Anda di halaman 1dari 1100

KUMPULAN NASKAH

PERTEMUAN ILMIAH NASIONAL KE-17 (PIN XVII)


PAPDI TAHUN 2019

Update in Diagnostic Procedures


and Treatment in Internal Medicine:
Towards Evidence Based Competency

Editor:
Rudy Hidayat, Edy Rizal Wachyudi, Evy Yunihastuti, Andhika Rachman,
Rudi Putranto, Erni Juwita Nelwan, Simon Salim,
Juferdy Kurniawan, Ni Made Hustrini, Dicky Levenus Tahapary,
Hasan Maulahela, Herikurniawan
Kumpulan Naskah
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI
Tahun 2019
Tema
Update in Diagnostic Procedures and Treatment in Internal Medicine:
Towards Evidence Based Competency

Hotel Shangri-La, Surabaya - Jawa Timur


4 - 6 Oktober 2019

Editor
Rudy Hidayat
Edy Rizal Wachyudi
Evy Yunihastuti
Andhika Rachman
Rudi Putranto
Erni Juwita Nelwan
Simon Salim
Juferdy Kurniawan
Ni Made Hustrini
Dicky Levenus Tahapary
Hasan Maulahela
Herikurniawan

Pengurus Besar
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Kumpulan Naskah
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI Tahun 2019
Tema: Update in Diagnostic Procedures and Treatment in Internal Medicine:
Towards Evidence Based Competency
Susunan Panitia
Ketua Panitia : Dr. dr. Eka Ginanjar, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, FICA
Wakil Ketua 1 : Dr. dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, K-AI, FINASIM
Wakil Ketua 2 : dr. Hermawan Susanto, SpPD, FINASIM
Sekretaris : - dr. Adityo Susilo, SpPD, K-PTI, FINASIM
- dr. Novira Widajanti, SpPD, K-Ger, FINASIM
Bendahara : dr. Rahmah Safitri Meutia, SpPD, FINASIM
Seksi Ilmiah:
- Dr. dr. Rudy Hidayat, SpPD, K-R, FINASIM (Koordinator)
- dr. Edy Rizal Wachyudi, SpPD, K-Ger, FINASIM
- Dr. dr. Evy Yunihastuti, SpPD, K-AI, FINASIM
- Dr. dr. Andhika Rachman, SpPD, K-HOM, FINASIM
- dr. Rudi Putranto, SpPD, K-Psi, FINASIM, MPH
- dr. Erni Juwita Nelwan, PhD, SpPD, K-PTI, FINASIM, FACP
- dr. Simon Salim, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, FICA, AIFO, M.Kes
- Dr. dr. Juferdy Kurniawan, SpPD, K-GEH, FINASIM
- dr. Ni Made Hustrini, SpPD, K-GH
- dr. Dicky Levenus Tahapary, PhD, SpPD
- dr. Hasan Maulahela, SpPD
- dr. Herikurniawan, SpPD
- Dr. dr. Erwin Astha Triyono, SpPD, K-PTI, FINASIM
- dr. Imam Soewono, SpPD, FINASIM
- dr. Nunuk Mardiana, SpPD, K-GH, FINASIM

Editor: Rudy Hidayat, Edy Rizal Wachyudi, Evy Yunihastuti,


Andhika Rachman, Rudi Putranto, Erni Juwita Nelwan, Simon Salim,
Juferdy Kurniawan, Ni Made Hustrini, Dicky Levenus Tahapary,
Hasan Maulahela, Herikurniawan

Reviewer: Rudy Hidayat

150 x 230 mm

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang:


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara dan bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan oleh:
Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Jl. Salemba I No. 22-D, Senen, Jakarta Pusat, Indonesia 10430
KONTRIBUTOR

Agus Siswanto Andri Reza Rahmadi


Divisi Psikosomatik, Divisi Reumatologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Sardjito - Fakultas Kedokteran, RSUP Dr. Hasan Sadikin -
Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Padjadjaran, Bandung

Aida Lydia Arifin


Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi - Fakultas Kedokteran
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta Arif Mansjoer
Cardiac ICU
Alvina Widhani Pelayanan Jantung Terpadu RSCM
Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Divisi Kardiologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - RSCM-FKUI, Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta Arina Widya Murni
Divisi Psikosomatik,
Ami Ashariati Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Hematologi Onkologi Medik, RSUP Dr. M. Jamil – Fakultas Kedokteran
Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Universitas Andalas, Padang
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya Arto Yuwono Soeroto
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis,
Andi Fachruddin Benyamin Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Hematologi Onkologi Medik, RSUP Dr. Hasan Sadikin - FK Universitas
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Padjadjaran, Bandung
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo -
Fakultas Kedokteran Universitas Askandar Tjokroprawiro
Hasanuddin, Makassar Surabaya Diabetes and Nutrition Center –
Dr. Soetomo General Academic Hospital,
Andreas Aries Setiawan Faculty of Medicine Airlangga University,
Divisi Kardiologi, Surabaya
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 iii


Aulia Rizka Chandra Irwanadi Mohani
Divisi Geriatri, Divisi Ginjal Hipertensi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya
Jakarta
Cleopas Martin Rumende
Awalia Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis,
Divisi Reumatologi, Departemen/ Departemen Ilmu Penyakit Dalam
SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Universitas Airlangga, Surabaya Jakarta

Bagus Putu Putra Suryana David Handojo Muljono


Divisi Reumatologi, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta
Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran Deddy Nur Wachid Achadiono
Universitas Brawijaya, Malang Divisi Reumatologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Bogi Pratomo Wibowo RSUP Dr. Sardjito - Fakultas Kedokteran,
Divisi Gastroenterohepatologi, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
RSUD dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, Malang Dewa Ayu Putri Sri Masyeni
Divisi Tropik dan Infeksi,
Budi Widodo Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Gastroentero-Hepatologi, RS Sanjiwani Gianyar -
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran & Ilmu Kesehatan
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Warmadewa, Bali
Universitas Airlangga, Surabaya
Dono Antono
Cesarius Singgih Wahono Divisi Kardiologi,
Divisi Reumatologi, Departemen/ Departemen Ilmu Penyakit Dalam
SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
RSUD Dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Fakultas Kedokteran Jakarta
Universitas Brawijaya, Malang
E. Mudjaddid
Ceva Wicaksono Pitoyo Divisi Psikosomatik dan Paliatif,
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Jakarta

iv Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Eka Ginanjar Gatot Soegiarto
Divisi Kardiologi, Divisi Alergi dan Imunologi Klinik,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya
Jakarta
Gede Kambayana
Eko Adhi Pangarsa Divisi Reumatologi,
Divisi Hematologi dan Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah - Fakultas Kedokteran
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar
Universitas Diponegoro, Semarang
Haerani Rasyid
Eko E. Surachmanto Departemen Ilmu Penyakit Dalam -
Divisi Alergi dan Imunologi, Departemen Ilmu Gizi Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo -
RSUP Prof. dr. R.D. Kandou - Fakultas Kedokteran Universitas
Fakultas Kedokteran Hasanuddin, Makassar
Universitas Sam Ratulangi, Manado
Hamzah Shatri
Erwin Astha Triyono Divisi Psikosomatik dan Paliatif,
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
RSUD Dr. Soetomo, Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Universitas Airlangga, Surabaya Jakarta

Evy Yunihastuti Hasyim Kasim


Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Divisi Ginjal Hipertensi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - RSUP dr. Moh Hoesin - Fakultas Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Sriwijaya, Palembang
Jakarta
Heni Retnowulan
Faridin HP Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis,
Divisi Reumatologi, Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr Sardjito - Fakultas Kedokteran,
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo - Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Universitas Hasanuddin, Makassar

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 v


I Wayan Sudhana Jusri Ichwani
Divisi Ginjal Hipertensi, Divisi Geriatri,
Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Sanglah - Fakultas Kedokteran RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Denpasar Universitas Airlangga, Surabaya

Idrus Alwi Ketut Suastika


Divisi Kardiologi, Divisi Endokrinologi dan Metabolisme,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - RSUP Sanglah - Fakultas Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Denpasar
Jakarta
Kurnia Fitri Jamil
Iris Rengganis Divisi Penyakit dan Tropik Infeksi,
Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Bagian/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Zainoel Abidin -
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Banda Aceh
Jakarta
Lita Diah Rahmawati
Irsan Hasan Divisi Reumatologi,
Divisi Hepatobilier, Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Universitas Airlangga, Surabaya
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta Lukman Hakim Makmun
Divisi Kardiologi,
Iswan Abbas Nusi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Gastroentero-Hepatologi, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Jakarta
Universitas Airlangga, Surabaya
Maimun Syukri
Jongky Hendro Prayitno Divisi Penyakit dan Tropik Infeksi,
Divisi Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Bagian/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Zainoel Abidin -
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala,
Universitas Airlangga, Surabaya Banda Aceh

Juferdy Kurniawan Muhammad Begawan Bestari


Divisi Hepatobilier, Divisi Gastroenterohepatologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - RSUP Dr. Hasan Sadikin -
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran,
Jakarta Bandung

vi Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Muhammad Diah Yusuf Novira Widajanti
Divisi Kardiologi, Divisi Geriatri,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD dr. Zainoel Abidin - RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Universitas Airlangga, Surabaya
Banda Aceh
Nunuk Mardiana
M. Syahrir Azizi Divisi Ginjal Hipertensi,
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Universitas Airlangga, Surabaya
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta Paulus Novian Harijanto
Bagian Penyakit Dalam, RSU Bethesda
Nanny NM Soetedjo Tomohon
Divisi Endokrinologi dan Metabolisme,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Pendrik Tandean
RSUP Dr. Hasan Sadikin - Divisi Kardiologi,
Fakultas Kedokteran Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Padjadjaran, Bandung RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo -
Fakultas Kedokteran
Ni Made Hustrini Universitas Hasanuddin, Makassar
Divisi Ginjal Hipertensi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Poernomo Boedi Setiawan
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Divisi Gastroentero-hepatologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Jakarta RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya
Noor Asyiqah Sofia
Divisi Psikosomatik, Prayudi Santoso
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis,
RSUP Dr Sardjito - Fakultas Kedokteran, Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan RSUP Dr. Hasan Sadikin -
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, Bandung
Noto Dwimartutie
Divisi Geriatri, Putut Bayupurnama
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi,
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUP Dr Sardjito - Fakultas Kedokteran,
Jakarta Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 vii


Ria Bandiara Rulli Rosandi
Divisi Ginjal Hipertensi, Divisi Endokrin Metabolik dan Diabetes,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP dr. Hasan Sadikin - RSUD Dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, Malang
Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, Bandung
RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo
Divisi Reumatologi,
Rino Alvani Gani
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Hepatobilier,
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
Satriawan Abadi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Rizka Humardewayanti Asdie
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo -
Divisi Penyakit Tropik Infeksi,
Fakultas Kedokteran Universitas
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Hasanuddin, Makassar
RSUP Dr Sardjito - Fakultas Kedokteran,
Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Simon Salim
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Divisi Kardiologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Robert Sinto
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Jakarta
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Soebagijo Adi Soelistijo
Jakarta
Divisi Endokrinologi Metabolik dan Diabetes,
Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Rudi Putranto
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
Divisi Psikosomatik dan Paliatif,
Universitas Airlangga, Surabaya
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
Sri Soenarti
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Divisi Geriatri dan Gerontologi Medik,
Jakarta
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran
Rudy Hidayat
Universitas Brawijaya, Malang
Divisi Reumatologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Sukamto Koesnoe
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
Divisi Alergi dan Imunologi Klinik,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Jakarta
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta

viii Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Syamsu Indra Wika Hanida Lubis
Divisi Kardiologi, Divisi Psikosomatik,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUP dr. Moh Hoesin - Fakultas Kedokteran RSUP. H. Adam Malik - Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, Palembang Universitas Sumatera Utara, Medan

Syifa Mustika Wulyo Rajabto


Divisi Gastroenterohepatologi, Divisi Hematologi Onkologi Medik,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo -
Universitas Brawijaya, Malang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
Taufik Indrajaya
Divisi Kardiologi, Yuanita Asri Langi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Endokrinologi dan Metabolik,
RSUP dr. Moh Hoesin - Fakultas Kedokteran KSM Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Sriwijaya, Palembang RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou -
Fakultas Kedokteran
Tjokorda Gde Dalem Pemayun Universitas Sam Ratulangi, Manado
Divisi Endokrinologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Yuliasih
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Divisi Reumatologi,
Universitas Diponegoro, Semarang Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
Tri Juli Edi Tarigan Universitas Airlangga, Surabaya
Divisi Metabolik Endokrin,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Zen Ahmad
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Divisi Pulmonologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Jakarta RSUP dr. Moh. Hoesin - Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, Palembang
Tuti Parwati Merati
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Zulkhair Ali
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal Hipertensi,
RSUP Sanglah - Fakultas Kedokteran Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Udayana, Denpasar RSUP dr. Moh Hoesin - Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, Palembang
Ugroseno Yudho Bintoro
Divisi Hematologi Onkologi Medik,
Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 ix


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya sehingga kita diberikan kekuatan untuk kembali
melaksanakan Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) PAPDI ke XVII serta kembali
menyelesaikan buku makalah lengkap PIN.

Ilmu kedokteran tidak pernah berhenti berkembang, yang dengan


demikian bagi seorang dokter, profesinya adalah suatu perjalanan mencari
ilmu sepanjang hidup. Oleh sebab itu adalah tugas dari penyelenggaraan
PIN untuk terus-menerus menyajikan perkembangan terbaru dalam bidang
Ilmu Penyakit Dalam baik dari segi keilmuan maupun keterampilan, sehingga
dapat juga terus menerus meningkatkan kemampuan klinis Dokter Spesialis
Penyakit Dalam di Indonesia. Materi ilmiah pada PIN kali ini sebagian besar
merupakan materi yang telah ada pada PIN terdahulu, namun dengan makalah
yang sedapat mungkin berbeda atau menampilkan isi dan penulis yang
berbeda sehingga diharapkan selalu ada tambahan ilmu dan sudut pandang
yang berbeda dibanding PIN sebelumnya. Sebagian kecil lain adalah materi
yang sama sekali baru.

Kami menyadari buku ini akan banyak kekurangan, masukan dari saran
Sejawat akan sangat bermanfaat bagi kami. Kepada para penulis yang telah
meluangkan waktunya memberikan makalah lengkap PIN XVII PAPDI serta
semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan buku ini, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga buku ini dan seluruh materi PIN XVII PAPDI di Surabaya ini
bermanfaat bagi para Sejawat dalam menatalaksana pasien di tempat Sejawat
bekerja, karena pada akhirnya semua upaya kita ini adalah demi pasien yang
telah mempercayakan jiwa dan raganya pada kita. Selamat membaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Jakarta, Oktober 2019

Tim Editor

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 xi


KATA SAMBUTAN
KETUA PANITIA PIN XVII PAPDI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.



Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas izin dan
kehendak-Nya kita dapat bertemu kembali pada Pertemuan Ilmiah Nasional
(PIN) ke XVII PAPDI di Surabaya. Tema yang diangkat pada PIN XVII PAPDI ini
adalah Update in Diagnostic Procedures and Treatment in Internal Medicine:
Towards Evidence Based Competency.

Tujuan utama diselenggarakannya PIN PAPDI adalah membantu


para Internis di seluruh Indonesia untuk meningkatkan keterampilan dan
memperbarui ilmu pengetahuan, khususnya di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Kami berharap dengan adanya acara PIN PAPDI, para Dokter Spesialis Penyakit
Dalam mampu memperoleh pengetahuan dan keterampilan tambahan dalam
rangka peningkatan pelayanan secara holistik kepada masyarakat. Selain itu,
kita juga bersama-sama mengetahui bahwa beberapa tahun yang akan datang,
kita akan memasuki masa pasar bebas di bidang kesehatan, sehingga para
Internis dituntut untuk selalu melakukan pembaruan terhadap perkembangan
penanganan pasien sehingga pada akhirnya selalu dapat menjadi tuan rumah
untuk pelayanan kesehatan di negaranya sendiri.

Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada para


Pembicara dan seluruh Panitia yang telah berusaha keras mempersiapkan
segala sesuatunya bagi terselenggaranya pelaksanaan PIN ke XVII ini. Khusus
kepada para Penulis Buku Naskah PIN XVII PAPDI serta kepada Tim Editor
saya memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya sehingga buku ini
bisa berada di teman Sejawat sekalian. Akhirnya tidak ada gading yang tidak
retak, saya mohon maaf jika ada hal yang kurang tepat dalam penulisan buku
ini. Kami berharap semoga buku ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Jakarta, Oktober 2019

Dr. dr. Eka Ginanjar, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, FICA


Ketua Panitia PIN XVII PAPDI

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 xiii


KATA SAMBUTAN
KETUA UMUM PB PAPDI
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kita masih diberikan nikmat sehat dan dapat bertemu
kembali pada Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) XVII PAPDI di Surabaya.
Sebagai seorang profesional, dokter harus senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu dan teknologi sehingga dapat memberikan pelayanan
yang terbaik sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi tersebut. Di bidang
Ilmu Penyakit Dalam, salah satu kegiatan ilmiah dalam skala nasional yang
diselenggarakan PB PAPDI bekerjasama dengan PAPDI cabang setiap tahun
adalah acara Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN).
Acara PIN yang terdiri dari kursus dan simposium, dengan jumlah kursus
yang besar meliputi semua keilmuan di bidang ilmu penyakit dalam dan
simposium dengan topik-topik perkembangan ilmu dan teknologi saat ini.
Kami sangat menyadari bahwa pemahaman dan keterampilan tidak diperoleh
dari satu kali mengikuti kursus maupun simposium, namun diperoleh dari
asahan dan tempaan dalam penanganan pasien secara langsung. Selain itu,
dibutuhkan pula kesinambungan seorang dokter untuk senantiasa mengikuti
informasi terkini dan ajang diskusi pada acara pendidikan kedokteran
berkelanjutan
Tak lupa kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
para Penulis dan Tim Editor yang telah menyelesaikan buku ini serta kepada
semua Panitia atas kerja kerasnya dalam menyelenggarakan acara PIN XVII
PAPDI.
Semoga sejawat sekalian dapat mengambil manfaat yang sebanyak-
banyaknya pada semua acara PIN tahun ini dan buku yang telah kami
terbitkan.
Sampai bertemu pada PIN XVIII PAPDI tahun 2020 di Padang, Sumatera Barat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Jakarta, Oktober 2019

Dr. dr. Sally A. Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP


Ketua Umum PB PAPDI

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 xv


DAFTAR ISI
Kata Pengantar Tim Editor........................................................................................................... xi

Kata Sambutan Ketua Panitia PIN XVII PAPDI.............................................................. xiii

Kata Sambutan Ketua Umum PB PAPDI ........................................................................... xv

KULIAH UMUM
Peran Internis dalam Tatalaksana Gagal Jantung
Idrus Alwi................................................................................................................................. 1

SIMPOSIUM

Protein Provision to Improve Patient’s Outcome


Haerani Rasyid....................................................................................................................... 21

Reducing Cardiovascular Risk: Beyond Statin Monotherapy


(The Role of the FDC Ezetimibe – Atorvastatin)
Askandar Tjokroprawiro..................................................................................................... 29

Role of Specific Enteral Nutrition to Improve Health Condition


in Cirrhotic Patients
Rino Alvani Gani.................................................................................................................... 40

The Role of Specific Enteral Nutrition for CKD Predialysis Patients


for Prevent Disease Progression
Ria Bandiara............................................................................................................................ 46

Diagnostic Challenges in Functional Dyspepsia


Putut Bayupurnama............................................................................................................ 54

Integrative Treatment in Functional Dyspepsia


Arina Widya Murni................................................................................................................ 60

Pengelolaan Dislipidemia pada Penderita Prediabetes dan Diabetes


Ketut Suastika........................................................................................................................ 71

Drug Induced Liver Injury: Pathogenesis-Based Treatment Strategies


Irsan Hasan, Monica Raharjo............................................................................................. 80

Targeting HMGB1: Strategy for Antifibrotic Therapy


David Handojo Muliono..................................................................................................... 88

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 xvii


Peran Antikoagulan pada Sindrom Koroner Akut
Idrus Alwi................................................................................................................................. 104

Kriteria Diagnostik Novel Malnutrisi dan Tindak Lanjut Pasien:


Selain BMI (Body Mass Index)
Poernomo Boedi Setiawan................................................................................................ 119

Antifungal Therapy in Critically Ill Patients:


When, How, What’s the Choice?
Erwin Astha Triyono............................................................................................................. 123

Profilaksis Tromboemboli Vena Penyebab Mortalitas


Pasien-Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit yang Bisa Dihindari
Wulyo Rajabto........................................................................................................................ 130

Manajemen VTE: Penggunaan Panduan dalam Praktik Klinis


Ami Ashariati.......................................................................................................................... 140

WORKSHOP

Update Diagnosis TB Resistan Obat


Prayudi Santoso.................................................................................................................... 153

Manajemen Komprehensif Tuberkulosis Resisten Obat


Heni Retnowulan.................................................................................................................. 161

Diagnosis dan Penatalaksanaan Tirotoksikosis (Hipertiroid)


dalam Kehamilan
Yuanita Asri Langi................................................................................................................. 177

Pendekatan Diagnostik Penyakit Ginjal Kronik:


Pentingnya Deteksi Dini dan Pencegahan
Hasyim Kasim......................................................................................................................... 188

Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik


Zulkhair Ali.............................................................................................................................. 197

Tatalaksana Hepatitis C Terbaru dengan DAA (Direct Acting Antivirus)


Juferdy Kurniawan............................................................................................................... 206

Ansietas (Gangguan Cemas)


E. Mudjaddid.......................................................................................................................... 218

xviii Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis dan Manajemen Depresi
Wika Hanida Lubis................................................................................................................ 226

Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi


Deddy Nur Wachid Achadiono........................................................................................ 236

Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut


Syamsu Indra.......................................................................................................................... 274

Terapi Intervensi pada Sindrom Koroner Akut


Eka Ginanjar............................................................................................................................ 304

Kemoterapi dan Efek Samping


Andi Fachruddin Benyamin, Dimas Bayu..................................................................... 311

Konsep Dasar Ventilasi Mekanik


Arifin......................................................................................................................................... . 317

Peran USG dalam Diagnosis dan Tata Laksana Efusi Pleura


Cleopas Martin Rumende.................................................................................................. 325

Efek Samping dan Pemantauan Keberhasilan Terapi Antiretrovirus


Evy Yunihastuti...................................................................................................................... 339

Pendekatan Diagnosis dan Alur Penatalaksanaan Nodul Tiroid


Tjokorda Gde Dalem Pemanyun..................................................................................... 346

Penatalaksanaan Terkini Differentiated Thyroid Ca (DTC)


Jongky Hendro Prayitno.................................................................................................... 354

Diagnosis Invasif dan Non-Invasif Sirosis Hepatis


Syifa Mustika........................................................................................................................... 364

Pendekatan Komprehensif Pasien Rawat Jalan


dengan Sirosis Hepatis
Rino Alvani Gani.................................................................................................................... 376

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Gastroesofageal Reflux Disease (GERD)
Iswan Abbas Nusi.................................................................................................................. 385

Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular


Aida Lydia................................................................................................................................ 392

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 xix


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi
di Indonesia
Sri Soenarti.............................................................................................................................. 411

Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Delirium pada Usia Lanjut


di Instalasi Gawat Darurat
Noto Dwimartutie................................................................................................................ 438

Dasar Terapi Relaksasi pada Gangguan Psikosomatik


Rudi Putranto......................................................................................................................... 454

Terapi Relaksasi Gangguan Psikosomatis


pada Kasus-Kasus Penyakit Kronis:
Fokus pada Latihan Pasrah Diri (LPD)
Agus Siswanto, Deddy Nur Wachid A., Rico Novyanto, Yohana Sahara,
H.A.H. Asdie............................................................................................................................ 459

Diagnosis Osteoporosis
Rudy Hidayat.......................................................................................................................... 470

Tata Laksana Osteoporosis


Andri Reza Rahmadi............................................................................................................ 475

Diagnosis dan Tata Laksana Gout: Rekomendasi di Indonesia


Awalia....................................................................................................................................... 489

Penatalaksanaan Komprehensif Gout


Gede Kambayana................................................................................................................. 499

Transfusi Darah Masif pada Kasus Emergensi


Ugroseno Yudho Bintoro................................................................................................... 507

Enteral and Parenteral Nutrition Concept in Critically Ill


Haerani Rasyid....................................................................................................................... 512

Perubahan Metabolisme dan Terapi Nutrisi pada Pasien Sakit Kritis


Ceva Wicaksono Pitoyo...................................................................................................... 519

Ekokardiologi Dasar: B-mode, M-mode,


dan Evaluasi Vena Kava Inferior
Andreas Arie Setiawan........................................................................................................ 530

Penentuan Rejimen dan Komplikasi CAPD


Ni Made Hustrini................................................................................................................... 537

xx Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Bagaimana Memilih Antikoagulan Antagonis Non-Vitamin K Oral
pada Fibrilasi Atrial
Idrus Alwi................................................................................................................................. 547

Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia


Bogi Pratomo Wibowo....................................................................................................... 563

Diabetes Melitus and Renal Protection in Clinical Practice


Where Do DPP4I FIT within Today’s Treatment Paradigm for Patients
with Type 2 Diabetes and Renal Impairment?
Chandra Irwanadi Mohani................................................................................................. 579

Gagal Jantung Kronik


Lukman Hakim Makmun.................................................................................................... 594

Tata Laksana Pasca Paparan HIV pada Petugas Kesehatan


Alvina Widhani...................................................................................................................... 601

Pencegahan Penularan Pasca Paparan Hepatitis B dan Hepatitis C


pada Petugas Kesehatan
Muhammad Begawan Bestari, Aditya Herbiyantoro............................................... 605

Tata Laksana Syok Dengue


Dewa Ayu Putri Sri Masyeni.............................................................................................. 611

Pengelolaan Hipertensi dengan Komorbiditas Spesifik


Eka Ginanjar............................................................................................................................ 627

Langkah-Langkah Pemeriksaan USG Muskuloskeletal Lutut


RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo........................................................................... 635

Peran Ultrasound pada Tata Laksana Penyakit Reumatik:


Fokus pada Sendi Lutut
Bagus Putu Putra Suryana................................................................................................. 641

Tata Laksana Inkontinensia Urin pada Pasien Geriatri oleh Internis


Novira Widajanti................................................................................................................... 648

Apa, Mengapa dan Bagaimana: Inisiasi Dini Penggunaan Insulin


dalam Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2
Rulli Rosandi........................................................................................................................... 659

Intensifikasi Terapi Insulin di Rawat Jalan:


Strategi Langkah Berikutnya untuk Kontrol Glikemik yang Lebih Baik
Tri Juli Edi Tarigan................................................................................................................. 667

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 xxi


Prinsip Pencegahan dan Tatalaksana Obesitas pada Orang Dewasa
Nanny N.M. Soetedjo........................................................................................................... 672

Problematika Pemberian Vaksin pada Orang Dewasa


Iris Rengganis, Anshari S. Hasibuan............................................................................... 679

Vaksinasi Influenza pada Orang Dewasa:


Fokus pada Vaksin Kuadrivalen
Eko E. Surachmanto............................................................................................................. 683

Diagnosis dan Evaluasi Klinis Pasien Hipertensi


Maimun Syukri....................................................................................................................... 690

Penatalaksanaan Hipertensi dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular


I Wayan Sudhana.................................................................................................................. 701

Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif


Hamzah Shatri........................................................................................................................ 716

Manajemen Sesak Nafas pada Pasien Paliatif


Noor Asyiqah Sofia............................................................................................................... 738

Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer


Muhammad Diah Yusuf...................................................................................................... 744

Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer


Dono Antono......................................................................................................................... 756

Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik pada HIV/AIDS


Tuti Parwati Merati............................................................................................................... 768

Dasar Pemasangan Akses Kateter Vena Sentral


Arif Mansjoer.......................................................................................................................... 774

Pemeriksaan CT Scan Thorax


Zen Ahmad, R.A. Linda A.................................................................................................... 781

TORCH Kapan di Terapi?


Rizka Humardewayanti Asdie.......................................................................................... 797

Infeksi TORCH pada Pasien Terinfeksi HIV: Apakah Perlu Diterapi?


Robert Sinto............................................................................................................................ 823

xxii Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Multidimensi
dengan Comprehensive Geriatric Assesment (CGA)
untuk Tata Laksana Kanker pada Geriatri
Aulia Rizka............................................................................................................................... 833

Terapi Kanker Pasien Geriatri


Eko Adhi Pangarsa................................................................................................................ 839

Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi


Pendrik Tandean................................................................................................................... 845

Teknik Injeksi Intraartikular Lutut


Lita Diah Rahmawati............................................................................................................ 864

Peran Asam Hyaluronat pada Terapi Osteoartritis


Cesarius Singgih Wahono.................................................................................................. 870

Update Management of Acute Pancreatitis


Budi Widodo, Meridian....................................................................................................... 879

Peran Internis pada Tata Laksana Demensia


Jusri Ichwani........................................................................................................................... 890

Hiponatremia dan Hipernatremia


Nunuk Mardiana................................................................................................................... 907

What Have We Learned From Diabetes CVOT:


Implication to Daily Practice
Soebagijo Adi Soelistijo..................................................................................................... . 918

Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat dalam Praktek Klinis


Gatot Soegiarto..................................................................................................................... 928

Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien


dengan Alergi Obat
Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan....................................................................... 942

Diagnosis Aritmia oleh Internis


Taufik Indrajaya..................................................................................................................... 960

Terapi Komprehensif Aritmia


Simon Salim............................................................................................................................ 969

Diagnosis dan Tata Laksana Malaria Berat


Paulus Novian Harijanto..................................................................................................... 986

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 xxiii


Pengenalan dan Tata Laksana Malaria Knowlesi
Kurnia Fitri Jamil.................................................................................................................... 995

Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis pada Keadaan Khusus


Arto Yuwono Soeroto......................................................................................................... 1005

Diagnosis Artritis Reumatoid: Kriteria Klinis dan Laboratoris


Faridin HP, Achmad Fikry F............................................................................................... 1018

Tata Laksana Komprehensif Artritis Reumatoid:


Rekomendasi yang Terbaru
Yuliasih..................................................................................................................................... 1027

Penatalaksanaan Perioperatif pada Populasi Khusus


Satriawan Abadi.................................................................................................................... 1035

USG Doppler Ekstremitas Bawah


Eka Ginanjar, M. Syahrir Azizi, Salwa Badrudin.......................................................... 1049

Ultrasonografi Pembuluh Darah Carotis


M. Syahrir Azizi, Eka Ginanjar, Andarisa Rachman, Salwa Badrudin................... 1059

xxiv Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


KULIAH UMUM
Peran Internis dalam Tata Laksana Gagal Jantung
Idrus Alwi
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Gagal jantung (GJ) merupakan suatu sindrom klinis pada sistem
kardiovaskular dengan prevalensi dan insiden yang terus meningkat.1
Tata laksana GJ terus berkembang dengan berbagai uji klinis dalam upaya
menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pedoman dari European Society of
Cardiology (ESC) tahun 2016 dan American College of Cardiology - American
Heart Association (ACC-AHA) tahun 2017 telah memasukkan obat baru
angiotensin II receptor blocker neprilysin inhibitor (ARNI) dalam tata laksana
terkini GJ.2, 3 Meskipun terdapat kemajuan yang bermakna pada bidang
farmakologi dan terapi, namun angka kesakitan (morbiditas) dan angka
kematian (mortalitas) pada pasien gagal jantung masih tetap tinggi.2

Adanya komorbiditas mempunyai peran penting dalam tata laksana


gagal jantung (GJ) (Tabel 1) dan dapat mempengaruhi terapi GJ (contohnya
pada beberapa pasien dengan disfungsi ginjal berat, penghambat sistem
renin-angiotensin tidak dapat digunakan). Selain itu, obat-obatan yang
digunakan untuk mengobati komorbiditas dapat menyebabkan perburukan
GJ (contohnya OAINS [obat anti-inflamasi non-steroid] yang diberikan untuk
artritis dan beberapa obat-obatan anti-kanker).

Tata laksana komorbiditas merupakan komponen kunci dalam tata


laksana holistik pasien dengan GJ. Dokter spesialis penyakit dalam (internist)
mempunyai peran penting dalam tata laksana pasien GJ mulai dari faktor
risiko GJ sampai tata laksana GJ lanjut. Selain itu, GJ sering disertai penyakit
komorbid di bidang penyakit dalam sehingga perlu penanganan secara
holistik sesuai dengan konsep penatalaksanaan di bidang penyakit dalam.

Gagal jantung dengan fraksi ejeksi terjaga (GJFET) memiliki prevalensi


komorbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan gagal jantung dengan
fraksi ejeksi berkurang (GJFEB) dan sebagian besar kondisi komorbiditas
tersebut berpengaruh terhadap progresi sindrom GJ tersebut.4

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1


Idrus Alwi

Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan Fraksi Ejeksi


Pada pedoman European Society of Cardiology (ESC) 2016, diajukan
terminologi baru GJ berdasarkan fraksi ejeksi di mana pasien GJ dengan fraksi
ejeksi 40-49% dimasukkan dalam klasifikasi sendiri yaitu GJ fraksi ejeksi
rentang tengah (GJFERT, HFmrEF – heart failure with mid range ejection
fraction) yang merupakan kelompok yang belum banyak diteliti pada berbagai
uji klinis yang akan membuka cakrawala baru penelitian di masa yang akan
datang. Pada tabel 1 dapat dilihat kriteria diagnosis GJ berdasarkan fraksi
ejeksi.

Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung (modifikasi dari 2)


Tipe GJ GJ-FEB GJ-FERT GJ-FET
Kriteria 1 Klinis Gejala ± tanda a
Gejala ± tanda a
Gejala ± tandaa
2 ECHO FEVK <40% FEVK 40-49% FEVK ≥50%
3 Lab - 1. Peningkatan kadar 1. Peningkatan kadar peptida
peptida natriuretikb; natriuretikb;
ECHO 2. Setidaknya satu 2. Setidaknya satu kriteria
kriteria tambahan tambahan berikut:
berikut: a. Penyakit jantung struktural
a. Penyakit jantung yang relevan (LVH dan/atau
struktural yang LAE).
relevan (LVH dan/ b. Disfungsi diastolik
atau LAE).
b. Disfungsi diastolik
BNP= B-type Natriuretic peptide; GJ: Gagal Jantung; GJ-FERT = Gagal Jantung Fraksi Ejeksi Rentang Tengah;
GJ-FET = Gagal Jantung Fraksi Ejeksi Terjaga; GJ-FEB = Gagal Jantung fraksi Ejeksi Berkurang; LAE = Left atrial
enlargement; FEVK = fraksi ejeksi ventrikel kiri; LVH = Left ventricular hypertrophy; NT-proBNP = N-terminal
pro-B type natriuretic peptide.
a
kemungkinan tidak ditemukan tanda-tanda kegagalan pada stadum awal GJ (terutama pada GJ-FEN) dan
pada pasien yang diberikan diuretic.
b
BNP>35 pg/ml dan/atau NT=proBNP>125 pg/ml.

Tata Laksana Gagal Jantung


Tujuan terapi pasien GJ adalah untuk memperbaiki status klinis pasien,
kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien, mencegah pasien masuk
rawat dan mengurangi angka mortalitas. Obat antagonis neuro-hormonal
[Angiotensin converting enzyme-inhibitor(ACE-I), mineralocorticoid antagonist
(MRA) dan penyekat beta] telah terbukti memperbaiki survival pada pasien
gagal jantung fraksi ejeksi berkurang (GJ-FEB) dan direkomendasikan pada
semua pasien dengan GJ-FEB, kecuali jika ditemukan kontraindikasi atau
tidak dapat ditoleransi.2

2 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis dalam Tata Laksana Gagal Jantung

Obat baru (LCZ696) yang menggabungkan ARB (valsartan) dengan


sebuah inhibitor neprilysin (NEP), yaitu sacubitril, baru-baru ini terbukti
lebih efektif dibandingkan dengan ACE-I (enalapril) dalam menurunkan risiko
kematian dan perawatan karena GJ. Oleh karena itu, Sacubitril/valsartan
direkomendasikan sebagai pengganti ACEI pada pasien GJ-FEB ambulatorik
yang tetap simtomatik walaupun telah mendapatkan terapi optimal.2

Angiotensin receptor blocker tidak terbukti dapat mengurangi angka


mortalitas secara konsisten pada pasien GJ-FEB dan penggunaannya
sebaiknya dibatasi pada pasien yang tidak dapat mentolerir ACEI. Ivabradin
dapat mengurangi peningkatan frekuensi denyut nadi yang sering terjadi
pada GJ-FEB dan terbukti dapat memperbaiki outcome. Obat-obatan tersebut
sebaiknya digunakan bersamaan dengan diuretik pada pasien dengan gejala
dan/atau tanda kongesti.2

Gambar 1. Algoritme Terapi Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Rendah yang
Simtomatis.2 Hijau: rekomendasi kelas I, kuning: rekomendasi kelas IIa.
Gambar 1. Algoritme Terapi Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Rendah yang Simtomatis.2
Pertemuan
Hijau: rekomendasi Ilmiah
kelas I, Nasional
kuning:XVII PAPDI - Surabaya
rekomendasi 2019IIa.
kelas 3
Idrus Alwi

Peran Komorbiditas dalam Tata Laksana Gagal Jantung


Tabel 1. Pentingnya Komorbiditas dalam Tata Laksana Pasien Gagal Jantung2
1. Mengganggu proses diagnosis GJ (contohnya PPOK sebagai perancu potensial dari penyebab
dispnu).
2. Memperparah gejala GJ dan lebih jauh menurunkan kualitas hidup.
3. Berkontribusi terhadap beban rawat inap dan mortalitas, merupakan penyebab utama rawat
inap ulang dalam 1 dan 3 bulan.
4. Dapat mempengaruhi tata laksana GJ (contonya penghambat sistem renin-angiotensin
dikontraindikasikan pada beberapa pasien dengan disfungsi ginjal berat atau penyekat beta
dikontraindikasikan pada asma).
5. Basis bukti untuk tata laksana GJ terbatas karena komorbiditas pada umumnya merupakan
kriteria eksklusi dalam penelitian; kurangnya efektivitas dan keamanan intervensi dengan
adanya komorbiditas.
6. Obat yang digunakan untuk menangani komorbiditas dapat menyebabkan perburukan GJ
(contohnya OAINS yang diberikan untuk artritis dan beberapa obat-obatan anti-kanker).
7. Interaksi antara obat-obatan yang digunakan untuk GJ dan yang digunakan untuk
komorbiditas dapat menyebabkan penurunan efektivitas, keamanaan yang lebih buruk dan
peningkatan terjadinya efek samping (contohnya penyekat beta untuk GJFEB dan beta-agonis
pada PPOK dan asma).
GJ = gagal jantung; PPOK = penyakit paru obstruktif kronis; GJFEB = gagal jantung dengan fraksi ejeksi
berkurang; OAINS = obat anti-inflamasi non-steroid

Diabetes
Disglikemia dan diabetes sering dijumpai pada pasien GJ dan diabetes
berhubungan dengan status fungsional dan prognosis yang lebih buruk.
Pada pasien GJFEB, intervensi yang menurunkan morbiditas dan mortalitas
menunjukkan manfaat yang sama pada pasien dengan diabetes atau tanpa
diabetes.5 Penyekat beta memperbaiki outcome serupa, baik pada pasien
dengan atau tanpa diabetes, meskipun penyekat beta yang berbeda dapat
bervariasi dalam efeknya terhadap indeks glikemik.6

Pengaruh kontrol glikemik ketat terhadap risiko kejadian kardiovaskular


pada pasien GJ masih belum jelas.7 Pada pasien GJ yang belum diterapi
untuk diabetes, HbA1c yang lebih tinggi berkaitan dengan risiko kejadian
kardiovaskular yang lebih tinggi,8, 9 namun hal ini tidak terbukti pada pasien
yang telah diberikan terapi diabetes.9

Pada pasien dengan diabetes dan GJ, kontrol glikemik harus


diimplementasikan secara bertahap, dengan pilihan obat-obatan yang telah
menunjukkan keamanan dan efektivitas, seperti metformin. Metformin aman
digunakan pada pasien dengan GJFEB dan harus menjadi pilihan utama terapi

4 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis dalam Tata Laksana Gagal Jantung

pasien GJ namun dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan hati


10, 11

dan ginjal yang berat karena risiko asidosis laktat.

Insulin diperlukan untuk pasien diabetes tipe 1 dan untuk terapi


hiperglikemia simtomatik pada pasien diabetes tipe 2 dan exhaustion sel beta
pankreas. Namun, insulin merupakan hormon penahan natrium yang kuat dan
ketika dikombinasikan dengan penurunan glukosuria, dapat mengeksaserbasi
retensi cairan, menyebabkan perburukan GJ. Derifat sulfonilurea juga
berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan GJ dan harus digunakan
dengan hati-hati.

Tiazolidinedion (glitazon) menyebabkan retensi natrium dan air,


serta peningkatan risiko memburuknya gagal jantung dan rawat inap
sehingga tidak direkomendasikan pada pasien dengan GJ.12, 13 Penghambat
dipeptidilpeptidase-4 (DPP4i; gliptin) yang meningkatkan sekresi inkretin
dan meningkatkan pelepasan insulin, serta agonis glucagon-like peptide 1
(GLP-1) yang bertindak sebagai incretin mimetics, meningkatkan indeks
glikemik tetapi tidak mengurangi dan dapat meningkatkan risiko kejadian
kardiovaskular dan memperburuk GJ.5, 14, 15 Tidak ada data mengenai keamanan
gliptin dan analog GLP-1 pada pasien dengan GJ.

Baru-baru ini, empagliflozin, inhibitor sodium-glucose co-transporter


2, mengurangi rawat inap untuk gagal jantung dan mortalitas, tetapi tidak
mengurangi infark miokard atau strok pada pasien diabetes dengan risiko
kardiovaskular tinggi, beberapa di antaranya memiliki GJ.16 Studi lain dengan
obat dari kelompok ini memperkuat hasil yang diperoleh dengan empaglifozin
dianggap sebagai bukti efek kelas inhibitor SGLT2.

Hipertensi
Hipertensi dikaitkan dengan peningkatan risiko terkena gagal jantung;
terapi antihipertensi secara nyata mengurangi kejadian gagal jantung
(dengan pengecualian penyekat α-adrenoceptor, yang kurang efektif
daripada antihipertensi lainnya dalam mencegah gagal jantung).17 Sebuah
studi kohort prospektif mendokumentasikan bahwa dalam populasi dengan
insiden GJ, tekanan darah sistolik awal, tekanan darah diastolik awal dan
tingkat tekanan nadi yang lebih tinggi dikaitkan dengan tingkat efek samping
yang lebih tinggi, yang selanjutnya mendukung pentingnya kontrol tekanan
darah optimal dalam populasi ini.18 Kontrol tekanan darah merupakan elemen
manajemen holistik pasien dengan gagal jantung.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 5


Idrus Alwi

CCB inotropik negatif (yaitu diltiazem dan verapamil) tidak boleh


digunakan untuk mengobati hipertensi pada pasien GJFEB (tetapi diyakini
aman di GJFET), dan moxonidin juga harus dihindari pada pasien dengan
GJFEB, karena meningkatkan mortalitas pada pasien dalam satu uji acak
GJFEB.19 Jika tekanan darah tidak dikontrol dengan ACEI (atau ARB), penyekat
beta, MRA dan diuretik, maka hydralazin dan amlodipin20 [atau felodipin21]
adalah obat penurun tekanan darah tambahan yang telah terbukti aman pada
GJ sistolik. Target tekanan darah yang direkomendasikan dalam pedoman
hipertensi22 berlaku untuk GJ. Hipertensi yang tidak terkontrol pada pasien
GJFEB sangat jarang jika pasien dirawat secara optimal untuk GJ. Sebaliknya,
pengobatan hipertensi adalah masalah penting pada pasien dengan GJFET.
Pada pasien dengan gagal jantung akut, nitrat intravena (atau natrium
nitroprusida) direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah.

Disfungsi Ginjal (termasuk Penyakit Ginjal Kronis, Gangguan Ginjal


Akut, Sindrom Kardio-renal, dan Obstruksi Prostat)
GJ dan PGK sering berlangsung berdampingan, berbagi banyak faktor
risiko (diabetes, hipertensi, hiperlipidemia), dan berinteraksi memperburuk
prognosis.23, 24 PGK umumnya didefinisikan sebagai eGFR < 60 mL/min/1,73
m2 dan/atau adanya albuminuria (tinggi 30 - 300 atau sangat tinggi < 300 mg
albumin/1 g kreatinin urin). Pasien dengan disfungsi ginjal berat (eGFR, 30
mL/min/1.73 m2) secara sistematis dikeluarkan dari uji klinis acak dan oleh
karena basis bukti untuk terapi pada pasien ini kurang.

Penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, disebut fungsi ginjal yang


memburuk (WRF, worsening renal failure), digunakan untuk mengindikasikan
peningkatan kreatinin serum, biasanya dengan > 26,5 mmol/L (0,3 mg/dL)
dan/atau peningkatan 25% atau penurunan 20% dalam GFR. Pentingnya
perubahan yang tampaknya kecil ini sering terjadi, mereka mempromosikan
pengembangan dan perkembangan CKD25 dan, sebagai konsekuensinya,
dapat memperburuk prognosis GJ. Peningkatan kreatinin selama rawat inap
gagal jantung akut tidak selalu relevan secara klinis, terutama ketika disertai
dengan dekongesti, diuresis, dan hemokonsentrasi.26

Peningkatan besar dalam kreatinin serum, disebut cedera ginjal akut


(AKI), relatif jarang terjadi pada gagal jantung dan mungkin terkait dengan
kombinasi terapi diuretik dengan obat-obatan nefrotoksik lainnya yang
potensial seperti beberapa antibiotik (gentamisin dan trimetoprim), media
kontras, ACEI, ARB, OAINS, dan lain-lain. Yang relevan, beberapa obat ini dapat

6 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis dalam Tata Laksana Gagal Jantung

terakumulasi jika diekskresi ginjal. Dalam GJ, WRF relatif umum, terutama
selama inisiasi dan peningkatan terapi inhibitor RAAS. Terlepas dari kenyataan
bahwa penghambat RAAS sering dapat menyebabkan penurunan GFR pada
pasien dengan gagal jantung, pengurangan ini biasanya kecil dan tidak
mengarah pada penghentian pengobatan kecuali ada penurunan yang nyata,
karena manfaat pengobatan pada pasien sebagian besar dipertahankan.27
Ketika peningkatan besar dalam kreatinin serum terjadi, penanganan harus
diambil untuk mengevaluasi pasien secara menyeluruh dan harus mencakup
penilaian kemungkinan stenosis arteri renalis, hiper atau hipovolemia yang
berlebihan, penggunaan obat bersamaan dan hiperkalemia, yang sering kali
bersamaan dengan WRF.

Diuretik, terutama tiazid, tetapi juga loop diuretik, mungkin kurang


efektif pada pasien dengan GFR yang sangat rendah, dan jika digunakan, harus
diberi dosis yang sesuai (dosis yang lebih tinggi untuk mencapai efek yang
sama). Obat yang diekskresikan secara terpisah (misalnya digoxin, insulin
dan heparin dengan berat molekul rendah) dapat menumpuk pada pasien
dengan gangguan ginjal dan mungkin perlu penyesuaian dosis jika fungsi
ginjal memburuk. Pasien gagal jantung dan penyakit pembuluh darah koroner
atau perifer berisiko disfungsi ginjal akut ketika mereka menjalani angiografi
dengan media kontras yang berlebihan [cedera ginjal akut yang diinduksi
kontras (CI-AKI)]. Disfungsi ginjal dan memburuknya fungsi ginjal dibahas
lebih lanjut di bagian tentang gagal jantung akut (lihat Bagian 12).

Obstruksi prostat sering terjadi pada pria yang lebih tua dan dapat
mengganggu fungsi ginjal; karena itu harus dikesampingkan pada pria
dengan gagal jantung dengan fungsi ginjal yang memburuk. penghambat
α-adrenoceptor menyebabkan hipotensi dan retensi natrium dan air, sehingga
mungkin tidak aman di GJFEB.17, 28, 29 Untuk alasan ini, inhibitor 5-α-reduktase
umumnya lebih disukai dalam perawatan medis obstruksi prostat pada pasien
dengan gagal jantung.

Defisiensi Besi dan Anemia


Kekurangan zat besi sering terjadi pada gagal jantung, seperti halnya
dengan penyakit kronis lainnya, dan dapat menyebabkan anemia dan/atau
disfungsi otot rangka tanpa anemia.30 Dalam populasi GJ, defisiensi zat besi
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.31, 32

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 7


Idrus Alwi

Zat besi intravena khusus dipelajari dalam dua RCT pada pasien gagal
jantung dengan defisiensi besi (serum ferritin 100 mg/L atau ferritin antara
100 dan 299 mg/L dan saturasi transferrin 20%)33, 34 baik dengan dan tanpa
anemia. Karboksimaltos ferat intravena (FCM) telah terbukti meningkatkan
penilaian global pasien yang dilaporkan sendiri, kualitas hidup dan kelas NYHA
(lebih dari 6 bulan) dalam penelitian FAIR-HF33 baik pada pasien anemia dan
non-anemia dengan GJ,35 dan dalam studi CONFIRM-HF34, kapasitas olahraga
meningkat selama 24 minggu. Dalam analisis titik akhir sekunder (secondary
endpoint) dalam studi CONFIRM-HF, zat besi intravena mengurangi risiko
rawat inap GJ pada pasien yang kekurangan zat besi dengan GJFEB.34

Sebuah meta-analisis dari terapi besi intravena pada pasien GJFEB dengan
defisiensi besi hingga 52 minggu menunjukkan penurunan tingkat rawat inap
dan peningkatan gejala gagal jantung, kapasitas olahraga dan kualitas hidup.36
Oleh karena itu, pengobatan dengan FCM dapat mengakibatkan perbaikan
berkelanjutan dalam kapasitas fungsional, gejala dan kualitas hidup.
Pengobatan juga dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam rawat
inap untuk perburukan gagal jantung. Jumlah kematian dan kejadian efek
samping serupa. Belum ada penelitian terhadap zat besi intravena dilakukan
untuk menguji efek pada hasil utama atau untuk mengevaluasi secara terpisah
efek pada pasien anemia dan non-anemia.

Efek dari mengobati kekurangan zat besi pada GJFET/ gagal jantung
dengan fraksi ejeksi rentang tengah (HFmrEF, Heart Failure with Mid-Range
Ejection Fraction) dan keamanan jangka panjang dari terapi besi baik pada
GJFEB, HFmrEF atau GJFET tidak diketahui. Keamanan zat besi intravena tidak
diketahui pada pasien dengan gagal jantung dan hemoglobin > 15 g/dL.33, 34
Pasien dengan defisiensi besi perlu diskrining untuk setiap penyebab yang
dapat diobati/ reversibel (misalnya sumber perdarahan gastrointestinal).

Anemia (didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin, 13,0 g/dL pada


pria dan 12,0 g/dL pada wanita) sering terjadi pada gagal jantung, terutama
pada pasien rawat inap. Ini lebih sering terjadi pada wanita, orang tua dan
pasien dengan gangguan ginjal dan berhubungan dengan remodeling miokard
lanjut, inflamasi dan kelebihan volume.37 Anemia dikaitkan dengan gejala
lanjut, status fungsional yang lebih buruk, risiko lebih besar rawat inap GJ dan
berkurangnya kelangsungan hidup.

8 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis dalam Tata Laksana Gagal Jantung

Pemeriksaan diagnostik untuk mencari penyebab untuk setiap temuan


anemia diindikasikan (misalnya kehilangan darah samar, defisiensi besi,
defisiensi B12/folat, diskrasia darah), meskipun pada banyak pasien
tidak ditemukan penyebab spesifik. Agen yang merangsang eritropoietin
darbepoetin alfa tidak meningkatkan hasil klinis pada pasien GJFEB dengan
anemia ringan sampai sedang, tetapi menyebabkan peningkatan kejadian
tromboemboli dan karenanya tidak direkomendasikan.38

Gout dan Artritis


Hiperurisemia dan gout umum terjadi pada gagal jantung dan dapat
disebabkan atau diperburuk dengan pengobatan diuretik. Hiperurisemia
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk pada GJFEB.39 Pedoman
European League Against Rheumatism (EULAR) saat ini untuk pengelolaan
gout merekomendasikan bahwa terapi penurun asam urat (ULT) diindikasikan
pada pasien dengan flare akut berulang, artropati, perubahan radiografi atau
tofi gout untuk mempertahankan kadar asam urat serum di bawah titik jenuh
untuk monosodium urat [< 357 μmol/L (< 6 mg/dL)].40

Xanthine oxidase inhibitor (allopurinol, oxypurinol) dapat digunakan


untuk mencegah asam urat, meskipun keamanannya dalam GJFEB tidak
pasti.41 Serangan asam urat lebih baik diobati dengan kolkisin daripada
dengan NSAID (walaupun kolkisin tidak boleh digunakan pada pasien
dengan disfungsi ginjal yang sangat parah dan dapat menyebabkan diare).
Kortikosteroid intraartikular adalah alternatif untuk gout monoartikular,
tetapi kortikosteroid sistemik menyebabkan retensi natrium dan air.

Artritis adalah komorbiditas yang umum dan merupakan penyebab umum


dari obat yang dikonsumsi sendiri dan diresepkan yang dapat memperburuk
fungsi ginjal dan gagal jantung, terutama NSAID. Artritis reumatoid dikaitkan
dengan peningkatan risiko GJFET. Keamanan obat pemodifikasi penyakit
yang biasanya diberikan kepada pasien dengan artritis rheumatoid belum
ditetapkan pada GJ.

Penyakit Paru (termasuk Asma dan Penyakit Paru Obstruktif


Kronis)
Diagnosis PPOK dan asma mungkin sulit pada pasien dengan gagal
jantung, karena tumpang tindih dalam gejala dan tanda, tetapi juga masalah
dalam interpretasi spirometri, terutama pada gagal jantung.42-44 PPOK
(dan asma) pada pasien dengan gagal jantung mungkin overdiagnosis.45
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 9
Idrus Alwi

Spirometri harus dilakukan ketika pasien telah stabil dan euvolemia selama
minimal 3 bulan, untuk menghindari efek perancu dari obstruksi paru yang
menyebabkan obstruksi eksternal alveoli dan bronkiolus.46 Baik PPOK dengan
label yang benar dan salah dikaitkan dengan status fungsional yang lebih
buruk dan prognosis yang lebih buruk pada GJFEB.

Penyekat beta hanya merupakan kontraindikasi relatif pada asma, tetapi


tidak pada PPOK, meskipun antagonis β1-adrenoseptor yang lebih selektif
(yaitu bisoprolol, metoprolol suksinat, atau nebivolol) lebih disukai,42-44
didasarkan pada seri kasus kecil yang diterbitkan pada 1980-an dan akhir
1990-an dengan dosis awal yang sangat tinggi pada pasien muda dengan
asma berat.

Dalam praktik klinis, dimulai dengan penyekat beta kardioselektif dosis


rendah yang dikombinasikan dengan pemantauan ketat untuk tanda-tanda
obstruksi jalan napas (mengi, sesak napas dengan perpanjangan ekspirasi)
dapat memungkinkan penggunaan penyekat beta yang sangat efektif di
GJFEB, terutama pada usia yang lebih tua. Oleh karena itu, menurut laporan
strategi global GINA 2015,47, 48 asma bukan merupakan kontraindikasi
absolut, tetapi obat-obatan ini hanya boleh digunakan di bawah pengawasan
medis yang ketat oleh seorang spesialis, dengan mempertimbangkan risiko
penggunaannya.

Keamanan jangka panjang dari obat paru yang kardioaktif tidak pasti
dan kebutuhan penggunaannya harus dipertimbangkan kembali pada pasien
dengan GJFEB, terutama karena manfaatnya pada asma dan PPOK mungkin
hanya simtomatik tanpa efek yang jelas pada mortalitas. Kortikosteroid
oral dapat menyebabkan retensi natrium dan air, berpotensi menyebabkan
memburuknya gagal jantung, tetapi ini tidak diyakini sebagai masalah dengan
kortikosteroid inhalasi.

Hipertensi paru dapat menyulitkan PPOK jangka panjang yang parah,


yagn akibatnya membuat GJ ​​kanan dan obstruksi lebih mungkin terjadi.
Ventilasi non-invasif yang ditambahkan ke terapi konvensional meningkatkan
outcome pasien dengan gagal napas akut akibat eksaserbasi PPOK atau gagal
jantung hiperkaplatik dalam situasi edema paru akut.

10 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis dalam Tata Laksana Gagal Jantung

Kanker
Obat kemoterapi tertentu dapat menyebabkan (atau memperparah)
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan GJ. Agen yang paling dikenal memiliki
pengaruh ini adalah antrasiklin (misalnya doksorubisin), trastuzumab, dan
penghambat tirosin kinase.49, 50 Ulasan terbaru Cochrane menemukan bahwa
dexrazoxane menunjukkan efek kardioprotektif pada pasien yang menerima
antrasiklin.51 Fraksi ejeksi ventrikel prs- dan pasca-evaluasi, jika tersedia
dengan myocardial strain imaging, penting pada pasien yang menerima
kemoterapi kardiotoksik.49, 50

Skor risiko untuk mengidentifikasi wanita dengan kanker payudara


yang berisiko mengalami GJ selama terapi tuzumab telah dikembangkan
berdasarkan usia, rincian kemoterapi, status dasar kardiovaskular, dan
komorbiditas lain mungkin dapat membantu.52

Kemoterapi harus dihentikan dan terapi GJFEB harus dimulai pada


pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri sedang hingga berat.
Jika fungsi ventrikel kiri membaik, risiko dan manfaat kemoterapi lebih lanjut
dapat dipertimbangkan kembali.49, 53, 54

Irradiasi mediastinum juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi


kardiak jangka panjang. Biomarker jantung (NP dan troponin) dapat
digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko kardiotoksisitas
yang lebih tinggi dan dapat membantu dalam pemantauan penggunaan dan
pemberian dosis sitotoksik yang bersifat karidiotoksik.49, 53, 54

Obesitas
Obesitas adalah faktor risiko untuk GJ55 dan memperumit diagnosisnya,
karena dapat menyebabkan dispnu, intoleransi aktivitas, pembengkakan
pergelangan kaki, dan dapat menghasilkan gambar ekokardiografi berkualitas
rendah. Individu yang obesitas juga mengalami penurunan kadar NP.56
Obesitas lebih sering terjadi pada GJFET daripada di GJFEB, walaupun ada
kemungkinan bahwa kesalahan diagnosis dapat menjelaskan setidaknya
beberapa perbedaan dalam prevalensi ini. Meskipun obesitas adalah faktor
risiko independen untuk mengalami GJ, ketika GJ didiagnosis, sudah diketahui
bahwa obesitas dikaitkan dengan mortalitas yang lebih rendah di berbagai
indeks massa tubuh (IMT), yang dikenal sebagai obesitas paradoks juga
terlihat pada penyakit kronis lainnya.57, 58

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 11


Idrus Alwi

Obesitas harus dikelola sebagaimana direkomendasikan dalam pedoman


ESC tentang pencegahan penyakit kardiovaskular,59 jika tujuannya adalah
untuk mencegah perkembangan GJ di masa depan. Namun, pedoman ini
tidak merujuk pada pasien GJ di mana IMT lebih tinggi tidak merugikan
dan meskipun sering direkomendasikan untuk manfaat gejala dan kontrol
faktor risiko, penurunan berat badan sebagai intervensi tidak pernah secara
prospektif terbukti menguntungkan atau aman di GJFEB. Ketika penurunan
berat badan terjadi pada gagal jantung, hal ini terkait dengan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi, status gejala yang lebih buruk dan kualitas hidup
yang buruk. Pada pasien gagal jantung dengan derajat obesitas sedang (IMT
< 35 kg/m2), penurunan berat badan tidak dapat direkomendasikan. Pada
obesitas yang lebih lanjut (IMT 35-45 kg/m2), penurunan berat badan dapat
dipertimbangkan untuk mengelola gejala dan kapasitas olahraga.

Daftar Pustaka
1. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, Benjamin EJ, Berry JD, al. e. Heart Disease and
Stroke Statistics--2012 Update: A Report From the American Heart Association.
Circulation. 2012;125(1):e2-220.
2. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JG, Coats AJ, et al. 2016 ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure: The
Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the
European Society of Cardiology (ESC). Developed with the special contribution of
the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur J Heart Fail. 2016;18(8):891-
975.
3. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Colvin MM, et al. 2017 ACC/
AHA/HFSA Focused Update of the 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management
of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines and the Heart Failure Society
of America. Circulation. 2017.
4. Paulus WJ, Tschöpe C. A novel paradigm for heart failure with preserved
ejection fraction: comorbidities drive myocardial dysfunction and remodeling
through coronary microvascular endothelial inflammation. J Am Coll Cardiol.
2013;62(4):263-71.
5. Gilbert RE, Krum H. Heart failure in diabetes: effects of anti-hyperglycaemic drug
therapy. Lancet. 2015;385(9982):2107-17.
6. Bakris GL, Fonseca V, Katholi RE, McGill JB, Messerli FH, Phillips RA, et al. Metabolic
effects of carvedilol vs metoprolol in patients with type 2 diabetes mellitus and
hypertension: a randomized controlled trial. JAMA. 2004;292(18):2227-36.

12 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis dalam Tata Laksana Gagal Jantung

7. Aguilar D, Bozkurt B, Ramasubbu K, Deswal A. Relationship of hemoglobin A1C and


mortality in heart failure patients with diabetes. J Am Coll Cardiol. 2009;54(5):422-
8.
8. Gerstein HC, Swedberg K, Carlsson J, McMurray JJ, Michelson EL, Olofsson B, et al.
The hemoglobin A1c level as a progressive risk factor for cardiovascular death,
hospitalization for heart failure, or death in patients with chronic heart failure: an
analysis of the Candesartan in Heart failure: Assessment of Reduction in Mortality
and Morbidity (CHARM) program. Arch Intern Med. 2008;168(15):1699-704.
9. Goode KM, John J, Rigby AS, Kilpatrick ES, Atkin S, Bragadeesh T, et al. Elevated
glycated haemoglobin is a strong predictor of mortality in patients with left
ventricular systolic dysfunction who are not receiving treatment for diabetes
mellitus. Heart. 2009;95(11):917-23.
10. MacDonald MR, Eurich DT, Majumdar SR, Lewsey JD, Bhagra S, Jhund PS, et al.
Treatment of type 2 diabetes and outcomes in patients with heart failure: a nested
case–control study from the UK General Practice Research Database. Diabetes Care.
2010;33(6):1213-8.
11. Boussageon R, Supper I, Bejan-Angoulvant T, Kellou N, Cucherat M, Boissel J-P, et
al. Reappraisal of metformin efficacy in the treatment of type 2 diabetes: a meta-
analysis of randomised controlled trials. PLoS Med. 2012;9(4):e1001204.
12. Hernandez AV, Usmani A, Rajamanickam A, Moheet A. Thiazolidinediones and risk
of heart failure in patients with or at high risk of type 2 diabetes mellitus. Am J
Cardiovasc Drugs. 2011;11(2):115-28.
13. Komajda M, McMurray JJ, Beck-Nielsen H, Gomis R, Hanefeld M, Pocock SJ, et al.
Heart failure events with rosiglitazone in type 2 diabetes: data from the RECORD
clinical trial. Eur Heart J. 2010;31(7):824-31.
14. Monami M, Dicembrini I, Mannucci E. Dipeptidyl peptidase-4 inhibitors and heart
failure: a meta-analysis of randomized clinical trials. Nutr Metab Cardiovasc Dis.
2014;24(7):689-97.
15. Giagulli V, Moghetti P, Kaufman J, Guastamacchia E, Iacoviello M, Triggiani V.
Managing erectile dysfunction in heart failure. Endocr Metab Immune Disord Drug
Targets. 2013;13(1):125-34.
16. Zinman B, Wanner C, Lachin JM, Fitchett D, Bluhmki E, Hantel S, et al. Empagliflozin,
cardiovascular outcomes, and mortality in type 2 diabetes. N Engl J Med.
2015;373(22):2117-28.
17. Group ACR. Major cardiovascular events in hypertensive patients randomized to
doxazosin vs chlorthalidone: the antihypertensive and lipid-lowering treatment to
prevent heart attack trial (ALLHAT). JAMA. 2000;283:1967-75.
18. Lip GY, Skjøth F, Overvad K, Rasmussen LH, Larsen TB. Blood pressure and
prognosis in patients with incident heart failure: the Diet, Cancer and Health (DCH)
cohort study. Clin Res Cardiol. 2015;104(12):1088-96.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 13


Idrus Alwi

19. Cohn JN, Pfeffer MA, Rouleau J, Sharpe N, Swedberg K, Straub M, et al. Adverse
mortality effect of central sympathetic inhibition with sustained‐release moxonidine
in patients with heart failure (MOXCON). Eur J Heart Fail. 2003;5(5):659-67.
20. Packer M, O’Connor C, Ghali J, Pressler M, Carson P, Belkin R, et al. for the
Prospective Randomized Amlodipine Survival Evaluation Study Group: Effect of
amlodipine on morbidity and mortality in severe chronic heart failure. N Engl J
Med. 1996;335(15):1107-14.
21. Cohn JN, Ziesche S, Smith R, Anand I, Dunkman WB, Loeb H, et al. Effect of the
calcium antagonist felodipine as supplementary vasodilator therapy in patients
with chronic heart failure treated with enalapril: V-HeFT III. Circulation.
1997;96(3):856-63.
22. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, Boehm M, et al. 2013 ESH/
ESC guidelines for the management of arterial hypertension: the Task Force for
the Management of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension
(ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Blood Pressure.
2013;22(4):193-278.
23. Damman K, Valente MA, Voors AA, O'Connor CM, van Veldhuisen DJ, Hillege HL.
Renal impairment, worsening renal function, and outcome in patients with heart
failure: an updated meta-analysis. Eur Heart J. 2013;35(7):455-69.
24. Filippatos G, Farmakis D, Parissis J. Renal dysfunction and heart failure: things are
seldom what they seem. Oxford University Press; 2013.
25. Chawla LS, Eggers PW, Star RA, Kimmel PL. Acute kidney injury and chronic kidney
disease as interconnected syndromes. N Engl J Med. 2014;371(1):58-66.
26. Damman K, Testani JM. The kidney in heart failure: an update. Eur Heart J.
2015;36(23):1437-44.
27. Clark H, Krum H, Hopper I. Worsening renal function during renin–angiotensin–
aldosterone system inhibitor initiation and long‐term outcomes in patients with
left ventricular systolic dysfunction. Eur J Heart Fail. 2014;16(1):41-8.
28. Dorszewski A, Gohmann E, Dorszewski B, Werner GS, Kreuzer H, Figulla HR.
Vasodilation by urapidil in the treatment of chronic congestive heart failure in
addition to angiotensinconverting enzyme inhibitors is not beneficial: Results of a
placebo-controlled, double-blind study. J Cardiac Fail. 1997;3(2):91-6.
29. Bayliss J, Norell MS, Canepa-Anson R, Reid C, Poole-Wilson P, Sutton G. Clinical
importance of the renin-angiotensin system in chronic heart failure: double blind
comparison of captopril and prazosin. Br Med J. 1985;290(6485):1861-5.
30. Jankowska EA, Von Haehling S, Anker SD, Macdougall IC, Ponikowski P. Iron
deficiency and heart failure: diagnostic dilemmas and therapeutic perspectives.
Eur Heart J. 2012;34(11):816-29.
31. Jankowska EA, Kasztura M, Sokolski M, Bronisz M, Nawrocka S, Oleśkowska-Florek
W, et al. Iron deficiency defined as depleted iron stores accompanied by unmet

14 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis dalam Tata Laksana Gagal Jantung

cellular iron requirements identifies patients at the highest risk of death after an
episode of acute heart failure. Eur Heart J. 2014;35(36):2468-76.
32. Jankowska EA, Malyszko J, Ardehali H, Koc-Zorawska E, Banasiak W, Von
Haehling S, et al. Iron status in patients with chronic heart failure. Eur Heart J.
2012;34(11):827-34.
33. Anker SD, Comin Colet J, Filippatos G, Willenheimer R, Dickstein K, Drexler H, et al.
Ferric carboxymaltose in patients with heart failure and iron deficiency. N Engl J
Med. 2009;361(25):2436-48.
34. Ponikowski P, Van Veldhuisen DJ, Comin-Colet J, Ertl G, Komajda M, Mareev V, et al.
Beneficial effects of long-term intravenous iron therapy with ferric carboxymaltose
in patients with symptomatic heart failure and iron deficiency. Eur Heart J.
2014;36(11):657-68.
35. Filippatos G, Farmakis D, Colet JC, Dickstein K, Lüscher TF, Willenheimer R, et al.
Intravenous ferric carboxymaltose in iron‐deficient chronic heart failure patients
with and without anaemia: a subanalysis of the FAIR‐HF trial. Eur J Heart Fail.
2013;15(11):1267-76.
36. Jankowska EA, Tkaczyszyn M, Suchocki T, Drozd M, von Haehling S, Doehner W,
et al. Effects of intravenous iron therapy in iron‐deficient patients with systolic
heart failure: a meta‐analysis of randomized controlled trials. Eur J Heart Fail.
2016;18(7):786-95.
37. O’Meara E, Rouleau JL, White M, Roy K, Blondeau L, Ducharme A, et al. Heart failure
with anemia: novel findings on the roles of renal disease, interleukins, and specific
left ventricular remodeling processes. Circulation Heart Fail. 2014;7(5):773-81.
38. Swedberg K, Young JB, Anand IS, Cheng S, Desai AS, Diaz R, et al. Treatment of anemia
with darbepoetin alfa in systolic heart failure. N Engl J Med. 2013;368(13):1210-9.
39. Anker SD, Doehner W, Rauchhaus M, Sharma R, Francis D, Knosalla C, et al. Uric
acid and survival in chronic heart failure: validation and application in metabolic,
functional, and hemodynamic staging. Circulation. 2003;107(15):1991-7.
40. Zhang W, Doherty M, Bardin T, Pascual E, Barskova V, Conaghan P, et al. EULAR
evidence based recommendations for gout. Part II: Management. Report of a task
force of the EULAR Standing Committee for International Clinical Studies Including
Therapeutics (ESCISIT). Ann Rheum Dis. 2006;65(10):1312-24.
41. Doehner W, Jankowska EA, Springer J, Lainscak M, Anker SD. Uric acid and xanthine
oxidase in heart failure—Emerging data and therapeutic implications. Int J Cardiol.
2016;213:15-9.
42. Hawkins NM, Virani S, Ceconi C. Heart failure and chronic obstructive pulmonary
disease: the challenges facing physicians and health services. Eur Heart J.
2013;34(36):2795-807.
43. Rutten FH, Moons KG, Cramer M-JM, Grobbee DE, Zuithoff NP, Hoes AW. Recognising
heart failure in elderly patients with stable chronic obstructive pulmonary disease
in primary care: cross sectional diagnostic study. Br Med J. 2005;331(7529):1379.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 15


Idrus Alwi

44. Hawkins NM, Petrie MC, Jhund PS, Chalmers GW, Dunn FG, McMurray JJ. Heart
failure and chronic obstructive pulmonary disease: diagnostic pitfalls and
epidemiology. Eur J Heart Fail. 2009;11(2):130-9.
45. Brenner S, Güder G, Berliner D, Deubner N, Fröhlich K, Ertl G, et al. Airway obstruction
in systolic heart failure–COPD or congestion? Int J Cardiol. 2013;168(3):1910-6.
46. Güder G, Brenner S, Störk S, Hoes A, Rutten FH. Chronic obstructive pulmonary
disease in heart failure: accurate diagnosis and treatment. Eur J Heart Fail.
2014;16(12):1273-82.
47. Reddel HK, Bateman ED, Becker A, Boulet L-P, Cruz AA, Drazen JM, et al. A
summary of the new GINA strategy: a roadmap to asthma control. Eur Respir J.
2015;46(3):622-39.
48. Health NIo. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management
and prevention. 1995.
49. Eschenhagen T, Force T, Ewer MS, De Keulenaer GW, Suter TM, Anker SD, et al.
Cardiovascular side effects of cancer therapies: a position statement from the
Heart Failure Association of the European Society of Cardiology. Eur J Heart Fail.
2011;13(1):1-10.
50. Jones A, Barlow M, Barrett-Lee P, Canney PA, Gilmour I, Robb S, et al. Management of
cardiac health in trastuzumab-treated patients with breast cancer: updated United
Kingdom National Cancer Research Institute recommendations for monitoring. Br
J Cancer. 2009;100(5):684.
51. van Dalen EC, Caron HN, Dickinson HO, Kremer LC. Cardioprotective interventions
for cancer patients receiving anthracyclines. Cochrane Database Syst Rev. 2011(6).
52. Ezaz G, Long JB, Gross CP, Chen J. Risk prediction model for heart failure and
cardiomyopathy after adjuvant trastuzumab therapy for breast cancer. J Am Heart
Assoc. 2014;3(1):e000472.
53. Suter TM, Ewer MS. Cancer drugs and the heart: importance and management. Eur
Heart J. 2012;34(15):1102-11.
54. Zamorano JL, Lancellotti P, Rodriguez Muñoz D, Aboyans V, Asteggiano R, Galderisi
M, et al. 2016 ESC Position Paper on cancer treatments and cardiovascular toxicity
developed under the auspices of the ESC Committee for Practice Guidelines: The
Task Force for cancer treatments and cardiovascular toxicity of the European
Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2016;37(36):2768-801.
55. Kenchaiah S, Evans JC, Levy D, Wilson PW, Benjamin EJ, Larson MG, et al. Obesity
and the risk of heart failure. N Engl J Med. 2002;347(5):305-13.
56. Madamanchi C, Alhosaini H, Sumida A, Runge MS. Obesity and natriuretic peptides,
BNP and NT-proBNP: mechanisms and diagnostic implications for heart failure. Int
J Cardiol. 2014;176(3):611-7.
57. von Haehling S, Anker SD. Prevalence, incidence and clinical impact of cachexia:
facts and numbers—update 2014. J Cachexia Sarcopenia Muscle. 2014;5(4):261-3.

16 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis dalam Tata Laksana Gagal Jantung

58. Evans WJ, Morley JE, Argilés J, Bales C, Baracos V, Guttridge D, et al. Cachexia: a new
definition. Clin Nutr. 2008;27(6):793-9.
59. Members: ATF, Perk J, De Backer G, Gohlke H, Graham I, Reiner Ž, et al. European
Guidelines on cardiovascular disease prevention in clinical practice (version
2012) The Fifth Joint Task Force of the European Society of Cardiology and Other
Societies on Cardiovascular Disease Prevention in Clinical Practice (constituted
by representatives of nine societies and by invited experts) Developed with the
special contribution of the European Association for Cardiovascular Prevention &
Rehabilitation (EACPR). Eur Heart J. 2012;33(13):1635-701.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 17


SIMPOSIUM
Protein Provision to Improve Patient’s Outcome
Haerani Rasyid
Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Departemen Ilmu Gizi Klinik
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo - Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Abstrak
Protein merupakan komponen seluler dan akstraseluler yang memegang
peranan penting dari sebagian besar proses biologis dalam tubuh. Beberapa
fungsi protein adalah sebagai struktur, transport, respon imun, hormone,
keseimbangan carian dan elektrolit dan penyembuhan luka. Protein
diproduksi dan dipecah terus menerus, masing-masing dengan laju spesifik
namun bervariasi berdasarkan kondisi seseorang seperti starvasi, stress,
dan kurang gizi. Ada beberapa kategori pembagian protein yaitu antara lain
berdasarkan sumbernya dan berdasarkan nilai biologisnya. Faktor yang
mempengaruhi efektifitas protein dalam memperbaiki luaran klinis pasien
adalah jenis dan jumlahnya. Dua faktor penyulit dalam penentuan kebutuhan
protein pada penyakit adalah karena tiap penyakit mempengaruhi kebutuhan
protein dengan mekanisme yang berbeda beda dan juga karena intensitas
proses tiap penyakit sangat bervariasi. Oleh karena itu ketentuan dalam
pemberian protein haruslah dilakukan kasus per kasus disesuaikan dengan
jenis penyakit dan kondisi metabolik pasien.

Pendahuluan
Protein merupakan komponen seluler dan ekstraseluler yang memegang
peranan penting dalam sebagian besar proses biologis dalam tubuh. Protein
berperan dalam penyusunan struktur (kolagen, aktin, miosin), reaksi
biokimia (enzim), transport (hemoglobin), respon imun (immunoglobulin,
CRP), hormon, keseimbangan cairan dan elektrolit (albumin), serta proses
inflamasi dan penyembuhan. Protein diproduksi dan dipecah terus menerus,
masing-masing dengan laju yang spesifik namun bervariasi berdasarkan
kondisi seseorang seperti starvasi, stress, dan kurang gizi. Protein tersusun
dari 20 asam amino, 9 diantaranya masuk dalam kategori asam amino esensial
karena tidak dapat disintesis dalam tubuh.1

Ada beberapa kategori pembagian protein yaitu antara lain berdasarkan


sumbernya (protein nabati dan protein hewani) dan berdasarkan nilai
biologisnya (tinggi dan rendah). Tinggi rendahnya nilai biologis protein

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 21


Haerani Rasyid

bergantung pada lengkap tidaknya kandungan asam amino dalam protein


tersebut dan hubungannya dengan pencernaan, absorbsi serta kemampuannya
dalam membentuk protein tubuh.2,3 Formula nutrisi enteral juga dibagi
menjadi beberapa kategori berdasarkan bentuk kandungan proteinnya
seperti formula elemental (monomerik) mengandung protein dalam bentuk
asam amino, formula semi-elemental (oligomerik) mengandung peptida
dengan panjang rantai yang bervariasi (dipeptide/tripeptide) , serta formula
polimerik yang mengandung protein utuh. Beberapa formula khusus juga
mengandung jenis protein tertentu seperti branched chain amino acid (BCAA),
glutamin dan arginine. Formula elemental dan semi elemental memiliki
beberapa keuntungan seperti absorbsinya lebih baik, lebih dapat ditoleransi
pada pasien malabsorbsi dan efek simulasinya terhadap kelenjar eksokrin
pancreas lebih kurang sehingga menguntungkan untuk pasien pankreatitis.
Meskipun demikian, hasil-hasil penelitian menunjukkan hasil yang berbeda
mengenai efektifitas formula khusus tersebut terhadap luaran klinis.4

Selain jenis protein, faktor yang juga sangat mempengaruhi efektifitas


protein terhadap luaran klinis adalah jumlah protein. Secara umum,
kebutuhan protein pada kondisi normal adalah 0.8 gr/kgBB/hari dan
beberpa literature menuliskan kebutuhan normal protein adalah 1 gr/kgBB/
hari. Beberapa kondisi tertentu mengharuskan klinisi untuk memodifikasi
jumlah protein, apakah diturunkan ataupun dinaikkan, bergantung pada
usia, kondisi metabolik pasien dan keseimbangan nitrogen. Ada dua faktor
penyulit dalam menentukan kebutuhan protein yaitu karena tiap penyakit
mempengaruhi kebutuhan protein dengan mekanisme yang berbeda beda dan
juga karena intensitas proses tiap penyakit sangat bervariasi.3 Jumlah protein
yang disintesis per hari bergantung dari kebutuhan untuk pertumbuhan,
pembentukan enzim, dan penggantian pemecahan protein dalam sel berbagai
jaringan. Perputaran protein berbeda beda sesuai tipe protein, organ dan
kondisi metabolik pasien. Pada kondisi inflamasi/stres, hampir setengah dari
total laju sintesis protein dalam tubuh diperoleh dari sintesis protein intra
dan ekstraseluler yang berperan dalam respon inflamasi.1

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai ketentuan-ketentuan


pengaturan protein untuk memperbaiki luaran klinis pada beberapa penyakit
tertentu.

22 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Protein Provision to Improve Patient’s Outcome

Pengaturan Protein pada Beberapa Penyakit dan Luaran Klinisnya


Penyakit Kritis
Gangguan metabolisme protein secara signifikan dapat terlihat
pada pasien dengan penyakit kritis. Hal ini disebabkan oleh gangguan
keseimbangan metabolik (respon katabolik yang tinggi dibandingkan dengan
anabolik protein), sehingga menyebabkan kehilangan protein dengan cepat.
Hal lain yang juga mempengaruhi kebutuhan protein pada penyakit kritis
adalah adanya resistensi anabolic. Malnutrisi protein berhubungan dengan
luaran klinis yang buruk termasuk kehilangan massa otot, ketergantungan
terhadap ventilator, penyembuhan luka yang lambat, disfungsi sistim imun,
peningkatan lama rawat inap dan biaya perawatan, ketidakmampuan untuk
mempertahankan aktifitas sehari hari dan peningkatan mortalitas. Beberapa
studi menunjukkan bahwa peningkatan dosis protein pada penyakit kritis
berhubungan dengan perbaikan luaran klinis.5

Weijs et al menyatakan bahwa pasien yang dapat mencapai target


protein dan energi mengalami penurunan resiko mortalitas dalam 28 hari.
Nicolo et al melalui penelitiannya menyatakan bahwa penurunan mortalitas
hanya terjadi jika pasien mencapai > 80% target protein. Zusman et al juga
menyatakan bahwa peningkatan pemberian protein menurunkan tingkat
mortalitas dalam 60 hari. Yang terbaru Compher et al menunjukkan bahwa
terdapat penurunan yang signifikan 6.6% angka kematian setiap peningkatan
10% asupan protein dari target pada pasien resiko tinggi yang tinggal di ICU
setidaknya 4 hari dan penurunan 10.1% pada pasien yang ada di ICU minimal
12 hari. Penelitian lain juga menyatakan bahwa pemberian protein dosis
tinggi menurunkan skor SOFA pada 48 jam meskipun energi yang tercapai
masih kurang. Hal-hal tersebut diatas menunjukkan bahwa ketentuan “diet
hipokalori-tinggi protein” dengan peningkatan yang bertahap dalam 1 minggu
pertama merupakan strategi yang optimal untuk menghindari “overfeeding”,
memperbaiki sensitifitas insulin, dan mempertahankan homeostasis protein
tubuh serta memperbaiki luaran klinis pasien ICU .6,7,8

Dosis pemberian protein yang direkomendasikan pada pasien ICU


berkisar antara 1.2-2.5 gr/kgBB/hari. Pada pasien sepsis direkomendasikan
protein 1.2-2 gr/kgBB/hari. Formula imunomodulator tidak disarankan
diberikan secara rutin pada pasien sepsis. Pada pasien obesitas dianjurkan
dosis protein dimulai dari 2 gr/kgBBI/hari pada pasien dengan BMI 30-39.9
kg/m2 sampai 2.5 gr/kgBBI/hari pada pasien dengan BMI > 40 kg/m2. Dosis ini
juga dapat diberikan pada pasien obese dengan usia > 60 tahun. Untuk pasien

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 23


Haerani Rasyid

ICU dengan gagal ginjal akut yang belum menjalani terapi pengganti ginjal
(RRT) diberikan 1.2-2 gr/kgBB/hari, sedangkan pada pasien yang menjalani
RRT baik dengan hemodialisis intermiten atau CRRT diberikan protein 1.5-
2.5 g/kgBB/hari untuk mencapai keseimbangan nitrogen positif. Pada pasien
gagal hati akut ataupun sirosis dekompensata, pemberian protein sebaiknya
tidak direstriksi. Pemberian protein pada pasien ini sama dengan pasien
ICU pada umumnya, namun BB yang digunakan adalah berat badan kering.
Penggunaan formula BCAA pada pasien ICU dengan sirosis dekompensata dan
ensefalopati hepatikum belum menunjukkan hasil yang signifikan sehingga
penggunaannya secara rutin belum direkomendasikan.7,8,9,10

Pada pasien ICU berusia > 60 tahun dapat mencapai keseimbangan


nitrogen dengan pemberian protein 2-2.5 gr/kg/hari dan dioptimalkan
dengan terapi fisik. Pada kondisi Persistent Inflammation Catabolism
Syndrome (PICS) protein sebaiknya diberikan dengan dosis 1.2-2 gr/kgBB/
hari. Formula enteral yang diperkaya arginine dapat memperbaiki luaran
klinis pada pasien post operasi dengan resiko tinggi untuk membantu
penyembuhan luka dan memperbaiki proliferasi limfosit. Meskipun banyak
data yang menunjukkan manfaat agen anabolic seperti leusin, HMB, insulin
atau hormone pertumbuhan untuk menstimulasi sintesis protein pada pasien
diluar ICU, namun rekomendasinya pada pasien ICU belum diberikan karena
kekurangan data. Jika produk nutrisi enteral dibutuhkan untuk melengkapi
EN standar guna mencapai target protein harian maka penggunaan formula
dengan protein kualitas tinggi (kedelai, whey protein, casein) dapat
digunakan. Pemberian glutamin enteral direkomendasikan pada pasien luka
bakar > 20% dengan dosis 0.3-0.5 gr/kgBB/hari selama 10-15 hari dan pada
pasien trauma dengan dosis 0.2-0.3 gr/kgBB/hari selama 5 hari pertama
dapat diperpanjang sampai 15 hari jika terdapat gangguan penyembuhan
luka. Glutamin parenteral tidak direkomendasikan diberikan pada pasien ICU
yang tidak stabil, kompleks, dan terdapat gagal ginjal dan hepar. Pada pasien
dengan open abdomen direkomendasikan untuk menambah 15-30 gr protein/
liter eksudat yang keluar.7,8,9

Selain jumlahnya, kualitas protein (ditentukan oleh sumber, kandungan


dan rasio asam amino serta absorbsinya) juga harus diperhatikan yaitu.
Penggunaan asam amino tunggal spesifik seperti sitrulin, glutamin, arginine,
leusin untuk memaksimalkan stimulasi sintesis protein belum terbukti
secara signifikan manfaatnya pada pasien ICU. Suplementasi protein dengan
kandungan asam amino yang lengkap memberikan efek yang lebih baik dalam

24 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Protein Provision to Improve Patient’s Outcome

memperbaiki luaran klinis. Pemberian jenis protein kualtas tinggi, (protein


hewani lebih superior dari protein nabati) dapat mengoptimalkan sintesis
protein. Selain itu kombinasi antara pemberian protein dengan latihan fisik/
rehabilitasi dini juga mengoptimalkan sintesis protein, mencegah resistensi
anabolic, dan memperbaiki luaran. Yang juga harus diperhatikan bahwa target
protein optimal pada pasien ICU dapat terus berubah sesuai dengan kondisi
metabolik pasien, dan asupan tinggi protein hanya dapat bermanfaat jika
tidak terjadi overfeeding7,8 Cara yang sederhana untuk memonitor kebutuhan
protein adalah dengan penentuan keseimbangan nitrogen dengan mengukur
ekskresi nitrogen urin melalui pemeriksaan UUN atau Total Urinary Nitrogen
(TUN), selain itu dapat juga dimonitor dengan pengukuran langsung massa
otot dengan menggunakan USG.11

Gangguan Fungsi Ginjal


Pada kondisi gangguan ginjal terdapat peningkatan katabolisme protein dan
malnutrisi protein yang disebabkan oleh asidosis metabolik, disbiosis saluran
cerna, inflamasi sistemik dengan aktifasi komplemen, resistensi hormone
anabolic, peningkatan energy expenditure dan akumulai toksin uremikum.
Status inflamasi pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK ) dan PGK tahap
akhir menyebabkan keseimbangan nitrogen negative. Inflamasi, melalui
proses yang kompleks, meningkatkan katabolisme protein otot dan menekan
anabolisme sehingga menyebabkan kehilangan protein otot yang dapat
memperburuk luaran klinis. Jika dulu diberikan diet rendah protein pada
seluruh pasien PGK maka setelah melihat efek negatif dari restriksi protein
maka terdapat perubahan rekomendasi pemberian protein. Diet tinggi
protein dapat menyebabkan hiperfiltrasi glomerular yang lama kelamaan
dapat meningkatkan progresifitas penurunan laju filtrasi glomerulus (eLFG)
pasien yang sudah memiliki gangguan ginjal. Oleh sebab itu direkomendasikan
pemberian diet rendah protein (DRP) pada pasien gagal ginjal yang
belum menjalani terapi pengganti ginjal. Diet rendah protein mempunyai
efek menurunkan produk buangan nitrogen dan menurunkan tekanan
intraglomerular, memperbaiki kondisi asidosis, mencegah hiperfosfatemia,
menekan resistensi insulin dan stress oksidatif yang akhirnya dapat
memperbaiki luaran klinis pasien PGK.13,14

Diet rendah protein juga memiliki efek negatif yaitu meningkatkan resiko
malnutrisi. Untuk mencegah malnutrisi dan Protein Energy Wasting (PEW)
maka direkomendasikan pemberian suplementasi EAA (essential amino-
acids) dan ketoanalog (KA) pada pasien dengan DRP. Asam amino esensial

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 25


Haerani Rasyid

harus diperoleh dari makanan karena tidak dapat disintesis tubuh, sedangkan
ketoanalog dapat berkonversi menjadi EAA tanpa menghasilkan produk
nitrogen. Manfaat EAA atau ketoanalog adalah mempertahankan status
protein tubuh tanpa meningkatkan produk buangan nitrogen, menurunkan
produksi asam dan fosfat, menurunkan degradasi protein dan metangsang
sintesis protein. Pasien PGK tahap akhir yang sudah menjalani dialisis
harus ditingkatkan pencapaian kebutuhan proteinnya. Proses dialisis dapat
meningkatkan inflamasi dan menstimulasi katabolisme protein. Selain itu
beberapa zat gizi juga hilang melalui proses dialisis. Diet rendah protein pasien
PGK dialisis berhubungan dengan peningkatan morbiditas, hospitalisasi dan
mortalitas.13,14,15

Rekomendasi dosis protein pada pasien PGK tahap akhir non dialisis
adalah 0.6-0.8 gr/kgBB/hari dengan > 50% protein bernilai biologis tinggi
umumnya terdapat pada protein hewani. Namunpun demikian pada penelitian
yang dilakukan dalam dua tahun terakhir terbukti bahwa protein nabati
juga dapat memberi pemenuhan kebutuan protein dengan tetap melakukan
pemantauan. Untuk PGK ringan-sedang direkomendasikan protein <1 gr/
kg/hari (pertimbangkan 0.6-0.8 jika eLFG < 45 ml/menit/1,73m2 atau
progresifitasnya cepat). Pada PGK tahap lanjut direkomendasikan protein
0.6-0.8 gr/kgBB/hari termasuk 50% protein bernilai biologis tinggi atau
< 0.6 gr/kg/hari dengan penambahan EAA atau KA. Pada masa transisi ke
proses dialisis, pemberian protein disarankan 0.6-0.8 gr/kgBB/hari pada
hari tidak menjalani dialisis (hemodialisis) dan > 1 gr/kgBB/hari pada hari
dialisis. Pengaturan protein pada pasien PGK dengan dialisis metode HD
dianjurkan protein 1.2-1.4 gr/kgBB/hari, pada pasein dialisis dengan metode
CAPD dapat diberikan 1.5 gr/kgBB/hari, pemberian > 1.5 jika ada kondisi
hiperkatabolik.14,16

Penyakit Hati Kronis


Pasien dengan sirosis hepatis (SH) beresiko tinggi terjadinya malnutrisi
dan deplesi protein. Malnutrisi pada SH berhubungan dengan prevalensi
asites dan sindrom hepatorenal, long of stay yang memanjang, peningkatan
biaya perawatan, morbiditas dan mortalitas. Pada SH, terjadi peningkatan
pemecahan protein dan penurunan sintesis protein. Kebutuhan protein pasien
SH kompensata tanpa malnutrisi adalah 1.2 gr/kgBB/hari, sedangkan pada
pasien dengan malnutrisi/sarkopenia 1.5 gr/kgBB/hari. Asupan protein tinggi
pada pasien sarkopenia dapat memperbaiki lingkar lengan atas, kekuatan
genggaman tangan dan kadar albumin. Status protein tubuh membaik jika

26 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Protein Provision to Improve Patient’s Outcome

(ONS) yang mengandung 20-40 gr protein dan 50 gr karbohidrat kompleks


dikonsumsi di malam hari, karena akan meminimalisir katabolisme protein.
Asupan protein sebaiknya tidak direstriksi pada pasien SH dengan ensefalopati
hepatikum (EH) karena terdapat peningkatan katabolisme protein, namunpun
demikian beberpa penelitian menggunakan asupan protein yang lebih rendah
kemudian menaikkan secara perlahan sesuai dengan kondisi klinis pasien SH
disertai EH. Hasil metaanalisis menunjukkan bahwa pemberian suplementasi
BCAA pada pasien ensefalopati hepatikum dapat memperbaiki status mentalis
namun tidak ada hasil yang signifikan pada mortalitas, kualitas hidup dan
parameter nutrisi. Pasien SH yang mengalami intoleransi terhadap protein,
disarankan mengkonsumsi protein nabati atau BCAA (0.25 gr/kgBB/hari)
melalui jalur oral. Suplementasi BCAA jangka panjang dapat diberikan pada
pasien sirosis tahap lanjut untuk memperbaiki kualitas hidup. Pada pasien
SH dengan asites yang menjalani diet rendah garam, tingkat morbiditas dan
mortalitas lebih rendah pada pasien yang menerima diet seimbang dengan
BCAA (dengan atau tanpa nutrisi parenteral), jika dibandingkan diet rendah
garam saja.17 ,18.

Kesimpulan
Protein adalah salah satu komponen makronutrient yang memegang
banyak peranan penting dalam proses biologis tubuh. Protein diproduksi dan
dipecah terus menerus, masing-masing dengan laju spesifik namun bervariasi
berdasarkan kondisi seseorang seperti starvasi, stress, dan kurang gizi. Oleh
karena itu ketentuan pemberian protein harus dinilai kasus per kasus agar
dapat meningkatkan luaran klinis pasien.

Daftar Pustaka
1. Deutz NEP; Boirie Y, Roth E dan Soeters PB. 2011. Protein and Amino acids
Metabolism. In Basic in Clinical Nutrition 4th ed. ESPEN. hal 116-123 Galen : Prague.
2. Moore, DR dan Soeters, PB. 2015. The Biologic Value of Protein. Nestlé Nutr Inst
Workshop Ser, vol 82, pp 39–51
3. Furst P, Deutz NEP, Boirie Y, Roth E, Soeters PB. 2011. Protein and Amino Acids. In
Basic in Clinical Nutrition 4th ed. ESPEN. hal 262-265 Galen : Prague.
4. Makola, D. 2005. Elemental and Semi-Elemental Formulas: Are They Superior to
Polymeric Formulas?. Nutrition Issues In Gastroenterology, Series 34.
5. Gautier JBO, Martindale, RG, Rugeles SJ et al. 2017. How Much and What Type of
Protein Should a Critically Ill Patient Receive? ASPEN Nutrition in Clinical Practice
Volume 32 Supplement 1 6S–14S

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 27


Haerani Rasyid

6. Patel JJ, Martindale RG dan McClave SA. 2018. Controversies Surrounding Critical
Care Nutrition: An Appraisal of Permissive Underfeeding, Protein, and Outcomes.
Journal of Parenteral and Enteral Nutrition Volume 42 Number 3 508–515
7. Hurt RT, McClave SA, Martindale RG et al. 2017. Summary Points and Consensus
Recommendations From the International Protein Summit. Nutrition in Clinical
Practice Volume 32 Supplement 1 142S–151S
8. Singer P, Blaser AR, Berger MM et al. 2019. ESPEN guideline on clinical nutrition in
the intensive care unit. Clinical Nutrition 38 48-79
9. McClave SA, Taylor BE, Martindale RG et al. 2016. Guidelines for the Provision
and Assessment of Nutrition Support Therapy in the Adult Critically Ill Patient:
Society of Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and
Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.). Journal of Parenteral and Enteral Nutrition Volume
40 Number 2 159–211
10. Patel JJ, McClain CJ, Sarav M et al. 2017. Potein Requirements for Critically Ill
Patients with Renal and Liver Falure. Nutrition in Clinical Practice Volume 32
Supplement 1 101S–111S
11. Heyland DK, Weijs PJM, Coss-Bu JA et al. 2017. Protein Delivery in the Intensive Care
Unit: Optimal or Suboptimal? Nutrition in Clinical Practice Volume 32 Supplement
1 April 2017 58S– 71S
12. Zha Y dan Qian Q. 2017. Protein Nutrition and Malnutrition in CKD and ESRD.
Nutrients 2017, 9, 208
13. Ko GJ, Obi Y, Tortoricci AR dan Kalantar-Zadeh K. 2017. Dietary Protein Intake and
Chronic Kidney Disease. Curr Opin Clin Nutr Metab Care. January ; 20(1): 77–85
14. Zha Y dan Qian Q. 2017. Protein Nutrition and Malnutrition in CKD and ESRD.
Nutrients 2017, 9, 208
15. Rhee CM, Ahmadi SF, Kovesdy CP, Kalantar Zadeh K. 2018. LPD for Consevative
management of CKD : a systemic review and metaanalysis of controlled trial.
Journal of Cachexia, Sarcopenia and Muscle. 9 235-245
16. KAlantar-Zadeh K dan Fouque D. 2017. Nutritional Management of CKD. N Engl J
Med 2017;377:1765-76.
17. Plauth M, Bernal W, Dasarathy S et al. 2019. ESPEN guideline on clinical nutrition
in liver disease. Clinical Nutrition.
18. Montagnese S, Russo FP, Amodio P et al. 2018. Hepatic encephalopathy 2018:
A clinical practice guideline by the Italian Association for the Study of the Liver
(AISF). Digestive and Liver Disease.

28 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Reducing Cardiovascular Risk:
Beyond Statin Monotherapy
(The Role of The FDC Ezetimibe – Atorvastatin)
Askandar Tjokroprawiro
Surabaya Diabetes and Nutrition Center – Dr. Soetomo General Academic Hospital,
Faculty of Medicine Airlangga University, Surabaya

Introduction
First of all, readers should know how to apply Class of Recommendation
(COR) and Level of Evidence (LOE) to clinical strategies, interventions,
treatments, or diagnostic testing in patient care (based on 2019 ACC/AHA
Guideline on the Primary Prevention of Cardiovascular Disease: Executive
Summary). Such COR and LOE are shortly summarized below (ACC/AHA
2019).

Class (Strength) of Recommendation (COR) consists of,


- Class I (Strong): Benefit >>> Risk
- Class IIa (Moderate) ): Benefit >> Risk
- Class IIb (Weak) : Benefit > Risk
- Class III-No Benefit (Moderate) : Benefit = Risk
(Generally, LOE A or B use only)
- Class III-Harm (Strong) : Risk > Benefit
Level (Quality) of Evidence consists of,
- Level A (more than 1 RCT, meta-analyses of high-quality RCTs, one or
more RCTs corroborated by high-quality registry studies)
- Level B-R : Randomized
- Level B-NR : Nonrandomized
- Level C-LD : Limited Data
- Level C-EO : Expert Opinion

There are top 10 take-home messages to reduce risk of atherosclerotic


cardiovascular disease through cholesterol management (Grundy et al 2018)
which will be brieftly described (Topic V).The intensity of statin therapy

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 29


Askandar Tjokroprawiro

is divided into 3 categories: high-intensity, moderate-intensity, and low-


intensity statin:
o High-intensity statin: typically lowers low density lipoprotein cholesterol
(LDL-C) levels by ≥ 50%, e.g. Atorvastatin (40 mg‡) 80 mg Rosuvastatin
20 mg (40 mg).
o Moderate-intensity statin: lowers LDL-C levels by 30% to 49%, e.g.
Atorvastatin 10 mg (20 mg), Rosuvastatin (5 mg) 10 mg, Simvastatin 20–
40 mg, Pravastatin 40 mg (80 mg), Lovastatin 40 mg (80 mg), Fluvastatin
XL 80 mg, Fluvastatin 40 mg BID, Pitavastatin 1–4 mg.
o Low-intensity statin: lowers LDL-C levels by <30% e.g. Simvastatin 10
mg, Pravastatin 10–20 mg, Lovastatin 20 mg, Fluvastatin 20–40 mg.

Of course, the magnitude of LDL-C lowering agents will vary in clinical


practice. Certain Asian populations may have a greater response to certain
statins.For further understanding, 10 Year ASCVD Risk Percent and Coronary
Artery Calcium (CAC) should be also understood.

If risk decision is uncertain, consider measuring CAC in selected adults:


o CAC score= zero (lowers risk)
consider no statin, unless diabetes, family history of premature CHD, or
cigarette smoking are present)
o CAC score= 1-99
favors statin (especially after age 55), CAC = 100+ and/or ≥75th
percentile, initiate statin therapy.

According to for the 2019 PERKENI Guideline (in progress of updated


Perkeni 2019 guideline from Perkeni 2012 guideline) and 2019 ACC/AHA
Guideline on the Primary Prevention of Cardiovascular Disease: Executive
Summary, the Commitee of Perkeni, the summarized category of coronary
heart disease and its target are displayed in Table 1.

30 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


According to for the 2019 PERKENI Guideline (in progress of updated Perkeni 2019
guideline from Perkeni 2012 guideline) and 2019 ACC/AHA Guideline on the Primary
Prevention of Cardiovascular Disease: Executive Summary, the Commitee of Perkeni, the
summarized category of coronary heart
Reducing disease
Cardiovascular andStatin
Risk: Beyond its Monotherapy
target are displayed
(The Role in –Table
of The FDC Ezetimibe 1.
Atorvastatin)

TABLE-1. CATEGORIZED RISK OF CVD AND THERAPEUTIC TARGET


(ACC/AHA 2018-2019, PERKENI 2012, 2019)
Therapeutic Target
Risk Factor (Framingham Score), 10-Year ASCVD Risk
Category Non- Apo B
Percent (<1 - > 30%) LDL
HDL
• Progresive CVD, including UAP after LDL-C < 70 was
reached
Extrime
• Clinical CHD of DM-Pts, CKD-Stage ¾ or Familial <55 <80 <70
Risk
Hypercholesterolemia (FH)
• History of Premature CHD (Male < 55, Female < 65)
• Clinical CHD, Carotis Artery Disease, PAD, 10-Year
ASCVD Risk > 20% or just recent treatment of heart
Very High attack
<70 <100 <80
Risk • Diabetes or CKD-Stage ¾ with one or more other risk
factor
• FH (Familial Hypercholesterolemia)
• ≥ 2 risk factor and 10-Year ASCVD Risk 10-20%
High Risk <100 <130 <90
• Diabetes and CKD-Stage ¾ without other risk factor

Moderate
• ≤ 2 risk factor and 10-Year ASCVD Risk < 10% <100 <130 <90
Risk

Low Risk • 0 risk factor <130 <160 NR*

ASK-SDNC NR = Non Randomized

There are at least 8 types of hypolipidemic drugs to reach the lipid target according to
There are at least 8 types of hypolipidemic drugs to reach the lipid target
2019 Perkeni Guideline e.g. statin, bile acid sequestransts, fibrate acid, nicotinic acid,
ezetimibe,according
PCSK9 to 2019 Perkeni
(Proprotein GuidelineSubtilsin-Kexin
Convertase e.g. statin, bile acid
typesequestransts,
9) inhibitor, fibrate
omega-3, new
acid, nicotinic acid, ezetimibe, PCSK9 (Proprotein Convertase
hypolidemic drugs (microsomal transfer protein /MTP inhibitor, thyroid hormone Subtilsin-mimetic,
Apo B antisense oligonucleotide
Kexin type 9) inhibitor,such as Mipomersen,
omega-3, and LDL apheresis).
new hypolidemic drugs (microsomal
Ezetimibe is usually
transfer protein /MTPused if the use
inhibitor, of maximum
thyroid hormone dose of statin
mimetic, Apo Bdoes not reach the
antisense
therapeutic target for clinical ASCVD (Table 1, and statin
oligonucleotide such as Mipomersen, and LDL apheresis). indication in Guideline 2019).
The aim of this presentation is to advance the knowledge on how to reach the LDL-C
target by using combination of statin and ezetimibe for internists, endocrinologists/
Ezetimibe is usually used if the use of maximum dose of statin does not
diabetologists, and their associates.
reach the therapeutic target for clinical ASCVD (Table 1, and statin indication
inwill
This paper Guideline
consist2019).
of 5 topics:
I. Various Types of Vastatins
II. The
Effects of of
The aim Ezetimibe and Its Combination
this presentation is to advance the knowledge on how to reach
III. Statin – Assoiciated
the LDL-C target bySide Effects
using (SASE)of statin and ezetimibe for internists,
combination
IV. Summary About The Use of Ezetimibe
endocrinologists/diabetologists, and associates.
and their Its Combination
V. The Top 10 Take-home Messages of 2019 ACC/AHA Guideline
This paper will consist of 5 topics:
I. Various Types of Vastatins
II. The Effects of Ezetimibe and Its Combination
III. Statin – Assoiciated Side Effects (SASE)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 31


Askandar Tjokroprawiro

IV. Summary About The Use of Ezetimibe and Its Combination


V. The Top 10 Take-home Messages of 2019 ACC/AHA Guideline

I. Various Vastatins
Non-HDL includes all atherogenic lipoprotein classes consist of
atherogenic lipoproteins in Apo B100 containing VLDL, IDL, LDL, Lpa,
and atheroprotective lipoprotein in Apo A1 and Apo A2 containing HDL.
I. Various Vastatins
The examples of various types of vastatins are lovastatin, simvastatin,
Non-HDL includes
pravastatin, all atherogenic
fluvastatin, lipoprotein
atorvastatin, classes consist
cerivastatin of atherogenic
(withdrawn),
lipoproteins in Apo B100 containing
rosuvastatin, and pitavastatin. VLDL, IDL, LDL, Lpa, and atheroprotective lipoprotein
in Apo A1 and Apo A2 containing HDL.
The examples of various types of vastatins are lovastatin, simvastatin, pravastatin,
Tjokroprawiro
fluvastatin, et alsummarized
atorvastatin, cerivastatin the rosuvastatin,
(withdrawn), possible 26and vascular protective
pitavastatin.
Tjokroprawiro
effects ofet atorvastatin
alsummarizedforthelipid
possible 26 association
and its vascular protective effects(Figure
with ASCVD of atorvastatin
1). for
lipid and its association with ASCVD(Figure 1).

FIGURE-1. The Possible 26 VASCULAR PROTECTIVE EFFECTS of ATORVASTATIN


(The 20 of 26 Effects can be Abbreviated as PPEECCCCAT-GOMMEESAAB, Illustrated : Tjokroprawiro 2010-2019)

↑ IMMUNOSUPPRESSIVE ACTION 26 1 ↑ PLATELET FUNCTION (P)


↓ CHOL. ACCUMULATION
IN MACROPHAGE 25 2 ↑ PLAQUE REGRESSION (P)
↑ HDL-FUNCTION 24 3 ↑ ENDOTHELIAL FUNCTION (E)
↑ VCAM-I, E-SELECTIN, P-SELECTIN 23 4 ↓ ENDOTHELIN-1 (E)
↑ LDL-R 22 5 ↓ C-REACTIVE PROTEIN (C)
↑ LDL-UPTAKE 21
26 6 ↓ CD-40L (C)
ATORVASTATIN
↑ APO-B DEGRADATION (B) 20 7 ↑ COLLAGEN IN FIBROSIS CAP (C)
PPEECCCCAT
↓ AT1-REC. EXPRESSION (A) 19 GOMMEESAAB 8 ↓ CYTOSOLIC CALCIUM (C)
20
↑ ATORVASTATIN METABOLITE (A) 18 9 ↓ ATHEROTHROMBOSIS (A)
↓ MIGRATION & ↓ PROLIF. SMC (S) 17 10 ↓ TISSUE FACTOR (T)
↑ eNOS (E) 16 11 ↓ GLUCOSE TOLERANCE (G)
↑ EPC (E) 15 12 ↓ OXIDIZED LDL (O)
↓ MMPS IN PLAQUE (M) 14 13 ↓ MACROPHAGE NUMBER (M)
ASK-SDNC

The paper described the clinical effects of atorvastatin and ezetimibe combination,
The paper
called atozet 
whichdescribed
consists ofthe clinical
10 mg effects
ezetimibe withof10atorvastatin
mg atorvastatinand(atozet
ezetimibe

10/10), 10

mg ezetimibe with 20 called
combination, atorvastatin
atozet (atozet

which 10/20), and of
consists 10 10
mgmg ezetimibe with with
ezetimibe 40 atorvastatin
10
(atozetmg10/40).
atorvastatin (atozet 10/10), 10 mg ezetimibe with 20 atorvastatin

(atozet 10/20), and 10 mg ezetimibe with 40 atorvastatin (atozet


II. The Effects of Ezetimibe and Its Combination
10/40).
As shortly described in the introduction part, statin is one of the eight hypolidemic
drugs which reduces LDL-C level and the risk of cardiovascular events. Whereas ezetimibe, a
nonstatin drug, may help to reach the LDL-C target in its association of the rate of
32
cardiovascular diseases. Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Ezetimibe inhibits the absorption of cholesterol in small intestine through 5 possible
mechanisms of action as mentioned below (Grigore et al 2008).
Reducing Cardiovascular Risk: Beyond Statin Monotherapy (The Role of The FDC Ezetimibe – Atorvastatin)

II. The Effects of Ezetimibe and Its Combination


As shortly described in the introduction part, statin is one of the
eight hypolidemic drugs which reduces LDL-C level and the risk of
cardiovascular events. Whereas ezetimibe, a nonstatin drug, may help
to reach the LDL-C target in its association of the rate of cardiovascular
diseases.

Ezetimibe inhibits the absorption of cholesterol in small intestine


through 5 possible mechanisms of action as mentioned below (Grigore et
al 2008).
1. Inhibition of NPC1L1 activity
2. Reduction of cholesterol transported to the liver
3. Reduction of hepatic cholesterol
4. Increased LDL receptor expression
5. Increased clearance of LDL-C.

In clinical practice, ezetimibe is usually prescribed in case there is failure


to reach the LDL target despite heart-healthy lifestyle and the use of
maximum dose of high intensity statin.For example, in the treatment of
Secondary Prevention in patients with clinical ASCVD (Grundy et al
2018), there are two indications of the ezetimibe administration:
a. ASCVD not at very high-risk
For patients aged < 75 yearswho are on maximal high intensity
statin therapy and LDL-C > 70 mg/dL (Class I), but does not reach
the LDL-C level (decreased LDL-C > 50%), adding ezetimibe may be
reasonable (Class IIb).
b. ASCVD in very high-risk:
• For patients who are on maximum high intensity statin therapy
and LDL-C > 70 mg/dL (Class I), adding ezetimibe may be
reasonable (Class IIa).
• If PCSK9-I is considered, add ezetimibe to maximum statin dose
before adding PCSK9-I (Class I)
For Primary Prevention, it is encouraged to assess ASCVD risk in each
age groups by emphasizing the adherence to healthy lifestyle and the use
of statin can be categorized as below:

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 33


Askandar Tjokroprawiro

• Consider no risk assessment and high-intensity statin for LDL-C >


190 mg/dL (Class I)
• Consider moderate-intensity statin for diabetes mellitus patients
and age 40-75 years, (Class I). Consider risk assessment for high-
intensity statin forDiabetes mellitus patients and age 40-75 year
(Class IIa)
• Consider clinical assessment and risk discussion for age > 75 years

The 2019 ACC/AHA Guideline reported ACC Risk Enhancers as listed


below:
A. 1. Family history of premature ASCVD
2. Persistently elevated LDL-C > 160 mg/dL
3. Chronic kidney disease
4. Metabolic syndrome
5. Conditions specific to women (e.g., preeclampsia, premature
menopause)
6. Inflammatory disease (especially rheumatoid arthritis,
psoriasis, HIV)
7. Ethnicity (e.g., South Asian ancestry)
B. Persistently elevated triglycerides (>175 mg/dL)
C. 1. hs-CRP > 2.0 mg/L
2. Lp(a) levels >50 mg/dL
3. apoB > 130 mg/dL
4. Ankle-brachial index (ABI) <0.9

The Combination of Ezetimibe with Statin


There are three selected randomized controlled trials (RCTs) on the
combination of ezetimibe (EZE) with statin, simvastatin (SIM) / atorvastatin
(ATO) which will be shortly described.
1. IMPROVE-IT Study (Cannon et al 2015): SIM 40 mg + EZE 10 mg vs. SIM
40 mg
2. EZ-PATH Study (Leiter et al 2008): EZE 10 mg/day +ATO 40 mg/day vs.
doubling ATO dose to 80 mg/day
3. TEMPO Trial (Conard et al 2008): EZE 10 mg/day +ATO 20 mg/day vs
doubling ATO dose to 40 mg/day

34 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Reducing Cardiovascular Risk: Beyond Statin Monotherapy (The Role of The FDC Ezetimibe – Atorvastatin)

1. IMPROVE-IT (Cannon et al 2015): RCT on EZE/SIM Combination


This big trial will be described shortly and only in principle.

Population: 18,144 patients with stabilized ACS. Treatment: SIM 40


mg + EZE 10 mg vs. SIM 40 mg. Clinical primary endpoints: Composite
of CV death, non-fatal MI, UA requiring rehospitalization, coronary
revascularization, or nonfatal stroke. Median follow-up: 6 years (period
2005-2014). The main findings of this trial a summarized below: 6.4%
RRR (2.0% ARR) in primary endpoint.
a. Main ITT (Intention To Treat) Analysis (first attack): 6.4% decrease
in Major Cardiovascular Events (MACE), p=0.016, 18144 Post-ACS
patients
b. Diabetes Subanalysis (for Primary Endpoint): ↓15% (with DM) vs
↓2% (no DM) (p for interaction=0.02)
c. Patients with Main On Treatment Analysis: ↓7.6% in MACE (p=0.012)
d. Total Cardiovascular Analysis: ↓9% in 1st & Succeeding CV Events
(p=0.007)
e. CABG Subanalysis (Primary Endpoint): ↓20% (with history of CABG)
vs ↓4% (no history of CABG) (p for interaction=0.02)
f. Stroke Subanalysis (Primary Endpoint): ↓16% (with history of
stroke) vs ↓6% (no history of Stroke) (p for Interaction=0.37)

Conclusion: When added to statin therapy, ezetimibe resulted


in incremental lowering of LDL cholesterol levels and improved
cardiovascular outcomes as above mentioned. Moreover, lowering LDL
cholesterol to levels below previous targets provided additional benefit.

2. EZ-PATH Study (Leiter et al 2008): RCT on EZE/ATO Combination


The EZ-PATH Study 2008 described the efficacy and safety of ezetimibe
10 mg added to atorvastatin (40 mg) vs titration of atorvastatin (up to 80
mg) in hypercholesterolemic patients with high risk of CHD. This 2008
EZ-PATH RCT was provided with treatment arms : EZE 10 mg/day with
ATO 40 mg/day doubling ATO dose to 80 mg/day. Main results: adding
EZE to ATO 40 mg/day resulted in significantly greater reductions in
LDL-C and significantly more pts achieving LDL-C <70 mg/dL. Conclusion:
these results showed that adding ezetimibe to atorvastatin 40 mg was

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 35


Askandar Tjokroprawiro

significantly more effective than uptitrating to atorvastatin 80 mg at


lowering LDL-C and other lipid parameters.

Thus, ezetimibe/atorvastatin 10/40 mg combination provided greater


additional LDL-C reduction compared to doubling atorvastatin to 80 mg

3. TEMPO Trial (Conard et al 2008): the RCT on EZE/ATO Combination


This 2008 TEMPO RCT was provided with treatment arms: EZE 10 mg/
day +ATO 20 mg/day vs doubling ATO dose to 40 mg/day.

Main results and conclusions: adding EZE to ATO 20 mg/day resulted


in significant greater reduction in LDL-C and significantly more patients
achieving LDL-C <100 mg/dL. TEMPO Trial also demonstrated the
beneficial effects of the combination (group A) vs doubling ATO dose to
40 mg/day (group B) on multiple lipid parameters. Thus, the comparison
between group A and group B,are summarized below:
• Total Cholesterol: -20% (group A:combination of EZE 10 mg/ ATO
20 mg) vs -7% (group B: doubling ATO to 40 mg), p<0.001
• LDL-C: -31 (group A) vs -11% (group B), p<0.001
• Apo B : -21% (group A) vs -8% (group B), p<0.001
• Non-HDL-C : -27% (group A) vs -10% (group B), p<0.001
• TG: -18% (group A) vs -6% (groupvB), p=NS
• HDL-C +3% (group A) vs +1% (group B), p=NS

Thus, there are no significant difference of TG and HDL-C between the


combination of E10 mg/ ATO 20 mg compared to doubling ATO to 40 mg.

III. Statin-associcated Side Effects (SASE)


Statin-associated side effects (SASEs) of this hypolipidemic drug are
summarized and listed in the followings (ACC/AHA 2019, clinical
experiences):
1. Transaminase Elevation 3× ULN
2. Myalgias (CK Normal) = SAMS : Statin Associated Muscle Symptoms
(RCTs)
3. Myositis/Myopathy (CK > ULN) with Concerning Symptoms or
Objective Weakness (RCTs)
4. Rhabdomyolysis (CK >10× ULN + Renal Injury) (RCTs)

36 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Reducing Cardiovascular Risk: Beyond Statin Monotherapy (The Role of The FDC Ezetimibe – Atorvastatin)

5. Statin-Associated Autoimmune Myopathy = SAAM (HMGCR


Antibodies, Incomplete Resolution) (Case report)
6. Incident Diabetes Mellitus Depends on population;
more frequent if diabetes mellitus risk factors are
present, such as body mass index ≥30, fasting blood
sugar ≥100 mg/dL; metabolic syndrome, or A1c ≥6% (RCTs)
7. Hepatic Toxicity : transaminase elevation 3x ULN is infrequence
(RCTs)
8. Statin Cardiomyopathy: due to reduced reduction of QTen product
(LC-EO)

IV. Summary About The Use of Ezetimibe and Its Combination


Based on multiple sources and clinical experience, the selective doses and
administration information summarized below: (Tjokroprawiro 2019)
1. Patients should be on an appropriate lipid-lowering diet
2. Atozet: 10/10, 10/20, 10/40 atorvastatin 10 mg, 20 mg, 40 mg
combined with ezetimibe 10 mg
3. Starting dose : 10/10 mg or 10/20 mg once daily (10/20 ~ 40 mg)
4. If larger ↓ in LDL-C is required (> 50 %): start at 10/40 mg once daily
5. Atozet titration: monitor the lipid level within 2 or more weeks and
adjust the dosage accordingly
6. Atozet usage: as single dose, at any time of the day, with or without
food
7. In a clinical trial (Conard et al 2008), patients swicthed to atozet
10/20 mg vs atorvastatin 40 mg: achieved greater LDL-C reduction
(Favor atozet 10/20 mg)

V. The Top 10 Take-home Messages of 2019 ACC/AHA Guideline


The Top 10 take-ome messages derived from 2019 Primary Prevention
Guidelines on the Management of Blood Cholesterol (Grundy et al 2018).

The10 messages are shortly abbreviated in the followings:


1. In all individuals should emphasize a heart-healthy lifestyle across
the life course.
2. In patients with clinical ASCVD, reduce LDL-C levelwith high intensity
statin therapy or maximally tolerated statin therapy.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 37


Askandar Tjokroprawiro

3. In very high-risk ASCVD, use a LDL-C threshold of 70 mg/dL (1.8


mmol/L) to consider addition of non-statins to statin therapy.
4. In patients with severe primary hypercholesterolemia (LDL-C level
≥190 mg/dL [≥4.9 mmol/L]), without calculating 10-year ASCVD
risk, begin high-intensity statin therapy without calculating 10-year
ASCVD risk.
5. In patients aged 40 to 75 years with diabetes mellitus and LDL-C
≥70 mg/dL (≥1.8 mmol/L), start moderate-intensity statin therapy
without calculating 10-year ASCVD risk.
6. In adults aged 40 to 75 years perform evaluateion for primary
ASCVD prevention. Conduct a clinician–patient risk discussion
before starting statin therapy.
7. In adults aged 40 to 75 years without diabetes mellitus and with
LDL-C levels ≥70 mg/dL (≥1.8 mmol/L), at a 10-year ASCVD risk of
≥7.5%, start a moderate-intensity statin if a discussion of treatment
options favors statin therapy.
8. In adults aged 40 to 75 years without diabetes mellitus and 10-year
risk of 7.5% to 19.9% (intermediate risk), risk-enhancing factors
favor the initiation of statin therapy (see No. 7).
9. In adults aged 40 to 75 years without diabetes mellitus and with
LDL-C levels ≥70 mg/dL- 189 mg/dL (≥1.8-4.9 mmol/L), at a 10-
year ASCVD risk of ≥7.5% to 19.9%, if a decision about statin therapy
is uncertain, consider measuring CAC.
10.
Assess the adherence and percentage response to LDL-C–lowering
medications and lifestyle changes with repeat lipid measurement
4 to 12 weeks after statin initiation or dose adjustment and repeat
every 3 to 12 months as needed.

References
1 ACC/AHA (2019) Guideline on the Primary Prevention of Cardiovascular Disease:
Executive Summary
2 Cannon C, Blazing M, Giugliano R, et al. Ezetimibe Added to Statin Therapy after
Acute Coronary Syndromes. N Engl J Med 2015; 372:2387-23977
3 Conard S, Bays H, Leiter L, et al. Efficacy and Safety of Ezetimibe Added on
to Atorvastatin (20 mg) Versus Uptitration of Atorvastatin (to 40 mg) in

38 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Reducing Cardiovascular Risk: Beyond Statin Monotherapy (The Role of The FDC Ezetimibe – Atorvastatin)

Hypercholesterolemic Patients at Moderately High Risk for Coronary Heart


Disease. Am J Cardiol 2008;102(11):1489-94
4 Grigore L, Norata G, Catapano A. Combination therapy in cholesterol reduction:
focus on ezetimibe and statins. Vasc Health Risk Manag. 2008;4(2):267-78.
5 Grundy et al. 2018 AHA/ACC/AACVPR/AAPA/ABC/ACPM/ADA/AGS/ APhA/
ASPC/NLA/PCNA Guideline on the Management of Blood Cholesterol. https://
www.ahajournals.org/journal/cir
6 Leiter LA et al. EZ-PATH: Efficacy and safety of ezetimibe added on to
atorvastatin (40 mg) compared with uptitration of atorvastatin (to 80 mg)
in hypercholesterolemic patients at high risk of coronary heart disease. Am J
Cardiol. 2008 Dec 1;102(11):1495-501. 
7 PERKENI Guideline (2012). Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia
8 PERKENI Guideline (2019, in Progress, updated from 2012). Panduan Pengelolaan
Dislipidemia di Indonesia
9 Tjokroprawiro A. Opening Remarks on the Symposium: Update on Dyslipidemia &
Diabetes (The New Guideline, Evidence & Experience). Trawas (Royal Hotel), 16
March 2014
10 Tjokroprawiro A. Opening Remarks on the Symposium: Simposia Sosialisasi.
Konsensus Pengelolaan Dislipidemia PERKENI-2015. Surabaya (Hotel Bumi), 31
Oktober 2015
11 Tjokroprawiro A. Opening Remarks on the Symposium: Filling an Unmet Need in
Lipid-Lowering Management. Surabaya (Shangri-La Hotel), 25 August 2019

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 39


Role of Specific Enteral Nutrition
to Improve Health Condition in Cirrhotic Patients
Rino Alvani Gani
Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Sirosis hati dapat dijumpai di seluruh negara termasuk Indonesia dengan
kejadian yang berbeda-beda di tiap negara. Berdasarkan data dari Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2014 penyakit hati
kronis dan sirosis hati menyebabkan angka kematian sebanyak 38.170 orang
dengan prevalensi 12.0 per 100.000 populasi.1 Malnutrisi telah menjadi
semakin umum pada penyakit hati stadium akhir. Prevalensi kekurangan gizi
telah dilaporkan dalam proporsi yang signifikan dari pasien dengan sirosis
dengan kisaran dari 10% hingga 100%, bergantung pada tingkat keparahan
dekompensasi hati dalam pengaturan sirosis. Dalam kejadian tinggi ini,
malnutrisi masih kurang terdiagnosis dan tidak diobati secara efektif.
Malnutrisi adalah prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
sirosis. Malnutrisi yang terkait dengan penyakit hati telah dikaitkan dengan
risiko infeksi, komplikasi terkait dengan operasi, kandidat yang tidak bagus
untuk transplantasi hati, dan lama tinggal yang lama di rumah sakit atau unit
perawatan intensif.2

Gizi kurang adalah hal yang sering terjadi pada segala bentuk penyakit
hati; dari 20% penyakit hati kompensasi kejadian gizi buruk mencapai 20%
dan pada pasien dekompensasi mencapai lebih dari 80%. Pasien dengan
gizi kurang membutuhkan asupan zat gizi untuk mempertahankan atau
meningkatkan status gizinya, terdapat beberapa rute pemberian makanan
yang dapat digunakan yaitu, oral, enteral dan parenteral. Terapi gizi
memberikan manfaat yang berbeda pada setiap tahapan penyakit. Pemberian
terapi dalam jangka singkat dapat meningkatkan keseimbangan nitrogen,
menurunkan jangka waktu di rumah sakit, dan meningkatkan fungsi hati.
Penurunan insiden ensefalopati dan peningkatan kualitas hidup adalah
manfaat jangka panjang dari pemberian terapi tersebut.3

40 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Role of Specific Enteral Nutrition to Improve Health Condition in Cirrhotic Patients

Sarcopenia pada Pasien Sirosis


Sarkopenia pada sirosis adalah penyebab meningkatnya morbiditas dan
mortalitas dengan penelitian terbaru yang menunjukkan sarkopenia sebagai
prediktor independen untuk kelangsungan hidup yang buruk pada pasien
sirosis dengan atau tanpa kanker hepatoseluler. Di AS, sarkopenia sekunder
akibat sirosis Mempengaruhi lebih dari 300.000 orang dan dikaitkan dengan
peningkatan biaya pengobatan, lama tinggal di rumah sakit, dan kematian
sebelum dan sesudah transplantasi.4

Stigmata sirosis dipahami secara luas dan mencakup karsinoma


hepatoseluler (3%-5%), asites (5%-10%), perdarahan varises (10%-15%),
dan ensefalopati hepatik (62,4%). Sarcopenia, meskipun merupakan ciri
umum dari penyakit ini, tidak mudah dikaitkan dengan sirosis. Malnutrisi
mengakibatkan sarkopenia adalah salah satu komplikasi paling sering
pada pasien dengan sirosis, berdampak buruk terhadap komplikasi lain,
kelangsungan hidup, kualitas hidup, dan hasil transplantasi setelahnya.
Pasien dengan sirosis mengembangkan malnutrisi energi protein pada tingkat
25,1%-65,6%. Prevalensi sarkopenia juga tercatat memiliki distribusi yang
sama (30%-70%). Pasien dengan sirosis juga memiliki intoleransi olahraga
berat yang selanjutnya berkontribusi pada kekurangan gizi dan akhirnya
sarkopenia.4

Pendekatan Sistematis untuk Skrining Malnutrisi pada Pasien


Sirosis
Pendekatan sistematis untuk skrining malnutrisi pada pasien sirosis
harus dilakukan untuk lebih langsung mengatasi masalah malnutrisi yang
berkembang. Selama evaluasi awal (penilaian tahap 1), pasien sirosis dengan
kebutuhan mendesak akan dukungan nutrisi harus diidentifikasi. Selanjutnya,
pasien yang terpilih ini harus menjalani evaluasi standar (penilaian tahap
2) yang mengarah ke perawatan pasien individual dengan fokus untuk
mengoptimalkan status gizi. Tujuan dari pendekatan dua tahap adalah
untuk memaksimalkan alokasi waktu dan sumber daya bagi mereka yang
paling membutuhkannya untuk meningkatkan hasil secara keseluruhan.
Tidak setiap pasien membutuhkan evaluasi lengkap segera (penilaian tahap
2) untuk kekurangan gizi; pasien yang paling berisiko harus ditargetkan
terlebih dahulu dan dinilai. Keparahan kekurangan gizi sangat terkait dengan
keparahan dekompensasi hati (gagal hati) dalam pengaturan sirosis.2

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 41


Rino Alvani Gani

Gambar 1. Pendekatan dua tahap untuk penilaian gizi pada sirosis.2

Evaluasi status gizi yang lebih menyeluruh dan komprehensif dapat


dicapai dan pendekatan individual yang terfokus dapat dilakukan. Ini tidak
hanya memungkinkan pembagian sumber daya dan waktu yang tepat, tetapi
juga menyediakan pendekatan yang lebih tepat sasaran di mana pasien dapat
diprioritaskan berdasarkan keparahan kekurangan gizi. Berbagai tes harus
digunakan untuk mengevaluasi berbagai aspek dan tingkat keparahan gizi
daripada alat penyaringan gizi tunggal, sehingga menciptakan pendekatan
multidisiplin yang ditunjukkan pada Gambar 2.2

Gambar 2. Multidisciplinary Nutritional Assessment.2

42 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Role of Specific Enteral Nutrition to Improve Health Condition in Cirrhotic Patients

Gambar 3. Skrining dan penilaian nutrisi pada pasien dengan sirosis.5

Dukungan Nutrisi
Intervensi terapeutik untuk mempertahankan status gizi yang memadai
pada pasien sirosis dapat dibagi menjadi bentuk enteral atau parenteral.
Secara umum, pedoman menunjukkan bahwa asupan energi yang dibutuhkan
untuk pasien sirosis adalah 35-40 kkal/ kg-BB per hari dan asupan protein
1,2-1,5 g/ kg-BW per hari.6

Aspek terpenting dari manajemen malnutrisi adalah memastikan bahwa


diet rehabilitasi pasien memiliki jumlah yang tepat dari setiap nutrisi penting
atau makromolekul sesuai dengan peraturan saat ini. Selain itu, diet memainkan
peran penting dalam sirosis dan keparahan terkait dekompensasi hati/ gagal
hati. Pola makan yang tidak memadai telah dikaitkan dengan perkembangan
penyakit hati lebih lanjut dan peningkatan risiko sirosis. Namun, perubahan
diet yang tepat telah dicatat tidak hanya mencegah perkembangan penyakit,
tetapi juga untuk mengurangi keparahan gagal hati.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 43


Rino Alvani Gani

Rekomendasi untuk pasien malnutrisi dengan sirosis adalah 35-40


kkal/kg/hari untuk meningkatkan anabolisme. Kekurangan protein adalah
masalah signifikan dalam malnutrisi yang dapat diatasi melalui asupan 1,2-
1,5 g/kg/hari. Lebih lanjut, kerusakan hati menyebabkan peningkatan asam
amino aromatik (AAA) dan menurunkan branched-chain amino acids (BCAA)
yang dapat menyebabkan ensefalopati hati dan komplikasi neurologis
lainnya. Studi telah menemukan bahwa meningkatkan rasio BCAA ke AAA
melalui peningkatan asupan BCAA diet telah menyebabkan normalisasi dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Pedoman untuk karbohidrat adalah 50-
70% dari kalori harian. Namun, gula sederhana, terutama fruktosa, harus
dihindari sebisa mungkin. Rekomendasi untuk lipid adalah 10-20% kalori
dengan mayoritas asam lemak tak jenuh tunggal dan tak jenuh ganda.
Pertimbangan khusus harus diambil untuk ensefalopati dan asites hati. Pada
ensefalopati hepatik, harus ada peningkatan penekanan pada BCAA dan serat
dengan penurunan amonia. Rekomendasi sebelumnya untuk ensefalopati
hepatik termasuk penurunan asupan protein, tetapi data yang lebih baru
telah menunjukkan bahwa praktik ini sudah ketinggalan zaman dan salah.7

Pasien dengan asites harus menjalani diet rendah sodium (kurang dari
atau sama dengan 2 g/ hari) dan juga harus memiliki pembatasan air ketika
edema hadir atau jika terjadi hiponatremia.33 Memastikan pasien memenuhi
persyaratan ini, yang diatur dalam Tabel 1, adalah langkah pertama dalam
mengoptimalkan dukungan nutrisi pada pasien dengan penyakit hati
stadium akhir. Pada pasien dengan sirosis yang terkait dengan pembatasan
kalori steatohepatitis nonalkohol, tetapi bukan pembatasan protein, dapat
direkomendasikan. Selain itu, pasien dengan retensi cairan harus dididik
untuk membatasi asupan natrium kurang dari 2 g per hari dan asupan cairan
2 L per hari,

Tabel 1. Rekomendasi Nutrisi untuk Malnutrisi pada Pasien Sirosis2

44 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Role of Specific Enteral Nutrition to Improve Health Condition in Cirrhotic Patients

Gambar 4. Metode Meningkatkan Asupan Oral2

Kesimpulan
Malnutrisi adalah masalah yang berkembang, terutama pada pasien
sirosis dengan penyakit hati stadium akhir. Peningkatan metode untuk
menilai dan mengobati kekurangan gizi adalah kunci untuk mengoptimalkan
hasil pasien. Penilaian malnutrisi harus dilakukan dalam dua tahap, yang
pertama untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko malnutrisi berdasarkan
sirosis dan yang kedua untuk menjalankan evaluasi nutrisi multidisiplin
lengkap pada pasien ini. Perawatan untuk malnutrisi harus memastikan
pasien mencapai target kalori dan nutrisi harian yang direkomendasikan
dengan meningkatkan asupan oral atau dengan menggunakan tindakan lain,
seperti suplementasi oral, nutrisi enteral, atau nutrisi parenteral.

Daftar Pustaka
1. CDC. Centers For Disease Control And Prevention. National Center For Health
Statistics. 2016
2. Perumpail BJ, Li AA, Cholankeril G, Kumari R, Ahmed A. Optimizing the Nutritional
Support of Adult Patients in the Setting of Cirrhosis. Nutrients. 2017
3. Krenitsky J. Nutrition for Patients with Hepatic Failure. Practical Gastroenterology.
2003
4. Nasser M, Turse PE, Syed Ali, Dailey FE, Zatreh M, et al. Interventions to improve
sarcopenia in cirrhosis: A systematic review. World J Clin Cases 2019 January 26;
7(2): 156-170.
5. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines
on nutrition in chronic liver disease. Journal of hepatology. 2019.
6. Shergill R, Syed W, Rizvi SA, Singh I. Nutritional support in chronic liver disease and
cirrhotics. World J Hepatol 2018; 10(10): 685-694.
7. O’Brien A,Williams R. Nutrition in End-stage Liver Disease: Principles and Practice.
Gastroenterology. 2008

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 45


The Role of Specific Enteral Nutrition in Predialysis
CKD Patients to Prevent Disease Progression
Ria Bandiara
Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP dr. Hasan Sadikin - Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung

Abstrak
Pemeliharaan nutrisi yang optimal adalah penting di seluruh spektrum
penyakit ginjal kronis (PGK), termasuk dalam fase sebelum memulai
terapi pengganti ginjal, selama peritoneum dialisis (PD) dan hemodialisis,
dan setelah transplantasi. Tujuan dari manajemen nutrisi pada pasien
PGK di semua stadium adalah untuk mempertahankan badan yang sehat,
memastikan asupan nutrisi makro dan mikro yang memadai, dan menghindari
ketidakseimbangan metabolisme atau perkembangan penyakit tulang mineral
dan memperlambat progresifitas PGK. Tujuan jangka panjang adalah untuk
mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas pasien PGK.

Pembatasan asupan protein selama tahap awal PGK sebenarnya dapat


memperlambat perkembangan progresifitas PGK, tetapi pada saat yang sama
pendekatan ini juga dapat menyebabkan protein energy wasting (PEW),
jika asupan energi tidak memadai dan dipantau dengan baik. Sayangnya,
kepatuhan terhadap rekomendasi diet masih rendah pada populasi pasien ini.
PEW yang dimanifestasikan oleh kadar serum albumin atau prealbumin
yang rendah, sarkopenia dan penurunan berat badan, adalah salah satu
prediktor terkuat mortalitas pada pasien PGK. Meskipun PEW mungkin
ditimbulkan oleh kondisi non-nutrisi, seperti inflamasi atau komorbiditas
lain, tidak menyangkal efektivitas intervensi diet dan dukungan nutrisi
dapat memperbaiki luaran yang baik pada pasien PGK. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa PEW dapat diperbaiki dengan diet dan dukungan nutrisi
enteral yang menargetkan asupan diet protein yang tepat. Intervensi dengan
suplemen nutrisi oral dapat diberikan untuk meningkatkan kelangsungan
hidup dan kualitas hidup pasien PGK.

Pendahuluan
Faktor nutrisi tidak dianggap terlibat langsung dalam kerusakan ginjal,
meskipun kebiasaan diet dapat secara signifikan mempengaruhi obesitas,
diabetes dan hipertensi, semuanya merupakan faktor risiko penyakit ginjal

46 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


The Role of Specific Enteral Nutrition in Predialysis CKD Patients to Prevent Disease Progression

kronis (PGK). Namun, meskipun telah diketahui bahwa prevalensi PGK tahap
awal jauh lebih besar daripada prevalensi PGK tahap akhir (stadium 5), dan
prevalensi PGK stadium 2 hingga 4 telah meningkat secara signifikan dalam
beberapa tahun terakhir, penelitian lebih banyak dilakukan tentang efek
modifikasi diet selama terapi pengganti ginjal (TPG) daripada memperlambat
perkembangan PGK melalui intervensi diet pada PGK mon dialisis.

Pendekatan nutrisi yang tepat pada pasien PGK stadium awal dapat secara
signifikan memperbaiki ganggu an metabolisme, seperti asidosis metabolik
dan hiperfosfatemia/ hiperparatiroidisme sekunder, juga secara positif
menangani beberapa risiko yang dapat dimodifikasi untuk perkembangan
PGK, termasuk hipertensi, proteinuria dan hiperglikemia. Memburuknya
fungsi ginjal dan progresifitas tahap PGK terkait dengan pengurangan
asupan nutrisi yang progresif sebagai akibat dari gangguan rasa, hilangnya
nafsu makan (anoreksia), akumulasi toksin uremik, disregulasi mekanisme
homeostatis gastrointestinal, perubahan konsetrasi di darah dari regulator
nafsu makan dan output hipotalamus.

Seringkali, pasien secara spontan membatasi asupan protein dan energi


mereka sebagai respons alami terhadap gejala yang disebabkan oleh uremia,
yang menyebabkan protein energy wasting (PEW). Jumlah protein yang
tepat untuk pasien dengan PGK pada tatalaksana konservatif telah dibahas
secara mendalam dalam berbagai penelitian, dan secara umum disepakati
bahwa pembatasan asupan protein yang terkontrol memiliki efek positif pada
proteinuria dan progresifitas PGK

Kebutuhan Protein pada Pasien PGK


Efek klinis positif dari diet rendah protein tidak hanya terkait dengan
kontrol gejala uremik, pengurangan proteinuria dan hiperfiltrasi, tetapi
juga kandungan natrium, asam anorganik, dan fosfor yang lebih rendah.
Dalam pengelolaan pasien PGK predialisis telah dibahas secara luas dan
kontroversial seperti kapan memulai pembatasan protein dan berapa banyak
asupan protein. Meskipun terdapat kontroversi mengenai risiko versus
manfaat, pedoman pada umumnya menganjurkan diet rendah protein (LPD;
0,6-0,8 g protein/kg bb/hari) untuk PGK tahap 3 dan 4.

Ketika fungsi ginjal menurun, demikian juga asupan protein spontan


akan menurun, dengan peningkatan risiko PEW. LPD tanpa pengawasan dapat
menyebabkan PEW yang berhubungan dengan luaran yang buruk dalam hal

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 47


Ria Bandiara

kejadian morbid di masa depan, perkembangan penyakit ginjal dan mortalitas


pada pasien PGK pra-dialisis.

Namun, asupan protein yang tidak terbatas dalam keadaan penurunan


jumlah nefron yang berfungsi dapat menyebabkan peningkatan tekanan
kapiler glomerulus, menghasilkan hiperfiltrasi. Perubahan hemodinamik ini
dapat berkontribusi terhadap glomerulosklerosis. Hal ini mengakibatkan
pengurangan lebih lanjut dari nefron yang berfungsi, membentuk lingkaran
setan yang berujung pada penyakit gnjal tahap akhir (PGTA). Pada penelitian
metaanalisis terbukti terdapat pengurangan risiko relatif sebesar 32%
untuk kematian pada pasien PGK yang mendapat asupan diet protein rendah
dibandingkan dengan PGK yang mendapat asupan protein . Pada wanita yang
sehat, mereka yang mengalami penurunan fungsi ginjal (eLFG> 55 tetapi <80
ml/ menit per 1,73 m2) mengalami penurunan eLFG yang signifikan setiap
10-g peningkatan asupan protein selama periode 11 tahun dibandingkan
dengan wanita dengan fungsi ginjal normal. Untuk menghindari hiperfiltrasi
dan memburuknya proteinuria, diet berdasarkan pedoman saat ini untuk
populasi umum (0,8 g / kg / hari) harus diterapkan pada tahap awal PGK.
Asupan protein tinggi juga dikaitkan dengan memburuknya LFG dibandingkan
dengan asupan protein sedang dan rendah pada pasien PGK stadium 3 sampai
5 yang tidak didialisis.

Masalahnya adalah mematuhi asupan protein rendah secara


berkesinambungan dan mencapai kebutuhan kalori yang diinginkan adalah
sering terjadi pada pasien dengan PGK, meskipun tersedia konsultan nutrisi
pr ofesional. Suplementasi dengan asam amino esensial dapat diberikan
terhadap pasien dengan asupan protein berkualitas rendah, sehingga
palatabilitas yang lebih baik, dan pilihan makanan yang lebih beragam.
Bentuk lain suplemen diet rendah protein didasarkan pada penggunaan
makanan bebas protein khusus. Saat ini produk-produk ini biasanya tersedia
sebagai pasta, kue, roti dan tepung tetapi juga sebagai sup dan makanan
penutup yang sudah dimasak sebelumnya dan mewakili sumber daya yang
sangat berharga untuk manajemen diet rendah protein pada pasien PGKyang
optimal, memungkinkan asupan energi tinggi tanpa fosfat, protein dan kadar
natrium lebih rendah

Rekomendasi Asupan Diet Protein


Perbedaan dalam kriteria inklusi dari beberapa penelitian, pengukuran
luaran, jenis protein yang dicerna serta masalah dalam kepatuhan diet

48 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


The Role of Specific Enteral Nutrition in Predialysis CKD Patients to Prevent Disease Progression

membuatnya sulit untuk menarik kesimpulan yang kuat tentang hubungan


antara asupan protein dan luaran klinis. Meskipun bukti klinis yang tersedia
menunjukkan bahwa diet protein rendan, jika dipantau dengan cermat, tidak
hanya tidak berbahaya tetapi dalam banyak kasus dapat bermanfaat bagi
pasien PGK, beberapa pedoman masih tidak merekomendasikan diet protein
rendah untuk pengobatan konservatif PGK karena berisiko malnutrisi. Namun,
data literatur menunjukkan bahwa, asalkan ada asupan energi yang memadai,
malnutrisi seharusnya tidak menjadi masalah. Sebuah konsensus baru-baru
ini dari Italia membahas masalah ini, menunjukkan bahwa deit proten rendah
dengan asupan kalori yang memadai harus diimplementasikan pada pasien
PGK tahap 3–5 untuk mempertahankan status nutrisi yang memuaskan
dan untuk menunda dimulainya terapi pengganti ginjal. Beberapa pedoman
merekomendasikan setidaknya 50% dari protein yang dicerna memiliki nilai
biologis yang tinggi, atau mengandung persentase tinggi asam amino esensial
untuk memastikan keseimbangan nitrogen netral bersih. Rekomendasi
tentang asupan protein dirangkum dalam Tabel 1.

Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi secara umum bervariasi antara 30 dan 40 kkal/kg per
hari. Sejumlah penelitian deskriptif melaporkan bahwa asupan energi aktual
biasanya rendah sebesar 22 – 24 kkal/kg/hari yang dapat menyebabkan
terjadinya PEW karena terjadi deplesi simpanan jaringan adiposa dalam
tubuh dan terjadinya keseimbangan nitrogen yang negatif. Asupan energi
harian yang direkomendasikan bervariasi tergantung dari usia, jenis kelamin
dan aktivitas fisik. Suplai kalori harus memperhitungkan abnormalitas
metabolisme glukosa dan clearance lemak. Lemak sebaiknya diberikan 30 –
40% dari jumlah energi.

Suplemen Enteral
Seperti telah dibicarakan sebelumnya PEW juga umum terjadi pada pasien
PGK non dialisis, di mana penurunan asupan protein dan kalori biasanya
terjadi ketika laju filtrasi glomerulus (GFR) turun menjadi <25-35 ml / menit
/ 1,73 m2. Meskipun perubahan tersebut data dimulai ketika GFR mencapai
55 ml / mnt / 1,73 m2. Meskipun pengaruh asupan protein dan energi aktual
terhadap outcome tidak diteliti dengan baik pada pasien PGK non dialisis,
berbagai penanda biokimia dari nutrisi dan inflamasi berkorelasi dengan
peningkatan mortalitas dan angka kejadian kardiovaskular. Asupan protein
enteral belum diteliti dengan baik sebagai strategi terapeutik pada populasi
pasien ini, terutama karena keyakinan bahwa asupan protein yang rendah

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 49


Ria Bandiara

diperlukan untuk memperlambat perkembangan PGK dan memperbaiki


outcome. Asupan protein yang tinggi dapat mempengaruhi LFG melalui
berbagai mekanisme, termasuk perubahan hemodinamik glomerulus. Asupan
protein yang dibatasi (misalnya <0,8 g/kg bb per hari atau bahkan <0,6 g/kg
bb per hari dibandingkan dengan 1,2 g/kg bb per hari yang direkomendasikan
untuk pasien dengan dialisis), khususnya dalam kombinasi dengan keto analog
asam amino, telah berhasil digunakan untuk menunda perkembangan PGK di
beberapa penelitian. Manfaat dari diet rendah protein mungkin, setidaknya
sebagian, terkait dengan kadar fosfor rendah, karena penurunan kadar fosfor
dapat memperlambat perkembangan PGK dan memperbaiki outcome lainnya.

Keseimbangan nitrogen netral atau positif membutuhkan kecukupan


asupan protein dan energi, karena asupan energi yang rendah dapat
menyebabkan PEW. Diet Protein 0,6-0,8 g/kg bb/hari dan asupan energi
30–35 Kkal/kg/hari harus dipertahankan sebagai penyimpanan protein.
Kehilangan nafsu makan, bagaimanapun, dikaitkan dengan sindrom uremik
dan penurunan fungsi ginjal berkorelasi langsung dengan penurunan asupan
makanan. Sebagai tambahan karena adanya pengurangan asupan makanan,
PEW juga mungkin disebabkan oleh restriksi regimen nutrisi, factor
gastrointestinal, asidosis metabolic, inflamasi dan factor endokrin. Prevalensi
PEW pada populasi PGK diperkirakan antara 20 sampai 45%, dan 1 dari 5
orang pasien PGK stadium 4-5 akan menjadi PEW sebelum dilakukan inisiasi
dialysis. Lebih lanjut, dengan adanya PEW ini pada saat inisiasi dialysis
merupakan prediksi risiko kematian di masa yang akan datang.

Eksplorasi hubungan antara frailty dan PGK baru-baru ini mendapatkan


minat penelitian. Kehilangan berat badan yang tidak disengaja adalah salah
satu tanda frailty. Kejadian frailty pada PGK stadium 2-3 kira-kira dua kali
lipat dibandingkan tanpa PGK dan frailty ini berbanding terbalik dengan LFG,
dimana satu dari lima orang dengan LFG <40 ml/min/1,73m2 menderita
frailty. Prevalensi frailty 14% lebih tinggi pada usia paruh baya dan 15%
lebih tinggi pada usia lanjut pada pasien PGK non dialisis dibandingkan
dengan populasi yang sama dengan fungsi ginjal normal. Beberapa penelitian
menemukan angka kematian yang lebih tinggi pada pasien PGK dengan frailty.
Suplementasi nutrisi oral atau pemberian makanan lewat NGT merupakan
intervensi untuk memberikan asupan nutrisi yang optimal pada pasien frailty
dimana mereka kekurangan energi.

50 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


The Role of Specific Enteral Nutrition in Predialysis CKD Patients to Prevent Disease Progression

Karena risiko malnutrisi meningkat secara paralel dengan perburukan


fungsi ginjal dan kebutuhan untuk diet yang lebih ketat, pemantauan yang
lebih sering terhadap pasien sangat penting. Diet rendah protein yang tidak
diawasi telah terbukti akan lebih memperburuk pasien karena pasien
cenderung untuk mengurangi juga asupan energi total. Atas dasar ini,
konseling diet lebih dini dan teratur masih merupakan langkah yang pertama
untuk pencegahan dan pengobatan PEW pada pasien . Bilamana konseling
diet tidak cukup untuk mencapai nutrisi yang direncanakan, dapat diberikan
suplemen nutrisi oral atau suplemen nutrisi enteral. Menurut pedoman dari
ESPEN, tujuan pemberian nutrisi enteral pada pasien PGK adalah sebagai
pencegahan dan pengobatan malnutrisi, koreksi gangguan metabolisme
uremik, pencegahan gangguan elektrolit, mengurangi progresi PGK melalui
restriksi protein dan fosfat serta preservasi fungsi dan integritas mukosa
intestinal

Suplemen nutrisi oral dapat meningkatkan asupan energi total dan


protein sekitar 20-50%. Suplemen formula khusus untuk penyakit ginjal
mengandung volume yang lebih sedikit dengan densitas energi tinggi /padat
kalori (1.5-2.0 kcal/ml) dengan kadar kalium, natrium dan fosfat yang rendah;
biasanya diperlukan untuk pasien dengan restriksi cairan dan gangguan
elektrolit. Suplemen makanan ini secara luas diklasifikasikan dalam dua
kategori: (1) Kandungan protein tinggi (per 100 gram) - untuk pasien dialisis
(2) Kandungan protein rendah (per 100 gram) - untuk pasien predialisis/
suplemen ginjal untuk pasien nondialisis. Mengenai kualitas protein, pedoman
menyarankan setidaknya 50% dari protein harus memiliki nilai biologis yang
tinggi. Nilai biologis mengacu pada seberapa baik dan seberapa cepat tubuh
dapat benar-benar menggunakan protein.

Untuk pasien PGK suplemen nutrisi oral dapat diberikan dua kali sehari
dengan penambahan sekitar 10 kkal/kg bb/hari dengan kandungan protein
yang minimum sampai tercapai asupan spontan sesuai dengan target nutrisi
yang ingin dicapai. Pada pasien dengan PEW berat dengan asupan spontan
kurang dari 20 Kkal/kg bb/hari, kondisi stress dan atau terutama dengan
kesulitan mengunyah, dapat diberikan nutrisi enteral sebagai suplemen di
malam hari atau sebagai dukungan nutrisi sehari-hari.

Penggunaan pemberian makanan enteral dipertimbangkan dalam


kasus-kasus tertentu jika asupan nutrisi tidak optimal meskipun diakui
bahwa dukungan nutrisi oral ini ada risiko dan ketidaknyamanan yang

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 51


Ria Bandiara

signifikan terkait dengan bentuk pemberian makanan ini. Penting juga untuk
mempertimbangkan komorbiditas pasien, kondisi umum dan kemungkinan
kelangsungan hidup sebelum memulai pemberian makanan enteral. Bukti
penelitian untuk mendukung pemberian secara enteral terbatas pada
beberapa studi observasional kecil. Sebuah ulasan dari 181.196 prosedur
insersi percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG) di AS menemukan
bahwa pasien dengan PGK memiliki peningkatan risiko kematian 1,6 kali
lipat. Malnutrisi meningkatkan risiko kematian menjadi 5,25 kali lipat jika
dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kepala dan leher yang mencegah
asupan oral. Penting untuk dicatat bahwa tinjauan tersebut tidak menyatakan
tahapan penyakit ginjal, jika pasien menerima terapi penggantian ginjal atau
bagaimana mereka mendefinisikan kekurangan gizi.

Pada saat diet rendah protein dapat diimplementasikan dengan


mematuhi pembatasan diet, suplemen oral yang dibuat khusus untuk penyakit
dan hiperkalorik dapat meningkatkan manajemen PGK tanpa menyebabkan
malnutrisi. Namun, sangat sedikit penelitian yang meneliti penggunaan
suplemen nutrisi oral pada pasien dengan PGK nondialisis. Sebuah penelitian
di Spanyol terhadap 22 pasien PGK non dialisis dengan diet rendah protein (0,6
g/kg bb per hari), separuh pasien juga menerima sebagian dari diet protein
dan kalori yang ditentukan melalui suplemen rendah protein hypercaloric
selama 6 bulan. Pada kelompok yang menerima suplemen oral, parameter
nutrisi lebih baik dan asupan protein mereka tampaknya lebih dekat dengan
target sasaran diet rendah protein daripada kelompok kontrol. Pasien yang
menerima suplemen juga memiliki kepatuhan yang lebih baik dan penurunan
fungsi ginjal yang lebih kecil daripada kelompok kontrol. Toleransi terhadap
suplemen baik pada lebih dari 70% pasien dan efek sekunder - mual, muntah,
dan kehilangan nafsu makan – hanya terjadi pada 18% pasien.

Kesimpulan
Nutrisi masih merupakan masalah pada pasien PGK baik pre dialisis
maupun yang menjalani dialisis. Namun, telah ada kemajuan dalam
memahami target pemberian nutrisi pada pasien PGK. Sebelum dialisis, ada
beberapa bukti penelitian bahwa rencana nutrisi jangka panjang, dengan
kontrol asupan protein, efisien untuk memperbaiki gangguan metabolisme,
termasuk proteinuria, dan hemat biaya. PEW adalah kondisi yang berbeda
pada pasien PGK dan sering terjadi serta dikaitkan dengan hasil luaran yang
merugikan. Intervensi diet dan dukungan nutrisi tampaknya efektif dalam
mengurangi atau mengoreksi PEW dan memperbaiki outcome pada pasien

52 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


The Role of Specific Enteral Nutrition in Predialysis CKD Patients to Prevent Disease Progression

PGK. Semua pasien dengan PGK harus dinilai secara berkala (bulanan atau
triwulanan) untuk keberadaan PEW dan harus ditawarkan dukungan nutrisi
oral kapan pun diperlukan. Menyediakan makanan atau suplemen nutrisi
oral dan intervensi nutrisi lainnya untuk pasien dengan PGK adalah cara yang
paling menjanjikan untuk meningkatkan konsentrasi albumin serum dan
memperbaiki kualitas hidup pserta memperpanjang usia ada populasi pasien
ini.

Daftar Pustaka
1. Sabatino A, Regolisti G, Gandolfini I, Delsante M, Fani F, Gregorini MC et al. Diet and
enteral nutrition in patients with chronic kidney disease not on dialisys : a review
focusing on fat, fiber ant protein intake. J Nephrol 2017 DOI 10.1007/s40620-017-
0435-5
2. Kalantar-Zadeh K, Cano NJ, Budde K, Chazot C, Kovesdy CP. Diet and enteral
supplements for improving outcomes in chronic kidney disease. Nat. Rev. Nephrol.
2011;7:369–384
3. Campbell K. Nutrition support in kidney disease. In: Advanced Nutrition and
Dietetics in Nutrition Support, First Edition. Edited by Mary Hickson and Sara
Smith. © 2018 John Wiley & Sons Ltd. Published 2018 by John Wiley & Sons Ltd.
4. Bellizi V, Carrero J, Chauveau, Cozzolino M, Cupisti A, D’Alessandro C etal. Retarding
chronic kidney disease (CKD) progression: a practical nutritional approach for
non-dialysis CKD. Nephrology @ Point of Care 2016; 2 (1): e56-e67
5. Kovesdy CP, Kopple JD, Kalantar-Zadeh K. Management of protein-energy wasting
in non-dialysis-dependent chronic kidney disease: reconciling low protein intake
with nutritional therapy Am J Clin Nutr 2013;97:1163–77

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 53


Diagnostic Challenges in Functional Dyspepsia
Putut Bayupurnama
Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi, Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr Sardjito - Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Pendahuluan
Keluhan - keluhan terkait dispepsia merupakan keluhan - keluhan
yang sangat sering dijumpai dan di masyarakat umum sering dianalogikan
dengan penyakit asam lambung naik dan terkadang juga dikaitkan sebagai
gejala penyakit jantung. Tantangan diagnostik dari dispepsia fungsional
adalah diferensial diagnosis terhadap keluhan-keluhan abdominal yang
sering diasosiasikan sebagai keluhan dispepsia meskipun sebenarnya tidak
sesuai definisinya, dan gejala dispepsia juga sering ditemukan pada penyakit
irritable bowel syndrome, sehingga ketidaktepatan dalam diagnosis berakibat
terapi yang tidak sesuai.

Definisi dan Patofisiologi


Dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau ketidaknyamanan pada
area linea mediana abdomen di atas umbilikus, atau yang biasa disebut area
epigastrium. Gejala-gejala lain yang bisa berdiri sendiri atau menyertai adalah
mual,muntah, kembung, perut rasa penuh sehabis makan, perut terasa cepat
penuh sebelum makanan porsi biasanya habis (early satiety), atau sering
sendawa.

Dispepsia fungsional didefinisikan sebagai keluhan dispepsia yang mana
setelah dilakukan pemeriksaan standar baku, yaitu endoskopi saluran cerna
atas tidak dijumpai suatu kelainan yang dapat dicurigai sebagai penyebab
keluhan dispepsia nya.

Beberapa mekanisme patofisiologik terkait timbulnya keluhan dispepsia
pada dispepsia fungsional adalah, fungsi motorik gaster, hipersensitivitas dan
inflamasi tingkat rendah duodenum, hipersensitivitas viseral dan pemrosesan
di otak yang berubah (altered brain processing), dan kerentanan genetik.
Fungsi motorik gaster yang abnormal, khususnya pengosongan lambung
yang terlambat telah dipertimbangkan sebagai latar belakang patofisiologik
gejala-gejala dispepsia sejak lama, tetapi mekanismenya masih belum

54 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnostic Challenges in Functional Dyspepsia

dipahami sepenuhnya. Sebaliknya, pengosongan lambung yang cepat yang


berhubungan dengan peningkatan kontraktilitas antral gaster dan penurunan
penghambatan duodenum, serta gangguan akomodasi telah berimplikasi
pada diagnosis dispepsia fungsional. Sebuah penelitian dengan menginfuskan
asam ke duodenum menunjukkan adanya peningkatan sensitivitas terhadap
asam pada duodenum pasien dispepsia fungsional dibandingkan kontrol
sehat. Mekanisme kunci yang bisa menjelaskan faktor-faktor utama yang
melatarbelakangi timbulnya gejala-gejala gastrointestinal yang sulit
dijelaskan adalah hipersensitivitas viseral. Mekanisme ini melibatkan baik
sensitisasi perifer (permeabilitas yang meningkat, eksitabilitas saraf aferen
yang meningkat) dan sentral (altered brain processsing). Beberapa penelitian
juga telah menghubungkan dispepsia fungsional dengan kerentanan genetik,
seperti G-protein beta 3 (GNβ3) sub unit gene polymorphism atau TRPV1
receptor G315C polymorphism.

Penegakan diagnosis dan tantangannya


Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan umumnya dengan berdasar
pada Kriteria ROMA IV, sebagai berikut:
Kriteria Diagnostik:
1. Satu atau lebih dari gejala berikut:
a. Perut terasa penuh postprandial yang mengganggu (bothersome)
b. Perut rasa cepat kenyang sebelum porsi makan biasa habis (early
satiety) yang mengganggu (bothersome)
c. Nyeri epigastrium yang mengganggu (bothersome)
d. Rasa terbakar di epigastrium yang mengganggu (bothersome)
DAN tidak ada bukti adanya penyakit struktural (termasuk pemeriksaan
endoskopi atas) yang bisa menjelaskan gejala tersebut:
- Harus memenuhi kriteria untuk Postprandial Distress Syndrome
(PDS) dan/ atau Epigastric Pain Syndrome (EPS)
- Kriteria terpenuhi dan sudah berlangsung selama 3 bulan terakhir
dengan onset gejala paling tidak 6 bulan sebelum diagnosis
• Postprandial Distress Syndrome (PDS)
Kriteria Diagnostik:
Harus meliputi satu atau dua gejala berikut ini paling tidak tiga hari
per minggu:

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 55


Putut Bayupurnama

1. Perut terasa penuh postprandial yang mengganggu (cukup


berat memberi dampak terhadap aktifitas biasanya
2. Early satiety yang mengganggu (cukup berat untuk
menyelesaikan maknnya sesuai porsi biasanya)
Tak ada bukti penyakit organik, sistemik, metabolik yang bisa
menjelaskan keluhan tersebut saat pemeriksaan rutin termasuk
endoskopi atas. Kriteria terpenuhi dan sudah berlangsung selama
3 bulan terakhir dengan onset gejala paling tidak 6 bulan sebelum
diagnosis.
Penjelasan-penjelasan yang mendukung diagnosis: Nyeri atau
rasa terbakar epigastrium postprandial, kembung epigastrium,
sendawa berlebihan, dan mual dapat menyertai gejala PDS. Adanya
gejala muntah mungkin perlu dipertimbangkan keterkaitan dengan
gangguan lain. Heartburn bukan gejala dispepsia tetapi mungkin
bisa ada bersamaan. Gejala yang membaik setelah defekasi atau
flatus secara umum tidak bisa dipertimbangkan sebagai bagian dari
gejala dispepsia. Gejala-gejala digestif yang bersifat individual atau
kelompok gejala, misal GERD dan IBS bisa ada bersamaan dengan
PDS.
• Epigastric Pain Syndrome(EPS)
Kriteria Diagnostik:
Harus memiliki paling tidak satu dari gejala-gejala berikut ini pada
paling tidak 1 hari per minggu :
1. Nyeri epigastrium yang mengganggu (cukup berat mengganggu
aktivitas biasanya)
DAN/ATAU
2. Rasa terbakar yang mengganggu (cukup berat mengganggu
aktivitas biasanya)
Tak ada bukti penyakit organik, sistemik, metabolik yang bisa
menjelaskan keluhan tersebut saat pemeriksaan rutin termasuk
endoskopi atas. Kriteria terpenuhi dan sudah berlangsung
selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala paling tidak 6
bulan sebelum diagnosis.
Penjelasan-penjelasan lain yang mendukung diagnosis: Nyeri
mungkin dipicu oleh mencerna makanan, atau membaik dengan
mencerna makanan, atau terjadi pada saat puasa. Kembung

56 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnostic Challenges in Functional Dyspepsia

epigastrik postprandial, sendawa, dan mual bisa menjadi gejala


penyerta. Muntah yang persisten mungkin terkait gangguan lain.
Heartburn bukan gejala dispepsia tapi bisa ada bersamaan. Nyeri
tidak memenuhi kriteria nyeri bilier. Gejala yang membaik setelah
defekasi atau flatus secara umum tidak bisa dipertimbangkan
sebagai bagian dari gejala dispepsia. Gejala-gejala digestif yang
bersifat individual atau kelompok gejala, misal GERD dan IBS bisa
ada bersamaan dengan PDS.
Tantangan diagnostik dari dispepsia fungsional adalah disamping
pengenalan gejala- gejala spesifik yang mengarah ke gejala
dispepsia dan tumpang tindihnya keluhan dispepsia fungsional
dengan irritable bowel syndrome yang bisa ada bersamaan. Sebuah
studi eksperimental dengan pemicu arus listrik lemah pada forsep
biopsi melalui pemeriksaan gastroskopi menunjukkan variasi
sebaran nyeri jauh (reffered pain) berdasar area yang diiritasi pada
gaster dan duodenum yang memberikan gambaran area nyeri yang
mungkin lebih terkait saluran cerna bagian atas (Gambar 1.).

Gambar 1. Uji eksperimental rangsangan nyeri dengan forsep biopsi yang dialiri listrik lemah
Gambar 1. Uji eksperimental rangsangan nyeri dengan forsep biopsi yang
melalui gastroskopi menunjukkan sebaran nyeri jauh (reffered pain) berdasar lokasi yang
dialiri listrik lemah melalui gastroskopi menunjukkan sebaran nyeri jauh
diiritasi.
(reffered pain) berdasar lokasi yang diiritasi.

Pertemuan IlmiahDispepsia
NasionalFungsional
XVII PAPDIdan Irritable Bowel
- Surabaya 2019 Syndrome 57
Kriteria Diagnostik IBS menurut Kriteria ROME IV adalah adanya nyeri perut yang
rekuren, rata-rata setidaknya satu kali per minggu selama 3 bulan terakhir, berhubungan dengan
dua atau lebih kriteria berikut ini: (a) berkaitan dengan defekasi; (b)berhubungan dengan
Putut Bayupurnama

Dispepsia Fungsional dan Irritable Bowel Syndrome


Kriteria Diagnostik IBS menurut Kriteria ROME IV adalah adanya nyeri
perut yang rekuren, rata-rata setidaknya satu kali per minggu selama 3
bulan terakhir, berhubungan dengan dua atau lebih kriteria berikut ini: (a)
berkaitan dengan defekasi; (b)berhubungan dengan perubahan frekuensi
defekasi;(c)berhubungan dengan perubahan bentuk/penampakan feses;
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala paling tidak 6
bulan sebelum diagnosis.

Ada kemiripan dan mekanisme terjadinya gejala dispepsia fungsional


dan irritable bowel syndrome meskipun tidak sepenuhnya sama (tabel 1).

Tabel 1. Level of evidence dari mekanisme patofisiologi yang sering terdapat pada
dispepsia fungsional dan IBS.

(Cremonini F & Talley NJ, 2004)


(Cremonini F & Talley NJ, 2004)
Gejala-gejala saluran cerna atas juga sering dijumpai pada kasus-kasus IBS, baik
predominan diarea maupun predominan konstipasi (Tabel 2).

Gejala-gejala
Tabel 2. saluran
Gejala-gejala cerna atasatasjuga
gastrointestinal sering dijumpai
pada pasien-pasien pada kasus-kasus
dengan IBS- constipation
predominant dan IBS-diarrhea predominant.
IBS, baik predominan diarea
(Cremonini F & Talley maupun predominan konstipasi (Tabel 2).
NJ, 2004)

Gejala-gejala saluran cerna atas juga sering dijumpai pada kasus-kasus IBS, baik
Tabel 2. predominan
Gejala-gejala gastrointestinal
diarea maupun atas
predominan konstipasi (Tabelpada
2). pasien-pasien dengan IBS-
constipation
Tabel predominant
2. Gejala-gejala danpada
gastrointestinal atas IBS-diarrhea predominant.
pasien-pasien dengan IBS- constipation
predominant dan IBS-diarrhea predominant.

(Cremonini F & Talley NJ,2004)

Ringkasan

(Cremonini F & Talley NJ,2004)


(Cremonini F & Talley NJ,2004)
Ringkasan

58 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnostic Challenges in Functional Dyspepsia

Ringkasan
Penegakan diagnosis dispepsia fungsional perlu ketelitian dimana lokasi
nyeri/ ketidaknyamanan yang berada di daerah epigastrium merupakan
batasan area yang dikategorikan sebagai keluhan-keluhan terkait dispepsia,
disamping itu perlu mendeferensiasi diagnosisnya dengan irritable bowel
syndrome.

Daftar Pustaka
1. Tack J, Masaoka T, janssen P. Functional Dyspepsia. Curr Opin Gastroenterol.
2011;27:549-557.
2. Stanghellini V, Chan FKL, Hasler WL, Malagelada JR,Suzuki H,Tack J, and Talley NJ.
Gastroduodenal Disorders. Gastroenterology 2016;150:1380–1392
3. Lacy BE,Mearin F,Chang L,Chey WD,Lembo AJ,Simren M,and Spiller R. Bowel
Disorders.Gastroenterology 2016;150:1393-1407
4. Yarandi SS and Christie J. Functional Dyspepsia in Review: Pathophysiology and
Challenges in the Diagnosis and Management due to Coexisting Gastroesophageal
Reflux Disease and Irritable Bowel Syndrome.Gastroenterol Res Pract 2013;http://
dx.doi.org/10.1155/2013/351086 .
5. Cremonini F & Talley NJ. Review article: the overlap between functional dsypepsia
and irritable bowel syndrome- a tale of one or two disorders. Aliment Pharmacol
Ther 2004;20 (Suppl. 7):40-49.
6. Hori K, Matsumoto T, and Miwa H. Analysis of the gastrointestinal symptoms of
uninvestigated dyspepsia and irritable bowel syndrome. Gut and Liver 2009;
3:192-196

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 59


Integrative Treatment in Functional Dyspepsia
Arina Widya Murni
Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Jamil – Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang

Pendahuluan
Dispepsia Fungsional (DF) adalah salah satu dari berbagai Gangguan
Fungsional Saluran Cerna (Functional Gastro Intestinal Disorders/FGID).
Ditandai dengan gangguan di sepanjang gastrointestinal dengan gejala rasa
nyeri atau tidak nyaman di perut yang menetap dan berulang. Ggangguan ini
tidak bisa dijelaskan penyebabnya karena tidak ditemukan kelainan struktural
dan biokimiawi, oleh karena itu dikatakan sebagai gangguan fungsional.

Dispepsia Fungsional diketahui lebih banyak ditemukan dibandingkan


dispepsia organik, namun angka rawat inap di rumah sakit lebih sedikit. Sejak
era Jaminan Kesehatan Nasional 2014 kasus DF banyak dilayani di fasilitas
kesehatan tingkat primer (puskesmas) ataupun klinik layanan primer.
HEROES-DIP studi (2011) mendapatkan dari 854 orang penderita sindrom
dispepsia, lebih dari 70% (76,4%) merupakan penderita dispepsia fungsional
dan sisanya (23,6%) penderita dispepsia organik Laporan penelitian
menyatakan bahwa pada Dispepsia Fungsional (DF) dapat dipengaruhi
oleh gangguan mood seperti depresi dan ansietas dan 57,7% penderita DF
mengalami depresi .

Stresor psikososial memberikan pengaruh yang signifikan untuk


terjadinya depresi dan ansietas pada dispepsia fungsional. Stresor psikososial
adalah suatu keadaan di lingkungan sekitar yang dirasakan sangat menekan
sehingga seseorang tidak dapat beradaptasi dan bertahan, merupakan faktor
risiko untuk terjadinya depresi dan ansietas. Bagaimana faktor psikososial
mempengaruhi seseorang untuk mengalami gangguan psikosomatik
dipengaruhi oleh bagaimana persepsi / pandangan seseorang ? Apakah
positif atau negatif dalam menghadapi suatu stresor, penting atau tidaknya
suatu peristiwa tersebut ? Ada tidaknya akumulasi peristiwa yang tidak
menyenangkan dan ada tidaknya dukungan sosial di sekitar penderita .

Pendekatan integratif adalah salah satu modalitas terapi yang ditawarkan


saat ini untuk membantu penderita lepas dari keluhan yang menganggu

60 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Integrative Treatment in Functional Dyspepsia

kualitas hidupnya dengan memakai konsep bio-psiko-sosio-kultural dan


religi/spiritual. Pendekatan integratif (Integrative treatment / Integrative
Medicine/IM) merupakan penanganan terhadap masalah fisik dan psikologis
yang fokus pada pengendalian mood dengan melibatkan berbagai modalitas
terapi, tidak saja farmakoterapi dan psikoterapi, tetapi juga melibatkan
aspek spiritual, terapi herbal, dukungan nutrisi, aktifitas fisik, terapi fisik
manipulative, mind-body therapies dan berbagai modalitas lain. Target dari
penanganan holistik komprehensif ini adalah tercapainya perbaikan dari
kualitas hidup penderita.

Dispepsia Fungsional
Prevalensi DF di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
dari 1,9% pada tahun 1988, meningkat menjadi 3,3% pada tahun 2003 dan
5% pada tahun 2010 dari seluruh kunjungan di sarana pelayanan kesehatan
primer. Penelitian di RS Dr. M Djamil Padang tahun 2014 menemukan dari
197 penderita sindrom dispepsia yang diendoskopi didapatkan 111 orang
penderita dispepsia fungsional (56,35%), dengan kelompok usia terbanyak
lebih dari 45 tahun (37,1%), perempuan lebih banyak dari pada laki-laki
(54,3% vs 45,7%) serta 68,6% merupakan pekerja.

Pengobatan DF sampai saat ini belum berjalan maksimal dan hal ini
diduga karena belum diketahui etiologi pasti terjadinya DF. Stres psikologis
dipercaya memegang peranan terhadap munculnya keluhan dispepsia
dan paling banyak ditemukan pada penderita DF. Peran tersebut diduga
melalui hiperaktivitas sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis) dan
peningkatan kadar kortisol dalam plasma karena hiperaktivitas dari hormon
kortikotropin (CRH). Stres psikologis dapat merupakan kausal dari DF atau
bisa pula menjadi faktor pencetus atau pemberat munculnya DF. Stres secara
umum dipercaya mempengaruhi mekanisme gangguan fisiologis tubuh
berupa gangguan keseimbangan saraf otonom vegetatif, gangguan konduksi
impuls melalui neurotransmitter, hiperalgesia organ viseral, gangguan
sistem hormonal dan perubahan pada sistem imun (psycho-neuro-immune-
endokrine).

Brain-Gut-Axis (BGA) adalah jaras interaksi antara faktor psikis dengan


saluran cerna. Interaksi antara sistem saraf pusat dengan susunan saraf
enterik terjadi melalui sistem BGA ini. Sistem saraf enterik adalah sistem saraf
yang berperan penting terhadap regulasi fisiologis saluran cerna termasuk

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 61


Arina Widya Murni

lambung. Regulasi yang dipengaruhi tidak saja motilitas, tetapi juga sekresi
cairan lambung, dan pelepasan berbagai neuropeptida dan hormone.

Gejala dan tanda yang muncul pada DF terjadi melalui aktivasi


Hipotalamo-Pituitary-Adrenal Axis (HPA axis). Jalur yang dipengaruhi adalah
jalur neurogen dan hormonal yang berujung pada peningkatan hormon
kortisol yang dikenal sebagai hormon stres. Jalur hormonal dapat diterangkan
dengan terbuktinya aktivasi hipotalamus saat terjadinya paparan stres
emosional yang menyebabkan lepasnya corticotropin releasing hormone
(CRH) dari hipofisis anterior. Proses selanjutnya CRH akan mengaktivasi
korteks adrenal melepaskan adrenocorticotropin releasing hormone (ACTH),
dan menghasilkan kortisol yang akan berpengaruh banyak pada berbagai
sistem di dalam tubuh.

Hormon kortisol yang dilepas akibat paparan stresor psikologis ini akan
merangsang produksi asam lambung (faktor agresif) dan bisa menghambat
prostaglandin (faktor defensif) yang bersifat protektif pada lambung.
Berkurangnya prostaglandin untuk selanjutnya akan memudahkan terjadinya
kerusakan pada mukosa lambung. Penelitian Andreas (2005) membuktikan
terdapatnya peningkatan nilai kortisol secara bermakna pada DF dibandingkan
kelompok kontrol. Penelitian Murni (2006) juga mendapatkan peningkatan
kortisol pagi hari yang bermakna pada penderita DF yang mengalami depresi
(p = 0,019).

Kortisol adalah hormon yang dihasilkan oleh zona fasciculata dan zona
reticularis di korteks adrenal. Produksi kortisol dipicu oleh stimulasi dari
hormon ACTH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis. Hipofisis melepaskan
ACTH melalui aktivasi dari CRH yang merupakan regulator utama dari sekresi
kortisol. Dibutuhkan waktu yang singkat untuk terjadinya sekresi CRH, puncak
sekresinya dicapai pada saat menjelang waktu pagi hari (sebelum jam 8 pagi)
dan pada sore hari (sebelum jam 8 malam), siklus ini dikenal dengan istilah
fase diurnal. Kortisol dalam darah dapat diatur jumlahnya dalam sirkulasi
karena terdapat mekanisme umpan balik di mana kortisol yang dilepaskan
dalam sirkulasi dapat memberikan negative feedback pada hipotalamus dalam
melepaskan CRH kembali.

Penderita DF banyak mengeluhkan rasa kembung dan rasa tidak nyaman


di perut bagian atas selain rasa nyeri. Rasa kembung tersebut adalah gejala
dari adanya gangguan dismotilitas dan hipersensitivitas viseral. Penelitian

62 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Integrative Treatment in Functional Dyspepsia

membuktikan bahwa sekitar 40% terdapat perlambatan pengosongan


lambung, kegagalan akomodasi gaster bagian proksimal terhadap makanan
dan terdapatnya distensi lambung selama proses makan serta terjadinya
perpindahan segera komponen makanan pada antrum yang mengalami distensi
tersebut. Penelitian lain mendapatkan sekitar 40% terdapat hipersensitivitas
viseral pada mukosa yang ditandai dengan penurunan ambang nyeri selama
terjadinya proses distensi pada kelompok yang mengalami perlambatan
proses pengosongan lambung tersebut.

Hipersensitivitas viseral merupakan salah satu tinjauan patofisiologi yang


terkait dengan gangguan atau disfungsi dari sistem imun di mukosa saluran
cerna (Parry, 2005). Disfungsi sistem imun diduga terjadi pada penderita DF,
dengan ditemukannya beberapa mediator inflamasi termasuk sitokin, nitrit
oksida, histamin dan protease yang berperan terhadap fungsi nervus enterik
di mukosa saluran cerna. Mastosit dan makrofag dalam penelitian pada
binatang juga diketahui terlibat dalam menimbulkan keluhan nyeri dan ini
membuktikan keterlibatannya dalam mekanisme hipersensitivitas viseral ini.

Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) saat ini masih menjadi polemik
perannya sebagai salah satu faktor yang berperan pada patofisiologi DF.
Faktor stres psikologis diduga berperan terhadap peningkatan aktivitas
koloni H. pylori yang selanjutnya akan memodulasi respon imun saluran
cerna. Respon imun teraktivasi dan akan menyebabkan peningkatan
mediator inflamasi pada daerah yang terinfeksi, sehingga memicu lepasnya
berbagai mediator inflamasi dan faktor kemotaksis seperti IL-6, IL 8, IL1β,
TNFα, IL-10 dan lain-lainnya. Lepasnya berbagai faktor tersebut selanjutnya
akan menimbulkan reaksi inflamasi di mukosa lambung, di samping itu akan
terjadi pula perubahan dalam ekspresi gen dari H. pylori tersebut yang bisa
terjadi bersamaan sehingga memicu peningkatan apoptosis dan berujung
pada kerusakan mukosa secara mikroskopis atau makroskopis.

Stres psikologis dan infeksi H. pylori berkontribusi terhadap perubahan


mukosa lambung dan berperan dalam gejala klinis yang diperlihatkan baik
pada kasus patologis maupun pada DF. Murni (2006) melakukan penelitian
dengan menilai histopatologi mukosa lambung pada penderita DF dan
membandingkan kelompok penderita yang depresi dengan yang tidak depresi.
Kerusakan mikroskopik terlihat lebih berat pada kelompok yang mengalami
depresi dibandingkan dengan kelompok yang tidak depresi, didapatkan tanda
inflamasi akut yang lebih luas, kerusakan sel epitel yang lebih berat, derajat

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 63


Arina Widya Murni

infiltrasi inflamasi lebih luas, derajat metaplasia yang lebih berat dan bagian
mukosa atrofi yang lebih berat. Adanya infeksi H. pylori diduga memicu
terjadinya peningkatan penanda inflamasi seperti IL-6 dan IL-8 sehingga
dapat mempercepat dan memperburuk keluhan DF.

Terapi Integratif
Dalam menatalaksana gangguan psikosomatik / depresi seorang dokter
juga harus bisa mempelajari kemungkinan penyebab terjadinya gangguan
tersebut akibat trauma psikologis dari masa kecil dan trauma lainnya yang
mempengaruhi kemampuan adaptasi dan psikologis penderita secara umum.
Trauma psikologis dimasa lalu terbukti meningkatkan kerapuhan seseorang
terhadap masalah yang dihadapinya saat ini sehingga memudahkan seseorang
untuk mengalami gangguan psikosomatik/depresi. Penanganan yang
menyeluruh tersebut akan meningkatkan pemahaman penderita akan konsep
gangguan psikosomatik/depresi yang dialaminya dan akan menghasilkan
pengobatan yang lebih hemat biaya dan lebih efektif.

Integrative Medicine (IM), mulai diperkenalkan sejak 1990, digambarkan


sebagai model baru dalam pelayanan kesehatan yang menggunakan berbagai
variasi dari berbagai terapi. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
holistik terhadap individu yang mengalami sakit, termasuk pada fase
pemulihan. Pendekatan hoslistik yang dimaksud berupa pendekatan medis
dengan obat-obatan yang dikombinasikan dengan berbagai modalitas terapi
yang sudah teruji secara ilmiah.

Definisi lain dari NCI Dictionary of Cancer Terms, IM merupakan terapi


medis dengan kombinasi Complementary and Alternative Medicine yang
melibatkan, mind-body-spirit. Beberapa penelitian menunjukkan IM efektif
dalam menurunkan ansietas dan rasa nyeri pada penderita gangguan
kardiovaskuler, onkologi dan ortopedi dengan menggunakan terapi olah tubuh,
interaksi mind-body dan terapi energy. Penelitian lain juga memperlihatkan
efektifitas dari akupuntur dalam menurunkan keluhan ansietas, begitu pula
dengan terapi mindfulness.

Pendekatan psikosomatik sangat cocok dengan pendekatan terapi


dari IM ini, karena tidak saja melibatkan aspek fisik, tapi juga melibatkan
aspek psikologis, sosial, kultural dan religi. Pada pendekatan psikosomatik,
penderita tidak dipandang sebagai individu yang perlu diatasi keluhan fisik
saja namun melibatkan kekuatan spiritual dan pemahaman yang baik tentang

64 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Integrative Treatment in Functional Dyspepsia

sakit yang di derita serta mampu mengendalikan fikiran dalam menghadapi


berbagai gejala yang di rasakan.

Protokol Penatalaksanaan Pendekatan Integratif


Step 1. Framing the conversation
Tahap pertama, klinisi memulai investigasi pada penderita dengan
mengajukan pertanyaan yang terkait dengan perasaan atau emosi yang
dirasakan sehubungan dengan keluhan fisik yang di rasakan. Pertanyaan yang
diberikan antara lain, apa saja yang bisa membuat anda bahagia ? Apa yang
terpenting dalam hidup anda? Seberapa berat keluhan ini mempengaruhi
kegiatan anda sehari-hari ? Dan pertanyaan lainnya yang bertujuan menggali
emosi yang terkait dengan keluhan yang ada.

Step 2. Symptom Identification and Normalization


Pemeriksaan fisik yang meliputi anamnesis dan pemeriksaan sistemik
tubuh dan pemeriksaan khusus pada organ tertentu mestilah bisa memastikan
apakah terdapat kelainan fisik atau tanda-tanda yang mengarah pada kelainan
organ yang mengancam kehidupan. Penderita akan merasa lebih nyaman bila
dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium ataupun
pemeriksaan penunjang lainnya. Pada beberapa keadaan pemeriksaan ini
dapat dipertimbangkan, selain untuk menyingkirkan kelainan organik, dapat
juga memberikan rasa nyaman pada penderita (biofeed back)

Step 3. Engaging The Spirit


Gejala yang teridentifikasi, sangatlah penting untuk memastikan apakah
penderita sangat terpengaruh dengan gejala tersebut sehingga berpengaruh
terhadap kualitas hidupnya. Kalimat sederhana seperti, “sepertinya sangat
sulit bagi anda karena merasakan banyak keluhan akibat sakit ini, bagaimana
efeknya bagi keseharian anda? Seberapa besar pengaruhnya?

Pertanyaan ini akan memicu penderita untuk mengeluarkan semua


unek-unek yang dirasakan sehingga penderita akan bebas mengungkapkan
isi hatinya, dan akan memberikan rasa nyaman dan lega (ventilasi).

Step 4 . Therapeutic Approach


Penanganan gangguan psikosomatik tidak dapat dilakukan tanpa
pemberian medikamentosa. Obat-obatan yang diberikan tidak hanya
psikofarmaka akan tetapi juga pemberian obat-obat simptomatik, sesuai

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 65


Arina Widya Murni

dengan keluhan yang disampaikan oleh penderita. Pada awal pemberian obat,
penderita harus diminta komitmennya untuk melaksanakan pengobatan
dengan 2 aspek yaitu, mind-body-spirit.

Psikofarmaka
Psikofarmaka pada gangguan psikosomatik bertujuan untuk
mempengaruhi perasaan (afek) dan emosi serta fungsi vegetatif yang
berkaitan. Sesuai dengan patofisiologinya dimana gangguan psikosomatik
mempengaruhi susunan syaraf otonom dan neurotransmitter, maka
psikofarmaka harus dipakai sesuai dengan gejala gangguan keseimbangan
otonom dan ekspresi neurotransmitter yang diperlihatkan secara klinis.

Dikenal beberapa golongan senyawa psikofarmaka sebagai antidepresan


antara lain:
1. Obat Trisiklik/tetrasiklik
Obat antidepresan yang bisa dipakai antara lain golongan trisiklik dan
tetrasiklik seperti amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin.
Namun antidepresan golongan ini sudah sering ditinggalkan karena
memiliki efek samping yang banyak akibat efek antikolinergiknya. Efek
samping obat ini sering terjadi dan sukar diduga, bila berhasil terapi
diteruskan 3 – 6 bulan sebelum di tapering off. Obat yang diresepkan
termasuk:
- Amitriptilin: Dengan sedasi tinggi sehingga memiliki efek samping
antikolinergik yang tinggi. Rata-rata dosis 10- 100 mg/ hari.
- Klomiperamin: Dengan sedasi rendah mengarah ke efek samping
antikolinergik rendah. Rata-rata dosis berkisar 25-100 mg/hari.
- Desipramin: Dengan sedasi rendah itu mengarah ke efek samping
antikolinergik rendah. Rata-rata dosis menjadi 25-100 mg / hari.
2. Golongan Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Antidepresan berefek memodulasi sistem neurotransmitter, reseptor
opioid serta reseptor endokrin. Antidepresan juga memperbaiki kembali
aksis HPA dan secara aktif menormalkan insufisiensi descending pain-
inhibiting tracts dengan meningkatkan ketersediaan serotonin dan
noradrenalin pada modulatory circuit, bisa memperbaiki gangguan rasa
nyeri yang bisa memicu terjadinya depresi pada penyakit kronis.
Antidepresan yang memiliki efek ketergantungan lebih ringan dan
aman dikonsumsi bagi beberapa penyakit komorbid tertentu dan aman

66 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Integrative Treatment in Functional Dyspepsia

bagi usia lanjut. Golongan SSRI ini antara lain sertralin, paroksetin,
fluoksetin, dan fluvoksamin. Antidepresan SSRI akhir-akhir ini ternyata
juga efektif pada pasien yang mengalami gangguan ansietas. Pada
dasarnya pengobatan dengan psikofarmaka memang ditentukan dari
mekanisme kerja neurotransmitter yang dipengaruhinya. Oleh karena
itu penggunaan psikofarmaka hendaknya disesuaikan dengan penemuan
diagnosisnya yang tepat.
Antidepresan lain yang dipakai seperti golongan SSRE (selective
serotonin reuptake enhancer), SNRI (Serotonin Nor Epinephrine
Reuptake Inhibitor), RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oksidase
type A), NaSSA (Nor-adrenalin and serotonin Selective Anti Depressan)
dan golongan Atipik .

Fitofarmaka (Herbs)
Terdapat beberapa herbal yang bisa membantu gangguan depresi dan
rasa takut/ cemas seperti St John Wort sebagai anti depresan namun saat
ini sudah tidak beredar di Indonesia, Kava merupakan extract Rhizoma
dari Piper Methysticum, sebagai anti ansietas, Withania somnifera,
dikenal sebagai ashwaganda, sebagai anti-inflammatory, antioxidant, dan
anxiolytic, Kampo Medicine juga dipakai luas di Jepang dan Korea dalam
penanganan gangguan cemas dan depresi. Ginseng sebagai tumbuhan yang
dapat meningkatkan kemampuan kognitif, kewaspadaan dan berefek pada
aksis hipotalamopituitari (HPA axis) dan memicu lepasnya dopamine dan
serotonin, dan masih banyak herbal lain yang dikenal dapat memperbaiki
mood dan menimbulkan efek relaksasi dan penyemangat.

Supplement/ Vitamin/ Minerals
Omega -3 dan S-adenosylmethionone (SAM-e) ditenggarai dapat
membantu pemulihan karena memiliki efek sebagai antidepresan selain
sebagai anti infalamasi dan memberikan efek positif pada plastisitas jarinagn
syaraf. Dan ternyata lebih dapat ditoleransi dari pada diberikan trisiklik
antidepresan terutama dari efek gastrointestinal. Sakit kepala, keletihan dan
gangguan cemas.

Relaxation Response and Mood


Sudah lama dipahami untuk gangguan cemas dan depresi, modalitas
relaksasi adalah sangat penting. Berbagai latihan relaksasi dapat diberikan
sesuai dengan pilihan dan kenyamanan penderita. Latihan yang paling sering

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 67


Arina Widya Murni

dilakukan adalah meditasi, mindfullnes, yoga, progressive muscle relaxation,


biofeed back dan hypnosis. Di Indonesia sudah populer dan teruji dengan
berbagai penelitian adalah dengan melakukan Latihan Pasrah Diri, yang
mengkombinasikan latihan nafas dengan zikir. Aktifitas latihan ini mampu
memperbaiki secara bermakna gangguan cemas dan depresi.

Manipulative Physical Therapies and Energy Medicine


Modalitas terapi ini menggunakan beberapa tekinik, seperti massage,
osteopathic manipulative treatment (OMT), Reiki dan akupuntur. OMT
adalah teknik dengan menggunakan peregangan pada otot, manipulasi spinal
dan regangan isometric. Reiki adalah teknik olah energi dari Jepang dengan
menggunakan energi panas melalui kontak langsung ke tubuh pasien ataupun
berjarak dari tubuh pasien. Latihan-latihan ini ternyata mampu secara
signifikan mengurangi stress, depresi dan ansietas.

Akupunktur
Pada penelitian dengan hewan coba memperlihatkan beberapa titik
tertentu di perut yang dapat meningkatkan tekanan sfingter esophagus yang
sebelumnya mengalami kelemahan atau nilainya rendah, mengembalikan
akomodasi lambung setelah vagotomi, meningkatkan frekuensi usus dan
kolon, meningkatkan aktifitas jalur parasimpatis sakral, dan mengurangi
hipersensitif viseral. Efek ini jelas akan dapat memperbaiki gejala yang dialami
penderita DF. Penelitian pada manusia memperlihatkan stimulasi akupunktur
pada titik ini ditemukan mempengaruhi system limbik –paralimbik dan
jaringan aferen dari pasien dengan DF dibandingkan dengan subjek yang
sehat, yang diukur dengan pencitraan resonansi magnetik fungsional.

Penemuan ini memperlihatkan efek fisiologis dari stimulasi akupunktur


pada titik yang spesifik dan dilakukan bersamaan pada titik penting tersebut
dapat menerangkan mengapa pengobatan akupunktur efektif dalam
mengurangi gejala atau keluhan penderita.

Kesimpulan
Dispepsia fungsional sering ditemukan dalam praktek klinis. Pendekatan
Integratif menjadi pilihan saat ini untuk menangani penderita gangguan
ansietas dan depresi pada DF karena dapat memenuhi konsep pendekatan
psikosomatik yaitu pendekatan bio-psiko-sosio- religi. Seorang praktisi
selayaknya memahami aspek ini dalam menangani kasus yang diduga

68 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Integrative Treatment in Functional Dyspepsia

mengalami masalah psikologis terutama ansietas dan depresi dan penyakit


fungsional lainnya.

Daftar Pustaka
1. Christaki M, Yfandopoulou P, 2014 Progressive Muscle Relaxation as treatment
option for Children/Adolescents with Functional Gastrointestinal Disorders.
Health Science Journal;8(2) : 187-191
2. Sander GB, Mazzoleni LE, Francensoni CFM, Balbinotto G, Mazzoleni F, Wortman
AC. Influence of Organic and Functional Dyspepsia on Work Productivity: The
HEROES-DIP Study. Value in Health-Elsevier Inc. 2011;14: S126-9
3. Muhammad EP, Murni AW, Sulastri D. Hubungan Derajat Keasaman Cairan
Lambung dengan derajat Dispepsia pada Pasien Dispepsia Fungsional. http://
jurnal.fk.unand.ac.id: 2014; 3(1)
4. Konturek PC, Brzozowski T, Konturek SJ, 2011. Stress and gut: Pathophysiology,
clinical consequences, Diagnostic Approach and treatment options; Journal of
Physiology and Pharmacology; 62(6):591-9
5. Barry S, Dinan TG, 2006. Functional dyspepsia: are psychosocial factors of
relevance? World J Gastroenterol; 12(17):2701-07
6. Drossman D, 2011. Abuse, trauma and GI illness: is there a link? Am J Gasteroenterol;
106:14-5
7. Jones MP, Dilley JB, Drossman D, 2006. Brain – gut connections in functional GI
disorder: anatomic and physiologisc relationship. Neurogastroenterol Motil;18:
91-103
8. Prins A, 2011. The Brain-gut Interaction: the Conversation and the Implications. S
Afr J Clin Nutr.; 24(3): S8-S14
9. Bohmelt AH, Nater Urs M, Franke S, 2005. Basal and stimulated HPA axis activity
in patient with functional gasterointestinal disorder and health controls. Psycho
medicine; 67 : 288-94
10. Murni AW, 2006. Kadar Kortisol Plasma Pada penderita Dispepsia Fungsional
dengan Depresi. Tesis Sp1 Penyakit Dalam, Padang. Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
11. Stern RM, Koch KL, Andrew PL, 2011. The electrifying stomach, nausea, mechanism
and treatment. Neurogasteroenterol motil, New York; 23: 815-18
12. Choung RS, Talley NJ,2006. Novel mechanism in Functional Dyspepsia. W o r l d
journal of Gasteroenterology 12(5):673-677
13. Tack J, Oenepeel P, Fischler B, 2001.Symptoms associated with hipersensitivity to
gastric distension in functional dyspepsia. Gasteroenterol 121: 526-35
14. Rosen JM, Cocjin JT, Schurman JV, Colombo JM, Friesen CA, 2014. Visceral
Hypersensitivity and Electromechanical Dysfunction as Therapeutic Targets in

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 69


Arina Widya Murni

Pediatric Functional Dyspepsia. World J Gasterointestinal Pharmacol Ther; 5(3):


122-138
15. Cadamuro ACT, Rossi AVT, Maniezzo NM, Silva AE, 2014. Helicobacter Pylori
Infection: Host Immune response, implication on gene expresiion and micro RNAs.
Word J Gastroenterol; 20(6): 1424 -14
16. Schwarter Ralf, Schulz Ute, The Role of stresfull life event, 2001; p 1-32, Berlin
Germani.
17. Shah AK, Becicka R, Talen MR, Edberg D. Integrative Medicine and Mood, Emotions
and Mental Health, Prim Care Clin Office Pract 44 (2017) 281-304
18. Robinson MJ, Edward SE, Iyengar S, Bymaster F, Clark M et al. Depression and pain.
Frontiers in Bioscience. 2009;14:5031-51.
19. Genhardt S, Lautenbacher S. Pain in depressive disorders. Mental Health and Pain.
2014: 99-108.
20. Duarte PS, Miyazaki MC, Blay SL, et al. (2009) Cognitive-behavioral group therapy
is an effective treatment for major depression in hemo-dialysis patients. Kidney
International 76: 414–421
21. Rosenthal Asher D, Ver Halen N and Cukor D (2012) Depression and non-adherence
predict mortality in hemodialysis treated end-stage renal disease patients.
Hemodialysis International 16: 387–393.
22. Andreade S, Sesso W. Impact of chronic kidney disease on quality of life, lung
function, and functional capacity. 3. Rio de Janiero : s.n., 2014, Vol. 90, pp. 580-586.
23. R Thomas, Acharya S, Shukla S. Prevalence of depression among patients with
chronic kidney disease. India. 2014. 9: 19-22
24. Fioranelli M, Bottaccioli AG, Bottaccioli F, Bianchi M, Rovesti M, Roccia MG.
Stress and inflammation in coronary artery disease; A revieu psychoneuro
endocrineimmunology - based.Front Immunol. 2018 Sep 6;9:2031.
25. Shuboy A, Law L. Treatment of Posttraumatic Abdominal Autonomic Neuropathy
Manifesting as Functional Dyspepsia and Chronic Constipation: An Integrative
East-West Approach. Case report, Global Advances in Health and medicine. Vol 4
No 4 Juli 20015. www.gahmj.com

70 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengelolaan Dislipidemia
pada Penderita Prediabetes dan Diabetes
Ketut Suastika
Divisi Endokrinologi dan Metabolisme, Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Sanglah - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

Abstrak
Dislipidemia sering ditemukan pada keadaan resistensi insulin
seperti pada obesitas, prediabetes (preDM) dan diabetes melitus (DM).
Ciri dislipidemia pada mereka adalah peningkatan trigliserida (TG), kadar
kolesterol HDL (K-HDL) yang rendah, dan peningkatan partikel small-dense
LDL (sd-LDL), disamping lipemia postprandial. Dislipidemia aterogenik ini
merupakan faktor risiko penting pada diabetes terkait komplikasi penyakit
kardiovaskular aterosklerosis (PKVAS). Kolesterol LDL (K-LDL) tetap
menjadi fokus utama sasaran terapi dengan terapi statin untuk menekan
kejadian PKVAS. Usia, besarnya risiko PKVAS 10-tahun, dan ada tidaknya
PKVAS menjadi pertimbangan dalam pemberian terapi (statin atau kombinasi
dengan penurun LDL yang lain) bagi penderita DM.

Pendahuluan
Dislipidemia, suatu kelainan kadar lipid plasma, merupakan faktor risiko
utama penyakit kardiovaskular. Keadaan ini sering ditemukan pada orang
dengan resistensi insulin (obesitas, preDM, sindrom metabolik) dan DM tipe
2 (DMT2). Ciri dislipidemia pada penderita dengan resistensi insulin atau
DMT2, yang sering juga disebut “lipid triad” atau dislipidemia aterogenik, yaitu
peningkatan kadar TG, kadar K-HDL yang rendah, dan peningkatan sd-LDL,
disamping adanya lipemia postprandial. Dislipidemia diabetik sering terjadi
beberapa tahun mendahului DMT2, yang mengindikasikan bahwa kelainan
ini merupakan petanda dini dalam terjadinya komplikasi kardiovaskular pada
DMT2. Terapi dislipidemia pada DM sangat penting karena dapat menekan
kejadian dan kematian kardiovaskukler yang tinggi pada penderita DM.

Epidemiologi Dislipidemia pada Prediabetes dan Diabetes


Suatu survei tentang prevalensi, terapi dan pengendalian dislipidemia
pada diabetes dewasa dari National Health and Nutrition Examination
Survey 1999–2000 menemukan bahwa kurang dari sepertiga laki-laki dan
hanya seperlima perempuan dengan DM mempunyai kadar K-LDL yang
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 71
Ketut Suastika

terkendali (<100 mg/dL); lebih dari setengah laki-laki dan lebih dari dua-
pertiga perempuan mempunyai kadar K-HDL yang rendah (≤40 mg/dL pada
laki-laki atau ≤50 mg/dL pada perempuan), dan lebih dari setengahnya
mempunyai peningkatan kadar TG (≥150 mg/dL). Kolesterol HDL rendah
ditemukan lebih sering pada Kaukasian (70.1%) dibandingkan Hispanik
(58.8%) atau Amerikan-Afrikan (41.5%); 28.2% subjek dengan DM yang
sedang dalam pengobatan penurun lipid. Di India, prevalensi dislipidemia,
jika didefinisikan sebagai setiap kelainan lipid, ditemukan sebesar 97.2%.
Dislipidemia pada mereka dengan DM yang glukosanya terkendali dengan
baik, lebih baik dari pada yang terkendali buruk. Pada satu studi lain di India
(Gujarat) oleh Pandya et al. ditemukan bahwa dari 171 penderita DM, 36.3%
penderita mempunyai kadar kolesterol total (KT) tinggi, 35.7% mempunyai
K-HDL rendah, 56.1% mempunyai TG yang tinggi, 57.3% mempunyai K-LDL
tinggi, dan 49.7% mempunyai VLDL tinggi. Pada studi oleh Kansal dan Kamble
(2016) ditemukan bahwa KT, LDL, TG, VLDL, rasio TG/HDL dan rasio LDL/
HDL lebih tinggi pada preDM dibandingkan orang sehat, sedangkan HDL lebih
rendah pada preDM dari pada orang normal.

Pada penelitian epidemiologi oleh Suastika et al. (2019) ditemukan bahwa


kadar KT, TG dan K-non-HDL lebih tinggi pada DM dan preDM dibandingkan
dengan orang normal; rasio KT/K-HDL lebih tinggi pda DM dibandingkan
normal hanya pada laki-laki. Kadar K-LDL, apoB, dan rasio apoB/A lebih
tinggi dan rasio LDL/apoB lebih rendah pada DM dari pada normal pada
perempuan. Pada DM, prevalensi kadar lipid yang tidak mencapai sasaran
adalah: 79% untuk K-LDL (>100 mg/dL), 85.2% untuk K-non-HDL (≥130 mg/
dL), 80% untuk apoB (≥90 mg/dL), 34.9% untuk K-HDL (≤40 mg/dL pada
laki-laki atau ≤50 mg/dL pada perempuan), 46.7% untuk TG (≥150 mg/dL),
dan 42.2% untuk sd-LDL (K-LDL/apoB <1.2) (Gambar 1).

72 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


adalah: 79% untuk K-LDL (>100 mg/dL), 85.2% untuk K-non-HDL (≥130 mg/dL), 80%
untuk apoB (≥90 mg/dL), 34.9% untuk K-HDL (≤40 mg/dL pada laki-laki atau ≤50 mg/dL
pada perempuan), 46.7% untuk TG (≥150 mg/dL), dan 42.2% untuk sd-LDL (K-LDL/apoB
<1.2) (Gambar 1). Pengelolaan Dislipidemia pada Penderita Prediabetes dan Diabetes

90 83.6 85.2
79 80
80 73.8

70
60.5 59.7
60 53.9
51.2
50 46.7
42.2
40 34.9
31.3 32.5 32.5

30 26.2
20.4 20.7
20

10

0
LDL-C Non-HDL-C ApoB HDL-C TG sdLDL

NGT IFG DM

Gambar1.1.Frekuensi
Gambar FrekuensiDislipidemia
Dislipidemia Berdasarkan
BerdasarkanToleransi
ToleransiGlukosa
Glukosa
NGT, NGT,
normal glucose
normal tolerance;
glucose IFG,
tolerance; IFG,impaired fastingglycemia;
impaired fasting glycemia; DM,
DM, diabetes
diabetes mellitus;
mellitus; LDL-C
LDL-C ( ≥100(mg/dl),
≥100 mg/dl),
Non-HDL-C (≥130
Non-HDL-C mg/dl),
(≥130 mg/dl),ApoB
ApoB(≥90
(≥90 mg/dl),
mg/dl), HDL-C (men
HDL-C (men <40<40 mg/dl,
mg/dl, women
women <50<50 mg/dl),
mg/dl), TG (≥150
TG (≥150 mg/dl),
mg/dl),
sd-LDL (LDL-C/apoB <1.2).
sd-LDL Suastika K<1.2).
(LDL-C/apoB et al.Suastika
Int J Gen Med
K et 2019;
al. Int J Gen12:
Med313–321.
2019; 12: 313–321.

Patofisiologi Dislipidemia Aterogenik


Patofisiologi Dislipidemia Aterogenik
Patofisiologi dislipidemia aterogenik terutama dimulai dari terbentuknya VLDL kaya
Patofisiologi dislipidemia aterogenik terutama dimulai dari terbentuknya
TG yang berlebihan di hati. Pembentukan VLDL diawali dengan lipidasi apoB100 oleh
VLDL
microsomal kaya TG yangtransfer
triglyceride berlebihan di hati.
protein (MTP)Pembentukan
di endoplasmik VLDL diawalikasar.
retikulum denganVLDL
miskin
lipidasi apoB100 oleh microsomal triglyceride transfer protein (MTP) VLDL
TG yang terbentuk (VLDL2) akan mengalami lipidasi menjadi bentuk matur, di
kaya TG (VLDL1),retikulum
endoplasmik di aparatus Golgi.
kasar. Pada
VLDL proses ini diperlukan
miskin TG yangsejumlah TG sitosol.
terbentuk (VLDL2)VLDL
yang terbentuk di hati dan dikeluarkan ke dalam sirkulasi akan mengalami delipidasi menjadi
IDLakan
dan mengalami
LDL oleh enzim lipidasi menjadi
lipase bentuk
lipoprotein matur,
(LPL), dan VLDL kaya TG (VLDL1),
tetap mengandung 1 apoB100
di aparatus
perpartikel. Golgi.
Kelainan Pada
kadar lipidproses ini diperlukan
dan lipoprotein disebabkan sejumlah TG sitosol.
oleh perubahan dalamVLDL
produksi,
konversi
yang terbentuk di hati dan dikeluarkan ke dalam sirkulasi akan mengalamiyang
atau katabolisme lipoprotein. Pada penderita DMT2, penumpukan TG
berlebihan di hati menyebabkan pembentukan VLDL yang berlebihan. Aktivitas LPL
delipidasi menjadi IDL dan LDL oleh enzim lipase lipoprotein (LPL), dan tetap
diregulasi oleh insulin dan kerjanya ditemukan menurun pada resistensi insulin dan DMT2.
mengandung
Dengan demikian 1akan
apoB100 perpartikel.
memperlambat Kelainan
kliren kadar lipid
dari VLDL. dan lipoprotein
Disamping itu LPL juga
disebabkan oleh perubahan dalam produksi, konversi atau katabolisme
lipoprotein. Pada penderita DMT2, penumpukan TG yang berlebihan di hati
menyebabkan pembentukan VLDL yang berlebihan. Aktivitas LPL diregulasi
oleh insulin dan kerjanya ditemukan menurun pada resistensi insulin dan
DMT2. Dengan demikian akan memperlambat kliren dari VLDL. Disamping
itu LPL juga diperkirakan ikut berperan dalam ambilan remnan oleh reseptor
LDL, dengan demikian terjadi gangguan kliren remnan oleh hati, sehingga
waktu edar di sirkulasi menjadi lebih lama dan akibatnya akan menyebabkan
akumulasi yang meningkat. Hal ini menjelaskan kadar TG pada penderita
DMT2 meningkat.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 73


Ketut Suastika

Pembentukan sd-LDL amat erat kaitannya dengan resistensi insulin


dan hipertrigliseridemia, dan kadar TG VLDL1 merupakan prediktor utama
ukuran LDL. Mekanisme terjadinya sd-LDL telah diketahui dengan baik,
dimana terlibat cholesteryl ester transfer protein (CETP) dan lipase hati.
CETP memfasilitasi transfer TG dari VLDL1 ke LDL, LDL kaya TG merupakan
substrat untuk
diperkirakan lipase hati.
ikut berperan dalamPeningkatan
ambilan remnan lipolisis LDL kaya
oleh reseptor LDL, TGdengan
menyebabkan
demikian
terjadi gangguan kliren
terbentuknya remnan
sd-LDL. oleh hati,40-50%
Sekitar sehingga dari
waktu penderita
edar di sirkulasi
DMT2 menjadi lebih lama
mempunyai
dan akibatnya akan menyebabkan akumulasi yang meningkat. Hal ini menjelaskan kadar TG
partikel
pada penderita DMT2Small-dense
sd-LDL. meningkat. LDL menjadi sangat aterogenik karena beberapa
hal, yaitu: secara umum
Pembentukan sd-LDLukuranamat yang
erat kecil lebih mudah
kaitannya dengan melewati
resistensi endotel
insulin atau dan
hipertrigliseridemia, dan kadar TG VLDL1 merupakan prediktor
penetrasi ke intima arteri; menurunnya ikatan sd-LDL dengan reseptor LDL utama ukuran LDL.
Mekanisme terjadinya sd-LDL telah diketahui dengan baik, dimana terlibat cholesteryl ester
memperlama
transfer beredarnya
protein (CETP) LDLhati.
dan lipase di CETP
sirkulasi dengan transfer
memfasilitasi demikian cukup
TG dari VLDL1waktu ke
LDL, LDL kaya TG merupakan substrat untuk lipase hati. Peningkatan
untuk infiltrasi ke dalam intima; transpor LDL tranvaskular juga meningkat lipolisis LDL kaya
TG menyebabkan terbentuknya sd-LDL. Sekitar 40-50% dari penderita DMT2 mempunyai
mungkin karena peningkatan permeabilitas transvaskular; afinitas sd-LDL
partikel sd-LDL. Small-dense LDL menjadi sangat aterogenik karena beberapa hal, yaitu:
padaumum
secara proteoglikan
ukuran yang lebih
kecilkuat
lebih dari
mudahpada LDLendotel
melewati yang lebih besar;ke
atau penetrasi sd-LDL lebih
intima arteri;
menurunnya ikatan sd-LDL
mudah mengalami dengan dan
oksidasi reseptor LDL memperlama
glikasi LDL juga lebih beredarnya
mudah LDLmengalami
di sirkulasi
dengan demikian cukup waktu untuk infiltrasi ke dalam intima; transpor LDL tranvaskular
oksidasi;
juga danmungkin
meningkat LDL teroksidasi inilah yang
karena peningkatan memicu transvaskular;
permeabilitas awal proses afinitas
terbentuknya
sd-LDL
sel proteoglikan
pada busa di intima.lebih kuat Peningkatan
dari pada LDL kadaryang VLDL1 jugasd-LDL
lebih besar; akan lebihmengubah
mudah
mengalami oksidasi dan glikasi LDL juga lebih mudah mengalami
komposisi HDL melalui kerja CETP dan lipase hati, yang juga mengakibatkan oksidasi; dan LDL
teroksidasi inilah yang memicu awal proses terbentuknya sel busa di intima. Peningkatan
terbentuknya
kadar VLDL1 jugaHDL akankecil dan padat,
mengubah komposisidanHDL
partikel
melaluiini dikatabolisme
kerja CETP dan lipase lebihhati,cepat.
yang
juga mengakibatkan terbentuknya HDL kecil dan padat, dan partikel
Produksi berlebihan VLDL pada resistensi insulin dan perubahan lipoprotein ini dikatabolisme lebih
cepat. Produksi berlebihan VLDL pada resistensi insulin dan perubahan lipoprotein terkait
terkait lainnya dapat dilihat pada Gambar 2.
lainnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar
Gambar 2.
2.Patogenesis
PatogenesisPerubahan
PerubahanLipoprotein
Lipoproteinpada
padaResistensi
ResistensiInsulin
Insulin

Produksi VLDL1 distimulasi oleh resistensi insulin, merupakan kelainan sentral


Produksi
lipoprotein VLDL1 distimulasi
pada dislipidemia oleh resistensi
diabetik. Sumber utama TGinsulin, merupakan
di hati adalah: kelainan
(1) asam lemak
bebas (free fatty acid [FFA]) dari jaringan lemak, (2) asam lemak yang
sentral lipoprotein pada dislipidemia diabetik. Sumber utama TG di hati adalah:berasal dari remnan
lipoprotein kaya TG (VLDL dan kilomikron), dan (3) lipogenesis de novo (DNL). Sintesis
TG(1)baru
asammenekan
lemak bebas
degradasi(free fattyResistensi
apoB. acid [FFA]) daridikaitkan
insulin jaringandengan
lemak,menurunnya
(2) asam
lemak yang lipase
penghambatan berasal dariinsulin
sensitif remnan lipoprotein
di jaringan lemak,kaya TG (VLDL
sehingga dan kilomikron),
memperbanyak fluks portal
FFA. Sintesis TG dari FFA atau FFA sendiri menghambat degradasi apoB secara kuat di hati,
sehingga meningkatkan produksi VLDL. Ambilan remnan lipoprotein kaya TG di hati dan
DNL 74 menyuplai TG di hati, tetapi kontribusi Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
kedua faktor ini untuk menekan degradasi apoB
adalah kecil. Resistensi insulin menekan phosphoinositide (PI) 3-kinase termediasi degradasi
Pengelolaan Dislipidemia pada Penderita Prediabetes dan Diabetes

dan (3) lipogenesis de novo (DNL). Sintesis TG baru menekan degradasi


apoB. Resistensi insulin dikaitkan dengan menurunnya penghambatan lipase
sensitif insulin di jaringan lemak, sehingga memperbanyak fluks portal FFA.
Sintesis TG dari FFA atau FFA sendiri menghambat degradasi apoB secara kuat
di hati, sehingga meningkatkan produksi VLDL. Ambilan remnan lipoprotein
kaya TG di hati dan DNL menyuplai TG di hati, tetapi kontribusi kedua faktor
ini untuk menekan degradasi apoB adalah kecil. Resistensi insulin menekan
phosphoinositide (PI) 3-kinase termediasi degradasi apoB dan meningkatkan
kerja MTP, merupakan rate-limiting factor pembentukan VLDL. Pada keadaan
resistensi insulin, produksi VLDL1 meningkat tanpa mempengaruhi produksi
VLDL2. Produksi berlebih VLDL1 secara metabolik memicu terbentuknya sd-
LDL dan penurunan HDL2 kaya kolesterol yang besar.

Kilomikron yang mengandung apoB48 menyumbang lipoprotein kaya


TG yang besar pada keadaan setelah makan (postprandial). Seperti halnya di
hati MTP merupakan protein penting dalam pembentukan kilomikron. Pada
DMT2, MTP meningkat di usus menyebabkan peningkatan pembentukan
kilomikron. Insulin berperan di dalam metabolisme lipid terutama melalui 2
mekanisme, yaitu: mengatur jumlah asam lemak di sirkulasi; dan menekan
produksi VLDL1 secara langsung di hati, tanpa tergantung dari ketersediaan
asam lemak. Sebagai tambahan insulin menekan ekspresi MTP melalui jalur
mitogen activated protein kinase (MAPK), dan juga kemungkinan menurunkan
sekresi VLDL dengan menghambat faktor transkripsi Foxa2.

Dislipidemia Diabetik dan Penyakit Kardiovaskular


Diabetes merupakan faktor risiko penting dan merupakan penyebab
kematian utama akibat PKVAS. Penderita DM mempunyai kemungkinan
2-4 kali kematian akibat PKVAS lebih besar dibandingkan dengan penderita
non-DM. Dua skuele utama dari dislipidemia diabetik yaitu PKVAS prematur
karena peningkatan partikel yang membawa apoB dan pankreatitis akibat
hipertrigliseridemia berat (kadar TG >1000 mg/dL).

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa ada korelasi antara peningkatan


kadar TG dan PKV, dan studi belakangan telah membuktikan bahwa terdapat
hubungan sebab-akibat antara lipoprotein kaya TG dan PKV melalui mutasi
pada apoC3. Peran HDL pada PKV boleh dikatakan belum jelas. Studi-studi
menunjukkan adanya hubungan terbalik antara HDL dan PKV. Namun
demikian, tidak ditemukan keuntungan terapi untuk meningkatkan K-HDL
pada DMT2 dengan niasin. K-LDL merupakan prediktor utama dari PKV.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 75


Ketut Suastika

Banyak studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara LDL dan
PKV. Pada DM, kadar LDL mungkin meningkat atau tidak menigkat, tetapi
ditemukan peningkatan kadar partikel sd-LDL. Pada studi United Kingdom
Prospective Diabetes Study (UKPDS), K-LDL merupakan prediktor nomor satu
risiko PKVAS pada DMT2, setelah disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin.

Terapi Dislipidemia pada Diabetes


Berdasarkan Panduan European Society of Cardiology (ESC) dan European
Atherosclerosis Society (EAS) yang terakhir (2019) direkomendasikan terapi
dislipidemia pada DM adalah sebagai berikut. Pada penderita dengan DMT2
dengan risiko sangat tinggi, direkomendasikan penurunan K-LDL ≥50% dari
nilai awal dan sasaran K-LDL <55 mg/dL. Pada penderita DMT2 dengan
risiko tinggi, direkomendasikan K-LDL diturunkan ≥50% dari nilai awal dan
sasaran K-LDL adalah <70 mg/dL. Statin direkomendasikan untuk penderita
DMT1 dengan risiko tinggi atau sangat tinggi. Intensifikasi statin hendaknya
dipertimbangkan sebelum diberikan terapi kombinasi. Jika sasaran tidak
tercapai, kombinasi statin dengan ezetimibe dapat dipertimbangkan. Terapi
statin tidak dianjurkan pada penderita DM pre-menopause dimana masih
mempertimbangkan kehamilan atau mereka yang tidak menggunakan
kontrasepsi memadai.

American Diabetes Association (2019) merekomendasikan pengelolaan


dislipidemia pada DM sekaligus dengan tingkat kepercayaannya seperti
berikut. Rekomendasi terapi statin secara singkat dapat dilihat pada Tabel 1
dan daftar intensitas statin dapat dilihat pada Tabel 2.
1. Modifikasi pola hidup difokuskan pada penurunan berat badan (jika
ada indikasi); bisa digunakan pola diet Mediterranean atau Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH); kurangi lemak jenuh dan lemak
trans; tingkatkan asam lemak omega (n) 3, serat viskus, dan asupan
stanol/sterol nabati; tingkatkan aktivitas fisik. A
2. Intensifkan terapi pola hidup dan kendalikan glukosa darah yang optimal
untuk penderita dengan TG >150 mg/dL dan/atau K-HDL <40 mg/dL
untuk laki-laki dan <50 mg/dL untuk perempuan. C
3. Pada orang dewasa yang tidak menggunakan statin atau terapi penurun
lipid lainnya, perlu diperiksa profil lipid pada saat diagnosis DM
ditegakkan, pada awal evaluasi medis, dan setiap 5 tahun jika usia di
bawah 40 tahun, atau lebih sering jika ada indikasi. E

76 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengelolaan Dislipidemia pada Penderita Prediabetes dan Diabetes

4. Periksa profil lipid pada saat memulai terapi statin atau obat penurun
lipid lainnya, 4-12 minggu setelah dimulai atau perubahan dosis, dan
setiap tahun setelahnya untuk melihat respon terapi dan informasi
kepatuhan berobat. E
5. Untuk semua usia penderita DM dan PKVAS atau risiko PKVAS 10-tahun
>20%, terapi statin intensitas tinggi harus diberikan disamping terapi
pola hidup. A
6. Untuk penderita DM berusia >40 tahun dengan faktor risiko PKVAS
lainnya, hendaknya dipertimbangkan pemberian statin intensitas sedang
disamping terapi pola hidup. C
7. Untuk penderita DM berusia 40-75 tahun A, dan >75 tahun B tanpa
PKVAS, diberikan statin intensitas sedang disamping terapi pola hidup.
8. Pada penderita DM disertai faktor risiko multipel, dipertimbangkan
terapi statin intensitas tinggi. C
9. Untuk penderita yang tidak toleran dengan intensitas yang dikehendaki,
gunakan statin tertoleransi maksimum. E
10. Untuk penderita DM dan PKVAS, jika K-LDL ≥70 mg/dL dengan dosis
statin tertoleransi maksimum, pertimbangkan penambahan terapi
penurun LDL lain (seperti ezitimibe atau penghambat proprotein
convertase subtilisin/kexin type 9 [PCSK9]). A Ezitimibe mungkin lebih
dipilih karena harganya lebih murah.
11. Terapi statin merupakan kontraindikasi pada kehamilan. B
12. Untuk penderita dengan kadar TG puasa ≥500 mg/dL, evaluasi penyebab
sekunder hipertrigliseridemia dan pertimbangkan terapi medis untuk
menurunkan risiko pankreatitis. C
13. Pada penderita dengan hipertrigliseridemia sedang (TG puasa atau
tidak puasa 175-499 mg/dL), klinisi hendaknya memperhatikan dan
mengobati faktor pola hidup (obesitas dan sindrom metabolik), faktor
sekunder (diabetes, penyakit hati dan ginjal kronik dan/atau sindrom
nefrotik, hipotiroidisme), dan obat-obatan yang memicu naiknya TG. C
14. Terapi kombinasi (statin/fibrat) tidak menunjukkan perbaikan luaran
PKVAS dan secara umum tidak direkomendasikan. A
15. Terapi kombinasi (statin/niasin) tidak menunjukkan keuntungan
kardiovaskular lebih dibandingkan terapi statin saja, bahkan mungkin

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 77


Ketut Suastika

meningkatkan risiko strok dengan efek samping tambahan, dan secara


umum tidak direkomendasikan. A

Tabel 1. Rekomendasi Terapi Statin dan Kombinasi pada Diabetes Orang Dewasa
PKVAS atau risiko PKVAS Rekomendasi terapi intensitas statin^ dan
Usia
10-tahun >20% kombinasi*
<40 tahun Tidak Tanpa†
Ya Tinggi
• Pada penderita dengan PKVAS, jika K-LDL ≥70 mg/
dL disamping dosis statin tertoleransi maksimum,
pertimbangkan ditambahkan terapi penurun LDL
lainnya (seperti ezitimibe atau penghamat PCSK9)#
≥ 40 tahun Tidak Sedang††
Ya Tinggi
• Pada penderita dengan PKVAS, jika K-LDL ≥70 mg/
dL disamping dosis statin tertoleransi maksimum,
pertimbangkan ditambahkan terapi penurun LDL
lainnya (seperti ezitimibe atau penghamat PCSK9)
*Sebagai tambahan terapi pola hidup. ^Untuk penderita tidak toleran dengan intensitas statin yang
diinginkan, berikan statin tertoleransi maksimum. †Statin intensitas sedang dipertimbangkan berdasarkan
profil risiko-keuntungan dan adanya risiko faktor PKVAS. Faktor risiko PKVAS termasuk K-LDL ≥100 mg/
dL, hipertensi, merokok, penyakit ginjal kronik, albuminuria, dan riwayat keluarga PKVAS prematur.
††Statin intensitas tinggi dipertimbangkan berdasarkan profil risiko-keuntungan dan adanya risiko faktor
PKVAS. #Dewasa usia <40 tahun dengan PKVAS tidak terwakili dengan baik dalam uji klinik penurunan
LDL berdasarkan non-statin. Sebelum mengawali terapi penurun lipid kombinasi, pertimbangkan potensi
penurunan risiko PKVAS lebih lanjut, efek samping spesifik obat, dan keinginan penderita. ADA. Diabetes Care
2019; 42(Suppl. 1): S103–S123.

Tabel 2. Terapi Statin Intensitas Tinggi dan Sedang*


Terapi statin intensitas tinggi Terapi statin intensitas sedang
(K-LDL turun ≥50%) (K-LDL turun ≥50%)
Atorvastatin 40–80 mg Atorvastatin 10–20 mg
Rosuvastatin 20–40 mg Rosuvastatin 5–10 mg
Simvastatin 20–40 mg
Pravastatin 40–80 mg
Lovastatin 40 mg
Fluvastatin XL 80 mg
Pitavastatin 2–4 mg
*Dosis sekali sehari; XL, lepas lambat. ADA. Diabetes Care 2019; 42(Suppl. 1): S103–S123.

78 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengelolaan Dislipidemia pada Penderita Prediabetes dan Diabetes

Daftar Pustaka
1. Adiels M, Olofsson SO, Taskinen MR, Boren J. Overproduction of very low-density
lipoprotein is the hallmark of the dyslipidemia in metabolic syndrome. Arterioscler
Thromb Vasc Biol 2008; 28: 1225-1236.
2. American Diabetes Association (ADA). Cardiovascular Disease and Risk
Management: Standards of Medical Care in Diabetes-2019. Diabetes Care 2019;
42(Suppl. 1): S103–S123.
3. Berneis KK and Krauss RM. Metabolic origins and clinical significance of LDL
heterogeneity. J Lipid Res 2002; 43: 1363-1373.
4. Hirano T. Pathophysiology of Diabetic Dyslipidemia. J Atheroscler Thromb 2018;
25: 771-782.
5. Jacobs MJ, Kleisli T, Pio RJ, et al. Prevalence and control of dyslipidemia among
persons with diabetes in the United States. Diab Res Clin Pract. 2005; 70: 263–269.
doi:10.1016/j.diabres.2005.03.032.
6. Jialal I and Singh G. Management of diabetic dyslipidemia: An update. World J
Diabetes 2019; 10: 280-290.
7. Kaithala C, Namburi HK, Bandaru SS, Bandaru SBS, Adla N, Puchchakayala G.
Prevalence of dyslipidemia and its association with glycemic control in Indian Type
2 diabetes population. Rom J Diabetes Nutr Metab Dis. 2016; 23: 277–283.
8. Kansal S and Kamble TK. Lipid Profile in Prediabetes. J Assoc Physic Ind 2016; 64:
18-21.

9. Krauss RM. Lipids and lipoproteins in patients with type 2 diabetes. Diabetes Care
2004; 27: 1496-1504.
10. Mach F, Baigent C, Catapano AL, et al. 2019 ESC/EAS Guidelines for the management
of dyslipidaemias: lipid modification to reduce cardiovascular risk. The Task Force
for the management of dyslipidaemias of the European Society of Cardiology (ESC)
and European Atherosclerosis Society (EAS). European Heart Journal (2019) 00,
1-78 doi:10.1093/eurheartj/ehz455.
11. Pandya H, Lakhani JD, Dadhania J, Trivedi A. The prevalence and pattern of
Dyslipidemia among Type 2 diabetic patients at Rural Based Hospital in Gujarat,
India. Indian J Clin Pract. 2012;22:36–44. 

12. Suastika K, Semadi IMS, Dwipayana IMP, Saraswati MR, Gotera W, KBudhiarta AAG,
Matsumoto K, Kajiwara N, Taniguchi H. Dyslipidemia in diabetes: a population-
based study in Bali. International Journal of General Medicine 2019:12: 313–321.
http://doi.org/10.2147/IJGM.S215548.
13. Taskinen MR. Diabetic dyslipidemia: from basic research to clinical practice.
Diabetologia 2003; 46: 733-749.
14. Tomkin GH. Target for intervention in dyslipidemia in diabetes. Diabetes Care
2008; 31 (Suppl. 2): S241-S248.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 79


Drug Induced Liver Injury:
Pathogenesis-Based Treatment Strategies
Irsan Hasan, Monica Raharjo
Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Drug-induced liver injury (DILI) adalah jejas/cedera hati yang diinduksi
oleh obat, baik yang diresepkan maupun yang tidak. Obat yang dimaksud
meliputi molekul kimia kecil, agen biologik, traditional Chinese medicine
(TCM), natural medicine (NM), produk kesehatan, dan suplemen. DILI
merupakan adverse drug reactions yang paling sering dan serius.1

Estimasi insiden DILI di seluruh dunia adalah 13.9-24.0 per 100.000


penduduk setiap tahun. DILI merupakan penyebab gagal hati akut utama di
Amerika Serikat.2 Insiden DILI di Cina adalah 23.80 per 100.000 penduduk
setiap tahun dimana TCM, suplemen, dan obat anti tuberkulosis (TB)
merupakan penyebab utama DILI.3 Di Korea, estimasi insiden DILI adalah
12.0 per 100.000 penduduk setiap tahun. Obat herbal merupakan penyebab
utama DILI.4 Sebuah studi di Surabaya, Indonesia menemukan bahwa insiden
DILI sebesar 3.55% dan obat yang paling banyak menyebabkan DILI adalah
antibiotika (45.45%).5

Klasifikasi
Drug-induced liver injury bisa diklasifikasikan sebagai intrinsik atau direk dan
idiosinkratik. Pada Tabel 1 disajikan daftar obat-obatan yang berhubungan
dengan DILI intrinsik maupun idiosinkratik.6 DILI idiosinkratik dapat
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi cedera/jejas hati hepatoselular, cedera
hati kolestatik, atau cedera hati campuran.1

80 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Drug Induced Liver Injury: Pathogenesis-Based Treatment Strategies

Tabel 1. Daftar Obat yang Berhubungan dengan DILI Intrinsik dan Idiosinkratik6

Patogenesis
Pada kedua jenis DILI, karakteristik kimia daripada suatu obat, yakni
lipofilisitas dan biotransformasi obat, memiliki peranan yang penting dalam
patogenesis (Gambar 1). Pada kedua jenis DILI, biotransformasi obat yang
lipofilik di hati akan menghasilkan metabolit reaktif obat. Metabolit reaktif
obat akan berikatan secara kovalen dengan protein dan menginduksi stres
oksidatif, mengaktivasi signal transduction pathways seperti mitogen-activated
protein kinases (MAPK), menyebabkan stres pada organel sel hepatosit,
mengganggu transportasi asam empedu, dan menyebabkan kematian sel.6,7

Gambar 1. Patogenesis DILI6

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 81


Irsan Hasan, Monica Raharjo

Pada DILI intrinsik, obat dan metabolit reaktif obat yang dikonsumsi
langsung menyebabkan cedera pada sel hepatosit (direct hepatotoxicity).1

Pada DILI idiosinkratik, respons imun adaptif serta predisposisi genetika


pada individu merupakan patogenesis utama terjadinya cedera pada sel
hepatosit. Restricted human leukocyte antigen (HLA) associations merupakan
kunci perkembangan respons imun adaptif terhadap sel hati.6 HLA yang sudah
teridentifikasi melalui genome wide association studies (GWAS) dan candidate
gene studies (CGS) terdapat di Tabel 2.8

Tabel 2. Polimorfisme HLA dan Genetika pada DILI 8

82 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Drug Induced Liver Injury: Pathogenesis-Based Treatment Strategies

Kematian sel hepatosit pada DILI adalah melalui apoptosis, nekrosis,


nekroptosis, dan autofagi.9

Diagnosis DILI
Manifestasi klinis DILI bisa ringan sampai berat, yakni gagal hati akut
yang membutuhkan transplantasi hati sampai kematian. Presentasi klinis
pasien dengan DILI menyerupai hepatitis akibat virus (viral hepatitis-like
syndrome) sehingga tidak dicurigai DILI kecuali bila disertai kelainan pada
kulit.6

Secara umum, diagnosis DILI dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan


fungsi hati alanin transferase (ALT), alkali fosfatase, dan bilirubin, dengan
kriteria sebagai berikut:
1) Peningkatan ALT ≥ 5x dari batas atas nilai normal
2) Peningkatan alkali fosfatase ≥ 2x dari batas atas nilai normal (terutama
bila disertai peningkatan gamma-glutamiltransferase (GGT) tanpa
adanya kelainan pada tulang yang dapat menyebabkan peningkatan
alkali fosfatase)
3) Peningkatan ALT ≥ 3x dari batas atas nilai normal disertai peningkatan
konsentrasi total bilirubin ≥ 2x dari batas atas nilai normal
4) Peningkatan pemeriksaan fungsi hati terjadi setelah memulai terapi
dengan obat tertentu
5) Pada pasien dengan pemeriksaan fungsi hati yang abnormal sebelum
terapi dengan obat tertentu yang dicurigai dimulai, batas atas nilai
normal tidak digunakan namun hasil pemeriksaan fungsi hati sebelum
dimulai terapi (mean baseline value)

Cedera/jejas hati disebut hepatoselular ialah bila terjadi peningkatan 5x


atau lebih dari ALT dengan atau tanpa rasio ALT: alkali fosfatase ≥ 5. Cedera/
jejas hati disebut kolestatik ialah bila terjadi peningkatan 2x atau lebih alkali
fosfatase dengan atau tanpa rasio ALT: alkali fosfatase ≤ 2. Bila rasio ALT:
alkali fosfatase diantara 2 sampai 5 maka disebut cedera/jejas hati campuran.
Rasio ALT: alkali fosfatase dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 83


Irsan Hasan, Monica Raharjo

Karena nilai pemeriksaan fungsi hati berubah dari waktu ke waktu,


tipe cedera/jejas hati pada DILI ditentukan dengan pemeriksaan fungsi
hati pertama yang dilakukan saat dicurigai DILI. Pemeriksaan laboratorium
standar yang dianjurkan pada pasien dengan kecurigaan DILI bisa dilihat di
Tabel 3.6

Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis DILI 6

Penyebab cedera/jejas hati lainnya juga perlu di eksklusi sebelum


diagnosis DILI dapat ditegakkan. Pemeriksaan laboratorium untuk eksklusi
penyakit hati lain bisa dilihat pada Tabel 4.6

Tabel 4. Pemeriksaan Laboratorium untuk Eksklusi Penyakit Hati Lain 6

Pemeriksaan antibodi dan genetika dipertimbangkan untuk kasus


drug-induced hepatitis autoimun. 9% dari kasus DILI tidak dapat dibedakan
dengan hepatitis autoimun dan 9% hepatitis autoimun disebabkan oleh obat.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dapat dilihat di Tabel 5.6,8

84 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Drug Induced Liver Injury: Pathogenesis-Based Treatment Strategies

Tabel 5. Pemeriksaan Antibodi dan Genetika 6,8

Pemeriksaan ultrasonografi abdomen juga dianjurkan untuk eksklusi


penyakit hati lain. Pada DILI, pemeriksaan ultrasonografi hati tidak ditemukan
kelainan.6

Pemeriksaan biopsi hati dilakukan bila dicurigai drug-induced hepatitis


autoimun dan bila pasien dengan kecurigaan DILI tidak mengalami perbaikan
setelah obat yang diduga diberhentikan. Infiltrasi netrofil, tingkat nekrosis
yang tinggi, tingkat fibrosis yang tinggi, kolestasis, kelainan vena porta, dan
steatosis mikrovaskular berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.6

Tatalaksana DILI
Langkah terpenting dalam tatalaksana DILI adalah menghentikan obat
yang dicurigai menyebabkan kerusakan hati. Pada sebagian besar DILI,
perbaikan spontan terjadi tanpa perlu pemberian obat ataupun tatalaksana
spesifik lainnya. Perbaikan spontan setelah penghentian obat merupakan
kriteria yang penting untuk menentukan penyebab dari DILI. Perbaikan
spontan dari DILI biasanya komplit atau parsial dalam beberapa hari sampai
minggu (rata-rata 3.3 minggu untuk cedera hati hepatoselular dan 6.6 minggu
untuk cedera hati kolestatik).1,6 Namun, sebuah studi di Islandia melaporkan
bahwa durasi waktu rata-rata dari diagnosis hingga normalisasi fungsi hati
adalah 64 hari.10 Pemeriksaan fungsi hati berkala (monitoring) pada kasus DILI
penting untuk dilakukan.6 Selain ALT dan AST, perlu dilakukan pemeriksaan
bilirubin dan INR. Hal ini karena, pada kematian sel hepatosit yang luas, kadar
ALT dan AST dapat mengalami penurunan.11

Pasien dengan gagal hati akut yakni ensefalopati dan koagulopati (INR
meningkat) perlu di rawat inap dan dipantau fungsi hatinya secara ketat.
Pilihan tatalaksana pada pasien dengan gagal hati akut meliputi extracorporeal

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 85


Irsan Hasan, Monica Raharjo

liver support systems, terapi stem cell menggunakan granulocyte colony-


stimulating factor (G-CSF), transplantasi hati, dan terapi spesifik.6

Terapi spesifik untuk DILI meliputi cholestyramine, carnitine,


N-acetylcysteine, ursodeoxycholic acid, kortikosteroid, dan lain-lain.
1) Cholestyramine: Obat ini dapat digunakan untuk DILI akibat leflunomide
dan terbinafine yang menyebabkan kolestasis kronik. Cholestyramine
merupakan suatu resin asam empedu yang membantu aliran empedu
sehingga mengurangi pruritus dan meningkatkan drug clearance.
Cholestyramine diberikan dengan dosis 4 gram setiap 6 jam selama 2
minggu.6,12
2) Carnitine: Obat ini merupakan antidotum untuk hepatotoksisitas akibat
asam valproat. Carnitine dapat meregulasi aktivitas acetyl coenzyme A
di dalam mitokondria yang membantu pengambilan asam lemak dan
oksidasi beta pada mitokondria. Dosis yang direkomendasi adalah 100
mg/kgBB intravena selama 30 menit (maksimal 6 gram) diikuti dengan
15 mg/kgBB setiap 4 jam sampai terjadi perbaikan secara klinis.6
3) N-acetylcysteine (NAC): Obat ini diindikasikan untuk kasus intoksikasi
asetaminofen. NAC dapat mengurangi radikal bebas dalam sel. Dosis NAC
yang diberikan adalah 10 gram intravena dalam 24 jam selama 7 hari.
NAC juga dapat diberikan pada pasien dengan gagal hati akut sebagai
pencegahan ensefalopati hepatikum.1,6,11
4) Ursodeoxycholic acid (UDCA): UDCA diberikan pada DILI dengan
kolestasis kronik.1,6
5) Kortikosteroid: Steroid diberikan pada drug-induced hepatitis autoimun
atau pada pasien dengan manifestasi klinis hipersensitivitas (demam,
ruam, dan eosinophilia). Kortikosteroid juga dapat dipertimbangkan
pada gagal hati akut yang tidak memberikan respon terhadap terapi
lainnya.1,6,11

Obat-obat yang memodulasi respons imun adaptif, diduga dapat


menghambat cedera/jejas hati dan membantu perbaikan klinis. Obat-obat
yang potensial untuk terapi DILI antara lain budesonide dan nor-UDCA. Nor-
UDCA dapat mengurangi ekspresi molekul major histocompatibility complex
class II pada makrofag dan menghambat proliferasi limfosit T CD4+.8

86 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Drug Induced Liver Injury: Pathogenesis-Based Treatment Strategies

Kesimpulan
DILI merupakan masalah kesehatan yang patut mendapat perhatian
seiring dengan meningkatnya ketersediaan obat. Pemahaman patogenesis
DILI telah berkembang dengan ditemukannya peran polimorfisme HLA dan
genetika dan kaitannya dengan sistem imun adaptif dalam menyebabkan
cedera sel hati. Diagnosis yang tepat dari DILI serta identifikasi obat penyebab
merupakan langkah awal dan penting dalam tatalaksana DILI. Penanganan
DILI yang utama adalah menghentikan obat yang menyebabkan DILI dan
monitoring fungsi hati. Randomized controlled trials masih diperlukan untuk
mengevaluasi efikasi obat.

Daftar Pustaka
1. Yu YC, Mao YM, Chen CW, Chen JJ, Chen J, Cong WM, et al. CSH guidelines for the
diagnosis and treatment of drug-induced liver injury. Hepatol Int 2017; 11: 221-41.
2. Suk KT, Kim DJ. Drug-induced liver injury: present and future. Clin Mol Hepatol
2012; 18: 249-57.
3. Shen T, Liu Y, Shang J, Xie Q, Li J, Yan M, et al. Incidence and Etiology of Drug-
Induced Liver Injury in Mainland China. Gastroenterol 2019; 156: 2230-41.
4. Suk KT, Kim DJ, Kim CH, Park SH, Yoon JH, Kim YS, et al. A prospective nationwide
study of drug-induced liver injury in Korea. Am J Gastroenterol 2012; 107(9):
1380-7.
5. Arrang ST, Widyati. The Incidence and Risk Factor Analysis of Drug Induced Liver
Injury in a Surabaya Hospital. Jurnal Farmasi Galenika 2018; 4(2): 79-86.
6. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines:
Drug-induced liver injury. J Hepatol 2019; 70(6): 1222-61.
7. Yuan L, Kaplowitz N. Mechanisms of Drug Induced Liver Injury. Clin Liver Dis 2013;
17(4): 507-18.
8. Kaliyaperumal K, Grove JI, Delahay RM, Griffiths WJH, Duckworth A, Aithal GP.
Pharmacogenomics of drug-induced liver injury: Molecular biology to clinical
applications. J Hepatol 2018; 69: 948-57.
9. Ye H, Nelson LJ, del Moral MG, Martinez-Naves E, Cubero FJ. Dissecting the molecular
pathophysiology of drug-induced liver injury. World J Gastroenterol 2018; 27(13):
1373-85.
10. Bjornsson ES, Bergmann OM, Bjornsson HK, Kvaran RB, Olafsson S. Incidence,
presentation, and outcomes in patients with drug-liver induced liver injury in the
general population of Iceland. Gastroentrol 2013; 144: 1419-25.
11. Giordano C, Rivas J, Zervos X. An Update on Treatment of Drug-Induced Liver
Injury. J Clin Translational Hepatol 2014; 2: 74-9.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 87


Targeting HMGB1: Strategy For Antifibrotic Therapy
David Handojo Muljono
Eijkman Institute for Molecular Biology, Jakarta

Introduction
Fibrosis results from excessive accumulation of extra-cellular matrix
(ECM) molecules that make up excessive tissue scarring and occur in a
variety of physiological systems including lung, liver, kidney and heart.1
The pathogenesis of fibrosis among multiple organs has the core features
including epithelial injury and dysfunction, appearance of myofibroblasts,
ECM accumulation, immune cell recruitment, monocyte-derived cells, and the
resolution and regression of fibrosis, resulting in progressive scarring and
loss of organ functions.2

In recent years, studies have found several polypeptide mediators that


are central to the fibrotic process.3 High-mobility group box 1 (HMGB1),
which is a member of High-mobility group (HMG) chromosomal protein, is a
DNA-binding protein that functions as a structural co-factor critical for proper
transcriptional regulation in somatic cells.4,5 HMGB1 is actively secreted from
multiple cell types including macrophages, monocytes, natural killer (NK)
cells, dendritic cells (DCs), endothelial cells, and platelets. On the other hand,
it can also be passively released from necrotic or damaged cells.6,7 Both ways
can release significant amounts of extracellular HMGB1. By engagement with
its cell-surface receptors on immune cells, HMGB1 activates intracellular
cascades that regulate several cell functions, including inflammation,
chemotaxis, and microvascular rolling and adhesion.8,9 Emerging studies
indicate that HMGB1 is closely involved in fibrotic disorders including cystic
fibrosis, liver fibrosis and pulmonary fibrosis, while HMGB1 signal inhibitions
protect against fibrotic diseases.1,4 This paper discusses the crucial role of
HMGB1 in the pathogenesis of fibrotic diseases, particularly liver fibrosis, and
its potential as a therapeutic target.

Liver Fibrosis
Liver fibrosis is a frequent, life-threatening complication of most chronic
liver diseases. It can result from persistent liver injuries, including alcohol
abuse, viral hepatitis, metabolic diseases, and cholestatic liver diseases.10 It
is the condition associated with portal hypertension and liver failure, and the
risk of hepatocellular carcinoma (HCC).11

88 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Targeting HMGB1: Strategy For Antifibrotic Therapy

Hepatic stellate cells (HSCs), which are located in the space of Disse
between hepatocytes and sinusoidal endothelium, are the primary effector
cells in the progression of liver fibrosis.12 Quiescent HSCs can be activated
into proliferative and fibrogenic myofibroblasts by a range of chronic injuries,
including viral hepatitis, (non-)alcoholic steatohepatitis, toxins (e.g. drug-
induced liver injury/DILI), and autoimmune disorders.10 Additionally, HSCs
play a pivotal role in activating the immune response through secretion of
cytokines and chemokines, and interacting with immune cells. HSCs also
contribute to angiogenesis and the regulation of oxidant stress.13

Activation of quiescent HSCs consists of two major phasesinitiation


(also called a ‘preinflammatory stage’) and perpetuation.14 In the initiation
phase, the initial stimuli (e.g. apoptotic bodies, reactive oxygen species/
ROS), lipopolysaccharide/LPS, and paracrine stimulation) resulted from the
liver injures change the HSCs to become sensitized to additional activation.
Subsequently, HSCs can secrete autocrine and paracrine growth factors,
chemokines, and ECM. In the perpetuation phase, changes in HCS behaviors
occur, including proliferation, chemotaxis, fibrogenesis, and contractility.15 If
the injury subsides, resolution may occur, in which fibrosis regresses through
apoptosis, senescence, or reversion of HSCs to inactivated phenotype.10,16

There are numerous polypeptide mediators and tissue-specific markers


in the various pathways of fibrotic processes. Investigations are ongoing to
characterize these molecules including HMGB1 that are potential to be used
as biomarkers of fibrosis, fibrogenesis, and fibrolysis. In parallel, advances
have been made in understanding how to exploit these biomarkers towards
targets for anti-fibrotic therapies.4,11,13,17

Structure, functions, and receptors of HMGB1


A. Structure of HMGB1
HMGB1 is encoded on human chromosome 13q12-13 and consists
of 215 amino acids. It is a highly conserved protein containing two DNA-
binding domains (HMGB1 A and B) and a natively charged C tail (for
transcription stimulation) domain (Figure 1A). Both the HMGB1 A and
B boxes have about 75–80 amino acids and are formed by two short and
one long a-helix that, upon folding, produce an L- or V-shaped three-
dimensional domain structure.18,19 The A box has anti-inflammatory
properties in vivo and in vitro,20 while the B box has been identified as
a function domain which can be recognized by Toll-like receptor (TLR)-

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 89


David Handojo Muljono

4 and triggers the release of proinflammatory cytokines.21 Amino acids


89–108 of HMGB1 are responsible for binding to TLR4,7 while amino
acids 150–183 are responsible for the receptor for advanced glycation
end products (RAGE) binding.22

The proinflammatory cytokine-stimulating activity of HMGB1


requires both the formation of a disulfide bond between C23 and C45
(in Box A), and unpaired C106 (in Box B).23 Only the fully reduced form
of HMGB1, where all three cysteines are in the thiol (CySH) state, can
recruit motile cells. HMGB1 terminally oxidized to sulfonates (CySO3–)
has no activity, either as a chemoattractant or in cytokine stimulation.24
Thus, HMGB1 arranges both key events in sterile inflammation, leukocyte
recruitment and their induction to secrete inflammatory cytokines, by
adopting mutually exclusive redox states.24 Inhibition of TLR4 binding
with neutralizing anti-HMGB1 mAb or by mutating cysteine 106 prevents
HMGB1 activation of cytokine release. The different redox forms of
HMGB1 have implications for rationale, design, and development of
therapeutics in sterile and infectious inflammation.24

Figure 1. Structure and function of the HMGB1 protein. (A) HMGB1 is composed
of the A box, B box and C (acidic) tail domains. (B) In the nucleus, HMGB1 is
involved in in DNA replication, recombination, transcription and repair. It
interacts with and enhances the activities of several transcription factors,
including p53, p73, the retinoblastoma protein (RB), members of the Rel/
NF-κβ family, and estrogen receptor (ER). (C) Once released from the cell,
HMGB1 binds to various receptors to activate Damage-associated molecular
pattern (DAMP) signaling involved in many cellular processes. (D) Cytoplasmic
HMGB1 protein binds with beclin 1 to induce autophagy. (E) At the cell surface,
membrane HMGB1 promotes neurite outgrowth and platelet activation.
[Adapted from Chen et al4]

90 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Targeting HMGB1: Strategy For Antifibrotic Therapy

B. Function of HMGB1
HMGB1 participates in a broad range of immunological activities
such as induction of cytokine production, cell proliferation, chemotaxis
and differentiation as well as modulation of hematopoietic, epithelial
and neuronal cells.4,6 It controls multiple DNA signaling pathways by its
location-specific biological functions:
− In the nucleus (Figure 1B), HMGB1 acts as a DNA chaperone. It
participates in DNA replication, recombination, transcription
and repair. In particular, HMGB1 interacts with and enhances the
activities of a number of transcription factors, including p53, p73,
the retinoblastoma protein (RB), members of the Rel/NF-κβ family
and estrogen receptor (ER).
− Outside the cell (Figure 1C and Figure 2), HMGB1 acts as a damage-
associated molecular pattern (DAMP) molecule. It interacts with
several receptors and coordinates various cellular responses
such as immune system activation, cell migration, cell growth,
angiogenesis and tissue repair and regeneration This extracellular
HMGB1 may form heterocomplexes with other immune coactivators
such as interleukin (IL)-1, C-X-C motif chemokine 12 (CXCL12),
deoxyribonucleic acid (DNA), nucleosomes or lipopolysaccharide
(LPS) that generate synergistic responses in inflammation and
immunity (Figure 2).25,26
− In the cytosol (Figure 1D), HMGB1 performs autophagy by binding
beclin-1. In parallel, nuclear (1B) and extracellular (1C) HMGB1
have the ability to sustain autophagy by regulating the expression of
heat shock protein β1 and binding RAGE, respectively.22,27
− At the cell surface membrane (Figure 1E), HMGB1 promotes neurite
outgrowth and platelet activation.28

C. Receptors of HMGB1
Like other nuclear cofactors, HMGB1 has a role as an intercellular
messenger molecule, released from a variety of cells into the extracellular
environment to act on specific cell-surface receptors. The receptors used
by HMGB1 have not been entirely understood and may vary by context.
These receptors include RAGE, the TLRs, Mac-1, syndecan-1 (CD138),
phosphacan protein–tyrosine phosphatase (PPTP)-ξ/β, CD24, chemokine
(C-X-C motif) receptor 4 (CXCR4), T-cell immunoglobulin mucin-3 (TIM-
3) and others (Figure 1C).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 91


David Handojo Muljono

− RAGE, a member of the immunoglobulin superfamily of cell surface


molecules expressed on a variety of cell types, has a high affinity for
HMGB1. HMGB1 interaction with RAGE can mediate cell proliferation,
growth and migration by activating intracellular signals such as
nuclear factor (NF-κβ) and the mitogen-activated protein kinase
(MAPK) pathway.29,30
− TLRs also have important pathogen-recognized patterns both in
innate and adaptive immunity. Three of the TLRs are involved in
HMGB1 signaling pathways: TLR2, TLR4 and TLR9. Signaling by
activation of these TLRs increase NF-κβ and MAPKs that regulate
gene expression of various immune and inflammatory mediators.29,30
− CD24 and TIM-3 act as negative receptors and inhibit immune
activity of HMGB1 in macrophages and tumor-associated DCs,
respectively (Figure 2). 31,32
− HMGB1 also promotes recruitment of inflammatory cells to
damaged tissue by forming a complex with the chemokine CXCL12
and signaling via CXCR4 independent of RAGE and TLR4.33

Figure 2. HMGB1 release and extracellular function. HMGB1 can be actively


secreted by immune inflammatory cells or passively released by dead, dying
or injured cells into the extracellular milieu by several different mechanisms.
Extracellular HMGB1 acts as a DAMP molecule and plays a vital role in several
pathophysiological processes. The activity of extracellular HMGB1 depends on
redox state, receptors and their interactive partners. [Adapted from Chen et al4].

92 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Targeting HMGB1: Strategy For Antifibrotic Therapy

HMGB1 and Liver Fibrosis


During acute injury, the changes in liver architecture are transient and
reversible. With chronic injury, there is progressive substitution of the liver
parenchyma by scar tissue, and, as a result, patients may progress slowly to
cirrhosis, which may develop to decompensated liver failure or HCC.13

Among the etiologies of liver fibrosis, viral infection is most common,


with around 257 million people are having chronic hepatitis B virus (HBV)
infection that result in 887,000 related deaths in 2015,34 and 71 million people
with chronic hepatitis C virus (HCV) infection, accounting for 399,000 deaths
in 2016.35 In addition, the consequences of precipitously rising obesity rates
worldwide have accelerated the risk of liver injury due to nonalcoholic fatty
liver disease (NAFLD) and nonalcoholic steatohepatitis (NASH); a proportion of
40.76% of patients with NASH progress to cirrhosis in 2016.36 Other etiologies
of chronic liver injury include alcohol-induced disease, drug-induced toxicity,
other liver infections (e.g. schistosomiasis), immune-mediated liver diseases
(e.g. autoimmune hepatitis), metabolic disorders (e.g. lipid, glycogen, or metal
storage disorders) and cholestasis (e.g. secondary biliary cirrhosis) .13,37

The liver plays a key role in integration of immune responses after


systemic insults. In the liver, TLRs and RAGE are expressed by parenchymal
and nonparenchymal cell types. These receptors can initiate innate immune
cascades through the recognition of HMGB1 in the pathogenesis.38 HMGB1 is
involved in the development and progression of liver fibrosis (Figure 3).4,17
In addition to the accumulation of ECM, hepatic fibrosis is also characterized
by a reduction of ECM-removing matrix-metalloproteinase (MMP) and an
upregulation of tissue inhibitors of MMP.39 A study proved that recombinant
HMGB1 protein stimulates HSC growth, promotes α-SMA expression and
inhibits MMP activity.40 HMGB1 also has a synergistic effect with transforming
growth factor β1 (TGF-β1) to stimulate expression of fibrogenic protein
(e.g.collagen α2 and α-SMA) in HSCs . HMGB1 also promotes the proliferation/
migration of HSCs and liver fibrosis partly via TLR4-MyD88 and the MAPK–
NF-κB pathway.41,42 In the light of these pathobiological processes, HMGB1
and its profibrotic function may be effective targets to treat liver fibrosis.4,17

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 93


David Handojo Muljono

Figure 3. Role of HMGB1 in hepatic pathology. (A) HBV and HCV infection confer a
risk of developing a chronic inflammation that can lead to liver fibrosis that evolves
into liver cirrhosis and HCC, and HMGB1 participates in this process. HCV or HBV
infection induces translocation and release of HMGB1. Extracellular HMGB1 causes
chronic inflammation by activation of NF-κβ pathways or results in TLR4-dependent
interferon antiviral response. (B) Serum HMGB1 level is increased in several chronic
liver diseases (e.g. NAFLD). HMGB1 induces HSC activation by TLR4-MyD88/MAPK-
NF-κβ pathways. HMGB1 promotes the expression of collagen and α-SMA in HSCs
and results in accumulation of excess extracellular matrix and liver fibrosis. (C)
Extracellular HMGB1 binds to its receptors (e.g. TLR4, TLR9, and RAGE) to induce
inflammasome activation and proinflammatory cytokine release, which is essential
for tumor growth, invasion and metastasis. [Adapted from Chen et al4]

A. HMGB1 and Viral Hepatitis


Chronic infection with either HBV or HCV can result in continued
inflammation and oxidative stress, with a consequent prolonged fibrotic
response that leads to development of cirrhosis. This fibrotic process is
accompanied by the appearance of localized hypoxia, rearrangement
of tissue architecture (epithelial–mesenchymal transition) and
angiogenesis.43

Although multiple signaling networks are responsible for coordinating


the inflammatory and immune response during virus hepatitis, HMGB1 is
critical in initiating and mediating these effects. HMGB1 is translocated
from the nucleus to the cytoplasm and subsequently is released into the
extracellular milieu by HCV or HBV infection.44,45 HMGB1 serum levels are

94 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Targeting HMGB1: Strategy For Antifibrotic Therapy

significantly higher in patients with chronic HBV than in normal healthy


people and are closely related to the stage of inflammation and fibrosis in
the liver (Figure 4A).46 In addition, HMGB1 plays an important role in the
pathogenesis of liver failure in chronic HBV patients by downregulation
of Foxp3 expression and inhibiting the immune activity of regulatory T
cells.47 In HCV infection, extracellular HMGB1 can trigger the interferon
antiviral response through a TLR4-dependent pathway.45

B. HMGB1 AND Non-alcoholic Fatty Liver Disease


NAFLD includes a wide variety of liver damage, ranging from
steatosis (only fat accumulation, also called fatty liver), to nonalcoholic
steatohepatitis (fatty infiltration associated with inflammation and liver
injury), to advanced fibrosis and cirrhosis (permanent damage/injury to
the liver).

The pathogenesis of NAFLD occurs in two steps which are stated as


“two-hit” hypothesis.48 The “first hit”, i.e. hepatic triglyceride accumulation
(also called steatosis), sensitizes the liver to injury by “second hits,”
such as those from cytokines, endotoxin, adipokines, mitochondrial
dysfunction and oxidative stress, which result in de novo lipogenesis and
increased release of free fatty acid and abnormal lipid deposition in the
liver.39

Emerging evidence suggests that HMGB1-TLR4- MyD88 signaling is


involved in the progression of NAFLD in the early stage (Figure 3B).49
The accumulation of free HMGB1 in the plasma may further enhance
inflammation and liver damage. This study indicates that HMGB1 serves
as an important mediator to accelerate local liver damage and systemic
inflammation during the early stage of NAFLD.

C. HMGB1 and Toxin/Drug-Induced Liver Injury (DILI)


Drug-induced liver injury (DILI), also known as hepatotoxicity, refers
to liver injury caused by drugs or other chemical agents and represents a
special type of adverse drug reaction. Acetaminophen (APAP) overdoses
are currently the most frequent cause of acute liver failure.16 Hepatocyte
necrosis, apoptosis and innate immune activation have been defined as
the dominant features of the toxicological response associated with APAP.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 95


David Handojo Muljono

HMGB1 has been reported as a circulating mechanistic indicator


of cell death in animal and clinical studies on APAP-induced
hepatotoxicity.50,51 HMGB1 also becomes a sensitive serum diagnosis and
severity assessment biomarker of APAP-induced acute liver injury (51).
APAP-induced HMGB1 release contributes to innate immune activation
during liver injury.52,53 For example, the HMGB1–TLR4–IL-23–IL-17A
signaling pathway mediates interplay between macrophages and γδ T
cells, which contributes to APAP-induced liver inflammation.42 Blocking
HMGB1 release or activity by ethyl pyruvate and HMGB1-neutralizing
antibody prevents APAP-induced hepatotoxicity and restores liver
structure by inhibition of oxidative injury and inflammation.54 In addition,
HMGB1 cytoplasmic translocation and release during tissue damage and
cell death promotes pathological processes in several drug-induced acute
liver failures.54

Targeting HMGB1 as Therapy in Fibrotic Diseases


HMGB1 may be a promising therapeutic target for many fibrotic diseases
including liver fibrosis. Agents targeting HMGB1 have shown successful in vivo
and in vitro studies.11 In addition to the inhibition of HMGB1 or its receptors
by neutralizing antibodies,55-58 more studies have been carried out to elucidate
different mechanisms involved in HMGB1 release and signaling, and illustrate
different methods of suppressing its release, or the damage that is caused
(Figure 4). Antagonistic HMGB1 signals, based on HMGB1 silencing,58,59 RAGE
or TLRs knockout,56,60 small-molecule inhibitors such as ethyl pyruvate,17
have proven successful in a wide range of experiments, resulting in reduced
severity of fibrotic models and decreased lethality, suggesting that HMGB1
may be a therapeutic target for fibrotic diseases.

96 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Targeting HMGB1: Strategy For Antifibrotic Therapy

Figure 4. Agents targeting HMGB1 or its receptors in the studies of tissue fibrosis.
In addition to the inhibition of HMGB1 or its receptors by neutralizing antibodies,
antagonistic HMGB1 treatment, based on HMGB1 silencing, RAGE or TLRs knockout,
small-molecule inhibitors (such as ethyl pyruvate), has proven successful in a wide
range of experiments, resulting in reduced severity of fibrotic models and decreased
lethality, all of which represent therapeutic measures for blocking HMGB1. Adapted
from Li et al1.

Glycyrrhizin (GL), a main active ingredient in licorice plant (Glycyrrhiza


glabra L.), has been traditionally used for treating peptic ulcer, hepatitis,
pulmonary bronchitis, and other diseases like psoriasis, prostate cancer, as
well as a chemo preventive agent for liver injury.61,62 It also improves necro-
inflammation and fibrosis in patients who failed previous interferon therapies
(63). This compound is recognized as an HMGB1 inhibitor which binds directly
to HMGB1.64 Studies indicate that GL could modulate various molecular
pathways in liver disease with numerous pharmacologic properties, including:
cell membrane stabilizer,65 anti-inflammatory,66 antiviral,67,68 antioxidant,69
immune-response modulator,70-73 antitumor,74-76 hepatocyte growth promoting
action,77 and hepatoprotective activities.78,79

Irrespective of underlying etiologies, liver fibrosis is a kind of two


mechanisms, “injury and scar repair”, with a deleterious risk of progressive
loss of organ function. These two processes should be controlled to prevent
organ failure and to maintain survival. HMGB1 is a pluripotent mediator that
contributes to the pathogenesis of many fibrotic diseases, indicating that
HMGB1 may be a promising therapeutic target for such diseases. Studies
on large human patient populations with well-defined clinical disease
characteristics and more animal models are needed to more thoroughly

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 97


David Handojo Muljono

characterize HMGB1 function in liver fibrosis in the drug design and treatment
strategy to prevent and/or cure the refractory liver diseases.

References
1. Li LC, Gao J, Li J. Emerging role of HMGB1 in fibrotic diseases. J Cell Mol Med.
2014;18(12):2331-9.
2. Brenner C, Galluzzi L, Kepp O, Kroemer G. Decoding cell death signals in liver
inflammation. J Hepatol. 2013;59(3):583-94.
3. Gressner OA, Weiskirchen R, Gressner AM. Biomarkers of hepatic fibrosis,
fibrogenesis and genetic pre-disposition pending between fiction and reality. J Cell
Mol Med. 2007;11(5):1031-51.
4. Chen R, Hou W, Zhang Q, Kang R, Fan XG, Tang D. Emerging role of high-mobility
group box 1 (HMGB1) in liver diseases. Mol Med. 2013;19:357-66.
5. Javaherian K, Liu JF, Wang JC. Nonhistone proteins HMG1 and HMG2 change the
DNA helical structure. Science. 1978;199(4335):1345-6.
6. Harris HE, Andersson U, Pisetsky DS. HMGB1: a multifunctional alarmin driving
autoimmune and inflammatory disease. Nat Rev Rheumatol. 2012;8(4):195-202.
7. Yang H, Hreggvidsdottir HS, Palmblad K, Wang H, Ochani M, Li J, et al. A critical
cysteine is required for HMGB1 binding to Toll-like receptor 4 and activation of
macrophage cytokine release. Proc Natl Acad Sci U S A. 2010;107(26):11942-7.
8. Andersson U, Tracey KJ. HMGB1 is a therapeutic target for sterile inflammation and
infection. Annu Rev Immunol. 2011;29:139-62.
9. Yang H, Antoine DJ, Andersson U, Tracey KJ. The many faces of HMGB1: molecular
structure-functional activity in inflammation, apoptosis, and chemotaxis. J Leukoc
Biol. 2013;93(6):865-73.
10. Friedman SL, Sheppard D, Duffield JS, Violette S. Therapy for fibrotic diseases:
nearing the starting line. Sci Transl Med. 2013;5(167):167sr1.
11. Schuppan D, Ashfaq-Khan M, Yang AT, Kim YO. Liver fibrosis: Direct antifibrotic
agents and targeted therapies. Matrix Biol. 2018;68-69:435-51.
12. Weiskirchen R, Tacke F. Liver Fibrosis: From Pathogenesis to Novel Therapies. Dig
Dis. 2016;34(4):410-22.
13. Lee YA, Wallace MC, Friedman SL. Pathobiology of liver fibrosis: a translational
success story. Gut. 2015;64(5):830-41.
14. Friedman SL. Fibrogenic cell reversion underlies fibrosis regression in liver. Proc
Natl Acad Sci U S A. 2012;109(24):9230-1.
15. Lee UE, Friedman SL. Mechanisms of hepatic fibrogenesis. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2011;25(2):195-206.
16. Lee WM. Acetaminophen and the U.S. Acute Liver Failure Study Group: lowering
the risks of hepatic failure. Hepatology. 2004;40(1):6-9.

98 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Targeting HMGB1: Strategy For Antifibrotic Therapy

17. Albayrak A, Uyanik MH, Cerrah S, Altas S, Dursun H, Demir M, et al. Is HMGB1 a new
indirect marker for revealing fibrosis in chronic hepatitis and a new therapeutic
target in treatment? Viral Immunol. 2010;23(6):633-8.
18. Hardman CH, Broadhurst RW, Raine AR, Grasser KD, Thomas JO, Laue ED.
Structure of the A-domain of HMG1 and its interaction with DNA as studied by
heteronuclear three- and four-dimensional NMR spectroscopy. Biochemistry.
1995;34(51):16596-607.
19. Weir HM, Kraulis PJ, Hill CS, Raine AR, Laue ED, Thomas JO. Structure of the HMG
box motif in the B-domain of HMG1. EMBO J. 1993;12(4):1311-9.
20. Yang H, Ochani M, Li J, Qiang X, Tanovic M, Harris HE, et al. Reversing established
sepsis with antagonists of endogenous high-mobility group box 1. Proc Natl Acad
Sci U S A. 2004;101(1):296-301.
21. Li J, Kokkola R, Tabibzadeh S, Yang R, Ochani M, Qiang X, et al. Structural basis
for the proinflammatory cytokine activity of high mobility group box 1. Mol Med.
2003;9(1-2):37-45.
22. Huttunen HJ, Fages C, Kuja-Panula J, Ridley AJ, Rauvala H. Receptor for advanced
glycation end products-binding COOH-terminal motif of amphoterin inhibits
invasive migration and metastasis. Cancer Res. 2002;62(16):4805-11.
23. Yang H, Lundback P, Ottosson L, Erlandsson-Harris H, Venereau E, Bianchi ME, et
al. Redox modification of cysteine residues regulates the cytokine activity of high
mobility group box-1 (HMGB1). Mol Med. 2012;18:250-9.
24. Venereau E, Casalgrandi M, Schiraldi M, Antoine DJ, Cattaneo A, De Marchis F,
et al. Mutually exclusive redox forms of HMGB1 promote cell recruitment or
proinflammatory cytokine release. J Exp Med. 2012;209(9):1519-28.
25. Hreggvidsdottir HS, Ostberg T, Wahamaa H, Schierbeck H, Aveberger AC, Klevenvall
L, et al. The alarmin HMGB1 acts in synergy with endogenous and exogenous
danger signals to promote inflammation. J Leukoc Biol. 2009;86(3):655-62.
26.
Wahamaa H, Schierbeck H, Hreggvidsdottir HS, Palmblad K, Aveberger
AC, Andersson U, et al. High mobility group box protein 1 in complex with
lipopolysaccharide or IL-1 promotes an increased inflammatory phenotype in
synovial fibroblasts. Arthritis Res Ther. 2011;13(4):R136.
27. Tang D, Kang R, Livesey KM, Cheh CW, Farkas A, Loughran P, et al. Endogenous
HMGB1 regulates autophagy. J Cell Biol. 2010;190(5):881-92.
28. Tang D, Kang R, Livesey KM, Kroemer G, Billiar TR, Van Houten B, et al. High-
mobility group box 1 is essential for mitochondrial quality control. Cell Metab.
2011;13(6):701-11.
29. Taguchi A, Blood DC, del Toro G, Canet A, Lee DC, Qu W, et al. Blockade of RAGE-
amphoterin signalling suppresses tumour growth and metastases. Nature.
2000;405(6784):354-60.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 99


David Handojo Muljono

30. Palumbo R, Sampaolesi M, De Marchis F, Tonlorenzi R, Colombetti S, Mondino


A, et al. Extracellular HMGB1, a signal of tissue damage, induces mesoangioblast
migration and proliferation. J Cell Biol. 2004;164(3):441-9.
31. Chen GY, Tang J, Zheng P, Liu Y. CD24 and Siglec-10 selectively repress tissue
damage-induced immune responses. Science. 2009;323(5922):1722-5.
32. Chiba S, Baghdadi M, Akiba H, Yoshiyama H, Kinoshita I, Dosaka-Akita H, et al.
Tumor-infiltrating DCs suppress nucleic acid-mediated innate immune responses
through interactions between the receptor TIM-3 and the alarmin HMGB1. Nat
Immunol. 2012;13(9):832-42.
33. Schiraldi M, Raucci A, Munoz LM, Livoti E, Celona B, Venereau E, et al. HMGB1
promotes recruitment of inflammatory cells to damaged tissues by forming a
complex with CXCL12 and signaling via CXCR4. J Exp Med. 2012;209(3):551-63.
34. WHO. Hepatitis B Keyfact. Updated July 18, 2019. [Accessed 2019, Aug 9. Available
rom:| URL|.
35. WHO. Hepatitis C Keyfact. Updated July 9, 2019 [Accessed 2019, Aug 10. Available
rom:| URL|.
36. Younossi ZM, Koenig AB, Abdelatif D, Fazel Y, Henry L, Wymer M. Global
epidemiology of nonalcoholic fatty liver disease-Meta-analytic assessment of
prevalence, incidence, and outcomes. Hepatology. 2016;64(1):73-84.
37. Cohen-Naftaly M, Friedman SL. Current status of novel antifibrotic therapies in
patients with chronic liver disease. Therap Adv Gastroenterol. 2011;4(6):391-417.
38. Hernandez-Gea V, Friedman SL. Pathogenesis of liver fibrosis. Annu Rev Pathol.
2011;6:425-56.
39. Zuiderweg ER, Bertelsen EB, Rousaki A, Mayer MP, Gestwicki JE, Ahmad A. Allostery
in the Hsp70 chaperone proteins. Top Curr Chem. 2013;328:99-153.
40. Kao YH, Jawan B, Goto S, Hung CT, Lin YC, Nakano T, et al. High-mobility group box 1
protein activates hepatic stellate cells in vitro. Transplant Proc. 2008;40(8):2704-
5.
41. Zhang Z, Lin C, Peng L, Ouyang Y, Cao Y, Wang J, et al. High mobility group box 1
activates Toll like receptor 4 signaling in hepatic stellate cells. Life Sci. 2012;91(5-
6):207-12.
42. Wang X, Sun R, Wei H, Tian Z. High-mobility group box 1 (HMGB1)-Toll-like receptor
(TLR)4-interleukin (IL)-23-IL-17A axis in drug-induced damage-associated lethal
hepatitis: Interaction of gammadelta T cells with macrophages. Hepatology.
2013;57(1):373-84.
43. Arzumanyan A, Reis HM, Feitelson MA. Pathogenic mechanisms in HBV- and HCV-
associated hepatocellular carcinoma. Nat Rev Cancer. 2013;13(2):123-35.
44. Liu HB, Fan XG, Huang JJ, Li N, Peng JP, Li SL, et al. [Serum level of HMGB1 in
patients with hepatitis B and its clinical significance]. Zhonghua Gan Zang Bing Za
Zhi. 2007;15(11):812-5.

100 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Targeting HMGB1: Strategy For Antifibrotic Therapy

45. Jung JH, Park JH, Jee MH, Keum SJ, Cho MS, Yoon SK, et al. Hepatitis C virus infection
is blocked by HMGB1 released from virus-infected cells. J Virol. 2011;85(18):9359-
68.
46. Cheng BQ, Jia CQ, Liu CT, Lu XF, Zhong N, Zhang ZL, et al. Serum high mobility
group box chromosomal protein 1 is associated with clinicopathologic features in
patients with hepatocellular carcinoma. Dig Liver Dis. 2008;40(6):446-52.
47. Wang LW, Chen H, Gong ZJ. High mobility group box-1 protein inhibits regulatory
T cell immune activity in liver failure in patients with chronic hepatitis B.
Hepatobiliary Pancreat Dis Int. 2010;9(5):499-507.
48. Day CP, James OF. Steatohepatitis: a tale of two “hits”? Gastroenterology.
1998;114(4):842-5.
49. Li L, Chen L, Hu L, Liu Y, Sun HY, Tang J, et al. Nuclear factor high-mobility group box1
mediating the activation of Toll-like receptor 4 signaling in hepatocytes in the early
stage of nonalcoholic fatty liver disease in mice. Hepatology. 2011;54(5):1620-30.
50. Antoine DJ, Williams DP, Kipar A, Laverty H, Park BK. Diet restriction inhibits
apoptosis and HMGB1 oxidation and promotes inflammatory cell recruitment
during acetaminophen hepatotoxicity. Mol Med. 2010;16(11-12):479-90.
51. Antoine DJ, Jenkins RE, Dear JW, Williams DP, McGill MR, Sharpe MR, et al.
Molecular forms of HMGB1 and keratin-18 as mechanistic biomarkers for mode of
cell death and prognosis during clinical acetaminophen hepatotoxicity. J Hepatol.
2012;56(5):1070-9.
52. Wang H, Li W, Goldstein R, Tracey KJ, Sama AE. HMGB1 as a potential therapeutic
target. Novartis Found Symp. 2007;280:73-85; discussion -91, 160-4.
53. Scaffidi P, Misteli T, Bianchi ME. Release of chromatin protein HMGB1 by necrotic
cells triggers inflammation. Nature. 2002;418(6894):191-5.
54. Yang R, Zhang S, Cotoia A, Oksala N, Zhu S, Tenhunen J. High mobility group
B1 impairs hepatocyte regeneration in acetaminophen hepatotoxicity. BMC
Gastroenterol. 2012;12:45.
55. Lynch J, Nolan S, Slattery C, Feighery R, Ryan MP, McMorrow T. High-mobility
group box protein 1: a novel mediator of inflammatory-induced renal epithelial-
mesenchymal transition. Am J Nephrol. 2010;32(6):590-602.
56. Entezari M, Weiss DJ, Sitapara R, Whittaker L, Wargo MJ, Li J, et al. Inhibition of
high-mobility group box 1 protein (HMGB1) enhances bacterial clearance and
protects against Pseudomonas Aeruginosa pneumonia in cystic fibrosis. Mol Med.
2012;18:477-85.
57. Wang FP, Li L, Li J, Wang JY, Wang LY, Jiang W. High mobility group box-1 promotes
the proliferation and migration of hepatic stellate cells via TLR4-dependent signal
pathways of PI3K/Akt and JNK. PLoS One. 2013;8(5):e64373.
58. Wang WK, Wang B, Lu QH, Zhang W, Qin WD, Liu XJ, et al. Inhibition of high-
mobility group box 1 improves myocardial fibrosis and dysfunction in diabetic
cardiomyopathy. Int J Cardiol. 2014;172(1):202-12.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 101


David Handojo Muljono

59. Ge WS, Wu JX, Fan JG, Wang YJ, Chen YW. Inhibition of high-mobility group
box 1 expression by siRNA in rat hepatic stellate cells. World J Gastroenterol.
2011;17(36):4090-8.
60. He M, Kubo H, Ishizawa K, Hegab AE, Yamamoto Y, Yamamoto H, et al. The role
of the receptor for advanced glycation end-products in lung fibrosis. Am J Physiol
Lung Cell Mol Physiol. 2007;293(6):L1427-36.
61. van Rossum TG, Vulto AG, Hop WC, Schalm SW. Glycyrrhizin-induced reduction
of ALT in European patients with chronic hepatitis C. Am J Gastroenterol.
2001;96(8):2432-7.
62. Li JY, Cao HY, Liu P, Cheng GH, Sun MY. Glycyrrhizic acid in the treatment of liver
diseases: literature review. Biomed Res Int. 2014;2014:872139.
63. Manns MP, Wedemeyer H, Singer A, Khomutjanskaja N, Dienes HP, Roskams T, et
al. Glycyrrhizin in patients who failed previous interferon alpha-based therapies:
biochemical and histological effects after 52 weeks. J Viral Hepat. 2012;19(8):537-
46.
64. Mollica L, De Marchis F, Spitaleri A, Dallacosta C, Pennacchini D, Zamai M, et al.
Glycyrrhizin binds to high-mobility group box 1 protein and inhibits its cytokine
activities. Chem Biol. 2007;14(4):431-41.
65. Shiki Y, Shirai K, Saito Y, Yoshida S, Mori Y, Wakashin M. Effect of glycyrrhizin on
lysis of hepatocyte membranes induced by anti-liver cell membrane antibody. J
Gastroenterol Hepatol. 1992;7(1):12-6.
66. Kawakami F, Shimoyama Y, Ohtsuki K. Characterization of complement C3 as a
glycyrrhizin (GL)-binding protein and the phosphorylation of C3alpha by CK-
2, which is potently inhibited by GL and glycyrrhetinic acid in vitro. J Biochem.
2003;133(2):231-7.
67. Ashfaq UA, Masoud MS, Nawaz Z, Riazuddin S. Glycyrrhizin as antiviral agent
against Hepatitis C Virus. J Transl Med. 2011;9:112.
68. Soufy H, Yassein S, Ahmed AR, Khodier MH, Kutkat MA, Nasr SM, et al. Antiviral
and immune stimulant activities of glycyrrhizin against duck hepatitis virus. Afr J
Tradit Complement Altern Med. 2012;9(3):389-95.
69. Michaelis M, Geiler J, Naczk P, Sithisarn P, Leutz A, Doerr HW, et al. Glycyrrhizin exerts
antioxidative effects in H5N1 influenza A virus-infected cells and inhibits virus
replication and pro-inflammatory gene expression. PLoS One. 2011;6(5):e19705.
70. Zhang YH, Isobe K, Iwamoto T, Nakashima I. Bidirectional control by glycyrrhizin
of the growth response of lymphocytes stimulated through a receptor-bypassed
pathway. Immunol Lett. 1992;32(2):147-52.
71. Abe M, Akbar F, Hasebe A, Horiike N, Onji M. Glycyrrhizin enhances interleukin-10
production by liver dendritic cells in mice with hepatitis. J Gastroenterol.
2003;38(10):962-7.

102 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Targeting HMGB1: Strategy For Antifibrotic Therapy

72. Dai JH, Iwatani Y, Ishida T, Terunuma H, Kasai H, Iwakula Y, et al. Glycyrrhizin
enhances interleukin-12 production in peritoneal macrophages. Immunology.
2001;103(2):235-43.
73. Kimura M, Watanabe H, Abo T. Selective activation of extrathymic T cells in the
liver by glycyrrhizin. Biotherapy. 1992;5(3):167-76.
74. Roohbakhsh A, Iranshahy M, Iranshahi M. Glycyrrhetinic Acid and Its Derivatives:
Anti-Cancer and Cancer Chemopreventive Properties, Mechanisms of Action and
Structure- Cytotoxic Activity Relationship. Curr Med Chem. 2016;23(5):498-517.
75. Farooqui A, Khan F, Khan I, Ansari IA. Glycyrrhizin induces reactive oxygen species-
dependent apoptosis and cell cycle arrest at G0/G1 in HPV18(+) human cervical
cancer HeLa cell line. Biomed Pharmacother. 2018;97:752-64.
76. Kuang P, Zhao W, Su W, Zhang Z, Zhang L, Liu J, et al. 18beta-glycyrrhetinic acid
inhibits hepatocellular carcinoma development by reversing hepatic stellate cell-
mediated immunosuppression in mice. Int J Cancer. 2013;132(8):1831-41.
77. Kimura M, Inoue H, Hirabayashi K, Natsume H, Ogihara M. Glycyrrhizin and some
analogues induce growth of primary cultured adult rat hepatocytes via epidermal
growth factor receptors. Eur J Pharmacol. 2001;431(2):151-61.
78. Asl MN, Hosseinzadeh H. Review of pharmacological effects of Glycyrrhiza sp. and
its bioactive compounds. Phytother Res. 2008;22(6):709-24.
79. Smolarczyk R, Cichon T, Matuszczak S, Mitrus I, Lesiak M, Kobusinska M, et al. The
role of Glycyrrhizin, an inhibitor of HMGB1 protein, in anticancer therapy. Arch
Immunol Ther Exp (Warsz). 2012;60(5):391-9.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 103


Peran Antikoagulan pada Sindrom Koroner Akut
Idrus Alwi
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kegawatdaruratan koroner
yang masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas baik di
negara maju maupun negara berkembang. Meskipun tatalaksana SKA terus
berkembang, baik dengan terapi medis maupun revaskularisasi yang optimal,
namun tetap terdapat risiko kejadian vaskular (cardiovascular event) yang
bermakna.1

Proses utama yang mendasari SKA adalah pembentukan trombus akibat


plak yang mengalami ruptur atau erosi yang menyebabkan berbagai tingkat
oklusi pembuluh akut dan iskemia miokard.2 Trombus yang diakibatkan oleh
ruptur plak mengandung lebih banyak platelet; selain itu, jalur koagulasi juga
dicetuskan oleh ruptur plak dan agregasi platelet.3

Terapi yang memodifikasi trombogenesis termasuk antikoagulan


merupakan landasan dalam tatalaksana SKA dan pencegahan kejadian iskemia
berulang. Manfaat klinis terapi antitrombotik harus mempertimbangkan
adanya peningkatan risiko perdarahan.

Patofisiologi Trombogenesis
Adanya kerusakan vaskular yang diakibatkan oleh ruptur plak akan
memicu jalur kaskade koagulasi yang dirancang untuk mempertahankan
integritas sirkulasi koroner dan hemostasis. Dalam kondisi normal, terdapat
kendali dalam pengaturan jalur tersebut, sehingga tercapai keseimbangan
yang tepat antara aliran koroner yang adekuat dengan perbaikan pembuluh
darah. Gangguan pada hemostasis sirkulasi koroner dapat menyebabkan
trombosis yang mengancam nyawa.

Sindrom koroner akut ditandai dengan inflamasi vaskular, disfungsi


endotel dan aktivasi platelet, yang diikuti dengan pembentukan trombus.4
Pada keadaan yang paling ekstrim, trombosis yang tidak terkontrol dapat

104 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Antikoagulan pada Sindrom Koroner Akut

menyebabkan oklusi vaskular total dan infark miokard dengan elevasi segmen
ST (STEMI, ST Elevation Myocardial infarction).5

Reperfusi mekanik dan kimiawi secara dini dengan intervensi koroner


perkutan (PCI, Percutaneous Coronary Intervention) dan penggunaan obat
antitrombotik merupakan dasar dalam pengobatan SKA dan telah terbukti
menurunkan frekuensi kejadian kardiovaskular, baik pada fase awal maupun
akhir.6-12 Peningkatan penggunaan PCI memerlukan terapi antitrombotik
yang adekuat untuk menurunkan risiko komplikasi terkait alat.

Penilaian pasien secara individual diperlukan untuk menyeimbangkan


antara upaya penghambatan kejadian trombosis dengan peningkatan risiko
perdarahan yang merupakan penanda prognosis yang tak diharapkan pada
pasien pasca PCI.7, 13

Mekanisme Pembentukan Trombus


Aktivasi jalur koagulasi berperan penting dalam pembentukan trombus.
Fibroblas dan sel otot halus mengekspresikan faktor protein membran
jaringan yang ada di dalam darah. Pada lokasi kerusakan vaskular, platelet
mengekspresikan isomerase disulfida, yang memecah faktor jaringan menjadi
bentuk aktifnya. Faktor jaringan yang diaktivasi dapat mengikat faktor VIIa
dan menghasilkan aktivasi kompleks dari faktor VII, IX, dan X. Faktor Xa dan V
bersama-sama berperan dalam pembentukan thrombin.

Keberadaan kompleks Xa-Va mengaktivasi konversi protrombin menjadi


trombin. Pembentukan fibrin dari fibrinogen dipicu secara dini pada kaskade
koagulasi yang menghasilkan pembentukan trombus (Gambar 1).14, 15

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 105


Xa dan V bersama-sama berperan dalam pembentukan thrombin.
Keberadaan kompleks Xa-Va mengaktivasi konversi protrombin menjadi trombin.
Pembentukan fibrin dari fibrinogen dipicu secara dini pada kaskade koagulasi yang
menghasilkan
Idrus Alwi pembentukan trombus (Gambar 1).14, 15

Gambar 1. Mekanisme Utama Trombogenesis15


Gambar 1. Mekanisme Utama Trombogenesis15

Terapi Antikoagulan
Terapi Antikoagulan
Kombinasi obat antikoagulan dengan antiplatelet lebih efektif dalam
Kombinasi obat antikoagulan dengan antiplatelet lebih efektif dalam menurunkan
menurunkan kejadian
kejadian trombosis berulangtrombosis
pada SKA berulang
tanpa elevasipada SKAST
segmen tanpa elevasi segmen
(NSTE-ACS, Non-ST ST
Elevation AcuteNon-ST
(NSTE-ACS, Coronary dibandingkan
Syndrome)Acute
Elevation Coronary dengan penggunaandibandingkan
Syndrome) antiplatelet saja. dengan
Hal
ini diakibatkan oleh inhibisi produksi dan aktivasi trombin.16
penggunaan antiplatelet saja. Hal ini diakibatkan oleh inhibisi produksi dan
aktivasi trombin.16

Heparin Tidak Terfraksi (Unfractionated Heparin)


Heparin tidak terfraksi (UFH, unfractionated heparin) adalah polisakarida
sulfat yang disekresi secara endogen. Komponen pentasakaridanya memiliki
afinitas tinggi terhadap antitrombin III (AT). Ikatan ini menyebabkan
terbukanya antithrombin III yang mamaparkan bagian aktifnya dengan lebih
efisien. Hasilnya adalah peningkatan kemampuan AT untuk mengaktivasi
trombin dan faktor Xa.17

Jendela terapeutik UFH yang sempit dan variabilitas farmakokinetik antar


pasien menyebabkan pemberian UFH membutuhkan pengawasan ketat. Efek
antikoagulan dapat dimonitor menggunakan activated clotting time (ACT) di

106 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Antikoagulan pada Sindrom Koroner Akut

laboratorium kateterisasi jantung ataupun activated partial prothrombin time


(aPTT) di tempat lain.

Efektivitas UFH pada SKA telah divalidasi dalam berbagai uji klinis
acak.9, 18-20 Semua uji klinis tersebut secara konsisten menunjukkan
penurunan bermakna dari frekuensi kejadian iskemia. Uji Fondaparinux with
Unfractionated Heparin During Revascularization in Acute Coronary Syndromes
(FUTURA/OASIS-8) membandingkan UFH dosis rendah (50 IU/kg) dengan
dosis standar (85 IU/kg) pada pasien NSTE-ACS dan menunjukkan bahwa
penyesuaian dosis tidak memiliki efek bermakna terhadap laju perdarahan
peri-PCI atau komplikasi pada tempat akses vaskular.21

Dosis UFH intravena bergantung pada berat badan, dengan rekomendasi


dari pedoman terkini ESC yaitu bolus awal 60-70 IU/kg hingga maksimal 5.000
IU, diikuti infusi 12-15 IU/kg/jam hingga maksimal 1.000 IU/jam.1 Selama
PCI, bolus UFH intravena dengan panduan ACT dapat digunakan, dengan
target 200-250 detik jika digunakan penghambat glikoprotein IIb/IIIa (GPIIb/
IIIa) dan 250-350 detik pada kasus-kasus lainnya. UFH dapat diberikan sesuai
berat badan yaitu 50 – 70 IU/kg jika dikombinasikan dengan inhibitor GPIIb/
IIIa atau 70 – 100 IU/kg (tanpa inhibitor GPIIb/IIIa).1 Pemberian setelah
revaskularisasi harus dihentikan jika tidak ada indikasi lain untuk UFH.

European Society of Cardiology (ESC) merekomendasikan penggunaan


antikoagulan parenteral tambahan baik sebelum maupun sesudah fibrinolisis
pada SKA dengan elevasi segmen ST (ST-ACS) yang diberikan antikoagulan
dan harus terus diberikan hingga revaskularisasi definitif dilaksanakan.22
Pasien yang ditangani secara medis harus diberikan antikoagulan selama
setidaknya 48 jam.

Penggunaan UFH pada pasien dengan PCI primer (PPCI, primary


percutaneous coronary intervention) belum dievaluasi dalam uji plasebo
terkontrol. Namun, pemberian tersebut telah direkomendasikan secara rutin
pada pasien yang tidak menerima bivalirudin atau enoxaparin. Bolus awal 70
– 100 IU/kg direkomendasikan jika tidak ada rencana pemberian penghambat
GPIIb/IIIa. Dosis 50 – 60 IU/kg harus diberikan ketika ada rencana pemberian
penghambat GPIIb/IIIa.22 Tidak ada bukti jelas yang mendukung pengawasan
ACT pada UFH dalam konteks PPCI dan oleh karena itu tidak boleh menunda
revaskularisasi.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 107


Idrus Alwi

Penggunaan UFH menyebabkan risiko perdarahan yang lebih tinggi


ketika dibandingkan dengan strategi antikoagulan lain. Meskipun demikian,
penggunaan UFH masih populer karena kombinasi efektivitas dan harga yang
murah, serta waktu paruh singkat dan reversibilitas yang mudah dengan
protamin.23

Heparin dengan Berat Molekular Rendah (LMWH, Low Molecular


Weight Heparin)
Heparin dengan berat molekular rendah (LMWH, low molecular weight
heparin) merupakan derivat heparin 2-10 Kda yang diabsorbsi baik secara
subkutan dan memiliki waktu paruh yang lebih lama dibandingkan dengan
UFH. Obat tersebut lebih jarang berikatan dengan protein plasma sehingga
farmakokinetik LMWH lebih dapat diprediksi dibandingkan dengan UFH
dan menurunkan kemungkinan efek samping seperti perdarahan dan
trombositopenia terkait heparin (HIT, heparin induced thrombocytopenia).24-26
Enoxaparin merupakan LMWH yang paling banyak dipelajari dan digunakan.
Dalam A to Z trial enoxaparin tidak menunjukkan inferioritas dibandingkan
dengan UFH pada pasien dengan NSTE-ACS yang diberikan aspirin dan
tirofiban.27 Enoxaparin terbukti tidak lebih inferior sehubungan dengan end-
point gabungan kematian dan infark miokard (IM) non-fatal 30 hari pada pasien
dengan NSTE-ACS risiko tinggi yang ditangani dengan strategi invasif dini
dalam uji Superior Yield of the New Strategy of Enoxaparin, Revascularization
and Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitors (SYNERGY).28 Terdapat peningkatan
bermakna dalam tingkat perdarahan mayor TIMI tercatat pada kelompok
enoxaparin dibandingkan dengan kelompok UFH. Namun dalam studi Acute
Myocardial Infarction Treated with Primary Angioplasty and Intravenous
Enoxaparin or Unfractionated Heparin to Lower Ischemic and Bleeding Events
at Short- and Long-term Follow-up (ATOLL), tingkat kematian, SKA berulang
dan revaskularisasi mendesak (urgent revascularization), berkurang secara
bermakna pada pasien yang diobati dengan enoxaparin (30% vs52%; p =
0.015), tanpa peningkatan angka perdarahan yang bermakna.29

Enoxaparin tidak terlalu disukai dalam meta-analisis dari percobaan


yang membandingkan end-point gabungan kematian dan IM 30 hari pada
pasien dengan SKA yang menerima enoxaparin atau UFH (10 % vs 11 %; OR
0.90; 95 % CI [0.810–0.996]; p=0.043).30 Pada 7 hari, tidak ada perbedaan
yang bermakna antara kelompok dalam tingkat perdarahan mayor dicatat
(6,3% dengan enoxaparin versus 5,4% dengan UFH; OR 1,13; 95% CI [0,84-
1,54]). Meta-analisis lain dari 23 percobaan yang melibatkan 30.966 pasien

108 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Antikoagulan pada Sindrom Koroner Akut

menunjukkan superioritas enoxaparin dalam pengurangan tingkat gabungan


kematian dan IM, komplikasi IM dan perdarahan bila dibandingkan dengan
UFH.23

Pada pasien STE-ACS, studi Assessment of the Safety and Efficacy of a New
Thrombolytic 3 (ASSENT 3) membandingkan pemberian enoxaparin empiris
dengan UFH pada 6.095 pasien yang menerima tenecteplase.31 Meskipun
tingkat perdarahan meningkat, manfaat klinis pemberian enoxaparin
lebih baik karena tingkat kejadian iskemik berulang di rumah sakit lebih
rendah bermakna pada pasien yang menerima enoxaparin maksimal 7 hari.
Penggunaan dosis enoxaparin yang sama di luar rumah sakit dalam studi
ASSENT-3 PLUS dikaitkan dengan peningkatan bermakna dalam tingkat
perdarahan intrakranial pada pasien usia lanjut.32

Dalam studi Enoxaparin and Thrombolysis Reperfusion for Acute


Myocardial Infarction Treatment-Thrombolysis in Myocardial Infarction Study
25 (ExTRACT-TIMI 25), enoxaparin dosis rendah (0,75 mg/kg dua kali sehari)
pada pasien berusia > 75 tahun dan mengalami kerusakan ginjal bermakna
menunjukkan tingkat IM dan kematian pada 30 hari yang lebih rendah
dibandingkan dengan UFH (bolus intravena 60 U/kg berat badan diikuti
dengan infus 12 U/kg/ jam). Meskipun tingkat perdarahan non-intrakranial
mengalami peningkatan bermakna dengan enoxaparin, manfaat enoxaparin
lebih disukai. 33, 34

Beberapa penelitian non-randomized juga menunjukkan manfaat yang


jelas enoxaparin dibandingkan dengan UFH pada PPCI.23, 35, 36 Dalam uji
coba ATOLL, enoxaparin (0,5 mg / kg IV diikuti dengan terapi subkutan)
dibandingkan dengan UFH.29 Tidak ada penurunan bermakna endpoint
gabungan primer kematian, IM, kegagalan prosedural dan perdarahan mayor
pada 30 hari, namun terdapat penurunan pada endpoint gabungan sekunder
kematian, IM berulang atau revaskularisasi segera, dan pada endpoint
gabungan sekunder lainnya seperti kematian, atau resusitasi henti jantung
dan kematian, atau komplikasi infark miokard. Tidak seperti penelitian
sebelumnya, penggunaan enoxaparin tidak dikaitkan dengan peningkatan
risiko perdarahan dibandingkan dengan penggunaan UFH pada PPCI.

Enoxaparin subkutan dengan dosis 1 mg/kg dua kali sehari adalah


antikoagulan yang paling sering digunakan pada NSTE-ACS, seperti yang
direkomendasikan oleh ESC jika fondaparinux tidak tersedia. Enoxaparin

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 109


Idrus Alwi

dikontraindikasikan pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) <15


ml/min/1,73 m2, tetapi dosisnya dapat dikurangi menjadi 1 mg/kg sekali
sehari untuk pasien dengan GFR 15-29 ml/min/1,73 m2. Dalam kasus tersebut,
disarankan untuk memantau aktivitas anti-Xa, yang juga harus dilakukan pada
pasien yang berat badannya melebihi 100 kg. Jika dosis enoxaparin terakhir
diberikan ≥8 jam sebelum PCI, bolus 0,3 mg/kg intravena lanjutan harus
diberikan pada saat PCI.37, 38 Tidak disarankan untuk mengubah antikoagulan
pada saat PCI.28

ESC merekomendasikan bahwa antikoagulasi dengan enoxaparin dapat


digunakan peri-prosedural dibandingkan dengan UFH pada pasien dengan
STE-ACS karena menjalani PPCI.22, 39-41

Fondaparinux
Fondaparinux merupakan penghambat selektif Xa dengan waktu paruh
17 jam yang diberikan secara subkutan sekali sehari pada pasien NSTE-
ACS. Fondaparinux mencegah pembentukan trombin dengan mengikat
antitrombin secara reversibel. Serupa dengan enoxaparin, fondaparinux
jarang mengikat protein plasma yang menghasilkan efek antikoagulan yang
lebih mudah diprediksi, dan tidak diperlukan pemantauan karena sepenuhnya
bioavailable. Meskipun tidak ada risiko HIT, fondaparinux diekskresi melalui
ginjal dan tidak direkomendasikan jika eGFR < 20 ml/mnt/1,73 m2.

Dalam studi dosis, pasien dengan ACS yang dirandomisasi menerima


enoxaparin atau berbagai dosis fondaparinux menunjukkan tidak ada
hubungan endpoint klinis dengan berbagai regimen dosis fondaparinux yang
berbeda yang mengarah pada pembentukan dosis terendah 2,5 mg.42

Dalam uji Arixtra Study in Percutaneous Coronary Intervention: a


Randomized Evaluation (ASPIRE), 350 pasien yang menjalani PCI secara acak
menerima fondaparinux (2,5 mg atau 5 mg) atau UFH.43 Tidak ada perbedaan
bermakna dalam tingkat perdarahan antara kedua kelompok (6,4% vs 7,7%;
p = 0.61), tetapi peristiwa perdarahan lebih rendah bermakna ketika dosis
fondaparinux yang lebih rendah (2,5 mg) digunakan.

Analisis terhadap 20.078 pasien menunjukkan fondaparinux tidak lebih


inferior dibandingkan dengan enoxaparin sehubungan dengan kejadian
iskemik dalam studi NSTE-ACS in the fifth Organization to Assess Strategies
in Acute Ischaemic Syndromes (OASIS-5).44 Penggunaan fondaparinux dalam

110 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Antikoagulan pada Sindrom Koroner Akut

uji coba ini menunjukkan penurunan dalam tingkat kematian 30 hari dan
6 bulan. Tingkat perdarahan mayor di rumah sakit kurang lebih setengah
dari kelompok enoxaparin. Tingkat kejadian perdarahan mayor dalam 9
hari pada pasien PCI lebih rendah bermakna pada kelompok yang diobati
dengan fondaparinux dibandingkan dengan enoxaparin.45 Hal ini independen
terhadap waktu intervensi berkaitan dengan dosis antikoagulan terakhir yang
diberikan. Trombosis terkait kateter lebih sering terjadi pada pasien yang
diobati dengan fondaparinux sehingga direkomendasikan untuk memberikan
bolus UFH pada saat PCI.

Temuan dari studi OASIS direplikasi dalam registri di Skandinavia


(real world evidence) yang menganalisis 40.616 pasien dan menunjukkan
penurunan tingkat perdarahan dan kematian di rumah sakit pada pasien
NSTE-ACS yang diobati dengan fondaparinux dibandingkan dengan LMWH.46

Penggunaan fondaparinux pada PCI primer berkaitan dengan potensi


bahaya pada studi OASIS 6 dan karenanya tidak direkomendasikan.22, 47
Dalam studi tersebut, terdapat penurunan bermakna tingkat IM berulang dan
kematian dengan pemberian fondaparinux dibandingkan dengan UFH atau
placebo pasien STEMI yang menerima streptokinase. 47, 48

Karena efektivitas dan profil keamanannya, ESC merekomendasikan


penggunaan fondaparinux subkutan dengan dosis 2,5 mg sekali sehari pada
pasien dengan NSTE-ACS terlepas dari strategi manajemen yang direncanakan
kecuali jika rencana angiografi koroner sudah dekat.1, 46 Pada pasien NSTE
-ACS yang diberikan fondaparinux, bolus UFH direkomendasikan pada saat
PCI untuk mengurangi risiko trombosis terkait kateter.21, 49

Obat Antikoagulan Baru


Antikoagulan baru untuk SKA sebagian besar menargetkan pencegahan
sekunder dibandingkan fase awal penyakit. Ini termasuk terapi anti-Xa
(apixaban, rivaroxaban, otamixaban) dan penghambat direk thrombin,
dabigatran.

Percobaan fase III dengan obat anti-Xa (apixaban dan rivaroxaban)


menunjukkan peningkatan terkait dosis dalam tingkat perdarahan ketika
ditambahkan ke terapi antiplatelet ganda standar. Ada kecenderungan
penurunan kejadian iskemia yang terlihat pada pasien yang diobati dengan
aspirin saja. Studi Apixaban for Prevention of Acute Ischemic Events 2

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 111


Idrus Alwi

(APPRAISE-2) dihentikan sebelum waktunya karena kejadian pendarahan


yang berlebihan dengan rejimen apixaban.50

Tingkat kematian kardiovaskular lebih rendah bermakna pada pasien


ACS yang menggunakan aspirin dan clopidogrel yang diberi rivaroxaban
dosis rendah dibandingkan dengan plasebo dalam studi Anti-Xa Therapy to
Lower Cardiovascular Events in Addition to Standard Therapy in Subjects with
Acute Coronary Syndrome–Thrombolysis in Myocardial Infarction 51 (ATLAS
ACS 2-TIMI 51 ).51 Hal tersebut menyebabkan rekomendasi penggunaan
rivaroxaban 2,5 mg dua kali sehari dapat dipertimbangkan dalam kombinasi
dengan aspirin dan clopidogrel jika ticagrelor dan prasugrel tidak tersedia
untuk pasien dengan NSTEMI yang memiliki risiko iskemia tinggi dan
perdarahan rendah.

Dabigatran diselidiki dalam studi dosis fase II (Randomized Dabigatran


Etexilate Dose Finding Study In Patients with Acute Coronary Syndromes Post
Index Event With Additional Risk Factors For Cardiovascular Complications
Also Receiving Aspirin And Clopidogrel [RE-DEEM]).52 Dabigatran, sebagai
tambahan terapi antiplatelet ganda, dikaitkan dengan peningkatan dosis
yang terkait dengan kejadian perdarahan dan secara bermakna mengurangi
aktivitas koagulasi pada pasien IM.

Uji coba fase III dari obat anti-Xa intravena, otamixaban, tidak mengurangi
tingkat kejadian iskemia, tetapi secara bermakna meningkatkan tingkat
perdarahan bila dibandingkan dengan UFH ditambah eptifibatid.53 Temuan
tersebut tidak mendukung penggunaan otamixaban untuk pasien NSTE-ACS
yang direncanakan menjalani PCI dini.

Rekomendasi Penggunaan Antikoagulan pada SKA


Rekomendasi ESC 2015 untuk antikoagulasi pada pasien yang dikelola
secara medis dengan NSTE-ACS:1
– Antikoagulasi parenteral direkomendasikan pada saat diagnosis sesuai
dengan risiko iskemik dan perdarahan (kelas I, level B).
– Fondaparinux (2,5 mg setiap hari) direkomendasikan memiliki profil
efikasi-keamanan yang paling menguntungkan terlepas dari strategi
manajemen (kelas I, level B).
– Enoxaparin (1 mg/kg secara subkutan dua kali sehari) atau UFH
direkomendasikan ketika fondaparinux tidak tersedia (kelas I, level B).

112 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Antikoagulan pada Sindrom Koroner Akut

– Crossover antara UFH dan LMWH tidak direkomendasikan (kelas III,


level B).
– Pada pasien dengan NSTEMI tanpa strok/TIA sebelumnya dan pada
risiko iskemik tinggi serta risiko pendarahan rendah menerima aspirin
dan clopidogrel, rivaroxaban dosis rendah (2,5 mg dua kali sehari selama
kurang lebih 1 tahun) dapat dipertimbangkan setelah penghentian
antikoagulasi parenteral (kelas IIb, level B).

Kesimpulan
– Terapi antikoagulan mepunyai peran penting dalam tatalaksana SKA.
– Penelitian menunjukkan fondaparinux bermanfaat dengan risiko
perdarahan yang lebih rendah dan merupakan antikoagulan pilihan pada
NSTE-ACS.
– Pendekatan yang berpusat pada pasien (individual) diperlukan dengan
mempertimbangkan risiko iskemia dan perdarahan.

Daftar Pustaka
1. Roffi M, Patrono C, Collet J-P, Mueller C, Valgimigli M, Andreotti F, et al. 2015 ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting
without persistent ST-segment elevation: Task Force for the Management of
Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting without Persistent ST-Segment
Elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2016;37(3):267-
315.
2. Fuster V, Badimon L, Badimon JJ, Chesebro JH. The pathogenesis of coronary artery
disease and the acute coronary syndromes. N Engl J Med. 1992;326(5):310-8.
3. De Caterina R, Goto S. Targeting thrombin long-term after an acute coronary
syndrome: opportunities and challenges. Vasc Pharmacol. 2016;81:1-14.
4. Arbustini E, Dal Bello B, Morbini P, Burke A, Bocciarelli M, Specchia G, et al.
Plaque erosion is a major substrate for coronary thrombosis in acute myocardial
infarction. Heart. 1999;82(3):269-72.
5. Davies MJ. The pathophysiology of acute coronary syndromes. Heart.
2000;83(3):361-6.
6. Cohen M, Demers C, Gurfinkel EP, Turpie AG, Fromell GJ, Goodman S, et al. A
comparison of low-molecular-weight heparin with unfractionated heparin for
unstable coronary artery disease. N Engl J Med. 1997;337(7):447-52.
7. Investigators CiUAtPRET. Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients
with acute coronary syndromes without ST-segment elevation. N Engl J Med.
2001;345(7):494-502.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 113


Idrus Alwi

8. Lewis Jr HD, Davis JW, Archibald DG, Steinke WE, Smitherman TC, Doherty III JE,
et al. Protective effects of aspirin against acute myocardial infarction and death in
men with unstable angina: results of a Veterans Administration Cooperative Study.
N Engl J Med. 1983;309(7):396-403.
9. Théroux P, Ouimet H, McCans J, Latour J-G, Joly P, Lévy G, et al. Aspirin, heparin, or
both to treat acute unstable angina. N Engl J Med. 1988;319(17):1105-11.
10. Cannon CP, Braunwald E. Time to reperfusion: the critical modulator in
thrombolysis and primary angioplasty. J Thromb Thrombolysis. 1996;3(2):117-25.
11. Cannon CP, Weintraub WS, Demopoulos LA, Vicari R, Frey MJ, Lakkis N, et al.
Comparison of early invasive and conservative strategies in patients with unstable
coronary syndromes treated with the glycoprotein IIb/IIIa inhibitor tirofiban. N
Engl J Med. 2001;344(25):1879-87.
12. Signs PRIiISMiPLbU, Investigators SS. Inhibition of the platelet glycoprotein IIb/IIIa
receptor with tirofiban in unstable angina and non–Q-wave myocardial infarction.
N Engl J Med. 1998;338(21):1488-97.
13. Ndrepepa G, Berger PB, Mehilli J, Seyfarth M, Neumann F-J, Schömig A, et al.
Periprocedural bleeding and 1-year outcome after percutaneous coronary
interventions: appropriateness of including bleeding as a component of a quadruple
end point. J Am Coll Cardiol. 2008;51(7):690-7.
14. Gailani D, Renné T. Intrinsic pathway of coagulation and arterial thrombosis.
Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2007;27(12):2507-13.
15. Pesarini G, Ariotti S, Ribichini F. Current antithrombotic therapy in patients with
acute coronary syndromes undergoing percutaneous coronary interventions.
Interv Cardiol Rev. 2014;9(2):94.
16. Eikelboom JW, Anand SS, Malmberg K, Weitz JI, Ginsberg JS, Yusuf S. Unfractionated
heparin and low-molecular-weight heparin in acute coronary syndrome without
ST elevation: a meta-analysis. Lancet. 2000;355(9219):1936-42.
17. Généreux P, Palmerini T, Caixeta A, Rosner G, Green P, Dressler O, et al.
Quantification and impact of untreated coronary artery disease after percutaneous
coronary intervention: the residual SYNTAX (Synergy Between PCI with Taxus and
Cardiac Surgery) score. J Am Coll Cardiol. 2012;59(24):2165-74.
18. Cohen M, Adams P, Parry G, Xiong J, Chamberlain D, Wieczorek I, et al. Combination
antithrombotic therapy in unstable rest angina and non-Q-wave infarction
in nonprior aspirin users. Primary end points analysis from the ATACS trial.
Antithrombotic Therapy in Acute Coronary Syndromes Research Group. Circulation.
1994;89(1):81-8.
19. Group R. Risk of myocardial infarction and death during treatment with low dose
aspirin and intravenous heparin in men with unstable coronary artery disease.
Lancet. 1990;336(8719):827-30.

114 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Antikoagulan pada Sindrom Koroner Akut

20. Theroux P, Waters D, Qiu S, McCans J, de Guise P, Juneau M. Aspirin versus heparin
to prevent myocardial infarction during the acute phase of unstable angina.
Circulation. 1993;88(5):2045-8.
21. Steg PG, Mehta S, Jolly S, Xavier D, Rupprecht H-J, Lopez-Sendon JL, et al.
Fondaparinux with UnfracTionated heparin dUring Revascularization in Acute
coronary syndromes (FUTURA/OASIS 8): A randomized trial of intravenous
unfractionated heparin during percutaneous coronary intervention in patients
with non–ST-segment elevation acute coronary syndromes initially treated with
fondaparinux. Am Heart J. 2010;160(6):1029-34. e1.
22. (ESC) TTFotmoS-seamiotESoC, Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Lundqvist CB,
et al. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation: The Task Force on the management of
ST-segment elevation acute myocardial infarction of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2012;33(20):2569-619.
23. Silvain J, Beygui F, Barthélémy O, Pollack C, Cohen M, Zeymer U, et al. Efficacy and
safety of enoxaparin versus unfractionated heparin during percutaneous coronary
intervention: systematic review and meta-analysis. Br Med J. 2012;344:e553.
24.
Garcia DA, Baglin TP, Weitz JI, Samama MM. Parenteral anticoagulants:
antithrombotic therapy and prevention of thrombosis: American College of Chest
Physicians evidence-based clinical practice guidelines. Chest. 2012;141(2):e24S-
e43S.
25. Warkentin TE, Levine MN, Hirsh J, Horsewood P, Roberts RS, Gent M, et al. Heparin-
induced thrombocytopenia in patients treated with low-molecular-weight heparin
or unfractionated heparin. N Engl J Med. 1995;332(20):1330-6.
26. Weitz JI. Low-molecular-weight heparins. N Engl J Med. 1997;337(10):688-99.
27. de Lemos JA, Blazing MA, Wiviott SD, Brady WE, White HD, Fox KA, et al. Enoxaparin
versus unfractionated heparin in patients treated with tirofiban, aspirin and an
early conservative initial management strategy: results from the A phase of the
A-to-Z trial. Eur Heart J. 2004;25(19):1688-94.
28. Ferguson JJ, Califf RM, Antman EM, Cohen M, Grines CL, Goodman S, et al. Enoxaparin
vs unfractionated heparin in high-risk patients with non-ST-segment elevation
acute coronary syndromes managed with an intended early invasive strategy:
primary results of the SYNERGY randomized trial. JAMA. 2004;292(1):45-54.
29. Montalescot G, Zeymer U, Silvain J, Boulanger B, Cohen M, Goldstein P, et al.
Intravenous enoxaparin or unfractionated heparin in primary percutaneous
coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction: the international
randomised open-label ATOLL trial. Lancet. 2011;378(9792):693-703.
30. Murphy SA, Gibson CM, Morrow DA, Van de Werf F, Menown IB, Goodman SG, et
al. Efficacy and safety of the low-molecular weight heparin enoxaparin compared
with unfractionated heparin across the acute coronary syndrome spectrum: a
meta-analysis. Eur Heart J. 2007;28(17):2077-86.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 115


Idrus Alwi

31. Thrombolytic AotSaEoaN, Investigators RA-. Efficacy and safety of tenecteplase in


combination with enoxaparin, abciximab, or unfractionated heparin: the ASSENT-3
randomised trial in acute myocardial infarction. Lancet. 2001;358(9282):605-13.
32. Wallentin L, Goldstein P, Armstrong P, Granger C, Adgey A, Arntz H, et al. Efficacy
and safety of tenecteplase in combination with the low-molecular-weight heparin
enoxaparin or unfractionated heparin in the prehospital setting: the Assessment
of the Safety and Efficacy of a New Thrombolytic Regimen (ASSENT)-3 PLUS
randomized trial in acute myocardial infarction. Circulation. 2003;108(2):135-42.
33. Giraldez RR, Nicolau JC, Corbalan R, Gurfinkel EP, Juarez U, Lopez-Sendon J, et al.
Enoxaparin is superior to unfractionated heparin in patients with ST elevation
myocardial infarction undergoing fibrinolysis regardless of the choice of lytic: an
ExTRACT-TIMI 25 analysis. Eur Heart J. 2007;28(13):1566-73.
34. White HD, Braunwald E, Murphy SA, Jacob AJ, Gotcheva N, Polonetsky L, et
al. Enoxaparin vs. unfractionated heparin with fibrinolysis for ST-elevation
myocardial infarction in elderly and younger patients: results from ExTRACT-TIMI
25. Eur Heart J. 2007;28(9):1066-71.
35. Montalescot G, Ellis SG, de Belder MA, Janssens L, Katz O, Pluta W, et al.
Enoxaparin in primary and facilitated percutaneous coronary intervention: a
formal prospective nonrandomized substudy of the FINESSE trial (Facilitated
INtervention with Enhanced Reperfusion Speed to Stop Events). JACC Cardiovasc
Interv. 2010;3(2):203-12.
36. Navarese EP, De Luca G, Castriota F, Kozinski M, Gurbel PA, Gibson C, et al.
Low‐molecular‐weight heparins vs. unfractionated heparin in the setting of
percutaneous coronary intervention for ST‐elevation myocardial infarction: a
meta‐analysis. J Thromb Haemost. 2011;9(10):1902-15.
37. Collet JP, Montalescot G, Lison L, Choussat R, Ankri A, Drobinski G, et al.
Percutaneous coronary intervention after subcutaneous enoxaparin pretreatment
in patients with unstable angina pectoris. Circulation. 2001;103(5):658-63.
38. Martin JL, Fry ET, Sanderink GJC, Atherley TH, Guimart CM, Chevalier PJ, et al.
Reliable anticoagulation with enoxaparin in patients undergoing percutaneous
coronary intervention: the pharmacokinetics of enoxaparin in PCI (PEPCI) study.
Catheter Cardiovasc Interv. 2004;61(2):163-70.
39. Wiviott SD, Braunwald E, McCabe CH, Montalescot G, Ruzyllo W, Gottlieb S, et al.
Prasugrel versus clopidogrel in patients with acute coronary syndromes. N Engl J
Med. 2007;357(20):2001-15.
40. Montalescot G, Wiviott SD, Braunwald E, Murphy SA, Gibson CM, McCabe CH, et
al. Prasugrel compared with clopidogrel in patients undergoing percutaneous
coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction (TRITON-TIMI 38):
double-blind, randomised controlled trial. Lancet. 2009;373(9665):723-31.

116 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Antikoagulan pada Sindrom Koroner Akut

41. Wallentin L, Becker RC, Budaj A, Cannon CP, Emanuelsson H, Held C, et al.
Ticagrelor versus clopidogrel in patients with acute coronary syndromes. N Engl J
Med. 2009;361(11):1045-57.
42. Simoons ML, Bobbink IW, Boland J, Gardien M, Klootwijk P, Lensing AW, et al. A
dose-finding study of fondaparinux in patients with non–ST-segment elevation
acute coronary syndromes: The Pentasaccharide in Unstable Angina (PENTUA)
study. J Am Coll Cardiol. 2004;43(12):2183-90.
43. Mehta SR, Steg PG, Granger CB, Bassand J-P, Faxon DP, Weitz JI, et al. Randomized,
blinded trial comparing fondaparinux with unfractionated heparin in patients
undergoing contemporary percutaneous coronary intervention: Arixtra Study in
Percutaneous Coronary Intervention: a Randomized Evaluation (ASPIRE) Pilot
Trial. Circulation. 2005;111(11):1390-7.
44. Yusuf S, Mehta S, Chrolavicius S, Afzal R, Pogue J, Granger C. Fifth Organization
to Assess Strategies in Acute Ischemic Syndromes Investigators. Comparison
of fondaparinux and enoxaparin in acute coronary syndromes. N Engl J Med.
2006;354(14):1464-76.
45. Jolly SS, Faxon DP, Fox KA, Afzal R, Boden WE, Widimsky P, et al. Efficacy and safety
of fondaparinux versus enoxaparin in patients with acute coronary syndromes
treated with glycoprotein IIb/IIIa inhibitors or thienopyridines: results from the
OASIS 5 (Fifth Organization to Assess Strategies in Ischemic Syndromes) trial. J Am
Coll Cardiol. 2009;54(5):468-76.
46. Szummer K, Oldgren J, Lindhagen L, Carrero JJ, Evans M, Spaak J, et al. ASsociation
between the use of fondaparinux vs low-molecular-weight heparin and clinical
outcomes in patients with non–st-segment elevation myocardial infarction. JAMA.
2015;313(7):707-16.
47. Yusuf S, Mehta SR, Chrolavicius S, Afzal R, Pogue J, Granger CB, et al. Effects
of fondaparinux on mortality and reinfarction in patients with acute ST-
segment elevation myocardial infarction: the OASIS-6 randomized trial. JAMA.
2006;295(13):1519-30.
48. Peters RJ, Joyner C, Bassand J-P, Afzal R, Chrolavicius S, Mehta SR, et al. The role of
fondaparinux as an adjunct to thrombolytic therapy in acute myocardial infarction:
a subgroup analysis of the OASIS-6 trial. Eur Heart J. 2008;29(3):324-31.
49. Lee KL, Woodlief LH, Topol EJ, Weaver WD, Betriu A, Col J, et al. Predictors of 30-
day mortality in the era of reperfusion for acute myocardial infarction: results from
an international trial of 41 021 patients. Circulation. 1995;91(6):1659-68.
50. Alexander JH, Lopes RD, James S, Kilaru R, He Y, Mohan P, et al. Apixaban with
antiplatelet therapy after acute coronary syndrome. N Engl J Med. 2011;365(8):699-
708.
51. Mega JL, Braunwald E, Wiviott SD, Bassand J-P, Bhatt DL, Bode C, et al. Rivaroxaban
in patients with a recent acute coronary syndrome. N Engl J Med. 2012;366(1):9-
19.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 117


Idrus Alwi

52. Oldgren J, Budaj A, Granger CB, Khder Y, Roberts J, Siegbahn A, et al. Dabigatran vs.
placebo in patients with acute coronary syndromes on dual antiplatelet therapy: a
randomized, double-blind, phase II trial. Eur Heart J. 2011;32(22):2781-9.
53. Steg PG, Mehta SR, Pollack CV, Bode C, Cohen M, French WJ, et al. Anticoagulation
with otamixaban and ischemic events in non–ST-segment elevation acute coronary
syndromes: the TAO randomized clinical trial. JAMA. 2013;310(11):1145-55.

118 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Kriteria Diagnostik Novel Malnutrisi
dan Tindak Lanjut Pasien:
Selain BMI (Body Mass Index)
Poernomo Boedi Setiawan
Divisi Gastroentero-hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Malnutrisi dalam segala bentuknya adalah kekurangan gizi (wasting,
stunting, under weight), vitamin atau meniral yang tidak mencukupi,
kelebihan berat badan, obesitas dan penyakit penyakit yang tidak menular
yang berhubugan dengan diet. WHO (2014) memperkirakan sekitar 462 juta
orang dewasa di seluruh dunia kekurangan berat badan, sementara 1,9 miliar
orang dewasa mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.

Dengan demikan status nutrisi pada pasien sakit baik rawat jalan maoun
rawat inap samngatlah penting. Pada setiap pasien evaluasi status nutrisi
(khususnya “under nutrition”) harus dilaksanakan, karena secara keseluruhan
akan berpengaruh pada perawatan pasien. Asesmen pasien haruslah secara
adekuat sehingga intervensi dapat dilaksanakan dengan tepat pula. Penting
untuk mengevaluasi etiologi malnutrsi tersebut, sehingga disamping dapat
dilakukan intervensi yang tepat pencegahan terjadinya “under nutrition”
ulangan.

Kondisi pasien dengan “under nutrition” telah terbukti berdampak pada:


- Biaya pengobatan yang lebih tinggi
- Kebutuhan obat-obatan yang lebih banyak
- Pengingkatan lama waktu perawatan di Rumah Sakit
- Meningkatkan risiko untuk rawat inap di Rumah Sakit

Cara dan kapan evaluasi (praktis klinis) status nutrisi pasien dilakukan
seharusnya dengan pedoman yang tepat, memperhatikan berbagai faktor,
kondisi atau diagnosis penyakitnya.

Pada saat ini evaluasi nutrisi pasien dengan cara “konvensional” yaitu
dengan “body mass index = BMI”, mungkin secara rutin dilakukan terhadap

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 119


Poernomo Boedi Setiawan

pasien tertentu, namun evaluasi tersebut ternyata dipengaruhi usia, kondisi


obesitas dsb, sehingga perlu dilakukan cara evaluasi lain yang lebih tepat dan
rasional.

Etiologi “Under Nutrition”


Beberapa penyebab “under nutrition” adalah sebagai berikut:
- Problem saluran cerna antara lain: problem mulut dan gigi, Kesulitan
menelan, Gejala dan kondisi saluran cerna, “anorexia” geriatri, perubahan
jumlah asupan protein.
- Kondisi penyakit dan nyeri yang tidak teratasi dapat menyebabkan
asupan yang menurun
- Kebiasaan makanan yang “tidak sehat“.
- Kebiasaan aktivitas fisik yang jelek
- Pengetahuan yang kurang tentang nutrisi sehat
- Problem ekonomi dan sosial lainnya
- Problem kultural
- Hidup pada suasana yang “lain”
- Dll

Memperhatikan berbagai etiologi di atas, maka pendekatan yang


menyeluruh harus dilakukan.

Dampak “Under Nutrion“ pada Perawatan Pasien


Luaran perawatan pasien tentunya sangat tergantung data morbiditas
dan mortaliatas pasien itu sendiri, namun demikian masih perlu dipethatikan
beberapa hal lain yaitu: risiko untuk masuk sumah sakit atau ulangan masuk
rumah sakit, peningkatan hari rawat inap, peningkatan kebutuhan obat-
obatan, dan peningkatan biaya perawatan. Studi Zhu M, Wei J, Chen W dkk
(2017), melaporkan pada studi dengan sampel 6638 pasien, prospektif,
multisenter, ternyata pasien dengan risiko nutrisi (“under nutrion”) pada
saat masuk rumah sakit mengalami hari perawatan yang lebih lama (14,02
+/- 6.42 vs 13,09 +/- 5,703 hari), insiden komplikasi yang lebih banyak (6,9
% vs 1,52 % ) dan biaya perawatan yang lebih tinggi (3,39 +/- 7,50 juta RMB
vs 3,0 +/- 3,38 juta RMB) bila dibanding pasien tanpa risiko nutrisi, dengan
perbedaan yang signifikan (pada 3 hal tsb diatas) p < 0.01.

120 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Kriteria Diagnostik Novel Malnutrisi dan Tindak Lanjut Pasien: Selain BMI (Body Mass Index)

Data nasional klaim (2014 – 2018) Jaminan Kesehatan Nasional pada


Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut dengan diagnosis utama dan sekunder
malnutris adalah Rp. 2,415 Triliun dan dengan diagnosis utama dan sekunder
defisiensi nutrisi adalah Rp. 224 Miliar.

Diagnosis “Under Nutrition” – Malnutrisi


Secara rutin pemeriksaan BMI (Body Mass Index) dilakukan pada
pasien, khususnya pada saat masuk rumah sakit atau pada kondisi tertentu.
Pemeriksaan BMI ternyata kurang rasional untuk menentukan status nuutrisi
poasien karena dipengaruhi bebetpa hal yaitu b tinggi badan, karena beberapa
asosiasi beriusaha membuat kriteria “baru“ atau diperbarui terus nmeneurus
untuk ketepatan dan kemudahan klinisi.

Kriteria Diagnosis “under nutrition“ – malnutrisi sangatlah banyak dan


bervariasi, sehingga perlu diperhatikan praktis klinis dan “kemudahan”
dalam keseharian. New Global Leadeship Initiative on Malnutrition Definition
(GLIM) – 2019 menetapkan 5 kriteria diagnosis untuk malnutrisi adalah 3
parameter fenotip (klinis) dan 2 kriteria etiologi.

Kriteria para meter fenotipe klinis3


a. Penurunan Berat Badan (5 % < 6 bulan; 10 % > 6 bulan)
b. BMI rendah: < 20 untuk usia < 70 tahun dan < 22 untuk usia >70 tahun
c. Penurunan massa otot: pemeriksaan obyektif/pemeriksaan fisik

Kriteria para meter etiologi2


a. Penurunan asupan nutrisi: <50 %> 1 minggu; penurunan berapapan > 2
minggu, kelainan gastro intestinal berdampak asupan
b. Penyakit akut; atau penyakit kronis dengan reasi inflamasi sistemik atau
kondisi sosio ekonomi dan kemunkinan “kelaparan” lingkungan

Diagnosis malnutrisi dapat dibuat bila didapatkan 1 kriteria fenotipe


klinis dan 1 kriteria etiologi.

GLIM menganjurkan pemeriksaan yang obyektif untuk pemeriksaan


fisik penurunan massa otot semisal dengan DEXA, BIA, MRI, CT atau USG,
namun terlalu mahal dan ketersediaan yang terbatas, karenanya dianjurkan
pemeriksaan yang lebih praktis semisal calibrated hand grip strength,
yang memounyai korelasi kuat dengan massa otot.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 121
Poernomo Boedi Setiawan

Skrining dan Re Sekrining


Skrining dan re skrining dianjurkan sbb:
Populasi Skrining Awal Re skrining rutin
Pasien rawat inap Dalam 24 jalam perawatan Seminggu sekali
Pasien rawat jalan perjumpaan awal Bila status nutrisi atau kondisi
klinis beubah
Penduduk dengan perawatan Pada saat awal atau dalam Sebulan sekali, atau bila ada
lama 14 hari pertama perubahan klinis nyata
Individu “home care” Pada saat awal visit Bila status nutrisi atau kondisi
perawat klinis beubah
Individu “community dwelling” Pada saat awal visit dokter Setidaknya setahun sekali,
sebagai bagian asesmen geriatri

Tindak Lanjut
Setelah penetuan status nutrisi dari pasien – orang, maka paling penting
adalah prinsip mencegah terjadinya pengurangan masa otot atau terjadinya
malnutrisi adalah lebih baik di banding memperbaiki status nutrisi pasien.

Terapi nutris medis dapat diberikan dengan mempertimbangan diagnosis


penyakit, kondisi penyakit, kompliasi peyakit dan prognosis penyakit. Untuk
itu diperlukan kerja sama multidisiplin yang tidak terbatas pada pasien rawat
inap saja, dan bersifat kontinyu terus menerus.

Daftar Pustaka
1. Cenderholm T et all (2019) , GLIM criteria for the diagnosis of malnutrition – a
concencus report from the global clinical nutrition community Clin Nutr 38 : 1 – 9
2019
2. WHO (2018), Malnutrion
3. Zhu M , Wei J, Chen W et all (2017) , Nutrition risk and nutritional status at admission
chinese hospitalized patients : A prospective , nationwide and muticenter study . J
Am Coll of Nutrition 36 ; 357 – 363

122 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Antifungal Therapy in Critically Ill Patients
When, How, What’s The Choice?
Erwin Astha Triyono
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Abstrak
Infeksi jamur invasif (Invasive fungal infections = IFI) mempunyai
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di unit perawatan intensif. Spesies
Candida adalah patogen jamur yang paling penting dan di antara penyebab
infeksi yang paling sering pada pasien yang sakit kritis. Studi telah mengevaluasi
korelasi antara timbulnya pengobatan antijamur dan kelangsungan hidup
tetapi diagnosis pasti IFI membutuhkan waktu lama dalam praktik klinis.
Profilaksis antijamur dan terapi preemptive atau empiris adalah beberapa
strategi terapi untuk mencegah atau mengobati infeksi jamur dini pada pasien
kritis.

Kata kunci: Infeksi Jamur Invasif, Candida spp., Terapi Antijamur, Sepsis
terkait Jamur

Pendahuluan
Infeksi jamur atau mikosis semakin dikenal sebagai penyebab morbiditas
dan mortalitas pada pasien yang rawat inap di rumah sakit terutama yang
imunokompromais. Infeksi jamur invasif (Invasive fungal infections = IFI)
adalah salah satu dari penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien
yang sakit kritis. Definisi umum IFI adalah adanya jamur di tempat tubuh yang
steril dengan tanda dan gejala infeksi. IFI juga merupakan salah satu infeksi
nosokomial yang paling umum. Spesies Candida adalah jamur paling umum
yang bertanggung jawab untuk IFI. Candida spp berada di peringkat keempat
penyebab paling umum dari infeksi aliran darah nosokomial dan patogen
terisolasi ketiga di unit perawatan intensif (ICU).

Manifestasi Klinis
Jenis IFI yang paling umum disebabkan oleh spesies Candida adalah
infeksi aliran darah dan kandidiasis intraabdominal. Kematian karena
spesies Candida tinggi di bangsal umum dan ICU, mulai dari 42% hingga
71%, tergantung pada karakteristik pasien dan kondisi klinis. Selain itu, IFI
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 123
Erwin Astha Triyono

menambah beban ekonomi yang besar, terutama karena rawat inap di ICU
berkepanjangan, mahalnya obat antijamur, dan penggunaan sumber daya
rumah sakit secara keseluruhan.

Beberapa faktor risiko infeksi Candida telah diidentifikasi, termasuk


terapi antibiotik spektrum luas, nutrisi parenteral total, operasi abdominal
mayor, kateter vena sentral, kolonisasi Candida di banyak tempat, dan
gangguan respons imunologis. Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut,
maka sistem penilaian klinis telah dikembangkan dan diimplementasikan
dalam praktik klinis (misalnya, skor Candida dan skor Ostrosky-Zeichner)
untuk mengenali pasien yang berisiko infeksi Candida.

Diagnosis
Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi jamur, yaitu: 1).
Pemeriksaan mikroskopik langsung. 2). Biakan. 3). DNA probe test, dan 4).
Pemeriksaan serologi. Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan
bahan dari pemeriksaan mikroskopik adalah: 1) sphrelus pada C. immitis dan
2) kapsul Cryptococcus neoformans dengan pengecetan India ink. Pemeriksaan
dengan DNA probe mampu mendiagnosis lebih cepat. Dapat menentukan
infeksi Cocciodiodes, Histoplasma, Blastomyces, dan Cryptococcus.
Kebanyakan diagnosis definitive ditegakkan memakai berbagai pemeriksaan
yang berbeda – beda dari satu dengan daerah lain pada daerah endemic.
Untuk menegakkan diagnosis definitive dapat dilakukan biopsy, dilanjutkan
pemeriksaan histopatologi, serta biakan. Pemeriksaan serologis terutama
digunakan untuk pemeriksaan histoplasmosis dan koksidioidomikosis.
ELISA terutama untuk menentukan antigen guna membantu menentukan
keterlibatan histoplasmosis pada pasien AIDS.

Obat antifungal yang efektif adalah amfoterisin B dan golongan azole


karena adanya ergosterol pada membrane sel jamur tetapi tidak terdapat
pada bakteri maupun membrane sel manusia. Antifungal lain, caspofungin
(Candidas), dapat menghambat sintesis beta glucan. Tetapi mutakhir anti
jamur meliputi terget ergosterol membrane sel jamur (polyenes, azoles,
allylamines), glucans pada dinding sel jamur (echinocandins), serta sintesis
DNA dan RNA jamur (flucytosine).

Korelasi antara kecepatan pemberian terapi antijamur dan mortalitas


telah banyak diselidiki. Sebagian besar penelitian telah menggambarkan
korelasi utama antara terapi antijamur awal yang adekuat dengan peningkatan

124 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Antifungal Therapy in Critically Ill Patients When, How, What’s The Choice?

kelangsungan hidup. Namun, diagnosis mikrobiologis definitif infeksi jamur


melalui metode berbasis kultur standar membutuhkan waktu, biasanya
lebih dari 2 - 3 hari. Meskipun menjadi standar emas, metode mikrobiologis
berbasis kultur memiliki sensitivitas suboptimal untuk identifikasi Candida,
kehilangan hampir 50% kasus. Oleh karena itu, terapi antijamur sering
diimplementasikan dalam praktik klinis untuk mencegah dan / atau mengobati
infeksi jamur secara dini.

Tata Laksana
Strategi antijamur yang paling umum dengan definisi masing-masing
meliputi:
1. Profilaksis, didefinisikan sebagai pemberian agen antijamur pada pasien
tanpa infeksi jamur yang diduga atau diduga infeksi, tetapi dengan faktor
risiko untuk pengembangannya;
2. Terapi empiris, didefinisikan sebagai pemberian antijamur untuk tanda
dan gejala infeksi pada pasien yang berisiko IFI;
3. Terapi preemptive, didefinisikan sebagai terapi yang dipilih berdasarkan
bukti jamur dari biomarker atau metode berbasis nonkultur, tanpa
identifikasi definitif melalui tes berbasis kultur standar (misalnya, 1-
3-beta-D-glukan, prokalsitonin, mannan dan antibodi antimannan, dan
reaksi berantai polimerase).

Strategi-strategi ini, didefinisikan secara global sebagai terapi antijamur


yang belum definitif, berbeda dari terapi definitif, yaitu terapi setelah terdapat
identifikasi mikroorganisme.

Pada tahun 2016, the infectious diseases society of America (IDSA)


menerbitkan pedoman praktik klinis terbaru untuk pengelolaan kandidiasis.
Profilaksis antijamur, dosis awal 800 mg flukonazol, diikuti oleh 400 mg
flukonazol setiap hari dapat digunakan pada pasien dewasa birisiko tinggi
di ICU dengan tingkat tinggi kandidiasis invasif (> 5%; rekomendasi buruk;
bukti kualitas sedang) . Dinyatakan bahwa terapi antijamur empiris harus
dipertimbangkan pada pasien sakit kritis dengan faktor risiko kandidiasis
invasif dan tidak ada penyebab demam yang diketahui; pengobatan harus
didasarkan pada penilaian klinis faktor-faktor risiko, penanda pengganti, dan
/ atau data kultur dari tempat-tempat yang tidak steril (rekomendasi kuat;
bukti kualitas sedang).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 125


Erwin Astha Triyono

Juga disarankan bahwa terapi antijamur empiris harus segera dimulai


pada pasien dengan faktor risiko dan tanda-tanda syok septik (rekomendasi
kuat; bukti kualitas sedang). Obat yang disarankan untuk tujuan ini termasuk
echinocandin (caspofungin dengan dosis permulaan 70 mg, diikuti oleh 50
mg setiap hari), micafungin (100 mg setiap hari), dan anidulafungin (dosis
permulaan 200 mg, diikuti oleh 100 mg setiap hari). Durasi terapi empiris
yang direkomendasikan adalah 2 minggu pada pasien dengan perbaikan,
sedangkan untuk mereka yang tidak memiliki respon klinis pada 4-5 hari
atau uji diagnostik berbasis nonkultur negatif (nilai prediksi negatif yang
tinggi), penggunaan antijamur harus dihentikan (rekomendasi kuat ; bukti
berkualitas rendah).

Untuk pengobatan kandidiasis intraabdomen, IDSA menyatakan bahwa


terapi antijamur empiris harus dipertimbangkan pada pasien dengan bukti
klinis infeksi intraabdomen dan faktor risiko signifikan untuk kandidiasis,
termasuk operasi abdomen baru-baru ini, kebocoran anastomosis,
dan pankreatitis nekrotik dalam hubungannya dengan kontrol sumber
(rekomendasi kuat) ; bukti berkualitas sedang).

Ketika menafsirkan rekomendasi ini, perlu dicatat bahwa pedoman


IDSA belum mempertimbangkan bukti dari RCT baru-baru ini oleh Knitsch
et al. tentang efek pengobatan antijamur dengan micafungin (100 mg setiap
hari) pada 241 pasien yang menjalani operasi perut darurat untuk infeksi
intraabdominal umum atau lokal; tidak ada perbedaan yang ditemukan dalam
hal insiden kandidiasis invasif atau mortalitas, dibandingkan dengan plasebo.
Demikian pula, ulasan sistematis Cochrane terbaru dan studi oleh Timsit et
al. pada pengobatan empiris pasien septik dengan kolonisasi Candida belum
dimasukkan.

Meluasnya penggunaan obat antijamur sebelum diagnosis pasti IFI harus


mempertimbangkan 2 faktor:
1. biaya keseluruhan pengobatan antijamur, dan
2. meningkatnya tingkat resistensi terhadap antijamur.

Mengenai faktor yang terakhir, perlu dicatat bahwa peningkatan


resistensi tidak terbatas hanya pada antijamur yang lebih tua, tetapi bahkan
echinocandins memiliki tingkat resistensi yang meningkat, yang berkorelasi
dengan penggunaan molekul. Selain itu, peningkatan tingkat resistensi
terhadap echinocandin terutama berlaku untuk Candida glabrata dengan

126 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Antifungal Therapy in Critically Ill Patients When, How, What’s The Choice?

mutasi dan wabah genetik spesifik, seperti yang dijelaskan dalam literatur.
Akhirnya, infeksi karena spesies Candida yang resisten dikaitkan dengan hasil
yang buruk.

Kesimpulan
Menurut bukti yang tersedia dari RCT, pemberian terapi antijamur
sebelum diagnosis pasti IFI dapat menyebabkan penurunan insiden IFI, tanpa
keuntungan kelangsungan hidup pada pasien sakit kritis non-neutropenic.
Perlu mengevaluasi risiko per kasus dan manfaat dari pengobatan antijamur
setelah mempertimbangkan waktu perawatan, faktor risiko, epidemiologi
mikrobiologis lokal, biaya, biomarker yang tersedia, dan tes mikrobiologis
diagnostik di lembaga mereka. Penelitian di masa depan harus mengevaluasi
efektivitas dan penerapan strategi gabungan menggunakan beberapa metode
untuk memilih pasien dengan benar, yang mungkin mendapat manfaat dari
terapi antijamur yang tepat waktu dan memadai bagi pasien yang belum
definitif.

Daftar Pustaka
1. Alexander BD, Johnson MD, Pfeiffer CD, Jimenez-Ortigosa C, Catania J, Booker
R, et al. Increasing echinocandin resistance in Candida glabrata: clinical failure
correlates with presence of FKS mutations and elevated minimum inhibitory
concentrations. Clin Infect Dis. 2013;56(12):1724–32. doi: 10.1093/cid/cit136.
[PubMed: 23487382].
2. Arendrup MC, Perlin DS. Echinocandin resistance: an emerging clinical problem?.
Curr Opin Infect Dis. 2014;27(6):484–92. doi: 10.1097/QCO.0000000000000111.
[PubMed: 25304391].
3. Azoulay E, Dupont H, Tabah A, Lortholary O, Stahl JP, Francais A, et al. Systemic
antifungal therapy in critically ill patients with- out invasive fungal infection*. Crit
Care Med. 2012;40(3):813–22. doi: 10.1097/CCM.0b013e318236f297. [PubMed:
22297630].
4. Bassetti M, Garnacho Montero J, Calandra T, Kullberg B, Dimopoulos G, Azoulay
E, et al. Intensive care medicine research agenda on invasive fungal infection in
critically ill patients. Intensive Care Med. 2017;43(9):1225–38. doi: 10.1007/
s00134-017-4731-2. [PubMed: 28255613].
5. Clancy CJ, Nguyen MH. Finding the “missing 50%” of invasive candidiasis: how
nonculture diagnostics will improve understanding of disease spectrum and
transform patient care. Clin Infect Dis. 2013;56(9):1284–92. doi: 10.1093/cid/
cit006. [PubMed: 23315320].
6. Cornely OA, Bassetti M, Calandra T, Garbino J, Kullberg BJ, Lorthol- ary O, et al.
ESCMID* guideline for the diagnosis and management of Candida diseases 2012:

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 127


Erwin Astha Triyono

non-neutropenic adult patients. Clin Micro- biol Infect. 2012;18 Suppl 7:19–37.
doi: 10.1111/1469-0691.12039. [PubMed: 23137135].
7. Cortegiani A, Russotto V, Montalto F, Foresta G, Accurso G, Palmeri C, et al.
Procalcitonin as a marker of Candida species detection by blood culture and
polymerase chain reaction in septic patients. BMC Anesthesiol. 2014;14:9. doi:
10.1186/1471-2253-14-9. [PubMed: 24559080].
8. Cortegiani A, Russotto V, Raineri SM, Gregoretti C, De rosa FG, Giarratano A.
Untargeted Antifungal Treatment Strategies for Invasive Candidiasis in Non-
neutropenic Critically Ill Patients: Current Evidence and Insights. Curr fungal infect
rep. 2017;11(3):84–91. doi: 10.1007/s12281-017-0288-3.
9. Cortegiani A, Russotto V, Raineri SM, Gregoretti G, Giarratano A. Should we continue
to use prediction tools to identify patients at risk of Candida spp. infection? If yes,
why?. Crit Care. 2016;20(1):351. doi: 10.1186/s13054-016-1521-0. [PubMed:
27794360].
10. De Rosa FG, Corcione S, Filippini C, Raviolo S, Fossati L, Montrucchio C, et al. The
Effect on mortality of fluconazole or echinocandins treatment in candidemia in
internal medicine wards, (corrected). PLoS One. 2015;10(5):125149. doi: 10.1371/
journal.pone.0125149. [PubMed: 25938486].
11. De Rosa FG, Corcione S, Montrucchio G, Brazzi L, Di Perri G. Appropriate treatment
of invasive candidiasis in ICU, timing, colonization index, candida score and
biomarkers, towards de escalation?. Turk J Anaesthesiol Reanim. 2016;44(6):279–
82. doi: 10.5152/TJAR.2016.0011. [PubMed: 28058136]. Fernandez J, Erstad BL,
Petty W, Nix DE. Time to positive culture and identification for Candida blood
stream infections. Diagn Microbiol Infect Dis. 2009;64(4):402–7. doi: 10.1016/j.
diagmicrobio.2009.04.002. [PubMed: 19446982].
12. Kett DH, Azoulay E, Echeverria PM, Vincent JL, Extended Prevalence of Infection
in IGOI. Candida bloodstream infections in intensive care units: analysis of the
extended prevalence of infection in intensive care unit study. Crit Care Med.
2011;39(4):665–70. doi: 10.1097/CCM.0b013e318206c1ca. [PubMed: 21169817].
13. Kollef M, Micek S, Hampton N, Doherty JA, Kumar A. Septic shock attributed to
Candida infection: importance of empiric therapy and source control. Clin Infect
Dis. 2012;54(12):1739–46. doi: 10.1093/cid/cis305. [PubMed: 22423135].
14. Leroy O, Bailly S, Gangneux JP, Mira JP, Devos P, Dupont H, et al. Systemic antifungal
therapy for proven or suspected invasive candidiasis: the AmarCAND 2 study.
Ann Intensive Care. 2016;6(1):2. doi: 10.1186/s13613-015-0103-7. [PubMed:
26743881].
15. Morrell M, Fraser VJ, Kollef MH. Delaying the empiric treatment of candida
bloodstream infection until positive blood culture results are obtained: a potential
risk factor for hospital mortality. Antimi- crob Agents Chemother. 2005;49(9):3640–
5. doi: 10.1128/AAC.49.9.3640- 3645.2005. [PubMed: 16127033].

128 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Antifungal Therapy in Critically Ill Patients When, How, What’s The Choice?

16. Ortegiani A, Russotto V, Raineri SM, Gregoretti C, Giarratano A. Should we


administer antifungal drugs before the diagnosis of invasive fungal infection in non
neutropenic critically ill patients?. Turk J Anaesthesiol Reanim. 2016;44(6):276–8.
doi: 10.5152/TJAR.2016.0010. [PubMed: 28058135].
17. Pappas PG, Kauffman CA, Andes DR, Clancy CJ, Marr KA, Ostrosky Zeichner L, et
al. Clinical practice guideline for the management of candidiasis, 2016 update by
the infectious diseases society of America. Clin Infect Dis. 2016;62(4):1–50. doi:
10.1093/cid/civ933. [PubMed: 26679628].
18. Puig-Asensio M, Peman J, Zaragoza R, Garnacho-Montero J, Martin- Mazuelos
E, Cuenca-Estrella M, et al. Impact of therapeutic strate- gies on the prognosis
of candidemia in the ICU. Crit Care Med. 2014;42(6):1423–32. doi: 10.1097/
CCM.0000000000000221. [PubMed: 24557426].
19. Russotto V, Cortegiani A, Graziano G, Saporito L, Raineri SM, Mammina C, et al.
Bloodstream infections in intensive care unit patients: distribution and antibiotic
resistance of bacteria. Infect Drug Resist. 2015;8:287–96. doi: 10.2147/IDR.
S48810. [PubMed: 26300651].
20. Vincent JL, Rello J, Marshall J, Silva E, Anzueto A, Martin CD, et al. International
study of the prevalence and outcomes of infection in intensive care units. JAMA.
2009;302(21):2323–9. doi: 10.1001/jama.2009.1754. [PubMed: 19952319].

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 129


Profilaksis Tromboemboli Vena
Penyebab Mortalitas
Pasien-Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit
yang Bisa Dihindari
Wulyo Rajabto
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Tromboemboli Vena (Venous thromboembolism/VTE) terdiri dari
trombosis vena dalam (TVD) dan emboli paru (EP), adalah penyebab
penyakit kardiovaskular tersering ketiga setelah stroke dan myocardial
infarction (MCI). VTE merupakan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa
dan merupakan masalah mayor kesehatan masyarakat. Insiden VTE pada
populasi umum adalah sekitar 1 kasus per 1000 penduduk per tahun.1 Dari
seluruh penyakit medis akut yang memerlukan perawatan di rumah sakit,
sekitar 10%-20% akan mengalami VTE. Data autopsi menegaskan bahwa
lebih dari 10% kematian pasien-pasien dengan penyakit medis akut yang
memerlukan perawatan di rumah sakit penyebabnya adalah emboli paru.2
Estimasi angka perawatan penyakit medis akut di US dan Eropa adalah 8
juta dan 12 juta dalam setahun.3 Pasien-pasien penyakit medik akut yang
memerlukan perawatan memiliki risiko mengalami VTE sehingga klinisi
memerlukan stratifikasi untuk menilai manfaat tromboprofilaksis terhadap
VTE terhadap risiko perdarahan kepada semua pasien-pasien penyakit medik
akut yang dirawat di rumah sakit.4

Epidemiologi
Insiden VTE pada pasien rawat inap diestimasikan 100 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.5 VTE berhubungan dengan mortalitas dan
morbiditas yang signifikan. Hampir sepertiga pasien yang didiagnosis EP akan
meninggal dalam 3 bulan setelah presentasi.6 EP adalah penyebab mayor
terjadinya henti jantung.7,8

Patogenesis
Patogenesis VTE secara luas diketahui akibat adanya interaksi dari Trias
Virchow: hiperkoagulabilitas, stasis vena, dan kerusakan endotel. Mayoritas

130 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Profilaksis Tromboemboli Vena Penyebab Mortalitas Pasien-Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit yang Bisa Dihindari

DVT berasal dari vena distal pada tungkai bawah.9,10 Faktor jaringan (Tissue
Factor, TF) memiliki peranan penting pada hiperkoagulabilitas yang berperan
dalam inisiasi pembentukan klot vena. Endotel yang terluka tentunya
menyebabkan ekspor TF pada membran subendotel, namun, studi patologi
trombosis vena belum mengidentifikasi adanya luka pada pembuluh darah
di area terbentuknya klot.11 Peranan utama endotel dalam trombosis lebih
terkait dengan perubahan ekspresi protein antikoagulan dan rekrutmen dan
aktivasi trombosit dan leukosit.10,12 Neutrofil dan monosit dibawa ke tempat
pembentukan trombus oleh sel endotel, dimana mereka akan menyebabkan
trombosis dengan mengeluarkan TF dan perangkap neutrofil ekstraseluler
yang akan menjadi fondasi dalam inisiasi pembentukan klot.12

Jika VTE terbentuk di vena distal, VTE dapat mengalami progresi melalui
2 jalur yaitu resolusi atau ekstensi. Resolusi pada DVT distal asimptomatik
terjadi pada setengah pasien tanpa diberikan tromboprofilaksis.9 Ekstensi ke
vena tungkai bawah proksimal dapat muncul pada 25% pasien dengan DVT
distal yang tidak diterapi, dan hampir semua pasien yang menunjukkan DVT
proksimal simptomatis juga memiliki bukti adanya trombosis di distal.9 Sekitar
setengah pasien dengan DVT proksimal simptomatik memiliki bukti adanya
EP pada pemeriksaan pencitraan meskipun tidak ada gejala pulmonal. Oleh
karena itu, pasien yang didiagnosis dengan EP seringkali juga memilki DVT
di saat bersamaan.9 Data-data ini menunjukkan perlunya tromboprofilaksis
yang adekuat selama penyakit akut untuk mencegah ekstensi dari DVT distal
asimptomatik ke vena tungkai bawah profilaksis dan arteri pulmonal.

Faktor Risiko
Risiko terjadinya VTE adalah multifaktorial, terdiri dari faktor risiko
yang diwariskan dan didapat. Faktor risiko tunggal yang paling penting dan
tidak dapat di modifikasi untuk terjadinya VTE adalah meningkatnya usia.
VTE jarang terjadi sampai usia 45 tahun. Risiko VTE meningkat lebih dari
20 kali lipat pada usia 45 sampai 85 tahun.13 Faktor risiko penting lainnya
yang dapat dimodifikasi adalah obesitas. Pasien dengan indeks massa tubuh
(IMT) > 30kg/m2 memiliki risiko 2 sampai 3 kali lebih tinggi untuk terjadi
VTE dibandingkan pasien dengan berat badan normal.14,15 Diantara semua
pasien yang dirawat inap, pasien medik dan bedah memiliki risiko yang
sama terjadinya VTE, namun, prosedur operasi seperti operasi ortopedi,
bedah saraf, dan operasi pelvis memiliki insiden VTE tinggi. (3) Keganasan
juga merupakan faktor risiko signifikan untuk VTE baik yang diakibatkan
oleh tumor itu sendiri ataupun pengobatan kanker.16 Pasien kanker dengan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 131


Wulyo Rajabto

VTE memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandinkan yang tidak memiliki
VTE.16,17 Faktor risiko VTE lainnya adalah imobilisasi lama, perjalanan lebih
dari 4 jam, kehamilan, dan pemakaian kotrasepsi oral.18 Model penilaian
risiko (Risk Assessment Model atau RAM) tersedia untuk membantu dalam
memprediksi risiko VTE pada pasien yang dirawat inap.19, 20

Stratifikasi Risiko VTE


Selama dekade terakhir, ada 2 model penilaian risiko VTE (VTE risk
assessment model) yang telah dipelajari secara ekstensif untuk menilai
stratifikasi risiko pasien-pasien penyakit medik akut yang memerlukan
perawatan, yaitu: skor PADUA (Tabel 1)21,22 dan skor IMPROVE (Tabel 2)23,24;
bahkan peneliti-peneliti skor IMPROVE juga sudah mengembangkan panduan
untuk menilai risiko perdarahan (Tabel 3)25 apabila klinisi memberikan
tromboprofilaksis antikoagulan.

Apabila pasien memiliki skor PADUA atau skor IMPROVE risiko tinggi
VTE dan memiliki skor risiko perdarahan rendah, maka pasien diberikan
profilaksis untuk VTE. Terdapat dua jenis profilaksis VTE, yaitu profilaksis
farmakologik (Tabel 4) dan profilaksis mekanik (non-farmakologik) (Tabel
5).

A. PADUA score VTE RAM


Tabel 1. Model Penilaian Risiko VTE Modifikasi PADUA 21,22
Faktor risiko Nilai
Penyakit kritis 4
Inflammatory bowel disease 4
Kanker aktif (metastasis/menjalani kemoterapi/radioterapi yang sudah berjalan 3
selama 6 bulan)
Riwayat tomboemboli vena 3
Imobilisasi ≥ 3 hari 3
Kondisi trombofilia: defisiensi AT, PC atau PS, FV Leiden, mutasi protrombin 3
G20210A, sindrom antifosfolipid
Trauma atau tindakan operasi < 1 bulan 2
Usia ≥ 70 tahun 1
Gagal napas atau infark miokard akut 1
Stroke iskemik atau infark miokard akut 1
Infeksi akut atau kelainan reumatologi 1
Obesitas (IMT ≥ 30kg/m2) 1
Dalam terapi hormonal 1
Keterangan: IMT = indeks massa tubuh; AT = antitrombin; PC = Protein C; PS = protein S; FV Leiden =
faktor V Leiden

132 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Profilaksis Tromboemboli Vena Penyebab Mortalitas Pasien-Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit yang Bisa Dihindari

Rekomendasi Profilaksis VTE berdasarkan Skor Risiko Modifikasi PADUA


Nilai Risiko Rekomendasi
<4 Risiko VTE rendah Tidak perlu diberikan profilaksis VTE
≥4 Risiko VTE tinggi dan risiko perdarahan rendah Profilaksis farmakologi
Risiko VTE tinggi dan risiko perdarahan tinggi Profilaksis mekanik

B. IMPROVE VTE RAM 23,24


Tabel 2. Model Penilaian Risiko IMPROVE
Faktor risiko Nilai
Riwayat VTE 3
Trombofilia 2
Paralisis tungkai bawah 2
Kanker aktif 2
Imobilisasi ≥ 7 hari 1
Rawat di ICU/CCU 1
Umur > 60 tahun 1
Keterangan: ICU = intensive care unit; CCU = cardiac care unit;
Interpretasi nilai: nilai 1-0 = risiko VTE rendah; nilai 2-3 = risiko VTE menengah; nilai ≥4 = risiko VTE
tinggi

Berdasarkan risiko IMPROVE, tromboprofilaksis diberikan pada


skor VTE tinggi (≥4), sedangkan pada risiko VTE menengah diberikan
berdasarkan pertimbangan klinis dokter yang merawat.

C. IMPROVE bleeding RAM:25


Tabel 3. Skor Risiko Perdarahan IMPROVE
Faktor risiko Nilai
Ulkus gastro-duodenal aktif 4,5
Hitung trombosit <50.000/mm 3
4
Perdarahan 3 minggu sebelum masuk rumah sakit 4
Umur ≥ 85 tahun atau < 40 tahun 3,5
ICU/CCU 2,5
Gagal ginjal berat dengan GFR<30 mL/menit 2,5
Gagal hati (INR>1,5) 2,5
Kanker 2
Penyakit rematik 2
Kateter vena sentral 2
Umur 40-84 tahun 1,5

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 133


Wulyo Rajabto

Faktor risiko Nilai


Gagal ginjal moderate, GFR 30-59 mL/menit 1
Jenis kelamin laki-laki 1
Keterangan: GFR = glomerular filtration rate; ICU/CCU = intensive care unit/cardiac care unit; INR =
international normalized ratio;
Interpretasi nilai: total nilai ≥7 = risiko perdarahan tinggi; total nilai <7 = risiko perdarahan rendah

Profilaksis VTE
DVT dan EP merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi pada
pasien medik akut yang mengalami perawatan di rumah sakit. Profilaksis
VTE terdiri atas profilaksis farmakologik dan mekanik. Ada tiga studI
randomized controlled trial (RCT) yang mengikutsertakan pasien di ruang
rawat intensif, didapatkan insiden DVT secara signifikan lebih rendah pada
kelompok pasien yang mendpaatkan tromboprofilaksis tanpa memandang
jenis tromboprofilaksis yang diberikan.26,27,28

Protokol dari guideline the American College of Chest Physicians (ACCP)


merekomendasikan: 1) evaluasi rutin risiko VTE dan tromboprofilaksis
direkomendasikan untuk pasien-pasien dengan penyakit medik akut yang
dirawat di rumah sakit (grade 1A). 2) Tromboprofilaksis Low molecular
weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH) sebaiknya
diberikan pada pasien dengan risiko moderate untuk terjadinya VTE (seperti
pada pasien penyakit medis atau pasien post operasi umum); (grade 1A). 3)
tromboprofilaksis mekanik dipertimbangkan terbaik untuk pasien kritis yang
memiliki risiko terjadinya perdarahan lebih tinggi, dan setidaknya sampai
risiko perdarahan menurun (grade 1A). ketika risiko tinggi perdarahan
menurun, tromboprofilaksis farmakologik sebaiknya ditambahkan atau
disubstitusi pada tromboprofilaksis mekanik (grade 1C).29
a. Profilaksis Farmakologik
Profilaksis farmakologik dengan heparin direkomendasikan bagi pasien
pada saat mulai dirawat di ruang rawat intensif. Heparin sebaiknya
diberhentikan sementara pada pasien dengan perdarahan aktif atau
trombositopenia berat. Studi PROTECT yang mengikutsertakan 3764
pasien adalah satu-satunya RCT yang membandingkan UF dan LMWH
sebagai profilaksis VTE pada pasien ICU.30

134 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Profilaksis Tromboemboli Vena Penyebab Mortalitas Pasien-Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit yang Bisa Dihindari

Tabel 4. Obat Profilaksis VTE pada Pasien yang Dirawat di Rumah Sakit
Karakteristik Dosis profilaksis
Obat-obatan
UFH 5.000 unit sc 2-3 kali/hari; pasien penyakit kritis 2 kali/hari
LMWH Enoxaparin 40 mg sc per hari atau Fondaparinux 2.5 mg sc perhari
CrCL < 30mL/min Heparin 5.000 IU sc setiap 8 jam atau 12 jam
Enoxaparin 30 mg sc/24 jam
Obesitas, IMT >40 kg/m2 Enoxaparin 40 mg sc/12 jam
Berat badan rendah <50 kg Heparin 5.000 IU sc setiap 8 atau 12 jam
Enoxaparin 30 mg sc/24 jam
Keterangan: CrCl = creatinine clearance; LMWH = low molecular weight heparin; IMT = indeks massa
tubuh; UFH = unfractionated heparin

b. Profilaksis Mekanik
Profilaksis mekanik digunakan bagi pasien-pasien yang mempunyai
kontraindikasi untuk pemberian antikoagulan seperti perdarahan aktif
dan trombositopenia berat. Pilihan berupa terapi kompresi: verban
elastis, graduated compression stockings (GCS), intermittent pneumatic
compression (IPC).29

Rekomendasi Profilaksis
Tabel 5. Profilaksis VTE pada Pasien Penyakit Medis yang Dirawat di Rumah Sakit30,31
Karakteristik Rekomendasi
Pasien penyakit medis akut
· Gagal jantung kongestif atau penyakit 1. LMWH (1A), atau
respirasi berat 2. LD UFH (1A), atau
· Terbatas di tempat tidur, ada ≥1 faktor risiko: 3. Fondaparinux (1A)
- Kanker aktif
- Riwayat VTE
- Sepsis
- Penyakit neurologi akut
- Inflammatory bowel disease
Faktor risiko VTE (+) dan ada kontraindikasi Tromboprofilaksis mekanik dengan GCS atau
antikoagulan IPD (1A)*
Risiko trombosis rendah Tanpa tromboprofilaksis (1B)
Perdarahan (+) atau risiko perdarahan tinggi Tanpa tromboprofilaksis farmakologik (1B)
Risiko trombosis tinggi dengan perdarahan 1. Tromboprofilaksis mekanik dengan GCS (1A)
atau risiko perdarahan tinggi 2. IPC (2C)
3. Tromboprofilaksis farmakologik (ketika risiko
perdarahan turun dan ketika risiko VTE masih
ada (2B)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 135


Wulyo Rajabto

Karakteristik Rekomendasi

Pasien penyakit kritis

· Pasien yang dirawat di CCU Menilai risiko VTE dan sebagian besar rutin
menggunakan tromboprofilaksis (1A)
· Risiko moderat VTE (contohnya penyakit LMWH atau UFH dosis rendah (1A)
medis atau post operasi bedah umum)
· Risiko tinggi perdarahan Tromboprofilaksis mekanik (GCS ±IPC) sampai
risiko perdarahan turun (1A)
· Ketika risiko tinggi perdarahan turun Tromboprofilaksis farmakologi
Imobilisasi Kronik

· Pasien imobilisasi kronik yang tinggal di Tidak rutin menggunakan tromboprofilaksis


rumah atau rumah perawatan (2C)
Stroke iskemik akut

· Pasien stroke akut dengan mobilitas yang Heparin subkutan dosis rendah atau LMWH
terbatas (1A)
· Kontraindikasi antikoagulan (+) IPC atau stocking elastis (1B)
Keterangan: *untuk pasien yang menggunakan metode tromboprofilaksis mekanik, harus diedukasi untuk
memastikan penggunaan yang tepat, dan kepatuhan yang optimal terhadap metode ini (1A). LD UFH = low
dose unfractionated heparin; LMWH = low molecular weight heparin; CCU = cardiac care unit; GCS = graduated
compression shocking; IPC = intermittent pneumatic compression.

Kesimpulan
Pasien dengan penyakit medik akut yang dirawat di rumah sakit memiliki
faktor risiko multipel untuk berkembangnya VTE, dan profilaksis farmakologi
direkomendasikan untuk semua pasien yang tidak memiliki kontraindikasi.

Diperlukan pendekatan individual untuk pemberian tromboprofilaksis


untuk mencapai proteksi yang optimal.

Daftar Pustaka
1. Schuneman HJ, Cushman M, Burnett AE, et al. American society of hematology
2018 guidelines for management of venous thromboembolism: prophylaxis for
hospitalized and non-hospitalized medical patients. Blood 2018;2(22):3198-3225.
2. Dobromirski M, Cohen AT. How I manage venous thromboembolism risk in
hospitalized medical patients. Blood 2012;120(8):1562-1569.
3. Spyropoulos AC, Raskob GE. New paradigms in venous thromboprophylaxis of
medically ill patients. Thromb Haemost 2017;117:1-9.
4. Leizorovics A. Mismetti P. Preventing venous thromboembolism in medical
patients. Circulation 2004;110(supll IV):IV-13-IV-19.

136 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Profilaksis Tromboemboli Vena Penyebab Mortalitas Pasien-Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit yang Bisa Dihindari

5. Heit JA, Melton LJ III, Lohse CM, et al. Incidence of venous thromboembolism in
hospitalized patients vs community residents. Mayo Clin Proc. 2001;76(11):1102-
1110.
6. Heit JA, Silverstein MD, Mohr DN, Petterson TM, O’Fallon WM, Melton LJ III.
Predictors of survival after deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a
population-based, cohort study. Arch Intern Med. 1999;159(5):445-453.
7. Comess KA, DeRook FA, Russell ML, Tognazzi-Evans TA, Beach KW. The incidence
of pulmonary embolism in unexplained sudden cardiac arrest with pulseless
electrical activity. Am J Med. 2000;109(5):351-356.
8. Alikhan R, Peters F, Wilmott R, Cohen AT. Fatal pulmonary embolism in hospitalised
patients: a necropsy review. J Clin Pathol. 2004;57(12):1254-1257.
9. Kearon C. Natural history of venous thromboembolism. Circulation. 2003;107(23
suppl 1):I22-I30.
10. Esmon CT. Basic mechanisms and pathogenesis of venous thrombosis. Blood Rev.
2009;23(5):225-229.
11. Sevitt S. The structure and growth of valve-pocket thrombi in femoral veins. J Clin
Pathol. 1974;27(7):517-528.
12. Engelmann B, Massberg S. Thrombosis as an intravascular effector of innate
immunity. Nat Rev Immunol. 2013;13(1):34-45.
13. Silverstein MD, Heit JA, Mohr DN, Petterson TM, O’Fallon WM, Melton LJ III. Trends
in the incidence of deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a 25-year
population-based study. Arch Intern Med. 1998;158(6):585-593.
14. Tsai AW, Cushman M, Rosamond WD, Heckbert SR, Polak JF, Folsom AR.
Cardiovascular risk factors and venous thromboem- bolism incidence: the
longitudinal investigation of thromboembolism etiology. Arch Intern Med.
2002;162(10):1182-1189.
15. Surgeon General’s Call to Action Prevent Deep Vein Thrombosis and Pulmonary
Embolism 2008. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK44178/. Accessed
August 28, 2019.
16. Levitan N, Dowlati A, Remick SC, et al. Rates of initial and recurrent thromboembolic
disease among patients with malig- nancy versus those without malignancy. Risk
analysis using Med- icare claims data. Medicine. 1999;78(5):285-291.
17. Chew HK, Wun T, Harvey D, Zhou H, White RH. Incidence of venous thromboembolism
and its effect on survival among patients with common cancers. Arch Intern Med.
2006;166(4): 458-464.
18. Cushman M. Epidemiology and risk factors for venous thrombo- sis. Semin Hematol.
2007;44(2):62-69.
19. Barbar S, Noventa F, Rossetto V, et al. A risk assessment model for the identification
of hospitalized medical patients at risk for venous thromboembolism: the Padua
Prediction Score. J Thromb Haemost. 2010;8(11):2450-2457.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 137


Wulyo Rajabto

20. Obi AT, Pannucci CJ, Nackashi A, et al. Validation of the caprini venous
thromboembolism risk assessment model in critically ill surgical patients. JAMA
Surg. 2015;150(10):941-948.
21. Barbar S, Noventa F, Rossetto V, Ferrari A, Brandolin B, Perlati M, De Bon E,
Tormene D, Pagnan A, Prandoni P. A risk assessment model for the identification
of hospitalized medical patients at risk for venous thromboembolism: the Padua
Prediction Score. Journal of Thrombosis and Haemostasis. 2010 Nov;8(11):2450-7.
22. Mahan CE, Liu Y, Turpie AG, Vu JT, Heddle N, Cook RJ, Dairkee U, Spyropoulos AC.
External validation of a risk assessment model for venous thromboembolism in
the hospitalised acutely-ill medical patient (VTE-VALOURR). Thrombosis and
haemostasis. 2014;112(10):692-9.
23. Rosenberg D, Eichorn A, Alarcon M, Mc Cullagh L, Mc Ginn T, Spyropoulos AC.
External validation of the risk assessment model of the International Medical
Prevention Registry on Venous Thromboembolism (IMPROVE) for medical
patients in a tertiary health system. Journal of the American Heart Association.
2014 Nov 17;3(6):e001152.
24. Spyropoulos AC, Anderson Jr FA, FitzGerald G, Decousus H, Pini M, Chong BH, Zotz
RB, Bergmann JF, Tapson V, Froehlich JB, Monreal M. Predictive and associative
models to identify hospitalized medical patients at risk for VTE. Chest. 2011 Sep
1;140(3):706-14.
25. Hostler DC, Marx ES, Moores LK, Petteys SK, Hostler JM, Mitchell JD, Holley PR,
Collen JF, Foster BE, Holley AB. Validation of the International Medical Prevention
Registry on venous thromboembolism bleeding risk score. Chest. 2016 Feb
1;149(2):372-9.
26. Cade JF. High risk of the critically ill for venous thromboembolism. Critical care
medicine. 1982 Jul;10(7):448-50.
27. Minet C, Potton L, Bonadona A, Hamidfar-Roy R, Somohano CA, Lugosi M, Cartier
JC, Ferretti G, Schwebel C, Timsit JF. Venous thromboembolism in the ICU:
main characteristics, diagnosis and thromboprophylaxis. Critical Care. 2015
Dec;19(1):287.
28. Fraisse F, Holzapfel L, Couland Jm, Simonneau G, Bedock B, Feissel M, Herbecq
P, Pordes R, Poussel Jf, Roux L, Association of Non-University Affiliated Intensive
Care Specialist Physicians of France. Nadroparin in the prevention of deep vein
thrombosis in acute decompensated COPD. American journal of respiratory and
critical care medicine. 2000 Apr 1;161(4):1109-14.
29. Geerts WH, Heit JA, Clagett GP, Pineo GF, Colwell CW, Anderson FA, Wheeler HB.
Prevention of venous thromboembolism. Chest. 2001 Jan 1;119(1):132S-75S.
30. PROTECT Investigators for the Canadian Critical Care Trials Group and the
Australian and New Zealand Intensive Care Society Clinical Trials Group. Dalteparin
versus unfractionated heparin in critically ill patients. New England Journal of
Medicine. 2011 Apr 7;364(14):1305-14.

138 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Profilaksis Tromboemboli Vena Penyebab Mortalitas Pasien-Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit yang Bisa Dihindari

31. Cook D. PROTECT investigators for the Canadian critical care trials group and
the Australian and New Zealand Intensive Care Society Clinical Trials Group.
Dalteparin versus unfractionated heparin in critically ill patients. N Engl J Med.
2011;364:1305-14.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 139


Manajemen VTE:
Penggunaan Panduan dalam Praktik Klinis
Ami Ashariati
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Tromboemboli vena merupakan masalah diseluruh dunia, walaupun
dibeberapa Negara tertentu jarang ditemukan terutama di Asia. Angka
kejadian setiap tahun dari tromboemboli vena sekitar 1 atau 2 kasus per
1000 orang dalam populasi. Emboli paru merupakan komplikasi serius dan
sangat menakutkan. Lebih dari 40%-50% penderita dengan trombosis vena
dalam asimptomatik akan mengalami komplikasi Silent emboli paru, dan
1% -8% penderita dengan emboli paru akan meninggal akibat komplikasi
ini. Mortalitas pada emboli paru yang tidak diobati kurang lebih 30%, tetapi
dengan pengobatan antikoagulan yang adekuat dapat diturunkan hingga
2-8%. Namun demikian banyak kasus yang tidak terdeteksi dan tidak terobati
sehingga menyebabkan komplikasi yang serius.

Sejak lebih dari 150 tahun yang lalu, R.Virchow sudah mengidentifikasi
tiga faktor utama untuk terjadinya trombosis yaitu: (1) gangguan aliran darah
(disebabkan oleh karena Polisitimia Vera dan Sindroma Hiperviskositas),
(2) kelainan dinding pembuluh darah (aterosklerosis), dan (3) kelainan
protein darah (kekurangan AT3, kekurangan protein C, kekurangan protein
S). Konsep ini telah berkembang dengan adanya pemahaman modern dari
fungsi endotel, karekteristik aliran, dan konstituen darah termasuk faktor
hemoreologi, faktor pembekuan, dan fisiologi trombosit. Terbentuknya
thrombus vena maupun arteri mencerminkan ketidak-seimbangan antara
faktor yang terdapat pada trias Virchow.

Manifestasi klinik trombosis vena paling sering berupa thrombus vena


dalam (DVT = Deep Vein Thrombosis). Tungkai bawah dan emboli paru (PE=
Pulmonale Embolism). DVT dan PE merupakan penyulit yang makin sering
terjadi, keduanya dianggap merupakan satu kesatuan penyakit, yang disebut
tromboemboli vena (VTE). Tujuan pengobatan pada kasus Tromboemboli
vena lebih diutamakan untuk mencegah terjadinya emboli paru yang bersifat

140 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen VTE: Penggunaan Panduan dalam Praktik Klinis

fatal tersebut, yaitu dengan pemberian antikoagulan yang efektif dan mudah
(secara oral).

Tahapan Proses Koagulasi


Proses koagulasi awalnya dibayangkan sebagai kaskade sederhana,
namun saat ini dipandang sebagai jejaring reaksi yang saling berhubungan,
diawali dengan ekspresi TF (tissue factor) oleh sel endotel, dan didukung oleh
komponen koagulasi pada reseptor spesifik dari membran trombosit yang
telah diaktifkan.4

Fase Inisiasi
Pada fase inisiasi koagulasi, sel endotel diaktifkan, mengakibatkan
ekspresi TF pada permukaan sel. TF merupakan reseptor untuk faktor VII,
membentuk kompleks TF-FVIIa. Kompleks TF-FVIIa mengaktifkan faktor X
maupun faktor IX dalam kondisi tidak adanya kofaktor dan mengawali fase
amplifikasi dari kaskade koagulasi dengan cara mengaktifkan faktor X menjadi
faktor Xa, dan faktor IX menjadi IXa, pada permukaan trombosit. Faktor Xa,
bersama faktor V (yang diaktifkan menjadi faktor Va), menyebabkan katalisasi
pembentukan sejumlah kecil trombin dari prekursornya (protrombin).

Fase Amplifikasi
Jalur inisiasi segera di non-aktifkan oleh TFPI (Tissue factor pathway
Inhibitor) yang membentuk kompleks terdiri atas VIIa, TF, Xa dan TFPI.
Pembentukan trombin sekarang tergantung dari jalur intrinsik. Faktor IXa yang
terikat pada membran trombosit membentuk kompleks dengan kofaktornya
faktor VIIIa dan kalsium. Kompleks ini merupakan aktivator utama untuk
faktor X, dan mempunyai sifat 50 kali lebih aktif dibanding kompleks faktor
TF-VIIa. Lebih dari 90% dari faktor Xa pada kaskade koagulasi diproduksi
oleh kompleks tenase intrinsik.

Faktor Xa terikat pada permukaan trombosit, membentuk kompleks


dengan kofaktornya yakni faktor Va dan kalsium. Kompleks ini (protrombinase)
300.000 lebih aktif dibanding faktor Xa sendiri dalam proses katalisasi untuk
perubahan protrombin menjadi trombin. Sekitar 96% trombin yang terbentuk
pada kaskade koagulasi diproduksi oleh kompleks protrombinase.5

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 141


Ami Ashariati

Fase Propagasi
Trombin mengawali fase propagasi dari beberapa reaksi balik (feedback)
positif yang menghasilkan generasi trombin dalam jumlah jauh lebih besar.
Salah satu dari reaksi balik yang penting dari trombin adalah pengaktifan
faktor XI menjadi XIa. Faktor XIa terikat pada GpIb trombosit dan mengaktifkan
faktor IX. Faktor IX aktif bersama faktor VIII sebagai kofaktor mengaktifkan
faktor X. Faktor Xa, yang bersama dengan kofaktornya faktor Va dan kalsium
(kompleks protrombinase), mengubah protrombin yang telah terikat pada
GpIIb/IIIa trombosit menjadi trombin. Ledakan pembentukan trombin lebih
lanjut mengubah sejumlah besar fibrinogen menjadi fibrin (lampiran gb.2)

Dari model koagulasi tersebut diatas menunjukkan dengan jelas bahwa
peran faktor Xa sangat strategis. Obat antikoagulan dengan target langsung
faktor Xa sangat efisien karena mencegah pembentukan fibrin, mencegah
reaksi balik (pengaktifan faktor V, VIII dan XI) yang mengakibatkan
terbentuknya ledakan trombin.

Antikoagulan
Heparin: Antikoagulan golongan heparin yang banyak dipakai saat in
adalah Unfractioned heparin (UFH), low molecular weight heparin (LMWH),
dan pentasacharide (Fondaparinux), serta obat oral antagonis vitamin K
(warfarin).

Mekanisme kerja:
UFH terdiri atas glikos-aminoglikan atau polisakarida yang mempunyai
berat molekul rata-rata 15.000 dalton (berkisar antara 5.000-30.000).
Sepertiga molekul UFH berisi kompleks pentasakarida yang mempunyai
afinitas tinggi terhadap antitrombin. Heparin tidak mempunyai efek langsung
sebagai antikoagulan, tetapi bekerja melalui peran antitrombin III (ATIII),
suatu inhibitor protease serin dalam plasma. AT III menghambat trombin
(faktor IIa), faktor Xa dan IXa dalam reaksi yang relatif lambat., tetapi
ditingkatkan menjadi 1.000 kali lipat dengan adanya heparin. Penetralan
trombin oleh UFH memerlukan pembentukan kompleks yang terdiri atas AT
III, UFH dan trombin.

142 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen VTE: Penggunaan Panduan dalam Praktik Klinis

Gambar 1. Mekanisme kerja heparin: Pencitraan trombin oleh UFH perlu


pembentukan kompleks yang terdiri atas antitrombin, UPH dan trombin

LMWH berasal dari depolarisasi secara ensimatik maupun kimia dari UFH, sehi
terbentuk
LMWH berasalyang
fragment darilebih
depolarisasi secara
kecil dengan beratensimatik maupun
molekul antara kimia dari
4.000-8.000 dalton. Setiap
UFH, sehingga terbentuk fragment yang lebih kecil dengan
LMWH diproduksi dari UFH dengan proses yang berbeda sehingga menghasilkan berat molekul perbe
berat molekul
antara dan potensi
4.000-8.000 untuk
dalton. menetralkan
Setiap jenis LMWH faktordiproduksi
IIa dan Xa.dari UFH dengan
Kurang yang
proses dari 50% komposisi
berbeda LMWH
sehingga berisi rantai perbedaan
menghasilkan sakarida lebih darimolekul
berat 18 unit, yang
dan mengakiba
kurangnya kemampuan menghambat trombin, sebab tidak dapat membentuk kompleks
potensi untuk menetralkan faktor IIa dan Xa.
terdiri dari 3 komponen seperti pada UFH.
UFH mempunyai potensi yang seimbang untuk menetralkan faktor Xa dan IIa (ratio
faktor
Kurang
Xa:IIadari
1:1),50% komposisi
sedangkan LMWH LMWHlebihberisi rantai
banyak sakarida faktor
menghambat lebih dari 18 faktor X
Xa. (ratio
adalahyang
unit, 2:1 hingga 4:1), yangkurangnya
mengakibatkan menyebabkan kurang berefek
kemampuan terhadap testrombin,
menghambat koagulasi seperti aP
Selaintidak
sebab itu LMWH mempunyaikompleks
dapat membentuk efek yang yangkurang
terdiri(lebih
dari 3keil) terhadap
komponen penekanan agre
seperti
trombosit sehingga kurang menyebabkan perdarahan maupun trombositopenia.
pada UFH.
Farmakokinetik dan farmakodinamik
UFH UFH mempunyaipotensi
mempunyai respon yang
antikoagulan
seimbang yang tidak menetralkan
untuk bisa diprediksi, mempunyai va
faktor
dalam bioavaibilitas serta korelasi antara dosis dan respon
Xa dan IIa (ratio anti faktor Xa:IIa 1:1), sedangkan LMWH lebih banyak yang tidak dapat diramalkan. Se
pemberian injeksi, UFH terikat pada sel endotel dan makrofag
menghambat faktor Xa. (ratio faktor Xa:IIa adalah 2:1 hingga 4:1), yang yang mengakibatkan bers
cepat dari sebagian dosis maupun penurunan aktifitas antikoagulan. Rute eliminasi adalah h
menyebabkan kurang
dan ginjal. Faktor berefek
lain yang terhadap adalah
mempengaruhi tes koagulasi seperti aPTT.
ukuran besarnya Selain
molekul, fraksi molekul l
itu LMWH mempunyai efek yang kurang (lebih keil) terhadap penekanan
kecil akan dibersihkan lebih lambat. UFH juga terikat pada protein plasma, termasuk bebe
reaktan fase
agregasi akut (misal
trombosit sehingga glikoprotein kaya histidin, perdarahan
kurang menyebabkan faktor V.Willebrand,
maupun fibrinone
vitronectin),
trombositopenia.yang berfungsi menghambat UFH untuk dapat berinteraksi dengan anti trom
Adanya variabilitas dari respon antikoagulan akan mengakibatkan kesulitan mencapai
koagulasi terapeutik, sehingga monitoring dengan tes aPTT perlu dilakukan pada pembe
Farmakokinetik
dosis terapi. UFHdan farmakodinamik
maupun LMWH tidak dapat menghambat trombin yang terikat fibrin, ber
dengan
UFH antikoagulan
mempunyai generasi
responlebihantikoagulan
baru. yang tidak bisa diprediksi,
UFH dapat diberikan IV atau SC. Pada pemberian
mempunyai variasi dalam bioavaibilitas serta korelasi antara sc, dosis
respondan
biasanya
responlambat 1-2
oleh karena itu perlu pemberian IV bolus apabila diinginkan efek segera. Pemberian
yang tidak akan
intermitten dapatlebih
diramalkan. Setelah
sering disertai pemberian
komplikasi injeksi,oleh
perdarahan, UFHkarena
terikat
itu pada
dipilih pemberia
sel endotel dan makrofag yang mengakibatkan bersihan cepat dari sebagian
kontinyu.
LMWH mempunyai
dosis maupun penurunan keunggulan dibanding UFH
aktifitas antikoagulan. Rute dalam hal bioavaibilitas
eliminasi adalah yang l
superior, waktu paruh lebih panjang (ekskresi lewat ginjal),
hepar dan ginjal. Faktor lain yang mempengaruhi adalah ukuran besarnya respon antikoagulan bisa l
dipredeksi. Ikatan LMWH terhadap sel endotel, makrofag dan protein plasma lebih sedikit
molekul, fraksi molekul lebih kecil akan dibersihkan lebih lambat. UFH juga

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 143


Ami Ashariati

terikat pada protein plasma, termasuk beberapa reaktan fase akut (misal
glikoprotein kaya histidin, faktor V.Willebrand, fibrinonectin, vitronectin),
yang berfungsi menghambat UFH untuk dapat berinteraksi dengan anti
trombin. Adanya variabilitas dari respon antikoagulan akan mengakibatkan
kesulitan mencapai anti koagulasi terapeutik, sehingga monitoring dengan tes
aPTT perlu dilakukan pada pemberian dosis terapi. UFH maupun LMWH tidak
dapat menghambat trombin yang terikat fibrin, berbeda dengan antikoagulan
generasi lebih baru.

UFH dapat diberikan IV atau SC. Pada pemberian sc, respon biasanya
lambat 1-2 jam, oleh karena itu perlu pemberian IV bolus apabila diinginkan
efek segera. Pemberian IV intermitten akan lebih sering disertai komplikasi
perdarahan, oleh karena itu dipilih pemberian IV kontinyu.

LMWH mempunyai keunggulan dibanding UFH dalam hal bioavaibilitas


yang lebih superior, waktu paruh lebih panjang (ekskresi lewat ginjal), respon
antikoagulan bisa lebih dipredeksi. Ikatan LMWH terhadap sel endotel,
makrofag dan protein plasma lebih sedikit bila dibanding UFH. Oleh karena
itu LMWH dengan dosis tetap dapat memberi respon antikoagulant yang
konsisten, sehingga tidak perlu monitoring efek antikoagulan, kecuali pada
kasus dengan gangguan fungsi ginjal dan beberapa kasus anak. Karena alasan
bioavaibilitas, LMWH diberikan secara subcutan.2 Efek samping heparin:
perdarahan, osteoporosis, alopecia, tromositopenia, hipersentivitas.

Warfarin
Warfarin mempunyaui aktifitas farmakologik mengganggu produksi
faktor pembekuan yang tergantung vitamin K di hati, terutama faktor II, VII,
IX dan X. Awal efek farmakokinitik ditandai dengan perpanjangan waktu
protrombin dan nilai INR (International Normalized Ratio) yang terlihat
dalam waktu 36 jam setelah pemberian dosis awal warfarin. Perpanjangan ini
mencerminkan hambatan terhadap faktor VII, suatu faktor pembekuan yang
tergantung vitamin K, yang mempunyai waktu paruh paling pendek. Warfarin
juga menghambat aktifitas protein antikoagulan yang tergantung vit K, yakni
protein C dan protein S. Kadar protein C dan S aktif menurun dalam waktu
24-48 jam setelah pemberian awal warfarin. Penurunan kadar protein C dan
S sebelum efek antikoagulan penuh tercapai, dapat mengakibatkan kondisi
hiperkoagulabilitas yang potensial dan mempunyai resiko terbentuknya
thrombus atau efek samping lain seperti warfarin-induced skin necrosis.
Oleh karenanya, UFH atau LMWH biasanya diberikan lima hari pertama dari

144 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen VTE: Penggunaan Panduan dalam Praktik Klinis

terapi warfarin, hingga efek farmakologik warfarin yang penuh tercapai


(antara 4-7 hari), sehingga dapat memberikan antikoagulasi yang cukup
serta mencegah terjadinya status hiperkoagulasi. Efek warfarin terhadap
penderita mempunyai variable yang luas. Efektifitas warfarin dipengaruhi
usia, latar belakang ras, diet, obat yang sedang diminum bersamaan terutama
antibiotik. Karena itu pengobatan dengan warfarin memerlukan pemantauan
laboratorium, yakni waktu protrombin (PT) dibandingkan dg nilai baku
untuk mendapatkan INR, biasanya dipertahankan antara nilai 2-3. Indikasi
penggunaan warfarin: sebagai terapi pencegahan tromboemboli vena pada
penderita dengan resiko tinggi (misal pasien ortopedi yang menjalani operasi
penggantian sendi panggul atau lutut). Atau sebagai pencegahan sekunder
guna mencegah kekambuhan setelah episode pertama trombosis vena dalam
(DVT) maupun EP, atau sebagai pencegahan tromboemboli arteri pada
penderita fibrilasi atrium, penderita menggunakan katub jantung buatan.
Efek samping dari warfarin adalah perdarahan, nekrosis jaringan atau
embriopati. Pada kasus-kasus dimana terjadi perpanjangan INR yang nyata
(lebih dari 6) tanpa disertai perdarahan, hentikan warfarin, beri vit K dosis
rendah dan tingkatkan frekuensi monitoring. Sedang pada keadaan dengan
perdarahan berat atau overdosis akibat pemberian warfarin (INR lebih 10),
diperlukan substitusi faktor pembekuan dan atau pemberian vitamin K dosis
tinggi secara iv.

Rivaroxaban: penghambat langsung faktor Xa yang spesifik.


Rivaroxaban adalah penghambat langsung faktor Xa yang spesifik
dan selektif, bentuk oral, merupakan obat generasi baru. Faktor Xa
merupakan enzim diporos jalur koagulasi. Oleh karena satu molekul faktor
Xa menghasilkan 1.000 molekul trombin, maka hambatan faktor Xa akan
mengendalikan pembentukan fibrn secara jauh lebih kuat daripada inaktivitas
trombin. Mekanisme kerjanya dengan menghambat secara langsung faktor Xa
yang spesifik dan sangat selektif. Faktor Xa merupakan suatu enzim di poros
jalur koagulasi.

Farmakokinetik dan farmakodinamik


Profil farmakokinetik dan farmakodinamik Rivaroxaban dapat
diprediksi, tidak perlu monitoring koagulasi rutin. Setelah pemberian secara
oral, obat cepat diabsorbsi, konsentrasi maksimum dicapai dalam waktu 2-4
jam. Bioaviabilitas tinggi (80-100%), waktu paruh eliminasi rata-rata 7-11
jam. Rivaroxaban mempunyai sifat farmakokinetik yang menguntungkan
antara lain: (i) tidak berakumulasi pada dosis multiple, (ii) dapat diberikan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 145


Ami Ashariati

dengan atau tanpa makanan, pH lambung tidak mempengaruhi absorbsi, (iii)


interaksi dengan obat lain sangat minimal.

Tabel 1. Efek biologi dan farmakokinetik dari Heparin (unfractioned), LMWH dan
pentasaccharide
Karakteristik UFH LMWH Pentasaccharide
Anti Xa-IIa 1:1 2.1: 4.1 Anti Xa saja
Bioavaibilitas s.c 30% mendekati 100% mendekati 100%
Waktu paruh 90 menit 3-4 jam 13-21 jam
Eliminasi ginjal hepar ginjal ginjal
HIT 3% 1% tidak terjadi
UFH,unfractionated heparin; LMWH, low molecular weight heparin; HIT, heparin induced thrombocytopenia
(Heit JA.Arch Intern Med 2002;162:1806-8).

Tabel 2. Parameter farmakokinetik Rivaroxaban


Anti Xa:IIa Anti faktor Xa
Bioavaibilitas absolut 80-100% (untuk dosis 10 mg oral)
Waktu mencapai kadar puncak plasma 2-4 jam
Waktu paruh eliminasi 7-11 jam
Eliminasi ginjal, hati
Ikatan protein plasma 92-95%
Xarelto (R) Rivaroxaban. Monograf Bayer Schering Pharma AG 2008.


Rivaroxaban digunakan terutama untuk pencegahan tromboemboli vena.
Selain itu rivaroxaban sedang diteliti untuk berbagai indikasi, antara lain:
1).pengobatan dan pencegahan sekunder tromboemboli vena, 2) pencegahan
stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium, 3).pencegahan tromboemboli
vena pasien rawat inap karena penyakit medik akut, 4).pencegahan sekunder
kasus kardiovaskuler mayor pada pasien sindroma korener akut.

Dari penelitian EINSTEIN tentang rivaroxaban untuk pasien DVT


akut yang meneliti 3449 pasien terdiri dari : 1731 pasien dari kelompok
rivaroxaban dan 1718 pasien dari kelompok enoxaparin kombinasi antagonis
vitamin K. Kelompok Rivaroxaban mempunyai keuntungan hasil utama yang
lebih baik (36 peristiwa [2.1%] vs 51 peristiwa [3.0%]; perbandingan resiko,
0.68; 95% kepercayaan interval [CI], 0.44 untuk 1.04; P<0.001). Efek samping
hanya terjadi pada 8.1% pasien pada setiap kelompok. Di (dalam) penelitian
lebih lanjut, yang mencakup 602 pasien, dari kelompok rivaroxaban dan
594 kelompok placebo, kelompok rivaroxaban mempunyai hasil lebih baik/
superior dibanding kelompok plasebo (8 peristiwa [1.3%] vs 42 peristiwa
146 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Manajemen VTE: Penggunaan Panduan dalam Praktik Klinis

[7.1%]; perbandingan resiko, 0.18; 95% CI, 0.09 untuk 0.39; P<0.001). Hanya
empat pasien dari kelompok rivaroxaban mempunyai pendarahan non fatal
(0.7%) vs kelompok placebo (p= 0.11) (7).

Prinsip Pengobatan
Pada VTE akut, terapi inisial dengan LMWH atau UFH diberikan selama
5 hari. Dosis inisial UFH yang diberikan adalah 5000U dilanjutkan 25.000-
40.000 U iv kontinu selama 24 jam, dengan monitor nilai PTT 1.5-2 kali
diatas batas normal. Pada LMWH dosis yang diberikan 100U/kg sc/ dua
kali sehari, dan tidak diperlukan monitor PTT. LMWH sebagai terapi jangka
panjang diberikan dalam 3-6 bulan pertama. Resiko perdarahan pada periode
inisial pemberian UFH atau LMWH adalah kurang dari 5 %. Namun insiden
perdarahan sesungguhnya pada penderita keganasan dengan pemberian UFH
atau LMWH masih belum jelas.

Pemberian terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan untuk


mencegah trombosis berulang yaitu dengan pemberian vitamin K antagonist
(VKA) sebagai terapi standart. Dosis awal diberikan dalam 24-48 jam setelah
terapi heparin dimulai dan dosis disesuaikan untuk mempertahankan rentang
terapi INR 2-3. Apabila kadar INR telah tercapai pemberian UFH atau LMWH
dapat dihentikan setelah lama penggunaan minimum 5 hari, sedangkan
warfarin tetap dilanjutkan.

Pada kejadian VTE berulang saat pemberian antikoagulan oral dapat


diberikan retreatment UFH atau LMWH selama beberapa hari. Disebutkan ada
3 pilihan setelah retreatment UFH atau LMWH sbb: a).dilanjutkan dengan
terapi antikoagulan oral dengan target INR lebih tinggi yaitu 3,0-3,5; b). switch
UFH 2 kali sehari disesuaikan dosis dengan mempertahankan terapeutik PTT;
c). penggunaan LMWH sekali sehari dengan penyesuaian dosis.
Pencegahan sekunder VTE dengan rejimen oral VKA yang dimulai sejak
hari pertama UFH/LMWH, untuk mencapai INR 2,0-3,0 akan mencapai
kekambuhan sampai 8% pertahunnya pada penderita non keganasan,
namun angka ini akan 2-3 kali lebih tinggi pada penderita keganasan. Hal ini
menunjukkan sulitnya memelihara tingkat terapeutik INR pada penderita
keganasan karena berbagai kondisi yang kompleks.

Guideline ASH
Cushman adalah salah satu dari enam pembicara yang meninjau enam
bab pedoman, membahas profilaksis VTE untuk pasien, diagnosis, manajemen

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 147


Ami Ashariati

antikoagulasi yang optimal, trombositopenia yang diinduksi heparin, VTE pada


kehamilan, dan perawatan pasien anak dengan VTE. Empat bab tambahan
diharapkan akan dirilis pada tahun 2019, yang akan fokus pada pengobatan
DVT dan emboli paru, VTE pada pasien dengan kanker, trombofilia, dan
profilaksis pada pasien bedah
1. Pada pasien obesitas yang menerima terapi heparin berat molekul
rendah (LMWH) untuk pengobatan VTE akut, panel pedoman American
Society of Hematology (ASH) menyarankan pemilihan dosis LMWH awal
sesuai dengan berat badan aktual daripada pemilihan dosis berdasarkan
dosis harian maksimum
2. Untuk pasien yang beralih dari DOAC ke VKA, panel pedoman ASH
menyarankan terapi DOAC dan VKA yang tumpang tindih hingga INR
berada dalam kisaran terapeutik dibandingkan menggunakan “terapi
bridging” LMWH atau UFH.
3. Untuk pasien yang menerima VKA untuk perawatan VTE dengan INR 4,5-
10 dan tanpa perdarahan yang relevan secara klinis, panel pedoman ASH
menyarankan untuk menggunakan penghentian sementara VKA saja
tanpa penambahan vitamin K
4. Untuk pasien dengan perdarahan yang mengancam jiwa selama
perawatan VTE dengan terapi VKA yang memiliki INR tinggi, panel
pedoman ASH menyarankan untuk menggunakan konsentrat kompleks
prothrombin 4-faktor (PCC) daripada fresh-frozen plasma (FFP) sebagai
tambahan untuk penghentian VKA dan vitamin K intravena
5. Untuk pasien dengan perdarahan yang mengancam jiwa selama
pengobatan Xa inhibitor oral dari VTE, panel pedoman ASH menyarankan
penggunaan administrasi PCC 4 faktor sebagai tambahan penghentian Xa
inhibitor oral atau penghentian Xa inhibitor oral saja.
6. Untuk pasien dengan risiko VTE rekuren rendah hingga sedang yang
membutuhkan penghentian terapi VKA untuk prosedur invasif, panel
pedoman ASH merekomendasikan tidak setuju digantikan dengan peri-
procedural bridging dengan LMWH atau UHF, pada yang mendukung
penghentian VKA saja.
7. Untuk pasien dengan perdarahan yang mengancam jiwa selama
pengobatan VTE dengan LMWH atau UFH, panel pedoman ASH
menyarankan penggunaan protamine selain penghentian LMWH atau
UFH daripada tidak ada protamine.

148 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen VTE: Penggunaan Panduan dalam Praktik Klinis

Ringkasan
Tujuan pengobatan pada kasus tromboemboli vena lebih diutamakan
untuk mencegah terjadinya emboli paru yang bersifat fatal tersebut, yaitu
dengan pemberian antikoagulan yang efektif.

Antikoagulan golongan heparin yang banyak dipakai saat in adalah


Unfractioned heparin (UFH), low molecular weight heparin LMWH), dan
pentasaccharide (Fondaparinux), serta obat oral antagonis vitamin K
(warfarin). Heparin tidak mempunyai efek langsung sebagai antikoagulan,
tetapi bekerja melalui peran antitrombin III (ATIII). UFH mempunyai
respon antikoagulan yang tidak bisa diprediksi, mempunyai variasi dalam
bioavailabilitas serta korelasi antara dosis dan respon yang tidak dapat
diramalkan. Adanya variabilitas dari respon antikoagulan akan mengakibatkan
kesulitan mencapai anti koagulasi terapeutik, sehingga monitoring dengan
tes aPTT perlu dilakukan pada pemberian dosis terapi. LMWH mempunyai
keunggulan dibanding UFH dalam hal bioavaibilitas yang lebih superior, waktu
paruh lebih panjang (ekskresi lewat ginjal), respon antikoagulan bisa lebih
dipredeksi. Ikatan LMWH terhadap sel endotel, makrofag dan protein plasma
lebih sedikit bila dibanding UFH. Oleh karena itu LMWH dengan dosis tetap
dapat memberi respon antikoagulant yang konsisten, sehingga tidak perlu
monitoring efek antikoagulan. UFH maupun LMWH tidak dapat menghambat
trombin yang terikat fibrin, berbeda dengan antikoagulan generasi lebih baru
(rivaroxaban).

Daftar Pustaka
1. Ashariati A. The Used of Rivaroxaban in Clinical Practice. Naskah Lengkap Surabaya
HomUpdate X, 8-10 Juni 2012, hal.61-70.
2. Bergqvist D, Agnelli G, Cohen AT et al. Duration of prophylaxis against venous
thromboembolism with enoxaparin after surgery for cancer. N Engl J Med 2002;
346: 975-80.
3. Duoketis JD. Treatment of deep vein thrombosis. What factors determine
appropriate treatment? Can Fam Physician. 2005; 51: 217-223.
4. The EINSTEIN Investigators. Oral Rivaroxaban for Symptomatic Venous
Thromboembolism. N Engl J Med 2010;363:2499-510.
5. Eriksson BI, Borris LC, Friedman RJ, et al. Rivaroxaban versus Enoxaparin for
thromboprophylaxis after hip arthroplasty. N Engl J Med 2008; 358: 2765-75.
6. Lassen MR, Ageno W, Borris LC et al. Rivaroxaban versus Enoxaparin for
thromboprophylaxis after total knee arthroplasty. N Engl J Med 2008; 358: 2776-
86.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 149


Ami Ashariati

7. McRae SJ and Ginsberg JS. Initial Treatment of Venous Thromboembolism,


Circulation 110[suppl I] 2004: I-3 – I-9.
8. Mazzolai L, Hohlfeld P, Spertini F, Hayoz D, Schapira M, and Duchosal MA.
Fondaparinux is a safe alternative in case of heparin intolerance during pregnancy.
Blood 2006 108:1569-1570.
9. Van Gorp ECM, Suharti C, et al. Infectious diseases and coagulation disorders.
JID1999;180:176-86.
10. O’Connell NM. Basic principles underlying the coagulation system. In:. Practical
hemostasis and thrombosis. Editors: O’ Shaughnessy, Makris M, Lilicrap D
Massachussetts; Blackwell publishing.2005; 3-7.
11. Turpie AGG, Lassen MR, Davidson BL et al. Rivaroxaban versus Enoxaparin for
thromboprophylaxis after total knee arthroplasty (RECORD 4) : a randomixed trial.
Lanset. 2009; 373: 1673-80.
12. Turpie AGG,Bauer KA, Eriksson BI, Lassen MR. Fondaparinux vs Enoxaparin for the
Prevention of Venous Thromboembolism in Major Orthopedic Surgery. A Meta-
analysis of 4 Randomized Double-blind Studies. Arch Intern Med. 2002;162:1833-
1840.
13.
The EINSTEIN Investigators. Oral Rivaoxaban for symptomatic Venous
Thromboembolism. N Engl J Med 2010; 363: 2499-510.
14. Witt DM, Nieuwlaat R, Clark NP, Ansell J, Holbrook A, Skov J. American Society
of Hematology 2018 guidelines for management of venous thromboembolism:
optimal management of anticoagulation therapy. www.bloodadvances.org by
guest on August 27, 2019.

Lampiran LAMPIRAN Gambar.2 : Model kaskade koagulasi


Contact system
XII,PK,HK

XIIa
XI

XIa
Tissue factor system
(-) IX
TFPI TF-VIIa

IXa + VIII

VIIIa

X Xa + V

Va

Prothrombin Thrombin AT
(-)

Fibrinogen Fibrin
Gambar 2: Model of the hypothetical coagulation cascade
Gambar 2. Model of the hypothetical coagulation cascade
PK, prekallikrein; HK, high molecular weight kininogen; AT, antithrombin
Van Gorp ECM,Suharti Cet al. Infectious diseases and coagulation disorders.JID1999;180:176-86

PK, prekallikrein; HK, high molecular weight kininogen; AT, antithrombin


Van Gorp ECM,Suharti Cet al. Infectious diseases and coagulation disorders.
JID1999;180:176-86

150 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


WORKSHOP
Update Diagnosis TB Resistan Obat
Prayudi Santoso
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Hasan Sadikin - Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung

Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sulit mulai dalam hal diagnostik,
pengobatan dan kepatuhan pasien untuk berobat. Hal ini dikaitkan dengan
berbagai pendapat dan pandangan dalam hal penegakan diagnostik TB itu
sendiri. Penegakan diagnostik menjadi masalah yang cukup besar pada
TB sensitif dibandingkan TB resistan. Diagnostik TB resistan mempunyai
panduan yang lebih ketat dan jelas baku pada semua pusat pengobatan TB
resistan. Pengendalian dan pengawasan diagnostik TB resistan lebih mudah
diawasi karena diagnostik dilakukan di pusat pengobatan yang biasanya
sudah terlatih. Perkembangan TB resistan cukup pesat dalam hal diagnostik
dan pengobatan.

Penegakan diagnostik semua penyakit dimulai dari evaluasi klinik yang


meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang laboratorium. Begitu
juga penyakit TB resistan, dimulai dari kecurigaan klinik bahwa seorang
pasien adalah penderita TB resistan. Pemeriksaan penunjang jelas merupakan
pemeriksaan untuk konfirmasi apakah penderita tersebut benar sebagai
penderita TB resistan. Kalau kita telaah sebenarnya diagnostik TB resistan
pada dasarnya adalah diagnostik laboratorik karena semua pasien yang
dengan kecurigaan TB resistan haruslah dibuktikan secara laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan konvensional dan
pemeriksaan non konvensional dengan metode yang lebih baru. Pemeriksaan
radiologi, PPD 2TU, IGRA, dan patologi anatomi dapat juga membantu
diagnostik TB, tetapi tidak dapat membedakan apakah seorang terjangkit
kuman TB sensitif atau TB resistan.

International Standar Tuberculosis Care (ISTC), 2014, menyatakan


pada standar 1 bahwa diagnosis awal haruslah dilakukan dan dicurigai
pada kelompok dengan resiko tinggi kejadian TB dan haruslah dilakukan
pemeriksaan diagnostik yang adekuat. Pada standar 2 ISTC 2014 dinyatakan
jika secara kinis pasien dengan batuk yang lebih dari 2-3 minggu atau
terdapat kecurigaan pada foto toraks haruslah dievaluasi untuk kemungkinan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 153


Prayudi Santoso

TB paru. Pada standar 3 dinyatakan pula semua pasien dengan kecurigaan


TB paru aktif yang dapat mengeluarkan dahaknya dapat dilakukan sekurang-
kurangnya 2x pemeriksaan BTA atau pemeriksaan tes cepat molekuler satu
kali. Pasien dengan risiko TB resistan, TB-HIV atau TB dengan sakit berat
dilakukan pemeriksaan dengan tes cepat molekuler.Pemeriksaan serologik
darah dan IGRA tidak dipakai untuk diagnostik TB aktif .

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sudah membuat daftar


kelompok pasien dengan risiko TB resistan obat meliputi kasus TB kronis,
pasien yang tidak mengalami konversi pada kategori 2, pasien yang telah
diobati dengan lini kedua (tidak menggunakan program DOTS), gagal
pengobatan kategori satu, pasien yang masih tetap BTA positif pada bulan
2-3 pengobatan kategori satu, pasien dengan TB kambuh, pengobatan pada
pasien yang putus obat pada kategori 1 atau 2, pasien dengan paparan kasus
dengan konfirmasi TB resistan , dan pasien dengan TB-HIV.

Manifestasi klinik tergantung lokasi yang terserang oleh kuman TB.


Hampir semua organ dapat terserang oleh kuman TB, dan organ parulah yang
terbanyak diserang oleh kuman ini, yakni sekitar 80%, sisanya organ lain
seperti pleura, kelenjar getah bening, meningen, perikard, genitourinarius,
tulang dan lain lain. Tuberkulosis diseminata lebih sering ditemukan pada
kasus AIDS dan kasus imunodefisiensi lain. Tidak ada perbedaan gejala klinis
antara TB sensitif dan TB resistan. Lokasi organ yang terserang sama antara
ke 2 kelompok ini .Pasien yang tidak respon dengan pengobatan atau secara
radiologis tidak ada perbaikan mungkin merupakan kasus TB resistan, tetapi
tidak boleh mendiagnosis TB resistan berdasarkan hal ini saja. Diagnosis TB
resistan haruslah dibuktikan secara laboratorik, jadi sebenarnya diagnosis TB
resistan adalah diagnosis laboratorik.

Pemeriksaan laboaratorium secara umum dibagi atas pemeriksaan


konvensional dan pemeriksaan molekuler. Pemeriksaan konvensional
meliputi pemeriksaan apus mikroskopik, kultur,identifikasi spesies dan tes
resistensi obat. Pemeriksaan apus mikroskopik mempunyai senisitivitas
yang tergantung pada kepadatan kuman. Keberhasilan diagnostik TB paru
sangat tergantung dari jumlah kepadatan kuman BTA per ml sputum dan
metoda pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan sputum basil tahan asam
(BTA) kurang sensitif dibandingkan pemeriksaan nucleic acid amplification
(NAA) atau kultur. Deteksi positivitas BTA memerlukan minimal 10.000 basil
per mL. Sensitivitas dan positive predictive value pemeriksaan BTA berturut-

154 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Update Diagnosis TB Resistan Obat

turut adalah 45–80% dan 50–80%. Sensitivitas akan meningkat dengan


konsentrasi kuman dan pengulangan pemeriksaan sehingga dapat mencapai
90%.. Pemeriksaan apus BTA ZN tidak dapat membedakan TB sensitif dengan
TB resistant.

Pemeriksaan konvensional yang lain adalah kultur. Pemeriksaan kultur


berguna untuk menetapkan diagnosis yang pasti, identifikasi spesies dan
menentukan kerentanan obat. Pemeriksaan kultur adalah pemeriksaan
definitif TB dengan sensitivitas yang lebih baik dari pemeriksaan cepat BTA
yaitu dapat mendeteksi 10 BTA /ml sputum. Kerugiannya adalah perlu waktu
yang lama untuk tumbuh kuman TB, dengan akses pemeriksaan yang lebih
sulit dibandingkan sputum BTA ZN serta lebih mahal. Pemeriksaan ini sangat
penting untuk diagnosis dan pemantauan pengobatan TB resistan. Media
biakan cair akan lebih cepat tumbuh yakni antara 1–3 minggu dibandingkan
media padat yang memerlukan waktu antara 3–8 minggu. Diagnosis TB paru
secara definitif jika ditemukan isolasi M. tuberculosis dari sekresi cairan
tubuh seperti kultur sputum, bilasan bronkoalveolar, atau cairan pleura atau
jaringan (biopsi pleura atau biopsi paru).

Berdasarkan identifikasi spesiesnya maka pemeriksaan mikrobiologi


dapat kita bagi menjadi metode fenotipik dan metode genotipik (probe DNA).
Metode fenotipik melihat karakteristik pertumbuhan , lama waktu tumbuh,
morfologi koloni dan produksi pigmennya. Metode genotipik memberikan
hasil yang lebih cepat dan dapat mendiferensiasi M.tb complex dengan MOTT
( Mycobacterium other than tuberculosis). Pemeriksaan kultur dan resistensi
diindikasikan pada setiap kasus yang sudah pernah diobati, respon klinis
yang tidak baik, pasien HIV dan pada kasus secara klinis atau epidemiologi
yang mengarah ke TB resistan.

Diagnosis TB dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan radiologi, foto


toraks. Pemeriksaan foto toraks sangat baik dilakukan untuk skrining TB.
Pemeriksaan ini cenderung sangat sensitif tapi nilai spesifitas yang rendah.
Idealnya semua kasus TB yang dicurigai berdasarkan foto toraks haruslah
dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikrobiologi. Diagnosis berdasarkan
radiologis ini relatif mudah dan mempunyai nilai pada pasien presumptive
TB, tetapi bersifat non spesifik karena pola yang sama dapat ditemukan pada
penyakit yang lain juga. Pemeriksaan foto toraks tidak dapat membedakan
antara TB sensitif dengan TB resistan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 155


Prayudi Santoso

Pemeriksaan lain yang tersedia adalah tes PPD 2TU dan IGRA.
Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk diagnostic TB aktif serta tidak
dapat membedakan antara TB sensitif dengan TB Resistan. Pemeriksaan ini
dipakai untuk diagnostik penyakit laten TB.

Diagnosis TB dapat pula ditegakkan dengan pemeriksaan patologi


anatomi khususnya pada kasus ekstra paru. Gambaran granuloma dan datia
langhans akan membantu diagnosis penegakkan TB. Pemeriksaan ini tidak
dapat membedakan antara TB sensitif dengan TB resistan.

Pemeriksaan untuk pendeteksian resistansi kuman TB dapat dibagi


berdasarkan metode konvensional dan metode baru. Pemeriksaan
konvensional yang dikerjakan adalah pemeriksaan mikrobiologi klasik
yang sudah mapan tapi rumit dan memerlukan waktu. Pemeriksaan yang
lebih baru sebaliknya waktu yang diperlukan sangat singkat dibandingkan
dengan yang konvensional. Pemeriksaan baru ini juga sering disebut dengan
pemeriksaan cepat atau molekuler. Pemeriksaan cepat atau molekuler ini
berdasarkan deteksi mutasi genetik yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya resistansi. Deteksi resistansi ini juga sekaligus identifikasi kuman
M.tuberculosis pada spesimen sputum. Contoh pemeriksaan ini adalah
Geneexpert System (Xpert Mtb/Rif, Cepheid, USA),Genotype MTBDRplus and
MTBDRsl assays (Hain Lifescience GmbH, Germany), and INNO-Li-PA Rif.TB
line probe assay (Innogenetics Inc., Belgium)

Metode molekuler tersedia untuk mendeteksi DNA kompleks M.


tuberculosis dan mutasi umum yang berhubungan dengan resistansi obat. Ada
dua jenis utama pengujian molekuler: tes berbasis probe (non-sekuensing)
dan pengujian berbasis sekuensing.

Pengujian berbasis probe (NAA)-Tes berbasis probe, juga dikenal


sebagai tes amplifikasi asam nukleat (NAA), urutan asam nukleat tertentu
dapat dideteksi melalui probe asam nukleat. Beberapa tes NAA dapat
mendeteksi gen yang mengkode resistensi obat; informasi yang tersedia
mengenai kerentanan obat tergantung pada uji yang digunakan.

Pengujian amplifikasi asam nukleat adalah pemeriksaan diagnosis cepat


dengan hasil 24 hingga 48 jam. Pengujian NAA memiliki nilai prediktif positif
yang sangat baik dalam diagnostic specimen BTA-positif untuk membedakan
TB dari Non Tuberculosis Mycobacterium (>95 persen). Tes amplifikasi NAA

156 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Update Diagnosis TB Resistan Obat

dipakai untuk tujuan diagnostik awal dan tidak dapat digunakan untuk
memantau respons terhadap pengobatan.

Resistensi terhadap rifampisin dapat dideteksi oleh Xpert MTB/ RIF atau
MTBDRplus. Resistensi terhadap isoniazid dapat dideteksi oleh MTBDRplus,
dan resistansi terhadap fluoroquinolon dan aminoglikosida dapat dideteksi
oleh MTBDRsl. WHO menyetujui uji Xpert MTB/ RIF dan uji line-probe
MTBDRplus untuk diagnosis TB paru dan ekstra paru pada tahun 2011.
Pada 2017, WHO merekomendasikan penggunaan Xpert Ultra (jika tersedia)
sebagai pengganti Xpert.

Xpert MTB / RIF Ultra dikembangkan untuk meningkatkan sensitivitas


uji Xpert MTB/ RIF; Secara umum, Xpert Ultra lebih sensitif daripada Xpert
untuk mendeteksi MTB pada spesimen pulasan BTA negatif tapi kultur positif,
spesimen pediatrik, spesimen ekstra paru (terutama cairan serebrospinal),
dan spesimen dari pasien yang terinfeksi HIV.

MTBDRplus-MTBDRplus adalah uji line-probe molekuler yang mampu


mendeteksi mutasi resistansi rifampisin dan isoniazid (gen rpoB untuk
resistansi rifampisin; gen katG dan inhA untuk resistansi isoniazid).
MTBDRsl-MTBDRsl adalah uji probe yang mampu mendeteksi resistansi
terhadap fluoroquinolon dan obat injeksi aminoglikosida (obat
antituberkulosis lini kedua; gen gyrA untuk resistensi fluoroquinolon dan gen
rrs untuk obat injeksi aminoglikosida).

Pengujian berbasis sekuens-Tes berbasis sekuens dapat memberikan


identitas genetik dari mutasi tertentu dan karenanya dapat memprediksi
resistensi obat dengan akurasi yang lebih besar daripada tes berbasis
probe. Contoh pengujian berbasis sekuens ini adalah pyrosequencing, Sanger
sequencing, dan sequencing generasi berikutnya.

Sekuensing DNA dapat menilai kerentanan terhadap obat antituberkulosis


lini pertama. Pengujian kerentanan obat TB perlu menunggu organisme
tumbuh dalam kultur, yang bisa memakan waktu beberapa minggu. Hasil
uji kerentanan berdasarkan urutan umumnya tersedia dalam beberapa
hari; Namun, belum pasti apakah tes tersebut dapat secara akurat menandai
kerentanan terhadap panel obat TB. Dalam satu studi termasuk lebih dari
10.000 isolat klinis, sekuensing seluruh genom untuk mendeteksi mutasi
yang terkait dengan resistansi memperkirakan resistansi terhadap isoniazid,

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 157


Prayudi Santoso

rifampin, etambutol, dan pirazinamid dengan sensitivitas dan spesifisitas


>90 persen dibandingkan dengan uji kepekaan berbasis kultur tradisional.
Resistensi terhadap isoniazid, rifampisin, etambutol, dan pirazinamid
dengan sensitivitas masing-masing 97, 97, 95, dan 91 persen; kerentanan
terhadap obat ini dengan spesifisitas masing-masing 99, 99, 94, dan 97
persen. Prediksi genotipik dari kerentanan M. tuberculosis terhadap obat lini
pertama ditemukan berkorelasi dengan kerentanan fenotipik terhadap obat-
obatan ini. Temuan ini menjanjikan karena data genetik dapat digunakan
untuk memprediksi kerentanan terhadap obat TB lini pertama tanpa harus
menunggu sampai organisme tumbuh dalam kultur yang dapat memakan
waktu beberapa minggu. Metode ini meliputi pyrosequencing, Sanger
sequencing, dan genersi sekuensing selanjutnya.

Pemeriksaan diagnostik cepat yang saat ini ada di program DOTs-Plus


adalah Xpert Mtb Rif dan metode Hains (Line Probe Assay). Pemeriksaan
Xpert Mtb Rif dapat memberikan hasil dalam sehari dan metode Hain dalam
beberapa hari. Kedua pemeriksaan ini berguna untuk skrining diagnosis
sebelum diberikan pengobatan TB resistan. Pemeriksaan Xpert Mtb Rif adalah
pemeriksaan tes cepat molekuler yang dapat mendeteksi M. tuberculosis
sekaligus mendeteksi resistensi terhadap rifampisin

Berdasarkan perkembangan dalam hal diagnostik terutama dengan


ditemukannya XpertMtb Rif maka kementerian kesehatan mengeluarkan alur
diagnostik baru yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan no 67
tahun 2016.

158 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Update Diagnosis TB Resistan Obat

TERDUGA TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada Pasien dengan riwayat pengobatan TB,
riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien pasien dengan riwayat kontak erat
dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya dengan pasien TB RO, pasien dengan
HIV (+)
Pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis dengan
mikroskop atau tes cepat molekuler
(TCM)

Tidak memiliki akses Memiliki akses untuk


untuk TCM TB TCM TB

Pemeriksaan Pemeriksaan TCM TB


mikroskopis BTA

(- -) (+ +) MTB positif, MTB positif, Rif MTB positif, MTB negatif


(+ -) Rif sensitif intermediate Rif resistance
Tidak bisa dirujuk

Foto Toraks Terapi antibiotik TB terkonfirmasi Ulangi TB RR Foto Toraks


non OAT bakteriologis pemeriksaan (Mengikuti alur
TCM yang sama dengan
alur pada hasil
Tidak mendukung TB; Gambaran Ada Pengobatan TB pemeriksaan
Tidak ada perbaikan Mulai pengobatan TB RO, Lakukan
Bukan TB; cari mendukung perbaikan lini 1 mikroskopis BTA
klinis, ada faktor risiko pemeriksaan biakan dan uji
kemungkinan penyebab TB klinis negatif (-))
TB, dan atas kepekaan OAT Lini 1 dan Lini 2
penyakit lain pertimbangan dokter

TB terkonfirmasi klinis Bukan TB; cari TB RR; TB Pre XDR TB XDR


kemungkinan penyebab TB MDR
penyakit lain
Pengobatan TB
Lanjutkan Pengobatan TB RO
lini 1
pengobatan TB RO dengan panduan baru

Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis maupun klinis adalah pemeriksaan HIV
dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll.
Alur Diagnosis TB terbaru di Indonesia berdasarkan Permenkes no. 67 tahun 2016

Gambar 1. Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia.


Gambar 1. Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia.
Kesimpulan
Kesimpulan
Penegakan diagnostikTB resistan berdasarkan riwayat anamnesis
dengan Penegakan
adanyadiagnostikTB
kecurigaanresistan
klinis berdasarkan
TB resistan riwayat anamnesis
dan harus dengan adanya
dibuktikan dengan
kecurigaan klinis
pemeriksaan TB resistan dan
laboratorium. harus dibuktikan
Berbagai dengan pemeriksaan
cara pemeriksaan yang dapatlaboratorium.
dilakukan
Berbagai
untuk cara pemeriksaan
diagnostik yang dapatPemeriksaan
TB resistan. dilakukan untuk diagnostik
yang saat TBini
resistan. Pemeriksaan
dianjurkan untuk
yang saat ini TB
diagnostik dianjurkan untuk
resistan diagnostik
adalah tes TB resistan
cepat adalah tes cepat molekuler.
molekuler.

Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
1. TB CARE I. International standards for tuberculosis care, Edition 3. TB CARE I, The
1. TB CARE I. International standards for tuberculosis care, Edition 3. TB CARE I, The
Hague, 2014.
Hague, 2014.
2. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
2. Penyehatan Kesehatan
Kementerian Lingkungan. RI.Petunjuk teknisJenderal
Direktorat manajemen terpadu pengendalian
Pengendalian Penyakit dan
tuberkulosisLingkungan.
Penyehatan resistan obat. Jakarta:
PetunjukKementerian
teknis Kesehatan
manajemen RI. 2013.
terpadu pengendalian
3. World Health
tuberkulosis Organization.
resistan Companion
obat. Jakarta: handbookKesehatan
Kementerian to the WHO RI.guidelines
2013. for the
programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Geneva: WHO Document
Production Services, 2014.
4. Curry International Tuberculosis Center and California Department of Public Health,
2016:Ilmiah
Pertemuan Drug-Resistant Tuberculosis:
Nasional XVII A Survival
PAPDI - Surabaya 2019 Guide for Clinicians, Third Edition. 159
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan no 67 tahun
2016.
Prayudi Santoso

3. World Health Organization. Companion handbook to the WHO guidelines for


the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Geneva: WHO
Document Production Services, 2014.
4. Curry International Tuberculosis Center and California Department of Public
Health, 2016: Drug-Resistant Tuberculosis: A Survival Guide for Clinicians, Third
Edition.
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan no 67
tahun 2016.
6. CRyPTIC Consortium and the 100,000 Genomes Project. Prediction of
Susceptibility to First-Line Tuberculosis Drugs by DNA Sequencing. N Engl J Med.
2018;379(15):1403. Epub 201
7. Piubello A, Aït-Khaled N, Caminero JA, Chiang C-Y, Dlodlo, RA, Fujiwara PI, Heldal E,
Koura KG, Monedero I, Roggi A, Schwoebel V, Souleymane B, Trébucq A, Van Deun
A. Field Guide for the Management of Drug-Resistant Tuberculosis. Paris, France:
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, 2018.
8. Bernardo J. Diagnosis of pulmonary tuberculosis in adults. UpToDate, Jul 2019.
Diunduh dari www.uptodate.com.
9. Pai M, Ramsay A, O’Brien R. Evidence-based tuberculosis diagnosis. Plos Medicine,
2008; 5(7): 1043-9.
10. Kumar K, Kon OM. Diagnosis and treatment of tuberculosis: latest developments
and future priorities. Ann Res Hosp, 2017;1:37.
11. Caminero JA, Cayla JA, García-García J-M, García-Pérez FJ, Palacios JJ, Ruiz-Manzano
J. Diagnosis and treatment of drug-resistant tuberculosis. Arch Bronconeumol.
2017;53:501–509.
12. Maynard-Smith L, Larke N, Peters JA, Lawn SD. Diagnostic accuracy of the Xpert
MTB/RIF assay for extrapulmonary and pulmonary tuberculosis when testing non-
respiratory samples: a systematic review. BMC Infectious Diseases, 2014; 14:709.
13. Ryu YJ. Diagnosis of pulmonary tuberculosis: Recent advances and diagnostic
algorithms. Tuberc Respir Dis, 2015;78:64-71.

160 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Komprehensif
Tuberkulosis Resisten Obat
Heni Retnowulan
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr Sardjito - Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Abstrak
Sebelum mulai terapi perlu dilakukan evaluasi awal dan skrining
preterapi yang disesuaikan kondisi pasien. Pasien TB yang diketahui resistan
isoniazid tetapi sensitif rifampisin, disebut Tuberkulosis Resistan Isoniazid
(HrTB), diberikan terapi dengan rejimen rifampisin, etambutol, pirazinamid
dan levofloxacin dengan atau tanpa penambahan isoniazid selama 6 bulan.

Rejimen Jangka Panjang TB MDR diindikasikan untuk pasien TB RR/


MDR yang mendapat rejimen diperpanjang, terdiri dari semua obat di grup
A (levofloksasin/ moksifloksasin, bedaquilin dan linezolid) dan sedikitnya
1 dari grup B (clofazimin, sikloserin atau terizidon). Sehingga dalam satu
rejimen minimal terdapat 4 obat efektif dan minimal 3 obat setelah Bdq
dihentikan. Jika hanya 1 atau 2 obat saja dari grup A, maka 2 obat grup B bisa
digunakan untuk mencapai minimal 4 obat efektif. Jika obat di grup A dan
B tidak mencukupi maka obat di grup C (etambutol, delamanid, imipenem
silastatin/ meropenem, amikasin/ streptomisin, etionamid/ protionamid,
PAS) bisa digunakan untuk melengkapi. Tidak direkomendasikan penggunaan
perchlozone, interferron gamma atau sutezolid karena belum terdapat data
keberhasilan terapi dengan rejimen tersebut.

Rejimen jangka pendek TB MDR diidikasikan untuk pasien TB MDR/ RR


yang tidak mempunyai riwayat terapi lebih dari 1 bulan dengan OAT lini 2
yang digunakan dalan rejimen jangka pendek atau pasien yang terbukti tidak
resisten FQs dan SLI, rejimen jangka pendek 9-11 bulan dapat digunakan
sebagai ganti rejimen jangka panjang. Komposisinya yaitu, 9-11 bulan (4-6
bulan fase intensif dan 5 bulan fase lanjutan) yaitu 4-6 Km-Mfx-Cfz-Eto-Z-E-
Hh/ 5 Mfx-Cfz-Z-E.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 161


Heni Retnowulan

Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis. Secara umum menyerang paru tetapi bisa juga
organ eksta paru. Transmisi TB terjadi bila seorang sakit TB paru memproduksi
percik renik (airbone) ke udara. Percik renik tersebut bisa diproduksi saat
batuk, bersin, berbicara atau menyanyi. Kemudian terhirup oleh orang sehat.
Secara keseluruhan, proporsi TB relatif kecil 5-15% dari perkiraan 2-3 miliar
orang yang terinfeksi TB berkembang menjadi TB aktif. Tetapi probabilitas
menjadi TB aktif meningkat pada populasi HIV. Pada tahun 2020 diharapkan
terjadi penurunan jumlah kematian akibat TB sebesar 35% dan penurunan
angka insidensi TB sebesar 20% dibanding tahun 2015 (WHO, 2016).

Indonesia termasuk dalam negara yang mempunyai beban tinggi


terhadap TB selama periode 2016-2020, dan beban tersebut saling tumpang
tindih. Beban tersebut yaitu TB sensitif, TB MDR dan TB HIV. Secara global
pada tahun 2015, terdapat 10,4 juta kasus TB (kisaran, 8,7 juta sampai
12,2 juta), 1 setara dengan 142 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia,
diperikirakan dengan jumlah penduduk 258.000.000, terdapat 1.020.000
insidensi TB (setara dengan lebih dari 300 per 100.000 kejadian TB baru) dan
100.000 kejadian kematian berhubungan dengan TB. Proporsi TB HIV 5-9,9%.
Insidensi TB MDR/ RR: 32.000 kasus, setara dengan 12 per 100 000 populasi.
Dan 66% diantaranya adalah pasien TB MDR (WHO, 2016a).

Evaluasi Awal dan Skrining Preterapi


Pemeriksaan preterapi seyogyanya dilakukan secara sistematik, untuk
mengidentifikasi pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi efek
samping, hasil terapi yang tidak diharapkan dan menentukan data dasar
pasien. Kondisi yang dilakukan skrining saat evaluasi awal yaitu, status HIV
(tes HIV, diabetes melitus, hipertensi, insufisiensi renal, penyakit hepar akut
atau kronik, gangguan mental, ketegantungan obat atau alkohol, kehamilan,
keadaan menyusui, kejang, malnutrisi dan penyakit tiroid (WHO, 2014).

Pemeriksaaan laboratorium yang direkomendasikan yaitu:


- BTA sputum, kultur BTA sputum dan uji kepekaan terhadap rifampisin
dan isoniazid, fluorokuinolon dan SLI
- Pemeriksaan kalium, kreatinin, kadar gula darah, SGOT dan SGPT
- Pemeriksaan HIV (ulangi jika hasilnya negatif dan kecurigaan klinis HIV
tinggi)

162 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Komprehensif Tuberkulosis Resisten Obat

- Darah rutin bila terdapat kecurigaan anemia


- Tes kehamilan untuk pasien wanita usia produktif
- Jika terdapat simtom hipotiroid atau goiter atau pasien usia lanjut,
dilakukan pemeriksaan FT4 dan TSH
- Audiometri
- Ronsen thoraks
- Elektrokardiogram jika bedaquilin akan digunakan dalam regimen terapi
atau pasien mempunyai riwayat penyakit jantung
- Pemeriksaan status psikososial awal oleh tenaga kesehatan terlatih

(WHO, 2014)

Regimen untuk Tuberkulosis Resisten Isoniazid (HrTB)


Rekomendasi
- Pasien TB yang terkonfirmasi sensitif rifampisin dan resisten isoniazid,
diberikan terapi dengan rejimen rifampisin, etambutol, pirazinamid dan
levofloxacin dengan atau tanpa penambahan isoniazid selama 6 bulan.
- Pasien TB yang terkofirmasi sensitif rifampisin dan resisten isoniazid
tidak direkomendasikan penambahan streptomisin atau obat injeksi
lainnya.
- Efek samping yang mungkin terjadi yaitu hepatotoksisitas terkait dengan
pemberian 6 (H)REZ.

Penambahan levofloxacin pada rejimen (H)REZ direkomendasikan pada


semua pasien Hr-TB kecuali
- Resistensi rifampisin belum bisa ditentukan
- Definitif atau suspek resisten levofloxasin
- Intoleransi terhadap fluorokuinolon
- Definitif atau suspek berisiko pemenjangan interval QTc dan
- Hamil atau menyusui (bukan kontraindikasi absolut).

Pada kasus HrTB yang tidak bisa menggunakan fluorokuinolon maka


pasien diberikan rejimen 6(H)REZ.

Pada kasus adanya suspek atau bukti resistensi tambahan (terutama


terhadap pirazinamid) maka rejimen ditentukan secara individual. Jika

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 163


Heni Retnowulan

memungkinkan pemeriksaan resistensi terhadap isoniazid juga dilakukan


pemeriksaan mutasi spesifik yang berhubungan dengan resistensi terhadap
isoniazid (katG atau inhA) untuk menentukan desain rejimen.

Pertimbangan Kelompok Khusus


Pasien HrTB dengan penyakit ekstensif. Pemberian rejimen 6(H)REZ-
Lfx lebih dari 6 bulan perlu dipertimbangkan, bila didapatkan manifestasi
kavitas, BTA sputum (menggunakan metode mikroskopi atau kultur) masih
positif saat atau setelah bulan ke 3 terapi. Dengan kosekuensi peningkatan
risiko efek samping obat (hepatotoksisitas).

Pasien HrTB dengan HIV positif. Direkomendasikan pemberian rejimen


6(H)REZ-Lfx 6 bulan dan pemberian ARV dalam 8 minggu pertama setelah
OAT diberikan tanpa menilai besarnya nilai CD4.

Penyakit HrTB ekstra paru. Tidak ada data mengenai komposisi rejimen
HrTB ekstra paru. Pengobatan HrTB ekstra paru dirancang berdasar
konsultasi dengan dokter spesialis terkait yaitu komposisi rejimen, durasi
OAT dan perawatan suportif sesuai kebutuhan pasien.

Pertimbangan Implementasi
Rejimen (H)REZ-Lfx direkomendasikan pada pasien yang terkonfirmasi
resisten isoniazid dan tidak terbukti resisten rifampisin, dan dapat diterapkan
pada kondisi:
- HrTB terkonfirmasi sebelum terapi OAT diberikan. Rejimen (H)REZ-
Lfx segera diberikan jika kecenderungan diagnosis sangat mendukung
(misal, kontak erat pasien terkonfirmasi HrTB) tetapi hasil kultur belum
jadi atau tersedia. Jika hasil uji kepekaan lini (DST) menunjukkan hasil
sensitif isoniazid maka Lfx harus dihentikan dan dilanjutkan dengan
rejimen 2HREZ/ 4HR.
- HrTB terkonfirmasi setelah terapi menggunakan rejimen 2HREZ/4HR.
Kondisi ini termasuk pasien HrTB yang tidak terdiagnosis saat terapi
OAT lini 1 diberikan atau pasien yang berkembang menjadi resisten
dapat setelah menggunakan OAT lini 1. Pada kondisi tersebut tes cepat
molekuler rifampisin harus dilakukan atau diulang bila hasil pertama
menunjukkan sensitif rifampicin. Jika resistensi rifampicin tidak terbukti
maka diberikan regimen (H)REZ-Lfx selama 6 bulan. Durasi terapi

164 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Komprehensif Tuberkulosis Resisten Obat

secara keseluruhan adalah menganut durasi 6 bulan Lfx. Sehingga ada


kemungkinan pemberian OAT lebih dari 6 bulan.
- Jika didapatkan bukti resisten rifampisin maka diberikan rejimen sesuai
dengan prokotol TB MDR.

Secara global prevalensi Hr-TB lebih tinggi dibanding MDR TB. Sehingga
semua negara disarankan mulai melakukan uji resistensi terhadap isoniazid
dan rifampicin sebelum memulai pengobatan TB. Minimal melakukan uji
resitensi rifampisin sebelum memulai rejimen (H)REZ-Lfx, bila memungkinkan
uji resistensi FQs menggunakan Xpert MTB/ RIF dan LPA. Bila didapatkan
kecurigaan/ suspek atau bukti resistensi tambahan (misal FQs dan Z) maka
diberikan manajemen sesuai rejimen individual atau poliresisten TB.

Rekomendasi penambahan Lfx pada (H)REZ pada pasien Hr-TB sebagai


berikut bila tidak didapatkan:
- Bukti resistensi rifampicin tidak bisa diesklusi (misal sensitivitas R tidak
diketahui, indeterminated atau hasil salah pada Xpert MTB/ RIF.
- Suspek atau terbukti resisten Lfx.
- Terbukti intoleran terhadap FQs.
- Suspek atau terbukti berisiko pemanjangan gelombang QT.
- Jika memungkinkan hamil atau menyusui (bukan kontraindikasi absolut).

Jika terdapat bukti resisten H terlambat (misal bulan 5 terapi 4HREZ/


4HR), maka bulan 6 dihitung sebagai awal terapi (H)REZ-Lfx. Jika Lfx tidak
dapat digunakan karena tokisisitas atau resisten, maka pasien diberikan
regimen 6(H)REZ.

Penambahan Isoniazid. Manfaat dan kerugian penambahan H belum


jelas. Tetapi penambahan H pada kasus Hr-TB bertujuan untuk kenyamanan
dan memudahkan pasien mengkonsumsi OAT, karena bisa diberikan dalam
bentuk KDT (FDC) bersama Lfx. Jika terbukti terdapat mutasi inh A dan tidak
terdapat mutasi Kat G maka dapat diberikan INH dengan dosis maksimal 15
mg/ kg BB/ hari.

Tidak direkomendasikan pemberian rejimen dalam bentuk dosis terbagi


atau intermiten. Lfx mempunyai potensi interaksi dengan klirens lamivudin
(kadar lamivudin meningkat) dan divalen yang mengandung kation (seperti
antasid).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 165


Heni Retnowulan

Rejimen Hr-TB tidak mempunyai fase intensif dan fase lanjutan. Tetapi
untuk program monitor dan evaluasi sama seperti TB sensitif obat. Tanda
tidak respon terapi atau gagal terapi seharusnya diperiksa menggunakan uji
kepekaan rifampisin (DST R), dan jika memungkinkan dilakukan uji kepekaan
FQs dan Z. Tidak direkomendasikan melakukan penambahan satu agen OAT
pada kondisi pasien yang mempunyai hasil BTA (mikroskopis atau kultur)
positif setelah terapi 2 bulan, respon klinis tidak baik dan pasien yang tidak
mempunyai hasil DST.

Efek samping yang perlu dimonitor yaitu hepatotoksisitas dan neuritis


retrobulbar. Monitor efek samping hepatotoksisitas sangat disarankan untuk
dilakukan setiap bulan pada pasien risiko tinggi, yaitu komobiditas hepatitis
virus atau riwayat penggunaan alkohol yang berat.

Komposisi Rejimen Jangka Panjang TB MDR


Rekomendasi
1. Pada pasien TB RR/ MDR yang mendapat rejimen jangka panjang,
terdiri dari semua obat di grup A dan sedikitnya 1 dari grup B. Sehingga
dalam satu rejimen minimal terdapat 4 obat efektif dan minimal 3 obat
setelah Bdq dihentikan. Jika hanya 1 atau 2 obat saja dari grup A, maka
2 obat grup B bisa digunakan untuk mencapai minimal 4 obat efektif.
Jika obat di grup A dan B tidak mencukupi maka obat di grup C bisa
digunakan untuk melengkapi. Tidak direkomendasikan penggunaan
perchlozone, interferron gamma atau sutezolid karena belum terdapat
data keberhasilan terapi dengan rejimen tersebut.

Tabel 1. Grup Obat TB MDR yang Digunakan pada Regimen yang Diperpanjang
Tabel. Grup Obat TB MDR Yang Digunakan Pada Regimen Yang Diperpanjang.

2. Kanamisin (Km) dan capreomisin (Cm) tidak termasuk dalam terapi TB RR/ MDR pada
166 rejimen diperpanjang. Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
3. Levofloxacin (Lfx) dan Moxifloxacin (Mfx) seharusnya dimasukan dalam terapi TB RR/
MDR pada rejimen diperpanjang.
4. Bedaquilin (Bdq) seharusnya dimasukan dalam terapi TB RR/ MDR pada rejimen
diperpanjang, untuk pasien usia lebih atau sama dengan 18 tahun. Bdq juga digunakan
Manajemen Komprehensif Tuberkulosis Resisten Obat

2. Kanamisin (Km) dan capreomisin (Cm) tidak termasuk dalam terapi TB


RR/ MDR pada rejimen diperpanjang.
3. Levofloxacin (Lfx) dan Moxifloxacin (Mfx) seharusnya dimasukan dalam
terapi TB RR/ MDR pada rejimen diperpanjang.
4. Bedaquilin (Bdq) seharusnya dimasukan dalam terapi TB RR/ MDR pada
rejimen diperpanjang, untuk pasien usia lebih atau sama dengan 18
tahun. Bdq juga digunakan untuk pasien usia 6-17 tahun.
5. Linezolid (Lzd) seharusnya dimasukan dalam terapi TB RR/ MDR pada
rejimen diperpanjang. Disarankan untuk digunakan selama keseluruhan
durasi terapi OAT. Bila terdapat keterbatasan karena efek samping maka
Lzd bisa diberikan setidaknya 6 bulan.
6. Clofazimin (Cfz) dan Sikloserin (Cs) mungkin bisa dimasukan dalam
terapi TB RR/ MDR pada rejimen diperpanjang.
7. Etambutol (Etb) mungkin bisa dimasukan dalam terapi TB RR/ MDR
pada rejimen diperpanjang.
8. Delamanid (Dlm) mungkin bisa dimasukan dalam terapi TB RR/ MDR
pada rejimen diperpanjang, untuk pasien usia lebih atau sama dengan 3
tahun. Belum terdapat bukti keamanan Dlm untuk pasien usia 6 bulan – 3
tahun, sehingga bila Dlm diperlukan maka merupakan harus mengikuti
tatalaksana terbaik. Belum terdapat data penggunaan Dlm dan Bdq
secara bersamaan.
9. Pirazinamid (Z) mungkin bisa dimasukan dalam terapi TB RR/ MDR pada
rejimen diperpanjang. Z akan meberikan efek efektif hanya bila terdapat
hasil DST yang menyatakan sensitif.
10. Imipenem-silastatin (Ipx) atau meropenem (Mpx) mungkin bisa
dimasukan dalam terapi TB RR/ MDR pada rejimen yang diperpanjang.
Setiap dosis Ipx atau Mpx diberikan bersama asam kalvulanat, sehingga
asam klavulanat tidak diperhitungkan boleh sebagai komponen dalam
rejimen OAT.
11. Amikasin (Amk) mungkin bisa dimasukan dalam terapi TB RR/ MDR
pada rejimen diperpanjang, untuk pasien usia lebih atau sama dengan
18 tahun. Jika Amk tidak tersedia maka streptomisin dapat digunakan
untuk menggantikan Amk dan S dipertimbangkan untuk digunakan
sebagai komponen rejimen jika hasil DST menyatakan sensitif
dan terdapat fasilitas audiometri yang baik untuk memantau efek
ototoksisitas. S harus dipertimbangkan bila Amk tidak dapat digunakan
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 167
Heni Retnowulan

(tidak terdapat hasil atau terbukti resisten) dan DST menyatakan


sensitif terhadap S (jika secara genotipik, LPA tidak bisa menilai adanya
resistensi maka diperlukan metoda fenotipik yaitu DST. Km dan CM tidak
direkomendasikan lagi untuk digunakan sebagai komponem rejimen
OAT. Obat ini menunjukkan efektivitas hanya pada rejimen tanpa Bdq,
Lzd, Cfz atau Dlm. Sehingga hanya dipertimbangkan dipakai bila pilihan
rejimen yang lain tidak memungkinkan.
12. Asam para-aminosalisilat (PAS) mungkin bisa dimasukan dalam terapi
TB RR/ MDR pada rejimen yang diperpanjang hanya jika Bdq, Lzd, Cfz
atau Dlm tidak bisa digunakan atau tidak dapat merancang kombinasi
regimen.
13. Asam klavulanat seharusnya tidak dimasukkan ke dalam terapi TB RR/
MDR pada rejimen diperpanjang.

Obat yang tidak termasuk dalam grup A, B dan C, yaitu:


1. Kanamisin (Km) dan kapreomisin (Cm), berhubungan luaran terapi yang
kurang baik.
2. Gatifloxacin (Gtx), isoniazid dosis tinggi (HH) digunakan pada pasien
dalam jumlah yang sangat kecil. Tioasetazon (T) sama sekali tidak
digunakan. Gtx dengan kualitas yang baik tidak tersedia dipasaran karena
efek samping disglikemia. Hh mungkin memiliki peran pada kelompok
pasien khusus.
3. Asam klavulanat seharusnya digunakan dalam rejimen TB RR/ MDR
hanya sebagai pendamping karbapenem (imipenem silastatin (Ipx)
atau meropenem (mpx). Sehingga tidak boleh diperhitungkan sebagai
komponen obat dalam regimen.

Pertimbangan pada Kelompok Khusus


1. TB MDR/ RR saja atau dengan resistensi tambahan.
Pemberian rejimen jangka panjang lebih efektif bila dipandu dengan
hasil DST. Desain rejimen jangka panjang untuk pasien MDR/RR dengan
resistensi tambahan (termasuk TB XDR) mengikuti protokol yang
sama dengan yang digunakan pada pasien TB MDR. Secara ideal semua
pasien TB MDR harus diperiksa DST terhadap FQs. Minimal sebelum
memulai terapi. Jika rejimen diperpendek atau Amk dipertimbangkan
akan digunakan maka harus segera dilakukan tes cepat untuk SLI. Tes
lain untuk resistensi terhadap Bdq, Dlm, Lzd, Z dan pola mutasi secara

168 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Komprehensif Tuberkulosis Resisten Obat

umum dikaitkan dengan resistensi terhadap H dan Eto/ Pto untuk


memandu pemilihan rejimen (misal untuk mengeksklusi rejimen yang
diperpendek) dan komposisinya. Sampai saat ini belum ada tes cepat
molekuler yang disetujui untuk resistensi Z, dan diperlukan beberapa
minggu untuk mendapatkan hasil DST terhadap Z. Sehingga bila berdasar
DST akan menunda onset pemberian obat. Begitu juga dengan DST untuk
obat-obat lain belum reliabel. Sehingga program TB seharusnya mulai
memfasilitasi.

TB RR
Pasien anak atau dewasa yang tidak terbukti resisten H perlu diobati
dengan rejimen MDR (rejimen yang diperpanjang dengan penambahan H
atau rejimen yang diperpendek sesuai kriteria). Isoniazid dosis tinggi tidak
termasuk dalam grup A, B dan C karena kelangkaan penggunaannya. Isoniazid
dosis tinggi masih mungkin digunakan pada kondisi adanya bukti sensitif atau
mutasi.

TB Ekstraparu dan Meningitis


Direkomedasikan pemberian rejimen diperpanjang untuk pasien TB
ekstraparu. Rejimen disesuaikan dengan lokasi organ terkait. Pengobatan TB
MDR meningitis sebaiknya dipandu DST, dan pertimbangan kemampuan obat
melewati sawar darah otak. Levofloxasin dan moxifloxasin mampu menembus
sistem saraf pusat dengan baik. Begitu juga etionamid (Eto), protionamid (Pto),
sikloserin (Cs)/ terizidon (Trd), linizolid (Lzd) dan imipenem silastatin (Ipx).
Isoniazid dosis tinggi (Hh) dan pirazinamid (Z) juga dapat mencapai tingkat
terapetik. PAS dan etambutol (etb) tidak dapat menembus SSP dengan baik
dan tidak boleh dianggap sebagai agen efektif untuk meningitis TB. Amikasin
(Amk) dan Streptomisin (S) dapat menembus SSP hanya bila terdapat inflamasi
meningeal. Hanya sedikit data yang menyatakan kemmapuan penetrasi obat
(Cfz, Bdq atau Dlm) ke SSP.

TB pada Kehamilan
Amk, S, Pto dan Eto biasanya merupakan kontraindikasi selama
kehamilan. Pengetahuan atau data mengenai keamanan Bdq dan Dlm masih
sangat jarang. Disarankan untuk pemberian rejimen yang diperpanjang dengan
komponen yang ditentukan secara individual, untuk menjamin keamanan
terapi terhadap efek samping. Semua hasil terapi dan kelainan kongenital
yang terjadi harus dicatat untuk membantu menyusun rekomendari terapi
TB MDR pada kehamilan di masa yang akan datang.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 169
Heni Retnowulan

TB MDR HIV
Komposisi rejimen biasanya tidak berbeda secara bermakna untuk
ODHA. Beberapa interaksi obat dihindari (misal Bdq dan efavirens).
Pertimbangan Implementasi
1. Rejimen peroral secara penuh harus diprioritaskan dan menjadi pilihan
yang lebih disukai pada mayoritas pasien. Dan obat suntik tidak lagi
menjadi obat yang diprioritaskan untuk merancang rejimen diperpanjang.
2. Semua pasien disarankan untuk pemeriksaan DST sebelum menerima
terapi.
3. Tes molekular cepat untuk menilai resistensi FQs dan Amk diperlukan
untuk menentukan jenis rejimen (rejimen diperpanjang atau rejimen
diperpendek). Geno Tip MTBDRsl LPA dapat digunakan untuk minilai
resitensi terhadap FQs (sampel ekstra paru). Uji MTBDRsl sangat
berkorelasi dengan resistensi fenotipik terhadap ofloxasin dan
levofloxasin, sementara kurang berkorelasi dengan moxifloxasin dan
gatifloxasin. Penggunaan moxifloxasin dalam regimen yang terbaik
adalah dengan panduan DST fenotipik. Tetapi pemberian rejimen harus
segera diberikan kepada pasien tanpa harus menunggu hasil DST.
4. Bila hasil DST membuktikan resisten terhadap salah satu agen maka agen
tersebut seharusnya diganti. Ada beberapa DST yang kurang reliabel yaitu
untuk agen (Cs, S, Etb). Efektivitas obat-obat tersebut ditentukan dari satu
atau lebih kriteria sebagai berikut, (1), terkonfirmasi sensitif pada pasien,
(2), berdasar riwayat resistensi index case (sumber penularan terduga),
(3), tidak terdapat resistensi silang terhadap obat, (4), penggunaan obat
tersebut jarang di area tertentu, (5), tidak ada riwayat penggunaan obat
tersebut pada rejimen gagal.
5. Diharapkan semua pasien bisa diterapi dengan 4 obat efektif saat
mulai terapi, salah satu Bdq yang akan dihentikan setelah 24 minggu (6
bulan) terapi. Sehingga minimal dibutuhkan 3 obat efektif setelah Bdq
dihentikan. Jika obat lainnya dipertimbangkan akan dihentikan karena
efek samping maka obat tersebut harus diganti dengan obat yang lain.
Peggantian obat bisa dipakai dari grup B . Bila semua obat grup B (Cs dan
Cfz) telah digunakan maka grup C sesuai urutan (ranking). Penggunaan
5 obat perlu dipertimbangkan bila (1), diperkirakan akan ada 2 obat
(Bdq-6 bulan terapi dan Lzd-efek samping) yang dihentikan karena efek
samping daripada menggati obat yang telah dimulai rejimennya, (2),
tidak terapat fasilitas DST yang reliabel dan diketahui prevalesi resitensi

170 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Komprehensif Tuberkulosis Resisten Obat

diarea tersebut cukup tinggi, (3), obat yang digunakan (misal total hanya
2 obat dari grup A dan grup B) efektifitasnya rendah.
6. Bila pasien merupakan indikasi pemberian rejimen yang diperpendek
tetapi bisa dipertimabngkan diganti dengan rejimen yang diperpanjang
bila, (1), terdapat ketidakpastian hasil DST, (2), kesulitan mengakses
LPA, 93), kesulitan mengakses audiometri, (4), ketidaktersediaan obat
Cfz atau obat yang lain, (5), menghemat obat injeksi atau (6), pasien
memerlukan inisiasi OAT segera sebelum data pendukung tersedia.
7. Jika rejimen diperpendek tidak bisa digunakan maka pasien akan
diberikan rejimen yang diperpanjang. Pasien yang pada awalnya
mendapat rejimen diperpendek bisa ditransfer ke rejimen diperpanjang.
Tetapi pasien yang mendapat rejimen diperpanjang bisa ditransfer ke
rejimen yang diperpendek bila pemberiannya sebelum mencapai 4 bulan.
8. Dosis obat diberikan sesuai berat badan. Disarankan pemberian obat
sesuai jadwal yang direkomendasikan. Dan manipulasi tablet (membelah,
menghancurkan, melarutkan dalam air) harus dihindari atau setidaknya
sangat dikurangi.

Monitor dan Evaluasi


Pasien yang menerima rejimen diperpanjang memerlukan monitor respon
terapi dan efek samping menggunakan pemeriksaan klinis dan laboratoris.
Elektokardiogram merupakan indikasi bila pasien menerima 2 atau 3
obat yang memicu pemanjangan gelombang QT jika diberikan bersamaan.
Audiometri dan pemeriksaan biokimia spesifik juga dilakukan bila pasien
menerima obat tertentu yang berhubungan dengan efek samping. Surveilans
kelainan kongenital pada ibu dengan riwayat terapi saat kehamilan mungkin
akan memberikan kontribusi untuk protokol TB MDR pada kehamilan di masa
yang akan datang. Kultur BTA dan BTA mikroskopi merupakan metode untuk
menilai respon terapi.

Durasi Rejimen yang Diperpanjang


Rekomendasi:
1. Pasien yang menerima rejimen diperpanjang durasi total terapi yaitu 18-
20 bulan disarankan bagi mayoritas pasien dan dapat dimodifikasi sesuai
dengan respon terapi.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 171


Heni Retnowulan

2. Pasien yang menerima rejimen diperpanjang, durasi terapi yaitu 15-17


bulan setelah konversi kultur BTA disarankan bagi mayoritas pasien,
durasi dapat dimodifikasi sesuai respon terapi pasien.
3. Pasien yang menerima rejimen diperpanjang mengandung Amk atau S,
fase intensifnya yaitu 6-7 bulan disarankan bagi mayoritas pasien. Durasi
dapat dimodifikasi sesuai respon terapi pasien.

Pertimbangan Kelompok Khusus


TB MDR/ RR saja atau dengan resistensi tambahan. Pasien TB MDR/
RR dengan atau tanpa resistensi tambahan terhadap OAT lini 2, termasuk
TB XDR. Pasien yang terbukti resisten terhadap Amk atau S, durasi terapi
mungkin lebih dari 20 bulan.

Pasien dengan rejimen tanpa Amk atau S.


Pasien yang menerima rejimen yang tidak mengandung obat injeksi
pada fase intensif, rekomendasi (3) tidak dapat diterapkan dan durasi terapi
ditentukan berdasar durasi dan waktu setelah konversi kultur BTA (yaitu
rekomendasi 1 dan 2). kondisi yang perlu diperhatikan yaitu bila pasien
menerima Bdq selama 24 minggu atau Lzd selama 24 dan dihentikan karena
efek samping. Durasi 6 bulan bukan berarti fase intensif.

Pasien dengan penyakit TB ekstensif.


Durasi terapi post konversi kultur mungkin dimodifikasi seusai respon
terapi pasien (misal konversi kultur sebelum 2 bulan terapi dan risiko lain
terhadap kegagalan terapi atau kekambuhan (relaps). Kondisi tersebut perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit ekstensif.

Wanita Hamil
Obat injeksi merupakan kontraindikasi pada kehamilan, berhubungan
dengan efek teratogenik. Sehingga rekomendasi 3 kurang relevan pada
populasi ibu hamil.

TB Ekstraparu dan Kultur TB Negatif


TB MDR/ RR ekstraparu secara umum dapat diterapi dengan kominasi
rejimen dan durasi yang sama seperti yang digunakan pada TB MDR/ RR
paru. (baca tentang obat spesifik untuk TB serebral). Rekomendasi 2 tidak
dapat diterapkan pada kasus kultur negatif, sehingga disarankan durasi total

172 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Komprehensif Tuberkulosis Resisten Obat

18-20 bulan dan respon seharusnya dimonitor dengan manifestasi klinis


daripada menggunakan spesimen bakteriologi. Hasil kultur negatif mungkin
lebih berhubungan dengan kualitas fasilitas laboratorium yang kurang baik
daripada sputum benar benar negatif.

Pertimbangan Implementasi
Pasien yang menerima Amk atau S dan terbukti kultur positif, maka ketiga
rekomendasi (3.1,3.2 dan 3.3) diterapkan. Pada pasien yang menerima OAT
peroral semua maka durasi terapi ditentukan berdasar durasi total dan waktu
setelah konversi kultur BTA (rekomendasi 3.1 dan 3.2). Pasien dengan hasil
bakteriologis negatif atau ekstraparu, maka durasi terapi hanya ditentukan
berdasar durasi total saja (rekomendasi 3.1).

Monitor dan Evaluasi


Pasien yang menerima rejimen diperpanjang membutuhkan monitor
untuk menilai respon terapi atau efek samping obat, dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, ronsen thoraks, audiometri, ketajaman visus, EKG dan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan BTA mikroskopi atau kultur
digunakan untuk menilai konversi status bakteriologi. Hasil kultur positif
persisten atau mendekati akhir fase intensif ketika menggunakan obat injeksi
merupakan kondisi yang perlu dipertimbangkan untuk mengevaluasi rejimen
dan hasil DST.

Komposisi Rejimen TB MDR yang diperpendek


Rekomendasi:
Pasien TB MDR/ RR yang tidak menpunyai riwayat terapi lebih dari 1
bulan dengan OAT lini 2 yang digunakan dalan rejimen diperpendek atau
pasien yang terbukti tidak resiten FQs dan SLI, rejimen jangka pendek 9-11
bulan dapat digunakan sebagai ganti rejimen diperpanjang.

Jika rejimen diperpendek akan digunakan, maka direkomendasikan:


1. Rejimen diperpendek 9-11 bulan (4-6 bulan fase intensif dan 5 bulan fase
lanjutan) yaitu 4-6 Km-Mfx-Cfz-Eto-Z-E-Hh/ 5 Mfx-Cfz-Z-E.
2. Terdapat keputusan bersama antara dokter dan pasien dalam
menentukan rejimen yang akan digunakan (rejimen diperpanjang atau
rejimen diperpendek).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 173


Heni Retnowulan

3. Sebelum memulai pengobatan sangat disarankan untuk melakukan tes


uji kepekaan FQS dan SLI, dan komponen lainnya bila memungkinkan
(misal pirazinamid, mutasi terkait INH dan Eto).
4. Kanamisin (Km) dapat diganti dengan amikasin (Amk).
5. Memperhatikan kriteria eksklusi.

Pertimbangan untuk memulai terapi rejimen diperpendek bila tidak


terdapat:
1. Suspek atau terbukti resisten terhadap obat yang digunakan dalan
rejimen diperpendek (kecuali resisten terhadap isoniazid).
2. Terpapar satu atau lebih OAT lini 2 lebih dari 1 bulan (kecuali bila
terbukti sensitif terhadap OAT lini 2).
3. Intoleran terhadap obat yang digunakan dalam rejimen diperpendek atau
berisiko toksisitas dari obat dalam rejimen diperpendek (misal interaksi
obat).
4. Kehamilan.
5. TB deseminata, meningitis atau susunan saraf pusat.
6. TB ekstra paru pada HIV.

Pertimbangan pada kelompok spesifik


Orang dengan HIV (ODHA/ PLHIV)
Rejimen jangka pendek dapat digunakan untuk ODHA didampingi inisiasi
ARV sesuai panduan WHO. ODHA yang menerima rejimen jangka pendek
mungkin memerlukan obat profilaksis untuk infeksi oportunistik, dukungan
kepatuhan, pemantauan ketat dan tindak lanjut sebagai bagian dari perawatan
rutin HIV.

TB RR tanpa MDR
Pasien TB RR yang tidak terbukti resisten isoniazid bisa diberikan
rejimen diperpendek, tergantung persyaratan lainnya

Resistensi Tambahan pada MDR


Didapatkan data peningkatan kejadian gagal terapi, relaps, reversi kultur
pada kelompok pasien yang sensitif FQs dan SLI tetapi resisten terhadap Z
dan etionamid/ protionamid. Pada pasien terinfeksi strain yang terkonfirmasi
resisten terhadap komponen rejimen diperpanjang atau diduga akan terjadi
inefektivitas obat (misal, pasien kontak dengan kasus indeks yang terbukti

174 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Komprehensif Tuberkulosis Resisten Obat

resisten), maka rejimen diperpendek seharusnya tidak digunakan. Pasien


yang tinggal area kejadian resistensinya (terhadap pirazinamid dan etonamid)
tinggi direkomendasikan tidak menggunakan rejimen diperpendek.

Wanita Hamil
Dua dari rejimen jangka pendek (SLI dan etionamid) merupakan
kontraindikasi pada kehamilan. Sehingga pasien hamil direkomendasikan
menggunakan rejimen diperpanjang/ individual dengan memilih empat atau
lebih obat efektif dan mempertimbangakan risiko efek teratogenik yang lebih
kecil.

TB Esktraparu
Disarankan rejimen jangka pendek dihindari pada TB diseminata, SSP
dan semua ODHA dengan TB ekstraparu.

Pasien dengan Diabetes Melitus


Belum banyak data mengenai penggunaan rejimen diperpendek untuk
pasien dengan diabetes melitus. Direkomendasikan pasien dengan diabetes
melitus diberikan rejimen diperpendek seperti untuk semua pasien lainnya.

Kriteria untuk memutuskan kapan rejimen TB MDR diperpendek dapat


ditawarkan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 175


Heni Retnowulan

Monitordan
Monitor danEvaluasi
evaluasi
Pasien yang menerima rejimen diperpendek membutuhkan monitor selama terap
Pasien yang menerima rejimen diperpendek membutuhkan monitor
jadwal pemeriksaan klinis dan uji laboratorium. Kultur dan mikroskopi sputum seh
selama terapi sesuai jadwal pemeriksaan klinis dan uji laboratorium.
dilakukan saat memulai terapi. Direkomendasikan untuk pemeriksaan EKG dan audio
Kultur dan mikroskopi sputum seharusnya dilakukan saat memulai terapi.
Direkomendasikan untuk pemeriksaan EKG dan audiometri.
Daftar Pustaka

WHO, 2014b, Companion Handbook-To the WHO Guidelines for The Program
Daftar1.Pustaka
Management
1. WHO, 2014 b
of Drug-Resistant
, Companion Handbook-To the Tuberculosis,
WHO Guidelines for The Programathic
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75146/1/9789241548441_eng.pdf
Management of Drug-Resistant Tuberculosis, http://apps.who.int/iris/bitstre
2. WHO, 2016a, Global Tuberculosis Report, http://www.who.int.
am/10665/75146/1/9789241548441_eng.pdf
b
3. 2016
2. WHO, WHO,
a
, Global , WHO Treatment
2016Tuberculosis Guidelines for Drug Resistant
Report, http://www.who.int. Tuberculosis-20
Update, www.who.int/tb/areas-of-work/drug-resistant-tb/treatment/resources/
3. WHO, 2016b, WHO Treatment Guidelines for Drug Resistant Tuberculosis-2016
4. WHO, 2019, WHO Consolidated Guidelines on Drug-Resistant Tuberculosis
Update, www.who.int/tb/areas-of-work/drug-resistant-tb/treatment/resources/
Treatment, WHO 2019.
4. WHO, 2019, WHO Consolidated Guidelines on Drug-Resistant Tuberculosis
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/311389/9789241550529-eng.p
Treatment, WHO 2019. https://apps.who.int/iris/bitstream/hand
le/10665/311389/9789241550529-eng.pdf

176 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tirotoksikosis (Hipertiroid) dalam Kehamilan
Yuanita Asri Langi
Divisi Endokrinologi dan Metabolik, KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou - Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Berbagai Tantangan Dalam Penegakkan Diagnosis dan


Penatalaksanaan Hipertiroid Dalam Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit tiroid dan di lain
pihak abnormalitas hormon tiroid dapat mempengaruhi perlangsungan
dan produk kehamilan. Terdapat indikasi bahwa hormon tiroid berperan
penting dalam proses pemeliharaan kehamilan. Hal ini tampak melalui
adanya peran aktif dari plasenta untuk menjamin ketersediaan hormon
tiroid melalui aktifitas human chorionic gonadotropin (HCG). Ikatan HCG pada
reseptor TSH di folikel kelenjar tiroid akan meningkatkan sekresi hormon
tiroid oleh folikel tiroid. Peningkatan sekresi hormon tiroid tersebut akan
menyebabkan penurunan kadar TSH di plasma. Kadar HCG tertinggi dijumpai
pada usia kehamilan 7-11 minggu, dengan demikian pada TM1 kehamilan,
dapat dijumpai penurunan kadar TSH yang terjadi secara normal/fisiologis.
Proses fisiologis ini perlu dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi hasil
pemeriksaan laboratorium TSH pada ibu dalam usia kehamilan trimester 1.

Disamping peningkatan sekresi hormon tiroid seperti yang dipaparkan


di atas, dalam kehamilan juga terjadi peningkatan kadar thyroid binding
globulin (TBG). Proses-proses ini terkait dengan peningkatan kadar tiroksin
total (total thyroxin,TT4) yang terjadi secara fisiologis dalam kehamilan.
Peningkatan kadar TT4 telah tampak pada usia kehamilan 7 minggu dan
mencapai puncak pada usia kehamilan 16 minggu, selanjutnya tetap tinggi
sampai akhir kehamilan. Peningkatan kadar TBG dan penurunan kadar
albumin membawa implikasi terhadap metode analisis kadar FT4 terutama
pada usia kehamilan trimester 3. Pemeriksaan laboratorium menggunakan
metode yang umum dilakukan yakni automated imunnoassay, tidak dapat
menganulir pengaruh peningkataan TBG dan penurunan albumin terhadap
kadar FT4 yang dihasilkan.

Obat golongan tionamid yakni metimazol (MMI), carbimazol (CM)


dan propilthiourazil (PTU) merupakan obat-obat yang digunakan untuk

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 177


Yuanita Asri Langi

mengendalikan keadaan tirotoksikosis. Baik PTU maupun MMI/ CM, dapat


melewati plasenta dan berpotensi teratogenik. Meskipun demikian, sampai
saat ini, baik MMI maupun PTU masih merupakan obat oral utama yang
tersedia dalam pengelolaan tirotoksikosis dalam kehamilan.

Pemberian MMI/ CM pada usia awal kehamilan, terutama 6-10 minggu,


berpotensi terjadinya sindroma methimazole/carbimazole embryopathy.
Malformasi kongenital yang telah dilaporkan dapat berupa aplasia kutis,
dysmorphic facies, atresia esofagus, defek dinding perut (antara lain
umbilicocele), mata, sistem berkemih dan septum ventrikel jantung. Kejadian
teratogenik dilaporkan pada 2-4% bayi yang terpapar dengan obat golongan
ini di awal usia kehamilan.

Pemberian PTU pada awal usia kehamilan berpotensi terjadinya defek


kongenital meskipun dalam kategori defek minor yakni berupa kista di wajah
atau leher. Disamping itu terdapat pula risiko abnormalitas saluran kemih
pada bayi laki-laki. Kejadian defek kongenital terkait pemberian PTU di awal
usia kehamilan berkisar 2-3%.

Adanya risiko efek teratogenik obat oral anti tiroid tersebut di atas, tidak
dapat menafikan penggunaan obat-obat tersebut pada ibu yang mengalami
tirotoksikosis dalam kehamilan. Hipertiroid klinis yang tidak terkendali akan
meningkatkan risiko perburukan baik pada ibu maupun bayi yang dikandung.
Risiko pada ibu berupa pre-eklampsia, gagal jantung kongestif dan krisis
tiroid. Janin/bayi yang dikandung oleh ibu dengan hipertiroid klinis yang
tidak terkendali berisiko untuk mengalami terjadinya abortus, intrauterine
growth restricition, bayi lahir mati, lahir prematur, maupun berat badan lahir
rendah. Disamping itu, sejumlah studi mengindikasikan bahwa fetus yang
terpapar hormon tiroid ibu secara eksesif berisiko mengalami pembentukan
program patologis pada sistim saraf yang terkait dengan gangguan kejang
dan neurobehavioral pada masa kanak-kanak atau usia selanjutnya.

Patofisiologi penyakit Graves terkait dengan adanya antibodi terhadap


reseptor TSH (TRAb). Selain obat anti tiroid, TRAb juga dapat melewati barrier
plasenta. Kadar TRAb yang tinggi dapat menyebabkan terjadi hipertiroid
pada fetus mulai usia pertengahan kehamilan serta neonatal. Angka kejadian
hipertiroid fetus dan neonatal berkisar 1-5% dan terkait dengan peningkatan
morbiditas maupun mortalitas peri/neonatal. Pemeriksaan kadar TRAb perlu

178 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Penatalaksanaan Tirotoksikosis (Hipertiroid) dalam Kehamilan

dilakukan serta dilanjutkan dengan interpretasi dan keputusan klinis yang


tepat.

Nodul tiroid otonom yang fungsional, baik tunggal maupun multipel,


dapat menyebabkan keadaan hipertiroid dalam kehamilan. Penggunaan obat
anti tiroid harus dilakukan secara tepat. Dalam keadaan memerlukan tindakan
operatif, maka penentuan waktu operasi adalah penting.

Adanya risiko-risiko terkait dampak tirotoksikosis yang tidak terkendali


serta efek teratogenik obat anti tiroid mengharuskan dokter untuk mampu
menegakkan diagnosis tirotoksikosis dan menentukan target penatalaksanaan
dengan tepat. Pengelolaan hipertiroid dalam kehamilan dilakukan dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian, berlandaskan azas manfaat yang nyata
dibandingkan risiko, baik bagi ibu maupun bayi yang dikandungnya.

A. Diagnosis
Proses diagnosis diawali dengan kecurigaan dokter akan adanya
hipertiroid pada ibu dalam kehamilan. Secara berurutan proses diagnosis
hipertiroid dalam kehamilan adalah evaluasi tanda dan gejala klinis
serta riwayat gangguan tiroid, konfirmasi keadaan hipertiroid melalui
pemeriksaan laboratorium serta evaluasi etiologi keadaan hipertiroid
tersebut. Etiologi terjadinya tirotoksikosis dalam kehamilan perlu
ditegakkan untuk menetapkan rencana terapi baik jangka pendek selama
kehamilan dan laktasi maupun jangka panjang yakni setelah selesai
proses kehamilan serta laktasi.

1. Evaluasi tanda dan gejala klinis serta riwayat gangguan tiroid


Keadaan hipermetabolik fisiologis yang terjadi dalam kehamilan
dapat menyerupai tanda dan gejala klinis terkait peningkatan
aktifitas katekolamin pada hipertiroid. Akan tetapi, tanda dan gejala
hipermetabolik dalam kehamilan umumnya akan lebih signifikan
pada ibu yang mengalami hipertiroid. Disamping itu, anamnesa
mengenai riwayat penyakit tiroid sebelum hamil akan membantu
menegakkan diagnosis. Penyebab hipertiroid dalam kehamilan
yang paling sering adalah penyakit Graves. Adanya tanda dan gejala
klinis yang mengarah kepada penyakit Graves akan membantu
membedakan keadaan hipermetabolik pada kehamilan dengan
hipertiroid akibat penyakit Graves. (Tabel 1).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 179


Yuanita Asri Langi

Tabel 1. Gambaran Klinis Ibu Hamil Curiga Hipertiroid Akibat Penyakit


Graves
Evaluasi Riwayat - Gejala – Tanda
Riwayat hipertiroid, tiroid autoimun pada pasien atau keluarga.
Gejala tipikal hipertiroid seperti penurunan berat badan atau
tidak terjadi peningkatan berat badan, palpitasi, kelemahan otot
proksimal, emosi yang labil.
Gejala penyakit Graves seperti oftalmopati, miksedema pre-
Anamnesis tibial
Pembesaran kelenjar tiroid
Gejala hipermetabolik kehamilan seperti intoleransi suhu udara
panas, berkeringat dan rasa lelah yang berlebih.
Pruritus
Frekuensi nadi > 100x/menit
Gelombang nadi yang lebar
Pemeriksaan Fisik Oftalmopati Graves, miksedema pre-tibial.
Kelenjar tiroid teraba/membesar
Onycholysis
Modifikasi dari: Lazarus JH. Chapter 14 – Thyroid Regulation and Dysfunction in Pregnant Patient.

2. Evaluasi peningkatan aktifitas hormon tiroid


Kecurigaan akan adanya hipertiroid dalam kehamilan harus
dilakukan konfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium fungsi
tiroid. Bila tidak dijumpai keadaan klinis hipertiroid yang tipikal
maka pemeriksaan laboratorium awal yang dianjurkan adalah kadar
TSH. Kadar TSH yang didapatkan tersupresi perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan kadar hormon tiroid FT4 atau TT4. Pemeriksaan kadar
TT3 maupun FT3 dapat dilakukan pada tampilan klinis hipertiroid
yang nyata (overt hyperthyroid) atau bila terdapat kecurigaan nodul
tiroid fungsional otonom dengan kemungkinan T3 toksikosis.

Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium fungsi tiroid harus


mempertimbangkan keadaan fisiologis kehamilan berupa
peningkatan HCG dan thyroid binding globulin (TBG).
a. Kadar TSH
Interpretasi nilai TSH pada ibu hamil, perlu mempertimbangkan
aktifitas fisiologis HCG yang dapat meningkatkan sekresi
hormon tiroid dan selanjutnya menurunkan kadar TSH. Studi
longitudinal terhadap 606 ibu hamil sehat yang dilakukan

180 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Penatalaksanaan Tirotoksikosis (Hipertiroid) dalam Kehamilan

oleh Glinoer dkk (1990) menunjukkan adanya korelasi negatif,


konsisten dan signifikan, menyerupai cermin, antara kadar HCG
dengan TSH pada usia kehamilan 8 sampai 14 minggu.(Gambar
1).

Dalam kehamilan, kadar HCG umumnya mencapai puncak pada


usia kehamilan 7-11 minggu. Pada rentang usia kehamilan
tersebut, kadar TSH dapat tersupresi sampai < 0,1 mU/L bahkan
tidak terdeteksi pada 5% ibu hamil yang sehat.

Gambar 1. Kadar TSH dan hCG serum menurut usia kehamilan


(nilai mean (±SE) pada selang 2 minggu usia kehamilan)
Gambar 1. Glinoer
Sumber: Kadar TSH
D, de Nayer dan hCGP, serum
P, Bourdoux Lemone M,menurut usia kehamilan
Robyn C, Steirteghem AV,
(nilai mean
Kinthaert (±SE) B.pada
J, Lejeune J Clinselang 2 minggu
EndocrinolMetab usia kehamilan)
1990;71:276-287.
Sumber : K
Glinoer D, de Nayer P, Bourdoux P, Lemone M, Robyn C, Steirteghem AV, Kinthaert
J, Lejeune B. J Clin EndocrinolMetab 1990;71:276-287.
a
KadNilai r TSH yang tersupresi sebelum usia kehamilan 7
d minggu, mengindikasikan adanya peningkatan fungsi tiroid.
Nilai r Diagnosis
TSH yanghipertiroid
tersupresi dalam
sebelum usia kehamilan
kehamilan 7 minggu,bila
dapat ditegakkan mengindikasi
adanyakadar
peningkatan fungsi tiroid. Diagnosis hipertiroid dalam
TSH yang tersupresi diikuti oleh peningkatan kadar kehamilan d
ditegakkan bila kadar TSH yang tersupresi diikuti
hormon tiroid baik FT4/TT4 dan/atau TT3/FT3. oleh peningkatan kadar horm
tiroid baik FT4/TT4 dan/atau TT3/FT3.
Pada trimester 1, usia kehamilan > 7 minggu, kadar TSH yang tersup
tanpa Pada trimester
disertai 1, usia kehamilan
peningkatan kadar hormon> 7 minggu,
tiroid kadar
dapatTSH yang
diinterpretasi seb
kehamilantersupresi
normaltanpa
akan disertai peningkatan
tetapi, bila terdapat kadar hormon
indikasi, perlu tiroid
dilakukan eval
dapat diinterpretasi
laboratorium secara berkala. sebagai kehamilan
Keadaan normal akan
hipertiroid tetapi,tidak
subklinis bila memberi
risiko terhadap
terdapat ibu dan janin
indikasi, perluyang dikandung
dilakukan danlaboratorium
evaluasi tidak memerlukan
secara terapi.
b. Kadar TT4/FT4
berkala. Keadaan hipertiroid subklinis tidak memberikan risiko
Sampai saat ini, interpretasi nilai kadar FT4 pada kehamilan m
merupakan tantangan. Adaptasi aktifitas tiroid dalam kehamilan yakni ber
aktifitas
Pertemuan HCG XVII
Ilmiah Nasional sebagai stimulan
PAPDI - Surabaya 2019sintesis dan sekresi hormone 181 tiroid di a
kehamilan, peningkatan kadar TBG yang terutama dimulai pada trimeste
kehamilan, peningkatan produksi hormone tiroid, peningkatan volume pla
Yuanita Asri Langi

terhadap ibu dan janin yang dikandung dan tidak memerlukan


terapi.

b. Kadar TT4/FT4
Sampai saat ini, interpretasi nilai kadar FT4 pada kehamilan
masih merupakan tantangan. Adaptasi aktifitas tiroid dalam
kehamilan yakni berupa aktifitas HCG sebagai stimulan sintesis
dan sekresi hormone tiroid di awal kehamilan, peningkatan
kadar TBG yang terutama dimulai pada trimester 2 kehamilan,
peningkatan produksi hormone tiroid, peningkatan volume
plasma serta peningkatan ekskresi Jodium melalui urin.
Adaptasi ini akan mempengaruhi rentang nilai normal TSH dan
FT4. Di samping itu, terdapat juga masalah mengenai metode
pemeriksaan kadar FT4, yang umum dikerjakan saat ini, yang
tidak memperhitungkan perubahan-perubahan fisiologis dalam
kehamilan seperti yang dipaparkan di atas. (Gambar 2)

Gambar 2. Kadar FT4 pada 29 wanita dengan usia kehamilan 9 bulan


menggunakan
Gambar 2. Kadar metode equilibrium
FT4 pada dialysis
29 wanita (ED) dan
dengan usia9 immunoassays
kehamilan 9 bulan
yang berbeda.
menggunakan metode equilibrium dialysis (ED) dan 9 immunoassays yang
Gambar box menunjukkan batas atas dan bawah rentang normal kadar FT4 pada non-
berbeda.
hamil. Nilai FT4 tampak lebih rendah 40% pada pemeriksaan menggunakan metode ED
Gambar box menunjukkan batas atas dan bawah rentang normal kadar FT4 pada non-hamil. Nilai FT4
dan 17-34% pada 9 metode immunoassay yang digunakan.(EL: Elecsys; VD: Vidas; VT:
tampak lebih rendah 40% pada pemeriksaan menggunakan metode ED dan 17-34% pada 9 metode
Vitros ECi; GC: Gamma-Coat; IM:Immunotech; AD: Advantage; AX: AxSYM; AC: ACS: 180;
immunoassay yang digunakan.(EL: Elecsys; VD: Vidas; VT: Vitros ECi; GC: Gamma-Coat
AI: AIA Pack).
IM:Immunotech; AD: Advantage; AX: AxSYM; AC: ACS: 180; AI: AIA Pack).
Sumber: Lazarus JH. Chapter 14 – Thyroid
Sumber: Lazarus JH. Chapter 14 – Thyroid Regulation Regulation and Dysfunction
and Dysfunction in Pregnant
in Pregnant Patient.
Patient.

Pada
Pada trimesterawal
trimester awalkehamilan,
kehamilan,kadar
kadar FT4FT4dapat
dapat meningkat.
meningkat. Akan tetapi
pada trimester selanjutnya, kadar FT4 dapat menurun. Fenomena ini
Akan tetapi pada
mengindikasikan trimester
perlunya selanjutnya,
penetapan rentang normalkadar kadar
FT4 dapat
FT4 berdasarkan
menurun.
trimester Fenomena Sejumlah
usia kehamilan. ini mengindikasikan
peneliti dari perlunya penetapan
berbagai negara telah melaporkan
rentang kadarnormal
rentang FT4 menurut
kadar trimester kehamilan dalam
FT4 berdasarkan populasi
trimester usiaibu hamil di
negara mereka masing-masing.
182 Hormon tiroid memiliki
Pertemuandeterminasi
Ilmiah Nasional terhadap regulasi2019
XVII PAPDI - Surabaya energi basal dan
keseimbangan energi. Regulasi energi basal tidaklah bersifat statis dan
merupakan salah satu mekanisme penting dalam adaptasi manusia dengan
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tirotoksikosis (Hipertiroid) dalam Kehamilan

kehamilan. Sejumlah peneliti dari berbagai negara telah


melaporkan rentang kadar FT4 menurut trimester kehamilan
dalam populasi ibu hamil di negara mereka masing-masing.

Hormon tiroid memiliki determinasi terhadap regulasi energi


basal dan keseimbangan energi. Regulasi energi basal tidaklah
bersifat statis dan merupakan salah satu mekanisme penting
dalam adaptasi manusia dengan lingkungannya baik internal
maupun eksternal. Hal ini mengindikasikan, diperlukan rentang
kadar normal hormon tiroid yang sesuai bagi suatu populasi
di suatu wilayah. Dengan demikian, selain usia kehamilan,
tersedianya rentang kadar normal hormon tiroid yang sesuai
dengan populasi di wilayah ibu hamil berada, merupakan
tantangan yang harus diatasi. Disamping itu, hal penting lain
yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan interpretasi
kadar hormon tiroid adalah, status kecukupan jodium pada
populasi di wilayah tempat ibu berdiam.

Bila rentang nilai normal kadar FT4 berdasarkan trimester usia


kehamilan belum tersedia, evaluasi batas atas kadar hormon
tiroksin dapat dilakukan dengan menggunakan kadar TT4, sbb:
• Syarat: usia kehamilan > 16 minggu
• Kalkulasi: batas atas T4 = 1,5 x batas atas TT4 non-hamil

Pada ibu dengan usia kehamilan >7 - <16 minggu, dapat


menggunakan kalkulasi dengan menambahkan jumlah minggu
setelah 7 minggu kemudian dikalikan 5%. Contoh, usia
kehamilan 9 minggu : 9-7 = 2 minggu x 5% = 10% di atas kadar
TT4 non-hamil.

3. Evaluasi etiologi hipertiroid dalam kehamilan


Tirotoksikosis pada kehamilan paling sering disebabkan oleh
penyakit Graves baik yang telah terdiagnosis sebelum kehamilan
maupun yang terdiagnosis saat kehamilan. Angka kejadian penyakit
Graves yang terdiagnosis sebelum hamil adalah 0,5-1,0% pada
wanita usia reproduksi, sedangkan yang terdiagnosis saat kehamilan
adalah berkisar 0,2%. Di samping penyakit Graves, adenoma toksik
maupun goiter multinodular toksik juga merupakan penyebab
tirotoksikosis dalam kehamilan dengan angka kejadian yang lebih

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 183


Yuanita Asri Langi

rendah. Bila keadaan-keadaan tersebut tidak dijumpai, maka perlu


dipertimbangkan adanya tiroiditis sub akut baik yang disertai rasa
nyeri maupun tidak nyeri, maupun TSH-secreting pituitary adenoma,
struma ovarii atau functional thyroid cancer metastases. Penyebab
lain yang sangat jarang adalah germline TSH receptor mutations.

Disamping keadaan-keadaan patologis tersebut di atas, tirotoksikosis


juga dapat muncul dan bersifat sementara dalam kehamilan, yang
dikenal sebagai gestational transient thyrotoxicosis. Keadaan ini
bersifat sementara, mulai awal sampai pertengahan usia kehamilan,
dan ditandai oleh peningkatan FT4 yang disertai TSH tersupresi.
Angka kejadian gestational transient thyrotoxicosis dilaporkan
berkisar 1-3% dari kehamilan, dan dipengaruhi oleh area geografis
dan tergantung dari peningkatan kadar HCG.

Gestational transient thyrotoxicosis umumnya ditandai dengan


adanya hiperemesis gravidarum dengan penurunan berat badan
lebih dari 5%, dehidrasi, ketonuria serta peningkatan kadar HCG yang
tinggi. Pemeriksaan TRAb yang positif, menyingkirkan diagnosis
gestasional transient thyrotoxicosis, dan mengarah kepada penyakit
Graves. Bila TRAb negatif, dapat dilakukan pemeriksaan USG untuk
mengidentifikasi kemungkinan adanya nodul tiroid. Pemeriksaan
skintigrafi radionuklir maupun sidik dengan yodium radioaktif
merupakan kontra indikasi dalam kehamilan.

B. Penatalaksanaan
1. Gestational transient thyrotoxicosis
Penatalaksanaan gestational transient thyrotoxicosis bersifat suportif
yakni mengatasi dehidrasi dan gangguan elektrolit. Pada keadaan
tertentu, dapat diberikan golongan beta bloker, dosis kecil dan
dalam waktu yang singkat. Obat anti tiroid tidak direkomendasikan.

2. Penyakit Graves
a. Obat golongan thionamide
Direkomendasikan untuk menghentikan obat-obat anti tiroid
pada awal kehamilan, sebelum periode utama teratogenik yakni
usia kehamilan 6-10 minggu. Penghentian obat umumnya aman

184 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Penatalaksanaan Tirotoksikosis (Hipertiroid) dalam Kehamilan

pada ibu yang eutiroid terkendali dengan obat anti tiroid dosis
rendah yakni MMI 5-10 mg/hari atau PTU 100-200 mg/hari.

Penghentian obat memiliki risiko terjadinya relaps hipertiroid


dalam waktu yang cepat. Risiko tinggi relaps cepat adalah
bila ibu belum lama diterapi (< 6 bulan), kadar TSH masih
ter-supresi, memerlukan dosis MMI lebih dari 5-10 mg/hari
atau PTU lebih dari 100-200 mg/hari untuk mempertahankan
keadaan eutiroid, orbitopati aktif, goiter yang besar, serta
kadar TRAb yang tinggi. Evaluasi ada/tidaknya karakteristik
risiko tinggi relaps harus dilakukan sebelum obat dihentikan.
Pada ibu dengan risiko tinggi kambuh, maka anti tiroid tidak
boleh dihentikan dan diberikan PTU. Bila sebelum hamil ibu
menggunakan MMI, maka harus diganti dengan PTU. Dosis PTU
adalah 20 kali dosis MMI ( contoh: MMI 5 mg = 20 x 5 mg = PTU
100 mg).

Bila obat dapat dihentikan, harus dilanjutkan dengan evaluasi


fungsi tiroid yakni kadar TSH dan FT4/TT4 setiap 1-2 minggu.
Bila keadaan eutiroid baik klinis maupun laboratoris tetap
dapat dipertahankan, maka evaluasi fungsi tiroid dilakukan
selang waktu 2-4 minggu selama trimester 2 dan 3. Keputusan
untuk tetap menghentikan obat anti tiroid harus berdasarkan
keadaan klinis dan hasil evaluasi fungsi tiroid.

Pada ibu hamil yang memerlukan obat anti tiroid untuk


mengendalikan keadaan hipertiroidnya, pemantauan
laboratorium dilakukan setiap 4 minggu. Jumlah dosis adalah,
dosis minimal yang dapat mencapai/mempertahankan kadar
hormon tiroid pada batas atas.

b. Obat golongan beta bloker ( propranolol)


Propanolol dapat diberikan untuk mengendalikan gejala
hipermetabolik. Dosis berkisar 10-40 mg/6-8 jam, berdasarkan
prinsip dosis minimal yang dapat mengendalikan gejala
hipermetabolik. Pemantauan klinis dan penurunan dosis
harus dilakukan sesuai indikasi klinis. Pemberian propanolol
harus dihentikan bila gejala hipermetabolik telah terkendali,
umumnya setelah 2-6 minggu. Pemberian propranolol dalam

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 185


Yuanita Asri Langi

jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan terjadinya


bradikardi fetus.

3. Nodul otonom fungsional


Tingkat hipertiroid pada adenoma toksik maupun toxic multinodular
goiter (TMNG) umumnya lebih rendah dibandingkan pada penyakit
Graves. Pemberian obat anti tiroid pada ibu hamil dengan nodul
otonom fungsional berisiko terjadinya hipotiroid pada janin dan
diperlukan pemantauan yang ketat. Bila pemberian obat anti tiroid
tidak dapat mengendalikan hipertiroid pada ibu, sedangkan bayi
berisiko mengalami hipotiroid bila dosis obat anti tiroid dinaikkan,
maka opsi pembedahan merupakan opsi terapi. Tindakan bedah
sebaiknya dilakukan pada akhir trimester 2 kehamilan.

Indikasi serta Manfaat Pemeriksaan TRAb Ibu dalam Kehamilan


Seperti hormon tiroid dan obat golongan thionamid, TRAb juga dapat
melewati barrier plasenta dan berisiko untuk mempengaruhi janin. Risiko
terjadinya pemberatan terhadap fetus ini terkait dengan beberapa hal, yakni:
a. Kendali hipertiroid dalam kehamilan yang buruk dapat berisiko
terjadinya hipotiroid sentral.
b. Terpaparnya fetus dengan obat anti tiroid dengan konsentrasi yang
tinggi dapat menyebabkan hipotiroid fetus maupun neonatal.
c. Terpaparnya kelenjar tiroid fetus dengan kadar tinggi TRAb dalam
pertengahan akhir kehamilan dapat menginduksi terjadinya hipertiroid
fetus dan neonatal.

Pemeriksaan kadar TRAb bermanfaat untuk mempersiapkan perawatan


perinatal yang adekuat. Pemeriksaan TRAb patut dipertimbangkan pada
keadaan-keadaan seperti, ibu hamil hipertiroid baik sementara maupun yang
belum menggunakan obat anti tiroid, adanya riwayat penyakit Graves dengan
terapi ablasi radioiodine atau tiroidektomi total, riwayat melahirkan bayi
dengan tanda-tanda hipertiroid dan riwayat tiroidektomi dalam kehamilan
dengan hipertiroid.

Obat Anti Tiroid pada Ibu Laktasi


Baik PTU maupun MMI, kedua obat anti tiroid tersebut ditemukan dalam
air susu ibu. Meskipun demikian konsentrasi kedua obat tersebut dalam air

186 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Penatalaksanaan Tirotoksikosis (Hipertiroid) dalam Kehamilan

susu ibu adalah sangat rendah. Dosis MMI pada ibu laktasi, sebaiknya tidak
melebihi 20 mg/ hari dan dosis PTU tidak melebihi 450 mg/ hari. Tindakan
ablasi menggunakan radioiodine merupakan kontra indikasi baik pada
kehamilan maupun menyusui.

Daftar Pustaka
1. Alexander EK, Pearce EN, Brent GA, Brown RS, Chen H, Dosiou C, Grobman WA,
Laurberg P, Lazarus JH, Mandel SJ, Peeters RP, Sullivan S. 2017 Guidelines of the
American Thyroid Association for the Diagnosis and Management of Thyroid
Disease During Pregnancy and the Postpartum. THYROID 2017; 27(3): 319-395.
2. Lazarus JH. Chapter 14 – Thyroid Regulation and Dysfunction in Pregnant Patient.
https://www.endotext.org/chapter/thyroid-regulation-and-dysfunction-in-the-
pregnant-patient/ Acceses 24 Agustus 2019, 10.16 pm.
3. Glinoer D, de Nayer P, Bourdoux P, Lemone M, Robyn C, Steirteghem AV, Kinthaert J,
Lejeune B. Regulation of Maternal Thyroid during Pregnancy. J Clin EndocrinolMetab
1990;71:276-287.
4. Medici M, Korevaar TIM, Visser WE, Visser TJ, Peeters RP1,2 Thyroid Function in
Pregnancy: What Is Normal? Clinical Chemistry 2015; 61(5): 704–713.
5. Lazarus JH. Thyroid function in pregnancy. British Medical Bulletin 2011; 97: 137–
148.
6. FIGO Working Group on Good Clinical Practice in Maternal–Fetal Medicine. Good
clinical practice advice: Thyroid and pregnancy. Int J Gynecol Obstet 2019; 144:
347–351.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 187


Pendekatan Diagnostik Penyakit Ginjal Kronik:
Pentingnya Deteksi Dini dan Pencegahan
Hasyim Kasim
Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP dr. Moh Hoesin - Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang

Pendahuluan
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insidens yang terus meningkat, prognosis yang
buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya
jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta
hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium
tertentu. Hasil systematic review dan meta-analisis yang dilakukan oleh Hill et
al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil
Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian
peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-
18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal
merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah
penyakit jantung. Penyakit ginjal kronis mempengaruhi 47 juta orang di
Amerika Serikat dan berhubungan dengan biaya perawatan kesehatan yang
signifikan, morbiditas, dan kematian. Karena penyakit ini secara diam-diam
dapat berkembang ke tahap lanjut, deteksi dini sangat penting untuk memulai
intervensi yang tepat waktu. Beberapa pedoman merekomendasikan skrining
setidaknya tahunan dengan kreatinin serum, albumin urine/rasio kreatinin,
dan urinalisis untuk pasien dengan faktor risiko, terutama diabetes mellitus,
hipertensi, dan riwayat kardiovaskular.

Laporan 2014 menunjukkan bahwa pengeluaran Medicare untuk pasien


dengan PGK adalah lebih dari $52 miliar, yang mewakili 20% dari semua
biaya Medicare. Biaya Medicare per-orang per-tahun untuk PGK meningkat
dengan meningkatnya keparahan penyakit, mulai dari $1.700 untuk tahap
2 menjadi $ 12.700 untuk tahap 4, dengan biaya yang meningkat secara
eksponensial pada penyakit ginjal stadium akhir. Jadi, deteksi dini PGK sangat
penting untuk memperlambat perkembangan penyakit, mencegah morbiditas
dan mortalitas jangka panjang, dan mengurangi pengeluaran biaya kesehatan.
Tingginya angka kejadian PGK khususnya gagal ginjal menyebabkan perlu

188 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Diagnostik Penyakit Ginjal Kronik: Pentingnya Deteksi Dini dan Pencegahan

dilakukannya pendekatan diagnostik dan deteksi dini untuk mencegah


progresifitas dan komplikasi PGK.

Penyakit Ginjal Kronik


Penyakit ginjal kronik didefnisikan sebagai:
1. Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, yang
dimanifestasikan oleh kelainan patologi atau petanda kerusakan ginjal
secara laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan radiologi, dengan
atau tanpa penurunan fungsi ginjal (penurunan laju filtrasi glomerulus:
LFG), yang bertangsung > 3 bulan.
2. Penurunan LFG < 60 ml/menit per 1.73 m2 luas permukaan tubuh (LPT)
selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Indikator termasuk albuminuria, kelainan sedimen urin, temuan pencitraan


ginjal yang abnormal, elektrolit serum atau gangguan asam-basa,

Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit per 1.73 m2 ini setara dengan
kadar kreatinin serum >1.5 mg% pada pria dan > 1.3 mg% pada wanita.

Bila LFG menurun <50% maka akan terjadi kehilangan fungsi nefron yang
tersisa walaupun penyakit/kelainan yang menyebabkan PGK tersebut dapat
dikontrol. Perburukan fungsi ginjal ini ditandai oleh proteinuri, hipertensi
dan makin menurunnya LFG dan secara klinis keadaan umum penderita akan
semakin memburuk.

Bila LFG telah mencapai nilai <15 ml/menit per 1.73 m2, yang disebut
sebagai gagal ginjal (kidney failure) maka penderita harus diobati dengan
pengobatan pengganti ginjal (renal replacement therapy) berupa dialisis
(hemodialisis atau peritoneai dialisis) serta transplantasi (cangkok) ginjal
yang membutuhkan biaya yang sangat besar.

Dari berbagai sebab PGK, saat ini yang merupakan penyebab terbanyak
adalah diabetes melitus = DM (30-50% kasus), disusul oleh hipertensi (15-
25% kasus). Penyebab lainnya adalah obstruksi dan infeksi saluran kencing,
penyakit otoimun dan penyakit-penyakit infiltratif.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 189


Hasyim Kasim

Kelompok kerja Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) dan


National Kidney Foundation (NKF), USA, membuat klasifikasi stadium PGK
berdasarkan penurunan fungsi ginjal yang diukur dengan LFG, sbb:
Stadium 1: kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal normal atau meningkat
(LFG > 90 ml/menit per1.73 m2 LPT)
Stadium 2: kerusakan ginjat dengan penurunan fungsi ginjal ringan (LFG
60-89 ml/menit per 1.73m2 LPT)
Stadium 3: penurunan fungsi ginjat sedang (LFG 30-59 ml/menit per 1.73
m2 LPT)
Stadium 4: penurunan fungsi ginjal berat (LFG 15-29 ml/menit per 1.73 m2
LPT)
Stadium 5: gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit per 1.73.m2 LPT)

Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh diabetes mellitus, hipertensi,


riwayat gagal ginjal akut, glomerulonefritis kronis, nefritis intersisial kronis,
penyakit ginjal polikistik, obstruksi -infeksi saluran kemih. selain faktor
penyebab tersebut diatas beberapa faktor risiko PGK adalah obesitas, riwayat
keluarga pgk, sosial ekonomi yang rendah dan tidak diketahui.

Penelitian-penelitian eksperimental maupun klinik membuktikan bahwa


berbagai penyakit atau keadaan dapat merupakan penyebab dari progresifitas
PGK, antara lain hipertensi, proteinuri, pengaruh angiotensin II, hiperglikemi.
peningkatan asupan protein, dislipidemia, merokok, pemakaian obat-obal
yang bersifat nefrotoksik, hiperfosfatemia, anemia, obesiti dan asam urat.

Dengan mengetahui penyebab PGK dan faktor-faktor yang berperan


pada progresifitasnya, maka dapat dilakukan usaha-usaha untuk mengobati
penyakit dasar atau mengontrol faktor-faktor tersebut, yang harus dilakukan
secara komprehensif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran.

Pendekatan Diagnostik PGK: Deteksi Dini


Penderita gagal ginjal mempunyal kualitas hidup yang buruk serta
pengobatannya membutuhkan biaya yang sangat besar. Deteksi dini PGK
serta upaya-upaya pengobatan untuk menghambat progresifitasnya dapat
memperbaiki kualitas hidup penderita serta dapat menghemat biaya yang
harus dikeluarkan bila penderita harus menjalani hemodialisis, dialisis
peritoneal atau transplantasi ginjal. Yang menjadi masalah adalah PGK

190 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Diagnostik Penyakit Ginjal Kronik: Pentingnya Deteksi Dini dan Pencegahan

tahap awal umumnya tidak bergejala. Gejala mulai muncul bila penurunan
fungsi ginjal telah berada pada fase lanjut, sehingga upaya deteksi dini untuk
menemukan penderita PGK tahap awal harus dilakukan melalui skrining.
Pertanyaan yang timbul adalah siapa yang harus di skrining, pemeriksaan apa
saja yang harus dilakukan untuk skrining dan bagaimana metodenya, serta
bila dijumpai kelainan, apa yang harus dilakukan.
1. Populasi yang di-skrining.
Skrining terhadap populasi umum dianggap tidak efektif-biaya serta sulit
dilakukan. Sebagai alternatif, skrining dilakukan terhadap mereka yang
dianggap sebagai kelompok risiko tinggi untuk mengidap PGK, yaitu
penderita DM, penderita hipertensi, penderita yang mempunyai riwayat
penyakit ginjal, keluarga langsung dari penderita PGK serta individu
berusia lanjut.
2. Pemeriksaan untuk skrining
Berdasar kedokteran berbasis bukti (evidence based medicine),
pemeriksaan untuk skiring yang terbukti efektif-biaya dan bernilai
diagnostik maupun prognostik adalah pemeriksaan fungsi ginjal dan
menentukan adanya protein dalam urin (mikroalbuminuria/proteinuria)
serta adanya sel darah merah dalam urin (hematuri).

Pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan dengan menghitung LFG yang


dapat diperiksa dengan pemeriksaan klirens. Klirens adalah kemampuan
ginjal untuk mengeluarkan sesuatu zat pada satu satuan waktu tertentu.
Pemeriksaan fungsi ginjal yang paling akurat adalah pemeriksaan klirens
lnulin atau klirens zat radio-aktif, namun pemeriksaan ini mempunyai
kendala oleh karena inulin atau zat radio-aktif harus disuntikkan melalui
vena sehingga tidak praktis serta sulit dilakukan. Di klinik. penentuan kadar
kreatinin serum dipakai sebagai parameter untuk menentukan fungsi ginjal,
namun ini bukan petanda yang sensitif untuk mengetahui fungsi ginjal atau
untuk mendeteksi PGK tahap awal. oleh kanena kadar kreatinin dipengaruhi
oleh jenis kelamin. usia, berat badan dan faktor etnik. Variasi kadar kreatinin
yang normal cukup besar, sehingga penurunan LFG yang sedikit (<50%)
mungkin masih memberikan nilai kreatinin serum yang normal. Untuk itu
dianjurkan menggunakan formulasi yang menggunakan kadar kreatinin
serum dengan memperhitungkan jenis kelamin, umur. berat badan dan etnik,
yaitu formula Cockroft-Gault dan formula Modification Diet of Renal Disease
(MDRD) sebagai berikut:

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 191


yang menggunakan
berat badan dan etnik,kadar
yaitukreatinin serum dengan memperhitungkan
formula Cockroft-Gault jenis kela
dan formula Modification D
berat badan dan etnik, yaitu
Disease (MDRD) sebagai berikut : formula Cockroft-Gault dan formula Modification D
Disease (MDRD) sebagai berikut :
Hasyim Kasim
Formula Cockroft-Gault
Formula
Formula Cockroft-Gault (140−umur) x Berat badan
Cockroft-Gault
Klirens kreatinin (ml/min) = (140−umur)
72 x Serum
+ 0,85 (wanita)
x kreatinin
Berat badan
Klirens kreatinin (ml/min) = 72 x Serum kreatinin + 0,85 (wanita)

Formula
Formula MDRD
MDRD
Formula MDRD
LFG (ml/min/1.73 m2) + 170 (kreatinin serum)-0.999 (Umur)-0.176
-0.999 )-0.176
LFG (ml/min/1.73
x (urea m2) -0.170
nitrogen serum) + 170 (kreatinin
(albumin serum)
serum) +0.318 (Umur
(0.762 [Wanita
-0.170 +0.318
x(1.180[ras
(urea nitrogen serum)
Afro-Amerika]) (albumin serum) (0.762 [Wanita
(1.180[ras Afro-Amerika])
Pemeriksaan mikroabuminuria/proteinuria
Pemeriksaan mikroabuminuria/proteinuria sebaiknya
sebaiknya dilakukan
dilakukan dengan
ekskresi Pemeriksaan
albumin dari mikroabuminuria/proteinuria
urin 24 Jam, tetapi hal ini sebaiknya
dianggap tidak dilakukan
dengan mengukur ekskresi albumin dari urin 24 Jam, tetapi hal ini dianggappraktis dandengan
memp
ekskresi
kesalahan albumin
cukup
tidak praktis
dari
danbesar
urin 24 Jam,
oleh karena
mempunyai
tetapi hal ini dianggap
tidak akuratnya
risiko kesalahan
tidak
pengumpulan
cukup besar
praktis dan memp
urin. Untuk
oleh karena tidak itu
kesalahan cukup
menentukan besar oleh
ekskresi karenadengan
albumin tidak akuratnya
mengukur pengumpulan
rasio urin. Untuk itu
albumin/kreatinin
akuratnya pengumpulan urin. Untuk itu dianjurkan menentukan ekskresi
menentukan
pengambilan ekskresi
sesaatalbumin
urin mengukur dimana dengan
disebut mengukur rasio albumin/kreatinin
mikroalbuminuria bila didapatkan
albumin dengan rasio albumin/kreatinin urin dari pengambilan
pengambilan urin
albuInin/gram sesaaturin
kreatinin dimana
dan disebut mikroalbuminuria
proteinuria bila ekskesi bila >300
albumin didapatkan
mg alb
urin sesaat dimana disebut mikroalbuminuria bila didapatkan 30-300 mg
albuInin/gram
kreatinin kreatinin urin dan proteinuria bila ekskesi albumin
urin. kreatinin urin dan proteinuria bila ekskesi albumin >300 mg >300 mg alb
albuInin/gram
kreatinin urin.
Pada penderita
albumin/gram kreatinindengan
urin. riwayat penyakit ginjal sebelumnya, upaya skr
Padadengan
dilanjutkan penderita dengan riwayat
pemeriksaan sedimenpenyakit
urin untukginjal sebelumnya,
melihat upayaselskrd
ada-tidaknya
dilanjutkan
atau selPada dengan
darahpenderita pemeriksaan
putih dalam sedimen urin untuk melihat ada-tidaknya
urin serta pemeriksaan radiologis seperti ultrasonografi sel d
dengan riwayat penyakit ginjal sebelumnya, upaya
atau sel darah
diagnosis PGKputih dalam
terlihat padaurin serta 1.
gambar pemeriksaan radiologis seperti ultrasonografi
skrining harus dilanjutkan dengan pemeriksaan sedimen urin untuk
diagnosis PGK terlihat pada gambar 1.
melihat ada-tidaknya sel darah merah atau sel darah putih dalam urin serta
pemeriksaan radiologis seperti ultrasonografi. Algoritma diagnosis PGK
terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Algoritme diagnosis PGK


Gambar 1. Algoritme diagnosis PGK
192 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019

Pencegahan PGK
Pendekatan Diagnostik Penyakit Ginjal Kronik: Pentingnya Deteksi Dini dan Pencegahan

Pencegahan PGK
Bila pada skiring ditemukan kelainan pada pemeriksaan laboratorium
maupun radiologis dan atau adanya gangguan fungsi ginjal maka sebaiknya
penderita harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, dengan meruiuk ke unit
perawatan ginjal atau dokter sub-spesialis ginjal (konsultan ginjal-hipertensi).
Rujukan ini bertujuan untuk konfirmasi PGK tersebut, baik derajat fungsi
ginjal maupun penyebab PGK. serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
dapat menyebabkan progresifitas PGK. Penderita yang dirujuk ini kemudian
harus dikirim kembali ke dokter yang merujuk disertai dengan pedoman
pengobatannya, berupa pengobatan terhadap penyakit dasar penyebab PGK
(bila memungkinkan), pengobatan terhadap penyakit-penyakit penyerta
serta pengendalian faktor-faktor yang menyebabkan progresi PGK.

Bila LFG menurun <50% maka akan terjadi kehilangan fungsi nefron
yang sisa walaupun penyakit/kelainan yang menyebabkan PGK tersebut
dapat dikontrol. Sebagai respons dari penurunan massa ginjal (nefron), maka
untuk meningkatkan kemampuan ekskresi. pada nefron yang sisa akan terjadi
adaptasi struktural dan fungsional. Adaptasi ini berupa peningkatan tekanan
dalam glome rulus (hipertensi intraglomeruler) yang utamanya disebabkan
oleh angiotensin II (Ang-II). Anglotensin II ini selain menyebabkan kelainan
hemodinamik tersebut diatas, juga menyebabkan perubahan-perubahan
non-hemodinamik, seperti proliferasi sel mesangial, stimulasi produksi
transforming growth factor-β (TGF- β ), peningkatan plasminogen activator
inhibitor-I (PAI-I), serta aktivasi dan infiltrasi dari sel makrofag. Adaptasi
hemodinamik dan perubahan-perubahan non-hemodinamik

Pada derajat awal, PGK belum menimbulkan gejala dan tanda, bahkan
hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih asimtomatik namun
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Kelainan secara
klinis dan laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4. Saat
laju filtrasi glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti badan lemah, mual,
nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien.
Pasien mulai merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi
glomelurus kurang dari 30%.

Usaha-usaha tersebut antara lain adalah: 


1. Pengobatan penyakit dasar 
Beberapa kelainan yang menyebabkan PGK dapat diobati atau dikontrol
seperti penyakit otoimun dapat diobati dengan obat-obat imunosupresif,
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 193
Hasyim Kasim

obstruksi saluran kemih diatasi dengan menghilangkan obstruksinya,


nefropati diabetik dengan mengontrol gula darah serta hipertensi dengan
mengontrol tekanan darah. Namun demikian beberapa kelainan seperti
penyakit polikistik ginjal serta kelainan-kelainan bawaan lain tidak dapat
dihilangkan. 
2. Perubahan gaya hidup 
Hal ini direkomendasikan untuk semua penderita PGK. Penderita PGK
yang gemuk dianjurkan untuk menurunkan berat badan menjadi normal.
Dianjurkan untuk melakukan diet rendah garam (3-5 gr natrium perhari),
menghentikan rokok, mengurangi konsumsi alkohol dan melakukan
gerak badan secara teratur.
3. Kontrol gula darah. 
Dianjurkan melakukan kontrol gula darah ketat pada penderita DM.
Target yang harus dicapai adalah gula darah puasa < 110 mg% dan HbA1C
< 6.57%. 
4. Kontrol tekanan darah. 
Target tekanan darah pada penderita PGK adalah < 130/80 mmHg
apapun jenis obat anti-hipertensi yang diberikan, walaupun bukti-bukti
klinis menunjukkan bahwa obat yang menghambat pembentukan Ang-II
(angiotensin converting enzyme inhibitor = ACEI) dan yang menghambat
aksi kerja Ang-II (angiotensin receptor blocker = ARB) menunjukkan efek
proteksi ginjal yang lebih baik dari antihipertensi lain. Bila ada proteinuria
> 1 gram/24 jam, target tekanan darah lebih rendah lagi yaitu < 125/75
mmHg. Biasanya dibutuhkan kombinasi beberapa macam obat anti-
hipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan pada
penderita PGK. Pemilihan kombinasi obat sebaiknya mempertimbangkan
adanya ko-morbiditas lain seperti gagal jantung, paska infark miokard,
DM atau stroke.
5. Penurunan proteinuria.
Proteinuria disamping merupakan tanda adanya PGK, juga memegang
peranan penting pada progresi PGK. Penderita PGK dengan
mikroalbuminuria/proteinuria harus diberikan ACEI atau ARB untuk
mengontrol mikroalbuminuria/proteinuria tersebut walaupun tanpa
hipertensi.

194 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Diagnostik Penyakit Ginjal Kronik: Pentingnya Deteksi Dini dan Pencegahan

6. Pembatasan asupan protein.


Pembatasan asupan protein terbukti dapat memperlambat progresi
PGK. Pengaturan diit ini juga dapat mencegah komplikasi gagal ginjal
seperti asidosis metabolik, gangguan metabolisme kalsium dan fosfat,
gejala-gejala uremi dan dapat mengurangi proteinuri. Asupan protein
dianjurkan 0.8 gram/kg berat badan/hari. Bila fungsi ginjal cenderung
menurun atau proteinuri menetap walaupun telah diberikan ACEI atau
ARB, asupan protein dapat dikurangi sampai 0.6 gram/kg berat badan
sehari.
7. Kontrol dislipidemia.
Walaupun peranan dislipidemia dalam menyebabkan progresifitas PGK
pada manusia belum terbukti secara jelas, tetapi oleh karena PGK dianggap
sebagai suatu coronary risk equivalent maka kontrol dislipidemia perlu
dilakukan. paling tidak untuk mencegah risiko kardiovaskuler. Target
LDL yang diharapkan adalah <100 mg%.
8. Menghindari pemakaian obat-obat nefrotoksik
Pada penderita PGK, pemakaian obat-obat seperti antinflamasi non-
steroid, antibiotik aminoglikosid dan bahan-kontras untuk pemeriksaan
radiologi sedapat mungkin dihindari.
9. Pengobatan / tindakan lain.
Beberapa tindakan atau pengobatan lain dibuktikan juga dapat
memperlambat progresi PGK seperti perbaikan anemia dengan
pemberian eritropoetin serta mengontrol hiperfosfatemia.

Ringkasan
Tingginya angka kejadian PGK khususnya gagal ginjal menyebabkan
perlu dilakukannya pendekatan diagnostik dan deteksi dini untuk mencegah
progresifitas dan komplikasi PGK. Deteksi dini PGK sangat penting untuk
memperlambat perkembangan penyakit, mencegah morbiditas dan mortalitas
jangka panjang, dan mengurangi pengeluaran biaya kesehatan. Dignostik
dilakukan dengan pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan dengan menghitung
LFG yang dapat diperiksa dengan pemeriksaan klirens, pemeriksaan
sedimen urin, pemeriksaan mikroabuminuria/proteinuria dan pemeriksaan
pencitraan. Usaha-usaha pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
progresifitas fungsi ginjal antara lain pengobatan penyakit dasar, perubahan
gaya hidup, kontrol gula darah, kontrol tekanan darah, penurunan proteinuria,
pembatasan asupan protein, kontrol dyslipidemia, menghindari pemakaian
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 195
Hasyim Kasim

obat-obat nefrotoksik dan pemberian pengobatan/ tindakan lain yang


dianggap dapat menurunkan progresifitas PGK.

Daftar Pustaka
1. Tomlinson LA, Wheeler DC. Clinical Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease in Comprehensive Clinical Nephrology 6th Ed. 2019. Elsevier.
2. United States Renal Data System. 2016 Annual data report, chapter 1: CKD in the
general population. https://www.usrds.org/2016/view/ v1_01.aspx. Accessed
January 20, 2017.
3. Honeycutt AA, Segel JE, Zhuo X, Hoerger TJ, Imai K, Williams D. Medical costs of
CKD in the Medicare population. J Am Soc Nephrol. 2013; 24(9):1478-1483.
4. Murphy D, McCulloch CE, Lin F, et al.; Centers for Disease Control and Prevention
Chronic Kidney Disease Surveillance Team. Trends in prevalence of chronic kidney
disease in the United States. Ann Intern Med. 2016;165(7):473-481.
5. United States Renal Data System. 2016 Annual Data Report. Vol 1, Ch 6: Medicare
expenditures for persons with CKD. https://www.usrds. org/2016/view/v1_06.
aspx. Accessed August 2019.
6. K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,
classification and stratification. Am J Kidney Dis 2002; 39:(Suppl 2):S1-S246.
7. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO
2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease. Kidney Int Suppl. 2013;3(1): 1-150.
8. Chau K, Hutton H, Levin A. Laboratory assessment of kidney disease: glomerular
filtration rate, urinalysis, and proteinuria. In: Skorecki K, et al., eds. Brenner &
Rector’s The Kidney. 10th ed. Philadelphia, Pa.: Elsevier; 2016:780-803.
9. Fan L, Inker LA, Rossert J, et al. Glomerular filtration rate estimation using cystatin C
alone or combined with creatinine as a confirmatory test. Nephrol Dial Transplant.
2014;29(6):1195-1203.
10. Tangri N, Grams ME, Levey AS, et al.; CKD Prognosis Consortium. Multinational
assessment of accuracy of equations for predicting risk of kidney failure: a meta-
analysis [published correction appears in JAMA. 2016;315(8):822].

196 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik
Zulkhair Ali
Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP dr. Moh Hoesin - Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang

Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik (PGK) didefinisikan sebagai terdapatnya kerusakan
ginjal atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1,73m2
untuk jangka waktu 3 bulan. Kerusakan ginjal adalah setiap kelainan patologis,
atau petanda kerusakan ginjal termasuk kelainan dalam darah, urin atau studi
pencitraan.1,2 Penyebab PGK yang paling umum dilaporkan adalah diabetes
mellitus (DM) dan hipertensi, dan penyebab yang lebih jarang adalah penyakit
glomerular primer, tubulointerstitial dan penyakit kistik. Patofisiologi PGK
terkait dengan penyakit yang mendasarinya, namun kerusakan tersebut
diakselerasi oleh hipertensi glomerular, hipertensi sistemik, inflamasi dan
fibrosis. Faktor risiko progresifitas PGK yaitu hipertensi, proteinuria dan
episode gangguan ginjal akut/acute kidney injury (AKI) berulang.3

Pasien PGK mempunyai risiko yang tinggi untuk penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA), penyakit kardiovaskular, infeksi, keganasan dan mortalitas
secara keseluruhan apabila tidak ditatalaksana dengan baik. Manajemen
PGK secara umum meliputi penatalaksanaan penyebab gangguan ginjal yang
bersifat reversibel dan mencegah atau memperlambat progresifitas penyakit
ginjal. Perhatian juga harus diberikan terhadap komplikasi dari kehilangan
fungsi ginjal berupa gangguan cairan dan elektrolit seperti overload cairan,
hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia dan abnormalitas terkait
disfungsi hormonal dan sistemik seperti anoreksia, mual, muntah, fatigue,
hipertensi, anemia, malnutrisi, hiperlipidemia, dan gangguan tulang.4,5

Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik


Penatalaksanaan PGK bersifat spesifik berdasarkan penyakit yang
mendasarinya, namun beberapa metode umum dapat diterapkan pada
hampir sebagian besar spektrum penyakit ginjal. Penatalaksanaan secara
umum pasien dengan penyakit ginjal kronik meliputi:5
 Terapi penyebab reversibel dari gagal ginjal
 Pencegahan progresifitas penyakit ginjal kronik

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 197


Zulkhair Ali

 Penatalaksanaan komplikasi dari gagal ginjal


 Identifikasi dan persiapan adekuat pada pasien yang memerlukan terapi
pengganti ginjal (TPG)

Terapi penyebab reversibel dari gagal ginjal


Selain memperburuk penyakit ginjal awalnya, pasien PGK yang
mengalami penurunan fungsi ginjal lebih lanjut yang baru terjadi mungkin
akibat dari suatu proses reversibel yang mendasarinya, yang jika diidentifikasi
dan diperbaiki, dapat mengakibatkan pemulihan fungsi ginjal ke baseline
sebelumnya.3,5

Penurunan perfusi ginjal - Hipovolemia (akibat muntah, diare,


penggunaan diuretik, perdarahan), hipotensi (akibat disfungsi miokard atau
perikard), infeksi (seperti sepsis), dan pemberian obat yang menurunkan
estimasi LFG seperti obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACE-I) adalah penyebab umum dari penurunan
fungsi ginjal yang berpotensi reversibel. Rehidrasi yang cermat diperlukan
dalam kondisi ini.

Pemberian obat-obatan nefrotoksik - Pemberian obat-obatan atau


agen diagnostik yang berdampak buruk pada fungsi ginjal seringkali menjadi
penyebab memburuknya fungsi ginjal. Di antara pasien dengan PGK, zat
nefrotoksik umum termasuk antibiotik aminoglikosida (terutama dengan
dosis yang tidak disesuaikan), NSAID, dan bahan kontras radiografi. Oleh
karena itu, pemberian obat tersebut harus dihindari atau digunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan PGK yang mendasarinya.

Obstruksi saluran kemih - Obstruksi saluran kemih harus selalu


dipikirkan pada pasien PGK dengan perburukan cepat fungsi ginjal, meskipun
obstruksi lebih jarang terjadi dibandingkan penurunan perfusi ginjal.

Pencegahan progresifitas PGK


Penelitian pada hewan percobaan dan manusia menunjukkan bahwa
perkembangan PGK mungkin disebabkan setidaknya sebagian karena
faktor sekunder yang tidak terkait dengan aktivitas penyakit awal. Faktor
utama dianggap hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus (yang
terutama bertanggung jawab untuk hiperfiltrasi adaptif) yang mengarah
ke fibrosis glomerulus (glomerulosklerosis). Penyebab tambahan mungkin

198 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

termasuk hipertensi sistemik, hiperlipidemia, asidosis metabolik, dan


penyakit tubulointerstisial.3

Pencegahan progresifitas PGK menurut KDIGO 2012 terdiri dari:


pengontrolan tekanan darah dengan blokade sistem renin angiotensin
aldosteron; mengontrol risiko AKI; pembatasan asupan protein; kontrol gula
darah; pembatasan asupan garam; pengontrolan hiperurisemia; modifikasi
gaya hidup dengan aktivitas fisik dan edukasi diet.4

Pengontrolan tekanan darah dan blokade sistem renin angiotensin


aldosteron
1. Individualisasi target tekanan darah (TD) berdasarkan umur, penyakit
kardiovaskular dan komorbiditas lainya, risiko progresifitas PGK, ada
atau tidaknya retinopati (pada pasien PGK dengan DM), dan toleransi
terhadap pengobatan (not graded)
2. Identifikasi adanya hipotensi postural secara teratur pada pasien PGK
yang menggunakan obat hipertensi (not graded)
3. Penyesuaian jenis obat hipertensi pada pasien PGK usia lanjut dengan
mempertimbangkan usia, komorbiditas dan pengobatan penyakit
lain dengan ekskalasi bertahap sambil memperhatikan efek samping
pengontrolan tekanan darah termasuk gangguan elektrolit, penurunan
mendadak fungsi ginjal, hipotensi ortostatik dan efek samping obat
lainnya. (not graded)
4. Direkomendasikan pada pasien PGK dewasa dengan DM dan nonDM
dan ekskresi albumin urin <30 mg/24 jam (atau setaranya) dengan
TD sistolik >140 mmHg atau TD diastolik >90 mmHg diterapi dengan
antihipertensi untuk mempertahankan TD sistolik 140 mmHg danTD
diastolik 90 mmHg. (1B)
5. Disarankan pada pasien PGK dewasa dengan DM dan nonDM dan ekskresi
albumin urin 30 mg/24 jam (atau setaranya) dengan TD sistolik >130
mmHg atau TD diastolik >80 mmHg diterapi dengan antihipertensi untuk
mempertahankan TD sistolik ≤130 mmHg danTD diastolik ≤80 mmHg.
(2D)
6. Disarankan penggunaan angiotensin receptor blocker (ARB) atau ACE-I
pada pasien PGK dewasa dengan DM dengan ekskresi albumin 30-300
mg/24 jam (atau setaranya). (2D)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 199


Zulkhair Ali

7. Disarankan penggunaan ARB atau ACE-I pada pasien PGK dewasa dengan
DM dengan ekskresi albumin 300 mg/24 jam (atau setaranya). (1B)
8. Belum terdapat bukti yang cukup untuk merekomendasikan
penggabungan ACE-I dan ARB untuk mencegah progresifitas PGK. (not
graded)

PGK dan risiko AKI


Direkomendasikan bahwa semua penderita PGK dianggap berisiko tinggi
terhadap AKI
(1A)

Rekomendasi yang dideskripsikan secara detil dalam pedoman AKI


KDIGO harus dipatuhi untuk manajemen pasien yang berisiko AKI selama
periode penyakit atau saat menjalani prosedur diagnostik dan prosedur lain
yang diduga akan meningkatkan risiko AKI. (not graded)

Asupan Protein
1. Disarankan menurunkan asupan protein menjadi 0,8 g/Kg/hari pada
orang dewasa dengan DM (2C) atau tanpa DM (2B) dan estimasi LFG<
30ml/min/1.73m2 (kategori LFG G4-G5) dengan edukasi yang cukup.
2. Disarankan menghindari asupan tinggi protein (>1.3 g/kg/hari) pada
pasien PGK dewasa yang berisiko mengalami progresifitas. (2C)

Pengontrolan Gula darah


1. Direkomendasikan target hemoglobin A1c (HbA1C) 7.0% (53 mmol/
mol) untuk mencegah komplikasi mikrovaskular DM, termasuk penyakit
ginjal diabetes. (1A)
2. Direkomendasikan untuk tidak menargetkan HbA1C <7.0% (<53 mmol/
mol) pada pasien dengan risiko hipoglikemia. (1B)
3. Disarankan target HbA1C berada diatas 7.0% (53 mmol/mol) pada
individu dengan komorbiditas atau harapan hidup terbatas dengan
resiko hipoglikemia. (2C)
4. Pada penderita dengan PGK dan DM, kontrol gula darah harus menjadi
bagian dari strategi intervensi multifaktorial yang mengontrol TD dan
risiko kardiovaskular, dengan penggunaan ACE-I atau ARB, statin, dan
terapi antiplatelet bila terdapat indikasi klinis. (not graded)

200 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

Asupan garam
Direkomendasikan menurunkan asupan garam <90mmol (<2 gram)
perhari natrium (setara 5 g natrium klorida) pada orang dewasa, kecuali ada
kontraindikasi. (1C)

Hiperurisemia
Belum ada bukti yang kuat untuk mendukung ataupun membantah
pengunaan obat penurun asam urat pada penderita PGK baik yang bergejala
ataupun tidak bergejala untuk memeperlambat progresifitas PGK. (not
graded)

Gaya Hidup
Direkomendasikan penderita PGK untuk melakukan aktifitas fisik yang
sesuai dengan toleransi kardiovaskular (minimal 30 menit per kali, 5 kali
perminggu) dengan pencapaian berat badan ideal (IMT 20-25, sesuai dengan
karakteristik demografi setempat) dan berhenti merokok. (1D)

Saran diet tambahan


Direkomendasikan bahwa individu penderita PGK menerima edukasi
diet dari ahlinya dengan penyesuaian tingkat keparahan PGK dan kebutuhan
untuk intervensi asupan garam, fosfat, kalium, dan protein bila terdapat
indikasi. (1B)

Penatalaksanaan komplikasi dari gagal ginjal


Berbagai gangguan dapat terjadi sebagai konsekuensi dari hilangnya
fungsi ginjal. Ini termasuk gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
seperti kelebihan volume, hiperkalemia, asidosis metabolik, dan
hiperfosfatemia, serta kelainan yang berhubungan dengan disfungsi hormon
atau sistemik, seperti anoreksia, mual, muntah, kelelahan, hipertensi, anemia,
malnutrisi, hiperlipidemia, dan penyakit tulang. Perhatian harus diberikan
pada semua masalah ini.5 Pedoman penanganan komplikasi akibat hilangnya
fungsi ginjal menurut KDIGO 2012 terdiri dari: evaluasi anemia; gangguan
mineral dan tulang terkait PGK; dan asidosis.4

Evaluasi anemia pada pasien PGK


Untuk mengidentifikasi anemia dengan PGK, dilakukan pemeriksaan
kadar Hb (not graded)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 201


Zulkhair Ali

1. Bila terdapat gejala klinis pada penderita dengan estimasi LFG ≥60 ml/
min/1,73 m2
2. Setidaknya satu kali per tahun pada penderita dengan LFG 30-69 ml/
min/1,73m2
3. Minimal 2 kali per tahun pada penderita dengan LFG <30 mL/min/1,73m2

Gangguan mineral dan tulang terkait PGK termasuk kelainan laboratorium


1. Direkomendasikan pengukuran kadar kalsium, fosfat, PTH dan aktivitas
alkali fosfatase serum setidaknya minimal satu kali pada pasien dengan
LFG <45 ml/min/1.73 m2. (1C)
2. Disarankan untuk tidak memeriksa kepadatan tulang secara rutin pada
penderita dengan estimasi LFG <45 ml/min/173 m2. (2B)
3. Pada penderita dengan LFG <45 ml/min/1.73 m2, disarankan untuk
mempertahankan konsentrasi serum fosfat dalam kisaran normal sesuai
dengan nilai referensi laboratorium. (2C)
4. Pada orang dengan LFG <45 ml/min/1.73 m2 kadar PTH optimal tidak
diketahui. Disarankan bahwa orang dengan kadar PTH intak lebih dari
batas atas nilai normal dilakukan evaluasi hiperfosfatemia, hipokalsemia
den defisiensi Vitamin D terlebih dahulu. (2C)

Suplemen vitamin D dan bifosfonat pada pasien PGK


1. Disarankan untuk tidak secara rutin memberikan suplemen vitamin
D atau analog vitamin D, tanpa ada kecurigaan atau bukti defisiensi,
untuk menekan peningkatan kadar PTH pada penderita PGK yang tidak
menjalani hemodialisis. (2B)
2. Disarankan untuk tidak memberikan bifosfonat pada pasien dengan LFG
<30 ml/min/1,73m 2 tanpa alasan klinis yang kuat. (2B)

Asidosis
Disarankan penderita dengan PGK dengan konsentrasi serum bikarbonat
<22 mmol/l diberikan suplementasi bikarbonat oral untuk mempertahankan
serum bikarbonat dalam kisaran normal, kecuali dikontraindikasikan. (2B)

Identifikasi dan persiapan adekuat pada pasien yang memerlukan TPG


Pasien dengan PGK harus di rujuk ke konsultan ginjal hipertensi ketika
LFG < 30mL/mnt/1,73m2 untuk merencanakan dan mempersiapkan TPG.
Penting untuk mengidentifikasi pasien yang memerlukan TPG karena

202 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

persiapan yang memadai dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pasien


harus dikonseling untuk mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari
hemodialisis, dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal. Pilihan manajemen
konservatif juga harus dibicarakan di antara pasien yang tidak mau atau
tidak mampu menjalani TPG. Persiapan akses arteriovenous (AV) diperlukan
untuk pasien yang memilih hemodialisis. Manajemen konservatif harus tetap
menjadi pilihan bagi pasien PGTA yang menolak TPG. Manajemen konservatif
berupa mengatasi gejala dan perawatan paliatif yang tepat. 5

Pedoman KDIGO 2012 untuk referal pasien PGK ke nefrolog dan pemilihan
model perawatan terdiri dari: referal ke layanan konsultan ginjal; perawatan
pasien PGK progresif; waktu inisiasi TPG; struktur dan proses manajemen
konservatif komprehensif.4

Referal ke layanan konsultan ginjal


1. Direkomendasikan untuk merujuk ke konsultan ginjal pada pasien PGK
dengan keadaan dibawah ini (1B):
• AKI atau penurunan LFG mendadak yang berkelanjutan;
• LFG <30 ml/mnt/1,73 m2 (kategori LFG G4-G5);
• albuminuria signifikan yang konsisten (ACR 300 mg / g [30 mg /
mmol] atau AER 300 mg/24 jam, setara dengan PCR 500 mg/g [50
mg /mmol] atau PER 500 mg/24 jam);
• progresifitas PGK;
• Cast RBC urin, RBC >20 per lapangan pandang besar yang
berkelanjutan tanpa dapat dijelaskan penyebabnya;
• PGK dengan hipertensi refrakter tehadap pengobatan dengan 4 atau
lebih antihipertensi;
• kelainan kalium serum yang persisten;
• nefrolitiasis berat atau berulang;
• penyakit ginjal herediter.
2. Direkomendasikan rujukan tepat waktu untuk perencanaan TPG pada
pasien PGK progresif di mana risiko gagal ginjal dalam 1 tahun adalah 10-
20% atau lebih tinggi, sebagaimana ditentukan oleh alat prediksi risiko
yang tervalidasi. (1B)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 203


Zulkhair Ali

Perawatan pasien PGK progresif


1. Disarankan pasien PGK progresif harus dikelola secara multidisiplin.
(2B)
2. Tim multidisiplin harus mencakup atau memiliki akses ke konsultan gizi,
edukasi dan konseling tentang berbagai modalitas TPG, opsi transplantasi,
operasi akses vaskular, dan dewan etik, psikolog, dan pekerja sosial. (Not
Graded)

Waktu inisiasi TPG


1. Disarankan untuk inisiasi dialisis bila ditemukan keadaan berikut: gejala
atau tanda yang disebabkan oleh gagal ginjal (serositis, kelainan asam-
basa atau elektrolit, pruritus); ketidakmampuan untuk mengontrol status
volume atau TD; penurunan status gizi yang progresif dan refrakter
terhadap intervensi diet; atau gangguan kognitif. Kondisi ini sering tetapi
tidak selalu terjadi dalam kisaran LFG 5-10 ml/menit/1,73 m2. (2B)
2. Persiapan transplantasi ginjal donor hidup pada orang dewasa harus
dipertimbangkan ketika LFG <20 ml/menit/1,73 m2, dan terdapat bukti
PGK progresif dan ireversibel selama 6-12 bulan sebelumnya. (Not
Graded)

Struktur dan proses manajemen konservatif komprehensif


1. Manajemen konservatif harus menjadi pilihan pada pasien yang memilih
untuk tidak menjalani TPG dan ini harus didukung oleh program
manajemen yang komprehensif. (Not Graded)
2. Semua program dan penyedia perawatan PGK harus dapat memberikan
perencanaan perawatan lanjutan untuk pasien yang memerlukan
perawatan akhir kehidupan, termasuk mereka yang menjalani perawatan
ginjal konservatif. (Not Graded)
3. Perawatan akhir kehidupan yang terkoordinasi harus tersedia bagi
pasien dan keluarga melalui perawatan primer atau perawatan spesialis
sesuai dengan keadaan setempat. (Not Graded)
4. Program manajemen konservatif yang komprehensif harus mencakup
protokol untuk manajemen gejala dan nyeri, perawatan psikologis,
perawatan spiritual, dan perawatan yang sensitif secara budaya untuk
pasien yang sekarat dan keluarga mereka (apakah di rumah, atau rumah
sakit), diikuti oleh penyediaan dukungan duka yang sesuai secara budaya.
(Not Graded)

204 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

Daftar Pustaka
1. Obrador GT. Epidemiology of chronic kidney disease. Post TW, ed. UpToDate.
Waltham, MA: UpToDate inc. http://www.uptodate.com (Accessed on Aug 28,
2019)
2. Traynor C, Kovalik EC. Clinical management of chronic kidney disease. In: Lerma
EV, Sparks MA, Topf JM (editors). Nephrology secrets. 4th ed. Philadephia: Elsevier;
2019. p.162-8
3. Whittier WL, Lewis E. Development and progression of chronic kidney disease. In:
Gilbert SJ, Weiner DE (editors). Primer on kidney diseases. 7th ed. Philadephia:
Elsevier; 2018. p.466-75
4. Eknoyan G, Lameire N. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation
and management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl 2013;3(1):8
5. Rosenberg M. Overview of the management of chronic kidney disease in adults.
Post TW, ed. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate inc. http://www.uptodate.com
(Accessed on Aug 28, 2019)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 205


Tatalaksana Hepatitis C Terbaru
dengan DAA (Direct Acting Antivirus)
Juferdy Kurniawan
Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Virus Hepatitis C
Virus hepatitis C merupakan virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Virus
ini memiliki partikel yang menyelimuti untaian RNA yang panjangnya 9.600
basa nukleotida. Genom HCV terdiri dari protein struktural (C, E1 dan E2) dan
protein non-struktural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A dan NS5B) yang
terletak di dalam poliprotein 5’NTR dan 3’NTR. Protein non-struktural dan
RNA virus hepatitis C telah terbukti ditemukan pada hati pasien yang terinfeksi
hepatitis C sehingga membuktikan bahwa hati adalah tempat replikasi virus
hepatitis C.1

Besar Masalah Hepatitis C


Infeksi kronis dengan virus hepatitis C (HCV) adalah penyebab utama
sirosis dan karsinoma hepatoseluler (HCC) di Amerika Serikat dan secara
global.2 World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun
2015, 71 juta orang hidup dengan infeksi hepatitis C virus (HCV) kronis di
seluruh dunia (prevalensi global: 1%) dan sejumlah 399.000 telah meninggal
karena sirosis atau karsinoma hepatoseluler (HCC).3 Kasus baru infeksi
hepatitis C meningkat dari hampir 10.000 per tahun pada 2005 menjadi
lebih dari 40.000 per tahun 2016.2 Secara global, Mesir memiliki prevalensi
tertinggi yaitu 30.000 per 100.000 orang (30%). Prevalensi juga tinggi di
India, Pakistan, Cina, dan Indonesia tetapi lebih rendah di Jepang, Eropa Utara
dan Barat, Amerika Utara, dan Australia.2 Di Indonesia, berdasarkan data
dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, didapatkan bahwa terdapat
peningkatan prevalensi penderita hepatitis C dibandingkan data sebelumnya
pada tahun 2007, yaitu 2,1% menjadi 2,5%.4 Data terbaru di Indonesia pada
tahun 2014 menunjukkan prevalensi anti-HCV positif sebesar 0,8-1%.1

Perlu diketahui, bahwa HCV memiliki 7 genotipe dan 67 subtipe.


Distribusi genotipe dan subtipe ini bervariasi berdasarkan wilayah. Secara
keseluruhan, genotipe 1 mendominasi sebanyak 44%, diikuti oleh genotipe 3
sebanyak 25%, dan genotipe 4 sebanyak 15%. Sebanyak 60% kasus di negara

206 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tatalaksana Hepatitis C Terbaru dengan DAA (Direct Acting Antivirus)

berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas didominasi oleh genotipe 1.


Dan genotipe 3 (36%) terlihat lebih banyak di negara-negara menengah ke
bawah. Sedangkan genotipe 4 terlihat lebih banyak ditemukan pada negara
berpenghasilan rendah yaitu sebanyak 45%. Genotipe 1-3 tersebar luas
secara global, sedanglan genotipe 4 secara endemik berada di Timur tengah
dan Afrika.2

Pentingnya Mengobati Hepatitis C


Pada Mei 2016, World Health Assembly mendukung Global Health Sector
Strategy (GHSS) tahun 2016-2021 untuk hepatitis virus (HBV, HCV) yang
mengusulkan untuk mengeliminasi virus hepatitis pada tahun 2030. Eliminasi
di sini didefinisikan sebagai pengurangan sebanyak 90% pada kasus infeksi
kronis baru dan sebanyak 65% pengurangan mortalitas dibandingkan tahun
2015. Untuk mencapai target ini, GHSS merekomendasikan peningkatan
intervensi pencegahan yang tersedia saat ini dan memperkenalkan program
yang lebih baru.3

Timeline Pengobatan Hepatitis C


Selama 10 tahun terahir, standar perawatan untuk infeksi hepatitis adalah
berbasis interferon (IFN). Interferon merupakan protein yang dihasilkan oleh
tubuh dan bersifat sebagai imunomodulator. Mekanisme kerja interferon
adalah menghambat berbagai tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk
dalam sel tubuh, uncoating, sintesis mRNA, dan sintesis protein.1 Tetapi,
penggunaan interferon konvensional menunjukkan respon pengobatan yang
sangat buruk. Kemudian, ditambahkanlah analog guanosine yaitu ribavirin
pada IFN konvensional, namun hanya terjadi sedikit perbaikan dalam SVR.5

Lalu pegylated ditambahkan dalam formula obat untuk membuat


interferon bertahan lebih lama di dalam tubuh. Terdapat beberapa tipe Peg-
IFN, namun yang sering digunakan dalam pengobatan hepatitis C adalah Peg-
IFNα2a dan Peg-IFNα2b.

Beberapa studi menunjukkan keunggulan Peg-IFNα2a dibandingkan


Peg-IFNα2b meskipun ada juga studi yang menunjukkan tidak adanya
perbedaan efektifitas keduanya dalam terapi hepatitis C kronik.1 Setelah itu
terdapat kombinasi antara Peg-IFN dan ribavirin. Terapi Peg-IFN dan RBV
menghasilkan peningkatan SVR, yang didefinisikan sebagai viral load HCV
yang tidak terdeteksi 24 minggu setelah selesainya pengobatan. Dengan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 207


Juferdy Kurniawan

kombinasi Peg-IFN dan RBV, SVR dalam genotipe 2 dan 3 berkisar antara 70
dan 80%. Namun, tingkat SVR pada genotipe 1 dan 4 kronis masih suboptimal.5

Dalam perjalanannya, ternyata, banyak terdapat efek samping pada
rejimen berbasis interferon, seperti kelelahan, flu-like symptoms, kecemasan,
ruam kulit, dan gejala gastrointestinal seperti mual dan diare. Pada penggunaan
ribavirin pun sering terjadi anemia hemolitik. Beberapa pasien yang diobati
dengan PEG-IFN dan RBV dapat mengalami aritmia jantung atau efek samping
neuropsikiatrik yang berat, depresi dan kecenderungan bunuh diri. Berbagai
efek samping, lama terapi dan kebutuhan untuk menyuntikkan interferon
mengurangi kepatuhan pengobatan. Sehingga dibutuhkan pengembangan
pengobatan baru yang lebih aman dan lebih efektif.5

Kemudian ditemukanlah DAA yang merupakan sebuah revolusi dalam


pengobatan HCV. DAA dikembangkan untuk meningkatkan SVR, mengurangi
efek samping, dan meningkatkan kepatuhan terapi pasien HCV. Interferon-
free (DAA) dapat mencapai SVR 90% setelah terapi selama 12 minggu.
Telaprevir dan boceprevir merupakan DAA generasi pertama yang pertama
kali digunakan untuk pengobatan HCV. Telaprevir atau boceprevir dulu
dikombinasi dengan PegIFN dan ribavirin untuk terapi genotipe 1. Walaupun
telaprevir dan boceprevir rejimen dapat meningkatkan SVR, tetapi efikasi
secara klinis pada terapi 3 obat kombinasi ini hanya terbatas pada sedikit
genotipe, resistensi yang rendah, dan juga terdapat interaksi terhadap
beberapa obat.5

Pada Mei 2018, Food and Drug Administration (FDA) atau European
Medicines Agency (EMA) telah menyetujui 13 DAA dan beberapa DAA
kombinasi dosis tetap/Fixed Dose Combination (FDC) untuk pengobatan orang
dengan infeksi HCV (Tabel 1).3 Beberapa obat yang sudah disetujui beredar di
Eropa dapat dilihat pada Tabel 2.6

Tabel 1. Pembagian DAA berdasarkan kelas3


Penghambat NS3/4A Penghambat NS5A Penghambat Polimerase Penghambat Polimerase NS5B
NS5B (analog nukleotida) (analog non- nukleotida)
Glecaprevir Daclatasvir Sofosbuvir Dasabuvir
Vocilaprevir Velpatasvir    
Grazoprevir Ledipasvir    
Paritaprevir Ombitasvir    
Simeprevir Pibrentasvir    
  Elbasvir    

208 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tatalaksana Hepatitis C Terbaru dengan DAA (Direct Acting Antivirus)

Tabel 2. Daftar obat yang disetujui beredar di Eropa6


Produk Kandungan Per Tablet Dosis
Obat pangenotipe atau obat kombinasi
Sofosbuvir 400 mg Sofosbuvir 1 tablet/hari
Sofosbuvir/Velpatasvir 400mg Sofosbuvir, 100mg Velpatasvir 1 tablet/hari
Sofosbuvir/Velpatasvir/ 400mg Sofosbuvir, 100mg Velpatasvir, 1 tablet/hari
Voxilaprevir 100mg Voxilaprevir
Glecaprevir/Pibrentasvir 100mg Glecaprevir, 40mg Pibrentasvir 3 tablet/hari
Obat genotipe spesifik atau obat kombinasi
Sofosbuvir/ Ledipasvir 400mg Sofosbuvir, 90mg Ledipasvir 1 tablet/hari
Paritaprevir/Ombitasvir/ 75mg Paritaprevir, 12.5mg Ombitasvir, 2 tablet/hari
Ritonavir 50mg Ritonavir
Dasabuvir 250mg Dasabuvir 1 tablet 2 kali sehari
(pagi dan malam)
Grazoprevir/Elbasvir 100mg Grazoprevir, 50mg Elbasvir 1 tablet/hari

Obat yang Tersedia di Indonesia


DAA yang pertama kali dipakai di Indonesia adalah boceprevir, yang
merupakan kelompok obat generasi pertama. Pada awalnya, boceprevir
diberikan sebagai tambahan bagi kelompok pasien yang tidak merespons
terapi peg-IFN dan ribavirin. Seiring dengan perkembangan DAA, muncul
kelompok DAA generasi baru, yaitu simeprevir, sofosbuvir, ledipasvir,
daclatasvir, elbasvir, dan grazoprevir. Obat-obat ini memiliki angka SVR12
yang lebih tinggi dibandingkan dengan terapi berbasis interferon, waktu
pengobatan yang lebih singkat, tersedia dalam sediaan oral dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit.1

DAA yang tersedia di Indonesia saat ini adalah sofosbuvir, ledipasvir/


sofosbuvir, simeprevir, daclatasvir.1 Elbasvir/grazoprevir, dan velpatasvir/
sofosbuvir yang sebelumnya direncanakan akan masuk ke Indonesia, sekarang
sudah masuk di Indonesia.7 Timeline perjalanan ditemukannya obat hepatitis
C dapat dilihat pada gambar 1.8 Daftar obat yang sekarang tersedia dan yang
masih menjalani evaluasi untuk pengobatan HCV dapat dilihat pada tabel 3.9

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 209


simeprevir, daclatasvir.1 Elbasvir/grazoprevir,
simeprevir, daclatasvir. Elbasvir/grazoprevir,dandanvelpatasvir/sofosbuvir
velpatasvir/sofosbuviryang
yang sebelumnya
sebelumnya
direncanakan akan masuk ke Indonesia, sekarang sudah masuk di 7 7 Timeline
Indonesia.
direncanakan akan masuk ke Indonesia, sekarang sudah masuk di Indonesia. Timeline
perjalanan ditemukannya obat
perjalanan ditemukannya obat hepatitis
hepatitisCCdapat
dapatdilihat
dilihatpada gambar1.81.8Daftar
padagambar Daftar obat
obat yangyang
sekarang
sekarang tersedia
tersedia
Juferdy Kurniawan dan
dan yang
yang masih
masih menjalani
menjalani evaluasi
evaluasi untuk
untuk pengobatan
pengobatan HCV
HCV dapat
dapat dilihat
dilihat
pada tabel 3.3.99

Gambar 1. Timeline perjalanan ditemukannya obat Hepatitis C8 8


GambarGambar 1. Timeline
1. Timeline perjalanan
perjalanan ditemukannya
ditemukannya obatobat Hepatitis
Hepatitis C8 C
Tabel 3. Daftar obat yang sudah disetujui dan yang masih menjalani evaluasi9 9
Tabel 3. Daftar obat yang sudah disetujui dan yang masih menjalani evaluasi

Tabel 3. Daftar obat yang sudah disetujui dan yang masih menjalani evaluasi9

210 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tatalaksana Hepatitis C Terbaru dengan DAA (Direct Acting Antivirus)

Kelebihan Obat yang Tidak Ada di Indonesia


Rejimen obat terakhir yang sudah disetujui oleh FDA dan EMA pada
tahun 2017 adalah glecaprevir (GLE) dan pibrentasvir (PIB). Kedua obat
tersebut merupakan protease NS3/4A pangenotypic dan NS5A inhibitor
pangenotypic. Rejimen ini memiliki waktu terapi yang singkat yaitu 8
minggu tanpa memperhitungkan jenis genotipenya. Durasi terapi yang
lebih singkat dapat meningkatkan kepatuhan dan juga mengurangi biaya
pengobatan.10 Dalam uji klinisnya, glecaprevir/ pibrentasvir memiliki efikasi
yang bagus untuk genotipe 1-6 dan juga sirosis kompensata.3 Glecaprevir dan
pibrentasvir diekskresikan secara minimal oleh ginjal, sehingga rejimen ini
dapat digunakan dengan aman pada individu dengan penyakit ginjal kronis
yang parah, termasuk yang menjalani hemodialisa.10

Tetapi kombinasi kedua obat ini dikontraindikasikan kepada orang


dengan sirosis dekompensata. (Child Pugh Class C).3 Penelitian yang dilakukan
oleh Hsu et al pada pasien Asia, didapatkan bahwa didapatkan SVR 100%
pada pasien HCV yang diterapi selama 8 minggu dengan rejimen Glecaprevir
dan Pibrentasvir. Efek samping yang didapatkan berupa pruritus (12%),
anoreksia (6%), and fatigue (5%). Tiga (2%) pasien memiliki peningkatan
level bilirubin total. Kesimpulan penelitian ini yaitu rejimen GLE / PIB bebas
interferon sangat efektif dan aman untuk pasien hepatitis kronis di Asia
dengan fibrosis hati lanjut atau sirosis kompensasi.11

Rejimen Glecaprevir dan Pibrentasvir merupakan satu-satunya terapi


dengan durasi waktu 8 minggu, pangenotipic yang direkomendasikan sebagai
terapi lini pertama pada pasien HCV genotipe 1-6 naif yang belum pernah
menjalani terapi sebelumnya ataupun pada pasien HCV kronik yang pernah
diterapi sebelumnya, dengan atau tanpa sirosis, termasuk pasien dengan ko-
infeksi HCV-HIV atau yang memiliki kerusakan ginjal. Sayangnya, rejimen
obat ini belum masuk di Indonesia.12

Sementara itu, walaupun sudah ditemukan obat DAA yang aman dan
memiliki efikasi yang tinggi, tetapi pengobatan yang terjangkau masih
terbatas di banyak negara berkembang. Sehingga dikembangkanlah obat baru
yaitu kombinasi Sofosbuvir/Ravidasvir pada tahun 2016. Pada tahun 2016,
DNDi (Drugs for Neglected Disease initiative) meluncurkan penelitian Fase
II/III di Malaysia dan Thailand untuk menilai efikasi, keamanan, tolerabilitas,
farmakokinetik, dan akseptibilitas rejimen selama 12 minggu pada pasien
tanpa sirosis dan 24 minggu pada pasien dengan sirosis.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 211


Juferdy Kurniawan

Hasil sementara yang diterbitkan pada April 2018 menunjukkan bahwa


setelah 12 minggu terapi yang dilakukan pada pasien dengan sirosis dan tanpa
sirosis CTP A, didapatkan SVR 97% dari 301 pasien. Tingkat kesembuhan
dengan Sofosbuvir/Ravidasvir sangat tinggi, bahkan pada pasien yang sulit
diobati dan yang memiliki beberapa faktor resiko. Selain itu tidak didapatkan
adanya kejadian tak terduga yang terjadi. Tahap lanjut untuk uji coba tahap
kedua diluncurkan pada Desember 2018 di Malaysia dan Mei 2019 di Thailand.
Diperkirakan, penelitian ini akan selesai pada Desember 2020.13,14

Tatalaksana HCV-HIV
Pasien dengan ko-infeksi HCV-HIV memiliki resiko yang lebih tinggi
berkembang menjadi fibrosis sehingga termasuk dalam daftar pasien yang
diprioritaskan untuk diterapi sejak tahun 2014.3,6 Pilihan terapi pada pasien
ko-infeksi HCV-HIV dapat berupa kombinasi Peg-IFN/Ribavirin, Peg-IFN/
Ribavirin/DAA, dan free IFN regimen. Pada terapi Peg-IFN/RBV, parameter
yang perlu diperhatikan yaitu jumlah CD4 >350 sel/mm3, ada tidaknya infeksi
oportunistik, dan riwayat penggunaan obat antiretroviral untuk HIV. Rejimen
PEG-IFN/RBV dapat digunakan pada pasien ko-infeksi HCV-HIV seperti pada
pasien tanpa infeksi HIV dengan lama pengobatan selama 1 tahun untuk
semua genotipe.1

Pada pasien dengan infeksi virus genotipe 1, dosis ribavirin pada


strategi dual therapy Peg-IFN diberikan berbasis muatan virus, sedangkan
pada genotipe 2 dan 3 ribavirin diberikan dengan dosis tetap 800 mg/hari.1
Sedangkan pada terapi IFN-free, ribavirin-free baik pada pasien ko-infeksi
dengan HIV atau tanpa HIV, sebaiknya dilakukan penyesuaian dosis mengingat
adanya interaksi obat HCV dengan antiretroviral (ARV).6 Berdasarkan
tatalaksana PPHI, apabila jumlah CD4 ≤350 sel/mm3, dilakukan pengobatan
HIV terlebih dahulu. Bila kondisi sudah stabil, CD4> 350 sel/mm3, anti HCV
positif, dan HCV RNA positif, terapi hepatitis C dapat dilakukan bila derajat
fibrosis hati ≥F2. Tetapi bila anti HCV positif dan HCV RNA negatif, dapat
dilakukan monitoring klinis dan fungsi hati setiap 6 bulan, serta dilakukan
pemeriksaan histologi hati setiap 3 tahun.1

Berbeda dengan cut off dari PPHI, The Asia Pasific Association for the Study
of the Liver (APASL) merekomendasikan pasien dengan ko-infeksi HCV-HIV
dengan CD4 <100/µL sebaiknya menerima terapi Highly Active Anti-Retroviral
Therapy (HAART) terlebih dahulu. Terapi HCV sebaiknya ditunda hingga CD4
> 200/µL tercapai.15 Berdasarkan tatalaksana PPHI, terapi berbasis DAA pada

212 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tatalaksana Hepatitis C Terbaru dengan DAA (Direct Acting Antivirus)

pasien ko-infeksi HCV-HIV sama dengan terapi pasien monoinfeksi HCV, yakni
diberikan terapi tanpa memandang jumlah CD4.1

Tingkat SVR pada pasien HCV-HIV yang diterapi dengan DAA dapat
mencapai lebih dari 95%, bahkan pada pasien yang sebelumnya pernah gagal
terapi atau pada fibrosis tingkat lanjut.3 Selain itu,efek samping serius hanya
ditemukan sebanyak 2%.16 Penelitian lain juga mengungkapkan hal serupa
yaitu SVR12 tercapai pada pasien yang menerima regimen PI (Protease
Inhibitor), NNRTI (Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor Regimen),
dan INSTI (Integrase Strand Transfer Inhibitor) (berturut-turut 97,1%, 100%,
dan 94,9%). Selain itu, SVR12 tercapai 100% pada pasien dengan HCV genotipe
1b dan non GT-1.17 Untuk durasi pemberian terapi pada pasien dengan ko-
infeksi HCV-HIV, WHO, EASL, dan AASLD, merekomendasikan penggunaan
sofosbuvir dan daclatasvir selama 12 minggu.3,6,18

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat memberikan ARV dan


DAA yaitu regimen pangenotypic dan efavirenz dapat dikontraindikasikan
pada kasus sofosbuvir / velpatasvir dan glecaprevir / pibrentasvir) atau
memerlukan penyesuaian dosis (dalam kasus sofosbuvir / daclatasvir).3 Hal
lain yang perlu diperhatikan yaitu apabila daclatasvir digunakan bersama
efavirenz, dosis daclatasvir perlu dinaikkan menjadi 90 mg.19

Tatalaksana HCV-HBV
Terapi pada kasus koinfeksi HCV-HBV disesuaikan dengan virus yang
lebih dominan. Umumnya, infeksi HCV lebih dominan ditemukan sebagai
penyebab utama hepatitis kronik. Pada kondisi tersebut, kriteria serta pilihan
terapi pada koinfeksi HCV-HBV sama seperti terapi untuk pasien monoinfeksi
HCV. Tingkat SVR12 pada pasien koinfeksi HCV-HBV pun umumnya sebanding
dengan pasien monoinfeksi HCV. Terdapat risiko kemungkinan terjadinya
reaktivasi HBV selama atau setelah SVR12 tercapai pasca terapi HCV.1 Pada
penelitian yang dilakukan oleh Jiang dkk tahun 2018, didapatkan bahwa
terdapat kejadian reaktivasi HBV sebesar 15,7% pada pasien HbsAg positif
yang mendapatkan terapi anti HCV. Kejadian reaktivasi HBV lebih banyak
terjadi pada kelompok yang diterapi dengan DAA dibanding IFN (21,1% vs
11,9%).20 Pada kasus tersebut, analog nukleosida/nukleotida sebaiknya
langsung diberikan sambil menunggu pemeriksaan level HBV DNA. Antivirus
yang poten seperti tenofovir, entecavir atau telbuvidine dapat digunakan.1,21

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 213


Juferdy Kurniawan

Tenofovir atau entecavir dapat dipilih dan terapi dilanjutkan hingga


pasien mencapai therapeutic endpoints untuk hepatitis B kronik, terkait
potensi kedua obat tersebut yang tinggi dan angka resistensi yang rendah.
Transplantasi hati dapat dipertimbangkan bila terjadi gagal hati (MELD >
30).21 Entecavir secara signifikan dapat mereduksi HBV DNA, menurunkan
skor CTP dan MELD, serta memperbaiki survival jangka panjang pada pasien
dengan reaktivasi spontan tanpa adanya efek samping signifikan.22,23 Tetapi
terdapat peningkatan risiko neuropati pada pemakaian regimen interferon
bila dikonsumsi bersama dengan telbivudin. Apabila pasien mengonsumsi
tenofovir bersamaan dengan terapi HCV termasuk di dalamnya DAA,
diperlukan evaluasi dan monitoring fungsi ginjal berkala.1

Tatalaksana HCV-CKD
Skrining HCV dilakukan secara berkala pada pasien HD (Hemodialisa),
pada saat pertama kali HD atau berpindah ke unit HD yang baru, pada saat
evaluasi transplantasi ginjal, dan setiap 6 bulan sekali. Apabila anti-HCV
positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan Nucleic Acid Testing (NAT)
untuk mendeteksi HCV RNA.24 Peg IFN & RBV masih dapat digunakan pada
eGFR 15-59ml/min/1.73m2 dengan penyesuaian dosis Peg-IFNα2a (135 μg/
minggu) atau Peg-IFNα2b (1 μg/kg/minggu) dan ribavirin (200-800 mg/hari).
Ribavirin dapat digunakan tetapi dengan penyesuaian dosis dan dilakukan
pemantau secara hati-hati apakah timbul anemia dan efek samping lainnya.1

Regimen bebas interferon direkomendasikan pada semua penderita


CKD. Pilihan regimen antiviral disesuaikan dengan jumlah muatan virus,
genotipe HCV, interaksi antar obat, kategori eGFR, tingkat fibrosis, kandidat
transplantasi ginjal dan hati, serta komorbiditas. Regimen Grazoprevir/
Elbasvir 12 minggu direkomendasikan untuk genotipe 1 dan 4. Genotipe
2 menggunakan Sofosbuvir/Velpatasvir atau Sofosbuvir/Daclatasvir.
Sedangkan pada genotipe 3 menggunakan Sofosbuvir/Velpatasvir atau
Sofosbuvir/Daclatasvir selama 12 minggu dengan Ribavirin jika Hb > 10g/
dl atau 24 minggu tanpa Ribavirin. Penggunaan Ribavirin harus diperhatikan
efek samping anemia hemolitik terutama CKD G3b-G5.24 Berikut rekomendasi
DAA yang digunakan pada pasien HCV-CKD oleh KDIGO (Kidney Disease
Improving Global Outcome).25

214 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


hemolitik terutama CKD G3b-G5.24 Berikut rekomendasi DAA yang digunakan pada pasie
HCV-CKD oleh KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcome).25
Tatalaksana Hepatitis C Terbaru dengan DAA (Direct Acting Antivirus)

Gambar 2. Rekomendasi DAA pada pasien HCV-CKD

Gambar 2. Rekomendasi DAA pada pasien HCV-CKD

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Hepatitis C di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2017.
2. American Association for the Study of Liver Diseases. Epidemiology of Hepatitis C.
America: Clinical Liver Disease. 2018
3. World Health Organization. Guideline for the Care and Treatment of Persons
Diagnosed with Chronic Hepatitis C Virus Infection. Geneva. 2018.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
5. Kamal Sanaa M. Advances in Treatment of Hepatitis C. Intech.2017. doi: http://
dx.doi.org/10.5772/66719
6. European Association fot the study of the liver. EASL Reccomendations on
Treatment of Hepatitis C. 2018. J of Hepatology. Doi: https://doi.org/10.1016/j.
jhep.2018.03.026
7. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Cek Produk BPOM. [Internet]. BPOM. 2019
[cited 31 August 2019]. Available from: https://cekbpom.pom.go.id
8. Tamori Akihiro, Enomoto Masaru, Kawada Norifumi. Recent Advances in Antiviral
Therapy for Chronic Hepatitis C. Hindawi Publishing Corporation. 2016. Doi:
http://dx.doi.org/10.1155/2016/6841628

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 215


Juferdy Kurniawan

9. Li Darrick K, Chung Raymond T. Overview of Direct Acting Antiviral Drugs and


Drug Resistance of Hepatitis C Virus. Springer Science and Business Media. 2019.
Doi: https://doi.org/10.1007/978-1-4939-8976-8_1.
10. Carrion Andres F, Martin Paul. Glecaprevir +Pibrentasvir for Treatment of Hepatitis C.
Expert Opinion on Pharmacotherapy. 2018. Doi: 10.1080/14656566.2018.1444030
11. Shu Shih Jer, Chiu M C, Fang Y J, Yang T H, et al. Real World Effectiveness and Safety
of Glecaprevir/Pibrentasvir in Asian Patients with Chronic Hepatitis C. J of the
Formosan Medical Association. 2019; 118,1187-1192.
12. Mensa Federico J, Lovell Sandra, Matias Tami Pilot, Liu Wei. Glecaprevir/
Pibrentasvir for the Treatment of Chronic Hepatitis C Virus Infection. Future
Microbiol.2018. doi:10.2217/fmb-2018-0233 .
13. Drugs for Neglected Diseases initiative. Ravidasvir + Sofosbuvir. 2019. [Internet].
DNDi. 2019. [cited 1 September 2019]. Available from: https://www.dndi.org/
diseases-projects/portfolio/ravidasvir-sofosbuvir/
14. Clinical Trials Government. Sofosbuvir Plus Ravidasvir for the Treatment of
HCV Chronic Infection. 2019. [Internet]. US National Library of Medicine. 2019.
[cited 1 September 2019]. Available from: https://clinicaltrials.gov/ct2/show/
NCT02961426
15. Omata M, et al. APASL consensus statements and recommendation on treatment of
hepatitis C. 2016. Hepatol Int;10(5):702-26
16. Wyles DL, Ruane PJ, Sulkowski MS, Dieterich D, Leutkemeyer A, Morgan TR, et al.
Daclatasvir plus sofosbuvir for HCV in patients coinfected with HIV-1. N Engl J Med.
2015;373:714-25.
17. Luetkemeyer AF, McDonald C, et al. 12 weeks of Daclatasvir in Combination
With Sofosbuvir for HIV-HCV Coinfection (ALLY-2Study): Efficacy and Safety
by HIV combination Antiretroviral Regimens. Clinical Infectious Diseases.
2016;62(12):1489–96
18. AASLD/IDSA. Hepatitis C Guidance: AASLD-IDSA Recommendations for Testing,
Managing, and Treating Adults Infected With Hepatitis C Virus. Hepatology. 2015;
62(3):932-54.
19. Bifano M, et al. Assessment of Pharmacokinetic interactions of the HCV NS5A
replication Complex Inhibitor Daclatasvir with Antiretroviral Agents: ritonavir-
boosted atazanavir, efavirenz, and tenofovir. Antiviral Therapy 2013; 18: 931-40.
20. Jiang X W, Ye Jian Z, Li Ya T, Li Lan J. Hepatitis B Reactivation in Patients Receiving
Direct Acting Antiviral Therapy or Interferon-Based Therapy for Hepatitis C. 2019.
Worl J Gastroenterol; 24(28): 3181-3191.
21. Sarin SK, et al. Asian-Pacific clinical practice guidelines on the management of
hepatitis B: a 2015 update. 2016. Hepatol Int. 10(1):1-98
22. Zhang Y, et al. Entecavir vs Lamivudine Therapy for Naïve Patients with Spontaneous
Reactivation of Hepatitis B presenting as Acute-on-Chronic Liver Failure. 2014.
World J Hepatol; 20(16): 4745-4752

216 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tatalaksana Hepatitis C Terbaru dengan DAA (Direct Acting Antivirus)

23. Brost S, Schnitzler P, Stremmel W, Eisenbach C. Entecavir as Treatment for


Reactivation of Hepatitis B in Immunosuppressed Patients. 2010. World J
Gastroenterol; 16(43):5447-51
24. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Hepatitis C-Penyakit
Ginjal Kronik di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2018.
25. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Hepatitis C Work Group.
KDIGO 2018 Clinical Practice Guideline for the Prevention, Diagnosis, Evaluation,
and Treatment of Hepatitis C in Chronic Kidney Disease. Kidney Int Suppl.
2018;8:91Ð165

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 217


Ansietas (Gangguan Cemas)
E. Mudjaddid
Divisi Psikosomatik dan Paliatif, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Perasaan cemas yang normal sebenarnya merupakan respon pertahanan


tubuh untuk beradaptasi terhadap gangguan homeostasis, tetapi bila perasaan
cemas menjadi berlebihan akan menimbulkan gangguan cemas.

Gangguan cemas menggambarkan suatu keadaan atau suasana cemas


yang abnormal dan patologis. Dalam praktek klinis perasaan cemas yang
patologis dibedakan menjadi beberapa istilah dengan pengertian yang berbeda
yaitu perasaan takut ( fear), ansietas (anxiety) dan fobia (phobia). Ketiga
istilah diatas memiliki makna yang berbeda secara klinis. Istilah Fobia dalam
DSM IV TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition)
menunjukan perasaan takut yang irrasional dan persisten; sementara yang
dimaksud rasa takut (fear) secara klinis ialah respons fisiologi dan emosional
dalam menghadapi ancaman dari luar yang dianggap membahayakan
seseorang (pasien). Sedangkan ansietas (anxiety) didefinisikan sebagai
perasaan cemas yang tidak menyenagkan, berlebihan, tak terkontrol atau
mengambang dan sering tidak jelas penyebabnya.

Membedakan beberapa gangguan cemas dalam praktek klinis sehari-


hari sangatlah penting karena memiliki implikasi terhadap diagnosis;
penatalaksanaan dan juga dampak terhadap prognosisnya.

Gangguan cemas sering disertai keluhan dan gejala-gejala fisik yang


bermacam-macam sehingga dapat mengaburkan dan mempersulit diagnosis.
Di bidang Penyakit Dalam gangguan cemas dapat ditemukan sendiri-
sendiri tetapi sering pula ditemukan bersamaan dengan penyakit organik
(komorbiditas ansietas dengan penyakit fisik). Pada umumnya ansietas yang
ditemukan bersamaan dengan penyakit organik dapat memperburuk penyakit
organiknya, menurunkan kualitas hidup dan meningkatkan mortalitas.

Gambaran Klinis
Sejalan dengan kemajuan jaman dan perubahan tata nilai yang cepat,
gangguan cemas (Ansietas) semakin banyak ditemukan. Prevalensi gangguan

218 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Ansietas (Gangguan Cemas)

ini berkisar antara 9-12%. Di Amerika dalam satu tahun ditemukan 4 juta
orang dengan gangguan cemas. Di Indonesia angkanya tidak jauh berbeda
walaupun angkanya bervariasi. Dari populasi yang datang ke tempat-tempat
pelayanan kesehatan umum dilaporkan angka lebih besar yaitu 17-27%
yang termasuk menderita gangguan ansietas. Banyak penderita mengalami
beberapa jenis gangguan ansietas. Masing-masing dari gangguan ansietas
tersebut memiliki prevalensi paling sedikit 1%.

Gangguan ini umumnya timbul dini pada remaja atau usia 20 tahunan
dan lebih banyak mengenai wanita kecuali pada kasus Obsessiive Compulsive
Disorder (OCD) dialami pria dan wanita sama banyaknya.

Rasa cemas yang normal merupakan respon pertahanan tubuh terhadap


gangguan homeostasis. Hal ini merupakan bagian yang normal dalam
kehidupan untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya, Sampai
taraf dan kualitas tertentu rasa cemas mempunyai fungsi penyesuaian yang
konstruktif (adaptif dan konstruktif) demi kelangsungan hidup individu dalam
lingkungan yang serba berubah-ubah. Sedangkan rasa cemas yang berlebihan
menimbulkan gangguan cemas yang patologis yaitu sindrom ansietas atau
gangguan cemas.

Ansietas memiliki karakteristik gejala cemas yang berlebihan, tidak


realistik, tidak proporsional, khawatir terhadap kejadian-kejadian dalam
kehidupan yang akan datang dan menimbulkan keluhan-keluhan fisik
akibat ketegangan motorik dan hiperaktivitas sistim saraf otonom. Perasaan
cemas yang subyektif ini biasanya mengenai sesuatu yang akan terjadi yang
dirasakan oleh seseorang sebagai “ancaman” atau keadaan bahaya yang
tidak nyata. Perasaan ini datang dari dunia dalam (diri sendiri) dan biasanya
disertai reaksi fisik dan perilaku. Dalam keadaan sehari-hari perasaan cemas
sering disamakan dengan keadaan was-was, gelisah, khawatir, bingung, tidak
tenang dsb.

Tanda-tanda fisik gangguan cemas mencakup perubahan fungsi fisiologis


yang luas sehingga dapat muncul sebagai gangguan sistemik atau menyerupai
gangguan organik berbagai penyakit bidang Penyakit Dalam. Keadaan klinis
ini menyebabkan pasien menjadi “maladaptif”dan menimbulkan ketidak
mampuan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari atau dalam bekerja.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 219


E. Mudjaddid

Keluhan-keluhan fisik yang sering dikemukakan pasien dengan gangguan


cemas cukup beragam seperti :berdebar-debar, nyeri dada, sakit kepala, mual,
sesak nafas, nyeri otot, sulit menelan, berkeringat dsb.

Walaupun penyebab gangguan cemas belum sepenuhnya diketahui tetapi


beberapa faktor dapat menimbulkan gangguan ini yaitu faktor genetik/ familial,
gangguan keseimbangan neurotransmiter di otak dan faktor lingkungan yang
berperan sebagai stresor dalam kehidupan. Terdapat bukti yang kuat bahwa
faktor keturunan merupakan predisposisi yang mempengaruhi kerentanan
untuk timbulnya gangguan cemas.

Diagnosis gangguan cemas tidak selalu mudah karena pasien sering


datang justru dengan keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam, apalagi
bila gangguan cemas timbul bersamaan dengan penyakit organik, Gangguan
cemas yang ditemukan bersamaan dengan penyakit organik (komorbiditas)
menyebabkan perburukan penyakit organiknya dan mempersulit
penyembuhan ansietasnya.

Dalam DSM-IV TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders,4th ed. Text Revision) terdapat 5 variant Ansietas yang sering
ditemukan yaitu: Generalized Anxiety Disorder (GAD), Panic Disorder (PD),
Social Anxiety Disorder (SAD), Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Serangan panik atau Panic Attacks merupakan bentuk ansietas yang


berat dan dapat berhubungan dengan bentuk ansietas yang lain disertai gejala
fisik yang dramatis, namun jarang bersamaan dengan GAD.

Menurut DSM V saat ini OCD tidak lagi dikelompokan dalam varian
Gaangguan Cemas, tetapi dipisahkan menjadi gangguan tersendiri, tetapi
pada tulisan ini masih dibahas untuk memberikan gambaran sekedarnya.

Tatalaksana gangguan ansietas hendaknya memakai pendekatan


Psikosomatik (pendekatan Holistik) dan bertujuan untuk mengurangi gejala
serta mengurangi kerentanan terhadap rasa cemas yang dirasakan dan
mengganggu penderita. Tatalaksana gangguan cemas meliputi pemberian
obat-obat psikofarmaka (ansiolitik), dan psikoterapi secara bersamaan,
termasuk psikoterapi kognitif dan perilaku.

220 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Ansietas (Gangguan Cemas)

Pengobatan secara serentak dengan melakukan psikoterapi dan


psikofarmaka pada umumnya memberikan hasil yang lebih baik bila
dibandingkan dengan pemberian psikofarmaka atau psikoterapi saja.

Generalized Anxiety Disorder ( GAD )


Sering disebut Gangguan Cemas Menyeluruh atau GAD (Generalize
Anxiety Disorders) Gambaran terpenting dari gangguan ini adalah adanya
rasa cemas yang menyeluruh, menetap dan bertahan lama (persistent). Tidak
hanya muncul pada keadaan tertentu, tetapi bersifat mengambang (free
floating anxiety). Berkaitan dengan adanya stres psikososial yang kronis.

Rasa cemas yang berlebihan biasanya terhadap kejadian sehari-hari


seperti problem kesehatan, keuangan,keluarga, kerabat dekat dan kesulitan
pekerjaan.

Gejala fisik yang sering dikeluhkan seperti kelelahan, sakit kepala,


mual, ketegangan otot-otot sulit menelan, gemetaran,gelisah atau iritabel,
berkerigat, muka merah dan sulit tdur.

Pengobatan pada gangguan ini adalah golongan benzodiazepin dan


golongan nonbenzodiazepin seperti buspiron. Benzodiazepin efektif pada
jangka pendek tetapi tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Keuntungan benzodiazepin antara lain memiliki efek yang cepat, tetapi
kerugiannya dapat menimbulkan gejala putus obat bila dihentikan secara
mendadak. Saat ini disepakati bahwa pemakaian buspiron untuk ansietas
GAD lebih menguntungkan. Buspiron tidak menimbulkan gejala putus
obat walaupun diberhentikan secara tiba-tiba. Namun efek buspiron baru
terlihat setelah pemakaian 1-2 minggu. Karena itu pada tahap awal dapat
dikombinasikan dengan golongan benzodiazepin dan setelah gejala ansietas
mereda benzodiazepin dapat diturunkan bertahap.

Beberapa guideline merekomendasikan penggunaan golongan SSRI


(Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) untuk GAD seperti Sertralin,
Fluoksetin dan Paroksetin. Psikoterapi diberikan untuk menghasilkan efek
terapi yang lebih baik.

Panic Disorder ( PD )
Disebut juga gangguan panik atau ansietas panik. Onset penyakit ini
bersifat tiba-tiba atau mendadak. Serangan ansietas biasanya berat dan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 221


E. Mudjaddid

berulang-ulang. Munculnya serangan tidak terduga. Biasanya dalam satu


bulan dapat timbul empat kali serangan atau lebih yang disertai dengan gejala
fisik yang jelas mengenai sistem kardiovaskuler, gastrointestinal maupun
muskuloskeletal. Serangan biasanya berlangsung selama 10 menit atau
kurang, dengan gejala-gejala palpitasi, berkeringat, pusing seperti melayang,
sesak, gemetar, dan tanda-tanda hiperventilasi. Penderita biasanya merasa
ketakutan yang berlebihan akan timbulnya serangan ulangan. Hampir
selalu secara sekunder timbul rasa takut mati, kehilangan kendali atau takut
menjadi gila. Individu yang sedang mengalami serangan panik seringkali
merasakan ketakutan yang sering meningkat dengan disertai gejala otonomik
dan mengakibatkan yang bersangkutan dengan terburu-buru meninggalkan
tempat dimana ia sedang berada.

Serangan panik yang berulang mengakibatkan pasien sering mengunjungi


fasilitas kesehatan atau berulang kali datang ke UGD.

Pengobatan yang efektif untuk memperbaiki gejala ansietas panik adalah


golongan benzodiazepin yang kerjanya cepat seperti alprazolam. Obat lain yang
dilaporkan bermanfaat untuk gangguan panik adalah antidepresan golongan
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor), seperti sertralin, fluoksetin dan
paroksetin. Betabloker sering diresepkan untuk ansietas PD tetapi efeknya
terbatas hanya untuk mengurangi tremor dan frekuensi jantung. Pemberian
benzodiasepin harus dipertahankan sampai 6 bulan dan dihentikan secara
bertahap untuk mengurangi gejala putus obat. Pada pemakaian golongan SSRI
gejala putus obat jarang ditemukan. Golongan SSRI diberikan terutama untuk
maintenance terapi, sementara golongan benzodiazepine digunakan pada
saat terjadi serangan untuk menghilangkan gejala-gejala panik secara cepat.
Pemberian psikofarmaka pada ansietas PD harus dilakukan serentak dengan
pemberian psikoterapi terutama psikoterapi kognitif dan perilaku. Pemberian
psikoterapi kognitif dan perilaku pada gangguan panik memberikan manfaat
yang lebih baik dibandingkan dengen pemberian psikofarmaka saja.

Social Anxiety Disorder ( SAD )


Adalah salah satu bentuk ansietas phobia dimana seseorang merasa
cemas atau menjauhi tempat-tempat umum dan menghindari untuk tampil di
depan umum atau situasi tertentu. Pasien merasa tidak atau kurang memiliki
kemampuan bila tampil di depan umum. Gejala fisik yang muncul mirip dengan
serangan panik seperti, gemetaran, berkeringat, merasa malu sampai dengan
keluhan gastrointestinal. Obat-obat yang dapat diberikan selain golongan

222 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Ansietas (Gangguan Cemas)

benzodiazepin dapat dicoba golongan MAO Inhibitor spesifik yaitu golongan


RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine oxydase type A) seperti moklobemid.

Obssesive Compulsive Disorder ( OCD )


Gangguan ini ditandai adanya pikiran obssesive yang berulang dalam
bentuk yang sama (mungkin hanya hal sepele atau tidak berarti) lalu diikuti
dengan tindakan kompulsif secara ritual stereotipik yang berulang-ulang.
Tindakan yang dilakukan sebenarnya tidak menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat tetapi kalau tidak melakukan akan timbul ketegangan dan
ansietas pada dirinya. Contoh: mencuci tangan berulang-ulang hanya karena
merasa dirinya tidak bersih. Sering terlihat gejala otonomik dari ansietas tapi
bisa juga terjadi perasaan tertekan dan ketegangan psikis tanpa disertai gejala
otonom yang jelas. Pengobatannya meliputi psikofarmaka dan psikoterapi
kognitif dan perilaku. Obat-obatan yang efektif adalah antidepresan golongan
trisiklik atau SSRI.

Beberapa bentuk OCD secara klinis antara lain mengecek berulang-ulang,


menghitung berulang-ulang, membersihkan atau merapihkan berulang-ulang
dsb.

Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD )


Istilah lain ialah Stres Pasca Trauma atau ansietas PTSD. Keadaan ini
timbul sebagai respon yang berkepanjangan terhadap kejadian atau musibah
yang besar dan traumatik. Onsetnya terjadi setelah beberapa minggu atau
beberapa bulan setelah mengalami trauma tadi. Gejalanya muncul apabila
bayangan kejadian traumatik tersebut berulang kembali atau menghadapi
stressor yang sama atau mirip dengan kejadian sebelumnya. Jadi terdapat
flashback yang mengingatkan kembali pada trauma yang dialami. Gejalanya
mirip dengan serangan panik atau ansietas pada umumnya. Obat-obatan yang
bermanfaat pada kelompok ini golongan benzodiazepin yang bekerjanya
lama (long acting). Beberapa studi menunjukkan bahwa golongan SSRI
seperti sertralin dan fluoksetin dapat bermanfaat pada PTSD. Tentu secara
bersamaan harus dilakukan juga psikoterapi terutama psikoterapi kognitif
dan perilaku.

Untuk semua gangguan ansietas diagnosis harus ditegakkan berdasarkan


kriteria yang dicantumkan dalam DSM IV-TR, sehingga diagnosis menjadi
lebih tepat dan pengobatannya pun menjadi lebih terarah.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 223


E. Mudjaddid

Komorbiditas Gangguan Cemas dengan Penyakit Fisik


Seperti telah dijelaskan bahwa dibidang Penyakit Dalam gangguan
cemas sering menyertai penyakit fisik baik yang bersifat akut maupun yang
kronik. Gangguan cemas yang menyertai penyakit fisik dapat memperburuk
perjalanan penyakit organiknya dan menyulitkan penyembuhan penyakit
organik maupun gangguan cemasnya. Pada keadaan yang demikian
pengobatan harus serentak dilakukan terhadap penyakit organik maupun
gangguan cemas yang menyertainya. Pemberian psikofarmaka hendaknya
mempertimbangkan indikasi dan kontra indikasi pada penyakit organik
yang ditemukan. Sedangkan psikoterapi dapat dimulai sejak awal apabila
komunikasi antara dokter pasien dapat dijalin.

Beberapa penyakit di bidang Penyakit Dalam yang sering disertai gangguan


cemas antara lain tercantum dibawah ini
• Sindrom kolon iritabel
• Dispepsi
• Kolitis
• Asma Bronkial
• Fibromialgia
• Artritis Rematoid
• Kanker / keganasan
• HIV / AIDS
• Hipotiroid dan hipertiroid
• Penyakit Jantung Koroner
• Infark miokard
• Penyakit Chusing
• Diabetes Melitus
• Gagal ginjal kronik
• Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Daftar Pustaka
1. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Text revision.
Washington, DC: American Psychiatric Association. 2000;429-430.
2. Management Mental Disorder. WHO. Collaborating Centre for mental health and
Substance Abuse (ed). Wild & Woolley Pty Ltd. Sydney. 1997

224 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Ansietas (Gangguan Cemas)

3. Shelton CI. Diagnosis and management of anxiety disorders.


JAOA.2004;104(supl3):S2-S5
4. David S. Baldwin, Ian M. Anderson, David J. Nutt , et al. Evidence-based guidelines
for the pharmacological treatment of anxiety disorders: recommendations from
the British Association for Psychopharmacology. Journal of Psychopharmacology.
2005;19(6) : 567–596
5. Charles I. Shelton, DO. Diagnosis and Management of Anxiety Disorders. JAOA.
2004. (Suppl 3) ;104(3): S2-S5.
6. Dahle´n I, Janson C, Anxiety and Depression Are Related to the Outcome of
Emergency Treatment in Patients With Obstructive Pulmonary Disease. CHEST
2002; 122:1633–1637
7. Lane D, Carroll D, Cpsychol F, Ring CD. Beevers G, Gregory Y et al. Mortality and
Quality of Life 12 Months After Myocardial Infarction: Effects of Depression and
Anxiety. Psychosomatic Medicine 2001.63:221–230.
8. Generalized anxiety disorder. http://en.wikipedia.org/wiki/Anxiety_disorder
9. Panic disorder. http://en.wikipedia.org/wiki/Anxiety_disorder
10. Agoraphobia. http://en.wikipedia.org/wiki/Anxiety_disorder
11. Phobia. http://en.wikipedia.org/wiki/Anxiety_disorder
12. Posttraumatic stress disorder. http://en.wikipedia.org/wiki/Anxiety_disorder
13. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 5th ed.. Washington, DC:
American Psychiatric Association. 2013;
14. Bandelow B , Sher L , Bunevicius R Hollander E , Kasper S , Zohar Y et all , Guidelines
for the pharmacological treatment of anxiety disorders,obsessive – compulsive
disorder and posttraumatic stress disorder in primary care .International Journal
of Psychiatry in Clinical Practice, 2012; 16: 77–84
15. Bandelow B, Reitt M, Rover C, Michaelis S, Gorlich Y, Wedekind D. Efficacy of
treatment for anxiety disorders : a meta analysis. Int Clin Psychopharmacol 2015.
16. Outhoff K. An update on the pharmacological treatment of anxiety disorders. South
African Family Practice 2016; 58(5):50-56.
17. Allgulander C. Generalized Anxiety Disorder: A Review of Recent Findings. J Exp

Clin Med 2012;4(2):88-91

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 225


Pendekatan Klinis dan Manajemen Depresi
Wika Hanida
Divisi Psikosomatik, Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUP. H. Adam Malik - Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Pendahuluan
Depresi adalah gangguan multifaktorial yang mempengaruhi afektif,
perilaku, kognitif, dan psikosomatik. Depresi terdiri dari gangguan negatif
yang mempengaruhi tidur, berat badan, nafsu makan, kesenangan dan
kehilangan motivasi. Orang yang menderita penyakit kronik pun
berpotensi menderita depresi.

Depresi sangat lazim pada pasien dengan CKD (Chronic Kidney Disease)
dan ESRD (End Stage Renal Disease). Tinjauan sistematis dan meta-analisis
terbaru oleh Palmer et al. mengidentifikasi 216 studi dari 55.982 pasien
dengan CKD atau ESRD. Di antara pasien dengan ESRD yang menerima dialisis,
prevalensi depresi adalah 39,3% ketika dievaluasi dengan kuesioner skrining.
Pada pasien dengan CKD, prevalensi depresi adalah 26,5% ketika dievaluasi
dengan skrining kuesioner. (Shirazian S, et al 2017)

Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Satin, Linden & Philips (2009)
tentang efek depresi terhadap perkembangan penyakit dan ketahanan pasien
kanker terhadap 26 studi, dengan total 9.417 pasien, menyimpulkan bahwa
risiko kematian pasien kanker dengan gejala depresi lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien kanker yang tidak depresi. Pasien tanpa depresi kemungkinan
besar meninggalnya sebesar 25%, sementara pasien yang terdiagnosa depresi
minor atau mayor kemungkinan meninggal sebesar 40%. (Satin, Linden &
Philips, 2009).

Terdapat bukti yang menunjukkan hubungan signifikan antara


infeksi HIV dan depresi. Presentase depresi pada penderita infeksi Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS)
sebesar 22%-45%, bahkan sebanyak 15%-20% melakukan percobaan bunuh
diri. (Boadu, et al., 2016)

Definisi Depresi
Depresi adalah gangguan alam perasaan hati (mood) yang ditandai
dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan

226 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis dan Manajemen Depresi

sampai hilangnya gairah hidup, perasaan putus asa, hilangnya minat dalam
kegiatan yang menyenangkan, berkurangnya perhatian terhadap diri sendiri
serta lingkungan yang dapat disertai penyakit somatik, namun kepribadian
tetap utuh (tidak ada splitting of personality). Pada penderita depresi, perilaku
dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Sadock, 2010). Depresi
dapat terjadi pada keadaan normal sebagai bagian dalam perjalanan proses
kematangan dari emosi sehingga definisi depresi adalah sebagai berikut: (1)
pada keadaan normal merupakan gangguan kemurungan (kesedihan, patah
semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan,
dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang, (2) pada kasus patologis,
merupakan ketidakmauan ekstrim untuk bereaksi terhadap rangsangan
disertai menurunnya nilai diri, delusi ketidakpuasan, tidak mampu, dan putus
asa (Radityo, 2010).

Epidemiologi
Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi di
dunia. Rata-rata usia awitan adalah akhir dekade kedua, meskipun sebenarnya
depresi dapat dijumpai pada semua kelompok usia. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa depresi mayor lebih sering diderita perempuan
dibanding laki-laki dengan rasio 2:1. Prevalensi selama kehidupan pada
perempuan 10%-25% dan pada laki- laki 5%-12%. Walaupun depresi lebih
sering terjadi pada perempuan, kejadian bunuh diri lebih sering terjadi pada
laki-laki terutama usia muda dan tua (Sadock, 2010).

Patofisiologi
Ada tiga faktor besar menyebabkan depresi antara lain (1) Faktor
biologi, (2) Faktor psikologi, serta (3) Faktor lingkungan atau sosiokultural.
Faktor biologi yang berperan antara lain penurunan kepekaan reseptor
neurotransmiter Serotonin 5-HT-2 di otak, dan faktor biologi lainnya seperti
faktor genetik yang berpengaruh pada regulasi neurotransmiter golongan
Mono Amin, sehingga kadar nerutotransmiter Serotonin menjadi turun.
Faktor keturunan juga disinyalir berperan terhadap kejadian depresi. Selain
itu, saudara kembar dari penderita depresi kemungkinan berpotensi 40-50%
menderita depresi pula. Dari segi stresor psikososial, anak yang ditinggalkan
orang tuanya berpotensi menderita depresi di kemudian hari. Orang yang
menderita penyakit kronik pun berpotensi menderita depresi. Sedangkan
dari segi sosiokultural antara lain (a) hubungan sosial yang buruk, (b) beban
pikiran, (c) kesendirian atau kesepian, (d) kehilangan sesuatu yang berharga,
dan (e) mengalami suatu peristiwa yang buruk.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 227
Wika Hanida

Faktor biologis yang berperan dibagi menjadi dua, yakni faktor


neurotransmitter dan neuroendokrin. Neurotransmitter yang berperan
terhadap terjadinya depresi adalah norepinefrin, serotonin, dan dopamin.
Hipotalamus adalah pusat regulasi neuroendokrin yang menerima rangsangan
neuronal menggunakan neurotransmitter biogenik amin. Banyak disregulasi
endokrin yang dapat dijumpai pada pasien gangguan mood. Faktor yang
diasumsikan berpengaruh terhadap depresi antara lain faktor demografi atau
karakteristik umum (meliputi umur, jenis kelamin, kesan sosial ekonomi,
ras, daerah asal, tipe akomodasi, ketaatan beragama, dan dengan siapa dia
tinggal), faktor internal (meliputi kepribadian, strategi coping, dan tanggung
jawab personal), dan faktor eksternal (meliputi stressor kehidupan, baik yang
akut maupun kronis) (Sadock, 2010).

Ciri-Ciri Gangguan Psikosomatik


Gangguan psikosomatik dapat menimbulkan sindrom ketidakseimbangan
vegetatif (vegetatif imbalance) atau distonia vegetatif yang terdiri atas gejala
dan keluhan subyektif yang melibatkan organ tubuh. Keluhan-keluhan yang
berpindah-pindah berkisar antara sakit kepala, pusing, berdebar jantung,
banyak berkeringat, sinkop, rasa sakit dan menekan didaerah jantung, sesak
nafas, gangguan pada lambung dan usus, diare, anoreksia, kaki tangan dingin
dan kesemutan, merasa dingin atau panas seluruh tubuh badan, urtikaria.
Keluhan diawali oleh adanya stresor atau emosi negatif. Kehidupan pasien
sering bermasalah atau konflik. Gangguan ini dapat ditemukan pada kondisi
fungsional atau bersama dengan kelainan struktural/organik. (Buku ajar IPD,
2015)

Gejala Klinis Depresi


Individu dengan gejala depresi tidak selalu mengalami gangguan depresi,
karena gejala depresi dapat terjadi pada siapapun termasuk orang-orang yang
tidak dapat didiagnosis menderita gangguan depresi. Beberapa tanda umum
yang menandakan gejala depresi yakni adanya perbedaan gambaran emosi,
kognitif, vegetatif, dan psikomotorik. Gejala utama depresi berupa (1) afek
depresif, (2) kehilangan minat maupun anhedonia, dan (3) kehilangan energi
yang ditandai dengan cepat lelah, dan dengan gejala tambahan lainnya seperti
: konsentrasi atau perhatian yang berkurang, harga diri maupun kepercayaan
diri yang berkurang, rasa bersalah atau rasa tidak berguna, memiliki
pandangan tentang masa depan yang suram serta pesimistis, gagasan atau
perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu
makan berkurang (Maslim, 2013).

228 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis dan Manajemen Depresi

Diagnosis Depresi
Gejala depresi dapat dinilai menggunakan alat bantu penapisan seperti
menilai skor pada kuesioner depresi yang diberikan pada pasien, seperti Beck
Depression Inventory (BDI) dan diagnosis klinis penyakit depresi didefinisikan
dengan menggunakan standar kriteria Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Kriteria ini mendefinisikan sindrom
klinis yang berlangsung selama minimal 2 minggu, selama pasien mengalami
mood depresi atau anhedonia ditambah minimal 5 dari 9 gejala dari DSM-5,
setidaknya salah satu gejala (1) mood depresi, atau (2) kehilangan minat atau
kesenangan (Maslim, 2013)
a. Mood depresi hampir sepanjang hari, hamper setiap hari, seperti yang
ditunjukkan oleh salah satu laporan subjektif (misalnya, merasa sedih,
kosong, putus asa) atau dilihat oleh orang lain (misalnya, menangis).
(Catatan: Pada anak-anak dan remaja, terdapat suasana hati mudah
tersinggung)
b. Berkurangnya minat atau kesenangan pada semua hal, atau hampir
semua kegiatan hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.
c. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet (misalnya,
perubahan lebih dari 5% dari berat badan dalam satu bulan), atau
penurunan berat badan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap
hari. (Pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk mencapai berat
badan yang diharapkan)
d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
e. Psikomotor agitasi atau retardasi hampir setiap hari (diamati oleh
orang lain, tidak hanya perasaan subjektif dari kegelisahan atau sedang
melambat).
f. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
g. Perasaan tidak berharga atau berlebihan atau merasa bersalah hampir
setiap hari (bukan hanya menyalahkan diri sendiri atau rasa bersalah
karena menjadi sakit).
h. Berkurangnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau keraguan,
hampir setiap hari (baik secara subjektif atau seperti yang diamati oleh
orang lain). Pikiran berulang tentang kematian (bukan hanya takut mati),
keinginan bunuh diri berulang dengan sebuah rencana yang spesifik,
atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 229


Wika Hanida

Catatan:
- Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan atau fungsi penting.
- Episode yang berlangsung bukan merupakan efek fisiologis dari suatu
zat atau kondisi medis lain.
- Kriteria (a) dan (c) merupakan episode depresi mayor.
- Tanggapan terhadap kehilangan yang berlebihan (misalnya, berkabung,
kehancuran finansial, kerugian dari bencana alam, penyakit medis
yang serius atau cacat) mungkin termasuk perasaan sedih yang terus
menerus, merenung tentang kehilangan, insomnia, kurang nafsu makan,
dan penurunan berat badan (APA,2013).

ICD-10 telah menetapkan pedoman diagnostik tertentu untuk mendiagnosis


episode depresif. Durasi minimum episode adalah 2 minggu dan setidaknya
dua dari tiga gejala depresi, kehilangan minat atau kesenangan dan
peningkatan kelelahan harus ada. Episode depresif dapat dinilai ringan,
sedang atau berat tergantung pada jumlah dan keparahan gejala. Gangguan
depresi adalah gejala depresi yang disertai gangguan sosial, pekerjaan dan
fungsi penting lain.

Tabel 1. Karakterisasi Gangguan Depresi Mayor menurut ICD-10 dan DSM-5


(Friedman, 2014) (APA, 2013)

230 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis dan Manajemen Depresi

Terdapat beberapa kuesioner untuk digunakan sebagai skrining terhadap


depresi:
1. Beck Depression Inventory
2. Center for Epidemiological Studies Depression
3. Edinburgh Postnatal Depression Scale
4. Zung Depression Rating Scale

Penatalaksanaan Depresi
Penatalaksanaan gangguan depresi meliputi psikoterapi dan
psikofarmaka. Psikoterapi menggunakan psikoterapi interpersonal (IPT)
atau Cognitive Behavioral Therapy (CBT) disarankan pada terapi awal untuk
gejala depresi ringan sampai sedang yang tidak ada tendensi untuk bunuh
diri. Pasien dengan gejala depresi sedang sampai dengan berat, paling baik
diberikan psikofarmaka sebagai lini pertama dibarengi dengan psikoterapi.
Psikoterapi merupakan terapi ajuvan dan juga digunakan untuk menyelidiki
faktor psikososial.

Gambar 1. Ringkasan pengobatan lini pertama untuk depresi (Marwick K., 2013)

Pemberian antidepresan harus memperhatikan interaksi


obat dan efek samping yang dapat timbul.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 231


Wika Hanida

Tabel 2. Antidepresan
Generik Dosis awal Dosis Final Potensi Potensi Potensi Perhatian Keuntungan
(mg) (mg) Amnesia, Hipotensi Sedasi
Aritmia
Tricyclic (TCA)
Nortriptilin 10-25 25-100 Moderat Moderat Moderat Fatal bila Therapeutic
overdosis, window 80-120
glaucoma, ng/ml
prostat
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Fluoxetin 10 mg 20-40 Rendah Rendah Rendah Pemanjangan Efek samping
T interval, tidak
nausea tremor, mengancam
insomnia, nyawa
interaksi
Sertralin 25 mg 100-200 Rendah Rendah Rendah Nausea, Interaksi
tremor, sedikit,
insomnia disetujui FDA-
juga pada
kasus PD, OCD,
PTSD
Paroxetine 10 mg 20-40 Rendah Rendah Rendah Nausea, tremor Sedasi ringan,
disetujui FDA-
utk kasus PD,
OCD, sosial
fobia
Citalopram 10 mg 20-40 Rendah Rendah Rendah Nausea, Interaksi obat
tremor, minimal , T
insomnia ½ panjang
disbanding
sertralin
Selective Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)
Venlafaxine 37.5 mg 75-225 Rendah Rendah Rendah Hipertensi Ansiolitik,
x2 ringan, sefalgia, SSRI & SNRI,
nausea, interaksi
muntah minimal, FDA-
juga GAD.
Selective Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)
Bupropion 75 mg x 2 150-300 mg Rendah Rendah Rendah Dopaminergik, Ansiolitik,
noradrenergik, depresi, bila
agitasi, gagal dengan
insomnia, TCA/SSRI
kejang, dosis
harus terbagi
Nefazodone 50 mg x 2 200-400 mg Rendah Moderat Moderat Mulut kering, Sedatif,
interaksi obat ansiolitik,
analgesik
Trazodone 25-50 mg 100-400 mg Rendah Tinggi Tinggi sangat sedatif Utk gangguan
tidur
Mirtazapin 7.5 mg 15-30 mg Rendah Rendah Moderat Pemanjangan T Bila resisten
½, CCT rendah, dengan TCA/
mulut kering, SSRI, sedatif
menaikkan BB

232 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis dan Manajemen Depresi

Tabel 3. Pilihan Antidepresan lain (Kennedy GJ, Ann Intern Med 2001; 9)

Tujuan dari pengobatan depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi


akut, memudahkan pasien agar dapat kembali kepada fungsi hidupnya seperti
semula sebelum terkena depresi dan untuk mencegah depresi lebih lanjut.
Banyak jenis terapi, efektifitas akan berbeda dari orang ke orang dari waktu ke
waktu. Pilihan terapi sangat tergantung pada hasil evaluasi riwayat kesehatan
fisik dan mental pasien. Saat merencanakan intervensi pengobatan penting
untuk menekankan kepada pasien bahwa ada beberapa fase pengobatan
sesuai dengan perjalanan gangguan depresi. Fase tersebut adalah fase akut,
fase pencegahan (terapi lanjutan), dan fase pemeliharaan/rumatan. Tiap fase
pengobatan mempunyai tujuan tertentu. Tujuan terapi fase akut yaitu untuk
mencapai masa remisi, yaitu masa ketika gejala-gejala depresi seminimal
mungkin. Pada masa remisi ini kriteria-kriteria terjadinya episode depresi
mayor pada pasien sudah berkurang, dan terjadinya peningkatan fungsi
psikososial. Rawat inap dibutuhkan jika pasien menunjukkan gejala-gejala
yang parah (Lukluiyyati, 2010).

Terapi fase akut biasanya berlangsung selama 6-10 minggu. Evaluasi


terhadap pasien dilakukan seminggu sekali atau 2 minggu sekali. Dosis obat
yang diberikan mulai dari dosis yang rendah, kemudian secara bertahap
dosis ditingkatkan, tergantung dari respon klinik pasien dan efek samping
yang muncul. Terapi fase lanjutan pada umumnya berlangsung selama 6-9
bulan setelah dimulainya masa remisi. Tujuannya yaitu untuk menghilangkan
gejala residual, mengembalikan fungsi-fungsi seperti sebelumnya, dan
mencegah terjadinya rekurensi atau relaps yang lebih awal. Adanya gejala
residual (remisi parsial) merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 233


Wika Hanida

rekurensi atau relaps yang lebih awal atau terjadinya depresi kronis. Terapi
harus dilanjutkan hingga gejala-gejala yang ada hilang. Episode depresi yang
berlangsung selama lebih dari 6 bulan dan depresi dengan gejala psikotik
membutuhkan masa terapi lanjutan yang lebih lama hingga 12 bulan.
Pengobatan dan dosis yang sama seperti pada terapi fase akut digunakan
selama terapi lanjutan. Terapi fase pemeliharan dilakukan selama 12-36
bulan untuk mengurangi resiko terjadinya rekurensi hingga 2/3. Pendekatan
ini diindikasikan bagi pasien yang tiap tahunnya mengalami episode depresi,
pasien yang mengalami kerusakan fisik akibat gejala residual yang ringan,
pasien yang menderita depresi mayor atau minor yang kronis, atau bagi
pasien depresi berat dengan resiko bunuh diri. Durasi terapi pemeliharaan ini
tergantung dari sejarah penyakit dan untuk kasus yang mengalami rekurensi,
terapi pemeliharaan ini dapat diperpanjang atau bahkan dilakukan dalam
waktu yang tak terbatas (Lukluiyyati, 2010).

Kriteria respon pasien terhadap terapi antidepresan dibagi menjadi


beberapa poin. Antidepresan tidak berespon jika keparahan gejala depresi
berkurang ≤ 25%, respon parsial jika keparahan gejala depresi berkurang
sebesar 26-49%, remisi parsial, yaitu jika keparahan gejala depresi berkurang
sebesar ≥ 50% (masih ada gejala residual), remisi yaitu tidak ada gejala
depresi sama sekali, kembali ke fungsi normal, relapse jika pasien kembali ke
keadaan depresi dengan gejala penuh dan hal ini terjadi ketika pasien berada
pada masa remisi, pemulihan adalah perpanjangan masa remisi, rekurensi
jika terjadi episode baru depresi ketika pasien berada pada masa pemulihan
(Lukluiyyati, 2010).

Daftar Pustaka
1. Satin, J.R., Linden, W., & Phillips, M.J. (2009). Depression as a predictor of disease
progression and mortality in cancer patients: A meta-analysis. Cancer, 115, 5349–
5361. doi: 10.1002/cncr.24561
2. Shirazian S, et al 2017 Depression in Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal
Disease: Similarities and Differences in Diagnosis, Epidemiology, and Management
Kidney Int Rep. 2017 Jan; 2(1): 94–107.
3. Budihalim S, Sukatman D, Mudjaddid E 2015 Ketidakseimbangan vegetatif Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed (VI) pp 3576 – 3579
4. Mudjaddid E, Budihalim S, Sukatman D 2015 Psikofarmaka dan Psikosomatik Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed (VI) pp 3576 – 3579

234 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis dan Manajemen Depresi

5. Boadu, S. A. et al., 2016. Poor CD4 count is a predictor of untreated depression


in human immunodeficiency virus positive african american. world journal of
psychiatry, 6(1), pp. 128-135.
6. Lukluiyyati, N. R., 2010. Pola pengobatan pasien depresi di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Dr. RM Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009. Surakarta: Univeritas
Muhamadiyah.
7. Radityo, W. E., 2010. Depresi dan gangguan tidur. Denpasar: FK Udayana.
8. Sadock, K., 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis.
Jakarta: Binarupa Aksara.
9. Marwick, K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course
Psychiatry, 4th Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:133-137
10. Friedman, Edward S.; Anderson, Ian M, 2014. Handbook of Depression, second
Edition. London: Springer Healthcare, a part of Springer Science+Business Media.
pp:1-29
11. APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition.
Washington DC: American Psychiatric Association. pp: 160-161
12. Kennedy GJ 2001 antidepresan Ann Intern Med; 9
13. Maslim, R., 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-V
Cetakan Kedua Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya.
Jakarta: PT Nuh Jaya.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 235


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi
Deddy Nur Wachid Achadiono
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Sardjito - Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Nyeri sendi merupakan keadaan yang banyak didapatkan sehari-hari.


Untuk menegakkan diagnosis nyeri sendi, dibutuhkan anamesis, pemeriksaan
fisik, bahkan pemeriksaan penunjang. Anamnesis untuk nyeri sendi dapat
menggunakan panduan dengan mnemonic “SOCRATES” (site, onset, character,
radiation, association, time course, exacerbating/relieving factor, severity).
Keparahan (severity) nyeri bisa diukur dengan numeric pain rating scale, Wong-
Baker pain rating scale, maupun Visual Analogue Scale (VAS). Pemeriksaan
fisik untuk skrining gangguan muskuloskeletal bisa menggunakan Gait,
Arm, Legs, Spine (GALS) Screening. Bila ditemukan kelainan pada GALS
Screening, maka pemeriksaan fisik regio yang terlibat/ Regional Examination
of Musculoskeletal System (REMS), baik secara umum maupun khusus, dapat
dilakukan. Pemeriksaan penunjang bisa berupa pemeriksaan laboratorium
maupun radiologi.1

Gambar 1. Algoritma pendekatan klinis nyeri sendi


*Nyeri sendi dengan gejala inflamasi merupakan keadaan yang perlu dirujuk ke reumatologis
**Gejala periartikular berupa entesitis dan daktilitis dapat merupakan gejala penyerta dari Spondiloartritis
***Cara membedakan apakah nyeri punggung inflamatif atau tidak ada di tabel.
****Osteoartritis kadang bisa berupa artritis inflamasi
Catatan: penyakit yang masuk ke algoritma monoartikular pun sebenarnya bisa berbentuk poli/
oligoartikular, demikian pula sebaliknya, algoritma ini berdasarkan kasus tersering. Osteoartritis
pun ada yang bentuk inflamasi. Nyeri sendi degeneratif merupakan osteoartritis, namun bila
inflamasi, kemungkinan osteoartritis dengan inflamasi pun masih ada.

236 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Langkah pertama dalam pendekatan klinis nyeri sendi adalah


menentukan apakah nyeri berasal dari struktur artikular atau periartikular.
Cara membedakan asal nyeri tersebut ada pada tabel 1.

Tabel 1. Nyeri yang membedakan pada sindrom nyeri regional1


Nyeri periartrikular Nyeri artrikular Nyeri neurogenik Nyeri alih
Ciri khas Hanya beberapa Nyeri dengan Disestesia, Tidak tergantung
gerakan yang nyeri seluruh gerakan diperberat dengan gerakan, waktu
sendi penekanan saraf “viseral”; tidak
atau gerakan terlokalisasi,
tulang belakang membaik dengan
sentuhan
Nyeri saat Aktif > pasif, hanya Aktif ~ pasif, nyeri Normal; dapat Normal
bergerak beberapa gerakan dengan beberapa timbul nyeri
yang nyeri arah gerakan dengan gerakan
segmen yang
terkena
Range of Gerakan aktif Mungkin terbatas Normal Normal
motion mungkin terbatas untuk gerakan
karena nyeri, aktif dan pasif
gerakan pasif tidak
terpengaruh
Resisted active Nyeri pada manufer Tidak Tidak terpengaruh Tidak terpengaruh
movement tertentu terpengaruh
Palpasi lokal Nyeri tekan Mungkin Normal Normal
pada struktur timbul nyeri
periartrikular yang tekan pada lini
terkena sendi, krepitasi,
bengkak pada
kapsul sendi,
efusi, hangat
pada perabaan
Pemeriksaan Normal Normal Mungkin Normal
neurologis abnormal

Setelah menentukan asal nyeri berasal dari intra artikular, mesti
dibedakan apakah gangguan tersebut merupakan sendi yang mengalami
inflamasi atau nyeri degeneratif. Cara membedakan sendi degeneratif dan
inflamasi ada di tabel 2.1

Tabel 2. Perbedaan sendi degeneratif dan inflamasi1


Karakteristik Sendi yang mengalami peradangan Sendi yang mengalami kerusakan
Kaku pada pagi hari Lama Sebentar
Kekakuan yang Lama Sebentar
menyebabkan
inaktivitas

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 237


Deddy Nur Wachid Achadiono

Karakteristik Sendi yang mengalami peradangan Sendi yang mengalami kerusakan


Hangat + -
Stress pain Iya Tidak
Capsular soft tissue + -
swelling
Efusi +++ +/-
Krepitasi - +++
Eritem +/- -
Deformitas - +/-
Instabilitas - +/-

Karakter nyeri sendi juga mesti diketahui, meliputi jumlah sendi


yang terkena, sifat gangguan sendi, akut atau kronik, dan sebagainya.
Gejala penyerta juga perlu dipertimbangkan, mengingat artritis juga bisa
merupakan manifestasi dari penyakit sistemik, terutama penyakit jaringan
ikat. Ada tidaknya nyeri punggung juga penting untuk diketahui, mengingat
hal itu bisa menjadi salah satu tanda spondiloartropati seronegatif. Tabel 3
menggambarkan karakteristik artritis.

Tabel 3. Karakteristik artritis1


a. Jumlah sendi yang terkena
- Monoartritis : satu sendi
- Oligoartritis : 2-4 sendi
- Poliartritis : > 4 sendi
b. Akut atau kronik
- Akut : onset dalam hitungan jam atau hari
- Sub akut : sampai dengan 6 minggu
- Kronik : onset lebih dari 6 minggu
c. Additive atau Migratori
- Additive : Sendi yang terkena bertambah progresif
- Migratori : Proses inflamasi berpindah pindah dari satu sendi ke sendi lainnya
d. Pesresisten atau rekuren
- Persisten : Sekali sendi tersebut mengalami perdadangan, maka peradangan tersebut
menetap ( > 6 minggu)
- Rekuren : episode artritis dipisahkan oleh bebas gejala (free symptoms)
e. Dominasi proksimal atau dominasi distal
- Proksimal : artritis sebagian besar terjadi pada sendi besar , biasanya proksimal dari
pergelangan tangan atau proksimal pergelangan kaki dan tulang belakang

238 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

e. Dominasi proksimal atau dominasi distal


- Proksimal : artritis sebagian besar terjadi pada sendi besar , biasanya proksimal dari
pergelangan tangan atau proksimal pergelangan kaki dan tulang belakang
- Distal : artritis sebagian besar mempengaruhi sendi sendi kecil tangan dan kaki,
dengan atau tanpa melibatkan pergelangan tangan dan kaki
- Mempengaruhi sendi besar dan kecil: gabungan dari keduanya
f. Simetris atau asimetris
- Simetris : kelompok sendi yang terkena lokasinya simetris (distribusinya sendi yang
terkena sama pada kedua sisi tubuh)
- Asimetris : kelompok sendi yang terkena lokasinya tidak simetris (distribusinya sendi yang
terkena tidak sama pada kedua sisi tubuh)
g. Disertai atau tanpa nyeri punggung bawah yang inflamatorik
h. Disertai atau tanpa manifestasi sistemik

Gambar 2. Algoritma pendekatan klinis monoartritis

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 239


Deddy Nur Wachid Achadiono

Terdapat berbagai macam diagnosis monoartritis. Diagnosis tersebut


bisa berasal dari berbagai macam etiologi. Artrosentesis penting dilakukan,
untuk mengetahui kausa dari nyeri sendi tersebut.

Tabel 4. Karakteristik cairan sendi 2


Penampilan Viskositas Sel per mm3 % PMS Kristal Kultur
Normal Transparan Tinggi <200 <10% Negatif Negatif
Osteoartrtitis Transparan Tinggi 200 - 2.000 <10% Kadang Negatif
ditemukan
kristal kalsium
pirofosfat dan
hidroksipatit
Artrtitis Translusen Rendah 2.000 - 50.000 Bervariasi Negatif Negatif
reumatoid
Artritis Translusen Rendah 2.000 - 50.000 Bervariasi Negatif Negatif
psoriasik
Artritis reaktif Translusen Rendah 2.000 - 50.000 Bervariasi Negatif Negatif
Gout Translusen Rendah 2.000 - >= >90% Kristal Negatif
sampai 50.000 monosodium
keruh urat
monohidrat,
berbentuk
seperti
jarum, tidak
berpendar
Pseudogout Translusen Rendah 200 – 50.000 >90% Kristal kalsium Negatif
sampai pirofosfat
keruh berbentuk
romboid,
berpendar
Artritis bakteri Keruh Bervariasi 2.000 - >= >90% Negatif Positif
50.000
Pigmented Hemoragik Rendah -- -- Negatif Negatif
vilonodular sampai
synovitis kecokelatan
Hemartrosis Hemoragik Rendah -- -- Negatif Negatif

Tabel 5. Diagnosis diferensial monoartritis3


Infeksi Tumor
- Bakteri - Tenosynovial giant cell tumor
- Jamur - Kondrosarkoma
- Mycobacterium - Osteoma osteoid
- Virus - Tumor metastasis
- Spirochete

240 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Artritis yang disebabkan oleh kristal Penyakit Reumatik Sistemik


- Monosodium urat - Artritis Reumatoid
- Calcium pyrophosphate dihydrate - Spodiloartritis
- Hydroxyapatite - Systemic lupus erythematosus
- Kalsium oksalat - Sarkoidosis
- Lipid
Hemartrosis Osteoartritis
- Trauma Erosif yang bervariasi
- Antikoagulan
- Gangguan pembekuan darah
- Patah tulang
- Pigmented villonodular synovitis
Kelainan Intraartikular Lainnya
- Robekan meniskus Sinovitis akibat tusukan duri tanaman
- Osteonekrosis
- Fraktur

Poliartritis juga dapat disebabkan karena berbagai macam hal. Gambar


3 merangkum algoritma pendekatan klinis oligo/poliartritis. Tabel 4
merangkum penyebab poliartritis inflamasi yang utama.

Gambar 3. Algoritma diagnosis oligo/poliartritis

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 241


Deddy Nur Wachid Achadiono

Tabel 6. Penyebab nyeri sendi poliartikular 4


Artritis Infeksi
- Bakterial
Penyakit Lyme
Endokarditis Bakterial
- Viral
- Infeksi Lain
Artritis Postinfeksi (reaktif)
- Demam reumatik
- Artritis reaktif
- Infeksi enterik
Spondiloartritis Seronegatif Lainnya
- Spondilitis ankilosa
- Artritis psoriatik
- Inflammatory Bowel Disease
Artritis Reumatoid
Osteoartritis inflamatorik
Artritis yang disebabkan oleh kristal
Artritis idiopatik juvenil
Penyakit Reumatik Sistemik
- Systemic lupus erythematosus
- Vaskulitis sistemik
- Sklerosis sistemik
- Polimiositis/dermatimiosistis
- Still’s disease
- Sindrom Behcet
- Polikondritis relapse
Penyakit Sistemik Lainnya
- Sarkoidosis
- Palindromic rheumatism
- Demam mediterania familial
- Keganasan
- Hiperlipoproteinemia

Terdapat berbagai macam kriteria klasifikasi untuk penyakit reumatik.


Tidak semua penyakit reumatik mempunyai kriteria diagnosis dan baku emas
untuk penegakan diagnosis. Kriteria klasifikasi dapat membantu para klinisi
dalam menentukan langkah penanganan pasien selanjutnya. Nyeri sendi
inflamatif, terutama yang disertai sinovitis, merupakan salah satu keadaan
yang perlu dirujuk ke reumatologis untuk penanganan awal.

242 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang
menyebabkan gangguan struktural dan fungsi dari sendi sinovial, melibatkan
seluruh bagian sendi termasuk tulang subkondral, meniskus, ligamen, otot
periartikular, kapsul, dan sinovium. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan
rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula
subkhondral dan tepi tulang (osteofit). Nyeri pada osteoartritis terjadi
akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin
yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendon atau ligamentum serta
spasme otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada
sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan
radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena
intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling
pada trabekula dan subkondral.5

Diagnosa osteoartritis adalah berdasarkan klinis dan kemudian


dikonfirmasi secara radiologis. Gambaran utama yang mendukung diagnosis
berdasarkan:

Anamnesis 6
Terdapat berbagai hal yang mesti digali untuk menegakkan diagnosis
osteoartritis. Hal tersebut meliputi:
− Usia tua
− Nyeri sendi: Khasnya diperberat dengan aktivitas dan berkurang dengan
istirahat. Pada penyakit lanjut nyeri muncul pada saat istirahat dan
malam hari. Osteoartritis lebih sering terjadi pada sendi tangan, lutut,
dan paha.
− Kaku sendi: Rasa kaku pada sendi berlangsung <30 menit dan dapat
timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak melakukan banyak
gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama
− Keterbatasan gerakan: Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat
secara perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri
− Krepitasi: atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala
ini umum dijumpai pada pasien OA lutut.
− Pembengkakan: Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi
efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (< 100 cc) atau karena
adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi berubah

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 243


Deddy Nur Wachid Achadiono

− Pembesaran sendi (deformitas)


− Tanda-tanda peradangan pada sendi: nyeri tekan, gangguan gerak, rasa
hangat yang merata, dan warna kemerahan dapat dijumpai pada OA
karena adanya sinovitis.
− Perubahan gaya berjalan

Pemeriksaan fisik 6
− Krepitasi
− Hambatan gerak
− Pembengkakan sendi asimetris
− Tanda-tanda peradangan
− Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen
− Perubahan gaya berjalan
− Menilai berat badan

Pemeriksaan penunjang 6
− Laju Endap Darah (LED).
o Biasanya LED pada OA normal.
o Pada OA inflamatif, LED akan meningkat.
− Analisis cairan sendi.
o Umumnya tidak terdapat ciri khusus, kecuali peningkatan sel
leukosit yang tidak melebihi 1.000/mm3.
− Radiologi sendi yang terserang.
o Derajat OA dapat dinilai menggunakan kriteria dari Kellgren dan
Lawrence.
o Gambaran radiologik dapat berupa osteofit, penyempitan celah
sendi, peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista
subkhondral, dan perubahan struktur anatomi sendi.
− Artroskopi.
o Terlihat gambaran kerusakan atau menghilangnya rawan sendi.

Diagnosis osteoartritis lutut menurut ACR tahun 1986 dapat dibedakan


berdasarkan klinis, klinis dan radiologis, serta klinis dan laboratoris 7:

244 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

a. Klinis
Nyeri sendi lutut dan 3 dari 6 kriteria di bawah ini:
1. krepitus saat gerakan aktif
2. kaku sendi < 30 menit
3. umur > 50 tahun
4. pembesaran tulang sendi lutut
5. nyeri tekan tepi tulang
6. tidak teraba hangat pada sendi
Catatan: Sensitivitas 95% dan spesifisitas 69%.
b. Klinis dan radiologis
Nyeri sendi dan adanya osteofit dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di
bawah ini:
1. kaku sendi <30 menit
2. umur > 50 tahun
3. krepitus pada gerakan sendi aktif
Catatan: Sensitivitas 91% dan spesifisitas 86%.
c. Klinis dan laboratoris
Nyeri sendi lutut ditambah adanya 5 dari 9 kriteria di bawah ini:
1. usia >50 tahun
2. kaku sendi <30 menit
3. Krepitus pada gerakan sendi aktif
4. nyeri tekan tepi tulang
5. pembesaran tulang
6. tidak teraba hangat pada sendi terkena
7. LED<40 mm/jam
8. RF <1:40
9. Analisis cairan sinovium sesuai osteoarthritis
Catatan: Sensitivitas 92% dan spesifisitas 75%.

Kriteria diagnosis osteoartritis tangan berdasarkan klinis adalah nyeri


tangan, ngilu atau kaku pada tangan, dan disertai 3 atau 4 kriteria berikut 7:
1. Pembengkakan jaringan keras dari 2 atau lebih sendi-sendi tangan di
bawah ini: Sendi DIP 2 dan 3, sendi PIP 2 dan 3 dan sendi CMC 1 masing-
masing tangan.
2. Pembengkakan jaringan keras dari 2 atau lebih sendi distal interphalang
(DIP)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 245


Deddy Nur Wachid Achadiono

3. Pembengkakan < 3 sendi metacarpo-phalanea (MCP)


4. Deformitas pada ≥ 1 diantara 10 sendi tangan pada kriteria 2.
Catatan: Sensitivitas 92% dan spesifisitas 98%.

Diagnosis osteoartritis pinggul menurut ACR dapat dibedakan berdasarkan


klinis, klinis dan radiologis, serta klinis dan laboratoris:7
a. Klinis:
− Nyeri pinggul atau koksa, dan paling sedikit 2 dari kelompok kriteria
di bawah ini:
o Rotasi internal pinggul <15° disertai LED ≤ 45 mm/jam atau
fleksii pinggul ≤ 115° (bila LED sulit dilakukan
o Rotasi internal sendi panggul ≥15° disertai nyeri yang terkait
pergerakan rotasi internal sendi panggul, kekakuan sendi
panggul pagi hari ≤60 menit, dan usia >50 tahun
Sensitivitas 86% dan spesifisitas 75%
b. Kombinasi klinis, laboratoris, dan radiologis:
− Nyeri pada sendi pinggul atau koksa, dan paling sedikit 2 dari 3
kriteria di bawah ini:
o LED <20 mm/jam
o Osteofit pada femoral dan/atau acetabulum
o Penyempitan celah sendi (superior, axial, dan atau medial)
Sensitivitas 89% dan spesifisitas 91%

Artritis Reumatoid
Artritis Rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh
inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target
utama. 8

Anamnesis
Pada 2/3 pasien keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa
minggu atau bulan. Tetapi kurang dari 15% dari penderita mengalami gejala
awal yang lebih cepat yaitu beberapa hari sampai beberapa minggu.9

Kelainan sendi umumnya nyeri dan kaku pada pagi hari yang
lebih dari 1 jam pada banyak sendi, terutama mengenai sendi kecil dan

246 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

simetris. Sendi pergelangan tangan, proksimal interphalangeal (PIP) dan


metacarphophalangeal merupakan sendi yang paling sering terkena. Sendi
lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul,
pergelangan kaki.9

Pemeriksaan Fisik
Ditemui tanda inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat)
pada awal penyakit. Berikut frekuensi sendi yang sering terlibat pada artritis
reumatoid pada tabel 7. Selain itu dapat ditemukan macam macam deformitas
sendi pada artritis reumatoid yang dapat dilihat pada tabel 8.9

Tabel 7. Frekuensi sendi yang terlibat pada Artritis Reumatoid


Sendi yang terlibat Frekuensi keterlibatan (%)
Metacarpophalangeal (MCP) 85
Pergelangan tangan 80
Proximal interphalangeal (PIP) 75
Lutut 75
Metatarsophalangeal (MTP) 75
Pergelangan kaki (tibiotalar + subtalar) 75
Bahu 60
Midfoot (tarsus) 60
Panggul (hip) 50
Siku 50
Acromioclavicular 50
Vertebra servikal 40
Temporomandibular 30
Sternoclavicular 30

Tabel 8. Bentuk Deformitas Sendi Pada Artiritis Reumatoid9


Bentuk deformitas Keterangan
Deformitas leher angsa (swan neck) Hipertensi PIP dan fleksi DIP
Deformitas boutonniere Fleksi PIP dan hiperekstensi DIP
Deviasi lna Deviasi MCP dan jari-jari tengah ke arah ulna
Deformitas kunci piano (piano-key) Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan naik
dan turun dari ulnar styloid, yang disebabkan oleh rusaknya
sendi radioulnar
Deformitas Z-thumb
Fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan hiperekstensi sendi
interfalang
Artritis mutilans Sendi MCP, PIP, tulang carpal dan kapsul sendi mengalami
kerusakan sehingga terjadi instabilitas sendi dan tangan
Hallux valgus tampak mengecil (operetta glass hand)
MTP I terdesak ke arah medial dan jempol kaki mengalami
deviasi ke arah luar yang terjadi secara bilateral

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 247


Deddy Nur Wachid Achadiono

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat membantu menegakkan
diagnosis artritis reumatoid.9 10 11
- Darah lengkap
- Laju endap darah atau C-Reactive Protein (CRP) yang meningkat
- Faktor reumatoid: 70-90% Positif pada kasus RA tetapi marker ini dapat
positif pada hepatitis C dan orang sehat berusia tua. Marker ini memiliki
sensitivitas 60-90% dan spesifisitas 75%
- Anti Citrullinated Peptide (anti CCP): Biasanya digunakan dalam diagnosis
dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas
70%.

Pada pemeriksaan radiologi yang bisa digunakan untuk menilai


penderita AR antara lain foto polos, ultrasonografi, dan magnetic resonance
imaging (MRI). Pada awal perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan
pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada pemeriksaan foto polos.
Inflamasi tahap awal mungkin hanya dapat terdeteksi dengan ultrasonografi
menggunakan power doppler. Selain pembengkakan jaringan lunak, dari
rontgen dapat dilihat penyempitan ruang sendi, demineralisasi juxta articular
yang khas dari AR, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.8,9

Kriteria Klasifikasi
Untuk memudahkan diagnosis AR maka dibentuklah kriteria American
College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010.
Klasifikasi AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6 atau lebih. Kriteria ini
ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Kriteria klasifikasi dapat dilihat
pada tabel 3.9

Tabel 9. Kriteria diagnosis AR sesuai ACR/EULAR 2010 9


A Keterlibatan Sendi Skor
1 sendi besar 0
2 – 10 sendi besar 1
1 – 3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 2
4 – 10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3
Lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi kecil) 5
B Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
RF dan ACPA negatif 0
RF atau ACPA positif rendah 2
RF atau ACPA positif tinggi 3

248 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

C Reaktan fase akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)


LED dan CRP normal 0
LED atau CRP abnormal 1
D Lamanya sakit
Kurang dari 6 minggu 0
6 minggu atau lebih 1

Artritis Gout
Artritis gout merupakan penyakit yang disebabkan oleh deposisi
kristal monosodium urat (MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan
ekstraselular dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik.
Gangguan metabolisme yang mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang
didefinisikan sebagai peninggian kadar asam urat lebih dari 7,0 ml/dl dan
6,0 mg/dl. Peradangan pada artritis gout adalah akibat penumpukan agen
penyebab yaitu kristal monosodium urat pada sendi. Hal ini diduga oleh
peranan mediator kimia akibat aktivasi jalur aktivitas komplemen dan selular.
Kristal urat menyebabkan proses peradangan melalui mediator IL-1 dan TNF
serta sel radang neutrofil dan makrofag.12

Diagnosis gout artritis ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan


penunjang sebagai berikut:

Anamnesis 13
a. Nyeri sendi: nyeri berat dan mendadak, sering terjadi pada malam hari
saat ekstremitas lebih dingin (hal ini karena presipitasi urat di ekstremitas
distal terjadi ketika ektremitas horizontal dan dalam keadaan dingin).
Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan.
b. Menyerang 1 sendi (monoartikular) dan asimetris sebanyak 90%, dan
oligoartikular atau poliartikular sekitar 10%. Sendi yang paling sering
diserang adalah metatarsophalange (MTP) ibu jari kaki yang sering
disebut podagra, meskipun sendi jari kaki, pergelangan kaki dan lutut
sering juga terkena.
c. Gejala sistemik seperti demam, menggigil dan lelah
d. Kondisi komorbid yang sering berhubungan dengan gout
(hipertrigliseridemia, DM, penyakit jantung koroner, hipertensi dan
sindrom metabolik)
e. Riwayat episode serangan nyeri sendi sebelumnya dan bengkak pada
sendi tanpa riwayat trauma

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 249


Deddy Nur Wachid Achadiono

f. Riwayat medikasi yang dapat berhubungan dengan hiperurisemia


(siklosporin dan thiazide)
g. Riwayat gout pada keluarga
h. Riwayat konsumsi alkohol berlebihan
i. Dapat asimptomatik selama beberapa bulan atau tahun sebelum serangan
akut.
j. Faktor-faktor pencetus berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan
fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan
dan peningkatan asam urat

Pemeriksaan fisik 13
a. Tanda-tanda peradangan: sendi mengalami pembengkakan, terdapat
nyeri tekan, dan kulit di atasnya teraba hangat dan kemerahan, serta
keterbatasan gerakan
b. Demam dapat mencapai suhu 39°C
c. Ditemukan tofus di jari kaki, telinga eksternal, olekranon, bursa
prepatelar dan tangan.
d. Pruritus dan deskuamasi lokal selama fase pemulihan dari artritis akut
merupakan karakteristik gout tetapi tidak selalu ada

Pemeriksaan penunjang 13
a. LED, CRP. Hasil positif menunjukkan proses inflamasi aktif.
b. Analasis cairan sendi. Adanya kristal MSU memastikan diagnosis.
c. Asam urat darah dan urin 24 jam. Kadar dalam darah pada umumnya
meningkat. Kadar dalam urin dapat dipakai untuk status ekskresi asam
urat.
d. Ureum, kreatinin, CCT. Dipakai untuk menunjukkan derajat gangguan
fungsi ginjal.
e. Radiologi sendi. Gambaran radiologi dapat berupa inflamasi asimetri,
pembengkakan jaringan lunak, kalsifikasi pada tofus, artritis erosif bulat
atau oval yang dikelilingi oleh tepi yang sklerotik.3

American College of Rheumatology dan European League Against


Rheumatism mengeluarkan pendoman kriteria diagnosis dan kriteria
klasifikasi artritis gout pada tahun 2015. Diagnosis gout tegak bila ditemukan
kristal monosodium urat di sendi, bursa yang terlibat, atau tophus. Kriteria

250 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

klasifikasi digunakan bila tidak memenuhi kriteria tersebut. Diklasifikasikan


sebagai gout bila nilainya 8 atau lebih. 15

Gambar 4. Langkah-langkah menggunakan kriteria ACR/EULAR 2015

Tabel 10. Kriteria Gout dari ACR/EULAR 2015 15


Kriteria Kategori Skor
Klinis
Pola keterlibatan sendi/bursa selama episode Pergelangan kaki atau telapak kaki 1
simptomatik (monoartikular atau oligoartikular tanpa
keterlibatan sendi MTP-1)
Sendi MTP-1 terlibat dalam episode 2
simptomatik, dapat monoartikular
maupun oligoarticular
Karakteristik episode simptomatik
- Eritema 1 karakteristik 1
- Tidak dapat menahan nyeri akibat sentuhan 2 karakteristik 2
atau penekanan pada sendi yang terlibat
- Kesulitan berjalan atau tidak dapat 3 karakteristik 3
mempergunakan sendi yang terlibat
- Terdapat ≥ 2 tanda episode simptomatik 1 episode tipikal 1
tipikal dengan atau tanpa terapi Episode tipikal rekuren 2

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 251


Deddy Nur Wachid Achadiono

Kriteria Kategori Skor


- Nyeri < 24 jam
- Resolusi gejala ≤ 14 hari
- Resolusi komplit di antara episode
simptomatik
Bukti klinis adanya tofus Ditemukan tofus 4
Nodul subkutan yang tampak seperti kapur
di bawah kulit yang transparan, seringkali
dilapisi jaringan vaskuler, lokasi tipikal: sendi,
telinga, bursa olekranon, bantalan jari, tendon
(contohnya achilles)
Laboratoris
Asam urat serum dinilai dengan metode <4 mg/dL (<0.24 mmol/L) -4
urikase. Idealnya dilakukan saat pasien tidak 6−8 mg/dL (<0.36−<0.48 mmol/L) 2
sedang menerima terapi penurun asam urat 8−<10 mg/dL (0.48-<0.6 mmol/L) 3
dan sudah >4 minggu sejak timbul episode ≥10 mg/dL (≥0.60 mmol/L) 4
simptomatik (atau selama fase interkritikal)
Analisis cairan sinovial pada sendi atau bursa MSU negatif -2
yang terlibat
Pencitraan
Bukti pencitraan deposisi urat pada sendi Terdapat tanda deposisi urat 4
atau bursa simptomatik: ditemukan double-
contour sign positif pada ultrasound atau
DECT menunjukkan adanya deposisi urat
Bukti pencitraan kerusakan sendi akibat gout: Terdapat bukti kerusakan sendi 4
radiografi konvensional pada tangan dan/atau
kaki menunjukkan minimal 1 erosi
Diklasifikasikan sebagai gout jika jumlah skor dari kriteria pada tabel 1 ≥ 8.

Artritis Septik
Artritis septik merupakan salah satu kegawatan reumatologi karena
dapat menyebabkan destruksi sendi yang terjadi secara cepat dan dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.17 Artitis septik
dikenal juga dengan nama artritis piogenik atau artritis supurativa adalah
infeksi pada sinovium yang disebabkan oleh mikroorganisme, terutama
bakteri. Infeksi pada sinovium mengakibatkan terbentknya pus pada rongga
sinovial. Masuknya kuman ke dalam sendi dapat terjadi secara hematogen
ataupun secara langsung, misalnya akibat trauma maupun iatrogenik.18

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 17 18 19

• Sendi yang terlibat sebagian besar berupa monoartrikular terutama


sendi besar
• Poliartikular terjadi pada 5 – 8% anak dan 10 – 19% dewasa

252 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

• Sendi yang terlibat 50% pada lutut


• Gejala muncul dalam 1-2 minggu, ditandai merah, bengkak, dan nyeri
pada sendi yang terlibat sehingga sulit untuk digerakkan
• Dapat disertai gejala sistemik seperti demam (60 – 80% demam ringan,
30 – 40% berupa demam tinggi dengan suhu >39 C), menggigil, malaise,
kaku
• Dapat ditemukan tanda efusi sendi
• Dapat didahului infeksi genital untuk artritis yang disebabkan N.
gonorrhoeae sehingga perlu mencari tanda lesi kulit yang tidak nyeri dan
gatal lain seperti makula, papula, pustula pada ekstremitas, trunkus, dan
kepala
• Faktor risiko: artritis reumatoid, osteoartritis, prostese sendi,
penyalahgunaan obat intravena, alkoholisme, diabetes mellitus, HIV/
AIDS, infeksi kulit di sekitar sendi, usia > 80 tahun, gagal ginjal tahap
akhir, hemodialisis, keganassan, Sickle cell, hipogamaglobulinemia,
defisiensi komplemen, sosio-ekonomi rendah.

Uji Diagnostik17 18 19
• Pemeriksaan darah perifer lengkap disertai hitung jenis, uji fungsi hati
dan kreatinin, urinalisis (untuk menyingkirkan infeksi)
• Peningkatan LED, CRP
• Kultur darah, jaringan kulit, urin, dan sputum (bila perlu)
• Pemeriksaan radiologik untuk sendi yang terkena 20
Pemeriksaan radiologi bukan pemeriksaan utama pada artritis sepsis.
Evaluasi klinis dan aspirasi cairan sendi merupakan kunci utama
diagnosis artritis sepsis. Pengambilan cairaan sendi dapat diperoleh
dengan aspirasi jarum halus dengan atau tanpa panduan fluoroskopi,
ultrasound, MRI, atau CT scan. Pemeriksaan awal dapat menggunakan
foto polos maupun USG sendi, sedangkan MRI merupakan pemeriksaan
yang paling sensitif dan spesifik. Gambaran awal foto polos menunjukkan
pembengkakan jaringan lunak di sekitar sendi dan pelebaran celah sendi
akibat efusi sendi. Seiring dengan progresi penyakit, dapat ditemukan
penyempitan celah sendi, destruksi kartilago, hilangnya kontinuitas garis
putih kortikal, dan pembentukan erosi marginal. Dapat juga ditemukan
gambaran perberatan osteomielitis berupa reaksi periosteal, destruksi
tulang, dan pembentukan sekuestrum.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 253


Deddy Nur Wachid Achadiono

• Aspirasi cairan sendi sinovial untuk pemeriksaan hitung sel disertai


hitung jenis sel, pewarnaan gram dan kultur, analisis kristal.21
Jumlah leukosit lebih dari 50,000 per mm3 (50 × 109 per L) dan hitung
jumlah sel polimorfonuklear lebih dari 90% secara langsung berhubungan
dengan artritis infeksius, walaupun dapat berhubugan dengan penyakit
kristalin. Jumlah leukoit yang rendah dapat ditemukan pada penderita
infeksi gonokokus diseminata, leukopenia perifer, atau riwayat
penggantian sendi. Adanya kristal pada aspirasi sendi tidak mengeksklusi
artritis septik karena dapat terjadi bersamaan. Pengukuran glukosa
dan protein pada cairan sendi kurang bermanfaat karena tidak sensitif
maupun tidak spesifik pada arthritis septik. Sensitivitas pengecatan
Gram dan kultur cairan sendi bervariasi tergantung mikroorganisme
yang terlibat.

Spondiloartropati Seronegatif
Spondiloartropati seronegatif adalah sekelompok kelainan reumatologik
yang secara klasik meliputi spondilitis ankilosa, artritis psoriasis, artritis
yang berhubungan dengan inflammatory bowel disease, artritis reaktif, dan
spondiloartropati yang tidak dapat didiferensiasi. Baru-baru ini ada diagnosis
tambahan yang meliputi non-radiographic axial SpA (nr-axSpA), peripheral
SpA, dan juvenile-onset SpA. Kelompok kelainan ini memiliki beberapa fitur
klinis dan hubungan genetik yang mirip. Diagnosis ditegakkan melalui
kombinasi gejala, pemeriksaan fisik, radiologi, dan laboratorium.22

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 22 23


• Nyeri punggung dan/atau nyeri sendi perifer
• Nyeri inflamasi sendi berupa kaku pagi hari lebih dari satu jam, membaik
dengan aktivitas, pemberian OAINS, dan memburuk dengan istirahat
atau inaktivitas
• Axial SpA umumnya menunjukkan nyeri punggung bawah kronis lebih
dari tiga bulan dengan onset awal sebelum usia 45 tahun, dengan uji
Schober (untuk menilai fleksi lumbal) dan occiput to wall test (menilai
mobilitas thoraks atas/bagian servikal) positif.
• Peripheral SpA biasanya menunjukkan artritis perifer (onset akut,
umumnya di lutut dan ankle), enthesitis, dan daktilitis, serta sebagian
besar bersifat asimetris. Enthesitis secara relatif spesifik terhadap SpA
dan umumnya terdapat pada insersi tendo kalkaneus, menyebabkan sulit

254 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

berjalan dan nyeri pada perabaan. Daktilitis adalah temuan tidak spesifik
namun sering dijumpai pada PsA dan ReA.
• Kelainan non-muskuloskeletal yang penting termasuk riwayat
inflamasi okular (uveitis, iritis, konjungtivitis), riwayat infeksi traktus
gastrointestinal maupun genitourinaria, dan gejala IBD atau psoriasis.
• Riwayat keluarga menderita SpA atau kelainan autoimun yang lain.

Pemeriksaan Penunjang 23 24
• Evaluasi SpA meliputi uji laboratorium dan radiologi. Pendekatannya
tergantung pada keluhan yang terdapat pada pasien, yaitu nyeri
inflamatori punggung bawah, artritis inflamasi, entesistis, atau daktilitis.
• Pasien dengan nyeri punggung inflamatori : foto polos sendi sakroiliaka
dan vertebra dan uji marker inflamasi. Marker inflamasi akan naik pada
SpA. Pada spondilitis ankilosa, foto polos umumnya dapat mendeteksi
perubahan struktur pada tahap lanjut dan kurang bermanfaat pada tahap
awal penyakit. Temuan klasik pada foto polos umunya menunjukkan
shiny corner (sklerosis pada tempat menempelnya annulus fibrosis
pada kornu anterior vertebra), bamboo spine (kalsifikasi cincin fibrosa
pada diskus intervertebra yang membentuk sindesmofit marginal), dan
squaring badan vertebra.
• Jika pasien tidak memiliki bukti foto polos yang kuat mendukung
gambaran spondilitis ankilosa, umumnya dilakukan tes HLA-B27, juga
perlu dipertimbangkan MRI untuk mendeteksi gambaran awal inflamasi.
• Pasien dengan nr-axSpA tidak memiliki gambaran radiologis definitif
namun memiliki bukti klinis dan serologis menderita spondiloartropati.
• Pasien yang memiliki tanda artritis inflamatori, enthesitis, atau daktilitis,
perlu dilakukan evaluasi adanya psoriasis, IBD, atau riwayat infeksi
sebelumnya. Adanya kondisi predisposisi mendukung diagnosis psoriasis
artritis, spondiloartropati yang berhubungan dengan IBD, maupun
artritis reaktif. Tidak adanya kondisi predisposisi dapat menjadi indikasi
dilakukan pemeriksaan marker autoimun dan inflamasi, pemeriksaan
radiologi terhadap sendi yang terkena, serta pelacakan adanya uveitis.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 255


Deddy Nur Wachid Achadiono

Kriteria klasifikasi
Assessment of Spondyloarthritis International Society (ASAS) memiliki kriteria
diagnosis, yaitu untuk spondiloartritis aksial dan perifer.
Pasien dengan gejala nyeri punggung >= 3 bulan (dengan/tanpa Pasien dengan
manifestasi perifer) manifestasi perifer
dan onset usia < 45 tahun saja

Sakroiliitis pada radiologi atau HLA-B27 DITAMBAH >= 2 fitur Artritis atau entesitis
DITAMBAH >= 1 fitur SpA SpA lain atau daktilitis
DITAMBAH

Fitur SpA: Fitur SpA >= 1


• Nyeri punggung inflamatori • Uveitis
• Artritis • Psoriasis
• Entesitis (tumit) • Kolitis ulseratif/
• Uveitis penyakit Crohn
• Daktilitis • Riwayat infeksi
sebelumnya
• Psoriasis
• HLA-B27
• Kolitis ulseratif/penyakit Crohn
• Gambaran
• Respon baik terhadap OAINS sakroiliitis pada
• Riwayat keluarga dengan SpA radiologi
• HLA-B27
• Peningkatan CRP
ATAU
Fitur SpA >= 2
• Artritis
• Entesitis
• Daktilitis
• Nyeri punggung inflamatori
• Riwayat keluarga dengan SpA
Gambar 5. Kombinasi penggunaan kriteria ASAS untuk spondiloartrtitis aksial dan
perifer pada seluruh populasi SpA.

Kriteria ASAS untuk SpA aksial digunakan untuk pasien dengan


keterlibatan aksial yang dominan (nyeri punggung) dengan atau tanpa
manifestasi perifer. Kriteria ASAS untuk SpA perifer digunakan pada pasien
dengan manifestasi klinis perifer saja. Kombinasi penggunaan dua kriteria di
atas pada total 975 pasien populasi ASAS menunjukkan sensitivitas 79,5%
dan spesifisitas 83.3%. 25

256 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Tabel 11. Definisi fitur SpA untuk kriteria klasifikasi SpA perifer 25
Fitur SpA Definisi
Kriteria entri
Artritis Artritis perifer saat ini yang sesuai dengan SpA (biasanya asimetris dan/atau
predominan mengenai sendi di ekstremitas bawah)
Entesitis Entesitis saat ini, didiagnosis secara klinis oleh dokter
Daktilitis Daktilitis saat ini, didiagnosis secara klinis oleh dokter
Fitur tambahan
Riwayat nyeri Riwayat nyeri sesuai dengan pertimbangan klinis reumatolog
punggung
inflamatori*
Artritis Artritis perifer saat ini atau riwayat, yang sesuai dengan SpA (biasanya
asimetris dan/atau predominan mengenai sendi di ekstremitas bawah)
Entesitis Nyeri spontan atau nyeri tekan pada pemeriksaan entesis saat ini atau
riwayat
Uveitis Uveitis saat ini atau riwayat, didiagnosis oleh oftalmolog
Daktilitis Daktilitis saat ini atau riwayat, didiagnosis oleh dokter
Psoriasis Psoriasis saat ini atau riwayat, didiagnosis oleh dokter
IBD Kolitis ulsertaif atau penyakit Crohn saat ini atau riwayat, didiagnosis oleh
dokter
Riwayat infeksi Uretritis/servisitis atau diare dalam 1 bulan sebelum onset artritis/entesitis/
daktilitis
Riwayat keluarga Riwayat pada keluarga derajat pertama (ibu, ayah, saudara kandung, anak)
dengan SpA atau derajat kedua (kakek atau nenek baik maternal atau paternal, paman,
bibi, keponakan) didapatkan: (1) ankylosing spondylitis, (2) psoriasis, (3)
uveitis akut, (4) artritis reaktif, atau (5) IBD
HLA-B27 Hasil positif sesuai teknik laboratorium standar
Gambaran Sakroiliitis grade 2-4 bilateral atau grade 3-4 unilateral pada foto polos
sakroiliitis pada sesuai Modified New York Criteria, atau sakroiliitis aktif pada MRI sesai
radiologi definisi konsensus ASAS
*Hanya riwayat nyeri punggung di masa lalu yang dipertimbangkan (dan manifestasi perifer konkomitan)
pada kriteria klasifikasi ASAS untuk SpA aksial. Kriteria klasifikasi SpA aksial untuk nyeri punggung saat ini
dipertimbangkan dan didefinisikan sesuai definisi ekspert ASAS, yaitu memenuhi minimal empat dari lima
parameter: (1) onset usia <40 tahun; (2) onset timbul mendadak; (3) perbaikan gejala dengan olahraga; (4)
tidak ada perbaikan gejala dengan istirahat; (5) nyeri saat malam (dengan perbaikan saat bangun tidur).
**Area manapun dapat terkena entesitis, namun kriteria klasifikasi ASAS untuk SpA aksial hanya
mempertimbangkan entesitis pada tumit.
ASAS: Assessment of SpondyloArthrtitis international Society; HLA-B27: human leukocyte antigen B27; IBD:
inflammatory bowel disease; SpA: spondiloartritis.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 257


Deddy Nur Wachid Achadiono

Tabel 12. Perbedaan Tampilan Klinis dan Penunjang Spondiloartropati 26


Predominan Predominan Perifer
Aksial
Tampilan Spondilitis Psoriasis Artritis Reaktif Artritis yang
ankilosa berhubungan dengan
IBD
Keterlibatan axial 100% 20-40% 40-60% 5-20%
Sakroiliitis Simetris Asimetris Asimetris Simetris
Keterlibatan perifer Jarang Sering Sering Sering
Distribusi sendi Bawah > atas Atas > bawah Bawah > atas Bawah > atas
perifer
HLA—B27 80-90% 20% 50-80% 5-30%
Enthesitis Sering Sering Sering Jarang
Daktilitis Jarang Sering Sering Jarang
Okular Uveitis (25-40%) Konjungtivitis, Konjungtivitis, Uveitis
uveitis, uveitis, keratitis
episkleritis
Kulit Tidak ada Psoriasis, Balanitis Eritema nodusum,
nail pitting, sirsinat, pyodermagangrenosa
onikolisis keratoma
blemoragik
Radiologi Bamboo spine Deformitas DIP, Sindesmofit Jarang didapatkan
pencil-in-cup asimetris erosi dis perifer

Manifestasi Nyeri Sendi pada Penyakit Jaringan Ikat


Penyakit jaringan ikat dapat bermanifestasi sebagai nyeri sendi. Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) dan Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)
merupakan penyakit jaringan ikat yang banyak bermanifestasi sebagai nyeri
sendi. Sklerosis sistemik, polimyositis/dermatomyositis, serta sklerosis
sistemik, juga dapat bermanifestasi sebagai nyeri sendi.1

A. Lupus Eritematosus Sistemik


Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
kompleks yang ditandai dengan pembentukaan autoantibodi patogenik
terhadap asam nukleat dan protein pengikatnya yang disebabkan oleh
intoleransi terhadap komponen tubuh sendiri. LES dapat menyerang
semua organ tubuh termasuk sendi dan jaringan sekitarnya.27

Sebuah studi di Amerika serikat menunjukkan manifestasi klinis LES


tersering adalah artritis sebesar 70,8%. Di Asia pasifik juga menunjukkan
bahwa manifestasi tersering adalah artritis nonerosif sebesar 48-83%.

258 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Manifestasi artritis menjadi manifestasi utama pada pasien SLE pada


penduduk Eropa-Amerika, Afrika-Amerika dan menjadi manifestasi awal
yang sering muncul terlebih dahulu.9 Di Indonesia sendiri berdasarkan
data dari beberapa rumah sakit manifestasi tersering juga adalah artritis
(32,9 – 75,5%) disusul kelainan kulit dan mukosa (13,2 – 54,9%), dan
nefritis lupus (10,8 -65,5%).27 Setiap pasien perempuan muda yang
mengeluh nyeri sendi harus di evaluasi untuk LES.28

Bagaimana mendiagnosa artritis pada SLE, memerlukan pendekatan


diagnosis secara menyeluruh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaann penunjang.

Anamnesa
Tipikal presentasi dari Lupus artritis meliputi poliartritis, biasanya
simetris, kekakuan sendi 30-60 menit, Walaupun dapat menyerang semua
sendi, artritis pada LES sering mengenai sendi-sendi kecil dibandingkan
sendi-sendi besar. Durasi dari nyeri sendi bervariasi, bisa beberapa jam,
minggu, bahkan bulan. Pasien juga mengeluh bengkak sebagai akibat dari
peradangan dan produksi cairan sendi dan proliferasi sinovial, meskipun
keluhan bengkak pada sendi tidak selalu menonjol seperti pada kasus
RA.29

Pada SLE keluhan nyeri sendi akan diikuti keluhan sistemik lainnya
ruam di kulit, rambut rontok, fotosensitivitas, dan keluhan SLE lain perlu
dievaluasi.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bisanya ditemukan kekauan sendi terutama pagi hari,
bengkak, nyeri tekan, keterbatas gerakan, temuan ini bisanya ditemukan
pada 67% kasus.30 Sendi yang paling banyak terkena adalah sendi tangan
termasuk metacarpopahalangeal (MCP), proximalinterphalangeal (PIP),
dan distal interphalangeal (DIP), dapat juga mengenai sendi lutut, bahu,
ankle, dan siku walaupun jarang.29 Perlu dillihat juga munculnya tanda-
tanda peradangan. Pada SLE munculnya kelainan pada organ lain juga
perlu dievaluasi.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 259


Deddy Nur Wachid Achadiono

Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan Darah rutin dan marker infalamsi (LED, CRP)
- Jika memungkinkan dapat dilakukan aspirasi cairan sendi
- Pemeriksaan ANA IF, anti-ds DNA , C3 C4 Komplemen
- Radiologi : X-ray, USG Muskuloskeletal, MRI

Tabel 13. Karakteristik cairan sendi pada LES 29


Jumlah leukosit umumnya <= 2.000 namun dapat lebih dari 18.000
Terdapat PMN dan limfosit namun biasanya predominasi limfosit
Secara makroskopis jernih sampai sedikit keruh
Viskositas baik
ANA dan sel LE dapat ditemukan namun secara klinis kurang bermanfaat

Kriteria Diagnosis
Diagnosis LES ditegakkan dari penilaian kriteria klinis oleh klinis
yang berpengalaman. Berbagai kriteria klasifikasi digunakan namun
yang umum dipakai di Indonesia adalah kriteria American College of
Rheumatology (ACR) yang beberapa kali telah mengalami revisi sejak
pertama dikeluarkan tahun 1971, direvisi pertama kali tahun 1982 dan
terakhir tahun 1997. Dari kriteria ACR, terdapat 11 kriteria klinis, bila
dijumpai 4 atau lebih kriteria, diagnosis LES memiliki sensitiitas 85%
dan spesiisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan
LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada,
maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. 27 31

Tabel 14. Kriteria Klasifikasi ACR 1997 32


Kriteria Deksripsi
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,
baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Artritis Artritis non-erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai
oleh nyeri tekan, bengkak atau efusi.

260 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Kriteria Deksripsi
Serositis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleural friction rub yang didengar oleh
a. Pleuritis dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
b. Perikarditis b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau > 3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif, atau
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
neurologi metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit), atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit).
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis, atau
hematologi b. Leukopenia < 4.000/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih,
atau
c. Limfopenia < 1.500/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
d. Trombositopenia < 100.000/ mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan
Gangguan a. anti-dsDNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
imunologik abnormal, atau
b. anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm,
atau
c. temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasari atas:
· kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM
· tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standar
· hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes
imobilisasi Treponema
· pallidum atau tes fluoresensi antibodi treponema.
Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
Antinuklear (ANA) imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 261


Deddy Nur Wachid Achadiono

Tabel 15. Kriteria LES SLICC 2012


Kriteria Klinis
Lupus akut yang berhubungan Termasuk ruam malar (tidak diperhitungkan jika
dengan kulit berupa diskoid malar), lupus bulosa, nekrosis
epidermal toksik (NET), ruam lupus makulopapular,
ruam lupus fotosensitivitas (tanpa dermatomiositis)
Atau
Lupus subakut yang berhubungan dengan kulit
Lupus Kronik yang berhubungan Ruam diskoid klasik : terlokalisasi (diatas leher),
dengan kulit generalisata.
Lupus hipertrofi (verukosa), lupus panikulitis
(profundus), lupus mukosa, lupus eritematous tamidus,
lupus diskoid/liken planus yang tumpang tindih.
Ulkus Oral Ulkus palatum, buccal, lidah atau nasal tanpa
penyebab lain
Alopesia tanpa jaringan parut Penipisan difus atau rambut mudah patah yang
terlihat rusak tanpa penyebab lain
Sinovitis 2 sendi Ditandai oleh pembengkakan atau efusi atau nyeri
tekan pada 2 atau lebih sendi dan kekauan sendi
selama 30 menit atau lebih pada pagi hari.
Serositis Pleuritis tipikal selama lebih dari 1 hari
Atau efusi pleura
Atau pleural rub
Nyeri perikardium tipikal selama lebih dari 1 hari
Atau perikardial rub
Atau perikarditis yang dibuktikan dengan EKG (tanpa
penyebab lain)
Gangguan Ginjal Rasio protein/kreatinin urine (atau protein urine/24
jam) 500 mg/24 jam atau silinder eritroist
Gangguan neurologi Kejang, psikosis, mononeuritis multipleks, mielitis,
neuropati kranial atau perifer, acute confusional state
tanpa penyebab lain
Anemia hemolitik Leukopenia < 4000/mm3 minimal satu kali
Leukopenia/limfopenia pemeriksaan tanpa penyebab lain
Atau
Limfopenia <1000/mm3 minimal satu kali pemeriksaan
tanpa penyebab lain
Trombositopenia <100.000 /mm3 minimal satu kali pemeriksaan, tanpa
penyebab lain.

262 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Kriteria Imunologi
ANA
Anti dsDNA
Anti-Sm Positif
Antibodi antifosfolipid Salah satu dari:
• Antikoagulan lupus positif
• Rapid plasma reagin positif palsu
• Titer antikardiolipin (IgA,IgG, atau IgM) sedang atau
tinggi
• Anti β-2 glikoprotein positif
Komplemen Rendah C3 Rendah, C4 Rendah, atau CH50 rendah
Tes Coomb direk positif Tanpa adanya anemia hemolitik
Keterangan : pasien termasuk LES apabila memenuhi 4 dari 17 kriteria, sekurang kurangnya 1 kriteria
klinis dan 1 kriteria imunologi atau pasien dengan nefritis yang sesuai dengan LES dan terbukti dari
biopsi disertai dengan pemeriksaan ANA atau anti-dsDNA positif.

Tabel 16. Kriteria Klinis LES EULAR/ACR


• Riwayat titer ANA-IF positif > 1: 80 (atau positif dengan metode pemeriksaan lainnya
yang ekuivalen
• Untuk setiap kriteria, skor tidak dihitung jika terdapat kemungkinan penyebab selain
LES
• Kemunculan satu kriteria minimal satu kali sudah dianggap cukup
• Kriteria tidak perlu muncul bersamaan
• Minimal terdapat satu kriteria klinis
• Dalam setiap domain, hanya kriteria dengan skor tertinggi yang dihitung untuk skor
total
Domain Klinis Poin
Domain Konstitusional
Demam 2
Domain Kulit
Nonscaring alopesia 2
Ulkus Oral 2
Lupus kutaneus subakut atau diskoid 4
Lupus kutaneus akut 6
Domain Artritis
Sinovitis pada minimal 2 sendi atau nyeri sendi pada minimal 2 sendi 6
Kekauan sendi minimal 30 menit
Domain Neurologi
Delirium 2
Psikosis 3
Kejang 5

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 263


Deddy Nur Wachid Achadiono

Domain Serositis
Efusi pleura atau perikardium 5
Perikarditis akut 6
Domain Hematologik
Leukopenia 3
Trombositopenia 4
Hemolisis autoimun 4
Domain Ginjal
Proteinuria > 500 mg/24 jam 4
Lupus nefritis kelas II atau IV 8
Lupus nefritis kelas III atau IV 10
Domain Imunologi
Domain antibodi antifosfolipid
IgG antikardiolipin > 40 GPL atai IgG anti-β2GP1 > 40 unit atau antikoagulan 2
lupus
Domain Protein Komplemen
C3 Rendah atau C4 Rendah 3
C3 Rendah dan C4 rendah 4
Domain Imunologi
Domain antibodi yang sangat spesifik
Antibodi anti-dsDNA 6
Antibodi anti-Sm 6

Artritis pada Sklerosis Sistemik


Sklerosis sistemik adalah suatu penyakit sistemik mengenai jaringan
ikat di kulit, organ dalam dan dinding pembuluh darah, yang ditandai dengan
disfungsi endotel,fibrosis dan produksi autoantibodi. Ciri khas sklerosis
sistemik terjadi kelainan pada struktur mikrovaskular berupa hipoksia, ulkus
pada jari-jari dan hipertensi pulmonal, gangguan pada sistim imun termasuk
ketidakseimbangan ekspresi sitokin, autoantibodi dan abnormalitas dari
progenitor darah atau sel-sel efektor dan adanya deposisi masif kolagen pada
jaringan ikat di kulit dan berbagai organ dalam.33

Manifestasi Klinis Muskuloskeletal


Manifestasi muskuloskeletal skeloderma sistemik meliputi artralgia,
artritis, kontraktur sendi dengan keterbatasan gerak sendi, miositis dan
miopati. Kelemahan otot proksimal disertai peningkatan kadar enzim kreatin
kinase dan atau laktat dehidrogenase (LDH) merupakan bukti adanya miositis.
Kompresi pada saraf terutama nervus medianus dapat ditemukan terutama
dengan gejala carpal tunnel syndrome. 33

264 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Atralgia dengan nyeri ringan disertai kaku merupakan manifestasi


muskuloskeletal pada sklerosis sistemik. Onset bisa terjadi akut atau perlahan
dan bisa oligoartikuler atau poliartikuler. Semua sendi dapat terkena
tetapi lebih didominasi sendi proksimal interphalangeal (PIP) dan sendi
metakarpophalangeal (MCP), pergelangan tangan dan pergelangan kaki.
Seiring progresivitas penyakit akan menyebabkan kontraktur pada sendi
yang terkena dan dapat menyebabkan deformitas.34

Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk menegakan sklerosis sistemik berdasarkan ACR
dapat dilihat pada kriteria dibawah ini. 33 35
A. Kriteria Mayor
Skleroderma proksimal : pengerasan (skleroderma) kulit dan indurasi pada
kulit jari – jari dan kulit proksimal terhadap sendi metacarpophalangeal
atau metatarsofalangeal secara simetris. Perubahan ini dapat juga
mengenai seluruh ekstrimitas, wajah, leher, badan (dada dan perut)
B. Kriteria minor
- Sklerodaktili (pengerasan kulit pada jari-jari)
- Digital pitting scars atau hilangnya jaringan pada ujung jari akibat
iskemia
- Fibrosis pulmonal bibasilar : pola retikular bilateral dengan densitas
linier atau lineonodular terutama didaerah basal paru pada rontgen
thoraks, gambaran bercak difus atau honeycomb; perubahan ini
bukan disebabkan penyakit paru primer lain
Penderita didiagnosis sklerosis sistemik jika memenuhi kriteria mayor
atau sekurang-kurangnya 2 kriteria minor

Artritis pada Vaskulitis


Rheumatoid Vasculitis
Artritis Reumatoid (AR) merupakan penyakit yang menyerang sendi
multipel dan menyebabkan kerusakan sendi. Pada AR yang berlanjut bisa
menyebabkan vaskulitis dan menyerang pada ekstra artikuler.36 Keadaan
ini disebut dengan malignant rheumatoid arthritis (MRA) atau Rheumatoid
Vasculitis (RV). 16

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 265


Deddy Nur Wachid Achadiono

Manifestasi
Pasien dengan RV memliki nodul subkutan, ulkus, infark atau gangren
pada kulit, purpura, mononeuritis multipleks, episkleritis, pneumonia
interstitial, perikarditis, miokarditis, infark pulmonar. Pemeriksaan
penunjang yang mendukung adalah faktor reumatoid yang tinggi, penurunan
kadar kompemen dan adanya kompleks imun pada darah.16

Kriteria Diagnosis
A. Kriteria klinis dan penemuan laboratoris
- Mononeuritis Multipleks
- Ulkus kulit atau infark
- Gangren pada jari, nodul subkutan
- Episkleritis atau iritis
- Pleuritis eksudat atau perikarditis
- Miokarditis
- Pneumonia interstitial atau fibrosis pulmonal
- Infark pada organ
- Peningkatan Faktor Reumatoid
- Penurunan kadar komplemen atau adanya kompleks imun pada
darah
B. Penemuan Histologi
Biopsi pada kulit, otot, saraf atau organ yang terlibat menunjukkan
adanya vaskulitis nekrotik, vaskulits granulomatosa atau endoangitis
oklusi pembuluh darah kecil-sedang

Diagnosis
Jika pasien memeuhi kriteria rheumatoid arthritis dari ACR dan
- Memiliki ≥ 3 item pada kriteria A atau
- Memiliki ≥ 1 item pada kriteria A dan B
Kondisi yang harus disingkirkan sebelum mendiagnosis : amiloidosis, infeksi,
SLE, polimiositis, mixed connective-tissue disease.16

266 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Poliarteritis Nodosa (PAN)


PAN adalah penyakit yang memicu terjadinya vaskulitis nekrotik pada
pembuluh darah arteri yang berukuran sedang atau kecil. Penyakit ini tidak
terjadi di arteriol, venula dan kapiler.16

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis : sekitar 80% pasien mengeluhkan nyeri otot atau nyeri
sendi atau kekakuan. Deformitas dan destruksi sendi tidak terjadi. Biasanya
gejalanya adalah mialgia dan kelemahan pada otot yang biasanya mengenai
otot gastroknemius.16

PAN merupakan vaskulitis sistemik dan biasanya gejala dan tanda terjadi
akibat inflamasi karena iskemia atau infark. Selain gejala sendi biasanya
ditemukan manifestasi sistemik yang lain pada sistem organ lainnya yaitu
ginjal, sistem saraf, jantung, respirasi, gastrointestinal, dan kulit. Gejala
konstitusional seperti demam, berat badan turun dan tekanan darah tinggi
sering menyertai penyakit ini.16

Pemeriksaan Penunjang
- Darah: leukositosis, anemia dan trombositosis sering terjadi pada
banyak pasien. Peningkatan CRP dan LED seringkali bermakna. BUN dan
kreatinin meningkat jika terdapat keterlibatan ginjal
- Pemeriksaan khusus
1. ANCA: pasien dengan PAN yang hanya melibatkan pembuluh darah
sedang dan kecil, insidensi ANCA yang positif bersifat rendah (≤20%)
2. HbsAg: meskipun hepatitis B berhubungan dengan PAN, tetapi
prevalensi HbsAg positif cukup rendah
- Pemeriksaan histopatologi: pada pemeriksaan biopsi terdapat bukti
adanya nekrosis fibrinoid pada arteri ukuran kecil-sedang. Biopsi
biasanya sering diperoleh dari otot yang mengalami gejala dan ginjal.
Pasien dengan mononeuritis mutiplex atau mialgia pada ektrimitas
bawah maka biopsi otot gastroknemius sering menemukan hasil yang
khas PAN
- Radiologi: PAN memiliki ciri multiple aneurisma, stenosis dan oklusi
pada arteri kecil-sedang.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 267


Deddy Nur Wachid Achadiono

Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis PAN dibuat oleh Intractable Vasculitis Study Group of the
MHLW yang direvisi tahun 2006. 16

Penemuan klinis mayor


1. Demam (>38 C yang berlanjut ≥ 2 minggu) dan penurunan berat badan (≥
6 kg selama ≤ 6 bulan)
2. Hipertensi
3. Gagal ginjal, infark renal yang cepat progresif
4. Infark atau hemoragik pada cerebri
5. Infark miokard, ischemic heart disease, perikarditis, heart failure
6. Pleurisi
7. Gastrointestinal hemoragik, infark pada intestinal
8. Mononeuritis multipleks
9. Nodul subkutan, ulkus pada kulit, gangren, purpura
10. Poliatralgia, mialgia, kelemahan pada otot

Penemuan histologi
Terdapat nekrosis fibrinoid pada arteri kecil-sedang

Penemuan angiography
Mikroaneurisma multipel, stenosis dan oklusi pada cabang aorta abdominal
(seringkali pada arteriol renal)

Diagnosis
Definit: terdapat ≥ 2 penemuan klinis mayor disertai penemuan histologi

Probable:
a. Terdapat ≥ 2 penemuan klinis mayor disertai penemuan angiographic
b. Terdapat ≥ 6 penemuan klnis mayor termasuk poin no 1

Penemuan laboratorium yang sugestif


• Leukositosis (≥ 10.000/Ul)
• Trombositosis (≥ 400.000/Ul)
• Peningkatan LED
• Peningkatan CRP

268 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Penyakit yang harus disingkirkan terlebih dahulu


• Poliangitis mikroskopis
• Wegener granulomatosis
• Allergic granulomatosis angitis
• Kawasaki disease
• Penyakit kolagen (LES,RA, dll)
• Purpura

Sjogren Syndrome
Sjorgen syndrome adalah suatu penyakit kronik, sistemik, yang
disebabkan oleh autoiumun alami, penyakit ini ditandai oleh infiltrasi sel sel
limfosit pada kelenjar exocrine (lakrimal dan saliva) dan hiperaktivitas sel B.
Dengan prevalensi sebesar 0,1% - 4,8%, yang meningkat seiring pertambahan
usia. Manifestasi klinis SS dapat mengenai kelenjar eksokrin (tipe glandular)
(dengan gejala mulut kering maupun air mata kering) atau tipe ekstragrandular
(sistemik). Patogenesis SS melibatkan adanya autoantibodi anti-Ro (SS-A)
dan anti-La (SS-B).37

Gejala atralgia dan/atau artritis pada SS dilaporkan pada sekitar 27%


pasien. Penelitain lainnya menunjukkan 83% SS primer memiliki masalah
sendi sebesar 38%. Di Cina, nyeri sendi pada SS dikeluhkan pada 78% kasus.
Gambaran X-ray pasien SS dengan nyeri sendi didapatkan penyempitan celah
sendi ringan pada 1/3 pasien SS tanpa ada bukti erosi sendi. Pada SS primer
dilaporkan 54% mengalami atritis atau atralgia.38 Sama hanya dengan kasus
autoimun lain, pendekatan atralgia dan artritis pada kasus SS, memerlukan
pendekatan secara menyeluruh terhadap gejala khas dan gejala lain yang bisa
muncul, mengingat SS merupakan penyakit sistemik.

Anamnesa
Sebanyak 25 pasien (54%) dengan SS primer mengeluhkan atralgia dan
artritis. 8 pasien (31%) dengan keluhan persendian berkembang menjadi
Sicca symptoms.38 Diantara 26 pasien dengan artropathy atralgia pada SS 88%
terjadi simetris, disertai kekauan sendi >30 menit pada pagi hari, menyerang
lebih dari satu sendi (poliartritis).39

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sendi menunjukkan poliartritis non erosif, dengan
keterbatasan gerakan sendi, dapat dijumpai tanda peradangan berupa, teraba
hangat, kemerahan, nyeri tekan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 269


Deddy Nur Wachid Achadiono

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan mulut kering, adanya purpura


pada anggota gerak bawah, pembengkakan minimal 3 sendi, pembengkakan
jaringan parotis bilateral.37

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan X-ray dapat membantu melihat kelainan pada artritis SS
dimana didapatkan non erosif artritis dan sinovitis, serta penyempitan celah
sendi. Pemeriksaan autoantibodi yang dapat dilakukan adalah : antibodi
spesifik organ dan antibodi non spesifik organ (Faktor rheumatoid, ANA, anti-
Ro, anti-La).39 Tes Schimer dapat digunakan untuk mengevaluasi produksi
kelenjar air mata. Biopsi kelenjar eksokrin juga dapat dilakukan untuk
menegakkan SS.

Kriteria Klasifikasi Sjogren syndrome


Tabel 17. Kriteria klasifikasi sindrom sjogren 37
Item Deskripsi Skor
Fokus skor >= 1 Skor ditentukan oleh jumlah infiltrasi sel mononuklear 3
>= 50 sel per 4 mm2 dari biopsi kelenjar ludah labium
minor
Adanya antibodi anti-SSA** Dihitung pada serum; hanya antibodi anti-Ro60 yang 3
bermakna; antibodi anti-Ro52 saja tidak spesifik untuk
Sindrom Sjorgen
Skor ocular staining SICCA >= 5 Skor ditentukan oleh oftalmolog dengan pemeriksaan 1
fluorosens dan lissamine green staining; skor antara
0 – 12 dengan semakin tinggi skor menunjukkan gejala
yang semakin berat
Uji Schimmer <= 5 mm/5 menit Mengukur produksi air mata dengan menempelkan 1
kertas filter pada konjungtiva bawah dan menilai
tingkat kelembapan pada kertas
Aliran saliva tanpa distimulasi Mengukur tingkat aliran saliva dengan mengumpulkan 1
<= 0.1 ml/menit saliva pada tabung selama minimal 5 menit setelah
pasien sudah menelan
Total skor 9
*Diagnosis sindrom Sjorgen primer didefinisikan sebagai skor lebih dari sama dengan 4. Kriteria ini dapat
digunakan pada pasien dengan minimal satu gejala okular atau kekeringan mulut ada adanya manifestasi
sistemik yang mendukung ke arah sindrom Sjorgen promer. Kriteria ekslusi termasuk infeksi aktif virus
hepatitis C yang ditemukan pada pemeriksaan polymerase-chain-reaction (PCR), radioterapi vertebra
servikal, sarkoidosis, penyakit graft-versus-host, menggunakan obat antikolinergis, dan adanya penyakit yang
berhubungan dengan Ig-G4.
ACR: American College of Rheumatology; EULAR: European League against Rheumatism; SICCA: Sjorgen’s
Syndrome International Collaborative Clinical Alliance; dan SSA: anti-Sjorgen’s syndrome-related antigen A.
**Hasil serologis positif untuk antibodi anti-SSB/La pada absennya antibodi anti-SSA/Ro tidak spesifik dan
tidak lagi dipertimbangkan sebagai kriteria diagnosis.

270 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

Kesimpulan
Artritis dapat merupakan suatu entitas penyakit tersendiri, maupun
timbul sebagai manifestasi dari penyakit lain. Pendekatan klinis artritis
dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan
penunjang. Artritis dengan inflamasi merupakan salah satu keadaan yang
perlu dirujuk ke reumatologis.

Daftar Pustaka
1. Elkayam, O. et al. (2019) Diagnostic strategies in rheumatology, EULAR On-line
Course on Rheumatic Diseases.
2. El-Gabalawy., H.S., 2017. Synovial Fluid Analysis, Synovial Biopsy, and Synovial
Pathology. Dalam: Firestein, G.S., Budd, R.C., Gabriel, S.E., McInness, I.B., O’Dell.,
J.R (ed). Kelley and Firestein’s Textbook of Rheumatology, 10th edition. Elsevier.
Diunduh dari www.clinicalkey.com pada tanggal 19 Desember 2016.
3. Helfgott, S.M., Shmerling, R. .H., Curtis, M.R., Monoarthritis in adults: Etiology and
evaluation. Diunduh dari www.uptodate.com pada tanggal 26 Agustus 2019.
4. Shmerling, R.H., Helfgott, S.M, Curtis, M.R., Evaluation of the adult with polyarticular
pain. Diunduh dari www.uptodate.com pada tanggal 26 Agustus 2019.
5. Keith, S., et al. 2012. Osteoarthritis: Diagnosis et treatment. American family
physician. Vol.85.
6. George, P., Peter, C., Elaine, H. 2001. Clinical Assessment of the Osteoarthritis
Patient. Best Practice & Research Clinical Rheumatology Vol. 15, No. 4, pp. 527±
544.
7. Altman, R., et al. 1991. The American College of Rheumatology Criteria for
the Classification and Reporting of the Osteoarthritis of the Hip. Arthritis and
Rheumatism, Vol. 34, No.5
8. Heidari, B. 2011. Rheumatoid Arthritis : Early diagnosis and treatment outcomes.
Casp J Intern Med. 2011; 2(1) : 161-170
9. Suarjana, I. 2014. Arhtritis Rheumatoid. Buku Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Jakarta
: PAPDI
10. Ingegnoli et al. 2013. Rheumatoid Factors: Clinical Applications. Disease Markers.
Volume 35 (2013), Issue 6, Pages 727–734
11. Wasserman, Amy M. 2011. Diagnosis And Management Of Rheumatoid Arthritis.
American Family Physician. Volume 84, Number 11.
12. Gall, E.P. 1998. Hyperuricemia and Gout. In:Greene HL, Johnson WP, Lemcke D, eds.
Decision making in medicine. Baltimore: Mosby: 442-3.
13. Robin, K. 2008. The Gout Diagnosis. Clevelancleveland Clinic Journal of Medicine.
vol 75.
14. Tuhina, N., et al. 2015. 2015 Gout Classification Criteria. Arthritis & Rheumatology.
Vol. 67, No. 10, October 2015, pp 2557–2568.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 271


Deddy Nur Wachid Achadiono

15. Neogi T, Jansen T, Dalbeth N, et al. Gout classification criteria: an American College
of Rheumatology/European League Against Rheumatism collaborative. Ann
Rheum Dis. 2015:0:1-10.
16. JCS Joint Working Group. 2011. Guideline for Management of Vasculitis Syndrome.
Circulation Journal. Vol.75, February 2011
17. Horowitz, D. L., & Katzap, E. 2011. Approach to septic arthritis. Am Fam
Physician. 2011 Sep 15;84(6):653-660.
18. Garcia-Arias, M., Balsa, A., & Mola, E. M. 2011. Septic arthritis. Best Practice &
Research Clinical Rheumatology 25 (2011) 407–421.
19. Goldenberg, D. L., & Sexton, D. J. 2019. Septic arthritis in adults. Diakses pada
Agustus 2019 dari https://www.uptodate.com/contents/septic-arthritis-in-adults
20. Nunez-Atahualpa, L. 2016. Septic arthritis imaging. Diakses 21 Agustus 2019 dari
https://emedicine.medscape.com/article/395381-overview
21. Sharff, K. A., Richards, E. P, & Townes, J. M. 2013. Clinical management of septic
arthritis. Curr Rheumatol Rep (2013) 15:332.
22. Sen, R., & Hurley, J.A. 2019. Seronegative spondyloarthropathy. Diakses 21 Agustus
2019 dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459356/
23. Van Tubergen, A., & Weber, U. 2012. Diagnosis and classification in spondyloarthritis:
identifying a chameleon. Nat. Rev. Rheumatol (2012) 8: 253–261.
24. Mandl, P., Navarro-Compán, V., & Terslev, L. 2015. EULAR recommendations for
the use of imaging in the diagnosis and management of spondyloarthritis in clinical
practice. Ann Rheum Dis (2015): 74: 1327–1339.
25. Rudwaleit, M., Van der Heijde, D., Landewe, R., Akkoc, N., Brandts, J., Chou, C.T.,
Dougados, M., Huang, F., Gu, J., Kirazli, Y., Van den Bosch, F., Olivieri, I., Roussou,
E., Scarpato, S., Sorensen, I.J., Valle-Onate, R., Weber, U., Wei, J., Sieper., J. The
Assessment of SpondyloArthritis international Society classification criteria for
peripheral spondyloarthritis and for spondyloarthritis in general. Ann Rheum Dis
2011;70:25–31. doi:10.1136/ard.2010.133645
26. Sabatine, M.S. 2016. The Massachusetts General Hospital Handbook of Internal
Medicine. 6thEd. Wolter Kluwers: Philadelphia.
27. Sumariyono, dkk (Tim Penyusun).2019. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematous Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia : Jakarta.
28. Ozbek S, Sert M, Paydas S, & Soy, M. Delay in the diagnosis of SLE: the importance
of arthritis/arthralgia as the initial symptom. Acta Med Okayama. 2003
Aug;57(4):187-90.
29. Grossman, J., Lupus Arhtritis. Best Practice & Research Clinical Rheumatology 23
(2009) 495–506
30. Labowitz R, Schumacher Jr HR. Articular manifestations of systemic lupus
erythematosus. Ann Intern Med 1971 Jun; 74(6):911–21.

272 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Alur Pendekatan Klinis Nyeri Sendi

31. Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK et al. (2011) Rekomendasi perhimpunan


reumatologi Indonesia untuk diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus
sistemik. Jakarta, Perhimpunan Reumatologi Indonesia
32. Hochberg, MC. Updating the American College of Rheumatology revised criteria
for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. 1997
Sep;40(9):1725.
33. Hamijoyo,L. 2014. Sklerosis Sistemik. Buku Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Jakarta :
PAPDI
34. Avouac, J et al. 2012. Articular involvement in systemic sclerosis. Rheumatology.
2012;51:13471356
35. Vaan de Hoogen et al. 2013. Classification Criteria for Systemic Sclerosis: An ACR-
EULAR Collaborative Initiative. Arthritis Rheum. 65(11): 2737–2747
36. Whelan, P. 2019. Clinical manifestations and diagnosis of rheumatoid vasculitis.
UpTo Date. Diambil dari https://www.uptodate.com/contents/clinical-
manifestations-and-diagnosis-of-rheumatoid-vasculitis pada 21 Agustus 2019
37. Mariette, X., Lindsey A. Criswell. Primary Sjögren’s Syndrome. New england journal
medicine 378;10 nejm.org March 8, 2018
38. Pease, C, T., Shatless, W.,Barret, Waini. CLINICAL REVIEW THE ARTHROPATHY OF
SJOGREN’S SYNDROME. British Journal of Rheumatology 1993;32:609-613
39. Sudoyo, Aru, W (ed), dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishing

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 273


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut
Syamsu Indra
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP dr. Moh Hoesin - Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang

Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan sebuah spektrum presentasi
klinis dimulai dari infark miokard elevasi segmen-ST (STEMI) sampai
presentasi yang ditemukan pada infark miokard non-elevasi segmen-ST
(NSTEMI) atau angina tidak stabil.1,2,3 SKA hampir selalu berhubungan dengan
ruptur plak ateroskerotik dan trombosis parsial atau komplet dari arteri yang
mengalami infark.1

Epidemiologi
Penyakit jantung iskemik merupakan penyebab kematian terbanyak
dan frekuensinya meningkat di dunia. Namun, di Eropa terdapat penurunan
mortalitas penyakit jantung iskemik pada tiga dekade terakhir.4,5 Penyakit
jantung iskemik sekarang terhitung hampir 1,8 juta kematian per tahun atau
20% dari semua kematian di Eropa, walaupun terdapat variasi besar tiap
negaranya.4,6 Angka kekerapan STEMI dan NSTEMI menurun dan meningkat,
secara berturut-turut.4,7,8,9 Register yang paling komprehensif, European
STEMI registry ditemukan di Swedia, dimana angka kekerapan STEMI adalah
58 per 100.000 per tahun pada tahun 2015.10 Pada negara Eropa lain, angka
insidensi berkisar dari 43 sampai 144 per 100.000 per tahun.11

Mekanisme
Perubahan Imunitas Bawaan dan Adaptif
Pada pasien dengan ACS, aktivitas tinggi sel T efektor memberi kesan
bahwa mekanisme melibatkan disregularitas imunitas adaptif memainkan
peran dalam instabilitas koroner. Peluruhan CD31 fungsional domain
1-5 mengarah kepada aktivasi limfosit tidak terkontrol. Flego dkk,12,13
menemukan bahwa peningkatan pelepasan MMP-9 memainkan peran kunci
dalam menentukan pembelahan dan penghancuran CD31 fungsional domain
1-5 pada CD4+ sel T pasien SKA. Mereka mengusulkan sekuens kejadian
berikut dalam ACS dan bukti sistemik inflamasi: MMP-9, dilepaskan oleh sel-
sel imunitas bawaan dan sel-sel T, menyebabkan pembelahan CD31 domain
1-5; peningkatan ekspresi MMP-9 mungkin mempengaruhi aktivasi sel T

274 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

dependen TCR dan termasuk hiperreaktivitas sel T, melalui perubahan jalur


seluler pembelahan CD31. Mereka juga mengusulkan bahwa molekul seperti
MMP-9 dan CD31, dapat merepresentasikan target molekul untuk terapi
antiinflamasi spesifik dan dapat digunakan sebagai biomarker klinis untuk
prognosis pada pasien dengan SKA.12

Erosi Plak
Paling tidak satu per tiga SKA disebabkan oleh erosi plak dan prevalensi
mungkin meningkat.12,14 Dai dkk. menilai culprit plak pada 822 pasien datang
dengan STEMI oleh optical coherence tomography (OCT) dan menemukan
bahwa erosi plak merupakan bukti klinis berbeda dari ruptur plak pada
pasien STEMI. Jadi, pada analisis multivariabel, usia <50 tahun, merokok,
tidak adanya faktor risiko koroner lain, kurangnya penyakit pembuluh darah,
penurunan beratnya lesi, ukuran pembuluh lebih besar, dekat bifurkasio,
berhubungan dengan erosi plak.12,15 Perbedaan substansial antara erosi plak
dan fisura plak juga ditemukan oleh Sugiyama dkk.12,16 yang melakukan OCT
tiga pembuluh darah pada 51 pasien dengan SKA dan mengobservasi bahwa
dibandingkan dengan mereka dengan ruptur plak culprit, pasien dengan
erosi plak memiliki angka lebih kecil plak non-culprit dan tingkat instabilitas
vaskular yang lebih rendah, mengonfirmasi bahwa mekanisme patofisiologis
berbeda pada erosi plak dan ruptur plak.12

Pedicino dkk12,17 mengevaluasi ekspresi gen/protein HYAL2 (enzim


degradasi hylauronan sampai isoform pro inflamasi 20 kDa-nya) dan
reseptor CD44 hyaluronan. (gambar 1) Ekspresi gen dan protein HYAL2
dan CD44v6 lebih tinggi pada pasien dengan erosi plak ketika dibandingkan
dengan mereka dengan ruptur plak. HYAL2 mungkin merepresentasikan
biomarker baru pada SKA. Penelitian klinis ini menunjukkan bahwa erosi
plak dikarakteristikkan dengan perubahan metabolisme hyaluronan, setelah
validasi selanjutnya, HYAL2 dapat menunjukkan biomarker untuk identifikasi
non invasif mekanisme instabilitas koroner ini.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 275


Syamsu Indra

Gambar 1. Model erosi plak. Gambar ini merangkum hipotesis yang datang dari
pengalaman dan studi post-mortem pada erosi plak dan data dari penelitian klinis
ini. Overekspresi dari hyaluronidase 2 pada sel-sel mononuklear darah perifer
(membran, sitoplasma, dan nukleus) di bawah kondisi peningkatan tekanan (#1)
menyebabkan degradasi hyaluronan berat molekul tinggi sampai hyaluronan berat
molekul rendah proinflamasi (#2), juga rekrutmen netrofil (#3), yang terakhir
penguat overekspresi CD44, dimana dibutuhkan dan sufisien untuk penempelan
netrofil terhadap hyaluronan berat molekul rendah.12

Diagnosis
1. Anamnesis
Aterosklerosis merupakan penyebab utama SKA, dengan kebanyakan
kasus yang terjadi dari disrupsi lesi tidak berat sebelumnya. Keluhan
dilaporkan oleh pasien dengan SKA termasuk:1
• Palpitasi
• Nyeri, dimana biasanya dijelaskan sebagai tekanan, tindihan, atau
sensasi terbakara sekitar prekordium dan dapat meluas ke leher,
bahu, rahang, punggung, abdomen atas, atau lengan
• Dispneu
• Diaforesis
• Mual
• Berkeringat dingin
• Berdebar
• Nyeri abdomen

276 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

2. Pemeriksaan fisik
Temuan fisik dapat berkisar dari normal sampai berikut:1
• Hipotensi: mengindikasikan disfungsi ventrikel akibat iskemik
miokard, infark miokard, atau disfungsi katup akut.
• Hipertensi: dapat mempresipitasi angina atau mencerminkan
peningkatan tingkat katekolamin akibat ansietas atau stimulasi
simpatomimetik eksogen.
• Diaforesis
• Edema paru dan tanda lain gagal jantung kiri.
• Distensi vena jugular.
• Kulit dingin dan basah dan diaforesis pada pasien dengan syok
kardiogenik
• Suara jantung ketiga (S3) dan, seringkali, suara jantung keempat
(S4).
• Murmur sistolik oleh karena tekanan MR atau AS

3. Electrokardiogram
ECG 12-lead merupakan alat diagnostik lini pertama dalam menilai
pasien dengan curiga SKA (Gambar 2). Ini direkomendasikan dalam
10 menit pertama pasien datang ke ruang gawat darurat atau idealnya
pada kontak pertama ke layanan kesehatan gawat darurat sebelum
ke rumah sakit dan untuk secepatnya diinterpretasi oleh dokter yang
berkompeten.1

Gambar 2. Penilaian awal pasien dengan curiga sindrom koroner akut.


Penilaian awal berdasarkan integrasi gambaran kemungkinan rendah dan/atau
kemungkinan tinggi yang datang dari presentasi klinis (yaitu, gejala, tanda vital),
EKG 12 lead, dan troponin jantung.1

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 277


Syamsu Indra

4. Biomarkers
Biomarker melengkapi penilaian klinis dan ECG 12 lead dalam
mendiagnosis, stratifikasi risiko, dan terapi pasien dengan curiga NSTE-
ACS. Penilaian biomarker cedera kardiomiosit, lebih disukai troponin
jantung sensitivitas tinggi, dibutuhkan pada semua pasien dengan curiga
NSTE-ACS.1,18,19 Troponin jantung lebih sensitif dan spesifik untuk cedera
kardiomyosit dibandingkan creatine kinase (CK), dan isoenzim MB (CK-
MB) dan mioglobin. Jika presentasi klinis lebih memungkinkan iskemia
miokardium, elevasi dinamik troponin jantung di atas persentil 99 dari
individu sehat mengindikasikan MI.1,18 Pada pasien dengan MI, tingkat
troponin jantung meningkat dengan cepat (yaitu biasanya dalam 1 jam
jika menggunakan assay sensitivitas tinggi) setelah onset gejala dan
masih meningkat dalam waktu yang bervariasi (biasanya beberapa
hari).1,18

5. Pencitraan Non Invasif


Ekhokardiografi transtorakal harus tersedia di ruang gawat darurat
dan unit nyeri dada dan dilakukan/diinterpretasikan oleh dokter yang
kompeten pada semua pasien yang dirawat untuk NSTE-ACS. Modalitas
pencitraan ini penting untuk mengidentifikasi abnormalitas iskemia
miokard atau nekrosis (yaitu hipokinesia atau akinesia segmental). Tidak
adanya abnormalitas gerakan dinding yang signifikan, gangguan perfusi
miokard dideteksi dengan ekhokardiografi kontras atau penurunan
fungsi regional menggunakan strain dan pencitraan strain dapat
meningkatkan nilai diagnostik dan prognostik dari ekhokardiografi
konvensional. Kemudian, ekhokardiografi dapat membantu mendeteksi
patologi altternatif yang berhubungan dengan nyeri dada, seperti diseksi
aorta akut, efusi perikardium, stenosis katup aorta, kardiomiopati
hipertropik atau dilatasi ventrikel kanan sugestif emboli paru akut.
Ekhokardiografi merupakan alat diagnostik pilihan untuk pasien dengan
instabilitas hemodinamik dengan curiga sumber jantung.1

CMR (cardiac magnetic resonance) dapat menilai kedua perfusi dan


abnormalitas gerakan dinding, dan pasien datang dengan nyeri dada
akut dengan stress CMR normal dapat memiliki prognosis pendek yang
baik. CMR dapat mendeteksi jaringan parut (menggunakan gadolinium)
dan dapat membedakan ini dari recent infarct (menggunakan pencitraan
T2-weighted untuk menggambarkan edema miokard). Multi detector

278 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

computed tomography (MDCT) dapat memberi gambaran scan arteri


koroner.1

Diagnosis Banding
Pada pasien yang datang dengan nyeri dada akut ke departemen gawat
darurat, prevalensi penyakit dapat diekspektasikan sebagai berikut: 5-10%
STEMI, 15-20% NSTEMI, 10% angina tidak stabil, 15% kondisi kardiak lain,
dan 50% penyakit non-kardiak. 1,20,21 Beberapa kondisi kardiak dan non-
kardiak dapat memimik NSTE-ACS (Tabel 1).1

Tabel 1. Diagnosis banding sindrom koroner akut pada nyeri dada akut.1

Tatalaksana
1. Tatalaksana farmakologis iskemia
Tujuan terapi antiiskemik farmakologis adalah untuk menurunkan
kebutuhan oksigen miokard (sekunder terhadap penurunan laju
jantung, tekanan darah, preload atau kontraktilitas miokard) atau untuk
meningkatkan suplai oksigen miokard (dengan pemberian oksigen atau
melalui vasodilatasi koroner). Oksigen harus diberikan ketika saturasi
oksigen darah 90% atau jika pasien dalam kesulitan bernapas.1,22
Pasien dengan tanda iskemia gejalanya tidak menghilang menggunakan
nitrat dan penghambat beta, pemberian opiat dapat dilakukan selagi
menunggu angiografi koroner, dengan peringatan bahwa morfin dapat
memperlambat absorpsi intestinal dari penghambat platelet oral.1

Akut miokard infark harus ada bukti dari injury myocardial ditandai
dengan peningkatan dari cardiac troponin paling tidak satu nilai di

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 279


Syamsu Indra

atas percentile 99 dari batas atas dengan nekrosis.4,18 Untuk strategi


pengobatan segera seperti terapi reperfusi, biasanya nyeri dadanya
persistent atau simptom lain yang mengarah ke iskemik dan adanya ST
segment elevasi pada paling tidak 2 lead yang berdekatan. Mengurangi
nyeri sangat penting, tidak hanya alasan kenyamaanan tetapi disebabkan
oleh nyeri dada berkaitan dengan aktivasi simpatis, dimana menyebabkan
vasokonstriksi dan menambah beban jantung. Titrasi opioid intravena
(contohnya morfin) adalah analgesik yang paling sering dipakai.4

Tabel 2. Rekomendasi mengurangi hipoksemia dan simptom.4'

Terapi farmakologis iskemik pada NSTE-ACS adalah sebagai berikut:


1. Nitrat
Nitrat intravena lebih efektif dibandingkan nitrat sublingual untuk
pengurangan gejala dan regresi depresi ST. Monitoring tekanan
darah hati-hati, dosis harus dititrasi sampai gejala menghilang, dan
pada pasien hipertensi sampai tekanan darah normal, kecuali efek
samping (yaitu nyeri kepala atau hipotensi) terjadi. Di atas kontrol
gejala, tidak terdapat indikasi untuk terapi nitrat. Nitrat merupakan
agent yang bernilai untuk mengontrol gejala angina pada STEMI.1

2. Penghambat beta
Penghambat beta secara kompetetif menginhibisi efek miokard
pada katekolamin sirkulasi dan menurunkan konsumsi oksigen

280 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

mokard dengan menurunkan denyut jantung, tekanan darah,


dan kontraktilitas miokard (Tabel 3). Bukti untuk efek manfaat
penghambat beta pada NSTE-ACS didapatkan dari sebuah meta
analisis 27 penelitian awal menunjukkan terapi penghambat beta
berhubungan dengan penurunan risiko relatif 13% (RRR) dari
mortalitas pada minggu pertama setelah miokard infark.1

Tabel 3. Rekomendasi obat-obat anti iskemik pada fase akut dari NSTE-
ACS1

Pengobatan rutin pada STEMI menggunakan obat: penghambat


beta, ACE inhibitor, ARB, mineralcortikoid reseptor antagonis dan
penurun lipid.4

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 281


Syamsu Indra

Tabel 4. Rekomendasi Terapi Rutin pada STEMI.4

3. Inhibisi platelet
Aspirin
Aspirin (asam asetilsalisilat) secara ireversibel menginaktivasi
aktivitas sikooksigenase (COX) dari sintetase 1 endoperoksida
prostaglandin platelet (COX-1), sehingga menekan produksi
tromboksan A2 sepanjang hidup platelet (tabel 5). Aspirin
menunjukkan efektif pada pasien dengan angina tidak stabil; infark

282 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

miokard atau angka kematian secara konsisten turun pada empat


RCT (randomized controlled trial) pada era pre-PCI. Sebuah meta
analisis dari percobaan tersebut menyarankan bahwa pemberian
aspirin (sampai 2 tahun) berhubungan dengan penurunan kejadian
vaskular besar sampai 46%. The Clopidogrel and Aspirin Optimal
Dose Usage to Reduce Recurrent Events Seventh Organization to
Assess Strategies in Ischaemic Syndromes (CURRENT-OASIS 7), yang
memasukkan 25.086 pasien SKA (SKA STEMI dan NSTEMI) melalui
strategi invasif, tidak menemukan perbedaan antara aspirin dosis
tinggi (300-325 mg/hari) dan dosis lebih rendah (75-100 mg/
hari). Dosis loading oral (150-300 mg) aspirin tunggal (formulasi
non-enteric-coated) direkomendasikan, sedangkan dosis intravena
direkomendasikan adalah 150 mg. Pemantauan efeknya tidak
dibutuhkan.1

Aspirin direkomendasikan pada semua pasien STEMI untuk preventif


jangka panjang aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
oleh karena anti iskemik yang serupa dan efek samping yang kurang
dibandingkan dosis yang lebih tinggi.1

Tabel 5. Rekomendasi platelet inhibitor pada NSTE-ACS1

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 283


Syamsu Indra

4. Inhibitor P2Y12
4.1. Clopidogrel
Clopidogrel (dosis loading 300-600 mg dan dosis maintenan 75
mg/hari) merupakan obat inaktif yang membutuhkan oksidasi
oleh sistem hepatiksitokrom P450 (CYP) untuk memulai
metabolit aktif (Tabel 6). Estimasi 85% prodrug dihidrolisis
oleh esterase menjadi gambaran inaktif, menyebabkan
hanya 15% klopidogrel yang tersedia untuk transformasi
menjadi metabolit aktif, yang secara selektif dan ireversibel
menginaktivasi reseptor platelet P2Y12 sehingga menginhibisi
agregasi platelet terinduksi ADP (Gambar 3). Dual antiplatelet
treatment (DAPT) terdiri dari aspirin dan klopidogrel telah
menunjukkan menurunkan kejadian iskemik rekuren pada
NSTE- ACS dibandingkan dengan aspirin sendiri.1
4.2.
Prasugrel.
Prasugrel loading 60 mg dan maintenance dose 10 mg/ hari
adalah prodrug yang memblok irrevesible P2 Y12 reseptor
dengan onset yang lebih cepat yang efek penghambatan lebih
profound dari klopidogrel.
4.3.
Ticagrelor
Ticagrelor adalah dalam benttuk oral, ikatan P2Y12 inhibitor
yang reversible dengan half life 6-12 jam. Ticagrelor juga
menghambat reuptake adenosin via equilabrative nucleoside
transporter 1 (ENT 1). Seperti prasugrel, ticagrelor lebih cepat
onsetnya dibandingkan dengan klopidogrel.1
4.4.
Cangrelor
Cangrelor adalah analog adenosine triphosphate(ATP) intra
vena ikatan yang reversible dengan afinitas tinggi terhadap
platelet P2Y12 reseptor dan mempunyai half life plasma yang
pendek (< 10 menit ).1

284 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

Tabel 6. Inhibitor P2Y12

5. Glycoprotein IIb/IIIa inhibitor


Intra vena GPIIb/IIIa inhibitor memblok agregasi pletelet dengan
penghambatan ikatan fibrinogen ke bentuk aktif dari reseptor
GPIIb/IIIa pada dua platelet yang berdekatan.1

6. Anti koagulan
Anti koagulan digunakan untuk menghambat pembentukan trombin,
untuk menurukan kejadian thrombus. Ada bukti bahwa antikoagulan
efektif menurunkan kejadian iskemik pada NSTEMI dan kombinasi
dengan inhibitor platelet lebih efektif dari pengobatan antikoagulan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 285


Syamsu Indra

sendiri. Beberapa antikoagulan, yang bekerja pada level yang


berbeda dari cascade koagulan nonstemi.1

Gambar 3. Obat anti trombotik untuk NSTE-ACS.1

6.1. Unfractionated heparin.


UFH mempunyai profil farmakokinetik dengan varablitias besar
antar individu. Pemberian secara intravena sesuai dengan berat
badan dengan initial bolus 60-70 IU/kg hingga maksimum 5000
IU, diikuti dengan infus 12-15 IU/kgBB/jam hingga maksimum
1000IU/jam direkomendasikan. UFH digunakan secara luas
digunakan sebagai antikoagulant pada NSTE-ACS dan terbukti
berisiko lebih besar perdarahan dibandingkan dengan strategi
yang lain.1
Low Moleculer weight Heparin (LMWH).
6. 2.
LMWH mempunyai dosis yang lebih prediktable dan jarang
menimbulkan heparin induced trombositopenia (HIT). Yang

286 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

banyak digunakan di NSTE-ACS adalah enoxaparin, 1mg/kg


diberikan subcutan dua kali sehari, sementara dosis dikurangi
sampai 1 mg/kg seka;li sehari jika eGFR <30 ml/min/1,73 m.
Pemantauan aktivitas anti Xa tidak diperlukan, kecuali pada
pasien yang eGFR adalah 15-30 ml/min/1,73 m atau berat
badan lebih dari 100 kg.1
6.3.
Fondafarinux
Parenteral selektif faktor Xa inhibitor fondaparinux vadalah
sintetik penta sakarida yang berikatan reversible dan non
covalently untuk antitrombin dg afinitas yang tinggi, dimana
mencegah pembentukan trombin. Bioavaibilitasnya 100
% setelah injeksi SC dengan half life 17 jam, dosis sekali
sehari, tidak perlu pemantauan aktivitas anti Xa dan tidak
menginduksi HIT. Pada NSTE-ACS, dosis rekomendasi adalah
2,5 mg/hari. Oleh karena eliminasi di ginjal, fondafarinux
dikontraindikasikan jika eGFR <20 ml/min/1,73 m. 1
6.4.
Bivalirudin.
Bivalirudin berikatan laangsung terhadap trombin dan
menghambat trombin menginduksi konversi dari fibrinogen
menjadi fibrin. Bivalirudin tidak dapat berikatan pada protein
plasma dan lebih dapat diprediksi dari pada UFH. Bivalirudin
dieliminasi di ginjal dan waktu paruh 25 menit setelah
penghentian infus. Pada NSTE-ACS pasie, dosis bivalirudin 0,1
mg/kg i.v bolus diikuti dengan infus 0,25 mg/kg/jam pada
ACULTY trial pada 13.819 moderate hingga risiko tinggi NSTE-
ACS pasien yang direncanakan untuk strategi invasif. 1

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 287


Syamsu Indra

Tabel 7. Rekomendasi antikoagulan pada NSTE-ACS1

288 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

2. Invasive coronary angiography dan revaskularisasi pada NSTE-ACS.


Invasive coronary angiography dilakukan jika diindikasikan coronary
revaskularisasi, dilakukan pada pasien yang dirawat dengan NSTE-ACS
pada negara yang sistem kesehatan yang baik. Keputusan untuk invasif
strategy harus dengan cermat dari beratnya risiko diagnostik invasif.,
stratifikasi risiko dan penilaian dari risiko yang berkaitan dengan
revaskularisasi.1

Keputusan untuk revaskularisasi dengan menghitung risiko morbilitas


dan mortalitas yang diakibatkan oleh modalitas (PCI atau CABG) dan
prognosisnya, berkurangnya simptom, kualitas hidup dan lamanya
dirawat di rumah sakit.

Tabel 8. Rekomendasi untuk invasive cor angiography dan revaskularisasi pada


NSTE-ACS.1

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 289


Syamsu Indra

290 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

Tabel 9. Rekomendasi management pasien gagal jantung akut akibat dari NSTE-
ACS.1

Pasien dengan gagal jantung pada STEMI harus dimonitor denyut jantung,
tekanan darah dan urine output. Mekanisme penegakkan diagnosis
gagal jantung harus sesegera mungkin dengan pemeriksaan fisik, EKG,
ekhocardiografi dan bila tidak segera terkontrol, dilakukan monitor
invasif hemodinamik dan koreksi sesegera mungkin. Penggunaan awal
penghambat beta, ACE inhibitor, ARB dan MRA direkomendasikan pada
pasien-pasien hipertensi, hipovolemia atau gangguan disfungsi renal.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 291


Syamsu Indra

Tabel 10. Rekomendasi managemen pasien dengan gagal jantung pada STEMI.4

292 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

Tabel 11. Rekomendasi managemen pasien dengan gagal jantung pada NSTE-
ACS.1

Syok kardiogenik didefinisikan sebagai hipotensi yang persisten (SBP <90


mmHg) dengan tanda-tanda hipoperfusi. Komplikasi ini terjadi sekitar
6-10 % dari semua kasus STEMI, yang berakhir pada kematian dengan
angka kematian di rumah sakit > 50 %. Perawatan bantuan mekanik dan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 293


Syamsu Indra

obat inotropik dipertimbangkan untuk menjaga tekanan darahnya > 90


mmHg.4

Tabel 12. Rekomendasi manajemen syok kardiogenik pada STEMI.4

3. Managemen aritmia dan gangguan konduksi pada fase akut STEMI.


Aritmia dan gangguan konduksi sering terjadi di awal waktu serangan
STEMI dan juga menjadi faktor penting dalam faktor prognostik. Walaupun
peningkatan kewaspadaan dan meningkatkan pelatihan bantuan hidup
dasar dan lanjut tetapi angka kekerapan VT dan VF pada fase sebelum

294 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

rumah sakit masih tinggi. Terapi awal reperfusi menurunkan risiko


4,23

ventrikel aritmia dan kematian.4,24 AV Blok derajat 2 tipe I (mobits 1 atau


wenchebach) AV blok biasanya dijumpai pada infark inferior dan jarang
menyebabkan gangguan hemodinamik.4 Atropin harus diberikan sebagai
lini pertama. Bila gagal, pacemaker menjadi pertimbangan selanjutnya.
Pada AV blok derajat 2 tipe 2 (mobitz II) dan total AV blok merupakan
indikasi untuk pacemaker. Revaskularisasi harus segera dilakukan
pada pasien dengan AV blok yang tidak mendapatkan terapi reperfusi,
contohnya pasien yang terlambat ke rumah sakit.4

4. Komplikasi Mekanik
Komplikasi ini bisa terjadi pada hari pertama serangan STEMI. Walaupun
angka kekerapannya menurun secara bermakna pada era primary PCI.
Komplikasi mekanik mengancam jiwa dan membutuhkan deteksi dini
dan tatalaksana yang baik. Hipotensi mendadak, nyeri dada berulang,
murmur jantung baru memberikan gambaran mitral regurgitasi atau
VSD, kongestif paru atau distensi vena jugularis harus dideteksi sesegera
mungkin. Pemeriksaan ekhokardiografi harus sesegera mungkin
dilakukan saat terjadi komplikasi mekanik. Contoh komplikasi mekanik
adalah ruptur dinding ventrikel, ruptur septal ventrikel dan ruptur
muskulus papilaris.4

5. Perikarditis.
Tiga komplikasi utama perikard yang mungkin terjadi; serangan infark
yang berhubungan perikarditis, pericarditis lanjut atau trauma post
cardiac (dressler syndrome ) atau efusi perikard.4

6. Sinus bradikardi
Sinus bradikardi sering timbul pada awal serangan STEMI, khususnya
infark inferior. Pada beberapa kasus pemberian opioid memberikan
respon yang baik. Jika diikuti hipotensi berat, sinus bradikardi harus
segera diberikan Sulfas Atropin intravena.4,26

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 295


Syamsu Indra

Tabel 13. Rekomendasi mangemen dari Pasien Atrial fibrilasi dengan NSTE-
ACS.1

296 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

Tabel 14. Rekomendasi manajemen dari Pasien Atrial fibrilasi dengan STEMI.4

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 297


Syamsu Indra

Banyak kematian terjadi pada awal onset STEMI disebabkan oleh


fibrilasi ventrikular. Aritmia sering terjadi pada awal kejadian, kematian
ini biasanya terjadi di luar rumah sakit. Ini mengindikasikan bahwa
semua petugas medis dan para medis harus perhatian pada pasien yang
diduga miokard infark dan mempunyai akses peralatan defibrillasi dan
dilatih untuk cardiac life support yang berguna pada First Medical Contact
(FMC), monitoring EKG harus dilakukan segera pada semua pasien yang
diduga miokard infark.

Perlu adanya program kesadaran masyarakat, agar pasien dengan diduga


nyeri dada yang disebabkan karena serangan jantung dapat segera
menghubungi emergency medical system (EMS) dan menunggu untuk
ditransfer ke rumah sakit oleh EMS. Pada pasien henti jantung dengan ST
segment elevasi pada EKG, primary PCI adalah strategi pilihan. Seperti
pada gambar 4.

Gambar 4. Model presentasi ischemic time dan flowchart untuk pemilihan


strategi reperfusi.4

298 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

Terapi Reperfusi.
Primary PCI lebih disukai untuk strategi reperfusi pada pasien STEMI
dengan simptom dalam 12 jam, dilakukan dengan cepat (misalnya 120
menit dari diagnosis STEMI).4

Gambar 5. Maksimal target waktu sesuai dengan pilihan strategi reperfusi pada
pasien yang melalui EMS atau pada pusat non PCI.4

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 299


Syamsu Indra

Tabel 15. Rekomendasi untuk terapi reperfusi.4

Manajemen Sindrom Koroner Akut Berdasarkan American Heart


Association (AHA).27

300 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

Algoritma pada pasien dengan gejala ACS. Sistem kegawatdaruratan


medis pada lingkungan di luar rumah sakit dapat mulai menilai segera
dan melakukan tindakan termasuk memberikan oksigen, aspirin,
nitroglycerine dan morfin jika di perlukan dan melakukan pemeriksaan
EKG 12 lead. Berdasarkan hasil EKG, petugas gawat darurat pada layanan
kegawatdaruratan harus melengkapi check-list terapi fibrinolytic dan
menginformasikan ke departemen gawatdarurat adanya pasien AMI-
STEMI. Petugas gawat darurat harus menilai EKG 12 lead jika ada. Jika
belum dilakukan, segera lakukan pembuatan dan analisa EKG 12 lead
setelah tiba di departemen gawat darurat. Petugas rumah sakit harus
mengkategorikan pasien menjadi 1 dari 3 grup sesuai dengan analisis
dari segmen ST atau adanya Left Bundle Branch Block (LBBB) pada EKG
12 lead. Rekomendasi pengobatan spesifik untuk masing-masing grup
yaitu: STEMI, NSTE-ACS dan Low-/intermediate-risk ACS. Kasus ACS
akan fokus pada reperfusi awal dari pasien-pasien STEMI. Seperti yang
ditunjukkan pada gambar 6.27

Gambar 6. Algoritma Sindrom Koroner Akut.27

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 301


Syamsu Indra

Daftar Pustaka
1. Roffi M et al. ESC Guidelines for management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation. European Heart
Journal (2016) 37: 267-315
2. Li YH et al. Guidelines of the Taiwan Society of Cardiology, Taiwan Society of
Emergency Medicine and Taiwan Society of Cardiovascular Interventions for the
management of non ST-segment elevation acute coronary syndrome. Journal of the
Formosan Medical Association (2019 )117: 766-790
3. Kubica J et al. Treatment of patients with acute coronary syndrome:
Recommendations for medical emergency teams: Focus on antiplatelet therapies.
Updated experts’ standpoint. Cardiol J 2018;25, 3: 291-300.
4. Ibanez B et al. ESC Guidelines for management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal (2017) 00:
1-66
5. Hartley A, Marshall DC, Salciccioli JD, Sikkel MB, Maruthappu M, Shalhoub J. Trends
in mortality from ischemic heart disease and cerebrovascular disease in Europe:
1980 to 2009. Circulation 2016;133(20):1916–1926.
6. Townsend N, Wilson L, Bhatnagar P, Wickramasinghe K, Rayner M, Nichols M.
Cardiovascular disease in Europe: epidemiological update 2016. Eur Heart J
2016;37(42):3232–3245.
7. Sugiyama T, Hasegawa K, Kobayashi Y, Takahashi O, Fukui T, Tsugawa Y.
Differential time trends of outcomes and costs of care for acute myocardial
infarction hospitalizations by ST elevation and type of intervention in the United
States, 2001 2011. J Am Heart Assoc 2015;4(3):e001445.
8. McManus DD, Gore J, Yarzebski J, Spencer F, Lessard D, Goldberg RJ. Recent trends
in the incidence, treatment, and outcomes of patients with STEMI and NSTEMI. Am
J Med 2011;124(1):40–47.
9. Eisen A et al. Updates on acute coronary syndrome a review. JAMA Cardiol. 2016;
1(6):718-730
10. Jernberg T. Swedeheart Annual Report 2015. In: Karolinska University Hospital,
Huddinge, 14186 Stockholm; 2016.
11. Widimsky P et al European Association for Percutaneous Cardiovascular
Interventions. Reperfusion therapy for ST elevation acute myocardial infarction
in Europe: description of the current situation in 30 countries. Eur Heart J
2010;31(8):943–957.
12. Widimsky P et al. The year in cardiology 2018: acute coronary syndromes.
European Heart Journal (2019) 40: 271-282
13. Angelini G et al. Matrix metalloproteinase-9 might affect adaptive immunity in
non-ST segment elevation acute coronary syndromes by increasing CD31 cleavage
on CD4þ T-cells. Eur Heart J 2018;39: 1089–1097.
14. Partida RA, Libby P, Crea F, Jang IK. Plaque erosion: a new in vivo diagnosis

302 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Terkini Sindrom Koroner Akut

and a potential major shift in the management of patients with acute coronary
syndromes. Eur Heart J 2018;39:2070–2076.
15. Dai J, et al. In vivo predictors of plaque erosion in patients with ST-segment
elevation myocardial infarction: a clinical, angiographical, and intravascular optical
coherence tomography study. Eur Heart J 2018;39:2077–2085.
16. Sugiyama T, Yamamoto E, Bryniarski K, Xing L, Lee H, Isobe M, Libby P, Jang IK.
Nonculprit plaque characteristics in patients with acute coronary syndrome caused
by plaque erosion vs plaque rupture: a 3-vessel optical coherence tomography
study. JAMA Cardiol 2018;3:207–214.
17. Pedicino D, et al. Alterations of hyaluronan metabolism in acute coronary syndrome:
implications for plaque erosion. J Am Coll Cardiol 2018;72:1490–1503.22.
18. Thygesen K, et al.. Fourth universal definition of myocardial infarction (2018).
Circulation 2018;138.e618-e651
19. Mueller C. Biomarkers and acute coronary syndromes: an update. Eur Heart J
2014;35:552–556.
20. Mockel M, et al. Early discharge using single cardiac troponin and copeptin
testing in patients with suspected acute coronary syndrome (ACS): a randomized,
controlled clinical process study. Eur Heart J 2015;36:369–376.
21. Bandstein N, Ljung R, Johansson M, Holzmann MJ. Undetectable high-sensitivity
cardiac troponin T level in the emergency department and risk of myocardial
infarction. J Am Coll Cardiol 2014;63:2569–2578.
22. Stub D, et al. Air versus oxygen in ST-segment-elevation myocardial infarction.
Circulation 2015;131:2143–2150.
23. Gorenek B, et. al. European Heart Rhythm Association, Acute Cardiovascular Care
Association, European Association of Percutaneous Cardiovascular Interventions.
Cardiac arrhythmias in acute coronary syndromes: position paper from the joint
EHRA, ACCA, and EAPCI task force. Europace 2014;16(11):1655–1673.
24. Nalliah CJ, Zaman S, Narayan A, Sullivan J, Kovoor P. Coronary artery reperfusion
for ST elevation myocardial infarction is associated with shorter cycle length
ventricular tachycardia and fewer spontaneous arrhythmias. Europace
2014;16(7):1053–1060.
25. Liang JJ, Fender EA, Cha YM, Lennon RJ, Prasad A, Barsness GW. Long-term
outcomes in survivors of early ventricular arrhythmias after acute ST-elevation
and non-ST-elevation myocardial infarction treated with percutaneous coronary
intervention. Am J Cardiol 2016;117(5):709–713.
26. Chen A, Ashburn MA. Cardiac effects of opioid therapy. Pain Med 2015;16 (Suppl
1):S27–31.
27. Donino MW et al. Advanced Cardiovascular Life Support. American Heart
Association (2016): 59-72

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 303


Terapi Intervensi pada Sindrom Koroner Akut
Eka Ginanjar
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian nomor satu di


Eropa dan AS begitupun di Indonesia baik pada laki-laki maupun perempuan.
Angka kesakitan dan kematian PJK di Indonesia meningkat progresif selama
20 tahun terakhir. Intervensi koroner perkutan dalam hal ini angioplasty
pertama kali dilakukan oleh andreas Gruentzig pada tahun 1977 di Zurich.1

PCI
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau Percutaneos Coronary Intervensi
(PCI) adalah terminology yang digunakan untuk menerangkan berbagai
prosedur secara mekanik berfungsi untuk meningkatkan perfusi aliran
miokard tanpa melakukan pembedahan. Prosedur lainnya dalah PTCA -
Balonisasi. Balonisasi biasanya diikuti dengan implantasi stent pada pembuluh
darah koroner untuk mecegah restenosis.

Pada awalnya tindakan percutaneous transluminal angioplasty (PTCA)


hanya dilakukan pada satu pembuluh darah saja, pada pasien dengan PJK
stabil dengan anatomi koroner yang sesuai maka PCI dapat dilakukan pada
satu atau lebih pembuluh darah (multi vessel), resiko kematian oleh tindakan
ini berkisar 0,3-1 % .

Sampai saat ini ada 3 penelitian yang membandingkan IKP dengan terapi
medis. Pasien dengan penyakit arteri coroner yang luas (multivessel) dengan
fungsi ventrikel kiri yang buruk memiliki survival yang lebih lama setelah
operasi CABG. Pada pasien PJK stabil. Tidakan IKP hanya dilakukan pada
pasien dengan keluhan iskemik yang menetap.

Pemasangan Stent Elektif dan DES


Pemasangan stent dapat mengurangi angka kejadian re-stenosis dan
PCI berulang dibandingkan dengan tindakan ballon angioplasty. Saat ini
terdapat stent yang dilapisi obat (DES) yang menghasilkan manfaat yang lebih
besar dibandingkan dengan pintas coroner. Studi RAVEL pada tahun 2002
mengatakan bahwa kejadian Major Adverse Cardiac Event (MACE) pasien PJK

304 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Intervensi pada Sindrom Koroner Akut

pada DES group sebanyak 5,8% hal ini sangat jauh jika dibandingkan dengan
stent standard yang angka kejadian MACE sebanyak 20.8%.

Gambar 1. DES (drug eluting stent)

Intervensi Koroner pada SKA


1. NSTEMI
Pada NSTEMI dan Angina pectoris tidak stabil, tindakan IKP bertujuan
untuk mengurangi kejadian morbiditas dan mortalitas coroner.
Pengobatan NTSEMI didasarkan pada stratifikasi risiko pasien

Sedangkan algoritma penatalaksaan NSTEMI berdasarkan stratifikasi


risiko untuk dilakukan terapi intervensi dapat dilihat dari bagan berikut3

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 305


Eka Ginanjar

2. STEMI
STEMI didefinisikan sebagai pasien dengan riwayat nyeri dada yang
khas, dan pada EKG ditemukan peningkatan segmen ST yang menetap
atau LBBB baru. Strategi reperfusi berupa IKP telah menjadi modalitas
pengobatan yang sangat penting pada pasien STEMI. 4

Rekomendasi IKP/PCI pada pasien STEMI

306 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Intervensi pada Sindrom Koroner Akut

Symptom Onset Primary PCI Fibrinolytic


0 – 3 hours  
3 – 12 hours  
> 12 hours  

IKP Primer Didefinisikan sebagai Tindakan Intervensi pada Culprit


Vessel dalam 12 Jam setelah Onset Nyeri Dada. 4
Tindakan IKP pada STEMI dapat disimpulkan bahwa setiap usaha dan
cara harus dilakukan untuk mengurangi keterlambatan antara serangan
pertama nyeri dada dan memulai tindakan reperfusi yang efektif dan aman
pada pasien. Pengurangan waktu total iskemik adalah hal yang sangat penting
tidak hanya untuk tindakan trombolitik tetapi juga untuk tindakan PCI primer.
Mengurangi waktu dari mulai serangan pertama nyeri dada dan segera
memulai tindakan pengobatan secara bermakna akan meningkatkan hasil
akhir klinis. Usaha-usaha tersebut meliputi edukasi pasien dan memperbaiki
organisasi dari penyediaan ambulans begitu juga mengoptimalkan prosedur
dalam rumah sakit atau praktik pribadi. Tentu saja tindakan IKP primer
dianjurkan dan seluruh usaha harus dilakukan untuk memperpendek waktu
antara kontak pertama terhadap medis dan tindakan IKP sebaiknya di
bawah 90 menit, misalnya dengan langsung mengirim pasien STEMI ke unit
kateterisasi tanpa melalui unit gawat darurat (UGD) agar waktu 90 menit ini
dapat dicapai atau berkurang.4

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 307


Eka Ginanjar

Kontraindikasi  PCI1
Mutlak: peralatan dan fasilitas yang kurang memadai
Relatif:
1. CHF yang tidak terkontrol, Tekanan darah tinggi, aritmia
2. Gangguan elekrolit
3. Infeksi (demam)
4. Gagal ginjal
5. Perdarahan saluran cerna akut/anemia
6. Stroke baru (< 1 bulan)
7. Intoksikasi obat-obatan (seperti: Kontras )
8. Pasien yang tidak kooperatif
9. Usia kehamilan kurang dari 3 bulan

308 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Intervensi pada Sindrom Koroner Akut

Komplikasi
Utama:
1. Diseksi aorta
2. Perforasi, tamponade
3. Gagal jantung
4. Reaksi kontras (alergi, nefrotoksik)
5. Gangguan hantaran irama (blok)
6. Perdarahan
7. Infeksi
8. Gangguan vaskuler (pseudoaneursma)

Lainnya:
1. Kematian (< 0.2 %)
2. Stroke (< 0.5 %)
3. Infark Miokard (< 0.5 %)
4. Takikardi ventrikel, dan aritmia utama lainnya (<1 %)

Ilustrasi Tehnik PCI5

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 309


Eka Ginanjar

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik Klinis
dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Indonesia
Heart Association; 2016.
2. Morice mc serruys p w. sousa. A RANDOMIZED COMPARISON OF A
SIROLIMUS-ELUTING STENT WITH A STANDARD STENT FOR CORONARY
REVASCULARIZATION. 2002;346(23):1773–80.
3. Braunwald E, Antman EM, Beasley JW, Califf RM, Cheitlin MD, Hochman JS, et al.
ACC/AHA 2002 guideline update for the management of patients with unstable
angina and non-ST-segment elevation myocardial infarction - Summary article:
A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidel [Internet]. Journal of the American College of Cardiology.
Elsevier Masson SAS; 2002. p. 1366–74.
4. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H, et al. 2017
ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J. 2018 Jan;39(2):119–77.
5. Nakashima T, Tahara Y. Achieving the earliest possible reperfusion in patients with
acute coronary syndrome: a current overview. J Intensive Care. 2018 Mar;6(1):20.
Available from: https://doi.org/10.1186/s40560-018-0285-9

310 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Kemoterapi dan Efek Samping
Andi Fachruddin Benyamin, Dimas Bayu
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo - Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Pendahuluan
Kemoterapi merupakan suatu metode sistemik pada tatalaksana
penyakit keganasan, selain terapi pembedahan dan radiasi yang bersifat
lokal. Sifatnya yang sistemik memungkinkan kemoterapi untuk disebarkan ke
seluruh tubuh sehingga direkomendasikan untuk keganasan yang menyebar
ke beberapa lokasi dalam tubuh atau kondisi tumor tidak dapat diangkat
melalui pembedahan. Kemoterapi juga digunakan jika terjadi rekurensi
setelah terapi awal menggunakan radiasi. Pada kasus dimana dibutuhkan
untuk menyelamatkan fungsi organ, maka dipilih talaksana kemoterapi.

Obat-obatan kemoterapi bekerja dengan mengintervensi sintesis DNA


dan pembelahan sel (mitosis) untuk membunuh sel-sel kanker (pada fase S
maupun fase S dari siklus sel). Tiap jenis obat bekerja melalui mekanisme
yang berbeda. Beberapa dengan menghancurkan materi genetik sel (DNA) dan
beberapa mencegah sel untuk membelah. Kemoterapi, walaupun dirancang
untuk mengenali sifat dari sel-sel kanker (misalnya dengan laju mitosis yang
cepat), tidak dapat membedakan dengan pasti antara sel-sel kanker dengan
sel-sel yang masih sehat sehingga dapat terjadi toksisitas. Toksisitas terhadap
obat-obat kemoterapi ini menyebabkan terjadinya efek samping. Walau
demikian sel-sel normal akan dapat memperbaiki sendiri sehingga dampak
akibat kemoterapi jarang bersifat permanen.

Pada beberapa kasus keganasan kemoterapi saja dapat digunakan


dengan tujuan untuk membunuh sel-sel kanker dan menyembuhkan kanker
(terapi primer). Selain itu kemoterapi juga dapat diberikan sebagai terapi
ajuvan untuk meningkatkan efektifitas terapi kanker. Kemoterapi adjuvan
diberikan untuk membunuh sel-sel kanker yang dapat terdeteksi secara
klinis, dengan tujuan meminimalisasi risiko terjadinya kekambuhan atau
memperpanjang kesintasan. Kemoterapi juga dapat diberikan sebelum suatu
tindakan pembedahan untuk mengangkat suatu tumor dengan tujuan untuk
meminimalisasi risiko dan meningkatkan keberhasilan tindakan pembedahan
tersebut (terapi neo-ajuvan). Jika kesembuhan tidak dimungkinkan, maka

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 311


Andi Fachruddin Benyamin, Dimas Bayu

kemoterapi dapat diberikan untuk mengurangi rasa tidak nyaman maupun


nyeri yang disebankan oleh perkembangan kanker atau untuk menghambat
pertumbuhan kanker sehungga dapat memperpanjang harapan hidup dan
memperbaiki kualitas hidup pasien (terapi paliatif).

Jenis-jenis Kemoterapi
Dalam pemberian kemoterapi, pasien kanker dapat diberikan lebih dari
satu jenis obat. Obat kemoterapi yang berbeda merusak sel-sel kanker melalui
jalur pada fase-fase yang berbeda dalam siklus sel. Pemberian kombinasi ini
ditujukan untuk meningkatkan efektifitas suatu kemoterapi. Berikut ini adalah
beberapa kategori obat-obatan kemoterapi berdasarkan struktur kimia dan
cara kerjanya pada sel-sel kanker.

Agen alkilasi, merupakan salah satu obat anti-kanker yang pertama kali
dan tersering digunakan hingga saat ini. Agen alkilasi bekerja secara langsung
pada DNA, menyebabkan tautan silang pada untaian DNA, pemasangan basa
yang abnormal atau pemutusan untaian DNA sehingga mencegah pembelahan
sel. Meskipun agen alkilasi dapat digunakan pada sebagian besar kasus
keganasan namun lebih efektif pada kanker yang perkembangannya lambat.
Contoh agen alkilasi adalah klorambusil, siklofosfamid dan busulfan.

Antimetabolit, menggantikan substansi alami pada molekul DNA


sehingga mengubah fungsu enzim yang dibutuhkan dalam metabolisme dan
sintesis protein. Antimetabolit besifat spesisik terhadap fase sel, dalam hal
ini fase S. Toksisitas akibat obat jenis ini dijumpai pada sel-sel dengan proses
pertumbuhan dan pembelahan yang cepat. Contoh antimetabolit adalah
antagonis purin, antagonis pirimidin dan antagonis folat.

Plant alkaloids, merupakan antitumor yang diderivat dari tumbuhan,


bekerja secara spesifik dengan mencegah pembelahan sel. Alkaloid paling
efektif bekerja pada fase S dan fase M. Contoh dari plant alkaloids adalah
doksirubisin dan mitomisin. Antibiotik antitumor, merupakan kemoterapi
yang tidak spesifik pada fase sel tertentu, dengan berikatan pada DNA dan
mencegah sintesis RNA yang penting untuk sistesis protein yang dibutuhkan
untuk kesintasan sel. Antiobiotik antitumor berbeda dengan antibiotik untuk
menangani infeksi bakteri. Contoh antibiotik antitumor adalah doksorubisin,
mitoksantron dan bleomisin

312 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Kemoterapi dan Efek Samping

Efek Samping Kemoterapi


Dalam menentukan terapi bagi penderita keganasan sangat penting
untuk menentukan jumlah obat anti kanker yang tepat dan optimal. Dosis
yang besar akan membunuh lebih banyak sel-sel kanker namun dengan efek
samping yang lebih besar pula. Menurunkan dosis akan menurunkan efek
samping namun juga menurunkan efektifitas pengobatan.

Efek samping kemoterapi disebabkan oleh efek membunuh sel yang


dimiliki oleh obat-obatan anti-kanker. Obat-obatan kemoterapi dapat
berdampak pada sel-sel kanker maupun pada sel-sel normal. Sel-sel kanker
ditandai dengan pertumbuhan dan pembelahan yang lebih cepat dari sel-
sel normal. Namun demikian sel-sel normal yang memiliki karakteristik
pertumbuhan yang cepat kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh
kemoterapi. Sel-sel tersebut antara lain sel-sel darah yang terbentuk di
sumsum tulang, sel-sel di saluran pencernaan, sistem reproduksi dan folikel
rambut. Efek samping kemoterapi umumnya berupa kelelahan, mual, diare,
sariawan, rambut rontok, dan anemia.

Myelosupresi
Sumsum tulang menghasilkan beberapa jenis sel darah yang penting
bagi tubuh. Karakteristiknya yang terus menerus membelah menyebabkan
sumsum tulang rentan terhadap efek kemoterapi. Prekursor sel-sel darah
menghasilkan tiga komponen darah yaitu sel darah merah, sel darah putih
dan trombosit. Penurunan kadar salah satu atau seluruh komponen darah ini
dapat menyebabkan efek samping spesifik. Efeksamping ini disebut sebagai
myelosupresi.

Kelelahan adalah salah satu efek samping kemoterapi yang paling umum.
Anemia merupakan salah satu penyebabnya dimana perasaan lesu, pusing,
lemah, dan sesak napas merupakan gejala umum anemia. Kelelahan juga
dapat disebabkan oleh banyaknya energi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
pulih dari efek obat-obatan, membuang sel-sel mati dan membangun sel-sel
baru. Faktor-faktor lain, seperti nyeri, kurang nafsu makan, kurang istirahat,
dan stres emosional juga dapat menyebabkan kelelahan pasien.

Beberapa tanda umum infeksi, seperti demam, nyeri tenggorokan, dan


luka yang tidak sembuh atau meradang, dapat dialami oleh pasien kanker
akibat kemampuan tubuh untuk melawan infeksi menjadi terganggu karena

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 313


Andi Fachruddin Benyamin, Dimas Bayu

menurunnya jumlah sel darah putih. Salah satu efek samping yang serius
akibat penurunan sel darah putih ini dikenal sebagai febrile neutropenia.

Trombosit berperan penting dalam penyembuhan luka dan pembekuan


darah. Penurunan jumlah trombosit akibat kemoterapi meningkatkan
risiko perdarahan. Perdarahan spontan dan maupun perdarahan dibawah
kulit merupakan tanda dan gejala dari efek samping ini. Efek samping
seperti pendarahan hidung, gusi berdarah, darah dalam urin atau feses dan
menstruasi yang berat dapat dialami oleh pasien yang menerima kemoterapi.

Mual dan Muntah akibat Kemoterapi


Mual dan muntah akibat kemoterapi (Chemotherapy induced Nausea and
Vomiting; CINV) adalah efek samping yang paling ditakuti oleh pasien yang
menjalani kemoterapi kanker. Mual dan muntah terjadi ketika obat-obatan
merangsang kemoreseptor. Cemas berlebihan dalam penghadapi rencana
pengobatan juga dapat mengaktifkan kemoreseptor ini. Efek obat pada sel-sel
dengan pertumbuhhan yang cepat di saluran cerna juga dapat menyebabkan
mual dan muntah. Diare juga dapat muncul sebagai akibat dari kerusakan
langsung pada lapisan usus oleh beberapa obat anti kanker. Obat anti mual
juga dapat menyebabkan diare

Meskipun tatalaksana pencegahan untuk mengendalikan mual dan


muntah yang diinduksi kemoterapi akut (CINV) saat ini cukup efektif pada
kebanyakan pasien, efek samping CINV yang tertunda lebih sulit untuk
dikelola. Tinjauan oleh Rapoport dkk, menggambarkan patogenesis, kejadian
dan pengobatan saat ini dari CINV yang tertunda, dan menyoroti bahwa
gejala ini sering diremehkan dan sering tidak terkontrol, bahkan ketika CINV
akut telah dikelola dengan optimal. Pelepasan substansi P dan pengaruhnya
terhadap reseptor neurokinin-1 (NK-1) merupakan langkah utama dalam
pengembangan tatalaksana CINV yang tertunda.

Alopesia
Seperti halnya pada sel-sel lain dengan karakteristik pertumbuhan dan
pembelahan sel yang cepat, sel-sel normal pada folikel rambut juga dapat
terkena dampak dari kemoterapi sehingga menyebabkan kemrontokan
rambut (alopesia). Kerontokan rambut bisa berakibat sangat berdampak bagi
pasien, utamanya pasien perempuan. Walaupun alopesia umumnya bersifat
sementara namun dibutuhkan persiapan bagi pasien untuk menghadapi

314 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Kemoterapi dan Efek Samping

kondisi ini terutama jika direncanakan penggunaan obat-obatan dengan efek


samping tersebut.

Perubahan Emosi
Perubahan suasana hati dan emosi dapat terjadi pada pasien kanker yang
menjalani kemoterapi. Perasaan kehilangan kontrol, kehilangan aktivitas
normal sehari-hari dan ketakutan akan hal yang tidak diketahui, ditambah
dengan efek samping yang ditimbulkan oleh kemoterapi, dapat mempengaruhi
kesehatan mental pasien. Pasien kanker yang menjalani kemoterapi bisa
merasa marah, tertekan, cemas, takut, bingung, menjadi pelupa dan gelisah.

Menghadapi Efek Samping


Faktor-faktor seperti jenis dan besarnya dosis obat serta kondisi pasien
kanker yang menerima kemoterapi dapat menentukan jenis dan tingkat efek
samping yang dialami pasien kanker. Setiap pasien memberikan reaksi yang
berbeda-beda terhadap kemoterapi. Beberapa orang mengalami sedikit efek
samping, sementara yang lain mungkin mengalami lebih banyak. Beberapa
pasien mungkin mengalami mual dan muntah yang sangat tidak menyenangkan
sementara pasien lain mungkin tidak mengalami mual dan muntah selama
perawatan. Di lain pihak, beberapa pasien mungkin merasa lesu ringan akibat
kemoterapi, tetapi beberapa pasien mungkin merasa benar-benar kehilangan
kemampuah untuk beraktifitas.

Untuk menghadapi efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh


kemoterapi, pasien kanker perlu mendapat informasi, mengetahui apa yang
diharapkan dapat membantu pasien untuk siap menangani efek samping
yang mungkin muncul. Gaya hidup mereka atau kebiasaan makan dapat
membuat beberapa efek samping lebih dapat ditoleransi. Obat-obatan juga
dapat diberikan untuk mengatasi efek samping tertentu. Sebagian besar efek
samping secara bertahap akan hilang begitu kemoterapi berakhir karena sel-
sel normal biasanya akan pulih ketika kemoterapi berakhir.

Daftar Pustaka
1. Takimoto CH, Calvo E. 2008. Principles of Oncologic Pharmacotherapy. In Pazdur
R, Wagman LD, Camphausen KA, Hoskins WJ (eds.)
2. Malhotra V, Perry MC. 2003. Classical Chemotherapy: Mechanisms, Toxicities and
the Therapeutc Window. Cancer Biol Ther. 2, Sup 1
3. Corrie PG, Pippa G. 2008. Cytotoxic chemotherapy: clinical aspects. Medicine. 36, 1

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 315


Andi Fachruddin Benyamin, Dimas Bayu

4. Epstein RJ. 2005. Maintenance therapy to suppress micrometastasis: the new


challenge for adjuvant cancer treatment. Clinical Cancer Research.
5. Gibson RJ, Keefe DM .2006. Cancer chemotherapy-induced diarrhoea and
constipation: mechanisms of damage and prevention strategies. Supportive Care
in Cancer. 14, 9
6. Gill, Paula; Grothey, Axel; Loprinzi, Charles. 2006. Nausea and Vomiting in the
Cancer Patient. Oncology
7. Can G, Demir M, Erol O, Aydiner A. 2013. A comparison of men and women's
experiences of chemotherapy-induced alopecia. European Journal of Oncology
Nursing. 17. 3
8. Del Pino BM. 2010. Chemotherapy-induced Peripheral Neuropathy. NCI Cancer
Bulletin. 7, 4
9. Hanahan D, Weinberg RA .2000. The hallmarks of cancer. Cell. 100
10. Makin G, Hickman JA. 2000. Apoptosis and cancer chemotherapy. Cell Tissue Res.
301, 1
11. Zitvogel L, Apetoh L, Ghiringhelli F, Kroemer G .2008. Immunological aspects of
cancer chemotherapy. Nature Rev. Immunology. 8, 1

316 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Konsep Dasar Ventilasi Mekanik
Arifin
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Moewardi - Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Pendahuluan
Pernapasan spontan, atau ventilasi spontan merupakan proses
perpindahan udara dari lingkungan luar tubuh ke dalam paru-paru. Ventilasi
spontan dilakukan dengan kontraksi otot pernafasan, yang menyebabkan
dinding toraks atau rongga dada mengembang. Selama inspirasi diafragma
turun dan otot-otot interkostal eksternal mengangkat tulang rusuk sedikit,
yang mengakibatkan semakin besarnya rongga thorak. Akibatnya tekanan
intratoraks turun sehingga akan terjadi aliran udara dari luar ke dalam paru
paru. Respirasi merupakan proses pertukaran gas O2 dan CO2 yang terjadi
di alveolus dalam paru-paru. Alveolus merupakan kantong udara di ujung
percabangan bronkus dalam paru-paru. O2 berdifusi melalui dinding alveolus
menembus pembuluh darah dan CO2 berdifusi ke luar pembuluh darah.

Diafragma adalah otot utama untuk inspirasi, bersama dengan otot


interkosta. Ketika otot-otot pernapasan mengalami paralisis, bernapas
menjadi sulit bahkan tidak mungkin. Ventilasi mekanik mengambil alih proses
ventilasi dan memudahkan pernapasan dengan membantu otot pernapasan
yang mengalami paralisis. Otot abdomen juga penting dalam proses ekspirasi
dan batuk. Otot ekspirasi pernapasan yang lemah menghasilkan batuk yang
lemah juga ketidakmampuan pengeluaran sekret yang dapat menyebabkan
infeksi saluran pernapasan dan penumonia

Ventilasi mekanik adalah modalitas yang berguna untuk pasien yang


tidak dapat mempertahankan tingkat ventilasi yang diperlukan untuk
mempertahankan fungsi pertukaran gas (oksigenasi dan eliminasi karbon
dioksida). Bantuan ventilasi mekanik bisa sebagian atau seluruhnya dengan
menggunakan ventilator.

Jenis Ventilator
Ada 2 jenis ventilator:
1. Ventilator tekanan negatif (Negative Pressure Ventilation)
2. Ventilator tekanan positif (Positive Pressure Ventilation)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 317


Arifin

Ventilator tekanan negatif


Ventilator tekanan negatif merupakan ventilator original. Prinsipnya
adalah mengeluarkan dan mengganti gas dari chamber ventilator. Ventilator
ini tidak memerlukan konektor ke jalan nafas (ETT), karena ventilator ini
membungkus tubuh. Namun ventilator jenis ini tidak dipakai lagi karena
menimbulkan suara bising dan susah perawatannya. Namun ventilator jenis
ini yang paling fisiologis untuk manusia karena prinsipnya berdasarkan
tekanan negatif seperti halnya nafas spontan.

Ventilator Tekanan Positif


Mulai digunakan saat epidemi polio th 1955 di Denmark. Ventilator
tekanan positif memerlukan jalan nafas buatan (ETT, trakeostomi), dengan
prinsip menggunakan tekanan positif untuk mendorong oksigen ke dalam
paru-paru pasien. Inspirasi dapat dimulai oleh waktu atau trigger pasien.

Berdasarkan mekanisme kerjanya ventilator mekanik tekanan positif


dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu : Volume Cycled, Pressure Cycled, Time
Cycled, Flow Cycled.

Volume Cycled Ventilator


Volume cycled merupakan jenis ventilator yang paling sering digunakan
di ruangan unit perawatan kritis. Perinsip dasar ventilator ini adalah siklusnya
berdasarkan volume. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah

318 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Konsep Dasar Ventilasi Mekanik

mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan tipe ini adalah perubahan


pada komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.

Pressure Cycled Ventilator


Perinsip dasar ventilator tipe ini adalah siklusnya menggunakan tekanan.
Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang
telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi
terjadi dengan pasif. Kerugian pada tipe ini bila ada perubahan komplain
paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah.

Time Cycled Ventilator


Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah siklusnya berdasarkan
waktu ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi
ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit).
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi) 1 : 2.

Flow Cycled Ventilator


Memberikan napas/ menghantarkan oksigen berdasarkan kecepatan
aliran yang sudah diset.

Kontrol Panel pada Ventilator


Kontrol panel pada ventilator yang perlu diketahui terdiri dari tiga bagian
yaitu:
1. Control setting (tombol pengatur) untuk menentukan jenis dan volume
ventilasi atau oksigen yang diberikan.
2. Alarm setting (tombol alarm) untuk menentukan volume tertinggi dan
terendah oksigen yang diberikan.
3. Visual-display (Tampilan monitor)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 319


Arifin

Angka-angka dan konfigurasi tombol pengaturan serta tampilan monitor


bermacam-macam sesuai dengan model ventilator tetapi fungsi dan prinsip-
prinsipnya tetap sama.

Control Settings (Tombol Pengatur)


Pada bagian tombol pengatur memungkinkan klinisi mengatur model
ventilasi, volume, tekanan, kecepatan respirasi, FiO2, positif-end-expiratory
pressure (PEEP)/tekanan positif akhir ekspirasi), kekuatan sensitivitas
inspirasi atau usaha inspirasi, dan option-option lainnya yang berkaitan
dengan pemberian oksigen.

Alarm-Settings
Alarm yang memantau fungsi ventilator penting untuk menjamin
keamanan dan keefektifan ventilasi mekanik. Dipasang alarm untuk
menetapkan batas tertinggi dan terendah yang diinginkan. Alarm-alarm
tersebut meliputi Vt ekspirasi, volume semenit ekspirasi, pemberian FiO2,
frekuensi pernapasan dan tekanan jalan napas.

Visual-Display
Tekanan jalan napas, frekuensi pernapasan, volume ekpirasi, dan rasio
inspirasi/ekpirasi (EE) adalah nilai-nilai yang ditampilkan pada visual-
display ventilator. Kadang ditampilkan berupa kurva baik itu aliran udara
(flow), tekanan maupun menit volume.

Indikasi Ventilasi Mekanik


Tindakan intubasi dan memulai ventilasi mekanik merupakan hal yang
rumit untuk diputuskan. Sebelum melakukan hal tersebut, ada beberapa hal
yang harus dipahami dengan baik, antara lain:
1. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik harus dipertimbangkan dengan
baik. Ada kecenderungan untuk menunda intubasi dan ventilasi mekanik
sebisa mungkin dengan harapan hal tersebut tidak perlu dilakukan.
Namun, intubasi yang terencana lebih kurang bahayanya dibandingkan
intubasi emergensi, di samping itu penundaan intubasi dapat
menyebabkan bahaya bagi pasien yang sebenarnya dapat dihindari.
Bila kondisi pasien dinilai cukup parah dan membutuhkan intubasi
dan ventilasi mekanik dengan segera, maka jangan menunda untuk
melakukan tindakan tersebut.

320 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Konsep Dasar Ventilasi Mekanik

2. Intubasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang


kompeten untuk melakukannya.
3. Penggunaan ventilator tidak menyebabkan seseorang mengalami
ketergantungan. Anggapan bahwa sekali kita menggunakan ventilator
maka selamanya akan tergantung pada ventilator merupakan hal yang
tidak benar.

Indikasi intubasi atau ventilasi mekanik:


1. Kegagalan oksigenasi
2. Kegagalan ventilasi
3. Kerja pernafasan (work of breathing) yang berlebihan
4. Fasilitas diagnostik, pembedahan dan prosedur terapeutik
5. Proteksi jalan nafas atas pada kasus obstruksi
Misalnya pada laryngitis
difteri, trauma muka/leher.

Pengaturan Ventilasi Mekanik (Setting)


Pengaturan ventilator biasanya berbeda-beda tergantung kondisi pasien.
Kondisi pasien akan menentukan mode apa yang akan dipakai. Beberapa
parameter yang harus diatur ketika mensetting ventilator antara lain:

Laju Pernapasan (Respiratory Rate)


Frekuensi nafas (RR) adalah jumlah nafas yang diberikan ke pasien
setiap menitnya. Setting RR tergantung dari volume tidal, jenis kelainan paru
pasien, dan target PaCO2 pasien. Secara umum, rentang frekuensi pernapasan
berkisar antara 4 sampai 20 kali tiap menit dan pada sebagian besar pasien-
pasien yang stabil, berkisar antara 8 sampai 12 kali tiap menit.

Volume Tidal
Volume tidal merupakan jumlah gas yang dihantarkan oleh ventilator
ke pasien setiap kali bernapas. Umumnya disetting antara 8 - 10 cc/kgBB,
tergantung dari compliance, resistance, dan jenis kelainan paru. Pasien dengan
paru normal mampu mentolerir volume tidal 10-15 cc/kgBB, sedangkan
untuk pasien PPOK cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Pada beberapa kasus, volume
tidal harus lebih rendah terutama pada sindroma distres pernapasan akut
yaitu 4-6 cc/KgBB.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 321


Arifin

Tekanan Inspirasi
Pada ventilasi tekanan terkontrol (PCV) dan ventilasi pressure- support,
tekanan inspirasi diatur sedemikian rupa sehingga tekanan plato kurang
atau sama dengan 35 cm H2O. Volume tidal juga harus dipertahankan pada
rentang yang telah ditetapkan sebelumnya.

Fraksi Oksigen Terinspirasi (FiO2)


Pada sebagian besar kasus, FiO2 harus 100% pada saat pasien diintubasi
dan dihubungkan dengan ventilator untuk pertama kali. Ketika penempatan
pipa endotrakea sudah ditetapkan dan pasien telah distabilisasi, FiO2 harus
diturunkan sampai konsentrasi terendah yang masih dapat mempertahankan
saturasi oksigen hemoglobin, karena konsentrasi oksigen yang tinggi
dapat menyebabkan toksisitas pulmonal. Tujuan utama ventilasi adalah
mempertahankan nilai saturasi 90 % atau lebih. Kadang-kadang nilai tersebut
bisa berubah, misalnya pada keadaan-keadaan yang membutuhkan suatu
proteksi terhadap paru-paru dari volume tidal, tekanan dan konsentrasi
oksigen yang terlalu besar. Pada keadaan ini, target saturasi oksigen dapat
diturunkan sampai 85% saat faktor-faktor yang berperan pada penyaluran
oksigen sedang dioptimalkan.

Tekanan Positif Akhir Ekspirasi (Postive End-Expiratory Pressure/


PEEP)
Sesuai dengan namanya, PEEP berfungsi untuk mempertahankan tekanan
positif jalan napas pada tingkatan tertentu selama fase ekspirasi. PEEP
dibedakan dari tekanan positif jalan napas kontinyu (continuous positive airway
pressure/ CPAP) berdasarkan saat digunakannya. PEEP hanya digunakan
pada fase ekspirasi, sementara CPAP berlangsung selama siklus respirasi.
Penggunaan PEEP selama ventilasi mekanik memiliki manfaaat yang banyak.
Pada gagal napas hipoksemia akut, PEEP meningkatkan tekanan alveolar
rata-rata, meningkatkan area reekspansi atelektasis dan dapat mendorong
cairan dari ruang alveolar menuju interstisial sehingga memungkinkan
alveoli yang sebelumnya tertutup atau terendam cairan, untuk berperan serta
dalam pertukaran gas. Pada edema kardiopulmonal, PEEP dapat mengurangi
preload dan afterload ventrikel kiri sehingga memperbaiki kinerja jantung.
Penggunaan PEEP yang terlalu tinggi akan meningkatkan risiko barotrauma,
disamping itu juga akan menurunkan kardiak output. Sehingga harus hati hati
penggunaaan PEEP pada pasien yang hemodinamik belum stabil.

322 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Konsep Dasar Ventilasi Mekanik

Sensitivitas Pemicu (Trigger Sensitivity)


Sensitivitas pemicu adalah tekanan negatif yang harus dihasilkan oleh
pasien untuk memulai suatu bantuan napas oleh ventilator. Tekanan ini harus
cukup rendah untuk mengurangi kerja pernapasan, namun juga harus cukup
tinggi untuk menghindari sensitivitas yang berlebihan terhadap usaha napas
pasien. Tekanan ini berkisar antara -1 sampai -2 cmH2O. Pemivu ventilator ini
timbul bila aliran napas pasien menurun 1 sampai 3 l/menit.

Laju Aliran (Flow Rate)


Adalah kecepatan gas untuk menghantarkan volume tidal yg diset/menit.
Biasanya setting antara 40-100 L/menit. Inspiratory flow rate merupakan
fungsi dari RR, TV dan I:E rasio Flow = Liter/menit = TV/TInspirasi x 60. Jika RR
20x/menit maka: Ttotal = 60/20 = 3 detik. Jika rasio 1:2 , maka Tinspirasi = 1 detik
artinya, untuk menghantarkan volume tidal (TV) 500 cc diperlukan waktu 1
detik, sehingga permenitnya atau disebut Inspiratory flow rate adalah 0.5/1
x 60 = 30 Liter/menit. Semakin cepat peak flow yang diset misalnya 60 L/m,
maka Ti akan semakin kecil atau Tekspirasi semakin panjang. Setting peak flow
yang tinggi ini diperlukan pada pasien PPOK untuk menghindari air trapping.
Namun perlu diperhatikan jika peak flow tinggi sebaiknya TV dikurangi, sebab
jika TV masih besar maka peak pressure lebih cepat tercapai (barotrauma).

Perbandingan Waktu Inspirasi Terhadap Waktu Ekspirasi


I:E rasio biasanya diset 1:2 atau 1:1.5 yang merupakan nilai normal
fisiologis inspirasi dan ekspirasi. Terkadang diperlukan fase inspirasi yg sama
atau lebih lama dibanding ekspirasi untuk menaikkan PaO2, seperti pada
ARDS, berkisar 1:1 sampai 4:1.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 323


Arifin

Penggunaan Ventilasi Mekanik pada Kasus Gagal Nafas


Gagal nafas ada 2 macam yaitu gagal nafas hipoksemia (kegagalan
oksigenasi) yang ditandai dengan rendahnya PaO2 dan gagal nafas hiperkapnia
(kegagalan ventilasi) yang ditandai dengan tingginya PCO2. Settingan ventilasi
mekanik pada kedua macam gagal nafas ini berbeda. Kegagalan oksigenasi
maka yang perlu diatur terutama adalah FiO2 dan PEEP. Karena 2 komponen
itu yang bisa menaikkan proses oksigenasi. Sedangkan kegagalan ventilasi
dimana terjadi banyak penumpukan CO2 didalam alveoli sehingga diperlukan
laju respirasi (RR) yang lebih tinggi atau minute volume yang lebih tinggi.
Meningkatkan minute volume bisa dilakukan dengan meningkatkan volume
tidal.

Daftar Pustaka
1. Cairo, JM.
 Pilbeam’s mechanical ventilation: physiological and clinical applications
Sixth edition. Elsevier.2016
2. Marino PL. Principles of mechanical ventilation. In: Marino PL, ed. The Icu Book. 3rd
ed. New York: Lippincott Williams and Wilkins,Inc.; 2007, 457- 511.
3. Pietropaoli AP. Approach to mechanical ventilation. In:Apostolakos MJ, Papadakos
PJ, eds. The Intensive Care Manual . Singapore: Mc Graw-Hill; 2001, 81-6.
4. Robert JE. Basic Ventilatory Management. In: Chulay Marianne, Burns Suzanne M.
AACN Essential of Critical Care Nursing. USA: The McGraw-Hill Companies.2006.

324 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran USG dalam Diagnosis
dan Tatalaksana Efusi Pleura
Cleopas Martin Rumende
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik noninvasif yang dapat
menggambarkan struktur organ di dalam tubuh menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi > 20 kilohertz. USG sangat bermanfaat untuk
pemeriksaan radiologi paru dan pleura karena bersifat real-time dengan
kemampuan pencitraan yang multiplanar. Selain itu karena bersifat portable
USG sangat penting untuk pemeriksaan pasien-pasien di emergensi dan di ICU.
Kelebihan lain adalah karena pemeriksaa USG tidak mempunyai efek radiasi
yang merugikan sehingga aman digunakan untuk semua pasien. Pemeriksaan
USG secara transtorakal dapat mengevaluasi kelainan pada parenkim paru
perifer, pleura dan dinding dada. Visualisasi parenkim paru dan pleura
dilakukan dengan melakukan sken sepanjang sela iga saat pernapasan biasa
dan saat menahan napas untuk melihat lesi secara lebih rinci. Pemeriksaan
USG toraks dapat juga digunakan untuk menuntun tindakan yang bersifat
invasif misalnya pungsi pleura, biopsi transtorakal dan pemasangan chest
tube.1,2

Kelebihan:
• Tersedia secara luas
• Dapat dilakukan bed site di tempat tidur
• Tidak terdapat paparan radiasi atau kontras
• Dapat dilakukan secara serial
• Dapat digunakan sebagai panduan untuk melakukan prosedur tindakan
• Biaya relatif murah

Kekurangan:
• Hasil pemeriksaan bergantung operator
• Bisa muncul artefak
• Alergi terhadap jeli yang digunakan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 325


Cleopas Martin Rumende

Indikasi Pemeriksaan USG Toraks


• Membedakan efusi pleura dengan penebalan pleura atau kelumpuhan
diafragma
• Mendeteksi adanya efusi pleura yang minimal dan memandu tindakan
torakosentesis
• Membantu menilai adanya pneumotoraks dalam keadaan gawat darurat
• Menilai massa pleura atau invasi massa ke pleura atau dinding dada serta
memandu tindakan prosedur biopsy

Gambaran Ultrasonografi Paru Normal


Dengan menggunakan transducer frekwensi rendah (3,5 MHz) dinding
dada yang normal akan menunjukkan gambaran echogenic lapisan
jaringan ikat yang terdiri dari lapisan otot dan fasia. Pada potongan sagital
(longitudinal) iga-iga akan tampak berupa struktur yang melengkung dengan
posterior acustic shadow, sedangkan pada potongan transversal korteks
bagian anterior iga-iga akan tampak berupa echogenic lines halus di bawah
jaringan ikat. Pleura parietal dan viseral tampak berupa suatu garis dengan
tingkat echogenic tinggi dibawah iga yang menggambarkan permukaan
pleura. Dengan menggunakan transducer linear yang mempunyai resolusi
tinggi kedua lapisan pleura akan terlihat sebagai dua garis dengan echogenic
yang berbeda, dimana pleura parietal akan tampak lebih tipis (Gambar 1).
Kedua lapisan pleura tersebut tampak saling bergerak satu terhadap yang
lainnya selama fase inspirasi dan ekspirasi. Dengan real-time imaging akan
tampak pergerakan dari kedua lapisan pleura tersebut yang dikenal dengan
gliding sign. Selanjutnya gerak pernapasan paru terhadap dinding dada
dikenal sebagai lung sliding sign.2-5

326 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


nspirasi
spirasi dan
danekspirasi.
ekspirasi.Dengan
Denganreal-time imagingakan
real-timeimaging akantampak
tampakpergerakan
pergerakandari darikedua kedualapis
lapi
eura
leuratersebut
tersebutyang
yangdikenal
dikenaldengan
dengangliding sign.Selanjutnya
glidingsign. Selanjutnyagerak gerakpernapasan
pernapasanparu paruterhad
terha
2-5
2-5
nding
indingdada
dadadikenal
dikenalsebagai
sebagailung
lungsliding
slidingsign.
sign. Peran USG dalam Diagnosis dan Tatalaksana Efusi Pleura

(A)
(A) (A) (B)
(B) (B)
Gambar
Gambar1.1.Gambaran
Gambar Gambaran USG
USG
1. Gambaran toraks
USGtoraks
toraksnormal
normal
normalpada padabidang
pada bidang
bidang transversal
transversal
transversal (A)(A)
(A)
dandan
dansagital
sagital
sagital (B) (B)
(B)
Pp:
Pp:Pleura
Pleura parietal,
parietal, PvPv : :Pleura
Pleura viseral,
viseral, L
Pp: Pleura parietal, Pv : Pleura viseral, L : Lung
L: :
Lung
Lung

Dinding
Dinding

dada
dada dengan
denganseluruh
seluruhlapisan
lapisanyang
yangterdapat
terdapatdiantara
diantaratransducer
transducerdan
Dinding dada dengan seluruh lapisan yang terdapat diantara transducer
danparu
paruak a
ervisualisasi
visualisasi dan
secara
secara
paruakurat,
akurat, sementara
sementaraarea
akan tervisualisasi area yang
secarayang berada
berada
akurat, didibawah
sementara bawah
areapleura
pleura lineakan
line
yang berada akantamp
tam
erupa
rupa latar
latarbelakang
belakang
di bawah dengan
dengan
pleura gambaran
linegambaran kilauan
akan tampakkilauan halus
berupahalus dengan
latardengan
belakangbeberapa
beberapa
dengan garis
garisechogenic
gambaranechogeniclinilin
ang
ng berjalan
berjalan secara
secara
kilauan horizontal.
horizontal.
halus Perbedaan
Perbedaan
dengan beberapa acoustic
garisacoustic linier yangyang
impedance
echogenicimpedance yang besar
besar
berjalan antara
secaraantara jaring
jarin
unak
nak dengan
dengan alveoli
alveoli yang
horizontal. Perbedaan acoustic
yang berisi impedance
berisi udara
udara akanakan menghambat
yang menghambat visualisasi
besar antara visualisasi organ-org
jaringan lunak organ-or
mediastinum dengan
ediastinum dengan alveoli
denganmembentukyang berisi
membentukartefak udara akan
artefakmultipel. menghambat
multipel.Bila
Biladilihatvisualisasi
dilihatgambaran organ-organ
gambarantersebut
tersebutlebih
lebihlan
lan
mediastinum dengan membentuk artefak multipel. Bila dilihat gambaran
maka
aka akan
akantampak
tampakbahwabahwapleura
pleuraseakan-akan
seakan-akanberfungsi
berfungsisebagai
sebagaicermin
cermindimana
dimanaarea areaartef
arte
tersebut lebih lanjut maka akan tampak bahwa pleura seakan-akan berfungsi
ersebut
sebut akan
akan merefleksikan
merefleksikan gambaran
gambaran dinding
dinding dada
dada didi bawah
bawah pleural line. Fenome
pleural line. Fenom
sebagai cermin dimana area artefak tersebut akan merefleksikan gambaran
ersebut
sebut dapat
dapat diibaratkan
diibaratkan
dinding dada diseperti
seperti
bawah lukisan
lukisanline.
pleural Itali
Itali terkenal
terkenaltersebut
Fenomena yang
yang dibuat
dibuat
dapat oleh
oleh Caravaggio
Caravaggio pa
diibaratkan p
44
khir
hir abad
abadkekeseperti
15
15yang
yang menggambarkan
menggambarkan
lukisan cerita
cerita
Itali terkenal yang dongeng
dongeng
dibuat mengenai
mengenaipada
oleh Caravaggio Narcissus
Narcissus (Gambar
(Gambar
akhir abad ke 2).
2).
15 yang menggambarkan cerita dongeng mengenai Narcissus (Gambar 2).4

Gambar 2. Sonogram
Gambar paru normal
2. Sonogram paru (kiri)
normal yang diibaratkan
(kiri) bagaikan
yang diibaratkan cermin pada
bagaikan
permukaan
cermin air (kanan)
pada permukaan air (kanan)
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 327
Lung sliding dapat dikonfirmasi lebih lanjut dengan menggunakan M-mode yaitu
dengan mengarahkan sorotan transducer diantara bayangan iga sehingga memotong pleural
Cleopas Martin Rumende
Gambar 2. Sonogram paru normal (kiri) yang diibaratkan bagaikan
Lung sliding dapat dikonfirmasi lebih lanjut dengan menggunakan
cermin pada permukaan air (kanan)
M-mode yaitu dengan mengarahkan sorotan transducer diantara bayangan
iga sehingga
Lung sliding memotong pleural linelebih
dapat dikonfirmasi secara transversal.
lanjut dengan Dengan cara demikian
menggunakan M-mode yaitu
memungkinkan
dengan mengarahkan operator
sorotan untukdiantara
transducer menganalisis
bayangan gerakan struktur
iga sehingga secara pleural
memotong
lengkap
line secara pada lokasi
transversal. tersebut.
Dengan Dalam keadaan
cara demikian normal dengan
memungkinkan operatormenggunakan
untuk menganalisis
gerakan M-mode
struktur akan
secaratampak
lengkap pada seashore
gambaran sign berupa
lokasi tersebut. gariskeadaan
Dalam horizontal yang dengan
normal
terletak superfisial terhadap lapisan pleura yang menunjukkan
menggunakan M-mode akan tampak gambaran seashore sign berupa garis horizontal yang struktur
dinding dada
terletak superfisial yang tidak
terhadap bergerak
lapisan pleura saat repirasi.
yang Selanjutnya
menunjukkan lebih dalam
struktur dindingakan
dada yang
tampak garis horizontal hyperechoic yang menggambarkan lapisan
tidak bergerak saat repirasi. Selanjutnya lebih dalam akan tampak garis horizontal pleura dan
lebihyang
hyperechoic kedalam dari garis pleura
menggambarkan tersebut
lapisan pleuraakan tampak
dan lebih gambaran
kedalam dari dengan pola tersebut
garis pleura
glanular yang menunjukkan aerasi paru normal saat inspirasi
akan tampak gambaran dengan pola glanular yang menunjukkan aerasi paru normal saat dan ekspirasi
inspirasi (Gambar 3).4,5 (Gambar 3).4,5
dan ekspirasi

Gambar
Gambar3.3.Seashore sign
Seashore sign

Evaluasi
parenkim
Evaluasi paru paru
parenkim dilakukan berdasarkan
dilakukan adanya
berdasarkan perbedaan
adanya pola pola
perbedaan artefak yang
mana semuanya berasal
artefak yang manadarisemuanya
pleural line. A-lines
berasal merupakan
dari pleural line. pantulan pleural line yang
A-lines merupakan
kearah dalam memperlihatkan gambaran beberapa garis paralel yang masing-masing dengan
pantulan pleural line yang kearah dalam memperlihatkan gambaran beberapa
jarak yang sama. Parenkim paru yang normal akan memperlihatkan gambaran lung sliding
garis paralel
disertai gambaran yangyang
A-lines masing-masing dengan4).jarak
dominan (Gambar 4-7 yang sama. Parenkim paru
yang normal akan memperlihatkan gambaran lung sliding disertai gambaran
A-lines yang dominan (Gambar 4).4-7

GambarGambar
4. Gambaran paru normal
4. Gambaran paru yang memperlihatkan
normal pleural line
yang memperlihatkan dengan
pleural linelung lungdisertai
sliding
dengan
gambaran
sliding disertai A-lines A-lines
gambaran

328 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Dalam keadaan abnormal pleura tidak akan berfungsi sebagai cermin, dimana pada
sonografi akan tampak kelainan pada parenkim paru. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan
antara kandungan udara dan cairan yang terdapat pada parenkim paru. Gambar 4
Peran USG dalam Diagnosis dan Tatalaksana Efusi Pleura

Dalam keadaan abnormal pleura tidak akan berfungsi sebagai cermin,


dimana pada sonografi akan tampak kelainan pada parenkim paru. Hal ini
terjadi karena adanya perbedaan antara kandungan udara dan cairan yang
terdapat pada parenkim paru. Gambar 4 memperlihatkan adanya fenomena
cermin pada paru yang normal, sedangkan pada gambar 17 diperlihatkan
gambaran konsolidasi paru yang ditandai dengan berkurangnya kandungan
udara dalam alveoli secara signifikan akibat adanya peningkatan cairan dan
sel-sel radang yang terjadi secara masif. Efek cermin menghilang akibat
kandungan udara di alveoli menurun sedangkan kandungan cairan meningkat.
Bila impedansi akustik antara jaringan lunak dengan kandungan alveoli
semakin sama satu dengan yang lainnya sebagai mana terjadi pada alveloli
yang berisi cairan maka gelombang suara akan dengan mudah dihantarkan
dan akan menghasilkan gambaran sonografi yang riil. Fenomena ini umumnya
didapat pada sebagian besar penyakim paru yang dapat dinilai dengan
ultrasonografi. Sebaliknya pemeriksaan USG paru tidak dapat digunakan
untuk menilai adanya emfisema akibat adanya peningkatan kandungan udara
dalam paru, karena pada keadaan ini kandungan udara dalam paru meningkat
dan fenomena cermin yang didapat tidak dapat membedakan antara keadaan
emfisema dengan paru yang normal.4-5

Efusi Pleura
Akumulasi cairan pleura yang abnormal yang disebabkan oleh karena
manifestasi primer atau sekunder dan berbagai macam penyakit. Pemeriksaan
USG pada efusi pleura bermanfaat untuk menganalisis kemungkinan jenis efusi
pleura tersebut baik yang terlokalisir maupun yang difus. Untuk mendeteksi
adanya efusi pleura minimal pemeriksaan USG lebih sensitif dibandingkan
dengan pemeriksaan foto posisi lateral dekubitus. Selain untuk mendeteksi
adanya efusi USG dapat juga digunakan untuk memperkirakan jumlah cairan
efusi tersebut. Secara sonografi adanya efusi pleura akan tampak berupa
bayangan yang anechoic homogen diantara pleura parietal dan pleura viseral
(echo-free zone sepparating the visceral and parietal pleura) (Gambar 5).
Bayangan ini dapat berubah bentuk akibat gerak pernapasan (echo-free zone
displaying a change during breathing), dan paru yang berada dalam cairan
efusi tersebut akan mengalami kolaps (atelektasis) sehingga tampak berupa
struktur yang menyerupai lidah (tongue-like structure). Gambaran sonografi
lain yang bisa didapatkna pada efusi pleura adalah adanya partikel echogenic
yang bergerak/melayang-layang, adanya bayangan septa yang bergerak-
gerak serta adanya jaringan paru yang bergerak dalam cairan. Pada efusi yang

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 329


Cleopas Martin Rumende

dalamterjadi
cairan. akibat inflamasi
Pada efusi yang dapat
terjadi terjadi perlengkatan
akibat inflamasi dapatdiantara kedua lapisan
terjadi perlengkatan diantara
keduapleura
lapisantersebut sehingga pergerakan paruparu
menjadi terhambat. 1,3 1,3
pleura tersebut sehingga pergerakan menjadi terhambat.
dalam
dalamcairan.
cairan.Pada
Padaefusi
efusiyang
yangterjadi
terjadiakibat
akibatinflamasi
inflamasidapat
dapatterjadi
terjadiperlengkatan
perlengkatandiantara
diantara
1,31,3
kedua
kedualapisan
lapisanpleura
pleuratersebut
tersebutsehingga
sehinggapergerakan
pergerakanparu
parumenjadi
menjaditerhambat.
terhambat.

Gambar
Gambar 5. 5.Gambaran
Gambaran USG
USGpada
padaefusi pleura.
efusi pleura.

BilaBila
padapadafoto foto
dada dada
Gambar
didapatkan
Gambar5.5.Gambaran
adanya adanya
didapatkan
GambaranUSG
elevasi hemidiafragma
USGpada elevasi
padaefusi
efusi
yang abnormal
hemidiafragma
pleura.
pleura. yang maka
dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan apakah kelainan tersebut akibat efusi pleura
abnormal maka dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan apakah kelainan
subpulmonum,
Bila
Bila pada
padafotoparalisis
fotodada
dada diafragma
didapatkan
didapatkan atau
adanyaakibat
adanya penimbunan
elevasi
elevasi cairan di
hemidiafragma
hemidiafragma yangbawah
yang diafragma.
abnormal
abnormal
tersebut akibat efusi pleura subpulmonum, paralisis diafragma atau akibat maka maka
Gambaran
dengan
denganpemeriksaan efusi
pemeriksaanUSG yang didapat
USGdapatdapat pada
dibedakan sonografi
dibedakan apakah
apakahdipengaruhi
kelainan
kelainan oleh
tersebutbeberapa
tersebut faktor yaitu
penimbunan cairan di bawah diafragma. Gambaran efusi yang akibat
akibatefusi
didapat efusipleura
pada pleura
perjalanan alamiah penyakit, penyebab efusi dan tingkat kronisitas penyakit. Ada 4 tampilan
subpulmonum,
subpulmonum, paralisis
paralisis diafragma
diafragma atau
atau akibat
akibat penimbunan
penimbunan cairan
sonografi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perjalanan alamiah penyakit, cairan di
di bawah
bawah diafragma.
diafragma.
yang bisa didapat pada sonografi berdasarkan internal echogenicity yaitu (a) anechoic,
Gambaran
Gambaran efusi
efusi yang
penyebab yang
efusididapat
didapat
dan pada
tingkatpadakronisitas
sonografi
sonografipenyakit.
dipengaruhi
dipengaruhi Adaoleh
4oleh beberapa
beberapa
tampilan yang faktor
faktor
bisa yaituyaitu
(b) complex non-septated, (c) complex septated dan (d) homogenously echoic (Gambar 6).
perjalanan
perjalanan alamiah
alamiah
didapat penyakit,
pada penyakit, penyebab
sonografi penyebab efusi
berdasarkanefusi dan
dan tingkat
tingkat
internal kronisitas
kronisitas
echogenicity penyakit.
penyakit.
yaitu (a) Ada
Ada 4
anechoic,4tampilan
tampilan
Cairan efusi yang bersifat transudat umumnya anechoic, unseptated dan free flowing,
yang
yangbisa
bisa didapat
(b) didapat
complex pada
pada sonografi
sonografiberdasarkan
non-septated, berdasarkan
complex
(c) echogenic internal
internal
septatedechogenicity
echogenicity
dan yaitu
yaitu(a)
homogenously
(d)eksudatif. (a)anechoic,
anechoic,
sedangkan yang complex, septated atau umumnya bersifat Efusi pleura
(b)
(b)maligna
complex
complex non-septated,
echoic non-septated,
(Gambar
seringkali
(c)
6).
bersifat
(c) complex
complex
Cairan
anechoic efusiseptated
septated
danyang
dan
dan(d)
bersifat
kadang-kadang
(d) homogenously
homogenously
transudat
didapatkan umumnya echoic
echoic (Gambar
(Gambar
anechoic,
adanya penebalan
6).
pleura
6).
Cairan
Cairan efusi
efusi yang
yang unseptated yang
noduler serta bersifat
bersifat transudat
transudat
free flowing,
danadanya echogenic umumnya
umumnya
sedangkan anechoic,
yang
swirling. anechoic,
complex,
Pada unseptated
unseptated
efusi septated
pleura akibat dan
dan free
free
atau echogenic flowing,
flowing,
inflamasi akan
sedangkan
sedangkan yang
didapatkan yang
umumnya complex,
complex,
adanya bersifatseptated
septated
gambaran
eksudatif. atau
atau
strand Efusiechogenic
echogenic umumnya
umumnya
pleura maligna
of echogenic bersifat
bersifateksudatif.
dan septation
materialseringkali eksudatif. Efusi
Efusi
yanganechoic
bersifat ikut pleura
pleura
bergerak
maligna
maligna seringkali
seringkali
sesuaidan
dengan bersifat
bersifat anechoic
anechoic
irama pernapasan
kadang-kadang dan
dan kadang-kadang
kadang-kadang
dan kontraksi
didapatkan adanyajantung. 2 didapatkan
didapatkan adanya
adanya
penebalan pleura yang noduler serta penebalan
penebalan pleura
pleura
yang
yangnoduler
noduler serta
serta adanya
adanya echogenic
echogenic
adanya echogenic swirling. Pada efusi pleura swirling.
swirling. Pada
Pada efusi
akibat efusi pleura
pleuraakan
inflamasi akibat
akibat inflamasi
inflamasiakan
didapatkan akan
didapatkan
didapatkan adanya
adanya gambaran
gambaran strand
strand ofofechogenic
echogenic material
material
adanya gambaran strand of echogenic material dan septation yang ikut dan
dan septation
septation yang
yang ikut
ikut bergerak
bergerak
22
sesuai
sesuaidengan
dengan irama
bergerak irama pernapasan
pernapasan
sesuai dengandan dan kontraksi
irama kontraksi jantung.
pernapasanjantung.
dan kontraksi jantung.2

.
(a) (b)

..
(a)(a)
(a) (b)
(b)
(b)

330 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran USG dalam Diagnosis dan Tatalaksana Efusi Pleura

(c) (c)
(c) (d)
(d)(d)
Gambar
Gambar6.6.Efusi
Efusipleura
Efusi pleura
pleuradengan
dengan
dengan444macam
macam
macam tampilan
tampilan
tampilan gambar
gambar
gambar

Secara
Secara
praktis
praktis
Secara volume
volume
praktis cairan
cairancairan
volume efusi
efusidapat
dapatdapat
efusi diperkirakan
diperkirakan berdasarkan
diperkirakanberdasarkan 44klasifikasi
berdasarkan klasifikasi
4 yaitu
yaitu
minimal
minimal (echo-free
(echo-freeyaitu
klasifikasi space
space terbatas
terbatas
minimal pada
pada sudut
(echo-free sudut
spacekostofrenikus),
kostofrenikus),
terbatas pada sudut sedikit
sedikit (echo-free
(echo-free space
kostofrenikus), space yang
yang
didapat
didapat melebihi
melebihi sudut
sudut kostofrenikus
kostofrenikus tapi
tapi masih
masih terbatas
terbatas pada
pada
sedikit (echo-free space yang didapat melebihi sudut kostofrenikus tapi area
area yang
yang dapat
dapat diliput
diliput oleh
oleh
transducer
transducer terbatas 3,5
curvilinear
masihcurvilinear 3,5 MHZ),
pada MHZ),
area yangsedang
sedang
dapat(echo-free
(echo-free
diliput oleh space
space melebihi
melebihi
transducer satu
satu transducer
curvilinear transducer
3,5 tapi
tap
masih
masih dalam
dalam
MHZ),two-probe
two-probe range) dan
range)
sedang (echo-free dan banyak
space banyak
melebihi bila
bila
satuspace
space yang
yang didapat
transducer didapat
tapi masihmelebihi
melebihi
dalam two-probe
two-probe
range. Kadang-kadang
range. Kadang-kadang
two-probe range) dan banyak bila space yang didapat melebihi two-probe dengan
sulit
sulit untuk
untuk membedakan
membedakan antara
antara efusi
efusi pleura
pleura minimal
minimal dengan
penebalan
penebalan pleura
pleura
range. karena
karena keduanya
Kadang-kadang keduanya dapat
dapatmembedakan
sulit untuk memperlihatkan
memperlihatkan antarabayangan
bayangan
efusi pleura minimal Sebagai
hypoechoic.
hypoechoic. Sebaga
pedoman
pedomandengan
adalah
adalahpenebalan
bila
bila didapatkan
didapatkan adanya
adanya
pleura karena mobilitas
mobilitas
keduanya maka
dapatmaka ini
ini merupakan
merupakan
memperlihatkan pertanda
pertanda penting
bayangan penting
untuk
untuk efusi.
efusi. Jadi
Jadi adanya
hypoechoic. adanya
Sebagailesi
lesi yang
yang berubah
pedoman berubah
adalah bilabentuk
bentuk sesuai
sesuaiadanya
didapatkan dengan
denganmobilitas
pernapasan
pernapasanmaka dan
dan adanya
adanya
1,3,4
1,3,4
gambaran
gambaraninistrand
strand serta
sertadensitas
merupakan densitas
pertanda echo
echo yang
yanguntuk
penting bergerak
bergerak menunjukkan
efusi.menunjukkan
Jadi adanya suatu suatu
lesi efusi
efusi
yang pleura.
pleura.
berubah
Secara bentuk
Secarabiokimiawi sesuai
biokimiawiefusi dengan
efusipleura pernapasan
pleuradapat
dapatbersifatdan adanya
bersifattransudat gambaran
transudatatau strand
ataueksudat. serta
eksudat.Berdasarkandensitas
Berdasarkanetiologinya
etiologinya
dapat echo yang
dapat berupa
berupa bergerak
hemotorak,
hemotorak, menunjukkan
empiema
empiema dan suatupleura
dan efusi
efusi efusi
pleurapleura.
1,3,4
maligna.
maligna. Gambaran
Gambaran USG USG efusi
efusi pleura
pleura
pada
padaberbagai
berbagaikelainan
kelainandapat
dapatdilihat
dilihatpada
padatabel
tabel1.1.
Secara biokimiawi efusi pleura dapat bersifat transudat atau eksudat.
Berdasarkan etiologinya dapat berupa hemotorak, 88
empiema dan efusi pleura
Tabel
Tabel 1.1.Gambaran
Gambaran Ultrasonografi
Ultrasonografi
maligna. Gambaran USG
Eksudat
Eksudat efusi pleura pada
Transudat
Transudat berbagai kelainan
Hemotorak
Hemotorak Empiema dapat dilihat
Empiema Efusi
Efusimaligna
maligna
Internal
Internal pada tabel
Septation,
Septation,
1. Anechoic
Anechoic Hyperechoic
Hyperechoic Seringkali
Seringkali Complex
Complex
echogenicity:
echogenicity: non-septated
non-septated septated
septated septation,
septation,
Anechoic
Anechoic atau
atauanechoic
anechoic non-septated
non-septated
Complex
Complexnon-
non-
septated
septated
Complex
Complex
septated
septated (+)
(+)atau
atau(-)
(-)
(+)
(+)
Echogenicity:
Echogenicity: (-)
(-) (+)
(+) (+)
(+)
Homogeneity
Homogeneity
atau
atautidak
tidak Menebal
Menebal
Ketebalan
Ketebalan
Pleura
Pleura Normal
Normal Tebal
Tebal Tebal
Tebal pleura
pleura
ireguler
ireguler

Metastasis
Metastasis
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 331
Penemuan
Penemuanlain
lain Sesuai
Sesuai Biasanya
Biasanya Pneumotorak,
Pneumotorak, Konsolidasi
Konsolidasi hepar;
hepar;
etiologi
etiologi bilateral,
bilateral, atelektasis,
atelektasis, paru
paru dan
dan air
air terdapat
terdapat
penemuan
penemuan konsolidasi
konsolidasi bronchogram nodul
bronchogram nodul
Cleopas Martin Rumende

Tabel 1. Gambaran Ultrasonografi8


Eksudat Transudat Hemotorak Empiema Efusi maligna
Internal Septation, non- Anechoic Hyperechoic Seringkali Complex
echogenicity: septated atau septated septation, non-
Anechoic anechoic septated
Complex non-
septated
Complex septated
Echogenicity: (+) atau (-) (-) (+) (+) (+)
Homogeneity atau
tidak
Pleura Menebal Normal Tebal Tebal Ketebalan
pleura ireguler
Penemuan lain Sesuai etiologi Biasanya Pneumotorak, Konsolidasi Metastasis
bilateral, atelektasis, paru dan air hepar;
penemuan konsolidasi bronchogram terdapat nodul
ekokardiografi diafragma atau
pleura

Pungsi cairan pleura. Ultrasonografi lebih superior dibandingkan


dengan pemeriksaan foto dada untuk menentukan lokasi aspirasi cairan efusi.
Dengan bantuan ultrasonografi lokasi yang paling optimal dapat ditentukan dan
aspirasi akan mudah dilakukan dengan tehnik freehand. Pasien ditempatkan
pada posisi yang terbaik untuk melakukan tindakan tersebut. Pemeriksaan
sonografi dilakukan untuk menentukan lokasi insersi yang paling aman dan
tepat, kemudian diberi tanda. Penting diperhatikan bahwa posisi pasien
jangan berubah supaya lokasi kulit yang telah diberi tanda jangan berpindah
sehingga tidak sesuai lagi dengan lokasi lesi pada pleura/paru. Kadang-
kadang pasien perlu diminta untuk menahan napas beberapa detik selama
aspirasi. Pada pasien dengan efusi pleura minimal maka tindakan pungsi
pleura harus dilakukan secara bedside (Pungsi pleura langsung dilakukan
segera setelah lokasinya ditentukan). Angka keberhasilan aspirasi cairan
pleura dengan tuntunan USG dapat mencapai 97 % dan risiko komplikasinya
lebih kecil.1,2,3,4,9,10 Pemeriksaan USG paru pada saat melakukan pungsi dibagi
dalam 5 langkah yaitu menentukan lokasi diafragma, memperkirakan jumlah
cairan efusi, menentukan jarak maksimal dan minimal, melakukan drainase
cairan pleura dengan tuntunan USG, dan melakukan pemeriksaan untuk
menentukan ada tidaknya pneumotoraks pasca tindakan.11

Langkah 1. Menentukan lokasi diafragma. Penentuan lokasi diafragma


merupakan prosedur yang pertama kali harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya insersi jarum ke subdiafragma. Diperlukan pendekatan yang
sistematik untuk mencegah terjadinya kesalahan akibat adanya perubahan
struktur anatomi normal yang sering terjadi pada efusi pleura, asites dan

332 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran USG dalam Diagnosis dan Tatalaksana Efusi Pleura

pada obesitas dimana didapatkan pergeseran diafragma ke kranial. Pasien


yang menggunakan ventilator mekanik bisa juga menunjukkan adanya
elevasi diafragama akibat adanya atelektasis yang biasa terjadi pada pasien
yang berbaring. Pada pasien dengan asites masif, diafragma juga dapat
mengalami elevasi yang prominen sehingga menyebabkan operator salah
dalam mendeteksi efusi pleura. Cara yang paling baik untuk menentukan
lokasi diafragma yaitu dengan menggunakan petunjuk (landmark) organ
subdiafragma yang mudah diidentifikasi yaitu ginjal. Setelah ginjal
teridentifikasi maka dengan menggeser transducer kearah kranial melintasi
hati dan ginjal kemudian akan didapatkan adanya diafragma. Untuk
mengindentifikasi diafragma dapat digunakan curvilinear atau phased-array
transducer. Pada paru kanan dimulai dengan menempatkan transducer
pada garis mid-aksilaris setinggi arkus kostarum (sejajar dengan processus
xiphoideus) dengan indicator transducer mengarah ke kranial (Gambar 7.A).
Pada posisi tersebut akan tampak ginjal kanan, hati dan diafragma (Gambar
7.B). Transducer kemudian digeser kearah kepala pasien sampai diafragma
terletak di pusat dari screen (Gambar 7.C). Pada posisi ini, apeks diafragma
yang merupakan titik paling kranial harus diidentifikasi dengan menggeser
transducer kearah anterior dan posterior, titik ini kemudian dapat diberi
tanda dengan menggunakan marker untuk menuntun prosedur drainase
pleura yang kemudian akan dilakukan (Gambar 7.D). Posisi diafragma harus
selalu diberi tanda pada akhir ekspirasi dimana pada fase tersebut posisi
diaphragm akan terletak paling kranial. Bila prosedur dilakukan pada paru
kiri maka pada posisi awal transducer diletakkan di garis aksilaris posterior
karena posisi ginjal kiri umumnya terletak lebih posterior sehingga seringkali
lebih sulit ditentukan lokasinya.11

Gambar7.
Gambar 7.Menentukan
Menentukan lokasi
lokasi diafragma.
diafragma.

Langkah 2. Memperkirakan
Pertemuan jumlah
Ilmiah Nasional XVII PAPDI cairan2019
- Surabaya efusi. Memperkirakan jumlah cairan333
efusi
merupakan hal penting yang harus dilakukan sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai
dapat tidaknya dilakukan pungsi pleura. Pemeriksaan dimulai seperti pada langka 1 hingga
didapatkan gambar diafragma yang terletak di tengah screen. Transducer kemudian digeser
Cleopas Martin Rumende

Langkah 2. Memperkirakan jumlah cairan efusi. Memperkirakan jumlah


cairan efusi merupakan hal penting yang harus dilakukan sehingga dapat
memberikan petunjuk mengenai dapat tidaknya dilakukan pungsi pleura.
Pemeriksaan dimulai seperti pada langka 1 hingga didapatkan gambar
diafragma yang terletak di tengah screen. Transducer kemudian digeser
secara perlahan-lahan kearah kepala pasien sehingga menempatkan area
supradiafragma dan efusi pleura terkait pada daerah pusat screen. Adanya
efusi pleura harus selalu dikonfirmasi dengan 3 cara berikut:
1. Efusi pleura dengan bayangan hipoekoik terdapat tepat di atas diafragma.
2. Identifikasi batas-batas anatomi diafragma yaitu dinding dada (pada
puncak dari screen) dan parenkim paru yang berbatasan dengannya.
3. Visualisasi minimal satu dari tanda-tanda dinamis berikut:
a. Penurunan diafragma saat inspirasi.
b. Caudal movement parenkim paru saat inspirasi.
c. Pergerakan struktur hiperekoik atau debris dalam cairan efusi yang
hipo-ekoik (bila ada).

Cara cepat untuk mengukur jumlah cairan efusi adalah dengan mengukur
jarak horizontal dari bagian diafragma yang paling kranial pada garis mid-
aksilaris ke segmen paru terdekat (Gambar 8). Jarak yang didapat (dalam cm)
kemudian dikalikan 20 untuk mendapatkan kira-kira jumlah cairan (dalam
ml). Diperlukan ketelitian untuk menghindari kesalahan dalam menentukan
jumlah cairan efusi tersebut. Perubahan sedikit saja pada angulasi transducer
akan berdampak besar pada pengukuran jarak. Angulasi yang lebih ke anterior
akan menyebabkan pengukuran jumlah cairan efusi menjadi underestimate,
sementara angulasi yang lebih kearah posterior akan menyebabkan
pengukuran jumlah cairan menjadi overestimate.

Gambar 8. Pengukuran
Gambar 8. Pengukuranjumlah cairan
jumlah cairan efusi
efusi dengan
dengan mengukur
mengukur jarak horizontal
jarak horizontal dari bagian dari
bagian diafragma yang
diafragma yang paling
paling kranial
kranial pada
pada garis garis mid-aksilaris
mid-aksilaris ke segmen paruketerdekat
segmen paru
terdekat
Berdasarkan hal tersebut maka banyak operator yang tidak secara rutin melakukan
334 pengukuran jumlah cairan efusi dan lebih memfokuskan
Pertemuan perhatiannya
Ilmiah Nasional kepada
XVII PAPDI keamanan2019
- Surabaya
untuk melakukan pungsi pleura. Operator yang berpengalaman terkadang membagi jumlah
cairan efusi tersebut menjadi sedikit (minimal), sedang dan banyak tanpa melakukan
pengukuran.11
Peran USG dalam Diagnosis dan Tatalaksana Efusi Pleura

Berdasarkan hal tersebut maka banyak operator yang tidak secara


rutin melakukan pengukuran jumlah cairan efusi dan lebih memfokuskan
perhatiannya kepada keamanan untuk melakukan pungsi pleura. Operator
yang berpengalaman terkadang membagi jumlah cairan efusi tersebut menjadi
sedikit (minimal), sedang dan banyak tanpa melakukan pengukuran.11
Gambar 8. Pengukuran jumlah cairan efusi dengan mengukur jarak horizontal dari bagian
diafragma yang paling kranial pada garis mid-aksilaris ke segmen paru terdekat
Langkah 3. Mengukur jarak minimal dan maksimal. Struktur yang
palingBerdasarkan
mungkinhalmengalami
tersebut maka injuri
banyak saat
operator yang tidak drainase
melakuan secara rutinpleura
melakukanadalah
pengukuran jumlah cairan efusi dan lebih memfokuskan perhatiannya kepada keamanan
paru. untuk
Untuk menghindari hal tersebut maka harus selalu diperkirakan
melakukan pungsi pleura. Operator yang berpengalaman terkadang membagi jumlah jumlah
cairancairan
efusi efusi tersebut menjadi sedikit (minimal), sedang dan banyak tanpa melakukan
yang didapat dan ditentukan lokasi pungsi yang paling aman serta
pengukuran.11
ditentukan kedalaman penetrasi jarum dengan mengukur jarak minimal dan
Langkah 3. Mengukur jarak minimal dan maksimal. Struktur yang paling mungkin
maksimal masuknya jarum ke rongga pleura. Jarak minimal ditentukan dari
mengalami injuri saat melakuan drainase pleura adalah paru. Untuk menghindari hal tersebut
permukaan
maka haruskulit
selaluhingga ke rongga
diperkirakan pleura
jumlah cairan yangdidapat
efusi yang berisidancairan efusi,
ditentukan lokasisedangkan
pungsi
yang paling aman serta ditentukan kedalaman penetrasi jarum dengan mengukur jarak
jarak maksimal yaitu dari permukaan kulit sampai ke permukaan paru yang
minimal dan maksimal masuknya jarum ke rongga pleura. Jarak minimal ditentukan dari
kolaps/atelectactic
permukaan kulit hingga lungke (Gambar
rongga pleura9).
yangPengukuran
berisi cairan efusi,ini terutama
sedangkan penting bila
jarak maksimal
yaitu dari permukaan kulit sampai ke permukaan paru yang kolaps/atelectactic
didapatkan cairan efusi yang sedikit dan pasien yang gemuk serta edematous. lung (Gambar 11
9). Pengukuran ini terutama penting bila didapatkan cairan efusi yang sedikit dan pasien
yang gemuk serta edematous.11

Gambar 9. Pengukur jarak minimal dan maksimal.


Gambar 9. Pengukur jarak minimal dan maksimal.
Langkah 4.a. Melakukan prosedur ultrasound-assisted pleural drainage. Istilah
ultrasound-assisted menggambarkan teknik penggunaan ultrasound untuk mengumpulkan
Langkah 4.a. Melakukan prosedur ultrasound-assisted pleural
semua informasi yang penting berkaitan dengan prosedur yang akan dilakukan, sedangkan
drainage. drainase ultrasound-assisted
prosedurIstilah menggambarkan
pleuranya sendiri tidak dilakukan teknik
secara real-time. penggunaan
Sebagian besar
ultrasound untuk mengumpulkan semua informasi yang penting berkaitan
dengan prosedur yang akan dilakukan, sedangkan prosedur drainase
pleuranya sendiri tidak dilakukan secara real-time. Sebagian besar prosedur
yang berkaitan dengan pleura, ultrasound-assisted technique lebih disukai
dibandingkan dengan ultrasound-guided technique yang dilakukan secara
real-time karena adanya beberapa alasan. Dengan ultrasound-guided
technique, diperlukan tambahan asisten untuk mambantu memegang
transducer, demikian juga operator tidak dapat mengidentifikasi sela iga
secara langsung untuk melakukan pungsi tepat di atasnya. Kerugian lainnya
adalah bahwa seringkali sulit untuk mengidentifiasi jarum secara real-
time dan menyebabkan penetrasi jarum yang berlebihan karena operator

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 335


Cleopas Martin Rumende

hanya memfokuskan perhatiannya pada ultrasound screen. Demikian juga


pada efusi pleura dalam jumlah yang cukup banyak maka prosedur yang
real-time seringkali tidak diperlukan asalkan sebelumnya telah dilakukan
pengkajian awal (preprocedure scan) secara akurat. Pengkajian awal yang
dilakukan meliputi penentuan lokasi diafragma, melakukan estimasi jumlah
cairan, indentifikasi sela iga dan menentukan jarak minimal dan maksimal
yang diperlukan untuk mencapai rongga pleura yang berisi cairan serta
menghindari terjadinya injuri pada paru dan jantung. Hal terpenting yang
harus diperhatikan dalam melakukan drainase pleura dengan ultrasound-
assisted technique adalah bahwa prosedur tersebut dilakukan secara bed-side
(langsung dilakukan pungsi pleura tanpa mengubah posisi pasien).11

Langkah 4.b. Melakukan prosedur ultrasound-guided pleural drainage.


Pada keadaan tertentu yaitu bila didapatkan efusi pleura dalam jumlah yang
minimal maka beberapa operator lebih memilih untuk melakukan drainase
pleura secara real-time (ultrasound-guided technique). Pengambilan sampel
cairan pada efusi dengan jumlah minimal biasanya ditujukan hanya untuk
keperluan diagnostik. Jumlah cairan efusi yang paling minimal berapa yang
masih dapat dilakukan pungsi pleura belum diketahui karena tergantung
dari kondisi pasien dan pengalaman serta ketrampilan operator. Disarankan
untuk tidak melakukan pengambilan sampel cairan pleura bila didapatkan
fluid pockets yang diameternya <15 mm, namun batasan ini bersifat arbitrary.
Sumber lain menyarankan batasan cairan efusi yang dapat dipungsi dengan
tuntunan USG yaitu minimal cairan harus terlihat pada satu sela iga di
atas dan di bawah dari lokasi pungsi. Ultrasound-guided pleural drainage
merupakan tindakan yang tidak begitu disukai oleh banyak operator karena
merupakan prosedur tingkat lanjut yang harus dilakukan oleh tenaga yang
berpengalaman dalam menggunakan USG dan dalam melakukan prosedur
drainase pleura. Pada real-time procedure dilakukan hal yang sama seperti
pada ultrasound-assisted sampai pada saat insersi jarum. Transducer yang
digunakan bisa yang linier (pada pasien yang kurus) maupun yang phased-
array (untuk pasien yang lebih gemuk), namun perlu diketahui bahwa
akan lebih sulit untuk menulusuri jarum bila menggunakan phased-array
transducer yang frekwensinya rendah. Prioritas pada tehnik real-time seperti
juga pada blind technique adalah untuk mencegah terjadinya injuri pada arteri
interkostalis dan parenkim paru. Insersi jarum dilakukan di atas iga bawah
pada sela iga yang dituju, sementara transducer ditempelkan pada permukaan
kulit tepat diatas lokasi pungsi. Posisi transducer sedikit membentuk sudut

336 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran USG dalam Diagnosis dan Tatalaksana Efusi Pleura

kearah inferior sedemikian rupa sehingga dapat memperlihatkan posisi dari


ujung jarum. (Gambar 10).11

Gambar 10. Prosedur ultrasound-guided pleural drainage


Gambar 10. Prosedur ultrasound-guided pleural drainage
Langkah 5. Menentukan ada tidaknya pneumotoraks. Komplikasi pungsi
angkah 5. pleura
Menentukan
yang palingada tidaknya
sering pneumotoraks.
adalah terjadinya pneumotoraks Komplikasi pungsi pleura ya
akibat tertusuknya
aling seringparenkim
adalah paru.
terjadinya pneumotoraks
Ada tidaknya pneumotoraks akibat
harustertusuknya parenkim
selalu dipastikan setiap paru. A
daknya pneumotoraks harus pungsi
kali pasca tindakan selalu pleura.
dipastikan setiap kali
Ultrasonografi parupasca
sangattindakan
bermanfaat pungsi pleu
untuk menentukan ada tidaknya pneumotoraks yaitu dengan
ltrasonografi paru sangat bermanfaat untuk menentukan ada tidaknya pneumotoraks yamenentukan
ada tidaknya lung slidding. Pemeriksaan USG paru mempunyai banyak
engan menentukan ada tidaknya lung slidding. Pemeriksaan USG paru mempunyai bany
kelebihan dibandingkan dengan foto toraks dalam menentukan ada tidaknya
elebihan dibandingkan dengan foto toraks dalam menentukan ada tidaknya pneumotora
pneumotoraks. Pemeriksaan USG paru lebih praktis dan tanpa efek radiasi
emeriksaan dibandingkan
USG paru dengan lebih pemeriksaan
praktis dan foto tanpa efekAdanya
toraks. radiasilungdibandingkan
slidding deng
emeriksaan dapat
foto toraks. Adanya adanya
menyingkirkan lung slidding dapat menyingkirkan
pneumotoraks dengan sensitifitas adanya100%.pneumotora
engan sensitifitas 100%. Untuk
Untuk menentukan adamenentukan
tidaknya lung ada tidaknya
slidding USG parudilakukan
lung slidding
dilakukan dengan USG pa
engan menempatkan
menempatkantransducer
transducerpada
padasela
selaiga
iga ke-2 garismid-klavikula
ke-2 garis mid-klavikula padapada pasien deng
pasien
dengan posisi supine sebelum dan sesudah prosedur tindakan.
osisi supine sebelum dan sesudah prosedur tindakan. Jika setelah prosedur tindak Jika setelah
prosedur tindakan didapatkan adanya lung slidding maka ini berarti tidak
dapatkan adanya lung slidding maka ini berarti tidak terjadi komplikasi pneumotora
terjadi
11 komplikasi pneumotoraks pasca tindakan.
11
asca tindakan.
Kesimpulan
esimpulan
Pemeriksaan USG paru mempunyai peranan yang sangat penting dalam
Pemeriksaan USG paru mempunyai peranan yang sangat penting dalam diagnosis d
diagnosis dan tatalaksana pasien dengan efusi pleura. Kelebihan pemeriksaan
talaksana pasien dengan efusi pleura. Kelebihan pemeriksaan USG ini adalah antara l
USG ini adalah antara lain karena tidak mengakibatkan efek radiasi,
arena tidakpraktis
mengakibatkan efek radiasi,
dan dapat mendeteksi praktis
cairan dan dapat
di rongga pleura mendeteksi cairan di rong
secara lebih cepat.
eura secaraPenggunaan
lebih cepat. USGPenggunaan USG di bidang
di bidang pulmonolgi pulmonolgi
sangat membantu sangat
dalam membantu dal
menuntun
enuntun berbagai tindakansalah
berbagai tindakan salah satunya
satunya yaitu yaitu
pungsi pungsi cairansehingga
cairan pleura pleuradapat
sehingga da
eningkatkanmeningkatkan
keberhasilankeberhasilan
dalam mendiagnosis dan tatalaksana
dalam mendiagnosis pasien, pasien,
dan tatalaksana serta menurunk
emungkinan terjadinya komplikasi. Keterbatasan USG adalah hasil pemeriksaannya bersi
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 337
perator-dependent.1,2
Cleopas Martin Rumende

serta menurunkan kemungkinan terjadinya komplikasi. Keterbatasan USG


adalah hasil pemeriksaannya bersifat operator-dependent.1,2

Daftar Pustaka
1. Islam S, Tonn H. Thoracic Ultrasound Overview. In: Bolliger CT, Herth FJF, Mayo
PH, Miyazawa T, Beamis JF, editors. Clinical Chest Ultrasound. Sidney: KARGER;
2009. p. 11-20.
2. Anantham D, Ernst A. Ultrasonogrphy. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR,
King TE, Schraufnagel DE, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory
Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 445-60.
3. Moore CL, Copel JA. Point-of-Care Ultrasonography. N Engl J Med. 2011;364:749-
57.
4. Mathis G, Sparchez Z, Volpicelli G. Chest Sonography. In: Dietrich CF, ed. EFSUMB -
European Course Book. Italy: EFSUMB; 2010. p. 2-21.
5. Gardeli et al. Chest Ultrasonography in the ICU. Respir Care 2012;57(5):773-81.
6. Ahmed et all. Role of ultrasonography in the diagnosis of pleural effusion. Egyptian
Journal of Bronchology, Vol. 11 No. 2, April-June 2017.
7. Mayette M, Mohabir P. Ultrasound Physics. In : Soni NJ, Arntfield R, Kory P, editors.
Point-of- Care ULTRASOUND. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.9-18.
8. Brogi, E., Gargani, L., Bignami, E., Barbariol, F., Marra, A., Forfori, F., & Vetrugno, L.
(2017). Thoracic ultrasound for pleural effusion in the intensive care unit: a narrative
review from diagnosis to treatment. Critical Care, 21.
9. Ahmad S, Eisen LA. Lung Ultrasound : The Basics. In : Lumb P, Karakitsos D, editors.
Critical Care Ultrasound. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.106-10.
10. Lama KW, Chichra A, Cohen RI, Narasimhan M. Pleural Ultrasound. In : Lumb P,
Karakitsos D, editors. Critical Care Ultrasound. Philadelphia : ELSEVIER Saunders;
2015.p.111-4.
11. Millington SJ, Koenig S. Better With Ultrasound. Pleural Procedures in Critically Ill
Patients. Chest. 2018; 153: 224-32.

338 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Efek Samping dan Pemantauan Keberhasilan Terapi
Antiretrovirus
Evy Yunihastuti
Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Efek Samping Terapi Antiretrovirus


Efek samping terapi antiretrovirus (ARV) dapat terjadi segera setelah
memulai minum obat tersebut hingga pada penggunaan jangka panjang.
Dalam beberapa minggu pertama hingga 3 bulan pertama, efek yang muncul
umumnya gejala gastrointestinal, toksisitas hati atau reaksi hipersensitivitas
obat. Supresi sumsum tulang akibat penggunaan zidovudin (AZT) dapat
muncul dalam 4 minggu dan sesudahnya. Efek samping jangka panjang
umumnya bersifat kumulatif, terutama efek toksisitas mitokondria, seperti
asidosis laktat, pankreatitis, lipodistrofi pada penggunaan obat golongan
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) yang muncul mulai 6 bulan.
Obat tenofovir (TDF) justru dapat menyebabkan efek disfungsi mitokondria
pada tubulus ginjal setahun sejak pemakaian, sehingga pemantauan fungsi
ginjal justru perlu dilakukan pada pemakaian jangka panjang.

Efek samping yang memerlukan penghentian dan substuti obat adalah


efek samping derajat 3 atau 4 menurut AIDS Clinical Trial Group (ACTG).
Substitusi umumnya dilakukan dengan obat golongan yang sama, misalnya
AZT dengan TDF dan nevirapin (NVP) dengan efavirenz (EFV) atau rilpivirin
(RPV). Rilpivirin adalah obat golongan non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI) yang mempunyai efek samping lebih jarang dan ringan
dibandingkan NVP dan EFV. Namun, obat ini tidak dapat digunakan bersama
dengan proton pump inhibitor (PPI) dan rifampisin yang umum digunakan pada
pasien HIV. Efek samping obat ARV, faktor risiko dan pilihan substitusinya
sesuai dengan Pedoman Pelayanan Nasional Kedokteran HIV tahun 2019
dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 berikut ini.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 339


Evy Yunihastuti

Tabel 1. Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat substitusi


ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi lini 1
TDF Disfungsi tubulus renalis Sudah ada penyakit ginjal AZT
Sindrom Fanconi sebelumnya
Usia lanjut Jangan memberikan TDF
IMT < 18,5 atau BB < 50 kg pada pasien dengan eLFG
pada dewasa <50 mL/menit, hipertensi
DM tak terkontrol tidak terkontrol, diabetes
Hipertensi tak terkontrol yang tidak terkontrol, atau
Penggunaan bersama adanya gagal ginjala.
obat nefrotoksik lain atau
boosted PI
Menurunnya densitas Riwayat osteomalasia dan
mineral tulang fraktur patologis
Faktor risiko osteoporosis
atau bone-loss lainnya
Defisiensi vitamin D
Asidosis laktat atau Penggunaan nukleosida
hepatomegali dengan analog yang lama
steatosis Obesitas
Penyakit hati
Eksaserbasi hepatitis B Jika TDF dihentikan karena Gunakan alternatif obat
(hepatic flares) toksisitas lainnya pada ko- hepatitis lainnya seperti
infeksi hepatitis B entecavir
AZT Anemia atau neutropenia Anemia atau neutropenia TDF, atau
berat sebelum mulai terapi pertimbangkan
Jumlah CD4 ≤ 200 sel/μL penggunaan AZT dosis
(dewasa) rendahb,a
Intoleransi saluran cerna TDF
beratc
Asidosis laktat atau IMT > 25 atau BB > 75 kg TDF
hepatomegali dengan (dewasa)
steatosis Penggunaan nukleosida
Miopati, lipoatrofi atau analog yang lama
lipodistrofi
EFV Toksisitas SSP persisten Sudah ada gangguan mental Pertimbangkan
(seperti mimpi buruk, atau depresi sebelumnya penggunaan EFV dosis
depresi, kebingungan, Penggunaan siang hari rendah (400 mg/hari),
halusinasi, psikosis) kecuali pada ibu hamil dan
TB, atau
Kejang Riwayat kejang
subsitusi dengan NVP.
Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit liver Jika pasien tidak dapat
sebelumnya mentoleransi NVP dan EFV,
Ko-infeksi VHB dan VHC gunakan RPV. Jika tidak
Penggunaan bersama obat dapat juga, gunakan LPV/rd
hepatotoksik lain
Hipersensitivitas obate Faktor risiko tidak diketahui
Ginekomastia pada pria

340 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Efek Samping dan Pemantauan Keberhasilan Terapi Antiretrovirus

ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi lini 1


NVP Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit liver Substitusi dengan EFV600
sebelumnya Jika pasien tidak dapat
Ko-infeksi VHB dan VHC mentoleransi NVP dan
Penggunaan bersama obat EFV600, gunakan RPV atau
hepatotoksik lain EFV400 Jika tidak dapat juga,
jumlah CD4 baseline tinggi, gunakan LPV/rd
CD4 >250 sel/μL pada
perempuan
CD4 >400 sel/μL pada pria
Hipersensitivitas obate Faktor risiko tidak diketahui
a
Pada ODHA dewasa yang tidak dapat menggunakan AZT atau TDF, misalkan pada keadaan gagal ginjal,
pilihan lain adalah dengan menggunakan ABC
b
Dosis rendah AZT adalah 250 mg dua kali sehari untuk orang dewasa164zidovudine (ZDV
c
Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter dan berat yang dapat menghalangi minum obat ARV
(mual dan muntah persisten).
Introduksi PI dalam paduan lini pertama mengakibatkan menyempitnya pilihan obat berikutnya bila sudah
d

terjadi kegagalan terapi.


e
Lesi kulit yang berat didefinisikan sebagai lesi luas dengan deskuamasi, angioedema, atau reaksi mirip serum
sickness, atau lesi disertai gejala konstitusional seperti demam, lesi oral, melepuh, edema fasial, konjungtivitis.
Sindrom Stevens-Johnson dapat mengancam jiwa, oleh karena itu hentikan NVP atau EFV, 2 obat lainnya
diteruskan hingga 1-2 minggu ketika ditetapkan paduan ARV berikutnya.

Tabel 2. Faktor risiko dan tipe toksisitas ARV lini kedua dan ketiga
ARV Tipe toksisitas Faktor risiko
LPV/r EKG abnormal (PR dan QT interval Gangguan konduksi jantung
prolongation, torsade de pointes Penggunaan bersama obat yang dapat
memperpanjang interval PR lainnya
Pemanjangan interval QT Sindrom pemanjangan interval QT
kongenital
Hipokalemia
Penggunaan bersama obat yang dapat
memperpanjang interval QT lainnya
Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit hati sebelumnya
Ko-infeksi VHB dan VHC
Penggunaan bersama obat hepatotoksik
lainnya
Pankreatitis Stadium HIV lebih lanjut, penyalahgunaan
alkohol
Risiko prematur, lipoatrofi, sindrom Faktor risiko tidak diketahui
metabolik, dislipidemia, diare
DRV/r Reaksi hipersensitivitas
Hepatotoksisitas
Diare, nausea, sakit kepala, dislipidemia,
hiperglikemia, maldistribusi lemak 


Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 341


Evy Yunihastuti

ARV Tipe toksisitas Faktor risiko


DTG hepatotoksisitas Ko-infeksi VHC dan VHB
Reaksi hipersensitivitas
Insomnia, sakit kepala Riwayat gangguan psikiatrik sebelumnya
Depresi dan ide bunuh diri (jarang) Perempuan
Usia > 60 tahun

Pemantauan Keberhasilan dan Kegagalan Terapi Antiretrovirus


Pemeriksaan CD4 dan viral load (HIV RNA)
Pemeriksaan CD4 dan viral load secara berkala digunakan untuk me-
nilai efektivitas terapi ARV pada pasien HIV. Pemeriksaan viral load dapat
mendeteksi lebih dini dan akurat kegagalan pengobatan dibandingkan dengan
pemantauan menggunakan kriteria imunologis dan klinis, untuk memutuskan
penggantian paduan dari lini pertama menjadi lini kedua dan seterusnya.
Karena itu, selain untuk menilaian capaian program 90-90-90, pemeriksaan
viral load dianjurkan secara rutin pada 6 bulan setelah memulai pengobatan,
kemudian 12 bulan setelah pengobatan, dan selanjutnya setiap 12 bulan.
Jika belum dapat dilakukan secara rutin, strategi yang digunakan adalah
pemeriksaan viral load terbatas atau targeted viral load, yang dilakukan
ketika terdapat kecurigaan kegagalan pengobatan ARV berdasarkan kriteria
klinis dan imunologis. Tabel 3 menampilkan definisi respons virologis pada
pemeriksaan viral load rutin.

Tabel 3. Definisi respons virologis


Respons virologis Definisi
Supresi virologis Kadar viral load berada pada nilai batas bawah, dikonfirmasi
dari alat pemeriksaan yang tersedia.
Gagal virologis Ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan
supresi replikasi virus ke tingkat viral load <1000 kopi/mL.
Respons virologis inkomplit Viral load ≥ 200 kopi/mL pada dua kali pemeriksaan berturut-
turut, setelah 24 minggu mendapatkan paduan ARV pada
pasien yang belum pernah mengalami supresi virologis
yang terdokumentasi pada paduan tersebut. Baseline viral
load pada pasien dapat mempengaruhi waktu respons, dan
beberapa paduan akan memakan waktu lebih lama dari yang
lain untuk menekan tingkat viral load HIV.
Peningkatan (rebound) virologis Viral load yang tekonfirmasi ≥1000 kopi/mL setelah adanya
supresi virologis.
Peningkatan sementara (blip) Setelah mengalami supresi virologis, terjadi peningkatan
virologis sementara kadar viral load yang kemudian akan kembali pada
keadaan supresi virologis.

342 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Efek Samping dan Pemantauan Keberhasilan Terapi Antiretrovirus

World Health Organization (WHO) merekomendasikan ambang batas


1000 kopi/mL untuk menentukan kegagalan virologis. Hal ini berdasarkan
penelitian yang mendapatkan risiko transmisi HIV dan progresi penyakit
sangat rendah pada viral load di bawah 1000 kopi/mL. Viral blip atau viremia
kadar rendah kadang dapat ditemukan namun tidak berkaitan dengan
kejadian kegagalan terapi.

Pada ODHA yang jumlah virus pada beberapa kali pemeriksaan sudah
tidak terdeteksi dan jumlah CD4 sudah meningkat di atas 200 sel/μL,
pemeriksaan CD4 rutin tidak diperlukan lagi dan dapat menghemat biaya
pemeriksaan. Pada kondisi jumlah virus sudah tidak terdeteksi namun
jumlah CD4 menurun juga tidak membuat klinisi harus mengganti paduan
pengobatan. Telaah sistematik yang dilakukan oleh Ford, dkk menunjukkan
bahwa penurunan CD4 kurang dari 200 sel/μL yang jumlah virus sudah tidak
terdeteksi jarang terjadi 0,4% (95% CI ; 0,2 -0,6%). Jika terjadi penurunan
jumlah CD4 umumnya hanya sementara dan disebabkan oleh faktor lain seperti
penggunaan obat imunosupresan. Selain itu, risiko pneumonia Pneumocystis
jirovecii sangat rendah pada ODHA yang virus sudah tidak terdeteksi dengan
terapi ARV walau jumlah CD4 antara 100 dan 200 sel/μL.

Penentuan kegagalan terapi


Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria
virologis, imunologis, dan klinis (tabel 4). Kriteria terbaik adalah kriteria
virologis, namun bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium maka
digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak menunggu kriteria klinis
terpenuhi agar dapat mengganti ke lini selanjutnya lebih awal.

Pasien harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan


gagal terapi dalam keadaan keadaan kepatuhan yang baik. Jika kepatuhannya
tidak baik atau berhenti minum obat, penilaian kegagalan dilakukan setelah
minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan dengan stategi seperti
dalam bagan 1.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 343


Tabel 4. Definisi kegagalan terapi dan keputusan untuk mengganti terapi AR
Kegagalan Definisi Keterangan
Gagal klinis Munculnya infeksi oportunistik baru Kondisi klinis haru
Evy Yunihastuti
atau berulang (stadium klinis WHO 4) yang muncul setela
Tabel 4. Definisi kegagalan terapi dan keputusan untuk mengganti terapi ARV Beberapa kondisi k
Kegagalan Definisi Keterangan
atau infeksi bakter
munculnya EPP ke
Gagal klinis Munculnya infeksi oportunistik baru Kondisi klinis harus dibedakan dengan
atau berulang (stadium klinis WHO 4) IRIS yang muncul setelah memulai mengindikasikan
terapi g
Gagal CD4 <250 sel/μL ARV. disertai dengan Tanpa adanya infe
imunologis kegagalan klinis Beberapa kondisi klinis WHO 3 (TBmenyebabkan penu
paru atau infeksi bakteri berat lainnya)
Atau atau munculnya EPP kembali dapat
CD4 persisten dibawah 100 sel/μL
mengindikasikan gagal terapi.
Gagal Gagal Padadengan
CD4 <250 sel/μL disertai pasien dengan kepatuhan
Tanpa yang
adanya infeksi lain yang
virologis
imunologis kegagalan klinis
Atau
baik, viral load di atas 1000 kopi/mL
menyebabkan penurunan jumlah CD4

berdasarkan
CD4 persisten dibawah 100 sel/μL 2x pemeriksaan viral load
Gagal
dengan jarak 3-6 bulan
Pada pasien dengan kepatuhan yang
virologis baik, viral load di atas 1000 kopi/mL
berdasarkan 2x pemeriksaan viral load
dengan jarak 3-6 bulan
Bagan 1. Strategi pemeriksaan viral load

Bagan 1. Strategi pemeriksaan viral load

Daftar Pustaka
Daftar
1. The Joint UnitedPustaka
Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). 90-90-90: an
ambitious treatment target to help end the AIDS epidemic. Geneva: UNAIDS; 2014.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no HK.01.07/MENKES/90/2019
1. The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UN
tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV. Jakarta:
ambitious treatment target to help end the AIDS epidemic. Gen
Kementerian Kesehatan RI; 2019.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no HK.01
tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata L
344 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Kementerian Kesehatan RI; 2019.
Efek Samping dan Pemantauan Keberhasilan Terapi Antiretrovirus

3. World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral


drugs for treating and preventing HIV infection recommendations for public health
approach. Geneva: World Health Organization; 2016.
4. Cohen C, Wohl D, Arribas JR, Henry K, Van Lunzen J, Bloch M, dkk. Week 48 results
from a randomized clinical trial of rilpivirine/emtricitabine/tenofovir disoproxil
fumarate vs. efavirenz/emtricitabine/tenofovir disoproxil fumarate in treatment-
naive HIV-1-infected adults. AIDS. 2014;28:989–97.
5. Bonner K, Mezochow A, Roberts T, Ford N, Cohn J. Viral load monitoring as a
tool to reinforce adherence: a systematic review. J Acquir Immune Defic Syndr.
2013;64:74–8.
6. Mallett SK, Iokwundu C, Young T, Deeks J, Soares Weiser K, Al. E. A systematic
review of initial viral load (VL) testing after ART initiation. Enhanc Rev. 2015.
7. Girard P-M, Nelson M, Mohammed P, Hill A, van Delft Y, Moecklinghoff C. Can
we stop CD4+ testing in patients with HIV-1 RNA suppression on antiretroviral
treatment? AIDS. 2013;27:2759–63.
8. Hyle EP, Sax PE, Walensky RP. Potential savings by reduced CD4 monitoring
in stable patients with HIV receiving antiretroviral therapy. JAMA Intern Med.
2013;173:1746–8.
9. Chow EPF, Read TRH, Chen MY, Fehler G, Bradshaw CS, Fairley CK. Routine CD4 cell
count monitoring seldom contributes to clinical decision-making on antiretroviral
therapy in virologically suppressed HIV-infected patients. HIV Med. 2015;16:196–
200.
10. Ford N, Stinson K, Gale H, Mills EJ, Stevens W, Perez Gonzalez M, dkk. CD4 changes
among virologically suppressed patients on antiretroviral therapy: a systematic
review and meta-analysis. J Int AIDS Soc. 2015;18:20061.
11. Costiniuk CT, Fergusson DA, Doucette S, Angel JB. Discontinuation of Pneumocystis
jirovecii pneumonia prophylaxis with CD4 count <200 cells/microL and virologic
suppression: a systematic review. PLoS One. 2011;6:e28570.
12. Loutfy MR, Wu W, Letchumanan M, Bondy L, Antoniou T, Margolese S, dkk.
Systematic review of HIV transmission between heterosexual serodiscordant
couples where the HIV-positive partner is fully suppressed on antiretroviral
therapy. PLoS One. 2013;8:e55747.
13. Havlir D V, Bassett R, Levitan D, Gilbert P, Tebas P, Collier AC, dkk. Prevalence
and predictive value of intermittent viremia with combination hiv therapy. JAMA.
2001;286:171–9.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 345


Pendekatan Diagnosis dan Alur Penatalaksanaan
Nodul Tiroid
Tjokorda Gde Dalem Pemayun
Divisi Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang

Pendahuluan
Prevalensi nodul tiroid berdasarkan temuan fisik 4–7%, namun yang
ditemukan melalui USG 19-67%. Sebagian besar nodul tiroid bersifat
asimptomatik, hanya sekitar 5-7% nodul tiroid disebabkan oleh keganasan.
Prevalensi nodul tiroid lebih banyak pada wanita, khususnya yang berdomisili
di daerah kekurangan yodium. Pembesaran ukuran nodul terjadi rata-
rata 2%/tahun dan lebih dari 50% nodul tiroid merupakan nodul multipel.
Terapi nodul tiroid jinak pada umumnya cukup dengan terapi konservatif.
Terapi supresif nodul tiroid dengan hormon tiroksin digunakan pada nodul
tiroid ganas pasca operasi. Terapi supresif pada nodul tiroid jinak masih
kontroversial. 1,2

Assessment Nodul Tiroid


Beberapa pertanyaan yang muncul bila dokter menemui pasien dengan
keluhan dan tanda klinik nodul tiroid antara lain: 3
a. Langkah apakah yang dilakukan pada nodul incidentaloma (ukuran nodul
< 1cm) atau nodul tiroid klinis (ukuran nodul > 4 cm)?
b. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang apakah yang harus dikerjakan
untuk diagnosis etiologi nodul tiroid?
c. Bagaimana prinsip biopsi jarum halus pada nodul tiroid?
d. Bagaimana monitoring jangka panjang nodul tiroid?
e. Bagaimana prinsip terapi medis nodul tiroid jinak?
f. Bagaimana manajemen nodul tiroid pada anak dan wanita hamil?

Untuk menjawab satu per satu pertanyaan di atas, langkah awal yang
harus dilakukan pada nodul tiroid adalah anamnesis teliti dan lengkap
meliputi beberapa aspek yaitu:
1. Mengetahui dengan benar riwayat perjalanan penyakit, termasuk apakah
ada riwayat domisili/tempat tinggal di daerah kekurangan yodium,

346 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Apa, Mengapa, dan Bagaimana: Inisiasi Dini Penggunaan Insulin dalam Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2

apakah ada riwayat penyakit kanker tiroid di dalam keluarga, apakah


ada riwayat terapi radioaktif di daerah leher pada masa kanak-kanak
sebelumnya;
2. Melakukan pemeriksaan kelenjar getah bening dengan teliti di leher atau
di daerah tubuh lain;
3. Melakukan pemeriksaan tes fungsi tiroid, biomarker tumor tiroid ganas,
dan tes biomarker genetikserta pemeriksaan penunjang USG kelenjar
tiroid, dan bila sarananya lengkap dilakukan pemeriksaan sidik tiroid.4

Secara klinis, ciri-ciri dan faktor risiko nodul tiroid ganas yakni1
1) Lebih sering pada laki-laki
2) Usia ekstrem (kurang dari 20 tahun atau lebih dari 65 tahun)
3) Pertumbuhan nodul sangat cepat
4) Adanya keluhan akibat invasi nodul di jaringan sekitarnya (misalnya
disfagia, nyeri leher, suara serak)
5) Ada riwayat radiasi di daerah leher dan kepala di masa lalu
6) Ada riyawat keluarga menderita kanker tiroid (Gardner’s syndrome)

Beberapa ciri-ciri fisik nodul tiroid yang dicurigai ganas yakni: 2


1) Ukuran nodul > 4 cm (19.3% risiko ganas)
2) Konsistensi keras dan padat
3) Terfiksir dengan jaringan sekitar
4) Ada pembesaran kelenjar getah bening di daerah leher
5) Pita suara tak bergetar

Diagnosis
Setelah anamnesis klinis yang lengkap, dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik terhadap nodul dan pemeriksaan penunjang (misalnya USG leher dan
kalau perlu pemeriksaan sidik tiroid). Pemeriksaan biokimia yang harus
dilakukan antara lain:5
a). Kadar TSH serum, kadar TT4 atau fT4 serum, kadar TT4 atau fT3
serum, yang tujuannya untuk menentukan apakah nodul mengalami
tirotoksikosis klinis atau sub-klinis atau hipotiroid klinis atau sub-
klinis. Bila ditemukan kadar TSH serum normal, segera dilakukan
aspirasi jarum halus (biospi jarum halus/bajah) yang bergantung pada
keterampilan dokter. Ketika kadar TSH sangat rendah, kemungkinan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 347


Rulli Rosandi

nodul tiroid dalam kondisi tiroktoksikosis otonom. Namun, ketika kadar


TSH serum meningkat, kemungkinan pasien dalam kondisi hipotiroid
klinis atau sub-klinis. Pada kondisi sub-klinis hipertiroid atau sub-klinis
hipotiroid perlu re-evaluasi anamnesis secara cermat. Pemeriksaan
kadar kalsitonin serum harus diukur pada siapa pun yang memiliki
riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid meduler.
b). Tes fungsi tiroid (TT3 atau fT3 dan TT4 atau fT4 plasma) tidak boleh
digunakan untuk membedakan apakah nodul tiroid jinak atau nodul
tiroid ganas.
c). Pemeriksaan kadar antibodi peroksidase (TPO antibodi) dan anti
tiroglobulin (Anti Tg) tidak membantu dalam menentukan apakah nodul
tiroid jinak atau ganas. Pemeriksaan ini dikerjakan bila dicurigai ada
risiko autoimun pada perjalanan nodul tiroid.2 the majority of thyroid
nodules are asymptomatic and benign, so the thyroid surgeon must rely
on diagnostic studies to determine when surgery is indicated. Ultrasound
is the preferred imaging modality for thyroid nodules, and the ultrasound
guided fine needle aspiration biopsy (FNAB
d). Pemeriksaan USG tiroid adalah langkah penting yang harus dilakukan
pada semua nodul tiroid. Interpretasi hasil USG dapat dikelompokkan
menjadi dua aspek, yaitu aspek nodul dan aspek kelenjar limfa. Tabel 1 di
bawah ini sebagai panduan bila dicurigai nodul tiroid ganas.

Tabel 1. Gambaran Nodul Tiroid Ganas dan Kelenjar Limfa.6


Thyroid nodule features Lymph node features
1 Micro-calcifications Micro-calcifications
2 Hypo-echogenicity Hyper-echogenicity
3 Irregular margins (infiltrative, microlobulated, or spiculated) Peripheral vascularity
4 Shape taller than wide on transverse view Rounded shape

Bila dokter menemukan incidentaloma berdasarkan USG, seringkali


dokter bedah membuat keputusan yang hati-hati. Pada kondisi ini, dilakukan
re-anamnesis klinis dan riwayat keluarga serta perjalanan alamiah nodul
tersebut. Pemeriksaan bajah dengan tuntunan USG perlu dilakukan
tergantung pengalaman klinisi. Bajah perlu dilakukan berulang terutama bila
ditemukan hasil sitologi kategori indeterminate. (6) Suatu nodul tiroid kecil
atau incidentaloma merupakan masalah klinis yang membingungkan, namun
sebenarnya incidentaloma hanya sebagian kecil ganas. Temuan incidentaloma

348 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Apa, Mengapa, dan Bagaimana: Inisiasi Dini Penggunaan Insulin dalam Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2

berdasarkan otopsi, rata-rata, 36 kasus per 1000 orang. Insiden kanker ganas
hanya 0,5-10 kasus per 100000 populasi.7

Sebagai rangkuman dari beberapa pedoman klinis nodul tiroid jinak dan
nodul tiroid ganas, yaitu: a). anamnesis gejala dan tanda klinis harus teliti
sebelum menentukan jenis terapi, b). pemeriksaan radiologi, dan sitologi
berdasarkan temuan bajah perlu disesuaikan dengan pemeriksaan biomarker
tumor dan asesmen genetik.8 Pada tabel 2, dapat dilihat, rangkuman gambaran
nodul pada USG, yang dicurigai keganasan.

Tabel 2. Sensitivitas dan Spesifisitas Temuan USG pada Nodul Tiroid Ganas. 2
Nodules finding Median Sensitivity Median Specificity
• Micro-calcifications 83% 52%
• Absence of halo 66% 54%
• Irregular margins 55% 79%
• Hypo-echoic 81% 53%
• Increased intranodular flow 67% 81%

Namun, banyak pasien khawatir tentang kemungkinan keganasan


pada semua nodul tiroid walaupun secara USG tidak sesuai dengan ciri-ciri
keganasan dan meminta biopsi. Dokter harus meyakinkan karena risiko
keganasan pada nodul itu kurang dari 1%.7

Pada gambar 1, di bawah ini, adalah pedoman alur diagnosis nodul tiroid
serta langkah terapi medik dan terapi pembedahan.3

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 349


PadaRulli
gambar
Rosandi 1, di bawah ini, adalah pedoman alur diagnosis nodul tiroid serta langkah
terapi medik dan terapi pembedahan. 3

Gambar 1.
Gambar 1. Alur
Alur diagnostik
diagnostikdan
danpenatalaksanaan
penatalaksanaannodul tiroid. 3
tiroid.
nodul
3

a. Interpretasi Hasil Bajah


Interpretasi hasil bajah menggunakan sistem Bethesda. Bajah sebaiknya
dikerjakan dibawah tuntunan USG, dengan jarum 25-gauge, yang
menyimpulkan 3 dari 5 sediaan biopsi, dengan pewarnaan Diff-Quik.

350 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Apa, Mengapa, dan Bagaimana: Inisiasi Dini Penggunaan Insulin dalam Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2

Sistem ini diperkenalkan tahun 2007, yang mencakup 6 kategori


diagnosis sebagai berikut: 5,9
I. Tidak Memuaskan (Unsatisfactory/UNS) atau non-diagnostik
(nondiagnostic/ND)
II. Atypikal jinak (Benign) dan non-neoplastik (nonneoplastic)
III.
Signifikansi yang tidak ditentukan atau lesi folikuler dengan
signifikansi yang belum ditentukan (Atypia of undetermined
significance or follicular lesion of undetermined significance
AUS/FLUS)
Neoplasma folikel atau mencurigai neoplasma folikel (Follicular
IV.
neoplasm or suspicious for follicular neoplasm FN/SFN)
V. Mencurigakan untuk keganasan (Suspicious for malignancy/ SM)
Ganas (Malignant)
VI.

Sistem Bethesda merupakan salah satu sistem yang dirujuk oleh


beberapa pathologist. Salah satu tujuannya adalah untuk menyeragamkan
interpretasi untuk membuat kesepakatan klinis. Asesmen genetika yang
dianjurkan antara lain resiko faktor mutasi (misalnya BRAF, NRAS,
HRAS, KRAS, PAX8/PPARG, RET/PTC). Pemeriksaan asesmen genetik
ini penting dipertimbangkan pada kasus yang sulit dan terjadi di sebuah
keluarga. (9)the European Thyroid Association convened a panel of
international experts to review methodological aspects, indications,
results, and limitations of molecular FNA cytology diagnostics. The
panel reviewed the evidence for the diagnostic value of mutation panel
assessment (including at least BRAF, NRAS, HRAS, KRAS, PAX8/PPARG,
RET/PTC

b. Interpretasi Hasil USG


Gambaran nodul pada USG dapat menggunakan sistem klasifikasi TI-
RADS, (Thyroid Cytology and the Thyroid Imaging Reporting and Data
System) yang menguraikan 6 kategori nilai angka, sebagai berikut yaitu:5
 1: normal (tidak adanya nodul)
 2: jinak (kista sederhana, kista berpisah, makrokalsifikasi terisolasi,
nodul spongiform isoechoic)
 3: sangat mungkin jinak (berbentuk oval, batas reguler, isoechoic,
atau hyperechoic);

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 351


Rulli Rosandi

 4A: kecurigaan rendah keganasan (berbentuk oval, batas reguler,


sedikit hypoechoic);
 4B: tingkat kecurigaan tinggi keganasan (1 atau 2 menunjukkan
indikasi kecurigaan tinggi: lebih banyak tingginya dari lebarnya/
lebih tinggi dari panjang, berbatasan atau berbatasan dengan batas,
hipo ekogenisitas tinggi, mikrokalsifikasi, elastografi tampak kaku)
 5: positif ganas. (menunjukkan 3-5 fitur kecurigaan ganas, nampak
kelenjar getah bening metastasis yang mungkin berasal dari tiroid).

Tabel 3. Interpretasi
Tabel 3. InterpretasiGambaran
Gambarandan
danUkuran
UkuranNodul
Nodulpada
pada USGdan
USG danRisiko
Risiko
Keganasan.1010
Keganasan.

Simpulan
Simpulan
Prevalensi nodul tiroid sekitar 4–7%, dan sebagian besar jinak. Sekitar
Prevalensi
50% nodulnodul tiroid
tiroid merupakan
sekitar 4–7%, nodul
dan sebagian
multipelbesar
dan jinak.
perluSekitar 50% nodul
anamnesis tiroid
yang cermat
merupakan nodul multipel dan perlu anamnesis yang cermat mengenai riwayat
mengenai riwayat perjalanan penyakit, riwayat keluarga kanker tiroid, dan perjalanan
penyakit, riwayat keluarga kanker tiroid, dan riwayat berdomisili di daerah defisiensi yodium.
riwayat berdomisili di daerah defisiensi yodium. Terapi konservatif dilakukan
Terapi konservatif dilakukan pada nodul tiorid jinak, namun perlu tindakan operasi dan terapi
pada nodul tiorid jinak, namun perlu tindakan operasi dan terapi ablasi
ablasi dengan yodium radioaktif pada kasus kambuh dan metastasis.
dengan yodium radioaktif pada kasus kambuh dan metastasis.

DAFTAR
DaftarPUSTAKA
Pustaka
1. Mary Jo W, Orlov D. Thyroid Nodules. Am Fam Physician. 2003;67(3):559–66.
1. Mary Jo W, Orlov D. Thyroid Nodules. Am Fam Physician. 2003;67(3):559–66.
2. Bomeli SR, LeBeau SO, Robert LF. Evaluation of a Thyroid Nodule. Otolaryngol Clin
2. Bomeli SR, LeBeau SO, Robert LF. Evaluation of a Thyroid Nodule. Otolaryngol Clin
North Am. 2010;43(2):229–38.
North Am. 2010;43(2):229–38.
3. Cooper DS, Medicine JH, Haugen B, Kloos RT, Lee SL. Revised American Thyroid
352 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Association Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid Nodules and
Differentiated Thyroid Cancer. THYROID. 2009;19 (11)(November):1167–214.
4. Arrangoiz R, Cordera F, Caba D, Moreno E, de Leon EL, Muñoz M. Management
Apa, Mengapa, dan Bagaimana: Inisiasi Dini Penggunaan Insulin dalam Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2

3. Cooper DS, Medicine JH, Haugen B, Kloos RT, Lee SL. Revised American Thyroid
Association Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid Nodules and
Differentiated Thyroid Cancer. THYROID. 2009;19 (11)(November):1167–214.
4. Arrangoiz R, Cordera F, Caba D, Moreno E, de Leon EL, Muñoz M. Management
Approach to Thyroid Nodules. Int J Otolaryngol Head &amp; Neck Surg.
2018;07(04):214–27.
5. Al Dawish MA, Robert AA, Thabet MA, Braham R. Thyroid nodule management:
Thyroid-stimulating hormone, ultrasound, and cytological classification system for
predicting malignancy. Cancer Inform. 2018;17:1–9.
6. Fisher SB, Perrier ND. The Incidental Thyroid Nodule. CA CANCER J CLIN.
2018;68(2):97–105.
7. Mackenzie EJ, Mortimer RH. Thyroid nodules and thyroid cancer. MJA.
2004;180(5):242–7.
8. Valderrabano P, Mclver B. Evaluation and Management of Indeterminate Thyroid
Nodules : The Revolution of Risk Stratification Beyond Cytological Diagnosis.
Cancer Control. 2017;24(5):1–14.
9. Paschke R, Cantara S, Crescenzi A, Jarzab B, Musholt TJ, Sobrinho Simoes M.
European Thyroid Association Guidelines regarding Thyroid Nodule Molecular
Fine-Needle Aspiration Cytology Diagnostics. Eur Thyroid J. 2017;6(3):115–29.
10. Song JSA, Hart RD. Fine-needle aspiration biopsy of thyroid nodules Determining
when it is necessary. Can Fam Physician. 2018;64:127–8.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 353


Penatalaksanaan Terkini
Differentiated Thyroid CA (DTC)
Jongky Hendro Prayitno
Divisi Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Differentiated thyroid carcinoma (DTC) yang juga disebut sebagai
karsinoma tiroid papiler atau folikular adalah suatu keganasan pada kelenjar
tiroid dimana sel kanker ini terlihat dan dalam beberapa hal bersifat seperti
sel tiroid normal. Pertumbuhannya bersifat lambat dan biasanya muncul
pada orang dewasa berupa massa pada kelenjar tiroid tanpa disertai gejala.
Sinonimnya adalah karsinoma tiroid papiler atau folikular, Well-differentiated
thyroid carcinoma. DTC adalah bentuk yang paling sering dijumpai dari kanker
tiroid insiden tahunanannya secara keseluruhan berkisar antara 1/10.000 dan
insidennya memiliki kecenderungan yang terus meningkat. Rasio penderita
perempuan terhadap laki-laki kurang lebih 3:1. Dari keseluruhan insiden
DTC, Sekitar 90% nya adalah PTC, dan 10% adalah FTC.

Insiden DTC cenderung meningkat di seluruh dunia. Hal ini disebabkan


semakin majunya teknologi dan penggunaan sarana diagnostik yang makin
canggih sehingga memungkinkan terdiagnosanya kanker tiroid papiler
berukuran kecil (PTC). Sedangkan angka kematian dari DTC, menurun sangat
drastis dalam periode lima dekade terakhir.

Tantangan terbesar bagi para klinisi terutama adalah untuk menghindari


diagnosis yang berlebihan terhadap pasien dengan penyakit berisiko rendah
atau nodul tiroid jinak, di lain pihak para klinisi dituntut untuk segera dapat
mengidentifikasi pasien dengan tumor pada stadium lebih lanjut atau pada
tumor dengan risiko tinggi yang membutuhkan pendekatan diagnostik dan
perawatan yang lebih agresif.

Strategi Penatalaksanaan
Tujuan dasar terapi awal untuk pasien DTC adalah untuk memperbaiki
kelangsungan hidup dan mengurangi risiko kekambuhan dan persisten
yang terkait dengan morbiditas, melalui pemeriksaan staging penyakit
dan stratifikasi risiko yang akurat. Terapi awal juga ditujukan untuk

354 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Terkini Differentiated Thyroid CA (DTC)

meminimalkan morbiditas terkait pengobatan dan pemberian terapi-terapi


yang tidak diperlukan.

Dalam edisi 2015 pedoman praktiknya, American Thyroid Association


(ATA) juga melakukan revisi untuk stratifikasi terhadap risiko munculnya
kembali kanker tiroid. Variabel baru yang dimasukan dalam pertimbangan
anatara lain gambaran patologis yang baru dari tumor (misalnya, varian
histopatologis, invasi vaskular, jumlah kelenjar getah bening yang terlibat,
ukuran kelenjar getah bening terbesar, dan keberadaan penyebaran
ekstranodal) serta karakteristik molekuler (status mutasi BRAF dan promotor
TERT, bila memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan). Perubahan-
perubahan ini diharapkan dapat dipakai untuk memperkirakan dengan lebih
tepat kemungkinan terulangnya kanker tiroid (Haugen, et.al, 2013).

Sedangkan tujuan spesifik dari terapi awal adalah untuk:


1. menghilangkan/membuang tumor primer, ataupun tumor yang telah
meluas di luar kapsul tiroid, dan metastase kelenjar getah bening (KGB).
2. Meminimalkan risiko kekambuhan penyakit dan metastasis. Pembedahan
yang adekuat adalah perawatan yang paling penting dan merupakan
faktor yang mempengaruhi prognosis, sedangkan pengobatan RAI,
penghambatan TSH, dan perawatan yang lain masih menunjukkan
manfaat pada beberapa kasus.
3. Memfasilitasi perawatan pasca operasi dengan RAI. Pemberian terapi
RAI diperlukan untuk menghilangkan semua jaringan tiroid normal
4. Melakukan staging yang akurat dan stratifikasi risiko penyakit. Karena
stadium penyakit dan stratifikasi risiko penting dipakai memberikan
panduan prognostik awal, menentukan penatalaksanaan penyakit, dan
strategi tindak lanjut,
5. Melakukan pemantauan jangka panjang yang akurat untuk memonitor
kekambuhan penyakit.
6. Meminimalkan morbiditas terkait pengobatan. luasnya area operasi dan
pengalaman dokter yang melakukan tindakan operasi menentukan risiko
komplikasi operasi

1. Active Surveilance
Panduan dari ATA 2015 memasukkan active surveilance di antara
beberapa pilihan penatalaksanaan untuk PTC yang berdiameter

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 355


Jongky Hendro Prayitno

kecil. yaitu menunda operasi dan melakukan pengamatan terhadap


perkembangan kanker dalam kurun waktu tertentu. Strategi ini terbukti
aman dan efektif seperti yang dilaporkan pada penelitian berskala
besar di Jepang dalam yang diamati selama 10 tahun. Penelitian ini
menunjukkan sangat sedikit pasien yang mengalami pertumbuhan tumor
(8%), dan insiden ke arah metastase pada kelenjar getah bening lebih
kecil lagi (4%). Faktor usia di bawah 40 tahun saat awal terdiagnosis
adalah faktor risiko independen terhadap perkembangan penyakit. Dari
penelitian ini, dalam hal penyembuhan, menunda tindakan pembedahan
terbukti sama efektifnya dengan melakukan tindakan bedah segera (Ito,
et.al 2014; Oda et.al 2016)

2. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan bersifat individual, berdasarkan panduan dari ATA
2015, tiroidektomi lobus (TL) mungkin dipertimbangkan untuk tumor
intra-tiroidal dengan risiko rendah dengan ukuran hingga 4 cm, dan tidak
didapatkan lesi di lobus kontralateral. dimana pada panduan-panduan
sebelumnya, total tiroidektomi (TT) merupakan pendekatan bedah yang
banyak dipakai untuk jenis tumor ini. Beberapa tindakan bedah pada
kelenjar tiroid adalah:
• Tiroidektomi Lobus (TL) : Pengangkatan lobus di tempat kanker
tiroid berada. Biopsi kelenjar getah bening di daerah tersebut dapat
dilakukan untuk melihat apakah mengandung sel-sel kanker
• Tiroidektomi hampir total: Pengangkatan semua jaringan tiroid
kecuali sebagian yang sangat kecil dari kelenjar tiroid
• Tiroidektomi total (TT) : Pengangkatan seluruh kelenjar tiroid tanpa
sisa
• Limfadenektomi atau diseksi leher: Pengangkatan kelenjar getah
bening di leher yang mengandung sel kanker tiroid. Tindakan Ini
umumnya dipisahkan menjadi diseksi kelenjar getah bening sentral
dan lateral.

TL memberikan beberapa keunggulan dibandingkan TT. Pertama, efek


samping yang tidak diinginkan lebih rendah dibandingkan dengan TL.
Metoda ini meminimalisir risiko permanen hipoparatiroidisme dan
bilateral recurrent laryngeal nerve (RLN) palsy dan mengurangi tingkat
RLN palsy unilateral permanen bila dibandingkan TT (0,6% dalam TL
versus 1,3% dalam TT). Kedua, hipotiroidisme pasca pembedahan setelah
356 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Penatalaksanaan Terkini Differentiated Thyroid CA (DTC)

TT membutuhkan penggantian levothyroxine (LT4) terapi seumur hidup.


Tingkat hipotiroidisme setelah TL bervariasi dari 23,6% hingga 47%, dan
pasien dengan kadar TSH serum normal mungkin saja tidak memerlukan
pemberian levothyroxin sama sekali Pedoman ATA tidak menganjurkan
diseksi leher tengah (isthmus) sebagai suatu tindakan profilaksis untuk
pasien berisiko rendah meskipun frekuensi dari metastase kelenjar
getah bening subklinisnya tinggi pada DTC (Maltering, et.al 2010; Livia
et.al 2019)

3. Staging Risiko Kekambuhan dan Respon Terapi


Berdasarkan sistem staging The American Joint Cancer Committee (AJCC)
dengan metode TNM untuk kanker tiroid, diperhitungkan memakai
perhitungan usia pasien, luasnya tumor tiroid primer (T), keterlibatan
kelenjar getah bening (N), dan adanya metastasis jauh (M). Sistem ini
ditujukan untuk memprediksi kematian (bukan kekambuhan). Edisi
kedelapan dari sistem staging ini berisi modifikasi penting menyangkut
perubahan batas usia dinaikkan dari 45 hingga 55 tahun, keberadaan
ekstensi ekstratiroidal minimal tidak lagi relevan untuk klasifikasi T, dan
tahapan tumor juga ditata kembali. Metastase KGB regional atau adanya
perluasan di luar kelenjar tiroid yaitu pada otot ikat tidak lagi masuk
pada stadium III tetapi stadium II dijumpainya invasi makroskopis di luar
otot (jaringan subkutan, laring, trakea, esofagus T4a atau arteri karotis,
fasia prevertebralis atau pembuluh mediastinum pada tumor T4b)
merupakan faktor prognostik yang tidak menguntungkan. Tujuan dari
modifikasi ini adalah untuk meningkatkan akurasi prediksi mortalitas,
memperketat penggolongan risiko yang lebih tinggi untuk sebagian kecil
pasien terutama stadium III dan IV ( Nixon et.al, 2016).

Sedangkan tingkat risiko untuk DTC berdasarkan panduan ATA 2015


menjelaskan risiko akan kekambuhan kembali atau menjadi persistennya
DTC. Tingkat risiko ini merupakan faktor penting dalam pengambilan
keputusan terkait perawatan dan pemantauan lanjutan. Tingkat risiko
tersebut adalah:
Risiko rendah: Bila tidak dijumpai jaringan kanker pada jaringan
terdekat maupun keterlibatan KGB pada 5 atau kurang di area sekitar
kelenjar tiroid (diameter kurang dari 0,2 cm). Pada beberapa pasien,
melihat dan menunggu mungkin dapat menjadi opsi selain operasi.
Pengangkatan melalui lobektomi atau tiroidektomi hampir total /
total, diseksi leher kompartemen sentral juga dapat dilakukan. Ini

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 357


Jongky Hendro Prayitno

berarti operasi pengangkatan KGB di sekitar tiroid. Pada pasien dengan


risiko rendah, operasi bisa saja menjadi satu-satunya pilihan. Tingkat
penyembuhan untuk pasien dengan risiko rendah yang hanya dilakukan
operasi menunjukkan hasil sangat baik. Pada beberapa pasien, dilakukan
terapi ablasi radioaktif yodium (RAI) setelah tiroidektomi. Banyak Faktor
yang perlu dipertimbangkan untuk mengambil keputusan diperlukannya
terapi RAI. Terapi sulih hormon tiroid juga bisa menjadi pilihan terapi
pasca tiroidektomi (Durante, et.al, 2010; Brito, et.al, 2016)
Risiko Menengah: berarti ditemukan beberapa tumor di sekitar jaringan
leher pada saat operasi, dan keterlibatan lebih dari 5 KGB metastasis
berukuran 0,2 hingga 3 cm, atau telah terjadi invasi ke pembuluh darah.
Operasi pengangkatan yang dilakukan biasanya tiroidektomi hampir
total / total, ditambah diseksi kompartemen sentral leher (operasi
pengangkatan KGB di sekitar tiroid). Jika kanker telah menyebar ke
kelenjar getah bening leher, maka diperlukan operasi pengangkatan KGB
yang lebih luas dari leher. Ablasi yodium radioaktif umumnya diberikan
untuk menghilangkan sisa jaringan tiroid pasca operasi dan untuk
menghilangkan sisa jaringan kanker tiroid yang tidak terdeteksi di leher.
Terapi sulih hormon tiroid dengan dosis yang sesuai akan diberikan pada
pasien pasca tiroidektomi (Adam et.al, 2015; Lytrivi, 2016)
Risiko Tinggi: berarti tumor telah bermetastasis luas di luar jaringan
tiroid, metastasis jauh, pengangkatan tumor yang tidak lengkap, atau
penyebaran kanker pada kelenjar getah bening dengan diameter lebih
dari 3 cm.

Seperti pada kelompok risiko sedang, operasi pengangkatan bisa


tiroidektomi hampir total / total, atau diperluas sampai diseksi
kompartemen sentral leher jika kanker telah menyebar ke KGB leher.
Ablasi yodium radioaktif diberikan dalam usaha untuk menghilangkan
sisa jaringan tiroid dan kanker tiroid pasca operasi yang tidak terdeteksi
di leher. Terapi sulih hormon tiroid diperlukan dengan dosis yang sesuai
pada pasien pasca tiroidektomi (Adam, et.al, 2015)

Beberapa pasien mungkin memerlukan terapi penyinaran radiasi


eksternal. Beberapa pasien juga mungkin dapat diberikan kemoterapi
untuk mengatasi metastasis DTC dan untuk DTC yang tidak menyerap
yodium radioaktif, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan RAI. Obat
kemoterapi yang seringkali dipakai adalah Lenvima® atau Nexavar®

358 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


hormon tiroid diperlukan dengan dosis yang sesuai pada pasien pasca tiroidektomi (Adam,
et.al, 2015)
Beberapa pasien mungkin memerlukan terapi penyinaran radiasi eksternal. Beberapa
pasien juga mungkin dapat diberikan kemoterapi untuk mengatasi metastasisTerkini
Penatalaksanaan DTCDifferentiated
dan untuk Thyroid CA (DTC)
DTC yang tidak menyerap yodium radioaktif, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan RAI.
Perawatan
Obat kemoterapi yangselanjutnya akan
seringkali dipakai tergantung
adalah pada
Lenvima® atau stadium kanker tiroid dan
Nexavar®
tingkat
Perawatan risiko akan
selanjutnya kekambuhan
tergantung atau
pada persistennya
stadium kanker DTC.
tiroid stage I danrisiko
dan tingkat II biasanya
kekambuhan
masuk ataudalam
persistennya
risikoDTC. stage sedangkan
rendah, I dan II biasanya masuk
stage dalamIVrisiko
III dan rendah, masuk
biasanya
sedangkan stage III dan IV biasanya masuk dalam risiko menengah dan tinggi.
dalam risiko menengah dan tinggi.

Gambar 1. Pilihan Tindakan Operasi untuk DTC


Gambar 1. Pilihan Tindakan Operasi untuk DTC

4. Terapi Ablasi Radioiodine


Pasien bisa diberikan yodium radioaktif (juga dikenal sebagai radioiodine,
I-131 atau Ablasi Radioaktif Iodium atau RAI) pada beberapa minggu
pasca operasi dengan tujuan untuk menghilangkan sel-sel kanker tiroid
papiler atau folikel yang tersisa atau untuk membersihkan jaringan tiroid
normal yang tidak dapat dihilangkan oleh dengan prosedur operasi.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 359


Jongky Hendro Prayitno

Ablasi juga bertujuan untuk menghilangkan sel kanker tiroid yang


mungkin telah menyebar ke bagian lain dari tubuh. Menghilangkan sisa-
sisa jaringan tiroid yang normal akan mempermudah dalam pemantauan
untuk kemungkinan adanya kekambuhan. Ablasi RAI juga telah terbukti
meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pada kondisi kanker yang telah
menyebar ke leher atau bagian tubuh lainnya. RAI biasanya diberikan
pada 3 dan 6 minggu pasca operasi dengan cara pemberian dalam
bentuk satu atau lebih kapsul (pil) atau dapat juga berupa cairan. RAI
bekerja karena kelenjar tiroid membutuhkan yodium dan menyerapnya
dari peredaran darah. setelah menelan kapsul RAI (isotop I-131), maka
bahan radioaktif ini akan mengalir melalui aliran darah dan diambil ke
jaringan tiroid. bahan radioaktif ini akan menghancurkan sel-sel tiroid,
baik sel-sel tiroid yang bersifat kanker maupun yang normal, dengan efek
minimal pada seluruh tubuh (Durante et.al, 2006)

5. Terapi Sulih Hormon Tiroid


Thyroid Stimulating Hormone (TSH) adalah faktor yang memicu
pertumbuhan sel-sel tiroid, pemberian dosis hormon tiroid
(levothyroxine) disesuaikan sampai TSH dapat ditekan di bawah kisaran
normal. Panduan dari ATA menyarankan bahwa penetapan target terapi
TSH harus disesuaikan dengan mempertimbangkan risiko kekambuhan
penyakit dan risiko kematian akibat kanker tiroid.

Pada pasien dengan risiko rendah yang menjalani lobektomi atau pada
mereka yang menjalani tiroidektomi total dengan Tg yang tersupresi
sampai tidak terdeteksi, target terapi TSH harus antara 0,5 hingga 2 mU
/ L. Jika Tg> 0,2 mg / dl, target terapi TSH harus antara 0,1 hingga 0,5 mU
/ L.

Pada pasien dengan penyakit berisiko menengah, target TSH dapat


ditentukan pada kisaran 0,1 hingga 0,5 mU / L. Untuk pasien yang
masuk dalam kelompok berisiko tinggi, termasuk mereka yang memiliki
metastasis jauh, ekstensi extratiroid berat dan kelenjar metastastik
besar, TSH harus dipertahankan kurang dari 0,1 mU / L.

6. Staging Kanker Tiroid dan Level Risiko


Panduan dari ATA 2015 menjelaskan bahwa risiko dari kekambuhan atau
penyakit yang persisten pada orang dengan kanker tiroid yang berbeda.
Penentuan tingkat risiko merupakan faktor penting dalam pengambilan

360 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Terkini Differentiated Thyroid CA (DTC)

keputusan tentang perawatan dan pengujian lanjutan. Secara singkat


dijabarkan sebagai berikut:
• Risiko kambuh atau penyakit persisten yang rendah berarti: tidak
ada kanker pada jaringan terdekat atau di luar jaringan tiroid selain
5 atau lebih kecil melibatkan kelenjar getah bening (di bawah 0,2
cm), dan kanker yang tidak salah satu varian.
• Risiko Menengah berarti: beberapa tumor di dekatnya jaringan leher
pada saat operasi, metastasis ke lebih dari 5 kelenjar getah bening
berukuran 0,2 hingga 3 cm, atau tumor yang merupakan varian atau
menunjukan invasi ke pembuluh darah.
• Risiko Tinggi berarti: tumor luas di luar jaringan tiroid, metastasis
jauh, pengangkatan tumor yang tidak lengkap, atau kelenjar getah
bening kanker dengan ukuran lebih dari 3 cm.
• Penentuan staging setelah diagnosis awal tetap sama. Namun,
tingkat risiko dapat dan sering terjadi berubah seiring berjalan
waktu tergantung pada respons kanker terhadap pengobatan
yang diberikan dan hasilnya ditunjukkan selama pemeriksaan dan
pemantauan. Dengan demikian, perkiraan risiko dapat terus berubah
dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, seorang pasien yang berisiko
menengah dan memiliki respons yang baik terhadap pengobatan
maka dapat direklasifikasi sebagai risiko rendah.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 361


sering terjadi berubah seiring berjalan waktu tergantung pada respons kanker terhadap
pengobatan yang diberikan dan hasilnya ditunjukkan selama pemeriksaan dan
pemantauan. Dengan demikian, perkiraan risiko dapat terus berubah dari waktu ke
waktu. Sebagai contoh, seorang pasien yang berisiko menengah dan memiliki respons
Jongky Hendro Prayitno
yang baik terhadap pengobatan maka dapat direklasifikasi sebagai risiko rendah.

Gambar
Gambar 2. Pemilihan
2. Pemilihan TerapiTerapi
AblasiAblasi Radioiodine
Radioiodine pada pada Terapi
Terapi AwalAwal

Daftar Pustaka
1. Haugen BR, Alexander EK, Bible KC, et al.: 2015 American Thyroid Association
Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid Nodules and
Differentiated Thyroid Cancer: The American Thyroid Association Guidelines
Task Force on Thyroid Nodules and Differentiated Thyroid Cancer. Thyroid.
2016; 26(1): 1–133
2. Oda H, Miyauchi A, Ito Y, et al.: Incidences of Unfavorable Events in the
Management of Low-Risk Papillary Microcarcinoma of the Thyroid by Active
Surveillance Versus Immediate Surgery. Thyroid. 2016; 26(1): 150–5.

362 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Terkini Differentiated Thyroid CA (DTC)

3. Ito Y, Miyauchi A, Kihara M, et al.: Patient age is signifcantly related to the


progression of papillary microcarcinoma of the thyroid under observation.
Thyroid. 2014; 24(1): 27–34
4. Malterling RR, Andersson RE, Falkmer S, et al.: Differentiated thyroid cancer in
a Swedish county--long-term results and quality of life. Acta Oncol. 2010; 49(4):
454–9.
5. Nixon IJ, Wang LY, Migliacci JC, et al.: An International Multi-Institutional Validation
of Age 55 Years as a Cutoff for Risk Stratifcation in the AJCC/UICC Staging System
for Well-Differentiated Thyroid Cancer. Thyroid. 2016; 26(3): 373–80
6. Durante C, Haddy N, Baudin E, et al.: Long-term outcome of 444 patients with
distant metastases from papillary and follicular thyroid carcinoma: benefts and
limits of radioiodine therapy. J Clin Endocrinol Metab. 2006; 91(8): 2892–9.
7. Durante C, Attard M, Torlontano M, et al.: Identifcation and optimal postsurgical
follow-up of patients with very low-risk papillary thyroid microcarcinomas. J Clin
Endocrinol Metab. 2010; 95(11): 4882–8.
8. Adam MA, Pura J, Goffredo P, et al.: Impact of extent of surgery on survival for
papillary thyroid cancer patients younger than 45 years. J Clin Endocrinol Metab.
2015; 100(1): 115–21
9. Brito JP, Ito Y, Miyauchi A, et al.: A Clinical Framework to Facilitate Risk Stratifcation
When Considering an Active Surveillance Alternative to Immediate Biopsy and
Surgery in Papillary Microcarcinoma. Thyroid. 2016; 26(1): 144–9
10. Lytrivi M, Kyrilli A, Burniat A, et al.: Thyroid lobectomy is an effective option for
unilateral benign nodular disease. Clin Endocrinol (Oxf). 2016; 85(4): 602–8

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 363


Diagnosis Invasif dan Non-Invasif Sirosis Hepatis
Syifa Mustika
Divisi Gastroenterohepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang

Latar Belakang
Fibrogenesis hati merupakan konsekuensi dari semua kerusakan hati,
terlepas dari apapun etiologinya. Skar progresif yang merupakan respon dari
kerusakan hati yang terus menerus menyebabkan berkembangnya sirosis
hati. Fibrosis hati merupakan parameter sentral yang mengekspresikan
derajat keparahan penyakit hati, serta merupakan elemen yang memprediksi
evolusi dari penyakit hati.1 Sirosis seringkali asimptomatik dan tak terduga
hingga muncul komplikasi berat dan berkembang menjadi karsinoma sel hati.
Oleh karena komplikasi tersebut, sirosis menjadi penyebab kematian tertinggi
ke-12 di dunia.2

Estimasi yang akurat terhadap perkembangan fibrosis hati merupakan


hal yang penting dalam evaluasi tahap penyakit dan prognosis pasien,
serta menjadi langkah awal dalam optimalisasi terapi dan memperkirakan
responnya. Penelitian-penelitian sebelumnya banyak mengembangkan
diagnosis sirosis hati, baik yang bersifat invasif, yakni biopsi hati maupun
yang non-invasif. Masing-masing memiliki keuntungan dan kerugian dalam
aplikasi klinisnya. Oleh karenanya penting bagi klinisi untuk mengetahui
peran dari masing-masing modalitas diagnostik dalam memperkirakan
derajat fibrosis hati serta memprediksi munculnya komplikasi.

Definisi dan Patofisiologi Sirosis Hepatis


Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif, ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis melibatkan
akumulasi matriks protein ekstraseluler, termasuk kolagen. Fibrosis hati
merupakan konsekuensi dari respon wound healing yang berulang terhadap
kerusakan hati. Onset fibrosis biasanya tersembunyi dan berlangsung
perlahan. Oleh karenanya pasien sering tetap asimptomatik sampai muncul
gejala sirosis. Sel stellate yang berdiferensiasi menjadi miofibroblas berperan
penting dalam fibrogenesis yang sedang berlangsung, disertai inflamasi dan
angiogenesis yang juga berkontribusi terhadap perkembangan penyakit.

364 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Invasif dan Non-Invasif Sirosis Hepatis
oxide. Secara kumulatif, mekanisme ini menyebabkan peningkatan resistensi vaskular hepar
Perubahan mikrovaskular hepar meningkatkan produksi vasokonstriktor
danendogen
meningkatkan aliran
seperti darah portal
endotelin dan yang berdampak pada
menurunkan perkembangan
produksi hipertensi
vasodilator portal nitric
seperti
oxide. Secara kumulatif, 3,4 mekanisme ini menyebabkan peningkatan resistensi
serta penurunan fungsi hepar.
vaskular hepar dan meningkatkan aliran darah portal yang berdampak pada
Pasien yang terdiagnosis
perkembangan hipertensisirosis diklasifikasikan
portal menjadi fungsi
serta penurunan sirosis terkompensasi
hepar.3,4 dan
sirosis dekompensata. Pada sirosis yang terkompensasi, hati cukup mampu melakukan fungsi
Pasien yang terdiagnosis sirosis diklasifikasikan menjadi sirosis
vitalnya, oleh karenanya
terkompensasi danhanya sedikit
sirosis atau bahkan tidakPada
dekompensata. terdapat gejalayang
sirosis yang tampak pada
terkompensasi,
hati cukup mampu melakukan fungsi vitalnya, oleh karenanya hanya sedikit
pasien.
atauPada sirosis tidak
bahkan dekompensata,
terdapatterdapat kerusakan
gejala yang organ yang pada
tampak cukup signifikan
pasien. sehingga
Pada sirosis
hatidekompensata,
tidak mampu melakukan
terdapatfungsi vitalnya secara
kerusakan organefektif
yangdancukup
berkembang mengalami
signifikan sehingga
hati tidak mampu melakukan fungsi vitalnya secara efektif dan berkembang
penurunan fungsipenurunan
mengalami secara cepat.fungsi
Transisisecara
dari sirosis
cepat.terkompensasi menjadi
Transisi dari dekompensata
sirosis terkompensasi
ditandai
menjadidengan berkembangnya ditandai
dekompensata komplikasi dengan
sirosis, antara lain asites, jaundice
berkembangnya serta varisessirosis,
komplikasi
antara4,5lain asites, jaundice serta varises esofagus.4,5
esofagus.

Gambar 1. Perjalanan penyakit hati kronik5


Gambar 1. Perjalanan penyakit hati kronik5
Penegakan Diagnostik Sirosis Hepatis
Penegakan diagnosis sangat penting untuk menentukan pilihan terapi
dan memprediksi
Penegakan prognosis.
Diagnostik Sirosis Hepatis Secara teknis, diagnosis dibedakan menjadi
diagnosis invasif dan non-invasif. Diagnosis invasif yakni biopsi hati yang
saatPenegakan
ini masih diagnosis sangat penting
menjadi standar untuk penegakan
baku dalam menentukan pilihan
sirosis terapi dan
hati. Diagnosis
memprediksi prognosis. Secara teknis, diagnosis dibedakan menjadi diagnosis invasif dan
non-invasif.
PertemuanDiagnosis invasifXVII
Ilmiah Nasional yakni biopsi
PAPDI hati yang
- Surabaya 2019saat ini masih menjadi standar baku 365

dalam penegakan sirosis hati. Diagnosis non invasif meliputi pemeriksaan klinis,
Syifa Mustika

non invasif meliputi pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, serta


modalitas pencitraan.

1). Diagnosis Invasif


Biopsi hati merupakan standar baku untuk menegakkan diagnosis
sirosis, akan tetapi penggunaannya menurun dalam 10 tahun terakhir
karena adanya diagnostik alternatif yang telah divalidasi dan memiliki
akurasi yang baik. Meski demikian, biopsi hati masih menjadi metode
diagnostik yang penting ketika terdapat faktor etiologi potensial pada
penyakit hati dan ketika identifikasi karakteristik selain fibrosis dapat
mengubah manajemen klinis, misalnya pada kasus kerusakan hati akut
atau kronik. Biopsi hati banyak digunakan pada pasien dengan dugaan
sirosis hati dengan etiologi yang tidak diketahui untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan mengetahui kemungkinan penyebabnya.6

Dalam melakukan biopsi, diperlukan spesimen yang adekuat yakni


memiliki panjang minimal 1,5 cm atau terdapat 6 hingga 8 saluran portal.
Selain itu, lebar spesimen juga penting, karena arsitektur hati sulit dinilai
pada biopsi yang tipis. Biopsi spesimen dari lokasi subkapsular umumnya
mengandung lebih banyak jaringan fibrosa yang harus dipertimbangkan.7
Biopsi hati dilanjutkan dengan analisa histologi melalui sistem skor
untuk menilai derajat dan tahap dari fibrosis hati. Derajat fibrosis hati
mengukur aktivitas nekroinflamasi, sedangkan tahap fibrosis digunakan
untuk mengukur fibrosis dan perubahan arsitektur hati. Sistem skor yang
digunakan dalam menilai derajat fibrosis salah satunya adalah METAVIR.
Skoring ini menilai fibrosis dalam 5 tahap: 1). F0: tidak ada fibrosis; 2).
F1: fibrosis portal tanpa septum (fibrosis minimal); 3) F2: fibrosis portal
dengan sedikit keterlibatan septum (fibrosis sedang atau secara klinis
adalah fibrosis yang signifikan); 4). F3: septal fibrosis tapi tidak sirosis
(fibrosis berat); 5). F4: sirosis.4,7

Pada praktik klinis, biopsi hati memiliki beberapa keterbatasan, seperti


invasif, berpotensi terjadi komplikasi, sampling error, serta variabilitas
inter dan intra observer. Keterbatasan penting lainnya adalah biopsi
hanya merepresentasikan 1/50000 dari parenkim hati. Diagnosis
sirosis secara histologis tidak memungkinkan pada kasus sirosis septal
inkomplit.7

366 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Invasif dan Non-Invasif Sirosis Hepatis

Biopsi hati dapat dilakukan dari rute perkutan atau transjugular. Biopsi
hati perkutan dilakukan melalui interkostal kanan dibawah kontrol USG
dengan terlebih dahulu dilakukan anestesi lokal dan menggunakan jarum
aspirasi Menghini atau jarum Tru-cut automatic 16-G. Sebelum dilakukan
prosedur, parameter koagulasi harus dicek (termasuk jumlah platelet
dan prothrombine time/international normalized ratio). Aturan 50/50
(prothrombine time lebih dari 50% dan jumlah platelet lebih dari 50 x
109/L) seringkali digunakan untuk mempertimbangkan status koagulasi
dan platelet yang diperbolehkan. Adapun kontraindikasi biopsi hati
perkutan adalah koagulopati berat, dilatasi duktus biliaris, sepsis, asites,
dugaan lesi vaskuler, penyakit hydatid atau pasien yang tidak kooperatif.
Kontraindikasi berupa asites dan koagulopati dapat ditangani dengan
melakukan biopsi melalui rute transjugular.8

Prosedur biopsi transjugular sebelumnya kurang begitu dipertimbangkan


karena menggunakan jarum yang lebih kecil (18G), namun terdapat
bukti yang menyatakan bahwa kedua teknik ini memberi syarat panjang
sampel yang sama dan jumlah saluran portal yang komplit. Keuntungan
rute ini adalah sekaligus mengukur Hepatic Venous Pressure Gradient
(HVPG).6,9

Pengukuran HVPG memiliki relevansi prognostik yang penting, karena


merupakan teknik baku emas untuk mengevaluasi hipertensi portal pada
penyakit hati. HVPG merupakan perbedaan antara Wedged Hepatic Venous
Pressure (WHVP) dan Free Hepatic Venous Pressure (FHVP). HVPG diukur
melalui vena jugularis interna, vena femoralis atau vena cubiti melalui
anestesi lokal.10,11 Salah satu vena hepatik dikateterisasi dengan balon
kateter dibawah kontrol fluoroskopi. Kemudian melalui inflasi balon
kateter, aliran darah vena hepar dihambat, serta pada 1-2 menit terakhir,
tekanan pada ujung kateter sama dengan tekanan pada sinusoidal hepar
dan tekanan portal. Kondisi ini merepresentasikan WHVP. FHVP diukur
melalui deflasi balon kateter pada 2-3 cm dari ostium vena hepar dan
biasanya nilainya mendekati vena cava inferior.6,12

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 367


Syifa Mustika

Tabel 1. Indikasi utama melakukan biopsi hati6


Biopsi Hati Perkutan Biopsi Hati Transjugular
Penyakit hati diffuse dengan etiologi yang Membutuhkan pengukuran paralel dengan
beragam HVPG
Tes fungsi hati abnormal pada etiologi yang Kontraindikasi terhadap akses perkutan
tidak diketahui (dilatasi dari cabang bilier merupakan
kontraindikasi untuk biopsi hati apapun)
Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) Diduga hepatitis alkoholik berat
Hepatitis autoimun Gagal hati akut yang tidak diketahui
etiologinya
Lesi fokal Diduga hipertensi portal non sirotik
Uji fungsi liver abnormal pada pasien
hematologi

Tabel 2. Ambang batas yang berbeda dari HVPG berkorelasi dengan titik akhir
klinis pada penyakit hati lanjut6
HVPG Klinis
< 5 mmHg Normal
5-10 mmHg Hipertensi portal ringan
> 6 mmHg Hepatitis virus kronik yang mengalami progresivitas
Risiko rekurensi tinggi setelah transplantasi hati
> 10 mmHg : Hipertensi portal yang signifikan secara klinis
> 10 mmHg Berkembangnya varises esophagus
Asites
Dekompensata
Karsinoma sel hati
Dekompensata setelah reseksi hepar

> 12 mmHg Perdarahan varises esophagus


> 16 mmHg Mortalitas yang tinggi
> 20 mmHg Gagal untuk mengontrol perdarahan
> 22 mmHg Mortalitas yang tinggi pada hepatitis alkoholik yang berat

2). Diagnosis Non Invasif


A. Pendekatan Klinis
Sirosis seringkali tidak bergejala hingga terjadi sirosis dekompensata.
Dokter harus menggali faktor risiko yang berkontribusi pada
perkembangan sirosis. Kuantitas dan durasi konsumsi alkohol
menjadi faktor penting dalam mendiagnosa sirosis secara dini. Faktor
lain meliputi transmisi hepatitis B dan C, riwayat tranfusi darah dan
riwayat pasien atau keluarganya dengan hepatitis autoimun.13

Sirosis yang terkompensasi dapat bermanifestasi menjadi kondisi


anoreksia, penurunan berat badan, lemas, lelah dan osteoporosis

368 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Invasif dan Non-Invasif Sirosis Hepatis

sebagai akibat dari malabsorbsi vitamin D dan defisiensi kalsium.


Sirosis dekompensata menyebabkan komplikasi berupa asites,
spontaneous bacterial peritonitis, ensefalopati hepatik dan
perdarahan varises dari hipertensi portal. Gejala klinis lain
didapatkan jaundice, pruritus, perdarahan gastrointestinal,
koagulopati, peningkatan lingkar perut dan perubahan status
mental. Selain itu, hipogonadisme dapat terjadi pada pria, yang
dengan kondisi klinis berupa impoten, infertil dan kehilangan libido.
Pada wanita, dapat terjadi amenore atau menstruasi yang tidak
teratur. Tanda klinis lain yaitu gambaran spider angiomata, palmar
eritema, foetor hepatika serta asteriksis.13,14

B. Pemeriksaan Laboratorium
Banyak penanda hematologi dan biokimia mengenai fibrosis yang
telah dipelajari. Secara umum, serum penanda fibrosis dibedakan
menjadi dua kelompok yakni: 1). penanda tidak langsung yang
merefleksikan derajat fibrosis secara tidak langsung, 2). penanda
langsung yang secara langsung mengukur komponen matrik hati
atau enzim yang terlibat dalam regulasi matrik.

Penanda Tidak Langsung


Penanda tidak langsung meliputi parameter yang terkait dengan
lisis sel atau inflamasi (ALT dan AST), kolestasis (γGT dan bilirubin),
fungsi sintetik hepatosit (INR, kolesterol, ApoA1, haptoglobin, dan
N-glycans), serta hipersplenisme karena hipertensi portal. Terdapat
beberapa skor yang didasarkan pada analisa penanda tidak langsung
antara lain Fibrotest, Forns, APRI dan FIB-4.15

Fibrotest merupakan kombinasi dari uji serum yang digunakan untuk


mengurangi kebutuhan biopsi hati, parameter yang digunakan antara
lain alpha2-macroglobulin, alpha2-globulin (atau haptoglobin),
gamma globulin, ApoA1, gamma glutamyltranspeptidase dan
bilirubin total. Skor nilai prediksi negatif yang tinggi (kepastian
100% tidak adanya F2, F3, atau F4) diperoleh pada skor 0 hingga
0,10, sedangkan nilai prediksi positif yang tinggi (kepastian >90%
adanya F2, F3, atau F4) pada skor mulai dari 0,60 hingga 1,00. Akan
tetapi terdapat pertimbangan biaya pengeluaran dan penggunaan
parameter yang mengurangi kepraktisan dalam hal penggunaan
Fibrotest.16

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 369


Syifa Mustika

Forns dikembangkan sebagai sistem skor melalui kombinasi usia,


γGT, kolesterol dan jumlah platelet yang bertujuan untuk identifikasi
pasien tanpa fibrosis hati yang signifikan. Dengan menggunakan
skor cut-off terbaik, keberadaan fibrosis signifikan dapat dieksklusi
dengan akurasi tinggi (nilai prediksi negatif 96%) pada 36% pasien.16

Skor APRI (aspartate aminotransferase-to-platelet ratio index)
dihitung dengan rumus sebagai berikut: [(AST/Batas atas nilai
normal)/jumlah platelet (109/L)] × 100. Dengan menggunakan nilai
batas yang dioptimalkan, fibrosis yang signifikan dapat diprediksi
secara akurat pada 51% dan sirosis pada 81% pasien hepatitis C
kronis.16

FIB-4 dikembangkan untuk memprediksi fibrosis hati pada pasien
dengan koinfeksi HIV/HCV. Skor ini dikalkulasi dengan menggunakan
parameter sederhana seperti usia, AST, ALT dan jumlah platelet.
FIB-4 dihitung dengan rumus sebagai berikut: umur (tahun) x AST
(IU/L) /jumlah platelet (109/L) x ALT (IU/L). Holmberg et al. (2013)
melaporkan bahwa, nilai rata-rata FIB-4 meningkat secara signifikan
dengan tingkat fibrosis dan analisis AUROC dalam membedakan
fibrosis berat (F3-F4) dari fibrosis ringan hingga sedang (F0-F2)
sebesar 0,83.16,17

Penanda Langsung
Penanda langsung memungkinkan penilaian kuantitatif dari
jumlah total matriks ekstraseluler hati, baik yang tersimpan atau
terbuang. Kadar serum mengalami peningkatan seiring dengan
progresifitas fibrosis dan memiliki tendensi untuk menurun ketika
berespon terhadap terapi. Penilaian dari penanda ini berguna
untuk mengetahui efektifitas terapi, namun penanda tersebut tidak
spesifik terhadap organ.18

370 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Invasif dan Non-Invasif Sirosis Hepatis

Tabel 3. Klasifikasi penanda langsung fibrosis hati berdasarkan


strukturnya18
Kolagen - PICP
- PIIINP
- Kolagen Tipe IV
Kolagenase dan Inhibitornya - MMP
- TIMP
Glikoprotein dan Polisakarida - Asam hialuronat
- Laminin
- YKL-40
Sitokin dan Penanda - TGF-β1
Proteomik - PDGF
- Microfibril
associated
protein-4
Keterangan: MMP: Matrix metalloproteinase; PICP: Procollagen I carboxy peptide; PIIINP:
Procollagen III amino peptide; TIMP: Tissue inhibitors of metalloproteinase.

C. Modalitas Pencitraan
Ultrasound (US), CT dan MRI secara tradisional telah digunakan
untuk mengeksplorasi kondisi hati. Ketiganya dapat mendeteksi
perubahan biologis parenkim hati ketika didapatkan fibrosis yang
signifikan serta tanda hipertensi portal.

Teknologi Berbasis Ultrasonografi


a. Color Doppler US
Ultrasonografi Color Doppler menggunakan perubahan aliran
darah hepar pada kondisi fibrosis untuk mendeteksi adanya
fibrosis pada hepar. Indikator utama dalam mendeteksi fibrosis
adalah laju aliran arteri hepatik, laju aliran vena porta, dan rasio
keduanya. Penelitian membuktikan bahwa teknik ini memiliki
akurasi yang tinggi untuk diagnosis sirosis di atas stadium
F2. Akan tetapi pemeriksaan ini masih memiliki stabilitas
yang buruk dan sangat dipengaruhi oleh kinerja peralatan,
ketrampilan operator dan kondisi fisik pasien.19
b. Contrast-enhanced US (CEUS)
Modalitas ini sering digunakan untuk mendiagnosis penyakit
hati kronik. CEUS membutuhkan pemberian kontras
microbubble intravena untuk memperkuat intensitas sinyal dari

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 371


Syifa Mustika

aliran intravena. Oleh karena aliran darah hepar dan penampilan


akustik agen kontras microbubble berubah seiring dengan
adanya fibrosis, informasi terkait perfusi hati dapat diperoleh
melalui variasi waktu muncul dan hilangnya microbubble pada
parenkim hati. Injeksi microbubble secara bolus dapat digunakan
untuk studi first-pass kinetic dan menilai waktu transit
microbubble pada parenkim hepar. Hepatic vein transit times
(HVTT) diketahui menurun seiring dengan derajat keparahan
penyakit hati. Secara teoritis, HVTT yang lebih pendek pada
pasien dengan penyakit hati kronis terutama terjadi secara
sekunder akibat shunting arteriovenosa, remodeling sinusoid,
serta arterialisasi capillary bed pada hati dan pada tingkat yang
lebih rendah terjadi akibat shunting pada pulmonal serta kapiler
gastrointestinal.7,20,21 Penelitian membuktikan bahwa HVTT
memiliki korelasi kuat dengan hipertensi portal dan AUROC
dari HVTT untuk diagnosis hipertensi portal secara klinis
adalah 0,973.21 Penelitian lain membuktikan bahwa perfusi hati
regional tampak meningkat pada pasien dengan sirosis dan hal
ini berkorelasi dengan derajat gagal hati.24

CEUS dapat digunakan dalam menilai perubahan intrahepatik


atau hemodinamik sistemik yang penting pada penyakit hati
lanjut. Akan tetapi modalitas ini juga memiliki keterbatasan,
seperti perlunya injeksi agen kontras, dipengaruhi oleh
ketrampilan operator, serta akses terhadap teknologi yang
relevan.7

c. Transient Elastography
Transient elastography (TE) merupakan teknik elastografi
berbasis ultrasonografi yang digunakan untuk menghitung
kekakuan hati dan berkorelasi erat dengan tahap fibrosis
hati. Teknik ini menggunakan probe ultrasonografi M (5 MHz)
dengan sistem vibrasi khusus yang menghasilkan gelombang
mekanis yang memiliki frekuensi dan amplitudo rendah (50
Hz). Impuls mekanis menghasilkan shear wave di hati yang
kembali menuju transduser. Pengukuran kecepatan shear wave
dapat dikonversi menjadi kekakuan hati.16

372 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Invasif dan Non-Invasif Sirosis Hepatis

Pengukuran kekakuan hati sebanding dengan kecepatan


propagasi dan diekspresikan dalam kilopascal (kPa). Hasilnya
berkisar dari 2,5 hingga 75 kPa. Pengukuran dilakukan pada
kedalaman di bawah permukaan kulit antara 2,5 cm dan 7,5
cm. Nilai akhir yang diperoleh adalah rata-rata dari sepuluh
pengukuran.16

Modalitas ini merupakan yang paling sering digunakan dalam


aplikasi klinis oleh karena non-invasif, cepat, dan memiliki
pengulangan inter dan intra observer yang tinggi. Akan tetapi
teknik ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya adalah
kegagalan pengukuran pada asites dan obesitas berat.23

Pendekatan Berbasis CT dan MRI


CT dan MRI merupakan modalitas pencitraan yang berguna
dalam diagnosis sirosis. Modalitas ini dipertimbangkan
sebagai metode standar untuk diagnosis karsinoma sel hati
yang dilatarbelakangi penyakit hati kronis, termasuk sirosis.
Gambaran radiologi pada sirosis tahap lanjut biasanya tampak
jelas, termasuk permukaan nodul, adanya septa fibrosa
yang menonjol, penyusutan volume hati, serta pembesaran
sistem vena porta termasuk varises dan splenomegaly karena
adanya hipertensi portal. Akan tetapi, keduanya sulit untuk
mendiagnosa sirosis tahap awal.7

MRE
Magnetic Resonance Elastography (MRE) merupakan modalitas
yang digunakan untuk menilai elastisitas hati secara kuantitatif.
Modalitas ini dapat meningkatkan kontras antara jaringan
yang berbeda dalam tubuh dibandingkan USG, CT, dan MRI
konvensional. Pada studi meta analisis, secara keseluruhan
didapatkan sensitivitas, spesifisitas dan AUROC MRE untuk
tingkat histologi ≥ F2 adalah 0,94; 0,95; dan 0,98, sedangkan
untuk ≥ F4 adalah 0,99; 0,94; dan 0,99.7,24

Ada beberapa keuntungan menggunakan MRE dibandingkan


elastrogafi yang berbasis ultrasonografi, seperti tidak
dipengaruhi oleh indeks massa tubuh, asites, tidak bergantung
pada operator dan kemampuannya untuk menilai hati secara

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 373


Syifa Mustika

keseluruhan. Akan tetapi, teknik ini cukup mahal dan belum


dapat digunakan secara rutin di institusi kesehatan, serta
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk validasi MRE
terhadap luaran klinis dalam jangka panjang.7,24

Kesimpulan
Evaluasi fibrosis hati merupakan parameter yang penting pada penyakit
hati kronik yang progresif . Biopsi hati saat ini masih menjadi baku emas dalam
diagnosis sirosis, namun teknik ini tidak dapat digunakan pada semua pasien.
Oleh karenanya, dikembangkan pula modalitas diagnostik non-invasif sebagai
indikator yang reliabel terhadap fibrosis. Dalam praktik klinis, baik modalitas
diagnostik invasif dan non-invasif memiliki keunggulan dan keterbatasan
masing-masing.

Daftar Pustaka
1. Braticevici CF, R Papacocea, L Tribus, A Badarau. 2011. Can We Replace Liver Biopsy
with Non-Invasive Procedures?. In: Dr Hirokazu Takahashi (Ed.). Liver Biopsy,
ISBN: 978953-307-644-7, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/
books/liver-biopsy/can-we-replace-liverbiopsy-with-non-invasive-procedures.
2. Lozano R, M Nagavi, K Foreman, et al. 2012. Global and regional mortality from 235
causes of death for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the
Global Burden of Disease Study 2010. Lancet, 380:2095-2128.
3. Zhou WC, QB Zhang, L Qiao. 2014. Pathogenesis of liver cirrhosis. World J
Gastroenterol. 2014; 20(23): 7312-7324.
4. Muir AJ. 2015. Understanding the Complexities of Cirrhosis. Clin Ther.
2015:37:1822-1836.
5. Pellicoro A, P Ramachandran, JP Iredale, et al. 2014. Liver fibrosis and repair:
immune regulation of wound healing in a solid organ. Nat Rev Immunol.
2014;14:181-194.
6. Procopet B and A Berzigotti A. 2017. Diagnosis of cirrhosis and portal hypertension:
imaging, non-invasive markers of fibrosis and liver biopsy. Gastroenterology
Report, 5(2), 2017, 79–89.
7. Kim MY, WK Jeong, SK Baik. 2014. Invasive and non-invasive diagnosis of cirrhosis
and portal hypertension. World J Gastroenterol 20 (15): 4300-4315.
8. Rockey DC, SH Caldwell, ZD Goodman, et al. 2009. Liver Biopsy. Hepatology
49:1017–44.
9. Kalambokis G, P Manousou , S Vibhakorn, et al. 2007. Transjugular liver biopsy:
indications, adequacy, quality of specimens, and complications—a systematic
review. J Hepatol 2007;47:284–94.

374 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Invasif dan Non-Invasif Sirosis Hepatis

10. Bosch J, JG Abraldes, A Berzigotti, et al. 2009. The clinical use of HVPG measurements
in chronic liver disease. Nat Rev Gastroenterol Hepatol 2009;6:573–82.
11. Llop E, A Berzigotti, M Reig, et al.2012. Assessment of portal hypertension by
transient elastography in patients with compensated cirrhosis and potentially
resectable liver tumors. J Hepatol 2012;56:103–8.
12. Rossle M, Blanke P, Fritz B et al. Free hepatic vein pressure is not useful to calculate
the portal pressure gradient in cirrhosis: a morphologic and hemodynamic study. J
Vasc Interv Radiol 27:1130–7.
13. Heidelbaugh JJ and Bruderly M. 2006. Cirrhosis and Chronic Liver Failure: Part I.
Diagnosis and Evaluation. Am Fam Physician 2006;74:756-62,78.
14. Verhelst X, A Geerts, HV Vlierberghe. 2016. Cirrhosis: reviewing the literature and
future perspectives. EMJ. 2016;1[3]:111-117.
15. Berzigotti A, Ashkenazi E, Reverter E, Abraldes JG, Bosch J. Non-invasive diagnostic
and prognostic evaluation of liver cirrhosis and portal hypertension. Dis Markers
2011; 31: 129-138.
16. Soresi M, L Giannitrapani, M Cervello, et al. 2014. Non invasive tools for the
diagnosis of liver cirrhosis. World J Gastroenterol 20(48): 18131-18150.
17. Holmberg SD, M Lu, LB Rupp, et al. Noninvasive serum fibrosis markers for
screening and staging chronic hepatitis C virus patients in a large US cohort. Clinical
Infectious Diseases 2013; 57(2): 240-246.
18. Nallagangula KS, SK Nagaraj, LK Venkataswamy, et al. 2017. Liver fibrosis: a
compilation on the biomarkers status and their significance during disease
progression. Future Sci OA. 2017;4(1):FSO250. Published 2017 Oct 5. doi:10.4155/
fsoa-2017-0083.
19. Li C, R Li, W Zhang. 2018. Progress in non-invasive detection of liver fibrosis.
Cancer Biol Med 15(2): 124-136. doi: 10.20892/j.issn.2095-3941.2018.0018.
20. Klibanov AL. 2007. Ultrasound molecular imaging with targeted microbubble
contrast agents. J Nucl Cardiol, 14: 876-884.
21. Kim MY, KT Suk, SK Baik, et al. Hepatic vein arrival time as assessed by
contrastenhanced ultrasonography is useful for the assessment of portal
hypertension in compensated cirrhosis. Hepatology, 56: 1053-1062.
22. Berzigotti A, C Nicolau, P Bellot, et al. Evaluation of regional hepatic perfusion
(RHP) by contrast-enhanced ultrasound in patients with cirrhosis. J Hepatol, 55:
307-314.
23. Ebrahimi H, M Naderian, AA Sohrabpour. 2016. New Concepts on Pathogenesis,
Diagnosis, and Targeting of Liver Fibrosis; A Review Article. Middle East J Did Dis,
8:166-178. DOI:10.15171/mejdd.2016.29.
24. Wang QB, H Zhu, HL Liu, et al. 2012. Performance of magnetic resonance
elastography and diffusion-weighted imaging for the staging of hepatic fibrosis: A
meta-analysis. Hepatology, 56: 239-247.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 375


Pendekatan Komprehensif Pasien Rawat Jalan
dengan Sirosis Hepatis
Rino Alvani Gani
Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Sirosis adalah suatu bentuk penyakit hati kronis (CLD) yang dihasilkan
dari kerusakan hati yang berkelanjutan dari berbagai penyebab, termasuk
infeksi virus, gangguan autoimun, penyakit kolestatik dan metabolisme
(misalnya, non alcoholic fatty liver disease [NAFLD]), serta konsumsi alkohol
berat. Fibrosis progresif dari struktur hati yang menyebabkan peningkatan
resistensi intrahepatik dan berkembang menjadi hipertensi portal, yang
pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya fungsi hati dan munculnya
komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Di negara maju, penyebab
utama sirosis adalah infeksi HCV, penyalahgunaan alkohol, dan NAFLD,
dengan sirosis terkait alkohol memiliki prognosis jangka panjang yang lebih
buruk dari pada sirosis terkait non-alkohol. Infeksi virus hepatitis B adalah
penyebab paling umum dari sirosis di negara berkembang. Meskipun banyak
kemajuan dalam memahami patogenesis sirosis dan peningkatan rejimen
pengobatan terkait CLD/ sirosis dan komplikasinya (misalnya hipertensi
portal) tetapi tetap menjadi masalah kesehatan global yang signifikan.1

Setelah diagnosis sirosis ditegakkan, manajemen rawat jalan yang


tepat diindikasikan untuk memperbaiki gejala. Tujuan penting adalah untuk
menghindari komplikasi dan dekompensasi. Sirosis dianggap dekompensata
setelah pasien mengalami perdarahan varises, ikterus, asites, ensefalopati
hepatik, atau karsinoma hepatoseluler. Tingkat kelangsungan hidup lima
tahun adalah 50% untuk mereka yang memiliki sirosis dekompensata dan
91% untuk mereka yang memiliki sirosis kompensata. Pendekatan holistik
sirosis hepar diperlukan untuk perawatan yang lebih baik. Selain diagnosis
dan pengobatan etiologi yang mendasari, diagnosis komplikasi terkait
memerlukan rencana dan perhatian khusus. Langkah selanjutnya adalah
evaluasi pasien untuk penyakit terkait dan kondisi komorbiditas lain untuk
pencegahan morbiditas dan mortalitas diperlukan.2

376 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Komprehensif Pasien Rawat Jalan dengan Sirosis Hepatis

Skrining Varises Esofagus pada Pasien Sirosis


Menurut pedoman Baveno VI, setiap pasien dengan sirosis harus
dilakukan endoskopi saluran cerna atas untuk skrining Varises Esofagus
(VE). Strategi ini ditujukan untuk mengidentifikasi pasien varises dengan
risiko perdarahan tinggi, yaitu varises esofagus besar derajat II atau III
atau diameter > 5 mm) atau varises dengan red signs. Pasien berisiko tinggi
ini harus mendapat manfaat dari profilaksis primer dengan beta-blocker
atau band ligation. Semua pasien dengan hipertensi portal, bahkan mereka
yang tidak memiliki sirosis (yaitu, pasien dengan kondisi seperti trombosis
vena porta, hiperplasia regeneratif nodular, dan fibrosis hati bawaan), harus
diskrining untuk VE.3

Tabel 1. Indikasi dan rekomendasi alternatif untuk profilaksis primer terhadap


perdarahan varises.4

Gambar 1. Algoritma untuk pengambilan keputusan mengenai skrining variceal pada


pasien dengan sirosis kompensasi4

Skrining Kanker Hati pada Pasien Sirosis


Hepatocellular carcinoma (HCC) adalah komplikasi utama dari sirosis
hati dan mewakili peningkatan penyebab kematian, transplantasi hati dan
manajemen biaya di sebagian besar negara maju. Akibatnya, skrining untuk
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 377
Rino Alvani Gani

HCC adalah salah satu tugas paling penting pada pasien dengan sirosis hati.
Pedoman Amerika dan Eropa saat ini merekomendasikan setidaknya satu
skrining pencitraan / tahun untuk HCC (ultrasonografi, triphasic CT). Serum
alfa-fetoprotein memiliki sensitivitas yang buruk dan karenanya hanya
direkomendasikan sebagai penanda skrining ajuvan. Setelah HCC terdeteksi,
banyak pilihan pengobatan tersedia, terutama tergantung pada ukuran dan
jumlah tumor, dan keahlian lokal. Reseksi bedah bisa efektif; sayangnya
sebagian besar pasien tidak mentolerir reseksi hati atau memiliki lesi
mikroskopis, sehingga pilihan terbaik untuk penyembuhan tetap transplantasi
hati.

Kriteria Milan digunakan sebagai pedoman di seluruh dunia, dan


menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup empat tahun dari 75
persen dicapai jika transplantasi hati dilakukan untuk lesi tunggal dengan
diameter kurang dari 5 cm, atau hingga 3 lesi dengan tidak lebih besar dari
3 cm. Hasil serupa dengan tingkat kelangsungan hidup yang diharapkan
untuk pasien yang menjalani transplantasi untuk sirosis tanpa HCC (LEVEL
I). Pengobatan alternatif untuk pasien yang tidak memenuhi kriteria untuk
reseksi atau transplantasi adalah ablasi radiofrekuensi rujukan ultrasound,
chemoembolization dan alcohol ablation. Opsi-opsi ini dianggap sebagai
bentuk " bridging therapy" karena ini mengurangi beban tumor dan menunda
perkembangan tumor, dan tidak menghalangi transplantasi hati di masa
depan, jika organ donor tersedia.5.

Tabel 2. Indikator kualitas yang disarankan untuk skrining, diagnosis, dan


manajemen karsinoma hepatoseluler.2

Sarcopenia pada Pasien Sirosis


Sarkopenia pada sirosis adalah penyebab meningkatnya morbiditas dan
mortalitas dengan penelitian terbaru yang menunjukkan sarkopenia sebagai
prediktor independen untuk kelangsungan hidup yang buruk pada pasien

378 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Komprehensif Pasien Rawat Jalan dengan Sirosis Hepatis

sirosis dengan atau tanpa kanker hepatoseluler. Di AS, sarkopenia sekunder


akibat sirosis Mempengaruhi lebih dari 300.000 orang dan dikaitkan dengan
peningkatan biaya pengobatan, lama tinggal di rumah sakit, dan kematian
sebelum dan sesudah transplantasi.

Stigmata sirosis dipahami secara luas dan mencakup karsinoma


hepatoseluler (3% -5%), asites (5% -10%), perdarahan varises (10% -15%),
dan ensefalopati hepatik (62,4%). Sarcopenia, meskipun merupakan ciri
umum dari penyakit ini, tidak mudah dikaitkan dengan sirosis. Malnutrisi
mengakibatkan sarkopenia adalah salah satu komplikasi paling sering
pada pasien dengan sirosis, berdampak buruk terhadap komplikasi lain,
kelangsungan hidup, kualitas hidup, dan hasil transplantasi setelahnya.
Pasien dengan sirosis mengembangkan malnutrisi energi protein pada tingkat
25,1% -65,6%. Prevalensi sarkopenia juga tercatat memiliki distribusi yang
sama (30% -70%). Pasien dengan sirosis juga memiliki intoleransi olahraga
berat yang selanjutnya berkontribusi pada kekurangan gizi dan akhirnya
sarkopenia.6

Frailty adalah sindrom kompleks yang ditandai dengan penurunan


fungsional dan berkurangnya cadangan fisiologis. Meskipun frailty dan
sarkopenia diukur secara berbeda, frailty dan sarkopenia adalah konsep
yang terkait erat yang memiliki signifikansi klinis yang sama. Mereka
mempengaruhi sebagian besar pasien dengan sirosis dan erat terkait dengan
gangguan penting dari amonia metabolisme yang mempercepat cedera otot,
kecacatan, dan moralitas. dengan hasil buruk pada sirosis dan transplantasi.

Gambar 1. Diagnosis, konsekuensi, dan perawatan potensial untuk frailty pada


penyakit hati lanjut.7

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 379


Rino Alvani Gani

Pendekatan Sistematis untuk Skrining Malnutrisi pada Pasien


Sirosis
Pendekatan sistematis untuk skrining malnutrisi pada pasien sirosis
harus dilakukan untuk lebih langsung mengatasi masalah malnutrisi yang
berkembang. Selama evaluasi awal (penilaian tahap 1), pasien sirosis dengan
kebutuhan mendesak akan dukungan nutrisi harus diidentifikasi. Selanjutnya,
pasien yang terpilih ini harus menjalani evaluasi standar (penilaian tahap
2) yang mengarah ke perawatan pasien individual dengan fokus untuk
mengoptimalkan status gizi. Tujuan dari pendekatan dua tahap adalah
untuk memaksimalkan alokasi waktu dan sumber daya bagi mereka yang
paling membutuhkannya untuk meningkatkan hasil secara keseluruhan.
Tidak setiap pasien membutuhkan evaluasi lengkap segera (penilaian tahap
2) untuk kekurangan gizi; pasien yang paling berisiko harus ditargetkan
terlebih dahulu dan dinilai. Keparahan kekurangan gizi sangat terkait dengan
keparahan dekompensasi hati (gagal hati) dalam pengaturan sirosis.8

Gambar 2. Pendekatan dua tahap untuk penilaian gizi pada sirosis.8

Evaluasi status gizi yang lebih menyeluruh dan komprehensif dapat


dicapai dan pendekatan individual yang terfokus dapat dilakukan. Ini tidak
hanya memungkinkan pembagian sumber daya dan waktu yang tepat, tetapi
juga menyediakan pendekatan yang lebih tepat sasaran di mana pasien dapat
diprioritaskan berdasarkan keparahan kekurangan gizi. Berbagai tes harus
digunakan untuk mengevaluasi berbagai aspek dan tingkat keparahan gizi
daripada alat penyaringan gizi tunggal, sehingga menciptakan pendekatan
multidisiplin yang ditunjukkan pada Gambar 2.8

380 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Komprehensif Pasien Rawat Jalan dengan Sirosis Hepatis

Gambar 2. Multidisciplinary Nutritional Assessment.8

Gambar 3. Skrining dan penilaian nutrisi pada pasien dengan sirosis.9

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 381


Rino Alvani Gani

Ensefalopati Hepatik pada Pasien Sirosis


Ensefalopati hepatik (HE) adalah komplikasi yang parah di antara pasien
dengan sirosis, karena dikaitkan dengan hasil kelangsungan hidup yang
buruk dan penurunan kualitas hidup. Diagnosis overt hepatic encephalopathy
(OHE) relatif sederhana, karena pasien menunjukkan penurunan kesadaran
dan defisit neurologis, dan pengobatan biasanya dapat dimulai pada awal
gejala. Namun, minimal hepatic encephalopathy (MHE) jauh lebih sulit untuk
didiagnosis, karena pasien dengan MHE tidak menunjukkan defisit neurologis
yang jelas, dan tes psikometrik yang sensitif diperlukan untuk mendiagnosis
pasien ini.10

Tabel 3. Klasifikasi ensefalopati hepatik terkait dengan sirosis.10

Minimal ensefalopati hepatic adalah gangguan asimptomatik yang sangat


umum, terutama pada pasien dengan penyakit lanjut (Child-Pugh B / C) [22].
Terdapat fakta bahwa HE minimal dapat memiliki konsekuensi penting pada
kehidupan sehari-hari meskipun pasien tidak menunjukkan gejala telah
disesuaikan dengan kebutuhan untuk tes skrining. Tes-tes ini harus mudah
digunakan, dan dapat diukur dalam beberapa menit. Beberapa pengujian
sederhana yang telah dikomputasi telah dikembangkan untuk tujuan ini, dan
mereka dapat diandalkan dalam pengujian berulang (Tabel 2).10

382 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Komprehensif Pasien Rawat Jalan dengan Sirosis Hepatis

Tabel 2. Alat neuropsikologis untuk diagnosis defisit kognitif pada pasien dengan
sirosis10

Patogenesis yang tepat dari HE tidak sepenuhnya dipahami, meskipun


telah dihipotesiskan bahwa toksin yang berasal dari usus (misalnya, amonia)
memainkan peran. Zat-zat yang diturunkan dari usus lolos dari pembersihan
hepatik, dikarenalan parenchymal liver failure atau portosystemic shunting, dan
mencapai sirkulasi sistemik di mana mereka dapat memberikan efek toksik
pada otak. Sejumlah faktor, termasuk infeksi dan gangguan elektrolit, dapat
menimbulkan episode HE yang jelas dan harus ditangani untuk mendapatkan
kontrol episode. Namun, penyajian HE menunjukkan perkembangan ke sirosis
dekompensasi dan perlunya pengobatan dan pemantauan jangka panjang
untuk mencegah kekambuhan. Tujuan pertama pengobatan untuk HE adalah
untuk mengidentifikasi dan menyembuhkan kondisi yang mendasari yang
telah mengendapkan HE (misalnya, infeksi). Selain mengatasi penyebab yang
mendasari, disakarida yang tidak dapat diserap dan antibiotik yang diserap
secara minimal biasanya diberikan untuk terapi HE. Lactulose, disakarida
yang tidak dapat diserap, direkomendasikan sebagai pilihan pengobatan lini
pertama untuk pasien dengan episode HE yang jelas dan untuk mencegah itu
kambuh. Namun, laktulosa ditoleransi dengan buruk, dan dengan demikian
ada risiko ketidakpatuhan. Rifaximin adalah antibiotik nonsistemik yang

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 383


Rino Alvani Gani

ditoleransi dengan baik dan berkhasiat sebagai terapi tambahan untuk


laktulosa untuk pencegahan kekambuhan HE.1

Kesimpulan
Komponen utama dalam pengelolaan pasien dengan sirosis adalah
pengobatan dan pencegahan komplikasi yang terkait. Selain mengobati
penyakit yang mendasari mengarah pada sirosis, intervensi dini dan
pengawasan berkelanjutan untuk komplikasi terkait sirosis sangat penting
untuk hasil dan pasien kualitas hidup. Tantangan utama dalam diagnosis
sirosis adalah mengenali penyakit hati yang mendasarinya, terutama pada
tahap awal. Penyedia layanan kesehatan harus waspada dan mengadopsi
ambang diagnosis rendah ketika diduga (Chronic Liver disease) CLD. Pasien
yang berisiko mengembangkan sirosis harus diskrining, dan faktor etiologi
diidentifikasi dan diobati atau dihilangkan sedapat mungkin. Manajemen
pasien dengan sirosis harus bergerak ke arah pendekatan multidisiplin.

Daftar Pustaka
1. Muir AJ. Understanding the Complexities of Cirrhosis. Clinical Therapeutics. 2015
2. Saberifiroozi M. Improving Quality of Care in Patients with Liver Cirrhosis. Middle
East J Dig Dis 2017;9:189-200. doi: 10.15171/mejdd.2017.73
3. Lemoinne S, Thabut D. Screeningfor Esophageal Varices. Clinical Liver Disease. 2012
4. Mattos ÂZ, et al. Screening for esophageal varices in cirrhotic patients – Non-invasive
methods. Ann Hepatol (2019), https://doi.org/10.1016/j.aohep.2019.06.003
5. Grattagliano I, Ubaldi E, Bonfrate E, Portincasa p. Management of liver cirrhosis
between primary care and specialists. World J Gastroenterol. 2011; 17(18): 2273-
2282
6. Nasser M, Turse PE, Syed Ali, Dailey FE, Zatreh M, et al. Interventions to improve
sarcopenia in cirrhosis: A systematic review. World J Clin Cases 2019 January 26;
7(2): 156-170.
7. Laube R, Wang H, Park L, Heyman JK, Vidot H, et al. Frailty in Advanced Liver
Disease. Liver International. 2018;38:2117-2128.
8. Perumpail BJ, Li AA, Cholankeril G, Kumari R, Ahmed A. Optimizing the Nutritional
Support of Adult Patients in the Setting of Cirrhosis. Nutrients. 2017
9. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical Practice Guidelines
on nutrition in chronic liver disease. Journal of hepatology. 2019.
10. Córdoba J. New Assessment of Hepatic Encepaalopathy. Journal of Hepatology.
2011.

384 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Gastroesofageal Reflux Disease (GERD)
Iswan Abbas Nusi
Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Gastroesophageal reflux disease (GERD) didefinisikan sebagai gejala atau
kerusakan mukosa yang diakibatkan oleh refluks abnormal isi lambung ke
esofagus atau ke dalam rongga mulut (termasuk laring) atau paru-paru [1,2].
GERD dapat diklasifikasikan sebagai penyakit refluks non-erosif (NERD) atau
penyakit refluks erosif (ERD) berdasarkan ada tidaknya kerusakan mukosa
esofagus yang terlihat pada endoskopi.

GERD adalah salah satu kondisi yang paling sering ditemui oleh dokter
perawatan primer maupun gastroenterologis. Sebagai gambaran, tinjauan
sistematis tahun 2005 menemukan prevalensi GERD sebesar 10%-20%
di dunia Barat dibandingkan dengan prevalensi kurang dari 5% di Asia.
Ada kecenderungan untuk prevalensi yang lebih tinggi di Amerika Utara
dibandingkan dengan Eropa, dan kecenderungan untuk prevalensi yang lebih
tinggi di Eropa Utara daripada Eropa Selatan.3 Tingginya prevalensi GERD
disertai dengan tingginya biaya pengobatanya menghasilkan beban sosial
ekonomi yang signifikan terkait dengan penyakit ini.

Gejala dan Manifestasi Klinis


GERD dapat bermanifestasi dalam berbagai gejala yang dapat dibagi
menjadi gejala tipikal, atipikal dan ekstra-esofagus (Tabel.1). Secara umum,
gejala timbul setelah makan dan berkurang dengan obat penurun asam.1
Gejala khas termasuk heartburn/rasa seperti terbakar dan regurgitasi
memiliki spesifisitas tinggi tetapi sensitivitas rendah untuk GERD.4 Gejala
atipikal seperti nyeri epigastrium, dispepsia, mual, kembung, dan bersendawa
dapat tumpang tindih dengan kondisi lain dalam diferensial diagnosis seperti
penyakit ulkus peptikum, akalasia, gastritis, dispepsia, dan gastroparesis.
Gejala extraesophageal termasuk batuk kronis, asma, radang tenggorokan dan
erosi gigi.5 Gejala – gejala diatas disebabkan oleh mikroaspirasi akibat refluks
atau vagal refleks yang dipicu oleh paparan asam pada esofagus bagian distal.
Esofagus dan refleks batuk berasal dari sama-sama berasal dari nervus vagus,

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 385


Iswan Abbas Nusi

hal ini menyebabkan paparan asam esofagus distal dapat menimbulkan


batuk, suatu proses yang dikenal sebagai refleks esofagobronkial.6 Gejala
extraesophageal dapat terjadi sendiri sehingga tidak boleh langsung dikaitkan
dengan diagnosis GERD, terutama ketika gejala khas tidak ada.

Tabel 1. Gejala Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


Typical Symptoms Acid regurgitation (regurgitasi asam), heartburn (rasa terbakar)
Atypical Symptoms Epigastric fullness, epigastric pressure, epigastric pain, dyspepsia,
nausea, bloating, belching.
Extraesophageal Symptoms Batuk kronis, bronchospasm, wheezing, hoarseness, sore throat,
asthma, laryngitis, dental erosions

Gejala GERD memiliki dampak mendalam pada kualitas hidup terkait


kesehatan (health-related quality of life / HRQoL). Sebuah tinjauan sistemik
pada tahun 2011 terhadap sembilan studi, termasuk total 14774 pasien
dengan GERD, menunjukkan bahwa gejala refluks persisten pada terapi PPI
dikaitkan dengan penurunan HRQoL fisik dan mental, sementara penurunan
HRQoL mental pada awal tampaknya mengganggu respon simptomatik
terhadap PPI. Hal ini menjadi dasar bahwa dalam membuat keputusan tentang
manajemen penyakit pada pasien dengan gejala refluks yang persisten harus
mempertimbangkan faktor perilaku dan psikologis dari pasien.7 Oleh karena
itu penting untuk mengenali, mendiagnosis, dan merawat pasien dengan
GERD dengan benar untuk menghindari efek yang merugikan pada kualitas
hidup serta berbagai komplikasi.

Komplikasi terkait GERD termasuk esophagitis erosif, striktur peptikum,


Barrett esofagus, adenokarsinoma esofagus dan penyakit paru-paru.
Adenokarsinoma esofagus dianggap lebih umum pada pria kulit putih yang
lebih tua dengan indeks massa tubuh yang tinggi dan skrining untuk esofagus
Barrett direkomendasikan dalam kelompok ini.8,9 “Alarm symptoms” terdiri
dari disfagia, odinofagia, perdarahan, penurunan berat badan, dan anemia.
Pasien dengan gejala ini lebih cenderung mengalami striktur peptik atau
esofagitis. Esofagus Barrett beresiko terjadi tiga hingga enam kali lipat pada
pasien yang memiliki gejala GERD selama lebih dari satu tahun.10

Diagnosis
Diagnosis GERD biasanya dibuat berdasarkan kombinasi gejala klinis,
respons terhadap obat, serta pemeriksaan objektif dengan endoskopi dan
pemantauan pH esofagus. Sebagai contoh, kombinasi dari gejala tipikal
sedang hingga berat dan perubahan endoskopi (erosif esophagitis atau
386 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Gastroesofageal Reflux Disease (GERD)

Barrett’s esophagus) sangat spesifik (97%) untuk GERD (dikonfirmasi dengan


pengujian pH) [11]. Namun, anamnesa sendiri sangat penting dalam penegakan
diagnosis, adanya eartburn dan regurgitasi asam memiliki spesifisitas sangat
tinggi (masing-masing 89% dan 95%), walaupun sensitivitasnya rendah
(38% dan 6%) untuk GERD.4 Hal ini dapat menjadi dasar untuk membuat
diagnosis kecurigaan terhadap GERD dan memulai terapi empiris, sehingga
menghindari evaluasi yang komprehensif dan mahal pada setiap pasien.12
Tes tambahan mungkin diperlukan, namun, hanya bagi mereka yang tidak
respon terhadap terapi empiris mereka yang memiliki gejala bahaya (alarm
syptomps/signs) dan mereka yang telah menderita penyakit ini dalam waktu
yang lama karena kekhawatiran untuk terjadinya komplikasi.1 Alasan untuk
melakukan pemeriksaan tambahan termasuk konfirmasi GERD serta evaluasi
komplikasi terkait GERD atau diagnosis alternatif (Tabel 2).

Tabel 2. Tes Diagnostik untuk Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


Diagnostic test Indikasi
PPI trial Classic GERD symptoms without alarm symptoms/ tanpa tanda
bahaya
Esophageal pH monitoring Refractory symptoms where GERD diagnosis is in question, pre-
operative evaluation for non-erosive disease
Upper endoscopy Alarm symptoms (e.g., dysphagia), PPI unresponsive patients, high
risk for Barrett’s esophagus
Barium esophagram Evaluation of dysphagia, otherwise not recommended for GERD
evaluation
Esophageal manometry Prior to anti-reflux surgery to rule out esophageal dysmotility (e.g.,
achalasia, scleroderma), otherwise not recommended for GERD
evaluation
Questionnaire Can mimic the diagnostic accuracy of gastroenterology practices,
etermined to be a predictor of response to PPI

1. Terapi Empiris/PPI Trial


Seperti disebutkan di atas, GERD tanpa komplikasi yang
bermanifestasi dalam gejala khas heartburn dan / atau regurgitasi dapat
ditawarkan pengobatan empiris. Gejala khas yang responsif terhadap PPI
menawarkan bukti tambahan untuk paparan asam esofagus patologis
dan masuk akal untuk menganggap diagnosis GERD pada pasien yang
merespons terapi yang tepat.1 Di sisi lain, gejala khas yang tidak membaik
memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menetukan adanya GERD dan
mengevaluasi untuk diagnosis alternatif. Demikian juga, pasien dengan
gejala atipikal sebagai keluhan utama juga harus dipertimbangkan untuk
evaluasi diagnostik lebih lanjut sebelum terapi empiris. Harus diingat

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 387


Iswan Abbas Nusi

bahwa sebagian kecil pasien dengan PPI dosis tinggi akan terus memiliki
gejala,13 kemungkinan akibat ketidakpatuhan obat atau resistensi PPI.

2. Ambulatory pH Monitoring
Pemantauan refluks ambulatori adalah satu-satunya modalitas yang
memungkinkan pengukuran langsung paparan asam esofagus, frekuensi
episode refluks dan hubungan antara gejala dan episode refluks. Ini
biasanya digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan gejala persisten
meskipun telah mendapat terapi medis, terutama mereka yang tidak
memiliki bukti GERD secara endoskopi. Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan untuk memantau kontrol refluks pada mereka yang menjalani
terapi dengan gejala persisten1 dan juga direkomendasikan pada pasien
dengan pemeriksaan endoskopi negatif sebelum menjalani operasi anti-
refluks untuk mengkonfirmasi diagnosis.

3. Endoskopi
Endoskopi adalah modalitas utama yang digunakan dalam evaluasi
mukosa esofagus pada pasien dengan GERD dan juga memungkinkan
untuk biopsi lesi terkait (mis., Metaplasia, striktur, atau massa Barrett).
Penting untuk dipahami bahwa ada batasan dengan penggunaan
endoskopi atas dalam diagnosis GERD. Misalnya, endoskopi yang
menunjukkan esofagitis atau Barrett esofagus pada dasarnya menegaskan
diagnosis GERD (spesifisitas tinggi) sedangkan endoskopi normal tidak
berarti menyingkirkan diagnosis. Faktanya, sebagian besar pasien
dengan gejala khas GERD tidak memiliki bukti endoskopi GERD pada
esophagogastroduodenoscopy. Oleh karena itu, endoskopi bagian atas
tidak diperlukan untuk diagnosis dan sebagian besar dilakukan untuk
evaluasi komplikasi terkait GERD dan diagnosis alternatif serta untuk
penempatan probe pH kapsul nirkabel. Pasien dengan berbagai faktor
risiko adenokarsinoma esofagus (usia 50 tahun atau lebih, jenis kelamin
laki-laki, ras kulit putih, GERD kronis, hiatus hernia, peningkatan IMT,
dan distribusi lemak tubuh intra-abdominal) harus dilakukan skrining
endoskopi untuk Barrett esofagus.8

4. Barium Esofagogram
Barium esophagram pernah direkomendasikan sebagai tes skrining
untuk GERD, tetapi tidak lagi menjadi bagian dari evaluasi diagnostik.
Sebuah studi tahun 1996 terhadap 125 pasien membandingkan barium
esophagram dengan pemantauan pH esofagus untuk menilai akurasi
388 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Gastroesofageal Reflux Disease (GERD)

skrining barium sebagai prediktor paparan asam esofagus abnormal.


Tingkat paparan asam esofagus abnormal yang lebih besar secara
signifikan terjadi pada pasien yang memiliki hernia hiatal atau refluks
spontan pada radiografi barium. Namun, sensitivitas dan spesifisitas
radiografi barium untuk derajat refluks asam yang abnormal rendah,
oleh karena itu tes ini tidak lagi direkomendasikan dalam diagnosis
GERD.14 Di sisi lain, pemeriksaan ini sering digunakan dalam evaluasi
komplikasi yang berkaitan dengan GERD (mis. Striktur peptikum) serta
dalam evaluasi disfagia pada pasien pasca operasi anti-refluks, dalam
hubungannya dengan evaluasi endoskopi.

5. Esofageal Manometri
Manometri esofagus berguna untuk evaluasi dismotilitas dan
hanya memiliki kegunaan terbatas dalam evaluasi GERD. Tidak ada
pola manometrik yang bersifat patognomonik untuk refluks. Peran
manometry dalam evaluasi GERD terbatas pada pemeriksaan pra operasi
untuk menyingkirkan diagnosis gangguan motilitas yang signifikan
seperti achalasia atau scleroderma (kontraindikasi yang jelas untuk
operasi anti-refluks) serta untuk membantu penentuan posisi yang tepat
dari probe pH transnasal. Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan untuk
diagnosis GERD.15

6. Kuesioner
Metode penegakan diagnosis yang lain adalah kuesioner. Kuesioner
penilaian diri dapat meniru akurasi diagnostik dari gastroenterologist.
Misalnya, GERDQ adalah kuesioner penilaian mandiri yang terbukti
memiliki sensitivitas 65 persen dan spesifisitas 71 persen dalam
sampel 300 pasien, mirip dengan akurasi diagnostik dicapai oleh
gastroenterologist. Kuisioner ini terdiri dari enam pertanyaan yang
mudah dinilai yang menilai frekuensi gejala selama minggu sebelumnya.
Skor gejala 8 atau lebih tinggi menunjukkan kemungkinan tinggi adanya
GERD. Kuisioner ini juga dapat digunakan sebagai prediktor respons
terhadap PPI. Pasien yang tidak ada satu pertanyaan pun dengan skor
lebih dari 1 memiliki respons positif terhadap pengobatan.16

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 389


Iswan Abbas Nusi

Tabel 3. Kuesioner GERDQ

Jones R, Junghard O, Dent J, et al. Development of the GerdQ, a tool for the diagnosis and management of
gastro-oesophageal reflux disease in primary care. Aliment Pharmacol Ther 2009;30:1030-1038.

Daftar Pustaka
1. DeVault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2005;100:190–200. 
2. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and management of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2013;108:308–328; quiz 329.
3. Dent J, El-Serag HB, Wallander MA, Johansson S. Epidemiology of gastro-
oesophageal reflux disease: a systematic review. Gut. 2005;54:710–717.
4. Klauser AG, Schindlbeck NE, Müller-Lissner SA. Symptoms in gastro-oesophageal
reflux disease. Lancet. 1990;335:205–208.
5. Hom C, Vaezi MF. Extra-esophageal manifestations of gastroesophageal reflux
disease: diagnosis and treatment. Drugs. 2013;73:1281–1295.
6. Smith JA, Abdulqawi R, Houghton LA. GERD-related cough: pathophysiology and
diagnostic approach. Curr Gastroenterol Rep. 2011;13:247–256. 
7. Becher A, El-Serag H. Systematic review: the association between symptomatic
response to proton pump inhibitors and health-related quality of life in patients
with gastro-oesophageal reflux disease. Aliment Pharmacol Ther. 2011;34:618–
627.
8. Spechler SJ, Sharma P, Souza RF, Inadomi JM, Shaheen NJ. American
Gastroenterological Association medical position statement on the management of
Barrett’s esophagus. Gastroenterology. 2011;140:1084–1091. 
9. Lagergren J, Bergström R, Nyrén O. Association between body mass
and adenocarcinoma of the esophagus and gastric cardia. Ann Intern
Med. 1999;130:883–890.
10. Smith L. Updated ACG Guidelines for Diagnosis and Treatment of GERD. Am Fam
Physician. 2005 Jun 15;71(12):2376-2382.

390 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manifestasi Klinis dan Diagnosis Gastroesofageal Reflux Disease (GERD)

11. Tefera L, Fein M, Ritter MP, Bremner CG, Crookes PF, Peters JH, Hagen JA, DeMeester
TR. Can the combination of symptoms and endoscopy confirm the presence of
gastroesophageal reflux disease? Am Surg. 1997;63:933–936.
12. Giannini EG, Zentilin P, Dulbecco P, Vigneri S, Scarlata P, Savarino V. Management
strategy for patients with gastroesophageal reflux disease: a comparison between
empirical treatment with esomeprazole and endoscopy-oriented treatment. Am J
Gastroenterol. 2008;103:267–275.
13. Katzka DA, Paoletti V, Leite L, Castell DO. Prolonged ambulatory pH monitoring
in patients with persistent gastroesophageal reflux disease symptoms: testing
while on therapy identifies the need for more aggressive anti-reflux therapy. Am J
Gastroenterol. 1996;91:2110–2113.
14. Johnston BT, Troshinsky MB, Castell JA, Castell DO. Comparison of barium
radiology with esophageal pH monitoring in the diagnosis of gastroesophageal
reflux disease. Am J Gastroenterol. 1996;91:1181–1185.
15. DeVault K, McMahon BP, Celebi A, Costamagna G, Marchese M, Clarke JO, Hejazi
RA, McCallum RW, Savarino V, Zentilin P, et al. Defining esophageal landmarks,
gastroesophageal reflux disease, and Barrett’s esophagus. Ann N Y Acad
Sci. 2013;1300:278–295. 
16. Jones R, Junghard O, Dent J, et al. Development of the GerdQ, a tool for the diagnosis
and management of gastro-oesophageal reflux disease in primary care. Aliment
Pharmacol Ther 2009;30:1030-1038.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 391


Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular
Aida Lydia
Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Penyakit glomerular merupakan salah satu topik di bidang nefrologi


yang memiliki tampilan klinis yang sangat bervariasi dan terus mengalami
perkembangan.1,2 Sebagian besar pasien dengan penyakit glomerular dapat
datang tanpa gejala namun membawa hasil pemeriksaan penunjang yang
abnormal, seperti proteinuria, hematuria, atau penurunan fungsi ginjal.1,3 Di
sisi lain, sebagian kecil datang dengan kondisi gangguan fungsi ginjal yang
berat dan dapat mengancam nyawa. Terdapat berbagai klasifikasi penyakit
glomerular, termasuk yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Serupa dengan penyakit lain, pendekatan klinis pada penyakit glomerular


meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisis yang sistematis dan terarah yang
kemudian diperkuat dengan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Pasien dengan penyakit glomerular dapat datang dengan atau tanpa
keluhan. Keluhan yang dilaporkan oleh pasien juga bisa bersifat tidak spesifik.
Oleh karena itu, secara detil perlu digali apakah terdapat edema, hipertensi,
riwayat infeksi, atau kelainan pada saat pemeriksaan kesehatan rutin.1 Pasien
juga dapat datang dengan riwayat penyakit sistemik seperti lupus, diabetes,
hipertensi, vaskulitis, atau amiloidosis.4 Riwayat konsumsi obat-obatan baik
dari dokter maupun obat yang dibeli sendiri oleh pasien perlu ditanyakan
untuk mencari penyebab penyakit glomerular yang terkait hal tersebut.
Riwayat kelainan ginjal dalam keluarga juga penting karena beberapa kondisi
seperti sindrom Alport, sindrom hemolitik-uremik, nefropati IgA familial,
glomerulonefritis complement-mediated, dan glomerulosklerosis fokal
segmental (FSGS) berhubungan dengan genetik.1,3

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien dengan penyakit glomerular dimulai
dari penilaian keadaan umum, tanda vital, dilanjutkan dengan pemeriksaan
secara sistematis. Adanya edema pitting merupakan tanda sindrom nefrotik,
sirosis hepatis, atau gagal jantung.1 Berbeda dengan edema pada pasien gagal

392 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular

jantung dimana pasien tidak dapat berbaring datar (ortopnea). Demikian


juga pada pasien sirosis dekompensata, adanya asites membuat pasien
sulit berbaring. Pasien dengan sindrom nefrotik umumnya dapat berbaring
datar, edema akan terdistribusi hingga ke periorbita dan genitalia.1 Tanda
lain yang patognomonik untuk sindrom nefrotik adalah xanthelasma akibat
hiperlipidemia dan garis putih pada kuku (Muehrcke lines).1

Penyakit Glomerular
Gangguan pada sawar filtrasi glomerulus yang menyebabkan
satu atau lebih dari: proteinuria glomerular, hematuria
glomerular, atau penurunan laju filtrasi glomerulus

Glomerulopati Primer Glomerulopati Sekunder


FSGS derajat 2 (sekunder)
Penyakit ini berawal dari glomerulus Penyakit glomerulus akibat penyakit
dan menyebabkan kerusakan sistemik, misalnya: Penyakit glomerular yang terjadi akibat
langsung hanya terhadap • Nefropati diabetik hilangnya nefron yang normal lebih dari 50%
glomerulus, misalnya: • Nefritis lupus karena sebab apapun. Sebagai akibatnya,
• Amiloidosis secara kronik nefron yang tersisa akan
• Penyakit lesi minimal
• Vaskulitis terkait ANCA mengalami hiperperfusi glomerulus dan
• Glomerulonefritis akut pasca- terjadi sklerosis fokal segmental. Misalnya:
streptokokal • Krioglobulinemia tipe 1, 2,
• Penyakit ginjal kronik non-glomerular
• Nefropati membranosa atau 3 yang menyebabkan hilangnya nefron
idiopatik • Glomerulonefritis terkait dalam jumlah besar
• Penyakit anti-GBM infeksi • Glomerulopati terkait obesitas, di mana
• Nefritis IgA tidak terjadi kehilangan nefron yang
• FSGS derajat 1 (primer) berlebihan namun terjadi overperfusi
yang kronis sehingga terjadi FSGS
• Penyakit glomerular primer atau
sekunder yang mengalami remisi baik
komplit maupun parsial, namun sudah
terjadi kehilangan nefron sehingga sisa
nefron mengalami hiperperfusi dan
terjadi FSGS yang superimposed
dengan penyakit glomerular awalnya.

Gambar 1. Klasifikasi Penyakit Glomerular


Dikutip dari: Hebert LA, Parikh S, Prosek J, Nadasdy T, Rovin BH. Differential diagnosis of glomerular disease:
a systematic and inclusive approach. Am J Nephrol 2013;38(3):253-66.
Gambar 1. Klasifikasi Penyakit Glomerular
Dikutip dari: Hebert LA, Parikh S, Prosek J, Nadasdy T, Rovin BH. Differential diagnosis of
glomerular disease:Penunjang
Pemeriksaan a systematic and inclusive approach. Am J Nephrol 2013;38(3):253-66.
Pemeriksaan penunjang memegang peranan yang penting mengingat
banyak diagnosis
Pemeriksaan banding penyakit glomerular yang memerlukan pemeriksaan
Penunjang
penunjang tertentu untuk penegakan diagnosis.5 Beberapa pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang memegang peranan yang penting mengingat banyak diagnosis
penunjang pada penyakit glomerular dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
banding penyakit glomerular yang memerlukan pemeriksaan penunjang tertentu untuk
5
penegakan
Pertemuan diagnosis. Beberapa
Ilmiah Nasional XVII PAPDIpemeriksaan penunjang pada penyakit glomerular dapat
- Surabaya 2019 393
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Pemeriksaan Penunjang Pada Penyakit Glomerular
Aida Lydia

Tabel 1. Pemeriksaan Penunjang Pada Penyakit Glomerular


Pemeriksaan Penunjang Tujuan Keterangan

Pemeriksaan Awal (Rutin)


1. Urinalisis/urin lengkap Pemeriksaan penunjang awal Biaya murah dan tersedia di
banyak tempat
2. Urin tampung 24 jam Untuk menilai proteinuria Pada urin 24 jam dapat pula
secara kuantitatif. Pada diperiksakan elektrolit, ureum,
kondisi proteinuria >500 mg/ dan kreatinin urin.
hari, 60-80% dalam bentuk
albumin sehingga cukup
dilakukan pemeriksaan
albuminuria.
3. Rasio albumin-kreatinin urin Untuk menilai albuminuria Sampel dari urin sewaktu,
(urine albumin-creatinine sebagai alternatif dari urin tidak dipengaruhi oleh variasi
ratio/UACR) tampung 24 jam aliran urin atau asupan cairan.
4. Albumin serum Menilai status gizi, fungsi Perlu dibandingkan antara
sintesis hati, dan derajat derajat albuminruia dengan
kerusakan sawar filtrasi albumin serum. Misalnya,
glomerulus jika pasien mengalami
hipoalbuminuria padahal
proteinuria <3 gram/hari,
maka perlu dievaluasi apakah
terdapat gangguan fungsi
hati.
5. Laktat dehidrogenase (LDH) Menilai hemolisis atau LDH yang meningkat
nekrosis organ. menandakan kerusakan
sel, khususnya hemolisis
seperti pada kasus trombotik
mikroangiopati.
6. Darah perifer lengkap Khususnya retikulosit dan Pada hemolisis intravaskular,
trombosit untuk menilai terjadi peningkatan
produksi eritrosit dan retikulosit dan/atau
trombotik mikroangiopati. penurunan jumlah trombosit.
Penyakit glomerular yang
berhubungan dengan
trombotik mikroangiopati
antara lain: vaskulitis,
skleroderma, sindrom
antifosfolipid, TTP, HUS,
aHUS, infeksi darah,
hipertensi maligna, dan
cryoglobulinemia.
7. C3, C4 Mencari kelainan pada sistem Kadar C3 yang normal dengan
komplemen baik klasik C4 yang sangat menurun
maupun alternatif khas untuk cryoglobulinemia
tipe 2 dan tipe 3. Kadar C4
yang normal dengan C3
yang sangat rendah khas
untuk glomerulonefritis post
streptokokus

394 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular

Pemeriksaan Penunjang Tujuan Keterangan

8. Elektroforesa protein serum Pemeriksaan penyaring Imunofiksasi untuk melihat


+ free light chain untuk gamopati monoklonal karakteristik protein
atau kelainan gamma monoklonal bila elektroforesa
globulin (hiper/hipo). dan/atau FLC abnormal.
Imunofiksasi dilakukan hanya Apabila didapatkan
untuk pemeriksaan lanjutan hipogammaglobulinemia,
dan bukan untuk skrining periksa kadar IgG, IgA, IgM
(imunodefisiensi). Sebaliknya
jika terhadi hiperglobulinemia,
periksa juga ketiga
imunoglobulin tersebut
dan jika IgG meningkat, cek
isotipnya (IgG 1, 2, 3, 4) untuk
melihat ada/tidaknya penyakit
IgG4
9. HBsAg, Anti-HCV, Anti-HIV Salah satu penyebab Pemeriksaan ini perlu
tersering penyakit karena walaupun pasien
glomerular tidak memiliki faktor risiko
atau penyebab penyakit
glomerular sudah jelas
bukan akibat infeksi virus-
virus tersebut, status infeksi
penting untuk persiapan
pemberian imunosupresan
10. ANA Penapisan kelainan autoimun
11. ANCA Mencari vaskulitis terkait-
ANCA
12. Faktor rheumatoid Penapisan cryoglobulinemia Faktor reumatoid dapat
tipe 2 dan 3 atau autoimun menjadi surrogate
lain. marker pada kondisi
di mana cryoglobulin
plasma sulit terdeteksi.
Pada glomerulonefritis
cryoglubulinemik misalnya,
endapan cryoglobulin sangat
cepat dikeluarkan sehingga
tidak tampak pada biopsi
ginjal.
13. Pemeriksaan laboratorium Mencari komplikasi penyakit Meliputi darah perifer
rutin pasien penyakit ginjal ginjal kronik lengkap, elektrolit, glukosa
kronik. darah, PTH intak, ureum,
kreatinin,profil lipid, kalsium,
fosfat, bilirubin, SGOT, dan
SGPT.
Pemeriksaan Awal (Opsional)
14. Kultur darah Mencari infeksi aliran darah, Infeksi bakteri, virus,
khususnya pada pasien parasit, dan jamur
dengan gejala demam dan dapat menyebabkan
leukositosis. glomerulonefritis.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 395


Aida Lydia

Pemeriksaan Penunjang Tujuan Keterangan

15. Anti-GBM assay Pemeriksaan untuk sindrom Pemeriksaan biopsi ginjal


Goodpasture’s sudah cukup adekuat untuk
menegakkan sindrom
Goodpasture’s, namun
pada kondisi tertentu di
mana biopsi sulit dilakukan,
pemerikaan ini dapat
bermanfaat.
16. Pemeriksaan streptozyme Penapisan untuk infeksi Diagnosis glomerulonefritis
Streptococcus grup A post-streptococcal dapat
ditegakkan melalui klinis
berupa riwayat infeksi,
kadar C3 yang rendah, C4
normal, urin nefritik, dan uji
streptozyme positif
17. D-dimer Mencari hypercoagulable Pada pasien sindrom nefrotik
state/trombosis dengan d-dimer yang
meningkat, perlu dilakukan
evaluasi ada/tidaknya trombus
di sirkulasi sistemik khususnya
vena renalis. Kondisi
trombotik mikroangiopati
juga perlu dipertimbangkan.
Walaupun tidak didapatkan
trombus, pada pasien dengan
sindrom nefrotik berat, kondisi
d- dimer yang meningkat
menandakan perlunya
pemberian antikoagulan
secara preemptif.
18. Imunoglobulin (IgG, IgA, Kelanjutan dari elektroforesis Kadar IgG berhubungan
IgM) protein serum jika dengan kemampuan sistem
didapatkan adanya kelainan. imun, sehingga perlu
dipantau saat pemberian
imunosupresan. Pada kondisi
lupus atau sindrom nefrotik
berat, kadar IgG yang rendah
juga dapat ditemukan.
19. Aktivitas ADAMTS-13 Menilai ada/tidaknya TTP Diperiksakan pada setiap
pasien dengan kelainan ginjal
dengan bukti mikroangiopati
trombotik.
20. Foto polos dada Mencari komplikasi paru dari Dapat ditemukan
penyakit glomerular atau kardiomegali, efusi pleura,
sindrom pulmo-renal infeksi, atau edema paru.

396 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular

Pemeriksaan Penunjang Tujuan Keterangan

21. Biopsi ginjal Diagnosis pasti secara Tidak dilakukan pada


histopatologi untuk mencari beberapa kondisi, seperti
kelainan patologi ginjal. pada anak dengan sindrom
nefrotik yang dicurigai
sebagai penyakit lesi minimal;
pada glomerulonefritis pasca
infeksi streptokokus; atau
pada penyakit Goodpasture di
mana gambaran klinis cukup
khas dan diagnosis dapat
ditegakkan tanpa melalui
biopsi.
Tabel dikutip dan didaptasi dari: Hebert LA, Parikh S, Prosek J, Nadasdy T, Rovin BH. Differential diagnosis
of glomerular disease: a systematic and inclusive approach. Am J Nephrol 2013;38(3):253-66 dan Kidney
Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO clinical practice
guideline for glomerulonephritis. Kidney inter, Suppl 2012(2):139-274 dengan modifikasi seperlunya.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang


yang dikaitkan dengan gejala dan tanda spesifik, walaupun tidak selalu
mudah namun seorang klinisi dapat memperkirakan jenis dan penyebab
penyakit glomerular pada pasien yang akan dibahas lebih lanjut. Mengingat
bahwa gambaran utama dari penyakit glomerular adalah proteinuria dan/
atau hematuria, maka Hebert, dkk menyusun algoritma untuk membantu
menegakkan diagnosis penyakit glomerular berdasarkan dari jumlah
proteinuria (overt/non-overt), sedimen nefritik, dan ada atau tidaknya
penyakit multisistem.2 Algoritma ini dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar
3. Urutan penyakit pada masing-masing panel diagnosis banding diurutkan
berdasarkan prevalensi yang tertinggi ke prevalensi yang terendah. Adapun
algoritma dalam memutuskan apakah biopsi ginjal perlu/tidak dilakukan,
termasuk pertimbangan menunda biopsi dapat dilihat pada Gambar 4.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 397


Aida Lydia

Adanya proteinuria glomerular (PUK >1 gr/24 jam) dan tidak memenuhi kriteria eksklusi*

Apakah terdapat sedimen urin


Ya nefritik (>5 eritrosit/LPB + Tidak
akantosit atau silinder

Bukti penyakit Ya
Ya Bukti penyakit multisistem**? Tidak multisistem**?

Tidak
Panel 1
1. Nefropati
diabetik***
2. Nefritis lupus kelas Panel 3
II-V Panel 4
Panel 2
3. Vaskulitis terkait 1. Nefropati 1. Diabetes
ANCA 1. Nefritis IgA membranosa
4. GN terkait infeksi: melitus***
2. Sindrom Alport idiopatik***
Hepatitis B, 2. Nefritis lupus
3. GN 2. Penyakit lesi
hepatitis C, kelas V ***
poststreptokokal minimal
HIVAN, CMV, 3. Amiloidosis:
akut 3. FSGS primer ***
endokarditis AL, AA, bentuk
4. MPGN idiopatik 4. FSGS sekunder+
bakterialis, amiolid lainnya
tipe 1 atau 5. Deposisi kristal
Legionella, GN 4. Skleroderma***
glomerulopati C3 rantai ringan
terkait infeksi 5. Penyakit
5. GN fibrillary/ tubular
stafilokokus mitokondria
dominan-IgA, immunotactoid*** 6. Sindrom Nail- 6. Penyakit Fabry’s
hantavirus, atau 6. Penyakit deposisi Patella 7. Penyakit IgG4
infeksi lain imun monoklonal 7. Nefropati
5. Krioglobulinemia (rantai ringan/berat) kolagenofibrotik
tipe I, II, III 7. GN proliferatif 8. Penyakit Dent’s *** Hematuria dapat
6. Mikroangiopati dengan deposit IgG 9. Glomerulopati tidak ditemukan
trombotik monoklonal C1
(HUS/TTP/aHUS), 8. Penyakit membran
sindrom basal glomerulus
antifosfolipid idiopatik tebal/tipis *** Hematuria dapat
primer/sekunder, tidak ditemukan
skleroderma***
+
7. Purpura Henoch- *** Hematuria dapat Penyakit multisistem
Schönlein tidak ditemukan dapat ditemukan bila
8. Penyakit penyebabnya adalah
Goodpasture multisistem (vaskulitis
9. Atheroembolisme terkait ANCA
renalis misalnya)
10. Penyakit Fabry’s

*** Hematuria dapat


tidak ditemukan

Gambar 2. Pendekatan Diagnosis Pada Kasus Proteinuria Overglomerular.


Gambar 2. Pendekatan
*Kriteria Diagnosis Pada
eksklusi: Proteinuria Kasus
tubular, Proteinuria
proteinuria Overglomerular.
overflow, *Kriteria
penyakit kista ginjal
eksklusi: Proteinuria
primer, uropatitubular, proteinuria
obstruktif, overflow,
toksisitas penyakit
obat, reaksi kista ginjal primer,
hipersensitivitas, uropati
keganasan,
obstruktif, toksisitas
kehamilan, obat,
atau reaksi hipersensitivitas,
penyakit lesi minimal yang keganasan,
relaps. kehamilan,
Pada penyakitatau penyakit lesi
lesi minimal,
minimal yang relaps.
pendekatan Padayang
klinis penyakit lesi minimal,
dianjurkan adalah pendekatan
pemberian klinis yangsteroid.
terapi dianjurkan adalah
**Penyakit
pemberian terapidicurigai
multisistem steroid. **Penyakit multisistem
bila terdapat dicurigai
satu atau lebihbila terdapat
dari: abdomensatu (enteritis,
atau lebih dari:
kolitis,
abdomen (enteritis,sendi
pankreatitis), kolitis, pankreatitis),
(artritis), susunansendi (artritis),
saraf susunan saraf
pusat, jantung, pusat,ekstremitas,
telingam jantung,
telingam ekstremitas, mata,mata,paru, ulkus
paru, mulut,
ulkus epistaksis,
mulut, atau kulit.
epistaksis, atau kulit.
Gambar dikutip dan diadaptasi dari Hebert LA, Parikh S, Prosek J, Nadasdy T, Rovin BH. Differential diagnosis
of glomerular disease: a systematic and inclusive approach. Am J Nephrol 2013;38(3):253-66.

398 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Gambar dikutip dan diadaptasi dari Hebert LA, Parikh S, Prosek J, Nadasdy T, Rovin BH.
Differential diagnosis of glomerular disease: a systematic and inclusive approach. Am J
Nephrol 2013;38(3):253-66. Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular

Proteinuria glomerular minor (PUK di atas normal namun ≤500 mg/24 jam) dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi*

Apakah terdapat sedimen urin


Ya nefritik (>5 eritrosit/LPB + Tidak
akantosit atau silinder

Bukti penyakit multisistem**? Ya


Panel 3

1. Proteinuria
ortostatik
Tidak
2. Proteinuria yang
1. Nefropati diabetik
diinduksi
(terutama tahap
aktivitas
awal)
3. Nefrosklerosis
1. Penyakit membran 2. Bentuk yang lebih
hipertensi pada
basal glomerulus ringan dari penyakit
keturunan Afrika
idiopatik tipis/tebal pada gambar 2
panel 1. Walaupun 4. Bentuk yang
2. Nefritis IgA
keterlibatan ginjal lebih ringan dari
3. Sindrom Alport
masih dalam tahap penyakit pada
4. Bentuk yang lebih
yang ringan gambar 2 panel 3
ringan dari
(proteinuria ≤500 dan 4
penyakit pada
gambar 2 panel 2 mg/24 jam),
manifestasi
ekstrarenal dapat
lebih berat

Gambar 3. Pendekatan Diagnosis Pada Kasus Proteinuria Minor.


Gambar 3.eksklusi:
*Kriteria Pendekatan Diagnosis
Proteinuria Pada
tubular Kasus Proteinuria
, proteinuria Minor. kista
overflow, penyakit *Kriteria
ginjaleksklusi:
primer, uropati obstruktif, toksisitas obat, reaksi hipersensitivitas, keganasan,
Proteinuria tubular , proteinuria overflow, penyakit kista ginjal primer, uropati obstruktif,
kehamilan, atau penyakit lesi minimal yang relaps. Pada penyakit lesi minimal,
toksisitas obat, reaksi hipersensitivitas, keganasan, kehamilan, atau penyakit lesi minimal
pendekatan klinis yang dianjurkan adalah pemberian terapi steroid. **Penyakit
yang relaps. Pada
multisistem penyakit
dicurigai bila lesi minimal,
terdapat satupendekatan klinisabdomen
atau lebih dari: yang dianjurkan adalah
(enteritis, pemberian
kolitis,
terapi steroid. **Penyakit
pankreatitis), multisistem
sendi (artritis), susunandicurigai bila jantung,
saraf pusat, terdapat telingam
satu atau ekstremitas,
lebih dari: abdomen
(enteritis, kolitis, pankreatitis),
mata, paru, ulkussendi (artritis),
mulut, susunan
epistaksis, atau saraf
kulit. pusat, jantung, telingam
ekstremitas,
Gambar mata,
dikutip dan paru, ulkus
diadaptasi mulut,
dari Hebert epistaksis,
LA, Parikh atau
S, Prosek kulit. T, Rovin BH. Differential diagnosis
J, Nadasdy
Gambar dikutip dan
of glomerular diadaptasi
disease: dari
a systematic andHebert
inclusiveLA, Parikh
approach. Am JS, Prosek
Nephrol J, Nadasdy T, Rovin
BH.
2013;38(3):253-66.

Differential diagnosis of glomerular disease: a systematic and inclusive approach. Am J


Nephrol 2013;38(3):253-66.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 399


Aida Lydia

Apakah terdapat bukti penyakit glomerular terkait Perjalanan penyakit progresif cepat
infeksi? Pengecualian: apakah mungkin terdapat GN namun tidak disebabkan oleh
Tidak
post-steptokokal? gangguan hemodinamik atau
nefrotoksisitas obat

Ya Kreatinin serum
Ya Tidak
meningkat?

Tidak

Atasi infeksi.
Lakukan biopsi ginjal jika
Pertimbangan biopsi tidak ada kontraindikasi dan:
Lakukan biopsi ginjal jika tidak
ginjal hanya jika tidak ada kontraindikasi dan:
terjadi perbaikan, • Sedimen urin nefritik
khususnya pada kasus di ATAU
• Sedimen urin nefritik
mana keterkaitan infeksi • Pemeriksaan penunjang ATAU
dan GN dianggap kuat memnunjukkan adanya
• Pemeriksaan penunjang
glomerulopati sekunder,
memnunjukkan adanya
Apabila hubungan kecuali nefropati diabetik
glomerulopati sekunder,
tersebut kurang jelas (Umumnya biopsi tidak
kecuali nefropati diabetik
atau fungsi ginjal diperlukan untuk
(Umumnya biopsi tidak
menurun dengan cepat, menegakkan nefropati
diperlukan untuk
dapat dilakukan biopsi diabetik)
menegakkan nefropati
ginjal
Tunda biopsi jika curiga FSGS diabetik)
sekunder; Pertimbangkan ATAU
biopsi hanya jika upaya untuk • Terdapat proteinuria
mempertahankan fungsi ginjal nephrotic range. Pada
tidak dapat menghambat kondisi ini dengan kreatinin
progresivitas penyakit ginjal. serum yang normal,
kemungkinan penyebabnya
lebih condong kepada
glomerulopati primer atau
sekunder dibandingkan
FSGS sekunder

Secara umum, tunda biopsi


ginjal jika proteinuria <1,0
gram/hari. Pertimbangkan biopsi
jika proteinuria menetap atau
bertambah walaupun sudah
diberikan terapi.

Gambar 4. Algoritma Untuk Memutuskan Apakah Biopsi Ginjal Perlu Dilakukan


Gambar 4.Algoritma dalam
UntukMenatalaksana
MemutuskanPasien Apakah dengan
BiopsiProteinuria.
Ginjal Perlu Dilakukan
dalam dikutip
Gambar Menatalaksana Pasien
dan diadaptasi dengan
dari Hebert LA, Proteinuria.
Parikh S, Prosek J, Nadasdy T, Rovin BH. Differential diagnosis
Gambarof glomerular
dikutip dan diadaptasi
disease: dari Hebert
a systematic LA, approach.
and inclusive Parikh S,AmProsek J, 2013;38(3):253-66.
J Nephrol Nadasdy T, Rovin BH.
Differential diagnosis of glomerular disease: a systematic and inclusive approach. Am J
Nephrol 2013;38(3):253-66.

400 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular

Gambaran Klinis Penyakit Glomerular


Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik merupakan salah satu jenis penyakit glomerular yang
patognomonik yang ditandai dengan pentad yang terdiri dari proteinuria
(nephrotic range), hipoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan
lipiduria.1 Sindrom nefrotik yang menetap akan menyebabkan penyakit
ginjal kronik yang akan mengalami progresi menjadi penyakit ginjal tahap
akhir. Sindrom nefrotik merupakan gambaran klinis dengan penyebab yang
bervariasi.1,5 Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami hipoalbuminemia
akibat hilangnya protein melalui urin. Pada tahap awal perjalanan penyakit,
kondisi proteinuria ini masih dapat diimbangi oleh peningkatan sintesis
di hati, namun seiring dengan progresivitas penyakit, kadar albumin akan
menurun akibat kebocoran yang semakin meningkat.1

Pada sindrom nefrotik terjadi edema mulai dari spektrum yang ringan
hingga edema anasarka. Mekanisme terjadinya edema pada sindrom nefrotik
dapat terjadi akibat underfilling maupun overfilling.1 Pada mekanisme
underfill, proteinuria menyebabkan turunnya kadar albumin di dalam serum.
Sebagai akibatnya, tekanan onkotik plasma akan menurun dan terjadi
transudasi cairan dari kapiler ke ruang ekstrasel. Penurunan tekanan darah
arteri efektif akan menstimulasi aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron
(RAA), yang kemudian akan menyebabkan retensi natrium di tubulus
distal.1 Retensi garam ini akan meningkatkan retensi air sehingga tekanan
hidrostatik meningkat dan edema semakin berat. Kondisi retensi natrium
akan diperberat oleh gangguan ekskresi natrium di ginjal sehingga volume
darah akan meningkat dan terjadi hipertensi. Volume darah yang meningkat
(overfill) akan menyebabkan transudasi berkelanjutan di ruang ekstrasel,
sehingga edema semakin berat.1 Jenis-jenis penyakit glomerular dengan
tampilan sindrom nefrotik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penyakit Glomerular dengan Tampilan Klinis Sindrom Nefrotik


Penyakit Asosiasi Pemeriksaan Penunjang
Penyakit lesi minimal Atopi, alergi, OAINS, penyakit Hodgkin -
Glomerulosklerosis Infeksi HIV Anti-HIV
fokal segmental (FSGS) Heroin, pamidronat
Ras Afrika-Amerika
Membranous Obat: Penisilamin, OAINS, turunan emas Antibodi Anti-PLA2
nephropathy Infeksi: Hepatitis B, Hepatitis C, malaria HbsAg, Anti HCV
Keganasan: Payudara, saluran cerna, paru -
Nefritis lupus Anti-DNA

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 401


Aida Lydia

Penyakit Asosiasi Pemeriksaan Penunjang


Membranoproliferative Faktor nefritik C4 C3 menurun, C4 menurun
glomerulonephritis
(MPGN) tipe I
Dense deposit disease Faktor nefritik C3 C3 menurun, C4 normal
(MPGN tipe II)
MPGN Hepatitis C Anti-HCV, rheumatoid
krioglobulinemik factor, C3 menurun, C4
CH 50menurun,
menurun.
Penyakit amiloid Myeloma Free CHlight chain plasma,
50 menurun.
elektroforesis protein serum,
Penyakit amiloid Myeloma Free light chain
imunoelektroforesis urin.
plasma, elektroforesis
Artritis rematoid, penyakit Crohn, C-reactive protein (CRP)
protein serum,
bronkiektasis, demam Mediteranian
Artritis rematoid, penyakit Crohn, imunoelektroforesis urin.
familial
bronkiektasis, demam Mediteranian familial C-reactive protein (CRP)
Nefropati diabetik Mikroangiopati diabetik lain Tidak ada
Nefropati
Tabel diabetik
dikutip dari: FloegeMikroangiopati diabetik lainto glomerular disease:
J, Feehally J. Introduction Tidak ada
clinical
presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, Floege J, editors. Comprehensive clinical
Tabel dikutip dari: Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: clinical presentations. In: Johnson
nephrology.
RJ, Feehally 5 ed. Philadelphia:
J, Floege Elsevier Saunders
J, editors. Comprehensive clinical2015. h. 184-97.
nephrology. 5 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders
2015. h. 184-97.

Underfill Overfill
Proteinuria Defek tubular primer
menyebabkan retensi garam

Hipoalbuminemia

Penurunan
tekanan onkotik
koloid plasma

Gaya Starling

Penurunan
volume plasma Volume plasma
normal/meningkat

Aktivasi sistem
Kadar peptida renin-angiotensin-
Peningkatan natriuretik atrial aldosteron Normal Peningkatan Penurunan
vasopresin yang normal/ vasopresin ANP aldosteron
rendah Peningkatan
aldosteron

*
Retensi air
Retensi garam

Edema

Gambar 5. Mekanisme Edema Nefrotik


*Pada konsep ini, ginjal relatif resisten terhadap ANP sehingga efek ANP hanya
sedikit.
Gambar 5.Mekanisme Edema Nefrotik
Dikutip dari: Floege J, Feehally J. Introduction
*Pada konsep ini, ginjal relatif resisten terhadapto glomerular
ANPdisease:
sehingga clinical
efekpresentations. In: Johnson RJ,
ANP hanya sedikit.
Dikutip
Feehallydari: Floege
J, Floege J, Feehally
J, editors. J. Introduction
Comprehensive to glomerular
clinical nephrology. disease:
5 ed. clinicalElsevier
Philadelphia: presentations.
Saunders 2015.
In: Johnson RJ, Feehally J, Floege J, editors. h. 184-97.
Comprehensive clinical nephrology. 5 ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders 2015. h. 184-97.
402 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular

Sindrom Nefritik
Sindrom nefritik yang klasik ditandai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus, proteinuria non-nefrotik, edema, hipertensi, dan hematuria.1
Salah satu bentuk penyakit dengan gambaran khas ini adalah glomerulonefritis
post-streptokokal pada anak. Pendekatan klinis penyakit glomerular dengan
membagi menjadi sindrom nefrotik dan sindrom nefritik dapat membantu
menegakkan diagnosis. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ternyata
belakangan terbukti bahwa suatu penyakit glomerular dapat memiliki tampilan
nefrotik, nefritik, maupun gabungan keduanya.1 Perbedaan gambaran klinis
antara sindrom nefrotik dengan sindrom nefritik dapat dilihat pada Tabel 3
di bawah ini. Penyakit glomerular dengan tampilan sindrom nefrotik dapat
dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Perbedaan Sindrom Nefrotik dan Nefritik


Gambaran Klinis Nefrotik Nefritik
Awitan Perlahan (insidious) Mendadak (abrupt)
Edema ++++ ++
Tekanan darah Normal Meningkat
Tekanan vena jugularis Normal/rendah Meningkat
Proteinuria ++++ ++
Hematuria +/- +++
Silinder eritrosit - +
Albumin serum Rendah Normal/sedikit berkurang

Tabel dikutip dari: Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: clinical


presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, Floege J, editors. Comprehensive clinical
nephrology. 5 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders 2015. h. 184-97.

Tabel 4. Penyakit Glomerular dengan Tampilan Sindrom Nefritik


Penyakit Asosiasi Pemeriksaan Penunjang
Glomerulonefritis Faringitis, impetigo Titer ASO, antibodi streptozym
poststreptokokus
Penyakit pasca infeksi lainnya
Endokarditis Murmur Kultur darah, C3 menurun
Abses - Kultur darah, C3 dan C4 normal
atau meningkat
Shunt Hidrosefalus yang sudah Kultur darah, C3 menurun
ditatalaksana
Nefropati IgA Infeksi saluran napas atas IgA serum meningkat
atau gastrointestinal

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 403


Aida Lydia

Penyakit Asosiasi Pemeriksaan Penunjang


Nefritis lupus Tampilan klinis sesuai ANA, anti ds DNA meningkat, C3
lupus dan C4 menurun
Tabel dikutip dari: Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: clinical presentations. In: Johnson
RJ, Feehally J, Floege J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 5 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders
2015. h. 184-97.

Rapidly Progressive Glomerulonephritis (RPGN)


Pada RPGN, fungsi ginjal mengalami perburukan secara cepat dalam
hitungan hari hingga minggu. Pasien dapat datang ke IGD dengan kondisi
kegawatan nefrologi yaitu sindrom uremik.1 Baik penyakit glomerular
primer maupun sekunder (autoimun sistemik) dapat mengalami kejadian
RPGN.1,4 Salah satu petunjuk yang digunakan untuk mendiagnosis RPGN
adalah gambaran kresentik pada biopsi ginjal. Biopsi ginjal menjadi penting
karena pasien dengan penyakit glomerular dapat datang dengan AKI karena
penyebab lain (hipertensi emergensi, sepsis, ATN) dan didiagnosis dengan
RPGN. Penyakit glomerular dengan tampilan RPGN dapat dilihat pada Tabel
5.

Tabel 5. Penyakit Glomerular dengan Tampilan Klinis RPGN


Penyakit Asosiasi Pemeriksaan Penunjang
Sindrom Goodpasture Perdarahan paru Antibodi anti-membran
basalis glomerulus. Dapat pula
ditemukan antibodi sitoplasmik
antineutrofil (ANCA).
Vaskulitis
Granulomatosis Wegener Keterlibatan saluran pernapasan ANCA sitoplasmik
atas dan bawah
Poliangiitis mikroskopik Keterlibatan multisistem ANCA perinuklear
Glomerulonefritis kresentik Hanya mengenai ginjal ANCA perinuklear
pauci-imun
Penyakit Kompleks Imun
Lupus eritematosus Tampilan sistemik penyakit lupus ANA, dsDNA, C3 dan C4
sistemik menurun
Glomerulonefritis Faringitis, impetigo Titer ASO, antibodi streptozym.
poststeptokokal C3 menurun, C4 normal
Nefropati IgA; Purpura Adanya ruam yang khas dengan IgA serum meningkat (30%).
Henoch-Schönlein atau tanpa nyeri abdomen Kadar C3 dan C4 normal
Endokarditis Murmur, gambaran bakteremia Kultur darah, ANCA, C3 menurun,
C4 normal
Tabel dikutip dari: Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: clinical presentations. In: Johnson
RJ, Feehally J, Floege J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 5 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders
2015. h. 184-97 dengan modifikasi.

404 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular

Penyakit Glomerular Spesifik


Penyakit Lesi Minimal
Penyakit lesi minimal merupakan penyakit glomerular dengan
gambaran klinis nefrotik.6 Kondisi ini dianggap sebagai penyebab utama
terjadinya sindrom nefrotik idiopatik.7 Secara klinis, pasien datang dengan
proteinuria yang berat yang menyebabkan edema dan berkurangnya volume
intravaskular.7
Dari seluruh kasus sindrom nefrotik pada anak usia di atas 1 tahun, penyakit
lesi minimal mencakup 70%-90% dari keseluruhan kasus. Pada kasus
pediatrik, mengingat tingginya kejadian penyakit lesi minimal dan respons
yang baik terhadap steroid (sensitif-steroid), maka biopsi ginjal tidak menjadi
suatu keharusan, kecuali bila gagal terapi (resisten-steroid).7

Pada pasien dewasa, penyakit lesi minimal hanya mencakup sekitar 10%-
15% pasien dengan sindrom nefrotik idiopatik.7 Penyakit ini merupakan
sindrom nefrotik yang memiliki prognosis cukup baik dengan peluang
terjadinya remisi komplit, walaupun pada pasien dewasa memerlukan waktu
lebih lama (>2 bulan) dibandingkan pada pasien anak (8 hari).7

Pasien dengan penyakit lesi minimal umumnya datang dengan gejala


nefrotik yang khas, yang melipudi edema periorbita, skrotum (laki-laki) atau
labia (perempuan), tungkai bawah, disertai pemeriksaan urin carik celup yang
positif terhadap protein.7 Apabila hipoalbuminemia yang terjadi sangat berat,
pasien dapat datang dengan efusi pleura, efusi perikard, dan/atau asites yang
dapat mengganggu hemodinamik. Pada pasien dewasa, dapat terjadi penyulit
seperti sepsis, diare, atau efek samping diuretik yang kemudian akan semakin
memperberat fungsi ginjal.7

Pada pemeriksaan biopsi ginjal, gambaran histologi yang didapatkan


hanya berupa pembengkakan podosit dan fusi dari foot processes yang hanya
dapat dilihat dengan mikroskop elektron.6 Patogenesis terjadinya penyakit lesi
minimal banyak diperankan oleh sel T dan interleukin 13 (IL-13), walaupun
ternyata pada penelitian menggunakan hewan coba, masih banyak faktor
imunologik lain yang berperan di samping sel T dan IL-13.6 Overekspresi dari
angiopoietin-like-4 dan peningkatan kadar CD80 yang saat ini masih diteliti
juga dianggap memegang peranan penting pada kerusakan glomerulus.6

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 405


Aida Lydia

Glomerulosklerosis Fokal Segmental (FSGS)


Glomerulosklerosis Fokal Segmental (FSGS) merupakan penyakit
glomerular yang menjadi salah satu penyebab terbanyak terjadinya penyakit
ginjal tahap akhir.8 Penegakan diagnosis FSGS didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan penunjang yang sistematis dan terarah. Pasien dengan
FSGS umumnya datang dengan proteinuria di rentang nefrotik ataupun
subnefrotik. Klasifikasi FSGS terdiri dari enam bentuk, yaitu FSGS primer,
FSGS genetik, FSGS terkait virus, FSGS terkait obat/toksin, FSGS adaptif, dan
FSGS APOL1.8 Keenam bentuk FSGS ini dapat saling tumpang tindih, dengan
bentuk tersering berupa FSGS primer, FSGS adaptif, dan FSGS APOL1.8

Penyakit FSGS memiliki tampilan klinis sindrom nefrotik dengan


gambaran biopsi ditemukan defek kapiler dan fusi dari foot process
(effacement).6 Penyakit ini terjadi akibat kerusakan pada podosit akibat
berbagai faktor.8 Sesuai dengan namanya, pada FSGS didapatkan sklerosis
segmental pada sebagian glomerulus. Selain itu, terdapat pula varian FSGS
yaitu collapsing FSGS. Pada collapsing FSGS, terjadi proliferasi podosit
yang akan menyebabkan kolapsnya anyaman glomerulus sehingga terjadi
proteinuria yang masif.6

Membranous Nephropathy
Nefropati membranosa merupakan penyakit glomerulus yang banyak
menyebabkan sindrom nefrotik idiopatik pada dewasa non diabetik,
khususnya ras Kaukasia.9 Nefropati membranosa dapat bersifat primer
(80%, hanya mengenai ginjal) atau sekunder (20%, mengenai organ lain).9
Pada nefropati membranosa primer, penyebab yang mendasari dapat berupa
infeksi, keganasan, penyakit autoimun/aloimun, dan obat/toksin.9

Pasien umumnya datang dengan tampilan klinis sindrom nefrotik dan


berbagai komplikasinya, seperti trombosis dan infeksi. Pada kondisi yang
tidak ditangani, dapat terjadi kerusakan ginjal yang progresif dan berlanjut
menjadi penyakit ginjal tahap akhir.9

Pada biopsi ginjal, didapatkan penumpukan deposit imun pada ruang


subepitelial.6 Antibodi ini mampu berikatan dengan antigen podosit dan
menyebabkan kerusakan.6 Antigen podosit ini adalah reseptor fosfolipase A2
tipe-M (PLA2R).6 Antibodi terhadap PLA2R merupakan temuan spesifik pada
nefropati membranosa dan dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis
maupun pemantauan terapi.6

406 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular

Glomerulonefritis Membranoproliferatif
Istilah glomerulonefritis membranoproliferatif mengacu pada tipe I
(MPGN tipe I). Glomerulonefritis membranoproliferatif tipe I ditandai dengan
deposisi imun di mesangium dan ruang subendotel.6 Gambaran ini dapat
juga ditemukan pada glomerulonefritis krioglobulinemik akibat infeksi virus
hepatitis C dan pada nefritis lupus.6,10

Nefropati IgA
Nefropati IgA merupakan salah satu bentuk penyakit glomerulonefritis
yang paling umum secara global.11 Mengingat prevalensinya yang terus
meningkat, nefropati IgA turut berperan dalam peningkatan kejadian
penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir. Kejadian nefropati
IgA di negara berkembang tidak setinggi di negara maju karena tidak semua
pasien dilakukan biopsi, khususnya pasien dengan spektrum penyakit yang
ringan.11 Patogenesis terjadinya nefropati IgA melibatkan berbagai faktor
genetik dan lingkungan yang dikenal sebagai proses “multi-hit”.

Gambaran klinis pasien dengan nefropati IgA sangat bevariasi. Pasien


dapat datang dengan hematuria mikroskopi tanpa gejala lainnya, atau dengan
gangguan fungsi ginjal berat yang memerlukan terapi pengganti ginjal.11

Mikroangiopati Trombotik
Mikroangiopati trombotik merupakan kondisi patologis yang ditandai
dengan anemia hemolitik mikroangiopatik (MAHA), kerusakan organ, dan
trombositopenia.12 Kondisi ini dapat bersifat multiorgan, namun ginjal
merupakan organ target yang sering terlibat dan menyababkan gangguan
ginjal akut. Pada pembagian yang klasik, mikroangiopati trombotik dibedakan
menjadi thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS) akibat Eschericia coli yang memproduksi Shiga toxin (STEC-
HUS), dan HUS atipikal (aHUS).12 Akan tetapi, seiring dengan perkembangan
ilmu khususnya genetika yaitu mutasi ADAMTS13, klasifikasi mikroangiopati
trombotik berubah dan mencakup berbagai spektrum kelainan seperti pada
gambar di bawah ini.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 407


Aida Lydia

Gambar
Gambar 6. Klasifikasi
6. Klasifikasi Mikroangiopati Trombotik.
Mikroangiopati Trombotik.
Gambar dikutip dari:dari:
Gambar dikutip Brocklebank
Brocklebank V,V, Wood
Wood KM, Kavanagh
KM, Kavanagh D. Thrombotic
D. Thrombotic Microangiopathy Microangiopathy
and the Kidney.
and the Kidney. Clin J Am Soc Nephrol Clin J Am Soc2018;13(2):300-17.
Nephrol 2018;13(2):300-17.

Dense Deposit Disease


Dense Deposit Disease
Penyakit ini Penyakit
juga disebut sebagai
ini juga MPGN
disebut tipe II.
sebagai MPGNPerbedaannya dengan MPGN
tipe II. Perbedaannya tipe I adalah
dengan
6
tidak adanya kompleks imun pada glomerulus. Autoantibodi
MPGN tipe I adalah tidak adanya kompleks imun pada glomerulus.6berupa faktor nefritik akan
6
mengaktivasi jalur komplemen alternatif dan menyebabkan kerusakan.
Autoantibodi berupa faktor nefritik akan mengaktivasi jalur komplemen
alternatif dan menyebabkan kerusakan.6
Glomerulonefritis Mesangial Proliferatif
Terdapat beberapa bentuk glomerulonefritis mesangial proliferatif. Bentuk yang paling umum
Glomerulonefritis
adalah nefropati Mesangial
IgA.6 Adanya Proliferatif
produksi IgA yang mengalami glikosilasi secara abnormal
oleh superantigen
Terdapat bakteri ataupun
beberapa akibatglomerulonefritis
bentuk mukosa yang hiperreaktif
mesangial akan menyebabkan
proliferatif.
6
deposisiBentuk
polimeryang
IgA paling
di mesangiom. Akibatnya,
umum adalah terjadi
nefropati proteinuria.
IgA. 6
Adanya produksi IgA yang
mengalami glikosilasi secara abnormal oleh superantigen bakteri ataupun
Glomerulonefritis Poststreptokokal
akibat mukosa yang hiperreaktif akan menyebabkan deposisi polimer IgA di
Penyakit ini muncul pada pasien yang pernah terinfeksi streptokokus grup A, khususnya
mesangiom.
strain yang Akibatnya,
nefritogenik. 6
Padaterjadi
kondisiproteinuria.
6
ini, terjadi reaksi inflamasi dengan proliferasi endotel
dan mesangial.6 Gambaran klinis yang terjadi umumnya berupa sindrom nefritik. Pada biopsi,
ditemukan deposit-depositPoststreptokokal
Glomerulonefritis imun berupa “punuk” (“humps”) pada ruang subepitelial yang
merupakan
gambaran
Penyakit ini muncul kompleks
translokasi imun
pada pasien melewati
yang pernahmembran basalis
terinfeksi glomerulus.6
streptokokus
grup A, khususnya strain yang nefritogenik.6 Pada kondisi ini, terjadi reaksi
Penyakit Goodpasture
Penyakitinflamasi dengan proliferasi endotel dan mesangial.6 Gambaran klinis yang
Goodpasture, atau juga dikenal sebagai penyakit anti-membran basal glomerulus,
terjadi
merupakan umumnya
penyakit yangberupa sindrom
sebabkan nefritik. Padaterhadap
oleh autoantibodi biopsi, ditemukan
rantai alfa-3deposit-
pada kolagen
tipe IV deposit imun berupa
yang terdapat “punuk”
di membran (“humps”)
basal padaPenyakit
glomerulus. ruang subepitelial yang bentuk
ini adalah suatu
vaskulitis pembuluh darah kecil yang menyerang pembuluh darah kapiler di ginjal dan paru.13
408 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Antigen kolagen tipe IV memiliki mimikri molekuler dengan antigen bakteri tertentu,
sehingga autoantibodi dapat terbentuk dan menyebabkan aktivasi komplemen dan sel-sel
inflamasi. Akibatnya, terjadi kerusakan pada dinding kapiler disertai proteinuria.6
Pendekatan Klinis Praktis Penyakit Glomerular

merupakan gambaran translokasi kompleks imun melewati membran basalis


glomerulus.6

Penyakit Goodpasture
Penyakit Goodpasture, atau juga dikenal sebagai penyakit anti-membran
basal glomerulus, merupakan penyakit yang sebabkan oleh autoantibodi
terhadap rantai alfa-3 pada kolagen tipe IV yang terdapat di membran basal
glomerulus. Penyakit ini adalah suatu bentuk vaskulitis pembuluh darah kecil
yang menyerang pembuluh darah kapiler di ginjal dan paru.13 Antigen kolagen
tipe IV memiliki mimikri molekuler dengan antigen bakteri tertentu, sehingga
autoantibodi dapat terbentuk dan menyebabkan aktivasi komplemen dan
sel-sel inflamasi. Akibatnya, terjadi kerusakan pada dinding kapiler disertai
proteinuria.6

Lebih dari 80% pasien dengan penyakit ini datang dengan


glomerulonefritis progresi cepat (RPGN). Sekitar separuhnya akan mengalami
perdarahan paru.13 Pada biopsi ginjal, didapatkan pembentukan kresen dan
keterlibatan luas glomerulus. Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
tanda perdarahan paru. Bronkoskopi dengan bilasan bronkus dapat membantu
diagnosis dengan ditemukannya hemosiderin-laden macrophages.13

Vaskulitis terkait ANCA


Vaskulitis terkait ANCA merupakan bentuk kerusakan glomerulus yang
sangat berat.6 Komponen yang sering ditemukan pada vaskulitis ANCA adalah
GN pauci-immune necrotizing dan tipe kresentik.14 Penyakit ini lebih banyak
ditemukan pada pasien dewasa berusia di atas 50 tahun.14 Berdasarkan
Konsensus Chapel Hill tahun 2012, vaskulitis terkait ANCA dibagi lagi menjadi
poliangiitis mikroskopik. Granilomatosis dengan poliangiitis (Wegener) dan
granulamotosis eosinofilik dengan poliangiitis (Churg-Strauss).14

Vaskulitis yang banyak menyebabkan kerusakan yang berat, yang


ditandai dengan terbentuknya kresen, adalah granulomatosis Wegener dan
poliangiitis mikroskopik.6 Keduanya merupakan dapat dibedakan melalui
pewarnaan khusus. Pada granulomatosis Wegener tampak pola sitoplasmik
(c-ANCA), sedangkan pada poliangiitis mikroskopis tampak pola perinuklear
(p-ANCA).6

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 409


Aida Lydia

Daftar Pustaka
1. Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: clinical presentations. In:
Johnson RJ, Feehally J, Floege J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 5 ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders 2015. h. 184-97.
2. Hebert LA, Parikh S, Prosek J, Nadasdy T, Rovin BH. Differential diagnosis
of glomerular disease: a systematic and inclusive approach. Am J Nephrol
2013;38(3):253-66.
3. Lewis JB. Glomerular diseases. In: Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison’s
nephrology and acid-base disorders. New York: McGraw Hill Education 2013. h.
162-88.
4. Almaani S, Meara A, Rovin BH. Update on Lupus Nephritis. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(5):825-35.
5. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Glomerulonephritis Work
Group. KDIGO clinical practice guideline for glomerulonephritis. Kidney inter,
Suppl 2012(2):139-274.
6. Johnson RJ, Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: histologic
classification and pathogenesis. In: Johnson RJ, Feehally J, Floege J, editors.
Comprehensive clinical nephrology. 5 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders 2015. h.
198-207.
7. Vivarelli M, Massella L, Ruggiero B, Emma F. Minimal Change Disease. Clin J Am Soc
Nephrol 2017;12(2):332-45.
8. Rosenberg AZ, Kopp JB. Focal Segmental Glomerulosclerosis. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(3):502-17.
9. Couser WG. Primary Membranous Nephropathy. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(6):983-97.
10. Kupin WL. Viral-Associated GN: Hepatitis C and HIV. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(8):1337-42.
11. Rodrigues JC, Haas M, Reich HN. IgA Nephropathy. Clin J Am Soc Nephrol
2017;12(4):677-86.
12. Brocklebank V, Wood KM, Kavanagh D. Thrombotic Microangiopathy and the
Kidney. Clin J Am Soc Nephrol 2018;13(2):300-17.
13. McAdoo SP, Pusey CD. Anti-Glomerular Basement Membrane Disease. Clin J Am Soc
Nephrol 2017;12(7):1162-72.
14. Jennette JC, Nachman PH. ANCA Glomerulonephritis and Vasculitis. Clin J Am Soc
Nephrol 2017;12(10):1680-91.

410 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual
ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia
Sri Soenarti
Divisi Geriatri dan Gerontologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang

Berdasarkan data proyeksi penduduk di Indonesia pada tahun 2017,


diperkirakan terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia (9,03%). Jumlah ini
terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya dengan prediksi pada tahun
2020 mencapai 27,08 juta jiwa, tahun 2025 menjadi 33,69 juta jiwa, tahun
2030 mencapai 40,95 juta jiwa, dan tahun 2035 diperkirakan mencapai
48,19 juta jiwa. Tren yang cenderung meningkat dari jumlah penduduk
lansia ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penurunan angka
fertilitas (kelahiran) dan mortalitas (kematian), serta peningkatan angka
harapan hidup (life expectancy), yang mengubah struktur penduduk secara
keseluruhan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).

Akibat populasi lansia yang meningkat maka akan terjadi transisi


epidemiologi, yaitu bergesernya pola penyakit dari penyakit infeksi dan
gangguan gizi menjadi penyakit-penyakit degeneratif. Peningkatan ini tentu
membutuhkan perhatian yang lebih baik dari sektor manapun, mengingat
bahwa permasalahan yang dihadapi oleh mereka yang berusia lanjut pada
banyak hal berbeda dengan yang dihadapi pada kelompok usia yang lebih
muda. Di bidang pelayanan kesehatan, hal ini semakin nyata karena masalah
kesehatan pada mereka yang berusia lanjut sedemikian kompleksnya
sehingga membutuhkan perhatian khusus (Soejono, 2014).

Kebutuhan akan pelayanan kesehatan meningkat untuk populasi geriatrik


dimana merupakan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan
luar biasa untuk sistem pelayanan kesehatan, termasuk didalamnya adalah
pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD). Di Amerika secara keseluruhan,
IGD khusus Geriatri mulai bermunculan pada tahun 2008 dan angkanya terus
meningkat (Hogan et al., 2014). Bagaimana di Indonesia?. Data kunjungan
Lansia ke IGD di Indonesia dari Kementerian Kesehatan belum dapat
ditemukan, hanya persentase penduduk lansia yang pernah di rawat inap
dalam setahun terakhir sebesar 7,17%, dengan persentase penduduk daerah
perkotaan yang pernah dirawat lebih tinggi daripada persentase lansia di

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 411


Sri Soenarti

daerah perdesaan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).


Kunjungan ke IGD yang pernah dilaporkan RS dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta terdapat 27% lansia yang membutuhkan perawatan triage merah
(Rizka et al., 2017)

Piranti peraturan yang telah adalah Permenkes, 2018 tentang Pelayanan


Kegawatdaruratan dan Kepmenkes RI no 856/2009 tentang Standar IGD
Rumah Sakit. Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2012 telah mengeluarkan
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit-Ruang Gawat Darurat yang
menyebutkan tentang aksesibilitas yaitu setiap bangunan RS, harus
menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya
kemudahan bagi penyandang cacat dan lanjut usia masuk dan keluar ke dan
dari bangunan RS serta beraktivitas dalam bangunan RS secara mudah, aman,
nyaman dan mandiri. Belum ada peraturan spesifik tentang IGD yang ideal
untuk lansia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012).

Beberapa implementasi kebijakan oleh RS tentang IGD sangat variatif.


Salah satu studi kualitatif di RS menyimpulkan implementasi kebijakan
dokter spesialis jaga on site belum berjalan dengan baik, disebabkan karena
faktor komunikasi, disposisi dan struktur organisasi belum berjalan baik dan
masih banyak perlu dukungan sumber daya. Usulan yang diberikan adalah
penambahan dan kompetensi tenaga sesuai standar, revisi standar operating
procedure (SOP), penyediaan media komunikasi, perbaikan fasilitas,
meningkatkan koordinasi dan fungsi pengawasan secara berkala, advokasi
ke Kemenkes RI (Anhar, 2018). Vermasari melaporkan hasil penelitian
bahwa kebijakan SPM (standar pelayanan minimal) IGD suatu di sebuah
RS telah dilakukan, tenaga sudah mencukupi, masih ada tenaga yang belum
mempunyai sertifikat kegawatdaruratan (TLS/ACLS/BCTLS/PPGD), sarana
prasarana belum memenuhi standar IGD, monev tidak berjalan dengan
baik, serta pelaksanaan indikator life saving terlihat perbedaan kemampuan
petugas yang telah pelatihan dan yang belum (Vermasari et al., 2019).

Instalasi Gawat Darurat (IGD) sendiri memiliki posisi yang unik untuk
memainkan peran dalam meningkatkan perawatan untuk populasi geriatri
(Adams and Gerson, 2003). Sebagai titik akses pelayanan kesehatan yang
terus mengalami peningkatan. IGD berada di persimpangan antara pelayanan
rawat inap dan rawat jalan (Gambar 1) (Hwang and Carpenter, 2017;
Carpenter and Platts-Mills, 2013). Kemampuan staf IGD dalam menangani

412 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

pasien geriatrik dapat berdampak tidak hanya pada kondisi pasien, tetapi
juga dapat berdampak pada keputusan untuk menggunakan modalitas rawat
inap yang relatif mahal, atau rawat jalan yang lebih murah (Ryan et al., 2011).
Dimana para Praktisi di IGD mempunyai tantangan serupa di seluruh dunia
(Banerjee et al., 2013).

Berikut akan disarikan Geriatric Emergency Department Guidelines tahun


2014 oleh the American College of Emergency Physicians yang merupakan
konsensus bersama antara American College of Emergency Physicians, The
American Geriatrics Society, Emergency Nurses Association, and the Society for
Academic Emergency Medicine.

Tujuan Pelayanan Geriatri di Ruang Emergensi


Tujuan pelayanan geriatri di IGD adalah mengetahui dan memilah pasien
mana yang perlu di rawat inapkan dan pasien mana yang tidak perlu rawat
inap. Pelayanan dibuat dibuat lebih efektif dan dapat mengenali problem
pasien rawat inap yang seringkali disertai dengan penurunan fungsi fisik,
meningkatnya kebutuhan akan orang lain (dependensi) dan peningkatan
angka kematian. Kompleksitas pelayanan pada geriatri meningkat seiring
multipatologi dan komorbiditas yang menyertai, serta polifarmasi yang
disertai risiko interaksi obat dan iatrogenesis. Penyedia pelayanan kesehatan
seperti perawat, pekerja sosial, asisten dokter, dan dokter bekerja saling
berkoordinasi agar lingkungan pelayanan kesehatan makin kondusif dan
memberikan peluang untuk terciptanya pelayanan kesehatan yang optimal.

Gambar 1. Peran IGD dalam pelayanan pasien Geriatrik secara klasik


Sumber: (Hwang and Carpenter, 2017; Carpenter and Platts-Mills, 2013)
Gambar 1. Peran IGD dalam pelayanan pasien Geriatrik secara klasik
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 413
Sumber: (Hwang and Carpenter, 2017; Carpenter and Platts-Mills, 2013)

STAF PELAYANAN GERIATRI DI RUANG EMERGENSI


Sri Soenarti

Staf Pelayanan Geriatri di Ruang Emergensi


Staf yang dibutuhkan untuk IGD adalah: Perawat yang terspesialisasi
untuk geriatrik, farmasi, pekerja sosial, dan konsultan geriatri. Yuen at
al. (2013) menemukan adanya konsultan geriatrik bisa mencegah angka
hospitaisasi sebanyak 85% (47% dipulangkan, 38% dikembalikan ke panti
jompo). Foo dan rekan mengevaluasi teknik asesmen dan tindakan yang
dilakukan pada pasien geriatrik sebelum dipulangkan pada unit observasi
di IGD geriatrik, menilai sebanyak 72% pasien memerlukan intervensi, dan
angka visit yang rendah (IRR 0,59%) dan angka hospitalisasi (IRR 0,64) dalam
12 bulan ( Foo et al., 2012). Sinof et al. (1998) juga mengevaluasi pelayanan
konsultan geriatrik di IGD, menemukan angka hospitalisasi yang tinggi (64%),
dengan angka kematian dalam 2 tahun sebesar 34% dan 52% institutional
rate (Adams and Gerson, 2003). Pekerja sosial dan case manager merupakan
bagian essensial untuk mengefektifkan kerja di IGD geriatric (Sinha et al.,
2011).

Berikut beberapa rekomendasi untuk mendirikan IGD Geriatrik


- IGD geriatrik sebaiknya memiliki protokol agar bisa menunjang
terbentuknya dokter dan perawat yang memiliki jiwa pemimpin, selain
itu protokol ini juga harus mencakup masalah masalah lain. Protokol juga
harus memuat bagaimana menyikapi pelayanan di IGD Geriatrik yang
belum tersedia
- Anggota staf dari Geriatri IGD akan berpartisipasi dalam pendidikan /
pelatihan untuk memastikan perawatan geriatrik berkualitas tinggi.
Meskipun Instalasi mungkin berbeda dalam ketersediaan sumber daya
staf, Instalasi wajib memiliki posisi berikut baik sebagai bagian dari tim
Asisten Perawatan Lansia (APL) berbasis rumah sakit atau spesifik untuk
IGD

Pembagian Tugas Dan Fungsi:


1. Dokter Penanggung jawab/Direktur Medis
Kualifikasi:
- Dokter kompeten yang dibuktikan dengan sertifikasi board untuk
pelatihan emergensi pada geriatrik
- Menyelesaikan 8 jam Pendidikan berkelanjutan dibidang geriatrik
secara berkala setiap 2 tahun

414 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

Tanggung jawab:
- Menjadi anggota dari Instalasi Gawat darurat dan komite medik
- Melakukan pembinaan program peningkatan mutu dibidang
geriatrik
- Bekerja sama dengan staff medis untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dibidang geriatrik
- Bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan diluar rumah
sakit termasuk fasilitas home care yang menyediakan perawat yang
mempunyai lisensi, klinik home care, dan lain lain.
- Mampu mengIdentifikasi kebutuhan untuk pendidikan staf yang
sesuai dan penerapannya
- Meninjau, menyetujui, dan membantu dalam pengembangan semua
kebijakan dan prosedur geriatrik dirumah sakit.

2. Kepala Perawat
Kualifikasi:
- Punya minimal 2 tahun pengalaman kerja dengan pasien geriatrik (
atau menangani pasien di IGD dalam 5 tahun terakhir
- Lebih direkomendasikan bagi perawat dengan program QI
- Menyelesaikan kursus berkelanjutan dengan topik geriatrik, selama
8 jam setiap 2 tahun

Tanggung jawab:
- Bertanggung jawab dalam menjaga dan mengembangakan program
dibidang geriatrik
- Bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan diluar rumah
sakit termasuk fasilitas home care yang menyediakan perawat yang
mempunyai lisensi, klinik home care, dan lain lain.
- Merupakan anggota dari IGD dan/atau komite medik
- Mampu mengIdentifikasi kebutuhan untuk pendidikan staf yang
sesuai dan penerapannya.

3. Staff Dokter
Menyediakan pelayanan Selama 24 jam yang langsung disupervisi dan
memiliki kemampuan dibidang emergensi. Termasuk disini residen
senior yang hanya berpraktik sementara di RS Staff dokter juga harus

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 415


Sri Soenarti

berpartisipasi dalam CME yang bertopikkan geriatrik dengan target 4


jam setahun

4. Staff perawat
Harus ikut berpartisipasi dalam Pendidikan berkelanjutan dibidang
geriatrik

5. Staff dokter Spesialis


Berikut adalah spesialis yang direkomendasikan untuk berada di IGD
geriatri:
- Geriatri
- Kardiologi
- Bedah umum
- Gastroenterologi
- Neurologi
- Ortopedi
- Psikiatri, yang punya spesialisasi di bidang geriatri
- Radiologi

6. Petugas tambahan
- Case manager dan pekerja sosial
- Asisten dokter ( opsional, tapi tidak direkomendasikan )
- Terapi okupasi
- Farmasis

Follow Up dan Transisi Pelayanan


1. IGD Geriatri harus mempunyai protokol dalam memulangkan pasien
yang bisa memfasilitasi pemberian informasi klinis yang relevan antara
pasien rawat jalan dengan penyedia layanan rawat jalan, termasuk
perawatan saat dirumah. Informasi utama yang harus diberikan untuk
menjamin kesinambungan dari pelayanan pasien adalah:
- Keluhan saat ini
- Hasil laboratorium dan interpretasinya
- Terapi di IGD dan respons terapi
- Catatan hasil Konsultasi (secara langsung atau per telefon) di IGD

416 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

- Diagnosis kerja saat pulang


- Catatan dokter IGD, atau fotokopinya
- Pemberian resep dan penyesuainnya untuk terapi jangka panjang
- Rencana follow up

2. Informasi sebaiknya diberikan dengan format yang nyaman untuk pasien


geriatri, meliputi:
- Font penulisan yang besar tentang instruksi setelah di KRS kan
- Penyakit/ keluhan yang ditanggung oleh asuransi

3. IGD geriatri harus menyediakan tempat yang efektif dalam melakukan


follow up pasien yang telah KRS
- Meskipun telefon merupakan modalitas follow up yang paling banyak
digunakan, beberapa tehnologi terbaru seperti telemedicine bisa
digunakan sebagai alternatif IGD Geriatri harus mempertahankan
hubungan dengan tempat-tempat didalam masyarakat yang nantinya
bisa digunakan pasien rawat jalan untuk mencari/memperoleh
bantuan kesehatan
- Dilakukan tindak lanjut medis terhadap masalah pasien
- Dokter layanan primer
- Case manager yang akan menjaga kepatuhan pasien
- Penilaian dengan metode yang aman
- Mobilitas
- Akses ke pusat pusat pelayanan kesehatan
- Alat alat medis
- Penjelasan tentang obat dan membantu dalam tatalaksana minum
obat
- Perawatan dirumah, termasuk pusat pusat pelayanan bantuan diluar
rumah sakit
- Bantuan aktivitas sehari hari seperti makan, bantu memandikan,
dan lain lain

4. IGD geriatri seharusnya menyediakan agen-agen didalam komunitas


yang membantu pasien yang ditempatkan sesuai tingkat pelayanan yang
diperlukan, seperti panti jompo, rehabiliasi medik dan fasilitas perawatan
lain yang sesuai

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 417


Sri Soenarti

Pendidikan
Edukasi dan Pelatihan pada petugas di IGD harus berbasis pada
kompetensinya masing-masing. Kurikulum wajib memasukkan berbagai
macam keilmuan sesuai dengan kebutuhan staff yang berasal dari berbagai
bidang. Metode pembelajaran yang dianggap efektif adalah gabungan dari
metode didaktif, case conference, simulasi kasus, audit klinis, membahas
jurnal, web-based materials, dan melakukan pembelajaran langsung ke pasien
dengan supervisi, pada kesimpulannya edukasi/kemampuan staff berperan
penting dalam menangani pasien geriatri di IGD

Program edukasi harus berisikan:


Mencetuskan program “go-live/ayo hidup” dimana:
- Melibatkan multi-disiplin termasuk pemimpin RS dan penyedia layanan
Rawat Jalan
- Geriatrik emergensi sesi untuk dokter, perawat, dan multidisiplin untuk
masalah masalah menilai dan menangani pasien geriatrik di IGD
- Edukasi tentang pemakaian alat yang spesifik pada geriatri
- Memperkenalkan komunitas yang berbasis masyarakat yang terjun
dalam masalah geriatri
Keterlibatan dan jangkauan
- Tim gawat darurat harus mendapatkan pelatihan tentang pasien geriatrik,
terutama didaerah yang menjadi masalah pendidikan dan psikososialnya.
IGD Geriatri harus memberikan pelatihan bagaimana menangani pasien
dan melakukan evakuasi pada pasien geriatri.
- IGD geriatri harus memberikan pendidikan tentang bagaimana
melakukan tindakan secara mandiri dan memeriksa diri sendiri sebagai
awal skrining pada pasien dan pada keluarga pasien
- Pemberian pendidikan dan penerapannya dalam kondisi tertentu
- Data tentang peningkatan kualitas ditinjau dari banyaknya penerapannya
- Edukasi berkala/ pemberian edukasi berulang terhadap penyakit dengan
gejala tertentu dengan kebijakan/ perubahan dalam prosedur, dan lain
lain
- Yang paling penting adalah menyediakan alat yang secara cepat, dan bisa
digunakan saat pemeriksaan pasien secara langsung (bedside)

418 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

Meskipun konten pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan


masing-masing departemen, konten yang direkomendasikan mencakup hal-
hal berikut
- Penyakit dengan klinis yang tidak khas
- Trauma, termasuk cedera karena jatuh dan fraktur hip
- Gangguan kognitive dan tingkah laku
- Penyesuaian obat pada geriatrik yang akan dilakukan tindakan
- Management obat
- Alur Perpindahan pasien
- Penanganan nyeri dan terapi paliatif
- Gangguan fungsi tubuh
- Penyakit penyerta
- Penatalaksaan jenis penyakit yang khusus, termasuk penyebab nyeri
perut (biasanya tidak khas)
- Lemas dan pusing
- Cedera iatrogenik
- Masalah budaya yang akan berpengaruh dalam pelayanan di IGD
- Penelantaran
- Masalah etik

Peningkatan Kualitas/Mutu
Rencana Peningkatan Kualitas Program Geriatri
Untuk membuat rencana peningkatan program geriatri di pelayanan
emergensi harus dikembangkan dan dipantau. Laporan harus dibuat
dan disampaikan kepada komite IGD setiap tiga bulanan. Program harus
mencakup skala pelayanan pra-rumah sakit, IGD, tatalaksana trauma,
tatalaksana pasien kritis, pusat – pusat pelayanan kesehatan lain diluar rumah
sakit serta kegiatan peningkatan mutu di rumah sakit. Mekanismenya harus
dipastikan agar dengan mudah mengidentifikasi pasien geriatri (65 tahun &
lebih tua) yang berkunjung ke IGD. Program peningkatan mutu geriatri akan
mencakup identifikasi indikator, metode untuk mengumpulkan data, hasil dan
kesimpulan, menilai perbaikan, tindakan yang diambil, dan penilaian untuk
keefektifan proses komunikasi terhadap peserta. Mekanisme yang digunakan
untuk mendokumentasikan dan memonitor staff geriatri yang mengikuti
pendidikan di IGD geriatrk harus ditetapkan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 419


Sri Soenarti

Program peningkatan mutu geriatri harus mencakup ulasan pasien geriatri di


IGD sebagai berikut.
• Jumlah pasien geriatri
• Jumlah pasien yang masuk rumah sakit
• Jumlah pasien yang kembali dari rumah sakit
• Kematian
• Dugaan kekerasan atau penelantaran
• Transfer ke fasilitas lain untuk perawatan yang lebih lengkap
• Jumlah pasien MRS yang membutuhkan perawatan ICU dalam waktu 24
jam setelah MRS
• Kembali ke IGD lagi dalam waktu 72 jam setelah pulang menyempurnakan
tool yang akan digunakan pada pasien beresiko
• reevaluasi dan tindak lanjut untuk pasien yang dipulangkan

Selain di atas, entitas khusus penyakit perorangan yang juga dapat dipantau
oleh fasilitas termasuk:
• Jatuh/cedera pada pasien geriatri
• Prevalensi
• Prevalensi cedera traumatik yang terkait dengan jatuh
• Patah tulang pinggul
• trauma perdarahan intrakranial
• Cedera perut tumpul
• Kematian
• Skrining polifarmasi pada pasien jatuh
• Skrning pada mereka yang berisiko jatuh
• Evaluasi terapi fisik lengkap pada pasien berisiko.
• Pola rujukan setelah jatuh (screening visual, rehabilitasi pola jalan, dll.)
• Penggunaan kateter dan kateter terkait UTI (CAUTIs)
• Checklist pemasangan kateter urine dan indikasinya
• hari pertama saat kateter urine di rumah sakit
• Perintah otomatis untuk tidak melanjutkan pemasangan kateter
• Total hari pemasangan kateter
• Prevalensi CAUTIs di IGD
• Penyesuaian obat / pengawasan penggunaan obat

420 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

• Mendokumentasi obat berisiko tinggi


• Penggunaan obat berisiko tinggi di IGD
• Persentase kunjungan ulang untuk pengobatan reaksi yang tidak
• Penggunaan obat berisiko tinggi di IGD
diinginkan atau ketidakpatuhan
• Persentase kunjungan ulang untuk pengobatan reaksi yang tidak diinginkan
• Obat obat Anestesi atau Sedatif
ketidakpatuhan
• Obat• obatMencatat
Anestesi atau Sedatif
indikasi (delirium)
• Mencatat indikasimembatasi
• Berusaha (delirium)obat yang menyebabkan keterbatasan dalam gerak
• Berusaha(obat
membatasi obat
sedatif atau obatyang
obat menyebabkan keterbatasan
anestesi) dan mencatat obat yangdalam gerak ( obat
mana yang
atau obatdibatasi
obat anestesi ) dan mencatat obat yang mana yang dibatasi

GambarGambar
2. Contoh Instrumen
2. Contoh untuk
Instrumen untukmenilai kualitas
menilai kualitas IGDIGD Geriatri
Geriatri

Peralatan dan Ketersediaannya


PERALATAN Untuk DANpasienKETERSEDIAANNYA
geriatri memerlukan ketersediaan alat yang memang
Untuk pasien geriatri
diperuntukkan untuk memerlukan
populasi khusus. ketersediaan
Berbagaialat yang memang
tantangan seperti diperun
untuk populasi khusus. Berbagai tantangan seperti keterbatasan gerak, inkontin
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 421
perubahan perilaku, dan lainnya, sangat memerlukan peralatan yang memang dira
khusus untuk mencapai pelayanan yang efektif dan nyaman terutama dalam me
Sri Soenarti

keterbatasan gerak, inkontinensia, perubahan perilaku, dan lainnya, sangat


memerlukan peralatan yang memang dirancang khusus untuk mencapai
pelayanan yang efektif dan nyaman terutama dalam membuat pengkajian
dan terapi pada pasien geriatri, disisi lain untuk mengurangi komplikasi yang
bersifat iatrogenik. Secara umum dalam merancang IGD geriatri diperlukan
perubahan struktur yang mengakomodir peningkatan dalam keamaan,
kenyamanan, mobilisasi, bantuan memori, dan persepsi sensorik serta
kemampuan visus dan pendengaran pasien. Secara aplikasi yang dimaksudkan
adalah modifikasi dalam pencahayaan, warna cat/ lantai, memperbanyak
rambu-rambu (tanda-tanda) dalam IGD bahkan didalam RS itu sendiri.

Daftar dibawah ini adalah tahap awal dalam mendesain dan pengadaan alat
untuk IGD geriatri

Perbaikan Furniture
• Kursi pemeriksaan – mungkin lebih nyaman dan akan memudahkan
dalam proses transfer
• Perabot yang dipilih punya sandaran tangan yang kokoh dan untuk
bed harus gampang untuk dinaiiki/ menaikkan pasien, sehingga
memudahkan untuk transfer. Perabot harus dipilih menggunakan
daftar desain yang berbasis bukti kegunaannya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pasien sering jatuh ketika mencoba keluar dari
tempat tidur tanpa pengawasan atau tanpa bantuan. Mereka juga
menunjukkan bahwa pinggiran/ bedrail tidak mengurangi jumlah jatuh
dan dapat meningkatkan keparahan jatuhnya
• Matras tebal dan lembut; menurunkan kemungkinan lecetnya kulit atau
decubitus pada pasien
• Pemilihan bahan yang lembut dan lembab terbukti mampu menjaga
kulit pasien yang gampang lecet, bahan yang dipilih nantinya mudah
dibersihkan dan tanpa celah, sehingga bisa mengurangi resiko infeksi,
terutama di IGD dimana arus pasien sangat cepat dengan berbagai jenis
penyakit
• Pencegahan luka karena tekanan pada pasien di IGD dapat menggunakan
matras yang bisa mendistrubisi tekanan. Bukti lain bahwa penggunaan
kursi reclining dibandingkan dengan tempat tidur, dapat menurunkan
nyeri dan meningkatkan kepuasan pasien

422 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

Alat Khusus
• Alat pemanas tubuh / selimut hangat
• Cairan hangat
• Alas tidur non-slip
• Pengangan disampang tempat tidur - bila diperlukan untuk meminimalkan
risiko jatuh
• Alat bantu berjalan
• Alat bantu dengar.
• Alat monitoring
• Alat bantu pernapasan jika tersedia ikut menyertakan perangkat intubasi
serat optik
• Alat untuk membatasi gerak
• Kateter urine dengan pemakaian kateter kondom - meminimalkan risiko
CAUTI

Pencahayaan
• Pencahayaan – cahaya redup lebih direkomendasikan, tapi bisa terpapar
dengan sinar matahari dimana terbukti bermanfaat untuk penyembuhan
dan menurunkan delirium
• Dinding berwarna terang tapi tidak silau dan meminimalisasi pantulan
di lantai adalah hal yang dilakukan untuk mengoptimalisasi pencahayaan
dan menurunkan efek pantulan cahaya dilantai, dimana pasien geriatrik
membutuhkan 3 – 4 kali cahaya dibandingkan pasien dewasa muda.
• Pasien harus memiliki kontrol terhadap cahaya di ruangannya

Pola
• Sensitivitas terhadap kontras, pada mata yang mengalami proses
penuaan dapat membingungkan dan menghambat pasien geriatri. Pola
yang memiliki warna yang kontras atau terang dapat menyebabkan
vertigo, atau dapat terlihat sebagai objek yang bergetar.

Warna
• Pemilihan warna pada fasilitas dan bangunan yang menampung
pasien geriatrik harus diperhatikan, hindari warna monokrom dan
gunakan warna warna yang kontras baik pada dinding dan lantai, hal
ini dikarenakan geriatri mengalami penurunan kemampuan untuk

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 423


Sri Soenarti

membedakan warna-warna “sejuk” (hijau, biru) dibandingkan dengan


warna-warna “hangat” (kuning, jingga). Di tempat yang kurang terang,
yang paling terlihat adalah warna kuning. Warna jingga dan merah juga
bisa menarik perhatian. Biru tampak kabur dan tidak jelas dan mungkin
tampak abu-abu karena menguningnya lensa.

Suara
• Pengendalian bising berguna agar terjalin komunikasi yang baik antara
staf - pasien – sesama staf. Penggunaan alat peredam suara seperti
karpet, dapat menurunkan kebisingan dan meningkatkan privasi pasien.
Selain itu pasien kalau bisa disediakan alat untk mendengarkan musik
tanpa mengganggu pasien lain , hal ini dikarenakan mendengarkan musik
dapat menurunkan kecemasan, denyut jantung dan darah tinggi.
• Perbaikan juga harus bisa memfasilitasi privasi dan keamanan pasien.
Satu penelitian mengatakan bahwa pasien cenderung menahan informasi
tentang obat yang diminum dan diperiksa karena minimnya privasi
• Meningkatkan komunikasi
• Tambahan untuk peningkatan keamanan : Pintu tidak boleh memakai
gagang bulat, tapi memakai gagang biasa untuk kemudahan dalam
penggunaan

Rumah sakit diharapkan mampu memberdayakan sumber daya yang ada.


Dengan alat dan bahan yang minimal yang dimiliki adalah seperti dipaparkan
diatas, sehinga dapat diberikan pelayanan Geriatri yang optimal.

Kebijakan, Prosedur, dan Protokol


Kebijakan, prosedur, dan protokol yang dibuat haruslah komprehensif,
terarah, meskipun tidak lengkap, setidaknya bisa mencakup berbagai
masalah utama yang sering ditemukan pada pasien geriatri. IGD didorong
untuk menggunakan, mengubah atau menyatukan kebijakan, prosedur dan
protokolnya jika hal itu dimungkinkan. Kebijakan kebijakan ini harus tersedia
dan dijadikan bahan referensi bagi staff karena merupakan bagian dari
pelayanan pasien sehari hari.

• Triage dan evaluasi awal


o Keluarga/ pengasuh yang ikut berperan serta dalam proses triage
• Evaluasi dengan Screening tool untuk menilai dan mengevaluasi pasien
geriatri yang beresiko
424 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

• Protokol tentang patient safety


• Geriatrik yang diduga telah mendapat kekerasan atau ditelantarkan
• Sedasi/anesthesia pada pasien geriatri
• Penilaian pasien delirium pada pasien geriatri
• Kebijakan tentang Restraint
• DNR/POLST/palliative care
• Pasien yang meninggal (Termasuk disini adalah keluarga pasien yang
berduka, mungkin dibuatkan semacam kode atau tanda)
• Prosedur pemasangan kateter urine
• Assesment resiko jatuh dan pedoman penatalaksanaan pasien geriatrik
yang terjatuh
• Assessment luka dan perawatan luka
• Transisi/ proses pindah pasien dan follow up pasien
• Rekonsiliasi obat dan mengkaji kembali obat obatan pasien

Contoh Kebijakan dan Prosedur


Skrining Terhadap Resiko Pada Pasien Geriatrik Untuk Menilai Kebutuhan,
Konsultasi Dan Tindakan Yang Akan Dilakukan
Populasi yang datang ke IGD sangat heterogen. Meskipun banyak dari
pasien ini masih independent dan secara umum terlihat memiliki status
kesehatan yang masih baik, tapi dengan datangnya mereka ke IGD saja itu
merupakan tanda bahaya bahkan untuk keluhan kecil sekalipun. Melakukan
skriring yang baik di IGD nantinya akan menentukan bahwa pasien mana yang
memerlukan tambahan pemeriksaan dan mana yang tidak secara efisien.
Tujuan dari skrining yang efektif untuk mencegah atau membatasi delirium,
mencegah perburukan fungsi, mencegah terjadinya tindakan iatrogenic
termasuk angka jatuh dan efek samping obat, juga efektivitas dari alur transisi
pasien dari pasien rawat jalan ke IGD dan dari ke IGD ke rawat inap ataupun
rawat jalan kembali.

Kebijakan
Kebijakan ini berguna untuk menskrining semua pasien yang punya
resiko jatuh yang tinggi, untuk meningkatkan derajat kesehatan secara umum

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 425


Sri Soenarti

Rekomendasi:
• Alat/tool skrining keperawatan
• Sumber daya termasuk, :
o Physical therapy/ fisioterapi (PT)
o Occupational therapy/Terapi okupasi (OT)
o Penyedia layanan rumahan
o Case managers/ Manager kasus
• Outpatient follow up resources

Prosedur
Semua pasien yang datang pertama kali tanpa terkecuali akan diskrining
memakai “Identification of Seniors at Risk Tool” atau yang sejenisnya.

“Identification of Seniors At-Risk Tool”


1. Sebelum cedera atau ada keluhan, apakah anda memerlukan bantuan
dalam hal melakukan kegiatan sehari hari?
2. Sejak cedera atau keluhan muncul, apakah anda memerlukan bantuan
lebih dalam keseharian anda?
3. Apakah anda pernah masuk rumah sakit selama 1 atau 2 malam dalam 6
bulan terakhir?
4. Secara umum, apakah anda merasa sehat ?
5. Secara umum, apakah anda mempunyai masalah dengan daya ingat
anda?
6. Apakah anda menggunakan lebih dari 3 obat sehari hari?
>1 artinya dianggap sebagai resiko tinggi

- Dokter yang bertugas akan menilai hasil dari tool pada saat visit
pertama
- Pasien yang memiliki resiko tinggi akan disediakan staf yang akan
fokus dalam memenuhi kebutuhan pasien
- Pasien dengan resiko tinggi yang di MRS kan akan dirujuk ke case
manager selama di RS dengan titik fokus pembahasan pada faktor
resiko yang positif
- Pasien yang tercatat berisiko yang dirawat sebagai pasien rawat
jalan akan follow up pada hari berikutnya. Meskipun konsultasi

426 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

melalui telepon dirasa cukup, evaluasi langsung baik di UGD, oleh


dokter layanan primer, atau oleh perawat lebih disukai.
- Fitur spesifik yang berisiko akan ditangani selama kunjungan awal
di IGD. Rekomendasi dan rujukan akan didokumentasikan sebagai
bagian dari “Pengambilan Keputusan Medis” dan akan ditangani
bersama serta didokumentasikan dalam instruksi khusus saat KRS

Peningkatan Performa:
Skrining pada pasien secara umum, memerlukan pendidikan yang berkala
dan penguatan untuk dokter, perawat, atau semua pihak yang terlibat. Kami
sarankan assessment awal dilakukan secara lengkap dan teratur.

Panduan Pemasangan Kateter Urine pada Populasi Geriatrik


Infeksi yang disebabkan oleh petugas pelayanan kesehatan di rumah
sakit mengalami peningkatan dan menimbulkan risiko morbiditas dan
mortalitas yang signifikan pada pasien yang terkena. Infeksi saluran kemih
yang disebabkan pemasangan kateter saluran kemih memiliki persentase
tertinggi (80%) di rumah sakit dan infeksi yang disebabkan oleh petugas
kesehatan sekitar 1 dari 5 pasien yang dirawat di rumah sakit yang dipasang
kateternya (Basic and Conforti, 2005; Corbett et al., 2005; Hegney et al.,
2006). Risiko Infeksi saluran kemih terkait kateter meningkat sebesar 5%
per hari dan sebagian kecil dari pasien-pasien ini menjadi bakteremia dan
sepsis sebagai akibat dari kateter saluran kemih hal ini akan meningkatkan
pengeluaran dan lama rawat di rumah sakit. Yang paling penting disini
adalah harus menskrining pasien mana yang perlu dipasang kateter, teknik
pemasangan yang tepat, mengedukasi staf , dimana progress dapat diaudit
dengan pengukuran infeksi rata rata dan durasi penggunaan kateter yang
berkurang.

Tujuan
Untuk menilai pasien yang sesuai atau sesuai indikasi untuk dipasang
kateter, dan bukan untuk menggantikan penilaian klinis dokter

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 427


Sri Soenarti

Prosedur
• Pasien harus sesuai indikasi, dan ada bukti tulisan dokter di status.
• Menurut asosiasi penyakit infeksi di Amerika dan pendapat para ahli,
indikasi itu sebagai berikut
o Retensi urin
o Monitoring ketat output urin dimana pasien tidak dapat
menggunakan pispot
o Luka terbuka didaerah sacrum atau peranal dengan inkontinesia
urin
o Sakit berat, terlalu lemas sehingga tidak bisa menampung urin
o Pasien post operasi
o Penanganan inkontinensia urine atas permintaan pasien
o Disesuaikan dengan kebutuhan klinis
o Indikasi lain adalah :
o Neurogenic bladder
o USG pelvis emergensi
o Operasi emergensi
o Perubahan status mental
o Prosedur urologi
o HIP fraktur
o Palliative care

Setelah mendapat instruksi pemasangan kateter, perawat bisa memasang


kateter sesuai dengan protokol/ SOP dalam keadaan steril.

Pelepasan Kateter Urine


Kateter urine dilepas secepat mungkin jika sudah tidak ada indikasi lagi.
Bukti menunjukkan bahwa bacteriuria terkait kateter berhubungan dengan
lamanya pemakaian kateter itu sendiri. sehingga kami mendorong untuk
dilakukan follow up kateter perhari guna menentukan pemakaian kateter
dilanjutkan atau di lepas.

428 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

Proses Peningkatan Mutu


Berikut adalah beberapa pertanyaan untuk menilai dan mengaudit
prosedur pemasangan kateter di RS
- Apakah ada instruksi dari dokter untuk pemasangan kateter ?
- Apakah prosedur pemasangan kateter terdokumentasikan dari data dan
waktunya ?
- Apakah dilakukan secara steril ?
- Berapa angka kejadian terjadinya infeksi yang berhubungan dengan
kateter di RS ?

Manajemen Pemberian Obat pada Geriatri


Studi populasi menunjukkan bahwa 40% pasien dengan umur lebih
dari 65 tahun mendapat 5-9 obat setiap hari, dan 18% mendapat lebih dari
10 obat. Jika kita telaah, kurang lebih 50-60 % kemungkinan interaksi obat
terjadi ketika menggunakan 5 obat dan 90% kemungkinan interaksi ketika
menggunakan 10 atau lebih obat. Secara umum, efek samping obat, tidak hanya
merupakan penyebab utama kunjungan ke IGD dan pasien MRS, tetapi dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien, meningkatkan
rasio pemakaian sumber daya di rumah sakit dan meningkatkan lama rawat
inap di rumah sakit (Budnitz et al., 2007).

Kebijakan
Kebijakan ini diperuntukkan untuk mengatasi penggunaan obat-obatan
pada populasi geriatrik yang dating ke IGD. Daftar obat pasien diperoleh
dicatat seakurat mungkin, dari pasien, perawat, dan sumber daya rekam
medis. Pasien yang mengonsumsi lebih dari 5 obat, obat berisiko tinggi, atau
dengan tanda-tanda atau gejala-gejala dari efek samping obat akan dikelola
dengan pendekatan multi-disiplin yang berfokus pada peningkatan keadaan
umum pasien.

Sumber Daya Yang Diperlukan


• Menyempurnakan alat/tool untuk mendata obat dengan jelas
o Sumber daya berbasis komputer efektif untuk memperoleh daftar
obat yang akurat ketika pasien atau pengasuh tidak mengingat
daftar obatnya

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 429


Sri Soenarti

• Kepemimpinan/keterlibatan farmasi
o Pemeliharaan daftar obat berisiko tinggi
• Tim multidisiplin, termasuk spesialis geriatrik, apoteker, dll. lebih
direkomendasikan.

Prosedur
• Semua pasien geriatrik yang ke IGD, tanpa memperdulikan gejala yang
muncul, harus memiliki daftar obat yang lengkap
o Akurasi seringkali sulit dalam skenario IGD. Melibatkan pasien,
penyedia perawatan, dan keluarga dalam prosedur ini sangat
penting
o Sumber daya komputer harus dikembangkan dan digunakan
sehingga mudah untuk mendapatkan daftar obat yang akurat setiap
pasien dating ke IGD atau rumah sakit.
• Daftar obat akan dibuat oleh dokter dan perawat yang merawat
• Daftar obat akan disaring oleh perawat dan dokter yang merawat untuk:
o Polifarmasi > 5 obat
o Obat obat resiko tinggi
 Farmasis yang bertugas di RS. Membuat list secara kontinyu dari
daftar obat yang mempunyai resiko tinggi, dengan menggunakan
“Beers Criteria” atau panduan yang telah disepakati Bersama.
Obat obat ini mencakup
 Obat anti-koagulan dan anti-trombosis
 Anti-hiperglikemik
 Obat jantung termasuk digoksin, amiodarone, B-Blocker, CCB
 Diuretik
 Narkotika
 Anti-psikotik dan obat psikiatri lainnya
 Obat-obatan imunosupresan, termasuk obat kemoterapi
• Pasien yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit yang diketahui
memiliki masalah polifarmasi atau adanya obat berisiko tinggi akan
ditangani oleh tim multi-disiplin termasuk seorang apoteker didalamnya
• Tim multidisiplin akan berinteraksi dengan dokter penanggung jawab
dengan tujuan meminimalkan interaksi obat-obatan, meminimalkan

430 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

polifarmasi dan pengobatan berisiko tinggi selama rawat inap dan


setelah pulang.
• Pasien yang dipulangkan dari IGD yang diketahui memiliki masalah
polifarmasi atau adanya obat berisiko tinggi akan dirujuk ke dokter
layanan primer mereka untuk meninjau kembali pengobatan mereka
yang disesuaikan dengan kondisi klinis saat ini.

Proses Peningkatan Mutu


• Daftar obat berisiko tinggi akan ditinjau setiap tahun.
• Pertimbangkan untuk meninjau penggunaan obat berisiko tinggi setiap
tahun. Misalnya, penggunaan diphenhydramine pada geriatrik dapat
ditinjau kembali dengan tujuan membatasi penggunaannya pada populasi
geriatrik.
• Pelacakan dan tren pasien yang MRS karena efek samping obat
• Pelacakan dan tren intervensi apoteker untuk pasien yang dirawat dan
tercatat dengan polifarmasi atau pengobatan berisiko tinggi.

Asesmen Jatuh Pasien Geriatri di IGD


Tujuan dari evaluasi pasien yang jatuh atau berada pada peningkatan
risiko jatuh adalah untuk mendiagnosis dan mengobati cedera traumatis,
menemukan dan mengelola penyebab predisposisi dari jatuh, dan pada
akhirnya untuk mencegah komplikasi jatuh dan jatuh berikutnya.

Kebijakan
Pasien akan dievaluasi untuk cedera, termasuk cedera yang mungkin
"tersembunyi" pada populasi geriatri. Selanjutnya, pasien akan dievaluasi
penyebab dan faktor risiko untuk jatuh. Pasien akan dinilai sebelum disposisi
untuk keselamatan dengan tujuan untuk mencegah cedera lebih lanjut dan
jatuh.

Sumber Daya yang Dibutuhkan


Alat penilaian risiko jatuh: Meskipun banyak rumah sakit memiliki
alat penilaian jatuh komprehensif untuk pasien rawat inap, ini sering
tidak sesuai untuk diterapkan dalam pengaturan IGD (Oliver et al.,
2004). Alat yang tepat adalah alat langsung, mudah diimplementasikan untuk
menyaring risiko jatuh. Penilaian harus mencakup faktor risiko intrinsik dan
ekstrinsik untuk jatuh.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 431


Sri Soenarti

Protokol pencitraan radiologi difokuskan pada evaluasi khusus populasi


geriatrik.

Tim multidisiplin termasuk terapi okupasi/ terapi fisik, pekerjaan sosial,


keperawatan, dan dokter

Untuk memfasilitasi perawatan lansia dengan lebih baik, UGD harus


berupaya menyelaraskan sumber daya fisik dan personelnya dengan
kebutuhan fisik pasien geriatri. Beberapa elemen telah diusulkan sebagai
intervensi yang mungkin untuk pencegahan jatuh dalam IGD
• Peralatan untuk mencegah jatuh di IGD harus mencakup:
o Permukaan / tikar karet atau banjir
o Permukaan lantai rata
o Pegangan di dinding dan lorong
o Penerangan
o Commode samping tempat tidur dan ambil bar di toilet
o Bedrails diposisikan dengan benar dan berfungsi
o Gaun pasien dan pakaian rumah sakit yang meminimalkan risiko
jatuh (panjang, longgar, tali longgar, dll)
• Penilaian keamanan rumah
• Walker dan alat bantu gaya berjalan lainnya harus tersedia untuk pasien
saat dipulangkan.

Prosedur
Semua pasien geriatri yang datang setelah jatuh akan dinilai oleh dokter
yang merawat. History adalah komponen paling kritis dari evaluasi pasien
dengan atau berisiko jatuh.

Elemen-elemen historis utama adalah sebagai berikut:


1. Usia lebih dari 65 tahun
2. Lokasi dan penyebab jatuh
3. Kesulitan dengan gaya berjalan dan / atau keseimbangan
4. Riwayat jatuh sebelumnya (waktu XX)
5. Jatuh di lantai atau tanah
6. Kehilangan Kesadaran / status mental yang berubah

432 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

7. Sinkop / ortostasis
8. Melena
9. Komorbiditas spesifik seperti demensia, Parkinson, stroke, diabetes,
patah tulang pinggul dan depresi
10. Gangguan visual atau neurologis seperti neuropati perifer
11. Penggunaan alkohol
12. Obat-obatan
13. Aktivitas hidup sehari-hari
14. Memakai kaki yang tepat
15. Penilaian obat harus dilakukan pada semua pasien yang berisiko jatuh
atau yang telah jatuh, dengan riwayat pemakaian salah satu dari kelas
obat berikut: vasodilator, diuretik, obat penenang antipsikotik /hipnotik,
dan obat-obatan berisiko tinggi lainnya.
16. Penilaian tekanan darah ortostatik
17. Penilaian neurologis : neuropati dan kekuatan motorik proksimal.
16. Evaluasi gaya berjalan, dan "tes up and go". Pasien tidak mampu bangkit
dari tempat tidur, berbalik, dan terus-menerus keluar dari UGD harus
dinilai kembali. Penerimaan harus dipertimbangkan jika keselamatan
pasien tidak dapat dipastikan. Semua pasien dirawat di rumah sakit
setelah jatuh akan dievaluasi dengan terapi fisik dan terapi okupasi.

Proses Peningkatan Mutu


Penilaian keamanan di rumah bagi semua pasien yang dievaluasi resiko
jatuh (home hazzards)

Asesmen Delirium dan Demensia di IGD Geriatri


Delirium dan agitasi adalah salah satu masalah yang paling umum pada
geriatri, terjadi pada sekitar 25% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit.
Konsekuensi dari delirium meliputi peningkatan mortalitas, morbiditas,
lama tinggal di rumah sakit, peningkatan pemakaian restrain, penambahan
staf (pengasuh), dan penurunan status fungsional, dan penempatan di panti
jompo (Kakuma et al., 2003; Han et al., 2010)

Beberapa instrumen skrining demensia telah divalidasi untuk dipakai


di IGD (Hustey et al., 2003). Jika dilakukan dengan baik, penilaian ini dapat
mengarah pada intervensi yang tepat, sehingga mempengaruhi durasi rawat
inap pasien. Seringkali penyebab delirium adalah multifaktorial, termasuk
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 433
Sri Soenarti

penyakit medis akut yang, disfungsi kognitif awal, efek dan interaksi
pengobatan, dan komorbiditas penyakit lain.

Kebijakan
Kebijakan untuk mengevaluasi secara komprehensif pasien geriatri yang
mengalami delirium, ensefalopati, atau perubahan status mental. Intervensi
ditujukan untuk delirium yang reversible.

Prosedur
Alat skrining yang divalidasi akan digunakan untuk mengidentifikasi
pasien yang mengalami demensia dan delirium.

Penyebab delirium antara lain:


• Infeksi, infeksi saluran kemih, pneumonia paling umum
• Obat-obatan (Obat anti-kolinergik, sedatif / hipnotik, narkotika, obat
baru, terutama jika ada penambahan obat baru
• Gangguan elektrolit
• Penggunaan atau penghentian mendadak alkohol / narkoba
• Gejala neurologis fokal yang baru (evaluasi untuk sindrom stroke)

Setiap pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit, terlepas dari diagnosis
primer, harus dievaluasi untuk mengetahui ada tidaknya faktor risiko
terjadinya delirium saat dirawat di rumah sakit:
• Penglihatan menurun atau pendengaran
• Kemampuan kognitif menurun
• Penyakit parah
• Dehidrasi / azotemia pra-ginjal
• (adanya 1-2 faktor diatas meningkatkan risiko delirium rawat inap
sebesar 2,5x, adanya 3-4 faktor meningkatkan risiko delirium rawat inap
sebesar> 9x)

Pasien yang mengalami delirium yang gelisah harus dikelola dengan


cara yang meningkatkan keamanan dan mengurangi kemungkinan cedera.
Lingkungan harus seaman mungkin.

434 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

Sumber Daya yang Dibutuhkan


• Pengasuh
• Papan dan spidol (untuk meningkatkan komunikasi dan orientasi)

Proses meningkatkan mutu


• Waktu (jam/hari) keterbatasan fiisk
• Penggunaan benzodiazepin pada pasien usia lanjut dengan gelisah/
mengigau
• Tingkat pemanfaatan teknik orientasi

Terapi Paliatif di IGD untuk Pasien Geriatri


Penyediaan perawatan akhir hidup yang tepat pada populasi geriatri
sangat penting untuk keberhasilan program geriatri IGD (Rosenberg, Lamba
and Misra, 2013). IGD akan memberikan akses ke perawatan paliatif dan
perawatan akhir-hidup untuk pasien yang. Dengan adanya tim multidisiplin
untuk intervensi perawatan paliatif, literatur baru-baru ini menunjukkan ini
akan meningkatkan kualitas hidup (Beemath and Zalenski, 2009), mengurangi
lamanya tinggal di rumah sakit (Ciemins et al., 2007) dan residivisme IGD
(Barbera et al., 2010), meningkatkan kepuasan pasien dan keluarga (Grudzen
et al., 2012), berkurang perawatan intensif dan memberikan hemat biaya
(Penrod et al., 2010).

Kebijakan
Kebijakan untuk mengenali peran perawatan paliatif dan akhir
kehidupan, termasuk mengatasi kedaruratan dan diskusi tentang keputusan
penting dengan keluarga / pengasuh.

Sumberdaya yang Dibutuhkan


Menetapkan protokol klinis untuk mengidentifikasi pasien yang
mendapat manfaat dari intervensi paliatif, antara lain :
• Manajemen nyeri
• Penatalaksanaan gejala tanpa nyeri
• Perawatan yang nyaman
• Koordinasi tim perawatan paliatif in-house

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 435


Sri Soenarti

Penutup
Panduan penyusunan geriatri emergensi oleh the American College of
Emergency Physicians, The American Geriatrics Society, Emergency Nurses
Association, and the Society for Academic Emergency Medicine dirangkumkan
sebagai acuan untuk membentuk IGD khusus geriatri dengan kebutuhan yang
unik dan komprehensif

Daftar Pustaka
1. Adams, J. G. and Gerson, L. W. (2003) ‘A new model for emergency care of geriatric
patients’, Academic Emergency Medicine. doi: 10.1197/aemj.10.3.271.
2. Anhar, K. (2018) ‘Analisis Implementasi Kebijakan Dokter Spesialis Jaga On Site Di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang’, Jurnal
Administrasi Rumah Sakit Indonesia..
3. American College of Emergency Physician. Geriatric Emergency Departement
Guidelines.. http://dx.doi.org/10.1016/j.annemergmed.2014.02.008. doi:
10.7454/ARSI.V1I3.2182
4. Banerjee, J., Conroy, S. and Cooke, M. W. (2013) ‘Quality care for older people with
urgent and emergency care needs in UK emergency departments’, Emergency
Medicine Journal. doi: 10.1136/emermed-2012-202080.
5. Barbera, L., Taylor, C. and Dudgeon, D. (2010) ‘Why do patients with cancer visit
the emergency department near the end of life?’, CMAJ. doi: 10.1503/cmaj.091187.
6. Basic, D. and Conforti, D. A. (2005) ‘A prospective, randomised controlled trial of
an aged care nurse intervention within the Emergency Department.’, Australian
health review : a publication of the Australian Hospital Association. doi: 10.1071/
AH050051.
7. Beemath, A. and Zalenski, R. J. (2009) ‘Palliative Emergency Medicine:
Resuscitating Comfort Care?’, Annals of Emergency Medicine. doi: 10.1016/j.
annemergmed.2009.02.011.
8. Budnitz, D. S. et al. (2007) ‘Medication use leading to emergency department
visits for adverse drug events in older adults’, Annals of Internal Medicine. doi:
10.7326/0003-4819-147-11-200712040-00006.
9. Ciemins, E. L. et al. (2007) ‘The economic and clinical impact of an inpatient
palliative care consultation service: A multifaceted approach’, Journal of Palliative
Medicine. doi: 10.1089/jpm.2007.0065.
10. Corbett, H. M. et al. (2005) ‘Care coordination in the Emergency Department:
improving outcomes for older patients.’, Australian health review : a publication of
the Australian Hospital Association. doi: 10.1071/AH050043.
11. Grudzen, C. R. et al. (2012) ‘Does palliative care have a future in the emergency
department? Discussions with attending emergency physicians’, Journal of Pain
and Symptom Management. doi: 10.1016/j.jpainsymman.2011.03.022.

436 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Menjembatani Kondisi Faktual ke Ideal Geriatri Emergensi di Indonesia

12. Han JH, Shintani A, Eden S, et al. Delirium in the emergency department: an
independent predictor of death within 6 months. Ann Emerg Med. 2010;56:244-
252.
13. Hegney, D. et al. (2006) ‘Nurse discharge planning in the emergency department:
A Toowoomba, Australia, study’, Journal of Clinical Nursing. doi: 10.1111/j.1365-
2702.2006.01405.x.
14. Hogan, T. M., Olade, T. O. and Carpenter, C. R. (2014) ‘A profile of acute care in
an aging America: Snowball sample identification and characterization of united
states geriatric emergency departments in 2013’, Academic Emergency Medicine.
doi: 10.1111/acem.12332.
15. Hustey, F. M. et al. (2003) ‘The effect of mental status screening on the care of
elderly emergency department patients’, Annals of Emergency Medicine. doi:
10.1067/mem.2003.152.
16. Kakuma, R. et al. (2003) ‘Delirium in older emergency department patients
discharged home: Effect on survival’, Journal of the American Geriatrics Society. doi:
10.1046/j.1532-5415.2003.51151.x.
17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012) ‘Pedoman teknis bangunan
rumah sakit ruang gawat darurat’, Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan
Sarana Kesehatan.
18. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2017) Analisis Lansia di Indonesia,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) ‘Data dan Informasi Profil
Kesehatan Indonesia 2017’. doi: 10.1007/s13398-014-0173-7.2.
20. Oliver, D. et al. (2004) ‘Risk factors and risk assessment tools for falls in hospital
in-patients: A systematic review’, Age and Ageing. doi: 10.1093/ageing/afh017.
21. Penrod, J. D. et al. (2010) ‘Hospital-based palliative care consultation: Effects on
hospital cost’, Journal of Palliative Medicine. doi: 10.1089/jpm.2010.0038.
22. Permenkes (2018) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47
Tahun 2018 Tentang Pelayanan Kegawatdaruratan, 31 Desember.
23. Rizka, A. et al. (2017) ‘Performa Rapid Emergency Medicine Score (REMS) dalam
Memprediksi Mortalitas 30 Hari Pasien Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat’,
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. doi: 10.7454/jpdi.v4i2.116.
24. Rosenberg, M., Lamba, S. and Misra, S. (2013) ‘Palliative Medicine and Geriatric
Emergency Care. Challenges, Opportunities, and Basic Principles’, Clinics in
Geriatric Medicine. doi: 10.1016/j.cger.2012.09.006.
25. Ryan, D. et al. (2011) ‘Improving older patients’ experience in the emergency room:
The senior-friendly emergency room’, Aging Health. doi: 10.2217/ahe.11.78.
26. Vermasari, A., Masrul and Yetti, H. (2019) ‘Analisis Implementasi Standar Pelayanan
Minimal (SPM) di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSU Mayjen HA Thalib Kabupaten
Kerinci’, Jurnal Kesehatan ANdalas, 8(2), pp. 275–285. Available at: http://jurnal.
fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/1002/878.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 437


Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Delirium
pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat
Noto Dwimartutie
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Delirium merupakan kondisi klinis yang sering dijumpai pada usia
lanjut di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan memiliki konsekuensi yang
serius namun sayangnya seringkali tidak dikenali sejak dini. Diperkirakan
10%-30% usia lanjut yang masuk ke IGD memiliki manifestasi delirium.
Usia lanjut memiliki penyakit komorbiditas dan penyakit kronik yang lebih
banyak sehingga meningkatkan risiko kejadian delirium dibandingkan usia
dewasa yang lebih muda. Kondisi ini seringkali tidak terdiagnosis sejak awal
oleh dokter di IGD. Hanya 16%-35% pasien usia lanjut yang mengalami
delirium dapat didiagnosis secara benar oleh dokter. Delirium diperkirakan
menambah biaya perawatan antara 38 juta dolar US hingga 152 juta dolar US
pertahun di Amerika. Delirium menyebabkan distress pada pelaku rawat dan
menempatkan pasien dalam risiko tinggi untuk masuk institusi perawatan,
readmisi ke rumah sakit hingga kematian. Usia lanjut dengan delirium
yang masuk IGD memiliki kejadian mortalitas 12 bulan sebesar 10%-26%.
Diagnosis dan tatalaksana pasien usia lanjut dengan baik dapat mempercepat
pemulihan dan menghindari prognosis yang buruk. 1-3

Definisi dan Manifestasi Klinis


Delirium berasal dari kata latin yaitu “delirare” yang artinya adalah
“keluar dari alur” atau secara kiasan berarti “gila atau mengacau”. Delirium
merupakan suatu sindrom neuropsikiatri berupa gangguan kesadaran
dan perubahan kognisi yang terjadi secara akut dan fluktuatif. Pasien
dengan delirium tipikal terdapat gangguan atensi, pola berpikir yang tidak
terorganisir, perubahan kesadaran dan gangguan persepsi. 1,4

Berdasarkan DSM (Diagnostic and Stastitical Manual of Mental Disorder)


V, kriteria diagnosis delirum yaitu: 5
A. Gangguan dalam atensi (penurunan kemampuan untuk mengarahkan,
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan atensi/perhatian)
dan kesadaran/awareness (penurunan orientasi terhadap lingkungan)
438 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Delirium pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat

B. Gangguan berkembang dalam periode singkat (umumnya beberapa


jam hingga hari), menunjukkan adanya perubahan akut dari atensi dan
kesadaran dasar sebelumnya, dan cenderung berfluktuasi
C. Gangguan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa, gangguan visuospasial atau persepsi)
D. Gangguan pada kriteria A dan C tidak dapat disebabkan perkembangan
atau gangguan neurokognitif sebelumnya dan tidak terjadi pada gangguan
kesadaran yang berat seperti koma
E. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang bahwa gangguan merupakan konsekuensi fisiologi langsung
dari kondisi medis lain, intoksikasi zat atau withdrawal (akibat
penyalahgunaan obat atau medikasi), atau pajanan terhadap toksin, atau
akibat etiologi multipel

Delirium merupakan kondisi disfungsi serebral transien yang dapat


bermanifestasi dalam 3 tipe psikomotor yaitu tipe hiperaktif, tipe hipoaktif, dan
tipe campuran. Pada tipe hiperaktif, pasien mengalami peningkatan aktivitas
psikomotor, terlihat agitasi, cemas, bahkan agresif. Pada tipe hipoaktif, pasien
mengalami penurunan aktivitas psikomotor, terlihat letargi, mengantuk,
somnolen ataupun depresi. Pada tipe campuran, pasien menunjukkan
manifestasi tipe hiperaktif dan hipoaktif. Tipe hiperaktif lebih mudah dikenali
sehingga lebih cepat ditemukan. Tipe hipoaktif lebih sering ditemukan namun
memiliki prognosis yang lebih buruk. Pada delirium hipoaktif, staf medis
ataupun pelaku rawat / keluarga seringkali beranggapan bahwa pasien dalam
kondisi baik karena ketiadaan gejala dan tanda dari distress penyakit ataupun
pasien didiagnosis dengan kondisi lain seperti depresi atau fatig/kelelahan.
Di IGD, 96% usia lanjut dengan delirium menunjukkan tipe hipoaktif atau tipe
campuran.1,4

Patofisiologi
Patofisiologi delirium hingga kini masih belum diketahui pasti.
Mekanismenya dipikirkan melalui berbagai jalur karena delirium dapat
disebabkan oleh etiologi yang multifaktorial. Berbagai hipotesis jalur
mekanisme seperti hipotesis neurotransmiter, neuroinflamasi, stress oksidatif,
penuaan neuron dan disregulasi irama sirkadian, saling berinteraksi satu
sama lain. Gangguan keseimbangan neurotransmiter diperkirakan menjadi
salah satu penyebab tersering dimana pada delirium ditemukan adanya
defisiensi kolinergik relatif dan atau kelebihan dopamin pada otak. Respon

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 439


Noto Dwimartutie

inflamasi sistemik pada tubuh pada kondisi seperti infeksi akan menimbulkan
kaskade lokal di otak yang selanjutnya mengakibatkan neuroinflamasi yang
dicetuskan oleh sitokin inflamasi. Kondisi ini akan menyebabkan aktivasi
endotelial, gangguan aliran darah otak dan apoptosis neuron.6-8

Etiologi
Penyebab delirium multifaktorial dan melibatkan hubungan kompleks
antara faktor kerentanan/ faktor risiko/ faktor predisposisi pada pasien dan
faktor yang mempresipitasi/ mencetuskan. Pasien yang memiliki banyak
faktor predisposisi atau memiliki faktor predisposisi yang berat akan mudah
untuk terjadi delirium walaupun dengan faktor pencetus yang ringan.
Sebaliknya, pasien yang tidak memiliki atau sedikit faktor predisposisi atau
memiliki faktor predisposisi yang ringan, akan terjadi delirium bila terdapat
faktor pencetus yang berat. Sebagai contoh yaitu usia lanjut yang menderita
demensia berat dan memiliki berbagai macam komorbiditas apabila terpajan
oleh obat yang memiliki efek samping mengantuk maka akan mudah tercetus
kondisi delirium. Interaksi antara faktor predisposisi dan faktor pencetus
delirium dapat dilihat pada gambar 1.6

Gambar 1. Interaksi antara faktor predisposisi dan faktor presipitasi delirium 6


Gambar 1. Interaksi antara faktor predisposisi dan faktor presipitasi delirium 6
Kondisi apa saja yang menjadi faktor predisposisi delirium banyak
Kondisi apa saja yang menjadi faktor predisposisi delirium banyak didapatkan atas
didapatkan atas studi yang dilakukan pada pasien yang dirawat inap. Studi
studi yang dilakukan pada pasien yang dirawat inap. Studi yang dilakukan oleh Han dkk
yang dilakukan oleh Han dkk mengidentifikasi bahwa demensia, gangguan
mengidentifikasi bahwa demensia, gangguan fungsional premorbid, dan gangguan
fungsional premorbid, dan gangguan pendengaran merupakan faktor risiko
pendengaran merupakan faktor risiko9 independen delirium di IGD. 9
independen delirium di IGD.
Baik faktor predisposisi maupun faktor presipitasi yang multipel dapat ditemukan
pada satu pasien. Infeksi seperti pneumonia dan infeksi saluran kemih merupakan penyebab
terbanyak440
delirum (34%-43% kasus). Delirium Pertemuan Ilmiah
dapat jugaNasional XVII PAPDIoleh
dicetuskan - Surabaya 2019iatrogenik,
kondisi
seperti restrain fisik dan kateter urin. Nyeri somatik dapat pula mencetuskan delirium. 4
Faktor predisposisi dan faktor presipitasi delirum serta obat-obatan yang dapat mencetuskan
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Delirium pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat

Baik faktor predisposisi maupun faktor presipitasi yang multipel dapat


ditemukan pada satu pasien. Infeksi seperti pneumonia dan infeksi saluran
kemih merupakan penyebab terbanyak delirum (34%-43% kasus). Delirium
dapat juga dicetuskan oleh kondisi iatrogenik, seperti restrain fisik dan
kateter urin. Nyeri somatik dapat pula mencetuskan delirium. 4

Faktor predisposisi dan faktor presipitasi delirum serta obat-obatan


yang dapat mencetuskan delirium dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1. Faktor predisposisi dan faktor presipitasi delirium6,7,10,11


Faktor predisposisi Faktor presipitasi
Demografi Penyakit neurologi primer
• Usia > 65 tahun • Stroke
• Jenis kelamin pria • Perdarahan intracranial
Penurunan asupan oral • Meningitis atau ensefalitis
• Dehidrasi, deplesi cairan Kondisi medis
• Malnutrisi • Infeksi
Gangguan sensorik • Komplikasi iatrogenik
• Gangguan penglihatan • Penyakit akut berat
• Gangguan pendengaran • Syok
Kondisi medis • Demam atau hipotermia
• Penyakit berat • Anemia
• Komorbiditas multipel • Dehidrasi
• Penyakit ginal kronik atau penyakit hati • Status nutrisi buruk
kronik
• Gangguan metabolik (Hiponatremia, Hipo
• Abnormalitas struktur otak atau riwayat atau hiperglikemia, gangguan asam basa,
stroke hipoksia, hiperkarbia)
• Penyakit neurologi • Azotemia
• Fracture atau trauma • Impaksi feses
• Penyakit terminal • Retensio urin
• Infeksi dengan HIV • Nyeri
• Kadar albumin rendah
Lingkungan
Status kognitif dan mental • Penggunaan physical restrain
• Demensia atau gangguan kognitif lain • Penggunaan kateter urin
• Riwayat delirium • Prosedur tindakan yang banyak
• Depresi • Pindah ke lingkungan yang asing/ tidak
Status fungsional dikenal seperti masuk ke ICU
• Gangguan status fungsional
• Imobilisasi
• Inaktivitas fisik
• Riwayat jatuh

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 441


Noto Dwimartutie

Faktor predisposisi Faktor presipitasi


Obat Obat
• Terapi obat psikoaktif multipel • Hipnotik sedatif
• Terapi dengan banyak obat / polifarmasi • Narkotika
• Penyalahgunaan alkohol • Obat antikolinergik
• Terapi dengan banyak obat
• Alkohol
• Drug atau alkohol withdrawal
Prosedur Operasi
Stress emosional
Prolonged sleep deprivation
Sensory deprivation
Sensory overload

Tabel 2. Obat–obatan yang dapat mencetuskan delirium 6,8-10


Sedatif / hipnotik
• Benzodiazepine (terutama flurazepam, diazepam)
• Barbiturate
• Obat tidur (difenhidramin, chloral hydrate)
Narkotika (terutama meperidin)
Antikolinergik
• Antihistamin (difenhidramin, hydroxyzine)
• Antispasmodic (belladonna, Lamotil)
• Antidepresan heterosiklik (amitriptilin, imipramine, doxepin)
• Neuroleptic (chlorpromazine, haloperidol, thioridozine)
Inkontinensia (oxybutynin, hyoscyamine)
• Atropine /skopolamin
Kardiak
• Digitalis glikosida
• Antiaritmia (kuinidin, prokainamid, lidokain)
• Antihipertensi (beta bloker, metildopa)
Steroid
Relaksan otot
Gastrointestinal
• Antagonis H2 (simetidin, ranitidine, famotidine, nizatidin)
• Proton pump inhibitor
• Metoclopramide
• Herbal (valerian root, St. John’s Wort, kava kava)

442 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Delirium pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat

Diagnosis
Diagnosis delirium dibuat berdasarkan anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pengamatan terhadap pasien serta pengkajian fungsi
kognitif. Anamnesis didapatkan dari pelaku rawat dan keluarga pasien,
serta staf medis dan non medis untuk mengetahui status kognitif awal
pasien sebelumnya serta menilai adanya perubahan yang bersifat akut dan
fluktuatif.4,6 Kondisi medis lain yang menjadi diagnosis banding delirium
seperti psikosis akut, demensia dan depresi harus disingkirkan (tabel 3).

Tabel 3. Diagnosis banding delirium 6


Karakteristik Delirium Demensia Depresi Psikosis akut
Onset Akut (jam hingga Progresif, perlahan Akut atau perlahan Akut
hari) (minggu hingga
bulan)
Perjalanan Fluktuasi Progresif bertahap Bervariasi Episodik
Terganggu Umumnya masih Dapat timbul Variasi
Atensi baik, dapat penurunan
terganggu pada konsentrasi dan
tahap akhir/lanjut atensi hingga detil
Derajat Berubah, dari Normal Normal Normal
kesadaran letargik hingga
hiperalert
Memori Umumnya Gangguan memori Normal, dapat Umumnya
terganggu jangka pendek ditemukan normal
dan atau jangka gangguan memori
panjang yang jangka pendek
prominen
Orientasi Disorientasi Normal, dapat Umumnya normal Umumnya
terganggu pada normal
tahap akhir/lanjut
Pembicaraan Disorganisasi, Sedikit bicara, Normal, namun Variasi, sering
inkoheren, tidak afasia, anomia pembicaraan disorganisasi
logis seringkali
lambat (retardasi
psikomotor)
Delusi Sering Sering Tidak sering Sering,
seringkali
kompleks
Halusinasi Umumnya visual Terkadang Jarang Umumnya
auditorik dan
lebih kompleks
Etiologi organik Ya Ya Tidak Tidak

Penapisan awal untuk mengevaluasi fungsi kognitif dapat dilakukan


dengan menggunakan instrumen MMSE dan Mini Cog. Skrining kognitif

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 443


Noto Dwimartutie

sederhana lain dapat dilakukan dengan menilai orientasi bersamaan


dengan menilai atensi. Contoh penilaian skrining sederhana tersebut
antara lain seperti menghitung digit span secara terbalik (normal : > 3 digit
secara terbalik), serial pengurangan 7 (pasien boleh salah 1 pada 5 urutan
pengurangan), menyebutkan nama hari dalam seminggu (pasien tidak boleh
salah), atau menyebutkan nama bulan dalam setahun secara terbalik ( pasien
skrining
bolehsederhana
salah 1).tersebut
12,13 antara lain seperti menghitung digit span secara terbalik (normal :
> 3 digit secara terbalik), serial pengurangan 7 (pasien boleh salah 1 pada 5 urutan
pengurangan), menyebutkan nama hari dalam seminggu (pasien tidak boleh salah), atau
Terdapat beberapa instrumen yang digunakan untuk menilai pasien
menyebutkan nama bulan dalam setahun secara terbalik ( pasien boleh salah 1). 12,13
mengalami
Terdapatdelirium
beberapaatau tidak. Instrumen
instrumen Confusion
yang digunakan Assessment
untuk menilai Method (CAM)
pasien mengalami
merupakan instrumen yang paling banyak digunakan. CAM dikembangkan
delirium atau tidak. Instrumen Confusion Assessment Method (CAM) merupakan instrumen
yanguntuk
palingnonpsikiatri dan berdasarkan
banyak digunakan. kriteria DSM-IIIR.
CAM dikembangkan Terdapat
untuk nonpsikiatri dan4 berdasarkan
kriteria
kriteria
yaituDSM-IIIR.
(1) onsetTerdapat
akut dan4 kriteria yaitu (1)
fluktuatif, (2)onset akut danatensi,
gangguan fluktuatif,
(3) (2) gangguanpola
gangguan atensi,
(3) pikir,
gangguandan (4) perubahan kesadaran. Pasien harus memiliki kriteria (1) dandan
pola pikir, dan (4) perubahan kesadaran. Pasien harus memiliki kriteria (1)
(2) (2)
ditambah satu dari
ditambah satukriteria (3) atau(3)
dari kriteria (4)atau
untuk
(4)dapat
untukdidiagnosis delirium, seperti
dapat didiagnosis terlihat
delirium,
pada gambar 2.
seperti terlihat pada gambar 2.

1. Onset akut dan fluktuatif

DAN

2. Gangguan perhatian/konsentrasi (inatensi)

DAN

3. Gangguan proses pikir 4. Perubahan kesadaran


(disorganized thinking) ATAU

Diagnosis delirium berdasarkan CAM ditegakkan bila terdapat kriteria No.1 DAN No. 2,
DITAMBAH kriteria no. 3 ATAU No. 4
Gambar 2. Algoritma diagnostik Confusion Assessment Methode (CAM)14
Gambar 2. Algoritma diagnostik Confusion Assessment Methode (CAM)14

Perubahan
Perubahan akut dandan
akut fluktuasi
fluktuasistatus mental
status mentalmerupakan
merupakangambaran utamautama
gambaran delirium.
Gambaran ini dapat ditemukan pada saat wawancara dengan pelaku rawat atau keluarga.
delirium. Gambaran ini dapat ditemukan pada saat wawancara dengan pelaku
Gambaran ini dapat sulit dipastikan bila orang dekat yang selama ini bersama pasien tidak
adarawat
saat diatau
IGD.keluarga.
Pasien yangGambaran
datang dari ini fasilitas
dapat sulit dipastikan
long-term bila orangkomunikasi
care, melakukan dekat
dengan perawat atau dokter di fasilitas tersebut dapat membantu
yang selama ini bersama pasien tidak ada saat di IGD. Pasien yang datang memperoleh data status
mental awal pasien. Pada beberapa pasien, perubahan akut dan fluktuasi
dari fasilitas long-term care, melakukan komunikasi dengan perawat atau dapat juga diperoleh
dengan melakukan pengamatan saat pasien di IGD. Kriteria 2,3, dan 4 CAM dapat dikaji
dokter
selama di fasilitas
melakukan tersebut
anamnesis dapatdan
pasien membantu
melakukanmemperoleh
skrining fungsidatakognitif.
status mental
Gangguan
awal
atensi pasien. Pada
diketahui beberapa
dari pasien yangpasien,
sangat perubahan akut dan
mudah teralihkan fluktuasi
atensinya dapat
dan sulitjuga
dalam
memfokuskan perhatiannya. Ganguan pola pikir diketahui dari
diperoleh dengan melakukan pengamatan saat pasien di IGD. Kriteria 2,3, pemikiran pasien yang
melantur, atau memiliki aliran ide yang tidak logis. Perubahan kesadaran dapat ditunjukkan
4
dari 444
kondisi somnolen, letargi, ansietas, ataupun agitasi.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
CAM memiliki sensitivitas tinggi (94%-100%) dan spesifisitas tinggi (90%-95%)
pada pasien yang dirawat inap berdasarkan studi Inouye dkk. Studi lain yang melakukan
validasi CAM menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi yaitu sensitivitas
Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Delirium pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat

dan 4 CAM dapat dikaji selama melakukan anamnesis pasien dan melakukan
skrining fungsi kognitif. Gangguan atensi diketahui dari pasien yang sangat
mudah teralihkan atensinya dan sulit dalam memfokuskan perhatiannya.
Ganguan pola pikir diketahui dari pemikiran pasien yang melantur, atau
memiliki aliran ide yang tidak logis. Perubahan kesadaran dapat ditunjukkan
dari kondisi somnolen, letargi, ansietas, ataupun agitasi.4

CAM memiliki sensitivitas tinggi (94%-100%) dan spesifisitas tinggi


(90%-95%) pada pasien yang dirawat inap berdasarkan studi Inouye dkk. Studi
lain yang melakukan validasi CAM menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas
yang bervariasi yaitu sensitivitas 46%-94% dan spesifisitas 63%-100%. CAM
merupakan satu-satunya instrument yang tervalidasi penggunaannya di IGD.4

Instrumen Confusion Assessment Method ICU (CAM-ICU) dapat digunakan pada


Instrumen Confusion Assessment Method ICU (CAM-ICU) dapat digunakan
pasien yang dirawat di ICU. Bila menggunakan CAM-ICU, derajat kesadaran dinilai dahulu
pada pasien yang dirawat di ICU. Bila menggunakan CAM-ICU, derajat
dengan menggunakan Richmond Agitation-Sedation Scale (RASS). Instrumen CAM-ICU
kesadaran dinilai dahulu dengan menggunakan Richmond Agitation-Sedation
dapat dilihat pada gambar 3, 4 dan 5. 4
Scale (RASS). Instrumen CAM-ICU dapat dilihat pada gambar 3, 4 dan 5.
4

Gambar 3. Alur penggunaan CAM-ICU15


Gambar 3. Alur penggunaan CAM-ICU15

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 445


Gambar 3. Alur penggunaan CAM-ICU15

Noto Dwimartutie

Gambar 4. Penilaian derajat kesadaran dengan Richmond Agitation-Sedation Scale


Richmond Agitation-Sedation Scale (RASS)16
(RASS)
Gambar 4. Penilaian derajat kesadaran dengan
16

Gambar 5. CAM-ICU 16 Gambar 5. CAM-ICU 16

Beberapa instrumen yang digunakan dalam studi-studi mengenai delirium beserta


Beberapa instrumen yang digunakan dalam studi-studi mengenai
delirium beserta sensitivitas dan spesifisitasnya seperti dalam tabel 4.
sensitivitas dan spesifisitasnya seperti dalam tabel 4.
446 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019

Tabel 4. Karakteristik instrument pengkajian delirium di IGD2


Gambar 5. CAM-ICU

Beberapa instrumen yang digunakan dalam studi-studi mengenai delirium beserta


sensitivitas dan spesifisitasnya seperti dalamDiagnosis
Pendekatan tabel dan
4. Tatalaksana Delirium pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat

Tabel 4. Karakteristik instrument pengkajian delirium di IGD2


Tabel 4. Karakteristik instrument pengkajian delirium di IGD2

Setelah
Setelah diagnosis delirium
diagnosis delirium ditegakkan,
ditegakkan, makamaka langkah
langkah selanjutnya
selanjutnya adalah adalah
mencari
mencari faktor pencetusnya sekaligus faktor risiko. Anamnesis detil
faktor pencetusnya sekaligus faktor risiko. Anamnesis detil kepada pelaku rawat dan kepada
keluarga
pelaku rawat dan keluarga untuk mencari adanya kelainan pada berbagai
sistem organ, rasa tidak nyaman seperti konstipasi/ impaksi feses, dan nyeri.
Obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien harus didapatkan informasinya
termasuk penggunaan obat golongan benzodiazepine serta konsumsi alkohol.
Pemeriksaan fisik secara detil mencari adakah gangguan tanda vital, hipoksia,
dehidrasi, tanda infeksi akut, defisit neurologi, tanda meningeal dan gangguan
sensorik. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari kelainan spesifik
tertentu seperti pemeriksaan darah perifer lengkap, kadar glukosa, elektrolit,
kalsium, fungsi ginjal, fungsi hati, urinalisis, fungsi tiroid, kultur darah atau
urin atau sputum, termasuk pemeriksaan toksikologi dan kadar kortisol.
Analisa gas darah diambil bila terdapat kecurigaan hiperkarbia atau hipoksia
terutama pada pasien dengan PPOK ataupun curiga infeksi dan gangguan
sistem respirasi. Pasien dengan infark miokard akut juga dapat bermanifestasi
dengan delirium sehingga pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan
untuk memastikan serta biomarker infark miokard dapat dipertimbangkan
diperiksa bila terdapat kecurigaan adanya kondisi tersebut. Foto toraks
dilakukan untuk menyingkirkan kelainan pada paru. Pemeriksan penunjang

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 447


Noto Dwimartutie

lain seperti pencitraan otak ataupun punksi lumbal dapat dilakukan apabila
terdapat kecurigaan gangguan pada otak seperti meningitis, ensefalitis atau
stroke. 4

Tatalaksana
Tatalaksana inisial dimulai dengan mengkaji ABC (airway, breathing,
circulation) dan jika ada indikasi adalah kewaspadaan terhadap kelainan
di tulang servikal. Akses intravena, monitoring jantung, dan pemeriksaan
untuk mencari penyebab reversibel yang dapat dicari secara simultan seperti
hipoglikemia dan hipoksia segera dilakukan. Pasien usia lanjut dengan trauma
multisistem dapat muncul dengan kondisi normal sebelum akhirnya terjadi
penurunan klinis. Stroke iskemik akut dan kelainan neurologis lain segera
dicari. 1

Tatalaksana delirium lebih lanjut adalah segera mengatasi faktor pencetus


delirium. Atasi berbagai kondisi medis seperti hipoksia, infeksi, gangguan
metabolik, konstipasi dan kondisi medis lain. Nyeri harus ditatalaksana
dengan adekuat. Hidrasi dan nutrisi dipertahankan secara adekuat. Hindari
penggunaan kateter yang tidak diperlukan. 1,6,7

Untuk mengatasi gejala delirium yang timbul maka dilakukan tatalaksana


baik secara non farmakologi maupun farmakologi. Talaksana farmakologi
hanya dilakukan pada pasien dengan agitasi berat. Pada pasien dengan delirium
hiperaktif, restrain kimia mungkin dibutuhkan segera untuk menyelesaikan
pemeriksaan secara lengkap, memeriksa tanda vital, melakukan prosedur
khusus atau juga untuk keselamatan pasien dan staf medis. Pemberian obat
dimulai dengan dosis rendah. Haloperidol dapat diberikan dengan dosis
awal 0,5-1 mg, namun haloperidol harus digunakan hati-hati pada pasien
dengan iskemi koroner akut, gagal jantung dekompensata, atau pasien yang
menggunakan obat yang dapat menyebabkan pemanjangan interval QTc.
Penggunaan obat alternatif lain seperti lorazepam pada usia lanjut atau pasien
dengan gangguan kognitif sebaiknya dihindari, kecuali agitasi yang timbul
akibat withdrawal obat sedatif atau alkohol. Antipsikotik atipikal terbaru
seperti risperidon atau olanzapine juga efektif dan memiliki efek samping
ekstrapiramidal yang lebih sedikit. Risperidon seringkali juga digunakan pada
usia lanjut dengan dosis awal 0,25-0,5 mg. Penggunaan restrain fisik harus
dihindari. Jika dibutuhkan, penggunaan restrain fisik untuk pasien usia lanjut
dapat digunakan secara temporer saja, karena restrain fisik ini juga dapat
mencetuskan delirium.1,6

448 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Delirium pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat

Tatalaksana non farmakologi dilakukan dengan multikomponen


baik untuk pencegahan maupun terapi. Talaksana non farmakologi untuk
mengatasi gejala delirium antara lain adalah (1) mengusahakan mobilisasi
segera, hindari restrain fisik dan kateter urin, (2) melibatkan keluarga dalam
orientasi dan stimulasi kognitif pasien, (3) memastikan pasien menggunakan
alat bantu seperti kacamata dan alat bantu dengar, penerjemah yang
dibutuhkan untuk mengatasi gangguan sensorik yang ada, (4) memastikan
pasien mendapatkan hidrasi dan nutrisi adekuat, (5) memertahankan sleep-
wake cyle (menghindari interupsi waktu tidur, pencahayaan rendah/ kurang
terang pada malam hari, protokol tidur antara lain massage/pemijatan, musik,
teh dan susu hangat). 17

Tatalaksana untuk mencegah komplikasi yang dapat timbul akibat


delirium juga dilakukan hait antara lain dengan melakukan proteksi
saluran napas untuk mencegah aspirasi, mempertahankan hidrasi dan
nutrisi, melakukan perawatan kulit, mencegah timbulnya ulkus decubitus,
memobilisasi pasien untuk mencegah tombosis vena, emboli paru, pneumonia
ortostatik dan infeksi saluran kemih.17

Sediakan lingkungan yang mendukung tatalaksana delirium baik secara


fisik, psikologi, dan dukungan sensori. Komunikasi dan edukasi tidak hanya
dengan pasien dan pelaku rawat/ keluarga saja namun juga dengan tenaga
medis dan kesehatan lain yang terkait. Tatalaksana delirium membutuhkan
pendekatan interdisiplin. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi ketat
selama terjadinya delirium. 17 Algoritma evaluasi dan tatalaksana delirium
dapat dilihat pada gambar 5.

Prognosis
Delirium mengakibatkan luaran kesehatan yang buruk. Kondisi somnolen,
letargi dan agitasi meningkatkan risiko aspirasi, jatuh, inkontinensia,
malnutrisi, emboli paru, dan ulkus decubitus. Lama rawat didapatkan lebih
panjang pada pasien dengan delirium (sekitar 8 hari lebih panjang). Pasien
dengan delirium memiliki perbaikan status fisik dan status kognitif lebih
rendah bila dibandingkan pasien tanpa delirium pada waktu 6 dan 12 bulan
saat pulang rawat. Delirium meningkatkan risiko penurunan status fungsional
yang lebih cepat sehingga berisiko lebih tinggi ditempatkan di institusi nursing
home. 12,18,19

Delirium meningkatkan mortalitas. Angka mortalitas pasien dengan


delirium sebesar 22%-76% selama perawatan di rumah sakit. Angka
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 449
Noto Dwimartutie

mortalitas 1 tahun sebesar 35%-45% pada pasien delirium paska perawatan.


Delirium meningkatkan risiko mortalitas 1,5 kali dalam waktu satu tahun
setelah perawatan pada pasien yang dirawat di ruang rawat umum dan ruang
rawat geriatri. Di ruang rawat intensif (ICU), delirium meningkatkan risiko
mortalitas 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa delirium. Di IGD,
delirium meningkatkan risiko mortalitas hingga 70% dalam 6 bulan pertama.
18,19

Delirium mempengaruhi fungsi kognitif. Delirium pada pasien bedah


dapat mengakibatkan gangguan kognitif yang persisten hingga 1 tahun paska
pembedahan. Risiko demensia meningkat termasuk pada pasien yang tidak
memiliki gangguan kognitif sebelumnya. Pada pasien yang sudah demensia,
delirium membuat pasien berisiko mengalami gangguan kognitif yang lebih
berat, institusionalisasi dan mortalitas.18,19 Pada sebagian besar kasus, pasien
akan kembali normal dalam waktu 10-12 hari. Namun pada beberapa kasus,
gejala delirium masih dapat ditemukan hingga lebih dari 2 bulan, bahkan
dilaporkan sekitar sepertiga pasien masih bergejala hingga 6 bulan. 20

Studi terkait luaran delirium di IGD telah dilaporkan pada beberapa studi.
Studi oleh Lewis dkk pada 385 usia lanjut di IGD menemukan bahwa pasien
dengan delirium akan berisiko meninggal pada 3 bulan dibandingkan pasien
tanpa delirium (14% vs 8%).21 Studi oleh Kakuma dkk terhadap 107 pasien
usia lanjut yang pulang dari IGD melaporkan bahwa delirium merupakan
faktor independen yang berhubungan dengan mortalitas 6 bulan. Studi ini
tidak mengikutsertakan pasien yang akhirnya dirawat.22 Han dkk melaporkan
pada studinya bahwa pasien yang mengalami delirium akan meninggal dalam
6 bulan lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa delirium (36% vs 10%).23
Vida dkk melaporkan bahwa pasien delirium di IGD berhubungan dengan
penurunan status fungsional lebih cepat. Namun hubungan ini menghilang
saat dilakukan penyesuaian dengan variabel perancu. 24

Simpulan
Delirium merupakan kondisi medis akut pada usia lanjut yang sering
ditemukan di IGD yang perlu segera dideteksi dari awal dan dilakukan
tatalaksana segera. CAM merupakan salah satu instrumen yang banyak
digunakan di IGD untuk membantu diagnosis delirium. Tatalaksana delirium
melibatkan multikomponen non farmakologis dan secara farmakologis
dengan indikasi tertentu.

450 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Delirium pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat

Keterangan gambar:
Keterangan gambar:
b b
. Faktor risiko delirium yang sering adalah demensia atau gangguan kognitif, gangguan status fungsional dan
. Faktor risiko delirium yang sering adalah demensia atau gangguan kognitif, gangguan status fungsional dan
mobilitas, gangguan penglihatan atau pendengaran, dehidrasi, gangguan tidur, riwayat alkohol, usia sangat
mobilitas, gangguan penglihatan atau pendengaran, dehidrasi, gangguan tidur, riwayat alkohol, usia sangat
lanjut (>70 tahun), penyakit medis multipel, komorbiditas spesifik (seperti stroke, depresi)
lanjut (>70 tahun), penyakit medis multipel, komorbiditas spesifik (seperti stroke, depresi)
c
. Delirium
c
harus harus
. Delirium dipikirkan sebagaisebagai
dipikirkan kondisikondisi
emergensi medis yang
emergensi medismengancam nyawa nyawa
yang mengancam hingga hingga
terbuktiterbukti
tidak, tidak,
sehingga adanya perubahan status
sehingga mental
adanya akut harusstatus
perubahan segeramental
dilakukan
akutevaluasi.
harus segera dilakukan evaluasi.
d
. Delirium didiagnosis dengan CAM d
. Delirium didiagnosis dengan CAM
e
. Kriteriae Beers untuk mengevaluasi obat dapat mengidentifikasi obat yang seharusnya dihindari atau diberikan
. Kriteria Beers untuk mengevaluasi obat dapat mengidentifikasi obat yang seharusnya dihindari atau
dengan dosis terendah seperti trisiklik antidepresan, antikolinergik, antihistamin, benzodiazepine, kortikosteroid,
diberikan
antagonis reseptodengan dosis terendah
H2, meperidine, hipnotikseperti trisiklik
sedatif, antidepresan, antikolinergik, antihistamin, benzodiazepine,
clorpromazin
f kortikosteroid, antagonis resepto H2,untuk
meperidine, hipnotik sedatif, clorpromazin
. Strategi multikomponen nonfarmakologi digunakan baik pencegahan maupun tatalaksana delirium
e
. Obatf.antipsikotik digunakan hanya
Strategi multikomponen jika terdapat gangguan
nonfarmakologi digunakanperilaku yang pencegahan
baik untuk membahayakan pasientatalaksana
maupun dan atau staf,
delirium
atau jika e terdapat risiko layanan medis esensial terhenti.
. Obat antipsikotik digunakan hanya jika terdapat gangguan perilaku yang membahayakan pasien dan atau
staf, atau jika terdapat risiko layanan medis esensial terhenti.
Gambar 6. AlgoritmaGambar
evaluasi 6.
danAlgoritma delirium17
tatalaksanaevaluasi dan tatalaksana delirium17

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 451


Noto Dwimartutie

Daftar Pustaka
1. Gower LE, Gatewood MO, Kang CS. Emergency department management of
delirium in the elderly. West J Emerg Med. 2012;13(2):194–201
2. Pérez-Ros P, Martínez-Arnau FM. Delirium assessment in older people in
Emergency Departments. A Literature Review. Diseases. 2019;7(1):14
3. LaMantia MA, Messina FC, Hobgood CD, Miller DK. Screening for delirium
in the Emergency Department : a systematic review. Ann Emerg Med. 2014
May;63(5):551-560
4. Han JH, Wilson A, Ely EW. Delirium in the older emergency department patient: a
quiet epidemic. Emerg Med Clin North Am. 2010;28(3):611–631
5. European Delirium Association and American Delirium Society. The DSM-5 criteria,
level of arousal and delirium diagnosis: inclusiveness is safer. BMC Medicine 2014;
12:141 .
6. Inouye SK, Fearing MA, Marcantonio ER. Delirium. In : Halter JB, Ouslande JG, Tinetti
ME, Studenski S, et al. editors. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed.
Mc Graw Hill Co. 2017. P. 647-58
7. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med 2006;354:1157-65
8. Maldonado JR. Delirium pathophysiology: An updated hypothesis of the etiology of
acute brain failure. Int J Geriatr Psychiatry. 2017;1–30.
9. Han JH, Zimmerman EE, Cutler N, et al. Delirium in older emergency department
patients: recognition, risk factors, and psychomotor subtypes. Acad Emerg Med.
2009;16(3):193–200
10. Confusion : delirium and dementia. In: Kane RL. Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B,
editors. Essentials of clinical geriatrics. 6th ed. 2009. Mc Graw Hill co. p. 145-173
11. Ahmed S, Leurent B, Sampson EL. Risk factors for incident delirium among older
people in acute hospital medical units : a systematic review and meta-analysis. Age
and Ageing 2014;43:326-33
12. Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults : diagnosis, prevention
and treatment. Nat Rev Neurol 2009;5(4): 210-20
13. Inouye SK, Westerndorp RG, Saczynski JS. Delirium in elderly people. Lancet 2014
;383: 911-22
14. Inouye SK, van Dyck CH, Alessi CA, Balkin S, Siegal AP, Horwitz RI. Clarifying
confusion: the confusion assessment method. A new method for detection of
delirium. Ann Intern Med. 1990;113:941-948
15. Swan JT. Decreasing inappropriate unable-to-assess ratings for the confusion
assessment method for the Intensive Care Unit. Am J Crit Care 2014;23:60-68
16. Confussion Assessment Methode for the ICU. Complete training manual. 2014.
http://www.icudelirium.org/docs/CAM_ICU_training.pdf . Diunduh 9 Oktober
2018

452 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Delirium pada Usia Lanjut di Instalasi Gawat Darurat

17. Oh ES, Fong TG, Hshieh TT, Inouye SK. Delirium in older persons: advances in
diagnosis and treatment. JAMA 2017;318:1161-74
18. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly : a review. Oman Medical
Journal 2008; 23(3):150-7
19. Siddiqi N, House AO, Holmes JD. Occurrence and outcome delirium in medical in-
patients : a systematic literature review. Age Ageing 2006;35:350-64
20. Mattoo SK, Grover S, Gupta N. Delirium in general practice. Indian J Med Res
2010;131:387-98
21. Lewis LM, Miller DK, Morley JE, et al. Unrecognized delirium in ED geriatric patients.
Am J Emerg Med 1995;13(2):142–5.
22. Kakuma R, du Fort GG, Arsenault L, et al. Delirium in older emergency department
patients discharged home: effect on survival. J Am Geriatr Soc 2003;51(4): 443–50.
23. Han JH, Cutler N, Zimmerman E, et al. Delirium in the emergency department is
associated with six month mortality [abstract]. Acad Emerg Med 2009;16(S1):
S214.
24. Vida S, Galbaud du Fort G, Kakuma R, et al. An 18-month prospective cohort study
of functional outcome of delirium in elderly patients: activities of daily living. Int
Psychogeriatr 2006;18(4):681–700.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 453


Dasar Terapi Relaksasi
pada Gangguan Psikosomatik
Rudi Putranto
Divisi Psikosomatik dan Paliatif, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
1. Terapi Komplemen, Alternatif dan Tradisional
Terapi komplemen/alternatif (Complementary and alternative Medicine
/ CAM) atau tradisional telah digunakan luas oleh masyarakat pada
berbagai penyakit dengan tujuan pencegahan dan pengobatan. Survey
yang dilakukan oleh Astin dkk diketahui bahwa pendidikan tinggi,
status kesehatan buruk, orientasi holistik, dan spiritual yang kuat
menjadi prediktor penggunaan terapi CAM di Amerika Serikat. Terapi
CAM digunakan pada masalah nyeri muskuloskeletal, ansietas, depresi,
insomnia, nyeri konis dan adiksi.1. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa terapi tersebut bermanfaat pada kesehatan mental, pencegahan
penyakit, pengobatan penyakit tidak menular dan memperbaiki kualitas
hidup pasien dengan penyakit kronis termasuk pada populasi usia lanjut.
Meskipun memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan kesehatan
masih diperlukan uji klinis, evaluasi dan penelitian lanjut.2

Menurut National Committee Complementary Alternative Medicine di


Amerika Serikat, dibagi atas lima area, yaitu:
1. Alternative medicine seperti Chinese medicine dan Ayurveda.
2. Mind–body therapies seperti terapi relaksasi, hypnosis.
3. Biological-based systems seperti herbal medicine, dikenal sebagai
phytomedicine , seperti jamu.
4. Manipulative and body therapies seperti pijat dan chiropractic.
5. Energy therapies, seperti reiki.3

2. Peran Dokter Spesialis Penyakit Dalam terhadap Terapi komplementer


dan alternatif
Banyak pasien menggunakan terapi CAM sesuai budaya yang
dipahaminya, sehingga internists harus memahami dasar pemahaman
praktek tersebut.

454 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Dasar Terapi Relaksasi pada Gangguan Psikosomatik

Saat ini sudah banyak penelitian untuk mengevaluasi efektifitas dan


keamanan terapi CAM, sehingga internists harus memiliki pengetahuan
yang cukup tentang CAM dan memberikan saran dan rekomendasi yang
kredibel sehingga pasien percaya. Hal ini akan meningkatkan hubungan
dokter-pasien.

Beberapa terapi CAM dapat berpotensi buruk bila bersamaan dengan


terapi konvensional, sehingga internists harus memiliki pengetahuan
yang cukup sehingga dapat melindungi pasien akibat potensi efek
samping tersebut.

Meningkatnya tekanan pasar, keuangan terbatasnya jaminan mutu, maka


internists dapat membantu pasien dalam memilih terapi yang terbaik.

Sering pasien menyampaikan bahwa terapi CAM bermanfaat, sehingga


internist harus bijak dan terbuka untuk berdiskusi dengan pasien

Internists dapat membantu memilihkan terapi CAM yang sesuai dengan


kondisi pasien termasuk yang aman dan miliki bukti ilmiah yang baik.4

Terapi Relaksasi
Terapi relaksasi adalah salah satu jenis CAM. Terapi relaksasi bertujuan
untuk merilekskan ketegangan otot sehingga dapat mengurangi nyeri
(Brunner dan Suddarth, 2002).  Metode ini juga efektif pada pasien yang
mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan
konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan
otot, yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot (McCaffery,
1998). Terapi relaksasi yang baik dapat mengurangi ketegangan otot, rasa
jenuh dan kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulus nyeri.5

1. Mekanisme Kerja Teknik Relaksasi


Mekanisme yang mendasari terapi relaksasi melalui respons kontrol
aksis hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA), sympatho-adreno-
medullary (SAM), yang meninduksi perubahan signal molekul dan
hormonal, seperti pada gambar 1.6 Penelitian lain menunjukkan bahwa
terapi relaksasi mempengaruhi jalur downregulation dari nuclear factor
kappa B sehingga terjadi penurunan inflamasi.7 Terapi relaksasi akan
menurunkan aktifitas simpatik, produksi ACTH, epinefrin, Norepinefrin,
kortisol dan Nitrit oksida sehingga denyut jantung, tekanan darah,

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 455


Rudi Putranto

konsumsi oksigen dan inflamasi menurun.

Gambar 1. Respon relaksasi


(Sumber: Dusek JA, Benson. Minn Med. 2009 May ; 92(5): 47–50.)

2. Jenis-jenis Teknik Relaksasi


Relaksasi ada beberapa macam. Miltenberger (2004) mengemukakan
4 macam relaksasi, yaitu relaksasi otot (progressive muscle relaxation)
pernafasan (diaphragmatic breathing) meditasi (attention-focussing
exercises) dan relaksasi perilaku (behavioral relaxation training)
1. Autogenic relaxation
Autogenic relaxation merupakan jenis relaksasi yang diciptakan
sendiri oleh individu bersangkutan. Cara seperti ini dilakukan
dengan menggabungkan imajinasi visual dan kewaspadaan tubuh
dalam menghadapi stres. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara;
a. Memberikan sugesti sendiri dengan kata-kata tertentu yang
dapat memberikan ketenangan.
b. Mengatur pernafasan dan rileks (memberikan rasa nyaman)
pada tubuh.
c. Membayangkan sesuatu atau tempat-tempat yang indah dan
tenang secara fokus dan terkontrol sambil merasakan sensasi
berbeda yang muncul dalam pikiran.
d. Tangan saling melipat pada masing lengan yang berlawanan.

456 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Dasar Terapi Relaksasi pada Gangguan Psikosomatik

2. Muscle relaxation
Teknik ini bertujuan untuk memberikan rasa nyaman pada otot-otot.
Ketika terjadi stress otot-otot pada beberapa bagian tubuh menjadi
menegang seperti otot leher, punggung, lengan. Teknik dilakukan
dengan cara merasakan perubahan dan sensasi pada otot bagian
tubuh tersebut. Teknik dapat dilakukan dengan; meletakan kepala
diantara kedua lutut (kira-kira selama 5 detik) dan merebahkan
badan ke belakang secara perlahan selama 30 detik.
3. Visualisasi
Teknik ini merupakan bentuk kemampuan mental untuk
berimajinasi seperti melakukan perjalanan ke suatu tempat yang
yang damai, atau situasi yang tenang. Teknik visualisasi seolah-olah
menggunakan beberapa indera secara bersamaan.

Manfaat Teknik Relaksasi


Menurut Ikemi terapi relaksasi seperti self regulation methods (SRM)
bermanfaat pada berbagai kondisi gangguan psikosomatik seperti tabel di
bawah ini.8

Tabel 1. Kondisi/Penyakit yang berpotensi membaik dengan Terapi Relaksasi

(Sumber: Ikemi A. Psychiter.Psychosom.1986;46: 184-195)

Kontra Indikasi dan Efek Samping Terapi Relaksasi


Beberapa kondisi yang tidak dianjurkan terapi relaksasi yaitu pada
kondis asma dengan obstruksi jalan nafas dan ulkus peptik yang disertai

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 457


Rudi Putranto

perdarahan.9 Terapi relaksasi dapat menginduksi ansietas. Edukasi yang baik


dan menenangkan pasien dapat mengurangi efek samping tersebut.9

Penutup
Sebagai dokter perlu memiliki pengetahuan tentang terapi
komplementer/Alternatif yang terbukti bermanfaat bagi pasien sehingga
dapat merekomendasikan pilihan CAM yang sesuai bagi pasien. Terapi
relaksasi diketahui terbukti bermanfaat pada gangguan psikosomatik.

Daftar Pustaka
1. Astin JA. Why Patients Use Alternative Medicine Results of a National Study. JAMA.
1998;279(19):1–6.
2. WHO. Legal Status of Traditional Medicine and Complementary/Alternative
Medicine : A Worldwide Review. 2001;
3. Wieland LS, Manheimer E, Berman BM. Development and classification of an
operational definition of complementary and alternative medicine for the Cochrane
Collaboration. Altern Ther Heal Med. 2011;17(2):50–9.
4. Society General Internal Medicine. Position Statement on CAM Education SGIM
CAM Interest Group. 2008;(5):1–10.
5. Blumenthal JA. Relaxation Therapy, Biofeedback, and Behavioral Medicine.
Psychotherapy. 1985;22(3):516–30.
6. Dusek JA, Benson H. Mind-Body Medicine: A Model of the Comparative Clinical
Impact of the Acute Stress and Relaxation Responses. Minn Med. 2009;92(5):47–
50.
7. Buric I. What Is the Molecular Signature of Mind–Body Interventions? A Systematic
Review of Gene Expression Changes Induced by Meditation and Related Practices.
Front Immunol. 2017;8(June):1–17.
8. Ikemi A, M K, Hayashida Y, Y I. Self-regulation method: psychological, physiological
and clinical considerations. An overview. PsychiterPsychosom. 1986;46:184–95.
9. Lazarus AA, Tracy J. Relaxation: some limitations , side effects , and proposoed
solutions. Psychotherapy. 1990;27(2):261–6.

458 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Relaksasi Gangguan Psikosomatis
pada Kasus-Kasus Penyakit Kronis:
Fokus pada Latihan Pasrah Diri (LPD)
Agus Siswanto1, Deddy Nur Wachid A.2, Rico Novyanto3, Yohana Sahara3,
H.A.H. Asdie1
1
Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK-KMK Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Divisi Rheumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK-KMK Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2

3
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK-KMK Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Latihan Pasrah Diri dan Pelaksanaannya


Complimentary Alternative Medicine (CAM) dikelompokkan menjadi
5 kategori utama : 1) Sistem medis alternative seperti Traditional Chinese
Medicine (TCM) dan Ayurveda, 2) Mind and body theraphy, 3) Sistem berbasis
biologic seperti terapi herbal (phytomedicine), 4) Manipulative and body
theraphy seperti pijat dan chiropraktik, dan 5) Terapi energy1. Pada seluruh
bidang CAM, hanya ada sedikit penelitian, biasanya kecil dengan hasil yang
seringkali tidak konsisten dalam menunjukkan efikasi dan resiko-resiko dari
bentuk terapi tersebut2.

Latihan pasrah diri (LPD) adalah CAM berbentuk mind and body
theraphy yang telah dikembangkan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada dan telah menjadi salah satu layanan di klinik Psikosomatik, poliklinik
penyakit dalam RSUP. DR. Sardjito Yogyakarta. Latihan ini merupakan
kombinasi antara relaksasi, repetitive prayer (zikir), guided imagery, dan
latihan pernafasan. Pada dasarnya, LPD akan membangkitkan respon relaksasi
yang berujung pada penurunan respons stress dan depresi2. Jalur reduksi
stres dan penurunan respon inflamasi / peradangan, dan perbaikan simtom
depresi (pada pasien yang menderita depresi) tampaknya merupakan jalur
yang memperantarai efek LPD terhadap berbagai kondisi seperti perbaikan
tekanan darah5, perbaikan kontrol glikemik4, perbaikan gangguan tidur/
insomnia6, perbaikan gejala pada pasien dengan sistemik lupus eritematosus
(SLE)7, perbaikan fungsi paru pada penderita penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK)8, serta perbaikan kulaitas hidup serta reduksi simtom depresi pada
penderita berbagai penyakit kronik seperti diabetes mellitus (DM)9, gagal
ginjal kronik (GGK)10, penyandang HIV Human immunodeficiency virus)/AIDS
(Acquired immune deficiency syndrome)11 dan keganasan12.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 459


Agus Siswanto, Deddy Nur Wachid A., Rico Novyanto, Yohana Sahara, H.A.H. Asdie

Latihan pasrah diri juga memasukkan komponen religius dalam bentuk


repetitive prayer (zikir) sehingga pada umumnya akan lebih diterima oleh
masyarakat Indonesia, dimana religiusitasnya masih cukup kuat, khususnya
pada pasien dengan Agama Islam, dan dengan modifikasi untuk pasien
dengan agama lain. Latihan ini dikerjakan dengan bantuan instruktur untuk
membantu pasien membayangkan sesuatu, bebauan, dan perasaan bahagia.
Latihan nafas selama LDP mencakup menarik nafas dengan pelan lewat
hidung, menahannya untuk waktu tertentu dan mengeluarkannya perlahan
lewat mulut disertai membayangkan hal-hal diatas dan hilangnya penyakit.
Komponen guided imagery dan latihan pernafasan akan membantu pasien
untuk masuk kedalam kondisi relaksasi. Proses menarik, menahan dan
mengeluarkan nafas akan berakibat pada terjadinya peningkatan tekanan
parsial CO2 di dalam darah untuk sementara waktu, memeberikan efek
vasodilatasi pada sirkulasi darah di otak dan menimbulkan relaksasi. Seluruh
proses ini berlangsung selama 15-20 menit (21 siklus), dilakukan 2 kali sehari
selama 3 minggu untuk mencapai hasil yang diharapkan2,4.

Latihan pasrah diri (LPD) juga diketahui memiliki sejumlah potensi


efek samping pada fase-fase awal dilakukannya latihan seperti cemas, sesak,
palpitasi, nyeri, dan peningkatan tekanan darah yang kemudian menghilang
setelah beberapa sesi LPD, diduga akibat kesalahan teknik LPD yang dilakukan
oleh pasien 3.

Berikut adalah cara LPD dilakukan 2,4:


1. Edukasi pada pasien mengapa LPD perlu dilakukan dan tujuannya
2. Pasien harus berniat untuk melakukan LPD
3. Berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Sebagai contoh jika beragama
Islam maka pasien diminta berzikir : 1) Ta’awudz, 2) Basmallah, 3)
Hamdallah, 4) Syahadat, 5) Shalawat
4. Menarik nafas secara perlahan dan dalam melalui hidung dengan mata
dan mulut tertutup, untuk mengumpulkan energy, sembari berzikir
dalam hati, membayangkan energy positif masuk ke dalam tubuh seiring
masuknya nafas. Zikir dilakukan dalam hati karena jika sembari bicara
maka akan sulit mengatur nafas
5. Setelah menarik nafas maksimal, tahan nafas dalam perut dengan
ditekan dan perut digembungkan. Tetap berzikir dalam hati. Bayangkan
energi positif yang tadi masuk menyebar ke seluruh tubuh. Tahan nafas

460 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Relaksasi Gangguan Psikosomatis pada Kasus-Kasus Penyakit Kronis: Fokus pada Latihan Pasrah Diri (LPD)

semampunya, tetapi jika bisa, setidaknya 10-20 detik. Semakin lama


menahan nafas, semakin baik karena meningkatkan tekanan CO2 dalam
darah yang selanjutnya menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah.
6. Keluarkan nafas secara perlahan lewat mulut. Bayangkan seluruh racun
tubuh, penyakit, segala kesedihan, depresi, rasa cemas, kemarahan,
kekecewaaan, dan sebagainya ikut keluar bersama keluarnya nafas.
Tetap lakukan zikir dalam hati selama proses ini .
7. Berhenti / istirahat sekitar 2-5 detik, lakukan kembali langkah 4-6 hingga
setidaknya 21 siklus pernafasan. Akhiri sesi latihan dengan berdoa, untuk
Muslim, dapat ditutup dengan membaca Hamdallah.

Hasil-Hasil Penelitian LPD dan Pembahasannya


Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa LPD dapat menurunkan
respon stress dan mencetuskan respon relaksasi. Suatu Randomized controlled
trial (RCT) yang melibatkan 44 orang di tahun 2018-2019, menunjukkan
adanya perbaikan Percieved stress score (PSS) pada kelompok perlakuan
LPD dibandingkan dengan kontrol (∆PSS -5,09 vs -4,64; p=0,65). Meskipun
secara statistik tidak bermakna, secara klinis mungkin bermakna, terlebih
dengan melihat bahwa rerata skor PSS awal pada kelompok kontrol adalah
15 (average stress) dan pada kelompok perlakuan 17 (high stress) yang
mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian4,14. Efek LPD terhadap respon
relaksasi ditunjukkan oleh studi single blind-RCT pada tahun 2005, ditemukan
penurunan heart rate (HR) dan tekanan darah sebagai penanda munculnya
respon relaksasi yang bermakna secara statistik pada kelompok perlakuan
dibandingkan kontrol yang dilakukan pada populasi DM tipe 2 dengan depresi
: penurunan HR dibandingkan kelompok kontrol sebesar -3,33 ± 10,58
(p=0,001), penurunan Tekanan darah sistolik -5,07±19,49 (p=0,001) dan
tekanan darah diastolik -4,09 ± 14,77 (p=0,001)5. Studi single-blind RCT lain
pada tahun 2008 yang dilakukan pada 36 subjek dengan DM tipe 2 dengan
depresi menunjukkan penurunan HR secara bermakna pada kelompok LPD
(-6x/menit; p=0,001)9.

Sejumlah studi telah menunjukkan efek LPD terhadap perbaikan simtom


depresi pada pasien-pasien dengan penyakit kronik. Widorini dkk. Pada tahun
2013 melalui suatu penelitian kuasi eksperimental pada populasi dengan HIV
menunjukkan bahwa LPD dapat memperbaiki skor Beck depression inventory
(BDI) dari rerata 19±9,09 menjadi 13,61 ± 8,37 (p = 0,003)6. Penelitian lain
mengenai efek LPD terhadap gejala depresi pada pasien HIV menunjukkan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 461


Agus Siswanto, Deddy Nur Wachid A., Rico Novyanto, Yohana Sahara, H.A.H. Asdie

bahwa LPD dapat mengurangi simtom depresi lebih besar dibandingkan


kelompok kontrol, berdasarkan skor Zung Self-rating scale (∆skor -7,2 vs -3,3;
p=0,003)15. Efek LPD terhadap perbaikan simtom depresi pada populasi DM
tipe 2 dengan hipertensi dan depresi ditunjukkan oleh suatu single blind-RCT
pada tahun 2005, ditemukan penurunan skor BDI lebih besar dibandingkan
perubahan skor pada kelompok kontrol (-2,31 ± 9,41 ; p = 0,002)5. Hidayat
dkk. pada tahun 2008 menunjukkan bahwa LPD menurunkan skor BDI dari
rerata 16 menjadi 9 paska 21hari LPD pada populasi DM tipe 2 dengan
depresi (p=0,01)9. Studi efek LPD terhadap gejala depresi pada pasien juga
ditunjukkan oleh suatu RCT terhadap 36 pasien gagal ginjal kronik (GGK)
yang menjalani hemodialysis (HD) rutin, dimana ditemukan penurunan
skor BDI yang lebih besar pada perlakuan dibandingkan kelompok kontrol
(-8 vs -4,67; p = 0,001)10. Penurunan skor BDI yang bermakna juga tampak
pada populasi PPOK dengan depresi yang diberikan perlakuan LPD 2x/hari
selama 21 hari dengan metode quasi experimental (p= 0,012; CI 95%: -0,69 –
(-4,53))8,16. Pengaruh LPD terhadap gejala depresi pada pasien dengan lupus
eritematosus sistemik (SLE) ditunjukkan pada suati RCT terhadap 67 orang
penderita dimana LPD selama 4 minggu menurunkan skor BDI lebih besar
dibandingkan kontrol, (∆BDI -4,09±4,83 vs -2,88 ±5,33; p = 0,214)7. Pada RCT
terhadap pasien dengan kanker payudara stadium I-III (n = 54) ditemukan
bahwa LPD dapat menurunkan skor BDI lebih besar dibandingkan kelompok
kontrol yang mengalami peningkatan skor BDI pada akhir perlakuan (-1,2
vs + 0,59; p = 0,146)12. Pada dua penelitian diatas, meskipun secara statistik
tidak bermakna, tetapi penurunan sebesar itu secara klinis dapat bermakna.

Latihan pasrah diri, melalui perbaikan terhadap simtom stres dan


depresi serta pengaruhnya pada aksis hipotalamus-pituitari pada akhirnya
dihipotesiskan akan menurunkan derajat inflamasi. Hal ini didukung oleh
sejumlah penelitian yang memperlihatkan bahwa LPD dapat menurunkan
kadar berbagai penanda inflamasi pada berbagai penyakit kronis yang
diketahui merupakan suatu kondisi dengan inflamasi derajat rendah. Suatu
penelitian open, prospective, single blinded, RCT (n = 28) yang meneliti
pengaruh kombinasi LPD dan fluoksetin vs fluoksetin tunggal terhadap kadar
interleukin-6 (IL-6) pada pasien DM tipe 2 dengan depresi menunjukkan
bahwa pada kelompok LPD dan fluoksetin terjadi penurunan kadar IL6 dan
sebaliknya pada yang mendapatkan fluoksetin tunggal terjadi peningkatan
kadar IL-6 yang bermakna secara statistik (∆IL6 -13,85 vs +45,37; p =
0,001) 17. Penelitian serupa terhadap kadar Tumor necrosis factor-α (TNF-α)
menunjukkan penurunan kadar TNF-α pada kelompok yang mendapatkan

462 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Relaksasi Gangguan Psikosomatis pada Kasus-Kasus Penyakit Kronis: Fokus pada Latihan Pasrah Diri (LPD)

fluoksetin dan LPD, lebih besar dibandingkan yang hanya fluoksetin saja
(∆TNFα -0,217±0,561 vs +0,176±0,961; p = 0,185) 18. Mean platelet volume
(MPV) dapat menjadi indikator peningkatan aktivitas platelet yang akan
meningkat pada kondisi inflamasi. Penelitian single blind RCT yang dilakukan
oleh Kusnadi dkk. tahun 2017 (n = 55) mengenai pengaruh LPD terhadap MPV
pada pasien geriatri dengan gejala depresi menunjukkan bahwa nilai MPV
pada kelompok perlakuan mengalami penurunan lebih besar dibandingkan
kontrol (∆MPV -0,78±0,48 vs -0,03±0,23; p<0,01)19. Rudiansyah dkk. Pada
tahun 2008 melalui suatu RCT (n = 44) menunjukkan bahwa LPD dapat
menurunkan kadar high sensitive-C Reactive Protein (hs-CRP) pada pasien
dengan DM tipe 2 dengan depresi lebih besar dibandingkan kontrol (∆hsCRP
-0,14±0,27 vs -0,1±0,85; p=0,343; CI 95% -0,34 – 0,42), hal ini seiring dengan
penurunan skor BDI yang lebih besar pada kelompok LPD (∆BDI -7,09±6,36
vs -2,24±5,34; p=0,01; CI 95% 1,23 – 8,48). Meskipun penurunan hsCRP
dan TNFα tidak bermakna secara statistik tetapi data terhadap kadar IL-6
bermakna, secara konsisten penelitian-penelitian diatas menunjukkan bahwa
LPD dapat menurunkan derajat inflamasi pada pasien dengan penyakit kronis
disertai penurunan skor BDI pada populasi yang mendapatkan terapi LPD20.

Salah satu dampak dari adanya penyakit kronis adalah terjadinya depresi
yang kemudian menyebabkan gangguan serta buruknya kualitas tidur yang
kemudian akan semakin memperberat depresi yang dialami. Selain itu, 40-
60% pasien dengan depresi mengalami gangguan pada hipotalamus-pituitari-
adrenal (HPA) aksis, menimbulkan gangguan dalam pola diurnal pelepasan
kortisol. Berbekal dasar bahwa LPD dipandang dapat mengurangi derajat
stres, mengurangi simtom depresi dan inflamasi, maka LPD mungkin dapat
bermanfaat dalam membantu mengatasi gangguan tidur pada pasien-pasien
dengan penyakit kronis. Suatu penelitian quasi eksperimental terhadap 18
pasien dengan HIV, depresi, dan penurunan kualitas hidup menunjukkan
bahwa LPD selama 21 hari dapat memperbaiki kualitas tidur berdasarkan
skor Pittsburgh sleep quality index (PSQI) (∆PSQI 8,78±2,36 vs 5,11±2,92;
p < 0,001) disertai penurunan skor BDI (∆BDI 19,83±9,09 vs 13,61±8,37;
p=0,003)6. Penelitian lain berupa RCT (n = 36) pada populasi pasien dengan
GGK yang menjalani HD rutin menunjukkan perbaikan skor PSQI lebih besar
pada kelompok dengan LPD dibandingkan kontrol (∆PSQI -2,94±3,47 vs
-0,61±2,5; p=0,027, CI95% -4,38 – (-0,28))21. Suastawa dkk. pada tahun 2013
melakukan suatu penelitian quasi eksperimental mengenai pengaruh LPD
terhadap kualitas tidur pasien PPOK dengan depresi, ditemukan bahwa LPD

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 463


Agus Siswanto, Deddy Nur Wachid A., Rico Novyanto, Yohana Sahara, H.A.H. Asdie

mampu menurunkan skor BDI dan skor PSQI yang bermakna secara statistik
(∆PSQI pre-post 9,78±2,35 vs 5,07±2,75; p < 0,001)22.

Perlakuan LPD terhadap pasien PPOK dengan depresi bukan saja dapat
menurunkan gejala depresi (diukur dengan skor BDI), tetapi juga dapat
memperbaiki fungsi paru pasien sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian
quasi eksperimental (n=17) pada tahun 2013 dimana paska perlakuan LPD
2 kali sehari selama 21 hari mampu memperbaiki forced expiration volume1
(FEV1) (pre-post: 51,1%±16,41% vs 78,4%±25,89%; p=0,001) dan forced
vital capacity (FVC) (pre-post: 47,9%±17,34 % vs 75,7% vs 23,04%; p<0,001).
Perbaikan gejala depresi, meningkatnya kepatuhan berobat sekunder karena
perbaikan depresi serta respon stres, penurunan derajat inflamasi, dan
perbaikan HPA aksis mungkin merupakan penjelasan mengapa LPD dapat
memperbaiki FEV1 dan FVC pada pasien PPOK dengan depresi8.

Latihan pasrah diri telah diteliti pada pasien-pasien dengan HIV dengan
depresi. Selain dapat mengurangi simtom depresi sebagaimana telah
didiskusikan diatas, Hidayah dkk. Pada 2014 menunjukkan bahwa LPD dapat
memperbaiki skor BDI (∆BDI -3,4±5,4 vs -0,5±1,86; p = 0,007) dan CD4%
(∆CD4% 2±6,5 vs -1,87±5,8; p=0,014) pada penderita HIV dengan depresi23.
Kondisi ini terjadi karena CD4% dapat menurun akibat stress psikologis
melalui jalur HPA dan SAM (simpato-adrenal-medula) aksis, sehingga reduksi
stress dan depresi dapat membantu memperbaiki CD4% pada populasi pasien
tersebut.

Selain itu, LPD juga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dengan
penyakit kronik. Penelitian pada populasi pasien dengan HIV dan depresi
yang diukur dengan skor world health organization quality of life-brief version
(WHOQOL-BREF) menunjukkan perbaikan QOL pada domain sosial (p=0,006),
lingkungan (p=0,002), dan psikologik (p=0,027) dibandingkan dengan kontrol
yang tidak mendapatkan LPD11. Perbaikan QOL (diukur dengan kidnyey disease
quality of life-short form (KDQOL-SF)) tampak pada pasien GGK yang menjalani
HD rutin. Pada pasien yang mendapatkan LPD, terjadi perbaikan skor KDQOL-
SF pada domain sleep (50,97±18,98 vs 59,26±27,72; p=0,000), social support
(79,63±19,43 vs 85,18±16,05; p=0,001), overall health (53,53±15,39 vs
73,89±16,85; p=0,005),physical functioning (41,39±21,2 vs 50,28±19,89;
p=0,007), dan general health (41,39±21,34 vs 53,88±16,05; p=0,018). Pada
analisis terdadap ∆ KDQOL-SF maka kemaknaan hanya terjadi pada domain
sleep dan overall health10.

464 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Relaksasi Gangguan Psikosomatis pada Kasus-Kasus Penyakit Kronis: Fokus pada Latihan Pasrah Diri (LPD)

Penelitaian LPD terhadap status nutrisi pasien geriatri dengan depresi


(n=48) menunjukkan bahwa LPD dapat meningkatkan skor mini nutritional
assessment (MNA) lebih besar dibandingkan kontrol (∆MNA 2,2±2,376 vs
0,375±2,22; p=0,008). Hasil ini diduga terjadi karena LPD dapat membantu
regulasi HPA aksis dan menurunkan aktifitas simpatoadrenal yang berujung
pada stabilisasi mood dan gejala depresi dan memperbaiki asupan makanan
pada pasien24.

Beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk melihat apakah LPD dapat
membantu dalam kontrol glikemik pada penderita DM tipe 2 ? Mekanisme
yang mendasari belum sepenuhnya dipahami, tetapi diduga terjadi melalui
jalur reduksi stres, regulasi HPA aksis, reduksi aktifitas sistem simpatoadrenal
dan perbaikan resistensi insulin. Suatu penelitian quasi eksperimental pada
2018 terhadap pasien DM tipe 2 tanpa depresi menunjukkan bahwa LPD
2x sehari selama 8 minggu dapat menurunkan tingkat stress yang diukur
dengan skor PSS (pre-post : 15,36±3,12 vs 10,27±6,49 [-5,09]; p=0,001,
CI95% 2,22 – 7,95) dan kadar HbA1C (pre-post : 9,19±1,71 vs 8,8±1,8 [-0,39];
p = 0,049, CI95% 0,001-0,78) yang keduanya bermakna secara klinis maupun
statistik25. Studi single-blind RCT yang dilakukan oleh Siswanto dkk. Pada
2018 (n = 44) terhadap pasien dengan DM tipe 2 tanpa depresi menunjukkan
kelompok LPD memberikan mengalami reduksi stress (∆PSS -5,09±6,47
vs -4,64±5,21 [-0,45]; p=0,655), perbaikan resistensi insulin yang diukur
dengan homeostatic model assessment-insulin resistance (HOMA-IR) (∆HOMA-
IR -0,39±1,52 vs +0,25±2,6 [-0,64]; p=0,976) dan perbaikan HbA1C (∆HbA1C
-0,55±0,85% vs -0,13±0,82% [-0,42]; p=0,189)4. Perbaikan resistensi insulin
(HOMA-IR) dan penurunan skor PSS meskipun tidak signifikan secara statistik,
hasil ini penting karena menunjukkan kemaknaan klinis karena mendukung
teori bahwa efek LPD terhadap kontrol glikemik terjadi melalui perantaraan
reduksi stress dan regulasi HPA serta simpatoadrenal aksis yang berakibat
pada perbaikan resistensi insulin dan kontrol glikemik pasien. Pada akhirnya
kecilnya jumlah sampel dan kurangnya power pada penelitian tersebut
mungkin menjadi penyebab tidak signifikannya hasil tersebut secara statistik.
Pada studi terakhir, terdapat reduksi HbA1C sebesar -0,55% pada kelompok
perlakuan, dimana penurunan sebesar itu hampir setara dengan penurunan
HbA1C oleh agen-agen anti diabetik oral seperti alpha glucosidase inhibitor
(-0,5 sampai -0,8%), dipeptidyly peptidase-4 (DPP-4) inhibitor (-0,5%), dan
glucagon-like peptide-1 (GLP-1) agonist (-0,5%). Hubungan antara HbA1C
dengan komplikasi terkait diabetes sendiri telah diketahui dengan jelas dan
berhubungan secara linear sebagaimana ditunjukkan oleh studi UKPDS (UK

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 465


Agus Siswanto, Deddy Nur Wachid A., Rico Novyanto, Yohana Sahara, H.A.H. Asdie

Prospective Diabetes Study) dimana dari studi tersebut diketahui bahwa


penurunan HbA1C sebesar 1% berhubungan dengan penurunan mortalitas
terkait diabetes sebesar 21%, infark miokard sebesar 14% dan komplikasi
mikrovaskuler sebesar 37%4,26,27.

Suatu RCT mengenai pengaruh LPD terhadap pasien-pasien dengan


SLE (n=68) dilakukan pada tahun 2018. Berbagai hasil penelitan terdahulu
yang menunjukkan efek LDP terhadap reduksi stres dan depresi,penurunan
inflamasi, dan perbaikan kualitas hidup pada beberapa penyakit kronik
membuatnya menjadi suatu modalitas yang mungkin dapat diterapkan pada
pasien dengan SLE. Pada penelitian tersebut LPD dapat menurunkan tingkat
kelelahan yang diukur dengan skor FSS (∆FSS -6,277±12,68 vs -3,81±12,71;
p=0,532), skor BDI (∆BDI -3,97±9,13 vs -3,35±7,80; p=0,969), skor systemic
lupus erythematosus disease activity index (SLEDAI) (∆SLEDAI -1,12 ±7,77 vs
+2,39±9,04; p=0,171), anti dsDNA (∆ds-DNA -9,26 ±36,41 vs +19,30±133,05;
p=0,791), IL-6 (∆IL6 18,44±26,76 vs 22,73±32,53; p=0,968), dan IL 10 (∆IL10
1,09±30,91 vs 1,57±35,02; p=0,343) lebih besar dibandingkan kelompok
kontrol7. Meskipun secara statistik tidak bermakna, dengan melihat bahwa
penurunan skor SLEDAI pada pasien dengan LPD mencapai selisih -3,51 maka
secara klinis perubahan tersebut cukup bermakna. Penurunan itu disertai
perbaikan skor FSS dan BDI serta peningkatan penanda inflamasi yang lebih
kecil dibandingkan kelompok kontrol.

Kesimpulan
Latihan Pasrah Diri merupakan suatu modalitas terapi non farmakologik
yang mudah dilakukan pada pasien-pasien dengan penyakit kronik seperti
DM tipe 2, GGK, PPOK, SLE dan HIV/AIDS. Sejumlah penelitian menunjukkan
manfaat LPD untuk reduksi tingkat stres, mengurangi simtom depresi,
menurunkan penanda peradangan, memperbaiki kualitas tidur dan
meningkatkan QOL pada berbagai populasi pasien dengan penyakit kronik.
Latihan ini juga mampu memperbaiki fungsi paru-paru pada pasien PPOK,
membantu kontrol glikemik pada penderita DM tipe 2, memperbaiki status
nutrisi pada pasien geriatrik dan mungkin membantu dalam pengelolaan SLE.
Sejumlah penelitian meski memiliki kemaknaan klinis, tetapi gagal mencapai
kemaknaan statistik yang mungkin disebabkan karena kurangnya sampel dan
power penelitian. Pada akhirnya perlu dilakukan studi/ penelitian dengan
sampel dan power yang lebih besar untuk mengkonfirmasi temuan-temuan
tersebut diatas.

466 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Relaksasi Gangguan Psikosomatis pada Kasus-Kasus Penyakit Kronis: Fokus pada Latihan Pasrah Diri (LPD)

Daftar Pustaka
1. Pawa M. Complementary therapy use. In: Dunning T, editor.
Complementary therapies and the management of diabetes
and vascular disease. 1 ed. Cippenham, Wiltshire, Great
Britain: John Wiley & Sons Ltd; 2006. p. 24-5.
2. Siswanto. A., Siregar A.K., Asdie A.H. Treating depression in diabetic patients :
latihan pasrah diri (LPD) revisited. Acta interna Journal of Internal medicine. 2016.
6 (1): 43-55.
3. Dharma A.D. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kontrol gula darah pada
penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan gejala depresi [Thesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2006.
4. Siswanto. A., Juffrie M., Rianto B.U.D., Asdie A.H. The influence of latihan pasrah
diri on insulin resistance in individuals with diabetes mellitus type 2 without
depression [Disertation]. Yogyakarta : Gadjah Mada Universitiy. 2018.
5. Novianto. D. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kontrol tekanan darah
penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi gejala depresi [Thesis].
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2006.
6. Widorini N. Efek latihan pasrah diri pada perbaikan kualitas tidur : studi pada
penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2013.
7. Achadiono D.N.W.. Pengaruh Latihan Pasrah Diri Pada Pasien Lupus Eritematosus
Sistemik [Disertation]. Yogyakarta : Gadjah Mada Universitiy. 2018.
8. Richardo M., Siswanto A., Sumardi. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap
perbaikan fungsi paru penderita penyakit paru obstruktif kronik dengan gejala
depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2013.
9. Hidayat N. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas hidup pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 dengan gejala depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada. 2008.
10. Widyaningrum, Siswanto A, Djarwoto B.Effects of latihan pasrah diri in quality
of life in chronic kidney disease-dialysis patients with depression symptoms. Acta
interna Journal of Internal medicine. 2013. 3(2) : 16-23.
11. Novidasari. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas hidup pada penderita
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS). [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2012.
12. Novidasari. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas hidup pada penderita
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS). [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2012.
13. Pamungkas S.Y.E. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap perbaikan simtom depresi
pada pasien kanker payudara. [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
2011.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 467


Agus Siswanto, Deddy Nur Wachid A., Rico Novyanto, Yohana Sahara, H.A.H. Asdie

14. Tajudin R. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas tidur pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 tanpa depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada. 2019.
15. Hamra M.Y, Sumardi., Siswanto A., Sofia N.A. .Effects of latihan pasrah diri on the
improvement of depressive symptoms: a study on human immunodeficiency virus
(HIV)/acquired immune deficiency syndrome (AIDS) patients at RSUP Dr Sardjito
Yogyakarta. Acta interna Journal of Internal medicine. 2011. 1(1) : 26-30.
16. Nazara V.K. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap perbaikan gejala depresi pada
penderita penyakit paru obstruktif kronik [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada. 2012.
17. Androniko D. Pengaruh kombinasi latihan pasrah diri dan fluoksetin dibandingkan
dengan fluoksetin tunggal terhadap perubahan kadar interleukin-6 : studi pada
penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan simtom depresi [Thesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2016.
18. Tatag P. Pengaruh kombinasi latihan pasrah diri dan fluoksetin dibandingkan
dengan fluoksetin tunggal terhadap perubahan kadar tumor necrosis factor alpha
(TNF α): studi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan simtom depresi
[Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2016.
19. Kusnadi. Pengaruh latihan pasrah diri (LPD) terhadap mean platelet volume (MPV)
pada usia lanjut dengan simtom depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada. 2017.
20. Rudiansyah M. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kadar c-reactive protein pada
penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan gejala depresi. [Thesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2008.
21. Wuryanto. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kualitas tidur studi pada pasien
gagal ginjal kronis dengan simtom depresi yang menjalani hemodialysis rutin.
[Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2012.
22. Suastawa K.A. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap perbaikan kualitas tidur
penderita penyakit paru obstruktif kronik dengan gejala depresi. [Thesis].
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2013.
23. Hidayah F.N. Efek latihan pasrah diri jangka panjang pada perbaikan simtom
depresi dan CD4 : sebuah studi pada penderita human immunodeficiency virus/HIV.
[Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2014.
24. Ahmad Z. Pengaruh latihan pasrah diri terhadap status nutrisi usia lanjut dengan
simtom depresi [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2013.
25. Novyanto R., Siswanto A., Sofia N.A. Pengaruh latihan pasrah diri (LPD) terhadap
HbA1C pasien diabetes mellitus tipe II (DMT2) tanpa depresi. Dalam: Buku
Prosiding The 5th Scientific Meeting on Psychosomatic Medicine: integrated approach
in psychosomatic medicine. Editor : Putranto R., Shatri H., Mudjadid E., Adli M. 2018.

468 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Relaksasi Gangguan Psikosomatis pada Kasus-Kasus Penyakit Kronis: Fokus pada Latihan Pasrah Diri (LPD)

26. Arnold LW, Wang Z. The HbA1c and all-cause mortality relationship in patients
with type 2 diabetes is J-shaped: a meta-analysis of observational studies. The
review of diabetic studies : RDS. 2014;11(2):138-52.
27. Ray A, Walford GA, Mannstadt M. Diabetes. In: Sabatine MS, editor.Pocket Medicine:
The Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine. 4th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2011. p. 7-13.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 469


Diagnosis Osteoporosis
Rudy Hidayat
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya
massa tulang dan adanya perubahan mikro-arsitektur jaringan tulang yang
berakibat menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang,
sehingga tulang mudah patah. Osteoporosis merupakan penyakit metabolik
tulang yang tersering didapatkan, ditandai oleh densitas massa tulang
yang menurun sampai melewati ambang fraktur. Berbagai fraktur yang
berhubungan dengan osteoporosis adalah kompresi vertebral, fraktur colles
dan fraktur kolum femoris. Prevalensi fraktur kompresi vertebral adalah 20%
pada wanita Kaukasian pasca menopouse, sedangkan fraktur kolum femoris
meningkat secara bermakna pada wanita diatas 50 tahun atau laki-laki
diatas 60 tahun. Penyakit ini dijuluki sebagai Silent Epidemic Disease, karena
menyerang secara diam-diam, tanpa adanya tanda-tanda khusus, sampai
Pasien mengalami patah tulang.1-2

Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut penyebabnya,


yaitu: Osteoporosis Primer adalah osteoporosis yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit (proses alamiah), dan Osteoporosis sekunder bila disebabkan
oleh berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti infeksi tulang, tumor tulang,
pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas yang lama.1 Osteoporosis
primer dibagi 2, yaitu osteoporosis tipe I (dahulu disebut osteoporosis pasca
menopouse) dan osteoporosis tipe II (dahulu disebut osteoporosis senilis).2

Osteoporosis dapat dijumpai di seluruh dunia dan sampai saat ini


masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di
negara berkembang. Di Amerika Serikat, osteoporosis menyerang 20-
25 juta penduduk, 1 diantara 2-3 wanita post-menopouse dan lebih dari
50% penduduk diatas umur 75-80 tahun. Mengutip data dari WHO yang
menunjukkan bahwa di seluruh dunia ada sekitar 200 juta orang yang
menderita osteoporosis. Pada tahun 2050, diperkirakan angka patah tulang
punggul akan meningkat 2 kali lipat pada wanita dan 3 kali lipat pada pria.
Laporan WHO juga menunjukkan bahwa 50% patah tulang adalah patah
tulang paha atas yang dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup dan
470 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Diagnosis Osteoporosis

kematian. Dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara Afrika, densitas


tulang masyarakat Eropa dan Asia lebih rendah, sehingga mudah sekali
mengalami osteoporosis. Hasil penelitian white paper yang dilaksanakan
bersama Perhimpunan Osteoporosis Indonesia tahun 2007, melaporkan
bahwa proporsi penderita osteoporosis pada penduduk yang berusia diatas
50 tahun adalah 32,2% pada wanita dan 28,8% pada pria. Sedangkan data
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS, 2010) menunjukkan angka insiden
patah tulang paha atas akibat Osteoporosis adalah sekitar 200 dari 100.000
kasus pada usia 40 tahun.3 Meskipun osteoporosis biasanya dikaitkan dengan
wanita, penyakit ini juga didiagnosis pada pria, yang diperkirakan sekitar satu
dari lima orang Amerika yang menderita osteoporosis atau densitas tulang
yang rendah.4

Diagnosis Osteoporosis
Diagnosis osteoporosis ditegakkan manifestasi klinik yang muncul, atau
dengan pemeriksaan Bone Mass Densitometry (BMD). Sedangkan keputusan
memberikan terapi farmakologik, selain dengan penegakan diagnosis klinis
dan BMD, juga bisa berdasarkan skoring FRAX yang dikembangkan oleh WHO.
Secara klinis, osteoporosis adalah “silent disease”, yang seringkali tidak disertai
dengan gejala klinis yang menonjol sampai terjadinya fraktur osteoporosis.
Beberapa gejala klinis yang dapat ditemukan dan dapat dicurigai sebagai
manifestasi osteoporosis, antara lain2 :
- Nyeri tulang belakang (tipe mekanik), dengan atau tanpa keterlibatan
saraf
- Spasme otot paravertebral
- Kifosis dorsal atau gibbus (Dowager’s hump)
- Penurunan tinggi badan > 4 cm
- Fraktur osteoporosis (trauma minimal)

FRAX adalah skoring terhadap risiko osteoporosis dan fraktur


osteoporosis, yang sekaligus dapat dibuat sebagai dasar memulai terapi.
Terdapat 12 item pertanyaan berbagai faktor risiko osteoporosis yang
dimasukkan dalam skoring ini antara lain : usia, sex, tinggi badan, berat
badan, riwayat fraktur, riwayat fraktur femur orang tua, perokok, konsumsi
glukokkortikoid, artritis rheumatoid, osteoporosis sekunder, konsumsi
alcohol, dan terakhir nilai BMD (boleh dikosongkan jika terdapat data
tersebut). Hasil dari analisis adalah risiko fraktur selama 10 tahun ke depan,
baik untuk fraktur secara keseluruhan maupun fraktur femur. Jika didapatkan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 471


Rudy Hidayat

risiko fraktur lebih dari 20% untuk fraktur keseluruhan dan/atau lebih dari
3% untuk fraktur femur, maka sudah terdapat indikasi untuk memberikan
terapi farmakologik anti-osteoporosis. Kelebihan FRAX adalah penilaian
risiko fraktur ini dapat dilakukan, bahkan tanpa melakukan pemeriksaan BMD
(pada senter yang tidak tersedia BMD). Kekurangan FRAX adalah penilaian
ini tidak dapat membedakan volume dan lamanya paparan berbagai faktor
risiko seperti alkohol, glukokortikoid dan rokok. Selain itu FRAX juga tidak
diperbolehkan untuk menilai respon terapi, hanya boleh digunakan pada
pasien yang belum mendapatkan terapi.5

Pemeriksaan Bone Mass Densitometry (BMD)


Densitas Massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan risiko
fraktur. Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan risiko fraktur pada
densitas massa tulang yang menurun secara progresif dan terus menerus.2

Pemeriksaan dengan densitometer untuk mengukur kepadatan tulang


(BMD), berdasarkan Standar Deviasi (SD) yang terbaca oleh alat tersebut.
Densitometer tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan tepat untuk
menilai densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai
faktor prognosis, prediksi fraktur dan bahkan diagnosis osteoporosis.1-2 Untuk
menilai hasil pemeriksaan densitometri tulang, digunakan kriteria kelompok
kerja WHO, yaitu :6,7
• Normal, bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas
massa tulang orang dewasa muda (T-score)
• Osteopenia, bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari
T-score
• Osteoporosis, bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang
• Osteoporosis Berat, yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur

Indikasi densitometri tulang2,6


1. Wanita dengan defisiensi estrogen, untuk menilai penurunan densitas
massa tulang dan keputusan pemberian terapi pengganti hormonal
2. Penderita dengan abnormalitas tulang belakang atau secara radiologik
didapatkan osteopenia, untuk mendiagnosis osteoporosis spinal dan
menentukan langkah diagnosis dan terapi selanjutnya

472 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Osteoporosis

3. Penderita yang memperoleh glukokortikoid jangka panjang untuk


mendiagnosis penurunan densitas massa tulang dan menentukan
tindakan pembedahan paratiroid
4. Evaluasi terapi osteoporosis
5. Tidak responsif terhadap terapi yang diberikan
• Penurunan densitas massa tulang yang cepat
• Evaluasi penderita-penderita dengan risiko tinggi osteoporosis
• Amenore
• Hiperparatiroidisme sekunder
• Anoreksi nervosa
• Alkoholisme
• Terapi antikonvulsan
• Fraktur multipel atraumatik

Evaluasi Hasil Pengobatan dengan BMD


Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang
pemeriksaan densitometri setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai
peningkatan densitasnya. Bila dalam waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan
maupun penurunan densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap
berhasil, karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan. Selain mengulang
pemeriksaan densitas massa tulang, maka pemeriksaan petanda biokimia
tulang juga dapat digunakan untuk evaluasi pengobatan. Penggunaan petanda
biokimia tulang dapat menilai hasil terapi lebih cepat yaitu dalam waktu 3-4
bulan setelah pengobatan. Yang dinilai adalah penurunan kadar berbagai
petanda resorpsi dan atau peningkatan formasi tulang.8

Daftar Pustaka
1. Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1142/MENKES/SK/XII/2008.
2. Bambang S. Pendekatan Diagnosis Osteoporosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III, Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p.3454-7.
3. Infodatin. Data dan Kondisi Penyakit Osteoporosis di Indonesia. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2015
4. Burge R, Dawson-Hughes B, Solomon D, et al. Incidence and economic burden or
osteoporosis-related fractures in the United States, 2005–2025. J Bone Miner Res
2007;22(3):465–475.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 473


Rudy Hidayat

5. FRAX Perangkat Perhitungan Risiko Patah Tulang. Tersedia di website : https://


www.sheffield.ac.uk/FRAX/tool.aspx?lang=in.
6. Jeremiah MP, Unwin BK, Greenawald MH, Casiano VE. Diagnosis and Management
of Osteoporosis. Am Fam Physician. 2015;92(4):261-8
7. WHO Study Group. Assessment of fracture risk and its application to screening for
postmenopausal osteoporosis. World Health Organ Tech Rep Ser 1994;843:1-129.
8. Setyohadi B. Penatalaksanaan Osteoporosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III, Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p.3458-64.

474 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Osteoporosis
Andri Reza Rahmadi
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Hasan Sadikin - Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung

Abstrak
Osteoporosis adalah perubahan mikroarsitektur tulang akibat
menurunnya densitas massa tulang yang menyebabkan penurunan kekuatan
tulang akibat berbagai sebab yang berpotensi fraktur. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita karena adanya pengaruh kehilangan hormon esterogen
saat menopause. Seiring dengan meningkatnya penduduk usia tua, maka
angka kejadian osteoporosis pun semakin meningkat.

Tata laksana osteoporosis terdiri dari non farmakologis dan farmakologis.


Identifikasi faktor risiko osteoporosis diperlukan sebagai bahan untuk
melakukan edukasi pencegahan osteoporosis agar tidak menjadi lebih
berat. Konsumsi kalsium dan vitamin D harus mencukupi untuk bahan
dasar pembentukan tulang. Aktifitas fisik yang teratur diperlukan untuk
proses remodeling tulang dan memperkuat keseimbangan tubuh. Jenis obat
osteoporosis mengalami perubahan seiring waktu, berbagai obat baru muncul
seiring dengan pesatnya penelitian. Pemilihan obat tergantung kepada
ketersediaan obat, kemampuan ekonomi, dan penyakit penyerta.

Pendahuluan
Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang, yang ditandai oleh
densitas massa tulang yang menurun. Definisi osteoporosis terbaru adalah
gangguan skeletal dengan karateristik berubahnya kekuatan tulang yang
dapat meningkatkan risiko fraktur, dimana kekuatan tulang ditandai dengan
densitas dan kualitas tulang (NIH Consensus Development Panel 2001).

Definisi osteoporosis tersebut memperkenalkan konsep massa tulang


yang rendah dan hubungannya dengan risiko terjadinya patah tulang. Pada
keadaan massa tulang rendah maka patah tulang yang telah terjadi dan terlihat
tidak selalu merupakan dasar memberikan terapi, tetapi hanya potensi patah
saja sudah cukup dijadikan acuan terapi. Seorang penderita osteoporosis
lebih sering ditemukan dalam keadaan tanpa gejala sampai benar-benar
terjadi patah tulang.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 475


Andri Reza Rahmadi

Epidemiologi
Osteoporosis lebih banyak pada wanita dan ras kulit putih. Morbiditas
dan mortalitas osteoporosis sebenarnya terletak pada kejadian fraktur. Oleh
karena itu penelitian epidemiologik lebih melihat pada kejadian fraktur yang
diakibatkan osteoporosis. 34 juta orang di Amerika berdasarkan National
Osteoporosis Foundation (NOF) mempunyai masa tulang yang rendah.
Sepuluh juta orang diantaranya menderita osteoporosis, 8 juta wanita dan
2 juta pria. Di Amerika Serikat setiap tahun ditemukan 1.5 juta fraktur yang
dikaitkan dengan osteoporosis, yang terdiri dari 700.000 fraktur vertebra,
250.000 fraktur radius distal, 250.000 fraktur panggul dan 300.000 patah
tulang lainnya.

Risiko fraktur vertebra, panggul dan radius distal pada usia 50 tahun
keatas pada wanita kulit putih sebesar 40% dan pria kulit putih sebesar 13
%. Setelah fraktur panggul terjadi kematian pada 10- 20% penderita dalam 6
bulan pertama, 50% penderita tidak mampu berjalan sendiri dan 25 % harus
tinggal di panti. Di Amerika Serikat, osteoporosis diperkirakan menyerang
pada 24 juta orang (20 juta diantaranya adalah wanita berusia diatas 45
tahun). Osteoporosis akan mengakibatkan pula perawatan rumah sakit yang
berkepanjangan, turunnya kemampuan untuk mandiri, meningkatnya insidens
depresi dan menurunnya kualitas hidup. Di negara berkembang dengan makin
bertambahnya populasi usia lanjut akan pula disertai meningkatnya kejadian
osteoporosis sebesar 4- 5 kali lipat.

Biaya pertahun yang dikeluarkan asuransi kesehatan untuk


menanggulangi osteoporosis di Amerika Serikat berkisar antara 7 – 10 milyar
dollar Amerika, angka ini tidak berbeda jauh dengan negara maju lainnya di
Eropa. Untuk mengurangi biaya yang besar untuk pengobatan osteoposis,
maka diperlukan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan yang dapat
dilakukan adalah identifikasi faktor risiko, pemeriksaan yang teliti, melakukan
berbagai uji diagnostik sederhana, pencegahan pada masa usia remaja
(meningkatkan puncak massa tulang) dan berbagai tindakan terapi dini.

Mengurangi Faktor Risiko Osteoporosis dan Fraktur


Perubahan faktor gaya hidup yang harus dilakukan agar osteoporosis
tidak bertambah berat adalah dengan mengurangi minum alkohol dan
merokok, cukup makan dan minum yang mengandung kalsium dan vit- D,
tidak diet terlalu ketat, mengurangi konsumsi garam, dan olah raga yang
cukup.

476 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Osteoporosis

Beberapa obat-obatan yang dapat berperan pada kehilangan massa


tulang serta meningkatkan risiko osteoporosis adalah antasida, proton
pump inhibitor, anti konvulsan, barbiturat, anti koagulan, kortikosteroid
(setara prednison > 5 mg/kgBB/hari selama > 3 bulan), obat keganasan
(cyclosporine, methotrexate, tamoxifen, aromatase inhibitor), hormon
thyroid, thiazolidinediones, selective serotonin reuptake inhibitor.

Penelitian kohort di Kanada memperlihatkan hubungan menggunakan


obat golongan proton pump inhibitor lebih dari tujuh tahun dengan kejadian
osteoporosis dan risiko fraktur, hazard ratio (HR)=1.75 (95% confidence
interval (CI) 1.41-2.17, p<0.001). Begitu juga dengan konsumsi obat yang
sejenis seperti antasida dapat menimbulkan juga risiko fraktur. Konsumsi
antasida dapat meningkatkan kadar floride dalam feces, akibat dari interaksi
antara alumunium dengan floride yang mengakibatkan absorbsi floride dan
kalsium dalam usus menjadi berkurang. Aluminium juga mempengaruhi
metabolisme kalsium dan fosfor. Perubahan dalam metabolisme fosfor
menyebabkan peningkatan ekskresi kalsium di urin. Efek ganda dari
aluminium, yaitu menyebabkan hilangnya kalsium dan penghambatan
penyerapan fluoride di usus, dapat mengakibatkan keropos tulang.

Aromatase inhibitor biasanya digunakan untuk mengobati wanita dengan


kanker payudara yang estrogen-sensitif. Karena obat-obatan ini mengurangi
jumlah estrogen dalam tubuh, maka dapat menyebabkan kehilangan matrix
tulang dan berpotensi patah tulang.

Obat depresi selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dapat


meningkatkan risiko fraktur karena menimbulkan efek sedasi, kurang
terkena sinar matahari, kurang nafsu makan menjadi kurang gizi dan menjadi
kurang gerak dan berisiko jatuh. Penelitian menunjukkan bahwa orang
dengan depresi saja lebih mungkin untuk memiliki kepadatan tulang yang
rendah atau osteoporosis apalagi bila juga mengkonsumsi obat-obatan tadi.
Begitu juga dengan penggunaan obat anti konvulsan dan barbiturate yang
juga mempunyai efek menginduksi enzim sitokrom P450, yang mengganggu
metabolisme vitamin D. Selain itu juga mengganggu resistensi hormone
paratiroid, menghambat sekresi kalsitonin, dan menghambat absorbsi
kalsium.

Glukokortikoid adalah obat-obat steroid yang sering digunakan


untuk mengobati penyakit dengan dasar imunologis seperti asma, SLE dan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 477


Andri Reza Rahmadi

rheumatoid arthritis. OSteoporosis adalah efek samping yang sangat sering


terjadi akibat dari obat-obat ini. Kehilangan matrix tulang karena obat-obat
ini mungkin karena efek langsung pada tulang, kelemahan otot atau imobilitas,
penyerapan usus kalsium berkurang, penurunan kadar testosteron, atau
paling mungkin kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Glukokortikoid yang
digunakan secara terus-menerus lebih dari 3 bulan dengan dosis lebih dari 5
mg setara prednison, dapat menyebabkan penurunan massa tulang dengan
lebih cepat dan terus-menerus, sebagian besar mengenai tulang di tulang
rusuk dan tulang belakang. Oleh karena itu, orang yang memakai obat ini
harus diperiksa kepadatan mineral tulang atau Bone Mineral Density (BMD)
tes. Glukokortikosteroid, bila diberikan dalam dosis lebih besar dari dosis
fisiologis, berinteraksi langsung dengan sel-sel tulang yang terlibat dalam
proses bone turnover seperti osteoklas, osteoblas dan osteosit, yang bekerja
merangsang proses resorpsi tulang dan menghambat pembentukan tulang.
Diferensiasi osteoblas berkurang karena berhubungan dengan konsentrasi
Bone Matrix Proteinase-2 (BMP-2) yang lebih rendah dan kelebihan ekspresi
core binding factor α1 (Cbfa1). Glukokortikoid menghambat pematangan
dan pembentukan koloni sel osteogenik, menghambat sintesis alkaline
phosphatase, kolagen dan osteocalcin, dan mengganggu mineralisasi matriks
tulang.

Selain itu, mereka menyebabkan apoptosis osteoblas melalui gangguan


sitoskeleton. Apoptosis terjadi akibat dari ekspresi penurunan gen B cell
lymphoma-2 (Bcl-2) dan kelebihan dari gen Bcl-2 like protein-4 (Bax).
Glukokortikoid merangsang sintesis enzim kolagenase III, yang merupakan
enzim yang terlibat dalam degradasi matriks tulang dan juga menghambat
sintesis Insulin like growth factor (IGF) serta ekspresi IGF-2 reseptor, sehingga
mempengaruhi sintesis mayoritas protein binding IGF, yang selanjutnya
memodulasi aktivitas growth factor anabolik. Sebagai hasil dari perubahan
ini, dalam setiap siklus remodeling tulang, jaringan tulang sekitar 30% lebih
sedikit diproduksi dibandingkan kondisi normal. Terhambatnya pertumbuhan
tulang oleh glukokortikoid juga mungkin terkait dengan modulasi Wnt
signaling pathway yang berperan dalam mencapai puncak massa tulang, dan
dalam diferensiasi dan fungsi osteoblas. Konsentrasi tinggi glukokortikoid juga
menghambat maturasi osteoblast dan sintesis osteoprotegerin, sedangkan
produksi RANKL dirangsang, sehingga meningkatkan aktivitas, proliferasi
dan pematangan osteoklas. Percepatan resorpsi tulang dalam pengobatan
steroid juga dapat terjadi dari adanya hiperparatiroidisme sekunder
dan berkurangnya sintesis estrogen, testosteron dan androgen adrenal.

478 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Osteoporosis

Glukokortikoid juga langsung merangsang sekresi parathormon. Sensitivitas


osteoblas dan sel tubulus ginjal dengan hormon paratiroid meningkat selama
terapi steroid. Awalnya, ini dapat menyebabkan peningkatan keseimbangan
kalsium (peningkatan pembentukan metabolit vitamin D aktif, penyerapan
yang lebih efisien kalsium dalam usus dan reabsorpsi Ca di ginjal), tetapi,
sebagai akibat dari eksposur steroid yang lama, konsentrasi tinggi hormon
paratiroid terjadi di jaringan tulang, menyebabkan resorpsi kalsium di
tulang yang meningkat dan kadar serum 25-hydroxyvitamin D3 dan calcitriol
berkurang.

Antikoagulan yang merupakan antagonis vitamin K yang menghambat


karboksilasi residu glutamat protein yang disintesis dalam tulang. Efek obat
ini mengganggu pada turnover tulang dan menginduksi osteoporosis pada
pengguna antikoagulan.

Pemberian hormon terapi levothyroxine pada orang tua dengan


hipotiroid dapat menyebabkan osteoporosis bila dosisnya berlebihan. Dosis
yang besar meningkatkan risiko fraktur 3 kali lipat dibandingkan dengan
yang diberikan dosis rendah. Keadaan kelebihan hormon akan menyebabkan
hipertiroid yang dapat meningkatkan aktifitas osteoklas dengan hasil akhir
50% dominan proses resorpsi.

Thiazolidinediones (TZD) adalah agonis dari peroxisome proliferator-


activated receptor gamma nuclear transcription factor. Penelitian
observasional menunjukkan bahwa penggunaan TZDs dikaitkan dengan
peningkatan risiko patah tulang. Aktivasi peroxisome proliferator-activated
receptor factor pada sel stroma sumsum tulang meningkatkan ekspresi
adipogenesis dengan mengorbankan osteoklastogenesis. Selain itu juga,
diabetes melitus tipe 2 merupakan faktor risiko untuk fraktur osteoporosis.
Mekanismenya yaitu kadar glukosa tinggi berpengaruh pada turnover tulang,
peningkatan sekresi kalsium urin, perubahan dalam metabolisme vitamin D,
dan perubahan dalam glikosilasi kolagen.

Pencegahan Osteoporosis
Pencegahan osteoporosis dapat dibagi atas 3 (tiga) yaitu pencegahan
primer, sekunder dan tertier.
A. Pencegahan Primer (Belum Osteoporosis)
Adalah upaya terbaik dan paling murah dan mudah sebelum terjadi
Osteoporosis.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 479
Andri Reza Rahmadi

1. Kalsium
Asupan kalsium yang dianjurkan pada pria usia 50-70 tahun yaitu
1000 mg sedangkan untuk wanita premenopause >51 tahun dan
pria >71 tahun lebih tinggi yaitu 1200 mg perhari. Untuk wanita
pascamenopause dan masa menyusui (laktasi) diperlukan asupan
yang lebih besar sekitar 1.200-1.500 mg. Kandungan kalsium dalam
makanan standard sehari-hari, berkisar antara 300 mg. Selanjutnya,
dihitung tambahan makanan kaya kalsium. Diet tinggi kalsium sangat
penting terutama bagi usia remaja dan dewasa muda. Makanan
dan minuman yang merupakan sumber kalsium tinggi adalah susu,
olahan susu seperti keju dan yogurt, kacang kedelai, ikan sardin,
salmon, dan daging ayam. Suplementasi >1500 mg tidak dianjurkan
karena dapat menimbulkan komplikasi batu ginjal, penyakit jantung
koroner dan stroke.
2. Latihan Fisik
Latihan fisik yang baik untuk mencegah osteoporosis harus
mempunyai unsur pembebanan pada tubuh/ anggota gerak dan
penekanan pada axis tulang, seperti jalan, jogging, berenang, tai-chi,
yoga, pilates, bersepeda atau senam.
3. Atasi beberapa faktor yang dapat mempengaruhi metabolisme
kalsium
Berhenti merokok, berhenti minum alkohol, berhenti minum
obat yang berkaitan dengan terjadinya osteoporosis, seperti
corticosteroid. Bila obat tersebut ternyata harus diberikan maka
suplemen kalsium harus ditambahkan.
4. Antisipasi osteoporosis sekunder
Kondisi yang diduga akan menimbulkan osteoporsis sekunder,
harus diantisipasi sejak awal. Pasien–pasien yang immobilisasi,
baik tirah baring ataupun tidak dapat menggerakan sebagian dari
anggota geraknya, harus diberikan program latihan fisik sesuai
dengan kondisinya.

B. Pencegahan Sekunder (Sudah Osteoporosis)


Adalah upaya yang dilakukan setelah penderita diketahui osteoporosis
1. Konsumsi kalsium
Pasien osteoporosis membutuhkan kalsium sampai 1200-1500 mg
perhari, untuk mencegah negative calcium balance.
480 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Tata Laksana Osteoporosis

2. Estrogen Replacement Therapy (ERT)


Pemberian kalsium tanpa penambahan estrogen dikatakan kurang
efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang pada awal periode
menopouse. Semua wanita pada saat menopause mempunyai risiko
osteoporosis. Karenanya, dianjurkan pemakaian ERT pada mereka
yang tak ada kontraindikasi untuk menurunkan risiko fraktur.
Terapi ini sudah lama ditinggalkan karena dapat menimbulkan efek
samping keganasan. Phytoesterogen yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan saat ini masih dikembangkan untuk dijadikan pengganti
karena mempunyai efek samping yang minimal.
3. Latihan Fisik
Latihan fisik bagi penderita osteoporosis, bersifat spesifik dan
individual. Prinsipnya sama dengan latihan beban dan tarikan
(streching) pada aksis tulang. Latihan tak dapat dilakukan secara
masal, karena perlu mendapat supervisi dari tenaga medis. Minimal
30 menit setiap kali latihan fisik dan seminggu tiga kali. Latihan
fisik dapat memperkuat otot-otot penyangga tubuh dan menjaga
kesimbangan tubuh. Keuntungan latihan fisik ini adalah mengurangi
risiko jatuh yang dapat menyebabkan fraktur. Latihan fisk juga
berfungsi dalam remodeling tulang, sehingga dapat meningkatkan
BMD.
4. Vitamin D
Vitamin D membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan kalsium.
Vitamin-D dianjurkan diminum setiap hari bagi pasien yang
menggunakan suplemen kalsium. Kebutuhan minimal vitamin D
menurut National Osteoporosis Foundation (NOF) untuk usia >50
tahun minimal 800-1000 Unit (IU) perhari. Vitamin D yang dapat
dipergunakan adalah Vitamin D2 (ergokalsiferol) dan vitamin
D3 (kolekalsiferol). Vitamin D2 berasal dari tumbuh tumbuhan
sehingga cocok pada vegetarian. Orang tua banyak yang mempunyai
risiko tinggi kekurangan vitamin D seperti pada penyakit saluran
pencernaan, gangguan ginjal kronis, pengguna obat-obatan yang
mengganggu metabolism vitamin D (anti kejang), berbaring terus
di tempat tidur atau penyakit kronis lain. Pengukuran vitamin D
dilakukan dengan mengukur Vit 25 (OH) D serum. Target terapi
vitamin D adalah kadar 25 (OH) D >30 ng/ml (75 nmol/L). Dosis
vitamin D dapat ditingkatkan sampai maksimal 4000-5000 IU perhari
untuk mencapai target tersebut, terutama pada osteoporosis.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 481


Andri Reza Rahmadi

5. Obat-obat osteoporosis
Beberapa obat yang mempunyai manfaat adalah bisphosphonate,
calcitonin, stronsium ranelate dll.

C. Pencegahan Tertier (Sudah Fraktur)


Adalah usaha pencegahan fraktur lain setelah pasien mengalami fraktur
osteoporosis.
1. Latihan fisik
Apabila sudah terdapat fraktur, disusun rencana mobilisasi, mulai
mobilisasi pasif sampai aktif dan berfungsi mandiri, selain hal-hal
yang sudah disebutkan diatas tadi.
2. Rehabilitasi medik
Pemakaian ortose spinal/korset dan program fisioterapi/okupasi
terapi akan mengembalikan kemandirian pasien secara optimal.
3. Edukasi Pasien
Pemahaman pasien dan keluarganya tentang osteoporosis,
diharapkan menambah kepedulian untuk berperilaku hidup sehat,
sesuai pedoman pencegahan osteoporosis.

Pengobatan Osteoporosis
Sebelum memulai pengobatan osteoporosis sebaiknya dilakukan
pemeriksaan terlebih dahulu pemeriksaan dasar BMD-DXA. Hal ini berguna
nantinya untuk memonitor keberhasilan terapi. Pemeriksaan lain sebagai
alternative adalah CT Scan atau marker biokimia tulang.

Kriteria pemilihan yang harus mendapatkan terapi adalah:


Wanita pasca menopause atau pria usia lebih dari 50 tahun dengan kondisi
seperti:
1. Fraktur hip atau vertebra (klinis atau penunjang), baik yang hanya
osteopenia atau sudah osteoporosis.
2. T-score BMD < -2,5 (osteoporosis) pada total hip atau femoral neck atau
lumbal.
3. T-score -1,0 sampai -2,5 (osteopenia) femoral neck atau lumbal dengan
perhitungan probabilitas fraktur hip 10 tahun yang akan datang > 3%
atau probabilitas fraktur osteoporosis mayor >20% sesuai perhitungan
algoritma FRAX WHO.

482 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Osteoporosis

Obat osteoporosis terkini yang disetujui oleh badan pengawasan


obat Amerika FDA adalah: golongan anti esterogen dan agonis esetrogen
(Raloxifen), golongan tissue selective esterogen complex (Bazedoxifene),
golongan hormonal (Esterogen, Phytoestergen, Paratitoid, Calcitonin),
golongan bifosfonat (Alendronate, Risendronate, Ibandronate, Zolendronic
acid), dan agen biologis RANKL inhibitor (Denosumab). Beberapa obat lain
juga yang belum disetujui FDA dapat digunakan meskipun data penelitian
klinisnya terbatas.

Raloxifene
Raloxifene tergolong dalam selektif estrogen reseptor modulator (SERM),
adalah komponen non steroid yang berasal dari benzothiophene yang bersifat
anti estrogen, mengadakan kompetitif inhibisi terhadap peran estrogen
pada payudara dan khususnya uterus, selain juga bersifat agonis estrogen
pada tulang dan metabolisme lemak. Penggunaan raloxifene meningkatkan
massa tulang 2 – 2,5% pada tulang panjang wanita post-menopause, selain
itu menurunkan risiko patah tulang belakang sebesar 50% pada dosis 120
mg/hari. Risiko fraktur vertebra menurun 30% pada kelompok dengan
fraktur vertebra sebelumnya, dan 55% pada kelompok tanpa fraktur vertebra
sebelumnya. Bila dibandingkan dengan estrogen maka efektivitas raloxifene
menurunkan risiko fraktur lebih rendah, namun tidak menstimulasi payudara
dan uterus dan tidak membuat perdarahan menstruasi. Efek sampingnya
adalah meningkatkan risiko thrombosis vena, kram otot, retensi cairan dan
nyeri kepala. Dosis yang biasa dipergunakan adalah 60 mg/hari.

Esterogen dan Progesteron


Obat ini merupakan hormon wanita yang dulu digunakan sebagai
terapi pengganti hormon pada pasien osteoporosis. Sekarang sudah tidak
digunakan lagi karena sering timbul efek samping seperti kangker payudara,
serta hiperkoagulasi yang dapat menyebabkan emboli paru, stroke dan
infark jantung. Woman’s Health Initiative (WHI) menemukan terapi 5 tahun
dengan hormone esterogen menurunkan risiko fraktur vertebra dan hip
34% serta fraktur osteoporosis lain sebesar 23%. Penghentian obat dengan
tiba-tiba dapat menyebabkan kehilangan masa tulang yang cepat, sehingga
memerlukan terapi lain.

Isoflavones (Genistein)
Obat ini adalah jenis phytoestrogen, merupakan mikronutrien alami
yang mempunyai efek seperti estrogen. Ada dua jenis yaitu genistein dan
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 483
Andri Reza Rahmadi

daidzein, yang dibuat dari kacang kedelai, kacang merah. Ipriflavone adalah
jenis sintetisnya yang sudah mulai diproduksi untuk suplemen.

Paratiroid
Obat ini dapat digunakan pada pria dan wanita dengan osteoporosis
dan masih dipakai di Eropa. Setelah 18 bulan terapi pada osteoporosis, obat
ini dapat menurunkan risiko fraktur vertebra 65% dan non vertebra 53%.
Hormon paratiroid sudah tidak lagi dianjurkan karena mempunyai efek selain
formasi tulang juga resorpsi tulang. Dosis obat ini 20 μg teriparatide perhari
SC selama 18 sampai 24 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah
osteosarkoma, mual, kram otot. Kontraindikasi obat ini adalah hiperkalsemia,
metastase tulang, dan keganasan musculoskeletal.

Calcitriol
Calcitriol adalah vitamin D aktif sintetik analog yang telah banyak
diteliti dan terbukti mencegah hilangnya massa tulang 0,7 – 1,3% pertahun
pada dosis 0,6 ug/hari pada tulang belakang penderita osteoporosis akibat
kortikosteroid, begitu pula pada tulang kepala dan lengan atas. Obat ini
meningkatkan absorpsi kalsium di saluran cerna. Indikasi obat ini untuk
hipokalsemia dan metabolik bone disease pada gagal ginjal kronik. Calcitriol
tidak dianjurkan pada penderita batu ginjal atau didapatkan gangguan
fungsi ginjal, jantung maupun hepar. Pemberian calcitriol biasanya dapat
meningkatkan kadar kalsium, sehingga perlu pemantauan ketat.

Calsitonin
Calsitonin merupakan inhibitor yang poten terhadap efek resorpsi tulang
dari osteoklas, tetapi efek ini hanya sementara, terutama pada pemberian
kalsitonin yang berkepanjangan. Selain itu, kalsitonin juga menyebabkan
pemecahan osteoklas menjadi sel mononuklear dan menghambat
pembentukan osteoklas. Pemberiannya lewat semprotan intra nasal dengan
dosis 200 iu/hari sebagai dosis tunggal dan parenteral dengan dosis 50 –
100 IU secara intramuskuler atau subkutan diberikan 2-3 kali/minggu. Efek
samping adalah pusing, mual, muka panas biasanya berlangsung 30 – 60
menit. Obat ini menurunkan risiko fraktur vertebra 30% tetapi belum ada
data pada fraktur non vertebra.

Manfaat kalsitonin yang lain adalah menambah massa tulang dan


mempunyai efek analgetik. Mekanisme kerjanya adalah mengurangi resorpsi
dengan menekan aktivitas osteoklast atau menghambat cara kerja osteoklast
484 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Tata Laksana Osteoporosis

dengan dua cara yaitu menghambat transformasi monosit menjadi osteoklast


dan mengadakan translokasi ion kalsium kedalam mitokhondria. Dampak
yang nyata adalah penderita mengalami turn over dalam massa tulang yang
tinggi. Kelemahan obat ini adalah harus digunakan terus menerus, sebab
bila dihentikan maka akan didapat fenomena rebound bone turn over. Efek
samping obat ini dapat menyebabkan rhinitis, alergi dan epistaksis.

Biphosphonate
Bisfosfonat merupakan obat yang relatif baru yang digunakan untuk
pengobatan osteoporosis. Cara kerja bisfosfonat adalah mengurangi resorpsi
tulang oleh osteoklast pada permukaan tulang dengan cara menghambat
kerja osteoklast, obat ini mengurangi produksi proton dan enzym lisosomal
dibawah osteoklast. Selain itu juga mempengaruhi aktifasi prekusor osteoklast,
differensiasi prekusor osteoklast menjadi osteoklast yang matang, fungsi
kemotaksis, perlekatan osteoklast pada permukaan tulang dan apoptosis
osteoklast.

Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap osteoklast dengan


cara merangsang osteoblast menghasilkan substansi yang dapat menghambat
osteoklast dan menurunkan kadar stimulator osteoklast. Beberapa penelitian
juga mendapatkan bahwa bisfosfonat dapat meningkatkan jumlah dan
diferensiasi osteoblast. Dengan mengurangi aktivitas osteoklast maka
pemberian bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif pada
unit remodelling tulang.

Absorbsi bisfosfonat di saluran cerna sangat buruk, sebab hanya 5%


yang diserap oleh tubuh dan sangat dipengaruhi oleh zat lain seperti kalsium,
kation divalen dan berbagai jenis minuman kecuali air putih. Oleh karena
itu bisfosfonat harus diminum dengan air pada posisi tegak (tidak boleh
berbaring), lebih baik pada pagi hari saat perut kosong, setelah itu tidak
diperkenankan makan apapun selama 30 menit kecuali Etidronat dapat
diberikan 2 jam sebelum dan 2 jam sesudah makan, karena absorbsinya tidak
dipengaruhi oleh makanan. Dari sekitar 5% bisfosfonat yang diserap tubuh,
20 –50% akan melekat pada permukaan tulang setelah 12 – 24 jam dan
tetap berada disana sampai bertahun-tahun. Bisfosfonat yang tidak melekat
di tulang akan di ekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal sehingga
pemberiannya pada penderita gagal ginjal harus berhati-hati.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 485


Andri Reza Rahmadi

Dosis untuk masing-masing bisfosfonat berbeda, untuk generasi pertama


seperti Etidronat dan Klodronat dosisnya 400 mg/hari, selama 2 minggu
untuk etidronat dan 1 bulan untuk klodronat kemudian dilanjutkan dengan
pemberikan kalsium 500 mg/hari selama 2 bulan, siklus ini diulang setiap 3
bulan. Untuk penyakit Paget dan hiperkalsemia karena keganasan Klodronat
diberikan 1500 mg drip i.v selama 4 jam atau 300 mg/hari perdrip selama 5
hari.

Dosis bisfosfonat generasi II seperti Alendronat diberikan 10 mg/hari


atau 70 mg / hari untuk dosis terapi tetapi 5 mg/hari atau 35 mg/minggu
untuk dosis preventif setiap hari. Bisfosfonat terbaru generasi III seperti
Risedronat dosis terapinya adalah 5 mg/hari atau 35 mg/minggu atau 150
mg/bulan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa risedronat merupakan
obat yang efektif untuk mengatasi osteoporosis dan mengurangi risiko fraktur
pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause dan wanita dengan
menopause artificial akibat pengobatan karsinoma payudara.

Dosis Alendronate (10 mg/hari atau 70 mg seminggu sekali PO) atau


risedronate (5 mg/hari, 35 mg tiap minggu, 150 mg tiap bulan, atau 75 mg dua
kali perbulan), atau ibandronate (150 mg tiap bulan PO atau 3 mg intravena
tiap tiga bulan) efektif untuk pencegahan dan terapi osteoporosis. Zoledronic
acid (ZA), 5 mg (100 cc) intravena dalam 15 menit sekali setahun, juga sama
efektif dan untuk dosis preventif selang dua tahun sekali. Sebelum infuse
dimulai, diberikan dahulu infus hidrasi dan parasetamol. Efek samping ZA
adalah atralgia, myalgia, pusing, dan demam yang muncul 32% pada infus
pertama, 7% pada infus kedua, dan 3% pada infus ketiga.

Alendronete menurunkan insidensi fraktur vertebra dan hip sebesar


50% dalam 3 tahun pada kelompok dengan frakur vertebra sebelumnya, 48%
pada kelompok tanpa fraktur vertebra. Alendronate dan Risendronate dapat
digunakan untuk meningkatkan BMD pada kelompok yang mendapat terapi
steroid. Begitu juga dengan ibandronate yang dapat menurunkan insidensi
fraktur vertebra 50% dalam 3 tahun pengobatan akan tetapi data pada non
vertebra tidak didapatkan. Risendronate dapat menurunkan risiko fraktur
vertebra 49% dalam 3 tahun dan fraktur non vertebra 36%. Obat ini dapat
menurunkan risiko fraktur pada kelompok yang sudah fraktur vertebra
sebelumnya dalam 1 tahun pengobatan. Zolendronic acid dapat menurunkan
vertebral fraktur 70%, fraktur HIP 41%, dan fraktur non vertebral 25% dalam
3 tahun terapi. Indikasi pemberian Zolendronic acid adalah mencegah fraktur

486 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Osteoporosis

pada kelompok yang mendapat fraktur osteoporosis baru hip akibat trauma
ringan dan yang mendapat terapi steroid 12 bulan. Efek samping pemberian
bifosfonate oral adalah iritasi pada saluran cerna. Kontraindikasi obat ini
tidak boleh diberikan pada fungsi ginjal dengan GFR < 30 ml/menit.

Obat bifosfonat lain seperti etidronate, pamodronate, dan tiludronate saat


ini tidak disetujui FDA. Obat ini berbeda secara gugus kimianya dengan
alendronete, risendronete, ibandronate. Obat ini hanya dapat diberikan pada
penyakit Paget, hiperkalsemia akibat malignansi, dan miositis osifikans.

RANKL inhibitor (Denosumab)


Obat ini menurunkan risiko fraktur vertebra 68%, fraktur HIP 40 %
dan fraktur osteoporosis non vertebral lain 20% dalam penggunaan selam
3 tahun. Indikasinya adalah wanita pasca menopause, ca payudara yang
mendapat terapi aromatase inhibitor, pria dengan ca prostat yang mendapat
terapi gonadotropin reducing hormone. Dosis 60 mg setiap 6 bulan SC. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah hipokalsemia meningkatkan risiko
selulitis. Pemberian bifosfonat sebagai terapi pendahuluan dianjurkan saat
ini.

Strontium Ranelate
Strontium ranelate adalah obat dalam bentuk serbuk, yang diseduh yang
mengandung strontium dan ranelic acid. Pada penelitian pada binatang, obat
ini menghambat resorpsi tulang dan meningkatkan formasi tulang. Penelitian
di Eropa pada 353 wanita postmenopause dengan osteoporosis, BMD
meningkat dengan baik pada dosis 2 g/hari.

Obat lain
Beberapa obat sedang dalam tahap penelitian, diduga mempunyai efek
terhadap formasi tulang, diantaranya adalah Vitamin K, Vitamin B 6, B 12,
Sodium Fluoride. Selain itu juga terdapat obat Tibolone yang merupakan
steroid sintesis esterogen like agent, juga vitamin D analog merupakan obat
yang menjanjikan di masa depan dalam terapi osteoporosis.

Daftar Pustaka
1 The International Society for Clinical Densitometry, Bone Densitometry Course,
Clinician Course Sylabus and Associated Reading Materials, 2011
2 Albright F, Osteoporosis. Ann Intern Med. 1947;27:861

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 487


Andri Reza Rahmadi

3 NIH Consensus Development Conference. Diagnosis, prophylaxis and treatment of


osteoporosis. Am J Med 1993; 94: 646-650
4 Riggs BL, Melton LJ 3rd. The worldwide problem of osteoporosis: insights afforded
by epidemiology. Bone 1995 Nov;17(5 Suppl):505S-511S [Medline]
5 Iqbal MM. Osteoporosis: epidemiology, diagnosis, and treatment. South Med J 2000
Jan;93(1):2-18 [Medline]
6 Peel N, Eastell R. ABC of Rheumatology: Osteoporosis. BMJ 1995;310:989-992
7 Melton LJ 3rd. Epidemiology of spinal osteoporosis. : Spine 1997 Dec 15;22(24
Suppl):2S-11S [Medline]
8 Raisz LG, Prestwood KM. Epidemiology and pathogenesis of osteoporosis. Clin
Cornerstone 2000;2(6):1-10 [Medline]
9 Christiansen, C and Riis, B.J., 1990 The Silent epidemic, Postmenopausal
Osteoporosis. Hamdelstrykkeriet ApS, Aalborg, Denmark.
10 Zilkoski, MW,MD: Osteoporosis, dalam Ambulatory Medicine, The Primary Care of
Families, Lage Clinical Manual, 1996, pg 459-465.
11 Sinaki,M,MD: Exercise and Osteoporosis, Arch. Phys Med. Rehabliitation Vol 70.
March 1989, pg 220-9.

488 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tata Laksana Gout:
Rekomendasi di Indonesia
Awalia
Divisi Reumatologi, Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Gout merupakan kelainan klinis maupun patologis yang terjadi akibat
endapan kristal monosodium urat (MSU) di dalam jaringan. Kadar asam urat
serum yang tinggi akan mempermudah terbentuknya endapan kristal urat di
sendi, jaringan lunak (tophi), interstitial ginjal, atau membentuk batu asam
urat di saluran kemih. Batas kelarutan asam urat adalah 6,8 mg/dL pada suhu
dan pH fisiologis. Gejala awal gout umumnya berupa artritis akut dengan
nyeri sebagai gejala utama. Gout dapat juga bermanifestasi sebagai artritis
kronis dari satu atau lebih sendi. Tophi merupakan tampilan patognomonis
dari gout, dapat dideteksi dari pemeriksaan fisik, imaging maupun patologi.
Utamanya ditemukan di sendi, periartikuler, bursa, tulang, aurikuler, dan
jaringan kulit 1,2.

Gout merupakan salah satu penyakit reumatik yang sering terjadi di


usia pertengahan. Prevalensinya meningkat dasawarsa terakhir ini karena
adanya komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko hiperurisemia, seperti
hipertensi, obesitas, sindroma metabolik, diabetes mellitus, dan CKD (Chronic
Kidney Disease). Faktor lain yang juga berpengaruh adalah penggunaan
yang luas dari thiazide dan diuretik. Prevalensi gout di USA diestimasi
3,9% pada dewasa atau 1-2% pada laki-laki. Prevalensi ini meningkat
seiring meningkatnya usia. Laki-laki lebih sering daripada wanita dengan
perbandingan 7:1. Angka kejadiannya hampir sama antara laki-laki dan wanita
pasca menopause. Insiden dan prevalensi gout di Indonesia belum diketahui
pasti. Penelitian Darmawan di Bandung dan Jawa Tengah menemukan 24%
laki-laki dan 11,7% wanita menderita hiperurisemia dan 8% orang dewasa di
atas 15 tahun menderita artritis gout. Penelitian Tehupeiory di Sinjai Sulawesi
Selatan mendapatkan kejadian hiperurisemia adalah 10% pada laki-laki dan
4% pada wanita 1,2,3.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 489


Awalia

Etiopatogenesis
Kadar normal asam adalah 7,0 mg/dL pada pria dan 5,7 mg/dL pada wanita.
Pada kadar yang jenuh, kristal MSU dapat mengendap di jaringan sinovia,
menstimulasi fagositosis kristal MSU oleh neutrofil, kemudian melepaskan
IL-6 dan TNF-α hingga menimbulkan keradangan sendi. Hiperurisemia tidak
selalu menimbulkan artritis gout, sebaliknya kadar asam urat yang normal
juga tidak selalu bebas dari sindroma gout2. Prinsipnya hiperurisemia dapat
terjadi akibat produksi berlebih dan/atau sekresi yang berkurang. Produksi
berlebih dapat disebabkan asupan yang berlebih atau karena faktor endogen,
seperti terlihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Penyebab Hiperurisemia4


Overproduksi asam urat
Hiperurisemia primer
- Idiopatik
- Defisiensi absolut (komplit) enzim HPGRT (hypoxanthine-guanine phosphoribosyl transferase),
X-linked Lesch-Nihan syndrome, dengan hiperurisemia, gangguan neurologi berat, gout, dan
batu asam urat
- Defisiensi parsial enzim HPGRT, X-linked, hiperurisemia dengan onset dini gout dan/atau batu
urat, tanpa problem neurologi
- Superaktivitas PRPP-synthetase (5-phosphoribosyl 1-pyrophosphate)
Hiperurisemia sekunder
- Konsumsi purin eksesif
- Gangguan myeloproliferatif atau limfoproliferatif
- Penyakit hemolisis
- Psoriasis
- Glycogen storage disease: tipe 1,3,5,7
Ekskresi asam urat yang menurun
Hiperurisemia primer
- Idiopatik
Hiperurisemia sekunder
- Penurunan fungsi ginjal
- Asidosis metabolik (ketoasidosis atau laktoasidosis)
- Dehidrasi
- Diuretik
- Hipertensi
- Hiperparatiroidism dan hipotiroidism
- Obat lain seperti siklosporin, tacrolimus, aspirin dosis rendah, niacin, etambutol, pirazinamid,
dan L-dopa.
- Keracunan timah
Overproduksi asam urat dan ekskresi asam urat yang menurun
- Konsumsi alkohol
- Defisiensi glukosa-6-fosfat
- Defisiensi fruktose-1-fosfat-aldolase

490 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tata Laksana Gout: Rekomendasi di Indonesia

Faktor risiko lain untuk terjadinya hiperurisemia adalah: jenis kelamin


laki-laki, usia tua, post menopause, infeksi, sindroma metabolik, trauma, dan
pembedahan.

Gejala Klinis
Gambaran dan perjalanan klinis artritis gout dapat dilihat pada Tabel 2
berikut:

Tabel 2. Perjalanan klinis artritis gout4


Hiperurisemia asimtomatik Gout
Asam urat serum ≥7 mg/dl Artritis akut (flares) Periode interkritikal Gout persisten atau Artropati kronis dan
progresif tophi
± 32 juta di US ± 8 juta di US ± 5 juta di US 300-800.000
Menjadi gout 20-30% - Artritis inflamasi - Pertahankan - Durasi dan frekuensi - Sinovitis kronik
intermiten asam urat serum serangan ↑ - Terlihat tophi
- Sendi MTP 1 ≤ 6 mg/dl - Poliartikuler


Perjalanan klinis penyakit gout bisa bervariasi. Sebagian besar pasien
yang tidak diterapi akan berlanjut menjadi gout kronik. Beberapa pasien
hanya mengalami satu atau dua kali serangan artritis gout akut sepanjang
hidupnya. Tidak lazim tophi terbentuk tanpa riwayat serangan artritis gout
akut. Episode awal dari artritis gout akut umumnya terjadi pada laki-laki
usia 40-50 tahun atau pada wanita post menopause, setelah 10-30 tahun
hiperurisemia asimtomatik. Serangan di usia yang lebih dini perlu dipikirkan
adanya kelainan metabolisme. Serangan ini bisa dipresipitasi oleh konsumsi
alkohol, diet tinggi purin, stres fisik maupun psikologis, dehidrasi, trauma,
pembedahan, atau inisiasi dari obat-obatan yang mempengaruhi kadar asam
urat (baik meningkatkan seperti obat sitotoksik, atau menurunkan seperti
alopurinol). Fluktuasi kadar asam urat serum (peningkatan atau penurunan
dengan cepat) akan menimbulkan destabilisasi pada sinovium, sehingga
menimbulkan instabilitas dan dissolusi parsial. Bila micro-tophi pada
sendi pecah, kristal akan menyebar pada cairan sendi, hal ini akan memicu
fagositosis dari leukosit PMN, di sinilah dimulai serangan akut gout 4,5.

Serangan awal umumnya monoartritis, dan separuh kasus terjadi di sendi


MTP 1, sisanya di persendian metatarsal, pergelangan kaki, tumit, lutut, meski
bisa juga pada ekstremitas yang lain. Gejala khas adalah nyeri di malam hari
menjelang pagi, mendadak, dengan tanda-tanda inflamasi hangat, bengkak,
kemerahan, dan nyeri sekali sampai penderita sulit berjalan. Bisa juga disertai
demam, menggigil, dan malaise. Serangan akut umumnya mencapai puncak
setelah 12 jam dari onset, umumnya berlangsung 5 – 7 hari, bersifat self-

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 491


Awalia

limited dan bisa sembuh spontan. Serangan berat bisa berlangsung hingga 2
minggu 4.

Setelah serangan artritis akut, penderita akan memasuki periode


interkritikal yang asimtomatik. Meski demikian, endapan MSU terus berlanjut.
Kristal urat sering ditemukan dalam cairan sendi tanpa adanya gejala. Dalam
perjalanannya pasien bisa mengalami eksaserbasi akut. Pada awal perjalanan
penyakit, interval antara dua serangan akut umumnya bervariasi antara
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Tanpa terapi biasanya serangan
ulang terjadi dalam 2 tahun setelah serangan awal. Seiring perjalanan waktu
serangan menjadi lebih sering, berdurasi lebih lama, dan melibatkan lebih
banyak sendi 4.

Bila tidak diterapi, artritis gout kronik dapat terjadi dalam 5 – 40 tahun
(rata-rata 12 tahun). Gout kronik akan menimbulkan kerusakan sendi dengan
tonjolan-tonjolan tophi. Pasien gout kronik dapat menderita batu saluran
kemih dan nefropati urat. Tophus terdiri dari kristal MSU dengan reaksi
inflamasi. Umumnya ditemukan di sendi, periartikuler, bursa, tulang, tendon,
jaringan lemak, aurikuler, dan jaringan kulit 4.

Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan akut, pemeriksaan darah lengkap bisa menunjukkan
leukositosis yang didominasi oleh sel PMN, peningkatan LED, dan C-reactive
protein (CRP). Hiperurisemia tidak selalu terjadi, tapi sebagian besar
pasien memiliki kadar asam urat serum > 7 mg/dL. Kegunaan terbesar dari
pengukuran kadar asam urat serum adalah untuk memonitor efektivitas
pemakaian ULT (Urate-lowering therapy).

Saat serangan akut, analisis cairan sendi menunjukkan inflamasi sedang


atau berat dengan jumlah leukosit sekitar 5000 – 80.000 sel/µL (rata-rata
15.000 – 20.000) dengan dominasi sel PMN. Kultur kuman perlu dilakukan
untuk membedakannya dengan artritis septik. Diagnosis pasti dari gout
adalah ditemukannya kristal MSU pada cairan sendi atau material tophus
dengan mikroskop polarisasi. Kristal ini berbentuk jarum dan berwarna
kuning terang bila sejajar aksis, dan berwarna biru bila tegak lurus aksis.
Kristal umumnya intraseluler dan berbentuk jarum pada serangan akut. Bila
serangan akut mereda atau pada fase interkritikal kristal bisa berbentuk kecil,
tumpul, dan ekstraseluler 4.

492 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tata Laksana Gout: Rekomendasi di Indonesia

Foto polos umumnya normal pada tahap awal. Pada serangan akut
biasanya hanya didapat pembengkakan jaringan lunak. Bila berlanjut, dapat
ditemukan lesi khas erosi sendi “punched-out”(erosi berbatas tegas dengan
tepi sklerotik, tanpa adanya osteoporotik) , bisa didapatkan tepi menggantung
pada tulang (overhanging edges). Destruksi sendi bisa juga terjadi. USG
lebih bisa menggambarkan adanya deposit MSU, tophi, dan erosi tulang.
Bahkan dikatakan USG dapat mendeteksi adanya deposit MSU pada pasien
hiperurisemia asimtomatik.

Diagnosis
Bahkan dikatakan USG dapat mendeteksi adanya deposit MSU pada pasien hiperurisemia

asimtomatik.Kriteria gout menurut Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout
(rekomendasi Perhimpunann Reumatologi Indonesia 2018) yang disadur
Diagnosis
dari ACR/EULAR
Kriteria 2015 Pedoman
gout menurut dapat dilihat pada Tabel
Diagnosis dan 3Pengelolaan
berikut. Diklasifikasikan
Gout (rekomendasi
gout bila didapat skor ≥ 8:
Perhimpunann Reumatologi Indonesia 2018) yang disadur dari ACR/EULAR 2015 dapat
dilihat pada Tabel 3 berikut. Diklasifikasikan gout bila didapat skor ≥ 8:
Tabel 3.ACR/EULAR
Tabel 3. Kriteria gout menurut Kriteria gout menurut ACR/EULAR 2015
2015 6,7
6,7

Diagnosis Banding
Diagnosis Pertemuan
banding Ilmiah Nasional
artritis goutXVII PAPDIlain
antara - Surabaya
4
: 2019 493
- Selulitis
Karena area yang bengkak, kemerahan, nyeri, dan bisa disertai demam dan leukositosis.
- Artritis septik
Awalia

Diagnosis Banding
Diagnosis banding artritis gout antara lain 4:
- Selulitis
Karena area yang bengkak, kemerahan, nyeri, dan bisa disertai demam
dan leukositosis.
- Artritis septik
Perlu dipikirkan pada monoartritis akut terutama bila disertai demam
dan leukositosis. Kultur cairan sendi perlu dilakukan. Artritis gout lebih
condong untuk terjadi artritis septik, dan dua kondisi ini bisa terjadi
bersamaan.
- Pseudogout
Dibedakan dari gout dengan ditemukannya kristal kalsium pirofosfat pada
cairan sendi.
- Artritis rematoid (RA)
Gout kronik bisa menyerupai RA dengan gambaran poliartritis simetri.
Tophi juga bisa terjadi di tempat biasanya terjadi nodul rematoid.
Berbeda dengan RA, gout terjadi pada usia yang lebih tua dan seronegatif.
Gambaran radiologinya juga berbeda.

Tata Laksana
Perlu dicari adanya beberapa komorbiditas pada penderita gout seperti:
obesitas, konsumsi alkohol, sindroma metabolik, diabetes melitus, hipertensi,
dislipidemia, obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar asam urat, riwayat
urolitiasis, penyakit ginjal kronik, intoksikasi timah, dan beberapa kasus
kelainan genetik/didapat yang bisa menyebabkan overproduksi asam urat
(kelainan metabolisme purin, psoriasis, penyakit myeloproliferatif atau
limfoproliferatif).

Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan


modifikasi gaya hidup, termasuk pola diet seperti pada prinsip umum
pengelolaan hiperurisemia dan gout. Penggunaan terapi penurun asam urat
pada hiperurisemia tanpa gejala klinis masih kontroversial. The European
League Against Rheumatism (EULAR), American Colleague of Rheumatology
(ACR) dan National Kidney Foundation (NKF) tidak merekomendasikan
penggunaan terapi penurun asam urat dengan pertimbangan keamanan dan
efektivitas terapi tersebut. Sedangkan rekomendasi dari Japan Society for
Nucleic Acid Metabolism, menganjurkan pemberian obat penurun asam urat

494 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


kontroversial. The European League Against Rheumatism (EULAR), American Col
Rheumatology (ACR) dan National Kidney Foundation (NKF) tidak merekome
penggunaan terapi penurun asam urat dengan pertimbangan keamanan dan efektivi
Diagnosis dan Tata Laksana Gout: Rekomendasi di Indonesia
tersebut. Sedangkan rekomendasi dari Japan Society for Nucleic Acid Me
menganjurkan
pada pasienpemberian obat asimptomatik
hiperurisemia penurun asam urat kadar
dengan pada urat pasien serum hiperurisemia
>9 atau asim
dengankadarkadarasamurat
uratserum
serum >8 >9dengan
atau faktor
kadar risiko
asamkardiovaskular
urat serum (gangguan >8 dengan fakto
kardiovaskular (gangguan
ginjal, hipertensi, ginjal,
diabetes hipertensi,
melitus, diabetes
dan penyakit jantung melitus,
iskemik) dan 6
. penyakit jantung
6
.
Langkah
Langkahawal
awalyangyang perlu dilakukanadalah
perlu dilakukan adalahmodifikasimodifikasi diet diet
dan dan gaya gaya hid
pasien hidup
gout,untuk
seperti direkomendasikan
pasien oleh IRA 2018
gout, seperti direkomendasikan oleh IRA (modifikasi
2018 (modifikasi EULAR 2016
terlihatEULAR
pada Tabel 4 berikut:
2016) seperti terlihat pada Tabel 4 berikut:

6 gout 6
Tabel 4. Rekomendasi diet untukdiet
Tabel 4. Rekomendasi pasien
untukgout
pasien

Terapi Artritis Gout Akut


Tatalaksana artritis gout akut menurut Rekomendasi IRA 2018 dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut:

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 495


Terapi Artritis Gout Akut
Awalia Tatalaksana artritis gout akut menurut Rekomendasi IRA 2018 dapat dilihat pada
Gambar 1 berikut:

Gambar
Gambar1.1.Tatalaksana
Tatalaksanagout
goutakut
akutmenurut
menurutIRA 201866
IRA 2018

Memulai pemberian obat penurun asam urat seperti alopurinol tidak dianjurkan pada pasien

dengan Memulai
serangan pemberian
akut, namun obat
tetap penurun
dilanjutkanasam urat seperti
bila pasien alopurinol tidak
sudah mengkonsumsi obat
tersebut secara pada
dianjurkan rutin. pasien dengan serangan akut, namun tetap dilanjutkan bila
pasien sudah mengkonsumsi obat tersebut secara rutin.
Terapi Profilaksis Serangan Gout Akut

Rekomendasi ACR 2012 mengenai terapi profilaksis serangan gout akut 8,9:
- Terapi
Bersamaan atau sesaat sebelum
Profilaksis Seranganmemulai
Gout ULT
Akut
Rekomendasi ACR 2012 mengenai terapi profilaksis serangan gout akut 8,9:
- Bersamaan atau sesaat sebelum memulai ULT

496 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tata Laksana Gout: Rekomendasi di Indonesia

- Pilihannya adalah kolkisin dosis rendah 0,6 mg 1-2 kali/hari (di luar
US sediaan 0,5 mg) (evidence A) atau NSAIDs dosis rendah dengan PPI
(evidence C)
- Obat lini kedua adalah prednison atau prednisolon dosis rendah (≤10mg/
hari) bila kolkisin / NSAIDs merupakan kontraindikasi atau terdapat
intoleransi / tidak efektif. (evidence C)
- Terapi diberikan minimal 6 bulan (evidence A), atau sampai 3 bulan
setelah target asam urat serum tercapai tanpa ditemukannya tophi
(evidence B), atau sampai 6 bulan setelah target asam urat tercapai
dengan adanya ≥ 1 tophi) (evidence C).

Sedangkan pada EULAR disarankan memulai terapi profilaksis ini 2


minggu sebelum memulai ULT (strength of recommendation 97, 95% CI, 96-
98).

Rekomendasi pengelolaan gout fase interkritikan dan gout kronis


menurut IRA 2018 adalah 6:
1. Terapi pencegahan serangan gout akut diberikan selama 6 bulan sejak
awal pemberian terapi penurun kadar asam urat, dengan kolkisin
0.5−1 mg/hari atau OAINS dosis rendah pada pasien yang mengalami
intoleransi atau kontraindikasi kolkisin.
2. Kadar asam urat serum harus dimonitor dan dijaga agar <6 mg/dL. Pada
pasien dengan gout berat (terdapat tofi, artropati kronis, sering terjadi
serangan artritis gout) target kadar asam urat serum diupayakan sampai
<5 mg/dL untuk melarutkan kristal MSU.
3. Semua pilihan obat untuk menurunkan kadar serum asam urat dimulai
dengan dosis rendah dan titrasi dosis meningkat sampai tercapai kadar
asam urat <6 mg/dL dan bertahan sepanjang hidup.
4. Terapi penurun asam urat yang dapat diberikan yaitu alopurinol (100-
900 mg/hari), probenecid (1-2 g/hari), febuxostat (80-120 mg/hari).
5. Gout kronis dengan tofi dan kualitas hidup buruk, bila terapi penurun
kadar asam urat tidak mencapai target dapat diberikan kombinasi
inhibitor xantin oksidase dan obat urikosurik atau diganti dengan
peglotikase.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 497


Awalia

Daftar Pustaka
1. Conway N, Schwartz S. Diagnosis and management of acute gout. Med & Health
2009; 92: 356 – 8.
2. Soeroso J. Diagnosis dan Manajemen Artritis Gout. Dalam: Naskah Lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Penyakit Dalam XXV, PAPDI Surabaya,
2010.
3. Hamburger M, Baraf HSB, Adamson TC, et al. 2011 Recommendations for the
diagnosis and management of gout and hyperuricemia. Postgrad Med 2011; 123 (6
suppl 1): 3 – 36.
4. Setiyohadi B. Penatalaksanaan Nyeri Akut Gout. Dalam: Kumpulan Makalah Temu
Ilmiah Reumatologi, IRA Jakarta, 2012.
5. Gupta R, Yokoyama WM. Gout. In: Kahl L (ed.) Washington Manual Rheumatology
and Subspecialty Consult. 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia 2012:
145 – 53.
6. Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout. Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia 2018.
7. Richette P, Doherty M, Pascual E, et al. 2016 updated EULAR evidence-based
recommendations for the management of gout. Ann Rheum Dis 2016;0:1–14
8. Khanna D, Fitzgerald JD, Khanna PP, et al. 2012 American College of Rheumatology
Guidelines for Management of Gout. Part 1: Systematic Nonpharmacologic and
Pharmacologic Theurapeutic Approaches to Hyperuricemia. Arthritis Care &
Research 2012; 64: 1431 – 46.
9. Khanna D, Khanna PP, Fitzgerald JD, et al. 2012 American College of Rheumatology
Guidelines for Management of Gout. Part 2: Therapy and Antiinflammatory
Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis. Arthritis Care & Research 2012; 64: 1447 –
61.

498 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Komprehensif Gout
Gede Kambayana
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Sanglah - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

Pendahuluan
Hiperurisemia merupakan suatu keadaan dimana kadar asam urat
meningkat dalam serum. Gout merupakan suatu kelainan yang bermanifestasi
klinis maupun patologis akibat adanya endapan kristal MSU didalam
jaringan. Prevalensi gout diseluruh dunia, semakin meningkat, seiring
dengan meningkatnya faktor komorditas seperti; hipertensi, obesitas,
sindrom metabolik, diabetes melitus, serta penyakit ginjal kronik. Prevalensi
hiperurisemia di Bali (Kuta, Pulau Ceningan Bali, Denpasar, Ubud) berkisar
12-18 %.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan gout masih


belum optimal yang ditunjukkan oleh adanya angka ketidaktepatan dalam
penegakkan diagnosis. Di Inggris dalam penelitian didapatkan angka sebesar
57% ketidaktepatan dalam diagnosis, yang mengakibatkan ketidaktepatan
pada pengobatan pasien. Mayoritas kasus terjadi pada pelayanan dasar, hal
ini dikarenakan kurangnya sosialisasi pedoman dalam penegakkan diagnosis
dan pengelolaan gout.

Kadar asam urat yang tinggi menyebabkan terbentuknya kristal urat yang
mengendap di sendi, jaringan lunak (tophi), interstitial ginjal atau batu asam
urat di saluran kemih. Presentasi awal mulai dari hiperurisemia asimtomatis,
artiritis akut, artritis kronis, tophus, urolithiasis, nefropati interstitial kronis.

Perjalanan Klinis Gout


Gejala klinis artritis gout dapat dibagi 4 stadium yaitu:
1. Hiperurisemia asimtomatik
Hiperurisemia asimptomatik merupakan suatu keadaan dimana kadar
asam urat darah > 6,8 mg/dl tetapi tanpa gejala klinis. Keadaan ini dapat
berlangsung bertahun-tahun dan masuk ke fase gout bila sudah terjadi
serangan akut.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 499


Gede Kambayana

2. Artririts gout akut (acute flare)


Terjadi artritis akut dengan keluhan nyeri sendi akut, kemerahan dan san-
gat nyeri, keadaan ini sering didahului adanya faktor pencetus. Pada pe-
meriksaan fisik terdapat pembengkakan sendi, kemerahan, nyeri tekan,
teraba hangat pada sendi monoartikuler, terutama pada sendi metatarso-
falangeal I (podagra), regio ankle (pergelangan kaki) serta sering disertai
febris. Gejala akut ini dapat hilang sendiri dalam beberapa hari. Dalam
diagnosis, jika terdapat di sendi besar dan terdapat efusi di sendi, dapat
dilakukan pemeriksaan kristal monosodium urat dalam cairan sendi, tapi
jika tidak ditemukan kristal MSU, bisa menggunakan kriteria klasifikasi
gout ACR/EULAR 2015.
3. Stadium Interkritik (stadium interval)
Stadium diantara serangan akut, tanpa adanya keluhan, tetapi kadar
asam urat dalam serum tinggi. Keadaan ini berlangsung bertahun-tahun
yang pada akhirnya akan terbentuk topus, setelah terbentuk topus inilah
maka kondisi tersebut masuk ke fase kronik.
4. Stadium Kronis dengan pembentukan topus (Chronic Topaseous Gouthy
arthropathy/ CTGA).
Akibat hiperurisemia yang lama terjadi kelainan berupa oligo atau
poliartritis, kecacatan sendi, pembentukan tophus, kelainan ginjal.
Kecacatan sendi dapat terjadi karena erosi dari tulang rawan dan tulang
subkondral akibat penumpukan kristal setempat atau akibat keradangan
kronis. Akibat pembentukan tophus dapat menyebabkan kerusakan
tendon sehingga menyebabkan kecacatan bentuk sendi terutama pada
MTP-I, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan. Komplikasi dan
kelainan yang sering bersama gout antara lain kelainan parenkim ginjal
(nefropati urat), batu urat, hipertensi, aterosklerosis jantung, dan otak,
diabetes mellitus, dan hiperlipidemia.

Tatalaksana Gout
Berdasarkan guideline dari American College of Rheumatology 2012.
Penatalaksanaan gout meliputi 4 domain utama yaitu;
1. Pemberian urate lowering therapy (ULT)
2. Penanganan Chronic gouth artritis with topaceous/Chronic tophaseous
gout arthropaty (CTGA)
3. Pemberian analgetik dan anti inflamasi pada acute gouthy artritis
4. Profilaksis farmakologi dan anti inflamasi terhadap serangan gout

500 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Komprehensif Gout

Modalitas terapi untuk menurunkan asam urat dalam serum adalah:


Allopurinol
Allopurinol merupakan obat penurun asam urat utama yang banyak
digunakan. Allopurinol bekerja dengan cara menghambat xantin oksidase
sehingga tidak terjadi pembentukan asam urat. Rekomendasi pemberian
Allopurinol berdasarkan panduan penalatakasaan Gout ACR 2012 ialah
sebagai berikut:
1. Pemberian dosis awal tidak boleh melebihi 100 mg/hari untuk sebagian
besar pasien dan pada pasien dengan PGK stadium 4 atau yang lebih
buruk dosis dimulai dengan 50 mg/hari (evidence B).
2. Dosis Allopurinol dinaikkan secara bertahap setiap 2-5 minggu sampai
dengan dosis maksimum untuk mencapai target asam urat yang
diinginkan (Evidence C).
3. Dosis Allopurinol dapat dinaikkan menjadi 300 mg/hari meskipun pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dengan edukasi dan KIE terhadap
pemantauan toksisitas Allopurinol (gatal, rash, peningkataan enzim
transaminase, evidence B).
4. Sebelum pemberian Allopurinol perlu dipertimbangkan pemeriksaan
HLA-B5801 pada pupulasi yang berisiko tinggi mengalami reaksi
hipersensitivitas terhadap Allopurinol (seperti orang Korea dengan PGK
stadium 3 atau lebih buruk, atau orang Cina keturunan Han, atau orang
Thailand meskipun dengan fungsi ginjal yang normal) (Evidence A).

Pemberian Allopurinol pada beberapa individu yang sensitif dapat


menimbulkan Allopurinol hypersensitivity syndrome (AHS) dengan manifestasi
seperti Steven-Johnson syndrome, toxic epidermal necrolisis, penyakit
sistemik seperti eosinofilia, vasculitis, rash, dan penyakit organ mayor.

Febuxostat
Febuxostat merupakan inhibitor selektif terhadap xantin oksidase
merupakan pilihan terapi untuk menurunakan asam urat. Dapat digunakan
pada penderita gangguan ginjal maupun gangguan liver ringan sedang
tanpa perlu adanya penyesuian dosis. Dosis yang diperlukan ialah 40 mg
hingga 80 mg sekali sehari. Perbandingan antara allupurinol dan febuxostat
disampaikan dalam tabel berikut:

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 501


Gede Kambayana

Tabel. Perbandingan alupurinol dan febuxostat

Probenesid
Probenecid merupakan pilihan pertama obat urikosurik untuk
menurunkan asam urat sebagai obat tunggal (monoterapi) (evidence B). Cara
kerjanya dengan menghambat reabsorpsi asam urat di tubulus. Dosis yang
dianjurkan 250 mg dua kali sehari selama 1 minggu.

Rekomendasi ACR 2012 terhadap penggunan probenesid ialah sebagai


berikut:
1. Pada pasien gout dengan serum LFG dibawah 50 ml/menit probensid
tidak direkomendasikan sebagai pilihan pertama ULT monoterapi
(evidence C)
2. Penggunaan obat-obatan selain probenesid dengan manfat klinis untuk
menurunkan asam urat seperti losartan dan fenofibrat dapat digunakan
sebagai alternatif terapi dalam menurunakan asam urat (evidence B)
3. Riwayat batu ginjal merupakan kontraindikasi pemberian obat urikosurik
sebagai first-line urate-lowering monotherapy (evidence C)
4. Asam urat dalam urin sebaiknya diperiksa sebelum dimulai terapi dengan
urikosurik (evidence C)
5. Peningkatan asam urat urin mencerminkan terjadinya overproduksi
asam urat yang merupakan kontraindikasi pemberian obat urikosurik
(evidence C)
502 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Penatalaksanaan Komprehensif Gout

6. Pemeriksaan asam urat urin diteruskan selama terapi dengan urikosurik


(evidence C)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Hiperurisemia Asimtomatis
Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan
modifikasi gaya hidup, termasuk pola diet seperti pada prinsip umum
pengelolaan hiperurisemia dan gout. Penggunaan terapi penurun asam urat
pada hiperurisemia tanpa gejala klinis masih kontroversial. The European
League Against heumatism (EULAR), American Colleague of Rheumatology
(ACR) dan National Kidney Foundation (NKF) tidak merekomendasikan
penggunaan terapi penurun asam urat dengan pertimbangan keamanan dan
efektifitas terapi tersebut. Sedangkan rekomendasi dari Japan Society for
Nucleic Acid Metabolism, menganjurkan pemberian obat penurun asam urat
pada pasien hiperurisemia asimptomatik dengan kadar urat serum >9 atau
kadar asam urat serum >8 dengan faktor risiko kardiovaskular (gangguan
ginjal, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit jantung iskemik).

Penatalaksanaan Serangan Gout (Acute Flare)


Serangan gout akut harus mendapat penanganan secepat mungkin.
Pasien harus diedukasi dengan baik untuk dapat mengenali gejala dini
dan penanganan awal serangan gout akut. Pilihan obat untuk penanganan
awal harus mempertimbangkan ada tidaknya kontraindikasi obat, serta
pengalaman pasien dengan obat-obat sebelumnya. Dalam evaluasi awal
serangan gout akut, dilakukan pengukuran terhadap derajat beratnya
serangan gout berdasarkan derajat nyeri dan jumlah sendi yang terkena. Pada
kasus dengan serangan gout berat, serta melibatkan lebih dari 2 sendi dapat
dipertimbangkan terapi kombinasi sejak awal.

Untuk serangan gout akut yang onsetnya <12 jam adalah kolkisin
dengan dosis 0.5 mg dan dapat diberikan setiap 6-8 jam. Terapi pilihan lain
diantaranya OAINS, kortikosteroid oral, jika kondisi berat boleh kombinasi
kolkisin dengan OAINS atau kombinasi kolkisin dengan kortikosteroid oral
tapi tidak boleh mengkombinasi steroid dengan OAINS. Bila dibutuhkan
aspirasi sendi diikuti injeksi kortikosteroid intra artikuler. Kolkisin dan
OAINS tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
ginjal berat.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 503


Gede Kambayana

Fase Interkritikal dan Gout Kronis


Fase interkritikal merupakan periode bebas gejala diantara dua serangan
gout akut. Pasien yang pernah mengalami serangan akut serta memiliki faktor
risiko perlu mendapatkan penanganan sebagai bentuk upaya pencegahan
terhadap kekambuhan gout dan terjadinya gout kronis. Pasien gout fase
interkritikal dan gout kronis memerlukan terapi penurun kadar asam urat
dan terapi profilaksis untuk mencegah serangan akut. Terapi penurun kadar
asam urat dibagi dua kelompok, yaitu: kelompok inhibitor xantin oksidase
(allopurinol dan febuxostat) dan kelompok urikosurik (probenecid).

Allopurinol adalah obat pilihan pertama untuk menurunkan kadar asam


urat, diberikan mulai dosis 100 mg/hari dan dapat dinaikan secara bertahap
sampai dosis maksimal 900 mg/hari (jika fungsi ginjal baik). Apabila dosis
yang diberikan melebihi 300 mg/hari, maka pemberian obat harus terbagi.
Jika terjadi toksisitas akibat allopurinol, salah satu pilihan adalah terapi
urikosurik dengan probenecid 1−2 gr/hari. Probenecid dapat diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal normal, namun dikontraindikasikan pada pasien
dengan urolitiasis atau ekskresi asam urat urin ≥800 mg/24jam. Pilihan
lain adalah febuxostat, yang merupakan inhibitor xantin oksidase non purin
dengan dosis 80−120 mg/hari. Kombinasi inhibitor xantin oksidase dengan
obat urikosurik atau peglotikase dapat diberikan pada pasien gout kronis
dengan tophus yang banyak dan/atau kualitas hidup buruk yang tidak dapat
mencapai target kadar asam urat serum dengan pemberian dosis maksimal
obat penurun asam urat tunggal. Target terapi penurun asam urat adalah
kadar asam urat serum <6 mg/dL, dengan pemantauan kadar asam urat
dilakukan secara berkala.

Pada pasien dengan gout berat (terdapat tophus, artropati kronis, sering
terjadi serangan artritis gout) target kadar asam urat serum menjadi lebih
rendah sampai <5 mg/dL. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membantu
larutnya kristal monosodium urat (MSU) sampai terjadi total disolusi kristal
dan resolusi gout. Kadar asam urat serum <3 mg/dL tidak direkomendasikan
untuk jangka panjang. Semua pilihan obat untuk menurunkan kadar asam
urat serum dimulai dengan dosis rendah. Dosis obat dititrasi meningkat
sampai tercapai target terapi dan dipertahankan sepanjang hidup. Sebagai
contoh allopurinol dimulai dengan dosis 100 mg/hari, kemudian dilakukan
pemeriksaan kadar asam urat setelah 4 minggu. Bila target kadar asam urat
belum tercapai maka dosis allopurinol ditingkatkan sampai target kadar asam
urat tercapai atau telah mencapai dosis maksimal.

504 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Komprehensif Gout

Setiap pasien gout yang mendapatkan terapi penurun kadar asam urat
berisiko mengalami serangan gout akut, terutama pada awal dimulainya terapi
penurun asam urat. Semakin poten dan semakin besar dosis obat penurun
asam urat, maka semakin besar pula risiko terjadinya serangan akut. Oleh
sebab itu, untuk mencegah terjadinya serangan akut gout direkomendasikan
untuk memberikan terapi profilaksis selama 6 bulan sejak memulai terapi
penurun kadar asam urat. Profilaksis yang direkomendasikan adalah kolkisin
dengan dosis 0.5–1 mg/hari, dosis harus dikurangi pada gangguan fungsi
ginjal. Bila terdapat intoleransi atau kontraindikasi terhadap kolkisin, dapat
dipertimbangkan pemberian OAINS dosis rendah sebagai terapi profilaksis
selama tidak ada kontraindikasi.

Rekomendasi Pengelolaan Gout pada Pasien Gangguan Fungsi Ginjal


Pasien gout dengan gangguan fungsi ginjal dosis obat penurun kadar asam
urat serum (misalnya: probenecid dan allopurinol) harus memperhatikan laju
filtrasi glomerulus/bersihan kreatinin. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal
berat dan mengalami serangan gout akut dapat diberikan kortikosteroid oral
dan injeksi intraartikuler. Bila nyeri masih belum teratasi dapat ditambahkan
analgesia golongan opioid. Allopurinol dan metabolitnya mempunyai
waktu paruh yang panjang. Pada gangguan fungsi ginjal dosis allopurinol
disesuaikan dengan bersihan kreatinin. Febuxostat merupakam pilihan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dan tidak membutuhkan penyesuaian
dosis apabila bersihan kreatinin >30 ml/menit, hal ini disebabkan ekskresi
febusostat melalui hati.

Pemberian kolkisin tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien


dengan gangguan fungsi ginjal yang memiliki bersihan kreatinin >60 ml/
min/1.73 m2. Sedangkan pada pasien yang memiliki bersihan kreatinin
30─60 ml/ min/1.73m2 dosis yang diberikan dibatasi 0.5 mg, pasien dengan
bersihan kreatinin 10─30 ml/min/1.73m2 dosis dibatasi 0.5 mg setiap 2─3
hari, dan pemberian kolkisin perlu dihindari pada pasien dengan bersihan
kreatinin <10 ml/min/1.73m2.

Kesimpulan
Hiperurisemia merupakan suatu keadaan dimana kadar asam urat
meningkat dalam serum. Gout merupakan suatu kelainan yang bermanifestasi
klinis maupun patologis akibat adanya endapan kristal MSU didalam jaringan.
Presentasi awal mulai dari hiperurisemia asimtomatis, artiritis akut, artritis
kronis, tophus, urolithiasis, nefropati interstitial kronis. Tatalaksana gout

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 505


Gede Kambayana

sesuai dengan stadium klinis masing-masing. Diagnosis dan tatalaksana yang


tepat akan mengurangi berbagai komplikasi berat.

Daftar Pustaka
1. Sumaryono, dkk. Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout. Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2018.
2. Cottrell E, Crabtree V, Edwards JJ, Roddy E. Improvement in the management of
gout is vital and overdue : an audit from a UK primary care medical practice. BMC
Fam Pract [Internet]. BMC Family Practice; 2013;14(1):1. Available from: BMC
Family Practice.
3. Khanna D, Fitzgerald JD, Khanna PP, Bae S, Singh MK, Neogi T, et al. 2012 American
College of Rheumatology Guidelines for Management of Gout . Part 1 : Systematic
Nonpharmacologic and Pharmacologic Therapeutic Approaches to Hyperuricemia.
2012;64(10):1431–46.
4. Kambayana, Raka Putra dkk. Hyperurcemia and Factors Relating in the Community
of Balinese Population. An epidemiological survey. In press; 2010.
5. Sivera F, Andrés M, Carmona L, Kydd ASR, Moi J, Seth R, et al. Multinational
evidence-based recommendations for the diagnosis and management of gout :
integrating systematic literature review and expert opinion of a broad panel of
rheumatologists in the 3e initiative. 2014;328–35.
6. Cruces H De. Gout : past , present , and future Gota : pasado , presente y futuro.
2011;7(4):2010–2.
7. Becker MA, Baraf HSB, Yood RA, Dillon A, Vázquez-mellado J, Ottery FD, et al. Long-
term safety of pegloticase in chronic gout refractory to conventional treatment
Patient disposition. 2013;1469–74.
8. Goldfien RD, Ng MS, Yip G, Hwe A, Jacobson A, Pressman A, et al. Effectiveness of a
pharmacist-based gout care management programme in a large integrated health
plan : results from a pilot study. 2014;1–6.
9. Clinical S. Arthritis Care & Research © 2012 , American College of Rheumatology
2012 American College of Rheumatology Guidelines for Management of Gout.
Part 2: Therapy and Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis.
2012;64(10).
11 Neogi T, Jansen T, Dalbeth N, Fransen J, Schumacher HR, Barendsen D, et al.2015
Gout Classi􀏐ication Criteria: an American College of Rheumatology/European
League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis Rheum 2015; 67
(10):2557-68..

506 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Transfusi Darah Masif pada Kasus Emergensi
Ugroseno Yudho Bintoro
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Sejarah transfusi darah pada perdarahan masif banyak dilakukan saat


perang dan dimulai dari pemberian whole blood dari prajurit sehat ke prajurit
yang terluka. Pengetahuan yang didapat saat perang menjadi strategi tata
laksana pemberian transfusi pada perdarahan masif. Pada setting non trauma
beberapa hal juga menjadi perhatian pada pemberian transfusi darah masif
antara lain kondisi pasien, produk darah yang tersedia dan keamanannya.

Kriteria Transfusi darah masif (TM) terdiri dari total body volume (TBV)
digantikan dalam 24 jam, 50% dari TBV digantikan dalam 3 jam atau terjadi
perdarahan yang cepat dan masif didokumentasikan atau diobservasi.
Perdarahan yang cepat adalah ketika lebih dari 4 unit darah merah
ditransfusikan dalam 4 jam disertai perdarahan masif dengan perdarahan
lebih dari 150 ml/menit. Transfusi masif berdasarkan waktu kejadiannya
dapat dibagi menjadi dua yaitu pada kondisi trauma dan non trauma. Prinsip
manajemen perdarahan masif ada 2 yaitu manajemen intravascular loss,
manajemen kehilangan komponen darah.

1. Management of intravascular volume loss


Secara fisiologis, kompensasi hemodinamik tubuh dapat dipertahankan
sampai sekitar kehilangan 30% total body volume. Resusitasi yang tidak
adekuat pada tahap ini menimbulkan syok. Resusitasi yang berlebih juga
dapat menyebabkan gannguan koagulasi terkait dilusi clot hemostatic
dan meyebabkan perdarahan berlanjut.
2. Manajemen kehilangan komponen darah.
Kehilangan komponen darah selama kehilangan darah masif paling baik
dikelola dengan mengikuti protokol transfusi masif (PTM). Kehilangan
darah ringan hingga sedang dapat dikelola dengan infus kristaloid atau
koloid saja. Namun, dengan meningkatnya kehilangan, akan terjadi
anemia dilusional dan koagulopati delusional. Serta adanya pengganti
plasma memiliki efek langsung pada sistem koagulasi terutama jika
digunakan dalam volume> 1,5 L. Dalam sebuah penelitian pada pasien
bedah dengan faktor koagulasi normal, level kritis secara hemostatik dari

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 507


Ugroseno Yudho Bintoro

trombosit (50 × 103 / mm3), fibrinogen (1,0 g / L) dan faktor koagulasi II,
V dan VII dicapai pada kehilangan darah> 200%, 150% and 200%. Oleh
karena itu, umumnya direkomendasikan bahwa penggantian komponen
darah dipandu oleh tes laboratorium. Namun dalam situasi kehilangan
darah yang besar, pendekatan berbasis tes laboratorium untuk
penggantian faktor koagulasi dapat menyebabkan keterlambatan. Hal
ini dapat menyebabkan perdarahan hebat. Oleh karena itu, penggantian
faktor-faktor koagulasi empiris berdasarkan protokol direkomendasikan
dalam kehilangan darah masif

Perhatian khusus pada kondisi dibawah ini


1. Trauma: koagulopati akut pada syok akibat trauma disebabkan
kombinasi kerusakan jaringan dan syok, tanpa resusitasi yang adekuat
dapat menyebabkan hipotermia dan multiple organ failure
2. Postpartum
Perdarahan post partum diakibatkan defisiensi fibrinogen akibat
perdarahan obstetric dan dapat diperberat dilusi dan hiperfibrinolysis

Protokol Transfusi Masif


Dengan adanya pengertian patofisiologi syok hemorargis, resusitasi
pasien, terapi suportif dengan kristaloid, dan produk darah serta laboratorium
penunjang dapat digunakan protocol standar yang disebut Protokol Transfusi
Masif (PTM). Protokol Transfusi Masif (PTM) digunakan untuk menghambat
terjadinya trias of death asidosis, hipotermia dan koagulopati. PTM membantu
interaksi antara klinisi dan bank darah sehingga perbandingan dan jumlah
pemberian transfusi sel darah merah, faktor koagulasi dan platelet dapat
optimal.

Sampai saat ini terdapat 2 guideline yang sering dipakai yaitu the European
guidelines by the Task Force for Advanced Bleeding Care in Trauma (2013)
dan the Trauma Quality Improvement Program (TQIP) recommendations from
the American College of Surgeons. Protokol Transfusi MAsif (PTM) diaktivasi
oleh klinisi pada respon perdarahan masif, biasanya setelah transfusi 4-10
unit darah. PTM memiliki penjelasan berapa rasio transfusi darah merah,
fresh frozen plasma (FFP) atau cryo dan platelet setiap paket (contoh 1:1:1
atau 2:1:1). Begitu protokol ini diaktifkan bank darah memastikan unit jenis
darah yang dibutuhkan tersedia. Hal ini dapat mengurangi kebutuhan tes

508 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Sampai saat ini terdapat 2 guideline yang sering dipakai yaitu the European
guidelines by the Task Force for Advanced Bleeding Care in Trauma (2013) dan the Trauma
Quality Improvement Program (TQIP) recommendations from the American College of
Surgeons. Protokol Transfusi MAsif (PTM) diaktivasi oleh klinisi Transfusi
pada Darah
respon
Masifperdarahan
pada Kasus Emergensi
masif, biasanya setelah transfusi 4-10 unit darah. PTM memiliki penjelasan berapa rasio
transfusi darah merah, fresh frozen plasma (FFP) atau cryo dan
laboratorium dan komunikasi klinisi dan bank darah sehingga waktu platelet setiap paket (contoh yang
1:1:1 atau 2:1:1). Begitu protokol ini diaktifkan bank darah memastikan unit jenis darah yang
dibutuhkan
dibutuhkan lebihHal
tersedia. pendek dan
ini dapat efisien kebutuhan tes laboratorium dan komunikasi
mengurangi
klinisi dan bank darah sehingga waktu yang dibutuhkan lebih pendek dan efisien
Tabel 1. Beberapa penelitian protokol transfusi masif dan perbandingan produk
Tabel 1. Beberapa penelitian protokol transfusi
darah (Hsumasif
YMS,dan perbandingan produk darah (Hsu
2019)
YMS, 2019)

Note: 1U cryo Note:


=1 individual
1U cryo =1unit (not 5-unit
individual or 10-pooled unit) of cryoprecipitate.
(not 5- or 10-pooled unit) of cryoprecipitate.
Abbreviations: RBCs, red blood cells; RDP, random donor platelets; SDP, single donor
Abbreviations: RBCs, red blood cells; RDP, random donor platelets; SDP, single donor apheresis platelets;
apheresis platelets; FFP, fresh frozen plasma; TP, thawed plasma; LP, liquid plasma; TXA,
FFP, fresh frozen
tranexamic acid; plasma;
rFVIIa,TP, thawed plasma; LP, liquid
recombinant-activated plasma;
factor VII.TXA, tranexamic acid; rFVIIa, recombinant-
activated factor VII.
Transfusi Sel Darah Merah
Beberapa studi prospektif randomized controlled trials (RCT), antara lain ARIPI,
Transfusi
ABLE, dan Sel Darah
RECESS Merah
trials, menunjukkan bahwa lama umur penyimpanan sel darah merah
tidak
mempengaruhi
Beberapa outcome
studi transfusi.
prospektif Hal lain yang
randomized perlu diperhatikan
controlled adalahantara
trials (RCT), adanyalain
praktek penggunaan uncrossmatched Group O RhD negative RBCs untuk mempersingkat
ARIPI,cross
waktu ABLE, dandapat
match RECESS trials, menunjukkan
meningkatkan kemungkinan bahwa lama umur
reaksi hemolisis akut penyimpanan
atau kronik
sel darah merah tidak mempengaruhi outcome transfusi. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah adanya praktek penggunaan uncrossmatched
Group O RhD negative RBCs untuk mempersingkat waktu cross match dapat
meningkatkan kemungkinan reaksi hemolisis akut atau kronik karena adanya
antibodi pada plasma residu darah donor golongan O yang secara kumulatif
jumlahnya dapat menjadi cukup banyak. Sehingga untuk pasien dengan
golongan darah A, B, atau AB sebaiknya tetap cross match dilakukan dan
diberi transfusi sesuai golongan darah pasien.

Transfusi Plasma
Faktor koagulasi memiliki waktu paruh yang bervariasi, dan selama
perdarahan masif dapat terjadi koagulopati. Oleh karena itu transfusi plasma
yang mengandung factor koagulasi diperlukan. Untuk pasien dengan golongan
darah AB kadang sulit mendapat FFP karena donor hanya sekitar 4% dari

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 509


Ugroseno Yudho Bintoro

seluruh donor darah. Untuk itu plasma golongan darah A dengan titer anti B
yang rendah dapat digunakan

Trombosit
Setelah pengambilan dari darah, trombosit disimpan pada suhu 20-24
derajat C. Pada study in viro platelet yang didinginkan memiliki half life yang
lebih rendah tetapi memiliki kemampuan aggregasi yang lebih baik.

Whole blood
Transfusi WB dari beberapa penelitian dikatakan dapat mengurangi
kebutuhan jumlah volume darah yang ditransfusikan. Saat ini ada beberapa
clinical trial untuk mengetahui efektifitas transfusi WB pada setting emergency.

Recombinan FVIIA
Saat ini penggunaan rFVIIa tidak direkomendasikan digunakan secara
rutin karena dapat meningkatkan resiko tromboemboli pada pasien.

Tranexamic acid
Antifibrinolytics seperti aminocaproic acid atau tranexamic acid (TXA),
menghambat pembentukan plasmin; plasmin memecah fibrin clot. Sehingga
dikatakan bermanfaat untuk mencapai hemostasis dan mengurangi kebutuhan
unit darah pada perdarahan masif terutama dengan aktivitas fibrinolisis yang
meningkat.

Beberapa komplikasi transfusi masif yang dapat terjadi:


1. Citrate toxicity: 80 ml of citrate phosphate dextrose adenine pada tiap
kantung darah mengandung 3 g citrate. Hypoperfusi dan hypothermia
karena massive blood loss dapat menurunkan metabolism sitrat
yang dapat mengakibatkan hypocalcaemia dan hypomagnesemia.
Hypocalcaemia menyebabkan gangguan miokard. Pemberian calcium
gluconas dibutuhkan pada transfusi masif.
2. Hyperkalaemia: Kalium pada 1 unit darah merah adalah 7 - 77 mEq/L
tergantung uur darah. Pada pemberian transfusi dengan kecepatan 100-
150 ml/min, transient hyperkalaemia sering terjadi. Asidosis karena
hipoperfusi juga dapat memperberat hiperkalemia
3. Hypothermia: dapat menyebabkan gangguan enzyme tubuh dan gangguan
aktivasi trombosit.

510 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Transfusi Darah Masif pada Kasus Emergensi

4. Hypomagnesemia: sitrat terikat pada magnesium dan dapat


mengakibatkan hipomagnesemia. Resusitasi cairan jumlah besar dengan
Mg rendah juga dapat memperberat
5. Asidosis: setelah penyimpanan unit darah merah lebih dari 2 minggu pH
akan turun kurang dari 7.0, Asidosis dapat mengganggu jalur koagulasi
intrinsic maupunekstrinsik.

Daftar Pustaka
1. Society of Thoracic Surgeons Blood Conservation Guideline; Task F, Ferraris VA,
Brown JR, et al. 2011 update to the Society of Thoracic Surgeons and the Society of
Cardiovascular Anesthesiologists blood conservation clinical practice guidelines.
Ann Thorac Surg. 2011;91(3): 944–982.
2. Camazine MN, Hemmila MR, Leonard JC, et al. Massive transfusion policies at
trauma centers participating in the American College of Surgeons Trauma Quality
Improvement Program. J Trauma Acute Care Surg. 2015;78(6 Suppl 1):S48–S53.
3. Zimring JC. Fresh versus old blood: are there differences and do they matter?
Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2013;2013:651–655.
4. Wang D, Sun J, Solomon SB, Klein HG, Natanson C. Transfusion of older stored blood
and risk of death: a meta-analysis. Transfusion. 2012;52(6):1184–1195

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 511


Enteral and Parenteral Nutrition Concept
in Critically Ill
Haerani Rasyid
Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Departemen Ilmu Gizi Klinik
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo - Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Abstrak
Penyakit kritis merupakan kondisi yang berhubungan dengan stres
katabolik dengan respon inflamasi sistemik. Terapi nutrisi pada penyakit
kritis dapat mencegah kelainan metabolik yang berkepanjangan dan
kehilangan massa otot. Pemberian nutrisi artifisial seperti nutrisi enteral
dan parenteral sudah merupakan terapi primer untuk mencegah perburukan
gangguan metabolik dan kehilangan massa otot dengan tujuan memperbaiki
luaran klinis pasien penyakit kritis. Banyak hal yang harus dipertimbangkan
untuk penentuan jalur nutrisi pada penyakit kritis, namun nutrisi enteral
tetap menjadi pilihan pertama jalur nutrisi.

Pendahuluan
Penyakit kritis merupakan kondisi yang berhubungan dengan stres
katabolik dengan respon inflamasi sistemik. Komplikasi seperti peningkatan
morbiditas infeksi, kegagalan multiorgan dan perpanjangan lama rawat
serta peningkatan mortalitas sering terjadi. Terapi nutrisi yang adekuat
telah menunjukkan dapat memperbaiki respon metabolik terhadap stres
dan memodulasi respon imun. Terapi nutrisi pada penyakit kritis dapat
mencegah kelainan metabolik yang berkepanjangan dan kehilangan massa
otot. Penurunan LOS, tingkat morbiditas, dan perbaikan pada luaran klinis
pasien telah menjadi hasil dari terapi nutrisi yang tepat pada penyakit kritis.1

Pemberian nutrisi artifisial seperti nutrisi enteral dan parenteral


sudah merupakan terapi primer untuk mencegah perburukan gangguan
metabolik dan kehilangan massa otot dengan tujuan memperbaiki luaran
klinis pasien penyakit kritis. Jalur nutrisi enteral (NE) lebih fisiologis karena
tetap mempertahankan struktural dan fungsional usus dan juga memelihara
keragaman mikrobiota usus. Kerugian dari EN berhubungan dengan
kecukupan nutrisi yang rendah pada fase akut penyakit dan pada kondisi
disfungsi saluran cerna. Nutrisi parenteral (NP) juga memiliki kerugian
yaitu menyebabkan beberapa komplikasi baik komplikasi mekanik maupun

512 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Enteral and Parenteral Nutrition Concept in Critically Ill

metabolik. Sebagian besar konsensus ataupun pendapat ahli menyatakan


bahwa EN merupakan terapi nutrisi lini pertama pada pada penyakit kritis.2

Penentuan jalur nutrisi pada pasien di ICU harus mempertimbangkan


beberapa hal antara lain indikasi dan kontraindikasi jalur nutrisi, waktu yang
tepat untuk implementasi jalur tersebut, berapa lama target kalori harus
tercapai, indikasi nutrisi parenteral supplemental atau total serta bagaimana
cara untuk mengurangi atau mencegah terjadinya resiko komplikasi masing
masing jalur nutrisi. Berikut ini akan dibahas bagaimana konsep nutrisi
enteral dan parenteral pada penyakit kritis.3

Nutrisi Enteral pada Penyakit Kritis


Saat ini telah direkomendasikan Nutrisi Enteral Dini /Early Enteral
nutrition (EEN) (pemberian nutrisi enteral dalam 48 jam pertama) pada
pasien penyakit kritis. Penelitian-penelitian observasional menunjukkan
bahwa pemberian EEN pada pasien dengan hemodinamik stabil (setelah
resusitasi cairan atau dengan obat vasopressor) dapat menurunkan mortalitas
dibandingkan pemberian NE > 48 jam. Berdasarkan ESPEN guideline on
clinical nutrition in the ICU 2019, jika asupan oral tidak memungkinkan maka
nutrisi enteral dini atau EEN (dalam 48 jam) harus dimulai pada pasien
penyakit kritis dibandingkan pemberian NP.3,4 Beberapa prinsip umum
dalam pemberian nutrisi enteral dini pada penyakit kritis adalah memulai
EEN dengan laju yang lambat (10-20 ml/jam) sambal memonitor gejala
gastrointestinal, jangan bertujuan untuk mencapai total target energi dengan
EEN karena dapat menimbulkan resiko, setiap peningkatan dosis EEN selalu
disertai pemantauan tekanan intra abdomen. 3 Beberapa hal yang harus
diperhatikan pada pemberian NE adalah:
• Pemberian NE secara terus menerus (dengan pompa atau gravity bag)
lebih dianjurkan dibandingkan bolus intermitten 1,3
• Pada pasien yang intoleran terhadap gastric feeding dan tidak teratasi
dengan agen prokinetik maka dianjurkan untuk postpyloric feeding. Agen
prokinetik lini pertama adalah eritromisisn intravena dengan dosis 100-
250 mg 3x/hari selama 2-4 hari. Alternatif lain adalah metoklopramide
intravena dengan dosis 10 mg 2-3x/hari. 3
• Nutrisi enteral sebaiknya ditunda pada kondisi 3 :
a. Shock tidak terkontrol, target hemodinamik dan perfusi jaringan
tidak tercapai. EN dosis rendah dapat segera dimulai jika shock

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 513


Haerani Rasyid

terkontrol dengan cariran dan vasopressor/inotropic, sambal


memonitor tanda iskemi usus.
b. Pada kasus hipoksemia yang mengancam jiwa, hiperkapnia atau
asidosis.
c. Pasien yang mengalami perdarahan saluran cerna atas yang aktif
d. Pasien iskemi usus dengan tanda dan gejala yang jelas (Residu
lambung > 500 cc, perut cembung, nyeri perut, tekanan intra
abdominal > 15 mmHg, ileus, hiperlaktasidemia, asidosis
metabolik)3,5
e. Pasien fistula usus produksi tinggi, jika akses nutrisi di bagian distal
dari fistula tidak dapat dilakukan
f. Pasien sindrom kompartemen abdomen
g. Jika volume residu lambung > 500 cc/6 jam
• Pada pasien sepsis, NE dini dan progresif dapat diberikan setelah
stabilisasi hemodinamik.3,4
• Pasien yang memiliki resiko tinggi aspirasi, dapat dilakukan post-pyloric
terutama jejunal feeding.3
• Formula polimerik standar lebih direkomendasikan dibandingkan
formula khusus.3
• Pemberian glutamin via enteral hanya direkomendasikan pada pasien
dengan luka bakar > 20% TBSA dengan dosis 0.3-0.5 gr/kg/hari selama
10-15 hari dan pada pasien trauma dengan dosis 0.2-0.3 gr/kg/hari
selama 5 hari pertama dan dapat diperpanjang sampai 15 hari jika ada
komplikasi penyembuhan luka 3
• Nutrisi enteral yang diperkaya omega 3 dalam dosis nutrisi dapat
diberikan pada pasien di ICU. 3
• Pemberian probiotik secara rutin pada pasien di ICU tidak
direkomendasikan 1

Nutrisi Parenteral pada Penyakit Kritis


Tatalaksana pasien penyakit kritis dengan NP harus memperhatikan laju
pemberian nutrisi, kontrol glikemik, penggantian dan monitoring elektrolit,
durasi NP, dan trasnsisi ke NE. Rasio resiko/keuntungan penggunaan NP pada
pasien di ICU lebih kecil dibandingkan NE. Penggunaan NP pada pasien dengan
gizi baik hanya memberikan manfaat yang kecil. Pemberian suplementasi NP

514 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Enteral and Parenteral Nutrition Concept in Critically Ill

pada pasien yang sudah menerima NE dalam 7-10 hari pertama memang
dapat meningkatkan ketersediaan energy dan protein namun keuntungannya
pada pasien ICU minimal. Namun bagaimanapun keputusan harus diambil
berdasarkan kasus per kasus.6

ASPEN dan SCCM juga merekomendasikan dosis NP hipokalorik (≤ 20 kkal/kg/


hari atau 80% dari kebutuhan energy yang diperkirakan) dengan protein yang
adekuat (≥ 1.2 gr/kg/hari) pada pasien yang tepat (resiko tinggi/malnutrisi
berat) yang membutuhkan NP, dimulai dalam minggu pertama perawatan
ICU. Ketika NE sudah dapat ditoleransi maka jumlah NP harus diturunkan dan
diberhentikan ketika pasien sudah mencapai > 60% target energy melalui NE.
6
Beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan pemberian NP
pada pasien di ICU adalah:
• Jika terdapat kontraindikasi tehadap nutrisi oral/enteral maka nutrisi
parenteral dapat diimplementasikan dalam 3-7 hari pertama. Pemberian
NP dini dan progresif dapat dilakukan pada pasien gizi buruk yang
kontraindikasi terhadap NE.3
• Keamanan dan keuntungan memulai NP pada pasien di ICU harus
dipertimbangkan kasus per kasus. Dianjurkan untuk tidak memulai
NP sebelum semua strategi untuk memaksimalkan toleransi EN
telah dilakukan. ASPEN/SCCM merekomendasikan bahwa baik pada
pasien dengan resiko nutrisi yang rendah atau tinggi, pemberian NP
supplemental hanya diberikan mulai hari ke 7-10 jika tidak dapat
mencapai > 60% target kalori dan protein melalui NE saja. 3
• Jumlah glukosa dalam NP berkisar antara 2- 4 mg/kg/menit pada
pasien penyakit kritis/hiperglikemia. Jumlah minimal karbohidrat yang
diberikan adalah 150 gr/hari. 3
• Dosis lipid intravena tidak boleh melebihi 1.5 gr lemak/kg/hari atau
0.11 gr/kg/jam dan harus disesuaikan dengan toleransi masing-masing
pasien. 7
• Glutamin intravena tidak dianjurkan diberikan pada pasien ICU yang
tidak stabil, terutama yang menderita gagal ginjal dan hepar. 3
• Emulsi lipid parenteral yang diperkaya EPA dan DHA (dosis minyak ikan
0.1-0.2 gr/kg/hari) dapat diberikan pada pasien yang menerima NP. 3
• Evaluasi kembali pemberian NP atau IVFE jika kadar trigliserida sampai
400 mg/dL. Klirens IVFE konsentrasi 20% lebih cepat dibandingkan yang
10%. 7
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 515
Haerani Rasyid

Yang masih menjadi kontroversi adalah kapan sebaiknya memulai NP


pada pasien dengan penyakit kritis. 3 penelitian terbaru tentang pemberian
NP pada pasien penyakit kritis (EPaNIC, SNP, dan Early NP trial) menunjukkan
bahwa pemberian NP pada hari 1,3 atau 4 di ICU tidak meningatkan luaran
klinis bahkan dapat memberikan efek berbahaya. Namun beberapa guidelines
menyatakan untuk mempertimbangkan pemberian NP dini pada pasien
dengan resiko nutrisi yang tinggi.8 ESPEN merekomendasikan pemberian NP,
jika NE kontraindikasi, dalam 48 jam pertama pada pasien resiko nutrisi tinggi
dengan hemodinamik stabil. Suplementasi NP dapat diberikan pada pasien
dengan resiko nutrisi tinggi jika tidak bisa memenuhi > 60% target energy dan
protein dengan NE dalam 3 hari. Sedangkan untuk pasien lain, suplementasi NP
dapat diberikan jika tidak bisa memenuhi target > 60% setelah 7 hari. ESPEN
juga merekomendasikan bahwa pada semua pasien yang kontraindikasi atau
tidak toleransi terhadap NE selama 3 hari, harus menerima NP dalam 24-48
jam pertama. Penundaan NP dapat meningkatan resiko balans energy negatif,
infeksi dan lama penggunaan ventilator mekanik.9

Nutrisi Enteral vs Nutrisi Parenteral pada pasien ICU


Beberapa tahun terakhir masih banyak penelitian yang membandingkan
efektifitas EN dan NP pada pasien penyakit kritis. Elke et al menemukan
bahwa jika dibandingkan EN dan PN, tidak ditemukan perbedaan pada angka
kematian namun NE menurunkan komplikasi infeksi dan lama rawat ICU.2
Zhang et al juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
pada laju mortalitas. Jalur EN dapat menurunkan insidensi infeksi pada
aliran darah dan menurunkan LOS namun berhubungan dengan peningkatan
resiko komplikasi gastrointestinal. 10 Lewis SR menyatakan bahwa sulit untuk
menentukan dengan pasti jalur yang mana yang lebih baik, NE atau NP, pada
pasien di ICU. Mereka menemukan penurunan jumlah kematian pada hari
ke 30 dengan pemberian kombinasi NE dan NP, penurunan resiko sepsis
ditemukan pada pemberian NE dibanding PN.11 Beberapa ahli berpendapat
bahwa mungkin sebaiknya tidak terlalu berfokus untuk membandingkan
efektifitas nutrisi enteral dan parenteral pada penyakit kritis karena penyakit
kritis sangat kompleks dan memberikan respon yang berbeda-beda. Jalur
NE tetap merupakan jalur lini pertama pemberian nutrisi pada pasien di ICU
namun jika memang dinilai bermanfaat pada pasien tersebut maka nutrisi
parenteral supplemental ataupun total dapat diberikan sesuai protokol yang
berlaku.

516 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Enteral and Parenteral Nutrition Concept in Critically Ill

Kesimpulan
Terapi nutrisi yang adekuat telah menunjukkan dapat memperbaiki
respon metabolik terhadap stres dan memodulasi respon imun. Pada
penyakit kritis, waktu pemberian, jalur nutrisi dan target kalori/protein
tidak dapat dipikirkan secara terpisah pisah tapi sebaiknya diintegrasikan
menjadi pendekatan yang komprehensif untuk memperbaiki luaran klinis
pasien di ICU. Pemberian nutrisi melalui jalur enteral maupun parenteral
memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Namun NE masih
tetap direkomendasikan sebagai lini pertama jalur nutrisi pada pasien di ICU
karena sifatnya yang lebih fisiologis. Pelaksanaan NP pada pasien di ICU harus
dinilai kasus per kasus dan pertimbangan manfaatnya jika memilih jalur
tersebut.

Daftar Pustaka
1. Mehta Y, Sunavala JD, Zirpe K et al. 2018. Practice Guidelines for Nutrition
in Critically Ill Patients: A Relook for Indian Scenario. Indian J Crit Care Med
2018;22:263-73.
2. Elke G, van Zanten ARH, Lemieux M et al. 2016. Enteral versus parenteral nutrition
in critically ill patients: an updated systematic review and meta-analysis of
randomized controlled trials. Crit Care 20:117
3. Singer P, Blaser AR, Berger MM et al. 2019. ESPEN guideline on clinical nutrition in
the intensive care unit. Clin Nutri 38:48-79
4. Blaser AR, Starkopf J, Alhazzani W et al. 2017. Early enteral nutrition in critically
ill patients: ESICM clinical practice guidelines. Intensive Care Med (2017) 43:380–
398
5. Lasierra JLF, Perez-Vela JL, dan Gonzalez JCM. 2015. Enteral nutrition in the
hemodynamically unstablecritically ill patient. Med Intensiva. 2015;39(1):40-48
6. McClave, Stephen A. et al. 2016. Guidelines for the Provision and Assessment of
Nutrition Support Therapy in the Adult Critically Ill Patient: Society of Critical
Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and Enteral Nutrition
(A.S.P.E.N.). J Parenteral and Enteral Nutri Volume 40 Number 2
7. Derenski K, Catlin J, Allen L. 2016. Parenteral Nutrition Basics for the Clinician
Caring for the Adult Patient. Nutrition in Clinical Practice Volume 31 Number 5
October 2016 578– 595
8. Gunst, Jan dan Casaer, Michael P. 2016. Timing and Indication for Parenteral
Nutrition in Nutrition Support for the Critically Ill. Chapter 6. Switzerland : Springer
International Publishing
9. Sioson, Marianna S et al. 2018. Nutrition therapy for critically ill patients across the
Asia-Pacific and Middle East regions: A consensus statement. Clin Nutri ESPEN 24
156-164

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 517


Haerani Rasyid

10. Zhang G, Zhang K, Cui W et al. 2018. The effect of enteral versus parenteral nutrition
for critically ill patients: A systematic review and meta-analysis. J Clin Anesth 51
(2018) 62–92
11. Lewis SR, Schofield-Robinson OJ Alderson P et al. 2018. Enteral versus parenteral
nutrition and enteral versus a combination of enteral and parenteral nutrition
for adults in the intensive care unit (Review). Cochrane Database of Systematic
Reviews 2018, Issue 6. Art. No.: CD012276

518 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Perubahan Metabolisme dan Terapi Nutrisi
pada Pasien Sakit Kritis
Ceva Wicaksono Pitoyo
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Perlukaan (injury) berat atau infeksi berat dapat mencetuskan respon
pejamu yang khas, yang berupa perubahan fisiologi dan metabolik. Perubahan
tersebut seringkali mengganggu kualitas hidup bahkan berbahaya. Akan
tetapi perubahan ini tampaknya justru ditujukan untuk upaya penyelamatan
hidup atau perbaikan kesehatan tubuh. Oleh sebab itu tatalaksana
perubahan tersebut perlu dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak justru
memperparah keadaan.1,2,3 Beberapa perubahan yang dapat tampak menonjol
adalah demam, peningkatan produksi panas tubuh, anorexia, netrofilia,
peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein, aktivasi komplemen,
kaskade koagulasi, perubahan respon imun, produksi protein fase akut, serta
perubahan distribusi elektrolit. Besarnya perubahan banyak dipengaruhi oleh
reaktifitas individu yang berbeda-beda, akan tetapi umumnya setara dengan
beratnya perlukaan (injury). Perlukaan yang dimaksud di sini bukanlah
sekedar perlukaan akibat trauma akan tetapi juga perlukaan jaringan atau sel
karena peradangan, respon imun maupun infeksi. Besarnya respon metabolik
seorang pasien atas perlukaan itu proporsional pada besarnya masa sel
tubuh, umur yang lebih muda, nutrisi yang lebih baik, serta masa otot yang
lebih besar.

Sejak tahun 1930, Chuthbertson telah mengggambarkan adanya pola


bifasik dalam kejadian perlukaan.3 Fase pertama adalah ebb atau fase
nekrobiotik dimana terjadi hipometabolisme dengan penurunan konsumsi
oksigen, penurunan cardiac output, dan timbulnya syok. Pada awalnya fase ebb
diperkirakan mencapai 48 jam, akan tetapi bukti terakhir menunjukkan fase
ini dapat selesai dalam waktu hanya 12 jam setelah perlukaan / pencetusnya.
Fase kedua adalah fase flow dimana terjadi peningkatan reaksi metabolik,
peningkatan hilangnya nitrogen, fosfor, sulfur, dan elektrolit lain yang sesuai
dengan beratnya perlukaan, status nutrisi sebelumnya serta berbanding
terbalik dengan umur.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 519


Ceva Wicaksono Pitoyo

Pada tahun 1967, Walter B. Cannon berhasil membuktikan bahwa


setelah perlukaan terjadi peningkatan katekolamin yang diproduksi oleh
kelenjar adrenal.4 Produksi ini mengakibatkan takikardia, dilatasi kapiler,
takipnu, hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas plasma, piloereksi,
serta retensi air dan garam (Na) oleh ginjal.5 Sekresi katekolamin oleh adrenal
(medulla) ini diinisiasi oleh jalur persarafan aferen dari jaringan yang sakit /
terluka.

Pada perkembangannya manusia menemukan adanya produk sel


inflamasi (peradangan) dalam bentuk sitokin. Sitokin dibuktikan dilepaskan
oleh sel imun (leukosit) dan akan mempengaruhi berbagai efek sistemik,
Sitokin peradangan yang ditemukan paling utama adalah interleukin 1 (IL-1),
Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α), dan IL-6. TNF-α terbukti mencetuskan
demam, protein fase akut, dan berbagai hormon yang berhubungan
dengan stres jaringan. Pemberian TNF-α pada relawan sehat menghasilkan
hiperglikemia, peningkatan asam lemak bebas plasma, dan konsentrasi
gliserol, serta peningkatan termogenesis (peningkatan suhu).6 Efek TNF-α
tampaknya dimediasi melalui glukokortikoid, dalam bentuk pelepasan
kortikotropin. TNF-α mencetuskan syok dengan cara meningkatkan produksi
metabolit asam arakidonat. IL-1 terbukti menyebabkan demam melalui
pelepasan corticotropin releasing factor dan/ atau arginin vasopresin.

Pada gilirannya glukokortikoid tampaknya menekan balik sitokin.


Penekanan glukokortikoid terhadap sitokin bukan saja terhadap sitokin pro-
inflamasi tetapi juga terhadap sitokin anti-inflamasi seperti IL-4 dan IL-10.7
Penekanan sitokin ini penting karena sitokin pro-inflamasi, terutama TNF-α
yang berlebih juga dapat bersifat toksik pada mitokondria sel.8

Perubahan Metabolisme dan Termogenesis


Perlukaan yang bermakna, walaupun tanpa adanya infeksi, dapat
meningkatkan, termogenesis dan demam, serta laju metabolisme,dan
konsumsi oksigen. Kejadian ini terjadi pada fase flow. Pada operasi berencana,
peningkatan termogenesis (yang menunjukan adanya peningkatan
metabolisme) dapat mencapai 30%. Termogenesis / hipermetabolisme
pada perlukaan akibat kecelakaan besar mencapai 15-45%, pada sepsis
mencapai 10-60%, sedangkan pada luka bakar yang luas dapat mencapai 50-
100%. Kinney pada tahun 1970, mencatat bahwa hipermetabolisme dapat
berlangsung lama, misalnya patah tulang panjang dapat selama 20 hari,
peritonitis dapat mencapai satu bulan.9,10 Yang menarik adalah pada penelitian

520 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Perubahan Metabolisme dan Terapi Nutrisi pada Pasien Sakit Kritis

tahun-tahun berikutnya tidak didapatkan hipermetabolisme sebesar dan


selama itu. Kinney sendiri pada tahun 1988 menemukan peningkatan
metabolism pada luka bakar hanya mencapai 20-40% dibanding 50-100%
pada penelitian sebelumnya.11 Hal ini menunjukan bahwa adanya perubahan
praktek perawatan pasien baik cara pemberian cairan, nutrisi, antibiotik, dan
perawatan lainnya dapat menurunkan peningkatan hipermetabolisme.

Perubahan pada Keseimbangan Elektrolit


Akibat respon dari mediator dan respon selular terhadap perlukaan,
misalnya pada trauma berat atau sepsis, dapat terjadi pergeseran natrium ke
intraselular dan sebaliknya kalium keluar dari sel menuju intravaskular. Hal
ini tampaknya disebabkan oleh peningkatan glukokortikoid tersirkulasi serta
pemberian infus glukosa yang sering diberikan pada pasien dengan nutrisi
parenteral. Pergeseran natrium kalium juga berkait dengan penurunan Na, K,
ATPase. Demikian pula terdapat peningkatan aktifitas pompa Na di otot yang
akan pada gilirannya mencetuskan glikolisis.12 Peningkatan Na, K, ATPase
meningkatkan termogenesis. Peningkatan arus glikolisis untuk memasok
energi ke ATPase akan meningkatkan produksi piruvat dan laktat. Peningkatan
piruvat akan meingkatkan transaminasinya oleh glutamat menjadi alanin. Hal
ini menjelaskan terjadinya peningkatan alanin dari otot pada perlukaan dan
sekaligus penurunan glutamin otot. Dampak dari peningkatan laktat juga bisa
mendorong hiperglikemia melalui mekanisme yang akan dibahas di bawah.

Perubahan Metabolisme Glukosa


Hiperglikemia dan resistensi insulin sering kali terjadi pada perlukaan
/ sakit berat. Peningkatan glukosa dapat diakibatkan oleh peningkatan
produksi glukosa oleh hati Peningkatan glukoneogenesis di hati dapat terjadi
karena peningkatan kapasitas hati serta karena peningkatan bahan baku
glukoneogenik dari lepasnya asam amino terutama alanin dan glutamin dari
otot rangka. Hiperglikemia juga disebabkan oleh pelepasan gliserol dari proses
hidrolisis trigliserida. Hiperglikemia juga dapat terjadi dari perubahan laktat
menjadi glukosa dalam siklus Cori di hati. Produksi glukosa dapat meningkat
100% pada keadaan stres.5

Resistensi insulin dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan insulin


menekan produksi glukosa hati dan juga tumpulnya efek hormon ini terhadap
sel di jaringan otot dan adiposa untuk menyerap gula darah. Akan tetapi
kegagalan insulin dalam memasukkan glukosa ke dalam sel ternyata tidak
selalu diikuti oleh tumpulnya kemampuan insulin memasukkan K ke dalam sel.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 521
Ceva Wicaksono Pitoyo

Sehingga pemberian insulin untuk mengendalikan gula darah dalam keadaan


stress penyakit harus berhati-hati karena dapat menyebabkan hipokalemia.

Aktifitas insulin dalam memasukkan K intraselular adalah melalui


reseptor di sel.5 Dengan demikian ada pertimbangan bahwa resistensi insulin
bukanlah karena kegagalan insulin menduduki reseptor transporter glukosa
akan tetapi pada mekanisme insulin dalam penggunaan glukosa intraseluler.

Selain terdapatnya kejadian resistensi insulin yang menyeluruh pada sel


tubuh pasien yang sakit kritis, laju bersihan glukosa (ambilan glukosa oleh sel
dibagi kadar glukosa serum) juga sebaliknya dapat meningkat pada pasien
yang sakit kritis. Hal ini bisa jadi karena terdapatnya ambilan glukosa oleh
jaringan yang tidak membutuhkan insulin dan jaringan yang sakit sendiri.
Hal ini terbukti dengan peningkatan ambilan glukosa pada jaringan yang
mengalami luka bakar. Akan tetapi peningkatan ambilan glukosa tidaklah
bermakna peningkatan oksidasi glukosa, terutama bila terdapat hipoksia.
Peningkatan laju bersihan glukosa sendiri pada dasarnya dapat terjadi pada
orang sehat yang tidur tapi dengan makan yang berlebihan.

Pada pasien sakit berat juga terjadi peningkatan glukagon serta


penurunan supresi glukagon oleh glukoksa. Katekolamin dapat mencetuskan
glikogenolisis. Adrenal memproduksi kortisol yang akan meingkatkan enzim
glukoneogenik di hati, serta meningkatkan produksi glukagon. Kortisol
adrenal juga menurunkan reseptor insulin di sel. Produksi glukagon dapat
dihambat oleh somatostatin.

Perubahan Metabolisme Protein


Gangguan metabolisme protein adalah hal paling penting dan paling
diperdebatkan pada kasus pasien sakit kritis. Saat ini dianggap tidak ada
simpanan cadangan protein dalam tubuh. Semua protein dalam tubuh
memiliki fungsi dan bekerja. Penurunan protein berarti adalah penurunan
fungsi. Penurunan fungsi tersebut dapat berupa pengecilan otot dan
kekuatan motorik, penurunan imunitas, penurunan integritas usus, serta
yang terpenting adalah turunnya kemampuan pasien untuk bertahan dari
penyakitnya. Penurunan massa tubuh bukan lemak pada trauma berat dapat
mencapai 1 kg/ hari. Imbang nitrogen pada sakit kritis dapat mencapai 6 – 8
kali lebih negatif dari keadaan normal.

522 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Perubahan Metabolisme dan Terapi Nutrisi pada Pasien Sakit Kritis

Katabolisme protein pada sakit berat tidak hanya terjadi pada jaringan
yang sakit melainkan pada seluruh tubuh pasien. Pecahan asam amino yang
paling banyak dilepas otot rangka adalah alanin dan glutamin, walaupun
komposis otot yang melepasnya tidaklah didominasi asam amino jenis ini.

Dengan ketiadaan simpanan cadangan protein, maka metabolisme


protein selalu dalam siklus sintesa dan pemecahan. Pada sakit ringan sintesa
proteinlah yang dominan menurun. Pada sakit berat proporsi pemecahan
protein mejadi semakin nyata, hingga bisa mencapai 2 g/kg/hari. Hal lain
yang telah diketahui dalam disregulasi protein pada sakit kritis adalah, bahwa
imbang nitrogen negatif setelah operasi besar tidak diikuti peningkatan
termogenesis. Pemberian nutrisi parenteral dapat meningkatkan sintesis
protein tetapi tidak dapat menurunkan laju pemecahan protein pada sakit
berat.

Perubahan Metabolisme Lipid


Lipolisis pada sakit kritis dimediasi oleh simulasi B2 adrenergik..
Lipolisis melepaskan asam lemak dan gliserol dari jaringan adiposa. Gliserol
selanjutnya menjadi precursor glukoneogenesis di sirkulasi. Sebagian
besar asam lemak akan teresterifikasi kembali menjadi trigliserida di
hati. Peningkatan trigliserida akan dilepas ke sirkulasi sebagai very low
density lipoprotein (VLDL). Esterisasi kembali asam lemak setelah hidrolisis
trigliserida juga terjadi intraselular di jaringan adiposa. Proses metabolism
lemak seperti ini membutuhkan energi dan terjadi meningkat pada perlukaan
sehinga menambah lagi peningkatan termogenesis.

Pelepasan VLDL dari hati tampaknya bukan semata menjadi sumber


energi tetapi sebagai pengikat dan inaktifasi endotoksin. Keadaan hipolipemik
tampaknya meningkatkan sensitifitas terhadap lipopolisakarida.

Pada sakit kritis laju lipolisis yang ditunjukkan oleh peningkatan gliserol,
tampak lebih besar dari laju oksidasi lemak secara keseluruhan. Hal ini
menunjukkan oksidasi asam lemak terutama terjadi hanya pada area yang
mengalami lipolisis. Oksidasi lemak pada pasien sakit kritis merupakan
kontributor utama energi pada perlukaan.

TNF-α tampaknya mempercepat laju lipolisis dengan meningkatkan


lipase di jaringan adiposa dan meningkatkan hipertriglisedemia dengan
menghambat lipoprotein lipase. TNF-α juga menurunkan sintesis

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 523


Ceva Wicaksono Pitoyo

apolipoprotein A-1, dimana apolipoprotein ini protektif terhadap endotoksin


dan sepsis. IL-6 juga diketahui meningkatkan asam lemak dan keton darah.5

Perubahan Metabolisme Vitamin dan Mineral


Pada perlukaan berat ditemukan penurunan asam askorbat darah. Tiamin
dan nikotinamid jaringan juga menurun pada infeksi berat. Sebagaimana
dibahas di atas, perubahan Na dan K dapat terjadi pada sakit berat, karena
pergeseran dari / ke sel. Perubahan Na dan K juga dipengaruhi oleh sekresi
hormon antidiuretik. K intraselular pada keadaan normal selalu memiliki
perbandingan yang tetap terhadap protein yaitu 3 mEq/gram protein sel.
Pemberian infuse dekstrose walaupun lambat, mendorong pengeluaran K
dari urin. Trauma termasuk operasi terbukti menurunkan K total tubuh,
terutama pada kasus fistula gastrointestinal high output dan inflammatory
bowel disease.

Metabolisme besi pada perlukaan berat dipengaruhi oleh pelepasan


laktoferin dari neutrofil. Laktoferin taktersaturasi akan mengikat Fe, dimana
ikatan ini akan dibersihkan oleh hati. Kadar Zn serum juga menurun pada
perlukaan melalui peningkatan protein pengikat logam metallothionein di sel
hati. Penurunan logam ini juga dipengaruhi oleh peningkatan ekskresinya di
urin sejalan dengan adanya hipoalbuminemia. Sementara ini Cu tersirkulasi
justru meningkat akibat peningkatan feroksidase seruloplasmin yang
mengikat Cu.

Pemberian Kalori pada Keadaan Sakit Kritis14,16,17


Pemberian kalori pada pasien sakit kritis seyogyanya sesuai dengan
kebutuhannya. Menghitung kalori yang dibutuhkan oleh seorang pasien
idealnya adalah dengan mengukur pemakaiannya (kalorimetri). Pemakaian
kalori pada satu pasien juga berubah-ubah sesuai keadaan sakit sang pasien.
Dengan demikian umumnya teknik perhitungannya adalah menghitung
kalori basal yang dibutuhkan pasien dalam keadaan tidur berbaring tanpa
aktifitas (resting energy expenditure / REE atau basal metabolic rate/ BMR)
ditambah dengan prakiraan kebutuhan kalori sesuai besarnya aktifitas atau
stress penyakitnya. Pada sakit ringan penambahan kalori yang dibutuhkan
diperkirakan sama dengan aktifitas ringan, yaitu kurang dari 20 % dari REE.
Pada sakit sedang penambahan terhadap REE adalah 20 – 40 %, sedangkan
pada sakit berat 40 – 80 %. Jarang sekali kita harus menambahkan 80 -100 %
untuk pemberian kalori pada sakit sangat berat.

524 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Perubahan Metabolisme dan Terapi Nutrisi pada Pasien Sakit Kritis

Kalorimetri langsung sulit dilakukan pada pasien sakit sehingga sering


digunakan berbagai metode pengukuran tidak langsung. Dikatakan tidak
langsung adalah karena tidak langsung menghitung kalori, melainkan
menghitung produk dari metabolism seperti karbondioksida atau oksigen.
Metode ini umumnya dianggap valid untuk menghitung REE.

Salah satu metode kalorimetri tak langsung (indirect) adalah


menggunakan perhitungan Fick. Perhitungan Fick didasarkan pada prinsip
bila terdapat selisih oksigen di arteri dengan yang di vena, maka itu adalah
oksigen yang dikonsumsi oleh jaringan untuk metabolisme. Apabila setiap
molekul oksigen secara tetap digunakan untuk memproduksi sejumlah kalori
tertentu, maka dari jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat dihitung kalori
yang digunakan. Karena oksigen terikat (tersaturasi) pada hemoglobin (Hb),
maka perkalian saturasi dan Hb akan menghasilkan berat oksigen yang ada di
darah. Dengan demikian Hb x saturasi oksigen di arteri (SaO2) – Hb x saturasi
oksigen di vena (SvO2) akan menunjukkan berat oksigen yang dikonsumsi
pada saat (detik) pengambilan sampel darah pemeriksan. Untuk menghitung
total konsumsi dalam semenit dan selanjutnya dalam sehari maka tidaklah
mungkin mengambil sampel setiap detik selama satu menit atau satu hari.
Akan tetapi setiap konsumsi oksigen itu terjadi pada setiap aliran darah yang
menghantarkan Hb beroksigen tersebut, sehingga bila Hb.SaO2 – Hb.SvO2
dikali total aliran darah (cardiac output / CO) maka akan didapatkan total
oksigen yang dikonsumsi. Fick menghitung konversi dari jumlah oksigen
dikonsumsi menjadi kalori yang digunakan adalah 95,18, sehingga rumus
menghitung jumlah kalori adalah CO x Hb (SaO2 – SvO2) x 95,18. Sebagai
standar, CO dihitung dalam L/menit dan umumnya diukur dengan kateter
arteri pulmonalis (Swan –Ganz). Saturasi diukur dengan analisis gas darah
dan saturasi vena diukur dari arteri pulmonalis yang diambil dengan Swan-
Ganz.

Cara lain untuk melakukan kalorimetri tak langsung dari REE adalah
dengan perhitungan Weir. Selain mengukur kalori berdasarkan oksigen
yang dikonsumsi tubuh, metode Weir juga memperhitungkan produksi CO2
sebagai akibat metabolisme tubuh. Metode Weir mengukur selisih oksigen dan
karbondioksida yang masuk dan keluar saluran pernapasan. Selisih oksigen
pernapasan ini adalah oksigen yang dikonsumsi tubuh atau VO2. Selisih CO2
adalah produksi CO2 oleh tubuh atau VCO2. Sensor pengukur diletakkan
pada pipa inspirasi dan ekspirasi yang dipasangkan pada pasien seperti pada
penggunaan ventilator. Rumus perhitungan Weir adalah 3,9 VO2 + 1,1 VCO2

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 525


Ceva Wicaksono Pitoyo

kal/menit. Untuk menghitung kalori sehari, persamaan tersebut bisa dikali


1.440 untuk mendapatkan kal/hari atau 1,44 untuk mendapatkan Kkal/ hari.
Untuk praktisnya menghitung REE sementara tidak tersedia alat untuk
mengukur O2 dan CO2, dapat pula dilakukan dengan prediksi kasar
berdasarkan umur dan jenis kelamin, yaitu dengan rumus Harris-Benedict.
Untuk laki-laki rumusnya adalah 66,47 + 13,75 BB + 5 TB – 6,76 umur. Untuk
perempuan rumusnya adalah 655,1 + 9,56 BB + 1,8 TB – 4,68 umur.

Komposisi Nutrisi pada Keadaan Sakit Kritis


Komposisi nutrisi yang sehat penting pada pasien sakit kritis.
Pemberian terlalu tinggi lemak dapat memicu hipertrigliseridemia atau
hiperkolesterolemia. Pemberian karbohidrat yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan produksi CO2 yang lebih tinggi, yang berarti work of breathing
harus meningkat untuk mengeluarkan CO2. Penggunaan satu molekul glukosa
akan menghasilkan CO2 yang lebih tinggi dari satu molekul protein. Produksi
CO2 terendah adalah dari konsumsi lemak. Atas dasar pertimbangan
tersebut, pemberian nutrisi pada sakit kritis disarankan tidak mengandung
tinggi karbohidrat. Pemberian protein terlalu tinggi dapat memicu urea atau
azotemia yang akan memperburuk ensefalopati terutama pada pasien dengan
gagal ginjal atau hati. Namun karena peningkatan kebutuhan protein (karena
imbang nitrogen yang sangat negatif, kebutuhan imunitas, pergantian sel
dan lain-lain) yang sangat besar, protein tetap dianjurkan tinggi pada pasien
sakit kritis. Kebutuhan protein pada sakit kritis makin tinggi pada stress yang
makin berat. Kebutuhan protein umumnya di atas 1 bahkan sampai 3 g/ kg
berat badan per hari.

Overfeeding
Pemberian nutrisi terlalu besar pada pasien sakit kritis dapat
menimbulkan masalah. Pemberian kalori terlalu besar dapat menimbulkan
produksi CO2 yang lebih besar walaupun aktifitas atau stress tidak bertambah.
Pada pasien sesak napas tentu hal ini memperberat usaha napas. Untuk itu
dianjurkan sesuai dengan perubahan bertahap fase Ebb menjadi fase Flow,
pemberian kaloripun disarankan bertahap, bila perlu mulai hanya dari 30%
dari total kebutuhan kalori harian. Selanjutnya pemberian kalori dapat
dinaikkan secara bertahap dengan target mencapai 100% setelah 48 jam.

Pemberian nutrisi yang terlalu besar pada keadaan tertentu juga dapat
menyebabkan refeeding syndrome. Pemberian nutrisi kembali (refeeding)
pada pasien yang lama tidak mendapat nutrisi yang cukup dapat menyebabkan

526 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Perubahan Metabolisme dan Terapi Nutrisi pada Pasien Sakit Kritis

pergeseran besar cairan dan elektrolit yang mengakibatkan komplikasi metab-


olik. Refeeding syndrome terjadi ketika fosfat, kalium, dan magnesium masuk
ke sel akibat peningkatan insulin endogen akibat dari pemberian nutrisi
besar. Fosfat darah yang rendah akan menyebabkan supresi miokard, aritmia,
gagal jantung, pacu (drive) napas meningkat, disfungsi hati, penurunan
kesadaran, letargi, kejang, rabdomiolisis, anemia hemolitik, trombopenia dan
disfungsi leukosit. Sementara itu hipokalemia dapat mengakibatkan aritmia,
takikardi ventrikular, henti jantung, depresi napas, kekambuhan ensefalopati
hepatik, poliuri, polidipsi, penurunan eGFR, konstipasi, ileus, rabdomiolisis
dan paralisis. Hipomagnisemia juga mengakibatkan takikardi, mempermudah
aritmia, juga depresi napas, anoreksia, diare, konstipasi, nyeri abdomen,
ataksia, tremor, tetani, kelemahan otot, dan confusion.

Keadaan yang mendasari terjadinya sindroma refeeding adalah cardiac


output yang menurun, laju metabolik yang rendah, dan dominasi penggunaan
asam lemak dalam metabolism. Pasien yang berlatar belakang ini dan
kemudian mengalami keadaan yang membutuhkan peningkatan cardiac
output, lalu mengalami masukan cairan, juga mungkin gula/nutrisi yang
cepat, sementara memiliki hipofasfatemia, hipokalemia, hipomagnesemia,
dapat mengalami kelebihan cairan dan gagal jantung.

Nutrisi Khusus16,17,18
Ada penelitian menunjukkan penambahan arginin, glutamin dan
ribonukleotida menurunkan frekuensi infeksi pada pasien sakit kritis, namun
mortalitasnya tidak berbeda. Demikian pula penambahan asam lemak ome-
ga-3 (minyak ikan), antioksidan lain dan asam gamma linoleat dilaporkan
memperpendek masa ventilator, menurunkan kejadian gagal organ namun
tidak mengubah mortalitas. Pemberian nutrisi khusus ini umumnya dengan
tujuan meningkatkan sistem imunitas tubuh pasien. Pada keadaan kekebalan
turun suplementasi nutrisi ini dapat memperbaiki kemampuan pasien mem-
pertahankan diri dari penyakitnya, akan tetapi pada keadaan reaksi imuni-
tas yang berlebihan efek toksik nutrisi ini harus juga diperhatikan. Sebagai
contoh terdapat kontroversi pemberian arginin akibat bukti efektifitasnya
dengan risiko toksisitasnya. Panduan nutrisi Kanada misalnya justru tidak
menganjurkan pemberian arginin pada nutrisi enteral. Sementara itu data
yang terbanyak adalah pemberian arginin secara enteral bersama campuran
nutrisi enteral lainnya. Sebaliknya glutamine dianjurkan pada pasien luka
bakar dan trauma, namun diberikan secara parenteral. Panduan nutrisi dari
Kanada menyarankan minyak ikan dan antioksidan ini diberikan pada pasien

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 527


Ceva Wicaksono Pitoyo

ARDS. Panduan Eropa (European society for clinical nutrition and metabolism
/ ESPEN) menganjurkan pemberian imunonutrisi (arginin, nukleotida dan
asam lemak omega 3) secara enteral pada operasi saluran cerna atas, sepsis
ringan, trauma dan ARDS, namun mencegah penggunaannya pada sepsis be-
rat. Pemberian trace elements, serat, probiotik hingga kini belum ada data
yang cukup untuk disimpulkan.

Teknik Pemberian Nutrisi


Semua panduan klinis hingga saat ini menganjurkan dukungan
nutrisi pada pasien sakit kritis diberikan secara enteral. Strategi untuk
optimalisasi nutrisi enteral perlu dilakukan, seperti mengatur laju pemberian,
menggunakan agen motilitas, serta pemberian makanan usus halus. Saat ini
dianjurkan tidak terlalu membatasi pemberian nutrisi enteral dengan volume
residu lambung. Dianjurkan pula selalu meletakkan pasien dalam posisi
setengah duduk untuk mengurangi risiko refluks dan aspirasi.

Resume
Perubahan metabolism pada keadaan sakit kritis seringkali memperburuk
keadaan klinis bahkan berbahaya. Akan tetapi perubahan ini tampaknya
justru ditujukan untuk upaya penyelamatan hidup atau perbaikan kesehatan
tubuh. Oleh sebab itu tatalaksana perubahan tersebut perlu dilakukan dengan
hati-hati sehingga tidak justru memperparah keadaan.

Nutrisi pada pasien sakit kritis perlu diberikan dengan tepat dan di waktu
yang tepat. Pemberian nutrisi yang belebihan dapat membahayakan pasien,
sebaliknya pemberian nutrisi yang kurang juga memperburuk luaran pasien.

Daftar Pustaka
1. Pitoyo CW. Perubahan metabolism pada pasien sakit kritis. Makalah Workshop
PIN PAPDI 2018.
2. Tardalaki T, Sparaki AM, Briassoulis G. Alterations in metabolic patterns in critically
ill patients – is there need of action ? Eur J Clin Nutr 2017; 71: 431-3.
3. Preiser J-C, van Zanten ARH, Berger MM, Bioh G, Casper MP, Doig GS, et al. Metabolic
and nutritional support af critically ill patients : consensus and controversies. Crit
care 2015; 19(1): 35
4. Cuthbertson DP. The disturbance of metabolism produced by bony and non bony
injury, wwith notes on certain abnormal conditions of bone. Biochem J 1930.
24:1244-63.
5. Cannon WB. The wisdom of the body. New York. WW Norton. 1967:

528 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Perubahan Metabolisme dan Terapi Nutrisi pada Pasien Sakit Kritis

6. Bessey PQ, Watters JM, Aoki TT, et al. Combined hormonal infusion simulates the
metabolic reponse to injury. Ann Surg 1984; 200: 264-81.
7. Van der Poll T, Romijn JA. Endert E. Tumor necrosis factor mimics the metabolic
response to acute infection in healthy humans. Am J Physiol 1991. 261:E457-65.
8. Vrees MD, Albine JE. Metabolic response to illness and its mediators. In: Rombeau
JL, Rolandeli RH (eds) Clinical Nutrition Parenteral Nutrition. WB Saunders 2001:
21-34.
9. Carre JE, Orban J-C, Re L, Felsmann K, Iffert W, Bauer M, et al. Survival in critical
illness is associated with early activation of mithochondrial biogenesis. Am J Respir
Crit Care Med 2010; 182: 745-51.
10. Kinney JM. Duke JH, Long CL. Tissue fuel and wight loss after injury. J Clin Pathol
1970.23 (Suppl 4): 65-72.
11. Long CL, Schaffel N, Geiger JW. Metabolic response to illness. Estimation of energy
and protein needs from indirect calorimetry and nitrogen balance. JPEN J Parenter
Enteral Nutr 1979;3:452-6.
12. Kinney JM, Furst P, Elwyn DH, Carpentler YA. The intensive care patient. In : Kinney
JM, Jeejeebbhoy KN, Hill GL, Owen OE (eds). Nutrition and Metabolism in patient
care. Philadelphia, WB Saunders 1988: 656-71.
13. James JH, Fang CH, Schrantz SJ. Linkage of aerobic glucolysis to sodium-potassium
transport in rat skeletal muscle. J Clin Invest 1996; 98:2388-97.
14. Pitoyo CW. Nutrisi pada pasien sakit kritis. Makalah Simposium Konas Perpari
2019.
15. Sobotka L, Soeters PB. Basics in clinical nutrition: metabolic response to injury and
sepsis. Cllin Nutr ESPEN. [Internet].2009 Feb [2019 Jul 6];4(1):e1-3. Dari https://
clinicalnutritionespen.com/article/S1751-4991(08)00062-0/fulltext
16. Singer P, Blaser AR , Berger MM, et al. ESPEN guideline on clinical nutrition in
the intensive care unit. Clin Nutr.[Internet]. 2018 [2019 Jul 6]. Dari https://www.
espen.org/files/ESPEN-Guidelines/ESPEN_guideline-on-clinical-nutrition-in-the-
intensive-care-unit.pdf.
17. McClave SA, Taylor BE, Martindale RG, Warren MM,et al. Guidelines for the provision
and assessment of nutrition support therapy in the adult critically Ill patient:
Society of Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and
Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.). J Par Ent Nutr. 2016; 40 (2):159–211.
18. Carrott PW, Patel J, Kiraly L, Martindale RG. Parenteral or Enteral Arginine
Supplementation Safety and Efficacy. J Nutr. [Internet]. 2018 [2019 Jul 6];146
(12):2594S-2600S. Dari https://doi.org/10.3945/jn.115.228544

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 529


Ekokardiologi Dasar
B-mode, M-mode, dan Evaluasi Vena Kava Inferior
Andreas Aries Setiawan
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang

Pendahuluan
Ekokardiografi adalah alat non-invasif yang bermanfaat untuk pencitraan
jantung dan merupakan komponen penting dalam penegakan diagnostik
kelainan jantung. Berbagai macam kelainan jantung dapat didiagnosis dengan
ekokardiografi, demikian juga tingkat keparahan dan prognosisnya. Namun
demikian penting untuk diingat bahwa pemeriksaan ekokardiografi hanya
salah satu bagian dari pemeriksaan jantung. Anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, radiografi toraks dan temuan laboratorium klinis harus
diintegrasikan dengan temuan ekokardiografi untuk sampai pada diagnosis
yang benar dan mengembangkan rencana terapi yang optimal untuk setiap
pasien.

Ekokardiografi dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi jantung,


ruang jantung, ketebalan dinding, gerakan jantung, anatomi katup, gerakan
katup, pembuluh darah besar proksimal dan perikardium. Alat ini juga dapat
mendeteksi cairan perikardial dan pleura, mengidentifikasi massa di dalam
atau yang berdekatan dengan jantung, mengetahui penyakit jantung bawaan
dan mendiagnosa kelainan katup.

Keahlian teknis dalam melakukan dan menginterpretasi pemeriksaan


ekokardiografi merupakan prasyarat penggunaan alat ini. Kualitas gambar
yang baik sangat penting untuk mendapatkan informasi diagnostik yang
berharga. Pemeriksaan ekokardiografi lengkap harus dilakukan pada semua
pasien sehingga tidak ada informasi diagnostik yang tidak terjawab. Paru-
paru dan tulang merupakan reflektor yang baik untuk mencegah transmisi
ulltrasound ke struktur yang lebih dalam. Oleh karena itu, celah interkostal
ke 5 di daerah axilla anterior menjadi echo window yang baik untuk evaluasi
4 ruang apical jantung. Kontak bebas udara antara transduser dan dinding
dada dengan memanfaatkan gel diperlukan untuk mendapatkan gambar yang
baik. Transduser USG harus diposisikan sedemikian rupa sehingga ultrasound
tegak lurus terhadap struktur intrakardial, dan paralel dengan gangguan

530 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Ekokardiologi Dasar B-mode, M-mode, dan Evaluasi Vena Kava Inferior

aliran pada pemeriksaan Doppler, untuk mendapatkan kualitas gambar yang


optimal.

Prinsip Ekokardiografi
Ekokardiografi memanfaatkan suara dengan frekuensi tinggi (> 20.000
Hz) yang memasuki jaringan, ditransmisikan melalui jaringan dan dipantulkan
kembali dari jaringan sesuai impedansi akustik jaringan. Impedansi akustik
jaringan adalah kepadatan jaringan dikalikan kecepatan di mana suara
bergerak melalui jaringan. Semakin besar perbedaan impedansi akustik
antara dua jaringan yang berdekatan, semakin besar ultrasound dipantulkan
kembali ke transduser. Tulang / jaringan dan udara / jaringan antara sangat
reflektif karena perbedaan besar dalam impedansi akustik akustiknya.
Tulang memiliki impedansi akustik yang sangat tinggi dan udara memiliki
impedansi akustik relatif sangat rendah terhadap jaringan lunak. Dengan
demikian, ketika ultrasound memotong struktur tulang atau ruang antara
berisi udara, ultrasound dipantulkan kembali ke transduser. Gelombang
ultrasound ini kemudian diterima oleh transduser dan diproses oleh mesin
untuk menghasilkan gambar. Gambar ekokardiografik yang diperoleh dapat
ditampilkan monitor dan dapat direkam pada video, kertas termal, film
radiografi atau disk komputer.

Frekuensi ultrasound yang dipancarkan oleh transduser mempengaruhi


kualitas gambar yang diperoleh dan kedalaman jaringan yang dapat dicapai.
Gelombang ultrasound frekuensi tinggi memiliki panjang gelombang yang
pendek dan menghasilkan resolusi yang lebih baik dari struktur yang dekat
dengan permukaan kulit. Lebih banyak energi diserap dan tersebar dengan
ultrasound frekuensi tinggi dan dengan demikian, transduser frekuensi
tinggi memiliki kemampuan penetrasi yang kurang. Sebaliknya, transduser
frekuensi rendah akan memiliki penetrasi kedalaman yang lebih besar tetapi
miskin resolusi.

Jenis Ekokardiografi
Ada 3 jenis ekokardiografi digunakan secara klinis: dua dimensi (2-D,
B-mode atau real time), M-mode , dan Doppler. Ketiganya digunakan secara
simultan dalam pemeriksaan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 531


Andreas Aries Setiawan

1. B-mode
Ekokardiografi dua dimensi memungkinkan pencitraan struktur (baik
kedalaman dan lebar) secara real time. Dengan demikian, hubungan
anatomi antara berbagai struktur lebih mudah dilihat daripada dengan
M-mode. Ukuran ruang, ketebalan dinding, struktur katup, adanya
massa pada ruang jantung dan adanya efusi perikardium serta fungsi
dan gerakan jantung akan terlihat pada ekokardiografi 2D atau B-mode
ini. Pada ekokardiografi 2D digunakan 3 bidang ortogonal untuk
menggambarkan anatomi jantung, yaitu long axis plane (bidang yang
tegak lurus terhadap bagian dorsal dan sejajar dengan sumbu panjang
jantung), short axis plane (bidang yang tegak lurus terhadap bagian
dorsal dan ventral jantung tetapi tegak lurus juga terhadap sumbu
panjang jantung) dan four chamber plane ((bidang yang sejajar dengan
bagian dorsal dan ventral jantung) (Gambar 1.).

Gambar 1. Bidang pencitraan ekokardiografi 2D

Untuk mendapatkan pencitraan 2D maka kita meletakkan transduser


pada lokasi seperti terlihat pada gambar 2 di bawah ini.

532 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Ekokardiologi Dasar B-mode, M-mode, dan Evaluasi Vena Kava Inferior

Gambar 2. Lokasi transduser

Pada setiap transduser terdapat tanda (index mark), di mana tanda


tersebut akan mengarah pada gambar yang terletak di sebelah kanan
layar monitor. Misalnya bila pada parasternal long axis view tanda
tersebut mengarah pada aorta maka pada layar monitor aorta akan
terletak di sebelah kanan (Gambar 3).

Orientasi transduser Gambar pada layar monitor

Gambar 3. Orientasi transduser

Selanjutnya ada beberapa pencitraan yang harus dilakukan untuk


mendapatkan gambaran yang baik dan lengkap dari ekokardiografi 2D,
yaitu pencitraan long axis, short axis dan four chamber (Gambar 4).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 533


Andreas Aries Setiawan

Gambar 4. Pencitraan ekokardiografi



Dari B-mode kita bisa mendapati adanya PE (pericardial effusion), atau
adanya hipertrofi dinding ventrikel, atau keadaan ruang dan katup
jantung (Gambar 5), adanya massa intra kardiak, arah aliran darah dsb.

Gambar 5. Keadaan ruang jantung dan hipertrofi serta PE

Pencitraan dengan ekokardiografi ini dapat mengalami kesulitan pada


beberapa keadaan, misalnya pasien sangat obese, deformitas dinding
dada, atau pada pasien dengan penyakit paru kronik.

2. M-mode
M-mode ekokardiografi menghasilkan satu dimensi dari struktur
jantung yang bergerak dari waktu ke waktu. Gema dari berbagai jaringan
bergerak selama siklus jantung di sepanjang sumbu dicitrakan dalam

534 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Ekokardiologi Dasar B-mode, M-mode, dan Evaluasi Vena Kava Inferior

satu waktu. Diperlukan penempatan sumbu dan kursor M-mode yang


akurat di jantung dengan menggunakan panduan dua dimensi (2-D) real-
time image. M-mode ekokardiogram memungkinkan ekokardiografer
untuk mendapatkan pengukuran yang lebih akurat dari dimensi jantung
dan lebih kritis mengevaluasi gerak jantung.

Pada M-mode dari Ao (Aorta), LA (left atrium) dan LV (left ventricle)


seperti dapat dilihat dari gambar 5, maka ketebalan dinding serta ukuran
ruang jantung dapat dilihat dan diukur secara lebih rinci dan real time.

Gambar 6. M-mode dari LV, LA, dan Ao.

Dari B-mode dan M-mode ini banyak informasi yang bisa kita dapat;
misalnya dimensi ruang, ketebalan dinding, volume ruang, gerakan
jantung, adanya efusi atau massa, serta fraksi ejeksi jantung (dengan
membandingkan volume 2D diastolik dan sistolik jantung).

IV. Evaluasi Vena Kava Inferior


Pemeriksaan vena kava inferior dari subkostal sebaiknya dilakukan
secara rutin sebagai bagian dari pemeriksaan ekokardiografi trans
thorakal. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam posisi pasien miring ke
kiri, 1-2 cm dari atrium kanan, dengan long axis view. Diameter vena
akan berkurang saat inspirasi, saat tekanan negative intra thorakal

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 535


Andreas Aries Setiawan

menyebabkan peningkatan pengisian ventrikel kanan dari vena sistemik.


Diameter vena dan presentase penurunan saat inspirasi berkorelasi
dengan tekanan atrium kanan (collapsibility index). Diameter normal
<1.7 cm di mana apabila tekanan atrium kanan normal (0-5 mmHg) maka
akan terdapat penurunan 50%. Jika terdapat dilatasi vena kava inferior
(>1.7 cm) dengan kolaps normal saat inspirasi (kira2 50%) artinya
terdappat peningkatan ringan tekanan atrium (6-10mmHg). Apabila
kolaps saat inspirasi <50% tekanan atrium kanan berkisar 10-15 mmHg.
Dilatasi vena kava tanpa kolaps menandakan peningkatan bermakna
tekanan atrium kanan (>15 mmHg). Diameter vena kava inferior <1.2
cm dengan kolaps spontan menandakan adanya deplesi cairan.

Daftar Pustaka
1. Kaddoura S. Echo made easy. Elsevier, 2009.
2. Boehmeke T, Doliva R. Examination in pocket atlas of echocardiography. Stutgard-
Germany, 2006; 2-47.
3. Lang RM, Bierig M, Devereux RB, et al. Recommendation for chamber quantification:
a report from the American Society of Cardiography’s guideline and standards
committee and the chamber quantification writing group, developed in conjungtion
with the European Association of Echocardiography, a branch of the European
Society of Cardiology. J am soc cardiogr 2005; 18: 1440-1463.

536 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penentuan Rejimen dan Komplikasi CAPD
Ni Made Hustrini
Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak
Salah satu pilihan terapi pengganti ginjal yang belum terlalu popular
di Indonesia maupun dunia adalah peritoneal dialisis. Konsep terapi yang
mandiri dan bergantung pada komitmen dan keterampilan pasien ini
membutuhkan suatu pendekatan yang individual dan komprehensif dimulai
dari penentuan modalitas dialisis, preskripsi dialisis sampai pada pengelolaan
komplikasi yang terjadi.

Pendahuluan
Peritoneal dialisis (PD) merupakan pilihan dialisis yang tidak begitu
popular di dunia, khususnya di Indonesia. Prevalensi continuous ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD) di Indonesia hanya sekitar 2% dari total pasien
dialisis (Indonesian Renal Registry, 2017) dan di dunia prevalensi pasien yang
menjalani PD sekitar 10-11% dari keseluruhan populasi pasien gagal ginjal
tahap akhir (PGTA). Preskripsi peritoneal dialisis yang baik akan menentukan
keberhasilan terapi, memperbaiki angka mortalitas hingga meningkatkan
kualitas hidup pasien. Tulisan ini akan membahas lebih lanjut tentang
peresepan CAPD yang lebih individual dibandingkan dengan peresepan
hemodialisis (HD). Sekilas tentang komplikasi PD juga akan dijelaskan lebih
lanjut.

Penentuan Modalitas Peritoneal Dialisis: CAPD atau APD


Tersedia dua modalitas untuk melakukan peritoneal dialisis, yaitu
metode pertukaran cairan manual yang disebut sebagai CAPD dan dengan
menggunakan mesin yang (cycler) yang disebut sebagai automated PD (APD).
Sampai saat ini, yang paling banyak dilakukan di Indonesia adalah CAPD.
Selain karena belum tersedianya mesin APD, juga belum siapnya sistem
pembiayaan oleh BPJS terkait sistem ini.

Pasien dan dokter diharapkan dapat berdiskusi tentang rejimen dialisis


terbaik yang sesuai dengan gaya hidup dan keseharian pasien, dukungan
keluarga dengan tetap dapat mencapai target dialisis yang diinginkan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 537


Ni Made Hustrini

APD dianggap lebih unggul dalam tatalaksana keseimbangan cairan


dibandingkan dengan CAPD. Namun ada suatu fenomena “sodium sieving’ yang
terjadi lebih dominan pada APD akibat waktu dwelling yang lebih pendek. Hal
ini mengakibatkan klirens garam lebih rendah dan angka kejadian hipertensi
lebih tinggi pada pasien dengan APD.

Risiko peritonitis akan linier dengan jumlah kontak dengan transfer set
saat penggantian cairan. Artinya dengan frekuensi penggantian cairan yang
lebih sering pada CAPD (4 kali sehari vs 1-2 kali sehari pada APD) maka risiko
peritonitis akan lebih tinggi pada pasien CAPD dibandingkan dengan pasien
APD.

Selain itu, pasien CAPD dikatakan lebih sering mengalami kelelahan


fisik/mental (burnout) dengan banyaknya frekuensi penggantian cairan
dalam sehari dibandingkan dengan APD. APD juga lebih nyaman untuk pasien
yang tidak dapat melakukan penggantian cairan di siang hari dan juga untuk
pasien tertentu yang memerlukan bantuan untuk dialisisnya (misalnya anak-
anak dan pasien usia lanjut).

Namun APD memiliki beberapa kerugian yaitu diperlukannya mesin


khusus (cycler), membutuhkan biaya lebih besar, dan dengan tingkat
kompleksitas yang lebih tinggi dibandingan CAPD.

Preskripsi Awal Peritoneal Dialisis


Waktu dan lama terapi sebaiknya disesuaikan dengan gaya hidup
pasien, mencocokkan dengan pola bangun-tidur pasien dan tentu saja dapat
mengakomodasi kesesuaian dengan jadwal bekerja pasien sehingga dapat
menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Jarang pasien
membutuhkan tidur lebih dari 8 jam, sehingga jika preskripsi APD dibuat
lebih lama bisa mengakibatkan pasien harus memulai lebih sore sehingga bisa
menyulitkannya dengan pekerjaannya dan juga kehilangan waktu bersama
keluarga. Begitu pula jika pasien APD masih bekerja maka ia tidak diharapkan
melakukan penggantian cairan selama jam kerja.

Metode CAPD mengharuskan pasien untuk melakukan penggantian


cairan berulang hingga empat kali sehari, dan membutuhkan sekitar 30-40
menit per kalinya. Hal ini dapat menyulitkan pasien karena ada kewajiban
untuk melakukan penggantian cairan saat jam kerja, namun hal ini dapat
diatasi dengan mendiskusikannya diawal dengan pasien dan memberikan

538 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penentuan Rejimen dan Komplikasi CAPD

informasi yang dibutuhkan kepada pihak perusahaan untuk kepentingan


penggantian cairan pasien di kantor.

APD pada prinsipnya dibagi menjadi APD dengan day dwell, biasanya
disebut dengan continuous cycling peritoneal dialysis (CCPD), dan day dry, atau
dikenal sebagai nocturnal intermittent peritoneal dialysis (NIPD) (Gambar 1).

Umumnya pasien dapat menoleransi volume intraperitoneal hingga 1,25-


1,5 L/m2 luas permukaan tubuh (LPT). Tekanan intraabdomen paling rendah
didapatkan pada posisi telentang, bertekanan sedang pada posisi berdiri,
dan paling tinggi pada posisi duduk. Pasien seringkali dapat menoleransi
volume yang lebih besar saat berbaring di malam hari dibandingkan dengan
posisi berdiri di siang hari. Meningkatkan volume dwell biasanya lebih dipilih
untuk meningkatkan klirens solut berukuran kecil dibandingkan dengan
meningkatkan frekuensi penggantian cairan.

Gambar
Gambar1.
1.Perbedaan
Perbedaan antara
antara preskripsi
preskripsi CAPD danAPD.
CAPD dan APD.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 539


INCREMENTAL PD (iPD)
Merupakan metode PD yang dilakukan pada pasien yang masih memiliki fung
(residual kidney function/RKF) untuk mencapai target klirens solut diaw
Ni Made Hustrini

Incremental PD (iPD)
Merupakan metode PD yang dilakukan pada pasien yang masih memiliki
fungsi ginjal sisa (residual kidney function/RKF) untuk mencapai target klirens
solut diawali dengan melakukan preskripsi dosis PD terendah.

iPD dapat dilakukan dengan berbagai metode: 1) preskripsi dengan


total volume cairan terendah (misalnya hanya dua atau tiga kali penggantian
cairan per hari pada CAPD); 2) hanya melakukan PD setengah hari (misalnya
nocturnal APD dengan dry day); 3) atau melakukan PD kurang dari 7 hari
dalam seminggu. Metode ini dirasakan lebih mudah bagi pasien yang baru
memulai terapi pengganti ginjal dan merupakan salah satu cara untuk menarik
pasien untuk memilih PD. Suatu studi simulasi kinetik iPD menunjukkan
bahwa pasien dengan eGFR 4-5 ml/menit/1,73 m2 dapat menjalani metode
ini dengan baik. Dan luaran klinis pasien dengan metode iPD dilaporkan baik.
Preskripsi PD akan ditingkatkan bertahap sesuai dengan klinis pasien dan
juga penurunan RKF-nya.

Target Klirens
Kt/V urea tidak lagi menjadi alat ukur yang baik untuk menilai adekuasi
dialisis, namun tetap dapat dipakai sebagai nilai dasar untuk memperkirakan
volume cairan dialisat yang akan diberikan. Berikut adalah rumus untuk
menghitung standardized weekly Kt/Vurea pada PD:

Durea = kadar ureum dalam dialisat


Purea = kadar ureum dalam plasma
DV = volume drain per hari
Vdurea = volume distribusi urea, diasumsikan
sebagai total body water (TBW)

STRATEGI
Strategi UNTUK MENCAPAI
untuk Mencapai TARGET
Target Klirens KLIRENS
CAPD
CAPD
Preskripsi CAPD yang lazim diberikan adalah kontinyu 4x2 liter per hari. Diluar negeri,
dimana
tersedia cairan
Preskripsi dengan
CAPD yangvolume
lazim >2 liter, beberapa
diberikan adalahsenter memberikan
kontinyu 4x2,5
4x2 liter perliter untuk
pasien
hari. Diluar negeri, dimana tersedia cairan dengan volume >2 liter, beberapa kecil atau
yang lebih besar, terutama jika RKF sudah rendah. Untuk pasien yang lebih
masih memiliki
senter RKF yang
memberikan 4x2,5cukup, dapat diresepkan
liter untuk pasien yang3x2 liter.
lebih Icodextrin
besar, terutamadapat
jikadigunakan
untuk periode long dwell, namun lebih mahal. Icodextrin juga baik untuk pasien dengan tipe
RKF sudah rendah. Untuk pasien yang lebih kecil atau masih memiliki RKF
membran high transporter. Jika klirens masih rendah, maka dapat dilakukan beberapa
yangmeliputi
strategi cukup, evaluasi
dapat diresepkan
dan perbaikan3x2 status
liter. nutrisi
Icodextrin
sertadapat digunakan
modifikasi untuk
resep. Perubahan resep
PD periode longmemperhatikan
tetap harus dwell, namun gaya lebih hidup
mahal.pasien.
Icodextrin
Untukjuga baik untuk klirens
meningkatkan pasien urea pada
pasien CAPD
dengan tipe dapat
membrandilakukan dengan cara
high transporter. Jikameningkatkan volume maka
klirens masih rendah, meningkatkan
dwell,dapat
frekuensi
dilakukan beberapa strategi meliputi evaluasi dan perbaikan status nutrisi sehingga
penggantian cairan, dan/atau meningkatkan konsentrasi cairan dialisat,
dapat meningkatkan ultrafiltrasi.
540 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
APD
Biasanya preskripsi APD dimulai dengan 10-12 liter per hari. Cycler time sekitar 8-10 jam,
Penentuan Rejimen dan Komplikasi CAPD

serta modifikasi resep. Perubahan resep PD tetap harus memperhatikan gaya


hidup pasien. Untuk meningkatkan klirens urea pada pasien CAPD dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan volume dwell, meningkatkan frekuensi
penggantian cairan, dan/atau meningkatkan konsentrasi cairan dialisat,
sehingga dapat meningkatkan ultrafiltrasi.

APD
Biasanya preskripsi APD dimulai dengan 10-12 liter per hari. Cycler time
sekitar 8-10 jam, dengan volume dwell di siang hari mencapai 2-2,5 liter.
Sebagian pasien dengan RKF yang cukup atau ukuran tubuh yang kecil dimulai
dengan preskripsi day dry. Beberapa senter memulai dengan memberikan a
day dwell dari awal namun memperpendek waktu dwelling untuk mencegah
reabsorbsi cairan, terutama pada pasien yang high transporter.
Klirens peritoneal pada APD dapat ditingkatkan dengan melakukan day
dwell, meningkatkan frekuensi cycle, meningkatkan volume dwell pada cycle,
meningkatkan waktu cycle, meningkatkan konsentrasi cairan dialisat.

Lain-Lain
Kadang kala kita harus memulai PD kurang dari 2 minggu setelah
pemasangan kateter pada pasien yang tidak direncanakan untuk menjalani
terapi pengganti ginjal sebelumnya, hal ini dikenal sebagai urgent start PD.
Untuk menghindari terjadinya kebocoran dialisat disekitar kateter yang
baru dipasang, maka volume cairan yang masukkan umumnya lebih kecil
dibandingkan PD standar. Volume cairan yang masuk disesuaikan dengan
ukuran tubuh pasien: misalnya jika LPT <1,65 m2 dimulai dengan 750 ml;
sampai 1,8 m2 1000 ml; dan pasien yang lebih besar mencapai 1250 ml. Total
waktu dialisis dan jumlah penggantian cairan disesuaikan dengan derajat RKF
dan beratnya tanda dan gejala uremikum.

Sebagian pasien dapat mengeluh nyeri didaeral pelvis/rectum saat


draining. Hal ini disebabkan oleh kateter yang mendekati dan mengiritasi
rectum atau viscus disekitarnya saat volume intraperitoneal berkurang.
Untuk mengurangi keluhan tersebut, dapat dilakukan tidal PD dimana cairan
di abdomen tidak sepenuhnya dikeluarkan dan disisakan sekitar 15-25% di
setiap penggantian cairan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 541


Ni Made Hustrini

Peritoneal Equilibration Test (PET)


Tipe membran dikatakan memiliki nilai prognostik terhadap mortalitas
dan kekerapan dirawat. Namun sifat membran dapat berubah selama
beberapa minggu awal PD dimulai, sehingga PET biasanya mulai dikerjakan
setelah pasien menjalani PD setidaknya 4-6 minggu. Artinya hasil PET tidak
dipakai untuk menentukan preskripsi PD diawal dimana peresepan PD
lebih ditentukan oleh klinis pasien. Misalnya pasien yang selalu mengalami
ultrafiltrasi negative (terjadi reabsorbsi cairan) pada periode long dwell
mengindikasikan pasien dengan high transporter. Melihat hal ini maka resep
dapat diubah untuk memenuhi target ultrafiltrasi yang dibutuhkan.

Kesimpulan
Preskripsi PD semata-mata dilakukan dengan mempertimbangkan gaya
hidup dan keseharian pasien, kebutuhan pasien dan keinginannya serta
yang tidak kalah penting adalah klinis pasien. Preskripsi yang baik akan
menghasilkan luaran dialisis yang baik yang akan memperbaiki survival dan
kualitas hidup pasien.

Komplikasi Peritoneal Dialisis


PD merupakan teknik dialisis yang menuntut komitmen pasien dan/atau
caregiver-nya untuk melakukan prosedur dialisis dengan teknik yang tepat
dan konsisten. Komplikasi utama yang sering ditemukan pada PD adalah
infeksi terutama peritonitis. Secara umum, komplikasi PD dibagi menjadi
komplikasi infeksi (infeksi exit site, infeksi tunnel, peritonitis) dan non-infeksi.
Yang akan dibahas pada makalah ini adalah tatalaksana peritonitis dan sekilas
tentang gangguan outflow pada PD.

Komplikasi Infeksi
Peritonitis
Diagnosis peritonitis ditegakkan jika ditemukan minimal 2 dari 3 kriteria
dibawah ini:
1) Nyeri perut dan/atau cairan keruh;
2) Hitung leukosit cairan dialisat >100/µL atau >0,1 x 109/L (setelah dwell
time minimal 2 jam), dengan jumlah sel PMN >50%;
3) Kultur cairan dialisat positif
Setiap pasien dengan cairan yang keruh harus dianggap mengalami
peritonitis dan ditatalaksana sebagai peritonitis sebelum diagnosis pasti

542 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penentuan Rejimen dan Komplikasi CAPD

dapat ditegakkan. Pemeriksaan cairan dialisat pada pasien yang dicurigai


peritonitis meliputi hitung sel, hitung jenis, Gram, dan kultur.

Tatalaksana awal peritonitis dapat dilihat pada Gambar 2 dan tatalaksana


peritonitis jika hasil kultur telah ada (Gambar 3 dan 4).

Gambar 2. Tatalaksana
Gambar awal
2. peritonitis
Tatalaksana
Gambar awal peritonitis
2. Tatalaksana awal peritonitis

Gambar 3. Algoritma tatalaksana peritonitis dengan hasil kultur kokus Gram positif
Gambar 3. Algoritma tatalaksana peritonitis dengan hasil kultur kokus Gram positif
Gambar 3. Algoritma tatalaksana peritonitis dengan hasil kultur kokus Gram positif
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 543
Ni Made Hustrini

Gambar4.4.Algoritma
Gambar Algoritmatatalaksana peritonitis
tatalaksana dengan
peritonitis hasilhasil
dengan kultur batang
kultur GramGram
batang negatifnegatif
atau
polimikrobial atau polimikrobial

Beberapa
Beberapa indikasi untukuntuk
indikasi mencabut kateter adalah:
mencabut kateter adalah:
- Peritonitis refrakter
- - Peritonitis refrakter
Peritonitis relaps
- Infeksi exit-site
- Peritonitis relaps atau tunnel refrakter
- Peritonitis jamur
- - Infeksi exit-site pada:
Dipertimbangkan atau tunnel refrakter
o Peritonitis berulang
- Peritonitis jamur
o Peritonitis mikobaterium
o Polimikrobialpada:
- Dipertimbangkan (enteric)
o Peritonitis berulang
KOMPLIKASI
o NON-INFEKSI
Peritonitis mikobaterium
Komplikasi yang tidak kalah pentingnya yang harus diperhatikan pada pasien PD adalah
o
komplikasi Polimikrobial (enteric)
non-infeksi. Salah satu komplikasi non-infeksi yang umum terjadi adalah
gangguan outflow, dan penyebab tersering gangguan outflow adalah akibat kontipasi.
Kumpulan
Komplikasi feses Non-Infeksi
yang banyak di kolon akan mengakibatkan kolon terdistensi sehingga pada
saat drainase akan menutup pori dari kateter dan menjadi katup satu arah saja. Hipokalemia
Komplikasi
merupakan yang tidak
penyebab tersering kalah peristaltik
dari gangguan pentingnya usus yang harus pada
yang berujung diperhatikan
konstipasi
dan
padamengakibatkan
pasien PDgangguan
adalahoutflow. Sehingganon-infeksi.
komplikasi kadar kalium pasien
Salah PD wajibkomplikasi
satu dimonitor
dan pasien dianjurkan
non-infeksi untuk mengkonsumsi
yang umum terjadi adalah diet gangguan
tinggi kaliumoutflow,
(buah-buahan
dan dan serat).
penyebab
Koreksi hipokalemia juga dapat dilakukan dengan memberikan preparat oral kalium atau
tersering
dengan gangguan
koreksi intravenaoutflow
jika adaadalah
indikasi.akibat kontipasi.
Hal lain Kumpulan
yang dilakukan untukfeses yang
mencegah
banyak di kolon akan mengakibatkan kolon terdistensi
konstipasi adlaah dengan memberikan laksatif secara rutin pada pasien. sehingga pada saat

544 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penentuan Rejimen dan Komplikasi CAPD

drainase akan menutup pori dari kateter dan menjadi katup satu arah saja.
Hipokalemia merupakan penyebab tersering dari gangguan peristaltik
usus yang berujung pada konstipasi dan mengakibatkan gangguan outflow.
Sehingga kadar kalium pasien PD wajib dimonitor dan pasien dianjurkan
untuk mengkonsumsi diet tinggi kalium (buah-buahan dan serat). Koreksi
hipokalemia juga dapat dilakukan dengan memberikan preparat oral kalium
atau dengan koreksi intravena jika ada indikasi. Hal lain yang dilakukan untuk
mencegah konstipasi adlaah dengan memberikan laksatif secara rutin pada
pasien.

Migrasi kateter juga merupakan penyebab gangguan outflow yang


sering ditemukan. Hal ini sering ditemukan pada periode awal pasca operasi
ataupun akibat adanya ‘silastic memory of the catheter’, dimana bagian kateter
yang ditanam dibawah kulit akan cenderung bergeser dan bergerak lurus
sehingga menyebabkan ujung kateter di kavum pelvis bergerak naik dan
bermigrasi keatas (paling sering ke sisi hemiabdomen kiri). Pada kasus ini
dapat dilakukan evaluasi posisi kateter dengan melakukan rontgen abdomen
polos. Jika memang terbukti terjadi migrasi kateter maka tindakan reposisi
harus segera dilakukan. Jika migrasi kateter sering ditemukan di suatu unit
PD, dipertimbangkan untuk menggunakan kateter Swan-Neck.

Beberapa diagnosis banding penyebab gangguan outflow adalah


sumbatan fibrin/klot, omental wrapping, adhesi/perlengketan, obstruksi
eksternal pada frangible ataupun transfer set, atau kebocoran pada setiap
komponen apparatus PD.

Kesimpulan
PD merupakan pilihan dialisis yang ideal bagi sebagian pasien namun
memiliki beberapa komplikasi yang terkait kesalahan pada prosedur ataupun
akibat teknikal. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
pada PD dengan melakukan pengelolaan PD yang tepat dan komprehensif.

Daftar Pustaka
1. Blake PG and Daugirdas JT. Adequacy of peritoneal dialysis and chronic peritoneal
dialysis prescription. In: Daugirdas JT, Blake PG, Ing TS. Handbook of Dialysis. 5th
Ed. Wolters Kluwer. Philadelphia. 2015.
2. Hansson JH and Watnick S. Update on peritoneal dialysis: Core curriculum 2016.
Am J Kidney Dis. 2016:67(1):151-64.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 545


Ni Made Hustrini

3. Teitelbaum I. Crafting the prescription for patients starting peritoneal dialysis. Clin
J Am Soc Nephrol. 2018:13;483-5.
4. Akonur A, Firanek CA, Gellens ME, Hutchcrafts AM, Kathuria P, Sloand JA. Volume-
based peritoneal dialysis prescription guide to achieve adequacy targets. PDI.
2016:36(2);188-95.
5. Li PKT, Szeto CC, Piraino B, Artega J, Fan S, Figueiredo AE, et al. ISPD peritonitis
recommendations: 2016 Update on prevention and treatment. PDI. 2016:36;481-
508.

546 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Bagaimana Memilih Antikoagulan Antagonis
Non-Vitamin K Oral pada Fibrilasi Atrial
Idrus Alwi
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Antikoagulan antagonis non-vitamin K oral / non–vitamin K antagonist
oral anticoagulants (NOAC) antara lain dabigatran, rivaroxaban, apixaban, dan
edoxaban saat ini telah dimasukkan sebagai rekomendasi pedoman (guideline)
terapi untuk menurunkan risiko strok dan kejadian emboli sistemik / systemic
embolic event (SEE) pada pasien fibrilasi atrial nonvalvular / nonvalvular
atrial fibrillation (NVAF).1

Dalam uji klinis fase 3, dabigatran, rivaroxaban, apixaban, dan edoxaban


setidaknya sama efektifnya dengan warfarin dalam menurunkan risiko strok
atau SEE pada pasien NVAF.2-5 Selain itu, NOAC dikaitkan dengan risiko
perdarahan mayor atau non-mayor (yang relevan secara klinis), yang sama
atau lebih rendah serta menurunkan tingkat perdarahan intrakranial secara
bermakna dibandingkan dengan warfarin. 2-5

Pada makalah ini akan dibahas beberapa pertimbangan dalam memilih


NOAC sesuai farmakokinetik dan kondisi komorbid yang ada.

Antikoagulan dan Kaskade Koagulasi


Kaskade koagulasi mempunyai peran penting dalam kejadian trombosis/
tromboemboli. Antikoagulan bekerja pada berbagai jalur pada rantai kaskade
koagulasi tersebut. Efek antitrombotik dan antikoagulan warfarin bekerja
pada beberapa faktor antara lain protrombin, faktor VII, faktor IX dan faktor
X.6 (Gambar 1) Warfarin memiliki waktu paruh yang panjang (36-42 jam),
sehingga memerlukan waktu beberapa hari untuk mencapai kadar terapeutik.6
Sebaliknya, NOAC bekerja pada kaskade koagulasi melalui faktor X dan faktor
IIa (Gambar 1) dan memiliki awitan aksi yang lebih cepat (waktu paruh mulai
dari 5-17 jam).7-10 Selain itu warfarin mengganggu konversi vitamin K dan
2,3-epoksida, sehingga variasi dalam asupan vitamin K dapat mempengaruhi
tingkat antikoagulasi pada pasien yang mendapat warfarin.6,11

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 547


Idrus Alwi

Walaupun warfarin telah lama dipakai dan efektif dalam tatalaksana


NVAF dan VTE, obat tersebut memiliki sejumlah interaksi obat-obat, dan
pajanan dipengaruhi oleh beberapa polimorfisme genetik dalam enzim yang
bertanggung jawab dalam metabolisme yang dapat menyebabkan perdarahan
yang berlebihan atau efektivitas obat yang menurun.11 Akibatnya, pasien
yang mendapat warfarin memerlukan pemantauan kadar antikoagulasi dan
penyesuaian dosis secara teratur untuk mempertahankan efek antikoagulasi
yang optimal. NOAC memberikan alternatif dibandingkan dengan warfarin,
karena tidak memerlukan pemantauan rutin dan memiliki farmakokinetik
yang dapat diprediksi, interaksi obat-obat yang lebih sedikit, dan interaksi
makanan-obat yang terbatas.10,12

Gambar 1. Jalur Kaskade Koagulasi.13

Pertimbangan Dosis NOAC pada Berbagai Kondisi Komorbid


Pertimbangan dosis NOAC yang diberikan pada pasien dapat dilihat pada
Tabel 1. Bioavailability rivaroxaban meningkat dengan makanan. Dengan
demikian, pada pasien NVAF dianjurkan untuk diberikan obat bersamaan
dengan makan malam.

548 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Bagaimana Memilih Antikoagulan Antagonis Non-Vitamin K Oral pada Fibrilasi Atrial

Tabel 1. Pertimbangan Dosis NOAC pada Berbagai Indikasi dan Kondisi Komorbid.7-10
Pasien Geriatri Fungsi Hati Berat Badan Rendah Fungsi Ginjal
Fibrilasi Atrial Nonvalvular
Dabigatran Tidak ada penyesuaian Tidak ada penyesuaian dosis Tidak ada penyesuaian • CrCl > 30 mL/min : 150
150 mg, dua kali dosis: risiko perdarahan pada gangguan hati sedang dosis mg dua kali sehari
sehari meningkat dengan usia (Child-pugh B) • CrCl 15 – 30 mL/min :
kurangi dosis menjadi
75 mg dua kali sehari
• CrCl <15 mL/min
atau dialisis : tidak
direkomendasikan
diberi
Rivaroxaban Tidak ada penyesuaian Hindari pemakaian pada Tidak ada penyesuaian • CrCl> 50 mL / mnt :
20 mg, sekali dosis: risiko perdarahan gangguan hati sedang dosis 20 mg sekali sehari
sehari bersamaan meningkat dengan usia (Child-pugh B) dan berat dengan makan malam:
dengan makan (Child-pugh C) atau • CrCl 15-50 mL / mnt :
malam gangguan hepar apapun kurangi dosis hingga
yang berhubungan dengan 15 mg sekali sehari
koagulopati dengan makan malam
• CrCl <15 mL / mnt :
hindari penggunaan
Apixaban 5 mg, Kurangi dosis menjadi • Tidak ada penyesuaian Kurangi dosis menjadi 2,5 • Kurangi dosis menjadi
dua kali sehari 2,5 mg dua kali sehari dosis pada gangguan hati mg dua kali sehari ketika 2,5 mg dua kali sehari
setidaknya dua dari satu ringan (Child-Pugh A) setidaknya 2 dari yang ketika setidaknya 2 dari
keadaan ini : Usia ≥ 80 • Tidak ada dosis berikut: berat badan ≤60 yang berikut: serum
tahun dengan berat Rekomendasi yang kg dan usia ≥80 tahun kreatinin ≥1,5 mg /
badan ≤ 60 Kg, dan diberikan pada gangguan atau kreatinin serum ≥1,5 dL dan baik usia ≥80
kreatinin serum ≥ 1,5 hati sedang (Child-Pugh mg / dL tahun atau berat badan
mg/dL B) ≤60 kg
• 5 mg dua kali sehari
pada penyakit
ginjal stadium akhir
dipertahankan dengan
hemodialisis
Edoxaban, 60 Tidak ada penyesuaian • Tidak ada penyesuaian Tidak ada penyesuaian • CrCl 15-50 mL / mnt :
mg, sekali sehari dosis dosis pada gangguan hati dosis kurangi dosis hingga 30
dengan CrCl > ringan (Child-Pugh A) mg sekali sehari
50 sampai ≤ 95 • Tidak direkomendasikan • CrCl <15 mL
mL/min pada gangguan hati / mnt : tidak
sedang (Child-Pugh B) direkomendasikan
dan parah (Child-Pugh C) • CrCl> 95 mL / mnt :
hindari penggunaan
a
Antikoagulasi parenteral 5 sampai 10 hari sebelum memulai tatalaksana.
CrCl, creatinine clearance.

Risiko Perdarahan pada Penggunaan NOAC


Non–vitamin K antagonist oral anticoagulants (NOAC) umumnya
dikaitkan dengan kejadian perdarahan yang lebih rendah dibandingkan
dengan warfarin. Overdosis NOAC dan pemberian bersamaan antikoagulan
lain, antiplatelet, dan trombolitik meningkatkan risiko perdarahan.7-10 Analisis
laporan kasus menunjukkan bahwa sebagian besar komplikasi perdarahan
selama pemberian dabigatran atau rivaroxaban disebabkan oleh kesalahan
dalam peresepan terkait dengan ko-medikasi atau dosis atau terjadi pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal, usia lanjut, atau berat badan rendah.14
Dengan demikian, pendidikan pada pasien dan pengasuh penting untuk
mengurangi risiko tersebut.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 549


Idrus Alwi

Dabigatran dan apixaban diberikan dua kali sehari, sedangkan edoxaban


dan rivaroxaban diberikan sekali sehari, meskipun dosis pada saat tatalaksana
awal dapat bervariasi.7-10 Satu studi mendukung rejimen dosis dua kali sehari
untuk profil risiko-manfaat yang lebih baik untuk pencegahan strok dan
perdarahan intrakranial daripada dosis sekali sehari.15. Secara keseluruhan,
pengenalan dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban pada praktik klinis
meningkatkan penggunaan antikoagulasi oral untuk pasien NVAF dengan
risiko strok yang tinggi, meskipun tingkat under-treatment tetap tinggi.16

Penggunaan NOAC pada Gangguan Ginjal


Pilihan antikoagulan yang optimal pada kasus dengan gangguan fungsi
ginjal dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk keadaan fungsi ginjal,
berat badan, dan kebutuhan akan obat yang bersamaan. Banyak pasien yang
membutuhkan antikoagulasi datang dengan usia tua (> 80 tahun)12 dan
mungkin mengalami penurunan fungsi ginjal yang berkaitan dengan usia.17
Saat ini pedoman American Heart Association / American College of Cardiology
/ Heart Rhythm Society (AHA / ACC / HRS) merekomendasikan pemeriksaan
fungsi ginjal sebelum pemberian NOAC dilanjutkan dengan pemeriksaan
secara berkala sesudah pemberian obat.12

Dalam penelitian pasien yang diobati dengan dabigatran, rivaroxaban,


atau apixaban, frekuensi kejadian perdarahan mayor dan non-mayor
meningkat pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal < 50 mL/
mnt selama tatalaksana (21%) relatif terhadap mereka yang fungsi ginjalnya
> 50 mL/mnt (8%) selama periode 2 tahun.18 Semua NOACs bergantung
pada fungsi ginjal untuk clearance, meskipun dengan derajat yang berbeda-
beda. Apixaban memiliki ketergantungan ginjal paling sedikit, dengan
hanya 27% ekskresi dari ginjal. Namun, pasien dengan gangguan ginjal dan
berat badan rendah (<60 kg) atau pasien usia lanjut (> 80 tahun) mungkin
masih memerlukan penyesuaian dosis apixaban untuk mengobati NVAF.9
Apixaban juga satu-satunya NOAC yang dapat diberikan kepada pasien yang
menjalani dialisis, berdasarkan data farmakokinetik dan farmakodinamik
pada subjek dengan penyakit ginjal stadium akhir yang menjalani dialisis,
meskipun pedoman dosis ini tidak didasarkan pada efektivitas klinis atau
data keamanan.9 Dalam satu analisis perbandingan tidak langsung, apixaban
dan edoxaban 30 mg memiliki profil keamanan yang paling baik pada pasien
dengan gangguan ginjal sedang (CrCl = 25-49 mL / mnt) atau ringan (CrCl =
50-79 mL / mnt).19

550 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Bagaimana Memilih Antikoagulan Antagonis Non-Vitamin K Oral pada Fibrilasi Atrial

Dabigatran memiliki ketergantungan ginjal terbesar dibandingkan


dengan NOAC lainnya, dengan 80% dosis dabigatran dibuang melalui ginjal.
Dabigatran dosis rendah tersedia untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal
(CrCl = 15-30 mL / menit) dan NVAF (Tabel 1).8 Dabigatran dapat dieliminasi
dengan dialisis, namun demikian, obat tersebut tetap tidak dianjurkan untuk
diberikan pada pasien yang menjalani dialisis

Rivaroxaban, edoxaban, atau apixaban mungkin merupakan pilihan


yang lebih baik daripada dabigatran untuk pasien dengan disfungsi ginjal,
karena NOAC tersebut tidak terlalu bergantung pada ginjal untuk proses
eliminasi obat. Dosis rivaroxaban dan edoxaban yang diserap masing-masing
dieliminasi 66% dan 50%, oleh ginjal.8,10 Dosis rivaroxaban atau edoxaban
harus diturunkan pada pasien NVAF dengan CrCl = 15-50 mL/menit. Dosis
edoxaban 30 mg juga tersedia untuk pasien dengan VTE dan penurunan
fungsi ginjal (Tabel 1). Di Amerika Serikat, edoxaban tidak direkomendasikan
untuk pasien NVAF dengan CrCl > 95 mL / menit. Pada studi edoxaban
untuk pencegahan strok pada pasien NVAF fase 3, pasien dengan CrCl >
95 mL / menit yang menerima edoxaban 60 mg sekali sehari setiap hari
memiliki peningkatan rasio bahaya strok iskemik (HR) sebesar 2,16 (interval
kepercayaan 95% [CI] 1,17-3,97) relatif terhadap warfarin, dibandingkan
dengan pasien dengan CrCl > 50 hingga 80 mL / menit (HR = 0,63, 95% CI
0,44-0,89). Edoxaban tidak lebih inferior dibandingkan dengan warfarin (HR
= 0,94, 95% CI 0,76-1,16, P = 0,54).20

Interaksi Obat pada Penggunaan NOAC


Potensi interaksi obat-obat dapat menjadi faktor penting untuk
dipertimbangkan dalam memilih NOAC pada pasien yang menggunakan
beberapa macam obat. Polifarmasi tidak jarang muncul, terutama di antara
pasien usia lanjut, yang meningkatkan risiko interaksi obat. Semua 4 NOAC
berinteraksi dengan transporter P-glikoprotein (P-gp) dan sitokrom P450
isoenzim 3A4 (CYP3A4) dengan derajat yang berbeda-beda. Apixaban
memiliki interaksi terbesar dengan CYP3A4, diikuti oleh rivaroxaban dan
edoxaban. Dabigatran bukan merupakan substrat dari CYP3A4 (Tabel 2).7-10
Akibatnya, NOAC harus hati-hati diberikan pada pasien yang menggunakan
obat yang berinteraksi dengan P-gp, seperti penyekat beta-adrenergik, statin,
antibiotik, penyekat saluran kalsium, dan obat antiaritmia.7-10 Penggunaan
inhibitor dan induser P-gp ganda dan CYP3A4 ganda yang kuat juga mungkin
memerlukan penyesuaian dosis. Edoxaban tidak memerlukan pengurangan
dosis pada pasien NVAF menggunakan inhibitor P-gp. Seperti halnya dengan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 551


Idrus Alwi

NOAC lainnya, edoxaban tidak boleh digunakan bersamaan dengan rifampin


yang merupakan induser Pgp (Tabel 2).10

Pasien yang memakai apixaban dan menggunakan 6-8 atau ≥ 9 obat


secara bersamaan memiliki risiko strok atau SEE yang lebih tinggi (1,48
/ 100 pasien, HR = 1,270, 95% CI 1,022-1,577 dan 1,57 / 100 pasien, HR =
1,539, 95% CI 1,190-1,991 untuk 6-8 obat dan ≥ 9 obat, masing-masing) dan
komplikasi perdarahan (21,40 / 100 pasien, HR = 1,167, 95% CI 1,092-1,247
dan 29,63 / 100 pasien, HR = 1,452, 95% CI 1,348 -1.565 untuk 6-8 obat dan ≥
9 obat, masing-masing) relatif lebih tinggi daripada pasien yang memakai 0-5
obat saja (1.29 / 100 pasien tahun dan 17.41 / 100 pasien tahun untuk strok
iskemik dan perdarahan).21

Tabel 2. Interaksi Berbagai Jenis Obat.a7-10


Dabigatran Rivaroxaban Apixaban Edoxaban

Substrat P-gp ya ya ya ya

Metabolisme CYP3A4 Tidak ya ya Minimal

Inhibitor P-gp • Hindari penggunaan pada Tidak ada Tidak ada penyesuaian Tidak ada
pasien yang menggunakan penyesuaian dosis dosis penyesuaian dosis
inhibitor P-gp dan CrCl <50
mL / mnt (hanya VTE)
• Hindari penggunaan pada
pasien dengan CrCl <30 mL
/ menit
• Tidak ada penyesuaian
dosis pada pasien yang
menggunakan ticagrelor

Inhibitor ganda P-gp / • Pertimbangkan Hindari penggunaan Dianjurkan Kurangi dosis hingga
CYP3A4 pengurangan dosis 75 mg dengan P-gp pengurangan dosis 30 mg sekali sehari
dua kali sehari pada pasien dan penyekat 50% untuk pasien pada pasien yang
dengan gangguan ginjal kuat CYP3A4 yang menerima> 2,5 menggunakan
sedang (CrCl 30-50 mL / ketoconazole, mg dua kali sehari inhibitor P-gp
mnt) dan ketoconazole atau itraconazole, ketika dipakai bersama verapamil dan
dronedarone (khusus AF) lopinavir / dengan inhibitor ganda quinidine atau
secara bersamaan ritonavir, indinavir, kuat CYP3A4 dan pemberian
• Tidak diperlukan conivaptan P-gp (ketoconazole, azithromycin,
penyesuaian dosis untuk itraconazole, ritonavir, clarithromycin,
klaritromisin, amiodaron, atau clarithromycin); erythromycin,
quinidine, verapamil hindari penggunaan itraconazole oral,
obat ini ketika dosis 2,5 atau ketoconazole
mg dua kali sehari oral secara
bersamaanb

Induksi ganda P-gp / Hindari pemberian bersama Hindari penginduksi Hindari penginduksi Hindari penggunaan
CYP3A4 dengan rifampisin ganda kuat dari ganda kuat dari rifampisin secara
P-gp dan CYP3A4 P-gp dan CYP3A4 bersamaan
carbamazepine, carbamazepine,
phenytoin, phenytoin, rifampisin,
rifampisin, St. John's St. John's wort
wort
a
Penggunaan bersamaan NOAC dan semua antikoagulan lainnya, inhibitor trombosit, dan obat antiinflamasi nonsteroid
meningkatkan risiko perdarahan. Pasien yang menerima obat ini harus dimonitor dengan hati-hati.
b
Untuk pasien dengan VTE saja.
AF, atrial fibrillation; CrCl, creatinine clearance; CYP3A4, cytochrome C P450 isoenzyme 3A4; P-gp, P-glycoprotein; VTE, venous
thromboembolism.

552 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Bagaimana Memilih Antikoagulan Antagonis Non-Vitamin K Oral pada Fibrilasi Atrial

Penggunaan NOAC pada Pasien dengan Risiko Tinggi Perdarahan


Dalam menggunakan NOAC pada pasien NVAF dengan risiko tinggi
terjadinya perdarahan mayor (skor ≥3) perlu mempertimbangkan dengan
cermat antara risiko perdarahan dan risiko strok. Penilaian risiko perdarahan
berdasarkan skor HAS-BLED (hipertensi, fungsi ginjal / hati abnormal, strok,
riwayat perdarahan atau kecenderungan, rasio normal internasional labil,
lansia [> 65 tahun], obat-obatan / alkohol bersamaan) direkomendasikan
oleh European Heart Rhythm Association dan European Society of Cardiology
guidelines. Namun, hal ini tidak direkomendasikan oleh pedoman NVAF AHA
/ ACC / HRS yang berbasis di AS.12,22-24 Pasien NVAF dan peningkatan risiko
strok cenderung memiliki peningkatan risiko perdarahan, karena banyak
faktor yang tumpang tindih.25 Tatalaksana antikoagulan meningkatkan risiko
perdarahan relatif. Pasien lanjut usia sangat rentan terhadap komplikasi
perdarahan terkait dengan penggunaan warfarin dan berisiko tinggi
perdarahan dalam 3 bulan pertama tatalaksana.26

Pedoman merekomendasikan stratifikasi risiko strok berdasarkan sistem


skor CHA2DS2-VASc (gagal jantung kongestif, hipertensi, usia [> 75 tahun],
diabetes mellitus, strok sebelumnya atau transient ischemic attack [TIA] atau
tromboemboli, penyakit pembuluh darah, usia 65-74 tahun, kategori jenis
kelamin).12,27 Dalam uji coba NVAF fase 3, inklusi pasien didasarkan pada
skor CHADS2 (gagal jantung kongestif, hipertensi, usia ≥ 75 tahun, diabetes
mellitus, strok sebelumnya atau TIA atau tromboemboli) dengan minimum
skor CHADS2 yang dibutuhkan adalah 1 untuk dabigatran dan apixaban, dan 2
untuk rivaroxaban dan edoxaban.2-5 Dengan demikian, rata-rata skor CHADS2
untuk pasien yang terdaftar dalam uji rivaroxaban dan edoxaban lebih tinggi
dibandingkan dengan dabigatran dan apixaban. Peningkatan risiko strok dan
SEE, perdarahan mayor dan intrakranial, dan kematian dikaitkan dengan skor
CHADS2 yang lebih tinggi.28

Sebagai sebuah kelompok, NOAC mengurangi perdarahan intrakranial


(risiko relatif [RR] = 0,48, 95% CI 0,39-0,59, P <0,0001) dan semua penyebab
kematian (RR = 0,90, 95% CI 0,85-0,95, P = 0,0003) relatif terhadap warfarin.29
Rangkuman odds ratio (OR) untuk kematian setelah peristiwa perdarahan
mayor adalah 0,65 (95% CI 0,52-0,81), lebih baik pada NOAC (P = 0,0001).30
Dalam metaanalisis, RR untuk perdarahan saluran cerna pada NOAC
dibandingkan dengan warfarin adalah 1,25 (95% CI 1,01-1,55, P = 0,04).29

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 553


Idrus Alwi

Dalam studi NVAF fase 3 di AS, dosis dabigatran, rivaroxaban, dan


edoxaban 60 mg dikaitkan dengan tingkat perdarahan saluran cerna yang
lebih tinggi relatif terhadap warfarin, sementara tidak ada perbedaan dalam
tingkat perdarahan saluran cerna mayor antara apixaban, edoxaban 30 mg,
dibandingkan dengan warfarin.2-5 Pada pasien usia lanjut dengan NVAF atau
VTE, dabigatran dikaitkan dengan risiko perdarahan saluran cerna yang lebih
tinggi dibandingkan dengan warfarin.31

Untuk pasien yang menerima dabigatran untuk NVAF, peningkatan risiko


perdarahan saluran cerna sangat terkait dengan peningkatan usia, gangguan
ginjal, gagal jantung, penyalahgunaan alkohol, infeksi Helicobacter pylori,
terapi antiplatelet, dan penggunaan digoxin.32 Dabigatran juga dikaitkan
dengan kejadian dispepsia, menunjukkan bahwa obat tersebut mungkin
kurang cocok dibandingkan dengan NOAC lain untuk pasien dengan gangguan
saluran cerna.

Penggunaan NOAC pada Pasien dengan Riwayat Infark Miokard Akut/


Sindrom Koroner Akut

Pasien fibrilasi atrium dengan riwayat infark miokard (IM) mempunyai


risiko strok yang tinggi. Semua uji klinis NOAC pada fase 3 memasukkan
pasien dengan riwayat IM sebelumnya. 2-5 Dalam sub-analisis pra-spesifik
pasien dengan atau tanpa riwayat IM, tidak ada perbedaan dalam efektivitas
atau keamanan antara edoxaban atau warfarin yang terlihat.5 Demikian juga,
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam efektivitas atau keamanan antara
rivaroxaban dan warfarin.4 Tidak ada analisis subkelompok IM sebelumnya
dilakukan untuk dabigatran atau apixaban.2,3

Dalam studi fase 3 pencegahan strok pada pasien NVAF yang diberi
dabigatran, tingkat IM yang terjadi selama penelitian meningkat untuk
dabigatran 150 mg (0,74% per tahun, RR 1,38, 95% CI 1,00-1,91, P = 0,05)
relatif terhadap warfarin (0,53% per tahun).2 Pada 2010, setelah evaluasi ulang
database untuk kemungkinan kejadian yang tidak dilaporkan, IM direvisi ke
nilai yang lebih rendah yaitu 1,27 (95% CI 0,94-1,71, P = 0,12).33 Sehubungan
dengan sisa dari populasi penelitian, pasien yang memiliki setidaknya 1 IM
lebih tua dan memiliki lebih banyak faktor risiko koroner, termasuk IM lebih
banyak dan penggunaan obat antiplatelet, penyekat beta, dan statin.34

554 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Bagaimana Memilih Antikoagulan Antagonis Non-Vitamin K Oral pada Fibrilasi Atrial

Dalam metaanalisis 14 uji coba terkontrol secara acak dabigatran, disini


dabigatran 150 mg dikaitkan dengan risiko IM dengan OR 1,43 (95% CI
1,08-1,89, P = 0,01) relatif terhadap warfarin.35 Namun, dalam studi kohort
skala besar di Eropa, pasien yang sebelumnya diobati dengan warfarin yang
beralih ke dabigatran 150 mg menunjukkan tingkat IM yang lebih tinggi (HR
1,30, 95% CI 0,84-2,01) terkait fixed-effect model.36 Dalam 60 hari pertama
penggunaan dabigatran, pasien yang beralih ke dabigatran 150 mg memiliki
tingkat IM yang lebih tinggi dibandingkan dengan warfarin (HR 2,97, 95%
CI 1,31-6,73).36 Tingkat IM dengan warfarin ( 1,63%) serupa dengan analisis
kumpulan apixaban, rivaroxaban, atau edoxaban (1,69%).37

Penggunaan NOAC untuk pasien sindrom koroner akut / acute coronary


syndrome (ACS) yang memerlukan terapi kombinasi tiga obat saat ini tidak
disarankan. Uji coba apixaban APPRAISE-2 (Apixaban for Prevention of Acute
Ischemic Events 2) pada pasien dengan ACS yang diobati dengan aspirin dan
clopidogrel dihentikan lebih awal karena tingkat perdarahan yang lebih tinggi
dengan apixaban relatif terhadap plasebo.38 Walaupun hasil dari percobaan
ATLAS ACS 2 -TIMI 51 (Anti-Xa Therapy to Lower Cardiovascular Events
in Addition to Standard Therapy in Subjects with Acute Coronary Syndrome-
Thrombolysis in Myocardial Infarction 51) menunjukkan penurunan
komposit kematian kardiovaskular, IM, dan strok pada pasien yang diobati
dengan rivaroxaban,39 tingkat perdarahan yang tinggi dari data diamati,
meningkatkan kekhawatiran di antara peninjau klinis dan statistik FDA di
AS.40 Risiko pendarahan meningkat yang tergantung dosis pada penelitian
fase 2 RE-DEEM (Randomized Dabigatran Etexilate Dose-Finding Study in
Patients With Acute Coronary Syndromes), pada pasien ACS yang menerima
dabigatran dalam hubungannya dengan clopidogrel dan aspirin.41

Tatalaksana Pasien dengan Perdarahan pada Penggunaan NOAC


Pasien yang menggunakan antikoagulan dengan pendarahan yang
muncul harus diberikan perhatian khusus. Tes laboratorium yang tersedia
secara rutin mungkin tidak cukup menilai efek antikoagulan NOAC, yang
merupakan kelemahan dalam mengelola kejadian perdarahan.42 Diagram
alur tatalaksana perdarahan untuk pasien yang mendapatkan NOAC dapat
dilihat pada Gambar 2. 7-10,22,42-44 Ringkasan strategi reversal untuk masing-
masing NOAC dapat dilihat pada Tabel 3. 7-10,12,42,43 Hanya dabigatran yang
memiliki obat reversal yang disetujui, yaitu fragmen antibodi spesifik-
dabigatran idarucizumab.45 Dalam analisis sementara dari percobaan kohort
prospektif, reversal antikoagulasi dabigatran terjadi dalam beberapa menit

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 555


Idrus Alwi

setelah pemberian idarucizumab 5-g pada 88%-98% pasien yang mengalami


perdarahan terbuka, tidak terkontrol atau yang memerlukan pembedahan,
dengan pemulihan hemostasis pada median 11,4 jam pada pasien dengan
perdarahan terbuka yang tidak terkontrol.46

Gambar 2. Diagram Alur Tatalaksana Perdarahan pada Pasien yang Menggunakan


Antikoagulan Non-Vitamin K Oral.13

Versi rekombinan FXA manusia yang tidak aktif (andexanet alfa, Portola
Pharmaceuticals) dan molekul kecil sintetik (ciraparantag [PER977],
Perosphere Inc.) juga sedang diselidiki.47-52 Andexanet alfa diajukan ke FDA
untuk disetujui pada Februari 2016.53 Dalam uji coba fase 3 pada sukarelawan
sehat dengan apixaban atau rivaroxaban, andexanet alfa mengurangi aktivitas
anti-faktor Xa lebih efektif dibandingkan dengan plasebo dalam waktu 2-5
menit.52 Ciraparantag melawan efek antikoagulan edoxaban berdasarkan
waktu pembekuan darah keseluruhan dan mengembalikan hemostasis
pada subyek sehat.49 Meskipun tidak dikembangkan sebagai obat reversal
untuk penyekat FXa langsung, obat hemostatik seperti penyekat faktor VIII
yang memintas aktivitas, konsentrat kompleks protrombin, dan bentuk
rekombinan aktif faktor VII juga telah dievaluasi untuk reversal NOAC.10,12,54,55

Tabel 3. Reversal dan Antagonis Antikoagulan Non-Vitamin K Oral. 7-10,12,42,43


Dabigatran Rivaroxaban Apixaban Edoxaban

Obat reversal Idarucizumab Tidak ada Tidak ada Tidak ada


Obat antifibrinolitik Tidak ada panduan Tidak ada panduan Tidak ada Tidak diharapkan
yang ada yang ada pengalaman dipengaruhi obat
reversal
Protamine sulfate/ Tidak Tidak Tidak Tidak diharapkan
vitamin K dipengaruhi obat
reversal

556 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Bagaimana Memilih Antikoagulan Antagonis Non-Vitamin K Oral pada Fibrilasi Atrial

Dabigatran Rivaroxaban Apixaban Edoxaban

Hemostasis sistemik Tidak ada panduan Tidak ada panduan Tidak ada Tidak ada panduan
yang ada yang ada pengalaman yang ada
dengan
desmopresin atau
aprotinin
Konsentrat Platelet Pertimbangkan Tidak ada panduan Tidak ada panduan Tidak ada panduan
apakah ada yang ada yang ada yang ada
trombositopenia
atau antiplatelet
lama digunakan
Konsentrat aPCC, aktivitas Uji klinis pada Dapat Uji klinis pada
prothrombin bypass faktor subyek sehat; dipertimbangkan; subjek sehat
kompleks VIII inhibitor, aPCC, rFVIIa tidak tidak dievaluasi
rFVIIa dapat dievaluasi dalam uji klinis
dipertimbangkan;
tidak dievaluasi
dalam uji klinis
Aktivasi Charcoal Ya Ya Ya Tidak ada panduan
yang ada
Hemodialisis Ya, dukungan Tidak Tidak Tidak
terbatas
aPCC, activated prothrombin complex concentrate; rFVIIa, recombinant factor VIIa.

Kesimpulan
– NOAC efektif dalam menurunkan risiko strok atau SEE pada pasien
dengan NVAF dan dikaitkan dengan insiden perdarahan intrakranial
yang lebih sedikit dibandingkan dengan warfarin.
– Kondisi komorbid dan farmakokinetik obat antikoagulan sangat
penting diperhatikan dalam strategi pemilihan NOAC yang tepat untuk
meminimalisasi risiko efek samping perdarahan, tanpa mengurangi
manfaat terapi antikoagulan.

Daftar Pustaka
1. Valgimigli M, Bueno H, Byrne RA, Collet J-P, Costa F, Jeppsson A, et al. 2017 ESC
focused update on dual antiplatelet therapy in coronary artery disease developed
in collaboration with EACTS. Eur Heart J. 2017;53(1):34-78.
2. Connolly S. RE-LY Steering Committee and Investigators: Dabigatran versus
warfarin in patients {Connolly, 2009 #207}with atrial fibrillation. N Engl J Med.
2009;360:2066-78.
3. Granger CB, Alexander JH, McMurray JJ, Lopes RD, Hylek EM, Hanna M, et al.
Apixaban versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med.
2011;365(11):981-92.
4. Patel MR, Mahaffey KW, Garg J, Pan G, Singer DE, Hacke W, et al. Rivaroxaban versus
warfarin in nonvalvular atrial fibrillation. N Engl J Med. 2011;365(10):883-91.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 557


Idrus Alwi

5. Giugliano RP, Ruff CT, Braunwald E, Murphy SA, Wiviott SD, Halperin JL, et
al. Edoxaban versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med.
2013;369(22):2093-104.
6. Hirsh J, Fuster V, Ansell J, Halperin JL. American Heart Association/American
College of Cardiology foundation guide to warfarin therapy. J Am Coll Cardiol.
2003;41(9):1633-52.
7. Pradaxa (dabigatran etexilate mesylate). Full Prescribing Information. Ridgefield,
CT: Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals; 2015. http://docs.boehringer-
ingelheim.com/Prescribing%20Information/PIs/Pradaxa/Pradaxa.pdf. Accessed
August 4. 2016.
8. Xarelto (rivaroxaban) tablets. Full Prescribing Information. Titusville, NJ: Janssen
Pharmaceuticals, USA; 2015. https://www.xareltohcp.com/shared/product/
xarelto/prescribing-information.pdf. Accessed August 4. 2016.
9. Eliquis (apixaban) tablets for oral use. Full Prescribing Information. Princeton, NJ
and New York: Bristol-Myers Squibb Company and Pfizer; 2015. https://www.
eliquis.com/eliquis/servlet/servlet.FileDownload?file¼00Pi000000GM6ILEA1.
Accessed August 4. 2016.
10. Savaysa (edoxaban) tablets for oral use. Full Prescribing Information. Parsippany,
NJ: Daiichi Sankyo; 2016. http://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/
label/2016/206316lbl.pdf. Accessed October 10. 2016.
11. Ageno W, Gallus AS, Wittkowsky A, Crowther M, Hylek EM, Palareti G. Oral
anticoagulant therapy: antithrombotic therapy and prevention of thrombosis:
American College of Chest Physicians evidence-based clinical practice guidelines. J
Chest. 2012;141(2):e44S-e88S.
12. January C, Wann L, Alpert J, Calkins H, Cigarroa J, Cleveland J, et al. American college
of cardiology/American heart association task force on practice guidelines. 2014
AHA/ACC/HRS guideline for the management of patients with atrial fibrillation:
a report of the American college of cardiology/American heart association task
force on practice guidelines and the heart rhythm society. J Am Coll Cardiol.
2014;64(21):e1-e76.
13. Amin A. Choosing Non-Vitamin K antagonist oral anticoagulants: practical
considerations we need to know. Ochsner J. 2016;16(4):531-41.
14. Pfeilschifter W, Luger S, Brunkhorst R, Lindhoff-Last E, Foerch C. The gap between
trial data and clinical practice-an analysis of case reports on bleeding complications
occurring under dabigatran and rivaroxaban anticoagulation. Cerebrovasc Dis.
2013;36(2):115-9.
15. Clemens A, Noack H, Brueckmann M, Lip GY. Twice-or once-daily dosing of novel
oral anticoagulants for stroke prevention: a fixed-effects meta-analysis with
predefined heterogeneity quality criteria. PLoS One. 2014;9(6):e99276.
16. Marzec LN, Gosch KL, Chan PS, Ting HH, Shah ND, Maddox TM. The introduction
of novel oral anticoagulants has improved overall oral anticoagulation rates

558 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Bagaimana Memilih Antikoagulan Antagonis Non-Vitamin K Oral pada Fibrilasi Atrial

in atrial fibrillation: insights from the NCDR PINNACLE Registry. Circulation.


2015;132(suppl_3):A14902-A.
17. Cohen E, Nardi Y, Krause I, Goldberg E, Milo G, Garty M, et al. A longitudinal
assessment of the natural rate of decline in renal function with age. J Nephrol.
2014;27(6):635-41.
18. Miyamoto K, Aiba T, Arihiro S, Watanabe M, Kokubo Y, Ishibashi K, et al. Impact
of renal function deterioration on adverse events during anticoagulation therapy
using non-vitamin K antagonist oral anticoagulants in patients with atrial
fibrillation. Heart Vessels. 2016;31(8):1327-36.
19. Nielsen PB, Lane DA, Rasmussen LH, Lip GY, Larsen TB. Renal function and non-
vitamin K oral anticoagulants in comparison with warfarin on safety and efficacy
outcomes in atrial fibrillation patients: a systemic review and meta-regression
analysis. Clin Res Cardiol. 2015;104(5):418-29.
20. Eisen A, Giugliano RP, Ruff CT, Nordio F, Gogia HS, Awasty VR, et al. Edoxaban vs
warfarin in patients with nonvalvular atrial fibrillation in the US Food and Drug
Administration approval population: An analysis from the Effective Anticoagulation
with Factor Xa Next Generation in Atrial Fibrillation–Thrombolysis in Myocardial
Infarction 48 (ENGAGE AF–TIMI 48) trial. Am Heart J. 2016;172:144-51.
21. Focks JJ, Brouwer MA, Wojdyla DM, Thomas L, Lopes RD, Washam JB, et al.
Polypharmacy and effects of apixaban versus warfarin in patients with atrial
fibrillation: post hoc analysis of the ARISTOTLE trial. BMJ. 2016;353:i2868.
22. Heidbuchel H, Verhamme P, Alings M, Antz M, Hacke W, Oldgren J, et al. EHRA
practical guide on the use of new oral anticoagulants in patients with non-valvular
atrial fibrillation: executive summary. Eur Heart J. 2013;34(27):2094-106.
23. Members ATF, Camm AJ, Lip GY, De Caterina R, Savelieva I, Atar D, et al. 2012 focused
update of the ESC guidelines for the management of atrial fibrillation: an update of
the 2010 ESC guidelines for the management of atrial fibrillation developed with
the special contribution of the European Heart Rhythm Association. Eur Heart J.
2012;33(21):2719-47.
24. Pisters R, Lane DA, Nieuwlaat R, De Vos CB, Crijns HJ, Lip GY. A novel user-friendly
score (HAS-BLED) to assess 1-year risk of major bleeding in patients with atrial
fibrillation: the Euro Heart Survey. J Chest. 2010;138(5):1093-100.
25. Apostolakis S, Lane DA, Buller H, Lip GY. Comparison of the CHADS2, CHA2DS2-
VASc and HAS-BLED scores for the prediction of clinically relevant bleeding
in anticoagulated patients with atrial fibrillation: the AMADEUS trial. Thromb
Haemost. 2013;110(11):1074-9.
26. Poli D, Antonucci E, Testa S, Tosetto A, Ageno W, Palareti G, et al. Bleeding risk
in very old patients on vitamin K antagonist treatment: results of a prospective
collaborative study on elderly patients followed by Italian Centres for
Anticoagulation. Circulation. 2011;124(7):824-9.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 559


Idrus Alwi

27. Lip GY, Nieuwlaat R, Pisters R, Lane DA, Crijns HJ. Refining clinical risk stratification
for predicting stroke and thromboembolism in atrial fibrillation using a novel
risk factor-based approach: the euro heart survey on atrial fibrillation. Chest.
2010;137(2):263-72.
28. Oldgren J, Alings M, Darius H, Diener H-C, Eikelboom J, Ezekowitz MD, et al. Risks for
stroke, bleeding, and death in patients with atrial fibrillation receiving dabigatran
or warfarin in relation to the CHADS2 score: a subgroup analysis of the RE-LY trial.
Ann Intern Med. 2011;155(10):660-7.
29. Ruff CT, Giugliano RP, Braunwald E, Hoffman EB, Deenadayalu N, Ezekowitz MD, et
al. Comparison of the efficacy and safety of new oral anticoagulants with warfarin
in patients with atrial fibrillation: a meta-analysis of randomised trials. Lancet.
2014;383(9921):955-62.
30. Skaistis J, Tagami T. Risk of fatal bleeding in episodes of major bleeding with new
oral anticoagulants and vitamin K antagonists: a systematic review and meta-
analysis. PloS one. 2015;10(9):e0137444.
31. Sharma M, Cornelius VR, Patel JP, Davies JG, Molokhia M. Efficacy and harms of
direct oral anticoagulants in the elderly for stroke prevention in atrial fibrillation
and secondary prevention of venous thromboembolism: systematic review and
meta-analysis. Circulation. 2015;132(3):194-204.
32. Lauffenburger JC, Rhoney DH, Farley JF, Gehi AK, Fang G. Predictors of
gastrointestinal bleeding among patients with atrial fibrillation after initiating
dabigatran therapy. Pharmacotherapy. 2015;35(6):560-8.
33. Connolly SJ, Ezekowitz MD, Yusuf S, Reilly PA, Wallentin L. Newly identified events
in the RE-LY trial. N Engl J Med. 2010;363(19):1875-6.
34. Hohnloser SH, Oldgren J, Yang S, Wallentin L, Ezekowitz M, Reilly P, et al. Myocardial
ischemic events in patients with atrial fibrillation treated with dabigatran or
warfarin in the RE-LY (Randomized Evaluation of Long-Term Anticoagulation
Therapy) trial. Circulation. 2012;125(5):669-76.
35. Douxfils J, Buckinx F, Mullier F, Minet V, Rabenda V, Reginster JY, et al. Dabigatran
etexilate and risk of myocardial infarction, other cardiovascular events, major
bleeding, and all‐cause mortality: a systematic review and meta‐analysis of
randomized controlled trials. Am Heart J. 2014;3(3):e000515.
36. Larsen TB, Rasmussen LH, Gorst-Rasmussen A, Skjøth F, Rosenzweig M, Lane DA,
et al. Myocardial ischemic events in ‘real world’patients with atrial fibrillation
treated with dabigatran or warfarin. Am J Med. 2014;127(4):329-36. e4.
37. Loffredo L, Perri L, Violi F. Myocardial infarction and atrial fibrillation: different
impact of anti-IIa vs anti-Xa new oral anticoagulants: a meta-analysis of the
interventional trials. Int J Cardiol. 2015;178:8-9.
38. Alexander JH, Lopes RD, James S, Kilaru R, He Y, Mohan P, et al. Apixaban with
antiplatelet therapy after acute coronary syndrome. N Engl J Med. 2011;365(8):699-
708.

560 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Bagaimana Memilih Antikoagulan Antagonis Non-Vitamin K Oral pada Fibrilasi Atrial

39. Mega JL, Braunwald E, Wiviott SD, Bassand J-P, Bhatt DL, Bode C, et al. Rivaroxaban
in patients with a recent acute coronary syndrome. N Engl J Med. 2012;366(1):9-
19.
40. Krantz MJ, Kaul S. The ATLAS ACS 2–TIMI 51 Trial and the Burden of Missing
Data:(Anti-Xa Therapy to Lower Cardiovascular Events in Addition to Standard
Therapy in Subjects With Acute Coronary Syndrome ACS 2–Thrombolysis In
Myocardial Infarction 51). J Am Coll Cardiol. 2013;62(9):777-81.
41. Oldgren J, Budaj A, Granger CB, Khder Y, Roberts J, Siegbahn A, et al. Dabigatran vs.
placebo in patients with acute coronary syndromes on dual antiplatelet therapy: a
randomized, double-blind, phase II trial. Eur Heart J. 2011;32(22):2781-9.
42. Levy JH, Ageno W, Chan NC, Crowther M, Verhamme P, Weitz J, et al. When and how
to use antidotes for the reversal of direct oral anticoagulants: guidance from the
SSC of the ISTH. Thromb Haemost. 2016;14(3):623-7.
43. Alikhan R, Rayment R, Keeling D, Baglin T, Benson G, Green L, et al. The acute
management of haemorrhage, surgery and overdose in patients receiving
dabigatran. Emerg Med J. 2014;31(2):163-8.
44. Weitz JI, Pollack Jr CV. Practical management of bleeding in patients receiving non-
vitamin K antagonist oral anticoagulants. Thromb Haemost. 2015;114(12):1113-
26.
45. Praxbind (idarucizumab). Full Prescribing Information. Ridgefield, CT: Boehringer
Ingelheim Pharmaceuticals; 2015. http://docs.boehringer-ingelheim.com/
Prescribing%20Information/PIs/Praxbind/Praxbind.pdf. Accessed August 4.
2016.
46. Pollack Jr CV, Reilly PA, Eikelboom J, Glund S, Verhamme P, Bernstein RA, et al.
Idarucizumab for dabigatran reversal. N Engl J Med. 2015;373(6):511-20.
47. Laulicht B, Bakhru S, Lee C, Baker C, Jiang X, Mathiowitz E. Small molecule antidote
for anticoagulants. Circulation. 2012.
48. Bakhru S, Laulicht B, Jiang X, Chen L, Grosso M, Morishima Y, et al. A synthetic small
molecule antidote for anticoagulants. Eur Heart J. 2013;34(suppl_1).
49. Ansell JE, Bakhru SH, Laulicht BE, Steiner SS, Grosso M, Brown K, et al. Use of PER977
to reverse the anticoagulant effect of edoxaban. N Engl J Med. 2014;371(22):2141-
2.
50. Crowther M, Levy GG, Lu G, Leeds J, Lin J, Pratikhya P, et al. A phase 2 randomized,
double-blind, placebo-controlled trial demonstrating reversal of edoxaban-induced
anticoagulation in healthy subjects by andexanet alfa (PRT064445), a universal
antidote for factor Xa (fXa) inhibitors. Circulation. 2014.
51. Gold AM, Crowther M, Levy G, et al. AnnexaTM: A Phase 3 randomized, double-
blind, placebo-controlled trial, demonstrating reversal of rivaroxaban-induced
anticoagulation in older subjects by andexanet alfa (PRT06445), a universal
antidote for factor Xa (FXa) inhibitors. J Am Coll Cardiol. 65(10_S):A23. http://
content.onlinejacc.org/article. 2015.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 561


Idrus Alwi

52. Siegal DM, Curnutte JT, Connolly SJ, Lu G, Conley PB, Wiens BL, et al. Andexanet alfa
for the reversal of factor Xa inhibitor activity. N Engl J Med. 2015;373(25):2413-24.
53. Portola Pharmaceuticals announces biologics license application for Andexanet
Alfa accepted for review by FDA [press release]. South San Francisco, CA:
Portola Pharmaceuticals; Feb 17, 2016. http://investors.portola.com/phoenix.
zhtml?c¼198136&p¼irol-newsroomArticle&ID¼2140255. Accessed April 15.
2016.
54. Zahir H, Brown KS, Vandell AG, Desai M, Maa J-F, Dishy V, et al. Edoxaban effects on
bleeding following punch biopsy and reversal by a 4-factor prothrombin complex
concentrate. Circulation. 2015;131(1):82-90.
55. Dzik W. Reversal of oral factor Xa inhibitors by prothrombin complex concentrates:
a re‐appraisal. Thromb Haemost. 2015;13:S187-S94.

562 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia
Bogi Pratomo Wibowo
Divisi Gastroenterohepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang

Abstrak
Infeksi virus hepatitis B (Hepatitis B Virus, HBV) masih menjadi
masalah kesehatan global. Semua pasien dengan infeksi HBV kronis
memiliki peningkatan risiko menjadi sirosis dan karsinoma hepatoseluler
(hepatocellular carcinoma, HCC), tergantung pada faktor inang dan virus.
Tujuan utama terapi adalah untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan
kualitas hidup dengan mencegah perkembangan penyakit, yang selanjutnya
mengarah pada pencegahan perkembangan HCC. Induksi penekanan-jangka-
panjang replikasi HBV menjadi titik akhir utama dari strategi pengobatan saat
ini, sedangkan hilangnya HBsAg merupakan titik akhir yang optimal. Indikasi
pengobatan membutuhkan DNA HBV >2.000 IU/mL, peningkatan ALT dan/
atau setidaknya lesi histologis sedang, sedangkan semua pasien sirosis
dengan DNA HBV yang terdeteksi harus diterapi. Indikasi tambahan meliputi
pencegahan penularan ibu ke anak pada wanita hamil dengan viremia tinggi
dan pencegahan reaktivasi HBV pada pasien yang membutuhkan imunosupresi
atau kemoterapi. Pemberian jangka panjang analog nukleos(t)ide yang
kuat, dengan penghalang resistansi yang tinggi, yaitu, entecavir, tenofovir
disoproxil, atau tenofovir alafenamida, dapat menjadi pengobatan pilihan.
Pemberian pegylated interferon-alfa juga dapat dipertimbangkan pada pasien
hepatitis B kronis ringan hingga sedang. Saat ini terapi kombinasi belum
dianjurkan. Semua pasien harus menjalani pemantauan risiko perkembangan
serta komplikasi penyakit dan HCC.

Pendahuluan
Epidemiologi dan Beban Kesehatan Masyarakat
Sekitar 240 juta orang telah menjadi pembawa antigen permukaan
HBV (HBV surface antigen, HBsAg) kronis, dengan variasi regional pasien
HBsAg-positif antara kadar endemisitas rendah (<2%) dan tinggi (>8%).
Prevalensi penyakit tersebut menurun pada beberapa negara endemik tinggi,
karena peningkatan status sosial ekonomi, program vaksinasi universal, dan
kemungkinan adanya pengobatan antivirus yang efektif . Namun, perpindahan
penduduk dan migrasi saat ini mengubah prevalensi dan insidensi di

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 563


Bogi Pratomo Wibowo

beberapa negara endemik rendah di Eropa, seperti Italia dan Jerman, karena
tingkat prevalensi HBsAg yang lebih tinggi pada migran dan pengungsi dari
luar Eropa dibandingkan dengan penduduk asli. Bahkan, program vaksinasi
universal belum mampu mencegah kasus infeksi HBV akut secara substansial,
terutama dalam populasi berisiko tinggi. Jumlah kematian terkait HBV karena
sirosis hati dan/atau karsinoma hepatoseluler (HCC) meningkat antara tahun
1990 dan 2013 sebesar 33%, dengan >686.000 kasus pada tahun 2013 di
seluruh dunia.

Perkembangan dalam bidang hepatitis B di dunia dan Indonesia


mengalami kemajuan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai
penelitian di bidang diagnosis, pencegahan, maupun terapi hepatitis B telah
mengubah prinsip penatalaksanaan penyakit ini dalam beberapa waktu
terakhir. Ditemukannya metode diagnosis dan pemantauan yang baru seperti
HBsAg kuantitatif, dan mulai tersedianya pilihan-pilihan terapi baru maupun
pilihan yang lebih ekonomis.

Epidemiologi Hepatitis B
Sebelum pelaksanaan program vaksinasi HBV, wilayah Asia-Pasifik dibagi
menjadi tiga kategori dalam hal prevalensi HBsAg. Prevalensi tinggi (>8%)
wilayah termasuk daratan Cina, Hong Kong, Taiwan, Korea, Mongolia, Filipina,
Thailand, Vietnam, dan Selatan Negara pulau Pasifik. Prevalensi menengah (2-
8%) daerah termasuk Asia Tengah, anak benua India, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Prevalensi rendah (<2%) wilayah termasuk Australia dan Selandia
Baru, walaupun prevalensi telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir
karena imigran dari negara-negara dengan prevalensi tinggi. Vaksinasi HBV
universal pada bayi baru lahir secara dramatis mengubah epidemiologi
infeksi HBV kronis. Tinjauan sistematis yang diterbitkan oleh para ahli WHO
pada tahun 2012 menunjukkan penurunan prevalensi infeksi HBV kronis dari
1990 hingga 2005 di sebagian besar wilayah di dunia.

Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu masalah kesehatan utama


di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan
bahwa sepertiga populasi dunia pernah terpajan virus ini dan 350-400 juta
diantaranya merupakan pengidap hepatitis B. Prevalensi yang lebih tinggi
didapatkan di negara berkembang, termasuk indonesia. Di Indonesia, angka
pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-20.3%,
dengan proporsi pengidap di luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada di Pulau
Jawa. Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 menunjukkan proporsi HBsAg

564 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia

positif sebesar 7,1%. Secara genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan


merupakan virus dengan genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%) dan A
[(0.8%).

Proporsi HBsAg positif penduduk Indonesia, Riskesdas 2013

Gambar 1. Proporsi HBsAg positif penduduk Indonesia

Sirosis dan Karsinoma Hepatoselular (KHS) adalah dua komplikasi


hepatitis B kronik yang tidak diterapi dengan tepat. Insidens kumulatif
5 tahun sirosis pada pasien dengan hepatitis B yang tidak diterapi
menunjukkan angka 8-20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang
menjadi sirosis dekompensata dalam 5 tahun berikutnya. Sementara insidensi
kumulatif KHS pada pasien dengan hepatitis B yang sudah mengalami sirosis
mencapai 21% pada pemantauan 6 tahun.

Perjalanan Penyakit Hepatitis B


Siklus hidup virus
Penyakit ini disebabkan infeksi oleh virus hepatitis B, sebuah virus DNA
dari keluarga Hepadnaviridae dengan struktur virus berbentuk sirkular
dan terdiri dari 3200 pasang basa. Famili Hepadnaviridae terdiri dari
virus DNA hepatotropik kecil dan terselubung. Pada sel inang, virus
mereplikasi dan berkumpul secara eksklusif dalam hepatosit, dan
virion dilepaskan secara non-sitopatik melalui jalur sekretori seluler.
Genom virus menunjukkan organisasi yang sangat kompak. DNA kecil
(3,2 kb), sebagian-berupa untai ganda, DNA relaxcircular (rc) dengan 4
open frame yang mengkode 7 protein: HBeAg (antigen e HBV, protein
dimerik yang disekresi), HBcAg (antigen inti HBV, protein kapsid
virus), HBV Pol/RT (aktivitas polimerase, reverse transcriptase),

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 565


Bogi Pratomo Wibowo

PreS1/PreS2/HBsAg (glikoprotein permukaan terselubung yang


berukuran besar, sedang, dan kecil), dan HBx (x antigen HBV, pengatur
transkripsi yang diperlukan untuk inisiasi infeksi). Pada saat virus
mencapai hepatosit, nukleokapsid HBV diangkut menuju nukleus
untuk melepaskan genom rcDNA. Dalam nukleoplasma, rcDNA diubah
menjadi cccDNA (covalently closed circular DNA), yang diselubungi
oleh histon untuk membentuk struktur kromatin episom. Selanjutnya,
struktur tersebut berfungsi sebagai template transkripsi untuk semua
transkrip virus yang ditranslasi menjadi beberapa protein virus yang
berbeda. Selain mengkode protein kapsid dan polymerase virus, RNA
pregenomik akan mengalami reverse transkripsi menjadi rcDNA
baru di dalam kapsid virus. DNA yang mengandung nukleokapsid
dalam sitoplasma dapat didaur ulang ke dalam nukleus untuk
mempertahankan reservoir cccDNA, atau diselubungi dan disekresikan
melalui retikulum endoplasma. Selain virion infeksi lengkap (diameter
42 nm), sel yang terinfeksi akan menghasilkan sejumlah besar sub-
virus berupa partikel bulat atau filamen berukuran 22 nm yang tidak
menular dan bebas genom. Integrasi genom virus dalam genom inang
dapat terjadi secara acak, hal terebut tidak diperlukan untuk replikasi
virus, tetapi merupakan salah satu mekanisme penting yang terlibat
dalam transformasi hepatosit.

Virus ini akan menyebabkan dua kondisi klinis, pada pasien yaitu: (1)
Hepatitis akut yang kemudian sembuh secara spontan dan membentuk
kekebalan terhadap penyakit ini, atau (2) Berkembang menjadi kronik.
Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa mengalami 4 fase penyakit,
yaitu fase immune tolerant, fase immune clearance, fase pengidap inaktif,
dan fase reaktivasi. Fase immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB
yang tinggi dengan kadar alanin aminotransferase (ALT) yang normal.
Sedangkan, fase immune clearance terjadi ketika sistem imun berusaha
melawan virus. Hal ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien
kemudian dapat berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan
DNA VHB yang rendah (<2000 IU/ml), ALT normal, dan kerusakan hati
minimal. Seringkali pasien pada fase pengidap inaktif dapat mengalami fase
reaktivasi dimana DNA VHB kembali mencapai >2000 IU/ml dan inflamasi
hati kembali terjadi.

566 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia

Evaluasi Pre-terapi
Langkah-langkah evaluasi pre-terapi pada infeksi hepatitis B kronik
bertujuan untuk: (1) menemukan hubungan kausal infeksi kronik VHB
dengan penyakit hati, (2) melakukan penilaian derajat kerusakan sel
hati, (3) menemukan adanya penyakit komorbid atau koinfeksi dan (4)
menentukan waktu dimulainya terapi.

Hubungan kausal penyakit hati dengan infeksi kronik VHB dijelaskan


pada tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Infeksi VHB


Kriteria Diagnosis Infeksi VHB
Hepatitis B Kronik
1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. DNA VHB serum >20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah 2000-20.000 IU/ mL ditemukan
pada HBeAg negatif)
3. Peningkatan ALT yang persisten maupun intermiten
4. Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat nekroinflamasi sedang
sampai berat
Pengidap Inaktif
1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. HBeAg (-), anti HBe (+)
3. ALT serum dalam batas normal
4. DNA VHB <2000-20000 IU/mL
5. Biopsi hati yang tidak menunjukkan inflamasi yang dominan
Resolved Hepatitis Infection
1. Riwayat infeksi Hepatitis B, atau adanya anti-HBc dalam darah
2. HBsAg (-)
3. DNA VHB serum yang tidak terdeteksi
4. ALT serum dalam batas normal

Evaluasi awal seseorang dengan infeksi HBV harus mencakup riwayat dan
pemeriksaan fisik yang terperinci. Konsumsi alkohol, riwayat keluarga HBV
dan HCC, dan penilaian faktor risiko menentukan kemungkinan superinfeksi
HBV dengan virus hepatitis lain harus menjadi bagian dari pengambilan data.
Komorbiditas seperti obesitas, diabetes melitus dan sindrom metabolik harus
dinilai. Steatosis hati pada individu dengan CHB terkait dengan faktor-faktor
metabolisme yang menyertai daripada diinduksi oleh virus. Pemeriksaan
fisik berfokus pada mengidentifikasi keberadaan sirosis atau penyakit hati

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 567


Bogi Pratomo Wibowo

dekompensasi, karena berdampak pada prognosa. Hitung darah lengkap, tes


biokimia, penanda serologis dan virologis HBV, dan USG harus menjadi bagian
dari evaluasi awal. Tes biokimia meliputi ALT, AST, GGT, alkali fosfatase,
albumin serum dan waktu protrombin. Penilaian virologi terdiri dari HBeAg,
anti-Hbe dan pengukuran Hepatitis B DNA, yang menjadi penanda terbaik
replikasi virus. Pengujian kuantifikasi PCR realtime harus digunakan untuk
mengukur kadar DNA HBV serum.

Pada umumnya, ALT akan lebih tinggi dari AST, namun seiring dengan
progresifitas penyakit menuju sirosis, rasio ini akan terbalik. Bila sirosis telah
terbentuk, maka akan tampak penurunan progresif dari albumin, peningkatan
globulin dan pemanjangan waktu protrombin yang disertai dengan
penurunan jumlah trombosit. Genotipe HBV tidak diperlukan dalam evaluasi
awal, walaupun hal tersebut kemungkinan berguna untuk menseleksi pasien
untuk dirawat dengan IFNα yang menawarkan informasi prognostik untuk
probabilitas respon terhadap terapi IFNα dan risiko HCC.

Keinginan untuk mengetahui cccDNA di dalam hepatosit menyebabkan


pengembangan pemeriksaan HBsAg kuantitatif yang mudah direproduksi,
otomatis, dan terstandarisasi (IU / mL) untuk mengukur HBsAg. Meskipun
HBsAg kuantitatif (qHBsAg) mencerminkan level cccDNA dan DNA
intrahepatik, itu juga mengukur HBsAg yang muncul dari DNA terintegrasi,
dengan demikian mengurangi spesifisitasnya sebagai biomarker untuk
replikasi virus. Tingkat qHBsAg bervariasi genotipe (lebih tinggi dalam
A) dan dengan adanya preS / S mutan atau inang kontrol imun (korelasi
terbalik dengan keduanya). Tingkat HBsAg umumnya lebih tinggi pada pasien
HBeAg-positif dibandingkan pasien HBeAg-negatif. Pada pasien HBeAg-
negatif, rendahnya qHBsAg (<1.000 IU / mL) dan DNA HBV (2.000 IU / mL)
menunjukkan CHB yang tidak aktif. Tingkat qHBsAg yang lebih tinggi telah
dikaitkan dengan perkembangan menjadi sirosis dan HCC. qHBsAg <1.000
IU / mL memprediksi bersihan HBsAg spontan pada pasien HBeAg-negatif
dengan viral load yang rendah. Untuk pengobatan IFN pada pasien HBeAg-
positif, qHBsAg membantu memprediksi respons dan memberikan aturan
penghentian terapi.

Indikasi terapi pada infeksi VHB kronik ditentukan oleh nilai DNA VHB,
ALT serum dan gambaran histologis hati.

568 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia

Tujuan Akhir Terapi


Penatalaksanaan hepatitis B secara umum memiliki tujuan untuk
supresi jangka panjang infeksi virus hepatitis B melalui terapi, dan
pencegahan transmisi dengan vaksinasi, sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup dan kesintasan pasien yang terinfeksi. Terapi juga
diberikan untuk mencegah perkembangan penyakit, progresi penyakit
menjadi sirosis, sirosis dekompensata, penyakit hati lanjut, karsinoma
hepatoselular dan kematian, sekaligus mencegah terjadinya transmisi
virus. Mengacu pada tujuan ini, dapat ditetapkan beberapa endpoint /
target terapi, yaitu target ideal, memuaskan, dan diinginkan.

Target Terapi Hepatitis B Kronik adalah sebagai berikut:


1. Target ideal (ideal endpoint) :
Hilangnya HBsAg, dengan atau tanpa serokonversi anti-HBs.
2. Target memuaskan (satisfactory endpoint) :
Tidak ditemukannya relaps klinis setelah terapi dihentikan pada pasien
HBeAg positif (disertai serokonversi anti HBe yang bertahan) dan pada
pasien HBeAg negatif.
3. Target diinginkan (desirable endpoint):
Penekanan HBV DNA yang bertahan selama terapi jangka panjang untuk
pasien HBeAg positif yang tidak mencapai serokonversi anti HBe dan
pada pasien HBeAg negatif.

Sebuah studi dari Hongkong menunjukkan bahwa sangat penting


bagi pasien hepatitis B untuk mencapai hilangnya HBsAg sebelum
usia 50 tahun. Pasien yang sudah mengalami serokonversi
di bawah usia 50 tahun, memiliki risiko progresi penyakit yang
hampir tidak ada sedangkan pasien yang mengalami serokonversi diatas
usia 50 tahun atau sirosis tetap memiliki risiko terjadinya karsinoma
hepatoselular. Data lain dari Indonesia menunjukkan bahwa kelompok
pasien dengan HBV DNA tidak terdeteksi tapi dengan HBsAg tetap
terdeteksi memiliki risiko kejadian KHS 10 kali lebih besar dibandingkan
dengan pasien HBsAg negatif.

Pada pengalaman praktis, hilangnya HBsAg sebagai tujuan terapi ideal


seringkali sulit untuk dicapai sehingga terapi hanya difokuskan pada tujuan
memuaskan dan diinginkan. Meskipun demikian, terdapat kelompok pasien
yang memiliki kebutuhan khusus, misalnya untuk melanjutkan sekolah

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 569


Bogi Pratomo Wibowo

atau mendapatkan pekerjaan. Dengan demikian, penetapan tujuan akhir


pengobatan perlu disesuaikan dan dibuat dengan tetap mempertimbangkan
kebutuhan pasien.

Indikasi Terapi
Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi
dari empat kriteria, antara lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) status HBeAg,
(3) nilai ALT dan (4) gambaran histologis hati.

Nilai DNA VHB merupakan salah satu indikator mortalitas dan morbiditas
yang paling kuat untuk hepatitis B. Studi REVEAL yang melibatkan lebih
dari 3.000 responden di Taiwan menyatakan bahwa kadar DNA VHB basal
merupakan prediktor sirosis dan KHS yang paling kuat baik pada pasien
dengan HBeAg positif maupun negatif. Pasien dengan kadar DNA VHB antara
300-1000 kopi/mL memiliki risiko relatif 1.4 kali lebih tinggi untuk terjadinya
sirosis pada 11,4 tahun bila dibandingkan dengan pasien dengan DNA VHB
tak terdeteksi. Merujuk pada uraian tersebut, maka level DNA VHB dapat
dijadikan sebagai indikator memulai terapi dan indikator respon terapi.

Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peran penting dalam


prognosis pasien dengan hepatitis B kronik. Pasien dengan HBeAg positif
diketahui memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Namun
pada pasien dengan HBeAg negatif, respon terapi jangka panjang seringkali
lebih sulit diprediksi dan relaps lebih sering dijumpai. Beberapa panduan
yang ada telah mencoba membedakan indikasi terapi hepatitis B berdasarkan
status HBeAg, dengan pasien HBeAg negatif diindikasikaan memulai terapi
pada kadar DNA VHB yang lebih rendah. Kadar ALT serum telah lama
dikenal sebagai penanda kerusakan hati, namun kadar ALT yang rendah
juga menunjukkan bahwa pasien berada pada fase immune tolerant dan yang
mengalami penurunan respon terapi. Adanya tingkat kerusakan histologis
yang tinggi juga merupakan prediktor respon yang baik pada pasien dengan
hepatitis B.

Pedoman terbaru saat ini mendukung indikasi mulai terapi untuk


dilakukan secara lebih agresif. Indikasi dimulainya terapi bergantung pada
status HBeAg, kadar HBV DNA, kadar ALT, dan derajat fibrosis.

Batasan nilai ALT ditentukan berdasarkan kadar batas atas nilai normal
/ upper limit normal (ULN), bukan nilai absolut, mengingat tidak semua

570 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia

laboratorium di Indonesia menggunakan reagen yang sama, disamping nilai


ini juga dipengaruhi oleh suhu pemeriksaan.

Derajat fibrosis memegang peranan penting dalam dimulainya terapi.


Saat ini, metoda yang paling baik untuk pemeriksaan histologis adalah
biopsi hati, prosedur ini tidak nyaman dan tidak praktis bila digunakan
sebagai alat pemantau.

Beberapa tes noninvasif berdasarkan penanda fibrosis di serum atau


teknik radiografi telah diperkenalkan,dan semakin sering digunakan untuk
menilai tingkat keparahan penyakit hati dalam praktek klinis. Termasuk
parameter biokimia serum, seperti rasio aspartat aminotransferase (AST)
ke ALT, skor fibrosis-4 (FIB- 4), AST to platelet index index (APRI), Age-
spleen platelet index, indeks Forns, dan indeks Hui. Tes Khusus termasuk
Fibrotest, Hepascore, tes fibrosis hati dan, untuk pencitraan elastisitas, MRI,
elastografi dan transien elastografi.

Terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa metode


noninvasif seperti liver stiffness measurement (LSM) dengan elastografi
transien dan pemeriksaan serologis lain dapat digunakan sebagai
alternatif pemeriksaan histologis pada pasien hepatitis B kronik. LSM
mempunyai performa yang baik dalam mendiagnosis fibrosis lanjut,
dibandingkan dengan tes serologis lain Dengan demikian, penilaian
fibrosis direkomendasikan menggunakan metode non invasif.

Biopsi hati dalam hal ini dapat dilakukan apabila ditemukan fibrosis non
signifikan pada pemeriksaan non invasif, elevasi persisten ALT, usia > 30
tahun, atau riwayat keluarga dengan sirosis atau karsinoma hepatoselular.
Untuk Indonesia, dilakukan pengambilan angka 30 tahun sebagai batasan
didasarkan pada studi yang menunjukkan bahwa rata-rata umur kejadian
sirosis di Indonesia adalah 40 tahun, sehingga pengambilan batas 30 tahun
dirasa cukup memberikan waktu untuk deteksi dini sirosis.

Secara umum terapi dapat dimulai apabila ditemukan inflamasi


sedang - berat (ditandai dengan hasil biopsi skor aktivitas Ishak >3/18
atau skor METAVIR A2-A3) atau fibrosis signifikan (ditandai dengan hasil
biopsi skor fibrosis METAVIR >F2 atau Ishak >3, hasil liver stiffness
berdasarkan pemeriksaan transient elastography >8 kPa, atau skor APRI >
1,5), terlepas dari hasil pemeriksaan penunjang lainnya.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 571


Bogi Pratomo Wibowo

Indikasi terapi hepatitis B kronik dibedakan atas terapi pada kelompok pasien
atau
nonfibrosis
sirosis signifikan
dengan HBeAg (ditandai dengan
positif, hasilnon
pasien biopsi skordengan
sirosis fibrosisHBeAg
METAVIR >F2 atau
negatif,
Ishak >3, hasil liver stiffness berdasarkan pemeriksaan transient elastography >8 kPa,
danskor
atau pasien
APRI sirosis.
> 1,5), terlepas dari hasil pemeriksaan penunjang lainnya.
Indikasi terapi hepatitis B kronik dibedakan atas terapi pada kelompok pasien
non sirosis
Indikasi dengan
terapi padaHBeAg
pasien positif, pasien adalah
HBeAg positif non sirosis
sebagai dengan
berikut:HBeAg negatif, dan
pasien sirosis.
• Indikasi
HBV DNA > 2 pada
terapi x 104pasien
IU/mLHBeAg
denganpositif
kadaradalah
ALT >2x
sebagaibatas atas nilai normal
berikut:
4
• HBV DNAdapat
/ ULN: > 2 x dilakukan
10 IU/mLobservasi
dengan kadar
selama ALT >2x batas
3 bulan atastidak
apabila nilai terdapat
normal / ULN:
dapat dilakukan
risiko kondisiobservasi
dekompensasi, selamaterapi
3 bulan
dapat apabila
dimulai tidak terdapat
apabila tidakrisiko
terjadikondisi
dekompensasi,
atau terapi dapat
fibrosis signifikan dimulai
(ditandai denganapabila
hasil tidak
biopsiterjadi
skor serokonversi.
fibrosis METAVIR >F2 atau
• Ishak
HBV serokonversi.
DNA
>3, > liver
hasil 2 x 10 4
IU/mLberdasarkan
stiffness dengan kadar ALT normal
pemeriksaan atauelastography
transient 1-2x batas atas nilai
>8 kPa,
atau skor APRI > 1,5), terlepas dari hasil pemeriksaan penunjang lainnya.
normal
• HBV /
Indikasi
ULN:
DNAterapi observasi
> 2 x 10 4 setiap
IU/mLB dengan
hepatitis
3 bulan,
kronik kadar
terapi
dibedakan
dapat
ALT atas
normal dimulai
atau
terapi
apabila
1-2xkelompok
pada
ditemukan
batas atas pasien
inflamasi
non sirosissedang
dengan- berat
HBeAg ataupositif,
fibrosispasien
signifikan.
non sirosis dengan HBeAg negatif, dan
nilai normal
HBV sirosis.
• pasien / ULN:4 observasi setiap 3 bulan, terapi dapat dimulai apabila
DNA < 2 x 10 IU/mL dengan kadar ALT berapapun: observasi setiap 3 bulan,
terapiIndikasi
ditemukan
dimulai terapi pada pasien
inflamasi
apabila sedangHBeAg
ditemukan positif
- berat atauadalah
inflamasi sebagai
fibrosis
sedang beratberikut:
- signifikan.
atau fibrosis signifikan,
• HBV DNA > 2 x 104 IU/mL dengan kadar ALT >2x batas atas nilai normal / ULN:
eksklusi penyebab observasi
dapat dilakukan lain apabila ditemukan
selama 3 peningkatan
bulan apabila kadar
tidak ALT.
terdapat risiko kondisi
• dekompensasi,
HBV DNA < 2terapi x 104dapat
IU/mL dengan
dimulai kadar
apabila ALTterjadi
tidak berapapun: observasi setiap
serokonversi.
4
• HBV DNA terapi
3 bulan, > 2 x 10 IU/mLapabila
dimulai dengan ditemukan
kadar ALT normal inflamasi atau sedang
1-2x batas atas nilai
- berat
normal / ULN: observasi setiap HbeAg positif
3 bulan, terapi dapat dimulai apabila ditemukan
atau fibrosis
inflamasi sedang -signifikan, eksklusi
berat atau fibrosis penyebab lain apabila ditemukan
signifikan.
4
• HBV DNA < 2 x 10 IU/mL dengan kadar ALT berapapun: observasi setiap 3 bulan,
peningkatan kadar ALT.
terapi dimulai apabila ditemukan inflamasi sedang - berat atau fibrosis signifikan,
eksklusi penyebab lain apabila ditemukan peningkatan kadar ALT.
HBV DNA HBV DNA HBV DNA
< 2x103 IU/mL 2x103-2x104 IU/mL
HbeAg positif
> 2x104 IU/mL

ALTDNA
HBV HBV ALTDNA ALT HBV DNA ALT
<berapapun
2x103 IU/mL 3
-2x104 IU/mL
2x10berapapun 1-2x batas atas>nilai > 2x batas atas nilai
2x104 IU/mL
normal atau normal normal

ALT ALT ALT ALT


berapapun berapapun 1-2x batas atas nilai > 2x batas atas nilai
• Eksklusi penyebab • Eksklusi penyebab • Observasi
normal tiap
atau normal • Observasi
normal dalam
lain jika ditemukan lain jika ditemukan 3 bulan. 3 bulan jika tidak
peningkatan ALT. peningkatan ALT. • Penilaian ada tanda
• • Observasi
Eksklusi tiap 3
penyebab •• Observasi tiap 3
Eksklusi penyebab fibrosis non
• Observasi tiap dekompensasi.
• Observasi dalam
lain jika ditemukan
bulan. lain jika ditemukan
bulan. 3invasif.
bulan. • 3Terapi
bulan jika
bilatidak
peningkatan ALT. peningkatan ALT. • Penilaian ada tanda
• • Penilaian
Observasi fibrosis
tiap 3 •• Penilaian
Observasifibrosis
tiap 3 Biopsi hati
• fibrosis non bila kenaikan ALT
dekompensasi.
non invasif.
bulan. non invasif.
bulan. ada indikasi.*
invasif. menetap
• Terapi bila> 3
• • Penilaian fibrosis
Biopsi hati bila ada •• Penilaian fibrosis
Biopsi hati bila ada •• Biopsi hati bila
Terapi dimulai bulan atau
kenaikan ALT
non invasif. non invasif. ada indikasi.* menetap > 3
indikasi.* indikasi.* jika ditemukan terdapat risiko
bulan atau
• Biopsi hati bila ada • Biopsi hati bila ada • Terapi dimulai
• Terapi dimulai jika
indikasi.* • Terapi dimulai jika
indikasi.* inflamasi
jika ditemukan dekompensasi.
terdapat risiko
• ditemukan
Terapi dimulai jika • ditemukan
Terapi dimulai jika sedang – berat
inflamasi Pemeriksaan
• dekompensasi.
ditemukan ditemukan sedang – berat • Pemeriksaan
inflamasi sedang- inflamasi sedang – atau fibrosis histologi atau
histologi atau
inflamasi sedang- inflamasi sedang – atau fibrosis
berat
beratatau
ataufibrosis
fibrosis berat
beratatau
atau fibrosis
fibrosis signifikan.#
signifikan.# derajatfibrosis
derajat fibrosis
signifikan.#
signifikan.# signifikan.#
signifikan.# noninvasif.#
non invasif.#

* Biopsi dilakukan bila pemeriksaan non invasif menunjukkan fibrosis non signifikan, peningkatan ALT
*Biopsi dilakukan
persisten, usia > bila pemeriksaan
30 tahun, non invasif
atau riwayat keluargamenunjukkan
dengan sirosisfibrosis non signifikan, peningkatan ALT
atau KHS.
persisten,
Inflamasiusia
# > 30berat
sedang tahun, ataubiopsi
pada riwayat keluarga
hepar dengan
ditandai sirosis
dengan skor atau KHS.
aktivitas Ishak > 3/18 atau METAVIR
A2/A3.
# Inflamasi sedang berat pada biopsi hepar ditandai dengan skor aktivitas Ishak > 3/18 atau METAVIR
Fibrosis signifikan pada biopsi hepar ditandai dengan skor fibrosis METAVIR > F2 atau Ishak > 3.
A2/A3.
Kekakuan hati > 8 kPa (Fibroscan) atau APRI > 1,5 menandakan fibrosis signifikan.
Fibrosis
Kekakuansignifikan pada
hati > 11 kPabiopsi hepar atau
(Fibroscan) ditandai
APRI dengan skor fibrosissirosis.
> 2,0 menandakan METAVIR > F2 atau Ishak > 3.
Kekakuan hati > 8 kPa (Fibroscan) atau APRI > 1,5 menandakan fibrosis signifikan.
Gambar
Kekakuan2. hati
Indikasi
> 11 kPaTerapi pada
(Fibroscan) atauPasien
APRI > Hepatitis
2,0 menandakanB Kronik
sirosis. HBeAg Positif non sirosis

Gambar 2.
Gambar 2. Indikasi
IndikasiTerapi
Terapipada
padaPasien
Pasien Hepatitis
Hepatitis B Kronik
B Kronik HBeAg
HBeAg Positif
Positif non sirosis
non sirosis

572 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia

Indikasi terapi pada pasien HBeAg negatif adalah sebagai berikut:


• HBV DNA > 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT >2x batas atas nilai normal /
ULN: dapat dilakukan observasi selama 3 bulan apabila tidak terdapat
risiko kondisi dekompensasi, terapi dapat dimulai apabila tidak terjadi
serokonversi.
• HBV DNA > 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT normal atau 1-2x batas atas
nilai normal / ULN: terapi dapat dimulai apabila ditemukan inflamasi
sedang - berat atau fibrosis signifikan.
• HBV DNA < 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT lebih dari normal:
Indikasi terapi pada pasien HBeAg negatif adalah sebagai berikut:
• observasi 2 x 1033IU/mL
HBV DNA >setiap bulan, terapi
dengan dimulai
kadar apabila
ALT >2x ditemukan
batas atas inflamasi
nilai normal / ULN: dapat
dilakukan observasi selama 3 bulan apabila tidak terdapat risiko kondisi dekompensasi,
sedang - berat
terapi dapat atau
dimulai fibrosis
apabila tidaksignifikan, eksklusi penyebab lain apabila
terjadi serokonversi.
• ditemukan 2 x 103 IU/mL dengan
HBV DNA > peningkatan kadarkadar
ALT.ALT normal atau 1-2x batas atas nilai normal /
ULN: terapi dapat dimulai apabila ditemukan inflamasi sedang - berat atau fibrosis
• signifikan.
HBV DNA < 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT persisten normal: monitor
• HBV DNA < 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT lebih dari normal: observasi setiap 3
kadar ALT setiap
bulan, terapi dimulai3-6 bulanditemukan
apabila dan HBVinflamasi
DNA setiap 6-12
sedang bulan,atau
- berat terapi
fibrosis
signifikan,apabila
dimulai eksklusi penyebab
ditemukanlain apabila ditemukan
inflamasi peningkatan
sedang - berat kadar
atau ALT.
fibrosis
• HBV DNA < 2 x 103 IU/mL dengan kadar ALT persisten normal: monitor kadar ALT
signifikan.
setiap 3-6 bulan dan HBV DNA setiap 6-12 bulan, terapi dimulai apabila ditemukan
inflamasi sedang - berat atau fibrosis signifikan.

HbeAg negatif

HBV DNA HBV DNA


< 2x103 IU/mL >2x103 IU/mL

ALT ALT ALT ALT


lebih dari normal persisten normal 1-2x batas atas nilai >2x batas atas nilai
normal atau normal normal

• Eksklusi • Monitor kadar


penyebab lain jika ALT tiap 3-6 • Observasi dalam
ditemukan bulan dan HBV • Penilaian fibrosis 3 bulan jika tidak
peningkatan ALT. DNA tiap 6-12 non invasif. ada tanda
• Observasi tiap 3 bulan. dekompensasi.
bulan. • Penilaian fibrosis • Biopsi hati bila • Terapi bila
• Penilaian fibrosis non invasif. ada indikasi.* kenaikan ALT
non invasif. • Biopsi hati bila menetap > 3 bulan
• Biopsi hati bila ada indikasi.* • Terapi dimulai atau terdapat
ada indikasi.* • Terapi dimulai jika ditemukan risiko
• Terapi dimulai jika ditemukan inflamasi sedang – dekompensasi.
jika ditemukan inflamasi sedang berat atau fibrosis • Pemeriksaan
inflamasi sedang – berat atau signifikan.# histologi atau
– berat atau fibrosis derajat fibrosis
fibrosis signifikan.# non invasif.#
signifikan.#

* Biopsi dilakukan bila pemeriksaan non invasif menunjukkan fibrosis non signifikan, peningkatan ALT
persisten, usia > 30 tahun, atau riwayat keluarga dengan sirosis atau KHS.
# Inflamasi sedang berat pada biopsi hepar ditandai dengan skor aktivitas Ishak > 3/18 atau METAVIR
A2/A3.
Fibrosis signifikan pada biopsi hepar ditandai dengan skor fibrosis METAVIR > F2 atau Ishak > 3.
Kekakuan hati > 8 kPa (Fibroscan) atau APRI > 1,5 menandakan fibrosis signifikan.
Kekakuan hati > 11 kPa (Fibroscan) atau APRI > 2,0 menandakan sirosis.

Gambar 3. Indikasi
Gambar 3. Indikasi
Terapi Terapi Hepatitis
pada Pasien pada Pasien Hepatitis
B Kronik B Kronik
HBeAg HBeAg
Negatif non sirosis
Negatif non sirosis
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 573
Pada pasien yang tidak termasuk dalam indikasi terapi, maka pemantauan harus
dilakukan tiap 3 bulan bila HBeAg positif dan tiap 6 bulan bila HBeAg negatif.
Bogi Pratomo Wibowo

Pada pasien yang tidak termasuk dalam indikasi terapi, maka pemantauan
harus dilakukan tiap 3 bulan bila HBeAg positif dan tiap 6 bulan bila HBeAg
negatif.

Strategi Pengobatan
Strategi pengobatan
Saat ini, terdapat dua pilihan perawatan/ pengobatan utama untuk pasien
Saat CHB:
ini, pengobatan
terdapat duadengan NA atau
pilihan dengan IFNα,
perawatan/ saat ini PegIFNα
pengobatan . NA yang
utama untuk pasien CHB:
telah disetujui untuk pengobatan HBV meliputi lamivudine
pengobatan dengan NA atau dengan IFNα, saat ini PegIFNα . NA yang telah (LAM), adefovir
disetujui untuk
pengobatandipivoxil (ADV), entecavir
HBV meliputi lamivudine (ETV),
(LAM),telbivudine
adefovir(TBV), tenofovir
dipivoxil (ADV), disoproxil
entecavir (ETV),
fumarat dan tenofovir alafenamide
elbivudine (TBV), tenofovir disoproxil fumarat (TDF), dan tenofovir alafenamide (TAF), dan
(TDF), (TAF), dan dapat diklasifikasikan
dapat diklasifikasikan menjadipenghalang
menjadi NA dengan NA dengan penghalang
resistensi resistensi
HBV rendah HBV
(LAM, ADV,rendah (LAM, ADV,
TBV) dan
TBV) dan dengan
denganpenghalang
penghalang terhadap
terhadap resistensi
resistensi HBVHBV yang (ETV,
yang tinggi tinggi TDF,
(ETV,TAF)TDF, TAF)
Gambar 4) .
(Gambar 4).

Gambar 4. Insidensi resistensi HBV kumulatif untuk lamivudine (LAM), adefovir


Gambar. 4. Insidensi
(ADV), entecavirresistensi HBV(TBV),
(ETV), telbivudine kumulatif untukdanlamivudine
tenofovir (TDF) (LAM), adefovir
tenofovir alafenamide
(TAF) pada
ADV), entecavir percobaan
(ETV), penting pasien
telbivudine naïf nukleos(t)ida
(TBV), dengandan
tenofovir (TDF) hepatitis B kronis.alafenamide
tenofovir
percobaan penting pasien naïf nukleos(t)ida dengan hepatitis B kronis.
TAF) pada
Keuntungan utama pengobatan menggunakan NA dengan penghalang
Keuntungan utama pengobatan
terhadap resistensi yang tinggi menggunakan
(misalnya: ETV, NA TDF, dengan penghalang
TAF) adalah efikasi terhadap
esistensi yang tinggi
antivirus (misalnya:
jangka panjangETV, TDF, TAF)
yang sangat adalah
prediktif, yangefikasi
mengarahantivirus jangka panjang
pada kadar
yang sangat prediktif, yang mengarah pada kadar DNA HBV yang tidak
DNA HBV yang tidak terdeteksi pada sebagian besar pasien yang patuh serta terdeteksi pada
ebagian besar pasien yang patuh serta profil keamanan yang menguntungkan.
profil keamanan yang menguntungkan. Obat ini dapat digunakan pada pasien
Obat ini dapat
digunakan pada pasien terinfeksi HBV dengan aman dan merupakan satu-satunya pilihan
terinfeksi HBV dengan aman dan merupakan satu-satunya pilihan pengobatan
pengobatan untuk beberapa subkelompok pasien, termasuk pasien dengan penyakit hati
untuk beberapa subkelompok pasien, termasuk pasien dengan penyakit hati
dekompensasi, transplantasi hati, manifestasi ekstrahepatik, hepatitis B akut atau eksaserbasi
dekompensasi, transplantasi hati, manifestasi ekstrahepatik, hepatitis B akut
HBV kronis yang parah. NA juga menjadi satu-satunya pilihan untuk pencegahan reaktivasi
HBV pada atau eksaserbasi
pasien dengan HBV kronis yangSelain
imunosupresi. parah. NA
itu,juga menjadi satu-satunya
pencegahan pilihanpada pasien
penularan HBV
untuk pencegahan
dengan viremia tinggi yangreaktivasi HBV padakriteria
tidak memenuhi pasien dengan
untuk imunosupresi. Selain mewakili
inisiasi pengobatan
ndikasi lebih lanjut di mana hanya NA yang harus digunakan.
574 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia

itu, pencegahan penularan HBV pada pasien dengan viremia tinggi yang tidak
memenuhi kriteria untuk inisiasi pengobatan mewakili indikasi lebih lanjut di
mana hanya NA yang harus digunakan.

Tabel 2. Konsep dan fitur utama dari strategi pengobatan hepatitis B kronis
Fitur PegIFNα ETV, TDF, TAF
Rute pemberian Injeksi subkutan Oral
Durasi pengobatan 48 minggu Jangka panjang hingga
kehilangan HBsAg (penghentian
NA setelah beberapa tahun
kemungkinan dipertimbangkan
untuk kasus tertentu)1
Tolerabilitas Rendah Tinggi
Perhatian keamanan Efek samping on-treatment bisa Kemungkinan tidak
jangka panjang terjadi (ketidakpastian terkait fungsi
(hematologi, psikiatri, neurologis, ginjal, penyakit tulang untuk
endokrinologis) beberapa NA)
Kontraindikasi Banyak (misalnya, penyakit Tidak ada (penyesuaian dosis
dekompensasi, komorbiditas dll.) tergantung pada eGFR2)
Strategi Induksi kontrol imun jangka Penghentian perkembangan
panjang dengan hepatitis dan penyakit dengan
Pengobatan yang terbatas menghambat replikasi virus
Tingkat penekanan virus Sedang (pola respon bervariasi) Secara universal tinggi
Efek hilangnya HBeAg Sedang, tergantung pada Rendah pada tahun pertama,
karakterisitik awal/ baseline meningkat hingga sedang
selama pengobatan jangka
panjang
Efek hilangnya HBsAg Bervariasi, tergantung pada Rendah: meningkat secara
karakterisitik awal/ baseline perlahan seiring waktu
(secara keseluruhan lebih tinggi pengobatan dalam pasien
dibandingkan NA) HBeAg-positif3; umumnya sangat
rendah pada pasien HBeAg-
negatif
Risiko kekambuhan Rendah untuk pasien dengan Sedang jika pengobatan
setelah pengobatan respon berkelanjutan 6-12 bulan konsolidasi diberikan setelah
setelah terapi serokonversi HBeAg
Tinggi untuk penyakit HBeAg-
negatif
Penghentian aturan awal Ya Tidak
Risiko pengembangan Tidak Minimal hingga tidak ada4
resisitensi virus

PegIFNα,pegylated interferon alfa; ETV, entecavir; TDF, tenofovir


disoproxil fumarate; TAF, tenofovir alafenamide; NA, analog nukleosida/
nukleotida; eGFR, estimasi laju filtrasi glomerulus.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 575


Bogi Pratomo Wibowo

1 Penyesuaian dosis pada pasien dengan eGFR <50 mL/menit diperlukan


untuk semua NA, kecuali untuk TAF (tidak ada rekomendasi dosis untuk
TAF pada pasien dengan CrCl <15 mL/menit yang tidak menerima
hemodialisis).
2 Konstan atau stabil terkait respon serologis telah diamati melampaui
tahun ke 4 pengobatan.
3 Sejauh ini tidak ada pengembangan resistensi TDF atau TAF yang
terdeteksi
 
Alasan untuk pendekatan berbasis PegIFNα adalah untuk menginduksi
kontrol imunologis jangka panjang dengan pengobatan durasi yang terbatas.
Kerugian utama dari pengobatan PegIFNα adalah variabilitas respon yang tinggi
dan profil keamanan yang tidak menguntungkan, sehingga membuat sejumlah
besar pasien tidak memenuhi syarat atau tidak menyetujui jenis pengobatan
ini . Seleksi pasien berdasarkan aktivitas penyakit, genotip HBV, stadium
penyakit, serta kadar DNA HBV, status HBsAg, dan HBeAg dapat menjadi
indikator yang bermanfaat untuk memprediksi probabilitas respon individu.
Prediktor on-treatment awal telah ditetapkan dan dapat digunakan sebagai
alat tambahan (misalnya aturan penghentian) untuk mempersonalisasikan
strategi pengobatan, sehingga membantu untuk menghentikan pengobatan
PegIFNα lebih awal pada pasien dengan kemungkinan respon jangka panjang
yang rendah.

Secara teoritis, pendekatan kombinasi NA dan PegIFNα dapat memberikan


keuntungan dengan menggabungkan efek antivirus yang potensial dari NA
plus modulasi imun IFNα. Bukti keunggulan pendekatan gabungan seperti
ini, bagaimanapun masih kurang dan masih banyak masalah yang belum
terselesaikan sehubungan dengan seleksi pasien, waktu, serta durasi strategi
kombinasi, yang membutuhkan studi lebih lanjut.

Ringkasan
Tantangan dalam pengelolaan hepatitis B masih sangat signifikan,
penyembuhan dari infeksi HBV masih belum tercapai. Kita perlu meningkatkan
pemahaman tentang sejarah alami infeksi,kronis HBV termasuk peran kadar
serum HBsAg dalam evaluasinya. Peran metode noninvasif untuk evaluasi
tingkat keparahan penyakit hati dan untuk tindak lanjut perawatan dan
penentuan pasien yang tidak diobati perlu ditetapkan secara jelas. Masa depan
pengobatan hepatitis B akan melibatkan personalisasi keputusan mengenai
kapan memulai pengobatan berdasarkan model prognostik / kalkulasi risiko
576 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Diagnosis dan Terapi Hepatitis B di Indonesia

yang mencakup penanda genetik host dan virus yang memprediksi sirosis dan
HCC. Dibutuhkan penilaian dampak pengobatan jangka panjang pada Hepatitis
B kronis dengan ALT normal dan identifikasi penanda yang memprediksi
keberhasilan penghentian NA. Dibutuhkan evaluasi untuk menilai keamanan
dan kemanjuran kombinasi -IFN dengan NA kuat (entecavir atau tenofovir)
untuk meningkatkan tingkat serokonversi anti-HBe dan anti-HBs. Masa depan
pengobatan hepatitis B juga akan melibatkan keputusan mengenai pilihan
perawatan berdasarkan pada farmakogenetika dan respons yang dapat
diprediksi.

Kepustakaan
1. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B, ed Lesmana CR, PPHI, 2017
2. Sarin SK, Kumar M, Lau GK, Chan HIY, Abbas Z, Asia Pacific Clinical Practice
Guidelines on Management of Hepatitis B : A 2015 Update, Hepatol Int. 10 : 1-98,
2016
3. EASL 2017 Clinical Practice Guidelines on the Management of Hepatitis B Virus
Infection, Journal of Hepatologi Vol. 67, p. 370-398, 2017
4. Update on Prevention, Diagnosis and Treatment of Chronic Hepatitis B : AASLD
2018 Hepatitis B Guidance, Hepatology vol 67( 4), p.1560-1588, 2018

Lampiran 1. Daftar Istilah dan definisi


Istilah Definisi
Kadar Alanin aminotransferase (ALT) /
Serum glutamyl pyruvic transaminase (SGPT)
Normal tinggi ALT 0.5-1 Batas atas normal
Normal rendah ALT Batas atas normal
Kenaikan minimal ALT 1-2x Batas atas normal
Meningkat ALT 2x Batas atas normal
Infeksi VHB kronik HBsAg seropositif > 6 bulan
Pengidap Inaktif HBsAg (+), HBeAg (-), anti-HBe (+) dengan ALT serum normal yang
presisten, DNA VHB < 2000 IU/mL, tanpa disertai bukti cedera hepar
Hepatitis flare Peningkatan intermitten amino-transferase serum > 5x batas atas
normal dan > 2x kadar baseline
Dekompensasi hepatik Abnormalitas fungsi hati signifikan yang ditandai sebagai kenaikan
serum bilirubin, dan pemanjangan waktu protrombin atau INR >1,5,
atau komplikasi hepatik lainnya.
DNA VHB serum tidak DNA VHB serum di bawah batas deteksi PCR assay
terdeteksi
Respons biokimia Normalisasi ALT serum

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 577


Bogi Pratomo Wibowo

Istilah Definisi
Respons virologis pada terapi menggunakan Peg-IFN
Respons virologis DNA VHB serum < 2.000 IU/ml
Respons virologis DNA VHB serum < 2.000 IU/m1 sekurang-kurangnya12 bulan
rnenetap setelah terapi dihentikan
Respons virologis pada terapi menggunakan analog nukleosida
Gagal terapi primer Reduksi DNA VHB serum < 1 log IU/mL pada 12
minggu terapi antiviral oral pada pasien dengan kepatuhan minum
obat yang baik
Respons virologis DNA VHB serum yang masih terdeteksi setelah 24 minggu
suboptimal / parsial pengobatan antiviral pada pasien dengan
kepatuhan yang baik
Respons virologis DNA VHB serum tidak terdeteksi selama terapi
Virological breakthrough Peningkatan > 1 log IU/mL DNA VHB serum dari titik nadir respon
inisial selama terapi yang ditemukan 1 bulan setelahnya
Gagal terapi sekunder Virologic breakthrough pada pasien dengan kepatuhan
minum obat yang baik
Respons virologis Tidak ditemukan relaps klinis selama follow up setelah terapi
menetap di luar terapi dihentikan
Respons komplit Respons virologis menyeluruh disertai seroklirens
HBsAg
Relaps virologis Serum VHB DNA > 2000 IU/m1 setelah terapi
dihentikan pada pasien dengan respon virologis menetap
Relaps Klinis Relaps virologis disertai kenaikan ALT >2x batas atas
normal.
Resistensi obat
Resistensi genotipik Deteksi mutasi dari genom VHB yang diketahui menyebabkan
resistensi, yang terjadi selama terapi antiviral
Resistensi fenotipik Penurunan kepekaan terhadap efek inhibisi antiviral (in vitro) yang
berhubungan dengan resistensi genotipik
Resistensi silang Mutasi terhadap satu antiviral yang menyebabkan resistensi
terhadap antiviral lain

578 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diabetes Melitus and Renal Protection
in Clinical Practice
Where Do DPP4I Fit Within Today’s Treatment
Paradigm for Patients With Type 2 Diabetes and
Renal Impairment?
Chandra Irwanadi Mohani
Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Abstrak
Prevalensi penyakit diabetes melitus (DM) terus meningkat, diikuti dengan
peningkatan komplikasi mikrovaskular yang salah satunya adalah penyakit
ginjal kronis (PGK). Ini dibuktikan dengan 30-40% penderita penyakit ginjal
tahap akhir atau end stage kidney disease (ESKD) adalah berasal dari DM.
Prevalensi PGK itu sendiri juga terus meningkat dalam 20 tahun ini, dengan
penyebab utama adalah DM dan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas
penyakit kardiovaskular akan meningkat pada penderita DM yang disertai
dengan PGK atau penyakit ginjal diabetik (PGD), oleh karena dari masing-
masing dari penyakit tersebut.

Patofisiologi terjadinya PGD belum seluruhnya dapat diketahui, akan


tetapi adanya faktor genetik, perubahan hemodinamik dan metabolik
intrarenal oleh karena hiperglikemik turut berperan.

Diagnosis dari PGD ditegakkan berdasarkan adanya adanya albuminuria


yang menetap, dapat disertai dengan adanya retinopati. Selain itu untuk
menegakkan diagnosis PGD juga diperlukan pemeriksaan serum kreatinin
dan perhitungan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG). Adanya albuminuria
dapat dilakukan pemeriksaan spot urine dengan melihat ratio albumin/
kreatinin. Pemeriksaan albuminuria dan eLFG secara berkala diperlukan
untuk melihat progresivitas penurunan fungsi ginjal.

Pencegahan primer untuk terjadinya PGD adalah dengan mengontrol


kadar glukosa dalam darah dan tekanan darah. Bila diperlukan, ada berbagai
obat antihiperglikemik yang dapat diberikan pada penderita DM. Bila sudah
terjadi PGD, maka berdasar pada rekomendasi ADA 2019, pada lini kedua
dapat diberikan obat jenis Sodium-Glucose Co-transporter 2 (SGLT2 – Inh)
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 579
Chandra Irwanadi Mohani

atau Glucagon-like Peptide 1 Receptor Agonists (GLP1-RA). Bila A1c masih


belum mencapai target yang diinginkan, ada beberapa pilihan obat antara lain,
golongan Dipeptidyl Peptidase IV (DPP-4) Inhibitors, sulfonylurea dan insulin
basal. Pada PGD dengan berbagai tingkat keparahan, pemberian DPP-4I
lebih dipilih dari yang lain oleh karena tidak memberikan efek hipoglikemik,
kalaupun ada efeknya rendah. Selain itu beragamnya tipe penderita DM, efek
terhadap berat badan, faktor ko-morbid, polifarmasi dan kepatuhan, ketaatan
serta kemudahan bagi penderita saat menjalani pengobatan perlu dijadikan
bahan pertimbangan. Dari golongan DPP-4I tersebut, linagliptin merupakan
obat pilihan, oleh karena tidak diperlukan penyesuaian dosis bila diberikan
pada PGD dengan berbagai tingkat keparahan, mudah dalam pemberian
pengobatan dan tidak berpengaruh pada berat badan.

Kata kunci: diabetes mellitus, dipeptidyl peptidase 4 inhibitor, linagliptin,


penyakit ginjal diabetik.

Pendahuluan
Insidens penyakit diabetes melitus (DM) tipe 2 terus meningkat diseluruh
dunia, terutama dinegara yang sedang berkembang. Peningkatannya 2-3 kali
dalam 25 tahun terakhir ini. 30% dari penderita DM ini akan jatuh pada penyakit
ginjal tahap akhir atau end stage kidney disease (ESKD). Insidens penyakit
ginjal kronis (PGK) juga terus meningkat, dan penyebab terbesarnya adalah
DM dan hipertensi, dan keadaan ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya
penderita ESKD. Mortalitas oleh karena DM tipe 1 dan 2, terutama yang
disertai proteinuria juga meningkat dan tidak hanya oleh karena ESKD akan
tetapi sebagian besar disebabkan oleh komplikasi pada kardiovaskular. Jadi
penyakit ginjal diabetik (PGD) akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas
pada penderita DM. Tanda klinis yang biasa ditemukan pada penderita
PGD adalah adanya peningkatan albuminuria yang dapat disertai dengan
penurunan yang progresif dari fungsi ginjal atau penurunan laju filtrasi ginjal
(LFG), peningkatan tekanan darah, disertai meningkatnya mortalitas dan
morbiditas oleh karena penyakit kardiovaskular. Petanda awal adanya PGD
adalah adanya mikroalbuminuria 1,2,3.

Tidak semua penderita DM akan jatuh pada PGD atau komplikasi yang
lain. Diperlukan berbagai pemeriksaan penapis untuk berbagai komplikasi
yang dapat timbul. Deteksi dini adanya komplikasi akan lebih mengarahkan
pengobatan pada sesuatu bersifat pencegahan atau lebih spesifik, untuk
menghambat progresifitas komplikasi yang timbul sedini mungkin. Tujuan

580 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diabetes Melitus and Renal Protection in Clinical Practice Where Do DPP4I Fit Within Today’s Treatment Paradigm for Patients With Type 2 Diabetes and Renal Impairment?

utama pengobatan DM adalah bersifat pencegahan, yaitu penurunan kadar


glukosa dalam darah, menjaga tetap terkontrol dengan baik, untuk mencegah
komplikasi mikro- dan makroangiopati. Komplikasi kardiovaskular penyebab
utama meningkatnya mortalitas dan morbiditas pada DM, terutama pada
PGD. Karenanya berbagai strategi dan jenis pengobatan untuk menurunkan
glukosa darah menjadi sesuatu yang penting, terutama pada penderita
PGD dengan risiko yang sudah ada berupa penurunan fungsi ginjal dan
komplikasi kardiovaskuler. Adanya perubahan menjadi normoalbuminuria
dari albuminuria yang sudah ada sebelumnya akan menurunkan risiko
memburuknya fungsi ginjal dan komplikasi kardiovaskuler. Kontroversi
dalam pengendalian glukosa darah yang ketat tetap ada, terkait dengan
adanya hipoglikemia, terutama pada penderita PGD yang disertai dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Oleh karenanya pengendalian kadar
glukosa darah pada penderita PGK stadium lanjut, seperti pada stadium 3-5
lebih bersifat individual. Ada berbagai jenis obat antihiperglikemik, tetapi
untuk PGK diperlukan obat yang aman, oleh karena farmakokinetik obat
antihiperglikemia mengalami perubahan pada PGK. Dari berbagai obat
tersebut, salah satunya adalah dipeptidyl dipeptidase IV(DPP-4) inhibitors,
yang tidak memberikan efek hipoglikemik 1,2,3,4,5,6,7,8.

Patofisiologi
Dari berbagai penelitian pada manusia dan binatang coba, ada berbagai
mekanisme yang ikut berperan untuk timbul dan terjadinya suatu PGD.
Mekanisme tersebut antara lain, disebabkan adanya interaksi antara
hiperglikemia yang kronis dengan dengan berbagai sel pada ginjal yang dapat
menyebabkan terjadinya kelainan metabolik, gangguan hemodinamik, serta
inflamasi yang bersifat kronis dan low grade, serta adanya predisposisi dari faktor
genetik. Faktor hemodinamik antara lain aktivasi beberapa sistim vasoaktif
seperti, sistim renin-angiotensin-aldosteron dan endothelin. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya peningkatan sitokin profibrotik seperti transforming
growth factor β1 (TGF-β1), disertai dengan perubahan hemodinamik berupa
peningkatan tekanan darah sistemik dan intraglomerulus. Perubahan pada
jalur metabolik antara lain glikosilasi nonenzimatik, meningkatnya aktivitas
protein kinase C (PKC), adanya abnormalitas pada metabolisme polyol,
meningkatnya aktivitas reseptor prorenin, growth factors, sitokin serta
meningkatnya oxidative stress. Adanya hiperglikemia pada penderita DM tipe
1 akan menyebabkan peningkatan produksi renal oxidative stress (ROS) oleh
endotel, epitel tubulus dan sel otot polos arteriol aferent. Pada sel otot polos
arteriol aferent terjadi perpindahan K+ ke ekstra seluler, sehingga terjadi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 581


Chandra Irwanadi Mohani

hiperpolarisasi yang diikuti dengan penurunan Ca+ yang masuk ke intraseluler,


berakibat pada vasodilatasi arteriol aferen (arteriol preglomerular). Selain itu
ROS juga menyebabkan terjadinya penurunan bioavibilitas nitric oxide (NO)
dan perubahan respon dari tubuloglomerular feedback (TGF), yang berakibat
pada terjadinya hiperfiltrasi dari glomerulus. Selain itu telah dibuktikan pula
bahwa hiperglikemia yang bersifat kronis akan menyebabkan inflamasi kronis
yang bersifat low grade. Ekspresi TLR (Toll-like receptor)4 dan NOD (Nucle-
otide binding oligomerization domain containing)2 meningkat pada keadaan
hiperglikemia. Meningkatnya ekspresi TLR4 dan NOD2 menandakan adanya
keterlibatan innate immune system terhadap adanya jejas pada berbagai sel
organisme, termasuk pada berbagai sel pada ginjal. Ekspresi NOD2 meningkat
oleh karena pengaruh keadaan hiperglikemia, terlihat pada sel podosit,
atau pada glomerulus dengan ekspresi nefrin yang menurun. Keadaan ini
serupa dengan bila dilakukan kultur pada sel podosit yang mengalami jejas
oleh karena dipaparkan dengan berbagai faktor yang ikut berperan dalam
terjadinya PGD seperti transforming growth factor-β, advanced glycation end-
product dan tumor necrotizing factor (TNF)-α. Pada awal dari PGD, perubahan
fungsi dan struktur dimulai dari nefron pada tingkat glomerulus. Albuminuria
akan terjadi bila terdapat gangguan atau perubahan pada endothelial
glycocalyx, sel endotel dan fenestrae, membrana basalis glomerulus (MBG),
slit pore membrane dan podocyte foot processes, serta meningkatnya tekanan
intraglomerular. Pada PGD sulit menentukan bagian atau komponen mana
yang lebih dahulu mengalami gangguan. Yang pasti terjadi interaksi antar
komponen diatas oleh karena efek metabolik dari hiperglikemia, serta adanya
defek pada autoregulasi berupa dilatasi arteriol aferent dan konstriksi arteriol
eferent. Defek ini akan menyebabkan rusaknya kapiler peritubuler, sehingga
terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler glomerulus. Keadaan ini akan
memfasilitasi meningkatnya pengeluaran albumin melalui Bowman’s space,
lumen tubulus dan urin 10,11,12.

Ada tiga karakteristik gambaran histologis yang dapat ditemukan pada


PGD: penebalan membrana basalis glomerulus (MBG), akumulasi matriks
ekstra seluler pada mesangium dan glomerusklerosis nodular. Pada awalnya
kelainan pada PGD dimulai dari penebalan dinding membrana basalis
glomerulus, dan pada stadium lanjut didominasi oleh akumulasi ekstraseluler
matrix pada lesi diglomerulus. Peningkatan ekstra seluler matriks inilah yang
berperan dalam perubahan yang terjadi pada PGD Sebagai respon terhadap
keadaan tersebut diatas, selain sel mesangial sebagai faktor penting yang
berperan dalam timbul dan progresivitas dari suatu lesi diglomerulus, akhir-

582 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diabetes Melitus and Renal Protection in Clinical Practice Where Do DPP4I Fit Within Today’s Treatment Paradigm for Patients With Type 2 Diabetes and Renal Impairment?

akhir ini telah diketahui bahwa sel epitel viseral glomerulus atau podosit ikut
berperan dalam progresivitas PGD 10,13,14,15.

Diagnosis
Diagnosis PGD ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan dan
pengukuran albumin dalam urine dan pengukuran kadar serum kreatinin
darah serta pengukuran estimated glomerular filtration rate (eGFR).
Pemeriksaan kadar albumin dalam urine ini paling tidak diukur dalam
1 tahun sekali dengan membandingkan albumin/creatinine ratio, yang
diambil dari spot urine pagi hari. Pemeriksaan ini nilainya mendekati kadar
albumin dalam urine selama 24 jam. Kadar normalnya adalah <30mg/g. Bila
didapatkan peningkatan kadar albumin dalam urine, sebaiknya pemeriksaan
diulang 1 bulan kemudian untuk menghilangkan faktor penyebab lain yang
bersifat sementara (transien) yang dapat disebabkan oleh antara lain; olah
raga, kehamilan, infeksi saluran kemih, peningkatan tekanan darah yang
mendadak, payah jantung kongestif dan kadar gula darah yang tinggi 9.

Penyakit ginjal diabetik (PGD) atau penyakit ginjal khronis (PGK)


oleh karena DM, merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada adanya
albuminuria dan/atau menurunnya eGFR disertai dengan tidak didapatkannya
tanda dan gejala klinis dari penyakit ginjal lainnya. Pada DM tipe 1 dan 2 adanya
albuminuria berat dan menetap, > 300mg/24 jam (atau > 200 mikrogram/
menit), albumin-to-creatinine ratio (ACR) >300mg/g yang dipastikan dengan
2-3 kali pemeriksaan, dapat disertai dengan adanya retinopati diabetik
dan tidak adanya tanda dan gejala dari penyakit ginjal lainnya. Adanya
albuminuria yang bersifat moderat atau mikroalbuminuria (30 – 300 mg/g)
merupakan petanda awal adanya PGD yang juga merupakan risiko awal untuk
terjadinya perburukan fungsi ginjal, dan keduanya merupakan target dari
intervensi dalam pengobatan DM. Bila albuminuria mengalami remisi, risiko
untuk perburukan fungsi ginjal menjadi berkurang bila dibanding dengan
albuminuria yang makin meningkat. Pemakaian istilah untuk kidney disease
in diabetes bila didapatkan penderita DM dengan PGK (gangguan fungsi ginjal
{eGFR < 60 ml/min per 1.73m2} atau adanya proteinuria). Pada keadaan
dengan normal albuminuria (ACR < 30mg/g) juga dapat ditemui, terutama
pada usia lanjut, dan biasanya dengan progresivitas yang rendah. Pada
analisis pemeriksaan sedimen urine, tidak didapatkan sesuatu yang bersifat
spesifik (sel darah merah atau putih). Bila dilakukan biopsy ginjal, didapatkan
penebalan membrana basalis glomerulus dan tubulus, disertai dengan ekspansi
mesangial, dengan gambaran yang khas berupa glomerulosklerosis dengan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 583


Chandra Irwanadi Mohani

bentukan lesi yang nodular didaerah mesangium (Kiemmelstiel-Wilson


lesions), yang disebabkan oleh hiperglikemia dan hiperfiltrasi. Keberadaan
lesi ini bervariasi, dapat terlihat beberapa tahun setelah menderita DM. Biopsi
tidak dilakukan pada penderita DM, kecuali bila didapatkan albuminuria yang
berat, penurunan LFG yang cepat dan untuk membedakan adanya diagnosis
penyakit ginjal yang lain, bila diperlukan 6,9,10,11,12,13.

Berdasar pada KDIGO (Kidney Disease: Improving Global Outcomes),


untuk PGK, termasuk yang disebabkan oleh DM, direkomendasikan untuk
mempergunakan derajat beratnya sakit (stage the severity of the condition)
dengan mengkombinasikan etiologi (bila diketahui), derajat beratnya ekskresi
albumin, dan kategori eGFR, sesuai dengan gambar 1.

Gambar 1. Prognosis PGK berdasarkan LFG dan Albuminuria6

The National Kidney Foundation on Kidney Disease: Outcomes Quality


Initiative (KDOQI) working group for diabetes and CKD berpendapat bahwa
bila tidak didapatkan retinopati, pemburukan fungsi ginjal yang cepat,
peningkatan nephrotic-range albuminuria, gambaran sedimen urine yang

584 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diabetes Melitus and Renal Protection in Clinical Practice Where Do DPP4I Fit Within Today’s Treatment Paradigm for Patients With Type 2 Diabetes and Renal Impairment?

aktif, hipertensi yang refrakter, atau terdapat tanda dan gejala klinis yang
bersifat sistemik, sangat kuat dugaan penyebab PGK bukanlah DM 12,14.

Pengamatan terhadap Albuminuria dan eGFR harus secara teratur dan


terus menerus berguna untuk mengetahui atau mendiagnosis secara dini
terjadinya PGD, mengawasi progresivitas PGD, mendeteksi adanya penyakit
ginjal lainnya selain PGD, menilai risiko komplikasi dari PGK, pengaturan
dosis obat bila diperlukan, dan melakukan rujukan ke dokter nefrologi bila
diperlukan.

Penatalaksanaan
Pengobatan untuk mencegah terjadinya PGD adalah dengan mengontrol
kadar gula darah dan tekanan darah, dan bila sudah terjadi PGD maka
tujuannya bertambah dengan menurunkan kadar albumin dalam urine.
Ada beberapa penelitian yang menunjukkan rendahnya insiden terjadinya
PGD pada populasi dengan kontrol gula darah yang baik. Pada The Diabetes
Control and complications Trial (DCCT), suatu studi yang menyertakan 1441
penderita dan diikuti selama 6.5 tahun, dengan membedakan dua macam
pengobatan yaitu konvensional dan intensif. Populasi pada pengobatan
konvensional didapatkan hasil A1c 9.1%, dan dengan pengobatan intensif
A1c 7.2%. Pada pengobatan dengan intensif didapatkan penurunan kejadian
mikroalbuminuria sebesar 39%. Begitu pula pada penelitian The United
Kingdom Prospective of Diabetes Study (UKPDS) memberikan hasil yang tidak
jauh berbeda. Data yang berasal dari penelitian UKPDS menunjukkan adanya
hubungan langsung antara timbulnya kelainan mikrovaskular dengan kontrol
gula darah, bersama dengan berjalannya waktu. Hubungan tersebut bersifat
linier antara insidens kejadian mikrovaskuler dengan glycated hemoglobin
(HbA1c). Hasilnya menunjukkan bahwa insidens terendah didapatkan pada
pengendalian glukosa darah yang ketat (A1c<6%). Setiap penurunan HbA1c
sebanyak 1%, terjadi penurunan untuk risiko terjadinya mikroangiopati
sebanyak 37%. Dalam suatu penelitian yang besar memberikan hasil berupa
penurunan risiko untuk timbulnya mikroangiopati, termasuk new onset
microalbuminuria, atau penderita baru atau pemburukan PGD baik yang
berasal dari DM tipe 1 maupun 2, pada pengendalian gula darah yang intensif
(HbA1c 6-7%) dibanding dengan yang standar (HbA1c 7-9%). Oleh karena itu
rekomendasi yang dibuat untuk penderita DM secara umum adalah HbA1c <
7%, dengan tidak mempertimbangkan apakah disertai PGK atau tidak. Yang
menarik adalah tidak disebutkan batas atas atau bawah, berapa kadar A1c
yang berakibat langsung pada terjadinya mikroangiopati 15,16,17,18.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 585


Chandra Irwanadi Mohani

Risiko terjadinya hipoglikemia meningkat pada penderita DM dengan


penurunan eGFR (PGK stadium 4 dan 5), disebabkan oleh beberapa keadaan
a.l: (1) Menurunnya klirens insulin (sepertiga dari insulin akan mengalami
degradasi diginjal, sehingga terjadi pemanjangan waktu paruh insulin) dan
obat penurun glukosa darah. (2) Menurunnya glukoneogenesis oleh ginjal
dan massa ginjal sehingga kemampuan kompensasi bila terjadi hipoglikemia
menjadi menurun. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian dosis untuk obat
antihiperglikemik dan insulin pada penderita PGD yang disertai dengan
penurunan fungsi ginjal. Selain itu seorang penderita PGD seringkali disertai
dengan penurunan selera makan dan adanya pembatasan pada diet yang
diberikan, maka pemberian obat diberikan secara titrasi, memperhatikan
interaksi antar obat dan pengawasan yang ketat kadar glukosa darah 9,19,20.

Penatalaksanaan hiperglikemia pada penyakit ginjal kronis (PGK)


Hiperglikemia akan menyebabkan komplikasi berupa gangguan
mikrovaskuler termasuk diantaranya penyakit ginjal diabetik (PGK). Tujuan
pengaturan hiperglikemia secara intensif disini adalah untuk mencegah
terjadinya peningkatan proteinuria dan progresivitas pemburukan fungsi
ginjal. Kadar glukosa dalam darah diharapkan mendekati normal, untuk
menghindari terjadinya hipoglikemia .

KDOQI merekomendasikan;21
1. Target hemoglobin A1c (HbA1c) ~ 7%, untuk mencegah atau menghambat
progresivitas komplikasi mikrovaskuler oleh DM, termasuk diantaranya
PGD. (1A)
2. Untuk yang berisiko terjadinya hipoglikemia, tidak direkomendasikan
HbA1c <7%. (1B)
3. Untuk individu yang disertai dengan beberapa faktor Co morbiditas atau
terbatasnya usia harapan hidup dan risiko hipoglikemia, direkomendasi
target HbA1c lebih dari 7%. (2C)

Untuk rekomendasi penderita DM dengan albuminuria adalah;


1. Pada penderita DM yang normotensif dan normoalbuminuria tidak
direkomendasikan untuk menggunakan angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB) sebagai
pencegahan primer terhadap terjadinya PGD. (1A)

586 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diabetes Melitus and Renal Protection in Clinical Practice Where Do DPP4I Fit Within Today’s Treatment Paradigm for Patients With Type 2 Diabetes and Renal Impairment?

2. Penggunaan ACE-I atau ARB direkomendasikan untuk penderita DM


normotensif disertai dengan albuminuria >30mg/g, yang mempunyai
risiko tinggi untuk terjadinya PGD dan progresivitasnya. (2C)

Pengendalian glukosa darah pada PGD tahap lanjut


Sampai saat ini tidak ada penelitian secara acak dengan kontrol, yang
membuktikan bahwa dengan pengendalian glukosa darah secara intensif,
dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit ginjal tahap akhir, pada
penderita DM dengan penurunan LFG, terutama pada PGD stadium lanjut.
Pada penelitian ACCORD (The Action to Control Cardiovascular Risk in Diabetes)
terdapat penurunan insidens untuk terjadinya makroalbuminuria secara
bermakna pada grup dengan pengendalian glukosa darah yang intensif, bila
dibanding dengan grup standar (HR: 0.69, 95% CI: 0.55-0.85). Akan tetapi efek
pengendalian glukosa darah secara intensif terhadap risiko untuk terjadinya
penyakit ginjal tahap akhir, sampai saat ini tidak jelas (HR: 0.95, 95% CI: 0.73-
1.24). Pada penelitian ini juga menunjukkan adanya peningkatan sampai 3
kali untuk terjadinya hipoglikemia yang berat pada grup dengan pengendalian
glukosa darah yang intensif. Keadaan ini terutama pada penderita DM dengan
gangguan fungsi ginjal tahap lanjut (CKD stg 4 dan 5). Pada akhir penelitian ini
menunjukkan bahwa mean HbA1c untuk grup dengan pengendalian glukosa
darah yang ketat adalah 6.3% sedang pada grup standar 7.6% 19,20,22,23.

Risiko untuk terjadinya hipoglikemia meningkat pada keadaan ini


oleh karena klirens insulin dan obat2an untuk penurun glukosa darah,
serta glukoneogenesis yang menurun, pada DM disertai penurunan fungsi
ginjal. Dari hasil beberapa penelitian inilah kemudian dapat diperkirakan
meningkatnya angka kematian pada pengaturan glukosa secara intensif, pada
penderita DM dengan PGK tahap lanjut. Keadaan ini terlihat pada penelitian
ACCORD dan ADVANCE 19,25,26.

Pada penderita DM yang sudah menjalani pengobatan dialisis, pengendalian


glukosa darah secara intensif memberikan hasil yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Tidak ada satupun penelitian yang besar yang memberikan
hasil yang memuaskan dalam kaitannya dengan pengendalian glukosa darah
secara intensif, HbA1c dan mortalitas. Pada penderita DM disertai dengan
gangguan fungsi ginjal pada tahap akhir, selain pengendalian glukosa darah,
ada beberapa risiko yang terkait dengan mortalitas, antara lain hipertensi dan
obesitas. Memang ada penelitian pada 23618 penderita, yang memberikan
hasil adanya pembalikan keadaan HbA1c dengan mortalitas. Akan tetapi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 587


Chandra Irwanadi Mohani

setelah dilakukan penyesuaian dalam perhitungan dengan beberapa faktor


risiko yang menyertainya, mortalitas meningkat pada grup dengan HbA1c
yang tinggi 27.

Berdasarkan pada the ADA standards of medical care in diabetes 2019, ada
perubahan paradigma untuk lini kedua (second line) pengobatan DM tipe 2.
Pemilihan jenis obat lebih didasarkan pada adanya ASCVD (atherosclerosis
Cardiovascular Disease), PGK, dan payah jantung. Terkadang masih diperlukan
penambahan obat antihiperglikemik untuk mencapai target yang telah
ditentukan. Penambahan obat tersebut tentunya dengan memperhatikan
beragamnya penderita DM, faktor ko-morbit, efikasi penurunan glukosa
darah, keamanan, penurunan berat badan, kemudahan dalam pemberian,
ketaatan berobat, penyesuaian dosis bila diperlukan dan harga. Untuk PGK,
dapat diberikan SGLT2 bila tidak ada kontraindikasi dan masih ditoleransi
sesuai LFG atau dengan pemberian GLP1-RA (glucagon-like peptide-1
receptor agonist) bila SGLT (sodium-glucose cotransporter) 2 merupakan
kontraindikasi atau LFG lebih rendah dari yang diizinkan untuk penggunaan
SGLT2. Jika A1c masih diatas normal, sehingga masih diperlukan penambhan
obat, ada beberapa pilihan antara lain, DPP-4Inhibitor (dipeptidyl peptidase),
insulin basal atau sulfonilurea 16,20,28,29,30.

Beberapa jenis obat yang digunakan dalam pengaturan glukosa darah


pada penderita DM disertai dengan PGK, dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengaturan Dosis obat Antihiperglikemik pada PGK21


Medication class and agents CKD stages 3, 4, and 5 ND
1 Insulin No advised dose adjustment
2 Sulfonylurea
Glipizide No dose adjustment
Glimepiride Start conservatively at 1mg/day
Glyburide Avoid used
Gliclazide no dose adjustment
3 Meglitinides
Repaglinide if GFR <30mL/min/1.73m2 start conservatively at 0.5mg with meals
Nateglinide if GFR <30mL/min/1.73m2 start conservatively at 60 mg with meals

588 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diabetes Melitus and Renal Protection in Clinical Practice Where Do DPP4I Fit Within Today’s Treatment Paradigm for Patients With Type 2 Diabetes and Renal Impairment?

Medication class and agents CKD stages 3, 4, and 5 ND


4 Biguanides
Metformin US FDA, do not use if SCr ≥1.5mg/dL in men, ≥1.4mg/dL in women
British National Formulary and the Japanese Society of Nephrology
recommend cessation if eGFR <30mL/min/1.73m2
Thiazolidinediones
Pioglitazone No dose adjustment
Rosiglitazone No dose adjustment
5 Alpha-glucosidase inhibitors
Acarbose Avoid if GFR <30mL/min/1.73m2
6 DPP-4 inhibitors
Sitagliptin GFR >50 mL/min/1.73m2 ;100mg daily
GFR 30-50mL/min/1.73m2 ; 50mg daily
GFR <30mL/min/1.73m2 ; 25mg dayly
Saxagliptin GFR > 50mL/min/1.73m2 ; 5mg daily
GFR ≤ 50mL/min/1.73m2 ; 2.5mg daily
Linagliptin No dose adjustment
Vidagliptin GFR ≥ 50mL/min/1.73m2 ; 50mg twice daily
GFR < 50mL/min/1.73m2 ; 50mg daily
7 Incretin mimetic
Exenatide Not recommended in GFR < 30mL/min/1.73m2
Liraglutide Not recommended in GFR < 60mL/min/1.73m2

DPP-4I akan menghambat kerja DPP-4 yang mendeaktivasi hormone


incretin endogen, sehingga akan membatasi degradasi GLP1, berpotensi untuk
meningkatkan kerja hormone incretin endogen. DPP-4I bekerja menyerupai
GLP1-RA, yaitu glucose dependent stimulation of insulin secretion, menghambat
sekresi glucagon, tidak memperlambat pengosongan lambung dan umumnya
tidak menyebabkan nausea dan penurunan berat badan, seperti pada GLP1-
RA. DPP-4I dapat diberikan dengan dosis sekali sehari, dan pada jenis
tertentu seperti linagliptin dapat diberikan pada berbagai tingkat keparahan
PGD, termasuk yang sudah menjalani dialisis dengan berbagai keterbatasan
pemakaian obat anti hiperglikemik. Sebagai obat yang dapat ditambahkan
pada obat untuk DM lainnya (add-on) atau diberikan sebagai monoterapi,
DPP-4I tidak banyak memberikan efek hipoglikemik, terhadap penurunan
berat badan bersifat netral, dan cukup aman diberikan terhadap timbulnya
kejadian kardiovaskuler bila dibanding dengan placebo, pengaturan dosis
yang mudah, dan dapat diberikan pada pemberian jangka panjang, sehingga
memudahkan penderita dan meningkatkan ketaatan dalam pengobatan 28,29,3
0,31,32,33,34,35,36,37,38,39,40
.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 589


Chandra Irwanadi Mohani

Tabel 2. Pencegahan dan pengobatan penyakit ginjal diabetik 9


1. Pencegahan
(a) Kontrol gulukosa darah – A1c < 7%
(b) Kontrol tekanan darah – 130/80
2. Pengobatan
(a) Kontrol glukosa darah - A1c 7%
(b) Kontrol Tekanan darah 130/80
(c) Penggunaan RAAS inhibitors bila albuminuria meningkat, target albuminuria < 300mg/g
(d) Pertimbangkan penggunaan kombinasi ARB/ACEI dengan antagonis aldosterone
(e) Diet rendah protein0.8 g/kgBB/hari
(f) Hindari diet tinggi protein > 1.5-2.0 g/kgBB/hari
(g) Penghentian merokok dan penurunan berat badan akan menghambat progresivitas
penurunan fungsi ginjal

Ringkasan
Diabetes mellitus dapat memberikan komplikasi mikrovaskuler, salah
satunya adalah penyakit ginjal diabetik (PGD). Petanda dini adanya PGD
adalah albuminuria yang bersifat sedang, 30-300mg/g. Ada berbagai faktor
yang berpengaruh terhadap terjadinya PGD. Faktor tersebut antara lain
pengendalian glukosa darah yang kurang intensif, pengaturan tekanan darah
yang tidak sesuai dengan target, adanya inflamasi yang bersifat low grade,
serta adanya peranan faktor genetik.

Beberapa penelitian pada DM tipe 1 dan DM tipe 2 menunjukkan bahwa


pengendalian glukosa darah secara intensif menghasilkan perlambatan
terjadinya PGD pada tahap awal atau penderita baru penderita PGD. Selain itu
pengendalian glukosa darah yang intensif dapat memperlambat pemburukan
fungsi ginjal. Progresvitas penurunan fungsi ginjal ditandai dengan
meningkatnya albuminuria dan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG).
Penurunan risiko tersebut cukup jelas, bila albuminuria dipakai sebagai dasar
yang dipakai untuk petanda adanya pemburukan fungsi ginjal.

Berdasar pedoman KDOQI, target hemoglobin HbA1c adalah sekitar 7%,


untuk mencegah atau menghambat progresivitas komplikasi mikrovaskuler
pada DM, termasuk diantaranya PGD. Untuk PGD yang berisiko terjadinya
hipoglikemia, tidak direkomendasikan HbA1c <7%, begitu pula untuk
individu yang disertai dengan beberapa faktor komorbiditas atau terbatasnya
usia harapan hidup dan risiko hipoglikemia, direkomendasi target HbA1c
>7%. Ada berbagai jenis obat antihiperglikemik yang dapat menurunkan
kadar glukosa darah, dari yang monoterapi sampai dengan terapi kombinasi.

590 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diabetes Melitus and Renal Protection in Clinical Practice Where Do DPP4I Fit Within Today’s Treatment Paradigm for Patients With Type 2 Diabetes and Renal Impairment?

Berdasar pada rekomendasi yang diberikan oleh ADA 2019, lini kedua untuk
DM yang disertai dengan penyakit kardiovaskuler aterosklerosis dan penyakit
ginjal kronis, ada beberapa jenis obat, antara lain GLP-1 RA atau SGLT2, dan
bila masih diperlukan lagi obat tambahan untuk menurunkan A1c adalah
golongan DPP-4I, insulin basal dan sulfonilurae. DPP-4I, merupakan obat
yang tidak atau tidak banyak memberikan efek hipoglikemik, dan dari jenis
DPP-4I tersebut, yang aman, mudah dan tidak diperlukan penyesuaian dosis
untuk penderita PGK dengan berbagai derajat tingkat keparahannya adalah
linagliptin.

Daftar Pustaka
1. De Boer IH, Gao X, Cleary PA, et al. Albuminuria changes cardiovascular and
renal outcomes in type 1 diabetes: the DCCT/EDIC study. Clin J Am Soc Nephrol.
2016;11:1969-1977.
2. Tutle KR, Bakris GL, Bilous RW, et al. Diabetic kidney disease: a report from an ADA
consensus conference. Diabetes Care. 2014;37:2864-2883.
3. Gall M-A, Rossing P, Skott P, et al. Prevalence of micro- and macroalbuminuria,
arterial hypertension, retinopathy and large vessel disease in European type 2
(non-insulin- dependent) diabetic patients. Diabetologia. 1991;34:655-661.
4. Andresdottir G, Jensen ML, Carstensen B, et al. Improved survival and renal
prognosis of patients with type 2 diabetes and nephropathy with improved control
of risk factors. Diabetes Care. 2014;37:1660-1667.
5. Gaede P, Tarnow L, Vedel P, et al. Remission to normoalbuminuria during
multifactorial treatment preserves kidney function in patients with type 2 diabetes
and microalbuminuria. Nephrol Dial Transplant. 2004;19:2784-2788.
6. Persson F, Rossing P. Diagnosis of diabetic kidney disease: state of the art and
future perspective. Kidney Int Suppl. 2018;8:S2-S7.
7. Afkarian M, Katz R, Bansal N, et al. Diabetes, kidney disease and cardiovascular
outcomes in the Jackson heart study. Clin J Am Soc. 2016;11:1384-1391.
8. Afkarian M, Sachs MC, Kestenbaum B, et al. Kidney Dis and increased mortality risk
in type 2 diabetes. J Am Soc Nephrol. 2013;24:302-308.
9. Stanton RC. Diabetic kidnay disease. In: Endocrine disorders in kidney disease;
diagnosis and treatment. Eds. Rhee CM, Kalantar-Zadeh K, Brent GA. Switzerland,
Springer;2019:pp15-26.
10. Dronavalli S, Duka I, Bakris GL: The pathogenesis of diabetic nephropathy. Nat Clin
Prac Endocrinology & Metabolism 2008; 4: 444-450.
11. Carmines PK, Bast JP, Ischii N: Altered renal microvascular function in early
diabetes. Cortes P, Mogensen CE (eds): The Diabetic Kidney. Humana Press Inc,
New Jersey. 2006, pp 23-33.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 591


Chandra Irwanadi Mohani

12. Du P, Fan B, Han H, et al: NOD2 promotes renal injury by exacerbating inflammation
and podocyte insuline resistance in diabetic nephropaty. Kidney Int 2013; 84:265-
276.
13. Jerums G, Panagiotopoulos S, MacIsaac R: Podocytes and Diabetic Nephropathy.
Cortes P, Mogensen CE (eds): The Diabetic Kidney. Humana Press Inc, New Jersey.
2006, pp 59-80.
14. Iglesias-de la Cruz MC, Ziyadeh FN, Isono M, et al: Effects of high glucose and
TGF-B1 on the expression of collagen IV and vascular endothelial growth factor in
mouse podocytes. Kidney Int 2002; 62: 901-913.
15. Vestra DM, Masiero A, Roiter AM, Saller A, Crepaldi G, Fioretto P: Is podocyte injury
relevant in diabetic nephropathy? Studies in patient with type 2 diabetes. Diabetes
2003; 52:1031-1035.
16. American Diabetes Association. Microvascular complications and foot care.
Diabetes Care. 2107;40:S88-S98.
17. Paving HH, Mauer M, Fioretto P, et al. Diabetic nephropathy. In: Brenner B, ed.
Brenner and Rector’s The Kidney.vol. 1. Philadelphia, PA:Elsvier;2012:pp 1411-
1454.
18. Thorn LM, Gordin D, Harjutsalo V, et al. The presence and consequence of
nonalbuminuric chronic kidney disease in patients with type 1 diabetes. Diabetes
Care. 2015;38:21128-2133.
19. ADVANCE Study Group: Intensive blood glucose control and vascular outcomes in
patients with type 2 diabetes. N Engl J Med 2008;358:2560-2572.
20. American Diabetes Association. Microvascular complications and foot care: Standards
of medical care in diabetes-2018. Diabetes Care. 2018;41(suppl.1):S105-S118.
21. National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guideline for diabetes and
CKD:2012. Update. Am J Kidney Dis. 2012;60:850-856.
22. Stratton IM, Adler AI, Neil A, et al: Association of glycaemia with macrovascular
and microvascular complications of type 2 diabetes (UKPDS 35): prospective
observational study. BMJ 2000;321:405-412.
23. UKPDS study goup: Intensive blood glucose control with sulphonylureas or insuline
compared with convensional treatment and risk of complications in patients with
type 2 diabetes (UKPDS33). UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) group. Lancet
1998;352:837-853.
24. DCCT group: The effect of intensive treatment of diabetes on the development and
progression of long-term complications in insuline-dependent diabetes mellitus.
The Diabetes Control and Complications Trial Reseach Group. N Engl J Med 1993;
329: 977-986.
25. ACCORD Study Group: Effects of intensive glucose lowering in type 2 diabetes. N
Engl J Med 2008;358:2545-2559.

592 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diabetes Melitus and Renal Protection in Clinical Practice Where Do DPP4I Fit Within Today’s Treatment Paradigm for Patients With Type 2 Diabetes and Renal Impairment?

26. Ismail-Beigi F, Craven T, Banerji MA, et al: Effects of intensive treatment of


hyperglycaemia on microvascular outcomes in type 2 diabetes: an Analysis of the
ACCORD randomised trial. Lancet 2010; 376:419-430.
27. Kalantar-Zadeh K, Kopple JD, Regidor DL, et al: Hemoglobin A1c and survival in
maintenance hemodialysis patients. Diabetes Care 2007;30:1049-1055.
28. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes – 2019.
Diabetes Care. 2018;42(suppl. 1):S1-S194
29. CherneyDZI, Bakris GL. Novel therapies for diabetic kidney disease. Kidney Int.
2018;8(supppl): S18-S25.
30. Chon DA, Oxman RT, Mullur RS, Weinreb JE. Diabetic pharmacotherapies in kidney
disease. In: Endocrine disorders in kidney disease; diagnosis and treatment. Eds.
Rhee CM, Kalantar-Zadeh K, Brent GA. Switzerland, Springer;2019:pp 49-74.
31. Palmer SC, Mavridis D, Nicolucci A, et al. Comparison of clinical outcomes and
adverse events associated with glucose lowering drugs in patients with type 2
diabetes: a meta-analysis. JAMA. 2016;316(3):313-324.
32. Groop PH, Cooper ME, Perkovic V, et al. Linagliptin and its effects on hyperglycaemia
and albuminuria in patients with type 2 diabetes and renal dysfunction: the
randomized MARLINA-T2D trial. Diabetes Obes Metab 2017;19:1610-1619.
33. Groop PH, Del Prato S, Taskinen MR, et al. Linagliptin treatment in subjects with
type 2 diabetes with and without mild to moderate renal impairment. Diabetes
Obes Metab. 2014;6:560-568.
34. Mc Gill, Sloan N, Newman J, et al. Long-term efficacy and safety of linagliptin in
patients with type 2 diabetes and severe renal impairment: a 1-year, randomized,
double-blind, placbo control study. Diabetes Care. 2013;36(2):237-244.
35. Scirica BM, Bhatt DL, Braunwald E, et al. Saxagliptin and cardiovascular outcomes
in patients with type 2 diabetes mellitus. N Engl J Med. 2013;369(14):1317-1326.
36. Green JB, Bethel MA, Armstrong PW, et al. Effect of sitagliptin on cardiovascular
outcomes in type 2 diabetes. N Engl J Med. 2015;373(3):232-242.
37. Rosenstock J, Perkovic V, Johansen OE, et al. Effect of linagliptin vs placebo on
major cardiovascular event in adults with type 2 diabetes and high cardiovascular
and renal risk: The Carmelina Randomized Clinical trial. JAMA. 2019;321(1):69-79.
38. Mathieu C, Degrande E. Vildagliptin: a new oral treatment for type 2 diabetes
mellitus. Vascular Health and Risk Management. 2008;4(6):1349-1360.
39. Kulasa K, Edelman S. Saxagliptin: the evidence for its place in the treatment of type
2 diabetes mellitus. Core Evidence. 2010;5:23-37
40. Gallwitz B, Rosenstock J, Rauch T, et al. 2-year efficacy and safety of linagliptin
compared with glimepiride in patients with type 2 diabetes inadequately
controlled on metformin: a randomized, double-blind, non-inferiority trial. Lancet.
2012;380:475-483.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 593


Gagal Jantung Kronik
Lukman H. Makmun
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Banyak penyakit yang dapat bermuara menjadi Gagal Jantung, tetapi
yang banyak sebagai causa adalah: Penyakit Jantung Koroner yang umumnya
adalah pasca Miokard Infark, selain Hipertensi lanjut, Kelainan Katup dan
Miokardiopati dengan kelainan pada miokard.

Definisi Gagal Jantung adalah suatu sindrom klinik yang terjadi karena
gagalnya respons homeostasis tubuh terhadap kerusakan atau kelainan
pada jantung yang berlanjut, kemudian menyebabkan penurunan fungsi
pemompaan darah karena gangguan fungsi kontraktilitas, sehingga output
yang dipompakan tidak adekwat.

Sebagai reaksi terhadap kelainan pada miokard tersebut, pada awalnya


terjadi efek kompensasi dari system neurohumoral untuk menjaga supaya
output tetap adekwat. Bila keadaan berlangsung terus, maka struktur kardiak
akan bertambah rusak dan tidak bisa bekerja lagi dengan baik, sehingga
menyebabkan dekompensasi jantung dengan fungsi jantung yang memburuk.
Faktor neurohumoral adalah: Adrenergik (sympathetic) Nervous System
(ANS), Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS) dan berbagai cytokine.

Patofisiologi Gagal Jantung (GJ)


Faktor fisiologis yang berperan pada fungsi jantung supaya didapatkan
cardiac output yang adekwat adalah: kontraktilitas otot jantung, besaran
preload dan -afterload, serta juga Heart Rate yang adekuat. Faktor utama untuk
mendapatkan stroke volume yang cukup adalah faktor kontraktilitas jantung,
dimana yang berperan adalah unsur Calcium dan ATP intra sel miokard,
berikut dengan unsur-unsur pendukung seperti cAMP dan lain-lain. Sebagai
kompensasi awal, bila terjadi Gagal Jantung (GJ) adalah dengan meningkatkan
preload, sesuai dengan Hukum Frank Starling, yaitu dapat meningkatkan daya
kontraktilitas ventrikel, setelah ventrikel lebih banyak diisi dengan volume
darah. Tentu saja hal ini mempunyai keterbatasan, bila underlying cause tidak
diatasi. Heart rate ditingkatkan supaya dapat mengimbangi stroke volume yang

594 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Gagal Jantung Kronik

mengecil, sehingga didapatkan angka cardiac output yang diharapkan dapat


mencukupi. Kemudian karena terjadi penurunan tekanan darah pada awal GJ,
maka sebagai respons homeostasis berikutnya adalah dengan meningkatkan
afterload yaitu terjadi vasokonstriksi. Semua efek ini didapatkan dari efek
neurohumoral ANS dan RAAS, serta juga sitokin seperti TNFα dan IL.

ANS terdiri atas Norepinephrine (NE) yang dikeluarkan oleh cardiac


sympathetic nerve terminals dan Epinephrine (Epi) yang dihasilkan oleh
kelenjar Medulla Adrenal. NE dan Epi bersama-sama berefek pada jantung,
dan masuk melalui reseptor adrenergic β (βAR). Pada keadaan Gagal Jantung,
kadar NE dapat meningkat sampai 50 kali dari normal. Efek ANS adalah:
kronotropik positif yang dapat menjadi predisposisi aritmia, inotropik positif,
lusitropik positif (mempercepat relaksasi cardiac), menurunkan kapasitas
venosa. Efek peningkatan kontraktilitas terjadi setelah NE dan EPI berikatan
dengan βAR (reseptor), menstimulasi G5 protein, kemudian menstimulasi
effektor Adenylate Cyclase (AC), yang merubah ATP menjadi cAMP, selanjutnya
mengaktifasi Phosphokinase A (PKA) yang kemudian menghasilkan
bertambahnya konsentrasi Ca intraseluler. Selain itu PKA juga menstimulasi
L-type Calcium Channel (LTCC) di membrane dan sarco plasmic reticulum
(SR)- located ryanodine receptor (RyRs) sehingga memperbanyak konsentrasi
Ca di sitoplasme. Dengan demikian kontraksi miokard akan bertambah.
Sebagai penyeimbang yaitu GRK5 (GPCR Kinase) yang mengantagonis NE dan
Epi, bila terjadi kadar catecholamin berlebihan. Efek sitotoksik katecholamin
dapat menyebabkan hipoksia relative, permeabilitas sarcolemma meningkat,
calcium overload, yang kemudian dapat menyebabkan fibrosis interstitial, dan
dapat terjadi apoptosis cardiac, dilatasi ventrikel dengan disfungsi ventrikel.

Ekspresi αAR (α Adrenergic Receptor) mempunyai level lebih rendah


(20%) daripada βAR, namun demikian tetap terjadi juga vasokonstriksi
pada arteri major. Cara kerjanya adalah dengan mengaktifasi Gq/11 protein,
menstimulasi PLCβ dan terjadilah IP3 dan DAG. IP3 mengikat reseptor SR, yang
kemudian terjadi pelepasan Ca intrasel. Sedangkan DAG mengaktifasi PKC dan
TRPV (transient receptor potential channel) sehingga konsentrasi Ca intrasel
bertambah dengan akibat terjadi vasokonstriksi. (PLC =Phospholipase C; IP=
Inositol-triphosphate; DAG= 2-Diacyl Glycerol; PKC = Proteinkinase C; SR=
Sarcolemma Reticulum).

RAAS berefek menahan air dan garam yang akan meningkatkan


preload, meningkatkan efek simpatis yang akan memperkuat kontraksi,

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 595


Lukman H. Makmun

dan juga vasokonstriksi. ATII meningkatkan pelepasan NE dan mencegah


reuptake NE di nerve ending, sehingga kadar ANS akan meningkat.
ATII adalah mediator penting untuk terjadinya remodeling kardiak. ATII
menstimulasi fibroblast untuk menjadi kolagen, menyebabkan hipertrofi sel
miosit jantung dan menimbulkan fibrosis kardiak. Aldosterone dapat juga
merangsang terjadinya fibrosis dengan demikian terjadi remodeling kardiak
dan menurunkan fungsi jantung. Kadar Aldosterone dapat meningkat sampai
20 kali, yang distimulasi oleh ATII. RAAS mempunyai sistem 2 arm yaitu: 1
arm yang menyebabkan excitatory dan 1 arm lain sebagai protective. Arm
excitatory terdiri atas ATII, ACE dan AT1R (AT1 reseptor), sedangkan Arm
protector terdiri atas AT1-7, AT2R (AT2 reseptor), ACE2 dan Mas reseptor.
Pada CHF terjadi sympathoexcitation, karena peningkatan rantai ATII- AT1R-
ACE sedangkan pada arm AT2R- ACE2 terjadi penurunan. Akibatnya terjadi
peningkatan sympathetic.

Tata Laksana Gagal Jantung


Pengobatan Farmaka
Therapi farmaka ditujukan untuk mengatasi efek lanjut dari factor
neurohumoral. Terhadap RAAS, diberikan obat ACE Inhibitor, atau ARB, bila
tidak toleransi terhadap ACE-I. Kemudian diberikan Aldosterone- Antagonist
untuk mengantagonis Aldosteron. Selanjutnya untuk mengantagonis ANS
diberikan β Blocker yang diberikan sebagai on top therapy. Untuk mengurangi
beban kerja jantung terutama preload, diberikan diuretic, misal pada volume
overload. Bila masih dirasa perlu dapat ditambahkan digitalis, misal pada AF
yang cepat atau untuk memperkuat inotropik positif. Obat nitrat dapat juga
diberikan untuk mengurangi lagi preload.

Obat baru pada GJ adalah ARNI (Angiotensin Receptor Blocker +


Nephrylisin Inhibitor). Natriuretic Peptide (NP) yang dihasilkan oleh otot
jantung, akan meningkat bila terjadi Gagal Jantung, karena peregangan otot
miokar. Efek NP adalah vasodilation termasuk efek lusitropic positif pada LV.
Efek NP ini akan dihambat oleh enzyme Nephrylisin, yang dihasilkan ginjal,
sehingga memblok efek lusitropik. Obat ARNI yang mengandung Sarcubitril
menginhibisi Nephrylisin, sehingga efek NP dapat berfungsi dengan baik dan
juga mengantagonis efek ANS dan RAAS. Pemilihan farmaka berikut dosisnya
tergantung dari kondisi dan stadium GJ

Pengobatan non farmaka, disesuaikan dengan keadaan, misal tirah baring,


diet rendah garam,dan pembatasan cairan. Diet harus diberikan dengan

596 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Gagal Jantung Kronik

kalori yang cukup, karena diperlukan energi yang cukup untuk menaikkan
daya kontraktilitas otot miokar serta otot pernapasan dan lainnya. Selain itu
untuk mencegah kacheksia kardiak.

Tata Laksana dengan Device


Selanjutnya pada kasus GJ lanjut, dapat dipertimbangkan untuk
pemasangan CRT-D (Cardiac Resynchronization Therapy- Defibrillator) dan
LVAD (Left Ventricular Assist Device) yang disesuaikan dengan indikasi.

CRT-D
Indikasi CRT-D yaitu: EF <35%, kompleks QRS >120ms, NYHA III-IV
Indikasi ICD (Implantable Cardioverter-Defibrillator) yaitu; Pasca cardiac
arrest, VT sustained dengan prognosis buruk, dan fungsi sistolik rendah sekali.

LVAD
Dipasang sebagai bentuk antara untuk transplantasi jantung: Alat ini
merupakan jantung buatan (artificial Heart). Darah diambil dari Ventrikel
kiri oleh alat isap pompa, kemudian dipompakan kembali kedalam aorta. Alat
Isap-Pompa ini dikendalikan oleh batteri, dan ditanamkan dalam tubuh, di
luar jantung.

ECMO (Extra Corporeal Membrane Oxygenator)


Suatu alat yang mirip dengan Lung-Heart Machine, mengalirkan darah
dari vena ke dalam mesin ini, kemudian diberikan oksigenisasi dan setelah itu
dialirkan kembali ke dalam arteri tubuh. Digunakan pada syok kardiogenik.

Modus lain:
Stem Cell: dengan menggunakan alat bantu mapping NOGA langsung
disuntikkan stem cell kedalam ventrikel yang sakit, yang diharapkan akan
terjadi neovaskularisasi di jaringan dan terbentuk jaringan baru.

ESWT (Extracorporeal Schock Wave Therapy)


Dengan bantuan guiding alat Echo, pada septum ventrikel, dilepaskan
gelombang seperti pada ESWL dengan energi rendah, dengan harapan akan
merangsang timbulmya neovaskularisasi jaringan dinding jantung.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 597


Lukman H. Makmun

Metabolisme – Energi
Semua organ tubuh memerlukan energi yang diperoleh dari hasil
metabolisme seluler dan untuk itu diperlukan aliran darah yang adekwat
untuk membawa bahan-bahan metabolit serta oksigen kedalam sel organ
tersebut. Proses metabolisme dimulai dari didekatkannya bahan metabolit ke
dinding sel, kemudian ada proses transportasi yang akhirnya akan dibawa
kedalam mitochondria sel. Didalam organel mitochondria ini terjadi proses
pembentukan energi yang bahan dasarnya berasal dari lemak, karbohidrat
dan protein mengikuti proses metabolisme berupa antara lain Kreb’s cycle dan
oksidasi beta dan akhirnya terjadi respiratorik oksidasi yang menghasilkan
ATP sebagai sumber energi.

Proses ini panjang dengan melibatkan banyak sekali komponen


metabolisme, baik berupa enzym-enzym, co enzym dan mineral. Satu
diantaranya adalah L-carnitine yang berfungsi sebagai transporter lemak dan
Co enzym Q yang berfungsi sebagai komponen penting dalam respiratorik
oksidasi untuk menghasilkan ATP.

L-carnitine
Zat ini adalah senyawa protein dengan rumus 3-hydroxy-4-N-trimethyl
amino butyric acid, diproduksi di hati dan ginjal dengan bahan dasar L-lysine
dan L-methionine. L-carnitine terdapat banyak dalam daging terutama
beri-beri (sheep). Carnitine yang berasal dari makanan atau endogen
akan dilepas kedalam darah dan diambil oleh otot skelet dan otot jantung.
Fungsi L-carnitine adalah untuk memfasilitasi transfer asam lemak (fatty acid)
dari sitoplasma masuk melalui inner membran mitochondria (Mt). Lemak
diikat oleh Co enzym A membentuk acyl-CoA, tetapi tidak dapat menembus
inner membran Mt. Kemudian L-carnitine mengambil fatty acid dari acyl-CoA
membentuk molekul acyl-carnitine. Dengan bantuan enzym carnitine acyl
transferase, acyl-carnitine dapat melintasi inner membran Mt. Selanjutnya
terjadi proses beta-oksidasi di dalam Mt. Acetyl CoA yang dihasilkan ikut
dalam Kreb’s cycle, yang kemudian melepaskan elektron dari asam lemak.

Ubiquinone (Coenzym Q, CoQ)


Berperan di dalam mitochondria, bersama-sama dengan NADH, dalam
mekanisme rantai transport elektron (Electron transport chain). Proses ini
dikenal sebagai cellular oxidative phosphorylation dengan rangkaian rea-
ksi cytochrome a, b dan c, yang akan menghasilkan ion H+ yang kemudian
setelah terjadi proses pertukaran ion akan membentuk ATP sebagai bentuk
598 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Gagal Jantung Kronik

tenaga. Ubiquinon ini banyak didapat di jaringan jantung, hati, ginjal dan
pancreas. Pada orang tua ataupun pada penyakit-penyakit tertentu seperti
gagal jantung, kadar ubiquinon ini berkurang.

Efek L carnitine dan CoQ10 pada Penyakit Kardiovaskular


Banyak penelitian mengenai co enzym Q dilakukan di Amerika dan Jepang
pada penyakit kardiovaskular. Pada tahun 1970 an Folkers menemukan
bahwa kadar coenzym Q pada penyakit jantung seperti Congestive Heart
Failure (CHF), aritmia dan hipertensi, adalah rendah. Karena itu di Amerika
dan Jepang co enzym Q ini banyak dipakai untuk pengobatan tambahan
penyakit jantung tersebut. Banyak penelitian penggunaan co enzym Q pada
pasien CHF menunjukkan hasil positif. Bila L carnitine sedikit, maka bahan
dasar untuk pembentukan energi sedikit; sedangkan bila kadar Co Q sedikit,
energi yang dihasilkan dalam bentuk ATP akan berkurang juga.

Untuk menjamin adanya supply energi yang mencukupi, yang akan


diproduksi oleh Mt yang masih sehat, diperlukan kadar komponen L-carnitine
dan CoQ yang cukup, sebagai salah satu faktor penting yang berperan dalam
proses metabolisme pembentukan energi di miokard jantung.

Gurlek dkk meneliti pada pasien ischemic cardiomyopathy yang diberikan


L-carnitine, terlihat bahwa ada kenaikan LVEF yaitu 4.5% vs 2.3% (P<0.001)
signifikan. Selain itu terjadi penurunan SOD (Superoxide dimustase) signifikan
dengan P<0.05.

Kesimpulan
1. Gagal Jantung merupakan muara dari berbagai penyakit jantung lain.
2. Gagal Jantung merupakan sindrom dengan manifestasi klinik yang terjadi
karena kegagalan respons efek faktor neurohumoral terhadap kelainan
jantung yang terus berlangsung, dengan akibat terjadi penurunan cardiac
output yang tidak adekwat.
3. Faktor neurohumoral terdiri atas ANS (Anti Adrenergik Sistem), RAAS
(Renin Angiotensin Aldosterone System), yang bila berlebihan dapat
menyebabkan remodeling dan apoptosis jantung.
4. Pengobatan farmaka ditujukan untuk mengatasi efek factor
neurohumoral. Farmaka baru ARNI bertujuan untuk meningkatkan efek
lusitropik, dengan menghambat enzyme Nephrylisin.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 599


Lukman H. Makmun

5. Pada kasus GJ lanjut, dapat dilakukan pemasangan CRT D dan ECMO serta
LVAD sebagai bentuk antara untuk transplantasi.
6. L-carnitine dan Coenzym Q10 berperan dalam metabolism seluler di
dalam Mt sehingga menghasilkan ATP sebagai sumber energy.

Daftar Pustaka
1. Ma TK, Kam KK, Yan BP, Lam YY. RAAS blockade for CV diseases: current status.
Br.J.Pharm. 2010 Jul;160(6):1273-92.
2. Zucker IH, Xiao L, Haack KKV. The Central RAS and Sympathetic Nerve Activity in
CHF. Clin Sci. 2014 May; 126(10):695-706.
3. Figueroa MS, Peters JI. CHF: Diagnosis, Pathophysiology, Therapy and Implications
for Respiratory Care. Respiratory Care. 2006 April; vol 51. No.4: 403-412.
4. Lymperopoulos A, Rengo G, Koch WJ. The Adrenergic Nervous System in HF:
Pathophysiology and Therapy. Circ.Res.2013 Aug 30;113(6):739-53
5. 2013 ACCF/AHA Guideline for Management of HF: A report of the ACCF/AHA Task
force on Practice guideline. Circulation 2013; 128: e240-e327.
6. Topol EJ. Textbook of Cardiovascular Medicine.Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia.2002. 2nd.ed.
7. Pepine CJ.The therapeutic potential of carnitine in CV disease.Clin.
Ther.1991;13(1):2- 21
8. Bahl J.J., Bressler R. The pharmacology of carnitine. Ann.Rev.Pharm.
Toxicol.1987;27:257-77
9. Opie L.H.Review:Role of carnitine in fatty acid metabolism of normal and ischaemic
myocardium. Am.H.J. March 1979; vol.97 No.3: 375-88.
10. Ghidini O.Azzurro M., VitaG., Sartori G.Evaluation of the therapeutic efficacy of
l-carnitine in CHF. Int.J.of Clin. Pharmacol, Therapy and Toxicol. 1988; vol.26 No.4:
217- 220.
11. Suzuki Y.et al Myocardial carnitine deficiency in CHF. The Lancet 1982;Jan 9:116.
12. Kobayashi A., Masumura Y.,Yamazaki N. L-carnitine treatment for HF- Experimental
and clinical study-.Japan.Circ.J. Jan. 1992; vol.56: 86-93.
13. Bertelli A., Ronca G. Carnitine and Coenzyme Q10: Biochemical properties and
functions, synergism and complementary action. Int.J.Tiss.Rev. 1990;XII(3):183-6
14. Makmun LH, L-carnitine plus Coenzyme Q10: dua komponen untuk proteksi
kardiovaskular. Symposium Farmakologi FKUI Jakarta, 13.9.2002.
15. Makmun LH. Konsep dan Penatalaksanaan Gagal Jantung. PIT IPD FKUI 2014.

600 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Pasca Paparan HIV
pada Petugas Kesehatan
Alvina Widhani
Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Profilaksis pasca paparan merupakan pemberian antiretroviral segera


setelah pajanan terhadap human immunodeficiency virus (HIV) yang bertujuan
menurunkan risiko infeksi.1 Pemberian antiretroviral untuk paparan HIV
pada petugas kesehatan akibat pekerjaannya telah dilakukan sejak awal tahun
1990. Dibandingkan awal pemberiannya, terdapat perubahan rekomendasi
antiretroviral yang digunakan. Dulu stavudine masih digunakan misalnya. Saat
ini yang menjadi pilihan adalah tenovofir dan lamivudine atau emtricitabine
sebagai back bone.2

Petugas kesehatan berisiko terpajan dengan darah atau cairan tubuh


lain yang dapat mengandung HIV. World Health Organization menyebutkan
terdapat 2,5% kasus HIV disebabkan karena penularan terkait pekerjaan.3
Risiko penularan HIV sekitar 0,3% pasca paparan perkutan dan 0,09% pasca
paparan ke membran mukosa.4

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian antirentroviral dapat


mencegah terjadinya infeksi HIV kronik bila diberikan segera pasca paparan.
Efektivitas pemberian profilaksis pasca paparan tergantung dari adherens
terhadap obat yang diberikan, waktu mulai pemberian profilaksis, tingkat
paparan, dan kemungkinan resistansi obat.2 Profilaksis pasca paparan tidak
100% efektif sehingga kewaspadaan universal tetap merupakan bagian
dari strategi untuk mencegah infeksi HIV karena pekerjaan pada petugas
kesehatan.2,3

Tahapan yang dilakukan ketika terjadi paparan yaitu penilaian paparan,


konseling, pemberian obat antiretroviral, dan follow up. Penilaian paparan
dilakukan evaluasi terhadap pajanan, tes HIV pada orang yang terpapar dan
sumber paparan bila memungkinkan, serta pemberian pertolongan pertama
pada luka. Pemberian konseling terhadap petugas yang terpapar meliputi
risiko HIV, risiko dan keuntungan profilaksis pasca paparan, serta efek
samping profilaksis. Konseling ini penting untuk meningkatkan adherens

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 601


Alvina Widhani

dari profilaksis yang diberikan. Pemberian obat antiretroviral harus dimulai


sesegera mungkin dalam waktu 72 jam pasca paparan dan diberikan selama
28 hari. Apabila petugas kesehatan baru datang setelah 72 jam, pemberian
intervensi profilaksis tetap perlu dipertimbangkan. Perlu diperhatikan
komorbiditas pada petugas yang diberikan profilaksis serta kemungkinan
adanya interaksi obat. Tahapan yang juga tidak boleh terluput adalah follow
up. Tiga bulan setelah paparan perlu dilakukan tes HIV ulang. Bila terjadi
penularan, harus dilakukan intervensi yang sesuai.2

Evaluasi perlunya pemberian profilaksis sedapat mungkin didasarkan


pada status HIV sumber paparan, dapat juga mempertimbangkan prevalensi
atau epidemiologi setempat. Pada lokasi dimana prevalensi HIV sangat
tinggi atau sumber paparan berisiko tinggi terinfeksi HIV, semua paparan
dianggap perlu diberikan profilaksis tanpa evaluasi risiko. Paparan yang
membutuhkan profilaksis adalah paparan parenteral atau pada membran
mukosa (mata, hidung, atau rongga mulut). Cairan tubuh yang dapat menjadi
media penularan HIV yaitu darah, saliva yang mengandung darah, air susu
ibu, sekresi genital, serta cairan dari serebrospinal, amnion, rektal, peritoneal,
sinovial, perikardial, atau pleural. Kondisi paparan yang tidak membutuhkan
profilaksis yaitu bila individu yang terpapar sudah HIV positif, atau sumber
paparan sudah diketahui HIV negatif atau paparan terhadap cairan tubuh
yang tidak berisiko seperti air mata, saliva yang tidak mengandung darah,
urin ,atau keringat.2

Tes HIV dilakukan pada petugas kesehatan yang terpapar untuk menilai
status awal pasca paparan. Konseling diberikan sebelum dan setelah dilakukan
tes HIV dengan menjelaskan risiko dan manfaatnya. Apabila terdapat kondisi
dimana tes HIV atau konseling tidak tersedia, namun potensi tertular HIV
tinggi, pemberian profilaksis pasca paparan tetap tidak boleh tertunda.2

Rekomendasi antiretroviral pasca paparan terdiri dari tiga obat


antiretroviral yang kurang toksik dan lebih mudah ditoleransi. Tenofovir
(TDF) dan lamivudin (3TC) atau emtricitabin (FTC) merupakan regimen
backbone untuk profilaksis pasca paparan untuk dewasa dan remaja. Pada
pemberian TDF+3TC atau FTC kemungkinan penghentian obat akibat efek
samping lebih rendah bila dibandingkan dengan pemberian kombinasi
Zidovudine (AZT)+3TC. Risiko terjadinya toksisitas ginjal pada penggunaan
TDF untuk profilaksis pasca paparan kecil karena durasi pemberian hanya 28
hari meskipun pada individu dengan kelainan ginjal atau faktor risiko kelainan

602 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Pasca Paparan HIV pada Petugas Kesehatan

ginjal. Lopinavir/ritonavir atau Atazanavir/ritonavir merupakan pilihan obat


ketiga. Bila tersedia, raltegavir, darunavir/ritonavir atau efavirenz dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan alternatif. Pilihan obat ketiga disesuaikan
dengan ketersediaan, preferensi, dan biaya karena tidak ada penelitian
dengan kualitas baik yang dapat dijadikan acuan. Lopinavir/ritonavir lebih
tersedia luas dibandingkan raltegravir atau darunavir/ritonavir. Efavirenz
kurang menjadi pilihan karena efek samping terhadap sistem saraf pusat dan
kondisi mental yang tidak dapat ditoleransi.2 Nevirapin tidak boleh digunakan
sebagai bagian regimen profilaksis karena kejadian efek samping alergi obat
dan hepatotoksisitas berat lebih sering terjadi pada penggunaan pada orang
non-HIV.5

Pada kondisi dimana cuma tersedia regimen dua obat antiretroviral untuk
profilaksis atau apabila hanya dapat diberikan dua obat karena pertimbangan
efek samping, profilaksis tetap dapat diberikan. Penelitian pada hewan
coba menunjukkan pemberian dua obat tersebut dapat efektif. Regimen
antiretroviral untuk profilaksis pasca paparan yang direkomendasikan tidak
ada yang dikontraindikasikan pada perempuan hamil. Dosis antiretroviral
yang diberikan adalah sebagai berikut:2
• Tenofovir 300 mg, satu kali per hari
• Lamivudine 150 mg dua kali per hari atau 300 mg satu kali per hari
• Emtricitabine 200 mg, satu kali per hari
• Lopinavir/ritonavir 400 mg/100 mg dua kali per hari atau 800 mg/200
mg satu kali per hari
• Atazanavir/ritonavir 300 mg+100 mg, satu kali per hari
• Raltegravir 400 mg, dua kali per hari
• Darunavir+ritonavir 800 mg+100 mg, satu kali per hari atau 600 mg+100
mg, dua kali per hari
• Efavirenz 600 mg, satu kali per hari

Pilihan obat profilaksis juga harus didasarkan pada paduan terapi anti-
retroviral lini pertama yang digunakan serta mempertimbangkan kemungki-
nan resistensi antiretroviral pada sumber paparan.6 Oleh karena itu, sebelum
pemberian profilaksis sebaiknya diketahui jenis dan riwayat terapi antiretro-
viral sumber paparan, termasuk kepatuhannya. Pilihan paduan antiretroviral
di Indonesia untuk pencegahan transmisi HIV pasca paparan adalah sebagai
berikut:7

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 603


Alvina Widhani

Dewasa Pilihan TDF + 3TC/FTC + LPV/r


Alternatif TDF + 3TC/FTC + EFV
AZT + 3TC + LPV/r
AZT + 3TC + EFV

Prognosis baik untuk profilaksis pasca paparan HIV selama pencegahan


dilakukan dengan benar. Petugas kesehatan yang terpapar menggunakan obat
pencegahan sebelum 72 jam secara teratur selama 28 hari. Selain evaluasi
paparan terhadap HIV, petugas kesehatan yang terpapar juga harus dievaluasi
dan ditata laksana dengan paparan terhadap hepatitis B dan hepatitis C. Risiko
penularan hepatitis B dan hepatitis C lebih tinggi dibandingkan dengan HIV.2

Daftar Pustaka
1. US Department of Health and Human Services. AIDS info glossary of HIV-AIDS
related terms 9th ed. 2018
2. World Health Organization. Supplement to the 2013 consolidated guidelines on the
use of antiretroviral drugs for treating and preventing HIV infection. 2014. h 15-25.
3. Sheth SP, Leuva AC, Mannari JG. Post exposure prophylaxis for occupational
exposures to HIV and hepatitis B: our experience of thirteen years at a rural based
tertiary care teaching hospital of Western India. J Clin Diagn Res 2016; 10(8):
OC39-44.
4. Kapila K, Gupta RM, Chopra GS. Post exposure prophylaxis: what every health care
worker should know. Med J Armed Forces India. 2008; 64(3):250-3.
5. Patel SM, Johnson S, Belknap SM, Chan J, Sha BE, Bennett C. Serious adverse
cutaneous and hepatic toxicities associated with nevirapine use by non-HIV-
infected individuals. J Acquir Immune Defic Syndr 2004; 35: 120–125.
6. World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral
drugs for treating and preventing HIV infection recommendations for public health
approach. Geneva. 2016.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no HK.01.07/MENKES/90/2019
tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2019.

604 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pencegahan Penularan Pasca Paparan Hepatitis B
dan Hepatitis C pada Petugas Kesehatan
Muhammad Begawan Bestari, Aditya Herbiyantoro
Divisi Gastroenterohepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Hasan Sadikin - Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung

Abstrak
Infeksi Hepatitis B Virus (HBV) dan Hepatitis C Virus (HBV) yang tidak
tertangani akan menjadi sirosis hepar dan karsinoma hepatoselular. Kedua
infeksi ini bertanggung jawab atas 96% kematian yang disebabkan oleh
hepatitis virus. Data Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi
hepatitis di Indonesia sebanyak 1,2%, jumlah ini meningkat 2 kali lipat dari
tahun 2007. Prevalensi di tahun 2013, proporsi hepatitis B sebanyak 21,8%,
sedangkan untuk hepatitis C sebanyak 2,5%. Deteksi dini yang telah dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan kepada tenaga kesehatan di Jakarta pada tahun
2013 mendapati bahwa prevalensi tenaga kesehatan dengan HbsAg positif
(+) cukup tinggi. Tenaga kesehatan seharusnya sudah mengenali occupational
exposure (paparan lingkungan kerja) sebagai suatu risiko. Oleh karena itu,
tindakan preventif primer dan prosedur manajemen pasca paparan infeksi
HBV dan HCV harus diterapkan oleh setiap tenaga kesehatan. WHO dan CDC
telah merekomendasikan guideline dan manual manajemen pasca paparan di
lingkungan kerja untuk infeksi HBV and HCV. Namun, untuk pasca paparan
infeksi HCV belum ada profilaksis yang direkomendasikan, immunoglobulin
dan antiviral juga tidak direkomendasikan oleh karena data ilmiah yang
kurang dan pertimbangan analisis cost-effective.

Kata kunci: Hepatitis B, Hepatitis C, tenaga kesehatan, pasca paparan

Pendahuluan
Diperkirakan di tahun 2015, 257 juta atau 3,5% dari populasi dunia,
menderita Hepatitis B Virus (HBV) kronis. Sebanyak 2,7 juta individu dari
populasi tersebut memiliki ko-infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Sedangkan, 71 juta atau 1 % populasi dunia diperkirakan terinfeksi
Hepatitis C Virus (HCV). dan 2,3 juta orang diantaranya memiliki ko-infeksi
dengan HIV. Virus hepatitis ini bertanggung jawab atas kematian sebanyak
1,34 juta jiwa di tahun 2015. Bila tidak ditangani, infeksi HBV dan HCV akan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 605


Muhammad Begawan Bestari, Aditya Herbiyantoro

menyebabkan sirosis dan hepatoselular karsinoma yang bertanggung jawab


atas 96% kematian akibat virus hepatitis.1

Data Riskesdas tahun 2013 menyebutkan prevalensi hepatitis di


Indonesia sebanyak 1,2%, jumlah ini meningkat 2 kali lipat dari tahun 2007.
Dari prevalensi hepatitis di tahun 2013, proporsi hepatitis B sebanyak 21,8%,
sedangkan untuk hepatitis C sebanyak 2,5%.2

Penularan HBV sebagian besar melalui percutaneous exposure (Cedera


oleh benda tajam yang terkontaminasi) atau paparan mukosa pada darah yang
terinfeksi atau cairan tubuh lainnya, termasuk diantaranya saliva, menstrual,
vaginal,dan seminal. Penularan virus dapat terjadi melalui masuknya darah
atau cairan orang terinfeksi ke tubuh operator saat prosedur medis, bedah,
dan dental, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, penyalahgunaan obat
suntik, tattoo, body piercing, dan akupuntur. Perinatal transmission dan
Horizontal transmission juga menjadi modus penularan infeksi HBV, dimana
perinatal transmission merupakan modus penularan utama di berbagai
belahan dunia.3

Penularan hepatitis C secara garis besar sama dengan hepatitis B, akan


tetapi di negara dengan kontrol infeksi yang kurang memadai, khususnya di
negara sedang berkembang, infeksi HCV lebih berhubungan dengan unsafe
injection, renal dialysis, tranfusi darah yang tidak terskrining. Data dari WHO,
sekitar 5% prosedur injeksi di pelayanan kesehatan diberikan dengan tidak
steril, menggunakan alat suntik bekas, dan tidak aman, sehingga diperkiraan
berkontribusi atas 315.000 infeksi baru HCV setiap tahun.1

Konsentrasi virus pada darah dan cairan tubuh berperan penting dalam
transmisi HBV dan HCV, konsentrasi virus diketahui tinggi dalam darah, lalu
jauh berkurang di dalam cairan asites dan cairan serebrospinal, dan dalam
konsentrasi yang tidak menular pada feses, keringat, muntah, dan air mata.4

Percutaneus exposure (Paparan percutan) adalah ketika operator


mendapatkan cedera atau luka akibat objek tajam yang telah terkontaminasi,
contohnya jarum suntik, pisau, atau pecahan kaca. Bentuk paparan 75%-nya
adalah percutaneous, sedangkan sisanya adalah mucosal-cutaneous. Angka
transmisi dari percutaneous exposure 5 x lebih besar dari mucosal-cutaneous.4
Deteksi dini yang telah dilakukan oleh kementrian kesehatan kepada tenaga

606 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pencegahan Penularan Pasca Paparan Hepatitis B dan Hepatitis C pada Petugas Kesehatan

kesehatan di Jakarta pada tahun 2013 mendapati bahwa prevalensi tenaga


kesehatan dengan HbsAg positif (+) cukup tinggi.5

Tenaga kesehatan seharusnya sudah mengenali occupational exposure


(paparan lingkungan kerja) sebagai suatu risiko, oleh karena itu tindakan
preventif primer dan prosedur manajemen pasca paparan infeksi HBV atau
HCV harus dapat diterapkan oleh setiap tenaga kesehatan.

Transmisi Hepatitis B
Beberapa kelompok populasi memilki faktor risiko tinggi terinfeksi HBV
dan dapat menjadi infeksi kronis. Kelompok tersebut adalah, individu dengan
penyakit hepar, individu yang membutuhkan immosupresif atau kemoterapi,
pemakai obat suntik, penerima injeksi yang tidak steril, memiliki multiple
partner seksual atau riwayat infeksi menular seksual, male who have sex with
male (MSM), pasien dialisis, pasien dengan infeksi HCV dan HIV, ibu hamil
(terutama yang tidak divaksin, bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi HBV,
pendonor darah atau organ, dan Tenaga kesehatan. Diperlukan skrining
infeksi HBV untuk kelompok dengan risiko tinggi tersebut.6

HBV lebih infeksius dari HCC atau HIV, angka transmisinya bisa mencapai
30% melalui cedera jarum suntik (needlestick injuries). Virus ini dapat bertahan
selama 7 hari di luar tubuh (dried blood). Cedera perkutan (prosedur bedah,
kebidanan, dan dental) merupakan jalur yang potensial dalam menularkan
HBV, baik ke pasien maupun ke tenaga kesehatan itu sendiri. Prosedur standar
pasca-paparan darah pasien terinfeksi HBV terhadap tenaga kesehatan harus
mencakup profilaksis pasca paparan dan pemeriksaan penunjang pada
pasien.6

Manajemen Pasca Paparan Infeksi HBV


Rekomendasi WHO (2015) untuk manajemen pasca paparan HBV
melalui jarum suntik, seksual, mucosal atau percutan adalah: 1) Luka harus
dicuci dengan sabun dan air, sedangkan mukosa dibersihkan dengan air; 2)
Sumber paparan harus diskrining HBsAg, anti-HIV, dan anti-HCV; 3) Untuk
individu yang terpapar, diperiksa HbsAg, anti-HBS dan IgG anti-HBc untuk
menentukan apakah individu tersebut terinfeksi, immune atau non-immune
terhadap HBV; 4) Apabila sumber paparan HBsAg positif atau tidak diketahui,
Hepatitis B Immuno Globulin (HBIG) (0.06 mL/kg atau 500IU) diberikan secara
intramuskular dan immunisasi aktif segera dimulai (0, 1, dan 2 bulan). HBIG
dan vaksin harus diberikan di tempat injeksi yang terpisah. HBIG di ulang 1
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 607
Muhammad Begawan Bestari, Aditya Herbiyantoro

bulan kemudian bila sumber paparan HBeAG positif, kadar HBV DNA tinggi,
atau tidak diketahui. Apabila yang terpapar tidak respons terhadap vaksin
HBV, maka 2 dosis HBIG harus diberikan dengan jarak 1 bulan; 5) Titer Anti-
HBs harus diperiksa 1-2 bulan setelah vaksinasi .3

Centers of Disease Control and Prevention (CDC) juga merekomendasikan


profilaksis pasca paparan infeksi HBV. Pasca paparan darah atau cairan
tubuh pasien dengan HbsAg positif (+), Individu yang belum pernah vaksinasi
hepatitis B atau belum diketahui responsnya terhadap vaksin hepatitis B-nya,
direkomendasikan untuk mendapat HBIG dan vaksin hepatitis B sesegera
mungkin dalam 24 jam pasca paparan. Kedua agen ini diberikan bersamaan
di tempat injeksi yang terpisah. Individu yang masih dalam proses vaksinasi,
dan masih belum selesai tahapannya, disarankan mendapatkan HBIG
dan melanjutkan vaksinasinya. Bagi individu yang sudah menyelesaikan
serial vaksinasinya, tetapi belum diperiksa hasil post vaksinasinya, harus
mendapatkan 1 dosis booster. Untuk yang sudah menyelesaikan vaksinasinya
dan responsnya baik, maka tidak perlu profilaksis.7

Pasca paparan yang masih belum diketahui status sumber HBsAgnya,


apabila tenaga kesehatan yang belum divaksin, segera diberikan vaksin
hepatitis dalam 24 jam, dan harus menyelesaikan vaksinasinya.7

Dalam studi retrospektif yang dilakukan Sheth, dkk8 kepada tenaga


kesehatan, pemberian profilaksis pasca paparan HBV menunjukan hasil yang
baik, dengan tidak adanya perubahan serologis pada individu yang terpapar
infeksi HBV yang telah diberikan profilaksis.

Transmisi Hepatitis C
Di negara maju, salah satu faktor risiko penularan HCV adalah sharing
penggunaan alat injeksi bersama. Sedangkan di negara berkembang, selain
penggunaan ulang alat injeksi, ketidak sterilan alat menjadi faktor risiko
penularan utama. Faktor risiko lain adalah MSM terutama pada penderita
HIV, transmisi perinatal, tattoo, body piercing, prosedur kosmetik, sharing
alat cukur, prosedur bedah atau medis, dan needle-stick injury untuk tenaga
kesehatan.4

Dalam setting tenaga kesehatan pasca paparan, sebagian kecil (1,9%)


tenaga kesehatan akan menjadi infeksi HCV akut yang dapat dideteksi melalui
HCV RNA di darah 8-9 hari setelah paparan, atau biasanya sebagai pertanda

608 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pencegahan Penularan Pasca Paparan Hepatitis B dan Hepatitis C pada Petugas Kesehatan

awal infeksi diperiksa pada hari ke-14 setelah paparan. Setelah 6 bulan, HCV
RNA diperiksa kembali, dikarenakan 25% pasien dengan infeksi HBV akut
dapat sembuh dengan sendirinya, hal ditandai dengan kadar HCV RNA yang
tidak terdeteksi.9

Manajemen Pasca Paparan Infeksi HCV


Sedikit bukti ilmiah yang menunjang penggunaan profilaksis pasca
paparan hepatitis C kepada tenaga kesehatan. Beberapa alasan yang
menunjang dikarenakan: 1). Hasil yang kurang memuaskan didapatkan dari
laporan-laporan kasus terapi interferon (IFN) pasca paparan jarum suntik; 2).
Angka infeksi yang rendah pada tenaga kesehatan yang terpapar HCV (kurang
lebih 2%); 3). Biaya pemberian terapi direct acting antiviral (DAA) tinggi; 4).
Aktivitas antiviral genotip spesifik dari DAA, membuat terapi kurang efektif
apabila tidak diketahui genotip sumber infeksinya.10

Sebagian besar studi tentang DAA penggunaannya pada infeksi HCV


kronis. Studi penggunaan sebagai profilaksis pasca paparan datanya masih
kurang. Untuk melakukan uji klinis mengenai efek DAA terhadap paparan
infeksi HCV pada lingkungan kerja, dibutuhkan sampel yang besar untuk
mendeteksi perbedaan yang kecil antar kelompok. Hal ini dikarenakan
insiden infeksi HCV yang rendah pada lingkungan kerja (1,9%). Dikarenakan
angka insiden yang rendah sekitar 1,9%, mempengaruhi perhitungan ukuran
sampel, sehingga kesulitan medapatkan signifikansi dari sebuah studi.10

Walaupun saat tidak ada profilaksis untuk infeksi HCV, ditambah lagi
immunoglobulin dan antiviral tidak direkomendasikan, tenaga kesehatan
yang terpapar infeksi HCV, dalam 48 jam harus diperiksa anti-HCV dan HCV
RNA-nya. Public Health Service U.S. merekomendasikan pemeriksaan serologis
ulang dalam 6 bulan. Bila didapatkan HCV RNA positif, setelah 3-4 bulan
dilakukan pemerikaan kembali, dikarenakan 20-40% individu dengan infeksi
HCV akut bisa sembuh dari infeksinya,akan tetapi apabila masih didapatkan
persisten viremia, pemberian IFN bisa dimulai.10

Kesimpulan
Tenaga kesehatan seharusnya sudah mengenali occupational exposure
(paparan lingkungan kerja) sebagai suatu risiko, oleh karena itu tindakan
preventif primer dan prosedur manajemen pasca paparan infeksi HBV
atau HCV harus dapat diterapkan oleh setiap tenaga kesehatan. WHO
dan CDC telah merekomendasikan guideline dan manual pasca paparan
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 609
Muhammad Begawan Bestari, Aditya Herbiyantoro

infeksi HBV dan HCV. Namun, untuk pasca paparan infeksi HCV belum ada
profilaksis yang direkomendasikan, immunoglobulin dan antiviral juga tidak
direkomendasikan dikarenakan data ilmiah yang kurang dan pertimbangan
analisis cost-effective.

Daftar Pustaka
1. WHO. Global Hepatitis Report. WHO; 2017.
2. Ministry of Health of Indonesian Republic. Indonesian Basic Health Survey [Riset
Kesehatan Dasar Indonesia]. Jakarta: Ministry of Health of Indonesian Republic,;
2013.
3. WHO. Guidelines for prevention, care, and treatment of person with chronic
hepatitis B infection. France: WHO; 2015.
4. Coppola N, De Pascalis S, Onorato L, Calò F, Sagnelli C, Sagnelli E. Hepatitis B
virus and hepatitis C virus infection in healthcare workers. World J Hepatol.
2016;8(5):273-81.
5. RI KK. Situasi dan Analisis Hepatitis. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI; 2014.
6. Sarin SK, Kumar M, Lau GK, Abbas Z, Chan HL, Chen CJ, et al. Asian-Pacific clinical
practice guidelines on the management of hepatitis B: a 2015 update. Hepatol Int.
2016;10(1):1-98.
7. CDC. NC Hepatitis B Public Health Program Manual Post-Exposure Prophylaxis.
2012.
8. Sheth SP, Leuva AC, Mannari JG. Post-xposure prophylaxis for occupational
Exposures to HIV and Hepatitis B: our experience of thirteen years at a rural based
tertiary care teaching hospital of Western India. J Clin Diagn Res. 2016;10(8):OC39-
44.
9. Naggie S, Holland DP, Sulkowski MS, Thomas DL. Hepatitis C cirus postexposure
prophylaxis in the healthcare worker: why direct-acting antivirals don’t change a
thing. Clin Infect Dis. 2017;64(1):92-9.
10. Hughes HY, Henderson DK. Postexposure prophylaxis after hepatitis C occupational
exposure in the interferon-free era. Curr Opin Infect Dis. 2016;29(4):373-80.

610 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Syok Dengue
Dewa Ayu Putri Sri Masyeni
Divisi Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RS Sanjiwani Gianyar - Fakultas Kedokteran & Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa, Bali

Pendahuluan
Infeksi oleh virus dengue (VD) masih menjadi penyebab utama infeksi
virus di daerah tropis dan subtropis.1 Prevalensi infeksi VD diperkirakan terus
meningkat dengan perkiraan 3,97 milyar penduduk di 128 negara berisiko
terinfeksi, dengan 400 juta infeksi per tahun.2 Infeksi dengue di negara-negara
Asia Tenggara dan Western Pacific memberikan kontribusi sebesar 75% dari
kasus infeksi dengue dunia.3 Pada tahun 2017 jumlah kasus infeksi dengue di
Indonesia, berjumlah 68.407 kasus, dimana kematian terjadi pada 493 orang.
Walaupun jumlah kasus pada tahun 2017 lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya, penurunan case fatality rate (CFR) secara keseluruhan dari tahun
sebelumnya tidak terlalu tinggi yaitu dari 0,78 pada tahun 2016 menjadi 0,76
pada tahun 2017.4 Tingginya morbiditas, tidak tersedianya terapi spesifik
serta vaksin dengue yang memerlukan pemeriksaan pra-vaksinasi yang
cukup rumit, membuat jumlah kasus terutama pada negara-negara endemis
infeksi dengue masih terus tinggi. Spektrum manifestasi klinis virus dengue
bervariasi dari infeksi yang asimptomatik, manifestasi ringan berupa demam
dengue, atau demam berdarah dengue yang apabila berat memiliki potensi
mengalami sindroma syok dengue yang mengancam nyawa.5 Dapat mengenali
kasus-kasus infeksi dengue yang akan berkembang menjadi berat akan sangat
bermanfaat dalam menurunkan morbiditas serta mortalitas pasien.

Patogenesis infeksi dengue berat


Mekanisme yang mencetuskan manifestasi infeksi dengue berat,
masih belum sepenuhnya dimengerti, tetapi tampaknya disebabkan oleh
multifaktor. Sampai saat ini diperkirakan peranan dari infeksi ulangan VD,
faktor virulensi virus, faktor genetik host mempengaruhi manifestasi klinis.
Viral load yang tinggi, tropisme VD pada sel endotel, trombositopenia serta
disfungsi trombosit akan meningkatkan berbagai sitokin proinflamasi
(gambar 1), yang berperan terhadap permeabilitas kapiler yang mendasari
terjadinya kebocoran plasma pada infeksi VD berat.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 611


Dewa Ayu Putri Sri Masyeni

Gambar 1. Patogenesis infeksi dengue berat 5

Keempat serotipe virus dengue (dengue virus serotipe 1/DENV-1 sampai


DENV-4) memiliki kesamaan struktur antigenik yang menyebabkan infeksi
oleh satu serotipe akan menginduksi antibodi yang type-specific tetapi
cross-reaction/non-neutralizing antibody terhadap serotipe yang lain. Studi
menunjukkan efek partial neutralizing oleh antibodi ini terhadap serotipe
yang lain adalah diperkirakan 3 bulan.6 Akan tetapi studi epidemiologis
menunjukkan bahwa proteksi silang ini mungkin dapat lebih lama yaitu
sekitar 2 tahun.7,8 Infeksi ulangan cenderung akan memicu manifestasi
yang lebih berat yang didasari oleh antibodi non-neutralizing/antibody
dependent enhancement (ADE) tersebut. Infeksi ulangan VD oleh serotipe
yang berbeda akan memicu produksi antibodi yang sangat cepat oleh sel
plasma yang ditujukan terhadap serotipe VD terdahulu, yang dikenal dengan
istilah ‘original antigenic sin’. Antibodi ini cenderung meningkatkan jumlah
sel yang terinfeksi VD, yang difasilitasi oleh adanya ikatan yang efisien antara
kompleks virus-antibodi melalui Fc reseptor (FcR) pada permukaan sel imun.
Famili FcγR terdiri dari 3 kelas, yaitu FcγR I-III dimana kekuatan ikatan FcγR
dengan antibodi paling kuat adalah FcγRI. Akan tetapi disebutkan FcγRIIA
lebih permisif untuk ADE dibandingkan FcγRI, dimana hal ini menunjukkan
bahwa kekuatan ikatan bukan satu-satunya faktor untuk terjadinya ADE9.
Antibodi terutama ditujukan terhadap protein E yang bersifat non-neutralising
terutama terjadi pada saat titer antibodi sedang menurun di bawah kadar
612 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Tata Laksana Syok Dengue

netralisasi. Kapasitas enhancing dari antibodi E tergantung dari maturitas VD.


Struktur organisasi protein E pada virus yang matur sangat berbeda dengan
virus imatur sehingga mempengaruhi akses terhadap epitope spesifik serta
threshold antibodi neutralising. Penelitian menunjukkan bahwa antibodi
E lebih meningkatkan infektifitas dari virion VD imatur 10. Hal ini masih
memerlukan pembuktian lebih lanjut karena penelitian lain menunjukkan
hasil yang berbeda. Selain antibodi terhadap protein E, antibodi juga dibentuk
terhadap protein pre-M dan NS1.11

Manifestasi klinis
Infeksi virus dengue (VD) adalah infeksi sistemik yang disebabkan
oleh virus dengue dan bersifat dinamis. Manifestasi klinis sangat bervariasi
dari asimptomatik, manifestasi ringan berupa dengue fever (DF), sampai
manifestasi berat dengue hemorrhagic fever (DHF) dengan manifestasi
yang mengancam nyawa berupa dengue shock syndrome (DSS). Infeksi yang
disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe VD (DEN-1 sampai DEN-4)
akan memberikan kekebalan protektif seumur hidup, dan hanya memberikan
kekebalan jangka pendek (short-term cross-protection) untuk serotipe yang
berbeda 12. Manifestasi klinis tergantung pada strain virus, faktor host seperti
usia, status imun, penyakit ko-morbid. Setelah masa inkubasi 4-6 hari (4-10
hari) infeksi akan ditandai dengan munculnya panas tinggi mendadak (fase
febris), diikuti fase kritis lalu fase penyembuhan.

Perbedaan mendasar dari DF dan DHF adalah adanya kebocoran plasma


pada DHF yang sering berakibat pada gangguan hemodinamik dan syok
hipovolemik. Gejala klinis infeksi dengue selengkapnya pada gambar 2 sesuai
dengan klasifikasi WHO 1997 yang direvisi menjadi WHO 2011. Klasifikasi WHO
1997 banyak diperdebatkan karena dianggap memiliki beberapa kekurangan,
terutama tidak berkorelasi dengan keparahan klinis infeksi. Klasifikasi infeksi
VD berdasarkan derajat keparahan seperti pedoman WHO 2009, memiliki
potensi klinis yang tinggi dimana klinisi dapat menggunakan klasifikasi
tersebut untuk menentukan perawatan pasien dengue. Klasifikasi tahun
1997 dianggap hanya berdasarkan kasus dengue pediatri di Asia Tenggara.
Dengan berjalannya waktu, kasus dengue pada orang dewasa semakin banyak
dengan lokasi geografis yang semakin meluas, dengan manifestasi klinis
lebih bervariasi. Selain itu ada kasus-kasus yang terkonfirmasi virus dengue
tidak bisa digolongkan sesuai klasifikasi WHO 1997, sensitifitas yang rendah
dan klinisi menganggap demam dengue adalah infeksi dengue ringan 13,14.
Istilah hemorrhagic pada DHF tidak mencerminkan kebocoran plasma yang
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 613
Dewa Ayu Putri Sri Masyeni

sebenarnya menjadi dasar patogenesis infeksi dengue berat. Manifestasi


klinis juga dianggap saling tumpang tindih pada beberapa katagori diagnosis
dengue 1997. Derajat rendahnya trombositopenia, kebocoran plasma,
manifestasi perdarahan ditemukan bervariasi pada kelompok DHF. Banyak
kasus DSS dengan jumlah trombosit > 100.000 sel/mm3. Beberapa kasus DHF
grade I/II mungkin membutuhkan rawat inap. Klinisi sering menjadi kurang
tepat dalam identifikasi keparahan infeksi dengue.

Gambar 2. Manifestasi klinis infeksi dengue berdasarkan WHO 2011

Kasus dengan syok yang tidak memenuhi keempat kriteria DHF mungkin
diklasifikasikan sebagai DF. Kesulitan juga ditemukan dalam aplikasi dan
interpretasi test torniket, selain hasil test yang positif tidak dapat membedakan
DF dan DHF. Adanya variasi dalan frekuensi atau metode penghitungan
trombosit. Sensitifitas klasifikasi DHF dianggap rendah karena kegagalan
dalam pengulangan test atau pemeriksaan fisik pada waktu yang tepat,
pemberian terapi cairan intravena yang terlalu awal, serta rendahnya sumber
daya pada saat epidemik. Klasifikasi 1997 tidak dapat membantu triage pada
saat outbreak karena memerlukan pemeriksaan laboratorium. Kesulitan
penggunaan klasifikasi ini oleh klinisi, menghasilkan laporan global yang
berbeda-beda.13,14 Kasus baru dapat diklasifikasikan setelah memenuhi semua
kriteria, sehingga diagnosis dibuat setelah komplikasi terjadi (retrospektif).

Pada tahun 2009, WHO tropical disease research (TDR) merekomendasikan


klasifikasi infeksi virus dengue menjadi dengue (D) dan severe dengue (SD)
(gambar 3). Klasifikasi ini berdasarkan hasil penelitian Dengue & Control
(DENCO) pada 2000 kasus dengue terkonfirmasi dari multi-country (8 negara,
2 benua) dan setelah pertemuan yang intensif dari spesialis dari berbagai
negara. Dengue dibagi lagi menjadi dengue without warning sign (DNWS) dan
dengue with warning sign (DWWS). Penggunaan dan aplikasi klasifikasi infeksi

614 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Syok Dengue

dengue telah dievaluasi dengan penelitian multi-senter di 18 negara, dimana


13,7% kasus dengue tidak bisa diklasifikasikan dengan klasifikasi 1997
dibandingkan hanya 1,6% kasus dengan klasifikasi 2009. Klasifikasi ini juga
dapat mengenali kasus SD pada waktu yang tepat, dimana 51,9% kasus DF
diklasifikasikan menjadi DWWS dan 5,7 % SD. Jadi klasifikasi ini sederhana,
praktis, gampang dipergunakan, dapat meningkatkan manajemen kasus,
sistem referral dan triage.15 Dengan klasifikasi ini, pasien dikelompokkan
menjadi Grup A untuk pasien DNWS, Grup B untuk DWWS serta Grup C untuk
SD, yang mana pengelompokan ini berkaitan erat dengan tata laksana infeksi
dengue.

Pan American Health Organization menambahkan beberapa poin pada


kriteria di atas. Pada klasifikasi DNWS, kriterianya adalah mereka yang tinggal
di daerah endemis atau meninggalkan daerah endemis dengue dalam 14 hari
terakhir dan mengalami panas 2-7 hari ditambah 2 dari 6 kriteria tersebut.
Poin tambahan tersebut juga berlaku untuk anak-anak. Test torniket positif
atau petekie. Kelompok DWWS dan SD memerlukan observasi ketat dan
intervensi medis. Dengan mengenali warning sign, klinisi dapat mengenali
kasus SD lebih awal, mengetahui kebutuhan perawatan intensif , memberikan
perawatan medis yang dibutuhkan dengan tepat sehingga menurunkan
morbiditas serta mortalitas. Selain itu klasifikasi ini memudahkan surveilans
epidemiologis dan lebih efektif karena penggunaanya lebih sederhana tanpa
harus berorientasi pada hasil laboratorium.

Gambar 3. Klasifikasi infeksi virus dengue berdasarkan keparahan 5.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 615


Dewa Ayu Putri Sri Masyeni

Tata Laksana Sindroma Syok Dengue


Manajemen infeksi dengue berdasarkan WHO 2012 masih berpedoman
pada WHO 2009 sebelumnya, dimana manajemen kasus dengue berdasarkan
katagori pasien apakah termasuk Grup A yang bisa dirawat di rumah, Grup B
yang perlu direferal/dirawat di Rumah sakit atau Grup C yang memerlukan
terapi emergensi. Grup A adalah pasien infeksi dengue yang masih mampu
minum secara adekuat, dengan produksi urine yang cukup minimal setiap
4-6 jam sekali dan tidak ada warning sign. Berikan edukasi yang jelas seperti
istirahat, serta konsumsi cairan (dapat berupa air, larutan sayur sup atau jus
buah) yang cukup serta kontrol jumlah white blood cell (WBC) dan hematokrit
(HCT) setiap hari untuk mengetahui progresifitas infeksi. Pengobatan lainnya
dapat berupa parasetamol tablet yang diminum bila perlu dan menghindari
NSAID. Penderita diharapkan segera kembali ke rumah sakit apabila muncul
warning sign.

Grup B adalah kelompok pasien yang memerlukan baik hanya observasi


di RS atau memerlukan rawat inap. Termasuk di sini adalah pasien dengan
warning sign, pasien dengan pre-existing ilness seperti DM, PPOK, CKD,
hipertensi, penyakit jantung, sickle-cell disease, penyakit autoimun atau pada
populasi tertentu seperti kehamilan, bayi, obesitas, dan elderly. Termasuk
pada grup ini adalah mereka yang tinggal sendiri atau berdomisili jauh dari
pusat kesehatan dengan kesulitan transportasi. Tentukan kadar HCT sebelum
terapi cairan. Berikan cairan isotonik seperti ringer laktat (RL), Normal Salin,
atau larutan Hartmann’s dengan dosis awal 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam
lalu diturunkan menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, selanjutnya 2-3 ml/
kg/jam sesuai respon klinis (target produksi urin 0,5 ml/kg/jam). Reassess
manifestasi klinis, serta hematokrit untuk menyesuaikan dosis cairan.
Apabila HCT masih sama atau sedikit meningkat, dosis cairan pada kecepatan
2-3 ml/kgBB/jam untuk 2-4 jam berikutnya. Apabila ada perburukan klinis
atau peningkatan cepat HCT, dosis cairan 5-10 ml/kgBB/jam untuk 1-2 jam.
Lakukan penilaian ulang terhadap gejala klinis, HCT untuk menentukan
dosis cairan selanjutnya. Bila terjadi perbaikan klinis dan HCT, pemberian
cairan pada dosis pemeliharaan untuk membuat produksi urin sekitar 0,5
ml/kgBB/jam. Terapi cairan umumnya hanya dibutuhkan selama 24-48 jam.
Kecepatan cairan diturunkan secara gradual bila kebocoran plasma membaik,
yang umumnya pada akhir fase kritis, serta evaluasi pasien dilakukan sampai
masa kritis berakhir. Parameter yang diobservasi adalah vital sign dan perfusi
perifer (setiap 1-4 jam), HCT sebelum dan setelah terapi cairan lalu setiap
6-12 jam, produksi urin setiap 6-12 jam, pemantauan gula darah serta fungsi

616 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Syok Dengue

organ lain sesuai indikasi. Monitoring dilakukan sampai fase konvalesen dan
memenuhi indikasi rawat jalan.

Grup C adalah pasien dengan severe dengue yang salah satunya adalah
sindroma syok dengue yang membutuhkan penangan emergensi serta urgen
referral ke pusat kesehatan dengan sarana prasarana yang memadai. Kunci
utama adalah resusitasi cairan yang bijak untuk memenuhi defisit untuk
menjaga sirkulasi yang efektif selama kebocoran plasma dan mencegah
overload cairan. Cairan kristaloid isotonik diberikan secepatnya dan bila perlu
diberikan cairan koloid, diusahakan pemeriksaan HCT sebelum terapi cairan
dimulai dan setelah resusitasi. Pemeriksaan golongan darah serta uji cross-
match dilakukan sebagai persiapan apabila transfusi dibutuhkan. Lakukan
penghitungan berat badan ideal pada pasien overweight untuk kebutuhan
cairan. Pada SSD, resusitasi cairan diberikan dengan cairan kristaloid isotonik
dengan dosis awal 10-20 ml/kg bolus secepatnya dengan supervisi ketat
untuk evaluasi respon terapi dan mencegah edema paru. Cairan sebaiknya
tidak mengandung glukosa.

Gambar 4. Manajemen infeksi dengue (World Health Organization, 2012)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 617


Dewa Ayu Putri Sri Masyeni

Pada compensated syok (TD sistolik masih ada, disertai tanda-tanda


penurunan perfusi) dosis larutan kristaloid isotonik adalah 5-10 ml/kg/
jam dalam 1 jam untuk dewasa (gambar 5), 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam
untuk anak dan bayi lalu reassess tanda vital, CRT, HCT, produksi urin. Pada
perbaikan tanda vital, dosis cairan diturunkan menjadi 5-7 ml/kg/jam pada
dewasa selama 1-2 jam, berikutnya 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan 2-3
ml/kg/jam sebagai dosis pemeliharaan selama 24-48 jam. Penurunan dosis
cairan intravena dipertimbangkan apabila pasien mampu minum per oral
Total pemberian cairan diharapkan tidak melebihi 24-48 jam. Pada anak dan
bayi dengan perbaikan respon klinis, dosis cairan diturunkan seperti pada
gambar 6.

Gambar 5. Manajemen compensated syok dengue dewasa menurut WHO 2012

Vital sign yang tidak stabil menunjukkan syok persisten, lakukan


evaluasi HCT paska bolus cairan. Bila HCT masih tinggi, misal HCT > 50%,
bolus kristaloid diulangi dengan dosis 10-20 ml/kg/jam selam 1 jam atau
koloid, yang bila membaik dilanjutkan dengan dosis 7-10 ml/kg/jam selama
1-2 jam, selanjutnya mengikuti gambar di atas untuk pasien dewasa. Apabila
HCT menurun di bawah baseline (< 35-40% wanita dewasa, < 40-45% laki-
laki dewasa) dengan vital sign tidak stabil, pikirkan dan evaluasi adanya
perdarahan. terutama perdarahan masif. Bila tidak ditemukan perdarahan,

618 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Syok Dengue

berikan cairan bolus 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam dan seterusnya. Bila ada
perdarahan berat lakukan manajemen SSD dengan komplikasi perdarahan.

Gambar 6. Manajemen compensated syok dengue anak dan bayi menurut WHO 2012

Manajemen SSD dengan hypotensive atau profound shock atau nadi/
tekanan darah undetectable pada dewasa atau anak/bayi, berikan cairan
kristaloid atau koloid dosis 20 ml/kg bolus 15-30 menit. Koloid lebih dipilih
apabila akan meningkatkan tekanan darah secepatnya atau bila tekanan nadi
< 10 mmHG. Koloid dapat meningkatkan index kardiak serta menurunkan
HCT lebih cepat dibandingkan kristaloid pada syok yang intractable. Dosis
diturunkan menjadi 10 ml/kg/jam selama 1 jam dan seterusnya seperti
gambar 7, dan diberikan sampai maksimal 24-48 jam bila sudah ada perbaikan.
Pada anak/bayi dosis koloid diturunkan menjadi 10 ml/kg/jam untuk 1 jam,
lalu 7,5 ml/kg/jam selama 2 jam, kemudian 5 ml/kg/jam untuk 4 jam, dan 3
ml/kg/jam dosis pemeliharaan sampai 24-48 jam.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 619


Dewa Ayu Putri Sri Masyeni

Gambar 7. Manajemen syok hipotensive, profound shock menurut WHO 2012



Apabila tidak ada perbaikan, untuk semua kasus, evaluasi HCT setelah
bolus pertama. HCT yang normal atau rendah mengindikasikan adanya
perdarahan. Apabila tidak ada perdarahan berikan koloid 10-20 ml/kg/
jam dalam 30 menit atau 1 jam. Lakukan penilaian klinis dan HCT ulang
dan bila tidak ada perbaikan dipertimbangkan untuk memberikan transfusi
darah. Adanya perdarahan berat merupakan indikasi transfusi darah sesuai
gambar 7. Parameter dievaluasi setiap 15-30 menit sampai perbaikan syok,
kemudian monitoring parameter dilakukan setiap 1-2 jam. Evaluasi terhadap
kemungkinan overload cairan seperti efusi pleura dan ascites serta efek
terhadap pernafasan harus dilakukan secara rutin. Analisa gas darah dan atau
kadar laktat dilakukan beberapa kali untuk monitor perubahan gas darah.
Pada kasus yang memerlukan insersi kateter untuk monitor produksi urin,
lakukan dengan hati-hati untuk mencegah trauma dan perdarahan. Monitor
EKG dan pulse oxymetri bila memungkinkan. Terapi cairan dihentikan bila
sudah terjadi penurunan kebocoran plasma, tekanan darah stabil, nadi dan
perfusi perifer adekuat, apireksia tanpa antipiretik selama 24-48 jam, gejala
gastrointestinal membaik, serta produksi urin yang cukup.

Penatalaksanaan infeksi dengue dengan perdarahan mukosa, harus


dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal. Perdarahan minor
mukosa biasanya cukup stabil dengan terapi cairan. Manifestasi perdarahan
mayor dengan profound thrombocytopenia memerlukan istirahat total untuk
menghindari trauma. Injeksi intramuscular sangat tidak dianjurkan. Klinisi

620 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Syok Dengue

harus memprediksi perdarahan berat pada pasien dengue dengan riwayat


ulkus peptikum, pengguna terapi antikoagulan, mendapatkan terapi NSAID,
trauma (injeksi intramuscular) hipotensive shock dengan multi organ failure
dan asidosis metabolik berat, atau mengalami prolonged/refractory shock.
Perdarahan berat harus dikenali pada situasi hemodinamik tidak stabil dengan
persisten bleeding tanpa memandang kadar HCT, penurunan HCT setelah
bolus cairan bersama dengan hemodinamik yang tidak stabil, syok refrakter
dengan terapi cairan 40-60 ml/kg, syok hipotensi dengan HCT normal atau
rendah, asidosi metabolik yang menetap/memburuk dengan tekanan darah
sistolik yang terjaga apalagi disertai tenderness abdomen.

Transfusi darah segera diberikan begitu perdarahan dapat dikenali


dalam keadaan hemodinamik tidak stabil dengan tetap memperhitungkan
kemungkinan overload cairan. Jangan menunggu HCT turun terlalu rendah
akan tetapi rekomendasi Surviving Sepsis Campaign Guideline yang
merekomendasikan transfusi darah pada HCT > 30% tidak bisa diaplikasi pada
pasien dengue17. Bila memungkinkan lakukan usaha untuk menghentikan
perdarahan yang teridentifikasi. Bila perdarahan dapat dihitung, jumlah
transfusi menyesuaikan. Bila tidak, berikan 5-10 ml/kg fresh Packed Red Cells
(PRC) atau fresh whole blood dengan kecepatan cukup lalu evaluasi respon
klinis. Pada darah simpan, kadar 2,3 diphosphoglycerate menurun sehingga
kemampuan O2 delivery menurun. Pertimbangkan mengulang transfusi bila
perdarahan masih berlangsung atau HCT tidak meningkat optimal pada
pasien yang tidak stabil. Transfusi trombosit hanya diberikan pada kasus
dengue dengan perdarahan mayor dari GIT atau per vaginam dengan profound
thrombocytopenia.

Belum ada evidence yang membuktikan efektivitas profilaksis


transfusi trombosit memberikan benefit untuk stabilitas hemodinamik.
Trombositopenia dilaporkan terjadi pada 79-100% pasien dengue. 18–21
Transfusi trombosit diberikan pada 22-50% pasien pada berbagai setting
klinis,20,22 dengan hasil yang tidak memuaskan ditemukan pada 22-23%
pasien19,23. Survei pada 306 dokter di 20 negara, 38% menyebutkan akan
memberikan profilaksis trombosit pada berbagai jumlah trombosit.24
Studi retrospektif di Malaysia pada 106 anak dengan infeksi virus dengue
menyimpulkan bahwa transfusi trombosit berhubungan dengan overload
cairan serta bertambahnya masa rawat inap, tanpa menurunkan kejadian
bleeding serta tidak memicu percepatan peningkatan jumlah trombosit pada
fase penyembuhan.25 Pada 256 pasien dengue dewasa denga jumlah trombosit

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 621


Dewa Ayu Putri Sri Masyeni

< 20.000 sel/mm3, pada studi retrospektif di Singapura yang diberikan transfusi
trombosit tidak berpengaruh terhadap kejadian bleeding dan peningkatan
trombosit fase penyembuhan.25 Penelitian trial kecil di Pakistan dengan 87
sampel menemukan pemberian profilaksis transfusi trombosit justru memicu
terjadinya reaksi transfusi berat sampai menimbulkan kematian dan tanpa
menurunkan kejadian bleeding.26 Studi retrospektif yang lebih besar pada 788
sampel menyimpulkan transfusi trombosit tidak menurunkan risiko bleeding,
bahkan memperlambat trombosit recovery dan memperpanjang lama rawat
dibandingkan pasien yang tidak diberikan transfusi trombosit.27 Penelitian
multi-senter, open label, randomized, superiority trial membandingkan
pemberian profilaksis transfusi trombosit plus terapi suportif dengan terapi
suportif saja pada pasien dengue dewasa, menemukan bleeding pada hari
ke-7 atau saat hospital discharge 21% pada kelompok kasus dan 26% pada
kelompok kontrol (risk difference -4,98% {95% CI -15,8 – 5,34}; relative risk
0,81{95% CI 0,56-1,17};p=0,16). Efek samping transfusi ditemukan pada 13
kelompok kasus dan 2 pada kelompok kontrol (5,81% [–4,42 - 16,01]; 6,26
[1,43 - 27,34]; p=0,0064).28 Transfusi trombosit dengan atau tanpa fresh
frozen plasma dapat dipertimbangkan pada kasus dengue dengan kehamilan
yang akan memasuki masa inpartu, untuk mencegah perdarahan hebat. Tidak
ada kesepakatan jumlah trombosit terendah yang harus dipakai pedoman
pemberian transfusi trombosit pada kehamilan inpartu. Risiko perdarahan
spontan akan terjadi bila jumlah trombosit ≤ 20.000 sel/mm3 dan risiko
perdarahan masif terjadi bila jumlah trombosit ≤ 10.000 sel/mm3.29

Pada perdarahan gastrointestinal, dapat diberikan antagonis reseptor


H-2 atau inhibitor pompa proton. Extra lubrikasi pada nasogastric tube (NGT)
yang akan diinsersi mungkin dapat meminimalisir risiko trauma pada saat
insersi NGT. Insersi central venous pressure (CVP) sebaiknya dengan tuntunan
USG dan dikerjakan oleh dokter yang berpengalaman. Hiperglikemi dan
hipoglikemia dapat terjadi pada fase kritis. Kontrol terhadap kadar gula darah
yang biasanya hiperglikemia akibat respon neuroendokrin terhadap stress,
pasien diabetes, atau akibat pemberian cairan yang mengandung glukosa
untuk resusitasi, sangat penting mengingat hiperglikemia menyebabkan
diuresis osmotik yang akan memperburuk syok hipovolemik. Osmotik
diuresis juga menyebabkan diuresis yang kita anggap sebagai produksi urin
yang cukup pada DSS. Hipoglikemi dapat terjadi akibat starvasi yang lama,
akibat gangguan fungsi hati serta obat diabetes. Hipoglikemi dapat memicu
timbulnya kejang, confusion atau takikardia yang tidak dapat dijelaskan. Tata

622 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Syok Dengue

laksana hipoglikemi diberikan 0,1-0,5 g/kg BB glukosa. Serial monitoring


terhadap kadar glukosa akan membantu perbaikan kondisi pasien.

Gangguan elektrolit yang seringkali terjadi pada kebocoran plasma adalah


hiponatremia, akibat kebocoran plasma itu sendiri, akibat kehilangan pada GIT
atau penggunaan cairan saline hipotonik untuk resusitasi cairan. Penggunaan
cairan isotonik saline dapat mencegah hiponatremia. Hiperkalemia biasanya
terjadi pada asidosis metabolik berat atau gagal ginjal akut. Resusitasi cairan
adekuat dapat memperbaiki asidosis metabolic serta hiperkalemia. Life-
threatening hyperkalemia pada gagal ginjal akut dapat dikoreksi dengan
dextrose-insulin, kalsium glukonas, K-chelating agent atau renal support bila
ada indikasi. Sebaliknya hipokalemia dapat terjadi akibat loss pada GIT atau
akibat kondisi hiperkortisol yang terinduksi oleh kondisi stress akut. Mungkin
diperlukan koreksi dengan suplement kalium atau cairan parenteral.

Asidosis metabolik kompensata merupakan tanda awal dari hipovolumia


dan syok. Asidosis laktat yang dihubungkan dengan hipoksia dan hipoperfusi
adalah penyebab umum dari asidosis metabolik. Koreksi terhadap syok
dengan volume cairan yang adekuat, akan mengoreksi asidosis metabolik,
tetapi apabila belum terkoreksi, mungkin diakibatkan oleh adanya
perdarahan. Tranfusi dengan fresh WB atau PRC akan memperbaiki asidosis
metabolik yang terjadi. Sodium bikarbonat hanya diberikan pada pH darah ≤
7,1, karena terapi sodium bikarbonat sering dihubungkan dengan sodium dan
volume overload, peningkatan laktat dan pCO2 serta menurunnya kalsium
ionized. Hiperkloremia akibat pemberian cairan sodium klorida 0,9% dalam
jumlah banyak (konsentrasi chloride 154 mmol/L) dapat menimbulkan
asidosis metabolik dengan kadar laktat normal. Bila kadar klorida meningkat,
berikan cairan Hartman’s atau Ringer laktat, sehingga risiko asidosis dapat
diturunkan.

Penggunaan kortikosteroid pada infeksi dengue masih diperdebatkan
dan WHO belum merekomendasikan penggunaan kortikosteriod dalam tata
laksana SSD karena evidence yang ada masih berkualitas rendah. Hal ini
menyebabkan trial penggunaan kortikosteroid pada infeksi dengue masih
terus berlanjut. Pada tahun 2014, Cochrane Database Systematic Review,
menyimpulkan dari 8 studi tentang penggunaan kortikosteroid pada infeksi
VD, studi tersebut adalah inkonklusif dengan quality of evidence yang rendah.30
Empat dari 8 studi tersebut menilai apakah kortikosteroid dapat meningkatkan
survival pada DSS, akan tetapi studi tersebut adalah studi kecil dan sudah lebih

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 623


Dewa Ayu Putri Sri Masyeni

dari 20 tahun sebelumnya. Kualitas studi tersebut dianggap rendah serta


tidak memberikan evidence yang layak untuk penggunaan kortikosteroid pada
dengue. Empat studi lainnya mengevaluasi apakah pemberian kortikosteroid
pada fase awal dapat mencegah terjadinya severe dengue, dengan hasil tidak
cukup meyakinkan peranan kortikosteroid dalam mencegah severe dengue.
Secara umum hasil studi meta analisis tersebut melaporkan, tidak ditemukan
efek kortikosteroid terhadap kematian, terhadap kebutuhan transfusi darah,
terhadap kejadian syok, perdarahan berat, trombositopenia berat serta lama
rawat inap. Studi meta analisis tahun 2018 yang mereview 13 hasil penelitian
pada 1293 kasus dengue anak dan dewasa menemukan bahwa tidak ada
viremia serta efek samping kortikosteroid yang signifikan ditemukan pada
penggunaan kortikosteroid oral dosis rendah dan dosis tinggi, maupun
kortikosteroid intra vena dosis tinggi. Bahkan ditemukan efek terapeutik
yang menguntungkan dari penggunaan kortikosteroid dosis tinggi ataupun
dosis multiple.31

Kesimpulan
Klasifikasi infeksi dengue berdasarkan keparahan mengelompokkan
kasus menjadi kelompok infeksi dengue dan severe dengue (terbagi lagi
menjadi DNWS dan DWWS). Klasifikasi ini membantu klinisi dalam deteksi
kasus berat lebih awal sehingga dapat diberikan tata laksana yang tepat untuk
menurunkan morbiditas serta mortalitas infeksi dengue. Tata laksana DSS
menekankan pada pentingnya pemberian cairan dalam waktu dan jumlah
yang tepat, disertai pemantauan yang ketat untuk mencegah komplikasi lebih
lanjut. Transfusi darah diberikan pada kasus dengan perdarahan mukosa
hebat disertai trombositopenia berat. Terapi suportif lain diberikan sesuai
indikasi. Terapi profilaksis transfusi trombosit serta kortikosteroid pada
infeksi dengue saat ini belum direkomendasikan oleh WHO.

Daftar Pustaka
1. Simmons CP, Farrar JJ, Nguyen van VC, Wills B. Dengue. N Engl J Med [Internet].
2012;366(15):1423–32. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/22494122
2. Ayukekbong JA, Oyero OG, Nnukwu SE, Mesumbe HN, Fobisong CN. Value of routine
dengue diagnosis in endemic countries. World J Virol. 2017;6(1):9.
3. Shepard DS, Undurraga EA, Halasa YA. Economic and disease burden of dengue in
Southeast Asia. PLoS Negl Trop Dis. 2013;7(2):e2055.
4. Indonesia KKR. Hasil Utama Riskesdas 2018. Badan Penelit DAN Pengemb Kesehat.
2018;

624 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Syok Dengue

5. WHO. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and control


[Internet]. Vol. 409, Special Programme for Research and Training in
Tropical Diseases. 2009. p. 147. Available from: http://whqlibdoc.who.int/
publications/2009/9789241547871_eng.pdf
6. Snow GE, Haaland B, Ooi EE, Gubler DJ. Research on dengue during World War II
revisited. Am J Trop Med Hyg. 2014;91(6):1203–17.
7. Anderson KB, Gibbons R V, Cummings DAT, Nisalak A, Green S, Libraty DH, et al. A
shorter time interval between first and second dengue infections is associated with
protection from clinical illness in a school-based cohort in Thailand. J Infect Dis.
2013;209(3):360–8.
8. Montoya M, Gresh L, Mercado JC, Williams KL, Vargas MJ, Gutierrez G, et al.
Symptomatic versus inapparent outcome in repeat dengue virus infections is
influenced by the time interval between infections and study year. PLoS Negl Trop
Dis. 2013;7(8):e2357.
9. Rodrigo WWSI, Jin X, Blackley SD, Rose RC, Schlesinger JJ. Differential enhancement
of dengue virus immune complex infectivity mediated by signaling-competent
and signaling-incompetent human FcγRIA (CD64) or FcγRIIA (CD32). J Virol.
2006;80(20):10128–38.
10. Rodenhuis-Zybert IA, Moesker B, da Silva Voorham JM, van der Ende-Metselaar
H, Diamond MS, Wilschut J, et al. A fusion-loop antibody enhances the infectious
properties of immature flavivirus particles. J Virol. 2011;85(22):11800–8.
11. Rothman AL. Immunity to dengue virus: A tale of original antigenic sin and tropical
cytokine storms. Vol. 11, Nature Reviews Immunology. 2011. p. 532–43.
12. WHO. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever [Internet]. WHO Regional Publication SEARO. 2011. 159-168
p. Available from: http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=inti
tle:Comprehensive+Guidelines+for+Prevention+and+Control+of+Dengue+and+D
engue+Haemorrhagic+Fever#1
13. Horstick O, Jaenisch T, Martinez E, Kroeger A, See LLC, Farrar J, et al. Comparing
the usefulness of the 1997 and 2009 WHO dengue case classification: a systematic
literature review. Am J Trop Med Hyg. 2014;91(3):621–34.
14. Bandyopadhyay S, Lum LCS, Kroeger A. Classifying dengue: a review of the
difficulties in using the WHO case classification for dengue haemorrhagic fever.
Trop Med Int Heal. 2006;11(8):1238–55.
15. Barniol J, Gaczkowski R, Barbato EV, da Cunha R V, Salgado D, Martínez E, et al.
Usefulness and applicability of the revised dengue case classification by disease:
multi-centre study in 18 countries. BMC Infect Dis. 2011;11(1):106.
16. WHO. Handbook for clinical management of dengue. 2012;
17. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving
Sepsis Campaign: international guidelines for management of severe sepsis and
septic shock, 2012. Intensive Care Med. 2013;39(2):165–228.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 625


Dewa Ayu Putri Sri Masyeni

18. Masyeni S, Yohan B, Somia IKA, Myint KSA, Sasmono RT. Dengue infection in
international travellers visiting Bali, Indonesia. J Travel Med. 2018;25(1):tay061.
19. Chaudhary R, Khetan D, Sinha S, Sinha P, Sonker A, Pandey P, et al. Transfusion
support to Dengue patients in a hospital based blood transfusion service in north
India. Transfus Apher Sci. 2006;35(3):239–44.
20. Lee M-S, Hwang K-P, Chen T-C, Lu P-L, Chen T-P. Clinical characteristics of dengue
and dengue hemorrhagic fever in a medical center of southern Taiwan during
the 2002 epidemic. J Microbiol Immunol Infect Wei mian yu gan ran za zhi.
2006;39(2):121–9.
21. Sharma A, Charles K, Chadee D, Teelucksingh S. Dengue hemorrhagic Fever in
trinidad and tobago: a case for a conservative approach to platelet transfusion. Am
J Trop Med Hyg. 2012;86(3):531–5.
22. Lemes RPG. Comments on the clinical and laboratory characteristics of patients
with dengue hemorrhagic fever manifestations and their transfusion profile. Rev
Bras Hematol Hemoter. 2014;36(2):100–1.
23. Chaurasia R, Zaman S, Chatterjee K, Das B. Retrospective review of platelet
transfusion practices during 2013 dengue epidemic of Delhi, India. Transfus Med
Hemotherapy. 2015;42(4):227–31.
24. Whitehorn J, Roche RR, Guzman MG, Martinez E, Gomez WV, Nainggolan L, et al.
Prophylactic platelets in dengue: survey responses highlight lack of an evidence
base. PLoS Negl Trop Dis. 2012;6(6):e1716.
25. Lye DC, Lee VJ, Sun Y, Leo YS. Lack of efficacy of prophylactic platelet transfusion
for severe thrombocytopenia in adults with acute uncomplicated dengue infection.
Clin Infect Dis. 2009;48(9):1262–5.
26. Assir MZK, Kamran U, Ahmad HI, Bashir S, Mansoor H, Anees S Bin, et al.
Effectiveness of platelet transfusion in dengue Fever: a randomized controlled
trial. Transfus Med Hemotherapy. 2013;40(5):362–8.
27. Lum LCS, Abdel-Latif ME-A, Goh AYT, Chan PWK, Lam SK. Preventive transfusion in
dengue shock syndrome–is it necessary? J Pediatr. 2003;143(5):682–4.
28. Lye DC, Archuleta S, Syed-Omar SF, Low JG, Oh HM, Wei Y, et al. Prophylactic
platelet transfusion plus supportive care versus supportive care alone in adults
with dengue and thrombocytopenia: a multicentre, open-label, randomised,
superiority trial. Lancet. 2017;389(10079):1611–8.
29. Arnold DM. Bleeding complications in immune thrombocytopenia. ASH Educ Progr
B. 2015;2015(1):237–42.
30. Zhang F, Kramer C V. Corticosteroids for dengue infection. Cochrane Database Syst
Rev. 2014;(7).
31. Bandara SMR, Herath H. Effectiveness of corticosteroid in the treatment of
dengue–A systemic review. Heliyon. 2018;4(9):e00816.

626 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengelolaan Hipertensi
dengan Komorbiditas Spesifik
Eka Ginanjar
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan


morbiditas penyakit kardiovaskular global. Pada tanggal 13 November 2017,
American Heart Association (AHA) dan American College of Cardiology (ACC)
mengeluarkan guideline hipertensi terbaru. Guideline ini berisikan banyak
perubahan besar dalam pengelolaan hipertensi. Salah satu perubahan terbesar
guideline ini adalah perubahan klasifikasi atau bahkan definisi hipertensi
yang sebelumnya hipertensi dinyatakan sebagai peningkatan tekanan
darah arteri sistemik yang menetap berupa tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Pada pedoman hipertensi
tersebut, hipertensi ditetapkan apabila tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg
atau tekanan darah diastolik ≥ 80 mmHg. Penurunan 10 poin pada tekanan
darah sistolik dan diastolik tersebut menyebabkan 103 juta penduduk
Amerika Serikat mengalami hipertensi dan harus menjalani diet, perubahan
gaya hidup (berolahraga) dan mengkonsumsi obat anti hipertensi.1 Adapun
guideline yang lain selain AHA adalah diantaranya ESC (Europian society of
hypertension), dan kerjasama dari NHLBI (National Heart, Lung, And Blood
Institute) dengan NHBPEP (National High Blood Pressure) menyusun suatu
guideline penanganan hipertensi secara global yang tertulis dalam JNC (Joint
National Commitee on the prevention, detection, evaluation and treatment of
high blood pressure). Saat ini JNC yang terbaru adalah JNC 8 yang dipublikasikan
tahun 2014.2 how do various antihypertensive drug classes differ in their
benefits and harms compared with each other as first-line therapy? Methods:
Electronic literature searches were performed by Doctor Evidence, a global
medical evidence software and services company, across PubMed and
EMBASE from 1966 to 2015 using key words and relevant subject headings
for randomized controlled trials that met eligibility criteria defined for each
question. We performed analyses using traditional frequentist statistical
and Bayesian approaches, including random-effects Bayesian network meta-
analyses. Results: Our results suggest that: 1 Joint National Committee atau
JNC 8 menyusun sebuah panduan penatalaksanaan hipertensi untuk orang

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 627


Eka Ginanjar

dewasa. Guideline yang diajukan oleh JNC 8 merupakan sebuah guideline


yang melengkapi dari JNC 7 yang telah dikeluarkan sebelumnya. 3

Tekanan darah dan Risiko Kardiovaskular


• Penelitian observasional menunjukkan hubungan antara tekanan
darah sistolik dan diastolik yangtinggi dengan peningkatan risiko
kardiovakular.
• Meta analisis dari 61 penelitian prospektif menunjukkan bahwa :
o Risiko kardiovaskuler meningkat secara log-linier pada
tekanan darah sistolik <155 mmHg hingga > 180 mmHg dan
tekanan darah diastolik < 75 mmHg hingga > 105 mmHg
o Peningkatan tekanan darah sistolik 20 mmHg dan diastolik
10 mmHg berhubungan dengan peningkatan risiko stroke,
penyakit jantung, dan penyakit vaskular lainnya sebesar 2 kali
lipat.
o Lebih dari 1 juta pasien berusia ≥30 tahun yang mengalami
peningkatan tekanan darah juga memiliki hubungan terkait
peningkatan insiden kejadian kardiovaskular dan angina,
infark miokard, gagal jantung, stroke, penyakit arteri perifer.
o Meskipun risiko relatif insiden kardiovaskular dengan
tekanan darah sistolik dan diastolik sangat kecil pada usia
tua, peningkatan tekanan darah memiliki risiko absolut lebih
besar pada usia ≥ 65 tahun.1

Gambaran: perjalanan penyakit pada hipertensi sampai dengan


komorbid.
628 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Pengelolaan Hipertensi dengan Komorbiditas Spesifik

1. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan tekanan darah sistolik > 130mmHg dan
tekanan darah diastolic > 80mmHg (mneurut ACC/ ASC 2018) , sedangkan
menurut ESC hipertensi adalah suatu keadaan dengan tekanan darah
sistolik >140mmHg dan tekanan darah diastolik > 90mmHg. (ESC / ESH)4

Table 1. perbandingan definisi hipertensi menurut ACC/AHA (American college


of cardiology / American heart association, dan ESC (European society of
cardiology)2
Parameter ACC/ AHA 2017 ESC/ ESH 2018
Definisi hipertensi >130/80 140/90
Pembagian kelas, Normal <120/80 Optimal <120/80
tekanan darah Meningkat 120-129/ 80 Normal 120-129/80-84
(mmHg) Normal meningkat 130-139/85-89
Kelas hipertensi Hipertensi st I, 130-139/ 80-89 Hipertensi st I, 140-159/90-99
Hipertensi st II, >140/90 Hipertensi st II, 160-179/ 100-109
Target tekanan darah <65tahun, <130/80 <65tahun, <130/80
>65tahun, <130/80 >65tahun, <140/80

2. Epidemiologi
Riset kesehatan dasar / riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa
prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%. Pada grafik
1, prevalensi hipertensi (kriteria hipertensi JNC VII) cenderung turun
dari 31.7% pada 2007 menjadi 25,8% pada tahun 2013, dan prevalensi
hipertensi lebih tinggi di kelompok lanjut usia. 5

3. Tatalaksana Hipertensi
Strategi penatalaksanaan hipertensi (ESC 2018)

Gambar: tatalaksana hipertensi berdasarkan ESC 20181

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 629


Eka Ginanjar

Pada pasien dengan hipertensi derajat 2 atau 3, dianjurkan obat


antihipertensi dengan modifikasi gaya hidup. Pada pasien hipertensi
derajat 1 dan risiko tinggi atau dengan HMOD, terapi obat juga harus
dimulai bersamaan dengan modifikasi gaya hidup. Pada pasien risiko
rendah dengan hipertensi grade 1, obat penurun tekanan darah dimulai
setelah 3-6 bulan gagal pengobatan dengan modifikasi ggaya hidup.1

Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup yang sehat pada semua pasien hipertensi
merupakan suatu cara pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan
bagian yang tidak terabaikan dalam penanganan pasien tersebut.
Modifikasi gaya hidup terbukti dapat menurunkan tekanan darah
yang meliputi penurunan berat badan pada pasien dengan overweight
atau obesitas. Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension), perencanaan diet yang dilakukan berupa makanan yang
tinggi kalium dan kalsium, rendah natrium, olahraga, dan mengurangi
konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan
darah, meningatkan kinerja obat antihipertensi, dan menurunkan resiko
penyakit kardiovaskular. Kombinasi dua atau lebih modifikasi gaya
hidup dapat memberikan hasil yang lebih baik. Berikut adalah uraian
modifikasi gaya hidup dalam rangka penanganan hipertensi.
DASH, Pendekatan Diet Untuk Menghentikan Hipertensi

4. Target tekanan darah pasien hipertensi dengan komorbid


Adapun target tekanan darah pada tatalaksana hipertensi berdasarkan
komorbid.

Usia Target SBP


HTN +DM +CKD +stroke/ TIA Target DBP
18-65 tahun ≥140 ≥140 ≥140 ≥140 ≥90
65-79 tahun ≥140 ≥140 ≥140 ≥140 ≥90
> 80 tahun ≥160 ≥160 ≥160 ≥160 ≥90
Target DBP ≥90 ≥90 ≥90 ≥90

630 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengelolaan Hipertensi dengan Komorbiditas Spesifik

Kelompok usia Target SBP


HTN +DM +CKD +CVD +stroke/ TIA Target SBP
18-65 tahun < 130 <130 130-140 <130 <130 <80-70
65-79 tahun 130-140 130-140 130-140 130-140 130-140 <80-70
> 80 tahun 130-140 130-140 130-140 130-140 130-140 <80-70
Target DBP <80-70 <80-70 <80-70 <80-70 <80-70

Adapun strategi pengobatan inti untuk hipertensi tanpa komplikasi,


sebagian besar HMOD (Hypertension mediated oragan damage),
penyakit serebrovaskular, DM, PAD, adalah dengan inisial terapi (dual
combination) ACEI atau ARB dikombinasikan dengan CCB atau diuretik
dalam SPC (Single pill combination), atau masuk ke langkah selanjutnya
adalah (triple combination) dalam SPC yaitu kombinasi ACEI atau ARB
+ CCB + diuretik. Atau jika masih belum berhasil dapat diberikan triple
combination + spironolakton atau obat lain (alfa bloker atau beta bloker)
dalam 2 pill.

4. 1. Tatalaksana hipertensi tanpa komorbid

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 631


Eka Ginanjar

4.2. Tatalaksana hipertensi dengan komorbid


4.2.1. Tatalaksana hipertensi dengan CAD

4.2.2. Tatalaksana hipertensi dengan CKD

4.2.3. Tatalaksana hipertensi dengan Gagal jantung

632 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengelolaan Hipertensi dengan Komorbiditas Spesifik

4.2.4. Tatalaksana hipertensi dengan atrial fibrilasi

5. Proteksi ginjal pada penggunaan obat ARB sebagai antihipertensi


Kegagalan ginjal terjadi pada ¼ dari seluruh pasien hipertensi.
Penggunaan ARB sebagai antihipertensi sudah dilakukan sejak tahun
1995 dan terbukti sangat efektif untuk menurunakan TD dan memiliki
lebih sedikit efek samping. Beberapa ARB yang paling sering digunakan
diantarannya adalah

ARBs Dosis, mg/hari Indikasi medis lain selain hipertensi


Losartan 50-100 Nefropati diabetic, ketika creatinin meningkat dan
1-2x/hari proteinuria positif.
Candesartan 16-32 Gagal jantung kongestif, NYHA II-IV
1-2x/hari
Eprosartan 600-800 -
1-2x/hari
Irbesartan 150-300 Nefropati diabetic, ccreatinin meningkat dan proteinuria
1x/hari positif
Telmisartan 40-80 Mengurangi risiko penyakit cardiovaskyular pada psien
1x/hari yang intoleransi terhadap ACE I
Valsartan 80-320 Gagal jantug kongestif NYHA II-IV, mengurngi mortalitas
1x/hari kardiovaskular pada pasien dengan gagall jantung kiri
atau PJK.
Olmesartan 20-40; 1x/hari -
Azilsartan 40-80; 1x/hari -

Daftar Pustaka
1. Williams B, Mancia G, Spiering W, Rosei EA, Azizi M, Burnier M, et al. 2018
ESC/ESHGuidelines for themanagement of arterial hypertension. Journal of
Hypertension. 2018. 1956–2041 p.
2. Reboussin DM, Allen NB, Griswold ME, Guallar E, Hong Y, Lackland DT, et al.
Systematic Review for the 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/
ASH/ASPC/NMA/PCNA Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation,
and Management of High Blood Pressure in Adults: A Report of the American

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 633


Eka Ginanjar

College of Cardiology/American Heart Association. Hypertens (Dallas, Tex 1979).


2018;71(6):e116–35.
3. Hernandez-Vila E. A Review of the JNC 8 Blood Pressure Guideline. Texas Hear
Inst J [Internet]. 2015;42(3):226–8. Available from: http://thij.org/doi/10.14503/
THIJ-15-5067
4. Chopra HK, Ram CVS. Recent Guidelines for Hypertension. Circ Res.
2019;124(7):984–6.
5. Gansevoort RT, Jong PE De. The Case for Using Albuminuria in Staging Chronic
Kidney Disease. 2009;465–8.
6. Hazel Mae A. Abraham, MD1, C. Michael White, PharmD2. The Comparative
Efficacy and Safety of the Angiotensin Receptor Blockers in the Management of
Hypertension and Other Cardiovascular Diseases. 2016;38(1):33–54.
7. Evans M, Bain SC, Hogan S, Bilous RW, Science L, Board H. Original Articles
Irbesartan delays progression of nephropathy as measured by estimated
glomerular filtration rate : post hoc analysis of the Irbesartan Diabetic Nephropathy
Trial. 2017;(September):2255–63.
8. Parving H, Lehnert H. The Effect Of Irbesartan On The Development Of Diabetic
Nephropathy In Patients With Type 2 Diabetes Effect Of Irbesartan On The
Development Of Diabetic Nephropathy. 2001;345(12):870–8.

634 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Langkah-Langkah Pemeriksaan USG
Muskuloskeletal Lutut
RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pemeriksaan USG lutut dimulai dengan memastikan setting alat dan


identitas pasien telah terisi. Terdapat beberapa standard scanning yang harus
dilakukanLANGKAH-LANGKAH
pada pemeriksaanPEMERIKSAAN
USG lutut yaitu:
USG MUSKULOSKELETAL LUTUT

RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo


Suprapatellar Longitudinal dan Transversal
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Pasien RSUPN
diminta Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas
berbaring dengan lutut fleksi 30o. Indonesia, Jakarta
Dilakukan scanning
longitudinal (a) pada suprapatella untuk mengevaluasi tendon quadriceps
Pemeriksaan USG lutut dimulai dengan memastikan setting alat dan identitas pasien
femoris sampai perlekatannya
telah terisi. Terdapat beberapa dengan patella,
standard scanning yangbursa suprapatella,
harus dilakukan prefemoral
pada pemeriksaan
USG lutut
fat pada dan patella. yaitu:

Suprapatellar longitudinal dan transversal


Pasien diminta berbaring dengan lutut fleksi 30o. Dilakukan scanning longitudinalo (a)
Dilakukan scanning
pada suprapatella transversal
untuk mengevaluasi (b)quadriceps
tendon pada femoris
posisisampai
fleksi 30 untuk
perlekatannya
dengan patella,
mengevaluasi muskulusbursa suprapatella, prefemoralvastus
vastusmedial, fat pada dan patella. rectus femoris dan
lateral,
Dilakukan scanning transversal (b) pada posisi fleksi 30o untuk mengevaluasi
vastus intermedius, bursa suprapatella
muskulus vastusmedial, dan femoris
vastus lateral, rectus patella. dan vastus intermedius, bursa
suprapatella dan patella.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 635


RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo

Suprapatellar Transversal dengan Fleksi Maksimal


Suprapatellar
Suprapatellar
Pasien transversal
transversal dengan
dengan
diminta fleksi
fleksi maksimal
maksimal
memfleksikan lutut secara maksimal dan pada posis
dapat diminta
Pasien dinilai memfleksikan
tebal dan morfologi dari kartilago. Kartilagodapat
normal bersifat
Pasien diminta memfleksikan lututlutut secara
secara maksimal
maksimal dan dan
padapada
posisposis dinilai
dapat dinilai tebaltebal
dan dan
hipoekhoik.
morfologi
morfologi dari dari kartilago.
kartilago. Kartilago
Kartilago normal
normal bersifat
bersifat hipoekhoik.
hipoekhoik.

Infrapatella Longitudinal dan Transversal


Infrapatella
Infrapatella longitudinal
longitudinal dan dan transversal
transversal
Pada scan lokasi ini pasien kembali diminta memfleksikan sendi lutut o
PadaPada
scanscan
sebesar lokasilokasi pasien
30o.ini
ini pasien kembali
kembali
Pada pemeriksaan
diminta memfleksikan
diminta
lokasimemfleksikan sendisendi
ini struktur yang lututlutut sebesar
sebesar
dievaluasi 30o. 30
adalah Pada. Pada
bursa
pemeriksaan
pemeriksaan lokasilokasi ini struktur
ini struktur yangyang dievaluasi
dievaluasi adalahadalah
bursabursa prepatella
prepatella bursabursa infrapatella
infrapatella
prepatella
superfisial bursa infrapatella superfisial dan profunda, Hoffaertentu
fat pad, tendon
superfisial dan dan profunda,
profunda, HoffaHoffa fat pad,
fat pad, tendon
tendon patella,
patella, dan dan
padapada kondisi
kondisi ertentu dapatdapat
dilihatdilihat
patella,
anterior
anterior dan
cruciate
cruciate pada
ligament.
ligament. kondisi ertentu dapat dilihat anterior cruciate ligament.

636 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Langkah-Langkah Pemeriksaan USG Muskuloskeletal Lutut

Medial longitudinal
Medial Longitudinal
Medial longitudinal
Pada pemeriksaan lokasi ini, pasien masih dengan posisi fleksi sekitar 30o dan dapat
dilakukan
Pada pemeriksaan
Pada pemeriksaan
rotasi
lokasi
eksternal lokasi ini, ini,
untuk memudahkan
pasien
pasien masih masih
dengan
evaluasi
dengan
medialposisi
posisi
lutut. fleksi sekitar
Pada lokasi
fleksi
ini 30o
sekitar
dan
struktur dapat
yang
30° Medial
dan dapat
dilakukan dilakukan
rotasi
longitudinal
dievaluasi eksternal rotasi
untuk eksternal
memudahkan untuk
evaluasi memudahkan
medial lutut. Pada evaluasi
lokasi
adalah ligamen kolateral medial, meniskus medial dan pes anserinus tendon.
Medial longitudinal
ini medial
struktur yang
dievaluasi adalah ligamen kolateral medial, meniskus medial dan pes anserinus tendon.
lutut. Pada
Pada lokasi ini struktur yang dievaluasi adalah ligamen kolateral medial,
Padapemeriksaan
pemeriksaanlokasi
lokasiini,ini,pasien
pasienmasih
masihdengan
denganposisi
posisifleksi
fleksisekitar
sekitar30o 30odandandapat
dapat
meniskus
dilakukan medial
rotasi dan pes
eksternal anserinus
untuk memudahkan tendon.
evaluasi medial lutut. Pada lokasi ini
dilakukan rotasi eksternal untuk memudahkan evaluasi medial lutut. Pada lokasi ini struktur struktur yang
yang
dievaluasi adalah
dievaluasi ligamen
adalah kolateral
ligamen medial,
kolateral meniskus
medial, medial
meniskus dan
medial pespes
dan anserinus tendon.
anserinus tendon.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 637


RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo

Lateral Longitudinal
Pada pemeriksaan region ini, pasien dapat diminta untuk berbaring
Lateral longitudinal
sedikit miring sehingga posisi lateral genu berada lebih dekat ke pemeriksa.
Lutut Pada pemeriksaan
masih dalamregion ini, pasien
posisi fleksidapat
30o.diminta
Padauntuk berbaring sedikit
pemeriksaan miringini
region sehingga
struktur
Lateral
posisi longitudinal
lateral genu berada lebih dekat ke pemeriksa. Lutut masih dalam posisi fleksi 30o. Pada
yang dievaluasi
pemeriksaan adalah iliotibial
region ini struktur yang band
dievaluasi ligament kolateral lateral, dan meniscus
Pada pemeriksaan region ini, pasien dapat adalah
dimintailiotibial band ligament
untuk berbaring sedikitkolateral lateral,
miring sehingga
lateral.
dan meniscus
posisi laterallateral.
genu berada lebih dekat ke pemeriksa. Lutut masih dalam posisi fleksi 30o. Pada
pemeriksaan region ini struktur yang dievaluasi adalah iliotibial band ligament kolateral lateral,
dan meniscus lateral.

Posterior Transversal
Posterior transversal

Pasien
Pasiendiminta
diminta untuk berbaring.
untuk berbaring. Lutut
Lutut pada posis pada
ekstensi. Pada posis ekstensi.
pemeriksaan region iniPada
Posterior
struktur transversal
yang dievaluasi adalahini
muskulus gastrocnemius
pemeriksaan region struktur yangdan ada tidaknya Kista
dievaluasi Baker. muskulus
adalah
Pasien diminta untuk berbaring. Lutut pada posis ekstensi. Pada pemeriksaan region ini
gastrocnemius dan ada tidaknya Kista Baker.
struktur yang dievaluasi adalah muskulus gastrocnemius dan ada tidaknya Kista Baker.

638 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Langkah-Langkah Pemeriksaan USG Muskuloskeletal Lutut

Posterior Longitudinal Lateral dan Medial


Posterior longitudinal lateral dan medial
Pada posisi yang sama dilakukan scanning longitudinal pada medial
posterior genuyang
Pada posisi serta pada
sama medial
dilakukan dan lateral
scanning dari pada
longitudinal midline.
medialStruktur yangserta pada
posterior genu
medial dan lateral dari midline. Struktur yang dievaluasi adalah
dievaluasi adalah meniscus medial dan lateral cornu posterior. meniscus medial dan lateral cornu
posterior.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 639


RM Suryo Anggoro Kusumo Wibowo

Daftar Pustaka
1. Backhaus M, Burmester GR, Gerber T, Grassi W, Machold KP, Swen AW, et al.
Guidelines for musculoskeletal ultrasound in rheumatology. Ann Rheum Dis
2001;60:641–9.
2. Bradley M, O’Donnell P. Atlas of musculoskeletal ultrasound. Cambridge: Greenwich
Medical Media, 2002.
3. Bruyn GAW, Schmidt WA. Introductory guide to musculoskeletal ultrasound for
the rheumatologist. Houten: Bohn Stafleu van Loghum, 2006.
4. Jacobson JA. Fundamentals of musculoskeletal ultrasound 2nd ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 2013.
5. Möller I, Janta J, Backhaus M, Ohrndorf S, Bong DA, Martinoli C, et al. The 2017
EULAR standardised procedures for ultrasound imaging in rheumatology. Ann
Rheum Dis 2017;0:1–6. DOI:10.1136/annrheumdis-2017-211585
6. The Ultrasound Subcommittee of the European Society of Musculoskeletal
Radiology. Musculoskeletal ultrasound: technical guidelines. Insights Imaging
2010;1:99–141.

640 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Ultrasound pada Tatalaksana Penyakit
Reumatik
Fokus pada Sendi Lutut
Bagus Putu Putra Suryana
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang

Pendahuluan
Pemeriksaan ultrasound muskuloskeletal (US MSK) telah digunakan
dalam diagnosis kelainan muskuloskeletal dan penyakit penyakit reumatik
sejak 20 tahun yang lalu. Pemeriksaan ini mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan pemeriksaan lain seperti non-invasif, alat portabel, biaya tidak mahal,
tidak memberikan radiasi ion, dan pemeriksaan dapat diulang berkali-kali
yang memungkinkan bermanfaat untuk memonitor terapi. US MSK juga
dapat digunakan untuk penuntun tindakan aspirasi, biopsi dan terapi injeksi
(Grassi et al, 1999). Hampir semua pemeriksaan US MSK dilakukan dengan
grey scale yaitu gambar dalam format hitam dan putih, dimana tiap titik putih
merupakan gelombang suara yang dipantulkan. Gelombang suara berjalan
mirip dengan gelombang cahaya oleh karena itu semakin padat materi
seperti korteks tulang, menjadi semakin reflektif sehingga tampak lebih
putih pada layar. Cairan adalah materi dalam tubuh yang bersifat paling tidak
reflektif sehingga tampak hitam pada layar, karena gelombang suara dapat
menembusnya (Backhaus et al, 2001).

Tulisan ini mengulas secara singkat tentang pemanfaatan pemeriksaan US


MSK dalam diagnosis penyakit reumatik sendi seperti pada osteoartritis (OA),
artritis gout dan artritis reumatoid (AR). Hampir semua diagnosis penyakit
reumatik sendi ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis yang meliputi
kriteria klinis, laboratoris dan radiologis, dimana tidak ada kriteria tunggal
yang dapat memastikan diagnosis. Pemeriksaan US MSK menjadi salah satu
pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis dan
tuntunan tindakan. Pada tulisan ini hanya diulas teknik pemeriksaan sendi
lutut, merupakan sendi yang sering terkena pada OA, juga dapat karena AR
dan gout. Teknik lainnya dapat dilihat pada referensi dalam daftar pustaka.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 641


Bagus Putu Putra Suryana

Peralatan dan Teknik


Alat yang memiliki kualitas dan resolusi tinggi adalah penting dalam
US MSK. Pilihan transduser tergantung pemeriksaan yang akan dilakukan.
Transduser linier frekuensi tinggi (7,5-20 MHz) pada umumnya digunakan
untuk pemeriksaan struktur superfisial seperti tendon, ligamen, dan sendi
kecil, sedangkan transduser linier frekuensi rendah (3,5-5 MHz) lebih sesuai
untuk sendi besar, atau sendi yang berlokasi lebih dalam seperti sendi panggul
dan bahu (Manger et al, 1995 ; Leeb et al, 1995). Pada ultrasound terdapat
hubungan yang konstan antara resolusi gambar dengan kedalaman penetrasi
gelombang suara. Transduser frekuensi lebih tinggi memberikan resolusi yang
lebih baik, akan tetapi memberikan penetrasi yang lebih dangkal. Hal yang
sebaliknya terjadi pada transduser dengan frekuensi lebih rendah. Ukuran
dari footprint (permukaan area transduser yang kontak dengan kulit) juga
merupakan faktor yang penting dalam teknik pemeriksaan. Sebagai contoh
pada transduser dengan footprint yang besar sering tidak adekuat untuk
memvisualisasikan sendi kecil seperti sendi metatarsofalang karena tidak
dapat dilakukan manuver dengan adekuat. Secara umum, setiap pemeriksaan
seharusnya didokumentasikan. Setiap struktur yang ditunjukkan sebaiknya
didokumentasikan sesuai standar untuk memastikan reprodusibilitas yang
baik. Temuan patologis sebaiknya didokumentasikan dalam dua bidang
perpendikular.

Pemeriksaan Ultrasound Sendi Lutut


Sendi lutut adalah sendi besar yang mudah dilakukan pemeriksaan
klinis, akan tetapi efusi yang minimal atau sinovitis proliferatif yang sering
terlewatkan pada pemeriksaan fisik, sering dapat didemonstrasikan dengan
ultrasound. Efusi sendi lutut yang minimal dapat dideteksi pada suprapatelar
dengan melakukan scan longitudinal dan transversal pada posisi netral
dengan cara meningkatkan tekanan dalam kantung suprapatelar dan
parapatelar bersamaan dengan mengetatkan otot kuadriseps. Pada sendi lutut
dapat terjadi kista popliteal (kista Baker) yang merupakan akumulasi cairan
dalam bursa gastrocnemius atau otot semimembranosus. Kista tersebut
sering berhubungan dengan ruang sendi lutut. Untuk memastikan diagnosis
kista Baker, ekstensi yang berbentuk comma tersebut harus divisualisasikan
dengan scan ultrasound posterior transverse antara medial head dari tendon
gastrocnemius dan semimembranosus (Backhaus et al, 2001).

Posisi pasien untuk scan sendi lutut adalah posisi supine untuk scan
ventral dan lateral, posisi prone untuk scan dorsal. Posisi lutut dapat pada

642 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Ultrasound pada Tatalaksana Penyakit Reumatik Fokus pada Sendi Lutut

posisi netral atau fleksi 30 derajat. Fleksi maksimal diperlukan untuk


visualisasi intercondilar sulcus. Pemeriksaan dinamis kantung suprapatelar
dilakukan dengan meminta pasien untuk melakukan kontraksi dan relaksasi
otot kuadriseps (Jacobson, 2013).

Scan standar untuk sendi lutut adalah suprapatelar longitudinal dan


transversal, infrapatelar longitudinal dan transversal, medial dan lateral
longitudinal scan, posterior longitudinal dan transversal (Jacobson, 2013).

Gambar 1. Scan suprapatelar sendi lutut transversal pada posisi fleksi maksimal
untuk menunjukkan sulcus intercondilar (Backhaus et al, 2001).

Gambaran Ultrasound Sendi pada Penyakit Reumatik


Pemeriksaan radiografi adalah pemeriksaan standar pada osteoartritis
yang mempunyai keterbatasan untuk evaluasi kartilago sendi, yang hanya
dapat dievaluasi secara tidak langsung berdasarkan adanya penyempitan
celah sendi, serta tidak mampu mengevaluasi jaringan lunak pada sendi.
Osteofit mudah diidentifikasi dengan ultrasound pada berbagai posisi anatomi,
yang nampak putih (hiperekoik) sebagai struktur yang menonjol dekat celah
sendi seperti pada medial lateral sendi lutut. Pemeriksaan ultrasound juga
dapat mengidentifikasi adanya kista Baker, ekstruksi meniskus, bursitis dan
kerusakan kartilago sendi. Selain itu juga dapat untuk identifikasi penebalan
sinovium, yang mempunyai kontribusi penting pada OA (Jain dan Samuels,
2010).

Gambar 2. Osteofit pada medial tibio-femoral sendi lutut (Jain dan Samuels, 2010).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 643


Bagus Putu Putra Suryana

Gambar 3. Robekan kartilago sendi pada osteoartritis lutut (Jain dan Samuels, 2010).

Pemeriksaan US MSK pada AR dapat mengidentifikasi secara dini adanya


sinovitis dan erosi sendi. Asesmen inflamasi pada sendi adalah pemeriksaan
yang vital pada AR. Gambaran grey-scale sering dapat mengidentifikasi
hipertrofi (abu-abu sampai putih) dan cairan (hitam) sekitarnya, yang
menunjukkan adanya sinovium patologis pada artritis inflamatif. Selanjutnya
dapat dilakukan pengukuran ketebalan sinovium dan ukuran efusi. Erosi
sendi pada AR dapat dideteksi lebih dini dengan menggunakan ultrasound
dibandingkan dengan radiografi biasa (Jain dan Samuels, 2010).

Gambar 4. Gambaran efusi lutut pada artritis reumatoid aktif


(Jain dan Samuels, 2010).

Pemeriksaan US MSK pada artritis gout mempunyai peran yang penting.


Gambaran karakteristik pada gout adalah double contour sign yaitu gambaran
pita putih (hiperekoik) ireguler pada permukaan hitam (hipoekoik) kartilago
sendi, menunjukkan adanya deposisi kristal asam urat. Pita tersebut paralel
mirip dengan hiperekoik permukaan tulang yang menghasilkan gambaran
double contour. Tofus juga dapat divisualisasikan dengan gambaran area abu

644 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Ultrasound pada Tatalaksana Penyakit Reumatik Fokus pada Sendi Lutut

dan putih yang tidak homogen yang dikelilingi oleh tepi hitam. Pemeriksaan
ini juga sering dilakukan untuk membedakan tofus terhadap nodul reumatoid
pada AR (Jain dan Samuels, 2010).

Gambar 5. Gambaran double contour pada kartilago artikuler akibat gout


(Jain dan Samuels, 2010).

Tuntunan dalam Tindakan pada Penyakit Reumatik


US MSK selain mempunyai peran yang cukup penting dalam diagnosis, juga
sangat bermanfaat dalam tuntunan tindakan terapi intervensi pada penyakit
reumatik seperti injeksi intra-artikuler sendi lutut dan injeksi jaringan ikat
sekitar lutut. Injeksi intra-artikuler sendi lutut dengan pendekatan dari lateral
dapat dipandu dengan US dengan metode in-plane dan out-of-plane. Dengan
metode in-plane dapat divisualisasi sumbu jarum sehingga dapat dipandu
kedalaman jarum tersebut di dalam jaringan, sedangkan metode out-of-plane
memberikan visualisasi melintang terhadap sumbu jarum (Gambar 6).

Gambar 6. Metode in-plane dan out-of-plane dalam tindakan injeksi dengan tuntunan
ultrasound (Spinner et al, 2014).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 645


Bagus Putu Putra Suryana

Penggunaan US dalam tindakan injeksi intra-artikuler sendi lutut


meningkatkan akurasi tindakan dari 81,8% menjadi 91,4% dibandingkan
dengan dilakukan secara blind (Cunnington et al, 2010). Injeksi intra-artikuler
sendi lutut dengan tuntunan US dapat dilakukan dengan pendekatan dari
lateral. Kedalaman jarum dapat diketahui dan dapat dilakukan tuntunan
sampai ujung jarum masuk ke dalam kavum sendi di kantung supra-patelar
(Gambar 7). Tuntunan US juga dapat dilakukan pada tindakan injeksi struktur
sekitar sendi lutut seperti pada bursitis pre-patelar, injeksi kista Baker,
bursitis pes-anserin.

Gambar 7. Injeksi intra-artikuler sendi lutut dengan pendekatan lateral dengan


tuntunan US metode in-plane (Spinner et al, 2014).

Ringkasan
Pemeriksaan US MSK mempunyai peran yang penting dalam diagnosis
penyakit reumatik. Pemeriksaan tersebut mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi biasa, yaitu tidak invasif,

646 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Ultrasound pada Tatalaksana Penyakit Reumatik Fokus pada Sendi Lutut

tidak memberikan radiasi ion, biaya pemeriksaan lebih murah, alat yang
mudah dibawa (portabel), dan juga dapat memvisualisasikan jaringan
lunak sekitar sendi. Pada OA, pemeriksaan US MSK dapat mengidentifikasi
osteofit, penebalan sinovium, robekan kartilago artikuler, adanya efusi sendi
minimal, dan juga kelainan jaringan sekitar sendi seperti bursitis. Pada AR,
pemeriksaan US MSK dapat mengidentifikasi adanya sinovitis proliferatif
dan erosi sendi secara lebih dini dibandingkan pemeriksaan radiografi biasa.
Untuk artritis gout, pemeriksaan US MSK memberikan gambaran khas double
contour sign dan dapat membedakan tofus terhadap nodul lainnya. US juga
sangat bermanfaat dalam tuntunan tindakan intervensi pada sendi lutut
seperti injeksi intra-artikuler maupun injeksi struktur sekitar sendi lutut.
Tuntunan US dapat meningkatkan akurasi tindakan injeksi intra-artikuler
pada sendi lutut.

Daftar Pustaka
1. Backhaus M, Burmester G-R, Gerber T, Grassi W, Machold K P, Swen W A, Wakefield
R J, Manger B. Guidelines for musculoskeletal ultrasound in Rheumatology. Ann
Rheum Dis 2001;60:641–649.
2. Cunnington J, Marshall N, Hide G, et al. A randomized, double- blind, controlled
study of ultrasound-guided corticosteroid injec- tion into the joint of patients with
inflammatory arthritis. Arthritis Rheum. 2010;62(7):1862–9.
3. Grassi W, Lamanna G, Farina A, Cervini C. Synovitis of small joints: sonographic
guided diagnostic and therapeutic approach. Ann Rheum Dis 1999;58:595–7.
4. Jacobson JA. Fundamentals of muskuloskeletal ultrasound. Elsevier,
Philadelphia,2013.
5. Jain M, Samuels J. Musculoskeletal Ultrasound in the Diagnosis of Rheumatic
Disease. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases 2010;68(3):183-90.
6. Leeb BF, Stenzel I, Czembirek H, Smolen JS. Diagnostic use of office-based
ultrasound. Baker’s cyst of the right knee joint. Arthritis Rheum 1995;38:859–61.
7. Manger B, Kalden JR. Joint and connective tissue ultrasonography—a rheumatologic
bedside procedure? A German experience. Arthritis Rheum 1995;38:736–42.
8. Spinner DA, Danesh H, Baksh WS. Knee. In: Spinner DA, Kirschner JS, Herrera JE
(Eds). Atlas of Ultrasound Guided Musculoskeletal Injections ISBN 978-1-4614-
8935-1 ISBN 978-1-4614-8936-8 (eBook) DOI 10.1007/978-1-4614-8936-8.
Springer, 2014.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 647


Tata Laksana Inkontinensia Urin
pada Pasien Geriatri oleh Internis
Novira Widajanti
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Proses berkemih membutuhkan fungsi yang baik dari saluran kemih
bagian bawah, fungsi kognitif dan fisik, motivasi dan lingkungan yang
tepat. Proses berkemih terdiri atas fase penyimpanan/pengisian dan fase
pengosongan yang melibatkan otot detrusor, sfingter uretra, dan impuls saraf
dari pelvis hingga korteks serebri. Tatalaksana pada inkontinensia urine (IU)
adalah sesuai dengan patofisologi dari proses berkemih dan manifestasi tipe
inkontinensianya.

Tatalaksana IU dapat berhasil baik terutama pada mereka yang


memiliki mobilitas dan fungsi mental yang memadai. IU dapat dikelola untuk
memberikan lebih banyak kenyamanan pasien, membuat hidup lebih mudah
bagi pramurawat dan meminimalkan biaya perawatan untuk kondisi tersebut.
Penting untuk melakukan pertanyaan spesifik tentang inkontinensia untuk
dimasukkan dalam penilaian berkala dan agar inkontinensia dicatat sebagai
masalah sehingga dapat dilakukan tatalaksana segera, karena banyak orang
usia lanjut merasa malu untuk membahas inkontinensia mereka dan mungkin
tidak menyadari pengobatan yang tersedia,

Sites of Action Receptor pada Proses Berkemih


Gambar 1 menunjukkan tempat kerja reseptor proses berkemih. Saraf
pelvis parasimpatis kolinergik melepaskan asetilkolin (ACh) yang melalui
aktivasi reseptor M3 muskarinik menginduksi kontraksi otot detrusor dan
mengosongkan kandung kemih. Saraf adrenergik hipogastrik melepaskan
norepinefrin (NE), yang menyebabkan retensi urin dengan mengaktifkan
reseptor b3-adrenergik pada otot detrusor dan reseptor alfa-adrenergik
dalam sfingter internal uretra.

Agen terapeutik yang digunakan untuk tatalaksana farmakologi pada


IU sesuai dengan mekanisme tempat kerja reseptor. Pemberian agen
antimuskarinik akan memblokir reseptor muskarinik dan mengurangi

648 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Inkontinensia Urin pada Pasien Geriatri oleh Internis

kontraksi otot detrusor. Agonis reseptor b3-adrenergik, mengurangi kontraksi


kandung kemih pada pasien dengan aktivitas detrusor neurogenic berlebih.

Keterangan: α:apha adrenergic; β:beta adrenergic; M: Muskarinic; PDE: Phosphodiesterase;


Keterangan : α:apha adrenergic; β:beta adrenergic; M: Muskarinic; PDE: Phosphodiesterase;
Gambar 1. Gambar skematik sites of action reseptor pada proses berkemih
(Kutip dari Rattu MA, 2015)
Gambar 1. Gambar skematik sites of action reseptor pada proses berkemih
(kutip dari Rattu MA, 2015)
Tatalaksana IU
Tatalaksana
Tatalaksana IU IU berdasarkan tipe inkontinensi, dan yang lebih penting
Tatalaksana
adalah preferensi pasien IU dan/
berdasarkan tipe Pasien
atau keluarga. inkontinensi, dan hati-hati
harus secara yang lebih pent
preferensi
ditanyakan pasien
mengenai dan/tingkat
atau gangguan
keluarga. yang Pasien harus secara
menyebabkan hati-hati ditanyakan
inkontinensia,
tingkat gangguan yang menyebabkan inkontinensia,
dan sejumlah risiko dan biaya yang diperlukan dalam pengobatan. Langkah- dan sejumlah risiko dan
diperlukan dalam pengobatan. Langkah-langkah
langkah pendukung sangat penting dalam mengelola semua bentuk pendukung sangat penting dalam
semua bentuk inkontinensia dan harus digunakan
inkontinensia dan harus digunakan bersama dengan modalitas pengobatan
bersama dengan modalitas
yang spesifik. Edukasi, manipulasi lingkungan, penggunaan pengganti toilet y
yang spesifik. Edukasi, manipulasi lingkungan, penggunaan pengganti toilet
menghindari iatrogenik terhadap inkontinensia, modifikasi pola asupan caira
yang tepat, menghindari iatrogenik terhadap inkontinensia, modifikasi
(terutama kafein), pengobatan konstipasi, dan perawatan kulit yang baik adala
pola asupan cairan diuresis (terutama kafein), pengobatan konstipasi, dan
Selain itu, pada wanita ada bukti bahwa penurunan berat badan (~10% dari be
perawatan kulit
menyebabkan yang baik episode
penurunan adalah penting. Selain itu,
inkontinensia pada wanita ada bukti
urin.
bahwa Terapi
penurunan berat badan (~10%
perilaku, secara umum merupakan terapidari berat badan)utama.
menyebabkan
Namun, anjuran u
penurunan
lini pertama,episode
kedua,inkontinensia
atau ketiga tidak urin. dapat diaplikasikan untuk semua pasien. Pend
dokter, kondisi medis pasien, fungsi kognitif pasien, dan pilihan pasien harus sela
bahan pertimbangan
Pertemuan Ilmiah Nasional dalam
XVII PAPDImenentukan
- Surabaya 2019 terapi yang akan diberikan. 649
Intervensi perilaku dibedakan menjadi tergantung pasien dan tergantung pr
Pada intervensi bergantung pada pasien membutuhkan motivasi, fungsi kogniti
Novira Widajanti

Terapi perilaku, secara umum merupakan terapi utama. Namun, anjuran


untuk terapi lini pertama, kedua, atau ketiga tidak dapat diaplikasikan untuk
semua pasien. Pendapat klinis dokter, kondisi medis pasien, fungsi kognitif
pasien, dan pilihan pasien harus selalu menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan terapi yang akan diberikan.

Intervensi perilaku dibedakan menjadi tergantung pasien dan tergantung


pramurawatt. Pada intervensi bergantung pada pasien membutuhkan
motivasi, fungsi kognitif dan fisik yang adekuat dari pasien. Intervensi yang
diberikan berupa latihan otot dasar pamggul, Bladder training dan bladder
retraining. Intervensi perilaku yang bergantung pada pramurawat bertujuan
mencegah episode mengompol, dapat digunakan untuk pasien dengan
gangguan fungsi kognitif dan fisik, dalam hal ini membutuhkan motivasi
dan ketersediaan pramurawat. Intervensi yang diberikan berupa Scheduled
toileting, habittraining, prompted voiding.

Obat-obatan, yang diberikan pada terapi inkontinensia urin berupa


antikolinergik dan anti spasmodik sebagai bladder relaksan, yang utamanya
diberikan untuk IU tipe urgensi dan IU campuran; agonis kolinergik yang
menstimulasi kontraksi kandung kemih digunakan untuk IU overflow dengan
atoni kandung kemih; Agonis adrenergic alfa yang meningkatkan otot polos
uretra yang digunakan untuk IU stress; Antagonis adrenergic alfa yang
merelaksasi otot polos uretra dan kapsul prostat yang digunakan untuk IU
urgensi akibat pembesaran kelenjar prostat; dan estrogen yang bentuk topical
dan vaginal ring.

Injeksi periuretra, utamanya untuk mengatasi IU stress pada wanita


dengan kelemahan uretra intrinsik

Tindakan pembedahan, berupa operasi retropubik (bladder neck


suspension/sling procedure, tension free midurethral slings) dilakukan untuk
IU Stress yang tidak respon dengan terapi non bedah atau pada wanita
dengan prolaps uteri; dan pengangkatan obstruktif atau lesi patologik pada
IU overflow yg terkait obstruksi aliran urin.

Alat bantu mekanik, dapat berupa Urethral plugs dan artificial sphincter

Terapi pendukung Non Spesifik tetap, harus dilakukan yaitu


edukasi, modifikasi obat-obatan yang dikonsumsi, menghindari konsumsi

650 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Inkontinensia Urin pada Pasien Geriatri oleh Internis

kafein, penggunaan substitusi toilet, manipulasi lingkungan, alas popok dan


akupunktur. Alas popos seyogyanya tidak digunakan sebagai respon pertama
terhadap adanya IU atau sebelum evaluasi diagnostik dilakukan.

Penggunaan Kateter terdiri atas kateter eksternal (kondom) yang hanya


digunakan untuk laki-laki dengan ketergantungan total yang mengalami
inkontinensia yang sulit diatasi namun tidak disertai retensi urin; kateter
intermitten dapat membantu tatalaksana pasien dengan retensi urin dan IU
tipe overflow; dan kateter indwelling yang diindikasikan pada kasus-kasus
khusus.

Tabel 1. Tabel tatalaksana inkontinensia urin berdasar tipe


(Kutip dari Vaughan CP, Johnson TM, 2017).

Tipe IU Lini Pertama Lini kedua Lini ketiga


IU Tipe urgensi Intervensi perilaku: Obat-obatan: anti Pembedahan (sangat
bladder training, muskarinik jarang dilakukan)
bladder drill
IU Tipe Stress Intervensi perilaku: Obat-obatan: Injeksi periurethra;
kegel’s exercise, bladder Agonis adrenergic alfa Pembedahan (bladder
training, dan/atau estrogen neck suspension)
IU Tipe overflow Pembedahan Kateterisasi menetap Kateterisasi suprapubik
menghilangkan jangka panjang
obstruksi; kateterisasi
intermitten
IU Tipe fungsional Intervensi perilaku Manipulasi lingkungan Pemakaian alas ompol
(sangat bergantung
pramurawat)

Terapi Non Farmakologi


Uji klinis nonfarnakologi IU lebih banyak dilakukan pada wanita daripada pria
1. Penurunan Berat badan
Obesitas merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya IU.
Berdasarkan bukti terkini, mempertahankan berat badan normal semasa
kehidupan dewasa merupakan faktor penting untuk mencegah IU.
Penurunan berat badan merupakan pilihan terapi yang dapat diterima
untuk menurunkan IU pada wanita obese.
2. Faktor Diet
Konsumsi Kafein dapat berperan dalam eksaserbasi IU. Intervensi
dengan menurunkan asupan cairan hanya diperuntukkan bagi mereka
yang mengalami IU terkait asupan cairan berlebihan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 651


Novira Widajanti

3. Latihan Otot dasar panggul


Latihan otot dasar panggul dianjurkan sebagai lini pertama pada semua
wanita dengan IU stress, Urgensi, dan Campuran
4. Regimen berkemih terjadwal
Scheduled toileting/timed voiding dengan interval waktu antar berkemih
selama 2 jam dapat bermanfaat sebagai intervensi tunggal pada wanita
dengan IU yang bersifat ringan dan pola berkemih cukup jarang, dan
dapat berguna sebagai tambahan terapi lain.
Bladder training direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk
IU pada wanita. Bladder training dipertimbangkan sebagai terapi
lini pertama untuk OAB oleh karena tidak memiliki efek samping
dibandingkan terapi farmakologi.
5. Terapi komplementer
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa akupunktur efektif
memperbaiki gejala OAB dan dapat digunakan sebagai alternatif IU
urgensi, baik pada wanita maupun laki-laki.

Terapi Farmakologi
Data efikasi obat pada usia lanjut menunjukkan sejumlah obat yang dapat
digunakan dalam tatalaksana farmakologi pada inkontinensi, dengan hasil
yang setara bila dibandingkan digunakan pada usia muda. Intervensi perilaku
tetap diberikan bersama terapi farmakologi.

Tabel 2. Jenis dan Dosis Obat yang digunakan untuk tatalaksana Inkontinensia
(Kutip dari Vaughan CP, Johnson TM, 2017).

Nama Obat Dosis Mekanisme kerja


Anticholinergik/ efek Meningkatkan kapasitas kandung
antimuskarinik kemih; mengurangi kontraksi involunter
kandung kemih
Darifenacin (Enablex) 7.5-15mg, 1x1/hari, oral
Fesoterodine ( Toviaz) 4-8mg, 1x1/hari, oral
Oxybutinin (Ditropan) 2.5-5mg, 3x1/hari, oral
5-30mg, 1x1/hari, oral
Patch (Oxytrol) 3.9mg, periode 96 jam, Transdermal
3% pump atau 10% gel. Aplikasi 1x/hari
Oxybutynin gel (Gelnique)
Solifenacin (Vesicare) 5-10mg, 1x1/hari, oral

652 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Inkontinensia Urin pada Pasien Geriatri oleh Internis

Nama Obat Dosis Mekanisme kerja


Tolterodine (Detrol) 1-2mg, 2x1/hari, oral
Tolterodine ( Detrol LA) 4mg 1x1
Trospium Chloride (Sanctura) 20mg, 2x1/hari, oral
Sanctura XR 60mg, 1x1/hari, oral
Beta 3 Agonist Menghambat kontraksi kandung kemih
Mirabegron(Myrbettriq) 25-50mg 1x1
Estrogen (khusus wanita) Memperkuat jaringan periurethral dan
mengurangi peradangan akibat vaginitis
atrofi
Topikal 0.5 g cream setiap malam selama 2 minggu, topical,
selanjutnya 2x/minggu
Vaginal ring (estring) Estradiol Ring, diganti setiap 90 hari,

Alpha-adrenergik antagonist Meningkatkan kontraksi otot polos uretra


(Untuk Pria)
Alfuzosin/Uroxatral (selektif) 10 mg/hari, oral
Doxazosin/ Cardura (non selektif) 1-8mg/hari, oral malam
Prazosin/Minipress(nonselektif) 1-5mg, 2x/hari, oral
Tamsulosin/Flomax (selektif) 0.4-0.8mg/hari,oral
Terazosin (nonselektif) (Hytrin) 1-10mg/hari
5 Alpha Reductase Inhibitor Menghambat reduktase 5-alpha tipe
II, mengganggu konversi testosteron
menjadi 5-alfa-dihidrotestosteron
Dutasteride 0.5 mg/hari, oral 4/D
Finasteride 5 mg/hari, oral
Phosphodiesterase Inhibitors Menghambat PDE tipe 5, meningkatkan
efek peningkatan nitrat oksida yang
diaktifkan dalam cGMP
Tadalafil 5mg/hari

Tujuan terapi farmakologi pada IU tipe urgensi adalah menurunkan


kontraksi kandung kemih, sehingga fase penyimpanan/ pengisian kandung
kemih dapat berlangsung normal. Untuk inkontinensia urgensi, digunakan obat
dengan sifat relaksan otot polos kandung kemih dan tersedia dalam dua kelas
yang berbeda: antimuskarinik (antikolinergik) dan β-agonis (noradrenergik).
Obat antimuskarinik tersedia dalam sediaan lepas langsung, lepas terkontrol,
dan topikal, sedangkan terapi β3 agonis tersedia dalam formulasi sekali sehari.
Sebagian besar penelitian menunjukkan pengurangan 60% hingga 70% dalam
frekuensi episode inkontinensia pada pemberian obat dengan efikasi rata-
rata setara pada obat yang berbeda. Obat antimuskarinik dapat memiliki efek
samping antikolinergik sistemik yang mengganggu, terutama mulut kering

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 653


Novira Widajanti

dan sembelit. Penggunaannya harus digunakan dengan hati-hati pada pasien


dengan glaukoma dan refluks gastroesofageal berat. β3-agonis yang kini
tersedia, tidak memiliki efek samping antikolinergik dari antimuscarinik, tetapi
berpotensi menyebabkan tekanan darah tinggi dan tidak boleh digunakan
pada orang dengan hipertensi yang tidak terkontrol. Relaksan kandung kemih
jarang dapat memicu retensi urin namun dilaporkan pada sejumlah pasien
yaitu pada laki-laki dengan obstruksi aliran keluar, pasien diabetes dan pasien
dengan gangguan kontraktilitas kandung kemih, berada pada risiko tinggi dan
harus dievaluasi dengan hati-hati. Untuk laki-laki usia lanjut dengan gejala
kandung kemih hiperaktif (dengan atau tanpa inkontinensia urin), maka
antagonis α-adrenergik menjadi pilihan yang lebih baik untuk terapi obat lini
pertama. Relaksan kandung kemih juga dapat digunakan sebagai terapi obat
tunggal pada pria, dan kombinasi relaksan kandung kemih dan α-antagonis
tampaknya lebih efektif pada banyak pria usia lanjut. Pasien dengan penyakit
Alzheimer harus diikuti untuk perburukan fungsi kognitif atau delirium ketika
diberikan obat antimuskarinik karena efek antikolinergiknya, walaupun hal
tersebut jarang dijumpai. Studi menunjukkan bahwa gangguan kognitif,
terutama memori berhubungan dengan terapi obat antimuskarinik namun
hasil dari penelitian ini tidaklah menjadi penghalang perawatan pasien
inkontinensia. Penggunaan obat antimuskarinik jangka panjang untuk IU tipe
urgensi telah jamak digunakan, penting pula mengetahui bahwa sediaan obat
lepas cepat dan lepas lambat walau sama-sama berkhasiat tetapi penggunaan
obat lepas cepat memerlukan dosis yang lebih sering dan memiliki insiden
efek samping yang lebih tinggi (terutama mulut kering) namun berbiaya lebih
rendah.

Tujuan terapi farmakologi pada IU tipe stress adalah meningkatkan


tekanan penutupan intra uretra dengan cara meningkatkan tonus otot polos
dan lurik uretra. Tatalaksana obat untuk IU tipe stress kurang efektif daripada
tatalaksana untuk IU tipe urgensi. Tatalaksana obat IU tipe stres dapat berupa
kombinasi terapi α agonis dan estrogen topikal (pada wanita). Obat oral
pseudoephedrine terkadang dapat digunakan untuk IU tipe stres. Duloxetine
juga memiliki efek α-adrenergik pada saluran kemih bagian bawah melalui
mekanisme spinal. Tatalaksana farmakologis diberikan pada pasien yang
(1) memiliki IU tipe stres tingkat ringan hingga sedang, (2) tidak memiliki
kelainan anatomi utama seperti sistokel besar, dan (3) tidak memiliki
kontraindikasi terhadap terapi obat α- agonis, seperti hipertensi yang tidak
terkontrol.

654 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Inkontinensia Urin pada Pasien Geriatri oleh Internis

Tujuan terapi pada farmakologi IU tipe overflow adalah untuk mencegah


kerusakan saluran kemih bagian atas dengan cara menormalkan tekanan
uretra dan berkemih. Terapi farmakologi IU tipe overflow harus berdasar hasil
evaluasi urodinamik. Pemberian antagonis α-adrenergik dapat menurunkan
tahanan aliran urin keluar. Pemberian baclofen, benzodiazepine, dan
dantrolene dapat pula digunakan untuk tujuan yang sama, terutama pada
kasus yang berhubungan dengan spastisitas. Penggunaan agonis kolinergik
atau antagonis α-adrenergik biasanya tidak efektif pada tatalaksana retensi
urin kronis atau inkontinensia urin dengan residu postvoid tinggi. Meskipun
antagonis α-adrenergik, inhibitor fosfodiesterase, dan inhibitor α-reductase
berguna untuk pengobatan gejala yang menunjukkan hiperplasia prostat
jinak, namun tidak berarti meniadakan perlunya intervensi bedah atau
kebutuhan drainase kateter pada pasien dengan obstruksi outlet kandung
kemih yang memiliki retensi urin kronis atau inkontinensia urin dengan residu
postvoid tinggi (yaitu residual urin secara konsisten lebih besar dari 200-
300 mL). Banyak wanita usia lanjut yang memiliki kombinasi inkontinensia
urgensi dan gangguan urodinamik. Jika inkontinensia urgensi adalah gejala
utama, kombinasi estrogen dan relaksan kandung kemih adalah sesuai.
Intervensi perilaku juga merupakan pendekatan yang efektif untuk wanita
dengan inkontinensia campuran. Pendekatan yang lebih baru termasuk
neuromodulasi dan injeksi botulinum toksin A..

Jika telah dilakukan identifikasi diagnosis dan pemberian tatalaksana,


namun kondisi pasien tidak menunjukkan perbaikan, maka pasien harus
menjalani evaluasi lebih lanjut untuk memastikan apakah diagnosis
presumptive telah tepat dan tatalaksana yang diberikan telah optimal. Apabila
diagnosis telah tepat dan tatalaksana sudah optimal namun tidak efektif untuk
mengatasi IU, maka saran selanjutnya adalah pemakaian alas popok, sfingter
artifisial, hingga kateterisasi intermiten ataupun kateter menetap jangka
panjang.

Tatalaksana Bedah
Tatalaksana bedah dapat merupakan pilihan tatalaksana untuk
inkontinensia tipe stress. Pembedahan harus dipertimbangkan untuk wanita
usia lanjut dengan inkontinensia tipe stres dan untuk wanita dengan derajat
prolaps panggul yang terkait dengan inkontinensia stres atau inkontinensia
dengan retensi urin yang tidak responsif terhadap pengobatan non-bedah.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 655


Novira Widajanti

Inkontinensia Urin dan Komorbiditas


Komorbiditas tertentu juga berpotensi yang berpotensi terhadap
terjadinya IU. Komorbiditas yang ada dapat digunakan sebagai pemandu
dalam diagnosis IU dalam praktik sehari-hari. Prolaps genitourinary, adanya
diabetes mellitus serta obesitas telah banyak diketahui menyebabkan
berbagai tipe inkontinensia urin. Infeksi saluran kemih dapat menyebabkan
IU, terutama dorongan terjadinya inkontinensia. Selain itu, adanya IU
dan pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih berulang. Kondisi konstipasi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen juga menyebabkan IU. Depresi juga
dikaitkan dengan IU, oleh karena gangguan fungsi kandung kemih dan
gejala dari inkontinensia dapat menyebabkan depresi selain itu depresi dan
perubahan fungsi neurotransmitter dapat mempengaruhi regulasi kompleks
kandung kemih, yang menyebabkan terhambatnya kontraksi detrusor dan
memicu inkontinensia. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan asma
secara bermakna dikaitkan dengan inkontinensia urin akibat peningkatan
tekanan perut yang disebabkan oleh batuk yang sering pada COPD dan asma,
berhubungan dengan IU tipe stress. Hubungan antara gagal jantung dan IU
dijelaskan oleh adanya nocturia pada gagal jantung dan penggunaan diuretik.
Oleh karena itu penting untuk menanyakan adanya keluhan terkait gejala
inkontinesia pada pasien dengan komorbiditas tertentu.

Ringkasan
Proses menua mengakibatkan perubahan anatomi dan fisiologis pada
sistem urogenital bagian bawah, namun usia lanjut bukan penyebab terjadinya
IU, melainkan faktor usia hanya merupakan salah satu faktor predisposisi IU.
Tatalaksana IU meliputi terapi non farmakologi, farmakologi dan pembedahan.
Tatalaksana Inkontinensia urin dapat berhasil baik terutama pada usia lanjut
dengan mobilitas dan fungsi mental yang masih baik. Inkontinensia urin selalu
dapat ditangani sedemikian rupa sehingga tetap membuat pasien nyaman,
memudahkan pramurawat, dan meminimalkan biaya untuk merawatnya.
Adalah penting untuk mengenali berbagai tipe inkontinensia urin agar dapat
melakukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk orang usia lanjut.

Kasus 1.
Seorang wanita, usia 63 tahun datang dengan riwayat mengompol yang
tidak dapat ditahan selama 9 bulan terakhir, buang air kecil 4 kali per malam,
dan perasaan urgensi. Pasien menyangkal rasa sakit saat buang air kecil,

656 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Inkontinensia Urin pada Pasien Geriatri oleh Internis

kesulitan mengosongkan kandung kemih sepenuhnya, dan rasa sakit dengan


kandung kemih penuh. Pasien membatasi asupan cairannya hingga 4 gelas
air per hari dan berhenti minum cairan 4 jam sebelum tidur. Pasien sudah
berobat pada dokter penyakit dalam, yang meresepkan oksibutinin. Pasien
telah minum obat selama 3 bulan tetapi berhenti setelah dia mengalami
sembelit parah dan mulut kering. Pasien menyatakan obat tsb tidak membantu
gejalanya. Pasien frustrasi dengan gejalanya dan bertanya apakah ada pilihan
lain selain obat.

Kasus 2
Tn D, usia 86 tahun datang kontrol evaluasi tahunan ke klinik Anda.
Pasien memiliki riwayat medis hipertensi, BPH, dan penyakit refluks
gastroesofageal. Pasien tinggal sendirian namun masih sering bepergian
ke kota dengan hawa sejuk. Selama beberapa tahun pasien telah dirawat
karena BPH dengan obat alpha-blocker non-selektif, terazosin 10 mg, pada
malam hari. Selain itu, pasien konsumsi amlodipine 10 mg setiap hari, enteric
coated 80 mg, dan omeprazole 20 mg setiap hari. Pancaran berkemih yang
lemah pada awalnya membaik dengan penambahan terazosin, namun pasien
mencatat peningkatan frekuensi buang air kecil. Pasien bangun dua atau tiga
kali di malam hari untuk berkemih, hal tersebut dirasa mengganggu karena
mengganggu tidurnya. Pasien menyangkal mendengkur atau kesulitan
bernafas saat tidur. Pasien juga mulai memperhatikan bahwa lebih sulit untuk
membuatnya ke toilet pada waktu siang hari ketika dia memiliki keinginan
untuk buang air kecil, dan sekitar seminggu terahkir pasien mengeluhkan
mengompol sejumlah kecil urin sebelum mencapai kamar mandi. Selain
itu, pasien mengeluh setelah berkendara perjalanan panjang muncul rasa
urgensi berkemih yang luar biasa yang sering menyebabkan mengompol, dan
merasakan kondisi ini mengesalkan dan memalukan.

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (2007). Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Inkontinensia Urin pada usia lanjut.
2. Rattu MA (2015). Pharmasist’s Role in Managing Male Urinary Incontinence. US
Pharm., 40 (8), 35-38.
3. Vaughan CP, Johnson TM (2017). Incontinence. In: Hazzard’s Geriatric Medicine
and Gerontology. 7 th edition. Eds: Halter JB, Ouslander JG, Studenski S, High KP,
Asthana S, Ritchie CS, Supiano MA. Mc Graw-Hill.
4. Vaughan Cp, Johnson TM (2010). Incontinence. In: Case-based Geriatrics: A Global
Approach. Eds: Darryl Wieland and Victor A. Hirth. Mc Graw Hill.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 657


Novira Widajanti

5. Van Gerwen M, Schellevis F, Lagro-Janssen T (2007). Comorbidities Associated


with Urinary Incontinence: A Case-Control Study from the Second Dutch National
Survey of General Practice. The Journal of the American Board of Family Medicine
November 2007, 20 (6), 608-610.
6. Marjorie L. Pilkinton ML, Shalom D, Winkler HA (2016). The latest treatments for
urinary and fecal incontinence: Which hold water? . OBG Management 28 (2), 33-
40.

658 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Apa, Mengapa, dan Bagaimana:
Inisiasi Dini Penggunaan Insulin
dalam Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2
Rulli Rosandi
Divisi Endokrin Metabolik dan Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang

Latar Belakang
Diabetes adalah penyakit yang disebabkan karena pankreas tidak
menghasilkan cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif
menggunakan insulin yang dihasilkannya. Jumlah kasus dan prevalensi
diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Secara global,
diperkirakan 422 juta orang dewasa hidup dengan diabetes pada tahun 2014,
dibandingkan dengan 108 juta pada tahun 1980. Prevalensi diabetes di dunia
(dengan usia yang distandarisasi) telah meningkat hampir dua kali lipat
sejak tahun 1980, meningkat dari 4,7% menjadi 8,5% pada populasi orang
dewasa(1). Hal ini mencerminkan peningkatan faktor risiko terkait seperti
kelebihan berat badan atau obesitas.

Selama beberapa dekade terakhir, prevalensi diabetes meningkat lebih


cepat di negara berpenghasilan rendah dan menengah daripada di negara
berpenghasilan tinggi. Data yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia melalui riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018(2)
menunjukkan peningkatan prevalensi dari laporan Riskesdas tahun 2013 yaitu
6.9 % pada tahun 2013 menjadi 8.5 % pada tahun 2018, sehingga estimasi
jumlah pasien Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) di Indonesia mencapai lebih
dari 16 juta orang yang berisiko terkena komplikasi seperti serangan jantung,
stroke, kebutaan, dan gagal ginjal.

Jika parameter kadar HbA1C dipakai sebagai patokan untuk kendali


glukosa darah maka studi DiabCare Indonesia 2012 menunjukkan rerata
HbA1C di Indonesia adalah 8.3 %. Data dari Discover Indonesia menunjukkan
angka rerata HbA1C yang lebih tinggi lagi yaitu 9.2 %, tertinggi diantara
negara-negara yang ikut dalam studi tersebut. Terlepas dari perbedaan angka
tersebut, kurang dari sepertiga (30.8%) dari pasien diabetes di Indonesia
yang mencapai kadar HbA1C seperti yang ditargetkan oleh American Diabetes
Association (ADA). Studi diabcare Indonesia juga memberikan data bahwa
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 659
Rulli Rosandi

rerata glukosa darah puasa pada pasien Indonesia adalah 164.3 mg/dl dan
glukosa darah setelah makan adalah 225.8 mg/dl, juga diatas target dari ADA.
Ketidakberhasilan pencapaian HbA1C ini menimbulkan implikasi didalam
komplikasi terkait diabetes yaitu peripheral neuropathy (59.1%), disfungsi
ereksi (32.4%), komplikasi mata (29.1%), komplikasi kardiovaskular (22.8%),
komplikasi ginjal (14.5%), dan komplikasi kaki (12.4%).
Data dari United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)
menunjukkan bahwa penatalaksanaan DMT2 yang intensif sejak diagnosis
akan mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular
sesudahnya. Data beberapa studi lainnya menunjukkan pentingnya target
tatalaksana yang bersifat individual dan penundaan terhadap tatalaksana
awal dan lanjutan pasien DMT2 akan mengakibatkan timbulnya komplikasi
DMT2 yang bersifat irreversible.

Clinical Inertia dalam Tatalaksana DMT2
Hambatan yang sering dijumpai di lapangan untuk pencapaian target
yang optimal adalah adanya clinical inertia atau perbedaan antara best
practice/rekomendasi yang sebaiknya dikerjakan, dengan tatalaksana pasien
‘seperti biasanya’(3). Banyak studi yang menunjukkan bahwa inisiasi insulin
sering kali masih ditunda setelah kegagalan dari beberapa kombinasi obat
anti diabetes oral (ADO) dalam mencapai kendali glukosa darah seperti yang
inginkan. Sebuah survei yang dilakukan di UK, melibatkan beberapa negara
menunjukkan bahwa sekitar 30% dari dokter keluarga tidak berinisiatif
dalam melakukan inisiasi insulin walaupan lebih dari 92% dari dokter
tersebut setuju bahwa inisiasi dan intensifikasi insulin merupakan komponen
yang penting dalam tatalaksana DMT2. Di negara kita belum ada studi yang
menilai hal ini. Data dari Diabcare menunjukkan pada pasien DMT2 di
Indonesia 84.2% menggunakan ADO, sedangkan 34.7% menggunakan insulin
dengan rerata dosis insulin total yang digunakan adalah 32 unit per hari.
Panduan inisiasi insulin dalam panduan Perkeni 2015(4), menunjukkan bahwa
insulin dapat dimulai apabila target kendali glukosa darah belum tercapai
walaupun sudah menggunakan dua macam atau lebih ADO. Inisiasi insulin
juga dapat dilakukan apabila HbA1C awal pasien adalah > 9 % (lihat gambar
1). Keengganan untuk memulai terapi insulin pada keadaan kendali glukosa
darah yang buruk, walaupun dengan 2 macam atau lebih ADO merupakan
penundaan dari inisiasi insulin. Data di Asia dari studi FINE-Asia, inisiasi
insulin rerata dilakukan pada pasien dengan DMT2 selama 9.3 tahun dengan
rerata HbA1C adalah 9.8%(5)

660 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


lebih ADO. Inisiasi insulin juga dapat dilakukan apabila HbA1C awal pasien adalah > 9 %
(lihat gambar 1). Keengganan untuk memulai terapi insulin pada keadaan kendali glukosa
darah yang buruk, walaupun dengan 2 macam atau lebih ADO merupakan penundaan dari
inisiasi insulin. Data di Asia dari studi FINE-Asia, inisiasi insulin rerata dilakukan pada
Apa, Mengapa, dan Bagaimana: (5)
pasien dengan DMT2 selama 9.3 tahun dengan Inisiasi
rerataDiniHbA1C
Penggunaanadalah
Insulin dalam
9.8% Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2

Gambar 1. Algoritme
Gambar AlgoritmePengelolaan
PengelolaanDMT2
DMT2didiIndonesia
Indonesia– PB Perkeni
– PB 2015
Perkeni 2015

Insulin Sedini Mungkin: Perlukah ?


Insulin Sedini Mungkin: Perlukah ?
Glucotoxicity dan lipotoxicity mempunyai efek yang merusak baik kepada fungsi dari
Glucotoxicity
sel beta pankreas maupun lipotoxicity
dan kerja dari insulin. Banyak kemajuan
mempunyai signifikan
efek yang yang dibuat
merusak dalam
baik kepada
beberapa tahun terakhir dalam hal pemahaman yang lebih baik mengenai dasar seluler dan
fungsi dari sel beta pankreas maupun kerja dari insulin. Banyak kemajuan
molekuler dari lipotoksisitas. Glukotoxicity akan mengakibatkan aktivasi dari gen UCP2 di
signifikan
sel beta yangyang
akan dibuat dalam
mengalihkan beberapa
energi tahun terakhir
yang digunakan dalam
untuk sintesis ATPhal pemahaman
yang kemudian
(6)
akan mengganggu
yang lebih baiksekresi dari insulin
mengenai dasar. Sekresi insulin
seluler danakan terganggudari
molekuler juga dengan adanya
lipotoksisitas.
Glukotoxicity akan mengakibatkan aktivasi dari gen UCP2 di sel beta yang
akan mengalihkan energi yang digunakan untuk sintesis ATP yang kemudian
akan mengganggu sekresi dari insulin(6). Sekresi insulin akan terganggu
juga dengan adanya apoptosis sel beta yang diinduksi oleh hiperglikemia.
Beberapa studi terakhir mengemukakan inisiasi dini penggunaan insulin
dapat memperpanjang sekresi insulin endogen dalam beberapa kategori,
baik pada DMT1 maupun DMT2 sehingga terjadi kendali metabolik yang
lebih baik. Oleh karena itu, mencegah terjadinya kondisi hiperglikemia dalam
waktu yang lama menjadi sangat penting guna menghindari efek negatif dari
komplikasi makro dan mikrovaskular.

Suatu studi retrospektif pada layanan kesehatan primer di Eropa antara


tahun 2005 – 2010 menunjukkan adanya penundaan sekitar 2 tahun dari
diagnosis DMT2 kepada inisiasi insulin. Dalam periode yang sama terjadi
peningkatan komplikasi makrovaskular, dan seperti kita ketahui bersama
jika sudah ada komplikasi makrovaskular maka sulit sekali untuk kembali
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 661
Rulli Rosandi

kepada kondisi sebelumnya. Insulin sendiri juga dapat memperlambat atau


menuda progresivitas dari diabetes. Pada pasien dengan DMT2 yang baru
terdiagnosis, beberapa studi skala kecil menunjukkan pemberian insulin
intensif dapat mengakibatkan remisi dari DMT2 sedikitnya sampai dengan 2
tahun berikutnya. Tabel 1 berikut ini menunjukkan kapan dan kepada siapa
inisasi insulin ini diberikan.

Tabel 1. Kapan dan kepada siapa inisiasi insulin diberikan(7)


Kapan inisiasi insuin diberikan Kapan inisiasi insulin TIDAK dilakukan
 Sudah mencapai dosis ADO yang bisa  Tidak ada kontraindikasi mutlak penggunaan
ditoleransi, namun belum mencapai HbA1C insulin, namun perlu pertimbangan
yang diharapkan mendalam penggunaan insulin pada
 Pasien yang baru terdiagnosis DMT2 dengan pasien yang berusia lanjut, pasien yang
HbA1C ≥ 8.5 % asimptomatik, pasien dengan usia harapan
hidup yang singkat, pasien dengan
 Dekompensasi metabolik keterbatasan tertentu seperti keterbatasan
 End-organ failure mental yang akan kesulitan untuk mengatur
 Pasien dengan gestational diabetes diabetesnya dan mempunyai risiko besar
untuk terjadinya hipoglikemia
 Penyakit akut
 Penggunaan steroid jangka panjang
 Intoleransi kepada anti diabetes oral

Hambatan dalam Inisiasi Insulin dan Kelanjutannya


Ada beberapa hambatan didalam inisiasi insulin. Pertama adalah
hambatan yang berasal dari pasien. Hal ini dikarenakan kebanyakan pasein
merasa khawatir pada saat dilakukannya inisiasi insulin. Data dari Asia
menunjukkan salah satu penyebabnya adalah tingkat pendidikan yang
rendah, selain dari takut jarum, meragukan manfaat dari insulin, kekeliruan
dalam mengartikan bahwa insulin merupakan tahapan akhir- sebelum
meninggal-dalam tatalaksana insulin, ketakutan ketergantungan akan
insulin,dan keengganan akan kesulitan yang membayang saat menggunakan
insulin. Selain pasien sendiri, dokter juga berperan didalam clinical inertia
ini. Salah satunya adalah kekhawatiran dari dokter akan timbulnya risiko
seperti hipoglikemia dan peningkatan berat badan dari tatalaksana insulin
ini. Kesulitan juga berhubungan dengan sistem kesehatan yang ada di
suatu negara. Di Indonesia, inisiasi insulin haruslah dilakukan di fasilitas
kesehatan tingkat lanjut (FKTL), bukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama
(FKTP). Padahal sebagian besar pasien berada dalam pengawasan di FKTP
dan rujukan ke FKTL membutuhkan usaha dan upaya tersendiri. Selain itu
dengan terbatasnya tenaga kesehatan, waktu edukasi yang dibutuhkan oleh
pasien diabetes yang hendak melakukan inisiasi insulin juga menjadi tidak
optimal. Belum lagi alat kesehatan (alkes) yang dibutuhkan yang biasanya
662 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Apa, Mengapa, dan Bagaimana: Inisiasi Dini Penggunaan Insulin dalam Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2

berdampingan dengan inisiasi insulin seperti jarum insulin, glukometer dan


juga stik pemeriksaan self monitoring blood glucose (SMBG), haruslah menjadi
beban bagi pasien karena tidak masuk kedalam tanggungan dari Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Hambatan berikutnya adalah masalah titrasi dosis insulin sampai dengan


kendali glukosa darah tercapai. Studi di Asia menunjukkan rerata perubahan
dosis insulin dalam 6 bulan terapi insulin adalah 0.83 U di Korea dan 6.04 U
di Thailand. Penyebab lainnya adalah target yang hendak dicapai sangatlah
longgar, yang kemungkinan dikarenakan khawatir akan efek hipoglikemia
sehingga pendekatan untuk titrasi insulin masih konvensional. Panduan titrasi
insulin juga masih banyak variasinya. Panduan titrasi insulin kebanyakan
masih mengacu kepada algoritma titrasi insulin yang dikeluarkan oleh
American Diabetes Association/European association for the study of diabetes
(ADA/EASD). Pada kenyataannya titrasi insulin lebih bergantung kepada gaya
dan pengetahuan dari dokter yang meresepkannya.

Strategi Inisiasi Dini Insulin


Berdasarkan hambatan yang sudah dikemukakan diatas dalam hal inisiasi
insulin, maka ada beberapa strategi yang dilakukan untuk mengatasinya.
Yang pertama tentu saja pilihan insulin. Rekomendasi dari ADA dan EASD
menganjurkan pemberian basal insulin sebagai insulin pilihan awal karena
efikasi dan juga aspek keamanannya. Dasar ilmiahnya salah satunya dari
studi 4T yang membandingkan antara basal, prandial dan premixed insulin,
dimana basal insulin memiliki efek minimal untuk terjadinya hipoglikemia
dan juga peningkatan berat badan. Hasil ini tidak terlalu mengherankan
karena tantangan insulin prandial lebih besar dikarenakan keharusan untuk
menyesuaikan antara makanan dan dosis insulin yang diberikan. Dalam
pemilihan insulin basal yang digunakan, hal-hal yang perlu diperhatikan
diantaranya adalah berapa waktu yang dibutuhkan dari insulin basal tersebut
untuk mencapai target yang diinginkan, berapa lama kendali glukosa darah
dapat dipertahankan dengan basal insulin tersebut dan yang tak kalah
penting adalah bagaimana dengan risiko hipoglikemia dan peningkatan berat
badan yang dapat terjadi serta bagaimana tingkat kepuasan pasien dalam
penggunaan insulin tersebut sehari-hari.

Dosis permulaan basal insulin adalah 10 unit per hari atau 0.1-0.2
unit/KgBB/hari dengan titrasi selama harian atau mingguan sesuai dengan
kondisi klinis(8). Panduan dari ADA menunjukkan titrasi dosis 10-15% atau
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 663
Rulli Rosandi

2-4 unit 1-2 kali dalam seminggu untuk mencapai kadar glukosa darah yang
diinginkan. Jika terjadi hipoglikemia maka tangani hipoglikemianya dan
kemudian reduksi dosis 4 U atau 10-20% dari dosis insulin saat ini. Kendali
glukosa darah dapat dicapai dengan menggunakan human insulin NPH atau
dengan menggunakan insulin analog kerja panjang. Kebanyakan basal insulin
diberikan saat waktu tidur malam dan dilakukan titrasi berdasarkan glukosa
darah puasa. Beberapa kebutuhan yang diinginkan untuk basal insulin antara
lain dosis permulaan yang dapat dilakukan dengan mudah dan bersifat
individual, protokol rencana titrasi yang mudah dan dapat dilakukan secara
mandiri oleh pasien(9).

Di Indonesia setidaknya ada tiga generasi basal insuln yang tersedia.
Generasi pertama adalah human insulin NPH, selanjutnya basal analog
(detemir dan Gla-100) serta generasi terakhir yaitu Glargine U-300 dan
degludec yang dikatakan mempunyai risiko hipoglikemia yang lebih rendah(7).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 2. Perbandingan basal insulin


Klasifikasi insulin Lama Kerja CV Risk Risiko Pertimbangan
Hipoglycemia
Intermediate acting NPH 18 jam - +++ Membutuhkan
resuspensi.
Long acting Detemir 16-24 jam - ++ Pemberian
biasanya sehari
dua kali
Gla -100 24 jam Netral ++

Next generation Gla-300 30 jam Netral + Pemberian satu


atau dua kali sehari
Peberian bisa sehari
sekali
Degludec Volume lebih kecil
(U300). Pemberian
sehari sekali dan
fleksibel +++

Implikasi Klinis untuk Praktik


Sasaran kendali glikemik tidak hanya difokuskan kepada pencapaian
HbA1C, namun juga bagaimana pencapaian ini dilakukan dengan risiko
hipoglikemia seminimal mungkin. Meta analisis menyebutkan pemberian
basal insulin dengan tambahan metformin memiliki risiko hipoglikemia 3
episode per pasien per tahunnya, nocturnal hipoglikemia terjadi kurang dari
satu kali dalam setahun, sedangkan hipoglikemia berat sampai memerlukan
664 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Apa, Mengapa, dan Bagaimana: Inisiasi Dini Penggunaan Insulin dalam Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2

bantuan orang lain adalah sangat jarang sekali yaitu 0.07 kejadian per pasien
per tahun. Ini adalah rasionalisasi yang bisa digunakan untuk melakukan
inisiasi insulin diawal dalam paradigma penatalaksanaan diabetes sebelum
pasien memiliki komplikasi lainnya. Selain risiko hipoglikemia, implikasi
klinis lainnya yang perlu diperhatikan adalah peningkatan berat badan.
Penelitian UKPDS memperlihatkan peningkatan berat badan sampai
dengan 4 Kg pada pasien yang mendapatkan insulin. Selain itu satu hal
lagi yang perlu diperhatikan adalah kemudahan dalam melakukan titrasi.
Artinya pasien mempunyai kebebasan dan kemudahan dalam melakukan
penyuntikan insulin. Hal ini perlu dipertimbangkan oleh karena kepatuhan
untuk tatalaksana terapi dipengaruhi oleh kemudahan didalam penggunaan,
frekuensi pemakaian, dan aspek-aspek kemudahan lainnya.

Kendali glukosa darah puasa dapat dicapai dengan menggunakan insulin


human NPH, ataupun menggunakan insulin analog kerja panjang. Dalam
beberapa uji klinis penggunaan insulin analog kerja panjang seperti detemir
dan glargine memiliki risiko hipoglikemia yang lebih rendah dibandingkan
dengan human NPH, walaupun efek ini bersifat moderate.

Penutup
Siapa yang akan menjadi kandidat yang baik untuk terapi insulin dini?
Terlepas dari beberapa konsensus, karakteristik pasien yang akan mendapat
manfaat lebih baik dari inisiasi dini antara lain mereka yang memiliki
peningkatan kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dibandingkan dengan
peningkatan kadar glukosa darah sesudah makan. Selain itu juga pasien
diabetes yang memiliki IMT rendah oleh karena peningkatan berat badan
menjadi salah satu tujuan terapi dan kelompok ini mempunyai kecenderungan
yang lebih besar dalam hal defisiensi insulin. Terakhir, kelompok yang
dipertimbangkan adalah DMT2 obese dengan kadar glukosa darah puasa
yang masih tinggi, sebaiknya insulin yang digunakan dikombinasikan dengan
penggunaan GLP-1 analog.

Akhirnya, inisiasi insulin juga mengharuskan perubahan dalam


penyesuaian kebiasaan sehari-hari, termasuk konsistensi pengaturan asupan
kalori dan juga aktifitas fisik harian.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 665


Rulli Rosandi

Daftar Pustaka
1. Chan JC, Cho NH, Tajima N, Shaw J. Diabetes in the Western Pacific Region--past,
present and future. Diabetes research and clinical practice. 2014;103(2):244-55.
2. Kesehatan K. Hasil Utama Riskesdas 2018. In: Kesehatan K, editor. Jakarta Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia 2018
3. Chan WB, Chen JF, Goh SY, Vu TTH, Isip-Tan IT, Mudjanarko SW, et al. Challenges
and unmet needs in basal insulin therapy: lessons from the Asian experience.
Diabetes, metabolic syndrome and obesity : targets and therapy. 2017;10:521-32.
4. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di
Indonesia 2015. Adi S, editor. Jakarta: PB Perkeni 2015.
5. Tsai ST, Pathan F, Ji L, Yeung VT, Chadha M, Suastika K, et al. First insulinization
with basal insulin in patients with Type 2 diabetes in a real-world setting in Asia.
Journal of diabetes. 2011;3(3):208-16.
6. Rolla A. The pathophysiological basis for intensive insulin replacement.
International journal of obesity and related metabolic disorders: journal of the
International Association for the Study of Obesity. 2004;28 Suppl 2:S3-7.
7. Berard L, Antonishyn N, Arcudi K, Blunden S, Cheng A, Goldenberg R, et al. Insulin
Matters: A Practical Approach to Basal Insulin Management in Type 2 Diabetes.
Diabetes therapy : research, treatment and education of diabetes and related
disorders. 2018;9(2):501-19.
8. Riddle MC. Standards of medical care in Diabetes 2019. Diabetes Care 2019;42(1).
9. Ghosal S, Sinha B, Majumder A, Das AK, Singh AK, Ghoshdastidar B, et al. Consensus
on “Basal insulin in the management of Type 2 Diabetes: Which, When and How?”.
The Journal of the Association of Physicians of India. 2017;65(7):51-62.

666 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Intensifikasi Terapi Insulin di Rawat Jalan:
Strategi Langkah Berikutnya untuk Kontrol
Glikemik yang Lebih Baik
Tri Juli Edi Tarigan
Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Beberapa masalah penting terkait terapi insulin pada diabetes melitus tipe
2 (DMT2) yang masih sering ditemukan di rawat jalan adalah keterlambatan
memulai insulin (fase inisiasi), tidak optimalnya dosis insulin basal sampai
dosis lazim (fase optimasi), dan tidak melakukan intensifikasi tepat waktu
setelah gagal dengan insulin basal (fase intensifikasi). Pada populasi Asia,
inisiasi insulin pada DMT2 dilakukan setelah durasi diabetes rata-rata 9 tahun
dan nilai HbA1C rata-rata 9,4%. Intensifikasi insulin dilakukan setelah rata-
rata 3,7 tahun menggunaan insulin basal.

Insulin basal lazimnya diberikanbersama dengan pengobatan oral. Insulin


basal dapat dititrasi sampai gula darah puasa mencapai target. Intensifikasi
insulin dilakukan jika kontrol glikemik masih belum tercapai, yaitugula
darah puasa sudah mencapai target tetapi gula darah 2 jam postprandial dan
HbA1C masih tinggi. Setelah penggunaan insulin basal selama3 tahun, sekitar
80% pasien tersebut membutuhkan intensifikasi terapi insulin. Namun hal
ini umumnya tidak dilakukan. Banyak strategi intensifikasi insulin yang bisa
ditawarkan. Namun strategi terbaik adalah disesuaikan dengan karakter
masing-masing pasien (individualisasi).

Strategi Intensifikasi Setelah Gagal Dengan Insulin Basal


Karena perjalanan penyakit DMT2 bersifat kronik progresif, maka dengan
berjalannya waktu biasanya kontrol glikemik akan kembali memburuk
walaupun sudah menggunakan insulin basal yang dikombinasi dengan
obat oral. Setelah gagal dengan regimen insulin basal yang dikombinasikan
dengan obat oral, banyak regimen yang dapat ditawarkan kepada pasien
untuk memperbaiki kontrol glikemik. Regimen tertentu belum tentu cocok
untuk semua pasien, sehingga harus dikumpulkan karakater pasien sebanyak
mungkin untuk memilih regimen yang paling sesuai. Keputusan memilih

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 667


Tri Juli Edi Tarigan

regimen insulin merupakan hasil negosiasi dan harus melibatkan pasien agar
pasien merasa ikut bertanggung jawab terhadap pilihan dan berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk taat dengan regimen insulin yang sudah dipilih.

Pasien DMT2 di Indonesia disarankan untuk menaikan frekuensi suntikan


secara gradual karena frekuensi suntikan sangat berpengaruh terhadap
ketaatan dan konsistensi pasien. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pemilihan regimen diantaranya adalah keteraturan aktivitas harian, terutama
jadwal dan jumlah asupan, ketersediaan pemeriksaan gula darah mandiri, dan
level intelektualitas pasien. Beberapa regimen intensifikasi insulin setelah
gagal dengan insulin basal adalah regimen premix dengan dua kali suntikan,
basal plus dengan dua hingga tiga kali suntikan, basal bolus dengan empat
kali suntikan, dan fixed ratio combination. Regimen basal bolus adalah fase
terakhir dari continuum terapi insulin di rawat jalan yang terdiri dari empat
kali suntikan. Pada keadaan tertentu diperlukan “lompatan jauh” dari sekali
suntikan dengan insulin basal langsung menjadi empat kali suntikan dengan
regimen basal bolus, walaupun intensifikasi ini jarang dilakukan untuk pasien
rawat jalan Indonesia. Regimen lain yang lebih baru adalah intensifikasi
dengan sediaan kombinasi insulin basal dengan GLP-1 RA dalam satu sediaan.
Regimen ini baru dikenal dua tahun terakhir dengan frekuensi suntikan
tetap satu kali sehari. Untuk lebih menjelaskan masing-masing regimen akan
diuraikan satu per satu strategi intensifikasi insulin setelah gagal dengan
insulin basal.

Regimen Basal Plus


Regimen basal plus adalah dengan menambahkan satu (basal plus 1)
atau dua kali (basal plus 2) suntikan insulin prandial sebelum makan besar
terbanyak. Regimen ini biasanya ditawarkan kepada pasien yang jadwal
aktivitas hariannya berubah-ubah tetapi mampu melakukan pemeriksaan
gula darah mandiri lebih teratur. Hal lain yang harus diperhatikan adalah
bahwa regimen ini menggunakan dua macam pen sehingga pasien harus
diedukasi lebih teliti agar tidak tertukar saat penyuntikan insulin.

Insulin prandial diberikan dengan dosis 4-6 unit atau 10% dosis insulin
basal terakhir saat sebelum makan besar terbanyak atau sebelum makan besar
yang gula darah premeal berikutnya paling tinggi. Contohnya jika dari kurva
gula darah harian ditemukan gula darah tertinggi adalah sebelum makan
malam maka insulin prandial diberikan sebelum makan siang. Insulin prandial
tersebut dititrasi sampai tercapai target gula darah premeal berdasarkan

668 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Intensifikasi Terapi Insulin di Rawat Jalan: Strategi Langkah Berikutnya untuk Kontrol Glikemik yang Lebih Baik

hasil kurva gula darah harian. Jika target gula darah premeal tertentu sudah
tercapai, maka fokus perhatian dialihkan ke gula darah premeal di titik lain.
Jika terdapat gula darah premeal di titik lain yang selalu konsisten tinggi, maka
dapat ditambahkan satu suntikan insulin prandial berikutnya (basal plus 2).

Regimen Insulin Premix


Regimen premix adalah menggantikan insulin basal ke insulin premix
yaitu campuran dari insulin prandial dengan insulin basal kerja menengah.
Intensifikasi dengan insulin premix biasanya ditawarkan kepada pasien
DMT2 yang memiliki aktivitas harian yang relatif teratur dan memiliki disiplin
waktu yang tinggi. Regimen ini juga cocok untuk individu yang sulit untuk
melakukan pemeriksaan gula darah mandiri secara teratur. Karena regimen
ini hanya menggunakan satu jenis pen maka regimen ini juga cocok untuk
pasien dengan status pendidikan yang rendah. Dengan banyaknya uji klinis
yang menggunakan insulin premix, maka bukti ilmiah regimen premix sudah
sangat kuat sebagai salah satu alternatif strategi intensifikasi di rawat jalan.

Regimen premix dengan dua kali suntikan diberikan dengan cara


membagi dua dosis insulin basal terakhir yang membuat gula darah puasa
mencapai target, yaitu setengah dosis diberikan sebelum makan pagi dan
setengah dosis sisanya diberikan sebelum maan malam. Titrasi dosis insulin
premix dilakukan dengan pemeriksaan gula darah predinner untuk dosis
premix yang disuntikan sebelum makan pagi dan pemeriksaan gula darah
prebreakfast untuk dosis premix yang disuntikan sebelum makam malam.
Pada saat titrasi naik maka pasien diedukasi saat-saat rawan hipoglikemia
yaitu sekitar pukul 9-10 pagi dan sekitar pk 21-22 malam, maka sebaiknya
saat-saat tersebut pasien diberikan camilan secukupnya untuk menghindari
hipoglikemia. Jika saat titrasi dengan regimen premix dua kali suntikan
gula darah predinner dan prebreakfast sudah tercapai tetapi HbA1C masih
tinggi, maka perlu diintensifikasi dengan premix tiga kali suntikan. Terdapat
perbedaan distribusi dosis saat menggunakan low mix dengan high mix saat
diberikan menjadi tiga kali suntikan. Jika menggunakan low mix maka dosis
yang diberikan untuk setiap makan besar tidak boleh sama tetapi lebih kurang
dengan perbandingan 2:1:3

Teknik-teknik menggunakan insulin premix sangatlah variatif dan


bisa disesuaikan dengan karakter masing-masing pasien. Umumnya insulin
premix digunakan sendiri dengan satu sampai tiga kali suntikan sehari, tetapi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 669


Tri Juli Edi Tarigan

juga bisa digunakan bersama kombinasi dengan rapid acting atau long acting
atau insulin premix yang berbeda konsentrasi (regimen heteromix).

Regimen Basal Bolus


Pada beberapa keadaan dimana terjadi perburukan serius kontrol
glikemik saat menggunakan insulin basal dan obat oral, maka mungkin saja
langsung diberikan regimen basal bolus dengan empat kali suntikan. Pada
keadaan diabetes yang berat disertai dengan gejala insulinopenia yang
signifikan, maka pasien dapat diberikan regimen basal bolus. Pada kasus
infeksi tuberkulosis atau infeksi kronik lain seperti ostemielitis yang disertai
dengan penurunan berat badan drastis juga dapat langsung diintensifikasi
dengan regimen tersebut.

Teknik penambahan insulin prandial adalah dengan memberian 4-6 unit


insulin prandial sebelum makan besar atau 0,1 unit per kilogram berat badan
pada saat setiap sebelum makan besar. Tentu insulin basal yang sebelumnya
sudah diberikan tetap dilanjutkan. Titrasi dosis sama seperti lazimnya
pemberian regimen basal bolus yaitu dengan melihat kurva gula darah harian
di waktu dan sebelum makan besar.

Fixed Ratio Combination (FRC)


Strategi terbaru intensifikasi insulin setelah gagal dengan insulin basal
adalah dengan pemberian fixed ratio combination, yaitu kombinasi antara
insulin basal kerja panjang dengan GLP-1 RA dalam satu sediaan pen insulin.
American Diabetes Association (ADA) belakangan menganjurkan untuk
mendahulukan penggunaan suntikan GLP-1RA setelah gagal oral pada pasien
yang tidak disertai gejala-gejala insulinopenia, terutama pada pasien dengan
obesitas dan riwayat penyakit aterosklerosis.

FRC ini merupakan kombinasi obat dari golongan yang berbeda yaitu
insulin basal dan GLP-1 RA, sehingga memiliki efek saling melengkapi
sekaligus mengurangi efek samping masing-masing komponen. Dari studi-
studi didapatkan bahwa FRC memiliki capaian kontrol glikemik yang mirip
dengan masing-masing komponen jika diberikan secara terpisah, tetapi
memiliki profil hipoglikemia dan kenaikan berat badan yang lebih baik.

Karena kombinasi ini dalam satu sediaan pen maka frekuensi suntikan
yang diberikan hanya sekali sehari. Sebagai patokan dosis adalah komponen

670 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Intensifikasi Terapi Insulin di Rawat Jalan: Strategi Langkah Berikutnya untuk Kontrol Glikemik yang Lebih Baik

insulin basal, dosis GLP-1 RA akan mengikuti sesuai rasio insulin dan GLP-1
RA yang tersedia dari setiap pabrik pembuat.

Simpulan
Teknik-teknik intensifikasi insulin sangat variatif dan dapat dipilih sesuai
karakter harian pasien. Semakin berat diabetesnya tentu semakin banyak
frekuensi suntikan yang diperlukan agar dapat sebaik mungkin mencapai
target gula darah tanpa terjadi hipoglikemia. Edukasi adalah “ujung tombak”
setiap fase pemberian terapi insulin sehingga membutuhkan tim edukator
yang baik di setiap pelayanan diabetes.

Daftar Pustaka
1. Khunti K, Wolden ML, Thorsted BL et al. Clinical Inertia in People With Type 2
Diabetes: A retrospective cohort study of more than 80,000 people.
2. Khunti K, Mikolajsen A, Thorsted BL et al. Clinical inertia with regard to intensifying
therapy in people with type 2 diabetes treated with basal insulin. Diabetes Obes
Metab. 2016;18:401–9
3. Wu T, Betty B, Downie M, et al. Practical Guidance on the Use of Premix Insulin
Analogs in Initiating, Intensifying, or Switching Insulin Regimens in Type 2
Diabetes. Diabetes Ther. 2015; 6:273–287
4. Perkeni. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus. 2015
5. ADA Standards of Medical Care in Diabetes 2019. Diabetes Care 2019;42(1)
6. Unnikrishnan AG, Tibaldi J, Hedlet-Brown M, et al. Practical guidance on
intensification of insulin therapy with BIAsp 30: a consensus statement. Int J Clin
Pract. 2009. 63;11; 1571-7

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 671


Prinsip Pencegahan dan Tatalaksana Obesitas
pada Orang Dewasa
Nanny NM Soetedjo
Divisi Endokrinologi dan Metabolisme, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Hasan Sadikin - Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung

Pendahuluan
Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, bahkan
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa obesitas merupakan
suatu epidemi global sehingga menjadi masalah kesehatan yang harus segera
ditangani.1 Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit
yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.
Obesitas diketahui menjadi salah satu faktor risiko munculnya berbagai
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan stroke.2,3 Prinsip tatalaksana
dan pencegahan obesitas akan dibahas dalam makalah ini.

Klasifikasi Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai kelebihan masa lemak, dimana
berhubungan dengan berbagai risiko penyakit. Tetapi kelebihan masa lemak
dalam tubuh sampai saat ini belum ada konsensus yang menyatakan berapa
normal masa lemak dalam tubuh. Oleh karena itu definisi obesitas masih
menggunakan kategori obesitas dan overweight yang masih ada. Klasifikasi
yang paling umum adalah menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), dimana
overweight dikatakan jika IMT antara 25-29,9 kg/m2, dan obesitas jika IMT >
30 kg/m2, tetapi untuk Asia Pasifik overweight jika IMT 23-24,9 kg/m2 dan
obesitas jika > 25 kg/m2.4 Namun, IMT > 30 kg/m2 sebenarnya tidak bisa
dikatakan pasti ada obesitas, sebagai contoh pada binaraga atau pasien
dengan edema seperti pada kelainan jantung, hati maupun ginjal, maka akan
sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa pada kasus-kasus seperti ini ada
obesitas. Salah satu pengukuran yang sederhana adalah dengan melakukan
pengukuran lingkar pinggang (waist circumference), sehingga pada kasus-
kasus dengan overweight kita sebaiknya melakukan juga pengukuran lingkar
pinggang ini.5

Prinsip Terapi Obesitas


Tatalaksana obesitas meliputi berbagai disiplin ilmu dan pendekatan
berbagai ahli. Pendekatan dimulai dengan penilaian (assessment) individu
672 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Prinsip Pencegahan dan Tatalaksana Obesitas pada Orang Dewasa

terhadap riwayat pasien. Untuk mengobati pasien secara tepat dilakukan


langkah-langkah dimulai dari pencegahan primer, terapi dan mempertahankan
atau pencegahan sekunder. Pada tahap pencegahan primer dan pencegahan
sekunder maka nutrisi yang sehat berdasarkan masing-masing individu
serta perubahan perilaku serta modifikasi gaya hidup diperlukan, jika terapi
obesitas untuk menurunkan berat badan makan diperlukan keseimbangan
energi negatif yang artinya asupan harus lebih sedikit daripada energi yang
diperlukan oleh tubuh.6

Prinsip pendekatan terapi akan sangat berbeda antara tahap menurunkan


dan mempertahankan berat badan. Pada tahap menurunkan diperlukan
keseimbangan energi negatif, sedangkan pada tahap mempertahankan
diperlukan keseimbangan antara asupan dan energi yang dikeluarkan
sehingga komposisi nutrisi sangat diperlukan pada tahapan ini.6

Indikasi terapi obesitas berdasarkan IMT dan distrubusi lemak


tergantung daripada penyakit komorbidnya, faktor risiko dan keinginan
pasien. Berdasarkan guideline, maka indikasi terapi obesitas adalah apabila
ada salah satu dari:
1. IMT > 30 kg/m2 untuk Asia > 25 kg/m2
2. Pasien overweight dengan adanya:
- penyakit penyerta (hipertensi, DM tipe 2)
- obesitas abdominal
- penyakit yang disebabkan oleh obesitas
- atau ada gangguan atau tekanan yang besar oleh karena naiknya
berat badan4,7

Pada kondisi Sindroma Metabolik juga dengan kondisi overweight maka


sudah harus mulai dilakukan terapi obesitas sedangkan pada kondisi tanpa
Sindroma Metabolik terapi obesitas dilakukan pada IMT termasuk obesitas.
Akan tetapi pada umur > 60 tahun justru IMT dengan overweight mempunyai
angka survival lebih baik dari pada dengan IMT di bawah overweight. Oleh
karena itu IMT dan lingkar pinggang sebenernya tidak bisa dijadikan satu-
satunya ukuran dalam menentukan terapi, semuanya harus individual.8

Tujuan daripada pengobatan obesitas adalah menurunkan berat badan


untuk jangka waktu lama dengan perubahan gaya hidup sehingga dapat
menurunkan faktor risiko penyakit yang diakibatkan oleh obesitas dan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 673


Nanny NM Soetedjo

memperbaiki kualtias hidup, sehingga sebenarnya berat badan bukan menjadi


satu-satunya tujuan dalam terapi obesitas.6,9

Terapi Obesitas Non Pembedahan


Tatalaksana obesitas meliputi komponen nutrisi, olahraga dan perubahan
perilaku, tergantung pada individu masing-masing makan ketiga komponen
ini harus diterapkan sekaligus atau kombinasi.6,9,10

Untuk nutrisi sendiri harus diperhatikan kebiasaan pasien makan dan


pentingnya mencatat asupan makan harian (recall), sehingga dapat diketahui
berapa banyak kalori yang biasa dimakan pasien sehari-hari. Penurunan berat
bdan dapat dicapai dengan melakukan keseimbangan negatif dimana dengan
mengurangi asupan 500-1000 kalori perhari secara konstan, sehingga terjadi
penurunan berat badan 0,5-1 kg perminggu (2-4 kg sebulan) adalah hal yang
sangat realistik. Nutrisi yang seimbang antara protein dan mikronutrien
diperlukan pada kondisi ini, bisa dibantu dengan produk-produk komersial
yang ada sehingga dalam sehari kalori yang masuk harus minimal 1200 kalori.
Karbohidrat yang harus dikurangi sehingga dapat memenuhi kebutuhan
protein. Pada overweight penurunan berat badan 5-10% sudah sangat
cukup.6,9,10

Pada obesitas grade 1 (IMT 30-35 kg/m2) rekomendasi terapi adalah


dengan tanpa pembedahan, dan formula diet boleh digunakan pada kondisi
ini, sedangkan untuk obesitas grade II dan III (IMT > 35 kg/m2) penurunan
berat badan 10-20% menjadi tujuan utama, sedangkan pada IMT > 40 kg/m2
target penurunan berat badan adalah 10% bahkan sampai 30%, dimana ada 2
cara untuk mencapainya yaitu dengan konservatif atau dengan pembedahan
bariatrik.6,9,10

Untuk olahraga disesuaikan dengan kondisi fisik dan kemampuan


pasien, untuk olahraga diajurkan mencapai minimal 4 jam dalam seminggu
atau pembakaran sekitar 2000 kalori per minggu. Perubahan perilaku juga
diperlukan dalam terapi nutrisi, olahraga maupun pola tidur.9-11
Selain nutrisi, olahraga dan perubahan gaya hidup, kita juga harus mencatat
obat-obat apa saja yang biasa dikonsumsi pasien, karena ada beberapa obat-
obatan yang akan menaikkan berat bedan seperti obat psikiatrik.11,12

Penggunaan obat-obatan pada terapi obesitas dianjurkan pada guidelines


adalah apabila IMT > 27 kg/m2 dengan adanya komorbid atau IMT > 30 kg/m2.

674 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Prinsip Pencegahan dan Tatalaksana Obesitas pada Orang Dewasa

Mekanisme obat-obatan yang digunakan antara lain menurunkan absorpsi


makanan di usus (orlistat), mengurangi nafsu makan (rimonabant, liraglutide,
semaglutide) atau meningkatkan energy expenditure (sibuteramine).
Penggunaan obat-obat ini boleh dicoba tetapi sebenernya hanya menurunkan
3% dibandingkan dengan perubahan gaya hidup yang bisa mencapoai
5-10%.11,12

Terapi Obesitas dengan Pembedahan Bariatrik


Terapi Obesitas dengan Pembedahan adalah jika IMT > 40 kg/m2, atau
antara 35-40 kg/m2, yang disertai dengan penyakit komorbid, pasien yang
sudah mencoba semua cara non pembedahan akan tetapi gagal menurunkan
berat badannya. Syarat melakukan terapi pembedahan adalah pasien dalam
kondisi sehat untuk dilakukan pembiusan serta pembedahan, pasien mau
mengikuti terapi intensif selama 3 bulan ke depan serta pasien mau melakukan
terapi jangka panjang seumur hidupnya.11-13

Pada dasarnya, bedah bariatrik adalah prosedur modifikasi saluran


pencernaan. Cara kerjanya menggunakan prinsip restrictive atau menyulitkan
makanan yang lewat dan malabsorpsi atau mencegah terserapnya makanan.
Ada beberapa jenis bedah bariatrik yang kerap dipilih pasien obesitas. Di
antaranya adalah gastric bypass, sleeve gastrectomy, mini gastric bypass,
dan adjustable gastric banding. 14
1. Adjustable gastric banding
Teknik terakhir ini tak banyak memotong atau memodifikasi usus.
Teknik ini mengaplikasikan cincin untuk mengikat bagian atas lambung.
Kekuatan ikatan cincin bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Jika berat
badan sudah mencapai target, cincin bisa dibuka. Namun, bukan berarti
teknik ini hadir tanpa risiko. Jika pasien tak mematuhi saran dokter,
makanan bisa tersangkut karena tak berhasil melewati cincin.14
2. Sleeve gastrectomy
Sleeve gastrectomy menjadi salah satu teknik bedah paling mudah.
Sebanyak 85 persen lambung pasien akan dipotong dan disisakan
sebanyak 15 persen atau seukuran jari kelingking. Teknik ini, kata
Peter, bisa diaplikasikan pada pasien obesitas yang tidak terlalu berat.
Penurunan berat badan akan cukup drastis, yakni 5 persen lebih banyak
daripada teknik lain. Sleeve gastrectomy pun bisa menumbuhkan pola
hidup yang baik pada pasien. Dengan ukuran perut yang kecil, otomatis

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 675


Nanny NM Soetedjo

pasien akan cepat merasa kenyang dan sekaligus menurunkan porsi


makan secara drastis.14
3. Gastric bypass
Dari namanya, teknik ini bertujuan membuat jalan pintas atau bypass untuk
makanan. Berbeda dengan sleeve gastrectomy, gastric bypass hanya
memotong lambung paling sedikit 15 cc pada bagian atas untuk kemudian
dibuat ‹jalan pintas› hingga makanan tidak melewati sebagian usus. Teknik
ini menerapkan salah satu prinsip yakni malabsorpsi. Makanan tidak
melewati sebagian usus sehingga penyerapan kalori tidak sempurna atau
berkurang. Gastric bypass juga cukup banyak diaplikasikan pada pasien
obesitas. Meski demikian, prosedur ini terbilang lebih rumit. Dumping
syndrome sendiri merupakan gangguan pencernaan akibat konsumsi
makanan manis berlebih yang membuat perut terasa sakit. Rasa sakit itu
memancing pengeluaran cairan, termasuk insulin.14
4. Mini gastric bypass
Teknik ini merupakan gabungan dari kedua teknik sebelumnya.
Menganut dua prinsip pembedahan, pemotongan lambung akan lebih
panjang dari gastric bypass namun tak lebih panjang daripada sleeve
gastrectomy.14

Gambar 1. Macam-macam Tehnik Pembedahan Bariatrik14


Gambar 1. Macam-macam
(A. Adjustable gastric banding, B.Tehnik Pembedahan
Sleeve gastrectomy, Bariatrik
C. Gastric
14
bypass, D.
(A. Adjustable gastric banding, B. SleeveMini gastric bypass)
gastrectomy, C. Gastric bypass, D. Mini gastric bypass)
Ringkasan
676 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Terapi obesitas meliputi non pembedahan dan pembedahan. Terapi non pembedahan meliputi
multidisiplin yang mangatur pola makan, olahraga, gaya hidup serta merubah pola piker,
karena terapi obesitas meliputi fase awal, fase menurunkan berat badan dan fase
mempertahankan berat badan. Terapi pembedahan bariatrik pada obesitas mempunyai efek
Prinsip Pencegahan dan Tatalaksana Obesitas pada Orang Dewasa

Ringkasan
Terapi obesitas meliputi non pembedahan dan pembedahan. Terapi non
pembedahan meliputi multidisiplin yang mangatur pola makan, olahraga,
gaya hidup serta merubah pola piker, karena terapi obesitas meliputi
fase awal, fase menurunkan berat badan dan fase mempertahankan berat
badan. Terapi pembedahan bariatrik pada obesitas mempunyai efek jangka
panjang yang masih belum banyak diketahui akan tetapi diindikasikan pada
kelompok-kelompok pasien obesitas tertentu dan memerlukan skill yang
tinggi dari operator maupun tenaga kesehatan dalam melakukan terapi post
pembedahan serta komitmen pasien untuk melakukan terapi seumur hidup.

Daftar Pustaka
1. WHO. WHO Projections of mortality and causes of death, 2015 and 2030. WHO
(2017).
2. Thomsen, M. & Nordestgaard, B. G. Myocardial Infarction and Ischemic Heart
Disease in Overweight and Obesity With and Without Metabolic Syndrome. J. Am.
Med. Assoc (2015); 174:15–22.
3. Haley, M. J. & Lawrence, C. B. Obesity and stroke : Can we translate from rodents to
patients? (2016). doi:10.1177/0271678X16670411.
4. WHO Western Pasific Region. The Asia-Pasific Perpective: Redefining Obesity and
its treatment. WHO (2000).
5. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Obesity: Guidance
on the 
prevention of overweight and obesity in adults and children [CG189].
Published 2014. 
https://www.nice.org.uk/guidance/cg189.

6. Bischoff SC, Boirie Y, Cederholm T, Chourdakis M, Cuerda C, et al. Towards a
multidisciplinary approach to understand and manade obesity and related
diseases. Clinical Nutrition (2016); 30:1-22.
7. Cederholm T, Barazzoni R, Austin P, Ballmer P, Biolo G, et al. ESPEN Guidelines on
Definitions and Terminology of Clinical Nutrition. Clinical Nutrition (2017); 36:49-
64.
8. Barazzoni R, Bischoff S, Boirie Y, Busetto L, Cederholm T, et al. Sarcopenic Obesity:
Time to Meet the Challenge. Obes Facts (2018);11:294-305.
9. Yumuk V, Tsigos C, Fried M, Schindler K, Busetto L, et al. European Guidelines for
Obesity Management in Adults. Obes Facts (2015);8:402-24.
10. Yumuk V, Fruhbeck G, Oppert JM, Woodward E, Toplak H. An EASO Position
Statement on Multidisciplinary Obesity Management in Adults. Obes Facts (2014);
7:96-101.
11. Garvey WT, Mechanick JI, Brett EM, Garber AJ, Hurley DL, et al. American Association
of Clinical Endocrinologist and American College of Endocrinology Comprehensive

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 677


Nanny NM Soetedjo

Clinical Practice Guidelines for Medical Care of Patients with Obesity. Endocrine
Practice (2016); 22: 1-203.
12. Apovian CM, Aronne LJ, Bessesen DH, McDonnell ME, Murad MH, et al.
Pharmacological Management of Obesity: An Endocrine Society Clinical Practice
Guideline. J Clin Endocrinol Metab (2015); 100(2):342-62.
13. NICE Guidelines for Bariatric Surgery Disadur dari: https://www.
plymouthhospitals.nhs.uk/nice-guidelines-for-bariatric-surgery
14. Pareek M, Schauer PR, Kaplan LM, Leiter LA, Rubino F, Bhatt DL. Metabolic Surgery:
Weight Loss, Diabetes and Beyond. JACC (2018); 71(6).

678 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Problematika Pemberian Vaksin
pada Orang Dewasa
Iris Rengganis, Anshari S. Hasibuan
Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Imunisasi merupakan salah satu intervensi yang paling sukses dan


efektif dalam sejarah kesehatan dunia. Imunisasi telah membasmi penyakit
cacar dan sejauh ini menurunkan insidens polio global sampai 99%. Selain
itu, imunisasi juga berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit difteri, tetanus, pertusis dan campak. Bahkan menurut World
Health Organization (WHO), pelayanan imunisasi yang efektif menjadi salah
satu pilar sistem kesehatan guna mencapai Sustainable Development Goals
(SDGs) pada tahun 2030. Meski memiliki sejarah kesuksesan masa lalu yang
tidak terbantahkan dan menjanjikan harapan di masa depan, imunisasi masih
merupakan agenda yang belum terselesaikan. WHO merancang sebuah strategi
global tentang imunisasi dalam Global Vaccine Action Plan (GVAP) 2011-
2020. GVAP merupakan kerangka yang telah disetujui semua negara anggota
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang kesehatan dunia (World Health
Assembly) pada Mei 2012. Tentu strategi imunisasi ini mencakup imunisasi
bayi, anak-anak, orang dewasa sampai usia lanjut. Vaksinasi dewasa yang
sangat dianjurkan antara lain adalah vaksin pneumokok dan influenza untuk
orang usia lanjut, vaksin human papillomavirus (HPV) untuk mencegah kanker
serviks bagi perempuan muda, serta vaksin tetanus. Selain itu untuk mencegah
campak, gondong dan campak Jerman diperlukan vaksin Measles, Mumps,
Rubella (MMR). Petugas kesehatan dianjurkan untuk mendapat imunisasi
hepatitis B dan varisela, sedangkan wisatawan disarankan untuk imunisasi
demam tifoid dan hepatitis A. Calon jamaah haji dan umrah dianjurkan untuk
mendapat imunisasi meningokok dan influenza.

Cakupan vaksinasi dewasa di dunia masih cukup rendah. Berdasarkan


data Mortality dan Morbidity Weekly Report (MMWR) tahun 2017 jumlah
cakupan vaksinasi tertinggi hanya sekitar 60% yaitu vaksin pneumokokus
dan hepatitis B. Sedangkan cakupan vaksinasi influenza pada masyarakat
umum di Asia masih rendah, hanya sekitar 14,9% dan pada pekerja kesehatan
hanya 37,6%. Imunisasi pada orang dewasa sama manfaatnya dengan
imunisasi pada anak dalam mencegah penyakit menular. Untuk menekan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 679


Iris Rengganis, Anshari S. Hasibuan

tingkat penularan penyakit, masyarakat perlu memperoleh imunisasi dewasa.


Beberapa negara maju telah mencanangkan program imunisasi dewasa secara
massal untuk eradikasi penyakit tertentu. Amerika Serikat telah melakukan
program imunisasi influenza, pneumokok, campak, rubela, dan hepatitis B.
Australia melakukan program vaksinasi terhadap 60% populasi usia lanjut
yang berusia diatas 65 tahun.

Pada dasarnya, kebijakan imunisasi di Indonesia dan negara-negara


di Asia Tenggara secara khusus diutamakan pada imunisasi bayi dan anak-
anak. Hal ini kemudian menyebabkan imunisasi pada dewasa menjadi kurang
terpublikasi dan terabaikan secara luas di masyarakat. Padahal sangat banyak
penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi pada orang dewasa. Data
menunjukkan bahwa sekitar 50.000 sampai 70.000 orang usia dewasa di
Amerika Serikat dilaporkan meninggal karena influenza, pneumokokus atau
hepatitis B, sedangkan angka kematian pada usia anak yang mendapatkan
program imunisasi sekitar 1.000 orang. Mengingat bahwa angka mortalitas
akibat penyakit menular menduduki peringkat ketiga setelah penyakit
kardiovaskular dan kecelakaan, maka pemberian imunisasi sudah seharusnya
mendapat perhatian khusus untuk mencegah penularan infeksi termasuk
pada orang dewasa.

Implementasi imunisasi dewasa di Indonesia sendiri masih sangat


terbatas walaupun perangkat imunisasi yang dibutuhkan telah tersedia.
Subdirektorat imunisasi, Direktorat Jenderal P2PL, Kementerian Kesehatan
melakukan program imunisasi dewasa baru pada wanita usia subur yang
meliputi calon pengantin dan wanita hamil dengan pemberian imunisasi
tetanus toksoid untuk mencegah tetanus neonatorum pada bayi. Padahal,
seyogyanya cakupan serta jenis imunisasi dewasa lebih luas daripada itu.
Sejak tahun 2003, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
(PAPDI) telah menghasilkan konsensus imunisasi pada orang dewasa
sehingga diharapkan imunisasi pada orang dewasa di Indonesia akan lebih
luas. Konsensus imunisasi dewasa PAPDI terakhir direvisi pada tahun 2017.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan tahun 2015 cakupan


imunisasi dasar lengkap pada bayi secara nasional adalah 86,9% dan
persentasenya juga berbeda secara provinsi. Tertinggi adalah provinsi
Kepulauan Riau dengan cakupan 100% dan terendah adalah provinsi Papua
Barat dengan cakupan 45%. Tentu, sebagian dari imunisasi dewasa merupakan
lanjutan dari imunisasi saat bayi dan anak-anak. Imunisasi dewasa di Indonesia

680 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Problematika Pemberian Vaksin pada Orang Dewasa

telah berjalan cukup lama, baik berupa program pemerintah maupun atas
inisiatif dan pembiayaan masyarakat. Peran organisasi profesi kedokteran
sangat besar dalam meningkatkan keberhasilan imunisasi di Indonesia.
Hambatan yang dihadapi antara lain minimnya edukasi masyarakat terkait
informasi pentingnya imunisasi, jumlah tenaga kesehatan, ketersediaan dan
distribusi vaksin, masalah dana dan dukungan pemerintah daerah dalam era
desentralisasi.

Edukasi berperan sangat penting dalam mengajak masyarakat untuk


mengikuti program imunisasi. Berita-berita hoaks yang tersebar di masyarakat
tentu berpengaruh terhadap paradigma masyarakat mengenai pentingnya
imunisasi. Beberapa informasi yang tidak benar antara lain adalah bahwa
imunisasi haram hukumnya karena mengandung babi dan munculnya autisme
akibat imunisasi. Hal ini tentu tidak benar. Preparat beberapa jenis vaksin
memang benar bersentuhan dengan komponen enzim dari babi. Namun, melalui
proses ultrafiltrasi dan pencucian sampai ribuan kali, komponen tersebut
tidak lagi terkandung dalam vaksin tersebut, sehingga halal untuk dipakai.
Majelis Ulama di beberapa negara, salah satunya Majelis Ulama Eropa untuk
Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban untuk masalah halal-haram
vaksinasi yang intinya adalah bahwa vaksinasi yang bersinggungan dengan
enzim babi, selama tidak ada gantinya, boleh untuk digunakan. Pengaruh
imunisasi menyebabkan autisme juga tidak benar. Informasi ini awalnya
berasal dari seorang dokter di Amerika Serikat yang meneliti bahwa anak-
anak diimunisasi MMR berisiko lebih tinggi menimbulkan autisme. Setelah
ditelaah, ternyata penelitian ini hanya mengambil beberapa orang subjek saja
dan hasilnya tidak dapat diterima. Banyak hasil penelitian juga bertentangan
dengan hasil penelitian ini. Sehingga tentu kesimpulan dari penelitian ini tidak
benar. Komunitas masyarakat antivaksinasi bukan hanya ada di Indonesia,
di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa pun, masyarakat yang
antivaksinasi pun ada. Ternyata dari beberapa penelitian diketahui bahwa
sebagian dari masyarakat tidak melakukan vaksinasi disebabkan karena
mereka tidak tahu manfaatnya terhadap kesehatan. Salah satu penelitian
yang dilakukan pada jamaah haji Saudi pada tahun 2018, diketahui bahwa
47,5% jamaah haji tidak melakukan vaksinasi influenza sebelum ibadah haji
dikarenakan karena ketidaktahuan mereka mengenai manfaat vaksinasi
influenza. Penelitian di Amerika telah membuktikan, imunisasi influenza
yang diberikan di bawah 65 tahun menunjukkan pengurangan biaya, baik
untuk pengobatan maupun biaya lain akibat kehilangan hari kerja. Terdapat
penurunan kunjungan sekitar 3,44%, kehilangan hari kerja berkurang 3,24%

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 681


Iris Rengganis, Anshari S. Hasibuan

dan pemakaian antibiotik menurun 25%, dan terdapat penghematan rata-


rata 604 ribu USD diantara orang sehat berusia 18-64 tahun. Oleh sebab itu,
peran tenaga kesehatan dalam mengedukasi perlunya melakukan imunisasi,
khususnya imunisasi dewasa ke masyarakat tentu sangat penting. Di masa
depan, kita berharap agar problematika pemberian vaksinasi dewasa di
Indonesia dapat diminimalisasi sehingga cakupannya semakin luas.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Global vaccine action plan 2011-2020. Geneva: WHO
Press; 2013.
2. Williams WW, Lu PJ, Halloran A, Kim DK, Grohskopf LA, et al. MMWR Surveill
Summ. 2017; 66(11): 1–28.
3. Sheldenkar A, Lim F, Yung CF, Lwin MO. Acceptance and uptake of
influenza vaccines in Asia: A systematic review. Vaccine. 2019; 37(35):4896-490.
4. Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.
5. Djauzi S, Rengganis I, Sundoro J, Koesnoe S, Soegiarto G, et al. Pedoman Imunisasi
Pada Orang Dewasa 2017. Jakarta: Interna Publishing; 2017.
6. Centers for Disease Control and Prevention. CDC’s strategic framework for global
immunization, 2016-2020. Atlanta: CDC; 2016.
7. Isahak I. Adult Immunization-a neglected issue in Southeast Asia. South East Asian
J Trop Med Public Health. 2000; 31:173-84.
8. Alfelali M, Barasheed O, Badahdah AM, Bokhary H, Azeem MI,et al; Hajj Research
Team. Influenza vaccination among Saudi Hajj pilgrims: Revealing the uptake and
vaccination barriers. Vaccine. 2018;36(16):2112-2118.

682 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Vaksinasi Influenza pada Orang Dewasa:
Fokus Pada Vaksin Kuadrivalen
Eko E. Surachmanto
Divisi Alergi dan Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Prof. dr. R.D. Kandou - Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Pendahuluan
Penyakit influenza merupakan suatu penyakit menular yang terutama
menyerang sistem pernafasan atas dan disebabkan oleh virus influenza A
atau B. Meskipun sering kali hanya bermanifestasi ringan dan bersifat self-
limiting pada individu imunokompeten, pada beberapa individu dengan risiko
tinggi seperti pasien ibu hami atau imunodefisiensi, penyakit influenza dapat
menyebabkan komplikasi yang berujung kepada kematian. Influenza dapat
menjadi epidemik dan pandemik disertai angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, salah satu penyebabnya adalah karena sangat menularnya virus
influenza.1 World Health Organization memperkirakan setiap tahunnya
terdapat 1 milyar infeksi, 3-5 juta kasus sakit berat, dan 300.000-500.000
kematian setiap tahunnya.2 Influenza juga mempengaruhi produktivitas
kerja, yaitu menyebabkan 10-12% pekerja di dunia cuti karenanya. Salah satu
studi di Amerika pernah menunjukkan bahwa sekitar lima belas juta pekerja
dengan influenza hilang pekerjaan dan harus mengeluarkan biaya untuk
mengobati influenza dengan komplikasinya rata-rata sekitar tiga ratus juta
dolar.3 Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi influenza, salah satu upaya
terbaik adalah melakukan pencegahan dengan cara melakukan imunisasi
influenza. Tantangan dari pengembangan vaksin adalah perlunya disesuaikan
dengan strain yang bersirkulasi setiap tahunnya, karena proses antigenic drift
dari virus influenza.2 Saat ini telah beredar di masyarakat vaksin influenza
kuadrivalen untuk memberikan perlindungan lebih terhadap infeksi influenza.

Influenza
Virus influenza merupakan virus tipe RNA dan terbagi menjadi tiga tipe
utama yaitu A, B, dan C. Virus influenza tipe A dan B berhubungan dengan
epidemik. Influenza tipe A merupakan penyebab tersering terjadinya
epidemik dan pandemik, serta menyebabkan manifestasi klinis yang terberat.
Influenza tipe A terbagi mejadi beberapa subtipe tergantung dari komposisi
glikoprotein yang terdapat pada permukaan luar yaitu hemagglutinin (H atau
HA) dan neuraminidase (N atau NA). Hemaglutinin berperan dalam proses

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 683


Eko E. Surachmanto

penempelan virus pada sel manusia, sedangkan neuraminidase berperan


terhadap penetrasi virus di dalam sel manusia. Saat ini setidaknya terdapat 16
jenis hemaglutinin dan 9 neuraminidase yang telah diketemukan untuk virus
influenza tipe A. Untuk virus influenza tipe umumnya bersifat lebih stabil dan
jarang mengalami antigenic drift.1,2,4,5

Mutasi Antigen Virus Influenza


Salah satu tantangan terbesar dari pengembangan vaksin influenza
berasal dari kemampuan virus influenza untuk mengalami evolusi antigen
pada permukaan glikoproteinnya. Mutasi yang konstan dari virus influenza
menyebabkan virus untuk menghindar dari sistem pertahanan tubuh pejamu
sehingga terjadi infeksi rekuren dan berpotensi terjadi kejadian luar biasa.
Infeksi dari virus influenza dapat menimbulkan kekebalan tubuh jangka
panjang melalui bantuan sel memory post infeksi, akan tetapi akibat dari mutasi
antigen, seseorang menjadi sangat jarang untuk terpapar oleh virus influenza
dengan strain yang sama.1,6 Terdapat dua mekanisme utama dari perubahan
antigenik virus influenza yaitu antigenic shift dan antigenic drift. Antigenic drift
adalah terjadinya mutasi titik pada genome viral sehingga mengakibatkan
perubahan minor pada epitope virus. Antigenic shift perubahan mayor yang
terjadi pada antigen H dan/atau N, sehingga akan menghasilkan subtipe baru
dari virus influenza. Hal ini umum terjadi pada virus influenza A. Antigenic
shift berperan dalam terjadinya pandemik influenza di dunia.6

Vaksin Influenza
Saat ini vaksinasi masih merupakan metode terefektif dalam menurunkan
jumlah kasus influenza dan komplikasinya. Beberapa negara di dunia telah
merekomendasikan kepada masyrakatnya untuk melakukan vaksinasi
influenza per tahun.7 Vaksin influenza terbukti dapat menurunkan hingga
50-80% kejadian influenza, menurunkan 25% kejadian infeksi saluran nafas
atas, menurunkan 44% kunjungan ke dokter dan menurunkan 44% hari cuti
karena sakit pada kelompok pekerja.8

Terdapat dua macam vaksin influenza yaitu vaksin inaktif yang diberikan
secara injeksi dan vaksin hidup yang dilemahkan diberikan secara intranasal.
Vaksin inaktif telah digunakan sejak lama dan merupakan vaksin yang
paling umum dipakai untuk saat ini. Vaksin inaktif dikenal memiliki tingkat
keamanan yang tinggi dan direkomendasikan untuk anak-anak berusia diatas
6 bulan, geriatri, pasien asma, dan individu lain dengan kondisi risiko tinggi.

684 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Vaksinasi Influenza pada Orang Dewasa: Fokus Pada Vaksin Kuadrivalen

Vaksin inaktif saat ini terdapat dua macam yaitu vaksin influenza trivalen dan
kuadrivalen.7,9

Vaksin influenza trivalen mengandung tiga virus yang inaktif yaitu tipe
A (H1N1), tipe A (H3N2), dan tipe B. Terdapat dua sediaan yaitu untuk anak-
anak mengandung 0,25 ml dan untuk dewasa 0,5 ml.10 Setelah vaksin influenza
trivalen, saat ini dikembangkan vaksin influenza kuadrivalen.

Beberapa puluh tahun yang lalu, penyakit influenza didominasi oleh virus
H1N1 dan H3N2, akan tetapi diketahui bahwa penyebaran influenza tipe B
semakin tinggi. Pada sekitar tahun 1980, influenza tipe B diketahui mempunyai
dua tipe yaitu B/Victoria dan B/Yamagata yang berbeda menurut antigenisitas
dan genetiknya. Vaksin trivalen hanya mengandung salah satu tipe dari tipe
virus influenza B, dan dibuat berdasarkan data epidemiologis virologis. Oleh
karena itu, efektifitas dari vaksin trivalen bergantung pada kecocokan dari
tipe virus influenza tipe B yang disuntikkan dengan yang beredar di sirkulasi.
Data menunjukkan bahwa selama 20 tahun terakhir ditemukan sebanyak 4
ketidakcocokan mayor dan setidaknya 8 ketidakcocokan minor antara vaksin
dengan subtipe influenza tipe B yang beredar. Ambrosse, dkk melaporkan
bahwa pernah terjadi ketidakcocokan vaksin dengan virus influenza tipe
B yang beredar setidaknya 5 dari 10 musim pada tahun 2001 hingga 2011
di Eropa. Ketidakcocokan dari tipe influenza B ini akan berdampak pada
suboptimalnya perlindungan yang diberikan oleh vaksin. Berdasarkan
data-data tersebut, kemudian muncul pertimbangan untuk memasukkan
kedua tipe virus influenza B dalam satu vaksin. Pada Februari 2012, WHO
merekomendasikan vaksin influenza kuadrivalen untuk diproduksi, dan pada
Februari 2013, WHO meluncurkan pedoman berupa rekomendasi bahwa
kedua tipe influenza B sebaiknya terdapat dalam satu vaksin.7 Studi oleh
Reed, dkk. menunjukkan bahwa penggunaan vaksin kuadrivalen berpotensi
untuk menurunkan jumlah kasus influenza per tahun hingga 970.000 kasus,
angka rawat inap hingga 8200 kasus, dan angka kematian hingga 485 kasus.11
Studi-studi dari beberapa negara lain di Eropa juga menunjukkan bahwa
penggunaan vaksin kuadrivalen berpotensi untuk menurunkan jumlah kasus,
angka rawat inap, dan kematian akibat influenza dibandingkan dengan vaksin
trivalen.9

Dari segi keamanan vaksin kuadrivalen sebanding dengan vaksin


trivalen.10 Efektivitas vaksin influenza inaktif secara umum hanya bertahan
selama 1 tahun, hal ini berkaitan dengan adanya antigenic drift virus influenza.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 685


Eko E. Surachmanto

Vaksin influenza efektif memberikan perlindungan hingga 90 persen pada


individu sehat berusia kurang dari 65 tahun apabila strain dalam vaksin sama
dengan virus yang beredar. Pada pasien geriatri, vaksin influenza bermanfaat
dalam menurunkan 50-60% angka rawat inap dan hingga 80% mencegah
kematian.7,9,11

Indikasi
WHO saat ini merekomendasikan penggunaan vaksin kuadrivalen untuk
ibu hamil, anak dibawah usia 5 tahun, tenaga medis, pasien geriatri berusia
diatas 65 tahun, atau pasien dengan kondisi kronik. Sedangkan di Amerika
Serikat, vaksin ini direkomendasikan untuk anak berusia ≥ 6 bulan dan
dewasa.9 Prioritas utama diberikan pada pasien usia lanjut dengan penyakit
komorbid kronik atau tinggal di dalam fasilitas tempat tinggal bersama
dalam waktu lama. Selain itu pada orang muda dengan gangguan penyakit
paru kronik, jantung, diabetes, gangguan fungsi ginjal, HIV dan kondisi
imunosupresi, pasien calon jamaah haji, pasien post perawatan di rumah sakit,
dan ibu hamil trimester berapapun direkomendasikan pemberian vaksinasi
influenza.5,9,10

Cara Pemberian
Vaksin influenza kuadrivalen diberikan dosis tunggal sebanyak 0,5 ml
melalui suntikan intramuskular otot deltoid. Vaksin tersebut perlu diulang
setiap tahunnya.5

Efek Samping
Secara umum, vaksin influenza dapat ditoleransi dengan baik oleh
pasien, akan tetapi efek samping tetap dapat muncul. Efek samping umumnya
bersifat ringan dan akan hilang sendiri, tetapi pernah dilaporkan juga reaksi
serius. Masalah ringan setelah pemberian vaksin influenza meliputi keluhan
lokal yang terutama adalah nyeri pada lokasi penyuntikkan, sedangkan
untuk reaksi sistemik yang mungkin terjadi adalah kelemahan, nyeri kepala
dan myalgia, gatal, batuk, demam. Jika masalah ini terjadi, biasanya di mulai
segera setelah terjadi suntikkan dan berlangsung selama kurang lebih 12 hari.
Pernah dilaporkan terjadinya efek samping serius pada pemberian vaksin
kuadrivalen yaitu terjadinya infark miokard dan kejadian serebrovaskular,
meskipun hubungannya perlu diteliti lebih lanjut. Efek samping serius lain
adalah peningkatan risiko terjadinya Guillain-Barre Syndrome (GBS). Reaksi
alergi dapat timbul terutama pada pasien dengan riwayat alergi protein telur.

686 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Vaksinasi Influenza pada Orang Dewasa: Fokus Pada Vaksin Kuadrivalen

Reaksi alergi yang parah akibat vaksin sangat jarang terjadi, diperkirakan
kurang dari 1 dalam satu juta penyuntikkan. Sebagaimana halnya dengan
semua obat, ada kemungkinan kecil bahwa vaksin bisa menyebabkan
kematian.5,7,10

Kontraindikasi
Vaksin influenza kuadrivalen sebaikya tidak diberikan pada pasien
dengan hipersensitif atau anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza
sebelumnya dan protein telur. Dalam hal ini termasuk individu yang memiliki
riwayat setelah makan telur dan mengalami pembengkakan bibir atau
lidah atau mengalami distres nafas akut atau pingsan. Vaksin influenza juga
sebaiknya tidak diberikan pada pasien demam akut yang berat.5,7,10

Vaksinasi Influenza pada Pasien Imunokompromais


Pada pasien dengan keadaan imunokompromais dianjurkan untuk
diberikan vaksin influenza, hal ini karena pada kondisi tersebut infeksi
virus influenza dapat menimbulkan komplikasi berat dan berujung pada
kematian. Bentuk dari vaksin influenza kuadrivalen yang bersifat inaktif,
menjadikannya dapat diberikan pada pasien dengan imunokompromais.
Kelompok imunokompromais yang dimaksud adalah, individu dengan HIV,
penerima transplantasi organ padat, penerima terapi sel punca, individu yang
mendapatkan terapi imunosupresif dan lainnya. Data tentang efikasi dari
pemberian vaksin influenza pada kelompok imundefisiensi bersifat beragam.
Hal ini diakibatkan karena respons imun humoral dan selular yang berkurang
dibandingkan dengan populasi umum. Meskipun demikian, imunogenisitas
dari vaksin influenza sangat dipengaruhi oleh banyak factor, misalnya kadar
CD4 pasien HIV saat ini ataupun obat terapi imunosupresif yang digunakan.
Dari sisi keamanan, vaksin influenza dapat ditoleransi dengan baik pada pasien
dengan imunodefisiensi. Beberapa pertimbangan menunjukkan bahwa lebih
besar manfaat dibandingkan dengan efek samping yang mungkin terjadi.5,12,13

Vaksinasi Influenza pada Pasien dengan Penyakit Autoimun


Pemberian vaksin influenza pada penderita penyakit autoimun
menjadi suatu dilema tersendiri, yaitu dengan dasar perdebatan mengenai
imunogenesitas yang akan dihasilkan dan juga keamanan post vaksinasi.
Dengan adanya perubahan respons imun, berbagai studi menelaah efek
dari perlindungan vaksin yang diberikan, terutama pasien yang sedang
mendapatkan terapi imunosupresif. Sedangkan dari sisi keamanan adalah

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 687


Eko E. Surachmanto

pertimbangan bahwa vaksinasi dapat memperberat perjalanan penyakit


autoimun yang sedang diderita. Liao, dkk.14 melakukan suatu meta-analisis
pada tahun 2016 tentang efektivitas dan keamanan vaksin influenza pada
pasien dengan lupus eritematosus sistemik (LES). Meta-analisis tersebut
melibatkan 1966 subjek dalam 18 studi, dan hasilnya adalah vaksin influenza
memberikan efek perlindungan bersifat sedang dan efek samping yang
ditimbulkan bersifat tidak serius. Berdasarkan prinsip manfaat dan risiko,
maka vaksin influenza dapat diberikan pada pasien LES tapi dianjurkan untuk
diberikan saat klinis pasien stabil yaitu dengan nilai SLE Disease Activity Index
(SLEDAI) rendah hingga sedang.14 European League Against Rheumatism
(EULAR) mengeluarkan rekomendasi bahwa pasien dengan penyakit rematik
inflamsi autoimun tetap dapat diberikan vaksinasi dengan syarat saat klinis
stabil untuk mengurangi risiko perburukan dan tidak direkomendasikan
pemberian vaksin hidup. Vaksin dapat diberikan bersamaan dengan
pemberian obat disease modifying antirheumatic drugs (DMARDs). Vaksin
influenza inaktif merupakan salah satu vaksin yang direkomendasikan oleh
EULAR untuk diberikan pada penderita reumatik autoimun, khususnya
orang tua. Hal ini dikarenakan dengan pemberian vaksin influenza dapat
menurunkan mortalitas akibat flu, pneumonia dan infeksi paru lainnya.15

Daftar Pustaka
1. Moghadami M. A Narrative Review of Influenza: A Seasonal and Pandemic Disease.
Iran J Med Sci. 2017;42(1):2-13.
2. Krammer F, Smith GJD, Fouchier RAM, Peiris M, Kedzierska K, Doherty PC, et al.
Influenza. Nature Rev Dis Primers. 2018;4(1):3.
3. Leighton L, Williams M, Aubery D, Parker SH. Sickness absence following a campaign
of vaccination against influenza in the workplace. Occup Med. 1996;46(2):146-50.
4. Ghebrehewet S, MacPherson P, Ho A. Influenza. BMJ. 2016;355:i6258-i.
5. Satgas Imunisasi Dewasa Papdi. Pedoman imunisasi pada orang dewasa 2017.
Jakarta: Interna Publishing; 2017.
6. Hyunsuh K, G. WR, J. WR. Influenza Virus: Dealing with a Drifting and Shifting
Pathogen. Viral Immunol. 2018;31(2):174-83.
7. Tisa V, Barberis I, Faccio V, Paganino C, Trucchi C, Martini M, et al. Quadrivalent
influenza vaccine: a new opportunity to reduce the influenza burden. J Prev Med
Hyg. 2016;57(1):E28-E33.
8. Bridges CB, Thompson WW, Meltzer MI, Reeve GR, Talamonti WJ, Cox NJ, et al.
Effectiveness and cost-benefit of influenza vaccination of healthy working adults:
A randomized controlled trial. JAMA. 2000;284(13):1655-63.

688 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Vaksinasi Influenza pada Orang Dewasa: Fokus Pada Vaksin Kuadrivalen

9. Ray R, Dos Santos G, Buck PO, Claeys C, Matias G, Innis BL, et al. A review of the value
of quadrivalent influenza vaccines and their potential contribution to influenza
control. Hum Vaccin Immunother. 2017;13(7):1640-52.
10. Trombetta CM, Gianchecchi E, Montomoli E. Influenza vaccines: Evaluation of the
safety profile. Hum Vaccin Immunother. 2018;14(3):657-70.
11. Reed C, Meltzer MI, Finelli L, Fiore A. Public health impact of including two
lineages of influenza B in a quadrivalent seasonal influenza vaccine. Vaccine.
2012;30(11):1993-8.
12. Zbinden D, Manuel O. Influenza vaccination in immunocompromised patients:
efficacy and safety. Immunotherapy. 2014;6(2):131-9.
13. Bosaeed M, Kumar D. Seasonal influenza vaccine in immunocompromised persons.
Hum Vaccin Immunother. 2018;14(6):1311-22.
14. Liao Z, Tang H, Xu X, Liang Y, Xiong Y, Ni J. Immunogenicity and safety of influenza
vaccination in systemic lupus erythematosus patients compared with healthy
controls: a meta-analysis. PloS one. 2016;11(2):e0147856.
15. Van Assen S, Agmon-Levin N, Elkayam O, Cervera R, Doran MF, Dougados M, et
al. EULAR recommendations for vaccination in adult patients with autoimmune
inflammatory rheumatic diseases. Ann Rheum Dis. 2011;70(3):414-22.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 689


Diagnosis dan Evaluasi Klinis Pasien Hipertensi
Maimun Syukri
Divisi Penyakit dan Tropik Infeksi, Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUD dr. Zainoel Abidin - Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Pendahuluan
Pedoman hipertensi terbaru memperlihatkan beberapa angka statistik
baru yang penting. Dalam pedoman tersebut terlihat bahwa akan lebih banyak
orang akan didiagnosis dengan hipertensi. Hampir setengah dari penduduk
Amerika dewasa (46%), naik dari 32% pada nilai sebelumnya. Akan tetapi,
hampir semua pasien ini mengobati hipertensi mereka dengan perubahan
gaya hidup, bukan dengan pengobatan medis. Dan secara keseluruhan hanya
sedikit persentase orang dewasa yang membutuhkan obat anti hipertensi.1

Secara khusus, guideline terbaru dari Amerika menunjukkan bahwa lebih


banyak orang dewasa kulit hitam yang menderita hipertensi, dengan persentase
56% wanita dan 59% pria dimana pria kulit hitam sekarang memiliki tingkat
hipertensi tertinggi dibandingkan wanita, dimana sebelumnya menunjukkan
wanita yang lebih tinggi persentasenya. Penderita hipertensi juga terlihat
hampir tiga kali lipat di antara seluruh pria berusia 20 tahun hingga 44
tahun, angka ini meningkat hingga 30% dari angka sebelumnya 11%. Selain
itu, tingkat hipertensi akan meningkat hampir dua kali lipat pada wanita
yang lebih muda dari usia 45 tahun, dengan persentase dari 10% hingga
19%. Hipertensi juga terjadi pada 80% pasien dengan fibrilasi atrium, yang
merupakan faktor komorbid paling umum tanpa memandang usia. Hipertensi
juga terjadi pada 80% pasien dewasa yang menderita diabetes melitus.1

Hasil lain yang ditunjukkan pada guideline adalah hanya sekitar 20%
pasien dengan hipertensi yang mengikuti pengobatan dengan baik sehingga
mampu meningkatkan kondisi. Sementara hampir 25% pasien gagal dalam
pengobatan awal mereka. Tanpa menjalani pengobatan yang baik, tekanan
darah sistolik yang lebih tinggi dari 180 mm Hg atau tekanan darah diastolik
yang lebih tinggi dari 120 mm Hg dapat menyebabkan peluang hampir 80%
pasien meninggal dalam waktu satu tahun. Rata-rata kelangsungan hidup
untuk kelompok ini adalah sekitar 10 bulan.1

690 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Evaluasi Klinis Pasien Hipertensi

Penanganan hipertensi di negara-negara Asia sangat penting, karena


prevalensi hipertensi terus meningkat, termasuk di Indonesia. Di sebagian
besar negara Asia Timur, penyakit kardiovaskular sebagai komplikasi
hipertensi terus meningkat. Karakteristik spesifik untuk populasi Asia yang
berbeda dengan ras lain di dunia yaitu kejadian stroke, terutama stroke
hemoragik, dan gagal jantung non-iskemik lebih sering ditemukan sebagai
luaran dari hipertensi-terkait penyakit kadiovaskular. Selain itu hubungan
antara tekanan darah dan penyakit kardiovaskular lebih kuat di Asia
dibandingkan negara barat, serta populasi Asia terbukti memiliki karakteristik
sensitivitas terhadap garam yang lebih tinggi (higher salt sensitivity), bahkan
dengan obesitas ringan dan asupan garam yang lebih banyak.2

Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD
≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan.
Berdasarkan pengukuran TDS dan TDD di klinik, pasien digolongkan menjadi
sesuai dengan tabel 1 berikut.2,3

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Hipertensi


Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah diastolik
(mmHg) (mmHg)
Optimal <120 dan < 80
Normal 120 - 129 dan/atau 80 - 84
Normal –Tinggi 130 - 139 dan/atau 85 – 89
Hipertensi derajat 1 140 - 159 dan/atau 90 - 99
Hipertensi derajat 2 160 - 179 dan/atau 100 - 109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 140 dan < 90

Penapisan Pasien Hipertensi 2,3


Penapisan dan deteksi hipertensi direkomendasikan untuk semua pasien
berusia >18 tahun.
- Pada pasien berusia >50 tahun, frekuensi penapisan hipertensi
ditingkatkan sehubungan dengan peningkatan angka prevalensi tekanan
darah sistolik.
- Perbedaan TDS >15 mmHg antara kedua lengan sugestif suatu penyakit
vaskular dan berhubungan erat dengan tingginya risiko penyakit
serebrokardiovaskular.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 691
sehubungan dengan peningkatan angka prevalensi tekanan darah sistolik.
- Perbedaan TDS >15 mmHg antara kedua lengan sugestif suatu penyakit vaskular
dan berhubungan erat dengan tingginya risiko penyakit serebrokardiovaskular.
Maimun Syukri

TD optimal TD normal TD normal tinggi Hipertensi

Lakukan salah
Pikirkan hipertensi Pemeriksaan TD
satu untuk
terselubung dirumah

Periksa TD Periksa TD setiap Periksa TD Kontrol ulang Pemeriksaan TD


setiap 5 tahun 3 tahun setiap tahun untuk TD di klinik di rumah

Indikasi untuk
Gambar 1. Penapisan dan Diagnosis Hipertensi2,3 ABPM atau HBPM
ABPM=ambulatory blood pressure monitoring;
HBPM=homeblood pressure
Gambarmonitoring;
1. Penapisan dan Diagnosis Hipertensi2,3
TD=tekanan darah.
ABPM=ambulatory blood pressure monitoring;
HBPM=homeblood pressure monitoring;
TD=tekanan darah.

Evaluasi Pasien Hipertensi


Evaluasi awal pasien hipertensi berfokus pada ada atau tidak adanya
kerusakan organ target, termasuk pemeriksaan fisik, evaluasi blood urea
nitrogen/kreatinin, pengukuran elektrolit, urinalisis, dan rekaman jantung
(EKG). Selanjutnya adalah penilaian faktor risiko kardiovaskular (CV)
dengan riwayat menyeluruh dan nilai kimia darah (glukosa, kolesterol, dan
trigliserida) yang dilakukan secara rutin.4

Home Blood Pressure Monitoring (HBPM)2,3,5


HBPM adalah sebuah metoda pengukuran tekanan darah yang dilakukan
sendiri oleh pasien di rumah atau di tempat lain di luar klinik (out of office).

Kegunaan HBPM:
- Menegakkan diagnosis hipertensi, terutama dalam mendeteksi hipertensi
jas putih dan hipertensi terselubung
- Memantau tekanan darah, termasuk variabilitas tekanan darah, pada
pasien hipertensi yang mendapat pengobatan maupun tidak.
- Menilai efektivitas pengobatan, penyesuaian dosis, kepatuhan pasien dan
mendeteksi resistensi obat.

692 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Evaluasi Klinis Pasien Hipertensi

Pengukuran tekanan darah pada HBPM dilakukan dengan menggunakan


alat osilometer yang sudah divalidasi secara internasional dan disarankan
untuk melakukan kalibrasi alat setiap 6-12 bulan2,5

Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM)2,3


ABPM adalah suatu metoda pengukuran tekanan darah selama 24
jam termasuk saat tidur, dan merupakan metoda akurat dalam konfirmasi
diagnosis hipertensi.

ABPM dapat dipergunakan untuk:


- Memberikan data TD dan frekuensi nadi selama 24 jam
- Memberi informasi variabilitas TD
- Memberi grafik sirkadian TD, serta efek lingkungan dan emosi terhadap
TD
- Memberi informasi tentang lonjakan TD fajar (morning surge) dan
penurunan TD malam hari (night time dipping)
- Konfirmasi pasien dengan hipertensi resisten, dugaan hipertensi jas
putih, pasien OSA (obstructive sleep apnea), dan
- Evaluasi efek terapi terhadap profil TD 24 jam.

Pemeriksaan ABPM hendaknya dilakukan pada hari kerja normal.


Pengukuran TD hendaknya berselang 20-30 menit selama pagi siang hari
dan setiap 30-60 menit pada malam hari. Pemeriksaan ABPM dianggap
representatif bila terdapat minimal 70-85% hasil pengukuran TD valid untuk
dapat dianalisis. Profil hasil pengukuran ABPM hendaknya diinterpretasikan
dengan mengacu pada pola tidur dan aktifitas pasien. Kondisi aritmia seperti
fibrilasi atrial dan gerakan atau aktifitas berlebihan menurunkan akurasi hasil
ABPM.2

2
Tabel 2.Darah
Tabel 2. Batasan Tekanan Batasan Tekanan Darah 2

Pertemuan Ilmiah
Penilaian Nasional XVII PAPDI
Hypertension - Surabaya
Mediated Organ2019
Damage (HMOD)2,3,4 693

Penapisan Dasar
Maimun Syukri

Penilaian Hypertension Mediated Organ Damage (HMOD)2,3,4


Penapisan Dasar
1. EKG 12-sandapan  Penapisan LVH dan gangguan kardiak lain, serta
aritmia fibrilasi atrial.
Kriteria EKG LVH:
- Sokolow-Lyon SV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL ≥11 mm;
- Cornell voltage SV3+RaVL >28 mm (laki-laki), >20 mm (perempuan)
2. Albuminuria.  Protein urin kualitatif untuk deteksi kerusakan ginjal
3. Funduskopi  Deteksi retinopati hipertensi, terutama pada hipertensi
derajat 2-3

Penapisan Lanjutan Indikasi dan Interpretasi


1. Ekokardiografi  Deteksi kelainan struktur dan fungsi kardiak, bila
berdampak pada tatalaksana
2. Ultrasonografi karotis Mengukur intima media thickness dan plak
karotis
3. Ultrasonografi-Doppler abdomen  Evaluasi ukuran dan struktur ginjal,
evaluasi aneurisma atau dilatasi aorta abdominal, evaluasi kelenjar
adrenal (CT/ MRI jika fasilitas tersedia)
4. Pulse wave velocity (PWV)  Sebagai indeks kekakuan arteri dan
arteriosklerosis
Tekanan denyut (pada usia tua) >60 mmHg
PWV karotis-femoral >10 m/detik
5. Ankle Brachial Indeks (ABI)  Penapisan terdapatnya penyakit
pembuluh darah tungkai (ABI <0,9)
6. Uji fungsi kognitif  Evaluasi fungsi kognitif pada pasien dengan gejala
gangguan kognitif
7. Pencitraan otak Evaluasi terdapatnya iskemik atau perdarahan otak,
terutama pada pasien dengan riwayat stroke atau penurunan fungsi
kognitif

Penilaian Resiko Penyakit Kardiovaskular


Penyakit kardiovaskular (PKV) memiliki faktor risiko multipel. Dalam
kuantifikasi risiko PKV pada pasien hipertensi, perlu diperhitungkan efek
berbagai faktor risiko lain yang dimiliki pasien. Bila klasifikasi didapatkan

694 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Evaluasi Klinis Pasien Hipertensi

risiko rendah atau sedang, dapat dilanjutkan dengan stratifikasi risiko lanjutan
dengan sistem SCORE (Systematic Coronary Risk Evaluation) Pada individu
yang masuk kedalam kategori risiko sangat tinggi dan tinggi, hipertensi dan
komorbidnya
Coronary harus langsung
Risk Evaluation) diobati.2 yang masuk kedalam kategori risiko
Pada individu sanga
tinggi dan tinggi, hipertensi dan komorbidnya harus langsung diobati.2
Tabel 2. Klasifikasi Risiko Hipertensi Berdasarkan Derajat Tekanan Darah, Faktor
Tabel 2. Klasifikasi Risiko Hipertensi
Risiko Berdasarkan
Kardiovaskular, Derajat
HMOD atau Tekanan
Komorbiditas 2,3 Darah, Faktor Risik
Kardiovaskular, HMOD atau Komorbiditas2,3

Faktor Risiko Kardiovaskular Pasien Hipertensi2


Faktor Risiko Kardiovaskular Pasien Hipertensi2
a. Karakteristik demografik dan parameter laboratorium
a.
- Karakteristik
Jenis kelamindemografik
(laki-laki >dan parameter laboratorium
perempuan)
- Usia
-
-
Jenis kelamin (laki-laki > perempuan)
Merokok (saat ini atau riwayat)
- Usia total dan HDL
- Kolesterol
- Asam urat
-
- Diabetes
Merokok (saat ini atau riwayat)
- Overweight atau obesitas
-
- Kolesterol
Riwayat totalCVD
keluarga dan HDL
dini (laki-laki usia <55 tahun dan perempuan <65
tahun)
-
- Asamkeluarga
Riwayat urat atau orangtua dengan onset dini hipertensi
- Menopause onset dini
-
- Pola Diabetes
hidup inaktif (sedentary)
- Faktor psikososial dan sosioekonomi
-
- Overweight
Denyut jantung atau
(nilaiobesitas
istirahat >80 kali/menit)

b.
- Riwayat keluarga CVD dini (laki-laki usia <55 tahun dan perempuan
HMOD asimtomatik
- EKG<65 tahun)
LVH:
- Sokolow-Lyon SV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL ≥1 mm;
- Riwayat keluarga
- Cornell atau
voltage orangtua dengan
SV3+RaVL >28 mmonset dini hipertensi
(laki-laki), >20 mm (perempuan)
- Kekakuan arteri:
- Menopause onset dini
- Pola hidup inaktif (sedentary)
- Faktor psikososial dan sosioekonomi
- Denyut jantung (nilai istirahat >80 kali/menit)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 695


Maimun Syukri

b. HMOD asimtomatik
- EKG LVH:
- Sokolow-Lyon SV1+RV5 >35 mm, atau R di aVL ≥1 mm;
- Cornell voltage SV3+RaVL >28 mm (laki-laki), >20 mm (perempuan)
- Kekakuan arteri:
Tekanan nadi (pada usia tua) >60 mmHg dan PWV karotis-femoral
>10 m/detik
- Ekokardiografi : Left Ventrikel Hypertrophy ( LVH ) [LV mass index:
laki-laki >50 g/m2.; perempuan >47 g/m2. (tinggi dalam m2); indeks
untuk LPT dipakai untuk pasien berat badan normal; LV mass/LPT
g/m2 >115 (laki-laki) dan >95 (perempuan)]
- Adanya penyakit Mikroalbuminuria: (30-300 mg/24 jam), atau
peningkatan rasio albumin/kreatinin (30-300 mg/g; 3,4-34 mg/
mmol) (lebih baik urin sewaktu pagi hari)
- Penyakit Ginjal Kronik (PGK) sedang dengan dengan eLFG >30-59
ml/ menit/1,73 m2 (LPT) atau PGK berat eLFG <30 ml/ menit/1,73
m2 b
- Ankle-brachial index <0,9
- Retinopati lanjut: hemoragik atau eksudat, papil edema

c. KV atau ginjal
- Penyakit serebrovaskular: stroke iskemik, perdarahan otak, TIA
- CAD: infark miokard, angina, revaskularisasi miokard
- Ditemukannya plak atheroma pada pencitraan
- Gagal jantung, termasuk HfpEF
- Penyakit arteri perifer
- Fibrilasi atrial

Kategori Risiko penyakit kardiovaskular (PKV) dalam 10 tahun


(SCORE system)2.5
Risiko sangat tinggi
Individu dengan hal berikut ini:
• PKV terdokumentasi, baik secara klinis atau secara meyakinkan tampak
pada pencitraan.

696 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Evaluasi Klinis Pasien Hipertensi

• PKV klinis meliputi infark miokardium akut, sindroma koroner akut,


revaskularisasi koroner atau arteri lain, stroke, TIA, aneurisma aorta dan
penyakit pembuluh darah perifer.
• Secara meyakinkan tampak pada pencitraan meliputi plak signifikan
(stenosis ≥50%) pada angiografi atau ultrasonografi. Tidak termasuk
didalamnya penebalan intima-media thickness (IMT) arteri karotis.
• Diabetes melitus (DM) dengan kerusakan organ target, misalnya
proteinuria atau disertai faktor risiko mayor misalnya hipertensi derajat
3 atau hiperkolesterolemia.
• Penyakit ginjal kronik berat (eLFG < 30 mL/min/1.73m2)
• Kalkulasi SCORE 10 tahun ≥10%

Risiko tinggi
Individu dengan hal berikut:
• Kenaikan tinggi pada salah satu faktor risiko, terutama kadar kolesterol
>8 mmol/L (>310 mg/dL) misalnya hiperkolesterolemia familial,
hipertensi derajat 3 (TD ≥180/110 mmHg). Pada kebanyakan orang
dengan DM (kecuali pada individu muda dengan DM tipe 1 dan tanpa
faktor risiko mayor lain termasuk risiko sedang).
• Hipertrofi ventrikel kiri hipertensif.
• Penyakit ginjal kronik sedang (eLFG 30-59 mL/min/1.73m2).
• Kalkukasi SCORE 10 tahun 5-10%.

Risiko sedang
Individu dengan:
• Kalkulasi SCORE 10 tahun ≥1% hingga <5%
• Hipertensi derajat 2
• Kebanyakan orang setengah baya termasuk kategori ini

Risiko rendah
Individu dengan: kalkulasi SCORE 10 tahun <1%

Penatalaksanaan Hipertensi2,7
• Modifikasi Gaya Hidup
Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan
hipertensi dan dapat mengurangi risiko kardiovaskular. Selain itujuga

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 697


Maimun Syukri

dapat memperlambat ataupun mencegah kebutuhan terapi obat pada


hipertensi derajat 1, namun sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi
obat pada pasien dengan HMOD atau risiko tinggi kardiovaskular. Pola
hidup sehat telah terbukti menurunkan tekanan darah yaitu pembatasan
konsumsi garam dan alkohol, peningkatan konsumsi sayuran dan buah,
penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal, aktivitas fisik
teratur, serta menghindari rokok.
• Pembatasan konsumsi garam
Konsumsi garam berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan
meningkatkan prevalensi hipertensi. Rekomendasi penggunaan natrium
(Na) sebaiknya tidak lebih dari 2 gram/hari (setara dengan 5-6 gram
NaCl perhari atau 1 sendok teh garam dapur).
• Perubahan pola makan
Pasien hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan seimbang yang
mengandung sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk
susu rendah lemak, gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama
minyak zaitun), serta membatasi asupan daging merah dan asam lemak
jenuh.
• Penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal
Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25
kg/m2), dan mentargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9 kg/m2)
dengan lingkar pinggang <90 cm (laki-laki) dan <80 cm (perempuan).
• Olahraga teratur
Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan
hipertensi, sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular.
Olahraga teratur dengan intensitas dan durasi ringan memiliki efek
penurunan TD lebih kecil dibandingkan dengan latihan intensitas sedang
atau tinggi, sehingga pasien hipertensi disarankan untuk berolahraga
setidaknya 30 menit latihan aerobik dinamik berintensitas sedang
(seperti: berjalan, joging, bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu.
• Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga status
merokok harus ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita
hipertensi yang merokok harus diedukasi untuk berhenti merokok.

698 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Evaluasi Klinis Pasien Hipertensi

• Medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa pada penderita hipertensi merupakan
upaya untuk menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien.
Meskipun demikian pemberian obat antihipertensi bukan selalu
merupakan langkah pertama dalam penatalaksanaan hipertensi.

Tindak Lanjut Pasien Hipertensi


Tindak lanjut pasien hipertensi terdiri dari pemantauan efektivitas
pengobatan, kepatuhan dalam berobat, serta deteksi dini HMOD. Setelah
inisiasi pengobatan hipertensi, tekanan darah seharusnya turun dalam 1-2
minggu dan target tercapai dalam 3 bulan. Jika tekanan darah sudah mencapai
target, frekuensi kunjungan dapat dikurangi hingga 3-6 bulan sekali.2

Jika tekanan darah ditemukan meningkat pada saat kontrol, perlu


diidentifikasi penyebabnya. antara lain oleh ketidakpatuhan dalam berobat,
konsumsi garam berlebih, atau konsumsi zat dan obat-obatan yang dapat
meningkatkan tekanan darah atau mengurangi efek obat antihipertensi
(alkohol, OAINS).2

Deteksi HMOD dilakukan pada saat pasien pertama kali berobat dan
pengobatan disesuaikan dengan kondisi dasar pasien. Setelah mendapatkan
terapi, pasien perlu dipantau adanya progresifitas dari HMOD yang sudah ada
atau adanya manifestasi HMOD yang baru muncul. Sebaliknya, adanya regresi
dari HMOD menunjukkan perbaikan prognosis.2

Pasien dengan hipertensi juga harus dihimbau berkala untuk


memperbaiki gaya hidup, antara lain penurunan berat badan, diet sehat
rendah garam dan rendah lemak, peningkatan aktivitas fisik dan olahraga,
serta penurunan konsumsi tembakau. Penghentian merokok terutama sangat
bermanfaat untuk mencegah risiko kardiovaskular.

Menurunkan dosis obat-obat antihipertensi biasanya dapat dilakukan


hanya pada pasien yang sudah melaksanakan modifikasi gaya hidup dengan
baik. Penurunan dosis obat dilakukan secara bertahap dengan pemantauan
tekanan darah rutin untuk menentukan dosis efektif terkecil.2

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 699


Maimun Syukri

Daftar Pustaka
1. 2017 Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation and Management of High
Blood Pressure in Adults report from American College of Cardiology/ American
Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. 2017
2. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi
2019. Jakarta. 2019
3. Williams B, Mancia G, SpieringW, Agabiti RE, Azizi M, Burnier M, et al; ESC Scientific
Document Group. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial
hypertension. Eur Heart J. 2018;39:3021-104.
4. Garg Jay,W Adrian. Messerli, L.Bakris George Evaluation and Treatment of Patients
With Systemic Hypertension. http//ahajjournal.com.2019
5. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Children and Adolescents The Fourth Report on the Diagnosis,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescents
6. Al Ansary Lubna, Tricco Andrea, Adiz Yaser, Bawazeer Ghada, Perrier Laure, Al –
Ghonaims Mohammed. A Systematic Review of Recent Clinical Practice Guidelines
on the Diagnosis, Assessment and Management of Hypertension. http//www.
plosone.org.vol:8.2013
7. De Rosa, M. Resistant hypertension: Definition, evaluation, and new therapeutic
approaches totreatment. Diseases and Disorders, 1(1). 2017

700 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Hipertensi
dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular
I Wayan Sudhana
Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Sanglah - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

Pendahuluan
Intervensi awal berupa modifikasi gaya hidup dapat menghambat
progresivitas hipertensi (HT). Namun, sebagian besar pasien yang jatuh
pada kondisi HT memerlukan obat anti hipertensi seumur hidup dengan
kombinasi lebih dari satu obat. Kondisi ini mendasari begitu banyak jenis
obat anti hipertensi beredar di pasaran. Di lain pihak hal ini menimbulkan
kompleksitas bagi klinisi untuk memilih dan mengkombinasikan obat mana
yang paling efektif dan tepat diberikan berdasarkan kondisi spesifik pasien
yang dihadapi. Tiga hal utama yang menjadi masalah dalam tatalaksana HT
adalah menentukan indikasi memulai terapi farmakologi, target kendali
tekanan darah (TD), dan memutuskan memilih dan mengkombinasikan jenis
anti hipertensi1.

Begitu banyak definisi mengenai hipertensi, dari perspektif klinis definisi


yang dianggap paling pas: hipertensi adalah “TD dimana pengobatan untuk
menurunkan TD menjadi lebih rendah dibandingkan level tersebut akan
memberikan manfaat klinis yang sangat signifikan”. Level TD yang dimaksud
disini akan sangat bervariasi antar satu individu dengan individu yang lainnya
tergantung faktor risiko kardiovaskular absolut yang dimiliki. Merujuk pada
kondisi ini maka ditetapkan ambang batas TD secara absolut kapan memulai
terapi farmakologi dan target kendali TD yang optimal. Sebagaian besar
guideline hipertensi seperti InaSH, ESC/ESH, JNC VIII merekomendasikan
tatalaksana farmakologi pada TD ≥140/90 mmHg yang belum mencapai
target TD yang diinginkan dengan modifikasi gaya hidup.1–4

Intervensi Pola Hidup


Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat onset
hipertensi dan menghambat progresivitas risiko kardiovaskular. Di lain pihak
perbaikan pola hidup dapat mecegah kebutuhan terapi obat pada hipertensi
derajat 1, namun sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi farmakologis pada
kasus-kasus dengan risiko tinggi kardiovaskular. Pola hidup sehat yang

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 701


I Wayan Sudhana

terbukti efektif menurunkan tekanan darah yaitu pembatasan konsumsi


garam dan alkohol, peningkatan konsumsi sayuran dan buah, penurunan berat
badan dan menjaga berat badan ideal, aktivitas fisik teratur dan menghindari
rokok.

a. Pembatasan konsumsi garam


Terdapat bukti hubungan antara konsumsi garam dan HT. Konsumsi
garam berlebih terbukti meningkatkan TD dan meningkatkan prevalensi
HT. Rekomendasi penggunaan natrium (Na) sebaiknya tidak lebih dari
2 gram/hari (setara dengan 5-6 gram NaCl perhari atau 1 sendok teh
garam dapur). Sebaiknya menghindari makanan dengan kandungan
tinggi garam.

b. Perubahan pola makan


Pasien HT disarankan untuk mengkonsumsi makanan seimbang yang
mengandung sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk
susu rendah lemak, gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama
minyak zaitun), serta membatasi asupan daging merah dan asam lemak
jenuh.

c. Penurunan Berat Badan dan Menjaga Berat Badan Ideal


Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25
kg/m2), dan mentargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9 kg/m2)
dengan lingkar pinggang <90 cm (laki-laki) dan <80 cm (perempuan).

d. Olahraga Teratur
Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan
HT, sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular. Olahraga
teratur dengan intensitas dan durasi ringan memiliki efek penurunan TD
lebih kecil dibandingkan dengan latihan intensitas sedang atau tinggi,
sehingga pasien HT disarankan untuk berolahraga setidaknya 30 menit
latihan aerobik dinamik berintensitas sedang (seperti: berjalan, joging,
bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu.

e. Berhenti Merokok
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga status
merokok harus ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita
hipertensi yang merokok harus diedukasi untuk berhenti merokok.

702 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


latihan aerobik dinamik berintensitas sedang (seperti: berjalan, joging, bersepeda, atau
berenang) 5-7 hari per minggu.

e. Berhenti Merokok
Penatalaksanaan Hipertensi dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga status merokok harus
ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita hipertensi yang merokok harus
Penentuan Batas Tekanan Darah untuk Inisiasi Obat
diedukasi untuk berhenti merokok.
Penatalaksanaan medikamentosa pada penderita hipertensi merupakan
PENENTUAN BATAS TEKANAN DARAH UNTUK INISIASI OBAT
upaya untuk menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien. Meskipun
demikian pemberian
Penatalaksanaan obat antihipertensi
medikamentosa bukan
pada penderita selalu merupakan
hipertensi merupakan langkah
upaya untuk
menurunkan tekanan
pertama dalam darah secara efektif
penatalaksanaan dan efisien. Meskipun demikian pemberian obat
hipertensi.
antihipertensi bukan selalu merupakan langkah pertama dalam penatalaksanaan hipertensi.

2
Gambar
Gambar 1.
1.Inisiasi
InisiasiTatalaksana
TatalaksanaHipertensi
HipertensiBerdasarkan
BerdasarkanTekanan
TekananDarah
Darah2

Target Pengobatan Hipertensi


TARGET PENGOBATAN HIPERTENSI
Berikut beberapa target tekanan darah berdasarkan usia dan komorbid
Berikut beberapa target
pasien seperti tekananpada
disajikan darahTabel
berdasarkan
1. usia dan komorbid pasien seperti disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Target Tekanan Darah di Klinik3
Tabel 1. Target Tekanan Darah di Klinik3

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 703


PENGOBATAN HIPERTENSI-TERAPI OBAT

Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan penatalaksanaan hipertensi saat ini
I Wayan Sudhana

Pengobatan Hipertensi-Terapi Obat


Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan penatalaksanaan
hipertensi saat ini adalah dengan menggunakan terapi kombinasi pada
sebagian besar pasien, untuk mencapai tekanan darah sesuai target.
Bila memungkinkan dalam bentuk single pill combination (SPC), untuk
meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.

Obat-Obat untuk Penatalaksanaan Hipertensi


Lima golongan obat antihipertensi utama yang rutin direkomendasikan
yaitu: ACEi, ARB, beta bloker, CCB dan diuretik.

Algoritma Farmakoterapi Hipertensi


Algoritma farmakoterapi telah dikembangkan untuk memberikan
rekomendasi praktis pengobatan hipertensi. Berikut beberapa rekomendasi
utama mengenai inisiasi dan strategi kombinasi terapi farmakologi hipertensi:
1. Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan kombinasi dua
obat. Bila memungkinkan dalam bentuk single pil combination (SPC),
untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
2. Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah RAS blocker (Renin-
angiotensin system blocker), yakni ACEi atau ARB, dengan CCB atau
diuretik.
3. Kombinasi beta bloker dengan diuretik ataupun obat golongan lain
dianjurkan bila ada indikasi spesifik, misalnya angina, pasca IMA, gagal
jantung dan untuk kontrol denyut jantung.
4. Pertimbangkan monoterapi bagi pasien hipertensi derajat 1 dengan
risiko rendah (TDS <150 mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-
tinggi dan berisiko sangat tinggi, pasien usia sangat lanjut (≥80 tahun)
atau dengan frailty.
5. Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker (ACEi atau
ARB), CCB, dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat.
6. Penambahan spironolakton untuk pengobatan hipertensi resisten,
kecuali ada kontraindikasi.
7. Penambahan obat golongan lain pada kasus tertentu bila TD belum
terkendali dengan kombinasi obat golongan di atas
8. Kombinasi dua penghambat RAS tidak direkomendasikan

704 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


kontraindikasi.
7. Penambahan obat golongan lain pada kasus tertentu bila TD belum terkendali dengan
kombinasi obat golongan di atas
8. Kombinasi dua penghambat RAS tidak direkomendasikan
Penatalaksanaan Hipertensi dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular

Gambar 2. Strategi Penatalaksanaan Hipertensi Tanpa Komplikasi.3


Gambar 2. Strategi Penatalaksanaan Hipertensi Tanpa Komplikasi.3

Gambaran
Gambaran Terapi Terapi Hipertensi
Hipertensi dengan
Dengan Metode
Metode Alat Alat
Beberapa
jenis terapi intervensi menggunakan
Beberapa jenis terapi intervensi menggunakan alat telahalat
diteliti
telahsebagai
ditelitipilihan
sebagaiterapi
hipertensi, terutama jenis hipertensi yang resisten dengan obat, antara lain:
pilihan terapi
1. Stimulasi hipertensi,
baroreseptor terutama
karotis jenis
(alat pacu dan hipertensi
stent) yang resisten dengan obat,
antara lain:
2. Denervasi ginjal
3. Pembuatan fistulabaroreseptor
1. Stimulasi arteriovena karotis (alat pacu dan stent)
Penggunaan terapi intervensi menggunakan alat belum dapat direkomendasikan sebagai
2. terapi
modalitas Denervasi ginjal hipertensi, kecuali pada konteks penelitian, hingga data-data yang
rutin untuk
lebih lengkap mengenai efektivitas dan keamanan tersedia.
3. Pembuatan fistula arteriovena
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI RESISTEN
Penggunaan terapi intervensi menggunakan alat belum dapat
Tekanan darah yang
direkomendasikan tidak modalitas
sebagai mencapai target
terapiTDS
rutin<140 mmHg
untuk dan/ataukecuali
hipertensi, TDD <90
mmHg, walaupun sudah mendapatkan 3 antihipertensi berbeda golongan dengan dosis
pada konteks penelitian, hingga data-data yang lebih lengkap mengenai
maksimal, salah satunya adalah diuretik, dan pasien sudah menjalankan rekomendasi
efektivitas
modifikasi dan keamanan
gaya hidup tersedia.
dengan catatan: (1) sudah dikonfirmasi dengan ABPM atau HBPM; (2)
Hipertensi resisten palsu dan hipertensi sekunder sudah disingkirkan.
Penatalaksanaan efektif
Penatalaksanaan meliputiResisten
Hipertensi modifikasi gaya hidup (khususnya mengurangi
asupan natrium), penghentian obat-obat yang meningkatkan tekanan darah, serta penambahan
obat antihipertensi
Tekanan lain
darah yangtiga
selain tidak mencapai
golongan obattarget TDS <140
antihipertensi mmHg dan/atau
sebelumnya. Penggunaan
spironolakton
TDD <90untuk mmHg,hipertensi
walaupunresisten
sudahterbukti efektif, namun
mendapatkan disarankan dibatasi
3 antihipertensi berbedapada
golongan dengan dosis maksimal, salah satunya adalah diuretik, dan pasien
sudah menjalankan rekomendasi modifikasi gaya hidup dengan catatan: (1)
sudah dikonfirmasi dengan ABPM atau HBPM; (2) Hipertensi resisten palsu
dan hipertensi sekunder sudah disingkirkan.

Penatalaksanaan efektif meliputi modifikasi gaya hidup (khususnya


mengurangi asupan natrium), penghentian obat-obat yang meningkatkan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 705


I Wayan Sudhana

tekanan darah, serta penambahan obat antihipertensi lain selain tiga golongan
obat antihipertensi sebelumnya. Penggunaan spironolakton untuk hipertensi
resisten terbukti efektif, namun disarankan dibatasi pada pasien dengan LFG
>45 mL/min/1,73m2 dan konsentrasi kalium plasma <4.5 mEq/L. Sebagai
alternatif dari spironolakton, dapat diberikan bisoprolol (5 -10 mg/hari) atau
doxazosin (2-4 mg/hari).

Penatalaksanaan Hipertensi Urgensi/Emergensi


Hipertensi emergensi adalah hipertensi derajat 3 dengan kerusakan
organ target akut. Hal ini sering kali mengancam jiwa dan memerlukan
penanganan segera dan seksama. Untuk menurunkan tekanan darah biasanya
memerlukan obat intravena. Kecepatan peningkatan dan tinggi tekanan darah
sama pentingnya dengan nilai absolut tekanan darah dalam menentukan
besarnya kerusakan organ.

Gambaran hipertensi emergensi adalah sebagai berikut:


1. Hipertensi maligna: hipertensi berat (umumnya derajat 3) dengan
perubahan gambaran funduskopi (perdarahan retina dan atau
papiledema), mikroangiopati dan koagulasi intravaskular diseminasi
serta ensefalopati (terjadi pada sekitar 15% kasus), gagal jantung akut,
penurunan fungsi ginjal akut. Gambaran dapat berupa nekrosis fibrinoid
arteri kecil di ginjal, retina dan otak. Makna maligna merefleksikan
prognosis buruk apabila tidak ditangani dengan baik
2. Hipertensi berat dengan kondisi klinis lain, dan memerlukan penurunan
tekanan darah segera, seperti diseksi aorta akut, iskemi miokard akut
atau gagal jantung akut.
3. Hipertensi berat mendadak akibat feokromositoma, berakibat kerusakan
organ
4. Ibu hamil dengan hipertensi berat atau preeklampsia.

Gejala emergensi tergantung kepada organ terdampak, seperti sakit


kepala, gangguan penglihatan, nyeri dada, sesak napas, pusing kepala
atau gejala defisit neurologis. Gejala klinis ensefalopati hipertensi berupa
somnolen, letargi, kejang tonik klonik dan kebutaan kortikal hingga gangguan
kesadaran. Meskipun demikian, lesi neurologis fokal jarang terjadi dan bila
terjadi, maka hendaknya dicurigai sebagai stroke. Kejadian stroke akut
terutama hemoragik dengan hipertensi berat disebut sebagai hipertensi

706 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Hipertensi dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular

emergensi. Namun demikian penurunan tekanan darah hendaknya dilakukan


dengan hati-hati.

Hipertensi urgensi merupakan hipertensi berat tanpa bukti klinis


keterlibatan organ target. Umumnya tidak memerlukan rawat inap dan dapat
diberikan obat oral sesuai dengan algoritma penatalaksanaan hiperteni
urgensi. Peningkatan tekanan darah mendadak dapat diakibatkan obat-obat
simpatomimetik.

Beberapa pertimbangan strategi penatalaksanaan:3,5


1. Konfirmasi organ target terdampak, tentukan penatalaksanaan spesifik
selain penurunan tekanan darah. Temukan faktor pemicu lain kenaikan
tekanan darah akut, misalnya kehamilan, yang dapat mempengaruhi
strategi penatalaksanaan.
2. Tentukan kecepatan dan besaran penurunan tekanan darah yang aman.
3. Tentukan obat antihipertensi yang diperlukan. Obat intravena dengan
waktu paruh pendek merupakan pilihan ideal untuk titrasi tekanan darah
secara hati-hati, dilakukan di fasilitas kesehatan yang mampu melakukan
pemantauan hemodinamik kontinyu.

Tabel
Tabel 2. Obat-Obat 2. Obat-ObatEmergensi
Hipertensi Hipertensi Emergensi yang Tersedia
yang Tersedia 3
di Indonesia
di Indonesia
3

Tabel 3. Kondisi Hipertensi


Pertemuan Emergensi
Ilmiah Nasional yang memerlukan
XVII PAPDI - Surabaya 2019 Penurunan Tekanan
707 Darah
Segera dengan Obat Intravena beserta Targetnya3
I Wayan Sudhana

Tabel 3. Kondisi Hipertensi Emergensi yang memerlukan Penurunan Tekanan Darah


Segera dengan Obat Intravena beserta Targetnya3

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
Penatalaksanaan DALAM
Hipertensi dalam KEHAMILAN
Kehamilan
a. Hipertensi ringan ringan
a. Hipertensi
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menurunkan risiko maternal, dengan target TD
<140/90 mmHg.Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menurunkan risiko maternal,
b. Hipertensidengan
berat target TD <140/90 mmHg.
Tidak ada definisi baku untuk hipertensi berat, dengan rentang nilai antara 160–180
mmHg/>110 mmHg. The 2018 ESC Task Force on Cardiovascular Disease During
Pregnancyb. menyatakan
Hipertensi bahwa
berat TDS >170 mmHg atau TDD >110 mmHg adalah keadaan
gawat darurat pada ibu hamil sehingga harus segera dirawat inap. Penggunaan hidralasin

hanya digunakanTidak
bilaada definisilain
regimen baku untuk
gagal hipertensi
mencapai berat,
target dengan rentang
pengendalian tekanannilai
darah. Pada
krisis hipertensi, yaitu160–180
antara pasien dengan
mmHg/>110 eklampsia
mmHg. atau
Thepre-eklampsia berat,
2018 ESC Task dilakukan
Force on rawat
inap. Persalinan dilakukan setelah stabilisasi kondisi maternal. Pemberian magnesium sulfat
Cardiovascular untuk
intravena direkomendasikan Diseasemencegah
During Pregnancy
eklampsiamenyatakan bahwa TDS >170
dan penatalaksanaan kejang. Target
capaian sesuaimmHg
konsensus adalah
atau TDD <160/105
>110 mmHg.keadaan
mmHg adalah Nicardipin intravena
gawat terbukti
darurat pada ibu aman dan
efektif dalam tatalakasana pre-eklampsia berat. Obat pilihan untuk pre-eklampsia disertai
hamil sehingga
edema paru, nitrogliserin harusdosis
dengan segera5 dirawat
µg/menit inap. Penggunaan
drip intravena, hidralasin
dinaikkanhanya
bertahap setiap
3–5 menit hingga dosis maksimal 100 µg/menit. Indikasi persalinan:
digunakan bila regimen lain gagal mencapai target pengendalian
1. Urgensi pada pre-eklampsia disertai gangguan penglihatan atau gangguan hemostasis.
tekanan
darah. Pada37krisis
2. Pada usia kehamilan minggu hipertensi,
untuk ibuyaitu pasien dengan eklampsia atau pre-
asimtomatik.
eklampsia berat, dilakukan rawat inap. Persalinan dilakukan setelah
stabilisasi kondisi maternal. Pemberian magnesium sulfat intravena
direkomendasikan untuk mencegah eklampsia dan penatalaksanaan
kejang. Target capaian sesuai konsensus adalah <160/105 mmHg.
Nicardipin intravena terbukti aman dan efektif dalam tatalakasana
pre-eklampsia berat. Obat pilihan untuk pre-eklampsia disertai edema
708 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Penatalaksanaan Hipertensi dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular

paru, nitrogliserin dengan dosis 5 µg/menit drip intravena, dinaikkan


bertahap setiap 3–5 menit hingga dosis maksimal 100 µg/menit. Indikasi
persalinan:
1. Urgensi pada pre-eklampsia disertai gangguan penglihatan atau
gangguan hemostasis.
2. Pada usia kehamilan 37 minggu untuk ibu asimtomatik.

Penatalaksanaan Hipertensi dengan Komorbiditas Spesifik


a. Diabetes
1. Obat antihipertensi dianjurkan pada penderita diabetes dengan TD
di klinik ≥140/90 mmHg.
2. Pada penderita diabetes yang mendapat obat antihipertensi,
dianjurkan:
a. Target TDS adalah 130 mmHg dan jika dapat ditoleransi hingga
<130 mmHg, tetapi tidak di bawah 120 mmHg.
b. Pada individu usia lanjut ≥65 tahun, target TDS adalah 130-139
mmHg.
c. Target TDD adalah <80mmHg, tetapi tidak di bawah 70 mmHg.
3. Direkomendasikan untuk melakukan pengobatan lini pertama
dengan kombinasi penghambat sistem renin-angiotensin (ACEi
atau ARB) dikombinasikan dengan CCB atau diuretik tiazid atau
sejenisnya.
4. Tidak dianjurkan untuk memberikan dua penghambat sistem renin-
angiotensin sekaligus (kombinasi ACEi dengan ARB)

b. Penyakit Ginjal Kronik


Pada penderita Penyakit Ginjal Kronik (PGK), dengan atau tanpa diabetes,
modifikasi gaya hidup dan obat antihipertensi dianjurkan bila tekanan
darah klinik ≥140/90 mmHg.
1. Pada penderita PGK dengan atau tanpa diabetes:
a. Dianjurkan untuk menurunkan TDS sekitar 130-139 mmHg
b. Penatalaksanaan individual perlu dipertimbangkan toleransi
dan efek terhadap fungsi ginjal dan elektrolit.
2. Penyekat RAS lebih efektif untuk menurunkan albuminuria
dibandingkan obat antihipertensi lain, dan direkomendasikan
sebagai bagian strategi penatalaksanaan hipertensi bila terdapat
mikroalbuminuria atau proteinuria.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 709


b. Penyakit Ginjal Kronik
Pada penderita Penyakit Ginjal Kronik (PGK), dengan atau tanpa diabetes, modifikasi
gaya hidup dan obat antihipertensi dianjurkan bila tekanan darah klinik ≥140/90 mmHg.
1. Pada penderita PGK dengan atau tanpa diabetes:
I Wayan Sudhanaa. Dianjurkan untuk menurunkan TDS sekitar 130-139 mmHg
b. Penatalaksanaan individual perlu dipertimbangkan toleransi dan efek terhadap fungsi
3. Kombinasi penyekat RAS dan CCB atau diuretik tiazid dianjurkan
ginjal dan elektrolit.
2. Penyekat
untuk terapi lebih
RAS awal.efektif untuk menurunkan albuminuria dibandingkan obat
antihipertensi lain, dan direkomendasikan sebagai bagian strategi penatalaksanaan
4. Kombinasi
hipertensi dari dua
bila terdapat penyekat RAS
mikroalbuminuria tidak dianjurkan.
atau proteinuria.
3. Kombinasi penyekat RAS dan CCB atau diuretik tiazid dianjurkan untuk terapi awal.
4. Kombinasi dari dua penyekat RAS tidak dianjurkan.

Gambar 3. Strategi Pengobatan Hipertensi dengan CKD3


Gambar 3. Strategi Pengobatan Hipertensi dengan CKD3
c. Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Pada penderita PJK yang mendapat obat antihipertensi, dianjurkan:
c. Penyakit Jantung
1. Target TDS Koroner
≤130 mmHg (PJK)rendah jika bisa ditoleransi, tetapi tidak Di bawah 120
atau lebih
mmHg.
Pada penderita PJK yang mendapat obat antihipertensi, dianjurkan:
1. Target TDS ≤130 mmHg atau lebih rendah jika bisa ditoleransi,
tetapi tidak Di bawah 120 mmHg.
2. Pada pasien yang lebih tua (usia ≥65 tahun), target TDS sekitar 130-
140 mmHg.
3. Target TDD <80 mmHg, tetapi tidak di bawah 70 mmHg.
4. Pada penderita hipertensi dengan riwayat infark miokard, beta
bloker dan penghamba RAS direkomendasikan sebagai bagian dari
penatalaksanaan.
5. Pada pasien dengan angina simtomatik, dapat digunakan beta bloker
dan CCB.

710 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


2. Pada pasien yang lebih tua (usia ≥65 tahun), target TDS sekitar 130-140 mmHg.
3. Target TDD <80 mmHg, tetapi tidak di bawah 70 mmHg.
4. Pada penderita hipertensi dengan riwayat infark miokard, beta bloker dan penghamba
RAS direkomendasikan sebagai bagian dari penatalaksanaan.
5. Pada pasien dengan angina simtomatik, dapat digunakan
Penatalaksanaanbeta bloker
Hipertensi dan CCB.
dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular

Gambar 4. Strategi Pengobatan Hipertensi dengan Penyakit Jantung Koroner3


Gambar 4. Strategi Pengobatan Hipertensi dengan Penyakit Jantung Koroner3
d. Pasien dengan Gagal Jantung atau LVH
1. Heart failure reduced ejection fraction (HFrEF) maupun heart failure preserved ejection
d. fraction
Pasien(HFpEF),
denganterapi
Gagal Jantung atau LVH
antihipertensi harus dipertimbangkan bila TD ≥140/90 mmHg.
2.
1. Pada pasien HFrEF obat antihipertensi
Heart failure reduced ejection yang dianjurkan
fraction terdiri maupun
(HFrEF) ACEi atauheart
ARB dan beta
failure
bloker dan diuretik dan/atau jika diperlukan ditambah antagonis reseptor
preserved ejection fraction (HFpEF), terapi antihipertensi harus
mineralokortikoid.
3. CCB dipertimbangkan
golongan dihidropiridin
bila dapat ditambahkan
TD ≥140/90 mmHg.bila target tekanan darah belum
tercapai.
2. Pada HFpEF,
4. Pada pasien pasien nilai
HFrEFbatasobat antihipertensi
TD dimulainya yang
terapi dan dianjurkan
target terdiriHFrEF.
TD sama dengan ACEi
Karena belum ada obat spesifik yang diketahui superior, semua golongan antihipertensi
atau ARB dan beta bloker dan diuretik dan/atau jika diperlukan
utama dapat digunakan.
ditambah
5. Pada semua pasienantagonis
dengan LVH: reseptor mineralokortikoid.
a. Penatalaksanaan yang dianjurkan adalah dengan penghambat RAS dikombinasikan
3. CCB golongan
dengan dihidropiridin dapat ditambahkan bila target tekanan
CCB atau diuretik.
b. TDS harus diturunkan
darah belum tercapai.hingga sekitar 120-130 mmHg

4. Pada pasien HFpEF, nilai batas TD dimulainya terapi dan target TD


sama dengan HFrEF. Karena belum ada obat spesifik yang diketahui
superior, semua golongan antihipertensi utama dapat digunakan.
5. Pada semua pasien dengan LVH:
a. Penatalaksanaan yang dianjurkan adalah dengan penghambat
RAS dikombinasikan dengan CCB atau diuretik.
b. TDS harus diturunkan hingga sekitar 120-130 mmHg

Gambar 5. Strategi Pengobatan Hipertensi dengan Gagal Jantung Fraksi Ejeksi Menurun3
Gambar 5. Strategi Pengobatan Hipertensi dengan Gagal Jantung Fraksi Ejeksi
e. Stroke Menurun3
Stroke Akut
Stroke Ilmiah
hemoragik
Pertemuan Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Peningkatan tekanan darah pada stroke hemoragik akut akan menyebabkan perluasan
711
hematoma, perdarahan berulang, meningkatkan mortalitas dan meningkatkan kecacatan.
Penurunan tekanan darah hingga <140/90 mmHg dalam 6 jam pertama terbukti aman dan
mengurangi ekspansi hematoma, dan mungkin dapat memperbaiki luaran klinis. Jika TDS
I Wayan Sudhana

e. Stroke
Stroke Akut
Stroke hemoragik
Peningkatan tekanan darah pada stroke hemoragik akut akan
menyebabkan perluasan hematoma, perdarahan berulang, meningkatkan
mortalitas dan meningkatkan kecacatan. Penurunan tekanan darah
hingga <140/90 mmHg dalam 6 jam pertama terbukti aman dan
mengurangi ekspansi hematoma, dan mungkin dapat memperbaiki
luaran klinis. Jika TDS >220 mmHg, harus diturunkan segera sebesar 15-
20% dengan menggunakan obat intravena (labetalol dan nicardipin, dan
sebagai alternatif diltiazem) dalam 1 jam pertama.

Stroke iskemik akut


1. Pada pasien yang akan diberikan trombolisis, tekanan darah harus
diturunkan dulu hingga <185/<110 mmHg dan dipertahankan
<180/<105 mmHg dalam 24 jam pertama pasca trombolisis.
2. Pada pasien stroke iskemik akut yang tidak mendapatkan
trombolisis dan ditemukan komorbid lain seperti infark miokard
akut, gagal jantung akut, diseksi aorta, perdarahan pasca trombolisis,
eklampsia/pre-eklampsia, tekanan darah harus diturunkan.
Penurunan tekanan darah tergantung pada kondisi pasien dan
bersifat individual, namun harus diingat bahwa penurunan tekanan
darah berdampak negatif terhadap perfusi serebral. Terapi awal
dengan menurunkan tekanan darah sebesar 15 % masih aman.
3. Penurunan tekanan darah pada pasien stroke iskemik akut yang
tidak mendapat trombolisis dan tidak ditemukan komorbid lain, bila
tekanan darah >220/120 mmHg, maka diturunkan sebesar 15 %
dalam 24 jam pertama awitan stroke.
4. Inisiasi dan konsumsi obat antihipertensi kembali diberikan dalam
perawatan pada ≥72 jam bila tekanan darah >140/90 mmHg dengan
klinis neurologis stabil.

Pencegahan Stroke Berulang


1. Pemberian obat antihipertensi pada pasien pasca stroke atau TIA
dengan TD >140/90 mmHg secara bermakna mengurangi risiko
stroke berulang.

712 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Hipertensi dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular

2. Untuk prevensi sekunder dan mencegah komplikasi kardiovaskular,


obat antihipertensi diberikan segera pada TIA, dan beberapa hari
(≥72 jam) pasca stroke akut bila klinis neurologis stabil.
3. Pada stroke lakunar, TDS dapat diturunkan hingga berkisar 120 –
130 mmHg.
4. Obat antihipertensi yang direkomendasikan untuk pencegahan
stroke adalah RAS bloker (ACEi atau ARB) ditambah CCB atau
diuretik thiazide-like diuretic (indapamide) atau sejenisnya.

f. Atrial Fibrilasi (AF)


1. Penapisan hipertensi dianjurkan pada pasien dengan AF.
2. Untuk kontrol laju jantung, dapat dipertimbangkan beta bloker atau
CCB non-dihidropiridin sebagai bagian terapi hipertensi.
3. Pencegahan stroke dengan antikoagulan oral perlu dipertimbangkan
pada pasien AF dengan hipertensi, walaupun hipertensi merupakan
1. Penapisan hipertensi dianjurkan pada pasien dengan AF.
satu-satunya
2. Untuk kontrol lajufaktor risiko
jantung, dapattambahan dengan
dipertimbangkan beta skor
blokerCHA2DS2-VASc
atau CCB non-
≥1.
dihidropiridin sebagai bagian terapi hipertensi.
3. Pencegahan
4. Antikoagulan stroke oral
dengan antikoagulan
harus oral perludengan
dipergunakan dipertimbangkan
hati-hatipada
padapasien AF
pasien
dengan hipertensi, walaupun hipertensi merupakan satu-satunya faktor risiko tambahan
dengan TD yang sangat tinggi (TDS ≥180 mmHg dan/atau TDD ≥100
dengan skor CHA2DS2-VASc ≥1.
mmHg) dan
4. Antikoagulan oraldiusahakan menurunkan
harus dipergunakan TDS hingga
dengan hati-hati <140
pada pasien mmHg,
dengan TD atau
yang
sangat tinggi (TDS ≥180 mmHg dan/atau TDD ≥100 mmHg) dan diusahakan
hingga <130 mmHg jika memungkinkan. Jika hal ini tidak mungkin,
menurunkan
maka pasien TDSperlu
hinggamemahami
<140 mmHg, bahwa
atau hingga <130 mmHg
proteksi strokejika memungkinkan.
yang diperoleh
Jika hal ini obat
dengan tidak antikoagulan
mungkin, maka pasien perlu memahami
berhubungan denganbahwarisiko
proteksi stroke yang
perdarahan
diperoleh dengan obat antikoagulan berhubungan dengan risiko perdarahan yang lebih
yang lebih tinggi.
tinggi.

3
Gambar
Gambar 6. Strategi
6. Strategi Pengobatan
Pengobatan HipertensiPada
Hipertensi PadaPasien
Pasien dengan
dengan AF
AF3

PENGELOLAAN RISIKO KARDIOVASKULAR

Pertemuan Ilmiah Antiplatelet


Penggunaan Nasional XVIIdan
PAPDI - Surabaya 2019
Statin 713
Pasien hipertensi dengan diabetes melitus tipe 2 atau sindrom metabolik seringkali memiliki
dislipidemia aterogenik yang ditandai dengan peningkatan trigliserid dan LDL khususnya
I Wayan Sudhana

Pengelolaan Risiko Kardiovaskular


Penggunaan Antiplatelet dan Statin
Pasien hipertensi dengan diabetes melitus tipe 2 atau sindrom metabolik
seringkali memiliki dislipidemia aterogenik yang ditandai dengan peningkatan
trigliserid dan LDL khususnya LDL yang kecil dan padat. Pemberian obat
golongan statin memperbaiki luaran jangka panjang pada kelompok pasien
ini dan penggunaannya dipandu oleh estimasi profil risiko kardiovaskular
sesuai dengan perhitungan SCORE.
1. Untuk pasien hipertensi dengan penyakit kardiovaskular atau memiliki
estimasi risiko kardiovaskular sangat tinggi, maka penggunaan statin
direkomendasikan untuk mencapai target LDL-C <70 mg/dL atau
penurunan >50% jika kadar LDL-C awal berkisar antara 70-135 mg/dL.
2. Untuk pasien dengan estimasi risiko kardiovaskular tinggi, statin
direkomendasikan untuk mencapai target LDL-C di bawah 100 mg/dL
atau penurunan >50% jika kadar LDL-C awal berkisar antara 100-200
mg/dL.
3. Untuk pasien dengan estimasi risiko kardiovaskular rendah-menengah,
statin sebaiknya dipertimbangkan untuk mencapai kadar LDL-C <115
mg/dL.
4. Penggunaan statin pada pasien gagal ginjal dengan eLFG <30 mL/
min/1.73m2, harus memperhatikan risiko toksisitas (rabdomiolisis).
Pada pasien dialisis kronik, statin tak terbukti bermanfaat, kecuali bila
sudah dalam statin sebelum dialisis, maka statin boleh diteruskan.

Pemberian antiplatelet pada pasien hipertensi dapat dimasukkan dalam


dua kelompok indikasi: sebagai pencegahan primer, jika belum terkena
penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular
ataupun penyakit arteri perifer) dan sebagai pencegahan sekunder jika telah
terjadi penyakit kardiovaskular.

Penggunaan antiplatelet jangka panjang memiliki risiko perdarahan yang


dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas sehingga pemberiannya harus
memperhitungkan rasio risiko dan manfaat. Sehingga saat ini pemberian
antiplatelet jangka panjang, terutama aspirin dosis kecil direkomendasikan
hanya untuk indikasi pencegahan sekunder pada pasien hipertensi.
Pemberian aspirin tidak direkomendasikan sebagai pencegahan primer pada
pasien hipertensi.

714 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Hipertensi dan Pencegahan Risiko Kardiovaskular

Daftar Pustaka
1. Williams B, Borkum M. Pharmacology Treatment of Hypertension. In: Feehally J,
Floege J, Tonelli M, Johnson RJ, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. 6th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2019. p. 430–43.
2. Esh H, Agabiti E, France MA, Uk AD, Germany FM, Kerins M, et al. 2018 ESC / ESH
Guidelines for the management of arterial hypertension The Task Force for the
management of arterial hypertension of the European Society of Cardiology (ESC)
and the European Society of Hypertension (ESH). Eur Heart J. 2018;39:3021–104.
3. Indonesian Society of Hypertension (InaSH). Konsensus Penatalaksanaan
Hipertensi. Lukito AA, Harmeiwaty E, Hustrini NM, editors. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Hipertensi Indonesia; 2019. 1–71 p.
4. Sorrentino MJ, Bakris GL. Hypertension Management (Approach to Difficult to
Manage Primary Hypertension). In: Bakris GL, Sorrentino MJ, editors. Hypertension
A Companion to Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia: Elsevier; 2018. p. 281–
96.
5. Born B-JH van den, Lip GYH, Brguljan-Hitij J, Cremer A, Cremer A. ESC Council on
hypertension position document on the management oh hypertensive emergencies:
position paper. Eur Hear J - Cardiovasc Pharmacother. 2018;1–10.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 715


Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif
Hamzah Shatri
Divisi Psikosomatik dan Paliatif, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Perkembangan layanan kesehatan di dunia termasuk di Indonesia
makin maju dan meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi kesehatan dan pengobatan. Kemajuan
ini tentunya akan diikuti dengan usia harapan hidup yang meningkat pula.
Peningkatan usia harapan hidup ini akan meningkatkan populasi layanan
paliatif, baik layanan baik di Rumah sakit maupun di luar Rumah sakit.

World Health perwatan Organization (WHO) mendefinisikan perawatan


paliatif sebagai pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien dan
keluarga yang menghadapi masalah terkait dengan penyakit yang mengancam
jiwa, melalui pencegahan dan pemulihan melalui identifikasi awal dan
penilaian menyeluruh serta perawatan rasa sakit dan masalah lain yang
meliputi kondisi somatik, psikis, sosial, dan spiritual. WHO memperkirakan
bahwa lebih dari 50% pasien dengan penyakit terminal membutuhkan
layanan paliatif. Layanan paliatif merupakan salah satu layanan kesehatan
yang penting, baik pada penyakit kanker, maupun penyakit non kanker yaitu
pada pasien dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung, penyakit paru,
penyakit hati, penyakit gastro intestinal dan penyakit ginjal tahap lanjut yang
pada akhirnya akan mengalami gagal organ, demikian juga penting pada
pasien usia lanjut.

Nyeri merupakan salah satu gejala yang sering dialami oleh pasien
paliatif. Gejala nyeri menimbulkan rasa yang tidak nyaman, yang akan
menganggu kehidupan pasien secara keseluruhan dan bila tidak terarasi
dengan memadai dan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang
bermakna. Banyak studi menunjukkan bahwa lebih dari 50% pasien dengan
penyakit kanker maupun non-kanker tahap lanjut mengalami gejala nyeri.
Pasien paliatif terutama pada pasien dengan penyakit tahap lanjut atau
terminal menderita nyeri akibat dari penyakitnya sendiri, dari pemeriksaan
diagnostik atau efek dari pengobatannya, premorbid dan faktor lain yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor yang berkaitan dengan gejala-gejala

716 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

pada pasien paliatif terutama nyeri memerlukan penilaian individual serta


pendekatan yang detail dan menyeluruh.

Untuk dapat memberikan tatalaksanan nyeri yang baik dan memadai,


selain pemahaman tentang layanan paliatif, perlu juga pemahan tentang
nyeri berkaitan dengan definisi, psikofisiologi dan psikopatologi nyeri serta
pedoman tatalaksana nyeri, baik tata laksana nyeri farmakologis maupun
tatalaksana nyeri non farmakologis.

Definisi dan Klasifikasi Nyeri


Nyeri adalah suatu persepsi yang merupakan mekanisme proteksi tubuh
yang bertujuan untuk memberikan peringatan akan adanya bahaya atau
adanya penyakit psikis ataupun somatik.

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP),


nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau
potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan. Dari definisi IASP terlihat
betapa pentingnya faktor psikis. Timbulnya rasa nyeri tidak hanya sekedar
sebagai proses sensorik saja tetapi merupakan persepsi yang komplek yang
melibatkan fungsi kognitif, emosional dan daya ingat.

Nyeri pada pasien paliatif pada umuimnya merupakan nyeri kronis,


namun sering kali disertai kombinasi dari nyeri akut, intermiten. Nyeri
kanker dapat muncul pada tempat primer kanker sebagai akibat ekspansi
tumor, penekan ataupun kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi
maligna, atau infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat muncul pada tempat
metastasis yang jauh dari lokasi primer tumor. Nyeri juga dapat timbul akibat
pemeriksaan ataupun pengobatan. Pada umunya nyeri kasus paliatif terutama
nyeri kanker merupakan nyeri campuran sehingga memerlukan pendekatan
bio-psiko-sosio-spiritual.

Secara neurofisiologi, nyeri dapat dibagi atas nyeri nosiseptif dan


nyeri non-nosiseptik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan
oleh aktifitas nosiseptor baik pada serabut ∝-delta maupun serabut-c, oleh
stimulus-stimulus mekanis, termal maupun kimiawi. Nyeri nosiseptik dapat
dibagi atas nyeri somatik dan nyeri viseral.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 717


Hamzah Shatri

Nyeri somatik bersifat tumpul, lokasinya jelas berhubungan dengan lesi,


contoh nyeri somatik adalah nyeri muskuloskeletal, nyeri artritik, nyeri pasca
bedah dan metastasis.

Nyeri viseral berhubungan dengan distensi organ yang berongga,


lokasinya sulit dideskripsikan, bersifat dalam, seperti diremas, dan disertai
kram. Nyeri ini biasanya berhubungan dengan gejala-gejala autonom, seperti
nausea, vomitus dan diaforesis. Sering kali nyeri viseral disertai penjalaran
(referred pain).

Nyeri non-nosiseptif tidak berhubungan dengan nosiseptor, yang


dapat dibagi atas nyeri neuropatik dan nyeri psikogenik. Nyeri neuropatik
disebabkan trauma atau iritasi neural, misalnya neuralgia trigeminal,
neuralgia pasca herpetik dan neuropati diabetik dan lain sebagainya.

Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak berhubungan dengan nyeri


nosiseptik maupun nyeri neuropatik dan disertai dengan gejala-gejala psikis
yang nyata. Seringkali disebut juga sebagai nyeri somatoform, nyeri idiopatik,
nyeri atipical. Secara psiko-fisio-patologis nyeri psikogenik dapat
langsung berhubungan dengan pusat persepsi nyeri tanpa melalui jalur
nyeri pada umumnya.

Secara patofisiologis proses nyeri dapat dibagi menjadi:


Adanya kerusakan jaringan akibat penyakit misalnya kanker, penyakit
muskulosketal dan lain-lain, disebut sebagai nyeri nosiseptif. Nyeri akibat
akivitas abnormal susunan saraf yang sering disebut nyeri neuropatik.
Adanya gangguan psikis atau emosi yang mendasari sebab timbulnya nyeri
disebut nyeri psikogenik.

Secara klinis nyeri dapat dibagi menjadi nyeri maligna, nyeri menjalar
(referred pain) sedangkan berdasar durasinya nyeri dapat dibagi menjadi
nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri kronis adalah nyeri yang bertahan
selama minimum 6 bulan dan memunjukkan ciri-ciri yang jelas berbeda jika
dibandingkan dengan nyeri akut. Misalnya, nyeri akut hanya terjadi pada suatu
waktu/kejadian tertentu, sedangkan nyeri kronis biasanya merupakan bagian
dari situasi yang lebih kompleks. Nyeri akut mempunyai awal dan akhir yang
jelas. Nyeri kronis, cenderung sirkuler; awal nyeri dengan cepat terlupakan
karena siklus nyerinya tidak pernah berakhir. Nyeri akut mempunyai
konotasi yang positif dalam arti nyeri tersebut merupakan tanda siaga adanya

718 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

jejas pada tubuh, sedangkan nyeri kronis tidak mempunyai tujuan fisiologis
tertentu. Pada nyeri kronis tanda-tanda dan gejala klinis sering kali tidak
khas, sering disertai yang psikologi demikian juga pada pemeriksaan fisik dan
penunjang. Nyeri maligna atau nyeri kanker umumnya rasa nyeri adalah
kronis, namun seringkali merupakan kombinasi dari nyeri akut, intermiten
dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat primer kanker sebagai
akibat ekspansi tumor, penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor,
obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat muncul
pada tempat metatsatasis yang jauh dari lokasi primer tumor.

Berdasarkan asal nyeri, dibagi menjadi nyeri kutan yaitu nyeri berasal
dari kulit dan jaringan subkutan. Lokasi sumber nyeri biasanya diketahui
dengan pasti dan nyeri biasanya tajam serta rasa terbakar. Nyeri Somatis
Dalam yaitu Nyeri berasal dari otot, tendon, sendi, pembuluh darah atau
tulang. Sifat nyeri biasanya menyebar. Nyeri Visera yaitu nyeri berasal dari
organ internal, misalnya: ulkus peptikum, appendisitis atau kolik renal.
Sensasi nyeri disalurkan dari organ melalui saraf autonom ke susunan saraf
pusat, dan nyeri psikogenik yaitu nyeri akibat gangguan psikis.

Klasifikasi nyeri mungkin masih banyak lagi, namun yang terpenting


dari klasifikasi adalah pemahaman untuk membantu pendekatan diagnosis
ataupun mencari penyebab dan pendekatan pengobatan. Sebagai contoh pada
nyeri psikogenik, maka eksplorasi dan evaluasi stresor psikososial, mencari
gejala ansietas dan depresi menjadi sangat penting yang tentunya pengobatan
lebih tertuju pada penyebab psikis dan menghilangkan stresor yang ada.

Fisiologi dan Anatomi Nyeri Secara Umum


Secara psikofisiologis ataupun patofisiologis, adanya ancaman, luka,
kerusakan jaringan, inflamasi akibat sutau penyakit akan menyebabkan
penglepasan zat-zat kimia seperti histamin, serotonin, bradikadin,
prostaglandin, substansi P dan lain-lain. Masing-masing mediator secara
sendiri atau secara bersamaan merangsang nosisptor yang merupakan
reseptor nyeri nosiseptik.

Stimulasi nosiseptor ini kemudian diikuti proses transduksi yaitu


pengalihan stimulus menjadi proses neuronal, yang kemudian diteruskan
sepanjang serabut saraf eferen ke ganglion radiks dorsalis medula spinalis
membentuk sinaps tempat sinyal rasa sakit mulai diproses dan kemudian
ditransmisikan ke korteks, menghasilkan rasa nyeri. Persepsi nyeri melalui
rangsang nosiseptor disebut nosiseption.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 719


Hamzah Shatri

Pada tingkat medula spinalis terutama pada radiks dorsalis terjadi


modulasi baik eksitasi maupun inhibisi impuls-impuls yang masuk. Kemudian
ditransmisikaan ke korteks serebri. Transmisi korteks serebri sangat
kompleks dan melibatkan banyak aspek. Melalui jalur monosinaptik serabut
spinotalamik ke korteks somato-sensorik yang mendeskripsikan nyeri
terutama lokasi dan intensitas nyeri. Melalui jalur polisinaps terjadi pada
segmen-segmen medula spinalis. Terdapat pula sinaps dengan serabut saraf
autonom di torakolumbal yang berhubungan dengan aktivitas sistem saraf
otonom yang menyertai nyeri.

Keadaan ini dapat menjelaskan terjadinya gejala-gejala ketidakseimbangan


aktifitas sususan saraf autonom akibat gangguan psikis ataupun emosi yang
dapat menyertai dan memperberat nyeri. Transmisi polisinaps ke korteks
frontalis yang melibatkan komponen afektif, menimbulkan gejala-gejala psikis
dan gangguan emosi, dan sebaliknya gangguan psikis, emosi dan afektif dapat
menurunkan nilai ambang nyeri.

Selain memberikan cabang pada tingkat medula, impuls nosiseptik juga


pada pons dan midbrain bercabang pada perjalanan selanjutnya menuju ke
korteks dan berakhir di girus postsentralis yang kemudian menghasilkan rasa
nyeri.

Secara skematis transmisi nyeri nosiseptik dapat digambarkan sebagai


berikut:

Gambar
Gambar1. 1. Anatomy
Anatomy ofof Nocioception;
Nocioception;
Four Steps : 1. Transduction 2. Transmission 3. Modulation 4. Perception
Four Steps : 1. Transduction 2. Transmission 3. Modulation 4. Perception
Pada tiap sinaps serabut aferen-eferen, asending-desending, pada tingkat perifer, spinal-
720 sentral, terdapat peran substansi Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI -misalnya
neurotranmiter-neuromodulator, Surabaya 2019
serotonin,
prostaglandin, substansi P, endorfin, enkapilin, dan lain-lain. Serotonin, norepinefrin, dopamin,
asetilkolin, asam amino aspartat dan glutamat menginhibisi nyeri pada tingkat serebral. Gama
Amino Butiryc Acid (GABA) menginhibisi terutama pada tingkat regulasi spinal. Inhibisi nyeri
Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

Pada tiap sinaps serabut aferen-eferen, asending-desending, pada


tingkat perifer, spinal-sentral, terdapat peran substansi neurotranmiter-
neuromodulator, misalnya serotonin, prostaglandin, substansi P, endorfin,
enkapilin, dan lain-lain. Serotonin, norepinefrin, dopamin, asetilkolin, asam
amino aspartat dan glutamat Gambar 1. Anatomy
menginhibisi of Nocioception;
nyeri pada tingkat serebral. Gama
Four Steps : 1. Transduction 2. Transmission 3. Modulation 4. Perception
Amino Butiryc Acid (GABA) menginhibisi terutama pada tingkat regulasi
Inhibisi
spinal. Pada nyeriserabut
tiap sinaps padaaferen-eferen,
tingkat sentral juga dilakukan
asending-desending, oleh opiat
pada tingkat perifer, spinal-
sentral, terdapat
endogen yaitu B peran
endorfin,substansi neurotranmiter-neuromodulator,
enkefalin dan dimorfin. Katekolamin misalnya
sepertiserotonin,
prostaglandin, pada
nonepinefrin substansi P, endorfin,
tingkat periferenkapilin, dan lain-lain.
menimbulkan Serotonin,
eksaserbasi norepinefrin, dopamin,
nyeri.
asetilkolin, asam amino aspartat dan glutamat menginhibisi nyeri pada tingkat serebral. Gama
Amino Butiryc Acid (GABA) menginhibisi terutama pada tingkat regulasi spinal. Inhibisi nyeri
padaKeseluruhan
tingkat sentralaktivitas neurotransmiter,
juga dilakukan oleh opiat endogen neuromodulator ataupun
yaitu B endorfin, enkefalin dan
neuro hormonal
dimorfin. tersebut
Katekolamin belum
seperti sepenuhnya
nonepinefrin diketahui,
pada tingkat perifertetapi sebagian
menimbulkan yang nyeri.
eksaserbasi
diketahui Keseluruhan
ini sangataktivitas neurotransmiter,
bermanfaat neuromodulator
dalam memahami ataupun neuro
psikofisiologi hormonal tersebut
dan patologi
belumserta
nyeri sepenuhnya
kontrol diketahui,
rasa nyeritetapi sebagian
itu sendiri yangbiokimiawi.
secara diketahui ini sangat bermanfaat
Sensitisasi sentral dalam
memahami psikofisiologi dan patologi
dan perifer dapat digambarkan sebagai berikut; nyeri serta kontrol rasa nyeri itu sendiri secara
biokimiawi. Sensitisasi sentral dan perifer dapat digambarkan sebagai berikut ;

Gambar
Gambar 2. Peripheral
2. Peripheral and central
and central sensitization
sensitization

Hubungan Nyeri dengan Faktor Psikis


Nyeri adalah suatu persepsi yang merupakan mekanisme proteksi tubuh
yang bertujuan untuk memberikan peringatan akan bersifat subyektif adanya
bahaya atau penyakit psikis ataupun somatik, luka, kerusakan jaringan
sehingga dapat diidentifikasi segera penyebabnya dan dilakukan pengobatan.
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial
menyebabkan akan kerusakan jaringan.

Dari definisi diatas terlihat betapa pentingnya faktor psikis.


Timbulnya rasa nyeri tidak hanya sekedar sebagai proses sensorik saja tetapi
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 721
Hamzah Shatri

merupakan persepsi yang komplek yang melibatkan fungsi kognitif, emosional


dan daya ingat. Nyeri maligna atau nyeri kanker umumnya rasa nyeri adalah
kronis, namun seringkali merupakan kombinasi dari nyeri akut, intermiten,
dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat primer kanker sebagai
akibat ekspansi tumor, penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor,
obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat muncul
pada tempat metatsatasis yang jauh dari lokasi primer tumor. Nyeri selain
dipengaruhi oleh penyakit kanker itu sendiri, juga dipengaruhi oleh banyak
faktor lain. Faktor-faktor ini terutama terletak dalam segi psikis, afektif dan
emosional, seperti kecemasan, cemas akan efektifitas terapi, cemas akan
masa depan sendiri maupun keluarganya dan cemas akan penderitaannya
yang akan dipikul kemudian. Pengalaman, pengalaman menderita nyeri, yang
dahulu memerlukan terapi bedah atau radiasi untuk menyembuhkannya.
Reaksi orang-orang disekitarnya: bagaimana reaksi lingkungannya, apa yang
ingin mereka ketahui mengenai pengalaman penderitaan, takutkah mereka
mendapat penyakit yang sama, adakah lingkungannya terlampau kawatir
atau terlalu riang. Kepribadian memegang peranan dalam memahami
nyerinya dan cara bereaksi terhadap nyeri tersebut. Semua faktor diatas akan
mempengaruhi fungsi psikis dan emosi seseorang yang berpusat pada sistem
limbik.

Pendekatan Komprehensif Masalah Nyeri dalam Perawatan Paliatif


Pengalaman penyakit tahap lanjut yang dialami seorang pasien sangat
kompleks; dari gejala fisik, kemampuan koping, dukungan keuangan,
beban perawat penjaga, perubahan sosial dan lingkungan keluarga dan
juga terhadap spiritual pasien. Masalah ini sebaiknya ditatalaksana dengan
pendekatan interdisiplin, yang difokuskan pada perawatan pasien dan
persiapan keluarganya terhadap penyakit yang dialami pasien. Para dokter
harus bekerja bersama dengan dalam suatu tim yang terdiri dari perawat,
psikolog, rohaniawan, terapis okupasi, ahli fisioterapi, ahli gizi, pekerja sosial,
ahli farmasi dan sukarelawan dan lainya, untuk memberikan perawatan dan
dukungan terhadap pasien secara menyeluruh dan bersana-sama dengan
koordinasi yang baik.

Kondisi ini membutuhkan suatu evaluasi multidimensi yang termasuk


penilaian karakter klinis dan psikologis pasien, identifiasi faktor prognostik
yang terkait gejala dan dampak gejala yang dilaporkan sendiri oleh pasien.

722 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

Gambar 3. Pendekatan komprehensif dalam perawatan pasien paliatif


Gambar 3. Pendekatan komprehensif dalam perawatan pasien paliatif
Status Penyakit dan Penilaian Gejala
Status Penyakit dan Penilaian Gejala
Penting bagi pakar mereka yang membidangi perawatan paliatif memahami tingkatan
dari penyakit
Pentingyang bagi pakar mereka
mendasarinya. yang membidangi
Selain mengetahui usia, langkahperawatan
awal untuk paliatif
mendapatkan
riwayat penyakit lengkap yang menelaah diagnosis penyakit seperti kanker,mengetahui
memahami tingkatan dari penyakit yang mendasarinya. Selain acquired immune
deficiency syndrome,awal
usia, langkah penyakit
untuk parumendapatkan
obstruktif menahun
riwayattingkat tingkat lengkap
penyakit lanjut, gagal
yangjantung
kongestif,
menelaahatau gagal ginjal, penyakit
diagnosis dan penyakit kronis kanker,
seperti lain, kronologis
acquired kejadian
immuneterkaitdeficiency
penyakit, terapi
sebelumnya,
syndrome, semua masalah
penyakit paru medis, bedah, menahun
obstruktif dan psikosomatik
tingkat yang
tingkatrelevan.
lanjut,Riwayat
gagal detail
mengenai peresepan sebelumnya dan terbaru dan obat-obatan yang tanpa peresepan, terapi medis
jantung kongestif, atau gagal ginjal, dan penyakit kronis lain, kronologis
alternatif, alergi obat, atau reaksi obat yang terjadi sebelumnya.
kejadian terkait
Penilaian penyakit,
gejala terapi sebelumnya,
harus melibatkan pemeriksaansemua
fisik masalah
menyeluruh medis,
dan bedah,
menilik data
dan psikosomatik yang relevan. Riwayat detail mengenai
laboratorium serta pemeriksaan penunjang yang ada. Rujukan spesialis, pencitraan khusus, ujiperesepan
laboratorium
sebelumnya merupakan hal yang
dan terbaru dansesuai untuk memahami
obat-obatan yang tanpa patofisiologis
peresepan, gejala
terapidanmediskaitannya
dengan penyakit,
alternatif, terutama
alergi gejalareaksi
obat, atau nyeri.obat yang terjadi sebelumnya.
Keluhan-keluhan bersifat subjektif, berupa persepsi, biasanya disampaikan dengan
penuturan. Laporan pasien sendiri merupakan sumber informasi adanya gejala dan tingkatannya.
Penilaian gejala harus melibatkan pemeriksaan fisik menyeluruh dan
Komunikasi sering kali sulit pada pasien dengan penyakit terminal karena kondisi klinis yang
beratmenilik
terdapatdata laboratorium
gangguan kesadaran,serta pemeriksaan
delirium penunjang
ataupun dalam sedasi yang yang ada. Rujukan
diakibatkan penggunaan
obat, gangguan metabolik, infeksi, metastasis otak, dan sebagainya. Pihakyang
spesialis, pencitraan khusus, uji laboratorium merupakan hal keluarga
sesuaidianggap
sebagai
untuk sumber
memahamiinformasipatofisiologis
alternatif ataugejala
informasi
dan tambahan,
kaitannyaterutama
denganselama perawatan
penyakit,
menjelang
terutama akhir gejala
hidup pasien.
nyeri.
Pasien dengan penyakit lanjut sering kali mengeluh terkait masalah psikis dan somatik
yang berdampak pada kualitas hidupnya. Gejalanya sangat bervariasi berdasarkan usia, jenis
Keluhan-keluhan
kelamin, bersifat atau
masalah primer dan komplikasi subjektif,
penyebaranberupa persepsi, biasanya
dari penyakitnya.
disampaikan
Terdapat 10dengan penuturan.
gejala yang Laporan
paling sering pasien
berupa nyeri,sendiri merupakan
keletihan, sumber
mulut kering, sesak nafas,
rasainformasi
mengntuk,adanya
tidak selera
gejalamakan, insomnia, rasaKomunikasi
dan tingkatannya. sedih, konstipasi
seringdankali
lebih
sulitdaripada
10 persen
penurunan berat badan. Frekuensi gejala ini mencapai 50 hingga 90
pasien dengan penyakit terminal karena kondisi klinis yang berat terdapat persen.
Dalam proses
gangguan pemilihan
kesadaran, penunjang,
delirium dokter dalam
ataupun harus lebih teliti dengan
sedasi mempertimbangkan
yang diakibatkan
tujuan pendekatan diagnostiknya yang praktis dapat diterapkan pada pasien dengan penyakit
penggunaan obat, gangguan metabolik, infeksi, metastasis otak, dan
terminal. Alat penunjang tidak hanya berguna untuk diagnostik, juga berguna untuk
sebagainya.
mengevaluasi Pihak gejala,
intensitas keluarga jugadianggap
memonitorsebagai sumber
efektifitas informasi
terapi dan menjaringalternatif
efek samping
atau informasi tambahan, terutama selama perawatan menjelang akhir hidup
pasien.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 723
Hamzah Shatri

Pasien dengan penyakit lanjut sering kali mengeluh terkait masalah


psikis dan somatik yang berdampak pada kualitas hidupnya. Gejalanya sangat
bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, masalah primer dan komplikasi
atau penyebaran dari penyakitnya.

Terdapat 10 gejala yang paling sering berupa nyeri, keletihan, mulut


kering, sesak nafas, rasa mengntuk, tidak selera makan, insomnia, rasa sedih,
konstipasi dan lebih dari 10 persen penurunan berat badan. Frekuensi gejala
ini mencapai 50 hingga 90 persen.

Dalam proses pemilihan penunjang, dokter harus lebih teliti dengan


mempertimbangkan tujuan pendekatan diagnostiknya yang praktis dapat
diterapkan pada pasien dengan penyakit terminal. Alat penunjang tidak hanya
berguna untuk diagnostik, juga berguna untuk mengevaluasi intensitas gejala,
juga memonitor efektifitas terapi dan menjaring efek samping pengobatan.
Hasilnya, sebaiknya didokumentasikan dalam lembaran rekam medik pasien
untuk menjamin keakuratan dalam memonitor gejala.

The Edmonton Symptom Assessment System (ESAS) merupakan contoh


instrumen yang telah dikembangkan untuk memonitor gejala yang multipel.
ESAS merupakan suatu alat pendekatan diagnostik perawatan paliatif, sangat
mudah digunakan, pasti, dan bisa digunakan secara luas dalam praktik klinis.
Terdiri dari 10 visual analog scales yang mengevaluasi gabungan gejala psikis
dan somatic serta tambahan rasa nyaman. Nyeri merupakan salah satu aspek
penting dalam perawatan pasien paliatif khususnya kanker yang memerlukan
deteksi dan pengobatan dini

Penilaian Gejala Nyeri


Kontrol nyeri merupakan masalah yang nyata pelayanan pasien paliatif
di seluruh dunia. Penanganan nyeri yang efektif tergantung pada pemeriksaan
dan penilaian nyeri yang seksama baik berdasarkan informasi subjektif
maupun objektif. Informasi subjektif oleh pasien, merupakan cara utama pada
evaluasi nyeri. Namun, informasi laporan-sendiri ini dipengaruhi oleh usia,
fungsi kognitif, ada tidaknya disabilitas fisik, penggunaan obat dan harapan
pasien serta sensitifitas dokter yang memberikan layanan paliatif. Informasi
laporan-sendiri dapat diperoleh melalui anamnesis yang runut dan mendetil.
Pendekatan untuk memperoleh riwayat penyakit dan gejala nyeri detil dari
seorang pasien sebaiknya menggunakan kombinasi pertanyaan terbuka dan
tertutup untuk mengetahui masalah nyeri yang diderita pasien. Selain itu,

724 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

perhatikan juga selama anamnesis dokter menunjukkan sikap yang suportif


dan tidak menghakimi, memperhatikan tanda-tanda verbal dan nonverbal,
meluangkan waktu yang cukup, sehingga dapat memberikan efek teraupetik.
Dalam melaksakan anamnesis nyeri dapat menggunakan cara -cara yang
mudah di hafal seperti singkatan PQRST unrtuk membantu untuk Evaluasi
Nyeri. Yaitu : P : Paliattive ; penyebab nyeri ,Q : Quality;kualitas nyeri R : Regio;
lokasi dan penyebaran nyeri, S : Subjektif; deskripsi oleh pasien mengenai
tingkat nyerinya T : Temporal : periode/waktu yang berkaitan dengan
nyeri atau OPQRS Onset : tentukan kapan terjadinya ketidaknyamanan yang
membuat pasien mulai mencari bantuan. Provocation (provokasi) Tanyakan
apa yang memperburuk nyeri atau ketidaknyamanan. Apakah posisi, Apakah
memburuk dengan menarik napas dalam atau palpasi pada dada, Apakah nyeri
menetap: Quality (kualitas): Tanyakan bagaimana jenis nyerinya. Biarkan
pasien menjelaskan dengan bahasanya sendiri. Radiation (radiasi): Apakah
nyeri menjalar ke bagian tubuh yang lain, Di mana? Severity (keparahan):
Gunakan perangkat penilaian nyeri (sesuai untuk pasien) untuk pengukuran
keparahan nyeri yang konsisten. Gunakan skala nyeri yang sama untuk menilai
kembali keparahan nyeri dan apakah nyeri berkurang atau memburuk Dapat
juga memakai anamnesis, COLDERRA; Characteristic (karakteristik): Apakah
nyeri bersifat tumpul, sakit, tajam, menusuk atau menekan. Onset :Kapan
nyeri mulai terasa, Location (lokasi) Duration (durasi), Berapa lama nyeri
berlangsung; terus menerus atau hilang timbul Exacerbation (eksaserbasi)
Apa yang memperburuk nyeri Radiation (radiasi) Relief (pereda) Apa yang
meredakan nyeri Associated sign/symptom (tanda-tanda dan gejala yang
menyertai), mual, cemas, perasaan lainnya. Dapat juga memakai cara lain,
yang penting aspek penting dari nyeri, dinilai dengan baik sehingga dapat
memperkiran penyebab nyeri dan pemilihan pengobatan.

Selain diatas juga perlu dilakukan pengukuran derajat beratnya atau


intensisas nyeri dengan tujuan mengetahui kuantitas nyeri, menuntun
pemilihan modalitas pengobatan dan untuk evaluasi terapi nyeri.

Cara Penilaian Intensitas Nyeri


Informasi laporan-sendiri juga dapat diperoleh menggunakan berbagai
cara penilaian nyeri. Perlu diingat, bahwa kedalaman dan kompleksitas cara-
cara untuk penilaian nyeri ini bervariasi. Idealnya, cara-cara untuk penilaian
ini mudah digunakan, mudah dimengerti oleh pasien, dan valid, sensitif serta
dapat dipercaya. Alat ukur intensitas nyeri dapat menggunakan visual analog
scale (VAS), verbal rating scale (VRS), numerical rating scale (NRS), dan faces

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 725


Hamzah Shatri

rating scale. VAS (Visual Analogue Scale) yang telah digunakan sangat luas
dalam beberapa dasawarsa belakangan ini dalam penelitian terkait dengan
nyeri dengan hasil yang handal, valid dan konsisten.

Skala Analog Visual (Visual Analog Scale/VAS)


Derajat beratnya nyeri dapat dinilai dengan skala analog visual adalah
cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini
menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang dialami seorang
pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau
tanpa tanda pada tiap centimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat
berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak
ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri paling berat
yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. Manfaat
utama VAS adalah penggunaannya yang sangat mudah dan sederhana. Dan
dapat dipakai juga untuk evaluasi hasil pengobatan. Namun, pada periode
pascabedah, tidak banyak bermanfaat karena diperlukan koordinasi visual
dan motorik serta kemampuan konsentrasi.

Cara penilaiannya adalah penderita menandai sendiri dengan pensil


pada nilai skala yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya
setelah diberi penjelasan tentang cara dan prosedur pemeriksaan dan
makna dari setiap skala tersebut. Penentuan skor VAS dilakukan dengan
mengukur jarak antara ujung garis yang menunjukkan tidak nyeri hingga
ke titik yang ditunjukkan pasien. Persyaratan melakukan pengukuran nyeri
dengan menggunakan skala VAS adalah pasien sadar atau tidak mengalami
gangguan mental/kognitif sehingga dapat berkomunikasi dengan baik, dapat
melihat dengan jelas, sehingga dapat menunjuk titik pada skala VAS berkaitan
dengan kualitas nyeri yang dirasakannya, serta pasien kooperatif, sehingga
pengukuran nyeri dapat terlaksana.

VAS dapat diaplikasikan pada semua pasien, tidak tergantung bahasa


bahkan dapat digunakan pada anak, dan dapat digunakan untuk mengukur
semua jenis nyeri namun memerlukan pengukuran yang teliti, pasien harus
hadir saat dilakukan pengukuran, mempunyai kemampuan visual dan kognitif
yang baik. Serta sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat
ukur tersebut.

726 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Skala Visual Analog (VAS) :
Beberapa Alat Ukur Intensitas Nyeri
Skala Visual Analog (VAS) : Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif
Beberapa Alat Ukur Intensitas
Beberapa Alat UkurNyeri
Intensitas Nyeri
Beberapa Alat Ukur Intensitas Nyeri
Skala VisualSkala
Analog (VAS)
Visual :
Analog (VAS) :
Skala Visual Analog (VAS):
Gambar 4. Skala VAS
Skala Verbal :
Gambar 4. Skala VAS
Skala Verbal :
Gambar 4. Skala VAS Gambar 4. Skala VAS
Gambar 4. Skala VAS
Skala Verbal :
Skala Verbal :
Skala Verbal:
Gambar 5. Skala Verbal

Gambar 5. Skala
Skala Rating Verbal(NRS):
Numerik
Gambar 5. Skala Verbal
Gambar 5. Skala Verbal
Skala Rating Numerik (NRS):
Gambar 5. Skala
Skala Rating Verbal
Numerik (NRS):
Skala Rating Numerik (NRS):
Gambar 6. Skala NRS
Skala Rating Numerik (NRS):
Gambar 6. Skala NRS
Gambar 6. Skala
Skala Nyeri NRSWajah:
Ekspresi
Skala Nyeri Ekspresi Wajah:
Gambar 6. Skala NRS
Skala Nyeri Ekspresi Wajah:
Gambar 6. Skala NRS
Skala Nyeri Ekspresi Wajah:

Skala Nyeri Ekspresi Wajah:

Gambar 7. Skala Nyeri Ekspresi Wajah

Gambar 7. Skala Nyeri Ekspresi Wajah

Gambar 7. Skala Nyeri Ekspresi Wajah

Gambar 7. Skala NyeriIlmiah


Pertemuan Ekspresi
NasionalWajah
XVII PAPDI - Surabaya 2019 727
Hamzah Shatri

Skala Numerik Verbal (Verbal Rating Scale; VRS)


Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan
derajat beratnya nyeri. Dua ujung ekstrim juga digunakan pada skala ini,
sama seperti pada VAS. VRS

Ini lebih bermanfaat pada periode pascabedah, karena secara alami


verbal/ kata-kata tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik.

Numeric Rating Scale (NRS)


Skala verbal menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka untuk
menggambarkan tingkat nyeri (Gambar ). Skala yang digunakan dapat berupa
tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan
sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/
nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala
ini tidak dapat membedakan berbagai tipe nyeri.

Kalau tadi penghitungan skala nyeri didasari pada pernyataan, maka


metode NRS ini didasari pada skala angka 1-10 untuk menggambarkan
kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim lebih mudah dipahami,
lebih sensitif terhadap jenis kelamin, etnis, juga lebih efektif untuk mendeteksi
penyebab nyeri akut ketimbang VAS dan VRS.

Skala Nyeri Berdasarkan Ekspresi Wajah


Pengukuran skala nyeri dengan melihat ekspresi wajah pasien pada saat
bertatap muka tanpa kita menanyakan keluhannya. Berikut skala nyeri yang
kita nilai berdasarkan ekspresi wajah: Penilaian skala nyeri dari kiri ke kanan
wajah pertama, ekresi tidak ada nyeri, perkiraan skor 0, wajah, kedua nyeri
ringan, perkiraan skor 1 sampai 3, wajah 3 ekspresi nyeri ringan sedang
wajah dan wajah 4 ekspresi nyeri sedang perkiraan skor 4-6. Wajah 5 7
sampai 9 ekpresi nyeri berat, serta wajah 6 nyeri sangat berat dengan skor
maksimal yaitu 10.

Selain itu pengukuran intensitas nyeri dapat menggunakan cara penilaian


nyeri multidimensi. Cara multidimensi, seperti cara dimensi tunggal tersebut
diatas, menilai tingkat/derajat nyeri yang dialami oleh pasien, namun, cara
multidimensi juga memungkinkan untuk mengukur aspek lain misalnya,
perilaku dan respon emosi. Sebagai contoh cara multidimensi ini adalah

728 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

penggunaan catatan harian nyeri, gambar nyeri, skala wajah nyeri, kuesioner
nyeri singkat Wisconsin, dan kuesioner nyeri McGill, dan lain sebagainya.

Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif


Tujuan utama dari terapi nyeri ialah agar pasien merasa aman dan
nyaman serta dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. Tatalaksana nyeri
pada terapi paliatif meliputi berbagai aspek terutama aspek bio-psiko-sosial
dan spiritual.

Nyeri bersifat subjektif, dan derajat nyeri dipengaruhi oleh berbagai


kondisi, seperti ingatan terhadap nyeri sebelumnya, dukungan keluarga dan
orang terdekat, ketahanan diri terhadap nyeri, serta strategi terapi nyeri. Oleh
karena itu, tatalaksana nyeri disesuaikan dengan masing-masing individu.

Tatalaksana nyeri dari aspek biologis biasa menggunakan panduan


dari World health Organization (WHO), yaitu WHO Pain Ladder. Tatalaksana
Nyeri, World Health Organization (WHO), pada tahun 1986, mengeluarkan
pendekatan bertahap untuk pengobatan nyeri, terutama untuk nyeri paliatif
yang telah digunakan secara luas di seluruh dunia. Langkah-langkah pemberian
terutama berdasarkan intensitas rasa sakit. Pada langkah awal analgetik yang
diberikan Acetaminophen dan ataupun anti inflamasi non steroid. Sebagaian
besar, lebih dari 90%, nyeri ringan sampai sedang dari berbagai penyebab
dapat teratasi dengan baik. Sebaiknya obat-obat ini dilanjutkan, ketika obat-
obatan lain ditambahkan dari tangga analgesik.

Pendekatan WHO juga menyediakan lima komponen kerangka kerja


untuk pemberian analgesik. Pedoman ini menganjurkan obat-obatan untuk
diberikan melalui oral agar mudah diberikan pada jadwal reguler untuk
mempertahankan efek analgesik yang konstan. Penggunaan tangga analgesik
dan titrasi dosis individu direkomendasikan untuk menemukan dosis yang
tepat untuk setiap pasien. Penggunaan obat adjuvan juga dianjurkan untuk
mengoptimalkan analgesik. Pedoman WHO berguna dalam meredakan nyeri
kanker. Bukti dari penelitian menunjukkan setidaknya lebih dari 60% pasien
dengan nyeri kanker dapat diberikan penghilang rasa sakit yang memadai di
seluruh rentang perjalanan penyakitnya, dari pengobatan sampai kematian,
dengan penerapan pedoman WHO. Studi terbaru telah melaporkan bahwa
pasien mengalami nyeri kanker pada tingkat sedang atau lebih berat.
Sementara membandingkan hasil penelitian terbaru yang menggambarkan
kejadian dan intensitas nyeri kanker, dapat diasumsikan bahwa pedoman

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 729


Hamzah Shatri

WHO belum sepenuhnya diadopsi seperti yang diharapkan sejak dikeluarkan


pada tahun 1986.

Tatalaksana Farmakologik
WHO pada tahun 1986, mengembangkan model 3 langkah tangga untuk
memandu terapi nyeri. Model ini memberikan pendekatan yang mudah
difahami untuk seleksi yang rasional dalam pemberian analgetik. Pada model
WHO ini, terdapat pendekatan yang menyeluruh terapi farmakologi semua
jenis nyeri, termasuk pada pendekatan terapi nyeri pada kasus-kasus paliatif,
baik kasus nyeri pasien paliatif kanker ataupun kasus paliatif nyeri non
kanker. Pada model WHO ini, pemberian terapi farmakologi dimulai sesuai
tingkatan nyeri. Untuk nyeri ringan dimana skala analog numerik sampai
dengan 3/10 dimulai pada langkah 1, untuk nyeri sedang dimana skala
analog numerik 4-6/10, dimulai pada langkah 2 dan pada nyeri berat dengan
skala analog numerik 7-10, masuk langkah 3.Tidak perlu untuk melalui semua
langkah secara bertahap, pasien dengan nyeri berat mungkin bisa langsung
mendapat terapi opiat langkah ke-3 dan dapat sesegera mungkin masuk
langkah intervensi lanjut bila diperlukan terutama pada nyeri kanker.

Lima konsep penting dari pendekatan WHO untuk terapi obat pada pasien
nyeri kanker: By the mouth, By the clock, By the ladder, For the individual,
With attention to detail.

Gambar 8. Three-Step Analgesic Ladder, World Health Organization.


Gambar 8. Three-Step Analgesic Ladder, World Health Organization.
Asetaminofen
Asetaminofen adalah adalah
analgesikanalgesik
langkah 1langkah
yang cukup 1 yangefektif.cukup efektif. juga
Asetaminofen
Asetaminofen
analgesik jugasangat
tambahan yang analgesik tambahan
berguna yang sangat
pada berbagai berguna
keadaan, pada analgesik
merupakan berbagai dan
antipiretik poten namun tidak memiliki sifat anti inflamasi yang memadai.
Obat-obat anti-inflamasi non steroid (NSAID; non steroid anti inflamatory drugs) adalah
analgesik
730langkah ke-1 yang efektif. Obat-obat NSAID
Pertemuan bekerja,
Ilmiah Nasionalmenghambat siklo-oksigenase,
XVII PAPDI - Surabaya 2019
enzim yang mengubah asam arakhidonik menjadi prostaglandin. Prostaglandin adalah lipid pro-
inflamatorik yang terbentuk dari asam arakhidonik oleh kerja enzim cyclooxygenase (COX)
yang mengeksitasi nosiseptor.
Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

keadaan, merupakan analgesik dan antipiretik poten namun tidak memiliki


sifat anti inflamasi yang memadai.

Obat-obat anti-inflamasi non steroid (NSAID; non steroid anti inflamatory


drugs) adalah analgesik langkah ke-1 yang efektif. Obat-obat NSAID bekerja,
menghambat siklo-oksigenase, enzim yang mengubah asam arakhidonik
menjadi prostaglandin. Prostaglandin adalah lipid pro-inflamatorik yang
terbentuk dari asam arakhidonik oleh kerja enzim cyclooxygenase (COX) yang
mengeksitasi nosiseptor.

Dengan pengobatan NSAID hati-hati terhadap efek perdarahan pada


saluran cerna atas dan gangguan fungsi fungsi ginjal.

Analgesik langkah ke-2 dengan opiate lemah dan ke-3 melibatkan


penggunaan opiate kuat. Farmakologi Opiat, kodein, hidrokodon, hidromorfon,
morfin, oksikodon, dll, semuanya memiliki farmakologi yang hampir sama.
Obat-obat ini mencapai konsentrasi puncak dalam plasma kurang lebih 60-90
menit setelah pemberian oral termasuk personde atau rektal, dan 30 menit
setelah pemberian subkutan atau injeksi intramuskular. Injeksi intravena
mencapai Cmax segera namun efek puncaknya bervariasi tergantung jenis
opiatnya, butuh waktu 10-20 menit dengan morfin. Hepar yang pertama
mengkonyugasikan. Kemudian ginjal mengekskresikan 90%-95% metabolit.
Jalur metabolit mereka tidak mengalami saturasi. Setiap metabolit opiat
memiliki waktu paruh (t1/2) yang bergantung pada bersihan ginjal. Jika
bersihan ginjal normal, maka kodein, hidrokodon, hodromorfon, morfin,
oksikodon dan metabolit mereka memiliki waktu paruh efektif sekitar 3-4
jam. Jika dosis diulangi, konsentrasi plasma mereka mendekati “steady state”
setelah 4 hingga 5 jam. Oleh karena itu, konsentrasi plasma “steady state”
biasanya dicapai dalam sehari..

Kontrol nyeri terbaik mungkin tercapai dengan tercapainya dosis yang


memadai dalam sehari dengan tercapainya “steady state”. Memberikan
sediaan pada pasien dengan dosis terbagi yang sama dapat digunakan ketika
terjadi “breakthrough pain” (rescue dose). Jika nyeri masih tidak dapat
terkontrol dalam 24 jam, tingkatkan dosis mulai 25% hingga 50% untuk nyeri
ringan hingga sedang, mulai 50% hingga 100% untuk nyeri berat sampai
nyeri tak terkontrol, atau sejumlah dengan dosis total “rescue medication”
yang digunakan dalam 24 jam sebelumnya. Jangan menunggu lama, akan
menggagu fungsi psikis pasien yang dapat memperburuk koping terhadap

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 731


Hamzah Shatri

nyeri. Jika nyeri menjadi berat dan tak terkontrol setelah 1 atau 2 dosis,
tingkatkan dosis lebih cepat. Observasi ketat pasien hingga nyeri teratasil.

Analgesik adjuvan adalah obat-obat yang, ketika ditambahkan ke


analgesik primer, akan jauh lebih meningkatkan kontrol nyeri. Mereka
sendiri juga dapat sebagai analgesik primer, seperti, obat-obat antidepresan
trisiklik untuk neuralgia postherpetik. Obat-obat ini dapat ditambahkan
dalam penatalaksanaan nyeri pada setiap langkah anak tangga terapi nyeri
menurut WHO. Nyeri neuropatik kadang membutuhkan analgesik adjuvan
terhadap opiat agar nyeri tertangani secara adekuat. Untuk pasien-pasien
yang menggambarkan nyeri mereka dengan perasaan terbakar dengan atau
tanpa hilang rasa, pilihan obat ajuvannya termasuk antidepresan trisiklik,
gabapentin atau selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Amitriptylin
adalah antidepresan trisiklik yang paling banyak diteliti berkaintan dengan
nyeri. Dimulai dengan dosis rendah 10 mg per oral sebelum tidur, dapat
dinaikkan bertahap sampai didapatkan efek yang diharapkan. Hati-hati pada
efek samping akibat aktivitas antikolinergiknya dan risiko toksisitas pada
jantung, terutama oada penggunaan dodis 100mg/24 jam atau lebih.

Gabapentin juga efektif sebagai ajuvan untuk segala tipe nyeri neuropatik.
Gabapentin merupakan antikonvulsan yang bisa mensupresi neuronal
firing. Dimulai dengan dosis rendah 100 mg per oral 3 kali sehari dan dosis
ditingkatkan setiap 1 hingga 2 hari dengan 100 mg sampai mencapai efek yang
diharapkan. Selain itu dapat dipakai obat karbamazepin, dan asam valproik
pada nyeri neuropatik atau sebagai -obat ajuvan yang umum digunakan.
Kombinasi obat-obat analgesik adjuvan mungkin dibutuhkan, termasuk
antiaritmia oral, agonis alpha-2-adrenergik, kortokosteroid, dan lain
sebagainya.

Pertimbangkan untuk mengkonsultasikan kepada pakar yang menangani


nyeri sesegera mungkin untuk meminimalkan penderitaan pasien dan resiko
kerusakan yang lebih jauh akibat nyeri itu sendiri.

Nyeri tulang biasanya menyebabkan masalah yang konstan baik pada


saat istirahat dan memberat dengan bergerak. Prostaglandin diproduksi
oleh inflamasi yang sedang berlangsung dan/ atau metastase yang dapat
meningkatkan keparahan nyeri tulang. Kompresi tulang belakang sebaiknya
selalu dipertimbangkan ketika didapatkan nyeri tulang belakang yang
bermakna pada pasien dengan kanker metastatik. Opiat tetap menjadi terapi

732 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

utama penanganan nyeri tulang. NSAID, kortikosteroid, biposfonat seperti


alendronate, pamindronate, kalsitonin, ,terapi radiasi dapat mnengurangi
nyeri yang bermakna. Bantuan mekanik eksternal seperti splint atau braces
dapat membantu mengurangi nyeri, bila Ketika intervensi ortopedik definitif
tidak dapat dilakukan.

Nyeri akibat obstruksi pada usus. Obstruksi usus mekanik, konstipasi


atau kompresi eksternal oleh tumor atau luka, dapat mengarah pada nyeri
abdomen yang bermakna akibat dinding abdomen yang meregang atau
inflamasi. Nyeri biasanya digambarkan bersifat konstan, tajam dan kaku.
Nyeri biasanya bersamaan dengan bloating, distensi, gas, atau bahkan
mual, muntah. Pemulihan konstipasi atau pembedahan atau bypass blokade
exsternal mungkin bersifat defenitif; pada beberapa pasien, obstruksi
irreversibel. Meski beberapa mendapatkan opiad efektif dalam menangani
nyeri, beberapa membutuhkan obat-obat adjuvan untuk memulihkan
ketidaknyamanan mereka secara efektif. Kortikosteroid dan obat NSAID
mungkin bermanfaat. Obat-obat antikolinergik seperti skopolamine atau
oktreotide akan menurunkan volume cairan yang akan memasuki usus
halus, selanjutnya mengurangi ketegangan dan menghilangkan nyeri pada
dinding perut. Konsultasi yang lebih dini dengan pakar penanganan nyeri dan
perawatan paliatif dapat menurunkan kegagalan penanganan nyeri sambal
menunggu intervensi definitif selanjutnya

Kortikosteroid seringkali bermanfaat dan umumnya digunakan pada


penyakit-penyakit terminal. Mereka dapat lebih berguna untuk kompresi
saraf yang akut, peningkatan tekanan intrakranial, nyeri tulang, nyeri viseral
seoerti obstruksi dan/ atau distensi kapsular. Dexamethason, dengan waktu
paruh yang panjang >36 jam dan efek mineralokortikoid minimal, merupakan
obat yang terpilih. Adanya psikosis akibat steroid sebaiknya dipertimbangkan
jika didapatkan gejala delirium dan atau agitasi.

Pada umumnya 80-90% nyeri kasus paliatif dapat tertangani dengan


analgesik konvensional dan ajuvan berdasarkan prinsip penanganan nyeri
WHO analgesik 3-step ladder, terutama bila faktor penyerta seperti adanya
infeksi, stressor psikisosial, adanya ansietas dan depresi di tatalaksana secara
bersamaan

Namun, 10%-20% pasien kanker tetap merasakan nyeri dengan terapi


diatas, sehingga dibutuhkan terapi intervensi lanjut untuk nyerinya. Terapi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 733


terutama bila faktor penyerta seperti adanya infeksi, stressor psikisosial, adanya ansietas dan
depresi di tatalaksana secara bersamaan
Namun,
Hamzah Shatri 10%-20% pasien kanker tetap merasakan nyeri dengan terapi diatas, sehingga
dibutuhkan terapi intervensi lanjut untuk nyerinya. Terapi intervensi lanjut dapat
intervensi lanjut
dipertimbangkan sebagaidapat dipertimbangkan
langkah sebagai
selanjutnya pada langkahanalgesik
anak tangga selanjutnya
WHOpada
yang dapat
anak tangga analgesik
dimasukkan sebagai langkah empat WHO yang dapat dimasukkan sebagai langkah empat

Gambar 9. 4-Step Analgesic Ladder


Gambar 9. 4-Step Analgesic Ladder

ResponRespon
pasienpasien
terhadap opiatopiat
terhadap sangat
sangatbervariasi
bervariasisehingga
sehinggadokter
dokter harus selalu melihat
harus selalu
keseimbangan antara efek analgesia dan efek sampingnya. Pasien
melihat keseimbangan antara efek analgesia dan efek sampingnya. Pasien nyeri kasus paliatif yang
terkontrol dengan opiat namun dengan efek samping yang berat, sebaiknya
nyeri kasus paliatif yang terkontrol dengan opiat namun dengan efek samping mendapatkan terapi
intervensi lebih dini.
yang berat, sebaiknya mendapatkan terapi intervensi lebih dini.
Terapi intervensi bervariasi mulai dari blok saraf yang sederhana hingga teknik invasif
seperti blok regional, neurolitik, atau bahkan prosedur bedah saraf. Pilihan dalam melakukan
intervensi
prosedur Terapi intervensi bervariasiberbeda-beda
bersifat individual, mulai dari blok saraftiap
untuk yang sederhana
kasus, hinggaresiko dan
berdasarkan
teknik invasif seperti blok regional, neurolitik, atau bahkan prosedur
manfaat untuk tiap-tiap pasien. Beberapa teknik memberikan efek analgesia beberapa bedah hari hingga
beberapa minggu.
saraf. PilihanBlokdalam
neurolitik bisa sampai
melakukan berberapa
prosedur bulan dan
intervensi alat implantasi
bersifat bisa sampai
individual,
beberapa tahun. Teknik
berbeda-beda untukregional sepertiberdasarkan
tiap kasus, opiat neuroaksial
resiko dan
dan anestetik lokal biasanya
manfaat untuk
dipraktikkan lebih
tiap-tiap dulu Beberapa
pasien. sebelum metode intervensi yang
teknik memberikan efeklain. Prosedur
analgesia ablatif atau
beberapa hari destruksi
neuron,hingga
denganbeberapa
rasio resiko manfaat
minggu. yang
Blok sempit, sebaiknya
neurolitik bisa sampai ditunda selama bulan
berberapa penyembuhan
dan nyeri
masih alat
bisa implantasi
dilakukan dengan modalitas non-ablatif. Meski demikian, beberapa
bisa sampai beberapa tahun. Teknik regional seperti opiat prosedur, seperti
blok pleksus seliak pada pasien kanker pankreas memberikan manfaat lebih besar jika dilakukan
neuroaksial dan anestetik lokal biasanya dipraktikkan lebih dulu sebelum
lebih dini dengan neurolisis. Blok diagnostik dengan anestetik lokal harus digunakan untuk
metode intervensi yang lain. Prosedur ablatif atau destruksi neuron, dengan
menilai efektivitasnya sebelum prosedur sebenarnya dengan agen neurolitik. Blok ini juga
bergunarasio resiko
untuk manfaat yang
mengevaluasi sempit,
efek defisitsebaiknya ditunda
neurologis akibatselama penyembuhan
prosedur ablatif. Komplikasi
nyeri masih bisa dilakukan dengan modalitas non-ablatif. Meski demikian,
beberapa prosedur, seperti blok pleksus seliak pada pasien kanker pankreas
memberikan manfaat lebih besar jika dilakukan lebih dini dengan neurolisis.
Blok diagnostik dengan anestetik lokal harus digunakan untuk menilai
efektivitasnya sebelum prosedur sebenarnya dengan agen neurolitik. Blok
ini juga berguna untuk mengevaluasi efek defisit neurologis akibat prosedur
ablatif. Komplikasi neurologis akibat neurolisis yang mungkin muncul yaitu
hilangnya fungsi motorik permanen, paresthesia, dan dysthesia. Pemilihan
prosedur yang sesuai dapat menurunkan penggunaan opiate sistemik dan
meningkatkan kualitas hidup.
734 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

Tatalaksana Non-Farmakologik
Selain tatalaksana farmakologi, tatalaksana non-farmakologik nyeri
kasus paliatif antara lain TENS, fisioterapi, akupuntur,berbagai jenis
psikoterapi, relaksasi juga turut berperan, terapi psikososial, spiritual, dan
kultural dianggap mampu mengurangi penderitaan dan gejala fisik yang
dirasakan.14 Karena psikososial dan spiritual yang sehat dapat mengurangi
kondisi emosional negatif seperti depresi atau ansietas yang dianggap dapat
memperberat nyeri.15

Kesimpulan
Penanganan nyeri kasus paliatif merupakan salah satu yang paling
penting dalam penatalaksanaan pasien paliatif bersama gejala-gejalan lain
yang ada sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien paliatif.

Pemahaman tentang mekanisme nyeri, jenis nyeri akan membantu


menentukan terapi yang efektif pada pasien paliatif. Secara psikofisiologi
dan patofisiologi nyeri paliatif bisa berhubungan dengan nyeri nosiseptik
somatik dan viseral, serta nyeri neuropatik dan nyeri psikogenik, namun
sering kali merupakan nyeri campuran sehingga dalam penatalaksanaannnya
membutuhkan terapi multimodal.

Prinsip penanganan nyeri analgesik WHO langkah tangga 3 banyak


membantu terapi pasien dengan nyeri paliatif. Terapi non farmakologi
membatu memperbaiki masalah nyeri yang perlu juga diterapkan secara
bersamaan.

Pendekatan terapi intervensi nyeri menjadi modalitas lebih lanjut


dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri paliatif terutama yang tidak
tertanggulangi dengan prinsip analgesic 3 tangga WHO bersama terapi non
farmakologi.

Daftar Pustaka
1. Auret, K., Schug, S.A. (Pain management for the cancer patient –Current practice
and future developments.. Best Practice & Research Clinical Anaesthesiology.
2013; 27:545–61.
2. Brant JM. Holistic total pain management in palliative care: cultural and
global consideration. Palliative Medicine and Hospice Care Open Journal.
2017;SE(1):S32-S38

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 735


Hamzah Shatri

3. Campagna S, Sperlinga R, Milo A, Sannuto S, Acqufredda F, Saini A, et al. The


circadian rhythm of breakthrough pain episodes in terminally-ill cancer patients.
Cancers. 2019;11(18):1-11
4. Courcy, J.G. (Interventional Techniques for Cancer Pain Management. Clinical
Oncology. 2011; 23(4):.407-17.
5. De Heer EW, Gerrits MM, Beekman ATF, Dekker J, van Marwjik HWJ, de Waal MWM,
et al. The association of depression and anxiety with pain: a study from NESDA.
PLOS One. 2019;9(10):1-11
6. El Geziry A,Toble Y, Al Kadhi F,Pervaiz M, Al Nobani M. Non-Pharmacological Pain
Management.2016. http://creativecommons.org/licenses/by/3.0
7. Hooten WM. Chronic pain and mental health disorders shared neural mechanism,
epidemiology, and treatment. Mayo Clin Prog. 2016;91(7):955-970
8. Jacobsen R, Moldrup C, Christrup L SP. Patient-related barriers to cancer pain
management: a systematic exploratory review. Scan Ina Caring Sci. 2009;23:190–
208.
9. Kite S. Hicks F. Palliative medicine for the cancer and non-cancer patient. Clinical
Medicine. 2005;5(6):626-9
10. Koller A, Miaskowski C, Geest S De, Opitz O, Spichiger E. Results of a randomized
controlled pilot study of a self-management intervention for cancer pain. Eur J
Oncol Nurs. Elsevier Ltd. 2013;17(3):284–91. http://dx.doi.org/10.1016/j.ejon.
11. Li X-M, Yan H, Zhou K-N, Dang S-N, Wang D-L, Zhang Y-P. Effects of music therapy
on pain among female breast cancer patients after radical mastectomy: results
from a randomized controlled trial. Breast Cancer Res Treat. 2011;128(2):411–9.
12. Leppert W, Zajaczkowska R, Wordliczek J. The role of oxycodone/naloxone in
the management of patients with pain and opioid-induced constipation. Expert
Opinion on Pharmacotherapy. 2019:1-12
13. Lowery AE, Starr T, Dhingra LK, Rogak L, Hamrick-price JR, Farberov M, et al.
Frequency , Characteristics , and Correlates of Pain in a Pilot Study of Colorectal
Cancer Survivors 1 – 10 Years Post-Treatment. Pain Med. 2013;14:1673–80.
14. Lorenz KA, Lynn J, Dy SM, Shugarman, LR, Wilkinson,A, Mularski, RA,et.al.Evidence
for Improving Palliative Care at the End of Life: A Systematic Review . Ann Intern
Med. 2008;148:147-59.
15. Miaskowski C, Dodd M, West C, Schumacher K, Paul SM, Tripathy D, et al.
Randomized Clinical Trial of the Effectiveness of a Self-Care Intervention to
Improve Cancer Pain Management. J Clin Oncol. 2004;22(9):1713–20
16. Murnion BP Neuropathic pain: current definition and review of drug treatmentAust
Prescr 2018;41:60–3 https://doi.org/10.18773/ austprescr.
17. Qiao D, Liu L, Liang Y. Efficacy of acupuncture associated with drugs for treatment
of cancer pain. Pr Oncol. 2008;22:446–8.

736 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan dan Tata Laksana Nyeri Kasus Paliatif

18. Robinson J, Gott M , Ingleton C.Patient and family experiences of palliative care
in hospital: What do we know? An integrative review Palliative Medicine. 2014;
28(1): 18 –33
19. Rego F, Pereira C, Rego G, Nunes R. The psychological and spiritual dimensions of
palliative care: a descriptive systematic review. Neuropsychiatry. 2018;8(2):484-
94
20. Rustøen T, Valeberg BT, Kolstad E, Wist E, Paul S, Miaskowski C. The Pro-Self Pain
Control Program Improves Patients ’Knowledge of Cancer Pain Management. J Pain
Symptom Manage.2012;44(3):321–30.
21. Vargas-Schaffer G. Is the WHO analgesic ladder still valid? Twenty-four years of
experience. Canadian Family Physician. 2010;56:514-7

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 737


Manajemen Sesak Nafas pada Pasien Paliatif
Noor Asyiqah Sofia
Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr Sardjito - Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Pendahuluan
Sesak nafas merupakan gejala yang cukup sering sekaligus mengganggu
pada penyakit kronis. Selain itu, sesak nafas cukup sering terjadi pada pasien
dalam fase akhir kehidupan (end of life). American Thoracic Society (ATS)
mendefinisikan sesak nafas sebagai keadaan ketidaknyamanan bernafas
yang bersifat subyektif, dan sensasi ini memiliki intensitas yang bervariasi.
Sesak nafas berasal dari kompleksitas kondisi fisiologis, psikologis, sosial
dan lingkungan yang pada akhirnya akan memberikan respon fisiologis dan
perilaku tertentu.

Manajemen sesak nafas pada pasien paliatif memerlukan pendekatan


yang holistik. Makalah ini bertujuan untuk membahas manajemen sesak
nafas pada pasien paliatif, baik pendekatan farmakologi dan non farmakologi.
Termasuk diantaranya penggunaan opioid sebagai salah satu cara mengurangi
sesak nafas pada pasien paliatif yang tidak respon dengan terapi primer.

Definisi
Sesak nafas atau dispnea berasal dari bahasa Yunani yang terdiri
dari dys yang berarti sulit dan pneuma yang berarti napas sehingga secara
harfiah diartikan sebagai kesulitan bernapas. Dispnea menurut definisi
ATS didefinisikan sebagai pengalaman subyektif ketidaknyamanan dalam
bernapas yang terdiri dari berbagai sensasi yang bervariasi dalam intensitas
secara kualitatif. Dispnea dapat timbul secara konstan atau episodik. Dispnea
insidental (breakthrough dyspnea) dilaporkan terjadi pada 80% pasien
dimana terjadi serangan dispnea yang memberat pada saat bebas gejala dalam
hitungan detik atau jam, sedangkan dispnea kontinu terjadi pada 39% pasien.
Secara umum, episode dispnea insidental terjadi sebanyak 5-6 kali per hari dan
berlangsung selama kurang dari 5 menit. Hal ini mengindikasikan perlunya
paradigma tatalaksana bahwa diperlukan aksi cepat untuk mentatalaksana
dispnea tersebut.

738 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Sesak Nafas pada Pasien Paliatif

Sesak nafas sering terjadi pada lebih dari 50 persen pasien terminal dalam
periode akhir kehidupan, seperti pada pasien kanker, HIV/AIDS, penyakit
jantung, PPOK, dan gagal ginjal. Sesak nafas secara signifikan mempengaruhi
kualitas hidup baik pasien maupun pendamping (caregiver). Sesak nafas
meliputi empat domain utama yaitu fisik, psikologis, sosial, dan spiritual
yang disebut sebagai sesak nafas total. Sesak nafas total menggambarkan
pengalaman pasien dar berbagai perspektif yang dapat menyebabkan sesak
nafas.

Pengkajian
Oleh karena sesak nafas merupakan persepsi subyektif, sehingga
instrumen penilaian yang paling akurat adalah instrumen yang berbasis
laporan dari pasien sendiri. Instrumen yang bisa digunakan antara lain VAS
(Visual Analogue Scale) dan NRS (Numeric Rating Scale). Terdapat hubungan
yang timbal balik antara sesak nafas dan kecemasan, di mana sesak nafas dapat
menyebabkan kecemasan yang berat, dan juga sebaliknya, kecemasan yang
berat dapat menyebabkan sesak nafas. Oleh karena itu, dimensi psikososial
dan pendekatan yang berbasis lingkungan tidak boleh diabaikan dan perlu
mendapat perhatian besar.

Prinsip Strategi Manajemen


1. Mengatasi Penyebab Sesak Nafas yang Masih Reversibel
Dalam manajemen sesak nafas pasien paliatif, perlu ditelusuri lebih lanjut
apakah yang diperkirakan merupakan penyebab terjadinya sesak nafas
pada pasien. Diperlukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
seperti cek darah rutin, elektrolit, creatinine, oksimetri, analisa gas darah
lengkap, EKG, brain natriuretic peptide (BNP), rontgen dada, dan CT Scan
thorax. Beberapa penyebab dari sesak nafas berikut patofisiologi yang
mendasari dapat dilihat di tabel 1.

Tabel 1. Penyebab Sesak Nafas menurut patofisiologinya dan Intervensi yang


Sesuai
PATOFISIOLOGI INTERVENSI
Efusi pleura Drainase plaura, pleurodesis
Obstruksi jalan nafas terkait kanker Intervensi endoskopi atau intervensi
bedah (stent, laser), Radioterapi
Anemia Tranfusi darah
Infeksi, mis: pneumonia Antibiotik, anti jamur
Obstruksi jalan nafas dan PPOK sebagai komorbid Bronkodilator, kortikosteroid

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 739


Noor Asyiqah Sofia

PATOFISIOLOGI INTERVENSI
Hemoptisis Antifibrinolitik, intervensi endoskopi
atau intervensi bedah, radiasi
Udem paru Diuretik atau intervensi yang sesuai
Efusi perikard Pungsi perikard, perikardiosentesis
Kongesti pembuluh vena bagian atas Kortikosteroid, radiasi, stenting
pembuluh darah vena, antikoagulan
Nyeri dada Analgetik optimal

2. Intervensi Non Farmakologik


Terapi non farmakologik idealnya diberikan sebelum memulai terapi
farmakologik, dan selanjutnya diberikan berdampingan dengan terapi
farmakologik. Beberapa bentuk terapi nonfarmakologik yang bisa
diberikan adalah:
a. Menyediakan sirkulasi udara yang baik
b. Menyediakan suhu udara sejuk yang dapat ditolerir oleh pasien
c. Penjelasan kepada keluarga atau caregiver bahwa adanya tanda-
tanda seperti nafas cepat tidak selalu merupakan petunjuk adanya
ketidaknyamanan pasien
d. Mengurangi stress yang dialami pasien dengan mendorong keluarga
untuk menghindari perselisihan dengan pasien.
e. Drainase postural
f. Pemberian terapi pijat, terapi music, religi, dan terapi relaksasi
lainnya.
g. Memberikan oksigen dan kipas di kamar pasien
h. Hanheld fan (kipas angina tangan)
3. Terapi Farmakologik
A. Opioid
Opioid adalah senyawa alami, semi sintetik atau sintetik, yang
bekerja pada reseptor opioid dan menghasilkan efek seperti morfin.
Semua opioid bekerja dengan cara berikatan pada reseptor opioid di
system saraf pusat dan akan menghasilkan efek yang serupa dengan
neurotransmitter peptide endogen (endorphin, enkefalin, dan
dinorfin). Opioid dapat diabsorbsi baik dengan pemberian subkutan,
intramuskular, dan oral. Oleh karena terdapat efek metabolisme
lintas pertama, maka dibutuhkan dosis obat oral opioid yang lebih
tinggi dibandingkan dengan dosis parenteral untuk menimbulkan
efek terapetik. Ketika diberikan secara intravena, opioid bekerja

740 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Sesak Nafas pada Pasien Paliatif

dengan segera. Terdapat beberapa hipotesis yang diperkirakan


memperantarai peranan opioid dalam penanganan sesak nafas:
a. Menurunkan kebutuhan metabolisme dan ventilasi
b. Menurunkan sensitivitas meduler terhadap hiperkarbia atau
hipoksia
c. Menumpulkan respon meduler terhadap hiperkarbia atau
hipoksia
d. Perubahan neurotransmisi pada pusat pernafasan meduler
e. Sedasi kortikal (menurunkan kesadaran untuk bernafas)
f. Analgesia (mengurangi nyeri yang merangsang pernafasan)
g. Efek ansiolitik
h. Menumpulkan transmisi aferen dari mekanoreseptor paru ke
sistem saraf pusat (SSP)
i. Vasodilatasi (akan meningkatkan fungsi jantung)

Opioid adalah satu-satunya agen farmakalogik yang memiliki bukti


ilmiah yang cukup banyak dalam konteks paliasi sesak nafas. Opioid
dapat digunakan pada pasien yang belum pernah mendapatkan
opioid sebelumnya ataupun pada pasien yang sudah pernah
mendapat opioid. Semua jenis opiod, baik morfin, hydromorphone,
oxycodone, dan fentanyl dapat digunakan untuk mengatasi sesak
nafas pada kasus paliatif. Pada kasus dengan gangguan ginjal yang
berat, morfin harus kita hindari. Pemberian opioid dengan rute
subkutan dan intravena cukup efektif, namun tetap pemberian
intravena memberikan efek yang tercepat. Bukti-bukti lama kurang
mendukung pemberian opioid melalui nebulisasi dan inhalasi.
Namun demiakian, beberapa penelitian terbaru tampaknya
menunjukkan beberapa hasil yang positif dari pemberian nebulisasi
opiod untuk penanganan sesak nafas kasus paliatif. Pada pasien yang
belum pernah mendapatkan opioid sebelumnya, dosis opioid awal
untuk mengatasi sesak nafas adalah lebih kecil dibandingkan dosis
opioid untuk mengatasi nyeri. Sebaliknya pada pasien yang sudah
mendapatkan opioid sebagai analgesik, memerlukan peningkatan
dosis sebesar 25 – 50 persen.

Pemberian opioid melalui nebulisasi tidak memberikan efek


samping sistemik yang besar, seperti depresi nafas, sedasi berlebih,
konstipasi, dan mual. Namun demikian, beberapa efek samping telah
dilaporkan, seperti intoleransi terhadap proses nebul (klaustrofobia,

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 741


Noor Asyiqah Sofia

ketidaknyamanan akibat masker, atau bronkospasme), sensasi


pahit di mulut, dan batuk. Beberapa efek samping lain yang pernah
diaporkan antara lain mulut kering, nyeri kepada dan peningkatan
rasa cemas. Adanya paparan awal terhadap opioid sistemik akan
meningkatkan kecenderungan keberhasilan respon pasien terhadap
nebul opioid. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya
peningkatan jumlah dan kemampuan peningkatan afinitas opioid ke
reseptor opioid pada permukaan paru.

B. Benzodiazepin dan Obat-Obat Lain


Benzodiazepin dapat digunakan untuk mengatasi sesak nafas pada
kasus yang dianggap tidak atau kurang respon terhadap opioid,
terutama pada pasien yang disertai dengan ansietas / kecemasan.
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi rasa tidak nyaman karena
sesak nafas, sekaligus berfungsi sebagai ansiolitik. Lorazapam dan
midazolam merupakan obat yang paling sering digunakan.

Obat-obat neuroleptik seperti phenothiazine dapat berperan
sebagai ansiolitik dan sedatif, namun hingga saat ini belum banyak
bukti yang mendukung penggunaannya dalam memperbaiki sesak
nafas pasien paliatif. Antidepresan dan buspiron diperkirakan bisa
mengurangi keluhan sesak nafas pada pasien, namun belum banyak
bukti yang mendukung. Steroid cukup efektif pada kasus sesak nafas
yang disebabkan oleh karsinomatosa limfangiosis, pneumonitis
radiasi, sindrom vena cava superior, adanya komponen inflamasi,
atau pada kasus obstruksi jalan nafas yang disebabkan kanker.

Kesimpulan
Sesak nafas merupakan gejala yang sering dialami pasien paliatif.
Identifikasi penyebab sesak nafas adalah hal pertama yang harus dilakukan
dalam pengananan sesak nafas kasus paliatif. Pemberian opioid adalah salah
satu pendekatan farmakologi yang bisa diberikan pada pasien paliatif dengan
sesak nafas.

Daftar Pustaka
1. Kamal AH, Maguire JM, Wheeler JL, Currow DC, Abernethy AP. Dyspnea review for
the palliative care professional: assessment, burdens, and etiologies. J Palliat Med.
2011; 14 (10): 1167-72.

742 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Manajemen Sesak Nafas pada Pasien Paliatif

2. Luce JM, Luce JA. Perspectives on care at the close of life. Management of dyspnea
in patients with far-advanced lung disease: “once I lose it, it’s kind of hard to catch
it.” JAMA. 2001; 285(10): 1331-7.
3. Ross DD, Alexander CS. Management of common symptoms in terminally ill
patients: part II. constipation, delirium and dyspnea. Am Fam Physician. 2001; 64
(6): 1019-26.
4. Abernethy AP, McDonald CF, Frith PA, Clark K, Herndon JE 2nd, Marcello J, et al.
Effect of palliative oxygen versus room air in relief of breathlessness in patients
with refractory dyspnoea: a double-blind, Randomised controlled trial. Lancet.
2010; 376 (9743): 784-93.
5. Booth S, Moosavi SH, Higginson IJ. The etiology and management of intractable
breathlessness in patients with advanced cancer: a systematic review of
pharmacological therapy. Nat Clin Pract Oncol. 2008; 5(2): 90-100.
6. Parshall MB, Schwartzstein RM, Adams L, Banzett RB, Manning HL, Bourbeau J, et
al. An official American Thoracic Society statement: update on the mechanisms,
assessment, and management of dyspnea. Am J Respir Crit Car Med. 2012; 185(4):
435-52.
7. Yiannakopoulou E. Pharmacogenomics and Opioid Analgesics: Clinical Implications.
Int J Genomics. 2015;2015:368979.
8. Gelot S, Nakhla E, Tuch H. Review of opioid use in palliative care patients with
refractory dyspnea. Austin J Pharmacol Ther. 2013; 1(1): 1002.
9. Zebraski SE, Kochenash SM, Raffa RB. Lung opioid receptors: pharmacology and
possible target for nebulized morphine in dyspnea. Life Sci 2000; 66:2221.
10. Currow DC, McDonald C, Oaten S, Kenny B, Allcroft P, Frith P, et al. Once daily
opioids for chronic dyspnea: a dose increment and pharmacovigilance study.J Pain
Symptom Manage. 2011; 42(3):388-99.
11. Senderovich H, Yendamuri A. Management of Breathlessness in Palliative
Care: Inhalers and Dyspnea- A Literature Review. Rambam Maimonides Med J.
2019;10(1)
12. Ambarwati RA, Putranto R. Peran Opioid dalam Tata Laksana Dispnea pada Pasien
Paliatif. Ina J CHEST Crit and Emerg Med. 2016;3(2):67-72
13. Afolabi TM, Nahata MC, Pai V. Nebulized Opioids for The Palliation of Dyspnea in
Terminally Ill Patients. Am J Health-Syst Pharm.2017;74(14):1053-61.
14. Kloke M, Cherny N. Treatment of Dyspnoea in Advanced Cancer Patients: ESMO
Clinical Practice Guidelines. Annals of Oncology.2015;26(3):169-

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 743


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Muhammad Diah Yusuf
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD dr. Zainoel Abidin - Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Definisi
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah gangguan suplai darah ke ekstremitas
atas atau bawah karena obstruksi. Mayoritas obstruksi disebabkan oleh
aterosklerosis, namun dapat juga disebabkan oleh trombosis emboli,
vaskulitis, atau displasia fibromuskuler.2,4,5

Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka
(30% dari pasien yang simptomatik), arteri femoralis dan poplitea (80-90%),
termasuk arteri tibialis dan peroneal (40-50%). Proses aterosklerosis lebih
sering terjadi pada percabangan arteri, tempat yang turbulensinya meningkat,
memudahkan terjadinya kerusakan tunika intima. Pembuluh darah distal
lebih sering terkena pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.6

Etiologi
Etiologi PAP bisa berasal dari non aterosklerotik dan aterosklerotik.
Penyebab non aterosklerotik seperti trauma, vaskulitis, dan emboli, namun
aterosklerotik lebih banyak menunjukkan PAP dan menyebabkan dampak
epidemiologi yang besar.7

PAP khususnya penyakit arteri ekstremitas bawah memiliki berbagai


gambaran klinis berdasarkan kriteria Fontaine dan Rutherford, meskipun
sebagian besar pasien tidak mengalami gejala apapun.7

Faktor Resiko
Faktor resiko pada aterosklerosis koroner juga dapat menjadi faktor
resiko terjadinya sclerosis pada sirkulasi perifer. 84-90% pasien dengan
klaudikasi adalah perokok. Pada pasien PAD yang masih merokok didapatkan
adanya perburukan yang jauh lebih cepat daripada pasien PAD yang berhenti
atau tidak merokok sama sekali. Pasien PAD dengan diabetes melitus juga
memiliki kemungkinan gejala yang lebih berat dan kalsifikasi arteri yang lebih
nyata.8

744 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Berikut kategori individu yang beresiko terkena penyakit arteri perifer


ekstremitas inferior9:
a. Usia <50 tahun, dengan diabetes dan salah satu resiko aterosklerosis
(merokok, dyslipidemia, hipertensi, atau hiperhomosisteinemia)
b. Usia 50-69 tahun dengan riwayat merokok dan diabetes
c. Usia > 70 tahun
d. Gejala saat beraktivitas (merujuk pada klaudikasio) atau ischemic rest
pain
e. Pemeriksaan pulsasi ekstremitas inferior yang abnormal
f. Riwayat aterosklerosis koroner, karotid, atau penyakit arteri renalis

Manifestasi Klinis
Gejala klasik yang terjadi adalah klaudikasio intermiten, yang
merupakan ketidaknyamanan otot ekstremitas bawah yang terjadi karena
latihan atau aktivitas dan hilang dengan istirahat dalam 10 menit. Pasien
mungkin mendeskripsikan kelelahan otot, sakit atau kram saat aktivitas
yang hilang dengan istirahat. Gejala yang paling sering yaitu pada betis,
tapi juga terdapat pada paha atau daerah glutea. Klaudikasio khas terjadi
pada sepertiga dari semua pasien PAP. Pasien tanpa klaudikasio klasik juga
memiliki keterbatasan berjalan yang mungkin terkait dengan gejala atipikal.
Gejala khas klaudikasio mungkin tidak terjadi pada pasien yang memiliki
penyakit penyerta yang mencegah aktivitas yang cukup untuk menyebabkan
timbulnya gejala (yaitu gagal jantung kongestif, penyakit paru berat,
penyakit muskuloskeletal) atau pada pasien yang tidak memungkinkan
untuk melakukan latihan atau aktivitas. Oleh karena itu, pasien yang diduga
menderita PAP harus ditanya tentang beberapa pembatasan latihan selama
latihan ekstremitas inferior.

Gejala yang umum dialami adalah nyeri pada regio glutea, paha, atau betis
dengan klaudikasio, disfungsi ereksi, atau dapat juga asimtomatik yang
didiagnosis dengan ABI yang tidak normal. Gejala lain yang mungkin dialami
pasien adalah nyeri pada tungkai dan kaki saat istirahat, ulkus pada tungkai
yang tidak sembuh, nyeri pada lengan dengan klaudikasio, perbedaan
tekanan darah pada lengan kanan dan kiri lebih dari 15 (PAP pada lengan).
13,14,15

Pasien dengan klaudikasio intermiten memiliki aliran darah yang normal


pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak ada gejala nyeri/sakit pada kaki saat

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 745


Muhammad Diah

istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada arteri otot-otot kaki dapat
dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Hal ini mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan metabolik otot,
sehingga memunculkan gejala klaudikasio. 13,14,15

Pasien dengan PAP yang parah dapat mengalami klaudikasio setelah


berjalan walaupun hanya dalam jarak yang pendek, atau mengalami sensasi
sakit di kaki ketika istirahat atau ketika berbaring di tempat tidur di malam
hari. Pada kasus yang parah, pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak
dapat sembuh dengan sendirinya atau kulit yang menghitam (gangren) pada
kaki atau jari kaki. Gangguan aliran darah akan menyebabkan berkurang
atau bahkan hilangnya pulsasi pada bagian distal dari arteri yang mengalami
stenosis. Pada stenosis pada arteri abdominal, femoral atau subklavia, dapat
terdengar bruit. Pada pasien dengan iskemia berat yang terjadi secara kronis,
dapat ditemukan otot-otot yang atropi, pucat, perubahan warna sianotik,
rambut-rambut halus hilang, bahkan gangren dan nekrosis pada kaki maupun
jari. Secara klinis penyakit arteri perifer dibagi menjadi 13,14,15

1. Insufisiensi arteri akut


Iskemia arterial akut disebabkan oleh emboli atau trombosis akut
mengikuti obstruksi parsial kronik. Emboli dapat berasal dari jantung
atau bukan jantung. Berikut tabel etiologi insufisiensi arteri akut:

Tabel 1.1. Etiologi Insufisiensi Arteri Akut13,14,15


Emboli:
- Fibrilasi atrium
- Penyakit katup jantung (penyakit jantung rematik atau endokaditis)
- Infark miokard (dengan atau tanpa aneurisma ventrikel)
- Katup jantung prosthetik
- Miksoma atrium kiri
- Embolus paradoksik
- Kardiomiopati kongestif
- Kardiomiopati hipertropik
- Kalsifikasi annulus katup mitral
Perifer:
- Lesi ulkus arteriosklerosis
- Aneurisma (Aorta, iliaka, femoralis, popliteal, subclavia, axillaris)
- Komplikasi kateterisasi atrial
Thrombosis:
- Aterosklerosis pada segmen penyempitan (dengan atau tanpa gangguan aliran)
- Perdarahan intraplak
- Penyalahgunaan obat

746 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Gejala klinis insufisiensi arteri akut ditandai dengan perubahan suhu


yang mencolok pada distal ekstremitas yang tersumbat. Jika telapak
kaki masih dapat bergerak dorsofleksi dan plantarfleksi menandakan
otot-otot masih hidup. Jika telapak kaki tak dapat bergerak menandakan
adanya ancaman nekrosis paling tidak pada beberapa bagian otot.
Timbulnya kekakuan pada otot, mengeras, dibanding sisi yang normal
menandakan nekrosis otot luas. Parastesi dan anestesi pada ekstremitas
menandakan iskemia persarafan. Wax (berlilin), kulit berwarna putih
merupakan tanda yang khas spasme pembuluh darah dan masih ada
arteriola yang mengaliri. Bercak-bercak sianosis yang tidak memudar
dengan penekanan menandakan thrombosis pada kapiler subkutikular
dan terjadi nekrosis kulit. 13,14,15

2. Insufisiensi arteri kronik


Klaudikasio merupakan manifestasi yang paling sering terlihat pada
insufisiensi arteri kronik. Klaudikasio biasanya timbul setelah aktivitas
fisik dan berkurang atau bahkan menghilang setelah istirahat beberapa
saat. Nyeri otot pada klaudikasio diperkirakan terjadi akibat aliran darah
yang tidak adekuat. Penumpukan asam laktat dan metabolisme lain pada
otot yang iskemia menyebabkan nyeri kram pada otot. Lokasi yang paling
sering terkena adalah daerah betis, tetapi bisa juga pada daerah paha jika
lokasi obstruksi terdapat di arteri iliaka eksterna atau arteri komunis,
atau pada daerah bokong akibat penyempitan aorta atau arteri iliaka
komunis. Sedangkan, gejala klaudikasio atipikal dapat muncul berupa
nyeri pada telapak kaki atau rasa terbakar. 13,14,15

Tabel 2.1. Klasifikasi PAD berdasarkan presentasi klinis7


Fontaine classification Rutherford classification
Stage Clinical Symptoms Stage Category Clinical
I Asymtomatic 0 0 Asymptomatic
Iia Mild Claudication I 1 Mild Claudication
Iib Moderate to Severe Claudication I 2 Moderate Claudication
III Ischemic rest Pain I 3 Severe Claudication
IV Ulceration or Generation II 4 Ishcemic Rest Pain
III 5 Minor Tissue loss
IV 6 Major Tissue Loss

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 747


Muhammad Diah

Diagnosis
a. Anamnesis
Sesuai dengan patofisiologi dan patogenesis PAD, maka gejala yang
umumnya terjadi adalah rasa nyeri disertai kekakuan otot dan rasa
lelah otot ekstrimitas bawah yang terjadi setelah melakukan aktivitas
fisik, misalnya berjalan atau berlari. Pada mulanya terjadi pada satu
ekstrimitas dan lama-kelamaan mengenai kedua ekstrimitas dengan
serangan pada ekstrimitas yang satu lebih sering daripada yang lain. Hal
ini disebut klaudikasio intermiten. Gejala ini akan menghilang dengan
istirahat. Gejala dapat pula berupa keluhan luka yang tak mau sembuh,
rasa kaki dingin, kulit yang suka terkelupas dan berwarna pucat, kuku
yang suka mengapur dan sulit dipotong, dan rambut kulit yang berkurang
tumbuhnya. Lokasi rasa nyeri tergantung dari letak lesi arterinya. PAD
biasanya terjadi pada distal dari arteri femoralis yang menyebabkan rasa
nyeri pada daerah betis. Jika lesi arteri terjadi pada aorta iliaka, daerah
tungkai atas bahkan seluruh tungkai akan terasa nyeri.16,17,18
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan PAD harus dilakukan pemeriksaan
esensial, misalnya pemeriksaan pulsasi arteri (dari pulsasi aorta sampai
a.dorsalis pedis), seg- mental pressure, ada tidaknya atropi otot, hilangnya
rambut ekstrimitas, penebalan kuku jari kaki (Thickened Toenails). Gejala
5 P’s (pulseless, paralysis, paraesthesia, pain and pallor) dapat merupakan
petunjuk dalam pemeriksaan fisik PAD. 16,17,18
c. Pemeriksaan Penunjang
Ankle Pressure (AP), Ankle- Brachial Index (ABI), Doppler Segmental
Pressure, Toe Pressure (TP), Duplex Ultrasonography, Contrast
Arteriography, Plethys-mography, Transcutaneus Oxygen Tension (tcPO2),
Arteriogram, dan Mag- netic Resonance Angiography (MRA). 16,17,18

Tabel 3. Ankle-Brachial Index and Severity of Peripheral Arterial Disease7


Ankle-Brachial Index Severity
>1.30 Noncompressible (calcific vessel; diabetes, chronic renal insufficiency, and older age)
0.91-1.30 Normal
0.71-0.90 Mild
0.41-0.70 Moderate
0-0.40 Severe

748 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

ACC / AHA merekomendasikan bahwa pengukuran ABI sebaiknya


dilakukan pada7:
1. Individu yang diduga menderita gangguan arteri perifer karena
adanya gejala exertional leg atau luka yang tidak sembuh.
2. Usia ≥ 65 tahun.
3. Usia ≥ 50 yang mempunyai riwayat DM atau merokok.

Manajemen PAD
Terapi PAD terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi non operasi,
dan operasi.
1. Terapi suportif
Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih
dan lembab dengan memberikan krem pelembab. Memakai sandal dan
sepatu yang ukurannya pas dan dari bahan sintetis yang berventilasi.
Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran darah
ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang menyebabkan
atersklerosis harus diberikan seperti berhenti merokok, merubah
gaya hidup, dan mengontrol hipertensi. Menghindari merokok sangat
disarankan pada pasien PAP. Latihan fisik merupakan pengobatan yang
paling efektif. Latihan fisik dapat meningkatkan jarak tempuh sampai
terjadinya gejala klaudikasio. Setiap latihan fisik berupa jalan kaki kira-
kira selama 30-45 menit atau sampai terasa hampir mendekati nyeri
maksimal. Program ini dapat dilakukan selama 6-12 bulan. Hal ini
disebabkan karena peningkatan aliran darah kolateral, perbaikan fungsi
vasodilator endotel, respons inflamasi, metabolisme muskuloskeletal
dan oksigenasi jaringan lebih baik dengan viskositas darah. Pada studi
observasional membuktikan bahwa risiko kematian, infark miokard, dan
amputasi lebih banyak pada pasien PAP yang tetap merokok daripada
yang berhenti merokok, sehingga angioplasti ekstremitas bawah dan
operasi revaskularisasi terbuka juga menurun dengan berhenti merokok.

2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada pasien PAD meliputi
pengendalian Faktor Risiko dan terapai anti platelet dan anti trombitik.
Terapi anti-platelet dan anti-trombotik disarankan pada pasien PAP,
yaitu dengan aspirin dosis 75-325 mg per hari atau clopidogrel 75
mg per hari atau dapat dengan kombinasi aspirin dan clopidogrel. Obat
terpilih adalah heparin, sebab kerjanya cepat dan cepat dimetabolisme.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 749


Muhammad Diah

Dosis 100-200 unit/kgBB bolus, diikuti 15-30 unit/kgBB/jam, jika perlu


300 unit/kgBB bolus, diikuti 60-70 unit/kgBB/jam dengan infus kontinu.
Dengan pemantauan APTT 1,5-2,5 kontrol atau waktu pembekuan darah.
Penggunaan dosis tinggi bertujuan agar distal penyumbatan pada daerah
iskemia dan kolateral tidak terjadi pembekuan darah yang meluas. 12

Tabel 4. Farmakoterapi untuk pasien dengan klaudikasio12


Obat Dosis
Aspirin 81-325 mg/hari Direkomendasi oleh American College of Chest
Physicians untuk PAD
Klopidogrel 75 mg/hari ES lebih ringan dibandingkan aspirin pada CAPRIE trial,
resiko TTP lebih sedikit disbanding tiklopidin
Pentoxifylline 1,2 g/hari PO Efek terhadap kemampuan berjalan lebih kecil
Cilostazol 100 mg 2 kali/hari Hati-hati pada pasien gagal jantung; dosis dikurangi
50 mg 2 kali/hari jika minum obat CCB; menyebabkan
diare dan gangguan lambung
Tiklodipin 500 mg/hari Harus diawasi resiko TTP

Pengendalian Faktor Resiko12


Dislipidemia
a. Terapi dengan hydroxymethyl glutaryl coenzyme-A reductase
inhibitor (statin) diindikasikan untuk semua pasien dengan penyakit
arteri perifer untuk mencapai target LDL < 100 mg/dL.
b. Terapi dengan hydroxymethyl glutaryl coenzymeA reductase
inhibitor (statin) untuk mencapai target LDL < 70 mg/dL dengan
resiko tinggi kejadian iskemik.
c. Terapi dengan asam fibroat dapat digunakan pada pasien PAP
dengan HDL yang rendah, kadar LDL yang normal dan trigliserida
yang tinggi.
Hipertensi
a. Obat hipertensi diberikan pada pasien hipertensi dengan PAP
ekstremitas bawah dengan target tekanan darah < 140/90 mmHg
(pada pasien tanpa diabetes) atau < 130/80 mmHg pada pasien
dengan diabetes dan gagal ginjal kronik.
b. Beta blocker merupakan obat antihipertensi yang efektif dan
bukan kontraindikasi pada pasien PAP.
c. Penggunaan ACE inhibitors pada pasien PAP ekstremitas bawah
yang bergejala direkomendasikan sebagai kelas.

750 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Diabetes Mellitus
a. Perawatan kaki, termasuk penggunaan alas kaki, pemeriksaan kaki
setiap hari, pembersihan kulit dan penggunaan krim pelembab.
b. Terapi diabetes pada pasien dengan PAP ekstremitas bawah dengan
obat obat pengontrol gula dengan target HbA1C< 7% efektif untuk
menurunkan komplikasi mikrovaskular.
Antiplatelet dan antitrombotik12
a. Aspirin, dengan dosis 75-325 mg, direkomendasikan sebagai
terapi antiplatelet yang aman dan efektif untuk menurunkan resiko
infark miokard, stroke, atau kejadian vaskular.
b. Clopidogrel dengan dosis 75 mg per hari direkomendasikan sebagai
terapi antiplatelet untuk menurunkan resiko infark miokard, stroke,
atau kejadian vascular.
c. Cilostazol, golongan phosphodiesterase-3 inhibitor. Dalam
penelitian Momsen dkk, yang dikumpulkan dari sembilan percobaan
(1258 pasien) membandingkan cilostazol dengan plasebo, obat
ini dikaitkan dengan peningkatan mutlak 42,1 m versus plasebo (P,
0,001) selama rata-rata tindak lanjut dari 20 minggu. Dalam meta-
analisis lain, berjalan kaki maksimal meningkat rata-rata sebesar 36
m dengan cilostazol 50 mg / hari, dan hampir dua kali (70 m) dengan
dosis 100 mg.14 Panduan AHA merekomendasikan cilostazol 100
mg 2 kali per hari pada pasien dengan PAP ekstremitas bawah dan
klaudikasio intermiten. Efek samping yang paling sering adalah sakit
kepala, diare, pusing, dan jantung berdebar.
d. Pentoxifilin dengan dosis 400 mg 3 kali per hari merupakan terapi
alternative lini kedua setelah cilostazol untuk meningkatkan jarak
tempuh pasien klaudikasio intermiten. Obat ini termasuk dalam
golongan phosphodiesterase inhibitor yang berfungsi sebagai
vasodilator dan antiplatelet. Berdasarkan hasil enam studi meta-
analisis terbaru, ditemukan peningkatan signifikan jarak berjalan
kaki maksimal dengan pentoxifilin
e. Naftidrofuryl telah tersedia di Eropa selama bertahun-tahun.
Ini adalah golongan 5- hydroxytryptamine tipe 2 antagonis yang
mengurangi eritrosit dan agregasi trombosit. Efikasi naftidrofuryl
diperiksa dalam suatu penelitian meta-analisis dari 5 studi termasuk
888 pasien: bebas rasa sakit berjalan kaki itu secara signifikan
meningkat 26% vs placebo. Hasil yang sama juga dikonfirmasi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 751


Muhammad Diah

dengan analisis Cochrane. Efek samping obat ini adalah gangguan


pencernaan ringan.
f. Carnitine dan Propionil-L-Carnitine memiliki efek pada metabolisme
otot iskemik. Dalam dua uji coba multisenter, propionil-L-karnitin
meningkatkan jarak berjalan kaki dan kualitas hidup yang lebih
baik dibandingkan plasebo. Uji coba tambahan diharapkan untuk
mengevaluasi keampuhan dalam kelompok besar pasien.
g. Buflomedil dapat menghambat agregasi platelet dan meningkatkan
deformabilitas sel darah merah dan juga memiliki efek adrenolitik.

Jika iskemia baru terjadi 4-6 jam dan masih vital yang ditandai dengan
nyeri, paralisis atau parastesia, merupakan indikasi untuk tindakan
intervensi revaskularisasi. Jika iskemia lebih dari 8 jam, tidak dilakukan
revaskularisasi karena sudah terjadi nekrosis otot. Hal ini tergantung
dari kolateral arteri distal dan obstruksi.12

3. Intervensi revaskularisasi dapat dilakukan dengan cara12:


a. Operasi
Operasi dilakukan dengan teknik embolektomi dengan balon Forgaty
dengan anestesi lokal atau regional. Untuk penyakit aortoiliaka
dan femoral popliteal ditentukan oleh lokasi, lamanya sumbatan,
dan kondisi pasien. Jika ditemukan tanda retrombosis dan emboli
berulang harus dilakukan operasi segera. Heparin diberikan
sampai 48-72 jam dengan dosis tinggi yang direkombinasikan,
kemudian dosis diturunkan sesuai kondisi pasien selama 7 hari dan
dilanjutkan dengan antikoagulan oral atau heparin dosis rendah
suntik subkutan. Jika msaih vital setelah lebih dari 48 jam sejak
gejala timbul, diperlakukan sebagai peyakit obstruksi kronik berat.
b. Trombolitik
Terapi trombolitik dengan kateter arterial selektif perkutan
pada trombus yang menyumbat dapat mengurangi komplikasi
perdarahan dibandingkan dengan cara pemberian intra vena. Tissue
plasminogen activator dosis rendah atau streptokinase dosis rendah
intra arteri 5000-10.000 IU/jam selama 12-48 jam dengan monitor
efek terapi baik secara klinis atau serial arteriografi. Dapat juga
diberikan urokinase 240.000 IU/jam selama 4 jam, diikuti 120.000
IU/jam sampai maksimum 48 jam, atau rekombinan tPA diinfus 1

752 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

mg/jam atau 0,05 mg/kg/jam. Dilanjutkan antikoagulan intravena


heparin dan diikuti warfarin per oral.
c. Angioplasty transluminal perkutan
Terapi angioplasty transluminal perkutan segera mengikuti terapi
trombolitik intra arterial, pemasangan stent dan aterektomi,
memberikan hasil yang baik terhadap patensi arteri yang tersumbat.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 753


Muhammad Diah

Daftar Pustaka
1. Hiatt WR. Atherosclerotic peripheral arterial disease.In: Arend WP, editors. Cecil
Medicine,23rd. New York: Elsevier; 2008.
2. Crager MA and Joseph L. Vascular disease of the extrimities. In: editors. Harrison’s
principles of internal medicine, vol.2. 18th ed. New York: McGraw-Hill Companies;
2012. p. 988-1003.
3. Hanafi M. Penyakit Pembuluh Darah Perifer. In: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK,
eds. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2003
4. Powell TM. The relatively importance of systolic versus diastolic blood pressure
control and incident symptomatic in peripheral arterial disease women. Vasc Med.
2011;16:239.
5. Safar ME, Priollet P, Luizy F, Mourad JJ, Cacoub P, Levesque H, et al. Peripheral
arterial disease and isolated systolic hypertension: the atttest study. J Hum
Hypertens. 2009;23:182-187.
6. Makin A, GYH Lip, S Silverman, Beevers DG. Review: peripheral vascular disease and
hypertension: a forgotten association. J Hum Hypertens. 2011;15:447-454.
7. Kim ESH, Keattiyoat W, Heather LG. Using the ankle brachial index to diagnose
peripheral artery disease and assess cardiovascular risk. Cleveland Clinic Journal
of Medicine. 2009;79:651-661.

754 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

8. Coen DAS. Review: Peripheral Arterial Disease a Growing Problem for The
Internist. European Journal of Internal Medicine. 2009;20:132-138.
9. Cacoub P, Cambou JP, Kownator S, et al . Prevalence of peripheral arterial disease
in high risk patients using ankle-brachial index in general practice. J Clin Pract.
2009;63(1):63-70.
10. Selvin E and Thomas PE. The prevalence of and risk factors for peripheral
arterial disease in the united states: result from the national health and nutrition
examination survey, 1999-2000. Circulation. 2004;110:738-743.
11. .Yang, XM, Sun K, Wei LZ, Zhang W, Hai YW, Rui TH. Prevalence and risk factors
for peripheral arterial disease in the patients with hypertension among han
chinese. J Vas Surg. 2007;46:296-302
12. Gerhard-Herman MD, Gornik HL, Barrett C, Barshes NR, Corriere MA, Drachman
DE, et al. 2016 AHA/ACC guideline on the management of patients with lower
extremity peripheral artery disease: Executive Summary: A report of the American
college of cardiology/American Heart Association task force on clinical practice
guidelines. Vol. 135, Circulation. 2017. 686-725 p.
13. Hirsch AT, Criqui MH, Jacobson D, Judith GR, Mark AG, Jeffrey WO, et al. Peripheral
arterial disease detection, awareness and treatment in primary care. JAMA.
2001;286:1317-1324.
14. Wang JC and Martin B. Aging and atherosclerosis: mechanism, functional
consenquences and potential therapeutics for cellular senescene. Circulation
Research. 2012;111:245-259.
15. Al-Shaer MH, Chouneiri NE, Correai ML, Sinkey CA, BarenzaTA, Haynes WG.
Effect of aging and atherosclerosis on endothelial and vascular smooth muscle
function in humans. Int J Cardiol. 2006;109(2):201-6.
16. Egogrova N, Ageliki GV, Jacquelyn Q, Stephanie G, Alan M, Michael M, et al. Analysis
of gender-related differences in lower extremity peripheral arterial disease. J Vasc
Surg. 2010:51:372-9.
17. Vavra AK and Melina RK. Women and peripheral arterial disease. Women’s Health.
2009;5(6):669-683
18. Villablanca AC, Muthuvel J, Carole B. Atherosclerosis and sex hormone: current
concept. Clinical Science. 2010;119:493-513.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 755


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Dono Antono
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Di negara Amerika Serikat maupun Indonesia, Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah telah menjadi penyebab kematian nomor satu. Seringkali
penyakit ini mengakibatkan kematian mendadak, ketika karier korban mulai
menanjak atau mencapai puncaknya. Jenisnya, antara lain: Penyakit Jantung
Koroner, Penyakit Jantung Hipertensi, Penyakit Jantung Reumatik, Penyakit
Jantung Bawaan, Penyakit Jantung Paru, Penyakit Pembuluh Darah Otak,
Penyakit Pembuluh Darah Perifer/Tepi.

Angka kejadian penyakit jantung maupun pembuluh darah di tanah air


kita cenderung terus meningkat dan sebaran umur semakin muda, akibat
pola hidup yang kurang sehat, antara lain kebiasaan merokok, makan
makanan tinggi lemak, tidak pernah olah raga, tekanan hidup yang semakin
berat, penyakit kencing manis, kadar kolesterol darah yang tidak terkontrol
dll. Pengobatan jenis penyakit ini dapat dilakukan sesuai dengan standar
Internasional, tetapi sangat besar biayanya, dan merupakan beban yang
berat untuk negara. Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia, sulit rasanya pengobatan yang ideal dapat dilaksanakan pada
semua pasien. Oleh karenanya, upaya pencegahan sebaiknya lebih digalakkan
dengan menyertakan partisipasi masyarakat, agar lebih membiasakan diri
hidup sehat, sadar akan arti hidup sehingga penyakit ini dapat dihindari.

Penyakit Arteri Perifer


1. Macam-macam Penyakit arteri peripher antara lain:
Yang terbanyak penyakit oklusi arteri umur diatas 40 tahun adalah
arterosklerosis, sering meningkat pada kasus, Diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia, hipertensi, hiperhomosistemia, dan perokok
(Merokok hipertensi dan kolesterol tinggi dapat menyebabkan
aterosklerosis atau penimbunan deposit lemak sehinga menyempit
yang membuat aliran darah tidak lancar. Akbatnya el tubuh kekurangan
oksigen).

756 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

2. Gejala Klinis pada penyakit arteri perifer.


Penderita mengalami tanda-tanda antara lain, pegal, nyeri, kram otot atau
lelah otot. Tanda tersebut biasanya timbul ketika penderita melakukan
aktifitas dan berkurang setelah istirahat. Keluahan tersebut biasanya
terjadi disekitar bagian tungkai bawah dibandingkan tungkai atas. Yang
sering terjadi berat karena iskemia kritis tungkai bawah, gejala klinisnya
adalah nyeri saat istirahat dan kaki dingin.

3. Cara mendeteksi penyakit arteri perifer.


Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendiagnosis PAD
diperlukan memeriksaan objektif.
a. Pemeriksaan ultrasonografi doppler dengan menghitung ankle
brachial index (ABI) sangat berguna untuk mengetahui adanya
penyakit arteri perifer. Selain itu dapat diperiksa rekam volum nadi
secara digital oximetri trankutan, stress test dengan menggunakan
treadmill, dan tes hipermia reaktif. Jika pada pemeriksaan tersebut
ditemukan tanda PAD, aliran atau volume darah akan berkurang ke
kaki sehingga gambaran velocity Doppler menjadai mendatar; dari
duplex ultrasonografi ditemukan lesi penyempitan pada arteri.
b. Test treadmill, dapat menilai kemampuan fungsional secara objektif.
c. Pemeriksaan laboratorium, dievaluasi kondisi hidrasi, kadar
oksigen, darah, fungsi ginjal, fungsi jantung, kerusakan otot.
d. Foto torax untuk melihat kardiomrgali, hematokrit (untuk melihat
polisitemia).
e. Analisa urine (untuk melihat protein) dan (pigmen untuk melihat
mioglobin)
f. Kreatinin fosfokinase (untuk menilai nekrosis otot).
g. Elektrokardiografi (untuk melihat aritmia atau kemungkinan infark
lama).
h. Ekokardiografi 2 dimensi (untuk menilai ukuran ruang jantung,
fraksi ejeksi, kelainan katup, evaluasi gerak dinding ventrikel,
mencari trombus, tumor, defek septum arterial.
i. Ultrasonografi abdomen (untuk mencari aneurisma abdominal).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 757


Dono Antono

j. Arteriografi (dapat mengetahui gejala dengan jelas tempat sumbatan


dan penyempitan) jika ditekan menandakan trombosis kapiler pada
daerah subkutis dan terjadi nekrosis kulit.

Pemeriksaan Noninvasif
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk mendiagnosis PAD
diperlukan pemeriksaan objektif. Pemeriksaan ultrasonografi doppler dengan
menghitung ankle brachial index (ABI) sangat berguna untuk mengetahui
adanya penyakit arteri perifer. Sering kali PAP tidak ada keluhan klasik klaudi-
kasio. Hal tersebut bisa terjadi karena penyempitan terbentuk perlahan-lahan
dan sudah terbentuk kolateral dan untuk mengetahuinya diperlukan peme-
riksaan sistem vaskular perifer, pengukuran tekanan darah segmental (pada
setiap ekstremitas), diperiksa ultrasonografi doppler vaskular dan diperik-
sa ABI pada setiap pasien yang berisiko PAP. Selain itu juga dapat diperiksa
rekaman volume nadi secara digital, oximetri transkutan, stress tes dengan
menggunakan treadmill, dan tes hiperemia reaktif. Jika pada pemeriksaan
tersebut ditemukan tanda PAD, aliran atau volume darah akan berkurang ke
kaki, sehingga gambaran velocity doppler menjadi mendatar, dari duplex ul-
trasonografi dapat ditemukan lesi penyempitan pada arteri atau graft bypass.

Ankle brachial pressure index (ABI)


Bukti objektif untuk menunjukan ada atau tidaknya PAD dapat diperoleh
dengan menghitung ABI score. ABI score merupakan rasio antara tekanan
sistolik ankle-brachial yang diukur dengan menggunakan sphygmomanometer
dan Doppler. Alat ini dapat membedakan penyebab nyeri pada kaki apakah
disebabkan oleh arteri ataupun oleh penyebab lain. Meskipun terbukti cukup
sensitif dan spesifik untuk PAD, ABI yang diukur pada saat istirahat, perlu
dikonfirmasi lagi dengan pengukuran ABI setelah exercise Dan atau ditambah
lagi dengan pemeriksaan pencitraan. Pengukuran ABI dengan teknik yang
berbeda secara signifikan juga menghasilkan nilai yang berbeda.10,11 Metode
yang paling sering digunakan adalah dengan menghubungkan antara tekanan
sistolik tertinggi pada ankle dengan tekanan sistolik pada arteri brachialis
kanan-kiri. Tidak ditemukan definisi khusus tentang nilai ABI yang normal.
Pada praktiknya, ABI <0,9 merupakan abnormal.12 ABI pada pasien dengan
klaudikasio intermitten antara 0,5 hingga 0,9. Critical Limb Ischemi (CLI)
(Fontaine stadium III atau IV) dihubungkan dengan ABI <0,5. Harus lebih
diperhatikan dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan pada pasien
dengan kalsifikasi pembuluh darah yang berat seperti pada diabetes dan
gagal ginjal kronis stadium lanjut dimana nilai ABI seringkali tinggi. Pada nilai

758 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

diatas 1,5 pembuluh darah menjadi incompressible dan hasilnya tidak dapat
dijadikan pegangan suatu keputusan klinis. Pemeriksaan pencitraan dapat
digunakan untuk menyingkirkan PAD ketika terjadi ketidakselarasan antara
gejala klinis dan ABI.

Toe pressure
Terdapat sedikit kalsifikasi pada toe arteries dan toe/brachial index yang
dapat dinilai pada pasien dengan sklerosis medial. Teknik ini tidak sesuai
untuk penanganan primer.13 Hal ini sangat membantu pasien dengan ABI
yang meningkat abnormal, seperti pada diabetes pada penanganan sekunder.

Exercise ankle brachial pressure index


Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada penanganan primer. Pemeriksaan
ini berguna pada pasien yang nilai ABI pada saat istirahat namun disertai
gejala klasik.

Treadmill testing
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada penanganan primer karena
memerlukan alat resusitasi. Pemeriksaan ini berguna pada pasien yang
memiliki hasil ABI dan klinis yang tidak sesuai, yaitu dengan mengetahui
jarak maksimum saat berjalan.

Near-infrared spectroscopy
Terbukti dapat mendeteksi PAD selama exercise, dan tidak terbukti dapat
mendeteksi PAD pada saat istirahat. Tidak dianjurkan pada penanganan
primer.

CAVI (cardio ankle vascular index)14-19


CAVI merupakan suatu index yang menggambarkan kekakuan arteri
pada jantung dan pergelangan kaki. CAVI dihitung berdasarkan parameter
kekakuan yang didapatkan. Secara teori CAVI tidak dipengaruhi oleh tekanan
darah. Oleh sebab itu CAVI telah banyak digunakan untuk menilai kekakuan
arteri pada pasien yang diketahui menderita penyakit kardiovaskular seperti
aterosklerosis, penyakit jantung koroner, dan stroke. Serta mereka yang
mempunyai risiko komorbid seperti hipertensi, diabetes, lansia dan obesitas.
Dikarenakan cukup sensitif, CAVI tidak hanya dapat digunakan pada penderita
kardiovaskular, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk menilai adanya
risiko potensial penyakit kardiovaskular pada individu normal. CAVI tidak

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 759


Dono Antono

hanya digunakan sebagai alat untuk deteksi dini tetapi juga sebagai alat untuk
evaluasi progresifitas penyakit dan keefektifan terapi. Meskipun CAVI tidak
dipengaruhi oleh tekanan darah, kesalahan dalam interpretasi juga dapat
terjadi, hal tersebut dikarenakan kenaikan CAVI tidak hanya terjadi akibat
kekakuan vaskular yang disebabkan oleh adanya perubahan pada dinding
arteri, tetapi juga dapat terjadi akibat meningkatnya tonus vaskular akibat
dari kontraksi otot polos. Kekakuan arteri tergantung dari elastisitas intinsik.

CAVI dihitung menggunakan PWV dari katup aorta (brachial) hingga ke


titik ukur (ankle) dan pengukuran tekanan darah lengan atas. Formula CAVI
menggunakan persamaan Bramwell-Hill’s yang merepresentasikan hubungan
antara PWV dan perubahan volume dan merupakan turunan dari parameter
β.

Bila CAVI kurang dari 8,0 dapat dikatakan normal, bilai kurang dari 9
tetapi lebih atau sama dengan 8 maka tergolong kategori borderline, sedangkan
bila CAVI lebih atau sama dengan 9 dapat dikatakan aterosklerosis. Hubungan
antara CAVI dengan faktor risiko aterosklerosis termasuk dislipidemi telah
diteliti pada beberapa studi. Salah satu studi menyimpulkan bahwa CAVI
score secara signifikan berhubungan dengan LDL pada pasien angina. CAVI
score juga ditemukan secara signifikan meningkat dengan hiperkolestrolemi
dan hipertrigliseridemi pada pria (usia 30-69 tahun) dan wanita (usia 40-
75 tahun) dalam perbandingan terhadap individual yang tidak mempunyai
faktor risiko

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen
darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot. Diperiksa foto torak
untuk melihat kardiomegali, hematokrit untuk melihat polisitemia, analisa
urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat mioglobin di urine.
Creatinine phosphokinase untuk menilai nekrosis otot. Elektrokardiografi un-
tuk menilai aritmia atau kemungkinan infark lama. Ekokardiografi 2 dimensi
untuk menilai ukuran ruang jantung, fraksi ejeksi, kelainan katup, evaluasi ge-
rak dinding ventrikel, mencari trombus atau tumor, defek septum atrial. Ultra-
sonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta abdominal. Arteriografi
dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan penyempitan.

760 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Penatalaksanaan PAD
Macam-macam terapi terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi
non operasi, dan operasi. Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan
menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan krem pelembab.
Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan dari bahan sintetis yang
berventilasi. Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran
darah ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang dapat menyebabkan
aterosklerosis harus diberikan, berhenti merokok, merubah gaya hidup,
mengontrol hipertensi tetapi jangan sampai terjadi hipotensi

Gambar 1. Algoritme evaluasi dan penatalaksanaan pasien dengan penyakit arteri


perifer

1. Terapi farmakologi
Terdapat lima jenis obat yang terlisensi di UK untuk terapi gejala
klaudikasio intermitten:
- Cilostazol
Cilostazol merupakan antiplatelet dan vasodilator.20 Cilostazol
menghambat phosphodiesterase III dan meningkatkan siklus
adenosine monophosphate yang menyebabkan vasodilatasi.21
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 761
Dono Antono

Hal tersebut berakibat menhambat respon proliferasi terhadap


pro-atherogenic growth factors.22 Bila cilostazol dalam 3 bulan
penggunaan cilostazol tidak efektif, atau efek sampingnya mencegah
compliance, pemakaian harus dihentikan.
- Naftidrofuryl
Naftidrofuryl dilaporkan mempunyai efek vasodilator. Naftidrofuryl
bekerja pada tingkat jaringan dengan meningkatkan oksigenasi
jaringan, menigkatkan adenosine triphosphate dan menurunkan
asam laktat.23 Dosis awal yang diberikan 100 mg perhari sebanyak
tiga kali sehari, dan dilanjutkan 200 mg tiga kali sehari.
- Oxpentifylline*
Merupakan suatu vasodilator, dan juga berefek meningkatkan
aliran darah dengan menurunkan viskositas, dan meningkatkan
deformabilitas sel darah.24,25 Dosis yang dianjurkan 400 mg tiga kali
sehari.
- Inositol nicotinate*
Mekanisme aksi dari obat ini adalah vasodilatasi, fibrinolisis dan
efek hipolipidemi. Dapat juga dikatakan sebagai penghambat
metabolisme oksidatif dalam jaringan hipoksia.
- Cinnarizine*
Mekanisme aksi obat ini adalah antagonis dari substansi
vasokonstriksi seperti noradrenalin. Serotonin dan angiotensin.26,27
Keterangan: *tidak dianjurkan

Tabel 4. Farmakoterapi untuk pasien dengan klaudikasi


Obat Dosis

Aspirin 81 – 325 mg/ Direkomendasi oleh American College Of Chest


hari Physicians untuk PAP.
Clopidogrel 75 mg/hari po Efek samping lebih ringan dibandingkan Aspirin
pada CAPRIE trial, resiko TTP lebih sedikit dibanding
tiklopidin.
Pentoxifylline 1,2 gr/hari po Efek terhadap kemampuan berjalan lebih kecil.
Cilostazol 100 mg 2 x/ Hati-hati pada pasien gagal jantung; dosis dikurangi
hari 50 mg 2x/ hari jika minum obat calsium channel blo-
ckers ; menyebabkan diare dan gangguan lambung.
Ticlopidine 500 mg/hari Harus diawasi risiko TTP

762 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Terapi eksperimen
Obat Dosis
Nafridrofuryl 600 mg/hari Antagonis serotonin;
meningkatkan jarak tempuh
berjalan pada beberapa
penelitian, pemakaian masih
kontroversi; digunakan di
Eropa.
Propionyl levocarnitine 2 gr/hari bukti tidak signifikan.
Prostaglandin (beraprost, iloprost 120 mcg/hari po atau Hasil tidak menetap pada
prostaglandin E1) 60 mcg/hari parenteral penelitian terakhir
Ekstrak ginko biloba Efektif, tetapi metodologi
penelitian dipertanyakan.
Gene-induced Angiogenesis dengan Hasil menjanjikan
Endothelial growth Factor
Oksigen hiperbarik Mahal, hasil equivocal

2. Exercise therapy
Pada pasien klaudikasio intermitten dianjurkan untuk melakukan exercise
therapy. Dua metaanalisis 28,29 dan lima trial kontrol yang diambil secara
acak melaporkan bahwa exercise therapy terbukti cukup berperan.30-33
Terjadi peningkatan dari toleransi exercise sekitar 60%-337% setelah
periode 3-6 bulan melakukan exercise.

3. Intervensi vaskular
Intervensi vaskular pada klaudikasio yang stabil jarang dilakukan.
Terdapat beberapa kondisi klinis yang perlu dipertimbangkan untuk
dilakukan intervensi.

Metode Endovaskular
Metode endovascular telah banyak dikembangkan mengingat lebih
rendahnya mortalitas dan morbiditas pada penggunaan metode endovascular
bila dibandingkan dengan bedah vascular. Banyak institusi pengobatan
yang menempatkan terapi endovascular sebagai pilihan pertama terapi
revaskularisasi kasus penyakit penyakit arteri perifer. Pemilihan terapi
revaskularisasi didasarkan pada penelaahan masing-masing kasus dalam hal
kecocokan anatomi, komorbiditas, sarana fasilitas kesehatan dan preferensi
pasien. Kelemahan metode endovascular ini adalah ketahanan jangka
panjangnya bila dibandingkan dengan metode bedah vascular. Patensi setelah
terapi endovascular terbaik adalah pada lesi-lesi arteri iliaka komunis dan
tingkat patensi semakin menurun pada arteri yang semakin distal. Tingkat
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 763
Dono Antono

patensi juga berbanding terbalik dengan panjang lesi, lesi multiple dan difus,
kualitas arteri run-off yang buruk dan penyakit komorbid yang ada terutama
diabetes mellitus dan gagal ginjal.

Teknologi balon perifer yang bersalut obat telah banyak dikembangkan


walau masih memerlukan penelitian lanjutan. Pada beberapa kasus, teknik
endovascular dapat melakukan implantasi stent perifer. Tujuan utama
prosedur pemasangan stent ini adalah untuk meningkatkan patensi jangka
panjang atau meningkatkan hasil primer tindakan endovascular yang kurang
memuaskan seperti stenosis residual atau recoil. Pemasangan stent harus
diupayakan menjauhi daerah lipatan seperti daerah lutut dsn segmen-segmen
yang natinya potensial dapat digunakan untuk lokasi bypass bila tindakan
operasi diperlukan.

Tabel 5. Indikasi dan kontraindikasi terapi endovaskular


Indikasi terapi endovaskular pada oklusi arteri BTK
- Critical limb ischemia: nyeri saat istirahat (Fontaine stage 3, Rutherford 4) atau ulkus/
gangrene (non healing Fontaine stage 4, Rutherford 5-6)
- Stenosis yang signifikan dari anastomosis atau gangguan outflow pada BTK femoropopliteal
atau bypass graft pada distal tibial
Kontraindikasi absolut
- Pasien dengan kondisi medis yang tidak stabil
- Infeksi gangrene (basah) dan atau osteomyelitis pada ekstrimitas kecuali untuk membatasi
amputasi
- Gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi
- Tidak adanya akses pembuluh darah ke kaki distal
Kontraindikasi relatif
- Hamil
- Keterbatasan pasien untuk berbaring dan immobile
- Pasien lansia yang mobilisasinya buruk dan demensia
- Buerger disease
- Gangguan fungsi ginjal (epidermal growth factor receptor <30 ml/min/1,73 m2

Daftar Pustaka
1. Dormandy J, Heeck L, Vig S. The natural history of claudication: risk to life and limb.
Semin Vasc Surg. 1999 Jun;12(2):123-37.
2. Muluk SC, Muluk VS, Kelley ME, Whittle JC, Tierney JA, Webster MW, et al. Outcome
events in patients with claudication: a 15-year study in 2777 patients. J Vasc Surg.
2001 Feb;33(2):251-7; discussion 257-8.
3. Dormandy JA, Charbonnel B, Eckland DJ, Erdmann E, Massi-Benedetti M, Moules IK,
et al. Secondary prevention of macrovascular events in patients with type 2 diabetes

764 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

in the PROactive Study (PROspective pioglitAzone Clinical Trial In macroVascular


Events): a randomised controlled trial. Lancet. 2005 Oct 08;366(9493):1279-89.
4. Nehler M, Peyton B. Is revascularization and limb salvage always the treatment for
critical limb ischemia? J Cardiovasc Surg (Torino). 2004;45(3):177-84.
5. Varu V, Hogg M, Kibbe M. Critical limb ischemia; J Vasc Surg. 2010;51:230-41.
6. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA, Nehler MR, Harris KA, Fowkes FG, et al on
behalf of the TASC II Working Group. Inter-Society Consensus for the Management
of Peripheral Arterial Disease (TASC II). Eur J Vasc Endovasc Surg. 2007;33 Suppl
1:S1-75.
7. Pipinos I, Judge A, Selsby J, Zhu Z, Swanson S, Nella A, et al. The myopathy of
peripheral arterial occlusive disease: Part 1. Functional and histomorphological
changes and evidence for mitochondrial dysfunction. Vasc Endovascular Surg.
2008;41(6):481-9.
8. Pipinos I, Judge A, Selsby J, Zhu Z, Swanson S, Nella A, et al. The myopathy of
peripheral arterial occlusive disease: Part 2.Oxidative stress, neuropathy, and shift
in muscle fiber type. Vasc Endovascular Surg. 2008;42(2):101-12.
9. Morgan MB, Crayford T, Murrin B, Fraser SC. Developing the Vascular Quality of
Life Questionnaire: a new disease-specific quality of life measure for use in lower
limb ischemia. J Vasc Surg. 2001;33(4):679-87.
10. Aboyans V, Lacroix P, Preux PM, Vergnenegre A, Ferrieres J, Laskar M. Variability
of ankle-arm index in general population according to its mode of calculation. Int
Angiol 2002;21(3):237-43.
11. Jeelani NU, Braithwaite BD, Tomlin C, MacSweeney ST. Variation of method for
measurement of brachial artery pressure significantly affects ankle-brachial
pressure index values. Eur J Vasc Endovasc Surg. 2000;20(1):25-8.
12. Z heng ZJ, Sharrett AR, Chambless LE , Rosamond WD, Nieto FJ, Sheps DS, et al.
Associations of ankle-brachial index with clinical coronary heart disease, stroke
and preclinical carotid and popliteal atherosclerosis: the Atherosclerosis Risk in
Communities (ARIC) Study. Atherosclerosis. 1997;131(1):115-25.
13. M ackaay AJ, Beks PJ, Dur AH, Bischoff M, Scholma J, Heine RJ, et al. Is toe pressure a
better parameter of peripheral vascular integrity than ankle pressure? Comparison
of diabetic with nondiabetic subjects in Dutch epidemiological study. J Vasc
Technol. 1995;19(1):5-9.
14. Cecelja M, Chowienczyk P. Dissociation of aortic pulse wave velocity with risk
factors for cardiovascular disease other than hypertension: a systematic review.
Hypertension. 2009;54(6):1328–1336.
15. van Popele NM, Grobbee DE, Bots ML, et al. Association between arterial stiffness
and atherosclerosis: the Rotterdam Study. Stroke. 2001; 32(2):454–460.
16. Yasmin, McEniery CM, O’Shaughnessy KM, et al. Variation in the human matrix
metalloproteinase-9 gene is associated with arterial stiffness in healthy individuals.
Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2006; 26(8):1799–1805.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 765


Dono Antono

17. O’Rourke MF, Hashimoto J. Mechanical factors in arterial aging: a clinical


perspective. J Am Coll Cardiol. 2007;50(1):1–13.
18. Cecelja M, Chowienczyk P. Role of arterial stiffness in cardiovascular disease. J R
Soc Med Cardiovasc Dis. 2012;1:11. 34. Fukuda-Denshi Company L, Tokyo, Japan.
http://www.fukuda.co.jp/english/products/special_features/vasera/cavi.html.
Accessed April 20, 2015.
19. Takaki A, Ogawa H, Wakeyama T, Iwami T, Kimura M, et al. (2008) Cardioankle
vascular index is superior to brachial-ankle pulse wave velocity as an index of
arterial stiffness. Hypertens Res 31: 1347-1355
20. Takahashi S, Oida K, Fujiwara R, Maeda H, Hayashi S, Takai H, et al.Effect of
Cilostazol, a cyclic AMP phosphodiesterase inhibitor, on the proliferation of rat
aortic smooth muscle cells in culture. J Cardiovasc Pharm 1992;20:900-906.
21. M atousovic K, Grande JP, Chini CC , Chini EN , Dousa TP. Inhibitors of cyclic nucleotide
phosphodiesterase isoenzyme type-III and type-IV suppress mitogenesis of rat
mesangial cells. J Clin Invest 1995;96:401-410.
22. Reilly MP and Mohler IE. Cilostazol: Treatment of intermittent claudication. Ann
Pharmacother 2001;35(1):48-56.
23. L ehert P, Comte S, Gamand S, Brown TM. Naftidrofuryl in intermittent claudication:
a retrospective analysis. J Cardiovasc Pharmacol. 1994;23 Suppl 3:S48-52.
24. Hess H, Franke I, Jauch M. Drug-induced improvement of blood flow properties.
Effective principle in the treatment of arterial occlusive diseases. Fortschr Med
1973; 91: 743-8.
25. Schaper WK, Jageneau AH, Xhonneux R, Vannueten J, Janssen PA. Cinnarizine, a
specific angiotensin - blocking coronary vasodilator. Life Sci 1963;12: 963-74.
26. Van Neuten JM, Janssen PA. Effect of cinnarizine on peripheral circulation in dogs.
Eur J Pharmacol1972; 17: 103-6.
27. Brandsma JW, Robeer BG, van den Heuvel S, Smit B, Wittens CH, Oostendorp RA. The
effect of exercises on walking distance of patients with intermittent claudication: a
study of randomized clinical trials. Phys Ther 1998;78(3):278-86.
28. L eng GC, Fowler B, Ernst E. Exercise for intermittent claudication(Cochrane
Review). In: The Cochrane Library, Issue 2, 2000. Chichester: John Wiley & Sons
Ltd.
29. C heetham DR, Burgess L, Ellis M, Williams A, Greenhalgh RM, Davies AH. Does
supervised exercise offer adjuvant benefit over exercise advice alone for the
treatment of intermittent claudication? A randomised trial. Eur J Vasc Endovasc
Surg 2004;27(1):17-23.
30. F owler B, Jamrozik K, Norman P, Allen Y, Wilkinson E. Improving maximum
walking distance in early peripheral arterial disease: randomised controlled trial.
Aust J Physiother 2002;48(4):269-75.
31. Gibellini R, Fanello M, Bardile AF, Salerno M, Aloi T. Exercise training in intermittent
claudication. Int Angiol 2000;19(1):8-13.

766 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Penyakit Pembuluh Darah Perifer

32. Patterson RB, Pinto B, Marcus B, Colucci A, Braun T, Roberts M. Value of a


supervised exercise program for the therapy of arterial claudication. J Vasc Surg
1997;25(2):312-8.
33. Pinto BM, Marcus BH, Patterson RB, Roberts M, Colucci A, Braun C. On-site versus
home exercise programs: psychological benefits for individuals with arterial
claudication. J Aging Phys Act 1997;5: 311-28

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 767


Diagnosis dan Penatalaksanaan
Infeksi Oportunistik pada HIV/AIDS
Tuti Parwati Merati
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Sanglah - Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

Pneumonia Pneumocystis Jirovecii (PCP)


Infeksi oleh organisme Pneumocistis Jirovecii yang menimbulkan
pneumonia pneumocystis Jirovecii, masih tetap disebut sebagai PCP sangat
sering terjadi pada odha (orang dengan HIV/AIDS) terutama odha dengan CD4
< 200. Pada orang dengan infeksi HIV, PCP merupakan infeksi oportunistik
yang termasuk lima besar. Sering bersifat fatal, karena itu sangat penting
untuk mengenal penyakit ini.

Diagnosis
PCP dimulai dengan gejala yang tidak jelas, sering berlangsung sekitar 3
– 4 minggu dengan gejala batuk yang pada umumnya batuk kering atau tidak
berdahak, dan demam yang tidak begitu tinggi, (<390Celcius). Manifestasi
klinis bisa ringan, sedang atau berat. Biasanya diawali dengan rasa sesak yang
progresif. Bila anamnesis dilakukan dengan teliti, pada awalnya mungkin
sesak nafas tidak jelas, hanya berupa penurunan toleransi saat beraktivitas.
Pada umumnya pasien datang dengan gejala AIDS yang lain, misalnya wasting
syndrome, oral thrush dan dermatitis kronis. Foto ronsen dada menunjukkan
adanya pneumonia interstitial. Dalam proporsi tertentu dapat ditemukan
foto ronsen dada yang normal. Pemeriksaan mikrobiologis dari sputum
atau sekresi bronchial washing dan bronchial lavage ditemukan adanya
pneumocystis Jirovecii sebagai penyebabnya.

Diagnosis Banding: bacterial pneumonia , pneumonia karena virus dan TB


paru.

Terapi
Empiris: Cotrimoksazole oral atau IV dengan dosis trimetoprim 20 mg/kg
BB/hari dan sulfametoksazole 100 mg/kb/hari selama 3 minggu. Pada kasus
yang berat dimana pO2 < 70mmHg perlu ditambahkan steroid dosis tinggi.
Terapi alternatif misalnya pentamidine 4mg/kg/hari IV, dapsone 100mg/hari

768 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik pada HIV/AIDS

ditambah trimethoprim 20mg/kg/h atau klindamisin 600mg qid ditambah


primakuin 15-30mg/hari selama 3 minggu.

Profilaksis
Profilaksis primer atau sekunder harus diberikan pada semua odha
dengan CD4 count < 200/ul atau < 20%. Obat pilihan adalah cotrimoxazole
dan obat alternatif adalah sulfadoxine pyrimethamine 1 tablet/minggu atau
Dapsone 50 – 100 mg/hari. Profilaksis terus dilanjutkan sampai CD4 count
>200cells/uL selama 3 bulan.

Toxoplasmosis Cerebri
Toxoplasmosis adalah penyebab tersering dari penyakit fokal di kepala/
otak pada AIDS. Lesi ditemukan di otak/serebral, jarang lesi di intraspinal.
Bila ada mielopati, dalam diagnosis banding seharusnya di pikirkan juga
adanya lesi intraspinal.

Etiology:
- Toxoplasma gondii merupakan obligat intracellular.
- Manusia merupakan host intermediat, sementara kucing merupakan
host definitif.
- Kucing yang terinfeksi menyebarkan penyakit karena adanya ookist
dalam fesesnya.
- Oocytes berkembang menjadi tachyzoites pada manusia, lalu penetrasi
ke sel-sel nucleus, menyebar dan menginfeksi jaringan di seluruh tubuh
sehingga terjadi respon inflamasi.

Patogenesis:
• Manusia terinfeksi toksoplasma gondii umumnya karena menelan
oocysts bersama makanan yang terkontaminasi feses kucing yang
terinfeksi toksoplasma, atau oocyst dibawa oleh lalat atau kecoa yg
mencemari makanan. Manusia juga bisa terinfeksi dari makan daging
yang tidak dimasak yang mengandung bradisoit. Dari oocysts atau
bradisoit keluarlah sporozoite yang akan menginfeksi sel-sel makrofag
atau monosit dalam saluran pencernaan. Sporosoit yang mutiplikasi
secara cepat didalam sel sel membentuk takhisoit, Takhisoit beredar
melalui saluran limfe menuju pembuluh darah dan sampai ke jaringan.
Takhisoit yang bertambah banyak didalam sel akan menimbulkan
rupture sel dan keluarlah takhisoit yang akan menginfeksi sel lain yang
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 769
Tuti Parwati Merati

berdekatan. Dengan demikian terjadi kerusakan jaringan berupa focus-


fokus nekrosis. Infeksi pada jaringan otak pada host imunokompromised
menimbulkan terjadinya abses nekrotik yang besar.
• Pada host imunokompeten, Cell mediated Immunity (CMI) akan mengontrol
infeksi akut Toxoplasma, sedangkan pada host imunokompromised, CMI
terganggu, aktivitas cytotoxic T-lymphocyte juga terganggu, sehingga
akan terjadi reaktivasi infeksi T. gondii dengan rupturnya cyste dalam
jaringan.

Presentasi klinis:
Umumnya manifestasi klinis sebagai toksoplasma ensefalitis, infeksi
oportunistik yang paling sering menimbulkan lesi fokal otak.

Presentasi awal berupa infeksi sub akut: bersifat progresif dengan gejala
bingung, mengantuk, kejang, hemiparesis, hemianopsia, aphasia, ataxia dan
kelumpuhan nervus cranialis. Kelemahan motorilk, dan gangguan bicara.
Kemudian melanjut bertambah berat menjadi koma dalam beberapa hari atau
minggu.

Diagnosis:
Dilakukan secara:
1. Serology assays
2. Imaging
3. Biopsi jaringan
4. Polymerase chain reaction (PCR)

Serologi: infeksi HIV pada umumnya merupakan reaktivasi dari infeksi


toksoplasma laten
• Titer IgG anti toxoplasma puncaknya antara 1 dan 2 bulan setelah infeksi
primer dan tetap ada selama hidup.
• Peningkatan titer IgG level pada manifestasi klinis sekarang menunjukkan
adanya reaktivasi.
• IgG anti toxoplasma negative menunjukkan tidak mungkin infeksi
toksoplasma akut.
• Pada penyakit reaktivasi, antibody IgM tidak terdapat.
• CT scan kepala dengan kontras, atau dengan MRI (lebih sensitif)

770 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik pada HIV/AIDS

• Kelainan yang khas dari toksoplasmosis cerebri adalah bersifat asimetris


berupa massa multiple yang menunjukkan ring enchancing pada
pemberian kontras.

Diagnosis: definitif adalah secara histopatologi dari jaringan biopsi otak.


• Ditemukan tachyzoites atau cysta dikelilingi proses inflamasi.
• Biopsi otak tidak dikerjakan secara rutin, hanya dikerjakan apabila
diagnosis masih belum jelas, dan tidak ada respon terhadap terapi
empiris atau malah memburuk.

Ringkasan untuk diagnosis:


CD4< 100
Gejala Klinis:
• 70% gangguan kesadaran
• 60% hemiparesis dan gejala fokal neurologis lainnya
• 50% cephalgia
• 12,5% kejang
• 30% fits

Gejala lain: demam, bingung atau delirium dan koma


• CT scan: terdapat masa dengan lesi ring enhancing. Bila lesi soliter harus
dipikirkan juga limfoma otak.
• Serology: Toxoplasma IgG umumnya positif, IgM tidak dapat membantu
diagnosis. Bila IgG negatif < 2% masih mungkin toksoplasmosis
• Respon terhadap terapi empiris: bila dalam 2 minggu terapi tidak terjadi
perbaikan, pertimbangkan biopsi otak.

Terapi:
• Sebagian besar odha yang diberikan pengobatan secara empiris untuk
infeksi toksoplasmosis akut memberikan perbaikan klinis dalam dua
minggu terapi.
• Lama terapi minimum 3 sampai 6 minggu.
• Diharapkan adanya perbaikan klinis secara cepat.
• Tidak ada pedoman kapan sebaiknya terapi ARV dimulai.
• Diberikan terapi korticosteroid.
• Obat pilihan adalah: Sulfadiazin and Pirimethamin

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 771


Tuti Parwati Merati

• Terapi alternatif: Clindamycin, Atovaquone, Cotrimoxsazole


• Profilaksis: Primer dan sekunder, dengan pilihan obat: cotrimoxazole.

Meningitis Cryptococcal
Meningitis kriptokokus adalah suatu infeksi jamur pada otak yang
cukup sering terjadi, termasuk tiga penyebab terbanyak IO pada susunan
syaraf pusat disamping toksoplasmosis dan tuberculosis. Pada beberapa
keadaan mungkin saja pasien datang pertama kali ke pelayanan kesehatan
karena meningitis kriptokokal sebagai ADI (AIDS Defining Illness). Kadang-
kadang terdapat kelainan kulit menyerupai moluskum contagiosum. Kelainan
otak dapat berupa lesi massa intracranial multiple atau single yang disebut
kriptokokoma. Tanpa pengobatan spesifik, prognosisnya buruk, dengan
survival kurang dari 6 bulan setelah diagnosis ditegakkan. Penanganan yang
optimal yang sangat penting diberikan adalah terhadap peningkatan tekanan
intra kranial.

Diagnosis
Pasien datang dengan keluhan sakit kepala atau cephalgia, yang
bervariasi dari ringan sampai berat, yang biasanya sudah terjadi sejak lama
atau kronis. Disamping itu ada gejala demam dan status mental yang berubah.
Bila ada pasien dengan gejala neurologi yang tidak jelas penyebabnya, harus
dipikirkan kemungkinan penyakit ini. Pasien datang dengan gejala rangsang
meningeal yang menyebabkan kekakuan leher. Untuk itu lakukan lumbal
pungsi, dan periksa cairan otak untuk pemeriksaan kriptokokus dengan
pengecatan tinta Cina/tinta India. Bila hasil cairan otak utk pengecatan tinta
cina/India negatif, lakukan pemeriksaan serologi untuk Antigen kriptokokal.
Kriptokokal Ag positif pada >99% kasus meningitis kriptokokus.

Tata Laksana
Terapi farmakologi:
Pilihan pertama - flucystosine (100mg/kg/hari dibagi 4 dosis) dan
amphotericin B (0.7mg- 1mg/kg/hari, setiap hari) merupakan kombinasi
terbaik dalam dua minggu pertama pengobatan (terapi fase induksi). Setelah
itu dilanjutkan dengan fluconazole 400 - 800mg setiap hari selama 8 minggu,
lalu turunkan dosis maintenance fluconazole 200mg /hari secara tidak
terbatas, mungkin dilanjutkan seumur hidup.

772 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik pada HIV/AIDS

Pilihan lainnya – amphotericin B 0.7mg- 1mg/kg/hari, setiap hari selama 2


minggu disusul pemberian fluconazole 400 – 800mg setiap hari selama 6 – 8
minggu, dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan amphotericin B tiap
minggu atau dua kali seminggu, merupakan alternatif yang kurang baik.

Terapi non farmakologis


Dilakukan lumbal pungsi setiap hari untuk mengurangi gejala cephalgia
dengan menurunkan tekanan intra kranial. Tindakan ini dapat meningkatkan
survival pasien. Diambil minimal sekitar 10 – 20ml LCS pertama kali,
selanjutnya mungkin perlu diulang setiap hari, tujuannya mempertahankan
tekanan intra kranial kurang dari 20 cm. D

Terapi tambahan:
1. Analgetik untuk mengurangi sakit kepala, seperti paracetamol atau
kodeine fosfat atau morphine 5mg setiap 4 jam mungkin diperlukan bila
kodein tidak berhasil menghilangkan cephalgia.
2. Perlu untuk mengevaluasi apakah cephalgia sudah dapat terkontrol
dengan analgesia yang adekuat.
3. Perhatikan timbulnya efek samping obat amphotericin B, seperti mual,
muntah, demam, menggigil, atau rigors, dan hypokalemia dan gangguan
fungsi ginjal.

Daftar Pustaka
1. Ammann, MD, UCSF Center for HIV Information Image Library
2. Cilik Wiryani, Agus Somia, Tuti Parwati M, Joint National Congress PETRI XIII,
PERPARI IX, PKWI X. Bandung, 2007
3. Darma Imran. Kursus dasar NeuroAIDS.Departemen Neurologi FKUI RSCM. Sorong,
28 Oktober 2013
4. De Cock, KM, et al. J Am Med Assoc. 1992; 268:1581-7
5. Florence Robert-Gangneux, and Marie-Laure Dardé. Clin. Microbiol. Rev 2012
;25:264-296
6. Pedoman Nasional Penanganan Kedokteran HIV, 2017
7. Recommendations from USPHS/IDSA Guidelines, 2001 DHS/HIV/OIs/PP.
8. Susila Utama, Tuti Parwati, Agus Somia. Cerebral Toxoplasmosis in Adult HIV in-
fected patient at Sanglah Hospital. BAMHOI, 2015
9. Volberding P, MD, UCSF Center for HIV Information Image Library
10. Wilcox CM., Saag MS. Gut 2008;57:861 -70

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 773


Dasar Pemasangan Akses Kateter Vena Sentral
Arif Mansjoer
Cardiac ICU Pelayanan Jantung Terpadu RSCM
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSCM-FKUI, Jakarta

Pemasangan akses vena sentral adalah salah satu prosedur yang


dilakukan dalam mengelola pasien kritis atau pasien gawat darurat. Saat ini
tingkat kompetensi seorang internis untuk melakukan prosedur pemasangan
akses vena sentral adalah 3. Hal ini berarti seorang internis dapat melakukan
prosedur ini di bawah supervisi seorang internis konsultan yang memiliki
tingkat 4A. Tulisan berikut akan memberikan uraian dasar anatomi, indikasi,
kontraindikasi, dan komplikasi pemasangan akses kateterisasi vena sentral
yang merupakan dasar dari prosedur tindakan ini.

Anatomi Vena Sentral


Vena sentral adalah vena-vena yang terletak di dekat pusat sirkulasi
(jantung). Pilihan akses vena ditentukan berdasarkan faktor pasien, dokter
pelaksana tindakan (operator), teknik yang digunakan, dan peralatan yang
tersedia. Vena sentral yang sering digunakan sebagai akses adalah vena
jugularis interna, vena subklavia, dan vena femoralis.

Vena jugularis interna berada di area lateral depan leher, di bawah


mandibula, dan di atas klavikula. Vena ini bersama arteri karotis berada
dalam selubung jugular di bawah otot sternokleidomastoid. Vena jugularis
interna yang membawa darah dari vena-vena kepala dan leher ini terletak
lebih latetal dan lebih anterior dari arteri karotis.

Vena subklavia berada di rongga toraks atas, di bawah klavikula, di antara


area aksila dan garis sternalis. Vena ini membawa darah dari vena aksilaris,
vena basilika dan vena sefalika menuju vena kava superior. Umumnya vena
ini berada lebih anterior dan lebih kaudal dari arteri subklavia.

Vena femoralis berada di sepertiga medial area inguinal. Vena ini berada
lebih medial dari arteri femoralis. Vena ini membawa darah dari vena poplitea,
vena tibialis anterior, dan vena tibialis posterior menuju vena iliaka dan vena
kava inferior.

774 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Dasar Pemasangan Akses Kateter Vena Sentral

Tabel 1. Keuntungan dan kerugian pilihan akses berdasarkan vena sentral yang
digunakan
Akses Vena Keuntungan Kerugian
Vena subklavia Risiko infeksi rendah Risiko perdarahan tinggi
Sesuai untuk subcutaneous tunneling Risiko pneumotoraks tinggi
dan port access Prosedur ‘blind’ yang sukar
dipandu dengan USG
Vena jugularis interna Vena dapat dilihat secara klinis Risiko infeksi sedang
maupun dengan USG Risiko perdarahan sedang
Aksesnya mudah pada pasien yang Sukar untuk membuat tunnel
sedang menjalani pembedahan Sukar untuk ditutup
Pada sisi kanan, ujung kateter hampir Tidak nyaman bila tidak di-
selalu pada tempatnya tunnel
Vena femoralis Risiko perdarahan rendah Risiko infeksi tinggi
Pasien dapat tetap duduk saat Risiko trombosis tinggi
pemasangan Fungsi akan terganggu bila
pasien berdiri

Indikasi Pemasangan Akses


Akses vena sentral seringkali dibutuhkan dalam pengelolaan pasien
kritis dan gawat darurat yaitu pada:
1. Pemasangan akses vena perifer yang sukar
2. Pemberian cairan dengan osmolaritas tinggi atau pekat, seperti nutrisi
parenteral, elektrolit pekat, obat kemoterapi
3. Pemberian inotropik, vasopresor, vasodilator
4. Pengukuran tekanan vena sentral, tekanan ruang jantung (kanan),
tekanan arteri pulmonal, dan baji kapiler paru (pulmonary capillary
wedge pressure, PCWP)
5. Pengambilan sampel darah dari vena sentral untuk menilai saturasi
oksigen di vena sentral (ScvO2) atau arteri pulmonal untuk menilai
saturasi oksigen di arteri pulmonal (SvO2) atau yang lebih dikenal
sebagai mixed vein oxygen saturation (SmvO2)
6. Pemasangan akses terapi pengganti ginjal baik hemodialisis intermiten
(intermitten hemodialysis, IHD) atau terapi pengganti ginjal
berkesinambungan (continuous renal replacement therapy, CRRT )
7. Pemasangan akses pacu jantung sementara (temporary pacemaker,
TPM)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 775


Arif Mansjoer

Kontraindikasi Pemasangan Akses


Kontraindikasi pemasangan akses umumnya bersifat relatif dan tidak
mutlak. Kontraindikasi yang menjadi risiko komplikasi harus dapat dikenali
sehingga komplikasi dapat dihindarkan. Beberapa kontraindikasi yang perlu
dikelola agar komplikasi dapat dihindari adalah:
1. Pasien gaduh gelisah, delirium, atau tidak kooperatif
2. Area insersi mengalami infeksi atau luka bakar
3. Kelainan anatomi: kurus, gemuk, riwayat radiasi
4. Gangguan hemostasis: trombosis, koagulasi intravaskular diseminata,
penggunaan terapi antikoagulan
5. Pascaprosedur: mastektomi, tiroidektomi, pintas arteri-vena

Upaya menghindari komplikasi akibat kontraindikasi relatif di atas adalah


memberikan penjelasan yang cukup baik kepada pada pasien dan keluarga,
menentukan lokasi akses yang tidak memiliki kontraindikasi, mengatur waktu
pemasangan, memberikan anestesi lokal yang adekuat, melakukan koreksi
hemostasis, dan menggunakan sarana ultrasonografi (USG) baik sebelum
pemasangan, saat pemasangan, dan setelah pemasangan.

Komplikasi Pemasangan Saat dan Setelah Pemasangan


Komplikasi akibat pemasangan akses kateter vena sentral dapat terjadi
saat, segera setelah, atau beberapa waktu kemudian. Komplikasi yang segera
terjadi adalah pungsi arteri, perdarahan, aritmia jantung, cedera pada duktus
torasikus, cedera pada persarafan sekitar, emboli udara, emboli kateter, dan
pneumotoraks. Komplikasi yang dapat terjadi kemudian adalah trombosis
vena, perforasi jantung dan tamponade, infeksi, dan hidrotoraks.

Tabel 2. Frekuensi komplikasi pemasangan kateter vena sentral berdasarkan pilihan


akses
Komplikasi V.jugularis interna V.subklavia V.femoralis
Pungsi arteri 3% 0,5 % 6,25 %
Hematoma < 0,1 – 2,2 % 1,2 – 2,1 % 3,8 – 4,4 %
Hemototoraks Tidak ada 0,4 – 0,6 % Tidak ada
Pneumotoraks < 0,1 – 0,2 % 1,5 – 3,1 % Tidak ada
Malposisi Risiko ringan (masuk Risiko tinggi (melewati vena Risiko rendah
ke vena kava inferior subklavia kontralateral, naik (mengenai pleksus
melalui atrium kanan) vena jugularis interna) vena lumbal)

776 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Dasar Pemasangan Akses Kateter Vena Sentral

Komplikasi V.jugularis interna V.subklavia V.femoralis


Trombosis 1,2 – 3/1000 hari kateter 0 - 13 /1000 hari kateter 8 - 34 /1000 hari
kateter
Infeksi 8,6 /1000 hari kateter 4 /1000 hari kateter 15,3 /1000 hari
kateter

Komplikasi yang bisa terjadi saat atau segera setelah pemasangan adalah
1. Nyeri. Komplikasi ini terjadi karena pemberian anestesi lokal lidokain
yang kurang adekuat. Nyeri saat penusukan bisa dicegah dengan menguji
sensasi setelah memberikan anestesi lokal sebelum melakukan pungsi
vena. Bila pasien masih merasa nyeri tambahkkan anestesi lokal di
tempat dan di sekitar tempat inseri. Anestesi lokal juga diberikan pada
kulit yang akan dilakukan penjahitan.
2. Perdarahan. Komplikasi ini dapat terjadi karena penusukan berulang,
penusukan arteri, gangguan hemostasis, atau penggunaan terapi
antiplatelet atau antikoagulan. Perdarahan bisa diminimalkan dengan
melakukan pungsi percobaan (proof pungsi) dengan jarum yang lebih
kecil dari jarum pungsi atau melakukan pungsi tunggal langsung ke vena
dan menghindari pungsi berulang dan menghindari penusukan arteri
misalnya dengan bantuan USG. Evaluasi riwayat perdarahan, gangguan
pembekuan darah serta hasil faal hemostasis seperti nilai trombosit, PT,
dan aPTT akan menapis pasien yang memiliki risiko perdarahan sehingga
dapat dilakukan koreksi bila memungkinkan. Bila saat penusukan terjadi
perdarahan atau hematom maka lakukan penekanan di area tusukan
agar terjadi hemostasis primer.
3. Penusukan paru atau pleura. Komplikasi ini dapat terjadi terutama
pada pemasangan akses kateter vena sentral di vena subklavia. Pada
pemasangan akses di vena jugularis interna juga dapat terjadi hal yang
sama. Tanda paru tertusuk yang dapat dijumpai operator adalah pasien
batuk karena rangsangan pleura, saat dilakukan aspirasi darah tampak
gelembung udara (bubble) dalam spuit, atau terjadi desaturasi oksigen.
Bila terjadi hal di atas maka lakukan evaluasi foto toraks rutin untuk
menilai adanya pneumotoraks. Penumotoraks dapat terjadi secara
perlahan dan tanpa gejala (silent) atau dengan gejala takipneu, distres
napas, batuk, takikardia, nyeri dada, penurunan saturasi oksigen, dan
hipotensi. Pada foto toraks akan tampak garis pleura viseral/paru
yang mengalami pneumotoraks. Pneumotoraks ringan asimptomatik
dapat membaik secara spontan dan pasien harus dipantau. Jika pasien
mengalami distres pernapasan, oksigen harus diberikan dan pada kondisi
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 777
Arif Mansjoer

yang lanjut perlu dilakukan aspirasi atau pemasangan chest tube. Pasien
yang menggunakan ventilator akan membutuhkan chest tube untuk
mencegah bertambah beratnya pneumotoraks hingga terjadi tension
pneumotoraks. Pada tension pneumotoraks yang ditandai pernapasan
asimetris, perkusi hipersonor, suara napas menghilang, tekanan darah
turun, takikardia, dan desaturasi, prosedur torakosentesis di sela iga 2
garis midklavikula perlu segera dilakukan.
4. Emboli udara. Komplikasi ini terjadi karena masuknya udara saat
tahapan prosedur pemasangan kateter, yaitu saat memasukkan kawat
pemandu (guidewire), saat memasukkan dan mengeluarkan dilator, atau
saat memasang kateter vena sentral. Emboli udara dalam jumlah kecil
(minor) saat pemberian cairan infus dan obat injeksi sering terjadi dan
biasanya tidak berbahaya bagi pasien. Sedangkan emboli udara dalam
jumlah besar (mayor) dapat berakibat fatal dan paling sering terjadi
saat melakukan pemasangan atau pencabutan kateter vena sentral. Hal
yang dapat dilakukan untuk mencegah emboli udara adalah mencukupi
hidrasi pasien dan memposisikan agar vena yang dituju lebih rendah
dari jantung dengan posisi Trendelenbeg. Upaya mempersingkat waktu
prosedur pemasangan yang memanipulasi pembuluh darah akan
mengurangi risiko emboli udara. Pada pasien yang sadar, manuver
Valsava saat melakukan pungsi vena akan mengurangi risiko. Emboli
udara dapat terjadi tanpa gejala (silent) atau disertai gejala ansietas,
sianosis, sesak, takikardia, hipotensi, nyeri dada, penurunan kesadaran,
henti jantung, bahkan kematian. Gambaran udara dalam sistem sirkulasi
dapat terlihat dengan mesin ekokardiografi. Tata laksana pasien yang
mengalami emboli udara adalah dengan menutup sumber emboli udara,
memposisikan agar sumber emboli berada di bawah jantung.
5. Aritmia. Komplikasi ini dapat terjadi akibat stimulasi langsung pada
miokardium oleh kateter atau kawat pemandu saat memasuki ruang
jantung. Insidens terjadinya aritmia mencapai 41% sebagai aritmia
atrial dan 25% sebagai aritmia ventrikular. Hanya sebagian kecil
aritmia yang membutuhkan terapi obat atau kardioversi. Pencegahan
dilakukan meliputi pengkajian faktor risiko jantung dan riwayat aritmia
sebelumnya. Keadaan berisiko aritmia karena hipersensitif dapat terjadi
pada fibrilasi atrium, kontraksi atrial/ventrikel prematur sebelumnya.
Risiko aritmia perlu diwaspadai pula pada pasien yang menggunaan
alat pacu jantung atau alat defibrilasi implan. Pada kelompok pasien
ini, pemasangan kateter harus dilakukan di sisi kontralateral implan.

778 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Dasar Pemasangan Akses Kateter Vena Sentral

Elektrolit terutama kalium sebelum tindakan hendaknya dalam batas


nilai normal. Selama tindakan laju dan irama jantung harus dipantau
ketat terutama saat memasukkan kawat pemandu. Kejadian aritmia saat
pemasangan umumnya akan menghilang dengan spontan. Bila aritmia
menetap, tindakan dihentikan dan observasi dahulu. Ujung kateter dilihat
kembali, EKG 12 dilakukan, dan bila perlu kateter ditarik beberapa cm.

Komplikasi yang terjadi setelah pemasangan akses kateter vena sentral adalah
1. Infeksi. Komplikasi ini dapat terjadi karena a dan antisepsis yang kurang
adekuat. Infeksi dapat dicegah dengan menggunakan antiseptik di area
tindakan, menggunakan drapping steril, operator menggunakan alat
pelindung diri, bekerja dengan cepat dan tepat. Bila tanda infeksi terlihat
dan timbul gejala maka kateter vena sentral harus dilepaskan dan
dipasang di tempat yang berbeda bila masih diperlukan.
2. Trombosis. Trombosis dapat terjadi di ujung kateter atau di sekeliling
kateter. Trombus dapa terjadi karena kateter secara lama bergesekan
pada dinding vena dan memacu trombosis pada dinding vena. Faktor-
faktor dari pasien yang menjadi risiko terjadinya trombosis adalah
penyakit keganasan, kompresi vena oleh tumor, hiperkoagulasi, bahan
infus yang bersifat sklerosan, perawatan yang tidak tepat, dan sepsis.
Diagnosis trombosis dapat ditunjang dengan pemeriksaan ultrasonografi
dan venografi. Bila trombus yang terjadi besar dan menyumbat aliran
darah maka dapat terjadi bendungan dan edema di sisi proksimal
sumbatan. Tata laksana bila trombosis terjadi adalah pencabutan kateter
dan pemberian antikoagulan.

Penutup
Pemasangan akses kateter vena sentral memiliki indikasi diagnostik
dan indikasi terapeutik. Identifikasi pasien, diagnosis, tujuan, indikasi,
kontraindikasi dan risiko komplikasi menjadi pertimbangan pemasangan.
Komplikasi dapat terjadi saat, segera setelah, dan setelah pemasangan
akses kateter vena sentral. Risiko komplikasi dapat dihindari atau ditekan
bila anatomi dikuasai, prosedur dilakukan dengan benar, dan pemantauan
dilakukan baik sebelum, saat, dan setelah pemasangan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 779


Arif Mansjoer

Daftar Pustaka
1. McGee DC, Gould MK. Preventing complications of central venous catheterization.
N Engl J Med. 2003;348:1123-33.
2. Graham AS, Ozment C, Tegtmeyer K, Lai S, Braner DAV. Central venous
catheterization. N Engl J Med. 2007;356:e21
3. Hocking G. Central venous access and monitoring. Update in Anesthesia. 2000; 12:
59-70.
4. Rosen M, Latto IP, Ng WS, Jones PL, Weiner P. Handbook of percutaneous central
venous catheterization. 2nd edition. London: WB Saunders; 1992.
5. Bodenham AR, Simcock L. Complication of central venous access. In: Hamilton
H, Boedenham A, eds. Central venous catheter. 1st edition. West Sussex: Wiley-
Blackwell; 2009. p. 175-205.

780 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pemeriksaan CT Scan Thorax
Zen Ahmad, R.A. Linda A.
Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP dr. Moh. Hoesin - Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang

Pendahuluan
Pemeriksaan radiografi thorax konvensional sangat terbatas
penggunaannya karena hanya dapat menggambarkan thorax yang tiga
dimensi menjadi gambar dua dimensi sehingga ada tumpang tindih dari
organ yang digambarkan. Sejak diperkenalkan pada tahun 1971 X-ray
computed tomography (CT) telah mengalami perkembangan yang sangat pesat
dan menjadi alat pemeriksaan diagnostik yang esensial karena kelebihannya
dalam menyajikan gambaran dalam bentuk potong lintang sehingga tidak
terjadi tumpang tindih organ seperti pada radiografi konvensional. Meskipun
hasil CT scan thorax di ekspertise oleh radiolog, sangat penting bila internis
mampu menginterpretasikannya karena informasi klinis yang didapat
internis akan menambah rincian informasi dari interpretasi CT scan thorax.

Prinsip dasar CT
CT scan dapat membuat banyak pengukuran dari perbedaan sudut rotasi
pancaran sinar X-ray dan atenuasi sinar X-ray (intensitas dan ketajaman)
pada thorax sehingga didapatkan data-data yang direkonstruksi sehingga
mendapatkan gambaran digital yang representatif. Kuantitas pengukuran
fraksi dari radiasi yang dilepaskan alat CT yang melewati organ-organ tubuh
akan memberikan skala radiodensitas yang diekspresikan dalam Hounsfield
Units (HU), dimana pengukuran air adalah nol dalam skala ini. Organ yang lebih
padat daripada air akan mengalami atenuasi hasil positif HU, contohnya otot,
hati dan tulang. Sedangkan organ yang tidak padat akan menurunkan atenuasi
sehingga memberikan hasil egiong HU, contohnya paru-paru dan jaringan
egion. CT scanners terbaru saat ini menggunakan multiple row detector helical
yang lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Pasien akan bergerak masuk
kedalam alat scanner yang berotasi secara kontinu, sementara itu sejumlah
foto akan dibuat dalam hitungan detik.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 781


Zen Ahmad, R.A. Linda A.

Gambar
Gambar 1. Tingkatan
1. Tingkatan densitas
densitas pada berbagai
pada berbagai jaringan
jaringan tubuh.
tubuh.

dikasi CTIndikasi
Thorax CT Thorax
Banyak
sekali
Banyakindikasi pemeriksaan
sekali indikasi CT thorax,
pemeriksaan bahkan
CT thorax, CTCT
bahkan merupakan
merupakanpemeriksaan
ku emas untuk diagnosis
pemeriksaan bakuemboli paru.diagnosis
emas untuk CT thorax
emboli paru. CT thorax seringkali
egiongme egiongme diperlukan
seringkali diperlukan dalam merencanakan pemasangan insersi double-lumen
lam merencanakan pemasangan insersi double-lumen tube. Di intensive care unit (ICU)
meriksaantube. Di intensive care unit (ICU), pemeriksaan CT thorax tidak hanya egi
CT thorax tidak hanya egi mendiagnosis penyakit paru intertisial, infeksi dan
mendiagnosis penyakit paru intertisial, infeksi dan acute respiratory distress
ute respiratory distress syndrome (ARDS) tetapi juga egi mendeteksi pneumothorax yang
syndrome (ARDS) tetapi juga egi mendeteksi pneumothorax yang minimal dan
inimal danefusi
efusipleura
pleura terlokalisir yang membutuhkan terapi intervensi.
terlokalisir yang membutuhkan terapi intervensi.

abel 1. Indikasi pemeriksaan Tabel


CT thorax
1. Indikasi pemeriksaan CT thorax
ndication Indication Examples of identified pathologies
Examples of identified pathologies
rimary lung cancer/staging of
Primary lung cancer/staging of metastatic disease
metastatic disease
Evaluation ofEvaluation
a solitaryof a solitary Lymphoma,
Lymphoma,Tumour, Great
Tumour, Great vessel
vessel disease,
disease, ThoracicThoracic
aortic aortic
pulmonary nodule on CXR aneurysm,
ulmonary nodule on CXR aneurysm,
Mediastinal pathology
Mediastinal pathology Aortic dissection,
Aortic Pneumomediastinum,
dissection, Pneumomediastinum, ThyroidThyroid enlargement
enlargement
Tumour—myxoma, Pulmonary hypertension, Congenital heart
Tumour—myxoma, Pulmonary hypertension,
disease, Coronary artery occlusion Pneumo/haemopericardium, Congenital heart
Cardiac disease, Coronary
Pericardial effusion,artery occlusion Pneumo/haemopericardium,
Inflammation
Cardiac Pericardial
Pericardialeffusion, Inflammation
effusion, Inflammation
ericardial disease
Pericardial disease
Consolidation (Pneumonia), Interstitial pulmonary fibrosis,
Consolidation (Pneumonia), Interstitial pulmonary fibrosis,
arenchymalParenchymal
disease disease Chronic obstructive pulmonary
Chronic obstructive pulmonary disease, disease,
ARDS, ARDS, Bronchiectasis,
Bronchiectasis,
Oedema,
Oedema,Atypical infection
Atypical infection (PCP,
(PCP, fungal)fungal)
Rib fractures
Rib fracturesand flailsegments,
and flail segments, Pulmonary
Pulmonary contusion, Disruption
contusion,
Trauma to the thoracic aorta, Pneumohaemothorax, Diaphragmatic
782 rupture, Empyema Pertemuan orIlmiah
loculated
Nasionaleffusions, Small pneumothoraces,
XVII PAPDI - Surabaya 2019
ulmonary embolism Haemothorax
leural abnormalities
Pemeriksaan CT Scan Thorax

Indication Examples of identified pathologies


Primary lung cancer/staging of metastatic disease
Trauma Rib fractures and flail segments, Pulmonary contusion,
Disruption to the thoracic aorta, Pneumohaemothorax,
Pulmonary embolism Diaphragmatic rupture, Empyema or loculated effusions, Small
Pleural abnormalities pneumothoraces, Haemothora

Tipe CT thorax
1. Standard atau conventional CT:
Pemeriksaan dengan menggunakan conventional CT akan menghasilkan
potongan yang tipis dengan ketebalan 3-10 mm. Scan dilakukan dengan
dosis radiasi yang cukup besar.
2. High-resolution CT thorax
Penggunaan high-resolution CT thorax (HRCT) sangat penting untuk
menilai arsitektur paru. Pemeriksaan ini dapat menghasilkan potongan
yang lebih tipis dengan ketebalan antara 1 hingga 1,5 mm. Selain itu
juga menurunkan dosis radiasi hingga 90% dibandingkan volume helical
CT scan. Keuntungan ini sangat bermanfaat bagi pasien yang berusia
muda dan membutuhkan pemeriksaan CT scan berulang-ulang untuk
menilai parenkim paru pada kondisi seperti bronkiektasis, penyakit
paru intertisial, emfisema, sarkoidosis dan infeksi atipikal, contohnya
tuberculosis paru ataupun infeksi paru akibat jamur.
3. Low Dose CT
Penggunaan Low Dose CT hanya 30 sampai 50% dari dosis radiasi
regular CT tetapi menghasilkan gambaran yang kurang rinci. Adapun
kegunaannya adalah untuk skrining dan pemantauan terapi
4. CT angiography
Pemeriksaan CT angiography dilakukan dengan memberikan injeksi
kontras melalui vena perifer untuk menilai emboli paru, aneurisma
aorta, diseksi aorta, malformasi arteri-vena dan mengevaluasi sindrom
vena cava superior.
5. CT dengan kontras
Penggunaan media kontras melalui injeksi intra vena akan meyakinkan
identifikasi anatomi egiong, membedakannya dengan struktur non
vaskuler yang berdekatan dan memudahkan deteksi serta mengenali
lesi yang patologis. Selain itu juga dapat membantu penilaian struktur
mediastinum, penyakit pleura kronis, massa paru dan membedakan
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 783
Zen Ahmad, R.A. Linda A.

parenkim dengan pleura. Pada pemeriksaan CT, penyengatan kontras


pada strukur organ yang hipervaskularisasi, seperti tumor, akan
memperlihatkan peningkatan atenuasi hingga 30-40 HU. Kontras juga
dapat diberikan secara per oral untuk menilai esophagus. Kontras
intravena diberikan sebanyak 3-6 ml dengan high-pressure syringe pump.
Akses vaskuler yang dipilih biasanya di fossa ante cubiti, hindari akses
sentral karena dapat menyebabkan egion kateter dan perforasi pembuluh
darah besar.
Persiapan pasien sebelum pemberian kontras adalah:
· Periksa laboratorium kadar ureum (BUN) dan kreatinin.
· Pasien diberi penjelasan tentang pemeriksaan yang akan
dilakukan dan breathold technique yang digunakan.
· Cek riwayat asma, alergi dan penyakit lain.
· Cek vital sign

6. Paired inspiratory dan expiratory chest CT scans


6. Paired inspiratory dan expiratory chest CT scans
Analisis kuantitatif dilakukan dengan membandingkan perbedaan
Analisis kuantitatif dilakukan dengan membandingkan perbedaan densitas (HU) pada sca
densitas (HU) pada scan yang dilakukan saat fase inspirasi dan ekspirasi.
yang dilakukan saat fase inspirasi dan ekspirasi. Adapun indikasi pemeriksaan ini antara lai
Adapun indikasi pemeriksaan ini antara lain penyakit obstruksi jalan
penyakit obstruksi
napas jalan napas
seperti seperti obliterative
obliterative bronchiolitis,
bronchiolitis, hypersensitivity
hypersensitivity pneumonitis,pneumoniti
cryptogenic egiongm pneumonia
cryptogenic egiongm sebelumnya
(COP,(COP,
pneumonia dikenal
sebelumnya dengan
dikenal BOOP), asm
dengan
sarkoidosis,
egiongm, BOOP), emfisemasarkoidosis,
asma egiongm, dan bronkiektasis.
emfisema dan bronkiektasis.

AnatomiAnatomi
ThoraxThorax
Untuk mendapatkan
Untuk pemahaman
mendapatkan pemahamanstruktur yang yang
struktur terlihatterlihat
dari pemeriksaan
dari CT
thorax, maka perlu orientasi
pemeriksaan potongan
CT thorax, posterior–anterior
maka perlu radiografi
orientasi potongan thorax.
posterior–anterior
radiografi thorax.
784 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Anatomi Thorax
Untuk mendapatkan pemahaman struktur yang terlihat dari pemeriksaan CT
thorax, maka perlu orientasi potongan posterior–anterior radiografi thorax.
Pemeriksaan CT Scan Thorax

Gambar 2. Struktur
Gambar penting
2. Struktur dari
penting daricavum
cavum thorax yangdapat
thorax yang dapatdiidentifikasi.
diidentifikasi.

Gambar 3. Gambaran
Gambar anatomi
3. Gambaran setinggi
anatomi pembuluh
setinggi darahdarah
pembuluh besarbesar
pada pemeriksaan CT scan.
pada pemeriksaan CT
scan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 785


Zen Ahmad, R.A. Linda A.

Gambar 4. Gambaran
Gambar anatomi
4. Gambaran setinggi
anatomi arcusarcus
setinggi aortaaorta
dan karina padapada
dan karina pemeriksaan CT scan
pemeriksaan CT
scan

786 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pemeriksaan CT Scan Thorax

Gambar 5.
Gambar 5. Gambaran
Gambaran anatomi
anatomi setinggi
setinggiatrium
atrium dan
dan ventrikel
ventrikel pada
pada pemeriksaan
pemeriksaan CT
CT scan
scan
Interpretasi CT Thorax
Pada saat membaca hasil CT scan, sangatlah penting untuk mengingat anatomi dan
Interpretasi CT Thorax
pendekatan logic. Gambaran CT biasanya disajikan dalam lung window, mediastinal window
danPada
bone saat membaca
window hasil
yang dapat CT scan,
dipilih sangatlah
melalui penting untuk mengingat
PACS toolbar.
anatomi dan pendekatan logic. Gambaran CT biasanya disajikan dalam lung
window, mediastinal window dan bone window yang dapat dipilih melalui
PACS toolbar.

Gambar 6. Gambaran CT disajikan dalam lung window, mediastinal window dan bone
window
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 787
Interpretasi CT Thorax
Pada saat membaca hasil CT scan, sangatlah penting untuk mengingat anatomi dan
pendekatan
Zen logic. Gambaran CT biasanya disajikan dalam lung window, mediastinal window
Ahmad, R.A. Linda A.
dan bone window yang dapat dipilih melalui PACS toolbar.

Gambar6.6.Gambaran
Gambar Gambaran CT disajikan
CT disajikan dalam dalam lung mediastinal
lung window, window, mediastinal
window danwindow
bone dan bone
window window

Langkah-langkah pendekatan untuk melakukan interpretasi CT Thorax:


Langkah-langkah pendekatan untuk melakukan interpretasi CT Thorax:
(i) Mengetahui riwayat penyakit dan pemeriksaan pasien
(i) Mengetahui riwayat penyakit dan pemeriksaan pasien
(ii) Mengetahui karakteristik pasien yang akan dinilai hasil pemeriksaannya. Pemeriksaan
(ii) Mengetahui
imaging sebelumnya karakteristik
dapat pasiendengan
dibandingkan yang akan dinilai hasil terkini
pemeriksaan pemeriksaannya.
untuk mengetahui
diagnosis. Pemeriksaan imaging sebelumnya dapat dibandingkan dengan
pemeriksaan terkini untuk mengetahui diagnosis.
(iii) Mengidentifikasi orientasi gambaran CT thorax pada film. Potongan aksial atau
transversal,(iii) Mengidentifikasi
pemeriksa orientasi
akan melihat gambaran
gambaran CT thorax
thorax pada film.
yang dilihat dari Potongan
ujung kaki pasien.
aksial atau transversal, pemeriksa akan melihat gambaran
Potongan koronal and sagital merupakan potongan tubuh memanjang sesuai thorax yangtubuh.
sumbu
dilihat dari ujung kaki pasien. Potongan koronal and sagital merupakan
potongan tubuh memanjang sesuai sumbu tubuh.

788 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


imaging sebelumnya dapat dibandingkan dengan pemeriksaan terkini untuk mengetahui
diagnosis.
(iii) Mengidentifikasi orientasi gambaran CT thorax pada film. Potongan aksial atau
transversal, pemeriksa akan melihat gambaran thorax yang dilihat dari ujung kaki
Pemeriksaan pasien.
CT Scan Thorax
Potongan koronal and sagital merupakan potongan tubuh memanjang sesuai sumbu tubuh.

Gambar 7. Gambaran CT disajikan potongan aksial, koronal dan sagital.


Gambar 7. Gambaran CT disajikan potongan aksial, koronal dan sagital.
(iv) Pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi adanya gambaran abnormalitas harus
disesuaikan dengan identifikasi
(iv) Pendekatan sistematik stuktur anatomi.
untuk Kemudahan untuk adanya
mengidentifikasi menggesergambaran
gambar ke
potongan atas dan bawah, kiri dan kanan dapat menilai diferensiasi anatomi yang dinamis.
abnormalitas harus disesuaikan dengan identifikasi stuktur anatomi.
Kemudahan untuk menggeser gambar ke potongan atas dan bawah, kiri
dan kanan dapat menilai diferensiasi anatomi yang dinamis.

Anatomi mediastinum CT thorax


Anatomi mediastinum CT thorax
Mediastinum didefinisikan
Mediastinum sebagai:
didefinisikan sebagai:
 Kompartemen
 Kompartemenjaringan yangyang
jaringan terletak antara
terletak antarakedua
keduaparu, bagianposterior
paru, bagian posterior dari ste
bagiandari
anterior daribagian
sternum, kolumna vertebralis
anterior dan meluas
dari kolumna daridan
vertebralis thoracic dari ke egion
meluasinlet
 Anatomi regional mediastinum dibagi menjadi empat kompartemen dari super
thoracic inlet ke egion gm.
inferior:
 Anatomi regional mediastinum dibagi menjadi empat kompartemen dari
(a) Supraaortik atau
superior ke mediastinum
inferior: superior
(a) Supraaortik atau mediastinum superior

Gambar 8. Mediastinal window potongan aksial setinggi great vessel


Gambar 8. Mediastinal window potongan aksial setinggi great vessel

(b) Region arkus aorta dan aortopulmonary window (APW)
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 789
Gambar8.8.Mediastinal
Gambar Mediastinalwindow potongan
windowpotongan aksial
aksial setinggi
setinggi great
great vessel
vessel
Zen Ahmad, R.A. Linda A.

(b)
(b) Region

Region arkus
(b) arkus
Regionaorta dan
arkus
aorta dan aortopulmonary
aorta
aortopulmonary window
dan aortopulmonary
window (APW)
window
(APW) (APW)

Gambar 9. Mediastinal window potongan aksial setinggi arkus aorta


Gambar 9. Mediastinal window potongan aksial setinggi arkus aorta
Gambar 9. Mediastinal window potongan aksial setinggi arkus aorta
(c) (c)pulmonal,
Arteri Arteri pulmonal, subcarinal
subcarinal space
space dan dan azygoesophageal
azygoesophageal recessrecess
(c) Arteri pulmonal, subcarinal space dan azygoesophageal recess

Gambar 10. Mediastinal window potongan aksial setinggi karina


Gambar 10. Mediastinal window potongan aksial setinggi karina

(c) Jantung dan mediastinum parakardiak


(d) Jantung dan mediastinum parakardiak

Gambar 11. 11.


Gambar Mediastinal
Mediastinalwindow potonganaksial
window potongan aksial setinggi
setinggi atrium
atrium

Anatomi790
segmen paru CT thorax Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019

(a). Apeks paru, setinggi trakea


Gambar 11.
Gambar 11. Mediastinal window potongan
Mediastinal window potongan aksial
aksialsetinggi
setinggiatrium
atrium
Pemeriksaan CT Scan Thorax
Anatomi segmen
natomi segmen paru
paru
Anatomi CT thorax
CT
segmen thorax
paru CT thorax
(a). Apeks paru, setinggi trakea
(a).Apeks
a). Apeksparu,
paru,setinggi
setinggi trakea
trakea

Gambar 12. Lung


Gambar windowpotongan
window
12. Lung aksial
potongan aksial setinggi
setinggi trakea
trakea
Gambar 12. Lung window potongan aksial setinggi trakea
b). Main stem
(b).bronchi (hilus)
Main stem bronchi (hilus)
). Main stem bronchi (hilus)

Gambar 13. Lung window potongan aksial setinggi karina


Gambar 13. Lung
Gambar windowpotongan
window
13. Lung aksial
potongan aksial setinggi
setinggi karinakarina


(c). dibawah hilus dan main stem bronchi
). dibawah hilus dan main stem bronchi

Gambar 14. Lung


Gambar windowpotongan
window
14. Lung aksial
potongan aksial dibawah
dibawah hilus hilus

Anatomi thorax
Pertemuandari
Ilmiah percabangan bronkus
Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 791
Gambar
Gambar 14.
14. Lung window potongan
Lung window potongan aksial
aksial dibawah
dibawah hilus
hilus
atomi
atomi thorax
thorax daridari percabangan
percabangan bronkus
Zen Ahmad, R.A. Linda A.
bronkus
Anatomi thorax dari percabangan bronkus

Gambar 14.
14. lung
GambarGambar
lung window
15.window
potongan
potongan
lung window
aksial
potonganaksial
yang menunjukkan
yangmenunjukkan
aksial yang menunjukkan percabangan
percabangan
percabangan
bronkus
bronkus bronkus

mi
mi limfonodus
limfonodus thorax
thorax
Anatomi limfonodus thorax

Gambar
Gambar 15.
15. mediastinal
Gambar window
16. mediastinal
mediastinal potongan
potongan
window potongan
window koronal
koronal
koronal dan
dan aksial
dan aksial aksial

Gambaran CT thorax pada kasus kelainan paru yang sering dijumpai


 Infeksi menunjukkan gambaran konsolidasi. Konsolidasi dapat lobaris,
difusa dan multifocal.

792 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Gambaran
GambaranCTCT thorax pada kasus
thorax pada kasuskelainan
kelainanparu
paru yang
yang sering
sering dijumpai
dijumpai
 Infeksi menunjukkan gambaran konsolidasi. Konsolidasi dapat lobaris,
Infeksi menunjukkan gambaran konsolidasi. Konsolidasi dapat lobaris, difusa difusa
Pemeriksaan CTdan
dan
Scan Thorax
multifocal.
multifocal.

Gambar 16. konsolidasi


Gambar lobus ataslobus
17. konsolidasi paruatas
kanan pada
paru infeksi
kanan padapneumonia
infeksi pneumonia
Gambar 16. konsolidasi lobus atas paru kanan pada infeksi pneumonia
 Tuberkulosis (TB)
 Tuberkulosis (TB)
 Tuberkulosis
Gambaran TB (TB)
paru pada CT bisa berupa konsolidasi, limfadenopati hilus dan
Gambaran
mediastinal,
Gambaran TB paru TB paru
tuberkuloma, pada
efusi
pada CT CT bisa
pleura,
bisa berupa
nodul konsolidasi,
kalsifikasi,
berupa limfadenopati
atelektasis
konsolidasi, dan kavitas hilus
limfadenopati hilus dan
dan mediastinal,
mediastinal, tuberkuloma,tuberkuloma,
efusi pleura, efusi
nodulpleura, nodulatelektasis
kalsifikasi, kalsifikasi,dan
atelektasis
kavitas
dan kavitas

Gambar 17. Gambaran TB aktif pada CT thorax. A. infeksi endobronkial aktif. B.


konsolidasi disertai kavitas multiple dan nodul sentrilobular multiple. C. konsolidasi
Gambar 18. Gambaran TB aktif pada CT thorax. A. infeksi endobronkial aktif. B.
Gambarkonsolidasi
17. Gambaran TB aktif
disertai kavitas pada
multiple danCT thorax.
nodul A. infeksi
sentrilobular endobronkial
multiple. aktif. B.
C. konsolidasi
konsolidasi disertai
segmental kavitas
di lobus atas.multiple danE. limfadenopati
D. TB milier. nodul sentrilobular
multiple.multiple.
F. empiemaC.thorax
konsolidasi
kanan. G. efusi pleura kiri

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 793


kanan. G. efusi pleura kiri

segmental di lobus atas. D. TB milier. E. limfadenopati multiple. F. empiema thorax


 Pembesaran
kanan.ZenG. efusilimfonodus
Ahmad, R.A. Linda A.
pleura kiri
Contrast-enhanced
 Pembesaran computed
limfonodustomography (CECT) sangat berguna untuk membedakan
fonodus dengan struktur vaskuler
Contrast-enhanced yang menyerupai limfonodus pada CT tanpa kontras.

 Pembesaran limfonodus computed tomography (CECT) sangat berguna untuk
yengatan ringan dapat terlihat
membedakan pada infeksi
limfonodus denganTB,struktur
infeksivaskuler
jamur, limfoma,
yanguntuk metastase kanker
menyerupai
Contrast-enhanced computed tomography (CECT) sangat berguna membedakan
u dan sarkoidosis. limfonodus Kalsifikasi
pada limfonodus
CT tanpa biasanya terjadi pada penyakitterlihat
granulomatosa
limfonodus dengan struktur vaskuler yangkontras.
menyerupaiPenyengatan
limfonodus ringan
padadapat
CT tanpa kontras.
erti TB, histoplasmosis,
Penyengatan pada infeksi
ringan dapat sarkoidosis,
TB, infeksi
terlihat silikosis
jamur,TB,
pada infeksi dan
limfoma, infeksi
infeksi nontuberculous
metastase
jamur, mycobacterial
kankermetastase
limfoma, paru dankanker .
mbesaran
paru dan limfonodus
sarkoidosis. yang merata
sarkoidosis. Kalsifikasi Kalsifikasi seringkali
limfonodus
limfonodus terlihat
biasanyabiasanya padapada
terjadi sarkoidosis.
terjadi pada Pada tumor dan
penyakit
penyakit granulomatosa
ses inflamasi biasanya
granulomatosa menunjukkan
seperti pembesaran
TB, limfonodus
histoplasmosis, yang
sarkoidosis,
seperti TB, histoplasmosis, sarkoidosis, silikosis dan infeksi nontuberculous mycobacterial konfluen
silikosis menyerupai
dan .
ssa yang besar.
Pembesaran infeksi nontuberculous mycobacterial . Pembesaran
limfonodus yang merata seringkali terlihat pada sarkoidosis. Pada tumor danlimfonodus yang
merata
proses inflamasi seringkali
biasanya terlihatpembesaran
menunjukkan pada sarkoidosis. Padayang
limfonodus tumor dan proses
konfluen menyerupai
inflamasi
massa yang besar. biasanya menunjukkan pembesaran limfonodus yang konfluen
menyerupai massa yang besar.

Gambar 18. Pembesaran limfonodus hilus pada sarkoidosis


Gambar
Gambar18.
19.Pembesaran
Pembesaranlimfonodus hiluspada
limfonodus hilus padasarkoidosis
sarkoidosis

 Limfoma
 Limfoma maligna
maligna
Gambaran Limfoma
 limfoma malignadapat berupa limfadenopati hilus atau mediastinum. Dapat
maligna
Gambaran limfoma maligna dapat berupa limfadenopati hilus atau mediastinum. Dapat
pula pula efusi
disertai Gambaran
disertai pleura
efusi limfoma
dan
pleura maligna
danefusi
efusi dapat berupa limfadenopati hilus atau
perikard.
perikard.
mediastinum. Dapat pula disertai efusi pleura dan efusi perikard.

Gambar 19. Massa mediastinum anterior ec. Limfoma disertai adenopati paratrakeal
GambarGambar
19. Massa mediastinum
20. Massa anterior
mediastinum anteriorec. Limfoma
ec. Limfoma disertai
disertai adenopati
adenopati paratrakeal
paratrakeal
 Keganasan
CT sangat
794 diperlukan untuk menentukanPertemuan
 Keganasan stadiumIlmiah
kanker paru.
Nasional XVIISquamous cell2019
PAPDI - Surabaya carcinoma
CT sangat diperlukan untuk menentukan stadium kanker paru. Squamous cell carcinoma
Pemeriksaan CT Scan Thorax

 Keganasan
CT sangat diperlukan untuk menentukan stadium kanker paru. Squamous
cell carcinoma (SCC) dan small cell carcinoma biasanya menunjukkan
(SCC) dan small
lesi sentral. SCCcellsentral
carcinoma biasanya menyebabkan
seringkali menunjukkan lesiparu-paru
sentral. SCC sentraldan
kolaps
seringkali menyebabkan paru-paru kolaps dan obstructive pneumonitis.
(SCC) dan small cell carcinoma biasanya menunjukkan lesi sentral. SCC sentral
obstructive pneumonitis.
seringkali menyebabkan paru-paru kolaps dan obstructive pneumonitis.
(SCC) dan small cell carcinoma biasanya menunjukkan lesi sentral. SCC sentral
seringkali menyebabkan paru-paru kolaps dan obstructive pneumonitis.

Gambar
Gambar 20. Massa
21. Massa mediastinumanterior
mediastinum anterior ec.
ec. Limfoma
Limfomadisertai
disertaiadenopati paratrakeal
adenopati paratrakeal
Gambar 20. Massa mediastinum anterior ec. Limfoma disertai adenopati paratrakeal

Gambar 20. Massa mediastinum anterior ec. Limfoma disertai adenopati paratrakeal

Gambar 21. Nodul paru yang ganas ditandai dengan adanya spikulasi dan pleural tail
Gambar 21. Nodul paru yang ganas ditandai dengan adanya spikulasi dan pleural tail
Gambar 22. Nodul paru yang ganas ditandai dengan adanya spikulasi dan pleural
 Penyakit paru intertisial
Gambar 21. Nodul paru yang ganas ditandai tail
dengan adanya spikulasi dan pleural tail
 Penyakit paru intertisial

Penyakit paru
  Penyakit intertisial
paru intertisial

Gambar 22. Idiopathic Pulmonary Fibrosis (IPF). HRCT menunjukkan opasitas retikuler basal
dan perifer
Gambar 22. dengan gambaran
Idiopathic sarang
Pulmonary tawon(IPF).
Fibrosis dan traction bronchiectasis.opasitas retikuler basal
HRCT menunjukkan
danGambar
perifer dengan gambaran Pulmonary
22. Idiopathic sarang tawonFibrosis
dan traction bronchiectasis.
(IPF). HRCT menunjukkan opasitas
Gambar 22. Idiopathic
retikuler Pulmonary
basal Fibrosis
dan perifer (IPF). HRCT
dengan gambaranmenunjukkan opasitasdan
sarang tawon retikuler basal
traction
dan perifer dengan gambaran sarang tawon dan traction bronchiectasis.
bronchiectasis.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 795


Zen Ahmad, R.A. Linda A.

Kesimpulan
CT scan thorax merupakan modalitas pemeriksaan yang sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis kelainan pada thorax karena dapat memberikan
gambaran rekonstruksi anatomi thorax tiga dimensi. Pengetahuan antomi
normal dan pemahaman klinis tentang pasien akan membantu seorang
internis menginterpretasi hasil CT tersebut, tentunya tetap membutuhkan
bimbingan dan dukungan dari radiologist thorax yang berpengalaman untuk
meyakinkan patologi yang diidentifikasi pada CT thorax tersebut.

Daftar Pustaka
1. Whiteing P, Singatullina N, Rosser JH. Computed tomography of the chest: Basic
principles. BJA Education. 2015; 15 (6): 299–304
2. Hofer M. CT teaching manual. A systematic approach to CT reading. Mathias Hofer.
Thieme. p.74-100, 168
3. Bhalla AS, Goyal A, Guleria R, Gupta AK. Chest tuberculosis: Radiological review
and imaging recommendations. Indian Journal of Radiology and Imaging. 2015;
25(3): 213-225
4. Salvatore MM, Go RC. Pernia MA. Chest CT for Non-Radiologists. A Practical Guide.
Springer International Publishing AG, part of Springer Nature 2018. p.87-129
5. Raju S, Ghosh S, Mehta AC.Chest CT Signs in Pulmonary Disease A Pictorial Review.
CHEST 2017; 151(6):1356-1374
6. Verschakelen JA, Wever WD. Computed Tomography of the Lung. A Pattern
Approach. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2nd. 2018.p.33-80

796 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?
Rizka Humardewayanti Asdie
Divisi Penyakit Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr Sardjito - Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Pendahuluan
Manifestasi klinis infeksi TORCH ini pada imunokompeten sering kali
asimtomatik, jika dengan gejala, biasanya ringan. Akan tetapi jika pada
pasien dengan imunokompromais bisa mengakibatkan sakit yang berat
bahkan dapat fatal serta jika infeksi ini terjadi saat hamil dapat menyebabkan
kematian janin dan neonatal dan merupakan kontributor penting morbiditas
dini dan masa kanak kanak. Konsep asli dari infeksi perinatal TORCH adalah
mengelompokkan lima infeksi dengan presentasi yang serupa, termasuk ruam
dan temuan okular. Kelima infeksi ini adalah: Toksoplasmosis, Lainnya (sifilis),
Rubella, Sitomegalovirus (CMV) dan virus herpes simpleks (HSV). Namun
saat ini diketahui penyebab lain infeksi dalam rahim, sehingga memperluas
katagori “others”, seperti enterovirus, virus varicella zoster, dan parvovirus
B191. Dalam praktek sehari hari sering kita dihadapkan pasien yang ingin
berkonsultasi tentang hasil laboratorium TORCH dan sering kali ditanya
apa perlu diobati?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis mencoba
merangkum dari berbagai sumber tentang kapan infeksi Toxoplasmosis,
Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes simpleks diobati.

Toxoplasma
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii2,3. Toxoplasma gondii ditemukan oleh Nicola dan Manceaux
pada tahun 1908 pada limfe dan hati Ctenodactylus gondii di Tunisia Africa
dan kelinci di Brazil4. Toxoplamosis tersebar di seluruh dunia dan menginfeksi
lebih dari 50% populasi manusia di dunia. Sekitar 10-15% penduduk AS
menunjukkan hasil yang positif secara serologis saat check-up. Seropositif
pada pasien AIDS HIV diperkirakan 10–45%2,3. Hasil check-up IgM dan IgG
anti Toxoplasma di Indonesia, pada manusia sekitar 2–63%, kucing 35–73%,
babi 11–36%, kambing 11–61%, anjing 75% dan binatang peliharaan lain <
10%2.

Manusia dapat memperoleh toxoplasmosis saat mengkonsumsi olahan


dari binatang yang terinfeksi oocyst dan tidak dimasak dengan matang,
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 797
Rizka Humardewayanti Asdie

makanan yang mengandung bradyzoite, kontak dengan kotoran kucing


yang mengandung oocyst atau secara vertikal penyebaran hematogen dari
plasenta3,6,7. Orang imunokompeten dengan infeksi primer biasanya tidak
menunjukkan gejala, tetapi infeksi laten dapat bertahan selamanya pada
inangnya. Namun, ada risiko aktif kembali infeksi di lain waktu seandainya
individu menjadi imunokompromais, bahkan jika infeksi asimptomatik atau
hanya gejala ringan pada awalnya. Felines adalah satu-satunya hewan di mana
T. gondii dapat menyelesaikan siklus reproduksinya1.

Toxoplasmosis dapat menyebabkan infeksi akut atau kronik. Infeksi


akut dikaitkan dengan bentuk proliferatif tachyzoite, sedang kronis dikaitkan
dengan bentuk kista jaringan. Selama proses akut, tachyzoite menginvasi
semua sel pada tubuh kecuali sel yang tidak mengandung nukleus seperti
eritrosit56. Tachyzoite masuk ke dalam sel penjamu melalui penetrasi aktif
atau dengan fagositosis. Parasit menempel pada sel target melalui micronema,
enzim dilepaskan oleh rhoptries untuk memproduksi vakuola parasitophorus
dan dense granules mensekresi enzim untuk mematangkan vakuola
menjadi kompartemen yang aktif. Toxoplasma membelah diri intraseluler
mengganggu sel penjamu. Parasit yang bebas akan menginvasi dan merusak
sel yang berdekatan, menyebabkan lesi fokal yang besar. Jika infeksi terjadi
pada penjamu yang hamil, tachyzoites dapat menembus plasenta dan
menyebabkan kelainan kongenital yang berat seperti hidrosefalus, kalsifikasi,
gangguan neurologis dan chorioretinitis, yang dapat rekuren6,7. Diagnosis
toksoplasmosis dapat ditegakkan melalui serangkaian tes seperti serologi,
PCR, pemeriksaan histologis parasit (imunoperoksidase) dan isolasi parasit7,8.
Untuk kepentingan klinis, toxoplasmosis dibagi menjadi 5 katagori yaitu (1)
toxoplasmosis pada pasien imunokompeten, (2) toxoplasmosis okuler (3)
toxoplasmosis pada kehamilan (4) toxoplasmosis pada imunokompromais
dan dan (5) congenital toxoplasmosis7. Pada kesempatan ini hanya akan
dibahas toxoplasmosis pada imunokompeten, toxoplasmosis okuler dan
toxoplasmosis pada kehamilan.

1) Toxoplasmosis pada pasien immunokompeten


Hanya 10–20% toxoplasma pada anak dan dewasa yang bergejala2. Jika
bergejala sering kali gejalanya ringan dan tidak spesifik seperti demam,
pembesaran kelenjar getah bening, myalgia, leher kaku, nyeri telan atau
nyeri perut6,9. Pemeriksaan serologi IgM dan IgG dilakukan pertama
kali jika curiga toxoplasmosis. Serologi diulang setelah 3-4 minggu dari
pemeriksaan pertama. Hasil IgM dan IgG negatif dapat menyingkirkan

798 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

diagnosis toxoplasmosis. Infeksi akut jika terjadi kenaikan 4 kali lipat


dari nilai baseline. Pemeriksaan panel seperti Toxoplasma Serological
Profile (TSP) atau aviditas IgG digunakan untuk membedakan apakah
infeksinya terjadi akut atau kronik9.

Terapi tidak diperlukan pada kasus asimtomatik kecuali pada anak < 5
tahun2,7. Hanya pasien imunokompeten yang menunjukkan gejala yang
diterapi. Pyrimethamine diberikan 100 mg loading dose, selanjutnya
25–50 mg / hari, dikombinasi dengan sulfadiazine 2–4 g / hari dibagi
dalam 4 kali / hari selama 2–3 hari atau dapat pula dikombinasi dengan
clindamycin 300 mg 4 kali / hari selama 6 minggu. Sulfadiazine dan
clindamycin dapat diganti dengan azithromycin 500 mg / hari atau 750
mg atovaquone 2 kali / hari. Alternatif lain dapat diberikan Trimethoprim
(TMP) 10 mg / kg / hari, sulfamethoxazole (SMX) 50 mg / kg / hari selama
4 minggu. Kalsium leucovorin (asam folinat, 10 hingga 25 mg setiap hari)
harus diberikan kepada semua pasien yang menerima Pyrimethamine 10.

2. Toxoplasma okuler
Toxoplasma okuler merupakan penyebab tersering dari uveitis posterior
di seluruh dunia, tetapi insidensi dan prevalensinya sulit ditentukan
dengan tepat. Secara klasik, retinochoroiditis sekunder akibat
toxoplasma didapat, dianggap sebagai kejadian yang luar biasa pada
pasien dengan immnunokompeten dan biasanya didefinisikan sebagai
periode reaktivasi kista laten yang dikaitkan dengan infeksi kongenital
yang tidak terdiagnosis. Tetapi data terakhir berdasar pemeriksaan
mata, pada beberapa kasus merupakan infeksi baru11.

Diagnosis dari toxoplasma okuler didasarkan pada pemeriksaan mata


yang memperlihatkan unilateral, dengan lesi focus bulat, batas kabur
berwarna keputihan, dikelilingi oleh edema retina (gambar 1). Sel-sel
ditemukan di vitreous, terutama di atasnya lesi yang aktif. Di daerah
sekitar retinitis aktif, dapat terlihat adanya perdarahan, serta pelapisan
pembuluh darah retina. Penemuan bekas luka retinochoroidal berpigmen
dari retinitis yang membaik dapat juga memfasilitasi diagnosis.
Toxoplasma okuler juga dikonfirmasi oleh respon klinis terhadap terapi
spesifik. Namun, diagnosis dan pengobatan dapat ditunda pada pasien
dengan lesi atipikal atau pasien yang menunjukkan respon yang tidak
memadai terhadap terapi khusus toxoplasma, pada pasien lanjut usia
atau pasien yang mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh11,12.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 799


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 1. Retinitis Toxoplasma12


(a) lesi aktif, (b dan d) jaringan parut (scar), (c) lesi aktif dan scar

Tidak ada konsensus tentang pengobatan retinochoroiditis. Sebagian para


ahli hanya akan mengobati pasien yang lesinya dekat dengan makula atau saraf
optik dan ketika ada hyalitis dengan gangguan ketajaman mata. Pasien yang
tidak diterapi akan diperiksa secara teratur. Ahli lain akan memperlakukan
semua lesi dimanapun lokasinya dengan Pyrimethamine / azithromycin yang
direkomendasikan lebih dapat ditolerir dan memiliki kepatuhan yang lebih
baik daripada pyrimethamine yang terkait dengan sulfadiazin. Kortikosteroid
(prednison 0,5 - 1 mg / kg / hari) secara konstan diberikan selama beberapa
minggu, kecuali untuk pasien dengan gangguan imun. Pyrimethamine pada
orang dewasa digunakan pada 100 mg / hari selama beberapa hari kemudian
menurun pada 50 mg / hari. Ini harus dikombinasi dengan sulfadiazine pada
75mg / kg / hari dibagi dalam 4 dosis atau lebih baik dengan azithromycin
250 mg / hari. Lama pengobatan 3 hingga 6 minggu, kadang-kadang lebih,
tergantung pada ukuran awal lesi. Pada pasien yang tidak toleran terhadap
pengobatan, klindamisin pada 450-600 m /hari data diberikan. Asam folinic
15 mg diberikan setiap 3 hari11, 12.

(3) Toxoplasmosis dalam kehamilan


Kebanyakan wanita hamil dengan infeksi akut yang didapat tidak
mengalami gejala spesifik. Hanya beberapa yang mengalami gejala
lemas, demam, dan limfadenopati. Transmisi vertikal ke janin meningkat
800 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
TORCH Kapan di Terapi?

sejalan dengan meningkatnya usia kehamilan . Algoritma tatalaksana


13

toxoplasma dalam kehamilan dapat dilihat pada gambar 2 , 3 dan 4


dibawah ini.

Spiramycin merupakan obat pilihan toxoplasmosis maternal, dengan


dosis 3 g / hari PO dibagi dalam 2-4 kali /hari selama 3 minggu,
berhenti 2 minggu, diulang siklusnya hingga 5 kali selama kehamilan.
Jika PCR positive dari cairan amnion regimen harus diganti dengan
pyrimethamine 50 mg / hari dan sulfadiazine 3 g / hari dibagi dalam
2-3 dosis selama 3 minggu diselingi dengan pemberian spiramycine 1
g 3 kali / hari selama 3 minggu atau dapat diberikan pyrimethamine 25
mg / hari dan sulfadiazine 4 g / hari dalam dosis terbagi 2-4 kali / hari
diberikan sampai melahirkan7,10.

Gambar 2, Evaluasi Toxoplasma Antenatal14

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 801


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 3. Alur Diagnosis dan Manajemen Toxoplasmosis Maternal14

802 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Gambar 4. Alur Diagnosis dan Manajemen Toxoplasmosis Maternal (2)14

Rubella
Virus Rubella merupakan virus paling teratogenik yang diketahui. Jika
infeksi primer rubella terjadi selama kehamilan virus dapat melewati plasenta
dan menginduksi infeksi pada janin, tergantung pada usia kehamilan. Triad
gejala klasik dari infeksi kongenital rubella meliputi katarak, gangguan
jantung dan tuli sensori neural, meski demikian kelainan organ lainnya dapat
pula terjadi15. Meski rubella sering terjadi pada anak anak (3-10 tahun), lebih

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 803


Rizka Humardewayanti Asdie

dari 70% kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun dan pada usia reproduksi.
Rubella tersebar di seluruh dunia dan cenderung epidemic pada non imun
setiap 4-9 tahun. Virus ini dapat diisolasi tahun 1962. Vaksin attenuated
dikembangkan pada tahun 1967 dan komersial sejak tahun 196915.

Pada wanita non hamil, rubella biasanya merupakan infeksi ringan


yang ditandai dengan ruam yang sembuh sendiri. Presentasi klinisnya tidak
spesifik. Penyakit lain juga dapat memberi manifestasi ruam16. Diagnosis
bandingnya termasuk parvovirus B-19, enterovirus, measles dan beberapa
infeksi arbovirus (dengue, chikungunya, west nile dan zika)16. Masa inkubasi
rubella adalah 12-23 hari. Masa infeksius dimulai dari 7 hari sebelum
hingga 5-7 hari ruam muncul. Meski rubella adalah asimtomatik pada 25-
50% kasus, pada beberapa orang dapat menimbulkan gejala demam yang
tidak tinggi, konjungtivits, nyeri tenggorok, coryza, nyeri kepala, malaise
dan limfadenopati15,16. Gejala prodoromal ini akan muncul 1-5 hari sebelum
muncul ruam kulit. Munculnya ruam dimulai dari wajah, menyebar ke tubuh
dan ekstremitas, dan akan menghilang dalam waktu 3 hari dengan cara
yang sama munculnya ruam (dari wajah dulu baru kemudian tubuh)16. Poli
artritis dan poli artralgia dapat berkembang 1 minggu setelah munculnya
rash terutama pada remaja dan wanita dewasa (60-70%), yang secara
klasik mengenai bilateral dari tangan, lutut, pergelangan tangan, dan sendi
pergelangan kaki. Manifestasi lain meskipun jarang termasuk tenosinovitis,
sindroma carpal tunnel, trombositopenia, ensefalitis post infeksi, myocarditis,
hepatitis, anemia hemolitik dan sindroma hemolitik uremia16.

Wanita hamil non imun dapat terkena infeksi secara langsung melalui
droplet hidung dan tenggorok jika kontak dengan kasus rubella. Dapat pula
didapatkan riwayat kontak pada anak/dewasa dengan demam dan ruam15.
Risiko terjadinya sindroma rubella kongenital setelah infeksi maternal
terbatas pada 16 minggu pertama kehamilan. Risiko sindroma tersebut 65-
85% pada usia kehamilan 2 bulan pertama dan menurun hingga 30-35% dan
satu keterlibatan organ (tuli atau kelainan jantung bawaan) untuk infeksi pada
bulan ketiga kehamilan, dan hanya 10% pada bulan keempat kehamilan16.

Diagnosis infeksi rubella akut pada kehamilan sangat sulit. Ruam tidak
terlalu spesifik atau jelas, dan sebagian besar kasus adalah subklinis. Oleh
karena itu, adanya serokonversi dan adanya titer IgM yang tinggi adalah
modal utama diagnosis rubella akut pada kehamilan. Jika seorang wanita
telah terpapar atau kontak dengan kasus rubella atau jika curiga infeksi

804 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

rubella karena ada ruam atau demam, serologi - terutama dengan sampel
berpasangan pada waktu akut dan konvalesen - dapat mendiagnosis infeksi
akut jika ada seokonversi15. Tes serologis yang sangat banyak digunakan
adalah uji inhibisi hemaglutinasi (HI) yang dikembangkan pada tahun 1966.
Dua sampel darah - pertama dalam 5 hari setelah paparan atau timbulnya
penyakit dan 2 minggu kemudian - harus diperiksa. Peningkatan empat kali
lipat antibodi HI dalam serum berpasangan ini atau adanya IgM dalam sampel
serum tunggal merupakan diagnostik dari infeksi rubella akut. Tes serologis
yang lebih sensitif adalah tes dengan enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan uji radio-immuno assay15. Serologi elisa mengukur antibodi Ig M
dan IgG anti rubella tersedia secara luas. Aviditas IgG membantu membedakan
infeksi primer atau infeksi berulang. Aviditas IgG rendah menandakan infeksi
saat ini, aviditas tinggi menunjuukan infeksi lampau atau imunisasi. NAAT
dan PCR berguna untuk mengkonfirmasi infeksi rubella jika hasil tes IgM
menunjukkan ekuifokal serta untuk kepentingan surveilance genotyping.
Diagnosis definitif adalah isolasi virus dari tenggorokan atau darah16.

Adapun diagnosis curiga infeksi rubella pada maternal terlihat pada


gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5. Diagnosis Kecurigaan Infeksi Rubella Pada Maternal16

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 805


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 6. Alogaritma Evaluasi Serologis Wanita Hamil yang Terpapar Rubella17

Infeksi rubella didefinisikan sebagai berikut 16:


1. Terdapat kenaikan 4x lipat antibodi rubella antara fase akut dan
konvalesen
2. Serokonversi IgG spesifik rubella
3. IgM anti rubella positif dan aviditas IgG rubella rendah
4. Kultur atau PCR rubella positif.

Sedang menurut definisi dari CDC, suspect rubella jika ada demam dengan
ruam yang tidak memenuhi kriteria probable atau confirmed rubella. Probable
rubella dengan kriteria ruam makulopapuler akut, dengan suhu > 37,20C dan
atralgia, artritis, limfadenopati atau konjungtivitis dan tidak memiliki sarana
laboratorium untuk mengkonfimasi kasus rubella dan tidak ada pemeriksaan
virologi atau serologi rubella. Sedang confirmed rubella jika ada kasus dengan
atau tanpa gejala tetapi secara laboratorium menunjukkan infeksi rubella
seperti isolasi virus rubella positif, atau, PCR rubella positif atau ada kenaikan
titer antibodi imunoglobulin rubella serum fase akut dan konvalesen dengan
serologi assay standar atau serologi positif Ig M rubella, tidak dijelaskan
pengaruh vaksinasi MMR 6-45 hari sebelumnya dan tidak disebutkan

806 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

laboratorium standar) ATAU penyakit yang ditandai dengan semua dari


ruam makulopapular akut dan suhu lebih dari 37,20C dan artralgia, artritis,
limfadenopati atau konjungtivits dan secara epidemiologi berkaitan dengan
kasus yang terkonfirmasi rubella17.

Waktu tes untuk mendiagnosis rubella sangatlah penting. Uji serologi


sangat bagus dilakukan dalam waktu 7-10 hari setelah onset ruam dan harus
diulang 2-3 minggu berikutnya (akut dan konvalesen) 16.

Terapi infeksi akut rubella bersifat suportif. Prognosis umunya baik16.


Tatalaksana wanita hamil yang terkena harus bersifat individual dan
tergantung pada kapan infeksi terjadi pada wanita hamil serta imunitas
rubella seperti yang terlihat pada gambar 5. Pencegahan dengan vaksin MMR
atau MMRV. Dua dosis vaksin MMR direkomendasikan untuk individu > 12
bulan Pada anak dosis pertama diberikan usia 12-15 bulan, dan dosis kedua
pada usia 4-6 tahun. Vaksin MMRV diberikan juga 2 dosis pada anak 12 bulan
– 12 tahun17.

Herpes Simpleks Virus


Herpes simpleks virus (HSV) merupakan virus double-stranded DNA
yang merupakan bagian dari subfamily alpha herpesviridae. Herpes berasal
dari bahasa Yunani kuno yang berarti merayap atau merangkak. HSV terdiri
dari 2 tipe yaitu HSV1 dan HSV2, yang dibedakan dari antigen pada protein
envelope-nya, dan merupakan virus patogen pada manusia. Infeksi ini
terdapat di seluruh dunia dan tidak mengenal musim, dan secara alamiah
hanya menginfeksi manusia, dan jarang berakibat fatal. Untuk terjadinya
infeksi maka harus ada kontak dengan permukaan mukosa atau kulit lecet.
Manifestasi infeksi HSV sangat tergantung status imun pasien11.

HSV1 ditransmisikan melalui sekresi oral dan secara tipikal menginfeksi


permukaan skuamosa dari bibir dan mulut. Banyak infeksi primer yang
tidak menimbulkan gejala tetapi pada beberapa orang bermanifes sebagai
ginggivostomatitis11,18, bahkan dapat bermanifes sebagai herpes gladiatorum
atau herpes whitlow12. HSV1 dapat bermigrasi melalui serabut syaraf sensoris
ke ganglion nervus kranialis trigeminalis di otak dan menjadi dormant di nuklei
neuron. HSV1 dapat mengalami reaktivasi dari bentuk latent dan kemudian
bermigrasi turun secara retrograde melalui axon neurosensory cabang
syaraf mandibula kembali ke mulut dan bibir. Virus juga dapat bermigrasi ke
cabang ophthalmicus menyebabkan herpetik di kulit periorbital atau kornea.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 807


Rizka Humardewayanti Asdie

Kebanyakan infeksi rekuren ini asimtomatik atau menyebabkan vesikel yang


menyebabkan masalah kosmetik saja. Sedang pada pasien dengan gangguan
imunitas yang dimediasi seluler yang berat (seperti AIDS atau transplan)
dapat menyebabkan nekrosis lokal atau menyebar ke organ viseral11,19.

Infeksi HSV2 biasanya ditemukan pada permukaan skuamosa anogenital.


Selama kontak seksual virus secara langsung dapat ditransmisikan dari
sel epitelial yang terinfeksi dari satu partner ke partner lainnya. Setelah
resolusi dari lesi herpes genital primer, HSV2 bermigrasi dan membentuk
latensi pada ganglia neuron sacral. Reaktivasi dari bentuk dormant ini akan
menyebabkan lesi rekuren dari permukaan epitelial mukokutaneus. Pada
pasien dengan imunokompromais sering mengalami rekurensi dan lebih
berat manifestasinya11,19.

Meski demikian HSV1 dan HSV2 dapat mengenai sistem syaraf pusat,
dan meski diterapi dengan asiklovir, infeksi ini sering berakibat fatal dan
dikaitkan dengan gejala sisa. Ensefalitis HSV biasanya akibat reaktivasi HSV1
laten yang menyerang melalui nervus kranialis trigeminalis atau olfactory
langsung ke jaringan cortex cerebri lobus frontalis atau temporalis. Replikasi
virus terjadi secara cepat dan menimbulkan lesi nekrosis dari struktur
otak. Ensefalitis HSV ini bersifat sporadik. Kurang lebih 5-10% dari infeksi
genital HSV2 primer dapat disertai meningitis akut yang bersifat sementara.
Kaku kuduk, nyeri kepala dan disfungsi otonom dengan retensi urin dapat
berkembang dalam beberapa hari setelah vesikel genital pertama. Iritasi
meningeal herpes menyebabkan pleositosis limfositik dan kenaikan ringan
protein cairan serebrospinal. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa
meski tidak diobati19.

Sedang infeksi HSV pada wanita hamil dapat dilihat pada gambar 7 dan 8.

808 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Gambar 7. Risiko Transmisi Vertikal HSV Pada Kehamilan16,21

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 809


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 8. Manajemen HSV Genital Pada Kehamilan16,21

Keputusan menerapi tidak dapat menunggu hasil uji serologis11. Adapun


indikasi terapi asiklovir diantara pasien dengan infeksi herpes simpleks
terangkum pada tabel di bawah ini.

810 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Tabel 1. Indikasi Terapi Acyclovir Diantara Pasien dengan Infeksi Herpes Simplex
Virus20
Tipe infeksi Rute dan dosis* Komentar
HSV Genital
Episode awal
Aciclovir 5 x 200 mg p.o. selama 7–10 hari Rute untuk penjamu
normal
5 mg/kg BB i.v. setiap 8 jam selama 5-7 hari Untuk kasus berat
3x 400 mg p.o.
Valaciclovir 2x 1 g p.o. selama 7–10 hari
Famciclovir 3 x 250 mg p.o. selama 5–10 hari
Episode berulang
Aciclovir 2 x 400 mg p.o selama 5 hari Keuntungan klinis
terbatas
Valaciclovir 2 x 500 mg p.o. selama 5 hari
Famciclovir 2 x 125–250 mg p.o. selama 5 hari
Suppresi
Aciclovir 2 x 400 mg p.o Titrasi dosis diperlukan
Valaciclovir 1 x 500 atau 1000 mg p.o.
Famciclovir 2 x 250 mg p.o.
HSV Mukokutan pada pasien imunokompromais
Aciclovir 5x 200–400 mg p.o. selama 10 hari Untuk lesi minor
5 mg/kg BB i.v. setiap 8 jam selama 7-14 hari
5 x 400 mg p.o. selama 7–14 hari
Valaciclovir 2 x 500 mg p.o.
Famciclovir 3 x 250 mg p.o.
HSV encephalitis
Aciclovir 10–15 mg/kg BB i.v. setiap 8 jam selama 14–21 hari
HSV Neonatal
Aciclovir 20 mg/kg BB i.v. setiap 8 jam selama 14–21 hari
*Dosis untuk dewasa dengan fungsi ginjal baik, HSV=herpes simplex virus

Cytomegalovirus
Cytomegalovirus (CMV) adalah virus DNA, merupakan virus yang tumbuh
lambat, berdiameter 200 nm dan merupakan virus terbesar dari family
betaherpesviridae. CMV dapat menginfeksi pada manusia dan binatang. Virus
HCMV (Human cytomegalovirus) hanya menginfeksi manusia. Karena labilitas
HCMV terhadap factor lingkungan, kontak erat dipercayai sebagai sumber
penularan horizontal. Sumber virus termasuk sekresi orofaring, urine, sekresi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 811


Rizka Humardewayanti Asdie

vagina dan serviks, cairan sperma, air susu dan darah. Penyebaran vertical
diperoleh secara transplasenta. Selain itu ada pula rute infeksi yang penting
yaitu iatrogenic transplantasi organ padat (TOP) dan transplantasi sumsum
tulang (TST) serta transfusi darah11.22.

Infeksi CMV pada manusia pertama kali dicatat oleh Ribbert pada tahun
1881, dan pada tahun 1920 Goodpasture dan Talbot mempostulasikan sel
yang bengkak atau cytomegalia jika sel terinfeksi virus ini23. Tahun 1960
Weller menamai dengan Cytomegalovirus. Nama “Cytomegalo” mengacu pada
ciri khas pembesaran sel yang terinfeksi virus, di dalam nukleusnya, dijumpai
inclusion bodies, dan membesar berbentuk menyerupai mata burung hantu
(owl’s eye) 23 (gambar 9).

Gambar 9. Sel Paru Terinfeksi Cytomegalovirus24

Masa inkubasi pada infeksi primer adalah 6-8 minggu, fase reaktivasi 5-6
minggu. Setelah infeksi virus akan tetap ada di organisme penjamu sepanjang
hidupnya. Reaktivasi dapat terjadi pada imunokompromais. Satu hingga dua
prosen bayi baru lahir terinfeksi CMV, 10-40% anak-anak terinfeksi, 50-90%
populasi dewasa seropositive CMV. Terdapat 3 puncak usia untuk infeksi CMV
didapat: infant dan awal anak anak, remaja muda dan usia reproduksi22.

Infeksi HCMV pada manusia dapat latent dan tidak produktif, produktif
tetapi asimtomatik dan produktif dan simtomatik. Respon imun termasuk
kematangan respon imun merupakan faktor utama untuk mengontrol virulensi
virus ini. Penyakit HCMV hanya terbatas pada penjamu imunocompromais,
kecuali untuk mononucleosis-like illness dapat berkembang pada beberapa
pasien, CMV sangat jarang menyebabkan penyakit pada imunokompeten21.
Risiko penyakit karena CMV adalah pasien imunokompromais sekunder

812 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

termasuk TOP dan TST dan AIDS maupun imunodefisiensi seluler atau
kombinasi primer11,22. Pada kesempatan kali ini hanya akan dibahas Retinitis
CMV pada Non HIV dan Retinitis pada pasien transplan, sedang pada HIV telah
dibahas oleh pembicara lainnya.

Retinitis CMV pada Non HIV


Manifestasi klinis dari retinitis CMV akibat dari nekrosis yang dapat
menghancurkan seluruh retina dalam 3-6 bulan, biasanya unilateral tetapi jika
tidak diobati 50% menjadi bilateral. Gejala yang timbul adalah berkurangnya
penglihatan atau floaters (kilatan cahaya) dan skotomata. Diagnosis retinitis
CMV ditegakkan dari anamnesis, oftalmoskopi indirek oleh dokter mata
terlatih yang memberi gambaran khas untuk retinitis CMV adalah nekrosis
retina berkonfluens yang mengenai seluruh lapisan disertai perdarahan
(gambar 10) dan foto fundus, serta laboratorium: PCR CMV, antigenemia CMV
(sensitifitas 96% dan spesifitas 90%) dan CMV urin24.

A. Foto funduskopi mata kiri retinitis B. Retinitis dan perdarahan retina pada zona 2
pada zona 1
Gambar 10. Retinitis CMV26

Faktor risiko terjadinya retinitis CMV pada pasien non HIV dapat dilihat pada
tabel 2.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 813


Rizka Humardewayanti Asdie

Tabel 2. Kondisi pada Pasien Non HIV yang Dikaitkan dengan Retinitis CMV27

Alogaritma tatalaksana Retinitis CMV HIV negative dapat dilihat pada gambar
11.

814 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Gambar 11. Alogaritma Retinitis CMV Pada Pasien HIV Negative27

Infeksi CMV Pada Pasien Transplan


Terdapat 3 strategi dalam menatalaksana infeksi CMV pada pasien
transplan yaitu profilaksis, preemptive dan terapeutik. Pendekatan profilaksis
digunakan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti resipien TST alogenik dari
donor tidak sekeluarga dan pasien dengan terapi alemtuzumab. Obat antiviral
diberikan pada pasien tersebut tanpa adanya bukti reaktivasi CMV. Terapi
preemptive merupakan inisiasi terapi antiviral ketika terdapat bukti adanya
reaktivasi CMV di dalam darah, yang ditandai adanya antigen CMV pp65, DNA
atau mRNA CMV. Pendekatan terapi ini sering digunakan pada pasien dengan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 815


Rizka Humardewayanti Asdie

risiko sedang TST alogenik dan autolog. Batas nilai laboratorium untuk
memulai terapi berbeda pada setiap negara. Pasien yang didiagnosis adanya
organ target dari infeksi CMV, maka dosis terapi untuk CMV dianjurkan.
Sebagai terapi lini pertama, terapi gansiklovir intravena dengan dosis induksi
5 mg/kg setiap 12 jam selama 2-3 minggu diikuti dengan dosis rumatan 5 mg/
kg/rumatan. Durasi terapi tergantung pada keparahan penyakit dan resolusi
gejala dan tanda infeksi CMV. Terapi alternative lain dengan menggunakan
valgansiklovir dengan dosis induksi 900 mg dua kali sehari. Untuk pasien
yang tidak toleran terhadap gansiklovir atau valgansiklovir dapat diberikan
foscarnet dengan dosis 90 mg/kg setiap 12 jam. Untuk pasien yang intoleran
terhadap gansiklovir dan foscarnet dapat dipertimbangkan terapi lini 3
yaitu cidofovir dan maribavir28. Terapi infeksi CMV dengan target organ, fase
induksi diberikan lebih lama yaitu 3-4 minggu29.

Cytomegalovirus pada Kehamilan


Cytomegalovirus (CMV), merupakan virus penyebab infeksi kongenital
yang tersering, mengenai 0.2-2.2 % kelahiran hidup, menyebabkan
morbiditas yang bermakna terutama pada janin yang bergejala pada masa
neonatusnya. CMV menyebabkan tuli syaraf non genetik dan menyebabkan
ketidakmampuan neurologis utama. Sekitar 10-15% nenonatus dengan CMV
kongenital akan bergejala pada saat lahir dengan jumlah yang sama masalah
perkembangannya pada masa anak anak30.

Kebanyakan orang sehat yang terkena infeksi CMV setelah lahir akan
mengalami sedikit atau bahkan tidak mengalami gejala dan tidak ada gejala
sisa. Beberapa mengalami sindroma infeksi mononucleosis dengan gejala
lemas, demam persisten, myalgia, limfadenopati, dan pneumonia (jarang).
Setelah infeksi primer, didefinisikan sebagai infeksi CMV pada orang yang
sebelumnya seronegatif, virus akan dorman dan berada pada status laten,
dimana dapat mengalami reaktivasi (disebut dengan infeksi berulang atau
infeksi sekunder). Terdapat beberapa strain yang dapat menginfeksi manusia,
sehingga reinfeksi dapat terjadi meskipun pada imunokompeten. Sehingga
infeksi sekunder didefinisikan sebagai ekskresi virus intermiten pada individu
dengan imunitas, dapat disebabkan karena reaktivasi endogen maupun
terpapar virus dengan strain baru. Perbedaan keduanya tidak mungkin
dibuktikan secara serologis, tetapi dengan analisis molekuler dari isolat virus.
Serokonversi terjadi pada 1-4% dari semua kehamilan dan tinggi pada wanita
dengan status sosial ekonomi yang rendah atau dengan kebersihan yang
rendah31.

816 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Transmisi ke janin dapat terjadi selama kehamilam melalui rute


transplasenta, selama proses kelahiran akibat kontak dengan cairan sekresi
cervicovaginalis dan darah atau post natal melalui air susu. Transmisi lebih
sering akibat inteksi primer maternal, diikuti dengan reaktivasi atau infeksi
berulang dengan strain yang berbeda. Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi
primer memiliki risiko infeksi kongenital 30–40%, dan 13% dari mereka
akan bergejala saat lahir. Sedang pada infeksi berulang CMV saat hamil, risiko
infeksi kongenital 1-2%30 (gambar 12).

Gambar 12. Risiko Perkiraan Transmisi Ke Janin14

Langkah pertama untuk mendiagnosis CMV kongenital prenatal adalah


menentukan infeksi maternal primer atau sekunder dengan tes serologi
(gambar 13). Wanita yang terbukti terinfeksi CMV, langkah berikutnya adalah
mengidentifikasi janin terinfeksi atau tidak dengan uji prenatal non invasif
(USG) atau invasif (amniosintesis)31 seperti pada gambar 14.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 817


Rizka Humardewayanti Asdie

Gambar 13. Diagnosis CMV Pada Maternal14

818 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

Gambar 14. Manajemen Antenatal Maternal Dengan Infeksi Primer CMV14

Hingga saat ini lilihan terapi untuk terapi antenatal guna mencegah
infeksi janin setelah infeksi primer CMV pada kehamilan. Pilihan terapi untuk
infeksi CMV kongenital adalah konseling antenatal, diikuti dengan terminasi
kehamilan atau “wait and see”: dengan harapan luaran janin tidak berat32.
Terapi pada wanita imunokompromais non hamil adalah dengan antiviral

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 819


Rizka Humardewayanti Asdie

seperti ganciclovir, valganciclovir, cidofovir, foscarnet dan valaciclovir, tetapi


kesemuanya teratogenik dan toksik kecuali valaciclovir31.

Daftar Pustaka
1. Karen E Johnson (2014) in Leonard E Weisman, Morven S Edwards and Carrie
Armsby (editor). Overview of TORCH infections. www.uptodate.com ©2014
UpToDate
2. Hokelek M (2009). Toxoplasmosis. Available at: http://www.emedicine.medscape.
com/ article/229969. Accessed: August, 31, 2019
3. Nicolle C & Manceaux L. (1908). Sur une infection a corps de Leishman (ou
organismes voisins) du gondi. C R Seances Acad. Sci., 147: 763–766.
4. Yellita (2004). Mekanisme interaksi Toxoplasma gondii dengan sel host. Pengantar
falsafah sains Institut Pertanian Bogor, hal 1–12
5. Demar M, Ajzenberg D, Maubon D, Djossou F, Panchoe D, Punwasi D (2007). Fatal
outbreak of human Toxoplamosis along the mahoni river epidemiological, clinical,
and parasitological aspects. Clin Infect Dis, 45: e88–95.
6. Waree P (2008). Toxoplamosis pathogenesis and immune respone. Thammasat
Medical Journal, 8: 487–95.
7. Irma Yuliawati, I., Nasronudin (2015). Pathogenesis, Diagnostic And Management
of Toxoplasmosis. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease, Vol. 5. No.
4 January–April 2015: 100–106
8. Howard M Heller (2013) in Peter F Weller and Elinor L Baron (editor) Toxoplasmosis
in immunocompetent hosts. www.uptodate.com ©2013 UpToDate
9. Montoya JG (2002). Laboratory diagnosis of Toxoplasma gondii infection and
Toxoplamosis. J Infect Dis, 185: S73–82.
10. Becker J, Singh D, Sinert RH (2010). Toxoplasmosis. Available at: http://www.
emedicine.medscape.com/article/787505. Accessed on August 28, 2019.
11. Asdie, RH. Tatalaksana dan Evaluasi TORCH dalam Rudi Hidayat, Dyah Purnamasari
Sulistyaningsih, Evy Yunihastuti, Rudi Putranto, Andhika Rachman, Erni Juwita
Nelwan, Pringgodigdo Nugroho, Airef Mansjoer, Juverdy Kurniawan, Noto
Dwiartutir, Gurmeet Singh, Hasan. Kumpulan Naskah Pertemuah Ilmiah Nasional
XVI PB PAPDI tahun 2018. Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Hal. 787-814.
12. Dupouy-Camet, J., Talabani, H., Delair, E., Leslé, F., Year, H., and P. Brézin, A.P.,
Risk Factors, Pathogenesis and Diagnosis of Ocular Toxoplasmosis. Di unduh dari
http://dx.doi.org/10.5772/50267
13. Yamamoto JH, Vallochi AL, Silveira C, Filho JK, Nussenblatt RB, Neto EC (2000).
Discrimination between patients with acquired Toxoplamosis and congenital
Toxoplamosis on the basis of the immune response to parasite antigens. J Infect
Dis, 181: 2018–22.

820 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


TORCH Kapan di Terapi?

14. Palasanthiran, P., Starr, M., Jones, C., and Giles, M. (2014) Management of Perinatal
Infections. Australasian Society for Infectious Diseases.
15. Deepika, D., Rachna, R., Sarman, S., Roy KK, Neena, M. Diagnosis of acute rubella
infection during pregnancy. J Obstet Gynecol India Vol. 56, No. 1 : January/February
2006 Pg 44-46
16. SOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE No. 368-Rubella in Pregnancy No. 368,
December 2018 (Replaces No. 203, February 2008) J Obstet Gynaecol Can
2018;40(12):1646−56. https://doi.org/10.1016/j.jogc.2018.07.003
17. Lanzieri T., Redd S., Abernathy, E., Icenogie, J. Chapter 14 : Rubella. VPD Surveillance
Manual. CDC.
18. Arduino, P. G. and Porter, S. R. Oral and Perioral Herpes simplex virus type 1 (HSV-
1) Infection: review of its management. Oral diseases. 2006. 12: 254-70.
19. Costello, M. M. T., Sabatini, L. and Yungbluth, P. Herpes Simplex Virus Infections
and Current Methods for Laboratory Detection. Clinical Microbiology Newsletter.
2006. 28: 24: 185-91.
20. Whitley, R. J. and Roizman, B. Herpes simplex virus infections. The Lancet. 2001.
357: 1513-18.
21. South Australian Perinatal Practice Guideline: Clinical Guideline Herpes Simplex
Virus (HSV) Infection in Pregnancy.
22. Vancikova, Z. and Dvorak, P. Cytomegalovirus Infection in Immunocompetent and
Immunocompromised Individuals- A review. Current Drug Targets – Immune,
Edocrine & Metabolic Disorder. 2001: 179-87
23. Monto Ho. The History of Cytomegalovirus and Its Disease. Med Microbiol Immunol.
2008. 197:65–73
24. Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana
Infeksi Sitomegalovirus pada HIV. Desember 2016
25. https://webpath.med.utah.edu/INFEHTML/INFEC006.html
26. Siree Tangthongkum, S., Somsanguan Ausayakhun, S. 2013. Cytomegalovirus
retinitis in non-HIV patients in Chiang Mai University Hospital Chiang Mai Medical
Journal 2013;52(3-4):65-72
27. Shapira, Y., Mimouni. M., Vishnevskia-Dai, V. Cytomegalovirus retinitis in HIV-
negative
patients – associated conditions, clinical presentation, diagnostic methods
and treatment strategy. Acta Ophthalmologica 2017
28. Cheung, C.Y. M., Kwong, Y. Cytomegalovirus infection in non–human immunodeciency
virus– infected patients: a hematologist perspective. HKJ Ophthalmol Vol. 20 No. 2
29. Ariza-Heredia, E. J., Nesher, L., Chemaly. R. F. Cytomegalovirus diseases after
hematopoietic stem cell transplantation: A mini-review. Cancer. Letters 342
(2014) 1–8.
30. Khalil A, Heath P, Jones C, Soe A, Ville YG on behalf of the Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists. Congenital Cytomegalovirus Infection: Update
on Treatment. Scientific Impact Paper No. 56. BJOG 2018; 125:e1–e11.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 821
Rizka Humardewayanti Asdie

31. Yinon, Y., Farine, D., Yudin, M. H., No. 240-Cytomegalovirus Infection in Pregnancy.
J Obstet Gynaecol Can 2018; 40(2):e134–e141.
32. McCarthy, F. P., Jones, C., Rowlands, S., Giles, M. Review Primary and secondary
cytomegalovirus in pregnancy. The Obstetrician & Gynaecologist 2009; 11: 96–
100.

822 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV:
Apakah Perlu Diterapi?
Robert Sinto
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Penurunan imunitas tubuh akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus


(HIV) akan menyebabkan peningkatan penyakit akibat infeksi laten. Kelompok
infeksi laten yang kerap terjadi dikenal dengan istilah infeksi TORCH yang
meliputi penyakit toksoplasmosis, infeksi rubella, infeksi sitomegalovirus
(CMV) dan infeksi virus herpes; virus herpes diklasifikasikan dalam tiga
kelompok, yaitu alfa, beta, gamma, di mana kelompok alfa terdiri dari Herpes
Simplex Virus (HSV)-1, 2, dan Varicella Zoster Virus (VZV).1 Selain kelompok
tersebut, berbagai infeksi laten lain seperti infeksi M. tuberculosis juga kerap
dijumpai pada pasien terinfeksi HIV.

Prevalensi dan insiden infeksi TORCH dapat tercermin dari hasil


seropositif yang ditunjukkan pada populasi tertentu. Pada Toksoplasmosis,
prevalensi yang tinggi didapatkan pada daerah dengan penduduk pemakan
daging mentah, daerah tropis dengan populasi kucing yang tinggi dan iklim
yang menunjang bagi kesintasan ookista.2 Penelitian yang dikerjakan pada
630 subyek sehat di 7 daerah di Jawa Tengah pada tahun 2014 menunjukkan
prevalensi seropositif toksoplasma mencapai 62,5%, meliputi 90,1%
seropositif IgG, dan 9,9% seropositif IgM dan IgG.3 Penelitian lain yang
dilakukan pada tahun 2013 pada 330 perempuan hamil di Bali menunjukkan
seroprevalensi toksoplasma sebesar 10,9%.4 Pada infeksi virus CMV,
prevalensi seropositif IgG CMV pada sampel darah donor PMI mencapai
98,23%. Penelitian infeksi virus herpes yang dilaporkan oleh Looker KJ, dkk
menunjukkan prevalensi seropositif HSV-1 adalah 59% dan 58% secara
berturutan pada perempuan dan laki-laki di Asia Tenggara berusia 0-49
tahun, dengan insidens infeksi simtomatik sebesar 2% untuk laki-laki dan 2%
untuk perempuan pada area dan umur yang sama.5 Pada studi lain, Looker
KJ, dkk memperkirakan prevalensi infeksi HSV-2 sebesar 41,4% dan 33,5%
secara berturutan pada perempuan dan laki-laki berusia 15-49 tahun di Asia
Tenggara. Sebanyak 2,2% perempuan dan 1,4% laki-laki berusia 15-49 tahun
setiap tahunnya mengalami infeksi primer HSV-2 di Asia Tenggara.6 Sebanyak
70% pasien terinfeksi HIV seropositif untuk HSV-2 dan sebanyak 95%

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 823


Robert Sinto

seropositif untuk HSV-1 atau HSV-2.7 Sebanyak 95% individu berusia lebih
dari 20 tahun memiliki riwayat infeksi primer VZV.8

Prevalensi seropositif yang tinggi ini menjadi tantangan pada


diagnosis, pengobatan dan pencegahan khususnya pada pasien terinfeksi
HIV. Pengobatan yang hanya didasari pada hasil serologi tanpa melihat
gejala klinis pasien akan menyebabkan terapi yang berlebihan, sementara
mengabaikan hasil pemeriksaan serologi baik dalam aspek diagnosis maupun
pencegahan akan menyebabkan pasien HIV mengalami komorbiditas yang
potensial dapat mengancam nyawa. Tulisan ini akan membahas diagnosis
dan tatalaksana rasional berbasis bukti (evidence based) infeksi TORCH pada
pasien terinfeksi HIV, dengan 3 skenario klinis utama paling sering dijumpai,
yakni infeksi intrakranial, lesi mata, serta strategi profilaksis pada pasien
infeksi asimtomatik.

Infeksi Intrakranial pada Infeksi TORCH


Infeksi intrakranial merupakan salah satu infeksi yang paling sering
ditemukan pada pasien HIV dengan keluhan sakit kepala, kejang, penurunan
kesadaran dengan atau tanpa demam dan defisit neurologis fokal. Infeksi
biasanya terjadi pada saat sel limfosit T CD4+ kurang dari 200 sel/μL. Diagnosis
etiologi infeksi intrakranial harus didasarkan pada gejala klinis, progresifitas
penyakit, analisis cairan serebrospinal dan pencitraan. Infeksi oleh penyebab
ganda (multipel) dapat dijumpai pada 15% kasus. Pada kebanyakan kasus,
tatalaksana infeksi yang tepat harus dilanjutkan dengan upaya profilaksis
sekunder hingga hitung sel T CD4+ lebih dari 200 sel/μL.9

Etiologi infeksi intrakranial pada pasien terinfeksi HIV yang banyak


dijumpai adalah ensefalitis toksoplasma, ensefalitis CMV, meningitis
Cryptococcus, meningitis tuberkulosis dan ensefalitis HSV. Tiga penyebab
tersebut tergolong dalam kelompok infeksi TORCH, dengan perbedaan
gambaran klinis, analisis cairan serebrospinal dan pencitraan yang dapat
dilihat secara berturut pada tabel 1-3.

824 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV: Apakah Perlu Diterapi?

Tabel 1. Perbandingan gejala klinis, progresifitas infeksi intrakranial akibat TORCH


pada pasien terinfeksi HIV (dimodifikasi dari)9
Infeksi Ensefalitis toksoplasma Ensefalitis CMV Ensefalitis HSV
Sel limfosit T CD4+ (sel/μL) <200 <50 Bervariasi
Progresifitas Hari Hari Minggu
Perubahan kesadaran 1+ hingga 3+ 3+ 3+
Kejang 1+ hingga 2+ 2+ 2+
Sakit kepala 3+ 1+ hingga 2+ 1+
Demam 2+ hingga 3+ 2+ 1+ hingga 2+
Defisit neurologis fokal 1+ 2+
Neuropati kranial 2+ 1+ hingga 2+
Keterangan. 1+: pada <30% kasus; 2+: pada 30-60% kasus ;3+: pada >60% kasus

Diagnosis lanjutan adalah dengan pemeriksaan pencitraan (Magnetic


Resonance Imaging atau Computer Tomography scan kepala dengan kontras).
Jika pada pemeriksaan pencitraan tidak terlihat lesi (massa), perlu dilakukan
punksi lumbal untuk pengambilan spesimen analisis cairan serebrospinal,
kultur mikroorganisme dan inisiasi antibiotik empiris. Jika pada pemeriksaan
pencitraan terlihat massa dan adanya tanda herniasi, konsultasi dengan
spesialis bedah saraf untuk tindakan dekompresi dan biopsi perlu dilakukan.
Pada massa soliter tanpa tanda herniasi atau massa multipel dengan serologi
toksoplasma negatif, pemeriksaan punksi lumbal atau biopsi otak perlu
dikerjakan. Lesi multipel dengan serologi toksoplasma positif dapat menjadi
indikasi pemberian anti toksoplasmosis. Median waktu respon dengan
pemberian antitoksoplasma adalah 5 hari. Sebanyak 74% kasus akan membaik
dalam 7 hari dan 91% kasus akan membaik dalam 14 hari. Kegagalan respon
klinis setelah terapi 14 hari merupakan indikasi pemeriksaan diagnosis lanjut
dengan biopsi otak.9, 10

Tabel 2. Perbandingan hasil analisis cairan serebrospinal pada infeksi intrakranial


akibat TORCH (dimodifikasi dari)9
Infeksi Leukosit Kadar glukosa Kadar protein Lain-lain
Ensefalitis Normal atau Turun atau normal Normal atau PCR: spesifisitas 100%,
toksoplasma limfositosis meningkat sensitivitas 50-80%
Ensefalitis CMV Normal Normal Normal atau PCR: spesifisitas dan
meningkat sensitivitas >90%; kultur:
<25% positif
Ensefalitis HSV Limfositosis Normal atau Meningkat PCR: spesifisitas 99.6%,
meningkat sensitivitas 100%
Keterangan. PCR: polymerase chain reaction

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 825


Robert Sinto

Tabel 3. Perbandingan gambaran pencitraan pada infeksi intrakranial akibat TORCH


(dimodifikasi dari)9
Infeksi Ensefalitis toksoplasma Ensefalitis CMV Ensefalitis HSV
Efek massa Sering Tidak ada Minimal
Proporsi lesi soliter <20% Tidak ada Tidak ada
Lokasi Frontal, ganglia basal, Periventrikular Lobus temporal
parietal inferomedial
Penyangatan Sering, penyangatan <50% penyangatan Sering
kontras berbentuk cincin periventrikular
Lain-lain Ukuran biasanya 1-2 cm 50% kasus Dapat melibatkan
pencitraan normal batang otak, serebelum,
diensefalon dan
regio periventrikular,
perdarahan intrakranial

Terapi ensefalitis toksoplasma fase akut adalah pirimetamin (200 mg 1


kali, dilanjutkan 50 mg/hari pada pasien dengan berat badan <60 kg dan 75
mg/hari pada pasien dengan berat badan lebih dari 60 kg) ditambah dengan
sulfadiazin. Asam folinat (leukovorin) diberikan untuk mengurangi toksisitas
hematologi akibat pirimetamin. Terapi alternatif yang direkomendasikan pada
pasien yang tidak dapat menerima sulfadiazin atau tidak berespons terhadap
terapi lini pertama adalah kombinasi pirimetamin dengan klindamisin (4x600
mg). Apabila pirimetamin tidak dapat diberikan, maka kotrimoksasol (2x960
mg) dapat menjadi alternatif. Pemberian terapi akut sebaiknya diteruskan
selama minimal 3-6 minggu. Setelah menyelesaikan terapi akut, dilanjutkan
dengan dosis rumatan kronik. Dosis rumatan kronik yang direkomendasikan
adalah setengah dari dosis yang diberikan saat terapi fase akut. Terapi
pemeliharaan diberikan hingga hitung CD4+ lebih dari 200sel/μL selama 6
bulan berturut-turut setelah pemberian ARV. ARV dimulai 2-3 minggu setelah
terapi ensefalitis toksoplasma dimulai.11,12

Ensefalitis CMV diterapi dengan regimen inisial gansiklovir 5 mg/kg


setiap 12 jam selama 14-21 hari, dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan
dengan valgansiklovir 1x900 mg. Terapi pemeliharaan dihentikan setelah
diberikan selama 3-6 bulan jika terjadi perbaikan imunitas yang ditandai
dengan hitung CD4+ lebih dari 100 sel/μL selama 3-6 bulan setelah pemberian
ARV. Pemberian ARV dimulai 2 minggu setelah terapi CMV dimulai. Terapi
pilihan untuk ensefalitis HSV adalah asiklovir intravena dengan dosis 10-15
mg/kg selama 14-21 hari.12,13

826 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV: Apakah Perlu Diterapi?

Toksoplasmosis Okular dan Retinitis Sitomegalovirus


Diagnosis toksoplasmosis okular pada pasien terinfeksi HIV didasarkan
pada gejala klinis lesi mata yang khas, didukung oleh pemeriksaan serologi.
Hasil pemeriksaan serologi semata tidak dapat digunakan sebagai dasar
diagnosis untuk memulai terapi.

Gangguan penglihatan akan dikeluhkan pasien bila lesi mengenai makula.


Lesi perifer dapat menyebabkan gangguan penglihatan bila menyebabkan
inflamasi vitreus berat. Skotoma akan dikeluhkan akibat skar retinokoroid
pada stadium inaktif infeksi. Gambaran klasik funduskopi toksoplasmosis
okular adalah infiltrat putih, retinitis nekrosis fokal atau retinokoroiditis
pada mata yang telah terdapat skar pigmentasi korioretina. Berbagai pilihan
terapi toksoplasmosis okular meliputi kombinasi pirimetamin-sulfadiazine
atau kotrimoksasol atau kombinasi klindamisin-pirimetamin-sulfadiazin atau
pirimetamin-azitromisin (1x1200-1500 mg). Terapi dihentikan 1-2 minggu
sesudah perbaikan gejala. Setelah terapi awal, terapi pemeliharaan dengan
kotrimoksasol diperlukan untuk mencegah rekurensi. Kortikosteroid sistemik
(setara prednison 0,5-1 mg/kg/hari oral) diperlukan bila terdapat inflamasi
vitreus berat, lesi yang terletak dekat fovea atau optic disk atau lesi aktif yang
luas. Kortikosteroid topikal diindikasikan bila terdapat nyeri, mata merah,
fotofobia, inflamasi sedang-berat ruang anterior dan peningkatan tekanan
intraokular.14,15

Retinitis CMV diijumpai pada 2-32% pasien terinfeksi HIV dengan hitung
sel limfosit T CD4+ kurang dari 50 sel/μL dan merupakan penyebab kebutaan
yang terabaikan di era pandemik infeksi HIV. Serupa dengan toksoplasmosis
okular, diagnosis retinitis CMV ditegakkan berdasarkan pemeriksaan retina
melalui oftalmoskop dan tidak berdasarkan pemeriksaan laboratorium
tertentu. Retinitis CMV secara khas ditandai dengan infitrat putih tebal pada
retina, yang sering disertai perdarahan. Retinitis cenderung mengikuti pola
pembuluh darah, menyebar secara sentrifugal dan membentuk gambaran
nyala api dengan lesi sentral yang telah mereda pasca kerusakan. Tepi
lesi irregular dan sering disertai lesi satelit. Kombinasi injeksi gansiklovir
intravitreal (bekerja sama dengan spesialis mata) dan valgansiklovir (2x900
mg) merupakan pilihan untuk lesi yang mengancam penglihatan (terletak
pada area 1500 mikron dari fovea). Sementara lesi perifer diobati dengan
menggunakan terapi sistemik valgansiklovir saja. Penambahan injeksi
gansiklovir intravitreal dapat dipertimbangkan pada pasien terinfeksi HIV
yang telah mengkonsumsi ARV saat terdiagnosis retinitis CMV. Setelah terapi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 827


Robert Sinto

inisial diberikan, terapi rumatan diberikan dengan valgansiklovir 1x900 mg


selama 3-6 bulan jika terjadi perbaikan imunitas yang ditandai dengan hitung
CD4+ lebih dari 100 sel/μL selama 3-6 bulan setelah pemberian ARV.12,16

Profilaksis pada Infeksi Asimtomatik


Profilaksis Toksoplasmosis pada pasien terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus
Pasien terinfeksi HIV dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang dari 100
sel/μL dengan serologi toksoplasma positif perlu mendapatkan profilaksis
primer dengan kotrimoksasol 1x960 mg, yang juga efektif sebagai profilaksis
pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP). Pemberian profilaksis toksoplasma
dapat dihentikan pada pasien yang telah mengkonsumsi antiretroviral dan
mencapai peningkatan hitung CD4+ menjadi lebih dari 200 sel/μL selama
3 bulan berturut-turut. Terapi profilaksis dapat dipertimbangkan untuk
dihentikan bila hitung sel limfosit T CD4+ 100-200 sel/μL dengan RNA HIV di
bawah ambang deteksi selama 3-6 bulan.11,12

Profilaksis Penyakit Sitomegalovirus pada pasien terinfeksi Human


Immunodeficiency Virus
Pencegahan penyakit CMV terbaik adalah dengan memberikan terapi
ARV sehingga mempertahankan hitung sel limfosit T CD4+ lebih dari 100
sel/μL. Pemberian valgansiklovir sebagai profilaksis primer pada pasien
terinfeksi HIV tidak bermanfaat dalam mencegah penyakit CMV.12,17

Terapi supresi Herpes Simplex Virus pada pasien terinfeksi Human


Immunodeficiency Virus
Pertimbangan pemberian terapi supresi HSV menjadi lebih kompleks
karena menyangkut kemungkinan transmisi virus pada pasangan seksual.
Semua individu dengan riwayat infeksi primer HSV dapat menularkan virus
pada pasangannya melalui kontak mukosa yang dapat dikemudian hari
mengalami reaktivasi infeksi. Reaktivasi HSV-2 meningkatkan muatan RNA
HIV pada darah dan sekret genital pasien terinfeksi HIV. Bagi pasien, keadaan
ini akan memperburuk perjalanan penyakit HIV yang dialami, sementara
bagi pasangan seksual pasien tersebut, keadaan ini akan turut meningkatkan
risiko transmisi HIV hingga 2-3 kali lipat. Belum ada angka statistik
yang menunjukkan kekerapan reaktivasi HSV pada pasien terinfeksi HIV
dibandingkan yang tidak. Pada hitung sel limfosit T CD4+ yang rendah, pasien
terinfeksi HIV dapat memiliki lesi herpetik yang persisten dan lebih berat (lesi

828 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV: Apakah Perlu Diterapi?

lebih luas, lebih dalam dan menimbulkan nekrosis jaringan). Walaupun tidak
menekan penyebaran HSV pada mukosa genital, perbaikan hitung sel limfosit
TCD4+ terbukti menurunkan kejadian dan derajat berat rekurensi. Kebijakan
terapi supresi HSV pada pasien HIV didasarkan pada data-data tersebut.1,18, 19

Pada infeksi virus herpes, terapi supresi dengan asiklovir (2x400 mg),
valasiklovir (2x500 mg), famsiklovir (2x500 mg) efektif dalam pencegahan
rekurensi dan terutama ditujukan untuk mereka dengan riwayat rekurensi
yang sering maupun lesi kulit yang berat. Sebagai manfaat tambahan, pada
pasien yang tidak mendapatkan anti-retrovirus (ARV), pemberian supresi
anti-HSV akan menekan muatan RNA HIV pada darah dan sekret genital
dan memperbaiki perjalanan klinis pasien, namun tidak menurunkan
risiko transmisi HIV pada pasangan seksual. Karena itu pada pasien dengan
akses pengobatan ARV, tidak dibenarkan penundaan inisasi ARV dan
menggantikannya dengan terapi supresi anti-HSV. Pada pasien terinfeksi HIV
yang memulai ARV dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang dari 250 sel/μL,
terjadi peningkatan risiko ulkus genital dalam 6 bulan pertama pengobatan
ARV. Pemberian supresi asiklovir bersamaan dengan inisiasi HIV menekan
risiko sebesar 60% dibandingkan plasebo, karena itu dapat diindikasikan
pula pada keadaan klinis tersebut. Pada perempuan HIV dengan anti-HSV
yang positif, terapi supresi diindikasikan bila terdapat herpes genital yang
rekurens selama kehamilan. Profilaksis dengan asiklovir atau valasiklovir
dimulai sejak usia kehamilan 36 minggu. Untuk dua tujuan pertama (menekan
rekurensi dan menurunkan risiko ulkus genital pada inisiasi ARV), kebutuhan
pemberian terapi supresi perlu dinilai kembali setiap tahunnya, sementara
untuk tujuan ibu hamil, terapi supresi dapat dihentikan pasca persalinan.1,18,19

Penggunaan terapi supresi anti-HSV menimbulkan kekhawatiran


terhadap risiko timbulnya resistensi terhadap anti-HSV. Namun demikian,
penelitian menunjukkan penggunaan terapi supresi menimbulkan risiko
resistensi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan terapi episodik anti-
HSV pada saat terjadi relaps.18,19

Terapi supresi Varicella Zoster Virus pada pasien terinfeksi Human


Immunodeficiency Virus
Risiko seseorang mengalami infeksi herpes zoster (HZ) dalam seumur
hidupnya adalah 15-20% dengan insidens tertinggi terjadi pada usia lanjut
dan pasien dengan penurunan imunitas tubuh, termasuk pasien terinfeksi HIV.
Insidens HZ pada pasien terinfeksi HIV 15 kali lipat lebih tinggi dibandingkan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 829


Robert Sinto

kontrol dengan usia setara. Insidens HZ, termasuk HZ diseminata, bertambah


tinggi pada pasien terinfeksi HIV dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang
dari 200 sel/μL. Pada pasien dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang dari
200 sel/μL, reaktivasi VZV dapat bermanifestasi pada berbagai organ, meliputi
vaskulitis, mielitis, mieloradikulitis, neuritis optika, kelumpuhan nervus
kranialis, lesi fokal batang otak, meningitis aseptik, acute retinal necrosis
(ARN), progressive outer retinal necrosis (PORN). Namun demikian, terapi
ARV tidak terbukti dapat menurunkan insidens HZ, bahkan meningkatkan
risiko HZ pada awal inisasi ARV8,20 and sequelae of herpes zoster among HIV
patients in the highly active antiretroviral therapy era.

Karena rendahnya kemungkinan rekurensi, tidak diindikasikan terapi


supresi VZV pada pasien terinfeksi HIV. Terapi profilaksis diindikasikan pada
pasien rentan infeksi primer VZV yang mengalami paparan pada seseorang
yang baru terinfeksi VZV (profilaksis pasca paparan). Inisiasi ARV dapat
dipertimbangkan lebih dini pada pasien terinfeksi HIV dengan rekurensi
HZ multiple atau pasien dengan infeksi VZV komplikata (contoh: ensefalitis,
PORN).8

Vaksinasi Herpes Zoster sebagai pencegahan reaktivasi


Vaksin pencegahan Herpes Zoster (HZ) sudah tersedia dengan indikasi
penggunaan pada pasien imunokompeten berusia lebih dari 50 tahun
(beberapa negara mengindikasikan pada populasi lebih dari 60 tahun) dan
dikontraindikasikan pada individu dengan hitung sel limfosit T CD4+ kurang
dari 200 sel/μL. Walaupun belum ada rekomendasi khusus pemberian
vaksinasi HZ pada pasien terinfeksi HIV, pada pasien dengan hitung CD4+
lebih dari 200 sel/μL dan riwayat infeksi VZV dapat dipertimbangkan karena
sangat mungkin aman dan efektif walaupun pasien berusia kurang dari 50
tahun.8,21,22

Untuk populasi dengan hitung limfosit sel T CD4+ kurang dari 200 sel/
μL namun memiliki muatan virus yang tidak terdeteksi, perbaikan imunitas
tidak dapat digambarkan dengan hitung sel limfosit T CD4+ tersebut. Untuk
populasi tersebut, khususnya bila pasien memiliki riwayat HZ dengan
sindrom Ramsay-Hunt atau pasien lebih dari berusia 65 tahun, beberapa
strategi vaksinasi berikut dapat dipertimbangkan: (1) pemberian vaksinasi
HZ dan pemantauan ketat timbulnya infeksi yang segera ditatalaksana
dengan pemberian antivirus; (2) pemberian vaksinasi VZV; (3) pemantauan
dini munculnya gejala HZ secara ketat tanpa pemberian vaksinasi.22

830 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Infeksi Torch pada Pasien Terinfeksi HIV: Apakah Perlu Diterapi?

Simpulan
Pasien terinfeksi HIV memiliki peningkatan risiko reaktivasi infeksi
laten TORCH dengan beragam manifestasi klinis, antara lain berupa
infeksi intrakranial dan keterlibatan okular. Dengan mempertimbangkan
karakteristik sebagai infeksi laten, hasil pemeriksaan serologi TORCH saja
tidak cukup dijadikan dasar penegakan diagnosis penyakit untuk memulai
terapi tanpa adanya gambaran klinis dan/ atau pemeriksaan pencitraan
yang menunjang. Namun demikian, hasil pemeriksaan serologi TORCH
perlu dipertimbangkan sebagai dasar pemberian profilaksis antibiotik atau
antivirus. Berbagai strategi pencegahan reaktivasi infeksi laten TORCH telah
direkomendasikan sebagai bagian tatalaksana holistik pasien terinfeksi HIV.

Daftar Pustaka
1. Williams I, Leen C, Barton S. Herpes viruses. HIV Medicine. 2011;12:61-9.
2. Paquet C, Yudin MH, Allen VM, Bouchard C, Boucher M, Caddy S, et al. Toxoplasmosis
in pregnancy: prevention, screening, and treatment. J Obstet Gynaecol Can.
2013;35(1 eSuppl A):S1-7.
3. Retmanasari A, Widarto BS, Wijayanti MA, Artama WT. Prevalence and risk factors
for the toxoplasmosis in middle Java, Indonesia. EcoHealth. 2017;14:162-70.
4. Dwinata IM, Sutarga IM, Damriyasa IM. The potential risk factors for toxoplasmosis
in balinese pregnant women-indonesia. Bali Med J. 2016;5:116-8.
5. Looker KJ, Magaret AS, May MT, Turner KME, Vickerman P, Gottlieb SL, et al. Global
and regional estimates of prevalent and incident herpes simplex virus type 1
infections in 2012. PLoS ONE. 2015;10: e0140765.
6. Looker KJ, Magaret AS, May MT, Turner KME, Vickerman P, Gottlieb SL, et al. Global
estimates of prevalent and incident herpes simplex virus type 2 infections in 2012.
PLoS ONE. 2015;10: e114989.
7. Xu F, Sternberg MR, Kottiri BJ, McQuillan GM, Lee FK, Nahmias AJ, et al. Trends in
herpes simplex virus type 1 and type 2 seroprevalence in the United States. JAMA.
2006;296:96473.
8. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.
Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-
infected adults and adolescents: recommendations from the Centers for Disease
Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society of America. 2019:BB1-8.
9. Tan IL, Smith BR, Geldern GV, Mateen FJ, McArthur JC. HIV-associated opportunistic
infections of the CNS. Lancet Neurol 2012;11:605–17.
10. Collazos J. Opportunistic Infections of the CNS in patients with AIDS: diagnosis and
management. CNS Drugs. 2003;17: 869-87.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 831


Robert Sinto

11. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.


Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-
infected adults and adolescents: recommendations from the Centers for Disease
Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society of America. 2019:AA1-15.
12.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/
MENKES/90/2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV.
2019.
13. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.
Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-
infected adults and adolescents: recommendations from the Centers for Disease
Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society of America. 2019:K1-15.
14. Butler NJ, Furtado JM, Winthrop KL, Smith JR. Ocular toxoplasmosis II: clinical
features, pathology and management. Clinical and Experimental Ophtalmology.
2013;41:95-108.
15. Ozgonul C, Besirli CG. Recent developments in the diagnosis and treatment of
ocular toxoplasmosis. Ophtalmic Res. 2017;57:1-12.
16. Heiden D, Ford N, Wilson D, Rodriguez WR, Margolis T, Janssens B, et al.
Cytomegalovirus retinitis: the neglected disease of the AIDS pandemics. PLoS
Medicine. 2007;4:e334.
17. Wohl DA, Kendall MA, Andersen J, Crumpacker C, Spector SA, Feinberg J, et al.
Low rate of CMV end-organ disease in HIV-infected patients despite low CD4+
cell counts and CMV viremia: results of ACTG protocol A5030. HIV Clin Trials.
2009;10:143–52.
18. Strick LB, Wald A, Celum C. Management of herpes simplex virus type 2 infection in
HIV Type 1–infected persons. CID. 2006;43:347–56.
19. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents.
Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-
infected adults and adolescents: recommendations from the Centers for Disease
Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society of America. 2019:N1-7.
20. Gebo KA, Kalyani R, Moore RD, Polydefkis MJ. The incidence of, risk factors for, and
sequelae of herpes zoster among HIV patients in the highly active antiretroviral
therapy era. J Acquir Immune Defic Syndr. 2005;40:169-74.
21. Cioe PA, Melbourne K, Larkin J. An immunization update for HIV-infected adults in
the United States: review of the literature. J Assoc Nurses AIDS Care. 2015;26:201-
7.
22. Koenig HC, Garland JM, Weissman D, Mounzer K. Vaccinating HIV patients: focus on
human papillomavirus and herpes zoster vaccines. AIDS Rev. 2013;15:77-86.

832 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Multidimensi
dengan Comprehensive Geriatric Assesment (CGA)
untuk Tata Laksana Kanker Pada Geriatri
Aulia Rizka
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Kemoterapi pasien usia lanjut penderita kanker untuk tujuan kuratif
maupun paliatif semakin bertambah. Populasi yang berusia diatas 60
tahun mengalami peningkatan risiko 11 kali mengalami kanker dan 16 kali
mengalami kematian akibat kanker. Rata-rata usia orang yang terdiagnosis
kanker di USA adalah 66 tahun. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia tahun 2018 menunjukkan peningkatan insiden kanker. Prevalensi
kanker tertinggi adalah kelompok usia 55-64 tahun (4,62 permil), yang kedua
adalah usia 65-74 tahun (3,52 permil), dan yang terakhir usia 75 tahun (3,84
permil). Data Riskesdas menyebutkan bahwa 24,9% pasien yang terdiagnosis
kanker akan menjalani kemoterapi. Selain prevalensinya yang meningkat, hasil
data finansial BPJS kesehatan juga menyebutkan kanker sebagai peringkat
kedua dari 8 penyakit katastropik yang banyak mengeluarkan pembiayaan.

Pasien kanker berusia lanjut biasanya disertai komorbiditas, depresi,


mengalami masalah nutrisi, dan seringkali mengalami kerapuhan akibat
penyakit yang dideritanya. Hal ini membuat usia lanjut menjadi lebih rentan
mengalami toksisitas akibat kemoterapi, dan memiliki ketahanan hidup
yang lebih rendah. Pasien usia lanjut lebih jarang diberikan penawaran
untuk kemoterapi dibandingkan usia dewasa. Karena khawatir tidak dapat
mentoleransi efek samping, padahal manfaat kemoterapi pada usia lanjut
cukup baik. Pada pasien usia lanjut yang mengalami kerapuhan, survival dan
toleransi terhadap intervensinya akan sangat berbeda.

Pada pasien kanker berusia lanjut, hal yang penting diperhatikan adalah
kualitas hidup dan kualitas kematian. Pemilihan intervensi apapun harus
berorientasi pada kedua hal ini. Pasien dan keluarga harus mendapatkan
penjelasan dan kesempatan untuk menentukan tindakan setelah mendapat
penjelasan lengkap, sesuai dengan prinsip “patient and the family are the
masters of patient’s fate”. Pendekatan multidimensi dengan comprehensive

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 833


Aulia Rizka

geriatric assesment (CGA) dapat memberikan gambaran menyeluruh pada


pasien dan keluarganya, juga untuk tim dokter, agar dapat mengambil
keputusan yang berorientasi pada pasien. Baik ASCO (American Society of
Clinical Oncology), ESMO (European Society of Medical Oncology) maupun
ISGO (International Society of Geriatric Oncology) merekomendasikan
pendekatan berbasis CGA untuk diaplikasikan pada pasien kanker berusia
lanjut. Hal ini juga didukung oleh hasil sistematik dari Puts dengan data 34
penelitian yang menyimpulkan bahwa asesmen geriatri berperan pada pasien
kanker berusia lanjut. Pada naskah ini akan dipaparkan mengenai apa dan
bagaimana manfaat CGA, serta tahapan penilaian dan pengambilan keputusan
pada seorang pasien kanker berusia lanjut.

Mengenal Comprehensive Geriatric Assesment (CGA)


Pendekatan yang digunakan pada pasien usia lanjut secara umum adalah
pengkajian paripurna pasien geriatri atau comprehensive geriatric assesment
(CGA), yang mengevaluasi masalah medik, status fungsional, status nutrisi,
psikoafektif, masalah kognitif dan psikososial. CGA yang diaplikasikan
pada pasien kanker adalah upaya untuk melakukan evaluasi multidimensi
pada kemampuan seorang usia lanjut untuk menolerasi dan merespon
terapi, mengukur probabilitas pasien mengalami kematian segera dan
kecenderungan pasien untuk toleransi dan pulih dari efek samping obat dan
yang paling penting mengidentifikasi faktor risiko dan tindakan yang harus
dilakukan untuk memperbaiki hasil.

CGA terdiri dari beberapa instrumen yang telah tervalidasi menilai status
fungsional, fungsi kognitif, komorbiditas, polifarmasi, psikososial, dukungan
sosial dan status nutrisi yang seluruhnya mempengaruhi pasien. Hasil CGA
dan rencana terapi bermanfaat untuk dokter layanan primer, ahli onkologi
medik dan bedah untuk merencanakan tindakan paliatif dan kontrol gejala.
Tabel 1 menggambarkan instrumen yang dapat dipilih untuk setiap domain
CGA.

Tabel 1. Instrumen CGA yang dapat digunakan pada pasien kanker usia lanjut
Aspek yang dinilai Pilihan instrumen
Status fungsional Penilaian activity of daily living (ADL), instrumental activity of
daily living (IADL), mobilitas menggunakan timed up and go
(TUG) dan penilaian risiko jatuh
Fungsi kognitif Mini Mental State Examination (MMSE)
Komorbiditas dan sindrom geriatric Charlson Comorbidity Score

834 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Multidimensi dengan Comprehensive Geriatric Assesment (CGA) untuk Tata Laksana Kanker Pada Geriatri

Aspek yang dinilai Pilihan instrumen


Polifarmasi Kriteria Beers
Status psikologis Geriatric Depression Scale (GDS)
Dukungan sosial Medical Outcomes Study (MOS) survey
Nutrisi Mini Nutritional Assesment
Status frailty/kerentaan FI-40, FRAIL, Kriteria Fried

Aplikasi CGA untuk Memprediksi Survival dan Luaran Buruk


Skor performa ECOG bukan merupakan prediktor yang baik untuk usia
lanjut. Risiko kematian untuk 1 tahun dan 3 tahun meningkat pada pasien
laki-laki, memerlukan bantuan dalam mandi dan memakai baju, dan memiliki
komorbiditas misalnya gagal jantung, PPOK atau gagal ginjal. Pada studi lain,
risiko kematian 6 bulan sejak kemoterapi pertama meningkat pada pasien
dengan skor MNA rendah, laki-laki, gangguan mobilitas.

Pada keganasan spesifik misalnya kanker paru, faktor prognostik yang


menggambarkan kesintasan rendah adalah kualitas hidup yang buruk (EORTC
QLQC30) dan skor IADL yang rendah. Pada limfoma, prediktor kematian dini
adalah ADL dan IADL. Pada kanker payudara, peningkatan komorbiditas
dan polifarmasi berhubungan dengan peningkatan risiko kemotoksisitas
grade ¾. Pada kanker kepala dan leher, CGA mampu membedakan pasien fit
vs frail yang akan menjalani terapi radiasi dengan cisplatin. Pasien yang fit
dapat menoleransi kemoterapi dengan lebih baik dan mengalami toksisitas
lebih ringan. Pada keganasan darah misalnya AML, modified CGA dapat
memprediksi survival yang lebih rendah, begitu juga pada pasien yang akan
dilakukan transplantasi sumsum tulang.

Komponen multivariat CGA dan penilaian status performance dapat


memprediksi toksisitas dan efikasi yang ditunjukkan dengan penurunan
progresivitas tumor. CGA juga bermanfaat untuk evaluasi preoperatif pada
pasien kanker berusia lanjut, dimana pasien yang dari hasil CGA dikategorikan
fit atau frail, menunjukkan angka morbiditas, mortalitas dan delirium post
operatif yang berbeda. CGA juga dapat memprediksi waktu rawat yang lama
pada pasien kanker intra abdomen.

Siapa yang Perlu Mendapatkan CGA?


Mengingat pasien usia lanjut selalu mengalami lebih dari 1 kondisi medik
yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi. CGA sebaiknya dilakukan pada

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 835


Aulia Rizka

seluruh pasien kanker usia lanjut. Sayangnya evaluasi CGA yang lengkap
pada pasien usia lanjut membutuhkan waktu lama dan sumber daya yang
banyak. Dalam menambah keefektifan diperlukan penapisan berbasis CGA
yang lebih ringkas dilakukan oleh siapa saja, sehingga bila hasil penapisan ini
positif, asesmen lebih lanjut dapat dilakukan oleh geriatrician atau internis
terlatih. Salah satu instrumen penapis yang banyak digunakan adalah G-8
(Geriatric-8) seperti yang terdapat pada tabel 2. Instrumen skrining ini
dapat mengidentifikasi pasien kanker yang akan mendapat banyak manfaat
dari CGA. Instrumen ini membutuhkan 5-10 menit untuk diaplikasikan dan
terdiri dari 8 pertanyaan terkait nutrisi, mobilitas, mood dan kognisi, jumlah
obat, tingkat kesehatan pasien dan kategori usia. Bila skornya kurang dari
14, pasien ini perlu mendapatkan asesmen CGA menyeluruh dari geriatrician
atau internis terlatih.

Tabel 2. Instrumen G8
No Pertanyaan Skor (Lingkari)
A Apakah dalam 3 bulan terakhir nafsu 0 Penurunan tajam asupan makan (hanya
makan berkurang karena kehilangan beberapa sendok)
nafsu makan, gangguan saluran
1 Penurunan asupan makan derajat sedang
cerna, mengunyah atau menalan?
(separuh dari sebelumnya)
2 Tidak ada penurunan asupan makan
B Kehilangan berat badan dalam 3 0 Penurunan BB > 3 kg
bulan terakhir
1 Tidak tahu
2 Penurunan BB 1-3 kg
3 Tidak ada penurunan BB
C Mobilitas 0 Hanya di tempat tidur/kursi roda
1 Dapat berpindah dari tempat tidur/kursi roda
tapi jarak dekat
2 Mobilitas baik
D Gangguan neuropsikologi atau 0 Demensia berat atau depresi
gangguan memori yang makin
1 Demensia ringan atau depresi
memberat
2 Normal
E Indeks Massa Tubuh (kg/m2) 0 IMT < 18,5
1 IMT 18,5- 21
2 IMT 21-23
3 IMT > 23
F Obat yang diminum lebih dari 3 per 0 Ya
hari
1 Tidak

836 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pendekatan Multidimensi dengan Comprehensive Geriatric Assesment (CGA) untuk Tata Laksana Kanker Pada Geriatri

G Bila dibandingkan dengan orang 0 Kurang baik


lain yang berusia sama, bagaimana
0.5 Tidak tahu
pasien menilai kondisi kesehatannya
sendiri? 1 Sama saja
2 Lebih baik
H Usia 0 >80
1 70-80
2 60-69
Total Skor
Bila < 14: perlu asesmen geriatri lengkap berbasis CGA oleh geriatrician atau internis terlatih

Prediksi toksisitas kemoterapi


Setelah asesmen lengkap dilakukan, pasien akan dikategorikan menjadi
fit, pre-frail atau frail. Pasien yang fit dapat memperoleh terapi standar bila
pasien dan keluarganya telah dijelaskan dengan rinci mengenai efek samping
yang mungkin terjadi dan prognosis. Pada pasien fit dan pre-frail seringkali
perlu dilakukan penyesuaian dosis kemoterapi. Pada pasien frail, terapi
difokuskan pada best supportive care.

Saat ini, terdapat beberapa instrumen yang dapat memprediksi toksisitas


kemoterapi pada usia lanjut. Dua instrumen yang paling banyak digunakan
adalah skor CARG (The Cancer and Aging Research) toxicity tool dan CRASH
(Chemotherapy Risk Assesment Scale for high age patients). Kedua instrumen
ini berbasis CGA dan dapat ditemukan kalkulator onlinenya di internet tanpa
biaya.

Simpulan
Tim dokter, pasien dan keluarga yang mengaplikasikan CGA dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan tepat mengenai apa yang akan
dilakukan pada pasien usia lanjut dengan kanker.

Daftar Pustaka
1. Owusu Cm Berger N. Comprehensive geriatric assesment in the older cancer
patient: coming of age in clinical care. Clin Pract 2014;11(6):749-62.
2. Shih YC, Hurria A. Preparing for an epidemic: cancer care in an aging population. Am.
Soc. Clin. Oncol. Educ. Book. 2014:133–137.
3. Balducci L, Extermann M. Management of cancer in the older
person: a practical approach. Oncologist. 2000;5(3):224–237.
[Comprehensive discussion of the need for multidimensional assessment of older
cancer patients and practical guide to its implementation.]

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 837


Aulia Rizka

4. Bernabei R, Venturiero V, Tarsitani P, Gambassi G. The comprehensive geriatric


assessment: when, where, how. Crit. Rev. Oncol. Hematol. 2000;33(1):45–56. 
5. Zagonel V. Importance of a comprehensive geriatric assessment in older cancer
patients. Eur. J. Cancer. 2001;37(Suppl. 7):S229–S233
6. Kim J, Hurria A. Determining chemotherapy tolerance in older patients with
cancer. J. Natl Compr. Cancer Netw. 2013;11(12):1494–1502.
7. Hurria A, Togawa K, Mohile SG, et al. Predicting chemotherapy toxicity in older adults
with cancer: a prospective multicenter study. J. Clin. Oncol. 2011;29(25):3457–
3465. 
8. Puts MT, Santos B, Hardt J, et al. An update on a systematic review of the use of
geriatric assessment for older adults in oncology. Ann Oncol. 2014;25:307–315.
9. Bellera CA, Rainfray M, Mathoulin-Pélissier S, et al. Screening older cancer patients:
First evaluation of the G-8 geriatric screening tool. Ann Oncol. 2012;23:2166–2172.
10. Extermann M, Boler I, Reich RR, et al. Predicting the risk of chemotherapy toxicity
in older patients: the Chemotherapy Risk Assessment Scale for High-Age Patients
(CRASH) score. Cancer. 2012;118(13):3377–3386. 

838 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Kanker Pasien Geriatri
TERAPI KANKER PASIEN GERIATRI
Eko Adhi Pangarsa
TERAPI Eko Adhi Pangarsa
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
KANKER PASIEN GERIATRI
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang

Divisi Hematologi Onkologi


EkoMedik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Adhi Pangarsa
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
Epidemiologi Usia
Divisi LanjutOnkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Hematologi
RSUP Dr. Kariadi - Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang
Proporsi populasi usia lanjut bervariasi di seluruh negara, mulai dari
Epidemiologi Usia Lanjut
17,9% di Eropa hingga 3,5% di Afrika (gambar 1). Angka harapan hidup
Epidemiologi
penduduk 69,4Usia Lanjut
tahun dan diperkirakan meningkat pada tahun 2050 menjadi
Proporsi populasi usia lanjut bervariasi di seluruh negara, mulai dari 17,9% di Eropa
hingga 74,3 tahun. Di Indonesia, jumlah penduduk usia lanjut pada tahun69,4di2017
1
3,5%Proporsi
di Afrika (gambar
populasi 1).
usia lanjut Angka
bervariasi diharapan hidup
seluruh negara, penduduk
mulai dari 17,9% tahun
Eropa dan
adalah 23,66 juta jiwa (9,03%), dan diprediksikan 1 meningkat tahun 2020
diperkirakan
hingga meningkat pada tahun
3,5% di Afrika (gambar20501). menjadi
Angka harapan hidupDipenduduk
74,3 tahun. Indonesia, jumlah
69,4 tahunpenduduk
dan
usia lanjut padajuta).
diperkirakan
(27,08 tahun
meningkat
2 2017padaadalah 23,66menjadi
tahun 2050 juta jiwa tahun.1 Di Indonesia,
74,3 (9,03%), dan diprediksikan meningkat
jumlah penduduk
usia lanjut pada 2
tahun 2017 adalah 23,66 juta jiwa (9,03%), dan diprediksikan meningkat
tahun 2020 (27,08 juta). 2
tahun 2020 (27,08 juta).

1
Gambar 1.Gambar
Populasi1.lansia di beberapa
Populasi lansia dibelahan
beberapadunia
belahan dunia1
Gambar 1. Populasi lansia di beberapa belahan dunia1

Gambar 2. Rata-rata Tingkat Insiden Tahunan dan Distribusi Kasus berdasarkan


Gambar 2. Rata-rata Tingkat Insiden Serikat,
Usia, Amerika Tahunan2011
dan hingga
Distribusi
2015Kasus
4 berdasarkan Usia,
Amerika Serikat, 2011 hingga 20154
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 839
Gambar 2. Rata-rata Tingkat Insiden Tahunan dan Distribusi Kasus berdasarkan Usia,
Amerika Serikat, 2011 hingga 20154
Eko Adhi Pangarsa

3
sia lanjut rentan terhadap
Usia lanjut kejadiankejadian
rentan terhadap kanker. Di DiAmerika
kanker. Serikat,
Amerika Serikat, padapada tahu
3

berusia tahun 2019 populasi berusia 85 tahun ke atas diperkirakan sekitar 2%, 8%
85 tahun ke atas diperkirakan sekitar 2%, 8% dari populasi t
dari populasi tersebut merupakan kasus baru (61.830 laki-laki dan 78.860
n kasus baru (61.830 laki-laki dan 78.860 kasus perempuan) (Gambar 2).4
kasus perempuan) (Gambar 2).4

an Fungsi Organ Pada


Penurunan FungsiUsia
Organ Lanjut
pada Usia Lanjut
oses penuaan mengalami perubahan
Proses penuaan mengalami perubahan fisiologis yang yang
fisiologis menyebabkan
menyebabkanpenurunan
erti ginjal, paru, fungsi
penurunan selularitas dan ginjal,
organ seperti cadangan sumsum
paru, selularitas dantulang.
cadangan Beberapa
sumsum faktor
adalah kerusakan telomer,
tulang. Beberapa disregulasi
faktor utama epigenetik,
penuaan adalah kerusakankerusakan DNA, dan di
telomer, disregulasi
5,6
ria (gambar 3). kerusakan DNA, dan disfungsi mitokondria (gambar 3).
epigenetik, 5,6

7
Gambar 3. Proses
Gambar Penuaan
3. Proses pada
Penuaan pada berbagai
berbagai sel/organsel/organ
7

ogis Keganasan Terkait


Patofisiologis Usia Terkait
Keganasan LanjutUsia Lanjut
da usia lanjut
Padaterjadi akuisisi
usia lanjut mutasi,mutasi,
terjadi akuisisi paparan
paparankronis
kroniskarsinogenik,
karsinogenik, pembe
n molekuler dan seluler,
pembentukan lingkunganperbaikan
molekuler danDNA kurang
seluler, aktif
perbaikan DNA dan
kurangefisien,
aktif pembe
8
dan efisien, pembentukan DNA tambahan, dan hipometilasi DNA.8 Mutasi
mbahan, dan hipometilasi DNA. Mutasi menonaktifkan penekan tum
menonaktifkan penekan tumor anti proliferatif dan apoptosis gen sehingga
f dan apoptosis gen sehingga proto onkogen menjadi onkogen. Aku
proto onkogen menjadi onkogen. Akumulasi kerusakan genetik tersebut
9,10,11
genetik adalah
tersebut adalah dasar
dasar dari kanker.
dari
9,10,11 kanker.

ehensive Geriatric assessment (CGA) untuk Kanker


eriatric assessment
840 (GA) adalahPertemuan
evaluasi multi-dimensi,
Ilmiah Nasional interdisipline
XVII PAPDI - Surabaya 2019
n oleh ahli onkologi bersama ahli lainnya untuk menentukan kondisi fisiolog
dengan usia kronologis.5 Geriatric 8 (G8) digunakan untuk menskrining
Terapi Kanker Pasien Geriatri

Chomphrehensive Geriatric assessment (CGA) untuk Kanker


Geriatric assessment (GA) adalah evaluasi multi-dimensi, interdisipliner
yang digunakan oleh ahli onkologi bersama ahli lainnya untuk menentukan
kondisi fisiologis yang berbeda dengan usia kronologis.5 Geriatric 8
(G8) digunakan untuk menskrining kondisi penderita kanker usia lanjut
dan memperbaiki nilai prognostik Eastern Cooperative Oncology Group
performance status (ECOG-PS) .12
a. Assesmen Komorbid
Komorbiditas dapat meningkatkan risiko komplikasi dan mengaburkan
gejala kanker. Beban komorbiditas diukur dengan indeks standar
Charlson Comorbidity Index (CCI) dan the Cumulative Illness Rating Scale-
Geriatrics (CIRS-G) .5
b. Assesmen Kognitif
Gangguan kognisi menyebabkan kesulitan memahami dan mengingat
instruksi pengobatan, menyebabkan keterlambatan diagnosis,
komplikasi dan kurangnya kepatuhan terapi.5 Instrumen untuk skrining
kognitif yaitu Mini-Mental State Examination (MMSE), Montreal Cognitive
Assessment (MoCA), The Blessed Orientation-Memory-Concentration Test.5
c. Manajemen obat dan polifarmasi
Akumulasi gangguan kondisi kronis menyebabkan terjadinya polifarmasi.
Pasien kanker mendapatkan banyak obat yang tidak hanya untuk
pengobatan kanker, tetapi juga untuk perawatan suportif.5
d. Masalah sosial dan kualitas hidup
Dukungan sosial memiliki dampak besar pada kanker. Pasien kanker usia
lanjut mungkin memiliki kebutuhan asuhan, transportasi, dan perawatan
di rumah. Rendahnya dukungan sosial berhubungan dengan peningkatan
risiko kematian.5
e. Penilaian fungsi fisik
Ahli onkologi biasanya mengukur fungsi fisik menggunakan skala
subjektif seperti the Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) atau
skala status Karnofsky. Fungsi fisik juga dapat dinilai dengan ukuran
kinerja objektif, termasuk kecepatan berjalan, kekuatan genggaman,
keseimbangan, dan kekuatan ekstremitas bawah.5,13

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 841


memiliki kebutuhan asuhan, transportasi, dan perawatan di rumah. Re
sosial berhubungan dengan peningkatan risiko kematian.5
Eko Adhi Pangarsa
ian fungsi fisik
f. Status fungsional
li onkologi biasanya mengukur fungsi fisik menggunakan skala subjektif se
Penilaian status fungsional mencakup skala ketergantungan hidup sehari-
ooperative Oncology Group (ECOG) atau skala status Karnofsky. Fungsi f
yaitu instrumental
ilai denganhariukuran kinerja activities
objektif,of daily living (IADL)kecepatan
termasuk dan activities berjalan,
of k
daily living (ADL) untuk menentukan
n, keseimbangan, dan kekuatan ekstremitas bawah. kebutuhan bantuan.
5,13 5

fungsional
g. Status Nutrisi
nilaian status
fungsional
Kanker mencakup
dapat melepaskan mediator skala ketergantungan
inflamasi hidup
dan faktor-faktor lain yang sehari-h
tal activitiesmempengaruhi
of daily living (IADL) dan activities of daily living (ADL
5 otak, otot, hati, dan fungsi lemak. Sinyal nafsu makan
an kebutuhan bantuan.
yang berubah dari SSP menyebabkan anoreksia, sehingga mengurangi
Nutrisi asupan kalori. Ketidakseimbangan anabolik/katabolik menyebabkan
nker dapatberkurangnya
melepaskan mediator
massa dan kekuatan otot.inflamasi
Efek kanker didan faktor-faktor lai
hati menyebabkan
aruhi otak, otot, hati, dan fungsi lemak. Sinyal nafsu makan yang berubah
gangguan farmakodinamik obat.14
kan anoreksia, sehingga mengurangi asupan kalori. Ketidakseim
atabolikh. menyebabkan
Status psikologis berkurangnya massa dan kekuatan otot. Efek kanke
14
kan gangguan
farmakodinamik
Depresi obat.tua
sangat lazim pada orang dengan kanker, dengan kisaran 10%
psikologis -65% di berbagai studi GA. Alat skrining secara singkat dapat membantu
presi sangatmendeteksi
lazim pada pasienorang tua dengan
yang mengalami tekanan kanker,
psikologisdengan kisaran 10%
parah. Distress
tudi GA. Alat skrining secara singkat dapat membantu
thermometer (DT) adalah item tunggal yang meminta pasien untuk mendeteksi pas
i tekanan psikologis parah.dalam
menilai depresinya Distress
seminggu terakhir pada(DT)
thermometer skala adalah
0 ("tanpaitem tung
pasien untuk menilai depresinya dalam seminggu
tekanan") hingga skala 10 ("tekanan ekstrim"). 5 terakhir pada skala 0
5
hingga skala 10 ("tekanan ekstrim").
i. Penilaian Resiko Kemoterapi
ian Resiko Kemoterapi
atifikasi risiko
Stratifikasi risiko kemotoksisitas
kemotoksisitas diukur diukur skor Cancer
dengan skor
dengan Cancerand Aging
and Aging R
Research Group (CARG) (Tabel 1). Skor
ARG) (Tabel 1). Skor risiko yang lebih tinggi dikaitkan risiko yang lebih tinggi dikaitkan
dengan pen
5 peningkatan kemotoksisitas (Tabel 2).5
dengan
sitas (Tabel 2).
Tabel 1. Skor CARG untuk memprediksi toksisitas kemoterapi5
bel 1. Skor CARG untuk memprediksi toksisitas kemoterapi5

842 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Kanker Pasien Geriatri

Tabel 2. Skor CARG dihubungkan dengan toksisitas kemoterapi5


Tabel 2. Skor CARG dihubungkan dengan toksisitas kemoterapi5

Kesimpulan
Kesimpulan
Dapat
Dapatdisimpulkan
disimpulkanbahwa
bahwausiausiabukan
bukansatu-satunya
satu-satunyadata
dataatau
atausebagai
sebagai faktor u
faktorkeputusan
untuk utama untuk keputusan
pengobatan pengobatan
pada pasien geriatripada pasien
dengan geriatri
kanker. dengan
Pemilihan status pasien
tepat , dengan
kanker. mempertimbangkan
Pemilihan status pasien yangusia fungsional
tepat , dengan dapat memberikan hasil
mempertimbangkan usiapengobatan
sama dengan
fungsional pasien
dapat usia muda.
memberikan hasilPerawatan
pengobatan hendaknya
yang sama tetap
denganberpusat pada pertimb
pasien usia
pasien, dan memberi
muda. Perawatan kesempatan
hendaknya tetappada pasienpada
berpusat geriatri untuk sedapat
pertimbangan mungkin
pasien, dan terlibat d
memilih
memberiterapi untuk dirinya
kesempatan sendiri.geriatri
pada pasien Hal ini untuk
memberikan
sedapatdampak
mungkin perawatan
terlibat yang efekt
efisien.
dalam memilih terapi untuk dirinya sendiri. Hal ini memberikan dampak
Komunikasi di antara anggota tim perawatan adalah kunci untuk mengh
perawatan yang efektif dan efisien.
perawatan yang terpecah-pecah, pengeluaran biaya yang tidak perlu, dan hasil pengo
yang merugikan. Intervensi yang kita berikan dengan cara yang tepat dapat mengha
Komunikasi
peningkatan di antara
kualitas anggota
hidup yang tim perawatan
signifikan adalahgeriatri
untuk pasien kunci dengan
untuk kanker d
seluruh perjalanan
menghindari perawatan
perawatan yangkanker yang berkelanjutan.
terpecah-pecah, pengeluaran biaya yang tidak
perlu, dan hasil pengobatan yang merugikan. Intervensi yang kita berikan
Daftar
denganPustaka
cara yang tepat dapat menghasilkan peningkatan kualitas hidup yang
signifikan untuk pasien geriatri dengan kanker dalam seluruh perjalanan
1. Soto-Perez-de-Celis, E. et al. Global geriatric oncology: Achievements and challe
perawatan kanker yang berkelanjutan.
J. Geriatr. Oncol. 8, 374–386 (2017).
2. KEMENKES. Analisis Situasi Lansia Di Indonesia. (2017).
3.DaftarSoubeyran,
Pustaka P. et al. Screening for vulnerability in older cancer patients:
1. Soto-Perez-de-Celis,prospective
ONCODAGE E. et al. multicenter cohort
Global geriatric study. PLoS
oncology: One 9, (2014).
Achievements and
4. challenges.
Miller, K. D. Cancer Statistics for
J. Geriatr. Oncol. 8, 374–386 (2017).Adults Aged 85 Years and Older , 2019. 0,
(2019).
2. KEMENKES. Analisis Situasi Lansia Di Indonesia. (2017).
5. Korc-Grodzicki, B., Shahrokni, A. & Holmes, H. M. Geriatric assessmen
3. Soubeyran, P. et al. Screening for vulnerability in older cancer patients: The
oncologists. Cancer Biol. Med. 12, 261–274 (2015).
6. ONCODAGE
Macnee,prospective multicenter cohort
W., Rabinovich, A. &PLoSChoudhury,
R. study. One 9, (2014). G. disease. 1332–
K. D. Cancer Statistics for Adults Aged 85 Years and Older, 2019. 0, 1–16
doi:10.1183/09031936.00134014
4. Miller,
7. Mchugh, D. & Gil, J. Senescence and aging : Causes , consequences , and therap
(2019).
avenues. 217,B.,65–77
5. Korc-Grodzicki, (2018).
Shahrokni, A. & Holmes, H. M. Geriatric assessment for
8. oncologists.
Klutstein,Cancer
M., Biol.
Nejman, D.,261–274
Med. 12, Green, (2015).
R. & Cedar, H. DNA Methylation in Cance
Aging. 76, 3446–3451 (2016).
9. Snyderman, D., Haines, C. & Wender, R. Cancer in the elderly. Reichel’s Care E
Clin.Ilmiah
Pertemuan Asp.Nasional
Aging,XVII
Sixth
PAPDIEd. 2, 392–411
- Surabaya 2019 (2009). 843
10. Cancer in older adults : management and prevention. 1–12 (2014).
11. Ludwig, D. K. Cancer risk associated with key epigenetic changes occurring th
Eko Adhi Pangarsa

6. Macnee, W., Rabinovich, R. A. & Choudhury, G. disease. 1332–1352


doi:10.1183/09031936.00134014
7. Mchugh, D. & Gil, J. Senescence and aging : Causes , consequences , and therapeutic
avenues. 217, 65–77 (2018).
8. Klutstein, M., Nejman, D., Green, R. & Cedar, H. DNA Methylation in Cancer and
Aging. 76, 3446–3451 (2016).
9. Snyderman, D., Haines, C. & Wender, R. Cancer in the elderly. Reichel’s Care Elder.
Clin. Asp. Aging, Sixth Ed. 2, 392–411 (2009).
10. Cancer in older adults : management and prevention. 1–12 (2014).
11. Ludwig, D. K. Cancer risk associated with key epigenetic changes occurring through
normal aging process. 1–3 (2018). doi:10.1016/j.ccell.2018.01.008
12. Takahashi, M., Takahashi, M., Komine, K. & Yamada, H. The G8 screening tool
enhances prognostic value to ECOG performance status in elderly cancer patients :
A retrospective , single institutional study. 1–14 (2017).
13. Brown, J. C., Harhay, M. O. & Harhay, M. N. Physical function as a prognostic
biomarker among cancer survivors. Br. J. Cancer 112, 194–198 (2015).
14. Arends, J. et al. ESPEN expert group recommendations for action against cancer-
related malnutrition. Clin. Nutr. 36, 1187–1196 (2017).

844 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi
Pendrik Tandean
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo - Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Pendahuluan
Treadmill test (TT) adalah pemeriksaan non invasif yang paling sering
digunakan untuk menilai penderita dengan kecurigaan penyakit jantung.
Pemeriksaan ini disebut exercise stress test atau exercise tolerance test.
Protokol yang banyak digunakan adalah Bruce dan modifikasi Bruce.

Secara historis, TT dikembangkan sebagai teknik diagnostik dalam


penilaian penyakit jantung koroner (PJK). Saat ini penggunaaannya semakin
luas termasuk evaluasi penderita paska infark miokard, pasca tindakan
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau Coronary Artery Bypass Grafting
(CABG), dan untuk mengukur kapasitas fungsional dan membuat program
latihan. Protokol Bruce dikembangkan pada tahun 1963 oleh Dr. Robert. A.
Bruce. Protokol uji latihan lainnya meliputi Naughton dan Balke.

I. Indikasi Treadmill Test


Secara umum TT dapat digunakan untuk:1
1. Mendeteksi Penyakit Jantung Koroner (PJK) pada seseorang dengan
gejala atau tanda-tanda ke arah PJK.
2. Menilai tingkat beratnya PJK.
3. Prediksi prognosis atau stratifikasi risiko untuk kejadian
kardiovaskular atau kematian.
4. Mengukur kapasitas fisik dan kemampuan melakukan aktivitas
tertentu.
5. Mengevaluasi keluhan-keluhan yang berhubungan dengan aktivitas
atau latihan fisik.
6. Mengevaluasi efek terapi atau intervensi.
7. Menilai kompetensi kronotropik, kemungkinan kemunculan aritmia
atau evaluasi respon terapi atau tindakan aritmia.
8. Penggunaan lain yang dianggap tambahan seperti untuk membuat
program latihan, menilai respon terhadap program latihan fisik atau
respon terhadap pengobatan, menentukan klasifikasi fungsional
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 845
Pendrik Tandean

disabilitas, dan untuk evaluasi risiko perioperatif untuk tindakan


bedah non kardiak.

II. Kontraindikasi Treadmill Test


Kontraindikasi absolut TT adalah:1
1. Infark miokard akut dalam 2 hari pertama.
2. Angina pektoris tidak stabil yang masih berlangsung atau yang
dianggap berisiko tinggi.
3. Aritmia tak terkontrol yang menimbulkan keluhan atau gangguan
hemodinamik.
4. Stenosis berat katup aorta yang simtomatik.
5. Diseksi aorta akut.
6. Miokarditis/ perikarditis akut, endokarditis aktif, infeksi akut
lainnya.
7. Gagal jantung yang belum terkontrol.
8. Emboli paru akut, infark paru, thrombosis vena dalam.
9. Gangguan fisik atau mental atau kondisi medis tertentu yang
tidak memungkinkan dilakukannya TT secara aman dan/ atau
memperburuk keadaannya bila dilakukan TT.
Kontraindikasi relatif TT adalah:1
1. Telah diketahui adanya stenosis koroner cabang utama kiri/ left
main atau ekuivalen.
2. Stenosis katup aorta sedang sampai berat yang tidak menyebabkan
gejala.
3. Takiaritmia dengan laju ventrikel tak terkontrol.
4. Blok Atrioventrikular derajat 2-3.
5. Hipertensi sistemik berat (diastolik >110 mmHg, sistolik >200
mmHg saat istirahat).
6. Kardiomiopati hipertrofi dengan obstruksi berat left ventricular
outflow tract (LVOT).
7. Stroke atau transient ischemic attack yang baru terjadi/ recent.
8. Hipertensi pulmoner berat.
9. Pemakaian alat pacu jantung (fixed rate).
10. Gangguan fisik atau mental atau kondisi medis tertentu yang tidak
memungkinkan dilakukannya TT secara adekuat.

846 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

III. Treadmill Test pada PJK


Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah indikasi utama untuk dilakukan
TT. Indikasi untuk diagnostik TT didasarkan pada probabilitas pretest
PJK. Probabilitas pretest klinis CAD dievaluasi berdasarkan usia, jenis
kelamin, dan tipe angina. Angina didefinisikan oleh tiga kriteria yaitu
nyeri dada retrosternal dipicu oleh aktivitas atau stres emosional;
nyeri dada yang berlangsung selama beberapa <20 menit); dan nyeri
dada berkurang dengan istirahat atau penggunaan nitrogliserin. Angina
disebut tipikal jika ketiga kriteria terpenuhi, atipikal jika hanya ada dua
kriteria, Probabilitas pretest dapat dikelompokkan menjadi rendah,
menengah atau tinggi (Tabel 1), tergantung pada gejala, usia dan jenis
kelamin pasien.2

Gambar 1. Treadmill test sebagai alat diagnostik pasien PJK.2

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 847


Pendrik Tandean

Tabel 1. Probabilitas pretest pada pasien PJK.2

IV. Protokol Treadmill Test


Terdapat dua protokol yang sering digunakan dalam TT yaitu protokol
bruce dan modified bruce. Pada protocol Bruce, latihan dimulai dengan
kecepatan 2,74 km / jam (1,7 mph=miles per hour) dan elevasi 10%. Pada
interval tiga menit, elevasi treadmill meningkat 2%, dan kecepatannya
meningkat seperti yang ditunjukkan pada yang tercantum di bawah
(Bruce Treadmill Test Stages). Tes harus dihentikan saat subjek tidak
dapat melanjutkan karena kelelahan atau sakit, dada atau karena indikasi
medis lainnya.3

Bruce Treadmill Test Stages


Stage 1 = 1.7 mph at 10% Grade
Stage 2 = 2.5 mph at 12% Grade
Stage 3 = 3.4 mph at 14% Grade
Stage 4 = 4.2 mph at 16% Grade
Stage 5 = 5.0 mph at 18% Grade
Stage 6 = 5.5 mph at 20% Grade
Stage 7 = 6.0 mph at 22% Grade
Stage 8 = 6.5 mph at 24% Grade
Stage 9 = 7.0 mph at 26% Grade

Pada protokol Modified Bruce yang dimulai pada beban kerja yang lebih
rendah daripada tes standar, dan biasanya digunakan untuk pasien lanjut
usia. Tahap kedua dari Modified Bruce Test dimulai dengan kecepatan
2.74 km/jam (1,7 mph) dengan elevasi 0% dan 1,7 mph dan elevasi 5%
, dan tahap ketiga sesuai dengan tahap pertama dari protokol Standard
Bruce Test seperti yang tercantum diatas.3

V. Prosedur Pemeriksaan
Prosedur TT dilakukan ditempat yang nyaman untuk pasien dan petugas
yang melakukan prosedur. Tersedia sumber oksigen dan peralatan yang

848 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

diperlukan bila kegawatan terjadi, dan memungkinkan dapat bergerak


bebas serta memndahkan tempat tidur maupun kursi roda. Prosedur
harus dilakukan oleh petugas yang memahami prosedur, memiliki
kompetensi untuk melakukan, menganalisa, menginterpretasi dan
melaporkan, serta mampu melakukan tindakan yang diperlukan bila
terjadi kegawatan.3-5

Persiapan tindakan treadmill test terdiri dari :3-5


1. Persiapan pasien
• Tujuan atau indikasi pemeriksaan harus diketahui dengan jelas
oleh pasien dan penerima rujukan yang akan melakukan TT.
Bila perlu dokter yang merujuk dihubungi untuk mendapat
informasi yang diperlukan.
• Subjek diberi penjelasan yang memadai tentang maksud,
manfaat, resiko, alternatif pemeriksaan, tatacara pemeriksaan
dilakukan, gejala dan keluhan untuk menghentikan TT, dan
kapan laporan hasil pemeriksaan akan disampaikan.
• Istirahat yang cukup pada malam sebelumnya, menghindari
stres emosional atau fisik pada hari pemeriksaan.
• Tidak makan berat, minum alkohol, minum kopi, merokok
minimal 2 jam sebelum TT.
• Apabila TT yang dilakukan bertujuan diagnostik PJK, dan
diharapkan laju jantung mencapai maksimal atau melewati
submaksimal, atau untuk memprovokasi timbulnya aritmia,
maka obat-obatan yang menghambat laju jantung, menutupi
munculnya gambaran iskemia, obat-obat yang menekan
timbulnya aritmia dapat dihentikan minimal 24 jam bila hal
tersebut memungkinkan dan tidak berbahaya untuk subjek.
• Apabila TT yang dilakukan bertujuan untuk menilai kapasitas
fungsional atau menilai efek pengobatan/ intervensi, maka
obat-obat rutin dapat tetap dilanjutkan, namun daftar obat
yang dikonsumsi harus ada dan dicatat beserta dosisnya.
• Berpakaian dan beralas kaki yang nyaman, sehingga dapat
bergerak leluasa saat TT.
• Peralatan TT serta peralatan dan obat-obatan untuk mengatasi
kegawatdaruratan harus selalu dipastikan dalam kondisi
tersedia dan siap dipakai.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 849


Pendrik Tandean

• Persetujuan tindakan berdasarkan informasi yang memadai


atau informed consent harus sudah diperoleh sebelum tindakan
dilakukan dan sesuai dengan peraturan atau kebijakan yang
berlaku di masing-masing tempat. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 290/Menkes/Per/III/2008
dan Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran dari Konsil
Kedokteran Indonesia tahun 2006 yang mengatur persetujuan
tindakan kedokteran dapat dijadikan acuan serta formulir yang
dapat dipergunakan.
2. Persiapan alat
• Alat treadmill dan perangkatnya
• Emergency troly lengkap dan defibrillator
• Elektroda, plester
• Tensimeter, Stetoscope
• Jelly, alkohol 70 % dan kasa non steril
• Tissue dan handuk kecil
• Baju/celana yang nyaman dipakai untuk treadmill
3. Prosedur tindakan
• Pasien di anamnesis dan diberi penjelasan tentang maksud,
tujuan, manfaat dan risiko tindakan treadmill, lalu diminta
menanda tangani persetujuan tindakan (informed consent)
• Menentukan target HR maximal dan submaximal (target HR
maximal : 220-umur dan submaximal adakah 85 % dari target
HR maximal).
• Pasien dipersilahkan ganti pakaian, celana dan sepatu yang
nyaman untuk treadmill
• Pasien berbaring di tempat tidur yang sudah dipersiapkan
• Bersihkan tubuh pasien pada lokasi yang akan ditempelkan
elektroda dengan kasa alkohol
• Tempelkan elektrode pada daerah precordial (V1-6) dan dada
kanan, kiri atas (RA, LA) dan perut bawah kanan/kiri (RL,LL),
seperti gambar dibawah ini:

850 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

Gambar 2. Titik pemasangan elektroda pada daerah precordial.3

• Sambungkan dengan kabel treadmill


• Fiksasi elektrode dengan baik
• Masukkan data pasien ke alat treadmill
• Ukur tekanan darah
• Rekam EKG 12 sadapan
• Ambil rekaman 12 sadapan dengan posisi supin, berdiri dan
hiperventilasi
• Jalankan alat treadmill dengan kecepatan sesuai prosedur
• Setiap 3 menit kecepatan dan elevasi akan bertambah
• Pantau gambaran perubahan EKG, keluhan pasien selama test
• Rekam EKG dan ukur tekanan darah setiap 3 menit
• Hentikan tes sesuai prosedur
4. Recovery
• Rekam EKG 12 sadapan dan ukur tekanan darah saat test
dihentikan
• Pasien dipersilahkan duduk /berbaring
• Pantau gambaran EKG selama pemulihan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 851


Pendrik Tandean

• Rekam EKG 12 sadapan dan ukur tekanan darah setiap tiga


menit
• Pemulihan biasanya selama enam menit (hingga tekanan darah,
denyut jantung dan gambaran EKG seperti semula)
• Beritahu pasien bahwa test sudah selesai
• Lepaskan electrode dan manset tekanan darah
• Bersihkan jelly yang menempel di dada pasien
• Pasien dipersilahkan duduk istirahat selama 15 menit

VI. Indikasi Terminasi Tes


Menurut American College of Cardiology (ACC)/American Heart
Association (AHA) guidelines, indikasi untuk terminasi tes terbagi atas
dua indikasi absolut dan relatif.
Indikasi absolut :3-5
• Infark miokard akut atau kecurigaan adanya infark miokard akut.
• Angina pektoris sedang-berat.
• Elevasi segmen ST > 1 mm pada sandapan tanpa gelombang Q
patologis (selain aVR, aVL dan V1).
• Tekanan sistolik turun > 10 mmHg dibawah tekanan sistolik saat
istirahat berdiri seiring peningkatan beban dengan disertai adanya
bukti iskemia, atau turun >20 mmHg sesudah peningkatan tekanan
darah sistolik sebelumnya.
• Aritmia yang serius (Blok AV derajat 2 atau derajat 3, takikardia
ventrikel atau fibrilasi ventrikel).
• Tanda-tanda hipoperfusi (pucat, sianosis, dingin, kulit berkeringat).
• Tanda-tanda ganguan neurologis (pusing, pandangan gelap, sakit
kepala, gangguan melangkah).
• Gangguan teknis (gangguan alat treadmil atau ergocycle, gangguan
pada monitor, gambaran EKG yang tidak dapat dinilai, tak dapat
mengukur tekanan darah).
• Permintaan subjek.

852 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

Indikasi relatif : 3

• Depresi segmen ST > 2 mV (horizontal atau downsloping), perubahan


kompleks QRS atau perubahan aksis.
• Nyeri dada yang makin memberat.
• Sesak nafas, kelelahan, wheezing, kram tungkai, atau klaudikasio.
• Tekanan darah sistolik >230 mmHg, diastolik >115 mmHg).
• Tekanan sistolik turun > 10 mmHg dibawah tekanan sistolik saat
istirahat berdiri seiring peningkatan beban tanda disertai adanya
bukti iskemia.
• Aritmia selain takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel (PVC
multifokal, PVC triplet, takikardia supraventrikular, bradi aritmia,
blok AV selain selain derajat 2 dan 3) yang berpotensi menjadi lebih
kompleks dan mempengaruhi hemodinamik.
• Terjadi bundle branch block atau gangguan konduksi interventrikular
lainnya, yang sulit dibedakan dengan takikardia ventrikel.

VII. Interpretasi
Interpretasi harus mencakup kapasitas latihan dan respon klinis,
hemodinamik, dan EKG. Terjadinya nyeri dada iskemik selama latihan
merupakan gejala yang penting.
Kriteria iskemik positif, meliputi:6
 Depresi segmen ST >1 mm dibawah garis isoelektrik pada 60
milidetik setelah J point (bila depresi segmen ST horizontal atau
downsloping)
 Depresi segmen ST > 1,5 mm dibawah garis isoelektrik pada 80
milidetik setelah J point ( bila depresi segmen ST upsloping)
 Elevasi segmen ST (dan elevasi J point) > 1 mm pada 80 milidetik
setelah J point
 Elevasi segmen ST di aVR. Kondisi ini dianggap seperti depresi
segmen ST yang horizontal

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 853


Pendrik Tandean

Gambar 3. Depresi segmen ST selama treadmill. Downsloping lebih dari 2


mm adalah indikasi relatif terminasi.7

Penyebab depresi segmen ST non koroner adalah sebagai berikut:4,6,8


• Hipertensi berat
• Stenosis aorta berat
• Cardiomyopathy
• Anemia
• Hipokalemia
• Hipoksia berat
• Penggunaan Digitalis
• Hipertrofi ventrikel kiri
• Hiperventilasi
• Prolaps katup mitral
• Keterlambatan konduksi intraventrikular
• Sindroma preexcitation (sindrom Wolff-Parkinson-White [WPW])
• Takiaritmia supraventrikular

VIII. Respons Ekg Selama Latihan3,4


1) Gelombang P
Tinggi gelombang P akan meningkat terutama di sadapan inferior
selama TT. Hal tersebut berbeda dengan durasi gelombang P yang
tidak mengalami perubahan yang signifikan selama latihan.

854 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

2) Segmen PR
Selama TT, segmen PR memendek dan melandai ke bawah (slope
downward) di sadapan inferior. Hal tersebut disebabkan oleh
repolarisasi atrial sehingga menimbulkan gelombang Ta yang dapat
memberikan gambaran depresi segmen ST yang positif palsu di
sadapan inferior.
3) Kompleks QRS
Gelombang Q mengalami sedikit perubahan dari kondisi istirahat
ke latihan, yaitu semakin negatif saat puncak latihan. Amplitudo
gelombang R mengalami peningkatan maksimal sebelum tercapainya
puncak latihan. Gelombang R akan mengalami penurunan amplitudo
yang terutama terlihat pada sadapan V5 saat puncak latihan. Pada
sadapan lateral dan vertikal (V5 dan aVF) gelombang S akan menjadi
lebih negatif dan secara perlahan akan kembali ke semula (kondisi
istirahat) saat fase recovery.
4) Depresi J-Point
J-point atau J-junction (pertemuan antara akhir dari gelombang QRS
dengan awal segmen ST) akan mengalami penurunan (depresi) di
sadapan lateral. Depresi J-point akan maksimal saat puncak latihan
dan akan kembali ke posisi semula secara perlahan pada fase
pemulihan (recovery). Depresi J-point lebih banyak ditemukan pada
pasien usia lanjut. Elevasi J-junction saat istirahat yang berubah
menjadi isoelektris saat latihan merupakan temuan yang dianggap
normal. Respons normal vektor segmen ST terhadap takikardi dan
latihan berupa perpindahan ke sebelah kanan (rightward) dan
bawah (downward).

5) Gelombang T
Gelombang T akan mengalami penurunan amplitudo pada semua
sadapan selama awal latihan. Saat latihan mencapai puncaknya,
amplitudo gelombang T akan mulai meningkat. Amplitudo
gelombang T akan kembali seperti saat istirahat pada satu menit
fase pemulihan.
6) Segmen ST
Evaluasi depresi segmen ST pada sadapan V5 memberikan hasil yang
lebih akurat dibandingkan sadapan II. Hal tersebut disebabkan oleh
depresi segemen ST di sadapan II sering menunjukkan hasil yang
positif palsu akibat gelombang Ta (repolarisasi atrium).
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 855
Pendrik Tandean

Depresi segmen ST memiliki sensitivitas 60 – 70% dan spesivitas


70 – 80% dalam mendiagnosis PJK (dengan konfirmasi angiografi
koroner). Ada tiga hal yang penting diperhatikan dalam menilai
depresi segmen ST, yaitu PQ-point, J-point, dan ST80 seperti yang
disajikan pada gambar 4.
PQ-point yang merupakan pertemuan antara akhir gelombang
P dengan awal kompleks QRS dijadikan sebagai garis isoelektris
dalam penilaian depresi segmen ST. J-point merupakan pertemuan
antara akhir gelombang QRS dengan awal segmen ST. ST80 diukur
80 miliseconds setelah J-point.

Gambar 4. Tiga hal yang penting dalam penilaian depresi segmen ST.
1; PQ-point, 2; J-point, dan 3; ST80.9

Kriteria depresi segmen ST yang dianggap bermakna adalah


depresi segmen ST ≥ 1 mm atau 0.1 mV dengan tipe horizontal atau
downsloping pada tiga denyut berturut-turut (pengukuran segmen
ST 60-80 miliseconds setelah J-point). Apabila denyut jantung lebih
dari 130 kali per menit, maka digunakan kriteria 60 miliseconds
setelah J-point.1 Contoh depresi segmen ST tipe horizontal dan
downsloping disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Depresi segmen ST tipe horizontal dan downsloping.9

856 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

 Depresi Segmen ST Upsloping


Depresi segmen ST tipe rapid upsloping yang cepat menghilang
biasanya bukan merupakan suatu respons yang sebenarnya.
Namun adanya depresi segmen ST tipe slow upsloping (0.5 –
1.0 mV/detik) terutama pada beban latihan yang rendah dapat
dikategorikan abnormal. Evaluasi depresi segmen ST tipe
upsloping dilakukan dengan menggunakan penyesuaian denyut
jantung (heart rate adjustment).1 Contoh depresi segmen ST
tipe rapid dan slow upsloping disajikan pada gambar 6.

Gambar 6. Depresi segmen ST tipe rapid dan slow upsloping.9

 Elevasi Segmen ST
Kriteria elevasi segmen ST yang dianggap bermakna apabila
terdapat elevasi segmen ST ≥ 1 mm atau 0.1 mV di atas PQ-
point pada 60 milisecondss setelah J-point pada tiga denyut
berturut-turut. Elevasi segmen ST yang diinduksi oleh latihan
tanpa adanya gelombang Q biasanya menandakan adanya
stenosis arteri koroner proksimal yang signifikan atau spasme
arteri koroner epikardial. Sebaliknya elevasi segmen ST dengan
gelombang Q biasanya menunjukkan aneurisma ventrikel kiri
atau perubahan gerakan dinding ventrikel yang signifikan.
Contoh elevasi segmen ST dengan atau tanpa gelombang Q
disajikan pada gambar 7.
Adanya elevasi segmen ST ≥ 1 mm di sadapan aVR merupakan
predictor suatu left main disease, proximal left anterior
descending disease, atau PJK multivessel.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 857


Pendrik Tandean

Gambar 7. Elevasi segmen ST tanpa gelombang Q dan dengan


gelombang Q.9

7) Perubahan Kompleks QRS


Perubahan Amplitudo Gelombang R
Gelombang R di sadapan prekordial normalnya akan meningkat
selama latihan. Gelombang R tersebut akan mencapai puncak
sebelum tercapainya latihan maksimal dan mengalami penurunan
saat puncak latihan tercapai. Apabila oleh karena suatu sebab
sehingga latihan maksimal tidak dapat tercapai, maka gelombang R
akan mengalami peningkatan pada saat puncak latihan. Peningkatan
gelombang R ini tidak memiliki faktor prediktor yang kuat.
Perubahan Durasi Kompleks QRS
Selama latihan terjadi pemendekan durasi kompleks QRS, interval
PR, dan interval QT yang merupakan respons normal. Blok cabang
berkas yang diinduksi oleh latihan jarang ditemukan dengan
insiden ≤ 0.5%. Blok cabang berkas kiri yang diinduksi oleh latihan
(exercise-induced left bundle branch block, EI-LBBB) dilaporkan
dalam dua penelitian besar. Satu penelitian menunjukkan bahwa
EI-LBBB terjadi pada denyut jantung yang lebih dari 125 kali per
menit dengan kemungkinan kecil akan adanya suatu PJK. Insiden
PJK meningkat apabila EI-LBBB ditemukan pada denyut jantung
yang lebih rendah. Penelitian lain menunjukkan bahwa adanya
EI-LBBB berhubungan dengan kematian dan major cardiac events.
Blok cabang berkas kanan yang diinduksi oleh latihan (exercise-
induce right bundle branch block, EI-RBBB) dilaporkan berhubungan
dengan umur.

858 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

Gelombang T
Perubahan gelombang T saja (tanpa perubahan komponen lain dari
EKG latihan), inversi gelombang T, atau pseudonormalized T wave
changes (gelombang T terbalik saat istirahat lalu menjadi normal
saat latihan) selama TT dikategorikan sebagai perubahan yang tidak
spesifik.

IX. Nilai Prognostik


1. Inkompetensi kronotropik terhadap Latihan
Inkompetensi kronotropik adalah ketidakmampuan jantung untuk
meningkatkan lajunya sesuai dengan peningkatan beban atau
kebutuhan. Chronotropic index (CI): [(Laju jantung maksimal pada
saat uji - laju jantung istirahat) / (perkiraan laju jantung maksimal
berdasarkan usia - laju jantung istirahat)] x 100.
Batasan CI adalah bila pada puncak ULJ yang adekuat:
• Chronotropic index tidak mencapai 80%, atau tidak mencapai
62% bagi yang mengunakan penyekat beta.
• Laju jatung tidak mencapai 85% dari perkiraan laju jantung
maksimal berdasarkan usia (220-usia).
• Laju jantung tidak mencapai 120 x/menit pada ULJ yang
adekuat.
Makna parameter CI:
 Subjek simtomatik dengan CI mempunyai risiko kematian
dalam 2 tahun sekitar 1,84 – 2,19 kali lebih besar dibanding
mereka yang tanpa CI.
 Subjek tanpa depresi segmen ST pada ULJ, tetapi menunjukkan
adanya CI mempunyai risiko 4 kali lipat insiden PJK, dan
berisiko lebih tinggi untuk kematian dan infark miokard. 4,9,10
2. Heart Rate Recovery (HRR)
Beberapa menit awal pemulihan, laju jantung akan menurun sesuai
dengan respon parasimpatis dari nodus sinoatrial. HRR adalah
selisih antara laju jantung maksimal dan laju jantung saat pemulihan
pada menit tertentu dan yang dapat dipergunakan sebagai prediktor
pada TT adalah HRR 1menit dan HRR 2 menit.
HRR 1 menit: Laju jantung maksimal dikurangi laju jantung menit
pertama pemulihan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 859


Pendrik Tandean

Nilai normal: > 12x/menit (bila pemulihan berdiri/aktif): >18 X/


menit (bila pemulihan langsung berbaring/pasif)
HRR 2 menit: Laju jantung maksimal dikurangi laju jantung menit
ke-2 pemulihan
Nilai normal: >22/menit bila fase pemulihan dengan posisi duduk
Makna HRR abnormal:
Laju jantung pemulihan yang abnormal berhubungan dengan
prognosis subjek, terutama pada subjek yang pada TT ditemukan
respon iskemia. Pada penderita dengan HRR 1 menit yang abnormal
(<12 kali/menit) dan dengan Duke Treadmill Score (DTS) berisiko
sedang kejadian mortalitasnya 4,16 kali dibanding HRR normal,
sedangkan pada subjek dengan DTS risiko tinggi, risiko mortalitasnya
4,28 kali lebih tinggi. 4,9,10
3. Respon Hipertensi
Pada keadaan normal tekanan darah sistolik secara bertahap akan
meningkat selama TT sesuai dengan meningkatnya beban latihan,
tertinggi pada puncak latihan ,menurun waktu pemulihan dan
kembali ke normal biasanya pada menit ke 6 sesudah puncak uji.
Respon hipertensi adalah kenaikan tekanan darah sistolik hingga
> 210 mmHg atau kenaikan 10 mmHg tekanan darah diastolik dari
tekanan darah awal latihan, atau peningkatan tekanan sistolik lebih
dari 40 mmHg per stage protokol Bruce.
Sekitar 10-26% individu yang menunjukkan respon hipertensi pada
TT menjadi hipertensi pada 5 tahun berikutnya walaupun pada
mulanya normotensi. Respon hipertensi yang terjadi pada beban
yang sedang mempunyai risiko kejadian kardiovaskular (cardiac
event) dan mortalitas 1,36 kali lebih besar dalam 15 tahun 4,10,12
4. Respon Hipotensi
Selama TT dapat terjadi penurunan tekanan darah sistolik akibat
penurunan fungsi ventrikel kiri yang disebabkan iskemia otot
miokard selama peningkatan beban miokard. Penurunan tekanan
darah sistolik > 10 mm Hg dari tekanan darah awal latihan pada posisi
berdiri disebut exercise induced hypotension (Respon hipotensi).11
Adanya respon hipotensi pada TT dan disertai adanya respon
iskemia atau sebelumnya telah diketahui menderita infark miokard
menunjukkan risko kejadian kardiovaskular /cardiac events

860 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

(mortalitas dan infark miokard akut) 3,2 kali lebih besar dalam 2
13
tahun.
5. Aritmia
Insiden ektopi ventrikel selama TT berkisar 20%. Aritmia yang
ditemukan bervariasi mulai dari isolated premature ventricular
beats (PVB) hingga nonsustained ventricular tachycardia. Kejadian
ektopi ventrikel yang sering selama ULJ atau fase pemulihan hanya
sekitar 2 – 3% pasien. Beberapa penelitian berbasis populasi klinis
(ULJ dilakukan karena gejala iskemia) menunjukkan bahwa adanya
aktivitas ektopi ventrikel selama latihan merupakan prediktor
terhadap angka mortalitas. Selain itu, ektopi ventrikel khususnya
morfologi blok cabang berkas kanan yang terjadi selama latihan atau
pada fase pemulihan berhubungan dengan kemungkinan kematian
akibat kardiovaskuler di masa yang akan datang. Pada populasi yang
asimptomatik, hubungan antara aritmia ventrikel dengan iskemia
maupun mortalitas masih belum jelas.
Aritmia supraventrikuler yang diinduksi oleh latihan tidak bersifat
prediktif terhadap iskemia atau cardiovascular endpoint. Namun hal
tersebut dapat mengindikasikan kemungkinan terjadinya fibrilasi
atrium atau takikardia supraventrikel di masa yang akan datang.4,11
6. Kapasitas Aerobik
Kapasitas aerobik merupakan prediktor mortalitas pada pasien PJK
maupun bukan PJK. Kapasitas aerobik dianggap abnormal apabila
kapasitas aerobik maksimal < 85% dari prediksi. Terdapat beberapa
formula yang dapat digunakan untuk memprediksi kapasitas aerobik
yaitu:
Laki-laki : 14,7–0,11 x umur (tahun) ; Perempuan :14,7- 0,13 x umur
(tahun)14
Pada laki- laki yang asimptomatik dengan kapasitas aerobik < 5 Mets
mempunyai risiko kematian sekitar 5 kali lipat dibanding mereka
15
yang mempunyai kapasitas aerobik > 8 Mets.
Pada perempuan asimtomatik dengan kapasitas aerobik < 5 Mets
risiko kematian 3,1 (2,0-4,7) kali lipat dibanding yang mempunyai
kapasitas aerobik > 8 Mets.16

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 861


Pendrik Tandean

7. Duke Treadmill Score


Duke Treadmill Score (DTS) merupakan parameter yang efektif
dalam memprediksi kejadian PJK yang berat. DTS menggunakan
formula sebagai berikut:
Durasi latihan – (5x ST deviasi) – (4x skor angina)
Keterangan: Skor angina: 0 tidak ada angina; 1 non limiting angina,
2 limiting angina. Skor >5 risiko rendah (survival rate 97% dalam
5 tahun), -10 sd 4 risiko sedang (survival rate 91% dalam 5 tahun),
<-11 risiko tinggi (survival rate 72% dalam 5 tahun).17

Daftar Pustaka
1. Radi B. Uji Latih Jantung pada Buku Ajar Kardiovaskular Jilid 1. Editor Yoga Yuniadi,
Dony Yugo Hermanto, Anna Ulfah Rahajoe. Jakarta, Sagung Seto. 2017 : 115-127
2. Marcadet DM, Pavy B, Bosser G, et al. French Society of Cardiology guidelines on
exercise tests: Indications for exercise tests in cardiac diseases. Arch Cardiovasc
Dis 2018;2-4.
3. Fletcher GF, Ades PA, Kligfield P, et al. Exercise Standards for Testing and
Training: A Scientific Statement from the American Heart Association. Circulation.
2013;128:873.
4. Gibbons RJ, Balady GJ, Bricker JT, et al. ACC/AHA 2002 Guideline Update for
Exercise Testing. Summary Article: A report of the ACC/AHA Task Force on Practice
Guidelines (Committee to Update the 1997 Exercise Testing Guidelines). J Am Coll
Cardiol. 2002;40:2-45.
5. Fletcher GF, Balady GJ, Amsterdam EA, et al. Exercise Standards for Testing and
Training: A Statement for Healthcare Professionals from the American Heart
Association. Circulation. 2001;104:1694-1740.
6. M.W. Luong, et. al. Stress testing: A contribution from Dr Robert A. Bruce, father of
exercise cardiology. BC Med Journal. 2016. 58(2): 70-6.
7. Garner KK, Pomeroy W, Arnold JJ. Exercise stress testing: indications and common
questions. Am Fam Physician. 2017 Sep 1. 96(5):293-9.
8. Kharabsheh SM, et al. Overview of Exercise Stress Testing. Ann Saudi Med
2006;26(1):1-6
9. Balady GJ and Morise AP. Exercise Testing. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook
of Cardiovascular Medicine. 10th ed. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2015:155-68.
10. Radi B, Arso IA, Sarvasti D, Tadjoedin Y, Tjahjono CT. Pedoman Uji Latih Jantung:
Prosedur dan Interpretasi. PERKI. 2016:21-28.
11. Evans CH, White RD. Exercise Testing for Primary Care and Sports Medicine
Physicians. New York: Springer Science Bussines Media; 2009.

862 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Treadmill Test: Teknik dan Interpretasi

12. Shulz MG, Otahal P, Cleland VR, Bizzard L, Marwick TH, Sharman JE. Exercise-
Induced Hypertension, Cardiovascular Event and Mortality in Patients Undergoing
Exercise Stress Testing: A Systematic Review and Meta-Analysis. Am J Hypertension.
2013;26(3):357-66.
13. Dubach P, Froelicher VF, Klein J, Oakes D, Grover-McKay M. Exercise-Induced
Hypotension in Male Population, Criteria, Causes and Prognosis. Circulation.
1988;78:1380-7.
14. Kligfield P, Lauer MS. Exercise Electrocardiogram Testing Beyond the ST Segment.
Circulation. 2006;114:2070-82.
15. Myers J,Prakash M,Froelicher VF,Parlington S,Atwood JE.Exercise Capacity and
Mortality Among Men Referred for Exercise Testing. N Engl J Med. 2002;346:783-
801.
16. Gulati M,Pandey DK,Arnsdorf MF,Lauderdle DS,Thisted RA,Wicklund RH,et al.
Exercise Capacity and the Risk of Death in Women. The St Jam Women Take Heart
Project. Circulation. 2003;108:1554-9.
17. Gunaydin ZY, Bektas O, Gurel E, et al. Value of Duke Treadmill Score in Predicting
Presence and Severity of Coronary Artery Disease. F Kardiol Pol. 2015;74:127-34

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 863


Teknik Injeksi Intraartikular Lutut
Lita Diah Rahmawati
Divisi Reumatologi, Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Injeksi sendi intraartikular adalah suatu prosedur pemberian obat
tertentu ke dalam rongga sendi yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri
dan inflamasi pada sendi seperti contohnya terjadi pada kasus artritis. Radang
sendi atau artritis biasanya berhubungan dengan proliferasi sel radang dan
peningkatan aliran darah menuju ke sendi yang klinis menyebabkan rasa
nyeri yang sangat. Radang sendi banyak disebabkan oleh beberapa hal antara
lain faktor degeneratif yaitu osteoartritis maupun inflamasi terkait autoimun.
Injeksi intraartikular yang tersering dikerjakan di lutut, panggul dan bahu,
selain itu di chostocondral join, facet join dan persendian tangan kaki.
Prosedur injeksi ini cukup aman, dapat membantu mengurangi nyeri pada
kasus tertentu, dengan jenis obat yang diinjeksikan meliputi kortikosteroid
sebagai anti inflamasi atau asam hyaluronan sebagai suplementasi untuk
kondisi degeneratif. Selain itu injeksi intraartikular juga bermanfaat untuk
menarik cairan sendi yang berlebihan dan menyebabkan inflamasi.

Anatomi Sendi Lutut


Lutut adalah salah satu sendi terbesar yang kompleks dengan tulang
penyusun terdiri dari os femur, os tibia dan fibula sebagai penopang dan
patella sebagai penutup yang terletak didepan lutut. Terdapat 2 potongan
meniskus yang terletak dibagian lateral dan medial yang berfungsi sebagai
redam kejut atau penyangga tekanan yang terletak diantara tulang femur
dan tibia. Terdapat beberapa bursa atau kantong yang berisi cairan agar
lutut dapat bergerak secara halus. Didapatkan struktur tendon atau ligamen
menghubungkan tulang lutut dengan otot untuk fungsi gerak dan kestabilan
sendi lutut. Ligamen cruciatum anterior mencegah tulang femur dari
pergerakan kebelakang terhadap tulang tibia atau pergerakan tibia menuju
ke depan femur. Dan ligamen cruciatum posterior yang mencegah femur
bergerak ke depan tibia dan sebaliknya. Ligamen kolateral medial dan lateral
mencegah femur bergerak dari satu ke sisi lain.

864 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Teknik Injeksi Intraartikular Lutut

Penyebab Nyeri pada Sendi Lutut


1. Chondromalacia patella (patello femoral syndrome): iritasi kartilago
disisi bawah patella sehingga terjadi nyeri yang banyak terjadi pada
orang usia muda.
2. Osteoartritis lutut: OA merupakan artritis yang sering menyebabkan
nyeri lutut yang disebabkan karena faktor degeneratif dan kerusakan
kartilago akibat proses tear and wear process dengan gejala meliputi
nyeri lutut, kaku dan bengkak.
3. Cairan pada lutut. Cairan dapat terkumpul di sendi lutut, baik dalam
jumlah sedikit maupun banyak. Penyebab dari timbulnya efusi ini
bermacam macam bisa karena inflamasi, artritis maupun injuri
4. Robekan meniskus : Kerusakan pada menikus atau kartilago sering
menjadi penyebab nyeri dan lutut tidak bisa dilipat.
5. Patellar tendonitis: Inflammasi pada tendon yang menghubungkan patella
menuju tepi tulang. Sering terjadi pada atlet yang sering melompat.
6. Knee bursitis: Didapatkan rasa nyeri, bengkak dan panas pada daerah
bursa lutut. Bursitis sering terjadi akibat injury maupun overuse.
7. Baker’s cyst: penumpukan cairan dibelakang lutut. Baker’s cysts biasanya
terjadi karena adanya cairan yang menetap misalnya pada kondisi
artritis.
8. Artritis reumatoid: adalah penyakit autoimun yang dapat menyebabkan
keradangan pada tulang, termasuk sendi lutut. RA yang tidak diobati
dengan baik akan menyebabkan kerusakan sendi lutut yang permanen.
9. Gout: artritis yang disebabkan karena deposisi kristal urat didalam sendi,
sehingga menyebabkan lutut bengkak dan nyeri.
10. Artritis septik: suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus maupun
jamur yang terjadi didalam sendi lutut yang menyebabkan inflamasi,
nyeri, bengkak dan kesulitan dalam menggerakkan lutut. Meskipun
kasusnya tidak banyak, namun jika tidak mendapatkan perawatan segera
dapat berakibat fatal.

Mekanisme Kerja Umum Injeksi Intraartikular


Bahan aktif yang digunakan untuk injeksi intraartikular adalah
kortikosteroid yang bekerja dengan menurunkan sel radang seperti makrofag,
sel mast, limfosit dan fagositosis. Selain itu juga menurunkan pengeluaran

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 865


Lita Diah Rahmawati

enzym lysosom dan mediator inflamasi seperti IL-1, prostaglandin dan


leukotrien. Injeksi kortikosteroid dapat menurunkan keradangan pada kasus
seperti osteoartitis. Bahan yang lain adalah hyaluronan yang digunakan
sebagai terapi maintenance pada kasus osteoarttritis awal atau ringan karena
dapat mencegah kerusakan kartilago dan inflamasi. Efektifitas dari injeksi
kortikosteroid intraartikular tergantung pada sediaan kortikosteroid yang
digunakan. Rerata triamcinolon memberikan efektivitas 4 minggu sampai
dengan 16 minggu. Injeksi hyaluronan diberikan jika pasien tidak membaik
dengan medikasi anti inflamasi, karena dari studi yang ada hyaluronan jika
diberikan secara teratur dapat menurunkan resiko tindakan bedah (Total
Knee Replacement) pada kasus OA grade 1 sampai grade 2.

Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi injeksi intraartikular pada sendi lutut adalah bila didapatkan
kondisi inflamasi tertentu terkait masalah degeneratif seperti OA maupun
autoimun seperti pada kasus Rheumatoid Arthritis. Indikasi yang lain untuk
penyuntikan asam hyaluronat terutama untuk kasus degeneratif seperti OA
lutut ringan – sedang atau dengan grading radiologis Kellgren- Lawrence I-III.
Injeksi intraartikular baik pada kasus degeneratif maupun terkait autoimun
harus juga disertai pengendalian medikasi penyakit dasarnya.

Kontraindikasi injeksi intraartikular yang harus diperhatikan adalah


kecurigaan adanya tanda infeksi pada area yang akan diinjeksi. Kontra
indikasi relatif dengan mempertimbangkan resiko dan manfaat seperti
kondisi periartikuler yaitu adanya selulitis, lesi psoriasis, septisemia,
riwayat hipersensitif obat dan bahan obat yang diinjeksikan, curiga adanya
fraktur intrartikular, pasien tidak kooperatif dan adanya gangguan diatesis
hemorrhagik.

Teknik Penyuntikan Intrartikular


Pendekatan terbaik untuk penyuntikan intraartikular adalah akses
yang maksimal dan hambatan sekecil mungkin, sehingga pendekatan yang
terbaik menuju rongga sinovial adalah superolateral, superomedial atau
anteromedial/anterolateral. Foto polos genu disarankan untuk dikerjakan
agar didapatkan kejelasan tentang anatomi daripada pasien secara individual.
Tempat injeksi hendaknya disesuaikan dengan anatomi lutut pasien dan
diberi tanda dengan pena sebelum kita lakukan tindakan pembersihan secara
steril.

866 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Teknik Injeksi Intraartikular Lutut

Pendekatan Superolateral
Pasien berbaring terlentang, dengan lutut yang diluruskan sepenuhnya.
Ibu jari dari pemeriksa digunakan untuk menstabilkan patella ketika jarum
diarahkan menuju bawah permukaan lateral atas patella, menuju pusat dari
patella kearah posterior dan inferomedial sendi lutut.

Pendekatan Superomedial
Pasien berbaring terlentang, dengan lutut yang diluruskan sepenuhnya.
permukaanIbu jari dari
lateral atas pemeriksa digunakan
patella, menuju untuk
pusat darimenstabilkan patella
patella kearah ketika dan
posterior jarum
inferomedia
sendi lutut. diarahkan menuju bawah permukaan medial atas patella, menuju pusat dari
Pendekatanpatella
Superomedial
kearah posterior dan inferolateral sendi lutut.
Pasien berbaring terlentang, dengan lutut yang diluruskan sepenuhnya. Ibu jari dar
pemeriksa Pendekatan
digunakan Anterolateral
untuk menstabilkan patella ketika jarum diarahkan menuju bawa
dan Anteromedial
permukaan medial Untuk pendekatan anterolateraldari
atas patella, menuju pusat danpatella kearah posterior
anteromedial, pasien dan
dapatinferolatera
sendi lutut.duduk atau berbaring dengan posisi flexi 90 derajat, sehingga didapatkan
Pendekatanposisi
anterolateral dan anteromedial
eksposur yang lebih baik dari permukaan intraartikular dan hal ini
Untuk pendekatan anterolateral dan anteromedial, pasien dapat duduk atau berbaring denga
mempermudah masuknya jarum menuju rongga sendi. Jarum diarahkan dari
posisi flexi 90 derajat, sehingga didapatkan posisi eksposur yang lebih baik dari permukaa
sisi lateral tendon patella tau medial dari tendon patella kurang lebih 1 cm
intraartikular dan hal ini mempermudah masuknya jarum menuju rongga sendi. Jarum
diatas permukaan tulang tibia, dan diarahkan langsung 15 - 45 derajat dari
diarahkan dari sisi lateral tendon patella tau medial dari tendon patella kurang lebih 1 cm
arah permukaaan
diatas permukaan anterior
tulang tibia, lutut secara
dan diarahkan vertikal 15
langsung garis tengah
- 45 menuju
derajat ruangpermukaaa
dari arah
intraartikular.
anterior lutut secara vertikal garis tengah menuju ruang intraartikular.

Gambar: Injeksi intraartikular pendekatan anteromedial


Gambar.dengan
Injeksi intraartikular
posisi pendekatan
duduk dan lutut anteromedial
fleksi 90 derajat
dengan posisi duduk dan lutut fleksi 90 derajat

Perawatan pasca injeksi


PascaPertemuan
injeksi,Ilmiah
observasi
Nasional XVIImeliputi perbandingan
PAPDI - Surabaya 2019 kadar nyeri pra dan867
pasca injeks
dengan pemeriksaan lutut dan palpasi. Efek dari lidokain jika diberikan segera dapa
dirasakan oleh pasien, sedangkan kortikosteroid biasanya memberikan efek dalam jangk
Lita Diah Rahmawati

Perawatan Pasca Injeksi


Pasca injeksi, observasi meliputi perbandingan kadar nyeri pra dan pasca
injeksi dengan pemeriksaan lutut dan palpasi. Efek dari lidokain jika diberikan
segera dapat dirasakan oleh pasien, sedangkan kortikosteroid biasanya
memberikan efek dalam jangka waktu 1 sampai 2 hari. Merujuk kepada survei
dari American College of Rheumatology, 71 % ahli rematologi menganjurkan
untuk mengurangi beban pada lutut selama 48 jam pasca injeksi. Jika nyeri
masih terjadi pasca injeksi maka pasien di anjurkan untuk mengkompres
dingin pada area sendi, beristirahat dan minum obat nyeri.

Efek Samping Injeksi Intrartikular


Efek samping amat jarang, dilaporkan 1 dari 15.000 injeksi kortikosteroid.
Efek samping yang timbul bisa dikarenakan faktor obat dan persiapan asepsis
yang kurang tepat. 1 dari 50 pasien dikatakan nyeri kembali dan bengkak
namun timbul dalam waktu yang cukup lama setelah penyuntikan dilakukan.
Penyuntikan kortikosteroid tidak dianjurkan jika diinjeksikan terlalu sering
karena dapat menyebabkan kerusakan sendi. Penyuntikan juga tidak boleh
dilakukan 2 kali pada tempat dan waktu yang bersamaan. Kehati-hatian
pada pasien diabetes perlu diperhatikan, karena injeksi kortikosteroid dapat
meningkatkan kadar gula darah dengan cepat. Jarak 3 bulan direkomendasikan
untuk injeksi kortikosteroid pada tempat yang sama, sedangkan untuk
hyaluronan disarankan 3 sampai dengan 5 kali per minggu dalam 1 serial
injeksi.

Komplikasi Injeksi Intrartikular


Komplikasi non infeksi biasanya berupa atrofi kulit, vitiligo dan kalsifikasi
distrofi disekitar kapsul sendi. Komplikasi tendon ruptur, atrofi syaraf atau
necrosis jarang terjadi pada injeksi lutut. Komplikasi dari kortikosteroid
dapat terjadi secara sistemik seperti osteoporosis, menstrual irregularity,
ecchymoses dan cataract formation namun jarang terjadi. Sedangkan efek
penekanan aksis hipotalamus pititary dan peningkatan kadar gula darah
juga jarang dilaporkan. Komplikasi osteonekrosis dilaporkan jarang terjadi
sebesar 0,1 sd 3%.

Sedangkan komplikasi Infeksi seperti artritis septik iatrogenic adalah hal


yang paling ditakuti. Komplikasi ini terjadi 1 dari 2000 – 15.000 injeksi. Artritis
septik harus dibedakan dengan flare pasca injeksi yang biasanya terjadi dalam
hitungan jam dan hari. Jika nyeri yang sangat menetap lebih dari 48 jam atau

868 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Teknik Injeksi Intraartikular Lutut

dimulai setelah 48 jam pasca injeksi, maka resiko terjadinya infeksi perlu
dipikirkan. Jika terjadi artritis septik iatrogenic, maka ulangan artrosentesis
perlu dilakukan dan antibiotika perlu segera diberikan. Jika dengan tindakan
tersebut belum berhasil dan memburuk dalam waktu lebih dari 48 jam – 72
jam, maka dilakukan arthrotomy atau arthroscopy atau konsultasi orthopedi.

Daftar Pustaka
1. Jackson DW, Evans NA, Thomas BM. Accuracy of needle placement into the intra-
articular space of the knee. J Bone Joint Surg Am. 2002;84-A(9):1522-1527.
2. Waddell DD. The tolerability of viscosupplementation: low incidence and clinical
management of local adverse events. Curr Med Res Opin. 2003;19(7):575-580.
3. Wen DY. Intra-articular hyaluronic acid injections for knee osteoarthritis. Am Fam
Physician. 2000;62(3):565-570, 572
4. Boon AJ, Smith J, Dahm DL, Sorenson EJ, Larson DR, Fitz-Gibbon PD, et al. Efficacy of
intra-articular botulinum toxin type A in painful knee osteoarthritis: a pilot study.
PM R. 2010 Apr. 2(4):268-269
5. Wang-Saegusa A, Cugat R, Ares O, Seijas R, Cuscó X, Garcia-Balletbó M. Infiltration
of plasma rich in growth factors for osteoarthritis of the knee short-term effects on
function and quality of life. Arch Orthop Trauma Surg. 2011 Mar. 131(3):311-7.
6. Hinton R, Moody RL, Davis AW, Thomas SF. Osteoarthritis: diagnosis and
therapeutic considerations. Am Fam Physician. 2002 Mar 1. 65(5):841-8.
7. Ward EE, Jacobson JA, Fessell DP, Hayes CW, van Holsbeeck M. Sonographic
detection of Baker’s cysts: comparison with MR imaging. AJR Am J Roentgenol. 2001
Feb. 176(2):373-8
8. Schumacher HR Jr. Aspiration and injection therapies for joints. Arthritis Rheum.
2003 Jun 15. 49(3):413-20
9. Schumacher HR, Chen LX. Injectable corticosteroids in treatment of arthritis of the
knee. Am J Med. 2005 Nov. 118(11):1208-14
10. Bellamy N, Campbell J, Robinson V, Gee T, Bourne R, Wells G. Intraarticular
corticosteroid for treatment of osteoarthritis of the knee. Cochrane Database Syst
Rev. 2006 Apr 19

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 869


Peran Asam Hyaluronat pada Terapi Osteoartritis
Cesarius Singgih Wahono
Divisi Reumatologi, Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Saiful Anwar - Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang

Pendahuluan
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif yang sering
mengenai sendi penyangga badan dan juga tangan.(Berenbaum, 2013;
Bowman, 2018). Di Amerika Serikat sekitar 52,5 juta pasien dewasa pernah
didiagnosis sebagai osteoartritis, berdasarkan data yang dianalisa antara
tahun 2010 sampai 2012 oleh National Health Interview Survey (NHIS) (CDC,
2013). Osteoartritis juga merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
fungsional pada sekitar 22,7 juta penduduk Amerika Serikat dewasa. (Barbour,
2014). Pasien OA tidak hanya menderita karena nyeri yang menetap, kekakuan
dan keterbatasan mobilitas, namun juga penyakit ini langsung mempengaruhi
kualitas hidup serta komorbiditi fisik dan mental (Moskowitz, 2009). Penyakit
ini juga memerlukan biaya penanganan kesehatan yang tinggi, hingga 128 juta
dolar amerika pada tahun 2015, serta menyebabkan kehilangan produktivitas
sebesar 0,2% sampai 0,5% (Puig-Junoy, 2015).

Patogenesis osteoartritis masih kurang dipahami dengan baik karena


kompleksitas yang tinggi dan interarksi berbagai macam faktor biologi
misalnya: genetik, jenis kelamin, kekurangan hormon seks, dan proses
penuaan (Herrero, 2017). Banyak bukti terbaru yang difokuskan pada
petanda molekular yang berdampak pada kondisi penuaan yang diinduksi
stres (stress-induced senescent state) pada kondrosit (Zhang, 2008). Istilah
“Chondrosenescence” sekarang digunkan untuk menggambarkan penurunan
fungsi kondrosit yang bergantung pada usia (OA fact sheet, 2017).

Metode pengobatan OA relatif terbatas karena patofisiologi yang kompleks.


Menurut Pedoman Osteoarthritis Research Society International (OARSI) dan
rekomendasi untuk penatalaksanaan OA telah ditetapkan beberapa modalitas
terapi (Brosseau, 2017). Modalitas terapi yaitu non-farmakologi misalnya
edukasi dan kewaspadaan pasien, terapi fisik rehabilitatif. Tenyata terapi
fisik misalnya latihan pikiran-badan (mind–body exercise), latihan kekuatan
(strength training exercises) serta latihan aerobik, menunjukkan hasil yang
menjanjikan dalam memperbaiki prognosis OA sepanjang pasien patuh dan

870 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Asam Hyaluronat pada Terapi Osteoartritis

konsisten dalam menjalani program terapi fisiknya. Modalitas farmakologi


misalnya penggunaan asetaminofen, NSAID non selektif serta inhibitor COX-
2 dan bahkan sampai pemberian opioid. NSAID merupakan obat yang paling
sering diresepkan untuk OA (Brousseau, 2017), dan cukup efektif mengurangi
inflamasi, namun diketahui juga terdapat efek samping yang membahayakan.

Terdapat metode farmakoterapi lain yang menjanjikan yaitu kondroitin


sulfat, glukosamin, dan injeksi intraartikular viskosuplemen, corticosteroid
dan produk yang berasal dari darah (Brousseasu, 2017). Tetapi terdapat
kontroversi tentang efikasi serta keamanannya dalam jangka panjang dalam
memperbaiki gejala pasien (Bowman, 2018).

Pada dasawarsa terakhir, terdapat kecenderungan penggunaan injeksi


intraartikular baik steroid atau asam hyaluronat dan lainnya sebagai modalitas
alternatif dengan memaksimalkan efek topikal dan mengurangi efek sistemik.
(Bowman, 2018). Kedua injeksi tersebut terbukti dapat menurunkan nyeri,
namun AH tampaknya lebih aman dan efeknya bertahan lebih lama(Bowman,
2018). Artikel ini secara ringkas memberikan garis besar tentang terapi
mengunaan asam hyaluronat untuk pengobatan OA.

Asam Hyaluronat (AH) pada Sendi


Hyaluronat molekul yang banyak terdapat, dengan berat molekul tinggi,
dan secara natural berasal dan terdapat di rawan sendi dan cairan sinovial.
Molekul ini tersusun dari residu N-acetyl d- glucosamine dan d-glucuronic
acid yang berselang-seling yang terikat dengan ikatan β(1–4) dan β(1–3)
dengan berat molekul berkisar antara 6500 sampai 10,900 kDa (Altman,
2015). Sifat reologisnya berperan dalam fungsi utamanya dalam cairan
sinovial sebagai pelumas (lubrikan), pengisi celah sendi sehingga celah sendi
tetap terbuka, penangkap radikal bebas, serta untuk regulasi aktivitas selular
misalnya pengikatan protein (Ayhan, 2014). Selama perkembangan OA, asam
hyaluronat (AH) endogen dalam sendi mengalami depolimerisasi dari yang
semula berat molekulnya tinggi (6500–10,900 kDa), menjadi berat molekul
rendah (2700–4500 kDa) yang berkorelasi dengan panjang rantainya (dari
4-5 mD menjadi 2-4 mD) (Boyer, 2015), akibatnya terjadi penurunan sifat
mekanis dan viskoelastisitas cairan sendi pada sendi yang terkena. (Altman,
2015).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 871


menjadi berat molekul rendah (2700–4500 kDa) yang berkorelasi den
(dari 4-5 mD menjadi 2-4 mD) (Boyer, 2015), akibatnya terjadi penuru
viskoelastisitas
Cesarius Singgih Wahono
cairan sendi pada sendi yang terkena. (Altman, 2015).

Gambar 1. Struktur kimia asam hyaluronat. Dikutip dari


Gambar 1. Struktur kimia asam hyaluronat. Dikutip
https://www.drugbank.ca/structures/DB08818/image.svg
dari
https://www.drugbank.ca/structures/DB08818/image
Injeksi asam hyaluronat eksogen telah digunakan untuk memperbaiki
Injeksi asam hyaluronat eksogen telah digunakan untuk mem
fungsi asam hyaluronat endogen yang memburuk pada pasien OA.
hyaluronat endogen yang memburuk pada pasien OA. Meskipun
Meskipun AH eksogen tidak sepenuhnya dapat mengganti semua fungsi dan
sepenuhnya dapat mengganti semua fungsi dan aktivitas AH endoge
aktivitas AH endogen, tetapi AH eksogen mungkin dapat mengurangi nyeri
mungkin dapat mengurangi nyeri melalui beberapa mekanisme
melalui beberapa mekanisme antara lain: sintesa proteoglikan dan/atau
proteoglikan dan/atau glikosaminoglikan, efek anti inflamasi,
glikosaminoglikan, efek anti inflamasi, dan pemeliharaan viskoelastisitas.
viskoelastisitas. Namun demikian, masih terdapat kontroversi tentang e
Namun demikian, masih terdapat kontroversi tentang efektivitas injeksi
artikular AH pada OA. Sebagian penelitian menyampaikan efikasi ya
intra artikular AH pada OA. Sebagian penelitian menyampaikan efikasi yang
lain melaporkan hanya terdapat sedikit keuntungan. Salah satu a
baik, dan sebagian lain melaporkan hanya terdapat sedikit keuntungan. Salah
terjadinya perbedaan hasil ini adalah kadar enzim hyaluronidase yan
satu alasan yang potensial terjadinya perbedaan hasil ini adalah kadar enzim
cairan sinovial pasien. Hyaluronidase adalah keluarga enzim yang men
hyaluronidase yang berbeda-beda pada cairan sinovial pasien. Hyaluronidase
memotong ikatan β(1–4) pada AH, mematahkan molekul besar menjad
adalah keluarga enzim yang mendegradasi AH dengan memotong ikatan β(1–
kecil sebelum mendegradasinya. (Bowman, 2018).
4) pada AH, mematahkan molekul besar menjadi potongan yang lebih kecil
sebelum mendegradasinya. (Bowman, 2018).
Peran Asam Hyaluronat pada Osteoartritis
Pada awal tahun 1990-an, Balazs menghipotesiskan bahwa injek
Peran Asam Hyaluronat
hyaluronat pada Osteoartritis
(IAHA) dapat mengembalikan viskoelastisitas caira
Padaviskosuplementasi
awal tahun 1990-an,ini berdasarkan
Balazs pengamatan
menghipotesiskan bahwa bahwa sifat viskoelas
injeksi intra
artikularpada
asamorang sehat, (IAHA)
hyaluronat menjadidapat
berubah pada pasienviskoelastisitas
mengembalikan OA, dan hal ini secara l
dengan Konsep
cairan sinovial. penurunan kualitas dan kuantitas
viskosuplementasi AH(Henrotin,
ini berdasarkan 2015). Viskoela
pengamatan
berhubungan
bahwa sifat langsung
viskoelastisitas denganpada
cairan sinovial berat molekul
orang dan konsentrasi
sehat, menjadi berubah AH dan
untuk
pada pasien OA, menurunkan tekanan
dan hal ini secara langsungmekanik pada dengan
berhubungan sendi. penurunan
Pada tekanan rend
kualitas yang lambat, AH(Henrotin,
dan kuantitas rantai linier 2015).
AH bergabung searah
Viskoelastisitas dengan
cairan aliran tekana
sinovial
cairanlangsung
berhubungan viskus. dengan
Ketika berat
sendimolekul
harus menahan beban AH
dan konsentrasi dalamdanwaktu cep
memberilompat),
kemampuan maka tidak
untuk ada waktu
menurunkan lagi mekanik
tekanan untuk menyearahkan
pada sendi. Padadengan alir
tekanan memunculkan
rendah, misalnyasifat elastiknya
gerakan sehingga
yang lambat, menjadi
rantai peredam
linier AH bergabungkejut (shock-
fisik AH
searah dengan juga
aliran memiliki
tekanan sifat biologi,
dan bersifat sebagaimisalnya menstimulasi
cairan viskus. Ketika produk
tinggi, interaksi dengan reseptor nyeri, menghambat
sendi harus menahan beban dalam waktu cepat (misalnya lari atau lompat), mediator inflamasi
maka tidak ada waktu lagi untuk menyearahkan dengan aliran tekanan,
maka AH memunculkan sifat elastiknya sehingga menjadi peredam kejut

872 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Asam Hyaluronat pada Terapi Osteoartritis

(shock-absorber). Selain sifat fisik AH juga memiliki sifat biologi, misalnya


menstimulasi produksi AH berat molekul tinggi, interaksi dengan reseptor
nyeri, menghambat mediator inflamasi (Henrotin, 2015).

Saat ini telah banyak sediaan injeksi AH yang berbeda-beda


karakteristiknya, yaitu: sumber bahannya ( hewan vs bio-fermentasi
menggunakan organisme yang dimodifikasi), rerata berat molekul yang
berkisar antara 500 sampai 6000 kDa, struktur molekular (linear, tautan
silang/cross-linked, atau gabungan keduanya), konsentrasi (0.8–30 mg/mL),
volume injeksi (0.5–6.0 mL), serta posologi. Setelah bertahun-tahun sumber
AH dari hewan (cengger ayam jantan) digunakan sebagai bahan tradisional,
saat ini telah digunakan AH dari hasil biofermentasi bakteri yang dimodifikasi
gennya, yang dianggap harganya lebih murah dan efek samping yang lebih
sedikit (Bowman, 2018; Boyer, 2015).

Meskipun injeksi AH mempunyai karakteristik yang berbeda-beda,


termasuk berat molekul, namun dalam berbagai penelitian ternyata tidak ada
perbedaan hasil jangka panjang signifikan. Terdapat beberapa mekanisme
AH lain yang berperan dalam mengurangi gejala yaitu meningkatkan sistesis
matriks ekstraselular, mengubah mediator inflamasi supaya menghindari
degradasi, mengurangi motilitas limfosit, menjaga ketebalan, srea dan
kehalusan permukaan rawan sendi (Cooper, 20017).

Uji Klinis Asam Hyaluronat pada Manusia


Berdasarkan rangkuman dari 76 uji klinis oleh Bellamy dkk. injeksi
intraartikular AH merupakan terapi untuk OA berdasarkan efeknya terhadap
nyeri, fungsi dan asesmen global pasien. Dari sisi keamanan, terbukti juga
bahwa tidak ada efek samping negatif yang bermakna secara statistik pada
pasien yang mendapatkan injeksi intraartikular AH (Bowman, 2018).

Meskipun sebagian besar penelitian IA AH untuk OA terbukti cukup


baik, namun tetap ada kontroversi, karena ada beberapa penelitian yang
menunjukkan bahawa terapi ini tidak lebih baik dibandingkan dengan
plasebo. Richette dkk. pada tahun 2015 membuat suatu meta analisis dari
RCT IA AH dibanding plasebo pada OA lutut yang dipilih paling valid dan
biasnya minimal. Dari 445 artikel yang ditemukan dari pencarian, mereka
mendapatkan hanya 8 RCT yang dianggap layak yang dilakukan dari tahun
2015 sampai dengan 2011. Efikasi primer dari penelitian ini adalah penurunan
skor nyeri dan efikasi sekundernya adalah perbaikan fungsi sendi selama

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 873


tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Richette dkk. pada tahun 2015 membuat suatu
meta analisis dari RCT IA AH dibanding plasebo pada OA lutut yang dipilih paling valid dan
biasnya minimal. Dari 445 artikel yang ditemukan dari pencarian, mereka mendapatkan
hanya 8Cesarius
RCT yang
Singgih Wahonodianggap layak yang dilakukan dari tahun 2015 sampai dengan 2011.
Efikasi primer dari penelitian ini adalah penurunan skor nyeri dan efikasi sekundernya adalah
3 bulan. Didapatkan penurunan skor nyeri dan perbaikan fungsi moderat,
perbaikan fungsi sendi selama 3 bulan. Didapatkan penurunan skor nyeri dan perbaikan
namun secara
fungsi moderat, namunklinis
secarasangat
klinis bermakna (dapat(dapat
sangat bermakna dilihatdilihat
pada pada
Gambar 12 dan
Gambar 12 dan
gambar
gambar 3). 3).

Gambar 2. Forest
Gambar plot
2. Forest dari
plot perbedaan
dari intensitas
perbedaan intensitasnyeri
nyeriyang
yangditunjukkan
ditunjukkan dalam
dalam standar
standar mean difference (SMD) selama 12 minggu. (Gambar 2. (Dikutip
mean difference (SMD) selama 12 minggu. (Gambar 2. (Dikutip dari Richette, 2015)dari Richette,
2015)

Efek IA AH dengan berat molekul tinggi juga menunjukkan efikasi yang


baik, namun uji klinis pada penderita OA dengan usia bekerja belum pernah
dilakukan, padahal jumlah pasien denga OA lutut dalam usia kerja meningkat.
Hermans dkk. pada tahun 2019 melaksanakan uji klinis pada pasien OA
lutut dengan usia 18-65 tahun yang mendapatkan penatalaksanaan umum
di poliklinik ditambah IA AH berat molekul tinggi dibandingan dengan yang
hanya mendapat penatalaksanaan umum di poliklinik. Hasil penelitian primer
yang diukur dalam 52 minggu adalah skala nyeri, perbaikan fungsi sendi,
serta asesmen pasien secara global. penatalaksanaan umum di poliklinik.
Terdapat 156 subyek penelitian yaitu 77 masuk kelompok intervensi, 79
masuk kelompok kontrol. Terdapat perbedaan bermakna skala nyeri pada
saat istirahat, yaitu kelompok intervensi: 57.1% versus kelompok kontrol
34.2% (p = 0.006) serta nyeri pada aktivitas, kelompok intervensi 54.5%
versus kelompok kontrol 34.2% (p = 0.015). Ini menunjukkan bahwa IA AH
berat molekul tinggi efektif untuk pasien OA lutut pada usia kerja. Sebagian
hasil penelitian inidapat dilihat pada gambar 3 dan 4. (Hermans, 2019)

874 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


kontrol
bermakna 34.2%
skala (p = pada
nyeri 0.006)saatserta nyeriyaitu
istirahat, padakelompok
aktivitas,intervensi:
kelompok 57.1%intervensi 54.5%
versus kelom
kelompok kontrol
kontrol 34.2% (p =34.2%
0.006)(pserta
= 0.015).
nyeri Ini
padamenunjukkan bahwa IA
aktivitas, kelompok AH berat
intervensi molek
54.5% ve
efektif untuk pasien OA lutut pada usia kerja. Sebagian hasil penelitian inidapat dilti
kelompok kontrol 34.2% (p = 0.015). Ini menunjukkan bahwa IA AH berat molekul
efektif untuk
gambar 3 danpasien OA lutut2019)
4. (Hermans, pada usia kerja. Sebagian Peranhasil penelitian
Asam Hyaluronat inidapat dilihat
pada Terapi Osteoartritis
gambar 3 dan 4. (Hermans, 2019)

Gambar 3. Skala nyeri pada saat istirahat dan aktivitas. (Dikutip dari Hermans, 2019)
Gambar 3. Skala
Gambar 3. Skalanyeri
nyeripada
padasaat
saatistirahat
istirahat dan
dan aktivitas.
aktivitas. (Dikutip
(Dikutip daridari Herman
Hermans, 20

Gambar
4. Gambar
Asesmen Pasien secara Global. (Dikutip dari Hermans, 2019)
4. Asesmen Pasien secara Global. (Dikutip dari Hermans, 2019)
Gambar 4. Asesmen Pasien secara Global. (Dikutip dari Hermans, 2019)
Pada tahun 2015 sebuah kelompok kerja di Eropa yang terdiri dari ahli
Pada tahun 2015 sebuah kelompok kerja di Eropa yang terdiri dari ahli reumato
reumatologi dan rehabilitasi medik ditugaskan untuk membuat rekomendasi
Pada tahun medik
dan rehabilitasi 2015 sebuah kelompok
ditugaskan kerjamembuat
untuk di Eropa yang terdiri dari
rekomendasi ahli reut
tentang
tentang terapi viskosuplementasi.(Henrotin,
viskosuplementasi.(Henrotin, 2015) Beberapa rekomendasi
dan rehabilitasi medik 2015) Beberapa
ditugaskan rekomendasi
untuk dapat rekomendasi
membuat dilihat pada tabeltentang
1.
dapat dilihat pada tabel 1.
viskosuplementasi.(Henrotin, 2015) Beberapa rekomendasi dapat dilihat pada tabel 1

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 875


Cesarius Singgih Wahono

Tabel 1. Rekomendasi The task force of European experts on OA.


(Dikutip dari Henrotin, 2015)
Rekomendasi Tingkat konsesnsus
Viskosuplementasi (VS) efektif untuk OA lutut ringan sampai Persetujuan sangat kuat 100%
sedang
VS mungkin berguna untuk OA lutut lanjut Persetujuan kuat
VS adalah terapi untuk OA lutut yang ditoleransi dengan baik Persetujuan sangat kuat 100%
Efek samping lokal lebih sering terjadi pada VS yang berbahan Tidak tercapai konsensus
dasar dari hewan dibandingkan dengan yang berasal dari
biofermentasi
Karena profil keamanan yang baik, maka VS diberikan tidak Persetujuan sangat kuat 100%
hanya pada pasien yang gagal dengan pengobatan analgesik
dan NSAID
Edukasi oleh dokter mempengaruhi keberhasilan VS Persetujuan kuat
Mengistirahatkan sendi selama 24 jam harus direkomendasikan Persetujuan sedang
setelah pemberian VS
VS merupakan terapi OA lutut yang cost-effective Persetujuan sangat kuat 100%

Keragaman efek injeksi intrartikular AH pada berbagai fenotip


pasien belum banyak dimengerti. Jadi perlu penelitian lebih lanjut untuk
mendapatkan karakteristik pasien yang akan mempunya respons lebih baik
dengan terapi ini. Terdapat bukti yang terbatas bahwa injeksi intraartikular
AH lebih efektif pada pasien (Maheua, 2019)
- Dengan gambaran radiologi OA moderat ( Kellgren-Lawrence grade II),
- Yang tidak terlalu lanjut usia, yaitu <60 tahun.[96]; pada praktek klinik
terapi ini merupakan pilihan yang baik untuk pasien lanjut usia yang
mendapatkan polifarmasi karena kemungkinan obat-obat tersebut
berinteraksi dengan AH sangat rendah.
- Dengan gejala yang berat. Karlsson dkk. menunjukkan bahwa pasien OA
dengan indeks Lequesne paling sedikit 10 dan tidak terdapat efusi sendi,
mempunyai respons yang lebih baik.

Efek samping IA AH jarang terjadi, namun ada beberapa efek samping


yang mungkin terjadi, (Maheua, 2019) yaitu:
1) artralgia
2) pembengkakan sendi
3) perdarahan pada tempat injeksi
4) nyeri ada tempat injeksi
5) kemerahan pada tempat injeksi

876 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Asam Hyaluronat pada Terapi Osteoartritis

6) reaksi alergi
7) Pseudoseptik
8) gatal pada tempat injeksi

Kesimpulan
Osteoartritis adalah penyakit kronik yang menyengsarakan yang
terutama mengenai lanjut usia. Prevalensi penyakit ini meningkat sesuai
dengan meningkatnya prporsi orang lanjut usia. Oleh karena itu diperlukan
pengobatan yang efektif dengan keamanan yang baik untuk mengendalikan
penyakit ini. Asam hyaluronat terbukti efektif pada terapi OA dengan
mekanisme diantaranya lubrikasi, antiinflamasi dan efek kondroprotektif.
Dengan profil keamanan yang baik.

Daftar Pustaka
1. Altman RD et al (2015) The mechanism of action for hyaluronic acid treatment in
the osteoarthritic knee: a systematic review. BMC Musculoskelet Disord 16:321
2. Ayhan E, Kesmezacar H, Akgun I (2014) Intraarticular injections (corticosteroid,
hyaluronic acid, platelet rich plasma) for the knee osteoarthritis. World J Orthop
5(3):351–361
3. Barbour K et al (2014) Meeting physical activity guidelines and the risk of incident
knee osteoarthritis: the Johnston County Osteoarthritis Project. Arthritis Care Res
(Hoboken) 66(1):139–146
4. Bhadra AK, Altman R, Dasa V, Myrick K, Rosen J, Vad V, et al. Appropriate Use
Criteria for Hyaluronic Acid in the Treatment of Knee Osteoarthritis in the United
States. Cartilage. 2017, 8(3) 234–254
5. Berenbaum F (2013) Osteoarthritis as an inflammatory disease (osteoarthritis is
not osteoarthrosis!). Osteoarthr Cartil 21(1):16–21 Bowman et al. Clin Trans Med
(2018) 7:6 Page 9 of 11
6. Bowman S, Awad ME, Hamrick MW, Hunter M, Fulzele S. Recent advances in
hyaluronic acid based therapy for osteoarthritis. Clin Trans Med (2018)7:6 https://
doi.org/10.1186/s40169-017-0180-3
7. Boyer LG. Viscosupplementation: Techniques, indications, results. Orthopaedics &
Traumatology: Surgery & Research 101 (2015) S101–S108
8. Brosseau L et al (2017) The Ottawa panel clinical practice guidelines for the
management of knee osteoarthritis. Part one: introd introduction, and mind-body
exercise programs. Clin Rehabil 31(5):582–595
9. Brosseau L et al (2017) The Ottawa panel clinical practice guidelines for the
management of knee osteoarthritis. Part two: strengtheningexercise programs.
Clin Rehabil 31(5):596–611

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 877


Cesarius Singgih Wahono

10. CDC (2013) Prevalence of doctor-diagnosed arthritis and arthritisattributable


activity limitation—United States, 2010–2012. MMWR 62:869–873
11. Cooper C, Rannou F, Richette P, Bruyère O, Al-Daghri N, Altman RD, et al. (2017)
Use of intraarticular hyaluronic acid in the management of knee osteoarthritis in
clinical practice. Arthritis Care Res (Hoboken) 69(9):1287–1296
12. Henrotin Y, Raman R, Richette P, Bard H, Jerosch J, Conrozier T, et al. Consensus
statement on viscosupplementation with hyaluronic acid for the management of
osteoarthritis Semin Arthritis Rheum. 45(2015)140–149
13. Herrero-Beaumont G et al (2017) Clinical settings in knee osteoarthritis:
pathophysiology guides treatment. Maturitas 96:54–57
14. Hermans J, Sita M. A. Bierma-Zeinstra SMA, Bos PK, Niesten DD, Verhaar JAN,
Reijman M. The effectiveness of high molecular weight hyaluronic acid for knee
osteoarthritis in patients in the working age: a randomised controlled trial. BMC
Musculo Disorders (2019) 20:196. https://doi.org/10.1186/s12891-019-2546-8
15. Koiri SP, Yang Y, Kui H. Hyaluronic Acid in the Treatment of Knee Osteoarthritis:
Review. Yangtze Med, 2018, 2, 62-72
16. Maheua E, Bannurub RR, Herrero-Beaumontc G, Allalid F, Barde H, Miglioref A.
Why we should definitely include intra-articular hyaluronic acid as a therapeutic
option in the management of knee osteoarthritis: Results of an extensive critical
literature review. Semin Arthritis Rheum 48 (2019) 563-572
17. Moskowitz RW (2009) The burden of osteoarthritis: clinical and qualityof- life
issues. Am J Manag Care 15(8 Suppl):S223–S229
18.
Osteoarthritis Fact Sheet (2017) https://www.cdc.gov/arthritis/basics/
osteoarthritis.htm. Accessed 24 May 2017
19. Puig-Junoy J, Ruiz Zamora A (2015) Socio-economic costs of osteoarthritis: a
systematic review of cost-of-illness studies. Semin Arthritis Rheum 44(5):531–541
20. Richette P, Chevalier X, Ea HK, Eymard F, Henrotin Y, Ornetti P, et al. Hyaluronan
for knee osteoarthritis: an updated meta-analysis of trials with low risk of bias.
RMD Open 2015;1:e000071. doi:10.1136/rmdopen-2015-000071
21. Zhang W et al (2008) OARSI recommendations for the management of hip and
knee osteoarthritis, Part II: OARSI evidence-based, expert consensus guidelines.
Osteoarthritis Cartilage 16(2):137–162

878 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Update Management of Acute Pancreatitis
Budi Widodo, Meridian
Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Pankreatitis akut (PA) merupakan penyakit gastrointestinal ketiga yang
sering ditemukan pada tahun 2012, menghasilkan sekitar 275.000 kasus
masuk rumah sakit. PA juga merupakan penyakit pankreas yang paling umum
di seluruh dunia.1 PA menyebabkan masalah emosional, fisik, dan finansial yang
luar biasa. Di seluruh dunia, kejadian PA berkisar antara 5 - 80 per 100.000
populasi, dengan insiden tertinggi tercatat di Amerika Serikat dan Finlandia. Di
Amerika Serikat, pada tahun 2009, PA adalah diagnosis gastroenterologi yang
paling umum dengan biaya 2,6 miliar dolar. Di Finlandia, kejadiannya adalah
73,4 kasus per 100.000 orang.2 Peningkatan kejadian tahunan untuk PA telah
diamati dalam sebagian besar studi terbaru. Data tinjauan epidemiologis dari
1988 hingga 2003 National Hospital Discharge Survey menunjukkan bahwa
angka masuk rumah sakit untuk PA meningkat dari 40 per 100.000 pada
tahun 1998 menjadi 70 per 100.000 pada tahun 2002.1 Di Asia, insiden PA
bervariasi. Insiden di China berkisar antara 30,5 hingga 39,2 per 100.000;
2009-2014. Insiden pankreatitis akut cenderung meningkat, tetapi tingkat
kematian telah menurun dalam beberapa tahun terakhir menjadi kurang dari
2%. Namun, 50% kematian terjadi dalam 2 minggu pertama diagnosa.3

Saat ini, ada perubahan penting dalam definisi dan klasifikasi PA sejak
klasifikasi Atlanta tahun 1992. Meskipun Klasifikasi Atlanta bermanfaat,
sebagian definisi terbukti membingungkan. Dengan adanya pemahaman
yang lebih baik mengenai patofisiologi kegagalan organ dan pankreatitis
nekrotikans serta akibatnya, juga kemajuan dalam pemeriksaan penunjang
pencitraan diagnostik, maka dirasa perlu untuk merevisi Klasifikasi Atlanta
1992.4 Revisi Atlanta ini mendefinisikan kriteria untuk diagnosis pankreatitis
akut, membedakan pankreatitis akut menjadi dua jenis (pankreatitis edema
interstitial dan pankreatitis nekrotikans), mengklasifikasikan tingkat
keparahan pankreatitis akut menjadi tiga kategori, yaitu: (i) mild (biasanya
interstitial), (ii) moderately severe (komplikasi lokal tanpa kegagalan organ
persisten), (iii) severe (kegagalan organ persisten) dan mendefinisikan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 879


Budi Widodo, Meridian

morfologi komplikasi pankreatitis akut yang terlihat pada pemeriksaan


penunjang pencitraan.

Terdapat dua fase dalam perjalanan penyakit PA dimana setiap fase


memiliki tanda klinis yang khas, yaitu: (1) Early phase atau fase awal (dalam
1 minggu pertama), ditandai dengan sindrom respons inflamasi sistemik
(SIRS) dan / atau kegagalan organ; dan (2) Late phase atau fase lambat (> 1
minggu), ditandai dengan komplikasi lokal. Penting untuk mengenali adanya
kegagalan organ dalam menentukan tingkat keparahan penyakit. Komplikasi
lokal dibagi menjadi: kumpulan cairan peripankreas, nekrosis pankreas dan
peripankreas (steril atau terinfeksi), pseudokista, dan nekrosis-berdinding
atau yang dikenal sebagai walled off necrosis (steril atau terinfeksi). Nekrosis
ekstrapankreas yang terisolasi juga termasuk dalam bagian nekrosis pankreas.
Pankreatitis nekrotikans yaitu adanya nekrosis pankreas dan peripankreas
biasanya berhubungan dengan pankreatitis akut subtipe sedang (moderately
severe) atau subtipe berat (severe). Pankreatitis subtipe ringan (mild) atau
interstitial adalah jenis pankreatitis yang paling umum diamati yaitu terdapat
pada 75-80% dari semua pasien.4

Sampai saat ini, tidak ada obat yang tersedia untuk mengobati pankreatitis
akut, sehingga tatalaksana PA kebanyakan supportif. Dengan keterbatasan
ini, sebagian besar pedoman manajemen klinis menekankan pendekatan
yang mencakup memprediksi dan menetapkan tingkat keparahan PA untuk
membuat triase pasien ke tingkat perawatan yang sesuai dan pemberian
perawatan suportif, termasuk diantaranya: hidrasi intravena dini, pemberian
nutrisi enteral, mengobati penyebab dan komplikasinya dengan menggunakan
endoskopi retrograde (ERCP) segera yang tepat sesuai indikasi, kolesistektomi
dini, penggunaan antibiotik, dan intervensi untuk kumpulan cairan pankreas
yang biasanya terjadi pada tahap selanjutnya yaitu setelah 4 minggu.1,2

Diagnosis
Diagnosis pankreatitis akut harus memenuhi dua dari tiga kriteria berikut:
(1) nyeri perut konsisten dengan pankreatitis akut (nyeri epigastrium atau
nyeri perut kuadran kiri atas yang persisten, hebat, dan sering menjalar ke
punggung dengan onset nyeri akut); (2) serum amilase atau lipase meningkat
tiga kali lebih besar dari batas atas normal; dan (3) temuan karakteristik
pankreatitis akut pada pemeriksaan penunjang pencitraan abdomen seperti
contrast-enhanced computed tomography (CECT) dan magnetic resonance
imaging (MRI). Pada pasien dengan diagnosis tidak jelas atau pasien yang

880 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Update Management of Acute Pancreatitis

gagal membaik dalam 48-72 jam (mis., nyeri persisten, demam, mual, tidak
dapat memulai pemberian makanan melalui oral) direkomendasikan untuk
dilakukan pemeriksaan CECT atau MRI untuk menilai komplikasi lokal seperti
nekrosis pankreas.4

Etiologi
Penyebab pankreatitis akut paling umum adalah batu empedu (40 -
70%) dan alkohol (25 - 35%). Karena prevalensi yang tinggi dan pentingnya
mencegah penyakit berulang, USG abdome harus dilakukan pada semua
pasien dengan PA untuk evaluasi adanya kolelitiasis. Jika didapatkan adanya
batu empedu sebagai penyebab, pasien harus dilakukan kolesistektomi
untuk mencegah serangan berulang dan terjadinya sepsis bilier. Pankreatitis
batu empedu biasanya merupakan peristiwa akut dan sembuh ketika batu
dikeluarkan atau batu dapat lewat dan dibuang secara spontan.2

Pankreatitis yang diinduksi alkohol sering bermanifestasi sebagai suatu


spektrum, mulai dari episode diskrit PA hingga episode silent ireversibel
kronis. Diagnosis tidak boleh dilakukan kecuali seseorang memiliki riwayat
konsumsi alkohol berat yaitu lebih dari 5 tahun. Konsumsi alkohol “berat”
umumnya dianggap lebih dari 50 g per hari atau lebih tinggi. Pankreatitis
akut yang terbukti secara klinis terjadi hanya pada kurang dari 5% peminum
alkohol berat; dengan demikian, ada kemungkinan faktor-faktor lainnya
yang membuat orang peka terhadap efek alkohol, seperti faktor genetik dan
penggunaan tembakau.1,2

Penyebab lain pankreatitis akut antara lain: obat-obatan, metabolik


(hipertrigliserida, hiperkalsemia), iatrogenik (tindakan pembedahan,
ERCP), autoimmune, idiopatik, infeksi (askariasis, clonorchiasis), keganasan,
struktural (pankreas annulare, disfungsi sfingter oddi), trauma, toksin,
herediter (mutasi PRSS1, mutasi SPINK1) dan vaskular.5

Berikut rekomendasi mengenai etiologi pankreatitis akut oleh American


College of Gastroenterology (ACG) yaitu :
1. Ultrasonografi transabdominal harus dilakukan pada semua pasien
dengan pankreatitis akut (strong recommendation, low quality of
evidence).
2. Jika tidak ditemukan batu empedu dan / atau riwayat penggunaan
alkohol, serum trigliserida serum harus diperiksa dan dipertimbangkan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 881


Budi Widodo, Meridian

sebagai penyebab jika TG > 1.000 mg/ dl. (conditional recommendation,


moderate quality of evidence).
3. Pada pasien usia > 40 tahun, tumor pankreas harus dicurigai sebagai
kemungkinan penyebab pankreatitis akut (conditional recommendation,
low quality of evidence).
4. Investigasi endoskopi untuk mencari penyebab yang sulit ditemukan
pada pasien dengan pankreatitis akut harus dibatasi, karena risiko
dan manfaat dari investigasi pada pasien ini tidak jelas (conditional
recommendation, low quality of evidence).
5. Pasien dengan pankreatitis akut idiopatik (IAP) harus dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang memiliki tenaga ahli (conditional recommendation, low
quality of evidence).
6. Tes genetik dapat dipertimbangkan pada pasien usia muda (<30 tahun)
jika tidak ada penyebab yang jelas dan terdapat riwayat keluarga dengan
penyakit pankreas (conditional recommendation, low quality of evidence).

Penilaian Awal dan Stratifikasi Risiko


Sebagian besar pasien dengan pankreatitis akut memiliki penyakit ringan
yang sembuh secara spontan tanpa gejala sisa, namun, 10% -20% pasien
mengalami serangan berat dengan mortalitas tinggi hingga 30%. Kelompok
pasien risiko tinggi ini membutuhkan perawatan dini yang agresif. Oleh
karena itu, penilaian awal dari tingkat keparahan penyakit dan identifikasi
pasien yang berisiko tinggi penting untuk penentuan tatalaksana pankreatitis
akut, sehingga dapat meningkatkan prognosis dan kelangsungan hidup.6

Ada banyak parameter skoring yang digunakan dalam menentukan


tingkat keparahan pankreatitis akut, diantaranya adalah Atlanta, BISAP,
APACHE-II, dan Ranson. Tingkat akurasi masing-masing sistem penilaian tidak
berbeda secara signifikan dalam menentukan tingkat keparahan penyakit.6

Tingkat keparahan pankreatitis akut ditentukan berdasarkan Klasifikasi


Atlanta yang telah direvisi. Pankreatitis akut subtipe ringan (mild)
didefinisikan oleh tidak adanya kegagalan organ dan tidak adanya komplikasi
lokal atau sistemik. Pankreatitis akut subtipe sedang (moderately severe)
didefinisikan dengan adanya kegagalan organ sementara yaitu kurang dari 48
jam, komplikasi lokal, atau eksaserbasi penyakit komorbid. Pankreatitis akut
subtipe berat (severe) didefinisikan oleh adanya kegagalan organ persisten
selama lebih dari 48 jam. Kegagalan organ didefinisikan sebagai skor 2 atau

882 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Update Management of Acute Pancreatitis

lebih untuk salah satu dari tiga sistem (pernapasan, kardiovaskular, dan
ginjal) menggunakan sistem skoring Marshall yang dimodifikasi.4,6

Rekomendasi penilaian awal dan stratifikasi risiko pada pankreatitis


akut oleh American College of Gastroenterology (ACG) yaitu sebagai berikut:
1. Status hemodinamik pasien harus segera dinilai dan resusitasi dimulai
sesuai kebutuhan (strong recommendation, moderate quality of evidence).
2. Penilaian risiko harus dilakukan untuk mengelompokkan pasien menjadi
kategori risiko tinggi dan rendah untuk membantu triase dan menentukan
kebutuhan akan perawatan intensif (conditional recommendation, low to
moderate quality of evidence).
3. Pasien dengan kegagalan organ harus dirawat di unit perawatan intensif
atau unit perawatan intermediet (strong recommendation, low quality of
evidence).

Tatalaksana Awal
Meskipun puluhan percobaan acak telah dilakukan, tidak ada obat
yang terbukti efektif dalam mengobati pankreatitis akut. Namun, intervensi
efektif telah dijelaskan dengan baik, yaitu hidrasi intravena dini yang agresif.
Dasar pemikiran untuk hidrasi intravena dini yang agresif pada PA muncul
dari pengamatan bahwa hipovolemia yang sering terjadi pada pasien
PA disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: muntah, berkurangnya
asupan oral, peningkatan kehilangan cairan ke ruang ketiga, peningkatan
kehilangan cairan melalui pernapasan, dan diaforesis. Selain itu, para peneliti
berhipotesis bahwa kombinasi efek mikroangiopati dan edema pankreas
yang meradang mengurangi aliran darah, yang menyebabkan peningkatan
kematian sel, nekrosis, dan pelepasan enzim pankreas yang terus-menerus
yang mengaktifkan banyak kaskade. Peradangan juga meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah, menyebabkan peningkatan kehilangan cairan
ke ruang ketiga dan memburuknya hipoperfusi pankreas yang menyebabkan
peningkatan nekrosis parenkim pankreas dan kematian sel. Resusitasi cairan
intravena awal yang agresif membantu sirkulasi mikro dan makro untuk
mencegah komplikasi serius seperti nekrosis pankreas.1,2

Rekomendasi tatalaksana awal pada pankreatitis akut oleh American


College of Gastroenterology (ACG) yaitu sebagai berikut:
1. Early aggressive intravenous hydration, yaitu memberikan resusitasi
cairan dini secara agresif dengan larutan kristaloid isotonic sebanyak 250

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 883


Budi Widodo, Meridian

- 500 ml per jam. Terapi hidrasi intravena dini yang agresif harus diberikan
kepada semua pasien dengan PA, kecuali pasien yang memiliki gangguan
kardiovaskular, ginjal, atau komorbiditas terkait lainnya. Terapi hidrasi
intravena agresif ini paling bermanfaat jika diberikan dalam 12 - 24 jam
pertama, namun mungkin hanya memiliki sedikit manfaat jika diberikan
melampaui periode waktu ini (strong recommendation, moderate quality
of evidence).
2. Pada pasien dengan penurunan volume yang parah, bermanifestasi
sebagai hipotensi dan takikardia, mungkin diperlukan rehidrasi cairan
lebih cepat (bolus) (conditional recommendation, moderate quality of
evidence).
3. Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid isotonic yang lebih
disukai untuk rehidrasi (conditional recommendation, moderate quality
of evidence).
4. Kebutuhan cairan harus dinilai ulang secara berkala selama 6 jam sejak
masuk rumah sakit dan untuk 24 - 48 jam berikutnya. Tujuan dari terapi
hidrasi agresif awal intravena ini adalah untuk menurunkan blood urea
nitrogen atau BUN (strong recommendation, moderate quality of evidence).

ERCP pada Pankreatitis Akut


Peran Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography atau ERCP pada
pankreatitis akut adalah terkait dengan tatalaksana choledocholithiasis. Batu
empedu dan alkohol adalah penyebab paling umum dari PA. mekanisme yang
diduga berperan dimana batu empedu menyebabkan PA adalah obstruksi
sementara ampula vateri oleh batu, menghasilkan peningkatan tekanan
saluran intra-pankreas dan aktivasi enzim pencernaan pankreas, selanjutnya
memicu terjadinya PA. Setelah memicu terjadinya PA, sebagian besar batu
empedu yang menyebabkan pankreatitis akut dapat melalui duodenum dan
dibuang bersama tinja. Namun pada sebagian kecil pasien, choledocholithiasis
yang persisten dapat berlanjut menjadi obstruksi saluran pankreas dan
saluran empedu, sehingga menyebabkan pankreatitis akut subtipe berat
(severe) dan / atau kolangitis. Pembuangan batu empedu yang menyebabkan
obstruksi saluran empedu pada pasien dengan PA akan mengurangi risiko
terjadinya komplikasi ini.1,2

Beberapa uji klinis dilakukan untuk meneliti peran ERCP dini, (dalam 24-
72 jam setelah onset) pada pankreatitis bilier akut dalam mengurangi risiko
perkembangan PA menjadi PA yang berat (terdapat gagal organ dan / atau

884 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Update Management of Acute Pancreatitis

nekrosis). Berdasarkan studi tersebut, terdapat manfaat dari tindakan ERCP


dini pada pasien dengan PA yang disertai kolangitis akut dan obstruksi saluran
empedu, tetapi tidak berlaku pada PA yang parah tanpa disertai kolangitis
akut.2

ERCP adalah prosedur invasif yang relatif aman, tetapi memiliki risiko
komplikasi (8% kasus), beberapa di antaranya berpotensi fatal (mortalitas
0,43%). Komplikasi pasca-ERCP yang paling umum adalah pankreatitis akut
(3,7%), perdarahan papiler (1,04%), perforasi duodenum retroperitoneal
(0,69%) dan komplikasi septik bilier seperti kolesistitis akut dan kolangitis
(1,21%). Selama 15 tahun terakhir, risiko terjadinya pankreatitis akut pasca-
ERCP telah menurun menjadi 2 - 4% dan risiko terjadinya pankreatitis akut
subtipe berat menurun hingga <1/500. Secara umum, penurunan kejadian
pankreatitis akut pasca-ERCP dan pankreatitis akut subtipe berat terjadi oleh
karena adanya peningkatan pengenalan faktor risiko pada pasien berisiko
tinggi dan prosedur berisiko tinggi di mana seharusnya ERCP dihindari,
sehingga dapat digunakan intervensi lain yang lebih non-invasif untuk
mencegah terjadinya PA dan PA subtipe berat.2

Rekomendasi mengenai ERCP pada pankreatitis akut oleh American


College of Gastroenterology (ACG) yaitu sebagai berikut:
1. Pasien dengan pankreatitis akut dan kolangitis akut bersamaan harus
menjalani ERCP dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit (strong
recommendation, moderate quality of evidence).
2. ERCP dini tidak diperlukan pada pasien dengan pankreatitis batu empedu
yang tidak memiliki bukti laboratorium atau klinis mengalami obstruksi
bilier yang sedang berlangsung (strong recommendation, moderate
quality of evidence).
3. Jika tidak ada kolangitis dan / atau ikterus, MRCP (Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography) atau EUS (Endoscopic Ultrasound) harus
digunakan untuk mencari adanya choledocholithiasis daripada ERCP
diagnostik pada pasien berisiko tinggi (conditional recommendation,
moderate quality of evidence).
4. Stent saluran pankreas dan / atau obat anti-inflamasi non-steroid
suppositoria harus digunakan untuk menurunkan risiko terjadinya
pankreatitis akut subtipe berat pasca-ERCP pada pasien berisiko tinggi
(conditional recommendation, moderate quality of evidence).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 885


Budi Widodo, Meridian

Peran Antibiotik pada Pankreatitis Akut


Infeksi pada pankreatitis akut (pankreas dan ekstrapankreas) sering
terjadi dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Klasifikasi Atlanta yang lama mendefinisikan beberapa komplikasi lokal
pankreas (pseudokista, nekrosis, dan abses) yang dikategorikan sebagai
pankreatitis akut subtipe berat (severe acute pancreatitis), sedangkan
klasifikasi Atlanta yang direvisi mendefinisikan komplikasi lokal sebagai
acute collection (kumpulan cairan peripankreas dan pankreas akut, koleksi
nekrotik akut) dan mature collection (pseudokista dan nekrosis berdinding),
yang dikategorikan sebagai pankreatitis akut subtipe sedang (moderately
severe) atau subtipe berat (severe), masing-masing tergantung pada ada atau
tidak adanya kegagalan organ persisten.1,2

Rekomendasi mengenai penggunaan antibiotik pada pankreatitis akut


oleh American College of Gastroenterology (ACG) yaitu sebagai berikut:
1. Antibiotik harus diberikan untuk infeksi ekstrapankreatik, seperti
kolangitis, infeksi yang didapat dari kateter, bakteremia, infeksi saluran
kemih, pneumonia (strong recommendation, moderate quality of
evidence).
2. Penggunaan antibiotik profilaksis secara rutin pada pasien dengan
pankreatitis akut subtipe berat tidak direkomendasikan (strong
recommendation, moderate quality of evidence).
3. Penggunaan antibiotik pada pasien dengan nekrosis steril untuk mencegah
perkembangan menjadi nekrosis yang terinfeksi tidak direkomendasikan
(strong recommendation, moderate quality of evidence).
4. Nekrosis yang terinfeksi harus dipertimbangkan pada pasien dengan
nekrosis pankreas atau ekstrapankreas yang memburuk atau gagal
membaik setelah 7 - 10 hari dirawat di rumah sakit. Dalam hal ini,
pasien harus diberikan (i) CT-guided fine needle aspiration (CT-FNA)
untuk pewarnaan Gram dan kultur untuk mendapatkan antibiotik yang
sesuai atau (ii) penggunaan antibiotik empiris yang didapat dari kultur
agen infeksi, tanpa CT-FNA (strong recommendation, moderate quality of
evidence).
5. Pada pasien dengan nekrosis yang terinfeksi, antibiotik yang diketahui
dapat menembus nekrosis pankreas, seperti karbapenem, kuinolon,
dan metronidazol, mungkin berguna untuk menunda atau menghindari
intervensi, sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas (conditional
recommendation, moderate quality of evidence).

886 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Update Management of Acute Pancreatitis

6. Pemberian agen antijamur secara rutin bersama dengan antibiotik


profilaksis atau terapeutik tidak dianjurkan (conditional recommendation,
low quality of evidence).

Nutrisi pada Pankreatitis Akut


Sebagian besar pedoman di masa lalu, meskipun tidak ada data klinis,
merekomendasikan pasien dengan pankreatitis akut subtipe ringan dipuasakan
untuk mengistirahatkan pankreas hingga rasa nyeri mereda dan beberapa
pedoman menyarankan menunggu normalisasi enzim pankreas atau bahkan
menunggu sampai terjadinya resolusi peradangan yang dibuktikan dengan
pemeriksaan penunjang pencitraan, sebelum dapat kembali melanjutkan
pemberian makan oral. Asumsi yang telah lama dipegang bahwa pankreas
membutuhkan istirahat yang lama dengan puasa tampaknya tidak didukung
oleh observasi laboratorium dan klinis. Studi klinis dan eksperimental
menunjukkan bahwa pengistirahatan usus berhubungan dengan terjadinya
atrofi mukosa usus dan peningkatan komplikasi infeksi karena translokasi
bakteri dari usus. Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa pasien
dengan pemberian makan oral lebih dini pada pankreatitis akut memiliki masa
rawat inap yang lebih pendek, menurunkan komplikasi infeksi, menurunkan
morbiditas dan mortalitas.1,2

Rekomendasi mengenai nutrisi pada pankreatitis akut oleh American


College of Gastroenterology (ACG) yaitu sebagai berikut :
1. Pada pankreatitis akut subtipe ringan, pemberian makan oral dapat
dimulai segera jika tidak ada mual, muntah, dan nyeri perut telah teratasi
(conditional recommendation, moderate quality of evidence).
2. Pada pankreatitis akut subtipe ringan, inisiasi makan dengan diet padat
rendah lemak tampak aman seperti diet cairan bening (conditional
recommendation, moderate quality of evidence).
3. Pada pankreatitis akut subtipe berat, nutrisi enteral dianjurkan untuk
mencegah komplikasi infeksi. Nutrisi parenteral harus dihindari, kecuali
rute enteral tidak tersedia, tidak dapat ditoleransi, atau tidak memenuhi
kebutuhan kalori (strong recommendation, high quality of evidence).
4. Pemberian makan enteral melalui nasogastrik dan nasojejunal tampak
sebanding dengan khasiat dan keamanan (strong recommendation,
moderate quality of evidence).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 887


Budi Widodo, Meridian

Peran Bedah pada Pankreatitis Akut


Pada pasien dengan pankreatitis batu empedu subtipe ringan,
kolesistektomi harus dilakukan selama masa rawat inap. Literatur saat
ini, meliputi 8 studi kohort dan satu percobaan acak, menggambarkan
998 pasien dengan pankreatitis bilier yang sudah dan belum menjalani
kolesistektomi, didapatkan 18% pasien masuk rumah sakit kembali untuk
kejadian bilier berulang dalam waktu 90 hari sejak keluar dari rumah sakit
(0% vs 18%, P <0,0001), termasuk kejadian pankreatitis bilier berulang (n =
43, 8%). Beberapa kasus ditemukan menjadi berat. Berdasarkan hal tersebut,
dianjurkan untuk dilakukan kolesistektomi dini selama rawat inap, jika
serangan ringan.1,2

Pasien dengan pankreatitis akut subtipe berat, terutama dengan nekrosis


pankreas, membutuhkan pengambilan keputusan yang kompleks antara
ahli bedah dan ahli gastroenterologi. Pada pasien-pasien ini, kolesistektomi
biasanya ditunda sampai : (i) di kemudian hari pada pasien dengan masa
rawat inap yang berkepanjangan, (ii) sebagai bagian dari terapi nekrosis
pankreas jika ada, atau (iii) setelah keluar dari rumah sakit.1

Rekomendasi mengenai terapi bedah pada pankreatitis akut oleh


American College of Gastroenterology (ACG) yaitu sebagai berikut:
1. Pada pasien dengan pankreatitis akut subtipe ringan, yang ditemukan
memiliki batu empedu di kantong empedu, kolesistektomi harus dilakukan
sebelum pasien keluar dari rumah sakit untuk mencegah terulangnya PA
(moderate recommendation, moderate quality of evidence).
2. Pada pasien dengan pankreatitis akut bilier nekrotikans, untuk mencegah
infeksi, kolesistektomi harus ditunda sampai peradangan aktif mereda
dan fluid collections telah stabil (strong recommendation, moderate
quality of evidence).
3. Pseudokista asimptomatik dan nekrosis pankreas dan / atau
ekstrapankreas tidak memerlukan intervensi terlepas dari ukuran,
lokasi, dan / atau ekstensi (moderate recommendation, high quality of
evidence).
4. Pada pasien stabil dengan nekrosis yang terinfeksi, pembedahan,
radiologis, dan / atau drainase endoskopi sebaiknya ditunda selama lebih
dari 4 minggu untuk memungkinkan likuifikasi isi nekrosis (liquefication
of the contents) dan perkembangan dinding fibrous di sekitar nekrosis
(walled-off necrosis) (strong recommendation, low quality of evidence).

888 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Update Management of Acute Pancreatitis

5. Pada pasien simptomatik dengan nekrosis yang terinfeksi, metode


nekrosektomi minimal invasive lebih disukai daripada nekrosektomi
terbuka (strong recommendation, low quality of evidence).

Kesimpulan
Klasifikasi Atlanta yang direvisi membagi pankreatitis akut menjadi
tiga kategori berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu : (i) mild (biasanya
interstitial), (ii) moderately severe (komplikasi lokal tanpa kegagalan organ
persisten), (iii) severe (kegagalan organ persisten). Pankreatitis akut memiliki
ciri penting yaitu kondisi klinis dapat berubah selama perjalanan penyakit,
sehingga penilaian awal dari tingkat keparahan penyakit dan identifikasi
pasien yang berisiko tinggi penting untuk penentuan tatalaksana pankreatitis
akut, sehingga dapat meningkatkan prognosis dan kelangsungan hidup.

Daftar Pustaka
1. Tenner S, Bailie J, DeWitt J et al. Guideline : Management of Acute Pancreatitis. Am J
Gastroenterology 2013; doi:10.1038/ajg.2013.218; published online 30 July 2013
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23896955
2. Vege SS, DiMagno J, Forsmark CE J et al. Initial Medical Treatment of Acute
Pancreatitis : American Gastroenterogical Association Institute Technical
Review. J Gastroenterology 2018 https://www.gastrojournal.org/article/S0016-
5085(18)30075-1/abstract
3. J. Iannuzzi1 , J. Leung , J. Quan , F. Underwood , J.A. King , J.W. Windsor , G.G. Kaplan.
GLOBAL INCIDENCE OF ACUTE PANCREATITIS THROUGH TIME: A SYSTEMATIC
REVIEW. Journal of the Canadian Association of Gastroenterology, Volume 2, Issue
Supplement_2, March 2019, Pages 499–501. https://academic.oup.com/jcag/
article/2/Supplement_2/499/5381235
4. Banks PA, Bollen TL, Dervenis C et al. Classification of Acute Pancreatitis-2012:
revision of the Atlanta Classification and definitions by international consensus. J
BMJ Group 2012 https://gut.bmj.com/content/62/1/102
5. Royal Cornwall Hospitals; Clinical Guidelines for Management of Acute Pancreatitis
In Adults. 2017. https://doclibrary-rcht.cornwall.nhs.uk/GET/d10326660
6. Vege SS, DiMagno J, Forsmark CE J et al. Comparation of Scoring System in
Predicting the Severity of Acute Pancreatitis. World Journal of Gastroenterology
2015; doi 10.3748/wjg.v21.i8.2387; published online 28 February 2015 https://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4342915/

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 889


Peran Internis pada Tata Laksana Demensia
Jusri Ichwani
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Demensia adalah penyakit yang bersifat progresif, penurunan global
dari kemampuan kognitif secara multiple termasuk memori dan paling tidak/
minimal salah satu dari penurunan orientasi, pembelajaran, berbicara secara
utuh, moral dan kebijaksanaan. Kondisi ini adalah lebih dari cukup untuk
menimbulkan gangguan pada kondisi kehidupan sehari-hari.

Kurang lebih 5 juta orang menderita demensia di US dan meningkat


secara dramatis dengan meningkatnya usia yaitu ± 2% pada usia 65 – 70
tahun, lebih dari 30% pada usia 85 tahun, serta meningkatkan biaya ±172
juta US dolar pertahun.

Tidak semua keluhan mencerminkan karakteristik demensia, akan


tetapi hampir 2 kali pada penderita-penderita gangguan kognitif mempunyai
gejala ringan saja, yang biasanya didiskusikan pada dokter-dokter pelayanan
primer, yang didapatkan sekitar 70% adalah tipe Demensia Alzheimer’s.

Dengan berkembangnya umur, maka kasus-kasus Demensia akan


menjadi beban bagi keluarga dan caregiver yang pelayanannya mungkin
berbeda antara yang dirawat di rumah, dengan pada fasilitas pelayanan
jangka panjang misalnya home nursing dan panti jompo.

Menentukan diagnosis dari gangguan kognitif dan diagnosis dari


dementia menjadi lebih penting diperlukan pada pelayanan primer.
Lain-lain dari demensia adalah:
Demensia vaskular
- Berat ringan gejala tergantung dari luas, lokasi, dan beratnya penyakit
cerebro-vaskular
- Gejala timbul secara mendadak setelah serangan stroke atau bisa timbul
secara perlahan bila yang terkena adalah pembuluh darah kecil

890 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis pada Tata Laksana Demensia

- Gangguan memori yang timbul ringan dibanding dengan Demensia


Alzheimer’s, mengenai bicara, proses informasi, pengambilan keputusan,
dan defisit gangguan visuo-spasial
- Perubahan moral dan apathi sering ditemukan
Demensia frontotemporal
- Sering pada orang yang lebih muda (50 – 60 tahun)
- Terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku
Demensia lewy body
- Timbul visual-halusinasi kompleks
- Pada fase awal gejala hanya akan timbul bila ada stress fisik, misalnya
infeksi
- Parkinsonisme (tremor, berjalan lambat, instabilitas portual dan berjalan
terseok-seok), sering pada fase awal demensia hanya tampak gejala
berjalan lambat dan cenderung akan jatuh ke depan
- Kadang timbul gangguan kognitif yang fluktuatif sehingga suka dibedakan
dengan delirium, atau suatu postural hipotensi dan gangguan tidur
beberapa tahun sebelum timbulnya demensia
Demensia penyakit Parkinson
- Sebanyak 80% penderita Parkinson berkembang dengan timbulnya
demensia
- Gejala klinis sama dengan demensia lewy-bodies, tapi gangguan kognitif
dan gangguan psikiatrik timbulnya lebih lambat
Demensia atrofi korteks posterior
- Sering timbul pada umur lebih muda (50 – 60 tahun)
- Visual agnosia (sukar mengenali wajah, obyek, apraksia, acalculia dan
alexia).
- Khas diingat hanya “early on memory”
Lain-lain yang jarang
Demensia alkoholik, HIV dengan gangguan kognitif, multiple sklerosis,
hidrosefalus, dan lainnya.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 891


Jusri Ichwani

Pendekatan Komprehensif Tata Laksana Demensia


I. Non Farmakologi
Keamanan penderita sangat penting walau demensia ringan sekalipun,
hal ini tergantung pada lingkungan penderita. Penderita yang hidup
sendirian mempunyai risiko tinggi terkait “self-neglect” cedera oleh
karena lingkungan, jatuh karena krisis obat dan tersesat, keadaan “self-
neglect” dapat disebabkan akibat apatis, disfungsi kognitif atau karena
keterbatasan fisik. Penting adalah penilaian secara periodik terkait
kemampuan melaksanakan pekerjaan sehari-hari yang ditanyakan
kepada teman, tetangga atau caregiver. Tanda-tanda “self-neglect” harus
dicari sedapat mungkin misalnya kondisi kesehatannya yang tidak
terkontrol, tidak menepati janji pertemuan, berat badan yang makin
menurun serta tampak tidak terurus. Evaluasi terhadap keamanan rumah
untuk menilai risiko jatuh dan kemungkinan cidera pada penderita harus
dilakukan, misalnya mengajari menggunakan ‘microwave” saat awal
penyakit dimana proses belajar masih bisa dilaksanakan untuk mencegah
kebakaran dan terjadinya bahaya lingkungan. Untuk menghindari
terjadinya jatuh pada penderita maka diusahakan agar lantai tidak licin,
diberikan tempat berpegangan pada dinding dan alat bantu lainnya, serta
mengatasi masalah.
1. Gangguan penglihatan
Obat-obatan yang diberikan ditata pada kotak obat, dan minta agar
caregiver mengingatkan penderita untuk meminum obat. Datang
ke praktek dokter sesuai jadwal untuk menghindari krisis medis,
komunikasi yang baik dengan keluarga/ caregiver sangat penting
untuk rencana perawatan penderita.

Kecenderungan untuk melakukan perjalanan tanpa tujuan serta


gangguan memori dapat menyebabkan penderita hilang atau
tersesat. Pengawasan yang lebih ketat dibutuhkan bila penderita
mulai tampak tanda-tanda disorientasi tempat. Bila mungkin
didaftarkan ke program Alzheimer’s Association Safe Return atau
program serupa.

Dengan bertambahnya waktu, mungkin diperlukan program


perawatan jangka panjang oleh karena penderita mungkin
memerlukan bantuan yang lebih banyak terkait aktivitas harian.

892 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis pada Tata Laksana Demensia

2. Menyetir
Merupakan masalah yang harus diperhatikan sejak dini, walaupun
demensia ringan dapat terkait dengan angka kecelakaan. Semua
usia lanjut yang menyetir harus diskrining mengenai tanda-tanda
gangguan kognitif yang dapat mempengaruhi kemampuan menyetir.
Harus dicari informasi mengenai tanda-tanda yang merupakan
gangguan kognitif, misalnya sering nyerempet/menabrak garasi
mobil, terkena tilang, hampir menabrak, menyetir terlalu lambat,
tersesat, didaerah yang biasa dilalui dan sering diklakson oleh
pengendara lain.

Rekomendasi dokter untuk melarang menyetir, didasari pada


keparahan demensia, akan adanya penurunan kemampuan
menyetir yang dilaporkan oleh keluarga atau orang-orang yang
dekat dengan pasien. Dengan demikian semua penderita yang
terbukti pasien demensia walaupun ringan sebaiknya dirujuk untuk
menjalani evaluasi kemampuan menyetir dengan tes di jalanan dan
neuropsikologi.

3. Kemampuan membuat perencanaan/ advance planning


Seiring dengan perkembangan demensia pasien dapat kehilangan
kemampuan untuk mengatur keuangan dan memahami perawatan
medisnya sendiri. Penilaian sebaiknya berdasar kemampuan
membuat keputusan terkait beberapa hal tertentu, secara periodik
sepanjang perjalanan penyakit. Perencanaan didiskusikan sejak
dini saat pasien masih mampu mengkomunikasikan segala
keinginannya dengan jelas, termasuk diskusi mengenai rencana
dan tujuan perawatan pasien selengkap mungkin, seperti misalnya
kemungkinan tindakan resusitasi Jantung-Paru.

Pasien juga sebaiknya diminta untuk menunjuk wali terkait masalah


keuangan ataupun kesehatan pasien.

4. Dukungan psikososial
Penderita demensia seringkali mengalami isolasi sosial oleh karena
perubahan kemampuan sosial serta menurunnya fungsi kognitif
untuk berkomunikasi dengan teman, penurunan kemampuan untuk
menyusun, mengingat dan mengakses situasi sosial, yang berakibat
timbulnya depresi, kecemasan, penelantaran, menolak makan,
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 893
Jusri Ichwani

hingga perilaku agresif. Dukungan psikososial sangat penting


dengan menyediakan fasilitas untuk bersosialisasi disekitar tempat
tinggal pasien. Pasien yang hidup diperawatan usia lanjut/panti
jompo serta pasien dengan penyakit yang lebih berat, disediakan
aktifitas lainnya, seperti main musik, membaca, dan lain-lain yang
dapat membantu pasien menyesuaikan diri dengan kondisi saat ini.

5. Caregiver/ Pengasuh
Dengan meningkatnya pengawasan dan perawatan pribadi
yang dibutuhkan oleh pasien demensia, disertai oleh perubahan
kepribadian dan perilaku, membutuhkan investasi waktu, keuangan,
fisik dan emosional yang besar, mungkin menjadi penyebab
timbulnya stress yang sering tidak dikenali, yang menyebabkan
gangguan kesehatan, hubungan kerja dan masalah finansial
pada pengasuh menyebabkan pengasuh menjadi kewalahan dan
seringkali menyebabkan perlakuan yang kejam pada usia lanjut.

Pengasuh pasien harus diberikan waktu luang untuk perawatan diri,


bersosialisasi dan rekreasi. Hal ini dapat mengurangi beban dari
pengasuh.

6. Gejala psikiatrik
a. Neuropsikiatrik
Seringkali gejala berupa perilaku mengacau yaitu gaduh, gelisah,
atau agitasi. Tidak jarang pasien berjalan-jalan tanpa tujuan dan
pertanyaan yang diulang-ulang. Gejala ini merupakan gejala
demensia yang secara emosional paling berbahaya bagi dokter
dan pengasuhnya. Hal ini adalah alasan agar pasien dimasukkan
ke tempat perawatan jangka panjang. Reaksi ini disebabkan
oleh “reaksi katastropik” sebagai akibat dari besarnya tekanan
yang terjadi oleh karena gagalnya kemampuan adaptasi stress
dan ketidakmampuan mengekspresikannya. Terapi obat-
obatan cenderung memberikan obat-obat antipsikotik untuk
berbagai tipe perilaku ini, namun tidak terdapat bukti medis
yang mendukungnya bahkan cara pendekatan ini malah dapat
membahayakan pasien.

894 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis pada Tata Laksana Demensia

b. Intervensi perilaku
Penting pendekatan perilaku gejala neuropsikiatrik adalah
mengidentifikasi penyebab yang potensial memicu gejala
perubahan perilaku pada pasien. Stressor penyebab harus
ditangani misalnya kemiskinan (kelaparan), nyeri, kurang
tidur, sakit, ESO, stress emosional (cemas, depresi) atau pemicu
lingkungan.

Perilaku disruptif (berteriak-teriak, menolak perawatan


ataupun menyerang orang lain) ini dapat secara efektif
berkurang. Pemicu lingkungan penyebab agitasi harus segera
diidentifikasi dan dihilangkan. Rasa takut dan paranoid
yang disebabkan oleh gangguan memori, contohnya pasien
yang marah-marah dan mengamuk oleh karena kehilangan
dompetnya, dan menuduh ada yang mencurinya, padahal hanya
karena lupa menempatkan dimana. Hal ini harus direspon
dengan menerangkan kenyataan yang ada, atau pasien yang
berjalan-jalan tanpa tujuan yang jelas, sangat mungkin oleh
karena bosan dirumah, dapat direspon dengan meningkatkan
aktivitas harian yang disenangi oleh penderita. Cara lain
adalah dengan teknik khusus/ spesifik terhadap perilaku yang
sebab musababnya tidak jelas, memberikan penghargaan
untuk perilaku yang baik, suasana lingkungan yang tenang
serta rutinitas yang terstruktur. Walaupun sifat agitasi yang
berubah setelah intervensi perilaku, seringkali diberikan
obat-obatan, namun hingga saat ini tidak terdapat bukti klinis
yang menunjukkan bahwa pemberian obat-obatan itu efektif
terhadap gejala neuropsikiatrik lain misalnya berjalan-jalan
tanpa tujuan, bertanya secara berulang-ulang serta penarikan
diri/isolasi. Gejala-gejala ini menunjukkan respon yang paling
baik bila dilakukan teknik terapi perilaku.

II. Pendekatan Farmakologis


Pengobatan terhadap sindroma psikiatrik spesifik yang paling berperan
sebagai penyebab perilaku agitatif (tabel 1) sebagai contoh anti depresi
diberikan pada gejala depresi dan cemas yang diperkirakan sebagai
penyebab timbulnya gejala pasien mondar-mandir serta berbicara
berulang-ulang. Anti psikiatrik diberikan pada pasien dengan gejala

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 895


Jusri Ichwani

delirium atau psikotik sebagai penyebab pasien melakukan serangan


fisik ke orang lain atau melawan pengasuhnya.

Antipsikotik adalah obat yang paling sering digunakan untuk gejala


agitasi, namun sebaiknya dipergunakan setelah pendekatan dengan
terapi perilaku atau setelah masalah psikiatrik pasien ditangani namun
belum mengalami perbaikan.

Antipsikotik tipikal lebih banyak mempunyai efek samping kardivaskuler


dan serebrovaskuler, pneumonia yang menyebabkan mortalitas. Efek
samping berikut adalah gangguan ekstra piramidal dan penurunan
kognitif. (30-32)

Tabel 1. Obat-obatan yang digunakan untuk Terapi Simptomatik Demensia


(Loren S et al)
Obat Dosis (Geriatrik) Penggunaan Efek Samping
Antipsikotik Dosis untuk Agitasi Delirium, psikosis. Ekstrapiramidal,
Tipikal 0,5 – 1 mg 2dd Kadang digunakan penurunan kognitif,
Haloperidol untuk demensia peningkatan kematian
namun hanya akibat kejadian
berhasil untuk serebrovaskular dan
kasus agresi kardiovaskular &
pneumonia
Antipsikotik sama dengan Efek samping
Atipikal antipsikotik tipikal antikolinergik (mengantuk,
Olanzapine Dosis untuk Agitasi gangguan gait,
Risperdal 2,5 mg 1dd-2dd retensi urin, syndrome
Quetiapine 0,25 mg – 1,0 mg bid ekstrapiramidal) lebih
25 – 100 mg 1dd jarang dibanding
(biasanya dibagi dua antipsikotik tipikal,
kali sehari) peningkatan mortalitas
seperti pad antipsikotik
tipikal namun lebih rendah
Inhibitor Cognitive enhancers Diare ringan, mual atau
Kolinesterase Rivastigmine mintah. Lebih jarang:
Rivastigmine 3 – 6 mg 2dd mungkin efektif mimpi buruk, agitasi.
Donepezil 5 – 10 mg 2dd pada gejala Sangat Jarang : Bradikardi
Galantamine 8 – 12 mg 2dd neuropsikiatrik
pada demensia
Lewy Body
Antagonis Cognitive enhancers Rasa pusing,
Reseptor NMDA meningkatkam
Memantine Mulai 5 mg 1dd dan kebingungan atau
titrasi hingga 10 mg halusinasi dengan
2dd peningkatan dosis

896 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis pada Tata Laksana Demensia

Obat Dosis (Geriatrik) Penggunaan Efek Samping


Serotonin Antidepresan. Mual, mengantuk,
Selective Efektif untuk cemas insomnia, hiponatremia.
Reuptake menyeluruh. Jarang: Sindrome
Inhibitor Citalopram serotonin
Citalopram 20 – 40 mg 1dd mungkin efektif
Sertraline 50 – 100 mg 1dd untuk gejala
neuropsikiatrik
pada demensia
frontotemporal

Antipsikotik atipikal mempunyai efek samping ekstra piramidal yang


lebih rendah namun memiliki efek samping anti kolinergik yang lebih
tinggi, termasuk mengantuk, gangguan gait, hipotensi ortostatik, retensio
urin dan konstipasi (Sink K et al, 2005).

Inhibitor kolinesterase terapi gejala neuropsikatrik pada demensia


walaupun signifikansinya masih kontroversi namun karena efek
sampingnya lebih aman, maka masih dapat diberikan terutama pada
Demensia Lewy-Body, terutama rivastigmin (Lippa CF et al, 2007, Sink
K et al, 2005).

Pada beberapa penelitian menunjukkan SSRI (Selective Serotonin


Reuptake Inhibitor), misalnya Cilatopram memiliki efikasi yang baik
untuk terapi gejala neuropsikiatrik pada demensia (Sink K et al, 2005),
demikian juga pada demensia Lobus Fronto-temporal, terutama untuk
gejala impulsif.

Golongan Benzodiazepin sebaiknya tidak diberikan, terutama untuk


tata laksana jangka panjang karena dapat meningkatkan gejala delirium,
risiko jatuh, serta meningkatkan gejala agitasi pada pasien demensia
(Sink K et al, 2005).

Gejala-gejala lainnya:
1. Depresi
Depresi dapat menyebabkan memburuknya status kognitif pasien,
yang akan menimbulkan gejala neuropsikiatrik yang akan berakibat
turunnya kualitas hidup, sehingga sangat penting untuk diobati.
Seringkali keadaan depresinya tidak menunjukkan gejala apa-
apa. Penurunan keinginan atau minat pada depresi, sering sulit

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 897


Jusri Ichwani

dibedakan dengan keadaan apatis akibat demensia namun kedua hal


ini dapat menyebabkan pasien menarik diri dari aktivitas.

2. Gangguan tidur
Pada demensia Alzheimer sering kali mempunyai waktu hidup
yang terbalik. Hal ini sangat mengganggu baik untuk pasien,
ataupun pengasuhnya, dikarenakan pasien sering berbicara sendiri
diwaktu malam atau bahkan berjalan-jalan tanpa tujuan sehingga
membahayakan pasien, misalnya tersesat, jatuh ataupun menyalakan
kompor. Pengobatan adalah dengan cara mengembalikan ritme
sirkadian dengan cara merangsang aktivitas dan olehraga di siang
hari. Beberapa jam sebelum tidur diusahakan tidak ada aktivitas
apa-apa.

Insomnia sering terjadi pada demensia, delirium dapat terjadi oleh


karena kurang tidur, jatuh, agitatif ataupun penurunan kognitif.
Penyebabnya biasanya adalah oleh karena adanya rasa nyeri,
kecemasan, depresi, adanya cafein, efek samping obat yang diminum
ataupun higiene tidur yang jelek.

Inhibitor kolinesterase dapat menyebabkan mimpi buruk yang


mungkin menyebabkan insomnia, terapi harus mencari penyebab
utama insomnia, memperbaiki higiene tidur yang buruk, mandi
air hangat sebelum tidur untuk relaksasi, makanan ringan dan
pembatasan cairan sebelum tidur agar pasien tidak harus bangun
tengah malam oleh karena lapar dan ingin berkemih. Pemberian
obat-obatan dapat diberikan apabila pasien dengan gangguan tidur
berat dan metode sebelumnya tidak berhasil.

Tatalaksana Penurunan Kognitif:


1. Umum
Mengontrol hipertensi sistolik dan dislipidemia adalah sangat penting
dari bukti-bukti yang ada (Gouthier S et al, 2006, Langa K et al, 2004).
Meminimalkan pemakainan obat yang berpengaruh terhadap kognitif
misalnya antikolinergis, gangguan psikiatrik dan kurang tidur dapat
memperbaiki kognitif sehari-hari.

898 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis pada Tata Laksana Demensia

Pada dasarnya tujuan terapi adalah berfokus untuk membantu pasien


beradaptasi dengan gangguan memori, misalnya mencatat segala
sesuatunya sebagai cara pengingat (Burns a et al, 2009).
2. “Cognitive enhancer”
Obat-obatan yang dipakai secara luas untuk meningkatkan kognitif
adalah inhibitor kolinesterase dan antagonis reseptor N-Methyl-D-
Aspartate (NMDAr) (tabel 1). Inhibitor kolinesterase digunakan hanya
pada pasien demensia, terutama demensia vaskular.
NMDAr sering dipakai untuk Demensia Alzheimer yang sedang dan berat,
namun efikasi cukup baik pada Demensia Vaskular, namun tidak untuk
mencegah berkembangnya progresi MCI menjadi demensia (Gouthier S
et al, 2006).
3. Inhibitor kolinesterasi
Inhibitor kolinesterase dapat meningkatkan neurotransmitter asetilkolin
pada sinaps neuron di hipokampus dan neokorteks. Hal ini akan memberi
efek positif terhadap kognitif yang turun oleh karena area degenerative
neuron yang mensekresi insulin berkurang.
Bukti-bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian obat ini paling baik
pada Alzheimer ringan dan sedang (Burns A et al, 2009, Birks J et al,
2006).
Efek samping terutama diare, mual, pusing dan penurunan berat badan.
Efek samping pada CNS jarang yaitu insomnia, agitasi, mimpi buruk,
dan panik. Efek samping lain yang jarang adalah bradikardi dan sinkop.
Galantamin dan Donepezil pada demensia vaskular menunjukkan adanya
perbaikan bila dibanding placebo (Craig D et al, 2006).
4. Antagonis reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDAr)
Memantine adalah antagonis reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDAr)
yang memblok peningkatan aktifitas glutamateric abnormal yang tampak
pada Alzheimer dan penyakit serebrovaskular.
Glutamat adalah neurotransmitter mayor pada otak dan dilepaskan
secara intermitten saat aktifitas yang sesuai yaitu saat proses belajar
dan memori. Apabila pelepasan terjadi terus menerus, maka akan
mengganggu proses belajar dan menyebabkan neurotoksisitas.
Bukti klinis menunjukkan pada Alzheimer sedang dan berat, pemberian
Memantine tunggal atau kombinasi dengan Donepezil hasil yang

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 899


Jusri Ichwani

menguntungkan terhadap gejala klinis memberikan (Tariot PN et al,


2004).
Efek samping Memantine lebih sedikit dibanding inhibitor kolinesterase.
Biasanya pusing, walau jarang namun kebingungan dan halusinasi
dilaporkan. Biasanya saat diberikan dosis awal atau peningkatan dosis
(McShane R et al, 2006).
Pemberian biasanya dimulai dosis rendah dan ditetrasi sehingga
mencapai dosis maksimal, setiap pemberian satu dosis dipertahankan
seminggu baru dinaikkan. Bila terjadi efek samping dosis diturunkan ke
dosis sebelumnya.
Tata kelola komorbid:
- Obesitas dan berat badan lebih.
Overweight dan obesitas merupakan factor risiko dari ragam
penyakit dan menyebabkan kematian paling tidak 2,8 juta setiap
tahun di seluruh dunia. Kelebihan berat dan obesitas mempunyai
hubungan dengan kejadian DMT2, kanker, kematian bayi premature,
penyakit kardiovaskular, kolesterol yang tinggi dan darah tinggi.
Obesitas sering timbul pada usia lanjut pada dekade terakhir.
Hubungannya jelas antara berlebihnya massa lemak tubuh dengan
gangguan kognitif (Xu, 2011). Suatu penelitian observasional
dari total jumlah penelitian lebih kurang 60.000 orang obesitas
menyimpulkan bahwa terdapat risiko untuk timbulnya demensia,
namun tidak pada berat badan lebih, hal tersebut menunjukkan
secara tidak langsung terjadi penurunan risiko demensia oleh
karena perbaikan dari factor yang terkait dengan patogenesis dari
menurunnya kognitif dan demensia. Antara lain, toleransi glukosa,
sensitivitas insulin, tekanan darah tinggi, stress oksidatif dan factor
keradangan (Bennet et al, 2009).
- Hipertensi
Darah tinggi yang diderita sejak umur pertengahan mempunyai
hubungan dengan meningkatnya risiko demensia pada usia lanjut
(Kivipelto et al, 2001). Pada kondisi khusus, hipertensi pada usia
pertengahan diikuti oleh penurunan yang cepat dari tekanan darah
pada usia lanjut sering didapatkan pada pasien demensia (Steward
et al, 2009). Walaupun demikian bukti klinis menunjukkan bahwa
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan memberi perbaikan
kesehatan pada populasi usia lanjut (Musini et al, 2009).
900 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Peran Internis pada Tata Laksana Demensia

Hipertensi dapat dicegah dengan gaya hidup sehat, termasuk diet


makanan sehat, penjagaan berat badan dengan olahraga. Tekanan
darah tinggi juga dapat dikontrol dengan obat-obat antihipertensi.
- Diabetes mellitus
Pasien usia lanjut dengan diabetes mempunyai hubungan dengan
peningkatan fisik demensia (Luchsinger 2010, Prince et al 2014).
Walaupun mekanismenya masih belum jelas, control gula darah
yang jelek dianggap mempunyai hubungan dan menurunnya fungsi
kognitif (Yaffe et al 2012), selain itu komplikasi diabetes antara
lain nefropati, retinopati, gangguan pendengaran dan penyakit
kardiovaskular, semuanya menyebabkan meningkatnya risiko
terjadinya demensia (Bruce et al 2014).
Penelitian mengenai perbaikan kontrol terhadap gula darah dengan
hubungannya terhadap demensia masih tidak pasti (Launer et
al 2011). Jadi bukti bahwa pemberian obat secara efektif untuk
mengontrol gula darah terhadap risiko demensia masih tidak jelas
(Moore et al 2013). Namun beberapa bukti secara tidak langsung
bahwa terapi terhadap komorbid kardiovaskular yang disebabkan
diabetes antara lain kolesterol yang tinggi dan tekanan darah tinggi
dapat memperbaiki risiko terjadinya demensia (Johnson et al 2012).
- Hipotiroidisme
Subklinikal dan klinikal hipotiroidisme mempunyai korelasi
dengan buruknya kognitif. Hipotirodisme umumnya adalah suatu
kondisi medis yang umum pada usia lanjut. Prevalensi pada usia
lanjut wanita antara 5-20%, sedangkan laki-laki sekitar 3-8%, dan
penyebab tersering adalah autoimun tiroiditis 66-90% terdapat
disfungsi kognitif. Demensia yang disebabkan hipotiroidisme
berpotensi reversibel. Tidak ada bukti yang pasti bahwa gangguan
kognitif akan sembuh total dengan pemberian terapi Levotiroksin,
tergantung dari berapa lama pasien telah menderita hipotiroidisme.
Gejala neurologis bisa timbul mendahului, bersamaan ataupun
setelah tanda sistemik. Gejala klinis hipotiroidisme pada usia lanjut
sering tidak khas, sehingga sering tertutupi oleh gejala gangguan
kognitif ataupun demensia. Gangguan kognitif pasien hipotiroidisme
pada umumnya adalah susah mengingat kejadian yang baru dan
sulit untuk berkosentrasi. Patofisiologi dari gangguan kognitif pada
hipotiroidisme masih belum jelas, namun pada pemeriksaan “Single
Photon Emission Computed Tomography (SPECT)” dan “Position
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 901
Jusri Ichwani

Emission Tomography (PET)” didapatkan penurunan dari aliran


darah serebral disertai penurunan kadar gula dan oksigen pada
metabolisme serebral (Lim SC et al, 2018).
- Dislipidemia
Meningkatnya serum kolesterol adalah salah satu faktor risiko
kardiovaskular. Sepertiga dari penyakit jantung iskemik di dunia
disebabkan oleh hiperkolesterolemia.
Prevalensi hiperkolesterolemia tampaknya berkorelasi dengan
“high income countries”. Lebih dari 50% orang dewasa menderita
hiperkolesterolemia, lebih dari dua kali lipat dibanding dengan “low
income countries” (WHO 2019).
Hubungan peningkatan kolesterol darah dengan meningkatnya risiko
demensia telah diteliti sejak pertengahan tahun 1970 (Richardson
et al, 2000). Terdapat hubungan dari keduanya (Kivipelto et al
2002, Solomon et al 2007). Namun beberapa studi lain meragukan
(Maiwores et al 2005).
Akhir-akhir ini dari re-analisis pemakaian Simvastatin terhadap
Alzheimer dementia, dapat memperlambat penurunan kognitif
(Geifmar et al, 2017)
- Depresi
Meta analisis dari 32 penelitian yang melibatkan 62.568 orang
selama 5 tahun terdapat peningkatan hampir dua kali lipat risiko
terhadap demensia (Prince et al 2014). Diperkirakan pula bahwa
depresi merupakan gejala prodronal dari demensia, dan penurunan
kognitif merupaka n gejala utama dari depresi pada usia lanjut.
Penatalaksanaan non farmakologis meliputi psikoedukatif adalah
tidak tepat, mencari penyebab stress, pekerja sosial, menjelaskan
terapi secara detail dan evaluasi hasil terapi secara regular.
Terapi medika mentosa:
SSRI (Fluoxetin) dan trisiklik anti depresan (amitriptyline) (WHO
Formula)
- “Hearing loss”/ Kehilangan Pendengaran
Sering terdapat dengan bertambahnya umur pada usia lanjut. Secara
statistik didapatkan satu dari tiga orang usia lanjut (65 tahun keatas)

902 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis pada Tata Laksana Demensia

menderita ketulian. Namun sering terjadi “underestimate” (Blusteis


et al 2018).
Kehilangan pendengaran akan berakibat terhadap kemampuan
fungsional, sosial dan emosional. Berkurangnya pendengaran akan
berdampak terhadap kemampuan seseorang untuk berkomunikasi,
yang akan menimbulkan frustasi, isolasi dan kesepian yang berakibat
usia lanjut peka terhadap pengaruh psikososial. Kondisi ini juga
berhubungan dengan meningkatnya risiko penurunan kognitif
atau demensia (Lim et al 2013). Turunnya pendengaran, dengan
gangguan kognitif atau demensia sendiri-sendiri atau bersamaan
diperkirakan akan berlanjut dengan gangguan fungsional, dan
membebani perawatan. Oleh karena itu intervensi terhadap
kehilangan pendengaran pada hakekatnya secara potensial akan
memperbaiki kondisi usia lanjut dalam banyak bidang.
Penatalaksanaan:
• Menentukan penderita yang dicurigai, dikirimkan ke rehabilitasi
audiologi.
• Secara periodik melakukan evaluasi mengenai pendengarannya.
Test audiologi, pemeriksaan otoskopi dan test bisik.
• Diberikan “hearing aids” sebagai terapi pilihan, karena
meminimalkan gangguan pendengaran dan memperbaiki
fungsi harian.
• Periksa obat-obatan ototoksik.
• Usia lanjut yang kehilangan pendengaran mendadak, atau yang
menderita otitis media kronis segera dikirimkan ke ahli THT.

Ringkasan
Definisi demensia adalah penyakit yang bersifat progresif, penurunan
global dari kemampuan kognitif secara multiple termasuk memori dan paling
tidak minimal salah satu dari penurunan orientasi, pembelajaran, berbicara
secara utuh, moral dan kebijaksanaan.

Macam-macam jenis demensia antara lain: Alzheimer demensia dan


vaskular, lewy body demensia, demensia lobus frontotemporal dan demensia
yang reversibel.

Tata laksana demensia bisa non farmakologis dan farmakologis.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 903


Jusri Ichwani

Farmakologis termasuk keamanan pasien, menyetir, membuat


perencanaan, pengasuh, intervensi perilaku. Dan pendekatan farmakologis
antara lain antipsikiatik, tipikal, atipikal, inhibitor kolinesterase, antagonis
reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDAr), Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor (SSRI).

Tata kelola komorbid; termasuk aktifitas fisik, hindari rokok, nutrisi, alkohol,
aktifitas sosial, menjaga berat badan, hipertensi, diabetes, dislipidemia,
depresi, hipotiroidisme, dan hearing loss.

Daftar Pustaka
1. Bennett S, Grant MM, Aldred S (2009). Oxidative stress in vascular dementia
and Alzheimer’s disease: a common pathology. Journal of Alzheimer’s Disease.
17(2):245-257. Doi:10.3233/jad-2009-1041.
2. Birks J (2006). Cholinesterase inhibitors for Alzheimer’s disease. Cochrane
Database Syst Rev:1:CD005593.
3. Blustein J, Weinstein BE, Chodosh J (2018). Tackling hearing loss to improve the
care of older adults. British Medical Journal. 360. Doi:10.1136/bmj.k21.
4. Bruce DG, Davis WA, Starkstein SE, Davis TM (2014). Mid-life predictors of cognitive
impairment and dementia in Type 2 diabetes mellitus: the Fremantle Diabetes
Study. Journal of Alzheimer’s Disease. 42(3):S63-70. Doi:10.3233/jad-132654.
5. Burns A, Lliffe S (2009). Alzheimer’s disease. BMJ. 338:467.
6. Craig D, Birks J (2006). Galantamine for vascular cognitive impairment. Cochrane
Database Syst Rev;1:CD004746. DOI 10.1002/14651858.
7. Geifman N, Brinton RD, Kennedy RE, Schneider LS, Butte AJ (2017). Evidence
for benefit of statins to modify cognitive decline and risk in Alzheimer’s disease.
Alzheimer’s Research & Therapy. 9(10):1. Doi:10.1186/s13195-017-0237-y.
8. Gouthier S, Reisberg, Zaudig M (2006). Mild cognitive impairment. Lancet.367:
1262-1270
9. Johnson ML, Parikh N, Kunik ME, Schulz PE, Patel JG, Chen H et al. (2012).
Antihypertensive drug use and the risk of dementia in patients with diabetes
mellitus. Alzheimer's & Dementia. 8(5):437–444. doi:10.1016/j.jalz.2011.05.2414.
10. Khanderwall C, Kaufer DI (2007). Alzheimer disease and other dementia. In: Ham
RJ, Sloane PD, Warshow GA, Potter JF, Flaherty Editors. Primary Care Geriatrics 6th
ed. Elsevier USA; pp.201-213.
11. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, Hanninen T, Hallikainen M, Alhainen K et al.
(2002). Apolipoprotein E epsilon4 allele, elevated midlife total cholesterol level,
and high midlife systolic blood pressure are independent risk factors for late-life
Alzheimer disease. Annals of Internal Medicine. 137(3):149–155.

904 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Peran Internis pada Tata Laksana Demensia

12. Launer LJ, Ross GW, Petrovitch H, Masaki K, Foley D, White LR et al. (2000). Midlife
blood pressure and dementia: the Honolulu- Asia aging study. Neurobiology of
Aging. 21(1):49–55.
13. Lim JW, Lim SC (2018). Dementia of hypothyroidism in geriatric patients. J Biomed
Res Prac 2 (1).
14. Lin FR, Yaffe K, Xia J, Xue QL, Harris TB, Purchase-Helzner E et al. (2013). Hearing
loss and cognitive decline in older adults. JAMA Internal Medicine. 173(4):293–
299. doi:10.1001/ jamainternmed.2013.1868.
15. Loren S, Greenberg MS (2011). Dementia. In: Case-Based Geriatrics: 1th ed. Mirth
V, Wieland D, Bumba MD editors. McGraw Hill. USA: pp.415-424.
16. Luchsinger JA (2010). Diabetes, related conditions, and dementia. Journal of
Neurological Sciences. 299(1–2):35–38. doi:10.1016/j.jns.2010.08.063.
17. Mainous AG 3rd, Eschenbach SL, Wells BJ, Everett CJ, Gill JM (2005). Cholesterol,
transferrin saturation, and the development of dementia and Alzheimer's disease:
results from an 18-year population-based cohort. Family Medicine. 37(1):36–42.
18. McShane R, Aresoa Sastre A, Minakaran N (2006). Memantine for dementia.
Cochrane Database Syst Rev. CD 003154
19. Moore EM, Mander AG, Ames D, Kotowicz MA, Carne RP, Brodaty H et al. (2013).
Increased risk of cognitive impairment in patients with diabetes is associated with
metformin. Diabetes Care. 36(10):2981–2987. doi:10.2337/dc13-0229.
20. Musini VM, Tejani AM, Bassett K, Wright JM (2009). Pharmacotherapy for
hypertension in the elderly. Cochrane Database of Systematic Reviews.
(4):CD000028. doi:10.1002/14651858.CD000028.pub2.
21. Prince M, Albanese E, Guerchet M, Prina M (2014). World Alzheimer Report 2014.
Dementia and risk reduction: an analysis of protective and modifiable risk factors.
London: Alzheimer's Disease International.
22. Richardson WS, Glasziou P, Polashenski WA, Wilson MC (2000). A new arrival:
evidence about differential diagnosis. Evidence Based Medicine. 5(6):164.
23. Solomon A, Kareholt I, Ngandu T, Winblad B, Nissinen A, Tuomilehto J et al.
(2007). Serum cholesterol changes after midlife and late-life cognition: twenty-
one-year follow-up study. Neurology. 68(10):751–756. doi:10.1212/01.
wnl.0000256368.57375.b7.
24. Stewart R, Xue QL, Masaki K, Petrovitch H, Ross GW, White LR et al. (2009).
Change in blood pressure and incident dementia: a 32-year prospective study.
Hypertension. 54(2):233–240. doi:10.1161/hypertensionaha.109.128744.
25. Tariot PN, Farolow MR, Grossberg GT, et al. (2004). Memantine treatment
in patients with moderate to severe Alzheimer’s dementia already receiving
Donepezil: A randomized controlled trial. JAMA;291:317.
26. WHO Guidelines (2019). Risk reduction of cognitive decline and dementia.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 905


Jusri Ichwani

27. Xu WL, Atti AR, Gatz M, Pedersen NL, Johansson B, Fratiglioni L (2011). Midlife
overweight and obesity increase late-life dementia risk: a population-based twin
study. Neurology. 76(18):1568–1574. doi:10.1212/WNL.0b013e3182190d09.
28. Yaffe K, Falvey C, Hamilton N, Schwartz AV, Simonsick EM, Satterfield S et al (2012).
Diabetes, glucose control, and 9-year cognitive decline among older adults without
dementia. Archives of Neurology. 69(9):

906 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Hiponatremia dan Hipernatremia
Nunuk Mardiana
Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Pemahaman mengenai fisiologi natrium (Na) dan keseimbangan cairan
merupakan hal penting untuk menentukan patofisiologi yang menyebabkan
terjadinya perubahan volume cairan ekstraseluler (CES) dan atau konsentrasi
Na plasma serta berguna untuk menetapkan terapi optimal yang dibutuhkan.1

Natrium paling berpengaruh dalam menentukan osmolalitas ektraseluler


karena merupakan kation utama ektraseluler. Osmolalitas plasma dapat
dihitung dari perhitungan: 2(Na+) + BUN (mg/dl)/2,8 + glukosa (mg/dl)/18.
Air di distribusikan pada kompartemen ekstraseluler dan intraseluler
sehingga osmolalitas di setiap kompartemen sama, kecuali ada penambahan
solute lain ke CES, akan menyebabkan peningkatan osmolalitas.2

Keseimbangan air dan Na diatur secara independen oleh jaras spesifik


yang bertujuan untuk mencegah perubahan besar pada osmolalitas plasma
dan effective circulating volume. Bila regulasi tersebut terganggu maka adanya
air yang terlalu banyak akan menyebabkan hyponatremia, air yang terlalu
sedikit menyebabkan hipernatremia, Na yang terlalu banyak menyebabkan
ekspansi volume dan Na yang terlalu sedikit akan menyebabkan deplesi
volume.3

Hiponatremia
Definisi-klasifikasi dan Epidemiologi1
Hiponatremia didefinisikan sebagai adanya konsentrasi ion Na dalam
plasma < 135 mmol/L. Berdasarkan pemeriksaan biokimia, hiponatremia
digolongkan sebagai hiponatremia ringan bila konsentrasi Na serum 130-135
mmol/L, hiponatremia sedang bila Na 125-129 mmol/L dan profound bila Na
< 125 mmol/L. Berdasarkan waktu terjadinya, hiponatremia dibagi menjadi
hiponatremia akut yaitu terjadi dalam waktu < 48 jam, dan dikatakan kronik
bila berlangsung setidaknya 48 jam. Berdasarkan gejalanya, hiponatremia
dibagi menjadi 2 yaitu simtomatik sedang (mual tanpa muntah, bingung, sakit

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 907


Nunuk Mardiana

kepala) dan simtomatik berat (muntah, distres kardio-respiratori, somnolen


dalam, kejang, koma atau GCS < 8).4

Hiponatremia paling banyak dijumpai dalam praktek klinik dan dikaitkan


dengan morbiditas bahkan mortalitas, serta lamanya waktu rawat tinggal
di RS.5 Dilaporkan bahwa sebanyak 28% pasien mengalami hiponatremia
pada saat awal menjalani rawat tinggal di rumah sakit (RS) dan sekitar
14% mendapatkan hiponatremia selama dirawat di RS.6 Hiponatremia juga
dilaporkan didapatkan pada 15%-20% kasus emergensi yang datang untuk
menjalani perawatan di rumah sakit dan terjadi pada lebih dari 20% pasien
kritis.4

Patofsiologi
Patofisiologi hiponatremia berhubungan dengan pemeliharaan
osmolalitas serum serta effective arterial blood volume (EABV). Batasan
effective circulating volume adalah parameter tak terukur yang menunjukkan
bagian dari CES yang berada di sistim arterial, yang secara efektif memberi
perfusi pada jaringan.Walaupun pemeliharaan osmolalitas dan EABV
berkaitan erat, tetapi diregulasi oleh jaras fisiologik yang berbeda.

EABV primer dikontrol oleh baroreseptor carotid dan aortic yang


mengatur tekanan darah melalui perubahan tonus vaskuler dan aparatus
jukstaglomeruler ginjal, yang kemudian meregulasi renin-angiotensin-
aldosteron system (RAAS). Aktivasi RAAS akan menghasilkan angiotensin II
yang akan menyebabkan vasokonstriksi otot polos vaskuler dan menghasilkan
aldosterone yang akan menyebabkan retensi Na.

Osmolalitas serum diatur oleh regulasi asupan dan ekskresi free water.
Asupan air dikontrol oleh mekanisme haus sedangkan ekskresi air diatur oleh
kerja antidiuretic hormone (ADH) pada ginjal, Hormon ADH disekresi oleh
pituitary posterior dan bekerja pada reseptor V2 di tubukus koligentes untuk
meningkatkan reabsorpsi air. Pada kondisi normal, sekresi ADH diatur secara
ketat oleh perubahan osmolalitas serum. Bila osmolalitas serum rendah,
sekresi ADH juga rendah, dan ginjal mengekskresi urine encer (50-100
mOsm/kg). Sebaliknya bila osmolalitas serum meningkat, maka sekresi ADH
juga akan meningkat secara proposional, menyebabkan ginjal membuat urin
pekat dan terjadi resorpsi free water untuk dikembalikan ke sirkulasi. Sekresi
ADH yang maksimal mampu memekatkan urin sampai 900-1200mOsm/kg.

908 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Hiponatremia dan Hipernatremia

Normal, sekresi ADH tidak sensitive terhadap perubahan EABV, tetapi pada
EABV amat rendah dapat terjadi sekresi ADH sebagaimana terjadi pada
beberapa kondisi seperti kehilangan darah, dehidrasi, atau sirosis hati dan
gagal jantung tahap lanjut. Proses tersebut menjelaskan mengapa ADH
mungkin disekresi pada kondisi hipovolemik, bahkan pada osmolalitas
dibawah normal. Pada kondisi tersebut, RAAS juga teraktivasi, dan melalui
kerja aldosterone ginjal menjadi “antusias” terhadap Na yang dimanifestasikan
sebagai konsentrasi Na urin bisa < 40 meq/L. Tipikal hiponatremia
hipovolemik terjadi transient sejalan dengan adanya perbaikan cairan yang
akan menekan ADH dan RAAS.

Sekresi ADH pada hiponatremia euvolemik dipicu oleh proses yang tidak
terkait dengan osmolalitas serum maupun EABV. Sekresi ADH dapat terjadi
oleh berbagai rangsangan seperti nyeri, mual, infeksi paru atau obat obatan.
ADH juga bisa dihasilkan ektopik oleh beberapa keganasan seperti small-cell
lung cancer. Kondisi serupa terjadi pada hipotiroid dan insufisiensi adrenal.
Pada keadaan euvolemik kadar aldosterone rendah dan konsentrasi Na urin
umumnya > 40 meq/L.

Sebagian besar status hipervolemik ditandai dengan kelebihan volume


tubuh total disertai dengan EABV yang rendah. Keadaan ini terjadi pada
gagal jantung, sirosis hepatis dan sindroma nefrotik.Sebagaimana pada
hiponatremia hipovolemik, EABV yang rendah akan menjadi pencetus
sekresi ADH dan aktivasi RAAS. Proses ini akan menyebabkan retensi Na dan
terjadinya retensi air yang lebih besar dari retensi Na. Natrium urin biasanya
<20 meq/L kecuali disertai pemberian diuretik atau gangguan fungsi ginjal.
Penyakit yang mendasari biasanya bersifat kronik sehingga rangsangan
terhadap sekresi ADH dan aktivasi RAAS berlangsung persistent.

Berdasarkan waktu terjadinya, sebagian besar kasus hiponatremia akut


terjadi pada saat pasien menjalani rawat inap di rumah sakit, terkait dengan
pemberian cairan intravenous.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 909


Nunuk Mardiana

Tabel 1. Penyebab input air berlebih pada pasien dengan hiponatremia5


Ingestion of a large volume of water
- Aversion to a large water intake is suppressed by mood altering drugs (e.g.MDMA)
- Drinking too much water during a marathon to avoid dehydration
- Beer Potomania
- Psychotic state (e.g. paranoid schizophrenia)
Infusion of a large volume of 5% dextrose in water solution (D5W)
During the postoperative period (especially in a young patient with a low muscle mass)
Infusion of a large volume of hypotonic lavage fluid
Input of water & organic solutes, with lttle or no Na ions (e.g. hyponatremia following
transurethral resection of prostate)
Generation & retention of electrolyte-free water (“Desalination”)
Excretion of a large volume of hypertonic urine caused by a large infusion of isotonic saline in a
setting where vasopressin is present

Pada pasien hiponatremia kronik, patofisiologi yang paling berperan


adalah gangguan ekskresi air. Secara tradisional, pendekatan patofisiologi
hiponatremia dikaitkan dengan berkurangnya ekskresi electrolyte-free
water yang disebabkan oleh vasopressin. Pada beberapa keadaan, pelepasan
vasopressin disebabkan adanya penurunan EABV , meskipun (setidaknya
pada sebagian pasien) derajat penurunan tersebut tidak cukup besar
untuk merangsang pelepasan vasopressin. Diduga, pada beberapa pasien
hiponatremia bisa terjadi bahkan tanpa pengaruh vasopressin, dan hal ini
diperankan oleh 2 faktor penting, yaitu:
1. Bekurangnya volume filtrat yang dihantarkan ke nefron distal
2. Berkurangnya reabsorpsi air dibagian dalam MCD (medullary collecting
duct)

Tabel 2. Penyebab rendahnya ekskresi air 5


Lower rate of water excretion because of low volume of distal delivery of filtrate
- States with a very low GFR
- States with enhanced reabsorption of filtrate in the PCT caused by low EABV:
 Loss of Na & Cl in sweat (e,g. patient cyctic fibrosis, a marathon runner)
 Loss of Na & Cl via the gastrointestinal tract (e.g. diarrhea)
 Loss of Na & Cl via the kidney (diuretics, aldosterone deficiency, renal or cerebral salt
wasting).
 Conditions with an expanded ECF volume but low EABV (e.g. congestive heart failure, liver
cirrhosis).

910 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Hiponatremia dan Hipernatremia

Lower rate of excretion of water because of vasopressin actions


- Baroreceptor-mediated release of vasopressin because of markedly low EABV
- Nonosmotic stimuli including pain, anxiety, nousea
- Central stimulation of vasopressin release by drugs including MDMA, nicotine, morphine,
carbamazepine, tricyclic antidepressants, serotonin reuptake inhibitors, antineoplastic agents
such as vincristine & cyclophosphamide (probably via nausea & vomiting)
- Pulmonary disorders (e.g. bacterial or viral pneumonia, tuberculosis)
- Central nervous system disorders (e.g. encephalitis, meningitis, brain tumors, subdural
hematoma, subarachnoid haemorrhage, stroke)
- Release vasopressin from malignant cells (e.g. small cell carcinoma of the lung, Oropharyngeal
carcinomas, olfactory neuroblastomas)
- Administration of dDAVP (e.g. for urinary incontinence, treatment for diabetes insipidus)
- Glucocorticoid deficiency
- Severe hypothyroidism
- Activating mutation of the V2R (nephrogenic syndrome of inappropriate anti diuresis)

Tanpa adanya penurunan volume filtrat ke nefron distal, diagnosis


nya adalah syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion
(SIADH).5,7,8,9,10,11

Gejala Klinis
Sebagian besar pasien dengan Na diatas 125 mmol/L asimtomatis. Pada
Na dibawah 125 mmol/L mulai didapatkan gejala. Hiponatremia menginduksi
adanya pembengkakan sel secara menyeluruh yang merupakan konskekwensi
akibat pergerakan air dari CES yang hipotonik ke CIS. Gejala utamanya
berkaitan dengan neurologi, menggambarkan berkembangnya edema otak
dalam rongga kepala yang rigid. Perkembangan gejala selanjutnya tergantung
pada kecepatan terjadinya hiponatremia, pada hiponatremia akut lebih berat.
Gejala yang bisa terjadi adalah sakit kepala, menguap, lethargy, mual mual,
ataksia reversibel, psikosis, kejang dan koma. Walaupun jarang, hipotonisitas
dapat menyebabkan edema otak sampai berat yang disertai peningkatan
tekanan intraserebral, herniasi tentorial depresi nafas dan kematian. 8,12

Pendekatan Diagnosis
Hiponatremia adalah Na serum <135 mmol/L dengan menyingkirkan
adanya hiponatremia translokasional dan pseudohiponatremia.

Hiponatremia translokasional atau hiponatremia hipertonik terjadi oleh


karena adanya peningkatan kadar zat terlarut dalam plasma seperti pada
hiperglikemia dan pada pemberian manitol sehingga terjadi perpindahan air
dari CIS ke CES, dan kadar Na serum menurun oleh karena mengalami dilusi.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 911


Pendekatan
Nunuk Mardiana
Diagnosis
Hiponatremia adalah Na serum <135 mmol/L dengan menyingkirkan adanya
hiponatremia translokasional dan pseudohiponatremia.
Pseudohiponatremia adalah hiponatremia isotonik terjadi pada
Hiponatremia translokasional atau hiponatremia hipertonik terjadi oleh karena adanya
hiperproteinemia seperti pada kasus mieloma multipel, atau pada
peningkatan kadar zat terlarut dalam plasma seperti pada hiperglikemia dan pada pemberian
hiperlipidemia.
manitol sehingga terjadi perpindahan air dari CIS ke CES, dan kadar Na serum menurun oleh
karena mengalami dilusi.
Pseudohiponatremia adalah hiponatremia isotonik terjadi pada hiperproteinemia
Dikatakan true hyponatremia apabila didapatkan hiponatremia dengan
seperti pada kasus mieloma multipel, atau pada hiperlipidemia.
osmolalitas
Dikatakanplasma rendah. Berdasarkan
true hyponatremia status volumenya
apabila didapatkan hiponatremia dibagi
dengan menjadi:
osmolalitas
plasma rendah. Berdasarkan
1) hiponatremia hipovolemik, status volumenya dibagi menjadi :
1) hiponatremia hipovolemik,
2) 2) hiponatremia euvolemik,
hiponatremia euvolemik,
3) hiponatremia hipervolemik. 8,13 8,13
3) hiponatremia hipervolemik.

8
Gambar 1. Algoritma
Gambar diagnostik etiologi
1. Algoritma hiponatremia
diagnostik etiologi hiponatremia8

Tatalaksana
Tatalaksana
Langkah awal menghadapi pasien hiponatremia adalah menetapkan kegawatannya,
bukan penyebabnya. Inisiasi terapi hiponatremia harus segera dilakukan untuk pasien
Langkah awal menghadapi pasien hiponatremia adalah menetapkan
simtomatis atau kadar Na serum < 120 meq/L. Pendekatan non farmakologi pada dasarnya
kegawatannya,
ditujukan bukan spesifik
terhadap penyebab penyebabnya. Inisiasi
hiponatremia terapi hiponatremia
seperti menghentikan harus
obat yang dicurigai
sebagai
segerapenyebab,
dilakukan restriksi
untukcairan padasimtomatis
pasien kasus SIADH dankadar
atau hipervolemik, parasentesis
Na serum ascites
< 120 meq/L.
7
pada sirosis hepatis
Pendekatan nonatau modifikasi perilaku
farmakologi pada pada kasus polidipsi
dasarnya psikogenik.
ditujukan terhadap penyebab
Penatalaksanaan hiponatremia harus memperhatikan status hidrasi, kecepatan
spesifik hiponatremia
terjadinya hiponatremia, adaseperti menghentikan
atau tidak adanya gejala, obat yang dicurigai
serta penyebab sebagai
yang mendasari
penyebab, restriksi cairan pada kasus SIADH dan hipervolemik, parasentesis
ascites pada sirosis hepatis atau modifikasi perilaku pada kasus polidipsi
psikogenik.7

912 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Hiponatremia dan Hipernatremia

Penatalaksanaan hiponatremia harus memperhatikan status hidrasi,


kecepatan terjadinya hiponatremia, ada atau tidak adanya gejala, serta
penyebab yang mendasari terjadinya hiponatremia. Pada hiponatremia
hipovolemik dibutuhkan pemberian normal salin dengan tujuan untuk
rehidrasi serta mengganti kekurangan Na. Pada hiponatremia dengan
kondisi euvolemik atau hipervolemik, selain dibutuhkan restriksi cairan juga
dapat ditambahkan diuretika golongan loop untuk meningkatkan sekresi
air. 16,22 Hiponatremia yang terjadi secara cepat (akut) dapat menyebabkan
pembengkakan otak, peningkatan tekanan intracranial sampai terjadinya
herniasi otak sehingga dibutuhkan koreksi Na secara cepat.5 Pemberian salin
hipertonik (3%) biasanya untuk kasus hiponatremia berat atau hiponatremia
akut.7 Sebaliknya pada hiponatremia kronik, kegawatan justru terjadi akibat
koreksi Na yang terlalu cepat sehingga menyebabkan terjadinya Osmotic
Demyelination Syndrome (ODS)5

Hipernatremia
Definisi dan epidemiologi
Hipernatremia adalah konsentrasi Na plasma >145 meq/L dan
dihubungkan dengan hiperosmolalitas oleh karena garam Na merupakan
solut utama di ekstraseluler. Pada sebagian besar kasus, peningkatan kadar
Na plasma diinduksi oleh tidak tergantikannya cairan yang hilang dari tubuh,
walaupun akibat yang sama juga terjadi karena pemberian atau mengkonsumsi
cairan Na hipertonik dengan konsentrasi Na melebihi konsentrasi Na plasma.14

Terdapat beberapa kelompok pasien yang memiliki risiko tinggi


terjadinya hypernatremia yaitu pasien usia lanjut atau bayi, pasien yang
menjalani rawat inap dan mendapatkan infus hipertonik atau diuretika
osmotik atau menggunakan tube nasogastric, pasien yang mengalami
perubahan status mental, pasien diabetes mellitus yang tidak terkontrol,
pasien dengan poliuria. Pada orang dewasa, konsentrasi Na > 160 mmol/L
dihubungkan dengan mortalitas sebesar 75% walaupun mungkin juga terkait
dengan ko morbiditasnya. 8

Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab utama hipernatremia adalah ketidakseimbangan antara
banyaknya cairan yang hilang/dikeluarkan dengan penggantian cairan oleh
karena adanya gangguan pada mekanisme haus. Beberapa contoh kondisi
ini adalah kehilangan melalui keringat atau insensible losses pada saat febris
atau ada infeksi respiratori, kehilangan melalui urin seperti pada diabetes
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 913
Nunuk Mardiana

insipidus sentral maupun nefrogenik juga diuresis osmotik karena glukosa


dan penggunaan manitol, juga kehilangan melalui gastrointestinalis. Penyebab
lain adalah pemberian salin hipertonik, dan Na bikarbonat.14

Hipernatremia juga dapat dibagi dalam 3 kategori berdasarkan status


volumenya sebagaimana dibawah ini.
1. Hipovolemia: Hipernatremia terkait dengan Natrium tubuh total rendah.
Pasien kehilangan Na dan air, tetapi kehilangan air relatif lebih banyak.
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan tanda hipovolemik seperti
hipotensi ortostatik, takhikardia, vena leher flat, turgor kulit turun,
dan kadang2 perubahan status mental. Pasien umumnya kehilangan
cairan hipotonik melalui ginjal atau traktus gastrointestinal dan dalam
perjalanan waktu Na urin akan rendah.
2. Hipervolemia: Hipernatremia terkait dengan peningkatan Natrium tubuh
total.
Hipernatremia disertai peningkatan Na tubuh total merupakan kondisi
hypernatremia yang umum dijumpai. Keadaan ini akibat pemberian
cairan hipertonik seperti NaCl 3% pada tindakan aborsi, pemberian
Natrium bikarbonat sebagai terapi asidosis metabolik, hiperkalemia,
dan arrest kardiorespiratori. Hipernatremia juga umum pada kasus
hipoalbumin disertai gangguan fungsi ginjal yang edema dan tidak dapat
memekatkan urin.
3. Euvolemia: hypernatremia terkait dengan Natrium tubuh normal
Sebagian besar pasien hipernatremia yang disebabkan oleh kehilangan
cairan tapi euvolemik dengan Na tubuh total normal oleh karena kehilangan
air tanpa disertai kehilangan Na tidak akan menyebabkan penurunan
volume yang berlebihan. Air yang hilang tidak akan menyebabkan
hipernatremia kecuali tidak disertai asupan air. Hipernatemia biasanya
terjadi bila pasien tidak mampu mengganti cairan yang hilang, yaitu
seperti pada pasien yang amat muda atau amat tua, dan mereka yang
mungkin mempunyai persepsi beda terhadap haus. Kehilangan bisa
melalui kulit atau saluran nafas dan dihubungkan dengan osmolalitas
urin yang tinggi oleh karena respon osmoreseptor-vasopresin-ginjal
normal. Konsentrasi Na urin bervariasi sesuai asupan. Hilangnya cairan
melalui ginjal menyebabkan hipernatremia euvolemik akibat adanya
gangguan pada produksi atau pelepasan vasopressin (diabetes insipidus
sentral) atau akibat kegagalan duktus koligentes merespon hormone
(diabetes insipidus nefrogenik). Mekanisme pertahanan untuk mencegah
914 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Hiponatremia dan Hipernatremia

terjadinya hiperosmolalitas membutuhkan stimulasi rasa haus yang


sesuai dan kemampuan untuk merespon dengan cara minum air. 8

Gejala Klinis
Adanya peningkatan kadar Na menyebabkan terjadinya dehidrasi seluler
dan dehidrasi pada sel sel otak memberi konsekuensi gejala neurologi.
Hipernatremia akut akan memberi gejala lethargy, kelemahan, mudah marah,
kejang dan koma. Akan tetapi pada hipernatremia kronik (> 48 jam) terjadi
adaptasi osmotik sehingga relatif asimtomatik atau oligosimtomatik.

Selain gejala neurologi, pasien juga menunjukkan gejala sesuai dengan


status volumenya. Ekspansi volume akan memberi gejala edema perifer dan
atau edema paru, sedangkan pasien dengan deplesi volume menunjukkan
tanda atau gejala hipotensi ortostatik, takhikardia, turgor kulit turun,
membrane mucous kering, jugular venous pressure < 5 cmH20).15

Algoritma Pendekatan
Algoritma pendekatan Diagnosis
diagnosis

8
Gambar 2. Algoritma
Gambar diagnostik etiologidiagnostik
2. Algoritma hipernatremia
etiologi hipernatremia8
Tatalaksana
Hipernatremia selalu menggambarkan
Tatalaksana adanya status hiperosmolar, dengan demikian
tujuan terapi adalah memperbaiki tonisitas serum. Pada hipernatremia hipovolemik bisa
diberikan cairan yang mengandung
Hipernatremia selalu saline isotonik sampai dicapai
menggambarkan adanyakondisi euvolemia,
status selain
hiperosmolar,
itu juga koreksi faktor penyebab. Selanjutnya bisa diberikan saline 0,45% atau dekstrosa 5%
dengan
atau minumdemikian
air secaratujuan
oral. Pada terapi adalaheuvolemik,
hipernatremia memperbaiki tonisitasdefisit
selain mengoreksi serum.air Pada
dengan saline 0,45% atau dekstrosa 5% atau minum secara oral, juga diberikan pengobatan
yang ditujukan
Pertemuan untuk
Ilmiah diabetes
Nasional XVIIinsipidus. Pada hipernatremia
PAPDI - Surabaya 2019 hipervolemik ada kemungkinan 915
dibutuhkan pemberian diuretik golongan loop, karena itu disarankan untuk terus memonitor
status volume, kadar K dan Magnesium serum. Pada kasus gagal ginjal bila perlu dilakukan
hemodialisis8,13
Nunuk Mardiana

hipernatremia hipovolemik bisa diberikan cairan yang mengandung saline


isotonik sampai dicapai kondisi euvolemia, selain itu juga koreksi faktor
penyebab. Selanjutnya bisa diberikan saline 0,45% atau dekstrosa 5% atau
minum air secara oral. Pada hipernatremia euvolemik, selain mengoreksi
defisit air dengan saline 0,45% atau dekstrosa 5% atau minum secara oral,
juga diberikan pengobatan yang ditujukan untuk diabetes insipidus. Pada
hipernatremia hipervolemik ada kemungkinan dibutuhkan pemberian
diuretik golongan loop, karena itu disarankan untuk terus memonitor status
volume, kadar K dan Magnesium serum. Pada kasus gagal ginjal bila perlu
dilakukan hemodialisis8,13

Ringkasan
Natrium adalah kation utama di ekstraseluler yang berperan menentukan
osmolalitas ekstraseluler. Perubahan pada kadar Na akan disertai dengan
perubahan status volume CES serta perubahan keseimbangan cairan tubuh
dan menyebabkan perpindahan air dari cairan CIS ke CES atau sebaliknya.
Tanda dan gejala disnatremia dipengaruhi oleh kecepatan terjadinya serta
derajat perubahan kadar absolut Na. Koreksi hiponatremi atau hipernatremi
perlu memperhatikan kecepatan terjadinya, status volume tubuh, ada atau
tidak adanya gejala serta penyebab yang mendasari

Daftar Pustaka
1. Kamel KS, Halperin ML. Sodium and water physiology. In: Kamel KS, Halperin ML,
editors, Fluid, electrolyte and acid-base physiology. A problem-based approach, 5th
ed, Philadelphia: Elsevier 2017, p 215-263.
2. Harring TR, Deal NS, Kuo DC. Disorders of sodium and water balance. Emergency
Medical Clinico of North America 2014; 32: 379-401
3. Rennke HG, Denker BM. Regulation of salt and water balance. In: Rennke HG,
Denker BM, editors. Renal pathophysiology. The Essentials. 5th ed,Philadelphia:
Wolters Kluwer 2020, p33–67
4. Spasovski G, Vanholder R, Allolio B. et al. Clinical practice guideline on diagnosis
and treatment of hyponatremia. Nephrol.Dial. Tranplant. 2014; 29 (suppl 2): i1-i39
5. Kamel KS, Halperin ML. Hyponatremia. In: Kamel KS, Halperin ML, editors,
Fluid, electrolyte and acid-base physiology. A problem-based approach, 5th ed,
Philadelphia: Elsevier 2017, p 265-308.
6. Hawkin RC. Age and gender as risk factors for hyponatremia and hypernatremia.
Clin Chim Acta 2003;337:169-172
7. Sra J, Repp AB. Hyponatremia. Hosp Med Clin 2012;1: e199-e208

916 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Hiponatremia dan Hipernatremia

8. Parikh C, Berl T. Disorders of water metabolism. In: Johnson RJ, Feehally J, Floege
J,editors. Comprehensive clinical nephrology, 5th ed, Philadelphia: ELSEVIER
Saunders 2015. p.94-110.
9. Verbalis JG. Disorders of body water homeostasis. Best Practice & Research Clinical
Endocrinology & Metabolism 2003; 17 : 471-503
10. Palmer BF, Alpern RJ, Seldin DW. Physiology and pathophysiology of sodium
retention and wastage. In: Hebert SC, Alpern RJ, editors. The Kidney: physiology
and pathophysiology,4th ed, New York: Saunders Elsevier 2008,p. 1005-1051.
11. Herrick CE, Jaffery BJ, Djamali A. Disorder of sodium metabolism. In: Moorthy VA,
Becker BN, Boehm III FJ, Djamali A, editors. Pathophysiology of kidney disease and
hypertension, Philadelphia: Saunders Elsevier 2009, p.41-45
12. Mount DB. Fluid and electrolyte disturbances. In: Jamenson JL, Loscalzo JL, editors.
Harrison’s Nephrology and acid-base disorders, 2nd ed, New York: Mc Graw Hill,
2013, p 56-80
13. Burgess DN, Bakris GL. Renal and electrolyte disoders. In: Stein JH, editor. a LANGE
cilical manual INTERNAL MEDICINE: diagnosis & therapy, 3rd ed,Connecticut:
PrenticeHall International Inc.1993.p 129-170
14. Rennke HG, Denker BM. Disorders of water balance: hyponatremia, hypernatremia,
and polyuria. In: Rennke HG, Denker BM, editors. Renal pathophysiology. The
Essentials. 5th ed,Philadelphia: Wolters Kluwer 2020, p68-97
15. Liamis G, Filippatos TD, Elisaf MS. Evaluation and treatment of hypernatremia: a
practical guide for physicians. POSTGRADUATE MEDICINE 128; 3:299-306

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 917


What Have We Learned from Diabetes CVOT:
Implication to Daily Practice
Soebagijo Adi Soelistijo
Divisi Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Pendahuluan
Penderita Diabetes di Indonesia semakin meningkat, Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2018 menunjukkan prevalensi Diabetes Melitus (DM) (IDF
2017) di Indonesia pada usia diatas 15 tahun sebesar 10,9%, yang membuat
Indonesia menempati urutan ke-7 di antara negara-negara di dunia dengan
jumlah penderita DM terbanyak, dengan perkiraan jumlah penyandang DM
10 juta jiwa.

Peningkatan jumlah penyandang DM ini memberikan beban yang cukup


besar karena komplikasi. Penderita DM tipe 2 mempunyai risiko untuk
mengalami gagal jantung sebesar lima kali lipat, dan pasien DM dengan ko-
morbid gagal jantung merupakan penyebab utama masuk rumah sakit. Satu
diantara dua pasien DM yang dirawat dirumah sakit karena gagal jantung
akan meninggal lima tahun setelah diagnosis.

Empat puluh persen penyandang DM tipe 2 akan berkembang menjadi


gagal ginjal kronik, 64,5% dari gagal ginjal stadium 1-5 juga menyandang
penyakit kardiovakular. Suatu studi kohort pada penderita DM tipe 2
menunjukkan angka kematian kardiovaskular 4,2%, angka kejadian ishemic
stroke 5,1%, infark miokard yang non-fatal 11,5%, penyakit pembuluh darah
perifer 16,2%.

Penyandang DM dari Asia ternyata mempunyai phenotype yang berbeda
dengan Eropa atau Amerika. Pasien Asia mempunyai gambaran lebih rendah
indeks masa tubuh, lebih banyak obesitas sentral dan sindroma metabolik,
tingginya angka obesitas pada anak-anak, lebih menunjukkan peningkatan
lemak viseral, lebih ke arah insufisiensi sel beta dibanding resistensi insulin,
tingginya angka DM tipe 2 pada usia muda, peningkatan petanda inflamasi,
lebih banyak komplikasi mikrovaskular dan tingginya angka komplikasi
ginjal.

918 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


What Have We Learned from Diabetes CVOT: Implication to Daily Practice

Walaupun perkembangan terapi diabetes semakin berkembang dalam


dua dekade terakhir ini, namun penyakit kardiovaskular masih mendominasi
morbiditas dan mortalitas pada DM tipe 2, dan risiko kardiovaskular masih
belum berubah, sehingga perlu strategi pengobatan baru untuk memperbaiki
outcome kardiovaskular pada DM tipe 2.

Epidemiologi Penyakit Aterosklerotik Kardio-Vaskular (PAKV) pada


Penderita DM
Tingginya prevalensi penyakit arteri koroner dan perifer pada penderita
DM telah diketahui sejak lebih dari satu abad yang lalu, namun keberhasilan
kita dalam menurunkan kejadian kardiovaskular dengan kendali glukosa
darah saja masih jauh dari yang kita harapkan.

Framingham Heart Study, 1979, menunjukkan insiden penyakit


kardiovaskular penderita DM pada semua usia lebih tinggi dibanding non-
DM. Morbiditas dan mortalitas kardiovaskular akibat DM lebih besar pada
wanita dibanding pria. Peningkatan risiko atherosclerotic cardiovascular
disease (ASCVD) pada DM tidak sepenuhnya berkaitan dengan faktor risiko
kardiovaskular tradisional, dan adanya DM bersama-sama dengan faktor
risiko yang lain lebih berdampak sinergistik, bukan additive.

Penderita DM yang tidak pernah mengalami infark miokard, insidens


infark miokard 20,2% dalam 7 tahun lebih. Risiko infark miokard ini sama
besar dengan individu non-DM yang sudah pernah mengalami infark miokard
sebelumnya. Penelitian East-West dengan populasi Finlandia melaporkan
penderita DM usia 30 tahun keatas yang memerlukan pengobatan
farmakoterapi DM yang tidak pernah mengalami infark miokard sebelumnya
mempunyai risiko untuk mengalami infark miokard yang sama besarnya
dengan populasi di Denmark yang telah mengalami infark miokard tetapi
tidak DM.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 919


populasi Finlandia melaporkan penderita DM usia 30 tahun keatas yang memerlukan
pengobatan farmakoterapi DM yang tidak pernah mengalami infark miokard sebelumnya
mempunyai risiko untuk mengalami infark miokard yang sama besarnya dengan populasi di
DenmarkSoebagijo
yangAditelah
Soelistijomengalami infark miokard tetapi tidak DM.

Gambar 1. Angka Komplikasi Vaskular Menurun pada Penderita DM Namun Masih


Gambar 1. Angka KomplikasiTetapVaskular
Lebih Tinggi Menurun
Dibandingpada Non-DMPenderita DM Namun Masih
Tetap
(dikutip Lebih
dari WangTinggi Dibanding
et al, Circulation. Non-DM
2016;133:2459–2502)
(dikutip dari Wang et al, Circulation. 2016;133:2459–2502)
Risiko Kardiovaskular pada Obat-obatan Antidiabetik
Risiko Kardiovaskular pada Obat-obatan Antidiabetik
Pada penelitian United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) kita
Pada penelitian
bisa melihat manfaat
United kardiovaskular dari metformin,
Kingdom Prospective Diabetesnamun (UKPDS)
Study sempat jugakita bisa
melihat manfaat kardiovaskular
terjadi perdebatan tentangdari metformin,
beberapa namun sempat
bukti peningkatan risikojuga terjadi perdebatan
kardiovaskular
tentang beberapa bukti peningkatan
yang berkaitan risiko kardiovaskular yang berkaitan dengan sulfonilurea.
dengan sulfonilurea.
Sejak tahun 1995, HbA1C adalah satu satunya end point yang menunjukkan
efektivitas
obat sebagai
Sejak tahundasar
1995,untuk
HbA1Cdisetujuinya peredaran
adalah satu satunya endobat
pointantidiabetik. Food and Drug
yang menunjukkan
Administration (FDA) sangat memperhatikan hasil beberapa meta-analisis yang menunjukkan
efektivitas obat sebagai dasar untuk disetujuinya peredaran obat antidiabetik.
peningkatan risiko kardiovaskular dari rosiglitazone, terutama analisis dari Rosiglitazone
EvaluatedFoodfor and Drug Administration
Cardiovascular Outcomes(FDA)in sangat memperhatikan
oral agent combination hasiltherapy
beberapa
for type 2
Diabetes meta-analisis
(RECORD) yang menunjukkan
Trial. peningkatan risiko
Namun PROspective kardiovaskular
pioglitAzone ClinicaldariTrial In
rosiglitazone,
macroVascular Events (PROactive)
terutama analisis dari Rosiglitazone
tidak Evaluated
menunjukkan for Cardiovascular
adanya peningkatan risiko
kardiovaskular
Outcomesberkaitan
in oraldengan
agent pioglitazon.
combination therapy for type 2 Diabetes (RECORD)
Untuk
Trial. alasan
Namunkeamanan
PROspectivekardiovaskular maka pada
pioglitAzone Clinical tahun
Trial In 2008 FDAEvents
macroVascular mengeluarkan
pedoman(PROactive)
untuk industri obat yang mengharuskan semua obat antidiabetik
tidak menunjukkan adanya peningkatan risiko kardiovaskular yang baru untuk
menampilkan data risiko kardiovaskular
berkaitan dengan pioglitazon. dari obat antidiabetik yang diusulkan. Beberapa kelas
obat antidiabetik yang baru telah melakukan cardiovascular outcome trial (CVOT) untuk
memenuhi syarat FDA. Hasil yang menarik dan tidak sesuai dengan harapan adalah dari salah
Untuk alasan keamanan kardiovaskular maka pada tahun 2008 FDA
mengeluarkan pedoman untuk industri obat yang mengharuskan semua

920 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


What Have We Learned from Diabetes CVOT: Implication to Daily Practice

obat antidiabetik yang baru untuk menampilkan data risiko kardiovaskular


dari obat antidiabetik yang diusulkan. Beberapa kelas obat antidiabetik yang
baru telah melakukan cardiovascular outcome trial (CVOT) untuk memenuhi
syarat FDA. Hasil yang menarik dan tidak sesuai dengan harapan adalah dari
salah satu kelas DPP-4 inhibitor, saxagliptin yang meningkatkan hospitalisasi
dari gagal jantung. Sedangkan CVOT untuk empagliflozin (EMPA-REG:
Empagliflozin Cardiovascular Outcome Event Trial in Type 2 Diabetes Mellitus
Patients–Removing Excess Glucose), suatu Sodium Glucose coTransporter
Inhibitor menunjukkan adanya cardiovascular benefit, demikian juga dengan
CVOT untuk liraglutide (LEADER: Liraglutide Effect and Action in Diabetes:
Evaluation of Cardiovascular Outcome Results), suatu GLP-1 receptor agonist
yang menunjukkan cardiovascular benefit.

Peran Empagliflozin dalam Proteksi Kardiovaskular


Hasil dari CVOT untuk empagliflozin, Empagliflozin Cardiovascular
Outcome Event Trial in Type 2 Diabetes Mellitus Patients Removing Excess
Glucose (EMPA-REG OUTCOME) telah dipublikasi. Hasilnya menjadi harapan
bagi diabetologist yang mungkin bisa menutup unmet need yang selama ini
kita hadapi dalam proteksi kardiovaskular. EMPA-REG OUTCOME merupakan
studi multinasional, multisenter, double-blind, randomized, placebo-controlled
trial yang mengevaluasi efek dari SGLT2 inhibitor empagliflozin dibandingkan
dengan placebo, bila ditambahkan pada terapi standar penderita DM tipe 2
dewasa. Sebagai tambahan, penderita dengan eGFR ≥30mL/min/1.73m2 saat
baseline, dan penderita dengan gagal jantung diikutkan pada penelitian ini.
Sebagian besar penderita adalah penderita DM tipe 2 yang lama (10% lebih
dari 10 tahun), 98% mendapatkan paling tidak satu macam obat penurun
gula, dan 95% mendapatkan obat antihipertensi.

Studi ini menunjukkan bahwa empagliflozin 10mg atau 25mg,


menurunkan risiko 3-point MACE (kematian kardiovaskular, infark miokard
non-fatal, strok non-fatal), menurunkan all-cause mortality, menurunkan
risiko hospitalisasi akibat gagal jantung, dan menurunkan risiko insiden atau
perburukan nefropati (gambar 1).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 921


Studi ini menunjukkan bahwa empagliflozin 10mg atau 25mg, menurunkan risiko 3-
point MACE (kematian kardiovaskular, infark miokard non-fatal, strok non-fatal),
menurunkan all-cause mortality, menurunkan risiko hospitalisasi akibat gagal jantung, dan
menurunkan
Soebagijorisiko insiden atau perburukan nefropati (gambar 1).
Adi Soelistijo

Gambar 2. Ringkasan hasil EMPA-REG OUTCOME.


Gambar 2. Ringkasan hasil EMPA-REG OUTCOME.
MACE: major adverse cardiovascular event, (3-point MACE, composite of cardiovascular death, nonfatal
MACE: major adverse cardiovascular myocardial event, (3-point
infarction, or nonfatalMACE,
stroke). composite of cardiovascular
death, nonfatal myocardial infarction, or nonfatal stroke).
(editorial, The American Journal of Medicine, Vol 130, No 6S, June 2017)
(editorial, The American Journal of Medicine, Vol 130, No 6S, June 2017)
Pengaruh Hasil CVOT pada Guidelines Pengelolaan DM Tipe 2
EMPA-REG OUTCOME trial (2015) menunjukkan empagliflozin secara
bermakna menurunkan kematian semua penyebab dan kematian akibat
kardiovaskular, juga menurunkan secara bermakna risiko hospitalisasi akibat
gagal jantung

CANVAS (CANagliflozin cardioVascular Assessment Study,  2017)


menunjukkan terapi dengan canagliflozin secara bermakna menurunkan
risiko kematian kardiovaskular, infark miokard, strok non-fatal, dan juga
menurunkan hospitalisasi akibat gagal jantung. Namun canagliflozin
meningkatkan risiko amputasi pada CANVAS.

Pada studi DECLARE-TIMI 58 (Dapagliflozin Effect on CardiovascuLAR


Events, 2019), dapagliflozin menurunkan secara bermakna kematian
semua penyebab, dan menurunkan komposit kematian kardiovakular dan
hospitalisasi akibat gagal jantung, namun tidak bermakna dalam menurunkan
kombinasi risiko kematian kardiovaskular dan infark miokard non-fatal dan
strok.

922 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


What Have We Learned from Diabetes CVOT: Implication to Daily Practice

Semua SGLT2 inhibitors menunjukkan efek benefit ginjal yang bermakna,


yang ditunjukkan pada EMPA-REG OUTCOME (empagliflozin), CANVAS
(canagliflozine), CREDENCE (Canagliflozin and Renal Events in Diabetes
With Established Nephropathy Clinical Evaluation), DECLARE-TIMI 58
(dapagliflozin). Studi dengan GLP-1RA tertentu juga menunjukkan hasil
yang positif bermakna memberikan penurunan risiko MACE (Major Adverse
Cardiovascular events: kombinasi kematian kardiovaskular, infark miokard
non-fatal, strok). LEADER Study (liraglutide) dan SUSTAIN 6 (semaglutide)
menunjukkan penurunan bermakna dari MACE.

Hasil studi CVOT ini kemudian menjadi pertimbangan untuk perubahan


guidelines pengelolaan DM tipe 2. American Diabetes Association 2018 dalam
pengelolaan standar DM tipe 2 menyebutkan, setelah metformin yang
merupakan obat lini pertama bila masih belum mencapai target A1C<7%,
maka untuk penambahan obat berikutnya memperhatikan ko-morbid pasien.
Apabila didapatkan atherosclerotic cardiovascular disease (ASCVD: infark
miokard, strok, PAD) maka pilihan kombinasi metfiormin adalah GLP-1RA
yang terbukti memberikan manfaat proteksi kardiovaskular, atau SGLT2
inhibitors yang terbukti memberikan manfaat kardiovaskular bila GFR
adekuat untuk kerja SGLT2 inhibitors. Bila ko-morbid pasien lebih predominan
gagal jantung atau gagal ginjal kronik maka pilihan obat kombinasi setelah
metformin adalah SGLT2 inhibitors bila GFR adekuat, atau GLP-1RA yang
terbukti memberikan manfaat kardiovaskular.

Konsensus bersama American Diabetes Association (ADA) dan Europan


Association for the Study of Diabetes (EASD) tahun 2019 juga memberikan
pedoman yang sama.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 923


Soebagijo Adi Soelistijo

Gambar-3.Glucose-lowering
Gambar-3. Glucose-lowering medication
medication in type
type22diabetes:
diabetes:overall
overallapproach.
approach.
(Diabetes CareCare
(Diabetes 2019;42(Suppl.
2019;42(Suppl.1):S3| https://doi.org/10.2337/dc19-SPPC01)
1):S3| https://doi.org/10.2337/dc19-SPPC01)

Ringkasan
Ringkasan
Diabetes mellitus
Diabetes mellitussemakin
semakin meningkat
meningkat prevalensinya diseluruhdiseluruh
prevalensinya dunia. Di dunia.
Indonesia
Di
masih merupakan masalah karena Indonesia termasuk 10 besar Negara dengan jumlah
Indonesia masih merupakan masalah karena Indonesia termasuk 10 besar
penderita terbanyak di dunia.
Negara denganDM
Penderita jumlah penderita
menghadapi terbanyak
komplikasi di dunia.dan lebih dari 60% penderita
kardiovaskular,
DM akan mengalami kematian akibat kardiovaskular. Dengan perawatan yang baik risiko
komplikasi
kardiovaskular
Penderita memang berhasil
DM menghadapi diturunkan
komplikasi namun data menunjukkan
kardiovaskular, dan lebihbahwa
dari
risiko kardiovaskular penderita DM yang terawat baik masih
60% penderita DM akan mengalami kematian akibat kardiovaskular. Denganlebih tinggi daripada individu
non-DM.
perawatan yangDM
Pengobatan baik risiko
sendiri komplikasi
dengan menggunakan kardiovaskular
obat-obat kelas memang
tertentu danberhasil
capaian
diturunkan
target namun
sesuai dengan data menunjukkan
guidelines bahwayang
ternyata pada populasi risiko kardiovaskular
risiko penderita
tinggi malah meningkatkan
kematian
DM yangkardiovaskular,
terawat baiksehingga FDA pada
masih lebih tinggitahun 2008 menerapkan
daripada panduan untuk obat-
individu non-DM.
obat
baru. Diperlukan CVOT untuk obat-obat baru untuk memenuhi syarat edar obat tersebut.
Empagliflozin, salah satu obat golongan SGLT2 inhibitor, telah mempublikasi hasil

CVOT Pengobatan
(EMPA-REGDM sendiri dengan
OUTCOME) menggunakan
dan hasilnya memberikanobat-obat
harapan bagi kelas tertentu
diabetologist
dan capaian
karena target sesuai
telah menunjukkan penurunan risikoguidelines
dengan 3-point MACE,ternyata
all-causepada populasi
mortality, yang
menurunkan
risiko
risikohospitalisasi
tinggi malahakibatmeningkatkan
gagal jantung, dan menurunkan
kematian risiko insiden sehingga
kardiovaskular, atau perburukan
FDA
nefropati.
pada tahun 2008 menerapkan panduan untuk obat-obat baru. Diperlukan
Guidelines pengelolaan DM tipe 2 terbaru telah mengacu pada adanya ko-morbid
CVOT untuk obat-obat baru untuk memenuhi syarat edar obat tersebut.
ASCVD, gagal jantung dan CKD, dimana empagliflozin merupakan salah satu pilihan untuk
kombinasi dengan metformin.
Empagliflozin bisa merupakan jawaban untuk mengatasi unmet need perawatan
924
penderita Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
DM Tipe 2 yang berorientasi terhadap proteksi terhadap kardiovaskular.
What Have We Learned from Diabetes CVOT: Implication to Daily Practice

Empagliflozin, salah satu obat golongan SGLT2 inhibitor, telah mempublikasi


hasil CVOT (EMPA-REG OUTCOME) dan hasilnya memberikan harapan bagi
diabetologist karena telah menunjukkan penurunan risiko 3-point MACE,
all-cause mortality, menurunkan risiko hospitalisasi akibat gagal jantung, dan
menurunkan risiko insiden atau perburukan nefropati.

Guidelines pengelolaan DM tipe 2 terbaru telah mengacu pada adanya


ko-morbid ASCVD, gagal jantung dan CKD, dimana empagliflozin merupakan
salah satu pilihan untuk kombinasi dengan metformin.

Empagliflozin bisa merupakan jawaban untuk mengatasi unmet need


perawatan penderita DM Tipe 2 yang berorientasi terhadap proteksi terhadap
kardiovaskular.

Daftar Pustaka
1. American Diabetes Association. Standard of Medical Care in Diabetes 2019.
Diabetes Care 2019;42(Suppl. 1):S1–S2 | https://doi.org/10.2337/dc19-SINT01
2. Alicic RZ, et al. Diabetic Kidney Disease: Challenges, Progress, and Possibilities. Clin
J Am Soc Nephrol 2017;12:2032–2045
3. Booth GL, Kapral MK, Fung K, Tu JV. Relation between age and cardiovascular
disease in men and women with diabetes compared with nondiabetic people:
a population-based retrospective cohort study. Lancet. 2006;368:29–36. doi:
10.1016/S0140-6736(06)68967-8.
4. Beckman JA, Paneni F, Cosentino F, Creager MA. Diabetes and vascular disease:
pathophysiology, clinical consequences, and medical therapy: part II. Eur Heart J.
2013;34:2444–2452. doi: 10.1093/eurheartj/eht142.
5. World Health Organization. Cardiovascular diseases (CVDs) Fact sheet No 317.
Internet 2015 January. Available at http://www.who.int/mediacentre/factsheets/
fs317/en/.
6. Tancredi M, Rosengren A, Svensson AM, Kosiborod M, Pivodic A, Gudbj.rnsdottir
S, Wedel H, Clements M, Dahlqvist S, Lind M. Excess Mortality among Persons
with Type 2 Diabetes. N Engl J Med. 2015;373:1720–1732. doi: 10.1056/
NEJMoa1504347.
7. Gregg EW, Li Y, Wang J, Burrows NR, Ali MK, Rolka D, Williams DE, Geiss L. Changes
in diabetes-related complications in the United States, 1990-2010. N Engl J Med.
2014;370:1514–1523. doi: 10.1056/NEJMoa1310799.
8. Guariguata L, Whiting DR, Hambleton I, Beagley J, Linnenkamp U, Shaw JE. Global
estimates of diabetes prevalence for 2013 and projections for 2035. Diabetes Res
Clin Pract. 2014;103:137–149. doi: 10.1016/j.diabres.2013.11.002.
9. Levine S. Angina pectoris: Some clinical considerations. JAMA. 1922;79:928–933.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 925


Soebagijo Adi Soelistijo

10. Joslin E. Arteriosclerosis and diabetes. Annals of Clinical Medicine. 1927;5:1061.


11. Marble A. Coronary artery disease in the diabetic. Diabetes. 1955;4:290–297.
12. Kannel WB, McGee DL. Diabetes and glucose tolerance as risk factors for
cardiovascular disease: the Framingham study. Diabetes Care.1979;2:120–126.
13. Dormandy JA, Charbonnel B, Eckland DJ, Erdmann E, Massi-Benedetti M, Moules
IK, Skene AM, Tan MH, Lef.bvre PJ, Murray GD, Standl E, Wilcox RG, Wilhelmsen L,
Betteridge J, Birkeland K, Golay A, Heine RJ, Kor.nyi L, Laakso M, Mok.n M, Norkus
A, Pirags V, Podar T, Scheen A, Scherbaum W, Schernthaner G, Schmitz O, Skrha J,
Smith U, Taton J; PROactive Investigators. Secondary prevention of macrovascular
events in patients with type 2 diabetes in the PROactive Study (PROspective
pioglitazone Clinical Trial In macroVascular Events): a randomised controlled trial.
Lancet. 2005;366:1279–1289. doi: 10.1016/S0140-6736(05)67528-9.
14. Foltz-Gray D. Most Common Causes of Hospital Admissions for Older Adults
Available at: www.aarp.org/health/doctors-hospitals/info-03-2012/hospital-
admissions-older-adults.html (Accessed July 2019)
15. Home PD, Pocock SJ, Beck-Nielsen H, Curtis PS, Gomis R, Hanefeld M, Jones NP,
Komajda M, McMurray JJ; RECORD Study Team. Rosiglitazone evaluated for
cardiovascular outcomes in oral agent combination therapy for type 2 diabetes
(RECORD): a multicentre, randomised, open-label trial. Lancet. 2009;373:2125–
2135. doi: 10.1016/S0140-6736(09)60953-3.
16. International Diabetes Federation Diabetes Atlas 8th Edition 2017
17. UKPDS Group. Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or insulin
compared with conventional treatment and risk of complications in patients with
type 2 diabetes (UKPDS 33). UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Lancet.
1998;352:837–853. doi: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(98)07019-6.
18. US Renal Data System. USRDS Annual Report, 2018; Chapter 4. Available at:
https://www.usrds.org/2018/view/v1_04.aspx (Accessed July 2019)
19. Nissen SE, Wolski K. Effect of rosiglitazone on the risk of myocardial infarction
and death from cardiovascular causes. N Engl J Med. 2007;356:2457–2471. doi:
10.1056/NEJMoa072761.
20. Zinman B, Wanner C, Lachin JM, Fitchett D, Bluhmki E, Hantel S, Mattheus M,
Devins T, Johansen OE, Woerle HJ, Broedl UC, Inzucchi SE; EMPA-REG OUTCOME
Investigators. Empagliflozin, cardiovascular outcomes, and mortality in type 2
diabetes. N Engl J Med. 2015;373:2117–2128. doi: 10.1056/NEJMoa1504720.
21. Novo Nordisk. Victoza significantly reduces the risk of major adverse cardiovascular
events in the LEADER trial. Updated March 4, 2016. Accessed April 7, 2016.
22. Shah AD, et al. Type 2 diabetes and incidence of cardiovascular diseases: a cohort
study in 1·9 million people, Lancet Diabetes Endocrinol. 2015;3:105–113
23. Stamatouli AM, Inzucchi SE. Implications of the EMPA-REG Trial for clinical care
and research. Curr Diab Rep. 2016;16(12):131.

926 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


What Have We Learned from Diabetes CVOT: Implication to Daily Practice

24. Lim LL, Tan AT, Moses K, Rajadhyaksha V, Chan SP. Place of sodiumglucose
cotransporter2 inhibitors in East Asian subjects with type 2 diabetes mellitus:
Insights into the management of Asian phenotype. J Diabetes Complications
2017;31:494503)
25. Marso SP, Daniels GH, Brown-Frandsen K, et al. Liraglutide and cardiovascular
outcomes in type 2 diabetes. N Engl J Med. 2016;375: 311-322.
26. Nainggolan L. Diabetes drug empagliflozin cuts CV Deaths in landmark EMPA-REG
trial. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/851114. Accessed
March 27, 2017.
27. Nichols GA, et al. The incidence of congestive heart failure in type 2 diabetes: an
update. Diabetes Care 2004;27:1879–1884
28. Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan RI 2018
29. Taylor CJ, et al. Trends in survival after a diagnosis of heart failure in the United
Kingdom 2000-2017: population based cohort study BMJ 2019;364; DOI: 10.1136/
bmj.l223
30. Zinman B, Wanner C, Lachin JM, et al. Empagliflozin, cardiovascular outcomes, and
mortality in type 2 diabetes. N Engl J Med. 2015;373:2117-2128.
31. Fitchett D, Zinman B, Wanner C, et al. Heart failure outcomes with empagliflozin in
patients with type 2 diabetes at high cardiovascular risk: results of the EMPA-REG
OUTCOME_ trial. Eur Heart J. 2016;37:1526-1534.
32. Wanner C, Inzucchi SE, Lachin JM, et al. Empagliflozin and progression of kidney
disease in type 2 diabetes. N Engl J Med. 2016;375: 323-334.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 927


Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Obat
dalam Praktek Klinis
Gatot Soegiarto
Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Abstrak
Reaksi hipersensitivitas obat atau alergi obat mengenai sebagian dari
populasi umum dan telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang penting
karena berpotensi mengancam jiwa seperti pada kasus anafilaksis atau
dapat menyebabkan reaksi alergi yang parah pada kulit. Prevalensinya terus
meningkat pada abad ke-21 dengan semakin banyaknya jenis obat-obatan
baru. Pasien kanker, penyakit inflamasi kronik, fibrosis kistik, atau diabetes
dapat mengalami alergi terhadap obat-obat lini pertama untuk penyakitnya
setelah paparan berulang atau melalui reaksi silang dengan obat lain maupun
alergen dari lingkungan. Reaksi hipersensitivitas obat bukan saja merupakan
tantangan bagi para dokter umum, tetapi juga bagi dokter spesialis konsultan
alergi-imunologi. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas obat ditentukan
berdasarkan gambaran klinis gejala spesifik dan waktu kemunculannya, yang
oleh Gell dan Coombs pada awalnya dikelompokkan menjadi tipe I (reaksi yang
dimediasi oleh IgE), tipe II (reaksi sitotoksisitas yang dimediasi oleh antibodi),
tipe III (reaksi yang dimediasi oleh kompleks imun), dan tipe IV (reaksi tipe
lambat). Diagnosis reaksi hipersensitivitas obat sering kali sulit karena gejala
yang ditimbulkan oleh obat sangat bervariasi dengan patomekanisme yang
berbeda-beda, lebih-lebih dengan adanya obat-obat baru yang menimbulkan
jenis reaksi hipersensitivitas baru. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
detail sangat penting untuk menentukan jenis pemeriksaan imunologis
selanjutnya, yang meliputi pemeriksaan in vitro, in vivo dan akhirnya tes
provokasi obat. Jika reaksi hipersensitivitas obat telah terkonfirmasi, maka
langkah selanjutnya adalah memberikan tatalaksana yang tepat, menentukan
obat alternatif yang aman untuk pasien atau melakukan desensitisasi jika
obat penyebabnya tidak bisa digantikan oleh obat alternatif.

Pendahuluan
Alergi obat merupakan salah satu dari beberapa jenis reaksi simpang
(reaksi adversi) terhadap obat. Istilah lain yang sering digunakan adalah
‘reaksi hipersensitivitas obat’. Reaksi hipersensitivitas obat didefinisikan

928 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Obat dalam Praktek Klinis

sebagai reaksi simpang terhadap obat yang digunakan dalam dosis yang dapat
ditoleransi oleh individu normal – baik untuk tujuan diagnostik, terapeutik,
maupun profilaksis – yang secara klinis menyerupai reaksi alergi.1 Walapun
data epidemiologis sangat kurang, banyak sekali reaksi obat dengan gejala
menyerupai alergi dianggap oleh masyarakat benar-benar merupakan reaksi
alergi obat. Sebenarnya secara keilmuan hanya bila reaksi tersebut melibatkan
mekanisme imunologis maka reaksi tersebut dapat dianggap sebagai alergi
obat.

Reaksi adversi terhadap obat secara farmakologis diklasifikasikan oleh


Rawlins dan Thompson menjadi dua kelompok: reaksi tipe A, yaitu reaksi
adversi obat yang dapat diprediksi, dan reaksi tipe B, yaitu reaksi adversi
yang tidak dapat diprediksi.2 Sekitar 80% dari reaksi adversi obat merupakan
reaksi tipe A, yang bersifat dose dependent dan merupakan akibat dari efek
farmakologis obat. Reaksi ini dapat terjadi pada semua individu. Sebaliknya,
reaksi tipe B tidak bergantung pada dosis obat karena tidak terkait dengan
efek farmakologis obat. Reaksi ini terjadi hanya pada individu tertentu yang
memiliki kecenderungan mengalami reaksi alergi.

Evaluasi diagnostik untuk reaksi adversi obat memang sangat sulit


dilakukan karena beberapa alasan, antara lain: reaksi terhadap obat jarang
dicatat secara lengkap, manifestasi klinisnya sangat beragam dan dapat
menyerupai beberapa kondisi patologis yang berbeda, beberapa jenis obat
dikonsumsi secara bersamaan oleh pasien, banyak faktor-faktor lain yang
terlibat selain faktor obat yang dikonsumsi, berubahnya sensitivitas pasien
terhadap obat dengan dengan berjalannya waktu, serta belum adanya
konsensus tentang prosedur diagnostik untuk reaksi hipersensiitivitas
obat. Prosedur tes in vitro maupun in vivo dan tes provokasi obat memang
merupakan prosedur yang rumit. Banyak dokter yang hanya mengandalkan
riwayat klinis pasien tanpa berupaya membuktikan keterkaitan antara
penggunaan obat dengan gejala yang dilaporkan oleh pasien, serta enggan
untuk memastikan latar belakang patofisiologis yang mendasari terjadinya
reaksi obat tersebut.1,3
Makalah ini akan membahas langkah-langkah profesional yang dapat
ditempuh oleh sejawat dokter dalam menegakkan diagnosis reaksi adversi
terhadap obat (khususnya yang didasari oleh mekanisme imunologis),
tatalaksana kasus alergi obat, serta beberapa tips praktis untuk memperkecil
risiko terjadinya reaksi adversi obat dalam praktek sehari-hari.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 929


Gatot Soegiarto

Klasifikasi
Seperti yang telah disinggung pada Pendahuluan, Rawlins dan Thompson
membagi reaksi adversi terhadap obat menjadi dua kelompok, yaitu: reaksi
tipe A dan reaksi tipe B. Reaksi tipe A meliputi efek samping obat (side effects),
efek farmakologis sekunder, efek toksik, overdosis, dan interaksi obat. Reaksi
tipe B meliputi intoleransi obat, idiosinkrasi, alergi obat, dan reaksi pseudo
alergi (Tabel 1). Kecenderungan untuk mengalami reaksi tipe A maupun tipe
B dipengaruhi oleh predisposisi genetik.2,4

Tabel 1. Klasifikasi reaksi adversi terhadap obat


Tipe reaksi Contoh klinis dalam praktek
Tipe A: Reaksi yang dapat diprediksi
Efek samping farmakologis Rasa mengantuk atau mulut kering akibat obat golongan
antihistamin
Efek farmakologis sekunder Bercak putih di lidah dan rongga mulut akibat pemakaian
antibiotika
Efek toksik obat Hepatotoksisitas akibat pemakaian metotrexat
Interaksi obat Kejang akibat pemakaian teofilin bersama eritromisin
Overdosis Kejang akibat pemakaian lidokain dengan dosis berlebihan
Tipe B: Reaksi yang tidak dapat diprediksi
Intoleransi Telinga mendenging setelah pemakaian aspirin dosis kecil
Idiosinkrasi Anemia hemolitik pada penderita defisiensi G6PD yang
mendapatkan terapi primakuin
Pseudo alergi Reaksi anafilaktoid akibat penggunaan media radiokontras
Alergi obat Reaksi simpang terhadap obat melalui mekanisme imunologis

Alergi obat merupakan bentuk reaksi adversi terhadap obat yang


terjadi melalui mekanisme imunologis. Berdasarkan pengelompokan reaksi
hipersensitivitas oleh Gell-Coombs, reaksi hipersenstivitas obat dibagi
menjadi: reaksi hipersensitivitas obat yang didasari oleh reaksi tipe I
(dimediasi oleh IgE), reaksi tipe II (reaksi sitotoksik), reaksi tipe III (kompleks
imun), dan reaksi tipe IV (dimediasi oleh sel-sel imun) (Tabel 2 dan Gambar
1). Namun, terdapat beberapa jenis reaksi hipersensitivitas obat yang tidak
dapat dikelompokkan ke dalam 4 jenis reaksi tersebut, misalnya eritroderma,
eksantema makulopapular, dermatitis eksfoliatif, fixed drug eruption, lupus-
like drug reaction, dan specific drug hypersensitivity syndrome. Karena itu
Werner J Pichler kemudian mengusulkan pembagian reaksi tipe IV menjadi
4 kategori, yaitu: tipe IVa yang melibatkan aktivasi dan pengerahan monosit,
tipe IVb yang melibatkan aktivasi eosinofil, tipe IVc yang melibatkan aktivasi
limfosit T CD8 dan CD4, serta tipe IVd yang melibatkan aktivasi sel netrofil.4,5
930 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Obat dalam Praktek Klinis

Secara klinis, reaksi hipersensitivitas obat juga sering dikelompokkan


berdasarkan awal mula kejadiannya, yaitu reaksi tipe segera (immediate) dan
reaksi tipe lambat (non-immediate /delayed). Klasifikasi ini penting dalam
praktek sehari-hari untuk menentukan rencana pemeriksaan selanjutnya.
Reaksi tipe segera mungkin dimediasi oleh IgE, terjadi dalam kurun waktu 1-6
jam setelah pemberian obat terakhir. Reaksi tersebut biasanya bermanifestasi
dalam bentuk gejala tunggal misalnya urtikaria, angioedema, konjungtivitis,
rinitis, bronkospasme, gejala-gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare,
nyeri perut) atau sebagai anafilaksis dan syok anafilaktik. Reaksi tipe lambat
dapat terjadi sewaktu-waktu sejak 1 jam setelah pemberian obat pertama kali,
biasanya setelah beberapa hari penggunaan obat dan sering kali dimediasi
oleh aktivasi limfosit T. Reaksi tipe lambat paling sering bermanifestasi
sebagai eksantema makulopapular, fixed drug eruption (FDE), vaskulitis,
acute generalized exanthematic pustulosis (AGEP), Stevens-Johnson syndrome
(SJS), toxic epidermal necrolysis (TEN), dan drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms (DRESS).6,7

Reaksi tipe B juga mencakup reaksi hipersensitivitas yang tidak didasari


oleh mekanisme imunologis yaitu intoleransi, idiosinkrasi, dan pseudo-alergi.
Dalam prakteknya, sangat sulit untuk membedakan antara reaksi obat yang
dimediasi oleh mekanisme imunologis atau yang tidak. Tanda dan gejala
klinis reaksi imunologis hanya tampak pada fase elisitasi (fase pembangkitan
respons imun), tidak pada fase sensitisasi yang mendahuluinya. Data terbaru
bahkan menunjukkan bahwa kontak sebelumnya dengan obat penyebab
bukanlah suatu prasyarat untuk munculnya reaksi hipersensitivitas yang
dimediasi oleh mekanisme imunologis. Paradigma baru menyatakan bahwa
reaksi obat tidak selalu membutuhkan paparan sebelumnya terhadap obat dan
sangat mungkin terjadi reaktivitas silang dengan obat lain yang sebelumnya
pernah dipaparkan kepada pasien.6,7

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 931


Gatot Soegiarto

Tabel 2. Klasifikasi alergi obat berdasarkan reaksi hipersensitivitas Gell-Coombs


Tipe Reaksi Mekanisme Manifestasi Klinis Waktu
Tipe I Kompleks obat-IgE berikatan Urtikaria, Beberapa
(dimediasi oleh IgE) dengan sel mast, memicu angioedema, menit hingga
degranulasi sel mast, pelepasan pruritus, beberapa jam
histamin dan mediator inflamasi bronkospasme, setelah paparan
mual, diare, obat
anafilaksis
Tipe II Antibodi IgG atau IgM spesifik Anemia hemolitik, Bervariasi
(reaksi sitotoksik) terhadap obat menyerang sel-sel netropenia,
yang berikatan dengan hapten trombositopenia
obat
Tipe III Deposisi kompleks obat-antibodi Serum sickness, 1-3 minggu
(kompleks imun) pada jaringan, memicu aktivasi demam obat, setelah paparan
komplemen dan inflamasi rash, urtikaria, obat
limfadenopati,
artralgia,
glomerulonefritis,
drug-induced lupus
erythematosus,
vaskulitis
Tipe IV Presentasi molekul obat melalui Dermatitis kontak 2-7 hari setelah
(tipe lambat, ikatan MHC oleh sel-sel imun alergi, bercak (rash) paparan obat
dimediasi oleh sel- kepada sel T, memicu pelepasan makulopapular topikal di kulit
sel imun) sitokin dan mediator inflamasi
Tipe IVa Antigen obat dipresentasikan Reaksi tuberkulin, 2-7 hari setelah
(melibatkan aktivasi oleh sel-sel imun atau langsung dermatitis kontak paparan obat
monosit) menstimulasi sel Th1, memicu alergi
pelepasan sitokin Th1 (IFNγ, TNFα)
dan aktivasi monosit-makrofag
Tipe IVb Antigen obat dipresentasikan Asma kronis, 2-7 hari setelah
(melibatkan aktivasi oleh sel-sel imun atau langsung rinitis alergika paparan obat
eosinofil) menstimulasi sel Th2, memicu konis, eksantema
pelepasan sitokin Th2 (IL-5, IL-4, makulopapular
IL-13) dan aktivasi eosinofil disertai eosinofilia
Tipe IVc Antigen yang menyelaputi sel Dermatitis kontak, 2-7 hari setelah
(melibatkan aktivasi atau langsung menstimulasi sel T, eksantema paparan obat
limfosit T sitotoksik) memicu aktivasi sel T sitotoksik makulopapular,
eksantema bulosa,
hepatitis
Tipe IVd Antigen obat terlarut Acute generalized 2-7 hari setelah
(melibatkan aktivasi dipresentasikan oleh sel-sel imun exanthematous paparan obat
netrofil) atau langsung menstimulasi sel T, pustulosis (AGEP),
memicu sekresi CXCL-8, IL-17, GM- penyakit Behçet
CSF, mengaktifkan netrofil

Klasifikasi secara klinis berdasarkan morfologi, kronologi, dan


perjananan waktu sangat membantu untuk merencanakan tindakan
diagnostik berikutnya dan memungkinkan kita membedakan jenis reaksi
hipesensitivitas berdasarkan perjalanan waktunya.7 Setiap kasus dugaan

932 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Obat dalam Praktek Klinis

reaksi hipersensitivitas obat pada semua kelompok umur pasien harus


ditindaklanjuti dengan pemeriksaan diagnostik yang bertujuan untuk:
mengidentifikasi obat pencetusnya, kemungkinan patomekanismenya,
menilai risiko pasien untuk reaksi berikutnya, dan memberikan penyuluhan
kepada pasien tentang risiko tersebut.7

Gambar 1. Klasifikasi alergi obat berdasarkan Gell-Coombs dan modifikasinya

Pendekatan Diagnostik
Pendekatan diagnostik didasarkan pada data yang diperoleh melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik tentang korelasi waktu antara paparan
terhadap suatu obat, gambaran klinis, mekanisme kerja obat tersebut, riwayat
efek samping sebelumnya terhadap obat yang sama atau sejenis, dan kondisi
klinis yang mendasarinya. Berdasarkan korelasi waktu antara paparan
obat dan reaksi kulit yang ditimbulkannya, reaksi hipersensitivitas dapat
dikelompokkan menjadi reaksi tipe segera (immediate type) dan bukan tipe
segera (non-immediate type). Pengelompokan tersebut dapat mempersempit
diagnosis banding dan mempermudah tatalaksana selanjutnya.

Anamnesis
Anamnesis secara seksama dan rinci merupakan komponen yang sangat
penting pada evaluasi pasin dengan dugaan reaksi hipersensitivitas obat.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 933


Gatot Soegiarto

Riwayat reaksi yang dialami pasien dapat membantu dokter menentukan


uji diagnostik apa yang harus dikerjakan, dan apakah cukup aman untuk
melakukan provokasi ulang dengan obat yang dicurigai. Anamnesis harus
dilakukan dengan cermat untuk mendapatkan data selengkap mungkin
tentang gejala yang dialami pasien (apakah gejala-gejala yang dilaporkan
pasien memang sesuai dengan suatu reaksi hipersensitivitas obat atau bukan,
organ apa saja yang terkena), kronologi munculnya gejala (paparan obat
sebelumnya, jenis obat apa saja yang digunakan, dosis obat, lama penggunaan,
jarak antara penggunaan obat terakhir kali dengan awal munculnya gejala,
pengaruh penghentian obat terhadap gejala yang dirasakan pasien), obat-obat
lain yang digunakan oleh pasien secara bersamaan (baik pada saat munculnya
gejala reaksi maupun beberapa saat sebelumnya, riwayat penggunaan obat
dengan golongan yang sama pada masa lalu), latar belakang medis pasien
(adanya riwayat penyakit alergi sebelumnya, riwayat reaksi yang sama
pada anggota keluarga, riwayat gejala urtikaria kronik atau rinitis yang
diperberat oleh penggunaan obat-obat tertentu). Data tersebut seyogyanya
dicatat dalam format yang seragam. Untuk itu Drug Allergy Interest Group
EAACI (EAACI-DAIG) maupun kelompok intinya yaitu European Network of
Drug Allergy (ENDA) telah mengembangkan suatu kuesioner standar yang
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dapat diunduh melalui
internet.8,9

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh secara seksama akan sangat
membantu menentukan jenis reaksi hipersensitivitas obat yang terjadi.
Tanda vital harus dimonitor. Kelainan yang ditemukan pada tubuh pasien
harus dideskripsikan secara lengkap dan detail (jenis tanda dan gejala yang
dijumpai, awal mula kemunculannya, lokasi, dan evolusi yang terjadi). Kulit
dan lapisan mukosa (termasuk mulut, mata dan genitalia) merupakan sistem
organ yang paling sering terkena. Gambaran lesi di kulit sangat membantu
menentukan diagnosis. Selain itu manifestasi pada organ yang lain juga perlu
dicari untuk menentukan adanya tanda bahaya atau tingkat keparahan reaksi
(Gambar 2). Tanda peringatan akan terjadinya kolaps kardiovaskuler meliputi:
urtikaria, edema laring atau saluran nafas atas, wheezing, dan hipotensi. Tanda
peringatan bahwa reaksi yang terjadi akan berkembang menjadi reaksi yang
parah meliputi: adanya demam, lesi membran mukosa, limfadenopati, nyeri
dan pembengkakan sendi, serta abnormalitas pemeriksaan paru.10, 11

934 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Obat dalam Praktek Klinis

Tanda bahaya / Peringatan Cepat lakukan evaluasi berikut ini


Tanda, pemeriksaan Diagnosis
Gejala multi-sistem
yang muncul mendadak Penurunan tekanan darah Syok anafilaktik
(pernafasan, kulit, mukosa)

Sesak inspiratorik
disfonia Edema laring
Sialorrhea (hipersalivasi)

Nyeri kulit Lesi lepuh di kulit, bullae


Atypical target lesion Tanda Nikolsky positif
SJS / TEN
Erosi mukosa Darah tepi (leukopenia, trombopenia)
(pada ≥ 2 membrana mukosa) Fungsi ginjal (↑ urea, kreatinin serum)

Demam > 38,5ºC Limfadenopati (≥ 2 lokasi)


Lesi kulit meluas > 50% Darah tepi (eosinofilia, limfosit atipikal)
DRESS / DIHS
Edema sentrofasial Fungsi hati (↑ transaminase)
Proteinuria

Papula disertai infiltrasi Darah tepi (singkirkan trombositopenia)


purpura Fungsi ginjal (proteinuria, ↑ urea, kreatinin
Vaskulitis
Nekrosis serum)
Hipokomplemenemia
Gambar 2. Tanda bahaya yang menyiratkan akan adanya reaksi hipersensitivitas
parah

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis hipersensitivitas obat umumnya didasarkan pada penilaian
secara klinis karena pemeriksaan spesifik untuk mengkonfirmasi obat
penyebab secara khusus sangat sulit dilakukan dalam praktek sehari-hari.
Tujuan pemeriksaan laboratorium adalah mengkonfirmasi adanya petanda
biokimiawi atau petanda imunologis yang dapat menjelaskan mekanisme
imunopatologis yang diaktifkan pada reaksi hipersensitivitas terhadap suatu
obat tertentu. Pemilihan pemeriksaan laboratorium diagnostik ditentukan
oleh jenis reaksi obat, apakah jenis reaksi tipe segera (immediate) atau tipe
lambat (non-immediate) (Tabel 3). Semua informasi yang diperoleh dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien sangat penting untuk menentukan
rencana pemeriksaan diagnostik selanjutnya untuk menilai obat mana saja
yang kemungkinan besar menyebabkan reaksi hipersensitivitas pada pasien.
Pemeriksaan imunologis atau alergi harus dilakukan 4-6 minggu setelah gejala
reaksi hipersensitivitas mereda, dan sebaiknya dilakukan dalam kurun waktu
6 bulan setelah reaksi yang terakhir. Pemeriksaan imunologis atau tes alergi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 935


Gatot Soegiarto

tersebut seyogyanya dilaksanakan oleh konsultan alergi-imunologi yang


berpengalaman di pusat pelayanan kesehatan spesialistik bidang alergi.7,12,13

Tabel 3. Pemeriksaan diagnostik untuk reaksi hipersensitivitas obat


Jenis reaksi Jenis pemeriksaan
Immediate In vivo Tes tusuk kulit
Tes intradermal
Tes provokasi obat
In vitro Pemeriksaan kadar IgE spesifik obat
Flow cytometric Basophil Activation Test (BAT)
Non-immediate In vivo Delayed-reading intradermal tests
Tes tempel (patch test)
Tes provokasi obat
In vitro Lymphocyte Transformation Test (LTT)
Flow cytometric Lymphocyte Activation Test (LAT)
ELISPOT assays untuk analisis sel T spesifik antigen yang
memproduksi sitokin

Tes provokasi obat merupakan pemeriksaan baku emas untuk


mengidentifikasi obat pencetus gejala reaksi hipersensitivitas jika semua tes
alergi dan pemeriksaan imunologis hasilnya negatif atau tidak tervalidasi
(tidak meyakinkan). Prosedur ini bukan saja dapat mengkonfirmasi
reaksi hipersensitivitas obat, tetapi juga dapat menyingkirkan adanya
hipersensitivitas obat yang semula dilaporkan (dicurigai) pada pasien yang
semua tes in vivo maupun in vitro-nya negatif, atau yang riwayat reaksi
hipersensitivitas obatnya meragukan, dan dapat memastikan toleransi
terhadap beberapa obat alternatif yang aman digunakan oleh pasien. Tes
provokasi obat dapat dilakukan pada reaksi hipersensitivitas obat alergik
maupun non-alergik, namun merupakan kontraindikasi pada kasus-kasus
hipersensitivitas obat yang tidak terkendali dan parah seperti SJS, TEN,
DRESS, vaskulitis, dan AGEP.12

Secara ringkas, pendekatan diagnostik pada reaksi hipersensitivitas obat


dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap 1 adalah anamnesis dan pemeriksaan
fisik untuk mendapatkan petunjuk tentang jenis reaksi yang terjadi dan obat-
obat yang diduga menjadi pemicunya. Tahap 2 adalah pemeriksaan alergi dan
imunologis yang dipilih sesuai dengan jenis reaksi yang terjadi (immediate
atau non-immediate) baik secara in vivo maupun in vitro. Tahap 3 adalah

936 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Obat dalam Praktek Klinis

konfirmasi hipersensitivitas (alergik maupun non-alergik) atau toleransi


melalui tes provokasi obat.

Penentuan Obat Penyebab


Sangat penting untuk menentukan atau memastikan obat yang mana yang
menyebabkan atau mencetuskan reaksi hipersensitivitas yang dialami oleh
pasien. Dalam praktek sehari-hari seringkali cukup sulit untuk melakukannya,
khususnya jika pasien menggunakan beberapa macam obat secara bersama-
sama. Mengidentifikasi obat penyebab akan menghindarkan pasien dari
reaksi berikutnya dan dengan demikian dapat menyelamatkan jiwa pasien.
Dua hal yang harus dipertimbangkan adalah: adanya bahaya reaksi yang parah
saat obat diprovokasikan kepada pasien, namun di lain pihak pasien yang
sebenarnya tidak alergi terhadap obat tertentu juga akan dirugikan jika harus
menghindari obat itu secara tidak perlu. Saat ini terdapat beberapa kriteria
atau algoritma yang dapat digunakan untuk memastikan adanya keterkaitan
kausal antara obat dengan gejala-gejala reaksi adversi yang ditimbulkannya,
misalnya WHO-UMC Probability Scale, Liverpool causality assessment tool,
French causality assessment method, atau Naranjo Probability Scale (Tabel
4).14

Tabel 4. Naranjo adverse drug reaction probability scale


Pertanyaan Ya Tidak Tidak tahu
1. Apakah sebelumnya sudah ada laporan yang meyakinkan tentang +1 0 0
reaksi tersebut sebelumnya?
2. Apakah reaksi adversi timbul setelah pemberian obat yang dicurigai? +2 -1 0
3. Apakah terjadi perbaikan gejala saat obat yang dicurigai dihentikan +1 0 0
atau diberikan obat penangkal yang spesifik?
4. Apakah gejala reaksi adversi muncul kembali setelah obat yang +2 -1 0
dicurigai diberikan kembali kepada pasien?
5. Apakah ada penyebab alternatif lainnya (selain obat) yang secara -1 +2 0
tunggal dapat mencetuskan reaksi tersebut?
6. Apakah gejala reaksi muncul kembali ketika pasien diberi plasebo? -1 +1 0
7. Apakah obat dapat dideteksi dalam darah pasien (atau cairan tubuh +1 0 0
lainnya) dalam konsentrasi yang toksik atau membahayakan?
8. Apakah reaksi menjadi lebih parah ketika dosis obat dinaikkan atau +1 0 0
menjadi lebih ringan ketika dosis obat diturunkan?
9. Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami gejala reaksi yang +1 0 0
sama ketika diberikan obat yang sama atau obat lain yang sejenis di
masa lalu?
10. Apakah reaksi adversi dapat dipastikan melalui bukti-bukti +1 0 0
pemeriksaan yang obyektif?
Nilai skor algoritma Naranjo: >9 = definite; 5–8 = probable; 1–4 = possible; 0 = doubtful.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 937


Gatot Soegiarto

Tatalaksana
Langkah terpenting dan efektif untuk tatalaksana reaksi hipersensitivitas
obat adalah sebisa mungkin menghentikan obat-obat yang memicu reaksi. Bila
tersedia, obat alternatif dengan struktur kimia yang berbeda harus digunakan
sebagai pengganti. Konsekuensi klinis penghentian obat atau penggunaan
obat penganti harus dimonitor secara ketat. Pada sebagian besar pasien gejala
akan membaik dalam satu hingga dua minggu jika diagnosis hipersensitivitas
obat sudah tepat.

Reaksi tipe segera seperti anafilaksis membutuhkan penanganan yang


cepat dan tepat. Untuk pasien yang mengalami reaksi non-anafilaktik semua
obat yang dicurigai sebagai penyebab dan obat-obat lain yang dinilai “tidak
perlu” (bukan obat yang esensial) harus segera dihentikan jika didapatkan
tanda-tanda bahaya (Gambar 2), atau jika risiko pemberian obat melebihi
manfaatnya. Keterlambatan penghentian obat dapat meningkatkan risiko
kematian.12,15,16

Terapi tambahan umumnya berupa terapi suportif dan simptomatik.


Antihistamin oral dan kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk mengatasi
gejala-gejala kulit. Anemia akibat reaksi hipersensitivitas tipe II mungkin
membutuhkan transfusi darah. Reaksi hipersensitivitas tipe III yang parah
mungkin membutuhkan tindakan plasmaferesis. Kortikosteroid sistemik
mungkin diperlukan untuk mempercepat penyembuhan pada kasus-kasus
hipersensitivitas obat yang parah.12,15,16

Reaksi yang parah seperti SJS dan TEN membutuhkan terapi khusus yang
intensif. Beberapa ahli menganjurkan agar pasien SJS dan TEN dirawat di
ruang perawatan intensif atau unit perawatan luka bakar yang steril, dengan
melibatkan tim medis multidisipliner. Pemberian cairan infus intravena,
nutrisi oral atau enteral yang adekuat (dengan atau tanpa pipa nasogastrik),
pengendalian temperatur ruangan pasien (berkisar antara 30-32◦C) untuk
mengurangi kehilangan kalori melalui kulit, dan penanganan pasien secara
aseptis, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tatalaksana penderita
secara menyeluruh. Perawatan kulit secara konservatif menggunakan
antiseptik topikal (silver nitrate 0,5% atau chlorhexidine 0,05%) memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan debridement yang agresif. Bagian kulit
yang mengelupas dibiarkan tetap pada tempatnya dan ditutup atau dilindungi
dengan kasa yang mengandung petrolatum (vaselin), povidone iodine, atau
hydrogel. Penggunaan antibiotika profilaksis tidak dianjurkan, dan hanya

938 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Obat dalam Praktek Klinis

digunakan bila terjadi peningkatan jumlah bakteri yang dikultur dari kulit
atau bila kondisi pasien memburuk. Penggunaan kortikosteroid sistemik
dianjurkan dengan batasan tertentu. Beberapa peneliti juga melaporkan
bahwa penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) mungkin bermanfaat,
namun hal tersebut masih perlu dievaluasi dalam penelitian klinis dengan
randomisasi. Beberapa peneliti yang lain menganjurkan penggunaan
cyclosporine untuk membantu menghentikan progresivitas penyakit.12,16

Desensitisasi Obat
Desensitisasi merupakan pilihan terapi pada pasien alergi obat yang
tidak punya obat alternatif untuk penyakitnya, misalnya pasien HIV-AIDS
yang terpaksa harus menggunakan sulfametoksazol untuk profilaksis PCP,
atau pasien fibrosis kistik yang harus menggunakan beberapa jenis antibiotika
tertentu. Pemberian obat dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap
mulai dari dosis sub-alergenik ternyata memungkinkan pemberian obat
dengan dosis terapeutik secara penuh dengan risiko terjadinya anafilaksis
yang minimal. Desensitisasi obat didefinisikan sebagai upaya menginduksi
toleransi klinis sementara terhadap suatu obat atau senyawa yang menjadi
penyebab reaksi hipersensitivitas. Istilah lain yang juga sering digunakan
antara lain: hyposensitization, tolerance induction, atau adaptive deactivation.
Sifat “toleransi klinis sementara” perlu ditekankan karena obat tersebut perlu
digunakan terus-menerus setiap hari. Setelah penghentian atau interupsi
pemberian obat selama beberapa hari maka hipersensitivitas terhadap obat
akan muncul kembali dan pasien membutuhkan prosedur desensitisasi
ulang.17

Pada awalnya prosedur desensitisasi hanya dilakukan pada reaksi


hipersensitivitas obat yang dimediasi oleh IgE, namun berikutnya prosedur
ini juga dapat dilakukan pada jenis reaksi hipersensitivitas obat yang lainnya.
Beberapa obat yang terbukti dapat dilakukan desensitisasi antara lain:
alopurinol, kotrimoksasok, antibiotika golongan β-laktam, sisplatin, dan asam
asetil salisilat. Mekanisme desentisisasi obat belum sepenuhnya dipahami.17

Daftar Pustaka
1. Demoly P, Hillaire-Buys D. Classification and epidemiology of hypersensitivity
drug reactions. Immun Allergy Clin N Am. 2004;4: 345-356.
2. Rawlins MD, Thompson JW. Mechanisms of adverse drug reactions. In: Davies DM
(ed.), Textbook of adverse drug reactions. Oxford University Press; Oxford, England,
1991.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 939


Gatot Soegiarto

3. Gomes ER, Demoly P. Epidemiology of hypersensitivity drug reactions. Curr Opin


Allergy Clin Immunol. 2005;5: 309-316.
4. Riedl MA, Cassilas AM. Adverse drug reactions: types and treatment options. Am
Fam Physician. 2003;68(9):1781-1790.
5. Warrington R, Silviu-Dan F & Wong T, 2018. Drug allergy. Allergy Asthma Clin
Immunol. 2018, 14(Suppl 2): 60.
6. Pichler WJ. Delayed drug hypersensitivity reactions. Ann Intern Med. 2003;
139(8):683-693.
7. Brockow K, Przybilla B, Aberer W, Bircher A, Brehler R, Dickel H, et al. Guideline
for the diagnosis of drug hypersensitivity reactions. S2K-Guideline of the
German Society for Allergology and Clinical Immunology (DGAKI) and the
German Dermatological Society (DDG) in collaboration with the Association of
German Allergologists (AeDA), the German Society for Pediatric Allergology and
Environmental Medicine (GPA), the German Contact Dermatitits Research Group,
the Swiss Society for Allergy and Immunology (SGAI), the Austrian Society for
Allergology and Immunology (ÖGAI), the German Academy of Allergology and
Environmental Medicine (DAAU), the German Center for Documentation of Severe
Skin Reactions and the German Federal Institute for Drugs and Medical Products
(BfArM). Allergo J Int. 2015;24(3):94-105.
8. Demoly P, Kropf R, Bircher A, Pichler WJ, EAACI interest group on drug
hypersensitivity. Drug hypersensitivity: questionnaire. Allergy. 1999; 54(9):999-
1003.
9. Demoly P, Bousquet J. Drug allergy diagnosis work up. Allergy. 2002;57(Suppl. 72);
37-40.
10. Scherer K, Bircher AJ. Danger signs in drug hypersensitivity. Med Clin North Am.
2010;94(4):681-689, xv-x.
11. Bircher AJ. Symptoms and danger signs in acute drug hypersensitivity. Toxicology.
2005;209(2):201-207.
12. Romano A, Torres MJ, Castells M, Sanz ML, Blanca M, 2011. Diagnosis and
management of drug hypersensitivity reactions. J Allergy Clin Immunol. 2011;127(3
Suppl):S67-S73.
13. Mayorga C, Celik G, Rouzaire P, Whitaker P, Bonadonna P, Rodrigues‐Cernadas J,
et al. for In vitro tests for Drug Allergy Task Force of EAACI Drug Interest Group.
In vitro tests for drug hypersensitivity reactions: an ENDA/EAACI Drug Allergy
Interest Group position paper. Allergy. 2016; 71(8): 1103-1134.
14. Naranjo CA, Busto U, Sellers EM, Sandor P, Ruiz I, Roberts EA, et al. A method for
estimating the probability of adverse drug reactions. Clin Pharmacol Ther. 1981;
30:239-245.
15. Schnyder B. Approach to the patient with drug allergy. Med Clin North Am.
2010;94(4):665-679, xv.

940 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Obat dalam Praktek Klinis

16. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR , Youlten LJF, Dugue P, Friedmann PS, et al.
BSACI guidelines for the management of drug allergy. Clin Exp Allergy, 2009; 39(1):
43-61.
17. Liu A, Fanning L, Chong H, Fernandez J, Sloane D, Sancho-Serra M, Castells M.
Desensitization regimens for drug allergy: state of the art in the 21st century. Clin
Exp Allergy. 2011;41(12):1679-1689.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 941


Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan
Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat
Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan
Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Uji Provokasi Obat


Reaksi hipersensitivitas obat dapat mempengaruhi hingga 5% pasien
rawat inap dan dapat mengancam jiwa. Berbagai reaksi telah dijelaskan,
termasuk reaksi non imunologis (non IgE mediated), reaksi alergi yang
diperantarai IgE (syok anafilaksis langsung, urtikaria, angioedema, atau
bronkospasme), dan reaksi alergi tidak langsung. Reaksi tidak langsung dapat
terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dan termasuk urtikaria, erupsi
makulopapular, erupsi obat tetap, vaskulitis, toksiknekrolisis epidermal,
sindrom Stevens-Johnson, dan reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala
sistemik.

Diagnosis definitif dari alergi obat salah satunya adalah dengan uji
provokasi obat, dimana obat diberikan melalui berbagai rute, termasuk rute
oral, paranteral, konjungtiva, dan mukosa dengan cara peningkatan dosis obat
yang terkait secara bertahap. Merupakan hal yang penting untuk memastikan
identifikasi yang tepat saat pemberian obat secara bersamaan dan terjadinya
reaksi. Uji provokasi obat dapat dilakukan setelah mempertimbangkan
manfaat untuk pasien dan hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang ahli
dibidangnya dengan perlengkapan yang lengkap dan memadai. Lembar
persetujuan pasien merupakan salah satu hal yang penting dalam prosedur
tes ini.

Indikasi
Sebelum melakukan uji provokasi obat, evaluasi manfaat dan risiko setiap
individu harus dilakukan. Perhatian dan pengawasan wajib diperhatikan
dalam semua kasus. Reaksi yang berat dapat terjadi pada pasien dengan
kondisi kesehatan yang buruk atau risiko tinggi dan butuh pengawasan yang
lebih ketat. Berikut adalah indikasi untuk dilakukannya uji provokasi obat:
• Untuk mengeliminasi risiko hipersensitivitas pada pasien tanpa riwayat
hipersensitivitas obat dan pada pasien dengan gejala non spesifik, seperti
gejala vagal pasca anestesi lokal.

942 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat

• Untuk memberikan keamanan secara farmakologis pada obat yang tidak


terkait dengan riwayat hipersensitivitas seperti antibiotik jenis lain pada
pasien dengan riwayat alergi beta laktam. Ini dapat juga bermanfaat
bagi orang-orang yang gelisah dan menolak untuk minum obat yang
direkomendasikan tanpa adanya bukti hipersensitivitas.
• Untuk mengeliminasi reaksi silang dari obat terkait hipersensitivitas,
misalnya sefalosporin dalam subjek yang alergi terhadap penisilin atau
NSAID pada pasien asma yang peka terhadap aspirin.
• Untuk menegakkan diagnosis pasti pasien dengan kecurigaan
hipersensitivitas obat namun hasil tidak konklusif atau tes alergi
tidak tersedia ataupun hasil tes alergi negatif. Sebagai contoh: erupsi
makulopapular selama perawatan dengan aminopenicillin dan tes alergi
negatif.
Gambar 1.Berikut merupakan
Alur diagram uji reaksidiagram alur ujiobat
hipersensitivitas reaksi hipersensitivitas obat.

Hipersensitivitas obat yang dicurigai

Secara klinis sangat


jelas, tidak meragukana Tidak sesuai
Penilaian riwayat penyakit Bukan alergi
dan gejala Work-up diagnosis

Sesuaib

Apakah pemeriksaan yang Tidak


tervalidasi tersedia?

Ya
Negatif
Positif Tidak
Tes kulit Apakah uji provokasi
Tes laboratoriumc memungkinkan dilakukan?d

Positif Ya
Uji provokasi

Negatif
Hipersensitivitas obat terkonfirmasi
• Dokumentasi (paspor alergi) Hipersensitivitas obat yang mungkin
Hipersensitivitas • Dokumentasi (paspor alergi)
• Hindari pemakaian obat dieksklusi
• Hindari pemakaian
• Desensitasi jika diperlukan

Gambar 1. Alur diagram uji reaksi hipersensitivitas obat

aPada kasus per individu, seperti aspirin-exacerbated respiratory disease, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat
Kontraindikasi
pasien yang jelas dan tidak diragukan lagi. Efek samping obat atau gejala yang tidak irelevan tidak perlu work up
diagnostik
Uji provokasi dengan obat yang dicurigai menyebabkan alergi tidak
boleh
b Workdilakukan pada
up diagnostik dapat wanita hamil
dipertimbangkan atau
untuk tidak padajika
dilanjutkan pasien berisiko
hipersensitivitas obat tinggi karena
yang dicurigai kemungkinan
tidak memerlukan seperti
komorbiditas pengobatan infeksi
kedepannyaakut, asma tidak terkontrol, penyakit jantung,
C Uji kulit dan laboratorium yang tervalidasi hanya tersedia untuk sejumlah kecil kelompokn obat; termasuk antibiotik beta
laktam, heparin,
Pertemuan Ilmiahmedia radiokontras,
Nasional relaksan
XVII PAPDI otot, dan2019
- Surabaya komponen obat yang mengandung platinum. Untuk943
banyak obat,
tidak ada uji valid yang tersedia dan atau sensitivitasnya rendah.
d Uji provokasi pada obat yang dicurigai, memerlukan pertimbangan terhadap kontraindikasi. Pada beberapa keadaan, uji
Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan

hati dan ginjal di mana paparan obat mungkin memicu suatu keadaan yang
membahayakan. Namun, pengecualian dapat dibuat jika obat yang dicurigai
penting untuk pasien, seperti terapi neurosifilis dengan penisilin dan proses
anestesi pada pembedahan yang penting. Seorang wanita hamil yang diduga
memiliki hipersensitivitas terhadap anestesi lokal, disarankan untuk anestesi
epidural /analgesia selama persalinan, dan dengan hasil uji kulit intradermal
negatif yang dilakukan di ruang bersalin, dapat menjalani uji provokasi obat
dengan anestesi lokal di ruang bersalin oleh ahli anestesi sebelum penyisipan
epidural kateter.

Uji provokasi obat tidak boleh dilakukan pada pasien yang mengalami
imunositotoksik yang parah dan mengancam jiwa, sindrom vaskulitis,
dermatitis eksfoliatif, eritema multiforme mayor/sindrom Stevens-Johnson,
reaksi hipersensitivitas yang diinduksi obat (dengan eosinofilia)/DRESS
dan nekrolisis epidermal toksik. Dalam kondisi tertentu, beberapa literatur
merekomendasikan secara heterogen seperti fix drug eruption saat tes
provokasi obat oral tampaknya aman bahkan pada anak-anak, jika pasien
hanya menderita lesi tunggal atau beberapa. Namun tidak dianjurkan pada
pasien yang telah mengalami reaksi generalisata bulosa yang terkadang sulit
dibedakan dari sindrom Stevens-Johnson.

Metode tes
Rute pemberian
Uji provokasi obat dapat diberikan dengan rute pemberian yang berbeda
termasuk oral, parenteral (IV, IM, SC) dan topikal (nasal), bronkial, konjungtival,
kutan dan sebagainya. Meskipun obat yang dicurigai menyebabkan reaksi
sebaiknya diberikan melalui rute yang sama ketika reaksi hipersensitivitas
terjadi, rute oral tetap menjadi pilihan jika memungkinkan. Hal ini disebabkan
proses penyerapan obat dan timbulnya efek samping yang lebih lambat
dibandingkan dengan uji provokasi melalui rute parenteral.

Agen yang digunakan


Agen yang digunakan adalah berupa substansi yang diproduksi secara
komersial. Pada kasus kecurigaan hipersensitivitas terhadap obat kombinasi,
komponen tunggal dari obat tersebut harus diuji secara terpisah. Uji terpisah
dari bahan aktif dan aditif dari obat tersebut harus dipertimbangkan sebab
reaksi dapat disebabkan dari keduanya. Pembuktian toleransi terhadap
obat tersebut, tetap harus menggunakan preparat yang diproduksi secara
komersial.
944 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat

Dosis dan interval waktu


Dosis dan interval waktu yang diberikan bergantung pada beberapa
variabel, antara lain tipe obat yang akan diuji, beratnya reaksi hipersensitivitas
obat yang diteliti, rute pemberian, waktu perkiraan antara pemberian obat
dan reaksi, kondisi kesehatan pasien dan pengobatan yang sedang pasien
jalani. Secara umum, uji provokasi harus dimulai dengan dosis rendah, secara
hati-hati ditingkatkan dan dihentikan segera saat gejala pertama muncul. Jika
tidak ada gejala yang muncul, dosis tunggal maksimal dari obat yang diuji
harus tercapai. Pada kasus dimana reaksi sebelumnya terjadi kurang dari 1
jam setelah pemberian obat, dosis awal uji provokasi harus antara 1:10.000
dan 1:10 dari dosis terapeutik, bergantung pada beratnya reaksi yang muncul,
interval waktu antara dosis yang diberikan minimal 30 menit. Namun, banyak
obat yang mungkin memerlukan durasi waktu lebih panjang. Pada kasus
dimana reaksi sebelumnya terjadi lebih dari 1 jam setelah pemberian obat,
dosis awal tidak disarankan melebihi 1:100 dari dosis terapeutik. Bergantung
pada obat dan respons pasien, uji provokasi dapat diselesaikan dalam
hitungan jam, hari, sampai mingguan.

Persiapan untuk uji provokasi obat


Semua obat-obatan yang diperkirakan dapat mempengaruhi hasil uji
provokasi harus dihentikan. Berikut merupakan jenis obat-obatan yang harus
dihentikan:

Tabel 1. Jenis obat-obatan yang harus dihentikan sebelum memulai uji provokasi

Obat-obatan Rute pemberian Reaksi Reaksi tidak Interval bebas


langsung langsung obat
Antihistamin (H1-bloker) Oral, intravena + - 5 hari
Antidepresan Oral, intravena + - 5 hari
(imipramin,
phenotiazin)
Glukokortikoid Topikal - ? ?
• Jangka panjang Oral, intravena ± + 3 minggu
• Jangka pendek, dosis Oral, intravena ± + 1 minggu
tinggi (> 50 mg)
• Jangka pendek, dosis Oral, intravena ± - 3 hari
rendah (< 50 mg)
Agen beta bloker Oral + + 1 hari
Topikal (mata) - -
ACE inhibitor Oral + + 1 hari

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 945


Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan

Secara umum, uji provokasi harus dilakukan tidak lebih cepat dari 4 minggu
dari episode reaksi hipersensitivitas. Namun tidak ada consensus batas waktu
yang jelas dari hal ini.

Persiapan lain untuk uji provokasi adalah:


- Pertimbangan etik. Keuntungan dan kerugian dari uji provokasi harus
dapat diterima. Obat yang diuji tersebut harus penting, dan secara
signifikan efektif dibandingkan alternatif obat lain. Kondisi yang
ditatalaksana harus serius, dimana tidak ada metode pemeriksaan
lain yang tersedia atau hasil yang didapat inkonklusif. Pasien harus
diinformasikan akibat dari penggunaan pilihan pengobatan lainnya dan
risiko yang dapat timbul saat uji provokasi obat. Pasien harus diberikan
informed consent secara oral dan tertulis.
- Pengamanan uji provokasi obat. pencatatan riwayat pasien sebelumnya
harus lengkap. prosedur harus dilakukan oleh ahlinya. Fasilitas resusitasi
harus tersedia untuk keadaan gawat darurat. Pasien harus dimonitor
secara ketat (keluhan, nadi, tekanan darah, dan tanda vital lainnya)
sehingga gejala yang timbul dari awal sudah dapat terdeteksi.
- Dokumentasi. Uji provokasi obat adalah pemeriksaan yang berisiko tinggi.
Oleh sebab itu, penting untuk mendokumentasikan detail riwayat medis
pasien, data diri dan riwayat pengobatan sebelum uji provokasi. Sebelum
dan sesudah uji provokasi, semua pemeriksaan fisik, perubahan pada
parameter laboratorium, spirometri, dan pemeriksaan lain (bergantung
pada masing-masing pasien) seperti EKG harus tercatat.
- Observasi. Pasien harus diobservasi selama reaksi berat dari pajanan
obat masih dipikirkan mungkin terjadi. Hal ini bergantung pada jenis
reaksi obat yang timbul sebelumnya, obat yang sedang diuji dan situasi
individu dari masing-masing pasien. Jika timbul reaksi ringan, observasi
setelah stabilisasi direkomendasikan sedikitnya selama 2 jam. Jika
terjadi reaksi berat, pasien harus dirawat inap disebabkan kemungkinan
munculnya episode bifasik pada pasien yang dapat mengancam jiwa jika
tidak ditangani secara cepat. Setelah dibolehkan pulang, pasien harus
dibekali dengan obat-obatan khusus (mis: antihistamin, steroid) jika
gejala lain seperti urtikaria dipikirkan masih dapat timbul.

Penilaian hasil uji provokasi


Uji provokasi dikatakan positif, jika hasilnya memberikan gambaran
yang sama dengan riwayat reaksi hipersensitivitas sebelumnya. Jika reaksi
946 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat

yang timbul bermanifestasi dengan gejala yang subjektif dan challenge test
menghasilkan gejala subjektif yang sama, tes plasebo disarankan dilakukan.
Jika tes plasebo ini negatif, disarankan untuk mengulang dosis obat yang
diteliti. Tabel dibawah menjelaskan mengenai detail interpretasi hasil uji
provokasi dan hal-hal yang dapat menyebabkan hasil positif palsu dan negatif
palsu.

Tabel 2. Algoritme interpretasi uji provokasi obat


Pertanyaan Penilaian
Interval waktu N Y Y Y Y Y Y Y Y Y
yang sesuai antara
paparan obat dan
reaksi yang timbul
Reaksi yang - N N Y Y Y Y Y Y Y
diketahui
sebelumnya
Reaksi dapat - Y N Y Y N N N N N
dijelaskan secara
rasional berdasar
kondisi klinis atau
terapi lain (non-
obat)
Dechallenge - - - - - N Y Y Y Y
dilakukan
Membaik dengan - - - - - - N Y Y Y
dechallenge
Rechallenge - - - - - - - N Y Y
dilakukan
Kambuh/ - - - Y N - - - N Y
relapse dengan
rechallenge
Definite X
Probable X X X
Possible X X
Conditional/ X
dubious
Unrelated X X X
Y=yes, N=no

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 947


Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan

Tabel 3. Kriteria evaluasi hasil uji provokasi obat


Gejala, reaksi Evaluasi
Reaksi identik Ya Ya Ya Tidak Tidak
Derajat berat dan luas Ya Tidak Tidak - -
meningkat, interval waktu
memendek
Derajat berat, lokalisasi dan - Ya Tidak - -
waktu timbul identik
Prodromi - - - Ya Tidak
Interpretasi hasil P3 P2 P1 S N

Tabel 4. Penyebab hasil positif palsu dan negatif palsu


Hasil positif palsu Hasil negatif palsu
Gejala psikologis Efek obat anti alergi
Gejala yang masih timbul (mis: urtikaria) Observasi atau pajanan obat yang diteliti
terlalu singkat
Kekambuhan penyakit yang diderita Interval waktu terlalu pendek/terlalu panjang
sebelumnya akibat paparan obat dari reaksi obat
Kesengajaan pasien Dosis terlalu rendah
Pengaruh faktor lain seperti cahaya, pengaruh
interaksi obat lain, infeksi virus, dsb

Risiko dan Kerugian Uji provokasi obat


Beberapa risiko dan kerugian dari uji provokasi antara lain:
- Berpotensi timbul efek samping yang membahayakan
- Membaca hasil tes terkadang sulit
- Tidak menjelaskan mekanisme patogenik dari reaksi obat
- Reaksi patognomonik kadang tidak timbul
- Hasil positif palsu dapat terjadi
- Hasil negatif palsu dapat terjadi
- Tidak menjelaskan sensitisasi yang sangat ringan yang hasilnya dapat
positif pada beberapa situasi

Penatalaksanaan Perioperatif
Proses operasi bedah merupakan situasi yang unik secara farmakologis,
di mana pasien terpapar berbagai zat asing termasuk anestesi, analgesik,
antibiotik, antiseptik, produk darah, heparin, polipeptida dan intravascular
volume expanders, yang dapat menghasilkan reaksi hipersensitivitas langsung

948 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat

atau anafilaksis. Karena tidak ada strategi terapeutik preemptif, dokter


disarankan untuk berhati-hati dan dapat mengenali serta mengobati reaksi
yang tidak diinginkan. Hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan
pemeriksaan alergi untuk mengidentifikasi zat atau bahan penyebab dan
mencegah kekambuhan.

Alergi terhadap zat anestesi tetap menjadi penyebab penting morbiditas


dan mortalitas selama proses perioperatif. Neuromuscular blocking agent
(NMBA) adalah obat yang paling sering diduga menjadi penyebab terjadinya
alergi, meskipun obat lain yang digunakan selama periode perioperatif
mungkin terlibat. Setiap reaksi hipersensitivitas yang dicurigai harus diselidiki
sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan.

Epidemiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe cepat dapat timbul akibat mediasi imun
(alergi) atau non-imun (reaksi semu alergi atau anafilaktoid). Hal ini telah
diakui sebagai salah satu penyebab paling umum pada morbiditas dan
kematian dalam praktik anestesiologi. Beberapa literatur telah melaporkan
mengenai kejadian reaksi ini di beberapa negara dimana hal ini bukan hanya
mencerminkan perbedaan dalam praktik klinis dan sistem pelaporan, tetapi
juga kemungkinan pengaruh berbagai faktor lingkungan.

Perkiraan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe cepat berkisar dari 1 dalam


setiap 1.250 hingga 10.000 proses anestesi. Pada sebagian besar penelitian,
reaksi alergi mewakili setidaknya 60% dari semua reaksi hipersensitivitas
yang timbul dalam periode perioperatif. Baru-baru ini, analisis multisenter
dari 3 lokasi berbeda di Perancis, memungkinkan estimasi nasional dari
kejadian reaksi alergi yang dimediasi IgE yang terjadi selama proses anestesi.
Reaksi alergi ini dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, dan zat
penyebab. Laporan ini menyatakan bahwa reaksi hipersensitivitas tipe cepat
sebagian besar tidak dilaporkan, dengan kejadian reaksi alergi diperkirakan
100,6 (76,2-125,3) per 1 juta prosedur. Terdapat jumlah subjek yang dominan
dari wanita dengan insiden diperkirakan mencapai 154,9 (117,2-193,1) per 1
juta prosedur. Tingkat kematian yang diestimasi berkisar antara 3% hingga
9%, sedangkan morbiditas keseluruhan masih belum diketahui.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 949


Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan

Etiologi reaksi alergi yang terjadi selama persiapan operasi


Berikut merupakan etiologi yang diketahui dapat menyebabkan reaksi
alergi selama persiapan operasi, antara lain:
• Neuromuscular blocking agents (NMBA): atrakurium, rokuronium,
vecuronium
• Sarung tangan lateks
• Antibiotik: penisilin, sefalosporin, kuinolon, gentamisin
• Anestesi umum: propofol, ketamin, thiopental
• Anestesi lokal: lidokain
• Aspirin and NSAIDS: Paracetamol, ibuprofen
• Plasma volume expander (koloid): dextran, gelofusin
• Opioid: fentanil, morfin
• Zat radiokontras: iotrolan, iodixanol
• Antiseptik: klorheksidin, povidon iodine
• Heparin: heparin, low molecular weight heparin

Patofisiologi
Reaksi anafilaksis yang dimediasi IgE
Studi yang meneliti dasar molekuler dari pengikatan IgE spesifik pada
NMBA menyatakan bahwa ion amonium kuartener dan tersier adalah
komponen utama alergenik pada NMBA. Diketahui terdapat risiko reaksi
alergi yang berbeda pada setiap NMBA. Selain itu, sensitisasi silang di antara
agen yang berbeda dilaporkan sering terjadi, bervariasi antara 60 dan 70%
pasien yang alergi terhadap NMBA. Pola reaksi silang sangat bervariasi
antara pasien. Reaksi silang pada NMBA tampaknya lebih sering terjadi
pada tipe aminosteroid dibandingkan dengan tipe yang diturunkan dari
benzylisoquinoline 4,9.

Untuk menjelaskan perbedaan ini, terdapat hipotesis bahwa fleksibilitas


rantai ion amonium dan juga jarak antara ion amonium mungkin penting
selama fase awal reaksi yang dimediasi IgE. Molekul yang lebih fleksibel,
seperti suksinilkolin, dianggap lebih kuat dalam merangsang sel yang peka
dibandingkan molekul yang lebih kaku.

Epitop selain amonium diketahui berperan dalam anafilaksis yang


dimediasi IgE. Dua penentu antigenik telah diidentifikasi dalam molekul

950 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat

tiopental, yaitu gugus pentil dan etil sekunder yang terpasang pada posisi 5
dari inti cincin pirimidin dan daerah tiol, di sisi yang berlawanan. Penentu
antigenik pada propofol adalah dua kelompok isopropil. Penentu antigenik
pada morfin terdiri dari gugus metil yang melekat pada atom-N dan cincin
sikloheksenil dengan gugus hidroksil pada karbon-6. Reaksi silang antara
morfin, kodein, dan narkotika lainnya telah diketahui.

Reaksi anafilaksis non-IgE


Mekanisme pasti dari reaksi yang tidak dimediasi imun masih sulit untuk
ditentukan. Reaksi ini diperkirakan timbul dari hasil stimulasi langsung dari
zat tertentu terhadap sel mast dan basofil yang menyebabkan pelepasan
mediator inflamasi. Namun, mekanisme lain mungkin terlibat. Anafilaksis non-
alergi tidak memerlukan mekanisme imunologis dan oleh sebab itu, kontak
sebelumnya dengan zat penyebab tidak diperlukan. Pelepasan histamin
spesifik dapat disebabkan oleh adanya penyakit atopik atau akibat kecepatan
saat produk disuntikkan. Gejala yang timbul pada pelepasan histamin non-
spesifik umumnya tidak seberat reaksi anafilaksis yang dimediasi IgE.

Faktor risiko
1. Jenis kelamin dan umur
Beberapa literatur menyatakan bahwa wanita lebih berisiko mengalami
reaksi anafilaksis. Namun pada anak-anak, berbagai zat yang diduga
sebagai penyebab anafilaksis, berbeda dibandingkan pasien dewasa.
Kejadian serupa dari reaksi alergi dan non-alergi yang terjadi sebelum
remaja jika berdasarkan jenis kelamin, menunjukkan adanya peran
hormon seks dalam peningkatan reaksi hipersensitivitas tipe cepat
terhadap senyawa berbobot molekul rendah yang diamati pada wanita
setelah pubertas.
2. Atopi
Atopi telah lama dianggap sebagai faktor risiko hipersensitivitas terhadap
pelemas otot, mengingat tingginya jumlah pasien atopi yang ditemukan
dalam studi syok anafilaksis selama anestesi. Namun, ketika menyelidiki
atopi sebagai faktor risiko menggunakan tes imunologi spesifik, hal ini
tampaknya tidak menjadi faktor risiko yang signifikan untuk sensitivitas
relaksan otot. Namun demikian, harus diingat bahwa sel basofil pada
pasien atopi lebih mudah melepaskan histamin. Selain itu, pasien atopi
dengan asma atau rinitis alergi terhadap rumput atau serbuk sari dapat
memiliki kepekaan silang terhadap lateks, dan sejumlah besar pasien

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 951


Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan

atopi dilaporkan telah memeriksa kepekaan terhadap lateks. Oleh karena


itu, atopi biasanya dianggap sebagai faktor risiko untuk reaksi alergi
terhadap lateks.
3. Alergi obat dan makanan
Alergi terhadap obat-obatan yang tidak berhubungan dengan anestesi
bukanlah faktor risiko untuk anafilaksis. Namun, setiap reaksi yang
mengancam jiwa yang tidak dapat dijelaskan saat anestesi sebelumnya
mungkin merupakan reaksi alergi, dan karena itu merupakan faktor
risiko utama untuk reaksi ulang jika obat yang bertanggung jawab
diberikan kembali. Alergi makanan belum diakui sebagai faktor risiko
dengan pengecualian pasien yang alergi terhadap buah tropis (terutama
alpukat, pisang, dan kiwi) karena alergi silang dengan lateks.
4. Faktor lingkungan
Lebih dari setengah pasien yang memiliki reaksi anafilaksis perioperatif
terhadap NMBA belum pernah menerima NMBA sebelumnya. Baru-baru
ini, Florvaag et al. menunjukkan bahwa anafilaksis akibat NMBA adalah
6 kali lebih umum di Swedia daripada di Norwegia. Mereka berpendapat
bahwa perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan dalam kepekaan
pra operasi dalam kaitannya dengan konsumsi pholcodine. Mereka
melaporkan bahwa selama tahun 1970-an dan 1980-an sirup obat batuk
yang mengandung obat ini tersedia di Swedia sedangkan antibodi IgE
terhadap pholcodine ada pada 5% hingga 6% serum yang dikumpulkan
selama periode waktu yang sama. Mereka juga melaporkan bahwa jumlah
kasus anafilaksis akibat NMBA tinggi pada 1970-an di Swedia, sedangkan
tidak ada kasus yang dilaporkan setelah 1990. Tidak ada serum positif
yang ditemukan sejak 2005 setelah obat ini ditarik dari pasar.

Mereka kemudian menunjukkan bahwa paparan pholcodine pada pasien


yang mengalami reaksi alergi terhadap NMBA bertanggung jawab atas
peningkatan signifikan IgE spesifik terhadap NMBA pada pasien yang
mengalami reaksi alergi terhadap salah satu obat ini. Hal ini mengarah
pada hipotesis bahwa paparan pholcodine dapat menyebabkan sensitisasi
IgE terhadap NMBA dan ion amonium kuartener lainnya. Hipotesis ini
selanjutnya didukung oleh hasil studi prevalensi internasional yang
menunjukkan hubungan signifikan secara statistik antara konsumsi
pholcodine dan prevalensi sensitisasi IgE terhadap NMBA dan terhadap
suksinilkolin. Namun, hasilnya juga menunjukkan bahwa zat lain yang
belum diketahui mungkin terlibat dalam sensitisasi IgE terhadap NMBA.

952 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat

Penarikan pholcodine dari pasar Swedia menghasilkan penurunan jumlah


laporan reaksi alergi terhadap NMBA. Hasil ini mendukung perlunya studi
epidemiologi lebih lanjut yang dirancang untuk menyelidiki kemungkinan
hubungan antara paparan pholcodine dan reaksi hipersensitivitas
terhadap NMBA.

Manifestasi klinik
Reaksi anafilaksis umumnya melibatkan kulit, sistem kardiovaskular
dan pernapasan, dan hampir semua sistem, termasuk sistem pencernaan,
saraf pusat, dan genitourinari. Namun, gejala ini dapat bermanifestasi sebagai
satu kondisi saja. Oleh karena itu, reaksi anafilaksis yang terbatas pada gejala
klinis tunggal (seperti bronkospasme, takikardia) dapat dengan mudah salah
didiagnosis karena banyak kondisi lain yang mungkin memiliki manifestasi
klinis yang identik. Dalam keadaan ini, jika tidak ada penilaian alergi penyebab
yang tepat, paparan ulang berikutnya dapat menimbulkan konsekuensi serius
atau bahkan mematikan. Beratnya gejala yang timbul dapat dilihat pada tabel
I:

Tabel 5. Manifestasi klinis reaksi alergi obat


Tingkat Gejala
I Kelainan kult: eritema generalisata, urtikaria, angioedema
II Measurable but not life threatening symptoms. Cutaneous signs, hypotension,
tachycardia. Respiratory disturbances: cough, difficulty to inflate
III Gejala membahayakan nyawa: kolaps, takikardia atau bradikardia, aritmia,
bronkospasme
IV Henti jantung dan/atau henti napas
V Kematian

Ada beragam tingkat beratnya reaksi dan respons terhadap pengobatan.


Landasan pengobatan adalah terapi epinefrin dan cairan. Pada reaksi tingkat
I, perbaikan spontan dapat terjadi tanpa pengobatan khusus. Pada kasus yang
lebih berat, reaksi anafilaksis harus diobati dengan dosis epinefrin dan cairan
yang sesuai berdasarkan derajat beratnya dan respons klinis. Penggunaan
jenis vasopresor dan inotrop seperti noradrenalin, vasopresin, metilen biru
atau glukagon disarankan ketika resusitasi awal dengan epinefrin dan cairan
tidak berhasil.

Beberapa laporan kasus baru-baru ini menunjukkan bahwa pemberian


sugammadex, suatu gamma-siklodekstrin yang dimodifikasi secara kimiawi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 953


Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan

yang digunakan untuk mencegah blokade neuromuskuler yang diinduksi


rocuronium mungkin berguna dalam mengurangi anafilaksis yang diinduksi
obat ini. Namun, reaksi alergi terhadap sugammadex juga telah dilaporkan.

Diagnosis reaksi alergi perioperatif


Saat terjadinya reaksi
Pada kasus yang dicurigai perioperative drug reaction (PODR), serum
untuk mengukur triptase sel mast harus diambil 1-2 jam pasca timbulnya
gejala pertama. triptase ini meningkat pada 80% reaksi anafilaksis (namun,
tidak ditemukannya peningkatan triptase tidak mengeksklusi PODR).
Peningkatan lebih dari 2 ng/ml plus 20% level basal, dimana harus diukur 24
jam setelah timbulnya reaksi awal, dianggap sebagai hasil positif.

Setelah terjadinya reaksi


Tes kulit ataupun tes provokasi, jika diperlukan dilakukan untuk
menentukan penyebab reaksi tersebut. Pemeriksaan ini idealnya dilakukan
paling cepat 4 minggu namun tidak lewat dari 6 bulan pasca PODR. Namun, jika
pembedahan perlu dilakukan kurang dari 4 minggu, hasil positif tetap dapat
diambil sebagai patokan. Namun, hasil negatif tidak dapat menyingkirkan
secara pasti penyebab PODR. Alur lengkap dapat dilihat pada diagram
dibawah.

Gambar 2. Alur uji diagnostik reaksi alergi obat

Anamnesis riwayat pasien


Anamnesis riwayat pasien
Usaha maksimal harus dilakukan untuk mengevaluasi riwayat pasien. Hampir 90% PODR
terjadi
Usaha
saatmaksimal harussaat
atau beberapa dilakukan untuk mengevaluasi
setelah induksi anestesi. Laporan riwayat pasien. sebelumnya
pembedahan
Hampir 90% PODR terjadi saat atau beberapa saat setelah induksi anestesi.
juga dapat membantu dengan memasukkan riwayat pemakaian disinfektan, pewarna, zat yang
diberikan secara lokal pada prosedur implantasi, seperti gentamisin. Pemberian zat intravena
umumnya memicu timbulnya reaksi
954 dalamIlmiah
Pertemuan hitungan
Nasionalmenit, sedangkan
XVII PAPDI zat yang diberikan
- Surabaya 2019

topikal atau perkutan memicu reaksi dalam 1-2 jam.


Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat

Laporan pembedahan sebelumnya juga dapat membantu dengan memasukkan


riwayat pemakaian disinfektan, pewarna, zat yang diberikan secara lokal
pada prosedur implantasi, seperti gentamisin. Pemberian zat intravena
umumnya memicu timbulnya reaksi dalam hitungan menit, sedangkan zat
yang diberikan topikal atau perkutan memicu reaksi dalam 1-2 jam.

Uji tusuk kulit (Skin prick test)


Uji tusuk kulit dilakukan pada langkah pertama diagnosis reaksi
anafilaksis. Jika negatif, dan untuk memastikan hasilnya, uji intradermal
dapat dilakukan dan dibaca hasilnya 20 menit kemudian. Uji lebih lanjut
menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi disarankan terutama pada
kasus PODR lebih berat, dimana konsentrasi maksimal yang digunakan pada
uji tusuk kulit berupa larutan obat yang tidak diencerkan sedangkan pada
intradermal maksimal 1:10. Diameter yang timbul dari uji tusuk kulit dengan
ukuran minimal 3 mm dianggap sebagai hasil positif. Sedangkan pada uji
intradermal, diameter lebih besar dari 3 mm dibandingkan dengan kontrol
negatif setelah 15-20 menit dianggap positif.

Uji Provokasi
Uji provokasi merupakan standar baku emas dalam uji alergi diagnostik
dan harus dilakukan jika didapatkan hasil negatif dari uji tusuk kulit/
uji intradermal ataupun laboratorium. Namun, pada beberapa zat seperti
anestesi umum dan NMBA, tidak sesuai dilakukan uji provokasi karena
profil farmakologisnya. Uji provokasi juga memiliki risiko timbulnya reaksi
hipersensitivitas yang berat sehingga pemeriksaan ini harus dilakukan pada
pusat kesehatan yang memiliki standar dan pengalaman yang baik.

Pemeriksaan laboratorium
Meskipun tes diagnostik IgE tersedia secara komersial untuk individu
yang sensitif terhadap beta laktam, lateks alami, klorheksidin, morfin,
suxametonium, namun sensitivitasnya sedang (<60%). Deteksi sensitisasi
akibat pholcodine untuk mengetahui reaksi silang terhadap NMBA atau opioid
masih menjadi kontroversi. Uji in vitro seluler, seperti uji aktiviasi basofil
atau uji transformasi limfosit, dapat bermanfaat pada beberapa kasus, namun
sensitivitas dan spesifitasnya harus dinilai secara kritis.
R
a
g
a
n Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 955
Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan

Tata laksana perioperatif pada pasien alergi obat


1. Pencegahan
Sebelum pembedahan, ahli anestesi harus mengevaluasi riwayat klinis
pasien dengan alergi (terutama yang berhubungan dengan obat-obatan
dan lateks), reaksi sebelumnya saat prosedur pembedahan dan penyakit
yang diderita serta terapinya. Semua faktor ini dapat mempengaruhi
reaksi alergi selama anestesi dan mempengaruhi tindakan yang akan
diambil. Jika terdapat kecurigaan alergi lateks, pasien harus dirujuk ke
ahli alergi untuk studi alergi sebelum pembedahan. Pada pembedahan
darurat pasien dengan kecurigaan alergi lateks, tindakan dilakukan pada
lingkungan yang bebas lateks. Hal yang sama dilakukan pada kecurigaan
terhadap alergi obat anestesi. Jika memungkinkan, anestesi loko-regional
dipertimbangkan untuk pasien. Pemberian steroid dan antihistamin
dipertimbangkan terutama pada reaksi non-imunologi.

2. Tatalaksana reaksi obat


Saat timbulnya gejala reaksi obat, langkah yang harus dilakukan adalah:
a. Kenali jenis reaksi alergi obat
Dokter harus mengevaluasi gejala pasien dan memutuskan apakah
ia merupakan reaksi anafilaksis, menentukan beratnya reaksi yang
timbul dan mengidentifikasi agen penyebab.
b. Pengobatan
Reaksi yang timbul harus ditatalaksana segera sebab hal ini akan
mempengaruhi prognosis pasien, terutama pada reaksi berat.
Pengobatan bergantung pada beratnya reaksi yang timbul. Agen
yang digunakan dapat dibagi atas dua, yaitu:
1. Pengobatan lini pertama
o Epinefrin. Reaksi anafilaksis mencakup perubahan
pada permeabilitas vaskular, dimana 35-50% volume
intravaskuler dapat berpindah ke rongga insterstisial
dalam 10 menit. Epinefrin merupakan agen pilihan untuk
anafilaksis. Tidak terdapat kontraindikasi penggunaan
epinefrin selama reaksi, meskipun dosisnya harus
disesuaikan berdasarkan beratnya untuk mencegah terjadi
efek samping yang signifikan, terutama pada pasien dengan
penyakit jantung.

956 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat

o Obat-obat vasoaktif. Dalam kasus dimana pasien


mengkonsumsi beta blker dan memiliki penyakit jantung,
agen vasoaktif lainnya dapat diberikan. Norepinefrin,
efedrin, dopamin, metoxamin dapat diberikan dalam
bentuk bolus intravena atau infus kontinyu.
o Glukagon. Obat ini dapat digunakan pada pasien yang
menggunakan beta bloker atau yang tidak respons
terhadap epinefrin. Agen ini juga dapat digunakan pada
pasien dengan penyakit jantung.
o Vasopressin. Penggunaan agen ini pada syok anafilaksis
diterima, terutama jika tidak ada respons menggunakan
agen vasopresor.
o Metilen blue. Obat ini berperan terutama dari kapasitasnya
menghambat nitrit oksida pada otot polos dinding vaskuler.
Agen ini diberikan bersamaan dengan epinefrin.
2. Pengobatan lini kedua
o Antihistamin dan kortikosteroid. Obat-obatan ini tidak
menggantikan obat lini pertama seperti epinefrin untuk
reaksi berat, meskipun dapat digunakan untuk reaksi
ringan (grade I). Kortikosteroid tidak diindikasikan pada
fase akut reaksi, namun berperan untuk mencegah gejala
yang akan muncul berikutnya (delayed reactions).
o Salbutamol. Obat ini diindikasikan pada pasien dengan
bronkopasme sebagai gejala utama dan gejala ini tidak
respons dengan epinefrin.
o Atropin. Atropin terbatas digunakan pada kasus
bradikardia berat refrakter terhadap epinefrin da atau
terapi cairan dan pada pasien yang mengkonsumsi beta
bloker, sebab ia dapat menyebabkan henti jantung pada
fase awal anafilaksis.
o Agen lainnya. Sugammadex dipertimbangkan untuk
anafilaksis yang disebabkan rocuronium. Magnesium sulfat
dapat berperan pada kasus bronkospasme yang refrakter
terhadap pengobatan lainnya.

Diagram lebih detail dapat dilihat pada gambar 3 di bawah.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 957


Sukamto Koesnoe, Anshari S. Hasibuan

Gambar 3. Alur tatalaksana reaksi alergi obat perioperatif

Daftar Pustaka
1. Aberer W, Bircher A, Romano A, Bianca M, Campi P, et al. Drug provocation testing
in the diagnosis of drug hypersensitivity reactions: general considerations. Allergy.
2003: 58: 854–863.
2. Bircher A, Jakob TG, Brehler R, Lange L. Guideline for the diagnosis of drug
hypersensitivity reactions. Allergo J Int. 2015; 24: 94–105 .
3. Chiriac AM, Demoly P. Drug provocation tests: up-date and novel approaches.
Allergy Asthma Clin Immunol. 2013, 9:12.

958 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Uji Provokasi Obat dan Penatalaksanaan Perioperatif Pasien dengan Alergi Obat

4. Soyer O, Sahiner UM, Sekerel BE. Pro and Contra: Provocation Tests in Drug
Hypersensitivity. Int J Mol Sci .2017; 18, 1437.
5. Pfutzner W, Brockow K. Perioperative drug reactions-practical recommendations
for allergy testing and patient management. Allergo J Int. 2018; 27: 126-129.
6. Laguna JJ, Archilla J, Dona I, corominas M, Gastaminza G, et al. Practical guidelines
for perioperative hypersensitivity reactions. J Investig Allergol Clin Immunol.
2018; Vol 28(4): 216-232.
7. Garvey LH, Dewachter P, Hepner DL, Mertes PM, Voltolini S. Management of
suspected immediate perioperative allergic reactions: an international overview
and consensus recommendations. Br J Anesthesia. 2019; 123(1): e50-e64.
8. Dewacther P, Faivre CM, Castells M, Hepner DL. Anesthesia in the patient with
multiple drug allergies: are all allergies the same? Curr Opin Anesthesiol. 2011; 24:
320-325.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 959


Diagnosis Aritmia oleh Internis
Taufik Indrajaya
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP dr. Moh Hoesin - Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang

Pendahuluan
Aritmia adalah semua irama jantung yang bukan irama sinus normal
dengan konduksi atrioventrikular (AV) yang normal.1 Namun sebenarnya
istilah 'disritmia` tampaknya lebih cocok sebagai label untuk irama jantung
yang abnormal.2

Pentingnya diagnosis dan terapi cepat kardiakaritmia sudah terbukti.


Kesintasan (survival) dari cardiac arrest sebelum sampai di rumah sakit
(prehospital) umumnya buruk, yaitu sekitar 15% pasien ventricular
tachycardia atau fibrilasi dan 3% dengan asistol atau irama idioventrikular
yang sampai di departemen gawat darurat (UGD) dan yang bertahan hidup
saat keluar rumah sakit. Luaran pasien yang dirawat inap sedikit lebih baik,
dengan 20% survive dari episode bradikardia atau takikardia, 19% yang
survive dari ventrikel takikardi-fibrilasi, dan hanya 1% yang survive dari
asistol.3

Aritmia memperberat risiko kematian dan morbiditas pada pasien gagal


jantung (HF), dan ini merepresentasikan beban kesehatan utama di seluruh
dunia. Setidaknya ada 15 juta pasien dengan HF di Eropa saja. Prevalensi
keseluruhan HF berkisar antara 2 dan 3%, tetapi meningkat tajam setelah
usia 75 tahun, mencapai 10-20% di antara mereka dalam dekade ke delapan
kehidupan.4

Aritmia kardiak adalah diagnosis banding penting pada semua pasien


dengan palpitasi, sinkop, hampir sinkop, atau nyeri dada.5 Aritmia dapat
menimbulkan berbagai gejala, timbul rasa sangat cepat, rasa lompat-lompat,
atau debar-debar (disebut palpitasi) di dada. Aritmia kardiak juga dapat
menyebabkan kepala rasa ringan, pingsan, nyeri dada, sesak napas, kelelahan
atau bahkan tidak ada gejala sama sekali.

Aritmia mengganggu curah jantung, yang bisa menurunkan


perfusi arteri koroner dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.

960 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Aritmia kardiak juga dapat menyebabkan kepala rasa ringan, pingsan, nyeri dada, sesak
kelelahan atau bahkan tidak ada gejala sama sekali.
Aritmia mengganggu curah jantung, yang bisa menurunkan Diagnosis perfusi
Aritmiaarteri
oleh Interniskoroner
eningkatkanBeberapa
kebutuhan oksigen miokard. Beberapa aritmia dapat menyebabkan tidak
aritmia dapat menyebabkan tidak adanya curah jantung sehingga
curah jantung sehingga RJP.
membutuhkan membutuhkan RJP.memerlukan
Pasien ICU akan Pasien ICUmanajemen
akan memerlukan
aritmia; irama manajemen
; irama ini ini
akan digolongkan
akan digolongkanke
ke dalam shockable
dalam shockable dandan non-shockable.(1)
non-shockable. 1

SCD and Clinical Subsets. SCD indicates sudden cardiac death

Jika dicurigai adanya aritmia, dokter dapat merekomendasikan satu atau


lebih tes untuk mendiagnosis aritmia dan menentukan apakah itu menyebabkan
gejala. Tes-tes ini dapat mencakup elektrokardiogram (EKG), monitor Holter,
monitor event, treadmill test, tilt table test atau studi elektrofisiologi (EP).6
Tes yang paling banyak digunakan untuk mendiagnosis aritmia adalah
elektrokardiogram (EKG).

Jika aritmia tidak diobati, jantung mungkin tidak dapat memompa


cukup darah ke seluruh tubuh. Ini dapat merusak jantung, otak, atau organ-
organ lain. Idealnya, pasien harus dirawat di daerah yang memiliki akses ke
pemantauan EKG, oksigen, dan defibrillator eksternal. Aritmia akut mungkin
memerlukan intervensi segera termasuk resusitasi. Semua staf klinis harus
dilatih tentang dukungan kehidupan dasar (BLS) dan dukungan kehidupan
lanjut (ALS).5

Banyak buku yang tersedia yang akan membantu internis dalam


menginterpretasi EKG dalam praktek klinis sehari-hari. Naskah ini diharapkan
mampu memberi masukan tambahan bagi para internis untuk dapat dengan
mendiagnosis dini suatu artimia.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 961


Taufik Indrajaya

Etiologi
Penyebab aritmia terbanyak adalah penyakit jantung, tekanan darah
tinggi, DM, merokok, alkohol atau kafein berlebihan, penyalahgunaan obat,
stres. Scarring / Bekas luka paling umum berasal dari serangan jantung
sebelumnya yang mengganggu inisiasi atau konduksi impuls listrik. Pada
orang sehat dengan jantung normal dan sehat, aritmia yang menetap terjadi
karena pemicu dari luar: sengatan listrik atau penggunaan obat-obatan
terlarang.

Setiap kondisi jantung struktural yang sudah ada sebelumnya dapat


menyebabkan perkembangan aritmia karena:
1. Pasokan darah yang tidak memadai.
a. Sebuah. Ini dapat mengubah kemampuan jaringan jantung —
termasuk sel-sel yang melakukan impuls listrik - untuk berfungsi
dengan baik.
2. Kerusakan atau kematian jaringan jantung.
a. Sebuah. Ini dapat mempengaruhi cara impuls listrik.
b. Penyebaran di hati.

Kondisi jantung yang sudah ada sebelumnya mungkin termasuk penyakit


arteri koroner (CAD), kardiomiopati dan penyakit jantung katup.

Klasifikasi Aritmia
Lima mekanisme dasar jenis Arrhytmias:
1. Aritmia yang berasal dari sinus.
2. Ritme ektopik.
3. Aritmia re-entry.
4. Blok konduksi.
5. Sindrom preeksitasi ~ jalur konduksi aksesori yang mem-bypass yang
normal, menyediakan jalan pintas listrik, atau korsleting: WPW.

Aritmia jantung biasanya diklasifikasikan sebagai takikardia


(supraventrikular atau ventrikel) atau bradikardia.

962 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Aritmia oleh Internis

Perbedaan antara takikardia


Perbedaan supraventrikel
antara takikardia dan ventrikel biasanya
supraventrikel membutuhkan
dan ventrikel biasanya penilaian
Perbedaan
irama atriumantara takikardia
dan ventrikel
membutuhkan supraventrikel
dan irama
penilaian hubungannyadan ventrikel biasanya
satuventrikel
atrium dan sama lain. membutuhkan
satu penilaian
Bradikardia adalah
dan hubungannya ketika
irama
denyutatrium
samadan
jantung ventrikel
terlalu
lain. lambatdan
Bradikardia hubungannya
(kurang
adalah satu jantung
dari 60denyut
ketika denyut sama lain.
per menit). Bradikardia
terlalu Takikardia ketika
adalah ketika
lambat (kurang
denyut jantung
detak jantung terlalu
dariterlalu
60 lambat
cepat
denyut (kurang
(lebih
per dari 60 denyut
dari Takikardia
menit). 100 denyut per
per menit).
adalah menit).
ketika detakTakikardia
(3,7). adalah ketika
jantung terlalu
detak jantung terlalu
cepat (lebihcepat (lebih
dari 100 dari 100
denyut denyut3,7per menit). (3,7).
per menit).

Beberapa skema telah digunakan untuk mengklasifikasikan mekanisme aritmia jantung.


Secara tradisional,
Beberapa skema ini telah
telah
Beberapa dibagi
digunakan
skema menjadi
telah untuk aktivitas
untuknon-reentrant
mengklasifikasikan
digunakan dan reentrant.
mekanisme
mengklasifikasikan (6) jantung.
aritmia
mekanisme
Secara tradisional, ini telahSecara
aritmia jantung. dibagi tradisional,
menjadi aktivitas non-reentrant
ini telah dan aktivitas
dibagi menjadi reentrant.non-
(6)
reentrant dan reentrant. 6

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 963


Taufik Indrajaya

Aritmia Aritmia
yang sering yangdijumpai adalah: (4)
sering dijumpai adalah:4
a. Bradikardia termasuk sinus bradikardia
a. Bradikardia termasuk sinus bradikardia
b. Blok Atrioventricular (AV)
b. Blok
c. Atrial Atrioventricular
prematue beats (APBs) (AV)
d. Ventricular prematurebeats
c. Atrial prematue beats(APBs)
(VPBs)
e. Non
d. Shockable
Ventricularrhytm ( tidakbeats
premature respon terhadap defibrilasi).
(VPBs)
i. Asistol
e. Non Shockable rhytm ( tidak respon terhadap defibrilasi).
ii. PEA
i. Asistol
f. Shockable Rhythm's ( respon terhadap defibrilasi)
i. ii. PEA
Takikardia Ventrikel
f. ii. Shockable
Atrial fibrillation
Rhythm's (AF) dan flutter
( respon atrium
terhadap defibrilasi)
iii. i. Supraventricular tachycardia (SVTs)
Takikardia Ventrikel
iv. Takikardia ventrikel tidak menetap (NSVT)
ii. Atrial fibrillation (AF) dan flutter atrium
v. Ventricular fibrillation (VF)
iii. Supraventricular tachycardia (SVTs)
Aritmia
Diagnosis iv. Takikardia ventrikel tidak menetap (NSVT)
Aritmia
v. kardiak adalahfibrillation
Ventricular diagnosis(VF)
banding yang penting pada pasien dengan palpitasi,
sinkop, hampir sinkop, atau nyeri dada. Palpitasi adalah gejala sensitif tetapi tidak khusus
untuk gejala aritmia.Aritmia
Diagnosis Mereka biasanya berasal dari jinak. Hubungan dengan sinkron, hampir
sinkop atau pusing, lebih mengkhawatirkan. Gejala dilanjutkan dengan perubahan postur atau
Aritmia kardiak adalah diagnosis banding yang penting pada pasien
miksi yang menunjukkan hipotensi atau sinkop miksi. Hubungan dengan gangguan emosi
dengan palpitasi, sinkop, hampir sinkop, atau nyeri dada. Palpitasi adalah
harus dicari, karena kecemasan yang parah dapat menyebabkan episode avasovagal. Gejala
gejala sensitif tetapi tidak khusus untuk gejala aritmia. Mereka biasanya
yang diinduksi latihan dapat menunjukkan stenosis aorta atau takikardia supraventrikular
berasal dari jinak. Hubungan dengan sinkron, hampir sinkop atau pusing, lebih
(SVT). Namun, aktivitas dan kecemasan juga dapat dikaitkan dengan kematian jantung
mengkhawatirkan. Gejala dilanjutkan dengan perubahan postur atau miksi
mendadak karena sindrom QT yang memanpanjangan, dan fitur klinis saja dapat menjadi
yang menunjukkan hipotensi atau sinkop miksi. Hubungan dengan gangguan
prediktor buruk aritmia dalam praktik umum. Fitur risiko tinggi termasuk penyakit
kardiovaskular (CVD), gagal jantung khusus, dan riwayat aritmia ventrikel (VA). (9)
964 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Penilaian aritmia membutuhkan penentuan lokasi gangguan konduksi, irama atrium
dan ventrikel hadir dan hubungan antara impuls atrium dan ventrikel. Ketika menggunakan
Diagnosis Aritmia oleh Internis

emosi harus dicari, karena kecemasan yang parah dapat menyebabkan episode
avasovagal. Gejala yang diinduksi latihan dapat menunjukkan stenosis aorta
atau takikardia supraventrikular (SVT). Namun, aktivitas dan kecemasan juga
dapat dikaitkan dengan kematian jantung mendadak karena sindrom QT yang
memanpanjangan, dan fitur klinis saja dapat menjadi prediktor buruk aritmia
dalam praktik umum. Fitur risiko tinggi termasuk penyakit kardiovaskular
(CVD), gagal jantung khusus, dan riwayat aritmia ventrikel (VA).9

Penilaian aritmia membutuhkan penentuan lokasi gangguan konduksi,


irama atrium dan ventrikel hadir dan hubungan antara impuls atrium dan
ventrikel. Ketika menggunakan lead EKG standar, irama jantung sering paling
dipertimbangkan dari lead II atau V1 saat mereka memberikan amplitudo
gelombang P dan QRS maksimum untuk memungkinkan impulserasi
supraventrikel dan ventrikel harus ditentukan.8 Dalam keadaan yang tidak
biasa, jejak hingga 60 detik mungkin diperlukan.3

Jika dicurigai adanya irama jantung yang abnormal, dokter Anda


mungkin merekomendasikan satu atau lebih tes untuk mendiagnosis aritmia
dan menentukan apakah itu menyebabkan gejala Anda.2 Diagnosis aritmia
dapat menjadi tantangan, khususnya jika pasien tidak memiliki gejala dan
elektrokardiogram normal (EKG) antara episode simtomatik.9

Daftar tes diagnostik yang disebutkan dalam berbagai sumber seperti


yang digunakan dalam diagnosis Aritmia meliputi:2,9
1. Pemeriksaan fisik
2. Stetoskop - auskultasi.
3. Elektrokardiogram (EKG)
a. Resting EKG - adalah tes sederhana yang melacak aktivitas listrik di
jantung.
b. EKG Latihan (stress test) - Beberapa aritmia hanya terjadi saat
pasien berolahraga
c. Pemantauan EKG (Holter) 24 jam - berguna untuk mendeteksi
aritmia yang mungkin terjadi tidak terjadi selama EKG istirahat,
biasanya merekam selama 24 hingga 48 jam, sementara pasien
dalam kegiatan normal sehari-hari.
d. Monitor Event - mirip dengan monitor Holter tetapi tidak merekam
jantung irama terus menerus, hanya merekam irama jantung ketika

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 965


Taufik Indrajaya

detak jantung cepat atau lambat anabnormal terjadi atau ketika


Anda mengaktifkannya
e. Monitor implan - adalah perangkat kecil yang dimasukkan di bawah
kulit (mirip dengan alat pacu jantung) dan berfungsi seperti monitor
acara.
f. Pemantauan transtelephonic
4. Prosedur pencitraan:
a. Echocardiogram dan Transesophageal Echocardiogram - yang
memungkinkan untuk melihat apakah jantung berfungsi secara
normal
b. Magnetic resonance imaging (MRI) - mengevaluasi struktur dan
fungsi jantung
c. Pemindaian computed tomography (CT) dilakukan mendeteksi
penyakit arteri koroner, mengevaluasi penyakit jantung bawaan,
dan dapat digunakan untuk mengevaluasi jantung pasien sebelum
ablasi kateter yang kompleks.
d. Positron emission tomography (PET scan) - untuk mengidentifikasi
peradangan di jantung atau tubuh. Ini adalah alat yang penting untuk
mendiagnosis cardiacsarcoidosis.
e. Magnetic resonance imaging (MRI) - tes diagnostik yang berguna
untuk berbagai jenis masalah medis.
5. Tes tilt table - untuk mendiagnosis kelainan pengaturan tekanan darah
yang menyebabkan “pingsan,” yang disebut oleh berbagai nama termasuk
sinkop yang dimediasi neurologis, sinkop neurokardiogenik, atau sinkop
vasovagal. Pengujian tabel miring juga berguna untuk mendiagnosis
sindrom takikardia ortostatik postural (POTS).

6. Studi elektrofisiologi (EPS) - beberapa aritmia sulit didiagnosis dan


mungkin memerlukan tes ini.

Lebih dari 100 tahun setelah penemuannya, 12-lead ECG masih


merupakan alat yang paling sering digunakan dalam praktik klinis. ECG 12-
lead masih menjadi alat yang paling banyak digunakan dalam praktik klinis
kardiologi. Mempertimbangkan kemudahannya dalam mendeskripsikan
aksesibilitas aritmia, biaya rendah dan informasi yang disediakannya, ia tetap
menjadi titik awal untuk diagnosis dan prognosis.8

966 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Aritmia oleh Internis

EKG berguna untuk tiga parameter dasar yang menarik secara klinis
yaitu: irama dan laju jantung, poros jantung, dan keadaan otot miokard. Itulah
sebabnya aritmia dapat digambarkan dari karakteristik berikut:
1. Rate (mis. Takikardia atau bradikardia)
a. Takikardia didefinisikan sebagai tiga atau lebih impuls berturut-
turut dari alat pacu jantung yang sama pada tingkat yang melebihi
100 bpm pada orang dewasa (mis. Usia > 8 tahun).
b. Bradikardia didefinisikan sebagai tiga atau lebih impuls berturut-
turut dari alat pacu jantung yang sama pada laju kurang dari 60 bpm.
2. Rhythm (mis. Reguler atau tidak teratur)
3. Asal usul impuls (yaitu, alat pacu jantung supraventrikular, ventrikel,
atau buatan)
4. Konduksi impuls (mis. Atrioventrikular, ventrikulo-atrium, atau blok)
5. Kecepatan ventrikel
6. Fenomena khusus (mis. Pre-excitation)

ECG 12-lead dan strip irama standar adalah alat yang paling mudah
diakses untuk diagnosis gangguan irama jantung. Langkah pertama
mendiagnosis aritmia adalah pengenalan gelombang P dan morfologi QRS dan
waktu relatif mereka mungkin satu-satunya informasi yang diperlukan untuk
mendiagnosis aritmia dengan benar. (lihat gambar di atas).

Untuk mendiagnosis irama jantung sinus, kita harus dapat menjawab


lima (5) pertanyaan di bawah ini:
1. Apa ritme atriumnya? (Gelombang P)
2. Apa ritme ventrikel? (QRS)
3. Apakah konduksi AV normal? (P - QRS)
4. Apakah ada kompleks yang tidak biasa?
5. Apakah ritme berbahaya?

Kadang tidak mudah membedakan aritmia supraventrikular dan


ventrikel. Tabel ini mungkin dapat melakukan ini. (lihat tabel di bawah)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 967


Taufik Indrajaya

Kesimpulan
Manajemen aritmia tergantung pada interpretasi EKG, dan jika ada
keraguan tentang diagnosis, masuk akal untuk mencari pendapat kedua
atau laporan resmi dari seseorang yang berpengalaman dalam interpretasi
EKG. Artikel ini berupaya menyoroti secara singkat masalah-masalah
utama bagi para praktisi umum pedesaan. Rujukan ke spesialis dan / atau
pedoman konsensus yang dipublikasikan untuk aritmia jantung sesuai ketika
mempertimbangkan pengobatan dalam kasus-kasus sulit.9

Diagnosis aritmia jantung difasilitasi oleh skema interpretatif yang sesuai


yang didasarkan pada kecepatan, keteraturan, dan morfologi kompleks.
Informasi ini kemudian digunakan untuk membuat keputusan pengobatan
yang didasarkan pada insiden aritmia, asosiasi penyakit, dan hasil. Akurasi
jelas merupakan faktor penting, karena intervensi terapeutik yang tidak tepat
mungkin memiliki gejala sisa terkait yang signifikan.15

Daftar Pustaka
1. Parr M, 2011. Liverpool Hospital. ICU Guideline: Arrhythmia Management
Intensive Care Unit Systems_Cardiovascular.
2. Tse G. Mechanisms ofcardiacarrhythmias. Journal ofArrhythmia32(2016)75–81.
3. VUKMIR RB. Cardiac Arrhythmia Diagnosis. AMERICAN JOURNAL OF EMERGENCY
MEDICINE • Volume 13, Number 2 • March 1995.
4. European Heart Rhythm Association/Heart Failure Association joint consensus
document on arrhythmias in heart failure, endorsed by the Heart Rhythm Society
and the Asia Pacific .Heart Rhythm Society .Europace (2016) 18, 12–36.
5. Cruickshank J. Initial management of cardiac arrhythmias. Australian Family
Physician Vol. 37, No. 7, July 2008 517.
6. Calkins H, Fortuin NJ. J ohn s Ho p k i n s Ar rhy thmi a S e r v i c e.
7. Cardiovascular Conditions. 2015, American Heart Association.
8. WORTHLEY DD. Cardiac Arrhythmias: Diagnosis and Management. The
Tachycardias Department of Critical Care Medicine, Flinders. Critical Care and
Resuscitation 2002; 4: 35-53).
9. Caterina Rizzo, Francesco Monitillo, Massimo Iacoviello. 12-lead electrocardiogram
features of arrhythmic risk: A focus on early repolarization. World J Cardiol 2016
August 26; 8(8): 447-455.

968 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Komprehensif Aritmia
Simon Salim
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Aritmia merupakan suatu kondisi yang menunjukkan adanya irama
jantung yang tidak teratur atau iregular (di luar irama jantung yang normal).1
Atrial fibrilasi merupakan jenis aritmia yang paling sering terdiagnosis di
seluruh dunia.2,3 Insiden atrial fibrilasi pada populasi dalam waktu 20 tahun
adalah 2%.3,4 Terjadi peningkatan prevalensi atrial fibrilasi sebesar 14.4%
dalam rentang waktu 10 tahun.3

Prevalensi terjadinya aritmia semakin meningkat seiring dengan


peningkatan usia. Beberapa jenis takiaritmia yang sering terjadi pada pasien
usia lanjut (>60 tahun), antara lain atrial fibrilasi (2 kali/10 tahun), atrial
flutter (3 kali)6, dan ventrikular takikardia (1.3 kali). Beberapa jenis aritmia
lainnya yang terus meningkat prevalensinya seiring dengan peningkatan usia,
yaitu kompleks atrial prematur, kompleks ventrikular prematur, bradiaritmia,
disfungsi sinus nodal, sick sinus syndrome, dan inkompetensi kronotropik.
Estimasi kejadian aritmia pada pasien usia lanjut (>65 tahun) di Indonesia
pada tahun 2020 adalah 6.2% (16.8 juta orang).11

Tatalaksana pada pasien dengan aritmia bersifat sangat kompleks, yang


meliputi tatalaksana nonfarmakologis dan tatalaksana farmakologis. Perlu
ditekankan bahwa tatalaksana pada seorang pasien dengan aritmia dan
untuk mengurangi risiko kematian jantung mendadak pada seorang pasien
dengan aritmia, dibutuhkan pendekatan secara komprehensif pada berbagai
aspek. Selain itu, dalam pemberian terapi aritmia perlu dipertimbangkan
adanya komorbid pada masing-masing pasien, dimana hal tersebut sangat
mempengaruhi tenaga medis dalam pengambilan keputusan pemberian
terapi.12

Jenis Aritmia
Jenis aritmia terdiri dari supraventrikular takikardia dan ventrikular
takikardia, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 sebagai berikut.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 969


Jenis Aritmia
Jenis aritmia terdiri dari supraventrikular takikardia dan ventrikular takikardia, se
yang ditunjukkan
Simon Salim pada Gambar 1 sebagai berikut.

Gambar 1. Jenis Aritmia13,14


Gambar 1. Jenis Aritmia13,14
Mekanisme Aritmia
Mekanisme terjadinya aritmia terdiri dari reentry, automaticity, dan
triggered activity.

1. Reentry
Reentry secara fundamental berbeda dengan automaticity atau triggered
activity pada mekanisme terjadinya aritmia jantung, dimana reentry yang
menginisiasi dan mempertahankan aritmia jantung. Pergerakan circus
pada mekanisme reentry terjadi ketika aktivasi gelombang merambat di
sekitar hambatan atau inti anatomi atau fungsional, dan terjadi reeksitasi
di lokasi asal. Pada tipe reentry ini, semua sel berhenti tereksitasi secara
bergantian, sehingga sel-sel tersebut akan tereksitasi kembali saat
gelombang berikutnya tiba. Sebaliknya, refleksi dan fase 2 reentry terjadi
pada kondisi dimana terdapat perbedaan pemulihan yang besar dari
refractoriness antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Lokasi dengan
pemulihan yang lebih lambat berfungsi sebagai elektroda virtual yang
menyebabkan terjadinya eksitasi pada sel-sel di sekitarnya yang sudah
pulih, sehingga terjadilah reentrant reexcitation. Selain itu, reentry juga
dapat diklasifikasikan menjadi reentry anatomi dan fungsional, meskipun
ada zona abu-abu dimana faktor anatomi dan fungsional penting dalam
menentukan karakteristik reentrant excitation.15

970 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Komprehensif Aritmia

2. Automaticity
Automaticity pada sel jantung menghasilkan potensial aksi secara
spontan. Automaticity yang abnormal, meliputi penurunan automaticity
yang menyebabkan bradikardia, dan peningkatan automaticity yang
menyebabkan takikardia. Aritmia yang disebabkan oleh automaticity
yang abnormal dapat terjadi melalui beragam mekanisme. Perubahan
sinus rate dapat disertai dengan pergeseran asal pacu jantung dominan
dalam sinus node atau lokasi pacu jantung subsidiary di lokasi lain
di atrium. Impuls konduksi keluar dari mode SA dapat terganggu
atau terblok karena penyakit atau peningkatan aktivitas vagal yang
menyebabkan terjadinya bradikardia. Ritme AV junctional terjadi
ketika pacu jantung AV junctional terletak pada AV node atau bundel
His mengalami percepatan untuk melebihi laju SA node, atau ketika
laju aktivasi SA node terlalu lambat untuk menekan pacu jantung AV
junctional. Bradikardia dapat terjadi pada struktur jantung yang normal
karena mutasi genetik (seperti mutasi hiperpolarisasi yang diaktifkan
oleh nucleotide-gated channel (HCN4) yang mengakibatkan abnormalitas
mekanisme automaticity pada membrane clock atau Ca clock.15

3. Triggered Activity
Ketika amplitudo early afterdepolarization (EAD) atau delayed
afterdepolarization (DAD) cukup untuk membawa membran ke ambang
potensialnya, terjadi potensial aksi spontan yang disebut sebagai triggered
activity. Triggered activity ini menyebabkan terjadinya ekstrasistol, yang
dapat memicu terjadinya takiaritmia.15

Tatalaksana Aritmia
Tatalaksana pada aritmia bersifat kompleks, meliputi mulai dari
tatalaksana nonfarmakologis hingga tatalaksana farmakologis, yaitu
modifikasi gaya hidup, terapi farmakologis (beta blocker, calcium channel
blocker, digoksin, propafenon, flecainide, amiodaron), radiofrequency catheter
ablation (RFCA), serta terapi dengan device (permanent pacemaker (PPM),
implantable cardioverter defibrillator (ICD), cardiac resynchronization therapy
(CRT)).

1. Modifikasi Gaya Hidup


Beberapa jenis aritmia dapat dilakukan tatalaksana nonfarmakologis
berupa modifikasi gaya hidup, di samping tatalaksana dengan terapi

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 971


Simon Salim

farmakologis ataupun tatalaksana lainnya dengan kateter ablasi dan


device. Beberapa perubahan gaya hidup yang dapat disarankan untuk
pasien dengan aritmia, antara lain:

a. Berhenti merokok
Berdasarkan beberapa penelitian, berhenti merokok dapat menurunkan
risiko terjadinya AF hingga 36%.16 . Insiden AF 1.58 kali (95% CI, 1.35–
1.85) lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok.
Selain itu, risiko terjadinya AF 1.32 kali (95% CI, 1.10–1.57) lebih tinggi
pada bekas perokok dan 2 kali lebih tinggi pada perokok aktif (HR,
2.05; 95% CI, 1.71–2.47) dibandingkan bukan perokok.17 Di samping
dapat menurunkan risiko AF, berhenti merokok juga direkomendasikan
untuk menurunkan risiko terjadinya kompleks ventrikular
prematur.18Seseorang dengan riwayat merokok lebih banyak mengalami
kompleks ventrikular prematur (OR, 1,31; 95% CI, 1,02-1,68; P = 0,04).
daripada yang tidak pernah merokok.19

b. Kontrol hipertensi
Kontrol tekanan darah pada pasien dengan hipertensi sangat penting
dilakukan karena dapat menurunkan risiko mengalami AF16 dan kompleks
ventrikular prematur.18 Pasien dengan hipertensi memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami AF (OR 3.15, 95% CI 1.52–6.56).20 Selain itu,
peningkatan tekanan darah sistolik juga berkaitan dengan peningkatan
kejadian kompleks ventrikular prematur sebesar 9% (95% CI, 2%-17%;
P = 0,01), begitu pula dengan peningkatan tekanan darah diastolik (OR
per peningkatan SD, 1,16; 95% CI, 1,02-1,31; P = 0,02).19

c. Menghindari konsumsi alkohol


Menghindari konsumsi alkohol sangat direkomendasikan untuk
menurunkan risiko terjadinya beberapa jenis aritmia karena konsumsi
alkohol 1 kali sehari secara rutin secara statistik dapat meningkatkan
risiko terjadinya AF hingga 10% (RR 1.08; 95% CI: 1.06-1.10).16 Selain itu,
menghindari konsumsi alkohol direkomendasikan untuk menurunkan
risiko terjadi kompleks ventrikular prematur.18 Seseorang yang
mengkonsumsi alkohol secara rutin mengalami kontraksi ventrikular
prematur yang lebih tinggi (OR 1.731; 95% CI: 1.146-2.633, P = 0.009
dibandingkan dengan yang tidak rutin mengkonsumsi alkohol.21

972 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Komprehensif Aritmia

d. Tidur cukup dan teratur


Kurang tidur secara akut (dapat meningkatkan risiko AF sebesar 3.36
kali), baik dari obstructive sleep apnea (OSA) (risiko AF 4 kali lebih
tinggi) atau tidak cukup tidur, dapat menjadi faktor risiko AF lainnya.
Adanya OSA (HR: 2.79, CI: 1.97-3.94, p < 0.0001) dan sleep apnea yang
tidak dilakukan pengobatan (HR: 1.61, CI: 1.35-1.92, p < 0.001) juga
berkaitan dengan rekurensi AF. Oleh karena itu, tidur cukup dan teratur
dapat menurunkan risiko terjadinya AF.16 Selain itu, seseorang dengan
insomnia lebih banyak yang mengalami kontraksi ventrikular prematur
(OR 1.569; 95% CI: 1.023-2.422, P = 0.040) ketika dibandingkan dengan
seseorang tanpa insomnia.21

e. Kontrol diabetes
Kontrol diabetes sangat penting dilakukan untuk menurunkan risiko
terjadinya AF, karena semakin tinggi kadar HbA1c dan semakin lama
durasi diabetes, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya AF.16 Pasien
dengan diabetes memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami AF (OR
2.33, 95% CI 1.20–4.54).20

f. Diet
Diet tradisional Mediterania (terutama nabati dengan ikan dan tanpa
tambahan gula/pemanis lainnya, makanan olahan, minyak zaitun,
kacang-kacangan, buah-buahan, serta sayur-sayuran) dapat mengurangi
risiko terjadinya AF dan kejadian serebrovaskular.16 Pada penelitian US-
based Cardiovascular Health, pada pasien yang berusia >65 tahun yang
mengkonsumsi tuna yang lebih banyak atau ikan lainnya yang tidak
goreng dikaitkan dengan risiko AF yang lebih rendah (5+ porsi/minggu
vs <1 porsi/bulan, RR = 0,7; 95% CI 0,53-0,93).22

g. Pencegahan obesitas
Berdasarkan penelitian LEGACY, penurunan berat badan menunjukan
penurunan risiko seseorang untuk mengalami AF.16 Kelebihan berat
badan dan obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko AF masing-
masing sebesar 18% (HR 1,18; 95% CI 1,03-1,35) dan 59% (HR 1,59,
95% CI 1,37-1,84).22

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 973


Simon Salim

h. Berpikiran positif dan manajemen stres


Secara berurutan, kesedihan, kemarahan, stres, ketidaksabaran dan
kecemasan telah menunjukkan hubungan dengan risiko terjadinya
AF. Prevalensi AF ditemukan mengalami peningkatan seiring dengan
tingkatan stress yang lebih tinggi (tidak ada: OR = 1,0, referensi; stres
ringan: OR = 1,12, 95% CI = 0,98, 1,27; stres sedang: OR = 1,27, 95% CI
= 1,11, 1,47; stres berat: OR = 1,60, 95% CI = 1,39, 1,84). Yoga menjadi
salah satu teknik relaksasi yang telah berhasil menunjukkan penurunan
kejadian AF sebanyak hampir 24%.16

i. Aktivitas fisik
Tidak hanya yoga saja, tetapi aktivitas fisik lainnya dalam bentuk apapun
mulai dari bangun dan berjalan hingga latihan formal secara rutin,
serta aktivitas fisik dalam segala bentuk dapat membantu mengurangi
risiko AF, kecuali latihan kompetitif yang berat.16 Aktivitas fisik dapat
menurunkan beberapa risiko AF yang lebih tinggi pada seseorang yang
obesitas (HR 1,53, 95% CI 1,03-2,28 pada obesitas yang aktif dan HR 1,96,
95% CI 1,44-2,67 pada obesitas yang tidak aktif) dibandingkan dengan
seseorang yang aktif dengan berat badan normal.22 Kurangnya aktivitas
fisik juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kontraksi atrial prematur
(RR: 0,69, 95% CI 0,54-0,87, p <0,002).8 Di samping itu, kurangnya
atau tidak melakukan aktivitas fisik mengalami kompleks ventrikular
prematur 15% lebih tinggi dibandingkan yang rutin melakukan aktivitas
fisik (95% CI, 3-25%; P = 0,02).19

2. Terapi Farmakologis
a. Beta Blocker (V-W Kelas II)
Oleh karena profil keamanan dam efektivitas beta blocker yang
sangat baik dalam penatalaksanaan ventrikular aritmia dan
mengurangi risiko kematian jantung mendadak, maka beta blocker
seringkali digunakan sebagai terapi anti-aritmia lini pertama. Efikasi
beta blocker sebagai anti-arimtia berhubungan dengan efek blokade
reseptor adrenergik pada mekanisme pemicu yang dimediasi secara
simpatik, memperlambat sinus rate, dan inhibisi pelepasan kalsium
berlebih oleh reseptor rianodin.14,18–20
Pada pasien dengan VT polimorfik post infark miokard, beta
blocker mengurangi mortalitas. Beta blocker menekan ventrikular
aritmia pada beberapa pasien tanpa kelainan struktural jantung.

974 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Komprehensif Aritmia

Ketika digunakan dalam kombinasi dengan obat anti-aritmia yang


menstabilkan membran, beta blocker dapat meningkatkan efikasi
anti-aritmia. Beta blocker (seperti nadolol, propranolol) juga
merupakan terapi lini pertama untuk beberapa kanalopati jantung
(seperti sindrom QT panjang, ventrikel takikardia polimorfik
katekolaminergik).14

b. Calcium Channel Blocker (V-W Kelas IV)


Untuk tatalaksana sebagian besar ventrikular aritmia, calcium
channel blocker nondihidropiridin tidak memiliki peran. Ca channel
blocker berkerja dengan memblok kanal kalsium tipe L dari nodus
AV, sehingga dapat mengontrol ventricular rate. Verapamil intravena
yang diberikan pada pasien VT berkelanjutan telah dikaitkan dengan
kejadian kolaps hemodinamik, terutama pada pasien dengan riwayat
infark miokard sebelumnya Untuk pasien tanpa kelainan struktural
jantung, verapamil atau diltiazem dapat menekan beberapa outflow
tract. Verapamil oral dan intravena efektif dalam mengobati
idiopathic interfascicular reentrant LVT. Calcium channel blocker
tidak boleh diberikan pada pasien VT dengan HfrEF.14 Beberapa
efek samping yang dapat terjadi pada pasien usia lanjut, seperti
bradikardi, konstipasi berat, hipotensi, serta erupsi eczema kronik.21

c. Digoksin (Agonis Muskarinik)


Digoksin memiliki efek kronotropik negatif dan inotropik positif.22
Digoksin membatasi konduksi melalui nodus AV (pada waktu
istirahat), akan tetapi efek tersebut akan berkurang dalam kondisi
penyakit akut atau aktivitas fisik.23 Pada pasien usia lanjut, akan
terjadi penurunan drug clearance pada penggunaan digoksin dan
peningkatan risiko toksisitas digitalis. Oleh karena itu, pada pasien
usia lanjut, dibutuhkan dosis digoksin yang lebih rendah untuk
mencapai efek terapeutik.24

d. Propafenon (V-W Kelas I c)


Propafenon merupakan salah satu obat golongan sodium channel
blocker yang bekerja dengan cara menekan fase 0 pada potensial
aksi jantung.23 Propafenon bekerja secara efektif pada pasien
tanpa kelainan struktural jantung yang dilakukan kardioversi.25
Propafenon seringkali digunakan untuk kardioversi pada atrial
fibrilasi.20 Selain itu, propafenon juga efektif apabila digunakan,
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 975
Simon Salim

baik pada kasus supraventrikular maupun ventrikular takiaritmia.26


Loading dose propafenon efektif dan memiliki profil keamanan yang
baik bila digunakan oleh pasien usia lanjut.27

e. Flecainide (V-W Kelas I c)


Flecainide merupakan golongan sodium channel blocker yang
memiliki efek sangat poten.21 Sama seperti propafenon, flecainide
juga bekerja dengan menekan fase 0 pada potensial aksi jantung.23
Flecainide efektif digunakan pada pasien tanpa kelainan struktural
jantung yang dilakukan kardioversi.25 Di samping itu, flecainide
sangat efektif digunakan sebagai terapi atrial fibrilasi dan kontraksi
ventrikular prematur. Akan tetapi, penggunaan flecainide pada
pasien usia lanjut membutuhkan pengawasan karena adanya
komorbid dengan gangguan jantung, ginjal, maupun hepar.21

f. Amiodaron (V-W Kelas III)


Amiodaron adalah obat anti-aritmia yang paling poten (Dayer
2002) dengan mekanisme kerja terutama memblok kanal potasium,
sehingga menyebabkan pemanjangan potensial aksi dan interval QT.
Pemeriksaan skrining yang direkomendasikan sebelum penggunaan
amiodaron, seperti pemeriksaan fungsi paru, fungsi tiroid, fungsi
liver, dan rontgen thorax.21 Beberapa efek samping yang dapat
terjadi akibat penggunaan amiodaron seperti pada Tabel 1 sebagai
berikut.
28
Tabel 1. Efek SampingTabel
Amiodaron
1. Efek Samping Amiodaron28

3. Radiofrequency Catheter Ablation (RFCA)


976 Radiofrequency catheter Pertemuan (RFCA)
ablation Ilmiah merupakan
Nasional XVII PAPDIsuatu prosedur
- Surabaya 2019 yang
menggunakan energi radiofrekuensi untuk merusak sebagian kecil area dari jaringan jantung
yang menyebabkan denyut jantung yang cepat dan iregular, sehingga membantu
mengembalikan irama jantung yang regular. (Gambar 2) RFCA dapat mengurangi rekurensi
Terapi Komprehensif Aritmia

3. Radiofrequency Catheter Ablation (RFCA)


Radiofrequency catheter ablation (RFCA) merupakan suatu prosedur
yang menggunakan energi radiofrekuensi untuk merusak sebagian
kecil area dari jaringan jantung yang menyebabkan denyut jantung
yang cepat dan iregular, sehingga membantu mengembalikan irama
3. Radiofrequency Catheter Ablation (RFCA)
jantung yang regular. (Gambar 2) RFCA dapat mengurangi rekurensi AF
Radiofrequency catheter ablation (RFCA) merupakan suatu prosedur yang
dan memperbaiki
menggunakan kualitas untuk
energi radiofrekuensi hidupmerusak
pasiensebagian
dengan kecil
aritmia
area dibandingkan
dari jaringan jantung
yang dengan
menyebabkan denyut jantung
obat anti-aritmia. 29 yangitu,cepat
Selain RFCAdan jugairegular,
merupakan sehingga membantu
prosedur
mengembalikan irama jantung yang regular. (Gambar 2) RFCA dapat
yang aman dan efektif bagi pasien usia lanjut. Tidak diperlukan terapi
30 mengurangi rekurensi
AF dan memperbaiki kualitas hidup pasien dengan aritmia dibandingkan dengan obat anti-
aritmia.antikoagulan
29 setelah
Selain itu, RFCA jugaprosedur
merupakankateter
prosedurablasi, sehingga
yang aman cocokbagi
dan efektif dengan
pasien usia
30
lanjut. pasien
Tidakusia lanjut yang
diperlukan terapitidak selalu merupakan
antikoagulan kandidat
setelah prosedur yang
kateter ideal
ablasi, untuk cocok
sehingga
denganterapi
pasienantikoagulan.
usia lanjut yang
31 tidak selalu merupakan kandidat yang ideal untuk terapi
antikoagulan.31

Gambar 2. Radiofrequency Catheter Ablation


Gambar 2. Radiofrequency Catheter Ablation

Beberapa indikasi kateter ablasi, antara lain:32,33


• Kompleks ventrikular prematur
- Gagal/intoleransi/kontraindikasi dengan terapi
medikamentosa.
- Kompleks ventrikular prematur dengan morfologi tunggal/
dominan.
- Disfungsi ventrikel kiri reversibel.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 977


Simon Salim

• Ventrikular takikardia tidak berkelanjutan tanpa adanya kelainan


jantung struktural
- Ventrikular takikardia tidak berkelanjutan idiopatik yang
simptomatik dan refrakter terhadap obat, terutama jika
diinduksi oleh aktivitas fisik.
• Ventrikular takikardia monomorfik berkelanjutan
- Ventrikular takikardia monomorfik berkelanjutan rekuren
dengan penyakit jantung iskemik.
• Ventrikular takikardia polimorfik berkelanjutan/ventrikular
fibrilasi (VF)
- Ventrikular takikardia polimorfik berkelanjutan atau VF
rekuren, dimana terdapat kompleks ventrikular prematur
dengan morfologi yang konsisten (atau jumlah morfologi yang
terbatas) yang menginduksi terjadinya aritmia tersebut.
• VT/VF storm
- Terjadi syok rekuren meskipun telah dilakukan tatalaksana akut
setelah koreksi ketidakseimbangan metabolisme, respirasi,
dan sirkulasi, serta uji coba obat anti-aritmia (segera setelah
dirawat di rumah sakit dalam waktu 48 jam).
• Aritmia ventrikular pada kelainan jantung kongenital
- Paska-operasi VT dan VF pada left ventricular assist device
(LVAD) yang cenderung refrakter terhadap terapi obat anti-
aritmia.
- Ventrikular takikardia monomorfik berkelanjutan dengan
kelainan jantung kongenital.
• Atrial fibrilasi (AF)
- AF simptomatik yang refrakter atau intoleransi pada minimal 1
obat golongan anti-aritmia kelas I atau III.
- AF paroksismal

Hasil yang menguntungkan setelah kateter ablasi telah dibuktikan pada


beberapa jenis aritmia, seperti AF31, atrial flutter34, SVT paroksismal35, dan
VT36. Tingkat keberhasilan akut kateter ablasi pada masing-masing jenis
aritmia, yaitu AVNRT (95% dari 262 pasien)37 AVNRT dengan kelainan
jantung kongenital (92% dari 39 pasien)38 AT dengan kelainan jantung
kongenital (89% dari 124 pasien), atrial flutter (95% dari 20 pasien
978 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Terapi Komprehensif Aritmia

pada kelompok yang menggunakan kateter dengan ujung elektrode 4-5


mm; 80% dari 20 pasien pada kelompok yang menggunakan kateter
dengan ujung elektrode 8 mm; 91,7% pada prosedur tunggal; 97% pada
prosedur multipel), atrial fibrilasi (57% (95% CI, 50-64%) pada prosedur
tunggal tanpa obat anti-aritmia; 77% (95% CI, 73-81%) pada prosedur
multipel dengan obat anti-aritmia)39, kompleks ventrikular prematur
(74-100%)32, serta ventrikular takikardia (78% dari 332 pasien pada VT
total; 82.1% dari 117 pasien pada VT dengan SNH; 75.8% dari 215 pasien
pada VT dengan SHD).40

Tabel 2. Tingkat Keberhasilan Kateter Ablasi


Jenis Aritmia Tingkat Keberhasilan Tingkat Rekurensi (1 tahun)
AP/WPW 91-92%47,48 4.9-17%49,50
AVNRT 97-99% 47,48
1.3-4.5%47,51,52
AT 80-90%47–50 12-17.4%47,52
CTI 95-98.4%47,49 5.9%47
AF 85-97% 47,51
16.1-45.9%47,49,52,56,57
AVN 97-99%47,48 2.4%47
PVC 82-83%47,52 13%47
VT 80-86% 47,53
5.7-18%47,49
Atrial Flutter 90-92%47,48,50 8.6-40%52,60

4. Terapi dengan Device


a. Permanent Pacemaker (PPM)
Sebanyak 70-80% permanent pacemaker (PPM) digunakan oleh
pasien usia lanjut yang berusia >65 tahun.42 Beberapa indikasi
pemasangan PPM, antara lain bradikardia simptomatik, AV blok
derajat 3 simptomatik dan derajat 2 berat, serta AV blok derajat 3
asimptomatik persisten pada lokasi anatomik manapun.43

b. Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD)


Implantable cardioverter defibrillator (ICD) diindikasikan sebagai
pencegahan primer pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi
ventrikel kiri. ICD dapat menurunkan risiko relatif kematian akibat
aritmia sebesar 50% dan menurunkan risiko relatif kematian akibat
semua penyebab sebesar 25%.43 Penurunan mortalitas pada pasien
berusia >75 tahun lebih tinggi dibandingkan pada pasien berusia
lebih muda (45% vs 34%).44

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 979


Simon Salim

c. Cardiac Resynchronization Therapy (CRT)


Cardiac resynchronization therapy (CRT) direkomendasikan pada
beberapa kondisi, seperti disfungsi sistolik ventrikel kiri berat (fraksi
ejeksi ≤35%), durasi QRS ≥120 ms (terutama LBBB), dan gagal
jantung simptomatik (meskipun telah diberikan terapi medis yang
optimal).45 Penggunaan CRT meningkat seiring dengan peningkatan
usia, yaitu 15% pada pasien berusia <40 tahun dan 40% pada pasien
>80 tahun.46 Terapi CRT pada pasien usia lanjut sangat mungkin
untuk dilakukan dan dapat terjadi perbaikan yang signifikan pada
fungsi kardiak dan status klinis.47 Namun manfaat komponen “D”
pada CRT-D kemungkinan tidak sebaik komponen CRT.46

Gambar2.2.
Gambar Cardiac
Cardiac Resynchronization
Resynchronization (CRT) (CRT)
Therapy
Therapy

Kesimpulan
Kesimpulan
Terapi pada aritmia bersifat sangat kompleks, dimulai dari terapi nonfarmakologis
hingga terapi farmakologis.
Terapi Akanbersifat
pada aritmia tetapi, terapi
sangatfarmakologis memilikidari
kompleks, dimulai keterbatasan
terapi dalam
penggunaannya akibat efek
nonfarmakologis samping
hingga terapiyang dapat terjadi.
farmakologis. AkanAblasi
tetapi,dan terapi
terapi dengan device lebih
farmakologis
aman dan efektif, terutama pada pasien usia lanjut.
memiliki keterbatasan dalam penggunaannya akibat efek samping yang dapat
terjadi. Ablasi dan terapi dengan device lebih aman dan efektif, terutama pada
Daftar Pustaka
pasien usia lanjut.
1. Spodick DH, Raju P, Bishop RL, Rifkin RD. Operational definition of normal sinus heart
rate. Am J Cardiol. 1992 May;69(14):1245–6.
980 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
2. Go AS, Hylek EM, Phillips KA, et al. Prevalence of diagnosed atrial fibrillation in adults:
national implications for rhythm management and stroke prevention: the AnTicoagulation
and Risk Factors in Atrial Fibrillation (ATRIA) Study. JAMA. 2001 May
Terapi Komprehensif Aritmia

Daftar Pustaka
1. Spodick DH, Raju P, Bishop RL, Rifkin RD. Operational definition of normal sinus
heart rate. Am J Cardiol. 1992 May;69(14):1245–6.
2. Go AS, Hylek EM, Phillips KA, et al. Prevalence of diagnosed atrial fibrillation in
adults: national implications for rhythm management and stroke prevention: the
AnTicoagulation and Risk Factors in Atrial Fibrillation (ATRIA) Study. JAMA. 2001
May 9;285(18):2370–5.
3. Patel NJ, Deshmukh A, Pant S, et al. Contemporary trends of hospitalization for atrial
fibrillation in the United States, 2000 through 2010: implications for healthcare
planning. Circulation. 2014 Jun 10;129(23):2371–9.
4. Kannel WB, Abbott RD, Savage DD, McNamara PM. Epidemiologic features
of chronic atrial fibrillation: the Framingham study. N Engl J Med. 1982 Apr
29;306(17):1018–22.
5. Roberto AF, Ronaldo FR, Silvio CS. Atrial fibrillation in the elderly: Atrial fibrillation
in the elderly. J Geriatr Cardiol. 2012 Jul 20;9(2):91–100.
6. Granada J, Uribe W, Chyou P-H, Maassen K, Vierkant R, Smith PN, et al. Incidence
and predictors of atrial flutter in the general population. J Am Coll Cardiol. 2000
Dec;36(7):2242–6.
7. Sirichand S, Killu AM, Padmanabhan D, Hodge DO, Chamberlain AM, Brady PA, et
al. Incidence of Idiopathic Ventricular Arrhythmias: A Population-Based Study. Circ
Arrhythm Electrophysiol [Internet]. 2017 Feb [cited 2019 Sep 3];10(2). Available
from: https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/CIRCEP.116.004662
8. Conen D, et al. Premature Atrial Contraction in the General Population Frequency
and Risk Factord. Circulation. 2012;126:2302–8.
9. Chow GV, Marine JE, Fleg JL. Epidemiology of Arrhythmias and Conduction
Disorders in Older Adults. Clin Geriatr Med. 2012 Nov;28(4):539–53.
10. Mirza M, Strunets A, Shen W-K, Jahangir A. Mechanisms of Arrhythmias and
Conduction Disorders in Older Adults. Clin Geriatr Med. 2012 Nov;28(4):555–73.
11. Badan Pusat Statistik, editor. Proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta:
Badan Pusat Statistik; 2013. 458 p.
12.
Kusumoto F. A Comprehensive Approach to Management of Ventricular
Arrhythmias. Cardiol Clin. 2008 Aug;26(3):481–96.
13. Page RL. 2015 ACC/AHA/HRS Guideline for the Management of Adult Patients
With Supraventricular Tachycardia. :69.
14. Al-Khatib SM, Stevenson WG, Ackerman MJ, Bryant WJ, Callans DJ, Curtis AB, et
al. 2017 AHA/ACC/HRS Guideline for Management of Patients With Ventricular
Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death. 2017;120.
15.
Antzelevitch C, Burashnikov A. Overview of Basic Mechanisms of Cardiac
Arrhythmia. Card Electrophysiol Clin. 2011 Mar;3(1):23–45.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 981


Simon Salim

16. Sabzwari SRA, Garg L, Lakkireddy D, Day J. Ten Lifestyle Modification Approaches
to Treat Atrial Fibrillation. Cureus [Internet]. 2018 May 24 [cited 2019 Sep
3]; Available from: https://www.cureus.com/articles/12420-ten-lifestyle-
modification-approaches-to-treat-atrial-fibrillation
17. Chamberlain AM, Agarwal SK, Folsom AR, Duval S, Soliman EZ, Ambrose M, et al.
Smoking and incidence of atrial fibrillation: Results from the Atherosclerosis Risk
in Communities (ARIC) Study. Heart Rhythm. 2011 Aug;8(8):1160–6.
18. Chan AK, Dohrmann ML. Management of Premature Ventricular Complexes. :5.
19. Kerola T, Dewland TA, Vittinghoff E, Heckbert SR, Stein PK, Marcus GM. Modifiable
Predictors of Ventricular Ectopy in the Community. J Am Heart Assoc [Internet].
2018 Nov 20 [cited 2019 Sep 6];7(22). Available from: https://www.ahajournals.
org/doi/10.1161/JAHA.118.010078
20. Sun G, Ma M, Ye N, Wang J, Chen Y, Dai D, et al. Diabetes mellitus is an independent
risk factor for atrial fibrillation in a general Chinese population. J Diabetes Investig.
2016 Sep;7(5):791–6.
21.
Sekizuka H, Miyake H. The Relationship Between Premature Ventricular
Contractions and Lifestyle-Related Habits among the Japanese Working Population
(FUJITSU Cardiovascular and Respiratory Observational Study-1; FACT-1). J
Nippon Med Sch. 2018 Dec 10;85(6):337–42.
22. Gronroos NN, Alonso A. Diet and Risk of Atrial Fibrillation: Epidemiologic and
Clinical Evidence. 2010;21.
23. Garnvik LE, Malmo V, Janszky I, Wisløff U, Loennechen JP, Nes BM. Physical activity
modifies the risk of atrial fibrillation in obese individuals: The HUNT3 study. Eur J
Prev Cardiol. 2018 Oct;25(15):1646–52.
24. Naik A. Beta blockers in arrhythmias When and where to use? Indian Heart J.
2010;62:136–8.
25. Priori SG, Wilde AA, Horie M, Cho Y, Behr ER, Berul C, et al. HRS/EHRA/APHRS
Expert Consensus Statement on the Diagnosis and Management of Patients with
Inherited Primary Arrhythmia Syndromes. Heart Rhythm. 2013 Dec;10(12):1932–
63.
26. Stoschitzky K, Stoschitzky G, Lercher P, Brussee H, Lamprecht G, Lindner W.
Propafenone shows class Ic and class II antiarrhythmic effects. Europace. 2016
Apr;18(4):568–71.
27. Barekatain A, Razavi M. Antiarrhythmic Therapy in Atrial Fibrillation. 2012;39(4):3.
28. Ziff OJ, Kotecha D. Digoxin: The good and the bad. Trends Cardiovasc Med. 2016
Oct;26(7):585–95.
29. Dayer M, Hardman SMC. Special Problems With Antiarrhythmic Drugs in the
Elderly: Safety, Tolerability, and Efficacy. Am J Geriatr Cardiol. 2002;11(6):7.
30. Hon-Chi L, Kristin TL H, Win-Kuang S. Use of antiarrhythmic drugs in elderly
patients: Use of antiarrhythmic drugs in elderly patients. J Geriatr Cardiol. 2011
Oct 20;8(3):184–94.

982 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Komprehensif Aritmia

31. Scannell G. Class 1: Sodium Channel Blockers – Antiarrhythmic Drugs. :11.


32. Capucci A BG. Propafenone in the Treatment of Cardiac Arrhythmias. Drug Saf.
1995;12(1):55–72.
33. Boriani G, Biffi M, Capucci A, Botto GL, Broffoni T, Rubino I, et al. Oral Loading with
Propafenone: A Placebo-Controlled Study in Elderly and Nonelderly Patients with
Recent Onset Atrial Fibrillation. Pacing Clin Electrophysiol. 1998 Nov;21(11):2465–
9.
34. Siddoway LA. Amiodarone: Guidelines for Use and Monitoring. 2003;68(11):8.
35. Shi L-Z, Heng R, Liu S-M, Leng F-Y. Effect of catheter ablation versus antiarrhythmic
drugs on atrial fibrillation: A meta-analysis of randomized controlled trials. Exp
Ther Med. 2015 Aug;10(2):816–22.
36. Lioni L, Letsas KP, Efremidis M, Vlachos K, Giannopoulos G, Kareliotis V, et al.
Catheter ablation of atrial fibrillation in the elderly. :5.
37. Nademanee K, Amnueypol M, Lee F, Drew CM, Suwannasri W, Schwab MC, et al.
Benefits and risks of catheter ablation in elderly patients with atrial fibrillation.
Heart Rhythm. 2015 Jan;12(1):44–51.
38. Pedersen CT, Kay GN, Kalman J, Borggrefe M, Della-Bella P, Dickfeld T, et al. EHRA/
HRS/APHRS Expert Consensus on Ventricular Arrhythmias. Heart Rhythm. 2014
Oct;11(10):e166–96.
39. Calkins H, Hindricks G, Cappato R, Kim Y-H, Saad EB, Aguinaga L, et al. 2017
HRS/EHRA/ECAS/APHRS/SOLAECE expert consensus statement on catheter
and surgical ablation of atrial fibrillation: executive summary. J Interv Card
Electrophysiol. 2017 Oct;50(1):1–55.
40. Anselme F, Saoudi N, Poty H, Douillet R, Cribier A. Radiofrequency Catheter
Ablation of Common Atrial Flutter: Significance of Palpitations and Quality-of-
Life Evaluation in Patients With Proven Isthmus Block. Circulation. 1999 Feb
2;99(4):534–40.
41. Dreifus LS, Pollak SJ. Ablation Therapy of Supraventricular Tachycardia in Elderly
Persons. Am J Geriatr Cardiol. 2005 Jan;14(1):20–5.
42. Vakil K, Garcia S, Tung R, Vaseghi M, Tedrow U, Della Bella P, et al. Ventricular
Tachycardia Ablation in the Elderly: An International Ventricular Tachycardia
Center Collaborative Group Analysis. Circ Arrhythm Electrophysiol [Internet].
2017 Dec [cited 2019 Sep 3];10(12). Available from: https://www.ahajournals.
org/doi/10.1161/CIRCEP.117.005332
43. Schwagten B, Knops P, Janse P, Kimman G, Van Belle Y, Szili-Torok T, et al. Long-
term follow-up after catheter ablation for atrioventricular nodal reentrant
tachycardia: a comparison of cryothermal and radiofrequency energy in a large
series of patients. J Interv Card Electrophysiol. 2011 Jan;30(1):55–61.
44. Upadhyay S, Marie Valente A, Triedman JK, Walsh EP. Catheter ablation for
atrioventricular nodal reentrant tachycardia in patients with congenital heart
disease. Heart Rhythm. 2016 Jun;13(6):1228–37.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 983


Simon Salim

45. Calkins H, Reynolds MR, Spector P, Sondhi M, Xu Y, Martin A, et al. Treatment of


Atrial Fibrillation With Antiarrhythmic Drugs or Radiofrequency Ablation: Two
Systematic Literature Reviews and Meta-Analyses. Circ Arrhythm Electrophysiol.
2009 Aug;2(4):349–61.
46. Tilz RR, Lin T, Eckardt L, Deneke T, Andresen D, Wieneke H, et al. Ablation
Outcomes and Predictors of Mortality Following Catheter Ablation for Ventricular
Tachycardia: Data From the German Multicenter Ablation Registry. J Am Heart
Assoc [Internet]. 2018 Mar 20 [cited 2019 Sep 3];7(6). Available from: https://
www.ahajournals.org/doi/10.1161/JAHA.117.007045
47. Holmqvist F, Kesek M, Englund A, Blomström-Lundqvist C, Karlsson LO, Kennebäck
G, et al. A decade of catheter ablation of cardiac arrhythmias in Sweden: ablation
practices and outcomes. Eur Heart J. 2019 Mar 7;40(10):820–30.
48. O’Hara GE, Philippon F, Champagne J, Blier L, Molin F, Côté J-M, et al. Catheter
ablation for cardiac arrhythmias: A 14-year experience with 5330 consecutive
patients at the Quebec Heart Institute, Laval Hospital. Can J Cardiol. 2007
Oct;23:67B-70B.
49. Lin Y, Wu H-K, Wang T-H, Chen T-H, Lin Y-S. Trend and risk factors of recurrence
and complications after arrhythmias radiofrequency catheter ablation: a nation-
wide observational study in Taiwan. BMJ Open. 2019 May;9(5):e023487.
50.
Mujovic N, Grujic M, et al. Recurrence of atrial fibrillation after successful
radiofrequency catheter ablation of accessory pathway in patients with Wolff-
Parkinson-White syndrome. Srp Arh Celok Lek. 2010 Apr;138(3–4):170–6.
51.
Katritsis DG, et al. Catheter Ablation Of Atrioventricular Nodal Re-Entrant
Tachycardia. Arrhythmia Electrophysiol Rev. 2018 Oct;7(4):230–1.
52. Brachmann J, Lewalter T, Kuck K-H, Andresen D, Willems S, Spitzer SG, et al. Long-
term symptom improvement and patient satisfaction following catheter ablation
of supraventricular tachycardia: insights from the German ablation registry. Eur
Heart J. 2017 May 1;38(17):1317–26.
53. Grubb CS, Lewis M, Whang W, Biviano A, Hickey K, Rosenbaum M, et al. Catheter
Ablation for Atrial Tachycardia in Adults With Congenital Heart Disease. JACC Clin
Electrophysiol. 2019 Apr;5(4):438–47.
54. Kistler PM. Arrhythmias Catheter ablation techniques in. :6.
55. Lubitz SA, Fischer A, Fuster V. Catheter ablation for atrial fibrillation. BMJ. 2008
Apr 12;336(7648):819–26.
56. Pallisgaard JL, Gislason GH, Hansen J, Johannessen A, Torp-Pedersen C, Rasmussen
PV, et al. Temporal trends in atrial fibrillation recurrence rates after ablation
between 2005 and 2014: a nationwide Danish cohort study. Eur Heart J. 2018 Feb
7;39(6):442–9.
57. Sultan A, Lüker J, Andresen D, Kuck KH, Hoffmann E, Brachmann J, et al. Predictors
of Atrial Fibrillation Recurrence after Catheter Ablation: Data from the German
Ablation Registry. Sci Rep. 2017 Dec;7(1):16678.

984 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Terapi Komprehensif Aritmia

58. Latchamsetty R, Yokokawa M, Morady F, Kim HM, Mathew S, Tilz R, et al. Multicenter
Outcomes for Catheter Ablation of Idiopathic Premature Ventricular Complexes.
JACC Clin Electrophysiol. 2015 Jun;1(3):116–23.
59. Mathew S, Saguner AM, Schenker N, Kaiser L, Zhang P, Yashuiro Y, et al. Catheter
Ablation of Ventricular Tachycardia in Patients With Arrhythmogenic Right
Ventricular Cardiomyopathy/Dysplasia: A Sequential Approach. J Am Heart Assoc
[Internet]. 2019 Mar 5 [cited 2019 Sep 6];8(5). Available from: https://www.
ahajournals.org/doi/10.1161/JAHA.118.010365
60. Poty H, et al. Further Insights Into the Various Types of Isthmus Block: Application
to Ablation During Sinus Rhythm. Circulation. 1996 Dec 15;94:3204–13.
61. Bradshaw PJ, Stobie P, Knuiman MW, Briffa TG, Hobbs MST. Trends in the incidence
and prevalence of cardiac pacemaker insertions in an ageing population. Open
Heart. 2014 Dec;1(1):e000177.
62. Bardy GH, Boineau R, Johnson G, Davidson-Ray LD, Ip JH. Amiodarone or an
Implantable Cardioverter–Defibrillator for Congestive Heart Failure. N Engl J Med.
2005;13.
63. Connolly S. Meta-analysis of the implantable cardioverter defibrillator secondary
prevention trials. Eur Heart J. 2000 Dec 15;21(24):2071–8.
64. 2013 ESC Guidelines on cardiac pacing and cardiac resynchronization therapy:
The Task Force on cardiac pacing and resynchronization therapy of the European
Society of Cardiology (ESC). Developed in collaboration with the European Heart
Rhythm Association (EHRA). Eur Heart J. 2013 Aug 1;34(29):2281–329.
65. Kramer DB, Steinhaus DA. Cardiac Resynchronization Therapy in Older Patients:
Age Is Just a Number, and Yet …. J Card Fail. 2016 Dec;22(12):978–80.
66. Mikhaylov EN, Lebedev DS. Cardiac resynchronization in the elderly is beneficial,
but could we implant our devices in old patients safer? :2.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 985


Diagnosis dan Tatalaksana Malaria Berat
Paulus Novian Harijanto
Bagian Penyakit Dalam, RSU Bethesda Tomohon

Pendahuluan
Malaria berat terjadi sebagai komplikasi dari infeksi plasmodium
malaria di mana yang mulanya berlangsung sebagai malaria ringan, tetapi
tidak terdiagnosis ataupun mengalami keterlambatan diagnosis sehingga
terjadi komplikasi sebagai malaria berat. Malaria berat terjadi pada infeksi
Plasmodium (P) falsiparum, P. Vivaks dan P. Knowlesi. Keberhasilan
pengobatan tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis dan pemberian
obat anti malaria, identifikasi kegagalan organ dan fasilitas penanganan
kegagalan organ.

Pengobatan malaria berat yang dulunya menggunakan kina hidroklorid


secara parenteral telah diubah dengan penggunaan artesunat intravena. Hal
ini terjadi setelah hasil penelitian SEQUAMAT & AQUAMAT bahwa pemberian
artesunat intravena menurunkan mortalitas secara bermakna dibandingkan
pengobatan dengan kina HCl. Walaupun demikian kasus malaria berat dapat
menyebabkan kematian masih sering dilaporkan terutama di daerah yang
jauh dari fasilitas kesehatan yang lengkap. Mortalitas malaria berat ini akan
bervariasi pada manifestasi organ yang berbeda seperti pada malaria berat
dengan anemia berat angka kematian rendah sedangkan pada keadaan
asidosis dan gagal pernafasan angka kematian tinggi. Dengan pengobatan
yang efektif seperti artesunat intravena, angka kematian dapat turun sampai
19-34% tergantung fasilitas di RS rujukan dan waktu pasien datang berobat.
Faktor-faktor yang terlibat dalam mortalitas malaria berat adalah densitas
parasit, sistim organ yang terlibat, usia penderita, parasit yang resisten,
penyakit co-morbid dan status imunitas penderita.

Diagnosis Malaria Berat


Diagnosis malaria berat berawal dengan identifikasi kasus malaria
yang meliputi adanya gejala demam (dapat terjadi “trias malaria”) dan
kemungkinan terjadinya transmisi infeksi malaria yaitu tempat tinggal, riwayat
perjalanan/bepergian serta tindakan/hobi yang memungkinkan terjadinya
infeksi malaria. Diagnosis awal adanya infeksi malaria ditegakkan dengan
pemeriksaan mikroskopik atau rapid diagnostic test (RDT) (mikroskopik

986 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Malaria Berat

menyusul) yang kemudian diikuti dengan identifikasi manifestasi klinis serta


laboratoris terjadinya kegagalan organ sistemik seperti pada tabel dibawah
ini dalam definisi malaria berat.

Definisi Malaria Berat


Definisi malaria berat berdasarkan guidelines WHO 2015 ialah
ditemukannya bentuk aseksual dari P. Falsiparum, P. Vivaks atau P. knowlesi
dengan salah satu gejala sebagai berikut:
Gangguan/penurunan kesadaran: Glasgow coma score < 11 pada orang dewasa atau Blantyre
score < 3 pada anak-anak.
Prostration: Kelemahan umum pada seseorang dimana tidak dapat duduk/berdiri atau berjalan
tanpa bantuan
Kejang umum berulang > 2 x dalam waktu 24 jam
Asidosis: base excess > 8 meq/L atau, plasma bicarbonate < 15 mmol/L atau plasma vena laktat
> 5mmol/L: asidosis berat secara klinis terjadi respiratory distress (nafas cepat dan dalam, dan
laboured breathing )
Hipoglikemia: gula darah /plasma < 40 mg/dl (< 2.2 mmol/dL )
Anemia berat (Severe Malaria Anaemia = SMA): hematocrit < 15% / Hb < 5 gr/dl pada anak < 12
tahun (Hb< 7 g/dL atau Ht <20% pada dewasa), dengan parasitemia > 10.000/uL.
Gagal ginjal (Renal Impairment): Plasma/serum creatinin > 265 Umol/L (3 mg/dL) atau urea > 20
mmol/L
Jaundice: Plasma/serum bilirubin > 50 umol/L (3 mg/dL), disertai hitung parasite > 100.000/uL (
pada P. falsiparum )
Edema paru: konfirmasi dengan gambaran radiologik atau saturasi oksigen < 92 % pada udara
kamar dengan frekuensi respirasi >30x/menit, sering dengan chest indrawing dan krepitasi pada
auskultasi.
Perdarahan bermakna: termasuk berulang atau perdarahan panjang dari gusi, hidung, termasuk
bekas tusukan vena; hematemesis atau melena.
Syok: syok terkompensasi yaitu capillary refill >3 sec atau temperature gradient pada kaki (tungkai
atas ) tanpa hipotensi. Syok dekompensasi ditandai dengan (sistolik < 70 mmHg pada anak < 50
mmHg atu 80 mmHg pada dewasa dengan tanda-tanda gangguan perfusi (dingin perifer atau
pemanjangan capillary refill)
Hiperparasitemia: P. falsiparum parasitemia > 10%
Malaria berat Vivaks dan Knowlesi
Malaria vivaks berat: seperti diatas tanpa batasan densitas parasit
Malaria berat knowlesi:
Hiperparasitemia: densitas parasit > 100.000 uL
Jaundice dan densitas parasit > 20.000/ uL

Dengan definisi yang baru tindakan pengobatan harus menjadi perhatian


agar pemberian pengobatan tidak terlambat; beberapa kriteria laboratorik
akan lebih memastikan diagnosis malaria berat.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 987


Paulus Novian Harijanto

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari malaria berat tergantung manifestasi organ
yang terlibat. Pada malaria serebral diagnosis banding ialah ensefalopati
lainnya seperti infeksi bakterial, virus, jamur, metabolik maupun gangguan
serebrovaskuler. Trauma kepala, alkoholisme dapat dikesampingkan dengan
anamnesis maupun adanya tanda trauma. Meningitis harus disingkirkan
dengan melakukan punksi lumbal. Pada malaria umumnya pemeriksaan
cairan serebrospinalis normal.

Diagnosis banding malaria dengan ikterus ialah leptospirosis, ikterik


karena demam tifoid, demam kuning, sepsis dan penyakit sistim biliaris
(kolesistitis). Bila ikterik disertai dengan demam lebih cenderung pada
diagnosis malaria dari pada virus hepatitis. Demam dengue dapat juga
menimbulkan manifestasi hepatitis, seperti juga pada infeksi mononukleosis,
keadaan ini biasanya disertai dengan leukopenia dan bilirubin tidak meningkat
terlalu tinggi.

Diagnosa banding malaria berat dengan gangguan fungsi ginjal ialah


penyakit ginjal kronik akibat penyakit sistemik yang lain (hipertensi, DM,
glomerulonefriris), penyakit sickle cell, reaksi transfusi inkompatibilitas,
demam tifoid, gigitan ular, leptospirosis, obat-obatan nefrotoksik, trauma dan
heat stroke.

Hipoglikemia pada malaria berat harus dibedakan dengan hipoglikemi


karena sebab lain seperti pada penderita diabetes mellitus, sepsis,
insulinoma. Hipoglikemia sering menimbulkan kejang yang dapat dikelirukan
dengan malaria serebral. Hipoglikemia sering dijumpai pada malaria hamil
primigravida.

Hipotensi pada malaria dapat merupakan manifestasi malaria algid, yang


harus dibedakan hipotensi karena gangguan sirkulasi oleh karena penyakit
pembuluh koroner jantung, insuffisiensi adrenal, dan sepsis. Hipotensi dapat
terjadi karena kehilangan cairan intravaskuler seperti pada dehidrasi dan
perdarahan tertutup.

Edema paru pada malaria mekanismenya masih belum jelas, perlu


dibedakan dengan gagal pernafasan oleh karena sebab lain seperti infeksi
paru akut, sepsis, kelebihan cairan, pneumonia aspirasi dan intoksikasi obat.

988 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Malaria Berat

Pengobatan pada Malaria Berat


Pengobatan malaria berat secara garis besar terdiri atas 3 komponen
penting yaitu:
 Pengobatan spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
 Pengobatan terhadap komplikasi
 Pengobatan supportif (termasuk perawatan umum dan pengobatan
simptomatik)

Pemberian dengan obat anti malaria


Pemberian obat anti malaria (OAM) pada malaria berat berbeda dengan
malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit
secara cepat dan bertahan cukup lama didarah untuk segera menurunkan
derajat parasitemianya. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat per
parenteral (intravena, per infus/ intra muskuler) yang berefek cepat dan
kurang menyebabkan terjadinya resistensi.

Derivat Artemisinin:
Merupakan obat baru yang berasal dari China (Qinghaosu) yang
memberikan efektivitas yang tinggi terhadap strain yang multi resisten.
Artemisinin mempunyai kemampuan farmakologik sebagai berikut, yaitu:
i) mempunyai daya bunuh parasit yang cepat dan menetap ii) efektif
terhadap parasit yang resisten, iii) memberikan perbaikan klinis yang
cepat, iv) menurunkan gametosit, v) bekerja pada semua bentuk parasit
baik pada bentuk tropozoit dan schizont maupun bentuk-bentuk lain, vi)
untuk pemakaian monoterapi perlu lama pengobatan 7 hari. Artemisinin
juga menghambat metabolisme parasit lebih cepat dari obat antimalaria
lainnya. Ada 3 jenis artemisinin yang di pergunakan parenteral untuk malaria
berat yaitu artesunate, artemeter dan arteether. Artesunate lebih superior
dibandingkan artemeter dan artemotil. Pada studi SEQUAMAT, artesunate
telah dibandingkan dengan kina HCl, artesunate menurunkan mortalitas
34.7%.

Pemberian OAM (Obat Anti Malaria) secara parenteral:


ARTESUNAT INJEKSI (1 flacon = 60 mg), Dosis i.v 2,4 mg/kg BB/ kali
pemberian.
Pemberian intravenous: dilarutkan pada pelarutnya 1ml 5% bicarbonate
dan diencerkan dengan 5-10 cc 5% dekstrose disuntikan bolus intravena.
Pemberian pada jam 0, 12 jam , 24 jam dan seterusnya tiap 24 jam sampai
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 989
Paulus Novian Harijanto

penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4 mg/kgBB. Pemberian parenteral
minimal 3 x pemberian yaitu jam 0, 12 jam dan 24 jam.Pada pemakaian
artesunate TIDAK memerlukan penyesuaian dosis bila gagal organ berlanjut.
Obat lanjutan setelah parenteral dapat menggunakan obat ACT dosis lengkap
dengan melanjutkan terapi radical dengan primakuin.

Semua penderita malaria berat dewasa/ anak/ bayi dan wanita hamil
semua semester wajib diberikan artesunate intravenous.

Skema pemberian artesunate:


Jam
ke: 0 12 24 48 72 dst

1) ARTEMETER i.m (1 ampul 80 mg)


• Diberikan catatan :
a) Tidak boleh pemberian intravena/ infus
b) Tidak boleh bila ada manifestasi perdarahan (purpura dsb)
c) Cocok diberikan pada kasus malaria berat di RS perifer/
Puskesmas
• Dosis artemeter : Hari I : 3,2 mg/kg BB, Hari-2 – 5 : 1,6 mg/kg BB.

2) KINA HCl (1 ampul = 500 mg/ 2 ml) : Kina HCL : Dosis awal (loading) 20
mg/Kg BB (1000 mg untuk BB 40-50 Kg) dalam infus 5% dekstros 500
cc selama 4 jam per infus, dilanjutkan dengan dosis 10 mg/kg BB (500mg
Kina) selama 4 jam per infus dan setiap 8 jam berikutnya. Bila penderita
sadar dapat dilanjutkan dengan ACT dosis lengkap 3 hari atau Kina tablet
3 x 10 mg/kg BB sampai hari ke 7.

Catatan:
 Dosis loading 20 mg/kg BB sebagai dosis awal pemberian kina, diberikan
per-infus dengan larutan dextrose 5% atau NaCl 250-500 ml diberikan
selama 2 – 4 jam. Dosis ini dilanjutkan dengan dosis 10 mg/kg BB selama
2-4 jam setiap 8 jam berikutnya. Bila dipakai dosis loading, beberapa hal
harus diperhatikan:
 BB penderita harus ditimbang, TIDAK diestimasi
 Usia < 70 tahun
 24 jam sebelumnya tidak memakai kina/ meflokuin
 Tidak ada pemanjangan QTc interval pada EKG

990 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Malaria Berat

 Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena, karena dapat


menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi sehingga menyebabkan
toksisitas pada jantung dan kematian.
 Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina
parenteral, maka dosis maintenance kina diturunkan 1/2 nya dan lakukan
pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik terhadap kemungkinan
diagnosis lain.
 Monitoring pada pengobatan kina parenteral ialah:
o Kadar gula darah tiap 8 jam
o Tekanan darah dan nadi, bila nadi ireguler buat EKG
o Serum bilirubin dan kreatinin pada hari ke-3
o Hitung parasit tiap hari
 Penanganan malaria berat pada ibu hamil pada semua trisemester (I-III)
dapat digunakan Artesunat IV maupun Artemeter. Kina hanya dipakai
bila Artesunat/ artemeter tidak tersedia

Penanganan terhadap Komplikasi Organ


Tindakan/ pengobatan terhadap terjadinya kegagalan organ menjadi
tahapan berikutnya untuk mempertahankan survival penderita. Secara
singkat tindakan seperti dibawah ini:

Tindakan terhadap Komplikasi


Manifestasi/ Komplikasi Tindakan awal
Koma (malaria serebral) Pertahankan oksigenasi, letakkan pada sisi
tertentu, sampingkan penyebab lain dari koma
(hipoglikemi, stroke, sepsis, diabetes koma, uremia,
gangguan elektrolit ), hindari obat tak bermanfaat
( dexamethasone, pentoxyphylin, TNF –antibodi,
Desferioxamin ), intubasi bila perlu.
Hiperpireksia Turunkan suhu badan dengan kompress, pendingin
ruangan, anti-piretika
konvulsi/kejang Pertahankan oksigenasi, pemberian anti-kejang iv/
per rectal diazepam, i.m. paraldehid
Hipoglikemia (Gl darah < 40 mg%) Beri 50 ml dextros 40% ( encerkan dengan cairan
NaCl/ aqua destilata 1:1, sehingga konsentrasi 20%)
lanjutkan infus dextrose 10% sampai gula darah
stabil, cari penyebab hipoglikemia
Anemia berat ( Hb < 5 gr% atau PCV < 15% Berikan transfusi darah darah segar, cari penyebab
pada anak, dan Hb < 7gr% untuk dewasa ) anemianya
Edema Paru Akut, sesak nafas, resp > 35 x Tidurkan 450, oksigenasi, berikan Furosemide 40 mg
iv, perlambat cairan infus, intubasi-ventilation PEEP,

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 991


Paulus Novian Harijanto

Manifestasi/ Komplikasi Tindakan awal


Gagal Ginjal Akut Nilai adanya gangguan pre renal yang bisa diatasi,
bila dehidrasi  koreksi; bila gagal ginjal renal
segera dialisis
Perdarahan spontan/ koagulopati Berikan vitamin K 10 mg/ hari selama 3 hari;
transfusi darah segar; pastikan bukan DIC
Asidosis Metabolik Koreksi hipoglikemia, hipovolemia, septikemia. Bila
perlu dialisis/ hemofiltrasi
Syok Pastikan tidak hipovolemia, cari tanda sepsis,
berikan antibiotika spektrum yang adekuat
Hiperparasitemia Segera anti malaria (artesunat), transfusi ganti
(exchange transfusion)

Pemberian Cairan pada infeksi Malaria/Malaria Berat


a. Pada infeksi malaria kehilangan cairan merupakan proses yang sangat
mungkin terjadi karena penderita demam yang menyebabkan kehilangan
cairan, penderita sering mengalami mual dan muntah dan tak bisa makan
sehingga menyebabkan asupan cairan berkurang; keadaan sesak/
takipneu oleh karena anemia juga menyebabkan kehilangan cairan. Pada
kasus malaria serebral anak, syok hipovolemik yang compensated terjadi
pada 57% dengan mortalitas 18%, hipotensi 13% dengan mortalitas
26%, dan dehidrasi berat pada 6% kasus dengan mortalitas 28%. Pada
studi FEAST (Fluid Expansion As Supportive Therapy) disimpulkan
bahwa pemberian koloid ataupun kristaloid secara bolus memperjelek
mortalitas.
b. Kebutuhan cairan pada malaria berat harus diperhitungkan individual/
berbeda pada kasus. Terdapat kecenderungan terjadi overload yang
dapat mengakibatkan edema paru. Dipihak lain anak sering terjadi
dehidrasi karena kesulitan intake maupun demam yang lama. Pedoman
pemberian cairan sbb:
 Pemberian cairan secara bolus (cepat) baik koloid maupun kristaloid
adalah kontra-indikasi.
 Pemberian cairan diperhitungkan secara individual tergantung
kehilangan cairan,
 Pemberian cairan pada malaria berat:
• Pada Anak: Rehidrasi kehilangan cairan selama 3-4 jam dengan
0,9% NaCl dengan 3-5 ml/kgBB/ jam, kemudian lanjutkan
dengan 5% dekstros 2-3 ml/kg/ jam. Bila ada cairan 0,45%
NaCl-5% Dekstros dapat dipakai awal resusitasi.

992 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Tatalaksana Malaria Berat

• Pada dewasa: mulai dengan 0,9% NaCl 3-5 ml/kg/ jam pada
6 jam pertama, dengan monitoring tanda vital. Kemudian
dapat dilanjutkan dengan cairan sama/ 5% dekstros dengan
kecepatan 2-3 ml/kg/ jam. TIDAK menggunakan cairan koloid.
Bila pasien dengan dehidrasi berat dengan urin < 0,5ml/kg/jam,
pemberian cairan dapat 10ml/kg/jam selama 2 jam pertama,
dengan observasi tanda vital dan jumlah urin. Jika masih tidak
ada urin, respirasi tidak naik, tak ada tanda edema paru dapat
cairan 5 ml/kg/jam selama 4 jam berikutnya.
• Malaria falsiparum berat: cairan yang direkomendasikan
ialah NaCl 0,9%; pemberian albumin tidak bermanfaat dan
meningkatkan mortalitas (FEAST study), transfusi bila Hb < 7
gr% (dewasa)
• Monitoring elektrolit dan koreksi seperlunya.
• Bila syok umumnya karena sepsis, beri antibiotik
• Bila AKI/ oliguria, cairan 5 ml/kg BB iv bolus diikuti dengan
RRT (dialisis)

Penanganan Terhadap Infeksi Sekunder/Sepsis


a. Infeksi bakterial sering dijumpai pada malaria falsiparum akut yang
dapat meningkatkan mortalitas. Infeksi yang sering dijumpai ialah
enterick gram negatif. Septikemia juga sering dilaporkan pada malaria
berat. Adanya hipotensi sering dihubungkan dengan Gram negatif sepsis
pada malaria berat.
b. WHO (2015), merekomendasikan pemberian antibiotik broadspektrum
pada malaria berat pada anak sampai dipastikan tidak ada infeksi
bakterial.
c. Setelah pengobatan antimalarial, bila kondisinya memburuk dapat
diartikan adanya infeksi bakterial
d. Bila pasien sudah negatif pemeriksaan malaria dan masih demam,
penyebabnya ialah infeksi bakterial seperti salmonella atau infeksi
saluran kemih
e. Obat pilihan ialah Cephalosporin generasi III atau IV atau derivat
Carbapenem

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 993


Paulus Novian Harijanto

Daftar Pustaka
1. Arjen M. Dondorp1,2,3*, Mai Nguyen Thi Hoang4 and Mervyn Mer5, for the Sepsis
in Resource-Limited Settings- Expert Consensus Recommendations Group of
the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) and the Mahidol-
Oxford Research Unit (MORU) in Bangkok, Thailand . Recommendations for the
management of severe malaria and severe dengue
in resource-limited settings .
Intensive Care Med (2017) 43:1683–1685
2. Akpede GO, Sykes RM. Malaria with bacteraemia in acutely febrile preschool
without localizing signs : coincidence or association/ complication ? J Trop Med
Hyg. 1993; 96(3): 146-50.
3. Berkley J, Mwarumba S, Bramham K, et all. Bacteraemia complicating severe
malaria in children. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1999: 93 (3):283-6
4. Berkley JA, Bejon P, Mwangi T, Gwer S, Maitland K, Williams TN, et al. HIV infection,
malnutrition, and invasive bacterial infection among children with severe malaria.
Clin Infect Dis. 2009;49:336–43. 

5. Bygerg IC, Lanng C. Septicaemia as complication of falciparum malaria. Trans Soc
Trop Hyg 1982; 76 : 705
6. Dondorp AM, Ince C, Charunwatthana P, et all : Direct in vivo assessment of
microcirculatory dysfunction in severe falciparum malaria. J. Infect Dis 2008;
197(1): 79-84
7. Harijanto PN, Carta Gunawan, Agung Nugroho. Malaria. Dari Tata Laksana Klinis &
Terapi. EGC 2018.
8. Nielsen MV, Amemasor S, Agyekum A, Loag W, Marks F, Sarpong N, et al. 
Clinical
indicators for bacterial co-infection in Ghanaian children with P. falciparum
infection. PLoS ONE. 2015;10:e0122139. 

9. Plewes K, Leopold SJ, Kingston HWF, et all. What’s New in the Management Malaria.
Infect Dis Clin N Am 33 (2019) 39–60
10. SEQUAMAT. Artesunate versus quinine for the treatment of severe falciparum
malaria: a randomized trial. The Lancet 2005; 366 : 717-725.
11. Scott JA, Berkley JA, Mwangi I, Ochola L, Uyoga S, Macharia A, et al. Rela- tion
between falciparum malaria and bacteraemia in Kenyan children: a population-
based, case–control study and a longitudinal study. Lancet. 2011;378:1316–23. 

1,2* 1,3 1,3† 1,4†
12. Tsi Njim , Arjen Dondorp , Mavuto Mukaka and Eric O. Ohuma
Identifying risk factors
for the development of sepsis during adult severe malaria
.
Njim et al. Malar J (2018) 17:278
13. Walsh AL, Phiri AJ, Graham SM, Molyneux EM, Molyneux ME. Bacteremia in
febrile Malawian children: clinical and microbiologic features. Pediatr Infect Dis J.
2000;19:312–8. 

14. WHO. Guidelines for the Treatment of Malaria. WHO Geneve, Switzerland 2015
15. World Health Organization (2014). Severe malaria. Tropical Medicine and
International Health 19, Supplement 1.”
994 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Pengenalan dan Tata Laksana Malaria Knowlesi
Kurnia Fitri Jamil
Divisi Penyakit dan Tropik Infeksi, Bagian/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUD dr. Zainoel Abidin - Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstraks
Plasmodium knowlesi (P. knowlesi) awalnya di identifikasi pada tahun 30-
an sebagai Plasmodium alami monyet Macaca fascicularis yang juga mampu
menginfeksi manusia. Pada tahun 1965, infeksi pada manusia pertama
kali terjadi pada surveyor militer AS yang kembali dari hutan Pahang di
semenanjung Malaysia. P. knowlesi kembali menjadi perhatian dunia kesehatan
ketika pada tahun 2004, Balbir Singh dan rekan kerjanya melaporkan bahwa
sekitar 58% kasus malaria yang diamati di distrik Kapit di Borneo Malaysia
sebenarnya disebabkan oleh P. knowlesi. Pada tahun-tahun berikutnya
beberapa laporan menunjukkan bahwa P. knowlesi jauh lebih luas dari pada
yang diperkirakan pada awalnya yang dilaporkan di Asia Tenggara. Infeksi ini
juga harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding dari setiap pelancong
yang mengalami demam setelah kembali kenegaranya dari perjalanan
kedaerah berhutan di Asia Tenggara. P. knowlesi dapat menyebabkan malaria
berat dengan kejadian sebanyak 6-9% dan dengan tingkat fatalitas kasus 3%.
Distres pernapasan, gagal ginjal akut, syok, dan hiperbilirubinemia adalah
komplikasi yang paling sering terjadi pada malaria P. knowlesi berat. ACT
merupakan terapi pilihan malaria tanpa komplikasi yang disebabkan oleh P.
knowlesi.

Pendahuluan
Pada tahun 2004, oleh Singh et al. (2004) menunjukkan terjadinya infeksi
P. knowlesi pada manusia yang sering terjadi di Borneo Malaysia. Sebelum
tahun itu, P. knowlesi hanya dikenal sebagai salah satu dari lebih dari dua puluh
plasmodia kera dan monyet, beberapa di antaranya berpotensi menginfeksi
manusia. Sejumlah besar kasus pada manusia baru-baru ini tentang malaria
knowlesi yang dilaporkan dari Malaysia dan wilayah yang meluas di seluruh
Asia Tenggara berpotensi menjadi berat dan fatal yang menandai perlunya
dokter untuk memiliki ilmu mengenai infeksi ini.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 995


Kurnia Fitri Jamil

Parasit
P. knowlesi, dianggap sebagai parasit malaria manusia kelima (meskipun
siklus penularan dari manusia ke manusia belum didokumentasikan secara
meyakinkan) memiliki hubungan filogenetik yang erat dengan Plasmodium
vivax (P. vivax) dan fitur morfologis (gambar 1) yang menyerupai orang-
orang dari Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae. Ini berbeda
dari P. vivax karena tidak adanya tahap hati laten (hipnozoit) dan panjangnya
siklus aseksualnya. P. knowlesi adalah satu-satunya spesies malaria primata
yang ditandai oleh perkembangan tahap darah aseksual kuota (24 jam). Mirip
dengan P. vivax, P. knowlesi menggunakan antigen golongan darah Duffy
sebagai reseptor untuk menyerang eritrosit manusia.

Meskipun paradigma bahwa eritrosit individu negatif Duffy selalu


refrakter terhadap infeksi P. vivax baru-baru ini laporan dari Afrika dan
Amazon Brasil, P knowlesi mungkin juga mengeksploitasi mekanisme invasi
alternatif. P. knowlesi Duffy-binding protein (PkDBP) terlokalisasi dalam
mikronem mengikat erythrocytes selama invasi. Invasi sel darah merah
manusia berikutnya membutuhkan interaksi PkDBP dengan reseptor antigen
Duffy untuk kemokin (DARC) dan setelah reorientasi apikal, terjadi perubahan
antara eritrosit target dan merozoit yang menyerang. Domain pengikat P.
knowlesi Duffy berisi 12 residu sistein yang dilestarikan dan strukturnya
kemungkinan didasari oleh dua sub-domain, yang utamanya berisi wilayah
C5-C8 yang telah diidentifikasi sebagai penting untuk interaksi dengan
eritrosit. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa merozoit P. knowlesi dapat
berinteraksi dengan eritrosit manusia Duffy negatif dan bahwa orientasi
apikal berlangsung secara normal tetapi invasi terhambat karena tidak
berlanjut. Penghapusan gen P. knowlesi yang mengkode PkDBP, menghasilkan
ketidakmampuan lengkap untuk menyerang eritrosit manusia Duffy-positif
menggunakan pendekatan gabungan Bayesian untuk waktu (TMRCA) terbaru
untuk P. knowlesi, Lee dan rekan kerja memperkirakan TMRCA untuk P.
knowlesi adalah 98.000-478.000 tahun.

Vektor P. Knowlesi
Studi awal yang dilakukan di Malaysia mengidentifikasi Anopheles
sebagai vektor P. knowlesi tetapi karena nyamuk ini kurang aktif pada
manusia, terutama pada monyet dan hanya ditemukan di hutan belantara,
dinyatakan bahwa malaria P. knowlesi tidak akan menjadi masalah serius bagi
manusia. Setelah malaria P. knowlesi di Sarawak studi vektor dilakukan di tiga
daerah ekologis yang berbeda (yaitu, hutan, pertanian dan desa) di distrik

996 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengenalan dan Tata Laksana Malaria Knowlesi

Kapit yang diidentifikasi A. latens, yang termasuk dalam populasi Leucos-


kelompok nyamuk phyrus, sebagai vektor alami utama P. knowlesi untuk
monyet dan manusia. Distribusi geografis kelompok Anopheles leucosphirus
telah terbukti berkisar dari India Barat Daya, timur ke Cina Selatan, Taiwan,
daratan Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina.

Studi lain yang dilakukan oleh kelompok yang sama di negara bagian
Pahang mengungkapkan Anopheles cracens, anggota yang lebih antropofilik
dari kelompok Leucosphyrus, sebagai vektor P. knowlesi (serta P. cynomolgi)
di daerah itu. Di wilayah Sabah, A. balabacensishas telah dituduh sebagai
kemungkinan vektor P. knowlesi. Akhirnya, di Vietnam, Anopheles dirus,
anggota kelompok Anopheles leucosphyrus telah diimplikasikan sebagai
vektor infeksi P. knowlesi. Sebuah survei yang dilakukan di kawasan hutan
dan pinggiran hutan KhanhPhu (Vietnam Selatan) dari 2008 hingga 2010
menunjukkan bahwa nyamuk A. dirus adalah satu-satunya vektor malaria di
daerah itu dan hampir 1,6% infeksi sporozoit. Dengan menggunakan analisis
PCR untuk membedakan spesies malaria, ditunjukkan bahwa 43% kelenjar
ludah yang diuji adalah PCR positif untuk P. knowlesi dengan koinfeksi yang
sering (71% dari kelenjar yang diperiksa) dan dengan kombinasi P. knowlesi/
P. vivax sebagai yang paling umum.

Perlu dicatat bahwa di Singapura, di mana beberapa kasus malaria


P. knowlesi manusia yang asli didaftarkan, nyamuk yang termasuk dalam
kelompok A. leucosphyrus tidak ditemukan. Telah disarankan bahwa di
Singapura, Anopheles kochi mungkin merupakan vektor potensial dari P.
knowlesi dan fakta bahwa nyamuk sangat zoophagic dapat menjelaskan
sejumlah kecil kasus malaria knowlesi meskipun frekuensi tinggi personel
militer yang dikerahkan di daerah berhutan.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 997


Kurnia Fitri Jamil

Gambar 1. Darah tepi menunjukkan perkembangan aseksual P. knowlesi.

Gejala Klinis
Pasien yang terinfeksi secara eksperimental P. knowlesi baik dengan
injeksi intravena atau intramuskular darah yang terinfeksi, mengembangkan
manifestasi klinis umumnya setelah delapan hari dengan periode terpendek
adalah tiga hari dan terpanjang empat belas hari. Kenaikan suhu menunjukkan
perilaku kuantum dengan puncak tertinggi pada 40°C dan dengan parasit
meningkat dari rata-rata satu per-lapangan menjadi tiga per-lapangan setelah
4 hari dan enam puluh delapan per lapangan pada hari keenam infeksi.
Studi penting lainnya menunjukkan bahwa pada manusia, malaria P. knowlesi
yang diinduksi oleh sporozoit dan darah menunjukkan hal yang serupa, dengan
siklus aseksual kuota dan jumlah parasit maksimum yang melebihi 20.000 per
mikroliter pada hari ke-8. Menariknya, dalam kedua penelitian, para peneliti
mengklaim bahwa parasit kehilangan virulensi mereka setelah melanjutkan
perjalanan pada manusia dengan pemulihan diri spontan biasanya setelah 2
minggu. Sebaliknya, para peneliti dari Rumania yang menggunakan infeksi P.

998 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengenalan dan Tata Laksana Malaria Knowlesi

knowlesi yang luas untuk pengobatan kelumpuhan umum harus meninggalkan


praktik ini karena setelah beberapa kali pemindahan infeksi menjadi sangat
ganas sehingga diperlukan pengobatan untuk menghentikan infeksi.

Distres pernapasan, gagal ginjal, ikterus, dan hiperparasitemia adalah


manifestasi malaria berat yang paling sering diamati. Secara khusus,
gangguan pernapasan diamati pada 1 dari setiap 15 pasien dengan malaria P.
knowlesi dan diduga disebabkan oleh efek spesifik-parasit yang meningkatkan
permeabilitas kapiler. Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan di rumah
sakit perawatan tersier di Sabah mengidentifikasi 56 pasien monoinfeksi
dengan malaria P. knowlesi yang 22 (39%) memiliki penyakit berat dan enam
meninggal. Namun, tingginya tingkat malaria berat ini mungkin bias oleh
rujukan penyakit berat oleh rumah sakit lain; bahkan, jika hanya pasien yang
dirawat langsung di rumah sakit yang dipertimbangkan, tingkat malaria berat
(8,9%) mirip dengan yang diamati dalam studi prospektif yang disebutkan
sebelumnya. Menariknya, juga dalam penelitian ini gangguan pernapasan
akut, gagal ginjal akut, syok, dan hiperbilirubinemia adalah komplikasi yang
paling sering diamati dari malaria berat.

Dibandingkan dengan komplikasi malaria P. falciparum berat yang


disimpulkan dari studi malaria impor, pasien dengan malaria P. knowlesi
berat terkenal karena tidak adanya malaria serebral dan anemia berat.
Namun, dalam sebuah studi otopsi tunggal yang dilakukan pada seorang pria
berusia 40 tahun yang meninggal karena malaria P. knowlesi, eritrosit parasit
yang terasing diamati di pembuluh kecil otak, jantung dan ginjal tetapi bagian
otak yang terutama negatif untuk immuno-histokimiawi penanda perlekatan
intraseluler molekul-1 (ICAM-1) menunjukkan tetapi tidak membuktikan
mekanisme yang berbeda dari malaria serebral falciparum.

Sebuah penelitian dengan menggunakan darah dari 5 pasien dengan


PCR malaria P. knowlesi yang dikonfirmasi secara eksperimental menemukan
bahwa eritrosit yang terinfeksi dapat mengikat reseptor endotel yang
diinduksi (ICAM-1 dan VCAM), meskipun dalam cara yang bervariasi, tetapi
tidak ada yang terikat pada reseptor CD36. Hasil yang terakhir tampaknya
menunjukkan kemungkinan P. knowlesi untuk masuk ke ICAM-1 jika reseptor
ini diregulasi ke atas pada endotel otak, tetapi studi yang lebih luas diperlukan
untuk mengetahui patofisiologi malaria knowlesi yang berat. Juga luar biasa
fakta bahwa hampir dua pertiga pasien dengan malaria P. knowlesi berat
memiliki lebih dari satu kriteria WHO. Hingga kini 19 pasien dengan malaria

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 999


Kurnia Fitri Jamil

P. knowlesi telah dilaporkan dengan hasil yang fatal dan tingkat kematian
kasus yang disimpulkan oleh tiga studi terbesar adalah 3,4%.

Laboratorium
Trombositopenia adalah perubahan laboratorium abnormal paling
umum yang diamati pada pasien dengan malaria P. knowlesi dengan prevalensi
keseluruhan yang dilaporkan 98%, angka yang lebih tinggi dibandingkan
dengan prevalensi 70% yang diamati pada malaria manusia lainnya dan
dengan sekitar 30% dari semua pasien. jauh digambarkan memiliki jumlah
trombosit lebih rendah dari 50.000/ L. Trombositopenia juga diamati pada
94% anak-anak yang terkena malaria P. knowlesi. Anemia jarang diamati pada
rawat inap di rumah sakit dengan kurang dari 5% pasien memiliki konsentrasi
hemoglobin lebih rendah dari 10 g/ dl. Sebaliknya, pada anak-anak, anemia
tampaknya lebih umum dilaporkan pada 56% kasus dan 25% memiliki
kadar hemoglobin lebih rendah dari 10 g / dl. Menariknya, leukopenia telah
dilaporkan dalam lima dari sebelas wisatawan yang didiagnosis dengan
malaria P. knowlesi.

Nilai median yang lebih rendah dari total sel darah putih dan jumlah
neutrofil dibandingkan dengan pasien yang terkena P. falciparum dari
malaria P. vivax juga terdaftar untuk pasien yang dirawat di rumah sakit Kapit.
Hiponatremia ringan sampai sedang diamati pada 29% pasien. Akhirnya,
jumlah rata-rata parasit dalam seri terbesar yang dilaporkan sampai saat ini
adalah 1.387 parasit/L dengan parasitemia tinggi yang secara umum diamati
pada pasien dengan malaria berat. Namun, parasitemia setinggi 15% telah
diamati di antara kasus yang mematikan.

Diagnosis
Pemeriksaan mikroskopis konvensional sampel darah tepi bahkan
sekarang sebagai “standar emas” untuk diagnosis malaria dan identifikasi
spesies Plasmodium manusia berikutnya. Identifikasi Plasmodium pada
tingkat spesies biasanya diperoleh oleh ahli mikroskop ahli berdasarkan
karakteristik morfologi parasit yang berbeda bersama dengan ukuran dan
bentuk eritrosit yang terinfeksi. Namun, seperti yang pada awalnya dijelaskan
oleh para perintis malariologis yang mengidentifikasi P. knowlesi, dan baru-
baru ini dikonfirmasi oleh studi Singh et al., P. knowlesi sering dan dengan
mudah diidentifikasi sebagai P. malariae atau P. falciparum berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis. Meskipun sekarang jelas bahwa untuk diagnosis
yang benar dari metode molekuler P. knowlesi harus digunakan, studi

1000 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengenalan dan Tata Laksana Malaria Knowlesi

komparatif yang dilakukan dengan baik membantu mengidentifikasi beberapa


perbedaan morfologis kecil antara P. knowlesi, P. malariae dan P. Falciparum.
Semua tahap perkembangan P. knowlesi diamati pada 7 dari 10 subjek dengan
infeksi tunggal dan dengan trofozoit akhir/dewasa sebagai bentuk yang paling
mewakili semua parasit yang bersirkulasi. Gametosit diamati pada 4 pasien.

Tes diagnostik cepat (RDT) untuk malaria, yang menggunakan antibodi


monoklonal yang diarahkan terhadap protein-kaya histidin 2 (HRP-2) spesifik
untuk P. falciparum atau parasit spesifik spesies lactate dehydrogenase (pLDH)
telah dipelajari sebagai bantuan yang memungkinkan. untuk mikroskop dalam
membantu mendeteksi P. knowlesi. Isoform LDH P. knowlesi sebenarnya sangat
mirip dengan pLDH yang diketahui dan menggunakan antibodi monoklonal
(MAB), McCutchan dan rekan kerja menunjukkan bahwa P. knowlesi mengikat
keduanya ke P. falciparum-spesifik (17E4/7G9) dan Antibodi P. vivax-spesifik
(11D9/ 13H11). Sebaliknya, P. knowlesi gagal bereaksi terhadap antibodi
spesifik untuk Plasmodium ovale (10D12) dan P. malariae (7E7). Meskipun tes
yang disebutkan di atas tampaknya mampu membedakan P. knowlesi dari P.
malariae, infeksi campuran P. knowlesi dengan P. falciparum dan P. vivax tidak
dapat disingkirkan. Pengalaman klinis dengan penggunaan RDT pada malaria
P. knowlesi terbatas pada beberapa kasus yang diterbitkan yang menggunakan
target imunokromatografi yang berbeda.

Sebaliknya, reaktivitas darah positif diamati baik dengan pan-Plasmodium


aldolase dan pan-Plasmodium LDH dan spesifik P. vivax LDH. Hasil positif
terhadap LDH P. falciparum spesifik. Namun, kurangnya sensitivitas semua
RDT yang tersedia untuk malaria P. knowlesi harus mencegah penggunaannya
dalam pengaturan ini. Tes diagnostik molekuler khusus untuk gen multikopi
(seperti rRNA subunit kecil atau sitokrom b mitokondria) sebenarnya
dianggap sebagai standar emas untuk mendeteksi malaria P. knowlesi secara
tegas pada manusia. Primer P. knowlesi pada awalnya dikembangkan oleh
Balbir Singh dan rekan kerja, telah terbukti memberikan kemungkinan
hibridisasi silang dengan P. vivax-sekuens yang menghasilkan hasil positif
palsu seperti yang dilaporkan di seluruh studi yang dilakukan di berbagai
negara di Asia Tenggara. PCR real-time yang berikatan secara khusus dengan
30 pasangan basa dari daerah variabel P. knowlesi menunjukkan spesifisitas
100% dan sensitivitas analitik tinggi (mendeteksi 3 parasit/ L darah).

Dengan menggunakan pendekatan penambangan genom, para peneliti


dari AS mengembangkan uji PCR satu langkah baru yang menargetkan urutan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1001


Kurnia Fitri Jamil

multicopy untuk P. knowlesi dan tampaknya mampu mendeteksi 1 parasit/ L


dengan spesifisitas 100%. Akhirnya, dua kelompok peneliti mengembangkan
tes sensitif berdasarkan loop-mediated isothermal amplification (LAMP)
dengan primer diarahkan terhadap gen tubulin spesifik-spesies dan gen
antigen membran apikal-1 (AMA-1) P. Knowlesi. Meskipun tes LAMP ini
perlu divalidasi dalam studi besar di lapangan, sensitivitas dan spesifisitas
tinggi dikombinasikan dengan kecepatan metode yang tidak memerlukan
instrumentasi canggih adalah alat yang menjanjikan untuk diagnosis rawat-
kesehatan titik infeksi ini.

Terapi
Malaria P. knowlesi tanpa komplikasi tampaknya responsif terhadap
semua obat antimalaria skizontosidal yang saat ini digunakan dalam praktik
klinis. Chloroquine pada dosis standar ditambah primaquine (15 mg/ basa
selama 2 hari), yang terakhir digunakan sebagai agen gametocytocidal, telah
terbukti efektif baik dalam studi retrospektif dan prospektif. Regimen 3 hari
yang serupa dengan pengobatan dengan klorokuin dan primaquine juga
digunakan dalam serangkaian kecil pasien anak yang menunjukkan respons
yang memadai tetapi waktu pembersihan parasit yang lebih lambat sehubungan
dengan orang dewasa. Pengalaman dengan penggunaan turunan arteminisin
untuk pengobatan malaria P. knowlesi tanpa komplikasi terbatas tetapi
menunjukkan pembersihan parasit yang lebih cepat. Wisatawan diperlakukan
dengan kasus-kasus quatovontone-proguanilinthree, chloroquine dalam
enam kasus ditambah primaquine dalam satu, mefloquine dalam satu kasus
dan kina plus doksisiklin dalam satu kasus, dengan pemulihan penuh pada
semua pasien. Masih harus ditentukan apa yang akan menjadi pengobatan
terbaik untuk digunakan dalam kasus malaria P. knowlesi berat.

Meskipun kina intravena pada awalnya digunakan untuk pengobatan


pasien dengan malaria P. knowlesi yang berat, dalam pengalaman non-acak
baru-baru ini mengenai sejumlah kecil pasien, artesunat dikaitkan dengan
pembersihan parasit yang lebih cepat dan hasil yang lebih baik (tingkat
fatalitas kasus 17% dibandingkan 31%) dibandingkan dengan kina. Di Negara
Bagian Sabah (Malaysia Timur Laut), artesunat intravena telah pakai sejak
Desember 2008 untuk perawatan pasien yang terkena malaria berat terlepas
dari spesies yang diidentifikasi untuk menghindari kematian karena P.
knowlesi salah didiagnosis sebagai P. Malariae.

1002 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengenalan dan Tata Laksana Malaria Knowlesi

Kesimpulan
P. knowlesi adalah endemis parasit malaria primata pada beberapa spesies
kera Asia Tenggara yang biasanya mengalami infeksi kronis. Infeksi manusia
yang didapat secara alami dengan P. knowlesi muncul sebagai infeksi tunggal
atau terkait dengan Plasmodium manusia lainnya, di seluruh Asia Tenggara
dengan prevalensi tertinggi di Kalimantan Malaysia. Sampai terbukti berbeda,
malaria knowlesi harus dianggap sebagai penyakit zoonosis yang didapat oleh
manusia ketika mereka memasuki habitat kera dan vektor nyamuk anopheline
di hutan. Namun, penting bahwa kemungkinan terjadinya host-switch dengan
transmisi manusia ke manusia akan dipantau secara akurat di seluruh Asia
Tenggara.

Daftar Pustaka
1. Abdul-Ghani, R., Al-Mekhlafi, A.M., Karanis, P., 2012. Loop-mediated isothermal
amplification (LAMP) for malarial parasites of humans: would it come to clinical
reality as a point-of-care test? ActaTropica 122, 233–240.
2. Anderios, F., NoorRain, A., Vythilingam, I., 2010. In vivo study of human Plasmodium
knowlesi in Macacafascicularis. Experimental Parasitology 124, 181–189.
3. Azira, N.M.S., Zairi, N.Z., Amry, A.R., Zeehaida, M., 2012. Case series of naturally
acquired Plasmodium knowlesi infection in a tertiary teaching hospital. Tropical
Biomedicine 29, 398–404.
4. Barber, B.E., William, T., Jikal, M., Jilip, J., Dharaj, P., Menon, J., et al., 2011. Plasmodium
knowlesi malaria in children. Emerging Infectious Diseases 17, 814–820.
5. CDC, 2009. Simian malaria in a US traveler – New York, 2008. Morbidity Mortality
Weekly Report 58, 229–232. Chin, W., Contacos, P.G., Coatney, G.R., Kimball, H.R.,
1965. A naturally acquired quotidian-type malaria in man transferable to monkeys.
Science 149, 865.
6. Cox-Singh, J., Hiu, J., Lucas, S.B., Divis, P.C., Zulkarnaen, M., Chandran, P., et al., 2010.
Severe malaria—a case of fatal Plasmodium knowlesi infection with post-mortem
findings: a case report. Malaria Journal 9, 10.
7. Fatih, F.A., Siner, A., Ahmed, A., Woon, L.C., Craig, A.G., Singh, B., et al., 2012.
Cytoadherence and virulence – the case of Plasmodium knowlesimalaria.Malaria
Journal 11, 33.
8. Jiang,N.,Chang, Q., Sun,X., Lu,H.,Yin,J., Zhang, Z., et al., 2010.Co-infections
withPlasmodiumknowlesi and other malaria parasites, Myanmar. Emerging
Infectious Diseases 16, 1476–1478.
9. Khim, N., Siv, S., Kim, S., Mueller, T., Fleischmann, E., Singh, B., et al., 2011.
Plasmodium knowlesi infection in Humans, Cambodia, 2007–2010. Emerging
Infectious Diseases 17, 1900–1902.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1003


Kurnia Fitri Jamil

10. Nakazawa, S., Marchand, R.M., Quang, N.T., Culleton, R., Manh, N.D., MaenoY.,
2009. Anopheles dirus co-infection with human and monkey malaria parasites in
Vietnam. International Journal of Parasitology 39, 1533–1537.
11. Sermwittayawong, N., Singh, B., Nishibuchi, M., Sawangjaroen, N., Vuddhakul, V.,
2012. Human Plasmodium knowlesi infection in Ranong province, southwestern
border of Thailand. Malaria Journal 11, 36.
12. Singh, B., Sung, L.K., Matusop, A., Radhakrishnan, A., Shamsul, S.S., Cox-Singh, J., et
al., 2004. A large focus of naturally acquired Plasmodium knowlesi infections in
human beings. Lancet 363, 1017–1024.
13. William, T., Menon, J., Rajahram, G., Chan, L., Ma, G., Donaldson, S., et al., 2011.
Severe Plasmodium knowlesi malaria in a tertiary care hospital, Sabah, Malaysia.
Emerging Infectious Diseases 17, 1248–1255.

1004 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis
pada Keadaan Khusus
Arto Yuwono Soeroto
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen/ KSM Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Hasan Sadikin - FK Universitas Padjadjaran, Bandung

Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan global dan
nasional.1 Tiga negara dengan beban TB terbanyak adalah Cina, India, dan
Indonesia. Tentunya hal ini makin mengkhawatirkan saat ekonomi negara
juga terancam oleh sumber daya yang terus digunakan untuk manajemen
penderita TB.

Tatalaksana klinis TB makin dipersulit dengan adanya populasi khusus


penderita TB, karena penyakit ini dapat mengenai semua lapisan masyarakat.
Populasi khusus ini membutuhkan pengobatan dan penanganan yang
berbeda dengan pengobatan pada orang dengan TB biasa. Berdasarkan modul
pelatihan penanggulangan tuberkulosis bagi petugas kesehatan di fasilitas
kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut,
terdapat beberapa kategori populasi yang dimasukkan sebagai kategori
populasi khusus. Populasi khusus tersebut berupa pengobatan TB pada orang
dengan HIV-AIDS (ODHA), Diabetes Mellitus (DM), kelainan hati, kelainan
ginjal, ibu hamil dan perempuan usia subur.2

Pada makalah ini akan dibahas pedoman penggunaan OAT yang sebaiknya
diikuti dalam menatalaksana pasien TB dengan kondisi khusus, juga dalam
memberikan saran dan batasan mengenai pengobatan yang akan digunakan
dalam mengobati penyakit penyerta yang dimiliki oleh pasien bersamaan
dengan TB yang diidapnya. Sebagai contoh, dalam penatalaksanaan Diabetes
mellitus tipe 2 pada seseorang dengan tuberkulosis, terdapat interaksi obat
yang harus diperhatikan dalam pemberiannya bersamaan dengan konsumsi
obat anti tuberkulosis.

Pengobatan Tuberkulosis pada Populasi Khusus


Berikut akan dijelaskan mengenai pengobatan TB pada beberapa populasi
khusus diantaranya pada ODHA, DM, penyakit ginjal, penyakit hati, ibu hamil
dan wanita usia subur. Diharapkan, dengan pemahaman mendalam mengenai
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1005
Arto Yuwono Soeroto

keadaan pada populasi tersebut akan memudahkan kita untuk memberikan


terapi yang lebih baik pada penderita.

Prinsip Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis


Medical Research Council Inggris dan layanan kesehatan Amerika Serikat
menyelenggarakan serangkaian uji klinis dalam rentang waktu antara
1948 sampai 1986 dengan kesimpulan yang tercapai berupa penyelesaian
terapi selama 6 bulan dapat menyembuhkan tuberkulosis, dengan hanya
menghasilkan angka kekambuhan berupa 5 sampai 8 persen saja.3 Dengan
demikian, pengobatan standard sekarang terdiri dari fase induksi 2 bulan
dengan setidaknya isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid, diikuti oleh fase
konsolidasi selama 4 bulan dengan setidaknya isoniazid dan rifampisin.

Dalam 2 bulan pertama terapi efektif, karakter bifasik ditunjukan sebagai


bentuk dari usaha untuk eliminasi bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa
setidaknya terdapat dua subpopulasi bakteri yang berbeda dalam kerentanan
obat intrinsik; satu subpopulasi dapat cepat dibunuh dan lainnya merespon
lebih lambat. Basil dalam populasi kedua dan secara perlahan bereplikasi atau
tidak bereplikasi ini telah diklasifikasikan sebagai persisten. Bakteri persisten
diduga berada dalam keadaan metabolik yang menjadikannya lebih rentan
terhadap pembunuhan oleh obat dikarenakan variasi lokal dalam faktor
lingkungan (misalnya berlebihnya oksigen atau pH) atau pembentukan varian
fenotipik dibawah tekanan imun host. Efektivitas terapi kombinasi dengan
agen antimikrobakterial dalam regimen jangka pendek sementara telah
diperkirakan sebagai hasil dari efektivitas yang berbeda dari masing-masing
agen terhadap subpopulasi bakteri. Paradigma ini paling jelas dijelaskan
oleh Mitchison, yang mengidentifikasi beberapa obat memiliki aktifitas
“bakterisida” (kemampuan untuk membunuh bakteri yang bereplikasi secara
cepat) dan lainnya sebagai memiliki aktivitas “mensterilkan”(kemampuan
untuk membunuh bakteri yang persisten, atau tidak berreplikasi).4

Pengobatan Tuberkulosis
Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan terbaru pada
tahun 2018, tatalaksana tuberkulosis didasarkan terhadap jenis penderita
tuberkulosis itu sendiri. Tahapan pengobatan TB dibagi menjadi dua yaitu
tahap awal dan tahap lanjutan. Pada tahap awal, pengobatan diberikan
setiap hari dengan tujuan menurunkan jumlah kuman pada tubuh pasien.
Pengobatan tahap awal diberikan selama 2 bulan. Pengobatan tahap lanjutan

1006 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis pada Keadaan Khusus

bertujuan untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh dan
mencegah kekambuhan. Durasi tahap lanjutan diberikan selama 4 bulan.5

Dosis Maksimum Dosis Maksimum


Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomicin 15 (12-18) - 15 (12-18) -
Tabel 1. Kategori obat lini pertama untuk pengobatan TB paru5

Paduaan obat standar pasien TB dengan kasus baru didasarkan pada


penelitian WHO yang dikutip oleh PNKP berupa 2HRZE/4RH. Sedangkan,
paduan menggunakan paduan alternative yaitu 2HRZE/4H3R3 harus disertai
pengawasan ketat secara langsung untuk setiap dosis obat. Semua pasien TB
paru sebaiknya mendapatkan terapi pengobatan paduan obat rifampisin:
2HRZE/4HR. Paduan ini berlaku baik pada TB paru maupun TB ekstraparu,
kecuali TB esktraparu yang melibatkan system syaraf pusat dan tulang dan
sendi, karena kebutuhan akan dosis yang lebih tinggi dan waktu yang lebih
lama untuk penetrasi ke jaringan.5

Pengobatan TB pada Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA)


HIV merupakan faktor risiko yang diketahui meningkatkan seseorang
untuk terinfeksi oleh TB. Berdasarkan penelitian, seseorang memiliki
kemungkinan lebih besar sebanyak 29-37 kali lipat mendapatkan TB
dibanding seorang dengan status HIV negatif. Pengobatan pun menjadi
semakin sulit karena monitoring dan komorbiditas seorang penderita HIV
harus diperhatikan. Pemberian terapi TB juga harus mempertimbangkan
adanya sindrom rekonstitusi imun yang dapat muncul saat tubuh kembali
mendapatkan kemampuan imun nya pasca pemberian pengobatan HIV.6

Berdasarkan PNKP 2018, prinsip pengobatan TB pada dasarnya sama


dengan pengobatan TB pada orang biasa, hanya saja koinfeksi TB HIV sering
kali mudah terjadi efek samping berupa hepatotoksik. Dosis pemberian terapi
TB menggunakan kombinasi dosis tetap (KDT) yang sama dengan pemberian
obat antiretroviral (ARV) diberikan 2 minggu setelah pemberian OAT. Pada
pengobatan lini 1, Efavirenz (EFV) merupakan golongan Non Nucleotide
Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) yang direkomendasikan digunakan
karena memiliki interaksi yang baik dengan rifampisin. Kotrimoksazol

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1007


Arto Yuwono Soeroto

diberikan pada semua ODHA dengan TB tanpa memperhitungkan nilai CD4,


sedangkan pada ODHA tanpa TB, pemberian cotrmixazol diberikan pada
penderita dengan nilai CD4 dibawah 200 sel/mm35,7

Berdasarkan jurnal terbaru, telah dipastikan bahwa pengobatan 3 kali


dalam seminggu untuk pasien koinfeksi TB dan HIV dikontraindikasikan.8
Penelitian berdasarkan Nix trail menganjurkan bahwa penggunaan kombinasi
tiga obat (preteomanid, bedaquiline, dan linezolid) lebih disarankan
penggunaannya pada pasien dengan multidrug resistant (MDR) maupun pada
penderita dengan extensive drug resistant (XDR).9

Pengobatan TB Laten dengan HIV


Berdasarkan guideline penggunaan ARV pada dewasa dan remaja di Amerika
Serikat yang dikeluarkan pada tahun 2016, rekomendasi penggunaan ARV
dan OAT dikategorikan sebagai berikut :

• Pemilihan pencegahan TB pada seseorang dengan HIV positif dengan


latent TB berdasarkan terapi sebagai berikut :
- Seluruh regimen ARV dapat digunakan saat isoniazid saja yang
hanya dapat digunakan untuk latent TB
- Hanya regimen berbasis efavirenz (EFV) atau raltegravir (RAL)
(dengan kombinasi bersama baik abacavir/lamivudine [ABC/3TC]
atau tenovofir disoproxil fumarate/emtricitabine [TDF/FTC]) yang
dapat digunakan 1 minggu sekali bersama isoniazid ditambah
rifapentine
- Jika rifampin atau rifabutin digunakan untuk mengatasi TB laten,
dokter harus melakukan asesmen untuk menilai potensi interaksi
diantara rifampicin dan berbagai ARV yang digunakan.
• Pemilihan terapi untuk pasien TB laten dengan HIV pada dasarnya terdiri
dari
- Isoniazid (INH) setiap hari atau 2 kali dalam seminggu selama 9
bulan,
- INH ditambah rifapentine 1 kali seminggu selama 12 minggu, dan
- Rifampin (atau rifabutin) setiap hari selama 4 bulan.

Selama 30 tahun, INH telah menjadi terapi yang dapat digunakan untuk
mengatasi TB laten bahkan pada penderita yang sedang dalam kehamilan.10
Kombinasi INH dan rifapentine dapat digunakan hanya dalam waktu 3 bulan

1008 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis pada Keadaan Khusus

dan keamanannya sama dengan INH yang digunakan selama 9 bulan. Walau
bekerja dalam menginduksi sitokrom P450, keamanan rifapentine tetap sama
dan didukung pada berbagai penelitian untuk digunakan bersama efavirenz
(EFV) dan raltegravir (RAL).

Pengobatan TB aktif dengan HIV


Semua pasien dengan HIV dan TB aktif yang sedang tidak menggunakan
ARV harus diberikan ARV dengan persyaratan sebagai berikut
- Pada pasien dengan jumlah CD4 < 50 sel/mm3: mulai ART sesegera
mungkin, dengan rentang waktu dalam 2 minggu pengobatan TB
- Pada pasien dengan jumlah CD4 > 50 sel/mm3: mulai ARV dalam 8
minggu setelah pengobatan TB
- Pada pasien hamil dengan HIV: mulai ARV sesegera mungkin, untuk
mencegah terjadinya infeksi TB dari ibu ke anak
- Pada pasien dengan meningitis TB: pemeriksaan tambahan dan
penilaian harus dilakukan saat awal pemberian ARV, karena dapat
meningkatkan angka kematian.

Rifampisin merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan TB dan


sebaiknya diikutsertakan pada pasien baik dengan HIV dan TB aktif, kecuali
pada kondisi dimana terjadi resistensi atau toksisitas. Hanya saja, rifampisin
memiliki banyak kemungkinan untuk memiliki interaksi obat. Sehingga
kemungkinan terjadinya interaksi harus diperhatikan.11

Pasien dengan TB resisten obat


Tingkat kematian meningkat pada pasien dengan multidrug-resistant
(MDR) atau extensively drug resistant (XDR). Hanya saja, timing atau waktu
pemberian ART pada pasien dengan keadaan khusus tersebut tidak diketahui
sehingga pada saat awal pemberian sebaiknya berkonsultasi dengan ahlinya
dan pengawasan ketat harus dilakukan pada saat pengobatan dilakukan
untuk mencegah kemungkinan terjadinya efek samping.11,12

Pasien HIV dengan meningitis TB


Meningitis TB sering dikaitkan dengan komplikasi parah dan tingginya
angka kematian. Pada satu penelitian, dilakukan perbandingan antara
pemberian ART segera setelah pemberian obat TB dan pemberian ARV yang
ditunda setelah 2 bulan pemberian ARV. Hasilnya, terjadi peningkatan efek

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1009


Arto Yuwono Soeroto

samping yang lebih tinggi pada orang-orang yang diberikan ARV segera
setelah pemberian OAT. Sehingga, pengawasan ketat sangat dianjurkan pada
saat pemberian ARV diberikan segera setelah pemberian OAT.11,13

Pasien HIV dalam kehamilan


Semua pasien dalam kehamilan dengan HIV dan TB aktif sebaiknya
diberikan ARV sesegera mungkin, baik untuk mengobatan infeksi maternal
HIV dan untuk mencegah transmisi secara perinatal. Pemilihan ARV sebaiknya
didasarkan pada efikasi dan keamanan dari kehamilan dan sebaiknya
memperhatikan interaksi antar obat antara ARV dan rifampisin.11

Tuberkulosis-Associated Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome


Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) merupakan suatu
kondisi klinis yang disebabkan oleh restorasi melalui ARV terhadap immune
suatu pathogen khusus seperti infeksi oportunis seperti TB, yang berakibat
baik deteriorasi infeksi yang telah diobati (IRIS paradoksik) atau presentasi
baru infeksi subklinis (unmasking IRIS). IRIS yang diasosiasikan dengan TB
dilaporkan pada 8% sampai lebih dari 40% pasien yang memulai ARV setelah
TB didiagnosis, walaupun insidensinya bergantung pada deifinisi IRIS dan
intensitas pengawasn. Predictor dari IRIS termasuk batas CD4 < 50 sel/
mm3, semakin tinggi pada CD4 yang meningkat, keparahan dari penyakit TB,
terutama pada daerah dengan tingginya angka patogenisitias, kebanyakkan
IRIS pada HIV/TB muncul dalam 3 bulan pemberian ARV.11

Manifestasi dari unmasking TB-IRIS berupa munculnya tanda-tanda


inflamasi seperti demam tinggi, respiratory distress, limfadenitis, abses,
dan sindrom sepsis. Manifestasi dari TB-IRIS paradoksikal berupa demam,
limfadenopati yang semakin memburuk, memburuknya infiltrate, pembesaran
dari efusi pleura, dan tuberculoma baru atau pembesaran dari tuberkuloma
sebelumnya.

IRIS sendiri memiliki rentang dari bersifat biasa sampai mengancam


jiwa. Pasien dengan IRIS mild dapat diatasi secara simptomatik atau diterapi
dengan agen anti inflamasi non steroid. Pasien dengan IRIS yang lebih parah
dapat diterapi dengan kortikosteroid, walaupun data mengenai penggunaan
dosis, waktu, dan keamanan secara umum masih sangat terbatas. Pada
keadaan terjadinya IRIS yang mengancam nyawa, baik terapi OAT maupun
ARV harus dihentikan sesegera mungkin untuk menjamin keamanan dari
pasien.

1010 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis pada Keadaan Khusus

Pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes Mellitus


TB merupakan salah satu faktor risiko umum pada pasien dengan
Diabetes Mellitus (DM). Berdasarkan Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
bagi petugas kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 2017, terdapat beberapa panduan bagi
pengelolaan TB pada pasien dengan DM, diantaranya adalah, pada prinsipnya
pengelolaan panduan OAT sama dengan pasien tanpa DM dengan syarat gula
darah terkontrol. Apabila gula darah tidak terkontrol, maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan sampai bulan 9.

Pemberian ethambutol harus diperhatikan karena dapat menyebabkan


komplikasi pada mata. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena
akan menurunkan efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonylurea) sehingga
dosis SU perlu dipertimbangkan untuk ditingkatkan. Pilihan utama pada
pasien dengan DM adalah insulin. Oleh karena OAT pada umumnya bersifat
hepatotoksik yang akan mempengaruhi metabolisme obat oral hipoglikemik
(OHO). OAT juga dapat menghambat penyerapan OHO di saluran pencernaan,
sehingga diperlukan dosis OHO yang lebih tinggi.

Pada pasien dengan TB resisten obat, DM dapat memperkuat efek


samping OAT terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer. Obat anti
diabetes (OAD) tidak merupakan kontra indikasi selama pengobata TB tetapi
biasanya memerlukan dosis OAD yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan
khusus. Apabila pasien minum etionamid maka kadar insulin darah lebih sulit
dikontrol. Kadar kalium darah dan serum kreatinin harus dipantau setiap
minggu selama bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali dalam 1 bulan
selama tahap awal.14

Sebagai tambahan dari efek menurunkan lipid, statin juga memiliki


potensi anti inflamasi dan dapat mengurangi risiko dari tuberkulosis.
Statin yang digunakan oleh orang yang menderita DM tidak mencegah
perkembangan dari TB. Ezetimibe, inhibitor absorpsi kolesterol mengurangi
ketahanan M Tuberkulosis di individu sel. Sebagai terapi tambahan dari TB,
statin dapat memberikan hasil percepatan kultur negative sebanyak 1 bulan,
mengurangi patologi dari jaringan, dan meningkatkan efek eliminasi bakteri.
Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut dalam mengevaluasi efek obat
tehadap interaksinya dengan obat TB lini pertama.15,16

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1011


Arto Yuwono Soeroto

Metformin, obat yang digunakan pada DM tipe 2 mengaktivasi AMP-


activated protein kinase, yang meregulasi jumlah energi sel, diferensiasi sel T,
dan perkembangan sel memori. Metformin dapat mengurangi jumlah resiko
tingginya bakteri dan memperbaiki patologi paru-paru pada tikus dan manusia
dengan meningkatkan autofagi dan meningkatkan produksi ROS. Penggunaan
metformin sebagai terapi tambahan sayangnya tidak meningkatkan aktivitas
sterilisasi dan relaps dari TB pada pasien dengan DM yang juga memiliki
TB.16,17

Pengobatan Pasien TB dengan kelainan hati


Pada pasien dengan kelainan hati, terdapat beberapa kondisi yang harus
diperhatikan bergantung pada jenis kondisi hati yang dialami oleh pasien itu
sendiri. Kemungkinan terjadinya gangguan hepar semakin meningkat pada
pasien dengan penyakit hati diawal, tranplantasi hati, dan infeksi hepatitis
C. kelainan dasar awal dari nilai aminotransferase merupakan faktor risiko
terjadinya DILI (gangguan hati terinduksi obat)

Pasien dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami perbaikan dan pasien
dirujuk ke pusat pengobatan lebih lanjut. Pasien dengan kondisi sebagai
berikut dapat diberikan OAT yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi
kronis, yaitu pembawa virus hepatitis, riwayat penyakit hepatitis akut,
dan saat ini masih sebagai pecandu alcohol. Reaksi terhadap OAT berupa
hepatotoksisitas umumnya terjadi pada kondisi diatas sehingga pemberian
OAT sangat harus diperhatikan.

Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan hepatitis kronis atau kecurigaan memiliki hepatitis
kronis, maka pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai
pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati menunjukkan peningkatan
lebih dari 3x lipat dari normal sebelum memulai pengobatan, maka terdapat
beberapa panduan yang dapat diberikan pada pasien, diantaranya
- 2 obat yang hepatotoksik (2HRSE/6HR) maupun 9HRE
- 1 obat yang hepatotoksik (2HES/10HE)
- Tanpa obat hepatotoksik (18-24 SE) ditambah salah satu golongan
florokuinolon (ciprofloxacin tidak direkomendasikan karena potensinya
sangat lemah)14

1012 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis pada Keadaan Khusus

Pada pasien dengan penyakit hati yang parah, tidak stabil, dapat digunakan
terapi berupa Ethambutol yang dikombinasikan dengan floroquinolone,
cycloserine, dan obat suntik lini kedua selama 18-24 bulan (mirip dengan
regimen pada MDR). Beberapa ahli menghindari pengginaan aminoglikosida
dengan pertimbangan kemungkinan adanya perdarahan pada daerah yang
disuntik karena keberadaan trombositopenia atau koagulopati.18

Pengawasan Pasien dengan Penyakit Hati


Data mengenai cara pengawasan pasien dengan komorbid penyakit hati
masih jarang. Pengawasan klinis dan edukasi pasien mengenai kemunculan
dari gejala penyakit hati harus diedukasi kepada seluruh pasien. Penilaian
serum aminotransferase dan bilirubin total sebaiknya dievaluasi setiap 1-4
minggu pada setidaknya 2-3 awal pengobatan. INR juga sebaiknya dinilai
secara berkala selama kurang lebih 1 bulan. Peningkatan serum ALT lebih
spesifik menunjukkan kelainan hepatoseluler dibandingkan dengan kenaikan
AST, yang juga dapat terjadi pada kelainan otot, jantung, atau ginjal. Pada
beberapa keadaan dimana penyakit hati sebelumnya berada dalam bentuk
yang lebih parah seperti siross atau ensefalopati, belum ada batas ALT
yang ditentukan sebagai nilai awal. Pendapat mengatakan bahwa sebaiknya
penilaian ALT dievaluasi 2 kali dalam seminggu dan obat dihentikan bila
terjadi kenaikan lebih dari 3 kali nilai normal bahkan saat tidak bergejala.18,19

Pasien dengan Penyakit Ginjal


Pasien dengan penyakit ginjal berupa end stage renal disease (ESRD)
merupakan pasien dalam kategori imunokompromais. Pasien TB dengan
ESRD memiliki keluaran klinis yang lebih buruk dengan pasien tanpa ESRD.
Sehingga, dibutuhkan pengawasan yang lebih tepat dalam menangani
pasien dengan ESRD yang terkena TB. Beberapa pengobatan TB ada yang
dieksresikan melalui ginjal. Selain itu, pada orang-orang dengan hemodialisis,
perlu juga dilakukan pengaturan dosis obat karena beberapa obat dibersihkan
oleh hemodialisis.

Menurunkan dosis puncak konsentrasi darah dapat mengganggu efikasi


dari obat tersebut. Berdasarkan pendapat para ahli interval antara konsentrasi
puncak dari obat di serum dengan bersihan kreatinin < 30 ml/menit dan pada
pasien dengan hemodialisis rutin harus ditingkatkan. Pada pasien dengan
funsgi ginjal yang borderline, koleksi urin 24 jam harus dilakukan untuk
mendapatkan penggambaran yang lebih efektif dari insufisiensi renal sebelum
membuat pengaturan baru dari dosis obat. Masih terdapat kekurangan data

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1013


Arto Yuwono Soeroto

untuk menentukan adjustment obat pada pasien dengan bersihan kreatinin


> 30 ml/menit. Penggunaan obat pada pasien dengan keadaan demikian
membutuhkan penilaian para ahli, hanya saja, penghitungan dosis tertinggi
di serum setelah 2-6 jam pemberian obat dapat dilakukan untuk menentukan
dosis pasti obat di tubuh.

Rifampisin dan isoniazid dimetabolisme di hati, sehingga dosis


konvensional penggunaannya dapat digunakan sama seperti pada pasien
normal. Walaupun pirazinamid dimetabolisme di hati, namun zat metabolit
keluarannya berupa pyrazinoic acid dan 5 hydroxy pyrazinoic acid dapat
terakumulasi pada pasien dengan gangguan ginjal. Ethambutol memiliki
tingkat eksreksi sekitar 80% di ginjal dan mungkin terakumulasi pada pasien
dengan penyakit ginjal. Para ahli merekomendasikan pemberian interval di
antara selang dosis (3 kali seminggu) untuk pirazinamid dan ethambutol.
Dengan hemodialisis, pirazinamid, isoniazid, dan ethambutol dibersihkan
dari darah, walau rifampisin tidak sama sekali.

Obat-obatan lain yang dieksresikan lewat hemodialisis diantaranya


adalah floroquinolon. Levofloxacin mengalami bersihan yang lebih hebat
dibandingan dengan moxifloxacin. Pemberian post dialisis untuk seluruh
medikasi antituberkulosis lebih dipilih pada fasilitas DOT dan berguna juga
untuk menghindari pembersihan lebih awal dari pirazinamid dan obat-obatan
lain. Pengawasan konsentrasi obat di serum, bersamaan dengan penilaian
farmakologis dan klinis pada pasien dengan ESRD sangat dibutuhkan. Pasien
dengan ESRD seringkali mengkonsumsi obat-obatan lain yang berinteraksi
dengan obat antituberkulosis atau memiliki kondisi komorbiditas yang dapat
mengganggu penyerapan obat, seperti DM dan gastroparesis.

Pada pasien dengan dialisis peritoneal rutin, terkadang tidak ditemukan


kesamaan standar seperti pada pasien yang menggunakan hemodialisis rutin.
Pada kondisi tersebut, dibutuhkan penilaian lebih ketat pada pengawasan
obat. Penghitungan nilai konsentrasi obat sebaiknya dilakukan pada saat
sebelum dan sesudah peritoneal dialysis.

1014 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis pada Keadaan Khusus

Secara ringkas, pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk


terkena TB khususnya pasien dengan penyakit ginjal kronis. Pemberian OAT
pada pasien ginjal sebaiknya memperhatikan OAT yang memiliki kemungkinan
eksresi di ginjal yang tinggi seperti pirazinamid dan ethambutol. Pasien juga
perlu diberikan tambahan piridoksin (vit B6) untuk mencegah terjadinya
neuropati perifer.

Pemberian OAT pada ibu hamil


Pengobatan TB sebaiknya dimulai sesegera mungkin kapanpun penyakit
ibu memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi lebih parah bila tidak
diobati, dengan efek yang memburuk baik pada ayah maupun pada ibu.
Walaupun OAT dapat menembus plasenta, namun tidak ada efek teratogenic
yang dilaporkan dapat muncul dari pemberian OAT kepada ibu hamil. Hanya
saja, pemberian pirazinamid pada ibu hamil masih merupakan kontroversi di
Amerika Serikat. Food and Drug Association sebelumnya mengklasifikasikan 4
obat lini pertama berupa isoniazid, rifampicin, pirazinamid, dan ethambutol
sebagai obat dengan kemungkinan teratogenic efek yang setara (semuanya
termasuk ke dalam kategori C)

Disarankan kepada para klinisi yang hendak menggunakan pirazinamid


untuk mengevaluasi pasien secara khusus untuk memberikan informed
consent yang memadai kepada pasien, sehingga pasien memiliki pemahaman

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1015


Arto Yuwono Soeroto

yang lebih baik dan kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak
diinginkan. Sangat penting juga untuk menggunakan pirazinamid pada daerah
yang memiliki tingkat resistensi kuman yang tinggi. Berdasarkan penelitian
para ahli, regimen dengan memasukkan pirazinamid sebagai komponennya
memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan regimen
tanpa pirazinamid. Bila tidak menggunakan pirazinamid, maka disarankan
penggunaan regimen dengan INH, RIF, dan EMB selama sembilan bulan.
Walau obat lini kedua masih belum memiliki banyak penelitian mengenai
efeknya pada bayi, namun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik
dan tidak dibutuhkan terminasi lebih awal terhadap janin.

Kegiatan menyusui sangat didukung terutama untuk wanita yang


dianggap tidak non infeksius dan diterapi dengan pengobatan OAT lini
pertama. Konsentrasi kecil dari OAT ditemukan pada ASI namun tidak
memiliki efek toksik terhadap ibu dan bayi. Kebalikannya, obat-obat yang
ditemukan di ASI.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization, Global Tuberkulosis Report 2018. 2018, The
Organization: Geneva.
2. Indonesia, K.K.R., Pengobatan Pasien Tuberkulosis, Kesehatan, Editor. 2017, The
Government: Jakarta.
3. CR, H., B. CE, and L. C, Treatment of Tuberkulosis. N Engl J Med, 2015. 373(22): p.
2149-2160.
4. D, M. and D. G, The chemotherapy of tuberkulosis: past, present and future. Int J
Tuberc Lung Dis, 2012. 16(6): p. 724-732.
5. PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN, DIAGNOSIS DAN TATA
LAKSANA TUBERKULOSIS 2018: JAKARTA.
6. TB CARE I, International Standards for Tuberkulosis Care. 2014, THE HAGUE.
7. Ryom, L., et al., Highlights of the 2017 European AIDS Clinical Society (EACS)
Guidelines for the treatment of adult HIV‐positive persons version 9.0. European
AIDS Clinical Society (EACS) Guideline, 2018. 19: p. 309-315.
8. G, M., S. C, and B. L, Randomized controlled trial of prednisone for prevention of
paradoxical TB-IRIS. CROI 2017. 2017, Seattle.
9. F, C., D. AH, and E. D, The NIX-TB trial of pretomanid, bedaquiline and linezolid to
treat XDR-TB 80LB. CROI 2017, 2017.
10. TR, S., S. NA, and Miro JM, Three months of weekly rifapentine plus isoniazid for
treatment of Mycobacterium tuberkulosis infection in HIV co-infected persons. AIDS,
2016.

1016 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis pada Keadaan Khusus

11. A Working Group of the Office of AIDS Research Advisory Council, Guidelines for
the Use of Antiretroviral Agents in Adults and Adolescents with HIV. 2019.
12. NR, G., S. NS, and A. JR, HIV coinfection in multidrug- and extensively drug-resistant
tuberkulosis results in high early mortality. Am J Respir Crit Care Med, 2010. 181(1):
p. 80-86.
13. ME, T., Y. NT, and C. TT, Timing of initiation of antiretroviral therapy in human
immunodeficiency virus (HIV)-associated tuberculous meningitis. Clin Infect Dis,
2011. 52(11): p. 1374-1383.
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Modul Pelatihan Penanggulangan
Tuberkulosis Bagi Petugas Kesehatan Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut, P.D.P. Penyakit, Editor. 2017: Jakarta.
15. CC, L., et al., Statin treatment is associated with a decreased risk of active tuberkulosis:
an analysis of a nationally representative cohort. Thorax, 2016. 71: p. 646-651.
16. Tiberi, S., et al., Tuberkulosis: progress and advances in development of new drugs,
treatment regimens, and host-directed therapies. Lancet, 2018. 18.
17. J, B., C. F, and V. EE, The energy sensor AMPK regulates T cell metabolic adaptation
and effector responses in vivo. Immunity, 2015. 42: p. 41-54.
18. Society, A.T., Clinical Practice Guidelines for Drug-Susceptible TB. CID, 2016.
19. N, K., et al., Antitubercular therapy in patients with cirrhosis: challenges and options..
World J Gastroenterol 2014. 20: p. 5760-5772.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1017


Diagnosis Artritis Reumatoid:
Kriteria Klinis dan Laboratoris
Faridin HP, Achmad Fikry F
Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo - Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit inflamasi kronis yang


ditandai dengan pembengkakan, kekakuan dan destruksi sendi (sinovial),
yang menyebabkan disabilitas dan tingginya angka mortalitas. Sekitar 0,5-
1% populasi di seluruh dunia menderita penyakit ini, namun prevalensinya
bervariasi pada berbagai tempat. Insidennya dilaporkan sebesar 5% pada
daerah native Amerika, namun lebih jarang ditemukan pada orang Cina
dan Jepang (0,3%). Prevalensi di Eropa sendiri dilaporkan lebih tinggi pada
daerah Eropa utara dibanding selatan (0,5-1,2% vs 0,3-0,7%). Penyakit
ini tiga kali lebih sering ditemukan pada wanita dibanding pria, terutama
ditemukan pada usia reproduktif dan jarang ditemukan pada usia tua (awal
munculnya kebanyakan pada usia 35-50 tahun, namun dapat muncul pada
umur berapapun).

Artritis reumatoid memiliki manifestasi klinis yang luas, dimana selain


menimbulkan manifestasi artikular juga dapat menimbulkan manifestasi
non-artikular. Kerusakan sendi biasanya terjadi dalam bulan pertama dari
perjalanan penyakit ini, dimana kerusakan struktural yang terjadi bersifat
ireversibel. Komplikasi sistemik sering ditemukan dan dapat melibatkan
beberapa organ termasuk mata, sistim saraf pusat dan perifer, paru, jantung
dan ginjal. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan
munculnya auto-antibodi berupa rheumatoid factor (RF) dan anti cyclic
citrullinated protein antibody (ACPA), sehingga dinyatakan bahwa patogenesis
AR melibatkan reaksi humoral dan seluler kompleks termasuk pembentukan
kompleks imun, reaksi vaskular serta infiltrasi limfosit dan monosit ke
jaringan sinovium.

Perkembangan AR yang terjadi akibat ketidakseimbangan produksi


sitokin proinflamasi dimulai dengan respon imun awal yang dikarakteristikkan
dengan aktivasi autoantigen, kemudian berlanjut dengan respon imun adaptif
yang ditandai dengan produksi berlebihan dari sitokin proinflamasi pada
sendi. Sel-sel infiltrasi dan sinovisitis akan melepaskan mediator proinflamasi,

1018 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Artritis Reumatoid: Kriteria Klinis dan Laboratoris

termasuk interleukin-6 (IL-6), yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan


kerusakan pada sel lain dalam sinovium dan struktur periartikular.

Gejala Klinis
Pada sebagian besar penderita, keluhan mulai perlahan-lahan dalam
jangka waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan. Sering disertai
kelemahan umum dan nyeri muskuloskeletal yang bersifat difus. Selanjutnya
timbul nyeri spontan, nyeri tekan, pembengkakan dan kemerahan pada
sendi tertentu. Yang khas adalah terkenanya sendi secara simetris, biasanya
mengenai sendi-sendi tangan, pergelangan tangan, siku dan bahu. Biasanya
sendi interalang distal (DIP) tidak terkena. Sifat simetris dan tidak terkenanya
sendi DIP sangat penting untuk membedakan AR dengan penyakit sendi
lainnya.

Inaktifitas seperti tidur atau duduk yang lama akan diikuti oleh kekakuan
sendi, terutama bila bangun tidur pagi yang dikenal sebagai morning stiffness.
Menurut Schumacher, lamanya kaku pagi hari dapat dipakai sebagai ukuran
beratnya penyakit.

Nyeri dan kekakuan meningkat perlahan-lahan selama AR berlanjut


dan akan mengurangi kesanggupan berjalan, naik tangga, membuka pintu
atau tutup botol atau kaleng atau melakukan pekerjaan yang halus seperti
menjahit. Proses ini dapat diikuti oleh penurunan berat badan, demam yang
tidak terlalu tinggi dan depresi.

Perjalanan penyakit AR tidak dapat diramalkan. Kadang-kadang semua


gejala yang disebutkan diatas muncul secara akut dalam beberapa hari saja,
atau dapat juga secara intermiten yang makin lama makin jelas. Para peneliti
sependapat bahwa proses AR yang akut akan memiliki prognosis yang lebih
baik dibandingkan proses yang intermiten dan kronik.

Manifestasi Artikuler
Artritis reumatoid dapat mengenai setiap sendi diartrodial, tetapi yang
paling sering terkena adalah sendi-sendi tangan, pergelangan tangan, lutut
dan kaki. Siku, bahu, sendi strenoklavikuler, sendi pang-gul dan pergelangan
kaki dapat juga terkena. Sendi temporomandibuler dan krikoaritenoid lebih
jarang lagi terkena.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1019


Faridin HP, Achmad Fikry F

Tanda awal AR yang khas adalah bentuk jari seperti kumparan (fusiform)
karena pembengkakan sendi interfalang proksimal (PIP). Biasanya hal itu
akan diikuti oleh pembengkakan sendi metakarpofa-langeal (MCP).

Hiperlaksitas jaringan lunak sendi akan meng-akibatkan timbulnya


deviasi ulnar jari-jari yang disertai subluksasi palmar falang proksimal. Deviasi
ulnar sendi MCP sering bersamaan dengan deviasi radial sendi radiokarpal
sehingga mengakibatkan terjadinya deformitas zigzag pada tangan. Pada
stadium lanjut dapat terjadi deformitas swan-neck, akibat hiperekstensi sendi
PIP dan fleksi sendi DIP, dan deformitas boutonniere, sebagai akibat fleksi
sendi PIP dan ekstensi sendi DIP.

Artritis reumatoid hampir selalu mengenai pergelangan tangan,


yang ditunjukkan dengan adanya boggy synovium yang mudah diraba.
Pembengkakan ulnar tanpa nyeri didaerah stiloid dapat merupakan tanda
awal AR. Seringkali gerak sendi yang mula-mula terganggu pada AR adalah
dorsofleksi pergelangan tangan.

Proliferasi sinovium didaerah volar dapat menekan n.medianus dan


mengakibatkan timbulnya sindrom terowongan karpal (carpal tunnel
syndrome) yang ditandai oleh parestesi dan disestesi permukaan palmar jari
I, II, III dan sisi radial jari IV dan kadang-kadang disertai atrofi otot-otot tenar.
Manifestasi awal AR pada sendi siku dapat berupa fleksi kontraktur
dan pembengkakan sendi tersebut. Erosi jaringan sekitar panus sering
menyebabkan destruksi alur paraolekranon, sehingga celah sendi menyempit,
kontak permukaan tulang-tulang sendi kurang baik dan pada akhirnya dapat
terjadi dislokasi sendi.

Bahu cukup sering terkena, meskipun bukan pada awal AR. Sendi yang
mudah terkena adalah sendi glenohumeral, akromioklavikular dan torakos-
kapular. Gejala yang khas ialah terbatasnya gerak sendi dan nyeri tekan tepat
dibawah dan lateral dari prosesus korakoideus. Dapat juga terjadi ruptur
kapsul sendi dan subluksasi humerus.

Nyeri dan kaku leher sering ditemukan pada AR dan dapat berhubungan
dengan erosi vertebra servikalis. Pada beberapa penderita, erosi yang
progresif dapat mengakibatkan subluksasi atlantoaksial yang menyebabkan
kompresi medula spinalis. Subluksasi ini juga dapat menyebabkan perputaran

1020 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Artritis Reumatoid: Kriteria Klinis dan Laboratoris

dan penekanan a.vertebralis sehingga terjadi insufisiensi vertebrobasiler dan


gejala sinkop bila penderita menundukkan kepalanya.

Pada umumnya, nyeri dan pembengkakan sendi panggul akibat AR


sulit dideteksi, sehingga hanya terlihat gaya berjalan yang abnormal dan
keterbatasan ruang lingkup gerak sendi panggul.

Sendi lutut sering juga terserang AR, yang mengakibatkan hipertrofi


sinovium dan efusi sendi. Pada stadium kronis dapat timbul atrofi otot
kuadriseps dan kista baker akibat pembesaran bursa semitendineus didalam
fosa poplitea. Bila kista ini pecah, dapat menimbulkan gejala yang mirip
dengan tromboflebitis akut. Instabilitas sendi lutut juga dapat terjadi akibat
destruksi tulang dan jaringan lunak sendi.

Deformitas pada kaki yang terserang AR dapat dianalogikan dengan


tangan, misalnya subluksasi kaput metatarsal dan deviasi fibuler jari I-IV.
Lesi tersering pada kaki akibat AR adalah bursitis retrokal-kaneal. Berbeda
dengan pergelangan tangan, pergelangan kaki jarang terserang AR.

Manifestasi Ekstra Artikuler


Dahulu, manifestasi ekstrartikuler AR dianggap sebagai komplikasi
penyakit. Sekarang ini, manifestasi ekstraartikuler dipandang sebagai bagian
integral dari perjalanan penyakit AR sesuai dengan sifat penyakit ini sebagai
penyakit sistemik.

Gejala sistemik AR dapat berupa demam yang tidak terlalu tinggi,


limfadenopati ringan, atrofi dan kelemahan otot dan pada penyakit yang berat
dapat ditemukan tremor akibat kelelahan otot.

Nodul subkutan dapat ditemukan pada 20-25% kasus di daerah


periartikuler dan daerah yang sering tertekan, seperti siku, oksiput dan
sakrum. Nodul ini harus dibedakan dengan tofus, kista sebaseus, xantoma
atau karsinoma sel basal.

Kelainan kulit yang lain yang dapat ditemukan pada AR adalah akibat
vaskulitis yang dapat berupa bintik kecil kecoklat-coklatan atau lesi yang
splinter shaped, purpura yang teraba atau ekimoses.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1021


Faridin HP, Achmad Fikry F

Kelainan pada jantung yang menimbulkan keluhan, jarang didapatkan


pada AR. Biasanya lesi simtomatik berupa perikarditis akut, terutama pada
kasus AR seropositif, tetapi jarang menimbulkan tamponade jantung.

Kelainan pada paru-paru dapat berupa fibrosis interstitial atau


pneumonitis. Kadang-kadang dapat ditemukan sindrom Caplan, yang
berhubungan dengan pneumokoniosis.

Kelainan neurologik, sering berhubungan dengan vaskulitis, misalnya


sindrom mononeuritis multipleks yang mengakibatkan foot drop atau wrist
drop. Dapat juga timbul kelainan saraf akibat proliferasi sinovium sehingga
menekan saraf atau radiks, misalnya pada subluksasi atlantoaksial dan
sindrom terowongan karpal. Susunan saraf pusat jarang terkena.

Pada mata dapat timbul skleritis atau episkleritis dan pada yang berat
dapat timbul skleromalasia perforans. Salah satu varians dari AR yang disertai
keringnya mata dan juga keringnya mulut adalah Sindrom Sjogren.

Varians lain dari AR yang disertai kelainan hematologik, seperti


limfadenopati, splenomegali, anemia, trombositopeni dan lekopenia selektif
(biasanya hanya mengenai netrofil) disebut Sindrom Felty. Sindrom ini
biasanya ditemukan pada AR yang sangat aktif disertai gejala sistemik yang
dominan seperti demam, kelemahan umum, anoreksi dan berat badan yang
turun.

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, tidak terdapat kelainan yang khas
pada AR. Biasanya didapatkan peningkatan LED dan anemia normositik
normokrom. Faktor reumatoid yang tinggi dapat membantu diagnosis, tetapi
tidak memastikan diagnosis. Titer yang tinggi biasnya dihubungkan dengan
adanya nodul reumatoid.

Cairan sinovium pada AR termasuk kelompok inflamasi yang ditandai


oleh jumlah lekosit 5000-20000/ml, PMN 50-70%, kadar komplemen rendah,
tes bekuan musin buruk dan biasanya faktor reumatoid positif.

Pemeriksaan serologi dan HLA sampai saat ini tidak dapat memastikan
diagnosis AR.

1022 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosis Artritis Reumatoid: Kriteria Klinis dan Laboratoris

Pemeriksaan Radiologik
Pada gambaran radiologik konvensional jari tangan, tampak
pembengkakan jaringan lunak yang mengenai semua sisi sendi yang terkena
dan berbentuk fusiform. Selain itu juga tampak erosi marginal tulang pada
bare areas, yaitu bagian tulang didalam sendi yang tidak tertutup oleh rawan
sendi. Erosi tulang terutama timbul dekat pada tempat melekatnya kapsul
sendi dimana rawan sendi berakhir dan diganti oleh sinovium. Tampak pula
tertutupgambaran
oleh rawankhas berupa
sendi. Erosi penyempitan
tulang terutamacelah
timbulsendi
dekatakibat hilangnya
pada tempat rawan sendi.
melekatnya kapsul
sendi dimana rawan
Tidak ada sendi tulang
reaksi berakhirsubperiosteal.
dan diganti olehOsteoporosis
sinovium. Tampakyang pula gambaran
timbul khas
agak awal
berupadidaerah
penyempitan celah sendi akibat hilangnya rawan sendi. Tidak ada
juksta-artikuler dan dapat diikuti oleh osteoporosis umum. Deviasireaksi tulang
subperiosteal. Osteoporosis yang timbul agak awal didaerah juksta-artikuler dan dapat diikuti
ulnar dan subluksasi
oleh osteoporosis umum. volar
Deviasi sendi
ulnar dan MCP dan deviasi
subluksasi radial
volar sendi MCPsendi radiokarpal
dan deviasi radial
sendi radiokarpal merupakan gambaran yang khas, meskipun pada
merupakan gambaran yang khas, meskipun pada stadium yang dini. stadium yang dini.

erosi

Osteoporosis

Gambar: Foto rontgen tangan penderita AR


Gambaran : Foto rontgen tangan penderita AR
Sering juga ditemukan haluks valgus serta deviasi fibuler dengan
subluksasi
Sering plantar sendi
juga ditemukan MTP.
haluks Subluksasi
valgus atlantoaksial
serta deviasi merupakan
fibuler dengan subluksasi
subluksasi plantar
sendi MTP. Subluksasi atlantoaksial
servikal yng sering terjadi. merupakan subluksasi servikal yng sering terjadi.
Ankilosis tulang dapat terjadi pada sendi tarsal dan karpal, jarang pada sendi interfalang
dan sangat jarang pada MCP dan MTP.
Ankilosis tulang
Kadang-kadang dapat terjadi
dapat terlihat pada
gambaran sendi tarsal
osteo-artritis dan karpal,
sekunder jarang pada
yang ditandai oleh
adanyasendi
osteofit marginal dan
interfalang dansklerosis
sangat subkondral.
jarang pada MCP dan MTP.
Akhir-akhir ini, pemeriksaan imaging yang canggih seperti CT-scan dan MRI dapat
membantu menegak-kan diagnosis AR lebih dini.
Kadang-kadang dapat terlihat gambaran osteo-artritis sekunder yang
ditandai
Kriteria oleh
Diagnosis adanya
Artritis osteofit marginal dan sklerosis subkondral.
Reumatoid
Diagnosis AR dalam beberapa dekade ini telah mengalami 3 kali perubahan yaitu kriteria
diagnostik menurut American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1958. Kriteria ini
Akhir-akhir ini, pemeriksaan imaging yang canggih seperti CT-scan dan
hanya membedakan AR atas AR klasik, AR definit dan AR probable. Kriteria ARA mempunyai
MRI dapat membantu menegak-kan
kesalahan dalam mendiagnosis diagnosis
AR dan tidak adanya AR lebih
perbedaan dini.antara AR kalis dan
terapi
definit. Hingga pada tahun 1987 dikeluarkan kriteria dari American College of Rheumatology
(ACR). Kriteria ACR 1987 untuk diagnosis AR, harus didapatkan 3 dari 7 kriteria sebagai
berikut : (1) Kaku pagi lebih dari 30 menit, (2) Artritis pada 3 daerah sendi atau lebih, (3)
Artritis pada persendian
Pertemuan tangan,XVII
Ilmiah Nasional (4)PAPDI
Artritis bersifat2019
- Surabaya simetris, (5) Adanya nodul reumatoid,
1023(6)
Faktor reumatoid serum, dan (7) Adanya perubahan gambaran radiologik.
Selanjutnya pada tahun 2010 oleh The European League Againts Rheumatism (EULAR)
dan American College of Rheumatology (ACR), mengeluarkan kriteria terbaru untuk diagnosis
Faridin HP, Achmad Fikry F

Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid


Diagnosis AR dalam beberapa dekade ini telah mengalami 3 kali
perubahan yaitu kriteria diagnostik menurut American Rheumatism
Association (ARA) pada tahun 1958. Kriteria ini hanya membedakan AR atas
AR klasik, AR definit dan AR probable. Kriteria ARA mempunyai kesalahan
dalam mendiagnosis AR dan tidak adanya perbedaan terapi antara AR kalis
dan definit. Hingga pada tahun 1987 dikeluarkan kriteria dari American
College of Rheumatology (ACR). Kriteria ACR 1987 untuk diagnosis AR, harus
didapatkan 3 dari 7 kriteria sebagai berikut : (1) Kaku pagi lebih dari 30
menit, (2) Artritis pada 3 daerah sendi atau lebih, (3) Artritis pada persendian
tangan, (4) Artritis bersifat simetris, (5) Adanya nodul reumatoid, (6) Faktor
reumatoid serum, dan (7) Adanya perubahan gambaran radiologik.

Selanjutnya pada tahun 2010 oleh The European League Againts


Rheumatism (EULAR) dan American College of Rheumatology (ACR),
mengeluarkan kriteria terbaru untuk diagnosis AR. Kriteria ini melihat
keterlibatan sendi, petanda serologi, reaktan fase akut dan lamanya menderita
AR. Seperti pada tabel dibawah:

Tabel:
Tabel : Skor nilaiSkor
untuk diagnosis
nilai AR menurut
untuk diagnosis AREULAR – ACR
menurut 2010– ACR
EULAR : 2010

Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru, pasien yang sudah terdiagnosis,
tidak dimasukkan dalam kriteria ini. Disamping itu, pasien dengan gambaran erosi sendi yang
khas AR dengan riwayat penyakit yg cocok utk kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai AR.
1024
Pasien Pertemuan
dengan penyakit yg lama termasuk penyakit Ilmiah
tidak aktifNasional
(dengan XVIIatau
PAPDI - Surabaya
tanpa 2019
pengobatan)
yang berdasarkan data – data sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap didiagnosis sebagai
AR
Diagnosis Artritis Reumatoid: Kriteria Klinis dan Laboratoris

Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru, pasien yang
sudah terdiagnosis, tidak dimasukkan dalam kriteria ini. Disamping itu, pasien
dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yg cocok
utk kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai AR. Pasien dengan penyakit
yg lama termasuk penyakit tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan)
yang berdasarkan data – data sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap
didiagnosis sebagai AR

Pada pasien dengan skor <6 dan tidak diklasifikasikan dengan AR,
kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi
sejalan dengan berjalannya waktu.

Terkenanya sendi adalah adanya bengkak atau nyeri sendi pada


pemeriksaan yang dapat didukung oleh adanya bukti sinovitis secara
pencitraan.

Sendi DIP, CMC I, dan MTP I tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan
distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi
yang terkena, dengan penempatan kedalam kategori tertinggi yang dapat
dimungkinkan. Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha, dan
pergelangan kaki. Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan
pergelangan tangan. Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang < batas atas
ambang batas normal (ULN). Positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari
ULN tapi < 3 kali ULN. Positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi 3 kali ULN.

Jika FR hanya diketahui positif atau negatif, maka positif harus dianggap
positif rendah. ACPA = Anti Citrullinated Protein Antibody, normal atau
abanormal didasarkan pada standar laboratorium lokal, demikian juga
dengan CRP.

Lamanya sakit adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau


tanda sinovitis (nyeri, bengkak, atau nyeri pada perabaan).

Kriteria diagnosis AR didasarkan pada skor dari EULAR - ACR 2010. Jika
skor ≥6, maka pasien dapat didiagnosis sebagai AR. Sebaliknya jika skor <6
pasien mungkin memenuhi kriteria AR secara prospektif maupun retrospektif
(data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit).

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1025


Faridin HP, Achmad Fikry F

Daftar Pustaka
1. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, et al. 2010 Rheumatoid Arthritis Classification
Criteria: An American College of Rheumatology/European League Againts
Rheumatism Colloborative Initiative. Arthritis Rheum. 2010; 62:2569-2581.
2. Rheumatoid arthritis. In: Da Silva JAP, Woolf AD, eds. Rheumatology in Practice,
London: Springer, 2010; p.19.4-19.22.
3. Hameed K, Akil M. Rheumatoid Arthritis: Clinical Features and Diagnosis. In:
Adebajo A, ed. ABC of Rheumatology, 4th Edition, United Kingdom: Wiley-Blackwell,
2010; p.71-75.
4. Rheumatoid Arthritis: Epidemiology and Disease Progression. In: Fleischmann
RM,ed. Targeting The IL-6 Receptor in Rheumatoid Arthritis, Kentucky; University
of Kentucky Collages of Pharmacy and Medicine, Educational Review Systems and
CTI Clinical Trial and Consulting Services, 2008; p.3-6.
5. Dayer JM, Choy E. Therapeutic targets in rheumatoid arthritis: the interleukin-6
receptor. Rheumatology 2010;49:15-24.
6. Hashizume M, Mihara M. The roles of interleukin-6 in the pathogenesis of
rheumatoid arthritis. Arthritis 2011: 1-8.
7. Alvarez JLP. Interleukin 6 in the physiopathology of rheumatoid arthritis. Reumatol.
Clin. 2009; 5(1):34-39.
8. Lipsky PE. Interleukin-6 and rheumatic disease. Arthritis Res. Ther. 2006;8(suppl
2):S4.
9. Kay J and Upchurch KS. ACR/EULAR 2010 rheumatoid arthritis classification
criteria. Rheumatology 2012;51:vi5-vi9
10. Guo Q, Wang Y, Xu D, et al. Rheumatoid arthritis: pathological mechanisms and
modern pharmacologic therapies. Bone Research (2018) 6:15
11. Grassi W, Angelis RD, Lamanna G, Cervini C. The clinical features of rheumatoid
arthritis. European J of Radiology 27 (1998) S18–S24
12. Firestein GS. Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. In: Kelley WN,
Harris ED, Ruddy S, Sledge CB (eds). Textbook of Rheumatology. 5th ed. WB.
Saunders Co, Philadelphia 1997:851-97.
13. Wilder RL. Rheumatoid Arthritis: A. Epidemio-logy, Pathology and Pathogenesis.
In : Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds). Primer on the Rheumatic
Diaseases. 10th ed. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia 1993:86-89.

1026 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Komprehensif Artritis Reumatoid:
Rekomendasi yang Terbaru
Yuliasih
Divisi Reumatologi, Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Soetomo - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit inflamasi autoimun sistemik


kronik dengan target jaringan sinovial. AR merupakan salah satu penyakit
artritis inflamasi yang banyak dijumpai dan secara klinis ditandai dengan
poliartritis simetris. Penyebab kerusakan sendi pada AR adalah multifaktor
yang melibatkan berbagai sel, sitokin, enzim–enzim proteolitik. Sinovitis
merupakan tanda awal dari penyakit, bila proses berlanjut maka terjadi
kerusakan tulang subkondral dan jaringan periartikular. Kerusakan sendi
pada AR (maximal rate erosion joint) terutama terjadi pada 2-3 tahun pertama
dan biasanya irreversible. Oleh karena itu deteksi dini dan pengobatan
sesegera mungkin dengan terapi yang agresif sangat penting untuk mencegah
kecacatan ataupun kematian.

Harapan hidup penderita AR rata-rata berkisar antara 3-5 tahun,


terutama pada pasien dengan AR yang progresif yang disertai gejala
ekstraartikular. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam merawat AR adalah
memperhatikan efek samping pengobatan termasuk infeksi, tumor, dan
toksisitas gastrointestinal, karena mempengaruhi morbiditas. Banyak
studi klinis yang menunjang pemahaman patogenesis AR secara imunologi,
sehingga mengakibatkan perubahan cara pendekatan terapeutik secara
imunologi pula. Anjuran terbaru dari EULAR atau ACR perawatan AR harus
dilakukan sedini mungkin dan mengunakan obat yang sangat agresif dalam
menghentikan proses imunologi untuk mencapai target terapi yaitu aktivitas
penyakit yang terkendali. Dalam perawatan digunakan DMARD sintetik atau
kombinasi dengan DMARD biologic, serta steroid dosis kecil, selain itu juga
dilakukan terapi fisik, kerja, dan psikologis. Dengan dicapainya pengendalian
aktivitas penyakit dapat memperlambat perkembangan kerusakan sendi, dan
kecacatan.

Patogenesis Rheumatoid Arthritis


Immunopatogenesis AR belum diketahui secara menyeluruh. Agen
spesifik penyebab AR juga belum diketahui, tetapi interaksi faktor genetik dan

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1027


Yuliasih

faktor lingkungan diyakini bertanggung jawab pada imunopatogenesis AR.


Proses infeksi diduga merangsang proses autoimun melalui proses molekul
mimikri yaitu kesamaan protein antigen dan agen infeksi, sehingga antibodi
yang terbentuk yang seharusnya hanya untuk agen infeksi, bereaksi pula
dengan protein antigen dari tubuh sendiri. Pada artritis reumatoid, sinovial
dikenali sebagai antigen spesifik oleh sel T sehingga antibodi di dalam tubuh
bereaksi terhadap sinovial yang akhirnya terjadi reaksi inflamasi.

Konsep terbaru terjadinya inflamasi dan destruksi sinovial merupakan


suatu reaksi yang sangat komplek. Hal ini disebabkan adanya komplek imun
yang terdiri dari faktor rheumatoid (RF), dan anticitrullinasi (anti-CCP) yang
kemudian dikenali oleh antigen-presenting cell (APC) dan sel CD4+ T., kemudian
terjadi proliferasi sel T dan makrofag sinovial, sel-sel ini memproduksi sitokin
yang menyebabkan sinovitis. Selain itu adanya infiltrasi sel-sel radang pada
sinovium menyebabkan peningkatan aliran darah di sinovial, sehingga pada
pemeriksaan fisik sendi teraba hangat.

Kerusakan sendi pada AR akibat proliferasi membran sinovial yang


membentuk pannus yang mana pannus ini tumbuh dan menyerang tulang dan
rawan sendi. Kerusakan matrik ektraseluler akibat serangan pada sinovial
dan berbagai enzim proteinnase dan captensin. Metalloproteinase (MMPs)
yang paling banyak diproduksi oleh sinovisit dan merupakan mediator yang
paling penting dalam menimbulkan kerusakan jaringan.

Sel endotel pada sinovial AR teraktivasi dan mengekspresi molekul


adhesi yang akan menarik sel-sel inflamasi ke dalam sendi. IL-1 dan TNF-
α merupakan sitokin yang memiliki peran utama dalam patogenesis AR.
Keduanya merupakan stimulator yang kuat pada sel-sel sinovial fibroblas,
osteoklas dan kondrosit yang akan melepaskan MMP. Selain itu IL-1 dan TNF-
α juga menghambat produksi tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP)
oleh sinovial fibroblas. IL-1 dan TNF-α dalam jumlah yang tinggi ditemukan
pada pannus AR, hal ini memiliki potensial mengakibatkan peradangan yang
berlangsung terus-menerus (self sustaining inflammatory process), dan tidak
tergantung pada stimulasi imun yang spesifik.

Daerah antara pannus dan rawan sendi AR dipenuhi oleh sel makrofag
dan sinovial fibroblas aktif yang mengekspresi matrix metalloproteinase
(MMP) dan cathepsin. IL-1 dan TNF-α memicu ekspresi molekul adhesi pada
sel endotel dan menarik sel neutrofil ke dalam sendi. Selanjutnya neutrofil

1028 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Komprehensif Artritis Reumatoid: Rekomendasi yang Terbaru

akan melepaskan enzim elastase dan protease, yang akan mendegradasi


proteoglikan pada lapisan superficial rawan sendi. Degradasi proteoglikan
akan memungkinkan kompleks imun untuk presipitasi ke kolagen dalam
lapisan superfisial rawan sendi dan kontak dengan kondrosit. Kondrosit dan
sinovial fibroblas akan melepaskan MMP apabila distimulasi oleh IL-1, TNF- α
atau limfosit T CD4 yang teraktivasi. MMP terutama stromelisin dan kolagenase
adalah enzim yang mendegradasi jaringan ikat matriks dan dianggap sebagai
mediator utama kerusakan semdi pada AR. Pada binatang coba didapatkan sel
limfosit T CD4 yang teraktivasi menstimulasi osteoklastogenesis dan dapat
mengakibatkan kerusakan sendi yang tidak tergantung pada IL-1 dan TNF-α
pada pasien AR.

Faktor risiko pada AR antara lain merokok (terutama pada individu


dengan HLADR01/04) dan paparan paru lainnya seperti debu silika,
defisiensi vitamin D, dan obesitas. Microbiome di saluran pencernaan bisa
juga menyebabkan efek jangka panjang pada regulasi imun dan pemeliharaan
toleransi host. Saat ini sering didiskusikan tentang Porphyromonas gingivalis
atau Aggregatibacter actinomycetemcomitans di mukosa mulut dapat memicu
citrullination jaringan.

Diagnosis Dini
Rujukan sangat diperlukan dalam hal ini untuk mengurangi morbiditas
dan kecacatan serta mengurangi biaya pengobatan yang sangat mahal.
Dilaporkan bahwa dengan melakukan rujukan yang tepat dapat meningkat
secara global baik fungsi, biaya pengobatan, menurunkan angka kesakitan,
serta pola rujukan ini harus dipahami oleh para klinisi untuk harapan yang
telah menjadi perubahan mendasar dalam tatalaksana AR.

Pada beberapa pasien dengan gejala klinis awal dengan pemeriksaan
klinis yang masih meragukan diperlukan pemeriksaan canggih antara lain
pencitraan seperti ultrasonografi resolusi tinggi dan MRI. Pada pemeriksaan
ini dicari tanda sinovitis, edema tulang, dan erosi. Tujuan terapi saat ini adalah
secara umum tercapainya remisi dengan menghentikan aktivitas penyakit
dengan DMARD atau kombinasi dengan b-DMARD (biologic DMARD) secepat
mungkin untuk mengontrol inflamasi. Tujuan jangka panjang dari metode
terapi ini adalah mencegah kerusakan sendi serta mengurangi komorbiditas,
termasuk penyakit jantung dan osteoporosis.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1029


Yuliasih

Aktivitas Penyakit
Penilaian aktivitas penyakit sangat penting dalam melakukan tata
laksana AR, karena terapi tiap individu berbeda baik dosis atau pemilihan
obat. Pemilihan serta cara pengobatan sebaiknya dipilih berdasarkan aktivitas
penyakit. Bila ada AR berat dan aktif serta ditandai prognosis yang buruk
maka sebaiknya dilakukan terapi awal dengan kombinasi.

Evaluasi rutin aktivitas penyakit harus dikerjakan secara rutin setiap kali
kunjungan ke poliklinik mencakup penilaian rasa sakit, skor Global Assessment
of Disease Activity. Dokter, perawat yang terlatih, atau dokter asisten dapat
membantu melakukan penilaian. Penilaian nyeri dengan menggunakan visual
analog paling mudah dilakukan dan dievaluasi, secara fisik memeriksa sendi
yang masih nyeri dengan pemeriksaan tekanan (tender joint) serta evalusi
sendi yang masih bengkak.

Menurut DAS28 ada 28 sendi yang harus dievaluasi termasuk sendi


PIP, MCPs, pergelangan tangan, siku, bahu, dan lutut, di kedua sisi tubuh.
Pemeriksaan laboratorium LED atau CRP juga harus dilakukan secara rutin.
Skor Aktivitas Penyakit menggunakan (DAS28) direkomendasikan oleh
EULAR untuk menilai aktivitas penyakit namun kalau digunakan secara klinis
mungkin tidak praktis. AR dikatakan remisi bila aktivitas penyakit yang
dinilai dengan DAS28 nilainya lebih rendah dari 2.6. Pengobatan sistem ini
disebut Treat-to-Target Principle.

Rekomendasi Terapi AR Dini


Kemajuan terapi AR dari waktu ke waktu. Saat ini terapi AR sangat
dianjurkan dilakukan secara awal agar dapat mempertahankan fungsional
sendi. Dalam beberapa tahun terakhir, American College of Rheumatology
(ACR) dan European League Against Rheumatism (EULAR) telah merilis
rekomendasi baru dan lebih agresif. Rekomendasi ini membahas peran
obat antirematik DMARD serta memasukkan agen biologis sebagai terapi
tambahan. Disamping itu, juga menjelaskan cara beralih obat bila pasien tidak
respon.

Pedoman terapi yang baru menetapkan tujuan terapi untuk mencapai


aktivitas penyakit menjadi remisi supaya bisa mempertahankan fungsi sendi.
Dalam waktu 3 bulan bila masih timbulnya gejala persisten, maka dianjurkan
mengganti obat atau meningkatkan dosis DMARD antara lain metotreksat,
leflunomide, hidroksi kloroquin, minocycline, dan sulfasalazine. Obat

1030 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Tata Laksana Komprehensif Artritis Reumatoid: Rekomendasi yang Terbaru

antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan glukokortikoid efektif untuk perbaikan


gejala dan fungsional, terutama selama flare, dan digunakan sebagai terapi
bridging terapi. Monoterapi harus dihindari dan penggunaannya terbatas
pada durasi terpendek dan dosis terendah yang mempertahankan remisi.

DMARD Biologis yang digunakan untuk AR diklasifikasikan sebagai anti-


TNF dan non-TNF. Obat lini pertama adalah agen anti-TNF, yang meliputi
etanercept, infliximab, adalimumab, golimumab, certolizumab, dan Janus
kinase (JAK) inhibitor tofacitinib. Pilihan lini kedua termasuk inhibitor
T-limfosit, abatacept, interleukin (IL)-6 inhibitor reseptor, tocilizumab, dan
rituximab antibodi monoklonal. Pilihan lini ketiga adalah antagonis reseptor
IL-1 anakinra. Agen biologik sebagai monoterapi menunjukkan efektivitas
yang sebanding dengan methotrexate. Akan tetapi, penggunaannya dalam
kombinasi dengan metotreksat menghasilkan efektivitas yang lebih besar.
Studi head-to-head belum dilakukan dengan obat yang berbeda dikelompok
ini. Pilihan obat sering ditentukan oleh biaya, frekuensi dosis, preferensi
pasien, dan formularium asuransi.

Pemantauan respons terapi dilakukan melalui skala penilaian, skor


aktivitas penyakit (DAS), status klinis, dan laboratorium. Pasien harus dipantau
setiap satu hingga tiga bulan, dan pengobatan harus disesuaikan jika tidak ada
perbaikan setelah 3 bulan atau jika target pengobatan belum tercapai dalam 6
bulan. Pasien juga harus dinilai setiap tahun untuk mengetahui aktivitas dan
kerusakan sendi, kemampuan fungsional, komplikasi penyakit, dan kebutuhan
rujukan atau pembedahan.

Prednison
Banyak uji klinis telah melaporkan manfaat terapi prednison dosis
tinggi pada rheumatoid arthritis dini. Sampai saat ini, tidak ada penelitian
yang menganjurkan dosis sedang (20 mg/hari) mengingat risiko infeksi,
komplikasi lainnya Manfaat terapi prednison dosis rendah (5-10 mg/hari)
dipertahankan setidaknya selama 2 tahun, dengan efek samping minimal.
prednison dapat meningkatkan keberhasilan terapi MTX.

DMARD
Terapi di mulai dengan monoterapi DMARD atau terapi kombinasi.
Methotrexate adalah standar emas dengan dosis pemberian 12-25 mg/minggu
oral ataupun subkutan, namun jika terjadi kontraindikasi atau tidak dapat
ditoleransi atau tidak mencapai remisi dalam waktu 3- 6 bulan maka bisa
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1031
Yuliasih

ditambahkan dengan menggunakan sintetik DMARD yang lain misalnya ,maka


digunakan sulfasalazine, hydroxycholorquine, minocycline, dan leflunomide.
Sebagai terapi tambahan, pasien dapat menggunakan NSAID jangka pendek.

Terapi kombinasi DMARD tampaknya lebih baik dibandingkan


monoterapi dalam untuk mencapai remisi. Pada pasien dengan aktivitas
penyakit yang tinggi dan prognosis yang buruk, anti-TNF dapat digunakan
sendiri atau dengan kombinasi dengan metotreksat.

Respon Terapi
Pasien dapat dimonitor untuk respons dan toksisitas secara teratur
melalui skala penilaian standar, data laboratorium, dan sistem penilaian
agregat. ACR biasanya menggunakan tingkat respons ACR20, ACR50, dan
ACR70, yang sesuai dengan peningkatan tingkat penyakit 20%, 50%, dan
70% dibandingkan dengan baseline. Selain itu, DAS dapat memasukkan nilai
laboratorium LED atau CRP untuk memantau respons.

Langkah-langkah terapi dapat dilihat pada diagram berikut ini:

1032 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Langkah-langkah terapi dapat dilihat pada diagram berikut
Tata Laksana ini: Artritis Reumatoid: Rekomendasi yang Terbaru
Komprehensif

Gambar Gambar
1. Manajemen
1. Manajemen AR berdasarkan Rekomendasi
AR berdasarkan Rekomendasi EULAR 2016 2016
EULAR (Smolen(Smolen
2017) 2017)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1033


Yuliasih

Daftar Pustaka
1. Davis JM, III, Matteson EL. My Treatment Approach to Rheumatoid Arthritis. Mayo
Clin Proc. 2012;87(7):659-73.
2. Rindfleisch JA, Muller D. Diagnosis and management of rheumatoid arthritis. Am
Fam Physician. 2005;72:1037–1047
3. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, et al. 2010 Rheumatoid arthritis classification criteria:
an American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism
collaborative initiative. Arthritis Rheum. 2010;62(9):2569-2581.
4. Schoels M, Knevel R, Aletaha D, et al. Evidence for treating rheumatoid arthritis to
target: results of a systematic literature search [published correction appears in
Ann Rheum Dis. 2011;70(8):1519]. Ann Rheum Dis. 2010;69(4): 638-643.
5. Katchamart W, Trudeau J, Phumethum V, Bombardier C. Methotrexate
monotherapy versus methotrexate combination therapy with non-biologic disease
modifying anti-rheumatic drugs for rheumatoid arthritis. Cochrane Database Syst
Rev. 2010;(4):CD008495.
6. Smolen JS, Landewé R, Bijlsma J, Burmester G, Chatzidionysiou K, Dougados M,
et al. EULAR recommendations for the management of rheumatoid arthritis with
synthetic and biological disease-modifying antirheumatic drugs: 2016 update. Ann
Rheum Dis. 2017;76(6):960-77.
7. Olsen NJ, Stein CM. New Drugs for Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med.
2004;350(21):2167-79.

1034 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Perioperatif
pada Populasi Khusus
Pertimbangan Toleransi Operasi pada Pasien dengan
Komorbid Kardiorespirasi, Gangguan Hematologi,
Infeksi, Renal, Metabolik
dan Gastrohepatologi
Satriawan Abadi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo - Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Pendahuluan
Sebelum melakukan pembedahan serta anestesi terhadap pasien,
khususnya pasien yang berisiko tinggi, seringkali seorang ahli bedah atau
ahli anestesi akan meminta pendapat dari seorang Spesialis Penyakit
Dalam (Internis) yang disebut sebagai "konsultasi preoperative (konsultasi
medis sebelum operasi)", karena itu spesialis penyakit dalam perlu dibekali
pengetahuan medik dalam bidangnya yang bertujuan mengamankan baik
pasien maupun dokter.

Konsultasi sebelum operasi mempunyai beberapa tujuan, yaitu


mengidentifikasi penyakit penyerta serta faktor risiko operasi yang
sebelumnya tidak terdeteksi, mengoptimalkan keadaan pasien sebelum
menjalani operasi, menentukan dan menyarankan pemeriksaan tambahan
sebelum operasi, mengupayakan perbaikan kondisi pasien agar risiko operasi
dikurangi, mengupayakan keseimbangan antara risiko dan manfaat dalam
prosedur yang akan dilaksanakan.

Sebagai konsultan diperlukan pemahaman prinsip cara menjawab yaitu


substansi saran yang diberikan tidak boleh keluar dari batasan kompetensi
keahlian sebagai Spesialis Penyakit Dalam, batasi jumlah saran sesedikit
mungkin, arahkan jawaban dan saran pada permintaan konsultasinya.

Informasi yang diberikan oleh dokter klinisi dapat digunakan/ diperlukan


oleh spesialis anestesi dan spesialis bedah dalam melaksanakan tindakan
operasi. Kerjasama yang harmonis dan professional antara spesialis klinis

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1035


Satriawan Abadi

dengan spesialis anestesi serta spesialis bedah sangat diperlukan pasien


untuk mencapai hasil yang optimal.

Stratifikasi Risiko
Stratifikasi risiko akan dinilai saat preoperative secara umum dengan
menggunakan ASA (American Society of Anesthesiologist), dimana semakin
tinggi nilainya kondisi medis pasien yang semakin berat.

Tabel 1. Status Fisik Berdasarkan Kriteria ASA.


Kelas ASA Definisi Tingkat Kejadian (%)
I Pasien sehat 1,2
II Pasien dengan penyakit sistemik ringan 5,4
III Pasien dengan penyakit sistemik yang tidak mengancam 11,4
jiwa
IV Pasien dengan penyakit sistemik berkomplikasi yang 30,9
mengancam jiwa

Pertimbangan Kardiologi
Banyak pasien yang yang menjalanani pembedahan non kardiak adalah
memiliki resiko kejadian kardiovaskuler. Resiko itu berhubungan dengan
karakteristik pasien dan pembedahan. Dasar pengidentifikasian resiko
tersebut dapat dijadikan sebagai landasan untuk dilakukannya intervensi
untuk menurunkan resiko tersebut.

Fokus ke anamnesis dan pemeriksaan fisis termasuk pendekatan


kapasitas fungsional perlu diperhatikan untuk melihat faktor resiko tersebut.
Guideline yang dikeluarkan AHA dan ESC tahun 2014.

1036 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


dilakukannya intervensi untuk menurunkan resiko tersebut.
Fokus ke anamnesis dan pemeriksaan fisis termasuk pendekatan ka
perlu diperhatikan untuk melihat faktor resiko tersebut. Guideline yang dike
ESC tahun
Penatalaksanaan Perioperatif2014.
pada Populasi Khusus Pertimbangan Toleransi Operasi pada Pasien dengan Komorbid Kardiorespirasi, Gangguan Hematologi, Infeksi, Renal, Metabolik dan Gastrohepatologi

Banyak pasien yang yang menjalanani pembedahan non kardiak adalah memiliki
resiko kejadian kardiovaskuler. Resiko itu berhubungan dengan karakteristik pasien dan
pembedahan. Dasar pengidentifikasian resiko tersebut dapat dijadikan sebagai landasan untuk
dilakukannya intervensi untuk menurunkan resiko tersebut.
Fokus ke anamnesis dan pemeriksaan fisis termasuk pendekatan kapasitas fungsional
perlu diperhatikan untuk melihat faktor resiko tersebut. Guideline yang dikeluarkan AHA dan
ESC tahun 2014.

Gambar 1.Gambar 1. Guideline


Guideline ACC/ AHA
ACC/ AHA untuk pendekatan
untuk pendekatan perioperatif
perioperatif
pada pasienpadapenyakit jantung
pasien penyakit koroner.
jantung koroner.

Kapasitas
Kapasitas fungsional
fungsional dipakaidipakai untuk mengukur
untuk mengukur derajat
derajat dari dari ambila
ambilan
dengan nilai
oksigen.Gambar
Pasien kapasitas
dengan
1. Guideline ACC/nilai
fungsional
kapasitas
AHA untuk pendekatan fungsional
lebih
perioperatif
dari 4 tanpa
lebih dari 4 tanpa adanyaadanya ge
kardiopulmonal biasanya dapat
pada pasien penyakit jantung koroner. menjalani pembedahan tanpa perlu evalu
gejala pembatasan kardiopulmonal biasanya dapat menjalani pembedahan
lanjut, tetapi bagi yang nilainya kurang dari 4 diprediksi memiliki komplika
tanpa perlu evaluasi kardiak
Kapasitas fungsional lebih
dipakai untuklanjut,
mengukurtetapi bagi
derajat dari yangoksigen.
ambilan nilainya
Pasien kurang dari
dengan nilai kapasitas fungsional lebih dari 4 tanpa adanya gejala pembatasan
4 diprediksi
Tabel memiliki
2 Estimated
kardiopulmonal komplikasi
biasanya perioperatif.
Metabolic
dapat menjalani pembedahanEquivalent
tanpa perlu evaluasi kardiak lebih
lanjut, tetapi bagi yang nilainya kurang dari 4 diprediksi memiliki komplikasi perioperatif.
Tabel 2. Estimated Metabolic Equivalent
Tabel 2 Estimated Metabolic Equivalent

Ada banyak cara untuk mengukur risiko kardiovaskuler walaupun


kesemua cara tidak ada yang ideal. MICA (Myocardial Infarction or Cardiac
Arrest) dibuat oleh American College of Surgeons tahun 2007. Ada 5 hal yang
diperhatikan yaitu tipe pembedahan, status fungsional, ASA, kadar creatinin

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1037


Satriawan Abadi

dan umur. Kemudian divalidasi dengan sistem baru yaitu RCRI (Revised
Cardiac Risk
AdaIndex).
banyak cara untuk mengukur risiko kardiovaskuler walaupun kesemua cara tidak
ada yang ideal. MICA (Myocardial Infarction or Cardiac Arrest) dibuat oleh American
College of Surgeons tahun 2007. Ada 5 hal yang diperhatikan yaitu tipe pembedahan, status
fungsional, ASA, kadar creatinin dan umur. Kemudian divalidasi dengan sistem baru yaitu
Tabel 3. Revised Cardiac Risk Index
RCRI (Revised Cardiac Risk Index).

Tabel 3 Revised Cardiac Risk Index

ACC/ AHA merekomendasikan test kardiak perioperatif meliputi EKG 12 lead dan
Echokardiografi. Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan pada pasien yang asimptomatik dengan
prosedur operasi berisiko rendah. Pemeriksaan ini dianjurkan dalam waktu 3 bulan terakhir
ACC/ AHA merekomendasikan test kardiak perioperatif meliputi EKG 12
untuk pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer, aritmia
signifikan, penyakit struktural jantung yang akan menjalani operasi dengan risiko rendah.
EKG dianjurkan untuk seluruh operasi yang beresiko tinggi. Pemeriksaan echo dianjurkan
lead dan Echokardiografi. Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan pada pasien
pada pasien dengan gejala sesak napas yang tidak diketahui penyebabnya atau pada pasien
dengan gagal jantung.
yang asimptomatik dengan prosedur operasi berisiko rendah. Pemeriksaan
Cardiac Stress Testing (CST) mempunyai tujuan untuk menstratifikasi resiko
pembedahan atau mengidentifikasi pasien yang memerlukan konsultasi kardiologi atau
revaskularisasi untuk menurunkan resiko kardiak. Tes itu antara lain tes toleransi latihan, tes
ini dianjurkan dalam waktu 3 bulan terakhir untuk pasien dengan riwayat
farmakologi stress (dobutamin stress echo dan vasodoaltor myocardial imaging). Bila
ditemukan hasil yang positif walaupun tidak bergejala maka perlu dikonsulkan ke kardiologi
atau dilakukan angiografi coroner.
penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer, aritmia signifikan, penyakit
Tabel 4. HIGH-RISK NONINVASIVE TEST RESULTS

struktural 1.jantung yang


Resting LVEF <35akan
% menjalani operasi dengan risiko rendah. EKG
2. High-risk treadmill score of ≤ –11
dianjurkan4. untuk seluruh operasi yang beresiko tinggi. Pemeriksaan echo
3. Exercise LVEF <35 %
Stress-induced large perfusion defect (particularly if anterior)
5. Stress-induced moderate-size multiple perfusion defects
dianjurkan6. pada
Large, fipasien dengan
xed perfusion gejala
defect with sesak
LV dilatation napas lung
or increased yang tidak diketahui
uptake
7. Stress-induced moderate-size perfusion defect with LV dilatation or increased

penyebabnya atau pada pasien dengan gagal jantung.


lung uptake

Cardiac Stress Testing (CST) mempunyai tujuan untuk menstratifikasi


resiko pembedahan atau mengidentifikasi pasien yang memerlukan
konsultasi kardiologi atau revaskularisasi untuk menurunkan resiko kardiak.
Tes itu antara lain tes toleransi latihan, tes farmakologi stress (dobutamin
stress echo dan vasodoaltor myocardial imaging). Bila ditemukan hasil yang
positif walaupun tidak bergejala maka perlu dikonsulkan ke kardiologi atau
dilakukan angiografi coroner.

Tabel 4. High-Risk Noninvasive Test Results


1. Resting LVEF <35 %
2. High-risk treadmill score of ≤ –11
3. Exercise LVEF <35 %
4. Stress-induced large perfusion defect (particularly if anterior)
5. Stress-induced moderate-size multiple perfusion defects
6. Large, fi xed perfusion defect with LV dilatation or increased lung uptake
7. Stress-induced moderate-size perfusion defect with LV dilatation or increased lung uptake
8. Wall motion abnormality on stress echo (>2 segments) at low dose of dobutamine or at a low
HR (<120 bpm)
9. Stress echo with extensive ischemia

1038 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Perioperatif pada Populasi Khusus Pertimbangan Toleransi Operasi pada Pasien dengan Komorbid Kardiorespirasi, Gangguan Hematologi, Infeksi, Renal, Metabolik dan Gastrohepatologi

Sebagai ringkasan perlunya adanya diskusi lebih lanjut antara pasien,


ahli bedah dan Sejawat kardiologi untuk mempertimbangkan keuntungan
dan kerugian yang akan dihadapi.

Pertimbangan Hematologi
Penanganan Perioperatif Trombocitopenia
Riwayat hemostatik harus didapatkan pada semua pasien, pasien harus
ditanyakan mengenai riwayat perdarahan berlebihan berhubungan dengan
trauma atau pembedahan, termasuk prosedur dental atau tonsillectomy.
Untuk prosedur resiko rendah, jika riwayat hemostasis normal, tidak ada
pengujian lebih lanjut yang dibutuhkan. Untuk prosedur resiko sedang hingga
tinggi perlu pemeriksaan jumlah platelet, prothrombin time (PT) dan activated
partial thromboplastin time (aPTT).

Prosedur bedah darurat dapat dengan aman dilakukan untuk sebagian


besar pasien dengan trombositopenia atau disfungsi platelet dengan
menggunakan transfusi platelet.

Tabel 4. Rekomendasi untuk ransfuse platelet untuk pasien pembedahan


• Plts <50.000/ µL-Transfusi platelet diindikasikan untuk pasien pembedahan.
• Plts 50.000-100.000/ µL- dipertimbangkan memadai untuk transfusi platelet pada sebagian
besar prosedur.
• Plts > 100.00 /µL- Transfusi platelet biasanya tidak dibutuhkan.
• Transfusi platelet dapat diindikasikan jika terdapat disfungsi platelet atau terdapat perdarahan
yang sedang berlangsung atau diperkirakan akan terjadi.4

Penanganan Perioperatif Anemia


Tujuan menangani anemia dalam keadaan perioperatif adalah mencegah
anemia. Riwayat pasien harus ditanyakan mengenai gejala anemia seperti
kelelahan, dispnea, palpitasi, kepala pusing. Pasien harus ditanyakan mengenai
riwayat anemia atau transfusi darah, riwayat perdarahan.

Satu unit kantong sel darah merah diperkirakan untuk meningkatkan


hemoglobin 1g/dL atau hematokrit dengan 3% dalam rerata ukuran pasien.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1039


Satriawan Abadi

Tabel 5. Rekomendasi untuk transfusi sel darah merah.


• Hgb <6-7 g/dL- transfusi sel darah merah diindikasikan.
• Hgb 8-10g/dL- ambang transfusi optimal masih kurang jelas.
• Hgb>10 g/dL- transfusi sel darah merah biasanya tidak dibutuhkan.4

Pertimbangan Pulmonologi
Komplikasi paru pasca operasi yang dapat ditemukan berupa atelektasis,
spasme bronkus, tracheobronchitis, pneumonia, emboli, ARDS. Kejadiannya
berkisar hingga 30 %. Komplikasi ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi
dengan angka mortalitas yang tinggi. Oleh karena itu pencegahan sangat
diperlukan. Evaluasi sebelum operasi seharusnya dilakukan pada semua
pasien untuk melihat resiko komplikasi.

Faktor resiko itu antara lain


1. COPD
2. Age > 60
3. ASA class II or higher
4. Functionally dependent
5. Congestive heart failure
6. Pulmonary hypertension
7. Delirium
8. Alcohol use
9. Obstructive sleep apnea
10. Albumin <3.6 g/dL
11. Surgery factors: prolonged surgery more than 3 h;
12. Site of surgery - abdominal, thoracic, neurosurgery, head and neck, and
vascular surgery; emergent surgery; general anesthesia

Strategi untuk menurunkan risiko terjadinya komplikasi paru pasca


operasi, dibagi atas pre operatif, intra operatif, pasca operatif.

Pra Operatif
1. Berhenti merokok, ternyata dapat menurunkan komplikasi paru pasca
operasi.

1040 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Perioperatif pada Populasi Khusus Pertimbangan Toleransi Operasi pada Pasien dengan Komorbid Kardiorespirasi, Gangguan Hematologi, Infeksi, Renal, Metabolik dan Gastrohepatologi

2. Penanganan pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) secara agresif


untuk mengoptimalkan fungsi paru, misalnya dengan menggunakan
bronkodilator.
3. Pemberian antibiotik jika terbukti ada infeksi.
4. Mengedukasi pasien misalnya mengenai cara bernapas yang benar,
latihan napas dalam.

Intra Operatif
1. Tipe anastesi, dimana anastesi spinal ternyata lebih aman dibandingkan
anastesi umum. Sebagian besar peneliti melaporkan resiko lebih rendah
dari komplikasi pulmonal dengan anastesi spinal daripada anastesi
umum. Tidak ada penelitian yang melaporkan resiko lebih tinggi pada
pulmonal dengan anastesi spinal.
2. Durasi operasi, dianjurkan durasi operasi kurang dari 2 jam.

Pasca Operatif
1. Latihan pengembangan paru yang dapat dilakukan dengan latihan napas
dalam

Kondisi Khusus
Penyakit Paru Obstruksi Kronik

PPOK bukan menjadi kontraindikasi pembedahan. Pen-


anganan yang baik preoperative diketahui dapat menurunkan
resiko, antara lain penggunaan bronkodilator, menghentikan
kebiasaan merokok, pemberian antibiotik.

Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu yang tidak singkat. Pada
operasi elektif, sebaiknya pasien diterapi dengan obat anti tuberculosis (OAT)
regimen RHZE selama minimal tiga minggu sebelum pembedahan. Pada kasus
yang darurat, operasi dapat dilakukan kapan saja sesuai dengan kondisi
kegawat daruratan. Untuk menurunkan risiko penularan dan mencegah
makin memburuknya kondisi pasien, sebaiknya OAT segera diberikan pasca
operasi.

Penting diingat untuk mencegah penularan tuberkulosis saat operasi,


sebaiknya para tim medis dan paramedis yang terlibat dalam operasi,

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1041


Satriawan Abadi

menggunakan masker jenis N95, karena mampu mencegah masuknya kuman


dengan ukuran hingga 0,3 mikron sebesar 95%.

Pertimbangan Gastroenterohepatologi
Peranan konsultasi medic meliputi penilaian resiko preoperative,
pengoptimalan dari suatu keadaan penyakit hati dan pencegahaan
komplikasi setelah operasi. Pendekatan preoperative meliputi anamnesis dan
pemeriksaan fisis dari factor resiko dari penyakit hati, pemakaian alkoholik,
transfusi darah, riwayat pengguna zat adiktif intravena, riwayat seksual,
pemeriksaan fisis untuk mendapatkan tanda icterus, telangiektasis, eritema
palmaris, ginekomasti, splenomegaly, asites dan edema perifer.

Penatalaksanaan selanjutnya tergantung dari anamnesa dan pemeriksaan


fisis yang ditemukan. Pemeriksaan serum SGOT SGPT Alkali fosfatase dan
bilirubin pada pasien asimptomatik tanpa resiko penyakit hati menambah
banyaknya pemeriksaan yang tidak meningkatkan resiko pembedahan
sehingga biasanya tidak direkomendasikan.

Pada pasien dengan riwayat penyakit hati perlu diketahui kondisi


penyakit hati sekarang, regimen pengobatan yang sementara dipakai,
status volume, dan riwayat komplikasi hati sebelumnya, termasuk respon
pembedahan atau pembiusan sebelumnya.

Keadaan sirosis merupakan suatu factor mayor terhadap kejadian


komplikasi perioperative dihubungkan dengan sejumlah perubahan fisiologi.
Metabolisme hati yang jelek terhadap obat obat anestetik dan obat obat
lain selama perioperatif. Mudahnya terjadinya resiko perdarahan akibat
gangguan terbentuknya trombopoietin dan faktor pembekuan dan sequetrasi
dari trombosit. Risiko pulmonary akibat dari asites atau efusi pleura, kejadian
terjadinya syndrome hepatopulmonar. Risiko mudahnya untuk menjadi
infeksi akibat gangguan dari fungsi retikuloendotelial, risiko terjadi dehisense
dari luka operasi abdominal dihubungkan dengan kejadian asites. Risiko
terjadinya insuffisiensi ginjal akibat kejadian hipotensi, asites, terapi diuretic
dan sindroma hepatorenal. Pasien dengan penyakit hati kompensasi seperti
hepatitis kronik, steatohepatitis nonalkoholik biasanya mempunyai toleransi
pembedahan yang baik.

1042 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Perioperatif pada Populasi Khusus Pertimbangan Toleransi Operasi pada Pasien dengan Komorbid Kardiorespirasi, Gangguan Hematologi, Infeksi, Renal, Metabolik dan Gastrohepatologi

Pembedahan biasanya kontra indikasi terhadap keadaan fulminant


hepatitis, hepatitis kronik berat, sirosis kelas C, dan penyakit hati dengan
komplikasi koagulopati, gagal ginjal akut, penyakit pulmonary hipoksia.

Pembedahan mungkin bisa tetap dipertimbangkan pada sirosis kelas


A dan B (bisa memungkinkan juga pada kelas C dan skor MELD kurang 14)
setelah dievaluasi oleh ahli hepatologi dan optimalisasi pengobatan.

Jika memungkinkan, perlu dipertimbangkan untuk menunda pembedahan


elektif setelah dilakukan transplantasi hati. TIPS (Trans jugular Intrahepatik
Porto Sistemik) dapat mengurangi morbiditas perioperatif (menurangi resiko
perdarahan gastrointestinal) untuk pasien dengan hipertensi portal berat.

Pertimbangan Keadaan Ginjal


Pada populasi umum kejadian penyakit ginjal kronik ditemukan sekitar
5%. Di Amerika Serikat, gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan cuci darah
meningkat sebanyak 20% sejak tahun 2000. Pada suatu penelitian meta
analisis, CKD adalah faktor resiko independen untuk kejadian mortalitas post
operasi. Walaupun demikian, CKD dapat dengan aman menjalani pembedahan
dengan pendekatan manajemen yang baik.

Pada keadaan preoperative, penting untuk mempertanyakan penyakit


ginjal sekarang, derajat beratnya penyakit ginjal, adanya riwayat transplantasi,
dan penyebab penyakit ginjalnya. Informasi tambahan juga meliputi creatinin
basal dan masalah masalah ginjal besar yang lain. Pentingnya preoperative
pengukuran elektrolit dan creatinin pada semua pasien. Penyakit ginjal
kronik mempengaruhi eliminasi obat, absorbs, distribusi obat dan klirens. Bila
ditemukan asites dapat diberikan diuretik, retriksi garam atau parasintesis.

Evaluasi pre operasi


CKD akan mempengaruhi eliminasi obat, absorbsi dan distribusi. Normal
Creatinine klirens adalah > 100 ml/m. Pasien akan memerlukan penyesuaian
dosis ketika nilainya dibawah 50. Glomerulus filtration rate GFR dan Klirens
kreatinine memakai rumus modifikasi MDRD atau Cockcroft Gault. Perumusan
ini menjadi kurang akurat pada pasien dengan kehilangan jumlah massa otot.

Penyebab mayor dari morbiditas dan mortalitas pada pasien CKD adalah
penyakit kardiovaskular, dengan penyebab yang paling berat adalah fatal
aritmia. Ditemukan 30% pasien CKD memilliki pembesaran jantung kiri.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1043


Satriawan Abadi

Ditambah lagi insidens hipertensi pulmonal berkisar 40 %. Sehingga tetap


penting menilai secara keseluruhan termasuk pendekatan ke arah risiko
kardiopulmonal. Perawatan pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal
atau riwayat transplantasi sebaiknya didiskusikan dengan ahli ginjal.

Hemodialisa
Pada umumnya tindakan hemodialisa tidak dilakukan sebelum
pembedahan untuk meminimalkan resiko dari antikoagulan dan adanya
perpindahan elektrolityang tidak terlarut. Hemodialisa mungkin berguna
pada dugaan akan hilangnya cairan atau elektrolit post operasi. Pada keadaan
preoperative, riwayat keadaan akses vascular seperi riwayat klotting, atau
stenosis, perlu dipertimbangkan. Secara umum, kateter hemodialisa tidak
boleh dipakai untuk selain dialissis.

Cairan dan elektrolit.


Pasien dengan keadaan kelebihan berat badan kering memiliki risiko
untuk terjadinya edema paru, tetapi pasien yang memiliki kekurangan
berat badan kering cenderung gampang terjadinya hipotensi post operasi.
Gangguan elektrolit yang paling sering terserang adalah hiperkalemi dan
asidosis metabolik. Oleh karena itu perlu dimonitor pre dan post operasi
untuk mengurangi resiko aritmia ventrikel.

Obat obatan
Penting untuk membuat daftar obat obat yang dapat mengganggu fungsi
ginjal dan perlu diketahui dosis penyesuaiannya. Beberapa anti biotik seperti
vankomisin dan aminoglikoside tidak hanya perlu dosis penyesuain tapi perlu
monitoring ketat. Sedapat mungkin hindari pemakaian NSAID. Morfin dapat
menjadi meningkat akumulasinya dalam darah pada pasien gangguan ginjal.
Pemakaian obat ACE Inhibitor dan ARB perlu pemantauan ketat fungsi ginjal
elektrolit.

Kehilangan produk eriropoietin sebagai akibat penurunan fungsi ginjal


akan berkembang menjafi anemia. Biasanya ahli ginjal memakai ESA atau
suplementasi besi untuk target Ht 33%. Pada kondisi preoperative sebaiknya
didiskusikan dengan ahli ginjal untuk melihat keuntungan zat besi atau
eritropoietiin,

Manajemen post operasi dengan rajin memonitor kerja obat. Dosis


penyesuain diperlukan untuk beberapa antibiotik. Menghindari pemakaian
1044 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
Penatalaksanaan Perioperatif pada Populasi Khusus Pertimbangan Toleransi Operasi pada Pasien dengan Komorbid Kardiorespirasi, Gangguan Hematologi, Infeksi, Renal, Metabolik dan Gastrohepatologi

NSAID. Pentingnya volume resusitasi. Ketika kondisi stabil, maka pemberian


ACE I/ ARB dapat diberikan. Beberapa pasien diberikan diuretik untuk
mempertahankan volume status. Untuk pasien yang menjalani hemodialisa,
perlunya konsultasi ke ahli ginjal. Pasien mungkin memerlukan ultrafiltrasi
tergantung status volume dan keadaan kestabilan pasien.

Pasien dengan CKD memiliki risiko uremia yang dapat mempengaruhi


disfungsi trombosit yang berakibat perdarahan perioperatif. Ini dapat
diatasi dengan hemodialisa. Bila perdarahan masih berlangsung, maka dapat
dilakukan penghentian semua obat yang menginhibisi platelet seperti aspirin.
Biasanya bila didiskusikan ke bagian ginjal, biasanya mereka memakai obat
desmopressin, transfudi. Bila pasien memerlukan kontras, diawasi keadaan
prehydrasi dan pemakaian asetilsistein

Pertimbangan Keadaan Endokrin


Banyak pasien diabetes memiliki gejala penyakit jantung koroner, tetapi
pada beberapa keadaan ditemukan tanpa gejala akibat dari disfungsi otonom.

Bukti bukti penelitian memperlihatkan control intensif perioperatif


untuk mencapai target 90-110 mg/d dibandingkan dengan control
glikemik moderate dengan memakai infus insulin. Protokol ini tetap harus
memperrhatikan risiko kemungkinan terjadinya hipoglikemik. Intensif yang
dimaksud termasuk pencegahan hipoglikemik. Pemberian obat hipoglikemik
oral sebaiknya tidak diberikan pada pagi hari di waktu pembedahan.

Hiperglikemik perioperatif sebaiknya dengan pemberian infus insulin


atau short acting insulin. Pasien dengan riwayat diabetes tetapi terkontrol
dengan diet tetap dapat menjalani operasi tetapi dengan monitoring gula
darah ketat setelah pembedahan kontrol glikemik optimal perioperatif
menurunkan resiko infeksi dan komplikasi. Tujuan perioperatif yang paling
penting adalah mencegah kejadian hiperglikemia setelah pembedahan. Perlu
dicatat bahwa kadar HbA1c tidak berhubungan dengan keluaran hasil operasi
dan peningkatan kadarnya tidak dijadikan alas an untuk penundaan operasi.

Statin
Statin selain dapat menurunkan lipid, juga mempunyai efek pleotropik.
Statin dapat memperbaiki fungsi endotel dan stabilisasi plak aterosklerotik.
Pasien yang sudah menggunakan statin, dapat meneruskan pengobatannya
pada preoperatif. Berdasarkan bukti yang ada, statin direkomendasikan pada

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1045


Satriawan Abadi

pasien risiko tinggi, sebaiknya 30 hari dan sekurang-kurangnya 1 minggu


sebelum operasi, dan penggunaan statin yang sudah lama jangan dihentikan
sebelum operasi.

Ringkasan
Seorang konsultasi medis seharusnya perlu mengantisipasi masalah dan
komplikasi yang bisa terjadi dan mempunyai perencanaan untuk pencegahan.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bahwa risiko post pembedahan
akan jauh semakin meningkat seiring dengan peningkatan umur. Manajemen
perioperatif terhadap pasien anemia, gangguan trombosit atau kelainan yang
menyebabkan thrombosis atau perdarahan. Pasien dengan riwayat penyakit
hati sebaiknya dievaluasi secara fokus terhadap penentuan derajat beratnya
injury pada hati. Pasien tanpa adanya sirosis, pemeriksaan berdasarkan
penyakit komorbid yang mendasari. Pasien dengan bukti adanya sirosis
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya dekompensasi dan kategori risiko
didasarkan pada kemungkinan komplikasi pembedahan yang mungkin
terjadi. Preoperatif pasien diabetes yang baik dapat mengurangi risiko
komplikasi postoperasi. Pasien yang datang ke klinik preoperative biasanya
malah belum mengetahui dirinya diabetes sehingga perlu permeriksaan yang
lebih cermat. Jangan lupa diskusi dengan keluarga untuk dan pasien untuk
dapat melakukan kontrol ketat terhadap pengobatan diabetesnya.

Daftar Pustaka
1. Bapoje SR, Whitaker JF, Schulz T, Chu ES, Albert RK. Preoperative evaluation of the
patient with pulmonary disease. Chest. 2007;132:1637–45
2. Fletcher GF, Balady G, Froelicher VF, et al. Exercise standards. A statement for
healthcare professionals from the American Heart Association. Circulation.
1995;91:580–615
3. Fleisher LA, Fleischmann KE, Auerbach AD, et al. 2014 ACC/AHA Guideline on
Perioperative Cardiovascular Evaluation and Management of Patients Undergoing
Noncardiac Surgery, Journal of the American College of Cardiology (2014).
4. Guimaraes MMF, El Dib RP, Smith AF, et al. Incentive spirometry for prevention
of postoperative pulmonary complications in upper abdominal surgery. Cochrane
Database Syst Rev.2009;(3):CD006058
5. Gupta PK, Gupta H, Sundaram A, et al. Development and validation of a risk
calculator for prediction of cardiac risk after surgery. Circulation. 2011;124:381–7.
6. Hamlin NP. Perioperative Disease Management. In : Wong CJ, Hanlin P. 2011. The
Perioperative Medicine Consult Handbook. Springerlink London pp 143-51

1046 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Penatalaksanaan Perioperatif pada Populasi Khusus Pertimbangan Toleransi Operasi pada Pasien dengan Komorbid Kardiorespirasi, Gangguan Hematologi, Infeksi, Renal, Metabolik dan Gastrohepatologi

7. Hong CM, Galvagno SM. Patients with chronic pulmonary disease. Med Clin North
Am.2013;97:1095–107
8. Ketha SS, Jaffer AK. Hospitalist as Medical Consultant. In : Jaffer AK, Grant PJ.
2012 Perioperative Medicine. Medical Consultation and co management. Wiley
Blackwell. New Jersey pp 3-10
9. Kristensen SD, Knuuti J, Saraste A, et al. ESC/ESA Guidelines on non-cardiac
surgery: cardiovascular assessment and management: The Joint Task Force on
non-cardiac surgery: cardiovascular assessment and management of the European
Society of Cardiology (ESC) and the European Society of Anaesthesiology (ESA).
Eur Heart J. 2014.
10. Lee TH, Marcantonio ER, Mangione CM, et al. Derivation and prospective validation
of a simple index for prediction of cardiac risk of major noncardiac surgery.
Circulation. 1999; 100:1043–9.
11. Mark DB, Shaw L, Harrell FE, et al. Prognostic value of a treadmill exercise score in
outpatients with suspected coronary artery disease. N Engl J Med. 1991;325:849–
53
12. McFalls EO, Ward HB, Moritz TE, et al. Coronary-artery revascularization before
elective major vascular surgery. N Engl J Med. 2004;351:2795–804.
13. Mills E, Eyawo O, Lockhart I, et al. Smoking cessation reduces postoperative
complications: a systematic review and meta-analysis. Am J Med. 2011;124:144–
54
14. Mitchell KJ. Liver Disease and Perioperative Risk. In : Jackson MB, Mookherje S,
Hamlin NP. 2015. The perioperative medicine consult handbook. 2nd ed. Springer
Internal Publishing pp 107-18
15. Pasternal LR. Anesthesia Management of The Surgical Patient. In : Lubin MF
et al.2006. .4th ed Medical Management of the surgical Patient. Text book of
perioperative medicine. Cambridge university press. New York pp 7-20
16. Qaseem A, Snow V, Fitterman N, et al. Risk assessment for and strategies to reduce
perioperative pulmonary complications for patients undergoing noncardiothoracic
surgery: a guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med.
2006;144:575–80.
17. Reilly DF, McNeely MJ, Doerner D, et al. Self-reported exercise tolerance and the
risk of serious perioperative complications. Arch Intern Med. 1999;159:2185–92.
18. Rock P, Rich PB. Postoperative pulmonary complications. Curr Opin Anaesthesiol.
2003;16(2):123–31
19. Scanlon PJ, Faxon DP, Audet AM, et al. ACC/AHA guidelines for coronary angiography:
executive summary and recommendations. Circulation. 1999;99:2345–57.
20. Setia SS, Rooke GA. Perioperative Care of Elderly Patients. In: Jackson MB,
Mookherje S, Hamlin NP. 2015. The perioperative medicine consult handbook. 2nd
ed. Springer Internal Publishing pp 243-53

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1047


Satriawan Abadi

21. Shander A, et al. Clinical and economic burden of postoperative pulmonary


complications: patient safety summit on defi nition, risk reducing interventions,
and preventive strategies. Crit Care Med. 2011;39(9):2163–72
22. Stefan MS, Schaffer AC. Chronic Kidney Disease. In : Cohn Sl. 2011. Perioperative
Medicine. Springer Verlag London pp 303-13

1048 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


USG Doppler Ekstremitas Bawah
Eka Ginanjar, M. Syahril Azizi, Salwa Badrudin
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan
Ultrasound doppler adalah suatu metode pemeriksaan yang digunakan
untuk mendeteksi arah dan kecepatan pergerakan suatu aliran di dalam
pembuluh darah, dan digunakan untuk mendeteksi aliran abnormal dalam
jumlah besar.

Prinsip doppler menyatakan bahwa frekuensi bunyi (atau gelombang


lain) akan berubah (lebih tinggi maupun lebih rendah), ketika dipancarkan
dan dipantulkan dari objek yang bergerak. Hal ini terjadi karena gelombang
bunyi yang dipancarkan dari objek yang bergerak (atau dpantulkan dari objek
sumbernya) akan terkompresi maupun terekspansi dari objek yang bergerak.

Gambar ultrasound dari suatu flow, color flow dan spectral doppler secara essensial
didapat dari pengukuran pergerakan suatu objek.

Pada scanner ultrasound, berbagai seri pulsasi ditransmisikan untuk


mendeteksi pergerakan dari darah dan objek lainnya seperti jaringan ikat,

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1049


Eka Ginanjar, M. Syahril Azizi, Salwa Badrudin

otot dan tulang. Gelombang pantulan dari jaringan yang tidak bergerak (otot,
pembuluh darah, dan tulang) biasanya akan memantulan ukuran gelombang
yang sama dengan yang dipancarkan.1

Aliran Darah pada Ultrasound Doppler


Aliran darah melalui jantung dan pembuluh darah memiliki beberapa
karakteristik yang dapat diukur dengan instrumen doppler.

Aliran tersebut ada 2, yaitu:


• Aliran laminar terjadi jika darah mengalir pada mukosa yang halus dan
paralel di pembuluh darah, sehingga darah mengalir dalam kecepatan
yang sama.

• Aliran turbulen terjadi jika terdapat suatu obstruksi yang menghasilkan


gangguan dari aliran laminar. Yang mana obstruksi tersebut
menyebabkan pergerakan aliran darah menjadi tidak terorganisir
dan memproduksi berbagai pusaran yang berbeda dalam kecepatan.
Obstruksi menyebabkan terdapat berbagai macam kecepatan (velocity)
dalam satu pembuluh darah.

1050 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


USG Doppler Ekstremitas Bawah

Ultrasound pada ekstremitas bawah


1. anatomi

Anatomi arteri dan vena pada ekstremitas bawah


1. arteri
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1051
Eka Ginanjar, M. Syahril Azizi, Salwa Badrudin

Karakteristik Arteri Pada Ultrasound


• Arteri memiliki tampilan bundar pada tampilan transversal
• Memiliki ukuran lebih kecil dari vena
• Tampak dinding muskular dengan gambaran bilayer yang menandakan
adanya tunika intima media
• Terkompres secara parsial jika mengalami penekanan.
• Bentuk gelombang doppler pada arteri ekstermitas bawah saat istirahat
dinilai sebagai high pulsatile waveform dan berpola triphasic flow.
• Setiap siklus denyut jantung, tampak gelombang tinggi, sempit dan tajam
saat puncak sistolik pada fase pertama, diikuti dengan aliran diatolik
yang reversal saat fase kedua dan pada aliran late diastolic pada fase
ketiga. Aliran diastolic reversal merupakan hasil dari tingginya resistensi
perifer arteri ekstermitas bawah.
Darah pada pusat arteri bergerak lebih cepat dibanding dengan darah
yang di perifer, yang mana dikenal sebagai laminar flow. Ketika laminar flow,
sel darah bergerak dengan kecepatan yang sama. Hal ini merupakan fitur
normal arteri yang memproduksi clear space yang dikenal sebagai spectral
window dibawah Doppler spectrum.

Posisi Pemeriksaan

Gambar: kotak merah menunjukkan letak transducer untuk memeriksa beberapa


vena dan arteri pada ektremitas bawah 1. Vena saphena, vena femoralis, arteri
femoralis. 2. Arteri femoralis profunda, varteri femoralis, vena saphena besar, vena
femoralis. 3. Arteri femoralis, vena femoralis. 4. Arteri femoralis, vena femoralis. 5.
Vena saphena kecil, vena popliteal, arteri popliteal.

1052 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


USG Doppler Ekstremitas Bawah

Gambar : letak pemeriksaan pembuluh darah dibawah lutut. 1. arteri tibialis


posterior, 2. Arteri tibialisposterior, 3. Arteri peroneal.

Pendekatan terhadapan temuan abnormal


Pada penyakit arteri oklulsif, terjadinya peningkatan flow velocity atau
kecepatan aliran pada regio dengan lumen sempit. Sebaliknya, resistensi
vaskular berkurang yang diakibatkan adanya aliran kolateral dan terjadi
vasodilatasi pada area yang yang mengalami obstruksi. Seiiring penyakit
berjalan, pola triphasic pun menghilang menjadi pola biphasic. Hal ini
diakibatkan hilangnya recoil elastic yang disebabkan oleh pengerasan pada
arteri. Jika penyakit ini berkembang terus menerus, aliran akan kehilangan
pulsatil dan menjadi pola monophasic dengan peningkatan aliran diastolik
akibat vasodilatasi regional.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1053


Eka Ginanjar, M. Syahril Azizi, Salwa Badrudin

Dengan menggunakan ultrasound, derajat PAD dapat diklasifikasikan menjadi


4 kategori, meliputi:
1. Normal ( No stenosis)
2. 1-49% stenosis
3. 50 – 99% stenosis
4. Total oklulsi (100% stenosis)

Ultrasound Vena
Berbeda dengan arteri, vena memiliki tunika muskularis yang lemah
dengan dinding yang kurang elastis, sehingga mudah kolaps ketika vena
dikompresi dengan transduser. Kompresibilitas dari vena dan pulsasi
arteri merupakan salah satu modal utama untuk membedakan keduanya di

1054 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


USG Doppler Ekstremitas Bawah

ultrasonografi. Selain itu, vena memiliki katup atau valvula yang berperan
untuk mencegah adanya refluks pada aliran vena.

Berbeda dengan arteri (panah terbuka), vena (panah) memiliki tunika


muskularis yang lemah dengan dinding yang kurang elastis, sehingga
mengalami kolaps saat dilakukan kompresi.

Karakteristik Vena pada Doppler sonography:


(1) Dinding tipis dan halus,
(2) Kompresibilitas komplit,
(3) Consistent color fill: Tidak ditemukan filling defect.
(4) Kontur flow yang halus: tidak terdapat gangguan aliran.
(5) Phasicity.

Pada sonografi doppler vena, pemeriksa dapat menilai respiratory


phasicity sserta cardiac pulsatility. Phasicity adalah variasi gelombang vena
dalam doppler, yang ditandai dengan menurunnya velocity saat inspirasi dan
meningkat saat ekspirasi.

Dalam menilai patensi vena dapat dilakukan hal sebagai berikut :


1. Valsava manuver
2. Simulated valsava (holding deep breath)
3. Manual distal augmentation (meremas gastrocnemous) atau dengan
menggunakan manset sphygmomanometer
4. Plantar fleksi  aktivasi calf muscle pump.

Patensi sistem vena dinilai dalam bentuk ada tidaknya refluks retrograde.
Refluks retrograde dinyatakan positif apabila refluks yang terjadi melebih 0,5
detik terkadang 1 detik.

Cardiac pulsality pada sonography vena umumnya nditemukan pada


ekstermitas atas, tetapi seiring dengan perjalanan aliran darah yang semakin
jauh dari jantung, menyebabkan pulsatil yang semakin berkurang hingga
berubah menjadi phasicity. Ditemukannya pulsabilility pada doppler vena
ekstermitas bawah dapat menunjukan adanya disfungsi kerja kardiak.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1055


Eka Ginanjar, M. Syahril Azizi, Salwa Badrudin

Gambar : Cardiac Pulsality in Venous


Ultrasound vena dalam

Posisi Pasien
Pemeriksaan ultrasonografi doppler dapat diawali dengan pasien dalam
posisi supine atau semi fowler. Jika memungkinkan dapat dilakukan reverse
tredelenburg postition, hal tersebut bertujuan agar terjadi venous filling pada

1056 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


USG Doppler Ekstremitas Bawah

ekstermitas bawah, sehingga menyebabkan vena mengalami dilatasi. Rotasi


eksternal pada pinggul dan fleksi pada lutut membantu mengurangi kontraksi
otot dan memberikan tampilan yang bagus pada deep vein pada medial thigh,
calf atau dengan manuver kompresi.

Trombus
Thrombus pada sonography doppler memiliki karakteristik sebagai
berikut : 1) Segmen vena yang non-compresible 2). Diameter vena melebar
(thrombus akut) 3). Diameter vena mengecil (chronic thrombus) 4). Hilangnya
phasicity pada manuver valsava 5) Absent color flow 6). Aliran vena superficial
meningkat 7). Hilangnya flow augmentasi pada peremasan betis 8) Gambaran
anechoic dan echoic pada sonography. 9). Gambar endotelisasi vena (tampak
dinding bilayer pada vena)

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1057


Eka Ginanjar, M. Syahril Azizi, Salwa Badrudin

Chronic venous insufficieny terjadi karena fungsi dinding vena atau katup vena
yang tidak adekuat dalam menampung akumulasi darah. Pada ultrasonografi
doppler insufisiensi vena kronik memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Terdapat reflux (waktu reflux : > 0,5 detik atau > 1 detik)
2) Ditemukannya reverse flow pada aliran vena
3) Terbentuknya suatu hubungan (perforator) pada great saphenous vein
dengan deep vein (diameter perforator > 4mm)
4) Tampak struktur anatomis katup dan dinding vena yang tidak adekuat
5) Dapat ditemukannya obstruksi (thrombus)

1058 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


ULTRASONOGRAFI PEMBULUH DARAH KAROTIS

Ultrasonografi
M. Pembuluh
Syahrir Azizi, Eka Ginanjar,Darah Karotis
Andarisa Rachman, Salwa Badru

Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


M. Syahrir Azizi, Eka Ginanjar, Andarisa Rachman, Salwa Badrudin
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ja
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Anatomi Arteri Karotis


Anatomi
GambarArteri Karotis
1. Ilustrasi arteri karotis beserta cabangnya. Sumber : Gray H. Anatomy of
the Human Body. 20th ed. Philadelphia: Lea and Febiger, 1918.

Gambar 1. Ilustrasi arteri karotis beserta cabangnya. Sumber : Gray H. An


Pembuluh darah arteri karotis merupakan percabangan dari arcus aorta.
Human Body. 20th ed. Philadelphia: Lea and Febiger, 1918.
Ateri karotis kanan merupakan percabangan dari trunkus brachiocephalica
sedangkan arteri karotis kiri langsung percabangan dari arcus aorta. Arteri
Pembuluh darah arteri karotis merupakan percabangan dari arcus aorta
karotis komunis akan bercabang menjadi arteri karotis interna dan arteri
kananeksterna,
karotis merupakan percabangantersebut
pada percabangan dari trunkus brachiocephalica
terdapat sedangkan arte
bagian yang membesar
disebut sebagai bulbus karotis.
langsung percabangan dari arcus aorta. Arteri karotis komunis akan berca
arteri karotis interna
Pemeriksaan dan arteri
ultrasonografi karotiskarotis eksterna,
memegang perananpada
yang percabangan
penting ters
sebagai pencitraan penegakan diagnosis, beberapa indikasi pemeriksaan
bagian yang membesar disebut sebagai bulbus karotis.
ultrasonografi karotis antara lain :
1. Transient ischemic attack
Pemeriksaan ultrasonografi karotis memegang peranan yang penting sebag
2. Iskemi reversible deficit neurologis
penegakan diagnosis, beberapa indikasi pemeriksaan ultrasonografi karotis an
3. Stroke ringan dalam perbaikan pada pasien muda
4. 1. Atypical,
Transient ischemic
gejala attack
non fokal yang memungkinkan akibat etiologi vaskular
5. Arteriopathies / pasien risiko tinggi dengan riwayat bedah
2. Iskemi reversible deficit neurologis
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1059
3. Stroke ringan dalam perbaikan pada pasien muda
7. Massa pulsatil di leher

8. Trauma / diseksi
M. Syahrir Azizi, Eka Ginanjar, Andarisa Rachman, Salwa Badrudin

6. 9. Post
Skrining penyakit
endarterectomy
7. Massa pulsatil di leher
Urutan Pemeriksaan Ultrasonografi Karotis
8. Trauma / diseksi
Pemeriksaan
9. Skrining karotis memerlukan tahapan yang cermat dan teliti agar pemeriksa tidak
penyakit
salah dalam melakukan teknik pemeriksaan dan interpretasi. Berikut merupakan urutan
Urutan Pemeriksaan
dalam pemeriksaan Ultrasonografi
ultrasonografi karotis : Karotis
Pemeriksaan karotis memerlukan tahapan yang cermat dan teliti agar
1. Transverse scan dari pangkal leher menyusur keatas hingga ke belakang mandibular
pemeriksa tidak salah dalam melakukan teknik pemeriksaan dan interpretasi.
untuk
Berikut menemukan
merupakan bifurkasio
urutan dalam pemeriksaan ultrasonografi karotis:
1. 2. Transverse scan dari pangkal leher menyusur keatas hingga ke belakang
Longitudinal color scan untuk mengidentifikasi area dengan aliran abnormal atau area
mandibular untuk menemukan bifurkasio
dengan kelainan
2. Longitudinal color scan untuk mengidentifikasi area dengan aliran
3. abnormal
Identifikasiatau
ECAarea dengan kelainan
dan ICA
3. Identifikasi ECA dan ICA
4. Spectral doppler pada CCA, ICA, ECA. Bila dicurigai ada kelainan, pemeriksaan
4. Spectral doppler pada CCA, ICA, ECA. Bila dicurigai ada kelainan,
pada daerah lesi didahulukan
pemeriksaan pada daerah lesi didahulukan
5. 5. Evaluasi arterivertebralis
Evaluasi arteri vertebralis

Modalitas Ultrasonografi
Modalitas Ultrasonografi Karotis
Karotis
1) B-mode gray scale: untuk melihat struktur anatomi pembuluh darah,
1) B-mode gray scale: untuk melihat struktur anatomi pembuluh darah, untuk pencitraan
untuk pencitraan plak aterosklerosis dan ketebalan intima-media
plak aterosklerosis dan ketebalan intima-media (intima-media thickness (IMT).
(intima-media thickness (IMT).

Gambar 2. Longitudinal scan arteri karotis dengan B mode.


Sumber: Gaitini D, Soudack M. Diagnosing Carotid Stenosis by Doppler Sonography. Ultrasound 2005;
7: 1127–1136.

1060 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Diagnosing Carotid Stenosis by Doppler Sonography. Ultrasound 2005; 7: 1127–1136.
Gambar 2. Longitudinal scan arteri karotis dengan B mode. Sumber : Gaitini D, Soudack M.
Diagnosing Carotid Stenosis by Doppler Sonography. Ultrasound 2005;Pembuluh
Ultrasonografi 7: 1127–1136.
Darah Karotis

Gambar 3. Transverse scan arteri karotis dengan B mode. Sumber : Alexandrov, AV. 2005.
The Role of Ultrasound Gambar 3. Transverse
in the Management scanofarteri karotis dengan
Cerebrovascular B mode.
Disease in Introduction to
Gambar 3. Transverse scan arteri karotis dengan B mode. Sumber : Alexandrov, AV. 2005.
Sumber : Alexandrov, AV. 2005. The Role of Ultrasound in the Management of Cerebrovascular
Vascular Ultrasonography. Fifth Edition. pp. 107-131.
The Role of Ultrasound in the to
Disease in Introduction Management of Cerebrovascular
Vascular Ultrasonography. Disease
Fifth Edition. pp. 107-131.in Introduction to


Vascular Ultrasonography. Fifth Edition. pp. 107-131.
Ketebalan intima media didefinisikan sebagai pola 2 garis yang
Ketebalan intima media didefinisikan sebagai pola 2 garis yang
tervisualisasikan dengan echo 2D pada arteri tampilan longitudinal. Dua
tervisualisasikan
garis paralel dengan echo 2D
membentuk pada arteri tampilan longitudinal. Dua garis paralel
Ketebalan intima lumen
mediaintima dan media
didefinisikan adventitia.
sebagai pola Terdapat
2 garis yang
membentuk
dua cara lumen
untuk intima
mengukur dan media adventitia.
ketebalan intima Terdapat
media, dua
yaitu cara untukmanual
secara mengukur
tervisualisasikan dengan echo 2D pada arteri tampilan longitudinal. Dua garis paralel
denganintima
ketebalan meletakkan kursor
media, yaitu pada
secara beberapa
manual dengan tempat lalu dirata
meletakkan – ratakan
kursor pada beberapa
membentuk lumen intima dan media adventitia. Terdapat dua cara untuk mengukur
dan secara automatis dengan komputer melalui rata – rata
tempat lalu dirata – ratakan dan secara automatis dengan komputer melalui rata – rata pengukuran
ketebalan
pada dinding intima media,lateral,
anterior, yaitu secara manual dengan meletakkan kursor pada beberapa
dan posterior.
pengukuran pada dinding anterior, lateral, dan posterior.
tempat lalu dirata – ratakan dan secara automatis dengan komputer melalui rata – rata
pengukuran pada dinding anterior, lateral, dan posterior.

Gambar 4. Pengukuran ketebalan intima media.


Sumber : Mescher A. Junqueira’s Basic Histology: Text and Atlas. 14 th Edition. Lange. 2009

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1061


M. Syahrir Azizi, Eka Ginanjar, Andarisa Rachman, Salwa Badrudin

Mode B dapat juga digunakan dalam membantu mengevaluasi plak.


Plak didefinisikan sebagai kumpulan kolesterol, lipid, debris sel, sel-sel
otot polos, dan kolagen pada endotel. Terdapat 4 tipe plak dilihat dari
penampakannya pada pemeriksaan ultrasonografi, yaitu :
Tipe 1 = Plak tampak echolucent dengan cap echogenic
Tipe 2 = Tampak lesi echolucent dengan area echogenic
Tipe 3 = Plak didominasi dengan lesi echogen dengan area echolucent <
25 %
Tipe 4 = Seluruh plak tampak echogenic

Tipe 1 dan tipe 2 merupakan tipe plak yang lebih lunak sehingga lebih
membahayakan dan sering menimbulkan gejala pada pasien, sedangkan
tipe 3 dan tipe 4 plak cenderung lebih keras sehingga pada pasien
biasanya asimtomatis.

Berdasarkan hemodinamik, plak diklasifikasikan pada skala dari H1


sampai H5: H1 yang ringan, kurang dari 50% reduksi diameter; H2,
moderat, 50% sampai 69% diameter stenosis; H3, parah, 70% hingga
mendekati oklusi; H4, kritis, dekat oklusi; dan H5, occluding total oklusi.
Menurut plak echogenicity, itu diklasifikasikan ke P1, homogen; dan P2,
heterogen; S1 ke S3 menunjukkan karakteristik permukaan, dari yang
halus (S1) untuk tidak teratur dengan cacat permukaan kurang dari 2
mm (S2) dan ulserasi dengan cacat lebih besar dari 2 mm (S3).

Tabel 1. Klasifikasi plak.


Hemodinamik (% diameter stenosis) Morfologi Permukaan
H 1, ringan P 1, homogen S 1, halus
H 2, sedang P 2, Heterogen S 2, ireguler (defek < 2 mm)
H 3, berat S 3, ulserasi (ulserasi > 2 mm)
H 4, kritikal
H 5, oklusi

Terdapat beberapa metode dalam melakukan kalkulasi plak, diantaranya
metode ESCT (European Carotid Surgery Trial), metode NASCET (North
American Symptomatic Carotid Endarterectomy Trial), dan metode
diameter karotis komunis.

1062 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


metode ESCT (European Carotid Surgery Trial), metode NASCET (North Americ
Symptomatic Carotid Endarterectomy Trial), dan metode diameter karotis komunis.
Ultrasonografi Pembuluh Darah Karotis

Gambar 5. Metode pengukuran plak.


Sumber: Allan P, Dubbins P, Pozniak M, et al. Clinical Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia: Churchill

ambar 5. Metode pengukuran plak. Sumber : Allan P, Dubbins P, Pozniak M, et


Livingstone Elsevier, 2006.

Tabel 2. Penilaian Derajat Stenosis Berdasarkan NASCET Criteria.


inical Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2006.
Penilaian derajat stenosis Arteri Karotis Interna berdasarkan pemeriksan USG
Konsensus berdasarkan kriteria NASCET
enilaian derajat stenosis Arteri Karotis Interna berdasarkan pemeriksan USG
ICA stenosis (%) ICA PSV (cm/s) ICA EDV (cm/s) PSV ratio (ICA / CCA)
onsensus berdasarkan
Normal kriteria NASCET
< 125 < 40 < 2.0
< 50 % < 125 < 40 < 2.0
CA stenosis (%) ICA PSV (cm/s) ICA EDV (cm/s) PSV ratio (ICA /
50 – 69 % 125 – 230 40 -100 2.0 – 4.0
> 70 % > 230 > 100 > 4.0 CCA)
ormal < 125
Hampir oklusi Variabel
< 40
Variabel Variablel
< 2.0
Total okulsi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak aplikabel
50 % < 125 < 40 < 2.0
0 – 69 % 2) Colour 125
flow –doppler:
230 merupakan 40
visualisasi
-100 real-time dari lesi
2.0 vaskular
– 4.0
dan abnormalitas aliran, memandu posisi area yang stenosis, dan
70 % > 230membedakan antara>stenosis
membantu 100 kritis dan oklusi.> Pada
4.0 area
ampir oklusi stenosis didapatkan adanya penyempitam
Variabel Variabel lumen denganVariablel
shift merah
ke biru karena “aliasing”.
otal okulsi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak aplikabel
Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1063
antara stenosis kritis dan oklusi. Pada area stenosis didapatkan adanya penyempit
lumen dengan shift merah ke biru karena "aliasing”.

M. Syahrir Azizi, Eka Ginanjar, Andarisa Rachman, Salwa Badrudin

Gambar
Gambar6.6.Aliasing phenomenon
Aliasing karena
phenomenon kecepatan
karena tinggi
kecepatan padapada
tinggi centre lumen
centre lumen stenosis d
stenosis dan gangguan aliran post stenosis.
gangguan aliran post stenosis. Sumber : Gaitini D, Soudack M. Diagnosing Carotid Steno
Sumber: Gaitini D, Soudack M. Diagnosing Carotid Stenosis by Doppler Sonography. Ultrasound 2005;
by Doppler Sonography. Ultrasound 2005; 7: 1127–1136.
7: 1127–1136.


Terdapat beberapa Terdapat
indeksbeberapa indeksdiperhatikan
yang perlu yang perlusaat diperhatikan
melakukansaat melakuk
pemeriksaan
pemeriksaankarotis
karotisdengan
dengan mode color doppler,
mode color doppler, diantaranya yangsering
diantaranya yang seringdigunakan ada
digunakan adalah resistance index dan pulsatility index. Resistance index
resistance index dan pulsatility index. Resistance index ( RI )memiliki nama lain ya
(RI) memiliki nama lain yaitu pourcelot index, resistance index tinggi
pourcelot index, resistance index tinggi berarti terdapat resistensi yang tinggi pada dindi
berarti terdapat resistensi yang tinggi pada dinding vaskular. Berikut
vaskular. Berikut rumus dari perhitungan resistance index :
rumus dari perhitungan resistance index:
RI RI
= (=S(–SD–)D/)S/ S
S = Systolic velocity
S = Systolic velocity
D = Diastolic velocity
D = Diastolic velocity
Tingginyaresistensi
Tingginya resistensi perifer
periferpadapadadistal vaskular
distal mengakibatkan
vaskular turunnya aliran dar
mengakibatkan
turunnya
diastole,aliran
hal inidarah diastole,tingginya
menyebabkan hal ini menyebabkan
RI. tingginya RI.

Index lain yang dapat digunakan adalah Pulsatility index ( PI ), digunakan
pada pembuluh darah yang terdapat aliran balik. PI diukur dengan satuan
waktu, PI (500) menandakan pengukuran PI dari awal sistol hingga
500ms setelahnya. Berikut rumus dari perhitungan PI:
PI = Maximum velocity excursion / Mean of the velocity

1064 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


I = Maximum velocity excursion / Mean of the velocity
Ultrasonografi Pembuluh Darah Karotis
Maximum velocity excursion = S – D or S + D’
Maximum velocity excursion = S – D or S + D’

Gambar 7. Ilustrasi perhitungan resistance index dan pulsatility index.


mbar 7. Ilustrasi perhitungan resistance index dan pulsatility index.
Sumber: Allan P, Dubbins P, Pozniak M, et al. Clinical Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia: Churchill
Sumber : Allan P
Livingstone Elsevier, 2006.

bbins P, Pozniak M, et al. Clinical Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philad


elphia: Churchi
ingstone Elsevier, 2006.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1065


M. Syahrir Azizi, Eka Ginanjar, Andarisa Rachman, Salwa Badrudin

3) 3)
Spectrum
SpectrumDoppler
Doppler: :untuk
untuk menilai kecepatan
menilai kecepatan aliran
aliran darah.
darah.

3) Spectrum Doppler : untuk menilai kecepatan aliran darah.

Gambar 8. Spectrum
Gambar Doppler
8. Spectrum pada
Doppler padaplak
plakarteri
arteri karotis,berupa
karotis,berupa monophasic end diastolic
monophasic end
Gambar 8. Spectrum Doppler pada plak arteri karotis,berupa monophasic end diastolic
diastolic tinggi karena tidak mengganggu aliran dan menghadapi resisten yang
tinggi tinggi
karena tidak mengganggu aliran dan menghadapi resisten yang rendah. Sumber :
karena tidak mengganggu aliran dan menghadapi resisten yang rendah. Sumber :
rendah.
Gaitini D, Soudack
Gaitini
Sumber: D, Soudack
Gaitini M.M.Diagnosing
D, Soudack Diagnosing
M. Diagnosing Carotid
Carotid Stenosis
CarotidStenosis
Stenosis by Doppler
by Doppler
by Doppler Sonography.
Sonography.
Sonography. Ultrasound
Ultrasound Ultrasound
2005;
7: 1127–1136.
2005; 2005; 7: 1127–1136.
7: 1127–1136.

Gambar 9. Bentuk gelombang pada arteri karotis kcmunis memiliki puncak


Gambar 9. cukup
sistolik Bentuk luas
gelombang pada arteri
dan dalam jumlahkarotis kcmunis
sedang memilikisepanjang
mengalir puncak sistolik cukup
diastol.
luas dan
Sumber: dalamWJ,
Zwiebel jumlah sedang
Pellerito mengalir sepanjang
JS. Uncommon diastol.
But Important Sumber
Carotid : Zwiebel
Pathology. WJ, Pellerito
Ultrasound 2005; 21:
131–140.
JS. Uncommon But Important Carotid Pathology. Ultrasound 2005; 21: 131–140.

Gambar 9. Bentuk gelombang pada arteri karotis kcmunis memiliki puncak sistolik cukup
luas dan dalam jumlah sedang mengalir sepanjang diastol. Sumber : Zwiebel WJ, Pellerito
JS. Uncommon But Important Carotid Pathology. Ultrasound 2005; 21: 131–140.

1066 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Ultrasonografi Pembuluh Darah Karotis

Gambar 10. Bentuk gelombang arteri karotis internal yang memiliki puncak sistolik luas
Gambar Gambar 10.gelombang
10. Bentuk Bentuk gelombang
arteri karotisarteri karotis
internal internalpuncak
yang memiliki yang sistolik
memiliki luaspuncak
dan sejumlahsistolik
besar aliran
luas seluruh
dan diastole . Sumber
sejumlah besar : Zwiebel
aliran WJ, Pellerito
seluruh JS. Uncommon
diastole.
dan sejumlah besar aliran seluruh diastole . Sumber : Zwiebel WJ, Pellerito JS. Uncommon
But Important
ZwiebelCarotid Pathology. Ultrasound 2005; 21: 131–140.
Sumber:
But Important Carotid WJ, Pellerito
Pathology. JS. Uncommon
Ultrasound 2005;But21: 131–140.Carotid Pathology. Ultrasound 2005; 21:
Important
131–140.

Gambar 11. bentuk


Gambar gelombang
11. bentuk gelombang arteri karotid
arteri karotid eksternal
eksternal memiliki
memiliki puncakpuncak sistolik
sistolik tajam
tajam danarteri
Gambar 11. bentuk gelombang relatif sedikit
karotid aliran
eksternal dalampuncak
memiliki diastole.
sistolik tajam
dan relatif sedikit aliran dalam diastole . Sumber : Zwiebel WJ, Pellerito JS. Uncommon But
dan relatif sedikit
Sumber: aliranWJ,
Zwiebel dalam diastole
Pellerito . Sumber :But
JS. Uncommon Zwiebel WJ, Carotid
Important PelleritoPathology.
JS. Uncommon But2005; 21:
Ultrasound
Important Carotid Pathology. Ultrasound 2005; 21: 131–140.
Important Carotid Pathology. Ultrasound 2005; 21: 131–140.
131–140.

Tabel 3. Peak systolic velocity dan end diastolic velocity pada pembuluh darah
di leher.
PSV EDV
CCA 60-125 cm/detik > 40-80 cm/detik
ICA 54-120 cm/detik 40-65 cm/detik
ECA 77-125 cm/detik >40 cm/detik
VA 19-98 cm/detik 6-30 cm/detik

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1067


M. Syahrir Azizi, Eka Ginanjar, Andarisa Rachman, Salwa Badrudin

Tabel 4. Perbedaan ICA dan ECA.


Features ICA ECA
Ukuran Lebih besar Lebih kecil
Percabangan Jarang Ya
Orientasi Posterior anterior
Pulsed Doppler Resistensi rendah Resistensi tinggi
Temporal tap Biasanya negative Biasanya positif

Gambar 12.Gambar
Pemeriksaan12.padaPemeriksaan
ECA. Sumber pada: AllanECA.
P, Dubbins P, Pozniak M, et al.
Clinical
Gambar
Sumber: Allan P, DubbinsDoppler
12. Ultrasound.
Pemeriksaan
P, Pozniak al.2nd
M, et pada ed. Philadelphia:
ECA.
Clinical : Churchill
Allan P, Livingstone
SumberUltrasound.
Doppler 2Dubbins
nd
P,Elsevier,
Pozniak2006.
ed. Philadelphia: M, et al.
Churchill
Clinical Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia:
Livingstone Elsevier, 2006. Churchill Livingstone Elsevier, 2006.

Gambar 13. Pemeriksaan pada ICA. Sumber : Allan P, Dubbins P, Pozniak M, et al. Clinical
Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2006.
Gambar 13 Gambar 13pada
. Pemeriksaan .
Pemeriksaan
ICA. Sumber :pada ICA.
Allan P, Dubbins P, Pozniak M, et al. Clinical
Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2006.Churchill
Sumber: Allan P, Dubbins P, Pozniak M, et al. Clinical Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia:
Livingstone Elsevier, 2006.

1068 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Ultrasonografi Pembuluh Darah Karotis

4) Pemeriksaan arteri vertebralis


Pemeriksaan arteri vertebralis dilakukan bila didapatkan gejala terkait
kelainan pada fossa posterior. Biasanya kelainan unilateral tidak
menghasilkan gejala yang signifikan karena darah masih di supply
dari pembuluh kontralateral / kolateral dari sirkulus willisi. Berikut
merupakan hal – hal yang perlu diperhatikan saat pemeriksaan arteri
vertebralis :
1. Tidak adanya aliran pada lokasi arteri vertebralis bisa berarti arteri
tersebut hipoplastik, absent, ataupun terbuntu. Bila arteri terlihat
dengan B mode namun flow tidak terlihat dengan Color maupun
Spectral Doppler, menandakan arteri terbuntu atau dissected.
2. Bila didapatkan peningkatan kecepatan aliran, dicurigai merupakan
suatu stenosis. Signifikansi stenosis tergantung dari pembuluh
kontralateral dan klinis pasien.
3. Bentuk gelombang tardus parvus menandakan stenosis pada
proximal.
4. Bila gelombang pada arteri proksimal berkurang ataupun absent,
menandakan adanya distal stenosis / occlusion.
5. Bila didapatkan aliran balik, menandakan suatu subclavian steal
syndrome (Terdapat suatu pembuntuan pada proksimal arteri
subklavia, darah akan mengalir balik dan masuk pada pembuluh
darah ipsilateral untuk menuju ke lengan).
6. Bila hambatan pada arteri subklavia belum parah, aliran balik dapat
dipicu dengan pasien menahan beban pada telapak tangan dengan
posisi siku menekuk atau dapat juga dengan memasang cuff ditahan
2 – 3 menit lalu dilepaskan sehingga terjadi hiperaemia.

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1069


M. Syahrir Azizi, Eka Ginanjar, Andarisa Rachman, Salwa Badrudin

Gambar 14. Gambaran arteri vertebralis dengan tardus parvus.


Gambar 14.
Sumber: Allan Gambaran
P, Dubbins arteri
P, Pozniak M, et al.vertebralis
Clinical Doppler dengan
Ultrasound. 2tardus parvus.Churchill
ed. Philadelphia:
nd
Sumber : Allan P
Livingstone Elsevier, 2006.
Pozniak M, et al. Clinical Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia: Churchil
5) Elsevier, 2006.
Melaporkan hasil pemeriksaan karotis
Berikut merupakan hal –hal yang perlu dilaporkan dari hasil pemeriksaan
karotis, yaitu :
1. Data pasien
2. 5)Patensi
Melaporkan
CCA, ICA,hasil
ECA pemeriksaan karotis
3. Variasi anatomi
Berikut merupakan hal –hal yang perlu dilaporkan dari hasil
4. Rasio peak systolic IC / CC (kanan – kiri)
karotis, yaitu :
5. Derajat stenosis, tipe plak, permukaan plak
6.
1.Panjang stenosis
Data pasien
7. Diameter ICA di atas stenosis
8. 2.Diagram
Patensiarea
CCA,lesiICA, ECA
estimasi disposisi plak
9. Sudut bifurkasio terhadap mandibular (kanan – kiri)
3.Arteri
10. Variasi anatomi(terlihat? Arah aliran? Abnormalitas?)
vertebralis

4. Rasio peak systolic IC / CC (kanan – kiri)


1070 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019
5. Derajat stenosis, tipe plak, permukaan plak
9. Sudut bifurkasio terhadap mandibular (kanan – kiri)

10. Arteri vertebralis (terlihat? Arah aliran? Abnormalitas?) Ultrasonografi Pembuluh Darah Karotis

Gambar 15. Lembar pelaporan data hasil pemeriksaan karotis. Sumber : Cipto
Gambar
Mangunkusumo National15. Lembar
Hospital pelaporan data hasil
Echocardiography lab. pemeriksaan karotis.
Sumber: Cipto Mangunkusumo National Hospital Echocardiography lab.

Daftar Pustaka
1. Gray H. Anatomy of the Human Body. 20th ed. Philadelphia: Lea and Febiger, 1918
2. Hwang JY.Doppler ultrasonography of the lower extermity arteries: anatomy and
scanning guideline. Ultrasonography. 2017; 36:111-119
3. Kisslo JA dan Adams DB. Principles of doppler echocardiography and the doppler
examinatiom.2012

Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019 1071


M. Syahrir Azizi, Eka Ginanjar, Andarisa Rachman, Salwa Badrudin

4. Mescher A. Junqueira’s Basic Histology: Text and Atlas. 14 th Edition. Lange. 2009
5. Allan P, Dubbins P, Pozniak M, et al. Clinical Doppler Ultrasound. 2nd ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone Elsevier, 2006.
6. Gaitini D, Soudack M. Diagnosing Carotid Stenosis by Doppler Sonography.
Ultrasound 2005; 7: 1127–1136.
7. Alexandrov, AV. 2005. The Role of Ultrasound in the Management of
Cerebrovascular Disease in Introduction to Vascular Ultrasonography. Fifth
Edition. pp. 107-131.
8. Beigelman, et al. 2014. Carotid Artery- Pathology, Plaque Structure-Relationship
between Histological Assessment, Color Doppler Ultrasonography and Magnetic
Respnance Imaging- Dolichoarteriopathies-Barorreceptors in Carotid Artery
Disease-From Bench to Bedside and Beyond.pp.33-55.
9. Byrnes, KR and Ross, CB. 2012. The Current Role of Carotid Duplex Ultrasonography
in the Management of Carotid Atherosclerosis: Foundations and Advances.
International Journal of Vascular Medicine;p.1-10.
10. Zwiebel WJ, Pellerito JS. Uncommon But Important Carotid Pathology. Ultrasound
2005; 21: 131–140.
11. Scoutt LM, Grant EG. Carotid Ultrasound. In Practical Sonography for the
Radiologists: Categorical Course Syllabus 2009. Eds. Angtuaco TL, Hamper UM,
Ralls PW and Scoutt LM. ARRS, Leesburg, VA, 2009; pp 99-111

1072 Pertemuan Ilmiah Nasional XVII PAPDI - Surabaya 2019


Pengurus Besar
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

Anda mungkin juga menyukai