Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku
sejak januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan
terakhir kali diubah dengan undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan
terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau
memperoleh penghasilan, dalam unddang-undang PPh disebut wajib pajak.
Undang-Undang PPh menganut asas Materiil, artinya penentuan mengenai pajak
yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.Oleh karena itu dalam
makalah ini kelompok kami menjabarkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pajak
penghasilan dimana didalamnya termuat beberapa bahasan yaitu mengenai subjek pajak
yang dikenakan dalam pajak penghasilan, objek pajak penghasilan serta mekanisme
pemajakan dan pemungutan pajak penghasilan

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa itu subjek pajak dan wajib pajak?
2. Siapa saja yang termasuk subjek pajak dalam Pajak Penghasilan?
3. Apa sajakah yang termasuk dalam objek pajak dalam pajak penghasilan?
4. Bagaimanakah Mekanisme Pemajakan dan Perhitungan Rumus Umum PPh?

1.3 Tujuan Pembahasan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengertian dari subjek pajak dan wajib pajak
2. Mengetahui siapa saja yang termasuk dalam subjek pajak dalam pajak penghasilan
3. Mengetahui apa saja yang termasuk dalam objek pajak PPh
4. Mengetahui mekanisme pemajakan dan perhitungan PPH

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Subjek Pajak


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran Umum.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran Umum.
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah:
1. Orang pribadi;
Orang pribadi sebagai subjek dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun
luar negeri Indonesia.
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggatikan yang berhak.

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan yang ditinggalkan oleh orangpribadi
Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang
berarti dalam hal ini adalah status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan
kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang
berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih
kepada ahli waris.
3. Badan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi, perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya,BUMN/BUMD, badan usaha milik kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Bentuk usaha tetap.

Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (setaus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu (12) bulan, atau badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri

2
Subjek pajak dalam negeri dalam peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia
terdiri dari:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia; atau

- Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu12 (dua belas) bulan.

- Orangpribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
b. Badan, yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
- Pembentukannya berdasarkan kemampuan perundang-undangan ;
- Pembiayaan bersumber dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;

- Penerimaannya dimasukan dalam anggaran Pemerintah pusat atau Pemerintahan


Daerah; dan
- Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.
c. Subjek Pajak Warisan
Yaitu warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Sedangkan yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah:


1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

2. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di indonesia.

3
Kewajiban pajak subjektif
Kewajiban pajak subjektif mengandung arti bahwa seseorang, sesuatu atau badan
sudah memenuhi syarat untuk dikenakan pajak Penghasilan dilihat dari sudut subjeknya..
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri

Dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat
tingga di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya.
2. Untuk subjek pajak badan dalam negeri
Dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan
berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Untuk subjek pajak luar negeri berupa BUT:

Dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (5) UU PPh dan berakhir pada saat tidak lagi
menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
4. Untuk subjek pajak luar negeri non BUT

Dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan tersebut.
5. Untuk warisan yang belum dibagi

Dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dan
berakhir pada saat warisan selesai dibagikan.Jangka waktu pengenaan pajak penghasilan
ini dinamakan tahun pajak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 UU Pajak Penghasilan.
Tahun pajak ini pada umumnya adalah tahun takwim mulai dari 1 Januari sampai dengan
31 Desember.Jika kewajiban pajak subjektif bermula atau berakhir di pertengahan akhir
pajak, maka pengenaan pajak ini tidak penuh dalam satu tahun pajak tetapi dalam bagian
tahun pajak.

Tidak termasuk subjek pajak


Yang tidak termasuk subjek pajak adalah:
1. Kantor perwakilan negara asing;

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsultan, dan konsulat atau pejabat-pejabat


lain dari negara asing, dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat :

- bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut.
- negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

4
3. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi terrsebut;

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran
para anggota;

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan


Menteri Keuangandengan syarat:
- bukan warga negara Indonesia.

- tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.

2.2 OBJEK PAJAK


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan dalam hubungan kerja dan
pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris,
aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
b. Hadiah dari undian, pekerjaan, atau kegiatan dan penghargaan;
Yang dimaksud dengan hadiag adalah hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti
hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
c. Laba usaha
Laba usaha adalah selisih lebih antara penjualan dikurangi dengan harga pokok penjualan
dan beban-beban usaha.
Laba Usaha = Penjualan – Harga Pokok Penjualan + Beban Beban Usaha
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;.
- Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan
harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;
Maksudnya penjualan harta terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya,
maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari
penjualan tersebut adalah harga pasar.

5
- Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun;
Jika suatu badan likuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual
berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak.
Sama halnya dengan selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal
terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha
merupakan penghasilan.
- Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
- Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;Pengembalian pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya pada saat menghitung penghasilan kena pajak, merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, pajak bumi dan bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai
biaya, yang karena suatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian
tersebut merupakan penghasilan.
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan
diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut
merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Dalam praktek sehari-hari sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya
dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi
kewajaran. Jika terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang
dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen.
Bagian bunga yang diperlukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
h. Royalti;
Imbalan atau penggantian berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan
sehubungan dengan penggunaan:
1) Hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula,
atau rahasia perusahaan;
2) Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan

6
adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan
yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak
(drilling rig), dan sebagainya;
3) Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin
belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya.
Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga
pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut.
Tidak termasuk dalam pengertian informasi adalah informasi yang diberikan oleh
misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya,
yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang
sama.

Menurut Undang-Undang PPh, royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau
terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun
tidak, sebagai imbalan atas:
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, patem, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang,
atau bentuk hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak serupa lainnya;
2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial atau
ilmiah;
3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau
komersial;
4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/ perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau
informasi tersebut pada angka 3, berupa :
- Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
serupa;
- Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/ dipancarkan melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
- Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (notion picture films), film atau
pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberikan hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana
tersebut di atas.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

7
Yang dimaksud dengan sewa adalah imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak
gerak, seperti sewa mobil, sewa alat berat, sewa kantor, sewa rumah dan sewa gudang.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur
hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
k. Keuntungan berupa pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak
yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai
biaya.
Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan
utang debitur misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta
kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata yang asing atau
adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh
karena fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem
pembukuan yang dianut oleh wajib pajak dengan syarat dilakukan secara taat azas sesuai
dengan Standar Akuntansi Keungan.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
Untuk dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan
perpajakan, wajib pajak tidak lagi menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak melainkan wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor
Wilayah yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar, untuk
mendapatkan Keputusan Persetujuan Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu.
Permohonan wajib pajak harus dilampiri dengan:
- Fotokopi surat ujin usaha penilai yang dilegalisir oleh instansi Pemerintah yang
berwenang memberikan surat ijin usaha tersebut;
- Laporan penilaian perusahaan jasa penilai atau ahli penilai profesional yang diakui
pemerintah;
- Daftar Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan;
- Laporan Keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aktiva tetap yang telah
diaudit akuntan publik;
- Surat Keterangan tidak mempunyai tunggakan pajak dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat wajib pajak terdaftar.
n. Premi asuransi;
Perhitungan tingkat premi harus didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktek asuransi
yang berlaku umum.
Penetapan tarif premi asuransi kerugian harus dilakukan dengan mempertimbangkan
sekurang-kurangnya:

8
1. Premi murni yang dihitung berdasarkan profil kerugian (risk and loss profile) jenis
asuransi yang bersangkutan untuk sekurang-kurangnya 5 tahun terakhir;
2. Biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya.
Penetapan tarif premi asuransi jiwa harus dilakukan dengan mempertimbangkan
sekurang-kurangnya:
1. Premi murni yang dihitung berdasarkan tingkat bunga, tabel mortalita, atau tabel
morbidita yang dipergunakan;
2. Biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya;
3. Prakiraan hasil investasi dari premi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib
pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
Iuran yang dibayar oleh anggota kepada perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalnya iuran yang besarnya
ditentukan berdasarkan volume ekspor, satuan produksi atau satuan penjualan adalah
penghasilan bagi perkumpulan tersebut.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang
telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak serta yang belum dikenakan pajak.
Jika diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto
yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek
pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
q. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan
usaha yang bersifat konvensional.
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU


Sesuai dengan pengertian tentang penghasilan yang luas, yang dianut oleh Undang-
Undang Pajak Penghasilan Indonesia, penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak
bersifat final:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

9
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan
e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar


tidak menambah beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak, maka pengenaan pajak penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
penjualan saham di bursa efek dipungut pajak penghasilan yang bersifat final.Besarnya
pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 0,1% dari jumlah bruto
nilai transaski penjualan.”
Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima atau
diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku
pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai
biaya. (Pasal 7 ayat (1) PER-16/PJ/2016)
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:

1. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
2. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).

REFERENSI HUKUM
1. Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari
2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan
2. PMK-252/PMK.03/2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk
pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan Orang Pribadi
3. PER-16/PJ/2016 (berlaku sejak 29 September 2016) tentang pedoman teknis tata
cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi

TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


Penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak tidak
dikarenakan pajak penghasilan (yang tidak termasuk sebagai objek pajak) adalah :
1. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak;
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau Menteri Keungan;

10
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan;
a. Warisan;
Yang dimaksud dengan warisan di sini adalah peninggalan harta dari keluarga yang
sedarah satu garis lurus di atas ahli waris.
b. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyerahan modal;
c. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura (benefit in kind) dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah;
d. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
e. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyerahan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi syarat.
f. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keungan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
g. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang diterapkan dengan Keputusan Menteri
Keungan;
h. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
i. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha (dihapus dalam Undang
Undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009).
j. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba
dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
k. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
l. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
m. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keungan;
n. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan atau bidang penelitiann dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/ atau penelitian dan pengembangan , dalam jangka
waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

11
o. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2.3MEKANISME PEMAJAKAN PPH DAN RUMUS UMUM MENGHITUNG PPH


Pada dasarnya jika subjek pajak dan objek pajak dari pajak penghasilan sudah
ditentukan, kita langsung dapat menghitung besarnya PPh terutang untuk menetukan
berapa besarnya sebagian penghasilan (harta kekayaan rakyat) yang harus diberikan
kepada negara oleh rakyat yang menerima atau memperoleh penghasilan. Tetapi sebelum
kita membahas cara menghitung besarnya PPh terutang, kita terlebih dahulu harus
mengetaahui siapa yang diwajibkan untuk menghitung besarnya PPh terutang,
menyetorkannya ke kas negara dan mempertanggunjawabkannya, dan mengenai kapan
rakyat atau wajib pajak harus menghitung sebagian penghasilannya yang harus dibayar
ke negara.
1. Sistem Pemajakan PPh
Ketentuan mengenai siapa yang diwajibkan menghitung besarnya PPh terutang
serta bagaimana tata cara menyetor dan mempertanggungjawabkan kewajibannya itu
disebut ketentuan mengenai tata cara pemajakan atau mekanisme pemajakan atau
prosedur pemajakan atau administrasi perpajakan PPh.
Pada prinsipnya WP (Tak Payer) itu sendiri harus menghitung dan menetapkan
berapa besarnya PPh terutang lalu segera melunasi/membayar sendiri ke kas negara. Cara
ini dinamakan cara menetapkan dan membayar pajak sendiri (Self Assesment System)
(dasar hukumnya adalah Pasal 12 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000
yang disingkat UU KUP). Istilah Self Assesment System adalah istilah hukum. Sedangkan
istilah administrasinya adalah Self Taxing System (Sistem Pemajakan Sendiri).
Pengertian sistem pemajakan sendiri adalah WP yang menerima atau memeperoleh
penghasilan (menanggung beban pajak) itu sendiri yang menghitung dan menetapkan
besarnya pajak yang harus dibayarnya, membayarnya ke kas negara dan melaporkan
perhitungan dan pembayaran pajak tersebut ke aparat pajak, serta
mempertanggungjawabkannya.
Self Assesment System atau sistem pemajakan sendiri memiliki kelemahaan, yaitu
WP bisa melakukan penyelundupan pajak, misalnya dengan menyembunyikan
penghasilannya atau melaporkannya dengan tidak benar, dan lain-lain. Untuk melengkapi
atau menutupi kelemahan sistem ini, maka pemajakan PPh juga dilakukan dengan cara:
Sistem Pemotongan (pajak) oleh pihak ketiga (With Holding System). Yang dimaksud
dengan pihak ketiga adalah pihak yang membayarkan atau terutang penghasilan. Pihak
ketiga itu disebut pemotong PPh. Jadi yang menghitung dan menetapkan besarnya PPh
terutang adaalah pemotong PPh, bukan WP sebagai pihak yang menerima penghasilan.
Setelah menghitung besarnya PPh terutang, maka pemotong PPh tersebut memotong dari
penghasilan tersebut sebesar PPh yang telah dihitungnya dan menyetorkannya ke kas

12
negara untuk dan atas nama penerima penghasilan. Lalu pihak ketiga tersebut (Pemotong
PPh) melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar dan
mempertanggungjawabkannya. Jika pemotong PPh melakukan kesalahan dalam
memotong PPh, maka sanksi administrasi perpajakan akan dikenakan terhadap Pemotong
PPh, bukan kepada WP penerima penghasilan.
Setiap badan pemerintah, penyelenggara kegiatan, Subjek Pajak Badan Dalam
Negeri, Sujek Pajak Warisan yang Belum terbagi, Subjek Pajak BUT, dan perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya secara otomatis (ditentukan langsung oleh UU PPh)
menjadi pemotong PPh. Sedangkan Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri baru
menjadi Pemotong PPh jika ia ditunjuk melalui keputusan Dirjen Pajak sebagai Pemotong
PPh. Mereka adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang WNA (Warga
Negara Asing) atau Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang menyelenggarakan
pembukuan dan/ atau yang berprofesi sebagai tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas (yang dimaksud dengan tenaga ahli adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri yang melakukan pekerjaan bebas yang meliputi Dokter, Pengacara, Notaris, PPAT
selain Camat, Akuntan, Konsultan, Aktuaris, Penilai, Arsitek). Dan mereka hanya
terbatas sebagai Pemotong PPh atas penghasilan sewa. Pemajakan dengan sistem
pemotongan dan pemungutan disebut pemajakan pada sumber/asal penghasilan, sehingga
sulit bagi WP yang menerima atau memperoleh penghasilan menggelapkan
penghasilannya. Karena penghasilan yang diterima atau diperolehnya tersebut dilaporkan
ke Kantor Pajak oleh pihak yang membayarkan.

2. Pemajakan Secara Periodik dan Saat Terutang Pajak Penghasilan


Penghitungan dan penyetoran/pembayaran PPh ke negara dimulai jika berdasarkan
UU PPh (berdasarkan kesepakatan antar rakyat yang diwakili oleh Parlemen Negara yang
diwakili oleh Eksekutif yang dituangkan dalam UU PPh) telah timbul kewajiban dari
rakyat atau Wajib Pajak untuk membayar PPh ke negara atau telah. timbul hak negara
untuk menagih PPh dari Wajib Pajak tersebut. Ketentuan mengenai kapan timbulonya
kewajiban Wajib Pajak untuk membayar sebagian penghasilannya disebut ketentuan
mengenai saat timbulnya utang PPh atau saat terutangnya PPh. Kita mengenal istilah janji
adalah utang, artinya utang timbul karena perjanjian. Demikian pula halnya dengan
perpajakan, utang PPh itu timbul karena perjanjian, yaitu perjanjian antara rakyar itu
sendiri yang diwakili oleh parlemen dan negara yang diwakili oleh eksekutif dimana
perjanjian itu dituangkan dalam bentuk UU yang disebut UU Pajak.
Untuk PPh yang dihitung atau dipajaki pada setiap tahun pajak berakhir disebut Utang
PPh Tahunan atau PPh Tahunan Terutang dan dibedakan atas utang:
a. PPh Tahunan WP Orang Pribadi (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan
terhadap WP Orang Pribadi Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan yang
dikenai PPh bersifat tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal
tahun sampai akhir tahun.
b. PPh Tahunan WP Badan (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap
WP Badan Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenakan PPh

13
bersifat tidak final yang siterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun
sampai akhir tahun.
c. PPh Tahunan BUT (WP orang Pribadi/Badan Luar Negeri BUT), yaitu PPh tahunan yang
dikenakan terhadap WP BUT pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenakan
PPh bersifat tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun
sampai akhir tahun.
d. PPh Tahunan WP Warisan yang belum terbagi, yaitu PPh tahunan yang dikenakan
terhadap WP Warisan yang belum etrbagi pada akhir tahun atas semua penghasilan yang
dikenai PPh bersifat tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal
tahun sampai akhir tahun.
e. PPh Tahunan Pasal 21. PPh Tahunan Pasal 21 adalah uang muka PPh Tahunan WP Orang
Pribadi dalam negeri yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
khusus atas penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final berupa penghasilan dari
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang diterima atau diperolehnya dari awal tahun sampai
akhir tahun bersangkutan. Ketentuan mengenai mekanisme pemajakan PPh Tahunan
Pasal 21 diatur di Pasal 21 UU PPh sehingga disebut PPh Pasal 21.

3. Uang Muka PPh


Mengingat Pemajakan setelah tahun pajak berakhir mengandung kelemahan berupa:
a. Terbukanya peluang bagi WP untuk menggelapkan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya pada awal-awal tahun, kemungkinan WP sudah tidak mempunyai uang lagi
untuk membayar PPh pada akhir tahun karena sudah habis dipakai sehingga menyulitkan
penerimaan negara.
b. Mengingat WP untuk membayar utang PPh Tahunan dalam jumlah besar dan lain-lain.
c. Demi bisa melakukan cek silang untuk kepentingan intensifikasi WP.
d. Mencegah penyelundupan pajak dan lain-lain.
Maka UU PPh menentuka bahwa pada saat menerima atau memperoleh penghasilan
terutama selama satu tahun berjalan, WP yang menerima atau memperoleh penghasilan
tertentu tersebut diharuskan membayar uang muka PPh dalam jumlah tertentu dari
penghasilan tertentu itu melalui sistem pemotongan atau pemungutan atau pemajakan
sendiri. Ketentuan tersebut diatur di BAB V UU PPh tentang Pelunasan PPh Selama
Tahun Berjalan (Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25). Nanti pada
akhir tahun pajak, penghasilan itu ditambah dengan penghasilan lain yang tidak dikenai
uang muka PPh dikenai PPh tahunan (dihitung PPh tahunan terutang). Sedangkan uang
muka PPh yang telah dibayar selama tahun berjalan tersebut bisa diperhitungkan sebagai
kredit pajak (pengurang) dari PPh Tahunan Terutang (Bab V UU PPh Tentang
Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun).

14
4. Rumus Umum Perhitungan PPh
Cara Menghitung PPh Terutang, baik PPh Tahunan Terutang, PPh Final Terutang,
maupun Uang Muka PPh Terutang bisa disajikan berupa rumus umum perhitungan PPh
Terutang sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Tarif Pajak x Tarif PPh = PPh Terutang
(Base x Rate = Tax)
Dasar pengenaan pajak adalah suatu jumlah yang terhadapnya langsung diterapkan
tarif pajak.
Dalam UU PPh, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu
1. DPP untuk pemajakan PPh bulanan hak pemajakan PPh final maupun pemajakan uang
muka PPh adalah
a. Penghasilan bruto atau jumlah bruto tanpa PPN/PPnBM, atau
b. Perkiraan penghasilan netto (penghasilan netto yang dikira-kira saja).
2. DPP untuk pemajakan PPh Tahunan pada akhir tahun pajak/buku adalah Penghasilan
Kena Pajak (PKP). PKP dihitung sebagai berikut:
a. Bagi WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang tidak wajib pembukuan (omset setahun tidak
melampaui 600 juta) PKP dihitung dari penghasilan bruto dikalikan norma penghitungan
penghasilan neto. Norma penghitungan penghasilan neto merupakan suatu persentase
yang besarnya ditentukan oleh Dirjen Pajak (Pasal 14 UU PPh).
b. Bagi WP yang wajib pembukuan (WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang omset setahun
melebihi 600 juta, Wp Badan Dalam Negeri, WP BUT, dan WP Warisan yang belum
terbagi) PKP dihitung dari penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya atau pengeluaran-
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut (Pasal
6 sd 11, Pasal 9 dan 18 UU PPh) serta kompensasi kerugian fiskal. Perhitungan ini mirip
dengan perhitungan laba netto dalam akuntansi.
c. Bagi WP yang wajib pembukuan, tetapi karena sifat usahanya sulit menetukan
penghasilan neto (seperti Wp yang bergerak di bidang pelayanan atau penerbangan
internasional), PKP dihitung dari penghasilan bruto dikalikan Norma Penghitungan
Khusus. Norma Penghitungan Khusus merupakan suatu persentase yang besarnya
ditentukan oleh Menteri Keuangan yang mendapat wewenang dari UU PPh (Pasal 15 UU
PPh).
jadi dalam menghitung PKP untuk menjadi DPP, kita peratama-tama harus menghitung
penghasilan netonya terlebih dahulu.

Tarif PPh
Tarif PPh dibedakan atas:
1. Tarif Pasal 17
Tarif Pasal 17 untuk WP Dalam Negeri (orang pribadi/badan/warisan yang belum dibagi)
dan WP BUT sebagaimana diatur di Pasal 17 UU PPh. Disebut tarif Pasal 17 karena
ketentuannya diatur di Pasal 17 UU PPh. Tarif Pasal 17 digunakan untuk menghitug PPh
tahunan dan PPh bulanan Pasal 21.

15
2. Tarif Fiksi/Khusus
Tarif fiksi/khusus yaitu tarif yang besarnya ditentukan berdasarkan kira-kira saja oleh UU
PPh, seperti tarif PPh Pasal 23 sebesar 15% atau oleh pejabat yang diberi wewenang oleh
UU PPh (bisa Presiden, Menteri Keuangan, Dirjen Pajak), seperti tariif PPh final dan tarif
PPh Pasal 22. Tarif Fiksi/Khusus digunakan untuk pemajakan bulanan, PPh Final, Uang
Muka PPh seperti PPh bulanan Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23.
3. Tarif Pasal 26
Tarif Pasal 26 untuk WP luar negeri selain BUT sebagaimana diatur di Pasal 26 UU PPh.
Dinamai tarif Pasal 26 karena ketentuannya diatur di Pasal 26 tarif PPh. Tarif Pasal 26
digunakan untuk pemajakan/perhitungan pasal 26.

Besarnya Tarif
Tarif Pasal 17 untuk pemajakan PPh Tahunan dan PPh Bulanan Pasal 21
dibedakan atas tarif Pasal 17 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan tarif
Pasal 17 untuk WP Badan Dalam Negeri dan WP BUT.
Tarif Pasal 17 ayat 1a untuk WP Orang Pribadi Dalam Negeri sebesar
Untuk Lapisan PKP Tarif
> 0,00 s/d 25.000.000,00 5%
>25.000.000,00 s/d 50.000.000,00 10%
>.000.000,00 s/d 100.000.000,00 15%
>100.000.000,00 s/d 200.000.000,00 25%
>200.000.000,00 35%

Mekanisme perpajakan dan rumus umum menghitung PPh


Mekanisme perhitungan PPh pasal 21

Secara umum rumus menghitung PPh 21 adalah:


Penghasilan Bersih per bulan xxx
Penghasilan bersih disetahunkan xxx (x12 bulan)

PTKP xxx (-)


Penghasilan Kena Pajak xxx
PPh Terutang setahun xxx (x tarif PPh 21)

PPh Terutang per bulan Xxx (÷ 12 bulan)

Secara umum, langkah-langkah atau mekanisme dalam penghitungan umum PPh Badan
adalah sebagai berikut:
1. Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Yaitu dengan cara menghitung (menentukan) besarnya penghasilan neto fiskal
dikurangi dengan kompensasi kerugian fiskal

16
2. Menghitung PPh Terutang
Penghitungan PPh Terutang dilakukan dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak
(PKP) dengan tarif pajak yang berlaku (sesuai dengan kriteria Wajib Pajak), dikurangi
dengan pengembalian/pengurangan kredit pajak luar negeri yang (PPh Pasal 24) yang
telah diperhitungkan tahun lalu
PPh Terutang = Penghasilan Kena Pajak X Tarif PPh Badan
atau dapat dijelaskan sebagai berikut:
Peredaran Bruto Rp xxxxx
Biaya – biaya Rp xxxxx
-------------------
Penghasilan Neto Rp xxxxx
Kompensasi Kerugian Rp xxxxx
-------------------
Penghasilan Kena PajakRp xxxxx
Tarif Pajak xxx %
------------------X
PPh Terutang Rp xxxxx

Perhitungan Perubahan PTKP Terbaru Tahun 2016 :

PTKP 2016 Wajib Pajak Tidak Kawin (TK)

Uraian Status PTKP


Wajib Pajak TK0 54.000.000,-
Tanggungan 1 TK1 58.500.000,-
Tanggungan 2 TK2 63.000.000,-
Tanggungan 3 TK3 67.500.000,-

PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin

Uraian Status PTKP


WP Kawin K0 58.500.000,-
Tanggungan 1 K1 63.000.000,-
Tanggungan 2 K2 67.500.000,-
Tanggungan 3 K3 72.000.000,-

17
PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin, penghasilan istri dan suami digabung

Uraian Status PTKP


WP Kawin K/I/0 112.500.000,-
Tanggungan 1 K/I/1 117.000.000,-
Tanggungan 2 K/I/2 121.500.000,-
Tanggungan 3 K/I/3 126.000.000,-
Catatan:
 Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang
 TK : Tidak Kawin
 K : Kawin
 K/I : Kawin dan penghasilan pasangan digabung

 Tarif pajak

Penghasilan Netto Tarif pajak


Sampai dengan 50 juta 5%
50 juta sampai dengan 250 juta 15%
250 juta sampai dengan 500 juta 25%
Diatas 500 juta 30%

18
 Perhitunganya :

Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP yang lama (selama bulan Januari – Juni 2016):
Andi Ahmad pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Abadi Selamat dengan
memperoleh gaji sebulan Rp 5.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp
100.000,00. Andi menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21
adalah sebagai berikut :
Gaji
sebulan Rp5.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan : 5% x Rp 5.000.000,00 Rp 250.000,00
2. Iuran pensiun Rp 100.000,00 (+)
Rp350.000,00 (-)
Penghasilan neto
sebulan Rp4.650.000,00
Penghasilan neto setahun adalah 12 x Rp 4.650.000,00 =
Rp55.800.000,00
PTKP setahun
– untuk WP sendiri Rp 36.000.000,00
– tambahan WP kawin Rp 3.000.000,00 (+)
Rp39.000.000,00 (-)

Penghasilan Kena Pajak setahun Rp16.800.000,00


PPh Pasal 21 terutang :
5% x Rp 16.800.000,00 = Rp 840.000,00
PPh Pasal 21 sebulan :
Rp 840.000,00 : 12 = Rp 70.000,00
Perhitungan PPh 21 menggunakan PTKP yang baru (selama tahun 2016):
Andi Ahmad pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Abadi Selamat dengan
memperoleh gaji sebulan Rp 5.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp
100.000,00. Andi menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21
adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan Rp
5.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan : 5% x Rp 5.000.000,00 Rp 250.000,00

19
2. Iuran pensiun Rp 100.000,00
(+) Rp 350.000,00 (-)
Penghasilan neto sebulan Rp
4.650.000,00
Penghasilan neto setahun adalah 12 x Rp 4.650.000,00 = Rp
55.800.000,00
PTKP setahun
– untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00
– tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00 (+) Rp
58.500.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 0,00
PPh Pasal 21 terutang :
5% x Rp 0,00 = Rp 0,00
PPh 21 Masa Januari – Desember 2016 terutang = Rp. 0,00
PPh 21 Masa Januari – Juni 2016 yang telah disetor = Rp. 420.000,00
Terdapat Lebih bayar PPh 21 tahun 2016 sebesar Rp. 420.000,00, dan jika atas lebih bayar
tersebut perlakuannya sama dengan lebih bayar yang timbul karena kenaikan PTKP 2015,
maka atas lebih bayar tersebut dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya / tahun
2017.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada sorang pribadi maupun
badan atas penghasilan yang diperolehnya pada periode tahun pajak, Pajak Penghasilan
Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri.
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Jadi jika orang pribadi atau badan telah memenuhi syarat subjektif (telah
memenuhi syarat sebagai subjek pajak) dan telah memenuhi syaraat objektif (telah
menerima atau memperoleh penghasilan), maka orang pribadi atau badan tersebut
otomatis menjadi wajib pajak. BAYAR PAJAK, BANGUN NEGERI!

21
DAFTAR PUSTAKA

1. https://makalahubb.blogspot.com/2017/05/makalah-perpajakan-pajak-
penghasilan.html
2. http://dista246.blogspot.com/2016/12/makalah-pph-pasal-21.html?m=1
3. https://www.academia.edu/29953870/MAKALAH_PAJAK_PPH_PASAL_21

22

Anda mungkin juga menyukai