi sendi.
− Artroskopi.
o Terlihat gambaran kerusakan atau menghilangnya rawan sendi.
a. Klinis
Nyeri sendi lutut dan 3 dari 6 kriteria di bawah ini:
1. krepitus saat gerakan aktif
2. kaku sendi < 30 menit
3. umur > 50 tahun
4. pembesaran tulang sendi lutut
5. nyeri tekan tepi tulang
6. tidak teraba hangat pada sendi
Catatan: Sensitivitas 95% dan spesifisitas 69%.
b. Klinis dan radiologis
Nyeri sendi dan adanya osteofit dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di
bawah ini:
1. kaku sendi <30 menit
2. umur > 50 tahun
3. krepitus pada gerakan sendi aktif
Catatan: Sensitivitas 91% dan spesifisitas 86%.
c. Klinis dan laboratoris
Nyeri sendi lutut ditambah adanya 5 dari 9 kriteria di bawah ini:
1. usia >50 tahun
2. kaku sendi <30 menit
3. Krepitus pada gerakan sendi aktif
4. nyeri tekan tepi tulang
5. pembesaran tulang
6. tidak teraba hangat pada sendi terkena
7. LED<40 mm/jam
8. RF <1:40
9. Analisis cairan sinovium sesuai osteoarthritis
Catatan: Sensitivitas 92% dan spesifisitas 75%.
Artritis Reumatoid
Artritis Rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh
inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target
utama. 8
Anamnesis
Pada 2/3 pasien keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa
minggu atau bulan. Tetapi kurang dari 15% dari penderita mengalami gejala
awal yang lebih cepat yaitu beberapa hari sampai beberapa minggu.9
Kelainan sendi umumnya nyeri dan kaku pada pagi hari yang
lebih dari 1 jam pada banyak sendi, terutama mengenai sendi kecil dan
Pemeriksaan Fisik
Ditemui tanda inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat)
pada awal penyakit. Berikut frekuensi sendi yang sering terlibat pada artritis
reumatoid pada tabel 7. Selain itu dapat ditemukan macam macam deformitas
sendi pada artritis reumatoid yang dapat dilihat pada tabel 8.9
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat membantu menegakkan
diagnosis artritis reumatoid.9 10 11
- Darah lengkap
- Laju endap darah atau C-Reactive Protein (CRP) yang meningkat
- Faktor reumatoid: 70-90% Positif pada kasus RA tetapi marker ini dapat
positif pada hepatitis C dan orang sehat berusia tua. Marker ini memiliki
sensitivitas 60-90% dan spesifisitas 75%
- Anti Citrullinated Peptide (anti CCP): Biasanya digunakan dalam diagnosis
dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas
70%.
Kriteria Klasifikasi
Untuk memudahkan diagnosis AR maka dibentuklah kriteria American
College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010.
Klasifikasi AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6 atau lebih. Kriteria ini
ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Kriteria klasifikasi dapat dilihat
pada tabel 3.9
Artritis Gout
Artritis gout merupakan penyakit yang disebabkan oleh deposisi
kristal monosodium urat (MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan
ekstraselular dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik.
Gangguan metabolisme yang mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang
didefinisikan sebagai peninggian kadar asam urat lebih dari 7,0 ml/dl dan
6,0 mg/dl. Peradangan pada artritis gout adalah akibat penumpukan agen
penyebab yaitu kristal monosodium urat pada sendi. Hal ini diduga oleh
peranan mediator kimia akibat aktivasi jalur aktivitas komplemen dan selular.
Kristal urat menyebabkan proses peradangan melalui mediator IL-1 dan TNF
serta sel radang neutrofil dan makrofag.12
Anamnesis 13
a. Nyeri sendi: nyeri berat dan mendadak, sering terjadi pada malam hari
saat ekstremitas lebih dingin (hal ini karena presipitasi urat di ekstremitas
distal terjadi ketika ektremitas horizontal dan dalam keadaan dingin).
Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan.
b. Menyerang 1 sendi (monoartikular) dan asimetris sebanyak 90%, dan
oligoartikular atau poliartikular sekitar 10%. Sendi yang paling sering
diserang adalah metatarsophalange (MTP) ibu jari kaki yang sering
disebut podagra, meskipun sendi jari kaki, pergelangan kaki dan lutut
sering juga terkena.
c. Gejala sistemik seperti demam, menggigil dan lelah
d. Kondisi komorbid yang sering berhubungan dengan gout
(hipertrigliseridemia, DM, penyakit jantung koroner, hipertensi dan
sindrom metabolik)
e. Riwayat episode serangan nyeri sendi sebelumnya dan bengkak pada
sendi tanpa riwayat trauma
Pemeriksaan fisik 13
a. Tanda-tanda peradangan: sendi mengalami pembengkakan, terdapat
nyeri tekan, dan kulit di atasnya teraba hangat dan kemerahan, serta
keterbatasan gerakan
b. Demam dapat mencapai suhu 39°C
c. Ditemukan tofus di jari kaki, telinga eksternal, olekranon, bursa
prepatelar dan tangan.
d. Pruritus dan deskuamasi lokal selama fase pemulihan dari artritis akut
merupakan karakteristik gout tetapi tidak selalu ada
Pemeriksaan penunjang 13
a. LED, CRP. Hasil positif menunjukkan proses inflamasi aktif.
b. Analasis cairan sendi. Adanya kristal MSU memastikan diagnosis.
c. Asam urat darah dan urin 24 jam. Kadar dalam darah pada umumnya
meningkat. Kadar dalam urin dapat dipakai untuk status ekskresi asam
urat.
d. Ureum, kreatinin, CCT. Dipakai untuk menunjukkan derajat gangguan
fungsi ginjal.
e. Radiologi sendi. Gambaran radiologi dapat berupa inflamasi asimetri,
pembengkakan jaringan lunak, kalsifikasi pada tofus, artritis erosif bulat
atau oval yang dikelilingi oleh tepi yang sklerotik.3
Artritis Septik
Artritis septik merupakan salah satu kegawatan reumatologi karena
dapat menyebabkan destruksi sendi yang terjadi secara cepat dan dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.17 Artitis septik
dikenal juga dengan nama artritis piogenik atau artritis supurativa adalah
infeksi pada sinovium yang disebabkan oleh mikroorganisme, terutama
bakteri. Infeksi pada sinovium mengakibatkan terbentknya pus pada rongga
sinovial. Masuknya kuman ke dalam sendi dapat terjadi secara hematogen
ataupun secara langsung, misalnya akibat trauma maupun iatrogenik.18
Uji Diagnostik17 18 19
• Pemeriksaan darah perifer lengkap disertai hitung jenis, uji fungsi hati
dan kreatinin, urinalisis (untuk menyingkirkan infeksi)
• Peningkatan LED, CRP
• Kultur darah, jaringan kulit, urin, dan sputum (bila perlu)
• Pemeriksaan radiologik untuk sendi yang terkena 20
Pemeriksaan radiologi bukan pemeriksaan utama pada artritis sepsis.
Evaluasi klinis dan aspirasi cairan sendi merupakan kunci utama
diagnosis artritis sepsis. Pengambilan cairaan sendi dapat diperoleh
dengan aspirasi jarum halus dengan atau tanpa panduan fluoroskopi,
ultrasound, MRI, atau CT scan. Pemeriksaan awal dapat menggunakan
foto polos maupun USG sendi, sedangkan MRI merupakan pemeriksaan
yang paling sensitif dan spesifik. Gambaran awal foto polos menunjukkan
pembengkakan jaringan lunak di sekitar sendi dan pelebaran celah sendi
akibat efusi sendi. Seiring dengan progresi penyakit, dapat ditemukan
penyempitan celah sendi, destruksi kartilago, hilangnya kontinuitas garis
putih kortikal, dan pembentukan erosi marginal. Dapat juga ditemukan
gambaran perberatan osteomielitis berupa reaksi periosteal, destruksi
tulang, dan pembentukan sekuestrum.
Spondiloartropati Seronegatif
Spondiloartropati seronegatif adalah sekelompok kelainan reumatologik
yang secara klasik meliputi spondilitis ankilosa, artritis psoriasis, artritis
yang berhubungan dengan inflammatory bowel disease, artritis reaktif, dan
spondiloartropati yang tidak dapat didiferensiasi. Baru-baru ini ada diagnosis
tambahan yang meliputi non-radiographic axial SpA (nr-axSpA), peripheral
SpA, dan juvenile-onset SpA. Kelompok kelainan ini memiliki beberapa fitur
klinis dan hubungan genetik yang mirip. Diagnosis ditegakkan melalui
kombinasi gejala, pemeriksaan fisik, radiologi, dan laboratorium.22
berjalan dan nyeri pada perabaan. Daktilitis adalah temuan tidak spesifik
namun sering dijumpai pada PsA dan ReA.
• Kelainan non-muskuloskeletal yang penting termasuk riwayat
inflamasi okular (uveitis, iritis, konjungtivitis), riwayat infeksi traktus
gastrointestinal maupun genitourinaria, dan gejala IBD atau psoriasis.
• Riwayat keluarga menderita SpA atau kelainan autoimun yang lain.
Pemeriksaan Penunjang 23 24
• Evaluasi SpA meliputi uji laboratorium dan radiologi. Pendekatannya
tergantung pada keluhan yang terdapat pada pasien, yaitu nyeri
inflamatori punggung bawah, artritis inflamasi, entesistis, atau daktilitis.
• Pasien dengan nyeri punggung inflamatori : foto polos sendi sakroiliaka
dan vertebra dan uji marker inflamasi. Marker inflamasi akan naik pada
SpA. Pada spondilitis ankilosa, foto polos umumnya dapat mendeteksi
perubahan struktur pada tahap lanjut dan kurang bermanfaat pada tahap
awal penyakit. Temuan klasik pada foto polos umunya menunjukkan
shiny corner (sklerosis pada tempat menempelnya annulus fibrosis
pada kornu anterior vertebra), bamboo spine (kalsifikasi cincin fibrosa
pada diskus intervertebra yang membentuk sindesmofit marginal), dan
squaring badan vertebra.
• Jika pasien tidak memiliki bukti foto polos yang kuat mendukung
gambaran spondilitis ankilosa, umumnya dilakukan tes HLA-B27, juga
perlu dipertimbangkan MRI untuk mendeteksi gambaran awal inflamasi.
• Pasien dengan nr-axSpA tidak memiliki gambaran radiologis definitif
namun memiliki bukti klinis dan serologis menderita spondiloartropati.
• Pasien yang memiliki tanda artritis inflamatori, enthesitis, atau daktilitis,
perlu dilakukan evaluasi adanya psoriasis, IBD, atau riwayat infeksi
sebelumnya. Adanya kondisi predisposisi mendukung diagnosis psoriasis
artritis, spondiloartropati yang berhubungan dengan IBD, maupun
artritis reaktif. Tidak adanya kondisi predisposisi dapat menjadi indikasi
dilakukan pemeriksaan marker autoimun dan inflamasi, pemeriksaan
radiologi terhadap sendi yang terkena, serta pelacakan adanya uveitis.
Kriteria klasifikasi
Assessment of Spondyloarthritis International Society (ASAS) memiliki kriteria
diagnosis, yaitu untuk spondiloartritis aksial dan perifer.
Pasien dengan gejala nyeri punggung >= 3 bulan (dengan/tanpa Pasien dengan
manifestasi perifer) manifestasi perifer
dan onset usia < 45 tahun saja
Sakroiliitis pada radiologi atau HLA-B27 DITAMBAH >= 2 fitur Artritis atau entesitis
DITAMBAH >= 1 fitur SpA SpA lain atau daktilitis
DITAMBAH
Tabel 11. Definisi fitur SpA untuk kriteria klasifikasi SpA perifer 25
Fitur SpA Definisi
Kriteria entri
Artritis Artritis perifer saat ini yang sesuai dengan SpA (biasanya asimetris dan/atau
predominan mengenai sendi di ekstremitas bawah)
Entesitis Entesitis saat ini, didiagnosis secara klinis oleh dokter
Daktilitis Daktilitis saat ini, didiagnosis secara klinis oleh dokter
Fitur tambahan
Riwayat nyeri Riwayat nyeri sesuai dengan pertimbangan klinis reumatolog
punggung
inflamatori*
Artritis Artritis perifer saat ini atau riwayat, yang sesuai dengan SpA (biasanya
asimetris dan/atau predominan mengenai sendi di ekstremitas bawah)
Entesitis Nyeri spontan atau nyeri tekan pada pemeriksaan entesis saat ini atau
riwayat
Uveitis Uveitis saat ini atau riwayat, didiagnosis oleh oftalmolog
Daktilitis Daktilitis saat ini atau riwayat, didiagnosis oleh dokter
Psoriasis Psoriasis saat ini atau riwayat, didiagnosis oleh dokter
IBD Kolitis ulsertaif atau penyakit Crohn saat ini atau riwayat, didiagnosis oleh
dokter
Riwayat infeksi Uretritis/servisitis atau diare dalam 1 bulan sebelum onset artritis/entesitis/
daktilitis
Riwayat keluarga Riwayat pada keluarga derajat pertama (ibu, ayah, saudara kandung, anak)
dengan SpA atau derajat kedua (kakek atau nenek baik maternal atau paternal, paman,
bibi, keponakan) didapatkan: (1) ankylosing spondylitis, (2) psoriasis, (3)
uveitis akut, (4) artritis reaktif, atau (5) IBD
HLA-B27 Hasil positif sesuai teknik laboratorium standar
Gambaran Sakroiliitis grade 2-4 bilateral atau grade 3-4 unilateral pada foto polos
sakroiliitis pada sesuai Modified New York Criteria, atau sakroiliitis aktif pada MRI sesai
radiologi definisi konsensus ASAS
*Hanya riwayat nyeri punggung di masa lalu yang dipertimbangkan (dan manifestasi perifer konkomitan)
pada kriteria klasifikasi ASAS untuk SpA aksial. Kriteria klasifikasi SpA aksial untuk nyeri punggung saat ini
dipertimbangkan dan didefinisikan sesuai definisi ekspert ASAS, yaitu memenuhi minimal empat dari lima
parameter: (1) onset usia <40 tahun; (2) onset timbul mendadak; (3) perbaikan gejala dengan olahraga; (4)
tidak ada perbaikan gejala dengan istirahat; (5) nyeri saat malam (dengan perbaikan saat bangun tidur).
**Area manapun dapat terkena entesitis, namun kriteria klasifikasi ASAS untuk SpA aksial hanya
mempertimbangkan entesitis pada tumit.
ASAS: Assessment of SpondyloArthrtitis international Society; HLA-B27: human leukocyte antigen B27; IBD:
inflammatory bowel disease; SpA: spondiloartritis.
Anamnesa
Tipikal presentasi dari Lupus artritis meliputi poliartritis, biasanya
simetris, kekakuan sendi 30-60 menit, Walaupun dapat menyerang semua
sendi, artritis pada LES sering mengenai sendi-sendi kecil dibandingkan
sendi-sendi besar. Durasi dari nyeri sendi bervariasi, bisa beberapa jam,
minggu, bahkan bulan. Pasien juga mengeluh bengkak sebagai akibat dari
peradangan dan produksi cairan sendi dan proliferasi sinovial, meskipun
keluhan bengkak pada sendi tidak selalu menonjol seperti pada kasus
RA.29
Pada SLE keluhan nyeri sendi akan diikuti keluhan sistemik lainnya
ruam di kulit, rambut rontok, fotosensitivitas, dan keluhan SLE lain perlu
dievaluasi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bisanya ditemukan kekauan sendi terutama pagi hari,
bengkak, nyeri tekan, keterbatas gerakan, temuan ini bisanya ditemukan
pada 67% kasus.30 Sendi yang paling banyak terkena adalah sendi tangan
termasuk metacarpopahalangeal (MCP), proximalinterphalangeal (PIP),
dan distal interphalangeal (DIP), dapat juga mengenai sendi lutut, bahu,
ankle, dan siku walaupun jarang.29 Perlu dillihat juga munculnya tanda-
tanda peradangan. Pada SLE munculnya kelainan pada organ lain juga
perlu dievaluasi.
Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan Darah rutin dan marker infalamsi (LED, CRP)
- Jika memungkinkan dapat dilakukan aspirasi cairan sendi
- Pemeriksaan ANA IF, anti-ds DNA , C3 C4 Komplemen
- Radiologi : X-ray, USG Muskuloskeletal, MRI
Kriteria Diagnosis
Diagnosis LES ditegakkan dari penilaian kriteria klinis oleh klinis
yang berpengalaman. Berbagai kriteria klasifikasi digunakan namun
yang umum dipakai di Indonesia adalah kriteria American College of
Rheumatology (ACR) yang beberapa kali telah mengalami revisi sejak
pertama dikeluarkan tahun 1971, direvisi pertama kali tahun 1982 dan
terakhir tahun 1997. Dari kriteria ACR, terdapat 11 kriteria klinis, bila
dijumpai 4 atau lebih kriteria, diagnosis LES memiliki sensitiitas 85%
dan spesiisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan
LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada,
maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. 27 31
Kriteria Deksripsi
Serositis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleural friction rub yang didengar oleh
a. Pleuritis dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
b. Perikarditis b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau > 3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif, atau
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
neurologi metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit), atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit).
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis, atau
hematologi b. Leukopenia < 4.000/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih,
atau
c. Limfopenia < 1.500/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
d. Trombositopenia < 100.000/ mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan
Gangguan a. anti-dsDNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
imunologik abnormal, atau
b. anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm,
atau
c. temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasari atas:
· kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM
· tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standar
· hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes
imobilisasi Treponema
· pallidum atau tes fluoresensi antibodi treponema.
Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
Antinuklear (ANA) imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat
Kriteria Imunologi
ANA
Anti dsDNA
Anti-Sm Positif
Antibodi antifosfolipid Salah satu dari:
• Antikoagulan lupus positif
• Rapid plasma reagin positif palsu
• Titer antikardiolipin (IgA,IgG, atau IgM) sedang atau
tinggi
• Anti β-2 glikoprotein positif
Komplemen Rendah C3 Rendah, C4 Rendah, atau CH50 rendah
Tes Coomb direk positif Tanpa adanya anemia hemolitik
Keterangan : pasien termasuk LES apabila memenuhi 4 dari 17 kriteria, sekurang kurangnya 1 kriteria
klinis dan 1 kriteria imunologi atau pasien dengan nefritis yang sesuai dengan LES dan terbukti dari
biopsi disertai dengan pemeriksaan ANA atau anti-dsDNA positif.
Domain Serositis
Efusi pleura atau perikardium 5
Perikarditis akut 6
Domain Hematologik
Leukopenia 3
Trombositopenia 4
Hemolisis autoimun 4
Domain Ginjal
Proteinuria > 500 mg/24 jam 4
Lupus nefritis kelas II atau IV 8
Lupus nefritis kelas III atau IV 10
Domain Imunologi
Domain antibodi antifosfolipid
IgG antikardiolipin > 40 GPL atai IgG anti-β2GP1 > 40 unit atau antikoagulan 2
lupus
Domain Protein Komplemen
C3 Rendah atau C4 Rendah 3
C3 Rendah dan C4 rendah 4
Domain Imunologi
Domain antibodi yang sangat spesifik
Antibodi anti-dsDNA 6
Antibodi anti-Sm 6
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk menegakan sklerosis sistemik berdasarkan ACR
dapat dilihat pada kriteria dibawah ini. 33 35
A. Kriteria Mayor
Skleroderma proksimal : pengerasan (skleroderma) kulit dan indurasi pada
kulit jari – jari dan kulit proksimal terhadap sendi metacarpophalangeal
atau metatarsofalangeal secara simetris. Perubahan ini dapat juga
mengenai seluruh ekstrimitas, wajah, leher, badan (dada dan perut)
B. Kriteria minor
- Sklerodaktili (pengerasan kulit pada jari-jari)
- Digital pitting scars atau hilangnya jaringan pada ujung jari akibat
iskemia
- Fibrosis pulmonal bibasilar : pola retikular bilateral dengan densitas
linier atau lineonodular terutama didaerah basal paru pada rontgen
thoraks, gambaran bercak difus atau honeycomb; perubahan ini
bukan disebabkan penyakit paru primer lain
Penderita didiagnosis sklerosis sistemik jika memenuhi kriteria mayor
atau sekurang-kurangnya 2 kriteria minor
Manifestasi
Pasien dengan RV memliki nodul subkutan, ulkus, infark atau gangren
pada kulit, purpura, mononeuritis multipleks, episkleritis, pneumonia
interstitial, perikarditis, miokarditis, infark pulmonar. Pemeriksaan
penunjang yang mendukung adalah faktor reumatoid yang tinggi, penurunan
kadar kompemen dan adanya kompleks imun pada darah.16
Kriteria Diagnosis
A. Kriteria klinis dan penemuan laboratoris
- Mononeuritis Multipleks
- Ulkus kulit atau infark
- Gangren pada jari, nodul subkutan
- Episkleritis atau iritis
- Pleuritis eksudat atau perikarditis
- Miokarditis
- Pneumonia interstitial atau fibrosis pulmonal
- Infark pada organ
- Peningkatan Faktor Reumatoid
- Penurunan kadar komplemen atau adanya kompleks imun pada
darah
B. Penemuan Histologi
Biopsi pada kulit, otot, saraf atau organ yang terlibat menunjukkan
adanya vaskulitis nekrotik, vaskulits granulomatosa atau endoangitis
oklusi pembuluh darah kecil-sedang
Diagnosis
Jika pasien memeuhi kriteria rheumatoid arthritis dari ACR dan
- Memiliki ≥ 3 item pada kriteria A atau
- Memiliki ≥ 1 item pada kriteria A dan B
Kondisi yang harus disingkirkan sebelum mendiagnosis : amiloidosis, infeksi,
SLE, polimiositis, mixed connective-tissue disease.16
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis : sekitar 80% pasien mengeluhkan nyeri otot atau nyeri
sendi atau kekakuan. Deformitas dan destruksi sendi tidak terjadi. Biasanya
gejalanya adalah mialgia dan kelemahan pada otot yang biasanya mengenai
otot gastroknemius.16
PAN merupakan vaskulitis sistemik dan biasanya gejala dan tanda terjadi
akibat inflamasi karena iskemia atau infark. Selain gejala sendi biasanya
ditemukan manifestasi sistemik yang lain pada sistem organ lainnya yaitu
ginjal, sistem saraf, jantung, respirasi, gastrointestinal, dan kulit. Gejala
konstitusional seperti demam, berat badan turun dan tekanan darah tinggi
sering menyertai penyakit ini.16
Pemeriksaan Penunjang
- Darah: leukositosis, anemia dan trombositosis sering terjadi pada
banyak pasien. Peningkatan CRP dan LED seringkali bermakna. BUN dan
kreatinin meningkat jika terdapat keterlibatan ginjal
- Pemeriksaan khusus
1. ANCA: pasien dengan PAN yang hanya melibatkan pembuluh darah
sedang dan kecil, insidensi ANCA yang positif bersifat rendah (≤20%)
2. HbsAg: meskipun hepatitis B berhubungan dengan PAN, tetapi
prevalensi HbsAg positif cukup rendah
- Pemeriksaan histopatologi: pada pemeriksaan biopsi terdapat bukti
adanya nekrosis fibrinoid pada arteri ukuran kecil-sedang. Biopsi
biasanya sering diperoleh dari otot yang mengalami gejala dan ginjal.
Pasien dengan mononeuritis mutiplex atau mialgia pada ektrimitas
bawah maka biopsi otot gastroknemius sering menemukan hasil yang
khas PAN
- Radiologi: PAN memiliki ciri multiple aneurisma, stenosis dan oklusi
pada arteri kecil-sedang.
Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis PAN dibuat oleh Intractable Vasculitis Study Group of the
MHLW yang direvisi tahun 2006. 16
Penemuan histologi
Terdapat nekrosis fibrinoid pada arteri kecil-sedang
Penemuan angiography
Mikroaneurisma multipel, stenosis dan oklusi pada cabang aorta abdominal
(seringkali pada arteriol renal)
Diagnosis
Definit: terdapat ≥ 2 penemuan klinis mayor disertai penemuan histologi
Probable:
a. Terdapat ≥ 2 penemuan klinis mayor disertai penemuan angiographic
b. Terdapat ≥ 6 penemuan klnis mayor termasuk poin no 1
Sjogren Syndrome
Sjorgen syndrome adalah suatu penyakit kronik, sistemik, yang
disebabkan oleh autoiumun alami, penyakit ini ditandai oleh infiltrasi sel sel
limfosit pada kelenjar exocrine (lakrimal dan saliva) dan hiperaktivitas sel B.
Dengan prevalensi sebesar 0,1% - 4,8%, yang meningkat seiring pertambahan
usia. Manifestasi klinis SS dapat mengenai kelenjar eksokrin (tipe glandular)
(dengan gejala mulut kering maupun air mata kering) atau tipe ekstragrandular
(sistemik). Patogenesis SS melibatkan adanya autoantibodi anti-Ro (SS-A)
dan anti-La (SS-B).37
Anamnesa
Sebanyak 25 pasien (54%) dengan SS primer mengeluhkan atralgia dan
artritis. 8 pasien (31%) dengan keluhan persendian berkembang menjadi
Sicca symptoms.38 Diantara 26 pasien dengan artropathy atralgia pada SS 88%
terjadi simetris, disertai kekauan sendi >30 menit pada pagi hari, menyerang
lebih dari satu sendi (poliartritis).39
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sendi menunjukkan poliartritis non erosif, dengan
keterbatasan gerakan sendi, dapat dijumpai tanda peradangan berupa, teraba
hangat, kemerahan, nyeri tekan.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan X-ray dapat membantu melihat kelainan pada artritis SS
dimana didapatkan non erosif artritis dan sinovitis, serta penyempitan celah
sendi. Pemeriksaan autoantibodi yang dapat dilakukan adalah : antibodi
spesifik organ dan antibodi non spesifik organ (Faktor rheumatoid, ANA, anti-
Ro, anti-La).39 Tes Schimer dapat digunakan untuk mengevaluasi produksi
kelenjar air mata. Biopsi kelenjar eksokrin juga dapat dilakukan untuk
menegakkan SS.
Kesimpulan
Artritis dapat merupakan suatu entitas penyakit tersendiri, maupun
timbul sebagai manifestasi dari penyakit lain. Pendekatan klinis artritis
dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan
penunjang. Artritis dengan inflamasi merupakan salah satu keadaan yang
perlu dirujuk ke reumatologis.
Daftar Pustaka
1. Elkayam, O. et al. (2019) Diagnostic strategies in rheumatology, EULAR On-line
Course on Rheumatic Diseases.
2. El-Gabalawy., H.S., 2017. Synovial Fluid Analysis, Synovial Biopsy, and Synovial
Pathology. Dalam: Firestein, G.S., Budd, R.C., Gabriel, S.E., McInness, I.B., O’Dell.,
J.R (ed). Kelley and Firestein’s Textbook of Rheumatology, 10th edition. Elsevier.
Diunduh dari www.clinicalkey.com pada tanggal 19 Desember 2016.
3. Helfgott, S.M., Shmerling, R. .H., Curtis, M.R., Monoarthritis in adults: Etiology and
evaluation. Diunduh dari www.uptodate.com pada tanggal 26 Agustus 2019.
4. Shmerling, R.H., Helfgott, S.M, Curtis, M.R., Evaluation of the adult with polyarticular
pain. Diunduh dari www.uptodate.com pada tanggal 26 Agustus 2019.
5. Keith, S., et al. 2012. Osteoarthritis: Diagnosis et treatment. American family
physician. Vol.85.
6. George, P., Peter, C., Elaine, H. 2001. Clinical Assessment of the Osteoarthritis
Patient. Best Practice & Research Clinical Rheumatology Vol. 15, No. 4, pp. 527±
544.
7. Altman, R., et al. 1991. The American College of Rheumatology Criteria for
the Classification and Reporting of the Osteoarthritis of the Hip. Arthritis and
Rheumatism, Vol. 34, No.5
8. Heidari, B. 2011. Rheumatoid Arthritis : Early diagnosis and treatment outcomes.
Casp J Intern Med. 2011; 2(1) : 161-170
9. Suarjana, I. 2014. Arhtritis Rheumatoid. Buku Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Jakarta
: PAPDI
10. Ingegnoli et al. 2013. Rheumatoid Factors: Clinical Applications. Disease Markers.
Volume 35 (2013), Issue 6, Pages 727–734
11. Wasserman, Amy M. 2011. Diagnosis And Management Of Rheumatoid Arthritis.
American Family Physician. Volume 84, Number 11.
12. Gall, E.P. 1998. Hyperuricemia and Gout. In:Greene HL, Johnson WP, Lemcke D, eds.
Decision making in medicine. Baltimore: Mosby: 442-3.
13. Robin, K. 2008. The Gout Diagnosis. Clevelancleveland Clinic Journal of Medicine.
vol 75.
14. Tuhina, N., et al. 2015. 2015 Gout Classification Criteria. Arthritis & Rheumatology.
Vol. 67, No. 10, October 2015, pp 2557–2568.
15. Neogi T, Jansen T, Dalbeth N, et al. Gout classification criteria: an American College
of Rheumatology/European League Against Rheumatism collaborative. Ann
Rheum Dis. 2015:0:1-10.
16. JCS Joint Working Group. 2011. Guideline for Management of Vasculitis Syndrome.
Circulation Journal. Vol.75, February 2011
17. Horowitz, D. L., & Katzap, E. 2011. Approach to septic arthritis. Am Fam
Physician. 2011 Sep 15;84(6):653-660.
18. Garcia-Arias, M., Balsa, A., & Mola, E. M. 2011. Septic arthritis. Best Practice &
Research Clinical Rheumatology 25 (2011) 407–421.
19. Goldenberg, D. L., & Sexton, D. J. 2019. Septic arthritis in adults. Diakses pada
Agustus 2019 dari https://www.uptodate.com/contents/septic-arthritis-in-adults
20. Nunez-Atahualpa, L. 2016. Septic arthritis imaging. Diakses 21 Agustus 2019 dari
https://emedicine.medscape.com/article/395381-overview
21. Sharff, K. A., Richards, E. P, & Townes, J. M. 2013. Clinical management of septic
arthritis. Curr Rheumatol Rep (2013) 15:332.
22. Sen, R., & Hurley, J.A. 2019. Seronegative spondyloarthropathy. Diakses 21 Agustus
2019 dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459356/
23. Van Tubergen, A., & Weber, U. 2012. Diagnosis and classification in spondyloarthritis:
identifying a chameleon. Nat. Rev. Rheumatol (2012) 8: 253–261.
24. Mandl, P., Navarro-Compán, V., & Terslev, L. 2015. EULAR recommendations for
the use of imaging in the diagnosis and management of spondyloarthritis in clinical
practice. Ann Rheum Dis (2015): 74: 1327–1339.
25. Rudwaleit, M., Van der Heijde, D., Landewe, R., Akkoc, N., Brandts, J., Chou, C.T.,
Dougados, M., Huang, F., Gu, J., Kirazli, Y., Van den Bosch, F., Olivieri, I., Roussou,
E., Scarpato, S., Sorensen, I.J., Valle-Onate, R., Weber, U., Wei, J., Sieper., J. The
Assessment of SpondyloArthritis international Society classification criteria for
peripheral spondyloarthritis and for spondyloarthritis in general. Ann Rheum Dis
2011;70:25–31. doi:10.1136/ard.2010.133645
26. Sabatine, M.S. 2016. The Massachusetts General Hospital Handbook of Internal
Medicine. 6thEd. Wolter Kluwers: Philadelphia.
27. Sumariyono, dkk (Tim Penyusun).2019. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematous Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia : Jakarta.
28. Ozbek S, Sert M, Paydas S, & Soy, M. Delay in the diagnosis of SLE: the importance
of arthritis/arthralgia as the initial symptom. Acta Med Okayama. 2003
Aug;57(4):187-90.
29. Grossman, J., Lupus Arhtritis. Best Practice & Research Clinical Rheumatology 23
(2009) 495–506
30. Labowitz R, Schumacher Jr HR. Articular manifestations of systemic lupus
erythematosus. Ann Intern Med 1971 Jun; 74(6):911–21.
Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan sebuah spektrum presentasi
klinis dimulai dari infark miokard elevasi segmen-ST (STEMI) sampai
presentasi yang ditemukan pada infark miokard non-elevasi segmen-ST
(NSTEMI) atau angina tidak stabil.1,2,3 SKA hampir selalu berhubungan dengan
ruptur plak ateroskerotik dan trombosis parsial atau komplet dari arteri yang
mengalami infark.1
Epidemiologi
Penyakit jantung iskemik merupakan penyebab kematian terbanyak
dan frekuensinya meningkat di dunia. Namun, di Eropa terdapat penurunan
mortalitas penyakit jantung iskemik pada tiga dekade terakhir.4,5 Penyakit
jantung iskemik sekarang terhitung hampir 1,8 juta kematian per tahun atau
20% dari semua kematian di Eropa, walaupun terdapat variasi besar tiap
negaranya.4,6 Angka kekerapan STEMI dan NSTEMI menurun dan meningkat,
secara berturut-turut.4,7,8,9 Register yang paling komprehensif, European
STEMI registry ditemukan di Swedia, dimana angka kekerapan STEMI adalah
58 per 100.000 per tahun pada tahun 2015.10 Pada negara Eropa lain, angka
insidensi berkisar dari 43 sampai 144 per 100.000 per tahun.11
Mekanisme
Perubahan Imunitas Bawaan dan Adaptif
Pada pasien dengan ACS, aktivitas tinggi sel T efektor memberi kesan
bahwa mekanisme melibatkan disregularitas imunitas adaptif memainkan
peran dalam instabilitas koroner. Peluruhan CD31 fungsional domain
1-5 mengarah kepada aktivasi limfosit tidak terkontrol. Flego dkk,12,13
menemukan bahwa peningkatan pelepasan MMP-9 memainkan peran kunci
dalam menentukan pembelahan dan penghancuran CD31 fungsional domain
1-5 pada CD4+ sel T pasien SKA. Mereka mengusulkan sekuens kejadian
berikut dalam ACS dan bukti sistemik inflamasi: MMP-9, dilepaskan oleh sel-
sel imunitas bawaan dan sel-sel T, menyebabkan pembelahan CD31 domain
1-5; peningkatan ekspresi MMP-9 mungkin mempengaruhi aktivasi sel T
Erosi Plak
Paling tidak satu per tiga SKA disebabkan oleh erosi plak dan prevalensi
mungkin meningkat.12,14 Dai dkk. menilai culprit plak pada 822 pasien datang
dengan STEMI oleh optical coherence tomography (OCT) dan menemukan
bahwa erosi plak merupakan bukti klinis berbeda dari ruptur plak pada
pasien STEMI. Jadi, pada analisis multivariabel, usia <50 tahun, merokok,
tidak adanya faktor risiko koroner lain, kurangnya penyakit pembuluh darah,
penurunan beratnya lesi, ukuran pembuluh lebih besar, dekat bifurkasio,
berhubungan dengan erosi plak.12,15 Perbedaan substansial antara erosi plak
dan fisura plak juga ditemukan oleh Sugiyama dkk.12,16 yang melakukan OCT
tiga pembuluh darah pada 51 pasien dengan SKA dan mengobservasi bahwa
dibandingkan dengan mereka dengan ruptur plak culprit, pasien dengan
erosi plak memiliki angka lebih kecil plak non-culprit dan tingkat instabilitas
vaskular yang lebih rendah, mengonfirmasi bahwa mekanisme patofisiologis
berbeda pada erosi plak dan ruptur plak.12
Gambar 1. Model erosi plak. Gambar ini merangkum hipotesis yang datang dari
pengalaman dan studi post-mortem pada erosi plak dan data dari penelitian klinis
ini. Overekspresi dari hyaluronidase 2 pada sel-sel mononuklear darah perifer
(membran, sitoplasma, dan nukleus) di bawah kondisi peningkatan tekanan (#1)
menyebabkan degradasi hyaluronan berat molekul tinggi sampai hyaluronan berat
molekul rendah proinflamasi (#2), juga rekrutmen netrofil (#3), yang terakhir
penguat overekspresi CD44, dimana dibutuhkan dan sufisien untuk penempelan
netrofil terhadap hyaluronan berat molekul rendah.12
Diagnosis
1. Anamnesis
Aterosklerosis merupakan penyebab utama SKA, dengan kebanyakan
kasus yang terjadi dari disrupsi lesi tidak berat sebelumnya. Keluhan
dilaporkan oleh pasien dengan SKA termasuk:1
• Palpitasi
• Nyeri, dimana biasanya dijelaskan sebagai tekanan, tindihan, atau
sensasi terbakara sekitar prekordium dan dapat meluas ke leher,
bahu, rahang, punggung, abdomen atas, atau lengan
• Dispneu
• Diaforesis
• Mual
• Berkeringat dingin
• Berdebar
• Nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik
Temuan fisik dapat berkisar dari normal sampai berikut:1
• Hipotensi: mengindikasikan disfungsi ventrikel akibat iskemik
miokard, infark miokard, atau disfungsi katup akut.
• Hipertensi: dapat mempresipitasi angina atau mencerminkan
peningkatan tingkat katekolamin akibat ansietas atau stimulasi
simpatomimetik eksogen.
• Diaforesis
• Edema paru dan tanda lain gagal jantung kiri.
• Distensi vena jugular.
• Kulit dingin dan basah dan diaforesis pada pasien dengan syok
kardiogenik
• Suara jantung ketiga (S3) dan, seringkali, suara jantung keempat
(S4).
• Murmur sistolik oleh karena tekanan MR atau AS
3. Electrokardiogram
ECG 12-lead merupakan alat diagnostik lini pertama dalam menilai
pasien dengan curiga SKA (Gambar 2). Ini direkomendasikan dalam
10 menit pertama pasien datang ke ruang gawat darurat atau idealnya
pada kontak pertama ke layanan kesehatan gawat darurat sebelum
ke rumah sakit dan untuk secepatnya diinterpretasi oleh dokter yang
berkompeten.1
4. Biomarkers
Biomarker melengkapi penilaian klinis dan ECG 12 lead dalam
mendiagnosis, stratifikasi risiko, dan terapi pasien dengan curiga NSTE-
ACS. Penilaian biomarker cedera kardiomiosit, lebih disukai troponin
jantung sensitivitas tinggi, dibutuhkan pada semua pasien dengan curiga
NSTE-ACS.1,18,19 Troponin jantung lebih sensitif dan spesifik untuk cedera
kardiomyosit dibandingkan creatine kinase (CK), dan isoenzim MB (CK-
MB) dan mioglobin. Jika presentasi klinis lebih memungkinkan iskemia
miokardium, elevasi dinamik troponin jantung di atas persentil 99 dari
individu sehat mengindikasikan MI.1,18 Pada pasien dengan MI, tingkat
troponin jantung meningkat dengan cepat (yaitu biasanya dalam 1 jam
jika menggunakan assay sensitivitas tinggi) setelah onset gejala dan
masih meningkat dalam waktu yang bervariasi (biasanya beberapa
hari).1,18
Diagnosis Banding
Pada pasien yang datang dengan nyeri dada akut ke departemen gawat
darurat, prevalensi penyakit dapat diekspektasikan sebagai berikut: 5-10%
STEMI, 15-20% NSTEMI, 10% angina tidak stabil, 15% kondisi kardiak lain,
dan 50% penyakit non-kardiak. 1,20,21 Beberapa kondisi kardiak dan non-
kardiak dapat memimik NSTE-ACS (Tabel 1).1
Tabel 1. Diagnosis banding sindrom koroner akut pada nyeri dada akut.1
Tatalaksana
1. Tatalaksana farmakologis iskemia
Tujuan terapi antiiskemik farmakologis adalah untuk menurunkan
kebutuhan oksigen miokard (sekunder terhadap penurunan laju
jantung, tekanan darah, preload atau kontraktilitas miokard) atau untuk
meningkatkan suplai oksigen miokard (dengan pemberian oksigen atau
melalui vasodilatasi koroner). Oksigen harus diberikan ketika saturasi
oksigen darah 90% atau jika pasien dalam kesulitan bernapas.1,22
Pasien dengan tanda iskemia gejalanya tidak menghilang menggunakan
nitrat dan penghambat beta, pemberian opiat dapat dilakukan selagi
menunggu angiografi koroner, dengan peringatan bahwa morfin dapat
memperlambat absorpsi intestinal dari penghambat platelet oral.1
Akut miokard infark harus ada bukti dari injury myocardial ditandai
dengan peningkatan dari cardiac troponin paling tidak satu nilai di
2. Penghambat beta
Penghambat beta secara kompetetif menginhibisi efek miokard
pada katekolamin sirkulasi dan menurunkan konsumsi oksigen
Tabel 3. Rekomendasi obat-obat anti iskemik pada fase akut dari NSTE-
ACS1
3. Inhibisi platelet
Aspirin
Aspirin (asam asetilsalisilat) secara ireversibel menginaktivasi
aktivitas sikooksigenase (COX) dari sintetase 1 endoperoksida
prostaglandin platelet (COX-1), sehingga menekan produksi
tromboksan A2 sepanjang hidup platelet (tabel 5). Aspirin
menunjukkan efektif pada pasien dengan angina tidak stabil; infark
4. Inhibitor P2Y12
4.1. Clopidogrel
Clopidogrel (dosis loading 300-600 mg dan dosis maintenan 75
mg/hari) merupakan obat inaktif yang membutuhkan oksidasi
oleh sistem hepatiksitokrom P450 (CYP) untuk memulai
metabolit aktif (Tabel 6). Estimasi 85% prodrug dihidrolisis
oleh esterase menjadi gambaran inaktif, menyebabkan
hanya 15% klopidogrel yang tersedia untuk transformasi
menjadi metabolit aktif, yang secara selektif dan ireversibel
menginaktivasi reseptor platelet P2Y12 sehingga menginhibisi
agregasi platelet terinduksi ADP (Gambar 3). Dual antiplatelet
treatment (DAPT) terdiri dari aspirin dan klopidogrel telah
menunjukkan menurunkan kejadian iskemik rekuren pada
NSTE- ACS dibandingkan dengan aspirin sendiri.1
4.2.
Prasugrel.
Prasugrel loading 60 mg dan maintenance dose 10 mg/ hari
adalah prodrug yang memblok irrevesible P2 Y12 reseptor
dengan onset yang lebih cepat yang efek penghambatan lebih
profound dari klopidogrel.
4.3.
Ticagrelor
Ticagrelor adalah dalam benttuk oral, ikatan P2Y12 inhibitor
yang reversible dengan half life 6-12 jam. Ticagrelor juga
menghambat reuptake adenosin via equilabrative nucleoside
transporter 1 (ENT 1). Seperti prasugrel, ticagrelor lebih cepat
onsetnya dibandingkan dengan klopidogrel.1
4.4.
Cangrelor
Cangrelor adalah analog adenosine triphosphate(ATP) intra
vena ikatan yang reversible dengan afinitas tinggi terhadap
platelet P2Y12 reseptor dan mempunyai half life plasma yang
pendek (< 10 menit ).1
6. Anti koagulan
Anti koagulan digunakan untuk menghambat pembentukan trombin,
untuk menurukan kejadian thrombus. Ada bukti bahwa antikoagulan
efektif menurunkan kejadian iskemik pada NSTEMI dan kombinasi
dengan inhibitor platelet lebih efektif dari pengobatan antikoagulan
Tabel 9. Rekomendasi management pasien gagal jantung akut akibat dari NSTE-
ACS.1
Pasien dengan gagal jantung pada STEMI harus dimonitor denyut jantung,
tekanan darah dan urine output. Mekanisme penegakkan diagnosis
gagal jantung harus sesegera mungkin dengan pemeriksaan fisik, EKG,
ekhocardiografi dan bila tidak segera terkontrol, dilakukan monitor
invasif hemodinamik dan koreksi sesegera mungkin. Penggunaan awal
penghambat beta, ACE inhibitor, ARB dan MRA direkomendasikan pada
pasien-pasien hipertensi, hipovolemia atau gangguan disfungsi renal.
Tabel 10. Rekomendasi managemen pasien dengan gagal jantung pada STEMI.4
Tabel 11. Rekomendasi managemen pasien dengan gagal jantung pada NSTE-
ACS.1
4. Komplikasi Mekanik
Komplikasi ini bisa terjadi pada hari pertama serangan STEMI. Walaupun
angka kekerapannya menurun secara bermakna pada era primary PCI.
Komplikasi mekanik mengancam jiwa dan membutuhkan deteksi dini
dan tatalaksana yang baik. Hipotensi mendadak, nyeri dada berulang,
murmur jantung baru memberikan gambaran mitral regurgitasi atau
VSD, kongestif paru atau distensi vena jugularis harus dideteksi sesegera
mungkin. Pemeriksaan ekhokardiografi harus sesegera mungkin
dilakukan saat terjadi komplikasi mekanik. Contoh komplikasi mekanik
adalah ruptur dinding ventrikel, ruptur septal ventrikel dan ruptur
muskulus papilaris.4
5. Perikarditis.
Tiga komplikasi utama perikard yang mungkin terjadi; serangan infark
yang berhubungan perikarditis, pericarditis lanjut atau trauma post
cardiac (dressler syndrome ) atau efusi perikard.4
6. Sinus bradikardi
Sinus bradikardi sering timbul pada awal serangan STEMI, khususnya
infark inferior. Pada beberapa kasus pemberian opioid memberikan
respon yang baik. Jika diikuti hipotensi berat, sinus bradikardi harus
segera diberikan Sulfas Atropin intravena.4,26
Tabel 13. Rekomendasi mangemen dari Pasien Atrial fibrilasi dengan NSTE-
ACS.1
Tabel 14. Rekomendasi manajemen dari Pasien Atrial fibrilasi dengan STEMI.4
Terapi Reperfusi.
Primary PCI lebih disukai untuk strategi reperfusi pada pasien STEMI
dengan simptom dalam 12 jam, dilakukan dengan cepat (misalnya 120
menit dari diagnosis STEMI).4
Gambar 5. Maksimal target waktu sesuai dengan pilihan strategi reperfusi pada
pasien yang melalui EMS atau pada pusat non PCI.4
Daftar Pustaka
1. Roffi M et al. ESC Guidelines for management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation. European Heart
Journal (2016) 37: 267-315
2. Li YH et al. Guidelines of the Taiwan Society of Cardiology, Taiwan Society of
Emergency Medicine and Taiwan Society of Cardiovascular Interventions for the
management of non ST-segment elevation acute coronary syndrome. Journal of the
Formosan Medical Association (2019 )117: 766-790
3. Kubica J et al. Treatment of patients with acute coronary syndrome:
Recommendations for medical emergency teams: Focus on antiplatelet therapies.
Updated experts’ standpoint. Cardiol J 2018;25, 3: 291-300.
4. Ibanez B et al. ESC Guidelines for management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal (2017) 00:
1-66
5. Hartley A, Marshall DC, Salciccioli JD, Sikkel MB, Maruthappu M, Shalhoub J. Trends
in mortality from ischemic heart disease and cerebrovascular disease in Europe:
1980 to 2009. Circulation 2016;133(20):1916–1926.
6. Townsend N, Wilson L, Bhatnagar P, Wickramasinghe K, Rayner M, Nichols M.
Cardiovascular disease in Europe: epidemiological update 2016. Eur Heart J
2016;37(42):3232–3245.
7. Sugiyama T, Hasegawa K, Kobayashi Y, Takahashi O, Fukui T, Tsugawa Y.
Differential time trends of outcomes and costs of care for acute myocardial
infarction hospitalizations by ST elevation and type of intervention in the United
States, 2001 2011. J Am Heart Assoc 2015;4(3):e001445.
8. McManus DD, Gore J, Yarzebski J, Spencer F, Lessard D, Goldberg RJ. Recent trends
in the incidence, treatment, and outcomes of patients with STEMI and NSTEMI. Am
J Med 2011;124(1):40–47.
9. Eisen A et al. Updates on acute coronary syndrome a review. JAMA Cardiol. 2016;
1(6):718-730
10. Jernberg T. Swedeheart Annual Report 2015. In: Karolinska University Hospital,
Huddinge, 14186 Stockholm; 2016.
11. Widimsky P et al European Association for Percutaneous Cardiovascular
Interventions. Reperfusion therapy for ST elevation acute myocardial infarction
in Europe: description of the current situation in 30 countries. Eur Heart J
2010;31(8):943–957.
12. Widimsky P et al. The year in cardiology 2018: acute coronary syndromes.
European Heart Journal (2019) 40: 271-282
13. Angelini G et al. Matrix metalloproteinase-9 might affect adaptive immunity in
non-ST segment elevation acute coronary syndromes by increasing CD31 cleavage
on CD4þ T-cells. Eur Heart J 2018;39: 1089–1097.
14. Partida RA, Libby P, Crea F, Jang IK. Plaque erosion: a new in vivo diagnosis
and a potential major shift in the management of patients with acute coronary
syndromes. Eur Heart J 2018;39:2070–2076.
15. Dai J, et al. In vivo predictors of plaque erosion in patients with ST-segment
elevation myocardial infarction: a clinical, angiographical, and intravascular optical
coherence tomography study. Eur Heart J 2018;39:2077–2085.
16. Sugiyama T, Yamamoto E, Bryniarski K, Xing L, Lee H, Isobe M, Libby P, Jang IK.
Nonculprit plaque characteristics in patients with acute coronary syndrome caused
by plaque erosion vs plaque rupture: a 3-vessel optical coherence tomography
study. JAMA Cardiol 2018;3:207–214.
17. Pedicino D, et al. Alterations of hyaluronan metabolism in acute coronary syndrome:
implications for plaque erosion. J Am Coll Cardiol 2018;72:1490–1503.22.
18. Thygesen K, et al.. Fourth universal definition of myocardial infarction (2018).
Circulation 2018;138.e618-e651
19. Mueller C. Biomarkers and acute coronary syndromes: an update. Eur Heart J
2014;35:552–556.
20. Mockel M, et al. Early discharge using single cardiac troponin and copeptin
testing in patients with suspected acute coronary syndrome (ACS): a randomized,
controlled clinical process study. Eur Heart J 2015;36:369–376.
21. Bandstein N, Ljung R, Johansson M, Holzmann MJ. Undetectable high-sensitivity
cardiac troponin T level in the emergency department and risk of myocardial
infarction. J Am Coll Cardiol 2014;63:2569–2578.
22. Stub D, et al. Air versus oxygen in ST-segment-elevation myocardial infarction.
Circulation 2015;131:2143–2150.
23. Gorenek B, et. al. European Heart Rhythm Association, Acute Cardiovascular Care
Association, European Association of Percutaneous Cardiovascular Interventions.
Cardiac arrhythmias in acute coronary syndromes: position paper from the joint
EHRA, ACCA, and EAPCI task force. Europace 2014;16(11):1655–1673.
24. Nalliah CJ, Zaman S, Narayan A, Sullivan J, Kovoor P. Coronary artery reperfusion
for ST elevation myocardial infarction is associated with shorter cycle length
ventricular tachycardia and fewer spontaneous arrhythmias. Europace
2014;16(7):1053–1060.
25. Liang JJ, Fender EA, Cha YM, Lennon RJ, Prasad A, Barsness GW. Long-term
outcomes in survivors of early ventricular arrhythmias after acute ST-elevation
and non-ST-elevation myocardial infarction treated with percutaneous coronary
intervention. Am J Cardiol 2016;117(5):709–713.
26. Chen A, Ashburn MA. Cardiac effects of opioid therapy. Pain Med 2015;16 (Suppl
1):S27–31.
27. Donino MW et al. Advanced Cardiovascular Life Support. American Heart
Association (2016): 59-72
PCI
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau Percutaneos Coronary Intervensi
(PCI) adalah terminology yang digunakan untuk menerangkan berbagai
prosedur secara mekanik berfungsi untuk meningkatkan perfusi aliran
miokard tanpa melakukan pembedahan. Prosedur lainnya dalah PTCA -
Balonisasi. Balonisasi biasanya diikuti dengan implantasi stent pada pembuluh
darah koroner untuk mecegah restenosis.
Sampai saat ini ada 3 penelitian yang membandingkan IKP dengan terapi
medis. Pasien dengan penyakit arteri coroner yang luas (multivessel) dengan
fungsi ventrikel kiri yang buruk memiliki survival yang lebih lama setelah
operasi CABG. Pada pasien PJK stabil. Tidakan IKP hanya dilakukan pada
pasien dengan keluhan iskemik yang menetap.
pada DES group sebanyak 5,8% hal ini sangat jauh jika dibandingkan dengan
stent standard yang angka kejadian MACE sebanyak 20.8%.
2. STEMI
STEMI didefinisikan sebagai pasien dengan riwayat nyeri dada yang
khas, dan pada EKG ditemukan peningkatan segmen ST yang menetap
atau LBBB baru. Strategi reperfusi berupa IKP telah menjadi modalitas
pengobatan yang sangat penting pada pasien STEMI. 4
Kontraindikasi PCI1
Mutlak: peralatan dan fasilitas yang kurang memadai
Relatif:
1. CHF yang tidak terkontrol, Tekanan darah tinggi, aritmia
2. Gangguan elekrolit
3. Infeksi (demam)
4. Gagal ginjal
5. Perdarahan saluran cerna akut/anemia
6. Stroke baru (< 1 bulan)
7. Intoksikasi obat-obatan (seperti: Kontras )
8. Pasien yang tidak kooperatif
9. Usia kehamilan kurang dari 3 bulan
Komplikasi
Utama:
1. Diseksi aorta
2. Perforasi, tamponade
3. Gagal jantung
4. Reaksi kontras (alergi, nefrotoksik)
5. Gangguan hantaran irama (blok)
6. Perdarahan
7. Infeksi
8. Gangguan vaskuler (pseudoaneursma)
Lainnya:
1. Kematian (< 0.2 %)
2. Stroke (< 0.5 %)
3. Infark Miokard (< 0.5 %)
4. Takikardi ventrikel, dan aritmia utama lainnya (<1 %)
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik Klinis
dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Indonesia
Heart Association; 2016.
2. Morice mc serruys p w. sousa. A RANDOMIZED COMPARISON OF A
SIROLIMUS-ELUTING STENT WITH A STANDARD STENT FOR CORONARY
REVASCULARIZATION. 2002;346(23):1773–80.
3. Braunwald E, Antman EM, Beasley JW, Califf RM, Cheitlin MD, Hochman JS, et al.
ACC/AHA 2002 guideline update for the management of patients with unstable
angina and non-ST-segment elevation myocardial infarction - Summary article:
A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidel [Internet]. Journal of the American College of Cardiology.
Elsevier Masson SAS; 2002. p. 1366–74.
4. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H, et al. 2017
ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J. 2018 Jan;39(2):119–77.
5. Nakashima T, Tahara Y. Achieving the earliest possible reperfusion in patients with
acute coronary syndrome: a current overview. J Intensive Care. 2018 Mar;6(1):20.
Available from: https://doi.org/10.1186/s40560-018-0285-9
Pendahuluan
Kemoterapi merupakan suatu metode sistemik pada tatalaksana
penyakit keganasan, selain terapi pembedahan dan radiasi yang bersifat
lokal. Sifatnya yang sistemik memungkinkan kemoterapi untuk disebarkan ke
seluruh tubuh sehingga direkomendasikan untuk keganasan yang menyebar
ke beberapa lokasi dalam tubuh atau kondisi tumor tidak dapat diangkat
melalui pembedahan. Kemoterapi juga digunakan jika terjadi rekurensi
setelah terapi awal menggunakan radiasi. Pada kasus dimana dibutuhkan
untuk menyelamatkan fungsi organ, maka dipilih talaksana kemoterapi.
Jenis-jenis Kemoterapi
Dalam pemberian kemoterapi, pasien kanker dapat diberikan lebih dari
satu jenis obat. Obat kemoterapi yang berbeda merusak sel-sel kanker melalui
jalur pada fase-fase yang berbeda dalam siklus sel. Pemberian kombinasi ini
ditujukan untuk meningkatkan efektifitas suatu kemoterapi. Berikut ini adalah
beberapa kategori obat-obatan kemoterapi berdasarkan struktur kimia dan
cara kerjanya pada sel-sel kanker.
Agen alkilasi, merupakan salah satu obat anti-kanker yang pertama kali
dan tersering digunakan hingga saat ini. Agen alkilasi bekerja secara langsung
pada DNA, menyebabkan tautan silang pada untaian DNA, pemasangan basa
yang abnormal atau pemutusan untaian DNA sehingga mencegah pembelahan
sel. Meskipun agen alkilasi dapat digunakan pada sebagian besar kasus
keganasan namun lebih efektif pada kanker yang perkembangannya lambat.
Contoh agen alkilasi adalah klorambusil, siklofosfamid dan busulfan.
Kelelahan adalah salah satu efek samping kemoterapi yang paling umum.
Anemia merupakan salah satu penyebabnya dimana perasaan lesu, pusing,
lemah, dan sesak napas merupakan gejala umum anemia. Kelelahan juga
dapat disebabkan oleh banyaknya energi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
pulih dari efek obat-obatan, membuang sel-sel mati dan membangun sel-sel
baru. Faktor-faktor lain, seperti nyeri, kurang nafsu makan, kurang istirahat,
dan stres emosional juga dapat menyebabkan kelelahan pasien.
menurunnya jumlah sel darah putih. Salah satu efek samping yang serius
akibat penurunan sel darah putih ini dikenal sebagai febrile neutropenia.
Alopesia
Seperti halnya pada sel-sel lain dengan karakteristik pertumbuhan dan
pembelahan sel yang cepat, sel-sel normal pada folikel rambut juga dapat
terkena dampak dari kemoterapi sehingga menyebabkan kemrontokan
rambut (alopesia). Kerontokan rambut bisa berakibat sangat berdampak bagi
pasien, utamanya pasien perempuan. Walaupun alopesia umumnya bersifat
sementara namun dibutuhkan persiapan bagi pasien untuk menghadapi
Perubahan Emosi
Perubahan suasana hati dan emosi dapat terjadi pada pasien kanker yang
menjalani kemoterapi. Perasaan kehilangan kontrol, kehilangan aktivitas
normal sehari-hari dan ketakutan akan hal yang tidak diketahui, ditambah
dengan efek samping yang ditimbulkan oleh kemoterapi, dapat mempengaruhi
kesehatan mental pasien. Pasien kanker yang menjalani kemoterapi bisa
merasa marah, tertekan, cemas, takut, bingung, menjadi pelupa dan gelisah.
Daftar Pustaka
1. Takimoto CH, Calvo E. 2008. Principles of Oncologic Pharmacotherapy. In Pazdur
R, Wagman LD, Camphausen KA, Hoskins WJ (eds.)
2. Malhotra V, Perry MC. 2003. Classical Chemotherapy: Mechanisms, Toxicities and
the Therapeutc Window. Cancer Biol Ther. 2, Sup 1
3. Corrie PG, Pippa G. 2008. Cytotoxic chemotherapy: clinical aspects. Medicine. 36, 1
Pendahuluan
Pernapasan spontan, atau ventilasi spontan merupakan proses
perpindahan udara dari lingkungan luar tubuh ke dalam paru-paru. Ventilasi
spontan dilakukan dengan kontraksi otot pernafasan, yang menyebabkan
dinding toraks atau rongga dada mengembang. Selama inspirasi diafragma
turun dan otot-otot interkostal eksternal mengangkat tulang rusuk sedikit,
yang mengakibatkan semakin besarnya rongga thorak. Akibatnya tekanan
intratoraks turun sehingga akan terjadi aliran udara dari luar ke dalam paru
paru. Respirasi merupakan proses pertukaran gas O2 dan CO2 yang terjadi
di alveolus dalam paru-paru. Alveolus merupakan kantong udara di ujung
percabangan bronkus dalam paru-paru. O2 berdifusi melalui dinding alveolus
menembus pembuluh darah dan CO2 berdifusi ke luar pembuluh darah.
Jenis Ventilator
Ada 2 jenis ventilator:
1. Ventilator tekanan negatif (Negative Pressure Ventilation)
2. Ventilator tekanan positif (Positive Pressure Ventilation)
Alarm-Settings
Alarm yang memantau fungsi ventilator penting untuk menjamin
keamanan dan keefektifan ventilasi mekanik. Dipasang alarm untuk
menetapkan batas tertinggi dan terendah yang diinginkan. Alarm-alarm
tersebut meliputi Vt ekspirasi, volume semenit ekspirasi, pemberian FiO2,
frekuensi pernapasan dan tekanan jalan napas.
Visual-Display
Tekanan jalan napas, frekuensi pernapasan, volume ekpirasi, dan rasio
inspirasi/ekpirasi (EE) adalah nilai-nilai yang ditampilkan pada visual-
display ventilator. Kadang ditampilkan berupa kurva baik itu aliran udara
(flow), tekanan maupun menit volume.
Volume Tidal
Volume tidal merupakan jumlah gas yang dihantarkan oleh ventilator
ke pasien setiap kali bernapas. Umumnya disetting antara 8 - 10 cc/kgBB,
tergantung dari compliance, resistance, dan jenis kelainan paru. Pasien dengan
paru normal mampu mentolerir volume tidal 10-15 cc/kgBB, sedangkan
untuk pasien PPOK cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Pada beberapa kasus, volume
tidal harus lebih rendah terutama pada sindroma distres pernapasan akut
yaitu 4-6 cc/KgBB.
Tekanan Inspirasi
Pada ventilasi tekanan terkontrol (PCV) dan ventilasi pressure- support,
tekanan inspirasi diatur sedemikian rupa sehingga tekanan plato kurang
atau sama dengan 35 cm H2O. Volume tidal juga harus dipertahankan pada
rentang yang telah ditetapkan sebelumnya.
Daftar Pustaka
1. Cairo, JM.
Pilbeam’s mechanical ventilation: physiological and clinical applications
Sixth edition. Elsevier.2016
2. Marino PL. Principles of mechanical ventilation. In: Marino PL, ed. The Icu Book. 3rd
ed. New York: Lippincott Williams and Wilkins,Inc.; 2007, 457- 511.
3. Pietropaoli AP. Approach to mechanical ventilation. In:Apostolakos MJ, Papadakos
PJ, eds. The Intensive Care Manual . Singapore: Mc Graw-Hill; 2001, 81-6.
4. Robert JE. Basic Ventilatory Management. In: Chulay Marianne, Burns Suzanne M.
AACN Essential of Critical Care Nursing. USA: The McGraw-Hill Companies.2006.
Pendahuluan
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik noninvasif yang dapat
menggambarkan struktur organ di dalam tubuh menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi > 20 kilohertz. USG sangat bermanfaat untuk
pemeriksaan radiologi paru dan pleura karena bersifat real-time dengan
kemampuan pencitraan yang multiplanar. Selain itu karena bersifat portable
USG sangat penting untuk pemeriksaan pasien-pasien di emergensi dan di ICU.
Kelebihan lain adalah karena pemeriksaa USG tidak mempunyai efek radiasi
yang merugikan sehingga aman digunakan untuk semua pasien. Pemeriksaan
USG secara transtorakal dapat mengevaluasi kelainan pada parenkim paru
perifer, pleura dan dinding dada. Visualisasi parenkim paru dan pleura
dilakukan dengan melakukan sken sepanjang sela iga saat pernapasan biasa
dan saat menahan napas untuk melihat lesi secara lebih rinci. Pemeriksaan
USG toraks dapat juga digunakan untuk menuntun tindakan yang bersifat
invasif misalnya pungsi pleura, biopsi transtorakal dan pemasangan chest
tube.1,2
Kelebihan:
• Tersedia secara luas
• Dapat dilakukan bed site di tempat tidur
• Tidak terdapat paparan radiasi atau kontras
• Dapat dilakukan secara serial
• Dapat digunakan sebagai panduan untuk melakukan prosedur tindakan
• Biaya relatif murah
Kekurangan:
• Hasil pemeriksaan bergantung operator
• Bisa muncul artefak
• Alergi terhadap jeli yang digunakan
(A)
(A) (A) (B)
(B) (B)
Gambar
Gambar1.1.Gambaran
Gambar Gambaran USG
USG
1. Gambaran toraks
USGtoraks
toraksnormal
normal
normalpada padabidang
pada bidang
bidang transversal
transversal
transversal (A)(A)
(A)
dandan
dansagital
sagital
sagital (B) (B)
(B)
Pp:
Pp:Pleura
Pleura parietal,
parietal, PvPv : :Pleura
Pleura viseral,
viseral, L
Pp: Pleura parietal, Pv : Pleura viseral, L : Lung
L: :
Lung
Lung
Dinding
Dinding
dada
dada dengan
denganseluruh
seluruhlapisan
lapisanyang
yangterdapat
terdapatdiantara
diantaratransducer
transducerdan
Dinding dada dengan seluruh lapisan yang terdapat diantara transducer
danparu
paruak a
ervisualisasi
visualisasi dan
secara
secara
paruakurat,
akurat, sementara
sementaraarea
akan tervisualisasi area yang
secarayang berada
berada
akurat, didibawah
sementara bawah
areapleura
pleura lineakan
line
yang berada akantamp
tam
erupa
rupa latar
latarbelakang
belakang
di bawah dengan
dengan
pleura gambaran
linegambaran kilauan
akan tampakkilauan halus
berupahalus dengan
latardengan
belakangbeberapa
beberapa
dengan garis
garisechogenic
gambaranechogeniclinilin
ang
ng berjalan
berjalan secara
secara
kilauan horizontal.
horizontal.
halus Perbedaan
Perbedaan
dengan beberapa acoustic
garisacoustic linier yangyang
impedance
echogenicimpedance yang besar
besar
berjalan antara
secaraantara jaring
jarin
unak
nak dengan
dengan alveoli
alveoli yang
horizontal. Perbedaan acoustic
yang berisi impedance
berisi udara
udara akanakan menghambat
yang menghambat visualisasi
besar antara visualisasi organ-org
jaringan lunak organ-or
mediastinum dengan
ediastinum dengan alveoli
denganmembentukyang berisi
membentukartefak udara akan
artefakmultipel. menghambat
multipel.Bila
Biladilihatvisualisasi
dilihatgambaran organ-organ
gambarantersebut
tersebutlebih
lebihlan
lan
mediastinum dengan membentuk artefak multipel. Bila dilihat gambaran
maka
aka akan
akantampak
tampakbahwabahwapleura
pleuraseakan-akan
seakan-akanberfungsi
berfungsisebagai
sebagaicermin
cermindimana
dimanaarea areaartef
arte
tersebut lebih lanjut maka akan tampak bahwa pleura seakan-akan berfungsi
ersebut
sebut akan
akan merefleksikan
merefleksikan gambaran
gambaran dinding
dinding dada
dada didi bawah
bawah pleural line. Fenome
pleural line. Fenom
sebagai cermin dimana area artefak tersebut akan merefleksikan gambaran
ersebut
sebut dapat
dapat diibaratkan
diibaratkan
dinding dada diseperti
seperti
bawah lukisan
lukisanline.
pleural Itali
Itali terkenal
terkenaltersebut
Fenomena yang
yang dibuat
dibuat
dapat oleh
oleh Caravaggio
Caravaggio pa
diibaratkan p
44
khir
hir abad
abadkekeseperti
15
15yang
yang menggambarkan
menggambarkan
lukisan cerita
cerita
Itali terkenal yang dongeng
dongeng
dibuat mengenai
mengenaipada
oleh Caravaggio Narcissus
Narcissus (Gambar
(Gambar
akhir abad ke 2).
2).
15 yang menggambarkan cerita dongeng mengenai Narcissus (Gambar 2).4
Gambar 2. Sonogram
Gambar paru normal
2. Sonogram paru (kiri)
normal yang diibaratkan
(kiri) bagaikan
yang diibaratkan cermin pada
bagaikan
permukaan
cermin air (kanan)
pada permukaan air (kanan)
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 327
Lung sliding dapat dikonfirmasi lebih lanjut dengan menggunakan M-mode yaitu
dengan mengarahkan sorotan transducer diantara bayangan iga sehingga memotong pleural
Cleopas Martin Rumende
Gambar 2. Sonogram paru normal (kiri) yang diibaratkan bagaikan
Lung sliding dapat dikonfirmasi lebih lanjut dengan menggunakan
cermin pada permukaan air (kanan)
M-mode yaitu dengan mengarahkan sorotan transducer diantara bayangan
iga sehingga
Lung sliding memotong pleural linelebih
dapat dikonfirmasi secara transversal.
lanjut dengan Dengan cara demikian
menggunakan M-mode yaitu
memungkinkan
dengan mengarahkan operator
sorotan untukdiantara
transducer menganalisis
bayangan gerakan struktur
iga sehingga secara pleural
memotong
lengkap
line secara pada lokasi
transversal. tersebut.
Dengan Dalam keadaan
cara demikian normal dengan
memungkinkan operatormenggunakan
untuk menganalisis
gerakan M-mode
struktur akan
secaratampak
lengkap pada seashore
gambaran sign berupa
lokasi tersebut. gariskeadaan
Dalam horizontal yang dengan
normal
terletak superfisial terhadap lapisan pleura yang menunjukkan
menggunakan M-mode akan tampak gambaran seashore sign berupa garis horizontal yang struktur
dinding dada
terletak superfisial yang tidak
terhadap bergerak
lapisan pleura saat repirasi.
yang Selanjutnya
menunjukkan lebih dalam
struktur dindingakan
dada yang
tampak garis horizontal hyperechoic yang menggambarkan lapisan
tidak bergerak saat repirasi. Selanjutnya lebih dalam akan tampak garis horizontal pleura dan
lebihyang
hyperechoic kedalam dari garis pleura
menggambarkan tersebut
lapisan pleuraakan tampak
dan lebih gambaran
kedalam dari dengan pola tersebut
garis pleura
glanular yang menunjukkan aerasi paru normal saat inspirasi
akan tampak gambaran dengan pola glanular yang menunjukkan aerasi paru normal saat dan ekspirasi
inspirasi (Gambar 3).4,5 (Gambar 3).4,5
dan ekspirasi
Gambar
Gambar3.3.Seashore sign
Seashore sign
Evaluasi
parenkim
Evaluasi paru paru
parenkim dilakukan berdasarkan
dilakukan adanya
berdasarkan perbedaan
adanya pola pola
perbedaan artefak yang
mana semuanya berasal
artefak yang manadarisemuanya
pleural line. A-lines
berasal merupakan
dari pleural line. pantulan pleural line yang
A-lines merupakan
kearah dalam memperlihatkan gambaran beberapa garis paralel yang masing-masing dengan
pantulan pleural line yang kearah dalam memperlihatkan gambaran beberapa
jarak yang sama. Parenkim paru yang normal akan memperlihatkan gambaran lung sliding
garis paralel
disertai gambaran yangyang
A-lines masing-masing dengan4).jarak
dominan (Gambar 4-7 yang sama. Parenkim paru
yang normal akan memperlihatkan gambaran lung sliding disertai gambaran
A-lines yang dominan (Gambar 4).4-7
GambarGambar
4. Gambaran paru normal
4. Gambaran paru yang memperlihatkan
normal pleural line
yang memperlihatkan dengan
pleural linelung lungdisertai
sliding
dengan
gambaran
sliding disertai A-lines A-lines
gambaran
Efusi Pleura
Akumulasi cairan pleura yang abnormal yang disebabkan oleh karena
manifestasi primer atau sekunder dan berbagai macam penyakit. Pemeriksaan
USG pada efusi pleura bermanfaat untuk menganalisis kemungkinan jenis efusi
pleura tersebut baik yang terlokalisir maupun yang difus. Untuk mendeteksi
adanya efusi pleura minimal pemeriksaan USG lebih sensitif dibandingkan
dengan pemeriksaan foto posisi lateral dekubitus. Selain untuk mendeteksi
adanya efusi USG dapat juga digunakan untuk memperkirakan jumlah cairan
efusi tersebut. Secara sonografi adanya efusi pleura akan tampak berupa
bayangan yang anechoic homogen diantara pleura parietal dan pleura viseral
(echo-free zone sepparating the visceral and parietal pleura) (Gambar 5).
Bayangan ini dapat berubah bentuk akibat gerak pernapasan (echo-free zone
displaying a change during breathing), dan paru yang berada dalam cairan
efusi tersebut akan mengalami kolaps (atelektasis) sehingga tampak berupa
struktur yang menyerupai lidah (tongue-like structure). Gambaran sonografi
lain yang bisa didapatkna pada efusi pleura adalah adanya partikel echogenic
yang bergerak/melayang-layang, adanya bayangan septa yang bergerak-
gerak serta adanya jaringan paru yang bergerak dalam cairan. Pada efusi yang
dalamterjadi
cairan. akibat inflamasi
Pada efusi yang dapat
terjadi terjadi perlengkatan
akibat inflamasi dapatdiantara kedua lapisan
terjadi perlengkatan diantara
keduapleura
lapisantersebut sehingga pergerakan paruparu
menjadi terhambat. 1,3 1,3
pleura tersebut sehingga pergerakan menjadi terhambat.
dalam
dalamcairan.
cairan.Pada
Padaefusi
efusiyang
yangterjadi
terjadiakibat
akibatinflamasi
inflamasidapat
dapatterjadi
terjadiperlengkatan
perlengkatandiantara
diantara
1,31,3
kedua
kedualapisan
lapisanpleura
pleuratersebut
tersebutsehingga
sehinggapergerakan
pergerakanparu
parumenjadi
menjaditerhambat.
terhambat.
Gambar
Gambar 5. 5.Gambaran
Gambaran USG
USGpada
padaefusi pleura.
efusi pleura.
BilaBila
padapadafoto foto
dada dada
Gambar
didapatkan
Gambar5.5.Gambaran
adanya adanya
didapatkan
GambaranUSG
elevasi hemidiafragma
USGpada elevasi
padaefusi
efusi
yang abnormal
hemidiafragma
pleura.
pleura. yang maka
dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan apakah kelainan tersebut akibat efusi pleura
abnormal maka dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan apakah kelainan
subpulmonum,
Bila
Bila pada
padafotoparalisis
fotodada
dada diafragma
didapatkan
didapatkan atau
adanyaakibat
adanya penimbunan
elevasi
elevasi cairan di
hemidiafragma
hemidiafragma yangbawah
yang diafragma.
abnormal
abnormal
tersebut akibat efusi pleura subpulmonum, paralisis diafragma atau akibat maka maka
Gambaran
dengan
denganpemeriksaan efusi
pemeriksaanUSG yang didapat
USGdapatdapat pada
dibedakan sonografi
dibedakan apakah
apakahdipengaruhi
kelainan
kelainan oleh
tersebutbeberapa
tersebut faktor yaitu
penimbunan cairan di bawah diafragma. Gambaran efusi yang akibat
akibatefusi
didapat efusipleura
pada pleura
perjalanan alamiah penyakit, penyebab efusi dan tingkat kronisitas penyakit. Ada 4 tampilan
subpulmonum,
subpulmonum, paralisis
paralisis diafragma
diafragma atau
atau akibat
akibat penimbunan
penimbunan cairan
sonografi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perjalanan alamiah penyakit, cairan di
di bawah
bawah diafragma.
diafragma.
yang bisa didapat pada sonografi berdasarkan internal echogenicity yaitu (a) anechoic,
Gambaran
Gambaran efusi
efusi yang
penyebab yang
efusididapat
didapat
dan pada
tingkatpadakronisitas
sonografi
sonografipenyakit.
dipengaruhi
dipengaruhi Adaoleh
4oleh beberapa
beberapa
tampilan yang faktor
faktor
bisa yaituyaitu
(b) complex non-septated, (c) complex septated dan (d) homogenously echoic (Gambar 6).
perjalanan
perjalanan alamiah
alamiah
didapat penyakit,
pada penyakit, penyebab
sonografi penyebab efusi
berdasarkanefusi dan
dan tingkat
tingkat
internal kronisitas
kronisitas
echogenicity penyakit.
penyakit.
yaitu (a) Ada
Ada 4
anechoic,4tampilan
tampilan
Cairan efusi yang bersifat transudat umumnya anechoic, unseptated dan free flowing,
yang
yangbisa
bisa didapat
(b) didapat
complex pada
pada sonografi
sonografiberdasarkan
non-septated, berdasarkan
complex
(c) echogenic internal
internal
septatedechogenicity
echogenicity
dan yaitu
yaitu(a)
homogenously
(d)eksudatif. (a)anechoic,
anechoic,
sedangkan yang complex, septated atau umumnya bersifat Efusi pleura
(b)
(b)maligna
complex
complex non-septated,
echoic non-septated,
(Gambar
seringkali
(c)
6).
bersifat
(c) complex
complex
Cairan
anechoic efusiseptated
septated
danyang
dan
dan(d)
bersifat
kadang-kadang
(d) homogenously
homogenously
transudat
didapatkan umumnya echoic
echoic (Gambar
(Gambar
anechoic,
adanya penebalan
6).
pleura
6).
Cairan
Cairan efusi
efusi yang
yang unseptated yang
noduler serta bersifat
bersifat transudat
transudat
free flowing,
danadanya echogenic umumnya
umumnya
sedangkan anechoic,
yang
swirling. anechoic,
complex,
Pada unseptated
unseptated
efusi septated
pleura akibat dan
dan free
free
atau echogenic flowing,
flowing,
inflamasi akan
sedangkan
sedangkan yang
didapatkan yang
umumnya complex,
complex,
adanya bersifatseptated
septated
gambaran
eksudatif. atau
atau
strand Efusiechogenic
echogenic umumnya
umumnya
pleura maligna
of echogenic bersifat
bersifateksudatif.
dan septation
materialseringkali eksudatif. Efusi
Efusi
yanganechoic
bersifat ikut pleura
pleura
bergerak
maligna
maligna seringkali
seringkali
sesuaidan
dengan bersifat
bersifat anechoic
anechoic
irama pernapasan
kadang-kadang dan
dan kadang-kadang
kadang-kadang
dan kontraksi
didapatkan adanyajantung. 2 didapatkan
didapatkan adanya
adanya
penebalan pleura yang noduler serta penebalan
penebalan pleura
pleura
yang
yangnoduler
noduler serta
serta adanya
adanya echogenic
echogenic
adanya echogenic swirling. Pada efusi pleura swirling.
swirling. Pada
Pada efusi
akibat efusi pleura
pleuraakan
inflamasi akibat
akibat inflamasi
inflamasiakan
didapatkan akan
didapatkan
didapatkan adanya
adanya gambaran
gambaran strand
strand ofofechogenic
echogenic material
material
adanya gambaran strand of echogenic material dan septation yang ikut dan
dan septation
septation yang
yang ikut
ikut bergerak
bergerak
22
sesuai
sesuaidengan
dengan irama
bergerak irama pernapasan
pernapasan
sesuai dengandan dan kontraksi
irama kontraksi jantung.
pernapasanjantung.
dan kontraksi jantung.2
.
(a) (b)
..
(a)(a)
(a) (b)
(b)
(b)
(c) (c)
(c) (d)
(d)(d)
Gambar
Gambar6.6.Efusi
Efusipleura
Efusi pleura
pleuradengan
dengan
dengan444macam
macam
macam tampilan
tampilan
tampilan gambar
gambar
gambar
Secara
Secara
praktis
praktis
Secara volume
volume
praktis cairan
cairancairan
volume efusi
efusidapat
dapatdapat
efusi diperkirakan
diperkirakan berdasarkan
diperkirakanberdasarkan 44klasifikasi
berdasarkan klasifikasi
4 yaitu
yaitu
minimal
minimal (echo-free
(echo-freeyaitu
klasifikasi space
space terbatas
terbatas
minimal pada
pada sudut
(echo-free sudut
spacekostofrenikus),
kostofrenikus),
terbatas pada sudut sedikit
sedikit (echo-free
(echo-free space
kostofrenikus), space yang
yang
didapat
didapat melebihi
melebihi sudut
sudut kostofrenikus
kostofrenikus tapi
tapi masih
masih terbatas
terbatas pada
pada
sedikit (echo-free space yang didapat melebihi sudut kostofrenikus tapi area
area yang
yang dapat
dapat diliput
diliput oleh
oleh
transducer
transducer terbatas 3,5
curvilinear
masihcurvilinear 3,5 MHZ),
pada MHZ),
area yangsedang
sedang
dapat(echo-free
(echo-free
diliput oleh space
space melebihi
melebihi
transducer satu
satu transducer
curvilinear transducer
3,5 tapi
tap
masih
masih dalam
dalam
MHZ),two-probe
two-probe range) dan
range)
sedang (echo-free dan banyak
space banyak
melebihi bila
bila
satuspace
space yang
yang didapat
transducer didapat
tapi masihmelebihi
melebihi
dalam two-probe
two-probe
range. Kadang-kadang
range. Kadang-kadang
two-probe range) dan banyak bila space yang didapat melebihi two-probe dengan
sulit
sulit untuk
untuk membedakan
membedakan antara
antara efusi
efusi pleura
pleura minimal
minimal dengan
penebalan
penebalan pleura
pleura
range. karena
karena keduanya
Kadang-kadang keduanya dapat
dapatmembedakan
sulit untuk memperlihatkan
memperlihatkan antarabayangan
bayangan
efusi pleura minimal Sebagai
hypoechoic.
hypoechoic. Sebaga
pedoman
pedomandengan
adalah
adalahpenebalan
bila
bila didapatkan
didapatkan adanya
adanya
pleura karena mobilitas
mobilitas
keduanya maka
dapatmaka ini
ini merupakan
merupakan
memperlihatkan pertanda
pertanda penting
bayangan penting
untuk
untuk efusi.
efusi. Jadi
Jadi adanya
hypoechoic. adanya
Sebagailesi
lesi yang
yang berubah
pedoman berubah
adalah bilabentuk
bentuk sesuai
sesuaiadanya
didapatkan dengan
denganmobilitas
pernapasan
pernapasanmaka dan
dan adanya
adanya
1,3,4
1,3,4
gambaran
gambaraninistrand
strand serta
sertadensitas
merupakan densitas
pertanda echo
echo yang
yanguntuk
penting bergerak
bergerak menunjukkan
efusi.menunjukkan
Jadi adanya suatu suatu
lesi efusi
efusi
yang pleura.
pleura.
berubah
Secara bentuk
Secarabiokimiawi sesuai
biokimiawiefusi dengan
efusipleura pernapasan
pleuradapat
dapatbersifatdan adanya
bersifattransudat gambaran
transudatatau strand
ataueksudat. serta
eksudat.Berdasarkandensitas
Berdasarkanetiologinya
etiologinya
dapat echo yang
dapat berupa
berupa bergerak
hemotorak,
hemotorak, menunjukkan
empiema
empiema dan suatupleura
dan efusi
efusi efusi
pleurapleura.
1,3,4
maligna.
maligna. Gambaran
Gambaran USG USG efusi
efusi pleura
pleura
pada
padaberbagai
berbagaikelainan
kelainandapat
dapatdilihat
dilihatpada
padatabel
tabel1.1.
Secara biokimiawi efusi pleura dapat bersifat transudat atau eksudat.
Berdasarkan etiologinya dapat berupa hemotorak, 88
empiema dan efusi pleura
Tabel
Tabel 1.1.Gambaran
Gambaran Ultrasonografi
Ultrasonografi
maligna. Gambaran USG
Eksudat
Eksudat efusi pleura pada
Transudat
Transudat berbagai kelainan
Hemotorak
Hemotorak Empiema dapat dilihat
Empiema Efusi
Efusimaligna
maligna
Internal
Internal pada tabel
Septation,
Septation,
1. Anechoic
Anechoic Hyperechoic
Hyperechoic Seringkali
Seringkali Complex
Complex
echogenicity:
echogenicity: non-septated
non-septated septated
septated septation,
septation,
Anechoic
Anechoic atau
atauanechoic
anechoic non-septated
non-septated
Complex
Complexnon-
non-
septated
septated
Complex
Complex
septated
septated (+)
(+)atau
atau(-)
(-)
(+)
(+)
Echogenicity:
Echogenicity: (-)
(-) (+)
(+) (+)
(+)
Homogeneity
Homogeneity
atau
atautidak
tidak Menebal
Menebal
Ketebalan
Ketebalan
Pleura
Pleura Normal
Normal Tebal
Tebal Tebal
Tebal pleura
pleura
ireguler
ireguler
Metastasis
Metastasis
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 331
Penemuan
Penemuanlain
lain Sesuai
Sesuai Biasanya
Biasanya Pneumotorak,
Pneumotorak, Konsolidasi
Konsolidasi hepar;
hepar;
etiologi
etiologi bilateral,
bilateral, atelektasis,
atelektasis, paru
paru dan
dan air
air terdapat
terdapat
penemuan
penemuan konsolidasi
konsolidasi bronchogram nodul
bronchogram nodul
Cleopas Martin Rumende
Gambar7.
Gambar 7.Menentukan
Menentukan lokasi
lokasi diafragma.
diafragma.
Langkah 2. Memperkirakan
Pertemuan jumlah
Ilmiah Nasional XVII PAPDI cairan2019
- Surabaya efusi. Memperkirakan jumlah cairan333
efusi
merupakan hal penting yang harus dilakukan sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai
dapat tidaknya dilakukan pungsi pleura. Pemeriksaan dimulai seperti pada langka 1 hingga
didapatkan gambar diafragma yang terletak di tengah screen. Transducer kemudian digeser
Cleopas Martin Rumende
Cara cepat untuk mengukur jumlah cairan efusi adalah dengan mengukur
jarak horizontal dari bagian diafragma yang paling kranial pada garis mid-
aksilaris ke segmen paru terdekat (Gambar 8). Jarak yang didapat (dalam cm)
kemudian dikalikan 20 untuk mendapatkan kira-kira jumlah cairan (dalam
ml). Diperlukan ketelitian untuk menghindari kesalahan dalam menentukan
jumlah cairan efusi tersebut. Perubahan sedikit saja pada angulasi transducer
akan berdampak besar pada pengukuran jarak. Angulasi yang lebih ke anterior
akan menyebabkan pengukuran jumlah cairan efusi menjadi underestimate,
sementara angulasi yang lebih kearah posterior akan menyebabkan
pengukuran jumlah cairan menjadi overestimate.
Gambar 8. Pengukuran
Gambar 8. Pengukuranjumlah cairan
jumlah cairan efusi
efusi dengan
dengan mengukur
mengukur jarak horizontal
jarak horizontal dari bagian dari
bagian diafragma yang
diafragma yang paling
paling kranial
kranial pada
pada garis garis mid-aksilaris
mid-aksilaris ke segmen paruketerdekat
segmen paru
terdekat
Berdasarkan hal tersebut maka banyak operator yang tidak secara rutin melakukan
334 pengukuran jumlah cairan efusi dan lebih memfokuskan
Pertemuan perhatiannya
Ilmiah Nasional kepada
XVII PAPDI keamanan2019
- Surabaya
untuk melakukan pungsi pleura. Operator yang berpengalaman terkadang membagi jumlah
cairan efusi tersebut menjadi sedikit (minimal), sedang dan banyak tanpa melakukan
pengukuran.11
Peran USG dalam Diagnosis dan Tatalaksana Efusi Pleura
Daftar Pustaka
1. Islam S, Tonn H. Thoracic Ultrasound Overview. In: Bolliger CT, Herth FJF, Mayo
PH, Miyazawa T, Beamis JF, editors. Clinical Chest Ultrasound. Sidney: KARGER;
2009. p. 11-20.
2. Anantham D, Ernst A. Ultrasonogrphy. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR,
King TE, Schraufnagel DE, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory
Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 445-60.
3. Moore CL, Copel JA. Point-of-Care Ultrasonography. N Engl J Med. 2011;364:749-
57.
4. Mathis G, Sparchez Z, Volpicelli G. Chest Sonography. In: Dietrich CF, ed. EFSUMB -
European Course Book. Italy: EFSUMB; 2010. p. 2-21.
5. Gardeli et al. Chest Ultrasonography in the ICU. Respir Care 2012;57(5):773-81.
6. Ahmed et all. Role of ultrasonography in the diagnosis of pleural effusion. Egyptian
Journal of Bronchology, Vol. 11 No. 2, April-June 2017.
7. Mayette M, Mohabir P. Ultrasound Physics. In : Soni NJ, Arntfield R, Kory P, editors.
Point-of- Care ULTRASOUND. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.9-18.
8. Brogi, E., Gargani, L., Bignami, E., Barbariol, F., Marra, A., Forfori, F., & Vetrugno, L.
(2017). Thoracic ultrasound for pleural effusion in the intensive care unit: a narrative
review from diagnosis to treatment. Critical Care, 21.
9. Ahmad S, Eisen LA. Lung Ultrasound : The Basics. In : Lumb P, Karakitsos D, editors.
Critical Care Ultrasound. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.106-10.
10. Lama KW, Chichra A, Cohen RI, Narasimhan M. Pleural Ultrasound. In : Lumb P,
Karakitsos D, editors. Critical Care Ultrasound. Philadelphia : ELSEVIER Saunders;
2015.p.111-4.
11. Millington SJ, Koenig S. Better With Ultrasound. Pleural Procedures in Critically Ill
Patients. Chest. 2018; 153: 224-32.
Tabel 2. Faktor risiko dan tipe toksisitas ARV lini kedua dan ketiga
ARV Tipe toksisitas Faktor risiko
LPV/r EKG abnormal (PR dan QT interval Gangguan konduksi jantung
prolongation, torsade de pointes Penggunaan bersama obat yang dapat
memperpanjang interval PR lainnya
Pemanjangan interval QT Sindrom pemanjangan interval QT
kongenital
Hipokalemia
Penggunaan bersama obat yang dapat
memperpanjang interval QT lainnya
Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit hati sebelumnya
Ko-infeksi VHB dan VHC
Penggunaan bersama obat hepatotoksik
lainnya
Pankreatitis Stadium HIV lebih lanjut, penyalahgunaan
alkohol
Risiko prematur, lipoatrofi, sindrom Faktor risiko tidak diketahui
metabolik, dislipidemia, diare
DRV/r Reaksi hipersensitivitas
Hepatotoksisitas
Diare, nausea, sakit kepala, dislipidemia,
hiperglikemia, maldistribusi lemak
Pada ODHA yang jumlah virus pada beberapa kali pemeriksaan sudah
tidak terdeteksi dan jumlah CD4 sudah meningkat di atas 200 sel/μL,
pemeriksaan CD4 rutin tidak diperlukan lagi dan dapat menghemat biaya
pemeriksaan. Pada kondisi jumlah virus sudah tidak terdeteksi namun
jumlah CD4 menurun juga tidak membuat klinisi harus mengganti paduan
pengobatan. Telaah sistematik yang dilakukan oleh Ford, dkk menunjukkan
bahwa penurunan CD4 kurang dari 200 sel/μL yang jumlah virus sudah tidak
terdeteksi jarang terjadi 0,4% (95% CI ; 0,2 -0,6%). Jika terjadi penurunan
jumlah CD4 umumnya hanya sementara dan disebabkan oleh faktor lain seperti
penggunaan obat imunosupresan. Selain itu, risiko pneumonia Pneumocystis
jirovecii sangat rendah pada ODHA yang virus sudah tidak terdeteksi dengan
terapi ARV walau jumlah CD4 antara 100 dan 200 sel/μL.
berdasarkan
CD4 persisten dibawah 100 sel/μL 2x pemeriksaan viral load
Gagal
dengan jarak 3-6 bulan
Pada pasien dengan kepatuhan yang
virologis baik, viral load di atas 1000 kopi/mL
berdasarkan 2x pemeriksaan viral load
dengan jarak 3-6 bulan
Bagan 1. Strategi pemeriksaan viral load
Daftar Pustaka
Daftar
1. The Joint UnitedPustaka
Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). 90-90-90: an
ambitious treatment target to help end the AIDS epidemic. Geneva: UNAIDS; 2014.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no HK.01.07/MENKES/90/2019
1. The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UN
tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV. Jakarta:
ambitious treatment target to help end the AIDS epidemic. Gen
Kementerian Kesehatan RI; 2019.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no HK.01
tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata L
344 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Kementerian Kesehatan RI; 2019.
Efek Samping dan Pemantauan Keberhasilan Terapi Antiretrovirus
Pendahuluan
Prevalensi nodul tiroid berdasarkan temuan fisik 4–7%, namun yang
ditemukan melalui USG 19-67%. Sebagian besar nodul tiroid bersifat
asimptomatik, hanya sekitar 5-7% nodul tiroid disebabkan oleh keganasan.
Prevalensi nodul tiroid lebih banyak pada wanita, khususnya yang berdomisili
di daerah kekurangan yodium. Pembesaran ukuran nodul terjadi rata-
rata 2%/tahun dan lebih dari 50% nodul tiroid merupakan nodul multipel.
Terapi nodul tiroid jinak pada umumnya cukup dengan terapi konservatif.
Terapi supresif nodul tiroid dengan hormon tiroksin digunakan pada nodul
tiroid ganas pasca operasi. Terapi supresif pada nodul tiroid jinak masih
kontroversial. 1,2
Untuk menjawab satu per satu pertanyaan di atas, langkah awal yang
harus dilakukan pada nodul tiroid adalah anamnesis teliti dan lengkap
meliputi beberapa aspek yaitu:
1. Mengetahui dengan benar riwayat perjalanan penyakit, termasuk apakah
ada riwayat domisili/tempat tinggal di daerah kekurangan yodium,
Secara klinis, ciri-ciri dan faktor risiko nodul tiroid ganas yakni1
1) Lebih sering pada laki-laki
2) Usia ekstrem (kurang dari 20 tahun atau lebih dari 65 tahun)
3) Pertumbuhan nodul sangat cepat
4) Adanya keluhan akibat invasi nodul di jaringan sekitarnya (misalnya
disfagia, nyeri leher, suara serak)
5) Ada riwayat radiasi di daerah leher dan kepala di masa lalu
6) Ada riyawat keluarga menderita kanker tiroid (Gardner’s syndrome)
Diagnosis
Setelah anamnesis klinis yang lengkap, dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik terhadap nodul dan pemeriksaan penunjang (misalnya USG leher dan
kalau perlu pemeriksaan sidik tiroid). Pemeriksaan biokimia yang harus
dilakukan antara lain:5
a). Kadar TSH serum, kadar TT4 atau fT4 serum, kadar TT4 atau fT3
serum, yang tujuannya untuk menentukan apakah nodul mengalami
tirotoksikosis klinis atau sub-klinis atau hipotiroid klinis atau sub-
klinis. Bila ditemukan kadar TSH serum normal, segera dilakukan
aspirasi jarum halus (biospi jarum halus/bajah) yang bergantung pada
keterampilan dokter. Ketika kadar TSH sangat rendah, kemungkinan
berdasarkan otopsi, rata-rata, 36 kasus per 1000 orang. Insiden kanker ganas
hanya 0,5-10 kasus per 100000 populasi.7
Sebagai rangkuman dari beberapa pedoman klinis nodul tiroid jinak dan
nodul tiroid ganas, yaitu: a). anamnesis gejala dan tanda klinis harus teliti
sebelum menentukan jenis terapi, b). pemeriksaan radiologi, dan sitologi
berdasarkan temuan bajah perlu disesuaikan dengan pemeriksaan biomarker
tumor dan asesmen genetik.8 Pada tabel 2, dapat dilihat, rangkuman gambaran
nodul pada USG, yang dicurigai keganasan.
Tabel 2. Sensitivitas dan Spesifisitas Temuan USG pada Nodul Tiroid Ganas. 2
Nodules finding Median Sensitivity Median Specificity
• Micro-calcifications 83% 52%
• Absence of halo 66% 54%
• Irregular margins 55% 79%
• Hypo-echoic 81% 53%
• Increased intranodular flow 67% 81%
Pada gambar 1, di bawah ini, adalah pedoman alur diagnosis nodul tiroid
serta langkah terapi medik dan terapi pembedahan.3
Gambar 1.
Gambar 1. Alur
Alur diagnostik
diagnostikdan
danpenatalaksanaan
penatalaksanaannodul tiroid. 3
tiroid.
nodul
3
Tabel 3. Interpretasi
Tabel 3. InterpretasiGambaran
Gambarandan
danUkuran
UkuranNodul
Nodulpada
pada USGdan
USG danRisiko
Risiko
Keganasan.1010
Keganasan.
Simpulan
Simpulan
Prevalensi nodul tiroid sekitar 4–7%, dan sebagian besar jinak. Sekitar
Prevalensi
50% nodulnodul tiroid
tiroid merupakan
sekitar 4–7%, nodul
dan sebagian
multipelbesar
dan jinak.
perluSekitar 50% nodul
anamnesis tiroid
yang cermat
merupakan nodul multipel dan perlu anamnesis yang cermat mengenai riwayat
mengenai riwayat perjalanan penyakit, riwayat keluarga kanker tiroid, dan perjalanan
penyakit, riwayat keluarga kanker tiroid, dan riwayat berdomisili di daerah defisiensi yodium.
riwayat berdomisili di daerah defisiensi yodium. Terapi konservatif dilakukan
Terapi konservatif dilakukan pada nodul tiorid jinak, namun perlu tindakan operasi dan terapi
pada nodul tiorid jinak, namun perlu tindakan operasi dan terapi ablasi
ablasi dengan yodium radioaktif pada kasus kambuh dan metastasis.
dengan yodium radioaktif pada kasus kambuh dan metastasis.
DAFTAR
DaftarPUSTAKA
Pustaka
1. Mary Jo W, Orlov D. Thyroid Nodules. Am Fam Physician. 2003;67(3):559–66.
1. Mary Jo W, Orlov D. Thyroid Nodules. Am Fam Physician. 2003;67(3):559–66.
2. Bomeli SR, LeBeau SO, Robert LF. Evaluation of a Thyroid Nodule. Otolaryngol Clin
2. Bomeli SR, LeBeau SO, Robert LF. Evaluation of a Thyroid Nodule. Otolaryngol Clin
North Am. 2010;43(2):229–38.
North Am. 2010;43(2):229–38.
3. Cooper DS, Medicine JH, Haugen B, Kloos RT, Lee SL. Revised American Thyroid
352 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Association Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid Nodules and
Differentiated Thyroid Cancer. THYROID. 2009;19 (11)(November):1167–214.
4. Arrangoiz R, Cordera F, Caba D, Moreno E, de Leon EL, Muñoz M. Management
Apa, Mengapa, dan Bagaimana: Inisiasi Dini Penggunaan Insulin dalam Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2
3. Cooper DS, Medicine JH, Haugen B, Kloos RT, Lee SL. Revised American Thyroid
Association Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid Nodules and
Differentiated Thyroid Cancer. THYROID. 2009;19 (11)(November):1167–214.
4. Arrangoiz R, Cordera F, Caba D, Moreno E, de Leon EL, Muñoz M. Management
Approach to Thyroid Nodules. Int J Otolaryngol Head & Neck Surg.
2018;07(04):214–27.
5. Al Dawish MA, Robert AA, Thabet MA, Braham R. Thyroid nodule management:
Thyroid-stimulating hormone, ultrasound, and cytological classification system for
predicting malignancy. Cancer Inform. 2018;17:1–9.
6. Fisher SB, Perrier ND. The Incidental Thyroid Nodule. CA CANCER J CLIN.
2018;68(2):97–105.
7. Mackenzie EJ, Mortimer RH. Thyroid nodules and thyroid cancer. MJA.
2004;180(5):242–7.
8. Valderrabano P, Mclver B. Evaluation and Management of Indeterminate Thyroid
Nodules : The Revolution of Risk Stratification Beyond Cytological Diagnosis.
Cancer Control. 2017;24(5):1–14.
9. Paschke R, Cantara S, Crescenzi A, Jarzab B, Musholt TJ, Sobrinho Simoes M.
European Thyroid Association Guidelines regarding Thyroid Nodule Molecular
Fine-Needle Aspiration Cytology Diagnostics. Eur Thyroid J. 2017;6(3):115–29.
10. Song JSA, Hart RD. Fine-needle aspiration biopsy of thyroid nodules Determining
when it is necessary. Can Fam Physician. 2018;64:127–8.
Pendahuluan
Differentiated thyroid carcinoma (DTC) yang juga disebut sebagai
karsinoma tiroid papiler atau folikular adalah suatu keganasan pada kelenjar
tiroid dimana sel kanker ini terlihat dan dalam beberapa hal bersifat seperti
sel tiroid normal. Pertumbuhannya bersifat lambat dan biasanya muncul
pada orang dewasa berupa massa pada kelenjar tiroid tanpa disertai gejala.
Sinonimnya adalah karsinoma tiroid papiler atau folikular, Well-differentiated
thyroid carcinoma. DTC adalah bentuk yang paling sering dijumpai dari kanker
tiroid insiden tahunanannya secara keseluruhan berkisar antara 1/10.000 dan
insidennya memiliki kecenderungan yang terus meningkat. Rasio penderita
perempuan terhadap laki-laki kurang lebih 3:1. Dari keseluruhan insiden
DTC, Sekitar 90% nya adalah PTC, dan 10% adalah FTC.
1. Active Surveilance
Panduan dari ATA 2015 memasukkan active surveilance di antara
beberapa pilihan penatalaksanaan untuk PTC yang berdiameter
2. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan bersifat individual, berdasarkan panduan dari ATA
2015, tiroidektomi lobus (TL) mungkin dipertimbangkan untuk tumor
intra-tiroidal dengan risiko rendah dengan ukuran hingga 4 cm, dan tidak
didapatkan lesi di lobus kontralateral. dimana pada panduan-panduan
sebelumnya, total tiroidektomi (TT) merupakan pendekatan bedah yang
banyak dipakai untuk jenis tumor ini. Beberapa tindakan bedah pada
kelenjar tiroid adalah:
• Tiroidektomi Lobus (TL) : Pengangkatan lobus di tempat kanker
tiroid berada. Biopsi kelenjar getah bening di daerah tersebut dapat
dilakukan untuk melihat apakah mengandung sel-sel kanker
• Tiroidektomi hampir total: Pengangkatan semua jaringan tiroid
kecuali sebagian yang sangat kecil dari kelenjar tiroid
• Tiroidektomi total (TT) : Pengangkatan seluruh kelenjar tiroid tanpa
sisa
• Limfadenektomi atau diseksi leher: Pengangkatan kelenjar getah
bening di leher yang mengandung sel kanker tiroid. Tindakan Ini
umumnya dipisahkan menjadi diseksi kelenjar getah bening sentral
dan lateral.
Pada pasien dengan risiko rendah yang menjalani lobektomi atau pada
mereka yang menjalani tiroidektomi total dengan Tg yang tersupresi
sampai tidak terdeteksi, target terapi TSH harus antara 0,5 hingga 2 mU
/ L. Jika Tg> 0,2 mg / dl, target terapi TSH harus antara 0,1 hingga 0,5 mU
/ L.
Gambar
Gambar 2. Pemilihan
2. Pemilihan TerapiTerapi
AblasiAblasi Radioiodine
Radioiodine pada pada Terapi
Terapi AwalAwal
Daftar Pustaka
1. Haugen BR, Alexander EK, Bible KC, et al.: 2015 American Thyroid Association
Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid Nodules and
Differentiated Thyroid Cancer: The American Thyroid Association Guidelines
Task Force on Thyroid Nodules and Differentiated Thyroid Cancer. Thyroid.
2016; 26(1): 1–133
2. Oda H, Miyauchi A, Ito Y, et al.: Incidences of Unfavorable Events in the
Management of Low-Risk Papillary Microcarcinoma of the Thyroid by Active
Surveillance Versus Immediate Surgery. Thyroid. 2016; 26(1): 150–5.
Latar Belakang
Fibrogenesis hati merupakan konsekuensi dari semua kerusakan hati,
terlepas dari apapun etiologinya. Skar progresif yang merupakan respon dari
kerusakan hati yang terus menerus menyebabkan berkembangnya sirosis
hati. Fibrosis hati merupakan parameter sentral yang mengekspresikan
derajat keparahan penyakit hati, serta merupakan elemen yang memprediksi
evolusi dari penyakit hati.1 Sirosis seringkali asimptomatik dan tak terduga
hingga muncul komplikasi berat dan berkembang menjadi karsinoma sel hati.
Oleh karena komplikasi tersebut, sirosis menjadi penyebab kematian tertinggi
ke-12 di dunia.2
dalam penegakan sirosis hati. Diagnosis non invasif meliputi pemeriksaan klinis,
Syifa Mustika
Biopsi hati dapat dilakukan dari rute perkutan atau transjugular. Biopsi
hati perkutan dilakukan melalui interkostal kanan dibawah kontrol USG
dengan terlebih dahulu dilakukan anestesi lokal dan menggunakan jarum
aspirasi Menghini atau jarum Tru-cut automatic 16-G. Sebelum dilakukan
prosedur, parameter koagulasi harus dicek (termasuk jumlah platelet
dan prothrombine time/international normalized ratio). Aturan 50/50
(prothrombine time lebih dari 50% dan jumlah platelet lebih dari 50 x
109/L) seringkali digunakan untuk mempertimbangkan status koagulasi
dan platelet yang diperbolehkan. Adapun kontraindikasi biopsi hati
perkutan adalah koagulopati berat, dilatasi duktus biliaris, sepsis, asites,
dugaan lesi vaskuler, penyakit hydatid atau pasien yang tidak kooperatif.
Kontraindikasi berupa asites dan koagulopati dapat ditangani dengan
melakukan biopsi melalui rute transjugular.8
Tabel 2. Ambang batas yang berbeda dari HVPG berkorelasi dengan titik akhir
klinis pada penyakit hati lanjut6
HVPG Klinis
< 5 mmHg Normal
5-10 mmHg Hipertensi portal ringan
> 6 mmHg Hepatitis virus kronik yang mengalami progresivitas
Risiko rekurensi tinggi setelah transplantasi hati
> 10 mmHg : Hipertensi portal yang signifikan secara klinis
> 10 mmHg Berkembangnya varises esophagus
Asites
Dekompensata
Karsinoma sel hati
Dekompensata setelah reseksi hepar
B. Pemeriksaan Laboratorium
Banyak penanda hematologi dan biokimia mengenai fibrosis yang
telah dipelajari. Secara umum, serum penanda fibrosis dibedakan
menjadi dua kelompok yakni: 1). penanda tidak langsung yang
merefleksikan derajat fibrosis secara tidak langsung, 2). penanda
langsung yang secara langsung mengukur komponen matrik hati
atau enzim yang terlibat dalam regulasi matrik.
Penanda Langsung
Penanda langsung memungkinkan penilaian kuantitatif dari
jumlah total matriks ekstraseluler hati, baik yang tersimpan atau
terbuang. Kadar serum mengalami peningkatan seiring dengan
progresifitas fibrosis dan memiliki tendensi untuk menurun ketika
berespon terhadap terapi. Penilaian dari penanda ini berguna
untuk mengetahui efektifitas terapi, namun penanda tersebut tidak
spesifik terhadap organ.18
C. Modalitas Pencitraan
Ultrasound (US), CT dan MRI secara tradisional telah digunakan
untuk mengeksplorasi kondisi hati. Ketiganya dapat mendeteksi
perubahan biologis parenkim hati ketika didapatkan fibrosis yang
signifikan serta tanda hipertensi portal.
c. Transient Elastography
Transient elastography (TE) merupakan teknik elastografi
berbasis ultrasonografi yang digunakan untuk menghitung
kekakuan hati dan berkorelasi erat dengan tahap fibrosis
hati. Teknik ini menggunakan probe ultrasonografi M (5 MHz)
dengan sistem vibrasi khusus yang menghasilkan gelombang
mekanis yang memiliki frekuensi dan amplitudo rendah (50
Hz). Impuls mekanis menghasilkan shear wave di hati yang
kembali menuju transduser. Pengukuran kecepatan shear wave
dapat dikonversi menjadi kekakuan hati.16
MRE
Magnetic Resonance Elastography (MRE) merupakan modalitas
yang digunakan untuk menilai elastisitas hati secara kuantitatif.
Modalitas ini dapat meningkatkan kontras antara jaringan
yang berbeda dalam tubuh dibandingkan USG, CT, dan MRI
konvensional. Pada studi meta analisis, secara keseluruhan
didapatkan sensitivitas, spesifisitas dan AUROC MRE untuk
tingkat histologi ≥ F2 adalah 0,94; 0,95; dan 0,98, sedangkan
untuk ≥ F4 adalah 0,99; 0,94; dan 0,99.7,24
Kesimpulan
Evaluasi fibrosis hati merupakan parameter yang penting pada penyakit
hati kronik yang progresif . Biopsi hati saat ini masih menjadi baku emas dalam
diagnosis sirosis, namun teknik ini tidak dapat digunakan pada semua pasien.
Oleh karenanya, dikembangkan pula modalitas diagnostik non-invasif sebagai
indikator yang reliabel terhadap fibrosis. Dalam praktik klinis, baik modalitas
diagnostik invasif dan non-invasif memiliki keunggulan dan keterbatasan
masing-masing.
Daftar Pustaka
1. Braticevici CF, R Papacocea, L Tribus, A Badarau. 2011. Can We Replace Liver Biopsy
with Non-Invasive Procedures?. In: Dr Hirokazu Takahashi (Ed.). Liver Biopsy,
ISBN: 978953-307-644-7, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/
books/liver-biopsy/can-we-replace-liverbiopsy-with-non-invasive-procedures.
2. Lozano R, M Nagavi, K Foreman, et al. 2012. Global and regional mortality from 235
causes of death for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the
Global Burden of Disease Study 2010. Lancet, 380:2095-2128.
3. Zhou WC, QB Zhang, L Qiao. 2014. Pathogenesis of liver cirrhosis. World J
Gastroenterol. 2014; 20(23): 7312-7324.
4. Muir AJ. 2015. Understanding the Complexities of Cirrhosis. Clin Ther.
2015:37:1822-1836.
5. Pellicoro A, P Ramachandran, JP Iredale, et al. 2014. Liver fibrosis and repair:
immune regulation of wound healing in a solid organ. Nat Rev Immunol.
2014;14:181-194.
6. Procopet B and A Berzigotti A. 2017. Diagnosis of cirrhosis and portal hypertension:
imaging, non-invasive markers of fibrosis and liver biopsy. Gastroenterology
Report, 5(2), 2017, 79–89.
7. Kim MY, WK Jeong, SK Baik. 2014. Invasive and non-invasive diagnosis of cirrhosis
and portal hypertension. World J Gastroenterol 20 (15): 4300-4315.
8. Rockey DC, SH Caldwell, ZD Goodman, et al. 2009. Liver Biopsy. Hepatology
49:1017–44.
9. Kalambokis G, P Manousou , S Vibhakorn, et al. 2007. Transjugular liver biopsy:
indications, adequacy, quality of specimens, and complications—a systematic
review. J Hepatol 2007;47:284–94.
10. Bosch J, JG Abraldes, A Berzigotti, et al. 2009. The clinical use of HVPG measurements
in chronic liver disease. Nat Rev Gastroenterol Hepatol 2009;6:573–82.
11. Llop E, A Berzigotti, M Reig, et al.2012. Assessment of portal hypertension by
transient elastography in patients with compensated cirrhosis and potentially
resectable liver tumors. J Hepatol 2012;56:103–8.
12. Rossle M, Blanke P, Fritz B et al. Free hepatic vein pressure is not useful to calculate
the portal pressure gradient in cirrhosis: a morphologic and hemodynamic study. J
Vasc Interv Radiol 27:1130–7.
13. Heidelbaugh JJ and Bruderly M. 2006. Cirrhosis and Chronic Liver Failure: Part I.
Diagnosis and Evaluation. Am Fam Physician 2006;74:756-62,78.
14. Verhelst X, A Geerts, HV Vlierberghe. 2016. Cirrhosis: reviewing the literature and
future perspectives. EMJ. 2016;1[3]:111-117.
15. Berzigotti A, Ashkenazi E, Reverter E, Abraldes JG, Bosch J. Non-invasive diagnostic
and prognostic evaluation of liver cirrhosis and portal hypertension. Dis Markers
2011; 31: 129-138.
16. Soresi M, L Giannitrapani, M Cervello, et al. 2014. Non invasive tools for the
diagnosis of liver cirrhosis. World J Gastroenterol 20(48): 18131-18150.
17. Holmberg SD, M Lu, LB Rupp, et al. Noninvasive serum fibrosis markers for
screening and staging chronic hepatitis C virus patients in a large US cohort. Clinical
Infectious Diseases 2013; 57(2): 240-246.
18. Nallagangula KS, SK Nagaraj, LK Venkataswamy, et al. 2017. Liver fibrosis: a
compilation on the biomarkers status and their significance during disease
progression. Future Sci OA. 2017;4(1):FSO250. Published 2017 Oct 5. doi:10.4155/
fsoa-2017-0083.
19. Li C, R Li, W Zhang. 2018. Progress in non-invasive detection of liver fibrosis.
Cancer Biol Med 15(2): 124-136. doi: 10.20892/j.issn.2095-3941.2018.0018.
20. Klibanov AL. 2007. Ultrasound molecular imaging with targeted microbubble
contrast agents. J Nucl Cardiol, 14: 876-884.
21. Kim MY, KT Suk, SK Baik, et al. Hepatic vein arrival time as assessed by
contrastenhanced ultrasonography is useful for the assessment of portal
hypertension in compensated cirrhosis. Hepatology, 56: 1053-1062.
22. Berzigotti A, C Nicolau, P Bellot, et al. Evaluation of regional hepatic perfusion
(RHP) by contrast-enhanced ultrasound in patients with cirrhosis. J Hepatol, 55:
307-314.
23. Ebrahimi H, M Naderian, AA Sohrabpour. 2016. New Concepts on Pathogenesis,
Diagnosis, and Targeting of Liver Fibrosis; A Review Article. Middle East J Did Dis,
8:166-178. DOI:10.15171/mejdd.2016.29.
24. Wang QB, H Zhu, HL Liu, et al. 2012. Performance of magnetic resonance
elastography and diffusion-weighted imaging for the staging of hepatic fibrosis: A
meta-analysis. Hepatology, 56: 239-247.
Pendahuluan
Sirosis adalah suatu bentuk penyakit hati kronis (CLD) yang dihasilkan
dari kerusakan hati yang berkelanjutan dari berbagai penyebab, termasuk
infeksi virus, gangguan autoimun, penyakit kolestatik dan metabolisme
(misalnya, non alcoholic fatty liver disease [NAFLD]), serta konsumsi alkohol
berat. Fibrosis progresif dari struktur hati yang menyebabkan peningkatan
resistensi intrahepatik dan berkembang menjadi hipertensi portal, yang
pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya fungsi hati dan munculnya
komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Di negara maju, penyebab
utama sirosis adalah infeksi HCV, penyalahgunaan alkohol, dan NAFLD,
dengan sirosis terkait alkohol memiliki prognosis jangka panjang yang lebih
buruk dari pada sirosis terkait non-alkohol. Infeksi virus hepatitis B adalah
penyebab paling umum dari sirosis di negara berkembang. Meskipun banyak
kemajuan dalam memahami patogenesis sirosis dan peningkatan rejimen
pengobatan terkait CLD/ sirosis dan komplikasinya (misalnya hipertensi
portal) tetapi tetap menjadi masalah kesehatan global yang signifikan.1
HCC adalah salah satu tugas paling penting pada pasien dengan sirosis hati.
Pedoman Amerika dan Eropa saat ini merekomendasikan setidaknya satu
skrining pencitraan / tahun untuk HCC (ultrasonografi, triphasic CT). Serum
alfa-fetoprotein memiliki sensitivitas yang buruk dan karenanya hanya
direkomendasikan sebagai penanda skrining ajuvan. Setelah HCC terdeteksi,
banyak pilihan pengobatan tersedia, terutama tergantung pada ukuran dan
jumlah tumor, dan keahlian lokal. Reseksi bedah bisa efektif; sayangnya
sebagian besar pasien tidak mentolerir reseksi hati atau memiliki lesi
mikroskopis, sehingga pilihan terbaik untuk penyembuhan tetap transplantasi
hati.
Tabel 2. Alat neuropsikologis untuk diagnosis defisit kognitif pada pasien dengan
sirosis10
Kesimpulan
Komponen utama dalam pengelolaan pasien dengan sirosis adalah
pengobatan dan pencegahan komplikasi yang terkait. Selain mengobati
penyakit yang mendasari mengarah pada sirosis, intervensi dini dan
pengawasan berkelanjutan untuk komplikasi terkait sirosis sangat penting
untuk hasil dan pasien kualitas hidup. Tantangan utama dalam diagnosis
sirosis adalah mengenali penyakit hati yang mendasarinya, terutama pada
tahap awal. Penyedia layanan kesehatan harus waspada dan mengadopsi
ambang diagnosis rendah ketika diduga (Chronic Liver disease) CLD. Pasien
yang berisiko mengembangkan sirosis harus diskrining, dan faktor etiologi
diidentifikasi dan diobati atau dihilangkan sedapat mungkin. Manajemen
pasien dengan sirosis harus bergerak ke arah pendekatan multidisiplin.
Daftar Pustaka
1. Muir AJ. Understanding the Complexities of Cirrhosis. Clinical Therapeutics. 2015
2. Saberifiroozi M. Improving Quality of Care in Patients with Liver Cirrhosis. Middle
East J Dig Dis 2017;9:189-200. doi: 10.15171/mejdd.2017.73
3. Lemoinne S, Thabut D. Screeningfor Esophageal Varices. Clinical Liver Disease. 2012
4. Mattos ÂZ, et al. Screening for esophageal varices in cirrhotic patients – Non-invasive
methods. Ann Hepatol (2019), https://doi.org/10.1016/j.aohep.2019.06.003
5. Grattagliano I, Ubaldi E, Bonfrate E, Portincasa p. Management of liver cirrhosis
between primary care and specialists. World J Gastroenterol. 2011; 17(18): 2273-
2282
6. Nasser M, Turse PE, Syed Ali, Dailey FE, Zatreh M, et al. Interventions to improve
sarcopenia in cirrhosis: A systematic review. World J Clin Cases 2019 January 26;
7(2): 156-170.
7. Laube R, Wang H, Park L, Heyman JK, Vidot H, et al. Frailty in Advanced Liver
Disease. Liver International. 2018;38:2117-2128.
8. Perumpail BJ, Li AA, Cholankeril G, Kumari R, Ahmed A. Optimizing the Nutritional
Support of Adult Patients in the Setting of Cirrhosis. Nutrients. 2017
9. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines
on nutrition in chronic liver disease. Journal of hepatology. 2019.
10. Córdoba J. New Assessment of Hepatic Encepaalopathy. Journal of Hepatology.
2011.
Pendahuluan
Gastroesophageal reflux disease (GERD) didefinisikan sebagai gejala atau
kerusakan mukosa yang diakibatkan oleh refluks abnormal isi lambung ke
esofagus atau ke dalam rongga mulut (termasuk laring) atau paru-paru [1,2].
GERD dapat diklasifikasikan sebagai penyakit refluks non-erosif (NERD) atau
penyakit refluks erosif (ERD) berdasarkan ada tidaknya kerusakan mukosa
esofagus yang terlihat pada endoskopi.
GERD adalah salah satu kondisi yang paling sering ditemui oleh dokter
perawatan primer maupun gastroenterologis. Sebagai gambaran, tinjauan
sistematis tahun 2005 menemukan prevalensi GERD sebesar 10%-20%
di dunia Barat dibandingkan dengan prevalensi kurang dari 5% di Asia.
Ada kecenderungan untuk prevalensi yang lebih tinggi di Amerika Utara
dibandingkan dengan Eropa, dan kecenderungan untuk prevalensi yang lebih
tinggi di Eropa Utara daripada Eropa Selatan.3 Tingginya prevalensi GERD
disertai dengan tingginya biaya pengobatanya menghasilkan beban sosial
ekonomi yang signifikan terkait dengan penyakit ini.
Diagnosis
Diagnosis GERD biasanya dibuat berdasarkan kombinasi gejala klinis,
respons terhadap obat, serta pemeriksaan objektif dengan endoskopi dan
pemantauan pH esofagus. Sebagai contoh, kombinasi dari gejala tipikal
sedang hingga berat dan perubahan endoskopi (erosif esophagitis atau
386 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Gastroesofageal Reflux Disease (GERD)
bahwa sebagian kecil pasien dengan PPI dosis tinggi akan terus memiliki
gejala,13 kemungkinan akibat ketidakpatuhan obat atau resistensi PPI.
2. Ambulatory pH Monitoring
Pemantauan refluks ambulatori adalah satu-satunya modalitas yang
memungkinkan pengukuran langsung paparan asam esofagus, frekuensi
episode refluks dan hubungan antara gejala dan episode refluks. Ini
biasanya digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan gejala persisten
meskipun telah mendapat terapi medis, terutama mereka yang tidak
memiliki bukti GERD secara endoskopi. Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan untuk memantau kontrol refluks pada mereka yang menjalani
terapi dengan gejala persisten1 dan juga direkomendasikan pada pasien
dengan pemeriksaan endoskopi negatif sebelum menjalani operasi anti-
refluks untuk mengkonfirmasi diagnosis.
3. Endoskopi
Endoskopi adalah modalitas utama yang digunakan dalam evaluasi
mukosa esofagus pada pasien dengan GERD dan juga memungkinkan
untuk biopsi lesi terkait (mis., Metaplasia, striktur, atau massa Barrett).
Penting untuk dipahami bahwa ada batasan dengan penggunaan
endoskopi atas dalam diagnosis GERD. Misalnya, endoskopi yang
menunjukkan esofagitis atau Barrett esofagus pada dasarnya menegaskan
diagnosis GERD (spesifisitas tinggi) sedangkan endoskopi normal tidak
berarti menyingkirkan diagnosis. Faktanya, sebagian besar pasien
dengan gejala khas GERD tidak memiliki bukti endoskopi GERD pada
esophagogastroduodenoscopy. Oleh karena itu, endoskopi bagian atas
tidak diperlukan untuk diagnosis dan sebagian besar dilakukan untuk
evaluasi komplikasi terkait GERD dan diagnosis alternatif serta untuk
penempatan probe pH kapsul nirkabel. Pasien dengan berbagai faktor
risiko adenokarsinoma esofagus (usia 50 tahun atau lebih, jenis kelamin
laki-laki, ras kulit putih, GERD kronis, hiatus hernia, peningkatan IMT,
dan distribusi lemak tubuh intra-abdominal) harus dilakukan skrining
endoskopi untuk Barrett esofagus.8
4. Barium Esofagogram
Barium esophagram pernah direkomendasikan sebagai tes skrining
untuk GERD, tetapi tidak lagi menjadi bagian dari evaluasi diagnostik.
Sebuah studi tahun 1996 terhadap 125 pasien membandingkan barium
esophagram dengan pemantauan pH esofagus untuk menilai akurasi
388 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Gastroesofageal Reflux Disease (GERD)
5. Esofageal Manometri
Manometri esofagus berguna untuk evaluasi dismotilitas dan
hanya memiliki kegunaan terbatas dalam evaluasi GERD. Tidak ada
pola manometrik yang bersifat patognomonik untuk refluks. Peran
manometry dalam evaluasi GERD terbatas pada pemeriksaan pra operasi
untuk menyingkirkan diagnosis gangguan motilitas yang signifikan
seperti achalasia atau scleroderma (kontraindikasi yang jelas untuk
operasi anti-refluks) serta untuk membantu penentuan posisi yang tepat
dari probe pH transnasal. Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan untuk
diagnosis GERD.15
6. Kuesioner
Metode penegakan diagnosis yang lain adalah kuesioner. Kuesioner
penilaian diri dapat meniru akurasi diagnostik dari gastroenterologist.
Misalnya, GERDQ adalah kuesioner penilaian mandiri yang terbukti
memiliki sensitivitas 65 persen dan spesifisitas 71 persen dalam
sampel 300 pasien, mirip dengan akurasi diagnostik dicapai oleh
gastroenterologist. Kuisioner ini terdiri dari enam pertanyaan yang
mudah dinilai yang menilai frekuensi gejala selama minggu sebelumnya.
Skor gejala 8 atau lebih tinggi menunjukkan kemungkinan tinggi adanya
GERD. Kuisioner ini juga dapat digunakan sebagai prediktor respons
terhadap PPI. Pasien yang tidak ada satu pertanyaan pun dengan skor
lebih dari 1 memiliki respons positif terhadap pengobatan.16
Jones R, Junghard O, Dent J, et al. Development of the GerdQ, a tool for the diagnosis and management of
gastro-oesophageal reflux disease in primary care. Aliment Pharmacol Ther 2009;30:1030-1038.
Daftar Pustaka
1. DeVault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2005;100:190–200.
2. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and management of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2013;108:308–328; quiz 329.
3. Dent J, El-Serag HB, Wallander MA, Johansson S. Epidemiology of gastro-
oesophageal reflux disease: a systematic review. Gut. 2005;54:710–717.
4. Klauser AG, Schindlbeck NE, Müller-Lissner SA. Symptoms in gastro-oesophageal
reflux disease. Lancet. 1990;335:205–208.
5. Hom C, Vaezi MF. Extra-esophageal manifestations of gastroesophageal reflux
disease: diagnosis and treatment. Drugs. 2013;73:1281–1295.
6. Smith JA, Abdulqawi R, Houghton LA. GERD-related cough: pathophysiology and
diagnostic approach. Curr Gastroenterol Rep. 2011;13:247–256.
7. Becher A, El-Serag H. Systematic review: the association between symptomatic
response to proton pump inhibitors and health-related quality of life in patients
with gastro-oesophageal reflux disease. Aliment Pharmacol Ther. 2011;34:618–
627.
8. Spechler SJ, Sharma P, Souza RF, Inadomi JM, Shaheen NJ. American
Gastroenterological Association medical position statement on the management of
Barrett’s esophagus. Gastroenterology. 2011;140:1084–1091.
9. Lagergren J, Bergström R, Nyrén O. Association between body mass
and adenocarcinoma of the esophagus and gastric cardia. Ann Intern
Med. 1999;130:883–890.
10. Smith L. Updated ACG Guidelines for Diagnosis and Treatment of GERD. Am Fam
Physician. 2005 Jun 15;71(12):2376-2382.
11. Tefera L, Fein M, Ritter MP, Bremner CG, Crookes PF, Peters JH, Hagen JA, DeMeester
TR. Can the combination of symptoms and endoscopy confirm the presence of
gastroesophageal reflux disease? Am Surg. 1997;63:933–936.
12. Giannini EG, Zentilin P, Dulbecco P, Vigneri S, Scarlata P, Savarino V. Management
strategy for patients with gastroesophageal reflux disease: a comparison between
empirical treatment with esomeprazole and endoscopy-oriented treatment. Am J
Gastroenterol. 2008;103:267–275.
13. Katzka DA, Paoletti V, Leite L, Castell DO. Prolonged ambulatory pH monitoring
in patients with persistent gastroesophageal reflux disease symptoms: testing
while on therapy identifies the need for more aggressive anti-reflux therapy. Am J
Gastroenterol. 1996;91:2110–2113.
14. Johnston BT, Troshinsky MB, Castell JA, Castell DO. Comparison of barium
radiology with esophageal pH monitoring in the diagnosis of gastroesophageal
reflux disease. Am J Gastroenterol. 1996;91:1181–1185.
15. DeVault K, McMahon BP, Celebi A, Costamagna G, Marchese M, Clarke JO, Hejazi
RA, McCallum RW, Savarino V, Zentilin P, et al. Defining esophageal landmarks,
gastroesophageal reflux disease, and Barrett’s esophagus. Ann N Y Acad
Sci. 2013;1300:278–295.
16. Jones R, Junghard O, Dent J, et al. Development of the GerdQ, a tool for the diagnosis
and management of gastro-oesophageal reflux disease in primary care. Aliment
Pharmacol Ther 2009;30:1030-1038.
Anamnesis
Pasien dengan penyakit glomerular dapat datang dengan atau tanpa
keluhan. Keluhan yang dilaporkan oleh pasien juga bisa bersifat tidak spesifik.
Oleh karena itu, secara detil perlu digali apakah terdapat edema, hipertensi,
riwayat infeksi, atau kelainan pada saat pemeriksaan kesehatan rutin.1 Pasien
juga dapat datang dengan riwayat penyakit sistemik seperti lupus, diabetes,
hipertensi, vaskulitis, atau amiloidosis.4 Riwayat konsumsi obat-obatan baik
dari dokter maupun obat yang dibeli sendiri oleh pasien perlu ditanyakan
untuk mencari penyebab penyakit glomerular yang terkait hal tersebut.
Riwayat kelainan ginjal dalam keluarga juga penting karena beberapa kondisi
seperti sindrom Alport, sindrom hemolitik-uremik, nefropati IgA familial,
glomerulonefritis complement-mediated, dan glomerulosklerosis fokal
segmental (FSGS) berhubungan dengan genetik.1,3
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien dengan penyakit glomerular dimulai
dari penilaian keadaan umum, tanda vital, dilanjutkan dengan pemeriksaan
secara sistematis. Adanya edema pitting merupakan tanda sindrom nefrotik,
sirosis hepatis, atau gagal jantung.1 Berbeda dengan edema pada pasien gagal
Penyakit Glomerular
Gangguan pada sawar filtrasi glomerulus yang menyebabkan
satu atau lebih dari: proteinuria glomerular, hematuria
glomerular, atau penurunan laju filtrasi glomerulus
Adanya proteinuria glomerular (PUK >1 gr/24 jam) dan tidak memenuhi kriteria eksklusi*
Bukti penyakit Ya
Ya Bukti penyakit multisistem**? Tidak multisistem**?
Tidak
Panel 1
1. Nefropati
diabetik***
2. Nefritis lupus kelas Panel 3
II-V Panel 4
Panel 2
3. Vaskulitis terkait 1. Nefropati 1. Diabetes
ANCA 1. Nefritis IgA membranosa
4. GN terkait infeksi: melitus***
2. Sindrom Alport idiopatik***
Hepatitis B, 2. Nefritis lupus
3. GN 2. Penyakit lesi
hepatitis C, kelas V ***
poststreptokokal minimal
HIVAN, CMV, 3. Amiloidosis:
akut 3. FSGS primer ***
endokarditis AL, AA, bentuk
4. MPGN idiopatik 4. FSGS sekunder+
bakterialis, amiolid lainnya
tipe 1 atau 5. Deposisi kristal
Legionella, GN 4. Skleroderma***
glomerulopati C3 rantai ringan
terkait infeksi 5. Penyakit
5. GN fibrillary/ tubular
stafilokokus mitokondria
dominan-IgA, immunotactoid*** 6. Sindrom Nail- 6. Penyakit Fabry’s
hantavirus, atau 6. Penyakit deposisi Patella 7. Penyakit IgG4
infeksi lain imun monoklonal 7. Nefropati
5. Krioglobulinemia (rantai ringan/berat) kolagenofibrotik
tipe I, II, III 7. GN proliferatif 8. Penyakit Dent’s *** Hematuria dapat
6. Mikroangiopati dengan deposit IgG 9. Glomerulopati tidak ditemukan
trombotik monoklonal C1
(HUS/TTP/aHUS), 8. Penyakit membran
sindrom basal glomerulus
antifosfolipid idiopatik tebal/tipis *** Hematuria dapat
primer/sekunder, tidak ditemukan
skleroderma***
+
7. Purpura Henoch- *** Hematuria dapat Penyakit multisistem
Schönlein tidak ditemukan dapat ditemukan bila
8. Penyakit penyebabnya adalah
Goodpasture multisistem (vaskulitis
9. Atheroembolisme terkait ANCA
renalis misalnya)
10. Penyakit Fabry’s
Proteinuria glomerular minor (PUK di atas normal namun ≤500 mg/24 jam) dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi*
1. Proteinuria
ortostatik
Tidak
2. Proteinuria yang
1. Nefropati diabetik
diinduksi
(terutama tahap
aktivitas
awal)
3. Nefrosklerosis
1. Penyakit membran 2. Bentuk yang lebih
hipertensi pada
basal glomerulus ringan dari penyakit
keturunan Afrika
idiopatik tipis/tebal pada gambar 2
panel 1. Walaupun 4. Bentuk yang
2. Nefritis IgA
keterlibatan ginjal lebih ringan dari
3. Sindrom Alport
masih dalam tahap penyakit pada
4. Bentuk yang lebih
yang ringan gambar 2 panel 3
ringan dari
(proteinuria ≤500 dan 4
penyakit pada
gambar 2 panel 2 mg/24 jam),
manifestasi
ekstrarenal dapat
lebih berat
Apakah terdapat bukti penyakit glomerular terkait Perjalanan penyakit progresif cepat
infeksi? Pengecualian: apakah mungkin terdapat GN namun tidak disebabkan oleh
Tidak
post-steptokokal? gangguan hemodinamik atau
nefrotoksisitas obat
Ya Kreatinin serum
Ya Tidak
meningkat?
Tidak
Atasi infeksi.
Lakukan biopsi ginjal jika
Pertimbangan biopsi tidak ada kontraindikasi dan:
Lakukan biopsi ginjal jika tidak
ginjal hanya jika tidak ada kontraindikasi dan:
terjadi perbaikan, • Sedimen urin nefritik
khususnya pada kasus di ATAU
• Sedimen urin nefritik
mana keterkaitan infeksi • Pemeriksaan penunjang ATAU
dan GN dianggap kuat memnunjukkan adanya
• Pemeriksaan penunjang
glomerulopati sekunder,
memnunjukkan adanya
Apabila hubungan kecuali nefropati diabetik
glomerulopati sekunder,
tersebut kurang jelas (Umumnya biopsi tidak
kecuali nefropati diabetik
atau fungsi ginjal diperlukan untuk
(Umumnya biopsi tidak
menurun dengan cepat, menegakkan nefropati
diperlukan untuk
dapat dilakukan biopsi diabetik)
menegakkan nefropati
ginjal
Tunda biopsi jika curiga FSGS diabetik)
sekunder; Pertimbangkan ATAU
biopsi hanya jika upaya untuk • Terdapat proteinuria
mempertahankan fungsi ginjal nephrotic range. Pada
tidak dapat menghambat kondisi ini dengan kreatinin
progresivitas penyakit ginjal. serum yang normal,
kemungkinan penyebabnya
lebih condong kepada
glomerulopati primer atau
sekunder dibandingkan
FSGS sekunder
Pada sindrom nefrotik terjadi edema mulai dari spektrum yang ringan
hingga edema anasarka. Mekanisme terjadinya edema pada sindrom nefrotik
dapat terjadi akibat underfilling maupun overfilling.1 Pada mekanisme
underfill, proteinuria menyebabkan turunnya kadar albumin di dalam serum.
Sebagai akibatnya, tekanan onkotik plasma akan menurun dan terjadi
transudasi cairan dari kapiler ke ruang ekstrasel. Penurunan tekanan darah
arteri efektif akan menstimulasi aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron
(RAA), yang kemudian akan menyebabkan retensi natrium di tubulus
distal.1 Retensi garam ini akan meningkatkan retensi air sehingga tekanan
hidrostatik meningkat dan edema semakin berat. Kondisi retensi natrium
akan diperberat oleh gangguan ekskresi natrium di ginjal sehingga volume
darah akan meningkat dan terjadi hipertensi. Volume darah yang meningkat
(overfill) akan menyebabkan transudasi berkelanjutan di ruang ekstrasel,
sehingga edema semakin berat.1 Jenis-jenis penyakit glomerular dengan
tampilan sindrom nefrotik dapat dilihat pada Tabel 2.
Underfill Overfill
Proteinuria Defek tubular primer
menyebabkan retensi garam
Hipoalbuminemia
Penurunan
tekanan onkotik
koloid plasma
Gaya Starling
Penurunan
volume plasma Volume plasma
normal/meningkat
Aktivasi sistem
Kadar peptida renin-angiotensin-
Peningkatan natriuretik atrial aldosteron Normal Peningkatan Penurunan
vasopresin yang normal/ vasopresin ANP aldosteron
rendah Peningkatan
aldosteron
*
Retensi air
Retensi garam
Edema
Sindrom Nefritik
Sindrom nefritik yang klasik ditandai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus, proteinuria non-nefrotik, edema, hipertensi, dan hematuria.1
Salah satu bentuk penyakit dengan gambaran khas ini adalah glomerulonefritis
post-streptokokal pada anak. Pendekatan klinis penyakit glomerular dengan
membagi menjadi sindrom nefrotik dan sindrom nefritik dapat membantu
menegakkan diagnosis. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ternyata
belakangan terbukti bahwa suatu penyakit glomerular dapat memiliki tampilan
nefrotik, nefritik, maupun gabungan keduanya.1 Perbedaan gambaran klinis
antara sindrom nefrotik dengan sindrom nefritik dapat dilihat pada Tabel 3
di bawah ini. Penyakit glomerular dengan tampilan sindrom nefrotik dapat
dilihat pada Tabel 4.
Pada pasien dewasa, penyakit lesi minimal hanya mencakup sekitar 10%-
15% pasien dengan sindrom nefrotik idiopatik.7 Penyakit ini merupakan
sindrom nefrotik yang memiliki prognosis cukup baik dengan peluang
terjadinya remisi komplit, walaupun pada pasien dewasa memerlukan waktu
lebih lama (>2 bulan) dibandingkan pada pasien anak (8 hari).7
Membranous Nephropathy
Nefropati membranosa merupakan penyakit glomerulus yang banyak
menyebabkan sindrom nefrotik idiopatik pada dewasa non diabetik,
khususnya ras Kaukasia.9 Nefropati membranosa dapat bersifat primer
(80%, hanya mengenai ginjal) atau sekunder (20%, mengenai organ lain).9
Pada nefropati membranosa primer, penyebab yang mendasari dapat berupa
infeksi, keganasan, penyakit autoimun/aloimun, dan obat/toksin.9
Glomerulonefritis Membranoproliferatif
Istilah glomerulonefritis membranoproliferatif mengacu pada tipe I
(MPGN tipe I). Glomerulonefritis membranoproliferatif tipe I ditandai dengan
deposisi imun di mesangium dan ruang subendotel.6 Gambaran ini dapat
juga ditemukan pada glomerulonefritis krioglobulinemik akibat infeksi virus
hepatitis C dan pada nefritis lupus.6,10
Nefropati IgA
Nefropati IgA merupakan salah satu bentuk penyakit glomerulonefritis
yang paling umum secara global.11 Mengingat prevalensinya yang terus
meningkat, nefropati IgA turut berperan dalam peningkatan kejadian
penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir. Kejadian nefropati
IgA di negara berkembang tidak setinggi di negara maju karena tidak semua
pasien dilakukan biopsi, khususnya pasien dengan spektrum penyakit yang
ringan.11 Patogenesis terjadinya nefropati IgA melibatkan berbagai faktor
genetik dan lingkungan yang dikenal sebagai proses “multi-hit”.
Mikroangiopati Trombotik
Mikroangiopati trombotik merupakan kondisi patologis yang ditandai
dengan anemia hemolitik mikroangiopatik (MAHA), kerusakan organ, dan
trombositopenia.12 Kondisi ini dapat bersifat multiorgan, namun ginjal
merupakan organ target yang sering terlibat dan menyababkan gangguan
ginjal akut. Pada pembagian yang klasik, mikroangiopati trombotik dibedakan
menjadi thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS) akibat Eschericia coli yang memproduksi Shiga toxin (STEC-
HUS), dan HUS atipikal (aHUS).12 Akan tetapi, seiring dengan perkembangan
ilmu khususnya genetika yaitu mutasi ADAMTS13, klasifikasi mikroangiopati
trombotik berubah dan mencakup berbagai spektrum kelainan seperti pada
gambar di bawah ini.
Gambar
Gambar 6. Klasifikasi
6. Klasifikasi Mikroangiopati Trombotik.
Mikroangiopati Trombotik.
Gambar dikutip dari:dari:
Gambar dikutip Brocklebank
Brocklebank V,V, Wood
Wood KM, Kavanagh
KM, Kavanagh D. Thrombotic
D. Thrombotic Microangiopathy Microangiopathy
and the Kidney.
and the Kidney. Clin J Am Soc Nephrol Clin J Am Soc2018;13(2):300-17.
Nephrol 2018;13(2):300-17.
Penyakit Goodpasture
Penyakit Goodpasture, atau juga dikenal sebagai penyakit anti-membran
basal glomerulus, merupakan penyakit yang sebabkan oleh autoantibodi
terhadap rantai alfa-3 pada kolagen tipe IV yang terdapat di membran basal
glomerulus. Penyakit ini adalah suatu bentuk vaskulitis pembuluh darah kecil
yang menyerang pembuluh darah kapiler di ginjal dan paru.13 Antigen kolagen
tipe IV memiliki mimikri molekuler dengan antigen bakteri tertentu, sehingga
autoantibodi dapat terbentuk dan menyebabkan aktivasi komplemen dan
sel-sel inflamasi. Akibatnya, terjadi kerusakan pada dinding kapiler disertai
proteinuria.6
Daftar Pustaka
1. Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: clinical presentations. In:
Johnson RJ, Feehally J, Floege J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 5 ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders 2015. h. 184-97.
2. Hebert LA, Parikh S, Prosek J, Nadasdy T, Rovin BH. Differential diagnosis
of glomerular disease: a systematic and inclusive approach. Am J Nephrol
2013;38(3):253-66.
3. Lewis JB. Glomerular diseases. In: Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s
nephrology and acid-base disorders. New York: McGraw Hill Education 2013. h.
162-88.
4. Almaani S, Meara A, Rovin BH. Update on Lupus Nephritis. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(5):825-35.
5. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Glomerulonephritis Work
Group. KDIGO clinical practice guideline for glomerulonephritis. Kidney inter,
Suppl 2012(2):139-274.
6. Johnson RJ, Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: histologic
classification and pathogenesis. In: Johnson RJ, Feehally J, Floege J, editors.
Comprehensive clinical nephrology. 5 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders 2015. h.
198-207.
7. Vivarelli M, Massella L, Ruggiero B, Emma F. Minimal Change Disease. Clin J Am Soc
Nephrol 2017;12(2):332-45.
8. Rosenberg AZ, Kopp JB. Focal Segmental Glomerulosclerosis. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(3):502-17.
9. Couser WG. Primary Membranous Nephropathy. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(6):983-97.
10. Kupin WL. Viral-Associated GN: Hepatitis C and HIV. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(8):1337-42.
11. Rodrigues JC, Haas M, Reich HN. IgA Nephropathy. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(4):677-86.
12. Brocklebank V, Wood KM, Kavanagh D. Thrombotic Microangiopathy and the
Kidney. Clin J Am Soc Nephrol 2018;13(2):300-17.
13. McAdoo SP, Pusey CD. Anti-Glomerular Basement Membrane Disease. Clin J Am Soc
Nephrol 2017;12(7):1162-72.
14. Jennette JC, Nachman PH. ANCA Glomerulonephritis and Vasculitis. Clin J Am Soc
Nephrol 2017;12(10):1680-91.
Instalasi Gawat Darurat (IGD) sendiri memiliki posisi yang unik untuk
memainkan peran dalam meningkatkan perawatan untuk populasi geriatri
(Adams and Gerson, 2003). Sebagai titik akses pelayanan kesehatan yang
terus mengalami peningkatan. IGD berada di persimpangan antara pelayanan
rawat inap dan rawat jalan (Gambar 1) (Hwang and Carpenter, 2017;
Carpenter and Platts-Mills, 2013). Kemampuan staf IGD dalam menangani
pasien geriatrik dapat berdampak tidak hanya pada kondisi pasien, tetapi
juga dapat berdampak pada keputusan untuk menggunakan modalitas rawat
inap yang relatif mahal, atau rawat jalan yang lebih murah (Ryan et al., 2011).
Dimana para Praktisi di IGD mempunyai tantangan serupa di seluruh dunia
(Banerjee et al., 2013).
Tanggung jawab:
- Menjadi anggota dari Instalasi Gawat darurat dan komite medik
- Melakukan pembinaan program peningkatan mutu dibidang
geriatrik
- Bekerja sama dengan staff medis untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dibidang geriatrik
- Bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan diluar rumah
sakit termasuk fasilitas home care yang menyediakan perawat yang
mempunyai lisensi, klinik home care, dan lain lain.
- Mampu mengIdentifikasi kebutuhan untuk pendidikan staf yang
sesuai dan penerapannya
- Meninjau, menyetujui, dan membantu dalam pengembangan semua
kebijakan dan prosedur geriatrik dirumah sakit.
2. Kepala Perawat
Kualifikasi:
- Punya minimal 2 tahun pengalaman kerja dengan pasien geriatrik (
atau menangani pasien di IGD dalam 5 tahun terakhir
- Lebih direkomendasikan bagi perawat dengan program QI
- Menyelesaikan kursus berkelanjutan dengan topik geriatrik, selama
8 jam setiap 2 tahun
Tanggung jawab:
- Bertanggung jawab dalam menjaga dan mengembangakan program
dibidang geriatrik
- Bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan diluar rumah
sakit termasuk fasilitas home care yang menyediakan perawat yang
mempunyai lisensi, klinik home care, dan lain lain.
- Merupakan anggota dari IGD dan/atau komite medik
- Mampu mengIdentifikasi kebutuhan untuk pendidikan staf yang
sesuai dan penerapannya.
3. Staff Dokter
Menyediakan pelayanan Selama 24 jam yang langsung disupervisi dan
memiliki kemampuan dibidang emergensi. Termasuk disini residen
senior yang hanya berpraktik sementara di RS Staff dokter juga harus
4. Staff perawat
Harus ikut berpartisipasi dalam Pendidikan berkelanjutan dibidang
geriatrik
6. Petugas tambahan
- Case manager dan pekerja sosial
- Asisten dokter ( opsional, tapi tidak direkomendasikan )
- Terapi okupasi
- Farmasis
Pendidikan
Edukasi dan Pelatihan pada petugas di IGD harus berbasis pada
kompetensinya masing-masing. Kurikulum wajib memasukkan berbagai
macam keilmuan sesuai dengan kebutuhan staff yang berasal dari berbagai
bidang. Metode pembelajaran yang dianggap efektif adalah gabungan dari
metode didaktif, case conference, simulasi kasus, audit klinis, membahas
jurnal, web-based materials, dan melakukan pembelajaran langsung ke pasien
dengan supervisi, pada kesimpulannya edukasi/kemampuan staff berperan
penting dalam menangani pasien geriatri di IGD
Peningkatan Kualitas/Mutu
Rencana Peningkatan Kualitas Program Geriatri
Untuk membuat rencana peningkatan program geriatri di pelayanan
emergensi harus dikembangkan dan dipantau. Laporan harus dibuat
dan disampaikan kepada komite IGD setiap tiga bulanan. Program harus
mencakup skala pelayanan pra-rumah sakit, IGD, tatalaksana trauma,
tatalaksana pasien kritis, pusat – pusat pelayanan kesehatan lain diluar rumah
sakit serta kegiatan peningkatan mutu di rumah sakit. Mekanismenya harus
dipastikan agar dengan mudah mengidentifikasi pasien geriatri (65 tahun &
lebih tua) yang berkunjung ke IGD. Program peningkatan mutu geriatri akan
mencakup identifikasi indikator, metode untuk mengumpulkan data, hasil dan
kesimpulan, menilai perbaikan, tindakan yang diambil, dan penilaian untuk
keefektifan proses komunikasi terhadap peserta. Mekanisme yang digunakan
untuk mendokumentasikan dan memonitor staff geriatri yang mengikuti
pendidikan di IGD geriatrk harus ditetapkan.
Selain di atas, entitas khusus penyakit perorangan yang juga dapat dipantau
oleh fasilitas termasuk:
• Jatuh/cedera pada pasien geriatri
• Prevalensi
• Prevalensi cedera traumatik yang terkait dengan jatuh
• Patah tulang pinggul
• trauma perdarahan intrakranial
• Cedera perut tumpul
• Kematian
• Skrining polifarmasi pada pasien jatuh
• Skrning pada mereka yang berisiko jatuh
• Evaluasi terapi fisik lengkap pada pasien berisiko.
• Pola rujukan setelah jatuh (screening visual, rehabilitasi pola jalan, dll.)
• Penggunaan kateter dan kateter terkait UTI (CAUTIs)
• Checklist pemasangan kateter urine dan indikasinya
• hari pertama saat kateter urine di rumah sakit
• Perintah otomatis untuk tidak melanjutkan pemasangan kateter
• Total hari pemasangan kateter
• Prevalensi CAUTIs di IGD
• Penyesuaian obat / pengawasan penggunaan obat
GambarGambar
2. Contoh Instrumen
2. Contoh untuk
Instrumen untukmenilai kualitas
menilai kualitas IGDIGD Geriatri
Geriatri
Daftar dibawah ini adalah tahap awal dalam mendesain dan pengadaan alat
untuk IGD geriatri
Perbaikan Furniture
• Kursi pemeriksaan – mungkin lebih nyaman dan akan memudahkan
dalam proses transfer
• Perabot yang dipilih punya sandaran tangan yang kokoh dan untuk
bed harus gampang untuk dinaiiki/ menaikkan pasien, sehingga
memudahkan untuk transfer. Perabot harus dipilih menggunakan
daftar desain yang berbasis bukti kegunaannya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pasien sering jatuh ketika mencoba keluar dari
tempat tidur tanpa pengawasan atau tanpa bantuan. Mereka juga
menunjukkan bahwa pinggiran/ bedrail tidak mengurangi jumlah jatuh
dan dapat meningkatkan keparahan jatuhnya
• Matras tebal dan lembut; menurunkan kemungkinan lecetnya kulit atau
decubitus pada pasien
• Pemilihan bahan yang lembut dan lembab terbukti mampu menjaga
kulit pasien yang gampang lecet, bahan yang dipilih nantinya mudah
dibersihkan dan tanpa celah, sehingga bisa mengurangi resiko infeksi,
terutama di IGD dimana arus pasien sangat cepat dengan berbagai jenis
penyakit
• Pencegahan luka karena tekanan pada pasien di IGD dapat menggunakan
matras yang bisa mendistrubisi tekanan. Bukti lain bahwa penggunaan
kursi reclining dibandingkan dengan tempat tidur, dapat menurunkan
nyeri dan meningkatkan kepuasan pasien
Alat Khusus
• Alat pemanas tubuh / selimut hangat
• Cairan hangat
• Alas tidur non-slip
• Pengangan disampang tempat tidur - bila diperlukan untuk meminimalkan
risiko jatuh
• Alat bantu berjalan
• Alat bantu dengar.
• Alat monitoring
• Alat bantu pernapasan jika tersedia ikut menyertakan perangkat intubasi
serat optik
• Alat untuk membatasi gerak
• Kateter urine dengan pemakaian kateter kondom - meminimalkan risiko
CAUTI
Pencahayaan
• Pencahayaan – cahaya redup lebih direkomendasikan, tapi bisa terpapar
dengan sinar matahari dimana terbukti bermanfaat untuk penyembuhan
dan menurunkan delirium
• Dinding berwarna terang tapi tidak silau dan meminimalisasi pantulan
di lantai adalah hal yang dilakukan untuk mengoptimalisasi pencahayaan
dan menurunkan efek pantulan cahaya dilantai, dimana pasien geriatrik
membutuhkan 3 – 4 kali cahaya dibandingkan pasien dewasa muda.
• Pasien harus memiliki kontrol terhadap cahaya di ruangannya
Pola
• Sensitivitas terhadap kontras, pada mata yang mengalami proses
penuaan dapat membingungkan dan menghambat pasien geriatri. Pola
yang memiliki warna yang kontras atau terang dapat menyebabkan
vertigo, atau dapat terlihat sebagai objek yang bergetar.
Warna
• Pemilihan warna pada fasilitas dan bangunan yang menampung
pasien geriatrik harus diperhatikan, hindari warna monokrom dan
gunakan warna warna yang kontras baik pada dinding dan lantai, hal
ini dikarenakan geriatri mengalami penurunan kemampuan untuk
Suara
• Pengendalian bising berguna agar terjalin komunikasi yang baik antara
staf - pasien – sesama staf. Penggunaan alat peredam suara seperti
karpet, dapat menurunkan kebisingan dan meningkatkan privasi pasien.
Selain itu pasien kalau bisa disediakan alat untk mendengarkan musik
tanpa mengganggu pasien lain , hal ini dikarenakan mendengarkan musik
dapat menurunkan kecemasan, denyut jantung dan darah tinggi.
• Perbaikan juga harus bisa memfasilitasi privasi dan keamanan pasien.
Satu penelitian mengatakan bahwa pasien cenderung menahan informasi
tentang obat yang diminum dan diperiksa karena minimnya privasi
• Meningkatkan komunikasi
• Tambahan untuk peningkatan keamanan : Pintu tidak boleh memakai
gagang bulat, tapi memakai gagang biasa untuk kemudahan dalam
penggunaan
Kebijakan
Kebijakan ini berguna untuk menskrining semua pasien yang punya
resiko jatuh yang tinggi, untuk meningkatkan derajat kesehatan secara umum
Rekomendasi:
• Alat/tool skrining keperawatan
• Sumber daya termasuk, :
o Physical therapy/ fisioterapi (PT)
o Occupational therapy/Terapi okupasi (OT)
o Penyedia layanan rumahan
o Case managers/ Manager kasus
• Outpatient follow up resources
Prosedur
Semua pasien yang datang pertama kali tanpa terkecuali akan diskrining
memakai “Identification of Seniors at Risk Tool” atau yang sejenisnya.
- Dokter yang bertugas akan menilai hasil dari tool pada saat visit
pertama
- Pasien yang memiliki resiko tinggi akan disediakan staf yang akan
fokus dalam memenuhi kebutuhan pasien
- Pasien dengan resiko tinggi yang di MRS kan akan dirujuk ke case
manager selama di RS dengan titik fokus pembahasan pada faktor
resiko yang positif
- Pasien yang tercatat berisiko yang dirawat sebagai pasien rawat
jalan akan follow up pada hari berikutnya. Meskipun konsultasi
Peningkatan Performa:
Skrining pada pasien secara umum, memerlukan pendidikan yang berkala
dan penguatan untuk dokter, perawat, atau semua pihak yang terlibat. Kami
sarankan assessment awal dilakukan secara lengkap dan teratur.
Tujuan
Untuk menilai pasien yang sesuai atau sesuai indikasi untuk dipasang
kateter, dan bukan untuk menggantikan penilaian klinis dokter
Prosedur
• Pasien harus sesuai indikasi, dan ada bukti tulisan dokter di status.
• Menurut asosiasi penyakit infeksi di Amerika dan pendapat para ahli,
indikasi itu sebagai berikut
o Retensi urin
o Monitoring ketat output urin dimana pasien tidak dapat
menggunakan pispot
o Luka terbuka didaerah sacrum atau peranal dengan inkontinesia
urin
o Sakit berat, terlalu lemas sehingga tidak bisa menampung urin
o Pasien post operasi
o Penanganan inkontinensia urine atas permintaan pasien
o Disesuaikan dengan kebutuhan klinis
o Indikasi lain adalah :
o Neurogenic bladder
o USG pelvis emergensi
o Operasi emergensi
o Perubahan status mental
o Prosedur urologi
o HIP fraktur
o Palliative care
Kebijakan
Kebijakan ini diperuntukkan untuk mengatasi penggunaan obat-obatan
pada populasi geriatrik yang dating ke IGD. Daftar obat pasien diperoleh
dicatat seakurat mungkin, dari pasien, perawat, dan sumber daya rekam
medis. Pasien yang mengonsumsi lebih dari 5 obat, obat berisiko tinggi, atau
dengan tanda-tanda atau gejala-gejala dari efek samping obat akan dikelola
dengan pendekatan multi-disiplin yang berfokus pada peningkatan keadaan
umum pasien.
• Kepemimpinan/keterlibatan farmasi
o Pemeliharaan daftar obat berisiko tinggi
• Tim multidisiplin, termasuk spesialis geriatrik, apoteker, dll. lebih
direkomendasikan.
Prosedur
• Semua pasien geriatrik yang ke IGD, tanpa memperdulikan gejala yang
muncul, harus memiliki daftar obat yang lengkap
o Akurasi seringkali sulit dalam skenario IGD. Melibatkan pasien,
penyedia perawatan, dan keluarga dalam prosedur ini sangat
penting
o Sumber daya komputer harus dikembangkan dan digunakan
sehingga mudah untuk mendapatkan daftar obat yang akurat setiap
pasien dating ke IGD atau rumah sakit.
• Daftar obat akan dibuat oleh dokter dan perawat yang merawat
• Daftar obat akan disaring oleh perawat dan dokter yang merawat untuk:
o Polifarmasi > 5 obat
o Obat obat resiko tinggi
Farmasis yang bertugas di RS. Membuat list secara kontinyu dari
daftar obat yang mempunyai resiko tinggi, dengan menggunakan
“Beers Criteria” atau panduan yang telah disepakati Bersama.
Obat obat ini mencakup
Obat anti-koagulan dan anti-trombosis
Anti-hiperglikemik
Obat jantung termasuk digoksin, amiodarone, B-Blocker, CCB
Diuretik
Narkotika
Anti-psikotik dan obat psikiatri lainnya
Obat-obatan imunosupresan, termasuk obat kemoterapi
• Pasien yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit yang diketahui
memiliki masalah polifarmasi atau adanya obat berisiko tinggi akan
ditangani oleh tim multi-disiplin termasuk seorang apoteker didalamnya
• Tim multidisiplin akan berinteraksi dengan dokter penanggung jawab
dengan tujuan meminimalkan interaksi obat-obatan, meminimalkan
Kebijakan
Pasien akan dievaluasi untuk cedera, termasuk cedera yang mungkin
"tersembunyi" pada populasi geriatri. Selanjutnya, pasien akan dievaluasi
penyebab dan faktor risiko untuk jatuh. Pasien akan dinilai sebelum disposisi
untuk keselamatan dengan tujuan untuk mencegah cedera lebih lanjut dan
jatuh.
Prosedur
Semua pasien geriatri yang datang setelah jatuh akan dinilai oleh dokter
yang merawat. History adalah komponen paling kritis dari evaluasi pasien
dengan atau berisiko jatuh.
7. Sinkop / ortostasis
8. Melena
9. Komorbiditas spesifik seperti demensia, Parkinson, stroke, diabetes,
patah tulang pinggul dan depresi
10. Gangguan visual atau neurologis seperti neuropati perifer
11. Penggunaan alkohol
12. Obat-obatan
13. Aktivitas hidup sehari-hari
14. Memakai kaki yang tepat
15. Penilaian obat harus dilakukan pada semua pasien yang berisiko jatuh
atau yang telah jatuh, dengan riwayat pemakaian salah satu dari kelas
obat berikut: vasodilator, diuretik, obat penenang antipsikotik /hipnotik,
dan obat-obatan berisiko tinggi lainnya.
16. Penilaian tekanan darah ortostatik
17. Penilaian neurologis : neuropati dan kekuatan motorik proksimal.
16. Evaluasi gaya berjalan, dan "tes up and go". Pasien tidak mampu bangkit
dari tempat tidur, berbalik, dan terus-menerus keluar dari UGD harus
dinilai kembali. Penerimaan harus dipertimbangkan jika keselamatan
pasien tidak dapat dipastikan. Semua pasien dirawat di rumah sakit
setelah jatuh akan dievaluasi dengan terapi fisik dan terapi okupasi.
penyakit medis akut yang, disfungsi kognitif awal, efek dan interaksi
pengobatan, dan komorbiditas penyakit lain.
Kebijakan
Kebijakan untuk mengevaluasi secara komprehensif pasien geriatri yang
mengalami delirium, ensefalopati, atau perubahan status mental. Intervensi
ditujukan untuk delirium yang reversible.
Prosedur
Alat skrining yang divalidasi akan digunakan untuk mengidentifikasi
pasien yang mengalami demensia dan delirium.
Setiap pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit, terlepas dari diagnosis
primer, harus dievaluasi untuk mengetahui ada tidaknya faktor risiko
terjadinya delirium saat dirawat di rumah sakit:
• Penglihatan menurun atau pendengaran
• Kemampuan kognitif menurun
• Penyakit parah
• Dehidrasi / azotemia pra-ginjal
• (adanya 1-2 faktor diatas meningkatkan risiko delirium rawat inap
sebesar 2,5x, adanya 3-4 faktor meningkatkan risiko delirium rawat inap
sebesar> 9x)
Kebijakan
Kebijakan untuk mengenali peran perawatan paliatif dan akhir
kehidupan, termasuk mengatasi kedaruratan dan diskusi tentang keputusan
penting dengan keluarga / pengasuh.
Penutup
Panduan penyusunan geriatri emergensi oleh the American College of
Emergency Physicians, The American Geriatrics Society, Emergency Nurses
Association, and the Society for Academic Emergency Medicine dirangkumkan
sebagai acuan untuk membentuk IGD khusus geriatri dengan kebutuhan yang
unik dan komprehensif
Daftar Pustaka
1. Adams, J. G. and Gerson, L. W. (2003) ‘A new model for emergency care of geriatric
patients’, Academic Emergency Medicine. doi: 10.1197/aemj.10.3.271.
2. Anhar, K. (2018) ‘Analisis Implementasi Kebijakan Dokter Spesialis Jaga On Site Di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang’, Jurnal
Administrasi Rumah Sakit Indonesia..
3. American College of Emergency Physician. Geriatric Emergency Departement
Guidelines.. http://dx.doi.org/10.1016/j.annemergmed.2014.02.008. doi:
10.7454/ARSI.V1I3.2182
4. Banerjee, J., Conroy, S. and Cooke, M. W. (2013) ‘Quality care for older people with
urgent and emergency care needs in UK emergency departments’, Emergency
Medicine Journal. doi: 10.1136/emermed-2012-202080.
5. Barbera, L., Taylor, C. and Dudgeon, D. (2010) ‘Why do patients with cancer visit
the emergency department near the end of life?’, CMAJ. doi: 10.1503/cmaj.091187.
6. Basic, D. and Conforti, D. A. (2005) ‘A prospective, randomised controlled trial of
an aged care nurse intervention within the Emergency Department.’, Australian
health review : a publication of the Australian Hospital Association. doi: 10.1071/
AH050051.
7. Beemath, A. and Zalenski, R. J. (2009) ‘Palliative Emergency Medicine:
Resuscitating Comfort Care?’, Annals of Emergency Medicine. doi: 10.1016/j.
annemergmed.2009.02.011.
8. Budnitz, D. S. et al. (2007) ‘Medication use leading to emergency department
visits for adverse drug events in older adults’, Annals of Internal Medicine. doi:
10.7326/0003-4819-147-11-200712040-00006.
9. Ciemins, E. L. et al. (2007) ‘The economic and clinical impact of an inpatient
palliative care consultation service: A multifaceted approach’, Journal of Palliative
Medicine. doi: 10.1089/jpm.2007.0065.
10. Corbett, H. M. et al. (2005) ‘Care coordination in the Emergency Department:
improving outcomes for older patients.’, Australian health review : a publication of
the Australian Hospital Association. doi: 10.1071/AH050043.
11. Grudzen, C. R. et al. (2012) ‘Does palliative care have a future in the emergency
department? Discussions with attending emergency physicians’, Journal of Pain
and Symptom Management. doi: 10.1016/j.jpainsymman.2011.03.022.
12. Han JH, Shintani A, Eden S, et al. Delirium in the emergency department: an
independent predictor of death within 6 months. Ann Emerg Med. 2010;56:244-
252.
13. Hegney, D. et al. (2006) ‘Nurse discharge planning in the emergency department:
A Toowoomba, Australia, study’, Journal of Clinical Nursing. doi: 10.1111/j.1365-
2702.2006.01405.x.
14. Hogan, T. M., Olade, T. O. and Carpenter, C. R. (2014) ‘A profile of acute care in
an aging America: Snowball sample identification and characterization of united
states geriatric emergency departments in 2013’, Academic Emergency Medicine.
doi: 10.1111/acem.12332.
15. Hustey, F. M. et al. (2003) ‘The effect of mental status screening on the care of
elderly emergency department patients’, Annals of Emergency Medicine. doi:
10.1067/mem.2003.152.
16. Kakuma, R. et al. (2003) ‘Delirium in older emergency department patients
discharged home: Effect on survival’, Journal of the American Geriatrics Society. doi:
10.1046/j.1532-5415.2003.51151.x.
17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012) ‘Pedoman teknis bangunan
rumah sakit ruang gawat darurat’, Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan
Sarana Kesehatan.
18. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2017) Analisis Lansia di Indonesia,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) ‘Data dan Informasi Profil
Kesehatan Indonesia 2017’. doi: 10.1007/s13398-014-0173-7.2.
20. Oliver, D. et al. (2004) ‘Risk factors and risk assessment tools for falls in hospital
in-patients: A systematic review’, Age and Ageing. doi: 10.1093/ageing/afh017.
21. Penrod, J. D. et al. (2010) ‘Hospital-based palliative care consultation: Effects on
hospital cost’, Journal of Palliative Medicine. doi: 10.1089/jpm.2010.0038.
22. Permenkes (2018) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47
Tahun 2018 Tentang Pelayanan Kegawatdaruratan, 31 Desember.
23. Rizka, A. et al. (2017) ‘Performa Rapid Emergency Medicine Score (REMS) dalam
Memprediksi Mortalitas 30 Hari Pasien Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat’,
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. doi: 10.7454/jpdi.v4i2.116.
24. Rosenberg, M., Lamba, S. and Misra, S. (2013) ‘Palliative Medicine and Geriatric
Emergency Care. Challenges, Opportunities, and Basic Principles’, Clinics in
Geriatric Medicine. doi: 10.1016/j.cger.2012.09.006.
25. Ryan, D. et al. (2011) ‘Improving older patients’ experience in the emergency room:
The senior-friendly emergency room’, Aging Health. doi: 10.2217/ahe.11.78.
26. Vermasari, A., Masrul and Yetti, H. (2019) ‘Analisis Implementasi Standar Pelayanan
Minimal (SPM) di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSU Mayjen HA Thalib Kabupaten
Kerinci’, Jurnal Kesehatan ANdalas, 8(2), pp. 275–285. Available at: http://jurnal.
fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/1002/878.
Pendahuluan
Delirium merupakan kondisi klinis yang sering dijumpai pada usia
lanjut di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan memiliki konsekuensi yang
serius namun sayangnya seringkali tidak dikenali sejak dini. Diperkirakan
10%-30% usia lanjut yang masuk ke IGD memiliki manifestasi delirium.
Usia lanjut memiliki penyakit komorbiditas dan penyakit kronik yang lebih
banyak sehingga meningkatkan risiko kejadian delirium dibandingkan usia
dewasa yang lebih muda. Kondisi ini seringkali tidak terdiagnosis sejak awal
oleh dokter di IGD. Hanya 16%-35% pasien usia lanjut yang mengalami
delirium dapat didiagnosis secara benar oleh dokter. Delirium diperkirakan
menambah biaya perawatan antara 38 juta dolar US hingga 152 juta dolar US
pertahun di Amerika. Delirium menyebabkan distress pada pelaku rawat dan
menempatkan pasien dalam risiko tinggi untuk masuk institusi perawatan,
readmisi ke rumah sakit hingga kematian. Usia lanjut dengan delirium
yang masuk IGD memiliki kejadian mortalitas 12 bulan sebesar 10%-26%.
Diagnosis dan tatalaksana pasien usia lanjut dengan baik dapat mempercepat
pemulihan dan menghindari prognosis yang buruk. 1-3
Patofisiologi
Patofisiologi delirium hingga kini masih belum diketahui pasti.
Mekanismenya dipikirkan melalui berbagai jalur karena delirium dapat
disebabkan oleh etiologi yang multifaktorial. Berbagai hipotesis jalur
mekanisme seperti hipotesis neurotransmiter, neuroinflamasi, stress oksidatif,
penuaan neuron dan disregulasi irama sirkadian, saling berinteraksi satu
sama lain. Gangguan keseimbangan neurotransmiter diperkirakan menjadi
salah satu penyebab tersering dimana pada delirium ditemukan adanya
defisiensi kolinergik relatif dan atau kelebihan dopamin pada otak. Respon
inflamasi sistemik pada tubuh pada kondisi seperti infeksi akan menimbulkan
kaskade lokal di otak yang selanjutnya mengakibatkan neuroinflamasi yang
dicetuskan oleh sitokin inflamasi. Kondisi ini akan menyebabkan aktivasi
endotelial, gangguan aliran darah otak dan apoptosis neuron.6-8
Etiologi
Penyebab delirium multifaktorial dan melibatkan hubungan kompleks
antara faktor kerentanan/ faktor risiko/ faktor predisposisi pada pasien dan
faktor yang mempresipitasi/ mencetuskan. Pasien yang memiliki banyak
faktor predisposisi atau memiliki faktor predisposisi yang berat akan mudah
untuk terjadi delirium walaupun dengan faktor pencetus yang ringan.
Sebaliknya, pasien yang tidak memiliki atau sedikit faktor predisposisi atau
memiliki faktor predisposisi yang ringan, akan terjadi delirium bila terdapat
faktor pencetus yang berat. Sebagai contoh yaitu usia lanjut yang menderita
demensia berat dan memiliki berbagai macam komorbiditas apabila terpajan
oleh obat yang memiliki efek samping mengantuk maka akan mudah tercetus
kondisi delirium. Interaksi antara faktor predisposisi dan faktor pencetus
delirium dapat dilihat pada gambar 1.6
Diagnosis
Diagnosis delirium dibuat berdasarkan anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pengamatan terhadap pasien serta pengkajian fungsi
kognitif. Anamnesis didapatkan dari pelaku rawat dan keluarga pasien,
serta staf medis dan non medis untuk mengetahui status kognitif awal
pasien sebelumnya serta menilai adanya perubahan yang bersifat akut dan
fluktuatif.4,6 Kondisi medis lain yang menjadi diagnosis banding delirium
seperti psikosis akut, demensia dan depresi harus disingkirkan (tabel 3).
DAN
DAN
Diagnosis delirium berdasarkan CAM ditegakkan bila terdapat kriteria No.1 DAN No. 2,
DITAMBAH kriteria no. 3 ATAU No. 4
Gambar 2. Algoritma diagnostik Confusion Assessment Methode (CAM)14
Gambar 2. Algoritma diagnostik Confusion Assessment Methode (CAM)14
Perubahan
Perubahan akut dandan
akut fluktuasi
fluktuasistatus mental
status mentalmerupakan
merupakangambaran utamautama
gambaran delirium.
Gambaran ini dapat ditemukan pada saat wawancara dengan pelaku rawat atau keluarga.
delirium. Gambaran ini dapat ditemukan pada saat wawancara dengan pelaku
Gambaran ini dapat sulit dipastikan bila orang dekat yang selama ini bersama pasien tidak
adarawat
saat diatau
IGD.keluarga.
Pasien yangGambaran
datang dari ini fasilitas
dapat sulit dipastikan
long-term bila orangkomunikasi
care, melakukan dekat
dengan perawat atau dokter di fasilitas tersebut dapat membantu
yang selama ini bersama pasien tidak ada saat di IGD. Pasien yang datang memperoleh data status
mental awal pasien. Pada beberapa pasien, perubahan akut dan fluktuasi
dari fasilitas long-term care, melakukan komunikasi dengan perawat atau dapat juga diperoleh
dengan melakukan pengamatan saat pasien di IGD. Kriteria 2,3, dan 4 CAM dapat dikaji
dokter
selama di fasilitas
melakukan tersebut
anamnesis dapatdan
pasien membantu
melakukanmemperoleh
skrining fungsidatakognitif.
status mental
Gangguan
awal
atensi pasien. Pada
diketahui beberapa
dari pasien yangpasien,
sangat perubahan akut dan
mudah teralihkan fluktuasi
atensinya dapat
dan sulitjuga
dalam
memfokuskan perhatiannya. Ganguan pola pikir diketahui dari
diperoleh dengan melakukan pengamatan saat pasien di IGD. Kriteria 2,3, pemikiran pasien yang
melantur, atau memiliki aliran ide yang tidak logis. Perubahan kesadaran dapat ditunjukkan
4
dari 444
kondisi somnolen, letargi, ansietas, ataupun agitasi.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
CAM memiliki sensitivitas tinggi (94%-100%) dan spesifisitas tinggi (90%-95%)
pada pasien yang dirawat inap berdasarkan studi Inouye dkk. Studi lain yang melakukan
validasi CAM menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi yaitu sensitivitas
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Delirium pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat
dan 4 CAM dapat dikaji selama melakukan anamnesis pasien dan melakukan
skrining fungsi kognitif. Gangguan atensi diketahui dari pasien yang sangat
mudah teralihkan atensinya dan sulit dalam memfokuskan perhatiannya.
Ganguan pola pikir diketahui dari pemikiran pasien yang melantur, atau
memiliki aliran ide yang tidak logis. Perubahan kesadaran dapat ditunjukkan
dari kondisi somnolen, letargi, ansietas, ataupun agitasi.4
Noto Dwimartutie
Setelah
Setelah diagnosis delirium
diagnosis delirium ditegakkan,
ditegakkan, makamaka langkah
langkah selanjutnya
selanjutnya adalah adalah
mencari
mencari faktor pencetusnya sekaligus faktor risiko. Anamnesis detil
faktor pencetusnya sekaligus faktor risiko. Anamnesis detil kepada pelaku rawat dan kepada
keluarga
pelaku rawat dan keluarga untuk mencari adanya kelainan pada berbagai
sistem organ, rasa tidak nyaman seperti konstipasi/ impaksi feses, dan nyeri.
Obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien harus didapatkan informasinya
termasuk penggunaan obat golongan benzodiazepine serta konsumsi alkohol.
Pemeriksaan fisik secara detil mencari adakah gangguan tanda vital, hipoksia,
dehidrasi, tanda infeksi akut, defisit neurologi, tanda meningeal dan gangguan
sensorik. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari kelainan spesifik
tertentu seperti pemeriksaan darah perifer lengkap, kadar glukosa, elektrolit,
kalsium, fungsi ginjal, fungsi hati, urinalisis, fungsi tiroid, kultur darah atau
urin atau sputum, termasuk pemeriksaan toksikologi dan kadar kortisol.
Analisa gas darah diambil bila terdapat kecurigaan hiperkarbia atau hipoksia
terutama pada pasien dengan PPOK ataupun curiga infeksi dan gangguan
sistem respirasi. Pasien dengan infark miokard akut juga dapat bermanifestasi
dengan delirium sehingga pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan
untuk memastikan serta biomarker infark miokard dapat dipertimbangkan
diperiksa bila terdapat kecurigaan adanya kondisi tersebut. Foto toraks
dilakukan untuk menyingkirkan kelainan pada paru. Pemeriksan penunjang
lain seperti pencitraan otak ataupun punksi lumbal dapat dilakukan apabila
terdapat kecurigaan gangguan pada otak seperti meningitis, ensefalitis atau
stroke. 4
Tatalaksana
Tatalaksana inisial dimulai dengan mengkaji ABC (airway, breathing,
circulation) dan jika ada indikasi adalah kewaspadaan terhadap kelainan
di tulang servikal. Akses intravena, monitoring jantung, dan pemeriksaan
untuk mencari penyebab reversibel yang dapat dicari secara simultan seperti
hipoglikemia dan hipoksia segera dilakukan. Pasien usia lanjut dengan trauma
multisistem dapat muncul dengan kondisi normal sebelum akhirnya terjadi
penurunan klinis. Stroke iskemik akut dan kelainan neurologis lain segera
dicari. 1
Prognosis
Delirium mengakibatkan luaran kesehatan yang buruk. Kondisi somnolen,
letargi dan agitasi meningkatkan risiko aspirasi, jatuh, inkontinensia,
malnutrisi, emboli paru, dan ulkus decubitus. Lama rawat didapatkan lebih
panjang pada pasien dengan delirium (sekitar 8 hari lebih panjang). Pasien
dengan delirium memiliki perbaikan status fisik dan status kognitif lebih
rendah bila dibandingkan pasien tanpa delirium pada waktu 6 dan 12 bulan
saat pulang rawat. Delirium meningkatkan risiko penurunan status fungsional
yang lebih cepat sehingga berisiko lebih tinggi ditempatkan di institusi nursing
home. 12,18,19
Studi terkait luaran delirium di IGD telah dilaporkan pada beberapa studi.
Studi oleh Lewis dkk pada 385 usia lanjut di IGD menemukan bahwa pasien
dengan delirium akan berisiko meninggal pada 3 bulan dibandingkan pasien
tanpa delirium (14% vs 8%).21 Studi oleh Kakuma dkk terhadap 107 pasien
usia lanjut yang pulang dari IGD melaporkan bahwa delirium merupakan
faktor independen yang berhubungan dengan mortalitas 6 bulan. Studi ini
tidak mengikutsertakan pasien yang akhirnya dirawat.22 Han dkk melaporkan
pada studinya bahwa pasien yang mengalami delirium akan meninggal dalam
6 bulan lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa delirium (36% vs 10%).23
Vida dkk melaporkan bahwa pasien delirium di IGD berhubungan dengan
penurunan status fungsional lebih cepat. Namun hubungan ini menghilang
saat dilakukan penyesuaian dengan variabel perancu. 24
Simpulan
Delirium merupakan kondisi medis akut pada usia lanjut yang sering
ditemukan di IGD yang perlu segera dideteksi dari awal dan dilakukan
tatalaksana segera. CAM merupakan salah satu instrumen yang banyak
digunakan di IGD untuk membantu diagnosis delirium. Tatalaksana delirium
melibatkan multikomponen non farmakologis dan secara farmakologis
dengan indikasi tertentu.
Keterangan gambar:
Keterangan gambar:
b b
. Faktor risiko delirium yang sering adalah demensia atau gangguan kognitif, gangguan status fungsional dan
. Faktor risiko delirium yang sering adalah demensia atau gangguan kognitif, gangguan status fungsional dan
mobilitas, gangguan penglihatan atau pendengaran, dehidrasi, gangguan tidur, riwayat alkohol, usia sangat
mobilitas, gangguan penglihatan atau pendengaran, dehidrasi, gangguan tidur, riwayat alkohol, usia sangat
lanjut (>70 tahun), penyakit medis multipel, komorbiditas spesifik (seperti stroke, depresi)
lanjut (>70 tahun), penyakit medis multipel, komorbiditas spesifik (seperti stroke, depresi)
c
. Delirium
c
harus harus
. Delirium dipikirkan sebagaisebagai
dipikirkan kondisikondisi
emergensi medis yang
emergensi medismengancam nyawa nyawa
yang mengancam hingga hingga
terbuktiterbukti
tidak, tidak,
sehingga adanya perubahan status
sehingga mental
adanya akut harusstatus
perubahan segeramental
dilakukan
akutevaluasi.
harus segera dilakukan evaluasi.
d
. Delirium didiagnosis dengan CAM d
. Delirium didiagnosis dengan CAM
e
. Kriteriae Beers untuk mengevaluasi obat dapat mengidentifikasi obat yang seharusnya dihindari atau diberikan
. Kriteria Beers untuk mengevaluasi obat dapat mengidentifikasi obat yang seharusnya dihindari atau
dengan dosis terendah seperti trisiklik antidepresan, antikolinergik, antihistamin, benzodiazepine, kortikosteroid,
diberikan
antagonis reseptodengan dosis terendah
H2, meperidine, hipnotikseperti trisiklik
sedatif, antidepresan, antikolinergik, antihistamin, benzodiazepine,
clorpromazin
f kortikosteroid, antagonis resepto H2,untuk
meperidine, hipnotik sedatif, clorpromazin
. Strategi multikomponen nonfarmakologi digunakan baik pencegahan maupun tatalaksana delirium
e
. Obatf.antipsikotik digunakan hanya
Strategi multikomponen jika terdapat gangguan
nonfarmakologi digunakanperilaku yang pencegahan
baik untuk membahayakan pasientatalaksana
maupun dan atau staf,
delirium
atau jika e terdapat risiko layanan medis esensial terhenti.
. Obat antipsikotik digunakan hanya jika terdapat gangguan perilaku yang membahayakan pasien dan atau
staf, atau jika terdapat risiko layanan medis esensial terhenti.
Gambar 6. AlgoritmaGambar
evaluasi 6.
danAlgoritma delirium17
tatalaksanaevaluasi dan tatalaksana delirium17
Daftar Pustaka
1. Gower LE, Gatewood MO, Kang CS. Emergency department management of
delirium in the elderly. West J Emerg Med. 2012;13(2):194–201
2. Pérez-Ros P, Martínez-Arnau FM. Delirium assessment in older people in
Emergency Departments. A Literature Review. Diseases. 2019;7(1):14
3. LaMantia MA, Messina FC, Hobgood CD, Miller DK. Screening for delirium
in the Emergency Department : a systematic review. Ann Emerg Med. 2014
May;63(5):551-560
4. Han JH, Wilson A, Ely EW. Delirium in the older emergency department patient: a
quiet epidemic. Emerg Med Clin North Am. 2010;28(3):611–631
5. European Delirium Association and American Delirium Society. The DSM-5 criteria,
level of arousal and delirium diagnosis: inclusiveness is safer. BMC Medicine 2014;
12:141 .
6. Inouye SK, Fearing MA, Marcantonio ER. Delirium. In : Halter JB, Ouslande JG, Tinetti
ME, Studenski S, et al. editors. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed.
Mc Graw Hill Co. 2017. P. 647-58
7. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med 2006;354:1157-65
8. Maldonado JR. Delirium pathophysiology: An updated hypothesis of the etiology of
acute brain failure. Int J Geriatr Psychiatry. 2017;1–30.
9. Han JH, Zimmerman EE, Cutler N, et al. Delirium in older emergency department
patients: recognition, risk factors, and psychomotor subtypes. Acad Emerg Med.
2009;16(3):193–200
10. Confusion : delirium and dementia. In: Kane RL. Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B,
editors. Essentials of clinical geriatrics. 6th ed. 2009. Mc Graw Hill co. p. 145-173
11. Ahmed S, Leurent B, Sampson EL. Risk factors for incident delirium among older
people in acute hospital medical units : a systematic review and meta-analysis. Age
and Ageing 2014;43:326-33
12. Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults : diagnosis, prevention
and treatment. Nat Rev Neurol 2009;5(4): 210-20
13. Inouye SK, Westerndorp RG, Saczynski JS. Delirium in elderly people. Lancet 2014
;383: 911-22
14. Inouye SK, van Dyck CH, Alessi CA, Balkin S, Siegal AP, Horwitz RI. Clarifying
confusion: the confusion assessment method. A new method for detection of
delirium. Ann Intern Med. 1990;113:941-948
15. Swan JT. Decreasing inappropriate unable-to-assess ratings for the confusion
assessment method for the Intensive Care Unit. Am J Crit Care 2014;23:60-68
16. Confussion Assessment Methode for the ICU. Complete training manual. 2014.
http://www.icudelirium.org/docs/CAM_ICU_training.pdf . Diunduh 9 Oktober
2018
17. Oh ES, Fong TG, Hshieh TT, Inouye SK. Delirium in older persons: advances in
diagnosis and treatment. JAMA 2017;318:1161-74
18. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly : a review. Oman Medical
Journal 2008; 23(3):150-7
19. Siddiqi N, House AO, Holmes JD. Occurrence and outcome delirium in medical in-
patients : a systematic literature review. Age Ageing 2006;35:350-64
20. Mattoo SK, Grover S, Gupta N. Delirium in general practice. Indian J Med Res
2010;131:387-98
21. Lewis LM, Miller DK, Morley JE, et al. Unrecognized delirium in ED geriatric patients.
Am J Emerg Med 1995;13(2):142–5.
22. Kakuma R, du Fort GG, Arsenault L, et al. Delirium in older emergency department
patients discharged home: effect on survival. J Am Geriatr Soc 2003;51(4): 443–50.
23. Han JH, Cutler N, Zimmerman E, et al. Delirium in the emergency department is
associated with six month mortality [abstract]. Acad Emerg Med 2009;16(S1):
S214.
24. Vida S, Galbaud du Fort G, Kakuma R, et al. An 18-month prospective cohort study
of functional outcome of delirium in elderly patients: activities of daily living. Int
Psychogeriatr 2006;18(4):681–700.
Pendahuluan
1. Terapi Komplemen, Alternatif dan Tradisional
Terapi komplemen/alternatif (Complementary and alternative Medicine
/ CAM) atau tradisional telah digunakan luas oleh masyarakat pada
berbagai penyakit dengan tujuan pencegahan dan pengobatan. Survey
yang dilakukan oleh Astin dkk diketahui bahwa pendidikan tinggi,
status kesehatan buruk, orientasi holistik, dan spiritual yang kuat
menjadi prediktor penggunaan terapi CAM di Amerika Serikat. Terapi
CAM digunakan pada masalah nyeri muskuloskeletal, ansietas, depresi,
insomnia, nyeri konis dan adiksi.1. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa terapi tersebut bermanfaat pada kesehatan mental, pencegahan
penyakit, pengobatan penyakit tidak menular dan memperbaiki kualitas
hidup pasien dengan penyakit kronis termasuk pada populasi usia lanjut.
Meskipun memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan kesehatan
masih diperlukan uji klinis, evaluasi dan penelitian lanjut.2
Terapi Relaksasi
Terapi relaksasi adalah salah satu jenis CAM. Terapi relaksasi bertujuan
untuk merilekskan ketegangan otot sehingga dapat mengurangi nyeri
(Brunner dan Suddarth, 2002). Metode ini juga efektif pada pasien yang
mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan
konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan
otot, yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot (McCaffery,
1998). Terapi relaksasi yang baik dapat mengurangi ketegangan otot, rasa
jenuh dan kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulus nyeri.5
2. Muscle relaxation
Teknik ini bertujuan untuk memberikan rasa nyaman pada otot-otot.
Ketika terjadi stress otot-otot pada beberapa bagian tubuh menjadi
menegang seperti otot leher, punggung, lengan. Teknik dilakukan
dengan cara merasakan perubahan dan sensasi pada otot bagian
tubuh tersebut. Teknik dapat dilakukan dengan; meletakan kepala
diantara kedua lutut (kira-kira selama 5 detik) dan merebahkan
badan ke belakang secara perlahan selama 30 detik.
3. Visualisasi
Teknik ini merupakan bentuk kemampuan mental untuk
berimajinasi seperti melakukan perjalanan ke suatu tempat yang
yang damai, atau situasi yang tenang. Teknik visualisasi seolah-olah
menggunakan beberapa indera secara bersamaan.
Penutup
Sebagai dokter perlu memiliki pengetahuan tentang terapi
komplementer/Alternatif yang terbukti bermanfaat bagi pasien sehingga
dapat merekomendasikan pilihan CAM yang sesuai bagi pasien. Terapi
relaksasi diketahui terbukti bermanfaat pada gangguan psikosomatik.
Daftar Pustaka
1. Astin JA. Why Patients Use Alternative Medicine Results of a National Study. JAMA.
1998;279(19):1–6.
2. WHO. Legal Status of Traditional Medicine and Complementary/Alternative
Medicine : A Worldwide Review. 2001;
3. Wieland LS, Manheimer E, Berman BM. Development and classification of an
operational definition of complementary and alternative medicine for the Cochrane
Collaboration. Altern Ther Heal Med. 2011;17(2):50–9.
4. Society General Internal Medicine. Position Statement on CAM Education SGIM
CAM Interest Group. 2008;(5):1–10.
5. Blumenthal JA. Relaxation Therapy, Biofeedback, and Behavioral Medicine.
Psychotherapy. 1985;22(3):516–30.
6. Dusek JA, Benson H. Mind-Body Medicine: A Model of the Comparative Clinical
Impact of the Acute Stress and Relaxation Responses. Minn Med. 2009;92(5):47–
50.
7. Buric I. What Is the Molecular Signature of Mind–Body Interventions? A Systematic
Review of Gene Expression Changes Induced by Meditation and Related Practices.
Front Immunol. 2017;8(June):1–17.
8. Ikemi A, M K, Hayashida Y, Y I. Self-regulation method: psychological, physiological
and clinical considerations. An overview. PsychiterPsychosom. 1986;46:184–95.
9. Lazarus AA, Tracy J. Relaxation: some limitations , side effects , and proposoed
solutions. Psychotherapy. 1990;27(2):261–6.
3
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK-KMK Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Latihan pasrah diri (LPD) adalah CAM berbentuk mind and body
theraphy yang telah dikembangkan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada dan telah menjadi salah satu layanan di klinik Psikosomatik, poliklinik
penyakit dalam RSUP. DR. Sardjito Yogyakarta. Latihan ini merupakan
kombinasi antara relaksasi, repetitive prayer (zikir), guided imagery, dan
latihan pernafasan. Pada dasarnya, LPD akan membangkitkan respon relaksasi
yang berujung pada penurunan respons stress dan depresi2. Jalur reduksi
stres dan penurunan respon inflamasi / peradangan, dan perbaikan simtom
depresi (pada pasien yang menderita depresi) tampaknya merupakan jalur
yang memperantarai efek LPD terhadap berbagai kondisi seperti perbaikan
tekanan darah5, perbaikan kontrol glikemik4, perbaikan gangguan tidur/
insomnia6, perbaikan gejala pada pasien dengan sistemik lupus eritematosus
(SLE)7, perbaikan fungsi paru pada penderita penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK)8, serta perbaikan kulaitas hidup serta reduksi simtom depresi pada
penderita berbagai penyakit kronik seperti diabetes mellitus (DM)9, gagal
ginjal kronik (GGK)10, penyandang HIV Human immunodeficiency virus)/AIDS
(Acquired immune deficiency syndrome)11 dan keganasan12.
fluoksetin dan LPD, lebih besar dibandingkan yang hanya fluoksetin saja
(∆TNFα -0,217±0,561 vs +0,176±0,961; p = 0,185) 18. Mean platelet volume
(MPV) dapat menjadi indikator peningkatan aktivitas platelet yang akan
meningkat pada kondisi inflamasi. Penelitian single blind RCT yang dilakukan
oleh Kusnadi dkk. tahun 2017 (n = 55) mengenai pengaruh LPD terhadap MPV
pada pasien geriatri dengan gejala depresi menunjukkan bahwa nilai MPV
pada kelompok perlakuan mengalami penurunan lebih besar dibandingkan
kontrol (∆MPV -0,78±0,48 vs -0,03±0,23; p<0,01)19. Rudiansyah dkk. Pada
tahun 2008 melalui suatu RCT (n = 44) menunjukkan bahwa LPD dapat
menurunkan kadar high sensitive-C Reactive Protein (hs-CRP) pada pasien
dengan DM tipe 2 dengan depresi lebih besar dibandingkan kontrol (∆hsCRP
-0,14±0,27 vs -0,1±0,85; p=0,343; CI 95% -0,34 – 0,42), hal ini seiring dengan
penurunan skor BDI yang lebih besar pada kelompok LPD (∆BDI -7,09±6,36
vs -2,24±5,34; p=0,01; CI 95% 1,23 – 8,48). Meskipun penurunan hsCRP
dan TNFα tidak bermakna secara statistik tetapi data terhadap kadar IL-6
bermakna, secara konsisten penelitian-penelitian diatas menunjukkan bahwa
LPD dapat menurunkan derajat inflamasi pada pasien dengan penyakit kronis
disertai penurunan skor BDI pada populasi yang mendapatkan terapi LPD20.
Salah satu dampak dari adanya penyakit kronis adalah terjadinya depresi
yang kemudian menyebabkan gangguan serta buruknya kualitas tidur yang
kemudian akan semakin memperberat depresi yang dialami. Selain itu, 40-
60% pasien dengan depresi mengalami gangguan pada hipotalamus-pituitari-
adrenal (HPA) aksis, menimbulkan gangguan dalam pola diurnal pelepasan
kortisol. Berbekal dasar bahwa LPD dipandang dapat mengurangi derajat
stres, mengurangi simtom depresi dan inflamasi, maka LPD mungkin dapat
bermanfaat dalam membantu mengatasi gangguan tidur pada pasien-pasien
dengan penyakit kronis. Suatu penelitian quasi eksperimental terhadap 18
pasien dengan HIV, depresi, dan penurunan kualitas hidup menunjukkan
bahwa LPD selama 21 hari dapat memperbaiki kualitas tidur berdasarkan
skor Pittsburgh sleep quality index (PSQI) (∆PSQI 8,78±2,36 vs 5,11±2,92;
p < 0,001) disertai penurunan skor BDI (∆BDI 19,83±9,09 vs 13,61±8,37;
p=0,003)6. Penelitian lain berupa RCT (n = 36) pada populasi pasien dengan
GGK yang menjalani HD rutin menunjukkan perbaikan skor PSQI lebih besar
pada kelompok dengan LPD dibandingkan kontrol (∆PSQI -2,94±3,47 vs
-0,61±2,5; p=0,027, CI95% -4,38 – (-0,28))21. Suastawa dkk. pada tahun 2013
melakukan suatu penelitian quasi eksperimental mengenai pengaruh LPD
terhadap kualitas tidur pasien PPOK dengan depresi, ditemukan bahwa LPD
mampu menurunkan skor BDI dan skor PSQI yang bermakna secara statistik
(∆PSQI pre-post 9,78±2,35 vs 5,07±2,75; p < 0,001)22.
Perlakuan LPD terhadap pasien PPOK dengan depresi bukan saja dapat
menurunkan gejala depresi (diukur dengan skor BDI), tetapi juga dapat
memperbaiki fungsi paru pasien sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian
quasi eksperimental (n=17) pada tahun 2013 dimana paska perlakuan LPD
2 kali sehari selama 21 hari mampu memperbaiki forced expiration volume1
(FEV1) (pre-post: 51,1%±16,41% vs 78,4%±25,89%; p=0,001) dan forced
vital capacity (FVC) (pre-post: 47,9%±17,34 % vs 75,7% vs 23,04%; p<0,001).
Perbaikan gejala depresi, meningkatnya kepatuhan berobat sekunder karena
perbaikan depresi serta respon stres, penurunan derajat inflamasi, dan
perbaikan HPA aksis mungkin merupakan penjelasan mengapa LPD dapat
memperbaiki FEV1 dan FVC pada pasien PPOK dengan depresi8.
Latihan pasrah diri telah diteliti pada pasien-pasien dengan HIV dengan
depresi. Selain dapat mengurangi simtom depresi sebagaimana telah
didiskusikan diatas, Hidayah dkk. Pada 2014 menunjukkan bahwa LPD dapat
memperbaiki skor BDI (∆BDI -3,4±5,4 vs -0,5±1,86; p = 0,007) dan CD4%
(∆CD4% 2±6,5 vs -1,87±5,8; p=0,014) pada penderita HIV dengan depresi23.
Kondisi ini terjadi karena CD4% dapat menurun akibat stress psikologis
melalui jalur HPA dan SAM (simpato-adrenal-medula) aksis, sehingga reduksi
stress dan depresi dapat membantu memperbaiki CD4% pada populasi pasien
tersebut.
Selain itu, LPD juga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dengan
penyakit kronik. Penelitian pada populasi pasien dengan HIV dan depresi
yang diukur dengan skor world health organization quality of life-brief version
(WHOQOL-BREF) menunjukkan perbaikan QOL pada domain sosial (p=0,006),
lingkungan (p=0,002), dan psikologik (p=0,027) dibandingkan dengan kontrol
yang tidak mendapatkan LPD11. Perbaikan QOL (diukur dengan kidnyey disease
quality of life-short form (KDQOL-SF)) tampak pada pasien GGK yang menjalani
HD rutin. Pada pasien yang mendapatkan LPD, terjadi perbaikan skor KDQOL-
SF pada domain sleep (50,97±18,98 vs 59,26±27,72; p=0,000), social support
(79,63±19,43 vs 85,18±16,05; p=0,001), overall health (53,53±15,39 vs
73,89±16,85; p=0,005),physical functioning (41,39±21,2 vs 50,28±19,89;
p=0,007), dan general health (41,39±21,34 vs 53,88±16,05; p=0,018). Pada
analisis terdadap ∆ KDQOL-SF maka kemaknaan hanya terjadi pada domain
sleep dan overall health10.
Beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk melihat apakah LPD dapat
membantu dalam kontrol glikemik pada penderita DM tipe 2 ? Mekanisme
yang mendasari belum sepenuhnya dipahami, tetapi diduga terjadi melalui
jalur reduksi stres, regulasi HPA aksis, reduksi aktifitas sistem simpatoadrenal
dan perbaikan resistensi insulin. Suatu penelitian quasi eksperimental pada
2018 terhadap pasien DM tipe 2 tanpa depresi menunjukkan bahwa LPD
2x sehari selama 8 minggu dapat menurunkan tingkat stress yang diukur
dengan skor PSS (pre-post : 15,36±3,12 vs 10,27±6,49 [-5,09]; p=0,001,
CI95% 2,22 – 7,95) dan kadar HbA1C (pre-post : 9,19±1,71 vs 8,8±1,8 [-0,39];
p = 0,049, CI95% 0,001-0,78) yang keduanya bermakna secara klinis maupun
statistik25. Studi single-blind RCT yang dilakukan oleh Siswanto dkk. Pada
2018 (n = 44) terhadap pasien dengan DM tipe 2 tanpa depresi menunjukkan
kelompok LPD memberikan mengalami reduksi stress (∆PSS -5,09±6,47
vs -4,64±5,21 [-0,45]; p=0,655), perbaikan resistensi insulin yang diukur
dengan homeostatic model assessment-insulin resistance (HOMA-IR) (∆HOMA-
IR -0,39±1,52 vs +0,25±2,6 [-0,64]; p=0,976) dan perbaikan HbA1C (∆HbA1C
-0,55±0,85% vs -0,13±0,82% [-0,42]; p=0,189)4. Perbaikan resistensi insulin
(HOMA-IR) dan penurunan skor PSS meskipun tidak signifikan secara statistik,
hasil ini penting karena menunjukkan kemaknaan klinis karena mendukung
teori bahwa efek LPD terhadap kontrol glikemik terjadi melalui perantaraan
reduksi stress dan regulasi HPA serta simpatoadrenal aksis yang berakibat
pada perbaikan resistensi insulin dan kontrol glikemik pasien. Pada akhirnya
kecilnya jumlah sampel dan kurangnya power pada penelitian tersebut
mungkin menjadi penyebab tidak signifikannya hasil tersebut secara statistik.
Pada studi terakhir, terdapat reduksi HbA1C sebesar -0,55% pada kelompok
perlakuan, dimana penurunan sebesar itu hampir setara dengan penurunan
HbA1C oleh agen-agen anti diabetik oral seperti alpha glucosidase inhibitor
(-0,5 sampai -0,8%), dipeptidyly peptidase-4 (DPP-4) inhibitor (-0,5%), dan
glucagon-like peptide-1 (GLP-1) agonist (-0,5%). Hubungan antara HbA1C
dengan komplikasi terkait diabetes sendiri telah diketahui dengan jelas dan
berhubungan secara linear sebagaimana ditunjukkan oleh studi UKPDS (UK
Kesimpulan
Latihan Pasrah Diri merupakan suatu modalitas terapi non farmakologik
yang mudah dilakukan pada pasien-pasien dengan penyakit kronik seperti
DM tipe 2, GGK, PPOK, SLE dan HIV/AIDS. Sejumlah penelitian menunjukkan
manfaat LPD untuk reduksi tingkat stres, mengurangi simtom depresi,
menurunkan penanda peradangan, memperbaiki kualitas tidur dan
meningkatkan QOL pada berbagai populasi pasien dengan penyakit kronik.
Latihan ini juga mampu memperbaiki fungsi paru-paru pada pasien PPOK,
membantu kontrol glikemik pada penderita DM tipe 2, memperbaiki status
nutrisi pada pasien geriatrik dan mungkin membantu dalam pengelolaan SLE.
Sejumlah penelitian meski memiliki kemaknaan klinis, tetapi gagal mencapai
kemaknaan statistik yang mungkin disebabkan karena kurangnya sampel dan
power penelitian. Pada akhirnya perlu dilakukan studi/ penelitian dengan
sampel dan power yang lebih besar untuk mengkonfirmasi temuan-temuan
tersebut diatas.
Daftar Pustaka
1. Pawa M. Complementary therapy use. In: Dunning T, editor.
Complementary therapies and the management of diabetes
and vascular disease. 1 ed. Cippenham, Wiltshire, Great
Britain: John Wiley & Sons Ltd; 2006. p. 24-5.
2. Siswanto. A., Siregar A.K., Asdie A.H. Treating depression in diabetic patients :
latihan pasrah diri (LPD) revisited. Acta interna Journal of Internal medicine. 2016.
6 (1): 43-55.
3. Dharma A.D. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kontrol gula darah pada
penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan gejala depresi [Thesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2006.
4. Siswanto. A., Juffrie M., Rianto B.U.D., Asdie A.H. The influence of latihan pasrah
diri on insulin resistance in individuals with diabetes mellitus type 2 without
depression [Disertation]. Yogyakarta : Gadjah Mada Universitiy. 2018.
5. Novianto. D. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kontrol tekanan darah
penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi gejala depresi [Thesis].
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2006.
6. Widorini N. Efek latihan pasrah diri pada perbaikan kualitas tidur : studi pada
penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2013.
7. Achadiono D.N.W.. Pengaruh Latihan Pasrah Diri Pada Pasien Lupus Eritematosus
Sistemik [Disertation]. Yogyakarta : Gadjah Mada Universitiy. 2018.
8. Richardo M., Siswanto A., Sumardi. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap
perbaikan fungsi paru penderita penyakit paru obstruktif kronik dengan gejala
depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2013.
9. Hidayat N. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas hidup pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 dengan gejala depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada. 2008.
10. Widyaningrum, Siswanto A, Djarwoto B.Effects of latihan pasrah diri in quality
of life in chronic kidney disease-dialysis patients with depression symptoms. Acta
interna Journal of Internal medicine. 2013. 3(2) : 16-23.
11. Novidasari. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas hidup pada penderita
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS). [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2012.
12. Novidasari. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas hidup pada penderita
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS). [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2012.
13. Pamungkas S.Y.E. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap perbaikan simtom depresi
pada pasien kanker payudara. [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
2011.
14. Tajudin R. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas tidur pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 tanpa depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada. 2019.
15. Hamra M.Y, Sumardi., Siswanto A., Sofia N.A. .Effects of latihan pasrah diri on the
improvement of depressive symptoms: a study on human immunodeficiency virus
(HIV)/acquired immune deficiency syndrome (AIDS) patients at RSUP Dr Sardjito
Yogyakarta. Acta interna Journal of Internal medicine. 2011. 1(1) : 26-30.
16. Nazara V.K. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap perbaikan gejala depresi pada
penderita penyakit paru obstruktif kronik [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada. 2012.
17. Androniko D. Pengaruh kombinasi latihan pasrah diri dan fluoksetin dibandingkan
dengan fluoksetin tunggal terhadap perubahan kadar interleukin-6 : studi pada
penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan simtom depresi [Thesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2016.
18. Tatag P. Pengaruh kombinasi latihan pasrah diri dan fluoksetin dibandingkan
dengan fluoksetin tunggal terhadap perubahan kadar tumor necrosis factor alpha
(TNF α): studi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan simtom depresi
[Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2016.
19. Kusnadi. Pengaruh latihan pasrah diri (LPD) terhadap mean platelet volume (MPV)
pada usia lanjut dengan simtom depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada. 2017.
20. Rudiansyah M. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kadar c-reactive protein pada
penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan gejala depresi. [Thesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2008.
21. Wuryanto. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas tidur studi pada pasien
gagal ginjal kronis dengan simtom depresi yang menjalani hemodialysis rutin.
[Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2012.
22. Suastawa K.A. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap perbaikan kualitas tidur
penderita penyakit paru obstruktif kronik dengan gejala depresi. [Thesis].
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2013.
23. Hidayah F.N. Efek latihan pasrah diri jangka panjang pada perbaikan simtom
depresi dan CD4 : sebuah studi pada penderita human immunodeficiency virus/HIV.
[Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2014.
24. Ahmad Z. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap status nutrisi usia lanjut dengan
simtom depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2013.
25. Novyanto R., Siswanto A., Sofia N.A. Pengaruh latihan pasrah diri (LPD) terhadap
HbA1C pasien diabetes mellitus tipe II (DMT2) tanpa depresi. Dalam: Buku
Prosiding The 5th Scientific Meeting on Psychosomatic Medicine: integrated approach
in psychosomatic medicine. Editor : Putranto R., Shatri H., Mudjadid E., Adli M. 2018.
26. Arnold LW, Wang Z. The HbA1c and all-cause mortality relationship in patients
with type 2 diabetes is J-shaped: a meta-analysis of observational studies. The
review of diabetic studies : RDS. 2014;11(2):138-52.
27. Ray A, Walford GA, Mannstadt M. Diabetes. In: Sabatine MS, editor.Pocket Medicine:
The Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine. 4th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2011. p. 7-13.
Pendahuluan
Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya
massa tulang dan adanya perubahan mikro-arsitektur jaringan tulang yang
berakibat menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang,
sehingga tulang mudah patah. Osteoporosis merupakan penyakit metabolik
tulang yang tersering didapatkan, ditandai oleh densitas massa tulang
yang menurun sampai melewati ambang fraktur. Berbagai fraktur yang
berhubungan dengan osteoporosis adalah kompresi vertebral, fraktur colles
dan fraktur kolum femoris. Prevalensi fraktur kompresi vertebral adalah 20%
pada wanita Kaukasian pasca menopouse, sedangkan fraktur kolum femoris
meningkat secara bermakna pada wanita diatas 50 tahun atau laki-laki
diatas 60 tahun. Penyakit ini dijuluki sebagai Silent Epidemic Disease, karena
menyerang secara diam-diam, tanpa adanya tanda-tanda khusus, sampai
Pasien mengalami patah tulang.1-2
Diagnosis Osteoporosis
Diagnosis osteoporosis ditegakkan manifestasi klinik yang muncul, atau
dengan pemeriksaan Bone Mass Densitometry (BMD). Sedangkan keputusan
memberikan terapi farmakologik, selain dengan penegakan diagnosis klinis
dan BMD, juga bisa berdasarkan skoring FRAX yang dikembangkan oleh WHO.
Secara klinis, osteoporosis adalah “silent disease”, yang seringkali tidak disertai
dengan gejala klinis yang menonjol sampai terjadinya fraktur osteoporosis.
Beberapa gejala klinis yang dapat ditemukan dan dapat dicurigai sebagai
manifestasi osteoporosis, antara lain2 :
- Nyeri tulang belakang (tipe mekanik), dengan atau tanpa keterlibatan
saraf
- Spasme otot paravertebral
- Kifosis dorsal atau gibbus (Dowager’s hump)
- Penurunan tinggi badan > 4 cm
- Fraktur osteoporosis (trauma minimal)
risiko fraktur lebih dari 20% untuk fraktur keseluruhan dan/atau lebih dari
3% untuk fraktur femur, maka sudah terdapat indikasi untuk memberikan
terapi farmakologik anti-osteoporosis. Kelebihan FRAX adalah penilaian
risiko fraktur ini dapat dilakukan, bahkan tanpa melakukan pemeriksaan BMD
(pada senter yang tidak tersedia BMD). Kekurangan FRAX adalah penilaian
ini tidak dapat membedakan volume dan lamanya paparan berbagai faktor
risiko seperti alkohol, glukokortikoid dan rokok. Selain itu FRAX juga tidak
diperbolehkan untuk menilai respon terapi, hanya boleh digunakan pada
pasien yang belum mendapatkan terapi.5
Daftar Pustaka
1. Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1142/MENKES/SK/XII/2008.
2. Bambang S. Pendekatan Diagnosis Osteoporosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III, Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p.3454-7.
3. Infodatin. Data dan Kondisi Penyakit Osteoporosis di Indonesia. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2015
4. Burge R, Dawson-Hughes B, Solomon D, et al. Incidence and economic burden or
osteoporosis-related fractures in the United States, 2005–2025. J Bone Miner Res
2007;22(3):465–475.
Abstrak
Osteoporosis adalah perubahan mikroarsitektur tulang akibat
menurunnya densitas massa tulang yang menyebabkan penurunan kekuatan
tulang akibat berbagai sebab yang berpotensi fraktur. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita karena adanya pengaruh kehilangan hormon esterogen
saat menopause. Seiring dengan meningkatnya penduduk usia tua, maka
angka kejadian osteoporosis pun semakin meningkat.
Pendahuluan
Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang, yang ditandai oleh
densitas massa tulang yang menurun. Definisi osteoporosis terbaru adalah
gangguan skeletal dengan karateristik berubahnya kekuatan tulang yang
dapat meningkatkan risiko fraktur, dimana kekuatan tulang ditandai dengan
densitas dan kualitas tulang (NIH Consensus Development Panel 2001).
Epidemiologi
Osteoporosis lebih banyak pada wanita dan ras kulit putih. Morbiditas
dan mortalitas osteoporosis sebenarnya terletak pada kejadian fraktur. Oleh
karena itu penelitian epidemiologik lebih melihat pada kejadian fraktur yang
diakibatkan osteoporosis. 34 juta orang di Amerika berdasarkan National
Osteoporosis Foundation (NOF) mempunyai masa tulang yang rendah.
Sepuluh juta orang diantaranya menderita osteoporosis, 8 juta wanita dan
2 juta pria. Di Amerika Serikat setiap tahun ditemukan 1.5 juta fraktur yang
dikaitkan dengan osteoporosis, yang terdiri dari 700.000 fraktur vertebra,
250.000 fraktur radius distal, 250.000 fraktur panggul dan 300.000 patah
tulang lainnya.
Risiko fraktur vertebra, panggul dan radius distal pada usia 50 tahun
keatas pada wanita kulit putih sebesar 40% dan pria kulit putih sebesar 13
%. Setelah fraktur panggul terjadi kematian pada 10- 20% penderita dalam 6
bulan pertama, 50% penderita tidak mampu berjalan sendiri dan 25 % harus
tinggal di panti. Di Amerika Serikat, osteoporosis diperkirakan menyerang
pada 24 juta orang (20 juta diantaranya adalah wanita berusia diatas 45
tahun). Osteoporosis akan mengakibatkan pula perawatan rumah sakit yang
berkepanjangan, turunnya kemampuan untuk mandiri, meningkatnya insidens
depresi dan menurunnya kualitas hidup. Di negara berkembang dengan makin
bertambahnya populasi usia lanjut akan pula disertai meningkatnya kejadian
osteoporosis sebesar 4- 5 kali lipat.
Pencegahan Osteoporosis
Pencegahan osteoporosis dapat dibagi atas 3 (tiga) yaitu pencegahan
primer, sekunder dan tertier.
A. Pencegahan Primer (Belum Osteoporosis)
Adalah upaya terbaik dan paling murah dan mudah sebelum terjadi
Osteoporosis.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 479
Andri Reza Rahmadi
1. Kalsium
Asupan kalsium yang dianjurkan pada pria usia 50-70 tahun yaitu
1000 mg sedangkan untuk wanita premenopause >51 tahun dan
pria >71 tahun lebih tinggi yaitu 1200 mg perhari. Untuk wanita
pascamenopause dan masa menyusui (laktasi) diperlukan asupan
yang lebih besar sekitar 1.200-1.500 mg. Kandungan kalsium dalam
makanan standard sehari-hari, berkisar antara 300 mg. Selanjutnya,
dihitung tambahan makanan kaya kalsium. Diet tinggi kalsium sangat
penting terutama bagi usia remaja dan dewasa muda. Makanan
dan minuman yang merupakan sumber kalsium tinggi adalah susu,
olahan susu seperti keju dan yogurt, kacang kedelai, ikan sardin,
salmon, dan daging ayam. Suplementasi >1500 mg tidak dianjurkan
karena dapat menimbulkan komplikasi batu ginjal, penyakit jantung
koroner dan stroke.
2. Latihan Fisik
Latihan fisik yang baik untuk mencegah osteoporosis harus
mempunyai unsur pembebanan pada tubuh/ anggota gerak dan
penekanan pada axis tulang, seperti jalan, jogging, berenang, tai-chi,
yoga, pilates, bersepeda atau senam.
3. Atasi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi metabolisme
kalsium
Berhenti merokok, berhenti minum alkohol, berhenti minum
obat yang berkaitan dengan terjadinya osteoporosis, seperti
corticosteroid. Bila obat tersebut ternyata harus diberikan maka
suplemen kalsium harus ditambahkan.
4. Antisipasi osteoporosis sekunder
Kondisi yang diduga akan menimbulkan osteoporsis sekunder,
harus diantisipasi sejak awal. Pasien–pasien yang immobilisasi,
baik tirah baring ataupun tidak dapat menggerakan sebagian dari
anggota geraknya, harus diberikan program latihan fisik sesuai
dengan kondisinya.
5. Obat-obat osteoporosis
Beberapa obat yang mempunyai manfaat adalah bisphosphonate,
calcitonin, stronsium ranelate dll.
Pengobatan Osteoporosis
Sebelum memulai pengobatan osteoporosis sebaiknya dilakukan
pemeriksaan terlebih dahulu pemeriksaan dasar BMD-DXA. Hal ini berguna
nantinya untuk memonitor keberhasilan terapi. Pemeriksaan lain sebagai
alternative adalah CT Scan atau marker biokimia tulang.
Raloxifene
Raloxifene tergolong dalam selektif estrogen reseptor modulator (SERM),
adalah komponen non steroid yang berasal dari benzothiophene yang bersifat
anti estrogen, mengadakan kompetitif inhibisi terhadap peran estrogen
pada payudara dan khususnya uterus, selain juga bersifat agonis estrogen
pada tulang dan metabolisme lemak. Penggunaan raloxifene meningkatkan
massa tulang 2 – 2,5% pada tulang panjang wanita post-menopause, selain
itu menurunkan risiko patah tulang belakang sebesar 50% pada dosis 120
mg/hari. Risiko fraktur vertebra menurun 30% pada kelompok dengan
fraktur vertebra sebelumnya, dan 55% pada kelompok tanpa fraktur vertebra
sebelumnya. Bila dibandingkan dengan estrogen maka efektivitas raloxifene
menurunkan risiko fraktur lebih rendah, namun tidak menstimulasi payudara
dan uterus dan tidak membuat perdarahan menstruasi. Efek sampingnya
adalah meningkatkan risiko thrombosis vena, kram otot, retensi cairan dan
nyeri kepala. Dosis yang biasa dipergunakan adalah 60 mg/hari.
Isoflavones (Genistein)
Obat ini adalah jenis phytoestrogen, merupakan mikronutrien alami
yang mempunyai efek seperti estrogen. Ada dua jenis yaitu genistein dan
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 483
Andri Reza Rahmadi
daidzein, yang dibuat dari kacang kedelai, kacang merah. Ipriflavone adalah
jenis sintetisnya yang sudah mulai diproduksi untuk suplemen.
Paratiroid
Obat ini dapat digunakan pada pria dan wanita dengan osteoporosis
dan masih dipakai di Eropa. Setelah 18 bulan terapi pada osteoporosis, obat
ini dapat menurunkan risiko fraktur vertebra 65% dan non vertebra 53%.
Hormon paratiroid sudah tidak lagi dianjurkan karena mempunyai efek selain
formasi tulang juga resorpsi tulang. Dosis obat ini 20 μg teriparatide perhari
SC selama 18 sampai 24 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah
osteosarkoma, mual, kram otot. Kontraindikasi obat ini adalah hiperkalsemia,
metastase tulang, dan keganasan musculoskeletal.
Calcitriol
Calcitriol adalah vitamin D aktif sintetik analog yang telah banyak
diteliti dan terbukti mencegah hilangnya massa tulang 0,7 – 1,3% pertahun
pada dosis 0,6 ug/hari pada tulang belakang penderita osteoporosis akibat
kortikosteroid, begitu pula pada tulang kepala dan lengan atas. Obat ini
meningkatkan absorpsi kalsium di saluran cerna. Indikasi obat ini untuk
hipokalsemia dan metabolik bone disease pada gagal ginjal kronik. Calcitriol
tidak dianjurkan pada penderita batu ginjal atau didapatkan gangguan
fungsi ginjal, jantung maupun hepar. Pemberian calcitriol biasanya dapat
meningkatkan kadar kalsium, sehingga perlu pemantauan ketat.
Calsitonin
Calsitonin merupakan inhibitor yang poten terhadap efek resorpsi tulang
dari osteoklas, tetapi efek ini hanya sementara, terutama pada pemberian
kalsitonin yang berkepanjangan. Selain itu, kalsitonin juga menyebabkan
pemecahan osteoklas menjadi sel mononuklear dan menghambat
pembentukan osteoklas. Pemberiannya lewat semprotan intra nasal dengan
dosis 200 iu/hari sebagai dosis tunggal dan parenteral dengan dosis 50 –
100 IU secara intramuskuler atau subkutan diberikan 2-3 kali/minggu. Efek
samping adalah pusing, mual, muka panas biasanya berlangsung 30 – 60
menit. Obat ini menurunkan risiko fraktur vertebra 30% tetapi belum ada
data pada fraktur non vertebra.
Biphosphonate
Bisfosfonat merupakan obat yang relatif baru yang digunakan untuk
pengobatan osteoporosis. Cara kerja bisfosfonat adalah mengurangi resorpsi
tulang oleh osteoklast pada permukaan tulang dengan cara menghambat
kerja osteoklast, obat ini mengurangi produksi proton dan enzym lisosomal
dibawah osteoklast. Selain itu juga mempengaruhi aktifasi prekusor osteoklast,
differensiasi prekusor osteoklast menjadi osteoklast yang matang, fungsi
kemotaksis, perlekatan osteoklast pada permukaan tulang dan apoptosis
osteoklast.
pada kelompok yang mendapat fraktur osteoporosis baru hip akibat trauma
ringan dan yang mendapat terapi steroid 12 bulan. Efek samping pemberian
bifosfonate oral adalah iritasi pada saluran cerna. Kontraindikasi obat ini
tidak boleh diberikan pada fungsi ginjal dengan GFR < 30 ml/menit.
Strontium Ranelate
Strontium ranelate adalah obat dalam bentuk serbuk, yang diseduh yang
mengandung strontium dan ranelic acid. Pada penelitian pada binatang, obat
ini menghambat resorpsi tulang dan meningkatkan formasi tulang. Penelitian
di Eropa pada 353 wanita postmenopause dengan osteoporosis, BMD
meningkat dengan baik pada dosis 2 g/hari.
Obat lain
Beberapa obat sedang dalam tahap penelitian, diduga mempunyai efek
terhadap formasi tulang, diantaranya adalah Vitamin K, Vitamin B 6, B 12,
Sodium Fluoride. Selain itu juga terdapat obat Tibolone yang merupakan
steroid sintesis esterogen like agent, juga vitamin D analog merupakan obat
yang menjanjikan di masa depan dalam terapi osteoporosis.
Daftar Pustaka
1 The International Society for Clinical Densitometry, Bone Densitometry Course,
Clinician Course Sylabus and Associated Reading Materials, 2011
2 Albright F, Osteoporosis. Ann Intern Med. 1947;27:861
Pendahuluan
Gout merupakan kelainan klinis maupun patologis yang terjadi akibat
endapan kristal monosodium urat (MSU) di dalam jaringan. Kadar asam urat
serum yang tinggi akan mempermudah terbentuknya endapan kristal urat di
sendi, jaringan lunak (tophi), interstitial ginjal, atau membentuk batu asam
urat di saluran kemih. Batas kelarutan asam urat adalah 6,8 mg/dL pada suhu
dan pH fisiologis. Gejala awal gout umumnya berupa artritis akut dengan
nyeri sebagai gejala utama. Gout dapat juga bermanifestasi sebagai artritis
kronis dari satu atau lebih sendi. Tophi merupakan tampilan patognomonis
dari gout, dapat dideteksi dari pemeriksaan fisik, imaging maupun patologi.
Utamanya ditemukan di sendi, periartikuler, bursa, tulang, aurikuler, dan
jaringan kulit 1,2.
Etiopatogenesis
Kadar normal asam adalah 7,0 mg/dL pada pria dan 5,7 mg/dL pada wanita.
Pada kadar yang jenuh, kristal MSU dapat mengendap di jaringan sinovia,
menstimulasi fagositosis kristal MSU oleh neutrofil, kemudian melepaskan
IL-6 dan TNF-α hingga menimbulkan keradangan sendi. Hiperurisemia tidak
selalu menimbulkan artritis gout, sebaliknya kadar asam urat yang normal
juga tidak selalu bebas dari sindroma gout2. Prinsipnya hiperurisemia dapat
terjadi akibat produksi berlebih dan/atau sekresi yang berkurang. Produksi
berlebih dapat disebabkan asupan yang berlebih atau karena faktor endogen,
seperti terlihat pada Tabel 1 berikut:
Gejala Klinis
Gambaran dan perjalanan klinis artritis gout dapat dilihat pada Tabel 2
berikut:
Perjalanan klinis penyakit gout bisa bervariasi. Sebagian besar pasien
yang tidak diterapi akan berlanjut menjadi gout kronik. Beberapa pasien
hanya mengalami satu atau dua kali serangan artritis gout akut sepanjang
hidupnya. Tidak lazim tophi terbentuk tanpa riwayat serangan artritis gout
akut. Episode awal dari artritis gout akut umumnya terjadi pada laki-laki
usia 40-50 tahun atau pada wanita post menopause, setelah 10-30 tahun
hiperurisemia asimtomatik. Serangan di usia yang lebih dini perlu dipikirkan
adanya kelainan metabolisme. Serangan ini bisa dipresipitasi oleh konsumsi
alkohol, diet tinggi purin, stres fisik maupun psikologis, dehidrasi, trauma,
pembedahan, atau inisiasi dari obat-obatan yang mempengaruhi kadar asam
urat (baik meningkatkan seperti obat sitotoksik, atau menurunkan seperti
alopurinol). Fluktuasi kadar asam urat serum (peningkatan atau penurunan
dengan cepat) akan menimbulkan destabilisasi pada sinovium, sehingga
menimbulkan instabilitas dan dissolusi parsial. Bila micro-tophi pada
sendi pecah, kristal akan menyebar pada cairan sendi, hal ini akan memicu
fagositosis dari leukosit PMN, di sinilah dimulai serangan akut gout 4,5.
limited dan bisa sembuh spontan. Serangan berat bisa berlangsung hingga 2
minggu 4.
Bila tidak diterapi, artritis gout kronik dapat terjadi dalam 5 – 40 tahun
(rata-rata 12 tahun). Gout kronik akan menimbulkan kerusakan sendi dengan
tonjolan-tonjolan tophi. Pasien gout kronik dapat menderita batu saluran
kemih dan nefropati urat. Tophus terdiri dari kristal MSU dengan reaksi
inflamasi. Umumnya ditemukan di sendi, periartikuler, bursa, tulang, tendon,
jaringan lemak, aurikuler, dan jaringan kulit 4.
Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan akut, pemeriksaan darah lengkap bisa menunjukkan
leukositosis yang didominasi oleh sel PMN, peningkatan LED, dan C-reactive
protein (CRP). Hiperurisemia tidak selalu terjadi, tapi sebagian besar
pasien memiliki kadar asam urat serum > 7 mg/dL. Kegunaan terbesar dari
pengukuran kadar asam urat serum adalah untuk memonitor efektivitas
pemakaian ULT (Urate-lowering therapy).
Foto polos umumnya normal pada tahap awal. Pada serangan akut
biasanya hanya didapat pembengkakan jaringan lunak. Bila berlanjut, dapat
ditemukan lesi khas erosi sendi “punched-out”(erosi berbatas tegas dengan
tepi sklerotik, tanpa adanya osteoporotik) , bisa didapatkan tepi menggantung
pada tulang (overhanging edges). Destruksi sendi bisa juga terjadi. USG
lebih bisa menggambarkan adanya deposit MSU, tophi, dan erosi tulang.
Bahkan dikatakan USG dapat mendeteksi adanya deposit MSU pada pasien
hiperurisemia asimtomatik.
Diagnosis
Bahkan dikatakan USG dapat mendeteksi adanya deposit MSU pada pasien hiperurisemia
asimtomatik.Kriteria gout menurut Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout
(rekomendasi Perhimpunann Reumatologi Indonesia 2018) yang disadur
Diagnosis
dari ACR/EULAR
Kriteria 2015 Pedoman
gout menurut dapat dilihat pada Tabel
Diagnosis dan 3Pengelolaan
berikut. Diklasifikasikan
Gout (rekomendasi
gout bila didapat skor ≥ 8:
Perhimpunann Reumatologi Indonesia 2018) yang disadur dari ACR/EULAR 2015 dapat
dilihat pada Tabel 3 berikut. Diklasifikasikan gout bila didapat skor ≥ 8:
Tabel 3.ACR/EULAR
Tabel 3. Kriteria gout menurut Kriteria gout menurut ACR/EULAR 2015
2015 6,7
6,7
Diagnosis Banding
Diagnosis Pertemuan
banding Ilmiah Nasional
artritis goutXVII PAPDIlain
antara - Surabaya
4
: 2019 493
- Selulitis
Karena area yang bengkak, kemerahan, nyeri, dan bisa disertai demam dan leukositosis.
- Artritis septik
Awalia
Diagnosis Banding
Diagnosis banding artritis gout antara lain 4:
- Selulitis
Karena area yang bengkak, kemerahan, nyeri, dan bisa disertai demam
dan leukositosis.
- Artritis septik
Perlu dipikirkan pada monoartritis akut terutama bila disertai demam
dan leukositosis. Kultur cairan sendi perlu dilakukan. Artritis gout lebih
condong untuk terjadi artritis septik, dan dua kondisi ini bisa terjadi
bersamaan.
- Pseudogout
Dibedakan dari gout dengan ditemukannya kristal kalsium pirofosfat pada
cairan sendi.
- Artritis rematoid (RA)
Gout kronik bisa menyerupai RA dengan gambaran poliartritis simetri.
Tophi juga bisa terjadi di tempat biasanya terjadi nodul rematoid.
Berbeda dengan RA, gout terjadi pada usia yang lebih tua dan seronegatif.
Gambaran radiologinya juga berbeda.
Tata Laksana
Perlu dicari adanya beberapa komorbiditas pada penderita gout seperti:
obesitas, konsumsi alkohol, sindroma metabolik, diabetes melitus, hipertensi,
dislipidemia, obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar asam urat, riwayat
urolitiasis, penyakit ginjal kronik, intoksikasi timah, dan beberapa kasus
kelainan genetik/didapat yang bisa menyebabkan overproduksi asam urat
(kelainan metabolisme purin, psoriasis, penyakit myeloproliferatif atau
limfoproliferatif).
6 gout 6
Tabel 4. Rekomendasi diet untukdiet
Tabel 4. Rekomendasi pasien
untukgout
pasien
Gambar
Gambar1.1.Tatalaksana
Tatalaksanagout
goutakut
akutmenurut
menurutIRA 201866
IRA 2018
Memulai pemberian obat penurun asam urat seperti alopurinol tidak dianjurkan pada pasien
dengan Memulai
serangan pemberian
akut, namun obat
tetap penurun
dilanjutkanasam urat seperti
bila pasien alopurinol tidak
sudah mengkonsumsi obat
tersebut secara pada
dianjurkan rutin. pasien dengan serangan akut, namun tetap dilanjutkan bila
pasien sudah mengkonsumsi obat tersebut secara rutin.
Terapi Profilaksis Serangan Gout Akut
Rekomendasi ACR 2012 mengenai terapi profilaksis serangan gout akut 8,9:
- Terapi
Bersamaan atau sesaat sebelum
Profilaksis Seranganmemulai
Gout ULT
Akut
Rekomendasi ACR 2012 mengenai terapi profilaksis serangan gout akut 8,9:
- Bersamaan atau sesaat sebelum memulai ULT
- Pilihannya adalah kolkisin dosis rendah 0,6 mg 1-2 kali/hari (di luar
US sediaan 0,5 mg) (evidence A) atau NSAIDs dosis rendah dengan PPI
(evidence C)
- Obat lini kedua adalah prednison atau prednisolon dosis rendah (≤10mg/
hari) bila kolkisin / NSAIDs merupakan kontraindikasi atau terdapat
intoleransi / tidak efektif. (evidence C)
- Terapi diberikan minimal 6 bulan (evidence A), atau sampai 3 bulan
setelah target asam urat serum tercapai tanpa ditemukannya tophi
(evidence B), atau sampai 6 bulan setelah target asam urat tercapai
dengan adanya ≥ 1 tophi) (evidence C).
Daftar Pustaka
1. Conway N, Schwartz S. Diagnosis and management of acute gout. Med & Health
2009; 92: 356 – 8.
2. Soeroso J. Diagnosis dan Manajemen Artritis Gout. Dalam: Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Penyakit Dalam XXV, PAPDI Surabaya,
2010.
3. Hamburger M, Baraf HSB, Adamson TC, et al. 2011 Recommendations for the
diagnosis and management of gout and hyperuricemia. Postgrad Med 2011; 123 (6
suppl 1): 3 – 36.
4. Setiyohadi B. Penatalaksanaan Nyeri Akut Gout. Dalam: Kumpulan Makalah Temu
Ilmiah Reumatologi, IRA Jakarta, 2012.
5. Gupta R, Yokoyama WM. Gout. In: Kahl L (ed.) Washington Manual Rheumatology
and Subspecialty Consult. 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia 2012:
145 – 53.
6. Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout. Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia 2018.
7. Richette P, Doherty M, Pascual E, et al. 2016 updated EULAR evidence-based
recommendations for the management of gout. Ann Rheum Dis 2016;0:1–14
8. Khanna D, Fitzgerald JD, Khanna PP, et al. 2012 American College of Rheumatology
Guidelines for Management of Gout. Part 1: Systematic Nonpharmacologic and
Pharmacologic Theurapeutic Approaches to Hyperuricemia. Arthritis Care &
Research 2012; 64: 1431 – 46.
9. Khanna D, Khanna PP, Fitzgerald JD, et al. 2012 American College of Rheumatology
Guidelines for Management of Gout. Part 2: Therapy and Antiinflammatory
Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis. Arthritis Care & Research 2012; 64: 1447 –
61.
Pendahuluan
Hiperurisemia merupakan suatu keadaan dimana kadar asam urat
meningkat dalam serum. Gout merupakan suatu kelainan yang bermanifestasi
klinis maupun patologis akibat adanya endapan kristal MSU didalam
jaringan. Prevalensi gout diseluruh dunia, semakin meningkat, seiring
dengan meningkatnya faktor komorditas seperti; hipertensi, obesitas,
sindrom metabolik, diabetes melitus, serta penyakit ginjal kronik. Prevalensi
hiperurisemia di Bali (Kuta, Pulau Ceningan Bali, Denpasar, Ubud) berkisar
12-18 %.
Kadar asam urat yang tinggi menyebabkan terbentuknya kristal urat yang
mengendap di sendi, jaringan lunak (tophi), interstitial ginjal atau batu asam
urat di saluran kemih. Presentasi awal mulai dari hiperurisemia asimtomatis,
artiritis akut, artritis kronis, tophus, urolithiasis, nefropati interstitial kronis.
Tatalaksana Gout
Berdasarkan guideline dari American College of Rheumatology 2012.
Penatalaksanaan gout meliputi 4 domain utama yaitu;
1. Pemberian urate lowering therapy (ULT)
2. Penanganan Chronic gouth artritis with topaceous/Chronic tophaseous
gout arthropaty (CTGA)
3. Pemberian analgetik dan anti inflamasi pada acute gouthy artritis
4. Profilaksis farmakologi dan anti inflamasi terhadap serangan gout
Febuxostat
Febuxostat merupakan inhibitor selektif terhadap xantin oksidase
merupakan pilihan terapi untuk menurunakan asam urat. Dapat digunakan
pada penderita gangguan ginjal maupun gangguan liver ringan sedang
tanpa perlu adanya penyesuian dosis. Dosis yang diperlukan ialah 40 mg
hingga 80 mg sekali sehari. Perbandingan antara allupurinol dan febuxostat
disampaikan dalam tabel berikut:
Probenesid
Probenecid merupakan pilihan pertama obat urikosurik untuk
menurunkan asam urat sebagai obat tunggal (monoterapi) (evidence B). Cara
kerjanya dengan menghambat reabsorpsi asam urat di tubulus. Dosis yang
dianjurkan 250 mg dua kali sehari selama 1 minggu.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Hiperurisemia Asimtomatis
Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan
modifikasi gaya hidup, termasuk pola diet seperti pada prinsip umum
pengelolaan hiperurisemia dan gout. Penggunaan terapi penurun asam urat
pada hiperurisemia tanpa gejala klinis masih kontroversial. The European
League Against heumatism (EULAR), American Colleague of Rheumatology
(ACR) dan National Kidney Foundation (NKF) tidak merekomendasikan
penggunaan terapi penurun asam urat dengan pertimbangan keamanan dan
efektifitas terapi tersebut. Sedangkan rekomendasi dari Japan Society for
Nucleic Acid Metabolism, menganjurkan pemberian obat penurun asam urat
pada pasien hiperurisemia asimptomatik dengan kadar urat serum >9 atau
kadar asam urat serum >8 dengan faktor risiko kardiovaskular (gangguan
ginjal, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit jantung iskemik).
Untuk serangan gout akut yang onsetnya <12 jam adalah kolkisin
dengan dosis 0.5 mg dan dapat diberikan setiap 6-8 jam. Terapi pilihan lain
diantaranya OAINS, kortikosteroid oral, jika kondisi berat boleh kombinasi
kolkisin dengan OAINS atau kombinasi kolkisin dengan kortikosteroid oral
tapi tidak boleh mengkombinasi steroid dengan OAINS. Bila dibutuhkan
aspirasi sendi diikuti injeksi kortikosteroid intra artikuler. Kolkisin dan
OAINS tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
ginjal berat.
Pada pasien dengan gout berat (terdapat tophus, artropati kronis, sering
terjadi serangan artritis gout) target kadar asam urat serum menjadi lebih
rendah sampai <5 mg/dL. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membantu
larutnya kristal monosodium urat (MSU) sampai terjadi total disolusi kristal
dan resolusi gout. Kadar asam urat serum <3 mg/dL tidak direkomendasikan
untuk jangka panjang. Semua pilihan obat untuk menurunkan kadar asam
urat serum dimulai dengan dosis rendah. Dosis obat dititrasi meningkat
sampai tercapai target terapi dan dipertahankan sepanjang hidup. Sebagai
contoh allopurinol dimulai dengan dosis 100 mg/hari, kemudian dilakukan
pemeriksaan kadar asam urat setelah 4 minggu. Bila target kadar asam urat
belum tercapai maka dosis allopurinol ditingkatkan sampai target kadar asam
urat tercapai atau telah mencapai dosis maksimal.
Setiap pasien gout yang mendapatkan terapi penurun kadar asam urat
berisiko mengalami serangan gout akut, terutama pada awal dimulainya terapi
penurun asam urat. Semakin poten dan semakin besar dosis obat penurun
asam urat, maka semakin besar pula risiko terjadinya serangan akut. Oleh
sebab itu, untuk mencegah terjadinya serangan akut gout direkomendasikan
untuk memberikan terapi profilaksis selama 6 bulan sejak memulai terapi
penurun kadar asam urat. Profilaksis yang direkomendasikan adalah kolkisin
dengan dosis 0.5–1 mg/hari, dosis harus dikurangi pada gangguan fungsi
ginjal. Bila terdapat intoleransi atau kontraindikasi terhadap kolkisin, dapat
dipertimbangkan pemberian OAINS dosis rendah sebagai terapi profilaksis
selama tidak ada kontraindikasi.
Kesimpulan
Hiperurisemia merupakan suatu keadaan dimana kadar asam urat
meningkat dalam serum. Gout merupakan suatu kelainan yang bermanifestasi
klinis maupun patologis akibat adanya endapan kristal MSU didalam jaringan.
Presentasi awal mulai dari hiperurisemia asimtomatis, artiritis akut, artritis
kronis, tophus, urolithiasis, nefropati interstitial kronis. Tatalaksana gout
Daftar Pustaka
1. Sumaryono, dkk. Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout. Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2018.
2. Cottrell E, Crabtree V, Edwards JJ, Roddy E. Improvement in the management of
gout is vital and overdue : an audit from a UK primary care medical practice. BMC
Fam Pract [Internet]. BMC Family Practice; 2013;14(1):1. Available from: BMC
Family Practice.
3. Khanna D, Fitzgerald JD, Khanna PP, Bae S, Singh MK, Neogi T, et al. 2012 American
College of Rheumatology Guidelines for Management of Gout . Part 1 : Systematic
Nonpharmacologic and Pharmacologic Therapeutic Approaches to Hyperuricemia.
2012;64(10):1431–46.
4. Kambayana, Raka Putra dkk. Hyperurcemia and Factors Relating in the Community
of Balinese Population. An epidemiological survey. In press; 2010.
5. Sivera F, Andrés M, Carmona L, Kydd ASR, Moi J, Seth R, et al. Multinational
evidence-based recommendations for the diagnosis and management of gout :
integrating systematic literature review and expert opinion of a broad panel of
rheumatologists in the 3e initiative. 2014;328–35.
6. Cruces H De. Gout : past , present , and future Gota : pasado , presente y futuro.
2011;7(4):2010–2.
7. Becker MA, Baraf HSB, Yood RA, Dillon A, Vázquez-mellado J, Ottery FD, et al. Long-
term safety of pegloticase in chronic gout refractory to conventional treatment
Patient disposition. 2013;1469–74.
8. Goldfien RD, Ng MS, Yip G, Hwe A, Jacobson A, Pressman A, et al. Effectiveness of a
pharmacist-based gout care management programme in a large integrated health
plan : results from a pilot study. 2014;1–6.
9. Clinical S. Arthritis Care & Research © 2012 , American College of Rheumatology
2012 American College of Rheumatology Guidelines for Management of Gout.
Part 2: Therapy and Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis.
2012;64(10).
11 Neogi T, Jansen T, Dalbeth N, Fransen J, Schumacher HR, Barendsen D, et al.2015
Gout Classiication Criteria: an American College of Rheumatology/European
League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis Rheum 2015; 67
(10):2557-68..
Kriteria Transfusi darah masif (TM) terdiri dari total body volume (TBV)
digantikan dalam 24 jam, 50% dari TBV digantikan dalam 3 jam atau terjadi
perdarahan yang cepat dan masif didokumentasikan atau diobservasi.
Perdarahan yang cepat adalah ketika lebih dari 4 unit darah merah
ditransfusikan dalam 4 jam disertai perdarahan masif dengan perdarahan
lebih dari 150 ml/menit. Transfusi masif berdasarkan waktu kejadiannya
dapat dibagi menjadi dua yaitu pada kondisi trauma dan non trauma. Prinsip
manajemen perdarahan masif ada 2 yaitu manajemen intravascular loss,
manajemen kehilangan komponen darah.
trombosit (50 × 103 / mm3), fibrinogen (1,0 g / L) dan faktor koagulasi II,
V dan VII dicapai pada kehilangan darah> 200%, 150% and 200%. Oleh
karena itu, umumnya direkomendasikan bahwa penggantian komponen
darah dipandu oleh tes laboratorium. Namun dalam situasi kehilangan
darah yang besar, pendekatan berbasis tes laboratorium untuk
penggantian faktor koagulasi dapat menyebabkan keterlambatan. Hal
ini dapat menyebabkan perdarahan hebat. Oleh karena itu, penggantian
faktor-faktor koagulasi empiris berdasarkan protokol direkomendasikan
dalam kehilangan darah masif
Sampai saat ini terdapat 2 guideline yang sering dipakai yaitu the European
guidelines by the Task Force for Advanced Bleeding Care in Trauma (2013)
dan the Trauma Quality Improvement Program (TQIP) recommendations from
the American College of Surgeons. Protokol Transfusi MAsif (PTM) diaktivasi
oleh klinisi pada respon perdarahan masif, biasanya setelah transfusi 4-10
unit darah. PTM memiliki penjelasan berapa rasio transfusi darah merah,
fresh frozen plasma (FFP) atau cryo dan platelet setiap paket (contoh 1:1:1
atau 2:1:1). Begitu protokol ini diaktifkan bank darah memastikan unit jenis
darah yang dibutuhkan tersedia. Hal ini dapat mengurangi kebutuhan tes
Transfusi Plasma
Faktor koagulasi memiliki waktu paruh yang bervariasi, dan selama
perdarahan masif dapat terjadi koagulopati. Oleh karena itu transfusi plasma
yang mengandung factor koagulasi diperlukan. Untuk pasien dengan golongan
darah AB kadang sulit mendapat FFP karena donor hanya sekitar 4% dari
seluruh donor darah. Untuk itu plasma golongan darah A dengan titer anti B
yang rendah dapat digunakan
Trombosit
Setelah pengambilan dari darah, trombosit disimpan pada suhu 20-24
derajat C. Pada study in viro platelet yang didinginkan memiliki half life yang
lebih rendah tetapi memiliki kemampuan aggregasi yang lebih baik.
Whole blood
Transfusi WB dari beberapa penelitian dikatakan dapat mengurangi
kebutuhan jumlah volume darah yang ditransfusikan. Saat ini ada beberapa
clinical trial untuk mengetahui efektifitas transfusi WB pada setting emergency.
Recombinan FVIIA
Saat ini penggunaan rFVIIa tidak direkomendasikan digunakan secara
rutin karena dapat meningkatkan resiko tromboemboli pada pasien.
Tranexamic acid
Antifibrinolytics seperti aminocaproic acid atau tranexamic acid (TXA),
menghambat pembentukan plasmin; plasmin memecah fibrin clot. Sehingga
dikatakan bermanfaat untuk mencapai hemostasis dan mengurangi kebutuhan
unit darah pada perdarahan masif terutama dengan aktivitas fibrinolisis yang
meningkat.
Daftar Pustaka
1. Society of Thoracic Surgeons Blood Conservation Guideline; Task F, Ferraris VA,
Brown JR, et al. 2011 update to the Society of Thoracic Surgeons and the Society of
Cardiovascular Anesthesiologists blood conservation clinical practice guidelines.
Ann Thorac Surg. 2011;91(3): 944–982.
2. Camazine MN, Hemmila MR, Leonard JC, et al. Massive transfusion policies at
trauma centers participating in the American College of Surgeons Trauma Quality
Improvement Program. J Trauma Acute Care Surg. 2015;78(6 Suppl 1):S48–S53.
3. Zimring JC. Fresh versus old blood: are there differences and do they matter?
Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2013;2013:651–655.
4. Wang D, Sun J, Solomon SB, Klein HG, Natanson C. Transfusion of older stored blood
and risk of death: a meta-analysis. Transfusion. 2012;52(6):1184–1195
Abstrak
Penyakit kritis merupakan kondisi yang berhubungan dengan stres
katabolik dengan respon inflamasi sistemik. Terapi nutrisi pada penyakit
kritis dapat mencegah kelainan metabolik yang berkepanjangan dan
kehilangan massa otot. Pemberian nutrisi artifisial seperti nutrisi enteral
dan parenteral sudah merupakan terapi primer untuk mencegah perburukan
gangguan metabolik dan kehilangan massa otot dengan tujuan memperbaiki
luaran klinis pasien penyakit kritis. Banyak hal yang harus dipertimbangkan
untuk penentuan jalur nutrisi pada penyakit kritis, namun nutrisi enteral
tetap menjadi pilihan pertama jalur nutrisi.
Pendahuluan
Penyakit kritis merupakan kondisi yang berhubungan dengan stres
katabolik dengan respon inflamasi sistemik. Komplikasi seperti peningkatan
morbiditas infeksi, kegagalan multiorgan dan perpanjangan lama rawat
serta peningkatan mortalitas sering terjadi. Terapi nutrisi yang adekuat
telah menunjukkan dapat memperbaiki respon metabolik terhadap stres
dan memodulasi respon imun. Terapi nutrisi pada penyakit kritis dapat
mencegah kelainan metabolik yang berkepanjangan dan kehilangan massa
otot. Penurunan LOS, tingkat morbiditas, dan perbaikan pada luaran klinis
pasien telah menjadi hasil dari terapi nutrisi yang tepat pada penyakit kritis.1
pada pasien yang sudah menerima NE dalam 7-10 hari pertama memang
dapat meningkatkan ketersediaan energy dan protein namun keuntungannya
pada pasien ICU minimal. Namun bagaimanapun keputusan harus diambil
berdasarkan kasus per kasus.6
Kesimpulan
Terapi nutrisi yang adekuat telah menunjukkan dapat memperbaiki
respon metabolik terhadap stres dan memodulasi respon imun. Pada
penyakit kritis, waktu pemberian, jalur nutrisi dan target kalori/protein
tidak dapat dipikirkan secara terpisah pisah tapi sebaiknya diintegrasikan
menjadi pendekatan yang komprehensif untuk memperbaiki luaran klinis
pasien di ICU. Pemberian nutrisi melalui jalur enteral maupun parenteral
memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Namun NE masih
tetap direkomendasikan sebagai lini pertama jalur nutrisi pada pasien di ICU
karena sifatnya yang lebih fisiologis. Pelaksanaan NP pada pasien di ICU harus
dinilai kasus per kasus dan pertimbangan manfaatnya jika memilih jalur
tersebut.
Daftar Pustaka
1. Mehta Y, Sunavala JD, Zirpe K et al. 2018. Practice Guidelines for Nutrition
in Critically Ill Patients: A Relook for Indian Scenario. Indian J Crit Care Med
2018;22:263-73.
2. Elke G, van Zanten ARH, Lemieux M et al. 2016. Enteral versus parenteral nutrition
in critically ill patients: an updated systematic review and meta-analysis of
randomized controlled trials. Crit Care 20:117
3. Singer P, Blaser AR, Berger MM et al. 2019. ESPEN guideline on clinical nutrition in
the intensive care unit. Clin Nutri 38:48-79
4. Blaser AR, Starkopf J, Alhazzani W et al. 2017. Early enteral nutrition in critically
ill patients: ESICM clinical practice guidelines. Intensive Care Med (2017) 43:380–
398
5. Lasierra JLF, Perez-Vela JL, dan Gonzalez JCM. 2015. Enteral nutrition in the
hemodynamically unstablecritically ill patient. Med Intensiva. 2015;39(1):40-48
6. McClave, Stephen A. et al. 2016. Guidelines for the Provision and Assessment of
Nutrition Support Therapy in the Adult Critically Ill Patient: Society of Critical
Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and Enteral Nutrition
(A.S.P.E.N.). J Parenteral and Enteral Nutri Volume 40 Number 2
7. Derenski K, Catlin J, Allen L. 2016. Parenteral Nutrition Basics for the Clinician
Caring for the Adult Patient. Nutrition in Clinical Practice Volume 31 Number 5
October 2016 578– 595
8. Gunst, Jan dan Casaer, Michael P. 2016. Timing and Indication for Parenteral
Nutrition in Nutrition Support for the Critically Ill. Chapter 6. Switzerland : Springer
International Publishing
9. Sioson, Marianna S et al. 2018. Nutrition therapy for critically ill patients across the
Asia-Pacific and Middle East regions: A consensus statement. Clin Nutri ESPEN 24
156-164
10. Zhang G, Zhang K, Cui W et al. 2018. The effect of enteral versus parenteral nutrition
for critically ill patients: A systematic review and meta-analysis. J Clin Anesth 51
(2018) 62–92
11. Lewis SR, Schofield-Robinson OJ Alderson P et al. 2018. Enteral versus parenteral
nutrition and enteral versus a combination of enteral and parenteral nutrition
for adults in the intensive care unit (Review). Cochrane Database of Systematic
Reviews 2018, Issue 6. Art. No.: CD012276
Pendahuluan
Perlukaan (injury) berat atau infeksi berat dapat mencetuskan respon
pejamu yang khas, yang berupa perubahan fisiologi dan metabolik. Perubahan
tersebut seringkali mengganggu kualitas hidup bahkan berbahaya. Akan
tetapi perubahan ini tampaknya justru ditujukan untuk upaya penyelamatan
hidup atau perbaikan kesehatan tubuh. Oleh sebab itu tatalaksana
perubahan tersebut perlu dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak justru
memperparah keadaan.1,2,3 Beberapa perubahan yang dapat tampak menonjol
adalah demam, peningkatan produksi panas tubuh, anorexia, netrofilia,
peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein, aktivasi komplemen,
kaskade koagulasi, perubahan respon imun, produksi protein fase akut, serta
perubahan distribusi elektrolit. Besarnya perubahan banyak dipengaruhi oleh
reaktifitas individu yang berbeda-beda, akan tetapi umumnya setara dengan
beratnya perlukaan (injury). Perlukaan yang dimaksud di sini bukanlah
sekedar perlukaan akibat trauma akan tetapi juga perlukaan jaringan atau sel
karena peradangan, respon imun maupun infeksi. Besarnya respon metabolik
seorang pasien atas perlukaan itu proporsional pada besarnya masa sel
tubuh, umur yang lebih muda, nutrisi yang lebih baik, serta masa otot yang
lebih besar.
Katabolisme protein pada sakit berat tidak hanya terjadi pada jaringan
yang sakit melainkan pada seluruh tubuh pasien. Pecahan asam amino yang
paling banyak dilepas otot rangka adalah alanin dan glutamin, walaupun
komposis otot yang melepasnya tidaklah didominasi asam amino jenis ini.
Pada sakit kritis laju lipolisis yang ditunjukkan oleh peningkatan gliserol,
tampak lebih besar dari laju oksidasi lemak secara keseluruhan. Hal ini
menunjukkan oksidasi asam lemak terutama terjadi hanya pada area yang
mengalami lipolisis. Oksidasi lemak pada pasien sakit kritis merupakan
kontributor utama energi pada perlukaan.
Cara lain untuk melakukan kalorimetri tak langsung dari REE adalah
dengan perhitungan Weir. Selain mengukur kalori berdasarkan oksigen
yang dikonsumsi tubuh, metode Weir juga memperhitungkan produksi CO2
sebagai akibat metabolisme tubuh. Metode Weir mengukur selisih oksigen dan
karbondioksida yang masuk dan keluar saluran pernapasan. Selisih oksigen
pernapasan ini adalah oksigen yang dikonsumsi tubuh atau VO2. Selisih CO2
adalah produksi CO2 oleh tubuh atau VCO2. Sensor pengukur diletakkan
pada pipa inspirasi dan ekspirasi yang dipasangkan pada pasien seperti pada
penggunaan ventilator. Rumus perhitungan Weir adalah 3,9 VO2 + 1,1 VCO2
Overfeeding
Pemberian nutrisi terlalu besar pada pasien sakit kritis dapat
menimbulkan masalah. Pemberian kalori terlalu besar dapat menimbulkan
produksi CO2 yang lebih besar walaupun aktifitas atau stress tidak bertambah.
Pada pasien sesak napas tentu hal ini memperberat usaha napas. Untuk itu
dianjurkan sesuai dengan perubahan bertahap fase Ebb menjadi fase Flow,
pemberian kaloripun disarankan bertahap, bila perlu mulai hanya dari 30%
dari total kebutuhan kalori harian. Selanjutnya pemberian kalori dapat
dinaikkan secara bertahap dengan target mencapai 100% setelah 48 jam.
Pemberian nutrisi yang terlalu besar pada keadaan tertentu juga dapat
menyebabkan refeeding syndrome. Pemberian nutrisi kembali (refeeding)
pada pasien yang lama tidak mendapat nutrisi yang cukup dapat menyebabkan
Nutrisi Khusus16,17,18
Ada penelitian menunjukkan penambahan arginin, glutamin dan
ribonukleotida menurunkan frekuensi infeksi pada pasien sakit kritis, namun
mortalitasnya tidak berbeda. Demikian pula penambahan asam lemak ome-
ga-3 (minyak ikan), antioksidan lain dan asam gamma linoleat dilaporkan
memperpendek masa ventilator, menurunkan kejadian gagal organ namun
tidak mengubah mortalitas. Pemberian nutrisi khusus ini umumnya dengan
tujuan meningkatkan sistem imunitas tubuh pasien. Pada keadaan kekebalan
turun suplementasi nutrisi ini dapat memperbaiki kemampuan pasien mem-
pertahankan diri dari penyakitnya, akan tetapi pada keadaan reaksi imuni-
tas yang berlebihan efek toksik nutrisi ini harus juga diperhatikan. Sebagai
contoh terdapat kontroversi pemberian arginin akibat bukti efektifitasnya
dengan risiko toksisitasnya. Panduan nutrisi Kanada misalnya justru tidak
menganjurkan pemberian arginin pada nutrisi enteral. Sementara itu data
yang terbanyak adalah pemberian arginin secara enteral bersama campuran
nutrisi enteral lainnya. Sebaliknya glutamine dianjurkan pada pasien luka
bakar dan trauma, namun diberikan secara parenteral. Panduan nutrisi dari
Kanada menyarankan minyak ikan dan antioksidan ini diberikan pada pasien
ARDS. Panduan Eropa (European society for clinical nutrition and metabolism
/ ESPEN) menganjurkan pemberian imunonutrisi (arginin, nukleotida dan
asam lemak omega 3) secara enteral pada operasi saluran cerna atas, sepsis
ringan, trauma dan ARDS, namun mencegah penggunaannya pada sepsis be-
rat. Pemberian trace elements, serat, probiotik hingga kini belum ada data
yang cukup untuk disimpulkan.
Resume
Perubahan metabolism pada keadaan sakit kritis seringkali memperburuk
keadaan klinis bahkan berbahaya. Akan tetapi perubahan ini tampaknya
justru ditujukan untuk upaya penyelamatan hidup atau perbaikan kesehatan
tubuh. Oleh sebab itu tatalaksana perubahan tersebut perlu dilakukan dengan
hati-hati sehingga tidak justru memperparah keadaan.
Nutrisi pada pasien sakit kritis perlu diberikan dengan tepat dan di waktu
yang tepat. Pemberian nutrisi yang belebihan dapat membahayakan pasien,
sebaliknya pemberian nutrisi yang kurang juga memperburuk luaran pasien.
Daftar Pustaka
1. Pitoyo CW. Perubahan metabolism pada pasien sakit kritis. Makalah Workshop
PIN PAPDI 2018.
2. Tardalaki T, Sparaki AM, Briassoulis G. Alterations in metabolic patterns in critically
ill patients – is there need of action ? Eur J Clin Nutr 2017; 71: 431-3.
3. Preiser J-C, van Zanten ARH, Berger MM, Bioh G, Casper MP, Doig GS, et al. Metabolic
and nutritional support af critically ill patients : consensus and controversies. Crit
care 2015; 19(1): 35
4. Cuthbertson DP. The disturbance of metabolism produced by bony and non bony
injury, wwith notes on certain abnormal conditions of bone. Biochem J 1930.
24:1244-63.
5. Cannon WB. The wisdom of the body. New York. WW Norton. 1967:
6. Bessey PQ, Watters JM, Aoki TT, et al. Combined hormonal infusion simulates the
metabolic reponse to injury. Ann Surg 1984; 200: 264-81.
7. Van der Poll T, Romijn JA. Endert E. Tumor necrosis factor mimics the metabolic
response to acute infection in healthy humans. Am J Physiol 1991. 261:E457-65.
8. Vrees MD, Albine JE. Metabolic response to illness and its mediators. In: Rombeau
JL, Rolandeli RH (eds) Clinical Nutrition Parenteral Nutrition. WB Saunders 2001:
21-34.
9. Carre JE, Orban J-C, Re L, Felsmann K, Iffert W, Bauer M, et al. Survival in critical
illness is associated with early activation of mithochondrial biogenesis. Am J Respir
Crit Care Med 2010; 182: 745-51.
10. Kinney JM. Duke JH, Long CL. Tissue fuel and wight loss after injury. J Clin Pathol
1970.23 (Suppl 4): 65-72.
11. Long CL, Schaffel N, Geiger JW. Metabolic response to illness. Estimation of energy
and protein needs from indirect calorimetry and nitrogen balance. JPEN J Parenter
Enteral Nutr 1979;3:452-6.
12. Kinney JM, Furst P, Elwyn DH, Carpentler YA. The intensive care patient. In : Kinney
JM, Jeejeebbhoy KN, Hill GL, Owen OE (eds). Nutrition and Metabolism in patient
care. Philadelphia, WB Saunders 1988: 656-71.
13. James JH, Fang CH, Schrantz SJ. Linkage of aerobic glucolysis to sodium-potassium
transport in rat skeletal muscle. J Clin Invest 1996; 98:2388-97.
14. Pitoyo CW. Nutrisi pada pasien sakit kritis. Makalah Simposium Konas Perpari
2019.
15. Sobotka L, Soeters PB. Basics in clinical nutrition: metabolic response to injury and
sepsis. Cllin Nutr ESPEN. [Internet].2009 Feb [2019 Jul 6];4(1):e1-3. Dari https://
clinicalnutritionespen.com/article/S1751-4991(08)00062-0/fulltext
16. Singer P, Blaser AR , Berger MM, et al. ESPEN guideline on clinical nutrition in
the intensive care unit. Clin Nutr.[Internet]. 2018 [2019 Jul 6]. Dari https://www.
espen.org/files/ESPEN-Guidelines/ESPEN_guideline-on-clinical-nutrition-in-the-
intensive-care-unit.pdf.
17. McClave SA, Taylor BE, Martindale RG, Warren MM,et al. Guidelines for the provision
and assessment of nutrition support therapy in the adult critically Ill patient:
Society of Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and
Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.). J Par Ent Nutr. 2016; 40 (2):159–211.
18. Carrott PW, Patel J, Kiraly L, Martindale RG. Parenteral or Enteral Arginine
Supplementation Safety and Efficacy. J Nutr. [Internet]. 2018 [2019 Jul 6];146
(12):2594S-2600S. Dari https://doi.org/10.3945/jn.115.228544
Pendahuluan
Ekokardiografi adalah alat non-invasif yang bermanfaat untuk pencitraan
jantung dan merupakan komponen penting dalam penegakan diagnostik
kelainan jantung. Berbagai macam kelainan jantung dapat didiagnosis dengan
ekokardiografi, demikian juga tingkat keparahan dan prognosisnya. Namun
demikian penting untuk diingat bahwa pemeriksaan ekokardiografi hanya
salah satu bagian dari pemeriksaan jantung. Anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, radiografi toraks dan temuan laboratorium klinis harus
diintegrasikan dengan temuan ekokardiografi untuk sampai pada diagnosis
yang benar dan mengembangkan rencana terapi yang optimal untuk setiap
pasien.
Prinsip Ekokardiografi
Ekokardiografi memanfaatkan suara dengan frekuensi tinggi (> 20.000
Hz) yang memasuki jaringan, ditransmisikan melalui jaringan dan dipantulkan
kembali dari jaringan sesuai impedansi akustik jaringan. Impedansi akustik
jaringan adalah kepadatan jaringan dikalikan kecepatan di mana suara
bergerak melalui jaringan. Semakin besar perbedaan impedansi akustik
antara dua jaringan yang berdekatan, semakin besar ultrasound dipantulkan
kembali ke transduser. Tulang / jaringan dan udara / jaringan antara sangat
reflektif karena perbedaan besar dalam impedansi akustik akustiknya.
Tulang memiliki impedansi akustik yang sangat tinggi dan udara memiliki
impedansi akustik relatif sangat rendah terhadap jaringan lunak. Dengan
demikian, ketika ultrasound memotong struktur tulang atau ruang antara
berisi udara, ultrasound dipantulkan kembali ke transduser. Gelombang
ultrasound ini kemudian diterima oleh transduser dan diproses oleh mesin
untuk menghasilkan gambar. Gambar ekokardiografik yang diperoleh dapat
ditampilkan monitor dan dapat direkam pada video, kertas termal, film
radiografi atau disk komputer.
Jenis Ekokardiografi
Ada 3 jenis ekokardiografi digunakan secara klinis: dua dimensi (2-D,
B-mode atau real time), M-mode , dan Doppler. Ketiganya digunakan secara
simultan dalam pemeriksaan.
1. B-mode
Ekokardiografi dua dimensi memungkinkan pencitraan struktur (baik
kedalaman dan lebar) secara real time. Dengan demikian, hubungan
anatomi antara berbagai struktur lebih mudah dilihat daripada dengan
M-mode. Ukuran ruang, ketebalan dinding, struktur katup, adanya
massa pada ruang jantung dan adanya efusi perikardium serta fungsi
dan gerakan jantung akan terlihat pada ekokardiografi 2D atau B-mode
ini. Pada ekokardiografi 2D digunakan 3 bidang ortogonal untuk
menggambarkan anatomi jantung, yaitu long axis plane (bidang yang
tegak lurus terhadap bagian dorsal dan sejajar dengan sumbu panjang
jantung), short axis plane (bidang yang tegak lurus terhadap bagian
dorsal dan ventral jantung tetapi tegak lurus juga terhadap sumbu
panjang jantung) dan four chamber plane ((bidang yang sejajar dengan
bagian dorsal dan ventral jantung) (Gambar 1.).
2. M-mode
M-mode ekokardiografi menghasilkan satu dimensi dari struktur
jantung yang bergerak dari waktu ke waktu. Gema dari berbagai jaringan
bergerak selama siklus jantung di sepanjang sumbu dicitrakan dalam
Dari B-mode dan M-mode ini banyak informasi yang bisa kita dapat;
misalnya dimensi ruang, ketebalan dinding, volume ruang, gerakan
jantung, adanya efusi atau massa, serta fraksi ejeksi jantung (dengan
membandingkan volume 2D diastolik dan sistolik jantung).
Daftar Pustaka
1. Kaddoura S. Echo made easy. Elsevier, 2009.
2. Boehmeke T, Doliva R. Examination in pocket atlas of echocardiography. Stutgard-
Germany, 2006; 2-47.
3. Lang RM, Bierig M, Devereux RB, et al. Recommendation for chamber quantification:
a report from the American Society of Cardiography’s guideline and standards
committee and the chamber quantification writing group, developed in conjungtion
with the European Association of Echocardiography, a branch of the European
Society of Cardiology. J am soc cardiogr 2005; 18: 1440-1463.
Abstrak
Salah satu pilihan terapi pengganti ginjal yang belum terlalu popular
di Indonesia maupun dunia adalah peritoneal dialisis. Konsep terapi yang
mandiri dan bergantung pada komitmen dan keterampilan pasien ini
membutuhkan suatu pendekatan yang individual dan komprehensif dimulai
dari penentuan modalitas dialisis, preskripsi dialisis sampai pada pengelolaan
komplikasi yang terjadi.
Pendahuluan
Peritoneal dialisis (PD) merupakan pilihan dialisis yang tidak begitu
popular di dunia, khususnya di Indonesia. Prevalensi continuous ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD) di Indonesia hanya sekitar 2% dari total pasien
dialisis (Indonesian Renal Registry, 2017) dan di dunia prevalensi pasien yang
menjalani PD sekitar 10-11% dari keseluruhan populasi pasien gagal ginjal
tahap akhir (PGTA). Preskripsi peritoneal dialisis yang baik akan menentukan
keberhasilan terapi, memperbaiki angka mortalitas hingga meningkatkan
kualitas hidup pasien. Tulisan ini akan membahas lebih lanjut tentang
peresepan CAPD yang lebih individual dibandingkan dengan peresepan
hemodialisis (HD). Sekilas tentang komplikasi PD juga akan dijelaskan lebih
lanjut.
Risiko peritonitis akan linier dengan jumlah kontak dengan transfer set
saat penggantian cairan. Artinya dengan frekuensi penggantian cairan yang
lebih sering pada CAPD (4 kali sehari vs 1-2 kali sehari pada APD) maka risiko
peritonitis akan lebih tinggi pada pasien CAPD dibandingkan dengan pasien
APD.
APD pada prinsipnya dibagi menjadi APD dengan day dwell, biasanya
disebut dengan continuous cycling peritoneal dialysis (CCPD), dan day dry, atau
dikenal sebagai nocturnal intermittent peritoneal dialysis (NIPD) (Gambar 1).
Gambar
Gambar1.
1.Perbedaan
Perbedaan antara
antara preskripsi
preskripsi CAPD danAPD.
CAPD dan APD.
Incremental PD (iPD)
Merupakan metode PD yang dilakukan pada pasien yang masih memiliki
fungsi ginjal sisa (residual kidney function/RKF) untuk mencapai target klirens
solut diawali dengan melakukan preskripsi dosis PD terendah.
Target Klirens
Kt/V urea tidak lagi menjadi alat ukur yang baik untuk menilai adekuasi
dialisis, namun tetap dapat dipakai sebagai nilai dasar untuk memperkirakan
volume cairan dialisat yang akan diberikan. Berikut adalah rumus untuk
menghitung standardized weekly Kt/Vurea pada PD:
STRATEGI
Strategi UNTUK MENCAPAI
untuk Mencapai TARGET
Target Klirens KLIRENS
CAPD
CAPD
Preskripsi CAPD yang lazim diberikan adalah kontinyu 4x2 liter per hari. Diluar negeri,
dimana
tersedia cairan
Preskripsi dengan
CAPD yangvolume
lazim >2 liter, beberapa
diberikan adalahsenter memberikan
kontinyu 4x2,5
4x2 liter perliter untuk
pasien
hari. Diluar negeri, dimana tersedia cairan dengan volume >2 liter, beberapa kecil atau
yang lebih besar, terutama jika RKF sudah rendah. Untuk pasien yang lebih
masih memiliki
senter RKF yang
memberikan 4x2,5cukup, dapat diresepkan
liter untuk pasien yang3x2 liter.
lebih Icodextrin
besar, terutamadapat
jikadigunakan
untuk periode long dwell, namun lebih mahal. Icodextrin juga baik untuk pasien dengan tipe
RKF sudah rendah. Untuk pasien yang lebih kecil atau masih memiliki RKF
membran high transporter. Jika klirens masih rendah, maka dapat dilakukan beberapa
yangmeliputi
strategi cukup, evaluasi
dapat diresepkan
dan perbaikan3x2 status
liter. nutrisi
Icodextrin
sertadapat digunakan
modifikasi untuk
resep. Perubahan resep
PD periode longmemperhatikan
tetap harus dwell, namun gaya lebih hidup
mahal.pasien.
Icodextrin
Untukjuga baik untuk klirens
meningkatkan pasien urea pada
pasien CAPD
dengan tipe dapat
membrandilakukan dengan cara
high transporter. Jikameningkatkan volume maka
klirens masih rendah, meningkatkan
dwell,dapat
frekuensi
dilakukan beberapa strategi meliputi evaluasi dan perbaikan status nutrisi sehingga
penggantian cairan, dan/atau meningkatkan konsentrasi cairan dialisat,
dapat meningkatkan ultrafiltrasi.
540 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
APD
Biasanya preskripsi APD dimulai dengan 10-12 liter per hari. Cycler time sekitar 8-10 jam,
Penentuan Rejimen dan Komplikasi CAPD
APD
Biasanya preskripsi APD dimulai dengan 10-12 liter per hari. Cycler time
sekitar 8-10 jam, dengan volume dwell di siang hari mencapai 2-2,5 liter.
Sebagian pasien dengan RKF yang cukup atau ukuran tubuh yang kecil dimulai
dengan preskripsi day dry. Beberapa senter memulai dengan memberikan a
day dwell dari awal namun memperpendek waktu dwelling untuk mencegah
reabsorbsi cairan, terutama pada pasien yang high transporter.
Klirens peritoneal pada APD dapat ditingkatkan dengan melakukan day
dwell, meningkatkan frekuensi cycle, meningkatkan volume dwell pada cycle,
meningkatkan waktu cycle, meningkatkan konsentrasi cairan dialisat.
Lain-Lain
Kadang kala kita harus memulai PD kurang dari 2 minggu setelah
pemasangan kateter pada pasien yang tidak direncanakan untuk menjalani
terapi pengganti ginjal sebelumnya, hal ini dikenal sebagai urgent start PD.
Untuk menghindari terjadinya kebocoran dialisat disekitar kateter yang
baru dipasang, maka volume cairan yang masukkan umumnya lebih kecil
dibandingkan PD standar. Volume cairan yang masuk disesuaikan dengan
ukuran tubuh pasien: misalnya jika LPT <1,65 m2 dimulai dengan 750 ml;
sampai 1,8 m2 1000 ml; dan pasien yang lebih besar mencapai 1250 ml. Total
waktu dialisis dan jumlah penggantian cairan disesuaikan dengan derajat RKF
dan beratnya tanda dan gejala uremikum.
Kesimpulan
Preskripsi PD semata-mata dilakukan dengan mempertimbangkan gaya
hidup dan keseharian pasien, kebutuhan pasien dan keinginannya serta
yang tidak kalah penting adalah klinis pasien. Preskripsi yang baik akan
menghasilkan luaran dialisis yang baik yang akan memperbaiki survival dan
kualitas hidup pasien.
Komplikasi Infeksi
Peritonitis
Diagnosis peritonitis ditegakkan jika ditemukan minimal 2 dari 3 kriteria
dibawah ini:
1) Nyeri perut dan/atau cairan keruh;
2) Hitung leukosit cairan dialisat >100/µL atau >0,1 x 109/L (setelah dwell
time minimal 2 jam), dengan jumlah sel PMN >50%;
3) Kultur cairan dialisat positif
Setiap pasien dengan cairan yang keruh harus dianggap mengalami
peritonitis dan ditatalaksana sebagai peritonitis sebelum diagnosis pasti
Gambar 2. Tatalaksana
Gambar awal
2. peritonitis
Tatalaksana
Gambar awal peritonitis
2. Tatalaksana awal peritonitis
Gambar 3. Algoritma tatalaksana peritonitis dengan hasil kultur kokus Gram positif
Gambar 3. Algoritma tatalaksana peritonitis dengan hasil kultur kokus Gram positif
Gambar 3. Algoritma tatalaksana peritonitis dengan hasil kultur kokus Gram positif
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 543
Ni Made Hustrini
Gambar4.4.Algoritma
Gambar Algoritmatatalaksana peritonitis
tatalaksana dengan
peritonitis hasilhasil
dengan kultur batang
kultur GramGram
batang negatifnegatif
atau
polimikrobial atau polimikrobial
Beberapa
Beberapa indikasi untukuntuk
indikasi mencabut kateter adalah:
mencabut kateter adalah:
- Peritonitis refrakter
- - Peritonitis refrakter
Peritonitis relaps
- Infeksi exit-site
- Peritonitis relaps atau tunnel refrakter
- Peritonitis jamur
- - Infeksi exit-site pada:
Dipertimbangkan atau tunnel refrakter
o Peritonitis berulang
- Peritonitis jamur
o Peritonitis mikobaterium
o Polimikrobialpada:
- Dipertimbangkan (enteric)
o Peritonitis berulang
KOMPLIKASI
o NON-INFEKSI
Peritonitis mikobaterium
Komplikasi yang tidak kalah pentingnya yang harus diperhatikan pada pasien PD adalah
o
komplikasi Polimikrobial (enteric)
non-infeksi. Salah satu komplikasi non-infeksi yang umum terjadi adalah
gangguan outflow, dan penyebab tersering gangguan outflow adalah akibat kontipasi.
Kumpulan
Komplikasi feses Non-Infeksi
yang banyak di kolon akan mengakibatkan kolon terdistensi sehingga pada
saat drainase akan menutup pori dari kateter dan menjadi katup satu arah saja. Hipokalemia
Komplikasi
merupakan yang tidak
penyebab tersering kalah peristaltik
dari gangguan pentingnya usus yang harus pada
yang berujung diperhatikan
konstipasi
dan
padamengakibatkan
pasien PDgangguan
adalahoutflow. Sehingganon-infeksi.
komplikasi kadar kalium pasien
Salah PD wajibkomplikasi
satu dimonitor
dan pasien dianjurkan
non-infeksi untuk mengkonsumsi
yang umum terjadi adalah diet gangguan
tinggi kaliumoutflow,
(buah-buahan
dan dan serat).
penyebab
Koreksi hipokalemia juga dapat dilakukan dengan memberikan preparat oral kalium atau
tersering
dengan gangguan
koreksi intravenaoutflow
jika adaadalah
indikasi.akibat kontipasi.
Hal lain Kumpulan
yang dilakukan untukfeses yang
mencegah
banyak di kolon akan mengakibatkan kolon terdistensi
konstipasi adlaah dengan memberikan laksatif secara rutin pada pasien. sehingga pada saat
drainase akan menutup pori dari kateter dan menjadi katup satu arah saja.
Hipokalemia merupakan penyebab tersering dari gangguan peristaltik
usus yang berujung pada konstipasi dan mengakibatkan gangguan outflow.
Sehingga kadar kalium pasien PD wajib dimonitor dan pasien dianjurkan
untuk mengkonsumsi diet tinggi kalium (buah-buahan dan serat). Koreksi
hipokalemia juga dapat dilakukan dengan memberikan preparat oral kalium
atau dengan koreksi intravena jika ada indikasi. Hal lain yang dilakukan untuk
mencegah konstipasi adlaah dengan memberikan laksatif secara rutin pada
pasien.
Kesimpulan
PD merupakan pilihan dialisis yang ideal bagi sebagian pasien namun
memiliki beberapa komplikasi yang terkait kesalahan pada prosedur ataupun
akibat teknikal. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
pada PD dengan melakukan pengelolaan PD yang tepat dan komprehensif.
Daftar Pustaka
1. Blake PG and Daugirdas JT. Adequacy of peritoneal dialysis and chronic peritoneal
dialysis prescription. In: Daugirdas JT, Blake PG, Ing TS. Handbook of Dialysis. 5th
Ed. Wolters Kluwer. Philadelphia. 2015.
2. Hansson JH and Watnick S. Update on peritoneal dialysis: Core curriculum 2016.
Am J Kidney Dis. 2016:67(1):151-64.
3. Teitelbaum I. Crafting the prescription for patients starting peritoneal dialysis. Clin
J Am Soc Nephrol. 2018:13;483-5.
4. Akonur A, Firanek CA, Gellens ME, Hutchcrafts AM, Kathuria P, Sloand JA. Volume-
based peritoneal dialysis prescription guide to achieve adequacy targets. PDI.
2016:36(2);188-95.
5. Li PKT, Szeto CC, Piraino B, Artega J, Fan S, Figueiredo AE, et al. ISPD peritonitis
recommendations: 2016 Update on prevention and treatment. PDI. 2016:36;481-
508.
Pendahuluan
Antikoagulan antagonis non-vitamin K oral / non–vitamin K antagonist
oral anticoagulants (NOAC) antara lain dabigatran, rivaroxaban, apixaban, dan
edoxaban saat ini telah dimasukkan sebagai rekomendasi pedoman (guideline)
terapi untuk menurunkan risiko strok dan kejadian emboli sistemik / systemic
embolic event (SEE) pada pasien fibrilasi atrial nonvalvular / nonvalvular
atrial fibrillation (NVAF).1
Tabel 1. Pertimbangan Dosis NOAC pada Berbagai Indikasi dan Kondisi Komorbid.7-10
Pasien Geriatri Fungsi Hati Berat Badan Rendah Fungsi Ginjal
Fibrilasi Atrial Nonvalvular
Dabigatran Tidak ada penyesuaian Tidak ada penyesuaian dosis Tidak ada penyesuaian • CrCl > 30 mL/min : 150
150 mg, dua kali dosis: risiko perdarahan pada gangguan hati sedang dosis mg dua kali sehari
sehari meningkat dengan usia (Child-pugh B) • CrCl 15 – 30 mL/min :
kurangi dosis menjadi
75 mg dua kali sehari
• CrCl <15 mL/min
atau dialisis : tidak
direkomendasikan
diberi
Rivaroxaban Tidak ada penyesuaian Hindari pemakaian pada Tidak ada penyesuaian • CrCl> 50 mL / mnt :
20 mg, sekali dosis: risiko perdarahan gangguan hati sedang dosis 20 mg sekali sehari
sehari bersamaan meningkat dengan usia (Child-pugh B) dan berat dengan makan malam:
dengan makan (Child-pugh C) atau • CrCl 15-50 mL / mnt :
malam gangguan hepar apapun kurangi dosis hingga
yang berhubungan dengan 15 mg sekali sehari
koagulopati dengan makan malam
• CrCl <15 mL / mnt :
hindari penggunaan
Apixaban 5 mg, Kurangi dosis menjadi • Tidak ada penyesuaian Kurangi dosis menjadi 2,5 • Kurangi dosis menjadi
dua kali sehari 2,5 mg dua kali sehari dosis pada gangguan hati mg dua kali sehari ketika 2,5 mg dua kali sehari
setidaknya dua dari satu ringan (Child-Pugh A) setidaknya 2 dari yang ketika setidaknya 2 dari
keadaan ini : Usia ≥ 80 • Tidak ada dosis berikut: berat badan ≤60 yang berikut: serum
tahun dengan berat Rekomendasi yang kg dan usia ≥80 tahun kreatinin ≥1,5 mg /
badan ≤ 60 Kg, dan diberikan pada gangguan atau kreatinin serum ≥1,5 dL dan baik usia ≥80
kreatinin serum ≥ 1,5 hati sedang (Child-Pugh mg / dL tahun atau berat badan
mg/dL B) ≤60 kg
• 5 mg dua kali sehari
pada penyakit
ginjal stadium akhir
dipertahankan dengan
hemodialisis
Edoxaban, 60 Tidak ada penyesuaian • Tidak ada penyesuaian Tidak ada penyesuaian • CrCl 15-50 mL / mnt :
mg, sekali sehari dosis dosis pada gangguan hati dosis kurangi dosis hingga 30
dengan CrCl > ringan (Child-Pugh A) mg sekali sehari
50 sampai ≤ 95 • Tidak direkomendasikan • CrCl <15 mL
mL/min pada gangguan hati / mnt : tidak
sedang (Child-Pugh B) direkomendasikan
dan parah (Child-Pugh C) • CrCl> 95 mL / mnt :
hindari penggunaan
a
Antikoagulasi parenteral 5 sampai 10 hari sebelum memulai tatalaksana.
CrCl, creatinine clearance.
Substrat P-gp ya ya ya ya
Inhibitor P-gp • Hindari penggunaan pada Tidak ada Tidak ada penyesuaian Tidak ada
pasien yang menggunakan penyesuaian dosis dosis penyesuaian dosis
inhibitor P-gp dan CrCl <50
mL / mnt (hanya VTE)
• Hindari penggunaan pada
pasien dengan CrCl <30 mL
/ menit
• Tidak ada penyesuaian
dosis pada pasien yang
menggunakan ticagrelor
Inhibitor ganda P-gp / • Pertimbangkan Hindari penggunaan Dianjurkan Kurangi dosis hingga
CYP3A4 pengurangan dosis 75 mg dengan P-gp pengurangan dosis 30 mg sekali sehari
dua kali sehari pada pasien dan penyekat 50% untuk pasien pada pasien yang
dengan gangguan ginjal kuat CYP3A4 yang menerima> 2,5 menggunakan
sedang (CrCl 30-50 mL / ketoconazole, mg dua kali sehari inhibitor P-gp
mnt) dan ketoconazole atau itraconazole, ketika dipakai bersama verapamil dan
dronedarone (khusus AF) lopinavir / dengan inhibitor ganda quinidine atau
secara bersamaan ritonavir, indinavir, kuat CYP3A4 dan pemberian
• Tidak diperlukan conivaptan P-gp (ketoconazole, azithromycin,
penyesuaian dosis untuk itraconazole, ritonavir, clarithromycin,
klaritromisin, amiodaron, atau clarithromycin); erythromycin,
quinidine, verapamil hindari penggunaan itraconazole oral,
obat ini ketika dosis 2,5 atau ketoconazole
mg dua kali sehari oral secara
bersamaanb
Induksi ganda P-gp / Hindari pemberian bersama Hindari penginduksi Hindari penginduksi Hindari penggunaan
CYP3A4 dengan rifampisin ganda kuat dari ganda kuat dari rifampisin secara
P-gp dan CYP3A4 P-gp dan CYP3A4 bersamaan
carbamazepine, carbamazepine,
phenytoin, phenytoin, rifampisin,
rifampisin, St. John's St. John's wort
wort
a
Penggunaan bersamaan NOAC dan semua antikoagulan lainnya, inhibitor trombosit, dan obat antiinflamasi nonsteroid
meningkatkan risiko perdarahan. Pasien yang menerima obat ini harus dimonitor dengan hati-hati.
b
Untuk pasien dengan VTE saja.
AF, atrial fibrillation; CrCl, creatinine clearance; CYP3A4, cytochrome C P450 isoenzyme 3A4; P-gp, P-glycoprotein; VTE, venous
thromboembolism.
Dalam studi fase 3 pencegahan strok pada pasien NVAF yang diberi
dabigatran, tingkat IM yang terjadi selama penelitian meningkat untuk
dabigatran 150 mg (0,74% per tahun, RR 1,38, 95% CI 1,00-1,91, P = 0,05)
relatif terhadap warfarin (0,53% per tahun).2 Pada 2010, setelah evaluasi ulang
database untuk kemungkinan kejadian yang tidak dilaporkan, IM direvisi ke
nilai yang lebih rendah yaitu 1,27 (95% CI 0,94-1,71, P = 0,12).33 Sehubungan
dengan sisa dari populasi penelitian, pasien yang memiliki setidaknya 1 IM
lebih tua dan memiliki lebih banyak faktor risiko koroner, termasuk IM lebih
banyak dan penggunaan obat antiplatelet, penyekat beta, dan statin.34
Versi rekombinan FXA manusia yang tidak aktif (andexanet alfa, Portola
Pharmaceuticals) dan molekul kecil sintetik (ciraparantag [PER977],
Perosphere Inc.) juga sedang diselidiki.47-52 Andexanet alfa diajukan ke FDA
untuk disetujui pada Februari 2016.53 Dalam uji coba fase 3 pada sukarelawan
sehat dengan apixaban atau rivaroxaban, andexanet alfa mengurangi aktivitas
anti-faktor Xa lebih efektif dibandingkan dengan plasebo dalam waktu 2-5
menit.52 Ciraparantag melawan efek antikoagulan edoxaban berdasarkan
waktu pembekuan darah keseluruhan dan mengembalikan hemostasis
pada subyek sehat.49 Meskipun tidak dikembangkan sebagai obat reversal
untuk penyekat FXa langsung, obat hemostatik seperti penyekat faktor VIII
yang memintas aktivitas, konsentrat kompleks protrombin, dan bentuk
rekombinan aktif faktor VII juga telah dievaluasi untuk reversal NOAC.10,12,54,55
Hemostasis sistemik Tidak ada panduan Tidak ada panduan Tidak ada Tidak ada panduan
yang ada yang ada pengalaman yang ada
dengan
desmopresin atau
aprotinin
Konsentrat Platelet Pertimbangkan Tidak ada panduan Tidak ada panduan Tidak ada panduan
apakah ada yang ada yang ada yang ada
trombositopenia
atau antiplatelet
lama digunakan
Konsentrat aPCC, aktivitas Uji klinis pada Dapat Uji klinis pada
prothrombin bypass faktor subyek sehat; dipertimbangkan; subjek sehat
kompleks VIII inhibitor, aPCC, rFVIIa tidak tidak dievaluasi
rFVIIa dapat dievaluasi dalam uji klinis
dipertimbangkan;
tidak dievaluasi
dalam uji klinis
Aktivasi Charcoal Ya Ya Ya Tidak ada panduan
yang ada
Hemodialisis Ya, dukungan Tidak Tidak Tidak
terbatas
aPCC, activated prothrombin complex concentrate; rFVIIa, recombinant factor VIIa.
Kesimpulan
– NOAC efektif dalam menurunkan risiko strok atau SEE pada pasien
dengan NVAF dan dikaitkan dengan insiden perdarahan intrakranial
yang lebih sedikit dibandingkan dengan warfarin.
– Kondisi komorbid dan farmakokinetik obat antikoagulan sangat
penting diperhatikan dalam strategi pemilihan NOAC yang tepat untuk
meminimalisasi risiko efek samping perdarahan, tanpa mengurangi
manfaat terapi antikoagulan.
Daftar Pustaka
1. Valgimigli M, Bueno H, Byrne RA, Collet J-P, Costa F, Jeppsson A, et al. 2017 ESC
focused update on dual antiplatelet therapy in coronary artery disease developed
in collaboration with EACTS. Eur Heart J. 2017;53(1):34-78.
2. Connolly S. RE-LY Steering Committee and Investigators: Dabigatran versus
warfarin in patients {Connolly, 2009 #207}with atrial fibrillation. N Engl J Med.
2009;360:2066-78.
3. Granger CB, Alexander JH, McMurray JJ, Lopes RD, Hylek EM, Hanna M, et al.
Apixaban versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med.
2011;365(11):981-92.
4. Patel MR, Mahaffey KW, Garg J, Pan G, Singer DE, Hacke W, et al. Rivaroxaban versus
warfarin in nonvalvular atrial fibrillation. N Engl J Med. 2011;365(10):883-91.
5. Giugliano RP, Ruff CT, Braunwald E, Murphy SA, Wiviott SD, Halperin JL, et
al. Edoxaban versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med.
2013;369(22):2093-104.
6. Hirsh J, Fuster V, Ansell J, Halperin JL. American Heart Association/American
College of Cardiology foundation guide to warfarin therapy. J Am Coll Cardiol.
2003;41(9):1633-52.
7. Pradaxa (dabigatran etexilate mesylate). Full Prescribing Information. Ridgefield,
CT: Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals; 2015. http://docs.boehringer-
ingelheim.com/Prescribing%20Information/PIs/Pradaxa/Pradaxa.pdf. Accessed
August 4. 2016.
8. Xarelto (rivaroxaban) tablets. Full Prescribing Information. Titusville, NJ: Janssen
Pharmaceuticals, USA; 2015. https://www.xareltohcp.com/shared/product/
xarelto/prescribing-information.pdf. Accessed August 4. 2016.
9. Eliquis (apixaban) tablets for oral use. Full Prescribing Information. Princeton, NJ
and New York: Bristol-Myers Squibb Company and Pfizer; 2015. https://www.
eliquis.com/eliquis/servlet/servlet.FileDownload?file¼00Pi000000GM6ILEA1.
Accessed August 4. 2016.
10. Savaysa (edoxaban) tablets for oral use. Full Prescribing Information. Parsippany,
NJ: Daiichi Sankyo; 2016. http://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/
label/2016/206316lbl.pdf. Accessed October 10. 2016.
11. Ageno W, Gallus AS, Wittkowsky A, Crowther M, Hylek EM, Palareti G. Oral
anticoagulant therapy: antithrombotic therapy and prevention of thrombosis:
American College of Chest Physicians evidence-based clinical practice guidelines. J
Chest. 2012;141(2):e44S-e88S.
12. January C, Wann L, Alpert J, Calkins H, Cigarroa J, Cleveland J, et al. American college
of cardiology/American heart association task force on practice guidelines. 2014
AHA/ACC/HRS guideline for the management of patients with atrial fibrillation:
a report of the American college of cardiology/American heart association task
force on practice guidelines and the heart rhythm society. J Am Coll Cardiol.
2014;64(21):e1-e76.
13. Amin A. Choosing Non-Vitamin K antagonist oral anticoagulants: practical
considerations we need to know. Ochsner J. 2016;16(4):531-41.
14. Pfeilschifter W, Luger S, Brunkhorst R, Lindhoff-Last E, Foerch C. The gap between
trial data and clinical practice-an analysis of case reports on bleeding complications
occurring under dabigatran and rivaroxaban anticoagulation. Cerebrovasc Dis.
2013;36(2):115-9.
15. Clemens A, Noack H, Brueckmann M, Lip GY. Twice-or once-daily dosing of novel
oral anticoagulants for stroke prevention: a fixed-effects meta-analysis with
predefined heterogeneity quality criteria. PLoS One. 2014;9(6):e99276.
16. Marzec LN, Gosch KL, Chan PS, Ting HH, Shah ND, Maddox TM. The introduction
of novel oral anticoagulants has improved overall oral anticoagulation rates
27. Lip GY, Nieuwlaat R, Pisters R, Lane DA, Crijns HJ. Refining clinical risk stratification
for predicting stroke and thromboembolism in atrial fibrillation using a novel
risk factor-based approach: the euro heart survey on atrial fibrillation. Chest.
2010;137(2):263-72.
28. Oldgren J, Alings M, Darius H, Diener H-C, Eikelboom J, Ezekowitz MD, et al. Risks for
stroke, bleeding, and death in patients with atrial fibrillation receiving dabigatran
or warfarin in relation to the CHADS2 score: a subgroup analysis of the RE-LY trial.
Ann Intern Med. 2011;155(10):660-7.
29. Ruff CT, Giugliano RP, Braunwald E, Hoffman EB, Deenadayalu N, Ezekowitz MD, et
al. Comparison of the efficacy and safety of new oral anticoagulants with warfarin
in patients with atrial fibrillation: a meta-analysis of randomised trials. Lancet.
2014;383(9921):955-62.
30. Skaistis J, Tagami T. Risk of fatal bleeding in episodes of major bleeding with new
oral anticoagulants and vitamin K antagonists: a systematic review and meta-
analysis. PloS one. 2015;10(9):e0137444.
31. Sharma M, Cornelius VR, Patel JP, Davies JG, Molokhia M. Efficacy and harms of
direct oral anticoagulants in the elderly for stroke prevention in atrial fibrillation
and secondary prevention of venous thromboembolism: systematic review and
meta-analysis. Circulation. 2015;132(3):194-204.
32. Lauffenburger JC, Rhoney DH, Farley JF, Gehi AK, Fang G. Predictors of
gastrointestinal bleeding among patients with atrial fibrillation after initiating
dabigatran therapy. Pharmacotherapy. 2015;35(6):560-8.
33. Connolly SJ, Ezekowitz MD, Yusuf S, Reilly PA, Wallentin L. Newly identified events
in the RE-LY trial. N Engl J Med. 2010;363(19):1875-6.
34. Hohnloser SH, Oldgren J, Yang S, Wallentin L, Ezekowitz M, Reilly P, et al. Myocardial
ischemic events in patients with atrial fibrillation treated with dabigatran or
warfarin in the RE-LY (Randomized Evaluation of Long-Term Anticoagulation
Therapy) trial. Circulation. 2012;125(5):669-76.
35. Douxfils J, Buckinx F, Mullier F, Minet V, Rabenda V, Reginster JY, et al. Dabigatran
etexilate and risk of myocardial infarction, other cardiovascular events, major
bleeding, and all‐cause mortality: a systematic review and meta‐analysis of
randomized controlled trials. Am Heart J. 2014;3(3):e000515.
36. Larsen TB, Rasmussen LH, Gorst-Rasmussen A, Skjøth F, Rosenzweig M, Lane DA,
et al. Myocardial ischemic events in ‘real world’patients with atrial fibrillation
treated with dabigatran or warfarin. Am J Med. 2014;127(4):329-36. e4.
37. Loffredo L, Perri L, Violi F. Myocardial infarction and atrial fibrillation: different
impact of anti-IIa vs anti-Xa new oral anticoagulants: a meta-analysis of the
interventional trials. Int J Cardiol. 2015;178:8-9.
38. Alexander JH, Lopes RD, James S, Kilaru R, He Y, Mohan P, et al. Apixaban with
antiplatelet therapy after acute coronary syndrome. N Engl J Med. 2011;365(8):699-
708.
39. Mega JL, Braunwald E, Wiviott SD, Bassand J-P, Bhatt DL, Bode C, et al. Rivaroxaban
in patients with a recent acute coronary syndrome. N Engl J Med. 2012;366(1):9-
19.
40. Krantz MJ, Kaul S. The ATLAS ACS 2–TIMI 51 Trial and the Burden of Missing
Data:(Anti-Xa Therapy to Lower Cardiovascular Events in Addition to Standard
Therapy in Subjects With Acute Coronary Syndrome ACS 2–Thrombolysis In
Myocardial Infarction 51). J Am Coll Cardiol. 2013;62(9):777-81.
41. Oldgren J, Budaj A, Granger CB, Khder Y, Roberts J, Siegbahn A, et al. Dabigatran vs.
placebo in patients with acute coronary syndromes on dual antiplatelet therapy: a
randomized, double-blind, phase II trial. Eur Heart J. 2011;32(22):2781-9.
42. Levy JH, Ageno W, Chan NC, Crowther M, Verhamme P, Weitz J, et al. When and how
to use antidotes for the reversal of direct oral anticoagulants: guidance from the
SSC of the ISTH. Thromb Haemost. 2016;14(3):623-7.
43. Alikhan R, Rayment R, Keeling D, Baglin T, Benson G, Green L, et al. The acute
management of haemorrhage, surgery and overdose in patients receiving
dabigatran. Emerg Med J. 2014;31(2):163-8.
44. Weitz JI, Pollack Jr CV. Practical management of bleeding in patients receiving non-
vitamin K antagonist oral anticoagulants. Thromb Haemost. 2015;114(12):1113-
26.
45. Praxbind (idarucizumab). Full Prescribing Information. Ridgefield, CT: Boehringer
Ingelheim Pharmaceuticals; 2015. http://docs.boehringer-ingelheim.com/
Prescribing%20Information/PIs/Praxbind/Praxbind.pdf. Accessed August 4.
2016.
46. Pollack Jr CV, Reilly PA, Eikelboom J, Glund S, Verhamme P, Bernstein RA, et al.
Idarucizumab for dabigatran reversal. N Engl J Med. 2015;373(6):511-20.
47. Laulicht B, Bakhru S, Lee C, Baker C, Jiang X, Mathiowitz E. Small molecule antidote
for anticoagulants. Circulation. 2012.
48. Bakhru S, Laulicht B, Jiang X, Chen L, Grosso M, Morishima Y, et al. A synthetic small
molecule antidote for anticoagulants. Eur Heart J. 2013;34(suppl_1).
49. Ansell JE, Bakhru SH, Laulicht BE, Steiner SS, Grosso M, Brown K, et al. Use of PER977
to reverse the anticoagulant effect of edoxaban. N Engl J Med. 2014;371(22):2141-
2.
50. Crowther M, Levy GG, Lu G, Leeds J, Lin J, Pratikhya P, et al. A phase 2 randomized,
double-blind, placebo-controlled trial demonstrating reversal of edoxaban-induced
anticoagulation in healthy subjects by andexanet alfa (PRT064445), a universal
antidote for factor Xa (fXa) inhibitors. Circulation. 2014.
51. Gold AM, Crowther M, Levy G, et al. AnnexaTM: A Phase 3 randomized, double-
blind, placebo-controlled trial, demonstrating reversal of rivaroxaban-induced
anticoagulation in older subjects by andexanet alfa (PRT06445), a universal
antidote for factor Xa (FXa) inhibitors. J Am Coll Cardiol. 65(10_S):A23. http://
content.onlinejacc.org/article. 2015.
52. Siegal DM, Curnutte JT, Connolly SJ, Lu G, Conley PB, Wiens BL, et al. Andexanet alfa
for the reversal of factor Xa inhibitor activity. N Engl J Med. 2015;373(25):2413-24.
53. Portola Pharmaceuticals announces biologics license application for Andexanet
Alfa accepted for review by FDA [press release]. South San Francisco, CA:
Portola Pharmaceuticals; Feb 17, 2016. http://investors.portola.com/phoenix.
zhtml?c¼198136&p¼irol-newsroomArticle&ID¼2140255. Accessed April 15.
2016.
54. Zahir H, Brown KS, Vandell AG, Desai M, Maa J-F, Dishy V, et al. Edoxaban effects on
bleeding following punch biopsy and reversal by a 4-factor prothrombin complex
concentrate. Circulation. 2015;131(1):82-90.
55. Dzik W. Reversal of oral factor Xa inhibitors by prothrombin complex concentrates:
a re‐appraisal. Thromb Haemost. 2015;13:S187-S94.
Abstrak
Infeksi virus hepatitis B (Hepatitis B Virus, HBV) masih menjadi
masalah kesehatan global. Semua pasien dengan infeksi HBV kronis
memiliki peningkatan risiko menjadi sirosis dan karsinoma hepatoseluler
(hepatocellular carcinoma, HCC), tergantung pada faktor inang dan virus.
Tujuan utama terapi adalah untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan
kualitas hidup dengan mencegah perkembangan penyakit, yang selanjutnya
mengarah pada pencegahan perkembangan HCC. Induksi penekanan-jangka-
panjang replikasi HBV menjadi titik akhir utama dari strategi pengobatan saat
ini, sedangkan hilangnya HBsAg merupakan titik akhir yang optimal. Indikasi
pengobatan membutuhkan DNA HBV >2.000 IU/mL, peningkatan ALT dan/
atau setidaknya lesi histologis sedang, sedangkan semua pasien sirosis
dengan DNA HBV yang terdeteksi harus diterapi. Indikasi tambahan meliputi
pencegahan penularan ibu ke anak pada wanita hamil dengan viremia tinggi
dan pencegahan reaktivasi HBV pada pasien yang membutuhkan imunosupresi
atau kemoterapi. Pemberian jangka panjang analog nukleos(t)ide yang
kuat, dengan penghalang resistansi yang tinggi, yaitu, entecavir, tenofovir
disoproxil, atau tenofovir alafenamida, dapat menjadi pengobatan pilihan.
Pemberian pegylated interferon-alfa juga dapat dipertimbangkan pada pasien
hepatitis B kronis ringan hingga sedang. Saat ini terapi kombinasi belum
dianjurkan. Semua pasien harus menjalani pemantauan risiko perkembangan
serta komplikasi penyakit dan HCC.
Pendahuluan
Epidemiologi dan Beban Kesehatan Masyarakat
Sekitar 240 juta orang telah menjadi pembawa antigen permukaan
HBV (HBV surface antigen, HBsAg) kronis, dengan variasi regional pasien
HBsAg-positif antara kadar endemisitas rendah (<2%) dan tinggi (>8%).
Prevalensi penyakit tersebut menurun pada beberapa negara endemik tinggi,
karena peningkatan status sosial ekonomi, program vaksinasi universal, dan
kemungkinan adanya pengobatan antivirus yang efektif . Namun, perpindahan
penduduk dan migrasi saat ini mengubah prevalensi dan insidensi di
beberapa negara endemik rendah di Eropa, seperti Italia dan Jerman, karena
tingkat prevalensi HBsAg yang lebih tinggi pada migran dan pengungsi dari
luar Eropa dibandingkan dengan penduduk asli. Bahkan, program vaksinasi
universal belum mampu mencegah kasus infeksi HBV akut secara substansial,
terutama dalam populasi berisiko tinggi. Jumlah kematian terkait HBV karena
sirosis hati dan/atau karsinoma hepatoseluler (HCC) meningkat antara tahun
1990 dan 2013 sebesar 33%, dengan >686.000 kasus pada tahun 2013 di
seluruh dunia.
Epidemiologi Hepatitis B
Sebelum pelaksanaan program vaksinasi HBV, wilayah Asia-Pasifik dibagi
menjadi tiga kategori dalam hal prevalensi HBsAg. Prevalensi tinggi (>8%)
wilayah termasuk daratan Cina, Hong Kong, Taiwan, Korea, Mongolia, Filipina,
Thailand, Vietnam, dan Selatan Negara pulau Pasifik. Prevalensi menengah (2-
8%) daerah termasuk Asia Tengah, anak benua India, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Prevalensi rendah (<2%) wilayah termasuk Australia dan Selandia
Baru, walaupun prevalensi telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir
karena imigran dari negara-negara dengan prevalensi tinggi. Vaksinasi HBV
universal pada bayi baru lahir secara dramatis mengubah epidemiologi
infeksi HBV kronis. Tinjauan sistematis yang diterbitkan oleh para ahli WHO
pada tahun 2012 menunjukkan penurunan prevalensi infeksi HBV kronis dari
1990 hingga 2005 di sebagian besar wilayah di dunia.
Virus ini akan menyebabkan dua kondisi klinis, pada pasien yaitu: (1)
Hepatitis akut yang kemudian sembuh secara spontan dan membentuk
kekebalan terhadap penyakit ini, atau (2) Berkembang menjadi kronik.
Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa mengalami 4 fase penyakit,
yaitu fase immune tolerant, fase immune clearance, fase pengidap inaktif,
dan fase reaktivasi. Fase immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB
yang tinggi dengan kadar alanin aminotransferase (ALT) yang normal.
Sedangkan, fase immune clearance terjadi ketika sistem imun berusaha
melawan virus. Hal ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien
kemudian dapat berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan
DNA VHB yang rendah (<2000 IU/ml), ALT normal, dan kerusakan hati
minimal. Seringkali pasien pada fase pengidap inaktif dapat mengalami fase
reaktivasi dimana DNA VHB kembali mencapai >2000 IU/ml dan inflamasi
hati kembali terjadi.
Evaluasi Pre-terapi
Langkah-langkah evaluasi pre-terapi pada infeksi hepatitis B kronik
bertujuan untuk: (1) menemukan hubungan kausal infeksi kronik VHB
dengan penyakit hati, (2) melakukan penilaian derajat kerusakan sel
hati, (3) menemukan adanya penyakit komorbid atau koinfeksi dan (4)
menentukan waktu dimulainya terapi.
Evaluasi awal seseorang dengan infeksi HBV harus mencakup riwayat dan
pemeriksaan fisik yang terperinci. Konsumsi alkohol, riwayat keluarga HBV
dan HCC, dan penilaian faktor risiko menentukan kemungkinan superinfeksi
HBV dengan virus hepatitis lain harus menjadi bagian dari pengambilan data.
Komorbiditas seperti obesitas, diabetes melitus dan sindrom metabolik harus
dinilai. Steatosis hati pada individu dengan CHB terkait dengan faktor-faktor
metabolisme yang menyertai daripada diinduksi oleh virus. Pemeriksaan
fisik berfokus pada mengidentifikasi keberadaan sirosis atau penyakit hati
Pada umumnya, ALT akan lebih tinggi dari AST, namun seiring dengan
progresifitas penyakit menuju sirosis, rasio ini akan terbalik. Bila sirosis telah
terbentuk, maka akan tampak penurunan progresif dari albumin, peningkatan
globulin dan pemanjangan waktu protrombin yang disertai dengan
penurunan jumlah trombosit. Genotipe HBV tidak diperlukan dalam evaluasi
awal, walaupun hal tersebut kemungkinan berguna untuk menseleksi pasien
untuk dirawat dengan IFNα yang menawarkan informasi prognostik untuk
probabilitas respon terhadap terapi IFNα dan risiko HCC.
Indikasi terapi pada infeksi VHB kronik ditentukan oleh nilai DNA VHB,
ALT serum dan gambaran histologis hati.
Indikasi Terapi
Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi
dari empat kriteria, antara lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) status HBeAg,
(3) nilai ALT dan (4) gambaran histologis hati.
Nilai DNA VHB merupakan salah satu indikator mortalitas dan morbiditas
yang paling kuat untuk hepatitis B. Studi REVEAL yang melibatkan lebih
dari 3.000 responden di Taiwan menyatakan bahwa kadar DNA VHB basal
merupakan prediktor sirosis dan KHS yang paling kuat baik pada pasien
dengan HBeAg positif maupun negatif. Pasien dengan kadar DNA VHB antara
300-1000 kopi/mL memiliki risiko relatif 1.4 kali lebih tinggi untuk terjadinya
sirosis pada 11,4 tahun bila dibandingkan dengan pasien dengan DNA VHB
tak terdeteksi. Merujuk pada uraian tersebut, maka level DNA VHB dapat
dijadikan sebagai indikator memulai terapi dan indikator respon terapi.
Batasan nilai ALT ditentukan berdasarkan kadar batas atas nilai normal
/ upper limit normal (ULN), bukan nilai absolut, mengingat tidak semua
Biopsi hati dalam hal ini dapat dilakukan apabila ditemukan fibrosis non
signifikan pada pemeriksaan non invasif, elevasi persisten ALT, usia > 30
tahun, atau riwayat keluarga dengan sirosis atau karsinoma hepatoselular.
Untuk Indonesia, dilakukan pengambilan angka 30 tahun sebagai batasan
didasarkan pada studi yang menunjukkan bahwa rata-rata umur kejadian
sirosis di Indonesia adalah 40 tahun, sehingga pengambilan batas 30 tahun
dirasa cukup memberikan waktu untuk deteksi dini sirosis.
Indikasi terapi hepatitis B kronik dibedakan atas terapi pada kelompok pasien
atau
nonfibrosis
sirosis signifikan
dengan HBeAg (ditandai dengan
positif, hasilnon
pasien biopsi skordengan
sirosis fibrosisHBeAg
METAVIR >F2 atau
negatif,
Ishak >3, hasil liver stiffness berdasarkan pemeriksaan transient elastography >8 kPa,
danskor
atau pasien
APRI sirosis.
> 1,5), terlepas dari hasil pemeriksaan penunjang lainnya.
Indikasi terapi hepatitis B kronik dibedakan atas terapi pada kelompok pasien
non sirosis
Indikasi dengan
terapi padaHBeAg
pasien positif, pasien adalah
HBeAg positif non sirosis
sebagai dengan
berikut:HBeAg negatif, dan
pasien sirosis.
• Indikasi
HBV DNA > 2 pada
terapi x 104pasien
IU/mLHBeAg
denganpositif
kadaradalah
ALT >2x
sebagaibatas atas nilai normal
berikut:
4
• HBV DNAdapat
/ ULN: > 2 x dilakukan
10 IU/mLobservasi
dengan kadar
selama ALT >2x batas
3 bulan atastidak
apabila nilai terdapat
normal / ULN:
dapat dilakukan
risiko kondisiobservasi
dekompensasi, selamaterapi
3 bulan
dapat apabila
dimulai tidak terdapat
apabila tidakrisiko
terjadikondisi
dekompensasi,
atau terapi dapat
fibrosis signifikan dimulai
(ditandai denganapabila
hasil tidak
biopsiterjadi
skor serokonversi.
fibrosis METAVIR >F2 atau
• Ishak
HBV serokonversi.
DNA
>3, > liver
hasil 2 x 10 4
IU/mLberdasarkan
stiffness dengan kadar ALT normal
pemeriksaan atauelastography
transient 1-2x batas atas nilai
>8 kPa,
atau skor APRI > 1,5), terlepas dari hasil pemeriksaan penunjang lainnya.
normal
• HBV /
Indikasi
ULN:
DNAterapi observasi
> 2 x 10 4 setiap
IU/mLB dengan
hepatitis
3 bulan,
kronik kadar
terapi
dibedakan
dapat
ALT atas
normal dimulai
atau
terapi
apabila
1-2xkelompok
pada
ditemukan
batas atas pasien
inflamasi
non sirosissedang
dengan- berat
HBeAg ataupositif,
fibrosispasien
signifikan.
non sirosis dengan HBeAg negatif, dan
nilai normal
HBV sirosis.
• pasien / ULN:4 observasi setiap 3 bulan, terapi dapat dimulai apabila
DNA < 2 x 10 IU/mL dengan kadar ALT berapapun: observasi setiap 3 bulan,
terapiIndikasi
ditemukan
dimulai terapi pada pasien
inflamasi
apabila sedangHBeAg
ditemukan positif
- berat atauadalah
inflamasi sebagai
fibrosis
sedang beratberikut:
- signifikan.
atau fibrosis signifikan,
• HBV DNA > 2 x 104 IU/mL dengan kadar ALT >2x batas atas nilai normal / ULN:
eksklusi penyebab observasi
dapat dilakukan lain apabila ditemukan
selama 3 peningkatan
bulan apabila kadar
tidak ALT.
terdapat risiko kondisi
• dekompensasi,
HBV DNA < 2terapi x 104dapat
IU/mL dengan
dimulai kadar
apabila ALTterjadi
tidak berapapun: observasi setiap
serokonversi.
4
• HBV DNA terapi
3 bulan, > 2 x 10 IU/mLapabila
dimulai dengan ditemukan
kadar ALT normal inflamasi atau sedang
1-2x batas atas nilai
- berat
normal / ULN: observasi setiap HbeAg positif
3 bulan, terapi dapat dimulai apabila ditemukan
atau fibrosis
inflamasi sedang -signifikan, eksklusi
berat atau fibrosis penyebab lain apabila ditemukan
signifikan.
4
• HBV DNA < 2 x 10 IU/mL dengan kadar ALT berapapun: observasi setiap 3 bulan,
peningkatan kadar ALT.
terapi dimulai apabila ditemukan inflamasi sedang - berat atau fibrosis signifikan,
eksklusi penyebab lain apabila ditemukan peningkatan kadar ALT.
HBV DNA HBV DNA HBV DNA
< 2x103 IU/mL 2x103-2x104 IU/mL
HbeAg positif
> 2x104 IU/mL
ALTDNA
HBV HBV ALTDNA ALT HBV DNA ALT
<berapapun
2x103 IU/mL 3
-2x104 IU/mL
2x10berapapun 1-2x batas atas>nilai > 2x batas atas nilai
2x104 IU/mL
normal atau normal normal
* Biopsi dilakukan bila pemeriksaan non invasif menunjukkan fibrosis non signifikan, peningkatan ALT
*Biopsi dilakukan
persisten, usia > bila pemeriksaan
30 tahun, non invasif
atau riwayat keluargamenunjukkan
dengan sirosisfibrosis non signifikan, peningkatan ALT
atau KHS.
persisten,
Inflamasiusia
# > 30berat
sedang tahun, ataubiopsi
pada riwayat keluarga
hepar dengan
ditandai sirosis
dengan skor atau KHS.
aktivitas Ishak > 3/18 atau METAVIR
A2/A3.
# Inflamasi sedang berat pada biopsi hepar ditandai dengan skor aktivitas Ishak > 3/18 atau METAVIR
Fibrosis signifikan pada biopsi hepar ditandai dengan skor fibrosis METAVIR > F2 atau Ishak > 3.
A2/A3.
Kekakuan hati > 8 kPa (Fibroscan) atau APRI > 1,5 menandakan fibrosis signifikan.
Fibrosis
Kekakuansignifikan pada
hati > 11 kPabiopsi hepar atau
(Fibroscan) ditandai
APRI dengan skor fibrosissirosis.
> 2,0 menandakan METAVIR > F2 atau Ishak > 3.
Kekakuan hati > 8 kPa (Fibroscan) atau APRI > 1,5 menandakan fibrosis signifikan.
Gambar
Kekakuan2. hati
Indikasi
> 11 kPaTerapi pada
(Fibroscan) atauPasien
APRI > Hepatitis
2,0 menandakanB Kronik
sirosis. HBeAg Positif non sirosis
Gambar 2.
Gambar 2. Indikasi
IndikasiTerapi
Terapipada
padaPasien
Pasien Hepatitis
Hepatitis B Kronik
B Kronik HBeAg
HBeAg Positif
Positif non sirosis
non sirosis
HbeAg negatif
* Biopsi dilakukan bila pemeriksaan non invasif menunjukkan fibrosis non signifikan, peningkatan ALT
persisten, usia > 30 tahun, atau riwayat keluarga dengan sirosis atau KHS.
# Inflamasi sedang berat pada biopsi hepar ditandai dengan skor aktivitas Ishak > 3/18 atau METAVIR
A2/A3.
Fibrosis signifikan pada biopsi hepar ditandai dengan skor fibrosis METAVIR > F2 atau Ishak > 3.
Kekakuan hati > 8 kPa (Fibroscan) atau APRI > 1,5 menandakan fibrosis signifikan.
Kekakuan hati > 11 kPa (Fibroscan) atau APRI > 2,0 menandakan sirosis.
Gambar 3. Indikasi
Gambar 3. Indikasi
Terapi Terapi Hepatitis
pada Pasien pada Pasien Hepatitis
B Kronik B Kronik
HBeAg HBeAg
Negatif non sirosis
Negatif non sirosis
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 573
Pada pasien yang tidak termasuk dalam indikasi terapi, maka pemantauan harus
dilakukan tiap 3 bulan bila HBeAg positif dan tiap 6 bulan bila HBeAg negatif.
Bogi Pratomo Wibowo
Pada pasien yang tidak termasuk dalam indikasi terapi, maka pemantauan
harus dilakukan tiap 3 bulan bila HBeAg positif dan tiap 6 bulan bila HBeAg
negatif.
Strategi Pengobatan
Strategi pengobatan
Saat ini, terdapat dua pilihan perawatan/ pengobatan utama untuk pasien
Saat CHB:
ini, pengobatan
terdapat duadengan NA atau
pilihan dengan IFNα,
perawatan/ saat ini PegIFNα
pengobatan . NA yang
utama untuk pasien CHB:
telah disetujui untuk pengobatan HBV meliputi lamivudine
pengobatan dengan NA atau dengan IFNα, saat ini PegIFNα . NA yang telah (LAM), adefovir
disetujui untuk
pengobatandipivoxil (ADV), entecavir
HBV meliputi lamivudine (ETV),
(LAM),telbivudine
adefovir(TBV), tenofovir
dipivoxil (ADV), disoproxil
entecavir (ETV),
fumarat dan tenofovir alafenamide
elbivudine (TBV), tenofovir disoproxil fumarat (TDF), dan tenofovir alafenamide (TAF), dan
(TDF), (TAF), dan dapat diklasifikasikan
dapat diklasifikasikan menjadipenghalang
menjadi NA dengan NA dengan penghalang
resistensi resistensi
HBV rendah HBV
(LAM, ADV,rendah (LAM, ADV,
TBV) dan
TBV) dan dengan
denganpenghalang
penghalang terhadap
terhadap resistensi
resistensi HBVHBV yang (ETV,
yang tinggi tinggi TDF,
(ETV,TAF)TDF, TAF)
Gambar 4) .
(Gambar 4).
itu, pencegahan penularan HBV pada pasien dengan viremia tinggi yang tidak
memenuhi kriteria untuk inisiasi pengobatan mewakili indikasi lebih lanjut di
mana hanya NA yang harus digunakan.
Tabel 2. Konsep dan fitur utama dari strategi pengobatan hepatitis B kronis
Fitur PegIFNα ETV, TDF, TAF
Rute pemberian Injeksi subkutan Oral
Durasi pengobatan 48 minggu Jangka panjang hingga
kehilangan HBsAg (penghentian
NA setelah beberapa tahun
kemungkinan dipertimbangkan
untuk kasus tertentu)1
Tolerabilitas Rendah Tinggi
Perhatian keamanan Efek samping on-treatment bisa Kemungkinan tidak
jangka panjang terjadi (ketidakpastian terkait fungsi
(hematologi, psikiatri, neurologis, ginjal, penyakit tulang untuk
endokrinologis) beberapa NA)
Kontraindikasi Banyak (misalnya, penyakit Tidak ada (penyesuaian dosis
dekompensasi, komorbiditas dll.) tergantung pada eGFR2)
Strategi Induksi kontrol imun jangka Penghentian perkembangan
panjang dengan hepatitis dan penyakit dengan
Pengobatan yang terbatas menghambat replikasi virus
Tingkat penekanan virus Sedang (pola respon bervariasi) Secara universal tinggi
Efek hilangnya HBeAg Sedang, tergantung pada Rendah pada tahun pertama,
karakterisitik awal/ baseline meningkat hingga sedang
selama pengobatan jangka
panjang
Efek hilangnya HBsAg Bervariasi, tergantung pada Rendah: meningkat secara
karakterisitik awal/ baseline perlahan seiring waktu
(secara keseluruhan lebih tinggi pengobatan dalam pasien
dibandingkan NA) HBeAg-positif3; umumnya sangat
rendah pada pasien HBeAg-
negatif
Risiko kekambuhan Rendah untuk pasien dengan Sedang jika pengobatan
setelah pengobatan respon berkelanjutan 6-12 bulan konsolidasi diberikan setelah
setelah terapi serokonversi HBeAg
Tinggi untuk penyakit HBeAg-
negatif
Penghentian aturan awal Ya Tidak
Risiko pengembangan Tidak Minimal hingga tidak ada4
resisitensi virus
Ringkasan
Tantangan dalam pengelolaan hepatitis B masih sangat signifikan,
penyembuhan dari infeksi HBV masih belum tercapai. Kita perlu meningkatkan
pemahaman tentang sejarah alami infeksi,kronis HBV termasuk peran kadar
serum HBsAg dalam evaluasinya. Peran metode noninvasif untuk evaluasi
tingkat keparahan penyakit hati dan untuk tindak lanjut perawatan dan
penentuan pasien yang tidak diobati perlu ditetapkan secara jelas. Masa depan
pengobatan hepatitis B akan melibatkan personalisasi keputusan mengenai
kapan memulai pengobatan berdasarkan model prognostik / kalkulasi risiko
576 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia
yang mencakup penanda genetik host dan virus yang memprediksi sirosis dan
HCC. Dibutuhkan penilaian dampak pengobatan jangka panjang pada Hepatitis
B kronis dengan ALT normal dan identifikasi penanda yang memprediksi
keberhasilan penghentian NA. Dibutuhkan evaluasi untuk menilai keamanan
dan kemanjuran kombinasi -IFN dengan NA kuat (entecavir atau tenofovir)
untuk meningkatkan tingkat serokonversi anti-HBe dan anti-HBs. Masa depan
pengobatan hepatitis B juga akan melibatkan keputusan mengenai pilihan
perawatan berdasarkan pada farmakogenetika dan respons yang dapat
diprediksi.
Kepustakaan
1. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B, ed Lesmana CR, PPHI, 2017
2. Sarin SK, Kumar M, Lau GK, Chan HIY, Abbas Z, Asia Pacific Clinical Practice
Guidelines on Management of Hepatitis B : A 2015 Update, Hepatol Int. 10 : 1-98,
2016
3. EASL 2017 Clinical Practice Guidelines on the Management of Hepatitis B Virus
Infection, Journal of Hepatologi Vol. 67, p. 370-398, 2017
4. Update on Prevention, Diagnosis and Treatment of Chronic Hepatitis B : AASLD
2018 Hepatitis B Guidance, Hepatology vol 67( 4), p.1560-1588, 2018
Istilah Definisi
Respons virologis pada terapi menggunakan Peg-IFN
Respons virologis DNA VHB serum < 2.000 IU/ml
Respons virologis DNA VHB serum < 2.000 IU/m1 sekurang-kurangnya12 bulan
rnenetap setelah terapi dihentikan
Respons virologis pada terapi menggunakan analog nukleosida
Gagal terapi primer Reduksi DNA VHB serum < 1 log IU/mL pada 12
minggu terapi antiviral oral pada pasien dengan kepatuhan minum
obat yang baik
Respons virologis DNA VHB serum yang masih terdeteksi setelah 24 minggu
suboptimal / parsial pengobatan antiviral pada pasien dengan
kepatuhan yang baik
Respons virologis DNA VHB serum tidak terdeteksi selama terapi
Virological breakthrough Peningkatan > 1 log IU/mL DNA VHB serum dari titik nadir respon
inisial selama terapi yang ditemukan 1 bulan setelahnya
Gagal terapi sekunder Virologic breakthrough pada pasien dengan kepatuhan
minum obat yang baik
Respons virologis Tidak ditemukan relaps klinis selama follow up setelah terapi
menetap di luar terapi dihentikan
Respons komplit Respons virologis menyeluruh disertai seroklirens
HBsAg
Relaps virologis Serum VHB DNA > 2000 IU/m1 setelah terapi
dihentikan pada pasien dengan respon virologis menetap
Relaps Klinis Relaps virologis disertai kenaikan ALT >2x batas atas
normal.
Resistensi obat
Resistensi genotipik Deteksi mutasi dari genom VHB yang diketahui menyebabkan
resistensi, yang terjadi selama terapi antiviral
Resistensi fenotipik Penurunan kepekaan terhadap efek inhibisi antiviral (in vitro) yang
berhubungan dengan resistensi genotipik
Resistensi silang Mutasi terhadap satu antiviral yang menyebabkan resistensi
terhadap antiviral lain
Abstrak
Prevalensi penyakit diabetes melitus (DM) terus meningkat, diikuti dengan
peningkatan komplikasi mikrovaskular yang salah satunya adalah penyakit
ginjal kronis (PGK). Ini dibuktikan dengan 30-40% penderita penyakit ginjal
tahap akhir atau end stage kidney disease (ESKD) adalah berasal dari DM.
Prevalensi PGK itu sendiri juga terus meningkat dalam 20 tahun ini, dengan
penyebab utama adalah DM dan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas
penyakit kardiovaskular akan meningkat pada penderita DM yang disertai
dengan PGK atau penyakit ginjal diabetik (PGD), oleh karena dari masing-
masing dari penyakit tersebut.
Pendahuluan
Insidens penyakit diabetes melitus (DM) tipe 2 terus meningkat diseluruh
dunia, terutama dinegara yang sedang berkembang. Peningkatannya 2-3 kali
dalam 25 tahun terakhir ini. 30% dari penderita DM ini akan jatuh pada penyakit
ginjal tahap akhir atau end stage kidney disease (ESKD). Insidens penyakit
ginjal kronis (PGK) juga terus meningkat, dan penyebab terbesarnya adalah
DM dan hipertensi, dan keadaan ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya
penderita ESKD. Mortalitas oleh karena DM tipe 1 dan 2, terutama yang
disertai proteinuria juga meningkat dan tidak hanya oleh karena ESKD akan
tetapi sebagian besar disebabkan oleh komplikasi pada kardiovaskular. Jadi
penyakit ginjal diabetik (PGD) akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas
pada penderita DM. Tanda klinis yang biasa ditemukan pada penderita
PGD adalah adanya peningkatan albuminuria yang dapat disertai dengan
penurunan yang progresif dari fungsi ginjal atau penurunan laju filtrasi ginjal
(LFG), peningkatan tekanan darah, disertai meningkatnya mortalitas dan
morbiditas oleh karena penyakit kardiovaskular. Petanda awal adanya PGD
adalah adanya mikroalbuminuria 1,2,3.
Tidak semua penderita DM akan jatuh pada PGD atau komplikasi yang
lain. Diperlukan berbagai pemeriksaan penapis untuk berbagai komplikasi
yang dapat timbul. Deteksi dini adanya komplikasi akan lebih mengarahkan
pengobatan pada sesuatu bersifat pencegahan atau lebih spesifik, untuk
menghambat progresifitas komplikasi yang timbul sedini mungkin. Tujuan
Patofisiologi
Dari berbagai penelitian pada manusia dan binatang coba, ada berbagai
mekanisme yang ikut berperan untuk timbul dan terjadinya suatu PGD.
Mekanisme tersebut antara lain, disebabkan adanya interaksi antara
hiperglikemia yang kronis dengan dengan berbagai sel pada ginjal yang dapat
menyebabkan terjadinya kelainan metabolik, gangguan hemodinamik, serta
inflamasi yang bersifat kronis dan low grade, serta adanya predisposisi dari faktor
genetik. Faktor hemodinamik antara lain aktivasi beberapa sistim vasoaktif
seperti, sistim renin-angiotensin-aldosteron dan endothelin. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya peningkatan sitokin profibrotik seperti transforming
growth factor β1 (TGF-β1), disertai dengan perubahan hemodinamik berupa
peningkatan tekanan darah sistemik dan intraglomerulus. Perubahan pada
jalur metabolik antara lain glikosilasi nonenzimatik, meningkatnya aktivitas
protein kinase C (PKC), adanya abnormalitas pada metabolisme polyol,
meningkatnya aktivitas reseptor prorenin, growth factors, sitokin serta
meningkatnya oxidative stress. Adanya hiperglikemia pada penderita DM tipe
1 akan menyebabkan peningkatan produksi renal oxidative stress (ROS) oleh
endotel, epitel tubulus dan sel otot polos arteriol aferent. Pada sel otot polos
arteriol aferent terjadi perpindahan K+ ke ekstra seluler, sehingga terjadi
akhir ini telah diketahui bahwa sel epitel viseral glomerulus atau podosit ikut
berperan dalam progresivitas PGD 10,13,14,15.
Diagnosis
Diagnosis PGD ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan dan
pengukuran albumin dalam urine dan pengukuran kadar serum kreatinin
darah serta pengukuran estimated glomerular filtration rate (eGFR).
Pemeriksaan kadar albumin dalam urine ini paling tidak diukur dalam
1 tahun sekali dengan membandingkan albumin/creatinine ratio, yang
diambil dari spot urine pagi hari. Pemeriksaan ini nilainya mendekati kadar
albumin dalam urine selama 24 jam. Kadar normalnya adalah <30mg/g. Bila
didapatkan peningkatan kadar albumin dalam urine, sebaiknya pemeriksaan
diulang 1 bulan kemudian untuk menghilangkan faktor penyebab lain yang
bersifat sementara (transien) yang dapat disebabkan oleh antara lain; olah
raga, kehamilan, infeksi saluran kemih, peningkatan tekanan darah yang
mendadak, payah jantung kongestif dan kadar gula darah yang tinggi 9.
aktif, hipertensi yang refrakter, atau terdapat tanda dan gejala klinis yang
bersifat sistemik, sangat kuat dugaan penyebab PGK bukanlah DM 12,14.
Penatalaksanaan
Pengobatan untuk mencegah terjadinya PGD adalah dengan mengontrol
kadar gula darah dan tekanan darah, dan bila sudah terjadi PGD maka
tujuannya bertambah dengan menurunkan kadar albumin dalam urine.
Ada beberapa penelitian yang menunjukkan rendahnya insiden terjadinya
PGD pada populasi dengan kontrol gula darah yang baik. Pada The Diabetes
Control and complications Trial (DCCT), suatu studi yang menyertakan 1441
penderita dan diikuti selama 6.5 tahun, dengan membedakan dua macam
pengobatan yaitu konvensional dan intensif. Populasi pada pengobatan
konvensional didapatkan hasil A1c 9.1%, dan dengan pengobatan intensif
A1c 7.2%. Pada pengobatan dengan intensif didapatkan penurunan kejadian
mikroalbuminuria sebesar 39%. Begitu pula pada penelitian The United
Kingdom Prospective of Diabetes Study (UKPDS) memberikan hasil yang tidak
jauh berbeda. Data yang berasal dari penelitian UKPDS menunjukkan adanya
hubungan langsung antara timbulnya kelainan mikrovaskular dengan kontrol
gula darah, bersama dengan berjalannya waktu. Hubungan tersebut bersifat
linier antara insidens kejadian mikrovaskuler dengan glycated hemoglobin
(HbA1c). Hasilnya menunjukkan bahwa insidens terendah didapatkan pada
pengendalian glukosa darah yang ketat (A1c<6%). Setiap penurunan HbA1c
sebanyak 1%, terjadi penurunan untuk risiko terjadinya mikroangiopati
sebanyak 37%. Dalam suatu penelitian yang besar memberikan hasil berupa
penurunan risiko untuk timbulnya mikroangiopati, termasuk new onset
microalbuminuria, atau penderita baru atau pemburukan PGD baik yang
berasal dari DM tipe 1 maupun 2, pada pengendalian gula darah yang intensif
(HbA1c 6-7%) dibanding dengan yang standar (HbA1c 7-9%). Oleh karena itu
rekomendasi yang dibuat untuk penderita DM secara umum adalah HbA1c <
7%, dengan tidak mempertimbangkan apakah disertai PGK atau tidak. Yang
menarik adalah tidak disebutkan batas atas atau bawah, berapa kadar A1c
yang berakibat langsung pada terjadinya mikroangiopati 15,16,17,18.
KDOQI merekomendasikan;21
1. Target hemoglobin A1c (HbA1c) ~ 7%, untuk mencegah atau menghambat
progresivitas komplikasi mikrovaskuler oleh DM, termasuk diantaranya
PGD. (1A)
2. Untuk yang berisiko terjadinya hipoglikemia, tidak direkomendasikan
HbA1c <7%. (1B)
3. Untuk individu yang disertai dengan beberapa faktor Co morbiditas atau
terbatasnya usia harapan hidup dan risiko hipoglikemia, direkomendasi
target HbA1c lebih dari 7%. (2C)
Berdasarkan pada the ADA standards of medical care in diabetes 2019, ada
perubahan paradigma untuk lini kedua (second line) pengobatan DM tipe 2.
Pemilihan jenis obat lebih didasarkan pada adanya ASCVD (atherosclerosis
Cardiovascular Disease), PGK, dan payah jantung. Terkadang masih diperlukan
penambahan obat antihiperglikemik untuk mencapai target yang telah
ditentukan. Penambahan obat tersebut tentunya dengan memperhatikan
beragamnya penderita DM, faktor ko-morbit, efikasi penurunan glukosa
darah, keamanan, penurunan berat badan, kemudahan dalam pemberian,
ketaatan berobat, penyesuaian dosis bila diperlukan dan harga. Untuk PGK,
dapat diberikan SGLT2 bila tidak ada kontraindikasi dan masih ditoleransi
sesuai LFG atau dengan pemberian GLP1-RA (glucagon-like peptide-1
receptor agonist) bila SGLT (sodium-glucose cotransporter) 2 merupakan
kontraindikasi atau LFG lebih rendah dari yang diizinkan untuk penggunaan
SGLT2. Jika A1c masih diatas normal, sehingga masih diperlukan penambhan
obat, ada beberapa pilihan antara lain, DPP-4Inhibitor (dipeptidyl peptidase),
insulin basal atau sulfonilurea 16,20,28,29,30.
Ringkasan
Diabetes mellitus dapat memberikan komplikasi mikrovaskuler, salah
satunya adalah penyakit ginjal diabetik (PGD). Petanda dini adanya PGD
adalah albuminuria yang bersifat sedang, 30-300mg/g. Ada berbagai faktor
yang berpengaruh terhadap terjadinya PGD. Faktor tersebut antara lain
pengendalian glukosa darah yang kurang intensif, pengaturan tekanan darah
yang tidak sesuai dengan target, adanya inflamasi yang bersifat low grade,
serta adanya peranan faktor genetik.
Berdasar pada rekomendasi yang diberikan oleh ADA 2019, lini kedua untuk
DM yang disertai dengan penyakit kardiovaskuler aterosklerosis dan penyakit
ginjal kronis, ada beberapa jenis obat, antara lain GLP-1 RA atau SGLT2, dan
bila masih diperlukan lagi obat tambahan untuk menurunkan A1c adalah
golongan DPP-4I, insulin basal dan sulfonilurae. DPP-4I, merupakan obat
yang tidak atau tidak banyak memberikan efek hipoglikemik, dan dari jenis
DPP-4I tersebut, yang aman, mudah dan tidak diperlukan penyesuaian dosis
untuk penderita PGK dengan berbagai derajat tingkat keparahannya adalah
linagliptin.
Daftar Pustaka
1. De Boer IH, Gao X, Cleary PA, et al. Albuminuria changes cardiovascular and
renal outcomes in type 1 diabetes: the DCCT/EDIC study. Clin J Am Soc Nephrol.
2016;11:1969-1977.
2. Tutle KR, Bakris GL, Bilous RW, et al. Diabetic kidney disease: a report from an ADA
consensus conference. Diabetes Care. 2014;37:2864-2883.
3. Gall M-A, Rossing P, Skott P, et al. Prevalence of micro- and macroalbuminuria,
arterial hypertension, retinopathy and large vessel disease in European type 2
(non-insulin- dependent) diabetic patients. Diabetologia. 1991;34:655-661.
4. Andresdottir G, Jensen ML, Carstensen B, et al. Improved survival and renal
prognosis of patients with type 2 diabetes and nephropathy with improved control
of risk factors. Diabetes Care. 2014;37:1660-1667.
5. Gaede P, Tarnow L, Vedel P, et al. Remission to normoalbuminuria during
multifactorial treatment preserves kidney function in patients with type 2 diabetes
and microalbuminuria. Nephrol Dial Transplant. 2004;19:2784-2788.
6. Persson F, Rossing P. Diagnosis of diabetic kidney disease: state of the art and
future perspective. Kidney Int Suppl. 2018;8:S2-S7.
7. Afkarian M, Katz R, Bansal N, et al. Diabetes, kidney disease and cardiovascular
outcomes in the Jackson heart study. Clin J Am Soc. 2016;11:1384-1391.
8. Afkarian M, Sachs MC, Kestenbaum B, et al. Kidney Dis and increased mortality risk
in type 2 diabetes. J Am Soc Nephrol. 2013;24:302-308.
9. Stanton RC. Diabetic kidnay disease. In: Endocrine disorders in kidney disease;
diagnosis and treatment. Eds. Rhee CM, Kalantar-Zadeh K, Brent GA. Switzerland,
Springer;2019:pp15-26.
10. Dronavalli S, Duka I, Bakris GL: The pathogenesis of diabetic nephropathy. Nat Clin
Prac Endocrinology & Metabolism 2008; 4: 444-450.
11. Carmines PK, Bast JP, Ischii N: Altered renal microvascular function in early
diabetes. Cortes P, Mogensen CE (eds): The Diabetic Kidney. Humana Press Inc,
New Jersey. 2006, pp 23-33.
12. Du P, Fan B, Han H, et al: NOD2 promotes renal injury by exacerbating inflammation
and podocyte insuline resistance in diabetic nephropaty. Kidney Int 2013; 84:265-
276.
13. Jerums G, Panagiotopoulos S, MacIsaac R: Podocytes and Diabetic Nephropathy.
Cortes P, Mogensen CE (eds): The Diabetic Kidney. Humana Press Inc, New Jersey.
2006, pp 59-80.
14. Iglesias-de la Cruz MC, Ziyadeh FN, Isono M, et al: Effects of high glucose and
TGF-B1 on the expression of collagen IV and vascular endothelial growth factor in
mouse podocytes. Kidney Int 2002; 62: 901-913.
15. Vestra DM, Masiero A, Roiter AM, Saller A, Crepaldi G, Fioretto P: Is podocyte injury
relevant in diabetic nephropathy? Studies in patient with type 2 diabetes. Diabetes
2003; 52:1031-1035.
16. American Diabetes Association. Microvascular complications and foot care.
Diabetes Care. 2107;40:S88-S98.
17. Paving HH, Mauer M, Fioretto P, et al. Diabetic nephropathy. In: Brenner B, ed.
Brenner and Rector’s The Kidney.vol. 1. Philadelphia, PA:Elsvier;2012:pp 1411-
1454.
18. Thorn LM, Gordin D, Harjutsalo V, et al. The presence and consequence of
nonalbuminuric chronic kidney disease in patients with type 1 diabetes. Diabetes
Care. 2015;38:21128-2133.
19. ADVANCE Study Group: Intensive blood glucose control and vascular outcomes in
patients with type 2 diabetes. N Engl J Med 2008;358:2560-2572.
20. American Diabetes Association. Microvascular complications and foot care: Standards
of medical care in diabetes-2018. Diabetes Care. 2018;41(suppl.1):S105-S118.
21. National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guideline for diabetes and
CKD:2012. Update. Am J Kidney Dis. 2012;60:850-856.
22. Stratton IM, Adler AI, Neil A, et al: Association of glycaemia with macrovascular
and microvascular complications of type 2 diabetes (UKPDS 35): prospective
observational study. BMJ 2000;321:405-412.
23. UKPDS study goup: Intensive blood glucose control with sulphonylureas or insuline
compared with convensional treatment and risk of complications in patients with
type 2 diabetes (UKPDS33). UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) group. Lancet
1998;352:837-853.
24. DCCT group: The effect of intensive treatment of diabetes on the development and
progression of long-term complications in insuline-dependent diabetes mellitus.
The Diabetes Control and Complications Trial Reseach Group. N Engl J Med 1993;
329: 977-986.
25. ACCORD Study Group: Effects of intensive glucose lowering in type 2 diabetes. N
Engl J Med 2008;358:2545-2559.
Pendahuluan
Banyak penyakit yang dapat bermuara menjadi Gagal Jantung, tetapi
yang banyak sebagai causa adalah: Penyakit Jantung Koroner yang umumnya
adalah pasca Miokard Infark, selain Hipertensi lanjut, Kelainan Katup dan
Miokardiopati dengan kelainan pada miokard.
Definisi Gagal Jantung adalah suatu sindrom klinik yang terjadi karena
gagalnya respons homeostasis tubuh terhadap kerusakan atau kelainan
pada jantung yang berlanjut, kemudian menyebabkan penurunan fungsi
pemompaan darah karena gangguan fungsi kontraktilitas, sehingga output
yang dipompakan tidak adekwat.
kalori yang cukup, karena diperlukan energi yang cukup untuk menaikkan
daya kontraktilitas otot miokar serta otot pernapasan dan lainnya. Selain itu
untuk mencegah kacheksia kardiak.
CRT-D
Indikasi CRT-D yaitu: EF <35%, kompleks QRS >120ms, NYHA III-IV
Indikasi ICD (Implantable Cardioverter-Defibrillator) yaitu; Pasca cardiac
arrest, VT sustained dengan prognosis buruk, dan fungsi sistolik rendah sekali.
LVAD
Dipasang sebagai bentuk antara untuk transplantasi jantung: Alat ini
merupakan jantung buatan (artificial Heart). Darah diambil dari Ventrikel
kiri oleh alat isap pompa, kemudian dipompakan kembali kedalam aorta. Alat
Isap-Pompa ini dikendalikan oleh batteri, dan ditanamkan dalam tubuh, di
luar jantung.
Modus lain:
Stem Cell: dengan menggunakan alat bantu mapping NOGA langsung
disuntikkan stem cell kedalam ventrikel yang sakit, yang diharapkan akan
terjadi neovaskularisasi di jaringan dan terbentuk jaringan baru.
Metabolisme – Energi
Semua organ tubuh memerlukan energi yang diperoleh dari hasil
metabolisme seluler dan untuk itu diperlukan aliran darah yang adekwat
untuk membawa bahan-bahan metabolit serta oksigen kedalam sel organ
tersebut. Proses metabolisme dimulai dari didekatkannya bahan metabolit ke
dinding sel, kemudian ada proses transportasi yang akhirnya akan dibawa
kedalam mitochondria sel. Didalam organel mitochondria ini terjadi proses
pembentukan energi yang bahan dasarnya berasal dari lemak, karbohidrat
dan protein mengikuti proses metabolisme berupa antara lain Kreb’s cycle dan
oksidasi beta dan akhirnya terjadi respiratorik oksidasi yang menghasilkan
ATP sebagai sumber energi.
L-carnitine
Zat ini adalah senyawa protein dengan rumus 3-hydroxy-4-N-trimethyl
amino butyric acid, diproduksi di hati dan ginjal dengan bahan dasar L-lysine
dan L-methionine. L-carnitine terdapat banyak dalam daging terutama
beri-beri (sheep). Carnitine yang berasal dari makanan atau endogen
akan dilepas kedalam darah dan diambil oleh otot skelet dan otot jantung.
Fungsi L-carnitine adalah untuk memfasilitasi transfer asam lemak (fatty acid)
dari sitoplasma masuk melalui inner membran mitochondria (Mt). Lemak
diikat oleh Co enzym A membentuk acyl-CoA, tetapi tidak dapat menembus
inner membran Mt. Kemudian L-carnitine mengambil fatty acid dari acyl-CoA
membentuk molekul acyl-carnitine. Dengan bantuan enzym carnitine acyl
transferase, acyl-carnitine dapat melintasi inner membran Mt. Selanjutnya
terjadi proses beta-oksidasi di dalam Mt. Acetyl CoA yang dihasilkan ikut
dalam Kreb’s cycle, yang kemudian melepaskan elektron dari asam lemak.
tenaga. Ubiquinon ini banyak didapat di jaringan jantung, hati, ginjal dan
pancreas. Pada orang tua ataupun pada penyakit-penyakit tertentu seperti
gagal jantung, kadar ubiquinon ini berkurang.
Kesimpulan
1. Gagal Jantung merupakan muara dari berbagai penyakit jantung lain.
2. Gagal Jantung merupakan sindrom dengan manifestasi klinik yang terjadi
karena kegagalan respons efek faktor neurohumoral terhadap kelainan
jantung yang terus berlangsung, dengan akibat terjadi penurunan cardiac
output yang tidak adekwat.
3. Faktor neurohumoral terdiri atas ANS (Anti Adrenergik Sistem), RAAS
(Renin Angiotensin Aldosterone System), yang bila berlebihan dapat
menyebabkan remodeling dan apoptosis jantung.
4. Pengobatan farmaka ditujukan untuk mengatasi efek factor
neurohumoral. Farmaka baru ARNI bertujuan untuk meningkatkan efek
lusitropik, dengan menghambat enzyme Nephrylisin.
5. Pada kasus GJ lanjut, dapat dilakukan pemasangan CRT D dan ECMO serta
LVAD sebagai bentuk antara untuk transplantasi.
6. L-carnitine dan Coenzym Q10 berperan dalam metabolism seluler di
dalam Mt sehingga menghasilkan ATP sebagai sumber energy.
Daftar Pustaka
1. Ma TK, Kam KK, Yan BP, Lam YY. RAAS blockade for CV diseases: current status.
Br.J.Pharm. 2010 Jul;160(6):1273-92.
2. Zucker IH, Xiao L, Haack KKV. The Central RAS and Sympathetic Nerve Activity in
CHF. Clin Sci. 2014 May; 126(10):695-706.
3. Figueroa MS, Peters JI. CHF: Diagnosis, Pathophysiology, Therapy and Implications
for Respiratory Care. Respiratory Care. 2006 April; vol 51. No.4: 403-412.
4. Lymperopoulos A, Rengo G, Koch WJ. The Adrenergic Nervous System in HF:
Pathophysiology and Therapy. Circ.Res.2013 Aug 30;113(6):739-53
5. 2013 ACCF/AHA Guideline for Management of HF: A report of the ACCF/AHA Task
force on Practice guideline. Circulation 2013; 128: e240-e327.
6. Topol EJ. Textbook of Cardiovascular Medicine.Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia.2002. 2nd.ed.
7. Pepine CJ.The therapeutic potential of carnitine in CV disease.Clin.
Ther.1991;13(1):2- 21
8. Bahl J.J., Bressler R. The pharmacology of carnitine. Ann.Rev.Pharm.
Toxicol.1987;27:257-77
9. Opie L.H.Review:Role of carnitine in fatty acid metabolism of normal and ischaemic
myocardium. Am.H.J. March 1979; vol.97 No.3: 375-88.
10. Ghidini O.Azzurro M., VitaG., Sartori G.Evaluation of the therapeutic efficacy of
l-carnitine in CHF. Int.J.of Clin. Pharmacol, Therapy and Toxicol. 1988; vol.26 No.4:
217- 220.
11. Suzuki Y.et al Myocardial carnitine deficiency in CHF. The Lancet 1982;Jan 9:116.
12. Kobayashi A., Masumura Y.,Yamazaki N. L-carnitine treatment for HF- Experimental
and clinical study-.Japan.Circ.J. Jan. 1992; vol.56: 86-93.
13. Bertelli A., Ronca G. Carnitine and Coenzyme Q10: Biochemical properties and
functions, synergism and complementary action. Int.J.Tiss.Rev. 1990;XII(3):183-6
14. Makmun LH, L-carnitine plus Coenzyme Q10: dua komponen untuk proteksi
kardiovaskular. Symposium Farmakologi FKUI Jakarta, 13.9.2002.
15. Makmun LH. Konsep dan Penatalaksanaan Gagal Jantung. PIT IPD FKUI 2014.
Tes HIV dilakukan pada petugas kesehatan yang terpapar untuk menilai
status awal pasca paparan. Konseling diberikan sebelum dan setelah dilakukan
tes HIV dengan menjelaskan risiko dan manfaatnya. Apabila terdapat kondisi
dimana tes HIV atau konseling tidak tersedia, namun potensi tertular HIV
tinggi, pemberian profilaksis pasca paparan tetap tidak boleh tertunda.2
Pada kondisi dimana cuma tersedia regimen dua obat antiretroviral untuk
profilaksis atau apabila hanya dapat diberikan dua obat karena pertimbangan
efek samping, profilaksis tetap dapat diberikan. Penelitian pada hewan
coba menunjukkan pemberian dua obat tersebut dapat efektif. Regimen
antiretroviral untuk profilaksis pasca paparan yang direkomendasikan tidak
ada yang dikontraindikasikan pada perempuan hamil. Dosis antiretroviral
yang diberikan adalah sebagai berikut:2
• Tenofovir 300 mg, satu kali per hari
• Lamivudine 150 mg dua kali per hari atau 300 mg satu kali per hari
• Emtricitabine 200 mg, satu kali per hari
• Lopinavir/ritonavir 400 mg/100 mg dua kali per hari atau 800 mg/200
mg satu kali per hari
• Atazanavir/ritonavir 300 mg+100 mg, satu kali per hari
• Raltegravir 400 mg, dua kali per hari
• Darunavir+ritonavir 800 mg+100 mg, satu kali per hari atau 600 mg+100
mg, dua kali per hari
• Efavirenz 600 mg, satu kali per hari
Pilihan obat profilaksis juga harus didasarkan pada paduan terapi anti-
retroviral lini pertama yang digunakan serta mempertimbangkan kemungki-
nan resistensi antiretroviral pada sumber paparan.6 Oleh karena itu, sebelum
pemberian profilaksis sebaiknya diketahui jenis dan riwayat terapi antiretro-
viral sumber paparan, termasuk kepatuhannya. Pilihan paduan antiretroviral
di Indonesia untuk pencegahan transmisi HIV pasca paparan adalah sebagai
berikut:7
Daftar Pustaka
1. US Department of Health and Human Services. AIDS info glossary of HIV-AIDS
related terms 9th ed. 2018
2. World Health Organization. Supplement to the 2013 consolidated guidelines on the
use of antiretroviral drugs for treating and preventing HIV infection. 2014. h 15-25.
3. Sheth SP, Leuva AC, Mannari JG. Post exposure prophylaxis for occupational
exposures to HIV and hepatitis B: our experience of thirteen years at a rural based
tertiary care teaching hospital of Western India. J Clin Diagn Res 2016; 10(8):
OC39-44.
4. Kapila K, Gupta RM, Chopra GS. Post exposure prophylaxis: what every health care
worker should know. Med J Armed Forces India. 2008; 64(3):250-3.
5. Patel SM, Johnson S, Belknap SM, Chan J, Sha BE, Bennett C. Serious adverse
cutaneous and hepatic toxicities associated with nevirapine use by non-HIV-
infected individuals. J Acquir Immune Defic Syndr 2004; 35: 120–125.
6. World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral
drugs for treating and preventing HIV infection recommendations for public health
approach. Geneva. 2016.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no HK.01.07/MENKES/90/2019
tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2019.
Abstrak
Infeksi Hepatitis B Virus (HBV) dan Hepatitis C Virus (HBV) yang tidak
tertangani akan menjadi sirosis hepar dan karsinoma hepatoselular. Kedua
infeksi ini bertanggung jawab atas 96% kematian yang disebabkan oleh
hepatitis virus. Data Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi
hepatitis di Indonesia sebanyak 1,2%, jumlah ini meningkat 2 kali lipat dari
tahun 2007. Prevalensi di tahun 2013, proporsi hepatitis B sebanyak 21,8%,
sedangkan untuk hepatitis C sebanyak 2,5%. Deteksi dini yang telah dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan kepada tenaga kesehatan di Jakarta pada tahun
2013 mendapati bahwa prevalensi tenaga kesehatan dengan HbsAg positif
(+) cukup tinggi. Tenaga kesehatan seharusnya sudah mengenali occupational
exposure (paparan lingkungan kerja) sebagai suatu risiko. Oleh karena itu,
tindakan preventif primer dan prosedur manajemen pasca paparan infeksi
HBV dan HCV harus diterapkan oleh setiap tenaga kesehatan. WHO dan CDC
telah merekomendasikan guideline dan manual manajemen pasca paparan di
lingkungan kerja untuk infeksi HBV and HCV. Namun, untuk pasca paparan
infeksi HCV belum ada profilaksis yang direkomendasikan, immunoglobulin
dan antiviral juga tidak direkomendasikan oleh karena data ilmiah yang
kurang dan pertimbangan analisis cost-effective.
Pendahuluan
Diperkirakan di tahun 2015, 257 juta atau 3,5% dari populasi dunia,
menderita Hepatitis B Virus (HBV) kronis. Sebanyak 2,7 juta individu dari
populasi tersebut memiliki ko-infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Sedangkan, 71 juta atau 1 % populasi dunia diperkirakan terinfeksi
Hepatitis C Virus (HCV). dan 2,3 juta orang diantaranya memiliki ko-infeksi
dengan HIV. Virus hepatitis ini bertanggung jawab atas kematian sebanyak
1,34 juta jiwa di tahun 2015. Bila tidak ditangani, infeksi HBV dan HCV akan
Konsentrasi virus pada darah dan cairan tubuh berperan penting dalam
transmisi HBV dan HCV, konsentrasi virus diketahui tinggi dalam darah, lalu
jauh berkurang di dalam cairan asites dan cairan serebrospinal, dan dalam
konsentrasi yang tidak menular pada feses, keringat, muntah, dan air mata.4
Transmisi Hepatitis B
Beberapa kelompok populasi memilki faktor risiko tinggi terinfeksi HBV
dan dapat menjadi infeksi kronis. Kelompok tersebut adalah, individu dengan
penyakit hepar, individu yang membutuhkan immosupresif atau kemoterapi,
pemakai obat suntik, penerima injeksi yang tidak steril, memiliki multiple
partner seksual atau riwayat infeksi menular seksual, male who have sex with
male (MSM), pasien dialisis, pasien dengan infeksi HCV dan HIV, ibu hamil
(terutama yang tidak divaksin, bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi HBV,
pendonor darah atau organ, dan Tenaga kesehatan. Diperlukan skrining
infeksi HBV untuk kelompok dengan risiko tinggi tersebut.6
HBV lebih infeksius dari HCC atau HIV, angka transmisinya bisa mencapai
30% melalui cedera jarum suntik (needlestick injuries). Virus ini dapat bertahan
selama 7 hari di luar tubuh (dried blood). Cedera perkutan (prosedur bedah,
kebidanan, dan dental) merupakan jalur yang potensial dalam menularkan
HBV, baik ke pasien maupun ke tenaga kesehatan itu sendiri. Prosedur standar
pasca-paparan darah pasien terinfeksi HBV terhadap tenaga kesehatan harus
mencakup profilaksis pasca paparan dan pemeriksaan penunjang pada
pasien.6
bulan kemudian bila sumber paparan HBeAG positif, kadar HBV DNA tinggi,
atau tidak diketahui. Apabila yang terpapar tidak respons terhadap vaksin
HBV, maka 2 dosis HBIG harus diberikan dengan jarak 1 bulan; 5) Titer Anti-
HBs harus diperiksa 1-2 bulan setelah vaksinasi .3
Transmisi Hepatitis C
Di negara maju, salah satu faktor risiko penularan HCV adalah sharing
penggunaan alat injeksi bersama. Sedangkan di negara berkembang, selain
penggunaan ulang alat injeksi, ketidak sterilan alat menjadi faktor risiko
penularan utama. Faktor risiko lain adalah MSM terutama pada penderita
HIV, transmisi perinatal, tattoo, body piercing, prosedur kosmetik, sharing
alat cukur, prosedur bedah atau medis, dan needle-stick injury untuk tenaga
kesehatan.4
awal infeksi diperiksa pada hari ke-14 setelah paparan. Setelah 6 bulan, HCV
RNA diperiksa kembali, dikarenakan 25% pasien dengan infeksi HBV akut
dapat sembuh dengan sendirinya, hal ditandai dengan kadar HCV RNA yang
tidak terdeteksi.9
Walaupun saat tidak ada profilaksis untuk infeksi HCV, ditambah lagi
immunoglobulin dan antiviral tidak direkomendasikan, tenaga kesehatan
yang terpapar infeksi HCV, dalam 48 jam harus diperiksa anti-HCV dan HCV
RNA-nya. Public Health Service U.S. merekomendasikan pemeriksaan serologis
ulang dalam 6 bulan. Bila didapatkan HCV RNA positif, setelah 3-4 bulan
dilakukan pemerikaan kembali, dikarenakan 20-40% individu dengan infeksi
HCV akut bisa sembuh dari infeksinya,akan tetapi apabila masih didapatkan
persisten viremia, pemberian IFN bisa dimulai.10
Kesimpulan
Tenaga kesehatan seharusnya sudah mengenali occupational exposure
(paparan lingkungan kerja) sebagai suatu risiko, oleh karena itu tindakan
preventif primer dan prosedur manajemen pasca paparan infeksi HBV
atau HCV harus dapat diterapkan oleh setiap tenaga kesehatan. WHO
dan CDC telah merekomendasikan guideline dan manual pasca paparan
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 609
Muhammad Begawan Bestari, Aditya Herbiyantoro
infeksi HBV dan HCV. Namun, untuk pasca paparan infeksi HCV belum ada
profilaksis yang direkomendasikan, immunoglobulin dan antiviral juga tidak
direkomendasikan dikarenakan data ilmiah yang kurang dan pertimbangan
analisis cost-effective.
Daftar Pustaka
1. WHO. Global Hepatitis Report. WHO; 2017.
2. Ministry of Health of Indonesian Republic. Indonesian Basic Health Survey [Riset
Kesehatan Dasar Indonesia]. Jakarta: Ministry of Health of Indonesian Republic,;
2013.
3. WHO. Guidelines for prevention, care, and treatment of person with chronic
hepatitis B infection. France: WHO; 2015.
4. Coppola N, De Pascalis S, Onorato L, Calò F, Sagnelli C, Sagnelli E. Hepatitis B
virus and hepatitis C virus infection in healthcare workers. World J Hepatol.
2016;8(5):273-81.
5. RI KK. Situasi dan Analisis Hepatitis. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI; 2014.
6. Sarin SK, Kumar M, Lau GK, Abbas Z, Chan HL, Chen CJ, et al. Asian-Pacific clinical
practice guidelines on the management of hepatitis B: a 2015 update. Hepatol Int.
2016;10(1):1-98.
7. CDC. NC Hepatitis B Public Health Program Manual Post-Exposure Prophylaxis.
2012.
8. Sheth SP, Leuva AC, Mannari JG. Post-xposure prophylaxis for occupational
Exposures to HIV and Hepatitis B: our experience of thirteen years at a rural based
tertiary care teaching hospital of Western India. J Clin Diagn Res. 2016;10(8):OC39-
44.
9. Naggie S, Holland DP, Sulkowski MS, Thomas DL. Hepatitis C cirus postexposure
prophylaxis in the healthcare worker: why direct-acting antivirals don’t change a
thing. Clin Infect Dis. 2017;64(1):92-9.
10. Hughes HY, Henderson DK. Postexposure prophylaxis after hepatitis C occupational
exposure in the interferon-free era. Curr Opin Infect Dis. 2016;29(4):373-80.
Pendahuluan
Infeksi oleh virus dengue (VD) masih menjadi penyebab utama infeksi
virus di daerah tropis dan subtropis.1 Prevalensi infeksi VD diperkirakan terus
meningkat dengan perkiraan 3,97 milyar penduduk di 128 negara berisiko
terinfeksi, dengan 400 juta infeksi per tahun.2 Infeksi dengue di negara-negara
Asia Tenggara dan Western Pacific memberikan kontribusi sebesar 75% dari
kasus infeksi dengue dunia.3 Pada tahun 2017 jumlah kasus infeksi dengue di
Indonesia, berjumlah 68.407 kasus, dimana kematian terjadi pada 493 orang.
Walaupun jumlah kasus pada tahun 2017 lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya, penurunan case fatality rate (CFR) secara keseluruhan dari tahun
sebelumnya tidak terlalu tinggi yaitu dari 0,78 pada tahun 2016 menjadi 0,76
pada tahun 2017.4 Tingginya morbiditas, tidak tersedianya terapi spesifik
serta vaksin dengue yang memerlukan pemeriksaan pra-vaksinasi yang
cukup rumit, membuat jumlah kasus terutama pada negara-negara endemis
infeksi dengue masih terus tinggi. Spektrum manifestasi klinis virus dengue
bervariasi dari infeksi yang asimptomatik, manifestasi ringan berupa demam
dengue, atau demam berdarah dengue yang apabila berat memiliki potensi
mengalami sindroma syok dengue yang mengancam nyawa.5 Dapat mengenali
kasus-kasus infeksi dengue yang akan berkembang menjadi berat akan sangat
bermanfaat dalam menurunkan morbiditas serta mortalitas pasien.
Manifestasi klinis
Infeksi virus dengue (VD) adalah infeksi sistemik yang disebabkan
oleh virus dengue dan bersifat dinamis. Manifestasi klinis sangat bervariasi
dari asimptomatik, manifestasi ringan berupa dengue fever (DF), sampai
manifestasi berat dengue hemorrhagic fever (DHF) dengan manifestasi
yang mengancam nyawa berupa dengue shock syndrome (DSS). Infeksi yang
disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe VD (DEN-1 sampai DEN-4)
akan memberikan kekebalan protektif seumur hidup, dan hanya memberikan
kekebalan jangka pendek (short-term cross-protection) untuk serotipe yang
berbeda 12. Manifestasi klinis tergantung pada strain virus, faktor host seperti
usia, status imun, penyakit ko-morbid. Setelah masa inkubasi 4-6 hari (4-10
hari) infeksi akan ditandai dengan munculnya panas tinggi mendadak (fase
febris), diikuti fase kritis lalu fase penyembuhan.
Kasus dengan syok yang tidak memenuhi keempat kriteria DHF mungkin
diklasifikasikan sebagai DF. Kesulitan juga ditemukan dalam aplikasi dan
interpretasi test torniket, selain hasil test yang positif tidak dapat membedakan
DF dan DHF. Adanya variasi dalan frekuensi atau metode penghitungan
trombosit. Sensitifitas klasifikasi DHF dianggap rendah karena kegagalan
dalam pengulangan test atau pemeriksaan fisik pada waktu yang tepat,
pemberian terapi cairan intravena yang terlalu awal, serta rendahnya sumber
daya pada saat epidemik. Klasifikasi 1997 tidak dapat membantu triage pada
saat outbreak karena memerlukan pemeriksaan laboratorium. Kesulitan
penggunaan klasifikasi ini oleh klinisi, menghasilkan laporan global yang
berbeda-beda.13,14 Kasus baru dapat diklasifikasikan setelah memenuhi semua
kriteria, sehingga diagnosis dibuat setelah komplikasi terjadi (retrospektif).
organ lain sesuai indikasi. Monitoring dilakukan sampai fase konvalesen dan
memenuhi indikasi rawat jalan.
Grup C adalah pasien dengan severe dengue yang salah satunya adalah
sindroma syok dengue yang membutuhkan penangan emergensi serta urgen
referral ke pusat kesehatan dengan sarana prasarana yang memadai. Kunci
utama adalah resusitasi cairan yang bijak untuk memenuhi defisit untuk
menjaga sirkulasi yang efektif selama kebocoran plasma dan mencegah
overload cairan. Cairan kristaloid isotonik diberikan secepatnya dan bila perlu
diberikan cairan koloid, diusahakan pemeriksaan HCT sebelum terapi cairan
dimulai dan setelah resusitasi. Pemeriksaan golongan darah serta uji cross-
match dilakukan sebagai persiapan apabila transfusi dibutuhkan. Lakukan
penghitungan berat badan ideal pada pasien overweight untuk kebutuhan
cairan. Pada SSD, resusitasi cairan diberikan dengan cairan kristaloid isotonik
dengan dosis awal 10-20 ml/kg bolus secepatnya dengan supervisi ketat
untuk evaluasi respon terapi dan mencegah edema paru. Cairan sebaiknya
tidak mengandung glukosa.
berikan cairan bolus 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam dan seterusnya. Bila ada
perdarahan berat lakukan manajemen SSD dengan komplikasi perdarahan.
Gambar 6. Manajemen compensated syok dengue anak dan bayi menurut WHO 2012
Manajemen SSD dengan hypotensive atau profound shock atau nadi/
tekanan darah undetectable pada dewasa atau anak/bayi, berikan cairan
kristaloid atau koloid dosis 20 ml/kg bolus 15-30 menit. Koloid lebih dipilih
apabila akan meningkatkan tekanan darah secepatnya atau bila tekanan nadi
< 10 mmHG. Koloid dapat meningkatkan index kardiak serta menurunkan
HCT lebih cepat dibandingkan kristaloid pada syok yang intractable. Dosis
diturunkan menjadi 10 ml/kg/jam selama 1 jam dan seterusnya seperti
gambar 7, dan diberikan sampai maksimal 24-48 jam bila sudah ada perbaikan.
Pada anak/bayi dosis koloid diturunkan menjadi 10 ml/kg/jam untuk 1 jam,
lalu 7,5 ml/kg/jam selama 2 jam, kemudian 5 ml/kg/jam untuk 4 jam, dan 3
ml/kg/jam dosis pemeliharaan sampai 24-48 jam.
< 20.000 sel/mm3, pada studi retrospektif di Singapura yang diberikan transfusi
trombosit tidak berpengaruh terhadap kejadian bleeding dan peningkatan
trombosit fase penyembuhan.25 Penelitian trial kecil di Pakistan dengan 87
sampel menemukan pemberian profilaksis transfusi trombosit justru memicu
terjadinya reaksi transfusi berat sampai menimbulkan kematian dan tanpa
menurunkan kejadian bleeding.26 Studi retrospektif yang lebih besar pada 788
sampel menyimpulkan transfusi trombosit tidak menurunkan risiko bleeding,
bahkan memperlambat trombosit recovery dan memperpanjang lama rawat
dibandingkan pasien yang tidak diberikan transfusi trombosit.27 Penelitian
multi-senter, open label, randomized, superiority trial membandingkan
pemberian profilaksis transfusi trombosit plus terapi suportif dengan terapi
suportif saja pada pasien dengue dewasa, menemukan bleeding pada hari
ke-7 atau saat hospital discharge 21% pada kelompok kasus dan 26% pada
kelompok kontrol (risk difference -4,98% {95% CI -15,8 – 5,34}; relative risk
0,81{95% CI 0,56-1,17};p=0,16). Efek samping transfusi ditemukan pada 13
kelompok kasus dan 2 pada kelompok kontrol (5,81% [–4,42 - 16,01]; 6,26
[1,43 - 27,34]; p=0,0064).28 Transfusi trombosit dengan atau tanpa fresh
frozen plasma dapat dipertimbangkan pada kasus dengue dengan kehamilan
yang akan memasuki masa inpartu, untuk mencegah perdarahan hebat. Tidak
ada kesepakatan jumlah trombosit terendah yang harus dipakai pedoman
pemberian transfusi trombosit pada kehamilan inpartu. Risiko perdarahan
spontan akan terjadi bila jumlah trombosit ≤ 20.000 sel/mm3 dan risiko
perdarahan masif terjadi bila jumlah trombosit ≤ 10.000 sel/mm3.29
Kesimpulan
Klasifikasi infeksi dengue berdasarkan keparahan mengelompokkan
kasus menjadi kelompok infeksi dengue dan severe dengue (terbagi lagi
menjadi DNWS dan DWWS). Klasifikasi ini membantu klinisi dalam deteksi
kasus berat lebih awal sehingga dapat diberikan tata laksana yang tepat untuk
menurunkan morbiditas serta mortalitas infeksi dengue. Tata laksana DSS
menekankan pada pentingnya pemberian cairan dalam waktu dan jumlah
yang tepat, disertai pemantauan yang ketat untuk mencegah komplikasi lebih
lanjut. Transfusi darah diberikan pada kasus dengan perdarahan mukosa
hebat disertai trombositopenia berat. Terapi suportif lain diberikan sesuai
indikasi. Terapi profilaksis transfusi trombosit serta kortikosteroid pada
infeksi dengue saat ini belum direkomendasikan oleh WHO.
Daftar Pustaka
1. Simmons CP, Farrar JJ, Nguyen van VC, Wills B. Dengue. N Engl J Med [Internet].
2012;366(15):1423–32. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/22494122
2. Ayukekbong JA, Oyero OG, Nnukwu SE, Mesumbe HN, Fobisong CN. Value of routine
dengue diagnosis in endemic countries. World J Virol. 2017;6(1):9.
3. Shepard DS, Undurraga EA, Halasa YA. Economic and disease burden of dengue in
Southeast Asia. PLoS Negl Trop Dis. 2013;7(2):e2055.
4. Indonesia KKR. Hasil Utama Riskesdas 2018. Badan Penelit DAN Pengemb Kesehat.
2018;
18. Masyeni S, Yohan B, Somia IKA, Myint KSA, Sasmono RT. Dengue infection in
international travellers visiting Bali, Indonesia. J Travel Med. 2018;25(1):tay061.
19. Chaudhary R, Khetan D, Sinha S, Sinha P, Sonker A, Pandey P, et al. Transfusion
support to Dengue patients in a hospital based blood transfusion service in north
India. Transfus Apher Sci. 2006;35(3):239–44.
20. Lee M-S, Hwang K-P, Chen T-C, Lu P-L, Chen T-P. Clinical characteristics of dengue
and dengue hemorrhagic fever in a medical center of southern Taiwan during
the 2002 epidemic. J Microbiol Immunol Infect Wei mian yu gan ran za zhi.
2006;39(2):121–9.
21. Sharma A, Charles K, Chadee D, Teelucksingh S. Dengue hemorrhagic Fever in
trinidad and tobago: a case for a conservative approach to platelet transfusion. Am
J Trop Med Hyg. 2012;86(3):531–5.
22. Lemes RPG. Comments on the clinical and laboratory characteristics of patients
with dengue hemorrhagic fever manifestations and their transfusion profile. Rev
Bras Hematol Hemoter. 2014;36(2):100–1.
23. Chaurasia R, Zaman S, Chatterjee K, Das B. Retrospective review of platelet
transfusion practices during 2013 dengue epidemic of Delhi, India. Transfus Med
Hemotherapy. 2015;42(4):227–31.
24. Whitehorn J, Roche RR, Guzman MG, Martinez E, Gomez WV, Nainggolan L, et al.
Prophylactic platelets in dengue: survey responses highlight lack of an evidence
base. PLoS Negl Trop Dis. 2012;6(6):e1716.
25. Lye DC, Lee VJ, Sun Y, Leo YS. Lack of efficacy of prophylactic platelet transfusion
for severe thrombocytopenia in adults with acute uncomplicated dengue infection.
Clin Infect Dis. 2009;48(9):1262–5.
26. Assir MZK, Kamran U, Ahmad HI, Bashir S, Mansoor H, Anees S Bin, et al.
Effectiveness of platelet transfusion in dengue Fever: a randomized controlled
trial. Transfus Med Hemotherapy. 2013;40(5):362–8.
27. Lum LCS, Abdel-Latif ME-A, Goh AYT, Chan PWK, Lam SK. Preventive transfusion in
dengue shock syndrome–is it necessary? J Pediatr. 2003;143(5):682–4.
28. Lye DC, Archuleta S, Syed-Omar SF, Low JG, Oh HM, Wei Y, et al. Prophylactic
platelet transfusion plus supportive care versus supportive care alone in adults
with dengue and thrombocytopenia: a multicentre, open-label, randomised,
superiority trial. Lancet. 2017;389(10079):1611–8.
29. Arnold DM. Bleeding complications in immune thrombocytopenia. ASH Educ Progr
B. 2015;2015(1):237–42.
30. Zhang F, Kramer C V. Corticosteroids for dengue infection. Cochrane Database Syst
Rev. 2014;(7).
31. Bandara SMR, Herath H. Effectiveness of corticosteroid in the treatment of
dengue–A systemic review. Heliyon. 2018;4(9):e00816.
1. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan tekanan darah sistolik > 130mmHg dan
tekanan darah diastolic > 80mmHg (mneurut ACC/ ASC 2018) , sedangkan
menurut ESC hipertensi adalah suatu keadaan dengan tekanan darah
sistolik >140mmHg dan tekanan darah diastolik > 90mmHg. (ESC / ESH)4
2. Epidemiologi
Riset kesehatan dasar / riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa
prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%. Pada grafik
1, prevalensi hipertensi (kriteria hipertensi JNC VII) cenderung turun
dari 31.7% pada 2007 menjadi 25,8% pada tahun 2013, dan prevalensi
hipertensi lebih tinggi di kelompok lanjut usia. 5
3. Tatalaksana Hipertensi
Strategi penatalaksanaan hipertensi (ESC 2018)
Daftar Pustaka
1. Williams B, Mancia G, Spiering W, Rosei EA, Azizi M, Burnier M, et al. 2018
ESC/ESHGuidelines for themanagement of arterial hypertension. Journal of
Hypertension. 2018. 1956–2041 p.
2. Reboussin DM, Allen NB, Griswold ME, Guallar E, Hong Y, Lackland DT, et al.
Systematic Review for the 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/
ASH/ASPC/NMA/PCNA Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation,
and Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the American
Medial longitudinal
Medial Longitudinal
Medial longitudinal
Pada pemeriksaan lokasi ini, pasien masih dengan posisi fleksi sekitar 30o dan dapat
dilakukan
Pada pemeriksaan
Pada pemeriksaan
rotasi
lokasi
eksternal lokasi ini, ini,
untuk memudahkan
pasien
pasien masih masih
dengan
evaluasi
dengan
medialposisi
posisi
lutut. fleksi sekitar
Pada lokasi
fleksi
ini 30o
sekitar
dan
struktur dapat
yang
30° Medial
dan dapat
dilakukan dilakukan
rotasi
longitudinal
dievaluasi eksternal rotasi
untuk eksternal
memudahkan untuk
evaluasi memudahkan
medial lutut. Pada evaluasi
lokasi
adalah ligamen kolateral medial, meniskus medial dan pes anserinus tendon.
Medial longitudinal
ini medial
struktur yang
dievaluasi adalah ligamen kolateral medial, meniskus medial dan pes anserinus tendon.
lutut. Pada
Pada lokasi ini struktur yang dievaluasi adalah ligamen kolateral medial,
Padapemeriksaan
pemeriksaanlokasi
lokasiini,ini,pasien
pasienmasih
masihdengan
denganposisi
posisifleksi
fleksisekitar
sekitar30o 30odandandapat
dapat
meniskus
dilakukan medial
rotasi dan pes
eksternal anserinus
untuk memudahkan tendon.
evaluasi medial lutut. Pada lokasi ini
dilakukan rotasi eksternal untuk memudahkan evaluasi medial lutut. Pada lokasi ini struktur struktur yang
yang
dievaluasi adalah
dievaluasi ligamen
adalah kolateral
ligamen medial,
kolateral meniskus
medial, medial
meniskus dan
medial pespes
dan anserinus tendon.
anserinus tendon.
Lateral Longitudinal
Pada pemeriksaan region ini, pasien dapat diminta untuk berbaring
Lateral longitudinal
sedikit miring sehingga posisi lateral genu berada lebih dekat ke pemeriksa.
Lutut Pada pemeriksaan
masih dalamregion ini, pasien
posisi fleksidapat
30o.diminta
Padauntuk berbaring sedikit
pemeriksaan miringini
region sehingga
struktur
Lateral
posisi longitudinal
lateral genu berada lebih dekat ke pemeriksa. Lutut masih dalam posisi fleksi 30o. Pada
yang dievaluasi
pemeriksaan adalah iliotibial
region ini struktur yang band
dievaluasi ligament kolateral lateral, dan meniscus
Pada pemeriksaan region ini, pasien dapat adalah
dimintailiotibial band ligament
untuk berbaring sedikitkolateral lateral,
miring sehingga
lateral.
dan meniscus
posisi laterallateral.
genu berada lebih dekat ke pemeriksa. Lutut masih dalam posisi fleksi 30o. Pada
pemeriksaan region ini struktur yang dievaluasi adalah iliotibial band ligament kolateral lateral,
dan meniscus lateral.
Posterior Transversal
Posterior transversal
Pasien
Pasiendiminta
diminta untuk berbaring.
untuk berbaring. Lutut
Lutut pada posis pada
ekstensi. Pada posis ekstensi.
pemeriksaan region iniPada
Posterior
struktur transversal
yang dievaluasi adalahini
muskulus gastrocnemius
pemeriksaan region struktur yangdan ada tidaknya Kista
dievaluasi Baker. muskulus
adalah
Pasien diminta untuk berbaring. Lutut pada posis ekstensi. Pada pemeriksaan region ini
gastrocnemius dan ada tidaknya Kista Baker.
struktur yang dievaluasi adalah muskulus gastrocnemius dan ada tidaknya Kista Baker.
Daftar Pustaka
1. Backhaus M, Burmester GR, Gerber T, Grassi W, Machold KP, Swen AW, et al.
Guidelines for musculoskeletal ultrasound in rheumatology. Ann Rheum Dis
2001;60:641–9.
2. Bradley M, O’Donnell P. Atlas of musculoskeletal ultrasound. Cambridge: Greenwich
Medical Media, 2002.
3. Bruyn GAW, Schmidt WA. Introductory guide to musculoskeletal ultrasound for
the rheumatologist. Houten: Bohn Stafleu van Loghum, 2006.
4. Jacobson JA. Fundamentals of musculoskeletal ultrasound 2nd ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 2013.
5. Möller I, Janta J, Backhaus M, Ohrndorf S, Bong DA, Martinoli C, et al. The 2017
EULAR standardised procedures for ultrasound imaging in rheumatology. Ann
Rheum Dis 2017;0:1–6. DOI:10.1136/annrheumdis-2017-211585
6. The Ultrasound Subcommittee of the European Society of Musculoskeletal
Radiology. Musculoskeletal ultrasound: technical guidelines. Insights Imaging
2010;1:99–141.
Pendahuluan
Pemeriksaan ultrasound muskuloskeletal (US MSK) telah digunakan
dalam diagnosis kelainan muskuloskeletal dan penyakit penyakit reumatik
sejak 20 tahun yang lalu. Pemeriksaan ini mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan pemeriksaan lain seperti non-invasif, alat portabel, biaya tidak mahal,
tidak memberikan radiasi ion, dan pemeriksaan dapat diulang berkali-kali
yang memungkinkan bermanfaat untuk memonitor terapi. US MSK juga
dapat digunakan untuk penuntun tindakan aspirasi, biopsi dan terapi injeksi
(Grassi et al, 1999). Hampir semua pemeriksaan US MSK dilakukan dengan
grey scale yaitu gambar dalam format hitam dan putih, dimana tiap titik putih
merupakan gelombang suara yang dipantulkan. Gelombang suara berjalan
mirip dengan gelombang cahaya oleh karena itu semakin padat materi
seperti korteks tulang, menjadi semakin reflektif sehingga tampak lebih
putih pada layar. Cairan adalah materi dalam tubuh yang bersifat paling tidak
reflektif sehingga tampak hitam pada layar, karena gelombang suara dapat
menembusnya (Backhaus et al, 2001).
Posisi pasien untuk scan sendi lutut adalah posisi supine untuk scan
ventral dan lateral, posisi prone untuk scan dorsal. Posisi lutut dapat pada
Gambar 1. Scan suprapatelar sendi lutut transversal pada posisi fleksi maksimal
untuk menunjukkan sulcus intercondilar (Backhaus et al, 2001).
Gambar 2. Osteofit pada medial tibio-femoral sendi lutut (Jain dan Samuels, 2010).
Gambar 3. Robekan kartilago sendi pada osteoartritis lutut (Jain dan Samuels, 2010).
dan putih yang tidak homogen yang dikelilingi oleh tepi hitam. Pemeriksaan
ini juga sering dilakukan untuk membedakan tofus terhadap nodul reumatoid
pada AR (Jain dan Samuels, 2010).
Gambar 6. Metode in-plane dan out-of-plane dalam tindakan injeksi dengan tuntunan
ultrasound (Spinner et al, 2014).
Ringkasan
Pemeriksaan US MSK mempunyai peran yang penting dalam diagnosis
penyakit reumatik. Pemeriksaan tersebut mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi biasa, yaitu tidak invasif,
tidak memberikan radiasi ion, biaya pemeriksaan lebih murah, alat yang
mudah dibawa (portabel), dan juga dapat memvisualisasikan jaringan
lunak sekitar sendi. Pada OA, pemeriksaan US MSK dapat mengidentifikasi
osteofit, penebalan sinovium, robekan kartilago artikuler, adanya efusi sendi
minimal, dan juga kelainan jaringan sekitar sendi seperti bursitis. Pada AR,
pemeriksaan US MSK dapat mengidentifikasi adanya sinovitis proliferatif
dan erosi sendi secara lebih dini dibandingkan pemeriksaan radiografi biasa.
Untuk artritis gout, pemeriksaan US MSK memberikan gambaran khas double
contour sign dan dapat membedakan tofus terhadap nodul lainnya. US juga
sangat bermanfaat dalam tuntunan tindakan intervensi pada sendi lutut
seperti injeksi intra-artikuler maupun injeksi struktur sekitar sendi lutut.
Tuntunan US dapat meningkatkan akurasi tindakan injeksi intra-artikuler
pada sendi lutut.
Daftar Pustaka
1. Backhaus M, Burmester G-R, Gerber T, Grassi W, Machold K P, Swen W A, Wakefield
R J, Manger B. Guidelines for musculoskeletal ultrasound in Rheumatology. Ann
Rheum Dis 2001;60:641–649.
2. Cunnington J, Marshall N, Hide G, et al. A randomized, double- blind, controlled
study of ultrasound-guided corticosteroid injec- tion into the joint of patients with
inflammatory arthritis. Arthritis Rheum. 2010;62(7):1862–9.
3. Grassi W, Lamanna G, Farina A, Cervini C. Synovitis of small joints: sonographic
guided diagnostic and therapeutic approach. Ann Rheum Dis 1999;58:595–7.
4. Jacobson JA. Fundamentals of muskuloskeletal ultrasound. Elsevier,
Philadelphia,2013.
5. Jain M, Samuels J. Musculoskeletal Ultrasound in the Diagnosis of Rheumatic
Disease. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases 2010;68(3):183-90.
6. Leeb BF, Stenzel I, Czembirek H, Smolen JS. Diagnostic use of office-based
ultrasound. Baker’s cyst of the right knee joint. Arthritis Rheum 1995;38:859–61.
7. Manger B, Kalden JR. Joint and connective tissue ultrasonography—a rheumatologic
bedside procedure? A German experience. Arthritis Rheum 1995;38:736–42.
8. Spinner DA, Danesh H, Baksh WS. Knee. In: Spinner DA, Kirschner JS, Herrera JE
(Eds). Atlas of Ultrasound Guided Musculoskeletal Injections ISBN 978-1-4614-
8935-1 ISBN 978-1-4614-8936-8 (eBook) DOI 10.1007/978-1-4614-8936-8.
Springer, 2014.
Pendahuluan
Proses berkemih membutuhkan fungsi yang baik dari saluran kemih
bagian bawah, fungsi kognitif dan fisik, motivasi dan lingkungan yang
tepat. Proses berkemih terdiri atas fase penyimpanan/pengisian dan fase
pengosongan yang melibatkan otot detrusor, sfingter uretra, dan impuls saraf
dari pelvis hingga korteks serebri. Tatalaksana pada inkontinensia urine (IU)
adalah sesuai dengan patofisologi dari proses berkemih dan manifestasi tipe
inkontinensianya.
Alat bantu mekanik, dapat berupa Urethral plugs dan artificial sphincter
Terapi Farmakologi
Data efikasi obat pada usia lanjut menunjukkan sejumlah obat yang dapat
digunakan dalam tatalaksana farmakologi pada inkontinensi, dengan hasil
yang setara bila dibandingkan digunakan pada usia muda. Intervensi perilaku
tetap diberikan bersama terapi farmakologi.
Tabel 2. Jenis dan Dosis Obat yang digunakan untuk tatalaksana Inkontinensia
(Kutip dari Vaughan CP, Johnson TM, 2017).
Tatalaksana Bedah
Tatalaksana bedah dapat merupakan pilihan tatalaksana untuk
inkontinensia tipe stress. Pembedahan harus dipertimbangkan untuk wanita
usia lanjut dengan inkontinensia tipe stres dan untuk wanita dengan derajat
prolaps panggul yang terkait dengan inkontinensia stres atau inkontinensia
dengan retensi urin yang tidak responsif terhadap pengobatan non-bedah.
Ringkasan
Proses menua mengakibatkan perubahan anatomi dan fisiologis pada
sistem urogenital bagian bawah, namun usia lanjut bukan penyebab terjadinya
IU, melainkan faktor usia hanya merupakan salah satu faktor predisposisi IU.
Tatalaksana IU meliputi terapi non farmakologi, farmakologi dan pembedahan.
Tatalaksana Inkontinensia urin dapat berhasil baik terutama pada usia lanjut
dengan mobilitas dan fungsi mental yang masih baik. Inkontinensia urin selalu
dapat ditangani sedemikian rupa sehingga tetap membuat pasien nyaman,
memudahkan pramurawat, dan meminimalkan biaya untuk merawatnya.
Adalah penting untuk mengenali berbagai tipe inkontinensia urin agar dapat
melakukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk orang usia lanjut.
Kasus 1.
Seorang wanita, usia 63 tahun datang dengan riwayat mengompol yang
tidak dapat ditahan selama 9 bulan terakhir, buang air kecil 4 kali per malam,
dan perasaan urgensi. Pasien menyangkal rasa sakit saat buang air kecil,
Kasus 2
Tn D, usia 86 tahun datang kontrol evaluasi tahunan ke klinik Anda.
Pasien memiliki riwayat medis hipertensi, BPH, dan penyakit refluks
gastroesofageal. Pasien tinggal sendirian namun masih sering bepergian
ke kota dengan hawa sejuk. Selama beberapa tahun pasien telah dirawat
karena BPH dengan obat alpha-blocker non-selektif, terazosin 10 mg, pada
malam hari. Selain itu, pasien konsumsi amlodipine 10 mg setiap hari, enteric
coated 80 mg, dan omeprazole 20 mg setiap hari. Pancaran berkemih yang
lemah pada awalnya membaik dengan penambahan terazosin, namun pasien
mencatat peningkatan frekuensi buang air kecil. Pasien bangun dua atau tiga
kali di malam hari untuk berkemih, hal tersebut dirasa mengganggu karena
mengganggu tidurnya. Pasien menyangkal mendengkur atau kesulitan
bernafas saat tidur. Pasien juga mulai memperhatikan bahwa lebih sulit untuk
membuatnya ke toilet pada waktu siang hari ketika dia memiliki keinginan
untuk buang air kecil, dan sekitar seminggu terahkir pasien mengeluhkan
mengompol sejumlah kecil urin sebelum mencapai kamar mandi. Selain
itu, pasien mengeluh setelah berkendara perjalanan panjang muncul rasa
urgensi berkemih yang luar biasa yang sering menyebabkan mengompol, dan
merasakan kondisi ini mengesalkan dan memalukan.
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (2007). Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Inkontinensia Urin pada usia lanjut.
2. Rattu MA (2015). Pharmasist’s Role in Managing Male Urinary Incontinence. US
Pharm., 40 (8), 35-38.
3. Vaughan CP, Johnson TM (2017). Incontinence. In: Hazzard’s Geriatric Medicine
and Gerontology. 7 th edition. Eds: Halter JB, Ouslander JG, Studenski S, High KP,
Asthana S, Ritchie CS, Supiano MA. Mc Graw-Hill.
4. Vaughan Cp, Johnson TM (2010). Incontinence. In: Case-based Geriatrics: A Global
Approach. Eds: Darryl Wieland and Victor A. Hirth. Mc Graw Hill.
Latar Belakang
Diabetes adalah penyakit yang disebabkan karena pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif
menggunakan insulin yang dihasilkannya. Jumlah kasus dan prevalensi
diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Secara global,
diperkirakan 422 juta orang dewasa hidup dengan diabetes pada tahun 2014,
dibandingkan dengan 108 juta pada tahun 1980. Prevalensi diabetes di dunia
(dengan usia yang distandarisasi) telah meningkat hampir dua kali lipat
sejak tahun 1980, meningkat dari 4,7% menjadi 8,5% pada populasi orang
dewasa(1). Hal ini mencerminkan peningkatan faktor risiko terkait seperti
kelebihan berat badan atau obesitas.
rerata glukosa darah puasa pada pasien Indonesia adalah 164.3 mg/dl dan
glukosa darah setelah makan adalah 225.8 mg/dl, juga diatas target dari ADA.
Ketidakberhasilan pencapaian HbA1C ini menimbulkan implikasi didalam
komplikasi terkait diabetes yaitu peripheral neuropathy (59.1%), disfungsi
ereksi (32.4%), komplikasi mata (29.1%), komplikasi kardiovaskular (22.8%),
komplikasi ginjal (14.5%), dan komplikasi kaki (12.4%).
Data dari United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)
menunjukkan bahwa penatalaksanaan DMT2 yang intensif sejak diagnosis
akan mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular
sesudahnya. Data beberapa studi lainnya menunjukkan pentingnya target
tatalaksana yang bersifat individual dan penundaan terhadap tatalaksana
awal dan lanjutan pasien DMT2 akan mengakibatkan timbulnya komplikasi
DMT2 yang bersifat irreversible.
Clinical Inertia dalam Tatalaksana DMT2
Hambatan yang sering dijumpai di lapangan untuk pencapaian target
yang optimal adalah adanya clinical inertia atau perbedaan antara best
practice/rekomendasi yang sebaiknya dikerjakan, dengan tatalaksana pasien
‘seperti biasanya’(3). Banyak studi yang menunjukkan bahwa inisiasi insulin
sering kali masih ditunda setelah kegagalan dari beberapa kombinasi obat
anti diabetes oral (ADO) dalam mencapai kendali glukosa darah seperti yang
inginkan. Sebuah survei yang dilakukan di UK, melibatkan beberapa negara
menunjukkan bahwa sekitar 30% dari dokter keluarga tidak berinisiatif
dalam melakukan inisiasi insulin walaupan lebih dari 92% dari dokter
tersebut setuju bahwa inisiasi dan intensifikasi insulin merupakan komponen
yang penting dalam tatalaksana DMT2. Di negara kita belum ada studi yang
menilai hal ini. Data dari Diabcare menunjukkan pada pasien DMT2 di
Indonesia 84.2% menggunakan ADO, sedangkan 34.7% menggunakan insulin
dengan rerata dosis insulin total yang digunakan adalah 32 unit per hari.
Panduan inisiasi insulin dalam panduan Perkeni 2015(4), menunjukkan bahwa
insulin dapat dimulai apabila target kendali glukosa darah belum tercapai
walaupun sudah menggunakan dua macam atau lebih ADO. Inisiasi insulin
juga dapat dilakukan apabila HbA1C awal pasien adalah > 9 % (lihat gambar
1). Keengganan untuk memulai terapi insulin pada keadaan kendali glukosa
darah yang buruk, walaupun dengan 2 macam atau lebih ADO merupakan
penundaan dari inisiasi insulin. Data di Asia dari studi FINE-Asia, inisiasi
insulin rerata dilakukan pada pasien dengan DMT2 selama 9.3 tahun dengan
rerata HbA1C adalah 9.8%(5)
Gambar 1. Algoritme
Gambar AlgoritmePengelolaan
PengelolaanDMT2
DMT2didiIndonesia
Indonesia– PB Perkeni
– PB 2015
Perkeni 2015
2-4 unit 1-2 kali dalam seminggu untuk mencapai kadar glukosa darah yang
diinginkan. Jika terjadi hipoglikemia maka tangani hipoglikemianya dan
kemudian reduksi dosis 4 U atau 10-20% dari dosis insulin saat ini. Kendali
glukosa darah dapat dicapai dengan menggunakan human insulin NPH atau
dengan menggunakan insulin analog kerja panjang. Kebanyakan basal insulin
diberikan saat waktu tidur malam dan dilakukan titrasi berdasarkan glukosa
darah puasa. Beberapa kebutuhan yang diinginkan untuk basal insulin antara
lain dosis permulaan yang dapat dilakukan dengan mudah dan bersifat
individual, protokol rencana titrasi yang mudah dan dapat dilakukan secara
mandiri oleh pasien(9).
Di Indonesia setidaknya ada tiga generasi basal insuln yang tersedia.
Generasi pertama adalah human insulin NPH, selanjutnya basal analog
(detemir dan Gla-100) serta generasi terakhir yaitu Glargine U-300 dan
degludec yang dikatakan mempunyai risiko hipoglikemia yang lebih rendah(7).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut
bantuan orang lain adalah sangat jarang sekali yaitu 0.07 kejadian per pasien
per tahun. Ini adalah rasionalisasi yang bisa digunakan untuk melakukan
inisiasi insulin diawal dalam paradigma penatalaksanaan diabetes sebelum
pasien memiliki komplikasi lainnya. Selain risiko hipoglikemia, implikasi
klinis lainnya yang perlu diperhatikan adalah peningkatan berat badan.
Penelitian UKPDS memperlihatkan peningkatan berat badan sampai
dengan 4 Kg pada pasien yang mendapatkan insulin. Selain itu satu hal
lagi yang perlu diperhatikan adalah kemudahan dalam melakukan titrasi.
Artinya pasien mempunyai kebebasan dan kemudahan dalam melakukan
penyuntikan insulin. Hal ini perlu dipertimbangkan oleh karena kepatuhan
untuk tatalaksana terapi dipengaruhi oleh kemudahan didalam penggunaan,
frekuensi pemakaian, dan aspek-aspek kemudahan lainnya.
Penutup
Siapa yang akan menjadi kandidat yang baik untuk terapi insulin dini?
Terlepas dari beberapa konsensus, karakteristik pasien yang akan mendapat
manfaat lebih baik dari inisiasi dini antara lain mereka yang memiliki
peningkatan kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dibandingkan dengan
peningkatan kadar glukosa darah sesudah makan. Selain itu juga pasien
diabetes yang memiliki IMT rendah oleh karena peningkatan berat badan
menjadi salah satu tujuan terapi dan kelompok ini mempunyai kecenderungan
yang lebih besar dalam hal defisiensi insulin. Terakhir, kelompok yang
dipertimbangkan adalah DMT2 obese dengan kadar glukosa darah puasa
yang masih tinggi, sebaiknya insulin yang digunakan dikombinasikan dengan
penggunaan GLP-1 analog.
Daftar Pustaka
1. Chan JC, Cho NH, Tajima N, Shaw J. Diabetes in the Western Pacific Region--past,
present and future. Diabetes research and clinical practice. 2014;103(2):244-55.
2. Kesehatan K. Hasil Utama Riskesdas 2018. In: Kesehatan K, editor. Jakarta Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia 2018
3. Chan WB, Chen JF, Goh SY, Vu TTH, Isip-Tan IT, Mudjanarko SW, et al. Challenges
and unmet needs in basal insulin therapy: lessons from the Asian experience.
Diabetes, metabolic syndrome and obesity : targets and therapy. 2017;10:521-32.
4. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di
Indonesia 2015. Adi S, editor. Jakarta: PB Perkeni 2015.
5. Tsai ST, Pathan F, Ji L, Yeung VT, Chadha M, Suastika K, et al. First insulinization
with basal insulin in patients with Type 2 diabetes in a real-world setting in Asia.
Journal of diabetes. 2011;3(3):208-16.
6. Rolla A. The pathophysiological basis for intensive insulin replacement.
International journal of obesity and related metabolic disorders: journal of the
International Association for the Study of Obesity. 2004;28 Suppl 2:S3-7.
7. Berard L, Antonishyn N, Arcudi K, Blunden S, Cheng A, Goldenberg R, et al. Insulin
Matters: A Practical Approach to Basal Insulin Management in Type 2 Diabetes.
Diabetes therapy : research, treatment and education of diabetes and related
disorders. 2018;9(2):501-19.
8. Riddle MC. Standards of medical care in Diabetes 2019. Diabetes Care 2019;42(1).
9. Ghosal S, Sinha B, Majumder A, Das AK, Singh AK, Ghoshdastidar B, et al. Consensus
on “Basal insulin in the management of Type 2 Diabetes: Which, When and How?”.
The Journal of the Association of Physicians of India. 2017;65(7):51-62.
Pendahuluan
Beberapa masalah penting terkait terapi insulin pada diabetes melitus tipe
2 (DMT2) yang masih sering ditemukan di rawat jalan adalah keterlambatan
memulai insulin (fase inisiasi), tidak optimalnya dosis insulin basal sampai
dosis lazim (fase optimasi), dan tidak melakukan intensifikasi tepat waktu
setelah gagal dengan insulin basal (fase intensifikasi). Pada populasi Asia,
inisiasi insulin pada DMT2 dilakukan setelah durasi diabetes rata-rata 9 tahun
dan nilai HbA1C rata-rata 9,4%. Intensifikasi insulin dilakukan setelah rata-
rata 3,7 tahun menggunaan insulin basal.
regimen insulin merupakan hasil negosiasi dan harus melibatkan pasien agar
pasien merasa ikut bertanggung jawab terhadap pilihan dan berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk taat dengan regimen insulin yang sudah dipilih.
Insulin prandial diberikan dengan dosis 4-6 unit atau 10% dosis insulin
basal terakhir saat sebelum makan besar terbanyak atau sebelum makan besar
yang gula darah premeal berikutnya paling tinggi. Contohnya jika dari kurva
gula darah harian ditemukan gula darah tertinggi adalah sebelum makan
malam maka insulin prandial diberikan sebelum makan siang. Insulin prandial
tersebut dititrasi sampai tercapai target gula darah premeal berdasarkan
hasil kurva gula darah harian. Jika target gula darah premeal tertentu sudah
tercapai, maka fokus perhatian dialihkan ke gula darah premeal di titik lain.
Jika terdapat gula darah premeal di titik lain yang selalu konsisten tinggi, maka
dapat ditambahkan satu suntikan insulin prandial berikutnya (basal plus 2).
juga bisa digunakan bersama kombinasi dengan rapid acting atau long acting
atau insulin premix yang berbeda konsentrasi (regimen heteromix).
FRC ini merupakan kombinasi obat dari golongan yang berbeda yaitu
insulin basal dan GLP-1 RA, sehingga memiliki efek saling melengkapi
sekaligus mengurangi efek samping masing-masing komponen. Dari studi-
studi didapatkan bahwa FRC memiliki capaian kontrol glikemik yang mirip
dengan masing-masing komponen jika diberikan secara terpisah, tetapi
memiliki profil hipoglikemia dan kenaikan berat badan yang lebih baik.
Karena kombinasi ini dalam satu sediaan pen maka frekuensi suntikan
yang diberikan hanya sekali sehari. Sebagai patokan dosis adalah komponen
insulin basal, dosis GLP-1 RA akan mengikuti sesuai rasio insulin dan GLP-1
RA yang tersedia dari setiap pabrik pembuat.
Simpulan
Teknik-teknik intensifikasi insulin sangat variatif dan dapat dipilih sesuai
karakter harian pasien. Semakin berat diabetesnya tentu semakin banyak
frekuensi suntikan yang diperlukan agar dapat sebaik mungkin mencapai
target gula darah tanpa terjadi hipoglikemia. Edukasi adalah “ujung tombak”
setiap fase pemberian terapi insulin sehingga membutuhkan tim edukator
yang baik di setiap pelayanan diabetes.
Daftar Pustaka
1. Khunti K, Wolden ML, Thorsted BL et al. Clinical Inertia in People With Type 2
Diabetes: A retrospective cohort study of more than 80,000 people.
2. Khunti K, Mikolajsen A, Thorsted BL et al. Clinical inertia with regard to intensifying
therapy in people with type 2 diabetes treated with basal insulin. Diabetes Obes
Metab. 2016;18:401–9
3. Wu T, Betty B, Downie M, et al. Practical Guidance on the Use of Premix Insulin
Analogs in Initiating, Intensifying, or Switching Insulin Regimens in Type 2
Diabetes. Diabetes Ther. 2015; 6:273–287
4. Perkeni. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus. 2015
5. ADA Standards of Medical Care in Diabetes 2019. Diabetes Care 2019;42(1)
6. Unnikrishnan AG, Tibaldi J, Hedlet-Brown M, et al. Practical guidance on
intensification of insulin therapy with BIAsp 30: a consensus statement. Int J Clin
Pract. 2009. 63;11; 1571-7
Pendahuluan
Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, bahkan
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa obesitas merupakan
suatu epidemi global sehingga menjadi masalah kesehatan yang harus segera
ditangani.1 Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit
yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.
Obesitas diketahui menjadi salah satu faktor risiko munculnya berbagai
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan stroke.2,3 Prinsip tatalaksana
dan pencegahan obesitas akan dibahas dalam makalah ini.
Klasifikasi Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai kelebihan masa lemak, dimana
berhubungan dengan berbagai risiko penyakit. Tetapi kelebihan masa lemak
dalam tubuh sampai saat ini belum ada konsensus yang menyatakan berapa
normal masa lemak dalam tubuh. Oleh karena itu definisi obesitas masih
menggunakan kategori obesitas dan overweight yang masih ada. Klasifikasi
yang paling umum adalah menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), dimana
overweight dikatakan jika IMT antara 25-29,9 kg/m2, dan obesitas jika IMT >
30 kg/m2, tetapi untuk Asia Pasifik overweight jika IMT 23-24,9 kg/m2 dan
obesitas jika > 25 kg/m2.4 Namun, IMT > 30 kg/m2 sebenarnya tidak bisa
dikatakan pasti ada obesitas, sebagai contoh pada binaraga atau pasien
dengan edema seperti pada kelainan jantung, hati maupun ginjal, maka akan
sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa pada kasus-kasus seperti ini ada
obesitas. Salah satu pengukuran yang sederhana adalah dengan melakukan
pengukuran lingkar pinggang (waist circumference), sehingga pada kasus-
kasus dengan overweight kita sebaiknya melakukan juga pengukuran lingkar
pinggang ini.5
Ringkasan
Terapi obesitas meliputi non pembedahan dan pembedahan. Terapi non
pembedahan meliputi multidisiplin yang mangatur pola makan, olahraga,
gaya hidup serta merubah pola piker, karena terapi obesitas meliputi
fase awal, fase menurunkan berat badan dan fase mempertahankan berat
badan. Terapi pembedahan bariatrik pada obesitas mempunyai efek jangka
panjang yang masih belum banyak diketahui akan tetapi diindikasikan pada
kelompok-kelompok pasien obesitas tertentu dan memerlukan skill yang
tinggi dari operator maupun tenaga kesehatan dalam melakukan terapi post
pembedahan serta komitmen pasien untuk melakukan terapi seumur hidup.
Daftar Pustaka
1. WHO. WHO Projections of mortality and causes of death, 2015 and 2030. WHO
(2017).
2. Thomsen, M. & Nordestgaard, B. G. Myocardial Infarction and Ischemic Heart
Disease in Overweight and Obesity With and Without Metabolic Syndrome. J. Am.
Med. Assoc (2015); 174:15–22.
3. Haley, M. J. & Lawrence, C. B. Obesity and stroke : Can we translate from rodents to
patients? (2016). doi:10.1177/0271678X16670411.
4. WHO Western Pasific Region. The Asia-Pasific Perpective: Redefining Obesity and
its treatment. WHO (2000).
5. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Obesity: Guidance
on the
prevention of overweight and obesity in adults and children [CG189].
Published 2014.
https://www.nice.org.uk/guidance/cg189.
6. Bischoff SC, Boirie Y, Cederholm T, Chourdakis M, Cuerda C, et al. Towards a
multidisciplinary approach to understand and manade obesity and related
diseases. Clinical Nutrition (2016); 30:1-22.
7. Cederholm T, Barazzoni R, Austin P, Ballmer P, Biolo G, et al. ESPEN Guidelines on
Definitions and Terminology of Clinical Nutrition. Clinical Nutrition (2017); 36:49-
64.
8. Barazzoni R, Bischoff S, Boirie Y, Busetto L, Cederholm T, et al. Sarcopenic Obesity:
Time to Meet the Challenge. Obes Facts (2018);11:294-305.
9. Yumuk V, Tsigos C, Fried M, Schindler K, Busetto L, et al. European Guidelines for
Obesity Management in Adults. Obes Facts (2015);8:402-24.
10. Yumuk V, Fruhbeck G, Oppert JM, Woodward E, Toplak H. An EASO Position
Statement on Multidisciplinary Obesity Management in Adults. Obes Facts (2014);
7:96-101.
11. Garvey WT, Mechanick JI, Brett EM, Garber AJ, Hurley DL, et al. American Association
of Clinical Endocrinologist and American College of Endocrinology Comprehensive
Clinical Practice Guidelines for Medical Care of Patients with Obesity. Endocrine
Practice (2016); 22: 1-203.
12. Apovian CM, Aronne LJ, Bessesen DH, McDonnell ME, Murad MH, et al.
Pharmacological Management of Obesity: An Endocrine Society Clinical Practice
Guideline. J Clin Endocrinol Metab (2015); 100(2):342-62.
13. NICE Guidelines for Bariatric Surgery Disadur dari: https://www.
plymouthhospitals.nhs.uk/nice-guidelines-for-bariatric-surgery
14. Pareek M, Schauer PR, Kaplan LM, Leiter LA, Rubino F, Bhatt DL. Metabolic Surgery:
Weight Loss, Diabetes and Beyond. JACC (2018); 71(6).
telah berjalan cukup lama, baik berupa program pemerintah maupun atas
inisiatif dan pembiayaan masyarakat. Peran organisasi profesi kedokteran
sangat besar dalam meningkatkan keberhasilan imunisasi di Indonesia.
Hambatan yang dihadapi antara lain minimnya edukasi masyarakat terkait
informasi pentingnya imunisasi, jumlah tenaga kesehatan, ketersediaan dan
distribusi vaksin, masalah dana dan dukungan pemerintah daerah dalam era
desentralisasi.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Global vaccine action plan 2011-2020. Geneva: WHO
Press; 2013.
2. Williams WW, Lu PJ, Halloran A, Kim DK, Grohskopf LA, et al. MMWR Surveill
Summ. 2017; 66(11): 1–28.
3. Sheldenkar A, Lim F, Yung CF, Lwin MO. Acceptance and uptake of
influenza vaccines in Asia: A systematic review. Vaccine. 2019; 37(35):4896-490.
4. Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.
5. Djauzi S, Rengganis I, Sundoro J, Koesnoe S, Soegiarto G, et al. Pedoman Imunisasi
Pada Orang Dewasa 2017. Jakarta: Interna Publishing; 2017.
6. Centers for Disease Control and Prevention. CDC’s strategic framework for global
immunization, 2016-2020. Atlanta: CDC; 2016.
7. Isahak I. Adult Immunization-a neglected issue in Southeast Asia. South East Asian
J Trop Med Public Health. 2000; 31:173-84.
8. Alfelali M, Barasheed O, Badahdah AM, Bokhary H, Azeem MI,et al; Hajj Research
Team. Influenza vaccination among Saudi Hajj pilgrims: Revealing the uptake and
vaccination barriers. Vaccine. 2018;36(16):2112-2118.
Pendahuluan
Penyakit influenza merupakan suatu penyakit menular yang terutama
menyerang sistem pernafasan atas dan disebabkan oleh virus influenza A
atau B. Meskipun sering kali hanya bermanifestasi ringan dan bersifat self-
limiting pada individu imunokompeten, pada beberapa individu dengan risiko
tinggi seperti pasien ibu hami atau imunodefisiensi, penyakit influenza dapat
menyebabkan komplikasi yang berujung kepada kematian. Influenza dapat
menjadi epidemik dan pandemik disertai angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, salah satu penyebabnya adalah karena sangat menularnya virus
influenza.1 World Health Organization memperkirakan setiap tahunnya
terdapat 1 milyar infeksi, 3-5 juta kasus sakit berat, dan 300.000-500.000
kematian setiap tahunnya.2 Influenza juga mempengaruhi produktivitas
kerja, yaitu menyebabkan 10-12% pekerja di dunia cuti karenanya. Salah satu
studi di Amerika pernah menunjukkan bahwa sekitar lima belas juta pekerja
dengan influenza hilang pekerjaan dan harus mengeluarkan biaya untuk
mengobati influenza dengan komplikasinya rata-rata sekitar tiga ratus juta
dolar.3 Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi influenza, salah satu upaya
terbaik adalah melakukan pencegahan dengan cara melakukan imunisasi
influenza. Tantangan dari pengembangan vaksin adalah perlunya disesuaikan
dengan strain yang bersirkulasi setiap tahunnya, karena proses antigenic drift
dari virus influenza.2 Saat ini telah beredar di masyarakat vaksin influenza
kuadrivalen untuk memberikan perlindungan lebih terhadap infeksi influenza.
Influenza
Virus influenza merupakan virus tipe RNA dan terbagi menjadi tiga tipe
utama yaitu A, B, dan C. Virus influenza tipe A dan B berhubungan dengan
epidemik. Influenza tipe A merupakan penyebab tersering terjadinya
epidemik dan pandemik, serta menyebabkan manifestasi klinis yang terberat.
Influenza tipe A terbagi mejadi beberapa subtipe tergantung dari komposisi
glikoprotein yang terdapat pada permukaan luar yaitu hemagglutinin (H atau
HA) dan neuraminidase (N atau NA). Hemaglutinin berperan dalam proses
Vaksin Influenza
Saat ini vaksinasi masih merupakan metode terefektif dalam menurunkan
jumlah kasus influenza dan komplikasinya. Beberapa negara di dunia telah
merekomendasikan kepada masyrakatnya untuk melakukan vaksinasi
influenza per tahun.7 Vaksin influenza terbukti dapat menurunkan hingga
50-80% kejadian influenza, menurunkan 25% kejadian infeksi saluran nafas
atas, menurunkan 44% kunjungan ke dokter dan menurunkan 44% hari cuti
karena sakit pada kelompok pekerja.8
Terdapat dua macam vaksin influenza yaitu vaksin inaktif yang diberikan
secara injeksi dan vaksin hidup yang dilemahkan diberikan secara intranasal.
Vaksin inaktif telah digunakan sejak lama dan merupakan vaksin yang
paling umum dipakai untuk saat ini. Vaksin inaktif dikenal memiliki tingkat
keamanan yang tinggi dan direkomendasikan untuk anak-anak berusia diatas
6 bulan, geriatri, pasien asma, dan individu lain dengan kondisi risiko tinggi.
Vaksin inaktif saat ini terdapat dua macam yaitu vaksin influenza trivalen dan
kuadrivalen.7,9
Vaksin influenza trivalen mengandung tiga virus yang inaktif yaitu tipe
A (H1N1), tipe A (H3N2), dan tipe B. Terdapat dua sediaan yaitu untuk anak-
anak mengandung 0,25 ml dan untuk dewasa 0,5 ml.10 Setelah vaksin influenza
trivalen, saat ini dikembangkan vaksin influenza kuadrivalen.
Beberapa puluh tahun yang lalu, penyakit influenza didominasi oleh virus
H1N1 dan H3N2, akan tetapi diketahui bahwa penyebaran influenza tipe B
semakin tinggi. Pada sekitar tahun 1980, influenza tipe B diketahui mempunyai
dua tipe yaitu B/Victoria dan B/Yamagata yang berbeda menurut antigenisitas
dan genetiknya. Vaksin trivalen hanya mengandung salah satu tipe dari tipe
virus influenza B, dan dibuat berdasarkan data epidemiologis virologis. Oleh
karena itu, efektifitas dari vaksin trivalen bergantung pada kecocokan dari
tipe virus influenza tipe B yang disuntikkan dengan yang beredar di sirkulasi.
Data menunjukkan bahwa selama 20 tahun terakhir ditemukan sebanyak 4
ketidakcocokan mayor dan setidaknya 8 ketidakcocokan minor antara vaksin
dengan subtipe influenza tipe B yang beredar. Ambrosse, dkk melaporkan
bahwa pernah terjadi ketidakcocokan vaksin dengan virus influenza tipe
B yang beredar setidaknya 5 dari 10 musim pada tahun 2001 hingga 2011
di Eropa. Ketidakcocokan dari tipe influenza B ini akan berdampak pada
suboptimalnya perlindungan yang diberikan oleh vaksin. Berdasarkan
data-data tersebut, kemudian muncul pertimbangan untuk memasukkan
kedua tipe virus influenza B dalam satu vaksin. Pada Februari 2012, WHO
merekomendasikan vaksin influenza kuadrivalen untuk diproduksi, dan pada
Februari 2013, WHO meluncurkan pedoman berupa rekomendasi bahwa
kedua tipe influenza B sebaiknya terdapat dalam satu vaksin.7 Studi oleh
Reed, dkk. menunjukkan bahwa penggunaan vaksin kuadrivalen berpotensi
untuk menurunkan jumlah kasus influenza per tahun hingga 970.000 kasus,
angka rawat inap hingga 8200 kasus, dan angka kematian hingga 485 kasus.11
Studi-studi dari beberapa negara lain di Eropa juga menunjukkan bahwa
penggunaan vaksin kuadrivalen berpotensi untuk menurunkan jumlah kasus,
angka rawat inap, dan kematian akibat influenza dibandingkan dengan vaksin
trivalen.9
Indikasi
WHO saat ini merekomendasikan penggunaan vaksin kuadrivalen untuk
ibu hamil, anak dibawah usia 5 tahun, tenaga medis, pasien geriatri berusia
diatas 65 tahun, atau pasien dengan kondisi kronik. Sedangkan di Amerika
Serikat, vaksin ini direkomendasikan untuk anak berusia ≥ 6 bulan dan
dewasa.9 Prioritas utama diberikan pada pasien usia lanjut dengan penyakit
komorbid kronik atau tinggal di dalam fasilitas tempat tinggal bersama
dalam waktu lama. Selain itu pada orang muda dengan gangguan penyakit
paru kronik, jantung, diabetes, gangguan fungsi ginjal, HIV dan kondisi
imunosupresi, pasien calon jamaah haji, pasien post perawatan di rumah sakit,
dan ibu hamil trimester berapapun direkomendasikan pemberian vaksinasi
influenza.5,9,10
Cara Pemberian
Vaksin influenza kuadrivalen diberikan dosis tunggal sebanyak 0,5 ml
melalui suntikan intramuskular otot deltoid. Vaksin tersebut perlu diulang
setiap tahunnya.5
Efek Samping
Secara umum, vaksin influenza dapat ditoleransi dengan baik oleh
pasien, akan tetapi efek samping tetap dapat muncul. Efek samping umumnya
bersifat ringan dan akan hilang sendiri, tetapi pernah dilaporkan juga reaksi
serius. Masalah ringan setelah pemberian vaksin influenza meliputi keluhan
lokal yang terutama adalah nyeri pada lokasi penyuntikkan, sedangkan
untuk reaksi sistemik yang mungkin terjadi adalah kelemahan, nyeri kepala
dan myalgia, gatal, batuk, demam. Jika masalah ini terjadi, biasanya di mulai
segera setelah terjadi suntikkan dan berlangsung selama kurang lebih 12 hari.
Pernah dilaporkan terjadinya efek samping serius pada pemberian vaksin
kuadrivalen yaitu terjadinya infark miokard dan kejadian serebrovaskular,
meskipun hubungannya perlu diteliti lebih lanjut. Efek samping serius lain
adalah peningkatan risiko terjadinya Guillain-Barre Syndrome (GBS). Reaksi
alergi dapat timbul terutama pada pasien dengan riwayat alergi protein telur.
Reaksi alergi yang parah akibat vaksin sangat jarang terjadi, diperkirakan
kurang dari 1 dalam satu juta penyuntikkan. Sebagaimana halnya dengan
semua obat, ada kemungkinan kecil bahwa vaksin bisa menyebabkan
kematian.5,7,10
Kontraindikasi
Vaksin influenza kuadrivalen sebaikya tidak diberikan pada pasien
dengan hipersensitif atau anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza
sebelumnya dan protein telur. Dalam hal ini termasuk individu yang memiliki
riwayat setelah makan telur dan mengalami pembengkakan bibir atau
lidah atau mengalami distres nafas akut atau pingsan. Vaksin influenza juga
sebaiknya tidak diberikan pada pasien demam akut yang berat.5,7,10
Daftar Pustaka
1. Moghadami M. A Narrative Review of Influenza: A Seasonal and Pandemic Disease.
Iran J Med Sci. 2017;42(1):2-13.
2. Krammer F, Smith GJD, Fouchier RAM, Peiris M, Kedzierska K, Doherty PC, et al.
Influenza. Nature Rev Dis Primers. 2018;4(1):3.
3. Leighton L, Williams M, Aubery D, Parker SH. Sickness absence following a campaign
of vaccination against influenza in the workplace. Occup Med. 1996;46(2):146-50.
4. Ghebrehewet S, MacPherson P, Ho A. Influenza. BMJ. 2016;355:i6258-i.
5. Satgas Imunisasi Dewasa Papdi. Pedoman imunisasi pada orang dewasa 2017.
Jakarta: Interna Publishing; 2017.
6. Hyunsuh K, G. WR, J. WR. Influenza Virus: Dealing with a Drifting and Shifting
Pathogen. Viral Immunol. 2018;31(2):174-83.
7. Tisa V, Barberis I, Faccio V, Paganino C, Trucchi C, Martini M, et al. Quadrivalent
influenza vaccine: a new opportunity to reduce the influenza burden. J Prev Med
Hyg. 2016;57(1):E28-E33.
8. Bridges CB, Thompson WW, Meltzer MI, Reeve GR, Talamonti WJ, Cox NJ, et al.
Effectiveness and cost-benefit of influenza vaccination of healthy working adults:
A randomized controlled trial. JAMA. 2000;284(13):1655-63.
9. Ray R, Dos Santos G, Buck PO, Claeys C, Matias G, Innis BL, et al. A review of the value
of quadrivalent influenza vaccines and their potential contribution to influenza
control. Hum Vaccin Immunother. 2017;13(7):1640-52.
10. Trombetta CM, Gianchecchi E, Montomoli E. Influenza vaccines: Evaluation of the
safety profile. Hum Vaccin Immunother. 2018;14(3):657-70.
11. Reed C, Meltzer MI, Finelli L, Fiore A. Public health impact of including two
lineages of influenza B in a quadrivalent seasonal influenza vaccine. Vaccine.
2012;30(11):1993-8.
12. Zbinden D, Manuel O. Influenza vaccination in immunocompromised patients:
efficacy and safety. Immunotherapy. 2014;6(2):131-9.
13. Bosaeed M, Kumar D. Seasonal influenza vaccine in immunocompromised persons.
Hum Vaccin Immunother. 2018;14(6):1311-22.
14. Liao Z, Tang H, Xu X, Liang Y, Xiong Y, Ni J. Immunogenicity and safety of influenza
vaccination in systemic lupus erythematosus patients compared with healthy
controls: a meta-analysis. PloS one. 2016;11(2):e0147856.
15. Van Assen S, Agmon-Levin N, Elkayam O, Cervera R, Doran MF, Dougados M, et
al. EULAR recommendations for vaccination in adult patients with autoimmune
inflammatory rheumatic diseases. Ann Rheum Dis. 2011;70(3):414-22.
Pendahuluan
Pedoman hipertensi terbaru memperlihatkan beberapa angka statistik
baru yang penting. Dalam pedoman tersebut terlihat bahwa akan lebih banyak
orang akan didiagnosis dengan hipertensi. Hampir setengah dari penduduk
Amerika dewasa (46%), naik dari 32% pada nilai sebelumnya. Akan tetapi,
hampir semua pasien ini mengobati hipertensi mereka dengan perubahan
gaya hidup, bukan dengan pengobatan medis. Dan secara keseluruhan hanya
sedikit persentase orang dewasa yang membutuhkan obat anti hipertensi.1
Hasil lain yang ditunjukkan pada guideline adalah hanya sekitar 20%
pasien dengan hipertensi yang mengikuti pengobatan dengan baik sehingga
mampu meningkatkan kondisi. Sementara hampir 25% pasien gagal dalam
pengobatan awal mereka. Tanpa menjalani pengobatan yang baik, tekanan
darah sistolik yang lebih tinggi dari 180 mm Hg atau tekanan darah diastolik
yang lebih tinggi dari 120 mm Hg dapat menyebabkan peluang hampir 80%
pasien meninggal dalam waktu satu tahun. Rata-rata kelangsungan hidup
untuk kelompok ini adalah sekitar 10 bulan.1
Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD
≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan.
Berdasarkan pengukuran TDS dan TDD di klinik, pasien digolongkan menjadi
sesuai dengan tabel 1 berikut.2,3
Lakukan salah
Pikirkan hipertensi Pemeriksaan TD
satu untuk
terselubung dirumah
Indikasi untuk
Gambar 1. Penapisan dan Diagnosis Hipertensi2,3 ABPM atau HBPM
ABPM=ambulatory blood pressure monitoring;
HBPM=homeblood pressure
Gambarmonitoring;
1. Penapisan dan Diagnosis Hipertensi2,3
TD=tekanan darah.
ABPM=ambulatory blood pressure monitoring;
HBPM=homeblood pressure monitoring;
TD=tekanan darah.
Kegunaan HBPM:
- Menegakkan diagnosis hipertensi, terutama dalam mendeteksi hipertensi
jas putih dan hipertensi terselubung
- Memantau tekanan darah, termasuk variabilitas tekanan darah, pada
pasien hipertensi yang mendapat pengobatan maupun tidak.
- Menilai efektivitas pengobatan, penyesuaian dosis, kepatuhan pasien dan
mendeteksi resistensi obat.
2
Tabel 2.Darah
Tabel 2. Batasan Tekanan Batasan Tekanan Darah 2
Pertemuan Ilmiah
Penilaian Nasional XVII PAPDI
Hypertension - Surabaya
Mediated Organ2019
Damage (HMOD)2,3,4 693
Penapisan Dasar
Maimun Syukri
risiko rendah atau sedang, dapat dilanjutkan dengan stratifikasi risiko lanjutan
dengan sistem SCORE (Systematic Coronary Risk Evaluation) Pada individu
yang masuk kedalam kategori risiko sangat tinggi dan tinggi, hipertensi dan
komorbidnya
Coronary harus langsung
Risk Evaluation) diobati.2 yang masuk kedalam kategori risiko
Pada individu sanga
tinggi dan tinggi, hipertensi dan komorbidnya harus langsung diobati.2
Tabel 2. Klasifikasi Risiko Hipertensi Berdasarkan Derajat Tekanan Darah, Faktor
Tabel 2. Klasifikasi Risiko Hipertensi
Risiko Berdasarkan
Kardiovaskular, Derajat
HMOD atau Tekanan
Komorbiditas 2,3 Darah, Faktor Risik
Kardiovaskular, HMOD atau Komorbiditas2,3
b.
- Riwayat keluarga CVD dini (laki-laki usia <55 tahun dan perempuan
HMOD asimtomatik
- EKG<65 tahun)
LVH:
- Sokolow-Lyon SV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL ≥1 mm;
- Riwayat keluarga
- Cornell atau
voltage orangtua dengan
SV3+RaVL >28 mmonset dini hipertensi
(laki-laki), >20 mm (perempuan)
- Kekakuan arteri:
- Menopause onset dini
- Pola hidup inaktif (sedentary)
- Faktor psikososial dan sosioekonomi
- Denyut jantung (nilai istirahat >80 kali/menit)
b. HMOD asimtomatik
- EKG LVH:
- Sokolow-Lyon SV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL ≥1 mm;
- Cornell voltage SV3+RaVL >28 mm (laki-laki), >20 mm (perempuan)
- Kekakuan arteri:
Tekanan nadi (pada usia tua) >60 mmHg dan PWV karotis-femoral
>10 m/detik
- Ekokardiografi : Left Ventrikel Hypertrophy ( LVH ) [LV mass index:
laki-laki >50 g/m2.; perempuan >47 g/m2. (tinggi dalam m2); indeks
untuk LPT dipakai untuk pasien berat badan normal; LV mass/LPT
g/m2 >115 (laki-laki) dan >95 (perempuan)]
- Adanya penyakit Mikroalbuminuria: (30-300 mg/24 jam), atau
peningkatan rasio albumin/kreatinin (30-300 mg/g; 3,4-34 mg/
mmol) (lebih baik urin sewaktu pagi hari)
- Penyakit Ginjal Kronik (PGK) sedang dengan dengan eLFG >30-59
ml/ menit/1,73 m2 (LPT) atau PGK berat eLFG <30 ml/ menit/1,73
m2 b
- Ankle-brachial index <0,9
- Retinopati lanjut: hemoragik atau eksudat, papil edema
c. KV atau ginjal
- Penyakit serebrovaskular: stroke iskemik, perdarahan otak, TIA
- CAD: infark miokard, angina, revaskularisasi miokard
- Ditemukannya plak atheroma pada pencitraan
- Gagal jantung, termasuk HfpEF
- Penyakit arteri perifer
- Fibrilasi atrial
Risiko tinggi
Individu dengan hal berikut:
• Kenaikan tinggi pada salah satu faktor risiko, terutama kadar kolesterol
>8 mmol/L (>310 mg/dL) misalnya hiperkolesterolemia familial,
hipertensi derajat 3 (TD ≥180/110 mmHg). Pada kebanyakan orang
dengan DM (kecuali pada individu muda dengan DM tipe 1 dan tanpa
faktor risiko mayor lain termasuk risiko sedang).
• Hipertrofi ventrikel kiri hipertensif.
• Penyakit ginjal kronik sedang (eLFG 30-59 mL/min/1.73m2).
• Kalkukasi SCORE 10 tahun 5-10%.
Risiko sedang
Individu dengan:
• Kalkulasi SCORE 10 tahun ≥1% hingga <5%
• Hipertensi derajat 2
• Kebanyakan orang setengah baya termasuk kategori ini
Risiko rendah
Individu dengan: kalkulasi SCORE 10 tahun <1%
Penatalaksanaan Hipertensi2,7
• Modifikasi Gaya Hidup
Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan
hipertensi dan dapat mengurangi risiko kardiovaskular. Selain itujuga
• Medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa pada penderita hipertensi merupakan
upaya untuk menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien.
Meskipun demikian pemberian obat antihipertensi bukan selalu
merupakan langkah pertama dalam penatalaksanaan hipertensi.
Deteksi HMOD dilakukan pada saat pasien pertama kali berobat dan
pengobatan disesuaikan dengan kondisi dasar pasien. Setelah mendapatkan
terapi, pasien perlu dipantau adanya progresifitas dari HMOD yang sudah ada
atau adanya manifestasi HMOD yang baru muncul. Sebaliknya, adanya regresi
dari HMOD menunjukkan perbaikan prognosis.2
Daftar Pustaka
1. 2017 Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation and Management of High
Blood Pressure in Adults report from American College of Cardiology/ American
Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. 2017
2. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
2019. Jakarta. 2019
3. Williams B, Mancia G, SpieringW, Agabiti RE, Azizi M, Burnier M, et al; ESC Scientific
Document Group. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial
hypertension. Eur Heart J. 2018;39:3021-104.
4. Garg Jay,W Adrian. Messerli, L.Bakris George Evaluation and Treatment of Patients
With Systemic Hypertension. http//ahajjournal.com.2019
5. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Children and Adolescents The Fourth Report on the Diagnosis,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescents
6. Al Ansary Lubna, Tricco Andrea, Adiz Yaser, Bawazeer Ghada, Perrier Laure, Al –
Ghonaims Mohammed. A Systematic Review of Recent Clinical Practice Guidelines
on the Diagnosis, Assessment and Management of Hypertension. http//www.
plosone.org.vol:8.2013
7. De Rosa, M. Resistant hypertension: Definition, evaluation, and new therapeutic
approaches totreatment. Diseases and Disorders, 1(1). 2017
Pendahuluan
Intervensi awal berupa modifikasi gaya hidup dapat menghambat
progresivitas hipertensi (HT). Namun, sebagian besar pasien yang jatuh
pada kondisi HT memerlukan obat anti hipertensi seumur hidup dengan
kombinasi lebih dari satu obat. Kondisi ini mendasari begitu banyak jenis
obat anti hipertensi beredar di pasaran. Di lain pihak hal ini menimbulkan
kompleksitas bagi klinisi untuk memilih dan mengkombinasikan obat mana
yang paling efektif dan tepat diberikan berdasarkan kondisi spesifik pasien
yang dihadapi. Tiga hal utama yang menjadi masalah dalam tatalaksana HT
adalah menentukan indikasi memulai terapi farmakologi, target kendali
tekanan darah (TD), dan memutuskan memilih dan mengkombinasikan jenis
anti hipertensi1.
d. Olahraga Teratur
Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan
HT, sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular. Olahraga
teratur dengan intensitas dan durasi ringan memiliki efek penurunan TD
lebih kecil dibandingkan dengan latihan intensitas sedang atau tinggi,
sehingga pasien HT disarankan untuk berolahraga setidaknya 30 menit
latihan aerobik dinamik berintensitas sedang (seperti: berjalan, joging,
bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu.
e. Berhenti Merokok
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga status
merokok harus ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita
hipertensi yang merokok harus diedukasi untuk berhenti merokok.
e. Berhenti Merokok
Penatalaksanaan Hipertensi dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga status merokok harus
ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita hipertensi yang merokok harus
Penentuan Batas Tekanan Darah untuk Inisiasi Obat
diedukasi untuk berhenti merokok.
Penatalaksanaan medikamentosa pada penderita hipertensi merupakan
PENENTUAN BATAS TEKANAN DARAH UNTUK INISIASI OBAT
upaya untuk menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien. Meskipun
demikian pemberian
Penatalaksanaan obat antihipertensi
medikamentosa bukan
pada penderita selalu merupakan
hipertensi merupakan langkah
upaya untuk
menurunkan tekanan
pertama dalam darah secara efektif
penatalaksanaan dan efisien. Meskipun demikian pemberian obat
hipertensi.
antihipertensi bukan selalu merupakan langkah pertama dalam penatalaksanaan hipertensi.
2
Gambar
Gambar 1.
1.Inisiasi
InisiasiTatalaksana
TatalaksanaHipertensi
HipertensiBerdasarkan
BerdasarkanTekanan
TekananDarah
Darah2
Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan penatalaksanaan hipertensi saat ini
I Wayan Sudhana
Gambaran
Gambaran Terapi Terapi Hipertensi
Hipertensi dengan
Dengan Metode
Metode Alat Alat
Beberapa
jenis terapi intervensi menggunakan
Beberapa jenis terapi intervensi menggunakan alat telahalat
diteliti
telahsebagai
ditelitipilihan
sebagaiterapi
hipertensi, terutama jenis hipertensi yang resisten dengan obat, antara lain:
pilihan terapi
1. Stimulasi hipertensi,
baroreseptor terutama
karotis jenis
(alat pacu dan hipertensi
stent) yang resisten dengan obat,
antara lain:
2. Denervasi ginjal
3. Pembuatan fistulabaroreseptor
1. Stimulasi arteriovena karotis (alat pacu dan stent)
Penggunaan terapi intervensi menggunakan alat belum dapat direkomendasikan sebagai
2. terapi
modalitas Denervasi ginjal hipertensi, kecuali pada konteks penelitian, hingga data-data yang
rutin untuk
lebih lengkap mengenai efektivitas dan keamanan tersedia.
3. Pembuatan fistula arteriovena
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI RESISTEN
Penggunaan terapi intervensi menggunakan alat belum dapat
Tekanan darah yang
direkomendasikan tidak modalitas
sebagai mencapai target
terapiTDS
rutin<140 mmHg
untuk dan/ataukecuali
hipertensi, TDD <90
mmHg, walaupun sudah mendapatkan 3 antihipertensi berbeda golongan dengan dosis
pada konteks penelitian, hingga data-data yang lebih lengkap mengenai
maksimal, salah satunya adalah diuretik, dan pasien sudah menjalankan rekomendasi
efektivitas
modifikasi dan keamanan
gaya hidup tersedia.
dengan catatan: (1) sudah dikonfirmasi dengan ABPM atau HBPM; (2)
Hipertensi resisten palsu dan hipertensi sekunder sudah disingkirkan.
Penatalaksanaan efektif
Penatalaksanaan meliputiResisten
Hipertensi modifikasi gaya hidup (khususnya mengurangi
asupan natrium), penghentian obat-obat yang meningkatkan tekanan darah, serta penambahan
obat antihipertensi
Tekanan lain
darah yangtiga
selain tidak mencapai
golongan obattarget TDS <140
antihipertensi mmHg dan/atau
sebelumnya. Penggunaan
spironolakton
TDD <90untuk mmHg,hipertensi
walaupunresisten
sudahterbukti efektif, namun
mendapatkan disarankan dibatasi
3 antihipertensi berbedapada
golongan dengan dosis maksimal, salah satunya adalah diuretik, dan pasien
sudah menjalankan rekomendasi modifikasi gaya hidup dengan catatan: (1)
sudah dikonfirmasi dengan ABPM atau HBPM; (2) Hipertensi resisten palsu
dan hipertensi sekunder sudah disingkirkan.
tekanan darah, serta penambahan obat antihipertensi lain selain tiga golongan
obat antihipertensi sebelumnya. Penggunaan spironolakton untuk hipertensi
resisten terbukti efektif, namun disarankan dibatasi pada pasien dengan LFG
>45 mL/min/1,73m2 dan konsentrasi kalium plasma <4.5 mEq/L. Sebagai
alternatif dari spironolakton, dapat diberikan bisoprolol (5 -10 mg/hari) atau
doxazosin (2-4 mg/hari).
Tabel
Tabel 2. Obat-Obat 2. Obat-ObatEmergensi
Hipertensi Hipertensi Emergensi yang Tersedia
yang Tersedia 3
di Indonesia
di Indonesia
3
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
Penatalaksanaan DALAM
Hipertensi dalam KEHAMILAN
Kehamilan
a. Hipertensi ringan ringan
a. Hipertensi
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menurunkan risiko maternal, dengan target TD
<140/90 mmHg.Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menurunkan risiko maternal,
b. Hipertensidengan
berat target TD <140/90 mmHg.
Tidak ada definisi baku untuk hipertensi berat, dengan rentang nilai antara 160–180
mmHg/>110 mmHg. The 2018 ESC Task Force on Cardiovascular Disease During
Pregnancyb. menyatakan
Hipertensi bahwa
berat TDS >170 mmHg atau TDD >110 mmHg adalah keadaan
gawat darurat pada ibu hamil sehingga harus segera dirawat inap. Penggunaan hidralasin
hanya digunakanTidak
bilaada definisilain
regimen baku untuk
gagal hipertensi
mencapai berat,
target dengan rentang
pengendalian tekanannilai
darah. Pada
krisis hipertensi, yaitu160–180
antara pasien dengan
mmHg/>110 eklampsia
mmHg. atau
Thepre-eklampsia berat,
2018 ESC Task dilakukan
Force on rawat
inap. Persalinan dilakukan setelah stabilisasi kondisi maternal. Pemberian magnesium sulfat
Cardiovascular untuk
intravena direkomendasikan Diseasemencegah
During Pregnancy
eklampsiamenyatakan bahwa TDS >170
dan penatalaksanaan kejang. Target
capaian sesuaimmHg
konsensus adalah
atau TDD <160/105
>110 mmHg.keadaan
mmHg adalah Nicardipin intravena
gawat terbukti
darurat pada ibu aman dan
efektif dalam tatalakasana pre-eklampsia berat. Obat pilihan untuk pre-eklampsia disertai
hamil sehingga
edema paru, nitrogliserin harusdosis
dengan segera5 dirawat
µg/menit inap. Penggunaan
drip intravena, hidralasin
dinaikkanhanya
bertahap setiap
3–5 menit hingga dosis maksimal 100 µg/menit. Indikasi persalinan:
digunakan bila regimen lain gagal mencapai target pengendalian
1. Urgensi pada pre-eklampsia disertai gangguan penglihatan atau gangguan hemostasis.
tekanan
darah. Pada37krisis
2. Pada usia kehamilan minggu hipertensi,
untuk ibuyaitu pasien dengan eklampsia atau pre-
asimtomatik.
eklampsia berat, dilakukan rawat inap. Persalinan dilakukan setelah
stabilisasi kondisi maternal. Pemberian magnesium sulfat intravena
direkomendasikan untuk mencegah eklampsia dan penatalaksanaan
kejang. Target capaian sesuai konsensus adalah <160/105 mmHg.
Nicardipin intravena terbukti aman dan efektif dalam tatalakasana
pre-eklampsia berat. Obat pilihan untuk pre-eklampsia disertai edema
708 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Penatalaksanaan Hipertensi dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular
Gambar 5. Strategi Pengobatan Hipertensi dengan Gagal Jantung Fraksi Ejeksi Menurun3
Gambar 5. Strategi Pengobatan Hipertensi dengan Gagal Jantung Fraksi Ejeksi
e. Stroke Menurun3
Stroke Akut
Stroke Ilmiah
hemoragik
Pertemuan Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Peningkatan tekanan darah pada stroke hemoragik akut akan menyebabkan perluasan
711
hematoma, perdarahan berulang, meningkatkan mortalitas dan meningkatkan kecacatan.
Penurunan tekanan darah hingga <140/90 mmHg dalam 6 jam pertama terbukti aman dan
mengurangi ekspansi hematoma, dan mungkin dapat memperbaiki luaran klinis. Jika TDS
I Wayan Sudhana
e. Stroke
Stroke Akut
Stroke hemoragik
Peningkatan tekanan darah pada stroke hemoragik akut akan
menyebabkan perluasan hematoma, perdarahan berulang, meningkatkan
mortalitas dan meningkatkan kecacatan. Penurunan tekanan darah
hingga <140/90 mmHg dalam 6 jam pertama terbukti aman dan
mengurangi ekspansi hematoma, dan mungkin dapat memperbaiki
luaran klinis. Jika TDS >220 mmHg, harus diturunkan segera sebesar 15-
20% dengan menggunakan obat intravena (labetalol dan nicardipin, dan
sebagai alternatif diltiazem) dalam 1 jam pertama.
3
Gambar
Gambar 6. Strategi
6. Strategi Pengobatan
Pengobatan HipertensiPada
Hipertensi PadaPasien
Pasien dengan
dengan AF
AF3
Daftar Pustaka
1. Williams B, Borkum M. Pharmacology Treatment of Hypertension. In: Feehally J,
Floege J, Tonelli M, Johnson RJ, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. 6th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2019. p. 430–43.
2. Esh H, Agabiti E, France MA, Uk AD, Germany FM, Kerins M, et al. 2018 ESC / ESH
Guidelines for the management of arterial hypertension The Task Force for the
management of arterial hypertension of the European Society of Cardiology (ESC)
and the European Society of Hypertension (ESH). Eur Heart J. 2018;39:3021–104.
3. Indonesian Society of Hypertension (InaSH). Konsensus Penatalaksanaan
Hipertensi. Lukito AA, Harmeiwaty E, Hustrini NM, editors. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Hipertensi Indonesia; 2019. 1–71 p.
4. Sorrentino MJ, Bakris GL. Hypertension Management (Approach to Difficult to
Manage Primary Hypertension). In: Bakris GL, Sorrentino MJ, editors. Hypertension
A Companion to Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia: Elsevier; 2018. p. 281–
96.
5. Born B-JH van den, Lip GYH, Brguljan-Hitij J, Cremer A, Cremer A. ESC Council on
hypertension position document on the management oh hypertensive emergencies:
position paper. Eur Hear J - Cardiovasc Pharmacother. 2018;1–10.
Pendahuluan
Perkembangan layanan kesehatan di dunia termasuk di Indonesia
makin maju dan meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi kesehatan dan pengobatan. Kemajuan
ini tentunya akan diikuti dengan usia harapan hidup yang meningkat pula.
Peningkatan usia harapan hidup ini akan meningkatkan populasi layanan
paliatif, baik layanan baik di Rumah sakit maupun di luar Rumah sakit.
Nyeri merupakan salah satu gejala yang sering dialami oleh pasien
paliatif. Gejala nyeri menimbulkan rasa yang tidak nyaman, yang akan
menganggu kehidupan pasien secara keseluruhan dan bila tidak terarasi
dengan memadai dan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang
bermakna. Banyak studi menunjukkan bahwa lebih dari 50% pasien dengan
penyakit kanker maupun non-kanker tahap lanjut mengalami gejala nyeri.
Pasien paliatif terutama pada pasien dengan penyakit tahap lanjut atau
terminal menderita nyeri akibat dari penyakitnya sendiri, dari pemeriksaan
diagnostik atau efek dari pengobatannya, premorbid dan faktor lain yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor yang berkaitan dengan gejala-gejala
Secara klinis nyeri dapat dibagi menjadi nyeri maligna, nyeri menjalar
(referred pain) sedangkan berdasar durasinya nyeri dapat dibagi menjadi
nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri kronis adalah nyeri yang bertahan
selama minimum 6 bulan dan memunjukkan ciri-ciri yang jelas berbeda jika
dibandingkan dengan nyeri akut. Misalnya, nyeri akut hanya terjadi pada suatu
waktu/kejadian tertentu, sedangkan nyeri kronis biasanya merupakan bagian
dari situasi yang lebih kompleks. Nyeri akut mempunyai awal dan akhir yang
jelas. Nyeri kronis, cenderung sirkuler; awal nyeri dengan cepat terlupakan
karena siklus nyerinya tidak pernah berakhir. Nyeri akut mempunyai
konotasi yang positif dalam arti nyeri tersebut merupakan tanda siaga adanya
jejas pada tubuh, sedangkan nyeri kronis tidak mempunyai tujuan fisiologis
tertentu. Pada nyeri kronis tanda-tanda dan gejala klinis sering kali tidak
khas, sering disertai yang psikologi demikian juga pada pemeriksaan fisik dan
penunjang. Nyeri maligna atau nyeri kanker umumnya rasa nyeri adalah
kronis, namun seringkali merupakan kombinasi dari nyeri akut, intermiten
dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat primer kanker sebagai
akibat ekspansi tumor, penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor,
obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat muncul
pada tempat metatsatasis yang jauh dari lokasi primer tumor.
Berdasarkan asal nyeri, dibagi menjadi nyeri kutan yaitu nyeri berasal
dari kulit dan jaringan subkutan. Lokasi sumber nyeri biasanya diketahui
dengan pasti dan nyeri biasanya tajam serta rasa terbakar. Nyeri Somatis
Dalam yaitu Nyeri berasal dari otot, tendon, sendi, pembuluh darah atau
tulang. Sifat nyeri biasanya menyebar. Nyeri Visera yaitu nyeri berasal dari
organ internal, misalnya: ulkus peptikum, appendisitis atau kolik renal.
Sensasi nyeri disalurkan dari organ melalui saraf autonom ke susunan saraf
pusat, dan nyeri psikogenik yaitu nyeri akibat gangguan psikis.
Gambar
Gambar1. 1. Anatomy
Anatomy ofof Nocioception;
Nocioception;
Four Steps : 1. Transduction 2. Transmission 3. Modulation 4. Perception
Four Steps : 1. Transduction 2. Transmission 3. Modulation 4. Perception
Pada tiap sinaps serabut aferen-eferen, asending-desending, pada tingkat perifer, spinal-
720 sentral, terdapat peran substansi Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI -misalnya
neurotranmiter-neuromodulator, Surabaya 2019
serotonin,
prostaglandin, substansi P, endorfin, enkapilin, dan lain-lain. Serotonin, norepinefrin, dopamin,
asetilkolin, asam amino aspartat dan glutamat menginhibisi nyeri pada tingkat serebral. Gama
Amino Butiryc Acid (GABA) menginhibisi terutama pada tingkat regulasi spinal. Inhibisi nyeri
Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif
Gambar
Gambar 2. Peripheral
2. Peripheral and central
and central sensitization
sensitization
rating scale. VAS (Visual Analogue Scale) yang telah digunakan sangat luas
dalam beberapa dasawarsa belakangan ini dalam penelitian terkait dengan
nyeri dengan hasil yang handal, valid dan konsisten.
Gambar 5. Skala
Skala Rating Verbal(NRS):
Numerik
Gambar 5. Skala Verbal
Gambar 5. Skala Verbal
Skala Rating Numerik (NRS):
Gambar 5. Skala
Skala Rating Verbal
Numerik (NRS):
Skala Rating Numerik (NRS):
Gambar 6. Skala NRS
Skala Rating Numerik (NRS):
Gambar 6. Skala NRS
Gambar 6. Skala
Skala Nyeri NRSWajah:
Ekspresi
Skala Nyeri Ekspresi Wajah:
Gambar 6. Skala NRS
Skala Nyeri Ekspresi Wajah:
Gambar 6. Skala NRS
Skala Nyeri Ekspresi Wajah:
penggunaan catatan harian nyeri, gambar nyeri, skala wajah nyeri, kuesioner
nyeri singkat Wisconsin, dan kuesioner nyeri McGill, dan lain sebagainya.
Tatalaksana Farmakologik
WHO pada tahun 1986, mengembangkan model 3 langkah tangga untuk
memandu terapi nyeri. Model ini memberikan pendekatan yang mudah
difahami untuk seleksi yang rasional dalam pemberian analgetik. Pada model
WHO ini, terdapat pendekatan yang menyeluruh terapi farmakologi semua
jenis nyeri, termasuk pada pendekatan terapi nyeri pada kasus-kasus paliatif,
baik kasus nyeri pasien paliatif kanker ataupun kasus paliatif nyeri non
kanker. Pada model WHO ini, pemberian terapi farmakologi dimulai sesuai
tingkatan nyeri. Untuk nyeri ringan dimana skala analog numerik sampai
dengan 3/10 dimulai pada langkah 1, untuk nyeri sedang dimana skala
analog numerik 4-6/10, dimulai pada langkah 2 dan pada nyeri berat dengan
skala analog numerik 7-10, masuk langkah 3.Tidak perlu untuk melalui semua
langkah secara bertahap, pasien dengan nyeri berat mungkin bisa langsung
mendapat terapi opiat langkah ke-3 dan dapat sesegera mungkin masuk
langkah intervensi lanjut bila diperlukan terutama pada nyeri kanker.
Lima konsep penting dari pendekatan WHO untuk terapi obat pada pasien
nyeri kanker: By the mouth, By the clock, By the ladder, For the individual,
With attention to detail.
nyeri. Jika nyeri menjadi berat dan tak terkontrol setelah 1 atau 2 dosis,
tingkatkan dosis lebih cepat. Observasi ketat pasien hingga nyeri teratasil.
Gabapentin juga efektif sebagai ajuvan untuk segala tipe nyeri neuropatik.
Gabapentin merupakan antikonvulsan yang bisa mensupresi neuronal
firing. Dimulai dengan dosis rendah 100 mg per oral 3 kali sehari dan dosis
ditingkatkan setiap 1 hingga 2 hari dengan 100 mg sampai mencapai efek yang
diharapkan. Selain itu dapat dipakai obat karbamazepin, dan asam valproik
pada nyeri neuropatik atau sebagai -obat ajuvan yang umum digunakan.
Kombinasi obat-obat analgesik adjuvan mungkin dibutuhkan, termasuk
antiaritmia oral, agonis alpha-2-adrenergik, kortokosteroid, dan lain
sebagainya.
ResponRespon
pasienpasien
terhadap opiatopiat
terhadap sangat
sangatbervariasi
bervariasisehingga
sehinggadokter
dokter harus selalu melihat
harus selalu
keseimbangan antara efek analgesia dan efek sampingnya. Pasien
melihat keseimbangan antara efek analgesia dan efek sampingnya. Pasien nyeri kasus paliatif yang
terkontrol dengan opiat namun dengan efek samping yang berat, sebaiknya
nyeri kasus paliatif yang terkontrol dengan opiat namun dengan efek samping mendapatkan terapi
intervensi lebih dini.
yang berat, sebaiknya mendapatkan terapi intervensi lebih dini.
Terapi intervensi bervariasi mulai dari blok saraf yang sederhana hingga teknik invasif
seperti blok regional, neurolitik, atau bahkan prosedur bedah saraf. Pilihan dalam melakukan
intervensi
prosedur Terapi intervensi bervariasiberbeda-beda
bersifat individual, mulai dari blok saraftiap
untuk yang sederhana
kasus, hinggaresiko dan
berdasarkan
teknik invasif seperti blok regional, neurolitik, atau bahkan prosedur
manfaat untuk tiap-tiap pasien. Beberapa teknik memberikan efek analgesia beberapa bedah hari hingga
beberapa minggu.
saraf. PilihanBlokdalam
neurolitik bisa sampai
melakukan berberapa
prosedur bulan dan
intervensi alat implantasi
bersifat bisa sampai
individual,
beberapa tahun. Teknik
berbeda-beda untukregional sepertiberdasarkan
tiap kasus, opiat neuroaksial
resiko dan
dan anestetik lokal biasanya
manfaat untuk
dipraktikkan lebih
tiap-tiap dulu Beberapa
pasien. sebelum metode intervensi yang
teknik memberikan efeklain. Prosedur
analgesia ablatif atau
beberapa hari destruksi
neuron,hingga
denganbeberapa
rasio resiko manfaat
minggu. yang
Blok sempit, sebaiknya
neurolitik bisa sampai ditunda selama bulan
berberapa penyembuhan
dan nyeri
masih alat
bisa implantasi
dilakukan dengan modalitas non-ablatif. Meski demikian, beberapa
bisa sampai beberapa tahun. Teknik regional seperti opiat prosedur, seperti
blok pleksus seliak pada pasien kanker pankreas memberikan manfaat lebih besar jika dilakukan
neuroaksial dan anestetik lokal biasanya dipraktikkan lebih dulu sebelum
lebih dini dengan neurolisis. Blok diagnostik dengan anestetik lokal harus digunakan untuk
metode intervensi yang lain. Prosedur ablatif atau destruksi neuron, dengan
menilai efektivitasnya sebelum prosedur sebenarnya dengan agen neurolitik. Blok ini juga
bergunarasio resiko
untuk manfaat yang
mengevaluasi sempit,
efek defisitsebaiknya ditunda
neurologis akibatselama penyembuhan
prosedur ablatif. Komplikasi
nyeri masih bisa dilakukan dengan modalitas non-ablatif. Meski demikian,
beberapa prosedur, seperti blok pleksus seliak pada pasien kanker pankreas
memberikan manfaat lebih besar jika dilakukan lebih dini dengan neurolisis.
Blok diagnostik dengan anestetik lokal harus digunakan untuk menilai
efektivitasnya sebelum prosedur sebenarnya dengan agen neurolitik. Blok
ini juga berguna untuk mengevaluasi efek defisit neurologis akibat prosedur
ablatif. Komplikasi neurologis akibat neurolisis yang mungkin muncul yaitu
hilangnya fungsi motorik permanen, paresthesia, dan dysthesia. Pemilihan
prosedur yang sesuai dapat menurunkan penggunaan opiate sistemik dan
meningkatkan kualitas hidup.
734 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif
Tatalaksana Non-Farmakologik
Selain tatalaksana farmakologi, tatalaksana non-farmakologik nyeri
kasus paliatif antara lain TENS, fisioterapi, akupuntur,berbagai jenis
psikoterapi, relaksasi juga turut berperan, terapi psikososial, spiritual, dan
kultural dianggap mampu mengurangi penderitaan dan gejala fisik yang
dirasakan.14 Karena psikososial dan spiritual yang sehat dapat mengurangi
kondisi emosional negatif seperti depresi atau ansietas yang dianggap dapat
memperberat nyeri.15
Kesimpulan
Penanganan nyeri kasus paliatif merupakan salah satu yang paling
penting dalam penatalaksanaan pasien paliatif bersama gejala-gejalan lain
yang ada sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien paliatif.
Daftar Pustaka
1. Auret, K., Schug, S.A. (Pain management for the cancer patient –Current practice
and future developments.. Best Practice & Research Clinical Anaesthesiology.
2013; 27:545–61.
2. Brant JM. Holistic total pain management in palliative care: cultural and
global consideration. Palliative Medicine and Hospice Care Open Journal.
2017;SE(1):S32-S38
18. Robinson J, Gott M , Ingleton C.Patient and family experiences of palliative care
in hospital: What do we know? An integrative review Palliative Medicine. 2014;
28(1): 18 –33
19. Rego F, Pereira C, Rego G, Nunes R. The psychological and spiritual dimensions of
palliative care: a descriptive systematic review. Neuropsychiatry. 2018;8(2):484-
94
20. Rustøen T, Valeberg BT, Kolstad E, Wist E, Paul S, Miaskowski C. The Pro-Self Pain
Control Program Improves Patients ’Knowledge of Cancer Pain Management. J Pain
Symptom Manage.2012;44(3):321–30.
21. Vargas-Schaffer G. Is the WHO analgesic ladder still valid? Twenty-four years of
experience. Canadian Family Physician. 2010;56:514-7
Pendahuluan
Sesak nafas merupakan gejala yang cukup sering sekaligus mengganggu
pada penyakit kronis. Selain itu, sesak nafas cukup sering terjadi pada pasien
dalam fase akhir kehidupan (end of life). American Thoracic Society (ATS)
mendefinisikan sesak nafas sebagai keadaan ketidaknyamanan bernafas
yang bersifat subyektif, dan sensasi ini memiliki intensitas yang bervariasi.
Sesak nafas berasal dari kompleksitas kondisi fisiologis, psikologis, sosial
dan lingkungan yang pada akhirnya akan memberikan respon fisiologis dan
perilaku tertentu.
Definisi
Sesak nafas atau dispnea berasal dari bahasa Yunani yang terdiri
dari dys yang berarti sulit dan pneuma yang berarti napas sehingga secara
harfiah diartikan sebagai kesulitan bernapas. Dispnea menurut definisi
ATS didefinisikan sebagai pengalaman subyektif ketidaknyamanan dalam
bernapas yang terdiri dari berbagai sensasi yang bervariasi dalam intensitas
secara kualitatif. Dispnea dapat timbul secara konstan atau episodik. Dispnea
insidental (breakthrough dyspnea) dilaporkan terjadi pada 80% pasien
dimana terjadi serangan dispnea yang memberat pada saat bebas gejala dalam
hitungan detik atau jam, sedangkan dispnea kontinu terjadi pada 39% pasien.
Secara umum, episode dispnea insidental terjadi sebanyak 5-6 kali per hari dan
berlangsung selama kurang dari 5 menit. Hal ini mengindikasikan perlunya
paradigma tatalaksana bahwa diperlukan aksi cepat untuk mentatalaksana
dispnea tersebut.
Sesak nafas sering terjadi pada lebih dari 50 persen pasien terminal dalam
periode akhir kehidupan, seperti pada pasien kanker, HIV/AIDS, penyakit
jantung, PPOK, dan gagal ginjal. Sesak nafas secara signifikan mempengaruhi
kualitas hidup baik pasien maupun pendamping (caregiver). Sesak nafas
meliputi empat domain utama yaitu fisik, psikologis, sosial, dan spiritual
yang disebut sebagai sesak nafas total. Sesak nafas total menggambarkan
pengalaman pasien dar berbagai perspektif yang dapat menyebabkan sesak
nafas.
Pengkajian
Oleh karena sesak nafas merupakan persepsi subyektif, sehingga
instrumen penilaian yang paling akurat adalah instrumen yang berbasis
laporan dari pasien sendiri. Instrumen yang bisa digunakan antara lain VAS
(Visual Analogue Scale) dan NRS (Numeric Rating Scale). Terdapat hubungan
yang timbal balik antara sesak nafas dan kecemasan, di mana sesak nafas dapat
menyebabkan kecemasan yang berat, dan juga sebaliknya, kecemasan yang
berat dapat menyebabkan sesak nafas. Oleh karena itu, dimensi psikososial
dan pendekatan yang berbasis lingkungan tidak boleh diabaikan dan perlu
mendapat perhatian besar.
PATOFISIOLOGI INTERVENSI
Hemoptisis Antifibrinolitik, intervensi endoskopi
atau intervensi bedah, radiasi
Udem paru Diuretik atau intervensi yang sesuai
Efusi perikard Pungsi perikard, perikardiosentesis
Kongesti pembuluh vena bagian atas Kortikosteroid, radiasi, stenting
pembuluh darah vena, antikoagulan
Nyeri dada Analgetik optimal
Kesimpulan
Sesak nafas merupakan gejala yang sering dialami pasien paliatif.
Identifikasi penyebab sesak nafas adalah hal pertama yang harus dilakukan
dalam pengananan sesak nafas kasus paliatif. Pemberian opioid adalah salah
satu pendekatan farmakologi yang bisa diberikan pada pasien paliatif dengan
sesak nafas.
Daftar Pustaka
1. Kamal AH, Maguire JM, Wheeler JL, Currow DC, Abernethy AP. Dyspnea review for
the palliative care professional: assessment, burdens, and etiologies. J Palliat Med.
2011; 14 (10): 1167-72.
2. Luce JM, Luce JA. Perspectives on care at the close of life. Management of dyspnea
in patients with far-advanced lung disease: “once I lose it, it’s kind of hard to catch
it.” JAMA. 2001; 285(10): 1331-7.
3. Ross DD, Alexander CS. Management of common symptoms in terminally ill
patients: part II. constipation, delirium and dyspnea. Am Fam Physician. 2001; 64
(6): 1019-26.
4. Abernethy AP, McDonald CF, Frith PA, Clark K, Herndon JE 2nd, Marcello J, et al.
Effect of palliative oxygen versus room air in relief of breathlessness in patients
with refractory dyspnoea: a double-blind, Randomised controlled trial. Lancet.
2010; 376 (9743): 784-93.
5. Booth S, Moosavi SH, Higginson IJ. The etiology and management of intractable
breathlessness in patients with advanced cancer: a systematic review of
pharmacological therapy. Nat Clin Pract Oncol. 2008; 5(2): 90-100.
6. Parshall MB, Schwartzstein RM, Adams L, Banzett RB, Manning HL, Bourbeau J, et
al. An official American Thoracic Society statement: update on the mechanisms,
assessment, and management of dyspnea. Am J Respir Crit Car Med. 2012; 185(4):
435-52.
7. Yiannakopoulou E. Pharmacogenomics and Opioid Analgesics: Clinical Implications.
Int J Genomics. 2015;2015:368979.
8. Gelot S, Nakhla E, Tuch H. Review of opioid use in palliative care patients with
refractory dyspnea. Austin J Pharmacol Ther. 2013; 1(1): 1002.
9. Zebraski SE, Kochenash SM, Raffa RB. Lung opioid receptors: pharmacology and
possible target for nebulized morphine in dyspnea. Life Sci 2000; 66:2221.
10. Currow DC, McDonald C, Oaten S, Kenny B, Allcroft P, Frith P, et al. Once daily
opioids for chronic dyspnea: a dose increment and pharmacovigilance study.J Pain
Symptom Manage. 2011; 42(3):388-99.
11. Senderovich H, Yendamuri A. Management of Breathlessness in Palliative
Care: Inhalers and Dyspnea- A Literature Review. Rambam Maimonides Med J.
2019;10(1)
12. Ambarwati RA, Putranto R. Peran Opioid dalam Tata Laksana Dispnea pada Pasien
Paliatif. Ina J CHEST Crit and Emerg Med. 2016;3(2):67-72
13. Afolabi TM, Nahata MC, Pai V. Nebulized Opioids for The Palliation of Dyspnea in
Terminally Ill Patients. Am J Health-Syst Pharm.2017;74(14):1053-61.
14. Kloke M, Cherny N. Treatment of Dyspnoea in Advanced Cancer Patients: ESMO
Clinical Practice Guidelines. Annals of Oncology.2015;26(3):169-
Definisi
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah gangguan suplai darah ke ekstremitas
atas atau bawah karena obstruksi. Mayoritas obstruksi disebabkan oleh
aterosklerosis, namun dapat juga disebabkan oleh trombosis emboli,
vaskulitis, atau displasia fibromuskuler.2,4,5
Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka
(30% dari pasien yang simptomatik), arteri femoralis dan poplitea (80-90%),
termasuk arteri tibialis dan peroneal (40-50%). Proses aterosklerosis lebih
sering terjadi pada percabangan arteri, tempat yang turbulensinya meningkat,
memudahkan terjadinya kerusakan tunika intima. Pembuluh darah distal
lebih sering terkena pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.6
Etiologi
Etiologi PAP bisa berasal dari non aterosklerotik dan aterosklerotik.
Penyebab non aterosklerotik seperti trauma, vaskulitis, dan emboli, namun
aterosklerotik lebih banyak menunjukkan PAP dan menyebabkan dampak
epidemiologi yang besar.7
Faktor Resiko
Faktor resiko pada aterosklerosis koroner juga dapat menjadi faktor
resiko terjadinya sclerosis pada sirkulasi perifer. 84-90% pasien dengan
klaudikasi adalah perokok. Pada pasien PAD yang masih merokok didapatkan
adanya perburukan yang jauh lebih cepat daripada pasien PAD yang berhenti
atau tidak merokok sama sekali. Pasien PAD dengan diabetes melitus juga
memiliki kemungkinan gejala yang lebih berat dan kalsifikasi arteri yang lebih
nyata.8
Manifestasi Klinis
Gejala klasik yang terjadi adalah klaudikasio intermiten, yang
merupakan ketidaknyamanan otot ekstremitas bawah yang terjadi karena
latihan atau aktivitas dan hilang dengan istirahat dalam 10 menit. Pasien
mungkin mendeskripsikan kelelahan otot, sakit atau kram saat aktivitas
yang hilang dengan istirahat. Gejala yang paling sering yaitu pada betis,
tapi juga terdapat pada paha atau daerah glutea. Klaudikasio khas terjadi
pada sepertiga dari semua pasien PAP. Pasien tanpa klaudikasio klasik juga
memiliki keterbatasan berjalan yang mungkin terkait dengan gejala atipikal.
Gejala khas klaudikasio mungkin tidak terjadi pada pasien yang memiliki
penyakit penyerta yang mencegah aktivitas yang cukup untuk menyebabkan
timbulnya gejala (yaitu gagal jantung kongestif, penyakit paru berat,
penyakit muskuloskeletal) atau pada pasien yang tidak memungkinkan
untuk melakukan latihan atau aktivitas. Oleh karena itu, pasien yang diduga
menderita PAP harus ditanya tentang beberapa pembatasan latihan selama
latihan ekstremitas inferior.
Gejala yang umum dialami adalah nyeri pada regio glutea, paha, atau betis
dengan klaudikasio, disfungsi ereksi, atau dapat juga asimtomatik yang
didiagnosis dengan ABI yang tidak normal. Gejala lain yang mungkin dialami
pasien adalah nyeri pada tungkai dan kaki saat istirahat, ulkus pada tungkai
yang tidak sembuh, nyeri pada lengan dengan klaudikasio, perbedaan
tekanan darah pada lengan kanan dan kiri lebih dari 15 (PAP pada lengan).
13,14,15
istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada arteri otot-otot kaki dapat
dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Hal ini mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan metabolik otot,
sehingga memunculkan gejala klaudikasio. 13,14,15
Diagnosis
a. Anamnesis
Sesuai dengan patofisiologi dan patogenesis PAD, maka gejala yang
umumnya terjadi adalah rasa nyeri disertai kekakuan otot dan rasa
lelah otot ekstrimitas bawah yang terjadi setelah melakukan aktivitas
fisik, misalnya berjalan atau berlari. Pada mulanya terjadi pada satu
ekstrimitas dan lama-kelamaan mengenai kedua ekstrimitas dengan
serangan pada ekstrimitas yang satu lebih sering daripada yang lain. Hal
ini disebut klaudikasio intermiten. Gejala ini akan menghilang dengan
istirahat. Gejala dapat pula berupa keluhan luka yang tak mau sembuh,
rasa kaki dingin, kulit yang suka terkelupas dan berwarna pucat, kuku
yang suka mengapur dan sulit dipotong, dan rambut kulit yang berkurang
tumbuhnya. Lokasi rasa nyeri tergantung dari letak lesi arterinya. PAD
biasanya terjadi pada distal dari arteri femoralis yang menyebabkan rasa
nyeri pada daerah betis. Jika lesi arteri terjadi pada aorta iliaka, daerah
tungkai atas bahkan seluruh tungkai akan terasa nyeri.16,17,18
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan PAD harus dilakukan pemeriksaan
esensial, misalnya pemeriksaan pulsasi arteri (dari pulsasi aorta sampai
a.dorsalis pedis), seg- mental pressure, ada tidaknya atropi otot, hilangnya
rambut ekstrimitas, penebalan kuku jari kaki (Thickened Toenails). Gejala
5 P’s (pulseless, paralysis, paraesthesia, pain and pallor) dapat merupakan
petunjuk dalam pemeriksaan fisik PAD. 16,17,18
c. Pemeriksaan Penunjang
Ankle Pressure (AP), Ankle- Brachial Index (ABI), Doppler Segmental
Pressure, Toe Pressure (TP), Duplex Ultrasonography, Contrast
Arteriography, Plethys-mography, Transcutaneus Oxygen Tension (tcPO2),
Arteriogram, dan Mag- netic Resonance Angiography (MRA). 16,17,18
Manajemen PAD
Terapi PAD terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi non operasi,
dan operasi.
1. Terapi suportif
Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih
dan lembab dengan memberikan krem pelembab. Memakai sandal dan
sepatu yang ukurannya pas dan dari bahan sintetis yang berventilasi.
Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran darah
ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang menyebabkan
atersklerosis harus diberikan seperti berhenti merokok, merubah
gaya hidup, dan mengontrol hipertensi. Menghindari merokok sangat
disarankan pada pasien PAP. Latihan fisik merupakan pengobatan yang
paling efektif. Latihan fisik dapat meningkatkan jarak tempuh sampai
terjadinya gejala klaudikasio. Setiap latihan fisik berupa jalan kaki kira-
kira selama 30-45 menit atau sampai terasa hampir mendekati nyeri
maksimal. Program ini dapat dilakukan selama 6-12 bulan. Hal ini
disebabkan karena peningkatan aliran darah kolateral, perbaikan fungsi
vasodilator endotel, respons inflamasi, metabolisme muskuloskeletal
dan oksigenasi jaringan lebih baik dengan viskositas darah. Pada studi
observasional membuktikan bahwa risiko kematian, infark miokard, dan
amputasi lebih banyak pada pasien PAP yang tetap merokok daripada
yang berhenti merokok, sehingga angioplasti ekstremitas bawah dan
operasi revaskularisasi terbuka juga menurun dengan berhenti merokok.
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada pasien PAD meliputi
pengendalian Faktor Risiko dan terapai anti platelet dan anti trombitik.
Terapi anti-platelet dan anti-trombotik disarankan pada pasien PAP,
yaitu dengan aspirin dosis 75-325 mg per hari atau clopidogrel 75
mg per hari atau dapat dengan kombinasi aspirin dan clopidogrel. Obat
terpilih adalah heparin, sebab kerjanya cepat dan cepat dimetabolisme.
Diabetes Mellitus
a. Perawatan kaki, termasuk penggunaan alas kaki, pemeriksaan kaki
setiap hari, pembersihan kulit dan penggunaan krim pelembab.
b. Terapi diabetes pada pasien dengan PAP ekstremitas bawah dengan
obat obat pengontrol gula dengan target HbA1C< 7% efektif untuk
menurunkan komplikasi mikrovaskular.
Antiplatelet dan antitrombotik12
a. Aspirin, dengan dosis 75-325 mg, direkomendasikan sebagai
terapi antiplatelet yang aman dan efektif untuk menurunkan resiko
infark miokard, stroke, atau kejadian vaskular.
b. Clopidogrel dengan dosis 75 mg per hari direkomendasikan sebagai
terapi antiplatelet untuk menurunkan resiko infark miokard, stroke,
atau kejadian vascular.
c. Cilostazol, golongan phosphodiesterase-3 inhibitor. Dalam
penelitian Momsen dkk, yang dikumpulkan dari sembilan percobaan
(1258 pasien) membandingkan cilostazol dengan plasebo, obat
ini dikaitkan dengan peningkatan mutlak 42,1 m versus plasebo (P,
0,001) selama rata-rata tindak lanjut dari 20 minggu. Dalam meta-
analisis lain, berjalan kaki maksimal meningkat rata-rata sebesar 36
m dengan cilostazol 50 mg / hari, dan hampir dua kali (70 m) dengan
dosis 100 mg.14 Panduan AHA merekomendasikan cilostazol 100
mg 2 kali per hari pada pasien dengan PAP ekstremitas bawah dan
klaudikasio intermiten. Efek samping yang paling sering adalah sakit
kepala, diare, pusing, dan jantung berdebar.
d. Pentoxifilin dengan dosis 400 mg 3 kali per hari merupakan terapi
alternative lini kedua setelah cilostazol untuk meningkatkan jarak
tempuh pasien klaudikasio intermiten. Obat ini termasuk dalam
golongan phosphodiesterase inhibitor yang berfungsi sebagai
vasodilator dan antiplatelet. Berdasarkan hasil enam studi meta-
analisis terbaru, ditemukan peningkatan signifikan jarak berjalan
kaki maksimal dengan pentoxifilin
e. Naftidrofuryl telah tersedia di Eropa selama bertahun-tahun.
Ini adalah golongan 5- hydroxytryptamine tipe 2 antagonis yang
mengurangi eritrosit dan agregasi trombosit. Efikasi naftidrofuryl
diperiksa dalam suatu penelitian meta-analisis dari 5 studi termasuk
888 pasien: bebas rasa sakit berjalan kaki itu secara signifikan
meningkat 26% vs placebo. Hasil yang sama juga dikonfirmasi
Jika iskemia baru terjadi 4-6 jam dan masih vital yang ditandai dengan
nyeri, paralisis atau parastesia, merupakan indikasi untuk tindakan
intervensi revaskularisasi. Jika iskemia lebih dari 8 jam, tidak dilakukan
revaskularisasi karena sudah terjadi nekrosis otot. Hal ini tergantung
dari kolateral arteri distal dan obstruksi.12
Daftar Pustaka
1. Hiatt WR. Atherosclerotic peripheral arterial disease.In: Arend WP, editors. Cecil
Medicine,23rd. New York: Elsevier; 2008.
2. Crager MA and Joseph L. Vascular disease of the extrimities. In: editors. Harrison’s
principles of internal medicine, vol.2. 18th ed. New York: McGraw-Hill Companies;
2012. p. 988-1003.
3. Hanafi M. Penyakit Pembuluh Darah Perifer. In: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK,
eds. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2003
4. Powell TM. The relatively importance of systolic versus diastolic blood pressure
control and incident symptomatic in peripheral arterial disease women. Vasc Med.
2011;16:239.
5. Safar ME, Priollet P, Luizy F, Mourad JJ, Cacoub P, Levesque H, et al. Peripheral
arterial disease and isolated systolic hypertension: the atttest study. J Hum
Hypertens. 2009;23:182-187.
6. Makin A, GYH Lip, S Silverman, Beevers DG. Review: peripheral vascular disease and
hypertension: a forgotten association. J Hum Hypertens. 2011;15:447-454.
7. Kim ESH, Keattiyoat W, Heather LG. Using the ankle brachial index to diagnose
peripheral artery disease and assess cardiovascular risk. Cleveland Clinic Journal
of Medicine. 2009;79:651-661.
8. Coen DAS. Review: Peripheral Arterial Disease a Growing Problem for The
Internist. European Journal of Internal Medicine. 2009;20:132-138.
9. Cacoub P, Cambou JP, Kownator S, et al . Prevalence of peripheral arterial disease
in high risk patients using ankle-brachial index in general practice. J Clin Pract.
2009;63(1):63-70.
10. Selvin E and Thomas PE. The prevalence of and risk factors for peripheral
arterial disease in the united states: result from the national health and nutrition
examination survey, 1999-2000. Circulation. 2004;110:738-743.
11. .Yang, XM, Sun K, Wei LZ, Zhang W, Hai YW, Rui TH. Prevalence and risk factors
for peripheral arterial disease in the patients with hypertension among han
chinese. J Vas Surg. 2007;46:296-302
12. Gerhard-Herman MD, Gornik HL, Barrett C, Barshes NR, Corriere MA, Drachman
DE, et al. 2016 AHA/ACC guideline on the management of patients with lower
extremity peripheral artery disease: Executive Summary: A report of the American
college of cardiology/American Heart Association task force on clinical practice
guidelines. Vol. 135, Circulation. 2017. 686-725 p.
13. Hirsch AT, Criqui MH, Jacobson D, Judith GR, Mark AG, Jeffrey WO, et al. Peripheral
arterial disease detection, awareness and treatment in primary care. JAMA.
2001;286:1317-1324.
14. Wang JC and Martin B. Aging and atherosclerosis: mechanism, functional
consenquences and potential therapeutics for cellular senescene. Circulation
Research. 2012;111:245-259.
15. Al-Shaer MH, Chouneiri NE, Correai ML, Sinkey CA, BarenzaTA, Haynes WG.
Effect of aging and atherosclerosis on endothelial and vascular smooth muscle
function in humans. Int J Cardiol. 2006;109(2):201-6.
16. Egogrova N, Ageliki GV, Jacquelyn Q, Stephanie G, Alan M, Michael M, et al. Analysis
of gender-related differences in lower extremity peripheral arterial disease. J Vasc
Surg. 2010:51:372-9.
17. Vavra AK and Melina RK. Women and peripheral arterial disease. Women’s Health.
2009;5(6):669-683
18. Villablanca AC, Muthuvel J, Carole B. Atherosclerosis and sex hormone: current
concept. Clinical Science. 2010;119:493-513.
Pendahuluan
Di negara Amerika Serikat maupun Indonesia, Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah telah menjadi penyebab kematian nomor satu. Seringkali
penyakit ini mengakibatkan kematian mendadak, ketika karier korban mulai
menanjak atau mencapai puncaknya. Jenisnya, antara lain: Penyakit Jantung
Koroner, Penyakit Jantung Hipertensi, Penyakit Jantung Reumatik, Penyakit
Jantung Bawaan, Penyakit Jantung Paru, Penyakit Pembuluh Darah Otak,
Penyakit Pembuluh Darah Perifer/Tepi.
Pemeriksaan Noninvasif
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk mendiagnosis PAD
diperlukan pemeriksaan objektif. Pemeriksaan ultrasonografi doppler dengan
menghitung ankle brachial index (ABI) sangat berguna untuk mengetahui
adanya penyakit arteri perifer. Sering kali PAP tidak ada keluhan klasik klaudi-
kasio. Hal tersebut bisa terjadi karena penyempitan terbentuk perlahan-lahan
dan sudah terbentuk kolateral dan untuk mengetahuinya diperlukan peme-
riksaan sistem vaskular perifer, pengukuran tekanan darah segmental (pada
setiap ekstremitas), diperiksa ultrasonografi doppler vaskular dan diperik-
sa ABI pada setiap pasien yang berisiko PAP. Selain itu juga dapat diperiksa
rekaman volume nadi secara digital, oximetri transkutan, stress tes dengan
menggunakan treadmill, dan tes hiperemia reaktif. Jika pada pemeriksaan
tersebut ditemukan tanda PAD, aliran atau volume darah akan berkurang ke
kaki, sehingga gambaran velocity doppler menjadi mendatar, dari duplex ul-
trasonografi dapat ditemukan lesi penyempitan pada arteri atau graft bypass.
diatas 1,5 pembuluh darah menjadi incompressible dan hasilnya tidak dapat
dijadikan pegangan suatu keputusan klinis. Pemeriksaan pencitraan dapat
digunakan untuk menyingkirkan PAD ketika terjadi ketidakselarasan antara
gejala klinis dan ABI.
Toe pressure
Terdapat sedikit kalsifikasi pada toe arteries dan toe/brachial index yang
dapat dinilai pada pasien dengan sklerosis medial. Teknik ini tidak sesuai
untuk penanganan primer.13 Hal ini sangat membantu pasien dengan ABI
yang meningkat abnormal, seperti pada diabetes pada penanganan sekunder.
Treadmill testing
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada penanganan primer karena
memerlukan alat resusitasi. Pemeriksaan ini berguna pada pasien yang
memiliki hasil ABI dan klinis yang tidak sesuai, yaitu dengan mengetahui
jarak maksimum saat berjalan.
Near-infrared spectroscopy
Terbukti dapat mendeteksi PAD selama exercise, dan tidak terbukti dapat
mendeteksi PAD pada saat istirahat. Tidak dianjurkan pada penanganan
primer.
hanya digunakan sebagai alat untuk deteksi dini tetapi juga sebagai alat untuk
evaluasi progresifitas penyakit dan keefektifan terapi. Meskipun CAVI tidak
dipengaruhi oleh tekanan darah, kesalahan dalam interpretasi juga dapat
terjadi, hal tersebut dikarenakan kenaikan CAVI tidak hanya terjadi akibat
kekakuan vaskular yang disebabkan oleh adanya perubahan pada dinding
arteri, tetapi juga dapat terjadi akibat meningkatnya tonus vaskular akibat
dari kontraksi otot polos. Kekakuan arteri tergantung dari elastisitas intinsik.
Bila CAVI kurang dari 8,0 dapat dikatakan normal, bilai kurang dari 9
tetapi lebih atau sama dengan 8 maka tergolong kategori borderline, sedangkan
bila CAVI lebih atau sama dengan 9 dapat dikatakan aterosklerosis. Hubungan
antara CAVI dengan faktor risiko aterosklerosis termasuk dislipidemi telah
diteliti pada beberapa studi. Salah satu studi menyimpulkan bahwa CAVI
score secara signifikan berhubungan dengan LDL pada pasien angina. CAVI
score juga ditemukan secara signifikan meningkat dengan hiperkolestrolemi
dan hipertrigliseridemi pada pria (usia 30-69 tahun) dan wanita (usia 40-
75 tahun) dalam perbandingan terhadap individual yang tidak mempunyai
faktor risiko
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen
darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot. Diperiksa foto torak
untuk melihat kardiomegali, hematokrit untuk melihat polisitemia, analisa
urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat mioglobin di urine.
Creatinine phosphokinase untuk menilai nekrosis otot. Elektrokardiografi un-
tuk menilai aritmia atau kemungkinan infark lama. Ekokardiografi 2 dimensi
untuk menilai ukuran ruang jantung, fraksi ejeksi, kelainan katup, evaluasi ge-
rak dinding ventrikel, mencari trombus atau tumor, defek septum atrial. Ultra-
sonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta abdominal. Arteriografi
dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan penyempitan.
Penatalaksanaan PAD
Macam-macam terapi terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi
non operasi, dan operasi. Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan
menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan krem pelembab.
Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan dari bahan sintetis yang
berventilasi. Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran
darah ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang dapat menyebabkan
aterosklerosis harus diberikan, berhenti merokok, merubah gaya hidup,
mengontrol hipertensi tetapi jangan sampai terjadi hipotensi
1. Terapi farmakologi
Terdapat lima jenis obat yang terlisensi di UK untuk terapi gejala
klaudikasio intermitten:
- Cilostazol
Cilostazol merupakan antiplatelet dan vasodilator.20 Cilostazol
menghambat phosphodiesterase III dan meningkatkan siklus
adenosine monophosphate yang menyebabkan vasodilatasi.21
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 761
Dono Antono
Terapi eksperimen
Obat Dosis
Nafridrofuryl 600 mg/hari Antagonis serotonin;
meningkatkan jarak tempuh
berjalan pada beberapa
penelitian, pemakaian masih
kontroversi; digunakan di
Eropa.
Propionyl levocarnitine 2 gr/hari bukti tidak signifikan.
Prostaglandin (beraprost, iloprost 120 mcg/hari po atau Hasil tidak menetap pada
prostaglandin E1) 60 mcg/hari parenteral penelitian terakhir
Ekstrak ginko biloba Efektif, tetapi metodologi
penelitian dipertanyakan.
Gene-induced Angiogenesis dengan Hasil menjanjikan
Endothelial growth Factor
Oksigen hiperbarik Mahal, hasil equivocal
2. Exercise therapy
Pada pasien klaudikasio intermitten dianjurkan untuk melakukan exercise
therapy. Dua metaanalisis 28,29 dan lima trial kontrol yang diambil secara
acak melaporkan bahwa exercise therapy terbukti cukup berperan.30-33
Terjadi peningkatan dari toleransi exercise sekitar 60%-337% setelah
periode 3-6 bulan melakukan exercise.
3. Intervensi vaskular
Intervensi vaskular pada klaudikasio yang stabil jarang dilakukan.
Terdapat beberapa kondisi klinis yang perlu dipertimbangkan untuk
dilakukan intervensi.
Metode Endovaskular
Metode endovascular telah banyak dikembangkan mengingat lebih
rendahnya mortalitas dan morbiditas pada penggunaan metode endovascular
bila dibandingkan dengan bedah vascular. Banyak institusi pengobatan
yang menempatkan terapi endovascular sebagai pilihan pertama terapi
revaskularisasi kasus penyakit penyakit arteri perifer. Pemilihan terapi
revaskularisasi didasarkan pada penelaahan masing-masing kasus dalam hal
kecocokan anatomi, komorbiditas, sarana fasilitas kesehatan dan preferensi
pasien. Kelemahan metode endovascular ini adalah ketahanan jangka
panjangnya bila dibandingkan dengan metode bedah vascular. Patensi setelah
terapi endovascular terbaik adalah pada lesi-lesi arteri iliaka komunis dan
tingkat patensi semakin menurun pada arteri yang semakin distal. Tingkat
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 763
Dono Antono
patensi juga berbanding terbalik dengan panjang lesi, lesi multiple dan difus,
kualitas arteri run-off yang buruk dan penyakit komorbid yang ada terutama
diabetes mellitus dan gagal ginjal.
Daftar Pustaka
1. Dormandy J, Heeck L, Vig S. The natural history of claudication: risk to life and limb.
Semin Vasc Surg. 1999 Jun;12(2):123-37.
2. Muluk SC, Muluk VS, Kelley ME, Whittle JC, Tierney JA, Webster MW, et al. Outcome
events in patients with claudication: a 15-year study in 2777 patients. J Vasc Surg.
2001 Feb;33(2):251-7; discussion 257-8.
3. Dormandy JA, Charbonnel B, Eckland DJ, Erdmann E, Massi-Benedetti M, Moules IK,
et al. Secondary prevention of macrovascular events in patients with type 2 diabetes
Diagnosis
PCP dimulai dengan gejala yang tidak jelas, sering berlangsung sekitar 3
– 4 minggu dengan gejala batuk yang pada umumnya batuk kering atau tidak
berdahak, dan demam yang tidak begitu tinggi, (<390Celcius). Manifestasi
klinis bisa ringan, sedang atau berat. Biasanya diawali dengan rasa sesak yang
progresif. Bila anamnesis dilakukan dengan teliti, pada awalnya mungkin
sesak nafas tidak jelas, hanya berupa penurunan toleransi saat beraktivitas.
Pada umumnya pasien datang dengan gejala AIDS yang lain, misalnya wasting
syndrome, oral thrush dan dermatitis kronis. Foto ronsen dada menunjukkan
adanya pneumonia interstitial. Dalam proporsi tertentu dapat ditemukan
foto ronsen dada yang normal. Pemeriksaan mikrobiologis dari sputum
atau sekresi bronchial washing dan bronchial lavage ditemukan adanya
pneumocystis Jirovecii sebagai penyebabnya.
Terapi
Empiris: Cotrimoksazole oral atau IV dengan dosis trimetoprim 20 mg/kg
BB/hari dan sulfametoksazole 100 mg/kb/hari selama 3 minggu. Pada kasus
yang berat dimana pO2 < 70mmHg perlu ditambahkan steroid dosis tinggi.
Terapi alternatif misalnya pentamidine 4mg/kg/hari IV, dapsone 100mg/hari
Profilaksis
Profilaksis primer atau sekunder harus diberikan pada semua odha
dengan CD4 count < 200/ul atau < 20%. Obat pilihan adalah cotrimoxazole
dan obat alternatif adalah sulfadoxine pyrimethamine 1 tablet/minggu atau
Dapsone 50 – 100 mg/hari. Profilaksis terus dilanjutkan sampai CD4 count
>200cells/uL selama 3 bulan.
Toxoplasmosis Cerebri
Toxoplasmosis adalah penyebab tersering dari penyakit fokal di kepala/
otak pada AIDS. Lesi ditemukan di otak/serebral, jarang lesi di intraspinal.
Bila ada mielopati, dalam diagnosis banding seharusnya di pikirkan juga
adanya lesi intraspinal.
Etiology:
- Toxoplasma gondii merupakan obligat intracellular.
- Manusia merupakan host intermediat, sementara kucing merupakan
host definitif.
- Kucing yang terinfeksi menyebarkan penyakit karena adanya ookist
dalam fesesnya.
- Oocytes berkembang menjadi tachyzoites pada manusia, lalu penetrasi
ke sel-sel nucleus, menyebar dan menginfeksi jaringan di seluruh tubuh
sehingga terjadi respon inflamasi.
Patogenesis:
• Manusia terinfeksi toksoplasma gondii umumnya karena menelan
oocysts bersama makanan yang terkontaminasi feses kucing yang
terinfeksi toksoplasma, atau oocyst dibawa oleh lalat atau kecoa yg
mencemari makanan. Manusia juga bisa terinfeksi dari makan daging
yang tidak dimasak yang mengandung bradisoit. Dari oocysts atau
bradisoit keluarlah sporozoite yang akan menginfeksi sel-sel makrofag
atau monosit dalam saluran pencernaan. Sporosoit yang mutiplikasi
secara cepat didalam sel sel membentuk takhisoit, Takhisoit beredar
melalui saluran limfe menuju pembuluh darah dan sampai ke jaringan.
Takhisoit yang bertambah banyak didalam sel akan menimbulkan
rupture sel dan keluarlah takhisoit yang akan menginfeksi sel lain yang
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 769
Tuti Parwati Merati
Presentasi klinis:
Umumnya manifestasi klinis sebagai toksoplasma ensefalitis, infeksi
oportunistik yang paling sering menimbulkan lesi fokal otak.
Presentasi awal berupa infeksi sub akut: bersifat progresif dengan gejala
bingung, mengantuk, kejang, hemiparesis, hemianopsia, aphasia, ataxia dan
kelumpuhan nervus cranialis. Kelemahan motorilk, dan gangguan bicara.
Kemudian melanjut bertambah berat menjadi koma dalam beberapa hari atau
minggu.
Diagnosis:
Dilakukan secara:
1. Serology assays
2. Imaging
3. Biopsi jaringan
4. Polymerase chain reaction (PCR)
Terapi:
• Sebagian besar odha yang diberikan pengobatan secara empiris untuk
infeksi toksoplasmosis akut memberikan perbaikan klinis dalam dua
minggu terapi.
• Lama terapi minimum 3 sampai 6 minggu.
• Diharapkan adanya perbaikan klinis secara cepat.
• Tidak ada pedoman kapan sebaiknya terapi ARV dimulai.
• Diberikan terapi korticosteroid.
• Obat pilihan adalah: Sulfadiazin and Pirimethamin
Meningitis Cryptococcal
Meningitis kriptokokus adalah suatu infeksi jamur pada otak yang
cukup sering terjadi, termasuk tiga penyebab terbanyak IO pada susunan
syaraf pusat disamping toksoplasmosis dan tuberculosis. Pada beberapa
keadaan mungkin saja pasien datang pertama kali ke pelayanan kesehatan
karena meningitis kriptokokal sebagai ADI (AIDS Defining Illness). Kadang-
kadang terdapat kelainan kulit menyerupai moluskum contagiosum. Kelainan
otak dapat berupa lesi massa intracranial multiple atau single yang disebut
kriptokokoma. Tanpa pengobatan spesifik, prognosisnya buruk, dengan
survival kurang dari 6 bulan setelah diagnosis ditegakkan. Penanganan yang
optimal yang sangat penting diberikan adalah terhadap peningkatan tekanan
intra kranial.
Diagnosis
Pasien datang dengan keluhan sakit kepala atau cephalgia, yang
bervariasi dari ringan sampai berat, yang biasanya sudah terjadi sejak lama
atau kronis. Disamping itu ada gejala demam dan status mental yang berubah.
Bila ada pasien dengan gejala neurologi yang tidak jelas penyebabnya, harus
dipikirkan kemungkinan penyakit ini. Pasien datang dengan gejala rangsang
meningeal yang menyebabkan kekakuan leher. Untuk itu lakukan lumbal
pungsi, dan periksa cairan otak untuk pemeriksaan kriptokokus dengan
pengecatan tinta Cina/tinta India. Bila hasil cairan otak utk pengecatan tinta
cina/India negatif, lakukan pemeriksaan serologi untuk Antigen kriptokokal.
Kriptokokal Ag positif pada >99% kasus meningitis kriptokokus.
Tata Laksana
Terapi farmakologi:
Pilihan pertama - flucystosine (100mg/kg/hari dibagi 4 dosis) dan
amphotericin B (0.7mg- 1mg/kg/hari, setiap hari) merupakan kombinasi
terbaik dalam dua minggu pertama pengobatan (terapi fase induksi). Setelah
itu dilanjutkan dengan fluconazole 400 - 800mg setiap hari selama 8 minggu,
lalu turunkan dosis maintenance fluconazole 200mg /hari secara tidak
terbatas, mungkin dilanjutkan seumur hidup.
Terapi tambahan:
1. Analgetik untuk mengurangi sakit kepala, seperti paracetamol atau
kodeine fosfat atau morphine 5mg setiap 4 jam mungkin diperlukan bila
kodein tidak berhasil menghilangkan cephalgia.
2. Perlu untuk mengevaluasi apakah cephalgia sudah dapat terkontrol
dengan analgesia yang adekuat.
3. Perhatikan timbulnya efek samping obat amphotericin B, seperti mual,
muntah, demam, menggigil, atau rigors, dan hypokalemia dan gangguan
fungsi ginjal.
Daftar Pustaka
1. Ammann, MD, UCSF Center for HIV Information Image Library
2. Cilik Wiryani, Agus Somia, Tuti Parwati M, Joint National Congress PETRI XIII,
PERPARI IX, PKWI X. Bandung, 2007
3. Darma Imran. Kursus dasar NeuroAIDS.Departemen Neurologi FKUI RSCM. Sorong,
28 Oktober 2013
4. De Cock, KM, et al. J Am Med Assoc. 1992; 268:1581-7
5. Florence Robert-Gangneux, and Marie-Laure Dardé. Clin. Microbiol. Rev 2012
;25:264-296
6. Pedoman Nasional Penanganan Kedokteran HIV, 2017
7. Recommendations from USPHS/IDSA Guidelines, 2001 DHS/HIV/OIs/PP.
8. Susila Utama, Tuti Parwati, Agus Somia. Cerebral Toxoplasmosis in Adult HIV in-
fected patient at Sanglah Hospital. BAMHOI, 2015
9. Volberding P, MD, UCSF Center for HIV Information Image Library
10. Wilcox CM., Saag MS. Gut 2008;57:861 -70
Vena femoralis berada di sepertiga medial area inguinal. Vena ini berada
lebih medial dari arteri femoralis. Vena ini membawa darah dari vena poplitea,
vena tibialis anterior, dan vena tibialis posterior menuju vena iliaka dan vena
kava inferior.
Tabel 1. Keuntungan dan kerugian pilihan akses berdasarkan vena sentral yang
digunakan
Akses Vena Keuntungan Kerugian
Vena subklavia Risiko infeksi rendah Risiko perdarahan tinggi
Sesuai untuk subcutaneous tunneling Risiko pneumotoraks tinggi
dan port access Prosedur ‘blind’ yang sukar
dipandu dengan USG
Vena jugularis interna Vena dapat dilihat secara klinis Risiko infeksi sedang
maupun dengan USG Risiko perdarahan sedang
Aksesnya mudah pada pasien yang Sukar untuk membuat tunnel
sedang menjalani pembedahan Sukar untuk ditutup
Pada sisi kanan, ujung kateter hampir Tidak nyaman bila tidak di-
selalu pada tempatnya tunnel
Vena femoralis Risiko perdarahan rendah Risiko infeksi tinggi
Pasien dapat tetap duduk saat Risiko trombosis tinggi
pemasangan Fungsi akan terganggu bila
pasien berdiri
Komplikasi yang bisa terjadi saat atau segera setelah pemasangan adalah
1. Nyeri. Komplikasi ini terjadi karena pemberian anestesi lokal lidokain
yang kurang adekuat. Nyeri saat penusukan bisa dicegah dengan menguji
sensasi setelah memberikan anestesi lokal sebelum melakukan pungsi
vena. Bila pasien masih merasa nyeri tambahkkan anestesi lokal di
tempat dan di sekitar tempat inseri. Anestesi lokal juga diberikan pada
kulit yang akan dilakukan penjahitan.
2. Perdarahan. Komplikasi ini dapat terjadi karena penusukan berulang,
penusukan arteri, gangguan hemostasis, atau penggunaan terapi
antiplatelet atau antikoagulan. Perdarahan bisa diminimalkan dengan
melakukan pungsi percobaan (proof pungsi) dengan jarum yang lebih
kecil dari jarum pungsi atau melakukan pungsi tunggal langsung ke vena
dan menghindari pungsi berulang dan menghindari penusukan arteri
misalnya dengan bantuan USG. Evaluasi riwayat perdarahan, gangguan
pembekuan darah serta hasil faal hemostasis seperti nilai trombosit, PT,
dan aPTT akan menapis pasien yang memiliki risiko perdarahan sehingga
dapat dilakukan koreksi bila memungkinkan. Bila saat penusukan terjadi
perdarahan atau hematom maka lakukan penekanan di area tusukan
agar terjadi hemostasis primer.
3. Penusukan paru atau pleura. Komplikasi ini dapat terjadi terutama
pada pemasangan akses kateter vena sentral di vena subklavia. Pada
pemasangan akses di vena jugularis interna juga dapat terjadi hal yang
sama. Tanda paru tertusuk yang dapat dijumpai operator adalah pasien
batuk karena rangsangan pleura, saat dilakukan aspirasi darah tampak
gelembung udara (bubble) dalam spuit, atau terjadi desaturasi oksigen.
Bila terjadi hal di atas maka lakukan evaluasi foto toraks rutin untuk
menilai adanya pneumotoraks. Penumotoraks dapat terjadi secara
perlahan dan tanpa gejala (silent) atau dengan gejala takipneu, distres
napas, batuk, takikardia, nyeri dada, penurunan saturasi oksigen, dan
hipotensi. Pada foto toraks akan tampak garis pleura viseral/paru
yang mengalami pneumotoraks. Pneumotoraks ringan asimptomatik
dapat membaik secara spontan dan pasien harus dipantau. Jika pasien
mengalami distres pernapasan, oksigen harus diberikan dan pada kondisi
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 777
Arif Mansjoer
yang lanjut perlu dilakukan aspirasi atau pemasangan chest tube. Pasien
yang menggunakan ventilator akan membutuhkan chest tube untuk
mencegah bertambah beratnya pneumotoraks hingga terjadi tension
pneumotoraks. Pada tension pneumotoraks yang ditandai pernapasan
asimetris, perkusi hipersonor, suara napas menghilang, tekanan darah
turun, takikardia, dan desaturasi, prosedur torakosentesis di sela iga 2
garis midklavikula perlu segera dilakukan.
4. Emboli udara. Komplikasi ini terjadi karena masuknya udara saat
tahapan prosedur pemasangan kateter, yaitu saat memasukkan kawat
pemandu (guidewire), saat memasukkan dan mengeluarkan dilator, atau
saat memasang kateter vena sentral. Emboli udara dalam jumlah kecil
(minor) saat pemberian cairan infus dan obat injeksi sering terjadi dan
biasanya tidak berbahaya bagi pasien. Sedangkan emboli udara dalam
jumlah besar (mayor) dapat berakibat fatal dan paling sering terjadi
saat melakukan pemasangan atau pencabutan kateter vena sentral. Hal
yang dapat dilakukan untuk mencegah emboli udara adalah mencukupi
hidrasi pasien dan memposisikan agar vena yang dituju lebih rendah
dari jantung dengan posisi Trendelenbeg. Upaya mempersingkat waktu
prosedur pemasangan yang memanipulasi pembuluh darah akan
mengurangi risiko emboli udara. Pada pasien yang sadar, manuver
Valsava saat melakukan pungsi vena akan mengurangi risiko. Emboli
udara dapat terjadi tanpa gejala (silent) atau disertai gejala ansietas,
sianosis, sesak, takikardia, hipotensi, nyeri dada, penurunan kesadaran,
henti jantung, bahkan kematian. Gambaran udara dalam sistem sirkulasi
dapat terlihat dengan mesin ekokardiografi. Tata laksana pasien yang
mengalami emboli udara adalah dengan menutup sumber emboli udara,
memposisikan agar sumber emboli berada di bawah jantung.
5. Aritmia. Komplikasi ini dapat terjadi akibat stimulasi langsung pada
miokardium oleh kateter atau kawat pemandu saat memasuki ruang
jantung. Insidens terjadinya aritmia mencapai 41% sebagai aritmia
atrial dan 25% sebagai aritmia ventrikular. Hanya sebagian kecil
aritmia yang membutuhkan terapi obat atau kardioversi. Pencegahan
dilakukan meliputi pengkajian faktor risiko jantung dan riwayat aritmia
sebelumnya. Keadaan berisiko aritmia karena hipersensitif dapat terjadi
pada fibrilasi atrium, kontraksi atrial/ventrikel prematur sebelumnya.
Risiko aritmia perlu diwaspadai pula pada pasien yang menggunaan
alat pacu jantung atau alat defibrilasi implan. Pada kelompok pasien
ini, pemasangan kateter harus dilakukan di sisi kontralateral implan.
Komplikasi yang terjadi setelah pemasangan akses kateter vena sentral adalah
1. Infeksi. Komplikasi ini dapat terjadi karena a dan antisepsis yang kurang
adekuat. Infeksi dapat dicegah dengan menggunakan antiseptik di area
tindakan, menggunakan drapping steril, operator menggunakan alat
pelindung diri, bekerja dengan cepat dan tepat. Bila tanda infeksi terlihat
dan timbul gejala maka kateter vena sentral harus dilepaskan dan
dipasang di tempat yang berbeda bila masih diperlukan.
2. Trombosis. Trombosis dapat terjadi di ujung kateter atau di sekeliling
kateter. Trombus dapa terjadi karena kateter secara lama bergesekan
pada dinding vena dan memacu trombosis pada dinding vena. Faktor-
faktor dari pasien yang menjadi risiko terjadinya trombosis adalah
penyakit keganasan, kompresi vena oleh tumor, hiperkoagulasi, bahan
infus yang bersifat sklerosan, perawatan yang tidak tepat, dan sepsis.
Diagnosis trombosis dapat ditunjang dengan pemeriksaan ultrasonografi
dan venografi. Bila trombus yang terjadi besar dan menyumbat aliran
darah maka dapat terjadi bendungan dan edema di sisi proksimal
sumbatan. Tata laksana bila trombosis terjadi adalah pencabutan kateter
dan pemberian antikoagulan.
Penutup
Pemasangan akses kateter vena sentral memiliki indikasi diagnostik
dan indikasi terapeutik. Identifikasi pasien, diagnosis, tujuan, indikasi,
kontraindikasi dan risiko komplikasi menjadi pertimbangan pemasangan.
Komplikasi dapat terjadi saat, segera setelah, dan setelah pemasangan
akses kateter vena sentral. Risiko komplikasi dapat dihindari atau ditekan
bila anatomi dikuasai, prosedur dilakukan dengan benar, dan pemantauan
dilakukan baik sebelum, saat, dan setelah pemasangan.
Daftar Pustaka
1. McGee DC, Gould MK. Preventing complications of central venous catheterization.
N Engl J Med. 2003;348:1123-33.
2. Graham AS, Ozment C, Tegtmeyer K, Lai S, Braner DAV. Central venous
catheterization. N Engl J Med. 2007;356:e21
3. Hocking G. Central venous access and monitoring. Update in Anesthesia. 2000; 12:
59-70.
4. Rosen M, Latto IP, Ng WS, Jones PL, Weiner P. Handbook of percutaneous central
venous catheterization. 2nd edition. London: WB Saunders; 1992.
5. Bodenham AR, Simcock L. Complication of central venous access. In: Hamilton
H, Boedenham A, eds. Central venous catheter. 1st edition. West Sussex: Wiley-
Blackwell; 2009. p. 175-205.
Pendahuluan
Pemeriksaan radiografi thorax konvensional sangat terbatas
penggunaannya karena hanya dapat menggambarkan thorax yang tiga
dimensi menjadi gambar dua dimensi sehingga ada tumpang tindih dari
organ yang digambarkan. Sejak diperkenalkan pada tahun 1971 X-ray
computed tomography (CT) telah mengalami perkembangan yang sangat pesat
dan menjadi alat pemeriksaan diagnostik yang esensial karena kelebihannya
dalam menyajikan gambaran dalam bentuk potong lintang sehingga tidak
terjadi tumpang tindih organ seperti pada radiografi konvensional. Meskipun
hasil CT scan thorax di ekspertise oleh radiolog, sangat penting bila internis
mampu menginterpretasikannya karena informasi klinis yang didapat
internis akan menambah rincian informasi dari interpretasi CT scan thorax.
Prinsip dasar CT
CT scan dapat membuat banyak pengukuran dari perbedaan sudut rotasi
pancaran sinar X-ray dan atenuasi sinar X-ray (intensitas dan ketajaman)
pada thorax sehingga didapatkan data-data yang direkonstruksi sehingga
mendapatkan gambaran digital yang representatif. Kuantitas pengukuran
fraksi dari radiasi yang dilepaskan alat CT yang melewati organ-organ tubuh
akan memberikan skala radiodensitas yang diekspresikan dalam Hounsfield
Units (HU), dimana pengukuran air adalah nol dalam skala ini. Organ yang lebih
padat daripada air akan mengalami atenuasi hasil positif HU, contohnya otot,
hati dan tulang. Sedangkan organ yang tidak padat akan menurunkan atenuasi
sehingga memberikan hasil egiong HU, contohnya paru-paru dan jaringan
egion. CT scanners terbaru saat ini menggunakan multiple row detector helical
yang lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Pasien akan bergerak masuk
kedalam alat scanner yang berotasi secara kontinu, sementara itu sejumlah
foto akan dibuat dalam hitungan detik.
Gambar
Gambar 1. Tingkatan
1. Tingkatan densitas
densitas pada berbagai
pada berbagai jaringan
jaringan tubuh.
tubuh.
dikasi CTIndikasi
Thorax CT Thorax
Banyak
sekali
Banyakindikasi pemeriksaan
sekali indikasi CT thorax,
pemeriksaan bahkan
CT thorax, CTCT
bahkan merupakan
merupakanpemeriksaan
ku emas untuk diagnosis
pemeriksaan bakuemboli paru.diagnosis
emas untuk CT thorax
emboli paru. CT thorax seringkali
egion gm e egiongme diperlukan
seringkali diperlukan dalam merencanakan pemasangan insersi double-lumen
lam merencanakan pemasangan insersi double-lumen tube. Di intensive care unit (ICU)
meriksaantube. Di intensive care unit (ICU), pemeriksaan CT thorax tidak hanya egi
CT thorax tidak hanya egi mendiagnosis penyakit paru intertisial, infeksi dan
mendiagnosis penyakit paru intertisial, infeksi dan acute respiratory distress
ute respiratory distress syndrome (ARDS) tetapi juga egi mendeteksi pneumothorax yang
syndrome (ARDS) tetapi juga egi mendeteksi pneumothorax yang minimal dan
inimal danefusi
efusipleura
pleura terlokalisir yang membutuhkan terapi intervensi.
terlokalisir yang membutuhkan terapi intervensi.
Tipe CT thorax
1. Standard atau conventional CT:
Pemeriksaan dengan menggunakan conventional CT akan menghasilkan
potongan yang tipis dengan ketebalan 3-10 mm. Scan dilakukan dengan
dosis radiasi yang cukup besar.
2. High-resolution CT thorax
Penggunaan high-resolution CT thorax (HRCT) sangat penting untuk
menilai arsitektur paru. Pemeriksaan ini dapat menghasilkan potongan
yang lebih tipis dengan ketebalan antara 1 hingga 1,5 mm. Selain itu
juga menurunkan dosis radiasi hingga 90% dibandingkan volume helical
CT scan. Keuntungan ini sangat bermanfaat bagi pasien yang berusia
muda dan membutuhkan pemeriksaan CT scan berulang-ulang untuk
menilai parenkim paru pada kondisi seperti bronkiektasis, penyakit
paru intertisial, emfisema, sarkoidosis dan infeksi atipikal, contohnya
tuberculosis paru ataupun infeksi paru akibat jamur.
3. Low Dose CT
Penggunaan Low Dose CT hanya 30 sampai 50% dari dosis radiasi
regular CT tetapi menghasilkan gambaran yang kurang rinci. Adapun
kegunaannya adalah untuk skrining dan pemantauan terapi
4. CT angiography
Pemeriksaan CT angiography dilakukan dengan memberikan injeksi
kontras melalui vena perifer untuk menilai emboli paru, aneurisma
aorta, diseksi aorta, malformasi arteri-vena dan mengevaluasi sindrom
vena cava superior.
5. CT dengan kontras
Penggunaan media kontras melalui injeksi intra vena akan meyakinkan
identifikasi anatomi egiong, membedakannya dengan struktur non
vaskuler yang berdekatan dan memudahkan deteksi serta mengenali
lesi yang patologis. Selain itu juga dapat membantu penilaian struktur
mediastinum, penyakit pleura kronis, massa paru dan membedakan
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 783
Zen Ahmad, R.A. Linda A.